tinjauan pustaka internsip (hepatitis c)
Post on 08-Dec-2015
232 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Hepatitis
I. Pendahuluan
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang
memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan lemas, kencing berwarna seperti air
teh pekat, mata dan seluruh badan menjadi kuning.
Penyakit ini telah dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu oleh
Hippocrates, dan semula dianggap sebagai suatu kesatuan klinik tersendiri pada akhir
abad ke 18 dan 19, yaitu sebelum Perang Dunia Kesatu. Pada waktu itu hanya dikenal
dua macam hepatitis, yang dapat menimbulkan epidemic, yaitu Hepatitis Infeksiosa
(HI) dan Hepatitis Serum (HS). Disebut HI karena virus yang masuk tubuh kita
melalui tinja ke mulut (faecal oral route) dengan masa inkubasi 3-6 minggu.
Sedangkan HS cara penularannya melalui darah (parenteral) dengan masa inkubasi 2-
6 bulan. Tetapi perkembangan zaman dan kemajuan pemeriksaan imunologis, maka
pembagian tersebut tidak berlaku lagi. Kini sebagai penyebab dari hepatitis dapat
dibagi atas:
1. Hepatitis oleh virus
Virus spesifik hati (A, B, C, D, dan E) terbanyak, sedangkan virus F,
G, dan TT masih sedang diteliti
Virus lain: EBV, CMV
2. Hepatitis oleh bakteri (terbanyak oleh Salmonella typhi, maupun parasit oleh
malaria)
3. Hepatitis oleh obat-obatan
Hepatitis virus akut merupakan sindrom klinis akibat infeksi virus
hepatotropik. Manifestasi klinis dapat tampak jelas, tidak jelas/subklinis, atau secara
cepat mengalami progresi dan terjadi keggalan faal hati yang fatal. Kerusakan
terbesar terjadi pada hati. Tergantung pada penyebabnya, apakah terjadi infeksi
secara bersamaan dengan virus yang berbeda, dan apakah terdapat manifestasi
ekstrahepatik, virus hepatitis akut mempunyai derajat morbiditas dan dapat
2
berkembang menjadi hepatitis kronis, sirosis hati, bahkan karsinoma hepatoseluler,
kecuali Hepatitis virus A dan E (self limiting disease)
II. Etiologi
Telah diidentifikasikan adanya 5 penyebab utama virus hepatitis (virus
hepatitis A, B, C, D, E); meskipun virus-virus ini merupakan virus hepatotropik tetapi
mempunyai struktur, jalur transmisi, dan gambaran klinis yang berbeda.
Disamping virus hepatotropik, beberapa virus non-hepatotropik juga dapat
menyebabkan kerusakan hati akut. Yang termasuk dalam ini adalah virus Epstein
Barr, cytomegalovirus, herpes simplex, arboviruses, coxsackie, varicella zoster, dan
rubella. Hepatitis yang disebabkan oleh virus-virus ini umumnya ringan dan
berlangsung singkat dan biasanya tidak berkembang menjadi hepatitis kronis dan
sirosis, namun demikian kasus yang berat pernah dilaporkan pada penderita dengan
daya tahan tubuh yang lemah.
Apabila virus hepatotropik masuk ke dalam tubuh, ia secara cepat akan
tinggal dalam hati. Setelah masa inkubasi yang berbeda dari setiap virus, mereka
mulai melakukan replikasi dalam hepatosit, kemudia virus di lepaskan ke dalam
darah dan empedu. Puncak replikasi virus dalam liver pada umumnya sesuai dengan
mulainya terjadinya nekrosis hepatoseluler, baik karena sitopatogenisitasnya secara
langsung maupun respon imun antivirus. Pada stadium ini virus umumnya dapat
ditemukan dalam darah dan cairan tubuh lainnya bersamaan dengan antibody
terhadap viral nucleocapsid dan envelope protein. Necrosis hati pada saat ini adalah
maksimal dan ditandai dengan abnormalitas tes fungsi liver hati, dan pada sebagian
pasien akan tampak tanda-tanda klinis yang jelas. Munculnya neutralizing antibodies,
umumnya antara 4 dan 8 minggu dari mulainya kerusakan hepatoseluler,
menggambarkan resolusi infeksi. Suatu respons hyperimmune terhadap antigen virus,
terutama yang berasal dari sel B dan Th1, dapat menyebabkan bentuk yang berat,
yakni fulminan.
3
III. Gejala dan Tanda
Perjalanan klinis hepatitis virus akut hamper sama semuanya tanpa melihat
etiologinya. Secara klasik, hepatitis virus akut simtomatis menunjukkan gambaran
klinis yang dapat dibagi dalam 4 tahap:
Masa Tunas (inkubasi): tergantung pada jenis virus
Masa Prodromal/Preikterik: 3-10 hari, rasa lesu/lemah badan, panas, mual,
sampai muntah, anoreksia, perut kanan terasa nyeri.
Masa Ikterik: didahului urine berwarna coklat, sclera kuning, kemudian
seluruh badan, puncak ikterus dalam 1-2 minggu, hepatomegali ringan yang
nyeri tekan.
Masa Penyembuhan: ikterus berangsur kurang dan hilang dalam 2-6 minggu,
demikian pula anoreksia, lemah badan, dan hepatomegali. Penyembuhan
sempurna biasanya terjadi dalam 3-4 bulan.
Gejala yang paling awal dari fase prodromal pada akhir masa inkubasi ialah
nonspesifik, konstitusional, dan bervariasi; sebagian besar berupa gejala system
pencernaan, seperti tidak suka makan, mual, dan muntah. Sering didapatkan rasa
malas, cepat lelah, demam, dan pegal linu (flulike syndrome). Nyeri persendian
(artralgia), sangat mungkin disebabkan oleh pembentukan kompleks imun.
Pembesaran hati yang cepat akan menyebabkan rasa nyeri tumpul (kemeng) apda
hipokondrium kanan. Perlu ditekankan bahwa sebagaimana servei serologi pada
populasi umum, lebih dari 90% infeksi akut dengan virus hepatitis adalah
asimtomatik atau adanya gejala yang tidak spesifik yang tidak diikuti oleh diagnosis
klinis pada saat periode akut. Perjalanan asimtomatis sering didapatkan pada infeksi
hepatitis virus A pada anak dan hepatitis virus C pada dewasa. Hepatitis virus
simtomatis yang disebabkan oleh virus hepatitis G tidak pernah dilaporkan.
Bila terjadi nekrosis hepatoseluler massa liver fungsional menurun, kegagalan
ekskresi bilirubin akan menyebabkan jaundice (fase ikterus). Jaundice didahului oleh
warna air kencing yang gelap dan feses yang pucat selama beberapa hari. Pada fase
ini gejala prodromal pada umumnya menghilang. Bila kolestasis menonjol, akan
4
terjadi rasa gatal, seperti obstruksi bilier. Penurunan berat badan yang terjadi selama
fase ini dapat disebabkan oleh adanya anoreksia dan kurangnya asupan makanan.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya hepatomegalui ringan,
kadang-kadang nyeri, dan pada 10-20% pasien bisa didapatkan pembesaran limpa
(splenomegali). Walaupun jarang, bisa didapatkan adanya pembesaran kelenjar limfe
leher. Sedikit spider nevi dan eritema palmaris yang ringan bisa tampak bila fungsi
liver membaik. Perhatian khusus harus diperhatikan untuk menyingkirkan bukti-bukti
secara fisik adanya penyakit hati kronis (hepatomegali, splenomegali massive,
kolateral vena pada perut, tanda-tanda hiper-estrogenism pada pria), karena reaktivasi
dari dasar penyakit hati kronis dapat tampak dengan suatu pola laboratorium yang
menyerupai hepatitis virus akut.
Selama fase ini penting untuk mencari tanda-tanda awal adanya kegagalan
hati berat (yang secara klinis ditandai dengan koagulopati, somnolen, iritabilitas dan
perubahan tingkah laku karena ensefalopati hepatic). Bila hal tersebut terjadi
menunjukkan perkembangan kea rah hepatitis fulminan dan harus segera dirujuk ke
pusat-pusat dengan akses yang siap untuk transplantasi hati darurat (emergency liver
transplantation).
