tindak pidana pencucian uang - materi kuliah fh ... · pdf filetindak pidana pencucian uang...
Post on 07-Feb-2018
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Undang Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tanggal 17 April )
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:
a. bahwa kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia maupun yang melintasi batas wilayah negara;
b. bahwa asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut, disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara yang dikenal sebagai pencucian uang;
c. bahwa perbuatan pencucian uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan negara terjaga;
d. bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau international melalui forum bilateral atau multilateral;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 2. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
3. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.
5. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
6. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan, yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
7. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
8. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pasal 2
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan:
a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. perbankan; g. narkotika; h. psikotropika; i. perdagangan budak, wanita dan anak; j. perdagangan senjata gelap; k. penculikan; l. terorisme; m. pencurian; n. penggelapan; o. penipuan,
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia, atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3 1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentranfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;
f. membawa keluar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;
g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya ; atau
h. menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 4 (1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi,
maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.
(2) Pertanggungan pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
(1) Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
(2) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(3) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 5
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan
maksimum pidana denda 1/3 (satu per tiga) (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi.
Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; g. penukaran; Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tidak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
BAB III TINDAKAN PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAKAN PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 8
Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 10
PPATK, penyidik saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 11
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab II, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amat putusan hakim.
Pasal 12
Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah kejahatan
BAB IV PELAPORAN Bagian Kesatu
Kewajiban Melapor
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut: a. Transaksi Keuangan Mencurigakan; b. Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1(satu) hari kerja.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf h tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.
(5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pension, dan transaksi lainnya atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala PPATK.
Pasal 14
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank.
Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 16 (1) Setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik
Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, harus melaporkan kepada Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jendral Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada PPATK.
(3) Direktorat Jendral Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksudd dalam ayat (1) juga harus memuat rincian mengenai identitas orang yang membuat laporan.
(5) Apabila diperlukan PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, yang dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia;
Bagian Kedua
Identitas Nasabah Pasal 17
(1) Setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan wajib memberikan identitasnya secara lengkap dan akurat dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Penyedia Jasa Keuangan dan melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan wajib memastikan pengguna jasa keuangan bertindak untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
(3) Dalam hal pengguna jasa keuangan bertindak untuk orang lain, Penyedia Jasa Keuangan wajib meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain tersebut.
(4) Bagi Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, identitas dan dokumen pendukung yang diminta dari pengguna jasa keuangan haru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas pengguna jasa keuangan sampai dengan 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan pengguna jasa keuangan tersebut.
BAB V
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN Pasal 18
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dengan Undang-
undang ini dibentuk PPATK. (2) PPATK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah lembaga yang independen dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya. (3) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 19
(1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia (2) Dalam hal diperlukan dapat dibuka perwakilan PPATK di daerah.
Pasal 20
(1) PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh paling banyak 4 (empat) orang wakil kepala.
(2) Kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan usul Menteri Keuangan.
(3) Masa jabatan kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 21
Untuk dapat diangkat sebagai kepala atau wakil kepala PPATK, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani; d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik; e. memiliki salah satu keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, lembaga pembiayaan
perusahaan efek, pengelola reksa dana, hukum, atau akuntansi; f. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 22
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah dan janji menurut agama dan kepercayaan di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk menjadi wakil kepala/wakil Kepala PPATK langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun.”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapapun hal-hal yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan.”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan selaku kepala/wakil kepala dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab.”
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 23
Jabatan kepala atau wakil kepala PPATK berakhir, karena yang bersangkutan: a. diberhentikan; b. meninggal dunia; c. mengundurkan diri; atau d. berakhir masa jabatannya.
Pasal 24 (1) Kepala dan wakil kepala PPATK diberhentikan karena;
a. bertempat tinggal diluar wilayah Negara Republik Indonesia; b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga Negara Republik Indonesia; c. menderita sakit terus menerus yang penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3
(tiga) bulan yang tidak memungkinkan melaksanakan tugasnya; d. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
yang lamanya 1(satu) tahun atau lebih; e. dijatuhi pidana penjara; f . merangkap jabatan atau pekerjaan lain; g. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau h. melanggar sumpah/janji jabatan.
(2) Menteri Keuangan wajib mengajukan usul kepada Presiden agar kepala atau wakil
kepala PPATK diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 25
(1) Setiap pihak tidak boleh melakukan segala bentuk campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. (2) Kepala dan wakil kepala PPATK wajib menolak setiap campur tangan dari pihak
manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. (3) PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang, dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang terkait, baik nasional maupun international.
Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya PPATK mempunyai tugas sebagai berikut: a. mengumpulkan, menyimpan, menganalis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh
PPATK sesuai dengan Undang-undang ini; b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa
Keuangan; c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan; d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang
diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini; e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang
kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugasnya PPATK mempunyai wewenang: a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; b. meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak
pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum; c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;
d. memberikan pencualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
(2) Dalam melakukan audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, PPATK terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan Undang-undang lain yang berkaitan dengan ketentuan tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(4) ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 28
(1) Kepala PPATK mewakili PPATK di dalam dan di luar pengadilan. (2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada salah satu wakil kepala PPATK atau pihak lainnya yang khusus ditunjuk untuk itu.
Pasal 29
(1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan. (2) Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
melalui Sekretariat Negara.
BAB VI PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 30
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana, Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 31 Dalam hal ditemukan adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi mencurigakan, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan petunjuk tesebut, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
Pasal 32 (1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa
Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum atau hakim: b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka,
atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran; d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan e. tempat Harta Kekayaan berada. (3) Penyedia Jasa Kekayaan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.
(4) Penyedia Jasa Keuangan, wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang bersangkutan.
(6) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai saksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa; c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan ; dan d. tempat Harta Kekayaan berada. (4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus ditandatangani oleh: a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik; b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum; c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Pasal 34
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum.
Pasal 35
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana.
Pasal 36 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku tidak hadir Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurang-kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran secara nasional sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus menerus.
Pasal 37
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang menyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara.
Pasal 38 Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
BAB VII PERLINDUNGAN BAGI PELAPORAN DAN SAKSI
Pasal 39
(1) PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan hak
kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.
