thn.xx/september-oktober 2014 minuman berenergi dan...
Post on 18-Oct-2020
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
e-mail: kardiovk@yahoo.co.id / tabloidkardiovaskular@gmail.com; kardiovk; @kardio_vaskuler; tpkindonesia.blogspot.com
ISSN
: 085
3-83
44Perangko Berlangganan No.11/PRKB/JKP/PENJUALAN IV/2014
Harga eceran Rp.9.000,-
207/Thn.XX/September-Oktober 2014
Minuman Berenergi dan Masalah pada JantungPencegahan Penyakit Kardiovaskular – Penilaian Resiko dan Tatalaksana
MinuMan berenergi merupakan minuman khusus yang jika dikonsumsi akan mening katkan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi dan juga stamina tubuh dalam beraktivitas. Seringkali masyarakat mengkonsumsi minuman tersebut untuk mengincar efek positif yang diperoleh, namun jika terjadi konsumsi berlebihan apakah ada efek samping yang tidak diharapkan. Dr. Jonas Dorner dan Dr. Daniel K. Thomas (universitas Bonn, Jerman) dalam studinya pada pertemuan tahunan “The Radiological Society of North America (RSNA)” tahun 2013 mengemukakan bahwa orang dewasa sehat yang mengkonsumsi minuman berenergi yang mengandung kadar kafein dan taurin
mengalami peningkatan kontraksi denyut jantung satu jam kemudian yang dievaluasi dengan menggunakan Cardiac MRi.
Perusahaan minum an berenergi merupakan industri besar yang terusmenerus berkembang setiap harinya. Terdapat perhatian terhadap efek samping potensial yang tidak diharapkan
dari fungsi jantung, terutama pada pasien dewasa muda, tetapi hampir tidak ada regulasi terhadap penjualan dari minum an berenergi.
Sebuah laporan tahun 2013 dari administrasi Pelayanan Kesehatan Penya lahgunaan Zat dan Kejiwaan menyatakan bahwa di amerika Serikat, dari tahun 2007 sampai 2011, jumlah kunjungan unit gawat darurat terkait dengan konsumsi minuman berenergi hampir meningkat dua kali lipat, dari 10.068 hingga 20.783. Sebagian besar kasus ditemukan pada pasien berusia 1825 tahun, diikuti pada usia 2639 tahun.
Pada studinya, yang masih berlangsung sampai sekarang, Dr. Dorner dan koleganya
menggunakan cardiac magnetic resonance imaging (MRI) untuk mengukur efek dari konsumsi minuman berenergi terhadap fungsi jantung pada 18 sukarelawan yang sehat, diantaranya 15 lakilaki dan 3 wanita dengan ratarata usia 27,5 tahun. Setiap sukarelawan menjalani cardiac MRi sebelum dan satu jam sesudah konsumsi minuman ber energi yang mengandung taurin (400 mg/100 ml) dan kafein (32 mg/100 ml).
Dibandingkan dengan gambaran awal, hasil dari Cardiac MRi yang dilakukan satu jam kemudian menunjukkan peningkatan signifikan peak strain dan peak systolic strain rates (ukuran terhadap kontraktilitas) di ventrikel kiri jantung. Peneliti menemukan tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap denyut jantung, tekanan darah atau jumlah darah yang dipompakan dari ventrikel kiri jantung pada gambaran awal dan pemeriksaan MRi kedua.
“ini menunjukkan bahwa konsumsi mi numan berenergi mempunyai dampak jangka pendek terhadap kontraktilitas jantung,” kata Dr. Dorner. “Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi dampak dari penggunaan minuman berenergi jangka panjang dan efek dari minuman sejenisnya terhadap individu dengan penyakit jantung”.
Dr. Dorner mengemukakan bahwa
risiko jangka panjang minuman berenergi belum diketahui, beliau menyarankan agar anakanak maupun penderita aritmia agar menghindari minuman berenergi, karena perubahan dalam kontraktilitas dapat memicu aritmia.
Selain Dr. Dorner, Professor Milou Daniel Drici, dari Perancis juga mengemukakan penelitiannya pada Congress the European Society of Cardiology 2014 di Barcelona kemarin. Beliau menyampaikan bahwa minuman berenergi yang dijual di pasaran dapat menyebabkan masalah pada jantung.
Professor Drici mengatakan: “Minuman berenergi sangat popular di klub menari dan dikonsumsi selama olahraga fisik, dimana orang biasanya mengkonsumsi minuman tersebut terus menerus beberapa kali. Keadaan tersebut dapat menyebabkan beberapa kondisi yang tidak diharapkan termasuk angina, aritmia jantung dan bahkan kematian mendadak.”
Beliau menambahkan: “Sekitar 96% dari minuman tersebut mengandung kafein, dengan spesifikasi 0,25 liter mampu mengandung kadar kafein sebanyak 2 porsi espresso. Kafein merupakan agonis paling poten dari reseptor ryanodine dan menyebabkan pengeluaran kalsium yang masif ke dalam otot jantung. Hal tersebut dapat menyebabkan
BeRiKuT ini saya sampaikan salah satu keputusan rapat Komisi Subspesialis dengan para ketua dari 8 POKJa Perki yg berkaitan dengan Subspesialisasi Training. nama Pokja sudah diedit kembali nomenklaturnya sesuai dengan subspesialisasi yang akan kita kembangkan, sebagai berikut:1. Kardiologi intervensi (Interventional Car-
diology)2. Kardiologi intensif & Kegawatan Kardio
vaskular (Acute and Intensive Cardiovas-cular Care)
3. Kardiologi nuklir & Pencitraan Kardiovaskular (Nuclear Cardiology & Cardiovas-cular Imaging)
4. Ekokardiografi (Echocardiography)5. aritmia (Arrhythmia)6. Vaskular (Vascular)
7. Kardiologi Pediatrik & Penyakit Jantung Bawaan (Pediatric Cardiology & Congenital Heart Disease)
8. Kardiologi Prevensi & Rehabilitasi Kardiovaskular (Preventive Cardiology & Cardiovascular Rehabilitation)
alur permohonan untuk mengikuti Advanced Training in Subspecialty Program, sebagai berikut:1. Kandidat (SpJP yang sudah 2 tahun be
kerja di RS), mengajukan lamaran yang ditujukan kepada Ketua Pokja Perki, dengan disertai rekomendasi dari tempat bekerja (RS setempat), kemudian aplikasi ini akan dibahas oleh peer group.
2. Setelah disetujui oleh peer group, akan diberikan arahan dan tempat pelatihan
(RS pendidikan atau non pendidikan), dan Pokja akan memberikan rekomendasi untuk dapat mengikuti pelatihan tersebut.
3. Dengan rekomendasi dari Pokja Perki, kandidat membuat lamaran yang ditujukan ke Direktur RS Pendidikan/non pendidikan yang telah disepakati dengan memberikan CC kepada Ketua Kolegium PeRKi cq Komisi Subspesialis (att: Dr.Manoefris Kasim, SpJP).
4. Setelah selesai mengikuti program pelatihan minimal 2 semester (sesuai perkonsil 8 thn 2012), pihak RS Pendidikan/non pendidikan, mengeluarkan surat keterangan yang memuat tentang jenis pelatihan, lama pelatihan, dan jumlah exposure pasien untuk masingmasing jenis
penyakit/prosedur yang telah dilakukan (log book); kemudian surat keterangan ini ditandatangani oleh direktur RS, Ketua Departemen Kardiologi, dan course director pelatihan.
5. Berkas ini oleh kandidat (trainee), dikirimkan ke Komisi Subspesialis Kolegium PeRKi untuk diproses lebih lanjut dengan keluaran SeRTiFiKaT KOMPeTenSi TaMBaHan / Subspecialty / SuBSPeSiaLiS.