Setelah beberapa minggu, umumnya berkisar 1-4 minggu, gambaran klinis
dan laboratories hepatitis virus akut akan membaik secara nyata, dan pasien masuk
dalam fase pemulihan dalam beberapa minggu. Bila infeksi disebabkan oleh virus
hepatitis A dan virus hepatitis E maka penyembuhannya adalah sempurna, namun
bila penyebabnya adalah virus hepatitis B, D, atau C dapat terjadi evolusi ke arah
kronis.
Fase pemulihan umumnya berakhir dalam 3 sampai 6 minggu dan jarang
sampai 12 minggu, dengan penurunan dan hilangnya gejala umum secara progresif
dengan normalisasi hasil laboratorium. Abnormalitas kadar aminotransferase yang
persisten dan replikasi virus pada saat ini menunjukkan infeksi oleh virus hepatitis B,
virus hepatitis D, dan virus hepatitis C, yang menyertai evolusi kronis dan
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk biopsy hati perkutan.
5
IV. Laboratorium
Urine
Kelainan pertama yang terlihat yaitu adanya bilirubin dalam urine, bahkan
dapat terlihat sebelum ikterus timbul. Juga bilirubinuria timbul sebelum kenaikan
bilirubin dalam serum dan kemudian ini menghilang dalam urine, walaupun bilirubin
serum masih positif. Urobilinogen dalam urine dapat timbul pada akhir fase
preikterus. Pada waktu ikterus sedang menaik, terdapat sangat sedikit bilirubin dalam
intestine, sehingga urobilinogen menghilang dalam urine.
Tinja
Pada waktu permulaan timbulnya ikterus warna tinja sangat pucat. Analisis
tinja menunjukkan steatore. Apabila warna tinja kembali normal, berarti ada proses
ke arah penyembuhan.
Darah
Yang penting ialah perlu diamati serum bilirubin, SGOT, SGPT, dan asam
empedu, seminggu sekali selama dirawat di RS. Pada masa preikterik, hanya
ditemukan kenaikan dari bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk), walaupun bilirubin
totak masih dalam batas normal.
Pada minggu pertama dari fase ikterik, terdapat kenaikan kadar serum
bilirubin total (baik yang terkonjugasi maupun yang tidak terkonjugasi). Kenaikan
kadar bilirubin bervariasi antara 6-12 mg%, tergantung dari berat ringannya penyakit.
Bila diikuti setiap hari terus menerus, maka kadar bilirubin total terus meningkat
selama 7-10 hari. Umumnya kadar bilirubin mulai menurun setelah minggu kedua
dari fase ikterik, dan mencapai batas normal pada masa penyembuhan.
Serum transaminase yang perlu diamati ialah SGOT (aspartate
aminotransferase (AST)), SGPT (alanine aminotransferase (ALT)). Pada fase akut
yaitu permulaan fase ikterik terdapat kenaikan yang menyolok dari SGOT dan SGPT,
kenaikannya dapat sampai sepuluh kali dari nilai normal, bahkan pada kenaikan yang
lebih berat kenaikannya dapat seratus kalinya. Kadar SGPT umumnya lebih tinggi
6
daripada SGOT. Peningkatan aminotransferase adalah cepat dan diikuti oleh
hiperbilirubinemia pula. Pada minggu kedua dari fase ikterik mulai terdapat
penurunan 50% dari serum transaminase tetapi pada fase penyembuhan nilainya
belum mencapai normal. Nilai normal baru dicapai sekitar 2-3 bulan setelah
timbulnya penyakit. Oleh karena itu serum transaminase ini digunakan untuk
memantau perkembangan penyakit penderita, dan sebaiknya diperiksa 1-2 bulan
sekali selama berobat jalan. Bila hasilnya setelah 6 bulan tetap meninggi maka perlu
dipikirkan kemungkinan menjadi kronis. Pemeriksaan enzim dengan menggunakan
rasio dari De Ritis amat bermanfaat untuk membedakan jenis kerusakan hati. Pada
hepatitis akut rasio SGOT/SGPT ialah 0,4-0,8, sedangkan pada hepatitis kronis rasio
SGOT/SGPT ialah sekitar 1 atau lebih.
Kadar albumin serum umumnya tidak menurun, kecuali pada kasus subakut
yang lebih berat setelah minggu pertama penyakit, ataupun dapat merupakan pertanda
menjadi kronis, bila diikuti dengan meningkatnya nilai globulin. Nilai alkali fosfatase
dapat pula terjadi sedikit kenaikan yang bersifat sementara, terutama pada fase akut,
untuk selanjutnya kembali dalam batas normal. Bila ditemukan tetap meninggi, maka
perlu dipikirkan adanya kholestasis. Nilai protrombin time ini dapat digunakan untuk
memantau perkembangan hepatitis virus akut serta dapat menilai derajat kegagalan
fungsional hati, dimana pada hepatitis virus akut biasanya mempunyai nilai normal
atau sedikit menaik. Bila hasil protrombin time tetap sangat memanjang, walaupun
telah diberikan suntikan vit K tdiak akan kembali normal berarti menjadi hepatitis
fulminan.
Kelainan darah perifer yang ditemukan pada fase preikterik yaitu terlihat
lekopeni, limfopeni dan netropenia merupakan gambaran yang umum dari infeksi
virus. Disamping itu terlihat LED menaik, kemudian pada fase ikterik kembali
normal, dan terdapat kenaikan lagi bilamana ikterusnya berkurang, yang kembali
normal lagi pada fase penyembuhan yang sempurna.
Lebih dari separuh pasien dengan hepatitis virus akut dapat mengalami
hipoglikemia selama fase simtomatis yang disebabkan oleh berkurangnya simpanan
7
glikogen hati dan sering diperberat oleh asupan makanan yang kurang akibat mual
dan diet yang tidak cukup.
Pemeriksaan virology memainkan peranan yang penting dalam menegakkan
diagnosis etiologis hepatitis virus akut. Identifikasi yang benar dari penyebab tidak
saja penting untuk menetukan penatalaksanaan dan prognosis pasien, tetapi juga
untuk mengontrol penularan infeksi pada lingkungan.
V. Jenis virus hepatitis
Berikut adalah penjelasan jenis virus hepatitis yang dewasa ini cukup sering
dijumpai serta terkadang tidak nampak gejalanya secara langsung, yakni hepatitis
virus C.
V.1. Hepatitis Virus C
Dengan makin meningkatnya pengetahuan dan teknologi, sampai saat
sekarang telah dikenal 5 macam virus hepatitis, yaitu A, B, C, D, dan E. dari ke 5
macam virus tersebut, semula yang menjadi permasalahan tingkat nasional maupun
internasional ialah hepatitis B, karena dapat menimbulkan berbagai macam
manifestasi klinis. Tetapi sejak ditemukan hepatitis pascatranfusi (HPT) sekitar tahun
1970, yang kemudian disebut hepatitis Non-A Non-B, dan akhirnya disepakati untuk
diberi nama hepatitis C setelah diketahui macam virusnya, timbul permsalahan baru,
karena juga dapat menimbulkan berbagai macam manifestasi klinis.
Dengan ditemukan hepatitis C yang mempunyai ciri yang sama dengan
hepatitis B, tetapi memiliki kronisitas yang lebih tinggi, perlu dibahas secara umum
hepatitis C (riwayat, etiologi, insidensi, cara penularan), dan berbagai manifestasi
klinis yang secara khusus ditinjau kejadiannya di Indonesia berdasar hasil penelitian
yang telah dilakukan.
V.1.1. Riwayat Penyakit
Dengan ditemukannya hepatitis pascatranfusi (HPT) sekitar tahun 1970, maka
dianggap penyakit ini identik dengan hepatitis virus B (HVB). Karena waktu itu
8
dianggap hanya HVB sajalah sebagai penyebabnya. Setelah WHO pada tahun 1974
menganjurkan uji saring darah donor terhadap HBsAg, kasus HPT memang
berkurang, tetapi tidak dapat hilang sama sekali, meskipun telah dilakukan uji saring
terhadap HBsAg dengan metode yang paling peka, ternyata kemudian sampai 90%
ditemukan kasus HPT. Setelah uji saring HBsAg dengan metode yang paling peka,
ternyata bukan disebabkan oleh hepatitis virus B maupun oleh virus A, meskipun
gejala kliniknya menyerupai kedua penyakit tersebut. Oleh karena waktu itu belum
diketahui jenis virus penyebabnya, maka disepakati untuk diberi nama Hepatitis Virus
Non-A Non-B.