Pasal 40
(1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 42
(1) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pemeriksaan
tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 42.
BAB VIII KERJA SAMA INTERNATIONAL
Pasal 44 Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga telah melakukan tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan.
(2) PPATK harus sudah melaksanakan fungsinya paling lambat 6 (enam) bulan setelah kepala dan wakil kepala PPATK ditetapkan.
(3) Sebelum PPATK melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sebagian tugas dan kewenangan PPATK khusus menyangkut Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia.
(4) Kewajiban pelaporan bagi Penyedia Jasa Keuangan mulai berlaku 18 (delapan belas) bulan setelah Undang-undang ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 17 April 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 17 April 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd. BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 30
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I. UMUM Berbagai kehajatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah, negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan yang sangat besar jumlahnya.
Harta Kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya Harta Kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar Harta Kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system). Dengan cara demikian, asal usul Harta Kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering). Bagi Organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, Harta Kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral. Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa Pemerintah dan sector swasta bukan merupakan bagian dari masalah, akan tetapi bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi, keuangan, maupun perbankan. Pertama-tama usaha yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk dapat mencegah dan memberantas praktik pencucian uang adalah dengan membentuk Undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dan menghukum dengan berat para pelaku kejahatan tersebut. Dengan adanya Undang-undang tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas: a. penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak
pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan.
b. transfer (layering) yakni upaya untuk mentransfer Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul Harta Kekayaan tersebut.
c. menggunakan Harta Kekayaan (intergration) yakni upaya menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Penyedia Jasa Keuangan di atas diartikan sebagai penyedia jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga, pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi. Adapun yang dimaksud dengan: - bank adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perbankan. - lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan.
- efek, custodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat adalah efek, custodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dan, dan wali amanat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pasar modal.
- pedagang valuta asing adalah pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.
- dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan peundangan-undangan yang mengatur mengenai dana pension.
- perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai perusahaan asurasnsi.
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam Undang-undang ini dibentuk pula Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang disingkat dengan PPATK, yang bertugas: a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK
sesuai dengan Undang-undang ini; b memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa
Keuangan; c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan; d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang
diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini; e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang
Kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedian Jasa Keuangan.
Disamping itu, untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran Harta Kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan. Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa. Selain kekhususannya di atas, Undang-undang ini juga mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran terdakwa, dalam hal terdakwa yang telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hadir, maka Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perlu segera dibentuk undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. II. Pasal Demi Pasal. Pasal 1 dan Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “merupakan hasil tindak pidana” yaitu sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana. Huruf b s.d. Huruf h Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional” adalah pengurus yang menurut anggaran dasar korporasi berwenang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang bersangkutan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ayat (3) s.d. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 5 s.d. Pasal 12
Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Transaksi Keuangan Mencurigakan” dalam ketentuan ini antara lain transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran, penitipan, dan transfer dana. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai” dalam ketentuan ini antara lain transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran, penitipan, baik yang dilakukan dengan uang tunai maupun instrumen pembayaran yang lain, misalnya traveler cheque, cek, dan bilyet giro. Ayat (2) s.d. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “:transaksi lainnya” adalah transaksi-transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket. Ayat (6) dan Ayat (7) Cukup jelas Pasal 14 s.d. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1)
- Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi penegak hukum melakukan pelacakan terhadap nasabah apabila di kemudian hari terdapat dugaan bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana pencucian uang.
- Selain itu, ketentuan tersebut juga sejalan dengan kesepakatan internasional yang menginginkan agar setiap negara memiliki ketentuan yang melarang pembukaan rekening tanpa identitas yang jelas dari nasabah.
- Yang dimaksud dengan “identitas yang lengkap dan akurat” antara lain menyebutkan nama, alamat, jenis kelamin, umur, agama, dan pekerjaan.
- Hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan dalam ketentuan ini termasuk pembukaan rekening, pengiriman dana melalui transfer, penguangan cek, pembelian traveler cheques, pembelian dan penjualan valuta asing, penitipan, dan, penggunaan jasa keuangan lainnya.
Ayat (2) dan Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” pada saat ini adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 dan peraturan pelaksanaannya. Ayat (5)
Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “independen” adalah bebas dari intervensi dan pengaruh dari pihak manapun. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 s.d.Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Pemberhentian kepala atau wakil kepala PPATK yang berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia dimaksudkan agar tugas-tugas dari PPATK dapat dilaksanakan secara maksimal. Huruf b s.d.Huruf d Cukup jelas. Huruf e Tidak selayaknya bagi orang yang telah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana untuk melakukan tugas pemberantasan suatu tindak pidana. Huruf f Perangkapan jabatan atau pekerjaan dilarang untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan. Huruf g dan huruf h Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk campur tangan” adalah perbuatan atau tindakan dari pihak manapun yang mengakibatkan berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Penyelenggaraan kerja sama internasional dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur mengenai hubungan luar negeri dan mengenai perjanjian internasional. Pasal 26 s.d Pasal 28
Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan dimaksudkan agar segala sesuatu yang akan dilakukan oleh PPATK untuk setiap tahun dapat dilaksanakan sesuai dengan target yang ditentukan sehingga dapat dievaluasi mengenai keberhasilan atau kendala yang dihadapi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 dan Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tahap pemeriksaan, yakni pada tahap penyidikan kewenangan pada penyidik, pada tahap penuntutan kewenangan pada penuntut umum, dan kewenangan hakim pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Ayat (2) s.d. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Dalam hal Kepala Kepolisian Daerah atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk. Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan Harta Kekayaan bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik . Pasal 36 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilan dapat berjalan dengan lancar, maka sekalipun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 (tiga) kali dilakukan
pemanggilan untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa. Ayat (2) dan Ayat (3) Cukup jelas Pasal 37 Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Disamping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara. Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “PPATK dalam ayat ini adalah kepala, wakil kepala, dan seluruh pegawai dilingkungan PPATK. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 40 s.d.Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Dilakukan kerja sama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, karena Harta Kekayaan yang ditempatkan (placement), ditransfer (layering), atau yang diintergrasikan (integration) tidak tertutup kemungkinan peredaran Harta Kekayaan tersebut dari atau ke luar negeri sehingga dengan kerja sama ini diharapkan dapat dilakukan upaya pencegahan atau pemberantasan secara lebih efektif. Pasal 45 dan Pasal 46 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4191 Business News: Nomor
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang perlu
disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian
uang dan standar internasional;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, perlu mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4191);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN : ...