6. end.
Koordinator Komisi SubspesialisKolegium Jantung dan Pembuluh Darah
PeRKi,
Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K), SpKN, FIHA.
Alur Aplikasi Pelatihan Lanjut (“Subspesialis“) dari Kolegium Jantung dan Pembuluh Darah, PERKI sesuai Perkonsil No.8 thn.2012
To visualize cardiac magnetic resonance tagging, a cross-section of the heart in common imaging technique is seen on the left and
tagged myocardium using CSPAMM on the right.
(Bersambung ke hal.4)
Tabloid Profesi KARDIOVASKULER
STT no. 2143/SK/Ditjen PPG/STT/1995tanggal 30 Oktober 1995
ISSN : 0853-8344
SUSUNAN REDAKSIKetua Pengarah:
DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHAPemimpin Redaksi:
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJPRedaksi Konsulen:
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K)Prof.DR. Haris Hasan, SpPD, SpJP(K)
Dr. Budi Bhakti Yasa, SpJP(K)Dr. Fauzi Yahya, SpJP(K)
Dr. Antonia A. Lukito, SpJP(K)Tim Redaksi:
Bidang Cardiology Prevention & Rehabilitation Dr. Basuni Radi, SpJP(K)Dr. Dyana Sarvasti, SpJP
Bidang Pediatric Cardiology Dr. Indriwanto, SpJP(K)
Dr. Radityo Prakoso, SpJPBidang Cardiovascular Emergency
Dr. Noel Oepangat, SpJP(K)Dr. Isman Firdaus, SpJP
Bidang Clinical CardiologyDr. Sari Mumpuni, SpJP(K)Dr. Rarsari Soerarso, SpJP
Bidang Interventional Cardiology Dr. Doni Firman, SpJP(K)
Dr. Isfanudin, SpJP(K) Bidang Echocardiography
Dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K)Dr. BRM. Ario Soeryo K., SpJP
Bidang Cardiovascular Intensive CareDr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K)Dr. Siska Suridanda, SpJP
Bidang Cardiovascular Imaging Dr. Manoefris Kasim, SpJP(K)
Dr. Saskia D. Handari, SpJP Bidang Cardiac Surgery & Post-op Care
Dr. Bono Aji, SpBTKVDr. Pribadi Boesroh, SpBTKV
Dr. Rita Zahara, SpJP Bidang Vascular MedicineDr. Iwan Dakota, SpJP(K)
Dr. Suko Ardiarto, PhD, SpJPTim Editor:
Dr. Sidhi Laksono PurwowiyotoFotografer:
Dr. M. Barri Fahmi HarmaniSekretaris/Keuangan:
Endah MuhariniBagian Iklan:
Bimo SukandarBagian Perwajahan:
Asep SuhendarAlamat Redaksi dan Tata Usaha:
Wisma Harapan Kita Bidakara, Lt.2,RS Jantung Harapan Kita,
Jln. S Parman Kav. 87, Jakarta 11420, Telp: 02170211013 atau Telp/Fax.: 5602475
atau 5684085-93 pes. 5011e-mail : kardiovk@yahoo.co.id atau tabloidkar-
diovaskular@gmail.comPenerbit:
H&BHeart & Beyond PERKI
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia) Manajemen: Yayasan PERKI
Pencetak:PT. Oscar Karya Mandiri, Jakarta
Diedarkan terbatas khusus untuk dokter Indonesia. Infak ongkos cetak/kirim Rp150.000/tahun,
transfer melalui Bank Mandiri acc: Tabloid Profesi Kardiovaskuler,
RK no. 116-0095028024, Sandi Kliring: 008-1304 KK. Harapan Kita, Cab. S. Parman, Jakarta.
Tabloid Profesi KARDIOVASKULER diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovasku-lar Indonesia (PERKI). Tabloid unik ini memang bereda dengan media kedokteran lainnya. Tata
letaknya sedikit konservatiftapi enak dipandang. Bukan media
yang berkesan ilmiah, tetapi media ilmiah yang sangat terjaga akurasinya, ditulis
dengan bahasa tutur yang enak dibaca. Tabloid KARDIOVASKULER memang merupakan
sarana untuk menyampaikan setiap informasi kedokteran mutakhir
--khususnya terkait bidang kardiovaskuler-- bagi seluruh dokter Indonesia.
Di era globalisasi, dikenal pemeo "so many journals, but so little time". Untuk itulah Tabloid
KARDIOVASKULER hadir, membawa berita ilmiah kardiovaskuler terkini.
207/Thn.XX/September-Oktober 2014 2
Pada halaman dua kami publikasikan foto foto dari acara pelantikan pengurus PeRKi cabang Jakarta masa bakti 20142016 berikut Susunan Pengurus PeRKi cabang Jakarta.
Pada halaman tiga kami publikasikan pula fotofoto dari acara syukuran lulusan PPDS Kardiologi tahun 2014 dan dari acara Weekend Course on Cardiology 2014 (WeCOC 26).
informasi penting dari Kolegium perlu kami sampaikan kepada seluruh anggota PeRKi di seluruh indonesia, yaitu bagi yang ingin melanjutkan pendidikan menjadi subspesialis, kami publikasikan di bawah headline, alur aplikasi pelatihan lanjut (subspesialis) dikeluarkan oleh Kolegium PP PeRKi sesuai Perkonsil no. 8 tahun 2012.
Terakhir, kami ucapkan selamat membaca, semoga bermanfaat.*
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJPPemimpin Redaksi
S alam, Pembaca setia tabloid profesi kardiovas kuler yang kami hormati, dalam tabloid
edisi 207 ini kami sajikan beberapa artikel ilmiah yang perlu anda simak diantaranya, artikel ilmiah tentang efek minuman berenergi terhadap jantung yang kami tempatkan sebagai headline. artikel ilmiah berikutnya adalah tentang emboli paru pada gagal jantung. artikel bersambung dari edisi kemarin berjudul “Implikasi dan penatalaksanaan hipertrofi ventrikel kiri pada pasien hipertensi”. artikel dari sponsor kali ini dari astraZeneca yang berjudul Pasien dengan risiko tinggi di asia: pendekatan dalam pencegahan penyakit kardiovaskular. Tidak ketinggalan, artikel yang selalu hadir pada setiap edisi Tabloid ini adalah Kardiologi Kuantum dari Prof. Budhi, kali ini berjudul “Dokter kecil peduli jantung mungkinkah menjadi program promotif preventif PeRKi?”
