repository.unja.ac.id transmigrasi di provinsi... · ii transmigrasi di provinsi jambi...
Post on 29-Sep-2020
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI
(KESEJAHTERAN DAN SEBARAN PERMUKIMAN
GENERASI KEDUA TRANSMIGRAN)
Dr. H. YULMARDI, S.E., MS.
PENERBIT CV. PENA PERSADA
ii
TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI
(KESEJAHTERAN DAN SEBARAN PERMUKIMAN
GENERASI KEDUA TRANSMIGRAN)
Penulis
Dr. H. Yulmardi, S.E., MS.
ISBN : 978-623-7699-02-6
Desain Sampul :
Retnani Nur Briliant
Penata Letak :
Fajar T. Septiono
Penerbit CV. Pena Persada
Redaksi :
Jl. Gerilya No. 292 Purwokerto Selatan, Kab. Banyumas
Jawa Tengah
Email : penerbitpenapersada@gmail.com
Website : www.penapersada.com
Phone : 0857-2604-2979
Anggota IKAPI
All right reserved
Cetakan pertama : 2019
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara
apapaun tanpa izin penerbit.
iii
KATA PENGANTAR
Transmigrasi merupakan salah satu bentuk perpindahan penduduk yang berlangsung di Indonesia. Pelaksanaan program transmigrasi telah berjalan cukup lama, dimulai pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, dengan nama kolonisasi sampai zaman reformasi pada saat ini. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda (1905-1941) sasaran utamanya selain untuk mengurangi kepadatan penduduk Pulau Jawa, juga untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di daerah-daerah luar Pulau Jawa. Selanjutnya pada masa pemerintahan Jepang (1942-1945), transmigrasi lebih diarahkan untuk memindahkan penduduk secara paksa dari pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia untuk bekerja paksa bagi keperluan Jepang (Swasono dan Singarimbun 1986, Junaidi, 2012).
Pembangunan transmigrasi telah berhasil menciptakan kesempatan kerja, pemerataan pembangunan di daerah, dan membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru. Berdasarkan data dari Pusdatin Ketransmigrasian (2012), sejak Pra Pelita sampai dengan tahun 2011, telah membuka 4.537.034 hektar lahan pertanian baru sebagai lapangan usaha bagi 2,3 juta keluarga yang dimukimkan atau sekitar 8,8 juta orang. Jenis-jenis usaha yang tercipta seperti perdagangan, jasa dan industri rumah tangga turut berkembang sejalan dengan pertumbuhan produksi pertanian dipermukiman transmigrasi. Selama ini transmigrasi telah
menciptakan 3.325 desa definitif yang sebagian diantaranya telah berkembang pesat dan menjadi pusat pertumbuhan seperti ibukota kecamatan, kawasan Kota Terpadu Mandiri (KTM), kawasan agropolitandan sentra produksi tanaman pangan ataupun perkebunan (Widaryanto, 2012).
Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan bentukan transmigrasi masih memiliki potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan lebih lanjut. Pusat pertumbuhan merupakan tempat berkumpulnya kegiatan yang mampu berfungsi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi serta mempunyai keterkaitan produksi baik vertikal maupun horizontal. Menurut Najiyati (2005) memperlihatkan bahwa 37 persen permukiman transmigrasi pola pangan berkembang menjadi sentra produksi pangan dengan sumbangsih produksi padi sebanyak 8,4 juta ton
gabah kering giling (GKG) per tahun.
iv
Keberhasilan yang dicapai di daerah tujuan, juga memberikan kontribusi didaerah asal. Menurut Affandi, J (1985) peranan daya dorong daerah asal cukup besar bagi transmigran dalam pengambilan keputusan untuk bertransmigrasi. Faktor ekonomi berupa pemilikan lahan yang sempit,terbatasnya lapangan pekerjaan, serta rendahnya pendapatan di perdesaan menyebabkan penduduk calon transmigran bersedia meninggalkan kampung halamannya untuk memperoleh kesejahteraanyang lebih tinggi. Selain itu program ini juga telah mendukung dari pada pembangunan beberapa infra struktur yang strategis di Pulau Jawa.
Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah penempatan transmigrasi di Indonesia. Penempatan transmigrasi di daerah ini telah dimulai sebelum kemerdekaan tahun 1940, dan terus berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan data dari Disosnakertran tahun 2016, jumlah transmigran yang telah ditempatkan di Provinsi Jambi mencapai 83.641KK atau (355.221jiwa), dengan jumlah tersebut memposisikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama penempatan transmigran di Indonesia.
Di awal penempatan para transmigran dibekali oleh pemerintah dengan penjatahan lahan rata-rata 2 Ha masing-masing per KK. Ada 2 jenis lahan yang mereka terima, dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3-4 orang. Lahan pertama terletak disekeliling rumah yang telah disediakan (pekarangan) lahan ini ditanami tanaman berumur pendek seperti Jagung, Ubi, Kacang Tanah, dan Kedelai. Untuk lahan kedua ditanami tanaman keras yang berumur panjang. Lahan-lahan tersebut dimanfaatkan transmigrasi tidak hanya untuk pertanian, melainkan juga untuk perkebunan seperti karet dan kelapa sawit. Dikawasan transmigrasi Rimbo Bujang tanaman karet merupakan salah satu komoditi yang paling banyak ditanam oleh para transmigran dan juga masyarakat sekitarnya karena cepat mendatangkan keuntungan. Seiring dengan berjalannya waktu anak-anak transmigran pada saat ini sudah banyak yang memasuki dunia kerja bahkan diduga generasi keduanya telah membentuk rumah tangga baru.
Dalam perjalanan panjang pelaksanaan transmigrasi di Provinsi Jambi, telah menunjukkan berbagai keberhasilan baik dari aspek demografi, sosial budaya dan ekonomi. Namun demikian masih ada diantara permukiman transmigrasi yang mengalami kegagalan seperti di lokasi transmigrasi pasang surut di Tanjung Jabung Timur. Secara keseluruhan persentase yang tidak berhasil
v
tergolong kecil. Para transmigran tersebar hampir di setiap kabupaten yang ada di Provinsi Jambi. Umumnya mereka mengusahakan hasil pertanian dan perkebunan, seperti di Kabupaten Tebo dengan perkebunan Karet, Muaro Jambi mengusahakan perkebunan Kelapa sawit dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Timur usaha pertanian tanaman pangan (padi).
Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi dari keluarga generasi kedua transmigran dilakukan dengan menganalisis data keluarga yang menjadi sampel. Kondisi sosial ekonomi generasi kedua transmigrasi meliputi karakteristik kepala keluarga, struktur dan kegiatan anggota keluarga, karakteristik tempat tinggal, kepemilikan lahan pertanian keluarga, kepemilikan asset dan pendapatan keluarga. Interaksi antara desa-desa eks transmigrasi dengan desa-desa sekitarnya dapat terjadi diberbagai bidang. Hubungan berupa aliran barang dan jasa, migrasi tenaga kerja, transfer modal dan pendapatan serta alih teknologi. Terkait dengan kesejahteraan yang dicapai oleh generasi kedua, dapat diketahui dari kondisi perumahan, kepemilikan lahan maupun asset yang ada, penghasilan dan tabungan, struktur ketenagakerjaan.
Secara umum buku ini akan menjabarkan tentang transmigrasi berkelanjutan (generasi kedua transmigran) di era otonomi daerah dalam rangka pengembangan wilayah perdesaan. Secara khusus bagian-bagian buku ini akam membahas karakteristik generasi pertamatransmigran di daerah penelitian dalam Provinsi Jambi. Selain itu akan diulas juga karakteristik generasi kedua transmigrandi daerah, kesejahteraan generasi kedua dibandingkan dengan generasi pertama di daerah penelitian dalam Provinsi Jambi. Pada bagian akhir akan dijabarkan sebaran permukiman generasi kedua transmigran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di daerah penelitian dalam Provinsi Jambi. Selamat Membaca
Jambi, Desember 2019
Penulis
vi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................ iii KATA PENGANTAR ...................................................................... vii DAFTAR ISI ..................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 BAB II SEJARAH TRANSMIGRASI DAN PEMBANGUNAN BERKALANJUTAN ........................................................................ 15
A. Sejarah Transmigrasi di Indonesia .................................... 15 1. Transmigrasi Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda dan Pendudukan Jepang ................................. 15 2. Transmigrasi Masa Orde Lama ..................................... 17 3. Transmigrasi Masa Orde Baru....................................... 21 4. Transmigrasi Masa Reformasi atau Otonomi
Daerah............................................................................... 22 B. Teori-Teori Pembangunan Transmigrasi .......................... 24
1. Konsep Generasi Kedua di Berbagai Negara. ............. 37 2. Generasi Kedua Transmigran di Indonesia. ............... 40 3. Aspek Kesejahteraan ...................................................... 43 4. Permukiman Kembali di Negara-Negara Lain ........... 50 5. Seleksi Lokasi .................................................................. 53 6. Seleksi Calon Pemukim ................................................. 54 7. Pembagian Lahan dan Pemilihan Komoditas ............. 57 8. Konsep Pembangunan Berkelanjutan .......................... 61
C. Kajian tentang Transmigrasi di Indonesia........................ 69 1. Transmigran Generasi kedua di Berbagai
Permukiman di Indonesia ............................................. 71 2. Generasi Kedua Felda di Malaysia. .............................. 78 3. Transmigrasi dan Peningkatan Kesejahteraan ........... 80
BAB III GAMBARAN UMUM, PEREKONOMIAN, DAN TRANSMIGRASI DI JAMBI ......................................................... 86
A. Letak Wilayah dan Topografi ............................................. 86 1. Penggunaan Tanah.......................................................... 90 2. Kependudukan ................................................................ 92 3. Ketenagakerjaan .............................................................. 100 4. Kesempatan Kerja ........................................................... 102 5. Tingkat Pendidikan ........................................................ 103
vii
B. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi ............................. 105 1. Perkembangan Upah di Provinsi Jambi. ...................... 109 2. Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di
Provinsi Jambi. ................................................................. 113 3. Transmigrasi Berdasarkan Lokasi dan Daerah
Penempatan Di Provinsi Jambi...................................... 119 4. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dan
Kabupaten Penempatan Di Provinsi Jambi. ................ 120 BAB IV PERBANDINGAN TRANSMIGRAN GENERASI PERTAMA DAN KEDUA ................................................................................... 124
A. Karakteristik Generasi Pertama Transmigran .................. 124 1. Umur Kepala Keluarga ................................................... 124 2. Jenis Kelamin ................................................................... 126 3. Status Kawin .................................................................... 126 4. Pendidikan ....................................................................... 127 5. Provinsi Asal .................................................................... 130 6. Tahun Awal Tinggal di Desa ......................................... 131 7. Status Ketransmigrasian ................................................. 133 8. Alasan Ikut Transmigrasi ............................................... 134 9. Kedatangan dari Daerah Asal ........................................ 135 10. Jumlah Anggota Rumah Tangga Yang Dibawa ........... 136 11. Kegiatan Utama Saat Ini ................................................. 138 12. Lapangan Usaha ............................................................... 139 13. Jenis Pekerjaan ................................................................. 140 14. Status Pekerjaan............................................................... 142 15. Kepemilikan Pekerjaan Sampingan ............................. 144 16. Jam Kerja Per Minggu ..................................................... 145
B. Karakteristik Generasi Kedua Transmigran ..................... 147 1. Umur .................................................................................. 147 2. Jenis Kelamin ................................................................... 148 3. Status Perkawinan ........................................................... 149 4. Pendidikan ....................................................................... 150 5. Lapangan Usaha ............................................................... 152 6. Jenis Pekerjaan ................................................................. 153 7. Status Pekerjaan............................................................... 155 8. Kepemilikan Pekerjaan Sampingan ............................. 157 9. Jam kerja per minggu ...................................................... 159
C. Analisis Kesejahteraan Generasi Kedua Transmigran .... 161 1. Luas Lantai Per kapita Generasi Pertama dan Kedua . 161 2. Jenis Lantai Terluas Generasi Pertama dan Kedua ..... 162 3. Jenis Dinding Terluas Generasi Pertama dan Kedua . 164
viii
4. Jenis Atap Terluas Generasi Pertama dan Kedua ....... 166 5. Kepemilikan Lahan Generasi Pertama dan Kedua .... 168 6. Kepemilikan Lahan Generasi Kedua ........................... 171 7. Kepemilikan Mobil Generasi Pertama dan Kedua .... 173 8. Kepemilikan Sepeda Motor Generasi Pertama dan
Kedua ................................................................................ 175 9. Kepemilikan Mesin Cuci Generasi Pertama dan
Kedua ................................................................................ 177 10. Kepemilikan Kulkas Generasi Pertama dan Kedua ... 179 11. Sumber Penghasilan Generasi Pertama dan Kedua ... 181 12. Tabungan Generasi Pertama dan Kedua ..................... 184
D. Perbandingan Kesejahteraan Generasi Kedua Transmigran .......................................................................... 189 1. Perbandingan Pendidikan Generasi Pertama dan
Kedua ................................................................................ 189 2. Perbandingan Status Pekerjaan Generasi Pertama
dan Kedua ........................................................................ 192 3. Perbandingan Lapangan Usaha Generasi Pertama
dan Kedua ....................................................................... 195 4. Perbandingan Jenis Pekerjaan Generasi
Pertama dan Kedua ......................................................... 197 5. Perbandingan Jam Kerja Per Minggu Generasi
Pertama dan Kedua ......................................................... 199 6. Perbandingan Kepemilikan Pekerjaan Sampingan
Generasi Pertama dan Kedua ........................................ 203 BAB V ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEBARAN PERMUKIMAN GENERASI KEDUA TRANSMIGRAN ............................................................................ 206
A. Tempat Tinggal Generasi Kedua ....................................... 206 1. Alasan Masih Tinggal di Desa Transmigrasi .............. 207 2. Alasan Tidak Tinggal di Desa Transmigrasi ............... 209
B. Permukiman Generasi Kedua Transmigran ..................... 212 1. Permukiman Generasi Kedua Menurut Jenis
Kelamin ............................................................................ 212 2. Permukiman Generasi Kedua Menurut Lapangan
Usaha dan Tempat Tinggal ............................................ 213 3. Permukiman Generasi Kedua Menurut Daerah Asal
Orang Tua ........................................................................ 214 4. Permukiman Generasi Kedua Menurut Pendidikan
Orang Tua ........................................................................ 215
ix
5. Permukiman generasi kedua Menurut Komoditas Utama ................................................................................ 216
6. Uji Overall Model Fit. ..................................................... 217 7. Uji Parsial Parameter Sebaran Generasi Kedua
Transmigrasi. .................................................................... 219
BAB VI PENUTUP.......................................................................................... 226 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 230
x
TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI (KESEJAHTERAN DAN SEBARAN PERMUKIMAN
GENERASI KEDUA TRANSMIGRAN)
1
BAB I
PENDAHULUAN
Transmigrasi merupakan salah satu bentuk perpindahan
penduduk yang berlangsung di Indonesia. Pelaksanaan program
transmigrasi telah berjalan cukup lama, dimulai pada zaman
pemerintahan kolonial Belanda, dengan nama kolonisasi sampai
zaman reformasi pada saat ini. Pada masa pemerintahan Hindia
Belanda (1905-1941) sasaran utamanya selain untuk mengurangi
kepadatan penduduk Pulau Jawa, juga untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja di daerah-daerah luar Pulau Jawa.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Jepang (1942-1945),
transmigrasi lebih diarahkan untuk memindahkan penduduk
secara paksa dari pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia
untuk bekerja paksa bagi keperluan Jepang (Swasono dan
Singarimbun 1986, Junaidi, 2012).
