tinea corporis
Post on 13-Jul-2016
39 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh
baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak
berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. (Sobera, 2003.
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan
tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar
pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis (Patel, 2006).
Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan pada pekerja
yang berhubungan dengan hewan-hewan. Maserasi dan oklusi kulit lipatan
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan infeksi.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya
handuk, lantai kamr mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.. Ada beberapa macam
variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan
kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari
jamur (Belson, 2004).
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Trichophyton spp,
Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Walaupun semua dermatofita bisa
1
menyebabkan tinea korporis, penyebab yang paling umum adalah Trichophyton
Rubrum dan Trichophyton Mentagrophytes (Patel, 2006).
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pasien mengeluhan rasa gatal-gatal, karena rasa gatal semakin memberat
pasien menggaruk lesi sehingga lesi menjadi lebih luas. Rasa gatal akan semakin
meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah
memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak
lembab dan panas serta memakai pakaian yang tidak menyerap keringat.
2. Pemeriksaan Lokalis
Gambaran klinis dari tinea korporis merupakan lesi anular, bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan
papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang (tanda peradangan lebih
jelas pada daerah tepi) yang sering disebut dengan central healing. Tapi kadang
juga dijumpai erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat
juga terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. Bila tinea korporis ini menahun tanda-tanda aktif jadi
menghilang selanjutnya hanya meningggalkan daerah-daerah yang
hiperpigmentasi dan skuamasi saja. Kelainan-kelainan ini dapat terjadi bersama-
sama dengan tinea kruris (Djuanda, 2008).
2
Lesi umumnya bilateral walaupun tidak simetris, berbatas tegas, tepi
meninggi yang dapat berupa bintil-bintil kemerahan atau lenting-lenting
kemerahan, atau kadang terlihat lenting-lenting yang berisi nanah. Bagian tengah
menyembuh berupa daerah coklat kehitaman bersisik. Lesi aktif, polisiklik,
ditutupi skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak vesikel kecil-kecil.
Biasanya disertai rasa gatal dan kadang-kadang rasa panas. Garukan terus-
menerus dapat menimbulkan gambaran penebalan kulit. Buah zakar sangat jarang
menunjukkan keluhan, meskipun pemeriksaan jamur dapat positif. Apabila
kelainan menjadi menahun maka efloresensi yang nampak hanya macula yang
hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi (Djuanda, 2008).
Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting
untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop
memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora (hifa yang
bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita diantara material keratin. Sampel
untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit. Bagian
yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian
diletakkan pada gelas objek steril dan selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10
%. Sediaan dibiarkan pada temperatur kamar selama 2-5 menit, dilayangkan
beberapa kali di atas api kecil dan dilihat di bawah mikrosko. Adanya hifa atau
konidia menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur(Nugroho, 2004).
3
Terapi topikal
Topical azol terdiri atas :
1. Econazol 1 %
2. Ketoconazol 2 %
3. Clotrinazol 1%
4. Miconazol 2%
Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase
pada pembentukan ergosterol membran sel jamur (Rushing, 2006).
1. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3
epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan
ergosterol membran sel jamur yaitu aftifine 1 %, butenafin 1% Terbinafin
1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan hingga 7
hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut (Rushing, 2006).
2. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat
masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah
permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal
dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas.
3. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada
regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya
diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi (Rushing, 2006).
- Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology
menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus
4
hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi
kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran
terhadap OAJ topikal.
1. Griseofulvin
Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap
baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,
Microsporum, Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat
mitosis pada stadium metafase.
2. Ketokonazol
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
3. Flukonazol
Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun
absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4. Itrakonazol
Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,
bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik
maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat
diminum bersama dengan makanan.
5. Amfosterin B
Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh
Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah
akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan
5
sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang
membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.
Pada umumnya prognosis untuk tinea corporis adalah baik dengan terapi
yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan. Untuk tinea
korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan
70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan
menggunakan anti jamur sistemik ( Rushing, 2006). Penting juga untuk
menghilangkan sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih
lanjut (Budimulja, 2001).