SUSUNAN PENGURUS PERKI CABANG JAKARTAMASA BAKTI 2014 – 2016
Dewan Penasehat : Dr. dr. Hananto Andriantoro, SpJP(K), FIHA dr. Dolly RD Kaunang, SpJP, SpKP(K), FIHA Dr. dr. Indriwanto S. Atmosudigdo, SpJP(K), FIHA
Ketua : dr. Ismi Purnawan, SpJP, MARS, FIHA Wakil Ketua : dr. Yahya Berkahanto Juwana, SpJP, PhD, FIHA Sekretaris : dr. Siska Suridanda Danny, SpJP, FIHA Wakil Sekretaris : dr. Yasmina Hanifah, SpJP, FIHA Bendahara : dr. Diah Retno Widowati, SpJP, FIHA Wakil Bendahara : dr. Rina Ariani, SpJP, FIHA
Departemen Pengembangan Organisasi & Advokasi KebijakanKoordinator : dr. Heru Chandratmoko, SpJP, FIHA Anggota : dr. Chandramin, SpJP, FIHA dr. Ismugi, SpJP, FIHA dr. Achyar, SpJP, FIHA
Departemen Penelitian & Pengembangan IPTEK KadiovaskularKoordinator : dr. Surya Dharma, SpJP(K), PhD, FIHA Anggota : dr. Beny Hartono, SpJP, FIHA dr. Retna Dewayani, SpJP, FIHA
Departemen Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)Koordinator : Dr. dr. Basuni Radi, SpJP(K), FIHA Anggota : dr. Farial Indra, SpJP, FIHA dr. Kurniawan Iskandarsyah, SpJP, FIHA dr. Henry AP Pakpahan, SpJP, FIHA dr. Inez Ariadne Siregar, SpJP, FIHA dr. Vireza Pratama, SpJP, FIHA
Departemen Pengembangan Kemitraan & Kesejahteraan AnggotaKoordinator : dr. Frits RW Suling, SpJP(K), FIHA Anggota : dr. Muhammad Yamin, SpJP, FIHA dr. Hengkie F Lasanudin, SpJP, FIHA dr. Hermawan, SpJP, FIHA dr. Taofan, SpJP, FIHA
Departemen Media & InformatikaKoordinator : dr. Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA Anggota : dr. Andria Priyana, SpJP, FIHA
Pelantikan Pengurus PERKI Cabang Jakarta Masa Bakti 2014-2016Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta, Minggu, 21 September 2014
207/Thn.XX/September-Oktober 2014 3
GaGaL jantung merupakan suatu kondisi epidemi yang masih merupakan masalah kesehatan yang utama di seluruh dunia. Walaupun insiden gagal jantung tetap stabil dalam waktu 20 tahun terakhir, prevalensinya terus mengalami peningkatan akibat penuaan populasi dunia. Hingga saat ini sudah dikembangkan berbagai terapi farmakologis yang optimal untuk penatalaksanaan gagal jantung, namun angka mortalitas akibat gagal jantung masih sangat tinggi. Sebagian besar mortalitas disebabkan oleh gagal jantung yang progresif, namun ditemukan juga bahwa banyak morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan tingginya angka kejadian thromboemboli pada pasien dengan gagal jantung. Salah satu manifestasi kejadian thromboemboli yang fatal pada pasien gagal jantung adalah emboli paru.(1)
emboli paru merupakan suatu kegawatdaruratan di bidang kardiovaskular yang cukup sering terjadi. akibat adanya sumbatan pada arteri pulmonalis, penyakit ini dapat menyebabkan kondisi kegagalan ventrikel kanan yang akut dan mengancam jiwa, namun memiliki potensi untuk reversibel.(2) emboli paru merupakan salah satu manifestasi dari kejadian venous thromboembolism (VTe). Kejadian VTe masih merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas yang bermakna pada pasienpasien dengan gagal jantung, dan gagal jantung sejak lama diyakini merupakan faktor risiko untuk terjadinya emboli paru. Berbagai studi kasus kontrol menunjukkan bahwa kondisi gagal jantung berhubungan dengan peningkatan risiko untuk menderita VTe sebesar 1,8 hingga 2,9 kali. Tingkat keparahan disfungsi sistolik memiliki kontribusi yang signifikan, dimana LVeF antara 2040% berhubungan dengan peningkatan risiko sebesar 2,8 kali lipat dan LVeF <20% berhubungan dengan peningkatan risiko sebesar 38,3 kali lipat.(3)
Berdasarkan trias yang diungkapkan oleh Rudolph Virchow mengenai faktorfaktor yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya thrombosis intravaskular sejak lebih dari 150 tahun yang lalu, diketahui bahwa risiko thromboemboli mengalami peningkatan pada pasienpasien gagal jantung. adanya stasis aliran darah pada ruangruang jantung yang mengalami dilatasi dan hipokinetik menyebabkan lebih mudah terbentuknya thrombus yang kaya fibrin.(1) Pada kondisi gagal jantung juga terjadi disfungsi atau jejas pada endotel akibat penurunan produksi nitric oxide (nO) dan peningkatan produksi faktor von Willebrand dan Pselectin.
adanya abnormalitas pada komponen darah dan peningkatan kadar marker protrombotik pada pasien gagal jantung menunjukkan adanya kondisi hiperkoagulasi.(3)
evaluasi pasien gagal jantung yang diduga menderita emboli paru akut dapat menjadi suatu masalah yang kompleks karena kedua penyakit tersebut memiliki gejala yang hampir sama. Dyspnea merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi pada kasus emboli paru, yaitu dialami oleh 7080% pasien.(5) Walaupun dyspnea merupakan gejala klinis yang paling sering dikeluhkan baik pada kondisi emboli paru dan gagal jantung, adanya dyspnea berat yang tidak sesuai dengan temuan objektif mengenai kondisi kongesti vaskular paru menunjukkan bahwa terdapat proses lain yang menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas, seperti emboli paru.(2)
Pemeriksaan ekokardiografi transthorakal merupakan modalitas pencitraan yang pertama kali dapat dilakukan pada pasien yang diduga menderita emboli paru, terutama pada pasienpasien dengan hemodinamik tidak stabil karena pemeriksaan ini dapat dilakukan secara bedside. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya thrombus pada arteri pulmonalis utama pada 80% kasus dengan emboli paru
Emboli Paru pada Gagal Jantung: Problematika Diagnosis dan Terapi
SYUKURAN LULUSAN PPDS KARDIOLOGI TAHUN 2014
Senin, 22 September 2014, bertempat di Ruang auditorium RS. Pusat Jantung nasional Harapan Kita Jakarta telah diadakan acara syukuran lulusan PPDS Kardiologi tahun 2014.
Mereka yang telah lulus menjadi Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah baru itu adalah:
Dr. Dewi Hapsari Soeprobo, SpJPDr. estu Rudiktyo, SpJPDr. i nyoman Wiryawan, SpJPDr. Jusuf endang, SpJPDr. Olfi Lelya, SpJPDr. Prafithrie Avialita Shanti, SpJPDr. Victor Joseph, SpJP.Tabloid Profesi Kardiovaskuler dan PP PeRKi
mengucapkan Selamat dan Sukses*
WECOC 26(WEEKEND COURSE ON CARDIOLOGY 2014)
1214 September 2014, bertempat di Hotel Holiday inn, Kemayoran Jakarta, telah digelar acara WeCOC yang mengambil tema Empowering Cardiovascular Service Providers in National Universal Coverage Insurance System. acara dibuka dengan ditandai pemukulan gong oleh dr. ismoyo Sunu mewakili Pengurus Pusat PeRKi didampingi dr. Yogya Yuniadi Ketua Penyelenggara dan dr. amiliana Mardiani S. selaku Ka Dep. Kardiologi & Kedokteran Vaskuler FKui.
Saat acara Gathering night diluncurkan buku karya Prof. Lily i Rilantono berjudul: "Penyakit Kardiovaskular Pada Perempuan; Tantangan abad ke21".
Salah satu pembicara asing yang hadir dari uSa adalah Prof. Hardean e. achnek MD.*
yang masif.(5) Penelitian yang dilakukan pada pasienpasien dengan emboli paru juga menunjukkan bahwa sebanyak lebih dari 80% pasien memiliki gambaran gangguan ukuran dan fungsi ventrikel kanan yang terlihat pada pemeriksaan ekokardiografi dan Doppler. namun, banyak pasien dengan emboli paru juga menderita penyakit kardiopulmonal yang lain, sehingga adanya hipokinesis atau dilatasi ventrikel kanan pada pemeriksaan ekokardiografi tidak dapat digunakan secara reliabel untuk melihat bukti secara tidak langsung adanya emboli paru pada kondisi tersebut.(6)
CT scan dengan kontras pada dada merupakan modalitas pencitraan yang lebih dipilih untuk mengevaluasi pasienpasien gagal jantung yang diduga menderita emboli paru. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang baik untuk mengidentifikasi kondisi emboli paru (spesifisitas 90%, sensitivitas 80%). Dan dengan penggunaan MSCT, sensitivitas dan spesifisitas peme rik saan ini mengalami peningkatan hingga berturutturut 83% dan 96%.(5) namun, peng gunaan kontras intravena pada pemeriksaan CT scan dapat menyulitkan pada pasien gagal jantung yang juga menderita penyakit ginjal kronik karena terdapat
(Bersambung ke hal.5)
207/Thn.XX/September-Oktober 2014 4
Kardiologi Kuantum (30)
aritmia, tetapi juga mempunyai efek dalam kemampuan jantung untuk berkontraksi dan mengkonsumsi oksigen. Perlu diketahui juga bahwa 52% dari minuman berenergi mengandung taurin, 33% mengandung glukoronolakton dan duapertiganya mengandung vitamin.”
