tema inovasi dan hilirisasi hasil penelitian untuk...
Post on 02-Feb-2018
274 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ISBN : 978-602-0951-13-3
Tema Inovasi Dan Hilirisasi Hasil Penelitian
Untuk Kesejahteraan Masyarakat
Subtema
Inovasi Pendidikan
Surabaya, 27 Nopember 2016
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Surabaya
SEMNAS PPM 2016
Buku – 1
Tema Inovasi Dan Hilirisasi Hasil Penelitian
Untuk Kesejahteraan Masyarakat
Subtema Inovasi Pendidikan
Surabaya, 27 November 2016
Penerbit :
Fakultas MIPA – Universitas Negeri Surabaya
TIM EDITOR I Wayan Susila Suroto Tukiran
DESIGN LAYOUT
Agus Prihanto
PENYUNTING Bayu Agung Prasodi Biyan Yesi Wilujeng Ainul Khafid Andika Pramudya Wardana Yudo Chandrasa Wirasadewa
TIM REVIEWER
Darni A. Grummy Wailanduw Andre Dwijanto Witjaksono Titik Taufikurohmah Najlatun Naqiyah
Diterbitkan oleh : FAKULTAS MIPA - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA Gedung D-1 UNESA Kampus Ketintang Jln. Ketintang Surabaya - 60231 Telp. 031-8280009 Email : fakultasmipa.unesa@gmail.com Cetakan Pertama – Nopember 2016
ISBN :
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
i
SAMBUTAN KETUA PANITIA PADA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
TAHUN 2016
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Bismillahir rohmannir rohiim
Assalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokhatuh
Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua
Yth. Bapak Rektor Universitas Negeri Surabaya, Bapak Prof. Dr. Warsono, M.S.
Yth. Ibu Wakil Rektor Bidang Akademik, Ibu Dr. sc. agr. Yuni Sri Rahayu, M.Si.
Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan, Bapak Drs. Tri Wahatnolo, M.Pd, M.T.
Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Bapak Dr. Ketut Prasetyo, M.S.
Yth. Bapak Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Perencanaan, Bapak Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M.Litt.
Yth. Bapak Prof. Ocky Karna Radjasa, M.Sc., Ph.D, Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat
(DRPM), Kemenristekdikti, selaku narasumber
Yth. Bapak Prof. Dr. Muchlas Samani, M.Pd, pemerhati pendidikan dan sekaligus narasumber
Yth, Bapak Tritan Saputra, S.T., M.H. Ketua Komite Tetap Pengembangan Usaha Elektronika Bidang Industri
Kreatif dari KADIN Jatim sekaligus sebagai narasumber
Yth. Bapak Ibu para Dekan selingkung Unesa,
Yth. Bapak Direktur Pascasarjana Unesa,
Yth. Bapak Ketua LP3M Unesa,
Yth. Bapak Ketua dan Sekretaris LPPM Unesa, dan
Bapak ibu semua kepala dan sekretaris pusat di LPPM Unesa, serta bapak ibu peserta Seminar Nasional Hasil
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2016 yang diselenggarakan di Best Western
Papilio Hotel, Jl. A. Yani, Surabaya, yang berbahagia dan saya banggakan.
Pertama-tama, marilah kita senantiasa mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga kita semua bisa berkumpul di ruangan ini dalam keadaan sehat wal
afiat dan tak kurang suatu apapun.
Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan direktur pascasarjana serta pimpinan
unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya hormati,
Kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2016 (SEMNASPPM
2016) ini merupakan kegiatan yang secara rutin diselenggarakan oleh LPPM Unesa Surabaya yang biasanya jatuh
pada bulan Oktober atau Nopember tiap tahunnya. Kegiatan Seminar Nasional kali ini dilakukan dengan
mengusung tema: Inovasi dan Hilirisasi Hasil Penelitian untuk Kesejahteraan Masyarakat. Adapun tema
pokok tersebut dapat dijabarkan menjadi sub tema, yaitu: 1) Inovasi Pendidikan, 2) Konservasi, Sains dan
Teknologi, 3) Kualitas Hidup dan Pengembangan Sumber Daya, 4) Seni, Budaya, dan Kemasyarakatan,
dan 5) Ekonomi dan Manajemen. Dengan diversitas subtema yang diangkat ini, maka kegiatan seminar ini
diharapkan dapat memberikan banyak wahana, wacana, dan warna pengetahuan dan keilmuan yang lain dan yang
baru sehingga dapat memberikan stimuli untuk berkreasi dan berkarya bagi para dosen dan/atau peneliti ataupun
profesi lainnya baik di lingkup kemenristekdikti dan/ataupun lingkup lainnya.
Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan bapak direktur pascasarjana serta
pimpinan unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya muliakan,
Untuk dapat mencapai dan sekaligus memperkaya wahana, wacana, dan warna pengetahuan dan keilmuan yang
baru tersebut, kami telah mengundang para narasumber yang sangat berkompeten, yaitu bapak Prof. Ocky Karna
Radjasa, M.Sc., Ph.D., bapak Prof. Dr. Muchlas Samani, M.pd., dan bapak Tritan Saputra, S.T.,M.H., dimana
diantara mereka sudah berada ditengah-tengah kita. Dengan kompetensi, kepakaran dan pengalaman dari masing-
masing narasumber, tentu kami sangat yakin akan banyak wacana dan warna informasi penting lainnya yang kita
dapatkan hari ini yang tentu pula sangat bermanfaat untuk pengembangan ilmu dan tingkat profesionalitas kita
sebagai seorang dosen dan/ataupun peneliti atau profesi lainnya.
Bapak Rektor, ibu bapak Wakil Rektor, bapak ibu pimpinan fakultas dan direktur pascasarjana serta pimpinan
unit kerja lainnya selingkung Unesa serta bapak ibu hadirin peserta seminar yang saya banggakan,
Perkenankan pada kesempatan ini, kami melaporkan bahwa peserta Seminar Nasional Hasil Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat tahun 2016 ini dihadiri oleh sekitar 219 orang, yang terdiri dari 3 narasumber, 13
undangan, 149 pemakalah yang terdiri dari 64 pemakalah oral, dan sisanya pemakalah poster, serta 25 orang
ii
panitia. Sesungguhnya, pada satu dua minggu terakhir menjelang hari pelaksanaan seminar ini masih banyak
dosen/peneliti atau mahasiswa yang berkeinginan kuat untuk mengirimkan abstrak dan sekaligus sebagai
pemakalah. Namun, karena keterbatasan tenaga dan pikiran kami, dengan amat terpaksa dan sangat menyesal kami
harus menutupnya. Untuk itu, kami mohon maaf.
Selanjutnya, kami berharap kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat tahun
2016 ini dapat berlangsung dengan baik, lancar dan sukses. Kami juga mengharapkan partisipasi peserta seminar
ini untuk aktif menggunakan momentum dan event ini guna memperoleh banyak wahana, wacana, dan informasi
lain yang sangat bermanfaat dan tentu ikut memperlancar kegiatan seminar nasional ini. Event seminar nasional
ini tentu menjadi ajang silaturahmi bagi bapak ibu semua sekaligus memberikan ruang dan wadah untuk saling
bertukar pikiran dan informasi yang saling menguntungkan serta memberikan kesempatan membangun dan
menjalin kerjasama di antara kita ke arah yang lebih.
Pada kesempatan ini pula, mohon dengan hormat bapak Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S. berkenan untuk
memberikan sambutan dan arahan terkait tema dalam kegiatan seminar ini dan sekaligus berkenan membuka
secara resmi acara seminar nasional ini.
Demikian, bapak ibu hadirin semua yang bisa saya sampaikan dan laporkan, mohon maaf atas segala kekurangan
dan kesalahan.
Wa billahi taufik wal hidayah war ridho wa innayah
Wassalamu ‘alaikum Warohmatullahi Wabarokhatuh
Maturnuwun
Surabaya, 27 November 2016
Ketua Pelaksana
Prof. Dr. Tukiran, M.Si.
iii
SAMBUTAN REKTOR PADA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
TAHUN 2016
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Assalamu alaikum wr, wb.
Teriring ungkapan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, pagi hari ini kita bertemu dalam kegiatan yang sangat
bermanfaat bagi perjalanan dan kemajuan bangsa ini yaitu Seminar Nasional hasil penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat Universitas Negeri Surabaya tahun 2016. Kegiatan ini terlaksana berkat rahmat dan hidayah
dari Allah Swt.
Para peserta seminar yang saya hormati,
Salah satu tujuan dari perguruan tinggi adalah menjamin agar mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat mencapai target sesuai yang ditetapkan oleh Standar Nasional Perguruan Tinggi. Terdapat 8
Standar nasional perguruan tinggi dibidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yaitu standar hasil,
standar isi, standar proses, standar penilaian, standar peneliti dan pelaksana pengabdian, standar sarana dan
prasarana, standar pengolahan, dan standar pendanaan dan pembiayaan. Delapan standar tersebut merupakan
pedoman dan sekaligus target capaian yang harus diupayakan oleh perguruan tinggi yang disesuaikan dengan visi
dan misi masing masing perguruan tinggi.
Standar hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat bermuara pada pengembangan IPTEK yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. Untuk mencapai hal tersebut, harus diketahui akar
permasalahan dan dan dicarikan peluang serta pemecahannya. Tugas seorang peneliti dan pelaksana pengabdian
kepada masyarakat adalah menggali, mengidentifikasi, dan menganalisis akar permasalahan tersebut dengan
didasarkan kepakaran yang dimilikinya serta berkolaborasi dengan stakeholder terkait.
Seorang peneliti perlu memiliki kecerdasan dalam memetakan tipologi, karakteristik setiap kelompok masyarakat
serta memiliki kemampuan memprediksi dampak yang ditimbulkan dari setiap pelaksanaan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena setiap wilayah dan kelompok masyarakat memiliki karakteristik yang
berbeda maka diperlukan treatment yang berbeda pula. Wilayah Indonesia memiliki potensi yang luar biasa baik
dari sumber daya alam, budaya, dan manusia. Potensi tersebut sangat memungkinkan untuk diberdayakan menjadi
sebuah kekuatan yang dahsyat untuk membangun bangsa dan menyejahterakan masyarakat. Formula yang
ditawarkan adalah inovasi, kreatif, dan produktif berbasis kajian ilmiah dalam bentuk empiris dan pemodelan.
Sehingga hasil penelitian aplikatif dan solutif, tidak hanya menjadi koleksi, tetapi bernilai dan bermanfaat langsung
pada masyarakat. Program hilirisasi hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dicanangkan
pemerintah perlu mendapat dukungan penuh. Kehadiran para peneliti dan pengabdian kepada masyarakat sudah
sangat ditunggu oleh warga bangsa ini.
Dilain pihak, sebagai sebuah lembaga tinggi “techno park” bagi Universitas Negeri Surabaya bukan hanya sebuah
mimpi tetapi merupakan target dan sasaran yang harus diupayakan agar bisa menjadi perguruan tinggi berkelas
dunia. Berbekal keahlian dan kepakaran yang terus dikembangkan para dosen-dosen Unesa berangsur mampu
mencetak interpreneurship di dalam dan diluar lingkungan kampus.
Seiring harapan tersebut sangat tepat jika seminar ini mengambil tema Inovasi dan hilirisasi hasil penelitian untuk
kesejahteraan masyarakat. Untuk lebih mengoptimalkan dan operasional tema tersebut ditetapkan sub tema
seminar tahun ini adalah sebagai berikut: 1) Inovasi pendidikan, 2) Konservasi, sains, dan teknologi, 3) Kualitas
hidup dan sumber daya, 4) Seni, budaya, dan kemasyarakatan, 5) Ekonomi dan manajemen. Kiranya dengan 5 sub
tema tersebut dapat memberikan kontribusi Universitas Negeri Surabaya terhadap pembangunan bangsa dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bapak, Ibu peserta seminar yang saya hormati.
Selamat berseminar dan semoga sukses. Semoga kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas bapak ibu sekalian
mendapat balasan dari Allah Swt, yang berlipat lipat dikemudian hari.
Wassalamu alaikum wr. wb.
Surabaya, 27 November 2016
Rektor
Universitas Negeri Surabaya
iv
v
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL
HASIL PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT 2016
LPPM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Pelindung : Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor)
Penasihat : 1. Dr. rer.nat. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (WR Bid.Akademik)
2. Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (WR Bid. Umum Keuangan)
3. Dr. KetutPrasetyo, M.S. (WR Bid. KemahasiswaandanAlumni)
4. Prof. DjodjokSoepardjo, M. Litt. (WR Bid. Kerjasama)
PenanggungJawab : Prof. Dr. Ir. I WayanSusila, M.T.
Ketua : Prof. Dr. Tukiran, M.Si.
Wakil : Drs. Suroto, M.A., Ph.D.
Sekretaris : 1. Dr. NajlatunNaqiyah, M.Pd.
2. Dr. Nurkholis, M.Kes.
Bendahara : 1. Dr. Rindawati, M.Si.
2. ZulaikhahAbdullah, S.E.
Kesekretariatan : 1.Dra. Ec. Nurmika Simanullang, M.Pd.
2. IkaPurnamaWati, A.Md.
I T : 1. Wiyli Yustanti, S.Si., M.Kom.
2. Agus Prihanto, S.Kom, M.T.
Dana/Akomodasi : 1. Dr. Grummy W., M.T.
2. SitiNurulHidayati, S.Pd.,M.Pd.
Dokumentasi : Moch. Suyanto
NaskahdanProsiding : 1. Dr. Andre W., M.Si.
2. Dr. TitikTaufikurrohmah, M.Si.
Humas/Publikasi : 1. Prof. Dr. Darni, M.Hum.
2. Drs. BudihardjoA.H., M.Pd.
Acara/Sidang/Narasumber : 1. Prof. Dr. Hj. SitiMaghfirotunAmin, M.Pd.
2. Dian Savitri, S.Pd.,M.Pd.
Umum/Perlengkapan : 1. Amalia Rachel Manoppo, S.H.
2. Parni
Konsumsi : 1.NurHartatik, S.E.
2. Yulia Sukmawati, S.Pd
.
vi
vii
DAFTAR ISI
SAMBUTAN KETUA PANITIA ............................................................................................................................ i
SAMBUTAN REKTOR ........................................................................................................................................ iii
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................................... vii
Pengembangan Media Pembelajaran Video Tutorial Mata Pelajaran Teknik Pemrograman Tav Kelas X SMK
Negeri I Madiun ...................................................................................................................................................... 1
Ahsan Muzakki1*), Fulca Ugratara K.P.2 ............................................................................................................. 1
Project Based Learning dalam Pembelajaran Materi Application Letter and Job Interview untuk Mendukung
Daya Saing Mahasiswa ........................................................................................................................................... 7
Arik Susanti1*), Anis Trisusana2 .......................................................................................................................... 7
Penerapan Pelatihan Siaga Bencana dalam Meningkatkan Hard Skill dan Soft Skill Siswa SDN Satak 1
Kabupaten Kediri .................................................................................................................................................. 13
Asnawi1*), Supriyono2 ....................................................................................................................................... 13
Penerapan Multimedia dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning–Pbl) pada
Matakuliah Struktur Data ...................................................................................................................................... 17
Bambang Sujatmiko1*), Rina Harimurti2, Anita Qoiriah3 .................................................................................. 17
Peningkatan Kemampuan Guru SMK Negeri Wonosalam Jombang melalui Pelatihan Pembuatan Proposal PTK
.............................................................................................................................................................................. 25
Choirul Anna Nur Afifah1*), Siti Sulandjari2, Veni Indrawati3 ......................................................................... 25
Pengembangan Modul Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Meningkatkan Higher Order Thinking Skills ....... 31
Danang Tandyonomanu1*), Damajanti Kusuma Dewi2 ..................................................................................... 31
The Influence of Inquiry Based Learning on Students' Knowledge of Control Systems ...................................... 35
Diah Wulandari 1*), Muhamad Syariffuddien Zuhrie 2 ...................................................................................... 35
Validitas dan Kepraktisan Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik Berorientasi Project Based Learning ....... 39
Endang Susantini1*), Tjipto Prastowo2, Abdul Kholiq3, Mukhayyarotin Niswati Rodliyatul Jauhariyah4 ........ 39
Penggunaan Trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa Teknik Elektro
Unesa pada Mata Kuliah Dasar Sistem Pengaturan .............................................................................................. 47
Endryansyah1*), Puput Wanarti Rusimamto2, Mochammad Rameli3, Eko Setijadi4 ......................................... 47
Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Web di SMK Kota Surabaya ....................................................... 53
Hapsari Peni1*), Puput Wanarti2, Euis Ismayati3, Yuni Yamasari4 .................................................................... 53
IbM MGMP PPKn dan IPS dalam Mengembangkan Asesmen Otentik di Kota Surabaya ................................... 61
Harmanto1*), I Made Suwanda2 ......................................................................................................................... 61
Pengembangan Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no condition untuk memperkuat daya tahan
(retensi) keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa pendidikan kimia pada materi pokok Keisomeran ...... 67
Ismono1*), Tukiran2, Suyatno3 ........................................................................................................................... 67
Keterampilan Kepala Sekolah dalam Evaluasi Hasil Peningkatan Keunggulan Pembelajaran ............................ 73
Karwanto1*) ....................................................................................................................................................... 73
Pengaruh Self Regulated Learning terhadap Hasil Belajar Kognitif Mahasiswa Melalui Blended Learning
Berbasis Web ......................................................................................................................................................... 79
Kusumawati Dwiningsih1*), Sukarmin2, Muchlis3 ............................................................................................ 79
Pengembangan Strategi Pembinaan Minat, Bakat, dan Potensi KarirMahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan
2015 ...................................................................................................................................................................... 83
Mamik TW1*), Pratiwi R2, M.Khoiri3 ................................................................................................................ 83
viii
Pengembangan Model Pendidikan Guru Bidang Sains dan Teknologi di Era Digital .......................................... 91
Muchlas Samani1*), Mochamad Cholik2, I.G.P. Asto Buditjahjanto3. ............................................................... 91
Pengembangan Model Pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum 2013 untuk Membantu Mengatasi
Kesulitan Guru-Guru SMP di Surabaya ............................................................................................................... 99
Muhajir1*), Nunuk Giari2, Marsudi3 .................................................................................................................. 99
Bimbingan dan Konseling Komprehensif bagi Konselor untuk Meningkatkan Kompetensi Sosial ................... 109
Najlatun Naqiyah1*) ......................................................................................................................................... 109
Peningkatan Profesionalisme Guru – Guru SD di Daerah Tertinggal Melalui Pengembangan Peraga Matematika
Berbasis Bahan Lokal di Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur ............................................................... 115
Ninik Wahju Hidajati1*) ................................................................................................................................... 115
Media Trainer Praktikum Untuk Penunjang Mata Kuliah Dasar Sistem Telekomunikasi Mahasiswa Teknik
Elektro FT-UNESA............................................................................................................................................. 123
Nurhayati1*), Eppy Yundra2 ............................................................................................................................. 123
Profil Mahasiswa Dalam Kegiatan Perkuliahan Model Sorogan-Bandongan Materi Mekanisme Reaksi Kimia
Organik ............................................................................................................................................................... 129
Rinaningsih1*), Suyatno2, Ismono3 .................................................................................................................. 129
Pendampingan Penyusunan Instrumen Penilaian Hasil Belajar Bagi Guru Sekolah Dasar di Kabupaten
Bojonegoro .......................................................................................................................................................... 133
Rini Setianingsih1*), Manuharawati2, Abdul Haris Rosyidi3 ........................................................................... 133
Modul Sebagai Alat Bantu Siswa Sekolah Dasar dalam Menyelesaikan Soal Olimpiade Matematika Berbahasa
Inggris ................................................................................................................................................................. 139
Slamet Setiawan1*), Ahmad Munir2, Budi Priyo Prawoto3, Dian Rivia Himawati4......................................... 139
Maket Multimedia Interaktif untuk Menanamkan Penguasaan Konsep Lingkungan Sekolah Siswa Tunanetra 145
Sri Joeda .......................................................................................................................................................... 145
Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Ketuntasan Belajar Materi Listrik
Siswa Kelas VI SD-SMP Satu Atap Singosari Malang....................................................................................... 153
Titin Sunarti1*), Endang Susantini2, Beni Setiawan3 ....................................................................................... 153
Penerapan Model Pembelajaran Langsung dengan Menggunakan Media Audio Visual untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Membuat Busana Anak Siswa Kelas X SMKN 3 Pamekasan ................................................................ 157
Tri Mutmainnah1*), Fadlilah Indira Sari2 ......................................................................................................... 157
Pengembangan Terapi Holistik dalam Menangani Gangguan Sosial Emosional Siswa Sekolah Dasar ............. 165
Wiwik Widajati1*), Siti Mahmudah2 ................................................................................................................ 165
Peningkatan Kemampuan Membaca Siswa SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro Melalui
Kegiatan Pembiasaan Membaca Berjenjang ....................................................................................................... 173
Moh. Zamzuri.................................................................................................................................................. 173
Pengembangan Media Pembelajaran Teknik Pemesinan Berbantuan Komputer Yang Efektif Di SMK ........... 179
Yunus1*), Iskandar2 .......................................................................................................................................... 179
Respon Pembaca Pada Majalah Emerald Mahasiswa Jurusan Bahasan dan Sastra Inggris ............................... 187
Diana B.D.1, Mamik Tri Wedawati2*), Adama Damanhuri3 ............................................................................ 187
Pengembangan Instrumen Pengukuran Kadar Keguruan (Tingkat Kompetensi) Mahasiswa Calon Guru dan Guru
PJOK Indonesia .................................................................................................................................................. 193
Suroto1*) .......................................................................................................................................................... 193
Implementasi Model Index Card Match pada Mata Pelajaran Akuntansi ........................................................... 203
Rochmawati1*), Agung Listiadi2, Suci Rohayati3 ............................................................................................ 203
1
Pengembangan Media Pembelajaran Video Tutorial Mata Pelajaran
Teknik Pemrograman Tav Kelas X SMK Negeri I Madiun
Ahsan Muzakki1*), Fulca Ugratara K.P.2 1 Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, UNESA, Surabaya. Email: ahsanmuzakki@mhs.unesa.ac.id 2 Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, UNESA, Surabaya. Email: fulcaugratara@mhs.unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: ahsanmuzakki@mhs.unesa.ac.id
ABSTRACT
Medium of learning developed in this study is the media Video Tutorial. Video Tutorial is a method of
transferring the knowledge transmitted or formed in the moving image format. Interest Video Tutorial Learning
Media development is to increase students' understanding of and interest in the subjects Programming Techniques
in SMK Negeri 1 Madiun, and so that teachers can teach more effective, efficient and enjoyable. The method used
is a research method Reaseach and Development. The data collected is data validation learning media, student
responses and test student learning outcomes. Validation of learning media used to obtain the feasibility of the
learning media. Student responses used to determine students' response to instructional media. The test is used to
determine the learning results obtained after the use of instructional media. From the research that has been done
obtained the following results. The results of the validation involving three Validator obtain the results of
85.5915%, so the validity of instructional media video tutorial included in the excellent category. The results of
students' response to media instructional video tutorial obtain the results of 83.7%, so it can be concluded media
instructional video tutorial to get a very good response from students. The results of the study conducted in this
study were taken from the two groups, without treatment and with treatment group. Without treatment group
gained an average yield - average 69.7, while the treatment group gained 75.7 result. After the t-test results
diperolehlah t-test and t-table -2.062 -1.70, thus consistent with the hypothesis that has been made, then declared
there are differences in learning outcomes between the groups without treatment and with treatment group.
Keywords: instructional media, video tutorials, research and development
ABSTRAK
Media pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian ini adalah media Video Tutorial. Video Tutorial
adalah metode pentransferan ilmu pengetahuan yang dikirimkan atau dibentuk dalam format gambar bergerak.
Tujuan pengembangan Media Pembelajaran Video Tutorial adalah untuk meningkatkan pemahaman dan minat
siswa pada mata pelajaran Teknik Pemrograman di SMK Negeri 1 Madiun, serta agar guru dapat mengajar
dengan lebih efektif, efisien dan menyenangkan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
Reaseach and Development. Data yang dikumpulkan adalah data validasi media pembelajaran, respon siswa dan
tes hasil belajar siswa. Validasi media pembelajaran digunakan untuk memperoleh kelayakan dari media
pembelajaran tersebut. Respon siswa digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap media pembelajaran.
Tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar yang didapat setelah menggunakan media pembelajaran. Dari
penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut. Hasil validasi yang melibatkan tiga Validator
memperoleh hasil 85,5915%, sehingga kevalidan dari media pembelajaran video tutorial termasuk dalam kategori
sangat baik. Hasil respon siswa terhadap media pembelajaran video tutorial memperoleh hasil 83,7%, sehingga
dapat disimpulkan media pembelajaran video tutorial mendapatkan respon yang sangat baik dari para siswa.
Hasil belajar yang dilakukan dalam penelitian ini diambil dari dua kelompok, yaitu kelompok tanpa perlakuan
dan kelompok dengan perlakuan. Kelompok tanpa perlakuan memperoleh hasil rata–rata 69,7, sedangkan
kelompok dengan perlakuan memperoleh hasil 75,7. Setelah dilakukan uji-t maka diperoleh hasil t-hitung -2,062
dan t-tabel -1,70, sehingga sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat, maka dinyatakan terdapat perbedaan hasil
belajar antara kelompok tanpa perlakuan dan kelompok dengan perlakuan.
Kata kunci: media pembelajaran, video tutorial, penelitian dan pengembangan
1. PENDAHULUAN
Pengembangan media pembelajaran adalah suatu
hal yang sering dilakukan pada dunia pendidikan.
Suatu inovasi memang suatu hal yang dibutuhkan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang ada.
Pentingnya pendidikan disebutkan dalam UU No. 20
tahun 2003 pasal 1 tentang sistem pendidikan
nasional[1] dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Perkembangan teknologi yang terjadi di era global
ini sangatlah pesat. Perkembangan teknologi juga
banyak mempengaruhi manusia pada umumnya. Maka
dari itu manusia pun juga dituntut untuk bisa mengikuti
perkembangannya. Perkembangan teknologi pun juga
2
merambah dunia pendidikan dalam bentuk berbagai
macam media – media pendidikan, yang mana bisa
menunjang proses belajar siswa.
Masalah di lapangan yang kami dapatkan antara
lain: (1) adanya kesulitan dalam mempelajari materi
Teknik Pemrograman, (2) intruksi pelajaran yang
kurang jelas, (3) bentuk pembelajaran yang masih
dianggap sulit untuk dipahami, (4) tidak adanya media
yang menunjang pembelajaran siswa khususnya Video
Tutorial, (5) kebutuhan akan suasana pembelajaran
yang lebih efektif, efisien dan menyenangkan.
Dengan latar belakang yang sudah dipaparkan di
atas maka media pembelajaran Video Tutorial
diharapkan dapat mendukung pembelajaran yang ada
di SMK Negeri 1 Madiun. Media pembelajaran video
tutorial adalah media pembelajaran yang
menggunakan video sebagai media penunjang proses
pembelajaran. Media video memiliki beberapa
kelebihan yaitu dapat menampilkan visual dan audio,
menarik perhatian dan menghemat waktu[2] dalam
jurnalnya menyatakan:
Marshall (2002) cites the conclusions of Wiman
and Mierhenry (1969), extending Dale’s “Cone of
Experience,” that: people will generally remember:
10% of what they read, 20% of what they hear, 30% of
what they see, 50% of what they hear and see.
Dari kutipan diatas maka dapat diketahui dengan
melihat dan mendengar manusia lebih mudah dalam
mengingat. Al Mamun[3] dalam jurnalnya juga
memaparkan:
It (video) makes the classroom interesting
removing the monotony of the learners. Moreover, it
helps the learners to generate ideas for discussion. It
makes the class more interactive and effective.
Jadi, video dapat menjadikan kelas lebih menarik,
interaktif dan efektif. Sehingga dari beberapa
pemaparan ahli di atas digunakanlah media Video
Tutorial dalam penelitian ini.
Comisky dan McCartan[4] dalam penelitian
mereka yang berjudul “Video: An Effective Teaching
Aid? An Architectural Technologist’s” juga
menyebutkan bahwa 96% siswa memberikan respon
yang baik pada media pembelajaran video tutorial.
Dari pemaparan di atas maka dirumuskan beberapa
tujuan penelitian, yaitu (1) Mengetahui kelayakan
media pembelajaran video tutorial untuk mata
pembelajaran teknik pemrograman. (2) Mengetahui
respon siswa SMK Negeri 1 Madiun terhadap video
tutorial mata pelajaran teknik pemrograman. (3)
Mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang
menggunakan media pembelajaran Video Tutorial
dengan yang tidak.
Pembuatan media pembelajaran video tutorial
dilakukan dengan menggunakan software Camtasia
Studio. Software Camtasia Studio berfungsi untuk
merekam layar komputer dengan bentuk video.
Camtasia Studio dipilih karena tidak hanya dapat
merekam layar komputer, tetapi dapat juga merekam
suara yang masuk seperti suara dari mikrofon, suara
keyboard ataupun suatu klik dari mouse. Perekaman
dengan menggunakan Camtasia Studio dilakukan
dengan menggunakan fitur Camtasia Recorder yang
akan merekam layar komputer, suara serta pointer dari
mouse yang digerakkan. Setelah perekaman selesai
maka hasil dari rekaman bisa langsung dijadikan file
video ataupun di edit terlebih dahulu dengan Camtasia
Studio untuk memberikan efek lebih atau hanya untuk
mengurangi atau menambah video hasil rekaman.
Jenis file video yang dapat dihasilkan oleh software
Camtasia Studio adalah MP4, WMV, MOV dan AVI.
2. METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian Reseach and Development
(R&D). Metode penelitian Reseach and Development
adalah metode penelitian yang dilakukan untuk
menghasilkan produk tertentu, yang kemudian
diujikan keefektifan produk tersebut[5]. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian Research and
Development karena penelitian ini menghasilkan
sebuah produk berupa media pembelajaran video
tutorial.
Penelitian Pengembangan media pembelajaran
video tutorial Teknik Pemrograman akan dilaksanakan
di SMK Negeri 1 Madiun kelas X TAV 2.
Penelitian Research and Development (R&D)
memiliki 10 langkah[5]. 10 langkah tersebut dimulai
dari potensi dan masalah, pengumpulan data, desain
produk, validasi desain, revisi desain, uji coba produk,
revisi produk, uji coba pemakaian, revisi produk,
sampai produksi massal.
Gambar 1. Langkah – langkah penelitian R&D.
Dalam penelitian ini kesepuluh langkah tidak
digunakan seluruhnya. Ini karena penelitian ini
hanyalah penelitian terbatas dan tidak untuk
diproduksi secara massal (produk yang dihasilkan
hanyalah contoh atau produk awal). Dengan itu
tahapan penelitian ini diringkas menjadi tujuh tahap,
yaitu:
3
Gambar 2. Langkah – langkah penelitian yang
dilakukan.
Uji coba pada kelas TAV 2 SMK Negeri 1
Madiun, dilakukan dengan membagi menjadi kelas
tersebut menjadi dua kelompok, 1 kelompok
eksperimen dan 1 kelompok kontrol.
Uji coba dilakukan dengan menerangkan bab
Looping dari mata pelajaran Teknik Pemrograman
yang kemudian dilanjutkan dengan mengadakan tes
praktikum di lab komputer. Setelah semuanya selesai
siswa diberi angket respon untuk melihat respon siswa
terhadap media pembelajaran Video Tutorial.
Teknik pengumpulan data untuk need assessment
dilakukan dengan menggunakan wawancara kepada
guru pengajar serta beberapa siswa kelas X TAV 2,
sedangkan teknik pengumpulan data untuk validasi
media dan respon siswa digunkan angket validasi
media dan angket respon siswa, kemudian untuk hasil
belajar menggunakan tes praktikum.
Dalam analisis data validasi media dan respon
siswa digunkan kisi – kisi penilaian yang terdiri dari
beberapa indikator, kisi – kisi untuk validasi media
adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Kisi – kisi validasi media.
Variabel Sub
Variabel
Indikator
Med
ia p
emb
ela
jara
n v
ideo
tu
tori
al
Materi &
Soal
1. Ketepatan isi materi
2. Ketepatan soal
latihan
3. Langkah – langkah
dalam video materi
jelas
4. Kemudahan untuk
dimengerti
Instruksio
nal Video
1. Pemakaian kosa
kata benar
2. Memberikan
bantuan belajar
3. Kualitas suara baik
Teknis 1. Keterbacaan
2. Mudah digunakan
3. Kualitas tampilan
video baik
Variabel Sub
Variabel
Indikator
4. Kesesuaian warna
dengan
background
Bahasa 1. Bahasa yang
digunakan pada
tampilan aplikasi
mudah dipahami
2. Tata bahasa sesuai
dengan EYD
3. Bahasa yang
digunakan
komunikatif
Sedangkan kisi – kisi untuk respon siswa adalah
sebagai berikut :
Tabel 2. Kisi – kisi respon siswa.
Variabel Sub
Variabel
Indikator
Respon
siswa
terhadap
media
pembelajaran
video tutorial
Materi
1. Materi mudah
dipahami
2. Bahasa yang
digunakan
mudah
dipahami
Ilustrasi
Media
1. Tampilan
video jelas
2. Kejelasan
teks/huruf
3. Keserasian
warna dengan
tampilan
background
4. Kemudahan
penggunaan
media
5. Tampilan
media menarik
Manfaat 1. Media
menumbuhkan
minat siswa
2. Media
menigkatkan
pengetahuan
siswa
Sedangkan untuk hasil belajar akan dihitung
dengan menggunakan uji-t (t-test), dengan diuji syarat
terlebih dahulu. Uji syarat yang dilakukan adalah uji
normalitas dan uji homogenitas, untuk uji normalitas
dilakukan dengan menggunakan uji kolmogorof
smirnov, dan unutk uji homogenitas digunakan uji
levene.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Media pembelajaran video tutorial divalidasi oleh
3 ahli. Hasil validasi media pembelajaran ini dibagi
menjadi 4 bagian, yaitu: validasi aspek Materi dan
Soal, Teknis (desain), Intruksional video, dan Bahasa.
4
Hasil rata – rata validasi pada aspek Soal dan
Materi adalah 91,625%, jadi media pembelajaran
video tutorial pada aspek Materi dan Soal termasuk
dalam kategori sangat baik. Hasil rata – rata dari
validasi pada aspek Teknis (desain) adalah 85,375%,
jadi media pembelajaran video tutorial pada aspek
Teknis (desain) termasuk dalam kategori sangat baik.
Hasil rata – rata validasi pada aspek Instruksional
Video media pembelajaran video tutorial adalah
86,066%, jadi media pembelajaran video tutorial pada
aspek Instruksional Video dapat dimasukkan dalam
kategori sangat baik. Hasil rata – rata validasi pada
aspek Bahasa media pembelajaran video tutorial
adalah 83,3%, jadi media pembelajaran video tutorial
pada aspek bahasa dapat dimasukkan dalam kategori
sangat baik.
Dari keempat aspek yang divalidasi, yaitu aspek
Materi dan Soal, Teknis, Instruksional Video dan
Bahasa didapatkan rata – rata validasi dari seluruh
aspek sebesar 86,5915%. Dari rata – rata tersebut maka
media pembelajaran video tutorial dapat dinyatakan
dengan kategori sangat baik.
Gambar 3. Hasil perhitungan validasi media.
Pengambilan respon siswa dilakukan di SMK
Negeri 1 Madiun. Respon dilakukan oleh 30 siswa
kelas X AV2. Hasil respon diperoleh melalui lembar
respon yang diberikan kepada siswa setelah kegiatan
pembelajaran selesai.
Hasil respon siswa pada indikator pertama yaitu
materi mudah dipahami memperoleh hasil 85,8%,
yang terdiri dari 17 siswa memberikan nilai 3 dan 13
siswa memberikan nilai 4. Dari perolehan tersebut
maka media pembelajaran video tutorial pada
indikator materi mudah dipahami termasuk dalam
kategori sangat baik. Pada indikator kedua, yaitu
bahasa yang digunakan mudah dipahami memperoleh
hasil respon sebesar 80%, yang terdiri dari 1 siswa
memberikan nilai 2, 22 siswa memberikan nilai 3 dan
7 siswa memberikan nilai 4. Sehingga respon siswa
pada indikator ini termasuk dalam kategori sangat
baik. Indikator ketiga yaitu tampilan video jelas
memperoleh hasil respon 85%, terdiri dari 1 siswa
memberikan nilai 2, 16 siswa memberikan nilai 3 dan
13 siswa memberikan nilai 4. Dari hasil tersebut maka
indikator tampilan video jelas mendapatkan hasil
respon sangat baik. Indikator keempat yaitu kejelasan
teks/huruf memperoleh hasil 79,2%, terdiri dari 3
siswa memberikan nilai 2, 19 siswa memberikan nilai
3 dan 8 siswa memberikan nilai 4. Sehingga kejelasan
teks/huruf pada media pembelajaran video tutorial
sangat baik. Indikator kelima yang berisi keserasian
warna dengan tampilan background memperoleh hasil
79,2%, terdiri dari 25 siswa memberikan nilai 3 dan 5
siswa memberikan nilai 4. Jadi dalam indikator ini
media pembelajaran video tutorial termasuk dalam
kategori sangat baik. Indikator keenam yaitu
kemudahan pengggunaan media memperoleh hasil
respon sebesar 81,6%, terdiri dari 1 siswa memberikan
nilai 2, 20 siswa memberikan nilai 3 dan 9 siswa
memberikan nilai 4. Maka indikator ini termasuk
dalam kategori sangat baik. Indikator ketujuh yaitu
tampilan media menarik memperoleh hasil respon
sebesar 85%, terdiri dari 2 siswa memberikan nilai 2,
14 siswa memberikan nilai 3 dan 14 siswa memberikan
nilai 4. Sehingga pada indikator tampilan media
menarik media pembelajaran ini termasuk dalam
kategori sangat baik. Indikator kedelapan yaitu media
menumbuhkan minat siswa memperoleh hasil 87,5%,
terdiri dari 4 siswa memberikan nilai 2, 7 siswa
memberikan nilai 3 dan 19 siswa memberikan nilai 4.
Sehigga media pembelajaran ini pada indikator ini
termasuk dalam kategori baik sekali. Indikator
kesembilan yaitu media meningkatkan kemampuan
siswa memperoleh hasil 90%, yang terdiri dari 2 siswa
memberikan nilai 2, 8 siswa memberikan nilai 3 dan
20 siswa memberikan nilai 4. Sehingga pada indikator
ini media pembelajaran video tutorial termasuk dalam
kategori sangat baik
Dari keseluruhan indikator pada hasil respon
siswa didapat rata – rata hasil respon siswa terhadap
media pembelajran video tutorial sebesar 83,7%.
Sehingga menurut rata – rata hasil respon media
pembelajaran video tutorial termasuk dalam kategori
sangat baik.
Analisis dari hasil belajar siswa yang dilakukan,
diketahui bahwa nilai rata-rata yang didapatkan kelas
yang tidak diberi perlakuan sebesar 69,7 sedangkan
kelas yang diberi perlakuan sebesar 75,7 dan setelah
diberikan uji normalitas didapatkan nilai signifikansi
kedua kelas (0,675 dan 0,985) > 0,05 sehingga dapat
dinyatakan bahwa kedua data berdistribusi normal. Uji
homogenitas juga dilakukan dan mendapatkan hasil
0,657, karena hasil yang didapatkan > 0,05 maka
dinyatakan kedua data homogen. Setelah dilakukan
kedua uji syarat di atas dilakukan uji-t dengan hasil t-
hitung adalah 2,062 dengan standar defiasi 28.
Sedangkan t-tabel untuk standar defiasi 28 pada taraf
signifikansi 0,05 adalah 1,70, maka dari itu jelas
bahwa hasil uji-t terdapat pada penolakan H0, sehingga
H1 diterima yang berarti terdapat perbedaan hasil
belajar antara siswa yang menggunakan media
pembelajaran video tutorial dengan siswa yang tidak
menggunakan media pembelajaran video tutorial.
4. SIMPULAN DAN SARAN
Dari validasi media pembelajaran video tutorial
yang dilakukan oleh 3 ahli yaitu 2 dosen dari
Universitas Negeri Surabaya dan 1 guru SMK Negeri 1
Madiun, didapat hasil validasi sebagai berikut. Dari
5
aspek Materi dan Soal mendapat hasil validasi sebesar
91,625%, dari aspek Teknis mendapat hasil sebesar
85,375%, dari aspek Instruksional Video mendapat
86,066% dan dari aspek Bahasa mendapat nilai 83,3%.
Dari keseluruhan aspek yang divalidasi didapat rata –
rata sebesar 86,5915%, sehingga media pembelajaran
video tutorial sesuai dengan hasil validasi termasuk
dalam kategori sangat baik.
Respon siswa terhadap media pembelajaran video
tutorial dilakukan oleh 30 siswa. Siswa mengisi angket
respon siswa setelah seluruh kegiatan belajar mengajar
selesai dan setelah melihat dan mengamati media
pembelajaran video tutorial. Dari penelitian yang telah
dilakukan didapat hasil respon dari 9 indikator sebesar
83,7%, sehingga respon siswa pada media
pembelajaran video tutorial termasuk dalam kategori
sangat baik.
Dalam pengujian hasil belajar siswa pada penelitian
ini sesuai dengan dengan Kompetensi Dasar yang
diambil maka pengambilan hasil belajar siswa
dilakukan dengan melakukan uji praktikum. Pada
pengujian ini terdapat dua kelompok, yaitu kelompok
yang diberi perlakuan dan kelompok yang tidak diberi
perlakuan. Dari hasil yang didapat, kelompok yang
tidak diberi perlakuan mendapat rata – rata nilai sebesar
69,7 dan kelompok yang diberi perlakuan sebesar 75,7.
Setelah melakukan uji syarat dan uji-t didapatlah hasil
t-hitung sebesar -2,062 dengan standar deviasi 28 dan
t-hitung 1,70, sehingga didapat hasil hipotesis dengan
penerimaan H1 dan penerimaan H0, itu berarti terdapat
perbedaan hasil belajar antara siswa yang tidak
menggunakan media pembelajaran video tutorial
dengan siswa yang menggunakan media pembelajaran
video tutorial.
Saran kami agar media pembelajaran ini digunkan
sebaik – baiknya sehingga dapat membantu kegiatan
belajar mengajar guru, sehingga mengurangi beban
yang ditanggung oleh guru serta dapat meningkatkan
tingkat pemahaman dan pengetahuan siswa. Dan agar
penelitian ini dilanjutkan lagi sehingga menjadi lebih
baik, dan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.
5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2003).
[2]. Sadiman, Arief S. R Rahardjo. Haryono, Anung. dan
Rahardjito. (2007). Media Pendidikan Pengertian,
Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
[3]. Al Mamun, Abdullah. (2014). Effectiveness of Audio-
Visual Aids in Language Teaching in Tertiary Level. Dhaka: BRAC University.
[4]. Comiskey, David. Mc Cartan, Kenny. (2011). Video: An
Effective Teaching Aid? An Architectural
Technologist’s Perspective. CEBE Transactions, Vol. 8, pp 25-40.
[5]. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, hlm. 407, 409.
6
7
Project Based Learning dalam Pembelajaran Materi Application
Letter and Job Interview untuk Mendukung Daya Saing Mahasiswa
Arik Susanti1*), Anis Trisusana2
1 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya. Email: ariksusanti@unesa.ac.id 2 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya. Email: anistrisusana@unesa.ac.id
*)Alamat korespondensi: Email: ariksusanti@unesa.ac.id
ABSTRACT
The purpose of this study was to describe the process of teaching learning using Project-Based Learning in
the material Job Application Letter and Job Interview. When the PBL was implemented, the students worked in
group to find job vacancy in the internet, magazine or newspaper, writing job application letter and conducting
job interview. After they have finished, they presented and the teachers gave comments and suggestions. The results
showed that PBL model was an effective way to be implemented in the process of teaching learning since it could
encourage the students to increase their creativity, innovation, and critical thinking. Moreover, it could increase
the students’ communication competence since they were used to deliver their ideas, arguments and opinion within
the group. In short, the use of PBL can create the quality of human resources that are able to face and compete in
the ASIAN Economic Society.
Key Words: creative, life skills, students’ performance
ABSTRAK
Tujuan penulisan artikel ini adalah menggambarkan proses belajar mengajar Project Based Learning dengan
tema Job Interview and Job Application Letter. Dengan menggunakan model PBL, mahasiswa secara
berkelompok mencari lowongan pekerjaan, membuat surat lamaran kerja dan melaksanakan wawancara kerja.
Setelah selesai mengerjakan projek yang telah ditentukan, mereka kemudian mempresentasikan hasilnya di depan
kelas. Pengajar bertugas untuk memimpin diskusi dan memberikan saran atau komentar hasil projek mahasiswa
yang telah dikerjakan. Penggunaan PBL dapat memotivasi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan kreatif
dan inovatif serta kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Selain itu, kemampuan berkomunikasi mahasiswa juga
mengalami peningkatan. Mahasiswa menjadi terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya jika mereka
mempunyai pendapat yang berbeda. Disimpulkan bahwa model PBL dapat menghasilkan sumber daya manusia
yang berkualitas sehingga mereka mempunyai kesiapan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Kata kunci: kreatif, Life skills, kemampuan kinerja
1. PENDAHULUAN
Untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(ASEAN Economic Community) dibutuhkan sumber
daya manusia yang memiliki kompetensi yang
mumpuni agar dapat bertahan dalam iklim kompetisi
akhir-akhir ini. Tantangan ini harus segera direspon
oleh segenap lapisan masyarakat agar masyarakat
mempunyai kesiapan dalam menghadapi masyarakat
ekonomi ASEAN. Untuk itu sumber daya manusia
perlu ditingkatkan melalui berbagai macam
ketrampilan baru dan kompetensi yang kompetitif.
Perguruan tinggi sebagai ujung tombak daya saing
bangsa serta merupakan masyarakat berbasis
pengetahuan sudah selayaknya memberdayakan
generasi muda agar memiliki pola pikir kreatif dan
inovatif dalam rangka memanfaatkan sumber daya
yang ada. Diasumsikan bahwa bahwa setiap
mahasiswa pasti memiliki daya tetapi terkadang
mahasiswa tersebut kurang menyadarinya, atau
bahkan belum menyadarinya. Untuk itu, daya dan
kompetensi mahasiswa harus terus digali dan
dikembangkan[1]. Dijelaskan bahwa pemberdayaan
adalah upaya untuk membangun daya, dengan cara
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya
untuk mengembangkannya dengan dilandasi proses
kemandirian menuju sikap dan tindakan kreatif dan
inovatif. Dengan memiliki semangat dan karakter
tersebut maka akan terjadi perubahan yaitu generasi
muda siap untuk menghadapi persaingan bebas
khususnya menghadapi MEA. Mereka diharapkan
mampu menerapkan karkater tersebut sehingga
mereka mampu bersaing secara efektif.
Untuk itu dibutuhkan strategi yang dapat
mendorong mahasiswa untuk memiliki sikap mental
yang mandiri, kraetif, inovatif, bertanggung jawab dan
tidak mudah menyerah[2]. Salah satu strategi yang
digunakan adalah menggunakan model pembelajaran
berbasis proyek (Project Based Learning) pada mata
kuliah English Correspondence dengan tema menulis
surat lamaran kerja (Job Application Letter) dan job
Interview. Model pembelajaran berbasis proyek
terbukti mampu meningkatkan prestasi akademik
siswa atau mahasiswa[3]. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa siswa mampu melakukan
pameran sejarah sehingga siswa tidak hanya
meningkatkan kemampuan akaedmik tetapi juga
mampu meningkatkan kemampuan interpersonal dan
intra personal. Ini berarti model PBL tidak hanya dapat
meningkatkan hasil belajar, kemampuan
berkomunikasi serta mampu mengembangkan sikap
membuat keputusan. Selanjutnya, model PBL juga
8
dapat meningkatkan prestasi akademik mahasiswa,
pembelajaran berbasis proyek terbukti memberikan
hasil yang memuaskan terhadap hasil belajar siswa,
yang mencakup akademik maupun sikap[4].
Pembelajaran berbasis proyek tidak hanya memiliki
dampak positif terhadap prestasi dan sikap siswa
dalam penerapan pembelajaran bahasa Inggris tetapi
juga dapat memotivasi mahasiswa untuk
menggunakan bahasa dalam kehidupan nyata (sehari-
hari). Pembelajaran berbasis proyek dapat diartikan
sebagai pembelajaran yang berpusat pada proses,
relatif berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit
pembelajaran bermakna dengan memadukan konsep-
konsep dari sejumlah komponen baik itu pengetahuan,
disiplin ilmu atau lapangan[5].
Berpijak dari hasil penelitian diatas maka
pembelajaran English Correspondence dengan tema
Job Application Letter dan Job Interview
dikembangkan dengan model pembelajaran Project
Based Learning (PBL). Dijelaskan bahwa
pembelajaran Project Based Learning adalah metoda
pembelajaran yang menggunakan proyek sehingga
peserta didik akan melakukan eksplorasi, penilaian,
interpretasi, sintesis, dan informasi untuk
menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar[6]. Model
PBL merupakan model belajar yang menggunakan
masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan
dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan
pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata.
Farida Musa[7] juga mendefinisikan bahwa model
pembelajaran PBL adalah suatu pendekatan yang
menggunakan pembelajaran yang aktif dan inovatif
bagi siswa karena model pembelajaran PBL dapat
memotivasi mahasiswa untuk belajar secara mandiri
dan berkelompok untuk menghasilkan sebuah produk.
Model pembelajaran PBL juga menekankan proses
belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang
kompleks[8]. Fokus pembelajaran PBL terletak pada
konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu
disiplin studi, melibatkan siswa dalam investigasi
pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas
bermakna yang lain, memberi kesempatan siswa
bekerja secara mandiri untuk mengkonstruksi
pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya
menghasilkan produk nyata.
Penggunaan model PBL dapat memotivasi
mahasiswa untuk menggunakan kemampuan
berbahasa dalam bidang akademik maupun
professional serta mampu mengimplementasikan
dalam dunia nyata. Pembelajaran dengan model PBL
juga dapatmengubah lingkungan belajar dan situasi
kelas. Lingkungan belajar di kelas tidak lagi diatur
oleh mata kuliah yang kaku, tetapi dikuasai oleh mata
kuliah yang saling berhubungan dan membantu. Para
mahasiswa belajar untuk mengembangkan
keterampilannya sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Selain itu, pembelajaran model PBL juga dapat
memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai
macam keterampilan untuk memecahkan masalah.
Untuk menumbuhkan dan mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif, inovatif dan mandiri
maka diperlukan pembelajaran Project Based
Learning[9] karena dalam pembelajaran PBL
mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
Gambar 1. Langkah-langkah Operasional
Pembelajaran Berbasis Proyek
Berikut ini dijelaskan langkah-langkah pembelajaran
berbasis proyek:
(1) penentuan pertanyaan mendasar (start with the
essenal question); pembelajaran dimulai dengan
pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat
memberi penugasan peserta didik dalam melakukan
suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan
realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah
investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik
yang diangkat relevan untuk para mahasiswa, (2)
mendesain perencanaan proyek (design a plan for the
project); Perencanaan dilakukan secara kolaboratif
antara pengajar dengan mahasiswa, dengan demikian
mahasiswa diharapkan akan merasa “memiliki” atas
proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan
main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung
dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara
mengintegrasikan berbagai subyek yang mungkin,
serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses
untuk membantu penyelesaian proyek, (3) menyusun
jadwal (create a schedule); pengajar dan mahasiswa
secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam
menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara
lain; (a) membuat timeline untuk menyelesaikan
proyek, (b) membuat deadline penyelesaian proyek,
(c) membawa mahasiswa agar merencanakan cara
yang baru, (d) membimbing mahasiswa saat mereka
menggunakan cara yang tidak berhubungan dengan
proyek, dan (e) meminta mahasiswa untuk membuat
penjelasan (reasoning) tentang pemilihan suatu cara,
(4) memonitor siswa dan kemajuan proyek (monitor
the students and the progress of the project); pengajar
bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap
aktivitas mahasiswa selama menyelesaikan proyek.
Monitoring dilakukan dengan cara memfasilitasi
mahasiswa pada setiap proses. Dengan kata lain
pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas
siswa. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat
sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan
aktivitas yang penting, (5) presentasi hasil (present the
outcome); mahasiswa melakukan presentasi atas
proyek yang telah mereka lakukan, mahasiswa yang
lain memberikan umpan balik atas hasil yang telah
dicapai. (6) mengevaluasi pengalaman (evaluate the
9
experience); pada akhir proses pembelajaran,
pengajardan siswa melakukan refleksi terhadap
aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan.
Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun
kelompok. Pada tahap ini siswa diminta untuk
mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama
menyelesaikan proyek. Pengajardan siswa
mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki
kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada
akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry)
untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada
tahap pertama pembelajaran[4].
Dengan demikian, penggunaan model
pembelajaran PBL menjadi lebihbermakna bagi
mahasiswa karena pembelajaran ini lebih membangun.
Berdasarkan bagan diatas dapat dijelaskan bahwa
kegiatan pembelajaran diawali dengan upaya
pengajardalam mengorganisasikan pikiran mahasiswa
pada awal perkuliahan melalui serangkaian pertanyaan
yang dapat memotivasi mahasiswa untuk mampu
merumuskan sendiri masalah esensial yang akan
dipecahkan secara induktif melalui investigasi proyek.
Selama proses mencari jawaban atau memecahkan
masalah, peran pengajar tetap dan masih diharapkan
agar kinerja mahasiswa lebih terarah sesuai indikator
yang diinginkan. Untuk itu PBL menjadi salah satu
pilihan untuk diterapkan. Hal ini relevan dengan ciri
khas pembelajaran bahasa dalam upaya
menerapkan/mengimplementasikan bahasa dalam
kehidupan nyata serta membangun dan menemukan
jawaban atas sebuah permasalahan, yang sekaligus
menjadikan temuannya sebagai karya/produk nyata.
Pembelajaran dengan pendekatan ini bertujuan untuk
mengaktifkan siswa sehingga kreativitas dan
aktivitasnya menjadi lebih terarah. Selain itu
pembelajaran dengan pendekatan Project Based
Learning akan meningkatkan kemampuan hidup (life
skills) mahasiswa ketika mereka terjun dimasyarakat.
Life skills adalah interaksi berbagai pengetahuan dan
kecakapan yang sangat penting dimiliki seseorang
sehingga mereka dapat hidup mandiri. Kecakapan ini
dapat membantu peserta didik belajar bagaimana
memelihara tubuhnya, tumbuh menjadi dirinya sendiri
dan mencapai tujuan di dalam kehidupannya. Ada 3
ketrampilan yang dikembangkan sebagai berikut:
a. Ketrampilan dasar yaitu ketrampilan
berkomunikasi lisan, membaca, penguasaan
dasar-dasar berhitung, ketrampilan menulis.
b. Ketrampilan berfikir tingkat tinggi yaitu
ketrampilan pemecahan masalah, ketrampilan
belajar, ketrampilan berfikir kreatif dan
inovatif, ketrampilan membuat keputusan.
c. Karakter dan ketrampilan afektif yaitu
tanggung jawab, sikap positif terhadap
pekerjaan, jujur, hati-hati, teliti dan efisien,
hubungan antar pribadi, kerjasama dan bekerja
dalam tim, percaya diri danmemiliki sikap
positif terhadap diri sendiri, penyesuaian diri
dan fleksibel, penuh antusias dan motivasi,
mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan
orang lain.
Tentu saja, hal ini sejalan dengan konsep
Kurikulum KKNI yang menghendaki setiap jurusan
dapat memberikan kompetensi kepada peserta didik
yang mereka hasilkan. Dengan kata lain output yang
dihasilkan oleh suatu prodi dapat diserap oleh stake
holders.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan
menjelaskan bagaimana penerapan pembelajaran
English Correspondence dengan model Project Based
Learning pada tema Job Application Letter dan Job
Interview.
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah penelitian tindakan
yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana
proses pembelajaran English Correspondence dengan
tema Job Application Letter dan Job Interview
berbasis model PBL diterapkan. Subjek penelitian ini
adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
yang mengambil mata kuliah English Correspondence
dan berjumlah 24 mahasiswa. Instrumen yang
digunakan adalah lembar observasi yang digunakan
untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran
tersebut dapat terlaksana sehingga data yang
diperooleh dalam bentuk angka dan tulisan yang
kemudian dideskripsikan untuk menggambarkan
proses pelaksanaan pembelajarannya.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Penelitian
Berikut ini dipaparkan hasil penelitian tentang proses
pelaksanaan pembelajaran English Correspondence
dengan tema Job Application Letter dan Job Interview
berbasis model PBL.
Tabel 1. Pengamatan pengelolaan pembelajaran No Aspek yang diamati Skor
I Kegiatan Pendahuluan
a. Mempersiapkan dan membuka perkuliahan 4 b. Menyampaikan tujuan pembelajaran 4
c. Memotivasi mahasiswa 4
d. Menginformasikan metode pembelajaran yang digunakan
4
II KEGIATAN INTI ( 80 Menit )
a Mengajukan pertanyaan pembuka kepada mahasiswa untuk memulai pembelajaran.
4
b Pengajar mengidentifikasi masalah untuk
melihat respon mahasiswa untuk setiap tujuan pembelajaran.
4
c Pengajar membagi kelas menjadi beberapa
kelompok kecil untuk menciptakan produk /proyek pada sesuai dengan tujuan
pembelajaran
4
d Pengajar membimbing kelompok bekerja dan belajar untuk menyiapkan produk yang
dihasilkan, untuk memperoleh pengetahuan
lebih lengkap dari proses pemecahan masalah, berpikir kreatif dan inovatif pada setiap tujuan
pembelajaran untuk menghasilkan proyek
4
e Mahasiswa mempresentasikan produk yang
dihasilkanpada tiap tujuan pembelajaran yang
ditentukan, sebagai bahan diskusi kelas, yang
4
10
No Aspek yang diamati Skor
sebelumnya didiskusikan dalam kelompok belajar masing-masing.
f Pengajar memimpin jalannya diskusi kelas
secara terpimpin. Mahasiswa mencatat berbagai saran atau masukan atas produk yang telah
dihasilkan.
4
III PENUTUP
a. Pengajar memberikan penyimpulan dan
penekanan terhadap perolehan pemahaman
yang harus dikuasai mahasiswa
3
b. Pengajar menutup perkuliahan disertai dengan
penjelasan kegiatan tambahan sebagai tugas
terstruktur kepada mahasiswa untuk dikerjakan secara kelompok.
4
IV PENGELOLAAN WAKTU dan KBM
a. Waktu sesuai dengan alokasi 4
b. PBM Menampakkan ciri model PBL 4
V SUASANA KELAS
a. Mahasiswa antusias 4 1. Pengajar antusias 4
Total skor 63
Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan
bahwa pelaksanaan pembelajaran English
Correspondence dengan tema Job Application Letter
and Job Interview untuk setiap butir aktivitas
berkategori baik karena rata-rata mendapat nilai 4.
Namun demikian, masih ada beberapa aktivitas yang
mendapat nilai cukup baik yaitu untuk penyimpulan
dan penekanan terhadap pemerolehan pemahaman
yang harus dikuasi oleh mahasiswa. Pembelajaran
English Correspondence yang telah dilakukan
membuat mahasiswa dan dosen lebih antusias. Selain
itu, pembelajaran yang telah dilaksanakan juga
membuat mahasiswa lebih aktif untuk belajar karena
pembelajaran lebih cenderung berpusat pada
mahasiswa.
3.2 Pembahasan
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran
English Correspondence dengan model Project based
Learning maka seorang pengajar atau pengajar harus
melalui tahapan atau fase[4]. Pada kegiatan awal,
seorang pengajar harus menjelaskan tujuan
pembelajaran, model pembelajaran PBL dan proyek
yang harus diselesaikan oleh mahasiswa, yaitu
membuat Job Application Letter and Job Interview.
Selain itu, pengajar juga memotivasi mahasiswa
dengan memberikan pertanyaan sebagai berikut: What
will you do after you graduate from this University?
How do you get the information of job vacancy? Can
you mention parts of job application letter?
Setelah itu, mahasiswa mulai mencari job vacancy
di internet, majalah, atau suurat kabar secara
berkelompok. Kemudian mulai menyusun job
application letter dan Curriculum Vitae (CV). Ini
adalah contoh Job Application Letter dan Curriculum
Vitae yang telah disusun oleh mahasiswa.
Gambar 2. surat lamaran kerja
Setelah itu, mahasiswa secara berkelompok
membuat job interview. Job Interview yang dibuat
dengan cara membuat video recording. Dengan
membuat job interview mereka belajar secara nyata
dan dapat mengurangi tingkat kecemasan mereka.
Tentu saja, ini dapat meningkatkan kemampuan
berkomunikasi mahasiswa. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Kamdi[9] yang menyatakan bahwa model
PBL melibatkan mahasiswa dalam investigasi
pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas
bermakna yang lain, memberi kesempatan siswa
bekerja secara mandiri untuk mengkonstruksi
pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya
menghasilkan produk nyata.
11
Gambar 3. Daftar riwayat hidup
Setelah itu, mahasiswa mempresentasikan
atau mendemonstrasikan setiap produknya kepada
kelompok lain, sedangkan pengajar memberi
penilaian, saran atau masukkan pada hasil atau produk
dari masing-masing kelompok. Hasil masukan dan
penilaian dosen dijadikan dasar untuk melakukan
revisi atas proyek yang sudah dibuat. Langkah terakhir
adalah mengumpulkan proyek tersebut kepada dosen.
4. SIMPULAN DAN SARAN
Disimpulkan bahwa model pembelajaran
dengan PBL dapat menarik dan minat mahasiswa
untuk belajar sehingga dapat meningkatkan hasil
belajar mereka. Selain itu, pembelajaran juga menjadi
lebih menarik serta dapat membantu mahasiswa untuk
berpikir kreatif dan inovatif.Kemampuan kreativitas
ini sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan
zaman. Proses pembelajaran dengan PBL tidak hanya
menekankan pada aspek kognitif tetapi juga
menekankan pada asppek psikomotorik dan sikap.
Mahasiswa belajar untuk menunjukkan kemampuan
kinerja sesuai dengan topik yang diperolehnya.Mereka
bekerja keras serta bertanggung jawab untuk
memperoleh hasil yang maksimal. Disarankan setiap
pengajar menggunakan proses pembelajarn yang
menarik dan inovatif, khususnya PBL untuk
menumbuhkan jiwa kreatif dan imajinatif. Proses
pembelajaran juga menjadi lebih efektif dan efisien
daripada penggunaan metode ceramah.
5. DAFTAR PUSTAKA [1]. Doppelt, Y., (2003). Implementation and
Assessment of Project-Based Learning in a Flexible Environment, pp. 255–272.
[2]. Efstratia, D., (2014). Experiential Education
through Project Based Learning. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, Vol. 152, pp. 1256–1260.
[3]. Ergül, N. R., & Kargın, E. K., (2014). The Effect of
Project based Learning on Students’ Science
Success. Procedia-Social and Behavioral Sciences, Vol. 136, pp. 537–541.
[4]. Grant, M. M., & Branch, R. M., (2005). Project-Based
Learning In a Middle School: Tracing Abilities
Through The Artifacts of Learning, Vol. 5191, pp. 65–98.
[5]. Lasauskiene, J., & Rauduvaite, A., (2015). Project-
Based Learning at University: Teaching
Experiences of Lecturers. Procedia-Social and Behavioral Sciences, Vol. 197, pp. 788–792.
[6]. Musa, F., Mufti, N., Latiff, R. A., & Amin, M. M.,
(2011). Project-based Learning: Promoting
Meaningful Language Learning for Workplace
Skills. Procedia-Social and Behavioral Sciences,Vol. 18, pp. 187–195.
[7]. Wang, B. T., Teng, C. W., & Lin, Y. H., (2015). Let‘s
Go Traveling – Project-Based Learning in a
Taiwanese Classroom, Vol. 5, No. 2, pp. 84–88.
[8]. Susanti, Arik dan Trisusana, Anis, (2014).
Pengembangan Modul pembelajaran English
Correspondence berbasis ICT untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Mahasiswa
Jurusan Bahasa Inggris. Surabaya: Laporan penelitian LPPM: Tidak dipublikasikan
[9]. Kamdi, Waras, (2008). Project-Based Learning:
Pendekatan Pembelajaran Inovatif. Makalah.
Disampaikan dalam Pelatihan Penyusunan Bahan Ajar
Pengajar SMP dan SMA Kota Tarakan, 31 Oktober
s.d. 2 November 2008.Universitas Negeri Malang.
[10]. Susanti.Arik and Trisusana.Anis, (2014). Improving
Student Motivation through ICT-based Module for
English Correspondence. Makalah. Disajikan dalam
International Conference & Language Festival tanggal
12-13 Desember 2014 di Pusat Bahasa UNESA Surabaya.
12
13
Penerapan Pelatihan Siaga Bencana dalam Meningkatkan Hard Skill
dan Soft Skill Siswa SDN Satak 1 Kabupaten Kediri
Asnawi1*), Supriyono2
1. Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Negeri Surabaya Email: asnawi_unesa@yahoo.co.id. 2.Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Email: supriyono1@unesa.ac.id
*) Alamat korespondensi: Email: asnawi_unesa@yahoo.co.id
ABSTRACT
The attitude of disaster awareness, especially for the schools needs to be done early. Isolation of the area and
the lack of public knowledge of the school to the knowledge of the disaster became a major contributor to many
victims due to volcanic eruptions. The school is the transformation of scientific media are most effective in
absorbing and applying knowledge about natural disasters. Similarly coaching hard skills and soft skills in schools
was conducted simultaneously and balanced through learning in class, this is in accordance with the
recommendation of K-13. Therefore the aim of this study was to describe the effect on the value of disaster
preparedness training hard skills and soft skills of students as a conscious effort to improve the attitude of the
disaster. The research method is done by surveys, questionnaires and simulation. In this study, involved as many
as 35 students from elementary class V. The results show (74.2%) students have a good hard skill to the
understanding and mitigation of the volcanic eruptions. Likewise with disaster preparedness training can give a
positive value to be soft skills (87.9%) students will their responsiveness in the face of volcanic eruptions that
occurred.
Key Words: training, disaster preparedness, hard and soft-skills students
ABSTRAK
Sikap sadar bencana khususnya bagi masyarakat sekolah perlu dilakukan sejak dini. Terisolasinya daerah
serta minimnya pengetahuan masyarakat sekolah terhadap pengetahuan tentang kebencanaan menjadi faktor
utama timbulnya banyak korban akibat bencana gunung berapi. Sekolah merupakan media transformasi ilmu
pengetahuan yang paling efektif dalam menyerap dan mengaplikasikan pengetahuan tentang bencana alam.
Demikian halnya pembinaan hard skill dan soft skill disekolah dilaksanakan secara bersamaan dan seimbang
melalui pembelajaran dikelas, hal ini sesuai dengan anjuran K-13. Oleh karena itu tujuan kajian ini adalah untuk
mendiskripsikan pengaruh pelatihan siaga bencana terhadap nilai hard skill dan soft skill siswa sebagai upaya
meningkatkan sikap sadar bencana. Metode penelitian dilakukan dengan survey, kuisioner dan simulasi. Dalam
penelitian ini, dilibatkan sebanyak 35 siswa SD kelas V. Hasil penelitian menunjukkan (74.2%) siswa memiliki
hard skill yang baik terhadap pemahaman serta mitigasinya terhadap bencana gunung berapi. Demikian halnya
dengan pelatihan siaga bencana dapat memberikan nilai positif akan soft skill (87.9%) siswa akan sikap tanggap
mereka dalam menghadapi bencana gunung berapi yang terjadi.
Kata kunci: pelatihan, siaga bencana, hard dan soft-skill siswa
1. PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia terletak di pertemuan
dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi oleh 3
gerakan, yaitu Gerakan Sistem Sunda di bagian barat,
Gerakan Sistem pinggiran Asia Timur dan Gerakan
Sirkum Australia[1]. Hal itu membuat Indonesia rawan
gempa bumi dan letusan gunung api karena
mempunyai banyak gunung api aktif. Konsekuensi
logis yang akan kita terima dari bencana letusan
gunung berapi adalah terjadi kedaruratan di berbagai
aspek kehidupan antara lain lumpuhnya pemerintahan,
rusaknya fasilitas pendidikan, terganggunya sistem
komunikasi dan transportasi, lumpuhnya pelayanan
umum. Disamping itu bencana letusan gunung api juga
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, hilangnya harta
benda. Banyaknya korban jiwa pada setiap bencana
alam pada umumnya disebabkan karena ketidak
tahuan masyarakat tentang bencana dan bagaimana
cara bertindak ketika terjadi bencana [2].
Ketidaktahuan masyarakat tentang bencana
dan bagaimana cara bertindak dapat diatasi dengan
beberapa sumber belajar yang diperoleh baik dari
media cetak atau elektronik. Sumber informasi dari
kebencanaan juga dapat dipelajari dengan sendirinya,
baik melalui pendidikan formal atau informal
(pelatihan), hal ini dilakukan untuk meningkatkan hard
dan soft skill siswa terhadap bencana yang terjadi
sebagai upaya mereka untuk sikap tanggap bencana di
daerahnya. Harapan dari pelatihan siaga bencana ini
bisa memberikan kontribusi yang positif terkait
banyaknya korban jiwa dalam setiap bencana di
Indonesia, hal ini pula yang mendorong peneliti untuk
segera menerapkan pendidikan kebencanaan di usia
SD.
Tanpa pendidikan kebencanaan, anak-anak akan
tercerabut dari lingkungannya dan korban akan terus
berjatuhan. Masyarakat khususnya siswa SD harus
disadarkan bahwa mereka hidup di lingkungan alam
yang rawan bencana alam, seperti gempa, letusan
14
gunung api, tsunami, dan tanah longsor. Cara paling
efektif untuk menyadarkan itu adalah melalui
pendidikan sejak usia dini. Anak-anak termasuk usia
yang paling rentan saat terjadi bencana. Anak-anak
usia SD memiliki kemampuan yang terbatas untuk
mengontrol dan mempersiapkan diri mereka saat
terjadinya bencana. Disamping itu rendahnya
pemahaman tentang resiko-resiko yang ada
disekeliling mereka, yang berakibat tidak adanya
kesiapsiagaan mereka dalam menghadapi bencana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah
korban jiwa dan kehilangan setiap tahun diperkirakan
sekitar 66 juta anak diseluruh dunia terkena dampak
bencana. Sementara itu, jutaan anak-anak yang
selamat dari bencana, baik itu bencana alam atau
bencana yang disebabkan oleh manusia, kehilangan
rumah dan orang-orang yang dicintai. Mereka juga
menderita luka-luka, mengalami kekerasan dan trauma
psikologis [3].
Upaya guna mengurangi tingkat potensi resiko
bencana dapat dilakukan dengan berbagai upaya
terkait mitigasi dan sikap sadar bencana khususnya
bagi anak-anak SD. Oleh karenanya perlu dilakukan
kajian tentang kerentanan bencana dan upaya mitigasi
serta sikap sadar bencana di Indonesia. Oleh karena itu
pelatihan siaga bencana sebagai implementasi
penggunaan modul dilakukan untuk membangun sikap
sadar bencana bagi siswa SD di daerah dampak
bencana. Seperti kita ketahui usia anak SD memiliki
tingkat resiko yang lebih besar jika dibandingkan
dengan orang dewasa. Mereka bergantung pada orang
yang lebih tua/dewasa untuk berbagai perlindungan
dan dukungan terutama dalam situasi bencana. Hal ini
diakibatkan tingkat juga perkembangan kognitif anak
usia SD, dimana rasa kecemasan dan ketakutan saat
terjadinya bencana sangat rendah. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Herdwiyanti dkk.[3],
mengenai perbedaan kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana ditinjau dari tingkat self-efficacy anak usia
SD di daerah bencana akan memberikan effect size
yang kecil.
Semestinya ketika siswa belajar soal gunung
berapi, mestinya guru memberikan pemahaman yang
mendalam, termasuk juga bagaimana mengantisipasi
jika gunung meletus dan bagaimana membantu
pascabencana. Demikian halnya terkait dengan
kurikulum di Indonesia seharusnya diimplementasikan
dalam materi pelajaran yang dekat dengan lingkungan
peserta didiknya. Pendidikan di Indonesia seharusnya
mengajarkan anak-anak didik untuk hidup harmonis
bersama alam. Dengan pengetahuan lingkungan yang
kuat, anak-anak akan mampu memanfaatkan potensi
alam untuk kesejahteraan serta menjaga alam sebaik-
baiknya guna mencegah terjadinya bencana atau
kerugian yang lebih besar dari fenomena alam.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut,
dipandang perlu adanya sebuah kegiatan bersama
dengan pemerintah serta dinas terkait untuk
merumuskan suatu kebijakan bagi pemerintah kota
guna meningkatkan sikap tanggap dan sadar bencana
bagi anak-anak sekolah (SD) utamanya di wilayah
Desa Laharpang Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri
yang memiliki potensi bencana yang paling besar saat
gunung kelud meletus.
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pentingnya Pendidikan Kebencanaan Pada
Masyarakat Sekolah
Kegiatan pendidikan kebencanaan di Indonesia
sebagaimana dimandatkan oleh Undang-undang No.
24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana harus
terintegrasi ke dalam program pembangunan,
termasuk dalam sektor pendidikan. Demikian halnya
menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 23 tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengedalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan Negara [4].
Sebagai masyarakat yang bergerak dibidang
pendidikan/sekolah memiliki peranan yang penting
akan pendidikan kebencanaan pada siswa-siswa atau
masyarakat sekolah. Perlu diperkenakan materi-materi
kebencanaan sebagai bagian aktifitas dalam
pembelajaran dikelas. Upaya untuk meningkatkan
kesadaran adanya pendidikan kebencanaan
masyarakat sekolah seharusnya dilaksakanakan
dengan baik sebagai penentu kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan khususnya baik di pusat
maupun daerah. Dengan harapan pada seluruh
tingkatan yang ada pada masyarakat sekolah memiliki
pemahaman yang sama akan pentingnya pendidikan
kebencanaan tersebut.
Pendidikan kebencanaan secara umum
bertujuan untuk mengembangkan sikap tanggap
bencana. Dengan berbagai materi, peserta didik dalam
hal ini siswa sekolah/masyarakat sekolah diajak untuk
sama-sama memahami besarnya potensi bencana
masing-masing wilayah dan kemungkinan waktu
terjadinya. Peserta didik juga diajarkan cara
menyelamatkan diri sendiri dan dan membantu orang
lain saat bencana terjadi. Selain itu, diberikan pula
materi kesiapan mental untuk bertahan dalam kondisi
bencana.
Pendidikan kebencanaan dapat dilaksanakan
melalui berbagai jenis pendidikan, baik formal,
nonformal, maupun informal. Pendidikan
kebencanaan secara formal dapat dilaksanakan secara
terintegrasi ke dalam muatan kurikulum atau menjadi
mata pelajaran sendiri yaitu muatan lokal.
Penyelenggaraan pendidikan kebencanaan disesuaikan
dengan dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah
maupun daerah. Pelaksanaannya dapat bermitra
dengan berbagai unit atau para pihak terkait sehingga
tujuan dari pendidikan ini dapat tercapai secara
optimal [4].
15
2.2 Peranan Lembaga Pendidikan/Sekolah dalam
Pendidikan Kebencanaan
Peran lembaga pendidikan atau sekolah
merupakan tempat atau wahana yang strategis untuk
pengembangan potensi peserta didik dalam hal
pendidikan kebencanaan. Dalam lingkungan sekolah,
peserta didik beraktivitas melalui proses pelayanan
pedagogis untuk pengembangan berbagai
pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik.
Oleh karena itu, sekolah harus menjadi lingkungan
yang menyenangkan, nyaman, dan aman untuk belajar
bagi seluruh peserta didik, Kepala sekolah, guru,
pegawai administrasi dan tenaga kependidikan
lainnya. Berkenaan dengan implementasi pendidikan
kebencanaan, sekolah sebagai suatu sistem pelayanan
pedagogis bagi peserta didik harus didukung dengan
kemampuan kepala sekolah untuk: (1) menumbuhkan
semangat keunggulan secara intensif untuk
meningkatkan mutu sekolah antara lain dengan
membentuk budaya sadar bencana dan
mengintegrasikan pendidikan kebencanaan ke dalam
kurikulum sekolah; (2) membantu dan mendorong
peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya
secara optimal, dengan memberikan life skills
pendidikan kebencanaan; (3) melaksanakan proses
pembelajaran pendidikan kebencanaan secara efektif,
menyenangkan,dan kontekstual; (4) mengajak
stakeholders untuk bekerja bersama dalam
meningkatkan mutu sekolah, khususnya berkenaan
dengan implementasi strategi pendidikan
kebencanaan; dan (5) melibatkan seluruh warga
sekolah dalam pengambilan keputusan untuk
implementasi strategi pendidikan kebencanaan di
sekolah [4].
Demikian halnya tidak kalah penting
peramanan pemerintah dan masyarakat dilingkungan
sekolah dalam pendidikan kebencanaan merupakan
komponen yang sangat diperlukan untuk memberikan
dukungan secara penuh dan langsung kepada lembaga
pendidikan dalam implementasi pendidikan
kebencanaan disekolah. Peranan pemerintah, baik
pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi
penanggung jawab dalam penyelenggaraan
pendidikan, terutama dalam pendidikan kebencanaan
dan pemaduannya dengan program pembangunan.
Kebijakan pemerintah pusat dan daerah sangat
menentukan akan keberhasilan pelaksanaan
pendidikan kebencanaan.
2.3 Peranan Hard dan Soft Skill Siswa dalam
Kebencanan
Hard skills dalam kegiatan kebencanaan
merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan keterampilan teknis yang harus dikuasai bagi
mereka yang berhubungan dengan bidang ilmu
kebencanaan. Sementara itu, soft skills adalah
keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan
orang lain dalam segala sesuatu yang terkait dengan
masalah kebencanaan dan keterampilan dalam
mengatur dirinya sendiri dalam menangani bencana
secara maksimal. Soft skill dalam kebencanaan bisa
dimaknai sebagai keterampilan yang digunakan dalam
berhubungan serta bekerjasama dengan orang lain
dalam menangani permasalahan bencana.
Keterampilan-keterampilan yang dimasukkan
dalam kategori soft skills bagi masyarakat khususnya
bagi masyarakat sekolah dalam menangani bencana
adalah :a) Inisiatif siswa selaku masyarakat sekolah
dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya
bencana b). Memotivasi warga/masyarakat sekolah
untuk melakukan sikap taggap sadar bencana c).
Memiliki etika yang baik untuk warga/masyarakat
sekolah dalam berbagai hal terkait dengan bencana d).
Dapat bekerja sama dengan tim dalam menangani
berbagai permasalahan terkait dengan bencana yang
terjadi e). Memiliki jiwa kepemimpinan yang baik
dalam menangani berbagai persolaan yang terjadi di
daerah bencana dan lain sebagainya
Semua profesi yang berkait dengan bencana atau
kebencanaan membutuhkan keahlian (hard skill)
tertentu. Mengembangkan hard skill bagi siswa yang
terkait bencana adalah jawaban utama didalam
keberhasilan untuk dapat menangani permasalahan
berbagai bencana tersebut. Namun demikian tidaklah
cukup hanya kemampuan hard skill saja, tetapi harus
diimbangi dengan kemampuan soft skill dalam
menghadapi berbagai tantangan saat melakukan
/menangani pekerjaan yang terkait dengan bencana.
3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini akan dilakukan dengan
pendekatan positifistik kuantitatif dan kualitatif secara
longitudinal dengan menggunakan model riset
pengembangan (R&D) Borg and Gall[5]. Dikatakan
longitudinal karena suatu penelitian sifatnya
berkelanjutan untuk jangka waktu yang relative
panjang, mengikuti proses interaktif ragam variabel,
dengan tujuan untuk menjelaskan dan memahami
kejadian yang diobservasi pada rentang waktu tertentu.
Desain longitudinal ini dirancang untuk
mengumpulkan data pada lebih dari satu kasus dan
pada kurun waktu tertentu ketika data dikumpulkan
secara kuantitatif dan kualitatif terhadap variabel yang
kemudian diuji lewat pengembangan secara empiric di
lapangan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil implementasi modul pendidikan kebencanaan bagi siswa SD dilakukan guna untuk
mengetahui hard dan soft skill siswa dalam
menghadapi kegiatan kebencaaan, khususnya dalam
bencana gunung berapi. Dengan penggunaan modul
pendidikan kebencanaan (Gunung Berapi)
memberikan pengetahuan siswa akan sikap tanggap
sadar bencana, baik sebelum dan sesudah terjadinya
bencana. Terkait sikap sadar bencana yang terjadi
didaerahnya dari post-test masing-masing pemahanan
meliputi :bencana secara umum, bencana gunung
berapi, pemahaman mitigasi bencana dan simulasi dari
bencana yang dilakukan di sekolah setempat . Adapun
penggunaan modul pendidikan terkait sikap sadar
16
bencana yang terjadi didaerahnya dengan soft skill
(87.9%) siswa dapat memahami dengan baik test
pemahaman siswa meliputi bencana secara umum,
bencana gunung berapi, pemahaman mitigasi bencana
. demikian halnya dengan hardskill siswa dalam
menghadapi bencana dengan prosestasi 74,2% seperti
tampak pada Gambar 4.1 berikut ini
Gambar 4.1 Hard dan soft skill siswa dalam
memahami kebencanaan
5. KESIMPULAN Dari uraian makalah ini dapat disimpulkan
bahwa74.2% siswa memiliki hard skill yang baik
terhadap pemahaman serta mitigasinya terhadap
bencana gunung berapi. Demikian halnya dengan
pelatihan siaga bencana dapat memberikan nilai positif
akan soft skill (87.9%) siswa akan sikap tanggap
mereka dalam menghadapi bencana gunung berapi
yang terjadi.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1]. http://www.walhi.or.id. (2014). Sejuta Bencana
Terencana di Indonesia, Diunggah pada hari
Minggu, 23 Pebruari 2014. Jam 11.05.
[2]. Wicaksono. (2007). Pedoman Menghadapi
Bencana Gempa dan Tsunami, Jakarta: Kreasi
Jakarta
[3]. Herdwiyanti, F dan Sudaryono. (2012).
Perbedaan Kesiapsiagaan Menghadapi
Bencana Ditinjau Dari Tingkat Self-Efficacy
Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Daerah
Dampak Bencana Gunung Kelud, Jurnal
Kepribadian dan Sosial Universitas Airlangga
[4]. Supriyono dan Asnawi. (2013). Pengembangan
Model Pendidikan Kebencanaan dalam
Membangun Sikap Sadar Bencana bagi
Masyarakat Kabupaten Malang Selatan Jawa
Timur, Laporan Hibah Bersaing, Universitas
Negeri Surabaya.
[5]. Borg, R and Gall MD. (1989). Educational
Research, New York & London: Longman
Pro
sen
tase
S
SS
Gunung meletus apakah:
1.Saudara sedih
2.Kegiatan sekolah berhenti,banyak siswa merasa sedih
3.Jika banyak siswa belum sadar akan menjaga
konservasi lingkungannya, apakah saudara sedih4.Menelan banyak korban, hal ini membuat saudara/
sedih
5. Menyebabkan banyak warga kehilangan harta benda, membuat saya sedih
6.Saudara takut saat gunung meletus terjadi di
wilayah yang sudara tempati7.Membuat saya/siswa ketakutan akan kehilangan
anggota keluarga/teman
Grafik Softskill
dalam Menghadapi Bencana
Gunung Berapi
17
Penerapan Multimedia dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning–Pbl) pada Matakuliah Struktur Data
Bambang Sujatmiko1*), Rina Harimurti2, Anita Qoiriah3
1Pendidikan Teknik Informatika, FT-UNESA Surabaya. Email: bambangsujatmiko@unesa.ac.id 2 Pendidikan Teknik Informatika, FT-UNESA Surabaya. Email: rinaharimurti@unesa.ac.id
3Pendidikan Teknik Informatika, FT-UNESA Surabaya. Email: anitaqoiriah@unesa.ac.id
*)Alamat korespondensi: Email: bambangsujatmiko@unesa.ac.id
ABSTRACT
Technological developments now require students to have a greater ability in terms of programming.
Computer programming requires good planning. Planning skills necessary to develop a computer program that
is effective and efficient. To study the ability was not easy so we need tools to facilitate learning lecture Data
Structures of participants learn how the storage, preparation, and arrangement of data in computer storage media
so that data can be used efficient. Matter in data structures are arrays, pointers , structure, stack, queue, singly
linked lists, doubly linked lists, recursively searching, sorting and tree. Matter of abstract data structures, so a bit
difficult to learn. To overcome this problem needs to be linked to the real world so easily understand. Model
problem-based learning is an instructional model that invites students to actively learn. PBL begins with the
provision of the problem which is the daily experience. Then, learners are required to resolve the problem of
finding new knowledge. PBL has a stage which consists of five phases that must be passed. These stages require
active learners in learning the material. Outcomes of this study is media study in the form of multimedia that can
be used as a guide to learners studying data structure with problem-based learning model. Manual prepared
according to the stages in the problem-based learning model. Problems are given in each matter to be discussed
by the learners are presented in multimedia format for easier understanding.
Keywords: Data Structures, Problem Based Learning-PBL, Computer Programming
ABSTRAK
Perkembangan teknologi saat ini menuntut peserta didik memiliki kemampuan yang lebih dalam hal
pemrograman. Pemrograman komputer yang baik memerlukan perencanaan. Kemampuan perencanaan yang
diperlukan untuk mengembangkan program komputer yang efektif dan efisien. Untuk mempelajari kemampuan itu
tidak mudah sehingga diperlukan alat bantu pembelajaran untuk mempermudah peserta didik.Mata kuliah
Struktur Data mempelajari cara penyimpanan, penyusunan, dan pengaturan data di dalam media penyimpanan
komputer sehingga data tersebut dapat digunakan secara efisien.Materi dalam struktur data adalah array,
pointer, struktur, stack, queue, singly linked-list, doubly linked-list, rekursif, searching, sorting dan tree.Materi
struktur data bersifat abstrak sehingga agak sulit dipelajari. Untuk mengatasinya perlu dikaitkan dengan dunia
nyata sehingga mudah dipahamai.Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang
mengajak peserta didik untuk aktif belajar. PBL diawali dengan pemberian masalah yang merupakan pengalaman
sehari-hari.Kemudian peserta didik diharuskan menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan
baru. PBL mempunyai tahapan yang terdiri dari 5 fase yang harus dilalui. Tahapan tersebut menuntut keaktifan
peserta didik dalam mempelajari suatu materi. Luaran dari penelitian ini adalah media pembelajarn dalam bentuk
multimedia yang dapat digunakan sebagai panduan peserta didik mempelajari struktur data dengan model
pembelajaran berbasis masalah. Panduan disusun sesuai tahapan pada model pembelajaran berbasis masalah.
Masalah yang diberikan dalam setiap materi untuk didiskusikan oleh peserta didik di presentasikan dalam bentuk
multimedia agar lebih mudah dimengerti.
Kata kunci: Struktur data, Problem Based Learning-PBL, Pemrograman Komputer
1. PENDAHULUAN
Memasuki abad ke-21, bidang teknologi
informasi dan komunikasi berkembang dengan
pesat.Perkembangan tersebut berpengaruh besar
terhadap berbagai aspek kehidupan. Keterampilan
bidang teknologi informasi dan komunikasi tidak
hanya menuntut keterampilan teknis semata-mata,
tetapi juga menuntut kematangan mental dan
kemampuan pemecahan masalah.
Pendidikan menduduki posisi penting untuk
menuju perkembangan dan kemajuan suatu bangsa.
Pelaksanaan usaha dalam mencapai tujuan pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama. Ini berarti
perspektif yang baru pun harus terjadi dalam sistem
proses belajar mengajar, adanya integrasi yang sinergi
dari beberapa aspek. Kurikulum yang mengacu pada
kompetensi yang didukung penuh dari model
pembelajaran, perangkat pembelajaran, sarana dan
prasarana.
Perkembangan teknologi saat ini menuntut peserta
didik memiliki kemampuan yang lebih dalam hal
pemrograman. Pemrograman komputer yang baik
memerlukan perencanaan. Kemampuan perencanaan
yang diperlukan untuk mengembangkan program
komputer yang efektif dan efisien, bersama-sama
dengan umpanbalik yang diberikan oleh sistem
18
komputer, akan memberikan sarana untuk membentuk
keterampilan berfikir tingkat tinggi.
Pemakaian struktur data yang tepat di dalam
proses pemrograman akan menghasilkan algoritma
yang lebih jelas dan tepat, sehingga menjadikan
program secara keseluruhan lebih efisien dan
sederhana. Struktur data merupakan cara menyimpan
atau merepresentasikan data di dalam komputer agar
bisa dipakai secara efisien. Sedangkan data adalah
representasi dari fakta dunia nyata. Fakta atau
keterangan tentang kenyataan yang disimpan, direkam
atau direpresentasikan dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, sinyal atau simbol.
Oleh karena itu dibutuhkan model pembelajaran
yang sesuai untuk mempermudah hal tersebut.
Pembelajaran yang efektif perlu memfokuskan pada
sifat-sifat pengetahuan metakognitif dari
pemrograman. Menurut Tan (2003) dalam Rusman[1]
Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan inovasi
dalam pembelajaran karena proses belajar mengajar
kemampuan mahasiswa betul-betul dioptimalkan
melalui proses kerja kelompok atau tim yang
sistematis, sehingga mahasiswa dapat
memberdayakan, mengasah, menguji, dan
mengembangkan kemampuan berpikirnya secara
berkesinambungan.
Dengan melihat latar belakang di atas, pada
penelitian ini penulis ingin menerapkan Pembelajaran
Berbasis Masalah dalam pembelajaran mata kuliah
Struktur Data. Mata kuliah ini diharapkan mampu
dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan
kompetensi peserta didik di bidang pemrograman
komputer.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian[2] tentang Pengaruh Penerapan
Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap
Hasil Belajar Melalui Kemampuan Komunikasi
Matematik Siswa menunjukkan bahwa pembelajaran
Matematika dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada
pembelajaran konvensional pada hasil belajar melalui
kemampuan komunikasi matematik siswa materi
pokok sistem persamaan linear dua variabel di kelas
VIII SMP Negeri 9 Kendari.
Sedangkan pada penelitian[3] disimpulkan bahwa
sikap ilmiah dan keterampilan berpikir kritis siswa
yang belajar menggunakan model pembelajaran
berbasis masalah (PBL) lebih baik daripada siswa
yang belajar menggunakan model pembelajaran
ekspositori.
2.2 Studi Pustaka
2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis
Masalah (PBL)
Menurut Jodion[4] Pembelajaran berbasis masalah
(problem based learning) merupakan salah satu model
pembelajaran yang berasosiasi dengan pembelajaran
kontekstual. Pembelajaran artinya dihadapkan pada
suatu masalah, yang kemudian dengan melalui
pemecahan masalah, melalui masalah tersebut siswa
belajar keterampilan-keterampilan yang lebih
mendasar.
Menurut[5], tahapan model pembelajaran berbasis
masalah (Problem Based Learning-PBL) adalah
seperti pada tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Tahapan Model Pembelajaran Berbasis
Masalah FASE-FASE PERILAKU GURU
Fase 1: Memberikan
orientasi tentang permasalahannya
kepada peserta didik
Guru menyampaikan tujuan
pelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting
dan memotivasi peserta didik untuk
terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah
Fase 2:
Mengorganisasikan peserta didik untuk
meneliti
Guru membantu peserta didik untuk
mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas
belajar terkait dengan
permasalahannya Fase 3: Membantu
investigasi mandiri dan kelompok
Guru mendorong peserta didik
untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen,
dan mencari penjelasan dan solusi
Fase 4: Mengembangkan dan
mempresentasikan
artefak dan exhibit
Guru membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan
artefak-artefak yang tepat, seperti
laporan, rekaman video dan model-model dan membantu mereka untuk
menyampaikannya kepada orang
lain Fase 5: Menganalisis
dan mengevaluasi
proses mengatasi masalah
Guru membantu peserta didik
melakukan refleksi terhadap
investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah (PBL) merupakan model
pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk aktif
belajar. PBL diawali dengan pemberian masalah yang
merupakan pengalaman sehari-hari. Kemudian peserta
didik diharuskan menyelesaikan masalah tersebut
untuk menemukan pengetahuan baru.
2.2.2 Pengertian Struktur Data
Mata kuliah Struktur Data mempelajari cara
penyimpanan, penyusunan, dan pengaturan data di
dalam media penyimpanan komputer sehingga data
tersebut dapat digunakan secara efisien. Materi dalam
struktur data adalah array, pointer, struktur, stack,
queue, singly linked-list, doubly linked-list, rekursif,
searching, sorting dan tree.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Bagan Alir Penelitian
Secara garis besar tahapan penelitian
diperlihatkan seperti pada Gambar 1.
1) Studi pendahuluan berupa studi pustaka tentang
metode PBL serta penelitian-penelitian yang sudah
pernah dilakukan terkait dengan metode PBL,
2) Pemilihan dan penentuan topik mata kuliah
struktur data, digunakan untuk menentukan topik apa
19
saja yang akan disusun dalam bahan ajar. Sesuai
materi struktur data maka materi yang akan
dimasukkan adalah array, pointer, struktur, stack,
queue, linked-list, rekursif, searching, sorting dan tree,
3) Selanjutnya menyusun RPS dengan model
pembelajaran PBL. Dari RPS ini nanti akan muncul
scenario yang diperlukan dalam penyusunan media
pembelajaran,
4) Skenario yang sudah disusun dalam RPS
kemudian dimplementasikan dalam bentuk
multimedia. Pertama yang dibuat adalah permasalahan
dari setiap materi yang dipresentasikan dalam bentuk
flash agar memudahkan pemahaman peserta didik,
5) Kemudian merancang GUI yang user friendly
dalam bentuk adobe portofolio,
6) Merancang panduan pembelajaran berbasis
masalah,
7) Mengimplementasikan rancangan panduan
pembelajaran berbasis masalah, permasalahan yang
disusun dengan flash dan materi yang dibuat dalam
bentuk pdf menjadi media pembelajaran dalam bentuk
adobe portofolio.
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
3.2 Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Model pengembangan perangkat menggunakan
model 4-D[6]. Tahap-tahap pelaksanaannya terdiri dari
4 tahap pengembangan, yaitu define, design, develop,
dan dessimenate. Berikut uraian keempat tahap beserta
komponen-komponen model 4-D.
1) Tahap pendefinisian (define) adalah menetapkan
dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran. Tahap
pendefinisian terdiri dari tiga langkah analisis, yaitu:
pertama analisis awal-akhir. Langkah ini digunakan
untuk menentukan masalah mendasar yang dihadapi
dosen. Dalam analisis awal diperlukan pertimbangan
berbagai alternatif pengembangan perangkat
pembelajaran. Kedua analisis siswa/ mahasiswa,
merupakan telaah tentang karakteristik mahasiswa
yang sesuai dengan desain pengembangan perangkat
pembelajaran. Karakteristik itu meliputi latar belakang
kemampuan akademik (pengetahuan), perkembangan
kognitif, serta keterampilan-keterampilan individu
atau sosial yang berkaitan dengan topik pembelajaran,
media, format dan bahasa yang dipilih. Ketiga analisis
tugas dan konsep, adalah kumpulan prosedur untuk
menentukan isi dalam satuan pembelajaran, analisis
tugas dilakukan untuk merinci isi materi ajar dalam
bentuk garis besar, analisis ini mencakup: (1) analisis
struktur isi, (2) analisis prosedur, (3) analisis proses
informasi, (4) analisis konsep, dan (5) perumusan
tujuan. Dan terakhir analisis tujuan, dilakukan untuk
menentukan atau merumuskan tujuan-tujuan
pembelajaran yang akan dicapai oleh mahasiswa.
2) Tahap Perancangan (Design), bertujuan untuk
merancang prototipe perangkat pembelajaran. Tahap
ini terdiri dari tiga langkah, (1) Penyusunan tes acuan
patokan, langkah ini merupakan penghubung antara
tahap define dan design. Tes acuan patokan
mengkonversi tujuan-tujuan khusus ke dalam garis
besarmateri pembelajaran, (2) Pemilihan media adalah
langkah yang dilakukan untuk menentukan media
yang tepat dengan penyajian materi pelajaran dan (3)
Pemilihan format adalah langkah yang berkaitan erat
dengan pemilihan media.
3) Tahap Pengembangan (Develop), adalah untuk
menghasilkan perangkat pembelajaran.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan topik bahan ajar mata kuliah struktur
data dan penyusunan RPS
Penentuan topik bahan ajar disesuaikan dengan
Buku Pedoman Universitas Negeri Surabaya, 2016[7].
Fakultas Teknik. Dari pemilihan topik-topik esensial
Struktur Data seperti pada[8], maka materi yang akan
dimasukkan dalam media pembelajaran adalah:
1. Array, Pointer dan Struktur,
2. Linked List,
3. Stack,
4. Queue,
5. Rekursi,
6. Sorting (pengurutan),
7. Searching (Pencarian),
8. Tree.
Setelah ditentukan topiknya, selanjutnya disusun
RPS sebagai dasar dari skenario yang akan digunakan
dalam penyusunan media pembelajaran.
4.2 Kasus-kasus setiap materi dalam bentuk
multimedia
Skenario pembelajaran yang akan diterapkan
dalam mata kuliah Struktur Data menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah dengan perangkat
pembelajaran berupa multimedia. Sesuai dengan
tahapan pada model pembelajaran berbasis masalah,
Menyusun
rancangan media
dalam bentuk
animasi dengan
menggunakan
Flash
Merancang GUI
(Grafical User
Interface) untuk animasi
Implementasi
rancangan menjadi
media pembelajaran
bentuk animasi
Menyusun pedoman
pembelajaran
berbasis masalah
untuk matakuliah
struktur data
Pemilihan dan
penentuan topik
mata kuliah
struktur data
Studi Pendahuluan:
Studi Pustaka tentang penelitian terdahulu yang menerapkan metode pembelajaran berbasis masalah
PBL
Penyusunan
RPS mata
kuliah struktur
data
20
fase pertama adalah memberikan orientasi tentang
permasalahannya kepada peserta didik. .
Masing-masing topik diawali dengan kasus yang
harus diuraikan mahasiswa sehingga membawa
mahasiswa sampai pada materi yang akan dipelajari
dalam struktur data. Adapun kasus-kasus dari setiap
materi tersebut adalah :
1) Array
Sebuah supermarket biasanya menjual berbagai
macam barang dan berbagai macam merek barang.
Jika pengaturan tidak rapi tentu akan menyulitkan
didalam pengelolaannya. Terutama saat konsumen
mencari berbagai jenis barang yang dibutuhkan.
Bagaimanakah cara yang tepat dalam menyelesaikan
masalah penempatan barang di supermarket tersebut
agar berbagai jenis barang tersebut mudah dalam
pengelolaannnya? Untuk membedakan penyimpanan
setiap jenis dan merek barang tidak perlu dengan
membuatkan bentuk rak yang berbeda-beda. Dalam
sebuah supermarket biasanya peletakan barang
dikelompokkan berdasar jenis barangnya untuk
mempermudah pengelolaan. Rak untuk menyimpan
masing-masing kelompok tersebut biasanya
mempunyai bentuk berbeda tegantung dari jenis
barangnya. Misalnya rak untuk menyimpan kelompok
jenis sapu berbeda dengan rak untuk menyimpan jenis
sabun mandi. Dalam satu kelompok jenis barang
terdapat bermacam-macam merek yang diletakkan
dalam slot rak yang berbeda-beda tapi terletak secara
terurut. Untuk mengambil sebuah merek tertentu kita
dapat langsung menuju rak yang sesuai tanpa harus
menelusuri rak secara urut satu persatu.
Gambar 2. Animasi kasus Array
2) Stack
Kasus yang digunakan disini adalah bagaimana
forlklift menumpuk peti-peti yang diangkut. Peti akan
selalu ditumpuk ditumpukan paling atas. Sehingga peti
yang paling atas adalah peti yang ditumpuk terakhir.
Dan peti yang diambil pasti urut dari tumpukan paling
atas.
Gambar 3. Animasi kasus Stack
3) Queue,
Saat banyak mobil yang akan masuk ke tempat
parkir, maka akan terjadi antrian. Mobil yang berada
pada urutan terdepan akan masuk terlebih dahulu.
Sedang mobil yang baru dating harus berada di urutan
paling belakang.
Gambar 4. Animasi kasus Queue
4) Linked-list,
Konsep linkedlist sama seperti kereta api yang
terdiri dari serangkaian gerbong dan terdapat
lokomotif yang berada di gerbong terdepan.
Gambar 5. Animasi kasus Linkedlist
5) Rekursif,
Contoh kasus yang dapat dipecahkan secara
rekursif adalah masalah Hanoi Tower.
21
Gambar 6. Animasi kasus Rekursif
6) Searching,
Kasus mencari barang tertentu yang tertinggal di
salah satu kotak. Untuk mencarinya kotak dibagi 2 dan
ditimbang. Yang paling berat dibagi lagi sampai
ketemu barang yang dicari.
Gambar 7. Animasi kasus Searching
7) Sorting,
Kasus berupa urutan serangkaian warna yang
harus diurutkan mulai dari warna tertua.
Gambar 8. Animasi kasus Sorting
8) Tree,
Struktur organisasi atau silsilah keluarga dapat
digunakan sebagai kasus untuk mempelajari Tree.
Gambar 9. Animasi kasus Tree
4.3 Panduan Pembelajaran Berbasis Masalah
Sesuai dengan fase dalam Pembelajaran Berbasis
Masalah:
1) Fase 1: Memberikan orientasi tentang
permasalahannya kepada peserta didik. Dosen
menyampaikan tujuan pembelajaran, mendeskripsikan
berbagai kebutuhan logistik yang penting dan
memotivasi mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan
mengatasi masalah yang terdapat pada kasus yang
dituliskan diawal setiap topik pada modul ajar.
2) Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk
meneliti. Dosen membantu mahasiswa untuk
mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas
belajar terkait dengan permasalahnnya dengan
membentuk kelompok-kelompok untuk membahas
kasus yang ada.
3) Fase 3: Membantu investigasi mandiri dan
kelompok. Dosen mendorong mahasiswa untuk
mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan
eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi. Pada
fase ini tugas dosen mengarahkan sehingga solusi yang
didapat dalam pemecahan kasus bisa tetap mengarah
pada topik yang harus dipelajari
4) Fase4: Mengembangkan dan mempresentasikan
artefak dan exhibit. Dosen membantu mahasiswa
dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak
yang tepat seperti laporan, database, rekaman video,
dan model-model, dan membantu mereka untuk
menyampaikannya kepada orang lain.
Salah satu yang mudah adalah berupa pembuatan
mapping dari kasus yang ada, kemudian di pecah
menjadi beberapa bagian yang mengarah ke topik,
contohnya:
a) Stack
Kasus pada stack adalah proses untuk menumpuk
barang, misalnya menumpuk piring. Saat menumpuk
piring maka dari mana kita harus menumpuk dan
darimana kita harus mengambil.
Contoh peta konsep hasil diskusi kelompok :
Tumpukan Piring
Banyak Barang Perlakuan
Berisi Mempunyai
Rangkaian Barang Yang Berurutan
Data(ukuran, warna, bahan) Ditumpuk Diambil
Array LinkedList Dari AtasDari Atas
Struktur
LIFO
Ukuran sudah pasti Ukuran belum pasti Bentuk pengelomokan variabel dalam data
Jalan untuk menumpuk Jalan untuk mengambil
Piring Masuk Dalam TumpukanPiring Keluar Dari Tumpukan
Gambar 10 . Peta Konsep hasil diskusi Array
b) Queue
Antrian pada teller. Antrian terjadi saat jumlah
teller lebih sedikit dari jumlah orang yang akan
dilayani. Untuk masuk antrian, nasabah harus melalui
belakang antrian. Sedangkan nasabah yang dilayani
22
terlebih dahulu adalah nasabah yang berada paling
depan
Contoh peta konsep hasil diskusi kelompok :
Antrian Pada Teller Bank
Nasabah Sistem Antrian
Obyek Antrian Mempunyai
Sederetan NasabahData Nasabah(no rek,
nama alamat) Masuk Antrian Keluar Antrian
Array LinkedListDari
Belakang Dari depanStruktur
FIFO (First In First Out)
Jmlah sudah pasti Jumlah belum pasti pengelompokan item penyusun data
Arah Masuk Arah Keluar
Nasabah MasukNasabah Keluar
Susunan Identitas
Gambar 11. Peta Konsep hasil diskusi Queue
Dari hasil peta konsep tersebut selanjutnya tugas
masing-masing mahasiswa untuk mencari bahan
kajian yang sesuai.
5) Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses
mengatasi masalah. Dosen membantu mahasiswa
melakukan refleksi terhadap investigasinya dan
proses-proses yang mereka gunakan. Pada fase ini
dosen akan mememeriksa apakah hasil diskusi dari
setiap kelompok dan bahan kajian yang didapat sesuai
dengan topik yang harus dipelajari saat itu.
Gambar 12. Panduan pelaksanaan PBL
4.4. Media Pembelajaran
Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa sebuah
media pembelajaran yang disusun dengan adobe
portofolio seperti pada gambar 13 berikut.
Gambar 13. Tampilan Media pembelajaran
Setiap materi dikelompokkan dalam sebuah folder.
Pada setiap folder terdapat deskripsi dari setiap materi
yang akan dipelajari. Didalam folder terdapat dua buah
file yang dapat di unduh.
File pertama berupa panduan untuk mempelajari
mata kuliah struktur data dengan model pembelajaran
berbasis masalah. Dalam file tersebut dimasukkan
animasi dari permasalahan yang harus didiskusikan
secara berkelompok. Dosen bertugas untuk
mengarahkan diskusi agar sesuai dengan tema yang
akan dipelajari.
Setelah diskusi selesai dan mengarah ke materi
kuliah, maka mahsiswa dapat mengunduh file kedua
yang berisi materi untuk dipelajari lebih lanjut. Isi
folder seperti pada gambar 14.
Gambar 14. Isi Folder Materi
23
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil yang dicapai pada penelitian
dapat disimpulkan:
1) Pemrograman Berbasis Masalah dalam bidang
pemrograman komputer memerlukan contoh-contoh
dunia nyata karena pemrograman komputer cenderung
bersifat abstrak dan memerlukan keterampilan analisis
yang tinggi dan melibatkan peran aktif mahasiswa
untuk berfikir dengan kemampuan high order thinking
(hot).
2) Media pembelajaran dalam bentuk animasi
sebagai permasalahan yang harus dibahas, dapat
membantu mahasiswa dalam memahami materi
Struktur Data dengan model pembelajaran PBL.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang dicapai pada penelitian
ini, maka peneliti menyarankanperlunya untuk
menerapkan pembelajaran bebasis masalah pada
matakuliah-matakuliah dalam bidang omputer
khususnya yang berhubungan dengan pemrograman
yang selama ini menjadi matakuliah yang cukup sulit
dipahami.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Rusman. (2010). Model-model pembelajaran.
(Mengembangkan Profesionalisme Guru), cet.5.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 229.
[2]. Kadir Tiya & Hasminah. (2012). Pengaruh
Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Terhadap Hasil Belajar Melalui Kemampuan
Komunikasi Matematik Siswa: Jurnal Pendidikan
MatematikaVolume 3 Nomor 2 Juli 2012
[3]. I Kadek Urip Astika, I Ketut Suma, I Wayan. Suastra,
(2013). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis
Masalah Terhadap Sikap Ilmiah Dan
Keterampilan Berpikir Kritis : E-Journal Vol. 3,
Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi IPA.
[4]. Jodion Siburian,. 2010. Model Pembelajaran Sains,
Jambi: Universitas Jambi
[5]. Agus Supriyono, (2009). Efektivitas Penerapan
Metode (Problem Based Learning) Terhadap
Prestasi Belajar Akuntansi Pokok Bahasan Jurnal
Khusus Kelas XII IS I SMA PGRI Wirosari
Purwodadi. Under Graduates thesis, Universitas
Negeri Semarang, hlm 74-76.
[6]. Thiagarajan, S., Semmel, D. S & Semmel, M.I. (1974).
Instructional Development for Training Teacher of
Expectional Children. Minneapolis, Minnesota:
Leadership Training institute/Special Education,
University of Minnesota.
[7]. Tim. (2016). Buku Pedoman Universitas Negeri
Surabaya. Fakultas Teknik.
[8]. Desphande, P.S and O.G. Kakde. (2012). C & Data
Structures. Hingham Massachusetts: Charles River
Media, INC
24
25
Peningkatan Kemampuan Guru SMK Negeri Wonosalam Jombang
melalui Pelatihan Pembuatan Proposal PTK
Choirul Anna Nur Afifah1*), Siti Sulandjari2, Veni Indrawati3 1 Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, UNESA, Surabaya. E-mail: annardn59@gmail.com
2 Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, UNESA, Surabaya, Kota. E-mail: ari-marsni@yahoo.com 3 Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, UNESA, Surabaya. E-mail: veni.didiekunesa@gmail.com
*) Alamat Korespondesi: Email: annardn59@gmail.com
ABSTRACT
Teachers was required to create an innovative works such as classroom action research to promote their
functional position. Most of teachers in SMK Negeri Wonosalam said never done classroom action research on
their learning or made scientific work . The aim of devotions were to upgrading teachers made proposal of
classroom action research and to knows teacher’s response of devotions .Method was applied by training two
times during two week. The first time was briefing materials about learning models and classroom action research.
Then, coaching proposal at second time. The participants was 28 teachers in SMKN Wonosalam
Jombang. .Activities was done in SMKN Wonosalam. Teachers response was known by questionnaire. The first
stage lasted 6 hours. The activities were gave materials about learning innovative models, educations device,
learning strategy and classroom action research. At the second time, we done proposals research presentation
that have been made of participants and bringing science manuscript article. The teacher training as participants
was evaluated very well and good. Participants thought that very good for conformity matter (67%) , the depth of
material (58%) media uses (42%) , the instructors explained the materials (67 %) , answered questions (75%) and
participants motivation (75%).
Key Words: training, teacher respons, learning model
ABSTRAK
Guru diwajibkan membuat karya inovatif berupa penelitian tindakan kelas (PTK) guna kenaikan pangkat
jabatan Fungsional. Mayoritas guru di SMK Negeri Wonosalam menyatakan belum pernah melakukan PTK dan
membuat karya ilmiah. Tujuan kegiatan pengabdian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan guru membuat
proposal penelitian tindakan kelas (PTK) dan mengetahui respon guru terhadap pelatihan yang dilakukan. Metode
yang diterapkan dengan memberikan pelatihan yang dilakukan selama dua minggu dengan dua kali tatap muka.