- 2 -
2
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4191) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 diubah, dan menambah 2
(dua) angka baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
2. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
4. Harta ...
- 3 -
3
4. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak
bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
5. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan
jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan
keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga
pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian,
wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang
valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
6. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau
kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau
pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan.
7. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik,
atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil
tindak pidana.
8. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah
transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan
dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang
dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
9. Dokumen ...
- 4 -
9. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau
4
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca
atau memahaminya.
10. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang
selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga independen yang
dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang.”
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 2
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika; ...
- 5 -
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
5
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang perpajakan;
v. di bidang kehutanan;
w. di bidang lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan; atau
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4
(empat) tahun atau lebih,
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di
luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana
tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.
(2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.”
3. Ketentuan ...
- 6 -
3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
6
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia
Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak
lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia
Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik
atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak
lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya,
dengan ...
- 7 -
dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana
pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
7
sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).”
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas
milyar rupiah).”
5. Ketentuan ...
- 8 -
5. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah
sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau
mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke
dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana
8
dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).”
6. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal baru
menjadi Pasal 10A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 10A
(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim,
dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau
keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut
Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau
keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut
Undang-Undang ini.
(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan
pengadilan.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim,
dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar
ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun.
(4) Jika ...
- 9 -
(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun.”
9
7. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) diubah serta
menambah 2 (dua) ayat baru menjadi ayat (1a) dan ayat (6a),
sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 13
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada
PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal
sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai dalam
jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara,
baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa
kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
(1a)Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan yang Dilakukan
Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling
lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan
mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.
(3) Penyampaian ...
- 10 -
(3) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan yang Dilakukan
Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal transaksi dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.
10
(5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi transaksi
antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank
sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yang
ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia
Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar
transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6a) Penyedia Jasa Keuangan dapat dikecualikan untuk tidak
membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak pengecualian diberikan.
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Kepala PPATK.”
8. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan
kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.”
9. Ketentuan ...
- 11 -
9. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (5) diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 16
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, atau mata
uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar
11
wilayah Negara Republik Indonesia, harus melaporkan kepada
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan
tentang informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5
(lima) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
PPATK.
(3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahukan
kepada PPATK paling lambat 5 (hari) kerja setelah mengetahui
adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus
memuat rincian mengenai identitas orang yang membuat
laporan.
(5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta informasi tambahan
dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai uang tunai
berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu
yang dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia.”
10. Di ...
- 12 -
10. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal baru
menjadi Pasal 17A, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 17A
(1) Direksi, pejabat, atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang
memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain
baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun
12
mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
(2) Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang
memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
kepada pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada
PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak langsung
dengan cara apapun.
(3) Direksi, pejabat atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan, pejabat
atau pegawai PPATK serta penyelidik/penyidik yang melakukan
pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
11. Penjelasan Pasal 25 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
12. Ketentuan ...
- 13 -
12. Ketentuan Pasal 26 diubah dengan menambah huruf baru yaitu huruf
i, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya, PPATK mempunyai tugas sebagai
berikut:
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi
informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan Undang-Undang
ini;
13
b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat
oleh Penyedia Jasa Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang
tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini;
e. membuat pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan
tentang kewajibannya yang ditentukannya dalam Undang-Undang
ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan
membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang
mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi
tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat ...
- 14 -
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis
transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam)
bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap
Penyedia Jasa Keuangan;
i. memberikan informasi kepada publik tentang kinerja
kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
14
13. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
”Pasal 29
(1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan
Anggaran Tahunan.
(2) Anggaran Tahunan PPATK bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.”
14. Menambah ketentuan baru sesudah Pasal 29 yaitu Pasal 29A dan
Pasal 29B, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 29A
Pengaturan kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, tunjangan
jabatan, tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pejabat
dan pegawai PPATK ditetapkan dengan Keputusan Presiden sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
“Pasal 29B
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, Presiden dapat membentuk Komite
Koordinasi Nasional atas usul Kepala PPATK.”
15. Ketentuan ...
- 15 -
15. Ketentuan Pasal 33 ayat (4) diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana
pencucian uang maka penyidik, penuntut umum atau hakim
berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa
Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku
15
ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank
dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan
menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK,
tersangka, atau terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala
Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik;
b. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan
Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.”
16. Ketentuan ...
- 16 -
16. Ketentuan BAB VIII diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“BAB VIII
BANTUAN TIMBAL BALIK
DALAM MASALAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 44
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik
di bidang hukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau
16
multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ini dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah
mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan
Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas.
(3) Permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari dan ke negara
lain disampaikan kepada dan oleh Menteri yang bertanggung
jawab di bidang hukum dan perundang-undangan.
(4) Menteri dapat menolak permintaan kerja sama bantuan timbal
balik dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan oleh
negara lain tersebut dapat mengganggu kepentingan nasional
atau permintaan tersebut berkaitan dengan penuntutan kasus
politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras,
kebangsaan, atau sikap politik seseorang.
Pasal ...
- 17 -
Pasal 44A
(1) Kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 antara lain meliputi:
a. pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang,
termasuk pelaksanaan surat rogatori;
b. pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan lain;
c. identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang;
d. pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan
penyitaan;
e. upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan
penyitaan hasil kejahatan;
17
f. mengusahakan persetujuan orang-orang yang bersedia
memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara
peminta;
g. bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian kerja sama
timbal balik yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam rangka melakukan kerja sama bantuan timbal balik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang bertanggung
jawab di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan
dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan
tindakan kepolisian berupa penggeledahan, pemblokiran,
penyitaan, pemeriksaan surat, pengambilan keterangan, atau hal-
hal lain yang sesuai dengan ketentuan dan persyaratan
sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana dan Undang-
Undang ini.