Pada masa kemerdekaan dan awal orde lama, berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok
Penyelenggaraan Transmigrasi dan melalui perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok
Penyelenggaraan Transmigrasi serta peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi. Tujuan pelaksanaan
transmigrasi adalah untuk mempertinggi taraf kehidupan ,
kemakmuran serta kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dalam
memperkokoh rasa persatuan dan keamanan, Sebagai tindak
lanjut dari ketentuan tersebut pada tahun 1965, diterbitkan
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1965 tentang Gerakan
Nasional Transmigrasi, yang berisikan tujuan transmigrasi adalah
untuk memperkuat pertahanan dan keamanan revolusi serta
meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama dibidang
produksi pangan.
Di masa Pemerintahan orde baru tujuan transmigrasi
semakin berkembang ke tujuan non demografis. Program
transmigrasi tidak hanya bertujuan untuk menyeimbangkan
2
penyebaran penduduk melalui pemindahan dari wilayah padatke
wilayah jarang, tetapi mempunyai tujuan yang lebih luas dalam
rangka pembangunan nasional. Sasaran kebijaksanaan
umumTransmigrasisebagai tercantum dalam pasal 2, Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1972 ditujukan kepada terlaksananya
Transmigrasi Swakarsa (spontan) yang teratur dalam jumlah yang
sebesar-besarnya untuk mencapai (a) Peningkatan taraf hidup,(b)
Pembangunan daerah. (c) Keseimbangan penyebaran penduduk.
(d) Pembangunan yang merata seluruh Indonesia. (e) Pemanfaatan
sumber-sumber daya alam dan tenaga manusia. (f) Kesatuan dan
persatuan bangsa. (g) Memperkuat pertahanan dan keamanan
nasional.
Di era otonomi daerah, kebijakan dalam menangani
kedatangan transmigrasi sudah saatnya mengutamakan indirect
policy dalam hal fasilitas dan pemberdayaan. Artinya era otonomi
daerah utamanya melalui kebijakan Pemerintah daerah harus
mampu memberikansolusi agar ke depan, keberadaan
transmigrasi dapat memberi kontribusi positif bagi perkembangan
daerah. Kebijakan yang diterapkan harus berkonotasi tidak secara
massal mengatur perpindahan penduduk, tetapi lebih pada
“menjual” daerah dengan upaya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara jangka panjang. Penciptaan lapangan kerja,
penjaminan iklim usaha yang kondusif, memberikan informasi
potensi daerah secara intensif serta menjamin terciptanya
keamanan dan kenyamanan untuk bertempat tinggal (Warsono,
2012).
Perubahan-perubahan tersebut telah melahirkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, dan
kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 1997
tentang Ketransmigrasian. Sebagaimana dinyatakan dalam
Undang-undang tersebut tujuan Transmigrasi adalah untuk (1)
meningkatkan kesejahteraan Transmigran dan masyarakat sekitar,
(2) meningkatkan pemerataan pembangunan daerah, dan (3)
memperkuat persatuandan kesatuan bangsa. (Rustiandi E dan
Junaidi, 2011).
3
Pembangunan transmigrasi telah berhasi menciptakan
kesempatan kerja, pemerataan pembangunan di daerah, dan
membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru. Berdasarkan data
dari Pusdatin Ketransmigrasian (2012), sejak Pra Pelita sampai
dengan tahun 2011, telah membuka 4.537.034 hektar lahan
pertanian baru
sebagai lapangan usaha bagi 2,3 juta keluarga yang
dimukimkan atau sekitar 8,8 juta orang. Jenis-jenis usaha yang
tercipta seperti perdagangan, jasa dan industri rumah tangga turut
berkembang sejalan dengan pertumbuhan produksi pertanian
dipermukiman transmigrasi. Selama ini transmigrasi telah
menciptakan 3.325 desa definitif yang sebagian diantaranya telah
berkembang pesat dan menjadi pusat pertumbuhan seperti
ibukota kecamatan, kawasan Kota Terpadu Mandiri (KTM),
kawasan agropolitandan sentra produksi tanaman pangan
ataupun perkebunan (Widaryanto, 2012).
Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan bentukan
transmigrasi masih memiliki potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan lebih lanjut. Pusat pertumbuhan merupakan
tempat berkumpulnya kegiatan yang mampu berfungsi sebagai
penggerak pertumbuhan ekonomi serta mempunyai keterkaitan
produksi baik vertikal maupun horizontal. Menurut Najiyati
(2005) memperlihatkan bahwa 37 persen permukiman
transmigrasi pola pangan berkembang menjadi sentra produksi
pangan dengan sumbangsih produksi padi sebanyak 8,4 juta ton
gabah kering giling (GKG) per tahun.
Dalam kaitannya dengan pembangunan daerah Santoso,
A.D (2003) mengatakan kontribusi transmigrasi dalam
pembangunan daerah, memperlihatkan adanya kontribusi yang
signifikan dari pembangunan Unit Permukiman Transmigrasi
(UPT) terhadap pembangunan daerah yang dilihat dari
pengaruhnya terhadap desa sekitarnya. Sejalan dengan apa yang
dikemukakan Siswono, Y (2003) program transmigrasi telah ikut
menunjang pembangunan daerah melalui pembangunan
perdesaan baru. Dari 3000 an (UPT), 945 telah berkembang
menjadi desa baru. Desa-desa baru tersebut tumbuh dan
4
berkembang menjadi ibukota kecamatan dan bahkan menjadi
ibukota kabupaten/kota. Berdasarkan data tahun 2010, eks UPT
yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat
pemerintahan sebanyak 97 kabupaten (Kemenakertrans, 2011).
Kondisi ini memperlihatkan bahwa program transmigrasi telah
mendukung pembentukan pusat pemerintahan kabupaten/kota
serta kecamatan di Indonesia.
Keberhasilan yang dicapai di daerah tujuan, juga
memberikan kontribusi didaerah asal. Menurut Affandi, J (1985)
peranan daya dorong daerah asal cukup besar bagi transmigran
dalam pengambilan keputusan untuk bertransmigrasi. Faktor
ekonomi berupa pemilikan lahan yang sempit, terbatasnya
lapangan pekerjaan, serta rendahnya pendapatan di perdesaan
menyebabkan penduduk calon transmigran bersedia
meninggalkan kampung halamannya untuk memperoleh
kesejahteraanyang lebih tinggi. Selain itu program ini juga telah
mendukung dari pada pembangunan beberapa infra struktur yang
strategis di Pulau Jawa.
Kenyataan menunjukkan bahwa program transmigrasi
sejak dilaksanakan telah menjadi salah satu program nasional
yang dapat mendorong percepatan pembangunan dan
pertumbuhan wilayah-wilayah yang terintegrasi dengan upaya
pemerataan penduduk. Transmigrasi telah menjadi kebutuhan
dalam pembangunan daerah dan menjadi rujukan dalam
pengembangan potensi wilayah.
Di era otonomi daerah, telah terjadi perubahan
kewenangan (urusan) pilihan, baik bagi pemerintah pusat maupun
pemerintah di daerah (propinsi atau kabupaten/kota). Namun
konsekuensi yang muncul bagi pusat dan daerah dari penentuan
pilihan kewenangan (urusan) ini belum begitu jelas. Dampaknya
pada masa reformasi telah terjadi penurunan penempatan
transmigrasi. Pada akhir orde baru (Pelita VI) rata-rata jumlah
transmigrasi yang di tempatkan sebanyak 350.064 Kepala Keluarga
(KK per tahun, dan pada era otonomi, tahun 2000–2004 hanya
sebanyak 87.571 KK per tahun. Keadaan ini semakin berkurang
5
pada tahun 2005-2009 hanya 41.853 KK per tahun dan terus
menurun menjadi 7.310 KK saja pada Tahun 2010- 2012.
Menurunnya jumlah penempatan transmigrasi setelah
otonomi daerah, diduga karena semakin terbatasnya ketersediaan
lahan. Di samping itu telah terjadi perubahan tata pemerintahan
dari sentralisasi ke desentralisasi dan otonomi, tidak diikuti
dengan perubahan dalam manajemen pembangunan transmigrasi,
yang sesungguhnya “masih belum” mengalami perubahan secara
substansial. Menurut Anharudin, et.al(2008) transmigrasi masih
menjadi “program pemerintah” pusat, sekalipun pelaksanaannya
adalah pemerintah daerah(kabupaten dan provinsi). Perencanaan
secara nasional memang sebagian usulan dari daerah, tapi tanpa
dukungan finansial (anggaran) dari pusat, daerah daerah masih
belum mampu berinisiatif membangun transmigrasi, dengan
alasan tidak ada biaya.
Penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan oleh
adanya pandangan negatif seiring dengan keberhasilan yang
dicapai program ini. Menurut Soetrisno (1986) di daerah dimana
penduduk asli mempunyai kedudukan ekonomi yang rendah
maka rasa untuk menolak transmigrasi akan sangat terasa.
Transmigrasi sering dikatakan usaha untuk “men Jawakan”
daerah, pemindahan kemiskinan, sentralisasi, menutup
kemungkinan bagi mereka untuk menduduki kedudukan kunci
dalam pemerintahan daerah atau dinas yang ada di daerah, dan
bertentangan dengan hak azazi manusia (HAM).
Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah penempatan
transmigrasi di Indonesia. Penempatan transmigrasi di daerah ini
telah dimulai sebelum kemerdekaan tahun 1940, dan terus
berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan data dari Disosnakertran
Tahun 2016, jumlah transmigran yang telah ditempatkan di
Provinsi Jambi mencapai 83.641KK atau (355.221jiwa), dengan
jumlah tersebut memposisikan Provinsi Jambi sebagai salah satu
daerah utama penempatan transmigran di Indonesia.
Diawal penempatan para transmigran dibekali oleh
pemerintah dengan penjatahan lahan rata-rata 2 Ha masing-
masing per KK. Ada 2 jenis lahan yang mereka terima, dengan
6
jumlah anggota keluarga rata-rata 3-4 orang. Lahan pertama
terletak disekeliling rumah yang telah disediakan (pekarangan)
lahan ini ditanami tanaman berumur pendek seperti Jagung, Ubi,
Kacang Tanah, dan Kedelai. Untuk lahan kedua ditanami tanaman
keras yang berumur panjang. Lahan-lahan tersebut dimanfaatkan
transmigrasi tidak hanya untuk pertanian, melainkan juga untuk
perkebunan seperti karet dan kelapa sawit. Dikawasan
transmigrasi Rimbo Bujang tanaman karet merupakan salah satu
komoditi yang paling banyak ditanam oleh para transmigran dan
juga masyarakat sekitarnya karena cepat mendatangkan
keuntungan. Seiring dengan berjalannya waktu anak-anak
transmigran pada saat ini sudah banyak yang memasuki dunia
kerja bahkan diduga generasi keduanya telah membentuk rumah
tangga baru.
