teknik pengolahan daging
Post on 31-Jan-2016
232 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TEKNIK PENGOLAHAN DAGING: SOSIS CRISPY
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sosis merupakan salah satu produk hasil olahan daging yang cukup terkenal di kalangan
masyarakat. Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging ayam atau daging sapi yang telah
dicincang kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam pembungkus yang
berbentuk bulat panjang yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan atau tanpa
dimasak maupun diasapkan. Sosis mempunyai nilai gizi yang tinggi. Komposisi gizi sosis berbeda-
beda, tergantung pada jenis daging yang digunakan dan proses pengolahannya. Produk olahan
sosis kaya energi, dan dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat. Selain itu, sosis juga memiliki
kandungan kolesterol dan sodium yang cukup tinggi.
Dalam pembuatan sosis seringkali pembungkus atau cassing sosis susah dilepaskan dari sosisnya
sendiri, dan kadang hal ini membuat bentuk sosis kurang menarik. Oleh karena itu perlu dilakukan
inovasi dalam pembuatannya yaitu dengan menambahkan ampas kedele sebagai tambahan bahan
pengikat sosis yang mudah didapat dan harganya relatif murah.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui cara pembuatan sosis yang dikombinasikan
dengan inovasi serta melakukan uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis dan
kelayakan usaha.
TINJAUAN PUSTAKA
Sosis Daging
Sosis merupakan produk emulsi yang membutuhkan pH tinggi (diatas pH isoelektrik). Nilai pH sosis
ditentukan oleh pH daging yang dipakai dalam pembuatan sosis dan kondisi daging yang pre-
rigor (Suparno, 1998). Menurut Forrest et al (1975) Adonan sosis merupakan emulsi minyak dalam
air (oil in water) yang terbentuk dalam suatu fase koloid dengan protein daging yang bertindak
sebagai emulsifier sehingga protein air dalam adonan sosis akan membuat matriks yang
menyelubungi butiran lemak dan membentuk emulsi yang stabil. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan emulsi yang berhubungan dengan penggunaan minyak atau lemak adalah jumlah yang
ditambahkan, jenis minyak atau lemak yang ditambahkan dan titik cair dari lemak atau minyak
tersebut.
Sosis merupakan produk olahan yang dibuat dari bahan dasar berupa daging (sapi atau ayam) yang
digiling. Pada prinsipnya semua jenis daging dapat dibuat sosis bila dicampur dengan sejumlah
lemak. Daging merupakan sumber protein yang bertindak sebagai pengemulsi dalam sosis. Protein
yang utama berperan sebagai pengemulsi adalah myosin yang larut dalam larutan garam (Brandly,
1966). Daging yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis daging yang kurang nilai
ekonomisnya atau bermutu rendah seperti daging sketal, daging leher, daging rusuk, daging dada
serta daging-daging sisa/tetelan (Soeparno, 1994). Proses perebusan yang dilakukan pada
pembuatan sosis ini dilakukan sebagai langkah terakhir untuk mendapatkan produk sosis.
Pemasakan sosis ini menurut Effie (1980) bertujuan untuk menyatukan komponen adonan sosis,
memantapkan warna dan menonaktifkan mikroba.
Kekenyalan dari sosis dipengaruhi oleh oleh kadar air sosis, bahan pengikat sosis yaitu susu skim
bubuk dan bahan pembentuk yaitu susu skim bubuk dan tepung tapioka. Kadar air sosis menurut
SNI 01-3020-1995 adalah maksimal 67.0% bobot basah. Kadar air yang dihasilkan berasal dari air
yang ditambahkan atau dari bahan-bahan yang ditambahkan dengan kandungan air yang tinggi.
Daging Segar
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan–
jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi
yang memakannya (Soeparno, 2005). Lawrie (1998) menyebutkan daging sebagai bagian dari
hewan yang digunakan sebagai bahan makanan, antara lain terdiri atas otot, termasuk organ –
organ lain yang dapat dimakan. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena
fungsi fisiologisnya telah berhenti (Soeparno,2005).
Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi : (1) daging segar yang dilayukan
atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), (3)
daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku), (4) daging masak, (5)
daging asap, dan (6) daging olahan (Soeparno, 2005). Umumnya bakso dibuat menggunakan
daging ternak untuk mendapatkan produk yang kenyal dan kompak. Daging yang digunakan dapat
berupa daging sapi, kerbau, kambing, domba, unggas (ayam, itik), dan kelinci. Dalam membuat
bakso, disarankan menggunakan daging yang masih segar (prerigor) agar bakso yang dihasilkan
kenyal dan kompak, meskipun tanpa penambahan bahan pengenyal (Anonim, 2009).
Air atau Es
Jumlah air yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan sosis adalah 20-30% dari berat daging
dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es (Forrest et al., 1975). Menurut Kramlich
(1971), penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk (1) melarutkan garam dan
mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian massa daging, (2) memudahkan ekstraksi
protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi dan (4) mempertahankan suhu daging agar
tetap rendah selama penggilingan dan pembuatan adonan.
Garam
Penambahan garam pada produk daging olahan bertujuan untuk meningkatkan cita rasa produk,
melarutkan protein myosin, sebagai pengawet dan meningkatkan daya mengikat air (Pearson dan
Tauber, 1984). Menurut Rust (1987), secara umum pada pembuatan sosis, jumlah garam yang
ditambahkan adalah 2-3%. Garam berfungsi untuk memperbaiki citarasa, melarutkan protein dan
sebagai pengawet. Konsentrasi garam yang biasa digunakan adalah 2,5% dari berat daging.