(3) Barang ...
- 18 -
(3) Barang bukti, pernyataan, dokumen, atau catatan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang
digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
17. Di antara Bab VIII dan Bab IX ditambah 1 (satu) bab baru menjadi
Bab VIIIA tentang Ketentuan Lain, yang berisi 1 (satu) pasal
sehingga berbunyi sebagai berikut:
“BAB VIIIA
KETENTUAN LAIN
18
Pasal 44B
Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau
rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang, PPATK dapat melaksanakan
ketentuan tersebut menurut Undang-undang ini sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.”
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar ...
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
19
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 108
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
20
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 108
Salinan sesuai dengan aslinyaSEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro PeraturanPerundang-undangan II,
Edy Sudibyo
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I. UMUM
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang
komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem
perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antarnegara yang dapat
dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan ini di samping mempunyai
dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat yaitu
dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional maupun
internasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan
untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil tindak pidana
(money laundering).
Berkenaan dengan itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan dalam Undang-Undang
tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses
peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah, agar upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara
efektif.
Perubahan ...
- 2 -
2
Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:
a. Cakupan pengertian Penyedia Jasa Keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap
orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan tetapi juga meliputi jasa lainnya
yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku
tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa
Keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan
laporan transaksi keuangan dan sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk
Penyedia Jasa Keuangan baru yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002.
b. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan diperluas dengan mencantumkan
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) atau lebih, atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana
dihapus, karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk
menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besar atau
kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.
d. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah
berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan dimana pelaku
tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil
tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak
pidana asal antara lain:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
-Undang- ...
- 3 -
3
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
dipersingkat, yang semula 14 (empat belas) hari kerja menjadi tidak lebih dari 3
(tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur
Transaksi Keuangan Mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar Harta Kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian
uang dapat segera dilacak.
f. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan
penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan
kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan antara lain
untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak
pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektifitas pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
g. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal
assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia
menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana
pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balik
merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi
komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang. Kerja sama internasional telah dilakukan dalam forum
yang tidak hanya bilateral namun regional dan multilateral sebagai strategi untuk
memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam
kejahatan yang terorganisir.
Namun ...
- 4 -
Namun demikian pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus tetap
memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional
4
dan terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan bahwa “tindak pidana yang dilakukan di luar
wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia”, maka
Undang-Undang ini dalam menentukan Hasil tindak pidana
menganut asas kriminalitas ganda (double criminality).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak
pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya,
untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.
Angka ...
- 5 -
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
5
Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10A
Ayat (1)
Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia jabatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sumber keterangan” dalam ketentuan ini
adalah Penyedia Jasa Keuangan yang menyampaikan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Kewajiban untuk merahasiakan sumber keterangan dan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan di persidangan pengadilan
dimaksudkan untuk mendorong Penyedia Jasa Keuangan
melaksanakan kewajiban penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka ...
- 6 -
Angka 7
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Pada dasarnya Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak
memiliki ciri-ciri yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi
6
oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan
yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dapat dijadikan acuan
antara lain sebagai berikut:
1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas;
2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar
dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran;
3) aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Penyedia Jasa Keuangan dapat
sesegera mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan
agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana
dan pelaku pencucian uang dapat segera dilacak.
Unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 huruf a, huruf b, dan huruf c.
Ayat ...
- 7 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” adalah transaksi-
transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya
7
selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar,
misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola
supermarket.
Selain berdasarkan jenis transaksi, Kepala PPATK menetapkan
transaksi lainnya yang dikecualikan berdasarkan besarnya jumlah
transaksi, bentuk Penyedia Jasa Keuangan tertentu, atau wilayah
kerja Penyedia Jasa Keuangan tertentu. Pemberlakuan pengecualian
tersebut dapat dilakukan baik untuk waktu yang tidak terbatas
(permanen) maupun untuk waktu tertentu (temporer).
Ayat (6)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar data atau informasi
mengenai transaksi yang dikecualikan tersebut dapat diteliti atau
diperiksa oleh PPATK untuk keperluan analisis.
Rincian daftar transaksi yang wajib dibuat dan disimpan pada
dasarnya sama dengan transaksi tunai yang seharusnya dilaporkan
kepada PPATK. Daftar dapat dibuat dalam bentuk elektronik
sepanjang dapat dijamin bahwa data atau informasi tersebut tidak
mudah hilang atau rusak.
Ayat ...
- 8 -
Ayat (6a)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
Penyedia Jasa Keuangan tertentu yang untuk sementara waktu
belum dapat memenuhi ketentuan ini.
Pengecualian dapat diberikan baik dengan atau tanpa permintaan
dari Penyedia Jasa Keuangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
8
Angka 8
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “dituntut secara perdata” antara lain adalah
tuntutan ganti rugi.
Yang dimaksud dengan “dituntut secara pidana” antara lain tuntutan
pencemaran nama baik.
Angka 9
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 17A
Ayat (1)
Ketentuan ini dikenal sebagai anti-tipping off.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar pengguna jasa
keuangan tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga
mempersulit penegak hukum untuk melakukan pelacakan terhadap
pengguna jasa keuangan dan Harta Kekayaan yang bersangkutan.
Ayat ...
- 9 -
Ayat (2)
Ketentuan anti-tipping off berlaku pula bagi pejabat atau pegawai
PPATK serta penyelidik/penyidik untuk mencegah pengguna jasa
keuangan yang diduga sebagai pelaku kejahatan melarikan diri dan
harta kekayaan yang bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit
proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
9
Pasal 25
Ayat (3)
Kerja sama dalam ayat ini dapat dilakukan dalam bentuk pertukaran
informasi, bantuan teknis, pendidikan dan/atau pelatihan.
Angka 12
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal ...
- 10 -
Pasal 29B
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank
dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur
dalam undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
10
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
Kepala Kepolisian Daerah, atau Jaksa Agung Republik Indonesia
atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat
dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.
Angka 16
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan”
adalah Undang-Undang ini, undang-undang mengenai hukum acara
pidana, undang-undang mengenai hubungan luar negeri, dan
undang-undang mengenai perjanjian internasional.
