swamedikasi kontipasi(1)
Post on 14-Aug-2015
109 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
I. Pendahuluan ................................................................................ 2
II. Epidemiologi ....................................................................................... 4
III. Patofisiologi ................................................................................. 5
IV. Etiologi ............................................................................................. 8
V. Sasaran, strategi terapi, dan penatalaksanaan ..................... 12
VI. Simulasi kasus ................................................................................. 17
VII. Daftar Pustaka ................................................................................. 19
1
I. PENDAHULUAN
Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah kelainan pada sistem
pencernaan dimana seorang manusia (atau mungkin juga pada hewan) mengalami
pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau
dikeluarkan dan dapat mnyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya.
Konstipasi dibedakan menjadi dua yaitu ringan dan berat. Konstipasi yang
berat atau cukup hebat disebut juga dengan obstipasi. Apabila seseorang menganggap
remeh obstipasi ini dapat menyebabkan kanker usus yang berakibat fatal bagi
penderitanya
Pasien yang mengalami konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-
beda. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) beberapa pasien (52%)
mendefinisikan konstipasi sebagai defekasi keras, tinja seperti pil atau butir obat
(44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang
(33%). Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition,
konstipasi didefinisikan dengan kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama 2
minggu atau lebih, dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Paris Consensus
on Childhood Constipation Terminology menjelaskan definisi konstipasi sebagai
defekasi yang terganggu selama 8 minggu dengan mengikuti minimal dua gejala
sebagai berikut: defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia, frekuensi tinja
lebih besar dari satu kali per minggu, massa tinja yang keras yang dapat mengetuk
kloset, massa tinja teraba di abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi.
Sebagaimana diketahui, fungsi kolon di antaranya melakukan absorpsi cairan
elektrolit, zat-zat organik misalnya glukosa dan air, hal ini berjalan terus sampai di
kolon descendens. Pada seseorang yang mengalami konstipasi, sebagai akibat dari
absorpsi cairan yang terus berlangsung, maka tinja akan menjadi lebih padat dan
mengeras. Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi,
sehingga dapat menimbulkan haemorhoid. Sisa-sisa protein di dalam makanan
biasanya dipecahkan di dalam kolon dalam bentuk indol, skatol, fenol, kresol dan
hidrogen sulfida. Sehingga akan memberikan bau yang khas pada tinja. Pada
konstipasi juga akan terjadi absorbsi zat-zat tersebut terutama indol dan skatol,
sehingga akan terjadi intestinal toksemia. Bila terjadi intestinal toksemia maka
berbahaya pada penderita dengan sirosis hepatis . Pada kolon stasis dan adanya
2
pemecahan urea oleh bakteri mungkin akan mempercepat timbulnya “ hepatic
encepalopati” pada penderita sirosis hepatis.
Pada umumnya konstipasi terdiri dari 2 tipe yaitu :
Tipe transit lambat yaitu jarang timbul hasrat defekasi pada penderita.
Tipe obstruktif yaitu penderita tidak berdefekasi dengan tuntas karena sebab-
sebab penyakit atau gangguan anorektal organik/fungsional, misalnya
penyumbatan jalannya feses karena prolaps, yakni penjembulan selaput lendir
dubur keluar. Pengeluaran feses juga dapat dihambat secara paradoksal oleh
kontraksi dan bukannya oleh relaksasi normal dari sfinger (otot melingkar) dubur
pada saat mengedan (Tjay dan Rahardja, 2007).
3
II. EPIDEMIOLOGI
Terjadi pada 20% populasi, 1/3 pasien dengan konstipasi memerlukan
pengobatan. Banyak ditemukan pada lansia maupun anak-anak dengan perubahan diet
dan cairan maupun perubahan lingkungan serta penggunaan obat-obatan. Anak-anak
yang mengalami konstipasi berat, dapat berulang pada masa pubertas.
Sesuai dengan sigi “National Health Interview” di Amerika Serikat lebih dari
4 – 4,5 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya
mencapai sekitar 2 %. Penderita yang mengeluh konstipasi ini kebanyakan adalah
wanita, anak-anak, dan orang dewasa di atas usia 65 tahun. Wanita hamil juga sering
mngeluh konstipasi, demikian pula setelah melahfirkan atau pasca bedah. Konstipasi
diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya.
Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan
perbaikan keluhan. Namun sebagian kecil merasa terganggu akibat konstipasi ini.
Beberapa penderita dengan konstipasi fungsional (misal “inersia kolon”), bahkan
membutuhkan kolektomi abdominal total dengan anastomosis ileorectal.
Keluhan konstipasi tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih
sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipasi
dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin meningkat
frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah dengan
keluhan konstipasi ini. Namun sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan
pengobatan sendiri, tanpa pergi ke dokter.
4
III. PATOFISIOLOGI
Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait
dengan faktor anatomi dan fisiologi dalam proses mekanisme buang air besar
terganggu. Gangguan dapat terjadi pada kekuatan propulsif, sensasi rektal ataupun
suatu obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet). Konstipasi dikatakan
idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas anatomik, fisiologik,
radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya.
Konstipasi pada masa bayi biasanya disebabkan masalah diet atau pemberian
minum.Berak yang nyeri dapat merupakan pencetus primer dari konstipasi pada awal
masa anak. Pada masa bayi dan anak, konstipasi kronik dapat disebabkan lesi
anatomis, masalah neurologis, disfungsi neuromuskuler otot intrinsik, obat
farmakologis, faktor metabolik atau endokrin. Pada masa anak penyebab terbanyak
adalah konstipasi fungsional yang biasanya berawal dari kurangnya makanan berserat,
kurang minum atau kurangya aktifitas
Akibat dari konstipasi
Sebagaimana diketahui, fungsi kolon di antaranya melakukan absorpsi cairan
elektrolit, zat-zat organik misalnya glukose dan air, hal ini berjalan terus sampai di
kolon descendens. Pada seseorang yang mengalami konstipasi, sebagai akibat dari
absorpsi cairan yang terus berlangsung, maka tinja akan menjadi lebih padat dan
mengeras. Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi,
sehingga akan menimbulkan haemorrhoid.
Sisa-sisa protein di dalam makanan biasanya dipecahkan di dalam kolon
dalam bentuk indol, skatol, fenol, kresol dan hydrogen sulfide. Sehingga akan
memberikan bau yang khas pada tinja. Pada konstipasi juga akan terjadi absorpsi zat-
zat tersebut terutama indol dan skatol, sehingga akan terjadi intestinal toksemia. Bila
terjadi intestinal toksemia maka pada penderita dengan sirhosis hepatis merupakan
bahaya. Pada kolon stasis dan adanya pemecahan urea oleh bakteri mungkin akan
mempercepat timbulnya “hepatik encepalopati” pada penderita sirhosis hepatis.
Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain,
karena pola makan, hormon,gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-
5
beda, tetapi biasanya gejala dan tanda yang umum ditemukan pada sebagian besar
atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
a. Gejala fisik
1. Perut terasa penuh, dan bahkan terasa kaku.Tubuh tidak fit, tidak nyaman,
lesu, cepat lelah, dan terasa berat sehingga malas mengerjakan sesuatu
bahkan kadang-kadang sering mengantuk.
2. Sering berdebar-debar sehingga mudah stres, sakit kepala atau bahkan
demam.
3. Tinja atau feses lebih keras, lebih panas, berwarna lebih gelap daripada
biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya.
4. Pada saat buang air besar feses atau tinja sulit dikeluarkan atau dibuang,
tubuh berkeringat dingin, dan kadang-kadang harus mengejan ataupun
menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan dan
membuang tinja (bahkan sampai mengalami ambeien). Terdengar bunyi-
bunyian dalam perut.
5. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan terganjal sesuatu
disertai sakit akibat bergesekan dengan tinja atau feses yang kering dan keras
atau karena mengalami ambeien atau wasir sehingga pada saat duduk terasa
tidak nyaman.
6. Lebih sering buang angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya.
7. Menurunnya frekwensi buang air besar, dan meningkatnya waktu buang air
besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih lama lagi).