Penggunan garam tergantung pada faktor luar, dalam lingkungan, pH dan suhu. Garam menjadi
efektif pada suhu yang lebih asam (Buckle et al., 1987). Sedangkan bahan selanjutnya yang
digunakan adalah penyedap. Umumnya penyedap digunakan sekitar 2% dari berat daging (Wibowo,
2006).
Sodium Tripolifosfat (STTP)
Fosfat sebagai salah satu bahan dalam pembuatan sosis mempunyai fungsi untuk meningkatkan
kemampuan mengikat air (WHC) dari daging, meningkatkan keempukan dan juiceness (Forrest et
al., 1975), meningkatkan pH daging, meningkatkan kestabilan emulsi dan kemampuan mengemulsi
(Ockerman, 1983). Penggunaan STTP pada produk daging olahan adalah 0.3-0.5% dari berat
daging dan batas maksimumnya adalah 0.5% dari berat daging (Schmidt, 1988). Menurut
Pandisurya (1983), penambahan STPP sebanyak 0,75% dari berat daging serta penambahan
garam sebanyak 2% dari daging pada adonan bakso, memberikan nilai penerimaan produk yang
terbaik. STPP dan garam merupakan bahan kimia yang digunakan untuk melarutkan dan
mengekstraksi protein larut garam yang berfungsi sabagai bahan pengikat bila produk dipanaskan.
Lemak
Menurut Acton dan Saffle (1970), lemak dapat memepengaruhi kestabilan emulsi. lemak
menghailkan fase dispersi (diskontinue) dari emulsi daging sehingga lemak merupakan komponen
struktural utama. Lemak yang mengandung asam lemak jenuh lebih mudah diemulsi daripada asam
lemak tak jenuh. Menurut Sulzbacher (1973), penggunaan lemak cair (minyak) pada produk daging
olahan dapat menghasilkan emulsi daging yang lebih stabil daripada minyak padat. Sosis masak
harus mengandung lemak maksimum 30%.
Bahan Pengikat (Filler) dan Bahan Pengisi (Binder)
Menurut Kramlich (1971) penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi berfungsi untuk menarik
air, memberi warna khas, membentuk tekstur yang padat, memperbaiki stabilitas emulsi,
menurunkan penyusutan waktu pemasakan, memperbaiki cita rasa dan sifat irisan. Bahan pengikat
air dibedakan berdasarkan kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein yang tinggi,
sedangkan bahan pengisi pada umunya mengandung karbohidrat saja. Bahan pengikat dan pengisi
yang umumnya digunakan adalah susu skim, tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka, tepung
kedele, tepung ubi jalar, tepung roti dan tepung kentang. Penambahan tepung ke dalam produk
olahan daging berfungsi sebagai binding, shaping, dan extender serta berperan untuk mengurangi
biaya produksi dalam pengolahan produk olahan daging. Bahan pengisi adalah bahan yang
ditambahkan dalam proses pembuatan produk olahan daging yang harus mempunyai kemampuan
mengikat sejumlah air (Ranken, 2000).
Tepung Tapioka
Tepung Tapioka berfungsi senagai bahan pengisi serta berfungsi memperbaiki atau menstabilkan
emulsi, meningkatkan daya mengikat air, memperkecil penyusutan, menambah berat produk, dan
dapat menekan biaya produksi. Tepung tersebut mengandung karbohidrat 86,55%, air 13,12%,
protein 0,13%, lemak 0,04%, dan abu 0,16%. Kandungan pati yang tinggi pada tepung membuat
bahan pengisi mampu mengikat air tetapi tidak dapat mengemulsi lemak. Pati dalam air panas dapat
membentuk gel yang kental. Pati terdiri atas dua fraksi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu fraksi
terlarut (amilosa) dan fraksi tidak terlarut (amilopektin). Amilosa bersifat higroskopis (mudah
menyerap air) sehingga mudah membentuk gel. Proporsi kandungan amilosa dan amilopektin dalam
pati menentukan sifat produk olahan; makin sedikit kandungan amilosa, makin lekat produk
olahannya. Interaksi antara myofibril dan gelatinisasi pati dimana molekul pati akan memenuhi ruang
pada matrix myofibril. Hal ini akan memberikan struktur yang kaku dan meningkatkan gelatinisasi
myofibril (Yulianti, 1999; Hidayati, 2002). Selain itu juga diasumsikan bahwa gelatinisasi pati dapat
menggantikan hilangnya elastisitas otot karena degradasi protein ketika proses rigor mortis
(Purnomo and Rahardian, 2008).
Bumbu-bumbu
Menurut Forrest et al. (1975), penyedap adalah berbagai bahan baik sendiri maupun kombinasi
yang ditambahkan pada pembuatan suatu produk yang dapat menambah rasa pada produk
tersebut. Bahan penyedap alami dapat ditambahkan pada produk daging olahan dalam bentuk yang
belum digiling atau dilumatkan misalnya merica pada pembuatan sosis. Garam dan merica
merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis. Bumbu merupakan senyawa nabati
yang dapat dimakan. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk
menambah/meningkatkan flavor (Soeparno, 1994). Menurut Forrestet al. (1975), fungsi bumbu yaitu
sebagai penyedap, penambah karakteristik warna atau pola tekstur serta sebagai agen antioksidan.