Program transmigrasi hanya menyiapkan lahan untuk
satu generasi, sedangkan saat ini para transmigran di lokasi
permukiman telah sampai pada turunan kedua bahkan
turunanketiga. Jika anak-anak transmigran tersebut, masih berada
di lokasi transmigrasi dengan ketergantungan penghidupan pada
lahan generasi pertama (orang tua yang menjadi transmigran)
tentunya akan berdampak pada pembagian lahan dalam keluarga.
Pada tahap selanjutnya, jika ini terus berlanjut akan berdampak
pada munculnya kantong-kantong kemiskinan baru di daerah
penempatan transmigrasi.
Pemerintahdalam hal ini Kemenakertrans, pada saat ini
sedang merintis pembangunan permukiman transmigrasi dengan
memanfaatkan tanah hak melalui jenis transmigrasi umum
maupun pemugaran permukiman. Hasil kajian Delam et.al (2009)
dalam Purbandini, L dan Pandiadi, (2012) mengatakan bahwa
pemugaran permukiman menjadi salah satu solusi pemerintah
dalam mengatasi sulitnya mendapatkan tanah untuk transmigrasi.
Karena itu, dengan melibatkan dan partisipasi masyarakat dalam
penyediaan tanah hak untuk pembangunan transmigrasi akan
memberikan manfaat diantaranya dapat mengurangi terjadinya
konflik lahan (tanah).
7
Berdasarkan kenyataan empiris di era otonomi daerah,
ingin dikemukakan bahwa pola transmigrasi dapat diberdayakan
menurut karakteristik daerahnya masing-masing. Bagaimana
mengatur kebijakan bagi daerah untuk menarik, kaum migran
dengan tingkat Sumber Daya Manusia (SDM) tertentu, bagaimana
cara eksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) secara proporsional agar
dapat menarik investor pull factor kaum migran yang tidak hanya
berbasis pada usaha pertanian, tetapi juga, industri, jasa dan sektor
lainnya. Kemudian yang paling pentingbagaimana agar kaum
pendatang dapat disambut welcome oleh penduduk lokal sebagai
mitra dalam nuansa keamanan dan kenyamanan bermukim
(Warsono, 2012).
Dalam pengembangan akses terhadap faktor-faktor
produksi, transmigrasi telah membangun sarana fisik transportasi
seperti jalan, jembatan serta gorong-gorong dan saluran drainase
yang telah membuka isolasi daerah yang selama ini tidak
tersentuh pembangunan. Penyebaran penyediaan prasarana
transportasi
diyakini dapat membuka ketertinggalan terhadap faktor
produksi dan menyeimbangkan distribusi pendapatan antar
kelompok penduduk. Di bidang pendidikan, transmigrasi telah
membangun ribuan fasilitas pendidikan terutama Sekolah dasar.
Bersamaan dengan bangunan fisik juga dilengkapi dengan
peralatan dan penempatan tenaga pengajar. Untuk bidang
kesehatan, transmigrasi telah membangun ribuan unit balai
pengobatan disertai dengan penempatan tenaga para medis dan
distribusi obat-obatan selama masih dalam pembinaan.
Penyediaan fasilitas sosial dimaksud tidak saja diperuntukkan
bagi para transmigran, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh semua
penduduk sehingga turut mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat sekitarnya.
Namun demikian, beberapa fakta menunjukkan adanya
fenomena kegagalan program ini. Berdasarkan Laporan Bank
Dunia tahun 1986, sekitar 50 persen keluarga transmigrasi hidup
dibawah garis kemiskinan. Pada akhir tahun 1980-an survey yang
dilakukan pemerintah Prancis menyatakan 80 persen dari daerah
8
transmigrasi di Indonesia gagal memperbaiki standar kehidupan
transmigran (Marr, 1990). Selanjutnya Monbiot (1989)
mengemukakan kegagalan program transmigrasi dalam
mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan
mengakibatkan beberapa permukiman banyak keluarga
meninggalkan lokasi transmigran setelah dua sampai tiga tahun
menjadi peladang berpindah atau sebagai penebang liar. Kondisi
paling buruk terjadi di Irian Jaya, sehingga kota–kota di daerah ini
seperti Merauke dan Jayapura akhirnya dipenuhi pengungsi yang
berasal dari daerah transmigrasi yang gagal.
Dalam perjalanan panjang pelaksanaan transmigrasi di
Provinsi Jambi, telah menunjukkan berbagai keberhasilan baik dari
aspek demografi, sosial budaya dan ekonomi. Namun demikian
masih ada diantara permukiman transmigrasi yang mengalami
kegagalan seperti di lokasi transmigrasi pasang surut di Tanjung
Jabung Timur. Secara keseluruhan persentase yang tidak berhasil
tergolong kecil. Para transmigran tersebar hampir di setiap
kabupaten yang ada di Provinsi Jambi. Umumnya mereka
mengusahakan hasil pertanian dan perkebunan, seperti di
Kabupaten Tebo dengan perkebunan Karet, Muaro Jambi
mengusahakan perkebunan Kelapa sawit dan Kabupaten Tanjung
Jabung Barat dan Timur usaha pertanian tanaman pangan (padi).
Berdasarkan observasi, di daerah transmigrasi cukup
banyak keberhasilan yang dicapai baik dibidang ekonomi, sosial,
budaya dan politik. Di kawasan transmigrasi Rimbo Bujang
Kabupaten Tebo, dengan tanaman utama karet penempatan
transmigrasi di lokasi ini telah dimulai tahun 1976. Berbagai
keberhasilan yang dicapai oleh transmigran telah membuat
kehidupan mereka jauh lebih baik dibanding sebelum
bertransmigrasi. Mereka telah mampu memperoleh penghasilan
rata-rata antara Rp 4-4,5 juta per bulan per KK. Sebahagian
diantara anak-anak mereka telah menamatkan pendidikan tinggi,
dan telah bekerja baik di sektor pertanian maupun sektor non
pertanian. Di sektor pertanian mereka melanjutkan pekerjaan
orang tuanya yang telah dirintis sebelumnya baik di desa sendiri
maupun keluar dari kawasan transmigrasi. Terdapat juga anak-
9
anak transmigran yang bekerja di pemerintahan maupun sektor
swasta di daerah Kabupaten Tebo maupun diluar Kabupaten
Tebo.
Kawasan transmigrasi Sungai Bahar merupakan salah satu
daerah penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi. Penempatan
transmigrasi dimulai pada tahun 1986, mereka berasal dari Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan transmigrasi lokal yang
berasal dalam Provinsi Jambi. Berpedoman pada generasi kedua
transmigrasi diberbagai permukiman di Indonesia yang telah
menunjukkan berbagai keberhasilan, maka diperkirakan untuk
Provinsi Jambi menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda.
Berdasarkan survei awal Generasi kedua transmigrasi Sungai
Bahar, Kabupaten Muaro Jambi misalnya saat ini (generasi kedua)
telah mengalami perubahan dan sebahagian mereka ada yang
meninggalkan lokasi (melakukan perpindahan lanjutan) ketempat
lain. Ada yang melakukan perpindahan dalam kawasan
transmigrasi sendiri dan masih dalam kecamatan yang sama.
Kecamatan lain dalam kabupaten yang sama, terdapat juga mereka
yang pindah diluar kabupaten dalam Provinsi yang sama, bahkan
sebagian lagi ada yang pindah keluar dari Provinsi Jambi.
Berdasarkan jenis pekerjaan yang ditekuni oleh generasi
kedua transmigran Sungai Bahar mereka bekerja di berbagai
bidang kegiatan. Sebagian meneruskan pekerjaan orang tuanya di
sektor Pertanian, atau sub sektor Perkebunan sebagai petani sawit,
petani karet atau sebagai buruh perusahaan. Terdapat juga
generasi kedua yang menjadi mandor dan tenaga administrasi di
perusahaan yang sama. Diluar itu terdapat juga yang bekerja
diBank, menjadi PNS, Pedagang, bengkel, perawat, bidan dan
sebagainya.
Dikawasan transmigrasi Batang Asam Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, telah ditempati sejak tahun 1991.Perbaikan
tingkat kesejahteraan telah dirasakan oleh para transmigran yang
berasal dari program transmigrasi pusat sebanyak 70% (yaitu dari
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan transmigrasi lokal
dari Provinsi Jambi sebanyak 30 %. Usaha pertanian utama mereka
adalah tanaman padi, selain jagung, ketela dan sayuran. Kondisi
10
ini sangat beralasan karena daerah ini memiliki sistem pengairan
yang baik dengan adanya irigasi yang dibangun oleh pemerintah.
Bila sistem pengairannya dapat ditingkatkan dari 2 kali menjadi 3
kali dalam setahun, produksi padi dapat mencapai 6-7 ton/ha per
tahun per panen (Hatta, M, 2015). Hal ini memungkinkan
penghasilan petani akan meningkat dibandingkan dengan
keadaan sekarang yang baru mencapai sekitar Rp 3,5 – 4 juta per
KK per bulan. Pada bidang sosial lainnya telah terjadi kemajuan
yang lebih baik. Anak-anak transmigran di daerah ini, terutama
yang telah menamatkan pendidikan (SLTA ke atas), bekerja di
bidang pertanian lainnya seperti dibidang perkebunan, buruh
pabrik sopir dan sebagainya. Diluar itu ada juga yang bekerja di
sektor non pertanian seperti di bidang perdagangan, kantor
pemerintah maupun swasta, pelayan di toko, bengkel, satpam dan
pekerjaan lainnya.
Mengingat, telah berlangsungnya penempatan transmi-
grasi di Provinsi Jambi dalam kurun waktu yang cukup lama,
persoalan yang perlu mendapat perhatian adalah tentang
kelangsungan hidup dari anak-anak transmigran (generasi ke
dua).Untuk itu perlu dicarikan kebijakan yang sesuai dalam
rangka pengembangan generasi ke dua transmigrasi ke depan. Hal
ini akan menjadi penting karena terkait dengan salah satu tujuan
pelaksanaan program transmigrasi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan keluarganya.
Lokasi penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi hampir
meliputi semua kabupaten yang ada. Dilihat dari permasalahan
yang dihadapi belum semua permukiman transmigrasi
berkembang secara baik, untuk permukiman yang kurang
berkembang tentu akan berdampak terhadap pengembangan
wilayah sekitarnya.
Sesuai dengan Undang-undang nomor 15 Tahun 1997,
disebutkan salah satu tujuan program transmigrasi adalah dalam
rangka meningkatkan pemerataan pembangunan daerah dan
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, permukiman
transmigrasi diharapkan berkembang menjadi pusat-pusat
pertumbuhan, dan dapat memberikan dampak terhadap
11
pengembangan wilayah sekitarnya. Bila daerah transmigrasi telah
berkembang dan tidak berdampak terhadap wilayah sekitarnya
keadaan ini dapat memicu berbagai persoalan yang pada akhirnya
menimbulkan adanya rasa kecemburuan antar wilayah yang
berujung pada ketidakstabilan politik di daerah tersebut.
Berbagai fenomena empirik menurut Junaidi (2012)
menunjukkan ketidakmerataan pembangunan yang berkepanja-
ngan akhirnya menimbulkan efek yang kontra produktif terhadap
berbagai upaya yang telah dilakukan demi peningkatan
pertumbuhan itu sendiri. Di negara-negara yang tingkat
pertumbuhan ekonominya yang tinggi, keberlanjutan
pertumbuhan dapat terjaga oleh tingkat kemajuan yang merata.
Berbeda halnya dengan negara berkembang dimana kemajuan
ekonomi yang tinggi seringkali diikuti oleh ketimpangan dalam
pembangunan ekonomi antar wilayah. Kondisi ini tidak terlepas
dari pada keberadaan komponen yang paling lemah. Artinya
tingkat kemajuan yang dicapai oleh daerah juga ditentukan oleh
kondisi wilayah tertinggal yang ada.
Terkait dengan transfebility keterampilan migran
diungkapkan oleh Bazzi, S et.al (2016) We use natural experiment in
Indonesia to provide causal evidence on the role of location–specific
human capital and skill transfebility in shaping the spatial distribution of
productivity from 1979-1988, the transmigration program located two
million migrants from rural Java and Bali to new rural settlements in the
outer islands. Artinya kami menggunakan eksperimen di Indonesia
untuk menunjukkan bukti bahwa peranan sumberdaya manusia di
lokasi tertentu dan kemampuan alih keterampilan yang
membentuk penyebaran produktivitas tata ruang (wilayah). Dari
tahun 1979-1988, program transmigrasi telah merelokasi sebanyak
2 juta pendatang dari perdesaan Jawa dan Bali kepermukiman
perdesaan baru di pulau-pulau terluar. Selanjutnya dikatakan
bahwa untuk daerah perdesaan para pendatang perlu
menyesuaikan musim tanam yang sama dan menunjukkan
produktivitas padi yang lebih tinggi dengan intensitas panen
selama 1-2 dekade kemudian. Kami menemukan beberapa bukti
bahwa transmigran telah mampu untuk beradaptasi dalam
12
perubahan musim tanam (agro climatic change). Secara keseluruhan,
hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan produktivitas
daerah berkemungkinan melebihi potensi keuntungan dari
migrasi.