Setelah ditemukan ada dua macam virus sebagai HNANB, maka kemudian
disepakati untuk mnama Hepatitis Virus C (HVC) pada HNANB yang transmisinya
melalui produk darah atau secara parenteral, dan Hepatitis Virus E (HVE) pada
HNANB yang transmisinya melalui air atau sumber air (water borne). Kesepakatan
ini diperkukuh lagi setelah ditemukan macam virus dari HVC oleh kelompok para
peneliti dari “Chiron Corporation di California”.
V.1.2. Etiologi
Sampai bertahun-tahun lamanya belum ditemukan macam virus dari HNANB,
dan belum ada pertanda serologis yang khas untuk mendeteksinya. Sehingga untuk
membuat diagnosis hanya dengan menyingkirkan (eksklusi) kemungkinan infeksi
HVA dan HVB, juga terhadap virus lainnya misalnya terhadap virus Coxsackie B,
Epstein Barr, dan Cytomegalovirus.
Sampai akhirnya pada tahun 1988 para peneliti dari Chiron Corporation di
California telah menemukan virus hepatitis baru, yang disebut hepatitis virus C
(HVC), ditemukan pada penderita HNANB yang transmisinya melalui darah atau
produk darah. Genom virus ini merupakan untaian RNA tunggal, yang panjangnya
10000 nukleotida. HVC mengandung selubung lipid dengan diameter 50-60 nm dan
sensitive terhadap pelarut organic misalnya kloroform. Antigen virus mengandung
363 asam amino. Anti HCV telah ditemukan pada serum penderita HNANB
pascatranfusi sebanyak 60-90%. Dengan demikian sejak saat ini HNANB yang
9
transmisinya parenteral, disebut HVC. Karena itu terhadap setiap donor darah harus
dilakukan uji saring, tidak hanya terhadap HBsAg saja, tetapi harus juga dilakukan
terhadap HVC. Dan HNANB yang transmisinya secara endemis atau peroral
kemudian dikenal menjadi HVE, umumnya memiliki prognosis baik.
Virus hepatitis C adalah virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Virus ini
memiliki partikel untuk menyelimuti untaian RNA yang panjangnya 9600 basa
nukleotida. Genom VHC terdiri dari protein structural (C, E1 dan E2) dan protein non
structural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A dan NS5B) yang terletak di dalam
poliprotein 5’NTR dan 3’NTR. Protein non-struktural dan RNA virus hepatitis C
telah terbukti ditemukan pada hati pasien yang terinfeksi virus hepatitis C sehingga
membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus hepatitis C.
Saat ini VHC telah berhasil diidentifikasi memiliki 7 genotipe dengan 67
subtipe, akan tetapi masih belum ada kesepakatan secara internasional sehingga tetap
menggunakan pembagian 6 genotipe dengan 50 subtipe untuk memudahkan diagnosis
dan tatalaksana. Pemeriksaan genotype berguna untuk menentukan durasi terapi dan
memperkirakan respons terapi. Genotype 1a dan 1b paling sering dijumpai, meliputi
hampir 60% infeksi VHC, predominan di wilayah Eropa, Amerika Utara dan Jepang.
Genotype 2 lebih jarang dijumpai dan umumnya berhubungan dengan faktor risiko
infeksi VHC dari tranfusi darah. Genotype 3 banyak dijumpai di wilayah Asia
Tenggara sedangkan genotype 4 banyak dijumpai di Timur Tengah, Mesir, Afrika
Utara dan Afrika Tengah. Genotype 5 hanya dijumpai di wilayah Afrika Selatan
sedangkan genotype 6 tersebar merata di seluruh wilayah Asia. Genotype 7 dijumpai
di Kanada, Belgia dan kemungkinan di Afrika Tengah.
V.1.3. Insidensi
Sejak tahun 1982 HNANB mulai masuk ke dalam system pelaporan kesakitan
dan kematian di EDC (Centers of Disease Control). Sejak itu telah dilaporkan sekitar
4000 kasus per tahun, dan insidensinya sebesar 1,6 per 100000 penduduk. Insidensi
ini hanya menggambarkan sebanyak 7% dari seluruh hepatitis virus yang dilaporkan
10
ke EDC. Angka yang kecil ini diduga disebabkan beberapa kasus yang tidak
dilaporkan, selain itu juga karena tidak dilakukan pemeriksaan serologic.
Kemungkinan angka yang sebenarnya diduga sekitar 20-40% dari seluruh kasus
hepatitis akut.
HVC telah banyak dilaporkan di seluruh dunia, dan pada saat ini diperkirakan
sekitar 100 juta pengidap kronik HNANB di dunia. Sekitar 175ribu kasus baru
dilaporkan dari Amerika dan Eropa, dan sekitar 350ribu pula dari Jepang. Kejadian
HVC akut sangat bervariasi dan tergantung kepada lokasi geografis.
Di Jakarta dilaporkan kejadian HVC akut merupakan urutan kedua setelah
HVA akut dan jauh diatas HVB akut. Berbeda dengan laporan di RS Hasan Sadikin
Bandung yang menemukan 28,3% kasus penyakit hati kronik karena HVC.
V.1.4. Kelompok Risiko Tinggi
Angka kejadian HVC akan lebih tinggi pada kelompok risiko tinggi. Berdasar
laporan hasil penelitian, diperoleh data mereka yang dapat digolongkan kelompok
risiko tinggi ialah
- Penerima tranfusi darah atau produk darah (resipien)
- Yang sering menggunakan obat-obat intravena (intravena drug users/abusers)
- Tenaga medis/paramedic yang sering kontak dengan darah atau komponen
darah
- Penderita yang mendapat hemodialisa dan anggota staf ruang hemodialisis
V.1.5. Cara Penularan
Pada umumnya cara penularan HVC adalah parenteral. Semula penularan
HVC dihubungkan dengan tranfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik.
Tetapi setelah ditemukan bentuk virus dari hepatitis C, makin banyak laporan
mengenai cara penularan lainnya, yang umumnya mirip dengan cara penularan HVB.
11
Penularan horizontal
Di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang penularan HVC terjadi
terutama melalui cara parenteral, yaitu tranfusi darah atau komponen produk
darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara intravena.
1. Secara kontak
Banyak dilaporkan mengenai penularan secara kontak. Penularan
secara kontak erat hubungannya dengan penggunaan bersama alat cukur, sikat
gigi, handuk di dalam keluarga. Dilaporkan penularan intrafamilial, yaitu
terjadinya kontak antara orang demi orang di dalam keluarga. Penularan HVC
secara intrafamilial dapat terjadi melalui penularan horizontal atau vertical.
Penularan vertical kemungkinannya lebih sedikit bila dibanding HVB.
Berdasar laporan penelitian terhadap 42 penderita HVC kronik aktif, dan dari
114 anggota keluarga yang diperiksa, ditemukan 34 (82%) yang mengandung
Anti-HCV positif.
2. Transmisi seksual
Kontak langsung antara pasangan suami-istri penderita HVC dapat
terjadi. Dilaporkan kejadian Anti HCV positif sebanyak 11% pada 140
individu yang mempunyai kontak seksual atau serumah dengan mereka yang
menderita HVC atau mempunyai riwayat partner heteroseksual yang multiple.
Laporan lain menyatakan, ditemukan 4,7% Anti HCV positif pada 191
penderita heteroseksual yang memiliki riwayat penyakit kelamin. penularan
HVC pada individu homoseksual lebih sedikit dibanding HVB.
3. Transmisi sporadic (Non parenteral)
Karena ditemukannya anti HCV pada donor darah menunjukkan
bahwa HVC dapat ditularkan non-parenteral. Penularan ini disebut juga
penularan secara sporadic (community acquired), dimana tidak terdapat
riwayat tranfusi darah atau penggunaan obat-obatan intravena. Hampir
12
setengah kasus penularan sporadic ini ditemukan Anti HCV positif setelah 6
minggu serangan dan sisanya 40% positif setelah 6 bulan. Mungkin juga
transmisi parenteral yang tidak jelas melalui darah atau kontak seksual,
merupakan mekanisme penularan sporadic.