Tahap I berupa pembekalan materi tentang model pembelajaran dan PTK. Selanjutnya, tahap II berupa
pendampingan untuk menyusun proposal. Sasaran kegiatan adalah guru SMKN Wonosalam Jombang sebanyak
28 orang. Pelaksanaan kegiatan dilakukan di SMKN Wonosalam. Respon guru diketahui dari hasil pengisian
angket. Tahap pertama berlangsung selama 6 jam dengan kegiatan berupa penyampaian materi tentang metode
pembelajaran inovatif, perangkat pembelajaran, strategi pembelajaran, dan penelitian tindakan kelas. Tahap
kedua dilakukan dengan waktu yang sama dengan kegiatan utama presentasi proposal yang telah dibuat peserta
dan penyampaian materi penulisan artikel ilmiah. Respon peserta terhadap pelatihan menilai sangat baik dan
baik. Peserta menilai sangat baik untuk kesesuaian materi (67%), kedalaman materi (58%) penggunaan media
(42%), kemampuan instruktur menjelaskan materi (67%), menjawab pertanyaan (75%) dan memotivasi peserta
(75%).
Kata kunci: pelatihan, respon guru, model pembelajaran
1. PENDAHULUAN
Keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di
segala bidang akan sangat bergantung pada sumber
daya manusia sebagai aset bangsa. Untuk
mengoptimalkan dan memaksimalkan perkembangan
seluruh sumber daya manusia yang dimiliki, dilakukan
melalui pendidikan, baik melalui jalur pendidikan
formal maupun jalur pendidikan non formal.
Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang
memasuki era yang ditandai dengan gencarnya inovasi
teknologi, sehingga menuntut adanya penyesuaian
sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia
kerja. Pendidikan harus mencerminkan proses
memanusiakan manusia dalam arti
mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya
menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat luas. Salah satu
lembaga pada jalur pendidikan formal yang
menyiapkan lulusannya untuk memiliki keunggulan di
dunia kerja, diantaranya melalui jalur pendidikan
kejuruan yaitu SMK.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dirancang
untuk menyiapkan peserta didik atau lulusan yang siap
memasuki dunia kerja dan mampu mengembangkan
sikap profesional di bidangnya. Namun Sekolah
Menengah Kejuruan dituntut bukan hanya sebagai
penyedia tenaga kerja yang siap bekerja pada lapangan
kerja yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha atau
26
dunia industri,serta mampu mengembangkan diri
melalui wirausaha.
Kebijakan pembangunan pendidikan Nasional
tahun 2010-2014 diantaranya adalah penyediaan dan
peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan
sistem pembelajaran SMK berkualitas yang berbasis
keunggulan lokal dan relevan dengan kebutuhan
daerah yang merata di seluruh provinsi, kabupaten,
dan kota. Salah satu SMK yang didirikan dan
dikembangkan berbasis keunggulan lokal daerah
adalah SMK Negeri Wonosalam Jombang.
SMK Negeri Wonosalam berlokasi di Jalam
Anjasmoro, Desa Wonosalam, Kecamatan
Wonosalam, Jombang. SMK Negeri Wonosalam
membuka tiga kompetensi keahlian, yaitu Teknik
Kendaraan Ringan, Agribisnis Tanaman Perkebunan,
dan Jasa Boga, dengan jumlah siswa sebanyak 425
siswa yang tersebar di 14 kelas pada tahun ajaran
2014/2015. Tenaga pengajar atau guru sebanyak 49
orang, terdiri dari 34 orang guru tetap (PNS/CPNS)
dan 15 orang guru tidak tetap atau honorer. Dari total
jumlah guru tersebut 21 diantaranya berada pada
golongan III dengan rentangan usia guru 27-46 tahun,
sehingga memiliki banyak kesempatan untuk
meningkatkan jenjang karirnya. Dari dokumen data
profil sekolah diketahui jenjang pendidikan guru
SMKN Wonosalam mayoritas sarjana (S1) yaitu
sebanyak 30 orang, dari jumlah tersebut diketahui
terdapat 23 orang yang berlatar belakang sarjana
pendidikan dan 7 orang (23%) berlatar belakang non
kependidikan. Meskipun mayoitas guru berlatar
belakang sarjana pendidikan, namun tidak semua
karya ilmiah atau skripsi yang disusun para guru
mengambil tema pendidikan sehingga hal ini
berpengaruh pada pemahaman dan kemampuan guru
untuk melakukan penelitian terutama penelitian
tindakan kelas (PTK).
Terkait dengan berlakunya Permendiknas Nomor
35 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya maka
guru dituntut harus aktif membuat karya inovatif
berupa penelitian (PTK), karya tulis ilmiah dan
sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu
Enik Indartik, S.Pd selaku wakil kepala sekolah
akademik, beliau menyampaikan bahwa pada
umumnya guru disini agak terlambat proses kenaikan
pangkatnya karena terkendala belum memiliki
penelitian dan karya ilmiah yang diseminarkan atau
diterbitkan dalam jurnal. Kondisi ini menimbulkan
kekhawatiran dari beberapa guru di SMK Negeri
Wonosalam, mengingat sejauh ini mereka tidak pernah
memperoleh sosialisasi tentang PTK dan mereka
berharap ada lembaga yang dapat memberikan
informasi atau pelatihan terkait kegiatan penelitian
(PTK). Minimnya pengetahun guru tentang PTK
berdampak pada kurangnya pengalaman mereka untuk
melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah.
PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru
di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri (atau
dibantu mitra), dengan tujuan untuk memperbaiki
kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa
meningkat. Tujuan penelitian ini adalah memperbaiki
dan meningkatkan kualitas pembelajaran serta
membantu memberdayakan guru dalam memecahkan
masalah pembelajaran di kelas[1]. Deskripsi di atas
menunjukkan untuk melakukan PTK guru harus
memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah
pembelajaran yang dihadapi, menganalisis akar
permasalahannya dan memikirkan ide kreatif atau
inovatif untuk memecahkan permasalahan tersebut,
dimana semua itu perlu dipahami dengan baik oleh
guru. Guru juga dituntut untuk mampu menuangkan
hasil pemikiran dan mewujudkannya dalam bentuk
proposal penelitian, hingga menyusun artikel ilmiah.
Berdasarkan pemaparan di atas diketahui
permasalahan yang dihadapi oleh mitra atau pihak
sekolah adalah mayoritas guru tidak memiliki
pemahaman dan pengalaman menyusun proposal serta
melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK). Dari
identifikasi masalah di atas maka alternatif pemacahan
masalah yang bisa dilakukan adalah dengan
memberikan pelatihan berupa pembekalan materi
tentang PTK, memberikan pendampingan kepada guru
dalam membuat proposal PTK yang selanjutnya dapat
diterapkan pada proses pembelajaran di kelas.
Pelatihan efektif bukan sekedar mengatakan atau
menunjukkan kepada seseorang bagaimana
melakukan sebuah tugas tetapi upaya untuk
mentransfer keterampilan dan pengetahuan sehingga
peserta pelatihan menerima dan melakukan latihan
tersebut pada saat melakukan pekerjaannya[4].
Target yang diharapkan setelah pelaksanaan
kegiatan pengabdian berupa pelatihan penyusunan
proposal PTK adalah guru memiliki pemahaman PTK
dengan lebih baik, guru memiliki kemampuan
mengidentifikasi masalah pembelajaran yang
dihadapi, memiliki ide kreatif memecahkan
permasalahan selama proses pembelajaran dan dapat
menuangkannya dalam bentuk proposal PTK. target
yang diharapkan setelah pelaksanaan kegiatan
pengabdian berupa pelatihan penyusunan proposal
PTK adalah guru memiliki pemahaman PTK dengan
lebih baik, guru memiliki kemampuan
mengidentifikasi masalah pembelajaran yang
dihadapi, memiliki ide kreatif memecahkan
permasalahan selama proses pembelajaran dan dapat
menuangkannya dalam bentuk proposal PTK.
Tujuan yang diharapkan melalui kegiatan
pelatihan ini adalah kemampuan atau kompetensi guru
dalam menyusun proposal menjadi lebih baik, mampu
melakukan penelitian, guru akan termotivasi untuk
melakukan inovasi pembelajaran, memecahkan
masalah pembelajaran serta menumbuhkembangkan
budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga
tercipta sikap proaktif dalam melakukan perbaikan
mutu pendidikan dan pembelajaran secara
berkelanjutan (sustainable), disamping memberi
dampak positif pula terhadap peningkatan jenjang
karir mereka. Adapun luaran yang dihasilkan berupa
draf proposal PTK dan respon guru terhadap kegiatan
27
pelatihan yang dilakukan. Luaran berupa proposal
PTK relevan dengan mata pelajaran atau kompetensi
dasar (KD) yang muncul pada pembelajaran semester
berikutnya.
2. METODE
Metode yang dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan adalah memberikan pelatihan berupa
pembekalan materi tentang konsep PTK, pembuatan
proposal dan pendampingan penyusunan proposal
PTK. Waktu pelaksanaan kegiatan disepakati
dilakukan dua hari. Tempat kegiatan dilakukan di
SMK Negeri Wonosalam sebagai wujud partisipasi
mitra terhadap kegiatan yang dilakukan. Jumlah
peserta yang terlibat sebanyak 28 orang. Penetapan
jumlah peserta ini status guru sebagai Aparatur Sipil
Negara (ASN). Berikut ini adalah tahapan metode
pelaksanaan kegiatan pengabdian secara rinci yang
akan dilakukan:
Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan Pelatihan di SMK
Negeri Wonosalam
No Waktu Pelaksanaan Kegiatan
1 Pertemuan pertama
(Minggu I)
Pembukaan
Penyampaian materi tentang:
Konsep PTK
Prosedur PTK
Proposal PTK Pendampingan menyusun
proposal PTK 2 Pertemuan kedua
(Minggu II)
Penyampaian materi tentang
artikel ilmiah
Evaluasi kegiatan
Penutup
Pelaksanaan kegiatan dilakukan selama dua kali
pertemuan, pada pertemuan pertama (minggu I)
peserta mendapat materi tentang PTK hingga
pendampingan menyusun proposal PTK. Proses
pendampingan terus dilakukan dengan komunikasi
secara elektronik (melalui email, SMS, WA, dan
sebagainya). Selanjutnya pada pertemuan kedua
(minggu II) kegiatan ditekankan pada evaluasi tentang
hasil proposal serta proses pelatihan secara
keseluruhan. Materi disusun sesuai topik dalam bentuk
handout dan media presentasi (ppt) sehingga
mempermudah peserta untuk memahami dan
menyimak penjelasan dari tim pelaksana.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan pengabdian diawali dari koordinasi tim
dengan sekolah sasaran yaitu SMK Negeri Wonosalam
yang diwakili oleh Kepala Sekolah Bapak Sulikan,
S.Pd, MM dan Waka bidang Kurikulum Ibu Enik
Indartik, S.Pd. pada hari Sabtu tanggal 17 September
2016. Kegiatan ini diawali dari perkenalan, penjelasan
maksud dan tujuan pengabdian dan waktu kegiatan.
Hasil dari pertemuan koordinasi berupa ijin yang
diberikan oleh pihak sekolah, topik materi yang
diberikan berdasarkan kebutuhan guru, waktu dan
teknis pelaksanaan kegiatan, jumlah guru yang terlibat
dalam pelatihan serta luaran kegiatan.
Waktu pelaksanaan pengabdian disepakati selama
dua hari yaitu Sabtu, tanggal 1 dan 15 Oktober 2016
mulai pukul 10.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB.
Pelaksanaan pelatihan dengan jeda dua minggu untuk
memberi kesempatan peserta menyusun proposal PTK
sehingga di pertemuan berikutnya peserta telah
memiliki draft proposal untuk dibahas dalam
workshop. Topik materi yang akan disampaikan
berupa Model Pembelajaran Inovatif, Pengembangan
Perangkat Pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) dan Pengelolaan Bengkel/Laboratorium.
Adapun jadwal pengabdian dijabarkan pada Tabel 2
berikut ini:
Tabel 2. Jadwal Pelaksaaan Pelatihan di SMK Negeri
Wonosalam
Hari/Tanggal Jam Kegiatan
Sabtu
1 Okt 2016
10.00 - 10.15
10.15 - 12.00
12.00 - 13.00
13.00 – 15.00
15.00 – 16.00
Pembukaan
Model Pembelajaran
Inovatif Ishoma
Pengemb. Perangkat
Pembelajaran PTK Tugas: Menyusun proposal
PTK
Sabtu 15 Okt 2016
10.00 - 12.00 12.00 - 13.00
13.00 – 14.30
14.30 – 15.30 15.30 – 16.00
Workshop PTK Ishoma
Pengelolaan Bengkel/Lab
Evaluasi kegiatan Penutup
Guru yang terlibat sebagai peserta sebanyak 28
orang. Seluruh peserta adalah guru telah berstatus
ASN (Aparatur Sipil Negara) dari rumpun keahlian
Teknik Kendaraan Ringan, Agribisnis Tanaman
Perkebunan, dan Jasa Boga.
Kegiatan pengabdian pada pertemuan pertama
dilaksanakan hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2016
dihadiri oleh 21 peserta. Pertemuan di mulai dari
pembukaan oleh Kepala SMK Negeri Wonosalam.
Penyampaian materi tentang model pembelajaran
inovatif dilakukan melalui diskusi dan tanya jawab.
Proses diskusi dimaksudkan untuk menggali atau
mendapat informasi mengenai kegiatan pembelajaran
yang dilakukan peserta selama ini. Penjelasan materi
mengacu pada pertanyaan yang diajukan oleh peserta
karena pada dasarnya peserta telah berpengalaman
dalam pembelajaran.
Dari hasil pertemuan pertama diketahui bahwa
terdapat tiga peserta yang pernah mengikuti pelatihan
sertifikasi guru dan membuat proposal PTK sebagai
tugas akhir dari pelatihan tersebut. Namun, proposal
tersebut belum dievaluasi sehingga guru tidak pernah
menggunakannya untuk penelitian tindakan kelas.
Diketahui pula masih banyak guru yang belum pernah
menyusun proposal PTK sehingga pada akhir
pertemuan pertama seluruh peserta ditugaskan
menyusun proposal PTK agar dapat dievaluasi di
pertemuan kedua. Waktu yang diberikan untuk
mengerjakan proposal selama dua minggu dan pada
rentang waktu tersebut tim pelaksana memberi
kesempatan peserta untuk melakukan konsultasi
secara online melalui pesan singkat (short massage
service), whattsup, facebook atau email.
28
Pelatihan pada pertemuan kedua dihadiri oleh
semua peserta yaitu 28 guru. Kegiatan pertemuan
kedua berlangsung selama enam jam. Kegiatan
dimulai dari berupa workshop dan evaluasi dari
proposal PTK yang disusun oleh peserta, penyampaian
materi menyusun artikel ilmiah, pengelolaan bengkel
serta penutup.
Pada kegiatan workshop, para peserta
mempresentasikan proposalnya selanjutnya ditelaah
oleh tim pelaksana. Jika pada pertemuan pertama
diketahui hanya tiga peserta yang pernah menyusun
proposal PTK maka pada pertemuan kedua seluruh
peserta (100%) telah membuat proposal PTK. Hasil
pemaparan proposal peserta, diketahui beberapa
peserta belum mampu mengidentifikasi permasalahan
pembelajaran yang dihadapi dengan baik (35,7%),
media pembelajaran yang digunakan sangat baik
(53,57%), perlunya dilengkapi instrumen penilaian
dan perangkat pendukung lainnya. Hasil ini
menunjukkan adanya peningkatan kemampuan peserta
sebelumnya dimana hanya 28,6% yang dapat
mengidentifikasi masalah pembelajaran di kelasnya.
Masukan serta saran yang diberikan kepada peserta
menjadi acuan untuk melakukan revisi terhadap
proposal yang telah disusun. Hal ini menggambarkan
bahwa bentuk pelatihan berupa coaching dan
counselling. Dalam konteks prilaku, pembimbingan
dapat dicapai dengan lebih baik jika melibatkan
hubungan yang sehat antara fasilitator selaku coach
selama peiode waktu mereka mengerjakan pekerjaan
mereka[6].
Selain workshop dan reviu proposal, materi
pelatihan dilanjutkan dengan penyusunan artikel
ilmiah. Materi ini disampaikan guna menindaklanjuti
hasil penelitian tindakan kelas agar dapat disusun
menjadi artikel yang bisa dipublikasikan dalam jurnal
ilmiah nasional yang terakreditasi maupun belum
terakreditasi. Melalui penyampaian materi ini
diharapkan dapat membantu peserta mendapatkan
angka kredit maksimal untuk kenaikan pangkat. Tim
pelaksana juga memberikan contoh artikel serta contoh
jurnal pendidikan untuk publikasi.
Materi terakhir yang disampaikan yaitu
pengelolaan bengkel atau laboratorium. Bengkel atau
laboratorium merupakan sarana pendukung utama dari
pembelajaran yang berlangsung di SMK Negeri
Wonosalam karena lulusan sekolah ini diharapkan
memiliki keterampilan atau keahlian yang sesuai
kompetensi pada level 2 (operator). Pengelolaan
laboratorium sangat dibutuhkan oleh guru agar siswa
dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan secara
berlangsung di laboratorium. Pemahaman akan materi
dilakukan dengan memberikan handout presentasi
kepada seluruh peserta.
Pada akhir pertemuan, tim pelaksana membagikan
angket respon terhadap kegiatan yang dilakukan.
Pengisian angket tersebut dimaksudkan untuk
mendapat saran bagi perbaikan serta sebagai dasar
tindaklanjut kegiatan selanjutnya. Respon kegiatan
pelatihan meliputi penilaian tentang materi dan
penilaian terhadap instruktur. Kriteria penilaian
menggunakan skala likert dengan rentang penilaian
sangat baik higga tidak baik. Hasil penilaian peserta
terhadap angket respon pelatihan secara rinci
sebagaimana pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Hasil Penilaian Angket Respon Peserta
No Aspek yang dinilai Krteria Penilaian (%)
Sgt
baik
Baik Ckp
baik
Tdk
baik
1 Kesesuaian materi
dgn kebut. peserta
67 33 0 0
2 Kedalaman,
kejelasan dan
kemutakhiran materi
58 42 0 0
3 Tampilan dan
kesesuaian media
dgn materi
42 58 0 0
4 Kemampuan
instruktur
menjelaskan materi
67 33 0 0
5 Kemampuan
instruktur menjawab
pertanyaan
75 25 0 0
6 Kemampuan
instruktur
memotivasi peserta
75 25 0 0
Dari Tabel 3, diketahui secara umum seluruh
peserta memberikan respon yang positif terhadap
kegiatan pelatihan. Rentang penilaian peserta pada
kriteria baik dan sangat baik, tidak ada peserta yang
menilai cukup baik dan tidak baik. Aspek kesesuaian
materi dengan kebutuhan peserta dan kemampuan
instruktur menjelaskan materi oleh 67% peserta sangat
baik. Kemampuan instruktur menjawab pertanyaan
dan memotivasi peserta dinilai oleh 75% peserta
sangat baik. Kriteria penilaian baik terutama pada
tampilan dan kesesuaian media dengan materi yaitu
58% peserta. Data tersebut menunjukkan perlunya
perbaikan pada aspek tampilan dan kesesuaian media
dengan materi.
Hasil pengisian angket juga menunjukkan bahwa
mayoritas peserta berharap agar pelatihan penyusunan
proposal PTK dilakukan secara berkala atau
berkesinambungan. Saran lainnya adalah adanya
tindak lanjut dari kegiatan yang dilakukan dan
menambahkan contoh-contoh penelitian tindakan
kelas.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Pelaksanaan kegiatan pengabdian berupa
pelatihan secara umum telah terlaksana dengan baik.
Pelatihan dilaksanakan dengan dua kali pertemuan
selama dua bulan. Hasil pelatihan menunjukkan
kemampuan guru untuk mengidentifikasi masalah
meningkat sebanyak 35,7%. Respon peserta terhadap
pelatihan menilai sangat baik dan baik. Peserta menilai
sangat baik untuk aspek kesesuaian materi, kedalaman
materi, kemampuan instruktur menjelaskan materi,
menjawab pertanyaan dan memotivasi peserta.
29
4.2 Saran
Saran dari kegiatan yang telah dilakukan adalah
perlunya tindak lanjut dari kegiatan hingga tercapai
laran berupa laporan atau artikel yang siap
dipublikasikan.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Aqib, Zaenal, (2008). Penelitian Tindakan Kelas.
Bandung: Yrama Widya.
[2]. Arikunto, Suharsimi, (2003). Dasar-Dasar
Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
[3]. Arikunto. Suhardjono. Supardi, (2006). Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara.
[4]. Donalson, Les, dan Edward E Scannel, (1993).
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
[5]. Gulo, W, (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
[6]. Sule, Ernie Tisnawati and Saefullah, (2009).
Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
30
31
Pengembangan Modul Pembelajaran Berbasis Proyek untuk
Meningkatkan Higher Order Thinking Skills
Danang Tandyonomanu1*), Damajanti Kusuma Dewi2 1. Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Surabaya. Email: danangtandyonomanu@unesa.ac.id 2. Jurusan Psikologi, Universitas Negeri Surabaya. Email: damajantikusuma@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: danangtandyonomanu@unesa.ac.id
ABSTRACT
The purpose of this research is to improve the high-level thinking skills of students. Based on experience, the
learning outcomes of students who demonstrated through formative and summative tests showed that they were
more demonstrate low-level thinking skills, but failed to answer questions that require higher-level thinking skills.
This study developed a project-based learning modules to guide the implementation of learning. With the method
of comparison to the development of learning outcomes found that this learning module can increase high-level
thinking skills. However, in the case of the module is not a component that gives the dominant contribution, there
are other components that contribute to improving HOTS.
Key Words: learning modul, HOTS, Project based learning
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa.
Berdasarkan pengalaman, hasil belajar mahasiswa yang ditunjukkan melalui tes formatif dan sumatif
menunjukkan bahwa mereka lebih menguasai keterampilan berpikir tingkat rendah, namun gagal dalam
menjawab pertanyaan yang membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Penelitian ini mengembangkan
modul yang berbasis strategi pembelajaran berbasis proyek untuk memberi pedoman pelaksanaan pembelajaran.
Dengan metode perbandingan terhadap perkembangan hasil belajar ditemukan bahwa modul pembelajaran ini
dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Namun, modul dalam hal bukan komponen yang
memberi kontribusi dominan, terdapat komponen lain yang turut berkontribusi untuk meningkatkan HOTS.
Kata kunci: modul pembelajaran, HOTS, pembelajaran berbasis proyek
1. PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir mahasiswa peserta matakuliah
psikologi pendidikan. Matakuliah ini merupakan
matakuliah wajib bagi prodi kependidikan. Setiap
prodi kependidikan memiliki kurikulum yang
bervariasi, beberapa memberikan matakuliah dasar
seperti pengantar/dasar psikologi; beberapa
memberikan matakuliah teori belajar/pembelajaran;
dan beberapa tidak memberikan kedua matakuliah
tersebut.
Berdasarkan hasil ujian formatif dan sumatif
pada tahun sebelumnya ditemukan bahwa mahasiswa
masih belum mampu mengembangkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi (Higher Order thinking
skills/HOTS). Berdasarkan taksonomi Bloom,
mahasiswa dapat mempratekkan kemampuan pada
tingkat ingatan dan pemahaman, namun sedikit yang
bisa mengaplikasikan dan bahkan menerapkan pada
tingkat yeng lebih tinggi: menganalisis, mengevaluasi
dan melakukan sintesa/kreasi.
Modul merupakan media yang dipilih untuk
mengatasi keragaman pada pelaksanaan perkuliahan.
Modul memberikan kemudahan kepada pengajar dan
mahasiswa karena dapat menyajikan materi dengan
lebih terarah dan terstruktur. Pemanfaatan modul
dengan strategi yang tepat juga dapat meningkatkan
motivasi dan mendorong berpikir kritis[1].
Pembelajaran berbasis proyek (Project based
learning/PjBL) adalah strategi yang dipilih untuk
dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi, seperti melakukan sintesa, evaluasi, prediksi
dan refleksi[2]. Model pembelajaran PjBL ini juga
dapat meningkatkan keterlibatan siswa[3] baik
mahasiswa yang memiliki ketertarikan yang rendah
terhadap materi hingga yang tinggi. Metode ini dapat
juga dipergunakan untuk meningkatkan motivasi
belajar[4].
2. METODE
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga tahun.
Pada dua tahun awal adalah proses untuk
mengembangkan modul hingga menjadi prototipe
produk yang siap digunakan. Sedangkan tahun ketiga
adalah desiminasi pemanfaatan dari modul yang
dikembangkan, yang dalam hal ini mengukur
efektivitas penggunaan modul sesuai tujuan yang
diinginkan, yaitu meningkatkan HOTS. Efektivitas ini
diukur dan diuji peningkatan secara bertahap sesuai
dengan tahapan pembelajaran yang dilaksanakan.
Analisis menggunakan uji-t. Adapun rancangan
analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:
32
Gambar 1. Alur Analisis Data
Tabel 1. Langkah Analisis Data
Analisis Kegiatan
t-1 analisis perbedaan tingkat pengetahuan awal ke pemahaman/C3
t-2 analisis perbedaan tingkat pemahaman/C3 ke
analisis/C4 t-3 analisis perbedaan tingkat analisis/C4 ke
evaluasi/C5
t-4 analisis perbedaan tingkat evaluasi/C5 ke sintesis/C6
t-5 analisis perbedaan tingkat pengetahuan awal hingga akhir
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi Modul Pembelajaran
Sesuai dengan prinsip modul[5], di mana
1. self-instructional, mampu membelajarkan siswa
secara mandiri.
Oleh sebab itu, modul harus
a. berisi tujuan yang jelas,
b. berisi materi yang dikemas dalam unit,
c. berisi contoh dan ilustrasi,
d. berisi soal-soal latihan,
e. materi disesuaikan dengan kondisi pengguna,
f. menggunakan bahasa yang sederhana dan
komunikatif,
g. berisi rangkuman,
2. self-contained, seluruh materi pembelajaran dari
satu unit kompetensi atau sub kompetensi yang
dipelajari terdapat dalam satu modul secara utuh.
3. user friendly, instruksi dan paparan bersifat
membantu pemakai, penggunaan bahasa yang
sederhana, mudah dimengerti dan menggunakan
istilah yang user friendly
Berdasarkan konsep-konsep modul di atas, maka
modul pembelajaran berbasis proyek, terbagi menjadi
4 bagian, yaitu:
Bagian 1, berisi tentang definisi psikologi,
pembelajaran dan psikologi pendidikan.
Bagian 2, berisi tentang perkembangan peserta
didik, yang di bagi menjadi beberapa sub bagian, yaitu:
a. Perkembangan (definisi, ciri, prinsip, tugas
perkembangan)
b. Perkembangan kognitif
c. Perkembangan kepribadian
d. Perkembangan moral
Bagian 3, berisi tentang teori belajar, yang dibagi
menjadi beberapa sub bagian, yaitu:
a. Belajar (definisi, ciri, faktor yang mempengaruhi)
b. Teori belajar, yang dibedakan menjadi sub-sub
bagian, yaitu:
1) teori belajar behavior, mencakup teori belajar dari
Thorndike, Skinner dan Pavlov
2) teori belajar kognitif, mencakup teori belajar dari
Gestalt dan Piaget
Bagian 4, berisi tentang gejala-gejala kejiwaan
yang menimbulkan kesulitan belajar, terbagi menjadi
beberapa sub, yaitu:
a. inteligensi
b. motivasi
Tiap bagian terdiri dari sub-bagian, di mana tiap
sub bagian terdiri dari :
1. deskripsi materi
tiap deskripsi materi diakhiri dengan :
a. rangkuman, yang terdiri dari beberapa kata
b. refleksi, sebagai kegiatan untuk
menginterpretasikan materi dan mencari contoh sesuai
dengan materi refleksi berfungsi sebagai scaffolding,
untuk memahami materi sesuai tujuan pembelajaran
2. kesimpulan, kesimpulan umum dari setiap sub
bagian
3. latihan
4. daftar pustaka
3.2 Efektivitaas Modul Pembelajaran Berbasis
Proyek
Modul pembelajaran berbasis proyek
dilaksanakan pada empat kelas dengan mahasiswa
sejumlah 123 orang. Pada setiap tahap pembelajaran
dilakukan evaluasi formatif untuk mengetahui tingkat
pencapaian hasil belajar. Evaluasi formatif dilakukan
setelah mahasiswa diberikan perlakuan sesuai dengan
tahapan kemampuan berpikir. Hasil pengujian
terhadap peningkatan kemampuan berpikir pada setiap
tahap dapat dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2. Analisis uji beda
Analisis Paired Samples Test
t Sig. (2-tailed)
t-1 -10.064 .000 t-2 -12.343 .000
t-3 -5.106 .000
t-4 6.989 .000 t-5 -17.293 .000
Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan kemampuan berpikir mahasiswa dengan
penerapan modul pembelajaran berbasis proyek.Pada
analisis t-1 adalah melakukan perbandingan dengan
melihat kemampuan awal mahasiswa yang masih
berada pada level ingatan (C1) dan pemahaman (C2)
dapat ditingkatkan dengan menggunakan modul untuk
mencapai kemampuan aplikatif (C3).
Analisis t-2 yang membandingkan apakah terjadi
peningkatan keterampilan berpikir dari aplikatif (C3)
menjadi keterampilan berpikir analitis (C4). Analisis
33
menunjukkan terjadi peningkatan dari perbandingan
hasil belajar setelah penerapan modul.
Demikian juga dengan analisis t-3, t-4 dan t-5,
bahwa perlakuan untuk bisa meningkatkan
keterampilan berpikir untuk mencapai tingkatan yang
lebih tinggi melalui tahapan-tahapan seperti dalam
modul secara signifikan dapat meningkatkan pola
berpikir dari tahap akhir keterampilan berpikir tingkat
rendah, secara bertahap dapat menjadi keterampilan
berpikir tingkat tinggi, yaitu dari aplikatif, analitis,
evaluatif, dan sintesis.
Tabel 3. Analisis Korelasi
Analisis Paired Samples Correlations Treatment
Contribution Corelation Sig.
t-1 .236 .008 5.56% t-2 .316 .000 10%
t-3 .517 .000 26.73%
t-4 .170 .060 - t-5 .070 .444 -
Pada analisis terhadap korelasi (tabel 3) pada
kegiatan t-1 yaitu mencari korelasi antara hasil pre test
dengan bagian pendahuluan modul yang menekankan
pada keterampilan berpikir tingkat aplikasi
menunjukkan bahwa modul memberikan kontribusi
pada capaian kemampuan aplikasi sebesar 5.56%,
sedangkan 94,66% kemampuan berpikir aplikasi
dipengaruhi oleh hal lain selain modul yang
dipergunakan.
Pada analisis terhadap t-2 terdapat peningkatan
korelasi antara keterampilan berpikir aplikatif (C3)
sebelum penggunaan modul dengan ketermampilan
berpikir analitis (C4) pada saat setelah penggunaan
modul. Peningkatan peran modul pembelajaran
berbasis proyek sebesar 10% dalam membentuk C4,
namun 90% ditentukan oleh hal lain di luar
penggunaan modul. Demikian juga pada analisis t-3,
di mana membandingkan peningkatan keterampilan
berpikir dari analitis (C4) menjadi evaluatif (C5).
Terjadi peningkatan kontribusi modul dalam
pencapaian C5, yaitu menjadi sebesar 26.73%,
sedangkan 73.27% ditentukan oleh hal lain.
Pada tahapan t-1, t-2 dan t-3 terdapat peningkatan
kontribusi modul terhadap peningkatan ketermpilan
berpikir tingkat tinggi yaitu pada keterampilan berpikir
analitis dan evaluatif. Peningkatan kontribusi modul
ini karena terjadi adanya proses pembiasaan terhadap
penggunaan modul pembelajaran berbasis proyek.
Dalam setiap tahapan terdapat proses refleksi untuk
menginterpretasikan materi dan pencarian contoh yang
sesuai. Refleksi tersebut juga berfungsi sebagai
scaffolding untuk memahami materi dan sebagai dasar
untuk melanjutkan pada materi dengan tingkatan lebih
tinggi.
Namun demikian kontribusi modul tersebut tidak
dominan. Terdapat faktor lain di luar modul yang lebih
dominan berperan dalam pembentukan keterampilan
berpikir tingkat tinggi. Bahkan pada analisis t-4 yang
melihat peningkatan keterampilan berpikir menuju
tingkat sistesis, dan juga analisis t-5 yang
membandingkan secara keseluruhan tahapan dengan
membandingkan hasil pre-test dan tugas akhir yang
mengacu pada keterampilan sintesis/kreasi tidak
sepenuhnya modul pembelajaran memiliki kontribusi.
Keterampilan sistesis/kreasi (C6) sepenuhnya
dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar modul yang
digunakan.
Dalam pembelajaran terdapat komponen
pembelajaran yang saling terkait, yaitu tujuan
pembelajaran, materi, strategi pembelajaran, media,
dosen, mahasiswa dan evaluasi. Modul pembelajaran
berbasis proyek, merupakan salah satu bentuk media
pembelajaran yang di dalamnya memuat tujuan,
materi, strategi pembelajaran dan sekaligus evaluasi.
Modul lebih bersifat sebagai media mandiri. Dalam
setiap tahapan pengembangan kemampuan berpikir
memiliki tujuan, materi dan evaluasi yang berbeda.
Meskipun komponen strategi masih memiliki
kesamaan, yaitu pembelajaran berbasis proyek yang
menjadi strategi utama dalam pengembangan modul.
Selain modul terdapat komponen pembelajaran
lainnya, yaitu dosen dan mahasiswa. Modul ini tidak
hanya digunakan oleh dosen yang sama, melainkan
oleh beberapa dosen pengampu matakuliah psikologi
pendidikan. Setiap dosen memiliki kebutuhan,
kemampuan dan motivasi yang berbeda. Demikian
juga mahasiswa. Mereka memiliki tingkat intelegensi,
latar belakang pengetahuan dan juga memiliki
kecepatan belajar yang berbeda. Dalam penelitian ini
tidak semua komponen yang terlibat dalam proses
pembelajaran menjadi variabel yang diamati. Hanya
modul dengan strategi pembelajaran tertentu yang
diamati, sedangkan komponen lainnya tidak. Hal ini
yang menjadikan kontribusi modul tidak menjadi
komponen yang dominan dalam meningkatkan HOTS
mahasiswa.
4. KESIMPULAN
Modul pembelajaran berbasis proyek dapat
meningkatkan HOTS mahasiswa. Namun modul tidak
secara dominan sebagai satu-satunya komponen yang
berkontribusi terhadap peningkatan peningkatan
HOTS.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Bartcher, K, Gould, B and Nutter, S. (1995). Increasing
student motivation through project-based learning.
Master’s Research Project, Saint Xavier andIRI Skylight.
[2]. Belland, B.R., Ertmer, P.A, and Simons, K.D. (2006).
Perceptions of the value of problem-based learning
among students with special needs and their
teacher. The Interdisplinary Journal of Problem-
based Learning, 1(2), 1-18; Brush, T and Saye, J.
(2008). The Effects of multimedia supported problem-
base inquiry on student engagement, emphaty, and
assumtions about history. The Interdisplinary Journal of Problem-based Learning, 2(1), 21-56
[3]. Horan, C., Lavaroni, C., and Beldon, P. (1996).
Observation of Tinker Tech Program students for
34
Critical Thinking and social Participation Behaviots. Novato, CA: Buck Institude for Education
[4]. Kasiran, Siti Ezainora, Johari Surif, Nor Hasniza
Ibrahim dan Mahani Mokhtar. (2012). Contruction of
Modul Celik Mol to Increase The Effectivenest of
the Process of Teaching and Learning Science,
Learning Science and Mathematic, Issue 7, November 2012, 12-21
[5]. Masek, Alias Bin. (2012). The Effects of Problem
Based Learning on Knowledge Acquistion, Critical
Thinking and Instrinsic Motivation of Electrical
Engineering Students. Faculty of Technical and
Vocational Education University Tun Hussein Onn
Malaysia. Diakses 23 Juni 2013:
http://eprints.uthm.edu.my/2912/1/ALIAS_BIN_MASEK_1.pdf
[6]. Smaldino, Sharon E., Lowther, Deborah l.,and Russell,
James D. (2012). Instructional Technology and
Media for Learning.10th Eds. Boston: Parson.
35
The Influence of Inquiry Based Learning on Students' Knowledge of
Control Systems
Diah Wulandari 1*), Muhamad Syariffuddien Zuhrie 2
1 Jurusan Teknik Mesin Unesa, Unesa, Surabaya. Email: diahwulandari@unesa.ac.id 2 Jurusan Teknik Elektro, Unesa, Surabaya. Email: zuhrie.syarif@gmail.com
*)Alamat korespondensi: Email: diahwulandari@unesa.ac.id
ABSTRACT
The purpose of this research is to know the influence of the use of the inquiry learning using learning materials
with the help of software delphi. Development of learning in the form of learning modules and trainer on courses
Setting Techniques to increase the knowledge and ability of the student. Validity and effectiveness of quality
learning materials at the time used in the learning process can be measured with a data analysis of the results of
the observations the observer during the learning. Data pre test and post test were analyzed by t-test to find out
the capacity of students. The results showed that materials meet the criteria effectively. From this data are then
processed and analyzed so that it can be concluded that materials meet the criteria effectively. The results of the
application of learning modules on the subject of the value of formative tests with an average of successively 87.5
for subject 1, as well as 86.25 for subject 2. The difference between before and after the application of the module
can be seen from the magnitude of the difference between test results of ttest value of pre-and post test-test subject
1 and 2 respectively, i.e. 19.85 9.63 and both of which stated that the use of modules to improve learning
achievements of the influential students. Based on the results obtained, it can be concluded that the materials being
developed to meet the criteria of valid, effective, and can increase the knowledge and skills of the students.
Observation on the activity of Professor overall is good. On student activities, Observation skills to formulate the
problem, hypothesis, gather data, formulate hypotheses, analyze test average is at a good level.
Key Words: Module, Trainer, inquiry, Delphi, Valid
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pembelajaran inkuiri menggunakan
bahan ajar dengan bantuan software delphi. Pengembangan perangkat pembelajaran yang berupa modul ajar
dan trainer pada mata kuliah Teknik Pengaturan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa.
Kevalidan dan keefektifan kualitas bahan ajar pada saat digunakan dalam proses pembelajaran dapat terukur
dengan analisa dari data hasil hasil pengamatan observer selama pembelajaran. Data pre test dan post test
dianalisis dengan t-test untuk mengetahui peningkatan kemampuan mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bahan ajar memenuhi kriteria efektif. Dari data tersebut kemudian diolah dan dianalisa sehingga dapat
disimpulkan bahwa bahan ajar memenuhi kriteria efektif. Hasil penerapan modul pembelajaran pada pokok
bahasan nilai tes formatif dengan rata-rata berturut-turut 87,5 pada pokok bahasan 1, serta 86,25 pada pokok
bahasan 2. Perbedaan yang terjadi antara sebelum dan sesudah penerapan modul dapat dilihat dari besarnya
ttest hasil uji beda antara nilai pre-test dan post-test pada pokok bahasan 1 dan 2 secara berturut-turut yaitu
19,85 dan 9,63 yang keduanya menyatakan bahwa penggunaan modul berpengaruh untuk meningkatkan prestasi
belajar mahasiswa. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang dikembangkan
memenuhi kriteria valid, efektif, dan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Pada
pengamatan aktivitas dosen secara keseluruhan adalah baik. Pada Pengamatan aktivitas mahasiswa, untuk
ketrampilan merumuskan masalah, hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, merumuskan analisa rata-
rata berada pada level baik.
Kata kunci: Modul, Trainer, Inkuiri, Delphi, Valid
1. Introduction
The knowledge and ability of the student should
be able to meet the needs of the world of work, that is
capable of running the industrial process properly. So
the increase in the competence of prospective
graduates always done by agencies or institutions of
education/training.
This research developed modules of learning the
basics of learning-based control system of inquiry by
using the delphi software-oriented industry.
Education of electrical engineering in the development
of which UNESA is closely related to the industry will
always be sued should be able to equip graduates with
the skills standard of qualification, attitudes and
behavior in accordance with the needs of industry or
workplace.
2. The Purpose And Benefits Of Research
Research Objectives
The purpose of this research is to develop a
Module Teaching Engineering settings that use the
Delphi Software Engineering Courses in the settings.
This research resulted in a product that is a teaching
module equipped with props to facilitate
understanding of the given material. The module is
used to provide learning materials that comply with the
36
demands of the curriculum, taking into consideration
the needs of the learners. So learning material has a
conformity between industry needs and the approach
to the learners.
2.1 The Benefits Of Research
Learning materials and props in the form of
equipment "Engineering settings that use the Delphi
Software" would be very beneficial in an attempt of
delivery of material in a more effective and efficient so
as to enhance the skills of students in understanding
and ability in engineering in the Department of
electrical engineering settings UNESA. Props help
convey the concept with a new form. Props allow the
abstract concepts that are presented in the form of
concrete. The material became more concrete so that
students at the lower levels will better understand and
understand what is being taught. Teaching with faster,
can address the problem of the limitations of time and
place, maintaining the concentration of college
students, adding to the sense of power as well as add
freshness in teaching so as to enlarge the interest and
attention of students. Because students get real
experience and independent attitudes can grow on each
student.
3. Review of the literature
Inquiry method is a method of learning that strives
to impart the basics of scientific thinking about the
students, so that in the process of learning is a lot more
students learn by themselves, develop creativity in
solving problems. According to[1], the syntax of
inquiry based learning cycle 5E: Engage, Explore,
Extension, Explanation, Evaluation. Tabel 1.Inquiry Based Learning 5E
No Syntax Teacher Activity
1. Engage Generate interest of students
by means of asking questions
with a phenomenon
encountered
2. Explore Investigations by means of
observation or observation of
various natural phenomena
3. Extension Collect the data relates to the
questions asked
4. Explanation Formulate conclusions based
on the data
5. Evaluation Ask the alleged or possible
answers
The fuzzy logic controller is famous for its
reliability, easy and gives excellent control as
compared to other techniques usually require effort
and funds.
Application of the theory of this logic is able to create
a revolution in technology.
Fuzzy logic contains:
1. Membership Function
2. Representation of Curve Triangle
3. Representation of the curve Trapezoid
4. Representation of the curve shape of the shoulder
5. Representation of the curve-S
Fig 1. Fuzzy Logic
4. Research Methods
4.1 Flowchart
To effect to compose of learning techniques module
settings then do activities as images.
Fig 2. Research flowchart
4.2 The Subject Of Research
The subject of research in the development of
learning the instrumentation and Control Module-
based "Software With Delphi Inquiry Based Learning"
are curriculum development experts, learning module
developers and the students majoring in electrical
engineering UNESA.
4.3 Data collection and data analysis techniques
The initial collection of data obtained from
observations in the field and discussions. So that the
desired skills known by the industrialized world. It
also acquired a formula formulas topics module
materials engineering settings that follow the changing
times. 5. Results and Discussion
Based on data obtained stating that overall in the
preparation of the resulting module is good in terms of
characteristics, content, language, illustrations, format
and cover are valid. It is seen from the analysis of the
average score given by the 3 validator before module
is used for data retrieval research.
37
Based on the data obtained shows that the
application of the learning modules on each of these
subjects is effective. This is evidenced by the average
value of a student good post-test in succession is 87.5
for subject 1 and subject 2 at 86.25.
5.1The difference between before and after the
application of the learning modules
The difference between before and after the
application of module teaching techniques of settings
in electrical engineering can be seen based on the
difference between the value of the test results of the
pre-test and post-test for 2 times meeting on the use of
formative tests on modules 1 and 2. From the
calculations showed that the magnitude of ttest= 19.85
and count is greater than the critical value of the
distribution of t = 1.7033. As such, then the use of the
module can be expressed efficiently to improve the
results of student learning. The second test shows that
the magnitude of ttest = 9.63. As such, then the use of
the module can be expressed effectively to improve the
results of student learning.
The observations refers to the cycle of learning the
syntax inquiry 5E (Engage, Explore, Extension,
Explanation, Evaluation). According to Ibrahim
(2010) which is divided into the stages are presented
in the form of a percentage of each score. Learning
activities that have been implemented by the Lecturers
seen from several aspects, namely implementation,
management of time and observation of the
atmosphere of a class consisting of 16 aspects of the
meeting of 1st overall is good. It can be seen from the
value that has been given the observatory was 50% (8
aspects) of value 3 (good) and 50% (8 aspects) of value
4 (very good).
Learning activities that have been implemented by
the Lecturers seen from several aspects, namely
implementation, management of time and observation
of the atmosphere of a class consisting of 16 aspects of
the meeting-2nd overall is very good. It can be seen
from the value that has been given the observatory was
29% (5 aspects) of value 3 (good) and 71% (11
aspects) of value 4 (very good).
Students ' affective domain observation results at
the meeting of 1st overall is good. It can be seen from
the value that has been given the observatory was 17%
(1 aspect) of value 2 (sufficient), 50% (3 aspects) of
value 3 (good) and 33% (2 aspects) of value 4 (very
good). Psychomotor domain observations of students
at a meeting of the 1st overall is very good. It can be
seen from the value that has been given the observatory
was 33% (1 aspect) of value 3 (good) and 67% (2
aspects) of value h 4 (very good).
Students ' affective domain observations at a
meeting of the 2nd overall is good. It can be seen from
the value that has been given the observatory was 17%
(1 aspect) of value 2 (sufficient), 50% (3 aspects) of
value 3 (good) and 33% (2 aspects) of value 4 (very
good). Psychomotor domain observations of students
at a meeting of the 2nd overall is good. It can be seen
from the value that has been given the observatory was
67% (1 aspect) of value 3 (good) and 33% (2 aspects)
of value 4 (very good).
6. Conclusion
Based on the results of the analysis and discussion
of research data about the development of the
engineering module settings in the Electrical
Engineering Department of Unesa, then it can be
inferred:
1. The form module settings in the Engineering
Department of electrical engineering, along with
the resulting trainer Unesa are effective, practical
and interesting so that it can improve the learning
achievements of students.
2. The results of the application of learning modules
on the subject of the value of formative tests with
an average of 87,5 consecutive, on the subject of 1,
as well as 86,25 on the subject 2. This suggests that
learning to use the module is one of the effective
ways to improve learning achievements of
students.
The difference between before and after the
application of the module can be seen from the
magnitude of the difference between test results ttest the
value of pre-and post test-test subject 1 and 2
respectively, i.e. 19.85 and 9.63 and both of which
stated that the use of the influential module to improve
student learning achievement.
7. Bibliography
[1]. Ibrahim, Muslimin (2010), Pembelajaran inkuiri.
[2]. Adviso F, bernardo (1990). Development Of The
National Training Council As The Coordinating
Body For Technical And Vocational Trainng, Jakarta: Depdikbud
[3]. Blank,WE. (1982). Handbook For Developing
Competency Based Training Program. Englewood
Cliffs; Prentice Hall.
[4]. Bonk CJ, Cummings JA, Hara N, Fischler RB, Lee
SM. (2000)A ten level web integration continuum
for higher education: new resources, partners,
courses, and markets. Abbey B, ed. Instructional and
cognitive impacts of web-based education. University of Indiana
[5]. Brown S. (1999) Reinventing the university. Assoc
Learning Technol J; 6: 30-37. Fender B. The e-
university project. London: Higher Education Funding Council for England.
[6]. Carr MM, Reznick RK, Brown DH. (1999)
Comparison of computer-assisted instruction and
seminar instruction to acquire psychomotor and
cognitive knowledge of epistaxis management. Otolaryngol Head Neck Surg; 121: 430-434.
[7]. Cochran, Rachel et al.(2007). The impact of Inqury-
Based Mathematics on Context Knowledge and
Classroom Practice. Journal.
Tersedia:http://www.rume.org/crume2007/papers/cochran-mayer-mullins.pdf
38
39
Validitas dan Kepraktisan Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik
Berorientasi Project Based Learning
Endang Susantini1*), Tjipto Prastowo2, Abdul Kholiq3, Mukhayyarotin Niswati Rodliyatul
Jauhariyah4 1. Jurusan Biologi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: endangsusantini@unesa.ac.id
2. Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: tjipto.pratowo@unesa.ac.id 3. Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: abdulkholiq@unesa.ac.id
4. Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: mukhayyarotin@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: endangsusantini@unesa.ac.id
ABSTRACT
This study developed a physics lesson video intended for prospective teachers how to teach physics Video
serve scientific approach oriented Project Based Learning (PPA) on Dynamic Electrical material. The purpose of
this study was to describe the validity and practicality of the video media to be applied in the lecture. The study
involved three validator and three observers. Validator provides an assessment of Physics learning videos include
aspects of physical appearance, presentation, content, and language. Observer observes keterlaksanaan lecture
implement video as modeling the physics teacher candidates in order to mimic the PPA in accordance with the
teaching of video watched. Data were analyzed qualitatively. The tests showed that the video meets the criteria
developed very feasible means, good quality, easy to understand, and in accordance with the context of the study.
Observations indicate that all learning step by applying a video that can be developed very successfully. The
implication of this research is giving an example of how to teach a particular learning models can take advantage
of self-developed video.
Keywords: validation, keterlaksanaan lectures, instructional videos Physics, scientific approach, PPA
ABSTRAK
Penelitian ini mengembangkan video pembelajaran Fisika yang ditujukan bagi calon guru Fisika.Video
menayangkan cara mengajar pendekatan saintifik berorientasi Project Based Learning (PjBL) pada materi Listrik
Dinamis. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan validitas dan kepraktisan media video yang akan
diterapkan dalam perkuliahan. Penelitian ini melibatkan tiga validator dan tiga observer. Validator memberikan
penilaian video pembelajaran Fisika meliputi aspek tampilan fisik, penyajian, isi, dan bahasa. Observer
mengamati keterlaksanaan perkuliahan yang menerapkan video sebagai modeling bagi calon guru Fisika agar
dapat meniru cara mengajar PjBL sesuai dengan video yang ditonton. Data yang diperoleh dianalisis secara
kualitatif. Hasil validasi menunjukkan bahwa video yang dikembangkan memenuhi kriteria sangat layak artinya,
berkualitas baik, mudah dipahami, dan sesuai dengan konteks kajian. Hasil observasi menunjukkan bahwa semua
langkah pembelajaran dengan menerapkan video yang dikembangkan dapat terlaksana dengan sangat baik.
Implikasi dari penelitian ini adalah pemberian contoh cara mengajarkan model pembelajaran tertentu dapat
memanfaatkan video yang dikembangkan sendiri.
Kata kunci: validasi, keterlaksanaan perkuliahan , video pembelajaran Fisika, pendekatan saintifik, PjBL
1. PENDAHULUAN
Pendekatan Saintifik telah banyak diterapkan pada
proses pembelajaran dalam kurikulum 2013. Proses
pembelajaran pendekatan saintifik memerlukan
adanya kegiatan yang memuat tahapan-tahapan
saintifik antara lain mengamati, menanya,
mengumpulkan data dan informasi, mengasosiasi, dan
mengkomunikasi. Bahkan dapat ditambahkan dengan
kegiatan mencipta [1].
Guru memiliki tanggungjawab untuk aktif dalam
merencanakan pembelajaran dan mendesain
pengalaman belajar yang aktif dan memuat tahapan-
tahapan saintifik. Guru diharapkan mampu
memfasilitasi siswa dalam mengahasilkan, menguji,
menerima atau menolak suatu pernyataan maupun
teori ilmiah. Hal tersebut akan mendorong siswa
secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri.
Oleh karena itu guru harus mempersiapkan diri untuk
menerapkan pembelajaran pendekatan saintifik dan
melatih siswa menggunakan pendekatan saintifik pada
proses pembelajaran. Hal tersebut menunjukkan
bahwa penerapan pendekatan saintifik dalam
pembelajaran adalah suatu kebutuhan bagi guru, akan
tetapi guru tidak mengetahui cara melatihkannya [2].
Salah satu cara untuk melatihkan keterampilan
mengajar dengan pendekatan saintifik pada guru
maupun mahasiswa calon guru adalah menggunakan
media video pembelajaran. Video pembelajaran dapat
membantu guru maupun mahasiswa calon guru untuk
memahami tahapan-tahapan atau fase-fase mengajar
menggunakan pendekatan saintifik. Penggunaan video
pembelajaran dalam perkuliahan akan memberikan
gambaran yang lebih konkret dan lebih menarik.
Pernyataan tersebut sesuai dengan Agommuoh dan
Nzewi[3] yang menyatakan bahwa video adalah alat
instruksional yang memiliki kapasitas untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran, membangkitkan
40
minat dan pemikiran serta mengkonkretkan
pengetahuan. Selain itu, video dapat meningkatkan
dorongan untuk belajar, mengingat, dan melakukan
keterampilan mengajar yang spesifik[4].
Mahasiswa calon guru dapat belajar dengan lebih
banyak, lebih lama bertahan dalam ingatan, dan
bahkan dapat mengembangkan keterampilan yang
diharapkan melalui penggunaan video sebagai media
belajar [5]. Keterampilan yang diharapkan meningkat
adalah keterampilan mahasiswa calon guru mengajar
menggunakan pendekatan saintifik. Keterampilan
tersebut merupakan komponen penting yang harus
dimiliki mahasiswa calon guru untuk melakukan
pembelajaran di sekolah. Faktanya, video
pembelajaran jarang digunakan untuk
mengembangkan kemampuan mengajar yang
berkaitan dengan tahapan-tahapan pendekatan
saintifik [1].
Pendekatan saintifik harus dimasukkan ke dalam
model pembelajaran yang spesifik dan mempunyai
sintaks atau prosedur yang sistematis mengenai
kegiatan guru dan siswa. Beberapa model
pembelajaran telah diajarkan kepada para guru
maupun mahasiswa calon guru, misalnya Project
Based Learning, Problem Based Learning, Inquiry
Discovery Learning, Contextual Learning, dan
Cooperative Learning[7-12]. Salah satu model
pembelajaran yang inovatif mengajarkan berbagai
strategi kritis untuk sukses pada abad 21 adalah
Project Based Learning (PjBL). Model pembelajaran
ini mendorong siswa untuk membangun pengetahuan
siswa sendiri melalui inkuiri. Melalui model
pembelajaran ini siswa dituntut bekerja secara
kolaboratif untuk menemukan dan menciptakan
sebuah proyek yang merefleksikan pengetahuan siswa.
Siswa akan menemukan sesuatu yang baru, menjadi
komunikator dan pemecah masalah yang handal [13].
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan
penelitian pengembangan video pembelajaran
pendekatan saintifik berorientasi Project Based
Learning (PjBL) yang layak sekaligus dapat
digunakan dalam perkuliahan bagi mahasiswa calon
guru. Topik yang dipilih dalam pengembangan video
adalah Listrik Dinamis pada mata pelajaran Fisika.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
kelayakan video ditinjau dari 1) validitas video, 2)
validitas perangkat pembelajaran, 3) keterlaksanaan
perkuliahan, dan 4) respon mahasiswa calon guru
Fisika terhadap video yang dikembangkan.
2. METODE
Jenis penelitian ini merupakan penelitian
pengembangan (Developmental Research) yang
mengembangkan video pembelajaran pendekatan
saintifik berorientasi Project Based Learning (PjBL)
pada materi Listrik Dinamis untuk meningkatkan
keterampilan mengajar calon guru Fisika. Metode
yang digunakan dalam pengembangan video adalah
ASSURE [14]. Secara skematis seperti gambar 1.
Gambar 1. Bagan Skematis Prosedur Penelitian
Deskripsi singkat video pembelajaran yang
dikembangkan:
Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik Berorientasi
Project Based Learning (PjBL) pada materi Listrik
Dinamis berdurasi 31 menit 40 detik. Video
menayangkan seorang Guru Fisika dan 18 siswa SMA
dengan seting kegiatan belajar mengajar di kelas.
Lokasi pengambilan gambar adalah di Fakultas MIPA
Unesa. Video menayangkan kegiatan pembelajaran
dengan Pendekatan Saintifik yaitu melatihkan
keterampilan saintifik antara lain mengamati,
menanya, mencoba, mengasosiasi dan
mengomunikasi. Selain itu, di dalam video tersebut
menayangkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan 6
fase pada Project Based Learning (PjBL) yaitu
menentukan pertanyaan mendasar, mendesain sebuah
perencanaan proyek, menyusun jadwal kegiatan,
memonitor siswa dalam kemajuan proyek,
menilai/menguji hasil belajar dan mengevaluasi
pengalaman.
Analyze
Learner
State
Objective
Select
Media and
Materials
Utilize
Media and
Materials
Require
Learner
Performan
ce
Evaluate
and Revise
Analisis mahasiswa (usia, motivasi
dalam belajar, pengetahuan prasyarat yang sudah dimiliki)
Analisis kurikulum S1 Kependidikan Unesa, khususnya Kelompok Mata
Kuliah Keahlian Berkarya
(Pembelajaran Inovatif II)
Merumuskan Indikator/Tujuan
Pembelajaran untuk topik yang akan
dibuat video pembelajaran
Membuat perangkat pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi
Project Based Learning prodi Fisika
Membuat skenario video pembelajaran
Memilih, dan membuat tampilan video
Menelaahkan perangkat pembelajaran, skenario dan video ke ahli pembelajaran
MIPA dan teknologi pendidikan.
Uji coba terbatas video pembelajaran kepada mahasiswa Prodi Pendidikan
Fisika Unesa
Mengumpulkan data keterlaksanaan & analisis video
Mengamati aspek keterampilan mengajar mahasiswa setelah
mengamati video pembelajaran di kelas
Mengumpulkan data berupa respon mahasiswa
Melakukan evaluasi pada aspek-aspek penting terkait pengembangan video
pembelajaran
Melakukan revisi dan penyempurnaan
video pembelajaran berdasarkan
masukan ahli dan ujicoba
41
Materi Fisika yang dipilih adalah Listrik Dinamis.
Video menayangkan kegiatan Guru saat memberikan
apersepsi mengenai materi rangkaian listrik, Hukum
Ohm dan Hukum Kirchoff yang bertujuan untuk
mengingatkan kembali siswa pada materi sebelumnya
dan berkaitan dengan materi yang akan dipelajari.
Kemudian Guru memberikan demonstrasi dan
menampilkan video tentang lampu yang dapat
dinyalakan atau dimatikan dengan dua saklar, hal ini
bertujuan untuk agar siswa dapat menentukan
pertanyaan mendasar. Guru memberikan tugas proyek
dan membagi siswa dalam kelompok, kemudian
menampilkan contoh proyek (maket rumah) pada slide
power point. Siswa mendesain perencanaan tugas
proyek yaitu gambar maket rumah dan jaringan listrik.
Selain itu, siswa menyusun jadwal pelaksanaan tugas
proyek. Setiap kelompok mempresentasikan rencana
proyek dan jadwal kegiatan selanjutnya mengerjakan
tugas proyek di luar jam pelajaran Fisika. Guru
memonitor kegiatan siswa di dalam kelas maupun
diluar kelas. Setiap kelompok mempresentasikan hasil
maket rumah dan jaringan listrik sesuai perencanaan,
pada saat presentasi Guru melakukan penilaian. Guru
melakukan evaluasi terhadap pengalaman siswa
selama melakukan tugas proyek.
Validitas video pembelajaran yang dikembangkan
diperoleh dari penilaian tiga validator. Penilaian
tersebut meliputi tampilan fisik, aspek penyajian,
aspek isi, dan aspek bahasa. Skor validasi dihitung
menggunakan persamaan (1) yaitu:
(1) ... 4
MaksimumSkor
DiperolehyangSkorJumlahSVV
Keterangan:
1. SVV = Skor Validasi Video
2. Kriteria Skor Validasi Video:
1,0<SVV≤1,5 = Tidak layak dan belum dapat
digunakan
1,5<SVV≤2,5 = Kurang layak dan dapat
digunakan dengan banyak revisi
2,5<SVV≤3,5 = Layak dan dapat digunakan
dengan sedikit revisi
3,5<SVV≤ 4 = Sangat layak dan dapat
digunakan tanpa revisi
Selain validasi terhadap video, validasi dilakukan
terhadap perangkat pembelajaran Pendekatan Saintifik
berorientasi Project Based Learning (PjBL) meliputi
RPP, LKS dan Skenario yang diterapkan dalam video
yang dikembangkan. Skor validasi perangkat dihitung
menggunakan persamaan (2) yaitu:
(2) ... 4
MaksimumSkor
DiperolehyangSkorJumlahSVP
Keterangan:
1. SVP = Skor Validasi Perangkat
2. Kriteria Skor Validasi Perangkat:
1,0<SVP≤1,5 = Tidak layak dan belum dapat
digunakan
1,5<SVP≤2,5 = Kurang layak dan dapat
digunakan dengan banyak revisi
2,5<SVP≤3,5 = Layak dan dapat digunakan
dengan sedikit revisi
3,5<SVP≤ 4 = Sangat layak dan dapat
digunakan tanpa revisi
3. Sedikit revisi, jika sub komponen kelayakan
perangkat pembelajaran yang harus direvisi paling
banyak 25% dari seluruh jumlah sub komponen
kelayakan perangkat pembelajaran
4. Banyak revisi, jika sub komponen kelayakan
perangkat pembelajaran yang harus direvisi lebih
dari 25% dari seluruh jumlah sub komponen
kelayakan perangkat pembelajaran.
Kepraktisan video pembelajaran yang
dikembangkan diperoleh dengan teknik observasi
terhadap keterlaksanaan perkuliahan yang menerapkan
video sebagai modeling bagi mahasiswa calon guru
Fisika. Observasi dilakukan menggunakan lembar
pengamatan keterlakasanaan pengamatan video
pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL
pada topik Listrik Dinamis. Skor yang diperoleh
dihitung menggunakan persamaan (3) yaitu:
(3) ... 4
MaksimumSkor
DiperolehyangSkorJumlahSK
Keterangan:
1. SK = Skor Keterlaksanaan
2. Kriteria Skor Keterlaksanaan:
1,0<SK≤1,5 = Kurang Baik
1,5<SK≤2,5 = Cukup Baik
2,5<SK≤3,5 = Baik
3,5<SK≤4 = Sangat Baik
Selain itu, kepraktisan video pembelajaran yang
dikembangkan dapat dilihat dari hasil analisis
mahasiswa calon guru Fisika terhadap video
pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL
pada topik Listrik Dinamis.
3. HASIL
3.1 Validasi Video Pembelajaran
Video Pembelajaran Pendekatan Saintifik
berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis yang
dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan
mengajar guru Fisika divalidasi oleh 3 validator. Hasil
validasi video disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Validasi Video Pembelajaran Pendekatan
Saintifik berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis No. Aspek Skor Kategori
1 Tampilan Fisik 3,83 Sangat Layak
2 Penyajian 3,39 Layak
3 Isi 3,67 Sangat Layak
4 Bahasa 3,25 Layak
NILAI VALIDASI SEMUA
ASPEK
3,53 Sangat Layak
Nilai validasi tertinggi diperoleh pada aspek
tampilan fisik yaitu 3,83 sedangkan nilai validasi
terendah diperoleh pada aspek bahasa yaitu 3,25.
42
Terdapat dua aspek pada video termasuk kategori
sangat layak yaitu tampilan fisik dan isi, sedangkan
dua aspek lainnya termasuk kategori layak yaitu
penyajian dan bahasa. Nilai validasi video pada
keseluruhan aspek diperoleh nilai 3,53 dengan
kategori sangat layak.
3.2 Validasi Perangkat Pembelajaran
Selain validasi terhadap video yang
dikembangkan, validasi dilakukan terhadap perangkat
pembelajaran yang diterapkan dalam video tersebut.
Data hasil validasi terhadap perangkat pembelajaran
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran
Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL pada topik
Listrik Dinamis No. Perangkat Skor Kategori
1 RPP 3,63 Sangat Layak
2 LKS 3,57 Sangat Layak
3 Skenario 3,78 Sangat Layak
Nilai validasi terhadap perangkat pembelajaran
menunjukkan bahwa seluruh perangkat termasuk
dalam kategori sangat layak. Nilai tertinggi adalah
skenario yaitu 3,78 dan nilai terendah adalah LKS
yaitu 3,57.
3.3 Kepraktisan Video
Video dan perangkat pembelajaran yang
digunakan dalam video selanjutnya diujicobakan
kepada mahasiswa calon guru Fisika untuk
memperoleh data kepraktisan video.
3.3.1 Keterlaksanaan Perkuliahan
Kepraktisan video dapat dilihat dari hasil
observasi terhadap keterlaksanaan perkuliahan yang
menerapkan video. Observasi dilakukan oleh 2
observer. Data hasil observasi keterlaksanaan
perkuliahan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Keterlaksanaan Pengamatan Video
Pembelajaran Pendekatan Saintifik Berorientasi PjBL
pada Topik Listrik Dinamis No. Aspek Pengamatan Skor Kategori
Pendahuluan
1. Memberikan apersepsi dengan
mengingatkan kembali tentang
Project Based Learning/PjBL dan pendekatan saintifik.
4 Sangat
Baik
2. Menjelaskan tujuan hasil belajar
yang diharapkan dapat tercapai antara lain mengidentifikasi fase
PjBL, langkah pendekatan saintifik,
pengembangan sikap dalam pembelajaran PjBL, kelebihan dan
kekurangan video yang dianalisis,
serta memberi masukan perbaikan pada proses pembelajaran yang
diamati (Fase 1 Menyampaikan Tujuan )
4 Sangat
Baik
Kegiatan Inti
3. Menjelaskan aturan perkuliahan modelling PjBL dengan
memanfaatkan video pembelajaran
(Fase 2 Menyajikan Informasi)
4 Sangat Baik
No. Aspek Pengamatan Skor Kategori
4. Membagi mahasiswa dalam kelompok (Fase 3 Mengorganisasi
Siswa dalam Kelompok)
4 Sangat Baik
5. Membagi LKM kepada setiap mahasiswa
4 Sangat Baik
6. Menyajikan video Pembelajaran
Pendekatan Saintifik Berbasis
Project Based Learning/PjBL
pada topik Listrik Dinamis
4 Sangat
Baik
7. Mahasiswa mengamati video yang disajikan dan mencatat langkah
proses pembelajaran yang terdapat
dalam video
4 Sangat Baik
8. Ketika memperhatikan video,
mahasiswa diminta mengecek
keterlaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pada
tayangan video sesuai dengan
pertanyaan pada LKM (mengumpulkan data atau
informasi). (Fase 4 Membimbing
Kerja Kelompok dan Belajar)
3.5 Sangat
Baik
9. Setelah mengamati proses
pembelajaran yang ada pada video,
mahasiswa diminta berdiskusi dan mengerjakan LKM berdasarkan
hasil pengamatannya.
3.5 Sangat
Baik
10. Dosen memberi kesempatan
memutar kembali video
Pendekatan Saintifik Berbasis
PjBL pada topik Listrik Dinamis
dengan menggunakan laptop
kelompok.
4 Sangat
Baik
11. Memberikan kesempatan
mahasiswa untuk bertanya terkait
video yang telah diamati terutama
mengenai pendekatan saintifik dan
PjBL
4 Sangat
Baik
12. Meminta mahasiswa mengomunikasikan hasil
pengamatan yang tertulis dalam
LKM
4 Sangat Baik
13. Kelompok lain memberikan
komentar dan dosen memberikan
penjelasan jika ada komentar yang keliru (Fase 5 Memberi Evaluasi)
4 Sangat
Baik
Penutup
14. Memberi penghargaan kepada kelompok mahasiswa yang terbaik
dalam memberikan saran perbaikan
video (Fase 6 Memberi Penghargaan)
4 Sangat Baik
15. Mahasiswa bersama dosen
menyimpulkan hasil pembelajaran
4 Sangat
Baik
Rata-Rata 3.93 Sangat
Baik
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa
kegiatan perkuliahan mahasiswa calon guru Fisika
dengan menerapkan video pembelajaran yang
dikembangkan berlangsung dengan sangat baik dan
efektif.
3.3.2 Analisis Video oleh Mahasiswa Calon Guru
Mahasiswa calon guru Fisika dibagi menjadi tiga
kelompok kooperatif. Kemudian mahasiswa
mendapatkan LKM yang digunakan untuk
menganalisis video. Setiap kelompok akan mengamati
dan menganalisis video pembelajaran yang
dikembangkan. Data hasil analisis mahasiswa calon
guru terhadap video pembelajaran disajikan pada
Tabel 4.
43
Tabel 4. Hasil Analisis Video Pembelajaran Saintifik
Berorientasi PjBL pada Topik Listrik Dinamis Pertanyaan Hasil Diskusi
Bagian-bagian
pembelajaran PjBL
manakah yang merupakan fase:
a. Menentukan
pertanyaan mendasar
Siswa mengajukan pertanyaan
berdasarkan video b. Mendesain sebuah
perencanaan proyek
Guru membagi siswa dalam
kelompok kemudian menjelaskan
tugas proyek c. Menyusun jadwal
kegiatan
Guru menjelaskan sistematika
proyek dan rambu-rambu desain,
Siswa membandingkan serta mendesain rumah dan jaringan
listrik, Siswa mengambil bahan
dan alat untuk membuat desain, Siswa membuat desain
d. Memonitor siswa dan
kemajuan proyek
Guru memonitor pekerjaan siswa
ketika membuat maket e. Menilai/menguji hasil
belajar
Siswa mempresentasikan hasil
desain rumah (maket) beserta
jaringan rangkaian listrik, Guru memberikan penghargaan
f. Mengevaluasi
pengalaman
Setelah siswa mempresentasikan
hasil, guru menanyakan tentang pelaksanaan tugas proyek dan
siswa menceritakan pengalaman
selama pengerjaan tugas proyek tersebut
g. Sikap apa yang ditumbuhkembangkan
dalam video tersebut?
Kreatif, Kritis, Rasa ingin tahu, Sikap ilmiah, Sikap sosia (kerja
sama), Disiplin, Tanggung jawab,
Jujur h. Pada kegiatan apa sikap
tersebut
ditumbuhkembangkan?
pengerjaan proyek, mendesain
alat, presentasi, pembagian
tugas, berkelompok
Hasil analisis mahasiswa calon guru Fisika
terhadap video yang dikembangkan menunjukkan
bahwa mahasiswa dapat mengidentifikasi fase PjBL
dengan baik. Mahasiswa calon guru Fisika mampu
menyebutkan kegiatan-kegiatan pembelajaran pada
video sesuai fase PjBL.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui
bahwa video pembelajaran yang dikembangkan dalam
penelitian ini termasuk dalam kategori sangat layak
ditinjau dari keseluruhan aspek yang meliputi tampilan
fisik, penyajian, isi, dan bahasa dengan hasil SVV
3,53. Apabila ditinjau pada masing-masing aspek
maka terdapat dua aspek yang termasuk dalam
kategori sangat layak dan dua aspek yang termasuk
dalam kategori layak. Pada kategori sangat layak
adalah aspek tampilan fisik dengan hasil SVV 3,83 dan
aspek isi dengan hasil SVV 3,67. Hasil ini menunjukan
bahwa tampilan fisik dan isi videodapat digunakan
tanpa revisi. Sedangkan pada aspek yang termasuk
dalam kategori layak yaitu aspek penyajian dengan
hasil SVV 3,39 dan aspek bahasa dengan hasil SVV
3,25. Hal ini menunjukkan bahwa video dapat
digunakan dengan sedikit revisi pada aspek penyajian
dan bahasa. Beberapa revisi yang dapat dilakukan
terhadap video yang dikembangkan berdasarkan hasil
validasi dan saran validator antara lain memperbaiki
kualitas tulisan pada video agar mudah dibaca dan
memperbaiki kejelasan pengucapan dan
menghilangkan beberapa penggunaan kata yang tidak
relevan.
Selain validasi terhadap video, pada penelitian ini
dilakukan validasi terhadap perangkat pembelajaran
yang akan digunakan dalam pembuatan video yang
dikembangkan. Perangkat pembelajaran yang
divalidasi antara lain RPP dengan hasil SVP 3,63; LKS
dengan hasil SVP 3,57; dan Skenario dengan hasil
SVP 3,78. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semua
perangkat pembelajaran yang digunakan termasuk
dalam kategori sangat layak sehingga tidak
memerlukan adanya revisi. Akan tetapi berdasarkan
saran ketiga validator diperlukan sedikit revisi untuk
meningkatkan kualitas perangkat pembelajaran dan
video yang dikembangkan antara lain revisi terhadap
KI dan KD sesuai regulasi terbaru serta perubahan
alokasi waktu pembelajaran pada topik listrik dinamis.
Selain memperoleh hasil validitas video dan
perangkat pembelajaran yang dikembangkan, pada
penelitian ini didapatkan data kepraktisan video yang
ditinjau dari keterlaksanaan perkuliahan menggunakan
media video pembelajaran yang dikembangkan dan
hasil analisis mahasiswa calon guru Fisika terhadap
video tersebut. Berdasarkan observasi keterlaksanaan
perkuliahan yang dilakukan oleh dua observer dapat
diketahui bahwa seluruh kegiatan perkuliahan dapat
dilaksanakan dengan sangat baik. Hasil SK yang
diperoleh pada keseluruhan kegiatan adalah 3,93.
Kepraktisan video pembelajaran yang
dikembangkan dapat diketahui dari hasil analisis
mahasiswa calon guru Fisika terhadap video tersebut.
Mahasiswa calon guru Fisika difasilitasi dengan LKM
untuk menganalisis video. LKM membantu
mahasiswa calon guru Fisika untuk mengintegrasikan
antara tahapan-tahapan pendekatan saintifik dengan
setiap fase PjBL. Hal tersebut dapat terlihat dari
jawaban atau hasil diskusi masing-masing kelompok
mahasiswa dalam menganalisis video yang
ditayangkan pada saat perkuliahan. Masing-masing
kelompok dapat mengidentifikasi keenam fase PjBL
dalam kegiatan pembelajaran pada video yaitu
menentukan pertanyaan dasar, mendesain sebuah
perencanaan proyek, menyusun jadwal kagiatan,
memonitor siswa dan kegiatan proyek,
menilai/menguji hasil belajar dan mengevaluasi
pengalaman sekaligus menemukan tahapan saintifik
pada setiap fase PjBL. Kegiatan pembelajaran PjBL
dari fase pertama sampai fase keenam memunculkan
beberapa tahapan saintifik yaitu mengamati, menanya,
mengumpulkan data atau informasi, mengasosiasi dan
mengomunikasikan hasil. Bahkan berdasarkan hasil
analisis yang dilakukan mahasiswa terhadap video
dapat diketahui bahwa pembelajaran yang terdapat di
dalam video telah memunculkan High Order Thinking
Skill yaitu mencipta.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa
calon guru Fisika dapat mempelajari dan memahami
pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi PjBL
melalui video pembelajaran yang telah dikembangkan.
Kegiatan mahasiswa calon guru dalam
44
mendeskripsikan dan menganalisis tindakan guru dan
siswa dalam tayangan video pada setiap fase PjBL dan
tahapan saintifik dapat mempermudah dalam aplikasi
strategi yang sama dalam pembelajaran mereka.
Mahasiswa dapat mempelajari bagaimana cara
mengajar sesuai dengan pemodelan pembelajaran pada
video, hal ini sejalan dengan pernyataan Slavin[15]
bahwa pembelajaran dapat dilakukan melalui kegiatan
pengamatan. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh
Kucuk[16] bahwa pandangan guru mengenai
pendekatan saintifik pada pembelajaran dapat
ditingkatkan melalui video pembelajaran yang diikuti
dengan pelatihan mengajar. Selain itu, Wong dkk.[17]
menyatakan bahwa video pembelajaran memiliki
beberapa kelebihan terkait peningkatan keterampilan
mengajar guru yaitu dapat menstimulasi guru untuk
menyampaikan konsep terkait belajar dan mengajar,
mendorong guru untuk mengembangkan ide-ide dalam
merespon kondisi belajar mengajar yang sama,
menyediakan pembelajaran alternatif di luar
pengalaman guru, dan mendukung guru dalam
mengembangkan ide-ide untuk mengatasi
kompleksitas pembelajaran di kelas.
Kegiatan pembelajaran yang terdapat dalam video
yang dikembangkan dapat digunakan untuk
mempersiapkan dan melatih keterampilan mengajar
mahasiswa calon guru pada situasi yang spesifik yang
berkaitan erat dengan target kinerja guru[18],[19]. Target
kinerja guru dalam penelitian ini adalah mengajar
dengan pendekatan saintifik berorientasi PjBL,
maksudnya adalah menggabungkan tahap-tahap
pendekatan saintifik dalam kegiatan pembelajaran
yang berorientasi PjBL pada topik Listrik Dinamis.
Video pembelajaran yang dikembangkan dalam
penelitian ini memberikan demonstrasi atau
pemodelan untuk mengembangkan keterampilan
mengajar dengan pendekatan saintifik terutama ketika
kegiatan belajar mengajar dilakukan dalam setting
PjBL.
Mempelajari cara mengajar dari video dapat
membantu calon guru untuk memecahkan masalah
yang mungkin terjadi pada kelas yang
sebenarnya[20],[21]. Hal ini didukung oleh pernyataan
Chinna & Dada[22] bahwa video menyediakan
pembelajaran yang konkret melalui mekanisme
pemutaran atau penayangan yang dapat diputar ulang
(replay), dimajukan (fast-forward) maupun
dimundurkan (rewind) pada adegan tertentu serta
memotivasi siswa untuk memiliki ketertarikan yang
besar terhadap apa yang akan dipelajari.
Kegiatan analisis terhadap video pembelajaran
yang dikembangkan dapat mengembangkan
kemampuan calon guru agar dapat memperhatikan
interaksi atau kegiatan yang dianggap penting di dalam
pembelajaran tersebut[23]. Kegiatan calon guru dalam
menuliskan hasil obseravsi mereka terhadap kegiatan
pembelajaran dalam video menunjukkan kesadaran
mereka terhadap kegiatan pembelajaran di kelas[24].
Melalui kegiatan analisis terhadap video yang
dikembangkan mahasiswa calon guru Fisika dapat
menentukan sikap positif yang dapat dikembangkan
pada diri siswa saat menerapkan pembelajaran
pendekatan saintifik berorientasi PjBL, antara lain
mengembangkakan sikap kreatif, kritis, rasa ingin
tahu, sikap ilmiah, sikap sosial (kerjasama),
tanggungjawab, dan jujur. Sikap positif tersebut dapat
dilihat pada beberapa kegiatan pembelajaran, anatar
lain pada saat berkelompok, pembagian tugas,
mendesain alat, pengerjaan proyek, dan presentasi.
Selain itu, mahasiswa calon guru Fisika berpendapat
bahwa video pembelajaran yang dikembangkan dalam
penelitian ini memiliki beberapa kelebihan anatar lain
pembelajaran dapat membantu siswa menerapkan
pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-
hari, memberikan hasil belajar yang aplikatif,
menambah pengalaman belajar yang baru, dan
menumbuhkan High Thinking Order Skills (HOTS).
Keseluruhan hasil pengematan keterlaksanaan
perkuliahan dengan menerapkan video pembelajaran
yang dikembangkan serta hasil analisis mahasiswa
calon guru Fisika terhadap video menunjukkan bahwa
video yang dikembangkan adalah praktis.
5. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa video
pembelajaran Pendekatan Saintifik berorientasi
Project Based Learning (PjBL) dinyatakan layak
digunakan dalam perkuliahan bagi mahasiswa calon
guru Fisika. Kelayakan video ditinjau dari validitas
video dan kepraktisan video. Kelayakan video
diperoleh melalui validasi video dan perangkat
pembelajaran yang digunakan dalam video. Hasil
validasi terhadap video menunjukkan hasil SVV 3,53
dengan kategori sangat layak dan hasil SVP termasuk
dalam kategori sangat layak dengan skor RPP yaitu
3,63; LKS yaitu 3,57; dan skenario 3,78. Kepraktisan
video ditinjau dari hasil keterlaksanaan pengamatan
video yang menunjukkan hasil sangat baik dengan SK
3,93 serta hasil analisis terhadap video yang
menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru Fisika
dapat mengidentifikasi keenam fase PjBL dan tahapan
pendekatan saintifik dalam video pembelajaran yang
dikembangkan.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Susantini, E., Faizah, Ulfi., & Prastiwi, M.S. (2015).
Teaching Skills and Views of Pre-Service Biology
Teachers on Response to the Instructional Video
with Scientific Approach in Cooperative Learning.
Prosiding ICTTE FKIP UNS, Vol 1, No 1.
[2]. Leden, L., Hanson, l., Redfors, A., & Ideland, M.
(2013). Why, When, and How to Teach Nature
Science in Compulsory School: Teachers’ views.
Paper presented at the 10th conference of the European
Science Education research Association (ESERA), Nicosia, Cyprus.
[3]. Agommuoh, P. C., & Nzewi, U. M., (2003). Effects of
Videotape Instruction on Secondary School students
Achievement in Physics. Journal of STAN, 38(1&2),
88-93.
45
[4]. Gaudin, C. & Chalies, S. (2015). Video Viewing in
Teacher Education and Professional Development.
Educational Research Review, 16, 41-67.
[5]. Adelakun, S. A., (2003). Issues in Science Education
for the Visually Impaired. In W. O. Fatokun, O. A.,
Adebimpe, O. K. Omoniyi, & T. Ajoblene (Eds),
Science and Technology in Special Education. Oyo:
Tobistic Printing and Publishing Ventures.
[6]. Gana, E. N., (2006). The use of instructional
videotape in the learning of some geographical
concepts (Map Reading) in Senior Secondary
Schools in Minna. Unpublished M. Tech Education
Thesis, Federal University of Technology, Minna.
[7]. Giere, R.N. (2001). A New Framework for Teaching
Scientific Reasoning. Argumentation, 15, 21-33.
[8]. Heafner, L.A., Friedrichsen, P.M., & Zembal-Saul, C.
(2006). Teaching with Insects: An Applied Life
Science Course for Supporting Prospective
Elementary Teachers’ Scientific Inquiry. The American Biology Teacher, Vol. 68, No.4, 206-212.
[9]. Moseley, C., Ramsey, S.J, & Ruff, K. (2004). Science
Buddies: An Authentic Context for Developing
Preservice Teachers’ Understanding of Learning,
Teaching, and Scientific inquiry. Joirnal of Elementary Science Education, Vol. 16, No. 2, 1-18.
[10]. Wan, Z.H., Wong, s.l., & Zhan, Y. (2013). Teaching
Nature of Science to Preservice Science Teachers: A
Phenomenographic Study of Chinese Teacher
Educators’ Conceptions. Science & Education, 22, 2593-2619.
[11]. Welsh, S.M. (2002). Advice to a New Science
Teacher: The Importance of Establishing a Theme
in Teaching Scientific Explanations. Journal of
Science Education and Technology, Vol. 11, No. 1, 93-95.
[12]. Wilke, R.R & Straits, W.J. (2005). Practical Advice
for Teaching Inquiry-Based Science Process Skills in
the Biological Sciences. The American Biology Teacher, Vol. 67, No. 9, 534-540.
[13]. Bell, S. (2010). Project Based Learning for the 21st
Century: Skills fi the Future. The Clearing House: A
Journal of Educational Strategies, Issues and Ideas Vol. 83.
[14]. Heinich, R., Molenda, M., Russel, J.D., & Smaldino,
S.E. (2002). Instructional Media and Technologies
for Learning (7th ed). New Jersey: Merill Prentice
Hall.
[15]. Slavin, R. (2009). Educational Psychology: Theory
and Practice (9th ed). New Jersey: Pearson Education, Inc.
[16]. Kucuk, M. (2008). Improving Preservice Elementary
Teachers’ Views of the Nature of Science Using
Explicit-Reflective Teaching in a Science,
Technology, and Society Course. Australian Journal of Teacher Education, Vol. 33, No. 2, 16-40.
[17]. Wong, S. L., Yung, B. H. W., Cheng, M. W., Lam, K.
L., Hodson, D. (2007). Setting the Stage for
Developing Pre‐service Teachers’ Conceptions of
Good Science Teaching: The role of classroom
videos. International Journal of Science Education, Vol. 28, No. 1, 1-24.
[18]. Star, J. R., Strickland, S. K. (2008). Learning To
Observe: Using Video To Improve Preservice
Mathematics Teachers’ Ability To Notice. Journal of
Mathematics Teacher Education, Vol. 11, No. 2: 107-125.
[19]. Yung, B.H.W., Wong, S.L., Cheng, M.W., Hui, C.S.,
Hodson, D. (2007). Tracking Pre-service Teachers’
Changing Conceptions of Good Science Teaching:
The Role pf Progressive Reflection with the Same
Video. Research in Science Education, 37, 239-259.
[20]. Kisa, M.K. (2013). Science teachers’ learning to
notice from video cases of the enactment of
cognitively demanding instructional class. Retrieved
from ProQuest Dissertation & Theses database. UMI
No. 3577155.
[21]. Lin, P. J., 2005. Using research-based video-cases to
help pre-service teachers conceptualize a
contemporary view of mathematics teaching.
International Journal of Science and Mathematics Education, 3, 351–377.
[22]. Chinna, N.C. & Dada, M.G. (2013). Effects of
Developed Electronic Instructional Medium on
Students’ Achievement in Biology. Journal of Education and Learning, Vol. 2, No. 2, 1-7
[23]. Alsawei, O.N., & Alghazo, I.M. (2010). The Effect of
Video Based Approach on Prospective Teachers’
Ability to Analyze Mathematics Teaching. Journal of
Mathematics Teacher Education, 13, 223-241.
[24]. Fadde, P. & Sullivan, P. (2013). Using Interactive
Video to Develop Teachers’ Classroom Awareness.
Contemporary Issues in Tachnology and Teacher Eduacation, Vol. 13, No. 2, 156-174.
46
47
Penggunaan Trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Mahasiswa Teknik Elektro Unesa pada Mata Kuliah
Dasar Sistem Pengaturan
Endryansyah1*), Puput Wanarti Rusimamto2, Mochammad Rameli3, Eko Setijadi4
1 Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: syahryanend@yahoo.com 2 Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: puputwanarti@unesa.ac.id
3 Fakultas Teknik Industri. Institut Teknik Sepuluh Nopember, Surabaya. Email: rameli@ee.its.ac.id 4 Fakultas Teknik Industri. Institut Teknik Sepuluh Nopember, Surabaya. Email: ekoset@ee.its.ac.id
*) Alamat Korespondensi: Email: syahryanend@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa dalam memahami unjuk kerja kontroller PID
pada mata kuliah Dasar Sistem Pengaturan menggunakan trainer aksi dasar sistem kontrol. Objek yang diteliti
adalah trainer aksi dasar sistem kontrol hasil rancangan yang telah tervalidasi. Responden penelitian terdiri dari
29 mahasiswa Teknik Elektro Unesa semester 5 angkatan 2014. Instrumen penelitian terdiri atas angket untuk
mahasiswa, soal posttest. Analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Untuk menguji hasil belajar
mahasiswa menggunakan trainer aksi dasar sistem kontrol digunakan uji normalitas dan uji signifikansi. Hasil
penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, Hasil belajar ranah kognitif mahasiswa (µ=72,83) lebih besar dari
66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar kogitif mahasiswa tuntas. Kedua, hasil belajar afektif mahasiswa
(µ=88,49) lebih besar dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar afektif mahasiswa tuntas. Ketiga, hasil
belajar psikomotor mahasiswa (µ=84,37) lebih besar dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar
psikomotor mahasiswa tuntas. Dengan demikian, trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol efektif digunakan sebagai
sarana pembelajaran praktik dasar sistem pengaturan di laboratorium sistem kendali teknik elektro unesa.
Kata kunci: ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotor, trainer aksi dasar sistem kontrol.
1. PENDAHULUAN
Laboratorium Terpadu di Gedung A8 Fakultas
Teknik Unesa dengan empat lantai sudah mulai
difungsikan pada semester gasal tahun ajaran 2013-
2014. Laboratorium yang berada di Gedung A8
tersebut diisi Laboratorium dari semua jurusan di
Fakutas Teknik Unesa. Di antara lab yang bergabung
tersebut adalah Lab Sistem Kendali yang terletak di
lantai empat. Diantara mata kuliah yang praktikum di
lab sistem kendali adalah Teknik Pengaturan untuk
mahasiswa S1 prodi Pendidikan Teknik Elektro dan S1
prodi Teknik Elektro dan mata kuliah lain bidang
keahlian teknik sistem pengaturan prodi S1 Teknik
Elektro.
Mempelajari rencana jurusan Teknik Elektro
untuk pengembangan laboratorium, khususnya lab
sistem kendali, maka tim pengajar teknik pengaturan
juga mempersiapkan diri membuat rencana
pengembangan laboratorium tersebut dengan
memperbanyak modul praktikum disertai dengan
trainer atau kit.
Untuk menjawab permasalahan tersebut salah
satunya adalah melakukan penelitian dengan
melibatkan tim peneliti mitra yang sudah mempunyai
lab yang berkualitas dan sudah banyak berkontribusi
di bidang sistem pengaturan.
Dengan adanya infrastruktur berupa bahan ajar
(modul) dan alat bantu berupa trainer akan sangat
bermanfaat dalam upaya memberikan pengetahuan
dan melatih ketrampilan pada mahasiswa dalam
pemahaman di bidang teknik pengaturan beserta
aplikasinya pada bidang Teknik Elektro. Hal ini dapat
menumbuhkan motivasi belajar mahasiswa dalam
mengikuti perkuliahan Teknik Pengaturan di Jurusan
Teknik Elektro Unesa, selain itu dosen pengajar
maupun instruktur dapat menggali lebih dalam pada
setiap topik yang diajarkan.
Penggunaan trainer aksi dasar sistem kontrol ini
membuat mahasiswa dengan latar belakang
kemampuan serta pemahaman yang bervariasi akan
tetap dapat mengikuti dan memahami bahan ajar yang
ditentukan, selain itu mahasiswa yang memiliki
kemampuan explorasi berlebih tetap akan dapat
terpenuhi kebutuhannya dan hasil belajar mahasiswa
dapat ditingkatkan.
2. KAJIAN LITERATUR
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puput
Wanarti dkk.[1], penilaian kelayakan terhadap Modul
Ajar Mata Kuliah Fisika II untuk Model Pembelajaran
Kooperatif Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas
Hasil Pembelajaran di Jurusan Teknik Elektro FT
Unesa adalah sebagai berikut: hasil analisa yang
didapatkan dari validator adalah 85,1% untuk modul
dan 89% untuk trainer, dari respon mahasiswa adalah
83,9% untuk modul dan 84,8% untuk trainer. Sehingga
Modul Ajar Mata Kuliah Fisika II untuk Model
Pembelajaran Kooperatif yang dikembangkan boleh
dan layak diterapkan pada perkuliahan mata kuliah
Fisika II.
Berdasarkan hasil penelitian tentang media
pembelajaran yang menggunakan modul dan trainer
48
hasilnya baik, maka diterapkan media pembelajaran
berupa modul dan trainer untuk mata kuliah teknik
pengaturan. Dalam pelaksanaannya menggunakan
langkah–langkah penyusunan modul untuk membantu
mahasiswa memahami materi yang diajarkan dengan
harapan modul yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi
mahasiswa, dosen, dan lembaga yang menggunakan,
terlebih memberikan kontribusi yang luar biasa pada
laboratorium sistem kendali di jurusan Teknik Elektro
Unesa
.
Pembelajaran Kooperatif
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di
dalam pelajaran yang mengguanakan pembelajaran
kooperatif. Pelajaran dimulai dengan guru
menyampaikan tujuan pelajaran dan memotiviasi
siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian
informasi, sering kali dengan bahan bacaan daripada
secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke
dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan
guru pada saat siswa berkerja bersama untuk
menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase terakir
meliputi presentase hasil akhir kerja kelompok atau
evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan
memberi penghargaan terhadap usaha-usaha
kelompok maupun individu.
Pengertian modul
Modul ialah unit program belajar-mengajar
terkecil yang secara terinci menggariskan: a) Tujuan
instruksional umum, b) Tujuan intruksional khusus, c)
Pokok-pokok materi yang akan dipelajari dan
diajarkan, d) Kedudukan fungsi satuan dalam kesatuan
program yang akan dipakai, e) Kegiatan belajar-
mengajar, f) Lembaran kerja yang akan dikerjakan
selama proses belajar berlangsung[2]. Selanjutnya
menurut Nasution[3] modul ialah suatu unit yang
lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu
rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk
membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang
dirumuskan secara khusus dan jelas.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
pengembangan, karena peneliti ingin mengembangkan
modul praktikum sistem pengaturan. Metode
penelitian yang digunakan menggunakan metode
penelitian Research and Development (R&D).
Menurut Sugiyono (2015: 28-30) metode Research
and Development diterjemahkan menjadi metode
penelitian dan pengembangan.
Trainer Aksi Dasar Sistem Kontrol merupakan produk
pengembangan media pembelajaran pada penelitian
ini. Dengan media ini, diharapkan mahasiswa dapat
memahami materi sekaligus mampu
mengaplikasikannya. Jika digunakan sebagai media
pembelajaran trainer ini selanjutnya digunakan
sebagai tes praktik suatu saat nanti. Trainer Aksi Dasar
Sistem Kontrol ini telah divalidasi oleh beberapa
dosen ahli menurut bidangnya masing – masing untuk
proses validasi antara lain yaitu: ahli desain trainer,
ahli desain modul, ahli sistem kontrol, dan ahli
substansi. Setelah melewati tahap validasi berikutnya
adalah Tes uraian dilakukan untuk mengetahui hasil
belajar kognitif setelah dilakukan pembelajaran
menggunakan modul yang telah dikembangkan. Tes
uraian disusun berdasarkan indikator hasil belajar
kognitif. Dari indikator tersebut dibuat kisi-kisi
instrument.
Agar suatu tes dapat mengukur sesuai dengan
tujuannya maka tes tersebut harus valid. Untuk
menghasilkan alat ukur yang valid maka dilakukan
valditas. Dalam hal ini validitas dilakukan melalui
validasi ahli dengan menggunakan lembar validasi.
Penilaian dengan rating scale mengacu pada
kriteria yang ada pada rubrik. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Basuki dan Haryanto[4] rubrik
merupakan suatu skala pemberian nilai (skala
penilaian) yang terdiri dari serangkaian kriteria
prestasi dan paparan tentang tataran prestasi di dalam
pengerjaan tugas-tugas tertentu. Rating scale
digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dalam
ranah afektif.
Tes kinerja digunakan untuk mengukur hasil
belajar siswa pada ranah psikomotor. Menurut Basuki
dan Hariyanto[4] pengukuran hasil belajar psikomotor
ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu membuat soal
dan membuat perangkat instrumen untuk mengamati
kinerja peserta didik. Soal untuk hasil belajar
psikomotor dapat berupa lembar kerja, lembar tugas,
perintah kerja, dan lembar eksperimen. Instrumen
untuk mengamati kinerja peserta didik dapat berupa
lembar observasi atau portofolio. Pada penelitian ini
bentuk soal hasil belajar psikomotor berupa lembar
kerja. Sedangkan untuk pedoman pemberian skor
menggunakan rating scale yang dilengkapi dengan
rubrik.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan meliputi hasil
validasi soal postes dan hasil uji coba terdiri dari hasil
belajar mahasiswa ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Validasi dilakukan kepada beberapa ahli
sebagai validator yang terdiri dari 3 orang Dosen
Jurusan Teknik Elektro.
4.1 Hasil belajar mahasiswa ranah kognitif
Hasil belajar ranah kognitif diperoleh melalui
pemberian post-test setelah seluruh proses
pembelajaran menggunakan modul selesai. Post-test
diberikan di akhir pertemuan dengan memberikan soal
pilihan ganda sebanyak 25 butir. Adapun hasil
pengukuran posttest tersebut dapat ditunjukkan pada
Tabel 1.
49
Tabel 1. Hasil Belajar Mahasiswa Ranah Kognitif
No NIM Nama Mahasiswa Nilai
1 14050874006 Eno May Leny 68
2 14050874021 Rahmad Hidayat 72 3 14050874016 Bagus Rio R 68
4 14050874025 Ahmad Sulthoni 80
5 14050874008 Agus Nurdiyanto 76 6 14050874024 M. Nur Fatah M 84
7 14050874015 Dwi Ardianto 56
8 14050874011 Johan Firmansah 60 9 15050874015 Armanda H 56
10 14050874003 Rangga Arif T.S. 76
11 14050874005 Wiwit Sri Rahayu 64
12 14050874017 Rachmat Agus K 60
13 14050874026 Sri Purwandani 68
14 14050874002 Suyanti 80
15 14050874010 Jordan Teja S 80 16 14050874009 M. Fatkur Rozi 76
17 14050874022 Rizki Waloyo 88
18 14050874028 Rezandy Jalasena 72
19 14050874014 M. Juhan Dwi S 60
20 14050874019 Satya Hadi S 80
21 14050874007 Satria Bagaskara 72
22 14050874030 Bonfilio Wahyu 80
23 14050874012 Rinda Yuni S 68
24 14050874013 Sahat M.P.P. 72 25 14050874020 Herlambang S.A 68
26 14050874001 Agus Hermawan S 88
27 14050874023 Sugeng Dwi M 80
28 12050874245 Firman Nur H 76
29 14050874004 Didit Ardiyansah 84
Jumlah 2112
Rata-rata 72,83
Berdasarkan Tabel 1dapat diketahui bahwa
nilai rata-rata hasil belajar mahasiswa pada ranah
kognitif (post-test) adalah sebesar 72,83. Perolehan
post-test tersebut juga menunjukkan bahwa nilai
terendah yang diperoleh adalah 56 dan nilai tertinggi
yang diperoleh adalah 88.Penyebaran data dari
perolehan post-test tersebut dapat ditunjukkan pada
Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Histogram Hasil Belajar Ranah Kognitif
4.2 Hasil Belajar Ranah Afektif
Hasil belajar ranah afektif diperoleh melalui
penilaian sikap selama kegiatan pembelajaran
berlangsung.Hasil belajar ranah afektif diukur
menggunakan lembar pengamatan afektif dengan 5
indikator. Indikator dalam penilaian afektif tersebut
yaitu: (1) jujur; (2) disiplin; (3) bertanggung jawab; (4)
kerjasama; dan (5) saling menghargai. Perolehan
pengamatan sikap yang berlangsung selama 4 kali
pertemuan dapat ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perolehan Hasil Belajar Ranah Afektif
No Nama Nilai pertemuan ke Rata
-rata 1 2 3 4
1 Eno May
Leny 85 85 90 95 88.75
2 Rahmad
Hidayat 90 95 95 95 93.75
3 Bagus Rio R 85 85 85 90 86.25
4 Ahmad
Sulthoni 85 90 95 95 91.25
5 Agus
Nurdiyanto 85 85 85 90 86.25
6 M. Nur Fatah M
90 85 90 90 88.75
7 Dwi
Ardianto 80 95 95 95 91.25
8 Johan
Firmansah 80 85 85 90 85
9 Armanda H 85 85 85 90 86.25
10 Rangga Arif
T.S. 80 90 90 90 87.5
11 Wiwit Sri
Rahayu 90 85 90 90 88.75
12 Rachmat Agus K
90 85 90 95 90
13 Sri
Purwandani 85 95 95 95 92.5
14 Suyanti 85 90 90 95 90
15 Jordan Teja
S 80 90 90 90 87.5
16 M. Fatkur
Rozi 80 90 90 90 87.5
17 Rizki Waloyo
80 90 90 95 88.75
18 Rezandy
Jalasena 80 85 85 90 85
19 M. Juhan
Dwi S 80 90 90 95 88.75
20 Satya Hadi S 85 85 85 90 86.25
21 Satria
Bagaskara 80 95 95 95 91.25
22 Bofilio Wahyu
85 90 90 90 88.75
23 RindaYuni S 90 85 90 90 88.75
24 Sahat M.P.P. 80 85 90 90 86.25
25 Herlambang
S.A 85 90 90 90 88.75
26 Agus Hermawan S
80 85 85 90 85
27 Sugeng Dwi
M 80 90 90 90 87.5
28 Firman Nur
H 85 90 90 95 90
29 Didit Ardiyansah
90 90 90 90 90
Rata-rata 83,96 88,44 89,65 91,89 88.49
Berdasarkan perolehan nilai yang ditunjukkan
Tabel 2 di atas, maka dapat diketahui bahwa perolehan
50
nilai rata-rata hasil belajar ranah afektif adalah sebesar
88,49. Perolehan tersebut menunjukkan bahwa untuk
hasil belajar ranah afektif dengan nilai tertinggi adalah
93,75 dan nilai terendah adalah 85. Penyebaran data
hasil belajar ranah afektif ditunjukkan pada Gambar
2.
Gambar 2. Histogram Hasil Belajar Ranah Afektif
Hasil Belajar Ranah Psikomotor
Hasil belajar ranah psikomotor diperoleh melalui
pengamatan keterampilan psikomotor selama
praktikum yang dilakukan oleh mahasiswa.Praktikum
dilakukan setiap pertemuan sebanyak 4 kali
pertemuan.Hasil Perolehan pengamatan psikomotor
tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perolehan Hasil Belajar Ranah Psikomotor
No. Nama Kegiatan praktikum ke
Rata-
rata
1 2 3 4
1 Eno May
Leny 78.57 78.13 87.50 89.58 83.44
2 Rahmad
Hidayat 82.14 81.25 84.38 84.03 82.95
3 Bagus Rio
R 82.14 81.25 84.38 85.42 83.30
4 Ahmad
Sulthoni 80.36 81.25 90.63 90.28 85.63
5 Agus
Nurdiyanto 80.36 81.25 90.63 89.58 85.45
6 M. Nur
Fatah M 83.93 87.50 84.38 86.11 85.48
7 Dwi
Ardianto 80.36 81.25 87.50 87.50 84.15
8 Johan
Firmansah 83.93 81.25 87.50 88.89 85.39
9 Armanda H 80.36 81.25 84.38 85.42 82.85
10 Rangga
Arif T.S. 82.14 84.38 87.50 86.81 85.21
11 Wiwit Sri
Rahayu 80.36 84.38 81.25 85.42 82.85
12 Rachmat
Agus K 82.14 84.38 81.25 85.42 83.30
13 Sri
Purwandani 76.79 84.38 84.38 84.72 82.56
14 Suyanti 83.93 87.50 90.63 90.28 88.08
15 Jordan Teja
S 80.36 84.38 87.50 89.58 85.45
No. Nama Kegiatan praktikum ke
Rata-
rata
1 2 3 4
16 M. Fatkur
Rozi 76.79 84.38 81.25 84.72 81.78
17 Rizki
Waloyo 82.14 84.38 87.50 86.11 85.03
18 Rezandy
Jalasena 83.93 87.50 87.50 90.28 87.30
19 M. Juhan
Dwi S 80.36 68.75 84.38 87.50 80.25
20 Satya Hadi
S 78.57 81.25 87.50 87.50 83.71
21 Satria
Bagaskara 83.93 78.13 84.38 86.11 83.13
22 Bonfilio
Wahyu 76.79 84.38 87.50 88.19 84.21
23 Rinda Yuni
S 76.79 84.38 84.38 85.42 82.74
24 Sahat
M.P.P. 82.14 84.38 90.63 89.58 86.68
25 Herlambang
S.A 83.93 84.38 87.50 84.72 85.13
26
Agus
Hermawan
S
80.36 87.50 84.38 86.81 84.76
27 Sugeng
Dwi M 82.14 87.50 87.50 86.11 85.81
28 Firman Nur
H 83.93 81.25 84.38 84.72 83.57
29 Didit
Ardiyansah 78.57 87.50 90.63 89.58 86.57
Rata-rata 84.37
Berdasarkan perolehan nilai yang ditunjukkan
Tabel. 3di atas, maka dapat diketahui bahwa
perolehan nilai rata-rata hasil belajar ranah psikomotor
adalah sebesar 84,37. Perolehan tersebut menunjukkan
bahwa untuk hasil belajar ranah psikomotor dengan
nilai tertinggi adalah 88,08 dan nilai terendah adalah
80,25. Penyebaran data hasil belajar ranah afektif
ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Histogram Hasil Belajar Ranah Psikomotor
51
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1)
Hasil belajar ranah kognitif. Berdasarkan hasil olah
SPSS diperoleh nilai t=4,043 dan sig=0.000374.
Berdasarkan hal ini maka diterima H1. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar kognitif
mahasiswa (µ=72,83) lebih besar dari 66 atau dapat
dikatakan bahwa hasil belajar kogitif mahasiswa
tuntas. 2) Hasil belajar ranah afektif. Berdasarkan hasil
olah SPSS diperoleh nilai t=53,820 dan sig=8,16x10-
30. Berdasarkan hal ini maka diterima H1. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar afektif
mahasiswa (µ=88,49) lebih besar dari 66 atau dapat
dikatakan bahwa hasil belajar afektif mahasiswa
tuntas. 3) Hasil belajar ranah psikomotor. Berdasarkan
hasil olah SPSS diperoleh nilai t=56,862 dan
sig=1,77x10-30. Berdasarkan hal ini maka diterima H1.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil
belajar psikomotor mahasiswa (µ=84,37) lebih besar
dari 66 atau dapat dikatakan bahwa hasil belajar
psikomotor mahasiswa tuntas.
Sehingga Penggunaan Traener Aksi Dasar Sistem
Kontrol pada Mata Kuliah Teknik Pengaturan layak
digunakan untuk meningkatkan hasil belajar dan
menambah wawasan tentang sistem kontrol.
6. REFERENSI
[1]. Wanarti R., Puput dkk, (2013). Pengembangan
Modul Ajar Mata Kuliah Fisika II untuk Model
Pembelajaran Kooperatif sebagai Upaya
Meningkatkan Kualitas Hasil Pembelajaran di
Jurusan Teknik Elektro FT Unesa, Prosiding STE
2013, ISBN 978-979-028-051-9, Seminar Teknik Elektro dan Pendidikan Teknik Elektro 2013, Unesa.
[2]. Wijaya, A., (1996). Pengembangan Media-Media
Pembelajaran, Yogyakarta: Andi Offset Yogyakarta.
[3]. Nasution, H., (1982). Pengembangan Perangkat
Pembelajaran, Yogyakarta: Rineka Cipta
[4]. Basuki, Ismet. (2004). Pengembangan Buku Ajar
Berbasis Kompetensi. Surabaya: UNESA.
[5]. Arikunto, S., (1997). Prosedur penelitian,
Yogyakarta: Rineka Cipta.
[6]. Buku Pedoman Unesa Kurikulum 2012 – 2013, Unipress Unesa, (2012).
[7]. Ibrahim, Muslimin. (2005). Pembelajaran
Kooperatif, Unesa University press, Surabaya.
[8]. Mulyasa, (2004). Media Pembelajaran, Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
[9]. Purdiana, L., (2004). Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi
Mata Diklat Pilpt Materi Ilmu Bahan Listrik, Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
[10]. Sugiyanto, (2010). Model-model Pembelajaran
Inovatif, Surakarta: Yuma Pustaka
[11]. Thiagarajan, Sivasailam.Gemmmel, Dorothy S. and
Semmel, Melviyn I., (1974). Instruction
Development For Training Teachers Of
Exceptional Children. Minnesota: Indiana University.
[12]. Trianto, (2007). Model Pembelajaran Terpadu
dalam Teori dan Praktik, Prestasi Pustaka Publisher: Jakarta.
[13]. Wanarti R., Puput, (2012). Pengembangan Modul
Ajar Teknik Pengaturan Menggunakan Perangkat
Lunak Matlab dengan Inquary Based Learning
Berorientasi Industri, JPTE, http://ejournal.unesa. ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-teknik-elektro.
52
53
Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Web di SMK Kota
Surabaya
Hapsari Peni1*), Puput Wanarti2, Euis Ismayati3, Yuni Yamasari4
1Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: hapsaripeni@gmail.com 2Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: info@unesa.ac.id
3Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: euis.ismayati@gmail.com 4 Jurusan Teknik Informatika, Universitas Negeri Surabaya, Surbaya. Email: yamasari2000@yahoo.com
*) Alamat Korespondesi: Email: hapsaripeni@gmail.com
ABSTRACT
Based on preliminary studies on students SMK Kota Surabaya, facility to support the provision of e-learning
has indeed been developed, but the implementation is still not optimal. Learning is delivered still tend to use
conventional instructional media such as notes from the blackboard and media presentation software PowerPoint.
The utilization of information technology is still less effective and interactive because there are no moving images.
Especially in Physics, which basically requires understanding not only use the image but also simulation,
especially in magnetism. Simulation of magnets representing flux magnetic that can not be viewed in the real
human eye. Therefore, learning materials delivered so tend to be boring and less effective for students to
understand Physics.By implementing an instructional media-based on e-learning to the student. It was expected
to e-learning directly. The media can be easily accessed by students anywhere in the application form of
instructional media either on a PC or notebook. In addition, e-learning used responsive techniques so that e-
learning web can be accessed by mobile devices (such as smartphones) and ultimately to enhance students'
understanding of Subjects of Physics of magnetism.The research method to be used is the type of method research
and development (R & D). The population of this study was students of SMK Kota Surabaya. The sample was a
class XI student of SMK Negeri 5 Surabaya 2015-2016 school year.
Keywords: Instructional Media, E-learning, responsive web, mobile learning.
ABSTRAK
Berdasarkan pada studi pendahuluan pada siswa SMKN Kota Surabaya, fasilitas untuk mendukung
pengadaan e-learning memang telah dikembangkan, namun dalam implementasinya masih belum maksimal.
Pembelajaran yang disampaikan masih cenderung menggunakan media pembelajaran konvensional seperti
mencatat dari papan tulis dan media perangkat lunak presentasi Power Point, dalam pemanfaatan teknologi
informasi masih kurang efektif dan interaktif karena tidak ada gambar bergerak. Khususnya pada Mata Pelajaran
Fisika, yang pada dasarnya memerlukan pemahaman yang tidak hanya terpaku pada media pembelajaran yang
masih menggunakan gambar diam (non multimedia), karena pada dasarnya materi pelajaran Mata Pelajaran
Fisika tentang kemagnetan merupakan mata Pelajaran yang membutuhkan suatu simulasi alat atau magnet yang
dapat mewakili fluks pada magnet yang tidak dapat dilihat secara nyata oleh mata manusia. Oleh karena itu,
materi pembelajaran yang disampaikan jadi cenderung membosankan dan kurang efektif bagi siswa dalam
memahami materi pelajaran Mata Pelajaran Fisika tersebut. Dengan menerapkan media pembelajaran berbasis
e-learning kepada para siswa tersebut diharapkan e-learning ini secara langsung dapat diakses dengan mudah
oleh para siswa di mana saja dalam bentuk aplikasi media pembelajaran baik pada PC maupun notebook. Selain
itu, e-learning akan dibangun dengan teknik responsive web sehingga e-leaning akan bersifat mobile learning dan
bisa diakses oleh mobile device (seperti smartphone) dan pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman siswa
pada Mata Pelajaran Fisika tentang kemagnetan. Metode penelitian yang akan digunakan adalah jenis metode
panelitian dan pengembangan (research and development (R & D)). Populasi penelitian pengembangan media
pembelajaran ini adalah siswa SMKN Kota Surabaya. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK Negeri
Kota Surabaya tahun pelajaran 2015-2016.
Kata Kunci : Media Pembelajaran, E-learning, responsive web, mobile learning.
1. PENDAHULUAN
Menurut Smaldino dan Russel[1], belajar adalah
mengembangkan pengetahuan baru, keterampilan, dan
perilaku yang merupakan interaksi individu dengan
informasi dan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini
tidak hanya bersifat lunak, tetapi juga bersifat fisik,
seperti jalan raya, televisi, komputer, dan lain
sebagainya. Melihat pada definisi tersebut semakin
jelas bahwa belajar tidak terlepas dari sebuah interaksi
antara individu dengan lingkungannya, dengan sebuah
media pembelajaran akan tercapai informasi yang
ditujukan kepada individu tersebut.