Bawang Putih
Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan dalam makanan atau produk
sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan (Palungkan dan Budiarti,
1992). Bau yang khas dari bawang putih berasal dari minyak volatile yang mengandung komponen
sulfur. Karakteristik bawang putih akan muncul dengan sendirinya apabila terjadi pemotongan atau
perusakan jaringan. Bawang putih dapat menghasilkan enzim alicin dimana enzim tersebut berperan
dalam memberi aroma bawang putih serta merupakan salah satu zat aktif anti bakteri. Bawang putih
memiliki jenis yang cukup banyak, namun tidak ada perbedaan yang menyolok. Senyawa allicin
pada bawang putih merupakan penyebab timbulnya bau yang sangat tajam. Bawang putih juga
mengandung yodium yang tinggi dan sulfur (Wirakusumah, 2000).
Merica
SNI 01-3717-1995 menyatakan bahwa merica atau lada putih bubuk adalah lada putih
(Piper ningrumlinn) yang dihaluskan, mempunyai aroma dan rasa khas lada. Biasanya
penambahan lada adalah untuk menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa
pedas. Selain itu menurut Ting dan Diebel (1992) pada konsentrasi lebih dari 3%, lada dapat
menghambat pertumbuhan Listeria monocytogeneses.
MATERI DAN METODE
Materi
Praktikum pembuatan sosis ini, bahan-bahan yang digunakan adalah daging sapi, tepung tapioka
30%, lemak 15%, STPP 0.7%, garam 3.8%, susu skim 10%, bawang putih 1%, pala 0.3%,
penyedap 0.7%, jahe 0.5%, merica 0.5%, tepung sajiku, minyak satur, bawang, cabe, dan es batu
50%. Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah food processor, pisau, talanan, kompor,
panci, wadah, piring, penggorengan, stuffer, selongsong, timbangan digital, dan sendok.
Prosedur
Pertama-tama bahan-bahan yang akan digunakan ditimbang sesuai resep. Daging sapi dan lemak
ditimbang masing-masing sebanyak 135 gram, kemudian dibersihkan dan dicacah atau dipotong-
potong. Selanjutnya cacahan daging sapi, lemak, garam, STPP, jahe, bawang putih, dan sebagian
es batu dimasukkan ke dalam food procesor. Setelah campuran pertama halus, kemudian dicampur
lagi dengan merica, bumbu penyedap, pala, tepung tapioka, susu skim dan sisa es batu. Hasil
campuran dimasukkan ke dalam stuffer dengan terlebih dahulu memasang casing
sosis pada stuffer. Perlahan-lahan adonan dikeluarkan dengan memutar tuas. Didalam cassing tidak
boleh diberi rongga untuk udara, sehingga cassing akan menjadi padat dan dihasilkan bentuk sosis
yang baik. Setelah cassing terisi adonan, ujung cassing kemudian diikat menggunakan benang.
Sosis kemudian direbus pada suhu sekitar 60 0C selama 45 menit, perebusan dilakukan dalam panci
yang berisi air dan diukur suhunya dengan termometer. Setelah masak, sosis ditiriskan dan
didinginkan. Cassing sosis dilepaskan, kemudian sosis digulung ke adonan telur dan digulung ke
tepung sajiku, setelah itu sosis digoreng dan siap disajikan dengan saos.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari hasil uji hedonik yang dilakukan dengan parameter warna, aroma, kekenyalan, dan penampilan
umum pada produk inovasi ”sokata” pada kelompok empat serta sosis crispy pada kelompok lima
didapatkan nilai rata rata uji hedonik yang dapat dilihat pada tabel.1.
Tabel 1. Hasil Rata-Rata Uji Hedonik pada Kelompok Empat (Sokata) dan pada Kelompok Lima
(Sosis Crispy).
PARAMETER
KELOMPOK Warna Aroma Kekenyalan
Penampilan
Umum
4 3.20 3.60 4,00 3.40
5 2.50 3.00 2.60 3.33
Keterangan :
1 : Sangat tidak suka
2 : Tidak suka
3 : Netral
4 : Suka
5 : Sangat suka
Dari hasil uji mutu hedonik yang dilakukan dengan parameter kekenyalan, produk inovasi ’Sokata’
pada kelompok empat serta sosis crispy pada kelompok lima didapatkan nilai rata rata uji mutu
hedonik yang dapat dilihat pada tabel.2.
Tabel 2. Hasil Rata-Rata Uji Mutu Hedonik pada Kelompok Empat (Sokata) dan pada Kelompok
Lima (Sosis Crispy).
KELOMPOK KEKENYALAN
4 4.00
5 2.75
Keterangan Kekenyalan :
1 : Sangat tidak kenyal
2 : Tidak kenyal
3 : Netral
4 : Kenyal
5 : Sangat kenyal
Pembahasan
Sosis yang dihasilkan dari kelompok lima diberi nama ”Sosis Crispy”. Sosis yang dihasilkan memiliki
tekstur yang kurang kenyal, karena saat memasukan dalam selongsong masih terdapat beberapa
udara dalam selongsongnya. Dibandingkan dengan sosis dari kelompok lain, sosis ini memiliki
warna yang agak merah daging karena pada adonan sosis tidak ditambahkan bahan-bahan yng
memiliki warna yang mencolok. Selain itu, sosis crispy juga tidak lengket ketika proses membuka
sosis dari chasingnya. Menurut Kramlich (1971) penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi
berfungsi untuk menarik air, memberi warna khas, membentuk tekstur yang padat, memperbaiki
stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan waktu pemasakan, memperbaiki cita rasa dan sifat irisan.
Bahan pengikat air dibedakan berdasarkan kadar proteinnya. Bahan pengikat mengandung protein
yang tinggi, sedangkan bahan pengisi pada umunya mengandung karbohidrat saja.