Penularan vertical
Penularan vertical adalah penularan dari seorang ibu pengidap atau
penderita HVC kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau
beberapa saat setelah persalinan. Dari pemeriksaan serologis Anti HCV
selama 24 bulan terhadap 232 wanita partus di Hongkong bersama 234 bayi
mereka dilakukan pemeriksaan. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan 17
dari 232 wanita tersebut (7,3%) dan 7 dari bayinya (3,0%) yang Anti HCV
positif. Disini mungkin terjadi transmisi vertical dari seorang ibu kepada
bayinya.
V.1.6. Perjalanan Alamiah Infeksi Virus Hepatitis C
Masa inkubasi VHC berkisar antara 14-180 hari (± 45 hari). Manifestasi klinis
infeksi hepatitis C akut bervariasi mulai dari asimtomatik (80%) sampai bergejala
(20%) baik ringan maupun berat. Gejala klinik yang sering dijumpai adalah malaise,
letih, anoreksia, ikterik, hepatomegali, dan peningkatan kadar enzim alanine
aminotransferase. Apabila setelah 6 bulan pascapaparan, anti-HCV dan RNA VHC
(HVC RNA) masih terdeteksi di dalam darah maka didiagnosis sebagai hepatitis C
kronik.
Hampir 80% pasien hepatitis C akut akan menetap menjadi hepatitis C kronik.
Faktor yang meningkatkan risiko kronisitas meliputi jenis kelamin laki-laki, usia > 25
tahun saat mengalami infeksi, asimptomatik, etnis Afrika-Amerika, koinfeksi dengan
HIV, kondisi imunosupresi, konsumsi alcohol berat, obesitas, keberadaan resistensi
insulin dan diabetes mellitus tipe 2. Progresifitas hepatitis C kronik berjalan lambat,
10-20% akan berkembang menjadi sirosis hati dalam kurun waktu 15-20 tahun dan
13
setelah menjadi sirosis hati sebanyak 1-5% per tahun berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler (KHS). Angka mortalitas akibat komplikasi penyakit sirosis hati terkait
infeksi hepatitis C kronik sekitar 4% per tahun. Manifestasi ekstrahepatik yang
berhubungan dengan keberadaan infeksi hepatitis C kronik adalah krioglobulinemia,
lichen planus, porphyria cutaneus tarda, limfositik sialodenitis dan glomerulonefritis
membranosa. Selain itu juga didapatkan adanya hubungan antara limfoma non-
hodgkin dan infeksi hepatitis C kronik.
VI. Diagnosis dan Pengkajian Awal Pra-terapi
VI.1. Diagnosis
Pada infeksi hepatitis C akut, HCV RNA dapat terdeteksi dalam 7-10 hari
setelah paparan, kemudian anti-HCV mulai dapat terdeteksi di dalam darah 2-8
minggu setelah paparan. Saat diagnosis awal hepatitis C akut, pemeriksaan anti-HCV
positif hanya ditemukan pada sekitar 50% pasien. Diagnosis hepatitis C akut dapat
ditegakkan jika terjadi serokonversi anti-HCV pada pasien yang sebelumnya telah
diketahui anti-HCV negative, oleh karena tidak adanya penanda serologi yang dapat
membuktikan infeksi akut VHC. Pada kasus pasien dengan gejala sesuai (alanine
aminotransferase (ALT) >10x nilai batas normal, ikterik) tanpa adanya riwayat
penyakit hati kronik atau penyebab lain hepatitis akut, dan/atau sumber penularan
dapat diidentifikasi maka dapat dicurigai hepatitis C akut, meskipun 80% infeksi
hepatitis C akut bersifat asimtomatik.
Diagnosis hepatitis C kronik dapat ditegakkan apabila anti-HCV dan HCV
RNA tetap terdeteksi lebih dari 6 bulan sejak terinfeksi disertai dengan gejala-gejala
penyakit hati kronik.
VI.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi anti-HCV dengan menggunakan
tekhnik enzyme linkage immunosorbent assay (ELISA) atau chemiluminescent
immunoassay (CLIA). Apabila dari pemeriksaan ELISA atau CLIA didapatkan hasil
14
anti-HCV positif makan seseorang dapat dinyatakan terinfeksi virus hepatitis C dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA.
Mengingat masa serokonversi anti-HCV 5-10 minggu setelah paparan
sehingga pemeriksaan anti-HCV saja dapat menyebabkan terjadinya misdiagnosis
pada sekitar 30% kasus hepatitis C akut. Selain itu, pada pasien dengan
imunodefisiensi (pasien HIV, pasien hemodialisis dan penggunaan obat-obat
imunosupresan) pemeriksaan anti-HCV dapat memberikan hasil negative palsu. Pada
kondisi tersebut atau apabila kecurigaan infeksi hepatitis C cukup besar maka
diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan HCV RNA. Pemeriksaan HCV
RNA dengan real-time PCR dapat mendeteksi keberadaan jumlah virus VHC sampai
muatan virus minimal <50 IU/mL untuk dual therapy dan <15 IU/mL untuk triple
therapy. Pemeriksaan ini penting untuk menegakkan diagnosis maupun pemantauan
terapi antivirus.
Pada infeksi hepatitis C kronik didapatkan bukti anti-HCV dan HCV RNA
positif disertai tanda-tanda hepatitis kronik. Interpretasi hasil anti-HCV dan HCV
RNA dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Interpretasi hasil anti-HCV dan HCV RNA
Anti-HCV HCV RNA Interpretasi
Positif Positif Akut atau kronis bergantung pada gejala klinis
Positif Negative Resolusi VHC; Status infeksi tidak dapat ditentukan
(mungkin dalam status intermittent viremia)
Negative Positif Infeksi VHC akut awal; VHC kronik pada pasien
dengan status imunosupresi; Pemeriksaan HCV RNA
positif palsu
Negative Negative Tidak terinfeksi VHC
15
VI. 3. Pengkajian Sebelum Pemberian Terapi
a) Mencari penyebab lain dari penyakit hati kronik
Sebelum memulai terapi antivirus perlu dilakukan pengkajian terlebih
dahulu. Penilaian terhadap kemungkinan adanya koinfeksi dengan virus
hepatitis B (VHB) dan HIV, mencari kemungkinan penyakit komorbid lain
seperti penyakit hati alcohol, penyakit hati autoimun dan non-alcohol fatty
liver disease (NAFLD). Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan untuk
menilai fungsi hati antara lain pemeriksaan kadar alanine aminotransferase
(ALT), aspartate aminotransferase (AST), gamma-glutamyl transpeptidase
(GGT), alkali fosfatase, bilirubin, waktu protrombin, albumin, globulin dan
darah perifer lengkap.
b) Menilai derajat keparahan penyakit hati kronik
Identifikasi derajat keparahan penyakit hati kronik atau sirosis hati
penting untuk menilai prognosis, respon terapi dan kesintasan karsinoma
hepatoseluler. Pemeriksaan awal menggunakan ultrasonografi (USG)
abdomen dilakukan untuk mengidentifikasinya. Biopsy hati merupakan baku
emas untuk menilai derajat nekroinflamasi (grading) dan fibrosis (staging)
hati. Menilai derajat fibrosis hati pada infeksi hepatitis C kronik penting
dalam membuat keputusan untuk memulai terapi antivirus dan juga
menentukan prognosis. Beberapa pemeriksaan penanda fibrosis seperti
Aspartate Aminotransferase-Platelet Ratio index/APRI, FIBROSpect II,
Hepascore, Fibrometer, FIB-4 dan Fibrotest juga dapat digunakan untuk
menilai derajat fibrosis. Pemeriksaan non-invasif yang lazim dilakukan di
Indonesia adalah USG, transient elastography (fibroscan) dan Aspartate
Aminotransferase-Platelet Ratio index/APRI.
c) Menilai muatan virus HCV RNA dan genotype virus
Penilaian muatan virus HCV RNA wajib bagi semua pasien yang akan
mendapatkan terapi antivirus. Pemeriksaan muatan virus HCV-RNA harus
16
menggunakan tekhnik real-time PCR (nilai deteksi terendah <50 IU/Ml untuk
dual therapy dan <15 IU/mL) dan dinyatakan dalam satuan IU/mL
Pemeriksaan genotype mutlak diperlukan untuk menentukan regimen
terapi, durasi terapi dan memprediksi respons terapi. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan menggunakan berbagai teknik seperti direct sequence analysis,
reverse hybridization, dan genotype specific real-time PCR. Saat ini
pemeriksaan genotype yang tersedia sudah mampu mengidentifikasi secara
akurat 6 genotipe pada infeksi hepatitis C kronik.