Dengan adanya media pembelajaran, peserta didik
dengan mudah memahami apa isi materi dari suatu
pelajaran tersebut. Hal ini sesuai dengan definisi media
pembelajaran itu sendiri. Seperti yang dikemukakan
oleh Briggs (dalam Arsyad[2]) bahwa media
pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan
isi atau materi pembelajaran, seperti: buku, film, video
dan sebagainya. Kemudian sarana komunikasi dalam
54
bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk
teknologi perangkat keras.
Dalam pelaksanaannya, Kemp & Dayton (dalam
Arsyad, 2013: 39) mengelompokkan media ke dalam
delapan jenis, yaitu media cetakan, media pajang,
overhead transparancies, rekaman audiotape, seri
slide dan film strips, penyajian multi-image, rekaman
video dan film hidup, serta komputer. Sedangkan
dalam aplikasi teknologi saat ini, bahwa media yang
mencakup hampir semua jenis media tersebut adalah
implementasi dari media pembelajaran e-learning.
Berdasarkan pada studi pendahuluan pada siswa
SMKN Kota Surabaya, fasilitas untuk mendukung
pengadaan e-learning memang telah dikembangkan,
namun dalam implementasinya masih belum
maksimal. Pembelajaran yang disampaikan masih
cenderung menggunakan media pembelajaran
konvensional seperti mencatat dari papan tulis dan
media perangkat lunak presentasi Power Point, dalam
pemanfaatan teknologi informasi masih kurang efektif
dan interaktif karena tidak ada gambar bergerak.
Khususnya pada mata Pelajaran Fisika yang pada
dasarnya memerlukan pemahaman yang tidak hanya
terpaku pada media pembelajaran yang masih
menggunakan gambar diam (non multimedia), karena
pada dasarnya materi pelajaran Fisika sebagian besar
merupakan mata Pelajaran yang membutuhkan suatu
simulasi alat contohnya magnet yang dapat mewakili
fluks pada magnet yang tidak dapat dilihat secara nyata
oleh mata manusia. Oleh karena itu, materi
pembelajaran yang disampaikan jadi cenderung
membosankan dan kurang efektif bagi siswa dalam
memahami materi pelajaran mata Pelajaran Fisika tersebut. Dengan menerapkan media pembelajaran
berbasis e-learning kepada para siswa tersebut
diharapkan e-learning ini secara langsung dapat
diakses dengan mudah oleh para siswa di mana saja
dalam bentuk aplikasi media pembelajaran pada PC
ataupun notebook. Selain itu, e-learning yang akan
dibangun menggunakan teknik responsive web
sehingga e-leaning akan bersifat mobile learning yang
juga bisa diakses oleh mobile device (seperti
smartphone) dan pada akhirnya dapat meningkatkan
pemahaman siswa pada mata Pelajaran Fisika tentang
kemagnetan. Definisi e-learning sendiri menurut Jaya
Kumar C. Koran (dalam Hasbullah[3]) adalah sebagai
sembarang pengajaran dan pembelajaran yang
menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau
internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran,
interaksi, atau bimbingan. Saat ini semakin banyak
pemrogram komputer mengembangkan perangkat
lunak penyedia pembuatan aplikasi e-learning ini.
Diantaranya adalah perangkat lunak visual seperti C#
maupun adobe Flash (CS6) yang mempunyai
lingkungan untuk pengembangan animasi dan lain
sebagainya. Dengan perangkat lunak tersebut pendidik
dapat menggunakannya secara maksimal dalam
menyusun konteks pelajaran yang akan diajarkan pada
peserta didik.
1.1 Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin dan
merupakan bentuk jamak dari kata medium yang
secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Medòê
adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke
penerima pesan. Terdapat sedikit perbedaan yang
dikemukakan oleh beberapa pakar pendidikan.
Menurut Asosiasi Teknologi dan Komunikasi
Pendidikan (Association of Education and
Communication Technology/AECT) (dalam
Arsyad[2]) membatasi media sebagai segala bentuk dan
saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan
pesan atau informasi. Sedangkan menurut Gagne’ dan
Briggs (dalam Arsyad[2]) secara implisit mengatakan
bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara
fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi
pelajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape
recorder, kaset, video kamera, video recorder, film,
slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer.
Media pembelajaran memiliki peran yang penting
pada proses belajar dan mengajar itu sendiri,
diantaranya ada beberapa macam kegunaan media
pembelajaran dalam proses belajar mengajar yang
secara umum dijelaskan Arsyad[2] sebagai berikut: (a)
memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat
verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan
belaka), (b) mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan
daya indera, (c) penggunaan media pembelajaran
secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif
anak didik, (d) dengan sifat yang unik pada tiap siswa
ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman
yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi
pembelajaran ditentukan sama untuk setiap siswa,
maka guru banyak mengalami kesulitan bilamana
semuanya itu harus diatasi sendiri.
Musfiqon[4] menyatakan bahwa para pakar media
pembelajaran telah merumuskan kriteria-kriteria
pemilihan media pembelajaran seperti berikut ini: (a)
kesesuaian dengan tujuan, (b) ketepatgunaan, (c)
keadaan peserta didik, (d) ketersediaan, (e)
keterampilan guru dan (f) mutu teknis
1.2 Macro Media Flash
Menurut[5], Macromedia Flash adalah perangkat
lunak aplikasi untuk animasi yang digunakan untuk
Web. Dengan Macromedia Flash, web site dapat
dilengkapi dengan beberapa macam animasi, sound,
intaraktif animasi dan lain-lain. Gambar hasil dari
Macromedia Flash dapat diubah ke dalam format lain
untuk digunakan pada pembuatan desain web yang
tidak langsung mengadaptasi Flash. Seperti pada
perangkat lunak Adobe Flash yang memiliki fungsi
sebagai penyedia pembuatan animasi berupa klip film
yang kemudian dapat disusun dengan baik sebagai
media pembelajaran interaktif dan menarik bagi siswa.
Dengan fitur-fitur antarmuka yang menarik, akan
menghasilkan format file media pembelajaran yang
bersifat interaktif, di mana pada penyampaian suatu
materi terdapat audio visual di dalamnya, sehingga
pesan informasi yang disampaikan dapat tampil secara
55
menarik dan mudah dipahami oleh siswa atau peserta
didik tersebut.
2. METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis
metode panelitian dan pengembangan (research and
development (R & D)). Menurut Brog and Gall dalam
Sugiyono[6]) menyatakan bahwa penelitian dan
pengembangan, merupakan metode penelitian yang
digunakan untuk mengembangkan atau memvalidasi
produk-produk yang digunakan dalam pendidikan dan
pembelajaran. Lebih lanjut menurut Seels & Richey
(dalam Mursid[7])menjelaskan bahwa penelitian
pengembangan merupakan studi yang sistematis
tentang perancangan, pengembangan pengevaluasian,
program pengajaran, proses dan produk yang harus
memenuhi kriterian konsistensi internal dan
keefektifan.
Tujuan dari panelitian dan pengembangan
menurut Ghufron[8] adalah menjembatani kesenjangan
antara sesuatu yang terjadi dalam penelitian
pendidikan dengan praktik pendidikan dan
menghasilkan produk penelitian yang dapat digunakan
untuk mengembangkan mutu pendidikan dan
pembelajaran secara efektif. Sedangkan menurut Brog
and Gall[9] bahwa prosedur penelitian dan
pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan
utama, yaitu: pengembangan produk, menguji kualitas
dan efektifitas produk dalam mencapai tujuan. Dalam
penelitian ini akan meniliti tentang pengembangan
media pembelajaran untuk mengetahui seberapa besar
efektifitas dan kelayakan media tersebut dalam proses
pembelajaran siswa SMKN Kota Surabaya penerapan
pada Mata Pelajaran Fisika tahun pelajaran 2015-
2016. Populasi penelitian pengembangan media
pembelajaran ini adalah siswa SMK Negeri Kota
Surabaya sebanyak 12 SMK Negeri. Sampel penelitian
ini adalah siswa SMK Negeri 5 Surabaya tahun
pelajaran 2015-2016.
Dengan menggunakan metode panelitian dan
pengembangan terdapat langkah-langkah yang
membedakannya dengan pendekatan penelitian yang
lain. Menurut[9] terdapat 4 ciri utama panelitian dan
pengembangan, yaitu: mempelajari hasil penelitian
yang berhubungan dengan produk yang akan
dikembangkan, mengembangkan produk hasil temuan,
area pengujian dalam pengaturan yang di mana hal itu
akan digunakan nantinya, dan merevisinya untuk
memperbaiki kekurangan yang ditemukan dalam tahap
uji coba lapangan.dalam penelitian ini peneliti
menringkas langkah-langkah tersebut menjadi lima
langkah prosedur penelitian dan pengembangan media
pembelajaran e-learning seperti pada gambar 1.
1. Metode dan instrumen penelitian merupakan
salah satu aspek terpenting dalam suatu penelitian
R&D ini. Menurut[10], metode penelitian adalah cara
yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan
data penelitiannya. Sedangkan instrumen menurut[6]
adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena
alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik
semua fenomena ini disebut sebagai variable
penelitian. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel
penelitian yang akan diukur dengan menggunakan
instrumen penelitian tersebut, diantaranya: (a) kualitas
media pembelajaran berbasis e-learning yang
diterapkan pada Mata Pelajaran Fisika Teknik, (b)
efektifitas media pembelajaran berbasis e-learning
yang diterapkan pada Mata Pelajaran Fisika Teknik
berdasarkan pada peningkatan hasil belajar siswa, (c)
respon siswa terhadap media pembelajaran berbasis e-
learning yang diterapkan pada Mata Pelajaran Fisika .
Gambar 1. Blok Diagram Langkah-langkah Panelitian
dan Pengembangan
Jadi terdapat tiga variabel penelitian sebagai dasar
pembuatan metode dan instrumen yang digunakan
sebagai studi penelitian terhadap media pembelajaran
e-learning tersebut.
Menurut[10] ada dua macam kisi-kisi yang harus
disusun oleh seorang peneliti sebelum menyusun
instrumen, yaitu: kisi-kisi umum dan kisi-kisi khusus.
Kisi-kisi umum adalah kisi-kisi yang dibuat untuk
menggambarkan semua variable yang diukur dan
dilengkapi dengan semua sumber data, metode, dan
instrumen yang mungkin dapat dipakai. Sedangkan
kisi-kisi khusus merupakan kisi-kisi yang dibuat untuk
menggambarkan rancangan butir-butir yang akan
disusun untuk suatu instrumen.
Berikut akan digambarkan kisi-kisi umum pada
penelitian pengembangan media pembelajaran e-
learning seperti yang tertera pada Tabel 1 berikut ini.
56
Tabel 1. Metode & Instrumen Penelitian
No. Variabel Sumber
Data Metode Instrumen
1 Kualitas
media pembelajara
n berbasis
e-learning yang
diterapkan
pada Mata PelajaranFis
ika Teknik
- Media
pembelajaran e-
learning
- Dosen penilai
media
- Dosen penilai
materi
Angket
Lembar
validasi kualitas
media e-
learning tersebut
sebagai
media pembelajara
n berupa
angket dan skala
bertingkat
2 Efektifitas
media
pembelajara
n berbasis e-learning
yang
diterapkan pada Mata
PelajaranFis
ika Teknikberd
asarkan pada
peningkatan
hasil belajar siswa
- Media
pembelaja
ran e-
learning - Dosen
penilai
media - Dosen
penilai
materi
-Angket
-Hasil
Belajar
Lembar
angket
efektifitas
media pembelajara
n e-
learning Hasil
Evaluasi
Siswa
3 Respon
siswa terhadap
media
pembelajaran berbasis
e-learning
yang diterapkan
pada Mata
PelajaranFisika 1
- Media
pembelajaran e-
learning
- Guru dan siswa
kelas XI
SMKN Kota
Surabaya
Angket Lembar
angket respon
siswa
terhadap penerapan
media e-
learning tersebut
sebagai
media pembelajara
n berupa
angket dan skala
bertingkat
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Terkait dengan materi dan media pembelajaran
yang telah dibangun, maka halaman utama e-Learning
SMKN Surabaya difokuskan terhadap beberapa
SMKN yang memiliki prodi Listrik.yaitu SMKN 5.
Gambar 2 Tampilan Halaman Utama e-Learning
Tampilan halaman utama dismartphone
diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Hal ini
menunjukkan bahwa e-Leaning yang dibangun
bersifat responsive.
Gambar 3 Tampilan Halaman Utama yang telah
mengadopsi resposive mobile learning
Menu pilihan pada e-Learning yang dibangun
diperlihatkan pada gambar dibawah ini. Pada tampilan
terlihat bahwa masing-masing tingkatan kelas
menempuh 2 semester dan setiap semester terdiri dari
beberapa pelajaran. Untuk prodi listrik terdapat mata
pelajaran fisika teknik dan akan membahas medan
magnet pada pertemuan ke IX. Tampilan diperlihatkan
pada gambar dibawah ini.
Gambar 4 Menu Pilihan Pada website
Menu pilihan ketika e-Learning diakses pada
smartphone yang diperlihatkan pada gambar dibawah
ini. Hal ini menunjukkan bahwa e-Leaning yang
dibangun bersifat responsive.
57
Gambar 5. Menu pilihan pada smartphone
Tampilan dibawah ini akan muncul ketika link
materi pada pertemuan IX mata pelajaran fisika teknik
ditekan oleh user.
Gambar 6 Tampilan Materi pada Wessite
Tampilan materi ketika e-Learning diakses pada
smartphone yang diperlihatkan pada gambar dibawah
ini. Hal ini menunjukkan bahwa e-Leaning yang
dibangun bersifat responsive.
Gambar 7 Tampilan Materi pada Smartphone
Tampilan dibawah ini memperlihatkan bahwa ada
forum interaksi antara guru dan siswa, ketika siswa
ingin memperjelas materi yang disampaikan oleh guru
diluar jam tatap muka.
8. Tampilan forum interaktif guru dan murid
Tampilan forum ketika e-Learning diakses pada
smartphone yang diperlihatkan pada gambar dibawah
ini. Hal ini menunjukkan bahwa e-Leaning yang
dibangun bersifat responsive.
58
Gambar 9 Tampilan Forum interaktif pada
smartphone
Berdasarkan validasi kelayakan dari masing-
masing aspek kualitas media pembelajaran oleh ahli
materi dan ahli media, secara keseluruhan diperoleh
rata-rata persentase kualitas media pembelajaran
sebesar 87,4 %. Hal ini berarti bahwa media
pembelajaran e-learning berada pada kategori
interpretasi skala penilaian kualitas sangat layak
menurut penilaian pakar media.
Validasi media pada aspek isi materi media
mendapatkan persentase kriteria media yang sangat
efektif. Kategori tersebut diperoleh berdasarkan tiga
belas butir pernyataan yang berkaitan tentang isi
materi media. Oleh karena itu, media yang
dikembangkan termasuk dalam media yang sangat
efektif digunakan sebagai media pembelajaran.
Dari hasil penilaian validasi secara umum pada
variabel efektifitas media pembelajaran e-learning,
dapat diketahui rata-rata presentase efektifitas media
adalah 86%. Hal ini menunjukkan bahwa media
pembelajaran e-learning berada pada kategori
interpretasi skala penilaian sangat efektif menurut
penilaian ahli materi.
Berikut merupakan penjelasan hasil respon siswa
dengan penilaian terhadap setiap aspek yang termasuk
dalam kategori penggunaan media pembelajaran
berbasis e-learning pada mata pelajaran Fisika .
Beberapa aspek tersebut diantaranya adalah format
media, isi media, bahasa yang digunakan media,
kemudahan pengoperasian media, dan sikap siswa
terhadap penggunaan media pembelajaran e-learning.
Dari hasil penilaian validasi secara umum pada
variabel respon siswa terhadap media pembelajaran e-
learning, dapat diketahui rata-rata presentase respon
media adalah 84,13%. Hal ini bahwa media tersebut
memperoleh tanggapan yang sangat baik dari siswa.
Dalam tanggapan siswa yang sangat baik, media
pembelajaran e-learning tersebut dapat disimpulkan
bahwa 84,3% siswa senang terhadap penggunaan
media pembelajaran e-learning sebagai media
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan definisi media
pembelajaran menurut Munadi[11] yaitu bahwa media
pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat
menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber
secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar
yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan
proses belajar secara efisien dan efektif.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan
menggunakan media pembelajaran e-learning
pembelajaran Fisika, materi medan magnet dan hukum
faraday mudah dipahami dan efektif untuk
pembelajaran mata pelajaran Fisika .
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Smaldino, Sharon E. & James D. Russel, (2011).
Instructional Teknologi and Media for Learning. Yogyakarta: Prenada Media Group.
[2] Arsyad, Azhar, (2013). Media Pembelajaran.
Jakarta: Rajawali Press, hlm. 3-4, 29,
[3] Hasbullah, (2006). Implementasi E-Learning Dalam
Pengembangan Pembelajaran di Perguruan Tinggi
(Proceeding). SNPTE 2006. Yogyakarta:UNY, hlm. 5.
[4] Musfiqon, HM, (2012). Media dan Sumber
Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka, 118.
[5] Sutopo, Hadi, (2000). Macromedia Flash. [online].
[6] Sugiyono, (2010). Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, hlm. 9.
[7] Mursid, R., (2013). “Pengembangan Model
Pembelajaran Praktik Berbasis Kompetensi
Berorientasi Produksi”. Dalam Cakrawala Pendidikan. (Th.XXXII, No.1). Medan, hlm. 30.
[8] Ghufron, Anik, (2011). “Pendekatan Penelitian dan
Pengembangan (R&D) di Bidang Pendidikan dan
Pembelajaran”. Dalam http://staff.uny.ac.id/sites/
default/files/HAND%20OUT%20MODEL%20%20R%20&%20D.pdf. 26 November.
[9] Borg, W. R. & Gall, M. D., (1983). Education
research: an instrucduction (4th ed). New York:
Longman Inc.
[10] Arikunto, S., (2010). Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 201, 203.
[11] Munadi, Yudhi, (2012). Media Pembelajaran.
Jakarta: Gaung Persada Press.
[12] Amri, Sofan, (2013). Pengembangan dan Model
Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
[13] Arikunto, S., (2010). Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara.
[14] Lee, Wei-Meng, (2011). Android™ 4 Application
Development Published by John Wiley & Sons, Inc.
[15] Bates, A. W., (1995). Technology, Open Learning
and Distance Education. London: Routledge.
59
[16] Clark, Ruth Colvin dan Richard E. Mayer, (2008). E-
Learning and the Science of Instruction. Thrid edition. United States: Pfeiffer.
[17] Darwanto, (2007). Televisi Sebagai Media
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
[18] Hamalik, Oemar, (1994). Media Pendidikan.
(cetakan ke-7). Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.
[19] Hendratman, Hendi, (2011). The Magic of
Macromedia Director. Bandung: Informatika.
[20] Holmes, Bryn & Gardner, J., (2006). E-Learning:
Concepts and Practice. United States : Pine Forge Press
[21] Kamarga, Hanny, (2002). Belajar Sejarah melalui e-
learning; Alternatif Mengakses Sumber Informasi
Kesejarahan. Jakarta: Inti Media.
[22] Koran, Jaya Kumar C., (2002). Aplikasi E-Learning
dalam Pengajaran dan pembelajaran di Sekolah Malaysia. (8 November 2002).
[22] Kusanti, Jani. (2013). Modul Flash 8. [online].
(http://kusanti04.files.wordpress.com/2009/11/modul-flash-8.pdf, diakses tanggal 25 Mei 2013).
[23] Nurtantio, Pulung, (2013). Kreasikan Animasi-mu
dengan Adobe Flash dalam Membuat Sistem Multimedia Interaktif. Yogyakarta: Penerbit Andi.
[24] Prosser, Michael & Keith Trigwell, (1999).
Understanding Learning and Teaching. Philadelphia: Open University.
[25] Republik Indonesia, (2003). Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdiknas.
[26] Rokhim, Moch, (2010). Pengembangan Media
Pembelajaran Dengan Model Computer Assisted
Instruction (CAI) Pada Materi Fisika Optik Di
Jurusan Teknik Elektro Universitas Negeri
Surabaya. Skripsi yang tidak dipublikasikan:
Universitas Negeri Surabaya.
[27] Sadiman, Arief S, dkk. (2010). Media Pendidikan:
Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Pers.
[27] Sadiman, Arief S. dkk., (1986). Seri Pustaka
Teknologi Pendidikan No.6 Media Pendidikan.
Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta : CV Rajawali.
[28] Saputro, Febrianto D., (2012). Pengembangan Media
Pembelajaran Menggunakan Model Computer
Based Instruction (Cbi) Pada Materi Fisika
Gelombang. Skripsi yang tidak dipublikasikan:
Universitas Negeri Surabaya.
[29] Setiawan, Denny, (2011). Komputer dan Media
Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
[30] Sudrajat, Akhmad, (2008). Media Pembelajaran.
[online]. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/
01/12/konsep-media-pembelajaran/, diakses tanggal 4 April 2013).
[31] (http://www.oocities.org/topaz_art/course_txt/flash/
chap01.pdf, diakses tanggal 25 Mei 2013).
60
61
IbM MGMP PPKn dan IPS dalam Mengembangkan Asesmen Otentik
di Kota Surabaya
Harmanto1*), I Made Suwanda2 1 Prodi PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Email: harmanto@unesa.ac.id
2 Prodi PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Email: madesuawnda@unesa.ac.id
*)Alamat Korespondensi: Email: harmanto@unesa.ac.id
ABSTRACT
Goals to be achieved in IbM (Knowledge-Technology-Art for Sociaty) Council Subject Teacher (MGMP)
Civic Education and Social Studdies in Developing Authentic Assessment in the city Surabaya is (1) Teachers can
perform analysis of KI and KD subjects PPKn and IPS SMP, to determine and make assessments authentic by
using (the technique of self-assessment, assessment peers, performance assessment, and assessment of products),
(2) the teacher can develop self-assessment, assessment peers, performance assessment, and assessment of
products on subjects PPKn and IPS SMP start from the conceptual stage to the application in the classroom.
Based on the analysis of the situation and problems faced by partners (MGMPs PPKn and IPS) general solution
offered is to hold a workshop continuously, in stages, and continuously followed by assistance in every step-step
activities that have been prepared on the difficulties faced PPKn and social studies teacher. The model used is IN
1, IN2, ON 1, IN3, and ON 2. That is, when IN conducted workshops, guidance, and practice of assembling
authentic assessment, while ON IN using the results to be applied in the field and in the classroom followed by
mentoring / school. Results IbM shows that 80% of participants who take the program IbM able to analyze KI and
KD in the curriculum in 2013 on subjects PPKn and IPS SMP particular emphasis on basic competencies which
must be measured with authentic assessment (using the technique of self-assessment, assessment friend peers,
performance assessment, and assessment of the product). 80% of participants in the program IbM able to construct
and develop Outentik Assessment.
Key Words: MGMP civic education, MGMP social studies, authentik assessment
ABSTRAK
Tujuan yang hendak dicapai dalam IbM Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PPKn dan IPS Dalam
Mengembangkan Authentic Assessment (asesmen otentik) di kota Surabaya adalah (1) Guru dapat melakukan
analisis KI dan KD mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP, untuk menentukan dan membuat asesmen otentik
dengan menggunakan teknik penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian unjuk kerja, dan penilaian produk,
(2) guru dapat mengembangkan penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian unjuk kerja, dan penilaian
produk pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP mulai dari tahap konseptual sampai dengan aplikasi di
kelas. Berdasarkan atas analisis situasi dan permasalahan yang dihadapi mitra (MGMP PPKn dan IPS) secara
umum solusi yang ditawarkan adalah mengadakan workshop secara kontinyu, berjenjang, dan
berkesinambungan, kemudian diikuti dengan pendampingan dalam setiap step-step kegiatan yang telah disusun
berdasarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru PPKn dan IPS. Model yang digunakan adalah IN 1, IN2,
ON 1, IN 3, dan ON 2. Artinya, pada saat IN dilakukan workshop, bimbingan, dan praktik menyusun asesmen
otentik, sementara ON menggunakan hasil IN untuk diterapkan di lapangan dan diikuti dengan pendampingan di
kelas/sekolah. Hasil IbM ini menunjukkan bahwa 80% peserta yang mengikuti program IbM mampu menganalisis
KI dan KD dalam kurikulum 2013 pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP khususnya ditekankan pada
KD-KD mana saja yang harus diukur dengan asesmen otentik (menggunakan teknik penilaian diri, penilaian
teman sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk). 80% peserta yang mengikuti program IbM mampu
menyusun dan mengembangkan otentik asesmen.
Kata Kunci: MGMP PPKn, MGMP IPS, authentik assessment
1. PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang sangat penting dalam
mempengaruhi kualitas pendidikan adalah tenaga
pendidik. Kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas
penyelenggaraan dalam proses pembelajaran. Kualitas
penyelenggaraan pendidikan sangat dipengaruhi
faktor guru/tenaga pendidik [6]. Guru merupakan
istrumental input dalam sistem pendidikan nasional.
Tanpa denyut keterlibatan aktif korps guru, kebijakan
pembaruan pendidikan secanggih apa pun akan
berakhir sia-sia[2]. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru
adalah penguatan pada bidang kompetensi pedagogik.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik meliputi pemahaman
terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Hal ini bukan berarti bahwa kompetensi kepribadian,
profesioanal, dan sosial tidak perlu dikembangkan,
62
namun untuk kegitan IbM ini lebih difokuskan pada
kompetensi pegagogik khususnya dalam
peningkatan kemampuan guru PPKn dan IPS
untuk mengembangkan authentic assessment
(asesmen otentik).
Beberapa alasan mendasar yang
melatarbelakangi kegiatan IbM bagi MGMP PPKn dan
IPSdi kota Surabaya adalah sebagai berikut.
Pertama, pemberlakukan Kurikulum 2013
yang memberikan penekanan yang aspek proses
pembelajaran yang ditandai adanya Kompetensi Inti
(KI) 1 berkaitan dengan religius, KI2 sikap sosial, dan
KI4 keterampilan. Hal ini mengandung makna
filosofis bahwa asesmen otentik menjadi bagian yang
tak terpisahkan dalam pembelajaran. Asesmen dapat
didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau proses
pengumpulan informasi tentang perkembangan
pembelajaran dan pencapaian pembelajaran. Asesmen
dilakukan sewaktu proses pembelajaran sedang
berlangsung dan setelah proses pembelajaran usai
dilaksanakan. Asesmen yang dilakukan selama
pembelajaran berlangsung disebut sebagai
asesmenproses, sedangkan asesmen yang dilakukan
setelah pembelajaran usai dilaksanakan dikenal
dengan istilah asesmen hasil/produk (Rusijono, dkk.,
2010). Authentic assessment is an evaluation process
that involves multiple forms of performance
measurement reflecting the student’s learning,
achievement, motivation, and attitudes on
instructionally-relevant activities. Examples of
authentic assessment techniques include performance
assessment, portfolios, self-assessment, peer
assessment, and attitute assessment (Newman,
1993:20).Perbedaan antara asesmen otentik
dibandingkan dengan asesmen tradisional dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan asesmen tradisional dan
asesmen otentik [3]
Traditional Assessment Authentic Assessment
Selecting a Response
Contrived
Recall/Recognition
Teacher-structured
Indirect Evidence
Performing a Task
Real-life
Construction/Application
Student-structured
Direct Evidence
Berdasarkan pengertian, karakteristik, dan tekniknya,
otentik asesmen sangat cocok untuk diterapkan dalam
mata pelajaran PKn dan IPS [1].
Kedua,berdasarkan atas hasil wawancara,
diskusi, observasi, dan dokumensi di sekolah yang
dilakukan oleh tim PKM pada pertemuan MGMP
PPKn dan IPS kota Surabaya menunjukkan bahwa dari
45 orang anggota aktif MGMP PPKn hanya 10% saja
yang mampu mengembangkan asesmen otentik
(penilaian diri, penilaian teman sejawat, penilaian
performance, dan penilaian produk). Itupun dalam
pengembangannya masih belum sempurna khususnya
ketepatan dalam mengembangkan rubrik-rubriknya.
Kondisi yang tidak jauh berbeda dialami MGMP IPS
dari jumlah 58 guru, hanya 15% yang mampu
mengembangkan penilaian performance, dan produk,
sementara penilaian diri dan penilaian teman sejawat
belum pernah melakukan. Beberapa kesulitan yang
dihadapi oleh guru PPKn dan IPS terletak pada
kemampuan mengembangkan aspek-aspek yang harus
dinilai dalam rubrik penilaian diri, teman sejawat,
performance, dan produk serta mengembangkan
derajat atau tingkatan dari aspek-aspek yang dinilai ke
dalam kategori “baik”, “cukup”, dan “kurang”.
Ketiga, berdasarkan atas hasil pendampingan
pelaksanaan kurikulum 2013 bagi guru PPKn dan IPS
jenjang SMP di kota Surabaya, menunjukkan bahwa
beberapa kesulitan yang dihadapi antara lain:
a. Mengidentifikasi Kompetensi Dasar (KD) mana
saja dalam kurikulum 2013 yang harus diukur
dengan menggunakan penilaian diri, penilaian
teman sejawat, penilaian performance, dan
penilaian produk.
b. Pengintegrasian pendekatan saintifik jika
dielaborasikan dengan model pembelajaran yang
lain seperti: kooperatif learning, pembelajaran
berdasarkan masalah, inkuiri, portofolio, dan lain-
lain, ke dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
c. Pengisian rapor yang menyertakan penilaian
kualitatif untuk baik pada aspek pengetahuan,
sikap, dan keterampilan.
1.1 Permasalahan Prioritas untuk Diselesaikan
Berdasarkan atas fakta empiris baik dari hasil
penelitian maupun studi pendahuluan menunjukkan
bahwa peningkatan kemampuan mengembangkan
asesmen otentik mendesak untuk dicarikan solusi
pemecahan masalahnya. Pelatihan saja tidak cukup,
hal ini didasarkan data hasil penelitian pendahuluan,
bahwa guru PKn dan IPS selama kurun waktu 10 tahun
terakhir semua sudah pernah mengikuti pelatihan dan
workshop tentang penilaian pembelajaran. Namun,
hasilnya hampir tidak ada yang
menindaklanjuti.Artinya, setelah pelatihan dan
workshop guru tidak melakukan mengembangkan
lebih lanjut hasil pelatihan untuk mempratikkan di
kelas. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus
MPMP PPKn dan IPS di kota Surabaya, yang
diperlukan guru setelah mengikuti pelatihan dan
workshop adalah pendampingan secara kontinyu dan
berkesinambungan dalam mempraktikkan sesuatu
sehingga secara berlahan-lahan guru mampu
melaksanakan tanpa perlu lagi didampingi.
Berbagai permasalahan yang dipaparkan di
atas, tim pelaksana kegiatan IbM melakukan diskusi
dengan pengurus dan beberapa anggota MGMP yang
dilaksanakan pada tanggal 8 Februari 2014. Hasil
diskusi atas permasalahan tersebut dihasil kesepakatan
tentang prioritas permasalahan yang akan
dilakukan pemecahaan dalam IbM adalah sebagai
berikut.
63
a. Analisis KI dan KD mata pelajaran PPKn dan IPS
jenjang SMP khususnya ditekankan pada KD-KD
mana saja yang harus diukur dengan asesmen
otentik dengan menggunakan teknik: self
asesment, attitute asesment, peer assesment,
performance asessment, product asessment
(penilaian diri, penilaian sikap, penilaian teman
sejawat, penilaian unjuk kerja, dan penilaian
produk).
b. Mengembangkan penilaian diri, penilaian teman
sejawat, penilaian performance, dan penilaian
produk pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang
SMP mulai dari tahap konseptual sampai dengan
aplikasi di kelas.
c. Cara yang dilakukan untuk meningkatkan
pemahaman tentang penilaian diri, penilaian teman
sejawat, penilaian performance, dan penilaian
produk dilakukan melalui model IN-ON-IN-ON-
IN. Artinya pada saat IN dilakukan workshop dan
bimbingan, sementara ON menggunakan hasil IN
untuk diterapkan di lapangan. Pada saat ON di
lapangan/kelas tim pelaksana IbM akan melakukan
pendampingan di kelas secara langsung. Hal ini
dilakukan untuk memperbaiki pelaksanaan
kegiatan ON tahap kedua, begitu seterusnya
sampai denhan IN yang ketiga.
Kebaharuannya kegiatan ini adalah (1) dengan
menggunakan model IN-ON-IN-ON-IN yang
memberikan peluang bagi guru agar mampu
mengembangkan penilaian diri, penilaian teman
sejawat, penilaian performance, dan penilaian produk
secara tuntas, (2) pendampingan secara intensif dan
berkesinambungan berdasarkan permasalahan
individu dan kelompok guru PPKn dan IPS, (3)
menciptakan budaya akademik di lingkungan MGMP
yang dapat dijadikan sebagai sarana peningkatan
keprofesionalan guru PPKn dan IPS, (4) Model IbM
(IN-ON-IN-ON-IN) yang dikembangkan diharapkan
dapat didesiminasikan di wilayah lain maupun pada
MGMP mata pelajaran lainnya.
2. METODE PELAKSANAAN
Berdasarkan atas analisis situasi dan
permasalahan yang dihadapi mitra (MGMP PPKn dan
IPS) secara umum solusi yang ditawarkan adalah
mengadakan workshop secara kontinyu, berjenjang,
dan berkesinambungan yang kemudian diikuti dengan
pendampingan dalam setiap step-step kegiatan yang
telah disusun berdasarkan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi guru PKn dan IPS. Metode/solusi yang
ditawarkan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Metode/solusi yang Ditawarkan dalam
IbM MGMP PPKn dan IPS Tahap Metode Aktivitas Hasil
IN 1 Workshop a. Peserta IbM
memahami
Guru yang
tergabung
Tahap Metode Aktivitas Hasil
otentik asesmen secara
konseptual
b. Praktik membuat
otentik asesmen
sesuai dengan kelas yang
diajar
c. Peserta IbM diberi tugas
untuk membuat
asesmenotentik di luar jam
workshop
dalam MGMP PPKn dan IPS
memahami
secara konseptual dan
praktik
pengembangan asesmen
otentik
IN 2 Workshop a. Peserta dibimbing
pengusul IbM
(instruktur) mendiskusikan
hasil pmbuatan
instrumen asesmen otentik
b. Persiapan
implementasi
Guru PPKn dan IPS SMP
mempunyai
instrumen otentik
asesmen yang
akan diterapkan di
sekolah/kelas
masing-masing ON 1 Praktik di
Sekolah
Peserta IbM
mempraktikkan
instrumen otentik asesmen yang telah
disusun dalam ON 2
Instrumen
otentik
asesmen yang dibuat guru
untuk
diterapkan di sekolah
IN 3 Workshop Peserta IbM
menganalisis, refleksi,
menyempurnakan
instrumen otentik asesmen hasil
praktik di sekolah
masing-masing
Hasil analisis
praktik instrumen
ON 2 Praktik di
Sekolah
Peserta IbM
mempraktikkan
instrumen otentik asesmen yang telah
disusun dalam IN 3
Instrumen
otentik
asesmen final yang dibuat
guru untuk
diterapkan di sekolah
Berdasarkan Tabel 2, jika disusun menjadi
bagan metode dan prosedur kerja yang digunakan
dapat dilihat pada Gambar 1.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan solusi yang ditawarkan dan target
luaran bagi guru yang aktif dalam MGMP PPKn dan
IPS kota Surabaya, dukungan pengurus dan anggota
dalam melaksanakan solusi yang ditawarkan untuk
mengatasi permasalahan yang ada mutlak diperlukan.
Dukungan awal telah dibuktikan dengan kesediaan
memberikan data pada saat studi pendahuluan dan
kendala-kendala yang dihadapi selama ini. Dukungan
berikutnya adalah kesediaan menandatangai nota
bekerjasama dengan tim pengusul untuk
melaksanakan dan mendukung kegiatan yang telah
dirancang dari awal sampai akhir.
Pada tahap implementasi di lapangan peran
dan dukungan mitra sangat diperlukan agar kegiatan
yang telah disusun dapat berjalan lancar sehingga
tujuan dan target kuantitatif dan kualitatif dapat
64
tercapai. Untuk itu maka pengurus dan anggota
MGMP PPKn dan IPS harus aktif melakukan kegiatan
baik pada saat pelatihan secara klasikal maupun klinik
secara individual berdasarkan atas kesulitan masing-
masing guru. Keaktifan bukan saja datang setiap
kegiatan akan tetapi lebih dari itu adalah
melaksanakan tugas sesuai dengan target yang telah
disepakati bersama antara pelaksana IbM dan guru
PPKn dan IPS.
Berikut ini merupakan bentuk solusi yang
ditawarkan yang disusun secara hirarkhis dari awal
sampai akhir kegiatan.
(a) Diawali dengan brainstorming tentang masalah
yang dihadapi (sudah dilakukan tim dengan
MGMP PKn dan IPS pada bulan Desember
2011-Februari 2015). Kegiatan ini dilakukan
agar mengetahui akar permasalahan yang
sebenarnya.
(b) IN 1, Menyusun dan mengembangkan penilaian
diri, penilaian teman sejawat, penilaian
performance, dan penilaian produk pada mata
pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP mulai dari
tahap konseptual sampai dengan aplikasi di kelas.
Pada tahap ini produk yang dihasilkan adalah
membuat Asesmen Autentik sebagai Tugas
Mandiri.
(c) IN 2 adalah mendiskusikan tugas mandiri untuk
sharing pengalaman sekaligus memperbaiki.
(d) ON 1, Pemantauan dan pendampingan
implementasi penilaian otentik yang telah disusu
di sekolah masing-masing.
(e) IN 3, diskusi panel dan workshop hasil ujicoba
lapangan 1. Pada IN 3 ini guru PPKn dan IPS
mempresentasikan hasil uji coba tahap 1.
(f) ON 2, secara mandiri guru-guru PPKn dan IPS
secara mandiri menggunakan asesmen otentik
dalam pembelajaran.
Program IbM yang digagas oleh Direktorat
Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat,
Kemenrisetdikti memberikan dampak yang sangat
baik bagi aktivitas guru yang tergabung dalam MGMP
PPKn dan IPS jenjang SMP dalam mengembangkan
asesmen otentik. Keterlibatan MGMP PPKn dan IPS
ditunjukkan sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai
dengan evaluasi.
Pada akhir IbM hasil yang telah dicapai dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Antara Target dan Hasil
pada Akhir Pelaksnaan IbM
No Indikator Keberhasilan Target Hasil
1 Laporan hasil IbM 100% 95%
2 Artikel yang dimuat dalam prosiding seminar nasional
100% 90%
3 Model pendampingan Ada
Model
Ada
Model
No Indikator Keberhasilan Target Hasil 4 Asesmen otentik yang dilengkapi dengan
rubrik yang dibuat guru PPKn dan IPS
80% 100%
5 Analisis KI dan KD dalam kurikulum 2013 pada mata pelajaran PPKn dan IPS
jenjang SMP
80% 100%
6 Menyusun dan mengembangkanOutentik Assesment(penilaian diri, penilaian
teman sejawat, penilaian performance,
dan penilaian produk) pada mata pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP
80% 100%
7 Memahami Outentik Assesment 80% 84%
Berdasarkan atas paparan tentang solusi yang
ditawarkan maka target yang telah dicapai sebagai
berikut.
1. Bagi tim pengusul IbM:
(a) Laporan hasil IbM, laporan telah disusun dan
diunggah dalam simlitabmas.
(b) Artikel yang dimuat prosiding seminar
nasional yang diselenggarakan oleh LPPM
Universitas Negeri Surabaya yang
dilaksanakan pada tanggal 27 November 2016.
(c) Model pendampingan dalam meningkatkan
kemampuan mengembangkan asesmen otentik
khususnya bagi guru mata pelajaran PPKn dan
IPS, yakni IN-ON-IN-ON. Dengan
menggunakan model IN-ON-IN-ON, telah
berhasil mengembangkan asesmen otentik
bagi guru PPKn dan IPS.
(d) Asesmen otentik yang dilengkapi dengan
rubrik yang dibuat guru PPKn dan IPS sudah
dilakukan, seperti pada lampiran 8 yang
terpisah dari laporan ini, tetapi, merupakan
satu kesatuan dari dokumen laporan IbM
secara keseluruhan.
2. Bagi guru PPKn dan IPS dalam MGMP dengan
kegiatan IbM ini telah mampu:
(a) menganalisis KI dan KD dalam kurikulum
2013 pada mata pelajaran PPKn dan IPS
jenjang SMP khususnya ditekankan pada
KD-KD mana saja yang harus diukur dengan
asesmen otentik (menggunakan teknik
penilaian diri, penilaian teman sejawat,
penilaian performance, dan penilaian
produk). Tolok ukur keberhasilan adalah 80%
peserta yang mengikuti program IbM mampu
menganalisis KI dan KD dalam kurikulum
2013 pada mata pelajaran PPKn dan IPS
jenjang SMP khususnya ditekankan pada
KD-KD mana saja yang harus diukur dengan
asesmen otentik (menggunakan teknik
penilaian diri, penilaian teman sejawat,
penilaian performance, dan penilaian
produk). Hasil yang dicapai adalah 100%,
65
artinya seemua KD telah dibuat instrumen
asesmennya.
(b) Mampu memahami Outentik Assesment, baik
secara konseptual maupun praktis. Untuk itu
maka perlu dilakukan pre-tes dan postes. Tolok
ukur keberhasilan adalah 80% peserta yang
mengikuti program IbM mampu menyusun dan
mengembangkan Outentik Assesment. Hasil
yang dicapai adalah 84%.
(c) Mampu menyusun dan
mengembangkanOutentik Assesment(penilaian
diri, penilaian teman sejawat, penilaian
performance, dan penilaian produk) pada mata
pelajaran PPKn dan IPS jenjang SMP. Hasil
yang dicapai adalah 100%.
(d) Tolok ukur keberhasilan adalah 80% peserta
yang mengikuti program IbM mampu
menyusun dan mengembangkan Outentik
Assesment. Hasil yang dicapai adalah 100%.
4. PENUTUP
4.1 Simpulan
Bahwa pada saat pre tes pemahaman
konseptual guru tentang asesmen otentik masih
rendah. Hal ini karena rata-rata skor yang diperoleh
sebesar 58.18 untuk guru PPKn dan 59.78 untuk guru
IPS. Setelah IbM dilaksanakan diperoleh hasil tes
akhir, rata-ratanya untuk guru PPKn sebesar 82,90 dan
guru IPS sebesar 84,70. Model IN dan ON tepat
digunakan karena ada proses internalisasi dari materi
yang dilatihkan sehingga berdampak positif terhadap
peningkatan pemahaman guru PPKn SMP dalam
pengembangan bahan. Tanggapan dari peserta
terhadap kemampuan fasilitator dalam kategori baik.
Tanggapan dari peserta terhadap falilitas yang
diberikan dalam kategori baik. Terbitnya
Permendikbud No. 22, 23, dan 24 tahun 2016
menyebabkan pengembangan asesmen oleh guru perlu
dicermati ulang dan disesuikan dengan ketentuan yang
baru.
4.2 Saran
Model IN-ON-IN-ON ini bisa digunakan untuk
pelatihan lain yang dapat menunjang kinerja guru
dalam meningkatkan kompetensinya. Setiap pelatihan
hendaknya dilakukan survey meminta pendapat dari
peserta sehingga nanti hasilnya akan lebih efektif dan
berkesinambungan.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Center For Indonesian Civic Education/ CICED.
(2009). Democratic Citizens in A Civic Society:
Workshop Report. Bandung: CICED.
[2]. Komalasari, K., Budimansyah, D. (2008).
Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam
Pendidikan Kewarganegaraan terhadap
Kompetensi Kewargane-garaan Siswa SMP.
Acta Civicus Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan, Vol. 2, No. 1, Oktober 2008.
[3]. Mueller, J. (2004). What is Authentic
Assessment?. Tersedia di:
http://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/whatisi
t.htm. (Akses, 11 Maret 2014).
[4]. Newman, Delia. (1993). Alternative Assessment:
Promises and Pitfalls. In School Library Media
Annual. Volume Eleven. Edited by Carol Collier
Kuhlthau, 13-20. Englewood, CO: Libraries
Unlimited.
[5]. Rusijono, Susanto, Supriyono, Murtedjo, Hariadi,
E., Kusnanik, N. W., Kasrori, J. (2010). Asesmen
dan Penilaian. Surabaya: Unesa Press.
[6]. Winataputra, Udin. S. (2001). Jatidiri
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi:
Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks
Pendidikan IPS. Disertasi Doktor pada SPS UPI
Bandung:Tidak Diterbitkan.
66
67
Pengembangan Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no
condition untuk memperkuat daya tahan (retensi) keterampilan
berpikir tingkat tinggi mahasiswa pendidikan kimia pada materi pokok
Keisomeran
Ismono1*), Tukiran2, Suyatno3 1Jurusan kimia Fmipa Unesa,UNESA, SURABAYA. Email : ismono.sains@gmail.com
2Jurusan kimia Fmipa Unesa,UNESA, SURABAYA. Email : btukiran@yahoo.com 3Jurusan kimia Fmipa Unesa,UNESA, SURABAYA. Email : suyatno_kimunesa@yahoo.
*) Alamat Korespondesi: Email: ismono.sains@gmail.com
ABSTRACT
Learning and teaching organic chemistry requires the ability of understanding the concepts and the ability to
higher order thinking skill, because the teaching materials rich in organic chemistry are abstract concepts,
organized, and often a close relationship between concept to another concept. It is necessary for adequate learning
environment that challenges students and monitor the progress of each individual's level of understanding about
the understanding of important concepts such as learning devices. This research is the development of which is
the development of learning tools with research subjects include three experts who validate theoretical learning
devices and 24 students of chemical education class FMIPA UNESA 2015 taking organic chemistry course 1 in
the subject matter isomer for. The results showed that the concept mapping based learning: (1) to have the validity
of the theory in either category (2) can be used in practical learning, based on observations and student
questionnaires; (3) effectively able to maintain retention concept, even an average score of students post posttest
higher than posttest
Keywords: Device-based learning concept map no condition, high level thinking skills, retention
ABSTRAK
Belajar dan mengajar kimia organik memerlukan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir
tingkat tinggi, karena pada materi ajar kimia organik kaya akan konsep-konsep bersifat abstrak, terorganisir, dan
seringkali terjadi hubungan yang erat antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Untuk itu diperlukan
lingkungan belajar yang memadai yang menantang peserta didik dan memantau kemajuan tingkat pemahaman tiap
individu tentang pemahaman konsep-konsep penting seperti perangkat pembelajaran. Penelitian ini merupakan
penelitian pengembangan yaitu pengembangan perangkat pembelajaran dengan subyek penelitian meliputi 3 pakar
yang menvalidasi teoritis perangkat pembelajaran dan 24 mahasiswa pendidikan kimia FMIPA UNESA angkatan
2015 yang mengambil matakuliah kimia organik 1 pada materi pokok isomer untuk. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perangkat pembelajaran berbasis peta konsep: (1) memiliki validitas teori dalam katagori baik (2) praktis
dapat digunakan dalam pembelajaran berdasar hasil pengamatan dan angket mahasiswa; (3) efektif mampu
mempertahankan retensi konsep, bahkan skor rata-rata peserta didik pasca postes lebih tinggi daripada postes
Kata Kunci: Perangkat Pembelajaran berbasis peta konsep no condition, keterampilan berpikir tingkat tinggi,
retensi
1. PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia saat ini dihadapkan
dengan beberapa isu yang sangat strategis antara lain:
(a) pembelajaran harus melibatkan peserta didik secara
aktif dalam menemukan dan membangun pengetahuan
melalui inkuiri, penemuan, pemecahan masalah dan
bekerja dan belajar secara kolaboratif (collaborative
learning); (b) peserta didik harus memiliki
kemampuan berpikir tingkat tinggi, menalar,
menerapkan pengetahuan konseptual dan prosedural
untuk memecahkan masalah, dan menyajikan
keterkaitan konsep materi pembelajaran yang
dipelajari secara efektif dan kreatif[1][2], (c) hasil
evaluasi PISA, kemampuan keterampilan berpikir
tingkat tinggi (higher order thinking skills, HOTS)
siswa Indonesia yang relative rendah, seperti literasi
membaca buku teks, literasi sains (scientific literacy),
dan (d) Sebagian besar guru SMA dalam menyusun
butir soal cenderung hanya mengukur kemampuan
berpikir tingkat rendah (Low Order Thinking Skills)
yaitu mengukur keterampilan mengingat (recall)[3].
Pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi
isu-isu tersebut menyusun beberapa langkah strategi
dalam pendidikan dan pembelajaran, seperti: (a)
melakukan perubahan dan penyempurnaan kurikulum,
mulai dari pendidikan dasar dan menengah dikenal
dengan Kurikulum 2013[4] hingga di tingkat
pendidikan tinggi dikenal dengan Kerangka
Kurikulum Nasional Indonesia (KKNI), dan (b)
menerbitkan panduan penyusunan soal higher order
thinking SMA[3]. Langkah tersebut merupakan langkah
nyata pemerintah Indonesia dalam upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, agar
mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain, mulai
dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan
68
tinggi. Elemen-elemen penting dari perubahan tersebut
yaitu: (1) pada proses pembelajaran, (a) pendidik dan
peserta didik harus memiliki kemampuan inkuiri dan
keterampilan berpikir tingkat tinggi serta mampu
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, (b)
pembelajaran harus menggunakan pendekatan sains
melalui kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mencoba,
menalar/mengasosiasi, mengomunikasikan, dan
mencipta (create), (c) pembelajaran harus mampu
melibatkan siswa secara aktif untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri melalui kegiatan bekerja dan
belajar secara kolaboratif, berdiskusi, curah pendapat
(brainstroming), mampu menumbuhkan budaya inkuri
dan keterampilan berpikir tingkat tinggi; dan (2)
evaluasi pembelajaran harus berbasis konstektual dan
mampu mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi
peserta didik[5-10] .
Berdasarkan harapan di atas, maka dalam
mempelajari sains (kimia) pendidik atau calon
pendidik kimia harus memiliki kemampuan inkuri dan
keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan dapat
melatihkan/membelajarkan kepada peserta didik.
Salah satu materi yang dapat melatihkan peserta didik
dalam berpikir tingkat tinggi dan inkuiri yaitu materi
kimia organik, karena untuk mempelajari materi dalam
kimia organik dibutuhkan kemampuan pemahaman
konsep dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Materi
ajar kimia organik (khususnya keisomeran)
merupakan materi yang kaya akan konsep-konsep
yang bersifat abstrak, teroganisir, dan seringkali terjadi
hubungan antar konsep dengan konsep[11]. Berkaitan
dengan hal tersebut maka diperlukan pembelajaran
inovatif untuk menciptakan seperti lingkungan belajar
di atas yaitu Perangkat Pembelajaran Berbasis Peta
Konsep no condition.
Perangkat pembelajaran Peta Konsep no condition
merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk
membelajarkan materi yang konseptual, konsep
terorganisir secara hirarkhi, dan antar konsep memiliki
keterkaitan. Konsep merupakan suatu proses dan
fungsi mental yang digunakan sebagai alat untuk
mengekspresikan ide-ide atau unit-unit pengetahuan,
mengembangkan pikiran, konstruksi simbolik paling
dasar yang bertujuan untuk memperlancar komunikasi.
Konsep memiliki lima elemen penting yaitu: (a) nama
konsep, (b) definisi konsep, (c) atribut-atribut penentu
seperti atribut kritis dan atribut variabel, (d) nilai, dan
(e) contoh[12-15]. Proses penemuan konsep sering
disebut asosiasi konsep atau pemerolehan konsep[16-18].
Thomas Alice & Glenda Thorne (2009), secara detail
berpendapat bahwa pembelajaran yang berbasis
pemerolehan dan pemahaman konsep merupakan
proses yang multi-langkah di antaranya: (a)
menentukan nama kritis (utama) fitur konsep; (b)
menyebutkan beberapa fitur tambahan dari konsep
(atribut kritis dan atribut variabel); (c) jenis konsep, (d)
memberikan contoh atau non-contoh atau prototipe
atau non-prototipe konsep (e) mengidentifikasi dan
mengelompokkan konsep (utama, superordinat,
ordinat, subordinat, sub-subordinat)[19]. Kardi (1997),
menyatakan peserta didik dianggap telah dapat
memahami konsep, bila peserta didik mampu
menempatkan obyek/konsep ke dalam kelompok
(hirakhi) tertentu[17]. Pendapat tersebut didukung oleh
Ausubel[20]; Joyce Weil dan Showers[21]. Peta konsep
(disingkat PK) dikembangkan oleh Joseph D. Novak
pada tahun 1972 yang didasari oleh teori belajar
bermakna dari Ausubel. Belajar bermakna merupakan
upaya sadar manusia ketika pengetahuan baru akan
dikaitkan dengan kerangka kerja yang ada
pengetahuan sebelumnya. Belajar bermakna sangat
berbeda dengan belajar hafalan (atau menghafal),
konsep-konsep baru ditambahkan ke kerangka kerja
pelajar dengan cara sewenang-wenang dan dihafal apa
adanya (verbatim), sehingga menghasilkan struktur
pengetahuan yang lemah dan tidak stabil yang cepat
terlupakan[20]. Selain itu belajar hafalan sedikit
berkonstribusi dalam membangun struktur
pengetahuan dan tidak dapat mempromosikan
pengkonstruksian pengetahuan, berpikir tingkat tinggi,
berpikir reflektif atau pemecahan masalah. Namun
dalam pembelajaran bermakna kadangkala dibutuhkan
juga kemampuan menghafal[21].
Peta konsep yaitu visualisasi hubungan antar
konsep-konsep dalam bentuk representasi grafis dua
dimensi dan konsep-konsep direpresentasikan dalam
bentuk kotak atau lingkaran. Keterkaitan antara dua
konsep atau lebih akan dihubungkan dengan dengan
garis anak panah berlabel ( kata penghubung) yang
disebut dengan proposisi agar hubungan antar konsep
memiliki makna[11, 22]. Peta konsep merupakan salah
satu bentuk dari pengajaran bermakna pada konsep-
konsep yang bersifat “sulit atau abstrak” memiliki tiga
prinsip yaitu: (a) kesiapan peserta didik yang meliputi
pengetahuan yang peserta didik miliki saat ini dan
menerima pengetahuan/konsep yang baru dan
mengkaitkannya dengan pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya; (b) ) penggolongan konsep dimulai dari
konsep yang paling umum ke yang paling spesifik
peserta didik dapat menvisualisasikan dan; (c)
menggolongkan konsep-konsep dalam struktur
kognitifnya[14, 20].
Ausubel (1986), mengusulkan untuk
menjembatani antara pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang dimiliki peserta didik sebelumnya
dapat digunakan pemandu awal (advanced organizer).
Advanced organizer sebagai suatu cara/strategi untuk
membantu atau mengingatkan peserta didik pada
materi sebelumnya (yang dimiliki peserta didik) untuk
dihubungkan dengan konsep-konsep baru yang akan
dipelajari[20]. Teori belajar lain yang mendasari
pembelajaran peta konsep yaitu teori pemrosesan
informasi (information processing). Teori ini pada
hakekatnya menjelaskan bahwa belajar merupakan
suatu aktivitas yang berkaitan pemrosesan informasi
69
dimana di dalam proses internal otak manusia terjadi
pengorganisasian informasi dan mempertahankan
pengetahuan/konsep-konsep untuk digunakan
kembali[23]. Model pemrosesan infomasi (MPI) terdiri
dari tiga komponen utama yaitu memori sensorik,
memori kerja, dan memori jangka panjang. Teori MPI
merupakan merupakan salah satu teori yang
mendukung pembelajaran berbasis peta konsep[24].
Proses untuk mengorganisir konsep dapat dengan
cara menggunakan pembelajaran peta konsep.
Pembelajaran peta konsep sesuai untuk digunakan
pada pengetahuan yang memiliki karakteristik
deklaratif (konseptual) dan prosedural. Pengetahuan
deklaratif yaitu pengetahuan yang memerlukan
penjelasan, sedangkan prosedural merupakan
pengetahuan yang terorganisir secara prosedur seperti
langkah-langkah menata konsep secara hirarki.
Langkah-langkah dalam menyusun peta konsep
memerlukan kemampuan penyelidikan (inkuri),
penemuan konsep yang terdapat dalam bahan ajar, dan
berpikir tingkat tinggi (Stanley D. Ivie. 1998) [25].
Menurut Krathwohl, (2001), yaitu meliputi
keterampilan menganalisis (C4), mengevaluasi (C5),
dan mensintesis/ mencipta (C6) [26].
Vygotsky (1978) menyatakan berdasarkan teori
konstruktivis dalam mengkonstruksi konsep ada lima
prinsip yang mendasarinya yaitu: (1) peserta didik
secara aktif mengkonstruksi pengetahuan melalui
hubungan antara konsep-konsep/ide-ide dan
pengalaman/pengetahuan yang dimiliki sebelumnya;
(2) peserta didik secara pribadi akan menciptakan
makna melalui kegiatan menganalisis dan mensintesis
konsep sehingga pemahaman baru tentang konsep
dapat dikonstruksi; (3) konstruktivis percaya bahwa
kegiatan belajar harus menumbuhkan integrasi
pemikiran, perasaan dan aktivitas (aksi) yang
membantu peserta didik dalam proses pengembangan
makna; (4) belajar merupakan kegiatan sosial yang
dapat ditingkatkan melalui belajar dan penyelidikan
bersama; (5) antara peserta didik dengan peserta didik
lainnya merupakan sebuah kelompok kerja yang
kolaboratif, pendidik sebagai fasilitator yang berperan
membantu (scaffolding) peserta didik yang mengalami
kesulitan[27].
Pembelajaran peta konsep dengan strategi inkuri
secara garis besar dapat dilakukan dengan berbagai
tingkatan antara lain tingkat No Conditions, dimana
peserta didik harus menemukan konsep-konsep kunci
dapat dengan cara menggarisbawahi konsep-konsep
suatu bahan ajar, kemudian peserta didik menganalisis
dan mengelompokan konsep-konsep kunci dalam
kolom matrik konsep, selanjutnya menyusun (create)
peta konsep. Evaluasi pada tingkat ini digunakan cara
cara yang dikembangkan oleh Markham dkk, 1994[28]
yang merupakan pengembangan rubrik dari Novak,
dimana temuan tiap konsep kunci diberi skor 1.
Tingkatan model pemetaan konsep dapat digambar
pada Gambar 1 [29].
Gambar 1 Jenjang pemetaan konsep berdasarkan
kemampuan peserta didik (adaptasi dan modifikasi dari
Strautmane, 2012).
Berkaitan dengan latar belakang dan landasan
teori, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
(1) validas perangkat pembelajaran yang
dikembangkan; (2) kepraktisan perangkat
pembelajaran yang dikembangkan; dan (3) keefektifan
perangkat pembelajaran yang dikembangkan berbasis
peta konsep no condition.
2. METODE
Desain penelitian ini merupakan penelitian dan
pengembangan dengan melalui tahapan seperti pada
Gambar 2[31]; dan (2) retensi pemahaman konsep untuk
mengetahui kefektifan model [30].
Penelitian dan pengembangan ini mengabdopsi
dan mengadaptasikan model penelitian yang
dikembangkan Nieveen[32]. Pada tahap pengembangan
desain dilakukan validasi teoritis oleh pakar yang
meliputi validasi isi dan konstruksi. Berdasarkan hasil
validasi teoritis, kemudian dilakukan validasi empiris
yaitu diujicobakan kepada 24 orang mahasiswa
pendidikan kimia, langkah validasi empiris digunakan
untuk melihat kepraktisan dan keefektifan perangkat
pembelajaran Peta Konsep no condition. Gambar
desain model dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Desain penelitian dan pengembangan validasi
empiris (adopsi dan modifikasi Nieveen, 2007).
Kepraktisan perangkat pembelajaran peta konsep
no condition diamati keterlaksanaan pembelajaran,
70
aktivitas mahasiswa, dan respon. Keefektifan
perangkat pembelajaran peta konsep no condition
dilihat dari hasil belajar mahasiswa yaitu kemampuan
daya tahan (retentsi) pemahaman konsep digunakan uji
hipotesis (uji t). Dengan desain sebagai berikut.
Uji retensi pemahaman konsep yaitu dengan
membandingkan hasil tes akhir (TA) dengan pasca tes
akhir (PTA), dengan menggunakan uji t dengan taraf
kepercayaan 95% dengan hipotesis <32>.
H0 : Tidak ada perbedaan antara TA dengan PTA.
Ho: µTA = µPTA
H1: µTA ≠ µPTA
3. HASIL
Perangkat pembelajaran divalidasi teoritis
dilakukan oleh tiga orang pakar yang berkompeten dan
berpengalaman di bidangnya. Validasi ini digunakan
untuk mengevaluasi kelayakan perangkat
pembelajaran secara teoritik meliputi kevalidan
konsep, kerunutan konsep, tata bahasa/kalimat, dan
format (layout) perangkat. Berdasarkan hasil validasi
ternyata masih perlu ada perbaikan beberapa konsep,
kesalahan tatakalimat, salah ketik dan format. Ke tiga
validator memberi skor rata-rata 3,5-5,7 dengan
katagori baik. Rekomendasi dari ketiga validator yaitu
perangkat pembelajaran dapat digunakan dengan
sedikit perbaikan. Berdasarkan hasil masukan dari
validator internal, kemudian dilakukan revisi dan
kemudian dilakukan validasi empiris dengan
mengujicobakan ke 24 mahasiswa pendidikan kimia
2015 FMIPA Unesa. Data yang diperoleh
keterlaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Keterlaksanaan pembelajaran
Keterlaksanaan P1
(%)
P2
(%)
P3
(%) (%)
Tatap muka 1 92,00 92,25 92,50 92,25
Tatap muka 2 93,25 93,50 93,00 93,25
Tatap muka 3 92,50 93.20 92,50 93,40
Data aktivitas mahasiswa selama proses pembelajaran
adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Aktivitas Mahasiswa
Aktivitas P1 P2 P3
Pelibatan
a. Mendengarkan penjelasan dosen
3
4
3 b. Membaca buku ajar 4 4 4
c. Menanyakan 3 3 3
Asosiasi-akomodasi
a. mengidentifikasi konsep-konsep dari
bahan ajar
4 4 4
b. Berdiskusi dengan teman didekatnya 4 4 4 c. Meminta penjelasan dari dosen 3 3 4
Kolaborasi
a. Berdiskusi dengan tim
3 4 4
Aktivitas P1 P2 P3
b. Berbagi pengetahuan dengan teman satu tim
4 4 4
c. Menerima pendapat teman 3 4 4
d. Bekerjasama mengevaluasi konsep dan menyusun peta konsep
4 4 4
Simulasi
a. Menyampaikan hasil kinerja di depan kelompoknya untuk persiapan
implementasi (presentasi di depan tim
lain)
3
4
4
b. Saling memberikan saran untuk
perbaikan peta konsep maupun untuk
perbaikan presentasi di depan tim lain
4 4 4
Implementasi
a. Menyampaikan hasil kinerja tim di
depan tim lain
4
3
4
b. Menggunakan bahasa yang santun 4 4 4
c. Terbuka menerima perta nyaan, saran
dan kritik perbaikan dari tim lain
4
4
3
Keterangan P1, P2, P3 = pengamat 1, 2, dan 3
Selesai pembelajaran dilakukan postes, dimana
postes dilakukan untuk mengetahui hasil belajar
mahasiswa setelah proses pembelajaran dengan
menggunakan perangkat pembelajaran no condition
yang dikembangkan. Setelah kurun waktu sekitar 1
bulan dilakukan kembali tes hasil belajar pasca posttes
(PTA), instrumen PTA “setara” dengan instrument TA
dimana indikator hasil belajar dan indikator soal yang
ingin dicapai sama. Data PTA akan digunakan untuk
mengetahui kemampuan retensi mahasiswa dalam
memahami konsep dan kemampuan berpikir tingkat
tinggi.
Tabel 3. Skor perbandingan TA dengan PTA
Komp
onen
C4 C5 C6
TA PT
A
TA PT
A
TA PTA
Mean 68,8 84,9 66,7 75,3 74,2 82.1
Sd 26,9 20,6 12,9 13,1 9.8 5,7
N 24 24 24 24 24 24
4. PEMBAHASAN
Kelayakan Perangkat pembelajaran berbasis peta
konsep no condition layak secara teoritis dengan skor
3,5 – 3,7 dengan katagori baik (layak) meskipun masih
harus ada sedikit perbaikan seperti tatatulis. Kelayakan
empiris model dan perangkat dilakukan dengan
ujicoba terbatas pada 24 mahasiswa pendidikan kimia
FMIPA Unesa selama 1 bulan (dengan 4 kali
tatapmuka). Perangkat pembelajaran berbasis peta
konsep no condition memiliki kepraktisan yang layak
yaitu keterlaksaaan proses pembelajaran selama tiga
kali pertemuan (tabel 1) memperoleh skor rata-rata
tiap-tiap tatapmuka cukup tinggi yaitu >92,25%.
Perangkat Pembelajaran berbasis peta konsep no
condition juga mampu mengaktifkan mahasiswa mulai
dari mengamati bahan ajar, berdiskusi, berkolaborasi,
berkomunikasi baik melalui kegiatan simulasi maupun
implementasi dengan rata-rata skor di sekitar 3 dan 4
(tabel 2) yaitu dalam katagori baik dan sangat baik.
71
Perangkat pembelajaran berbasis peta konsep no
condition memiliki keefektifan berdasarkan uji t
dengan taraf signifikansi (5%) pada uji retensi
kemampuan C4, C5, dan C6 ternyata terdapat
perbedaan signifikan thit>ttabel, sehingga hipotesis Ho
ditolak. Kemampuan pengetahuan retensi mahasiswa
dalam materi isomer dan isomer struktur dalam
katagori baik dan bahkan cenderung mengalami
peningkatan yaitu skor rata-rata sebagai berikut: C4
(15.83); C5 (8,54) dan C6 (7,9) (tabel 3). Hal ini
disebabkan oleh semakin mudahnya mahasiswa
mempelajari dan memahami materi isomer dengan
menggunakan peta konsep berbasis inkuiri. Pernyataan
ini didukung juga oleh data angket dan wawancara
kepada mahasiswa yaitu (a) 95% mahasiswa lebih
mudah mempelajari dan memahami materi isomer
dengan menggunakan peta konsep, (b) 92,5%
menyatakan memiliki kemampuan dalam
menganalisis, mengevaluasi dan mengorganisasi
konsep, dan (c) 100% mahasiswa merasa terbantu
dalam merencanakan dan menyampaikan materi
pembelajaran dengan menggunakan peta konsep.
5. SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian
tersebut yaitu Perangkat pembelajaran berbasis peta
konsep no condition yang dikembangan memiliki: (1)
validitas teoritis dengan katagori baik skor rata-rata
skor 3,5 – 3,7 (rentang skor 1 – 4); (2) praktis dapat
digunakan dalam pembelajaran berdasar hasil
pengamatan keterlaksanaan pembelajaran, dan
aktivitas mahasiswa; dan (3) efektif yang ditandai
dengan para mahasiswa mampu mempertahankan
retensi berpikir tingkat tinggi dan bahkan skor rata-rata
pasca postes mengalami peningkatan dibandingkan
dengan postes. Dengan demikian perangkat
pembelajaran berbasis peta konsep mengacu dari
Nieveen <11> (2007) dapat dikatakan valid baik dari
kevalidan teoritis maupun empiris.
Saran yang diusulkan untuk penyempurnaan
implementasi perangkat pembelajaran berbasis peta
konsep no condition yaitu: (1) perlu adanya pelatihan
awal bagi mahasiswa dalam mengidentifikasi,
menganalisis, mengevaluasi konsep-konsep penting
dalam bahan ajar, dan menyusun peta konsep; (2) perlu
tindaklanjut pengmbangan pembelajaran ini dengan
jumlah siswa dan kelas yang lebih banyak.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Sudrajad Ahmad, (2013). Tantangan Guru Dalam
Dunia Pendidikan dan Gambaran Pendidikan
dalam Abad 21, http://akhmadsudrajat.
wordpress.com/2013/07/02/ paradigma-pendidikan-
indonesia-abad-ke-2. Akses Mei 2014
[2] Henuk Yusuf L, (2014). Paradigma Belajar Abad 21
dan Pendidikan Tinggi di Indonesia dalam Era Globalisasi, ISBN: 978-602-8547-81-9.
http://ylhnews.com/opini/kualitas-doktor-lulusan-
luar-negeri, akses Feb 2015.
[3] Harris Iskandar, (2015). Penyusunan Soal Higher
Order Thinking Sekolah Menengah. Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Kemendikbud
[4] Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
103 Tahun 2014. tentang Pembelajaran pada
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah,
Jakarta.
[5] National Science Teachers Association, (NSTA),
(2003). Standards for Science Teacher Preparation,
USA.
[6] NRC, (2001). Inquiry and the National Science
Education Standards. A Guide for Teaching and
Learning, National Academy Press, Washington, DC.
http://books.nap.edu/html/inquiry_addendum/ (2 of 2)
[9/10/2001 3:37:45 PM] akses juli 2015.
[7] Anderson and Krathwohl, (2001). Bloom’s
Taxonomy Revised, Understanding the New
Version of Bloom’s Taxonomy, A succinct
discussion of the revisions of Bloom’s classic
cognitive taxonomy and how to use them effectively.
http://www4.uwsp.edu/education/lwilson/curric/newt
axonomy.htm (2001, 2005), revised 2013.
[8] Hammann, Lynne A., (2012). How To Promote
Higher-Order Thinking In The Classroom:
Reflecting And Writing, Not Reciting And Reacting
(with Reflection Questions).
[9] Sket Barbara, Sasa Aleksij Glazar and Janez Vogrinc,
(2015). Concepr Maps as Tool for Teaching
Organic Chemical Reaction. Acta Chim, Slov, 2015,
Vol. 62, 462–472 DOI: 10.17344/acsi. 2014.1148
[10] Novak, J. D., (2002). Meaningful learning: The
essential factor for conceptual change in limited or
appropriate propositional hierarchies (liphs)
leading to empowerment of learners. J. Science
Education, Vol. 86, No. 4, 548-571.
[11] Solso Robert L, Otto H. Maclin, M. Kimberly Maclin,
(2008). Psiokologi Kognitif, Edisi ke delapan,
Erlangga, Jakarta.
[12] Wolfolk Anita, (2009). Education Psychology
(terjemahan), edisi ke 10, Jakarta, Pustaka Pelajar.
[13] Safdar Muhammad, Azhar Hussain, Iqbal Shah,
Qudsia Rifat, (2012). Concept Maps: An
Instructional Tool to Facilitate Meaningful
Learning European Journal of Educational, Vol. 1,
No. 1, 55-64.
[14] Kardi, Soeparman,(1997). Miskonsepsi Terhadap
Konsep-konsep Biologi Kemungkingan Penyebab
Miskonsepsi dan Cara Penanggulangannya, Pidato
Pengkukuhan Guru Besar (tidak dipublikasikan).
[15] Herron, J Dudley, (1977). Problem associated with
concept analysis. J S E , Vol. 61, No. 2, 185 – 199.
[16] Thomas, A., and Thorne, G., (2009). How To Increase
Higher Order Thinking. Metarie, LA: Center for
Development and Learning. Retrieved Dec. 7, 2009,
from http://www.cdl.org/resource-library/articles
/HOT.php?type=subject&id=18
72
[17] Thomas Alice and Glenda Thorne, (2009). How to
Increase Higher Level Thinking,
http://www.cdl.org/articles/how-to-increase-high-
order-thinking/ Akses Feb 2015.
[18] Ausubel, D. P., (1968). Educational psychology: A
cognitive view. New York: Holt, Rinehart & Winston.
[19] Barbara Šketa and Saša Aleksij Glažarb., (2005).
Using Concept Maps in Teaching Organic
Chemical Reactions, Acta Chim. Slov. 2005, 52, 471–
477<24> Arends. R. I. 2012. Learning to teach, 9th Ed.
New York. Mc. Graw-Hill Companies, Inc
[20] Novak, J.D. & Cañas, A.J., (2006). The Theory
Underlying Concept Maps and Howto Construct
Them, http://cmap.ihmc.us/Publications/ Research
Papers/Theory Underlying ConceptMaps.pdf .
Retrieved on 8 September 2006.
[21] Arends. R. I., (2012). Learning to teach, 9th Ed. New
York. Mc. Graw-Hill Companies, Inc
[22] Flavell, J., Miller, P., & Miller, S. (2002). Cognitive
development (4 th ed.). Upper Saddle River, NJ:
Prentice-Hall.
[23] Stanley D. Ivie., (1998). Ausubel's Learning Theory:
An Approach To Teaching Higher Order Thinking
Skills. (educational psychologist David Paul
Ausubel). High School Journal 82.1 (Oct 1998):
p35(1).
[24] Krathwohl, David R., (2002). A Revision of Bloom's
Taxonomy: An Overview, Theory Into Practice,
Volume 41, Number 4, Autumn 2002 Copyright (C)
2002 College of Education, The Ohio State University.
http://www.unco.edu/cetl/sir/stating_
outcome/documents/Krathwohl.pdf. akses 2013
[25] Vygotsky, L.S., (1978). Mind in society (ed. by M.
Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, and E. Souberman), Cambridge, MA: Harvard University
Press.
[26] Markam, K. M., Mintzes, J. J., & Jones, M. G. (1994).
The concept map as a research and evaluation tool: Further evidence of validity. Journal of Research in
Science Teaching, Vol. 31, No. 1, 91-101.
[27] Strautmane, M., (2012). Concept Map-Based
Knowledge Assessment Tasks and their Scoring
Criteria: An Overview. In A. J. Cañas, J. D. Novak
& J. Vanhear (Eds.), Concept Maps: Theory,
Methodology, Technology. Proceedings of the Fifth In
ternational Conference on Concept Mapping (Vol. 2).
Valletta, Malta: University of Malta.
[28] Ausubel., (2000). The Acquisition and Retention of
Knowledge: A Cognitive View, Springer, SBN 978-
0-7923-6505-1 .
[29] Nieveen, N., McKenney, S., Van D. Akker, (2007).
Education design research. New York. Rutledge
[30] Sugiyono, (2009). Metode Penelitian
Pendidikan :Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif. Dan
R&D, Alfabeta: Bandung
73
Keterampilan Kepala Sekolah dalam Evaluasi Hasil Peningkatan
Keunggulan Pembelajaran
Karwanto1*) 1Jurusan Manajemen Pendidikan, UNESA, Surabaya. Email: karwanto@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: karwanto@unesa.ac.id
ABSTRACT
The objective of this research to find out the principal’s skill in evaluating result of the improved learning
excellence. This research used a qualitative approach with the design of multi-case study. The data were collected
by using interviews, observation, and document. The examining of data credibility was done by triangulation
technique, membercheck, and peer discussion. The data collected from the three techniques were organised,
interpreted, and analyzed repeatedly, both inside-case analysis and across-case analysis in order to draft concepts
and the abstract of research findings. Results of the research show that the principal’s skills in evaluating result
of the improved learning excellence during his/her leadership in making good progress for his/her school, creating
conducive climate, making a progress in academic field and other prominent skills, such as monitoring the
implementation of learning policy, guiding, directing and empowering the teachers in evaluating as well as skill
in monitoring the student’s learning progress.
Key Words : managerial skill, the principal’s skill in evaluating, excellence of learning.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil
peningkatan keunggulan pembelajaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan
studi multi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Pengecekan
kredibilitas data dilakukan melalui teknik triangulasi, pengecekan anggota, dan diskusi teman sejawat. Data yang
terkumpul melalui ketiga teknik tersebut diorganisasi, ditafsir, dan dianalisis secara berulang-ulang, baik melalui
analisis dalam kasus maupun analisis lintas kasus guna menyusun konsep dan abstraksi temuan penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan yaitu
kepala sekolah selama memimpin dan mengelola sekolah mampu menjadikan sekolah berprestasi, tidak
bermasalah, mampu menciptakan iklim yang kondusif serta ditentukan oleh keterampilan kepala sekolah yang
menonjol dalam: memonitor implementasi kebijakan pembelajaran, membina, mengarahkan dan memberdayakan
guru dengan baik dalam melakukan evaluasi serta keterampilan dalam memonitor kemajuan belajar siswa.
Kata kunci: keterampilan manajerial, keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi, keunggulan pembelajaran
1. PENDAHULUAN
Keberhasilan suatu sekolah sangat ditentukan
oleh kepala sekolah dalam mengkoordinasikan,
menggerakkan, mengem-bangkan, memberdayakan
dan menyelaraskan semua sumber daya pendidikan.
Karena itu, ia dituntut memiliki keterampilan-
keterampilan yang memadai dalam meningkatkan
keunggulan pembelajaran. Kepala sekolah harus
mampu mengelola, mengembangkan dan
meningkatkan keunggulan pembelajaran.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
keterampilan manajerial kepala sekolah dalam
mengelola (me-manage) sekolah benar-benar dituntut
dan membutuhkan seni dalam proses pengelolaannya.
Penelitian yang dilakukan Camp dkk [1] menyatakan
bahwa kegagalan para manajer disebabkan karena: (a)
tidak efektifnya keterampilan komunikasi; (b)
keterampilan manusiawi/ interpersonal lemah; (c)
kegagalan dalam menjelaskan harapan-harapan; (d)
pendelegasian wewenang lemah; (e) ketidakmampuan
untuk mengembangkan kerjasama kelompok/tim
kerja; (f) ketidakmampuan memotivasi orang lain; (g)
kurangnya memberi kepercayaan[1]. Peran kepala
sekolah secara manajerial terhadap kemajuan sekolah,
pada hakikatnya adalah seorang perencana,
organisator, dan pengendali organisasi sekolah
(Bafadal, 2007:1), dia harus mampu bekerja bersama
dengan dan melalui orang lain (Mantja, 2007:1), yang
tugas utamanya adalah meningkatkan kualitas
pembelajaran dan mengelola aktivitas pembelajaran
secara profesional (Ghaleei, 2006:170).
Kendatipun demikian, setiap kepala sekolah
memiliki keterampilan yang bervariasi, unik dan
menarik dalam menata, meningkatkan serta
mengevaluasi hasil peningkatan keunggulan
pembelajaran. Berdasarkan hasil obersvasi di lapangan
di tiga sekolah SMA dapat dijelaskan sebagai berikut.
Di SMA pertama, kepala sekolah memiliki
keterampilan konseptual yang memadai, mampu
menyelesaikan masalah dengan cerdas, terampil dalam
merespon setiap persoalan yang terjadi di sekolah dan
terampil dalam membina hubungan baik dengan
bawahannya sehingga tercipta iklim sekolah yang
kondusif. Di SMA kedua, kepala sekolah terampil
dalam mengelola pembelajaran, memiliki kemampuan
teknis yang memadai, dan terampil dalam menerapkan
kedisiplinan dalam mengelola sekolah. Sedangkan di
SMA ketiga, kepala sekolah terampil dalam
memberdayakan sumber daya manusia, terampil
74
dalam mengelola bidang akademik, kurikulum dan
pembelajaran, dan mempunyai keterampilan yang
menonjol dalam merancang keunggulan pembelajaran.
Berbagai perbedaan karakteristik mengenai
keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil
peningkatan keunggulan pembelajaran yang dirancang
dan dilaksanakan di tiga sekolah inilah yang sangat
penting, unik dan menarik untuk diteliti dan diungkap
lebih mendalam dalam penelitian.
Untuk memahami konsep dasar keterampilan
manajerial kepala sekolah, berdasarkan kajian dan
pendapat Nottingham dalam Maning 2004[5]
keterampilan manajerial dapat dibedakan menjadi tiga
yaitu keterampilan konseptual, keterampilan teknis
dan keterampilan manusiawi. Keterampilan
konseptual yaitu keterampilan dalam menentukan visi,
menjelaskan tujuan, memahami sistem organisasi,
mempunyai pertimbangan yang baik, dan memahami
struktur kekuatan masyarakat. Keterampilan teknis
yaitu keterampilan yang dimiliki seseorang terutama
terkait dengan: keterampilan berbahasa, memahami
pengajaran dan menjadi guru, memiliki teori
pembelajaran terkini, familiar dengan berbagai macam
kurikulum, dan menjaga hubungan baik dengan dewan
guru dan staf. Adapun keterampilan manusiawi adalah
meliputi keterampilan-keterampilan sebagai berikut:
(1) kemampuan melakukan negoisasi, (2)
kepemimpinan catalytic, yaitu kepemimpinan yang
mempercepat proses penerapan dan perubahan sekolah
menjadi efektif melalui perbaikan-perbaikan dan
pelibatan semua unsur untuk mengatasi persoalan, (3)
empati, (4) mempunyai harapan yang tinggi (5) loyal,
(6) kedewasaan dan (7) memiliki rasa humor.
Keterampilan kepala sekolah dalam
evaluasi bermaksud untuk membantu kepala sekolah
dan anggota staf dalam membuat dan mengambil
keputusan-keputusan yang bijaksana, yaitu keputusan
yang berdasarkan analisis dari bukti-bukti (data-data)
yang telah dikumpulkan dan tidak hanya berdasarkan
dugaan-dugaan [6,7] evalusi mengandung keterampilan-
keterampilan dalam: (a) menentukan tujuan-tujuan dan
menetapkan norma-norma untuk mempertimbangkan
banyaknya perubahan; (b) mengumpulkan bukti-bukti
perubahan; (c) menggunakan kriteria atau ukuran,
patokan dan mempertimbangkan manfaat dari
perubahan itu; dan (d) merevisi rencana-rencana yang
berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan itu.
Kepala sekolah yang memiliki keterampilan dalam
evaluasi dapat menolong guru-guru dalam aktivitas-
aktivitas tersebut dalam meningkatkan mutu
pembelajaran.
Wahab (2008:137-138), teknik dan
prosedur evaluasi diantaranya menentukan tujuan
penilaian, menetapkan norma/ukuran yang akan
dinilai, mengumpulkan data-data yang dapat diolah
menurut kriteria yang ditentukan, pengolahan data,
dan menyimpulkan hasil penilaian. Melalui evaluasi,
guru dan anggota staf lainnya dapat dibantu dalam
menilai pekerjaannya sendiri, mengetahui kekurangan
dan kelebihannya. Kunci bagi proses evaluasi adalah
adalah memperbaiki diri sendiri (self-evaluation).
Kepala sekolah ingin mengetahui berapa banyak
kemajuan yang ia telah capai atau kegagalan-
kegagalan yang dialami, bagaimana pergantiannya
dengan orang lain, dan cara-cara manakah yang
mengurangi kemajuannya. Hal ini, juga membutuhkan
evaluasi diri berupa suatu daftar cek (chek-list)[7] dan
ditingkatkan mutu perkembangannya dengan cara
melatih diri (self-training) dan memperbaiki diri (self-
improvment) secara terus menerus [9].
Berdasarkan pendapat di atas dapat
dipahami, keterampilan dalam evaluasi yaitu
kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan,
membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan
suatu program, pertanggung jawaban,
seleksi,motivasi, menambah pengetahuan dan
dukungan dengan cara evaluasi diri, melatih diri dan
memperbaiki diri secara terus menerus. Keterampilan
dalam evaluasi dalam implementasinya membutuhkan
keterampilan konseptual yang kecil, keterampilan
teknis dan keterampilan manusiawi yang besar.
Terkait dengan pengertian keunggulan
pembelajaran, Degeng (1997:3), mendefinisikan
keunggulan pembelajaran yaitu pembelajaran yang
dapat dilihat dari ketepatan strategi yang dipilih untuk
mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan kondisi
yang ada. Hal senada menurut Rosjidan (1997: 1),
keunggulan pembelajaran terletak pada rancangan dan
pelaksanaan pembelajaran yang menekankan kepada
pemberian perlakuan dan kesempatan yang memadai
dengan yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa
yang mempunyai perbedaan perorangan dalam segi
kejiwaan tertentu. Sementara itu, Ardhana (1997:3),
pembelajaran unggul adalah kondisi proses belajar
mengajar yang memungkinkan semua anak dapat
mengembangkan dirinya sampai kepada batas
kemampuannya yang maksimal. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menemukan keterampilan kepala sekolah
dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan
pembelajaran.
2. METODE PENELITIAN
Fokus penelitian ini adalah tentang
keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil
peningkatan keunggulan pembelajaran pada Tiga
SMA di Kota Semarang. Untuk mengungkap fokus
penelitian tersebut diperlukan pengamatan yang
mendalam dan dengan latar yang alami. Penelitian ini
menggunkan pendekatan kualitatif karena
memerlukan pengamatan yang mendalam dengan latar
yang alami, peneliti sebagai instrumen utama dalam
penelitian dan wajib terjun ke lapangan secara
langsung untuk mengumpulkan data dan
menganalisisnya. Latar penelitian ini adalah tiga
Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Semarang.
Ketiga sekolah tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda-beda antara lain dapat dilihat dari: (1) visi; (2)
budaya; (3) nilai-nilai; (4) sistem pengelolaan sekolah;
(5) wilayah; (6) tempat; (7) organisasi sekolah; dan (8)
sistem asrama (boarding school). Berdasarkan
perbedaan karakteristik subyek dan fokus penelitian,
75
maka penelitian ini dirancang dengan menggunakan
desain studi multi kasus. Teknik pengumpulan data
yang digunakan untuk menghimpun data dan
informasi sangat tergantung pada macam studi yang
dikembangkan dalam penelitian ini. Prosedur
pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi sumber
data dan lokasi dimana responden melaksanakan
tugasnya.Secara khusus dapat dinyatakan bahwa
dalam penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan data berupa: wawancara mendalam
(indepth interview), observasi partisipan (partisipant
observation) dan studi dokumentasi.Analisis data
dilakukan dengan cara mencari dan mengatur secara
sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan
bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti.
Kegiatan analsis dilakukan dengan menelaah data,
menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat
dikelola, mensintesis, mencari pola, menemukan apa
yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan
secara sistematis. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif
kualitatif melalui tiga proses yaitu reduksi data,
penyajian data dan verifiksi atau penarikan
kesimpulan.Pengecekan kredibilitas data dilakukan
dengan teknik triangulasi, pengecekan anggota, dan
diskusi teman sejawat. Data yang terkumpul melalui
ketiga teknik tersebut diorganisasi, ditafsir, dan
dianalisis secara berulang-ulang, baik melalui analisis
dalam kasus maupun analisis lintas kasus guna
menyusun konsep dan abstraksi temuan penelitian.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam evaluasi, pertanyaan yang harus dijawab
adalah “How to evaluate changes we are making?”
(Motshana, 2004). Keterampilan kepala sekolah dalam
evaluasi hasil peningkatan keunggulan pembelajaran
perlu dimiliki oleh kepala sekolah. Dalam
mengevaluasi unjuk kerja seorang guru/staf, kepala
sekolah perlu memahami mereka, memotivasi mereka
baik sebagai individu ataupun kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil
peningkatan keunggulan pembelajaran di antaranya:
(1) kepala sekolah mampu memonitor implementasi
kebijakan pembelajaran dengan memperhatikan:
kebersamaan yang tidak meninggalkan kompetisi,
materi pembelajaran, pembuatan soal dan
kesanggupan anak, serta pelaksanaan rencana strategis
dan rencana operasional; (2) kepala sekolah mampu
memonitor dan mengevaluasi unjuk kerja guru secara
efektif melalui: penekanan pada evaluasi proses (pada
saat proses pembelajaran), evaluasi hasil, tertib
administrasi dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran, melalui teacher kits dan portofolio; (3)
kepala sekolah mampu membina, mengarahkan, dan
memberdayakan guru dengan baik dalam melakukan
evaluasi terhadap kemajuan belajar siswa dan
pengembangan pembelajaran; (4) kepala sekolah
mampu mengevaluasi guru secara efektif melalui
penerapan prinsip keterbukaan, akuntabilitas dan
evaluasi diri; (5) kepala sekolah mempunyai
keterampilan memotivasi yang baik sehingga guru
tumbuh dan berkembang secara profesional.
Hasil temuan penelitian tersebut mendukung
pendapat yang dikemukakan Mazibuko (2007), yang
termasuk peran manajerial kepala sekolah meliputi
instructional management and support, providing
leadership, facilitating meaningful change,
supervision, evaluation, building and maintaining a
winning team, developing human resources, staf
appraisal, monitoring the implementation of
educational policies, monitoring of learner progress,
managing curriculum and instruction, and promoting
a positive school climate.
Temuan penelitian berikutnya yaitu: kepala
sekolah memiliki keterampilan dalam meningkatkan
kualitas hubungan antara guru dan murid untuk
meningkatkan keunggulan pembelajaran; kepala
sekolah mempunyai emphaty (mampu mengerti
kondisi emosi orang lain) yang baik, mempunyai
kelebihan dalam bersikap, memanusiakan manusia
serta mampu menyadari perbedaan individu dalam
melakukan evaluasi; kepala sekolah memiliki
keterampilan dalam memonitor kemajuan belajar
siswa melalui: evaluasi terhadap kesiapan perangkat
proses belajar mengajar yang digunakan, metode
pembelajaran, media pembelajaran, fasilitas/sarana-
prasarana, alat bantu yang dilibatkan dalam
pembelajaran, kinerja dari siswa serta kinerja dari hasil
belajar.
Keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi
hasil peningkatan keunggulan pembelajaran yang
ditemukan dalam penelitian ini tentunya berkaitan
dengan faktor manusia dalam mengevaluasi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hersey & Blanchard (1972),
mengenai keterampilan manusiawi yaitu kemampuan
bekerjasama dengan dan melalui orang lain yang
mencakup pemahaman tentang motivasi dan
penerapan kepemimpinan yang efektif, dan juga dapat
memutuskan konflik [17]; berhubungan dengan
komunikasi dan hubungan antar pribadi
(communication and interpersonal)[18] pembangun
hubungan, terbuka, anggota tim, menilai seseorang,
tim kepemimpinan, menyadari perbedaan,
mengidentifikasi bakat, mentor, pengembang
kepemimpinan, pelatih dan memahami masalah sosial [19]. pengembangan kesadaran diri, mengelola tekanan
pribadi, pelatihan, konseling, memotivasi, mengelola
konflik secara efektif dan memberdayakan yang lain [1]
kemampuan negoisasi; kepemimpinan catalytic
(mempercepat proses penerapan dan perubahan
sekolah menjadi efektif melalui perbaikan-perbaikan
dan pelibatan semua unsur untuk mengatasai
persoalan); empathy (mampu mengerti kondisi emosi
orang lain); harapan yang tinggi; loyalitas;
kedewasaan dan memiliki humor[5]; kemampuan
memimpin (leading abilities) dan kemampuan
memotivasi (motivating abilities) Robert (t.t),
dalam(http://www.aeaaconference.org/repositori.
76
diakses tanggal 16 Mei 2007); mendengarkan
(listening), dinamika kelompok (group dynamics) dan
penyelesaian konflik (conflict resolution) [21].
Dalam penelitian ini ditemukan kepala sekolah
memiliki keterampilan spiritual dan kemampuan
berefleksi (evaluasi diri) yang baik. Temuan ini sejalan
dengan pendapat Sin (2006), manajer yang efektif
pada abad 21 ini harus mempunyai 8 (delapan)
keterampilan penting yaitu: (1) keterampilan teknis;
(2) keterampilan manusiawi; (3) keterampilan
konseptual; (4) keterampilan politis; (5) keterampilan
sosial; (6) keterampilan kreatif; (7) keterampilan
kekurangbaikan/kesengsaraan; dan (7) keterampilan
spiritual. Diantara keterampilan-keterampilan tersebut
yang paling sesuai dengan temuan penelitian adalah
keterampilan sosial dan keterampilan spiritual.
Keterampilan sosial memainkan peranan penting
dalam pekerjaan sekarang ini, seperti memfasilitasi,
memudahkan, melatih, mempengaruhi dan
mengkoordinir orang lain. Keterampilan ini meliputi
kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, daya ego dan
monitoring diri (self-monitoring) yaitu kemampuan
untuk memahami situasi sosial secara khusus
sedangkan keterampilan spiritual (spiritual skill)
berguna untuk menangani dan menyelesaikan masalah
yang kompleks dan merubah lingkungan dengan cepat.
Temuan penelitian lain menunjukkan kepala
sekolah memiliki keterampilan komunikasi yang baik
dan efektif. Kepala sekolah dalam mengevaluasi hasil
peningkatan keunggulan pembelajaran disampaikan
melalui komunikasi tertulis ataupun lisan, melalui
teguran, sapaan, kritikan, dan juga disampaikan
melalui pertemuan-pertemuan baik pertemuan formal
di kantor ataupun pertemuan informal, yang dilakukan
di rumah ataupun di tempat-tempat yang sudah
direncanakan sebelumnya. Temuan ini memperkuat
pendapat Moore & Rudd (2004), keterampilan
komunkasi meliputi keterampilan mendengarkan,
keterampilan berbicara, merancang komunikasi,
keterampilan membaca, komunikasi elektronik,
interaksi media dan komunikasi tertulis.
Hasil temuan penelitian lain menunjukkan
bahwa kepala sekolah mempunyai keterampilan
politis, yaitu kepala sekolah pandai mencari dukungan
dan piawai dalam menerapkan strategi dalam
mengevaluasi hasil peningkatan keunggulan
pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Latif
(2002), keterampilan politis (political skills), yaitu
kemampuan untuk meningkatkan posisi, membangun
kekuatan dan membina hubungan yang baik, yang
meliputi keterampilan memperoleh kekuasaan dan
mempengaruhi. Hal senada menurut Ferris dalam Sin
(2006), keterampilan politis melibatkan gaya antar
pribadi yang mengkombinasikan kesadaran sosial
dengan kemampuan berkomunikasi secara baik.
Keterampilan politis bukan suatu sifat, ciri,
karakteristik, atau keterampilan tetapi untuk
menggabungkan, menguatkan keterampilan dan
kemampuan untuk menciptakan dinamika sosial yang
sinergis.
Yang menjadi perbedaan mengenai
keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi hasil
peningkatan keunggulan pembelajaran adalah sebagai
berikut: (1) di SMA Pertama, kepala sekolah mampu
menerapkan kepemimpinan yang efektif dan dapat
menciptakan iklim sekolah yang kondusif, dan selama
memimpin mampu menjadikan sekolah berprestasi;
(2) di SMA Kedua, kepala sekolah mampu memonitor
implementasi kebijakan pembelajaran, mempunyai
keterampilan komunikasi yang baik; keterampilan
spiritual dan kemampuan berefleksi; (3) di SMA
Ketiga, kepala sekolah mampu memonitor dan
mengevaluasi unjuk kerja guru secara efektif, mampu
memonitor kemajuan belajar siswa, mempunyai
emphaty yang baik serta mempunyai keterampilan
politis, yaitu pandai mencari dukungan dan piawai
dalam menerapkan strategi.
Persamaan-persamaan mengenai keterampilan
kepala sekolah dalam evaluasi hasil peningkatan
keunggulan pembelajaran adalah (a) selama
memimpin kepala sekolah mampu menjadikan sekolah
berprestasi, tidak bermasalah, berprestasi di bidang
akademis dan mampu menciptakan iklim sekolah yang
kondusif; (b) mampu membina, mengarahkan dan
memberdayakan guru dengan baik dalam melakukan
evaluasi terhadap kemajuan belajar siswa.
Menurut hemat penulis, berdasarkan temuan di
lapangan mengenai keterampilan kepala sekolah
dalam evaluasi hasil peningkatan keunggulan
pembelajaran, ada dua hal yang perlu dicermati dan
dikembangkan kepala sekolah, yaitu (1) melakukan
evaluasi pada semua program dan layanan pendidikan,
memberikan jaminan dan melakukan program
pengembangan ke arah yang lebih tepat (2)
kemampuan untuk memimpin dan mempelopori
perbaikan dan pelaksanaan kurikulum sekolah atau
perbaikan pengajaran bersama dengan staf yang
dipimpinnya.
4. PENUTUP
4.1 Simpulan
Keterampilan kepala sekolah dalam evaluasi
hasil peningkatan keunggulan yaitu kepala sekolah
selama memimpin dan mengelola sekolah mampu
menjadikan sekolah berprestasi, tidak bermasalah,
mampu menciptakan iklim yang kondusif serta
ditentukan oleh keterampilan kepala sekolah yang
menonjol dalam: memonitor implementasi kebijakan
pembelajaran, membina, mengarahkan dan
memberdayakan guru dengan baik dalam melakukan
evaluasi serta keterampilan dalam memonitor
kemajuan belajar siswa.
4.2 Saran
Dari hasil penelitian, dapat disampaikan saran-
saran sebagai berikut. (1) bagi guru, untuk
meningkatkan keunggulan pembelajaran hendaknya
guru yang sudah berpengalaman dan profesional
dalam mengajar memberikan informasi, dan sharing
ide kepada guru yang belum berpengalaman;
77
melakukan pembelajaran inovatif dengan cara
pemberdayaan MGMP, mengikuti workshop, MGMP
tingkat kota, propinsi dan pusat; (2) bagi kepala
sekolah hendakanya: dapat mempertahankan dan
bahkan meningkatkan keterampilan dalam
bekerjasama, membina hubungan baik dengan semua
orang dan dapat memperluas jaringan sosialnya
dengan sekolah-sekolah unggul yang lain; hendakanya
melakukan evaluasi pada semua program dan layanan
pembelajaran, memberikan jaminan dan melakukan
program pengembangan pembelajaran dalam upaya
memberikan pelayanan yang prima.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Latif, D.A., (2002). Model for Teaching the
Management Skills Component of Managerial
Effectiveness to Pharmacy Student. Bernard J.Dunn
School of Pharmacy, Shenandoah University, 1460
University Drive, Winchester VA 22601-5195.
American Journal of Pharmaceutical Education Vol.
66 Winter.
[2]. Bafadal, I., (2007). Sistem Seleksi Kepala Sekolah.
Makalah disampaikan pada Acara Kunjungan Tim
Pengembang Yayasan Daru’l Hikam Cirebon: Cirebon, 21 Mei.
[3]. Mantja, W., (2007). Profesionalisme Tenaga
Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan
Supervisi Pengajaran. Malang: Wineka Media.
[4]. Ghaleei, A., (2006). The Principal’s Role in Teacher
Professional Learning. Disertasi. Faculty of Education University of Wollongong.
[5]. Manning, R.J., (2004). A Comparative Analysis of
Leadership Skills: Military, Corporate, and
Education as a Basis for Diagnostic Principal
Assessment. Disertasi. Drexel University.
[6]. Indrafachrudi, S., Dirawat., Lamberi, B., (1996).
Bagaimana Memimpin Sekolah yang Efektif. Malang: CV Ardi Manunggal Jaya
[7]. Sahertian, P.A., (1981). Dimensi-dimensi Administrasi
Pendidikan Di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional.
[8]. Wahab, A.A., (2008). Anatomi Organisasi dan
Kepemimpinan Pendidikan: Telaah terhadap
Organisasi dan Pengelolaan Organisasi
Pendidikan. Bandung: Kerjasama Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan CV. Alfabeta.
[9].Ametembun, N.A., (1981a). Supervisi Pendidikan:
Penuntun Bagi Para Penilik, Pengawas, Kepala
Sekolah dan Guru-guru. Bandung: Suri.
[10].Ametembun, N.A., (1981b). Guru dalam
Administrasi Sekolah. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung.
[11].Degeng, I.N.S., (1997). Pembelajaran Unggul:
Masalah dan Pemecahannya dari Tinjauan-
Teknologi Pembelajaran.Makalah Disampaikan pada
Seminar Pelatihan Nasional Pembelajaran Unggul
Menyongsong Abad XXI. Program Studi Teknologi
Pembelajaran Program Pascasarjana IKIP Malang Bekerjasama dengan IPTPI Cabang Malang. 24 Oktober.
[12].Rosjidan., (1997). Pembelajaran Unggul
Versi/Kajian Sekolah Laboratorium IKIP Malang.
Makalah Disampaikan pada Seminar Pelatihan Nasional
Pembelajaran Unggul Menyongsong Abad XXI.
Program Studi Teknologi Pembelajaran Program
Pascasarjana IKIP Malang Bekerjasama dengan IPTPI Cabang Malang. 24 Oktober.
[13].Ardhana, W., (1997). Pembelajaran Unggul:
Konsepsi dan Masalah Pelaksanaannya. Makalah
Disampaikan pada Seminar Pelatihan Nasional
Pembelajaran Unggul Menyongsong Abad XXI.
Program Studi Teknologi Pembelajaran Program
Pascasarjana IKIP Malang Bekerjasama dengan IPTPI
Cabang Malang. 24 Oktober.
[14].Motshana, S.S., (2004). The Principal As Leader:
Implications For School Effectiveness. Tesis. Faculty
of Education and Nursing: Rand Afrikaans University
[15].Mazibuko, S.P., (2007). The Managerial Role of The
Principal in Whole-School Evaluation In The Context
of Disadvantage Schools In Kwazulu-Natal. Doctor of
Education in the subject Education Management at the University of South Africa.
[16].Hersey, P & Blanchard, K.H., (1972). Management of
Organizational Behavior: Utilizing Human
Resources. New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice-
Hall, Inc.
[17].Elsbree, W.S., McNally, H.J., & Wynn, R., (1967).
Elementary School Administration and Supervision. (3rd Edition) New York : American Book Company.
[18].Katz, R., (1974). Skills of an effective administrator,
dalam Harvard Business Review (online),
(http://telecollege.dcccd.edu, di akses tanggal 7 Januari
2006).
[19].Moore, L.L. & Rudd, R.D., (2004). Leadership Skills
and Competencies for Extension Directors and
Administrators. Journal of Agricultural Education. Volume 45, Number 3. University of Florida.
[20].Robert, K.J., (t.t). The Relationship Between
Managerial Skills and Teacher
Effectiveness.(Online), (http://www.aeaaconference.org , diakses 16 Mei 2007).
[21].Sergiovanni, T.J., (1984). The Principalship: A
Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
[22].Sin, C., Y., (2006). Managerial Skills For Today.
Universitas Zhongshan, Guangzhou, Cina. (Online),
(yschin@mailcity.com, diakses 16 Mei 2007).
78
79
Pengaruh Self Regulated Learning terhadap Hasil Belajar Kognitif
Mahasiswa Melalui Blended Learning Berbasis Web
Kusumawati Dwiningsih1*), Sukarmin2, Muchlis3 1, Jurusan Kimia, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.Email: kusumawatidwiningsih@unesa.ac.id
2. Jurusan Kimia, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.Email: sukarmin67@gmail.com
3. Jurusan Kimia, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: muhlis_kimia@yahoo.co.id
*) Alamat Korespondesi: E-mail: kusumawatidwiningsih@unesa.ac.id
ABSTRACT
The development of science and globalization results in the innovation of learning method. Blended learning
on web bases is a combination of e-learning and face-to face learning in classroom. In contrast, self-regulated
learning focuses on one’s importance to learn the discipline of organizing and controlling oneself, especially when
facing difficult problems. The interaction between blended learning on web-based method and self regulated
learning could enhance students’ cognitive learning outcome.
Key Words: blended learning on web bases, self regulated learning, learning outcome
ABSTRAK
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan globalisasi yang begitu cepat menghasilkan metode
pembelajaran yang mutakhir. Blended learning berbasis web adalah metode pembelajaran yang menggabungkan
antara pembelajaran online dengan pembelajaran dalam kelas. Sebaliknya, self regulated learning menempatkan
pentingnya seseorang untuk belajar disiplin dalam mengatur dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila
menghadapi tugas-tugas yang sulit. Interaksi antara metode blended learning berbasis web dan self regulated
learning dapat mendukung hasil belajar kognitif mahasiswa.
Kata kunci: blended learning berbasis web, self regulated learning, hasil belajar
1. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
globalisasi yang begitu cepat menyebabkan terjadinya
banyak perubahan. Perubahan ini harus diikuti dengan
upaya peningkatan mutu pendidikan. Sebagai salah
satu upaya peningkatan mutu pendidikan, Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
secara terus-menerus melakukan perbaikan dengan
berbagai cara. Perbaikan tersebut antara lain dalam
penyelenggaraan perkuliahan Kimia Anorganik 2 yang
membahas tentang ekstraksi logam, pembuatan
senyawa, sifat-sifat dan kegunaan dari unsur-unsur
golongan utama dalam sistem periodik unsur.
Karakteristik materi dalam perkuliahan kimia
anorganik 2 ini tergolong banyak teori yang
memerlukan pemahaman
Salah satu upaya agar mahasiswa dapat memahami
materi Kimia Anorganik 2 dengan baik adalah melalui
pemilihan metode pembelajaran. Metode yang tepat
untuk diterapkan pada pembelajaran Kimia Anorganik
2 adalah blended learning. Blended learning
merupakan kombinasi pembelajaran tatap muka dan
pembelajaran online, dengan tujuan melengkapi
pembelajaran satu sama lain. Metode ini akan
mempengaruhi persepsi siswa tentang lingkungan
belajar dan, kemudian, studi pendekatan dan hasil
belajar mereka. Blended learning bermanfaat dalam
memfasilitasi hasil belajar, akses fleksibilitas,
penggunaan sumber daya secara efektif[1]. Blended
learning diterapkan di perkuliahan dengan
memberikan buku ajar, kegiatan tatap muka,
komunikasi melalui email, dilengkapi dengan internet
dan sumber online[2]. Blended-learning memerlukan
perencanaan dan penanganan matang untuk bisa
mencapai efektifitas dalam hasil belajar,
yaitu dengan melakukan pengelolaan materi
pembelajaran secara tepat[3]. Dengan
menerapkan metode blended learning ini,
memungkinkan pengguna sumber belajar online
terutama yang berbasis web tanpa meninggalkan
kegiatan tatap muka.
Kevin Kruse (dalam Muksin Wijaya, 2012)
mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis web
memiliki banyak manfaat pagi peserta didik. Bila
dirancang dengan baik dan tepat, maka pembelajaran
berbasis web bisa menjadi pembelajaran yang
menyenangkan, memiliki unsur interaktivitas yang
tinggi, menyebabkan peserta didik mengingat lebih
banyak materi pelajaran, serta mengurangi biaya-biaya
operasional yang biasanya dikeluarkan oleh peserta
didik untuk mengikuti pembelajaran.
Pemilihan metode pembelajaran yang tepat
diharapkan dapat berpengaruh terhadap hasil belajar.
Hasil belajar merupakan gambaran tingkat penguasaan
mahasiswa atau tingkat keberhasilan mahasiswa
terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Bloom [5] mengklasifikasikan hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah
kognitif merupakan sumber sekaligus pengendali
ranah lainnya yakni afektif dan psikomotorik. Menurut Love & Kruger (dalam Latipah, 2010)[6]
kemampuan kognitif yang amat penting kaitannya
80
dengan proses pembelajaran adalah strategi belajar
memahami isi materi pelajaran, strategi meyakini arti
penting isi materi pelajaran, dan aplikasinya serta
menyerap nilai-nilai yang terkandung dalam materi
pelajaran tersebut.
Setiap mahasiswa mempunyai hasil belajar yang
berbeda. Salah satu hal yang membedakan hasil belajar
mereka adalah kemampuan untuk mengendalikan
dirinya sendiri yang disebut Self Regulated Learning
(SRL). Menurut Kauffman (dalam Frances A. Rowe dan Jennifer A. Rafferty, 2013) [7] komponen kognitif
SRL mengacu strategi pembelajaran apa pun yang
digunakan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
dan termasuk kegiatan yang mendukung manipulasi
aktif siswa dari konten akademik. Komponen
metakognitif SRL melibatkan pengetahuan dan
kesadaran diri siswa harus diri memantau pemahaman
dan kognitif proses mereka. Hampir semua model SRL
menganggap bahwa motivasi merupakan faktor kunci
keberhasilan akademik [9]. Motivasi, atau kemauan
untuk belajar, melibatkan keyakinan siswa dalam
mereka kemampuan untuk mengatur tugas dan
membuat penilaian dalam melaksanakan kursus yang
diperlukan tindakan untuk mencapai jenis eksplisit
hasil.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana
pengaruh Self Regulated Learning terhadap hasil
belajar kognitif mahasiswa melalui blended learning
berbasis web.
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Self
Regulated Learning terhadap hasil belajar kognitif
mahasiswa melalui blended learning berbasis web.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.
Penelitian ini menguji pengaruh Self Regulated
Learning terhadap hasil belajar kognitif mahasiswa.
Sasaran penelitian ini adalah mahasiswa Kimia B
angkatan 2014 dengan jumlah 22 mahasiswa.
Rancangan penelitian ini menggunakan “one group
pretest posttest design” yang dapat digambarkan
sebagai berikut.
Keterangan:
O1 : tes awal (pretest) sebelum diberikan
perlakuan
X : perlakuan terhadap sasaran penelitian yaitu
menerapkan metode blended learning
O2 : tes akhir (postest) setelah diberikan
perlakuan
Perangkat pembelajaran yang digunakan adalah
buku ajar, LKM, dan web. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah soal tes kognitif untuk
pretest dan postest, dan lembar angket Self Regulated
Learning yang terdiri dari aspek metakognisi,
motivasi, dan perilaku.
Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti
adalah teknik uji t untuk mengetahui apakah masing-
masing variabel (aspek SRL yaitu metakognisi,
motivasi, dan perilaku) secara parsial berpengaruh
secara nyata atau tidak pada hasil belajar mahasiswa,
dan ANOVA (uji F) untuk mengetahui apakah
variabel-variabel independen (aspek SRL yaitu
metakognisi, motivasi, dan perilaku) secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen
(hasil belajar).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah hasil dari analisis uji t dalam
penelitian ini.
Tabel 1. Analisis Uji-t
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa
pada variabel X1 terdapat nilai sig 0,063. Nilai sig lebih
besar dari nilai probabilitas 0,05 atau nilai 0,063>0,05,
maka H1 ditolak dan Ho diterima. Variabel X1
mempunyai t hitung yaitu 1,999 dengan t tabel=2,12.
Jadi t hitung<t tabel dapat disimpulkan bahwa variabel
X1 tidak memiliki kontribusi terhadap Y. Nilai t yang
positif menunjukkan bahwa X1 mempunyai hubungan
searah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa X1
tidak berpengaruh signifikan terhadap resiko beta.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa
pada variabel X2 terdapat nilai sig 0,795. Nilai sig lebih
besar dari nilai probabilitas 0,05 atau nilai 0,795>0,05,
maka H2 ditolak dan Ho diterima. Variabel X2
mempunyai t hitung yaitu 0,059 dengan t tabel=2,12.
Jadi t hitung<t tabel dapat disimpulkan bahwa variabel
X2 tidak memiliki kontribusi terhadap Y. Nilai t yang
negatif menunjukkan bahwa X2 mempunyai hubungan
yang berlawanan arah dengan Y. Jadi dapat
disimpulkan bahwa X2 tidak berpengaruh signifikan
terhadap resiko beta.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa
pada variabel X3 terdapat nilai sig 0,787. Nilai sig lebih
besar dari nilai probabilitas 0,05 atau nilai 0,787>0,05,
maka H3 ditolak dan Ho diterima. Variabel X3
mempunyai t hitung yaitu 0,275 dengan t tabel=2,12.