Berbagai temuan empirik menunjukkan bahwa
transmigrasi sebagai program pembangunan telah berhasil dan
ada juga yang mengindikasikan kegagalan. Terdapat permukiman
transmigrasi yang berkembang menjadi sentra produksi pertanian,
serta ada juga permukiman yang harus direlokasi karena sering
kena banjir. Di era otoda dengan maraknya pembentukan
kabupaten baru, tercatat cukup banyak eks. Lokasi transmigrasi
ditetapkan menjadi ibukota kecamatan bahkan ibukota kabupaten.
Disamping itu harus diakui pula adanya kegagalan di masa lalu
dalam pengembangan areal pertanian sejuta hektar kawasan
pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah yang
melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaan pembangunannya
(Soegiarto, S. 2008).
Terkait dengan kontribusi transmigrasi dalam
pembangunan daerah, menunjukkan adanya kontribusi yang
signifikan dari pembangunan (UPT) terhadap pembangunan
daerah yang dilihat dari pengaruhnya terhadap desa sekitarnya
pada skala tingkat kecamatan. Menurut studi Santoso, A. D.
(dalam Soegiarto, S. 2008) pembangunan kawasan transmigrasi di
lokasi sampel pola usaha tanaman pangan dan pola tanaman
perkebunan mempunyai dampak dalam peningkatan pendapatan
bagi desa sekitarnya, dan menjadi pusat pertumbuhan. Kondisi ini
tentu akan dapat menjadi dasar dalam pengembangan program
transmigrasi, sehingga diharapkan memberikan kontribusi yang
positif dalam rangka pengembangan wilayah perdesaan di
Indonesia.
Perkembangan permukiman transmigrasi di Provinsi
Jambi dapat didekati dengan pengukuran beberapa variabel yang
diduga berpengaruh terhadap kelangsungan generasi kedua
transmigrasi. Aspek-aspek yang dimaksud adalah aspek ekonomi,
sosial budaya, aspek integrasional dan aspek keaktifan layanan
lembaga sosial. Menyangkut perubahan permukiman
13
(perpindahan) yang terjadi pada generasi kedua transmigrasi di
Provinsi Jambi menunjukkan berbagai tipe permukiman, seiring
dengan perbaikan kondisi sosial dan ekonomi dari generasi kedua
transmigran. Secara umum pada penelitian ini
sebaranpermukiman generasi kedua yang terjadi dibedakan (1).
Didalam desa transmigrasi, (2). Diluar desa transmigrasi.
Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi dari keluarga
generasi keduatransmigran dilakukan dengan menganalisis data
keluarga yang menjadi sampel. Kondisi sosial ekonomi generasi
kedua transmigrasi meliputi karakteristik kepala keluarga,
struktur dan kegiatan anggota keluarga, karakteristik tempat
tinggal, kepemilikan lahan pertanian keluarga, kepemilikan asset
dan pendapatan keluarga. Interaksi antara desa-desa eks
transmigrasi dengan desa-desa sekitarnya dapat terjadi diberbagai
bidang. Hubungan berupa aliran barang dan jasa, migrasi tenaga
kerja, transfer modal dan pendapatan serta alih teknologi. Terkait
dengan kesejahteraan yang dicapai oleh generasi kedua, dapat
diketahui dari kondisi perumahan, kepemilikan lahan maupun
asset yang ada, penghasilan dan tabungan, struktur
ketenagakerjaan. Khusus di bidang peningkatan sumberdaya
manusia dengan menggunakan indikator pendidikan
menunjukkan kemajuan yang cukup berhasil dimana banyak
generasi kedua yang telah mencapai pendidikan yang tinggi.
Berhubungan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
tipe(bentuk) permukiman generasi kedua transmigran di Provinsi
Jambi, menunjukkan terdapat beberapa penyebab. Faktor tersebut
dapat berupa peubah sosial, ekonomi, faktor kepemilikan lahan
dan faktor demografi. Secara lebih jauh faktor tersebut dapat
dibedakan dalam variabel umur, jenjang pendidikan, status
pekerjaan, jenis pekerjaan, lapangan usaha pekerjaan, daerah asal
orang tua, jumlah anggota rumah tangga, dan komoditas utama
pertanian yang dimiliki.
Secara umum buku ini akan menjabarkan tentang
transmigrasi berkelanjutan (generasi kedua transmigran) di era
otonomi daerah dalam rangka pengembangan wilayah perdesaan.
Secara khusus bagian-bagian buku ini akam membahas
14
karakteristik generasi pertamatransmigran di daerah penelitian
dalam Provinsi Jambi. Selain itu akan diulas juga karakteristik
generasi kedua transmigrandi daerah, kesejahteraan generasi
kedua dibandingkan dengan generasi pertama di daerah
penelitian dalam Provinsi Jambi. Pada bagian akhir akan
dijabarkan sebaran permukiman generasi kedua transmigran dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya di daerah penelitian dalam
Provinsi Jambi.
15
BAB II
SEJARAH TRANSMIGRASI DAN
PEMBANGUAN BERKELANJUTAN
Pada bab ini akan membahas tentang sejarah transmigrasi di
Indonesia dan peran transmigrasi dalam pembangunan. Selain itu
akan dijebarkan bagaimana konsep generasi kedua dalam
transmigrasi dan konsep pengembangan berkelanjutan. Untuk
melihat lebih jauh tentang transmigrasi, akan dibandingkan
berbagai kasus migrasi dan pemukiman di berbagai negara.
A. Sejarah Transmigrasi di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa program transmigrasi di
Indonesia telah berlangsung cukup lama. Mulai dari masa
pemerintahan dan kekuasaan kolonial Belanda, Penjajahan
Jepang sampai pada saat masa reformasi atau otonomi daerah.
Dimasa pemerintahan dan kekuasaan tersebut ditandaidengan
adanya tujuan, arah dan kebijakan serta paradigma
ketransmigrasian yang berbeda-beda. Program transmigrasi
didasarkan pada konsep dimana jumlah penduduk Pulau Jawa
mencapai 61 persen dari penduduk Indonesia, sedangkan luas
daerahnya hanya sekitar 7% saja (Fearnside. M, 1997)
1. Transmigrasi Masa Pemerintahan Kolonial Belanda dan
Pendudukan Jepang
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda,
transmigrasi dikenal dengan istilah kolonisasi. Dimulai
pada tahun1905, pemerintah kolonial memindahkan
penduduk sebanyak 155 Kepala Keluarga (KK) dari Pulau
Jawa ke Lampung dan ditempatkan di Gedong Tataan, di
tepi jalan ke Kota Agung, 25 Kilometer sebelah Barat
Tanjung Karang ( Swasono dan Singarimbun, 1986).
Kebijakan kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke luar
Pulau Jawa dengan berbagai alasan: (1). Melaksanakan salah
satu program politik etis, yaitu memindahkan penduduk
untuk mengurangi jumlah penduduk Pulau Jawa dan
memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah. (2).
Pemilikan tanah yang semakin sempit di Pulau Jawa akibat
16
pertambahan penduduk yang cepat, sehingga kehidupan
masyarakat di Pulau Jawa menurun. (3). Untuk keperluan
tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan Belanda di
luar Pulau Jawa untuk menjamin pasaran industri.
Penyelenggaraan perpindahan penduduk pada masa
kolonisasi dapat dibagi atas tiga periode (Purboadiwidjojo,
S. 1985).
Pertama, periode kolonisasi dengan bantuan
pemerintah (1905 – 1911). Pada periode ini, setiap kepala
keluarga mendapatkan bantuan secukupnya. Sebagai
perangsang, setiap KK diberi premi sebesar 20 gulden,
dilengkapi dengan alat-alat masak dan alat-alat pertanian.
Di tempat mereka dibantu dengan bahan perumahan dan
bahan makanan untuk 2 tahun. Berdasarkan anggaran
pemerintah, biayanya per KK adalah 300 gulden, dan tidak
termasuk biaya pembangunan jalan dan irigasi.
Kedua, periode Bank Rakyat Lampung, Dalam
periode ini (1911 – 1927) bank diikutsertakan untuk
memberi kredit usaha dan untuk membeli bekal kerja.
Setiap KK bisa mendapatkan kredit sampai 200 gulden.
Khusus untuk keperluan itu diberikan oleh De Volkskrediet
Bank voor de Lampongsche Disttricten. Kredit tersebut
merupakan kredit jangka panjang dengan periode tenggang
waktu 3 tahun dan harus dilunasi dalam 10 tahun dengan
bunga 9 persen per tahun pada periode ini Bank Rakyat
Lampung mengalami kerugian, terutama karena
mismanagement, sehingga bank tersebut dinyatakan
bangkrut dan dilikuidasi. Akibatnya program kolonisasi
dengan Bank dihentikan.
Ketiga, periode bawon (1923 – 1942). Pada periode ini
ditandai dengan adanya kesulitan ekonomi yang dialami
oleh pemerintah kolonial Belanda, akibat krisis ekonomi
dunia yang hebat. Ketika itu banyak sekali perusahaan-
perusahan terpaksa menutup perusahaannya atau
mengurangi tenaga kerjanya. Keadaan ini juga dialami oleh
pemerintahan kolonial, dimana minat masyarakat Jawa
17
untuk ikut kolonisasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya
mengubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan
sistem bawon (upah–natura). Alasannya adalah produksi
padi yang begitu banyak, sehingga pemungutannya tidak
dapat diselesaikan oleh tenaga para kolonis sendiri. Pada
masa panen raya, banyaknya sampai 1 dibanding 10, artinya
mereka yang bekerja mendapat satu bagian hasil panen dan
sepuluh bagian lagi diperoleh pemilik sawah
(Purboadiwidjojo, S. 1985). Untuk menarik para kolonis
kembali ke Lampung bagian hasil bawon dibuat lebih besar
yaitu dengan perbandingan 1:7 atau 1: 5, dimana buruh
akan memperoleh 1 bagian setiap tujuh atau 5 bagian yang
didapatkan pemilik lahan.
Selama periode pemerintah kolonial Belanda, jumlah
penduduk Pulau Jawa yang dapat dipindahkan hanya
sebanyak 60.155 KK atau 232.802 jiwa (Kemenakertrans,
2012). Akan tetapi bila dilihat dari aspek peningkatan
kesejahteraan peserta kolonisasi, tingkat kehidupan mereka
lebih baik jika dibandingkan saat berada di daerah asal
(Dixon, 1980 diacu dalam Junaidi, 2012).
Semasa pemerintahan Jepang di Indonesia (1942 –
1945), usaha transmigrasi tetap dijalankan. Pola
pemindahan penduduk lebih bertujuan untuk kepentingan
pembangunan prasarana militer di luar Pulau Jawa. Bentuk
kegiatan ini lebih bersifat kerja paksa atau dengan istilah
Romusha. Romusha semata-mata ditujukan untuk
kepentingan pemerintahan Jepang, sama sekali bukan untuk
kepentingan pemerintahan Indonesia. Pada periode ini telah
dipindahkan penduduk Pulau Jawa ke luar Jawa sekitar
2000 keluarga. Kemudian program pemindahan penduduk
ini terhenti akibat perang kemerdekaan.
2. Transmigrasi Masa Orde Lama
Setelah kemerdekaan, semua yang berbau kolonial,
yang berbau adat dan feodal menjadi sasaran massa.
Semenjak tahun 1946 Pemerintah Republik Indonesia telah
memberi pengarahan kepada massa rakyat untuk
18
membangun. Sejak awal kemerdekaan, hanya enam bulan
setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, telah
dicanangkan transmigrasi dalam pola pembangunan masa
datang, seperti yang diungkapkan Wakil Presiden RI dalam
konperensi Ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 Februari
1946 (Swasono dan Singarimbun, 1985).
Pelaksanaan transmigrasi di masa orde lama mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1958 tentang
Pokok-pokok Penyelenggaraan Transmigrasi, dan kemudian
diubah melalui Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1959
tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi.
Kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
penyelenggaraan transmigrasi, Peraturan Presiden No. 5
Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi. Pada
masa orde lama tujuan transmigrasi adalah untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Mengurangi tekanan penduduk di daerah-daerah padat
terutama di Pulau Jawa, membuka sumber-sumber alam
meningkatkan kegiatan ekonomi terutama produksi pangan,
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, serta
meningkatkan keamanan dan ketahanan nasional.
Pada tahun 1948 ketika Pemerintah Republik
Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari
pelaksanaan program transmigrasi merupakan awal dari
dimulainya pelaksanaan transmigrasi pada era orde lama.