VII. Diagnosis banding
Hepatitis yang disebabkan oleh virus nonhepatotropik dapat menyerupai
bentuk ringan dari hepatitis virus akut. Sejumlah obat-obatan yang berkaitan dengan
kerusakan sel hati juga dapat menyerupai hepatitis akut. Obat-obatan yang dapat
menyebabkan kerusakan tersebut antara lain adalah antihipertensi, antiinflamasi
nonsteroid, dan obat antituberkulosis. Penghentian obat-obatan ini akan menurunkan
gejala. Asetaminofen dapat menyebabkan gagal hati fulminan bila diminum dalam
dosis yang berelbihan. Obat ini akan menimbulkan masalah khususnya pada
alkoholik, dimana akan terjadi kerusakan hati yang berat bila dengan mengkonsumsi
secara teratur sedikitnya 5 gram per hari.
Kerusakan hati akibat alcohol itu sendiri juga harus dipikirkan sebagai
diagnosis banding. Pada hepatitis alkoholik, tidak seperti hepatitis virus akut,
aminotransferase umumnya meningkat kurang dari 10 kali harga di atas normal,
dengan peningkatan AST yang tidak proporsional dengan ALT.
Gagal jantung, baik kanan maupun kiri, dapat menyebabkan kerusakan hati
akut sekunder terhadap stasis. Pemeriksaan fisik dapat menolong kita untuk
membedakan penyebab kardiak.
Kolestasis akut atau obstruksi bilier, kadang-kadang dapat dikacaukan dengan
hepatitis virus akut, tetapi adanya nyeri billier dengan temuan ultrasonografi dapat
untuk membedakan keduanya.
17
VIII. Komplikasi
Hepatitis virus akut dapat memberikan komplikasi berupa: (1) kolestasis, (2)
gagal hati fulminan atau gagal hati subakut, dan (3) hepatitis aplastic anemia
syndrome.
VIII. Penatalaksanaan
VIII.1. Terminologi
Penatalaksanaan hepatitis C kronik lebih ditujukan karena seringkali pasien
hepatitis C datang ke pusat pelayanan kesehatan sudah dalam fase kronik. Di bawah
ini adalah tabel mengenai terminology yang penting untuk diketahui sebelum
memulai tatalaksana hepatitis C.
Terminologi pada tatalaksana hepatitis C kronik
Terminologi Singkatan Definisi
Peg-IFN/RBV (Dual Therapy)
Low Viral Load LVL HCV RNA < 400.000 IU/mL
High Viral Load HVL HCV RNA > 400.000 IU/mL
Rapid Virological
Response
RVR Muatan virus HCV RNA < 50 IU/mL atau tidak
terdeteksi setelah pemberian terapi antivirus
selama 4 minggu
Early Virological
Response
EVR Muatan virus RNA masih terdeteksi pada
minggu ke 4 terapi, akan tetapi tidak lagi
terdeteksi pada minggu ke 12 sampai akhir
Delayed Virological
Response
DVR Terdapat penurunan HCV RNA (IU/mL) lebih
dari 2 log10 nilai awal akan tetapi HCV RNA
masih terdeteksi setelah terapi antivirus selama
12 minggu, dan tidak lagi terdeteksi setelah
pemberian terapi antivirus selama 24 minggu
Null Response NR Terdapat penurunan HCV RNA (IU/mL) kurang
dari 2 log10 dari nilai awal setelah pemberian
18
terapi antivirus selama 12 minggu
Partial Response PR Terdapat penurunan HCV RNA (IU/mL) lebih
dari 2 log10 dari nilai awal setelah pemberian
terapi antivirus selama 12 minggu, akan tetapi
HCV RNA masih tetap terdeteksi pada minggu
ke 24 pemberian terapi
Breakthrough BT Kemunculan kembali HCV RNA setelah tidak
terdeteksi atau terjadi peningkatan kembali HCV
RNA 1 log10 dari nadir selama terapi antivirus
diberikan
End Of Treatment
(virological)
EOTR Tidak terdeteksinya HCV RNA pada akhir
pemberian terapi antivirus
Sustained
virological response
SVR Muatan virus HCV RNA < 50 IU/mL atau tetap
tidak terdeteksi setelah 24 minggu setelah
pemberian terapi antivirus selesai
Relapse Pada akhir terapi antivirus HCV RNA tidak
terdeteksi, akan tetapi kembali terdeteksi setelah
terapi antivirus dihentikan
Peg-IFN α2b/RBV + BOC (Triple Therapy)
Early Response ER Muatan virus HCV RNA tidak lagi terdeteksi
pada minggu ke-8 pemberian terapi antivirus
(setelah 4 minggu boceprevir diberikan)
Late Response LR Muatan virus HCV RNA masih terdeteksi pada
minggu ke-8 pemberian terapi antivirus tetapi
sudah tidak lagi terdeteksi pada minggu ke-12
Lower Limit of
HCV RNA
quantification
LoQ Muatan virus HCV RNA ≤ 25 IU/mL selama
pengobatan
19
Lower Limit of
Detection
LoD Muatan virus HCV RNA 10-15 IU/mL selama
pengobatan
VIII.2. Tujuan dan Indikasi Pemberian Terapi Antivirus
Tujuan pemberian antivirus adalah mencegah munculnya komplikasi penyakit
hati fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoseluler dan kematian. Target terapi antivirus
adalah pencapaian SVR. Untuk memantau kemungkinan mencapai suatu SVR perlu
dilakukan pemeriksaan HCV RNA secara berkala. Apabila kondisi RVR tercapai
maka dapat diperkirakan 72,5%-100% SVR akan tercapai.
Pasien hepatitis C genotype 1, SVR dapat dicapai pada 46% pengguna Peg-
IFNα2a dan 42% pada pengguna Peg-IFNα2b. SVR dapat dicapai pada 76% pasien
genotype 2 dan sebesar 82% pada pasien genotype 3 baik dengan menggunakan Peg-
IFNα2a maupun Peg-IFNα2b. pencapaian SVR di Asia adalah sebesar 70% pada
pasien dengan genotype 1, 90% pada pasien dengan genotype 2/3, 65% pada pasien
dengan genotype 4 dan 80% pada pasien dengan genotype 6. Pencapaian SVR di
Indonesia adalah 81,5% pada pasien genotype 1, 90% pada pasien dengan genotype
2/3, dan 85,7% pada pasien dengan genotype 4.
Pemberian terapi antivirus dapat dipertimbangkan bagi pasien hepatitis C
kronik naïve dengan sirosis kompensata tanpa memandang nilai ALT dan tidak
memiliki kontraindikasi terhadap interferon alfa maupun ribavirin. Pemberian terapi
antivirus pada pasien dengan sirosis hati kompensata ditujukan untuk mengurangi
risiko komplikasi terjadinya sirosis hati dekompensata dan risiko terjadinya
karsinoma hepatoseluler.
VIII.3. Kontraindikasi Terapi
Kontraindikasi absolute pemberian terapi interferon (IFN) pada pasien
hepatitis C adalah depresi berat, psikotik atau riwayat psikotik, kejang yang tidak
terkontrol dan sirosis hati dekompensata. Adapun kontraindikasi relative meliputi
riwayat depresi, diabetes mellitus yang tidak terkontrol, hipertensi yang tidak
20
terkontrol, dan sebagainya. Berikut tabel yang menunjukkan kontraindikasi terapi
hepatitis virus C.