Jadi t hitung<t tabel dapat disimpulkan bahwa variabel
X3 tidak memiliki kontribusi terhadap Y. Nilai t yang
O1 X O2
Model
Unstandard
Coefficients
Standar
d
Coeffici
ents t Sig.
B Std
Err
or
Beta
1
(Constant) 5,108 1,98 2,579 ,020
Metakognisi
_B_X1
,067 ,034 ,451 1,999 ,063
Motivasi_B
_X2
-,009 ,035 -,059 -,264 ,795
Perilaku_B_
X3
,009 ,032 ,062 ,275 ,787
81
positif menunjukkan bahwa X3 mempunyai hubungan
searah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa X3
tidak berpengaruh signifikan terhadap resiko beta.
ANOVA dalam penelitian ini.
Tabel 1. Analisis ANOVA (Uji-F)
ANOVAa
Model Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
1
Regre
ssion ,797 3 ,266 1,432 ,270b
Resid
ual 2,969 16 ,186
Total 3,766 19
Dari data di atas, diperoleh F hitung sebesar 1,432,
sedangkan F tabel 3,239. F hitung < F tabel maka Ho
diterima, sehingga dengan menggunakan taraf
signifikansi 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
deskripsi yang diberikan dari data tidak ada pengaruh
signifikan antara X1 (metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) terhadap Y (hasil belajar).
Berdasarkan hasil dan analisis pada uji t dan uji F
diketahui bahwa variabel X1 (metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) tidak memiliki kontribusi
terhadap Y (hasil belajar). Pengaruh yang diberikan
terhadap hasil belajar yaitu pengaruh tidak langsung,
namun terdapat sumbangan pengaruh X1
(metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) terhadap
Y(hasil belajar) sebesar 21,2%. Hal ini menunjukkan
bahwa SRL secara tidak langsung mempengaruhi hasil
belajar walaupun tidak signifikan. Hasil penelitian ini
didukung oleh penelitian Barnard et al (2010) [8]
bahwa terdapat hubungan positif antara Self Regulated
Learning terhadap hasil belajar serta penelitian Eko
Budi Susatyo, dkk (2009) yang menyatakan bahwa
Self Regulated Learning berpengaruh terhadap
ketuntasan hasil belajar. Mahasiswa yang memiliki
SRL akan mengetahui kapan dan bagaimana
mencegah diri mereka dari kebingungan yang dapat
menganggu proses belajar [10].
Self Regulated Learning menempatkan pentingnya
seseorang untuk belajar disiplin mengatur dan
mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi
tugas-tugas yang sulit [11]. Pada lingkungan
pembelajaran online, siswa dituntut untuk
mengembangkan keterampilan belajarnya mulai dari
perencanaan kegiatan belajar sampai dengan kegiatan
evaluasi pembelajaran, pembangunan organisasi
dalam dunia internet yang aktif dilakukan oleh dosen
dan mahasiswa. Jadi Self Regulated Learning sangat
diperlukan dalam pembelajaran blended learning
berbasis web. Hal ini didukung oleh penelitian Ratna
Novitayati (2013) yang menyatakan bahwa interaksi
antara metode blended learning dan self regulated
learning dapat mendukung hasil belajar kognitif siswa.
Penelitian ini didukung oleh penelitian Ali (2007)
yang menyatakan bahwa penerapan blended learning
memberikan manfaat yang signifikan terhadap
motivasi belajar mahasiswa dan peningkatan hasil
belajarnya.
Menurut Jeffrey, L. M., Milne, J., Suddaby. G., &
Higgins, A. (2014) [13] menyatakan bahwa efektivitas
blended learning yaitu meningkatkan pengalaman
belajar baik online dan tatap muka. Melalui pemilihan
dan desain dari pembelajaran yang ditetapkan oleh
dosen akan berpengaruh terhadap sifat dan kualitas
belajar mahasiswa. Apa yang dipelajari mahasiswa
ditentukan oleh kesempatan yang mereka miliki ketika
terlibat dalam pengalaman dan kegiatan yang
dirancang oleh dosen.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa pengaruh Self Regulated Learning
terhadap hasil belajar adalah pengaruh tidak langsung,
dengan sumbangan pengaruh X1 (metakognisi), X2 (motivasi), X3 (perilaku) terhadap Y (hasil belajar)
sebesar 21,2%.
4.2 Saran
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa data
tidak ada pengaruh signifikan antara X1 (metakognisi),
X2 (motivasi), X3 (perilaku) terhadap Y (hasil
belajar), maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai pengaruh Self Regulated Learning terhadap
hasil belajar, dan menambah variabel penelitian.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Ali, M., (2007). Analisis Dampak Implementasi
Model Blended Learning (Kombinasi
Pembelajaran di Kelas dan E-Learning) pada Mata
Kuliah Medan Elektromagnetik, Laporan
Penelitian, dipublikasikan, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
[2]. Barnard, et al., (2010). Profiles in Self Regulated
Learning in the Online Learning Environment,
Review of Research in Open and Distance Learning,
(Online), Vol.11, No. 1, 61-80,
(http://www.eric.ed.gov/pdfs/ej881578.pdf) diakses
tanggal 2 Desember 2016.
[3]. Bawaneh, Shamsi S, (2011). The Effects of Blended
Learning Approach on Students’ Computerized
Accounting Course, International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 1, No. 6, 63-69.
[4]. Hendrawati, Retno dan Asriana Issa Sofia, (2014).
Peningkatan Mutu Pembelajaran dengan Integrasi
Sistem Blended Learning dan Sistem Manajemen
Pengetahuan, Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST), 349-356.
[5]. Jeffrey, L. M., Milne, J., Suddaby. G., & Higgins, A.,
(2014). Blended Learning: How Teachers Balance
the Blend of Online and Classroom Components,
82
Journal of Information Technology Education: Research, Vol. 13, 121-140.
[6]. Latipah, Eva, (2010). Strategi Self Regulated
Learning dan Prestasi Belajar: Kajian Meta Analisis, Jurnal Psikologi, Vol. 37, No. 1, 110-129.
[7]. Novitayati, Ratna, (2013). Pengaruh Metode Blended
Learning dan Self Regulated Learning, Jurnal Penelitian Kependidikan, Tahun 23, No. 1, 48-57.
[8]. Poon, Joanna, (2013). Blended Learning: An
Instutituonal Approach for Enhancing Students’
Learning Experiences, MERLOT Journal Online
Learning and Teaching, Vol. 9, No. 2, 271-289.
[9]. Rowe, Frances, dan Jennifer A. Rafferty, (2013).
Instructional Design Interventions for Supporting
Self-Regulated Learning: Enhancing Academic
Outcomes in Postsecondary E-learning
Environments. MERLOT Journal Online Learning
and Teaching, Vol. 9, No. 4, 590-601.
[10]. Sudjana, Nana, (2009). Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar, Bandung : Remaja Rosdakarya.
[11]. Susatyo, Eko Budi, dkk, (2009). Penggunaan Model
Learning Start With a Question dan Self Regulated
Learning pada Pembelajaran Kimia, Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol. 3, No. 1, 406-412.
[12]. Tjalla, Awaluddin dan Eva Sofiah, (2015). Effect of
Methods of Learning toward Outcomes of Learning
Social Studies, Journal of Education and Practice, Vol. 6, No. 23, 16-20.
[13]. Wijaya, Muksin, (2012). Pengembangan Model
Pembelajaran E-Learning Berbasis Web dengan
Prinsip E-Pedagogy dalam Meningkatkan Hasil
Belajar, Jurnal Pendidikan Penabur, No. 19, 20-31.
83
Pengembangan Strategi Pembinaan Minat, Bakat, dan Potensi
KarirMahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015
Mamik TW1*), Pratiwi R2, M.Khoiri3
1 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya. Email: mamikwedawati@unesa.ac.id. 2 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya, E-mail: pratiwiretnaningdyah@unesa.ac.id 3 Jurusan
Bahasa dan Sastra Inggris, UNESA, Surabaya, E-mail: muchkoiri@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: mamikwedawati@unesa.ac.id.
ABSTRACT
English Department majoring lingusitics and literature have a big challenge in contributing students with
good skill which will be useful after they graduate from the Department and they will be able to compete sportive
and positively in the real world. There must be solution to support students’s interests, talents, career potential as
a strategy to fulfill students expectation on skills they could learn and have after they graduate from English
Department. Some students already have an idea of what they will be after graduation, most of them are still
making plans, many others do not have any plans after graduation. This is an issue that must be looked for
solutions so students can immediately optimize all skills they have and they can apply to their real occupation in
teh future. Research using qualitative techniques will process data as well as qualitative and quantitative
experiments. From both these data will have one group for treatment actions at a time will be given a very simple
observation to get a complete description of the processes. The basic concept of KKNI, students, and potential
careers and choices will give a basic understanding of the issues being studied. The research shows that 63
students tend to explore their talent in writing, 51 students want to develop their interest in writing, and 28 students
have a big passion in being focus as a writer. In accomodating student’s talent, interest, and potential career,
English Department held a workshop in writing delivered by the stakeholders which is also alumni of English
Department. This activity will always be continued in the next close future.
Key Words: interest, talent, career potential
ABSTRAK
Prodi Sastra Inggris Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNESA memiliki tantangan yang besar perihal apa
yang bisa diberikan oleh prodi untuk membekali mahasiswa setelah mereka lulus untuk mamlam meraih pekerjaan
dan bersaing secara positif dalam dunia kerja Beberapa mahasiswa sudah memiliki gambaran akan menjadi apa
mereka setelah lulus, sebagian dari mereka masih membuat rencana, sebagian yang lain belum memiliki rencana
apapun setelah lulus. Hal tersebut menjadi masalah yang harus segera dicarikan solusi supaya para mahasiswa
dapat segera mengoptimalkan segala kemampuan yang mereka miliki dan dapat mereka usahakan. Tim berusaha
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan: bagaimana minat, bakat, dan potensi karir mahasiswa Prodi Sastra
Inggris angkatan 2014 dan 2015 serta bagaimana pengembangan strategi pembinaan minat, bakat, dna potensi
karir. Penelitian yang menggunakan teknik kualitatif akan mengolah data secara kualitatif dan kuantitatif serta
eksperimen. Dari kedua data tersebut akan dipilih satu kelompok untuk diberi perlakuan tindakan sekaligus akan
diberikan observasi sangat sederhana untuk mendapatkan deskripsi secara lengkap tentang proses yang terjadi.
Konsep dasar tentang KKNI, mahasiswa, dan potensi karir serta pilihannya akan memberikan dasar pemahaman
akan masalah yang sedang dikaji. Penelitian ini memberikan hasil bahwa 63 mahasiswa memiliki bakat menulis,
51 mahasiswa memiliki minat menulis, dan 27 mahasiswa ingin fokus dengan pilihan karir sebagai penulis. Prodi
Sastra Inggris berusaha mengakomodasi apa yang menjadi keinginan mahasiswa dengan mengadakan workshop
menulis yang disampaikan oleh pihak pengguna lulusan yang juga merupakan alumni Prodi Sastra Inggris.
Kegiatan tersebut akan terus dilakukan dalam waktu dekat sebagai keberlanjutan pengembangan mahasiswa.
Keywords: bakat, minat, karir, eksperimen
1. PENDAHULUAN
Fenomena baru yang muncul banyak generasi
muda berusia 20-24 patut dijadikan perhatian yang
besar terutama jika hal tersebut menyangkut dunia
pendidikan. Mereka bertanya-tanya pada diri mereka
tentang karir apa yang akan mereka tekuni atau jalani
nantinya setelah mereka lulus dari bangku perkuliahan
dimanapun mereka berada dan di bidang apapun yang
mereka geluti sehari-hari selama kurang lebih 4 tahun.
Beberapa dari mereka yang telah aktif di organisasi
kemahasiswaan baik intra ataupun ekstra dan bahkan
tidak sedikit yang juga telah bekerja disela atau diluar
jam kuliah masih merasa ragu dengan potensi atau
kemampuan (skill) yang mereka miliki untuk dapat
84
meraih suatu jenis pekerjaan dan karir apa yang sesuai
dengan kepakaran dari bidang yang telah mereka
tekuni.
Sesungguhnya apa yang para calon lulusan
Perguruan Tinggi cari adalah akumulasi dari apa yang
telah mereka dapatkan, pelajari, alami, lakukan dan
pikirkan sejak pertama mereka terlibat dalam
pendidikan dasar 9 tahun. Pendidikan dasar 9 tahun
merupakan program pemerintah Republik Indonesia
yang tidak bisa ditawar lagi oleh siapapun dan ini
wajib hukumnya bagi seluruh warga negara Indonesia.
Penambahan 3 tahun untuk mematangkan dan lebih
mempersiapkan generasi muda untuk siap bertarung
dengan calon pekerja dari wilayah dan negara lain,
kebijaksanaan pemerintahpun masih belum bias
dirasakan masyarakat ndonesia secara luas. Namun di
tahun 2016 ini sudah banyak yang merasakan
pentingnya seotrang anak mendapatkan pendidikan
lebih tinggi diantara permasalahan lain yang muncul.
Disana masih terdapat rasa optimis yang besar.
Menginjak tahun 2016, seluruh perguruan tinggi
di Indonesia sedang mempersiapkan diri bahkan telah
melakukan banyak mengembangan dalam penyusunan
kurikulum baru. Mereka memberi nama KKNI;
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. KKNI
(Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) Prodi
Sastra Inggris memiliki visi Unggul di bidang ilmu
Kebahasaan dan Kesastraan Inggris dan Profesional
dalam Persaingan Global. Dalam rangka mewujudkan
visi salah satu rumusan misinya adalah menghasilkan
lulusan Sastra Inggris yang unggul dan profesional
melalui proses belajar mengajar yang berkualitas dan
menjunjung sikap nilai-nilai kejujuran, kemandirian,
dan etika akademik serta bersikap kreatif dan kritis.
Misi tersebut diperjelas kembali dengan butir tujuan
dari disusunnya KKNI untuk Prodi Sastra Inggris ialah
menghasilkan sarjana sastra yang (a) menguasai dan
mampu menerapkan ilmu bahasa dan sastra Inggris
yang berwawasan multikultural pada bidang yang
ditekuni; (b) memiliki perilaku mandiri, kreatif dan
berpikir kritis dan berakhlaq mulia dalam persaingan
global; (c) mempunyai sikap, nilai, kebiasaan, dan
kepribadian yang menunjang pelaksanaan tugas
keprofesionalan.
Secara matang kurikulum Prodi Sastra Inggris
disusun dengan baik dan sungguh-sungguh. Dengan
niat dan pemikiran yang baik, para dosen sangat ingin
membekali anak didik; para mahasiswa dengan ilmu
dan kemampuan yang dapat mereka gunakan dan
manfaatkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat
memberikan mereka keberhasilan. Dalam rangka
mendapatkan informasi untuk melengkapi data yang
dibutuhkan prodi sehingga rencana dan konsep dapat
terwujud. Tim ini bermaksud melaksanakan penelitian
menelusuri minat, bakat, dan potensi karir mahasiswa
Prodi Sastra Inggris angkatan 2014-2015.
Prodi Sastra Inggris menerima tidak kurang
80 mahasiswa baru setiap tahunnya. Prodi yang berdiri
sejak tahun 1998 telah berhasil meluluskan mahasiswa
kurang lebih 750 mahasiswa dengan kurun rentang
1998-2008. Telah banyak dari para lulusan Prodi
Sastra Inggris yang menekuni karir di berbagai bidang,
diantaranya jurnalisme, bisnis-kewirausahaan,
pendidikan, perhotelan-restoran, manajemen,
perbanakan, televisi, penulis, pewarta berita, dan
hiburan. Pilihan karir yang beragam menjadi tantangan
para mahasiswa baru untuk dapat mengikuti apa yang
telah dicapai mahasiswa sebelumnya dan bahkan lebih
baik.
Dengan dasar latar belakang diatas, tim peneliti
menentukan permasalahan yang akan dibahas panjang
dalam penelitian, yaitu: .
a. Bagaimanakah bakat mahasiswa Prodi Sastra
Inggris angkatan 2014 dan 2015?
b. Bagaimanakah minat mahasiswa Prodi Sastra
Inggris angkatan 2014 dan 2015?
c. Bagaimanakah potensi karir mahasiswa Prodi Sastra
Inggris angkatan 2014 dan 2015?
d. Bagaimanakah pengembangan strategi pembinaan
bakat, minat, dan potensi karir mahasiswa Prodi
Sastra Inggris angkatan 2014 dan 2015?
Penelitian ini, tim telah menyebarkan angket
pada angkatan 2014 sejumlah 90 mahasiswa dan 2015
sejumlah 85 mahasiswa. Dari anglet yang disebar, tim
peneliti selanjutnya mendapatkan petunjuk untuk
menentukan rencana selanjutnya berkaitan dengan
pertanayaan ke-4. Dengan perencanaan yang baik
maka kegiatan yang akan dikembangkan untuk
membina bakat, minat, dan potensi karir mahasiswa
dapat secara bertahap dan reguler diselenggarakan.
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 KKNI Prodi Sastra Inggris
Dalam buku draft KKNI (2015), disampaikan
bahwa visi Prodi Sastra Inggris adalah Unggul di
bidang ilmu Kebahasaan dan Kesastraan Inggris dan
Profesional dalam Persaingan Global. Dari visi
tersebut di jabarkan lebih jauh lagi dalam tiga butir
misi, yaitu
a. Menghasilkan lulusan Sastra Inggris yang unggul
dan profesional melalui Proses Belajar Mengajar
yang berkualitas dan menjunjung sikap nilai-nilai
kejujuran, kemandirian, dan etika akademik serta
bersikap kreatif dan kritis;
b. Mengembangkan budaya akademis yang kondusif
dan melaksanakan manajemen prodi yang
akuntabel untuk meningkatkan profesionalisme
dosen dalam melaksanakan tridharma perguruan
tinggi;
c. Mengembangkan pusat kegiatan literasi sebagai
wahana yang unggul dalam aktualisasi keilmuan
mahasiswa dan dosen pada kegiatan pelayanan
kepada masyarakat;
Dengan tiga rumusan misi Prodi Sastra Inggris,
mahasiswa dan prodi ingin mewujudkan prodi yang
menghasilkan Sarjana Sastra yang (a) menguasai dan
mampu menerapkan ilmu bahasa dan sastra Inggris
yang berwawasan multikultural pada bidang yang
ditekuni; (b) memiliki perilaku mandiri, kreatif dan
berpikir kritis dan berakhlaq mulia dalam persaingan
85
global; (c) mempunyai sikap, nilai, kebiasaan, dan
kepribadian yang menunjang pelaksanaan tugas
keprofesionalan.
Dalam rumusan KKNI juga memiliki deskripsi
lulusan yang ingin dicapai, yaitu
Lulusan S1 Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni
Univeristas Negeri Surabaya, adalah
a. Pengulas karya sastra dan non sastra, Penyunting
Karya Sastra dan Non Sastra,Copy Editor,
pewarta media cetak dan Elektronik), , Copywriter,
Penulis karya sastra, Penerjemah
(Translator/Intepreter/Subtitler/Transkripsionist),
yang menguasai konsep ilmu bahasa dan sastra
(Inggris) serta mampu mengaplikasikanprinsip-
prinsip kebahasaan dan kesastraan dengan
menggunakan ketrampilan bernalar (critical
thinking)secara profesional untuk menghasilkan
(mengambil keputusan) karya kreatif, inovatif,
original dan berwawasan multikultural serta
mampu mengkomunikasikannya dengan penuh
tanggung jawabmelalui bentuk lisan maupun tulis
dengan menjunjung nilai moral.
b. Penelitidan instruktur Bahasa Inggris yang
menguasaiilmu bahasa dan sastra mampu
memecahkan (mengaplikasikan & mengambil
keputusan) masalah ilmu bahasa dan sastra Inggris
dengan menggunakan ketrampilan bernalar
(critical thinking) danberbagai metode penelitian
bahasa dan sastra, yang dipertanggungjawabkan
secara moral dan akademik secara tulis dan lisan
dalam lingkungan akademis dan sosial
kemasyarakatan.
Kedalaman dan keluasan lulusan S1 sastra inggris
yang merupakan kualifikais tingkat 6 yaitu
a. Pengulas dan Penyunting Karya Sastra dan Non
Sastra,
b. Pewarta media cetak dan Elektronik,
c. Copy Editor,
d. Copywriter,
e. Penulis Cerita,
f. Penulis Naskah (Scriptwriter),
g. Penerjemah
(Translator/Intepreter/Subtitler/Transkripsionist),
h. Peneliti, akademisi /instruktur bahasa Inggris
i. di bidang media (cetak maupun elektronik),
kehumasan, periklanan, perbankan, pariwisata, dan
ilmu pengetahuan/pendidikan
Para lulusan ini merupakan tujuan yang Program
Sastra Inggris ingin wujudkan, adalah mencetak
Sarjana Sastra merupakan praktisi bahasa dan sastra
Inggris, pencipta karya seni tulis bahasa dan Sastra
Inggris, creativepreneur, dan peneliti/akademisi
/instruktur bahasa Inggris yang menguasai dan
mengaplikasikan prinsip-prinsip kebahasaan dan
kesastraan Inggris dengan menggunakan ketrampilan
bernalar (critical thinking) di bidang media (cetak
maupun elektronik), penerjemahan, periklanan,
kehumasan, perbankan, pariwisata, dan ilmu
pengetahuan.
2.2. Mahasiswa.
Pengertian definisi mahasiswa dalam
Peraturan Pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah
peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan
tinggi tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono
mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi
terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi
dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Mahasiswa
merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang
memperoleh statusnya karena ikatan dengan
perguruan tinggi.
Mahasiswa merupakan suatu kelompok
dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena
ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga
merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda
dalam suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat
dengan berbagai predikat. Pengertian Mahasiswa
adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang
dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang
makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan
diharapkan menjadi calon-calon intelektual. Menurut
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI
bagian ke empat pasal 19 bahwasanya ‚ mahasiswa ‛
itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/
murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan
tertentu dalam masa pembelajarannya.
Dalam proses pemilihan pekerjaan apa yang
sesuai atau diinginkan, setiap individu akan selalu
mempertimbangkan segala minat, bakat, potensi,
kecerdasakn maupun harapan yang akan dicapai. Jenis
pekerjaan yang akan ditekuni nantinya pun merupakan
suatu proses atau aktivitas individu dalam usaha
mempersiapkan diri untuk memasuki karir yang
berhubungan dengan pekerjaan melalui suatu
rangkaian proses kegiatan yang terarah dan sistematis,
sehingga mampu memilih karis sesuai dengan yang
diinginkan atau yang dapat dilakukan.
Dalam diri setiap mahasiswa memiliki apa
yang disebut minat, bakat, dan potensi karir. Ketiga hal
tersebut berbeda antara satu individu dengan yang
lainnya. Ketiga hal tersebut merupakan kondisi
psikologis dari mahasiswa yang merupakan subyek
penelitian ini.
Kondisi Psikologi. Beberapa faktor
psikologis yang utama, yang dapat mempengaruhi
proses dan hasil belajar yaitu:
a. Menurut J.P. Chaplin dalam (Slameto, 2003:56 (1))
intelegensi adalah kecakapan yang terdiri dari
kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan
diri kedalam situasi yang baru dengan cepat dan
efektif, mengetahui atau menggunakan konsep-
konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui
relasi dan mempelajarinya dengan cepat. M.
Dalyono dalam (Djamarah, 2000:160 (2))
mengatakan bahwa seseorang yang memiliki
intelegensi yang tinggi umumnya mudah belajar
dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang
yang intelegensinya rendah cenderung mengalami
kesukaran-kesukaran dalam belajar, lambat
berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah.
Namun walaupun demikian, siswa yang memiliki
86
tingkat intelegensiyang tinggi belum tentu berhasil
dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena
belajar merupakan suatu proses yang kompleks
dengan banyak faktor yang mempengaruhinya dan
intelegendi merupakan salah satu faktor di antara
faktor yang ada. Faktor-faktor tersebut saling
mempengaruhi satu sama lainnya. Jika salah satu
faktor berpengaruh negatif dalam belajar maka
siswa akan gagal dalam belajar. Siswa yang
memiliki intelegensi yang tinggi namun tidak
mempunyai motivasi belajar yang tinggi maka
hasil belajarnya pun akan cenderung rendah.
b. Bakat sering diakui sebagai kemampuan bawaan
yang merupakan potensi yang masih perlu
dikembangkan atau dilatih (Sunarto & Hartono,
1999:119 (3)). Menurut Hilgard, bakat adalah
kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru
akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata
sesudah belajar atau berlatih. Jadi bakat
merupakan faktor yang besar pengaruhnya
terhadap proses dan hasil belajar seseorang.
Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa
belajar pada bidang yang sesuai dengn bakat akan
memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha
tersebut. Akan tetapi, banyak hal-hal yang
menghalangi untuk terciptanya kondisi yang
sangat diinginkan oleh setiap orang. Dalam
perguruan tinggi misalnya, tidak selalu perguruan
tinggi tempat orang belajar menjanjikan studi
yang benar-benar sesuai dengan bakat orang
tersebut. Hal lain yang menjadi penghambat
adalah faktor orang tua yang memaksakan
kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada
jurusan atau keahlian tertentu tanpa mengetahui
bakat yang dimiliki anaknya itu.
c. Minat Menurut Slameto (2003:180) minat adalah
suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada
suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh.
Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan
modal yang besar untuk memperoleh benda atau
tujuan yang diamati itu. Timbulnya minat belajar
dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain
karena keinginan yang kuat untuk menaikkan
martabat atau 20 memperoleh pekerjaan yang baik
serta ingin hidup senang dan bahagia. Menurut
Dalyono dalam (Djamarah, 2000:157) minat
belajar yang besar cenderung menghasilkan
prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar
yang kurang akan menghasilkan prestasi yang
rendah.
d. Motivasi menurut Noehi Nasution dalam
(Djamarah, 2000:166) motivasi adalah kondisi
psikologis yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Jadi motivasi belajar adalah
kondisi psikologis yang mendorong seseorang
untuk belajar. Dalam kenyataannya motivasi
belajar ini tidak selalu timbul dalam diri siswa.
Sebagian siswa memiliki motivasi belajar yang
tinggi tetapi sebagian lagi motivasi belajarnya
rendah bahkan tidak ada sama sekali. Ngalim
Purwanto (1995: 61 (4)) mengatakan bahwa
banyak bakat siswa yang tidak berkembang
karena tidak diperolehnya motivasi yang tepat.
Jika seseorang mendapatkan motivasi yang tepat,
maka akan tercapai hasil belajar yang diinginkan.
Motivasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain:
a. Cita-cita atau aspirasi Cita-cita atau aspirasi
adalah suatu target yang ingin dicapai oleh
seseorang. Menurut W.S Winkel, cita-cita
adalah tujuan yang ditetapkan dalam suatu
kegiatan yang mengandung makna bagi.
Siswa yang memiliki cita-cita yang tinggi
akan memiliki motivasi yang tinggi untuk
meraihnya.
b. Kemampuan Dalam belajar dibutuhkan
beberapa kemampuan. Kemampuan ini
meliputi beberapa aspek psikis yang terdapat
dalam diri siswa, misalnya pengamatan,
perhatian, ingatan, daya pikir dan fantasi.
c. Kondisi Siswa Kondisi siswa meliputi
kondisi jasmani dan rohani yang akan
mempengaruhi motivasi belajar. Kondisi
siswa yang sedang sakit, lapar atau marah-
marah akan mengganggu konsentrasi belajar.
d. Kondisi Lingkungan Siswa Lingkungan
siswa dapat berupa keadaan alam, lingkungan
tempat tinggal, pergaulan teman sebaya, dan
kehidupan masyarakat. Sebagai anggota
masyarakat , siswa dapat terpengaruh oleh
lingkungan sekitar.
e. Unsur-unsur dinamis dalam belajar. Unsur-
unsur dinamis dalam belajar adalah unsur-
unsur yang keberadaannya dalam proses
belajar tidak stabil, kadang-kadang kuat,
kadang-kadang lemah, dan bahkan hilang
sama sekali, khususnya kondisi-kondisi yang
sifatnya kondisional. Misalnya keadaan
emosi siswa, gairah belajar, situasi dalam
keluarga dll.
f. Upaya Guru Dalam Membelajarkan Siswa
Upaya yang dimaksud disini adalah
bagaimana guru mempersiapkan diri dalam
membelajarkan siswa, mulai dari penguasaan
materi, cara menyampaikan, menarik
perhatian siswa, mengevaluasi hasil belajar
siswa. Bila upaya tersebut dilaksanakan
dengan berorientasi pada kepentingan siswa
maka diharapkan upaya tersebut dapat
menimbulkan motivasi belajar siswa.
( Dimyati & Mudjiono, 2002 : 97-100 (5))
e. Emosi Menurut CP. Chaplin, emosi dapat
dirumuskan sebagai suatu keadaan terangsang
dari individu, mencakup perubahan-perubahan
yang disadari, yang mendalam sifatnya dan
perubahan perilaku. (CP. Chaplin, 1989: 163
(6)). Keadaan emosi yang labil seperti mudah
marah, tersinggung, merasa tertekan, merasa
tidak aman dapat mengganggu keberhasilan anak
dalam belajar. Perasaan aman, gembira, bebas,
87
merupakan aspek yang mendukung dalam
kegiatan belajar.
2.3 Karir, Potensi, dan Pilihannya.
Potensi karir adalah kemampuan yang
dimiliki dalam diri seseorang yang akan mendukung
apa yang dilakukan berdasarkan jenis atau tipe
pekerjaan. Dalam potensi karir terdapat pilihan karir.
Manusia adalah makhluk yang senantiasa tumbuh dan
berkembang. Perkembangan individu juga mencakup
perkembangan cita-cita atau pilihan tentang karirnya.
Seseorang dalam hidupnya tidak jarang merasa ada
bagian dalam dirinya yang ingin dikembangkan guna
mencari kepuasan dan juga untuk memenuhi
kebutuhannya di masa depan. Pengertian pilihan karir
Menurut Winkel (1991:512 (7)) pilihan karir
merupakan suatu proses pemilihan jabatan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis, sosiologis,
kultural geografis, pendidikan, fisik ekonomis, dan
kesempatan yang terbuka yang bersama-sama
membentuk jabatan seseorang, di mana seseorang tadi
memperoleh sejumlah keyakinan, nilai kebutuhan,
kemampuan, keterampilan minat, sifat kepribadian,
pemahaman, dan pengetahuan yang semuanya
berkaitan dengan jabatan yang dipangkunya.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pilihan karir meliputi 2 faktor, internal dan eksternal.
Menurut Sukardi (1987:44-45 (8)): 1. Faktor internal:
kemampuan intelegensi, bakat, minat, sikap,
kepribadian, nilai, hobi, prestasi, keterampilan,
penggunaan waktu senggang, aspirasi dan pendidikan
sekolah, pengalaman kerja, pengetahuan dunia kera,
kemampuan dan keterbatasan fisik, masalah dan
keterbatasan pribadi 2. Faktor eksternal: kelompok
primer dan kelompok sekunder Perencanaan Pilihan
Karir Menurut Sukardi dan Sumiati (1993:23 (9)),
merencanakan karir terdiri dari beberapa bagian yaitu:
1. Penilaian diri 2. Menelaah dan eksplorasi jabatan 3.
Menyusun jadwal kegiatan 4. mengantisipasi masalah
yang timbul 5. Meninjau rencana dan kemampuan diri.
Ragam dan jenis pilihan karir terdapat beberapa
pilihan yang dipilih untuk kelanjutan karir setelah
lulus dari perguruan tinggi, diantaranya adalah
melanjutkan ke jenjang pasca sarjana/pendidikan
magister (S2), pendidikan profesi, dan bekerja.
Klasifikasi pekerjaan menurut Winkel dan Hastuti
(1991:749 (10)), pengelompokan macam-macam
pekerjaan menurut bidangnya dapat dibagi menjadi ,
antara lain: 1. teknik dan industry, 2. niaga, 3.
perkantoran, 4. pelayanan masyarakat/jasa, dan 5.
pekerjaan lapangan.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Dengan judul “Penelusuran Minat, Bakat dan
Potensi Karir Mahasiswa Prodi Sastra Inggris
UNESA”, penelitian ini akan melakukan penelitian
deskriptif dengan menggunakan desain kuantitatif dan
kualitatif (kuantilatif). Data yang dikumpulkan berupa
data berupa angka dan keterangan. Data kuantitatif
dalam penelitian ini yaitu data persentase minat dan
bakat baik akademik ataupun non-akademik, pilihan
karier mahasiswa, faktor penyebab dan relevansi
jurusan dengan arah pilih karier yang dipilih, data ini
diperoleh melalui penyebaran angket. Sedangkan data
kualitatif merupakan hasil wawancara dengan
mahasiswa yang memiliki ketertarikan yang beragam
antar satu mahasiswa dengan lainnya, memiliki
alternatif pilihan karier yang sama, untuk memperoleh
informasi yang lebih dalam mengenai alternatif karier
yang dipilih tersebut data ini mencakup persiapan yang
telah dilakukan mahasiswa dalam memilih karier
lanjutan, maupun faktor pendukung dan
penghambatnya. Data ini diperoleh melalui
wawancara.
Pada penelitian awal untuk mengambil data
tentang minat, bakat dan potensi karir yang dipilih
mahasiswa angkatan 2014 dan 2015 akan dilakukan
dengan menyebarkan angket pilihan karier untuk
mahasiswa dan dan sumber data kualitatif (subyek
penelitian) yang akan diwawancarai untuk
memperoleh informasi yang lebih dalam tentang
pilihan kariernya. Sampel dalam penelitian ini adalah
mahasiswa Prodi Sastra Inggris angkatan 2014 dan
2015, FBS, UNESA. Sesuai dengan data siakad
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNESA, terdapat
746 mahasiswa yang terdaftar aktif sebagai mahasiswa
Prodi Sastra Inggris dengan detil jumlah 90 mahasiswa
angkatan 2014 dan 85mahasiswa angkatan 2015.
Sehingga penelitian tersebut tidak menggunakan
rumus atau formula tertentu. Setelah sumber data
utama didapatkan, penelitian akan melakukan
eksperimen
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian tersebut akan dilaksanakan di jurusan
bahasa dan sastra inggris UNESA. Lebih tepatnya, di
Unesa kampus lidah wetan gedung T4 dan T8. 3.3. Data dan Sumber Data
Penelitian Penelusuran Minat, Bakat dan
Potensi Karir Mahasiswa Prodi Sastra Inggris
UNESA menggunakan data primer hasil dari kuesioner
yang disebarka mahasiswa Prodi Sastra Inggris
angkatan 2014 da 2015. Data primer lainnya yaitu data
yang diambil dari wawancara dengan mahasiswa.
Selain data primer, data sekunder berupa data prestasi
mahasiswa jurusan Bahasa inggris tahun 2013-2015
juga akan membantu dalam memberikan informasi
pendahuluan tentang kondisi mahasiswa Prodi Sastra
Inggris. Data tersebut diambil dari data awal
penyusunan boring akreditasi jurusan Bahasa dan
sastra inggris UNESA. 3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup
(responden harus memilih jawaban yang paling sesuai)
dan terbuka (responden dapat memformulasikan
sendiri jawabannya). Data dikumpulkan dengan
menggunakan teknik kuesioner yang rencana akan
88
disebar pada 90 mahasiswa Prodi Sastra Inggris
angkatan 2014 dan 85 mahasiswa angkatan 2015. 3.5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang digunakan
dalam penelitian tersebut adalah dengan cara:
a. Penyusunan data.
b. Klasifikasi data.
c. Pengolahan data.
d. Interpretasi hasil pengolahan data.
Pada penelitian ini akan menggunakan 2 jenis data,
data kualitatif dan data kuantitatif. Pengolahan data
kualitatif dalam penelitian akan melalui tiga kegiatan
analisis yakni sebagai berikut.
a) Reduksi data.
b) Penyajian data.
c) Menarik kesimpulan/verifikasi.
Pengolahan Data Kuantitatif meliputi:
a) Mengelompokkan data.
b) Mengelompokkan Data. Agar data dapat
dikelompokkan secara baik, perlu dilakukan
kegiatan awal sebagai berikut.
(a) Editing, (b) Coding, (c) Tabulating,
4. ANALISA
Penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui
secara tepat dan benar akan apa yang sedang dihadapi
mahasiswa dalam menyambut persiapan mereka
menuju duani kerja setelah selama 4 tahun menempuh
pendidikan tinggi di jurusan bahasa dan sastra inggris
unesa. Pengambilan data sengaja dilakukan pada
mahasiswa tahun angkatan 2014 dan 2015 dengan
alasan tim peneliti dapat memberikan usulan sekaligus
membatu menyelenggarakan kegiatan yang
merupakan bagian dari solusi yang ditawarkan untuk
diberikan pada mahasiswa.sasaran utama penelitian
tersebut adalah mahasiswa. Berangkat dari cerita,
keluh, kesah, peran, saran beberapa mahasiswa selama
beberapa periode bahwa mahasiswa merasakan ada
yang kurang yang belum mereka dapatkan di kelas dan
dapat menunjang kemampuan akademik mereka.
Mereka yang berpandapat tersebut adalah mahasiswa
yang diantaranya telah menempuh ujian sidang skripsi
dan menunggu waktu wisuda, mahasiswa yang sedang
menempuh masa penyusunan skripsi, dan mahasiswa
yang telah lulus namun masih sering bermain ke
jurusan bahasa dan sastra inggris,unesa.
Dari semua apa yang telah disampaikan secara
lisan pada tim peneliti memberikan ide untuk
menyusun penelitian guna mencari tahu lebih banyak
dan dalam permasalahan yang dihadapi mahasiswa.
Dari penelitian awal ini kami menyusun 4 pertanyaan
penelitian, yaitu berfokus pada bakat, minat, potensi
apa yang dimiliki mahasiswa, dan jenis kegiatan yang
merupakan strategi yang dapat dilaksanakan jurusan
untuk membekali mahasiswa sebelum terjun ke dunia
kerja.
Data penelitian berkaitan dengan perntanyaan
yang telah disusun didapatkan dengan menyebarkan
angket pada mahasiswa prodi sastra inggris angkatan
2014 dan 2015.
4.1 Bakat mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015
Bakat sering diakui sebagai kemampuan
bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu
dikembangkan atau dilatih (sunarto & hartono,
1999:119). Hasil pertama yang didapatkan dari angket
adalah petanyaan tentang bakat yang dimiliki oleh
masing-masing mahasiswa yang diberi angket. Tabel 1. Bakat mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan
2015 No Bakat Jumlah
1 Menulis 63
2 Seni 56
3 Kemampuan bicara 44 4 Tidak menjawab 12
Dari 90 mahasiswa angkatan 2014 dan 85
angkatan 2015, semua angket kembali pada tim
peneliti dengan data yang lengkap guna membahas 4
pertanyaan diatas (tabel 1). Data pertama adalah
perihal bakat yang dimiki mahasiswa. Angket yang
kembali pada peneliti 175 dengan rincian 63 memiliki
bakat menulis, 56 bakat seni, 44 berbakat dalam
kemampuan bicara, dan 12 menyatakan tidak memiliki
jawaban.
63 mahasiswa yang memiliki bakat menulis
menyatakan secara detil bahwa bakat mereka
diantaranya menulis cerita, puisi, drama, teks, essai,
dan lirik lagu. Jumlah tertinggi kedua, 56 mahasiswa
menyatakan bahwa bakat mereka adalah di dunia seni,
diantaranya seni suara, tari, gambar, desain, menghias,
beladiri, busana, merangkai, memasak, dan fotografi.
Pada tingkat ketiga, 44mahasiswa cenderung
menyukai aktifitas yang berhubungan dengan
kemampuan berbicara. Pada tingkat keempat 12
mahasiswa masih menyatakan bingung, ragu, dan
bahkan tidak tahu meski dalam angket telah diberikan
gamabaran sederhana tentang apa yang dimaksud
dengan bakat dan minat. Keterangan tersebut
bertujuan supaya mahasiswa tidak perlu bingung akan
pengertian dari masing-masing kata kunci yang
dipakai, bakat,minat, dan potensi karir.
Pada pertanyaan kedua, yang merupakan rasa
ketertarikan mahasiswa. Minat menurut slameto
(2003:180) minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa
ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa
adayang menyuruh. Hasil angket kedua adalah
pernyataan maahasiswa perihal minat yang mahasiswa
miliki.
89
4.2 Minat mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan 2015
Tabel 2. Minat mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2015 dan
2016 No Minat Jumlah
1 Menulis 51
2 Seni 27
3 Budaya 27 4 Public speaking 26
5 Penerjemahan 20
6 Teknologi informasi 7 7 Pengajaran 1
8 Tidak tahu minat yang disukai 27 total 175
Sejumlah 51 menyenangi menulis; 27
menyenangi bidang seni, fotografi, masak; 27 senang
bidang budaya, pariwisata, periklanan; 26 senang pada
bidang public speaking; 20 senang bidang
penerjemahan; 7 senang bidang teknilogi informasi,
gaming; 1 senang pada pengajaran; dan 27 lainnya
tidak tahu apa yang mereka senangi sekaligus bingung.
Ragam jawaban pada pertanyaan kedua tersebut
berjumlah lebih banyak karena selera yang diminati
mahasiswa lebih bervariasi. Hal lainnya adalah
mahasiswa juga cederung ingin mengambangkan
ketertarikan mereka pada lebih dari 1 bidang. Banyak
diantara mereka yang tertarik pada 2-4 bidang. Namun
yang dijadikan pedoman pada penelitian ini adalah
pada pilihan pertama atau jawaban pertama akan tetapi
tetap mempertimbangkan kesesuaian dengan bakat
yang mahasiswa miliki.
4.3 Potensi karir mahasiswa Prodi Sastra Inggris 2014 dan
2015
Pada pertanyaan ketiga, tim peneliti berusaha
menjaring pendapat dari mahasiswa perihal jenis
pelatihan apa yang mereka butuhkan untuk menunjang
kemampuan akademik. Potensi karir atau pilihan karir
pilihan karir menurut winkel (1991:512) pilihan karir
merupakan suatu proses pemilihan jabatan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis, sosiologis,
kultural geografis, pendidikan, fisik ekonomis, dan
kesempatan yang terbuka yang bersama-sama
membentuk jabatan seseorang, di mana seseorang tadi
memperoleh sejumlah keyakinan, nilai kebutuhan,
kemampuan, keterampilan minat, sifat kepribadian,
pemahaman, dan pengetahuan yang semuanya
berkaitan dengan jabatan yang dipangkunya. Tim
berhasil menghimpun ragam pelatihan yang
dikehendaki mahasiswa, diantaranya:
a. Pelatihan dasar menulis
b. Pelatihan menulis kreatif
c. Pelatihan jurnalistik
d. Pelatihan untuk menjadi guru
e. Pelatihan akuntansi, perbankan
f. Pelatihan dasar/pengenalan menjadi pramugari/a
g. Pelatihan membaca al-quran
h. Pelatihan enterpreneur
i. Pelatihan keorganisasian
j. Pelatihan teknologi informasi
k. Pelatihan ilmu komunikasi
l. Pelatihan bidang periklanan
m. Pelatihan editing
n. Pelatihan bidang public speaking/public relation
o. Pelatihan kewirausahaan, bisnis
p. Pelatihan bidang kepariwisataan
q. Pelatihan bidang agama
r. Pelatihan bahasa
s. Pelatihan penerjemahan
t. Pelatihan desain gambar, ruang, busana
u. Pelatihan wawancara kerja, psikolog, karakter.
Dari sekian banyaknya jenis pelatihan yang diinginkan
mahasiswa, pelatihan menulis menjadi jenis yang
paling diminati mahasiswa selain pelatihan tersebut
merupakan bidang yang ingin dikembangkan oleh
jurusan bahasa dan sastra inggris.
Dengan teridentifikasinya bakat, minat, ragam
pelatihan yang dikehendaki mahasiswa, penelitian ini
akan melengkapi data dari mahasiswa dengan jenis
profesi atau pekerjaan yang ingin digelui oleh
mahasiswa sampai pada pilihan ketiga. Angket yang
disebar pada 175 mahasiswa memberikan hasil pilihan
selera mahasiswa, yaitu: Tabel 3. Profesi yang diminati mahasiswa Prodi Sastra
Inggris 2014 dan 2015. N
o
Profesi Jumla
h
1 Pengulas dan penyunting karya sastra dan non
sastra,
9
2 Pewarta media cetak dan elektronik, 23
3 Copy editor 14
4 Copywriter, 17 5 Penulis cerita, 28
6 Penulis naskah (scriptwriter), 14
7 Penerjemah (Translator/Intepreter/Subtitler/transkrips
ionist),
24
8 Peneliti, akademisi /instruktur bahasa inggris 19 9 Di bidang media (cetak maupun elektronik),
kehumasan, periklanan, perbankan,
pariwisata, dan ilmu pengetahuan/pendidikan,
27
10 lain-lain (pendakwah, penceramah). 5
total 175
Dari 175 mahasiswa yang memberikan
respon balik didapat jumlah terbanyak jenis pekerjaan
yang ingin ditekuni mahasiswa Prodi Sastra Inggris
dari jumlah tertinggi sampai terendah adalah penulis
cerita, di bidang media, penerjemah, pewarta media
cetak dan elektronik, peneliti akademisi, copywriter,
copyeditor, penulis naskah, pengulas dan penyunting
karya sastra dan non sastra, dan lain-lain.
4.4 Pengembangan strategi pembinaan bakat, minat, dan
potensi karir mahasiswa prodi sastra inggris angkatan
2014 dan 2015
Dari keseluruhan data yang diperoleh, dapat
disampaikan bahwa 63 mahasiswa memiliki bakat
menulis, mencapai nilai paling tinggi. Memiliki
jumlah mahasiswa yang minat menulis juga dipilih
oleh 51 orang. Jenis pelatihan yang diminati
mahasiswa dan jenis profesi yang ingin ditekuni
mahasiswa setelah lulus adalah menulis, meraih
jumlah mahasiswa paling tinggi. Hal tersebut
90
menunjukkan bahwa kedepannya prodi dapat
memberikan perhatian lebih pada program atau
kegatan yang menunjang aktivitas menulis. Kegiatan
menulis tersebut dapat divariasi diantaranya menulis
cerita, naskah, essai, berita, makalah, artikel, laporan,
dan blog. Frekuensi penyelenggaraan pelatihan dapat
dilakukan minimal 1 kali dalam 1 semester dengan
nama pelatihan yang berbeda. Frekuensi pelatihan juga
dapat disesuaikan jumlahnya dengan kegiatan
peningkatan kemampuan non-akademik mahasiswa
yang juga akan diselenggarakan untuk mahasiswa,
diantaranya kewirausaan dan basar, workshop dasar
menulis untuk mahasiswa baru, dan pelatihan
keorganisasian dasar-menengah-lanjutan. Jenis
pelatihan lainnya yaitu pelatihan public speaking,
perbankan, perhotelan, enterpeneurship, periklanan,
komputer, teknologi informasi, seni (desain, gambar,
fotografi, dekorasi, busaha, gerak), dan sebagainya.
Namun begitu beberapa kegiatan pengembangan
potensi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
sudah dapat terakomodasi oleh kegiatan yang
diselenggarakan oleh HMJ (Himpunan Mahasiswa
Jurusan) melalui beberapa divisi kegiatan, yaitu bola
basket, futsal, sepakbola, musik, drama, iro-iro
(gambar animasi), media, SKI, dance, dan fotografi.
Dalam satu tahun masing-masing divisi memiliki
kegiatan rutin dan insidentil (lomba atau penampilan).
Penelitian ini juga merencanakan diadakannya
pelatihan sederhana tentang menulis yang diisi oleh
alumni mahasiswa Prodi Sastra Inggris. Agung Putu
Iskandar adalah alumni Prodi Sastra Inggris yang
menekuni bidang jurnalisme. Agung pernah menjadi
wartawan harian pagi Jawa Pos dan sekarang menjadi
tetap menjadi penulis lepas beberapa media cetak
surabaya dan jakarta. Pelatihan menulis yang dihadiri
oleh 30 mahasiswa, diselenggarakan gratis selama 4
jam dengan memakai format workshop dengan target
beberapa tulisan mahasiswa dapat dimasukkan sebagai
bahan tulisan majalah jurusan edisi 2. Kegiatan ini
berhasil dilaksanakan pada hari Rabu, 9 November
2016 memakai ruang kelas T8.01.02 mulai pukul 9.00-
13.00. Selanjutnya akan dijadwalkan pelatihan
menulis oleh alumni mahasiswa Prodi Sastra Inggris
Kuntari dengan tema pelatihan menulis kreatif.
Kuntari adalah penulis cerita dan beberapa kali
berhasil membuat tulisan scriptwriter di beberapa
perusahaan televisi swasta di Jakarta. Saat ini Kuntari
juga menekuni dunia tulisan melalui dunia maya.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Slameto, (2003). Belajar dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
[2]. Djamarah, S.B, (2000). Guru dan Anak Didik
dalam Interaksi Edukatif. Jakarta. Rineka Cipta
[3].Sunarto H. dan Hartono, B.Agung, (1999).
Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
[4]. Purwanto, Ngalim, (1995). Psikologi Pendidikan,
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
[5]. Dimyati & Mudjiono, (2002). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
[6]. Chaplin, C.P, (1989). Kamus Lengkap Psikologi.
(diterjemahkan Kartini Kartono). Jakarta: Rajawali
Press.
[7]. Winkel W.S, (1991). Bimbingan dan Konseling
di Sekolah Menengah. Jakarta: PT. Grasindo.
[8]. Sukardi, Dewa Ketut, (1987). Bimbingan Karir
di Sekolah. Jakarta: Ghalia.
[9]. Sukardi, Dewa Ketut dan Sumiati, Desat Mede,
(1991). Panduan Perencanaan Karir. Surabaya:
Usaha Nasional.
[10]. Winkel, W.S; Hastuti, Sri, (2007). Bimbingan
dan Konseling di Institusi Pendidikan.
Yogyakarta : Media Abadi.
91
Pengembangan Model Pendidikan Guru Bidang Sains dan Teknologi
di Era Digital
Muchlas Samani1*), Mochamad Cholik2, I.G.P. Asto Buditjahjanto3. 1. Pendidikan Teknik Mesin, Universitas Negeri Surabaya. Email: muchlass@yahoo.com 2. Pendidikan Teknik Mesin, Universitas Negeri Surabaya Email: m.cholik @unesa.ac.id 3. Teknik Elektro. Universitas Negeri Surabaya. Email: asto.buditjahjanto3@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: muchlass@yahoo.com
ABSTRACT
In fact, technology is changing patterns of human life. Digital technology has changed the patterns of life and work.
Various studies have found digital era requires competence different working with industrial era. Competence or the 21st-
century digital era leads to multi-tasking, cross-culture collaboration, and creativity. Far different from the competence of the
industrial era that relies on manual skills are specialized and dominated by direct instruction (DI). Seen through the lens of
education, graduated from Vocational High School greatly affected the above changes, because changes in the pattern of
employment in the industry have consequences for the changing patterns of teaching in schools. The subjects productive in
SMK which has a core of learning technology, it is inevitable to be in contact automation, the pattern of learning is different
from the direct instruction (DI), Project based learning (PBL), or a problem-based learning. in connection with the learning
of the digital age that leads to multi-tasking, cross-culture collaboration, and creativity, it needs to be thought appropriate
learning conditions in the 21st century. Project based learning (PBL) and problem-based learning have the potential to foster
creativity, but the practice learning SMK technology has the risk of equipment damage and accidents, it is not easy to apply
the pattern of learning for learning in vocational school in the 21st century requires a touch of automation. With respect to the
necessary learning patterns above, it is necessary depth study and collaborates on appropriate learning patterns that are likely to be applied in Vocational Education.
Keywords: collaboration learning patterns,
ABSTRAK Secara fakta teknologi mengubah pola kehidupan manusia. Teknologi digital telah mengubah pola hidup dan pola kerja.
Berbagai studi menemukan era digital memerlukan kompetensi kerja yang berbeda dengan era industri. Kompetensi era digital
atau abad 21 mengarah ke multi tasking, cross culture collaboration dan kreativitas. Jauh berbeda dengan kompetensi era
industri yang bertumpu pada keterampilan manual yang terspesialisasi dan didominasi oleh direct instruction (DI). Dilihat
dari kacamata pendidikan, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sangat terpengaruh perubahan di atas, karena perubahan
pola kerja di industri membawa konsekwensi perubahan pola pembelajaran di sekolah. Mata pelajaran produktif di SMK yang
memiliki inti pembelajaran teknologi, tidak dapat dihindarkan akan bersentuhan otomasi, yang pola pembelajarannya tentu
berbeda dengan direct instruction (DI), Project based learning (PBL), atau pembelajaran berbasis masalah. Berkaitan dengan
pembelajaran era digital yang mengarah ke multi tasking, cross culture collaboration dan kreativitas, maka perlu pemikiran
pembelajaran yang sesuai kondisi di abad 21 ini. Project based learning (PBL) dan pembelajaran berbasis masalah punya
potensi untuk menumbuhkembangkan kreativitas, tetapi pembelajaran praktik SMK Bidang Teknologi yang memiliki resiko
kerusakan alat dan kecelakaan, tidak mudah menerapkan pola pembelajaran tersebut untuk pembelajaran di SMK yang pada
abad 21 ini memerlukan sentuhan otomasi. Sehubungan dengan pola pembelajaran yang diperlukan di atas, maka perlu kajian
yang mendalam dan berkolaborasi terhadap pola pembelajaran yang sekiranya tepat untuk diterapkan di Sekolah Menengah
Kejuruan.
Kata kunci: kalaborasi pola pembelajaran,
1. PENDAHULUAN
Universitas penghasil guru (Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan/LPTK) yang menghasilkan
guru Sekolah Menengah Bidang Sains dan Teknologi
telah menyiasati dengan cara menghadirkan
matakuliah Praktek Industri dengan tujuan agar
mahasiswa calon guru belajar perkembangan
teknologi di dunia industri yang dalam kenyataannya
lebih cepat beradaptasi dengan perkembangan
teknologi. Beberapa Sekolah Menengah Bidang Sains
dan Teknologi yang maju juga menyiasati dengan
mengirim guru untuk “magang” di industri. Namun
siasat tersebut belum sepenuhnya mampu menutup gap
antara kemajuan teknologi yang digunakan di industri
dengan yang ada di sekolah/univesitas penghasil guru.
Pada hal kemajuan teknologi semakin cepat dan dunia
industri juga terus berpacu satu dengan lainnya untuk
menggunakan teknologi terbaru. Sementara
universitas penghasil guru tentu sangat berat untuk
mengikuti persaingan itu.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), khususnya
Bidang Teknologi paling banyak terimbas
perkembangan tersebut, karena lulusannya diharapkan
segera terjun bekerja di industri yang mengalami
perubahan cepat. Oleh karena itu banyak riset untuk
menemukan model Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan (PTK) yang di dalamnya tercakup SMK. Jika
model pembelajaran berubah karena dampak
teknologi, tentunya peran guru juga akan berubah dan
pada akhirnya kemampuan guru yang diperlukan juga
akan berubah. Sampai saat ini pendidikan guru masih
menggunakan model pendidikan untuk melayani
pembelajaran yang dirancang untuk era industri.
Ketika pola pembelajaran berubah akibat era informasi
92
yang dipacu teknologi digital, tentu diperlukan
perubahan kompetensi gurunya. Pada hal saat inipun
dari sekolah bidang teknologi sudah sering
mengeluhkan pendidikan calon guru yang dianggap
kurang dapat mengikuti perkembangan. Apa yang
dipelajari di sekolah tertinggal dengan perkembangan
teknologi di industri, sehingga ketika mengajar, apa
yang dijelaskan sudah tertinggal dengan
perkembangan teknologi di industri.
Project based learning (PBL) dan pembelajaran
berbasis masalah punya potensi untuk
menumbuhkembangkan kreativitas, tetapi
pembelajaran praktik SMK Bidang Teknologi yang
memiliki resiko kerusakan alat dan kecelakaan, tidak
mudah menerapkan pola pembelajaran tersebut untuk
pembelajaran di SMK yang pada abad 21 ini
memerlukan sentuhan otomasi.
Mata pelajaran produktif di SMK yang memiliki
inti pembelajaran teknologi, tidak dapat dihindarkan
akan bersentuhan otomasi, yang pola pembelajarannya
tentu berbeda dengan direct instruction (DI), Project
based learning (PBL), atau pembelajaran berbasis
masalah. Berkaitan dengan pembelajaran era digital
yang mengarah ke multi tasking, cross culture
collaboration dan kreativitas, maka perlu pemikiran
pembelajaran yang sesuai kondisi di abad 21 ini.
Pembelajaran yang banyak melibatkan tentang
otomasi berkaitan dengan perkembangan teknologi
mutakhir yang membahas tentang diagram elektrik
yang digunakan di industri dan menjadi dasar dalam
perancangan sebuah sistem produksi yang terotomasi,
berbagai peralatan yang digunakan untuk menyusun
sebuah sistem otomasi, sistem komunikasi data, dasar
sistem pengendalian peralatan di industri, perancangan
part dan perencanaan proses dengan memperhatikan
sistem produksi yang terotomasi, teknologi dan
pemrograman CNC, industrial logic control systems,
Programmable Logic Controllers (PLC), dan sistem
otomasi terintegrasi (CAD/CAM).
Saat ini sudah mulai muncul riset dan
pengembangan pola pembelajaran yang dianggap
cocok dengan era informasi. Trillling dan Fadel (2009)
menjelaskan bagaimana inovasi yang dilakukan di The
Napa New Tech High School di Nothern California.
Cepat munculnya temuan baru membuat dinamika
perkembangan pendidikan juga cepat berubah. Jika
tidak apa yang dipelajari di sekolah (universitas) akan
usang ketika siswa/mahasiswa lulus dan terjun ke
lapangan kerja. Itulah yang dikeluhkan oleh Wagner
(2008) dalam buku The Global Achievement Gap: Why
Even Our Best Schools Don’t Teach the New Survival
Skills Our Children Need and What We Can Do About
It. Wagner menggambarkan lapangan berkembang
sangat cepat sebagai dampak teknologi, sementara
sekolah belum banyak berubah. Uraian di atas
memberi gambaran seperti apa model pembelajaran
untuk SMK di era digital.
2. KAJIAN TEORI
2.1 Pokok-Pokok Kompetensi di Era Digital
Perkembangan teknologi sedemikian cepatnya,
cetak berwarna sejelas gambar yang dicontoh sulit
dibedakan mana yang tiruan dan yang asli, di Jepan
dikembangkan alat pengirim bau (aroma). Jelasnya
apakah resep bumbu rendang yang dimasak oleh orang
Padang sama aromanya dengan yang dimasak oleh
orang Jepang di Tokyo yang pada waktu yang sama
mereka memasak di tempat yang berbeda. Kedua
orang yang dimaksud dapat bertukar aroma
masakannya. Ini adalah perkembangan teknologi yang
luar biasa.
Dengan kemajuan teknologi tersebut, akan
banyak pekerjaan yang semula dianggap tidak
mungkin sekarang dapat terwujud, yang semula
ditangani manusia akan diambil alih oleh “alat”, yang
lebih cermat, lebih cepat dan lebih tidak berisiko. Akan
terjadi pembagian pekerjaan apa yang sebaiknya
dikerjakan oleh manusia dan apa yang dikerjakan oleh
alat. Schmidt dan Cohen (2014: 254-255)
menggambarkan:
“In the future, computers and humans will
increasingly split duties according to what each
does well. We will use human intellegence for
judgment, intuition, nuance and uniquely human
interaction; we will use computing power for
infinite memory, infinitely fast processing and
actions limited by human biology. We will use
computers to run how they are interrogated and
handled thereafter will remain the purview of
human and their lawa. Robots in combat will
prevent death through greater precision and
situational awareness, but human judgments will
determine the context in which they are used and
what actions they can take.”
Apa yang diungkapkan oleh Schmidt dan Cohen
tersebut sudah dapat kita saksikan indikatornya.
Mahasiswa Teknik Perkapalan sudah tidak perlu susah
menghitung perencanaan bangunan kapal yang sangat
ribet. Perhitungan dapat dilakukan oleh software,
sehingga tugas mahasiswa adalah memikirkan desain
dengan segala pertimbangannya. Membuat peta daerah
dengan pesawat tak berawak yang dapat menjelejah
tempat-tempat yang sulit dengan resiko yang kecil.
Masih banyak contoh lain yang menunjukkan mana
pekerjaan yang lebih baik dilakukan oleh alat dan
mana pekerjaan yang harus ditangani oleh manusia,
karena tidak dapat dilakukan oleh mesin.
Dengan fenomena itu terjadi pergeseran
kemampuan atau kompetensi yang diperlukan untuk
bekerja di masa depan yang ternyata berbeda dengan
masa lalu. Wagner (2008) menyebutnya dengan the
survival skills, sebagai berikut:
1. critical thinking and problem solving,
2. collaboration across network and leading by
infulence,
3. agility and adaptibility,
4. initiative and entrepreneurialism,
5. effective oral dan written communication,
6. accesing and analyzing information, dan
93
7. curiosity and imagination.
Serupa dengan hal itu, Trilling dan Fadel (2009)
menyampaikan apa yang dia sebut kompetensi abad 21
(21st Century Skills), sebagai berikut:
1. learning and innovation yang mencakup critical
thinking and problem solving, communication
and collaboration, creativity and innovation;
information,
2. media and technology skills yang mencakup:
information literacy, media literacy and ICT
literacy, dan
3. life and carrer skills yang mencakup flexibility
and adaptability, initiative and self direction,
social and cross-cultural interaction,
productivity and accountability and leadership
and responsibility.
Kalau di cermati, apa yang dikatakan oleh Wagner
(2008) dan Trilling dan Fadel (2009) itu merupakan
konsekwensi dari pola kerja di era digital. Studi
Samani (2014) menemukan urutan bekerja di era
digital sebagai berikut:
1. Mencari informasi. Dalam bekerja orang akan
selalu menghadapi masalah untuk dipecahkan
dan atau mencari sesuatu untuk dikembangkan.
Untuk itu langkah awal adalah mencari informasi
yang relevan. Di era digital, maka melek
informasi dan melek ICT menjadi modal penting.
Rasa ingin tahu (curiosity) sangat penting untuk
mendorong mencari informasi.
2. Jika informasi sudah diperoleh, tahap berikutnya
akan menganalisnya secara kritis dan
menggunakan hasil analisis itu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Pemecahan
masalah harus dilakukan secara arif dan kreatif.
Arif artinya tidak boleh menabrak norma
kehidupan, kreatif artinya melalui cara-cara yang
baru. Disinilah pentingnya daya imaginasi.
3. Dalam bekerja, kemampuan fleksibilitas,
adaptasi, komuniasi dan kerjasama sangat
penting, karena hampir tidak ada pekerjaan yang
tidak dikerjakan dalam tim. Smart team
seringkali lebih penting dari individu yang
pandai.
Tentu harus dicatat bahwa apa yang
dikemukakan oleh Wagner, Trilling dan Fadel serta
Samani tersebut terkait dengan bidang keahlian yang
ditangani. Dalam istilah lain, soft skills tersebut harus
dipadukan dengan hard skills (bidang keahlian),
sehingga menjadi utuh menjadi apa yang disebut
dengan life skills.
Uraian diatas menunjukkan bahwa kompetensi
esensial di era di era digital sangat berbeda dengan
kompetensi esensial di era industri. Dari kacamata
pendidikan yang bertugas menyiapkan anak didik
memasuki era tersebut, muncul pertanyaan penting
yaitu “pola pembelajaran seperti apa yang tepat untuk
menumbuhkembangkan kompetensi tersebut”.
2.2 Model Pembelajaran pada Sekolah Menengah
Kejuruan di Era Digital
2.2.1 Model Pembelajaran dalam Kurikulum K13
Kurikulum 2013 menggunakan 3 (tiga) model
pembelajaran utama (Permendikbud No. 103 Tahun
2014) yang diharapkan dapat membentuk perilaku
saintifik, perilaku sosial serta mengembangkan rasa
keingintahuan. Ketiga model tersebut adalah: model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning), model Pembelajaran Berbasis Projek
(Project Based Learning), dan model Pembelajaran
Melalui Penyingkapan/Penemuan (Discovery/Inquiry
Learning). Disamping model pembelajaran di atas
dapat juga dikembangkan model pembelajaran
Production Based Education (PBE) sesuai dengan
karakteristik pendidikan menengah kejuruan. Tidak
semua model pembelajaran tepat digunakan untuk
semua KD/materi pembelajaran. Model pembelajaran
tertentu hanya tepat digunakan untuk materi
pembelajaran tertentu. Sebaliknya materi
pembelajaran tertentu akan dapat berhasil maksimal
jika menggunakan model pembelajaran tertentu. Oleh
karenanya guru harus menganalisis rumusan
pernyataan setiap KD, apakah cenderung pada
pembelajaran penyingkapan (Discovery/Inquiry
Learning) atau pada pembelajaran hasil karya
(Problem Based Learning dan Project Based
Learning)
2.2.2 Model Pembelajaran Tingkat Tinggi
Berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif,
hirarki Bloom yang terdiri atas tingkatan-tingkatan.
Bloom mengkalisifikan ranah kognitif ke dalam enam
tingkatan: (1) pengetahuan (knowledge); (2)
pemahaman (comprehension); (3) penerapan
(application); (4) mengalisis (analysis); (5)
mensintesakan (synthesis); dan (6) menilai
(evaluation). Keenam tingkatan ini merupakan
rangkaian tingkatan berpikir. Berdasarkan tingkatan
itu, maka dapat diketahui bahwa berpikir untuk
mengetahui (knowledge) merupakan tingkatan
berpikir yang paling bawah (lower) sedangkan
tingkatan berpikir paling tertinggi (higher) adalah
menilai (evaluation).
Separuh dari hirarki Bloom ini adalah berpikir
tingkat bawah yang terdiri atas: (1) pengetahuan
(knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3)
penerapan (application). Sedangkan separuh hirarki
Bloom yang lain adalah berpikir tingkat atas yang
terdiri atas: (4) mengalisis (analysis); (5)
mensintesakan (synthesis); dan (6) menilai
(evaluation).
Dalam Wikipedia Indonesia, berpikir tingkat
tinggi adalaha concept of Education reform based on
learning taxonomies such as Bloom’s Taxonomy. The
idea is that some types of learning require more
cognitive processing than others, but also have more
94
generalized benefits. In Bloom’s taxonomy, for
example, skills involving analysis, evaluation and
synthesis (creation of new knowledge) are thought to
be of a higher order, requiring different learning and
teaching methods, than the learning of facts and
concepts. Higher order thinking involves the learning
of complex judgmental skills such as critical thinking
and problem solving. Higher order thinking is more
difficult to learn or teach but also more valuable
because such skills are more likely to be usable in
novel situations (i.e., situations other than those in
which the skill was learned). Dari definisi itu maka
dapat dikatakan berpikir tingkat tinggi membutuhkan
berbagai tahapan pembelajaran dan pengajaran yang
berbeda, tidak hanya mempelajari fakta dan konsep
semata. Dalam berpikir tingkat tinggi meliputi
aktivitas pembelajaran terhadap keterampilan dalam
mengambil sikap yang bersifat kompleks. Berpikir
tingkat tinggi adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi
daripada sekedar menghafalkan fakta. Berpikir tingkat
tinggi secara singkat dapat dikatakan sebagai
pencapaian berpikir terhadap pemikiran tingkat tinggi
dari sekedar pengulangan fakta-fakta. Berpikir tingkat
tinggi mengharuskan melakukan sesuatu atas fakta-
fakta, dengan harus memahamnya, menghubungkan,
memanipulasi, menyandingkan, menggabungkan
dengan yang serupa untuk menjadikan sesuatu yang
baru dengan cara dan metode yang lain. dan
menerapkannya dalam mencari terobosan baru
terhadap persoalan-persoalan yang perlu dicarikan
jawaban.
Berkaitan dengan model pembelajaran tingkat
tinggi di SMK kiranya perlu memperhatikan hal-hal
yang berkaiatan dengan apa yang berdapat dalam
berpikir tingkat tinggi sebagaimana tertulis diatas.
2.3 Pembelajaran dalam Dunia Usaha dan Industri
Praktek Kerja Lapangan (PKL) dalam Kurikulum
2013 atau yang sering lebih dikenal sebagai Praktek
Kerja Industri (PRAKERIN) merupakan Program
pembelajaran yang dilaksanakan secara khusus dengan
mengambil alokasi waktu tertentu dan melibatkan
pihak lain diluar sistem sekolah. Tempat pelaksanaan
prakerin bisa jadi Dunia Industri atau Dunia Usaha.
PKL pada kurikulum 2013 disusun bersama antara
sekolah dan masyarakat (Institusi Pasangan/Industri)
dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik,
sekaligus merupakan wahana berkontribusi bagi dunia
kerja (DU/DI) terhadap upaya pengembangan
pendidikan di SMK. Tujuan Praktik Kerja Lapangan
(PKL) antara lain sebagai berikut:
1. Memadukan secara sistematis dan sistemik
program pendidikan di sekolah (SMK) dan
program latihan penguasaan keahlian di dunia
kerja (DU/DI).
2. Membagi topik-topik pembelajaran dari
Kompetensi Dasar yang dapat dilaksanakan di
sekolah (SMK) dan yang dapat dilaksanakan di
Institusi Pasangan (DU/DI) sesuai dengan
sumberdaya yang tersedia di masing-masing pihak.
3. Memberikan pengalaman kerja langsung kepada
peserta didik di DU/DIdalam rangka menanamkan
iklim kerja positif yang berorientasi pada peduli
mutu proses dan hasil kerja.
4. Memberikan bekal etos kerja, sikap kerja, disiplin
kerja yang tinggi bagi peserta didik untuk
memasuki dunia kerja dalam menghadapi tuntutan
pasar kerja global.
(https://haedarrauf.wordpress.com)
Uraian di atas memberi gambaran jelas bahwa
dengan adanya prakerin memberi kesempatan kepada
dunia usaha dan industri untuk ikut berpartisipasi dan
bertanggungjawab dalam melaksanakan pendidikan
SMK. Prakerin ini memberi bekal kepada siswa SMK
tentang kerja nyata di industri. Kerja nyata ini sangat
erat dengan teknologi yang berkembang saat ini.
Sehingga melalui prakerin ini siswa dapat segera
mengetahui dan memiliki pengalaman tentang
perkembangan teknologi yang berkembang dewasa
ini.
2.4 Hasil Kajian Literatur dan Studi Banding di
Jerman
Model pembelajaran akan sangat menentukan
kompetensi yang dihasilkan, sehingga harus dirancang
sebaik-baiknya. Trailling dan Fadel memberikan
contoh bagaimana menggabung kan tiga ranah
kompetensi, kognitif, afektif dan psikomotor dalam
satu kesatuan utuh melalui Learning Bicycle model,
seperti Gambar 1. Model pembelajaran harus punya
keseimbangan antara guided instruction dengan
collaborative insruction. Guided instruction
diperlukan pada tahap awal belajar untuk menghindari
kekeliruan kerja yang sangat mungkin berisiko.
Namun pola itu harus diakhiri, ketika siswa sudah
cukup terampil dan saatnya diberikan kesempatan
belajar mandiri secara kelompok (collaborative
construction). Dan pada akhir tahapan, siswa perlu
mendapatkan kesempatan memecahkan masalah
dengan mendapatkan trouble shooting lewat project
based learning (PjBL) atau paling tidak problem based
learning (PBL).
95
Gambar 1. 21st Century Project Learning Bicycle
Model
(Sumber: Trilling & Fadel, 2009)
Menurut riset Trilling dan Fadel, model pembelajaran
harus memberikan tantangan agar merangsang
munculnya keinginan siswa untuk mecapai itu. Namun
tantangan itu tidak boleh terlalu tinggi, sehingga
membuat siswa takut mencobanya. Lingkungan
sekolah termasuk guru harus memberikan keyakinan
siswa mampu menguasai LA yang dipelajari, karena
dukungan seperti itu ibarat angin yang mendorong
siswa dari belakang.
Bagaimana lingkungan itu diciptakan? Gambar 2
menunjukkan bagaimana guru yang tidak mengajar,
tetapi siap untuk memberikan pencerahan, memandu
dan memotivasi siswa ketika memecahkan masalah.
Siswa bekerja secara kelompok dan guru siap di
sekitarnya tanpa memberitahu apa-apa, kecuali siswa
yang meminta atau ada hal yang membayakan. Ketika
siswa bertanya guru tidak memberikan jawaban
langsung, tetapi justru memandu agar siswa
menemukan sendiri jawabannya. Misalnya dengan
mengajukan guided question atau probling question.
Gambar 2. Learning Enviroment to Support
Students’ Learning
(Sumber: Trilling & Fadel, 2009)
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setiap
semester siswa TVET di Jerman mempelajari 2 LA.
Setiap LA dipelajari selama 3 minggu di sekolah dan
6 minggu (2x3 minggu) di DUDI. Pembelajaran di
sekolah difokuskan pemahaman konsep sampai
dengan logika teoritiknya. Untuk itulah konsep/teori
pendukung LA, misalnya Matematika, Fisika, Kimia
dan sebagainya dipelajari saat itu. Tahapan ini penting
agar siswa memahami kemengapaannya. Misalnya
Konsep siswa belajar LA tentang sistem roda, tentu
konsep Fisika mekanika, kinematika dan dinamika
terapan sederhana perlu dipelajari agar dapat mengerti
mengepa roba balans atau tidak, mengapa posisi roda
depan mobil distel seperti itu, mengapa ketika
mengganti ban mobil ban yang baru selalu dipasang di
roda depan dan sebagainya.
Konsep itu dipelajari secara terpadu dengan LA
sistem roda dan diajarkan oleh guru bidang TVET dan
bukan guru MIPA. Ternyata cara itu lebih efektif
karena antara LA dengan konsep mendukung menjadi
satu kesatuan, sehingga peserta langsung memahami.
Dari aspek waktu juga efisien, karena siswa hanya
memperlajari konsep pendukung yang benar-benar
diperlukan dalam bekerja. Namun guru harus memiliki
bekal cukup tentang konsep pendukung agar mampu
menjelaskan dengan baik.
Ketika selama 6 minggu di DUDI, siswa langsung
belajar mempraktekkan apa yang sudah dipelajari di
sekolah. Namun karena apa yang dipelajari di sekolah
dan dipelajari di DUDI sudah dirancang, maka
perpindahan belajar dari sekolah ke DUDI tidak
menjadi masalah. Itulah salah satu kelebihan gual
system di Jerman.
Mengapa DUDI bersedia ketempatan belajar
siswa TVET? Ternyata DUDI mendapat manfaat dari
keberadaan siswa yang sedang praktek karena
dianggap dan diperlakukan sebagai orang yang
magang dengan tanpa membayar. Mengapa hal itu
dapat terjadi? Pengaturan jumlah siswa yang sesuai
dengan daya tampaung DUDI, pemberian bekal yang
baik sehingga siswa dapat langsung berkerja sebagai
orang magang, serta pengaturan jadwal belajar yang
baik yang menguntungkan DUDI.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan
kompetensi lulusan Sekolah Menengah Bidang Sains
dan Teknologi di era digital, model pembelajaran yang
tepat untuk menghasilkan lulusan tersebut, kompetensi
guru yang mampu mengelola pembelajaran tersebut
dan model pendidikan guru yang mampu
menghasilkan guru itu. Penelitian menggunakan
metode kualitatif yang memiliki karakter eksploratori,
sehingga dapat mengungkap apa dibalik yang tampak
(Flick, 2009: 28). Eksplorasi informasi dilakukan
dengan sungguh-sungguh, dengan melacak ke
dokumen, observasi di Sekolah Menengah Bidang
Sains dan Teknologi maupun lembaga pelatihan yang
setingkat dengan itu, wawancara dengan guru,
instruktur serta focus group discussion (FGD) dengan
para guru, sehingga ditemukan rangkaian informasi
yang komprehensif.
Walaupun menggunakan metode penelitian
kualitatif bukan berarti tidak menggunakan data
kuantitatif. Data kuantitatif tetap diperlukan, misalnya
mencari frekwensi mana kompetensi yang penting dan
96
yang kurang. Namun pemaknaannya tidak diarahkan
untuk generalisasi, melainkan mendeskkripkan suatu
fenomena secara kasuistik dan untuk itu selalu
dikonformasikan melalui wawancara mendalam.
3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan: (1) studi
literatur dan dokumen, (2) observasi terhadap
fenomena yang relevan, (3) wawancara semi
terstruktur yang diikuti dengan wawancara mendalam
(indepth interview), dan (4) focus group discussion
(FGD) studi banding ke Jerman sebagai negara maju
dan memiliki tradisi pendidikan menengah bidang
sains dan teknologi sangat baik. Kelima metode
pengumpulan data diterapkan secara simultan dan
saling melengkapi.
Studi literantur dan dokumen difokuskan
untuk mendapatkan konsep dan teori serta kajian-
kajian masa depan, serta berbagai informasi di negara
maju. Artikel dalam jornal IJRVET (International
Journal on Research for Vocational Education and
Research) dikaji secara mendalam, karena banyak
yang memuat inovasi pembelajaran yang relevan.
Hasil riset Roland Burger Strategis Consutants (2011)
yang dimuat dalam Compadium 2013 dikaji
mendalam, khususnya bagian T5 tentang dynamic
technoogy and innovation yang memberi gambaran
perkembangan inovasi teknologi yang akan masuk ke
bidang pendidikan. Hasil riset majalah The Econimist
(2015) yang dimuat dalam Driving Skills Agenda:
Preparing Students for the Future juga dikaji secara
mendalam karena memberi gambaran kompetensi
yang sangat diperlukan di era digital.
Observasi dilaksanakan secara cermat untuk
mengetahui pola pembelajaran yang saat ini terjadi,
baik yang konvensional maupun yang inovatif, baik di
Sekolah Menengah Bidang Sains, baik di ruang kelas
maupun workshop. Sesudah observasi disambung
dengan wawancara mendalam (indepth interview)
dengan guru untuk mengetahui mengapa pembelajaran
dilaksanakan seperti itu. Wawancara sekaligus untuk
mengetahui kompetensi guru, baik dalam isi materi
yang diajakarkan maupun pedagogik sebagai bekal
mengajar.
3.2 Pengembangan Model
Pengembangan model pembelajaran meng-
gunakan metode stratejik instruktional (instructional
strategies model) dari Taba (Luneburg, 2011:3-4)
yang merupakan model induktif. Model ini dipilih
karena bertumpu pada faktor eksternal, yaitu
perubahan teknologi yang sangat berpengaruh pada
program pendidikan. Di samping itu model ini
mempunyai argumentasi teoritik yang sangat kokoh,
walapun relatif lebih kompleks, Model selengkapnya
tampak pada Gambar 3.
Gambar 3. Metode Stratejik Instruksional
Pada tahun kedua, yaiu tahap pengembangan
model pendidikan guru Sekolah Menengah Bidang
Sains dan Teknologiakan digunakan metode
systematic-aestetic dari Eisner. Metode ini dipilih
karena sangat komprehensif dan tidak hanya melihat
kurikulum tetapi juga struktur lembaga
sekolah/universitas. Yang dimaksud dengan struktur
sekolah tidak hanya struktur organisasi di dalam
sekolah, tetapi juga hubungannya dengan lembaga lain
khususnya pihak pengguna lulusan.
Pada gambar 4 tampak bahwa lima kom-
ponen model (konsep dasar kurikulum, pengendalian
mutu pembelajaran, model evaluasi hasil belajar,
evaluasi program sekolah secara komprehensif dan
struktur kelembagaan) saling terhubung dengan anah
panah restropektif, sehingga menunjukkan adanya
saling mempengaruhi. Dengan demikian penyelarasan
harus dilakukan secara komprehensif untuk semua
komponen.
Gambar 4. Model Systematic-Aestetic
Mengingat tujuan ini mengembangkan model
pendidikan guru Sekolah Menengah Bidang Sains dan
Teknologi di era digital yang sangat mungkin masih
asing bagi kalangan LPTK, maka perbandingan
dengan model pendidikan guru di negara maju akan
menjadi salah satu data penting. Berdasarkan data
tersebut akan dikembangkan draft model untuk
Indonesia dengan metode systematic-aestetic. Draft
97
tersebut selanjutnya akan divalidasi dengan expert
review dan teknik Delphi.
3.3 Analisis Data
Data dianalisis dengan analisis isi (content
analysis) karena dapat memaknai data-data naratif
hasil wawancara, data deskriptif hasil observasi dan
FGD maupun data dokumen dan literatur [13].
Pemaknaan berbagai jenis data yang berbeda bentuk
sangat penting agar dapat disambungkan untuk
membangun sebuah proposisi.
Sebelum dilakukan analisis, validasi data
dilakukan secara silang (cross validity) dan triangulasi,
sesuai dengan jenis datanya. Validasi silang diterapkan
untuk menguji validitas informasi yang data yang
diperoleh dari sumbe yang berbeda, yaitu dokumen,
wawancara, FGD maupun studi literature[3].
4. PEMBAHASAN
Perkembangan teknologi dewasa ini demikian
cepat. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
khususnya Bidang Teknologi paling banyak terimbas
perkembangan itu, karena lulusannya diharapkan
segera terjun bekerja di industri yang mengalami
perubahan cepat. Oleh karena itu banyak riset untuk
menemukan model Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan (PTK) yang di dalamnya tercakup SMK. Jika
model pembelajaran berubah karena dampak
teknologi, tentunya peran guru juga akan berubah dan
pada akhirnya kemampuan guru yang diperlukan juga
akan berubah. Sampai saat ini pendidikan guru masih
menggunakan model pendidikan untuk melayani
pembelajaran yang dirancang untuk era industri.
Ketika pola pembelajaran berubah akibat era informasi
yang dipacu teknologi digital, tentu diperlukan
perubahan kompetensi gurunya dan perubahan
pelayanan pembelajaran terhadap siswa. Pada hal saat
inipun dari sekolah bidang teknologi sudah sering
mengeluhkan pendidikan calon guru yang dianggap
kurang dapat mengikuti perkembangan. Apa yang
dipelajari di sekolah tertinggal dengan perkembangan
teknologi di industri, sehingga ketika mengajar, apa
yang dijelaskan sudah tertinggal dengan
perkembangan teknologi di industri. Hal ini juga
membawa dapak model pembelajaran yang diberikan
kepada siswa.
Fenomena pergeseran kemampuan atau
kompetensi yang diperlukan untuk bekerja di masa
depan yang ternyata berbeda dengan masa lalu.
Wagner (2008) menyebutnya dengan the survival
skills, yaitu: 1) critical thinking and problem solving,
2) collaboration across network and leading by
infulence, 3) agility and adaptibility, 4) initiative and
entrepreneurialism, 5) effective oral dan written
communication, 6) accesing and analyzing
information, dan 7) curiosity and imagination.
Fenomena ini tentu akan mengubah model pengajaran
guru dan model pengajaran di SMK. Fenomena ini
juga disebabkan oleh perkembangan industri yang
demikian pesat di segala sector.
Separuh dari hirarki Bloom ini adalah tingkat
berpikir bawah yang terdiri atas: (1) pengetahuan
(knowledge); (2) pemahaman (comprehension); (3)
penerapan (application). Sedangkan separuh hirarki
Bloom yang lain adalah tingkat berpikir atas yang
terdiri atas: (4) mengalisis (analysis); (5)
mensintesakan (synthesis); dan (6) menilai
(evaluation). Untuk pengajaran di SMK perlu model
pengajaran yang menggunakan berpikir tingkat atas.
Salah satu tujuan prakerin adalah memadukan
secara sistematis dan sistemik program pendidikan di
sekolah (SMK) dan program latihan penguasaan
keahlian di dunia kerja (DU/DI). Hal ini dimaksudkan
agar kemajuan-kemajuan yang ada di dunia industri
dan dunia usaha dapat diserap oleh siswa SMK.
Dengan adanya prakerin ini siswa SMK dapat
merasakan tentang iklim kerja di DU/DI, membentuk
kedislipinan diri, melatih menjadi tim kerja yang solid.
Hal penting dalam prakerin ini adalah memberi
pengalaman kerja di DU/DI, yang pengalaman itu
tidak di dapat di Sekolah. Berkaitan dengan prakerin
ini siswa SMK harus dekat dan akrap dengan DU/DI
agar kekurangan-kekurangan siswa di SMK dapat
dilengkapi di DU/DI.
5. SIMPULAN
Model pembelajaran untuk SMK di era digital
dari jabaran diatas kiranya dapat disimpulkan
sebagai berikut: Model pengajaran harus
memperhatikan kompetensi yang perorientasi kepada
industri, dan siswa SMK harus akrap dengan dunia
industri dan dunia usaha.
Kompetensi harus merupakan integrasi antara
kerampilan dalam bidang kerja yang dipelajari dengan
kemampuan berpikir tinggi, kemampuan bekerjasama
dan kemauan berlajar tentang teknologi baru.
Berpikir analisis yang diterapkan pada bidang
keahlian menjadi kompetensi sangat penting, karena
sebagian besar peralatan kerja menggunakan micro
computer based.
Kompetensi komunikasi dan kerjasama sangat
penting, karena sebagai pekerjaan dikerjakan dalam
team work.
Work based learning tidak dapat digantikan
dengan belajar di sekolah, karena di lingkungan kerja
siswa tidak hanya belajar keterampilan tetapi juga
sikap dan budaya kerja. Oleh karena itu dual system
sangat ideal.
Dalam setiap komptensi model pembelajaran
guided instruction sampai collaborative project based
learning harus diterapkan. Guided instructi-on
diterapkan di awal ketika siswa berlatih keterampial
dan menghindari kecelakaan kerja, collaborative
project based diterapkan ketika siswa belajar trouble
shooting.
6. SARAN
Perlu segera dilakukan job apa yang disasar
untuk ditempati oleh lulusan SM Bidang Sains dan
Teknologi. Berdasarkan job tersebut dilakukan
98
identifikasi apa saja yang menjadi tugas dan tanggung
jawabnya (job analysis).
Untuk setiap tugas dianalisis kompetensi apa saja
yang diperlukan untuk melaksanakan-nya. Rangkaian
kompetensi inilah yang menjadi inti kurikulum SM
Bidang Sains dan Teknologi.
Agar dual system dalam berjalan baik, setiap
sekolah sebaiknya memiliki partner dudi yang jelas.
Kompetensi apa yang dipelajari di sekolah dan di dudi
disepakati bersama.
Dudi ikut bertanggung jawab terhadap
kompetensi yang dicapai siswa, sehingga proses
belajar di dudi berjalan efektif.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1]. ALPTKI, (2009). Rancangan Revitalisasi LPTK
dalam Penyelenggaraan Pendidikan Profesi
Pendidik. Bandung: ALPTKI.
[2]. Arends, Richard I., (1997). Classroom
Instrucation and Management. New York: Mc
Graw Hill Humanities/SocialSciences.
[3]. Cohen, Louis; Lawrence Manion & Keith
Morrison. (2011). Research Methods in
Education. 7th Edition. London: Routledge.
[4]. Dit. Belmawa. (2013). Panduan Pengembangan
Kurikulum LPTK (Program Akademik dan
Program Profesi Guru). Jakarta: Dit Belmawa
Ditjen Dikti.
[5]. Friedman, Thomas L., (2006). The World is Flat:
The Globalized World in the Twenty-First
Century. London: Penguin Group.
[6]. Friedman, Thomas L., (2013). “The Shanghasi
Secret” dimuat di The New York Times. Edisi 22
Oktober 2013.
[7]. Goldin, Claudia and Lawrence F. Katz., (2009).
The Race between Education and Technology. Boston: Harvard University Press.
[8]. Handy, Charles, (1997). The Sense in
Uncertainty di dalam Rowan Gibson (ed).
Rethinking the Future: Business, Principles,
Competation, Control Leadership, Market and
the World. London: Nicholas Brealey Publishing.
[9]. Kurnia, Dadang, (2013). Post-Study Pre-Service
Practical Training Programme for TVET
Teacher Students. Shanghai: Regional
Cooperation Platform for Vocational Teacher
Education in Asia (RCP)
[10]. Loose, Gert& Georg Spöttl, (2015). Securing
quality in TVET - A compendium of “best
practices”: fourteen main principles for the
improvement of Technical and Vocational
Education and Training” (www.tvet-online.asia.
Diunduh tanggal 4 Februari 2015 pukul 06:25).
[11]. Morris, Halden A. 2013. Advancing Education
through a Culture of Inquiry, Innovation and
Indigenization. Paper presented at Biennial
Conference - St Augustine Campus: April 23 –
25, 2013
[12]. Mourshed, M., Chijioke, C., & Barber, M.
(2010). How the world's most improved school
systems keep getting better. New York, NY:
McKinsey & Company.
[13]. Neuendorf, Kimberly A., (2002). The Content
Analysis Guidbook. London: Sage Publication
Inc.
[14]. Pirto, Jane, (2011). Creativity for 21st Century
Skills: How to Embed Creativity into the
Curriculum. Boston: Sense Publishers.
99
Pengembangan Model Pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum
2013 untuk Membantu Mengatasi Kesulitan
Guru-Guru SMP di Surabaya
Muhajir1*), Nunuk Giari2, Marsudi3 1. Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Unesa, Surabaya. Email: muhajir_fbs@yahoo.co.id 2. Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Unesa, Surabaya. Email: nunuk.giari@unesa.ac.id
3. Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Unesa, Surabaya. Email: marsudi@unesa.ac.id
*)Alamat korespondensi: Email: muhajir_fbs@yahoo.co.id
ABSTRACT
This paper is based on research carried out in two years with the aim of (1) Generate a learning model Arts
and Culture-Based Curriculum 2013 for SMP consisting of RPP, Media, and instructional videos (2) Describe
the learning model development Arts and Culture began the initial stage until Dissemination to targets teachers,
subject teachers ie SMP Cultural Art in the city of Surabaya. RPP, Media, and instructional videos are developed
based on three basic competence (KD) that is KD: Drawing the composition of flora and fauna as well as the
geometric into decorative (Class VII), Drawing Illustration with manual techniques and Digital (class VIII),
Designing and Conducting exhibit (class IX). Video learning model that was developed just choosing one that is
considered the most complex KD Designing and Organizing the exhibition (class IX). The first year produces
RPP and instructional media of the three KD above, from product design to validation expert and revision. In the
second year is focused on the production of video learning model, validation, and testing by a group of teachers
to all the products produced, namely lesson plans, instructional media, and video learning model, which ended
with Dissemination results to teachers of Art and Culture in the city of Surabaya ,
Keywords: model of learning, art and culture, curriculum 2013
ABSTRAK
Tulisan ini didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan dalam dua tahun dengan tujuan (1) Menghasilkan
model pembelajaran Seni Budaya Berbasis Kurikulum 2013 untuk SMP yang terdiri atas RPP, Media, dan video
pembelajaran (2) Mendeskripsikan pengembangan model pembelajaran Seni Budaya mulai tahap awal hingga
deseminasi kepada para guru sasaran, yakni guru mata pelajaran Seni Budaya SMP di wilayah kota Surabaya.
RPP, Media, dan video pembelajaran yang dikembangkan mengacu pada tiga kompetensi dasar (KD) yakni KD:
Menggambar gubahan flora dan fauna serta geometrik menjadi ragam hias (Kelas VII), Menggambar Ilustrasi
dengan teknik manual dan Digital (kelas VIII), Merancang dan Menyelenggarakan pameran (kelas IX). Video
model pembelajaran yang dikembangkan hanya memilih satu KD yang dinilai paling kompleks yakni Merancang
dan Menyelenggarakan pameran (kelas IX). Penelitian tahun pertama menghasilkan RPP dan media
pembelajaran dari tiga KD di atas, dari tahap perancangan produk hingga validasi ahli dan revisi. Pada tahun
kedua difokuskan pada produksi video model pembelajaran, validasi, dan uji coba oleh kelompok guru terhadap
semua produk yang dihasilkan, yaitu RPP, Media pembelajaran, dan video model pembelajaran, yang diakhiri
dengan deseminasi hasil kepada guru-guru Seni Budaya di wilayah kota Surabaya.
Kata kunci: model pembelajaran, seni budaya, kurikulum 2013
1. PENDAHULUAN
Makalah ini disarikan dari hasil penelitian
yang dilaksanakan dalam dua tahun dengan judul
“Pengembangan Model Pembelajaran Seni Budaya
Berbasis Kurikulum 2013 Untuk Membantu
Mengatasi Kesulitan Guru-guru SMP di Surabaya.”
Tujuan penelitian dimaksud ialah (1) Menghasilkan
model pembelajaran Seni Budaya Berbasis
Kurikulum 2013 untuk SMP (dengan produk berupa
RPP, Media pembelajaran, dan video model
pembelajaran) yang dicapai melalui tahap
penyusunan desain, validasi pakar dan uji coba oleh
sekelompok guru (2) Mendeskripsikan proses
pengembangan model pembelajaran Seni Budaya
mulai tahap awal hingga deseminasi kepada para
guru sasaran, yakni guru mata pelajaran Seni Budaya
SMP di wilayah kota Surabaya.
Secara konkret model pembelajaran ini terkemas
dalam video model pembelajaran yang
menggambarkan sosok utuh pembelajaran yang di
dalamnya terjadi interaksi antara guru, siswa dan
materi pembelajaran yang mencakup pula pendekatan,
dan metode pembelajaran. Model pembelajaran ini
juga disertai dengan RPP dan Media pembelajaran
yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan para guru
Seni Budaya di wilayah kota Surabaya.
Dengan alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan
biaya, pengembangan model pembelajaran difokuskan
pada bidang seni rupa, tidak mencakup bidang seni
yang lain yakni seni musik, seni tari, dan seni teater.
Selanjutnya untuk tiap-tiap kelas dipilih satu butir
Kompetensi Dasar (KD). Untuk tiap-tiap KD
100
dikembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri
atas RPP dan Media Pembelajaran. Sementara untuk
rekaman video model pembelajaran tidak dibuat
seluruhnya (tiga KD/tiga pembelajaran) akan tetapi
dipilih salah satu KD yang dipandang paling penting
berdasarkan harapan guru sasaran, yakni KD:
Merancang dan menyelenggarakan pameran. Para
guru merasa perlu mendapatkan gambaran tentang
pelaksanaan pembelajaran Merancang dan
menyelenggarakan pameran, karena kegiatan ini
sangat kompleks, tidak sederhana seperti materi
pelajaran yang lain semisal Menggambar flora fauna
dan benda alam, Menggambar Model, Menggambar
Ilustrasi dan semisalnya.
Sasaran pengguna model pembelajaran Seni
Budaya ini adalah para guru SMP di wilayah kota
Surabaya. Namun dalam penelitian ini, dengan
berbagai pertimbangan, khususnya aspek biaya,
deseminasi di lakukan terhadap 40 guru Seni Budaya
(30% jumlah SMP di Surabaya), dengan cara
membagikan/mengirimkan CD berisi Rekaman Video
Model Pembelajaran, disertai soft file RPP dan Media
Pembelajaran.
2. KAJIAN TEORI
Implementasi kurikulum 2013 dimaksudkan untuk
menyempurnakan kurikulum tahun 2006 yang dikenal
dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Penyempurnaan tersebut dilakukan sebagai
upaya menyesuaikan perkembangan dan tuntutan
jaman serta kebutuhan masyarakat yang senantiasa
berubah dan berkembang. Berkenaan dengan
kurikulum setidaknya terdapat tiga perspektif, yakni
kurikulumipandang dari segi konseptual, kurikulum
dilihat dari segi pedagogis, dan kurikulum ditinjau dari
segi yuridis.
Tiga aspek penting pembaharuan yang ditemukan
dalam kurikulum 2013 ialah (1) pemetaan (penetapan)
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar/KI-KD (2)
pendekatan pembelajaran (3) penilaian. Terdapat
empat Kompetensi Inti dalam setiap mata pelajaran,
yakni Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap
Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi
Keterampilan. Kompetensi sikap spiritual
menggambarkan tentang hubungan (vertical) peserta
didik dengan Tuhan, kompetensi sikap sosial tentang
hubungan (horizontal) dengan
masyarakat/lingkungan, kompetensi pengetahuan
menggambarkan aspek kognitif dengan berbagai
tingkatannya, kompetensi keterampilan
menggambarkan tentang keterampilan penerapan para
pesereta didik baik penerapan dalam aspek mental-
intelektual maupun dalam aspek kinestetik/psikomotor
(Lampiran Permendikbud No.68 tahun 2013 tentang
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/M.Ts).
Pendekatan pembelajaran yang sangat dianjurkan
dalam kurikulum 2013 ialah pendekatan pembelajaran
scientific, yakni mengamati, menanya, mengasosiasi,
mengeksplorasi, dan mengkomunikasikan. Dengan
pendekatan “lima me” tersebut peserta didik
diharapkan mampu mengembangkan kompetensi
sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara optimal
melalui tiap-tiap mata pelajaran, termasuk mata
pelajaran Seni Budaya. Sementara itu untuk mengukur
kompetensi peserta didik yang diperoleh melalui
pembelajaran dengan pendekatan scientific tersebut,
menggunakan penilaian autentik, yakni penilaian yang
diyakini dapat mengukur/menggambarkan kompetensi
peserta didik yang sebenarnya, yang tidak semu.
Beberapa jenis penilaian autentik yang dianjurkan
ialah penilaian sikap, penilaian kinerja, penilaian
tertulis, penilaian projek, dan penilaian portofolio.
Dalam struktur kurikulum 2013 SMP, tercantum
10 mata pelajaran, di mana mata pelajaran Seni
Budaya tertera pada urutan ke delapan, dengan alokasi
waktu tiga jam pelajaran perminggu selama 40 menit
setiap satu jam pelajaran. Berbeda dengan kurikulum
2006 (KTSP) yang standar kompetensinya terpetakan
menjadi dua, yakni apresiasi dan ekspresi, kompetensi
inti (KI) kurikulum 2013 tidak mengenal pemetaan
seperti itu, tetapi kompetensi intinya terpetakan
menjadi kompetensi sikap spiritual, sikap sosial,
pengetahuan, dan keterampilan yang berlaku untuk
semua mata pelajaran. Sebagai konsekuensi dari
pemetaan “apresiasi dan ekspresi” versi kurikulum
2006, maka dalam praktik pembelajaran Seni Budaya,
kompetensi apresiasi (yang berkonotasi teori)
dilaksanakan secara terpisah dengan kompetensi
ekspresi (yang berkonotasi praktik berkesenian).
Pembelajaran yang terkotak-kotak, yakni apresiasi dan
ekspresi seperti ini tidak terjadi dalam kurikulum
2013. Dengan kata lain dalam kurikulum 2013
kompetensi teori (apresiasi) dan kompetensi praktik
berkesenian (ekspresi) lebur menjadi satu dalam
sebuah pembelajaran.
Pelatihan Penerapan Kurikulum 2013 di wilayah
provinsi Jawa Timur sudah mulai dilaksanakan
menjelang tahun ajaran baru 2013/2014. Harapannya
pada tahun ajaran baru 2013/2014 hasil pelatihan
tersebut sudah dapat diterapkan dalam pembelajaran di
sekolah. Pemerintah Provinsi Jawa Timur merespon
kebijakan pemerintah pusat ini dengan penuh antusias,
meskipun kritikan banyak bermunculan. Sampai
dengan Desember 2013 Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Timur telah melatih 5.600 guru, meliputi guru
SD, SMP, dan SMK. Pada tahun 2014 lagi-lagi Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Timur menggelar pelatihan
implementasi kurikulum 2013 kepada 6.200. Selain
itu, Kantor Kementrian Agama Provinsi Jawa Timur
juga sudah melatih 1500 guru madrasah, khususnya di
Surabaya. Di sisi lain Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP) Jawa Timur akan menangani
66.600 guru di Jawa Timur.
Model pembelajaran adalah pola interaksi antara
mahasiswa, dosen, dan materi pembelajaran yang
mencakup strategi, pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran [1]. Dengan demikian model
pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas
daripada suatu strategi, pendekatan, metode, atau
prosedur. Lebih rinci Komara dalam endang komara’s
101
blog, 24 Oktober 2013 menyatakan bahwa model
pembelajaran merupakan contoh pola atau struktur
pembelajaran siswa yang didesain, diterapkan, dan
dievaluasi secara sistematis dalam rangka mencapai
tujuan. Suatu contoh bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan
secara khas oleh guru di kelas. Dalam model
pembelajaran terdapat sintaks, strategi pencapaian
kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, &
teknik pembelajaran.
Model Pembelajaran Seni Budaya Berbasis
Kurikulum 2013 untuk SMP yang dikembangkan ini
dimaksudkan sebagai suatu contoh bentuk
pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir,
disajikan oleh guru di kelas, yang didalamnya
mencakup strategi pencapaian kompetensi siswa
dengan pendekatan, metode, & teknik pembelajaran
yang sesuai. Model pembelajaran ini diharapkan dapat
membantu mengatasi kesulitan guru-guru SMP di
Surabaya dalam menerapkan pembelajaran
berdasarkan kurikulum “baru” 2013. Sebagai contoh
yang utuh model pembelajaran ini selain tergambar
dalam rekaman video pembelajaran juga dilengkapi
dengan perangkat pembelajaran yakni RPP dan media
pembelajaran.
Kerangka Berpikir
Dasar pemikiran dan analzisis permasalahan
penelitian ini adalah pengkajian terhadap kebijakan
kurikulum 2013 dan implementasinya pada mata
pelajaran Seni Budaya di SMP. Pengkajian tersebut
meliputi 1) pengkajian Permendikbud No.68 Tahun
2013 tentang Kerangka Dasar & Struktur Kurikulum
SMP/MTs; 2) Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 103 Tahun
2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah; 3) pengkajian mata pelajaran
Seni Budaya Berdasar Kurikulum 2013; 4) pengkajian
tentang pelaksanaan Pelatihan Implementasi
Kurikulum 2013 di Jawa Timur; 5) pengkajian tentang
Model-model Pembelajaran; 6) pengkajian penelitian-
penelitian terdahulu yang relevan.
Berdasarkan kajian aspek-aspek di atas dapat
diuraikan beberapa permasalahan, antara lain; (1)
Kebijakan pemerintah menerapkan kurikulum 2013
menghadapi berbagai kendala, termasuk pelaksanaan
pelatihan bagi para guru, (2) Kuantitas peserta
pelatihan implementasi kurikulum 2013 belum diiringi
oleh kualitas proses dan hasil, yang ditandai oleh
kebingungan sejumlah guru peserta pelatihan, (3)
Belum seluruh guru mata pelajaran seni budaya
mendapatkan pelatihan penerapan kurikulum 2013, (4)
Guru-guru yang pernah mengikuti pelatihan penerapan
kurikulum 2013 belum memperoleh gambaran yang
lengkap, karena pelatihan terbatas pada penyusunan
RPP, (5) Belum tersedia model pembelajaran yang
utuh terkemas dalam video yang dapat memberikan
gambaran praktis tentang pembelajaran seni budaya
(Seni Rupa) di jenjang pendidikan SMP.
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Pada tahun I telah dilakukan penelitian yang
difokuskan pada: (1) pengkajian tentang kesulitan guru
dalam mengimplementasikan pembelajaran
berdasarkan K-13, (2) menyusun draft model RPP dan
Media Pembelajaran, (3) validasi draft model RPP dan
Media Pembelajaran. Sedangkan luaran yang telah
dihasilkan oleh penelitian tahun I adalah; (1) laporan
penelitian, (2) artikel ilmiah, (3) draft model RPP dan
Media Pembelajaran. Kegiatan penelitian pada tahun I
diakhiri dengan seminar, revisi Laporan Penelitian,
dan pemuatan artikel pada prosiding dalam Seminar
Nasional Hasil Peneltian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Negeri Surabaya pada tanggal
31 Oktober 2015.
Pada tahun II, penelitian difokuskan untuk
pembuatan video model pembelajaran yang
dikembangkan dari salah satu RPP produk tahun I
yakni “Merancang dan Menyelenggarakan Pameran.”
Pengembangan video model pembelajaran meliputi (1)
tahap pembuatan skenario rekaman video model
pembelajaran, (2) rekaman/produksi video, (3) editing,
(4) validasi video model pembelajaran oleh pakar (5)
revisi, (6) uji coba oleh sekelompok guru calon
pengguna. Pada tahap uji coba ini juga mencakup RPP
dan media pembelajaran yang telah dihasilkan pada
tahun I. Uji coba oleh sekelompok guru calon
pengguna dipandang perlu, karena dapat memberikan
masukan atau koreksi berdasarkan keterlaksanaannya
di lapangan, (7) revisi (8) deseminasi model
pembelajaran. Dengan demikian luaran atau output
penelitian pada tahun II adalah;(1) Laporan hasil
penelitian, (2) artikel, (3) Model Pembelajaran Seni
Budaya SMP yang terkemas dalam video model
pembelajaran dengan dilengkapi RPP dan Media
pembelajaran.
3. METODE PENELITIAN
102
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian
pengembangan. Yakni pengembangan model
pembelajaran seni budaya (bidang seni rupa)
berdasarkan kurikulum 2013. Prosedur penelitian dan
pengembangan ini mengacu Borg & Gall, yang
tergambar pada skema di bawah, namun kemudian
diadaptasi sebagaimana penjelasan berikutnya.
Gambar 2. Penelitian dan Pengembangan
Tahap I: Studi Pendahuluan
Penelitian dan pengumpulan informasi awal
dengan menerapkan pendekatan deskriptif kualitatif
yang diawali mengkaji literatur yang relevan, yakni
kurikulum dan pembelajaran (khususnya kurikulum
2013 dan pembelajaran seni budaya), respon
pemerintah daerah Jawa Timur terhadap penerapan
kurikulum 2013 dalam bentuk penyelenggaraan
pelatihan bagi para guru, efektivitas pelatihan
kurikulum 2013 khusunya bagi guru seni budaya SMP
di Surabaya.
Tahap II: Pengembangan Model
Pengembangan model pembelajaran Seni Budaya
ini mempertimbangkan berbagai ketentuan dan aspek
yang tercantum dalam kurikulum 2013, sebagai
berikut.
Tahun 1
Menyusun draft/desain RPP yang dikembangkan
dari Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/MTs, terutama
pada bagian Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi
Dasar (KD) mata pelajaran Seni Budaya (Bidang Seni
Rupa). Disamping itu juga memperhatikan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 tentang
Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah. RPP dipilih dari salah satu kompetensi
dasar (KD) Kelas VII, kelas VIII, kelas IX. KD terpilih
yang dimaksud ialah Kelas VII KD 4.2: Menggambar
Gubahan flora, Fauna dan benda alam; kelas VIII-KD
4.2: Menggambar Ilustrasi dengan teknik manual dan
digital; kelas IX-KD 4.4: Merancang dan
Menyelenggarakan pameran Seni Rupa. Secara
konkret langkah-langkah yang dilakukan ialah sebagai
berikut.
1. Membuat draft/desain RPP yang dikembangkan
dari tiga KD, yakni KD 4.2 kelas VII, KD 4.2
kelas VIII dan KD 4.4 kelas IX.
2. Membuat draft/desain Media Pembelajaran
powerpoint dengan mengacu pada RPP yang
telah dibuat, dengan demikian menghasilkan
tiga media pembelajaran masing-masing untuk
kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX.
3. Validasi Desain RPP dan Media Pembelajaran
mencakup aspek konten dan aspek desain.
Validasi dilakukan oleh empat orang ahli,
masing-masing dua orang validator RPP dan dua
orang sebagai validator media pembelajaran.
4. Revisi desain RPP dan Media Pembelajaran yang
dilakukan berdasarkan koreksi para validator
baik dari sisi format, konten, maupun
keterbacaan.
Tahun II
1. Pembuatan desain dan produksi video model
pembelajaran yang dipilih dari salah satu RPP
produk tahun I, ialah KD 4.4 Kelas IX:
Merancang dan Menyelenggarakan Pameran.
Pertimbangan yang diberikan ialah karena materi
pembelajaran dalam KD tersebut cukup
kompleks, tidak se-sederhana seperti KD
Menggambar Gubahan flora, Fauna dan benda
alam atau pun KD Menggambar Ilustrasi. Untuk
melaksanakan pembelajaran dengan materi
Menggambar Gubahan flora, Fauna dan benda
alam atau pun Menggambar Ilustrasi para guru
relative tidak mengalami kesulitan. Di samping
itu untuk memperoleh video model pembelajaran
praktik “Menggambar” juga relative mudah,
sementara tidak gampang mendapatkan video
model pembelajaran Merancang dan
Menyelenggarakan Pameran.
2. Validasi video model pembelajaran oleh dua
orang validator, masing-masing seorang pakar
pembelajaran yang memfokuskan diri pada aspek
materi dan metode pembelajaran, serta seorang
pakar yang menekankan pada aspek skenario dan
audiovisual.
3. Revisi video model pembelajaran yang dilakukan
berdasarkan koreksi/masukan validator.
4. Uji coba video model pembelajaran oleh
sekelompok guru calon pengguna, untuk
memberikan penilaian atas kelayakan
penggunaannya di lapangan. Dalam uji coba ini
sekaligus di lakukan terhadap RPP dan media
pembelajaran yang telah dihasilkan sebelumnya.
5. Revisi produk dilakukan berdasarkan koreksi
atau masukan sekelompok guru untuk
meningkatkan kualitas produk sesuai tujuan.
103
Tahap III: Desiminasi
Deseminasi ialah tahap menyebarluaskan atau
menyampaikan hasil pengembangan (model final)
kepada para pengguna, yakni para guru mata pelajaran
Seni Budaya SMP di wilayah kota Surabaya.
Desiminasi ditempuh dengan cara menyebarluaskan
hasil, yakni mengirimkan produk Video model
pembelajaran yang dilengkapi dengan RPP dan media
pembelajaran dalam bentuk CD kepada 40 guru seni
budaya di wilayah kota Surabaya.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan difokuskan pada aktivitas
tahun II yakni (1) pengembangan video model
pembelajaran berdasar pada salah satu RPP yang telah
dibuat pada tahun pertama, (2) validasi video model
pembelajaran, (3) revisi, (4) uji coba, (5) revisi, (6)
deseminasi hasil. Tahap 4, 5, dan 6 mencakup pula
produk yang dihasilkan pada tahun pertama, yakni
RPP dan media pembelajaran.
4.1 Pembuatan Video Model Pembelajaran
Pembuatan video model pembelajaran Pameran
Karya Seni Rupa siswa SMP dilakukan melalui
beberapa tahapan sebagai berikut (1) Pembuatan
skenario (2) Simulasi pembelajaran (3) rekaman (4)
editing.
Pembuatan Skenario Rekaman Model Pembelajaran
Secara garis besar scenario rekaman model
pembelajaran Pameran Karya Seni Rupa siswa SMP
berisi sejumlah adegan dalam beberapa setting suasana
sebagai berikut (1) Suasana pembelajaran di dalam
kelas (2) Diskusi perencanaan pameran (3) Persiapan
Pameran (4) Pelaksanaan Pameran (4)
Refleksi/Evaluasi.