Dr. Drici melanjutkan: “Pada tahun 2008 minuman berenergi diizinkan untuk dipasarkan di Perancis. Tahun 2009 hal tersebut diikuti oleh skema suveilans nutrisi nasional yang mewajibkan badan kesehatan nasional dan regional untuk melaporkan adanya kejadian spontan yang tidak terduga ke a.n.S.e.S, badan keamanan pangan Perancis.”
Studi terbaru menganalisa kejadian tidak terduga yang dilaporkan ke badan tersebut selama 1 Januari 2009 sampai 30 november 2012. Sejumlah 15 spesialis termasuk kardiolog, psikiater, neurolog dan fisiolog berkontribusi terhadap investigasi tersebut. Penemuan tersebut dibandingkan dengan data yang dipublikasikan dalam literatur ilmiah.
Peneliti menemukan bahwa konsumsi
dari 103 minuman berenergi yang tersedia di Prancis meningkat sebanyak 30% selama 2009 dan 2011 hingga 30 juta liter. Salah satu merek ternama menduduki posisi 40% minuman energi yang dikonsumsi. Duapertiga minuman tersebut dikonsumsi jauh dari rumah.
Selama periode dua tahun, 257 kasus dilaporkan ke badan kesehatan, dimana 212 memberikan informasi yang bermakna dalam hal evaluasi makanan dan obat. ahli menemukan bahwa 95 dari kejadian tidak terduga yang dilaporkan merupakan gejala kardiovaskular, 74 psikiatri, dan 57 neurologis, terkadang saling bertumpang tindih. Henti jantung dan kematian mendadak atau tanpa sebab yang jelas terjadi paling tidak pada 8 kasus, sementara 46 orang mengalami gangguan irama jantung, 13 mengalami angina dan 8 mengalami hipertensi.
Dr. Drici berkata “Kami menemukan bahwa ‘sindrom kafein’ merupakan masalah yang paling sering, terjadi pada 60 orang dan ditandai oleh cepatnya denyut jantung (takikardia), tremor, anxietas dan nyeri kepala”.
Jarang namun merupakan kejadian sampingan yang berat terkait dengan minu
berkualitas, produktif dan mempunyai etos kerja yang tinggi sehingga dapat memanfaatkan segala potensi yang dimiliki. Program dokter kecil merupakan upaya pendekatan edukatif dalam rangka mewujudkan perilaku sehat diantaranya perilaku kebersihan perorangan, dimana anak didik dilibatkan dan diaktifkan sebagai pelaksananya. Tujuan dokter kecil dapat diukur dari meningkatnya partisipasi siswa dalam program uKS (usaha Kesehatan Sekolah) agar siswa dapat menjadi penggerak hidup sehat di sekolah, di rumah dan lingkungannya dan siswa dapat menolong dirinya sendiri, sesama siswa, dan orang lain untuk hidup sehat. Penelitian ini dilakukan di SDn Sukun 1 Malang karena merupakan salah satu SD yang menyelenggarakan program dokter kecil. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi: (1) wawancara mendalam; (2) observasi partisipasi; dan (3) dokumentasi. Data yang terkumpul melalui ketiga teknik tersebut diorganisasi, ditafsirkan dan dianalisis untuk menyusun konsep dan abstraksi temuan lapangan. Kredibilitas data dicek dengan menggunakan teknik triangulasi sumber data.
Mencermati studi ini yang berorientasi pada kepentingan dokter kecil dan masyarakat sekolahnya masih menyisakan pertanyaan tentang kemungkinan keberhasilan program pengumpulan data tekanan darah tinggi masyarakat dewasa sekolah tersebut melalui dokter kecil terhadap orangtuanya di rumah. Tentu saja tidak perlu meragukan ketrampilan dokter kecil untuk mengukur tekanan darah masyarakatnya dengan menggunakan manometer elektronik. Di kotakota besar anakanak SD kelas 5 sudah mahir berselancar di dunia maya internet. Pengumpulan data tersebut masih harus diolah dipresentasikan dan dipublikasikan dan hasilnya diaplikasikan lagi untuk sebesarbesar manfaatnya pada kesehatan masyarakat sekolah yang merupakan bagian dari masyarakat indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (PeRKi) ikut serta memandang guru, murid, orang tua, dan petugas lainnya di dalam sekolah dasar adalah unit masyarakat khusus yang perlu dipantau kesehatan jantung dan pembuluh darahnya secara menyeluruh, berkesinambungan dan dikaitkan dengan program uKS yang telah ada. uKS juga dapat dipandang sebagai upaya terpadu lintas program dan lintas
Dokter Kecil Peduli Jantung(Mungkinkah Menjadi Program Promotif-Preventif PERKI?)
Masyarakat Indonesia kurang membutuhkan orang-orang dengan pendidikan khusus (spesia-lis) dibandingkan dengan orang-orang dengan pengetahuan umum tentang kesehatan untuk perbaikan yang cepat dari situasi kesehatan yang buruk di daerah-daerah terbelakang.
~Soemantri Hardjoprakoso, 1956
SaLaM KaRDiO. Dokter kecil itu eksotis lho, adalah pernyataan penulis pada siang hari di bulan September 2014, di lorong Paviliun Sukaman RS. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, begitu tersirat ketika ngobrol dengan bapak Presiden PeRKi yang baru Dr. dr. anwar Santoso SpJP, FiHa. Mungkinkah menjadi program promotifpreventif PeRKi? itu adalah pernyataan yang berupa pertanyaan. “Mengapa tidak?” Beliau membuka cakrawala ide tersebut dengan mengajukan pemikiran tentang perlunya PeRKi memiliki satu SD unggulan sebagai ujicoba pemikiran tersebut. Jarang PeRKi memiliki pemimpin yang lengkap dan mumpuni kemampuannya. Yang menonjol pada beliau adalah pendekatan saintifiknya melalui metodologi penelitian lengkap dengan induksi statistik yang digunakan untuk mengambil keputusan klinik, itulah epidemiologi klinik. Berpikir, melontarkan ide, membahas bahkan menulisnya itu relatif mudah dibandingkan melaksanakan di dalam dunia nyata dan kenyataan.
Dalil (legenda dlm bahasa Belanda) tersebut di atas adalah pernyataan ke5 hipotesis Dr. Soemantri Hardjoprakoso dalam lampiran (terpisah) disertasi Indonesisch mensbeeld als basis ener psycho-therapie, Rijkuniversiteit di Leiden, Rabu, 20 Juni 1956. Pernyataan tersebut mensiratkan bahwa untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian suatu penyakit dengan cepat, lebih memerlukan provider kesehatan daripada dokter spesialis. Lebih spesifik lagi dari “legenda” hampir 60 tahun yang lalu tersebut justru pernyataan sebelumnya (Dalil ke4) yaitu meningkatkan kesadaran tentang kesehatan masyarakat di daerah terbelakang diperlukan penyuluhan kesehatan di sekolahsekolah di daerah tersebut.