Penggunaan tepung tapioka dimaksudkan sebagai penambah atau campuran, untuk mengurangi
biaya penggunaan susu skim sebagai bahan pengikat (filler), selain itu tepung tapioka juga dapat
sebagai bahan pengisi dan perekat (binder) untuk mempertahankan ukuran sosis saat perebusan,
meski kadar airnya tinggi. Penggunaannya tidak lebih dari 30% dari daging yang digunakan, karena
jika berlebih, sosis akan terasa seperti tepung.
Hasil uji hedonik dari 6 orang panelis kelompok 4, menunjukkan bahwa 3 orang menyatakan tidak
suka dan 3 orang menyatakan netral terhadap warna sosis. Sedangkan pada aroma, ke enam
panelis dari kelompok 4 ini menyatakan netral. Untuk kekenyalan, 1 panelis menyatakan suka, 3
panelis menyatakan netral, dan 2 panelis menyatakan tidak suka. Parameter yang terakhir adalah
penampilan umum, 3 panelis menyatakan suka, 2 panelis menyatakan netral, dan 1 panelis
menyatakn tidak suka terhadap penampilan sosis crispy dari kelompok lima. Panelis memberi harga
bervariasi untuk sosis crispy, Hasil rata-rata harga yang diberikan panelis adalah Rp 5.250,00/ porsi.
Harga ini diatas harga yang telah ditetapkan oleh kelompok 5, yaitu sebesar Rp 5.00,00/ porsi.
Harga ini telah diperhitungkan untuk mendapat laba dan diatas angka break even point.
Analisis STP ( Segmentasi, Target, dan Positioning )
Target dari penjualan produk sosis ini adalah mulai dari kalangan anak-anak hingga dewasa hal ini
disebabkan karena rasa yang dimiliki oleh sosis adalah gurih, yang merupakan rasa khas dari
bumbu sosis dan dari tepung sajiku. Segmentasi pasar pada produk sosis ini adalah daerah
perkotaan karena pada daerah perkotaan memiliki tingkat aktifitas yang lebih padat dan memiliki
gaya hidup modern sehingga konsumen menginginkan adanya produk pangan yang praktis dan siap
saji serta memiliki rasa yang khas disamping memiliki kandungan nutrient yang lengkap. Untuk
mengambil positioning dari produk sossis ini adalah dengan penambahan tepung tapioka dan
bumbu-bumbu rempah, dan tepung crispy sajiku sehingga apabila konsumen menyebutkan sossis
crispy maka langsung tertuju pada produk sossis praktikan (sosis crispy).
Analisis SWOT ( Strength, Weakness, Oppurtunities, Threats )
Kelebihan dari produk kami adalah dengan penambahan tepung tapioka dan tepung crispy sajiku.
Tepung tapioka dan tepung sajiku dalam sossis ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu: menambah
kandungan protein, sebagai bahan pengikat, tepung tapioka memiliki harga yang cukup murah,
sosis menjadi lebih lembut, tidak hancur pada saat proses perebusan. Selain itu sossis ini memiliki
cita rasa yang berbeda, dengan penambahan bumbu saos. Kelebihan dari bumbu saos ini, yaitu:
menambah rasa bawang (bawang Bombay) dan gurih pada sossis, aroma sosis lebih menggugah
selera konsumen. Selain kelebihan, sosis ini juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu: kadar air
masih agak tinggi, sehingga kekenyalan kurang, segmentasi tidak terlalu luas karena sossis lebih
banyak, hanya dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan
Penjualan sossis ini bisa menjadi peluang yang besar karena produk ini memiliki kelebihan daripada
sossis yang biasa beredar dipasaran, karena pada produk ini ditambahkan tepung bumbu sajiku dan
saos bawang sehingga rasanya pun akan berbeda. Namun,penjualan sossis ini juga bisa menjadi
ancaman karena sossis ini memiliki harga yang relatif tinggi sehingga segmentasi pasar pun
terbatas.
Analisis Biaya
Jumlah modal yang dikeluarkan : Rp 13.100,00 (modal inovasi)
Jumlah produk yang dihasilkan : 14 buah (belum di potong-potong)
Harga biaya produksi per buah : Rp 1000
1 kemasan berisi : 5 buah
Biaya produksi untuk 1 kemasan : Rp 3000
Harga jual per kemasan : Rp 5000
Keuntungan : Harga jual – biaya produksi
Rp 5000 – Rp 3000
Keuntungan : Rp 2000
Pada penjualan produk ini praktikan mengambil keuntungan sebesar Rp 2000 karena pada hasil uji
hedonik ada responden yang memberikan harga tertinggi sebesar Rp 6000 per porsi.
Untuk mencapai Break Event Point (BEP) maka praktikan harus menjual produk sebanyak 48
kemasan per hari, dengan perhitungan sebagai berikut :
BEP = Fixed Cost : keuntungan
Fixed cost per tahun
Sewa tempat : Rp 3.000.000
Tenaga Kerja : 1.500.000 per bulan : Rp 18.000.000
Alat dapur : Rp 1.000.000
Frezzer : Rp 6.000.000
Stuffer : Rp 5.000.000
Food processor : Rp 2.000.000
Total fixed cost : Rp 34.500.000
Sehingga diperoleh BEP :
Rp 34.500.000 : Rp 2000 = 17.250 kemasan per tahun
= 48 kemasan per hari (Break Event Point tercapai)
Kamis, 30 Juni 2011
MEDIA PERTUMBUHAN MIKROBAMikroorganisme harus dibiakkan di laboratorium pada bahan nutrien yang berperan
penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Susunan bahan nutrien, baik bahan
alami maupun sintetik/buatan, yang dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan
bakteri. Media berfungsi untuk menumbuhkan bakteri, isolasi, memperbanyak jumlah,
menguji sifat-sifat fisiologi dan perhitungan jumlah bakteri, dimana dalam proses
pembuatannya harus disterilisasi dan menerapkan metode aseptis untuk menghindari
kontaminasi pada media. Macam nutrien yang digunakan tergantung dari macam bakteri
yang dibiakkan.