Simulasi Rekaman Model Pembelajaran
Simulasi pembelajaran dengan topik
Penyelenggaraan Pameran Seni Rupa dilakukan
dengan maksud mengkondisikan agar saat rekaman
video pembelajaran berjalan lancar. Simulasi
dilakukan tiga kali. Pertama dilakukan di kampus,
dalam hal ini di jurusan seni rupa, Fakultas bahasa dan
seni Universitas Negeri Surabaya, di mana tim peneliti
berasal. Adapun yang berperan sebagai guru adalah Bu
Anggun, guru muda alumni program studi S-1
Pendidikan Seni Rupa dan S-2 Pendidikan Seni
Budaya, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri
Surabaya. Kedua, dilakukan di SMPN 19 Surabaya,
dengan menggunakan siswa yang sebenarnya
sebanyak 25 siswa. Demikian pula simulasi ketiga
juga dilakukan di SMPN 19 Surabaya, sesaat sebelum
rekaman/shooting video dilaksanakan. Beberapa
catatan penting terkait simulasi pembelajaran ialah
sebagai berikut.
Setting tempat duduk siswa diubah secara
berkelompok, ada lima kelompok, masing-
masing lima siswa
Lima jenis tugas siswa untuk mencari informasi
kepada nara sumber yang dua tugas sama. Agar
tidak sama, sebaiknya yang satu tugas
wawancara dengan seniman, yang satunya tugas
melihat pameran, atau wawancara dengan panitia
pameran.
Untuk kepentingan efisiensi waktu, pertemuan
kedua sebaiknya tidak perlu adegan do’a dan
mengabsen siswa, tetapi langsung ke
pembelajaran
Pertanyaan yang disampaikan oleh siswa, dan
juga jawaban yang diberikan siswa tampak ragu-
ragu, kurang jelas dan kurang tegas
Saat rekaman/shooting nanti siswa dianjurkan
membawa alat tulis dan buku pelajaran yang
sesuai.
Guru sebaiknya menggantikan kata “jobdisk”
dengan kata “uraian tugas”
Perlu dibuatkan nama-nama anggota kelompok,
untuk memudahkan guru menghafal.
Rekaman Video Model Pembelajaran
Rekaman video model pembelajaran yang
menggunakan format AVI dengan durasi 30 menit ini
terdiri atas 20 adegan sesuai scenario. Aktivitas
rekaman dilaksanakan dalam dua hari, yakni tanggal
24 dan 25 Agustus 2016. Rekaman pada hari pertama
menampilkan pembelajaran pertemuan 1 dan 2, sedang
rekaman pada hari ke dua mengkover adegan-adegan
pertemuan ke 3.
Hari pertama
Pertemuan ke 1:
Menampilkan pembelajaran di dalam ruang kelas
yang diawali dengan apersepsi dan penyampaian
tujuan pembelajaran oleh guru. Materi pelajaran
berkisar pada pengertian pameran, tujuan dan manfaat
pameran, jenis pameran, prosedur pelaksanaan
pameran. Aktivitas siswa yang menonjol pada tahap
ini adalah mengamati dan menanya.
Siswa dibagi menjadi lima kelompok, tiap-tiap
kelompok diberi tugas untuk mengumpulkan
informasi terkait pameran, dengan sumber informasi
yang berbeda-beda. Satu kelompok mencari informasi
lewat katalog, kelompok yang lain masing-masing ke
perpustakaan, ke tempat pameran, ke seniman, dan
melalui internet.
Pertemuan ke 2
Siswa tiap-tiap kelompok diberi kesempatan untuk
mempresentasikan (tahap mengkomunikasikan)
hasil kerja kelompoknya masing-masing, yakni
penggalian informasi terkait pameran seni rupa sesuai
dengan tugas masing-masing.
Guru memimpin diskusi siswa dalam pembentukan
panitia pameran, yang ditindaklanjuti dengan
penentuan tema pameran, membuat proposal pameran
sekolah, membuat katalog, membuat media publikasi,
menyiapkan karya untuk dipilih/diseleksi, dan
mendisplay (memajang) karya.
104
Hari kedua
Pertemuan ke 3
Panitia pameran dengan dibimbing oleh guru Seni
Budaya mempersiapkan acara pembukaan/peresmian
pameran. Salah seorang siswa putri berperan sebagai
MC membuka acara. Salah seorang siswa yang
berperan sebagai ketua panitia menyampaikan laporan,
lalu ditindaklanjuti dengan sambutan kepala sekolah
sekaligus membuka/meresmikan pameran.
Guru bersama siswa merefleksi dan mengevaluasi
seluruh kegiatan pembelajaran tentang
penyelenggaraan pameran seni rupa, mulai tahap
perencanaan hingga tahap pelaksanaan. Guru juga
mengkaitkan manfaat yang dapat dipetik oleh para
siswa yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari.
4.2 Validasi Video Model Pembelajaran
Validasi video model pembelajaran dilakukan oleh
dua orang pakar, yakni Wayan Setiadarma, M.Pd
(validator 1) seorang pakar media dan audiovisual dan
Dr. Trisakti, M.Si (validator 2 ), yang memiliki
kepakaran dalam bidang pembelajaran Seni Budaya.
Dengan demikian validator 1, menguasai aspek teknis
audiovisual, sedang validator 2 menguasai aspek
materi dan strategi/pendekatan pembelajaran.
Validasi video model pembelajaran dilakukan
dengan mengacu instrument yang telah dipersiapkan
tim peneliti. Secara garis besar Instrumen yang
dimaksud mencakup tiga komponen, yaitu (1)
Petunjuk pengisian instrument, (2) aspek
penilaian/aspek yang divalidasi, (3) komentar/saran
perbaikan. Sementara aspek penilaian meliputi aspek
format, aspek isi, dan aspek bahasa.
Aspek penilaian format meliputi (1) Kejelasan
petunjuk penggunaan, (2) Keserasian dan pemakaian
warna secara umum dalam mendukung tampilan video,
(3) Kesesuaian pemilihan huruf dan warna teks dengan
topik materi, terbaca dan jelas, (4) Kesesuaian setting
gambar dan animasi pada tampilan video, (5)
Kesesuaian musik pengiring dan narasi pada tampilan
video, (6) Kejelasan audio pada musik pengiring dan
narator, (7) Kemudahan menggunakan video, (8)
Kesesuain durasi waktu, (9) Progam video dapat
berfungsi dengan baik. Selanjutnya penilaian aspek isi
terdiri (1) Kesesuaian urutan penyajian materi dengan
vieo, sehingga mudah dipahami, (2) Kejelasan konsep
yang disampaikan melalui video sesuai topik materi,
(3) Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran.
Sementara itu penilaian aspek bahasa meliputi (1)
Kebakuan bahasa yang digunakan, (2) Keefektifan
kalimat yang digunakan, (3) Kejelasan dan
kelengkapan informasi dalam video yang disampaikan
dengan bahasa atau kalimat, (4) Kemudahan
memahami bahasa yang digunakan.
Komentar, saran, dan koreksi perbaikan diberikan
oleh validator sebagai berikut.
1. Durasi terlalu panjang, akan membosankan.
Perlu dikurangi dengan tidak menghilangkan
bagian yang penting.
2. Proses belajar mengajar tidak perlu ditampilkan
menyeluruh, munculkan saja peradegan yang
penting.
3. Lokasi setting masih noise, perlu dihilangkan
4. Perlu ditambahkan teks tahap-tahap
pembelajaran
5. Masih ada beberapa gambar tayangan yang tidak
sesuai dengan suara guru.
6. Beberapa slide perlu dihilangkan karena
ditayangkan secara berulang-ulang.
7. Pada time note 02:42 muncul suara sutradara :
“Action,” yang sangat mengganggu
dan harus dihilangkan.
8. Pada time note 07:28 ada pandangan yang
mengganggu dan sebaiknya dihilangkan, yaitu di
bagian belakang nampak juru kamera dan
seorang yang sedang duduk di kursi.
9. Pada time note 10:06 –10:44 muncul suara/vocal
guru yang tumpang tindih dan sangat
mengganggu. Maka harus dijernihkan atau, kalau
sulit, lebih baik dihilangkan.
10. Setelah NARASI 3 selesai dibacakan perlu
diberikan musik pengisi suasana, agar tidak
terasa beku.
11. Adegan mengisi daftar hadir pada time note
04:18 - 05:25 terlalu lama, terutama kepala
sekolah dan Wakil Kepala sekolah. Sebaiknya
dipersingkat.
12. Adegan Kepala Sekolah yang tengah berbisik-
bisik dengan guru Seni Budaya pada time note
04:54-05:08 , nampak kurang etis dan mubazir,
karena itu perlu dihilangkan.
Sebagaimana telah dipaparkan di depan, produksi
Video model pembelajaran hanya memilih satu KD,
yakni “Merancang dan Menyelenggarakan Pameran
Seni Rupa.” Dengan menggunakan instrument yang
telah dipersiapkan, kedua validator memberikan
penilaian 85,93 dan 93,75 atau rata-rata 89,84. Dengan
mengikuti kriteria penilaian yang ditetapkan, berarti
Video model pembelajaran tersebut sangat baik
digunakan.
4.3 Uji Coba Perangkat Pembelajaran
Uji coba melibatkan 15 orang guru SMP di wilayah
kota Surabaya. Peserta uji coba dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu kelompok uji coba RPP, kelompok
uji coba media pembelajaran dan kelompok uji coba
video model pembelajaran. Bentuk konkret dari uji
coba yang dimaksudkan di sini ialah kelompok uji
coba memberikan penilaian terhadap RPP, media
pembelajaran dan video model pembelajaran dengan
menggunakan instrument penilaian yang telah
disiapkan yang dilengkapi dengan ruang
komentar/saran perbaikan. Selanjutnya peserta uji
coba RPP dikelompokkan menjadi tiga kelompok
masing-masing terdiri atas tiga orang yang menguji
coba instrument kelas VII, VIII, dan IX, sedang
kelompok uji coba media pembelajaran dan kelompok
105
uji coba video model pembelajaran masing-masing
tiga orang.
Hasil Uji Coba RPP
Hasil uji coba terhadap tiga RPP memperoleh
angka penilaian sebagai berikut (1) RPP kelas VII:
87,50; 87,50; 87,50 (rata-rata 87,50); RPP kelas VIII:
92,50; 92,50; 92,50 (rata-rata 92,50); RPP kelas IX:
100; 87,50; 95 (rata-rata 94,0). Dengan mengikuti
kriteria penilaian yang ditetapkan, maka RPP tersebut
tergolong sangat baik digunakan. Namun demikian,
secara kualitatif kelompok uji coba memberikan
komentar/saran perbaikan, sebagai berikut.
RPP kelas VII, KD: Menggambar gubahan flora
dan fauna serta geometric menjadi ragam hias.
Seharusnya KI 1-4 ditulis pada kompetensi dasar
dan indikator pencapaian kompetensi
Penulisan KD dan Indikator sebaiknya dibuat
matrik agar mudah pembacaannya
Pada IPK 3.2.4; 3.2.5 dan 4.2.1; 4.2.2 terdapat
kata “berbagai.” Kata berbagai tersebut bukan
merupakan kata operasional.
Pada pembelajaran Remidial pokok bahasan (a)
Review materi pembelajaran regular harus tertuju
pada kompetensi yang belum tercapai, sedangkan
pada kelompok (b) Tugas menggambar hanya
diberikan pada satu materi saja.
RPP kelas VIII, KD: Menggambar Ilustrasi dengan
teknik manual dan digital
Pada contoh gambar ilustrasi objek manusia
dibutuhkan perbandingan proporsi anggota
tubuh. Misalnya badan, kepala, kaki, dan
sebagainya.
Alokasi waktu pembelajaran tidak cukup kalau
hanya satu kali pertemuan, setidaknya tiga kali
pertemuan.
Untuk contoh gambar ilustrasi teknik digital
perlu dbuat lebih bervariasi.
Sumber belajar sangat beragam, mulai buku teks,
literature di perpustakaan, hingga sumber
internet. Karena itu bisa mencari mana yang
secara teknik paling mudah dipelajari siswa.
Indikator pengamatan pada instrumen penilaian
sikap spiritual dan social terlalu banyak. Cukup
dengan indicator no.1, 2 , 3, 4, 8, karena 5, 6, 7
sudah tercakup di dalamnya.
RPP kelas IX, KD: Merancang dan
Menyelenggarakan Pameran
Perlu diberikan keterangan Materi Reguler,
remedial, dan pengayaan
Pembelajaran remedial dan pengayaan dapat
dimasukkan dalam materi pembelajaraan dengan
urutan (1) materi regular, (2) materi remedial (3)
materi pengayaan, meskipun materi remedial dan
pengayaan baru akan diberikan setelah penilaian.
Dalam penilaian aspek pengetahuan perlu
disertakan kisi-kisi soal dan kunci jawaban soal.
Proses saintifik boleh tidak dituliskan secara rinci
dan tidak harus runtut karena diharapkan sudah
otomatis melekat pada sintaks sesuai model
pembelajaran yang dipilih.
Penulisan materi boleh tidak dicantumkan pada
RPP, tetapi dibuat tersendiri pada lampiran,
begitu juga penilaian.
4.5 Uji coba Media Pembelajaran
Uji coba media pembelajaran power point
dilakukan oleh tiga orang guru, tiap-tiap guru menguji
coba tiga media powerpoint, yakni media kelas VII,
kelas VIII, dan kelas IX. Aspek yang dinilai
Kesesuaian dengan Indikator Pencapaian Kompetensi,
Kesesuaian dengan Topik/Materi Pembelajaran,
Pemilihan font dan penataan, Gambar/ilustrasi,
Keterbacaan. Hasil uji coba terhadap tiga Media
pembelajaran memperoleh angka penilaian sebagai
berikut (1) Media kelas VII: 82,22; 86,66; 88,88 (rata-
rata 85,92); Media kelas VIII: 80; 82,22; 86,66 (rata-
rata 82,96); Media kelas IX: 91,11; 84,44; 80 (rata-rata
85,18). Dengan menggunakan kriteria penilaian yang
ditetapkan, maka Media pembelajaran tersebut
tergolong sangat baik digunakan.
4.4 Uji coba Video Model Pembelajaran
Instrumen Uji coba Video model Pembelajaran
secara garis besar terdiri atas tiga bagian: (1) Petunjuk
uji coba, (2) Aspek penilaian, (3) komentar dan saran
untuk perbaikan. Hasil uji coba terhadap Video model
pembelajaran oleh tiga orang guru mendapatkan angka
penilaian 98; 96; 100, atau rata-rata 98. Dengan
menggunakan kriteria penilaian yang ditetapkan, maka
Video model pembelajaran tersebut tergolong sangat
baik digunakan. Tetapi, meskipun hasil penilaian
“sangat baik,” mereka menuliskan saran untuk
perbaikan seperti yang diminta.
Komentar dan saran yang diberikan sebagai
berikut.
Adegan siswa bersalaman dengan guru bagus
dalam rangka membangun karakter siswa
Intonasi guru dalam pembelajaran terlalu cepat,
sehingga agak menyulitkan pemahaman siswa.
Adegan menggali informasi melalui literature di
perpustakaan, internent dan wawancara kepada
nara sumber sangat menarik/bagus.
Presentasi siswa sebaiknya diikuti dengan tanya
jawab agar lebih menarik
Pelaksanaan pameran di sekolah tidak mudah
dilakukan karena adanya berbagai kendala,
terutama sarana ruang. Karena itu pameran di
sekolah sebaiknya dilakukan sebagai pameran
sekolah bukan pameran kelas.
Durasi video pembelajaran terlalu panjang,
sehingga bisa membuat orang merasa jenuh.
Untuk memudahkan pemahaman para pemirsa,
sebaiknya perlu dituliskan dalam tagline :
106
“Pertemuan 1, Pertemuan 2, Pertemuan 3,”
dan seterusnya.
Video ini sangat menarik dan bisa membantu
guru seni budaya untuk mengembangkannya
sendiri sesuai dengan keadaan di sekolah masing-
masing.
4.6 Deseminasi
Deseminasi, yaitu kegiatan penyebarluasan hasil
penelitian, yakni RPP, Media Pembelajaran, dan
Video Model Pembelajaran Seni Budaya/Seni Rupa
dalam bentuk CD dilakukan setelah produk final.
Penyebar luasan dilakukan dalam minggu pertama dan
kedua bulan Oktober 2016, dengan menggunakan jasa
kurir/pengiriman kepada 40 SMP di wilayah kota
Surabaya, untuk para guru Seni Budaya.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Kegiatan pengembangan model pembelajaran
Seni Budaya berjalan sesuai dengan rencana.
Pertama, prosedur pengembangan diawali dengan
merancang draft RPP dan media pembelajaran dengan
KD yang telah dipilih, yaitu KD 4.2: Menggambar
Gubahan Flora dan fauna serta geometric menjadi
ragam hias, KD 4.2: Menggambar Ilustrasi dengan
teknik manual dan digital, dan KD 4.4: Merancang dan
Menyelenggarakan pameran, masing-masing untuk
kelas VII, VIII, dan IX. Kedua, draft tersebut
kemudian divalidasi oleh dua orang validator sebagai
bahan perbaikan. Ketiga, memproduksi video model
pembelajaran dengan memilih salah satu RPP, yakni
Merancang dan Menyelenggarakan Pameran. Draft
video model pembelajaran tersebut kemudian
divalidasi oleh dua pakar sebagaimana dilakukan pada
RPP dan media pembelajaran pada tahap sebelumnya.
Keempat, tiga macam produk tersebut, yaitu RPP,
media, dan video model pembelajaran diujicobakan
kepada sekelompok guru sebagai calon pengguna
untuk bahan perbaikan. Keempat, diseminasi, yaitu
penyebarluasan produk yang telah dikemas dalam
Compac dish (CD) kepada 40 SMP di kota Surabaya.
Hambatan yang dialami oleh penelitian
pengembangan model pembelajaran ini ialah ketidak
sesuaian antara skedul yang telah dirancang dengan
pelaksanaannya, terutama pada saat shooting video
model pembelajaran, yang melibatkan pihak sekolah.
Konkritnya, begitu dana penelitian cair tidak lama
kemudian memasuki bulan Ramadan, di mana sekolah
“libur” selama sebulan. Dengan demikian jadwal
shooting mengalami kemunduran hingga minggu
keempat bulan Agustus 2016. Sementara itu, masih
ada beberapa tahapan proses pasca rekaman video,
yakni editing untuk menghasilkan video draft 1,
validasi ahli, uji coba, dan diseminasi hasil. Karena itu
solusinya adalah mendisiplinkan diri, dalam arti
memperketat jadwal untuk menyelesaikan tahapan
proses berikutnya.
Namun secara umum pelaksanaan penelitian
pengembangan model pembelajaran Seni Budaya
berbasis kurikulum 2013 ini berhasil. Keberhasilan
yang dimaksud mencakup dua hal. Pertama, prosedur
pengembangan relative berjalan lancar, meskipun
dengan jadwal yang agak mundur. Produk yang
dihasilkan dinilai “sangat baik” oleh calon pengguna,
yakni para guru Seni Budaya. Kedua, penelitian ini
mampu mencapai target luaran yakni (1) produk
pengembangan: RPP, Media, dan Video pembelajaran
(2) Laporan penelitian (3) Artikel ilmiah sesuai dengan
waktu yang disediakan.
5.2 Saran
Berdasarkan respon positif para guru terhadap
produk pengembangan, terutama video model
pembelajaran, maka kegiatan-kegiatan pelatihan
tentang pembelajaran hendaknya disertai video
model pembelajaran, agar peserta lebih mudah
menyerap, memahami dan mempraktikkan dalam
pembelajaran di kelas.
Lebih lanjut kegiatan serupa ini akan bermanfaat
membantu guru apabila produksi video model
pembelajaran juga dikembangkan untuk
kompetensi dasar (KD) yang lain dan juga mata
pelajaran lain. Jika tidak memungkinkan untuk
seluruh KD, sekurang-kurangnya dapat diwakili
satu KD untuk setiap mata pelajaran dan tingkat
kelas.
6. DAFTARPUSTAKA
[1]. Arends, R.I., (2007). Learning to Teach. New York:
McGraw Hill Companies
[2]. Hasyim, Budihardjo Achmadi, dkk., (2011).
Pengembangan Model Pembelajaran Muatan
Lokal Sebagai Implementasi KTSP Pada Sekolah
Menengah Kejuruan (Laporan Penelitian).
[3]. Ratyaningrum, Fera, dkk., (2013). Pengembangan
Model Perangkat Pembelajaran Kriya Tekstil
Tentang Motif Batik Jawa Timur dan Pewarnaan
Alam Sebagai Upaya MeningkatkanKualitas
Pembelajaran Seni Budaya di Jawa Timur. (Laporan Penelitian).
[4]. Setyosari, Punaji, (2013). Metode Penelitian
Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
[5]. Tim Peneliti Ekspresi Estetika, (2007).
Pengembangan Model Pembelajaran Ekspresi
Estetika Inovatif Untuk Pendidikan
Dasar,.Departemen Pendidikan Nasional: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (Laporan
Penelitian).
[6]. Trisakti, dkk., (2009). Pengembangan model
Pembelajaran Berbasis Life Skill Untuk
MemperbaikiKualitas Pembelajaran Seni Budaya
di SMPN Surabaya. (Laporan Penelitian).
[7]. Yuwana, Setya, dkk., (2010). Pengembangan Model
Pembelajaran Bahasa Jawa SMP/MTs di Jawa
Timur Berbasis Budaya Lokal.” (Laporan
Penelitian).
[8]. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah..
107
[9]. Dokumen Kurikulum 2013, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2012. [10]. Jawa Pos-Metropolis, 26 November 2013.
[11]. Jawa Pos-Metropolis, 29 November 2013.
[12]. Jawa Pos-Metropolis, 9 Desember 2013.
108
109
Bimbingan dan Konseling Komprehensif bagi Konselor untuk
Meningkatkan Kompetensi Sosial
Najlatun Naqiyah1*) 1Jurusan Bimbingan dan Konseling, UNESA, Surabaya. Email : najlatunnaqiyah@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi:Email: najlatunnaqiyah@unesa.ac.id
ABSTRACT
The training conducted for the purpose for writing this paper is to train skills of counselors in Kraksaan,
Probolinggo (East Java, Indonesia) in implementing a comprehensive guidance and counseling, especially for
improving the social potential of children. The training was attended by 22 teachers. They come from kindergarten
and elementary school (SD). They are trained in roles and responsibilities as being teachers and counselors at
their school. Materials provided in the training include a comprehensive understanding, the philosophical
foundation and rational, comprehensive guidance and counselling, areas of personal-social, learning and career,
indicators and social competence for children in ages of 0-12, duties and social emotional development of children
and models of social skills play therapy. The results of the training show an increase in the skills of teachers in a
comprehensive guidance and counseling. The results of test initial capability prior to take part in the training,
teachers earned an average grade of 55. After training with the model approach of Andragogy, discussion,
question and answer, as well as project tasks, it shows an increase in the average grade on 83. The expected
implication of the training is for the teachers to be able to explore the potential of social students with creative
and innovative methods of game. Teachers encourage children to behave in accordance to religious values, rules
of school, and norms and ethics in society. Teachers hopefully create media of creativity and innovation through
project tasks that scheduled in every Saturday. It is recommended that the schools provide rewards for the teachers
whom active and creative in so doing. Thus, in turn, they optimally seek to develop children's potential.
Key Words: guidance and counselling, comprehensive counselling, children
ABSTRAK
Tujuan pelatihan bimbingan dan konseling komprehensif bagi konselor dalam rangka penulisan artikel ini
adalah untuk meningkatkan potensi sosial. Pelatihan ini diikuti oleh 22 guru-guru di Kraksaan, Probolinggo
(Jawa Timur) Para Guru mengajar Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) Namira. Peran dan
tanggung jawab guru dan pembimbing serta konselor di sekolah membantu siswa memecahkan masalah. Para
guru sebagai penolong anak-anak memiliki kemampuan memecahkan masalahnya sendiri. Materi pelatihan
meliputi pengertian BK komprehensif, landasan filosofis dan rasional BK Komprehensif, bidang-bidang pribadi-
sosial, belajar dan karier, indikator dan kompetensi bidang sosial bagi anak usia 0-12 tahun, tugas perkembangan
emosi dan sosial anak dan model-model terapi permainan keterampilan sosial. Hasil pelatihan menunjukkan
adanya peningkatan keterampilan guru di yayasan sekolah Namira dalam bimbingan dan konseling komprehensif.
Hasil tes kemampuan awal para guru sebelum diberikan pelatihan memperoleh rata-rata kelas 55. Setelah
mengikuti pelatihan dengan model pendekatan andragogi, diskusi dan tanya jawab serta proyek tugas, maka
terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas 83. Implikasinya, guru sekolah Namira perlu menggali potensi sosial
siswa dengan metode permainan kreatif dan inovasi. Guru mampu mendorong anak melakukan perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai relegius, aturan sekolah, norma dan etika di masyarakat. Guru menciptakan media
kreativitas dan inovatif melalui tugas proyek yang terjadwal setiap sabtu. Yayasan Namira memberi reward pada
para guru yang aktif dan kreatif menciptakan media pembelajaran sehingga pada gilirannya dapat
mengembangkan potensi sosial anak secara optimal.
Kata kunci: bimbingan konseling, konseling komprehensif, anak
1. PENDAHULUAN
Pencegahan terhadap kekerasan anak lebih baik
daripada mengobati. Maraknya kekerasan anak di
sekolah seperti pemukulan dan kekerasan verbal serta
saling curiga memerlukan bantuan guru pembimbing.
Kemahiran guru pembimbing dalam menolong anak
mencegah, menghadapi kekerasan yang muncul perlu
memperoleh perhatian. Guru pembimbing
membutuhkan keterampilan dan kecakapan sosial.
Guru pembimbing membantu anak mengembangkan
diri dan potensi sosial. Guru pembimbing perlu
memahami bimbingan dan konseling[1]. Fungsi guru
adalah menolong anak menghadapi situasi krisis[2].
Keterampilan guru bisa ditingkatkan dengan
mengikuti pendidikan dan pelatihan. Pelatihan
bimbingan dan konseling komprehensif bisa
diterapkan disekolah. Bimbingan dan konseling
bersifat integral dengan program pendidikan. Guru-
guru di yayasan Namira membutuhkan keterampilan
sosial. Guru menjalankan fungsi dan perannya sebagai
pembimbing anak. Karakteristik sekolah namira
adalah memiliki keunggulan dalam kurikulum tahfidz
110
dan bahas Inggris serta kegiatan ekstra kurikuler
robotik, public speaking dan komputer serta sains dan
matematika.
Lembaga Namira perlu memenuhi harapan sosial.
Harapan sosial orang tua perlu diperhatikan oleh
lembaga Namira. Orang tua menginginkan anak-anak
mereka memiliki kesadaran dalam mengerjakan solat
lima waktu, memiliki pengetahuan bahasa inggris dan
matematika. Harapan sosial ke lembaga namira
diperoleh dari komunikasi dengan orang tua. Harapan
sosial juga diperoleh dari perwakilan orang tua di
komite sekolah. Mereka menginginkan keselamatan
anak selama berangkat sampai pulang kerja.
Keselamatan fisik dan psikologis anak menjadi hal
utama. Perhatian dan pengembangan program
keselamatan bagi anak bisa dijalankan melalui
kecakapan social meskipun pada dasarnya perbedaan
gender berpengaruh pada aktivitas fisik, seperti
kemampuan mengontrol obyek lebih dominan pada
anak laki-laki dan kemampuan lokomotor didominasi
anak perempuan[3]. Kesadaran untuk berinteraksi yang
sehat dan memilih pergaulan positif. Anak memiliki
peran sosial yang bisa dilalui dengan bimbingan yang
mengedepankan komunikasi yang efektif, sikap budi
pekerti luhur dan kebiasaan berinteraksi yang positif.
Membiasakan anak mengucapkan terima kasih. Selalu
bersyukur pada Allah SWT atas nikmat yang telah
diterima dan bersyukur pada orang tua.
Keselamatan anak adalah bagian dari kompetensi
dan indikator dari kecakapan pribadi sosial.
Kecakapan pribadi sosial pada anak-anak sebelum
sekolah meliputi pengenalan lingkungan rumah dan
keluarga serta teman-teman sekitar. Mengidentifikasi
peran individu dalam keluarga dan beradaptasi dengan
lingkungan keluarga karena model transaksional
sesuai dengan relasi antara problem prilaku anak
dengan pengasuhan[4]. Belajar bersosialisasi dengan
teman-teman sebaya serta memiliki pengetahuan
tentang peran gender.
Rencana materi yang akan diberikan dalam
pelatihan adalah pengertian, tujuan dan manfaat
bimbingan dan konseling komprehensif. BK
komprehensif adalah upaya membantu anak didik
untuk mengembangkan diri dalam bidang pribadi,
sosial, dan belajar serta karier. Kurikulum Bimbingan
dan konseling bisa dilakukan secara perorangan dan
kelompok, serta klasikal. Bimbingan memberikan
bantuan agar peserta didik mengetahui kebutuhan,
bakat, minat, dan nilai-nilai yang dianut berdasarkan
pengalaman hidup. Layanan bimbingan memberikan
arah individu menemukan cara belajar yang efektif.
Anak mampu mengembangkan keterampilan sesuai
dengan bakat dan kemampuan[5]. Bimbingan bisa
memberikan pemahaman individu untuk mengetahui
perencanaan dan pengembangan karier masa depan.
Kegiatan bimbingan dan konseling akan berjalan
dengan baik apabila dirangkai dalam suatu program
bimbingan. Untuk mewujudkan suatu program
bimbingan dan konseling didasarkan pada prinsip-
prinsip dan bidang layanan. Bidang layanan
bimbingan dan konseling mengacu pada definisi
bimbingan dan konseling. Dalam pelatihan BK
komprehensif ada empat bidang yaitu pribadi, sosial,
belajar dan karier. Dalam pelatihan ini memfokuskan
pata bidang sosial. Tujuannya agar konselor memiliki
pemahaman dan melaksanakan bimbingan sosial pada
anak sehingga pada akhirnya anak dapat mengetahui
cara-cara pencegahan pada kekerasan.
Bimbingan dan konseling dalam bentuk layanan
dasar berfungsi sebagai preventif, terutama berbasis
pada keluarga[6]. Fungsi pencegahan yang perlu
dilakukan pada konselor ialah memberikan materi-
materi bimbingan sosial pada peserta didik. Potensi
sosial dapat ditumbuhkan dengan cara-cara pemberian
informasi, latihan langsung dan diskusi. Bimbingan
dan konseling Bimbingan yang bersifat preventif.
Pencegahan dapat diartikan upaya untuk
mempengaruhi individu dengan cara positif sehingga
individu selamat dari ancaman dan kesulitan yang
akan dihadapi serta mengetahui resiko yang akan
terjadi apabila dilakukan. Bimbingan dapat
mengantisipasi dan berusaha mengantisipasi
terjadinya kekerasan pada waktu yang akan datang
dengan menempuh beberapa langkah, seperti:
membekali keterampilan pemecahan masalah bagi
individu yang membutuhkan, mengadakan perubahan
lingkungan yang dapat mencegah timbulnya kekerasan
pada waktu yang akan dating serta screening [7].
Kecakapan konseling individu adalah kemampuan
individu untuk memahami, menilai dan melakukan
serta mengembangkan kecakapan hidup yang sesuai
dengan perkembangan individu[8]. Tugas
perkembangan pribadi sosial untuk anak-anak sebelum
sekolah ialah mampu mengidentifikasi perasaan-
perasaan dan dapat mengekspresikan perasaan yang
tepat. Bimbingan sosial adalah kecakapan siswa dalam
melakukan interaksi dengan orang lain. Anak mampu
menyadari dan berinteraksi dengan orang lain[9].
Upaya konselor dalam langkah preventif bisa
dilakukan dengan cara sebagai berikut, (1) mendorong
perbaikan lingkungan yang apabila dibiarkan akan
berdampak negatif terhadap perkembangan individu
yang bersangkutan, (2) mendorong perbaikan kondisi
individu, (3) meningkatkan kemampuan individu
untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat
mempengaruhi perkembangan individu, (4)
mendorong individu untuk tidak melakukan sesuatu
yang dapat memberikan resiko besar, (5) melakukan
sesuatu yang memberi manfaat dan menggalang
dukungan kelompok terhadap sesuatu yang
bersangkutan.
Pelatihan ini bermanfaat untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman para orang tua, guru dan
konselor dalam meningkatkan potensi sosial anak.
Dengan adanya pengabdian kepada masyarakat
diharapkan mampu melatih orang tua, guru dan
konselor dan diharapkan dapat menerapkan kepada
anak dan siswa. Pelatihan bimbingan dan konseling
komprehensif dapat membantu orang
111
tua/guru/konselor memberikan layanan bimbingan dan
konseling yang lebih luas di lingkungan sekitarnya.
Adapun strategi yang dipilih adalah dengan
pendekatan andragogi (dewasa) dimana peserta
pelatihan diperlakukan sebagai orang dewasa yang
bisa memecahkan masalah dan berpikir kritis. Pelatih
menjadi fasilitator bagi konselor dalam melakukan
pelatihan BK komprehensif.
Perguran tinggi Universitas Negeri Surabaya
sangat layak untuk melakukan pengabdian
perlindungan anak dengan pemberian pelatihan
bimbingan dan konseling komphrehensif bagi
konselor. Hal ini disebabkan oleh visi Universitas
Negeri Surabaya untuk menumbuhkan karakter yang
kuat sebagai pribadi yang akan menjadi pemimpin dan
guru masa depan. Dengan visi tersebut Unesa sebagai
perguruan tinggi yang memiliki fakultas ilmu
pendidikan dan jurusan bimbingan dan konseling
memiliki kelayakan dalam menyediakan tenaga
fasilitator yang akan melatih para konselor untuk
terampil mengaplikasikan BK komprehensif.
Jurusan bimbingan dan konseling memiliki
laboratorium BK yang bisa dijadikan sebagai ruang
riset selama pelaksanaan pengabdian ini untuk
mendiskusikan dan melakukan refleksi dalam
pembuatan analisa dari hasil pengabdian. Unesa
sebagai perguruan tinggi yang mencetak ribuan guru
di sekolah memiliki sarana sumber daya manusia yang
memadai dan layak untuk memberikan pelatihan.
Terlebih pada jurusan bimbingan dan konseling, yang
memiliki dosen dengan keahlian bidang bimbingan
dan konseling. SDM Unesa terdiri dari dosen yang
memiliki kemampuan dalam bidang bimbingan dan
konseling, psikologi dan evaluasi pembelajaran dapat
melatih konselor dalam meningkatkan komptensi
sosial.
2. HASIL PELAKSANAAN
Pola Kekerasan yang dialami oleh anak disekolah
Yayasan Namira School disebabkan belum
tercapainya tugas perkembangan sosial siswa. Dimana
pada usia sekolah dasar anak sangat aktif dalam
kegiatan motorik. Anak-anak seringkali mengganggu
teman untuk mengekspresikan diri dengan
menendang, memukul, meninju, dan berlari. Anak-
anak yang aktif tidak bisa duduk tenang selama
pelajaran berlangsung. Mereka sering ijin keluar kelas,
berlarian dikelas, jalan-jalan keliling kelas dan
mengganggu peralatan dan mencari perhatian guru.
Ada juga anak-anak yang sering naik turun tangga dan
berlari-lari di sekitar sekolah.
Kekerasan juga muncul dipicu oleh iklim dan
cuaca panas. Suasana kelas siswa gaduh dan panas
setelah jam 09.00. butuh AC secepatnya, solusi, kelas
sementara dipindah ke musolla atau di rolling setiap
hari bergantian. Setiap hari ada kekerasan berupa
Pemukulan, pengeroyokan diantara siswa, solusi akan
mengadakan sosialisasi tentang sanksi tindak
kekerasan dengan berkunjung ke polres bagian
perlindungan anak.
Lembaga Namira adalah lembaga yang membantu
siswa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal. Untuk itu perlu melatih guru-guru dengan
pelatihan bimbingan dan konseling komprehensif bagi
guru bimbingan dan konseling. Bentuk pelatihan
dengan menggunakan metode klasikal. Latihan
kepembimbingan bagi guru di lembaga namira school
dengan prosedur sebagai berikut;
Jenis layanan : Layanan dasar
Materi: Pengertian Bimbingan dan Konseling
Komprehensif untuk Meningkatkan potensi sosial
Tujuan: Guru memahami dan membuat program
bimbingan dan konseling komprehensif di lembaga
namira sesuai dengan kebutuhan peserta didik di
Tk dan SD.
Pelaksanaan: Hari Minggu, tanggal 12 Oktober
2016
Tempat: Aula TK Namira
Peserta: 22 Guru TK dan SD
Tujuan: Memahami Bimbingan dan Konseling
Komprehensif
Materi: Definisi bimbingan dan konseling
komprehensif, program BK komprehensif,
komptensi sosial anak usia bayi dan anak-anak.
Peran dan tanggung jawab guru pembimbing di
sekolah.
Media: Power point, vidio, dan lcd
Metode: Ceramah, tanya jawab dan latihan
Hasil: dalam pertemuan tersebut konselor, Dr.
Najlatun Naqiyah memberikan ceramah dengan
menggunakan media PPT tentang BK
komprehensif.
Secara rasional BK komprehensif memiliki
landasan filosofis dan rasional. Rasional ini keyakinan
yang perlu dipegang teguh oleh guru bahwa :
a. Setiap anak pasti memiliki kebaikan dan
kelebihan. Anak-anak lahir telah dilengakapi
dengan kecerdasan masing-masing. anak-anak
mampu mengembangkan kebaikan dalam diri
sendiri dengan proses pendidikan dan
pertolongan dari guru dan orang tua. Kelebihan
yang dimiliki adalah bawaan masing-masing
individu. Mereka nampak senang jika
membantu orang lain, saling berbagi makanan
dan minuman dengan teman, saling bercerita
dan melakukan kerjasama dalam bermain dan
mengerjakan tugas-tugas kelompok di kelas.
Anak-anak pada dasarnya baik. Mereka ingin
memperoleh perhatian dari guru untuk
mengeksplorasikan kebaikan diri. Mereka akan
mudah menangkap arahan dan contoh
perlakuan yang guru berikan dalam kelas dan
luar kelas. Anak-anak senang mengenal satu
dengan lainnya. Kemampuan bekerjasama
nampak dalam area permainan yang digelar
oleh anak-anak. Misalnya, permainan ayunan,
anak-anak sukarela saling mendorong ayunan
sementara yang lainnya duduk diatas ayunan.
112
Mereka sukarela bergantian turun dan
bergantian menggunakan alat-alat bermain
dengan senang hati.
b. Anak itu unik. Setiap anak memiliki kekhasan
masing-masing. anak satu dengan lainnya tidak
sama persis. Mereka punya sikap dan
kemampuan dalam merespon sesuatu peristiwa
dengan cara mereka sendiri. Bahkan
menggunakan bahasa dan berkomunikasi
dengan gaya-gaya masing-masing yang unik
dan lucu. Anak-anak usia 4 (empat) tahun
memproduksi bahasa dan berlatih melafalkan
bahasa dengan kreatifitas masing-masing anak.
Orang tua berperan untuk melatih anak dengan
bahasa ibu dan bahasa daerah setempat pada
usia peka (3-5 tahun). Cara ibu menuntun anak
menggunakan bahasa dalam kemampuan
verbal anak membuat anak berkembang dengan
kecepatan masing-masing. anak-anak belajar
merespon ucapan dengan bahasa dan gaya yang
unik setiap anak. Keunikan anak nampak dari
bahasa, bentuk tubuh, gaya hidup, dan emosi
yang diekspresikan dari masing anak dalam
meresposn peristiwa belajar akan berbeda.
c. Setiap anak berhak untuk berhasil. Anak
berhasil mengerjakan tugas sekolah dengan
cara-cara tertentu. Anak belajar dengan gaya
auditori, visual dan kinestetik memiliki
kelebihan masing-masing. dalam pembelajaran
anak-anak di TK melakukan latihan untuk
memeprsiapkan lomba bagi anak-anak. Anak-
anak memeprsiapkan diri dengan potensi yag
dimiliki, diantaranya bersaing melalui
olimpiade atau lomba-lomba. Keberhasilan
anak dalam lomba akan menunbuhkan rasa
bangga dan percaya diri akan kemampuan yang
dimiliki.
d. Setiap anak memerlukan dukungan dari orang-
orang terdekat baik dari keluarga , guru,
maupun seorang teman. Rasa kepedulian orang
dewasa pada anak akan membantu anak
mencapai perkembangan hidup. Kepedulian
orang tua atau guru mendorong anak untuk
mengeksplorasi potensi dalam hidupnya. Anak
membutuhkan perhatian untuk menceritakan
pengalaman hidup yang telah dialami,
kemudian orang tua mendengarkan anak untuk
merencanakan harapan agar bisa dilakukan.
Anak perlu motivasi dari internal dan eksternal
guna menguatkan diri dalam disiplin,
ketekunan serta kesungguhan dalam belajar.
e. Setiap anak perlu bantuan dari berbagai pihak.
Kesiapan anak dalam sekolah perlu bantuan
keluarga. Keluarga menyiapkan anak
mengerjakan tugas-tugas rumah, menyiapkan
pelajaran di rumah, sehingga ketika berangkat
sekolah anak memiliki kesiapan belajar. Atribut
sekolah seperti seragam, alat tulis dan uang
saku perlu dibantu oleh orang tua. Bantuan
bekal makanan selama berangkat dan pulang
sekolah serta transportasi. Anak perlu
memperoleh kenyaman dalam belajar dan
mengembangkan diri.
Untuk menolong siswa, guru perlu memiliki
pengetahuan tentang bimbingan atau konseling.
Bimbingan dan konseling adalah bantuan yang
dilakukan oleh beberapa ahli untuk membantu siswa
dalam memecahkan suatu masalah, dikatakan ahli
apabila sudah bisa melakukan sesuatu yang sesuai
dengan prosedurnya. Berbeda dengan nasehat karena
bimbingan atau konseling siswa sendiri yang
memecahkan masalah. Tugas konselor ialah :
a. Pembimbing
b. Konsultan
c. Pelaksana program
d. Fasilitator
e. Penolong
Dalam menjalankan perannya, konselor perlu
memahami jika ada anak yang hiperaktif , maka
konselor memberikan siswa tugas, agar bisa
mengalihkan keaktifan pada tugas yang di berikan
oleh konselor. Model bimbingan konseling
komperhensif : a. Layanan dasar adalah layanan
klasikal atau kelompok yang dilakukan oleh
konselor di kelas. Konselor berinteraksi langsung
dengan siswa untuk membimbing siswa dalam
pengembangan diri. Materi layanan dasar
diharapkan dapat membentuk siswa efektif dalam
menjalani kehidupan. Melatih keterampilan hidup
dan akhirnya berkembang secara optimal. Strategi
dalam pemberian layanan dasar dapat berupa
informasi, orientasi, bimbingan kelompok,
konselor berkolaborasi dengan guru kelas dan
melakukan pengumpulan data.
b. Perencanaan individual bantuan yang diberikan
pada siswa agar mampu memiliki perencanaan
hidup. Perencanaan masa depan dalam bidang
pendidikan dan pekerjaan. Perencanaan jangka
pendek dan jangka panjang siswa dapat
membantu membuat target dan capaian yang akan
dilakukan. Dengan memiliki perencanaan yang
detail akan kehidupannya, siswa dapat
beraktivitas secara efektif dan terus
mengembangkan diri.
c. Layanan responsif ialah adalah layanan yang
bersifat segera dan cepat untuk menolong konseli
dalam keselamatan diri dan hidupnya. Layanan
responsif sangat bergantung pada kebutuhan
konseli. Konseling individu adalah salah satu
layanan responsif untuk mengatasi kondisi krisis
yang dialami konseli. Layanan responsif meliputi
konseling, referal, kunjungan rumah dan
konferensi kasus.
d. Dukungan sistem adalah kegiatan manajemen
untuk mengembangkan sumber daya manusia dan
sarana prasarana guna mendukung
terselenggaranya program bimbingan dan
konseling. Dukungan pada pengembangan staf
BK, biaya kegiatan serta kebijakan yang
113
dilakukan secara sistemik. Pengembangan
jaringan seluruh guru, pengawai tata usaha dan
kepala sekolah serta dinas pendidikan serta
komunitas di lingkungan sekitar.
Bimbingan konseling ada 3[10] yaitu : Belajar
untuk hidup meliputi pemahaman diri, identitas
diri dan pemahaman sosial dan keterampilan
sosial. Belajar untuk belajar meliputi kemampuan
intelektual dan pemahaman dunia sekolah. Belajar
untuk bekerja meliputi keterampilan tugas-tugas,
dunia kewirausahaan, pemahaman ekonomi,
pemahaman dunia kerja serta penggunaan waktu
luang.
Standar kompetensi dan indikator kompetensi
sosial :
Keterampilan menghargai diri dan orang lain
Menghormati orang lain
Mengembangkan rasa kekeluargaan
Keterampilan komunikasi interpersonal
Sikap prososial
Mengembangkan keterampilan mendengarkan
yang efektif
Terapi untuk membantu anak menggunakan
pendekatan kognitif, humanistik, dan behavior.
Pendekatan tersebut berkembang dengan pendekatan
eklektik, disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Pendekatan kognitif menekankan pada pola pikir
terhadap peristiwa yang terjadi, kepercayan dan
keyakinan yang irrasional dirubah menjadi rasional.
Model humanistik ialah sikap guru pembimbing atau
konselor yang menjadi pusat perubahan siswa. Untuk
itu sikap guru perlu introspeksi diri atau dirubah dan
perbaiki kapasitas guru terlebih dahulu baru kemudian
murid.
Sikap konselor :
a. Empati
b. Tulus
c. Menerima tanpa syarat
d. Jujur
Model behavior mengutamakan modifikasi
lingkungan. Guru pembimbing memberikan atau
menciptakan stimulus, respon, dan konsekuensi.
Belajar untuk bekerja yaitu pengenalan dunia kerja
pada murid dan siswa mampu menunjukkan sifat
positif terhadap orang lain. Layanan responsif yaitu
layanan yang bersifat segera. Seperti layanan
konseling individu atau kelompok, konsultasi, dan
konseling krisis.
Sedangkan dukungan sistem adalah layanan
pendukung yang diperlukan agar program bimbingan
dan konseling dapat dilaksanakan dengan
menggunakan kapasitas pendukung di lembaga
pendidikan. Program manajeman dan pengembangan
sumber daya manusia terutama guru pembimbing atau
konselor menjadi fokus dalam pengembangan staf.
Pengembangan staf yang dilakukan di Namira school
antara lain, memberikan beasiswa pada guru untuk
mengambil studi lanjut pada jenjang sarjana S1,
membangun kerjasama antar lembaga sekolah dan
dinas pendidikan dan rumah sakit. Mengirimkan
delegasi guru pada program magang dan mengikuti
pelatihan serta seminar.
Hasil dari peserta yang mengikuti pelatihan BK
komprehensif untuk meningkatkan kompetensi sosial
memperoleh hasil sebagai berikut;
1.1. Tabel Hasil Pretes dan Postes
No Nama Pretes Postes Peningkatan
1 NIF 72 88 16
2 NQM 60 80 20 3 AMD 57 87 30
4 ALN 77 100 23 5 NLA 60 97 37
6 HNK 49 97 48
7 SSH 61 94 33
8 KKH 67 87 20
9 MRN 49 80 31
10 ISS 74 97 23 11 KMA 37 57 20
12 ASK 72 92 20
13 AAR 57 77 20 14 NRA 60 97 37
15 SDY 54 91 37
16 NLH 35 87 52 17 SLA 46 84 38
18 RHM 80 90 10
19 NFH 35 86 51 20 IRA 35 87 52
21 EMH 51 71 20
22 KMM 20 83 63
Tabel diatas menjelaskan bahwa hasil pretes yang
diperoleh oleh 22 guru di Namira mencapai rata-rata
55. Dan setelah mengikuti pelatihan bimbingan dan
konseling komprehensif untuk meningkatkan
kompetensi sosial mengalami peningkatan rata-rata
nilai mencapai 83.
3. KESIMPULAN
1) Pelatihan BK komprehensif oleh guru
pembimbing atau konselor dilembaga Namira
school diikuti oleh 22 orang. Materi pelatihan
meliputi pengertian BK komprehensif,
landasan filosofis dan rasional BK
Komprehensif, bidang-bidang pribadi-sosial,
belajar dan karier, indikator dan kompetensi
bidang sosial bagi anak usia 0-12 tahun, tugas
perkembangan emosi dan sosial anak dan
model-model terapi permainan keterampilan
sosial.
2) Kecakapan sosial anak usia 0-12 tahun yang
perlu dikembangkan oleh guru pembimbing
meliputi keterampilan menghargai diri dan
orang lain, menghormati orang lain,
mengembangkan rasa kekeluargaan,
keterampilan komunikasi interpersonal, sikap
prososial, mengembangkan keterampilan
mendengarkan yang efektif, empati dan
kemampuan mengelola konflik.
3) Hasil tes kemampuan awal para guru sebelum
diberikan pelatihan memperoleh rata-rata kelas
55. Setelah mengikuti pelatihan dengan model
pendekatan andragogi, diskusi dan tanya jawab
114
serta proyek tugas, maka terjadi peningkatan
nilai rata-rata kelas 83. Dengan demikian,
pelatihan BK komprehensif dapat
meningkatkan kompetensi sosial guru dan
konselor, sehingga diharapkan para guru
mampu membantu anak mengembangkan
kecakapan sosial.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1] Ray, Dee C. (2016). A Therapist’s Guide to Child
Development: The Extraordinarily Normal Years. New York: Routledge.
[2] DeDiego, Amanda C., Wheat, Laura S. & Flecher,
Terese B. (2016). Overcoming Obstacles: Exploring
the Use of Adventure Based Counseling in Youth
Grief Camps, Journal of Creativity in Mental Health, Vol. 11.
[3] Cliff, D. P., Okely, A.D, Smith, L. & Mckeen, K. (2009).
Relationships between fundamental Movement Skill
and Objectively Measured Physical Activity in Pre-
school Children. Pediatric Exercise Science, 21 (4), 436-439.
[4] Baker, B.L., Mclntyre, L. L, J. Blacher, K. Crnic, C.
Edelbrock & C. Low (2003). Pre-school Children With
and Without Developmental Delay: Behaviour
Problems and Parenting Stress over Time. Journal of
Intellectual Disability Research, Vol. 47, No 4/5, 217-230.
[5] Carness-Holt K., Bratton, S. C. (2014) The Efficacy of
Child Parent Relationship Therapy for Adopted
Children With Attachment Disruptions.. Journal of
Counseling & Development, Vol. 92, No. 3, 328-337.
[6] Hogue, A., Liddle, H.A., Becker, D., Johnson-Leckrone,
Jodi. (2002). Family-Based Prevention Counseling for
High-Risk Young Adolescents: Immediate Outcomes. Journal of Community Psychology, Vol. 30, No. 1, 1-22.
[7] Amar, A., Laughon, A., Sharps, P., Campbell, J., et al.
(2013). Screening and Counseling for Violence
against Women in Primary Care Setting. American Academy of Nusing on Policy.
[8] Swan, Karrie L., Schottelkorb, April A. & Lancaster
Sarah, (2015) Relationship Conditions and
Multicultural Competence for Conselors of Children
and Adolescents, Journal of Counseling & Development, Vol. 93, Issue 4 (October 2015).
[9] Pachucki, M. C., Ozer, E. J., Barrat A., Cattuto, C (2014).
Mental Health and Social Networks in Early
Adolescence: A Dynamic Study of Objectively-
Measured Social Interaction Behaviors. Social
Science & Medicine, Vol. 125, 40-50.
[10] Rex, J. (2008). The South Carolina Comprehensive
Developmental Guidance and Counseling Program Model. Columbia.
115
Peningkatan Profesionalisme Guru – Guru SD di Daerah Tertinggal
Melalui Pengembangan Peraga Matematika Berbasis Bahan Lokal di
Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur
Ninik Wahju Hidajati1*) 1 Jurusan T Sipil, Universitas Negeri Surabaya, Kota Surabaya. Email : ninik_statmat@yahoo.com
*) Alamat Korespondesi: Email : ninik_statmat@yahoo.com
ABSTRACT
Study more detailed characteristics of the elementary schools in disadvantaged areas which include the
condition of the building classrooms, teacher profiles, profiles of students using direct observation, documentation
and interview. This information is used as a material consideration flourescent mathematics and drafting
Handbook manufacture and use of such aids in mathematics corresponding to SD lagging especially in Bangkalan
East Java Province. Increasing professionalism of elementary school teachers in disadvantaged areas through the
development of teaching math test based on local ingredients in improving the quality of learning in mathematics.
Information about math materials that are considered difficult in the delivery of learning in the classroom during
the time in Bangkalan are: (1) the Commission and the FPB, (2) Multiplication and division, (3) Problem Stories
and (4) Root rank. This information is used as reference in making props mathematical prototype design adapted
to the potential of the natural surroundings. Results of research on the mathematics test props showed that teachers
carry out the study seemed enthusiastic and interested in the material given. The conclusion of this study show
that: first, by applying mathematical understanding props teachers can be increased. Second, by using props
mathematics Elementary school teachers are more skilled in presenting in the class.
Keyword:. Elementary Mathematics Viewer tool, understanding teachers, teacher skills
ABSTRAK
Studi karakteristik yang lebih rinci tentang SD di daerah tertinggal yang meliputi kondisi bangunan ruang
belajar, profil guru, profil siswa dengan menggunakan pengamatan langsung, dokumentasi dan wawancara.
Informasi ini dipakai sebagai bahan pertimbangan pembuatan alat peraga matematika dan penyusunan Buku
Panduan pembuatan dan penggunaan peraga tersebut dalam pembelajaran matematika yang sesuai untuk SD
tertinggal khususnya di Kabupaten Bangkalan Provinsi Jawa Timur. Peningkatkan profesionalisme guru SD di
daerah tertinggal melalui uji coba pengembangan peraga matematika berbasis bahan lokal dalam usaha
peningkatan kualitas pembelajaran matematika. Informasi tentang materi matematika yang dianggap sulit dalam
penyampaian pembelajaran di kelas selama ini di Kabupaten Bangkalan adalah : (1) KPK dan FPB, (2) Perkalian
dan Pembagian, (3) Soal Cerita dan (4) Akar Pangkat. Informasi ini dipakai sebagai acuan dalam pembuatan
prototype alat peraga matematika yang desainnya disesuaikan dengan potensi alam sekitar. Hasil penelitian pada
uji coba alat peraga matematika menunjukkan bahwa guru-guru yang melaksanakan pembelajaran tersebut
nampak antusias dan tertarik dengan materi yang diberikan. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa:
pertama, dengan menerapkan alat peraga matematika pemahaman guru-guru dapat meningkat. Kedua, dengan
menggunakan alat peraga matematika guru-guru SD lebih terampil dalam menyampaikan materi di kelas
Kata kunci : Alat Peraga Matematika SD, pemahaman guru, ketrampilan guru
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada dasarnya, pendidikan itu merupakan
usaha sistematik untuk mencapai masyarakat yang
maju, cerdas, dan mandiri. Tantangan umum
pembangunan bidang pendidikan adalah bagaimana
membangun sistem pendidikan agar semakin
mampu membentuk manusia dan masyarakat yang
maju dan mandiri serta tanggap menghadapi
perubahan zaman, perkembangan Iptek dan
tuntutan pembangunan. Namun, kenyataan
menunjukkan bahwa kualitas produk pendidikan
dan daya serapnya masih perlu ditingkatkan.
Khususnya untuk mata pelajaran matematika yang
ilmunya sangat abstrak sehingga banyak anggapan
bahwa matematika ilmu yang membosankan dan
menakutkan. Dalam hal ini perlu strategi dalam
upaya peningkatan pemahaman terhadap mata
pelajaran matematika. Pendekatan yang akan
dilakukan adalah dengan menerapkan pendidikan
matematika secara realistik, yaitu guru dalam
proses pembelajaran dengan menghadirkan
masalah-masalah kontekstual dan realistik
menggunakan bantuan alat peraga matematika dari
bahan-bahan yang mudah didapatkan di lingkungan
sekitar . Diharapkan pembelajaran matematika akan
lebih bermakna dan menarik bagi siswa, terlebih
ditujukan pada SD tertinggal, khususnya yang
terletak di Kabupaten yang tergolong daerah
tertinggal. Penetapan kriteria daerah tertinggal
memperhitungkan enam kriteria dasar, yaitu
116
perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia,
prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan
(celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah,
serta berdasarkan keberadaannya di daerah
perbatasan antarnegara dan gugusan pulau kecil,
daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik.
Dikatakan oleh mentri Negara Pembangunan
Daerah Tertinggal, Helmi Faizal Zaini (2013),
umumnya daerah tertinggal memiliki kualitas
sumberdaya manusia yang rendah, yang dicirikan
oleh indeks pembangunan manusia (IPM), yaitu
rendahnya rata-rata lama sekolah (RLS), angka
melek huruf (AMH), dan angka harapan hidup
(AHH). Daerah tertinggal umumnya juga memiliki
keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi,
transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan,
pendidikan dan pelayanan lainnya. "Sehingga
mereka kesulitan melakukan aktivitas ekonomi dan
sosial," jelasnya.
1.2. Masalah Penelitian
Dalam rangka meningkatkan kecerdasan
kehidupan bangsa, setiap warga negara berhak
mendapatkan layanan pendidikan. Sebagai
konsekuensi dari komitmen tersebut, setiap warga
negara tanpa mengenal latar belakang, baik yang
normal maupun yang berkelainan, yang
berkemampuan cerdas maupun rendah, berstatus
sosial ekonomi tinggi, menengah maupun rendah,
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan yang bermutu dan fungsional setidak-
tidaknya selama 9 Tahun. Berkaitan dengan hal
tersebut, penyelenggaraan pendidikan dapat
dilakukan melalui pendidikan di sekolah dan di luar
sekolah. Adapun kendala-kendala yang terjadi pada
pendidikan tingkat sekolah dasar di Daerah
Tertinggal , antara lain : (1) sarana dan prasarana
pendidikan belum memadai, (2) kekurangan guru di
daerah terpencil, sehingga aspek pemerataannya
menimbulkan permasalahan, (3) kualitas guru SD
masih banyak yang belum memenuhi standar yang
diharapkan, (4) kesejahteraan guru di daerah
terpencil masih dirasakan rendah.
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal
(PDT) Helmy Faisal Zaini (2012), menyatakan
ada 5 kabupaten di wilayah Jawa Timur yang
tergolong sebagai daerah tertinggal. Yakni,
Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Sampang,
dan Pamekasan. Menteri PDT menambahkan
bahwa jumlah daerah tertinggal di seluruh
Indonesia sebanyak 183 kabupaten/kota, lima di
antaranya berada di Jawa Timur. Kementerian
PDT menargetkan daerah kategori miskin akan
berkurang sebanyak 50 kabupaten dari total 183
kabupaten yang ada saat ini hingga akhir 2014.
Penentuan 183 kabupaten tertinggal tersebut
didasarkan enam kriteria utama, yakni
perekonomian masyarakat, sumber daya manusia
(SDM), infrastruktur berupa prasarana,
kemampuan keuangan lokal (celah fiskal),
aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
“Kementerian PDT berusaha untuk
mengembangkan ekonomi lokal daerah tertinggal
sehingga mampu mendongkrak pendapatan asli
daerah (PAD) kabupaten setempat,” kata menteri
yang kementraiannya pernah dipimpin oleh
Syaifullah Yusuf yang saat ini menjabat sebagai
WakiL Gubenur Jawa Timur ini.
Kementerian PDT berupaya mengurangi daerah
tertinggal agar sama daerah lain dengan
berkoordinasi dan memfasilitasi kementerian atau
lembaga lainnya melalui program peningkatan
infrastruktur perdesaan, pengembangan ekonomi
lokal, peningkatan pelayanan kesehatan yang
berkualitas, terjangkau, dan peningkatan pelayanan
pendidikan di daerah tertinggal.
Sekolah dasar di wilayah terpencil ini sangat sulit
untuk berkomunikasi dengan sekolah dasar lain
maupun sumber-sumber belajar yang lain. Kondisi
yang demikian menyebabkan SD yang berlokasi di
wilayah tersebut mengalami ketinggalan
dibandingkan di SD lain, terutama sarana dan
prasarana belajar yang memadai. Di SD tertinggal
terdapat sedikit alat bantu belajar, termasuk alat bantu
berupa peraga untuk belajar matematika.
Kemampuan para guru dalam menjalankan tugasnya
juga sangat rendah. Apabila kondisi ini tidak segera
ditangani, maka mustahil bagi SD Tertinggal untuk
menghasilkan lulusan dengan kompetensi seperti
yang diharapkan. Mengingat jumlah SD tertinggal di
Jawa Timur yang tidak sedikit khususnya di wilayah
kabupaten Bondowoso, Situbondo, Bangkalan,
Sampang, dan Pamekasan.
Dalam artikel ini disampaikan untuk wilayah Kab
Bangkalan. Oleh sebab itu penelitian untuk
mengembangkan alat bantu belajar khususnya mata
pelajaran matematika serta Buku Panduanyang
berupa panduan penggunaannya yang sesuai untuk
SD tertinggal perlu dilaksanakan. Pengembangan alat
peraga disertai dengan Buku Panduan penggunaan
alat peraga matematika tersebut diharapkan akan
dapat meningkatkan profesionalisme kemampuan
para guru dalam menyelenggarakan KBM khususnya
guru untuk mata pelajaran matematika. Apabila
penelitian seperti ini berhasil maka merupakan
bantuan yang berharga bagi SD tertinggal untuk
menyelenggarakan KBM yang sesuai pada kurikulum
2013. Dengan demikian dapat menghasilkan lulusan
yang memiliki kompetensi yang diharapkan..
Penelitian ini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan
tingkat Kabupaten Bangkalan sebagai sumber
informasi tentang SD tertinggal yang mendesak untuk
ditangani. Keberhasilan dari penelitian ini diharapkan
dapat diterapkan di sekolah-sekolah lain yang
kondisinya hampir sama dengan SD tertinggal.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif menggunakan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif.
117
2.1. Tahapan Penelitian
Adapun tahapan pelaksanaannya adalah sebagai
berikut :
a. Koordinasi Internal
Koordinasi internal dilakukan oleh tim peneliti
untuk mendiskusikan garis besar pelaksanaan
kegiatan, surat menyurat untuk keperluan
penelitian, pembagian tugas dan
tanggungjawab, batas waktu penyelesaian
pekerjaan, target luaran yang harus diperoleh
serta strategi pengumpulan data di lapangan
agar dapat berlangsung secara efektif dan
efsien.
b. Penyusunan Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan pengamatan
langsung , kuesioner, wawancara, dan
observasi untuk mengumpulkan data di
lapangan. Penyusunan instrumen berupa
kuesioner, panduan wawancara, dan lembar
observasi dilakukan oleh tim peneliti
digunakan untuk mengungkap karakteristik SD
tertinggal . Karakteristik tersebut meliputi
kondisi bangunan, keadaan dan jumlah ruang
belajar serta sarana dan prasarana yang terdapat
di dalamnya, profil guru yang meliputi jumlah,
pendidikan terakhir, pengalaman
penataran/pelatihan yang sesuai dengan
tugasnya, komitmen terhadap tugas, motivasi,
profil siswa meliputi jumlah, keadaan sosial
ekonomi, kemampuan akademik, motivasi
belajar, dan hal-hal lain yang dirasa perlu.
Data-data tersebut dianalisis menggunakan
analisis deskriptif kualitatif.
c. Koordinasi eksternal
Koordinasi eksternal dilakukan oleh tim
peneliti untuk menyampaikan ijin penelitian
serta tujuannya kepada Diknas Kabupaten di
daerah tertinggal Provinsi Jawa Timur, yaitu
Diknas Kabupaten Bangkalan. Koordinasi
eksternal dilakukan dengan membawa surat
pelaksanaan penelitian beserta kelengkapan
instrumen yang telah divalidasi.
d. Pengumpulan data dan kompilasi data
Pengumpulan data menggunakan kuesioner,
lembar observasi dan panduan wawancara.
Pengumpulan data dilakukan oleh tim peneliti
dengan dibantu dari pihak diknas. Data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder.
e. Pengolahan data
Data primer dan sekunder yang telah diperoleh
selanjutnya dikompilasi dan dinarasikan sesuai
tujuan penelitian pada setiap Kabupaten. Pada
tahun ke-1 menghasilkan informasi
karakteristik sekolah dasar (SD) di daerah
tertimeliputi kondisi bangunan, kondisi dan
jumlah ruang belajar serta sarana dan prasarana
yang terdapat di dalamnya, profil guru yang
meliputi jumlah, pendidikan terakhir,
pengalaman penataran/pelatihan yang sesuai
dengan tugasnya, komitmen terhadap tugas,
motivasi, profil siswa meliputi jumlah, keadaan
sosial ekonomi, kemampuan akademik,
motivasi belajar, dan hal-hal lain yang dirasa
perlu. Data tersebut akan digunakan sebagai
bahan pertimbangan pembuatan prototipe alat
peraga matematika dan penyusunan Buku
Panduan penggunaan alat peraga yang sesuai
untuk SD di daerah tertinggal.
f. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan setiap tahunnya
berbeda, pada tahun ke – 1 dilakukan analisa
deskriptif terkait karakteristik SD di daerah
tertinggal . Informasi tentang potensi alam
sekitar SD tersebut dan macam materi
khususnya materi mata pelajaran matematika di
tingkat SD kelas 4 – 5 yang siswa dirasa sulit
memahami, akan dipakai sebagai dasar
pembuatan prototipe alat peraga guna sebagai
sarana selama proses pembelajaran untuk
meningkatkan hasil belajar siswa.
Analisa data tahun ke-2, berupa hasil instrumen
yang diberikan pada guru-guru setelah
diberikan sosialisasi tentang pembuatan dan
cara pemakaian peraga matematika tersebut.
g. Penyusunan laporan
Susunan laporan mengacu pada sistematika
panduan penelitian edisi X yang merupakan
uraian lebih lanjut dari bab I-III pada proposal
ditambah dengan hasil penelitian berikut
pembahasannya, serta kesimpulan dan saran.
2.2. Teknik Pengumpulan Data
Populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2012). Populasi dalam penelitian ini adalah
Kabupaten yang masih merupakan daerah
tertinggal di Propvinsi Jawa Timur, yaitu
Kabupaten Bangkalan.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut
. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini mengunakan probability sampling dengan
metode yang digunakan adalah simple random
sampling, yaitu pengambilan anggota sampel
yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan
strata (Sugiyono, 2012). Sampel pada penelitian
ini diambil lima SD dan penentuan SD
berdasarkan informasi dan pemilihan dari pihak
Diknas Pendidikan Kabupaten Bangkalan.
Variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian
ini, yaitu variabel dependen (variabel terikat)
merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas
Sugiyono (2012). Keberhasilan proses KBM
khususnya untuk mata pelajaran matematika
118
terkait dengan hasil belajar siswa sebagai
variabel dependen. Sedangkan variabel
independen (variabel bebas) adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen
(terikat) Sugiyono (2012). Faktor perekonomian
siswa, faktor fasilitas di SD, faktor guru, faktor
kelasdan faktor sarana dan prasarana merupakan
variabel independen dalam penelitian ini.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Profile Kabupaten Bangkalan
Kabupaten Bangkalan , merupakan daerah
hutan disuatu perdesaan yang terpencil serta
jaraknya jauh yaitu rata-rata 17,7 km dari ibukota
kecamatan. Untuk keperluan utama selama proses
pembelajaran rata-rata sudah bisa terpenuhi, yaitu
ruang kelas, kamar mandi dan ruang guru
meskipun dengan kondisi apa adanya. Rata-rata
semuanya guru kelas (100%) bukan guru bidang
studi dan sudah Sarjana (100%). Tingkat sosial
ekonomi siswa rata-rata tingkat sedang (60 %) dan
mata pencaharian orang tua terbanyak adalah
petani (100%). Potensi alam wilayah sekitar
sekolah adalah padi dan ketela pohon.
3.2. Prototype Alat Peraga Matematika SD
Prototipe alat peraga matematika yang
didesain dan dibuat sesuai tingkat kebutuhan
guru-guru di SD daerah tertinggal ,
khususnya di daerah Kabupaten Bangkalan.
Berdasarkan hasil responden, materi yang
sulit dipahami siswa di SDN di daerah
Kabupaten Bangkalan secara berurut adalah
:
a. KPK dan FPB
b. Akar pangkat
c. Soal cerita
d. Perkalian dan pembagian
e. Skala
f. Perbandingan
Profesionalime Guru di Kabupaten
Bangkalan perlu ditingkatkan dalam rangka
peningkatan sumberdaya manusia . Uji Coba
alat peraga dalam rangka pengembangan alat
peraga matematika dalam rangka peningkatan
pemahaman khususnya mata pelajaran
matematika. Peraga yang akan dipakai
diusahakan dibuat dari bahan yang gampang
didapatkan berdasarkan potensi alam
disekitarnya dengan mempertimbangkan
profil guru dan siswanya.
Prototype alat peraga yang dibuat untuk
menungkatkan pemahaman materi
matematika tersebut adalah :
a.. KPK dan FPB
Gambar 1. Peraga materi KPK dan FPB
b. Akar Pangkat
Dalam kehidupan sehari-hari muncul
berbagai macam masalah. Masalah-
masalah tersebut dapat diselesaikan
dengan menggunakan bermacam-
macam cara. Mencari akar pangkat,
khususnya pada akar pangkat tiga, untuk
mendapatkan hasilnya tergolong ‘semi-
konkret’, siswa tidak menggunakan
peraga tetapi dengan sedikit berlogika.
Untuk menentukan hasil penarikan akar
pangkat tiga dengan menggunakan
bantuan Tabel Bilangan Kubik.
c. Perkalian dan Pembagian
Gambar 2. Peraga materi Perkalian dan
Pembagian
d. Perbandingan atau Skala
Gambar 3. Peraga materi Pembagian atau Skala
3.3.Uji Coba Alat Peraga Matematika di
Kabupaten Bangkalan
Uji coba pembelajaran Matematika bagi
Guru-guru Sekolah Dasar di daerah terpencil
tersebut, merupakan penerapan dan pemanfaatan
119
alat peraga sebagai sarana menanamkan konsep
matematika kepada para guru yang nantinya bisa
disampaikan kepada para siswa selama proses
belajar mengajar. Dengan pemahaman konsep oleh
para guru diaharapkan dapat meningkatkan
profesionalisme Guru-guru Sekolah Dasar,
terutama yang terletak didaerah tertinggal.
Penggunakan alat peraga selama proses
pembelajaran diharapkan dapat menciptakan
suasana pembelajaran matematika menjadi lebih
menarik dan menyenangkan sehingga dapat
menghilangkan kesan pelajaran matematika
merupakan mata pelajaran yang membosankan dan
momok bagi siswa. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa pada umumnya para guru
dalam menerangkan matematika hanya teori saja,
tetapi kurang dalam mengkaitkan dalam realita
kehidupan sehari-hari. Dengan bantuan alat peraga
matematika ini diharapkan matematika bisa
menjadikan pelajaran yang menarik dan
menyenangkan , sehingga dapat membantu dalam
proses pemahaman konsep, khususnya bagi siswa
yang mempunyai sumberdaya manusianya
dibawah rata-rata.
Uji coba Penggunaan Media
Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar berbasis
bahan lokal di Kabupaten Bangkalan , diadakan
selama 2 hari yaitu pada tgl 18 – 19 Juli 2016. Acara
dimulai dengan Pembukaan oleh Kabid Bidang
TK/SD/SDLB Dinas Pendidikan Kab. Bangkalan ,
yaitu Bapak Drs. Fauzi, M.Pd. Peserta Uji coba
sebanyak sepuluh guru dari lima Sekolah Dasar
yang diambil secara sampling sesuai Sekolah Dasar
terpilih di tahun pertama kemaren. Setiap Sekolah
Dasar diikuti masing-masing dua guru yang
mengajar kelas 4 dan kelas 5, yaitu :
a. SDN Genteng 4
b. SDN Lerpak 1
c. SDN Beber 3
d. SDN Durjan 3 Kokop
e. SDN Bandang Laok 1 Kec. Kokop
Berikut serangkaian acara Uji coba
Penggunaan Media Pembelajaran Matematika
Sekolah Dasar berbasis bahan lokal di Kabupaten
Bangkalan, dimulai dari Pembukaan
Gambar 4. Uji coba Alat Peraga
Peserta Uji coba kelihatan sangat
antusias sekali dalam memperhatikan materi yang
disampaikan, hal ini kelihatan dengan semangat
dari peserta dalam memperagakan dari setiap
materi yang mereka dapatkan. Hal ini bisa dilihat
berdasarkan bukti dokumentasi sebagai berikut,
Gambar 5. Semangat Peserta dalam mengikuti
serangkaian acara uji coba
Acara Uji coba sebelum berakhir, para peserta
dievaluasi Pembelajaran Matematika dengan
menggunakan Alat Peraga Bagi Guru SD.
Adapun hasil evaluasi akhir Pemahaman Uji
Coba di Kabupaten Bangkalan adalah sebagai
berikut, Tabel 1. Hasil Evaluasi Akhir Pemahaman Uji
Coba Alat Peraga
SD Peserta Nilai
Rata-
Rata
Nilai
SDN BANDANG
Guru 1 88.9 88.9
Guru 2 88.9
SDN GEGER 3
Guru 3 80.0 90.0
Guru 4 100.0
SDN DURJAN 3 Guru 5 95.6
91.1 Guru 6 86.7
SDN LERPAK 1
Guru 7 100.0 94.4
Guru 8 88.9
SDN GENTENG 4
Guru 9 91.1 92.2
Guru 10 93.3
Kategori :
< 75 : kurang
75 – 85 : cukup
86 – 95 : baik
> 95 : baik sekali
Berdasarkan Tabel 1. diatas disimpulkan bahwa hasil
evaluasi pemahaman uji coba oleh Guru-guru di
Kabupaten Bangkalan mendapatkan nilai rata-rata
antara (86 – 95), artinya tingkat kepahaman Guru-
guru terhadap materi selama uji coba berkategori
baik
120
Gambar 6. Grafik Evaluasi Akhir Pemahaman Uji
Coba Peraga Matematika di Kabupaten Bangkalan
Acara uji coba diakhiri dengan pemberian satu
paket media peraga matematika kepada ke-5 SD
terpencil di daerah tertinggal Kab. Bangkalan
tersebut serta berfoto bersama.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan pada
laporan akhir pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Prototipe alat peraga matematika yang
didesain dan dibuat sesuai tingkat kebutuhan
guru-guru di SD daerah tertinggal adalah alat
peraga untuk materi pecahan dan perbandingan,
materi perkalian dan pembagian, materi bangun
ruang, materi FPB dan KPK , materi operasi
penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat ,
materi akar dan pangkat , materi hitung jam serta
sebagai pengayaan ditambahkan peraga untuk
menjelaskan konsep luas lingkaran dan rumah
perkalian untuk meningkatkan ketrampilan
perkalian, pembagian dan faktorisasi bagi siswa.
Hasil evaluasi Guru-guru pada saat uji coba
alat peraga di Kabupaten Bangkalan menunjukan
pemahaman guru-guru terhadap hubungan antara
materi dan penggunaan alat peraga matematika
dapat meningkat dengan baik . Rata-rata dari ke-
5 SDN yang dijadikan sampel menyatakan setuju
dengan dibantu alat peraga selama proses
pembelajaran matematika di kelas.
4.2 Saran
Untuk membuktikan ketermanfaatan
alat peraga matematika tersebut , perlu dilakukan
try out terhadap siswa-siswa SDN , disesuaikan
antara materi dan alat peraga dari jenjang kelas
yang terkait.
Keberhasilan penelitian ini memungkinkan
digunakannya prototipe alat peraga untuk belajar
matematika dan Buku Panduan pedoman
panduan alat peraga matematika yang
dikembangkan untuk diterapkan di sekolah-
sekolah lain yang kondisinya mirip dengan
sekolah-sekolah tertinggal
5. DAFTAR PUSTAKA
[1] . Blum, W. and Niss, M., (1989),
Mathematical Problem Solving,
Modelling, Applications, and Links to
Other Subjects – State, Trends and Issues
in Mathematics Instruction. In: W. Blum,
M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling,
Applications and Applied Problem Solving:
teaching mathematics in a real contexts,
Chichester: Ellis Horwoord
[2] . De Lange, J. ,(1995), Assessment: No change
without problem. In: T. Romberg (ed.)
Reform in school mathematics and
authentic assessment. Albany NY: State
Univeristy of New York Press.
[3]. Fauzan, Ahmad. (2001). “ Pendidikan
Matematika Realistik: Suatu Tantangan
dan Harapan.” , disajikan pada Seminar
Nasional Pendidikan Matematika Realistik di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
tanggal 14- 15 November 2001.
[4]. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing
realistic mathematics education. Utrecht:
CD- Press, the Netherlands.
[5]. Hadi, Sutarto. (2001). ‘PMRI : Beberapa
Catatan Sebelum Melangkah Lebih
Jauh.”, disajikan pada Seminar Nasional
Pendidikan Matematika Realistik di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
tanggal 14 – 15 November 2001.
[6]. Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik
dan Sani dalam Pembelajaran
Matematika, disajikan pada Seminar
Nasional Pendidikan Matematika Realistik di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
tanggal 14 – 15 November 2001.
[7]. Ninik, W.H. 2007. PMRI Suatu Inovasi
Pendekatan Pembelajaran Matematika,
disajikan pada seminar di Jurusan Teknik
Mesin FT UNESA, tgl 19 Juli 2007
[8]. Ratini, dkk. 2001. Pengalaman dalam
Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran
Matematika secara Realistik di MIN
Yogyakarta II, disajikan pada Seminar
Nasional Pendidikan Matematika Realistik di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
tanggal 14 – 15 November 2001.
[9]. Sri Wardhani. (2005). Pembelajaran
Matematika Kontekstual. Bahan Ajar
Diklat di PPPG Matematika, Yogyakarta:
PPPG Matematika
[10]. Tim PPPG Matematika. (2003). Beberapa
Teknik, Model dan Strategi Dalam
Pembelajaran Matematika. Bahan Ajar
Diklat di PPPG Matematika, Yogyakarta:
PPPG Matematika.
121
[11].KENDAL,KOMPAS.Com, Rabu, 13
Februari 2013. 183 Kabupaten Berstatus
Daerah Tertinggal
[12]. Depdiknas, (2004), Kurikulum 2004:
Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah
Ibtidaiyah Jakarta: Depdiknas Yogyakarta:
PPPG Matematika.
122
123
Media Trainer Praktikum Untuk Penunjang Mata Kuliah
Dasar Sistem Telekomunikasi Mahasiswa Teknik Elektro FT-UNESA
Nurhayati1*), Eppy Yundra2 1 Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: nurhayati@unesa.ac.id 2 Jurusan Teknik Elektro, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:eppy_yra@yahoo.com
*) Alamat Korespondensi: Email: nurhayati@unesa.ac.id
ABSTRACT
The meaning of learning is activity that can improve new knowledge, skills, and behaviors. It can happened if
there are collaborate from individual with information and environment. To support the course of basic
telecommunications system, trainers is created as media to enhance learning process. This study aims to know
validation of trainer for basic telecommunications system courses and to know the response of students to the
trainer that supporting basic telecommunications system experiment courses. This research used pre experiment
design and it is named as one-shot case study. In this designed there were a group that is given a treatment and
observations. The sample is students of Electrical Engineering whom taken basic telecommunications system
courses. The product from this research is trainer. It can include with oscillator, filter, modulator and amplifier
that is integrated in one trainer box. The modulator includes of amplitude modulation (AM), frequency modulation
(FM), pulse amplitude modulation (PAM), amplitude shift keying (ASK), frequency shift keying (FSK). From the
validation results showed that the average results of the validation as 83%. From validation, it denoted that
construction and material can support learning process. But the value of trainer construction less than material
of the trainer. Based on the recapitulation of the student response, it gets 85% with good ratings. From that
resulted, it can be concluded that trainer can improve electrical engineering student’s competency.
Key Words: media, learning, trainer, modulation, validation
ABSTRAK
Pengertian belajar adalah kegiatan mengembangkan pengetahuan baru, keterampilan, dan perilaku. Hali
ini dapat terjadi jika terjadi interaksi individu dengan informasi dan lingkungan. Untuk mendukung mata kuliah
praktikum dasar sistem telekomunikasi, maka dibutuhkan trainer sebagai sarana pendukung media
pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk membuat trainer pendukung yang layak untuk mata kuliah
praktikum dasar sistem telekomunikasi serta mengetahui respon mahasiswa terhadap trainer pendukung mata
kuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi. Desain penelitian yang digunakan adalah jenis pre experiment
design dengan bentuk one-shot case study. Dalam desain ini terdapat suatu kelompok dan diberi
treatment/perlakuan dan dilakukan observasi. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa prodi S1 Teknik Elektro
yang mengambil mata kuliah praktikum dasar sistem telekomunikasi. Produk yang dihasilkan dalam penelitian
ini adalah terbentuknya trainer pendukung dengan materi Oscilator, Filter, penguat dan modulator meliputi
amplitude modulation (AM), frequency modulation (FM), pulse amplitude modulation (PAM), amplitude shift
keying (ASK), frequency shift keying (FSK) yang terintegrasi dalam satu box trainer. Dari hasil validasi
didapatkan bahwa rata-rata hasil validasi sebesar 83%. Rata-rata validasi didapatkan dari penilaian format
tampilanmendapatkan hasil rating yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil rating materi trainer.
Berdasarkan rekapitulasi hasil respon mahasiswa sebesar 85% dengan penilaian baik. Dari hasil yang
didapatkan dapat disimpulkan bahwa trainer dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa
teknik elektro.
Kata kunci: Media, pembelajaran, trainer, modulasi, validasi.
1. PENDAHULUAN
Menurut Smaldino[1] belajar adalah
mengembangkan pengetahuan baru, keterampilan,
dan perilaku yang merupakan interaksi individu
dengan informasi dan lingkungan. Lingkungan dalam
hal ini tidak hanya bersifat lunak, tetapi juga bersifat
fisik, seperti jalan raya, televisi, komputer, dan lain
sebagainya. Melihat pada definisi tersebut semakin
jelas bahwa belajar tidak terlepas dari sebuah interaksi
antara individu dengan lingkungannya, dengan sebuah
media pembelajaran baik akan tercapai informasi yang
ditujukan kepada individu tersebut.
Praktikum dasar sistim telekomunikasi
merupakan mata kuliah wajib yang harus diambil oleh
mahasiswa program studi S1 Teknik Elektro. Mata
kuliah tersebut memiliki topik seperti oscillator,
amplitude modulation (AM), frequency modulation
(FM), pulse amplitude modulation (PAM), amplitude
shift keying (ASK), frequency shift keying (FSK),
filter dan amplifier. Untuk mendukung mata kuliah
tersebut dibutuhkan trainer sebagai sarana pendukung
praktikum bagi mahasiswa. Namun kondisi dilapangan
124
trainer yang dimiliki oleh Laboratorium
Telekomunikasi sangat terbatas, hanya
menggunakan simulasi computer dan proses belajar
mengajar menjadi kurang optimal. Sehingga sangat
dibutuhkan trainer pendukung untuk praktikum mata
kuliah tersebut.
Trainer merupakan suatu set peralatan di
laboratorium yang digunakan sebagai media
pendidikan. Trainer praktikum dasar sistim
telekomunikasi ini dibuat karena terbatasnya jumlah
media pembelajaran pada mata kuliah tersebut.
Trainer merupakan media yang dapat dilihat dan
digunakan sebagai pengalaman nyata bagi mahasiswa
dan dapat menarik perhatian dalam upaya
meningkatkan komptensi mahasiswa prodi S1 Teknik
Elektro FT-Unesa
Keutamaan dari penelitian ini adalah penerapan
dari pendukung trainer lebih terintegrasi dan tidak
parsial sehingga mahasiswa lebih mudah memahami
materi perkulihan praktikum tersebut yang merupakan
kompetensi dasar bagi seluruh mahasiwa prodi S1
Teknik Elektro FT-Unesa. Penelitian bertujuan
menghasilkan trainer pendukung yang layak untuk
mata kuliah praktikum dasar sistim telekomunikasi dan
mengetahui respon mahasiswa terhadap trainer
pendukung untuk mata kuliah praktikum dasar sistem
telekomunikasi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Media Pembelajaran Trainer
Trainer merupakan suatu set peralatan yang
digunakan sebagai media pendidikan. Trainer
praktikum dasar sistim telekomunikasi ini dibuat
karena terbatasnya jumlah media pembelajaran pada
mata kuliah tersebut. Trainer merupakan media yang
dapat dilihat dan digunakan sebagai pengalaman nyata
bagi mahasiswa dan dapat menarik perhatian dalam
upaya meningkatkan komptensi mahasiswa prodi S1
Teknik Elektro FT-Unesa. Agar bisa memenuhi fungsi
tersebut maka media pembelajaran yang akan
dikembangkan harus memiliki kualitas baik. Indikator
media pembelajaran yang baik dapat diketahui
berdasarkan kelayakan dari media pembelajaran
tersebut. Kelayakan ini terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu
validitas, kepraktisan, dan keefektifan[2]. Menurut
Sugiyono[3], validitas isi dapat dilakukan dengan
membandingkan antara isi bahan ajar dengan materi
pelajaran yang diajarkan. Sedangkan validitas
konstruk dilihat berdasarkan penyelidikan terhadap
konstruk psikologis. Stimulus respon terdiri dari tiga
komponen yaitu komponen kognisi (pengetahuan),
komponen afeksi (sikap), dan komponen psikomotor
(tindakan). Pengetahuan berhubungan dengan
bagaimana seseorang memperoleh pemahaman
tentang dirinya dan lingkungannya serta bagaimana
dengan kesadaran itu bereaksi terhadap
lingkungannya.
Materi Praktikum
Trainer yang dibuat pada penelitian ini terdapat
beberapa rangkaian percobaan yaitu rangkaian
osilator, penguat, filter, modulator. Osilator
(oscillator) adalah suatu rangkaian elektronika yang
menghasilkan sejumlah getaran atau sinyal listrik
secara periodik dengan amplitudo yang konstan.
Gelombang sinyal yang dihasilkan ada yang berbentuk
gelombang sinus (sinusoide wave), gelombang kotak
(square wave) dan gelombang gigi gergaji (saw tooth
wave). Pada dasarnya sinyal arus searah atau DC dari
pencatu daya (power supply) dikonversikan oleh
rangkaian osilator menjadi sinyal arus bolak-balik atau
AC sehingga menghasilkan sinyal listrik yang periodik
dengan amplitudo konstan.
Rangkaian modulator ada yang berupa modulator
analog dan digital. Perbedaan modulasi analog dan
digital dapat dilihat dari bentuk sinyal informasi yang
diinputkan. AM, FM merupakan contoh modulasi
analog sedangkan ASK, FSK merupakan contoh
sistem modulasi digital.
Gambar 1. Rangkaian Osilator
Gambar 2. Rangkaian Filter
Gambar 3. Modulator AM
125
Gambar 4. Modulator PAM
Gambar 5. Rangkaian ASK
Gambar 6. Rangkaian FSK
Gambar 7. Rangkaian penguat
3. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah jenis
metode panelitian kualitatif jenis pre experiment
design dengan bentuk one-shot case study. Dalam
desain ini terdapat suatu kelompok dan diberi
treatment/perlakuan dan selanjutnya dilakukan
observasi hasilnya[3]. Tujuan panelitian menurut
Ghufron[4] adalah menjembatani kesenjangan antara
sesuatu yang terjadi dalam penelitian pendidikan
dengan praktik pendidikan dan menghasilkan produk
penelitian yang dapat digunakan untuk
mengembangkan mutu pendidikan dan pembelajaran
secara efektif. Menurut Brog and Gall[5] bahwa
prosedur penelitian dan pengembangan pada dasarnya
terdiri dari dua tujuan utama, yaitu: pengembangan
produk, menguji kualitas dan efektifitas produk dalam
mencapai tujuan.
Penelitian pembuatan trainer pendukung ini
dilaksanakan di Jurusan Teknik Elektro Fakuktas
Teknik Universitas Negeri Surabaya dan waktu
pelaksanaan penelitian selama 8 bulan. Populasi
penelitian pembuatan trainer pendukung adalah
mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik
Universitas Negeri Surabaya. Sampel penelitian ini
adalah mahasiswa prodi S1 Teknik Elektro yang
mengambil matakuliah praktikum dasar sistem
telekomunikasi.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan
rancangan one-shot case study design[6] dengan pola
sebagai berikut:
Gambar 8. One-shot case study design
Keterangan:
X = mahasiswa dibelajarkan dengan menggunakan
trainer pendukung pada mata kuliah praktikum
dasar sistem telekomunikasi
126
O = Pengambilan data peserta didik berupa respon
mahasiswa
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil dari penelitian ini adalah terbentuknya
produk Trainer yang mendukung mata kuliah Dasar
Sistem Telekomunikasi yang dapat mendukung
perkuliahan mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro
maupun mahasiswa Teknik Elektro. Trainer yang
terbentuk kemuadian divalidasi berupa deskripsi data
hasil validasi dan angket respon mahasiswa. Hasil
penelitian ini divalidasi oleh 3 validator yang terdiri
dari 3 orang Dosen Teknik Elektro Universitas Negeri
Surabaya. Dari hasil validasi yang telah dinilai oleh
para ahli, kemudian hasil validasi tersebut akan
dihitung rating dari tiap-tiap indikator yang kemudian
hasil rating tersebut dikategorikan menurut kriteria
skala penilaian.
Gambar 8. Tampilan Trainer tampak atas
Pada pembuatan trainer terdapat 3 jenis trainer
dengan menggunakan PCB dan terdapat beberpa
kegiatan praktikum yang dilengkapi gambar rangkaian
percobaan tiap percobaan. Pada trainer terdapat
rangkaian osilator, penguat, filter, modulasi AM, FM,
PAM, modulasi ASK dan FSK. Mahasiswa dapat
menghubungkan sinyal input untuk sinyal informasi
maupun sinyal pembawa menggunakan Audio
Function Generator dan melihat input dan output
gelombang menggunakan osiloskop.
Pembahasan
1. Hasil Validasi Instrument
Hasil rating validasi trainer, oleh 3 orang dosen
jurusan Teknik Elektro, yang terdiri dari: (a)
Perwajahan dan konstruksi dan (b) Materi, yang
didapatkan rata-rata hasil validasi tingkat kelayakan
pada trainer tersebut. Hasil dari validasi yang telah
dilakukan adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1. Hasil Validasi
No Jenis Intrumen Hasil Keterangan
1 Perwajahan dan
konstruksi 77% Valid
2 Materi 89% Sangat valid
Rata-Rata 83% Sangat valid
Berdasarkan rekapitulasi pada Tabel 1
didapatkan rata-rata penilaian hasil validasi
perwajahan dan konstruksi trainer sebesar 77% dengan
kategori valid dan rata-rata hasil validasi materi
sebesar 89% dengan kategori sangat valid. Sesuai
dengan skala Likert[7] bahwa instrument penelitian
dinyatakan valid apabila mempunyai angka 63% -
81% dan dinyatakan sangat valid jika berada pada
skala 82-100%. Rata-rata keseluruhan dari hasil
validasi trainer oleh 3 validator sebesar 83% dengan
kategori sangat valid. Validasi perwajahan dan tata
letak hanya mendapatkan 77% hal ini disebabkan
perwajahan dan konstruksi trainer masih banyak
kekurangan baik dari segi penampilan, keterbacaan
penunjuk pada trainer maupun dalam pengoperasian
trainer.
Dari hasil validator ada yang memberi saran agar
ada tata letak rangkaian diperbaiki dimana peletakan
rangkaian mempertimbangkan urutan sinyal sistem
pemancar agar pemahaman mahasiswa semakin baik.
Pembuatan trainer ini masih belum sempurna terutama
dalam tata letak rangkaian. Selain itu penataan kabel
untuk menghubungkan ke sumber input dan output dan
juga penamaan sumber input dan output kurang jelas.
Tetapi dengan adanya trainer pendukung praktikum
maka mahasiswa lebih terbantu dalam proses
pembelajaran dimana mereka lebih paham mengenai
sinyal input dan output dari rangkaian osilator,
penguat, proses modulasi dan mereka bisa
membedakan beberapa sinyal output dari beberapa
sistem modulasi. Dari hasil validasi dapat disimpulkan
bahwa traner sangat valid digunakan untuk
mendukung mata kuliah Dasar Sistem Telekomunikasi
dengan hasil rating sebesar 83%.
Gambar 9. grafik hasil validasi
Dari kedua hasil rating tersebut dapat dibuat rata-rata
hasil validasi trainer sebesar 83%. Pada akhirnya,
dapat disimpulkan trainer dapat digunakan untuk
70%
80%
90%
Perwajahandan
Konstruksi
Materi
77%89%
Hasil Validasi
127
mendukung kegiatan pembelajaran praktik untuk mata
kuliah dasar sistem telekomunikasi.
2. Hasil Respon
Berdasarkan hasil respon angket, yang terdiri dari
(a) Desain media, (b) Trainer dapat menunjang
perkuliahan, (c) Trainer dapat mempermudah
pemahaman materi, dan (d) trainer dapat menambah
motivasi dan minat belajar, yang diperoleh dari
mahasiswa jurusan Teknik Elektro didapatkan hasil
respon yang berbeda. Namun secara keseluruhan
dapatterlihat mereka senang dengan adanya kegiatan
pembelajaran menggunakan trainer dibandingkan
dengan hanya menggunakan simulasi computer. Hasil
dari angket respon mahasiswa yang telah dilakukan
adalah sebagai berikut sebagaimana terlihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Respon Mahasiswa
No Jenis Intrumen Hasil Keterangan
1 Desain media 76% Baik
2 Trainer data menunjang
perkuliahan 89%
Sangat
Baik
3 Trainer mempermudah
pemahaman materi 89%
Sangat
Baik
4 Trainer dapat
menambah motivasi 85%
Sangat
Baik
Rata-Rata 85% Sangat
Baik
Berdasarkan rekapitulasi hasil angket terlihat
bahwa rata-rata hasil respon mahasiswa sebesar 85%
dengan penilaian kualitatif sangat baik. Jika
digambarkan dengan grafik terlihat seperti Gambar 10
dibawah ini.
Gambar 10. Hasil respon mahasiswa
Hasil penilaian format desain media trainer 78%,
respon mengenai trainer dapat menunjang perkuliahan
dan dapat mempermudah pemahaman materi
diperoleh hasil rating sebesar 89%, sedangkan trainer
dapat menambah motivasi didapatkan hasil rating
sebesar 86%. Sebagian mahasiswa merasa senang
dengan pembelajaran yang bervariasi, dan mereka
mempunyai pengalaman belajar yang lebih, serta lebih
memahami konsep materi yang berhubungan sistem
modulasi dan terdapat trainer pendukung yang
membantu dalam pemahaman materi bila disbanding
hanya diterangkan tanpa menggunakan media. Dengan
menggunakan trainer mereka bisa mengetahui secara
langsung rangkaian osilator, penguat, filter, modulator
AM, FM, PAM, ASK dan FSK. Mahasiswa dapat
mengetahui bentuk sinyal input dan perbedaan sinyal
output yang dihasilkan dari beberapa jenis rangkaian
modulator. Mahasiswa menjadi paham cara
mengoperasikan alat ukur seperti Audio signal
generator, catu daya dan penggunaan osiloskop dalam
membaca sinyal. Hanya terdapat kendala jumlah audio
signal generator yang ada di laboratorium
telekomunikasi terbatas. Dari ketiga trainer yang
dihasilkan juga keterangan input dan output, tata letak
penataan komponen ada yang kurang baik sehingga
data yang diambil juga menjadi kurang optimal.
Namun mahasiswa sangat senang dengan adanya
trainer karena mereka bisa melihat rangkaian secara
langsung dan melihat gelombang input dan output dari
beberapa rangkaian pada satu trainer/box. Dengan
adanya trainer kegiatan psikomotorik dan kognitif
dapat terlaksana secara real jika dibandingkan dengan
menggunakan simulasi menggunakan program
simulasi seperti multisim ataupun proteus. Mereka
juga bisa membandingkan hasil keluaran gelombang
dari hasil simulasi dan pengukuran secara langsung.
Gambar 11. Proses pengujian trainer 1
Gambar 12. Proses pengujian trainer 2
76%
89% 89%85%
65%
70%
75%
80%
85%
90%
HASIL RESPON
128
Gambar 13. Trainer 3
4. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1) Trainer pendukung praktikum dapat digunakan
untuk mendukung mata kuliah dasar sistem
telekomunikasi untuk mahasiswa Teknik Elektro.
Hal ini dapat dilihat dari rekapitulasi rata-rata hasil
validasi sebesar 83% dengan kategori sangat valid.
Rata-rata validasi didapatkan dari rata-rata
penilaian format perwajahan dan konstruksi
sebesar 77%, dan validasi isi materi yang dapat
tersampaikan dari trainer sebesar 89%. Sesuai
dengan skala Likert bahwa instrument penelitian
dinyatakan sangat valid apabila mempunyai angka
81% - 100%. Hal ini menunjukkan bahwa trainer
dapat digunakan untuk mendukung perkuliahan
praktikum dasar sistem telekomunikasi.
2) Berdasarkan rekapitulasi hasil angket didapatkan
bahwa rata-rata hasil respon mahasiswa sebesar 85
% dengan penilaian kualitatif sangat baik yang
didapatkan dari rata-rata hasil penilaian desain
media trainer 76%, respon trainer dapat menunjang
perkuliahan sebesar 89%, hasil rating trainer dapat
mempermudah pemahaman perkuliahan sebesar
89%, dan trainer dapat menambah motivasi dan
minat belajar sebesar 85%. Dalam melakukan
kegiatan pembelajaran menggunakan trainer maka
mahasiswa akan mempunyai pengalaman belajar
yang lebih karena adanya visualisasi secara real
mengenai rangkaian, komponen pendukung,
gelombang input dan output, cara pengambilan
data, sehingga lebih memahami konsep materi dan
dapat membandingkan dengan hasil simulasi.
Saran
1) Perlu adanya penyempurnaan bentuk tampilan
trainer dari penataan letak rangkaian, kejelasan
tulisan, serta kemudahan dalam menghubungkan
dengan input output rangkaian. Trainer juga perlu
diperbanyak sehingga dapat dgunakan untuk
banyak kelompok.
2) Dalam melakukan praktikum sebaiknya peralatan
laboratorium harus mencukupi sehingga
mahasiswa tidak saling bergantian menggunakan
peralatan input dan output.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Smaldino, Sharon E. & James D. Russel, (2011).
Instructional Technology and Media for Learning,
Yogyakarta: Prenada Media Group.
[2]. Nieveen, N., (1999). Design Approaches and Tools in
Education and Training, J. Akker et al (Eds):
Formative evaluation in educational design research. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
[3]. Sugiyono, (2014). Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
[4]. Ghufron, Anik, (2011). Pendekatan Penelitian dan
Pengembangan (R&D) di Bidang Pendidikan dan
Pembelajaran. [5]. Borg R. Walter and Gall Meredith, D., (1989).
Educational Research: An Introduction, Fifth
Edition, London: Longman, Inc.
[6]. Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H.H., (2012).
How To Design And Evaluate Research In
Education (8th ed.), New York: McGraw-Hill.
[7]. Riduwan, (2012). Skala Pengukuran Variabel-
Variabel Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
129
Profil Mahasiswa Dalam Kegiatan Perkuliahan Model Sorogan-
Bandongan Materi Mekanisme Reaksi Kimia Organik
Rinaningsih1*), Suyatno2, Ismono3
1Jurusan Kimia, UNESA, Surabaya. E-mail: rina_kimunesa@yahoo.com 2Jurusan Kimia, UNESA, Surabaya. E-mail: suyatno_kimunesa@yahoo.com
3Jurusan Kimia, UNESA, Surabaya. E-mail: ismono.sains@gmail.com
*) Alamat Korespondensi: Email: rina_kimunesa@yahoo.com
ABSTRACT
Model lectures Sorogan-Bandonga are models a combination of the two methods that is methods sorogan
and methods Bandongan. Sorogan method is a method to individual learning where the student must submit the
results (Sorog) concept has been understood to lecturers. Bandongan method is a method lecture where students
get learning in groups and given an opportunity to discuss the material to be taught. In a preliminary study tested
a model Sorogan-Bandongan using descriptive qualitative method with the syntax: Student reading and writing
tasks on teaching materials; The diagnostic test; Explanation of material; Student worksheets student (sorogan);
Classroom discussion reinforcement material (Bandongan) and final tests as the closing lecture. Results obtained
test students' understanding of the concept of the reaction mechanism after reading the explanation before
lecturers teaching materials, two students 25% , 50% 13 students, 10 students 75%, and no student is 100%
understand the teaching materials before the discussion of the lecturer. The diagnostic results obtained learning
difficulties 32% Question 1; 40% Question 2; 18% Question 3; 83% about the number 4. There is a learning
outcome at 11.07. Recommended that the model Sorogan-Bandongan effective as a model lecture Organic
Chemistry.
Key Words: Model Sorogan-Bandongan, Reaction Mechanism Organic Chemistry
ABSTRAK
Model perkuliahan Sorogan-Bandongan merupakan model gabungan dari dua metode yakni metode Sorogan
dan metode Bandongan. Metode Sorogan adalah metode pembelajaran individual dimana mahasiswa harus
menyerahkan hasil (sorog) konsep yang telah dipahaminya kepada dosen. Metode Bandongan adalah suatu
metode perkuliahan dimana mahasiswa mendapat pembelajaran secara kelompok dan diberikan kesempatan
untuk berdiskusi tentang materi yang akan diajarkan. Pada penelitian pendahuluan diujicobakan model Sorogan-
Bandongan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan sintak: Mahasiswa membaca dan
mengerjakan tugas pada bahan ajar; Tes diagnostik; Penjelasan materi; Mahasiswa mengerjakan lembar kerja
mahasiswa (Sorogan); Diskusi kelas penguatan materi (Bandongan) dan tes akhir sebagai penutup perkuliahan.
Hasil ujicoba didapatkan pemahaman mahasiswa konsep mekanisme reaksi setelah membaca bahan ajar sebelum
penjelasan dosen, 2 mahasiswa 25%, 13 mahasiswa 50%, 10 mahasiswa 75% serta tidak ada mahasiswa yang
100% memahami bahan ajar sebelum pembahasan dosen. Hasil diagnostik kesulitan belajar didapatkan 32% soal
nomor 1; 40% soal nomor 2; 18% soal nomor 3; 83% soal nomor 4. Terdapat peningkatan hasil belajar sebesar
11,07. Direkomendasikan bahwa model Sorogan-Bandongan efektif sebagai model perkuliahan Kimia Organik.
Kata kunci: Model Sorogan-Bandongan, Mekanisme reaksi Kimia Organik.
1. PENDAHULUAN
Model Sorogan-Bandongan merupakan model
pembelajaran gabungan dari metode Sorogan dan
metode Bandongan yang diterapkan di Pondok
pesantren. Metode Sorogan adalah metode
pembelajaran individual dimana santri harus
menyerahkan hasil (sorog) materi konsep yang telah
dipahaminya kepada Kyai (guru) [1, 2, 3, 4]. Kyai (guru)
sebagai penerima hasil perkembangan belajar
individual santrinya harus memberikan suatu umpan
balik baik penguatan ataupun pembenaran apabila
terjadi kesalahan dari santri, dalam hal ini Kyai (guru)
adalah sumber ilmu [5, 6]. Metode Bandongan adalah
suatu metode pembelajaran dimana siswa mendapat
pembelajaran secara kelompok dan diberikan
kesempatan untuk berdiskusi tentang materi yang
diajarkan [4, 7].
Indikator keberhasilan implementasi metode
Sorogan dan metode Bandongan di Pesantren adalah
seberapa besar penerimaan masyarakat terhadap
keberadaan pesantren. Semakin Termasyur suatu
pesantren Kyai semakin karismatik, wibawa dan
terampil dalam menerapkan Sorogan-Bandongan [5, 8].
Semakin mahir Kyai dalam menerapkan Sorogan-
Bandongan semakin banyak muncul teknik, gaya serta
strategi yang muncul dalam menyampaikan konsep
(materi) pelajarannya[6, 4].
Implementasi Sorogan-Bandongan di Pondok
Pesantren mutlak dilakukan baik di pesantren
tradisional, modern maupun komprehensif, karena ruh
metode tersebut sudah ada pada para pengajar baik
130
Kyai maupun ustadz (asisten Kyai). Salah satu syarat
yang tidak tertulis dalam dunia pesantren untuk jadi
seorang kyai atau ustadz apabila sudah pernah
menyelesaikan (katam) kitab Ta’lim Muta’alim [9, 10].
Implementasi beberapa metode dalam
perkuliahan mekanisme reaksi dapat meningkatkan
perhatian [11], perkuliahan lebih efektif, melibatkan
mahasiswa, kreatif, berpusat pada mahasiswa,
meningkatkan penggunaan teknologi [12],
meningkatkan semangat belajar [13], meningkatkan
kemampuan kinerja [14], Percaya diri [15] dan lebih
efisien. Hal ini bisa dilakukan dengan ujian lisan,
pemberian tugas rumah (PR), penataan ruang kelas,
pengembangan silabus, soal kuis, ppt menggunakan IT [16] dan perkuliahan terpadu [17], sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar serta meningkatkan
kesadaran dalam merancang dan mensintesis kimia
organik alami, dengan pendekatan eksperimen kimia
hijau yang dapat merubah sikap dan tingkah laku
ramah lingkungan [18].
Kesulitan dalam mempelajari mekanisme reaksi
diantaranya pada penentu reaksi, prinsip Le
Chatelier’s, sulit menuliskan mekanisme reaksi dari
kurva energi potensial, serta tidak dapat membedakan
antara komplek aktivasi dan reaksi intermediet
menggunakan besarnya energi dari unsur-unsur yang
terdapat pada grafik [19]. Kesulitan - kesulitan ini dapat
diatasi dengan menggunakan instrumen kimia, hasil
analisis instrumen kimia membantu mengerti kejadian
pada level molekuler mekanisme reaksi secara nyata [20] sehingga mekanisme reaksi dapat diuji [21]. Tujuh
ide dalam sintesis kimia organik: mencerminkan
praktek kimia organik, menyediakan informasi
kontekstual, menyediakan referensi literatur, membuat
masalah terbuka, mencakup permasalahan unsur yang
familiar, membuat permasalahan yang semestinya
penuh dengan tantangan, menyediakan akses referensi
bahan ketika mahasiswa akan menyelesaikan masalah [22].
Perkuliahan mekanisme reaksi seharusnya
dirancang dengan memberikan kesempatan berdiskusi,
berlogika dan menentukan prioritas sintesis dalam
industri. Penentuan mekanisme reaksi yang paling
tepat bermanfaat untuk menentukan cara sintesis
dalam industri. Hasil kinerja mahasiswa merupakan
modifikasi praktis dan peningkatan mendasar untuk
tantangan dan rekayasa kimia [23].
2. PROSEDUR PENELITIAN
Pada ujicoba penelitian pendahuluan
menggunakan model perkuliahan Sorogan-Bandongan
dengan metode deskriptif kualitatif. Langkah-langkah
pembelajaran yang dilakukan yakni mahasiswa
membaca dan mengerjakan tugas pada bahan ajar, tes
diagnostik, penjelasan materi, mahasiswa
mengerjakan LKM (Sorogan), Diskusi kelas
penguatan materi (Bandongan) dan tes akhir sebagai
penutup perkuliahan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dibahas meliputi proses
perkembangan hasil belajar mahasiswa, sebagaimana
tertera pada Gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1. Perkembangan Hasil Belajar Mahasiswa
Dalam menentukan efektifitas model sorogan –
bandongan pada penelitian ini dapat dilakukan dengan
melihat perkembangan hasil belajar mahasiswa.
Potensi perkembangan individu dilakukan dengan
membandingan antara pengetahuan awal siswa dan
hasil belajarnya. membandingkan antara hasil
diagnostik kesulitan belajar awal merupakan pre-test
dengan kesulitan materi pada tes akhir menunjukkan
bahwa terjadi penurunan kesulitan yang sangat drastis
dari 32% pada pre-test menjadi 3% pada tes akhir
untuk pengertian reaksi substitusi. Begitu juga pada
kesulitan dalam mempelajari SN1 pada pre-test sebesar
83% pada tes akhir hanya 4,5%. dan SN2 pada pre-test
sebesar 48% sedang pada tes akhir sebesar 20% (soal
nomor 4, item 1 dan 3). Konsep prasyarat pada pre-test
terbaca untuk asam basa Lewis sebesar 90%,
konfigurasi elektron sebesar 23%, pengisian orbital
13%, hibridisasi 23%. Struktur Lewis 55%,
elektronegatifitas 65%. Bila dirata – rata konsep
prasyarat pada pre-test sebesar 44% hasil tersebut
hampir setara pada tes akhir sebesar 46%. Kesetaraan
menunjukkan bahwa konsep prasyarat memerlukan
waktu tersendiri dalam perkuliahan karena
keterbatasan waktu dalam tatap muka pada
perkuliahan.
Sejalan dengan pemikiran Cui[24] Pre-test sebagai
alat pengukur pengetahuan awal mahasiswa sebagai
diagnosa terhadap tahapan belajar siswa, menentukan
langkah pembelajaran individual bagi masing-masing
mahasiswa. Langkah pembelajaran dari hasil
diagnostik tersebut merupakan kunci dari
pembelajaran individual. Pembelajaran individual
yang dilakukan dibantu oleh LKM yang telah
dikembangkan berdasarkan langkah-langkah
pembelajaran sesuai dengan ketentuan peta diagnostik.
Hasil rata-rata pre-test sebesar 47,90 sedangkan
post test sebesar 58,97 ada peningkatan sebesar 11,07
yang menunjukkan strategi dan metode Sorogan dan
Bandongan yang diimplementasikan efektif
dipergunakan dalam perkuliahan Kimia Organik.
131
Gambar 2. Tes diagnostik pada konsep-konsep yang
prasyarat SN1 dan SN2
Pada Gambar 2 terlihat bahwa konsep prasyarat
yang dikuasai mahasiswa yaitu asam basa Lewis.
Kemampuan mahasiswa pada konsep asam basa Lewis
belum cukup dipergunakan dalam membangun konsep
mekanisme reaksi SN1 dan SN2, sehingga perlu konsep
prasyarat lain nukleofilisitas, konfigurasi elektron,
pengisian orbital, hibridisasi, penentuan struktur,
elektronegatifitas serta pemahaman terhadap reaksi
substitusi.
Gambar 3. Profil Pekerjaan Rumah Mahasiswa
Pada Gambar 3 di atas merupakan profil
mahasiswa dalam mengerjakan handout. Terdapat
grafik berwarna merah pada mahasiswa ke 8 yang
mana mahasiswa tersebut mendapatkan nilai tugas
rumah sebesar 30, pada grafik tampak bahwa
mahasiswa tersebut tidak mendapatkan nilai terendah,
yang sebenarnya mahasiswa tersebut terlihat tidak
sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas.
Sebenarnya, nilai tugas mahasiswa tersebut bias
mencapai 100 seperti mahasiswa 1. Handout pada
penelitian ini merupakan adopsi dari kitab kuning yang
harus ada dalam implementasi model Sorogan-
Bandongan.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil ujicoba terbatas penelitian dapat
disimpulkan bahwa Model Sorogan-Bandongan
efektif dipergunakan dalam kurikulum perkuliahan
kimia organik materi mekanisme reaksi SN1 dan SN2.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Tan, C., (2014). Educative Traditional and Islamic
schools in Indonesia; Journal of Arabicand Islamic
Studies; Vol. 14: 47-62.