Tabel Kontraindikasi penggunaan Peg-Interferon alfa dan ribavirin
Kondisi Interferon alfa Ribavirin
Kontraindikasi
absolut
Depresi berat
Psikotik atau riwayat psikotik
Kejang yang tidak terkontrol
Sirosis hati dekompensata
Kehamilan
Gagal ginjal
Gagal jantung berat
Kontraindikasi
relatif
Riwayat depresi
Diabetes mellitus tidak
terkontrol
Hipertensi tidak terkontrol
Retinopati
Psoriasis
Autoimmune tiroiditis
Autoimmune hepatitis
Penyakit autoimmune lainnya
Penakit vascular yang
berat
Anemia
Penyakit jantung
iskemik
Perhatian
khusus
Netropenia (hitung neutrofil ≤
1.500 sel/μl)
Trombositopenia (jumlah
trombosit < 85.000/μl)
Transplantasi organ
Riwayat penyakit autoimmune
Keberadaan autoantibody tiroid
Usia > 70 tahun
VIII.4. Tatalaksana hepatitis akut
21
Tatalaksanan hepatitis c akut dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk
menunggunya terjadi resolusi spontan terutama pada pasien hepatitis C akut yang
simptomatik. Akan tetapi, pada pasien dengan genotype IL2B non-CC pemberian
terapi antivirus dapat diberikan lebih awal yaitu 12 minggu karena kemungkinan
terjadinya resolusi spontan lebih rendah. Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN
dapat diberikan dalam tatalaksana hepatitis akut. Durasi terapi hepatitis C akut pada
genotype 1 dilanjutkan selama 24 minggu dan pada genotype 2 atau 3 dilanjutkan
selama 12 minggu. Penambahan ribavirin tidak meningkatkan pencapaian SVR pada
pasien hepatitis C akut yang sedang diterapi dengan Peg-IFN.
VIII.5. Pilihan terapi pada Infeksi Hepatitis C Kronik
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pilihan terapi standar untuk hepatitis C
kronik adalah terapi kombinasi antara Pegylated Intereron-α (Peg-IFNα) dan
ribavirin (RBV). Terapi ini memberikan hasil yang kurang memuaskan pada pasien
pada genotype 1 karena hanya 40-50% pasien yang berhasil mencapai sustained
virological response (SVR) sedangkan pada genotype 2 dan 3 sekitar 80% dapat
mencapai SVR. Kemajuan yang dicapai pada terapi hepatitis C kronik adalah
penemuan agen direct acting antivirus (DAA) yaitu boceprevir (BOC), telaprevir
(TVR), simeprevir, sofosbuvir, dll. Akan tetapi sampai saat ini yang tersedia di
Indonesia adalah boceprevir.
VIII.5.1. Mekanisme Kerja Antivirus
Untuk lebih memahami cara kerja dari obat antivirus yang digunakan pada
pengobatan hepatitis C kronik akan dibahas secara singkat mekanisme kerja masing-
masing obat.
VIII.5.1.1. Mekanisme Kerja Pegylated Interferon (Peg-IFN)
Interferon merupakan protein yang dihasilkan oleh tubuh dan bersifat
sebagai imunomodulator. Mekanisme kerja interferon adalah menghambat
berbagai tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk dalam sel tubuh,
22
uncoating, sintesis mRNA dan sintesis protein. Pegylated ditambahkan dalam
formula obat untuk membuat interferon bertahan lebih lama di dalam tubuh.
Manfaat lainnya meliputi penurunan toksisitas, meningkatkan stabilitas obat,
perlindungan terhadap proteolisis dan memperbaiki daya larut. Pemberian
Peg-IFN 1x/minggu juga membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan
memberikan kenyamanan bagi pasien. Terdapat beberapa tipe Peg-IFN,
namun yang sering digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-
IFNα2a dan Peg-IFNα2b.
Perbedaan antara Peg-IFNα2a dan Peg-IFNα2b selain strukturnya
adalah waktu paruh absorpsi, aktu paruh eliminasi, dan waktu konsentrasi
maksimal ditemukan lebih lama pada Peg-IFNα2b. beberapa studi
menunjukkan keunggulan Peg-IFNα2a dibandingkan Peg-IFNα2b meskipun
ada juga studi yang menunjukkan tidak adanya perbedaan efektivitas
keduanya dalam terapi hepatitis C kronik.
VIII.5.1.2. Mekanisme Kerja Ribavirin
Mekanisme kerja ribavirin masih belum sepenuhnya dimengerti. Saat
ini terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme kerja ribavirin yaitu:
Menghambat langsung replikasi VHC
Menghambat enzim inosine monophosphate dehydrogenase pada tubuh
pasien
Menginduksi mutagenesis RNA virus
Imunomodulasi melalui induksi sel respon imun T-helper-1 (Th1)
Ribavirin cepat diabsorpsi (waktu paruh sekitar 2 jam) dan didistribusikan
secara luas ke seluruh tubuh setelah pemberian oral, metabolism utama
terjadi di ginjal.
VIII.5.1.3. Mekanisme kerja DAA
Saat ini triple therapy dengan menambahkan suatu DAA yaitu
boceprevir (BOC) dalam kombinasi Peg-IFN dan ribavirin dapat menjadi
23
pilihan terapi pada hepatitis C kronik dengan genotype 1. Adapun tujuan
pemberian triple therapy adalah untuk meningkatkan efikasi dalam mencapai
SVR.
Boceprevir (BOC) adalah suatu direct acting antivirus yang bersifat
NS3/4A protease inhibitor terhadap virus hepatitis C. NS3 serine protease
adalah suatu enzim yang mengkatalisasi proses post-transkripsi protein yang
penting untuk replikasi virus hepatitis C dan NS4A adalah kofaktor dari NS3
untuk mempercepat proses tersebut. Kedua obat ini secara langsung
menghambat kerja enzim dan kofaktor tersebut sehingga akan menekan proses
replikasi virus hepatitis C. Selain itu dengan menekan NS3 akan menginisiasi
dan memperbaiki mekanisme antivirus endogen oleh jalur IFN.
Sofasbuvir adalah suatu direct acting antivirus generasi kedua yang
bersifat NS5B inhibitor terhadap virus hepatitis C. Sofasbuvir merupakan obat
antivirus oral pertama yang penggunaannya tidak berbasis regimen Peg-IFN
akan tetapi sampai saat ini sofasbuvir belum tersedia di Indonesia.
VIII.5.2. Pilihan Terapi pada genotype 1
Pada infeksi hepatitis C kronik genotype 1 dapat menggunakan
kombinasi dual therapy Peg-IFN dan ribavirin atau kombinasi triple therapy
dengan ditambahkan boceprevir (BOC). Untuk ras Asia termasuk populasi
Indonesia yang kebanyakan memiliki genotip 1 dengan IL28B alel CC
menunjukkan respon yang baik terhadap pemberian dual therapy. Maka
pilihan utama terapi hepatitis C kronik tetap menggunakan dual therapy.
Pemberian triple therapy pada pasien naïve genotype 1 dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan IL28B alel non CC. sedangkan, untuk pasien naïve
genotype 4 dual therapy tetap menggunakan terapi standar dengan dosis
ribavirin 15 mg/kg/hari.
Dosis Peg-IFN-α2a yang diberikan 180 μg/minggu sedangkan dosis
Peg-IFN-α2b adalah 1,5 μg/kg/minggu. Baik pada dual therapy maupun triple
therapy dosis ribavirin untuk genotype 1 disesuaikan dengan jenis Peg-IFN
24
yang digunakan dan berat badan. Dosis boceprevir 800 mg/8 jam dan
sebaiknya diberikan bersamaan dengan makanan.
Tabel pengaturan dosis ribavirin untuk genotype 1
Dosis ribavirin berdasarkan berat badan (Kg)
40-65 >65-<75 ≥75-85 >85-105 >105
Dosis ribavirin (mg) (jika
diberikan bersamaan dengan
Peg-IFN-α2b)
800 1000 1000 1200 1400
Dosis ribavirin (mg) (jika
diberikan bersamaan dengan
Peg-IFN-α2a)
1000 1000 1200 1200 1200
VIII.5.3. Pilihan Terapi pada genotype 2, 3, 5, dan 6
Pilihan terapi pada pasien hepatitis C kronik genotype 2, 3, 5, dan 6
adalah kombinasi Peg-IFN/RBV. Kedua jenis Peg-IFN dapat dijadikan pilihan
terapi. Pasien dengan genotype 2 dan 3 dapat mencapai angka SVR 76% dan
82% baik menggunakan Peg-IFNα2a maupun Peg-IFNα2b. Dosis Peg-IFNα2a
sebesar 180 μg/2 minggu dan dosis Peg-IFNα2b 1,5 μg/kg/minggu. Jenis
genotype menentukan dosis ribavirin yang diberikan. Dosis ribavirin yang
diberikan untuk genotype 5 dan 6 sebesar 15 mg/kg/hari. Pada genotype 2 dan
3, dosis ribavirin yang diberikan sebesar 800 mg/hari, akan tetapi pada kondisi
IMT > 25, usia tua, sindrom metabolic, fibrosis berat, resistensi insulin yang
dihubungkan dengan respon yang kurang baik makan dosis ribavirin yang
diberikan menjadi 15 mg/kg/hari. Sebelum pemberian Peg-IFN maupun
ribavirin harus memperhatikan ada atau tidaknya kontraindikasi mutlak
maupun relative. Pasien yang mendapatkan terapi Peg-IFNα maupun ribavirin
tidak diperbolehkan hamil selama terapi sampai 6 bulan pasca terapi.