Sementara itu, Haris Mashudi dari Malang (2012) telah menulis dalam skripsinya tentang dokter kecil yang dikaitkan dengan kesehatan karena menganggap bahwa kesehatan merupakan salah satu hal penting yang paling mendasar dalam kebutuhan manusia, karena sehat merupakan modal utama untuk meningkatkan sumber daya manusia yang
sektor dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan serta membentuk perilaku hidup sehat anak usia sekolah yang berada di sekolah. Menitikberatkan pada upaya promotifpreventif yang didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) sebenarnya telah lama (1998) mempromosikan Health Promot-ing School, yaitu sekolah yang telah menjalankan usaha kesehatan sekolah dengan ciriciri melibatkan semua pihak yang terlibat dalam masalah kesehatan.
adanya peningkatan angka kejadian dan kematian penyakit jantung koroner di masyarakat yang ditandai dengan sakit dada, berdebar, sesak nafas, dan meninggal mendadak, mewajibkan kita memantau faktor risiko yang sudah hadir di sekolah dasar, sebelum penyakit tersebut menjadi kenyataan. Faktor risiko utama yang mungkin dan perlu dipantau adalah kelebihan berat badan akibat gizi yang tidak seimbang serta aktifitas fisik yang kurang, merokok dan tekanan darah tinggi untuk bapakibu guru, serta kedua orang tuanya. upaya yang paling sederhana adalah mendorong setiap uKS melalui guru dan mengikut sertakan dokter kecil dalam mengumpulkan, memiliki, dan menganalisis data masyarakatnya tentang berat badan, tinggi badan, (indeks masa tubuh), lingkar perut, tekanan darah, serta status merokok di dalam masyarakat istimewa tersebut. Dengan demikian kegiatan dokter kecil dalam ikut serta memantau kesehatan jantung dan pembuluh darah di sekolah dan di rumah untuk kedua orang tuanya adalah pengalaman awal dari upaya promotif dan preventif tingkat dasar.
Dengan tersedianya data yang akurat dapat dikembangkan upaya promotif dan preventif yang khas untuk Sekolah Dasar tersebut serta mengaktifkan sistim rujukan berjenjang terkait dengan sistim kesehatan kota yang ada. Peranan PeRKi yang pertama dan utama adalah melakukan advokasi kepada Mendikbud, Menkes, dan Mendagri
beserta jajaran di bawahnya untuk mengikut sertakan dokter kecil dalam memantau kesehatan masyarakat sekolah dalam upaya promotif preventif kardiovaskular sejak usia dini. Kegiatan yang perlu dilakukan adalah membuat percontohan uKS di sekolahsekolah dasar unggulan di masingmasing kota kabupaten dan provinsi.
Penggalian persepsi masyarakat umum tentang peranan dokter kecil pada upaya promotifpreventif kesehatan jantung dan pembuluh darah perlu dilakukan dengan mengikutsertakan wartawan media cetak dan televisi di lingkungan Kemdikbud dan Kemkes. PeRKi dan PWi dapat menyelenggarakan lomba berhadiah bagi mereka yang memberikan pemberitaan terbaik secara berkala. Perlu mengaktifkan simpulsimpul kegiatan dengan Badan Litbang Kemkes, Dinasdinas Kesehatan kota, Pusatpusat Jantung Terpadu, Yayasan Jantung indonesia, serta PJn Harapan Kita.
Pada tingkat kabupaten PeRKiCabang digerakkan untuk memperkuat kegiatan ini dengan melakukan advokasi ke Gubernur, Bupati, Diknas, Dinkes setempat agar menyelenggarakan program percontohan pada SD unggulannya. Setiap dokter jantung agar ikut serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan jantung dan pembuluh darah melalui Dokter Kecil di dalam kegiatan uKSnya. Penyuluhan kesehatan, membantu menganalisis data uKS, memilihkan program yang mampu laksana, serta meng aktifkan rujukan berjenjang de ngan sistim kesehatan kota adalah peranan yang diharapkan dari para kardiolog, dokter ahli penyakit jantung dan pembuluh darah. Salam Kuan-tum.
Budhi S. Purwowiyoto
man tersebut, misalnya kematian mendadak atau kematian tanpa sebab yang jelas, aritmia dan serangan jantung (infark miokard). Literatur memastikan bahwa kondisi tersebut dapat terkait dengan konsumsi minuman berenergi.”
Beliau menambahkan “Pasien dengan kondisi jantung termasuk aritmia katekolaminergik, long QT syndrome, dan angina harus diwaspadai dengan adanya bahaya potensial dari konsumsi kafein dalam jumlah besar, yang merupakan pencetus dari eksaserbasi kondisi mereka dengan kemungkinan munculnya konsekuensi yang fatal.”
Dr. Drici melanjutkan: “Publik harus mengetahui bahwa yang disebut dengan “minuman berenergi” sama sekali tidak mempunyai tempat selama atau setelah olahraga/latihan fisik, jika dibandingkan dengan minuman lainnya untuk tujuan tersebut. Jika dipakai dalam minuman cocktail yang mengandung alkohol, kafein dalam “minuman berenergi” memampukan pemudapemudi di klub menari atau dimanapun untuk mengatasi efek yang tidak diharapkan dari alkohol, menyebabkan konsumsi kafein yang lebih banyak lagi.”
Beliau menyimpulkan: “Pasien jarang
(Minuman.................... hal.1) menyatakan adanya konsumsi minuman berenergi kepada dokter mereka kecuali dokter tersebut menanyakan. Dokter harus mengingatkan pasiennya dengan kondisi jantung bermasalah tentang bahaya potensial dari minuman tersebut dan menanyakan kaum muda secara khusus apakah mereka mengkonsumsi minuman jenis tersebut secara teratur atau hanya sesekali pada kondisi tertentu”.