Ayat ...
- 11 -
Ayat (2)
Perjanjian kerja sama bantuan timbal balik antara lain mengatur
tentang prosedur komunikasi, tata cara penyampaian surat rogatori,
persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyampaikan permintaan
bantuan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Menteri dalam menerima atau menolak kerja sama bantuan timbal
balik berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait.
Pasal 44A
Ayat (1)
11
Huruf a
Surat rogatori dalam ketentuan ini adalah surat dari negara lain
yang berisi permintaan pemeriksaan untuk mendapatkan
keterangan mengenai tindak pidana pencucian uang yang
dilakukan di bawah sumpah dan di hadapan penyidik, penuntut
umum, atau hakim di Indonesia dan sebaliknya. Surat rogatori
ini dikenal dengan letter of rogatory.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf ...
- 12 -
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 44B
Cukup jelas.
Pasal II
12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4324
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 30/PMK.010/2010
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI
LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk, aktivitas, dan teknologi informasi di lingkungan industri Perasuransian, Dana Pensiun dan Lembaga Pembiayaan, maka risiko pemanfaatan Asuransi, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan teroris semakin terbuka;
b. bahwa dengan semakin terbukanya risiko pemanfaatan Asuransi, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan teroris, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324);
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan;
5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009; MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI LEMBAGA KEUANGAN NON BANK.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian,
perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan pialang asuransi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian.
2. Dana Pensiun adalah dana pensiun lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana pensiun.
3. Lembaga Pembiayaan adalah perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, dan perusahaan pembiayaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam peraturan presiden mengenai lembaga pembiayaan.
4. Lembaga Keuangan Non Bank yang selanjutnya disebut sebagai LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan.
5. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan LKNB untuk mengetahui latar belakang dan identitas Nasabah, memantau Rekening dan transaksi Nasabah, serta melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai, termasuk transaksi keuangan yang terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme.
6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LKNB, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. pemegang polis dan/atau tertanggung pada perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa;
b. klien pada perusahaan pialang asuransi; c. peserta dan/atau pihak yang berhak atas manfaat pensiun pada
Dana Pensiun; d. klien atau penjual piutang pada kegiatan anjak piutang; e. konsumen pada kegiatan pembiayaan konsumen; f. lessee atau penyewa guna usaha pada kegiatan leasing atau sewa
guna usaha;
g. pemegang kartu kredit pada usaha kartu kredit; h. perusahaan pasangan usaha pada kegiatan modal ventura; dan i. debitur pada perusahaan pembiayaan infrastruktur. 7. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang
mengendalikan transaksi Nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian.
8. Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers) adalah Nasabah yang berdasarkan latar belakang identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan kegiatan terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan/atau Pendanaan Kegiatan Terorisme.
9. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persons) adalah orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing, yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki atau menjalankan kewenangan publik sebagai pejabat penyelenggara negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara atau badan usaha milik negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik.
10. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah termasuk tetapi tidak terbatas pada identitas, transaksi atau Perikatan antara LKNB dan Nasabah.
11. Perikatan adalah perjanjian antara LKNB dan Nasabah, yang sesuai dengan kegiatan usaha masing-masing LKNB, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. polis pada perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa;
b. perjanjian antara klien dan perusahaan pialang asuransi; c. peraturan Dana Pensiun; d. perjanjian sewa guna usaha; e. perjanjian pembiayaan konsumen; f. perjanjian anjak piutang; g. pembukaan rekening kartu kredit; h. perjanjian antara perusahaan modal ventura dan perusahaan
pasangan usaha; dan i. perjanjian pembiayaan infrastruktur. 12. Pendanaan Kegiatan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
13. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang.
14. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang.
15. Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries) adalah negara atau teritorial yang potensial digunakan sebagai:
a. tempat terjadinya atau sarana tindak pidana pencucian uang; b. tempat dilakukannya tindak pidana asal (predicate offense);
dan/atau c. tempat dilakukannya aktivitas Pendanaan Kegiatan Terorisme. 16. Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business) adalah bidang usaha
yang potensial digunakan sebagai sarana melakukan tindak pidana pencucian uang dan/atau sarana Pendanaan Kegiatan Terorisme.
BAB II PRINSIP MENGENAL NASABAH
Bagian Pertama
Kewajiban Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pasal 2 LKNB wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 3 Dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, LKNB wajib: a. menetapkan kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah; b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi
Nasabah; c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan Rekening dan
pelaksanaan transaksi Nasabah; dan d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang
berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Bagian Kedua
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pasal 4 (1) Dalam rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah, LKNB wajib: a. membentuk unit kerja khusus atau menugaskan anggota direksi
atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau
pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
b. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis tentang penerimaan Nasabah, identifikasi dan verifikasi Nasabah, pemantauan terhadap Rekening dan transaksi Nasabah, dan manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang dituangkan dalam pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
c. menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
d. menyampaikan setiap perubahan atas pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut.
(2) Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi LKNB.
(3) Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertanggung jawab langsung kepada direktur utama, ketua pengurus atau yang setara dengan pimpinan tertinggi LKNB.
(4) LKNB yang melakukan kegiatan usaha di lokasi lain selain kantor pusat wajib menerapkan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah yang ditetapkan oleh kantor pusat di bawah koordinasi unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kantor pusat LKNB.
(5) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan.
Pasal 5 LKNB wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau anggota
direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus LKNB yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengakses seluruh data
Nasabah dan informasi lainnya yang terkait. Pasal 6 Pihak yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha
bagi Perusahaan Perasuransian dan Lembaga Pembiayaan atau pengesahan peraturan Dana Pensiun untuk pertama kali bagi Dana Pensiun, wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, bersama dengan permohonannya.
Bagian Ketiga Kebijakan Penerimaan Dan Identifikasi Nasabah
Pasal 7
(1) Sebelum melakukan Perikatan dengan Nasabah, LKNB wajib meminta informasi mengenai:
a. latar belakang dan identitas calon Nasabah; b. maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan Perikatan; c. profil keuangan calon Nasabah; d. informasi lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat
mengetahui profil calon Nasabah termasuk Perikatan yang telah dimiliki sebelumnya dengan LKNB yang bersangkutan; dan
e. identitas penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama calon Nasabah.