Akan tetapi pemberangkatan transmigrasi baru
dilaksanakan pada tahun 1950. Dalam menyelenggarakan
perpindahan penduduk tersebut, pemerintah RI mengalami
berbagai permasalahan. Hal ini disebabkan belum
mempunyai pengalaman, walaupun sudah ada contoh-
contoh dan referensi pada saat penyelenggaraan kolonisasi
(Rofiq, A U. 1998). Masalah utama adalah tidak stabilnya
lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan transmigrasi. Ketika itu penyeleng-
garaannya ditangani Jawatan Transmigrasi di bawah
19
Kementerian Sosial. Tahun 1960, Jawatan Transmigrasi
menjadi departemen yang digabung dengan urusan
perkoperasian dengan nama Departemen Transmigrasi dan
Koperasi. Pada masa ini selain tujuan demografis, tujuan
lain dimaksudkan untuk meningkatkan keamanan,
kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat
rasa kesatuan dan persatuan bangsa.
Pada zaman orde lama (Pra Pelita Tahun 1950 – 1968)
ditetapkan target perpindahan penduduk yang dikenal
dengan “Rencana 35 Tahun Tambunan”. Sasarannya adalah
pada tahun 1987 jumlah penduduk pulau Jawa berkurang
menjadi 31 juta jiwa dari kondisi pada tahun 1952 yang
sebanyak 54 juta jiwa (Heeren, 1979 dalam Junaidi, 2012).
Namun demikian mengingat sulitnya pencapaian target
tersebut, maka dilakukan revisi target transmigrasi yang
lebih realistis. Dalam kurun waktu selama lima tahun, yaitu
tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk
Pulau Jawa sebanyak 2 juta orang, atau rata-rata 400 ribu
orang per tahun. Kemudian dalam rencana delapan tahun
selanjutnya, dalam periode 1961- 1968, Departemen
Transmigrasi menurunkan lagi targetnya menjadi 1,56 juta
orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun. Penurunan
target ini akibat dari meningkatnya anggaran untuk
pemberangkatan transmigrasi.
Pada periode rencana delapan tahun, muncul
kebijakan Transmigrasi Gaya Baru pada musyawarah
nasional gerakan transmigrasi yang diselenggarakan bulan
Desember 1964. Konsepnya memindahkan kelebihan
fertilitas total yang diperkirakan mencapai 1,5 juta orang per
tahun. Pada kebijakan ini muncul pula ide untuk
melaksanakan transmigrasi swakarsa. Pada model ini
transmigran baru ditampung oleh transmigran lama seperti
yang pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda
dengan sistem bawon, seterusnya membuka hutan,
membangun rumah, membuat jalan sendiri, sehingga
20
pengeluaran yang ditanggung oleh pemerintah tidak terlalu
besar (Setiawan, N. 2006).
Pada zaman orde lama, minat penduduk Pulau Jawa
untuk ikut transmigrasi cukup tinggi. Bahkan mereka mau
berangkat ke daerah transmigran atas biaya sendiri tanpa
bantuan pemerintah. Di tempat tujuan mereka cukup
melapor untuk memperoleh sebidang lahan dan bantuan
material lainnya. Pada masa tersebut ada pengkategorian
transmigrasi, sehingga dikenal istilah transmigrasi umum,
transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri dan
transmigrasi spontan. Dalam sistem transmigrasi umum
segala keperluantransmigran, sejak dari pendaftaran sampai
di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga
menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama,
bibit tanaman, serta alat-alat pertanian.
Transmigrasi keluarga merupakan sistem
transmigrasi beruntun, maksudnya jika ada keluarga
transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih
tinggal di Pulau Jawa untuk tinggal di daerah transmigrasi,
maka transmigrasi lama harus menanggung biaya hidup
dan perumahan transmigran yang baru. Sistem ini tidak
jalan, karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi,
akhirnya sejak tahun 1959 tidak dilaksanakan lagi.
Transmigrasi biaya sendiri, mengharuskan calon
transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat
kelokasi dengan ongkos sendiri. Setelah sampai di lokasi
mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigrasi
umum. Pada transmigrasi spontan selain menanggung
sendiri ongkos ke lokasi, mereka pun harus mengurus
sendiri keberangkatannya, kemudian di tempat tujuan baru
mereka melapor untuk mendapatkan lahan di daerah yang
telah ditentukan (Setiawan, N, 2006).Tercatat selama periode
orde lama telah dapat dipindahkan penduduk sebanyak
98.631 kepala keluarga atau sejumlah 234.802 jiwa.
Penempatan transmigran pada periode ini dimukimkan
pada 176 UPT (Kemenakertrans, 2012).
21
3. Transmigrasi Masa Orde Baru
Pada zaman orde baru, penyelenggaraan transmigrasi
diatur melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1972 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi serta Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan
Transmigrasi. Berdasarkan peraturan perundang-undangan
tersebut tujuan transmigrasi adalah: (1) peningkatan taraf
hidup; (2) pembangunan daerah; (3) keseimbangan
penyebaran penduduk; (4) pembangunan yang merata di
seluruh Indonesia; (5) pemanfaatan sumber-sumber alam
dan tenaga manusia; (6) kesatuan dan persatuan bangsa;
dan (7) memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
Diluar tujuan yang telah disebutkan tersebut, ada
penekanan pada produksi beras dalam kaitan pencapaian
swasembada pangan. Untuk itu pembukaan daerah
transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi dan bahkan sampai ke Papua.
Pada tahun 1965-1969, belum ditentukan target jumlah
transmigran yang harus dipindahkan. Daerah transmigrasi
seperti Lampung, Jambi dan Sumatera Selatan yang pada
awalnya banyak sekali menerima transmigran, dalam
periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari total
transmigrasi yang diberangkatkan. Pulau Sulawesi
menerima jumlah transmigran sebanyak 25 persen pada saat
itu, dan sisanya diberangkatkan ke pulau-pulau lain seperti
Kalimantan dan Papua.
Bila pada masa orde lama dikenal ada empat kategori
transmigrasi, pada periode ini hanya dikenal dua kategori
yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi spontan. Pada
transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir
perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, sedangkan
ongkos-ongkos semua ditanggung oleh peserta. Berbeda
halnya dengan transmigrasi umum, semua ongkos
ditanggung oleh pemerintah, dan di lokasi mereka
memperoleh lahan seluas dua hektar, rumah dan alat-alat
pertanian, serta biaya hidup selama 12 bulan pertama untuk
22
di daerah tegalan, dan 8 bulan pertama di daerah
persawahan menjadi tanggungan pemerintah. Secara
keseluruhan selama periode orde baru pemerintah telah
dapat memindahkan sebanyak 6.708.526 orang atau
1.827.099 keluarga (Kemenakertrans, 2012).
4. Transmigrasi Masa Reformasi atau Otonomi Daerah
Sampai dengan masa reformasi jumlah penduduk
yang berhasil dipindahkan dalam program transmigrasi,
terus mengalami peningkatan. Namun demikian tetap saja
tidak dapat mengimbangi pertambahan penduduk di Pulau
Jawa. Hal ini selain disebabkan oleh tingginya migrasi
masuk ke Pulau Jawa, juga karena masih tingginya fertilitas
penduduk di Pulau Jawa. Dengan demikian, jika dilihat dari
aspek demografis yang dikaitkan dengan pengurangan
penduduk di Pulau Jawa, program transmigrasi ini tidak
mencapai sasaran.
Mengingat kondisi diatas, perlu dicari paradigma
baru dalam pembangunan transmigrasi. Hal ini kemudian
memunculkan paradigma baru transmigrasi seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 15 tahun 1997
tentang Ketransmigrasian dengan perubahannya dengan
Undang-Undang No. 29 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian.
Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan tujuan
penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk: (1)
meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat
sekitar; (2) peningkatan pemerataan pembangunan daerah;
dan (3) memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Jadi
sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatkan
kemampuan dan produktivitas masyarakat transmigrasi,
membangun kemandirian, dan mewujudkan integrasi di
permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial
budaya mampu tumbuh dan berkembang secara
berkelanjutan.
Penyempurnaan pelaksanaan transmigrasi yang
diperlukan antara lain, agar transmigrasi diupayakan secara
23
merata di wilayah tanah air. Permukiman transmigrasi tidak
merupakan enclave serta memiliki keterkaitan fungsional
dengan kawasan sekitarnya. Berbagai kelompok etnis harus
berbaur dalam kebhinekaan, penduduk setempat juga harus
mendapat perhatian yang sama, hal ini untuk menghindari
terjadinya potensi konflik antara pendatang dengan
penduduk setempat.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah,
sebagaimana dijelaskan dalam Undang- Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur
mengenai pelaksanaan sistem desentralisasi di Negara
Indonesia. Pemerintahan daerah akan memiliki tanggung
jawab dan wewenang yang lebih besar dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
daerahnya masing-masing. Untuk itu, pembangunan
transmigrasi harus diletakkan pada kerangka pembangunan
daerah yang selanjutnya harus dapat dijabarkan dalam
program-program transmigrasi.
Pelaksanaan program transmigrasi dari waktu ke
waktu menunjukkan perkembangan dan peningkatan baik
dari pelaksanaan pengembangan masyarakat transmigrasi
maupun kawasan transmigrasi. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014, dalam pengembangan
masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi pada
pasal 94 dijelaskan: (1). Pengembangan masyarakat
transmigrasi dan kawasan transmigrasi merupakan
pengembangan dari hasil pembangunan kawasan
transmigrasi untuk mewujudkan kawasan transmigrasi
sebagai satu kesatuan sistem pengembangan ekonomi
wilayah. (2). Pengembangan sebagaimana dimaksud,
mencakup pengembangan bidang ekonomi, sosial budaya,
mental spiritual, kelembagaan pemerintahan, dan
pengelolaan sumber daya alam dalam satu kesatuan. (3).
Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2,
dilaksanakan berdasarkan rencana pengembangan
masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi serta
24
jenis transmigrasi. (4). Pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1, merupakan tanggung jawab
pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya. Seperti dikatakan oleh Rahardjo (2016)
semangat otonomi daerah yang berupaya lebih
mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya itu disertai
penyerahan kewenangan dalam merancang kebijakan
program pembangunan. Pada sektor pertanian, pemerintah
daerah dapat menentukan komoditas unggulan sesuai
potensi lokal dan menemukan beragam upaya inovasi untuk
meningkatkan nilai tambah produk pertanian.
B. TEORI-TEORI PEMBANGUNAN TRASNMIGRASI
Perpindahan suku bangsa di zaman prasejarah di Asia
Tenggara, Melanesia dan Polinesia selama ini didominasi oleh
pendapat dari Kern dan Heine-Geldrern, yangmengemukakan
bahwa penduduk kepulauan Nusantara sekarang ini berasal
dari dataran Asia Tenggara. Teori tersebut mengemukakan
bahwa terdapat dua arah yang ditempuh oleh bangsa dahulu
itu dalam perpindahan mereka. Arah Barat daya melalui
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa ke Nusa Tenggara,
danarah Utara ke Taiwan, kemudian ke Selatan menuju
Filipina, Kalimantan dan Sulawesi, dan dari sana ke Irian,
Melanesia dan Australia (Naim, 2013). Agar tujuan
pembangunan di berbagai bidang dapat tercapai secara efisien
dan efektif diperlukan alokasi sumber daya yang optimal.
Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya modal fisik,
sumber daya manusia dan sumber daya alam. Transmigrasi
merupakan salah satu bentuk relokasi sumber daya manusia
dalam rangka percepatan pembangunan wilayah (Ananta,
1986).
Banyak faktor penyebab yang mempengaruhi keputusan
seseorang untuk melakukan perpindahan. Hal ini disebabkan
bahwa migrasi merupakan proses selektif dari individu dengan
karakteristik sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan
demografi. Faktor tersebut dapat bersifat ekonomis maupun
25
non ekonomis. Suharsono (1983) dalam Yulmardi (2008)
mengatakan sebagian besar migran meninggalkan daerah asal
karena tidak memiliki tanah dan pekerjaan tetap, di mana pergi
ke daerah lain untuk memperoleh pekerjaan guna
meningkatkan taraf hidupnya. Faktor kemiskinan di daerah
asal merupakan daya dorong untuk melakukan migrasi tenaga
kerja ke kota, dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan,
kesempatan kerja di kota lebih besar dari pada kesempatan
kerja di sektor pertanian di desa. Kurangnya sarana kehidupan
di Sumatera Barat mendesak penduduknya pergi merantau;
karena kehidupan di rantau jauh lebih mudah diperoleh
dibandingkan kehidupan di daerah asal (Naim,2013).
Sementara motif kepindahan orang-orang Irlandia sebagian
besar disebabkan oleh karena kemelaratan yang luar biasa di
daerah asalnya (Mc Gee, 1976). Sementara itu menurut Tukiran
(2002) faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan
mobilitas yaitu faktor ekonomi, politik, sosial, budaya,
keamanan, agama dan bencana alam.
Analisis Daya Dorong dan Daya tarik (Push Pull Theory)
secara umum faktor yang menyebabkan seseorang melakukan
mobilitas penduduk, yaitu faktor pendorong dan adanya faktor
penarik. Teori daya dorong dan daya tarik (Push pull Theory) di
introdusir oleh Lee (1966), beliau mengatakan kondisi sosial
ekonomi di daerah asal yang tidak memungkinkan untuk
memenuhi kebutuhan (needs) seseorang, menyebabkan orang
tersebut ingin pergi ke daerah lain yang dapat memenuhi
kebutuhannya. Jadi antara daerah asal dan daerah tujuan
terdapat perbedaan nilai kefaedahan wilayah (place utility).
Daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan wilayah
yang lebih tinggi dibanding dengan daerah asal untuk dapat
menimbulkan mobilitas penduduk. Dengan kata lain, jika
dikaitkan dengan pembangunan, berdasarkan kerangka model
ini dapat dikemukakan bahwa ketimpangan pembangunan
antar wilayah merupakan faktor yang memicu mobilitas
penduduk (Junaidi, et.al, 2005). Menurut Lee, ada empat faktor
yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk
26
melakukan perpindahan yaitu:(1) Faktor yang terdapat di
daerah asal (2) Faktor yang terdapat di daerah tujuan. (3)
Faktor penghalang antara dan (4) Faktor-faktor pribadi. Faktor
1, 2 dan 3 secara diagramatis dapat dilihat pada gambar 1.
Faktor yang terdapat di daerah asal maupun di daerah
tujuan dapat bersifat positif (+), negatif (-) atau netral (0) untuk
bermigrasi. Faktor positif (+) di daerah asal berarti mempunyai
daya dorong terhadap penduduk/tenaga kerja untuk
meninggalkan daerahnya, sebaliknya faktor positif (+) di
daerah tujuan berarti mempunyai daya tarik terhadap
seseorang untuk datang ke daerah tersebut. Faktor negatif (-) di
daerah asal akan berfungsi sebagai penghambat seseorang
untuk pergi ke daerah lain, sedangkan faktor negatif (-) di
daerah tujuan adalah faktor yang tidak di senangi oleh
seseorang, sehingga akan menghambat masuknya seseorang ke
daerah tersebut. Faktor netral (0) pada umumnya tidak
berpengaruh terhadap seseorang untuk bermigrasi.
Dari segi ekonomi, faktor- faktor positif yang merupakan
daya tarik dari suatu daerah dapat berupa: terdapatnya
peluang-peluang usaha, kesempatan kerja yang lebih luas,
upah nyata yang lebih tinggi, tersedianya fasilitas sosial yang
gratis atau murah, biaya hidup yang lebih murah, terdapatnya
institusi ekonomi yang lebih efisien, serta eksternal ekonomi
yang lebih menguntungkan. Untuk faktor negatif dapat berupa:
tidak adanya peluang usaha dan kesempatan kerja, tingkat
upah rendah, biaya hidup tinggi, pajak tinggi dan sebagainya.
Secara diagramatis ketiga faktor tersebut
digambarkan oleh Lee sebagai berikut: (gambar 1).
27
Faktor
penghalang
antara
Daerah asal Daerah tujuan
Gambar 1. Faktor Daerah Asal, Daerah Tujuan serta Faktor
Penghalang dalam Keputusan Bermigrasi. Sumber. Lee (1966)
Penilaian seseorang terhadap suatu faktor dapat bersifat
positif (+), negatif (-) atau netral (0). Hal ini tergantung pada
keadaan pribadi orang tersebut yang dipengaruhi oleh
pendidikan, pengalaman, kebutuhan, dan sifat-sifat pribadi.
Demikian juga persepsi faktor penghalang berbeda antara
seseorang dengan orang lain. Beberapa faktor penghalang
antara lain jarak, biaya perjalanan, besarnya jumlah anggota
keluarga, peraturan atau undang-undang migrasi. Rintangan-
rintangan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda pada
setiap orang yang akan pindah. Ada orang - orang yang
memandang rintangan-rintangan tersebut sebagai hal yang
sepele, dan ada juga yang menganggap sebagai hal yang berat
yang menghalanginya untuk pindah. Sedangkan faktor pribadi
mempunyai peranan penting karena faktor-faktor nyata yang
terdapat di daerah asal atau tempat tujuan belum merupakan
faktor utama, karena pada akhirnya kembali kepada keputusan
seseorang tentang faktor tersebut, termasuk kepekaan pribadi
dan kecerdasannya. Faktor-faktor itu dapat mempermudah
atau memperlambat seseorang untuk bermigrasi.
Berdasarkan berbagai faktor tersebut, menurut Todaro
(2000) mengemukakan bahwa motivasi utama seseorang untuk
bermigrasi adalah motif ekonomi, yaitu karena adanya
ketimpangan ekonomi antar berbagai daerah. Motif tersebut
sebagai pertimbangan ekonomi yang rasional, dimana
mobilitas mempunyai dua harapan, yakni harapan untuk
mendapatkan pekerjaan dan harapan memperoleh pendapatan
+-00+ + -+- - 0 - -+ 0
+-0 + - + --+
0 -+-+
28
yang lebih tinggi dari pada yang diperoleh di daerah asal.
Menurut Munir (2010) faktor pendorong dan faktor penarik
yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi dapat
dikelompokkan:
Faktor-faktor pendorong diantaranya:
1. Makin berkurangnya sumber-sumber daya alam,
menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu
yang bahan bakunya makin sulit diperoleh seperti hasil
tambang, kayu atau bahan dari hasil pertanian.
2. Menyempitnya lapangan kerja di tempat asal (misalnya
di perdesaan) akibat masuknya teknologi yang
menggunakan mesin-mesin (capital intensive).
3. Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik,
agama, suku di daerah asal.
4. Tidak cocok lagi dengan adat/budaya/kepercayaan
ditempat asal.
5. Alasan pekerjaan dan perkawinan yang menyebabkan
tidak bisamengembangkan karir pribadi.
6. Bencana alam baik banjir, kebakaran, gempa bumi,
musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit.
Faktor-faktor penarik diantaranya:
1. Adanya rasa superior di tempat yang baru atau
kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang
cocok.
2. Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik.
3. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
4. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang
menyenangkan misalnya iklim, perumahan, sekolah dan
fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya.
5. Tarikan dari orang yang diharapkan tempat berlindung.
6. Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat
hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi
orang-orang dari desa atau kota kecil.
Berkenaan dengan kajian ekonomi migrasi internal, oleh
Lewis (1954), yaitu tentang proses perpindahan tenaga kerja
desa-kota, dimana model yang dikembangkan Lewis pada
29
tahun 1954 tersebut diperluas Fei dan Ranis pada tahun 1961
dan merupakan teori umum yang diterima dan dikenal dengan
Model Lewis-Fei- Ranis (L-F-R). Fokus utama dari model ini,
ekonomi yang belum berkembang terdiri dari 2 (dua) sektor,
yaitu (1) sektor subsistem pertanian yang tradisional, dengan
ciri produktivitas tenaga kerja nol atau rendah sekali, dan (2)
sektor industri modern di kota dengan produktivitas tinggi,
yang mana tenaga kerjanya merupakan transfer secara gradual
dari sektor subsistem. Jumlah transfer tenaga kerja dan tingkat
pertumbuhan lapangan kerja berkaitan dengan perluasan
industri. Cepatnya transfer tenaga kerja dan pertumbuhan
lapangan kerja ini tergantung kepada besarnya investasi
(Sunarto, HS, 1985). Diasumsikan bahwa semua keuntungan
yang diperoleh, diinvestasikan kembali, dan upah buruh
adalah tetap, dalam arti upah buruh di sektor industri lebih
tinggi dari upah pekerja rata-rata di sektor pertanian.
30
F
0
Gambar 2. Grafik Model Lewis-Fei-Ranis (L-F-R) Tentang
Pertumbuhan Sektor Modern Dalam
Perekonomian Dua Sektor yang Mengalami
Surplus Tenaga Kerja.
Sumber: Todaro, MP, (2000).
Dalam kondisi ini pasaran tenaga kerja yang berasal dari
desa akan sangat longgar (perfectly elastic).Pada proses
perpindahan tenaga kerja dan pertumbuhan peluang kerja di
sektor modern teori perpindahan tenaga kerja tersebut
dijelaskan lebih lanjut oleh Todaro (2000) dengan diilustrasikan
pada gambar 2, yaitu proses pertumbuhan sektor modern. Pada
sumbu vertikal digambarkan upah riil dan produk marginal
tenaga kerja (diasumsikan sama dalam sektor modern yang
kompetitif) dan pada sumbu horizontal digambarkan kuantitas
tenaga kerja.
D2
D3
D1
G B F D2(K2) D3(K3) D1(K1)
W S
A
L1 L2 L3 Kuantitas Tenaga Kerja
K3>K2>K1
31
Pada gambar 2, dapat dijelaskan, OA mencerminkan
rata-rata pendapatan subsisten rieldi sektor tradisional
perdesaan. OW adalah upah riel di sektor kapitalis, dimana
tenaga kerja desa diasumsikan ‘tak terbatas’ atau elastis
sempurna, seperti diperlihatkan kurva penawaran tenaga kerja
WS. Pada tahap awal pertumbuhan di sektor modern dan
dengan suplai modal tertentu, yaitu K1, kurva permintaan
untuk tenaga kerja ditentukan oleh kurva D1(K1). Karena para
pengusaha di sektor modern yang memaksimalkan keuntungan
diasumsi membayar upah para pekerja sampai suatu titik,
bahwa produk fisik marginal mereka adalah sama dengan
upah riel (yaitu titik potong F di antara kurva penawaran dan
permintaan tenaga kerja), total tenaga kerja sektor modern akan
sama dengan OL1. Total output sektor modernditunjukkan oleh
area yang dibatasi dengan titik-titik O D1 F L1. Bagian seluruh
output yang dibayarkan kepada para pekerja dalam bentuk
upah karenanya akan sama dengan bidang persegi empat O W
F L1. Kelebihan output yang diperlihatkan oleh bidang W D1 F
akan menjadi total keuntungan yang diperoleh para kapitalis.
Karena diasumsikan bahwa semua keuntungan ini di
diinvestasikan kembali, jumlah stok capital pada sektor modern
akan naik dari K1 ke K2. Stok kapital yang lebih besar ini
mengakibatkan naiknya kurva produk total sektor modern,
yang kemudian menyebabkan kenaikan dalam kurva
permintaan atau produk marginal tenaga kerja. Pergeseran
keluar dari kurva permintaan ini ditunjukkan dengan garis
D2(K2) dalam gambar tersebut. Tingkat keseimbangan baru
pada peluang kerja di kota terjadi pada titik G dengan tenaga
kerja yang dipekerjakan menjadi sebanyak O L2 Output total
menjadi O D2 G L2, sementara upah total dan keuntungan
secara berturut-turut naik masing-masing menjadi O W G L2
dan W D2 G. sekali lagi, keuntungan (W D2 G) yang lebih besar
tersebut di diinvestasikan kembali, sehingga meningkatkan
seluruh stok kapital menjadi K3, dan menggeser kurva
permintaan tenaga kerja ke D3(K3) dan menaikkan tingkat
peluang kerja sektor modern menjadi L3.Demikian selanjutnya
32
proses ini berjalan, sehingga berapa pun jumlah tenaga kerja
yang berasal dari sektor pertanian akan terserap oleh sektor
industri di kota. Dalam kondisi ini tidak ada lagi pengangguran
di desa maupun di kota (Gambar 2).
Kendatipun Lewis mengatakan bahwa konsepnya cocok
untuk negara-negara berkembang, namun kenyataannya
tidaklah demikian.
Pertama, bahwa terciptanya lapangan kerja dan transfer
tenaga kerja proporsional dengan akumulasi modal, makin
cepat pertumbuhan industri, maka makin cepat pula
pertumbuhan pekerja. Kenyataan di negara berkembang terjadi
hal yang sebaliknya, dimana semakin cepat pertumbuhan
industri tetapi tidak diikuti dengan pertumbuhan lapangan
pekerjaan. Artinya industri dapat berkembang, namun jumlah
tenaga kerja tetap. Hal disebabkan industri tidak bersifatlabor
intensive tetapi bersifatcapital intensive.
Kedua, asumsi Lewis yang mengatakan bahwa di daerah
pertanian terdapat surplus tenaga kerja yang melimpah dan
tanpa batas serta di perkotaan terdapat kesempatan kerja yang
luas, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tenaga kerja di
sektor pertanian tidak tanpa batas dan dilain pihak lapangan
pekerjaan di kota sangat terbatas.
Ketiga, asumsi Lewis tentang upah buruh di sektor
industri yang tetap dalam arti diatas upah buruh di sektor
pertanian, maka pernyataan ini tidak seluruhnya benar. Karena
dalam kenyataannya, upah buruh baik di sektor pertanian di
desa maupun di sektor industri di kota secara substantif naik
baik absolut maupun relatif walaupun tingkat
penganggurannya semakin meningkat (Sunarto, HS, 1985).
Bertolak dari beberapa kelemahan-kelemahan teori
Lewis-Fei-Ranis, Teori ekonomi tentang migrasi desa-kota juga
dikemukakan oleh Todaro (1979), dalam tulisannya yang
terkenal ‘Expected income, models of rural urban migration’ dimana
diasumsikan bahwa migrasi desa-kota pada dasarnya
merupakan suatu fenomena ekonomi yang rasional, walaupun
pengangguran di kota menumpuk, tetapi postulat Todaro
33
adalah bahwa seseorang masih mempunyai harapan untuk
mendapatkan income yang lebih tinggi dari pada upah di sektor
pertanian.Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi
juga merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan
secara rasional. Pada intinya Todaro (2000) mendasarkan pada
pemikiran bahwa arus migrasi berlangsung sebagai tanggapan
terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan
desa. Mereka baru akan memutuskan untuk melakukan
migrasi jika penghasilan bersih di kota melebihi penghasilan
bersih yang tersedia di desa. Dengan kata lain dalam jangka
waktu tertentu harapan income di kota masih lebih tinggi dari
di desa, walaupun telah memperhitungkan biaya migrasi.