[2]. Zuchairiny, A., (2013). Penguatan Islam Tradisional:
studi Kasus Model Pembelajaran Kitab Kuning di
Pesantren Alkhairaat Madinatul Ilmi Dolo
Sulawesi Tengah: ISTIQRA’, Jurnal Penelitian
Ilmiah; Vol.1, No. 2, 273-282.
[3]. Sulistyo, L., Priyo., (2014). Implementasi
Pembelajaran Matematika dengan Model Sorogan
Berbantuan CD Pembelajaran; Jurnal
DISPROTEK; Volume 5, No.2, 28-43.
[4]. Kuswandono, P., Gandana, I., Rohani, S., Zulfikar, T.,
(2011). Revisiting Local Wisdom: Efforts to
Improve Education Quality in Indonesia;
Conference Proceedings
[5]. Rifa’i, F., A., (2013), Analisis dan Implementasi
Aplikasi Penerjemah dan Penambah Harakat
Kitab Klasik/Kitab Kuning; Journal Kaunia; Vol.
IX, No. 2, 85-95.
[6]. Astuti, A., S., (2014). Pesantren dan Globalisasi;
Jurnal Tarbawiyah, Vol. 11 No. 1, 16-35.
[7]. Al hamdani, D., M., H., (2013). Introduction
Curriculum Multiculturalism Boarding School;
Journal of Education and Practice; Vol. 4, No.23, 57-
62.
[8]. Fadhil, M. (2011). Inovasi Pesantren dalam
Pengembangan Keilmuan; Innovatio, Vol. X, No.1,
59-81.
[9]. Syukur, F., (2012). Pesantren - Based Madrasah
Management; AL ALBAB- Borneo Journal of
Religious Studies (BJRS); Vol. 1 No. 1, 109 – 129.
[10]. Azhari. (2014). Eksistensi Sistem Pesantren Salafi
Dalam Menghadapi Era Modern; Islamic Studies
Journal; Vol. 2, No. 1, 51-65.
[11]. Dicks, P., A., et al. (2012). Undergraduate Oral
Examinations in a University Organic Chemistry
Curriculum. Journal of Chemical Education.
Published: October 18, 1506-1510.
[12]. Franz, K., A. (2011). Organic Chemistry You Tube
Writing Assignment for Large Lecture Classes.
Journal of Chemical Education. Published: November
29, 497-501.
[13]. Parker, L.,L. & Loudon, M.,G. (2012) Case Study
Using Online Homework in Undergraduate
Organic Chemistry: Result and Student Attitudes.
Journal of Chemical Education. Published: November
12, 37-44.
[14]. Muthyala, S., R. & Wei, W. (2012). Does Space
Matter? Impact of Classroom Space on Student
Learning in an Organic-First Curriculum. Journal
of Chemical Education. Published: November 26, 45-
50.
[15]. Collison, G.,C., et al. (2012) An SN1-SN2 Lesson in an
Organic Chemistry Lab Using a Studio-Based
Approach. Journal of Chemical Education.
Published: March 21, Vol. 89, 750-754.
[16]. Aldahmash, H.,A., et al. (2009). Kinetic Versus Static
Visual for Facilitating College Students
Understanding of Organic Reaction Mechanism
in Chemistry.Journal of Chemical Education.
Published: December Vol. 86, No. 12, 1442-1446.
[17]. Giinersel, B.,A. & Fleming, A.,S., (2013). Qualitative
Assessment of a 3D Simulation Program: Faculty,
Students, and Bio-Organic Reaction. Journal of
Chemical Education. Published: June 25, 988-994.
132
[18]. Karpudewan, M., Ismail, Z., Roth, M., W. (2012).
Promoting pro-environmental attitudes and
reported behaviors of Malaysian pre-service
teachers using green chemistry experiments. Journal of Environmental Education Research.
Published: 03 Nov 2011, Vol. 18, No. 3, 375-389.
[19]. Tastan, O., Yalcinkaya, E. & Boz Y. (2010). Pre-
Service Chemistry Teachers’ Ideas about
Reaction Mechanisme. Journal of Turkish Science
Education, Vol. 7, Issue 1, March 2010.
[20]. Kenzie, M.N. et al. (2012) Synthesizing Novel
Anthraquinone Natural Product-Like
Compounds to Investigate Protein-Ligand
Interaction in Both an in Vitro and in Vivo Assay:
an Integrated Research-Based Third- Year
Chemical Biology Laboratory Course. Journal of
Chemical Education. Published: April 6, 743-749.
[21]. Ahiakwo & Macson, J. (2012). Organic Reaction
Mechanism Controversy: Pedagogical
Implication for Chemical Education. AJCE, Vol.2,
No. 2, 51-65.
[22]. Raker, R., J. & Towns, H., M. (2012). Designing
Undergraduate-level Organic Chemistry
Instructional Problem: Seven Ideas from a
Problem-Solving Study of Practicing Synthetic
Organic Chemists. Journal of Chemistry Education
Research and Practice. Vol.13 277-285.
[23]. Mercer, M.,S., et al. (2011) Choosing the Greenest
Synthesis: A Multivariate Metric Green Chemistry
Exercise. Journal of Chemical Education. Published:
December 5, 215-220.
[24]. Cui, Y., Gierl, J., M. (2012). Estimating
Classification Consistency and Accuracy for
Cognitive Diagnostic Assessment. Journal of
Educational Measurement Spring. Vol. 49, No. 1, 19-
38.
133
Pendampingan Penyusunan Instrumen Penilaian Hasil Belajar Bagi
Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bojonegoro
Rini Setianingsih1*), Manuharawati2, Abdul Haris Rosyidi3 1 Jurusan Matematika, Universitas Negeri Surabaya. Email: rinisetianingsih@unesa.ac.id 2 Jurusan Matematika, Universitas Negeri Surabaya. Email: manuharawati@unesa.ac.id
3 Jurusan Matematika, Universitas Negeri Surabay. Email: abdulharisrosyidi@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondensi: Email: rinisetianingsih@unesa.ac.id
ABSTRACT
The objectives of this Community Services (PKM) is to improve the ability of elementary school teachers in
Bojonegoro in creating an assessment instrument that measures Higher Order Thinking Skills (HOTS), and in
accordance with curriculum 2013. The undertaken activities were in the form of training and workshop. After
presentation of workshop material by the speakers, then the participants were given individual tasks to make the
assessment instrument which measures HOTS.in any subject he/she teaches at school. Thus, the products of this
project are in the form of assessment instruments which are ready to be implemented in real class. The results of
these activities are as follows: (1) Of the 50 assessment instruments produced by the participants, 10 instruments
(20%) included in the category of Very Good, and 40 assessment instruments (80%) included in the Good category.
In general, participants responded positively to the implementation of this project. Some of the instances cited
participants with regard to positivity of this projects are that a total of 40 respondents (100%) stated that the
training activities and workshops "Useful" or "Very Useful." In addition, it adds insight and improve the skills of
teachers in preparing instruments that measure HOTS and in accordance with the curriculum 2013.
Keywords: Preparation of instruments, Assessment of Learning Outcomes, HOTS, Primary School Teachers.
ABSTRAK
Tujuan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) ini adalah melakukan pendampingan kepada
guru-guru SD di Kabupaten Bojonegoro dalam menyusun instrumen penilaian hasil belajar yang mengukur
Higher Order Thinking Skills (HOTS). Metode kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan dan pendampingan/
workshop. Setelah pemaparan materi oleh narasumber, para peserta diberi tugas individu membuat instrumen
penilaian beserta rubriknya, yang mengukur Higher Order Thinking Skills (HOTS) sesuai dengan mata pelajaran
yang dibina. Sehingga, salah satu produk dari kegiatan ini adalah instrumen penilaian dan rubriknya yang siap
diimplementasikan di kelas sesungguhnya. Adapun hasil kegiatan ini adalah sebagai berikut: (1) Dari 50
instrumen penilaian yang dihasilkan peserta, 10 instrumen (20%) termasuk dalam kategori Baik Sekali; 40
instrumen penilaian (80%) termasuk dalam kategori Baik. Secara umum, peserta merespon positif terhadap
pelaksanaan kegiatan PKM ini. Beberapa hal yang dikemukakan peserta berkenaan dengan “positifnya” kegiatan
ini adalah sebagai berikut. Sebanyak 40 responden (100%) menyatakan bahwa kegiatan pelatihan dan workshop
ini “Bermanfaat” atau ‘Sangat Bermanfaat.” Selain itu, dapat menambah wawasan dan meningkatkan
keterampilan guru dalam menyusun instrument hasil belajar yang mengukur HOTS dan yang sesuai dengan
kurikulum 2013.
Kata kunci: Penyusunan instrumen, Penilaian Hasil Belajar, HOTS, Guru Sekolah Dasar.
1. PENDAHULUAN
Untuk memperoleh informasi tentang baik atau
buruknya proses dan hasil kegiatan pembelajaran,
seorang guru harus melakukan penilaian. Di sisi lain,
penilaian merupakan salah satu komponen sistem
pembelajaran. Hal ini berarti, penilaian merupakan
kegiatan yang tak terelakkan dalam setiap kegiatan
pembelajaran. Dengan kata lain, kegiatan penilaian
merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari
kegiatan pembelajaran. Penilaian hasil belajar
menekankan kepada diperolehnya informasi tentang
seberapakah perolehan siswa dalam mencapai tujuan
pengajaran yang ditetapkan. Penilaian hasil belajar
dilakukan oleh guru untuk memantau proses,
kemajuan, perkembangan belajar siswa sesuai dengan
potensi yang dimiliki dan kemampuan yang
diharapkan secara berkesinam-bungan. Penilaian juga
dapat memberikan umpan balik kepada guru agar
dapat menyempurnakan perencanaan dan proses
pembelajaran.
Implementasi Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa
implikasi terhadap model dan teknik penilaian yang
dilaksanakan di kelas. Dalam peraturan pemerintah
tersebut dinyatakan bahwa penilaian terdiri atas
penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian
eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh
pihak lain yang tidak melaksanakan proses
pembelajaran. Sedangkan penilaian internal adalah
penilaian yang direncanakan dan dilakukan oleh guru
pada saat proses pembelajaran berlangsung. Penilaian
kelas merupakan bagian dari penilaian internal
134
(internal assessment) untuk mengetahui hasil belajar
siswa terhadap penguasaan kompetensi yang diajarkan
oleh guru. Tujuannya adalah untuk menilai tingkat
pencapaian kompetensi siswa yang dilaksanakan pada
saat pembelajaran berlangsung dan di akhir
pembelajaran.
Pada Permendikbud RI No. 23 tahun 2016
dinyatakan bahwa, “Penilaian adalah proses
pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.”
Lebih lanjut, dalam Permendikbud nomor 22 tahun
2016 dijelaskan bahwa penilaian proses pembelajaran
menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic
assesment) yang menilai kesiapan peserta didik,
proses, dan hasil belajar secara utuh. “Penilaian
autentik adalah pendekatan, prosedur, dan instrumen
penilaian proses dan capaian pembelajaran siswa
dalam penerapan sikap spiritual dan sikap sosial,
penguasaan pengetahuan, dan penguasaan
keterampilan yang diperolehnya dalam bentuk
pelaksanaan tugas perilaku nyata atau perilaku dengan
tingkat kemiripan dengan dunia nyata, atau
kemandirian belajar.” Dengan demikian, penilaian
yang dilakukan di sekolah harus meliputi penilaian
untuk aspek pengetahuan, aspek sikap, dan aspek
keterampilan.
Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut
akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan
belajar siswa yang mampu menghasilkan dampak
instruksional (instructional effect) pada aspek
pengetahuan dan dampak pengiring (nurturant effect)
pada aspek sikap. Hasil penilaian otentik digunakan
guru untuk merencanakan program perbaikan
(remedial) pembelajaran, pengayaan (enrichment),
atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian
otentik digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki
proses pembelajaran sesuai dengan Standar Penilaian
Pendidikan.
Selain itu, evaluasi proses pembelajaran yang
dilakukan saat proses pembelajaran, dilakukan dengan
menggunakan instrumen berupa: lembar pengamatan,
angket sebaya, rekaman, catatan anekdot, dan refleksi.
Sedangkan evaluasi hasil pembelajaran yang
dilakukan pada saat proses pembelajaran dan di akhir
satuan pelajaran, dilaksanakan dengan menggunakan
metode dan instrumen: tes lisan/perbuatan, dan tes
tulis. Hasil evaluasi akhir diperoleh dari gabungan
evaluasi proses dan evaluasi hasil pembelajaran.
Berdasarkan hasil wawancara Ketua Tim
Pelaksana PKM ini dengan Kepala Bidang TK dan SD
pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro pada
tanggal 27 Februari 2016, diperoleh informasi bahwa
para guru SD di Bojonegoro masih mengalami
kesulitan dalam menyusun instrumen penilaian hasil
belajar, baik guru-guru di SD yang “maju” maupun SD
yang “belum maju.” Kondisi seperti ini juga tercermin
dalam saran-saran yang ditulis oleh guru-guru peserta
kegiatan PKM yang kami lakukan di Surabaya pada
tahun 2014 dan 2015. Oleh karena itu, diperlukan
kegiatan pendampingan yang dapat meningkatkan
kemampuan guru dalam menyusun instrumen
penilaian yang sesuai Permendikbud nomor 22 dan 23
tahun 2016, serta Kurikulum 2013, khususnya di
Kabupaten Bojonegoro.
2. METODE PELAKSANAAN
Kegiatan PKM ini dilaksanakan pada tanggal 27-
28 Agustus 2016 bertempat di Kampus UT, Jalan
Mangga, Kelurahan Mulyoagung, Kecamatan Kota
Bojonegoro. Sebagai khalayak sasaran antara yang
strategis pada kegiatan ini adalah Kepala Bidang
Pendidikan TK/SD pada Dinas Pendidikan Kota
Bojonegoro. Sedangkan khalayak sasarannya adalah
para Ketua dan Sekretaris KKG dari 28 Kecamatan
yang ada di Kabupaten Bojonegoro. Keterlibatan
Kepala Bidang Pendidikan TK/SD pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Bojonegoro diharapkan dapat
mengawal keberlanjutan penerapan materi yang
diperoleh pada kegiatan ini. Secara umum, kerangka
pemecahan masalah dalam pelaksanaan kegiatan PKM
ini dapat digambarkan dalam bagan alir sebagai
berikut.
Langkah awal yang dilakukan dalam program
PKM ini adalah koordinasi awal dengan Kepala
Bidang Pendidikan TK/SD pada Dinas Pendidikan
Kabupaten Bojonegoro. Hasilnya adalah adanya
kesediaan dari Dinas Pendidikan untuk menjadi mitra
dalam pelaksanaan PKM. Kepala Dinas Pendidikan
mengundang Ketua dan Sekretaris KKG dari 28
Kecamatan yang ada di Kabupaten Bojonegoro
sebagai peserta. Selain itu, Dinas Pendidikan juga akan
mengundang calon peserta workshop/ pendampingan
serta menyediakan tempat untuk pelaksanaan kegiatan
PKM ini.
Selanjutnya tim pelaksana melakukan
penyusunan materi pelatihan. Tim pelaksana berbagi
tugas dalam menyusun materi pelatihan yang terdiri
dari (a) Prinsip-prinsip Umum Penilaian Hasil Belajar;
(b) Penilaian Hasil Belajar untuk Model/Pendekatan
Pembelajaran yang Berpusat pada Siswa dan yang
Gambar 1. Kerangka Pemecahan Masalah
135
Mengukur Higher Order Thinking Skills (HOTS); (c)
Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dalam
Kurikulum 2013 (Perencanaan, Penyusunan
Instrumen, dan Pelaksanaan Penilaian; (d) Lembar
kerja peserta pelatihan dan workshop; (e) Angket
respon peserta pelatihan dan workshop.
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan
kegiatan ini adalah dengan mengadakan kegiatan
pendampingan dan workshop tentang penyusunan
instrumen penilaian hasil belajar. Kegiatan ini dibagi
menjadi dua tahap, yaitu: (1) Pemaparan (a) Prinsip-
prinsip Umum Penilaian Hasil Belajar; (b) Penilaian
Hasil Belajar untuk Model/Pendekatan Pembelajaran
yang Berpusat pada Siswa dan yang Mengukur Higher
Order Thinking Skills (HOTS); (c) Penilaian Hasil
Belajar oleh Pendidik dalam Kurikulum 2013
(Perencanaan, Penyusunan Instrumen, dan
Pelaksanaan Penilaian); dan (2) Workshop tentang
penyusunan instrumen penilaian hasil belajar beserta
rubrik penilaiannya.
Pada saat berlangsung kegiatan workshop/
pendampingan penyusunan instrumen penilaian hasil
belajar. para peserta pelatihan diberi tugas individu
membuat rancangan penilaian beserta kunci jawaban,
serta rubrik penilaiannya sesuai dengan kelas yang
dibina. Pada hari kedua pelatihan, ada beberapa
peserta yang diminta untuk mempresentasikan
hasilnya di depan seluruh peserta pelatihan guna
memperoleh masukan terhadap instrumen yang sudah
dibuat. Kegiatan ini diakhiri dengan merevisi
instrumen penilaian tersebut berdasarkan masukan
saat presentasi. Oleh karena itu, salah satu produk dari
kegiatan ini adalah instrumen penilaian, beserta kunci
jawaban dan rubrik penilaiannya yang siap
diimplementasikan di kelas sesungguhnya.
3. HASIL YANG DICAPAI
Sebelum menguraikan tentang hasil yang dicapai
dalam kegiatan PKM ini, akan dijelaskan terlebih dulu
tentang rancangan evaluasi terhadap keberhasilan
kegiatan ini. Evaluasi dalam kegiatan pendampingan
ini dilakukan dengan cara: (a) Melakukan penilaian
terhadap tugas individu peserta dalam menyusun
instrumen penilaian hasil belajar; (b) Memberi angket
kepada peserta setelah pelaksanaan workshop
menyusun instrumen penilaian hasil belajar.
Kegiatan PKM ini dikatakan berhasil jika
memenuhi kriteria berikut: (a) Hasil kerja peserta
dalam menyusun instrumen penilaian hasil belajar
minimal termasuk dalam kategori “Baik”; (b) Peserta
memberikan respon positif terhadap pelaksanaan
keseluruhan kegiatan PKM yang meliputi pemaparan
konsep dan workshop tentang penyusunan instrumen
penilaian hasil belajar beserta rubrik penilaiannya.
Hasil yang dicapai melalui kegiatan PKM ini
dapat dituangkan dalam bentuk hasil kegiatan pada
ketiga tahap pelaksanaan, yaitu tahap perencanaan,
tahap pelaksanaan workshop/ pendampingan, dan
tahap evaluasi. Adapun kegiatan yang dilakukan pada
tahap perencanaan meliputi sosialisasi kegiatan PKM
kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro
(khalayak sasaran), yang dilakukan pada bulan Juli
2016 dalam bentuk silaturahmi dengan Kepala Bidang
TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro,
yaitu Dr. Sukarni, S.Pd., M.M. Kegiatan silaturahmi
ini juga merupakan tindak lanjut dari pertemuan awal
yang dilakukan pada bulan Februari 2016, dan
pembicaraan via telepon yang sudah dilakukan
beberapa kali. Kegiatan lain yang dilakukan pada
tahap perencanaan adalah penyusunan program
pendampingan. Program ini disusun berdasarkan hasil
identifikasi masalah, hasil analisis permasalahan yang
ada, dan hasil analisis kebutuhan.
Tahap kedua kegiatan PKM ini merupakan tahap
pelaksanaan pendampingan penyusunan instrumen
penilaian hasil belajar. Kegiatan ini dilaksanakan
selama dua hari berturut-turut, yaitu pada tanggal 27
dan 28 Agustus 2016. Adapun kegiatan utama yang
dilakukan terdiri atas: (1) Paparan tentang: (a) Prinsip-
prinsip umum penilaian hasil belajar; (b) Penilaian
hasil belajar untuk model/pendekatan pembelajaran
yang berpusat pada siswa dan yang mengukur Higher
Order Thinking Skills (HOTS); (c) Penilaian Hasil
Belajar oleh Pendidik dalam Kurikulum 2013
(Perencanaan, Penyusunan Instrumen, dan
Pelaksanaan Penilaian).
Setelah pemaparan materi selesai, dilanjutkan
dengan workshop/ pendampingan penyusunan
instrumen penilaian hasil belajar. Para peserta
workshop diberi tugas individu membuat instrumen
penilaian hasil belajar beserta kunci jawaban dan
rubrik penilaiannya sesuai dengan kelas yang dibina.
Pada hari kedua pelatihan, ada beberapa peserta yang
diminta untuk mempresentasikan hasilnya di depan
seluruh peserta pelatihan guna memperoleh masukan.
Kegiatan ini diakhiri dengan merevisi instrumen
penilaian berdasarkan masukan saat presentasi, baik
dari sesama peserta maupun dari narasumber. Foto-
foto berikut ini menunjukkan aktivitas narasumber
maupun para peserta workshop.
136
Tahap ketiga dari rangkaian kegiatan PKM ini
adalah tahap evaluasi. Produk yang dihasilkan dalam
kegiatan ini adalah 50 (lima puluh) instrumen
penilaian hasil belajar beserta kunci jawaban dan
rubriknya untuk siswa Sekolah Dasar. Peserta memilih
sendiri kompetensi dasar dalam kurikulum, kemudian
menuliskan indikator pencapaian kompe-tensinya.
Selanjutnya, para peserta menyusun kisi-kisi
penilaian, kemudian menyusun instrumen penilaian
dan pedoman penskorannya. Pada kegiatan
pendampingan hari kedua, para peserta diminta maju
ke depan untuk menyajikan hasil kerjanya. Pada saat
itulah para peserta lain dan narasumber memberi
masukan, khususnya ketika penyaji melakukan
analisis kualitas instrumen penilaian hasil belajar yang
disusunnya. Selain itu, pada tahap ini tim pelaksana
melakukan evaluasi terhadap seluruh instrumen
penilaian yang dihasilkan peserta, dengan
menggunakan instrumen yang dirancang oleh tim
pelaksana.
4. PEMBAHASAN
Pelaksanaan workshop pendampingan
penyusunan instrument hasil belajar ini dievaluasi
berdasarkan 2 (dua) hal, yaitu instrumen penilaian
hasil belajar yang disusun oleh para peserta, dan
respon peserta terhadap pelaksanaan seluruh rangkaian
kegiatan workshop. Berdasarkan hasil evaluasi,
hasilnya sangat menggembirakan, karena seluruh
instrumen yang dihasilkan peserta (100%) termasuk
dalam kategori “Baik atau Baik Sekali”. Ini berarti,
salah satu indikator keberhasilan kegiatan PKM
terpenuhi, yaitu bahwa hasil kerja peserta minimal
termasuk dalam kategori “Baik.” Berikut ini contoh
tugas individu peserta workshop.
Dalam hal respon peserta terhadap pelaksanaan
workshop/ pendampingan, secara umum peserta
merespon positip terhadap pelaksanaan kegiatan
pemantapan kemampuan guru dalam menyusun
instrumen penilaian hasil belajar ini. Beberapa hal
yang dikemukakan peserta berkenaan dengan
“positifnya” kegiatan ini tercermin dalam jawaban
peserta terhadap angket yang dibagikan di akhir
kegiatan. Sebanyak 40 (empat puluh) responden
mengembalikan angket yang telah diisinya. Untuk
pertanyaan pertama, “Apakah kegiatan ini bermanfaat
untuk memperluas wawasan/ pengetahuan guru
tentang penyusunan instrumen penilaian hasil belajar
yang mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi
(HOTS) siswa?” Sebanyak 35 responden (87,5%)
menyatakan bahwa kegiatan pemantapan ini ‘Sangat
Bermanfaat” dan 5 responden (12,5%) menyatakan
bahwa kegiatan ini “Bermanfaat.” Dengan kata lain,
seluruh responden (40 orang) (100%) menyatakan
bahwa kegiatan pendampingan/ workshop ini
“Bermanfaat” atau “Sangat Bermanfaat” memperluas
wawasan/ pengetahuan guru tentang penyusunan
instrumen penilaian hasil belajar, khususnya yang
mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS)
siswa.
Gambar 2. Pemaparan materi oleh Anggota
Tim Pelaksana (Abdul Haris Rosyidi, M.Pd.)
Gambar 3. Sesi tanya jawab yang
dimanfaatkan dengan baik oleh peserta. Ini
menunjukkan antusiasme yang tinggi dari
para peserta kegiatan.
Gambar 4. Contoh kisi-kisi penulisan soal
yang dihasilkan peserta workshop.
Gambar 5. Soal ulangan harian yang
dikembangkan dari kisi-kisi penulisan soal
pada Gambar 4.
137
Untuk pertanyaan kedua, “Apakah kegiatan
pendampingan ini bermanfaat dalam upaya
meningkatkan kemampuan guru menyusun instrumen
penilaian hasil belajar sesuai kurikulum 2013 dan yang
mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi?”
Dalam menjawab pertanyaan ini, 13 responden
(32,5%) menyatakan bahwa kegiatan pendampingan
ini “Bermanfaat”, sedangkan 27 responden (67,5%)
menyatakan “Sangat Bermanfaat.” Dengan kata lain,
seluruh responden (100%) menyatakan bahwa
kegiatan pendampingan ini “Bermanfaat” atau “Sangat
Bermanfaat” dalam meningkatan kemampuan guru
menyusun instrumen penelitian hasil belajar.
Pertanyaan ketiga dalam angket ingin mengetahui
hal positif apa yang dapat diambil dari kegiatan
workshop ini. Terdapat 4 (empat) jawaban dominan,
yaitu (1) Untuk menambah pengetahuan dan
memperluas wawasan (29,63%), (2) Memperoleh
pengetahuan tentang HOTS (Higher Order Thinking
Skills) (31,48%), (3) Mengetahui cara mengajar yang
sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013, (4)
Memperoleh kesempatan untuk praktik menyusun
instrumen penilaian yang mengukur HOTS dan sesuai
dengan K-13 (9,26%). Sisanya, yaitu 18,32%
responden memberikan jawaban yang bervariasi.
Ada hal yang perlu dicatat oleh tim pelaksana
sebagai bentuk apresiasi dari peserta. Pada pertanyaan
angket berikutnya, yang menanyakan apa yang
membedakan kegiatan workshop ini dengan kegiatan
workshop yang pernah diikuti sebelumnya, responden
memberi jawaban sebagai berikut. (a) Narasumber
menguasai materi dan menyajikan materi dengan
menyenangkan sehingga situasi menjadi cair, (b)
Workshop ini lebih sederhana dan praktis karena
langsung pada contoh dan penugasan dan diskusi, serta
lebih terfokus pada materi, (c) Adanya interaksi yang
baik antara narasumber dengan peserta workshop, (d)
Melibatkan aktif peserta workshop, (e) Workshop ini
mampu menumbuhkan wawasan berpikir yang kreatif
dan inovatif, (f) Workshop ini amat menarik muatan
materinya dan benar-benar sangat dibutuhkan guru,
dan (g) Disajikan secara interaktif.
Jawaban-jawaban responden untuk seluruh
pertanyaan dalam angket menunjukkan bahwa
indikator kedua yang mencerminkan keberhasilan
pelaksanaan PKM telah terpenuhi.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang
disajikan pada sub-bab sebelumnya, Tim Pelaksana
kegiatan PKM ini dapat menarik simpulan sebagai
berikut:
1. Pada kegiatan PKM ini dihasilkan 50 instrumen
penilaian hasil belajar yang mengukur ketermpilan
berpikir tingkat tinggi dan yang sesuai dengan
Kurikulum 2013 untuk berbagai mata pelajaran.
Hasil penilaian terhadap instrumen penilaian
tersebut menunjukkan bahwa seluruh instrumen
penilaian (100%) yang disusun peserta workshop
termasuk dalam kategori “Baik” atau “Baik
Sekali.” Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
PKM ini berhasil meningkatkan kemampuan guru-
guru SD di Kabupaten Bojonegoro dalam
menyusun instrumen penilaian yang mengukur
HOTS dan yang sesuai dengan kurikulum 2013.
2. Secara umum, para peserta memberi respons
positif terhadap pelaksanaan kegiatan PKM ini.
Seluruh responden (40 orang) (100%) menyatakan
bahwa kegiatan pendampingan/ workshop ini
“Bermanfaat” atau “Sangat Bermanfaat”
memperluas wawasan/ pengetahuan guru tentang
penyusunan instrumen penilaian hasil belajar,
khususnya yang mengukur keterampilan berpikir
tingkat tinggi (HOTS) siswa. Seluruh responden
(100%) juga menyatakan bahwa kegiatan
pendampingan ini “Bermanfaat” atau “Sangat
Bermanfaat” dalam meningkatan kemampuan guru
menyusun instrumen penelitian hasil belajar.
Karena kedua indikator pencapaian keberhasilan
dipenuhi, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pendampingan/ workshop penyusunan instrumen hasil
belajar ini telah berhasil mencapai tujuan.
5.2. Saran
Secara umum, dalam rangka peningkatan
profesionalitas guru, dan secara khusus dalam rangka
meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun
instrumen penilaian, pada masa mendatang, kegiatan
semacam ini hendaknya dapat mengakomodasi
harapan peserta, yang antara lain sebagai berikut, (1)
Perlu adanya tindak lanjut dan kegiatan yang
berkesinambungan, (2) Perlu kegiatan pelatihan/
pendampingan tentang penyusunan instrumen yang
mengukur HOTS sampai tuntas, (3) Perlu pelatihan
bedah kompetensi dasar (KD), menyusun indikator
pencapaian kompetensi sampai tuntas, (4) perlu
workshop tentang model-model pembelajaran
inovatif, (5) Perlunya kegiatan ini dilakukan di tingkat
kecamatan, (6) Hendaknya sering dilakukan pelatihan
semacam ini dengan waktu yang cukup lama agar guru
semakin terampil menyusun instrumen penilaian.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam kegiatan
PKM ini, Tim Pelaksana menyampaikan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Para Ketua dan Sekretaris KKG sebagai peserta
kegiatan PKM ini agar melakukan deseminasi
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh,
khususnya dalam menyusun instrumen penilaian
sesuai kurikulum 2013dan yang mengukur Higher
Order Thinking Skills (HOTS).
2. Para guru agar menggunakan instrumen penilaian
yang dihasilkan dalam workshop pada kelas yang
sesungguhnya, dan diharapkan pula agar
menyusun instrumen penilaian untuk materi yang
138
lain. Hal ini merupakan salah satu indikator agar
seorang guru layak disebut sebagai guru yang
profesional.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1] Arifin, Z. (2012). Evaluasi Pembelajaran.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
[2] Asmawi. (2004). Tes dan Asesmen di SD.
Cetakan ketiga. Jakarta: Universitas Terbuka.
[3] Chico, G.J. & Horne, C.R. (2007). Teacher's
Guide to Preparing Classroom Assessments.
Illinois State Board of Education. Illinois State
Board of Education. www.isbe.net
[4] Danielson, C. (1997). A Collection of
Performance Task and Rubrics: Middle
School Mathematics. Larchmont, NY: Eye on
Education, Inc.
[5] Grounlund, N.E. (1982). Constructing
Achievement Test. Third Edition. Englewood
Cliff: Prentice Hall.
[6] Gregory, K. (2001). Authentic Assessment for
Mathematical Achievement. Student Edition.
ACE Papers.
[7] Herliyani, E. dkk. (2009). Penilaian Hasil
Belajar untuk Guru SD. Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam
(PPPPTK IPA) untuk Program BERMUTU.
[8] Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
[9] Peraturan Mendikbud RI nomor 21 tahun 2016
tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan
Menengah.
[10] Peraturan Mendikbud RI nomor 22 tahun 2016
tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah
[11] Peraturan Mendikbud RI nomor 22 tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan.
[12] Ott, J. (1994). Alternative Assessment (in the
Mathematics Classroom). New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.
[13] Sinaga, B. (2008). Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran dan Asesmen Autentik. Jurusan
Matematika Universitas Negeri Medan.
[14] Suurtamm, C.A. (2004) "Developing Authentic
Assessment: Case Studies of Secondary School
Mathematics Teacher's Experiences." Canadian Journal of Science, Mathematics &
Technology Education. 4.4, pp. 497-513.
[15] Suwandi, S. (2010). Model Asesmen dalam
Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustaka.
[16] Widoyoko, S.E.P. (2012). Evaluasi Program
Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
139
Modul Sebagai Alat Bantu Siswa Sekolah Dasar dalam
Menyelesaikan Soal Olimpiade Matematika Berbahasa Inggris
Slamet Setiawan1*), Ahmad Munir2, Budi Priyo Prawoto3, Dian Rivia Himawati4 1 Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: slametsetiawan@unesa.ac.id
2 Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: ahmadmunir@unesa.ac.id 3 Jurusan Matematika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: budiprawoto@unesa.ac.id 4 Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: dianrivia@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: slametsetiawan@unesa.ac.id
ABSTRACT
Mathematical Olympiad in the last decade has been followed by various countries including Indonesia as a
way to get a prestige, ranging from primary school level to higher education. However, the results of Indonesian
children have not been satisfactory. In fact, elementary students are constrained by their English skills. Researcher
have developed a strategy for effective learning to teach mathematics olympiad in English at primary school level.
This paper is a continuation of the development of the strategy, namely the development of modules mathematics
olympiad elementary level corresponding to the learning strategies that have been developed previously. A module
that consists of 12 chapters, of which each chapter is composed of learning objectives, mathematics materials,
mathematical terms in English, examples of problems in which there are transformations of language and
settlement measures, exercises, and a glossary, has been developed. From the try out results, all students stated
that they gain knowledge of how to resolve an issue in terms of understanding the English language. Moreover,
90% of students feel that the vocabulary and grammar exercises in each chapter can be used to overcome their
language problems eventhough 10% of them said the opposite.
Key Words: Mathematics Olympiad, Module, Development
ABSTRAK
Olimpiade Matematika Internasional pada dekade terakhir ini marak diikuti oleh berbagai negara termasuk
Indonesia sebagai ajang pemerolehan label prestise, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.
Namun, hasil anak-anak Indonesia belum memuaskan. Faktanya, siswa SD terkendala oleh kemampuan bahasa
Inggrisnya. Peneliti telah mengembangkan strategi pembelajaran yang efektif guna membelajarkan soal
olimpiade matematika berbahasa inggris pada tingkat sekolah dasar. Makalah ini merupakan kelanjutan
pengembangan strategi tersebut yaitu pengembangan modul olimpiade matematika tingkat sekolah dasar yang
bersesuaian dengan strategi pembelajaran yang telah dikembangkan sebelumnya. Dengan menggunakan model
pengembangan Plomp, disusun suatu modul yang terdiri dari 12 bab yang masing-masing bab tersusun atas judul
unit, tujuan pembelajaran, materi matematika, istilah matematika dalam bahasa inggris, contoh soal berbahasa
inggris yang didalamnya terdapat transformasi bahasa dan langkah-langkah penyelesaian, latihan soal, dan
glosarium. Dari hasil uji coba, semua siswa menyatakan bahwa mereka mendapatkan pengetahuan bagaimana
mengatasi masalah pemahaman bahasa inggris dalam soal. Ada 10% siswa yang merasa latihan tentang
vocabulary dan grammar di masing-masing bab masih kurang dalam mengatasi masalah kebahasaan.
Kata Kunci: Olimpiade Matematika, Modul, Pengembangan
1. PENDAHULUAN
Keberhasilan soal olimpiade matematika
berbahasa Inggris tidak terlepas dari dua faktor, yaitu
kemampuan siswa memahami unsur-unsur bahasa dan
pemahaman soal matematika secara menyeluruh.
Penelitian terdahulu yang dilakukan pada sebuah
Klinik Pendidikan MIPA yang berkonsentrasi pada
pembelajaran Olimpiade MIPA mengenai pemahaman
terhadap unsur-unsur kebahasaan/linguistics elements
menunjukkan kebanyakan siswa tidak memiliki
pemahaman kebahasaan yang cukup untuk
menyelesaikan soal matematika berbahasa Inggris
(Setiawan :2015). Pemahaman kebahasaan yang
dimaksud adalah pemahaman terhadap unsur-unsur
kebahasaan di tingkat kata, frasa, dan kalimat. Ketika
siswa gagal memahami unsur-unsur kebahasaan pada
tingkat kata, frasa dan kalimat bisa dipastikan mereka
pasti akan gagal memahami soal matematika tersebut.
Selain bahasa ternyata ada faktor lain yang
mempengaruhi keberhasilan siswa mengerjakan soal
matematika, yaitu faktor memahami soal matematika
secara keseluruhan. Pada kasus ini adalah (1)
pemahaman siswa terhadap operasional matematika
atau bahasa teknis matematika, dan (2) transformasi
bahasa verbal menjadi bahasa operasional matematika.
Istilah teknis ini mutlak dipahami untuk mendapatkan
jawaban yang benar.
Faktor ketiga penentu keberhasilan siswa
menyelesaikan soal matematika berbahasa Inggris
adalah kepiawiaaan siswa mengubah bahasa verbal ke
dalam bahasa operasional matematika.
Setiawan dkk., (2015) telah mengembangkan
strategi pembelajaran yang efektif guna
140
membelajarkan soal olimpiade matematika berbahasa
inggris pada tingkat sekolah dasar. Strategi yang
dikembangkan adalah strategi pre atau whilst working.
Guna mendukung strategi tersebut, maka perlu
dikembangkannya modul pembelajaran untuk
mengatasi permasalahan kebahasaan maupun
pemahaman soal cerita matematika berbahasa Inggris
bagi siswa SD di Indonesia.
2. METODE PENELITIAN
Langkah-langkah yang peneliti lakukan mengikuti
tahapan pengembangan sebagai hasil modifikasi
model pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp
(1997), yang disebut model umum pemecahan
masalah pendidikan (The general model of educational
problem solving). Model ini terdiri dari lima tahap,
yakni: Investigasi Awal (Preliminary Investigation),
Desain (Design), Realisasi/Konstruksi
(Realization/Construction), Pengujian, Evaluasi, dan
Revisi (Test, Evaluation, and Revision), Implementasi
(Inplementation).
Kelima tahap tersebut digambarkan oleh Plomp
(1997: 5) sebagai berikut.
Gambar 1. Model Umum Pemecahan Masalah
Pendidikan (Sumber: Plomp, 1997: 5)
Peneliti hanya melakukan empat tahap
pengembangan yaitu sampai pada tahap uji coba,
evaluasi dan revisi. berikut adalah uraian tiah tahapan
yang dilakukan.
1. Investigasi awal
Pada tahap ini, peneliti melakukan investigasi
tentang segala hal yang berkaitan dengan modul
olimpiade matematika, dan lingkungan subjek
penelitian yaitu siswa dan instruktur (guru) KPM
(Klinik Pendidikan Matematika) di Surabaya,
menganalisis siswa, menganalisis kurikulum yang
berlaku, dan melakukan refleksi terhadap realitas
yang ada di sekolah dasar.
2. Desain
Pada tahap ini, peneliti melakukan beberapa
kegiatan, yaitu:
- Menetapkan teori-teori yang melandasi isi dan
konstruksi modul olimpiade matematika
berbahasa inggris untul level sekolah dasar,
serta mencari referensi yang relevan.
- Merancang garis besar isi modul olimpiade
matematika berbahasa inggris untuk level
sekolah dasar yang bersesuaian dengan strategi
pre atau whilst working.
3. Relisasi
Pada tahap ini disusun secara rinci modul
olimpiade matematika berbahasa inggris untuk
level sekolah dasar yang terdiri dari 12 unit yang
masing-masing unit memuat judul unit, tujuan
pembelajaran, materi matematika, istilah
matematika dalam bahasa inggris, contoh soal
berbahasa inggris yang didalamnya terdapat
transformasi bahasa dan langkah-langkah
penyelesaian, latihan soal, dan glosarium.
Dihasilkan prototype 1 modul olimpiade
matematika berbahasa inggris untuk level sekolah
dasar.
4. Uji coba, evaluasi, dan revisi
Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh
prototype final modul olimpiade matematika
berbahasa inggris untuk level sekolah dasar yang
memiliki kualitas baik dan dapat digunakan secara
umum. Kegiatan uji coba dilakukan pada subjek
penelitian yaitu siswa kelas 5 berbakat dan
instruktur di KPM Surabaya. Uji coba modul
dilaksanakan pada tanggal 8 Oktober 2016 pada
kelas berbakat A KPM di SMP Baitussalam
Surabaya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Telah dikembangkan modul olimiade mateamtika
berbahasa inggris untuk level sekolah dasar yang
terdiri dari 12 unit. Ke-12 unit tersebut masing-masing
adalah sebagai berikut.
Unit 1. bilangan bulat, bilangan rasional dan
representasinya (pecahan, desimal dan
persentase)
Unit 2. pengurutan bilangan, perpangkatan bilangan
Unit 3. pemfaktoran bilangan, FPB, KPK
Unit 4. rasio dan perbandingan
Unit 5. segi tiga (luas, keliling, kesebangunan dan
kekongruenan, garis-garis pada segitiga,
sudut pada segitiga)
Unit 6. segi empat: persegi, persegi panjang, jajaran
genjang, trapesium, layang-layang, belah
ketupat (luas, keliling)
Unit 7. Lingkaran (luas, keliling, juring, tembereng,
sudut pusat dan sudut keliling)
Unit 8. sudut dan ukurannya (garis tranversal)
Unit 9. Bangun ruang: kubus, balok, tabung, prisma
dan limas (luas dan volum)
Unit 10. Rata-rata, rata-rata gabungan
Unit 11. Waktu, operasi hitung satuan waktu
Unit 12. Jarak dan kecepatan
Pada uji coba diperoleh bahwa 100% siswa
menyatakan bahwa mereka mendapatkan pengetahuan
tentang bagaimana mengatasi masalah pemahaman
Preliminary Investigation
Design
Test, Evaluation, and Revision
Realization/Constructing
Imp
lemen
tatio
n
Implementation
141
bahasa Inggris dalam soal olimpiade matematika
berbahasa Inggris dengan skor 3,6 dari skor maksimal
4. Sedangkan guru memberikan skor 3,2 pada hal yang
sama. Skor 3,5 diberikan oleh siswa untuk pernyataan
bahwa mereka mendapatkan pengetahuan tentang
bagaimana mengatasi masalah kebahasaan dalam soal
olimpiade matematika berbahasa Inggris, sedangkan
guru memberikan skor 3.
Pada pernyataan “Secara umum “Language tasks”
di setiap bab membantu Anda belajar bahasa Inggris
melalui soal olimpiade matematika”, siswa
memberikan skor 3,1. Sedangkan guru, pada
pernyataan yang sama, memberikan skor 3.
Berikut adalah table hasil angket yang diberikan
kepada siswa dan guru. Ada sebanyak 10 siswa dan 5
guru yang mengisi angket tentang modul yang telah
disusun.
Tabel 1. Hasil Angket Siswa
Pernyataan Kriteria
Karakteristik 1 2 3 4
Anda dapat mempelajari modul ini secara mandiri
tanpa guru.
20% 80%
Anda dapat menyelesaikan semua
materi dalam modul ini
dalam waktu yang ditetapkan oleh KPM
20% 40% 40%
Anda mendapatkan
pengetahuan tentang bagaimana mengatasi
masalah kebahasaan
dalam soal olimpiade matematika berbahasa
Inggris
80% 20%
Anda mendapatkan
pengetahuan tentang
bagaimana mengatasi masalah pemahaman
bahasa Inggris dalam soal
olimpiade matematika berbahasa Inggris
100%
Anda termotivasi untuk
mengatasi sendiri masalah kebahasaan
setelah membaca modul
ini
20% 40% 40%
Anda termotivasi untuk
mengatasi masalah
sendiri masalah
pemahaman soal bahasa
Inggris setelah membaca
modul ini
20% 40% 40%
Isi 1 2 3 4
Setiap bab mempunyai
tujuan pembelajaran yang jelas
50% 50%
Materi modul sesuai isi
pelatihan olimpiade matematika di KPM
40% 60%
Materi antar bab
mempunyai keterkaitan yang jelas
30% 70%
Latihan tentang
vocabulary dan grammar di masing-masing bab
membantu Anda
mengatasi masalah
kebahasaan Anda
10% 80% 10%
Pernyataan Kriteria
Latihan tentang pemahaman soal bahasa
Inggris masing-masing
bab Anda memahami soal lain dalam olimpiade
matematika
20% 60% 20%
Penugasan di modul mendorong Anda untuk
mengaitkan isinya
dengan soal-soal olimpiade yang lain
30% 50% 20%
Secara umum “Language
tasks” di setiap bab membantu Anda belajar
bahasa Inggris melalui
soal olimpiade matematika
90% 10%
Bahasa 1 2 3 4
Penggunaan bahasa Inggris mudah dipahami
20% 30% 50%
Susunan kalimat sesuai
dengan kaidah bahasa dan kosakata sesuai
dengan tata bahasa
Bahasa Inggris yang baik dan benar
10% 40% 50%
Petunjuk dan perintah dalam modul mudah
untuk dipahami
20% 40% 40%
Ilustrasi 1 2 3 4 Ilustrasi (gambar, tabel,
dan denah) dalam modul
jelas dan teratur
10% 30% 6%
Ilustrasi dan materi saling
terkait
10% 20% 70%
Ilustrasi dalam modul
tidak bias dengan SARA
100%
Format 1 2 3 4
Modul ini menggunakan jenis dan ukuran huruf
yang sesuai
20% 30% 50%
Format batas (margin) dalam modul ini sudah
sesuai
10% 10% 50% 30%
Alinea dan spasi ditata rapi dan konsisten
20% 20% 60%
Sistem penomoran dalam
modul ini jelas dan teratur
10% 30% 60%
Penggunaan tanda-
tanda/icon yang berupa gambar, cetak tebal, cetak
miring, garis bawah
sudah sesuai
30% 70%
Perwajahan atau cover 1 2 3 4
Sampul (cover) memiliki
daya tarik dan menimbulkan keinginan
untuk dibaca
40% 40% 20%
Ilustrasi pada sampul memberikan gambaran
tentang isi modul
30% 60% 10%
Tabel 2. Hasil Angket Instruktur
Pernyataan Kriteria
Karakteristik 1 2 3 4
Anda dapat mempelajari
modul ini secara mandiri
tanpa guru.
50% 20% 30%
Anda dapat
menyelesaikan semua
materi dalam modul ini
dalam waktu yang
ditetapkan oleh KPM
20% 30% 40% 10%
142
Pernyataan Kriteria
Anda mendapatkan pengetahuan tentang
bagaimana mengatasi
masalah kebahasaan dalam soal olimpiade
matematika berbahasa
Inggris
50% 50%
Anda mendapatkan
pengetahuan tentang
bagaimana mengatasi masalah pemahaman
bahasa Inggris dalam soal
olimpiade matematika berbahasa Inggris
40% 60%
Anda termotivasi untuk
mengatasi sendiri masalah kebahasaan
setelah membaca modul
ini
30% 40% 30%
Anda termotivasi untuk
mengatasi masalah
sendiri masalah pemahaman soal bahasa
Inggris setelah membaca
modul ini
40% 40% 20%
Isi 1 2 3 4
Setiap bab mempunyai tujuan pembelajaran yang
jelas
80% 20%
Materi modul sesuai isi pelatihan olimpiade
matematika di KPM
40% 40% 20%
Materi antar bab mempunyai keterkaitan
yang jelas
20% 80%
Latihan tentang
vocabulary dan grammar
di masing-masing bab
membantu Anda mengatasi masalah
kebahasaan Anda
40% 40% 20%
Latihan tentang pemahaman soal bahasa
Inggris masing-masing
bab Anda memahami soal lain dalam olimpiade
matematika
20% 60% 20%
Penugasan di modul mendorong Anda untuk
mengaitkan isinya
dengan soal-soal olimpiade yang lain
80% 20%
Secara umum “Language
tasks” di setiap bab
membantu Anda belajar
bahasa Inggris melalui
soal olimpiade matematika
20% 60% 20%
Bahasa 1 2 3 4
Penggunaan bahasa Inggris mudah dipahami
20% 60% 20%
Susunan kalimat sesuai
dengan kaidah bahasa dan kosakata sesuai
dengan tata bahasa
Bahasa Inggris yang baik dan benar
100%
Petunjuk dan perintah
dalam modul mudah untuk dipahami
60% 40%
Ilustrasi 1 2 3 4
Ilustrasi (gambar, tabel, dan denah) dalam modul
jelas dan teratur
40% 60%
Pernyataan Kriteria
Ilustrasi dan materi saling terkait
40% 60%
Ilustrasi dalam modul
tidak bias dengan SARA
20% 40% 40%
Format 1 2 3 4
Modul ini menggunakan
jenis dan ukuran huruf yang sesuai
60% 40%
Format batas (margin)
dalam modul ini sudah sesuai
40% 40% 20%
Alinea dan spasi ditata
rapi dan konsisten
40% 60%
Sistem penomoran dalam
modul ini jelas dan
teratur
20% 60% 20%
Penggunaan tanda-
tanda/icon yang berupa
gambar, cetak tebal, cetak miring, garis bawah
sudah sesuai
40% 60%
Perwajahan atau cover 1 2 3 4 Sampul (cover) memiliki
daya tarik dan
menimbulkan keinginan untuk dibaca
40% 40% 20%
Ilustrasi pada sampul memberikan gambaran
tentang isi modul
20% 60% 20%
4. SIMPULAN
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah
modul olimpiade matematika berbahasa inggris untuk
level sekolah dasar yang bersesuaian dengan strategi
pembelajaran pre atau whilst working yang terdiri dari
12 unit dengan susunan pada masing-masing unit
adalah judul unit, tujuan pembelajaran, materi
matematika, istilah matematika dalam bahasa inggris,
contoh soal berbahasa inggris yang didalamnya
terdapat transformasi bahasa dan langkah-langkah
penyelesaian, latihan soal, dan glosarium.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Setiawan, Slamet dkk., (2015). Strategi Pembelajaran
Untuk Masalah Kebahasaaan Matematika Dalam
Membelajarkan Soal Olimpiade Matematika
Berbahasa Inggris. Seminar Nasional PPM Unesa.
[2]. Setiawan, Slamet dkk., (2015). Winning International
Mathematic Olympiad Through Creative English
Teachers: Applied Linguistic Perspective. ICELT
2015 University Putera Malaysia.
[3]. Plomp, Tjeerd, (1997). Educational and Training
System Design. Enschede. The Netherlands: University
of Twente. [4]. Abedi, Jamal, and Lord, Carol, (2001). The language
factor in mathematics tests. Applied Measurement in
Education Vol. 14, No. 3, 219-234.
[5]. Astawa, I Wayan Puja, (2007). Model Pembinaan
Olimpiade Matematika Sekolah Dasar Di Propinsi
Bali. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA
Vol. 40, No. 2, 270-287.
[6]. Dick, Walter & Carey, Lou, (2001). The Systematic
Design of Instruction. South Florida: Harper Collins.
[7]. Hasan Saputra, R. (2003, April 23). Klinik Pendidikan
Matematika. Retrieved April 10, 2014, from Klinik
Pendidikan Matematika web site: kpmseikhlasnya.com
143
[8]. Neville-Barton, Pip, and Barton, Bill. (2005). The
Relationship between English Language and
Mathematics Learning for Non-native Speakers.
Wellington, New Zealand: Teaching and Learning
Research Initiative.
144
145
Maket Multimedia Interaktif untuk Menanamkan Penguasaan Konsep
Lingkungan Sekolah Siswa Tunanetra
Sri Joeda
Jurusan Pendidikan Luar Biasa, FIP, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Email: sriandajani@unesa.ac.id
Alamat Korespondensi: Email: sriandajani@unesa.ac.id
ABSTRACT
Based on field studies, shows that blind students with visual barriers often have limited movement in its
environment. Vision capabilities are less influential on the activities of their daily lives. Development of interactive
multimedia mockups based orientation and mobility to instill the concept of mastery of the school environment to
seek help overcome the problems of blind students can study with a comfortable, safe and happy, courageous self-
sustainable and sustained hopes to be private successfully undergo daily activities. This development specifically
aims to produce prototype mockups interactive multimedia-based orientation and mobility to instill the concept of
mastery of the school environment on SLB blind students. The research design of this development model of
Educational Research and Development (R & D). As for the manufacture of mock interactive multimedia using
the model ASSURE and produce prototype mockups based interactive multimedia orientation and mobility to instill
mastery of the concept of neighborhood schools on blind students SLB provides the realization of product design,
yaitu1) guide to access the building and the road leading to various places the school environment with the concept
audio programs and writing braille, 2) form of mock multimedia contained directions, 3) the operation of pressing
the button corresponding to a desired destination and is available in a mock building school environment, and 4)
an assessment tool for the mastery of the concept of the environment with an authentic assessment as a success in
orientation and mobility. Then the mockup prototype products based interactive multimedia orientation and
mobility to instill the concept of environmental mastery school blind students produced can be used as an attempt
to introduce social learning environment with an easy, convenient, and fun.
Keywords: mockups interactive multimedia, environment concept mastery.
ABSTRAK
Berdasarkan studi lapangan, menunjukkan bahwa siswa tunanetra penyandang hambatan penglihatan
seringkali mengalami keterbatasan gerakan di dalam lingkungannya. Kemampuan penglihatan yang kurang
berpengaruh terhadap aktivitas kehidupannya sehari-hari. Pengembangan maket multimedia interaktif berbasis
orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah mengupayakan membantu
mengatasi permasalahan siswa tunanetra dapat belajar dengan nyaman, aman dan senang, berani berjalan
mandiri dan harapan berkelanjutan menjadi pribadi sukses menjalani aktivitas sehari-hari. Pengembangan ini
secara khusus bertujuan menghasilkan produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan
mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB. Penelitian
pengembangan ini menggunakan desain model Educational Research Development (R&D). Sedangkan untuk
pembuatan maket multimedia interaktif menggunakan model ASSURE dan menghasilkan produk prototipe maket
multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah
pada siswa tunanetra SLB berisi realisasi rancangan produk, yaitu1) panduan akses bangunan dan jalan menuju
ke berbagai tempat lingkungan sekolah dengan konsep program audio dan tulisan braille, 2) bentuk maket
multimedia yang terdapat petunjuk arah, 3) pengoperasian cara menekan tombol sesuai dengan tempat tujuan
yang dikehendaki dan tersedia dalam maket bangunan lingkungan sekolah, dan 4) alat penilaian untuk
penguasaan konsep lingkungan dengan penilaian autentik sebagai keberhasilan dalam orientasi dan mobilitas.
Kemudian produk prototipe maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan
penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa tunanetra yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagai upaya
mengenalkan lingkungan sosial belajar dengan mudah, nyaman, dan menyenangkan.
Kata kunci: maket multimedia interaktif, penguasaan konsep lingkungan.
1. PENDAHULUAN
Sebagai akibat ketunanetraan yang disandang
bagi siswa, maka pengenalan konsep lingkungan
terhadap dunia luar tidak diperoleh secara utuh.
Individu tunanetra dalam struktur fisiologisnya, dan
pengganti fungsi indera penglihatan dengan indera-
indera lain untuk mempersepsi lingkungannya.
Lowenfeld dalam Lydy Reidmiller, Lauri (2003),
menyatakan bahwa ketunanetraan pada seseorang
dapat mengakibatkan tiga bentuk keterbatasan, yaitu
(1) keterbatasan konsep dan keanekaragaman
pengalaman, (2) keterbatasan dalam berinteraksi
dengan lingkungan, (3) keterbatasan dalam orientasi
dan mobilitas. Dengan demikian siswa penyandang
tunanetra seringkali mengalami keterbatasan gerak di
146
dalam lingkungannya. Hal tersebut terjadi karena
siswa tunanetra tidak memiliki penguasaan konsep
yang baik terhadap lingkungan sekitar.
Keterkaitan dengan siswa tunanetra pada konsep
lingkungan yang minim, maka berdampak terhadap
kemampuan orientasi dan mobilitas yang dimiliki, dan
hal tersebut berpengaruh negatif terhadap pengenalan
lingkungan di sekitarnya. Bila siswa mengalami
hambatan dalam penguasaan konsep lingkungan, maka
secara otomatis orientasi dan mobilitasnya juga akan
terganggu. Kecenderungan yang terjadi pada siswa
tunanetra menjadi pasif dalam bergerak karena
khawatir akan tersesat atau celaka ketika berjalan di
lingkungan sekitar. Keterbatasan tersebut dialami oleh
setiap individu yang menyandang tunanetra. Di tempat
yang terlalu luas, seperti di lingkungan sekolah,
tunanetra terkadang merasa kebingungan bila berjalan
di lokasi yang jarang diaksesnya. Walaupun yang
bersangkutan mempunyai kemampuan orientasi dan
mobilitas yang dimiliki lumayan baik. Hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya aktivitas yang
dilakukan tunanetra di masyarakat secara mandiri.
Namun demikian, ketidakjelasan mengenali konsep
suatu tempat juga dapat membuat kemampuan
orientasi dan mobilitas yang dimiliki oleh tunanetra
tidak banyak membantu.
Orientasi dan mobilitas yang dikenal oleh siswa
tunanetra salah satunya lingkungan sekolah. Sekolah
untuk siswa tunanetra sebagai bagian lingkungan
terdekat kedua selain rumah di samping keluarga.
Selama 8 jam dalam sehari atau bila dipresentasi lebih
kurang 33 % waktu siswa tunanetra dihabiskan pada
lingkungan sekolah. Bahkan bagi siswa tunanetra yang
tinggal di asrama, sekolah justru dianggap sebagai
lingkungan paling utama bagi dirinya dalam
melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Di samping
itu dalam kegiatan belajar mengajar guru tidak hanya
memanfaatkan satu ruangan belaka untuk belajar.
Guru sering berpindah kelas atau ruangan saat proses
pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajarannya.
Bila siswa tunanetra tidak menguasai konsep
lingkungan sekolah dengan baik, maka tunanetra akan
selalu tertinggal dari temannya atau bahkan
kebingungan saat berjalan menuju tempat yang
dimaksudkan. Oleh karena itu, pengenalan terhadap
lingkungan sekolah merupakan hal yang penting bagi
siswa tunanetra. Hal tersebut sesuai pengembangan
kurikulum pelajaran Orientasi dan Mobilitas yang
salah satu kompetensi dasarnya menyebutkan bahwa
siswa tunanetra mampu berjalan mandiri di ruangan
outdoor maupun indoor.
Dalam mengenalkan lingkungan sekolah kepada
siswa tunanetra guru dapat menggunakan
pembelajaran berbasis lingkungan (environment
learning). Dengan memanfaatkan lingkungan sekolah,
siswa diajak secara langsung memperoleh pemahaman
konsep dan pengalaman yang penting akan benda atau
objek di luar dirinya. Pembelajaran dengan
memanfaatkan lingkungan di luar ruangan kelas
(outdoor) dirasa sesuai bila diterapkan dalam
pembelajaran orientasi dan mobilitas. Dalam
pembelajaran orientasi dan mobilitas, siswa banyak
dilatih melakukan orientasi terhadap suatu objek atau
benda, dan itu dapat dilakukannya pada lingkungan
luar kelas. Melakukan kegiatan belajar mengajar di
luar kelas dapat membentuk siswa lebih mandiri untuk
beraktivitas. Pelatihan mobilitas juga sangat baik bila
dilakukan di luar kelas. Di lingkungan outdoor siswa
tunanetra dilatih untuk menemukan landmark/ciri
medan dan clue atau tanda-tanda yang dapat dijadikan
arahan dalam berjalan.
Temuan lapangan tersebut, didukung dari hasil
wawancara bulan Januari 2015 dengan beberapa siswa
tunanetra mengenai penguasaan konsep terhadap
lingkungan sekolah, menunjukkan bahwa siswa
tunanetra masih bingung ketika berjalan di lingkungan
sekolah yang jarang mereka datangi. Siswa tunanetra
lebih mengenal pada lingkungan di sekitar ruangan
kelasnya. Kelemahan lain pada siswa tunanetra kurang
memahami kondisi semua posisi bangunan dan akses
jalan yang ada di lingkungan sekolah.
Kompleksitas permasalahan siswa tunanetra
dalam penguasaan konsep lingkungan yang rendah
dalam orientasi dan mobilitas mengenai lingkungan
sekolah yang terlalu luas sehingga menyulitkan untuk
memahami kondisi sekolah. Di samping itu informasi
yang diperoleh siswa mengenai lingkungan sekolah
hanya bersifat verbalistis berupa perkataan dari guru
atau teman lainnya. Informasi yang didapat tersebut
bisa jadi dipahami salah oleh siswa tunanetra yang
bersangkutan. Dasar fakta yang ditemukan tersebut
siswa tunanetra mengalami permasalahan dalam
memahami suatu objek yang terlalu luas seperti
lingkungan sekolah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua
cara yang harus dilakukan seorang guru. Langkah
pertama yaitu dengan memberikan bekal keterampilan
orientasi dan mobilitas kepada siswa tunanetra.
Dengan keterampilan orientasi dan mobilitas dapat
dijadikan pegangan bagi siswa tunanetra untuk
melakukan berbagai aktivitas di dalam lingkungan
sekolah. Sedangkan langkah kedua yaitu dengan
mengembangkan sebuah media pembelajaran yang
dapat memberikan gambaran tentang lingkungan
sekolah kepada siswa tunanetra. Pengembangan maket
multimedia yang dikemas berbasis teknologi
pembelajaran. Teknologi pembelajaran (instructional
technology) dalam desain, pengembangan,
pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi tentang
proses dan sumber untuk belajar [27]. Teknologi
pembelajaran berupaya untuk merancang,
mengembangkan, dan memanfaatkan aneka sumber
belajar sehingga memudahkan atau memfasilitasi
seseorang untuk belajar di mana saja, kapan saja, oleh
siapa saja, dan dengan cara sumber belajar apa saja
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.
Untuk memilih sebuah media yang tepat bagi
siswa tunanetra, maka terlebih dahulu perlu
memperhatikan karakteristik siswa didik. Tunanetra
merupakan individu yang lebih banyak menggunakan
147
rabaan dan pendengarannya dalam melakukan
pengamatan. Jadi media yang dihadirkan juga harus
mampu dioptimalkan tunanetra melalui rabaan dan
pendengarannya. Selain itu media yang dipilih juga
harus bisa dikontrol oleh siswa secara langsung serta
mampu menciptakan interaksi antara tunanetra dengan
objek dan pebelajar lainnya. Oleh karena itu media
yang tepat dihadirkan untuk siswa tunanetra guna
menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah
yaitu berupa multimedia interaktif. Multimedia
interaktif telah banyak digunakan oleh pendidik untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa, dan hasilnya
sangat positif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Nandi (2012)[20] tentang penggunaan multimedia
interaktif dalam pembelajaran geografi di
persekolahan. Hasil yang diperoleh siswa lebih
termotivasi untuk belajar Geografi sehingga hasil
prestasi belajarnya juga meningkat.
Menurut Heinich, Molenda, Russell dan
Smaldino (1999: 229)[12] mengatakan multimedia
merujuk kepada berbagai kombinasi dari dua atau
lebih format media yang terintegrasi ke dalam bentuk
informasi atau program instruksi. Multimedia
interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi
dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh
pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang
dikehendaki untuk proses selanjutnya. Karakteristik
terpenting dari multimedia interaktif adalah siswa
tidak hanya memperhatikan media atau objek saja,
melainkan juga dituntut untuk berinteraksi selama
mengikuti pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, mengembangkan
maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan
mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep
lingkungan sekolah pada siswa tunanetra. Amran,
(1997: 106), menyebutkan bahwa maket adalah bentuk
tiruan tentang sesuatu dalam ukuran kecil. Media
maket memberikan impresi tiga dimensi dari obyek
nyata baik yang hidup maupun tidak. Media maket
atau model sangat membantu mengkomunikasikan
hakikat dari berbagai benda, baik yang terlalu besar,
terlalu luas, terlalu jauh, dan lain-lain.
Keterkaitan maket multimedia interaktif ini
dirancang dengan program audio untuk memberikan
panduan kepada siswa tunanetra menuju ke berbagai
tempat yang ada di lingkungan sekolah. Selanjutnya,
desain maket multimedia interaktif ini dilengkapi
tulisan huruf Braille untuk setiap bangunannya,
sehingga memudahkan siswa tunanetra mengenali
setiap bangunan yang akan dituju pada tempat sekolah
luar biasa. Kelengkapan program audio yang didengar
siswa tunanetra ini sebagai panduan menuju ke
berbagai tempat yang tersedia pada lingkungan
sekolah, dan akan terekam serta diingat dalam otak
siswa untuk dijadikan pengetahuan. Pemahaman
pengetahuan tersebut akan dikonfirmasi oleh siswa
tunanetra melalui rabaan, salah satunya menggunakan
maket multimedia interaktif yang dilengkapi dengan
tulisan huruf braille.
Pengorientasian maket multimedia interaktif
melalui rabaan siswa tunanetra dapat membayangkan
posisi dari masing-masing tempat bangunan tiruan
yang ada di sekolah, sehingga maket tersebut yang
telah diraba sebagai sebuah pemahaman konsep.
Dampak potensi siswa tunanetra setelah memahami
konsep lingkungan sekolah melalui produk maket
multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas,
maka mereka dapat performance secara nyata di
lingkungan sekolahnya. Maket multimedia interaktif
ini sebagai alternatif menanamkan konsep lingkungan
sekolah yang dapat dirancang pada lingkungan
(outdoor) yang lebih luas, sehingga siswa tunanetra
dapat dengan mudah memahami kondisi lingkungan
sosialnya. Penegasan Ungar, Blades, dan Spencer,
(1999)[28], menunjukkan bahwa untuk memberikan
penguasaan konsep bagi tunanetra di antaranya
penggunaan peta timbul dan maket dalam
menginformasikan pemahaman belajar akan lebih baik
hasilnya dengan setting lingkungan (outdor) yang
relatif asing bagi tunanetra.
Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkan
bahwa, siswa tunanetra mengalami kesulitan dalam
penguasaan konsep lingkungan sekolah, sehingga
berdampak terhadap lemahnya kemampuan orientasi
dan mobilitasnya. Lingkungan sekolah yang terlalu
besar dan luas sangat susah diorientasi oleh siswa
tunanetra secara keseluruhan. Kompleksitas akses
jalan dan posisi bangunan orientasi dipersepsikan
salah oleh siswa tunanetra, sehingga ketika
bermobilitas sering terhambat bahkan salah dalam
menuju tempat yang dikehendaki.
Permasalahan tersebut muncul karena siswa
tunanetra kurang memiliki gambaran/pemetaan yang
sempurna terhadap lingkungan sekolah. Oleh karena
itu pengembangan maket multimedia interaktif dapat
mewakili keberadaan lingkungan sekolah yang dapat
diamati melalui perabaan siswa tunanetra. Selanjutnya
maket multimedia interaktif berbasis orientasi dan
mobilitas sebagai alternatif yang dapat menanamkan
penguasaan konsep mengenai lingkungan sekolah
pada siswa tunanetra. Penggunaan media maket di
Indonesia telah banyak digunakan sebagai media
pembelajaran dengan hasil sangat memuaskan.
Perwujudan hasil menggunakan media maket ini
tidak hanya mengkongkritkan gambaran suatu bentuk
atau lingkungan yang terlalu besar dan luas, akan
tetapi berpotensi memotivasi dan menyenangkan
semangat belajar bagi siswa. Oleh karena itu media
maket yang sudah ada sekarang ini memerlukan
pengembangan menjadi sebuah multimedia interaktif
yang lebih menarik dan memudahkan belajar
memahami konsep bagi siswa tunanetra. Pengupayaan
ini dengan mewujudkan pengembangan sebuah
produk maket multimedia interaktif berbasis orientasi
dan mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep
lingkungan sekolah pada siswa tunanetra. Berdasarkan
uraian tersebut, maka permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan bagaimanakah pengembangan
hasil produk prototipe maket multimedia interaktif
148
berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan
penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa
tunanetra SLB?
1.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian pengembangan ini adalah
menghasilkan produk prototipe maket multimedia
interaktif berbasis orientasi dan mobilitas untuk
menanamkan penguasaan konsep lingkungan sekolah
pada siswa tunanetra SLB.
2. METODE PENELITIAN PENGEMBANGAN
2.1 Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian pengembangan dengan
pendekatan research and development (R&D)
menggunakan model dari Borg and Gall
(1983)[29]. Dalam penelitian ini menghasilkan
produk prototipe maket multimedia interaktif
berbasis orientasi dan mobilitas untuk
menanamkan penguasaan konsep lingkungan
sekolah pada siswa tunanetra SLB. Dalam
pengembangan maket multimedia interaktif
berbasis orientasi dan mobilitas untuk
menanamkan penguasaan konsep lingkungan
sekolah pada yang menjadi subyek penelitian
adalah siswa tunanetra SLB.
2.2 Model Penelitian Dan Pengembangan
Pengembangan maket multimedia
interaktif ini menggunakan desain model ASSURE
yang dikembangkan oleh Smaldino, Sharon E &
Russell, James D (2005)[26], menegaskan bahwa
produk pengembangan tidak saja berupa media
pembelajaran, tetapi dapat berupa prosedur,
instrumen dan proses pembelajaran. Kemudian
model ASSURE sebagai tahapan awal dalam
penelitian menghasilkan produk berupa maket
multimedia interaktif berbasis orientasi dan
mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep
lingkungan sekolah pada siswa tunanetra.
Pengembangan maket multimedia interaktif
berbasis orientasi dan mobilitas untuk
menanamkan penguasaan konsep lingkungan
sekolah pada siswa tunanetra SLB ini
menggunakan model pengembangan Borg and
Gall (1983)[29]. Penyebaran dan implementasi ini
dilakukan apabila produk yang dikembangkan
telah memenuhi standar kelayakan dan produk
akhir yang memiliki hasil baik selama pengujian.
Secara prosedur penelitian dengan model Borg
and Gall (1983)[29].
Berdasarkan gambar di atas bawah maket
multimedia interaktif berbasis orientasi mobilitas
untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan
sekolah pada siswa tunanetra yang dikembangkan
dalam penelitian ini pada tiga tahapan pembuatan
produk prototipe. Artinya melalui tiga tahapan
penelitian pengembangan ini telah menghasilkan
produk akhir prototipe maket multimedia interaktif
berbasis orientasi mobilitas untuk menanamkan
penguasaan konsep lingkungan sekolah siswa
tunanetra sekolah luar biasa.
Jenis data pada pengembangan ini berupa data
deskriptif kualitatif. Data kualitatif berupa (1)
informasi lapangan mengenai program pembelajaran
orientasi dan mobilitas yang diperoleh melalui
wawancara dengan guru SLB-A dan Kepala Sekolah,
(2) informasi mengenai program pembelajaran
orientasi dan mobilitas yang diperoleh melalui
wawancara dengan pihak peserta didik tunanetra, (3)
kajian referensi dari artikel dan buku tentang
pengembangan maket multimedia interaktif berbasis
orientasi dan mobilitas. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi
dan performance hasil pembuatan produk prototipe.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Pengembangan
3.1.1 Hasil Pengembangan Maket Multimedia
Interaktif Berbasis Orientasi Dan Mobilitas
Untuk Menanamkan Penguasaan Konsep
Lingkungan Sekolah Bagi Tunanetra
Dalam analisis Kebutuhan pembelajaran Orientasi
dan Mobilitas untuk menanamkan penguasaan konsep
lingkungan sekolah bagi tunanetra ini difokuskan pada
pengembangan kurikulum pembelajaran Orientasi dan
Mobilitas. Salah satu kompetensi dasar dalam
pembelajaran Orientasi dan Mobilitas menyebutkan
bahwa siswa tunanetra mampu berjalan mandiri di
ruangan outdoor maupun indoor. Dalam mengenalkan
lingkungan sekolah kepada siswa tunanetra guru dapat
menggunakan pembelajaran berbasis lingkungan
(environment learning). Dengan memanfaatkan
lingkungan sekolah, siswa diajak secara langsung
memperoleh pemahaman konsep dan pengalaman
yang penting akan benda atau objek di luar dirinya.
Pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan di
luar ruangan kelas (outdoor) dirasa sesuai bila
diterapkan dalam pembelajaran orientasi dan
mobilitas. Dalam pembelajaran orientasi dan
mobilitas, siswa banyak dilatih melakukan orientasi
terhadap suatu objek atau benda, dan itu dapat
dilakukannya pada lingkungan luar kelas. Melakukan
kegiatan belajar mengajar di luar kelas dapat
membentuk siswa lebih mandiri untuk beraktivitas.
Pelatihan mobilitas juga sangat baik bila dilakukan di
luar kelas. Di lingkungan outdoor siswa tunanetra
dilatih untuk menemukan landmark/ciri medan dan
clue atau tanda-tanda yang dapat dijadikan arahan
dalam berjalan.
Untuk mencapai tujuan dari pengembangan maket
multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas
untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan
sekolah bagi tunanetra diperlukan langkah-langkah
sebagai berikut.
1. Asesmen
Dalam pengembangan orientasi dan mobilitas
asesmen adalah metode yang sistimatis untuk
mengetahui tentang:
149
a. Apa yang sudah dikuasai
b. Apa yang belum dikuasai
c. Apa yang dibutuhkan
Materi pengembangan yang sudah diketahui dan
materi yang belum diketahui, tapi tidak dibutuhkan
maka materi tersebut tidak perlu diprogramkan dan
materi yang belum dikuasai dan dibutuhkan itu saja
yang perlu diprogramkan untuk dilatihkan pada
tunanetra.
2. Menetapkan prioritas materi latihan
Berdasarkan hasil asesmen, materi yang belum
diketahui mungkin lebih dari satu maka guru harus
memilih materi yang mana yang perlu lebih dulu untuk
dilatihkan.
3. Menetapkan tujuan latihan
Setelah ditetapkannya materi yang dilatihkan,
maka guru menyusun dan menetapkan tujuan yang
akan dicapai. Tujuan harus memiliki unsur:
A= Audiens maksudnya siapa yang akan mencapai
tujuan
B= Behavior adalah perilaku yang harus ditunjukkan
C= Condition pada saat kondisi apa perilaku itu
ditampilkan/ditunjukkan oleh (audiens)
D=Degree (Derajat) sebagai kriteria bahwa tingkah
laku yang ditampilkan (performance behavior)
menerangkan telah berhasil menguasai pengetahuan
dan keterampilan dan diajarkan.
Berdasarkan tujuan di atas dalam mengembangkan
produk maket multimedia berbasis orientasi dan
mobilitas wacananya pada area lingkungan sekolah
dengan kondisi berwujud bangunan dan ruangan yang
digunakan sebagai aktivitas pembelajaran. Berikut ini
gambaran ruangan-ruangan dan area yang dijadikan
aktivitas lingkungan sekolah sebagai rancangan arah
orientasi dan mobilitas untuk pembuatan maket
multimedia interaktif.
a. Ruang kelas
b. Ruang Guru
c. Ruang Kepala sekolah
d. Ruang Kesenian.
e. Laboratorium Komputer.
f. Ruang Perpustakaan.
g. Mushola.
h. Gedung Serba Guna.
i. Area Lapangan untuk pembelajaran olahraga.
j. Asrama putri
k. Asrama putra
l. Kamar Kecil atau toilet
m. Halaman sekolah
n. Gudang
o. Rumah penjaga sekolah
Pengembangan maket multimedia interaktif yang
digunakan untuk membimbing penyandang tunanetra
dalam berorientasi dan mobilitas sebagai upaya
menanamkan konsep lingkungan sekolah melalui
tahapan berikut ini (Borg and Gall, 1983)[29].
Gambar 1. Landscape Maket Lingkungan Sekolah
Gambar 2. Perangkat Program Audio Dalam Tempat
Bangunan Maket
Dalam mengoperasikan perangkat program audio
dalam maket multimedia interaktif ini tunanetra
menekan tombol yang telah disediakan dalam tempat
bangunan. Di samping itu maket multimedia interaktif
dilengkapi dengan teks braille yang dapat
mempermudah dan membantu penyandang tunanetra
mengenali setiap gedung yang akan dituju.
Di bawah ini gambaran akhir produk prototipe
maket multimedia interaktif untuk menanamkan
konsep lingkungan sekolah bagi siswa tunanetra
sekolah luar biasa.
150
Gambar. 3. Maket Multimedia Interaktif Berbasis
Orientasi dan Mobilitas
Produk yang dihasilkan dari penelitian
pengembangan ini adalah produk prototipe maket
multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas
sebagai upaya menanamkan penguasaan konsep
lingkungan sekolah pada siswa tunanetra SLB. Maket
multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas
ini dikembangkan untuk memberikan kebermanfaatan
bagi siswa tunanetra untuk mengenalkan lingkungan
sekolah luar biasa. Maket multimedia interaktif ini
dikonsep dengan program audio yang berisi panduan
akses jalan ke berbagai tempat yang ada di lingkungan
sekolah. Dalam memahami masing-masing bangunan
pada maket diberikan dengan menggunakan
keterangan yang berwujud tulisan huruf braille ini
berfungsi sebagai perantara untuk memberikan
gambaran tentang lingkungan sekolah.
Adapun produk maket multimedia interaktif
berbasis orientasi dan mobilitas untuk menanamkan
penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa
tunanetra, sebagai berikut:
1. Panduan akses bangunan dan jalan menuju
keberbagai tempat lingkungan sekolah dengan
konsep program audio dan tulisan braille.
2. Bentuk maket multimedia yang terdapat petunjuk
arah.
3. Pengoperasian dengan cara menekan tuts sesuai
dengan tempat tujuan yang dikehendaki dan
tersedia pada maket bangunan lingkungan
sekolah.
4. Alat penilaian untuk penguasaan konsep
lingkungan dengan penilaian autentik sebagai
keberhasilan dalam orientasi dan mobilitas
3.2 Pembahasan
Sudjana dan Rifai (2005)[30] mengemukakan
bahwa maket atau model adalah tiruan tiga dimensi
dari beberapa benda nyata yang terlalu besar, terlalu
jauh, terlalu kecil, terlalu mahal, terlalu jarang, atau
terlalu ruwet untuk dibawa ke dalam kelas dan
dipelajari peserta didik dalam wujud aslinya. Dari
pandangan tersebut dapat dipahami bahwa model
(maket) sebagai bahan ajar tiga dimensi adalah tiruan
benda nyata untuk menjembatani berbagai kesulitan
yang bisa ditemui, apabila menghadirkan objek atau
benda tersebut langsung ke dalam kelas. Dengan
demikian, nuansa asli dari benda tersebut masih bisa
dirasakan oleh peserta didik tanpa mengurangi struktur
aslinya, sehingga pembelajaran menjadi lebih
bermakna.Konsep maket ini sebagai benda tiruan tiga
dimensi yang dibuat guna mewakili kehadiran benda
asli yang terlalu besar, terlalu kecil, terlalu jauh, dan
terlalu luas, sehingga dapat diamati secara langsung
oleh siswa tunanetra melalui rabaannya.
Sedangkan multimedia dipertegas oleh Niken
dan Dany (2010;11)[4] mengutip definisi multimedia
dalam Turban, dkk (2002), multimedia adalah
kombinasi dari paling sedikit dua media input atau
output. Media ini dapat berupa audio (suara, musik),
animasi, video, teks, grafik dan gambar. Selanjutnya
pengertian lain yang dikemukakan oleh Zeembry
(2008)[31],menjelaskan bahwa Multimedia (sebagai
kata sifat) adalah media elektronik untuk menyimpan
dan menampilkan data-data multimedia. Berdasarkan
definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa multimedia adalah perpaduan dari dua media
yang dapat berupa audio (suara, musik), animasi,
video, teks, grafik ataupun gambar yang dimanfaatkan
sebagai penyampai pesan kepada publik.
Multimedia interaktif sebagai suatu
multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol
yang dapat dioperasikan oleh tunanetra, dengan cara
memilih apa yang dikehendaki untuk proses mobilitas
selanjutnya. Multimedia interaktif menggabungkan
dan mensinergikan semua media yang terdiri dari: a)
teks; b) grafik; c) audio; dan d) interaktivitas (Bonk,
Curtis J and Graham, Charles R. 2006)[6]. Pemanfaatan
teknologi multimedia pembelajaran interaktif yaitu
sebagai salah satu sarana pembelajaran bagi siswa
tunanetra, mempunyai beberapa kekuatan dasar, yang
dikemukakan oleh Phillips dalam (Bonk, Curtis J and
Graham, Charles R. 2006)[6], yaitu.
a. Mixed media
Dengan menggunakan teknologi
multimedia, berbagai media konvensional yang
ada dapat diintegrasikan ke dalam satu jenis media
interaktif, seperti media teks (papan tulis), audio,
video, yang jika dipisahkan dapat membutuhkan
lebih banyak media.
b. User control
Teknologi multimedia memungkinkan
pengguna untuk menelusuri materi ajar, sesuai
dengan kemampuan dan latar belakang
pengetahuan yang dimilikinya.
c. Simulasi dan visualisasi
Simulasi dan visualisasi merupakan fungsi
khusus yang dimiliki oleh multimedia interaktif,
sehingga dengan teknologi animasi, simulasi dan
visualisasi komputer, pengguna akan
mendapatkan infromasi yang lebih nyata dari
informasi yang bersifat abstrak. Dalam beberapa
kurikulum dibutuhkan pemahaman yang
kompleks, abstrak, proses dinamis dan
mikroskopis, sehingga dengan simulasi dan
visualisasi peserta didik akan dapat
151
mengembangkan mental model dalam aspek
kognitifnya. Tapi bagi siswa tunanetra fungsi
simulasi lebih ditekankan karena siswa dapat
mencoba secara langsung dalam pemanfaatan
media.
d. Gaya belajar yang berbeda
Multimedia interaktif mempunyai potensi
untuk mengakomodasi pengguna dengan gaya
belajar yang berbeda-beda. Nandi (2012)[20],
mengemukan enam kriteria untuk menilai
multimedia interaktif, yaitu: (1) kemudahan
navigasi, (2) kandungan kognisi, (3) presentasi
informasi, (4) integrasi media, (5) artistik dan
estetika, dan (6) mempunyai fungsi secara
keseluruhan.
Kompleksitas permasalahan siswa tunanetra
dalam penguasaan konsep lingkungan yang rendah
dalam orientasi dan mobilitas mengenai lingkungan
sekolah yang terlalu luas sehingga menyulitkan untuk
memahami kondisi sekolah. Di samping itu informasi
yang diperoleh siswa mengenai lingkungan sekolah
hanya bersifat verbalistis berupa perkataan dari guru
atau teman lainnya. Informasi yang didapat tersebut
bisa jadi dipahami salah oleh siswa tunanetra yang
bersangkutan. Dasar fakta yang ditemukan tersebut
siswa tunanetra mengalami permasalahan dalam
memahami suatu objek yang terlalu luas seperti
lingkungan sekolah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada
dua cara yang harus dilakukan seorang guru. Langkah
pertama yaitu dengan memberikan bekal keterampilan
orientasi dan mobilitas kepada siswa tunanetra.
Dengan keterampilan orientasi dan mobilitas dapat
dijadikan pegangan bagi siswa tunanetra untuk
melakukan berbagai aktivitas di dalam lingkungan
sekolah. Sedangkan langkah kedua yaitu dengan
mengembangkan sebuah media pembelajaran yang
dapat memberikan gambaran tentang lingkungan
sekolah kepada siswa tunanetra. Pengembangan maket
multimedia yang dikemas berbasis teknologi
pembelajaran. Teknologi pembelajaran (instructional
technology) dalam desain, pengembangan,
pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi tentang
proses dan sumber untuk belajar [27]. Teknologi
pembelajaran berupaya untuk merancang,
mengembangkan, dan memanfaatkan aneka sumber
belajar sehingga memudahkan atau memfasilitasi
seseorang untuk belajar di mana saja, kapan saja, oleh
siapa saja, dan dengan cara sumber belajar apa saja
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.
Lahav, O and Mioduser, D. (2002)[17],
menyebutkan orientasi adalah kemampuan untuk
memahami hubungan antara satu objek dengan objek
yang lain; penciptaan dari suatu pola mental dari
lingkungan. Sedangkan mobilitas yang dimaksud
adalah mencakup perolehan keterampilan dan teknik
yang menjadikan orang-orang yang memiliki
hambatan penglihatan dapat bepergian lebih mudah di
lingkungannya. Pelatihan mobilitas mencakup
perolehan keterampilan dan teknik yang menjadikan
orang-orang yang memiliki hambatan penglihatan
dapat bepergian lebih mudah di lingkungannya. Dalam
orientasi dan mobilitas, konsep arah dan jarak
merupakan dua hal penting yang harus dimengerti oleh
siswa tunanetra. Karena dengan memahami konsep
arah dan jarak, maka siswa tunanetra akan dapat
bermobilitas secara tepat dan efektif. Tepat dalam arti
siswa dapat mencapai tempat tujuan sesuai dengan
yang dikehendakinya. Sedangkan efektif artinya siswa
dapat sampai ke tempat tujuan yang diinginkan dengan
selamat serta dengan waktu yang singkat.
Pemahaman konsep mengenai arah mata
angin sangat berguna untuk membangun kemandirian
siswa tunanetra dalam melakukan orientasi dan
mobilitas di lingkungan sekolah. Konsep ini
memberikan dan menanamkan pemahaman kepada
siswa tentang delapan penjuru arah mata angin dan
cara menentukan sudut yang dibentuk oleh arah mata
angin tertentu. Arah mata angin bagi tunanetra dirasa
sangat penting untuk diketahui dan dipahami melalui
praktik langsung. Namun untuk siswa tunanetra yang
masih tergolong anak-anak, konsep kiri, kanan, depan,
dan belakang merupakan konsep arah yang perlu
dikenalkan terlebih dahulu.
Konsep jarak juga harus dipahami dengan
baik oleh siswa tunanetra. Konsep jarak ini penting
dipahami agar siswa mampu memperkirakan jarak
yang akan dia tempuh untuk menuju ke suatu tempat
yang dikehendakinya. Dalam berorientasi dan
mobilitas ukuran jarak pada umumnya
mempergunakan yaitu meter, depa, dan langkah kaki.
Akan tetapi, untuk memudahkan siswa tunanetra
terhadap konsep jarak, maka cukup menggunakan
patokan langkah kaki.
Namun, di samping konsep arah dan jarak,
ada satu hal penting lagi yang harus dipahami oleh
siswa tunanetra ketika ingin mengenal lingkungan
sekolah dengan baik. Hal itu adalah penguasaan
konsep mengenai lingkungan sekolah yang terbayang
dalam pemikiran siswa tunanetra. Untuk menanamkan
penguasaan konsep dalam pemikiran siswa tunanetra
tidaklah mudah. Bagi siswa yang mengalami
ketunanetraan sejak lahir, mereka miskin akan konsep
sehingga sulit untuk menggambarkan suatu objek.
Apalagi bila objek yang digambarkan tersebut hanya
diinformasikan melalui bahasa verbal. Begitu pula
pada siswa yang mengalami ketunanetraan pasca
melihat, konsep yang mereka miliki belum dapat
mendukung penciptaan pemetaan kognisi mereka
terhadap obyek lingkungan yang terlalu luas. Oleh
karena itu perlu adanya sebuah media yang berbentuk
konkret untuk penggambaran lingkungan sekolah yang
dapat diamati secara langsung oleh siswa tunanetra
melalui pendengaran dan rabaannya.
4. SIMPULAN
Di bawah ini kesimpulan yang menunjukkan
pengembangan maket multimedia interaktif berbasis
orientasi dan mobilitas untuk menanamkan
152
penguasaan konsep lingkungan sekolah pada siswa
tunanetra, yaitu menghasilkan produk prototipe maket
multimedia interaktif berbasis orientasi dan mobilitas
untuk menanamkan penguasaan konsep lingkungan
sekolah pada siswa tunanetra yang terdiri dari. a)
panduan akses bangunan dan jalan menuju keberbagai
tempat lingkungan sekolah dengan konsep program
audio dan tulisan braille, b) bentuk maket multimedia
yang terdapat petunjuk arah, c) pengoperasian dengan
cara menekan tuts sesuai dengan tempat tujuan yang
dikehendaki dan tersedia pada maket bangunan
lingkungan sekolah, dan d) alat penilaian untuk
penguasaan konsep lingkungan dengan penilaian
autentik sebagai keberhasilan dalam orientasi dan
mobilitas
5. REFERENSI [1]. Adri, Muhammad. (2007). Strategi Pengembangan
Multimedia Instructional Design. http:// ilmu
komputer.com. diakses pada tanggal 16 oktober 2014.
[2]. Aldridge, J; Goldman, R. (2002). Current Issues and
Trends in Education. Boston : A. Pearson Education
Company.
[3]. Anderson, Ronald. (1994). Pemilihan dan
Pengembangan Media untuk Pembelajaran.
Diterjemahkan oleh Yusuf Hadi Miarso, dkk dari buku
aslinya: Selecting And Developing Media for
Instruction. Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada.
[4]. Ariyani, Niken, dkk. (2010). Pembelajaran
Multimedia di Sekolah: Pedoman Pembelajaran
Inspiratif. Konstruktif dan Prospektif. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
[5]. Bahri (2008). Pengertian Konsep Menurut Para
Ahli. http://Satria 2008,diakses pada tanggal 15
oktober 2014.
[6]. Bonk, Curtis J and Graham, Charles R. (2006). The
Handbook Of Blended Learning. San Fransisco:
Published by Pfeiffer, by John Wiley & Sons, Inc.
[7]. Borg, W.R. and Gall, M.D. (1983). Educational
Research: An Introduction. London: Longman, Inc.
[8]. Cole, P.& Lorna, Chan. 1990. Methods and
Strategies for Special Education. Sydney : Prentice
Hall Ltd.
[9]. Effendi (2009). “Definisi Pemahaman Konsep”.
http://www.usershare.net.diakses tanggal 18 Oktober
2014
[10]. Hadi, Purwaka. (2005). Kemandirian Tunanetra.
Jakarta: Depdiknas.
[11]. Heinich. Molenda. Russel. (1982). Instuctional
Media And The New Technologies Of
Instruction. Printed I the United State Of America.
[12]. Heinich, Molenda, Russell dan Smaldino. (1999).
Instructional Technology and Media for Learning.
Ohio, Columbus: by Pearson Education, Inc.
[13]. Asrulbakri. (2010). Langkah-langkah Pembelajaran
Multimedia Interaktif. MEDTEK Jurnal. Diakses
tanggal 18 Oktober 2014
[14]. Husamah, (2014). Pembelajaran Bauran (Blended
Learning). Terampil Memadukan Keunggulan
Pembelajaran Face To Face, E-Learning Offline-
Online dan Mobile Learning. Penerbit Prestasi
Pustakaraya, Jakarta Indonesia.
[15]. Husamah, (2013). Pembelajaran Luar Kelas
(Outdoor Learning) Ancangan Strategis
Mengembangkan Metode Pembelajaran Yang
Menyenangkan, Inovatif dan Menantang. Penerbit
Prestasi Pustakaraya, Jakarta Indonesia.
[16]. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014).
Program Pengembangan Kekhususan Pedoman
Pengembangan Orientasi Mobilitas, Sosial dan
KOmunikasi Untuk Peserta didik Tunanetra.
Dirjen Pendidikan Dasar : Jakarta.
[17]. Lahav, O and Mioduser, D. (2002). Multisensory
virtual environment for supporting blind persons’
acquisition of spatial cognitive mapping,
orientation, and mobility skills. Hungary: Intl Conf.
Disability, Virtual Reality & Assoc. Tech., Veszprém.
[18]. Mercer, Cecil D & Mercer Ann R. (1993). Teaching
Student with Learning Problems. Ohio: Published
by Merrill Publishing Company,A Bell & Howell
Information Company.
[19]. Mukhtar, dan Iskandar. (2012). Desain Pembelajaran
Berbasis TIK. Jakarta : Penerbit Referensi.
[20]. Nandi (2012). Penggunaan Multimedia Interaktif
Dalam Pembelajaran Geografi Di Persekolahan. Jurnal. Diakses tanggal 18 Oktober 2014
[21]. Nurjannah (2006). Pengertian Konsep Menurut
Para Ahli. http://Satria2008.diakses pada tanggal 19
oktober 2014
[22]. Pranata, Moeljadi. 2010. Teori Multimedia
Instruksional. Malang : Universitas Negeri Malang.
[23]. Rogow. (2005). A Developmental Model Of Disabilities. .
Journal of Counseling and Development Vol 20 - No. 2.
[24]. Schwiebert, L Valerie; Karen A. Sealander and Jean L.
Dennison. (2002). Strategies for Counselors
Working With High School Students With High
School Students With Attention-
Deficit/Hyperactivity Disorder. Journal of
Counseling and Development Volume 80 Number 1
Winter: 3-10.
[25]. Schalfer, Charles. (2000). Bagaimana Membimbing,
Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara
Efektif, (terjemahan R. Tarman Sirait). Jakarta:Radar
Jaya Ofset.
[26]. Smaldino, Sharon E & Russell, James D. (2005).
Instructional Technology and Media for Learning.
Ohio, Columbus: by Pearson Education, Inc.
[27]. Barbara B. Seels, Rita . Richey. (1994).
Instructiuonal Technology: The Definition and
Domains of The Field. AECT Washington DC
[28]. Blades, M., Ungar, S., & Spencer, C. (1999). Map
using by adults with visual impair- ments.
Professional Geographer, 51, 539–553
[29]. Borg, W. R. & Gall, M. D. (1983). Educational
research: An introduction (4ed.). New York:
Longman.
[30]. Sudjana, Nana., dan Rivai, Ahmad., (2005). Media
Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo
[31]. Zeembry. (2005). 123 Tip & Trik. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
153
Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Hasil
Belajar dan Ketuntasan Belajar Materi Listrik Siswa Kelas VI SD-
SMP Satu Atap Singosari Malang
Titin Sunarti1*), Endang Susantini2, Beni Setiawan3 1 Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: titinsunarti@unesa.ac.id
2 Jurusan Biologi, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: endangsusantini@unesa.ac.id 3 Jurusan IPA, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail: benisetiawan@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: titinsunarti@unesa.ac.id.
ABSTRACT
The purpose of this study is to improve student learning outcomes Primary and Junior Secondary One Roof
Singosari Malang and describe the students' response to the implementation of inquiry learning model. Object of
this research is 31 students of class VI in Electrical matter. This type of research is pre-experimental, by applying
One Group Pre-test and Post-test design. Questionnaire method used to obtain the student response data includes
the aspect of assurance, relevance, interest, assessment, and satisfication. Test results for the Electrical matter
were obtained that learning outcomes and student responses were analyzed by quantitative analysis techniques
descriptive. Student learning outcomes on average experienced a modest increase (gain score of 0.65). The
thoroughness of the average student learning outcomes increased by 87.10%. Student responses on assurance
aspects: 72.58, relevance: 89.74, interest: 85.54, assessment: 90.32, and satisfication: 96.06. The average student
responses on all aspects of the show 86.85% of students satisfied with the implementation of inquiry learning
model.
Key Words: SD-SMP One Roof, Inquiry Model
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa SD-SMP Satu Atap Singosari Malang
dan mendeskripsikan respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri. Penelitian penerapan ini
dilaksanakan mengikuti One Group Pretest and Posttest Design. Obyek penelitian ini adalah 31 siswa kelas VI
pada materi Listrik. Metode angket digunakan untuk mendapatkan data respon siswa yang ditinjau dari aspek
assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfication. Data hasil belajar dan respon siswa dianalisis
dengan teknik analisis deskripstif kuantitatif. Hasil belajar siswa rata-rata mengalami peningkatan sedang (gain
skor 0,65). Ketuntasan hasil belajar rerata siswa meningkat sebesar 87,10%. Respon siswa pada aspek assurance:
72,58, relevance: 89,74, interest: 85,54, assessment: 90,32, dan satisfication: 96,06. Rata-rata respon siswa pada
semua aspek menunjukkan 86,85% siswa puas terhadap penerapan model pembelajaran inkuiri.
Kata kunci: SD-SMP Satu Atap, Model inkuiri
1. PENDAHULUAN
Karakteristik Kurikulum 2013 adalah
penggunaan pendekatan saintifik (scientific approach)
dalam proses pembelajaran di sekolah[1]. Tujuan
penggunaan pendekatan saintifik yang dalam
pembelajaran adalah agar siswa dapat lebih aktif
dalam menemukan konsep sehingga mendapatkan
pemahaman yang lebih baik daripada memperoleh
konsep dengan cara diberitahu secara langsung oleh
guru. Keterlibatan siswa menemukan konsep dapat
mengembangkan keterampilan dan sikap untuk
membangun pemahaman yang bermakna dan logis[2].
Pembelajaran pada Kurikulum 2013 menuntut
siswa untuk terlibat aktif dalam memperoleh konsep-
konsep materi dan menyelesaikan permasalahan yang
ditemukan. Pembelajaran yang sesuai untuk
memfasilitasi siswa terlibat aktif menemukan konsep
materi secara ilmiah salah satunya ialah pembelajaran
berbasis inkuiri. Inkuiri adalah suatu pendekatan
inovatif dalam pembelajaran yang menekankan
kegiatan siswa untuk mengembangkan pengetahuan
ilmiah dan pemahaman tentang bagaimana ilmuan
bekerja[3].
Inkuiri membantu siswa mengembangkan
intelektual dan proses keterampilan ilmiah[4]. Inkuiri
meningkatkan sikap ilmiah siswa pada kelas fisika,
berbeda dengan hasil pengamatan kelas fisika yang
tidak berbasis inkuiri[5]. Pembelajaran inkuiri memberi
kesempatan siswa untuk mengembangkan keahlian
sesuai yang dibutuhkan di kehidupan, melakukan
aktivitas untuk mendapatkan pemahaman lebih jelas,
dan mencari solusi sekarang dan akan datang[6].
Pembelajaran menggunakan inkuiri dapat mengurangi
kejenuhan siswa dan membuat siswa lebih menikmati
proses pembelajaran karena siswa lebih leluasa
memutuskan melakukan sesuatu saat terlibat dalam
pembelajaran[7].
Hasil studi di sekolah dasar menunjukkan bahwa
pembelajaran IPA berbasis inkuiri mendapat
peningkatan respon baik sebesar 33,4%[8]. Hasil studi
lainnya melaporkan bahwa penerapan model
pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan prestasi
154
belajar siswa dengan nilai gain yang dinormalisasi
sebesar 0,75[9]. Penerapan model pembelajaran inkuiri
dapat meningkatakan hasil belajar dan ketuntasan
belajar siswa pada mata pelajaran IPA Sekolah
Dasar[10].
SD-SMP Satu Atap Singosari, Malang
merupakan sekolah yang menerapkan Kurikulum
2013. Penerapan model pembelajaran inkuiri di SD-
SMP Satu Atap Singosari diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa
kelas VI SD pada materi listrik dan mendeskripsikan
respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran
inkuiri.
2. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen
yang mengikuti desain pre-eksperimen yang
menggunakan desain kelompok tunggal dangan pretes
- postes. Objek penelitian adalah 31 siswa kelas VI SD
Satu Atap Singosari, Malang.
Hasil Pretest-post test di analisis secara kuantitatif
kemudian dihitung skor normalized gain dengan
rumus:
SpreS
SpreSpostg
max............ (1)
Keterangan:
1. Spost = Nilai postes
2. Spre = Nilai pretes
3. Smax = Nilai Maksimal
Tabel 1. Kriteria Normalized Gain
Skor N-Gain Kriteria N-Gain
0,70 < N-Gain Tinggi
0,30 < N-Gain Sedang
N-Gain < 0,30 Rendah
Peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa
ditentukan dengan rumus:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑜𝑠𝑡 𝑡𝑒𝑠𝑡 − 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑙𝑢𝑙𝑢𝑠 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎× 100%
Hasil respon siswa dianalisis secara kuantitatif
berdasarkan aspek assurance, relevance, interest,
assessment, dan satisfication.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Skor N-Gain diperoleh dari hasil analisis nilai pre
test dan post test siswa. Skor dan Kriteria N-Gain
siswa disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Skor dan Kriteria N-Gain Siswa
Rata-rata skor N-Gain dari 31 siswa adalah 0,65
tergolong sedang dengan rincian 10 siswa
mendapatkan kriteria N-Gain rendah, 18 siswa
mendapatkan kriteria N-Gain sedang, dan 3 siswa
mendapatkan kriteria N-Gain tinggi. Data di atas
menunjukan bahwa model pembelajaran inkuiri
membantu siswa meningkatkan hasil belajarnya pada
bab Listrik. Fakta adanya peningkatan hasil belajar
siswa setelah menggunakan model pembelajaran
inkuiri yang diperoleh sesuai dengan hasil penelitian
dari Khasanah[9]; dan Damayanti [10], yakni model
pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.
Terdapat 3 siswa mendapatkan N-Gain tinggi, 1
siswa N-Gain rendah, dan 27 siswa N-Gain sedang.
siswa yang mendapatkan N-Gain rendah adalah siswa
No. absen 13 dengan N-Gain 0,20. Siswa No. absen 13
mendapatkan skor pretes 75 dan skor postes 85.
Meskipun memiliki N-Gain rendah, namun siswa
tersebut dinyatakan tuntas pada pretes dan postes.
Ketuntasan hasil belajar siswa pada pretes dan
postes disajikan pada Gambar 1.
No. Absen N-Gain Kriteria
1 0,45 sedang
2 0,55 sedang
3 0,69 sedang
4 0,63 sedang
5 0,62 sedang
6 0,69 sedang
7 0,64 sedang
8 0,64 sedang
9 0,64 sedang
10 0,69 sedang
11 0,75 tinggi
12 0,69 sedang
13 0,20 rendah
14 0,53 sedang
15 0,67 sedang
16 0,60 sedang
17 0,69 sedang
18 0,73 tinggi
19 0,62 sedang
20 0,64 sedang
21 0,75 tinggi
22 0,80 sedang
23 0,64 sedang
24 0,69 sedang
25 0,62 sedang
26 0,54 sedang
27 0,62 sedang
28 0,63 sedang
29 0,60 sedang
30 0,79 sedang
31 0,75 sedang
Rata-rata 0,65 sedang
155
Gambar 1. Ketuntasan Hasil Belajar Siswa pada Pretes
dan Postes
Data Jumlah Siswa Tuntas Pretes dan Postes
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Jumlah Siswa Tuntas Pretes dan Postes
Jumlah siswa tuntas pada pretes sebanyak 2
orang, sedangkan pada postes sebanyak 29 orang.
Ketuntasan hasil belajar siswa meningkat 87,10%.
Peningkatan hasil belajar sebesar 87,10%
menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri
sesuai untuk siswa kelas VI SD Satu Atap Singosari
pada bab Listrik. Siswa tidak hanya mendapatkan
konsep listrik dari guru, namun siswa membangun
pemahamannya dengan menjadikan diri mereka
seperti seorang peneliti yang mencari tau tentang
konsep Listrik. Siswa mendapatkan pemahaman yang
lebih jelas tentang materi Listrik, sesuai dengan
pernyataan Alberta [6] bahwa inkuiri dapat membantu
siswa melakukan aktivitas untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih jelas.
Model pembelajaran inkuiri juga memberi
kesempatan siswa terlibat aktif dalam pembelajaran
yang dapat membangun pemahaman logis siswa [2],
yang selanjutnya memberi andil dalam peningkatan
ketuntasan hasil belajar siswa. Peningkatan ketuntasan
juga sesuai dengan hasil penelitian Damayanti [10],
yakni pembelajaran dengan inkuiri mampu
meningkatkan ketuntasan hasil belajar siswa mata
pelajaran IPA Sekolah Dasar.
Data hasil analisis angket respon diketahui
bahwa 84,33% siswa puas terhadap kegiatan belajar
mengajar dengan menggunakan model pembelajaran
inkuiri. Pembelajaran dengan inkuiri membuat siswa
percaya diri dengan nilai assurance: 72,14.
Pembelajaran dengan inkuiri juga dianggap siswa
relevan pada materi listrik dengan nilai relevance:
87,92. Siswa yang aktif belajar merasa tertarik,
dibuktikan dengan nilai interest: 81,18. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Luke [7] bahwa inkuiri dapat
mengurangi kejenuhan siswa. Siswa lebih tertarik
belajar dengan inkuiri yang belajar seperti cara para
ilmuan bekerja. Siswa merasa penilaian yang
diterapkan bersifat adil dan holistik dengan nilai
assessment: 87,14. Nilai satisfication sebesar 93,24
menunjukkan bahwa siswa puas dengan model
pembelajaran inkuiri.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa setelah pembelajaran menggunakan inkuiri
hasil belajar siswa rata-rata mengalami peningkatan,
demikian halnya dengan jumlah siswa yang tuntas juga
mengalami peningkatan. Selain itu, 86,85% siswa
memberikan resposns positif terhadap pembelajaran
yang dilakukan. Rata-rata respon siswa pada semua
aspek menunjukkan 86,85% siswa puas terhadap
penerapan model pembelajaran inkuiri.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1].Anonim, (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemendikbud: Jakarta.
[2]. Barrow, H.L. (2006). A brief history of inquiry: From
Dewey to Standards. Journal of Science Teacher
Education, Vol. 17, 265-278.
[3]. National Research Council. (1996). National Science
Education Standards. Washington, DC: National
Academy Press.
[4].Wenning, C.J. (2005a). Levels of inquiry: Hierarchies
of pedagogical practices and inquiry processes.
0 50 100
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Skor
No
mo
r A
bse
n S
isw
a
Postes Pretes
2
29
0
5
10
15
20
25
30
35
Pretes Postes
156
Journal of Physics Teacher Education Online, Vol. 2,
No. 3, 3-11.
[5]. Arion, D., Crosby, K., & Murphy, E. (2000). Casestudy
experiments in the introductory physics curriculum.
The Physics Teacher, Vol. 38, No. 6, 373-376.
[6]. Alberta, (2004). Focus on Inquiry: A Teacher’s Guide
to Implementing Inquiry-based Learning. Canada:
Alberta Learning.
[7]. Luke, L., (2010). Self-monitoring to Minimize Student
Resistance to Inquiry, Journal of Physics Teacher
Education Online, Vol. 5, No. 3, 11-23.
[8]. Yeo, S. & Zadnik, M. (2001). Introductory thermal
concept evaluation: Assessing students’
understanding. Physics Teacher, Vol. 39, 496-504.
[9]. Khasanah, K., (2013). Perbandingan Penerapan
Model Pembelajaran Guided Inquiry dengan
Interactive Demonstration dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Fisika Siswa SMA. Universitas
Pendidikan Indonesia: repository.upi.edu.
[10]. Damayanti, I., (2014). Penerapan Model
Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Mata Pelajaran IPA Sekolah Dasar. JPGSD.
Vol. 2, No. 3.
157
Penerapan Model Pembelajaran Langsung dengan Menggunakan
Media Audio Visual untuk Meningkatkan Hasil Belajar Membuat
Busana Anak Siswa Kelas X SMKN 3 Pamekasan
Tri Mutmainnah1*), Fadlilah Indira Sari2 1 S2 Pend. Teknologi Kejuruan, Universitas Negeri Surabaya, E-mail: tri_imut15@rocketmail.com
2 S2 Pend. Teknologi Kejuruan, Universitas Negeri Surabaya. E-mail: sarie.muslimah19@gmail.com
*) Alamat Korespondesi: Email: tri_imut15@rocketmail.com
ABSTRACT
The purpose of this study was to 1) determine how the activities of teachers, 2) determine how the student
activity, 3) determine student learning outcomes, and 4) evaluate the response of the students after participating
in learning activities using direct learning model using audio-visual media. This type of research is the Classroom
Action Research (CAR), which is composed of two cycles. Each cycle consists of planning, action, observation,
and reflection. Data collection methods include observation, testing, and student questionnaire responses.
Analysis of the data used the average of learning outcomes and student response used in form of percentages. The
results were obtained: 1) Activities of teachers during the learning process outlines two cycles increased. In the
first cycle for the learning of students are not familiar with the direct learning model, but for the second cycle
there is an improvement with the use of audio-visual media that attract students. 2) Activity student learning
process two cycles in general have increased. This was demonstrated their power to attract students in
participating in learning. 3) The results of students in the first cycle there were 10 students who did not complete
from a total of 30 students, but all students in the second cycle has been completed. 4) The response of students to
the direct learning model by using audio-visual media in the sub competence to make clothes children receive
positively.
Key Words: The direct model of teaching-learning process, audio-visual media, students’ score of making
childern clothes.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1)mengetahui bagaimana aktifitas guru, 2) mengetahui bagaimana
aktifitas siswa, 3) mengetahui hasil belajar siswa, dan 4) mengetahui respon siswa setelah mengikuti kegiatan
belajar mengajar menggunakan model pembelajaran langsung menggunakan media audio visual. Jenis penelitian
ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus terdiri atas tahap
perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Metode pengumpulan data mencakup observasi, tes, dan angket
respon siswa. Analisis data menggunakan rata-rata hasil belajar dan respon siswa menggunakan prosentase.
Hasil penelitian diperoleh: 1) Aktivitas guru selama proses pembelajaran dua siklus secara garis besar mengalami
peningkatan. Pada siklus I selama pembelajaran berlangsung siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran
langsung, namun untuk siklus II ada perbaikan dengan penggunaan media audio visual yang menarik minat siswa.
2) Aktivitas siswa proses pembelajaran dua siklus secara umum mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan
adanya daya menarik minat siswa dalam mengikuti pembelajaran. 3) Hasil belajar siswa pada siklus I terdapat
10 siswa yang tidak tuntas dari total 30 siswa, namun pada siklus II seluruh siswa telah tuntas. 4) Respon siswa
terhadap model pembelajaran langsung dengan menggunakan media audio visual pada sub kompetensi membuat
busana anak memperoleh hal positif.
Kata kunci: Model pembelajaran langsung, media audio visual, hasil belajar membuat busana anak
1. PENDAHULUAN
Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi
terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu.
Belajar dapat dipandang sebagai proses yang
diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui
berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses
melihat, mengamati dan memahami sesuatu. Sebagai
sebuah proses, aktivitas belajar mengajar tentunya
telah banyak metode, model dan media pembelajaran
yang diterapkan guna mencapai hasil maksimal dan
berkualitas. Mulai dari pemilihan kurikulum,
penentuan metode belajar mengajar, media
pembelajaran yang digunakan hingga pada pemenuhan
instrumen atau perangkat pembelajaran. Akan tetapi,
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang
menekankan pada keterlibatan secara penuh dari
peserta didik serta guru sehingga akan tercipta kondisi
dimana semua saling berproses untuk mencapai
kualitas yang di inginkan[1].
Ketercapaian standar kompetensi memerlukan
adanya pengolaan proses pembelajaran yang baik,
salah satunya dengan menggunakan media audio
visual dengan model pembelajaran yang dapat
memberikan hasil belajar yang optimal yaitu Model
Pembelajaran langsung. Dari hasil observasi di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) rata-rata guru
158
masih mengunakan metode pengajaran yang
konvensional, yaitu berupa ceramah dan pengajaran
klasik sebagai metode yang dipandang baik dari segi
efisiensi waktu.