(2) LKNB wajib melakukan konfirmasi mengenai kebenaran kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pihak lain, jika calon Nasabah diwakili pihak lain.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung sebagai berikut:
a. calon Nasabah perorangan paling kurang terdiri dari: 1) identitas Nasabah yang memuat: a) nama; b) alamat atau tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan
nomor telepon; c) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada); d) tempat dan tanggal lahir; dan e) kewarganegaraan; 2) keterangan mengenai pekerjaan; 3) spesimen tanda tangan; dan 4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan
dana;
5) rata-rata penghasilan; 6) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada; dan 7) dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk
dapat mengetahui profil calon Nasabah; b. calon Nasabah yang berbentuk perusahaan paling kurang terdiri
dari: 1) dokumen mengenai perusahaan: a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon
perusahaan; b) akte pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang
bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir;
c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang; d) surat keterangan domisili; e) laporan keuangan terkini; dan f) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 2) nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak
yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan LKNB;
3) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan;
4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana, bagi calon Nasabah pada Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Perasuransian; dan
5) dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah.
(4) Ketentuan customer due diligence sebaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak berlaku bagi calon Nasabah berupa:
a. Lembaga pemerintah; atau b. Lembaga keuangan multilateral. Pasal 8 LKNB wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas dokumen
pendukung (customer due diligence) dengan melakukan hal-hal antara lain: a. meneliti kemungkinan adanya hal-hal yang tidak wajar atau
mencurigakan. b. memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal terdapat
kecurigaan atas dokumen yang diterima, antara lain dengan cara: 1) melakukan wawancara dengan calon Nasabah;
2) meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang;
3) melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah.
c. melakukan penelaahan mengenai Beneficial Owner. Pasal 9 (1) LKNB wajib memastikan bahwa calon Nasabah mewakili Beneficial
Owner atau bertindak untuk diri sendiri dalam membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi.
(2) Dalam hal calon Nasabah mewakili Beneficial Owner untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, LKNB wajib melakukan prosedur customer due diligence terhadap Beneficial Owner yang sama dengan prosedur customer due diligence bagi calon Nasabah.
Pasal 10 (1) Dalam hal calon Nasabah mewakili Beneficial Owner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), LKNB wajib meminta dokumen atau bukti atas identitas dan/atau informasi lain mengenai Beneficial Owner.
(2) Dalam hal Beneficial Owner merupakan perorangan, identitas dan/atau informasi antara lain berupa:
a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a;
b. hubungan hukum antar calon Nasabah dengan Beneficial Owner yang ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya; dan
c. pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner.
(3) Dalam hal Beneficial Owner berbentuk perusahaan, yayasan atau perkumpulan, identitas dan/ atau informasi antara lain berupa:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b; b. dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali
akhir perusahaan, yayasan, atau perkumpulan; dan c. pernyataan dari calon Nasabah mengenai kebenaran identitas
maupun sumber dana dari Beneficial Owner. (4) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain di dalam
negeri yang mewakili Beneficial Owner, LKNB wajib meminta dokumen berupa pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain dalam negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap identitas Beneficial Owner.
(5) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain di luar
negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang paling kurang setara dengan Peraturan Menteri Keuangan ini yang mewakili Beneficial Owner, LKNB wajib meminta dokumen berupa pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain luar negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap identitas Beneficial Owner.
(6) Dalam hal LKNB meragukan atau tidak dapat meyakini dokumen atau bukti atas identitas dan/ atau informasi lain mengenai Beneficial Owner, LKNB wajib menolak hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah.
Pasal 11 Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik
atau pengendali akhir Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dan Pasal 10 ayat (3) huruf a, tidak berlaku bagi Beneficial Owner berupa :
a. Lembaga pemerintah; b. Lembaga keuangan multilateral; atau c. Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek. Pasal 12 (1) LKNB dapat menerapkan prosedur customer due diligence yang lebih
sederhana dari prosedur customer due diligence sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terhadap calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah atau memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. peserta Dana Pensiun yang diikutsertakan oleh pemberi kerja atau peserta mandiri yang membayar iuran ke Dana Pensiun yang jumlahnya kurang dari atau sama dengan 20% (dua puluh per seratus) dari penghasilan setiap bulan atau lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari penghasilan tetapi tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan;
b. produk asuransi yang tidak menjanjikan pengembalian dana sebelum atau setelah berakhirnya masa pertanggungan;
c. produk asuransi yang jumlah pembayaran premi regulernya apabila di setahunkan tidak melebihi Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah);
d. produk asuransi yang pembayaran premi tunggalnya tidak melebihi Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah);
e. pembiayaan kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, dan alat-alat rumah tangga yang nilainya tidak melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); atau
f. Nasabah berupa perusahaan publik. (2) LKNB wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang
mendapat perlakuan customer due diligence yang lebih sederhana.
(3) Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LKNB wajib meminta informasi mengenai:
a. nama lengkap termasuk alias apabila ada; b. nomor dokumen identitas (KTP/SIM/Paspor) yang dibuktikan
dengan menunjukkan dokumen dimaksud; c. alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas; d. alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon bila ada;
dan e. tempat dan tanggal lahir. (4) Bagi calon Nasabah yang berbentuk perusahaan yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LKNB wajib meminta informasi mengenai:
a. nama perusahaan; b. alamat perusahaan dan nomor telepon; dan c. dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan. (5) Prosedur customer due diligence yang lebih sederhana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme.
Pasal 13 (1) LKNB wajib melakukan verifikasi yang lebih ketat (enhanced customer
due diligence) terhadap calon Nasabah dan Beneficial Owner yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap praktik pencucian uang dan/atau risiko tinggi terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme.