Secara matematis teori Todaro dirumuskan sebagai berikut:
E(Wu) = Wu. Eu/Lu
Dimana: E(Wu) = harapan income di kota
Wu = tingginya upah di kota
Eu = jumlah pekerjaan di kota
Lu = jumlah angkatan kerja di kota
Bila diperhatikan terdapat kaitan yang erat antara teori
Todaro dengan teori Lee. Menurut Todaro seseorang pergi ke
kota karena faktor daya dorong yaitu rendahnya pendapatan di
desa, dan faktor penarik yaitu harapan akan mendapatkan
penghasilan yang lebih tinggi dari pada pendapatan di desa.
Dalam kaitannya dalam masalah ini Mc Gee berpendapat
bahwa faktor Daya dorong terutama kemiskinan di desa lebih
kuat dari daya tarik kota (Mc Gee, dalam Sunarto, HS, 1985).
Pada hal kenyataannya, pertumbuhan lapangan
pekerjaan di kota lebih rendah dari pada pertumbuhan
angkatan kerja. Bila diumpamakan di kota terdapat satu
kesempatan kerja, maka ada 2 sampai 3 orang datang dari desa.
Dengan demikian akan terdapat 1 sampai 2 orang yang akan
menganggur. Jika di kota terdapat 100 kesempatan kerja, maka
akan datang 200 sampai 300 orang dari desa. Sehingga akan
terdapat 100 sampai 200 orang yang akan menganggur. Makin
besar suatu kota, menurut Todaro, akan makin besar pula
tingkat penganggurannya.
34
Meskipun angka pengangguran di daerah perkotaan
cukup tinggi, secara logika dan rasional ekonomi migrasi desa-
kota akan tetap berlangsung, walaupun secara rasional
ekonomis, kecenderungan tersebut sangat merugikan jika
dilihat dari perspektif sosial. Disamping itu model ini juga
masih mengandung banyak kelemahan, karena menyamarata-
kan selera, tingkat pendidikan, tingkat penalaran dan tingkat
keterampilan dari semua tenaga kerja. Namun logika yang
terkandung dalam model ini ternyata mampu menjelaskan
mengapa tenaga kerja pedesaan yang berpendidikan lebih
tinggi lebih terdorong untuk melakukan migrasi (karena
peluang mereka memperoleh pekerjaan dengan upah lebih
tinggi di kota memang cukup besar). Dorongan bagi mereka
untuk melakukan migrasi jauh lebih besar dari pada yang
dirasakan oleh mereka yang kurang berpendidikan.
Jadi singkatnya, model migrasi Todaro (2000) memiliki
empat pemikiran dasar sebagai berikut:
1. Migrasi desa-kota dirangsang, terutama sekali, oleh
berbagai pertimbangan ekonomi rasional dan yang
langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan
biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri (sebagian besar
terwujud dalam satuan moneter, namun ada pula yang
terwujud dalam bentuk-bentuk atau ukuran lain, misalnya
saja kepuasan psikologis.
2. Keputusan untuk berimigrasi tergantung pada selisih antara
pendapatan yang diharapkan di kota dan tingkat
pendapatan aktual di pedesaan. Pendapatan yang
diharapkan adalah sejumlah pendapatan yang secara
rasional bisa diharapkan akan tercapai dimasa-masa
mendatang). Besar kecilnya selisih pendapatan itu sendiri
ditentukan oleh 2 variabel pokok, yaitu selisih upah aktual
di kota dan di desa, serta besar atau kecilnya kemungkinan
mendapatkan pekerjaan di perkotaan yang menawarkan
tingkat pendapatan sesuai dengan yang diharapkan.
3. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan
berkaitan langsung dengan tingkat lapangan pekerjaan di
35
perkotaan, sehingga berbanding terbalik dengan tingkat
pengangguran di perkotaan.
4. Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun
telah melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja.
Kenyataan ini memiliki landasan yang rasional karena
adanya perbedaan ekspektasi pendapatan yang sangat lebar,
yakni para migran pergi ke kota untuk meraih tingkat upah
yang lebih tinggi yang nyata (memang tersedia). Dengan
demikian lonjakan pengangguran di kota merupakan akibat
yang tidak terhindarkan dari adanya ketidakseimbangan
kesempatan ekonomi yang sangat parah antara daerah
perkotaan dan daerah perdesaan (berupa kesenjangan
tingkat upah tadi), dan ketimpangan seperti ditemui di
sebagian besar negara-negara berkembang.
Model migrasi desa-kota yang dikemukakan oleh
Todaro, juga tidak terlepas dari berbagai kelemahan terutama
berkaitan dengan kelemahan metodologis, yaitu berhubungan
dengan asumsi yang digunakan (Titus, 1982).
1. Asumsi bahwa migran dari desa bersifat homogen. Pada hal
kenyataannya migran bersifat selektif terutama masalah
umur dan pendidikan.
2. Asumsi bahwa kesempatan mendapatkan pekerjaan di kota
bersifat random, dalam arti bahwa semua migran
mempunyai kesempatan yang sama di dalam mendapatkan
pekerjaan di kota. Asumsi ini hanya berlaku dalam sektor
informal.
3. Asumsi bahwa sektor formal bersifat terbuka, kenyataannya
bahwa justru sektor informal yang terbuka.Kecuali itu,
Todaro melupakan bahwa tumbuhnya sektor formal yang
disebabkan oleh berbagai industri besar dapat berpengaruh
terhadap meluasnya sektor informal.
Berkenaan dengan fenomena migrasi Ravenstein yang
disebut sebagai bapak Migrasi merupakan peletak dasar teori
gravitasi. Kemudian berkembang teori gravitasi yang lain,
termasuk Teori Lee yang telah dikemukakan terdahulu.
Ravenstein telah menguraikan pendapatnya tentang fenomena
36
migrasi yang disusun dalam hukum-hukum migrasi yang
terkenal sampai sekarang. Diantara hukum-hukum tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Semakin jauh jarak, semakin berkurang volume migran
Teori ini dikenal sebagai distance-decay theory.
2. Setiap harus migrasi yang benar, akan menimbulkan harus
balik sebagai penggantinya.
3. Adanya perbedaan desa dengan kota akan mengakibatkan
timbulnya migrasi.
4. Wanita cenderung bermigrasi ke daerah-daerah yang dekat
letaknya.
5. Kemajuan teknologi akan meningkatkan intensitas migrasi
6. Motif utama migrasi adalah ekonomi.
7. Migrasi bertahap.
Pendapat Ravenstein yang sudah cukup lama tersebut,
ternyata sampai saat ini masih relevan. Pada dasarnya teori-
teori migrasi yang lain merupakan pengembangan dari hukum
Ravenstein (Sunarto, HS, 1985). Selanjutnya (Norris,1972)
mengembangkan Hukum Ravenstein dan Lee, dengan
memasukkan faktor kesempatan antara (intervening
opportunities) yang terdapat diantara daerah asal dan daerah
tujuan. Adanya kesempatan antara ini akan mengurangi
volume migran. Makin banyak kesempatan antara makin
berkurang volume migran di suatu daerah tujuan utama.
Norris (1972) berpendapat bahwa fenomena migrasi
merupakan interaksi keruangan, yaitu interaksi antara daerah
asal dan daerah tujuan. Namun juga diakui betapa pentingnya
faktor penghalang (barriers) yang terdapat diantara daerah asal
dan daerah tujuan. Secara diagramatis teori Norris dapat
digambarkan sebagai berikut (Gambar 3).
37
Gambar 3: Interaksi Daerah Asal dan Daerah Tujuan Migrasi
Sumber: Norris, (1972)
Pada bagian lain, pendekatan antropologis dalam
migrasi menitik beratkan pada hubungan kekerabatan.
Berlangsungnya proses migrasi disuatu daerah tidak terlepas
dari kaitannya dengan eksistensi famili atau kawan yang telah
tinggal lebih dahulu didaerah tersebut. Migran pemula sebagai
pioner akan menarik penduduk dari daerah asal, yang
mengakibatkan timbulnya pola migrasi berantai (chain
migration). Harre 1966, dalam Sunarto, HS, (1985) telah
mempelajari proses migrasi berantai dari Pulau Pitcair suatu
pulau kecil di Pasifik Selatan ke New Zealand. Migrasi berantai
ini juga terdapat di Indonesia terutama migrasi penduduk dari
Pulau Jawa ke daerah Lampung, setelah dari Lampung
menyebar ke daerah lain khususnya di Sumatera Selatan,
Bengkulu, dan Jambi.
1. Konsep Generasi Kedua di Berbagai Negara.
Generasi kedua (second generation) merupakan suatu
istilah yang dapat menimbulkan perbedaan persepsi baik
sebagai gagasan deskriptif dan sebagai kategori analitik.
Penggunaan yang paling umum terkait dengan keturunan
KESEMPATAN ANTARA
PENGHALANG DAERAH TUJUAN
DORONGAN IMIGRASI
MIGRAN KEMBALI
DAERAH ASAL
38
generasi pertama, untuk migran negara tujuan adalah
turunan kedua atau generasi kedua. Komplikasi timbul
ketika anak memiliki orang tua dari “perkawinan
campuran” misal bapak berkewarganegaraan Yunani
sedangkan ibunya Jerman. Kasus seperti ini banyak ditemui
dalam penelitian Christou, A (2008).
Antara tahun 1945 dan 1973 satu diantara enam orang
penduduk Yunani beremigrasi. Mereka menuju Ke negara
Amerika Utara dan Australia. Sekitar tahun 1960, tujuan
dominan adalah Jerman.Perkiraan total diaspora (istilah
migrasi) bangsa Yunani di Jerman berkisar antara 3 dan 7
juta, perbedaan tersebut sebagian besar disebabkan
keterbatasan data yang disebut “ diaspora migrasi” sejak
akhir abad ke 19 yang tersebar di Amerika Serikat, Kanada,
Australia dan Eropa Barat. Setelah tahun 1960 an,
perekrutan tenaga kerja migran dihentikan, namun diaspora
Yunani di Jerman ditopang oleh keberlanjutan reunifikasi
keluarga dan kelahiran yang kedua generasi. Migrasi tenaga
kerja kembali berlangsung, meskipun dalam skala yang
lebih kecil, terutama setelah bergabung dengan komunitas
Eropa pada tahun 1981.
Emigrasi Yunani ke Jerman merupakan migrasi
tenaga kerja klasik, terstruktur dengan upah dan pasar
tenaga kerja Internasional. Tingkat pengangguran yang
tinggi serta pendapatan subsisten merupakan faktor
pendorong berlangsungnya migrasi keluar dari Yunani ke
Jerman. Kekurangan tenaga kerja di Jerman telah
menghasilkan perjanjian antara pemerintah Yunani dan
Jerman untuk perekrutan tenaga kerja untuk memacu sektor
industri agar tumbuh dan berkembang di Jerman. Emigrasi
Yunani ke Jerman berasal dari seluruh negara bagian,
terutama dari dataran tinggi wilayah Utara perdesaan yang
tergolong miskin.
Menurut Christou, A (2008) tingginya arus migrasi
yang berlangsung dari Yunani ke Jerman menimbulkan
kekhawatiran di Jerman. Pertama berkaitan dengan
39
keseimbangan gender, seperti kebanyakan migrasi tenaga
kerja ke Eropa era ini, mayoritas laki-laki, yang
mencerminkan perekrutan tenaga kerja untuk bekerja di
pabrik dan pekerjaan konstruksi. Ini tentu akan
menyebabkan banyaknya pernikahan antara laki-laki
migran Yunani dengan perempuan Jerman. Selama periode
(1960-1973) sebanyak 38 persen migran perempuan yang
berasal dari Yunani menikah dengan laki-laki Jerman,
dimana mereka sebagian besar bekerja terutama di bidang
perlistrikan, pabrik dan jumlahnya lebih banyak dibanding
dengan perempuan Jerman. Kedua tidak berkaitan dengan
masalah pertama, yaitu mengirim kembali anak-anak
mereka ke Yunani dan tinggal bersama kerabat. Ada dua
alasan hal ini dilakukan (1).memungkinkan kedua orang tua
untuk bekerja penuh waktu (full time). (2). Anak-anak
mereka tidak dirugikan oleh kurangnya pendidikan dan
kebudayaan. Melalui cara demikian pengaturan keluarga,
bahasa dan kehidupan sosial tetap terjaga dan akan menarik
diaspora untuk melakukan kunjungan di saat liburan.
Keinginan yang kuat untuk pindah ke sebuah negara
selalu dibayangi oleh perasaan merasa terikat oleh ikatan
keluarga (the power of the family) dan keturunan etnis dapat
dilihat sebagai sebuah proyek eksistensial kembali ke tanah
air leluhur. Isu penting adalah kenyamanan yang luar biasa
padasecondgeneration kembali dalamliteratur berkembang
pada migran transnasionalisme atau kehidupan
transnasional.