8. Terkadang mual dan muntah.
b. Gejala psikologis
1. Mudah emosi.
2. Lebih suka menyendiri.
3. Gelisah.
4. Susah tidur.
5. Kurang percaya diri dan kurang bersemangat.
c. Lainnya
Munculnya rasa mulas dan nyeri pada perut bukan suatu tanda dan
gejala, begitupula mulas dan nyeri yang tak tentu juga tidak menuju ke suatu
6
gejala penyakit.Konstipasi atau sembelit lebih sering terjadi pada anak-anak
(karena sistem pencernaan pada anak-anak belum terlalu sempurna) dan orang
tua (karena kinerja sistem pencernaan pada orang tua menurun), dan lebih
banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria.Pada anak-anak,
konstipasi dapat mengarah kepada soiling (enuresis dan encopresis).
7
IV. ETIOLOGI
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi sekunder
(diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik, kelainan syaraf, penyakit
jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi), konstipasi fungsional (konstipasi biasa,
“Irritabel bowel syndrome”, konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi
kolon, obstruksi intestinal kronik, “rectal outlet obstruction”, daerah pelvis yang
lemah, dan “ineffective straining”), dan lain-lain (diabetes melitus, hiperparatiroid,
hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan skleroderma).
Konstipasi sekunder
1. Pola hidup: Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air
besar yang buruk, kurang olahraga.
2. Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan tumor,
abses perineum, megakolon.
3. Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia,
hipotiroid, DM, dan kehamilan.
4. Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis
multiple, lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia
familier.
5. Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-
tissue disease”.
6. Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi,
bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida
(aluminium, senyawa kalsium), “calcium channel blockers”
(verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik
(pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka
panjang.
7. Gangguan psikologi (depresi).
Konstipasi fungsional = kontipasi simple atau temporer
1. Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi.
2. “Irritabel bowel syndrome”
3. Konstipasi dengan dilatasi kolon : “idiopathic megacolon or megarektum”
4. Konstipasi tanpa dilatasi kolon : “idiopathic slow transit constipation”
8
5. Obstruksi intestinal kronik.
6. “Rectal outlet obstruction” : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi.
7. Daerah pelvis yang lemah : “descending perineum”, rectocele.
8. Mengejan yang kurang efektif (“ineffective straining”)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal
Banyak factor yang mempengaruhi proses eliminasi fekal. Pengetahuan tenang
factor inimemungkinkan perawwat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan
untuk mempertahankan pola eliminasi normal. Faktornya antara lain:
1. Usia
Perubahan dalam tahap perkebangan yang mempeengaruhi status
eliminasi di sepanjangkehidupan. Dalam kasus yang terjadi pada Pak XXX
kemungkinan besar ada kaitanyadengan faktor usia. Karena sistem
gastrointestinal pada lansia sering mengalamiperubahan sehingga merusak proses
pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkintidak lagi memiliki gigi
sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan denganbaik. Makanan yang
memasuki saluran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapatdicerna karena
jumlah enzim pencernaan di dalam saliva dan volume asam lambungmenurun
seiring dengan proses penuaaan.
2. Diet
Asupan makanan setiap hari membantu secara teratur membantu
mempertahankan polaperistaltik yang teratur di dalam kolon. Mengkonsumsi
makanan tinggi seratmeningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika
faktor lain juga normal.Dalam kasus Pak XXX diatas konstipasi yang dialami
dapat juga disebabkan olehasupan makanan yang tidak benar (komposisinya tidak
seimbang) atau bisa jadi Pak XXX mempunyai penyakit DM sehingga ia
membatasi asupan makanan. Namun,pembatasan itu tidak teat sehingga akhirnya
terjadi konstipasi.
3. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan
kehilangan cairanseperti muntah mempengaruhi karakter feses. Cairan
mengencerkan isi usus,memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan
yang menurun memperlambatpergerakan makanan yang melalui usus.
9
4. Aktifitas fisik
Aktivitas fisik meningkatkan peristaltik, sementara imobilisasi menekan
motilitas kolon.Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan
selama proses defekasi,merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar
panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan
tekanan intraabdomendan untuk mengontrolspingter interna.
5. Fakor psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat
stresemosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan,
atau marah,munsul respon stres, yang memungkinkan tubuh membuat
pertahanan.
6. Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus.Kebanyakan
individu merasalebih mudah melakukan defekasi di kamar mandi mereka sendiri
pada waktu yang palingefektif dan paling nyaman bagi mereka.
7. Nyeri
Dalam keadaan normal defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada
sejumlah kondisi, termasuk heoroid, bedah rektum, fistula rektum, bedah
abdomen dan pasca melahirkan dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika
defekasi. Pada kondisi-kondisiseperti ini klien sering kali mensupresi
keinginannya untuk berdefekasi guna menghidarirasa nyeri yang mungkin akan
timbul.
8. Kehamilan
Obstruksi sementara akibat keberadaaan fetus mengganggu pengeluaran
feses.Konstipasiadalah masalah yang sering muncul pada trimester terakhir.
Wanita hamil yang seringmengedan selama defekasi dapat menyebabkan
terbentuknya hemoroid yang permanen.
9. Pembedahan dan Anestesi
Agen anestesi, yang digunakan selama proses pembedahan, membuat
gerakan peristaltik berhenti untuk sementara waktu. Kerja anestesi tersebut
memperlambat atau menghentikan gerak peristaltik.
10
10. Obat-obatan
Obat-obatan seperti disiklomin HCL menekan gerakan peristaltik dan
mengobati diare. Beberapa obat memilliki efek mengganggu eliminasi. Obat
analgesik narkotik menekangerakan peristaltik. Opium umumnya menyebbkan
konstipasi.
11. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI,
seringmemerlukan dikkosongkannya isi di bagian usus. Pengosongan usus dapat
mengganggueliminasi sampai klien dapat makan dengan normal
11
V. SASARAN, STRATEGI TERAPI, DAN PENATALAKSANAAN
Hasil terapi yang diharapkan adalah pencegahan konstipasi berlanjut melalui
perubahan gaya hidup terutama makanan. Untuk konstipasi akut, sasaran terapi adalah
untuk menghilangkan gejala dan mengembalikan fungsi normal usus.
Tujuan terapi :
1. Mengurangi konstipasi dan menormalkan kembali fungsi usus besar
2. Menetapkan pola makan (diet) dan kebiasaan olahraga yang dapat mencegah
kekambuhan
3. Mendukung keamanan dan efektifitas penggunaan laksatif
4. Mencegah penggunaan salah dari laksatif
Terapi konstipasi dapat dilakukan melalui :
Tatalaksana non farmakologik
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi.
Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum
sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah
dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang
dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup,
dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi
diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.
b) Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu
transit (transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi
serat skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar
mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian,
sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi
gerakan usus dengan meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit
usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi
gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu
diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan
pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan
jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang
12
besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali
menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c) Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk
buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang
karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar
merupakan langkah awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien
tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami
gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air
besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut.
Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air
besar, waktu yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan
makan malam.
d) Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi
bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu
setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu
bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan
disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat
bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan
interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus.
Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan
menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan.
Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk
merangsang gerakan usus.
e) Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan
untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang
diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan, obat Parkinson
merupakan obat yang potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang
mengandung zat besi juga cenderung menimbulkan konstipasi, demikian obat
13
anti hipertensi (antagonis kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik
merupakan obat-obatan yang sering pula menyebabkan konstipasi.
Tatalaksana farmakologik
a) Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran.
Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium
dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent
sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan
volume tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium
pada orang usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk
terbukti menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada
hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan
asupan cairan.
b) Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut
usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak
sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan
air masuk dam memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat
menolong konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada
situasi dimana mangedan harus dicegah.
c) Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut.
Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik
diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari
selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan
kehilangan protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja
8-12 jam setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu
yang lebih lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan
defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko
inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan
respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi
sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada
14
usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria
untuk mendapatka efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat
menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara
rutin, melainkan sekitar 3 kali seminggu.
d) Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di
dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk
laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan karbondioksida. Asam organik
dengan berat molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan cairan
intraluminal dan menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar
hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil
penghni panti rawat jompo yang mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol
juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada
orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30
selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar hiperosmolar
yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat
pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang
dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
e) Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon;
hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai.
Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut
yang mengalami tirah baring mungkin membutuhkan enema secara berkala
untuk mencegah skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering
dapat mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap water)
merupakan tipe paling aman untuk penggunaan rutin, karena tidak
menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-
suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
15
Berikut ini algoritma penatalaksanaan terapi konstipasi:
16
VI. SIMULASI KASUS
Seorang pria berumur 60 tahun sudah dua hari tidak dapat buang air besar
dan perlu mengejan kuat untuk buang air besar. Pria tersebut pernah mengalami hal
serupa setahun yang lalu
Dalam kasus diatas diketahui bahwa Pak XXX memiliki inkontinensia urin,
kemungkinan dalam hal ini Pak XXX membatasi asupan cairan untuk mengurangi
pengeluaran urin, namun hal ini dapat berakibat feses menjadikeras dan pelambatan
gerak makanan dalam usus.
Pada Pak XXX,sudah sebulan ia mengalami kelemahan otot pada ekstremitas
selam 1 bulan, sehingga aktivitas fisik yang dilakukan sangat terbatas. Hal inidapat
mempengaruhi terjadinya konstipasi pada Pak XXX.
Pada kasus ini mungkin faktor psikologis tidak terlalu berpengaruh, namun
tetap perawat harusmengkaji hal tersebut jangan sampai klien yang tadinya tidak
mengalami stres malahmenjadi stres setelah dirawat di rumah sakit.
a. Keluhan yang dialami pasien
o Konsistensi feses yang keras
o Mengejan dengan keras saat BAB
o Tidak dapat BAB selama 2 hari
o Konstipasi yang sama dirasakan 1 tahun yang lalu
b. Diagnosis
Pasien diduga mengalami konstipasi yang disebabkan karena faktor usia.
c. Terapi yang diberikan
Konstipasi dapat diterapi secara farmakologis dan non farmakologis. Dalam kasus ini
pasien dianjurkan untuk menjalankan terapi farmakologis dan non farmakologis.
Terapi non farmakologis yang dianjurkan adalah:
- Memperbanyak konsumsi makanan berserat dan mengurangi makanan berlemak
Menambahkan konsumsi serat sampai 20-35 gram serat per hari. buah buahan seperti
bayam dan papaya)
- Melakukan olah raga secara teratur
17
Dianjurkan untuk melakukan olah raga ringan seperti berjalan-jalan, jogging, dll
secara teratur
- Memperbanyak asupan cairan
Disarankan asupan cairan dalam sehari 1-4 L
Sedangkan terapi farmakologis yang dianjurkan adalah:
- Laksatif bulk-forming
Agar, biji plantago (psylium), alginat, dan gom tanaman. Laksatif bulk-forming akan
menahan cairan dalam usus secara osmosis (pencahar osmotik) dan menstimulasi
peristaltik usus.
- Laksatif emolien (pelunak feses)
Contohnya adalah laktulosa, mempermudah defekasi karena memperlunak tinja dan
memperlicin jalannya defekasi.
Edukasi yang diberikan meliputi:
- Edukasi tentang pola hidup yang sehat
Pola hidup sehat meliputi pola makan sehat, dan olah raga secara teratur
- Edukasi penggunaan obat dan cara pemakaian
Edukasi meliputi dosis pemakaian, aturan pemakaian, cara penggunaan obat khusus,
dan terapi farmakologis yang mendukung.
18
VII. DAFTAR PUSTAKA
Berardi, R.R.,Ferreri, S.P., Hume, A.L., Kroon, L.A., Newton, G.D., Popovich, N.D.,
Remington, T.L., Rollins, C.J., Shimp, L.A., Tietze, K.J., 2009, Handbook of
Nonprescription Drugs: An Interactive Approach To Self-Care, 16th Edition,
APhA, Washington DC
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (editors),
2005, Pharmacotherapy: A Phatophysiologic Approach, 6th Edition, p.684-689,
McGraw-Hill, United States of America
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M., 2008,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th ed, McGraw-Hill, New York
Tjay, T.H. dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting edisi VI, Gramedia, Jakarta
Yogyakarta, 27 November 2012
Isna S. H. (08488)
Safira K. (08491)
Candida Alma P. (08494)
Ditha P.(08497)
Deazty M.C. (08503)
19
top related