Di indonesia sendiri, konsumsi minuman berenergi yang berlebihan dan tidak sesuai tersebut juga seringkali ditemui. Selain dipakai sebagai stimulan agar lebih energik selama olahraga, tidak jarang kita temui kaum pekerja malam seperti supir antar kota dan kuli bangunan mengkonsumsi minuman berenergi agar tidak mengantuk dan lebih semangat bekerja. Penyalahgunaan minuman berenergi tersebut patut dijadikan perhatian khusus sebagai bahan edukasi terutama kepada pasien yang memiliki faktor resiko kardiovaskular untuk mencegah terjadinya kejadian kardiovaskular yang tidak diharapkan. <www.sciencedaily.com/releases/2013/12/131202082640.htm> (accessed September 13, 2014)
Stephanie Salim
207/Thn.XX/September-Oktober 2014 5
peningkatan kecenderungan untuk menderita contrast nephropathy. Selain itu, pemberian kontras intravena melalui bolus cepat dapat menyebabkan terjadi peningkatan tekanan intrakardiak secara mendadak dan edema pulmonum. Pasienpasien gagal jantung yang datang dengan kongesti vaskular paru atau hipertensi sistemik harus distabilkan dahulu sebelum menjalani tindakan CT scan.(4)
Terapi primer pada pasien gagal jantung dengan emboli paru akut antara lain fibrinolisis, embolektomi paru melalui pembedahan atau kateterisasi. Terapi primer
hanya diberikan pada pasienpasien yang datang dengan emboli paru masif atau submasif . Banyak pasien gagal jantung yang memiliki kondisi komorbid atau kontraindikasi yang menyebabkan mereka tidak dapat memperoleh terapi primer.(4) Pasien emboli paru biasanya mengalami h ipoksemia yang merespon terhadap pemberian oksigen, karena patofisiologi utama dari penyakit ini adalah gangguan pada V/Q. Pasien se baiknya diminta untuk bed rest karena restriksi gerakan dapat mengurangi kemungkinan lepasnya thrombus dari perifer dan dapat mengurangi kebutuhan akan oksigen. Pada kasus yang berat dan pasien dengan syok, pasien
dapat diintubasi dan dilakukan pemasangan ventilasi mekanik untuk memastikan kondisi oksigenasi jaringan tetap adekuat.(5)
adanya disfungsi sistolik dan diastolik pada ventrikel kiri menyulitkan penatalaksanaan pasien gagal jantung dengan emboli paru yang masif. Strategi penatalaksanaan yang sering dilakukan sebagai respon terhadap kondisi hipotensi sistemik yaitu de ngan memberikan cairan dapat memperburuk kondisi kegagalan biventrikular, edema, dan hipoksemia pada penderita gagal jantung. Percobaan awal untuk tindakan ekspansi volume yang dibatasi sebanyak
Implikasi dan Penatalaksanaan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Pasien Hipertensi(sambungan)
250 hingga 500 ml dapat dilakukan pada penderita gagal jantung tanpa adanya bukti peningkatan tekanan pengisian ventrikel kanan atau edema paru.(4)
umumnya pasienpasien yang tidak menderita gagal jantung merespon dengan baik terhadap pemberian vasopresor murni untuk memperbaiki hemodinamik pada pasienpasien dengan emboli paru yang masif, namun banyak pasienpasien gagal jantung yang tidak dapat mentoleransi adanya peningkatan resistensi vaskular sistemik. Pasien emboli paru dengan gagal jantung biasanya memerlukan agen farmakologis yang dapat berfungsi sebagai vasopresor dan inotropik seperti norepinephrine, epinephrine, atau dopamine. Walaupun fungsi ventrikel kiri seringkali menjadi hiperdinamik sebagai respon terhadap kegagalan ventrikel kanan, adanya dasar disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasienpasien gagal jantung dapat membatasi kemampuan pasien untuk mempertahankan curah jantung yang normal sehingga memerlukan penambahan inotropik.(4)
Terapi antikoagulan yang dapat dipilih untuk tatalaksana emboli paru antara lain unfractionated heparin (uFH) intravena, low molecular weight heparin (LMWH), dan fondaparinux. Kondisi kongesti hepar akan memperlambat metabolisme uFH pada pasien dengan gagal jantung, yang menyebabkan dibutuhkannya dosis yang lebih rendah untuk dapat mencapa i kadar terapeutik dari antikoagulan. adanya gangguan ginjal, yang merupakan komorbid yang sering terdapat pada pasienpasien gagal jantung dapat menyebabkan antikoagulasi yang berlebihan dan pendarahan pada penggunaan LMWH dan fondaparinux yang klirensnya di ginjal.(4)
Manajemen pemberian terapi warfarin dapat sulit dilakukan pada pasien dengan gagal jantung dengan berbagai komorbidnya dan biasanya memperoleh berbagai obatobatan yang mempengaruhi metabolisme
nya sehingga meningkatkan risiko terjadinya pendarahan. Kondisi kongesti pada usus dan penurunan fungsi hepar akibat kongesti atau curah jantung yang rendah dapat mempengaruhi metabolisme warfarin. Obatobatan yang sering diresepkan pada pasienpasien gagal jantung seperti amiodarone dan clopidogrel dapat meningkatkan efek warfarin, sedangkan obatobatan yang lain seperti spironolactone dapat meningkatkan metabolismenya.(4)
Pada pasien gagal jantung dengan kontraindikasi terhadap antikoagulan atau yang menderita emboli paru rekuren walaupun sudah tercapai target terapi dengan menggunakan antikoagulan sebaiknya dipertimbangkan untuk menjalani tindakan insersi filter vena cava inferior. Filter vena cava inferior dapat mengurangi risiko terjadinya emboli paru namun dapat meningkatkan risiko jangka panjang untuk terjadinya DVT.(4)
Sebagai simpulan, gagal jantung merupakan suatu kondisi penyakit kardiovaskular yang kompleks dan berhubungan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Walaupun terdapat berbagai kemajuan dalam diagnosis dan terapi, angka luaran yang buruk dari kondisi gagal jantung hingga saat ini masih sangat tinggi, yang sebagian besar disebabkan oleh tingginya angka kejadian VTe pada pasien dengan gagal jantung, salah satunya adalah emboli paru. emboli Penegakan diagnosis dini dan pemberian terapi segera sangat penting pada pasien emboli paru dengan gagal jantung mengingat tanda dan gejala pada emboli paru yang sering menyerupai gagal jantung. Pemberian profilaksis antikoagulan pada pasien gagal jantung untuk mencegah kejadian VTe termasuk emboli paru sebaiknya disesuaikan berdasarkan pertimbangan keuntungan dan risiko pendarahan pada pasien.
(Referensi dapat di lihat pada www.tpkindo-nesia.blogspot.com)
A. A. Ayu Dwi Adelia Yasmin
Gb 4. Efek terapi antihipertensi terhadap derajat LVHSumber Am J Med 2003;115:41
aRB : 13% CCB : 11% aCei : 10% Diuretik : 8% Beta blocker : 6%
LVH dan Resiko Cardiovascular Disease (CVD)
Beberapa penelitian klinis telah memperlihatkan hubungan yang erat antara LVH dan CVD. Baik itu LVH yang di diagnosis dengan eKG,1719 maupun dengan ekokardiografi.2022 Penelitian kami yang terbaru membuktikan bahwa LVH yang didiagnosis dengan eKG (SokolowLyon criteria) adalah predictor terpenting untuk resiko CVD (yaitu infark miokard dan stroke), terlepas dari hubu ngannya dengan TD di klinik ,TD ambulatorik (24hour BP dan nocturnal BP), kadar serum norepinephrine, dan plasma fibrinogen.23 Hal ini disebabkan karena LVH ter golong aritmogenik dan dapat memicu sudden death. Fibrosis dan kekakuan arteri yang ada pada LVH dapat memicu disfungsi sistolik dan diastolic, dan dilatasi atrium. Dilatasi atrium akan mencetuskan perubahan aliran listrik dan elektrofisiologis jantung yang memicu timbulnya fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium ini pada akhirnya akan mencetuskan stroke embolik. Lebih jauh, LVH meningkatkan konsumsi oksigen dan mengurangi aliran darah ke arteri coroner karena membesarnya massa otot ventrikel, sehingga akan menyebabkan iskemik miokardium dan gagal jantung.
Efektivitas Terapi Antihipertensi pada LVH
Secara umum, penurunan TD dengan obat anti hipertensi, penurunan berat badan dan diet ketat garam dapat menurunkan massa jantung pada pasien LVH, termasuk juga pada pasien dengan diabetes. Regresi LVH tergantung kepada respon dari penggunaan obat anti hipertensi, atau pada beberapa kasus, tergantung kepada tipe terapi yang digunakan. Beberapa penelitian klinis
membuktikan bahwa penggunaan aCe inhibitor, aRB, aliskiren (direct renin inhibitor), CCB (khususnya diltiazem, verapamil, amlodipine) dan beberapa simpatolitik agen (termasuk metildopa dan alfabloker) dapat menghasilkan regresi LVH.2426 Sebaliknya diuretik, beta blocker, vasodilator seperti hydralazine dan monoxidil, dan beberapa obat golongan CCB kurang efektif dalam menurunkan derajat LVH meskipun obatobat tersebut efektif dalam menurunkan TD. Hal ini disebabkan karena obatobat tersebut dapat menstimulasi pelepasan norepinephrine dan angiotensin ii, yang dapat menyebabkan munculnya LVH.
Sebuah studi metaanalisis yang mengevaluasi efektivitas dari beberapa obat anti hipertensi dalam menurunkan derajat LVH pada pasien hipertensi,27 memeperlihatkan bahwa setelah dipisahkan dari hubungannya dengan durasi terapi dan efeknya terhadap penurunan TD, besaran relative regressi massa ventrikel kiri dapat dilihat pada Gb. 4.