Untuk menciptakan keadaan lingkungan yang tepat secara sintetis sebagai
pengganti keadaan alam, maka diperlukan persyaratan tertentu agar bakteri dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik dalam media. Persyaratan tersebut yaitu:
1. Media harus mengandung semua unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan bakteri.
2. Media harus mempunyai tekanan osmosis, tegangan permukaan dan pH yang sesuai
dengan kebutuhan bakteri.
3. Media harus dalam keadaan steril, artinya sebelum ditanami bakteri yang dimaksud tidak
ditumbuhi oleh mikroba lain.
A. Bentuk media
Bentuk media ditentukan oleh ada tidaknya penambahan zat pemadatan, seperti
agar-agar, gelatin dan sebagainya. Ada tiga bentuk media, yaitu:
1. Media padat,
Dimana pada media digunakan bahan pemadat, misalnya agar-agar. Jumlah tepung agar
yang ditambahkan tergantung kepada jenis mikroba yang dibiakkan. Bila mikroba
memerlukan kadar air tinggi maka jumlah tepung agar harus rendah/sedikit, tetapi bila
kadar air harus rendah makan penambahan tepung agar harus lebih banyak. Media padat
umumnya dipergunakan untuk bakteri, ragi, jamur dn akadang-kadang mikroalgae. Media ini
terdiri dari tiga macam bentuk, yaitu:
a. Bentuk lempeng, media dibekukan di dalam cawan pertri.
b. Bentuk miring, media dibekukan dalam keadaan miring di dalam tabung reaksi.
c. Bentuk tegak, media dibekukan dalam keadaan tegak dalam tabung.
2. Media cair,
Yaitu bila ke dalam media tidak ditambahkan zat pemadat. Umumnya dipergunakan untuk
pembiakan mikroalgae, kadang-kadang bakteri dan ragi.
3. Media semi padat atau semi cair,
Yaitu bila penambahan zat pemadat hanya 50% atau kurang. Umumnya diperlukan untuk
pertumbuhan mikroba yang banyak memerlukan kandungan air dan hidup anaerobik atau
fakultatif, atau untuk pemeriksaan pergerakkan bakteri.
B. Susunan Media
Sesuai dengan fungsi fisiologi dan masing-masing komponen yang terdapat di dalam
media, maka susunan media mempunyai kesamaan isi, yaitu:
1. Kandungan air
2. Kandungan nitrogen, baik berasal dari protein, asam amino, dan senyawa lain yang
mengandung nitrogen. Sebagian besar digunakan untuk sintesis protein dan asam-asam
nukleat.
3. Kandungan karbon berasal dari karbohidrat, lemak, dan senyawa-senyawa lain yang.
Diperlukan sebagai sumber energi bagi reaksi-reaksi sintesis dalam pertumbuhan,
pemeliharaan keseimbangan cairan, bergerak dan sebagainya.
4. Kandungan garam-garam anorganik, baik unsur makro maupun mikro, seperti fosfat,
potasium, sodium, besi, mangan, magnesium, dan sulfat
5. Kandungan vitamin dan asam-asam amino sebagai unsur tambahan bagi pertumbuhan dan
sintesis metabolik esensial.
C. Jenis Media
Berdasarkan persyaratan mengenai susunan media bagi pertumbuhan bakteri, maka media
dapat berupa:
1. Media alami,
Yaitu media yang disusun oleh bahan-bahan alami seperti kentang, touge, daging, umbi-
umbian dan sebagainya, pada saat ini media alami yang banyak digunakan adalah dalam
bentuk kultur jaringan. Contoh media alami yang paling banyak digunakan adalah
penggunaan telur untuk pertumbuhan dan perkembanganbiakan virus.
2. Media Sintetik Atau Buatan
Yaitu media yang disusun oleh senyawa-senyawa kimia baik organik maupun anorganik.
Contoh media sintetik bagi pertumbuhan bakteri Clostridium:
K2HPO4 0,5 gram
KH2PO4 0,5 gram
MgSO4 0,1 gram
NaCl 0,1 gram
CaCO3 secukupnya
3. Media Semi Sintetik
Yaitu media yang tersusun oleh campuran bahan-bahan alami dan bahan-bahan sintetik.
Misalnya: Kaldu nutrisi untuk pertumbuhan bakteri:
Pepton 10 gram
Ekstrak daging 10 gram
NaCl 5 gram
Aquades 1 liter
D. SIFAT MEDIA
Penggunaan media bukan hanya untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan
mikroba, tetapi juga untuk tujuan-tujuan lain seperti isolasi, seleksi dan diferensiasi biakan
yang didapat. Artinya penggunaan beberapa jenis zat tertentu yang mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan dan perrkembangbiakkan mikroba, banyak juga dilakukan dan
digunakan. Sehingga masing-masing media mempunyai sifat (spesifikasi) tersendiri sesuai
dengan maksudnya. Berdasarkan sifat-sifatnya, media dibedakan menjadi:
1. Media dasar/ umum
Yaitu media pembiakan sederhana yang mengandung zat-zat yang umum diperlukan
oleh sebagian besar mikroorganisme dan dipakai juga sebagai komponen dasar untuk
membuat media pembiakan lain.