VIII.5.4. Terapi pada Sirosis Hati Kompensata
25
Pemberian terapi antivirus direkomendasikan bagi pasien hepatitis C
kronik yang telah menderita sirosis hati selama tidak ada kontraindikasi
pemberian antivirus. Hal ini bertujuan untuk mencapai SVR dan menurunkan
insidensi terjadinya berbagai macam komplikasi akibat sirosis hati. Studi yang
ada menunjukkan tercapainya SVR pada pasien hati kompensata menurunkan
insidensi terjadinya sirosis hati dekompensata dan karsinoma hepatoseluler.
Meskipun peluang untuk mencapai SVR lebih rendah pada pasien dengan
sirosis hati dibandingkan pada pasien non-sirosis. Pemberian jenis dan dosis
terapi pada pasien hepatitis C dengan sirosis hati sama dengan pasien hepatitis
C non-sirosis.
Monitoring ketat (dua minggu sekali) salama pemberian terapi
antivirus harus dilakukan mengingat risiko terjadinya efek samping lebih
banyak timbul pada kondisi sirosis hati. Hal ini mungkin disebabkan karena
pada pasien sirosis hati telah terdapat hipertensi portal, hipersplenisme, kadar
trombosit dan leukosit yang rendah.
VIII.6. Monitoring Keberhasilan Terapi
Untuk menilai keberhasilan terapi pada hepatitis C kronik dengan melakukan
pemeriksaan muatan virus HCV RNA. Pada dual therapy, pemeriksaan HCV RNA
dilakukan pada awal terapi, minggu ke-4, 12, 24, akhir terapi antivirus dan 24 minggu
setelah terapi dihentikan.
Pada triple therapy menggunakan BOC, HCV RNA dinilai pada awal terapi,
minggu ke-4, 8, 12, 24, akhir terapi dan 24 minggu setelah terapi dihentikan.
VIII.7. Penilaian Efek Samping dan Antisipasi Efek Samping Obat
Penilaian efek samping terapi baik interferon maupun ribavirin harus
dilakukan setiap pasien datang control. Keluhan yang sering muncul seperti flu-like
symptoms, fatigue, sakit kepala dan demam dapat dijumpai pada 50% pasien
26
sedangkan gejala seperti depresi, iritabilitas dan insomnia dijumpai pada 22-31%
pasien. Parameter laboratorium untuk menilai keberadaan anemia, trombositopenia,
neutropenia, dan peningkatan ALT dinilai pada minggu ke-1, 2, dan 4 sejak awal
terapi dan selanjutnya dapat diulang dengan interval setiap 4-8 minggu. Thyroid
Stimulating Hormone (TSHs) dan kadar tiroksin dinilai pada awal terapi dan dapat
diulang apabila dijumpai tanda-tanda gangguan fungsi tiroid. Pasien harus diberikan
edukasi mengenai efek teratogenik ribavirin dan pentingnya menggunakan
kontrasepsi selama terapi sampai 6 bulan terapi diberikan.
Apabila didapatkan gejala neuropsikiatri berat atau jumlah neutrofil absolute
<750/mm3 atau jumlah trombosit <50.000/ mm3 maka perlu dilakukan penyesuaian
dosis Peg-IFN dan dilakukan monitoring ketat. Apabila menggunakan Peg-IFNα2a
dosis dapat diturunkan menjadi 135 μg/minggu dan selanjutnya menjadi 90
μg/minggu. Untuk dosis Peg-IFNα2b dapat diturunkan menjadi 1 μg/kg/minggu dan
selanjutnya menjadi 0,5 μg/kg/minggu. Terapi Peg-IFN harus segera dihentikan
apabila didapatkan kondisi jumlah neutrofil absolute <500/mm3 dan jumlah trombosit
<25.000/mm3. Apabila terdapat perbaikan jumlah neutrofil dan trombosit, terapi Peg-
IFN dapat dimulai kembali dengan melakukan penyesuaian dosis.
Apabila didapatkan keadaan anemia (Hb <10 g/dL) makan dosis ribavirin
perlu diturunkan menjadi 200 mg dan dilakukan penyesuaian dosis pada pemeriksaan
berikutnya. Pada kondisis Hb < 8,5 g/dL maka pemberian ribavirin dihentikan. Pada
kondisi eksaserbasi akut hepatitis (hepatitis flare) yang ditandai dengan adanya
peningkatan nilai ALT >10x dari batas normal dan infeksi bakteri berat (sepsis),
semua terapi harus dihentikan tanpa melihat jumlah neutrofil.
Pada pasien yang menggunakan triple therapy (Peg-IFN/RBV/BOC), efek
samping lebih sering timbul dibandingkan bila hanya kombinasi Peg-IFN/RBV.
Anemia yang timbul pada triple therapy lebih berat dibandingkan hanya dengan
kombinasi Peg-IFN/RBV. Apabila didapatkan kondisi anemia, maka diperlukan
penyesuaian dosis ribavirin (baik dual therapy maupun triple therapy). Apabila
muncul efek samping yang membahayakan dalam penggunaan boceprevir maka obat
tersebut harus dihentikan dan terapi dapat dilanjutkan hanya dengan dual therapy.
27
VIII.8. Penyesuaian dosis
Terdapat beberapa keadaan yang memerlukan penyesuaian dosis terapi,
seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel Penyesuaian dosis dual therapy
Kondisi Penyesuaian Dosis Terapi dihentikan
(Peg-IFNα2a & Ribavirin)
Absolute Neutrophil
Account (ANC)
<750/mm3 (Peg-IFNα2a
135 mcg)
<500/mm3
Platelet <50.000/mm3 (Peg-
IFNα2a 90 mcg)
<25.000//mm3
Hemoglobin <10 g/dL (ribavirin 600
mg)
<8,5 g/dL
Kreatinin N/A >2 mg/dL atau >176,8 μmol/L
ALT/AST N/A 2x baseline dan >10x batas atas
nilai normal
Billirubin Indirect 5 mg/dL atau >85,5
μmol/L (hanya ribavirin)
4 mg/dL atau >68,4 μmol/L
(selama > 4 minggu)
Bilirubin Direct N/A >2,5x batas atas nilai normal
ANC = (% Segmen + % Batang) x (White Blood Cell (K/μl))
VIII.9. Faktor yang Berperan Terhadap Keberhasilan Terapi
VIII.9.1. Kepatuhan Pasien
Kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi antivirus akan
meningkatkan angka keberhasilan mencapai SVR. Oleh karena itu sebelum
28
memulai pemberian terapi antiviral harus diberikan edukasi terlebih dahulu
kepada pasien mengenai jadwal pengobatan dan berbagai efek samping yang
dapat muncul selama terapi antivirus diberikan. Pasien juga dihimbau untuk
rutin control ke dokter untuk memantau efek samping obat dan mencegah
terjadinya putus obat akibat timbulnya efek samping yang tidak diinginkan.
Akses konsultasi dokter dan kemudahan mendapatkan pelayanan medis juga
akan membantu meningkatkan keberhasilan terapi antivirus.