Data ini memperlihatkan bahwa aRB, CCB dan aCei lebih efektif untuk regresi LVH dibanding dengan diuretic dan beta bloker. efektivitas aRB juga sudah dibuktikan melalui LiFe study yang membandingkan efek aRB vs Beta blocker dalam regresi LVH yang dinilai dengan eKG, terlepas dari fungsinya sebagai penurun TD.18 Lebih jauh, PReSeRVe study yang membandingkan enalapril (1020 mg/hari) dan nifedipine (3060 mg/hari) pada pasien hipertensi disertai LVH, tidak dapat memperlihatkan perbedaan signifikan antara dua pilihan terapi tersebut dalam menurunkan TD atau LV mass.28
Fungsi Jantung setelah regresi LVHRegresi LVH berhubungan dengan me
ningkatnya performa sistolik, meningkatkan stroke volume, dan tidak ada peningkatan pada resiko dekompensatio jika TD meningkat. Regresi LVh juga memiliki beberapa keuntungan, seperti terjadi penurunan PVC (Premature ventcular beats) dan fibrilasi atrium. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat diketahui secara pasti apakah perubahan ini akan mengurangi resiko sudden death atau tidak.
Tidak banyak penelitian yang mempublikasikan efek dari regresi LVH terhadap disfungsi diastolik sebagai salah satu perubahan awal dari hipertensi. Data dari LiFe study memperlihatkan bahwa pada 728 pasien hipertensi dengan LVH yang dideteksi dengan eKG dan diberi terapi losartan/atenolol, regresi LVH berhubungan dengan peningkatan fungsi diastolik yang signifikan. Namun setelah satu tahun followup, tidak ada perbedaan dengan pasien yang tidak mengalami regresi LVH.29
Meskipun demikian, evidence dari disfungsi diastolic masih terus diteliti. Seperti misalnya pada meningkatnya kolagen di miokardium yang didahului oleh peningkatan massa otot ventrikel pada disfungsi diastolik.
Kesimpulan1. LVH berhubungan dengan peningkatan
angka kejadian gagal jantung, aritmia, infark miokard, penurunan fungsi sistolik
dan diastolik LV, sudden death, dilatasi aortic root, dan stroke. insiden CVD berhubungan langsung dengan regresi massa ventrikel kiri.
2. LVH dapat didiagnosis baik dengan eKG maupun Eko kardiografi. Ekokardiografi dinilai lebih sensitif dan menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis LVH.
3. Regresi LVH, baik yang dideteksi dengan EKG maupun Ekokardiografi, berhubungan dengan menurunnya resiko CVD, dan meningkatkan fungsi jantung. Penggunaan obat antihipertensi yang tepat, pengurangan berat badan dan diet ketat garam dapat menurunkan massa ventrikel pada pasien LVH.
Eijiro Sugiyama EdisonDivisi jantung dan pembuluh darah,
Departemen penyakit dalam Jichi medical university, Tochigi Jepang
(Referensi lihat di www.tpkindonesia.blogspot.com)
Patofisiologi terjadinya emboli Paru Akut pada Gagal Jantung. (4)
(Emboli.................... hal.3)
6207/Thn.XX/September-Oktober 2014
Pasien dengan Risiko Tinggi di Asia: Pendekatan dalam Pencegahan Penyakit Kardiovaskuler(Laporan dari acara “Meet the Experts” 23 Agustus 2014, Jakarta dan 24 Agustus 2014, Bandung)
103 mg/dL sehingga diturunkan dibawah 70 mg/dL. Strategi pengobatan seperti apa yang direkomendasikan? rekomendasi pertama, terapi dengan statin yang sesuai intensitas penurunan LDLC. Baseline LDLC pria tersebut adalah 103 mg/dL dan target LDLC dibawah 70 mg/dL sehingga dibutuhkan penurunan LDLC sebesar 32%. Dengan melihat kemampuan statin dalam menurunkan LDLC maka pilihan yang ada yaitu Rosuvastatin 5 mg, atorvastatin 10 mg, Simvastatin 20 mg atau Pitavastatin 2 mg. Rekomendasi yang kedua, penurunan LDLC sebesar ≥ 50% dari baseline tetapi dengan syarat apabila target LDLC dibawah 70 mg/dl tidak berhasil dicapai. Rekomendasi yang ketiga, penambahan ezetimibe dengan statin. Pilihan tersebut dilakukan apabila target penurunan LDLC tidak berhasil dicapai dengan statin poten (baseline ≥ 150 mg/dL). Apakah obatobat nonstatin dapat diberikan? golongan fibrat dapat diberikan langsung ketika kadar TG ≥ 500 mg/dL. Sedangkan penambahan fibrat pada terapi statin dilakukan apabila pasien mempunyai kadar TG masih tetap diatas 200 mg/dL meskipun target LDLC sudah tercapai dengan statin pada pasien dengan risiko tinggi dan risiko sangat tinggi untuk menurunkan nonHDLC menjadi 30 mg/dL diatas target LDLC. Golong an niacin tidak direkomendasikan. apabila merujuk pada guideline aCC/aHa 2013 pasien dengan diabetes melitus tipe 1 atau 2 berumur 4075 dihitung terlebih dahulu risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan menggunakan Pooled Cohort Equation. Hasil perhitungan pada kasus ini menunjukkan risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan adalah 9,9%, sehingga rekomendasi terapi menggunakan high intensity statin yang mana dapat menggunakan Rosuvastatin 2040 mg atau atorvastatin 4080 mg.
Kasus kedua adalah seorang pria berumur 65 tahun tanpa hipertensi, tanpa riwayat penyakit kardiovaskuler maupun diabetes, tanpa riwayat keluarga dengan aSCVD, dan lingkar pinggang 88 cm. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar kolesterol total 190 mg/dL, LDLC 103 mg/dL, HDLC 42 mg/dL, dan TG 225 mg/dL. Fungsi hati dan ginjal dalam keadaan normal, begitu juga pada pemeriksaan eKG. apakah pria tersebut membutuhkan terapi statin untuk menurunkan risiko kardiovaskuler? berdasarkan SCORe risk chart, pria tersebut mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler 10 tahun kedepan 810% atau termasuk kategori pasien dengan risiko tinggi sangat tinggi. Baseline LDLC 103 mg/dL dan target LDLC 70100 mg/dL sehingga dibutuhkan penurunan 332%. Penghitungan dengan pooled cohort equation menunjukkan angka 14.8% sehingga dibutuhkan terapi high intensity statin.