2. Media Diperkaya
Media ini dibuat dari media dasar dengan penambahan bahan-bahan lain umtuk
mempersubur pertumbuhan mikroba tertentu, yang pada media dasar tidak dapat tumbuh
dengan baik. Untuk itu dibutuhkan beberapa penambahan nutrisi pengaya kedalam media
dasar yang dapat menyokong pertumbuhan mikroba, misalnya dengan menambahkan
darah, serum atau ekstrak hati.
\3. Media diferensial
Media ini digunakan untuk membedakan bentuk dan karakter koloni mikroba yang
tumbuh. Beberapa mikroba dapat tumbuh di dalam media ini, tetapi hanya beberapa jenis
saja yang mempunyai penampilan pertumbuhan yang khas. Media ini berfungsi untuk isolasi
dan identifikasi bakteri.
4. Media Selektif
Media ini digunakan untuk menyeleksi pertumbuhan mikroba yang diperlukan dari
campuran mikroba-mikroba lain yang terdapat dalam bahan yang akan diperiksa. dengan
penambahan zat-zat tertentu mikroba yang dicari dapat dipisahkan dengan mudah. Media
ini sangat berguna untuk identifikasi. Contohnya, SS-agar (agar Salmonella-Shigella) yang
digunakan untuk mengisolasi bakteri jenis Salmonella dan Shigella.
5. Media Uji
Media ini digunakan untuk pengujian senyawa atau benda tertentu dengan bantuan
mikroba. Misalnya, media penguji vitamin, antibiotika, residu pestisida, residu deterjen dan
lain-lain. Media ini disamping tersusun oleh senyawa dasar untuk kepentingan pertumbuhan
dan perkembangbiakan mikroba, juga sejumlah senyawa tertentu yang akan diuji.
6. Media Enumerasi
Media ini digunakan untuk menghitung jumlah mikroba pada suatu biakan. Media ini
dapat berbentuk media dasar, media selektif, media diferensial maupun media uji.
E. Penyiapan Media
Media alami, misalnya susu skim, tidak menimbulkan masalah di dalam
penyiapannya sebagai media; hanya semata-mata dituang kedalam wadah-wadah yang
sesuai seperti tabung reaksi atau labu dan disterilkan sebelum digunakan. Media dalam
bentuk kaldu nutrien atau yang mengandung agar disiapkan dengan cara melarutkan
masing-masing bahan yang dibutuhkan atau lebih mudah lagi dengan cara menambahkan
air pada suatu air pada produk komersial berbentuk medium bubuk yang sudah
mengandung semua nutrien yang dibutuhkan. Pada praktisnya semua media tersebut
secara komersial dalam bentuk bubuk, dan juga dalam bentuk siap pakai di dalam cawan-
cawan petri, tabung atau botol.
Penyiapan media bakteriologis selain media alamiah mengikuti langkah-langkah
berikut:
1. Setiap komponen atau medium terdehidrasi yang lengkap dilarutkan dalam air suling
dengan volume yang sesuai.
2. pH (derajat keasaman dan kebasaan) medium fluida ditentukan dan disesuaikan (dengan
penambahan larutan basa atau asam) dengan nilai optimum bagi pertumbuhan bakteri yang
akan dikultivasi. pH ditentukan dengan menggunakan indikator pH.
3. Medium tersebut dituang kedalam wadah yang sesuai seperti tabung, labu, atau botol dan
ditutup dengan sumbat kapas atau tutup plastik atau logam sebelum disterilisasi.
4. Medium itu disterilkan, biasanya dengan menggunakan autoklaf; proses ini menggunakan
panas dibawah tekanan uap.
F. Kondisi fisik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
Untuk berhasilnya kultivasi berbagai tipe bakteri, dibutuhkan suatu kombinasi
nutrien serta lingkungan fisik yang sesuai, seperti;
Suhu
Atmosfer gas
Keasaman atau kebasaan (pH)
G. Pilihan Media Dan Kondisi Inkubasi
Untuk dapat memilih dengan baik media dan kondisi fisik, haruslah dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah bakteri yang akan diisolasi itu aerobik atau anaerobik?
2. Apakah spesimen itu mengandung bakteri autotrofik atau heterotrofik, dan bila demikian
apakah kedua tipe tersebut akan dikultivasi?
3. Apakah spesimen itu mengandung organisme termofilik, mesofilik atau psikrofilik?
Berikut ini beberapa media yang sering digunakan secara umum dalam mikrobiologi:
1. Lactose Broth
Lactose broth digunakan sebagai media untuk mendeteksi kehadiran koliform dalam
air, makanan, dan produk susu, sebagai kaldu pemerkaya (pre-enrichment broth) untuk
Salmonellae dan dalam mempelajari fermentasi laktosa oleh bakteri pada umumnya. Pepton
dan ekstrak beef menyediakan nutrien esensial untuk memetabolisme bakteri. Laktosa
menyediakan sumber karbohidrat yang dapat difermentasi untuk organisme koliform.
Pertumbuhan dengan pembentukan gas adalah presumptive test untuk koliform. Lactose
broth dibuat dengan komposisi 0,3% ekstrak beef; 0,5% pepton; dan 0,5% laktosa.