(2) Tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat dari: a. latar belakang atau profil calon Nasabah dan Beneficial Owner yang
termasuk Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persons) atau Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customer);
b. bidang usaha yang termasuk Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business);
c. negara atau teritorial asal Nasabah, domisili Nasabah, atau dilakukannya transaksi yang termasuk Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries); dan/atau
d. pihak-pihak yang tercantum dalam daftar nama-nama teroris; sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini. Pasal 14 Verifikasi yang lebih ketat (enhanced customer due diligence) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut:
a. verifikasi informasi calon Nasabah atau Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi yang terkait, tidak hanya didasarkan pada informasi yang diberikan oleh calon Nasabah tersebut;
b. verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon Nasabah atau Beneficial Owner dimaksud dengan pihak ketiga; dan
c. Customer due diligence secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait.
Pasal 15 (1) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah
LKNB lain di dalam negeri, LKNB cukup menerima pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon Nasabah tersebut telah dilakukan verifikasi dan identifikasi atas dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang sekurang-kurangnya setara dengan Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB cukup menerima pernyataan tertulis bahwa bank atau LKNB lain di luar negeri tersebut telah memperoleh dokumen pendukung pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan telah melakukan verifikasi dan identifikasi atas dokumen dimaksud.
(3) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang lebih longgar dari Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB tetap wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 16 LKNB dilarang melakukan Perikatan dengan calon Nasabah sebelum
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 atau Pasal 9 atau Pasal 12 atau Pasal 13 ayat (1).
Pasal 17 LKNB yang akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah
yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari anggota direksi atau pengurus LKNB.
Pasal 18
Persetujuan pembukaan Perikatan hanya dapat dilakukan setelah LKNB meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat memungkinkan Nasabah melakukan kegiatan pencucian uang dan/atau Pendanaan Kegiatan Terorisme.
Pasal 19 (1) LKNB melakukan pengujian untuk mengetahui latar belakang dan
tujuan dari transaksi yang tidak wajar. (2) Transaksi yang tidak wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain namun tidak terbatas pada : a. transaksi yang tidak biasa dalam jumlah besar; b. transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai
hubungan ekonomi yang jelas; c. transaksi yang diduga akan digunakan untuk melakukan
perbuatan melanggar hukum; dan/atau d. transaksi yang tidak sesuai dengan pola aktifitas Rekening. (3) LKNB wajib mendokumentasikan transaksi yang tidak wajar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diduga
sebagai transaksi yang mencurigakan, LKNB wajib melaporkan hal tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Pasal 20 LKNB wajib mempunyai dan menerapkan prosedur khusus untuk
melakukan Perikatan dengan Nasabah yang berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
Pasal 21 LKNB wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan terhadap
hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah dan/atau LKNB yang berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
Pasal 22 (1) LKNB wajib meneruskan kebijakan dan prosedur Prinsip Mengenal
Nasabah ke seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan yang merupakan LKNB di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya.
(2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mematuhi rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) atau sudah mematuhi namun peraturan Prinsip Mengenal Nasabah yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan
Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
(3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki peraturan Prinsip Mengenal Nasabah yang lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud.
(4) Dalam hal penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan berada maka pejabat kantor LKNB di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat LKNB dan Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan bahwa kantor LKNB dimaksud tidak dapat menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
Bagian Keempat Pemantauan Rekening Dan Transaksi Nasabah
Pasal 23
(1) Dalam rangka mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif untuk dapat memastikan bahwa transaksi yang dilakukan Nasabah konsisten dengan profil, karakteristik dan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan, LKNB wajib memiliki sistem informasi yang memadai.
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memungkinkan LKNB untuk dapat menelusuri setiap transaksi, termasuk untuk penelusuran atas identitas Nasabah, bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, sumber dana yang digunakan untuk transaksi, dan Perikatan lain yang dimiliki Nasabah pada bank dan LKNB lain.
Pasal 24 LKNB wajib melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk memastikan ada tidaknya transaksi yang mencurigakan serta melaporkan temuan tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Pasal 25 LKNB wajib menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, baik yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Pasal 26 LKNB wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan
terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 10.
Pasal 27 LKNB wajib menatausahakan dan menyimpan data transaksi LKNB
dengan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 19 dalam jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak Nasabah mengakhiri Perikatan dengan LKNB.
Pasal 28 LKNB wajib memenuhi ketentuan pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan dan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai termasuk transaksi keuangan yang terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sesuai dengan undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 29 Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi lain atas Nasabah
dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar nama teroris sebagaimana daftar yang dimuat dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Bagian Kelima Manajemen Risiko
Pasal 30
(1) Kebijakan dan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan prosedur manajemen risiko LKNB secara keseluruhan.
(2) Kebijakan dan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup:
a. pengawasan oleh direksi dan komisaris atau pengurus dan pengawas LKNB (management oversight);
b. pendelegasian wewenang; c. pemisahan tugas; d. sistem pengawasan intern termasuk audit intern; dan e. program pelatihan mengenai penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah bagi pejabat, karyawan, dan tenaga pemasar yang bukan karyawan LKNB.
(3) LKNB wajib melakukan pengujian dan tes secara acak (sampling)
terhadap keefektifan dari sistem dan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah dan mendokumentasikan pengujian tersebut guna perbaikan dan pengembangan sistem yang dimiliki.
(4) LKNB wajib mendokumentasikan dan melakukan pemutakhiran jenis, indikator dan contoh dari transaksi yang mencurigakan yang ditemukan di berbagai unit kerja terkait.
BAB III PELAKSANA DAN FASILITAS PENDUKUNG
Pasal 31
Direksi atau pengurus LKNB bertanggung jawab atas seluruh kegiatan dalam rangka penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 32 LKNB wajib memiliki kebijakan dan prosedur khusus untuk meyakini
identitas calon Nasabah dan menilai kewajaran informasi yang diberikan oleh calon Nasabah, dalam hal Perikatan tidak dilakukan melalui pertemuan langsung dengan calon Nasabah atau dilakukan dengan menggunakan jasa pihak ketiga.
Pasal 33 (1) LKNB wajib menyusun dan melaksanakan program pelatihan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e.
(2) Pelaksanaan program pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Laporan pelaksanaan program pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat seluruh kegiatan pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah yang dilakukan untuk periode 1 Januari sampai 31 Desember tahun yang bersangkutan.