Dr Shaiful azmi Yahaya, MD, Mmed melanjutkan dengan kasus ketiga yang merupakan pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal. Dikatakan hanya ada 3 RCT yang tersedia untuk statin pada pasien CKD yaitu 4D (Die Deutsche Diabetes Dialyse Studie, 2003), auRORa (a study to evaluate the use of ROsuvastatin in subjects
on Regular Hemodialysis: an assessment of survival and cardiovascular events, 2009), dan SHaRP (Study of Heart and Renal Protection, 2011). Pada kasus ini, seorang wa nita berumur 68 tahun dengan keluhan bi-lateral edema tungkai bawah, pemeriksaan menujukkan BP 148/84 mmHg, PR 79/min, RR 18/min, BT 36.90C, BMi 28, Pe: S4 over apex, mild bilateral lower leg edema. Pasien ini mempunyai riwayat hipertensi ri ngan, tanpa diabetes, riwayat me rokok, dan tidak ada riwayat keluarga terkena penyakit kardiovaskuler. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hgb: 10.9 gm/dl, WBC: 10000, Platelet: 325000, gula darah puasa: 110 mg/dL, Hba1C: 6.2%, serum albumin: 3.2 gm/dL, Cr: 1.5, eGFR 36.7 (MDRD), Bun: 28, urine protein: ++, aLT: 23, kolesterol total: 228 mg/dL, LDLC: 142 mg/dL, HDLC: 28 mg/dL, TG: 389 mg/dL, eKG: LVH (tidak ada Q wave). Saat ini pasien meminum amlodipine 5 mg, fenofibrat 200 mg, dan aspirin 10 mg. Tingkat risiko pasien tersebut adalah CKD stadium 3, sindroma metabolik, penghitungan framingham risk score adalah 24% dan pooled cohort equations yaitu 27.4%. Target pe ngobatannya yaitu BMi, Tekanan Darah < 140/90 mmHg (eSH/eSC 2013) dan LDLC < 100 mg/dL atau < 70 mg/dL. Pada kasus ini terapi yang direkomendasikan adalah perubahan gaya hidup, penambahan losartan 100 mg, dan penambahan rosuvastatin 10 mg. Setelah 3 bulan, hasil peme riksaan pada pasien ini adalah home BP: 132/78 mmHg, BMi 27, gula darah puasa: 104 mg/dL, Hba1C: 6.1%, Cr: 1.4, eGFR 40 (MDRD), urine protein: +, aLT: 33, kolesterol total: 160 mg/dL, LDLC: 78 mg/dL, HDLC: 30 mg/dL, TG: 281 mg/dL. ada pertanyaan yang muncul, apakah beberapa statin mempengaruhi ginjal dan fungsi ginjal? penelitian yang dilakukan oleh Shepherd, et al (2006) menguji keamanan dan tolerabilitas dari rosuvastatin menggunakan database yang terintegrasi dari 33 penelitian yang melibatkan 16.876 pasien dan mewakili 25.670 pasien yang selama bertahuntahun terusmenerus menggunakan terapi rosuvastatin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien yang diobati dengan rosuvastatin 540 mg ≤ 52 minggu, ≥ 96 minggu dan ≥ 144 minggu, kadar kreatinin serum menurun di seluruh kelompok dosis masingmasing sebesar 13 µmol/L, 34 µmol/L, dan 45 µmol/L. Meskipun perbaikan ratarata eGFR dari baseline yang relatif kecil, hal tersebut ditemukan pada pasien yang menerima terapi
rosuvastatin dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Besarnya perubahan eGFR yang terjadi dengan terapi rosuvastatin cenderung meningkat selama masa pengobatan dan tampaknya tidak terkait dengan dosis rosuvastatin. Selain itu, hasil menunjukkan peningkatan eGFR yang berarti tidak memperburuk fungsi ginjal.
Kasus keempat yaitu dislipidemia pada pasien aCS, seorang pria berumur 68 tahun de ngan nyeri dada saat beristirahat yang berlangsung selama 30 menit dan dirasakan 3 jam sebelum periksa. Pria tersebut memiliki riwayat hipertensi, merokok, hiperkolesterolemia dan meminum obat secara tidak teratur. Hasil pemeriksaan kolesterol total 261 mg/dL, TG 160 mg/dL, HDLC 44 mg/dL, LDLC 185 mg/dL, CKMB: 8.88 ng/ml (kisaran referensi: 05), Troponin (Tni): 0.385 ng/ml (kisaran referensi: 00.78). Pemeriksaan eKG dalam keadaan normal, sedangkan pemeriksaan CT koroner menunjukkan adanya oklusi koroner total. Pria tersebut didiagnosis non-ST-segment elevation aCS dan diberikan aspirin 300 mg loading, ticagrelor 180 mg loading, carvedilol 12.5 mg, LMWH. Selain itu, dia juga diberi rosuvastatin 20 mg loading dan 20 mg 2 jam sebelum PCi. Keesokan paginya, CaG dan PCi dilakukan, MRi menunjukkan adanya ukuran infark yang relatif kecil (7%). Pada kondisi awal terdapat hiperkinesia tetapi sekarang sudah hilang.
Statin sebagai pre-treatment adalah pilihan yang sangat baik, efek protektif pada pasien dengan aCS telah terbukti dalam beberapa penelitian besar yang dilakukan secara acak.
Dalam meta analysis dari 13 penelitian, preloading dengan statin menunjukkan hasil klinis yang lebih baik. Guideline aCCF/aHa/SCai 2011 untuk PCi direkomendasikan penggunaan statin dosis tinggi sebelum PCi untuk mengurangi risiko periprocedural Mi terutama pada pasien yang belum pernah mendapatkan statin atau statinnaïve.*
LDLC pada pasien dislipidemia dengan diabetes direkomedasikan dibawah 70 mg/dL sesuai dengan guideline eSC/eaS 2011 atau penurunan LDLC ≥ 50% dari baseline apabila target LDLC tidak tercapai dengan statin poten dosis tinggi (baseline ≥ 150 mg/dL). Sedangkan guide-line aCC/aHa 2013 merekomendasikan pasien dislipidemia dengan diabetes yang berumur 4075 tahun dihitung terlebih dahulu risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan menggunakan Pooled Cohort Equation. apabila skor < 7.5% maka diterapi dengan moderate intensity statin namun apabila skor ≥ 7.5% maka diterapi dengan high intensity statin.
Pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal memiliki risiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler meskipun karakteristik pada pasien tersebut memiliki kadar LDLC yang rendah. Berdasarkan guideline eSC/eaS 2011, pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal (eGFR<60ml/min/1.73m²) termasuk dalam kategori very high risk dimana LDLC direkomendasikan dibawah 70 mg/dL atau atau penurunan LDLC ≥ 50% dari baseline apabila target LDLC tidak tercapai dengan statin poten dosis tinggi (baseline ≥ 150 mg/dL).
PT. astraZeneca indonesia kembali bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular indonesia Cabang Jakarta dan Cabang Bandung menyelenggarakan kegiatan Meet the Experts dengan tema High-risk patients: the best approach for treating CVD risk yang menghadirkan Dr. Erwinanto, SpJP(K) dan Dr Shaiful Azmi Yahaya, MD, Mmed dari institut Jantung negara, Kuala Lumpur Malaysia sebagai narasumber. Diskusi di Jakarta dipimpin oleh Dr. Pradana Tedjasukmana, SpJP(K) sedangkan diskusi di Bandung dipimpin oleh Dr. Achmad Fauzi Yahya, SpJP(K). Pada kegitatan ini dibahas 4 studi kasus tentang pasien dengan risiko tinggi yaitu pasien dislipidemia dengan diabetes, pasien dislipidemia dengan aCS, pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal, dan pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler berdasarkan skoring.
Kesempatan pertama disampaikan oleh Dr. erwinanto, SpJP(K) yang fokus pada kasus pasien dislipidemia dengan diabetes dan pasien risiko tinggi berdasarkan skoring. Kasus yang perta ma dikatakan seorang pria berumur 57 tahun dengan diabetes, hasil eKG tidak diketahui ad anya Mi. Pria tersebut sedang diterapi dengan obat hipertensi, serta tidak merokok. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar total kolesterol 190 mg/dL, LDLC 103 mg/dL, HDLC 36 mg/dL, TG 255 mg/dL, pria tersebut tidak mengkonsumsi obat penurun kolesterol. apakah pria tersebut bisa dianggap dislipidemia? berdasarkan guideline eSC/eaS 2011, pasien dengan diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 dengan kerusakan target organ seperti mikroalbuminuria maka sudah dianggap sebagai kelompok pasien very high risk dimana target LDLC direkomendasikan dibawah 70 mg/dL. Pada kasus ini pria tersebut dianggap dislipidemia karena mempunyai kadar LDLC
top related