2. EMBA (Eosin Methylene Blue Agar)
Media Eosin Methylene Blue mempunyai keistimewaan mengandung laktosa dan
berfungsi untuk memilah mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti S. aureus, P.
aerugenosa, dan Salmonella. Mikroba yang memfermentasi laktosa menghasilkan koloni
dengan inti berwarna gelap dengan kilap logam. Sedangkan mikroba lain yang dapat
tumbuh koloninya tidak berwarna. Adanya eosin dan metilen blue membantu mempertajam
perbedaan tersebut. Namun demikian, jika media ini digunakan pada tahap awal karena
kuman lain juga tumbuh terutama P. Aerugenosa dan Salmonella sp dapat menimbulkan
keraguan. Bagaiamanapun media ini sangat baik untuk mengkonfirmasi bahwa kontaminan
tersebut adalah E.coli. Agar EMB (levine) merupakan media padat yang dapat digunakan
untuk menentukan jenis bakteri coli dengan memberikan hasil positif dalam tabung. EMB
yang menggunakan eosin dan metilin bklue sebagai indikator memberikan perbedaan yang
nyata antara koloni yang meragikan laktosa dan yang tidak. Medium tersebut mengandung
sukrosa karena kemempuan bakteri koli yang lebih cepat meragikan sukrosa daripada
laktosa. Untuk mengetahui jumlah bakteri coli umumnya digunakan tabel Hopkins yang
lebih dikenal dengan nama MPN (most probable number) atau tabel JPT (jumlah perkiraan
terdekat), tabel tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah bakteri coli dalam
100 ml dan 0,1 ml contoh air.
3. Nutrient Agar
Nutrien agar adalah medium umum untuk uji air dan produk dairy. NA juga
digunakan untuk pertumbuhan mayoritas dari mikroorganisme yang tidak selektif, dalam
artian mikroorganisme heterotrof. Media ini merupakan media sederhana yang dibuat dari
ekstrak beef, pepton, dan agar. Na merupakan salah satu media yang umum digunakan
dalam prosedur bakteriologi seperti uji biasa dari air, sewage, produk pangan, untuk
membawa stok kultur, untuk pertumbuhan sampel pada uji bakteri, dan untuk mengisolasi
organisme dalam kultur murni. Untuk komposisi nutrien agar adalah eksrak beef 10 g,
pepton 10 g, NaCl 5 g, air desitilat 1.000 ml dan 15 g agar/L. Agar dilarutkan dengan
komposisi lain dan disterilisasi dengan autoklaf pada 121°C selama 15 menit. Kemudian
siapkan wadah sesuai yang dibutuhkan.
4. Nutrient Broth
Nutrient broth merupakan media untuk mikroorganisme yang berbentuk cair. Intinya
sama dengan nutrient agar. Nutrient broth dibuat dengan cara sebagai berikut:
1.Larutkan 5 g pepton dalam 850 ml air distilasi/akuades.
2.Larutkan 3 g ekstrak daging dalam larutan yang dibuat pada langkah pertama.
3.Atur pH sampai 7,0.
4.Beri air distilasi sebanyak 1.000 ml.
5.Sterilisasi dengan autoklaf.
5. MRSA (deMann Rogosa Sharpe Agar)
MRSA merupakan media yang diperkenalkan oleh De Mann, Rogosa, dan Shape
(1960) untuk memperkaya, menumbuhkan, dan mengisolasi jenis Lactobacillus dari seluruh
jenis bahan. MRS agar mengandung polysorbat, asetat, magnesium, dan mangan yang
diketahui untuk beraksi/bertindak sebagai faktor pertumbuhan bagi Lactobacillus, sebaik
nutrien diperkaya MRS agar tidak sangat selektif, sehingga ada kemungkinan Pediococcus
dan jenis Leuconostoc serta jenis bakteri lain dapat tumbuh. MRS agar mengandung:
1. Protein dari kasein 10 g/L
2. Ekstrak daging 8,0 g/L
3. Ekstrak ragi 4,0 g/L
4. D (+) glukosa 20 g/L
5. Magnesium sulfat 0,2 g/L
6. Agar-agar 14 g/L
7. Dipotassium hidrogen phosphate 2 g/L
8. Tween 80 1,0 g/L
9. Diamonium hidrogen sitrat 2 g/L
10. Natrium asetat 5 g/L
11. Mangan sulfat 0,04 g/L
MRSB merupakan media yang serupa dengan MRSA yang berbentuk cair/broth.
6. Trypticase Soy Broth (TSB)
TSB adalah media broth diperkaya untuk tujuan umum, untuk isolasi, dan
penumbuhan bermacam mikroorganisme. Media ini banyak digunakan untuk isolasi bakteri
dari spesimen laboratorium dan akan mendukung pertumbuhan mayoritas bakteri patogen.
Media TSB mengandung kasein dan pepton kedelai yang menyediakan asam amino dan
substansi nitrogen lainnya yang membuatnya menjadi media bernutrisi untuk bermacam
mikroorganisme. Dekstrosa adalah sumber energi dan natrium klorida mempertahankan
kesetimbangan osmotik. Dikalium fosfat ditambahkan sebagai buffer untuk
mempertahankan pH.
7. Plate Count Agar (PCA)
PCA digunakan sebagai medium untuk mikroba aerobik dengan inokulasi di atas
permukaan. PCA dibuat dengan melarutkan semua bahan (casein enzymic hydrolisate, yeast
extract, dextrose, agar) hingga membentuk suspensi 22,5 g/L kemudian disterilisasi pada
autoklaf (15 menit pada suhu 121°C). Media PCA ini baik untuk pertumbuhan total mikroba
(semua jenis mikroba) karena di dalamnya mengandung komposisi casein enzymic
hydrolisate yang menyediakan asam amino dan substansi nitrogen komplek lainnya serta
ekstrak yeast mensuplai vitamin B kompleks.