Model Pembelajaran Langsung dengan media
audio visual diterapkan pada standar kompetensi
membuat busana anak dengan tujuan untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik, di SMKN 3
Pamekasan memiliki Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) ≥ 75, untuk nilai hasil belajar tahun pelajaran
2012-2013 ketuntasan belajar peserta didik sebesar 70
% dari jumlah 30 peserta didik. Ketuntasan belajar
tersebut menunjukkan bahwa ada 20 peserta didik
yang mendapatkan nilai diatas 75 dan ada 10 peserta
didik yang mendapatkan nilai kurang dari 75, sehingga
dapat disimpulkan bahwa hasil belajar peserta didik
masih belum tuntas dalam standar kompetensi
membuat busana anak.
Pentingnya diterapkan Model Pembelajaran
langsung dengan media audio visual pada standar
kompetensi membuat busana anak kompetensi dasar
menjahit busana anak, karena model pembelajaran
langsung mengharuskan guru untuk merumuskan
pertanyaan-pertanyaan penting, dimana pertanyaan ini
mendorong peserta didik untuk berpikir secara
mendalam dan membangun karakter peserta didik,
sedangkan media audio visual yang digunakan dapat
membantu untuk memahami langkah-langkah
menjahit busana anak sesuai dengan tertib kerja, dan
dapat mengembangkan pemahaman mereka terhadap
ide-ide besar akan perkembangan busana anak. Model
pembelajaran ini menantang peserta didik untuk
memahami ide-ide baru dan kembali mengeksplorasi
pengetahuan yang sudah mereka peroleh sebelunmya.
Sehingga pada membuat busana anak, peserta didik
diharapkan mampu menyusun dan mengeksplorasi
materi yang diberikan. Mulai dari mengelompokkan
macam-macam busana anak, memotong bahan,
menjahit busana anak, menyelesaikan busana hingga
melakukan pengepresan.
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Media Pembelajaran Audio Visual
Bovee (dalam Zain, 2010:125 ) menyatakan
Media pembelajaran audio visual merujuk kepada
media pembelajaran yang padanya mengandung
komponen (unsur) berupa visual (pemandangan/
gambar/ dilihat) dan audio (suara/didengar). Jadi
media pembelajaran audio visual adalah perantara
atau penyampai pesan pembelajaran yang
mengandung komponen visual dan suara. Karena
menggunakan lebih dari satu indera dalam
pemanfaatannya, maka media audiovisual seringkali
juga dimasukkan ke dalam kelompok multimedia
2.2 Model Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung adalah model
pembelajaran yang berpusat pada guru, yang
mempunyai 5 langkah dalam pelaksanaannya, yaitu:
menyiapkan peserta didik menerima pelajaran,
demontrasi, pelatihan terbimbing, umpan balik, dan
pelatihan lanjut (mandiri) (Nur, 2000:7).
Pengembangan model pengajaran langsung
dilandasi oleh latar belakang teoritik dan empirik
tertentu. Di antaranya adalah ide-ide dari bidang
sistem analisis, teori pemodelan sosial dan prilaku,
serta hasil penelitian tentang keefektifan guru dalam
melaksanakan fungsinya. Secara historis, beberapa
aspek dari model pengajaran langsung berasal dari
prosedur pelatihan dalam industri. Pengajaran
langsung paling cocok diterapkan untuk mata
pelajaran yang berorientasi pada keterampilan (Nur,
2000:9).
2.3 Kompetensi Membuat Busana anak
Kompetensi membuat busana anak diberikan
pada kelas X semester 2 dengan alokasi waktu
sebanyak 72 jam dalam 1 semester. Dalam standar
kompetensi membuat busana anak terdapat beberapa
kompetensi dasar, yaitu: Mengelompokkan macam-
macam busana anak ; Membuat pola dan memeotong
bahan ; Menjahit busana anak ; Menyelesaikan busan
dengan menggunakan jahitan tangan; Menghitung
harga jual ;Melakukan pengepresan
2.4 Aktifitas Guru
Guru adalah pendidik atau tenaga pengajar
yang mengendalikan, memimpin dan mengarahkan
events pengajaran. Guru disebut sebagai obyek
pengajaran, sedangkan peserta didik sebagai yang
terlibat langsung, sehingga ia dituntut keaktifannya
dalam proses pengajaran, peserta didik disebut obyek
pengajaran kedua, karena pengajaran itu tercipta
setelah ada beberapa arahan dan masukan dari obyek
pertama (guru) selain kesediaan dan kesiapan peserta
didik (Uno, 2011.:14).
2.5 Aktifitas Siswa
Aktivitas peserta didik merupakan sikap suka
atau tidak suka pada suatu objek, aktivitas peserta
didik dapat dilihat dari semangat atau tidaknya peserta
didik dalam proses belajar. Sikap belajar merupakan
salah satu faktor penting dalam belajar. Sebagian hasil
belajar ditentukan oleh sikap dan kebiasaan yang
dilakukan oleh peserta didik dalam belajar. Sebagian
sikap dan kebiasaan peserta didik dapat diketahui
melalui pengamatan yang dilakukan di dalam kelas
(Uno, 2011.:19).
2.6 Hasil Belajar
Menurut Benjamin S. Bloom (dalam Arikunto,
2012) tiga ranah hasil belajar, yaitu kognitif, afektif
dan psikomotorik. Menurut A.J. Tomizowski (dalam
Arikunto, 2012). Hasil belajar merupakan keluaran
(output) dari suatu system pemrosesan masukan
(input). Masukan tersebut berupa bermacam- macam
inforrnasi sedangkan keluarannya adalah perbuatan
atau kinerja (Hamalik, 2004).
Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan kemampuan yang diperoleh dari proses
159
belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu
mencakup afektif, kognitif dan psikomotorik. Untuk
memperoleh hasil belajar, dilaksanakan evaluasi atau
penilaian yang merupakan tindak lanjut atau cara
untuk mengukur tingkat penguasaan peserta didik.
Kemajuan prestasi tidak hanya diukur dari tingkat
penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga sikap dan
keterampilan. Pencapaian tujuan pembelajaran yang
telah dirumuskan memuat kemampuan kognitif,
afektit; dan psikomotorik. Seperti yang dikutip
Arikunto (2012: 127),
2.7 Respon Peserta Didik
Menurut Berio yang dikutip Sanjaya (2010),
Merumuskan respon sebagai sesuatu yang dikerjakan
oleh seseorang sebagai hasil atau akibat menerima
stimulus. Stimulus tersebut merupakan sesuatu yang
dapat diterima oleh seseorang melalui salah satu
penginderanya.
Dan menurut Oemar Hamalik (2010:46)
Peserta didik memberikan respon terhadap suatu
stimulus dengan berbagai tingkat kekuatan dan tujuan
dari rencana proses pembelajaran. Kekuatan ini
sebagaian berasal dari kondisi jasmani peserta didik,
sebagian lagi dari pengamatan dan motivasi. Selain itu
proses belajar mengajar yang efektif dan efisien juga
dapat berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik.
Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa respon peserta didik adalah orang yang
menanggapi setelah diberikannya suatu rangsangan
atau stimulus yang mempengaruhi hasil akhir dari
proses belajar.
3. METODE
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan
penelitian ini, maka rancangan penelitiian yang
dipergunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) atau sering disebut Classroom Action Reseacrh
(CAR). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau sering
disebut Classroom Action Reseacrh (CAR) adalah
suatu penelitian yang dilakukan dikelas untuk untuk
mengetahui akibat tindakan yang diterpkan dengan
tujuan memperbaiki / meningkatkan mutu praktik
pembelajaran. ( Trianto, 2011 : 13 ).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian di SMK Negeri 3
Pamekasan, Jl. Kabupaten No. 103, Pamekasan (0324
– 322576 ). Waktu Penelitian dilakukan pada bulan
Mei 2016.
3.3 Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah peneliti bertindak
sebagai guru dan peserta didik kelas X Busana di
SMKN 3 Pamekasan. Obyek penelitian ini adalah
keterlaksanaan proses pembelajaran langsung pada
standar Kompetensi membuat busana anak, hasil
belajar siswa, dan respon siswa.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik pemgumpulan data yang dilakukan
menggunakan metode sebagai berikut :
3.4.a Metode Observasi
Metode observasi dilakukan melalui pengamatan dan
pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang
muncul. Pengamatan dilakukan peneliti untuk
mengamati aktivitas peserta didik secara langsung saat
proses belajar mengajar, dan pengamatan terhadap
pengelolaan pembelajaran oleh guru (peneliti) yang
dilakukan oleh guru mata pelajaran membuat busana
anak dan dilakukan saat kegiatan pembelajaran sedang
berlangsung. Lembar observasi ini diisi oleh observer
dari kalangan guru.
3.4.b Test
Teknik tes digunakan untuk mengukur pengetahuan
dan kemampuan peserta didik baik secara kognitif
maupun kinerja terhadap kompetensi dasar yang
diajarkan. Tes dibuat oleh guru yang telah disesuaikan
dengan tujuan instruksional pembelajaran standar
kompetensi membuat busana anak dan kemudian
dikerjakan oleh peserta didik.
3.4.c Angket
Angket ini digunakan untuk mengetahui respon
peserta didik akan media audio visual yang digunakan.
Angket yang dibuat akan diisi oleh peserta didik
setelah kegiatan belajar mengajar selesai.
4. HASIL PENELITIAN
4.1 Siklus I
4.1.a Aktifitas Guru
Dari data hasil pengamatan aktifitas guru pada
pembelajaran langsung membuat busana anak siklus I
diatas dapat dibuat diagram sebagai berikut:
Gambar 1. Hasil pengamatan aktifitas guru pada siklus
I
Berdasarkan Diagram 4.1 dapat di
deskripsikan bahwa aktifitas guru saat proses
pembelajaran berlangsung pada siklus I, pengamatan
diamati oleh dua orang pengamat, pada kegiatan awal
di dapatkan skor rata-rata 3,5 dengan kriteria baik;
kegiatan inti mendapatkan skor dengan rata-rata 3
dengan kriteria cukup; dan kegiatan penutup dengan
skor rata-rata 3 kriteria cukup.
0
1
2
3
4
KegiatanAwal
KegiatanInti
KegiatanPenutup
160
4.1.b Aktifitas Siswa
Dari data hasil pengamatan aktifitas siswa pada
pembelajaran langsung membuat busana anak siklus I
diatas dapat dibuat diagram sebagai berikut:
Gambar 2. Hasil pengamatan aktifitas siswa pada siklus
I
Berdasarkan Diagram 4.2 dapat di
deskripsikan bahwa aktifitas siswa saat proses
pembelajaran berlangsung pada siklus I, pengamatan
diamati oleh dua orang pengamat, pada kegiatan awal
di dapatkan skor rata-rata 3,5 dengan kriteria baik;
kegiatan inti mendapatkan skor dengan rata-rata 3
dengan kriteria cukup; dan kegiatan penutup dengan
skor rata-rata 3 kriteria cukup.
4.1.c Hasil Belajar
Pada siklus I terdapat sepuluh orang siswa
yang mendapatkan nilai dibawah SKM yang berarti
siswa tersebut tidak tuntas. Secara garis besar pada
siklus ini dari 30 orang siswa 10 mendapat nilai ≤ 75,
20 siswa mendapat nilai antara 75-89 dan tidak ada
siswa yang mendapat nilai antara 90-100. Nilai rata-
rata kelas pada siklus I adalah 74,63.
Gambar 3. Hasil belajar pada siklus I
4.2 Siklus II
4.2.a Aktifitas Guru
Dari data hasil pengamatan aktifitas guru pada
pembelajaran langsung membuat busana anak siklus
II dengan menggunakan media audio visual dapat
dibuat diagram sebagai berikut:
Gambar 4. Hasil pengamatan aktifitas guru pada siklus
II
Berdasarkan Diagram 4.4 dapat di
deskripsikan bahwa aktifitas guru saat proses
pembelajaran berlangsung pada siklus II, pengamatan
diamati oleh dua orang pengamat, pada kegiatan awal
di dapatkan skor rata-rata 4 dengan kriteria sangat
baik; kegiatan inti mendapatkan skor dengan rata-rata
4 dengan kriteria sangat baik; dan kegiatan penutup
dengan skor rata-rata 4 kriteria sangat baik.
4.2.b Aktifitas Siswa
Data hasil pengamatan aktifitas siswa pada
pembelajaran langsung membuat busana anak siklus
II dengan menggunakan media audio visual adalah
sebagai berikut:
Gambar 5. Hasil pengamatan aktifitas siswa pada siklus
II
Berdasarkan Diagram 4.5 dapat di
deskripsikan bahwa aktifitas siswa saat proses
pembelajaran berlangsung pada siklus II, pengamatan
diamati oleh dua orang pengamat, pada kegiatan awal
di dapatkan skor rata-rata 4 dengan kriteria sangat
baik; kegiatan inti mendapatkan skor dengan rata-rata
4 dengan kriteria sangat baik; dan kegiatan penutup
dengan skor rata-rata 4 kriteria sangat baik.
4.2.c Hasil Belajar
Pada siklus II tidak ada siswa yang
mendapatkan nilai dibawah SKM. Dari 30 orang siswa
7 mendapat nilai 75-79, 13 siswa mendapat nilai
antara 80-89 dan 10 siswa yang mendapat nilai antara
90-100. Nilai rata-rata kelas pada siklus II adalah
84,46.
0
1
2
3
4
KegiatanAwal
KegiatanInti
KegiatanPenutup
67%
33%
hasil belajar tuntas
Hasil belajar tidak tuntas
0
1
2
3
4
KegiatanAwal
KegiatanInti
KegiatanPenutup
0
1
2
3
4
KegiatanAwal
KegiatanInti
KegiatanPenutup
161
Gambar 6. Hasil belajar siswa pada siklus II
4.3 Respon Siswa
Angket respon siswa digunakan untuk
mengetahui tanggapan siswa terhadap model
pembelajaran langsung pada sub kompetensi
membuat busana anak dengan menggunakan media
audio visual. Siswa kelas X Busana Butik 1 SMKN 3
Pamekasan yang telah mengikuti pembelajaran
sejumlah 30 siswa dengan 13 aspek pertanyaan yang
mengacu pada jawaban “ya” dan “tidak”. Berikut ini
hasil prosentase dari respon siswa :
Gambar 7. Hasil respon siswa terhadap model
pembelajaran langsung pada sub kompetensi membuat
busana anak dengan menggunakan media audio visual
4.4 PEMBAHASAN
4.4.a Aktifitas Guru
Pada siklus I Aktifitas guru pada kegiatan awal
mendapatkan kriteria cukup, hal ini kurang maksimal
karena awal pertemuan, siswa masih merasa asing ini
berkaitan dengan fase 1 mengenai penyampaian
tujuan dan mempersiapkan siswa. Dalam kegiatan inti
mencakup fase 2 mengenai demonstrasi pengetahuan
dan keterampilan, fase 3 mengenai bimbingan
pelatihan, dan fase 4 tentang mengecek pemahaman
dan memberi umpan balik pada siswa mendapatkan
skor dengan rata-rata 3 dengan kriteria cukup. Hal ini
karena materi yang disajikan kurang menarik
membuat siswa tidak terlalu memperhatikan. Untuk
fase 5 mengenai pelatihan lanjutan dan penerapan
pada kegiatan penutup mendapatkan kriteria cukup,
karena siswa kurang paham akan materi yang
disampaikan sehingga saat merangkum dan
melakukan tes ada beberapa siswa yang kurang
paham.
Setelah dilakukan perubahan dan perbaikan
pada siklus II ternyata ada peningkatan yang
signifikan. Pada kelima fase diperoleh nilai maksimal
karena siswa sudah mulai tertarik pada media
pembelajaran yang digunakan sehingga siswa menjadi
aktif. Untuk keterlaksanaan pembelajaran pada siklus
ini diperoleh penilaian baik dari observer karena guru
telah melaksanakan kelima fase model pembelajaran
langsung seperti yang dikemukakan Trianto (2007:31)
dengan baik dan optimal. Penilaian pada siklus
meningkat dikarenakan analisis refleksi pada tiap
siklus baik dan perbaikan pada siklus selanjutnya juga
baik.
4.4.b Aktifitas Siswa
Pada siklus I Aktifitas siswa pada kegiatan
awal mendapatkan kriteria cukup, hal ini kurang
maksimal karena awal pertemuan, siswa kurang
percaya diri. Ini berkaitan dengan fase 1 kurangnya
keaktifan guru saat menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan siswa. Dalam kegiatan inti mencakup
fase 2 mengenai demonstrasi pengetahuan dan
keterampilan, fase 3 mengeanai bimbingan pelatihan,
dan fase 4 tentang mengecek pemahaman dan
memberi umpan balik pada siswa mendapatkan skor
dengan rata-rata 3 dengan kriteria cukup. Hal ini
karena materi yang disajikan kurang menarik
sehingga membuat siswa tidak terlalu memperhatikan.
Untuk fase 5 mengenai pelatihan lanjutan dan
penerapan pada kegiatan penutup mendapatkan
kriteria cukup, karena siswa kurang paham akan
materi yang disampaikan dan malu untuk bertanya.
Pada siklus II terjadi peningkatan sintaks
dengan didapat penilaian dengan kriteria sangat baik.
Peningkatan ini terjadi karena perbaikan dari siklus I
yakni memperbaiki strategi dengan teknik
menjelaskan materi menggunakan media audio visual.
Sehingga siswa tertarik untuk memperhatikan
penjelasan guru dan menjadi paham akan materi yang
disampaikan. Kepahaman secara klasikal ini
berdampak pada berkurangnya siswa yang meminta
penjelasan ulang secara individu.
Peningkatan perolehan nilai dari observer dikarenakan
guru telah melaksanakan pembelajaran langsung
dengan antusias dan menarik sehingga siswa aktif
untuk belajar membuat busana anak sesuai dengan
pendapat Trianto (2007:41)
4.4.c Hasil belajar siswa
Analisis ketuntasan hasil belajar sub kompetensi
menjahit busana anak. Pada siklus I ketuntasan siswa
diperoleh hanya sebagian dikarenakan belum semua
siswa bisa langsung beradaptasi dengan model
pembelajaran langsung. Materi yang disajikan kurang
menarik minat siswa untuk memperhatikan, sehingga
siswa tidak memperhatikan, dan beberapa siswa malu
untuk bertanya. Semua kendala ini membuat hasil
belajar siswa tidak maksimal.
Namun demikian hal ini sudah mengalami
peningkatan yang signifikan pada siklus kedua. Pada
siklus II ketuntasan hasil belajar siswa secara total.
Hal ini berarti penyerapan materi oleh siswa berjalan
dengan baik. Berdasarkan analisis data ketuntasan
100%
hasil belajar tuntas
Hasil belajar tidak tuntas
0%
20%
40%
60%
80%
100%
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P1
0
P1
1
P1
2
P1
3
162
siswa selama dua siklus diperoleh hasil akhir rata-rata
proses pembelajaran sub kompetensi membuat busana
anak pada siklus II dinyatakan lulus secara
keseluruhan.
Peningkatan yang dialami dari siklus I dan
siklus II dikarenakan pembelajaran langsung dengan
menggunakan media audio visual membuat busana
anak telah diserap dengan baik oleh siswa. Hasil
belajar tercermin dari pengetahuan, keterampilan
maupun sikap siswa.
4.4.d Respon Siswa
Respon biasanya muncul setelah diberikan
suatu rangsangan. Pada penelitian ini ransangan
berupa tindakan pembelajaran menggunakan model
pembelajaran langsung dengan menggunakan media
audio visual. Dari diagram prosentase respon siswa
terhadap model pembelajaran langsung dengan
menggunakan media audio visual menunjukkan
bahwa respon siswa sangat baik terhadap model
pembelajaran ini. Hal tersebut berarti model
pembelajaran langsung dengan menggunakan media
audio visual merupakan hal baru dan baik untuk
pembelajaran membuat busana anak (romper).
Namun tidak semua memperoleh respon “ya”
secara keseluruhan. Saat menggunakan audio visual
ada beberapa siswa yang merasa kurang menarik
diandingkan belajar biasa. Selain itu untuk musik
pengiring saat media audio visual diputar ada yang
tidak dapat berkonsentrasi pada materi. Kemudian ada
beberapa siswa pula yang merasa media audio visual
tidak mempermudah dalam mengerjakan praktek
menjahit busana anak.
Merujuk pendapat dari Nur (2011:24) bahwa
model pembelajaran langsung membuat busana anak
dengan menggunakan media audio visual mendapat
respon yang positif dari siswa. Respon positif dari
siswa tersebut dibuktikan dengan adanya ketertarikan
antara keterlaksanaan proses pembelajaran dengan
hasil belajar siswa yang meningkat dibandingkan
dengan sebelumnya. Semakin baik keterlaksanaan
proses pembelajaran maka semakin baik pula hasil
belajar siswa.
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Pada siklus I aktifitas guru meliputi kegiatan
pendahuluan, inti dan penutup, saat kegiatan
pendahuluan belum maksimal karena guru belum
mengenal siswa sehingga tidak terjadi interaksi
dengan baik. Saat kegiatan inti penggunaan model
pembelajaran langsung dengan metode ceramah
membuat siswa bosan dan tidak tertarik akan materi
yang disampaikan, selain itu siswa juga merasa asing
terhadap model pembelajaran langsung. Sehingga hal
tersebut berpengaruh terhadap kegiatan penutup yang
meliputi penilaian dan evaluasi siswa dengan hasil
kurang maksimal pula. Hal ini ditandai dengan
minimnya partisipasi siswa seperti bertanya atau
meminta penjelasan ulang kepada guru.
Dengan demikian aktifitas guru pada siklus I
saat kegiatan pendahuluan, inti sampai penutup
dikatakan kurang berhasil dalam menarik minat siswa.
Berdasarkan situasi yang demikian guru melakukan
perbaikan mengenai model pembelajaran langsung,
dengan menggunakan media audio visual pada siklus
II. Setelah dilakukan perubahan pada siklus II,
ternyata ada peningkatan yang signifikan sebesar 0,5
point. Hal ini dibuktikan dengan ketertarikan dan
keaktifan siswa selama kegiatan belajar mengajar
berlangsung pada siklus II.
Sedangkan aktifitas siswa pada siklus I juga
meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup. Saat
kegiatan awal siswa merasa kurang percaya diri
terhadap adanya guru baru sehingga membuat siswa
kurang memperhatikan guru. Dalam penyampaian
materi pada kegiatan inti siswa belum terbiasa dengan
model pembelajaran langsung sehingga membuat
siswa kurang memperhatikan materi yang
disampaikan oleh guru. Hal tersebut berpengaruh
terhadap kegiatan penutup yang meliputi penilaian
dan evaluasi, karena banyak siswa yang belum paham
dan malu untuk bertanya membuat hasil belajar siswa
kurang maksimal.
Setelah guru mengadakan perbaikan mengenai
media yang digunakan pada siklus II yaitu dengan
menggunakan media audio visual membuat busana
anak dapat menarik perhatian dan minat siswa.
Sehingga terjadi interaksi yang aktif anatara siswa dan
guru dengan peningkatan 1 point pada setiap kegiatan
pembelajaran dari siklus I ke Siklus II.
Untuk hasil belajar siswa dalam sub
kompetensi membuat busana anak menggunakan
model pembelajaran langsung dengan menggunakan
media audio visual pada siklus I terdapat 10 siswa
yang tidak tuntas dari jumlah keseluruhan 30 siswa
dengan nilai rata-rata kelas 74,63.
Peningkatan terjadi pada siklus II yang mana
tidak ada siswa yang tidak tuntas. Dengan kata lain
pada siklus II secara keseluruhan siswa mendapat
predikat tuntas dengan nilai rata-rata kelas 84,46.
Berdasarkan predikat ketuntasan siswa diatas,
menggambarkan respon positif siswa terhadap model
pembelajaran langsung dengan menggunakan media
audio visual pada sub kompetensi membuat busana
anak. Meskipun demikian bukan berarti seluruh siswa
tertarik akan penggunaan media audio visual, ada
beberapa siswa yang merasa kurang menarik
diandingkan belajar biasa.
Namun dari diagaram respon siswa diperoleh
rata-rata jumlah prosentase 90 %. Sehingga model
pembelajaran langsung dengan menggunakan media
audio visual dapat meningkatkan aktifitas dan hasil
belajar siswa.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian dan kesimpulan yang
diperoleh dapat diajukan beberapa saran antara lain :
1. Sub kompetensi membuat busana anak merupakan
pelajaran praktik, hendaknya proses pembelajaran
163
dengan pendekatan pembelajaran langsung karena
terdapat pengetahuan deklaratif dan prosedural.
2. Standart kompetensi membuat busana anak
hendaknya menggunakan pembelajaran langsung
dengan pengemabangan media yang digunakan untuk
menarik minat dan hasil belajar siswa.
3. Tugas untuk perbaikan nilai sebaiknya dilaksanakan
disekolah sebab guru dapat memantau hasil belajar
siswa secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.
A.M., Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar
Mengajar. Jakarta: rajawali Press.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. 2010.
Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Gafur, Abd. 1989. Disain Instruksional. Solo: Tiga
Serangkai.
Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Hamalik, Oemar. 2010. Psikologi Belajar & Mengajar.
Bandung: Sinar Baru Algesindo
Mulyasa, E. 2010. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya
Nur, Muhammad. 2011. Model Pengajaran Langsung.
Surabaya: UNESA Press
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajawali Press.
Sadiman, Arief S. dkk. 2010. Media Pendidikan:
Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press.
Sanjaya, Wina. 2012. Perencanaan dan Desain system
Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Sudaryono. dkk. 2013. Pengembangan Instrumen
Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Trianto, 2007. Model Pembelajaran dalam Teori dan
Praktek. Jakarta: Prestasi pustaka Publisher
[1]. Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher
Trianto. 2011. Model-Model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher
Uno, Hamzah B. 2011. Model Pembelajaran:
Menciptakan Proses Belajar Mengajar
yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi
Aksara
164
165
Pengembangan Terapi Holistik dalam Menangani Gangguan Sosial
Emosional Siswa Sekolah Dasar
Wiwik Widajati1*), Siti Mahmudah2
1 PLB FIP, Universitas Negeri Surabaya, Kampus Lidah Wetan Surabaya. Email: widajati.wiwik@yahoo.com 2 PLB FIP, Universitas Negeri Surabaya, Kampus Lidah Wetan Surabaya. Email: mahmudah-plb@yahoo.com
*) Alamat Korespondesi: Email: widajati.wiwik@yahoo.com
ABSTRACT
Problems experienced by students, including emotional social problems that students are less able to
socialize and control emotions, social intelligence emotional decreased or less than optimal, avoiding learn, too
late, or do not want to do chores, lack of concentration, motivation to learn less, frustrating, annoying friends, etc.
It is very annoying when left in the learning process and can lead to learning difficulties study results trend to
decrease or lower. The long term goal of this research is to improve the ability of teachers in intervention the
emotional social problems of students. Results of the research are 1) handling or intervention emotional social
problems students is important to do given the number of students who have learning disability because of
emotional social problems is increasing, 2) Elementary School largely unaware of emotional social problems
management program students. In addition, teachers also lack an understanding of the emotional social problems
that students in dealing with the thing is not optimal, and 3) this research also produced programs, books for
teacher and assessment for the treatment of emotional social disorder with holistic therapies include plays, music,
religion, relaxation, and modeling.
Key Words: holistic therapy, emotional social disorder, elementary school student
ABSTRAK
Masalah yang dialami siswa, diantaranya masalah sosial emosional yaitu siswa kurang mampu
bersosialisasi dan mengendalikan emosi, kecerdasan sosial emosional menurun atau kurang optimal, menghindari
belajar, terlambat atau tidak mau mengerjakan tugas, kurang konsentrasi, motivasi belajar kurang, frustasi,
mengganggu teman, dan sebagainya. Hal ini bila dibiarkan sangat mengganggu siswa dalam proses pembelajaran
dan bisa menyebabkan kesulitan belajar sehingga hasil belajar cenderung menurun atau rendah. Tujuan jangka
panjang penelitian ini yaitu meningkatkan kemampuan guru dalam menangani masalah sosial emosional siswa.
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dan hasil penelitian adalah 1. penanganan masalah sosial
emosional siswa di sekolah dasar penting untuk dilakukan mengingat jumlah siswa yang mengalami kesulitan
belajar atau ketidakmampuan belajar karena masalah sosial emosional semakin meningkat, 2. Sekolah Dasar
sebagian besar belum memiliki program penanganan masalah sosial emosional siswa. Selain itu guru juga kurang
memahami gangguan sosial emosional siswa sehingga dalam menangani hal tersebut kurang optimal, 3.
penelitian ini juga menghasilkan program, buku guru dan asesmen untuk penanganan gangguan sosial emosional
dengan terapi holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, modeling.
Kata Kunci: terapi holistik, gangguan sosial emosional, siswa sekolah dasar
1. PENDAHULUAN
Masalah siswa sering muncul bersamaan dengan
kompleksitas permasalahan dan tuntutan
perkembangan maupun perubahan di masyarakat.
Masalah siswa diantaranya masalah sosial emosional
sangat mengganggu siswa dalam proses pembelajaran
di sekolah dan menimbulkan kesulitan belajar atau
ketidakmampuan belajar serta hasil belajar rendah atau
cenderung menurun. Kenyataan juga menunjukkan
sekarang ini siswa yang mengalami masalalah sosial
emosional semakin meningkat. Masalah sosial
emosional adalah masalah dalam perkembangan sosial
emosional berupa perilaku yang berbeda/tidak wajar
untuk anak seusianya dan dapat berdampak pada
kualitas hubungan yang buruk dengan orang lain.
Masalah sosial merupakan masalah yang dialami
individu/siswa dengan ciri kurang/tidak mampu
bersosialisasi, kecerdasan social (social intelligence)
menurun atau kurang, tidak mampu mengadakan
adaptasi atau menanggulangi stressor psikososial, sok
kuasa, jarang tersenyum atau bercanda, suka mencuri
benda-benda, sering tenggelam dalam lamunan, sering
bertengkar, tidak mampu mengubah perilaku yang
salah, suka berbohong, sering merusak, agresif,
egosentris, suka menggertak[1, 2]. Sedangkan masalah
emosional adalah masalah yang dialami
individu/siswa dengan ciri kurang/tidak mampu
mengendalikan emosi, kecerdasan emosi (emotional
intelligence) menurun atau kurang, cepat marah, sering
merasa cemas dan menarik diri, merasa gelisah, malu,
rendah diri, ketakutan, sangat sensitif atau perasa,
emosi tidak stabil[2, 3]. Untuk itu perlu penanganan
intensif, diantaranya melalui terapi holistik, meliputi
bermain, musik, religi, relaksasi, modeling. Hal ini
v
i
166
dapat menyebabkan berbagai kesulitan hidup yaitu
kesulitan belajar atau ketidakmampuan belajar,
kesulitan berperilaku, kesulitan sosial dan kesulitan-
kesulitan lain yang saling kait-mengkait. Berkaitan
dengan hal ini guru diharapkan mampu membantu
mengatasi, memecahkan, mengurangi masalah siswa
tersebut sehingga siswa bisa belajar dan mencapai
tujuan belajar serta hasil belajar dengan lebih baik,
diantaranya penanganan dengan terapi holistik
meliputi bermain, musik, religi, relaksasi, dan
modeling.
Terapi/penanganan holistik perlu dilakukan
untuk menangani anak/siswa yang mengalami masalah
sosial emosional. Terapi holistik adalah usaha untuk
mengurangi, menghilangkan menyembuhkan masalah
yang berkaitan dengan psikis, fisik, dan sosial,
sekaligus untuk meningkatkan, mengoptimalkan
perkembangan individu secara holistik atau
menyeluruh, terpadu meliputi agama, organobiologik,
psiko-edukatif dan sosial budaya[1, 2]. Dengan
terapi/penanganan holistik ini diharapkan anak/siswa
lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat dan
situasi pembelajaran serta mampu mengendalikan
emosi.
Bermain merupakan kegiatan anak/siswa yang
menyenangkan dan menimbulkan motivasi diri serta
memberi peluang kepada anak/siswa untuk tumbuh
dan berkembang juga bersosialisasi dengan baik.
Bermain dapat mengurangi atau menghilangkan
gangguan atau penyimpangan perilaku, fisik, psikis,
emosi, sosial, sensorik dan komunikasi serta
mengambangkan kemampuan yang dimiliki secara
optimal[4]. Bermain juga merupakan sarana
menghilangkan sikap pemarah, agresif, pasif, menarik
diri, hiperaktif, memunculkan harga diri,
mengembangkan sosialisasi, bermain bersama,
meningkatkan hubungan yang sehat dalam kelompok
(berteman). Dengan hal tersebut diharapkan gangguan
sosial emosional siswa di Sekolah Dasar (SD/SD
Inklusif/SDLB/SLB) bisa berkurang.
Musik, merupakan hal yang tidak asing lagi
sebab hampir semua aspek kehidupan manusia
berkaitan dengan musik. Musik bukanlah merupakan
bagian yang kecil dari hidup manusia sebagaimana
anggapan dahulu. Saat ini tidaklah demikian yakni
musik tidak hanya merupakan hiburan belaka akan
tetapi merupakan pengembang atau pembentuk aspek
mental (inteligensi), fisik, emosi, psikis dan sosial
terutama yang melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan musik maupun pendengar musik. Setiap
individu memiliki multiple inteligency (kecerdasan
ganda) salah satunya adalah kecerdasan musik[5].
Musik dapat digunakan sebagai media
penyembuhan atau terapi juga media mendidik untuk
mengembangkan dan meningkatkan perkembangan
fisik, psikis, sosial individu/anak/siswa. Musik adalah
bagian dari kehidupan dan perkembangan manusia,
dapat digunakan untuk membantu atau menolong,
mencegah, memperbaiki, mengurangi, mengatasi
suatu kekurangan atau gangguan psikis, emosi, fisik,
kognitif, sosial dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan individu seoptimal
mungkin[6]. Anak yang pasif, tidak mau bersosialisasi
dapat diarahkan untuk beraktivitas dan bersosialisasi
dengan menggunakan musik sebagai media belajar
anak tersebut[7]. Musik juga dapat menimbulkan rasa
persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan, rasa
keagamaan, rasa kagum, rasa gembira, memberi
pengaruh yang kuat terhadap perkembangan emosi,
pikiran, kekuatan dalam jiwa, membentuk watak[2].
Religi adalah agama atau spiritual merupakan
fitrah manusia, kebutuhan dasar manusia,
mengandung nilai moral, etika, aturan dalam
melaksanakan ibadah dan beriman kepada Allah Yang
Maha Kuasa. Sedangkan doa adalah peraturan dan
perintah Allah Yang Maha Kuasa, permohonan
bantuan kepada Allah Yang Maha Kuasa[1]. Relaksasi
adalah cara atau teknik untuk mengurangi ketegangan
batin, perasaan cemas, stres dengan melatih
kesanggupan mengendorkan otot secara relaks, santai,
senang dan nyaman[8]. Meditasi merupakan cara atau
teknik menenangkan diri baik fisik maupun psikis
dengan melatih pernapasan yaitu menghirup dan
menghembuskan napas serta memfokuskan pikiran,
perasaan pada hal-hal yang menyenangkan, menarik,
indah, positif, optimis, membahagiakan[2].
Modeling merupakan cara atau teknik
mengurangi masalah fisik, psikis, sosial dengan
mengamati, mempelajari dan meniru sikap, perilaku,
pikiran model atau orang teladan untuk membentuk
sikap, perilaku, pikiran baru, baik, benar, positif dalam
diri individu [8] [2]. Dalam modeling perilaku tidak
sekedar akibat dari stimulus dan atau penguatnya,
tetapi sebenarnya dalam diri individu ada proses
mental internal. Proses mental ini akan menentukan
apakah perilaku tersebut akan diimitasi untuk
diinternalisasi atau tidak. Dalam pelaksanaan
modeling (observarvation learning, imitation, atau
social learning), ada empat fase dalam membentuk
perilaku yaitu fase perhatian (attentional phase), fase
retensi (retention phase), fase reproduksi (reproduction
phase), dan fase motivasi (motivational phase). Secara
fase tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Guru diharapkan memiliki kemampuan atau
kecakapan untuk menyampaikan materi belajar,
melatih, membimbing, membina dan mendidik. Hal ini
menyangkut pula kemampuan menyelesaikan masalah
siswa, konflik dan ketegangan batin siswa, memberi
kasih sayang, menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan, menolong pribadi siswa secara
individual, dan sebagainya. Guru sebaiknya memiliki
kemampuan mengajar, melatih, membimbing,
membina, mendidik, juga sebagai psikoterapis dan
konselor.
Kemampuan guru ini diharapkan bisa menunjang
lancarnya belajar siswa sehingga mencapai tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien. Selain itu salah
satu prinsip pelaksanaan proses pendidikan adalah
menyangkut perkembangan dan belajar anak yang
baik, dapat terjadi pada lingkungan masyarakat yang
167
secara psikologis dapat memberikan rasa aman,
penghargaan dan kebutuhan fisik, psikis, sosial
terpenuhi. Sikap guru yang mendukung prinsip
tersebut dapat mengembangkan sikap, perilaku, emosi,
kecerdasan, sosial, fisik untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan.
Masalah sosial emosional merupakan salah satu
faktor yang bisa mengakibatkan kesulitan belajar atau
ketidakmampuan belajar yaitu suatu keadaan anak
didik/siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya
karena berbagai sebab, diantaranya masalah sosial
emosional sehingga hasil belajar rendah atau
cenderung menurun. Kesulitan belajar menunjuk pada
berbagai kesulitan yang dimanifestasikan dalam
bentuk tulisan yang nyata dalam penggunaan
kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap,
membaca, menulis, menalar, matematika, dan lain-
lain[9]. Ketidakmampuan belajar adalah siswa yang
menunjukkan kinerja yang secara signifikan di bawah
tingkat yang diharapkan, mengingat kemampuan yang
lainnya normal[10]. Ketidakmampuan belajar adalah
gangguan yang merintangi kemajuan akademik
individu yang tidak mengalami keterbelakangan
mental. Kesulitan belajar atau learning disabilty adalah
kesulitan yang dialami individu atau siswa untuk
melakukan kegiatan belajar secara efektif, kesulitan
dalam menguasai keterampilan belajar dan
melaksanakan tugas-tugas spesifik yang dibutuhkan
dalam belajar[11]. Adapun faktor penyebab kesulitan
atau ketidakmampuan belajar atau masalah belajar
adalah faktor fisik, psikis, sosial, non-sosial, meliputi
faktor intern (dari dalam diri manusia/individu itu
sendiri: kognitif, sensori, gangguan emosi, dan
sebagainya) dan faktor ekstern (faktor dari luar
manusia/individu: kesempatan belajar kurang, sosial
budaya ekonomi kurang menguntungkan, sistem
pembelajaran tidak tepat, dan sebagainya).
Realita sekarang ini menunjukkan anak-anak
yang mengalami masalah sosial emosional semakin
banyak dan dikhawatirkan akan meningkat dari tahun
demi tahun akibat berbagai faktor dan bila tidak
diupayakan penanganan yang lebih baik di sekolah
maupun di luar sekolah (hasil wawancara peneliti
dengan guru dan orangtua). Guru memiliki peranan
yang penting dalam proses pembelajaran siswa karena
gurulah yang menyampaikan materi belajar, melatih,
membimbing, membina dan mendidik. Diantara tugas-
tugas guru, salah satu diantaranya adalah guru
diharapkan mampu menyelesaikan masalah sosial
emosional siswa, konflik sosial dan ketegangan batin
siswa, memberi terapi, mengurangi rasa takut,
memberi kasih sayang, menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan, menolong pribadi siswa secara
individual, dan sebagainya yang kesemuanya bisa
menunjang lancarnya belajar siswa sehingga mencapai
tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Dengan
peran guru tersebut diharapkan masalah sosial
emosional yang mengakibatkan kesulitan belajar siswa
bisa berkurang. Peranan guru disamping sebagai
pengajar, pelatih, pembimbing, pembina, pendidik
juga sebagai psikoterapist dan konselor.
Kenyataan menunjukkan selama ini guru di
sekolah tingkat pendidikan dasar (SD, SD Inklusif,
SLB) dan orang tua kurang memahami berbagai
program untuk menangani kesulitan belajar akibat
masalah sosial emosional siswa, yang ada sekarang
baru program remedial yaitu upaya guru yang bersifat
menyembuhkan, membetulkan, membuat menjadi
lebih baik pembelajaran dan hasil belajar siswa agar
tercapai tujuan pembelajaran yang optimal[12], dan
biasanya lebih berkaitan dengan mata pelajaran. Untuk
program-program lain yang bisa meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan, rileks fisik dan
psikis serta sosial kurang dipahami diantaranya terapi
holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi,
modeling. Kenyataan juga menunjukkan masih ada
guru yang kurang mendalami masalah siswa termasuk
masalah sosial emosional yang mengakibatkan
kesulitan belajar secara mendalam sehingga intervensi
pada anak didik secara keseluruhan baik fisik, psikis
maupun sosial kurang optimal. Disamping itu
kemungkinan setiap sekolah memiliki psikoterapis dan
konselor belum bisa dipastikan. Untuk itu perlu
sosialisasi dan penelitian tentang program untuk
menangani masalah siswa khususnya masalah sosial
emosional sebagai upaya mengoptimalkan
kemampuan guru-guru di Sekolah Dasar (SD, SD
Inklusif, SDLB/SLB) melalui terapi holistik meliputi
bermain, musik, religi, relaksasi, modeling.
Paradigma baru pendidikan di era otonomi
daerah juga menuntut adanya kemandirian dan
kreatifitas guru dalam menangani masalah siswa agar
bisa mencapai hasil belajar dan tujuan pendidikan
dengan lebih efektif dan efisien. Berbagai hal tersebut
mendorong perlu segera diupayakan mengoptimalkan
kemampuan guru dalam menangani masalah sosial
emosional, diantaranya melalui pemahaman dan
pembuatan program terapi holistik meliputi bermain,
musik, religi, relaksasi, modeling.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,
penulisan dan pembahasan ini difokuskan pada
pengoptimalan kemampuan guru dalam penanganan
masalah sosial emosional siswa, diharapkan penelitian
ini dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan
dan memperluas wawasan guru dalam meningkatkan
kemampuan sehingga dapat memberikan penanganan
masalah sosial emosional siswa dengan lebih baik
sehingga siswa tidak mengalami kesulitan belajar atau
ketidakmampuan belajar akibat masalah sosial
emosional. Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
program penanganan masalah siswa diantaranya
masalah masalah sosial emosional yang bisa
mengakibatkan kesulitan belajar telah dilakukan juga
oleh beberapa pakar dari berbagai bidang ilmu karena
masalah ini termasuk masalah yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu. Penelitian yang telah dilakukan
terdahulu, secara konsisten menunjukkan bahwa siswa
dengan gangguan emosi dan perilaku beresiko untuk
prestasi akademik. Selain itu hasil Penelitian juga
168
menunjukkan bahwa musik dapat mengurangi stress,
ketegangan dan kecemasan.
2. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan
(research & development), penelitian untuk
mengembangkan produk berdasarkan temuan-temuan
dalam penelitian yang telah dilakukan. Secara garis
besar pelaksanaan penelitian ini adalah pada tahun
pertama dilakukan identifikasi dengan jalan
melakukan wawancara dan diskusi dengan guru untuk
mengkaji kebutuhan dan kendala dalam masalah sosial
emosional, kemudian dilanjutkan dengan aksi atau
pelaksanaan yaitu pengembangan prototype buku guru
yang berisi materi, instrumen asesmen, program terapi
holistik meliputi bermain, musik, religi, relaksasi,
modeling untuk menangani masalah sosial emosional
siswa disertai petunjuk implementasinya. Observasi
untuk mengamati situasi pembelajaran siswa di
Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SDLB/SLB), selain
itu juga menerima masukan (feedback) dari berbagai
pihak mengenai kelebihan dan kekurangan dari
prototype paket penanganan masalah sosial emosional
berupa materi, instrumen asesmen, program
penanganan masalah sosial emosional juga telah
dilakukan oleh beberapa pakar dari berbagai bidang
ilmu karena masalah ini termasuk masalah yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu.
Berbagai uraian tersebut di atas menunjukkan
bahwa: 1) diperlukan program-program untuk
menangani masalah sosial emosional dan kesulitan
belajar akibat masalah sosial emosional siswa di
sekolah, 2) belum adanya panduan penanganan
gangguan sosial emosional, khususnya bagi guru di
Sekolah Dasar, 3) guru belum memperoleh
pembekalan dalam menangani gangguan sosial
emosional siswa, dan 4) perlu adanya pembekalan dan
panduan untuk guru tentang asesmen siswa yang
mengalami masalah/gangguan sosial emosional dan
kesulitan belajar akibat hal tersebut, termasuk
didalamnya mengembangkan tujuan-tujuan terapi
holistik.
Fase terakhir dari keseluruhan kegiatan ini adalah
melakukan refleksi dengan cara evaluasi dan diskusi
untuk menjaring data dari para guru sebagai terapis,
pakar pendidikan. Kegiatan ini untuk mengetahui
kendala yang dihadapi selama uji coba, monitoring,
dan evaluasi kegiatan intervensi atau pembuatan
program dan panduan penanganan masalah sosial
emosional. Hasil refleksi ini ditindaklanjuti dengan
melakukan diagnosis lanjutan sebagai upaya
memperoleh instrumen, program dan panduan yang
benar-benar relevan dan sesuai. Tahapan penelitian ini
adalah: 1) Perencanaan: penelitian melakukan diskusi
dengan pihak sekolah (guru dan kepala sekolah)
tentang situasi pembelajaran dan penanganan masalah
sosial emosional di tempat penelitian, diskusi ini untuk
mengetahui kondisi dan kendala dalam penanganan
masalah siswa yaitu gangguan/masalah sosial
emosional, selanjutnya membuat perencanaan, 2)
Pelaksanaan tindakan dan observasi: peneliti dan guru
membuat program penanganan masalah sosial
emosional. Peneliti berperan serta dalam diskusi dan
mengobservasi kegiatan pembuatan program
penanganan masalah sosial emosional, mengadakan
pertemuan dan rapat dengan guru, memberikan
masukan berkaitan penanganan masalah sosial
emosional atau pembelajaran siswa, melakukan
pengamatan atau observasi terhadap pembuatan
program penanganan masalah sosial emosional siswa
oleh guru, mengikuti pertemuan dan observasi pada
saat pembelajaran bagi siswa yang mengalami masalah
sosial emosional. Disamping peneliti, kepala sekolah
dan guru lain juga mengadakan observasi terhadap
program penanganan masalah sosial emosional dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Kehadiran
peneliti dan guru merupakan modal dasar untuk
mewujudkan tujuan penelitian, dan 3) Refleksi: upaya
untuk mengkaji/menilai apa yang telah terjadi dan apa
yang menjadi keluaran sekaligus apa kelebihannya.
Dengan istilah lain refleksi adalah mengkaji apa yang
telah dihasilkan atau belum dapat dituntaskan dalam
penelitian kemudian melakukan revisi atau
penyempurnaan program dan panduan penanganan
masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar.
Sedangkan secara lebih terperinci pelaksanaan
penelitian ini adalah: 1) penelusuran dan pengumpulan
informasi: studi pustaka, kegiatan ini untuk
mendapatkan acuan tentang masalah sosial emosional
dan terapi holistik untuk menangani masalah sosial
emosional siswa, studi lapangan, kegiatan ini
dilaksanakan dengan wawancara, observasi dan
mengkaji dokumentasi untuk mendapatkan informasi
kondisi objektif di lapangan. Kegiatan studi pustaka
dan studi lapangan ini sebagai dasar untuk
melaksanakan tahap berikutnya, 2) perencanaan: untuk
mendapatkan gambaran program penanganan masalah
sosial emosional siswa di Sekolah Dasar, 3)
pengembangan format produk awal: berupa
penyusunan prototype program materi, instrumen dan
panduan penanganan masalah sosial emosional siswa
di Sekolah Dasar, 4) revisi prototype produk: kegiatan
ini dilakukan untuk mendapatkan masukan dari
berbagai pihak sebagai dasar untuk melaksanakan
perbaikan prototype, dan 5) penyusunan prototype
produk: kegiatan ini diupayakan untuk mendapatkan
hasil prototype produk yang mampu untuk menangani
masalah sosial emosional siswa di Sekolah Dasar.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan penelitian ini sebagai awal dari
pengembangan program penanganan masalah sosial
emosional siswa melalui cara pengumpulan data
berupa wawancara, observasi dan dokumentasi
sebagai dasar untuk melakukan analisis data dalam
pembuatan prototype produk yang akan
dikembangkan. Selain iru perolehan hasil
pengumpulan data dari studi lapangan dan studi
pustaka dikembangkan serta dijadikan tcilak ukur
sebagai sumber data yang representatif untuk
169
pembuatan prototype pengembangan program
penanganan masalah sosial emosional siswa (SD, SD
Inklusif, SDLB/SLB) maupun buku panduan guru
untuk hal tersebut.
Kondisi tersebut di atas sebagai manifestasi
permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian
ini dan dijadikan sumber data dalam pembuatan
prototype pengembangan program dan buku panduan
penanganan masalah sosial emosional siswa di
Sekolah Dasar. Pada tahun pertama penelitian ini
mempersiapkan suatu prototype penanganan masalah
sosial emosional siswa di Sekolah Dasar yaitu
instrumen asesmen, program dan buku panduan guru
untuk penanganan masalah sosial emosional siswa
tersebut, meliputi instrumen asesmen, program
bermain, musik, religi, relaksasi, modeling beserta
buku panduan guru yang berkaitan dengan penanganan
masalah sosial emosional tersebut. Pada saat
pengumpulan data dalam penelitian ini tim peneliti
mengobservasi proses pembelajaran siswa yang
mengalami masalah sosial emosional di Sekolah
Dasar. Hal ini untuk mengetahui bahwa ada sebagian
siswa di Sekolah Dasar yang mengalami
gangguan/masalah sosial emosional dan ini bisa
dijadikan sumber data untuk pengembangan program
penanganan gangguan/masalah sosial emosional serta
pembuatan program dan buku panduan guru untuk
menangani gangguan/masalah sosial emosional yang
bisa mengakibatkan kesulitan belajar.
Tim peneliti juga melakukan pengamatan dan
wawancara di lapangan untuk mencari informasi yang
akan dijadikan pendukung data awal sebelum
pembuatan program dan buku panduan penanganan
gangguan/masalah sosial emosional siswa. Sumber
data pendukung lain yang diwawancarai di Sekolah
Dasar adalah kepala sekolah, wali kelas, dan guru
bidang studi, dengan hasil wawancara: 1)
menginginkan adanya buku panduan penanganan
gangguan/masalah sosial emosional bagi siswa yang
mengalami hal tersebut di Sekolah Dasar sehingga
siswa bisa belajar sesuai potensi yang dimiliki, dan 2)
banyak faktor yang menyebabkan terjadi
gangguan/masalah sosial emosional pada siswa di
Sekolah Dasar, antara lain: sikap masa bodoh orang
tua, orang tua sibuk kerja atau tidak bekerja,
pendidikan orang tua yang rendah sehingga kesadaran
akan pentingnya pendidikan anak tidak ada, keluarga
tidak harmonis, perceraian orang tua, makanan kurang
seimbang, sering sakit, sekolah sambil bekerja
membantu orang tua, tempat tinggal jauh, lingkungan
rumah dan sosial kurang mendukung, sarana dan
prasarana belum memadai dan sebagainya, 3. sebagian
siswa di Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SDLB/SLB)
mengalami masalah atau gangguan sosial emosional,
4. Sebagian besar guru kurang memahami dan kurang
bisa menangani siswa yang mengalami
gangguan/masalah sosial emosional, 5. Sebagian besar
sekolah belum memiliki psikoterapis atau konselor
atau petugas bimbingan konseling, 6. Sarana prasarana
untuk menangani siswa gangguan/masalah sosial
emosional kurang atau belum memadai, 7. Tidak
membeda-bedakan siswa yang mengalami
gangguan/masalah sosial emosional dengan siswa
lainnya, 8. menginginkan adanya seminar atau
workshop tentang gangguan/masalah sosial emosional
dan penanganan siswa gangguan/masalah sosial
emosional, dan 9. perlu adanya instrumen asesmen,
program dan panduan guru untuk menangani siswa
yang mengalami gangguan/masalah sosial emosional,
diantaranya program bermain, musik, religi, relaksasi,
modeling.
Berdasarkan informasi di atas, perolehan data
sebagai manifestasi dari kondisi di Sekolah Dasar,
dijadikan sumber data penelitian dalam melaksanakan
program penanganan gangguan/masalah sosial
emosional siswa sesuai kebutuhan siswa dan kondisi
sekolah sehingga tercapai daya guna untuk masa depan
dan keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran,
kehidupan serta tercapainya tujuan pendidikan.
Meskipun berbagai sekolah tingkat dasar masing-
masing memiliki situasi, kondisi, sarana prasarana
proses pembelajaran yang agak berbeda, namun semua
berkeinginan untuk menangani masalah/gangguan
sosial emosional yang bisa mengakibatkan kesulitan
belajar siswa.
Adapun hasil penelitian ini adalah: 1)
penanganan siswa yang mengalami gangguan/masalah
sosial emosional di Sekolah Dasar penting untuk
dilakukan mengingat jumlah siswa yang mengalami
kesulitan belajar semakin meningkat karena berbagai
faktor penyebab termasuk gangguan/masalah sosial
emosional yang menyebabkan siswa mengalami
kesulitan belajar. Hal ini perlu segera mendapatkan
penanganan yang tepat dan efektif, 2) Sekolah Dasar
sebagian belum memiliki program penanganan
gangguan/masalah sosial emosional siswa (program
bermain, musik, religi, relaksasi, modeling), yang ada
baru program remedial. Selain itu guru juga kurang
memahami siswa yang mengalami gangguan/masalah
sosial emosional sehingga dalam menangani hal
tersebut belum optimal. Sekolah sebagian besar tidak
memiliki konselor atau psikoterapis, mengingat
jumlah Sekolah Dasar yang banyak sementara jumlah
konselor dan psikoterapis relatif masih kurang. Hal ini
mengharuskan guru bisa menangani masalah siswa
termasuk masalah gangguan/masalah sosial
emosional, dan 3) Penelitian ini juga menghasilkan
program dan materi, buku panduan guru, instrumen
asesmen yang berkaitan dengan terapi holistik untuk
penanganan gangguan atau masalah sosial emosional
siswa di Sekolah Dasar meliputi bermain, musik,
religi, relaksasi, modeling (pada tahun pertama berupa
draft prototype paket penanganan).
Program penanganan gangguan/masalah sosial
emosional siswa dalam penelitian ini adalah: a.
program terapi bermain yaitu usaha untuk
menghilangkan, mengurangi, mengatasi gangguan
atau penyimpangan fisik, psikis, sosial dan
meningkatkan kemampuan yang dimiliki siswa
melalui media bermain, b. program terapi musik yaitu
v
i
170
program untuk mencegah, mengurangi, mengatasi,
memperbaiki, menyembuhkan gangguan atau
kekurangan fisik, psikis, sosial siswa sehingga
pertumbuhan dan perkembangannya meningkat
seoptimal mungkin melalui music, c. Program religi
adalah program untuk mengurangi masalah sosial
emosional melalui agama atau spiritual, melaksanakan
ibadah dan beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa
serta permohonan bantuan kepada Allah Yang Maha
Kuasa, d. program relaksasi yaitu program untuk
mengurangi ketegangan batin, perasaan cemas, stres
dengan melatih kesanggupan mengendorkan otot
secara relaks, santai, senang dan nyaman sehingga
dalam beraktivitas menjadi lebih baik, termasuk
aktivitas yang berkaitan dengan sosial emosional juga
menjadi lebih baik, e. program modeling adalah
program untuk mengurangi masalah fisik, psikis,
sosial dengan mengamati, mempelajari dan meniru
sikap, perilaku, pikiran model atau orang teladan untuk
membentuk sikap, perilaku, pikiran yang baru, baik,
benar, positif dalam diri individu yang berkaitan
dengan sosial emosional individu, 4. hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran
di Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SLB) menyiratkan
bahwa ada sebagian siswa di Sekolah Dasar yang
mengalami gangguan atau masalah sosial emosional,
5. pada setiap Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SLB)
masing-masing memiliki berbagai faktor yang
menyebabkan penanganan pada siswa yang
mengalami gangguan atau masalah sosial emosional
menjadi berbeda, diantaranya: a. lokasi tempat sekolah
dan jarak sekolah dari rumah siswa, b. sumber daya
manusia (SDM) dari masing-masing sekolah;
kemampuan guru di sekolah dalam memahami dan
menangani masalah siswa diantaranya
gangguan/masalah sosial emosional siswa;
ketersediaan tenaga yang berkaitan dengan
penanganan gangguan/masalah sosial emosional
(misal: psikoterapis, konselor, psikolog, dan
sebagainya) bila hal itu tidak memungkinkan maka
guru yang sebaiknya berusaha mengatasi
gangguan/masalah sosial emosional agar tidak
menimbulkan kesulitan belajar siswa, c. sarana
prasarana sekolah, d. situasi dan kondisi sekolah, dan
e. ketersediaan dana yang diburuhkan dalam
penanganan gangguan/masalah sosial emosional
siswa.
Pembuatan program dan buku panduan guru
untuk menangani gangguan/masalah sosial emosional
siswa dalam pelaksanaannya melalui prosedur yaitu:
1) Mengacu pada kebutuhan, karakteristik,
permasalahan siswa yang mengalami masalah sosial
emosional berdasar hasil asesmen, 2) Mengacu pada
tujuan penanganan gangguan/masalah sosial
emosional siswa di Sekolah Dasar, 3) Menyiapkan
format ukuran program dan buku panduan guru, 4)
Melakukan analisis isi program penanganan
gangguan/masalah sosial emosional siswa di sekolah
tingkat dasar, 5) Melakukan analisisisi materi buku
panduan guru untuk menangani gangguan/masalah
sosial emosional, 6) Menjabarkan materi program
penanganan gangguan/masalah sosial emosional
siswa, 7) Menjabarkan materi buku panduan guru
untuk menangani gangguan/masalah sosial emosional
siswa di Sekolah Dasar (SD, SD Inklusif, SLB), 8)
Review materi program penanganan
gangguan/masalah sosial emosional siswa di Sekolah
Dasar, 9) Review materi buku panduan guru untuk
penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa
di Sekolah Dasar, 10) Membuat prototype program
penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa
di Sekolah Dasar, dan 11) Membuat prototype buku
panduan guru untuk menangani gangguan/masalah
sosial emosional siswa di Sekolah Dasar.
Meskipun demikian untuk menentukan program
dan buku panduan guru untuk menangani gangguan
sosial emosional siswa bukan semata-mata pekerjaan
tim pelaksana penelitian tetapi hasil kerja kolaboratif
antara kelompok peneliti dan pihak sekolah serta
melihat kondisi lapangan dari siswa yang mengalami
gangguan/masalah sosial emosional. Akhimya
langkah tersebut dapat direalisasikan dalam
pembuatan program dan buku panduan penanganan
gangguan/masalah sosial emosional sesuai dengan
hasil diskusi dan disesuaikan dengan kebutuhan
sekolah dan siswa yang mengalami gangguan/masalah
sosial emosional dengan penanganan melalui terapi
holistik, meliputi terapi bermain, musik, religi,
relaksasi, modeling.
Program terapi holistik, meliputi terapi bermain,
musik, religi, relaksasi, dan modeling merupakan pro-
gram yang dirancang untuk menangani gangguan
sosial emosional siswa di sekolah tingkat dasar
(SD/SD Inklusif/ SLB). Selain itu dengan adanya
gangguan sosial emosional siswa di sekolah tingkat
dasar, perlu segera dibuat program penanganan beserta
panduan untuk menangani gangguan sosial emosional
siswa tersebut sehingga siswa bisa belajar
sebagaimana mestinya, tidak mengalami kesulitan
belajar dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik.
Selain hal-hal di atas di sekolah tingkat dasar
banyak kendala yang dihadapi terutama pada kesiapan
sumber daya manusia, diantaranya guru belum atau
kurang memahami gangguan atau masalah sosial
emosional siswa. Oleh karena itu perlu diadakan
pelatihan agar guru dapat memahami dan menangani
gangguan atau masalah sosial emosional siswa di
sekolah tingkat dasar. Realisasi kepedulian lembaga
pendidikan atas pcrmasalahan sosial emosional siswa
di sekolah tingkat dasar adalah melalui diadakannya
penelitian tentang program penanganan gangguan atau
masalah sosial emosional dan tertuang dalam fokus
dari tujuan penelitian ini dan target yang ingin dicapai
yaitu mengupayakan pengembangan program
penanganan gangguan atau masalah sosial emosional
siswa untuk mengoptimalkan dan membekali guru
dalam menangani gangguan atau masalah sosial
emosional siswa yang menjadi tanggung jawabnya dan
berpotensi memahami dan mendalami karakteristik,
kebutuhan, permasalahan, dari siswa yang mengalami
171
gangguan atau masalah sosial emosional baik dari
aspek fisik, psikis maupun sosial.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang
pengembangan terapi holistik dalam menangani
gangguan sosial emosional siswa, melalui
pengumpulan data lapangan dengan observasi,
wawancara, dan dokumentasi, dapat disimpulkan
sebagai berikut: 1) telah tersusun program penanganan
gangguan/masalah sosial emosional siswa di sekolah
tingkat dasar dengan terapi holistik (terapi bermain,
musik, religi, relaksasi, modeling), pada tahun pertama
berupa draft, 2) tersusun buku panduan guru untuk
menangani gangguan/masalah sosial emosional siswa
yaitu buku panduan guru tentang terapi holistik
(bermain, musik, religi, relaksasi, modeling), pada
tahun pertama berupa draft protoptype, 3) selama
penelitian tahun pertama keinginan guru untuk
menangani gangguan/masalah sosial emosional siswa
telah ada dengan disusunnya buku panduan guru (pada
tahun pertama berupa draft prototype), 4) sesuai data
yang diperoleh secara empirik, minat dan kebutuhan
guru untuk bisa menangani gangguan atau masalah
sosial emosional siswa cukup besar, apalagi guru-guru
di kelas rendah sekolah tingkat dasar, dan 5) program
penanganan gangguan atau masalah sosial emosional
yang telah dikembangkan, masih diperlukan
pengembangannya lebih lanjut pada penelitian tahun
kedua.
4.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah: 1) Guru di
sekolah tingkat dasar sebaiknya tetap berusaha
memahami dan menangani siswa yang mengalami
gangguan atau masalah sosial emosional agar siswa
tidak mengalami kesulitan belajar sehingga hasil
belajar menjadi lebih baik, 2) Sekolah sebaiknya
menyediakan sarana prasarana yang memadai
berkaitan dengan penanganan gangguan/masalah
sosial emosional siswa, 3) Pengembangan program
penanganan gangguan/masalah sosial emosional siswa
ini agar mcndapatkan prioritas untuk dilanjutkan pada
penelitian tahun-tahun berikutnya, karena memang
dibutuhkan oleh siswa yang mengalami
gangguan/masalah sosial emosional dan untuk
mengoptimalkan kemampuan guru-guru di sekolah
tingkat dasar dalam hal penanganan
gangguan/masalah sosial emosional siswa, dan 4)
Perlu adanya pelatihan untuk guru-guru di sekolah
tingkat dasar tentang pembuatan program penanganan
gangguan/masalah sosial emosional siswa, agar hasil
yang telah diperoleh bisa dikembangkan lebih lanjut
dan diterapkan untuk menangani gangguan atau
masalah sosial emosional yang dialami siswa di
sekolah tingkat dasar.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Hawari, D., (1995). Religi Dalam Praktek Psikiatri
dan Psikologi. Jakarta: FKUI.
[2]. Nugraha, A., dkk, (2008). Metode Pengembangan
Sosial Emosional. Jakarta: Universitas Terbuka.
[3]. Somantri Sutjihati, S., (2006). Psikologi ALB. Bandung:
PT. Refika Aditama.
[4]. Chalidah, E. S, (2005). Terapi Permainan Bagi Anak
Yang Memerlukan Layanan Pendidikan Khusus.
Jakarta: Depdiknas.
[5]. Gardner, (2006). Multiple Intelligences. New York:
Basic Books.
[6]. Djohan, (2006). Terapi Musik, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Galang Press.
[7]. Astati, (1995). Terapi Okupasi, Bermain dan Musik
Untuk Anak Tunagrahita. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
[8]. Purwanta, E, (2005), Modifikasi Perilaku. Jakarta:
Ditjend Dikti Depdiknas.
[9]. Louise, M, (2004). Kecerdasan Musik. Terj. Oleh :
Sindoro, L. Batam: Lucky Publishers.
[10]. Woolfolk, Anita, (2008). Educational Psychology.
Boston: Pearson Education, Inc. 142-150.
[11]. Slavin, Robert, E, (2009). Educational Psychology
Theory and Practice. New Jersey: Pearson Education,
Inc. 162-167.
[12]. Fakihuddin, L, (2007). Pengajaran Remedial dan
Pengayaan. Malang: Bayumedia Publisher.
172
173
Peningkatan Kemampuan Membaca Siswa SDN Jono I, Kecamatan
Temayang, Kabupaten Bojonegoro Melalui Kegiatan Pembiasaan
Membaca Berjenjang
Moh. Zamzuri
Guru SDN Jono I, Kab. Bojonegoro, E-mail: sdnjonosatu@yahoo.co.id
*) Alamat korespondensi: Email: elzambrods@gmail.com.
ABSTRACT
The purpose of this study are: (1) describe the implementation of habituation reading school student Jono I,
District Temayang, Bojonegoro (2) describe the students' reading ability of SDN Jono I, District Temayang,
Bojonegoro, and (3) describe the students' response to the activities of habituation reading SDN Jono I, District
Temayang, Bojonegoro. This research method is classroom action research (classroom action research). The
approach used is qualitative descriptive approach. The instrument used in this study is the observation sheet of
activities of teachers and students, students' reading ability rubric that is focused on the ability to predict,
understand the vocabulary and punctuation, to understand the content of reading and summarizing and student
questionnaire responses. The results of this study were: (1) the activities carried out by the three-tiered reading
strategies, namely: reading together, guided reading and independent reading; (2) The ability to read students
has increased in the first cycle of 75% and the second cycle by 82%; and (3) The response of students to the
reading tiered very positive.
Key Words: the ability to read, habituation, read tiered
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan pelaksanaan kegiatan pembiasaan membaca siswa
SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro (2) mendeskripsikan kemampauan membaca siswa
SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, dan (3) mendeskripsikan respon siswa terhadap
kegiatan pembiasaan membaca di SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Metode penelitian
ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
deskriptif kualitatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi aktivitas guru dan
siswa, rubrik kemampuan membaca siswa yang difokuskan pada kemampuan memprediksi, memahami kosa kata
dan tanda baca, memahami isi bacaan, dan merangkum dan angket respon siswa. Hasil penelitian ini adalah (1)
kegiatan membaca berjenjang dilaksanakan dengan tiga strategi yaitu: membaca bersama, membaca terbimbing
dan membaca mandiri; (2) Kemampuan membaca siswa mengalami peningkatan pada siklus I sebesar 75% dan
siklus II sebesar 82%; (3) Respon siswa terhadap kegiatan membaca berjenjang sangat positif.
Kata kunci: kemampuan membaca, pembiasaan, membaca berjenjang
1. PENDAHULUAN
Membaca memilik peran penting dalam belajar,
hal ini dikarenakan pengetahuan diperoleh melalui
membaca. Jika siswa memiliki kemampuan membaca
yang baik maka semakin baik pula pencapaian
akademiknya. Sebaliknya jika siswa tidak memiliki
kemampuan membaca yang baik dapat dipastikan akan
mengalami kesulitan dalam mempelajari berbagai
mata pelajaran. Oleh karena itu, kemampuan membaca
harus dikuasi oleh siswa dan perlu dibiasakan sejak
dini agar menjadi kegemaran dan menjadi kebutuhan
siswa.
Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan Peraturan
Menteri Pendikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yaitu untuk
menumbuhkan kebiasaan yang baik dan membentuk
generasi berkarakter positif. Salah satunya adalah
melalui pembiasaan menggunakan lima belas menit
sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku
selain buku mata pelajaran[1]. Menurut Faizah dkk.
(2016:2), dalam jangka panjang kegiatan pembiasaan
membaca akan menumbuhkan budaya literasi dan
menjadikan peserta didik menjadi pembelajar
sepanjang hayat[2].
Berdasarkan hasil investigasi awal berupa
wawancara antara peneliti dengan guru kelas III SDN
Jono I yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 4
Oktober 2016 menunjukkan bahwa kemampuan
membaca siswa kelas III tergolong rendah. Siswa
kesulitan memahami kosa kata dan tanda baca serta
memahami isi bacaan. Hal ini didukung dengan data
observasi kegiatan pembiasaan membaca, masih
banyak ditemukan kesalahan dalam membaca dengan
intonasi yang tepat, kesalahan tanda baca, kurang
memahami isi bacaan. Sehingga ketuntasan kelas dari
KKM yang ditentukan sebesar 75, hanya 57% yang
memperoleh nilai sama atau di atas 75. Sebagian besar
174
siswa tidak fokus membaca dan cenderung kurang
tertarik dengan kegiatan membaca.
Upaya yang telah dilakukan oleh guru sehubungan
dengan kegiatan pembiasaan membaca adalah dengan
menugaskan siswa untuk memilih buku yang digemari
untuk dibaca sebelum pembelajaran dimulai.
Kemudian guru menanyakan isi bacaan sesuai dengan
yang dibaca. Namun kenyataannya banyak siswa yang
tidak dapat menyebutkan isi bacaan yang telah dibaca.
Artinya pemahaman siswa terhadap isi bacaan masih
tergolong rendah. Upaya lain yang dilakukan guru agar
siswa lancar membaca adalah memberikan bimbingan
khusus bagi siswa yang kurang lancar membaca.
Hasilnya siswa sudah lancar membaca namun dalam
pelafalan dan intonasi serta tanda baca masih banyak
terjadi kesalahan. Salah satu faktor penyebab
rendahnya kemampuan membaca siswa ini adalah
pemilihan strategi yang kurang tepat serta pengelolaan
kelas yang kurang tepat pula, sehingga berakibat siswa
kurang termotivasi dan kemampuan membacanya
rendah.
Membaca adalah proses yang dilakukan dan
dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan
yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media
tulis[3]. Sementara itu, untuk memahami isi bacaan
diperlukan daya nalar, seperti yang diketengahkan
oleh Tampubolon[4] bahwa membaca adalah suatu
kegiatan atau cara dalam mengupayakan pembinaan
daya nalar. Jika demikian, membaca merupakan suatu
aktifitas yang rumit dan kompleks karena bergantung
pada tingkat penalaran pembaca dan keterampilan
berbahasanya.
Pada dasarnya kegiatan membaca melibatkan dua
hal, yaitu (1) pembaca yang berimplikasi adanya
pemahaman dan (2) teks yang berimplikasi adanya
penulis[5]. Dalam hubungan ini, membaca adalah
kegiatan memperoleh pemahaman dari teks. Makna
teks dapat diperoleh dari interaksi timbal balik antara
pengetahuan dasar pembaca dengan teks.
Sebagaimana yang diungkapkan Nurhadi[6] bahwa
kekayaan akan kata-kata akan menjamin kelancaran
mencerna setiap kata yang dibaca seseorang. Jadi
makna dapat berubah bergantung pengalaman yang
dimiliki pembaca yang berbeda-beda.
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa membaca adalah proses yang dilakukan
pembaca dalam mengupayakan daya nalar untuk
memperoleh pemahaman terhadap teks yang dibaca.
Sehubungan dengan itu, untuk memahami makna
bacaan tiap orang dapat berbeda-beda bergantung pada
pengetahuan dasar masing-masing pembaca.
Selanjutnya Syafi’ie[7] menyebutkan hakikat
membaca adalah: (1) Pengembangan keterampilan,
mulai dari keterampilan memahami kata-kata, kalimat-
kalimat, paragraf-paragraf dalam bacaan sampai
dengan memahami secara kritis dan evaluatif
keseluruhan isi bacaan, (2) Kegiatan visual, berupa
serangkaian gerakan mata dalam mengikuti baris-baris
tulisan, pemusatan penglihatan pada kata dan
kelompok kata, melihat ulang kata dan kelompok kata
untuk memperoleh pemahaman terhadap bacaan, (3)
Kegiatan mengamati dan memahami kata-kata yang
tertulis dan memberikan makna terhadap kata-kata
tersebut berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang telah dipunyai, (4) Suatu proses berpikir yang
terjadi melalui proses mempersepsi dan memahami
informasi serta memberikan makna terhadap bacaan,
(5) Proses mengolah informasi oleh pembaca dengan
menggunakan informasi dalam bacaan dan
pengetahuan serta pengalaman yang telah dipunyai
sebelumnya yang relevan dengan informasi tersebut,
(6) Proses menghubungkan tulisan dengan bunyinya
sesuai dengan sistem tulisan yang digunakan, dan (7)
Kemampuan mengantisipasi makna terhadap baris-
baris dalam tulisan. Kegiatan membaca bukan hanya
kegiatan mekanis saja, melainkan merupakan kegiatan
menangkap maksud dari kelompok-kelompok kata
yang membawa makna[7].
Menurut Anderson dalam Akhadiah[8] ada lima
ciri membaca, yaitu: (1) membaca adalah konstruktif;
(2) membaca harus lancar; (3) membaca harus
dilakukan dengan strategi yang tepat; (4) membaca
memerlukan motivasi; dan (5) membaca merupakan
keterampilan yang harus dikembangkan secara
berkesinambungan.
Senada dengan pendapat tersebut, dalam modul
pembelajaran membaca di kelas awal dikatakan bahwa
membaca berjenjang adalah kegiatan membaca yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa yaitu
menerapkan beragam strategi pembelajaran dan
pemilihan bacaan sesuai dengan kebutuhan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan
dan minat siswa membaca. Strategi yang digunakan
dalam membaca berjenjang, antara lain: membaca
bersama, membaca terbimbing, dan membaca
mandiri[9].
Membaca bersama, kegiatannya melibatkan
semua siswa satu kelas. Bahan bacaan yang digunakan
buku besar. Guru memodelkan berbagai keterampilan
dan melibatkan siswa selama proses membaca
dilakukan. Keterampilan yang dilatihkan adalah
memprediksi, memahami kosakata dan tanda baca,
memahami isi bacaan, dan merangkum. Sementara,
membaca terbimbing, dengan cara mengelompokkan
siswa yang memiliki kemampuan yang setara
(homogen) untuk diberikan bimbingan dalam
kelompok dengan bahan bacaan yang sama, sedangkan
siswa yang tidak termasuk bimbingan kelompok
diberikan tugas tertentu. Keterampilan yang dilatihkan
adalah memprediksi, memahami kosakata dan tanda
baca, memahami isi bacaan, dan merangkum.
Kemudian membaca mandiri, kegiatannya
dilakukan dengan cara siswa secara individu atau
berpasangan memilih sendiri buku yang akan dibaca
sesuai dengan minat dan kemampuan siswa. Ketika
siswa memilih buku guru memberikan pendampingan
pada siswa. Salah satu teknik yang digunakan agar
buku yang dibaca siswa sesuai dengan kemampuannya
adalah teknik lima jari. Guru meminta membaca satu
halaman. Jika dalam membaca mengalami lebih dari
175
lima kesalahan atau kesulitan, maka buku tersebut
tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Selain itu buku
bacaan yang dibaca hendaknya mengandung informasi
yang sederhana atau kejadian sehari-hari, isi cerita
mengandung nilai optimisme, bersifat inspiratif, dan
mengembangkan imajinasi, buku dapat bergenre
fantasi dengan tokoh binatang (fabel), buku
mengandung pesan nilai-nilai sesuai dengan tahapan
tumbuh kembang peserta didik dalam berbagai aspek,
antara lain moral, sosial, kognitif, pesan moral cerita
disampaikan dengan tidak menggurui. Dengan
membaca berjenjang kegiatan membaca sesuai dengan
kebutuhan siswa, membuat siswa nyaman, dan akan
memotivasi siswa untuk senang membaca.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari
penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan pelaksanaan
kegiatan pembiasaan membaca siswa SDN Jono I,
Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro (2)
mendeskripsikan kemampauan membaca siswa SDN
Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro,
dan (3) mendeskripsikan respon siswa terhadap
kegiatan pembiasaan membaca di SDN Jono I,
Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro.
Manfaat dari penelitian ini antara lain: (1) bagi
siswa meningkatkan kemampuan membaca; (2) bagi
peneliti menambah wawasan dan masukan mengenai
pembiasaan membaca; (3) bagi guru menambah
wawasan menggunakan salah satu strategi kegiatan
pembiasaan membaca; dan (4) bagi sekolah sebagai
referensi dalam mengambil kebijakan dalam kegiatan
pembiasaan membaca.
2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah penelitian tindakan
kelas (Classroom Action Research), yaitu penelitian
yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-
tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau
dapat meningkatkan praktik pembelajaran secara
profesional[10]. Menurut Frankel and Wallen (2006)
dan Kemmis (1986) dalam Supriatna[10] daur
penelitian tindakan dan refleksi berbentuk spiral
seperti Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Daur Penelitian Tindakan
Penelitian dilaksanakan di SDN Jono I, yang
beralamat di Jalan Raya Jono-Temayang Km 23,
Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro.
Waktu penelitian pada minggu ke-2 sampai dengan
minggu ke-4 bulan Oktober tahun 20016. Subjek
penelitian dan sumber data utama adalah siswa Kelas
III SDN Jono I, Kecamatan Temayang, Kabupaten
Bojonegoro yang berjumlah 28 anak.
Berdasarkan pada rancangan penelitian dan data
yang ingin diperoleh dalam penelitian ini, maka
prosedur penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1)
Tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan pada tahap
persiapan adalah membuat perangkat kegiatan
membaca dan intrumen-intrumen penelitian, (2) Tahap
pelaksanaan, pelaksanaan kegiatan membaca
berjenjang pada kegiatan membaca dengan
menerapkan tiga strategi yaitu: membaca bersama,
membaca terbimbing dan membaca mandiri, dan (3)
Tahap pengumpulan dan analisis data, data tentang
pelaksanaan kegiatan membaca diperoleh melalui
pengamatan/observasi dikumpulkan dengan instrumen
observasi berupa skala penilaian (rating scale). Untuk
mengumpulkan data tentang kemampuan membaca
siswa diperoleh melalui rubrik penilaian unjuk kerja.
Kemudian data tentang respon siswa diperoleh melalui
angket.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah: (1)
lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa; (2)
lembar pengamatan unjuk kerja siswa dalam kegiatan
membaca; dan (3) angket respon siswa. Data yang
dianalisis adalah hasil observasi aktivitas guru dan
siswa selama proses kegiatan membaca berjenjang
berlangsung, kemampuan membaca siswa dan respon
siswa. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis sebagai berikut:
2.1 Data hasil observasi
Untuk menganalisis data hasil observasi yang
diperoleh dari lembar observasi aktivitas guru dan
siswa, digunakan rumus Persentase Skor Hasil
Observasi (PSHO) sebagai berikut:
PSHO = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑘𝑜𝑟
∑ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚𝑥100%
Dengan kriteria keterlaksanaan aktivitas guru dan
siswa disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Keterlaksanaan Aktivitas Guru dan
Siswa
Interval Presentasi Kategori
80% ≤ PSHO 100% Sangat baik
70% ≤ PSHO < 80% Baik
55% ≤ PSHO < 70% Cukup baik PSHO < 55% Sangat kurang
(Sumber: diadopsi dari Arikunto dengan modifikasi [11]
Keberhasilan guru dalam melaksanakan kegiatan
membaca berjenjang dapat dilihat dari hasil observasi
aktivitas guru dan siswa dengan minimal
keberhasilannya masuk dalam kategori baik.
2.2 Data kemampuan membaca siswa
Menganalisis hasil rubrik unjuk kerja siswa
dengan menjumlahkan skor yang diperoleh kemudian
dibagi skor maksimum.
176
NS = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚𝑥100
Selanjutnya untuk menentukan persentase
ketuntasan kelas dengan membagi banyaknya siswa
yang tuntas dengan jumlah siswa seluruhnya. Kriteria
ketuntas kelas yang ditetapkan adalah 75.
Presentase Ketuntasan = 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎𝑥100
Kesimpulan analisis disesuaikan dengan
presentase ketuntasan kelas yang ditetapkan sehingga
dapat diketahui kemampuan membaca siswa.
Peningkatan kemampuan membaca siswa pada
kegiatan pembiasaan membaca berjenjang ini
ditunjukkan oleh jika banyaknya siswa yang tuntas
atau memperoleh nilai 75% -100% dibanding dengan
banyak seluruh siswa sama dengan 75% atau lebih.
2.3 Data respon siswa
Data angket respon siswa yang digunakan untuk
mengetahui data respon siswa terhadap pelaksanaan
kegiatan pembiasaan membaca berjenjang, misalnya:
setuju atau tidak terhadap pembiasaan membaca
berjenjang.
Untuk menganalisis data respon siswa diperoleh
dari angket respon siswa, dengan menggunakan rumus
Angket Respon Siswa (ARS) sebagai berikut:
ARS = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖
∑ 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑛𝑦𝑎𝑥100%
Kesimpulan analisis disesuaikan dengan
persentase setiap pertanyaan yang menunjukkan
pernyataan setuju tidak setuju.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian
tindakan kelas yang diadopsi dari Khemmis dan
Taggart dalam Riyanto[12] dengan dua rancangan
siklus, setiap siklus terdiri dari tahapan: perencanaan,
pelaksanaan/tindakan, observasi, dan refleksi[12].
Siklus I
Perencanaan I, yang meliputi tiga pertemuan,
yaitu:
Pertemuan ke-1
Membaca bersama, guru mengatur posisi duduk
peserta didik agar semuanya dapat melihat buku yang
dibacakan. Menjelaskan apa yang harus dilakukan
peserta didik (misalnya, apakah mereka dapat
langsung membaca bersama atau menunggu kalimat-
kalimat dibacakan). Menyebutkan judul, pengarang
dan ilustrator atau menyebutkan sumber bahan bacaan.
Dengan menunjuk sampul depan, minta peserta didik
untuk menebak isi bacaan. Guru dan peserta didik
membaca materi bacaan (paragraf/kalimat) yang sama.
Guru dan peserta didik membaca ulang alinea atau
paragraf yang dianggap penting. Guru berhenti
membaca sejenak dan memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk menebak alur cerita selanjutnya.
Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait
konten buku, kosakata, tatabahasa atau tanda baca
untuk meyakinkan bahwa peserta didik memahami
jalannya cerita. Guru meminta peserta didik untuk
menanggapi isi bacaan. Guru dapat mengajak peserta
didik untuk membuat daftar kosakata baru dan
menuliskannya pada flip chart. Guru dapat menjadikan
kegiatan membaca bersama sebagai hadiah atas
pencapaian peserta didik
Pertemuan ke-2
Membaca terbimbing, guru mengucapkan salam
dan menyapa siswa. Kemudian guru mengelompokkan
siswa menjadi dua kelompok, satu kelompok
bimbingan 7 siswa dan sisanya kelompok tidak
terbimbing. Membuat kesepakatan Menunjukkan
sampul buku bacaan Bertanya jawab judul bacaan
Menggali pengetahuan latar dan pengalaman peserta
didik. Memperhatikan ilustrasi dan memprediksi alur
cerita. Guru memeragakan membaca kalimat atau
paragraf dan meminta peserta didik untuk menirukan
atau meneruskan membaca secara bergiliran. Guru
meminta peserta didik untuk mencatat kosakata baru,
kalimat yang menarik, tokoh utama atau tokoh lain
yang menarik. Meminta peserta didik untuk
menceritakan kembali isi bacaan dengan kata-katanya
sendiri. meminta peserta didik untuk membuat daftar
kata-kata sulit. Meminta peserta didik untuk membuat
peta cerita.
Pertemuan ke-3
Membaca mandiri, guru mendampingi dan
mengetahui bacaan yang dipilih peserta didik. agar:
Bacaan sesuai dengan tingkat pemahaman peserta
didik atau sedikit di atasnya. Konten bacaan sesuai
dengan usia peserta didik atau mendukung tema atau
sub tema materi ajar. Guru melakukan pra-baca untuk
mengetahui ringkasan buku yang akan dibaca peserta
didik. Dapat menjawab peserta didik apabila mereka
bertanya. Mengembangkan diskusi dengan topik yang
relevan. Meminta peserta didik untuk membaca secara
mandiri. Mengingatkan peserta didik untuk
menerapkan strategi membaca, misalnya: Membaca
judul dan mempelajari ilustrasi sampul muka untuk
dapat menebak isi bacaan. Menebak kata-kata sulit
dengan mempelajari ilustrasi atau konteks kalimat.
Membuat daftar pertanyaan terkait bacaan. Guru
meminta peserta didik untuk: mencari informasi lebih
lanjut tentang bacaan atau pengarang maupun
ilustrator buku. membuat daftar kosakata baru.
membuat peta cerita atau peta konsep isi bacaan.
meringkas isi bacaan dengan kata-kata sendiri, baik
secara lisan, gambar, atau tertulis. melakukan kegiatan
lanjutan untuk menanggapi isi bacaan.
Pelaksanaan Tindakan I, guru melaksanakan
tindakan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat
oleh peneliti dalam proses pembiasaan membaca.
Observasi I, observasi dilakukan selama kegiatan
pembiasaan membaca berlangsung dengan mengisi
lembar observasi guru dan siswa.
Refleksi I, dilaksanakan untuk mengetahui
kekurangan dan kelemahan pada saat pelaksanaan
177
siklus I, dan digunakan sebagai bahan acuan tindakan
berikutnya.
Siklus II
Melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti siklus I,
namun terjadi pemantapan bila siklus I berjalan baik
atau dengan perbaikan bila ada kekurangan dalam
siklus I.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari
perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan,
observasi, dan refleksi. Pada siklus I terdiri dari tiga
pertemuan dan siklus 2 terdiri dari tiga pertemuan
dengan masing-masing pertemuan dilaksanakan dalam
1 x 15 menit. Penelitian ini dimulai pada tanggal
tanggal 4 Oktober 2016 dan selesai pada tanggal 22
Oktober 2016. Selama proses penelitian berlangsung,
ada beberapa hasil yang diperoleh seperti yang penulis
paparkan berikut.
1. Hasil Observasi Aktivitas Guru
Tabel 2. Taraf keberhasilan aktivitas guru
Siklus Pertemuan Persentase
Keberhasilan
Taraf
Keberhasilan
I 1, 2, dan 3 91, 29 Sangat baik II 1, 2, dan 3 93, 72 Sangat baik
Tabel 2 menunjukkan ada peningkatan persentase
keberhasilan guru dalam menerapkan kegiatan
membaca berjenjang dari siklus 1 ke siklus 2 dan
berada pada taraf keberhasilan sangat baik.
2. Hasil Observasi Aktivitas Siswa
Tabel 3. Taraf keberhasilan aktivitas siswa
Siklus Pertemuan Persentase
Keberhasilan
Taraf
Keberhasilan
I 1, 2, dan 3 89, 50 Sangat baik II 1, 2, dan 3 92, 25 Sangat baik
Tabel 3 menunjukkan ada peningkatan persentase
keberhasilan siswa dengan diterapkan kegiatan
membaca berjenjang dari siklus 1 ke siklus 2 dan
berada pada taraf keberhasilan sangat baik.
3. Hasil Kemampuan Membaca Siswa
Berikut adalah hasil kemampuan membaca siswa
yang mencakup empat (4) keterampilan, seperti
disajikan pada pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Kemampuan Membaca Siswa
Keterampilan Siklus I Siklus II Keterangan
Memprediksi 75% 77% Meningkat 2%
Kosa Kata dan Tanda Baca
79% 80% Meningkat 1%
Memahami isi
bacaan 82% 83% Meningkat 1%
Merangkum
bacaan 79% 80% Meningkat 1%
Rata-rata 79% 80% Meningkat 1% Ketuntasan siswa 75% 82% Meningkat 7%
Tabel 4 menunjukkan ada peningkatan persentase
kemampuan membaca siswa dengan diterapkan
pembiasaan membaca berjenjang.
4. Hasil Respon Siswa
Berikut adalah hasil angket respon siswa terhadap
proses pembiasaan membaca berjenjang, seperti
diperlihatkan pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Angket Respon Siswa
Siklus Pertanyaan Setuju Tidak
Setuju
Tidak
Menjawab
I Apakah
pembiasaan membaca
berjenjang
menyenangkan?
75% 18% 7%
II 100% 0% 0%
I Apakah
pembiasaan
membaca berjenjang
memudahkan
siswa belajar membaca?
75% 18% 7%
II 93% 7% 0%
I Apakah
pembiasaan membaca
berjenjang
meningkatkan kemampuan
membaca?
82% 0% 18%
II 100% 0% 0%
Tabel 5 menunjukkan ada peningkatan persentase
respon positif siswa dengan diterapkan pembiasaan
membaca berjenjang.
3.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian pada kegiatan
pembiasaan membaca berjenjang. Pelaksanaan
pembiasaan membaca berjenjang meliputi membaca
bersama, membaca terbimbing dan membaca mandiri.
Pada saat kegiatan membaca bersama buku yang
digunakan guru adalah buku besar. Siswa diajak duduk
lesehan di atas karpet. Kemudian guru mengenalkan
sampul buku dengan menggali pertanyaan dan
meminta siswa memprediksi judul dan isi bacaan.
Selanjutnya guru memberi contoh membaca kalimat,
dilanjutkan guru dan siswa membaca ulang kalimat
yang dianggap penting. Guru berhenti membaca
sejenak dan memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk menebak alur cerita selanjutnya.
Kemudian pada kegiatan membaca terbimbing,
buku yang digunakan adalah buku bacaan berjenjang
dengan judul yang sama. Guru mengelompokkan
siswa menjadi dua kelompok, satu kelompok
bimbingan ada tujuh siswa dan sisanya kelompok tidak
terbimbing. Guru memberikan lembar kerja bagi siswa
yang tidak terbimbing. Kemudian guru memulai
kegiatan pada kelompok terbimbing guru dan siswa
membuat kesepakatan. Selanjutnya meminta siswa
memperhatikan sampul buku bacaan. Guru bertanya
jawab judul bacaan. Kemudian menggali pengetahuan
latar dan pengalaman peserta didik. Selanjutnya siswa
memperhatikan ilustrasi dan memprediksi alur cerita.
178
Guru membaca kalimat dalam paragraf dan meminta
peserta didik untuk meneruskan membaca secara
bergiliran. Guru meminta peserta didik untuk mencatat
kosakata baru, kalimat yang menarik, tokoh utama
atau tokoh lain yang menarik.
Selanjutnya pada kegiatan membaca mandiri guru
berperan sebagai pendamping, guru meminta siswa
menunjukkan bacaan yang dipilih. Guru meminta
siswa membaca satu halaman dan menanyakan tingkat
kesulitan memahami yang dibaca. Kemudian guru
meminta siswa untuk membaca secara mandiri, sambil
mengingatkan peserta didik untuk membaca judul dan
mempelajari ilustrasi sampul muka untuk dapat
menebak isi bacaan. Pada kegiatan akhir guru meminta
siswa untuk membuat daftar kosakata baru, meringkas
isi bacaan dengan kata-kata sendiri.
Setelah peneliti melaksanakan refleksi terhadap
pelaksanaan membaca berjenjang selama siklus I,
ketika membaca bersama guru tidak membuat
kesepakatan sehingga siswa masih sering ramai. Pada
siklus II untuk membaca bersama pelaksanaan
kegiatan berjalan dengan baik dan guru telah membuat
kesepakatan awal.
Selanjutnya pada kegiatan membaca terbimbing
siswa yang tidak memperoleh bimbingan ramai
menanyakan lembar kerja yang diberikan. Kemudian
pada siklus II untuk membaca terbimbing guru
memberikan petunjuk pada lembar kerja dengan jelas.
Sementara, pada kegiatan membaca mandiri sudah
berjalan dengan baik. Pada siklus II kegiatan membaca
mandiri berjalan lebih baik.
Berdasarkan hasil rubrik unjuk kerja siswa pada
siklus I dapat diketahui kemampuan membaca siswa
dari keterampilan memprediksi 75%, keterampilan
kosa kata dan tanda baca 79%, keterampilan
memahami isi bacaan 82%, dan keterampilan
merangkum bacaan 79%. Rata-rata dari keempat
keterampilan tersebut adalah 79%. Dari hasil tersebut
sebanyak 21 anak memperoleh nilai sama atau
melebihi 75 dan 7 anak memperoleh kurang dari 75
sehingga diketahui 75% tuntas.
Kemampuan membaca siswa ini mengalami
peningkatan pada siklus II dari hasil rubrik unjuk kerja
siswa dapat diketahui keterampilan memprediksi 77%,
keterampilan kosa kata dan tanda baca 80%,
keterampilan memahami isi bacaan 83%, dan
keterampilan merangkum bacaan 80%. Rata-rata dari
keempat keterampilan tersebut adalah 81%. Dari hasil
tersebut sebanyak 23 anak memperoleh nilai sama atau
melebihi 75 dan 4 anak memperoleh kurang dari 75
sehingga diketahui 82% tuntas.
Dari keempat keterampilan yang menjadi fokus
untuk ditingkatkan maka dengan kegiatan membaca
berjenjang mengalami peningkatan yang cukup
signifikan.
Selanjutnya respon siswa berdasarkan hasil angket
siswa pada setiap siklus menunjukkan respon positif.
Hal ini menunjukkan kegiatan membaca berjenjang
dapat meningkatkan motivasi dalam kegiatan
pembiasaan membaca siswa.
4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tindakan kelas di SDN Jono I
dapat disimpulkan bahwa: (1) pelaksanaan kegiatan
pembiasaan membaca berjenjang melalui tiga strategi
yaitu: membaca bersama, membaca terbimbing, dan
membaca mandiri. Keterampilan yang dilatihkan
fokus pada memprediksi, kosa kata dan tanda baca,
memahami isi bacaan, dan merangkum, (2)
kemampuan membaca siswa meningkat melalui
kegiatan pembiasaan membaca berjenjang. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan kemampuan siswa dalam
memprediksi judul bacaan, isi bacaan, kosa kata dalam
bacaan, memahami tanda baca dan melafalkannya,
memahami isi bacaan, dan merangkum isi bacaan;
Ketuntasan kelas pada siklus I sebesar 75% dan siklus
II menjadi 82%, dan (3) Respon siswa terhadap
kegiatan pembiasaan membaca berjenjang sangat
positif, hal ini menunjukkan kegiatan membaca
berjenjang dapat memotivasi siswa untuk
melaksanakan kegiatan pembiasaan membaca.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1] Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Jakarta.
[2] Faizah, Dewi Utama, Susanti Sufyadi, Lanny Anggraini,
Waluyo, Sofie Dewayani, Wien Muldian, dan Dwi
Renya Roosaria, (2016). Panduan Gerakan Literasi
Sekolah Di Sekolah Dasar, Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Dasar Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
[3] Tarigan, Henry Guntur, (1990). Membaca sebagai
Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa.
[4] Tampubolon, (1987). Kemampuan Membaca, Teknik
Membaca Efektif dan Efesien, Bandung: Angkasa.
[5] Kridalaksana, H., (1982). Tata Bahasa Deskriptif
Bahasa Indonesia Sintaksis, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
[6] Nurhadi, (1989). Membaca Cepat dan Efektif, Bandung: Sinar Baru.
[7] Syafi’ie, Imam. (1994). Pengajaran Membaca
Terpadu. Bahan Kursus Pendalaman Materi Guru
Inti PKG Bahasa dan Sastra Indonesia, Malang: IKIP.
[8] Akhadiah, Sabari M.K., (1992). Bahasa Indonesia I, Jakarta: Depdikbud.
[9] Anonim, (2006). Pembelajaran Membaca di Kelas
Rendah, Jakarta: Usaid Prioritas.
[10] Supriatna, Endang K, Supardi, Abdul Aziz (2009).
Penelitian Guru Bahasa, Bandung: Adhi Aksara Abadi Nusantara.
[11] Arikunto, S. (2009). Evaluasi Program Pendidikan,
Jakarta: Rineka Cipta.
[12] Riyanto, Yatim, (2012). Metodologi Penelitian
Pendidikan, Surabaya: SIC.
179
Pengembangan Media Pembelajaran Teknik Pemesinan Berbantuan
Komputer Yang Efektif Di SMK
Yunus1*), Iskandar2
1 Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FT-Unesa. E-mail: brilian818@yahoo.co.id 2 Jurusan Pendidikan Teknik Mesin. E-mail: kanday@quictrikc.biz
*) Alamat koresponden: E-mail: brilian818@yahoo.co.id
ABSTRACT
This study aims to develop learning media machining techniques are effective in SMK. The research method
is based on the design of research and development (research and development). This research has produced a
learning tool in the form of draft learning tool machining techniques in SMK validated and revised based on
suggestions and feedback from the validator. The products of this research consisted of: (a) a draft KI-KD
technique of machining, (b) a draft syllabus engineering machining, (c) a draft RPP technique Machining, (d) a
draft module engineering machining, (e) a draft job-sheet technique of machining, (f) draft assessment guidelines
machining techniques, and (g) media PBK-TP that has been validated with a mean score of 3.60 that fall into the
category of very valid. The trial results showed, bahws there is a difference in student learning outcomes on
cognitive and psychomotor aspects on the subjects of Mechanical Machining between the model PBK-TP with
conventional learning models, where the average value of the cognitive aspects of the experimental class of 81.5
higher than the control class is 77.08, and the average value of the results of the experimental class practices of
81.92 higher than the control class at 78.14. The trial results showed media device PBK-TP generated feasible
and effective for use in teaching subjects in vocational Lathe Machining Techniques.
Key Words: Media development PBK-TP, Decent, Effective
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model media pembelajaran teknik pemesinan yang efektif di
SMK. Metode penelitian didasarkan atas rancangan penelitian dan pengembangan (research and development).
Penelitian ini telah menghasilkan produk perangkat pembelajaran dalam bentuk draf perangkat pembelajaran
teknik pemesinan di SMK yang telah divalidasi dan direvisi berdasarkan saran dan masukan dari validator.
Produk penelitian ini terdiri dari: (a) draf KI-KD teknik pemesinan, (b) draf silabus teknik pemesinan, (c) draf
RPP teknik Pemesinan, (d) draf modul teknik pemesinan, (e) draf job-sheet teknik pemesinan, (f) draf panduan
penilaian teknik pemesinan, dan (g) media PBK-TP yang telah divalidasi dengan rerata skore 3,60 yang masuk
dalam kategori sangat valid. Hasil uji coba menunjukan, bahws terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada
aspek kognitif dan aspek psikomotor pada mata pelajaran Teknik Pemesinan antara yang menggunakan model
PBK-TP dengan model pembelajaran konvensional, dimana nilai rata-rata aspek kognitif kelas eksperimen
sebesar 81,5 lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 77,08, dan nilai rata-rata hasil praktik kelas
eksperimen sebesar 81,92 lebih tinggi dibandingkan dengan kelas control sebesar 78,14. Hasil uji coba
menunjukkan perangkat media PBK-TP yang dihasilkan layak dan efektif untuk digunakan dalam pembelajaran
mata pelajaran Teknik Pemesinan Bubut di SMK.
Kata Kunci: Pengembangan media PBK-TP, layak, Efektif
1. PENDAHULUAN
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
menengah yang bertugas mempersiapkan siswa untuk
bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan kejuruan
memiliki peran strategis dalam menyiapkan tenaga
kerja, fokus kegiatannya adalah memberikan bekal
pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja kepada
siswa agar dapat diaplikasikan dalam dunia kerja, baik
dalam dunia usaha maupun dunia industri.
Finch & Crunkilton (1979:111) menjelaskan
bahwa pendidikan kejuruan menekankan pada
pengembangan ketarampilan, kemampuan dan sikap
kerja, dan penyiapan untuk mendapatkan pekerjaan.
Pendidikan kejuruan tidak hanya terkait dengan
pengembangan keterampilan, tetapi juga
pengembangan seluruh kompetensi yang dimiliki
siswa untuk mengekspresikan dirinya dalam bekerja.
Sedangkan dari hasil pengamatan empirik yang
dilakukan sebagai studi pendahuluan terhadap
pelaksanaan pembelajaran teknik pemesinan yang
terjadi di SMKN 3 Buduran Sidoarjo menunjukan
bahwa pelaksanaan pembelajaran teknik, khususnya
teknik pemesinan belum dirancang dengan baik, yang
secara umum masih menekankan pada aspek
180
keterampilan dan pengetahuan kurang memperhatikan
aspek sikap kerja siswa (prosesnya), pada hal
kompetensi mencakup ketiga hal tersebut. Hal ini bisa
dilihat dari aspek penilaian yang hanya difokuskan
pada hasil akhir pembelajaran teknik (benda kerja
yang dihasilkan) saja, sedangkan penilaian terhadap
prosesnya kurang diperhatikan. Dengan kata lain bila
penilaian dilakukan pada hasil akhir kerja teknik saja,
maka hasil belajar yang diperoleh siswa belum
mencerminkan kompetensi siswa yang sesungguhnya.
Kompetensi yang sesungguhnya selain mencerminkan
dari pengetahuan dan keterampilan kerja, tetapi juga
sikap kerja. Dengan demikian sistem penilaian yang
terjadi di sekolah masih belum dapat menjamin
kompetensi lulusan secara utuh.
Penilaian hendaknya mencerminkan pemahaman
tentang pembelajaran yang terintegrasi. Penilaian
terhadap kompetensi kejuruan dapat dilakukan lebih
akurat bila dilihat dari aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja. Selain itu penilaian juga
dilihat dari berbagai faktor penentu yang berkaitan
langsung dengan pencapaian kompetensi, misalnya
model pembelajarannya. Dengan demikian gambaran
tentang kualitas siswa dapat diperoleh secara
komprehensip.
Berdasarkan fenomena dan fakta di atas,
penilaian kompetensi siswa yang tepat bukan saja
berguna untuk mengetahui keberhasilan belajar siswa
yang sesungguhnya, tetapi juga berguna untuk
pengembangan lembaga pendidikan. Kompetensi
kejuruan yang dimaksud difokuKIan pada kompetensi
pemesinan perkakas.
Permasalahan yang dihadapi pendidikan
nasional saat ini berkisar pada kompetensi lulusan
yang belum relevan dengan kebutuhan dunia usaha
dan dunia industri, kualitasnya masih rendah dan
belum mampu memenuhi kompetensi siswa (Zahrial
Fakri, 2007:3). Lembaga pendidikan belum bisa
menghasilkan lulusan siap pakai yang sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan perkembangan dunia industri.
Hal ini didukung hasil kesimpulan pengamatan
empirik yang dilakukan Depdiknas (2004:1)
menunjukkan bahwa sebagian besar lulusan SMK di
Indonesia bukan saja kurang mampu memyesuaikan
diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi juga kurang mampu mengembangkan
diri dan kariernya di dunia kerja. Fakta tersebut
menunjukkan betapa belum efektifnya pendidikan
kejuruan di Indonesia. Lulusan SMK belum memiliki
kesiapan kerja yang baik.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas dan
hasil studi pendahuluan terhadap pelaksanaan
pembelajaran teknik pemesinan yang terjadi di SMKN
yang menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran
teknik, khususnya teknik pemesinan belum dirancang
secara komprehensip, yang secara umum masih
menekankan pada aspek keterampilan dan
pengetahuan dan kurang memperhatikan aspek sikap
kerja siswa (prosesnya), pada hal kompetensi
mencakup ketiga hal tersebut. Hal ini bisa dilihat dari
aspek penilaian yang hanya difokuskan pada hasil
akhir benda kerja yang dihasilkan saja, sedangkan
penilaian terhadap prosesnya kurang diperhatikan.
Dengan kata lain bila penilaian dilakukan pada hasil
akhir kerja teknik saja, maka hasil belajar yang
diperoleh siswa belum mencerminkan kompetensi
siswa yang sesungguhnya. Kompetensi yang
sesungguhnya selain mencerminkan dari pengetahuan
dan keterampilan kerja, tetapi juga sikap kerja. Dengan
demikian sistem penilaian yang terjadi di sekolah
masih belum dapat menjamin kompetensi lulusan
secara utuh.
Penilaian hendaknya mencerminkan pemahaman
tentang pembelajaran yang terintegrasi yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja. Dengan demikian gambaran tentang kualitas
kompetensi siswa dapat diperoleh secara
komprehensip. Selain itu penilaian juga dilihat dari
berbagai faktor penentu yang berkaitan langsung
dengan pencapaian kompetensi, misalnya model
pembelajarannya. Untuk itu diperlukan suatu solusi
yang dapat menjembatani tercapainya kompetensi
siswa, khususnya kompetensi teknik permesinan
perkakas melalui pengembangan model pembelajaran
teknik pemesinan yang efektif di SMK. Dari uaraian
tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimanakah mengembangkan model pembela-
jaran teknik pemesinan yang efektif di SMK ?”
2. METODE PENELITIAN
Subyek penelitian yang terlibat dalam kegiatan
penelitian Pengembangan Model Pembelajran Teknik
Pemesinan yang efektif di SMK ini yakni praktisi
pengelola pendidikan kejuruan, yakni kepala dan
wakil kepala SMK, guru/instruktur, siswa SMK, serta
dunia usaha dan industri yang menjadi mitra kerjasama
SMK. Pengelola SMK yang menjadi partisipan
penelitian mencakup kepala sekolah, wakil kepala
sekolah bidang kurikulum, dan guru SMK yang
menjadi obyek penelitian ini, khususnya yang
mengajar mapel Teknik Pemesinan. Lembaga
pendidikan (SMK) yang dipilih menjadi obyek
penelitian yakni SMKN 3 Sidoarjo.
181
Gambar 2. Bagan alir penelitian four-D model
Terdapat delapan target yang ingin dicapai dalam
penelitian ini, yakni dihasilkannya: (1) Instrumen
Need Assessment bidang pemesinan, (2) Kompetensi
Inti dan Kompetensi Dasar (KI-KD) Teknik
Pemesinan; (3) Silabus Teknik Pemesinan, (4) RPP
Teknik Pemesinan, (5) Modul Teknik Pemesinan, (6)
Job-sheet Teknik Pemesinan, (7) Panduan Penilaian
Teknik Pemesinan, dan (8) Media PBK Teknik
Pemsinan Penelitian ini didasarkan atas rancangan
penelitian pengembangan dengan prosedur
pelaksanaan dikelompokkan menjadi dua tahap.
Rancangan penelitian tersebut adalah: (1) tahap
pertama dikembangkan rancangan survai dan
rancangan pengembangan melalui teknik workshop,
brainstorming, validasi dan diskusi fokus grup; (2)
tahap kedua, dikembangkan penelitian pengembangan
dan penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan
pre-posttest group only. Pengembangan model
pembelajaran teknik pemesinan yang efektif pada
SMK ini dilaksaanakan selama dua tahun dengan
menggunakan four-D models yang dikembangkan oleh
Thiagarajan, Semmel and sammel (1974), yakni difine,
design, develop, and disseminate. Kegiatan penelitian
setiap tahunnya dapat dilihat pada Gambar 2. Secara
ringkas model pengembangan four-D sebagaimana
ditunjukkan dalam gambar 2, dijelaskan sebagai
berikut.
Tahap define pada dasarnya merupakan tahap
awal untuk menentukan format dan substansi atau isi
dari perangkat pembelajaran yang disusun. Pada tahap
penetapan ini, dilakukan melalui lima sub tahap, yaitu
analisis ujung-depan (front-end analysis), analisis
siswa (leaner analysis), analisis konsep (concept
analysis), analisis tugas dan analisis tujuan
pembelajaran.
Analisis muka-belakang merupakan studi
pustaka dan survai lapangan. Studi pustaka dilakukan
dengan mencermati KI-KD teknik pemesinan dalam
struktur kurikulum mata pelajaran teknik pemesinan
yang sudah ada dan jenis jenis kompetensi yang
dibutuhkan di industrti pemesinan. Berdasarkan hasil
analisis studi pustaka dan surve lapangan, disusunlah
instrument penilaian kebutuhan (need assessment)
jenis-jenis kompetensi di industri pemesinan dan
Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD)
teknik pemesinan. Jenis-jenis kompetensi yang
dibutuhkan oleh industri pemesinan hasil dari need
assessment disinkronkonkan dengan Kompetensi Inti
(KI) dan Kompetensi Dasar (KD) teknik pemesinan,
yang selanjutnya dapat disusun konsep silabus dan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) teknik
pemesinan (Job-Sheet) serta modul pembelajaran
teknik pemesinan, dan panduan penilaian teknik
pemesinan. Selain melihat dari referensi kurikulum
yang telah dikeluarkan secara nasional juga dilakukan
penyusunan format perangkat yang akan digunakan
survai lapangan merupakan need assessment yang
dilakukan dengan wawancara terbuka dan diskusi
kelompok terfokus para pengelola pendidikan
menengah, kalangan ahli pendidikan dan teknologi
pembelajaran dan pakar kurikulum untuk menggali
pendapat tentang konsep atau format mata pelajaran
teknik pemesinan (termasuk KI, KD silabus dan RPP)
yang dikembangkan. Setelah perangkat pembelajaran
teknik pemesinan seleseai, untuk materi tertentu yang
sulit dijelaskan kepada siswa secara langsung, akan
digunakan media pembelajaran berbantuan komputer
dalam bentuk video dan power point yang dapat
dipelajari secara mandiri.
Analisis siswa digunakan untuk mengkaji tingkat
perkembangan kognitif mereka, sehingga nantinya
dapat digunakan sebagai pijakan menelaah buram
pokok bahasan KI dan KD dan indikator siswa SMK.
Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai hasil
riset yang terkait dengan tingkat perkembangan
Dif
ine
Dis
ign
D
evel
op
Analisis muka-
belakang
Analisis siswa
Analisis konsep
Analisis tujuan
Analisis tugas
Penyusunan tes
Pemilihan format dan media
(Perangkat Pembelajaran)
Desain awal Perangkat
Pembelajaran
Validasi
Uji Coba I
Analisis dan Revisi I
Analisis dan Revisi II
Uji Coba II
Analisis dan Revisi III
Uji Coba III
Analisis dan Revisi
(Perangkat Pembelajaran Final
yang berkualitas dan valid)
Dessiminate
182
kognitif siswa, baik di Indonesia dan di negara
berkembang lainnya melalui referensi yang diperoleh.
Analisis konsep diterapkan untuk menganalisis
pokok bahasan hasil kajian teknik pemesinan yang
akan diterapkan di SMK. Analisis konsep
menggunakan kriteria bahwa KI dan KD memuat sub-
sub kompetensi penting, belum dikuasai siswa, dan
sulit dipelajari dari sumber lain serta memiliki peran
penting untuk membekali kompetensi kepada siswa.
KI dan KD inilah yang selanjutnya akan dituangkan
dalam Silabus mata pelajaran teknik pemesinan, RPP,
Job-Sheet, dan pada modul teknik pemesinan.
Analisis tugas dilakukan untuk menentukan atau
membuat tugas-tugas yang bisa dijadikan sarana untuk
penguatan pemahaman siswa terhadap materi pada
perangkat pembelajaran, terutama yang dibuat dalam
bentuk modul dan media pembelajaran berbantuan
komputer dalam bentuk video dan power point yang
dapat dipelajari secara mandiri. Melalui tugas ini siswa
dapat menguatkan pemahaman materi yang disajikan
dalam modul dan media pembelajaran berbantuan
komputer dalam bentuk video dan power point dengan
mengerjakannya di rumah. Dalam pembuatan tugas
harus mengacu pada tujuan pembelajaran. Sehingga
tugas yang diberikan dapat bermanfaat dan membantu
siswa untuk memahami materi dalam perangkat
pembelajaran.