Komplikasi yag terjadi akibat tinea corporis adalah ekskoriasi dan infeksi
sekunder oleh bakteri akibat garukan. Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi alergi
(Sobera, 2003).
6
STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 19 Tahun
Alamat : Lrg. Pelangi Kampus Baru
Pekerjaan : Mahasiswa
Tanggal Masuk RS : 14 Juli 2014
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Gatal pada kulit betis kiri dan tangan kanan
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang kepoliklinik kulit kelamin RSUD Abunawas dengan
keluhan kulit yang gatal yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Gatal
pertama kali dirasakan pada bagian betis kiri awalnya berupa bentol kecil
tampak mirip bekas gigitan nyamuk kemudian lama kelamaan lesi gatal
tersebut semakin meluas. Selain dibetis kiri bawah keluahan gatal dan
kemerahan juga dialami di tangan kanan pasien timbul sejak 1 bulan yang
lalu.
Pasien merasakan gatal semakin hebat ketika berkeringat, Karena
merasa gatal sangat mengganggu pasien sering menggaruk-garuk bagian
tubuhnya sehingga terasa perih. Pasien belum pernah mengobati keluhan
7
gatal ini. Riwayat mengalami gejala kemerahan seperti ini baru pertama
kali dialami.
Selama gatal pasien mengaku belum pernah mengonsumsi obat
apapun riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama tidak ada.
3. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Kesadaran : Composmentis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 83 kali/menit
Pernapasan : 18 kali/menit
Suhu : 37,0oC
4. STATUS DERMATOLOGIS
Makula batas tegas disertai eritema, papul, dan skuama kasar diameter ± 3-4
cm.
Gambar 1. Keadaan kulit pasien hari pertama berobat dipoliklinik
8
Gambar 2. Keadaan kulit pasien 1 minggu pasca terapi
RESUME
Pasien laki-laki usia 19 tahun Pasien datang kepoliklinik kulit
kelamin RSUD Abunawas dengan keluhan kulit yang gatal yang dirasakan
sejak 2 bulan yang lalu. Gatal pertama kali dirasakan pada bagian betis kiri
awalnya berupa bentol kecil tampak mirip bekas gigitan nyamuk
kemudian lama kelamaan lesi gatal tersebut semakin meluas. Selain dibetis
kiri bawah keluahan gatal dan kemerahan juga dialami di tangan kanan
pasien timbul sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien merasakan gatal semakin hebat ketika berkeringat, Karena
merasa gatal sangat mengganggu pasien sering menggaruk-garuk bagian
tubuhnya sehingga terasa perih. Pasien belum pernah mengobati keluhan
9
gatal ini. Riwayat mengalami gejala kemerahan seperti ini baru pertama
kali dialami.
Selama gatal pasien mengaku belum pernah mengonsumsi obat
apapun riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama tidak ada.
Diferensial Diagnosa
1. Dermatitis Kontak
1. Dermatitis Numular
2. Dermatitis Seboroik
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan KOH 10 %
Hifa : +
Spora : +
spora dan hifa
Gambar 3. Mikroskopik pemeriksaan KOH 10 %
10
Gambar 4. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis Kerja
Tinea Corporis
Terapi
Terapi hari pertama berobat di poliklinik pada tanggal 14 juli 2014
- Edukasi :
1) Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari
berkeringat yang berlebihan
2) Mengurangi kelembaban dari tubuh pasien dengan
menghindari pakaian yang panas dan tidak menyerap
keringat.