8. Potato Dextrose Agar (PDA)
PDA digunakan untuk menumbuhkan atau mengidentifikasi yeast dan kapang. Dapat
juga digunakan untuk enumerasi yeast dan kapang dalam suatu sampel atau produk
makanan. PDA mengandung sumber karbohidrat dalam jumlah cukup yaitu terdiri dari 20%
ekstrak kentang dan 2% glukosa sehingga baik untuk pertumbuhan kapang dan khamir
tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri. Cara membuat PDA adalah mensuspensikan
39 g media dalam 1 liter air yang telah didestilasi. campur dan panaskan serta aduk.
Didihkan selama 1 menit untuk melarutkan media secara sempurna. Sterilisasi pada suhu
121°C selama 15 menit. Dinginkan hingga suhu 40-45°C dan tuang dalam cawan petri
dengan pH akhir 5,6+0,2.
9. VRBA (Violet Red Bile Agar)
VRBA dapat digunakan untuk perhitungan kelompok bakteri Enterobactericeae. Agar
VRBA mengandung violet kristal yang bersifat basa, sedangkan sel mikroba bersifat asam.
Bila kondisi terlalu basa maka sel akan mati. Dengan VRBA dapat dihitung jumlah bakteri
E.coli. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat VRBA adalah yeast ekstrak, pepton,
NaCl, empedu, glukosa, neutral red, kristal violet, agar). Bahan-bahan tersebut kemudian
dicampur dengan 1 liter air yang telah didestilasi. Panaskan hingga mendidih sampai larut
sempurna. Dinginkan hingga 50-60°C. Pindahkan dalam tabung sesuai kebutuhan, pH akhir
adalah 7,4. Campuran garam bile dan kristal violet menghambat bakteri gram positif. Yeast
ekstrak menyediakan vitamin B-kompleks yang mendukung pertumbuhan bakteri. Laktosa
merupakan sumber karbohidrat. Neutral red sebagai indikator pH. Agar merupakan agen
pemadat.
DAFTAR PUSTAKA
Pelczar dan Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jilid 1. Jakarta. Penerbit Universitas
Indonesia.
Ermila, Mila. 2005. Penuntun Praktikum Mikrobiologi.
Fungsi NaCl
Metode cawan tuang sangat mudah dilakukan karena tidak membutuhkan keterampilan khusus dengan hasil biakan yang cukup baik. Metode ini dilakukan dengan mengencerkan sumber isolat yang telah diketahui beratnya ke dalam 9 ml garam fisiologis (NaCl 0.85%) atau larutan buffer fosfat. Larutan ini berperan sebagai penyangga pH agar sel bakteri tidak rusak akibat menurunnya pH lingkungan. Penuangan dilakukan secara aseptik atau dalam kondisi steril agar tidak terjadi kontaminasi atau masuknya organisme yang tidak diinginkan seperti tumbuhnya kapang dalam biakan). Media yang dituang hendaknya tidak terlalu panas, karena selain mengganggu proses penuangan, media panas juga masih mengeluarkan uap yang akan menempel pada cawan penutup, sehingga mengganggu proses pengamatan. pada metode ini, koloni akan tumbuh di dalam media agar. Kultur diletakkan terbalik, dimasukkan di dalam plastik dengan diikat kuat kemudian diletakkan dalam inkubator selama 48 jam (Megamii, 2009)
Lay, B. W. 1994. Analisis Mikrobia Di Laboratorium. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Fungsi CaCo3
KESIMPULAN
Pembuatan sosis sangat mudah dan praktis, tetapi tetap harus memperhatikan emulsi dan formula
bahan-bahan yang digunakan, agar memperoleh hasil yang baik, baik dari segi aroma, warna,
kekenyalan dan rasanya. Berdasarkan analisa STP, analisa SWOT, analisa biaya dan uji hedonik,
produk sosis crispy yang menginovasi ’sosis gurih dan renyah’ dengan penambahan tepung sajiku,
yang memiliki potensi untuk terus dikembangkan sebagai salah satu produk yang mampu bersaing
dipasaran sosis.
DAFTAR PUSTAKA
Acton JC, RL Saffle. 1970. Stability of oil in water emulsion. J. Food Sci. 35(6): 852-854
Brady, P.L., F.K. McKeith, dan M.E. Hunecke. 1985. Comparison of sensory and instrumental
texture profile techniques for the evaluation of beef and beef-soy loaves. J. Food Science. 50 : 1537-
1539.
Brandly, P.J., Migaki G., Taylor K.E. 1966. Meat Hygiene, 3rdEdit. Lea and Febiger, Philadelphia.
Effie. 1980. Pembuatan Sosis Ikan Cucut (Centroscymus coelolepsi). Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, M. D. Judge and R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat
Science. W. H. Freeman and Co., San Fransisco.
Kramlich, J. E. 1971. Sausage Product Technology. In The Science of Meat and Meat Product. J. E.
Price and B. S. Schweigert Edit. W. H. Freeman and Colletotrichum., perilaku disruptif:485.
Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jendral Perguruan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ockerman HW. 1983. Chemistry of Meat Tissue, 10th Ed. Dept. Of Animal science. The Ohio State
University and The Ohio Agricultural Research and Development Center, Ohio.
Ranken, M.D. 2000. Meat Product Technology. Blackwell Science Ltd., United Kingdom.
Schmidt GR. 1988. Processing. In : Meat Scienci, Milk Science and Technology. HR Cross and AJ
Overby (Ed.) Elsevier Science Publ., Amsterdam.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta.
Sulzbacher WL. 1973. Meat emulsions. J. Sci. Food Agr. 24(5): 589-595.
Suparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press, Yogyakarta.
top related