Analisis tujuan pembelajaran dilakukan untuk
menentukan tujuan pembelajaran yang harus dikuasai
oleh siswa guna mencapai penguasaan kompetensi di
bidang teknik pemesinan yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat, dunia usaha dan dunia industri.
modul yang dibuat. Dengan telah ditentukannya tujuan
pembelajaran yang harus diuasai oleh siswa, maka
dapat disusun perangkat pembelajaran dengan isi atau
materi yang relevan dengan kompetensi yang ingin
dicapai.
Untuk menjamin content dan face validity dan
pokok-pokok KI dan KD tersebut direviu dalam
diskusi kelompok terfokus (focus group discussion)
dan diteruskan dengan penilaian oleh pakar (expert
judgment). Pakar yang dilibatkan dalam diskusi
kelompok terfokus dan expert judgment adalah pakar
bidang pendidikan dasar dan menengah, kurikulum,
teknologi pendidikan, manajemen pendidikan, pihak
DUDI dan bahasa Indonesia. Dengan demikian pada
tahap define akan dihasilkan kerangka dasar produk
penelitian yang telah melalui tahap pembahasan,
mencakup format need assessment, Kompetensi Inti
(KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Mata Pelajaran
teknik pemesinan, Silabus mata pelajaran teknik
pemesinan, Job-Sheet teknik pemesinan, Modul
pembelajaran mata pelajaran teknik pemesinan,
panduan penilaian dan penduan pelaksanaan teknik
pemesinan.
Berdasarkan kerangka dasar tersebut kemudian
diteruskan pada tahap develop, yakni penulisan draf
dokumen produk penelitian dan reviu pakar. Naskah
produk penelitian tersebut ditulis oleh peneliti bersama
pakar dan praktisi yang relevan.
Tahap reviu pakar dimaksudkan untuk
memperoleh masukan tentang kebenaran substansi
yang dikembangkan oleh penulis berdasarkan
kerangka substansi yang ada. Di samping itu, langkah
ini dimaksudkan untuk memperoleh validasi tentang :
(a) kebenaran konsep, (b) tujuan pembelajaran, (c)
kebenaran tata-tulis, (d) kualitas gambar dan ilustrasi
lainnya, (e) relevansi pertanyaan/tugas terhadap tujuan
pembelajaran, dan (f) kualitas layout. Sesuai dengan
indikator yang digunakan dalam reviu maka pakar
yang dilibatkan dalam kegiatan ini mencakup: praktisi
industri, teknologi pendidikan, pakar kurikulum
pendidikan dasar dan menengah, bahasa Indonesia,
dan disain grafis. Selanjutnya, naskah draf produk
penelitian direvisi berdasarkan masukan dan hasil
validasi.
Pada tahap ketiga dilakukan ujicoba empirik
naskah draf produk penelitian yang telah disusun.
Naskah draf produk penelitian sebenarnya sudah
mendekati final. Meskipun demikian, untuk
memperoleh bukti empiris bahwa produk penelitian
telah layak pakai maka produk penelitian tersebut
dilakukan uji coba secara empiris pada kalangan
terbatas. Uji coba dilaksanakan pada siswa di SMK
yang telah dipilih sebagai tempat penelitian. Hasil uji
coba terbatas digunakan sebagai bahan perumusan
rekomendasi pemakaian produk penelitian (tahap
disseminate).
Pelaksanaan ujicoba empirik dilakukan dengan
rancangan kelas kontrol dan kelas eksperimen pada
SMK yang dipilih sebagai sample ujicoba.
Pelaksanaan ujicoba akan disesuaikan dengan jadual
kalender akademik yang ada di SMK. Ujicoba ini
dimaksudkan untuk mengetahui apakah perangkat
pembelajaran teknik pemesinan yang telah
dikembangkan efektif dalam meningkatkan hasil
belajar siswa. Di samping itu ingin diketahui
bagaimana keterbacaan perangkat pembelajaran yang
telah dikembangkan tersebut.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi Data Hasil Validasi
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan
model pembelajaran teknik pemesinan di SMK agar
proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan
efisien guna meningkatkan ketercapaian penguasaan
kompetensi bidang pemesinan lulusan SMK.
Berdasarkan pada tujuan umum penelitian ini, maka
tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah dihasilkannya perangkat pembelajaran teknik
pemesinan yang memberikan kemudahan bagi siswa
dalam memahami materi dipelajarinya.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, dalam
pelaksanaan penelitian tahun pertama ini telah
dihasilkan instrumen need assessment dan naskah draf
perangkat pembelajaran yang telah valid, yakni: (1)
draf KI-KD teknik pemesinan berdasarkan hasil need
assessment, (2) draf silabus teknik pemesinan, (3) draf
RPP teknik Pemesinan, (4) draf modul teknik
183
pemesinan, (5) draf job-sheet teknik pemesinan, (6)
draf panduan penilaian teknik pemesinan, dan (7)
media PBK-TP dalam bentuk video dan power point.
Selanjutnya produk penelitian yang sudah
divalidasi dan direvisi ini akan dilakukan diuji coba,
FGD dan direvisi untuk menghasilkan produk
perangkat pembelajaran yang lebih terjamin
kualitasnya, lebih valid dan layak untuk
didesiminasikan.
Untuk mendapatkan model perangkat
pembelajaran yang teruji validitasnya, maka sebelum
melakukan kegiatan uji coba, terhadap perangkat
pembelajaran dan instrumen-instrumen pendu-
kungnya, terlebih dahulu dilakukan validasi secara
konseptual. Saran-saran dari validator dikaji untuk
menjadi bahan acuan dalam merevisi instrumen,
sedangkan hasil penilaian validator dalam bentuk
lembar penilaian dianalisis menggunakan statistik
deskriptif. Penilaian hasil validasi dengan skore
penilaian satu (1), dua (2), tiga (3) dan empat (4),
diinterpretasikan kedalam kriteria penilaian setiap
aspek yang dinilai, dengan penetapan kriteria kualitas
perangkat instrumen mengacu pada Saifuddin Anwar
(2010: 109) sebagai berikut:
3,51 ≤ M ≤ 4,0 kategori sangat valid
3,51 ≤ M ≤ 3,5 kategori valid
2,51 ≤ M ≤ 3,5 kategori kurang valid
1,00 ≤ M ≤ 2,5 kategori tidak valid
M = rerata skor untuk setiap aspek yang dinilai
Hasil analisis validasi instrumen-instrumen
perangkat pembelajaran direkapitulasi dan dikalkulasi
sehingga mendapatkan nilai rerata setiap aspek dan
ditabulasikan kedalam tabel-tabel rekapitulasi data.
Hasil validasi kelayakan instrumen secara keseluruhan
yang dikategorikan menjadi empat yaitu: (a) dapat
digunakan tanpa revisi (A), (b) dapat digunakan
dengan sedikit revisi (B), (c) dapat digunakan dengan
banyak revisi (C), (d) belum dapat digunakan (D). Dari
keempat kategori tersebut, penilaian validator berada
pada kategori A yaitu instrumen dapat digunakan
tanpa revisi, dan kategori B yaitu instrumen dapat
digunakan dengan sedikit revisi. Kelayakan instrumen
yang telah divalidasi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Penilaian Kelayakan Instrumen Penelitian
No Nama
Instrumen
Penilaian
Validator Frek Frek Simpulan
1 2 A B
1 Lembar
Penilaian
instrument NA B A 1 1 SR
2 Lembar
Penilaian Silabus
B B - 2 SR
3 Lembar
Penilaian RPP
A A 2 - TR
4 Lembar
Penilaian modul
A B 1 1 SR
No Nama
Instrumen
Penilaian
Validator Frek Frek Simpulan
5 Lembar
Penilaian Job
Sheet
A A 2 - TR
6 Lembar
Penilaian
Panduan Penilaian
Teknik
Pemesinan
A A 2 - TR
7 Lembar
Penilaian
media PBK-TP
B A 1 1 SR
Keterangan: A = Dapat digunakan tanpa revisi
B = Dapat digunakan, sedikit revisi
TR= Tanpa revisi
SR= Sedikit revisi
Berdasarkan Tabel 3 tersebut dapat disimpulkan
bahwa ada tiga instrumen yang tidak perlu direvisi
yaitu: lembar penilaian RPP, lembar penilaian Job
Sheet, dan lembar penilaian Panduan Penilaian Teknik
Pemesinan. Sedangkan instrumen yang perlu sedikit
perbaikan ada 4 yaitu: instrument need assessment,
lembar penilaian silbus, lembar penilaian modul, dan
lembar penilaian media PBK-TP dalam bentuk video
dan power point.
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Validasi Instrumen dari
Validator
No Nama Instrumen Skor
Rerata Keterangan
1 Lembar Penilaian instrument NA
3.44 Valid
2 Lembar Penilaian
Silabus
3.45 Valid
3 Lembar Penilaian RPP 3.68 Sangat Valid
4 Lembar Penilaian
modul
3.55 Sangat Valid
5 Lembar Penilaian Job Sheet
3.69 Sangat Valid
6 Lembar Penilaian
Panduan Penilaian Teknik Pemesinan
3.75 Sangat Valid
7 Lembar Penilaian
media PBK-TP
3.75 Sangat Valid
Total Rerata 3.62 Sangat Valid
Untuk melengkapi kelayakan instrumen, berikut
divisualisasikan rekapitulasi hasil validasi kedua
validator pada Tabel 4. Berdasarkan Perhitungan pada
Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan
instrumen pengembangan model pembelajaran teknik
pemesinan yang efektif di SMK sangat valid yang
berarti dapat digunakan.
Adapun validasi masing-masing perangkat
pembelajaran dengan instrumen yang telah divailidasi
oleh dua orang guru pengajar, dalam pengembangan
model pembelajaran teknik pemesinan yang efektif di
SMK ini, hasilnya dirangkum dalam Tabel 5. Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Validasi Perangkat
Pembelajaran
184
0
5
10
15
20
60-70 71-80 81-90 91-100
Jumlah Siswa
No Nama Perangkat
Pembelajaran
Skor
Rerata
Hasil
Validasi
Keterangan
1 Silabus 3.60 Sangat Valid 2 RPP 3.57 Sangat Valid
3 Modul 3.56 Sangat Valid
4 Job-sheet 3.71 Sangat Valid
5 Video Teknik
Pemesinan Bubut 3.58 Sangat Valid
Rerata 3.60 Sangat Valid
Berdasarkan hasil validasi instrumen penelitian
dan perangkat pembelajaran oleh para ahli dan praktisi
pendidikan, selanjutnya dari hasil validasi direvisi
sesuai saran dan penilaian validator sehingga
menghasilkan instrumen dan perangkat pembelajaran
yang siap untuk diujicobakan. Perangkat pembelajaran
teknik pemesinan yang telah divalidasi dan direvisi ini
akan dilakukan uji coba dalam pelaksanaan penelitian
tahun kedua. Uji coba dilakukan sebanyak dua kali,
yaitu uji coba terbatas (kelompok kecil) dilaksanakan
tiga kali tatap muka (jadwal disesuaikan dengan
kalender akademiki sekolah). Siswa yang menjadi
subjek coba adalah siswa SMK kelas XI program
keahlian Teknik Pemesinan. Setelah uji kelompok
kecil dilakukan FGD dengan guru pengajar, siswa, dan
pengamat, untuk memperoleh berbagai masukan yang
belum terekam dalam instrumen penelitian. Hasil uji
kelompok kecil yang telah direvisi, menjadi bahan
untuk pelaksanaan uji coba kelompok besar.
Setelah merevisi berbagai instrumen uji kelompok
kecil, kemudian diujicobakan lagi pada kelompok
yang lebih luas (uji kelompok besar), dilaksanakan dua
kali tatap muka, dengan subjek coba siswa SMK kelas
XI program keahlian Teknik Pemesinan, yang
dilaksanakan sesuai dengan kalender akademik
sekolah. Guru pengajar yang menjadi subjek coba pada
pembelajaran kelompok kecil dan besar sama. Setelah
selesai uji kelompok besar juga dilaksanakan FGD
dengan guru pengajar, lima orang perwakilan siswa,
dan pengamat, untuk memperoleh berbagai masukan.
Setelah uji coba kelompok besar dilakukan, dan
diadakan sedikit perbaikan maka diperoleh model
pembelajaran teknik pemesinan yang efektif dan siap
diaplikasikan secara luas di SMK
3.2 Deskripsi Data Hasil Uji Coba
Setelah hasil validasi direvisi sesuai saran dan
penilaian validator sehingga menghasilkan perangkat
pembelajaran dan instrumen yang valid, langkah
selanjutnya adalah melakukan ujicoba. Uji coba
dilaksanakan empat kali tatap muka, dengan subjek
coba siswa SMK kelas XI program keahlian Teknik
Pemesinan, yang dilaksanakan sesuai dengan kalender
akademik sekolah. Uji coba dilakukan terhadap dua
kelas XI program keahlian Teknik Pemesinan, yakni
kelas XI TPM-1 sebagai kelas eksperimen dan kelas
XI TPM-2 sebagai kelas kontrol. Setelah uji coba
kelompok besar dilakukan, dan diadakan sedikit
perbaikan maka diperoleh perangkat model
pembelajaran teknik pemesinan yang efektif dan siap
diaplikasikan dilapangan dan digunakan secara luas.
Untuk mengetahui efektifitas media PBK-TP
dalam pembelajaran teknik pemesinan di SMK,
dilakukan uji coba. Pengumpulan data hasil uji coba
dilakukan dengan menggunakan instrument berupa tes
obyektif dan tes ketrampilan, yakni nilai dari hasil pre-
test, post-test dan tes ketrampilan praktik membubut
sesuai dengan jobsheet. Berikut akan disajikan data
hasil belajar pada kelas eksperimen yang proses
pembelajarannya menggunakan media PBK-TP dan
kelas kontrol yang pembelajarannya masih
menggunakan model pembelajaran konven-sional,
yakni model pembelajaran yang dilakukan oleh guru
selama ini yang masih monoton, metode mengajar
yang kurang bervariasi dan kurang memberi
kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara
kreatif. Data yang diperoleh dari hasil uji coba
diuraikan sebagai berikut.
3.2 .1 Data hasil pre test
Data nilai hasil pre test peserta didik pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada
lampiran 8. Berikut grafik frekuensi dari data statistik
hasil pre test kelas ekperimen dan kelas control.
Grafik 3. Nilai Pre Test Kelas Eksperimen
Berdasarkan analisis grafik data di atas, sebelum
menggunakan model pembelajaran PBK-TP pada
kelas eksperimen diperoleh nilai tertinggi yaitu 84,
nilai terendah peserta didik adalah 60, dengan rata-rata
72,2. Nilai di atas median sebanyak 58,3% dan dibwah
median sebanyak 41,7%. Sedangkan hasil analisis data
untuk kelas kontrol dapat dilihat pada grafik nilai
berikut ini:
Grafik 4. Nilai Pre Test Kelas Kontrol
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari Pre
Test, nilai tertinggi kelas kontrol adalah 84, nilai
terendah 60, rata-rata 73,7, nilai di atas median
185
66
68
70
72
74
76
78
80
82
84
Sebelum
Pembelajaran
Konvensional
Kontekstual
0
5
10
15
20
25
60-70 71-80 81-90 91-100
Jumlah Siswa
sebanyak 58,3% dan di bawah median sebanyak
41,7%.
Dari gambar grafik nilai kedua kelas di atas,
dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan
perlakuan, kelas kontrol memperoleh rata-rata nilai
kelas sedikit lebih tinggi dibandingkan kelas
eksperimen, yakni 73,7 untuk nilai kelas kontrol dan
72,2 untuk kelas eksperimen. Namun jumlah nilai di
atas median untuk kedua kelas di atas sama besar,
yakni 58,3% dan nilai di bawah median kedua kelas
tersebut sebesar 41,7%.
3.2.1 Data hasil post test
3.2.2.1 Data hasil post test aspek kognitif
Data hasil post test aspek kognitif berupa nilai
yang diperoleh siswa pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol setelah kedua kelas tersebut diberikan
pembelajaran mata pelajaran teknik pemesinan dengan
materi yang sama, dimana pada kelas eksperimen
dilakukan pembelajaran dengan menggunakan media
PBK-TP dan pada kelas kontrol dilakukan
pembelajaran konvensional. Data nilai post
test aspek kognitif kelas eksperimen dan kelas kontrol
dapat pada grafik frekuensi nilai post test kelas
ekperimen dan kelas kontrol.
Dari hasil analisis data pada Garfik 5
diperoleh nilai tertinggi kelas pada kontrol
setelah pembelajaran adalah 91, nilai
terendah peserta didik adalah 65, dengan rata-
rata 77,08, nilai di atas median (78) sebanyak
41,6% dan di bawah median sebanyak 58,4%.
Gambar 6. GrafikNilai Post Test Kelas Eksperimen
Dari analisis data kelas eksperimen dan kelas
kontrol seperti yang ditunjukkan pada gambar grafik
di atas dapat diketahui bahwa hasil nilai rata-rata kelas
eksperimen berbeda dibandingkan dengan nilai rata-
rata kelas control dengan nilai kelas eksperimen lebih
tinggi, yakni nilai rata-rata kelas eksperimen 81,5 dan
nilai rata-rata kelas control 77,08.
Gambar 7. Grafik Hasil Belajar Aspek kognitif Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol
3.2.2.2 Data hasil post test aspek psikomotor Data hasil praktik membubut, diperoleh dari nilai
siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah
kedua kelas tersebut diberikan pembelajaran mata
pelajaran teknik pemesinan dengan materi yang sama,
dimana pada kelas eksperimen dilakukan
pembelajaran dengan menggunakan media PBK-TP
dan pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan analisis data setelah
pembelajaran dengan menggunakan model media
PBK-TP pada kelas eksperimen, diperoleh nilai
praktik tertinggi 91, nilai terendah peserta didik adalah
73, dengan rata-rata 81,94, sedangkan pada kelas
kontrol, diperoleh nilai praktik tertinggi 91, nilai
terendah peserta didik adalah 65, dengan rata-rata
78,14. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa hasil
nilai rata-rata kelas kelas eksperimen berbeda
dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas control
dengan nilai kelas eksperimen lebih tinggi, yakni nilai
rata-rata kelas eksperimen 81,94 dan nilai rata-rata
kelas control 78,14.
Grafik 7. Grafik Hasil Belajar Aspek kognitif Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol
3.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan hasil dilakukan beberapa tahapan
yaitu sebelum pembelajaran, saat proses pembelajaran,
Setelah
Pembelajaran
65
70
75
80
85
KELASKONTROL /KONVENSIONAL
0
5
10
15
20
25
60-70 71-80 81-90 91-100
Jumlah Siswa
Gambar 5. Grafik Nilai Post Test Kelas Kontrol
186
dan setelah pembelajaran. Melalui ketiga langkah
tersebut diperoleh data hasil penelitian, hasil belajar
peserta didik dapat diperoleh dari proses belajar
mengajar yang diukur melalui tes. Kegiatan tes
dilakukan dua kali yaitu tes sebelum pembelajaran dan
tes setelah pembelajaran. Pengalaman belajar peserta
didik sebelum proses belajar mengajar dapat diukur
dengan pre test. Nilai tersebut menunjukan tingkat
pemahaman awal peserta didik terhadap materi
pembelajaran. Dari hasil tes ini dapat diketahui
besarnya penguasaan dan pegetahuan awal terhadap
materi pembelajaran yang akan di sampaikan,
sehingga seorang pengajar dapat menselaraskan antara
pegetahuan yang di kuasai peserta didik saat ini
dengan materi yang harus diberikan kemudian.
Dari nilai pre test, kelas kontrol memiliki rata
nilai kelas sebesar 73,7, sedangkan kelas eksperimen
memiliki rata-rata nilai kelas sebesar 72,2. Namun
perbedaan yang signifikan tergambar pada hasil nilai,
setelah perlakuan. Pada skala nilai (0-100), nilai rata-
rata kelas kontrol setelah perlakuan untuk aspek
kognitif adalah 77,08, sedangakan nilai rata-rata untuk
kelas eksperimen adalah 81,5. Sedangkan nilai rata-
rata kelas kontrol setelah perlakuan untuk aspek
psikomotor adalah 78,14 sedangakan nilai rata-rata
untuk kelas eksperimen adalah 81,92.
Berdasarkan perbedaan rata-rata hasil belajar
pada mata pelajaran Teknik Pemesinan dapat
disimpulkan, bahwa kelas eksperimen yang
menggunakan model pembelajaran PBK-TP
memperoleh hasil belajar lebih baik dari pada peserta
didik yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran konvensional. Hasil ini mrnunjukkan
bahwa Model Pembelajaran PBK-TP yanag
dikembangkan terbukti efektif.
4 KESIMPULAN
Pelaksanaan penelitian ini talah menghasilkan
produk penelitian perangkat pembelajaran teknik
pemesinan di SMK yang terdiri dari rumusan: (a) KI-
KD teknik pemesinan berdasarkan hasil need
assessment, (b) silabus teknik pemesinan, (c) RPP
teknik Pemesinan, (d) modul teknik pemesinan, (e)
draf job-sheet teknik pemesinan, (f) panduan penilaian
teknik pemesinan, dan (g) media PBK-TP.
Hasil uji coba perangkat pembelajaran model
PBK-TP yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
perangkat pembelajaran model PBK-TP teruji efektif
untuk pembelajaran mata pelajaran Teknik Pemesinan
di SMK. Hal ini dapat dilihat dari tes tulis untuk aspek
pengetahuan (kognitif) dan tes praktik membubut
untuk aspek keterampilan (psikomotor). Hasil uji coba
menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar aspek
kognitif dan aspek psikomotorik peserta didik pada
mata pelajaran Teknik Pemesinan antara yang
menggunakan model PBK-TP dibandingkan dengan
yang menggunakan model pembelajaran
konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan lebih
tingginya nilai rata-rata aspek kognitif kelas
eksperimen yakni sebesar 81,5 dibandingkan dengan
kelas kontrol sebesar 77,08 dan lebih tingginya nilai
rata-rata aspek psikomotor kelas eksperimen yakni
sebesar 81,92 dibandingkan dengan kelas kontrol
sebesar 78,14.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1].Finch, C. R., and Crunkilton, J. R., (1979). Curiculum
Development in Vocational and Technical
Education: Planning, Content, and Implementation. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc.
[2]. Zahrial Fakhri, (2007). Reposisi pendidikan kejuruan
menjelang 2020. Jurnal elektronik. Sumber:
http://www.aceh forum.or.id/ pendidikan-kejuruan-di-
t9553.html.03-08.
[3].Depdiknas, (2006). Penyelenggaraan Sekolah
Menengah kejuruan. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan.
[4]. Thiagarajan, S., Semmel, D. S & Semmel, M. I. (1974).
Instructional Development for Training Teachers of
Expectional Children. Minneapolis, Minnesota:
Leadership Training Institute/Special Education,
University of Minnesota.
[5].Azwar, Saifuddin. (2010). Metode Penelitian.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
187
Respon Pembaca Pada Majalah Emerald
Mahasiswa Jurusan Bahasan dan Sastra Inggris
Diana B.D.1, Mamik Tri Wedawati2*), Adama Damanhuri3
1 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, E-mail: 2 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. E-mail:
mamikwedawati@unesa.ac.id. 3 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, E-mail:
ABSTRACT
The following is a research that will gain responds from students as readers which will be the suggestion for
the next edition of Emerald magazine written by students of English Department. Emerald magazine has been
published again in 2015 after being vacum since 1986. In the era, Emerald became the icon of English Department
and the students including the alumny. Nowadays, Emerald wants to find its new form. The responds from readers
are really meaningful for Emerald next edition. Furthermore, Emerald which will be distributed to all students,
getting good responds from students. This requires an analysis of academic to sustain it. As the initial focus of the
analysis this research focused on the layout and the type of writing. The data shows that most responses give good
value that will drive it in developing the quality and quantity of the magazine
Key Words: Emerald, magazine, reader respond
ABSTRAK
Majalah Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris telah diterbitkan kembali tahun 2015 sejak awal terbitannya di
tahun1986. Dimasanya majalah yang bernama Emerald telah menjadi ikon dan dokumen penting bagi jurusan
dan alumninya. Karena alasan tertentu, majalah ini vakum dan tidak diterbitkan lagi selama lebih dari 20 tahun.
Untuk alasan itu perlu dipahami respon dari pembacanya sehingga dapat melanjutkan keberlangsungannya.
Terbitan terakhir dengan bahasa pengantar Inggris memiliki wajah yang baru. Lebih lanjut, setelah majalah
dikontribusikan ke tiap angkatan, animo pembaca terlihat respon yang baik. Hal ini memerlukan analisis yang
akademis tntuk mempertahankan keberadaannya. Sebagai awal analisis fokus dititikberatkan pada layout dan
jenis tulisan dan data enunjukkan bahwa sebagian besar respon memberi pilihan nilai baik sehingga dapat
mengembangkan kualitas dan kuantitas majalah.
Kata Kunci: Emerald, majalah, respon mahasiswa
1. PENDAHULUAN
Pada tahun 2016, Indonesia mencanangkan
revolusi mental yang bisa diartikan sebagai kritisi dan
inovasi dalam melakukan pengembangan. Terutama
selingkung dengan ruang pendidik dan pendidikan.
Untuk menjadi kritis dan inovatif memerlukan
pengetahuan dan tindakan yang konkrit. Dua hal
tersebut dapat diimplikasikan dalam bentuk karya dan
resepsi pembaca. Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris
melahirkan kembali majalah yang dahulu pernah
meramaikan suasana akademik dan non-akademik
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Diberi nama yang
sama, Emerald, majalah mahasiswa tersebut baru
mulai dirintis kembali tahun 2015. Pada tahun 2016
telah terbit edisi pertama.
Salah satu hasil karya mahasiwa Jurusan Bahasa
dan Sastra Inggris yang bermanfaat sebagai proses
pembelajaran dan pengalaman hidup adalah majalah
mahasiswa. Majalah seperti ini sudah pernah terbit
perdana di tahun 1980an. Setelah beberapa kali
penerbitan, keberadaanya sulit dipertahankan dan
bahkan baru bisa terbit lagi di tahun 2015.
Dengan terbitnya majalah yang secara sengaja
diberi nama yang sama dengan majalah yang pernah
ada di jurusan bahasa dan sastra inggris UNESA, akan
memberi nuansa baru dalam kehidupan akademik dan
non-akademik khususnya pada mahasiswa baik dari
pendidikan dan non-kependidikan. Para mahasiswa
dapat menikmati karya yang ditulis, diatur, diproduksi
oleh mahasiswa yang berasal dari angkatan yang
beragam, yaitu 2012, 2013, dan 2014.
Terbit dengan nama yang sama dengan periode
sebelumnya, Emerald; pada tahun 2015, mahasiswa
menyusun materi dengan format yang lain. Majalah
yang disusun untuk pembaca dewasa usia antara 17-
45 tahun berisi 36 halaman, isinya terdiri atas: cover
story, feature, event, short story, poems, book review,
hobbies, dan game. Mahasiswa merencanakan untuk
memiliki tema yang berbeda untuk setiap edisinya.
Tema-tema yang dipilih yaitu tema yang kekinian dan
kekal. Keberagaman isi majalah menjadikannya
sebuah karya sastra. Majalah telah menjadi bagian
terdekat dari karya sastra seperti cerita pendek, puisi,
drama, esei baik berupa teks asli ataupun terjemahan[1].
Secara rutin majalah memberikan ruang yang luas
pada teks karya sastra.
Terbitnya majalah Emerald tidaklah terbit tanpa
peran serta pihak lain. Para alumni yang sekaligus
188
merupakan praktisi di bidang media dan dosen
pengajar juga kami libatkan secara aktif. Dimulai
dengan pelatihan dan workshop sampai pada tahap
praktek dan konsultasi, semua pihak tetap saling
berkoordinasi dengan baik. Dosen pengajar jurusan
membimbing dalam menentukan topik, membentuk
redaktur, proses penyusunan, editing, dan cetak untuk
memperlancar kegiatannya. Pada proses editing,
perbaikan tulisan yang diterbitkan lebih menekankan
pada perbaikan kebahasaan karena masih berkaitan
dengan salah satu matakuliah yaitu menulis kreatif.
Disisi lain, pemahaman terhadap teks memperlihatkan
kesulitan antar fiksi dan non fiksi.
Pendapat ini sebagian besar terserap melalui
diskusi antara redaktur dan pengajar. Pengajar sebagai
pembaca menemukan banyak kelemahan pada kedua
jenis teks. Artikel yang berbentuk report dan bercerita
masih banyak kesalahan struktur bahasa dan
kekeliruan dalam pengungkapan konteks. Pemahaman
menjadi tidak jelas sehingga harus berkali-kali
diperbaiki. Perbaikan tulisan yang diterbitkan lebih
menekankan pada perbaikan kebahasaan karena masih
berkaitan dengan salah satu matakuliah yaitu menulis
kreatif. Disisi lain, pemahaman terhadap teks
memperlihatkan kesulitan antar fiksi dan non fiksi dan
ini perlu disosialisasikan pada masyarakat.
2. READER RESPOND
Reader responds atau resepsi pembaca berasal
dari bahasa Latin, recipere yang artinya penerimaan
atau penyambutan pembaca[2]. Resepsi pembaca
adalah teori yang menghubungkan antara penulis, teks
dan pembaca. Teks dapat diinterpretasikan melalui
pemaknaan dari sudut pandang penulis dan pembaca.
Pemaknaan teks dari sudut pandang pembaca
merupakan pendekatan yang sering digunakan pada
penelitian mutakhir karena berusaha menjawab
pertanyaan yang lebih bervariatif dalam memaknai
teks seperti melalui keterkaitan teks dengan
pembacanya[3]. Dalam menikmati suatu bentuk karya
sastra, pembaca juga dapat memberikan tanggapan
atau sambutan. Tanggapan dari seorang pembaca akan
dipengaruhi uang, wkatu, dan golongan social[4].
Lebih jauh lagi Davis dan Womack menjelaskan
bahwa teks merepresentaikan nilai budaya, struktur
bahasa dan ide penulisnya. Ketiga hal ini membantu
pembaca untuk memahami teks berdasarkan
pengetahuannya sehingga perbedaan yang muncul
merupakan data yang kemudian dapat diolah kembali.
Bentuk yang konkrit adalah interpretasi yang berbeda
pada tiap pembacanya dan bahkan pada penulisnya.
Menurut Pradopo yang dimaksud resepsi adalah
ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-
tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw
(dalam Pradopo[1]) menegaskan bahwa resepsi
termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra
sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena
karya sastra dibuat untuk dinikmati oleh pembaca
sedangkan penulis akan memperoleh kemanfaatan dari
tulisannya jika tulisannya mendapatkan tanggapan dari
pembaca. Pembaca menentukan makna dan nilai dari
karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai
karena ada pembaca yang memberikan nilai.
Resepsi yang bersifat positif akan membuat
pembaca senang, tertawa, dan segera mereaksi dengan
perasaannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Mukarovsky (dalam Endraswara[5]) yang
menyebutkan bahwa peranan pembaca sangat penting,
yaitu sebagai pemberi makna teks sastra.
Pengalaman pembaca sebagai pembaca memiliki
makna yang besar. Pengalaman membaca yang banyak
dan lama dapat mempengaruhi pemahaman pembaca
yang beragam dalam menerima efek teks yang
dibacanya. Pembacaan yang beragam dalam periode
waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang
berbeda pula. Pengalaman pembaca dapat memberikan
nilai yang besar terutama jika menggabungkan
tanggapan lama dan baru pembacanya terhadap teks
yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan
pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak
bergantung pada nilai-nilai sastra tetapi dibangun oleh
pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas
pengalaman sebelumnya.
Pradopo[1] mengemukakan bahwa penelitian
resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis
merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks
sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini
menggunakan pembaca yang berada dalam satu
periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan
penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang
menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada
setiap periode.
Menurut Ratna[6], resepsi sinkronis merupakan
penelitian resepsi sastra yang berhubungan dengan
pembaca sezaman. Dalam hal ini, sekelompok
pembaca dalam satu kurun waktu yang sama,
memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra
secara psikologis maupun sosiologis. Resepsi
diakronis merupakan bentuk penelitian resepsi yang
melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian
resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter
yang sangat relevan dan memadai.
Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya
terdapat norma-norma yang sama dalam memahami
karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan horizon
harapan pada setiap pembaca, maka pembaca akan
menanggapi sebuah karya sastra dengan cara yang
berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena latar
belakang pendidikan, pengalaman, bahkan ideologi
dari pembaca itu sendiri.
Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan
tanggapan-tanggapan pembaca yang berada dalam
satu kurun waktu. Penelitian ini dapat menggunakan
tanggapan pembaca yang berupa artikel, penelitian,
ataupun dengan mengedarkan angket-angket
penelitian pada pembaca. Resepsi diakronis umumnya
menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari
pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis
ini mempunyai kelebihan dalam menunjukkan nilai
189
senia sebuah karya sastra, sepanjang waktu yang telah
dialuinya[1].
Menurut Endraswara[5] proses kerja penelitian
resepsi sastra secara sinkronis atau penelitian secara
eksperimental, minimal menempuh dua langkah
sebagai berikut:
1. Setiap pembaca perorangan maupun kelompok
yang telah ditentukan, disajikan sebuah karya
sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan
baik lisan maupun tertulis. Jawaban yang diperoleh
dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut
bentuk pertanyaan yang diberikan. Jika
menggunakan angket, data penelitian secara
tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil
penelitian, jika menggukan metode wawancara,
dapat dianalisis secara kualitatif.
2. Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca,
kemudian pembaca tersebut diminta untuk
menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya.
Hasil interpretasi pembaca ini dianalisis
menggunakan metode kualitatif.
Dalam penelitian diakronis, untuk melihat
penerimaan sejarah resepsi, digunakan strategi
dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil
kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji oleh
peneliti[5].
Menurut Abdullah (dalam Jabrohim[6]),
penelitian resepsi secara sinkronis dan diakronis,
dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi
menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian
resepsi sastra, Abdullah membagi tiga pendekatan,
yaitu: (1) penelitian resepsi sastra secara
eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat kritik
sastra, dan (3) penelitian resepsi intertekstualitas.
Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat
dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan
diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik
sastra saja.
Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke
dalam peneitian sinkronis, karena dalam penelitian
eksperimental ini mengunakan subjek penelitian yang
berada dalam satu kurun waktu. Sedangkan penelitian
dengan pendekatan yang ketiga, yaitu melalui
intertekstualitas, dapat dimasukkan ke dalam
penelitian diakronis. Karena dapat diteliti hasil
konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada
setiap periodenya. Tetapi penelitian ini dapat
digunakan pada teks sastra yang memiliki hubungan
intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan
penelitian.
3. METODE PENELITIAN
Teknik pengolahan data yang digunakan dalam
penelitian tersebut adalah dengan cara:
1. Penyusunan data. Data yang sudah ada perlu
dikumpulkan semua agar mudah untuk mengecek
apakah semua data yang dibutuhkan sudah terekap
semua. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menguji
hipotesis penelitian. Penyusunan data harus dipilih
data yang ada hubungannya dengan penelitian, dan
benar-benar otentik. Adapun data yang diambil
melalui wawancara harus dipisahkan antara
pendapat responden dan pendapat interviwer.
2. Klasifikasi data. Klasifikasi data merupakan
usaha menggolongkan, mengelompokkan, dan
memilah data berdasarkan pada klasifikasi tertentu
yang telah dibuat dan ditentukan oleh peneliti.
Keuntungan klasifikasi data ini adalah untuk
memudahkan pengujian hipotesis.
3. Pengolahan data. Pengolahan data dilakukan
untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
Hipotesis yang akan diuji harus berkaitan dan
berhubungan dengan permasalahan yang akan
diajukan. Semua jenis penelitian tidak harus
berhipotesis akan tetapi semua jenis penelitian
wajib merumuskan masalahnya, sedangkan
penelitian yang menggunakan hipotesis adalah
metode eksperimen. Jenis data akan menentukan
apakah peneliti akan menggunakan teknik
kualitatif atau kuantitatif. Data kualitatif diolah
dengan menggunakan teknik statistika baik
statistika non parametrik maupun statistika
parametrik. Statistika non parametrik tidak
menguji parameter populasi akan tetapi yang diuji
adalah distribusi yang menggunakan asumsi bahwa
data yang akan dianalisis tidak terikat dengan
adanya distribusi normal atau tidak harus
berdistribusi normal dan data yang banyak
digunakan untuk statistika non parametrik adalah
data nominal atau data ordinal.
4. Interpretasi hasil pengolahan data. Tahap ini
menerangkan setelah peneliti menyelesaikan
analisis datanya dengan cermat. Kemudian langkah
selanjutnya peneliti menginterpretasikan hasil
analisis akhirnya peneliti menarik suatu
kesimpulan yang berisikan intisari dari seluruh
rangkaian kegiatan penelitian dan membuat
rekomendasinya. Menginterpretasikan hasil
analisis perlu diperhatikan hal-hal antara lain:
interpretasi tidak melenceng dari hasil analisis,
interpretasi harus masih dalam batas kerangka
penelitian, dan secara etis peneliti rela
mengemukakan kesulitan dan hambatan-hambatan
sewaktu dalam penelitian.
Pada penelitian ini akan menggunakan 2 jenis
data, data kualitatif dan data kuantitatif. Pengolahan
data kualitatif dalam penelitian akan melalui tiga
kegiatan analisis yakni sebagai berikut.
1. Reduksi Data. Reduksi data dapat diartikan
sebagai suatu proses pemilihan data, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan data,
pengabstrakan data, dan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan. Dalam kegiatan reduksi data dilakukan
pemilahan-pemilahan tentang: bagian data yang
perlu diberi kode, bagian data yang harus dibuang,
dan pola yang harus dilakukan peringkasan. Jadi
dalam kegiatan reduksi data dilakukan: penajaman
data, penggolongan data, pengarahan data,
pembuangan data yang tidak perlu,
190
pengorganisasian data untuk bahan menarik
kesimpulan. Kegiatan reduksi data ini dapat
dilakukan melalui: seleksi data yang ketat,
pembuatan ringkasan, dan menggolongkan data
menjadi suatu pola yang lebih luas dan mudah
dipahami.
2. Penyajian Data. Penyajian data dapat dijadikan
sebagai kumpulan informasi yang tersusun
sehingga memberikan kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajian yang sering digunakan adalah dalam
bentuk naratif, bentuk matriks, grafik, dan bagan.
3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi. Sejak langkah
awal dalam pengumpulan data, peneliti sudah
mulai mencari arti tentang segala hal yang telah
dicatat atau disusun menjadi suatu konfigurasi
4. tertentu. Pengolahan data kualitatif tidak akan
menarik kesimpulan secara tergesa-gesa, tetapi
secara bertahap dengan tetap memperhatikan
perkembangan perolehan data.
Pengolahan Data Kuantitatif meliputi:
1. Mengelompokkan Data. Ada dua jenis data, yaitu
data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif
tidak memerlukan perhitungan matematis.
Sebaliknya, data kuantitatif memerlukan adanya
perhitungan secara matematis. Oleh sebab itu, data
kuantitatif perlu diolah dan dianalisis antara lain
dengan statistik. Untuk mengolah dan
menganalisis data, ada dua macam statistik, yaitu
statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik
deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan
variabel penelitian melalui pengukuran. Statistik
inferensial digunakan untuk menguji hipotesis dan
membuat generalisasi.
2. Kegiatan Awal dalam Mengelompokkan Data Agar data dapat dikelompokkan secara baik, perlu
dilakukan kegiatan awal sebagai berikut.
a. Editing, yaitu proses memeriksa data yang sudah
terkumpul, meliputi kelengkapan isian,
keterbacaan tulisan, kejelasan jawaban,
relevansi jawaban, keseragaman satuan data
yang digunakan, dan sebagainya.
b. Coding, yaitu kegiatan memberikan kode pada
setiap data yang terkumpul di setiap instrumen
penelitian. Kegiatan ini bertujuan untuk
memudahkan dalam penganalisisan dan
penafsiran data.
c. Tabulating, yaitu memasukkan data yang sudah
dikelompokkan ke dalam tabel-tabel agar
mudah dipahami.
3. Pengolahan Statistik Sederhana. Pengolahan
statistik adalah cara mengolah data kuantitatif
sehingga data mempunyai arti. Biasanya
pengolahan data dilakukan dengan beberapa
macam teknik, misalnya distribusi frekuensi
(sebaran frekuensi) dan ukuran memusat (mean,
median, modus).
4. ANALISIS
Hasil respon terhadap majalah Emerald
mengandung dua unsur yaitu unsur kelemahan dan
kelebihan majalah secara umum. Kedua hal tersebut
disimpulkan berdasar rubrik yang disebar ke
mahasiswa. Alasan mengapa hanya mahasiswa saja
karena memerlukan masukan dari pembaca terdekat
dan menentukan awal permasalahan. Dengan
teridentifakasi informasi ini, dibuatlah rubrik untuk
menangalisis lebih lanjut temuannya. Dalam penelitian
ini akan dibahs lebih jauh analisis rancangan, rubrik
artikel, dan rubrik isi.
4.1. Analisis Rancangan
Ada dua rubrik yang dibuat untuk menganalisis
permasalahan yaitu yang berkaitan dengan rancangan
dan artikel majalah. Pemilihan jenis rubrik ini
berdasarkan permasalahan teknis. Permasalahan ini
bersifat praktis tetapi detail. Uraian pertanyaan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rubrik reader respond terhadap Emerald No Keterangan 1 2 3 4
1
Bagaimanakah menurut
anda lay out dan design
EMERALD?
2
Bagaimanakah menurut
anda material dan kualitas
cetakan EMERALD?
3
Bagaimanakah menurut
anda format ukuran kertas
EMERALD?
4
Bagaimanakah menurut
anda ukuran ketebalan
kertas EMERALD?
Rincian pertanyaan yang diutarakan adalah yang
berkaitan dengan rancangan/layout. Peneliti
menyebutkan detailnya seperti layout dan desain,
material dan kualitas kertas, serta ketebalan kertas.
Majalah Emerald yang baru terbit pertama kali setelah
lama tidak cetak memberikan suatu suasana baru
dalam mewujudkan ide dan kreatifitas mahasiswa
berkaitan dengan jurnalisme. Terbit dengan
penampilan yang sangat bagus memberi dasar untuk
menarik pendapat para pembaca terdekat; mahasiswa
tentang hal teknis majalah Emerald. Alasan teknis
menjadi data awal adalah sebelum diadakan penelitian
ini, Emerald sudah diterbitkan kembali dan sepintas
memiliki daya tarik tersendiri. Oleh sebab itu
pertanyaan-pertanyaan diatas dimasukkan dalam
materi kuesioner. Dengan diperolehnya data dari para
pembaca, yaitu mahasiswa, majalah Emerald berusaha
mencari bentuknya yang baru dan paling sesuai
dengan selera yang ada. Selanjutnya data yang
diperoleh dari pembaca akan membantu proses cetak
majalah Emerald edisi kedua.
Daftar pertanyaan yang diberikan pada pembaca
Emerald tidak bersifat mendikte tetapi memberi
kesempatan mahasiswa untuk menelaah pertanyaan
dengan baik kemudian memilih nomor yang sesuai.
Langkah seperti ini memberi penilaian yang akurat dan
191
praktis dan mempercepat pengumpulan data. Dari
penyajian pertanyaan diatas didapatkan 50 mahasiswa
menyatakan majalah emerald memiliki lay out dan
design yang sangat baik, 30 mahasiswa menyatakan
baik dan sisanya 20 mahasiswa menyatakan cukup
baik. Tanggapan perihal materi dan kualitas cetakan,
60 mahasiswa menyatakan sangat baik, 30 mahasiswa
menyatakan baik, dan 10 mahasiswa menyatakan
cukup baik. 65 mahasiswa memberikan respons baik
pada format ukuran kertas majalah emerald, 35
mahasiswa menyatakan baik. Sedangkan pada
tanggapan ukuran ketebalan kertas mahasiswa
menyatakan sangat baik (65 mahasiswa), baik (30
mahasiswa), dan cukup baik (5 mahasiswa). Dari data
diatas dapat disampaikan bahwa secara keseluruhan
pembaca (mahasiswa) menyenangi majalah emerald
cetakan pertama dengan hasil kuesioner diatas 50
mahasiswa menyatakan sangat baik. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pembaca memberikan tanggapan
yang baik kepada rancangan majalah emerald yang
baru. Tanggapan yang baik ini dapat dijadikan rujukan
untuk cetakan majalah emerald selanjutnya.
4.2. Rubrik Artikel
Bahasa pengantar dalam majalah adalah bahasa
Inggris. Sebaran rubrik tidak menganalisis tentang
struktur kebahasaan atau kreatifitas tetapi lebih pada
pendapat umum tentang jenis-jenis artikel seperti di
Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Rubrik reader respond terhadap Emerald No Keterangan 1 2 3 4
1
Bagaimanakah menurut
anda isi dari rubrik ED News (p.10-11)?
2
Bagaimanakah menurut
anda isi dari rubrik cover story Reasons why you
should abroad (p.12)?
3
Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik cover
story Tips and Tricks (p.
13)?
4
Bagaimanakah menurut
anda isi dari rubrik feature Mr. Santiko Budi
(p.14-15)?
5
Bagaimanakah menurut
anda isi dari rubrik ED
News ESC Students Poll
Result (p. 16-17)?
6
Bagaimanakah menurut
anda isi dari rubrik short
story (p.18-21)?
7
Bagaimanakah menurut
anda isi dari rubrik
Poems (p. 22-23)?
8
Bagaimanakah menurut
anda isi dari rubrik book
review Percy Jackson’s Greek Gods (p.24-25)?
9
Bagaimanakah menurut
anda isi dari rubrik book review Eleonor and Park
(p. 26-27)?
10 Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik
Hobbies (p. 28-30)?
No Keterangan 1 2 3 4
11 Bagaimanakah menurut anda isi dari rubrik Jokes
and Riddles (p. 31-32)?
Disebutkan jenis sub judul seperti cover story,
feature, short story dan lain-lain untuk mempermudah
responded membedakan artikel. Penggunaan bahasa
kedua telah mempersulit pemaknaan pada pertanyaan
sehingga beberapa pertanyaan diajukan ke peneliti
untuk memastikan arti pertanyaan.
Pada rubrik isi ini mahasiswa memiliki penilaian
yang lebih tinggi. Mahasiswa menilai bahwa isi dari
rubrik pada majalah emerald sangat baik dengan
adanya tanggapan dari 50 mahasiswa, 35 mahasiswa
menyampaikan baik dan 15 mahasiswa menyatakan
cukup. Isi dari rubrik cover story Reasons why you
should abroad ditanggapi sangat baik oleh 55
mahasiswa, dinilai baik oleh 45 mahasiswa dan dinilai
cukup oleh 5 mahasiswa. Isi rubrik cover story Tips
dan Tricks dinilai sangat baik oleh 40 mahasiswa,
dinilai baik oleh 40 mahamasiswa, dinilai cukup oleh
10 mahasiswa dan dinilai kurang baik oleh 10
mahasiswa. Isi rubrik feature Mr. Santiko dinilai
sangat baik oleh 45 mahasiswa, dinilai baik oleh 40
mahasiswa, dan dinilai cukup oleh 5 mahasiswa. Isi
rubrik ED News ESC Students Poll Result dinilai
secara berurutan sangat baik, baik, cukup, dan kurang
dengan jumlah 25, 60, 13, dan 2 mahasiswa. Isi rubrik
dari short story dan poems dinilai berurutan dengan
jumlah 20, 45, 30, dan 5 mahasiswa. Isi rubrik book
review Percy Jackson’s Greek Gods dan Eleonor dan
Park dinilai berurutan dengan jumlah sangat baik,
baik, cukup, dan kurang dengan jumlah 40, 30, 30, dan
0; sedangkan review Eleonor Gods pada jumlah 30,
20, 45, 5. Mahasiswa menilai isi rubrik Hobbies sangat
baik, baik, cukup dan kurang dengan jumlah 35, 35,
25, dan 0; sedangkan pada rubrik Jokes dan Riddles
dinilai 30, 40, 20, dan 10 mahasiswa.
Pada umumnya pilihan jawaban berkisar pada 3
dan 4. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat
pengisian rubrik memberi kontribusi pada penelitian
tentang pengetahuan responden terhadap istilah-istilah
jurnalis sehingga jawaban lebih didasarkan pada
rancangannya. Hal ini memberikan interpretasi yang
berbeda dalam proses pembacaan data. Data belum
bisa memberikan analisa lebih jauh berkaitan dengan
pengetahun pembaca. Hasil yang baik pada sub bagian
memiliki pemaknaan yang ganda. Pengetahuan dan
penyusunan pertanyaan perlu diperhatikan pada
penelitian lanjutan sehingga muncul komunikasi
searah antara responden dan peneliti.
4.3. Rubrik Isi
Tujuan pengisian rubrik isi adalah menekankan
pada kepentingan informasi yang terkandung dalam
artikel-artikel yang dimuat. Sebagai majalah terbitan
terakhir setelah tahun 1988, pemutakhirannya perlu
diperhatikan untuk mempersiapkan terbitan
192
berikutnya. Bentuk rubrik dapat dilihat di bagan
dibawah ini:
Data rubrik isi perihal bahasa yang digunakan
100 mahasiswa menyatakan mudah memahami.
Rubrik pesan yang disampaikan dalam materi majalah
dinyatakan mudah dipahami oleh 80 mahasiswa dan
20 mahasiswa sangat mudah memahami. Rubrik
keterkaitan antara gambar dan tulisan dalam majalah
emerald dinilai terkait,dengan jumlah 90 mahasiswa
dan 10 mahasiswa menyatakan sangat terkait. 95
mahasiswa menyatakan setuju jika majalah emerald
terbit sekali dalam satu semester. Tanggapan perihal
ide konten majalah yang berhubungan dengan
peristiwa yang terjadi di jurusan bahasa Inggris 75
mahasiswa menyatakan tertarik, 15 menyatakan sangat
tertarik dan 10 tidak tertarik.
Isi berkaitan erat dengan latar belakang
responden yaitu Program Studi Sastra Inggris. Dengan
bahasa pengantar bahasa inggris dalam mayoritas
semua perkuliahan, dalam proses kreatif dengan target
luaran tertentu mahasiswa seharusnya juga harus bisa
mempraktekkan kemampuan bahasa inggris dengan
baik dan benar. Selain majalah yang diterbitkan, buku,
makalah, penelitian dan fiksi dihasilkan oleh prodi
sehingga responden kritis terhadap jawabannya.
Majalah emerald merupakan suatu bentuk kreativitas
dan apresiasi mahasiswa terhadap lingkungan mereka
menggunakan bahasa inggris. Dengan majalah
emerald juga, mahasiswa juga dapat mengembangkan
sekaligus meningkatkan kualitas kreativitas dan
pribadi mereka secara bertahap dan harapannya
majalah emerald ini terus ada dengan regenerasi yang
baik.
Penelitian pada majalah emerald tersebut akan
dilanjutkan dengan berangkat dari hasil temuan yang
diperoleh saat ini. Temuan ini muncul karena
jawabannya belum bisa mewakili opini mereka. Dari
hasil ini dapat dijadikan evaluasi sekaligus berlanjut
pada upaya perbaikan kualitas dan mutu isi yang baik.
Hasil penilaian dari data rubrik terakhir juga berkisar
antara 3 dan 4 yang berarti sajian yang ada dalam
majalah emerald dinilai baik dan sangat baik.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Pradopo, Rachmat Djoko. (2007). Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 211.
[2]. Rahmawati, Dini Eka. (2008). Resepsi Cerita Rakyat
Bledhug Kuwu. Skripsi. Semarang: Fakultas Bahasa
dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 22.
[3]. Connel, Jeanne. (1996). Assessing The Influence of
Dewey’s Epistemology on Rosenblatt’s Reader
Response Theory. Ilinois: University of Ilinois.
[4]. Sastriyani, Siti Hariti. 2001. Karya Sastra Perancis
Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di
Indonesia. Jurnal Humaniora, Vol.13, No. 3, 253.
[5]. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo, 127.
[6]. Ratna, Nyoman Kutha, (2009). Teori, Metode, Dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[7].Jabrohim, (2001). Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. 2001. H.162-163
193
Pengembangan Instrumen Pengukuran Kadar Keguruan (Tingkat
Kompetensi) Mahasiswa Calon Guru dan Guru PJOK Indonesia
Suroto1*) 1 Jurusan Pendidikan Olahraga, Universitas Negeri Surabaya
*) Alamat Korespondesi: Email: suroto@unesa.ac.id.
ABSTRACT
Teacher’s competency became the main determinant of the quality of the process and learning outcomes.
Efforts on improving quality of teacher requires competency measurement tools and competence building
activities. Although the government has made an UKG (teacher competency test) as formally and yearly
instrument, but on the other hand it could not be used as a daily instrumen by prospective and physical education
(PE) teachers. In addition it measure pedagogic and professional competence only. Therefore, it needs a valid and
practical measurement for measuring competencies that cover four competencies (pedagogical, professional,
personal, and social) for the daily needs of teachers and prospective teachers as well as for research purposes.
This instrument is intended to measure the level of competence of prospective teachers and PE teachers that
developed based on 24 sub competence of Indonesian subject matter teachers (Permendiknas 16, 2007).
Prospective teachers or PE teachers can determine their level of competence and describes himself after
answering the physical evidence of their appropriate answer. Reality physical evidence and correspondence
between the physical evidence with response categories determine the validity of the answer. This instrument can
also be filled by the data collector after conducting interviews with prospective teacher or PE teachers. The
maximum score for a prospective teacher is 62 while the maximum score for PE teacher is 100. These instruments
have been declared valid by 3 validators that can be used according to the charging procedure.
Key Words: measurement instruments, competence, prospective teacher, physical education teacher
ABSTRAK
Kompetensi guru menjadi penentu utama kualitas proses dan hasil pembelajaran. Upaya pembinaan
keprofesian berkelanjutan membutuhkan alat ukur kompetensi dan kegiatan peningkatan kompetensi. Meskipun
pemerintah telah membuat instrumen UKG secara formal dan berkala, namun selain tidak bisa digunakan sehari-
hari oleh mahasiswa dan guru, jangkauannyapun hanya mengukur kompetensi pedagogik dan profesional saja.
Oleh karena itu dibutuhkan alat ukur kompetensi yang valid dan praktis yang menjangkau 4 kompetensi
(pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial) untuk keperluan sehari-hari guru maupun calon guru serta
untuk keperluan penelitian. Instrumen ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kompetensi mahasiswa calon guru
maupun guru PJOK yang dikembangkan berdasarkan 24 sub kompetensi guru mata pelajaran pada Permendiknas
16 tahun 2007. Mahasiswa atau guru dapat mengetahui tingkat kompetensi dirinya setelah menjawab dan
mendeskripsikan bukti fisik dari jawabannya secara tepat. Realitas bukti fisik dan kesesuaian antara bukti fisik
dengan kategori jawaban menentukan validitas jawabannya. Instrumen ini juga dapat diisi oleh pengumpul data
setelah melakukan wawancara dengan mahasiswa atau guru yang hendak diukur tingkat kompetensinya. Skor
maksimal untuk mahasiswa adalah 62 sedangkan skor maksimal untuk guru adalah 100. Instrumen ini telah
dinyatakan valid oleh 3 validator sehingga dapat digunakan sesuai prosedur pengisian.
Kata Kunci: instrumen pengukuran, kompetensi, calon guru, guru PJOK
1. PENDAHULUAN
Masalah pendidikan menjadi tidak pernah ada
habisnya dibahas mengingat masih banyak hal yang
perlu diperbaiki. Guru menjadi satu variabel krusial
yang menjadi pokok bahasan dalam dunia pendidikan.
Sedikitnya ada empat permasalahan dalam pendidikan
yang menyangkut keberadaaan guru yaitu: pendidikan
guru yang masih belum memadai secara nasional,
kesejahteraan para guru, pembinaan karir yang tidak
berjalan sesuai tujuan, masalah sistem rekrutmen atau
pengangkatan dan distribusi guru yang tidak merata[1].
Selesainya masalah pada guru ini akan memberikan
peluang besar bagi majunya dunia pendidikan di
Indonesia.
Saat ini, Indonesia tidak lagi kekurangan guru,
secara kuantitas guru di Indonesia sudah lebih dari
cukup. Jumlah guru di Indonesia sebanyak 3 juta
orang, tercatat sejak tahun 1999/2000 ada peningkatan
guru sebanyak 823 persen, akan tetapi peningkatan
jumlah peserta didik hanya 17 persen[2]. Selanjutnya,
menurut Bank Dunia rasio guru dan siswa di Indonesia
pada tahun 2010 mencapai 19.012, pada tahun 2011
angka tersebut menjadi 18.980, pada 2012 terjadi
penurunan lagi menjadi 18.592, sampai pada tahun
2013 rasio guru-siswa di Indonesia berada pada posisi
16.094[1]. Angka-angka tersebut membuktikan bahwa
Indonesia benar-benar tidak lagi kekurangan jumlah
guru.
194
Idealnya semakin sedikit siswa yang diawasi oleh
guru, maka semakin intensif guru tersebut
membelajarkan siswa. Sehingga guru semakin mudah
memonitor perkembangan siswa dan memberikan
layanan yang optimal sesuai dengan kebutuhan belajar
siswa. Akan tetapi, pada kenyataannya hal tersebut
masih belum terwujud, kondisi pendidikan di
Indonesia masih saja terpuruk. Hasil survei TIMS and
Pirls menepatkan Indonesia di posisi 40 dari 42 negara.
Sedangkan World Education Forum di bawah naungan
PBB menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76
negara. World Literacy merangking kita di urutan 60
dari 61 negara[3]. Keadaan tersebut membuktikan
bahwa hasil pendidikan di Indonesia masih belum
optimal dibandingkan dengan negara-negara di Dunia.
Data tersebut membuktikan bahwa banyaknya
guru saja tidak cukup untuk mempertinggi hasil
pendidikan, perlu peningkatan kualitas guru dalam
membimbing siswa melalui pembelajaran. Kualitas
guru seakan tidak bisa ditinggalkan dalam setiap
pembahasan tentang pendidikan. Kualitas guru
menjadi kunci untuk mempertinggi hasil
pembelajaran[4, 5]. Pada tahun 2012 dan 2013
dilaksanakan pemetaan kualitas guru Indonesia secara
nasional oleh pemerintah melalui Uji Kompetensi
Guru (UKG). Hasil dari UKG tersebut menunjukkan
bahwa rata-rata nasional kompetensi profesional dan
pedagogik guru adalah 43,82 pada tahun 2012 dan
47,84 di tahun 2013[6]. Berdasarkan hasil UKG inilah
pemerintah merasa penting untuk memberikan
pengembangan kualitas guru agar semakin meningkat.
Guru sering disebut sebagai garda terdepan dalam
proses pembangunan manusia Indonesia melalui
pendidikan. Penyiapan tenaga guru harus benar-benar
dilakukan secara serius oleh lembaga-lembaga
penghasil guru. Seharusnya, guru telah mendapatkan
pengenalan ilmu keguruan dan pengalaman tentang
pengajaran mulai sejak mereka mengikuti proses
pendidikan calon guru[7]. Mutu guru menjadi satu
bahasan penting dalam dunia pendidikan sehingga
pemerintah mengupayakan berbagai program yang
mampu memberikan pelayanan kepada guru agar
memiliki profesionalitas yang tinggi.
Sedikitnya terdapat empat program pemerintah
yang bertujuan untuk mempertinggi kualitas guru yaitu
program sertifikasi guru, uji kompetensi guru,
tunjangan profesi pendidik, dan guru pembelajar[8].
Program-program sertifikasi merupakan program-
program pemerintah yang memberikan peluang
kepada guru untuk dapat mempertinggi
profesionalitas[9]. Uji kompetensi guru dilakukan
untuk pemetaan kualitas guru secara nasional yang
dapat digunakan untuk merumusakn program
perbaikan kualitas guru. Tunjangan profesi digunakan
untuk menjamin kesejahteraan guru. Guru pembelajar
merupakan program pemerintah untuk mendorong
guru selalu belajar untuk mengembangkan diri demi
mengoptimalkan layanan pembelajaran pada peserta
didik[10].
Guru sebagai pemegang profesi seharusnya dapat
tampil sebagai sosok yang benar-benar ahli dalam
bidangnya. Khususnya guru PJOK, mereka harus
mampu meyakinkan orang lain bahwa tidak ada guru
lain yang layak mengajar mata pelajaran PJOK selain
mereka. Tentunya guru PJOK yang profesional
minimal memiliki latar belakang pendidikan yang
sesuai dengan bidangnya[11]. Mereka telah
mendapatkan pendidikan khusus ilmu keguruan
tentang keolahragaan. Namun nampaknya, mata
pelajaran PJOK masih belum mendapatkan haknya
secara penuh terkait tenaga pengajar. Banyak guru dari
berbagai latar belakang pendidikan keguruan yang
mendapatkan tempat untuk tampil sebagai guru
PJOK[12]. Pandangan yang beragam dari masyarakat
dan pemangku kebijakan menjadikan profesi guru
PJOK dapat dipegang oleh berbagai latar belakang
pendidikan, bahkan dari mereka yang berlatar
belakang non-keguruan.
Hal logis yang menjadikan guru-guru tidak sesuai
kualifikasi tersebut dapat tampil sebagai guru PJOK
adalah sistem rekrutmen tenaga pengajar di sekolah[1].
Ada sekolah yang masih tidak mementingkan latar
belakang calon guru untuk menjadi tenaga pengajar.
Kejadian ini sering melanda sekolah-sekolah yang
memiliki memang kesulitan dalam mendapatkan
tenaga pendidik. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
menyatakan bahwa guru wajib memiliki empat
kompetensi yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional[11].
Sayangnya, kompetensi guru PJOK semakin lama
bekerja tidak menunjukkan semkain ahli mereka
membelajarkan siswa. Semakin lama mereka mengajar
tidak diikuti oleh semakin tingginya kompetensi yang
dimiliki[5]. Bahkan terjadi krisis identitas PJOK di
sekolah yang disinyalir kurang berkualitasnya proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru[13].
Seharusnya guru senantiasa mengoreksi diri dalam
setiap proses pembelajaran. Guru senantiasa
melakukan kegiatan refleksi terhadap kualitas kinerja
diri mereka. Dengan begitu program-program dalam
pengembangan diri guru dapat dilakukan sesuai
dengan kebutuhan. Tanpa mengetahui kebutuhan
pengambangan diri guru, program-program
pengembangan kompetensi guru tidak akan berjalan
dengan efektif.
UKG sebetulnya adalah satu dari empat program
pemerintah yang ditujukan untuk mengetahui
kebutuhan belajar guru untuk mengembangkan
kompetensi guru. Akan tetapi, pelaksanaan UKG
hanya terbatas pada kompetensi pedagogik dan
profesional, dua kompetensi lainnya yaitu sosial dan
kepribadian masih belum terukur dalam kegiatan
tersebut. Selain itu, penggunaan pengukuran ini masih
belum mampu memberikan gambaran kepada guru
terkait kelemahan dan kelebihan guru pada kompetensi
yang diukur.
195
Untuk itu, perlu instrumen yang dapat digunakan
oleh guru setiap hari dan mencakup empat kompetensi
guru.
2. TUNTUTAN PEMERINTAH TERHADAP
KOMPETENSI GURU
Pemerintah telah menetapkan bahwa guru harus
memiliki empat kompetensi, yaitu: (1) kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional[11].
Aturan ini juga dapat digunakan sebagai tolok ukur
kualitas prospective PE teacher. Selanjutnya, untuk
memperjelas isi dari empat kompetensi tersebut
pemerintah memecah empat kompetensi tersebut ke
menjadi 24 kompetensi inti[14].
Kompetensi pedagogik. Kompetensi inti dalam
bagian pedagogik terdiri atas sepuluh hal yaitu: (1)
Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik,
moral, sosial, cultural, emosional, dan intelektual, (2)
Menguasai teori belajar dan prinsip pembelajaran yang
mendidik, (3) Mengembangkan kurikulum yang
terkait mata pelajaran yang diampu, (4)
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (5)
Memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran,
(6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik,
(7) Berkomunikasi efektif, empatik, dan santun ke
peserta didik, (8) Menyelenggarakan penilaian
evaluasi proses dan hasil belajar, (9) Memanfaatkan
hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran, dan (10) Melakukan tindakan reflektif
untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kompetensi Kepribadian. Kompetensi inti dalam
bagian kepribadian terdiri atas lima hal yaitu: (1)
Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial
dan budaya bangsa, (2) Penampilan yang jujur,
berakhlak mulia, teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, (3) Menampilkan diri sebagai pribadi
yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, (4)
Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi,
rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, dan
(5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Kompetensi Sosial. Kompetensi inti dalam bagian
sosial terdiri atas empat hal yaitu: (1) Bersikap
inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif
karena pertimbangan jenis kelamin, agama,
raskondisifisik, latar belakang keluarga, dan status
sosial keluarga, (2) Berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua dan masyarakat, (3)
Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah RI
yang memiliki keragaman sosial budaya, dan (4)
Berkomunikasi dengan lisan maupun tulisan.
Kompetensi Profesional. Kompetensi inti dalam
bagian profesional terdiri atas lima hal yaitu: (1)
Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir
keilmuan yang mendukung pelajaran yang diampu, (2)
Mengusai standar kompentensi dan kompetensi dasar
mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu,
(3) Mengembangkan materi pembelajaran yang
dimampu secara kreatif, (4) Mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
melakukan tindakan reflektif, dan (5) Memanfaatkan
TIK untuk berkomunikasi dan mengembangakan diri.
3. PENGEMBANGAN INSTRUMEN
3.1. Model pengukuran kompetensi
Instrumen penelitian yang dimaksud adalah
instrumen pengukuran kadar keguruan (tingkat
kompetensi) mahasiswa calon guru dan guru PJOK
indonesia (KKMCG-GPJOKI) yang dikembangkan
berdasarkan 24 sub kompetensi guru mata pelajaran
pada permendiknas 16 tahun 2007.
Model pengukuran kompetensi calon guru dan
guru PJOK yang digunakan adalah self-assessment,
dengan harapan para calon guru dan guru PJOK dapat
secara berkala menilai kompetensi mereka sendiri
sesuai dengan keinginan guru. Penilaian diri dapat
memberi keuntungan berupa auto-feedback untuk
pengembangan kompetensi diri selama mengikuti
program pendidikan di perguruan tinggi dan selama
menjadi guru PJOK.
Mahasiswa atau calon guru dan guru PJOK dapat
mengetahui tingkat kompetensi dirinya setelah
menjawab dan mendeskripsikan bukti fisik dari
jawabannya secara tepat. Realitas bukti fisik dan
kesesuaian antara bukti fisik dengan kategori jawaban
menentukan validitas jawabannya. Instrumen ini juga
dapat diisi oleh pengumpul data setelah melakukan
wawancara dengan mahasiswa atau guru yang hendak
diukur tingkat kompetensinya.
3.2. Validasi instrumen
Instrumen ini telah divalidasi dan direvisi
berdasarkan masukan dari 3 validator (Prof. Dr. Adang
Suherman, MA - Guru besar UPI, Prof. Dr. Hari
Amirullah, M.Pd. - Guru besar UNY, dan Prof. Dr.
M.E. Winarno, M.Pd. - Guru besar UM) sehingga
dapat digunakan sesuai prosedur dalam deskripsi.
Ketiga validator menyatakan 100% item dalam
instrumen valid dan dapat digunakan untuk mengukur
kompetensi calon guru dan guru PJOK. Selain
menyatakan valid, para validator juga memberikan
masukan berupa:
1. Prof. Dr. Adang Suherman, M.A. menyatakan
bahwa pola pertanyaannya konsisten dari mulai no
1 sd no 24, dan pemakaian skala nilai setiap item
perlu lebih diperjelas agar pemakai mudah
mengerti.
2. Prof. Dr. Hari Amirullah, M.Pd. menyatakan
bahwa kata “Keprofesionalan” diganti
“keprofesian” sesuai Permenpan 16/2009.
3. Prof. Dr. M.E. Winarno, M.Pd. menyatakan bahwa
sebaiknya pernyataan awal instrumen dibuat
bervariasi misal: Saudara sebagai guru PJOK.
Berdasarkan tiga masukan tersebut dapat
disumpulkan bahwa tidak ada revisi yang membuat
instrumen berubah secara signifikan. Untuk itu,
instrumen dapat direvisi sesuai dengan masukan dan
langsung dapat disosialisasikan kepada subjek
penelitian. Selanjutnya dapat digunakan untuk
mengukur kompetensi calon guru dan guru PJOK.
196
3.3. Aturan penilaian kompetensi
Jumlah pertanyaan dalam instrumen ini sebanyak
24 item. Setiap item memiliki jumlah kategori masing-
masing. Rentang nilai yang digunakan dalam
instrumen mulai 0-5. Nilai ini menunjukkan tingkat
kompetensi yang dimiliki oleh guru. Nilai dari setiap
item dijumlah untuk menjadi nilai kompetensi guru.
Nilai maksimal untuk mahasiswa adalah 62 sedangkan
nilai maksimal untuk guru adalah 100. Perincian nilai
maksimal untuk setiap item pada pengukuran
kompetensi calon guru dan guru PJOK dapat dilihat
pada tabel 1.
Untuk menentukan kategori kompetensi guru, nilai
hasil penjumlahan dibagi dengan nilai maksimal. Hasil
dari pembagian tersebut dijadikan persen yang
dikategorikan menggunakan aturan pengkategorian
sebagai berikut:
Kategori 1 = 0.0% ≤ buruk ≤ 20.0%
Kategori 2 = 20.0% < kurang ≤ 40.0%
Kategori 3 = 40.0% < biasa ≤ 60.0%
Kategori 4 = 60.0% < baik ≤ 80.0%
Kategori 5 = 80.0% < hebat ≤ 100.0%
4. BUKTI KETERANDALAN INSTRUMEN
Instrumen ini telah digunakan oleh Suroto dkk
dalam mengukur kompetensi calon guru PJOK di
Program Studi S1 Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan
Rekreasi, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas
Negeri Surabaya. Pengukuran dilakukan kepada
mahasiswa tahun pertama sampai dengan tahun
keempat. Selanjutnya tingkatan tahun tersebut
digunakan sebagai dasar pembeda kompetensi calon
guru. Idealnya, calon guru pada tingkat yang lebih
tinggi mendapatkan peluang untuk menguasai
kompetensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
level mahasiswa yang lebih rendah.
Diasumsikan bahwa setiap level memiliki
pengalaman belajar yang berbeda dan pembekalan
ilmu yang berbeda dari kegiatan perkuliahan. Semakin
tinggi level maka semakin banyak bidang ilmu yang
dikaji. Semakin banyak bidang ilmu yang dikaji
diharapkan semakin tinggi tingkat kompetensi
mahasiswa calon guru PJOK. Untuk itu, perlu diuji
perbedaan kompetensi mahasiswa calon guru PJOK
berdasarkan level mereka (lihat Gambar 1).
Tabel 1. Pengaturan Nilai Maksimal pada Setiap Kompetensi Inti Guru
No. Kompetensi Inti Guru Nilai Maksimal
Guru Calon Guru
Kompetensi Pedagogik
1 Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional,
dan intelektual.
5 2
2 Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. 5 3
3 Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu. 5 3
4 Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. 3 1 5 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran. 4 2
6 Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki.
4 2
7 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. 4 1
8 Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. 5 3
9 Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. 4 2 10 Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. 4 2
Kompetensi Kepribadian
11 Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. 4 2 12 Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan
masyarakat.
4 2
13 Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. 4 2 14 Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya
diri.
4 2
15 Menjunjung tinggi kode etik profesi guru. 4 2
Kompetensi Sosial
16 Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
4 4
17 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tua, dan masyarakat.
4 4
18 Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman
sosial budaya.
4 4
19 Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
4 2
Kompetensi Profesional
20 Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
4 4
21 Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu. 4 4
22 Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. 5 5 23 Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. 4 2
24 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. 4 2
Jumlah Total 100 62
197
Gambar 1. Perbandingan Kompetensi Calon Guru
PJOK Berdasarkan Tahun Mengikuti Pendidikan di
Lembaga Pendidikan Guru
5. SIMPULAN
Berdasarkan kepentingan guru untuk melakukan
refleksi diri untuk mengembangkan kompetensi diri,
maka perlu disusun instrumen yang memberikan
peluang kepada guru untuk mengetahui kebutuhan
pengembangan diri. Berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 16
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru maka dapat dikembangkan
instrumen KKMCG-GPJOKI. Hasil validasi oleh tiga
ahli, instrumen KKMCG-GPJOKI sudah dinyatakan
valid. Hasil pengukuran yang dilakukan pada calon
guru PJOK menunjukkan bahwa pemanfaatan
instrumen KKMCG-GPJOKI telah mampu
membedakan kompetensi calon guru PJOK
berdasarkan level. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
instrumen KKMCG-GPJOKI dapat digunakan dalam
mengukur kompetensi calon guru dan guru PJOK.
6. IMPLIKASI
Model pengukuran kompetensi calon guru dan
guru PJOK menggunakan self-assessment tergantung
pada tingkat objektivitas pengisi. Hanya calon guru
dan guru PJOK yang memiliki tingkat objektivitas
yang tinggi yang dapat memanfaatkan hasil
pengukuran secara optimal. Jika tuntutan objektivitas
tidak terpenuhi maka dapat mengurangi keberfungsian
dari hasil pengukuran kompetensi menggunakan
instrumen ini.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Ganefri, (2016). Kolaborasi Strategi Pemberdayaan
Lintas Institusi dan Participatory Management
Menuju Sistem Rekrutmen dan Distribusi Guru yang
Proporsional-Efektif di Indonesia, in Konvensi
Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016, 35–40.
[2] Anonim, (2016). Kualitas Guru Indonesia Masih
Terendah, Jawa Pos Online, 1–2, 27-Apr-2016.
[3] Anomin, (2016). SEDIH! Ini Peringkat Pendidikan
Indonesia versi 5 Lembaga Survei Internasional,”
Jawa Pos National Network, No. April, Jakarta, 26-Apr-
2016.
[4] S. R. Mas, (2008). Profesionalitas Guru dalam
Peningkatan Kualitas Pembelajaran, INOVASI, Vol. 5, No. 2, 1–10.
[5] A. Maksum, (2010). Kualitas Guru Pendidikan
Jasmani di Sekolah : Antara Harapan dan Kenyataan, No. 3, 1–32.
[6] Kemendikbud, (2014). Paparan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI: Pengembangan Kurikulum
2013, Press Workshop: Implementasi Kurikulum 2013. 27–28.
[7] K. A. R. Richards, K. L. Gaudreault, and T. J. Templin,
(2014). Understanding the Realities of Teaching: A
Seminar Series Focused on Induction, J. Phys. Educ.
Recreat. Danc., Vol. 85, No. 9, 28–35.
[8] Suroto, (2016). Peran Sekolah dan Perguruan Tinggi
dalam Mewujudkan Guru PJOK Profesional yang
Pembelajar, in Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016, 1425–1430.
[9] S. Surapranata et al., (2016). Sertifikasi Guru Dalam
Jabatan Tahun 2016.
[10] Syamsu, (2016). Pengertian dan Program Guru
Pembelajar, Guru Pembelajar Online, 2016. [Online].
Available:
http://www.gurupembelajaronline.com/2016/06/pengertian-dan-program-guru-pembelajar-2016.html.
[11] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. 2005.
[12] B. B. Prakoso and S. C. Y. Hartati, (2013). Latar
Belakang Guru Pemula, Efektivitas Pembelajaran,
Pendidik. Olahraga dan Kesehat., Vol. 1, No. 1, 240–246.
[13] B. B. Prakoso, (2014). Upaya Peningkatan Kualitas
Proses Belajar Mengajar PJOK melalui Evaluasi Diri
Guru, in Optimalisasi Hasil-Hasil Penelitian dalam
Menunjang Pembangunan Berkelanjutan, No. 64, 510–523.
[14] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No. 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. 2007, 1–
31.
0
10
20
30
40
50
Level 1 Level 2 Level 3 Level 4
Kompetensi Calon Guru PJOK
198
INSTRUMEN PENGUKURAN KADAR KEGURUAN GURU PJOK
IDENTITAS:
Nama Guru : ..................................................... NIP : ................................................
Hari & Tanggal Pengisian : ..................................................... Level : ................................................
Masa Kerja (tahun) : ..................................................... Proporsi : ................................................
Satuan Pendidikan : ..................................................... Kategori : ................................................
PETUNJUK PENGISIAN:
Jawablah pertanyaan berikut dengan cara menyilang angka 0, 1, 2, 3, 4 atau 5 yang sesuai dengan kondisi riil
saudara pada semester ini. Kemudian deskripsikan secara singkat CONTOH NYATA dokumen/ kegiatan yang
menjadi bukti fisik yang mendukung pilihan jawaban saudara.
No. Kompetensi Inti
Guru Pertanyaan
Nilai Kategori
Deskripsi Bukti
Fisik
1 Menguasai
karakteristik peserta
didik dari aspek fisik, moral, spiritual,
sosial, kultural,
emosional, dan intelektual.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu
memanfaatkan seluruh data fisik, moral, spiritual, sosial, kultural,
emosional dan intelektual peserta
didik dalam mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran
PJOK. Seperti apakah kondisi
saudara saat ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5)
0 Saya belum pernah mengukur
1 Saya pernah mengukur sebagian aspek
2 Saya pernah mengukur seluruh aspek
3 Saya pernah memanfaatkan seluruh/
sebagian aspek
4 Saya selalu memanfaatkan sebagian aspek
5 Saya selalu memanfaatkan seluruh aspek
2 Menguasai teori
belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran
yang mendidik.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu menerapkan teori belajar yang
mendasari pembentukan sikap,
penguatan pemahaman, belajar gerak, dan peningkatan derajad
kebugaran jasmani peserta didik,
dalam tahap mempersiapkan dan
melaksanakan pembelajaran
PJOK. Seperti apakah penguasaan
teori saudara semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5)
0 Saya belum pernah mengetahui teori
belajar
1 Saya pernah mengetahui teori belajar
2 Saya mengetahui sebagian besar teori
belajar
3 Saya pernah melaksanakan pembelajaran
berbasis teori
4 Saya sering melaksanakan pembelajaran
berbasis teori
5 Saya selalu melaksanakan pembelajaran
berbasis teori
3 Mengembangkan
kurikulum yang terkait dengan mata
pelajaran yang
diampu.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu mengacu standar isi, standar proses, standar
kompetensi (KI, KD, dan
Lulusan), dan standar penilaian dalam tahap mempersiapkan dan
melaksanakan pembelajaran
PJOK. Seperti apakah tingkat kemampuan saudara dalam
mengembangkan kurikulum PJOK
pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5)
0 Saya belum pernah mengetahui standar
nasional pendidikan
1 Saya pernah mengetahui 4 standar yang menjadi dasar kurikulum
2 Saya memahami 4 standar yang menjadi
dasar kurikulum
3 Saya pernah mengembangkan kurikulum PJOK berdasarkan 4 standar
4 Saya sering mengembangkan kurikulum
PJOK berdasarkan 4 standar
5 Saya selalu mengembangkan kurikulum PJOK berdasarkan 4 standar
4 Menyelenggarakan
pembelajaran yang
mendidik.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu
melaksanakan pembelajaran PJOK
dengan tujuan yang jelas sesuai
dengan standar kompetensi yang belaku dan mengarahkan semua
aktivitas dalam pembelajaran
untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Seperti apakah
tingkat penyelenggaraan PJOK
saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-3)
0 Saya belum pernah melaksanakan
pembelajaran
1 Saya pernah menyelenggarakan pembelajaran PJOK yang mendidik
2 Saya sering menyelenggarakan
pembelajaran PJOK yang mendidik
3 Saya selalu menyelenggarakan pembelajaran PJOK yang mendidik
5 Memanfaatkan
teknologi informasi
dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran. Seperti apakah tingkat pemanfaatan saudara pada
ICT (internet, sms, media sosial,
telepon) untuk kepentingan
pembelajaran PJOK pada semester
ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum menggunakan ICT
1 Saya menggunakan ICT tetapi belum
pernah digunakan untuk pembelajaran PJOK
2 Saya pernah memanfaatkan dalam
pembelajaran PJOK
3 Saya sering memanfaatkan dalam pembelajaran PJOK
4 Saya selalu memanfaatkan dalam
pembelajaran PJOK
199
No. Kompetensi Inti
Guru Pertanyaan
Nilai Kategori
Deskripsi Bukti
Fisik
6 Memfasilitasi
pengembangan
potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu
mengembangkan segala potensi keolahragaan peserta didik dengan
cara memilih, melatih, dan
mengikutsertakan peserta didik yang berbakat olahraga dalam
perlombaan/ kejuaraan. Seperti
apakah tingkat kemampuan saudara dalam pengembangan
bakat olahraga peserta didik pada
semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mengecek bakat
peserta didik
1 Saya pernah menyeleksi peserta didik berdasarkan bakat/ prestasi/ potensi
olahraganya
2 Saya pernah mengikutsertakan peserta
didik yang berbakat dalam kejuaraan/ perlombaan olahraga
3 Saya sering mengikutsertakan peserta
didik yang berbakat dalam kejuaraan/ perlombaan olahraga
4 Saya selalu mengikutsertakan peserta
didik yang berbakat dalam kejuaraan/ perlombaan olahraga
7 Berkomunikasi
secara efektif,
empatik, dan santun dengan peserta didik.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu
berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan
peserta didik saudara (mencatat
pendapat, saran, pertanyaan, permintaan yang disampaikan
peserta didik). Seperti apakah
tingkat kemampuan saudara dalam berkomunikasi dengan peserta
didik pada semester ini? (Opsi
jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah berkomunikasi
dengan peserta didik dalam konteks
pembelajaran PJOK
1 Saya pernah berkomunikasi dengan
peserta didik dalam pembelajaran PJOK
guru lain
2 Saya memiliki peserta ddik sendiri tetapi belum pernah mencatat informasi dari
mereka
3 Saya sering berkomunikasi secara efektif (tercatat) dengan peserta didik
4 Saya selalu berkomunikasi secara efektif
(tercatat) dengan peserta didik saya
8 Menyelenggarakan penilaian dan
evaluasi proses dan
hasil belajar.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu membuat
catatan kemajuan belajar/ skor
peserta didik (menilai) dan membandingkan dengan target/
tujuan yang telah dicanangkan
sampai dengan hari itu
(mengevaluasi) dan hasilnya
dinyatakan benar oleh kepala
sekolah/ pengawas. Seperti apakah tingkat kemampuan saudara dalam
menilai dan mengevaluasi hasil
belajar peserta didik pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-5)
0 Saya belum pernah menilai dan mengevaluasi peserta didik PJOK
1 Saya pernah membantu guru PJOK lain
dalam menilai/ mengevaluasi hasil
belajar PJOK
2 Saya memiliki hasil penilaian dan
evaluasi tetapi belum pernah
dilegitimasi/ diakui benar oleh orang lain
3 Saya pernah menilai dan mengevaluasi hasil belajar PJOK dan diakui
kebenarannya oleh kepala sekolah/
pengawas/ ahli
4 Saya sering menilai dan mengevaluasi
hasil belajar PJOK dan diakui
kebenarannya oleh kepala sekolah/ pengawas
5 Saya selalu menilai dan mengevaluasi
hasil belajar PJOK dan diakui kebenarannya oleh kepala sekolah/
pengawas
9 Memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi untuk
kepentingan
pembelajaran.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu memanfaatkan catatan kemajuan
belajar/ skor peserta didik (nilai)
dan hasil evaluasi untuk
kepentingan perbaikan
pembelajaran. Seperti apakah
tingkat kemampuan saudara dalam memanfaatkan nilai dan hasil
evaluasi peserta didik untuk
perbaikan pembelajaran PJOK pada semester ini? (Opsi jawaban
tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah memiliki nilai dan
hasil evaluasi peserta didik PJOK
1 Saya pernah memiliki nilai dan hasil
evaluasi peserta didik PJOK tetapi belum
pernah memanfaatkannya
2 Saya pernah memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk
memperbaiki RPP
3 Saya sering memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk
memperbaiki RPP
4 Saya selalu memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi untuk memperbaiki RPP
10 Melakukan tindakan
reflektif untuk peningkatan kualitas
pembelajaran.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu mampu merefleksi (menemukan kelebihan
dan kelemahan) dari pembelajaran
PJOK nya sendiri dan berusaha mengurangi/ menghilangkan
kelemahan yang ada di
pembelajaran berikutnya. Seperti apakah tingkat kemampuan
saudara dalam merefleksi
pembelajaran PJOK untuk
0 Saya belum pernah mengetahui cara
merefleksi pembelajaran PJOK
1 Saya pernah mengetahui cara merefleksi pembelajaran PJOK
2 Saya pernah praktik cara merefleksi
pembelajaran PJOK
3 Saya sering merefleksi pembelajaran
PJOK nya sendiri
4 Saya selalu merefleksi pembelajaran
PJOK nya sendiri
200
No. Kompetensi Inti
Guru Pertanyaan
Nilai Kategori
Deskripsi Bukti
Fisik
peningkatan kualitas pada
semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
11 Bertindak sesuai
dengan norma agama,
hukum, sosial, dan kebudayaan nasional
Indonesia.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu bertindak
sesuai dengan norma agama, norma hukum, norma sosial, dan
budaya Indonesia. Seperti apakah
tingkat kepatuhan saudara terhadap seluruh norma dan
budaya Indonesia pada semester
ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mengindentifikasi
norma dan budaya yang seharusnya
dipatuhi guru PJOK
1 Saya pernah mengindentifikasi norma
dan budaya yang seharusnya dipatuhi
guru PJOK
2 Saya pernah praktik penerapan norma dan budaya yang seharusnya dipatuhi
guru PJOK
3 Saya sering menerapkan norma dan budaya yang seharusnya dipatuhi guru
PJOK
4 Saya selalu menerapkan norma dan
budaya yang seharusnya dipatuhi guru
PJOK
12 Menampilkan diri
sebagai pribadi yang jujur, berakhlak
mulia, dan teladan
bagi peserta didik dan masyarakat.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu tampil sebagai pribadi yang jujur,
berakhlak mulia, dan teladan bagi
peserta didik dan masyarakat. Seperti apakah tingkat keteladanan
dalam kejujuran dan akhlal mulia
pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mengidentifikasi ciri-
ciri jujur dan akhlak mulia
1 Saya pernah mengidentifikasi ciri-ciri
jujur dan akhlak mulia
2 Saya pernah praktik penerapan sikap
jujur dan akhlak mulia
3 Saya sering menampilkan sikap jujur dan
akhlak mulia
4 Saya selalu menampilkan sikap jujur dan
akhlak mulia
13 Menampilkan diri
sebagai pribadi yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu tampil
sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa. Seperti apakah
tingkat penampilan pribadi
saudara pada semester ini? (Opsi
jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mengindentifikasi
ciri-ciri dewasa, arif, dan berwibawa
1 Saya pernah mengindentifikasi ciri-ciri
dewasa, arif, dan berwibawa
2 Saya pernah praktik penerapan sikap
dewasa, arif, dan berwibawa
3 Saya sering menampilkan sikap dewasa,
arif, dan berwibawa
4 Saya selalu menampilkan sikap dewasa,
arif, dan berwibawa
14 Menunjukkan etos kerja, tanggung
jawab yang tinggi,
rasa bangga menjadi guru, dan rasa
percaya diri.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu
menunjukkan etos kerja, tanggung
jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya
diri. Seperti apakah tingkat etos
kerja, tanggung jawab, kebanggaan, dan kepercayaan diri
saudara pada semester ini? (Opsi
jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mengindentifikasi ciri-ciri selalu menunjukkan etos kerja,
tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri
1 Saya pernah mengindentifikasi ciri-ciri selalu menunjukkan etos kerja, tanggung
jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi
guru, dan rasa percaya diri
2 Saya pernah praktik kerja dengan etos,
tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri
3 Saya sering menampilkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri
4 Saya selalu menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri
15 Menjunjung tinggi
kode etik profesi guru.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu menjunjung tinggi kode etik
profesi guru. Seperti apakah
tingkat kepatuhan saudara terhadap kode etik profesi guru
Indonesia pada semester ini? (Opsi
jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mengetahui kode etik
guru Indonesia
1 Saya pernah mengetahui kode etik guru
Indonesia
2 Saya pernah praktik menerapkan kode
etik guru Indonesia
3 Saya sering menampilkan sikap sesuai
mengetahui kode etik guru Indonesia
4 Saya selalu menampilkan sikap sesuai mengetahui kode etik guru Indonesia
16 Bersikap inklusif,
bertindak objektif,
serta tidak diskriminatif karena
pertimbangan jenis
kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya dalam bergaul
dengan orang lain selalu bersikap inklusif, bertindak objektif, serta
tidak diskriminatif karena
pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar
0 Saya tidak pernah ingin mengetahui
urusan orang lain
1 Saya pernah melibatkan diri dalam urusan orang lain
2 Dalam berurusan dengan orang lain, saya
jarang tanpa diskriminatif dan bersikap
objektif
201
No. Kompetensi Inti
Guru Pertanyaan
Nilai Kategori
Deskripsi Bukti
Fisik
belakang keluarga,
dan status sosial
ekonomi.
belakang keluarga, dan status
sosial ekonomi. Seperti apakah
tingkat objektivitas dan keterbukaan saudara pada
semester ini? (Opsi jawaban
tersedia 0-4)
3 Dalam berurusan dengan orang lain, saya
sering tanpa diskriminatif dan bersikap
objektif
4 Dalam berurusan dengan orang lain, saya
selalu tanpa diskriminatif dan bersikap
objektif
17 Berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun
dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang
tua, dan masyarakat.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu
berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua, dan
masyarakat. Seperti apakah tingkat keefektifan dan kesantunan
komunikasi saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mendapat kesempatan berkomunikasi selaku
pendidik
1 Saya pernah berkomunikasi dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tua, dan masyarakat akan tetapi
belum terasa efektif, empatik, dan santun
2 Saya pernah berkomunikasi dengan
sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tua, dan masyarakat secara efektif,
empatik, dan santun
3 Saya sering berkomunikasi dengan
sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tua, dan masyarakat secara efektif, empatik, dan santun
4 Saya selalu berkomunikasi dengan
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat secara efektif,
empatik, dan santun
18 Beradaptasi di tempat
bertugas di seluruh wilayah Republik
Indonesia yang
memiliki keragaman sosial budaya.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu mampu beradaptasi di tempat bertugas di
seluruh wilayah Republik
Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya. Seperti
apakah kesiapan dalam
beradaptasi dengan lingkungan baru saudara pada semester ini?
(Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya ingin bertugas sebagai guru PJOK
di dalam wilayah kabupaten saya sendiri
1 Saya ingin bertugas sebagai guru PJOK
di dalam wilayah propinsi saya sendiri
2 Saya ingin bertugas sebagai guru PJOK
di mana saja asal banyak penduduk yang berasal dari kabupaten saya sendiri
3 Saya siap bertugas sebagai guru PJOK di
seluruh Indonesia kecuali di beberapa
suku
4 Saya selalu siap bertugas sebagai guru
PJOK di seluruh Indonesia dan bergaul
dengan masyarakat yang berbeda sosial dan budaya
19 Berkomunikasi
dengan komunitas profesi sendiri dan
profesi lain secara
lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu berkomunikasi dengan komunitas
profesi sendiri dan profesi orang.
Seperti apakah kedekatan hubungan dengan organisasi
profesi saudara pada semester ini?
(Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum mengenal organisasi profesi
untuk guru PJOK
1 Saya mengetahui adanya KKG/ MGMP
Mapel PJOK tetapi tidak pernah hadir
dalam kegiatan
2 Saya mengetahui adanya KKG/ MGMP Mapel PJOK tetapi jarang hadir dalam
kegiatan
3 Saya mengetahui adanya KKG/ MGMP Mapel PJOKdan sering hadir dalam
kegiatan
4 Saya mengetahui adanya KKG/ MGMP
Mapel PJOK dan selalu hadir dalam
kegiatan
20 Menguasai materi,
struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan
yang mendukung
mata pelajaran yang diampu.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu menguasai materi, struktur, konsep, dan pola
pikir keilmuan yang mendukung
mata pelajaran PJOK. Seperti apakah penguasaan bidang PJOK
saudara pada semester ini? (Opsi
jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum mengenal ilmu PJOK sama
sekali
1 Saya pernah mengenal ilmu PJOK
2 Saya menguasai sebagian kecil ilmu
PJOK
3 Saya menguasai sebagian besar ilmu
PJOK
4 Saya menguasai seluruh ilmu PJOK
21 Menguasai standar
kompetensi dan
kompetensi dasar mata pelajaran yang
diampu.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu menguasai
kompetensi inti dan kompetensi dasar mata pelajaran PJOK.
Seperti apakah penguasaan KI KD
PJOK saudara pada semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mengenal KI KD
mapel PJOK
1 Saya pernah membaca KI KD mapel
PJOK
2 Saya menguasai sebagian kecil KI KD
mapel PJOK
3 Saya menguasai sebagian besar KI KD mapel PJOK
4 Saya menguasai seluruh KI KD mapel
PJOK
202
No. Kompetensi Inti
Guru Pertanyaan
Nilai Kategori
Deskripsi Bukti
Fisik
22 Mengembangkan
materi pembelajaran
yang diampu secara kreatif.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu
mengembangkan materi pembelajaran PJOK secara kreatif.
Seperti apakah pengembangan
materi pembelajaran PJOK saudara pada semester ini? (Opsi
jawaban tersedia 0-5)
0 Saya belum pernah mengenal materi
mapel PJOK
1 Saya pernah membaca materi mapel PJOK
2 Saya mengembangkan materi mapel
PJOK
3 Saya sudah mengembangkan sebagian kecil materi mapel PJOK
4 Saya sudah mengembangkan sebagian
besar materi mapel PJOK
5 Saya sudah mengembangkan seluruh materi mapel PJOK
23 Mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan
melakukan tindakan reflektif.
Sebagai guru PJOK yang hebat,
saudara mestinya selalu mengembangkan keprofesionalan
secara berkelanjutan dengan
melakukan tindakan reflektif. Seperti apakah pengembangan
keprofesionalan saudara pada
semester ini? (Opsi jawaban tersedia 0-4)
0 Saya belum pernah mengenal
pengembangan profesi guru PJOK
1 Saya ingin menjadi guru mapel PJOK yang sukses
2 Saya mulai merasa menjadi guru mapel
PJOK yang profesional setelah melakukan refleksi diri
3 Saya merasa hampir menjadi guru mapel
PJOK yang profesional karena terus
memperbaiki diri
4 Saya merasa sudah menjadi guru mapel
PJOK yang profesional yang selalu
tampil sukses
24 Memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi
untuk mengembangkan diri.
Sebagai guru PJOK yang hebat, saudara mestinya selalu
memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk mengembangkan diri. Seperti
apakah kemampuan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi saudara pada
semester ini? (Opsi jawaban
tersedia 0-4)
0 Saya belum menggunakan ICT
1 Saya menggunakan ICT tetapi belum pernah digunakan untuk pengembangan
diri
2 Saya pernah memanfaatkan dalam pengembangan diri
3 Saya sering memanfaatkan dalam
pengembangan diri
4 Saya selalu memanfaatkan dalam
pengembangan diri
203
Implementasi Model Index Card Match pada Mata Pelajaran
Akuntansi
Rochmawati1*), Agung Listiadi2, Suci Rohayati3
1Jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya, rochmawati@unesa.ac.id 2Jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya,agunglistiadi@unesa.ac.id 3Jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya,sucirohayati@unesa.ac.id
*) Alamat Korespondesi: Email: rochmawati@unesa.ac.id
ABSTRACT
The purpose of this research is to develop a learning model that is able to regenerate the stimulation of
interest, contextual nature, able to increase motivation and learning habits and capable of overcoming the
difficulties of learning subjects in accounting. This type of research is developmental research by using a
developmental model according to Thiagarajan i.e. 4 D Model (four D method) that consists of a definition phase
(define), stage the restyling (design), stage of development (develop), and the deployment stage (disseminate). The
results showed that at definition phase (define) materials that are available in the support application of
inadequate scientific approach to Curriculum implementation in 2013. Overall the students have a good study
motivation against the material to be learned in the classroom. At this stage of design produces draft index card
match the integrated worksheet are printed. This stage of disseminate in 2 of the city is Surabaya and Sidoarjo.
Key Words: model of learning, index card match, accounting subjects
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran yang mampu menumbuhkan stimulation
of interest, bersifat kontekstual, mampu meningkatkan motivasi dan kebiasaan belajar serta mampu mengatasi
kesulitan belajar mata pelajaran akuntansi. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan
menggunakan model pengembangan yang digunakan yaitu model pengembangan menurut Thiagarajan yaitu
model pengembangan 4D (four D method) yang terdiri dari tahap pendefinisian (define), tahap pendesainan
(design), tahap pengembangan (develop), dan tahap penyebaran (disseminate). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada tahap pendefinisian (define) bahan ajar yang tersedia kurang memadai dalam menunjang penerapan
pendekatan saintifik dalam pengimplementasian Kurikulum 2013. Secara keseluruhan siswa memiliki motivasi
belajar yang baik terhadap materi yang dipelajari di dalam kelas. Pada tahap design menghasilkan draft index
card match yang terintegrasi worksheet secara tercetak. Tahap disseminasi dilakukan di 2 kota yaitu Surabaya
dan Sidoarjo.
Kata Kunci: model pembelajaran, index card match, mata pelajaran akuntansi
1. PENDAHULUAN
Pembelajaran aktif merupakan model
pembelajaran yang lebih banyak melibatkan peserta
didik dalam mengakses berbagai informasi dan
pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses
pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan
berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan
kompetensinya[1]. Selain itu, belajar aktif juga
memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan
kemampuan analisis dan sintesis serta mampu
merumuskan nilai-nilai baru yang diambil dari hasil
analisis mereka sendiri.
Secara harfiah active learning maknanya adalah
belajar aktif. Kebanyakan praktisi dan pengamat
menyebutnya sebagai model learning by doing.
Pendekatannya, memandang belajar sebagai proses
membangun pemahaman lewat pengalaman dan
informasi[2]. Dengan pendekatan ini, persepsi
pengetahuan dan perasaan peserta didik yang unik ikut
mempengaruhi proses pembelajaran.
Model pembelajaran active learning merupakan
salah satu model dalam belajar mengajar yang
bertujuan untuk meningkatkan mutu atau kualitas
pendidikan dengan memberdayakan peserta didik
secara aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran
aktif (active learning) adalah suatu proses
pembelajaran dengan maksud untuk memberdayakan
peserta didik agar belajar dengan menggunakan
berbagai cara atau strategi secara aktif[3].
Hasil riset dari Abraham[4] terhadap siswa senior
High school di Australia menyatakan bahwa dalam
pembelajaran akuntansi, teaching style (gaya mengajar
guru) mempengaruhi proses pembelajaran siswa, hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa stimulation of
interest (rangsangan yang menarik) antara lain:
penjelasan yang mudah dimengerti,empati dengan
kebutuhan siswa, tujuan yang jelas, dan umpan balik
yang sesuai, adalah menunjukkan hubungan yang
positif signifikan antara gaya mengajar guru dengan
nilai pengajaran yang baik (good teaching). Menurut
Abraham[5] mahasiswa mengalami disinterested
204
terhadap akuntansi dikarenakan subject matter
akuntansi tidak relevan/ kontekstual dengan kehidupan
dunia nyata. Adapun menurut hasil penelitian Khafid[6]
terhadap siswa SMA/MA di Jawa Tengah
menunjukkan masih banyak anak yang masih kesulitan
dalam mata pelajaran akuntansi. Hal ini dapat dilihat
dari hasil ujian tengah semester dengan nilai rata-rata
4,49, padahal standar ketuntasan belajar yang
diharapkan adalah 7,00. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa prestasi yang dicapai masih jauh di bawah nilai
yang diharapkan. Faktor intern yang meliputi kondisi
kesehatan, minat belajar, motivasi belajar dan
kebiasaan belajar berpengaruh negatif terhadap
kesulitan belajar akuntansi pada siswa SMA/MA
sebesar 28,73%. Semakin tinggi kualitas faktor intern
akan diikuti dengan penurunan kesulitan belajar siswa,
sebaliknya semakin rendah kualitas faktor intern
diikuti dengan kenaikan kesulitan belajar siswa.
Dengan demikian permasalahan pokok dan mendasar
yang harus dipecahkan adalah perlunya upaya
mengembangkan suatu model pembelajaran dan bahan
ajar yang mampu menumbuhkan stimulation of
interest, bersifat kontekstual atau berdasarkan pada
realitas kehidupan nyata, mampu meningkatkan
motivasi dan kebiasaan belajar serta mampu mengatasi
kesulitan belajar akuntansi.
Selama ini pembelajaran akuntansi di SMA/MA
hanya menggunakan LKS ataupun buku paket saja.
Hal ini jelas dapat menyebabkan siswa mengalami
disinterested, kurang termotivasi dan mengalami
kesulitan dalam belajar akuntansi. Buku paket dan
LKS akuntansi ditingkat SMA/MA tidak memberikan
contoh-contoh bukti transaksi keuangan yang
dipergunakan dalam kehidupan nyata. Buku paket
akuntansi hanya berisi konsep-konsep akuntansi,
sedangkan LKS akuntansi hanya berisi latihan soal
yang hanya menyebutkan saja bukti transaksinya tetapi
tidak menggambarkan secara nyata bentuk fisik dari
bukti transaksi tersebut. Dengan demikian siswa tidak
mengetahui wujud fisik daripada bentuk-bentuk bukti
transaksi ini. Dengan demikian penelitian model
pengembangan ini sangat penting dalam rangka
menciptakan pengalaman belajar pada siswa sehingga
mampu menumbuhkan stimulation of interest, bersifat
kontekstual atau berdasarkan pada realitas kehidupan
nyata, mampu meningkatkan motivasi dan kebiasaan
belajar serta mampu mengatasi kesulitan belajar
akuntansi. Dengan penciptaan pengalaman belajar
sesuai dengan kondisi dunia nyata, maka tidak hanya
mampu menumbuhkan pengetahuan tetapi juga skill
dalam akuntansi. Sehingga pengalaman belajar yang
ditargetkan adalah siswa tidak hanya memahami teori
akuntansi tetapi siswa juga dapat mempraktekkan
transaksi akuntansi seperti dalam dunia bisnis yang
sesungguhnya.
2. METODE PENELITIAN
Model pengembangan dapat berupa model
prosedural, model konseptual dan model teoritik.
Model prosedural adalah model yang bersifat
deskriptif, yaitu menggariskan langkah-langkah yang
harus diikuti untuk menghasilkan produk. Penerapan
dari model pengembangan ini adalah produk berupa
Indexs Card Match yang kontekstual dan terintegrasi
dalam worksheet. Model pengembangan yang
digunakan yaitu model pengembangan menurut
Thiagarajan dalam Trianto[7, 8], yaitu model
pengembangan 4D (four D method), yang terdiri dari
tahap pendefinisian (Define), tahap perancangan
(Design), tahap pengembangan (Develop), dan tahap
penyebaran (Disseminate).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan ini memaparkan keseluruhan hasil
pengembangan secara rinci dan jelas. Pembahasan
yang dipaparkan berupa proses dan kelayakan bahan
ajar indexs card match yang kontekstual dan
terintegrasi dalam worksheet. Secara keseluruhan
proses pengembangan bahan pembelajaran indexs
card match yang kontekstual dan terintegrasi dalam
worksheet pada materi siklus akuntansi perusahaan
dagang di SMA Kelas XII yang mendapatkan
pembelajaran Akuntansi telah sesuai dengan model
pengembangan 4-D (four D Models), yaitu tahap
pendefinisian (define), tahap perancangan (design),
tahap pengembangan (develop), dan tahap penyebaran
(disseminate).
3.1 Tahap Pendefinisian (Define)
Pada tahap pendefinisian dilakukan analisis ujung
depan, analisis siswa, analisis tugas, analisis konsep,
dan perumusan tujuan pembelajaran. Tahap pertama,
yaitu peneliti melakukan analisis ujung depan dimana
pada analisis ini dicari permasalahan dasar yang terjadi
pada pembelajaran akuntansi di SMA kelas XII, yaitu
bahwa pembelajaran akuntansi masih bersifat abstrak.
Sifat abstrak ini terlihat pada materi yang digunakan
sebagai bahan ajar tidak menunjukkan bukti transaski
atau dokumen yang sesungguhnya dipakai dalam
transaksi keuangan. Sehingga siswa mengalami
kesulitan dalam memahami dan mencerna transaksi
keuangan. Tahap kedua, yaitu analisis siswa, analisis
siswa ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan
kognitif siswa, dimana kemampuan kognitif siswa
SMA kelas XII terdapat pada tingkat penerapan.
Tahap ketiga, yaitu analisis tugas, agar siswa mampu
memahami secara utuh proses penyusunan laporan
keuangan, maka siswa diberikan tugas menyusun
laporan keuangan siklus akuntansi perusahaan dagang
dengan menggunakan bukti transaksi yang
sesungguhnya, dan untuk membiasakan siswa dengan
pengerjaan akuntansi melalui IT maka proses
penyusunan worksheet dilakukan dengan
menggunakan bantuan aplikasi computer spreadsheet.
Tahap keempat, yaitu analisis konsep, analisis
konsep ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep
materi yang akan digunakan siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Adapun konsep yang dikembangkan
adalah siklus akuntansi perusahaan dagang.
Siklus perusahaan dagang memiliki 2 kompetensi
dasar yang dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu:
205
Menganalisis siklus akuntansi perusahaan dagang dan
Mempraktikkan tahapan siklus akuntansi perusahaan
dagang. Pada tahap kelima yaitu perumusan tujuan
pembelajaran, tahap ini dilakukan untuk menjadi dasar
pembelajaran dalam mengetahui tingkat ketercapaian
siswa dalam kegiatan belajar mengajar. dari kelima
analisis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
masalah yang terjadi dapat diatasi dengan
mengembangkan bahan ajar cetak indexs card match
yang kontekstual dan terintegrasi worksheet yang
dibuat dengan menggunakan card dan aplikasi
spreadsheet.
3.2 Tahap Perancangan (Design)
Pada tahap ini dilakukan pembuatan kerangka
kisi-kisi soal yang meliputi pemilihan bentuk dan jenis
tes alat evaluasi pembelajaran. Pemilihan bentuk dan
jenis tes dilakukan disesuaikan dengan materi yang
akan digunakan. Pemilihan materi mengelola
dokumen transaksi dikarenakan materi ini merupakan
materi awal yang harus dipahami oleh siswa dan
dijadikan sebagai dasar siswa untuk memahami materi
selanjutnya karena materi dalam akuntansi ini
berkelanjutan. Setelah indeks card match tesebut
dibuat, maka diintegrasikan ke dalam worksheet
dengan menggunakan aplikasi spreadsheet. Indeks
card match yang tercetak tersebut berupa card
sehingga bahan ajar ini dapat dilihat dan dipegang oleh
siswa secara langsung karena mempunyai wujud fisik.
3.3 Tahap Pengembangan (Develop)
Tahap ini diawali dengan telaah ahli evaluasi dan
ahli materi kemudian revisi yang menghasilkan draft 2
dan divalidasi oleh para ahli. Setelah menjadi draft 2,
selanjutnya indeks card match yang sudah disusun di
uji coba soal untuk mengetahui kualitas indeks card
match dalam memahami proses penyusunan laporan
keuangan. Setelah melakukan uji coba soal kemudian
melakukan revisi yang akhirnya akan menghasilkan
draf 3. Setelah menjadi draf 3, dilakukan uji coba
terbatas kepada 20 siswa SMA kelas XII yang
mendapatkan pembelajaran Akuntansi.
Dari uji coba terbatas dilakukan revisi untuk
penyempurnaan bahan ajar cetak indexs card match
yang kontekstual dan terintegrasi worksheet. Tahap
pengembangan yang terakhir adalah revisi dari draft 3
berdasarkan masukan dari uji coba terbatas sehingga
menjadi draft final.
Hasil validasi terhadap bahan ajar cetak indexs
card match yang kontekstual dan terintegrasi
worksheet pada materi siklus akuntansi perusahaan
dagang menurut para validator baik validator media
maupun bahasa menyatakan bahwa bahan ajar cetak
indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi
worksheet layak untuk dipergunakan dalam proses
pembelajaran akuntansi.
Sebagian besar siswa memberikan tanggapan atau
respon yang positif terhadap setiap aspek yang
ditanyakan pada lembar angket respon siswa terhadap
alat evaluasi berbasis ICT yang dikembangkan oleh
peneliti. Dari hasil uji coba terbatas, siswa menyatakan
bahwa bahan ajar cetak indexs card match yang
kontekstual dan terintegrasi worksheet layak untuk
dipergunakan dalam membantu memahami proses
penyusunan laporan keuangan pada siklus akuntansi
perusahaan dagang
3.4 Tahap Penyebaran (Disseminate)
Pada tahap ini dilakukan di 2 (dua) lokasi kota
yaitu di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) yang
ada di Surabaya dan di Sekolah Menengah Atas Negeri
(SMAN) yang ada di Sidoajo. Ke 2 sekolah ini sudah
mewakili untuk tahap penyebaran (disseminate) dalam
penelitian ini.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Penelitian berhasil mengembangkan bahan ajar
indexs card match yang kontekstual dan terintegrasi
worksheet melalui model pengembangan 4D
Thiagarajan. Bahan ajar yang dihasilkan adalah bahan
ajar tercetak yang dapat dipergunakan dalam proses
penyusunan laporan keuangan pada materi siklus
akuntansi perusahaan dagang. Bahan ajar tersebut
telah diimplementasikan pada mata pelajaran
Ekonomi/Akuntansi di Surabaya dan Sidoarjo.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan adalah: 1)
diperlukan kerjasama dengan ahli desain grafis, 2)
diperlukan kerjasama dengan perusahaan dagang/retail
yang memiliki kecukupan bukti transaksi, dan 3)
diperlukan adanya kerjasama dengan asosiasi profesi
akuntansi untuk melakukan Disseminate.
5. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Morable Linda, (2000). Using Active Learning
Techniques. Exclusive Copyright is retained by the U.S.
Department of Education, the Texas Higher Education
Coordinating Board, and Richland College.
[2]. Horton William, (2002). Speakers_ Experiences and
Audience Design: Knowing When and Knowing How
To Adjust Utterances To Addressees. Journal of
Memory and Language, Vol. 47, 589–606.
[3]. Silberman, Mel., (2001). Active Training Techniques:
Promoting Learning By Doing.
[4]. Abraham A., (2006a). Perceptions of The Linkages
Between Teaching Context, Approaches To Learning
and Outcomes. Research Online institutional repository
for the University of Wollongong.
[5]. Abraham A., (2006b). Teaching and Learning in
Accounting Education: Students'. [6]. Khafid Muhammad, (2007). Faktor–Faktor yang
Mempengaruhi Kesulitan Belajar Akuntansi. Jurnal
Pendidikan Ekonomi, Vol. 2. No.1.
[7]. Trianto, (2013). Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
[8] Trianto, (2014). Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresif, Konsep, Landasan dan
Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
206
top related