VIII.9.2. Koreksi Ko-faktor
VIII.9.2.1. Berat Badan
Studi yang dilakukan oleh Bressler dkk menunjukkan bahwa
pasien dengan berat badan lebih ataupun obesitas dapat mempengaruhi
respons terhadap Peg-IFN/RBV meskipun sudah dilakukan
penyesuaian dosis berdasarkan berat badan dengan mekanisme yang
belum sepenuhnya dapat dimengerti. Sehingga diperlukan control
berat badan sebelum pemberian terapi antivirus untuk meningkatkan
keberhasilan terapi
VIII.9.2.2. Metabolisme Lipid
Siklus hidup virus hepatitis hepatitis C sangat berhubungan
dengan metabolisme lipid. Selain itu, menurut studi yang dilakukan
oleh Curtis dkk menunjukkan beberapa obat penurun kolesterol
memiliki efek inhibisi terhadap replikasi virus hepatitis C dan
meningkatkan respons terapi antiviral. Akan tetapi, studi yang
dilakukan oleh Shavakhi dkk menujukkan bahwa tidak ada perbedaan
muatan virus HCV RNA yang signifikan antara kelompok pasien yang
diberikan statin maupun placebo.
VIII.9.2.3. Konsumsi Alkohol
29
Konsumsi alcohol dapat mempengaruhi kepatuhan pasien
dalam menjalankan terapi antivirus. Sehingga disarankan kepada
pasien untuk menghentikan konsumsi alcohol sebelum memulai terapi
antivirus. Bagi pasien yang tidak bisa menghentikan kebiasaan minum
alcohol selama terapi antivirus diperlukan adanya dukungan dari
keluarga atau kelompok sosial.
VIII.9.2.4. Sindrom Metabolik
Keberadaan resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe 2 dapat
mempercepat progresifitas penyakit hati kronik dan perkembangan
menjadi hepatoseluler karsinoma. Resistensi insulin juga menurunkan
respons tubuh terhadap pengobatan Peg-IFN/RBV. Meskipun infeksi
hepatitis C tidak secara langsung menimbulkan sindrom metabolic
akan tetapi mampu mengganggu homeostasis glukosa melalui
beberapa mekanisme yang menyebabkan timbulnya resistensi insulin
hepatic maupun ekstrahepatik. Sehingga pada pasien hepatitis C
dengan sindrom metabolic diperlukan tatalaksana khusus baik dengan
perubahan pola hidup maupun pemberian obat-obatan. Studi yang
dilakukan oleh Aziz dkk dengan membagi kelompok pasien hepatitis
C dengan sindrom metabolic dan kelompok pasien hepatitis C tanpa
sindrom metabolic menunjukkan kelompok pasien hepatitis C tanpa
sindrom metabolic lebih banyak yang dapat mencapai SVR (72,2% vs
43,7%; p <0,05)
VIII.9.3. Terapi Suportif
VIII.9.3.1. Pemberian Hematopoietic Growth Factors
Efek samping hematologi (anemia, neutropenia, dan
trombositopenia) seringkali terjadi akibat pemberian antivirus pada
30
pasien dengan penyakit hati tahap lanjut. Ribavirin seringkali
menginduksi anemia hemolitik sedangkan interferon menginduksi
neutropenia. Saat ini, penggunaan hematopoietic growth factors
dianjurkan oleh karena dapat membantu dalam membatasi terjadinya
pengurangan (reduksi) dosis terapi. Terdapat beberapa hematopoietic
growth factors yang tersedia, yaitu eritropoietin rekombinan (EPO),
granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan trombopoietin
receptor agonist.
Eritropoietin Rekombinan (EPO)
Pemberian EPO dapat digunakan untuk mempertahankan kadar
hemoglobin selama pemberian terapi antivirus ditujukan untuk
menghindari reduksi dosis ribavirin. EPO dapat mulai diberikan
apabila kadar Hb < 10 g/dL dengan tujuan mempertahankan kadar Hb
10-12 g/dL. Meskipun sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai penggunaan EPO, dosis optimal, keuntungan pemberian,
risiko potensial dan efisiensi biaya pada terapi hepatitis C.
Trombopoietin Receptor Agonist
Pemberian terapi antivirus tidak harus dihentikan meskipun
ditemukan kadar trombositopenia dan pasien dengan kadar trombosit
yang rendah dapat memulai terapi antivirus tanpa adanya risiko
terjadinya perdarahan mayor. Saat ini ada 2 macam trombopoietin
receptor agonist yang tersedia yaitu romiplostim dan eltrombopag.
Eltrombopag lebih sering digunakan untuk meningkatkan kadar
trombosit pada pasien hepatitis C yang telah mengalami sirosis hati.
Eltrombopag juga sudah direkomendasikan oleh FDA digunakan untuk
mempertahankan kadar trombosit pada pasien hepatitis C yang
mengalami trombositopenia selama pemberian terapi yang berdasarkan
IFN.
31
Granulocyte Colony-Stimulating Factor (G-CSF)
Pemberian G-CSF dapat menginduksi produksi, diferensiasi,
pelepasan neutrofil dari sumsum tulang. Peningkatan hitung neutrofil
secara signifikan terjadi dalam 24 jam pemberian G-CSF. Pemberian
G-CSF dapat dipertimbangkan bila hitung neutrofil < 750/Μl, dosis
yang dianjurkan pada awal pemberian adalah 300 mcg yang diberikan
satu kali dalam seminggu secara subkutan dan selanjutnya dosis
disesuaikan dengan kebutuhan. Adapun tujuan pemberian G-CSF
adalah untuk mempertahankan hitung neutrofil ≥1000/μL. Efek
samping yang sering terjadi adalah nyeri otot, nyeri tulang, mual dan
muntah. Frekuensi terjadinya nyeri otot, nyeri tulang, dapat berkurang
dengan memberikan G-CSF dua hari sebelum atau sesudah pemberian
IFN. Apabila pasien neutropenia yang diterapi dengan G-CSF
mengalami demam, dyspnea dan infiltrasi paru maka harus dilakukan
evaluasi kemungkinan adult respiratory distress syndrome (ARDS).
Bila terbukti ARDS, maka pemberian G-CSF dihentikan sampai
gejala-gejala ARDS tidak ada.
VIII.9.3.2. Penatalaksanaan Depresi
Depresi merupakan salah satu efek samping yang sering
muncul pada pemberian terapi Peg-IFN/RBV dan juga menajdi salah
satu alasan terapi harus dihentiakan. Hal ini tentu sangat
mempengaruhi keberhasilan terapi antivirus. Oleh karena itu penting
dilakukan konsultasi kejiwaan terlebih dahulu sebelum dimulai
pemberian terapi antivirus. Pasien yang menunjukkan gejala depresi
sebaiknya mendapatkan terapi terlebih dahulu dan selama pemberian
terapi Peg-IFN/RBV harus mendapatkan pengawasan dari seorang
dokter spesialis kedokteran jiwa atau konsultan psikosomatis. Bila
32
diperlukan dapat diberikan terapi antidepresan selama pemberian Peg-
IFN/RBV untuk mencegah putus obat antivirus.
VIII.10. Monitoring Post Terapi pada Pasien yang Telah Berhasil Mencapai
SVR
Pasien hepatitis C kronik non-sirosis yang berhasil mencapai SVR
maka perlu dilakukan pemeriksaan HCV RNA pada minggu ke-48 post terapi.
Jika didapatkan nilai HCV RNA negative maka dinyatakan bebas infeksi
VHC dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan HCV RNA lagi. Mengingat
kejadian hipotiroidisme dapat muncul pasca terapi dihentikan maka 1-2 tahun
pasca terapi perlu dilakukan pemeriksaan TSH.
Pasien hepatitis C kronik dengan sirosis yang berhasil mencapai SVR
tetap dalam monitor dan evaluasi surveilans karsinoma hepatoseluler dengan
AFP dan ultrasonografi abdominal setiap 6 bulan. Pemeriksaan endoskopi
berkala untuk menilai keberadaan varises esophagus perlu dilakukan apabila
terdeteksi adanya varises esophagus pra-terapi.
Evaluasi kemungkinan terajdinya infeksi ulang dapat dilakukan
apabila pasien berisiko tinggi untuk terinfeksi hepatitis C kembali. Angka re-
infeksi hepatitis C pada pasien yang telah selesai menjalankan terapi adalah 1-
5%/tahun.
IX. Prognosis
Sebagian besar sembuh sempurna, manifestasi klinik/perjalanan penyakit
bervariasi tergantung umur, virus, gizi dan penyakit lain yang menyertai. Hepatitis B:
90% sembuh sempurna, 5-10% menjadi kronis, jangka panjang menjadi sirosis atau
kenker hati primer. Hepatitis C: 80-90% menjadi kronis, 60-90% kasus Hepatitis
pascatranfusi adalah C.
top related