11
- Antifungi topikal
1) Fungares (Miconazole) 20 mg dioles 2 kali sehari sesudah
mandi dan sebelum tidur
2) Thecort (Miconazole Nitrat 2 % dan Hydrocortisone 1 %)
- Sistemik (oral)
1) Antifungi oral :
Itraconazole 1 x 100 mg / hari
2) Antihistamin oral
Mebhidral (histapan) 2 x 10 mg/ hari
Terapi yang diberikan pada saat berobat kontrol dipoliklinik pada tanggal
22 juli 2014
- Antifungi topikal
1) Fungares (Miconazole) 20 mg dioles 2 kali sehari sesudah
mandi dan sebelum tidur
2) Thecort (Miconazole Nitrat 2 % dan Hydrocortisone 1 %)
- Sistemik (oral)
1) Antifungi oral :
Forcanux (Itraconazole )1 x 100 mg / hari
12
DISKUSI
Pasien datang kepoliklinik kulit kelamin RSUD Abunawas dengan
keluhan kulit yang gatal yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Gatal pertama
kali dirasakan pada bagian betis kiri awalnya berupa bentol kecil tampak mirip
bekas gigitan nyamuk kemudian lama kelamaan lesi gatal tersebut semakin
meluas. Selain dibetis kiri bawah keluahan gatal dan kemerahan juga dialami di
tangan kanan pasien timbul sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien merasakan gatal semakin hebat ketika berkeringat, Karena merasa
gatal sangat mengganggu pasien sering menggaruk-garuk bagian tubuhnya
sehingga terasa perih. Pasien belum pernah mengobati keluhan gatal ini. Riwayat
mengalami gejala kemerahan seperti ini baru pertama kali dialami. Kelainan kulit
yang dialami makula batas tegas disertai eritema, papul, dan skuama kasar.
Kelainan kulit yang terjadi pada pasien ini bisa kita kaitkan dengan
kejadian tinea corporis, dimana ditemukan gejala klinis gatal dan adanya lesi
berbatas tegas yang semakin lama semakin membesar disebabkan oleh garukkan
disertai papul, eritem, dan skuama kasar. Dalam patogenesisnya, jamur patogen
akan menyebabkan kelainan pada kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah
kita dapat membangun diagnosis. Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak
khas atau tidak jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang.
Pada kasus di diferensial diagnosa atau diagnosa banding dengan
dermatitis kontak, dermatitis numularis, dan dermatitis seboroik.
13
- Dermatitis Kontak
Dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel
pada kulit.
Gejala klinis umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung
pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritromatosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel, atau bula.
Letak predileksi tangan, lengan, wajah, telinga, leher, badan,
genitalia, paha dan tungkai bawah.
Gambar 5. Dermatitis Kontak
- Dermatitis Numularis
Dermatitis berupa lesi berbentuk mata uang koin atau agak lonjong,
berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah
pecah hingga basah.
Gejala klinis gatal, pada lesi akut vesikel dan papulovesikel membesar
dengan cara membentuk konflurensi kesamping, lesi seperti uang logam,
14
eritomatosa, berbatas tegas. Letak predileksi tungkai bawah, lengan,
punggung tangan.
Gambar 6. Dermatitis Numularis
- Dermatitis Seboroik
Penyakit jamur superfisial yang kronik berupa bercak berskuama
halus berwarna putih sampai hitam kecoklatan.
Gejala klinis eritema dan skuama yang berminyak, agak
kekuningan dan batasnya kurang tegas. Tempat predileksi daerah
seboroik yaitu perbatasan kulit kepala wajah. 7
15
Gambar 7. Dermatitis Seboroik
Pada pemeriksaan KOH 10 % yang dilakukan pada pasien ditemukan hifa
dan spora positif dimana menurut teori Pemeriksaan KOH merupakan
pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk mendiagnosis infeksi dermatofit
secara langsung dibawah mikroskop memperlihatkan elemen jamur berupa hifa
panjang dan artrospora (hifa yang bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita
diantara material keratin.
Pada pengobatan tinea corporis terapi direkomendasikan untuk infeksi
lokal karena dermatofit biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat
imidazol dan alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya
memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali
sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan
allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.
Terapi sistemik yang sering digunakan adalah Itrakonazol merupakan OAJ
golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan efektif
untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi
maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.16
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja, U., 2001, Dermatomikosis Superficialis. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. hal: 7-16, 29-43
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.. Bab II. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi Kelima. Cetakan ke-2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta:2008, halaman 92-99
3. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4.
4. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis
superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.108-16.
5. Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis
superfisialis. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai
penerbit FKUI, 2004.p.99-106.
6. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial mycoses and
dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical
dermatology. China: Elsenvier inc, 2006. p.185-92.
7. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2012 December 14; available
from; http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page
type=Article.htm
8. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2. EGC.
Jakarta:2008, halaman 17-33
9. Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini
RP, editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.
17
top related