(4) LKNB wajib menyampaikan laporan pelaksanaan program pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya.
Pasal 34 LKNB wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka
penerimaan pegawai baru guna mencegah digunakannya LKNB sebagai sarana dan/atau tujuan pencucian uang atau Pendanaan Kegiatan Terorisme yang melibatkan pihak interen LKNB.
BAB IV PEMERIKSAAN KETAATAN
Pasal 35 (1) Biro Perasuransian, Biro Dana Pensiun dan Biro Pembiayaan dan
Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap ketaatan LKNB dalam memenuhi kewajiban-kewajiban mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pemeriksaan terhadap ketaatan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pedoman pemeriksaannya, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
BAB V SANKSI
Pasal 36
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 40 Peraturan Menteri Keuangan ini dikenakan sanksi administratif.
(2) Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Perasuransian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. Peringatan. b. Pembatasan/Pembekuan Kegiatan Usaha. c. Pencabutan izin usaha. (3) Dana Pensiun yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kecuali Pasal 9 dan Pasal 10 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. Peringatan. b. Penggantian pelaksana tugas pengurus. (4) Tata cara dan jangka waktu pengenaan setiap jenis sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disesuaikan dengan jenis Lembaga Keuangan Non Bank dan jenis pelanggarannya.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
(1) Segala sanksi yang telah dikenakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) LKNB yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 2833/LK/2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada Lembaga Keuangan Non Bank, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan ini dan belum ditetapkan peraturan yang menggantikannya.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40 LKNB yang telah memperoleh izin usaha dan/atau pengesahan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 41 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2010 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Dundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA,
ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 77
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 30 /PMK.010/2009 TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL
NASABAH BAGI LEMBAGA
KEUANGAN NON BANK
DAFTAR PIHAK-PIHAK YANG TERMASUK DALAM KATEGORI ORANG YANG POPULER SECARA POLITIS (POLITICALLY EXPOSED PERSON), NASABAH YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK CUSTOMER),
USAHA YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK BUSINESS), DAN NEGARA YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK COUNTRIES)
1. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Person) antara lain terdiri dari: a. Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan; b. Wakil Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan; c. Pejabat setingkat Menteri; d. Eksekutif Senior perusahaan negara: e. Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN); f. Eksekutif dan ketua partai politik; g. Pejabat senior di bidang militer dan/atau kepolisian; h. Pejabat Senior di lingkungan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung; i. Pejabat yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden; j. Anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah; k. Anggota keluarga (pasangan, orang tua, saudara, anak, menantu, cucu) dari
kategori-kategori di atas; l. Siapapun orang yang tidak termasuk di atas namun karena posisinya yang tinggi
di masyarakat, pengaruhnya yang signifikan, kepopulerannya dan/atau kombinasi dari posisinya dapat menempatkan Lembaga Keuangan Non Bank
dalam posisi berisiko harus masuk dalam kategori berisiko tinggi; dan m. Pihak lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan
Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persons).
2. Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers) antara lain terdiri dari: a. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persons); b. Pegawai instansi pemerintah yang terkait dengan pelayanan publik; c. Orang-orang yang tinggal dan/atau mempunyai dana yang berasal dari negara-
negara yang diidentifikasi oleh sumber-sumber terpercaya memiliki standar anti pencucian uang yang tidak mencukupi atau mewakili tindak pidana tingkat tinggi dan korupsi;
d. Orang-orang yang terlibat dalam jenis-jenis kegiatan atau sektor usaha yang rentan terhadap pencucian uang, seperti pegawai Penyedia Jasa Keuangan;
e. Pihak-pihak yang disebutkan dalam daftar Perserikatan Bangsa Bangsa atau daftar lainnya yang dikeluarkan oleh organisasi internasional sebagai teroris, organisasi teroris ataupun organisasi yang melakukan pendanaan; atau
f. Pihak lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers).
3. Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business) antara lain terdiri dari: a. Jasa keuangan, seperti Pedagang Valuta Asing (money changer), Usaha Jasa
Pengiriman Uang (money remittance); b. Offshore company termasuk Penyedia Jasa Keuangan yang berlokasi di tax
dan/atau secrecy havens dan yurisdiksi yang tidak secara memadai melaksanakan rekomendasi FATF;
c. Dealer mobil; d. Agen perjalanan; e. Pedagang perhiasan, batu permata dan logam berharga; f. Perusahaan perdagangan ekspor/impor; g. Usaha yang berbasis tunai seperti minimarket, jasa pengelola parkir, rumah
makan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), pedagang isi ulang pulsa; h. Penjual grosir (wholesalers) dan pengecer barang elektronik (khususnya di zona
perdagangan bebas); i. Advokat, akuntan atau konsultan keuangan; j. Dealer barang antik dan seni; k. Agen properti; atau l. Usaha lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan
Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business).
4. Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries) antara lain terdiri dari: a. Yurisdiksi yang oleh organisasi yang melakukan mutual assessment terhadap
suatu negara (seperti: Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean Financial Action Task Force (CFATF), Committee of Experts on the Evaluation of Anti-Money Laundering
Measures and the Financing of Terrorism (MONEYVAL), Eastern and Southern Africa Anti-Money Laundering Group (ESAAMLG), The Eurasian Group on Combating Money Laundering and Financing of Terrorism (EAG), The Grupo de Accion Financiera de Sudamerica (GAFISUD), Intergovernmental Anti-Money Laundering Group in Africa (GIABA) atau Middle East & North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF)) diidentifikasi sebagai tidak secara memadai melaksanakan Rekomendasi FATF.
b. Negara yang diidentifikasi sebagai yang tidak cooperative atau Tax Haven oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD);
c. Negara yang memiliki tingkat tata kelola (good governance) yang rendah sebagaimana ditentukan oleh World Bank;
d. Negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi sebagaimana diidentifikasi dalam Transparancy International Corruption Perception Index; atau
e. Negara atau yurisdiksi lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries).
5. Daftar teroris adalah daftar nama-nama teroris yang antara lain tercatat pada: a. Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau b. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267 yang dipublikasikan melalui media
internet seperti situs PBB http://www.un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml atau sumber yang lazim digunakan.
MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI
top related