Menurut Alesina dan Giuliano (2010) The strength of
family ties varies across cultures and it matters for economic
decisions. Artinya kekuatan ikatan keluarga bervariasi antar
budaya dan itu penting untuk keputusan ekonomi. Ikatan
keluarga yang lemah akan menumbuhkan peran gender
egaliter dimana laki-laki dan perempuan sama-sama
berpartisipasi dalam pekerjaan dan pekerjaan rumah
tangga. Ikatan keluarga yang kuat didasarkan pada “laki-
laki pencari nafkah” dimana orang bekerja penuh waktu
40
dan perempuan mendedikasikan dirinya untuk pekerjaan
rumah tangga. Dalam struktur keluarga tradisional, oleh
jaringan pertukaran antar generasi berdasarkan solidaritas
dimana tenaga kerja laki-laki adalah penyedia ekonomi
primer dan wanita tetap di rumah. Sebagai bukti dapat
dicontohkan pada imigran generasi kedua di Amerika
Serikat (Alesina dan Giuliano, 2010). Misalnya seorang
wanita yang tidak dapat pekerjaan karena nasib buruk,
kemalasan atau karakteristik individu lain mungkin
menghabiskan lebih banyak waktu di rumah atau
meyakinkan diri dan menganggap keluarga yang penting.
Untuk membatasi keprihatinan ini, dapat dipelajari dari
berbagai bentuk ikatan keluarga dari negara asal imigran
generasi kedua di Amerika serikat. Ikatan keluarga yang
kuat antara imigran dengan daerah asal ditandai dengan
adanya semacam “bagasi budaya” yang dibawa orang tua
dan mengirimkannya ke generasi selanjutnya.
2. Generasi Kedua Transmigrandi Indonesia.
Istilah transmigrasi dalam hal pemindahan penduduk
di Indonesia digunakan oleh pemerintah Indonesia terutama
setelah kemerdekaan tahun 1949. Tujuannya adalah untuk
meringankan tekanan penduduk dan meningkatkan
kesatuan dan persatuan bangsa. Pada waktu itu tahun 1950
Presiden Soekarno istilah transmigrasi “masalah hidup dan
mati bagi bangsa Indonesia”. Pada tahun 1965, Soekarno
menetapkan target pemindahan penduduk sebanyak 1,5 juta
orang per tahun, setara dengan peningkatan populasi pulau
Jawa waktu itu (Jones 1979 dalam Fearnside. P, 1997).
Pada masa era Presiden Suharto (masa orde baru)
usaha untuk mempercepat program transmigrasi semakin
intensif, karena dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk dapat menghalangi pembangunan nasional. Sejak
tahun 1969, perencanaan pembangunan di Indonesia di
rancang dalam Repelita, atau rencana pembangunan lima
tahun. Pada tahun 1989 total kumulatif keluarga yang
41
sampai tiga kali yang pindah secara spontan (Fearnside,
P.M, 1997).
Transmigrasi umum (TU) merupakan jenis
transmigrasi yang disponsori telah dipindahkan mencapai 1
juta KK atau sekitar 5 juta jiwa, dan ditambah dua oleh
Pemerintah. Dalam program ini pemerintah menyediakan
transportasi ke lokasi permukiman, infra struktur, rumah
dan tunjangan hidup sampai mereka dapat menghasilkan
panen pertama. Bidang pertanian merupakan dukungan
untuk sebagian besar transmigran yang pindah selama ini.
Dalam pola transmigrasi normal, setiap keluarga menerima
0,25 ha untuk rumah dan pekarangan 1,0 ha untuk potensi
daerah sawah, dan 0,75 ha lahan pertanian dataran tinggi.
Dalam proyek transmigrasi yang dimulai tahun 1970-an, di
Provinsi Jambi dan Sumatera selatan seperti Rimbo Bujang,
diberi tambahan 3 Ha kepada transmigran untuk menanam
karet (Suratman dan Guinnes dalam Fearside, 1997).
Generasi Kedua adalah suatu istilah yang digunakan
yang dapat memberikan tantangan baik sebagai gagasan
deskriptif dan sebagai kategori analitik. Penggunaan istilah
yang paling umum adalah terkait dengan “Keturunan
Generasi Pertama”, untuk daerah tujuan transmigrasi di
Indonesia.
Berdasarkan pelaksanaan transmigrasi yang telah
berjalan cukup lama di Indonesia (khususnya) sejak Repelita
(1969/1970) sampai saat ini diduga sudah terjadi berbagai
perkembangan. Dalam kurun waktu 47 Tahun pelaksanaan
transmigrasi di Indonesia tidak saja telah menghasilkan
generasi kedua, bahkan telah melahirkan turunan ketiga.
Meningkatnya roda perekonomian di lokasi transmi-
grasi berdampak terhadap peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM) anak-anak para transmigran. Banyak
diantara mereka yang berpendidikan sarjana dan kemudian
bekerja sebagai pegawai negeri di kantor-kantor
pemerintahan. Diantara mereka banyak juga yang secara
rutin berkunjung kedaerah asalnya di Jawa sekaligus secara
42
tidak langsung telah menunjukkan keberhasilan setelah
mengikuti program transmigrasi (Alihar, F,2012).
Dari tanah transmigrasi, muncul banyak orang
sukses. Mereka umumnya generasi kedua anak-anak
transmigran yang mengikuti jejak orang tuanya di kampung
yang baru. Ada yang jadi guru besar, dosen dan pengusaha.
Bahkan ribuan guru sekolah yang tentu secara prestasi dan
ekonomi lebih makmur dibandingkan dengan saudara-
saudara mereka di Pulau Jawa yang enggan menjadi
transmigran.
Pencapaian bidang pendidikan paralel dengan
keberhasilan di bidang ekonomi. Rata-rata anak-anak
transmigran mampu membuktikan diri menjadi
entrepreneurshipsejati di tanah rantau. Sebut saja Dominikus
Supriyanto, seorang pengusaha sepeda motor di Pasaman
Barat. (http://Tabloid Perempuan Indonesia Transmigrasi
Sukses, 30 Desember, 2013). Keberhasilan lain seperti
dikutip dari Dewabrata (2007) generasi kedua yang
merupakan anak-anak dari para transmigran seperti Arbain,
yang menikmati kerja keras orang tuanya. Mereka bisa
menyekolahkan anaknya ke Jawa, membangun rumah dan
membeli berbagai perabot rumah. Lain lagi Sarno (37 tahun)
generasi kedua transmigran, kini menguasai 4,5 hektar
kebun karet. Dia mengaku sangat bahagia dengan
keberhasilan yang dicapai di bumi transmigrasi. Hasil
kebun karetnya bisa membangun 2 buah rumah yang relatif
mewah untuk ukuran desa transmigrasi.
Keberhasilan lain adalah telah menjadikan 125.000
keluarga petani plasma tangguh yang masing-masing
memiliki 2 Ha lahan tanaman pokok, 0,75 Ha lahan
pekarangan dan 0,25 Ha lahan perumahan. Rata-rata
pendapatan mereka lebih dari Rp 4-5 juta per bulan untuk
tanaman sawit, telah melunasi cicilan kredit yang diberikan
oleh Bank. Mereka juga telah menerima berbagai fasilitas
permukiman yang disediakan oleh pemerintah lebih baik.
Akan tetapi, usaha-usaha kerja keras yang telah dilakukan
43
oleh pemerintah dalam hal ini PT. Perkebunan Nusantara
(PTPN), Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi,
Pemerintah Provinsi, telah mencapai sasaran dengan
menyerahkan sepenuhnya kepada petani itu sendiri
ataupun kepada anak-anak mereka sebagai generasi kedua.
3. Aspek Kesejahteraan
Tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk
merubah suatu kondisi dari keadaan semula ke keadaan
yang lebih baik. Tujuan akhir pembangunan ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat tersebut, Amir
(2007) dapat dilihat dari:
a. Meningkatnya pendapatan masyarakat, adanya
distribusi dan pemerataan pembagian barang dan jasa.
b. Meningkatnya kualitas hidup masyarakat.
c. Berkembangnya perekonomian dan kehidupan social.
Dalam konteks lain dikatakan dengan pembangunan
terjadinya perubahan kesejahteraan masyarakat ke arah
yang lebih baik, dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.
Istilah kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang berarti
aman sentosa dan makmur dan dapat berarti selamat
terlepas dari gangguan, sedangkan kesejahteraan diartikan
dengan hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan
dari ketentraman (Dirdjosisworo, S. 2003).
James. W. Sasongko (2013) mengatakan kesejahteraan
adalah sesuatu yang utuh, meliputi kekayaan financial dan
kekayaan kehidupan, kesejahteraan juga soal perlakuan, dan
juga soal membangun lingkungan kerja yang layak.Kata
kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang dapat
diartikan terpenuhinyakeinginan secara lahir dan bathin.
Atau ketika manusia telah mampu untuk memenuhi
kebutuhan baik secara ekonomi maupun non ekonomi.
Pada bagian lain Ah Maftuchan et al (2016) memaknai
istilah kesejahteraan sebagai kondisi taraf hidup masyarakat
yang secara ekonomi dapat diukur dari pendapatan per
kapita. Pada hal, ukuran pendapatan per kapita tersebut
44
seringkali tidak mampu menjelaskan persoalan
ketimpangan manakala bagian terbesar dari pendapatan
nasional hanya dinikmati oleh segelintir penduduk lapisan
kaya dan super kaya. Kritik terhadap pendekatan ekonomi
ini telah menyebabkan munculnya dua aliran pemikiran
utama. (1). Kesejahteraan sosial mencakup tidak hanya
pemenuhan kebutuhan pokok tetapi juga keseluruhan aspek
kualitas hidup manusia. (2). Menempatkan kesejahteraan
sosial dalam lingkup artian yang terbatas, bahkan
cenderung sempit. Secara khusus aliran kedua ini berupaya
membedakan aspek pertumbuhan ekonomi di satu sisi,
dengan aspek kesejahteraan sosial di sisi lain.
Selanjutnya Dwiyanto, A et al (1998) dalam Nasikun
(1993) menyebutkan konsep sejahtera dapat dirumuskan
sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia.
Dalam konsep ini terdapat empat indikator yang digunakan
yaitu (1) rasa aman (security), (2) kesejahteraan (welfare),
kebebasan (freedom), dan (4) jati diri (identity). Keempat
indicator ini jelas mencerminkan variabel yang lebih luas
dibandingkan dengan hanya kesejahteraan sebagai variabel
ekonomi.
Masing-masing indikator tersebut dapat diterjemah-
kan lagi ke dalam ukuran yang lebih khusus. Rasa aman
dapat diketahui dari kerentanan terhadap kematian dan
kerentanan terhadap kemiskinan atau pengangguran.
Kerentanan terhadap pengangguran dilihat berdasarkan
jumlah penduduk yang tidak memiliki lapangan pekerjaan.
Keduanya sebenarnya juga mencerminkan kesejahteraan
(welfare) dalam arti sempit karena di dalamnya terkandung
variabel kesehatan fisik dan kepemilikan terhadap barang-
barang dan komoditas. Sedangkan untuk variabel ketiga
dan keempat merupakan indikator yang sulit di ukur
berdasarkan data makro. Indikator ini lebih bersifat
individu yang melibatkan mobilitas sosial, kepemilikan
waktu luang, aktualisasi diri tindakan kekerasan terhadap
anak dan keluarga.
45
Terkait dengan pembangunan ekonomi Irawan dan
Suparmoko (2014) mengatakan pembangunan ekonomi
adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu
bangsa yang seringkali diukur dengan pendapatan nasional.
Indikator ini merupakan salah satu besaran yang digunakan
untuk mengukur laju pembangunan dan perkembangan
tingkat kesejahteraan suatu negara dari waktu ke waktu.
Pendapatan nasional didefinisikan juga sebagai jumlah
barang-barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh
suatu negara pada periode tertentu, biasanya dalam satu
tahun.
Secara makro, Produk Domistik Bruto (PDB) juga
dapat digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan
sosial suatu masyarakat. Umumnya ukuran tingkat
kesejahteraan yang dipakai adalah tingkat pendidikan,
pengeluaran, kesehatan dan gizi, produktivitas, tingkat
tabungan, kebebasan memilih pekerjaan dan jaminan masa
depan yang lebih baik. Ada hubungan positif antara tingkat
PDB per kapita dengan tingkat kesejahteraan sosial, makin
tinggi PDB per kapita, tingkat kesejahteraan sosial makin
baik (Rahardja dan manurung, 2001).
Pada aspek mikro pengukuran kesejahteraan dapat
juga dilakukan dengan pendekatan teori produksi. Hal ini
dapat dilakukan dengan memperhatikan penggunaan
faktor-faktor produksi. Faktor produksi terdiri dari sumber
daya alam (lahan), sumber daya manusia (tenaga kerja),
modal dan keahlian. Dengan membandingkan penggunaan
input-input produksi yang dimiliki atau digunakan oleh
pemilik faktor produksi, dalam meningkatkan value added.
Pembangunan transmigrasi ke depan masih
dipandang relevan sebagai suatu pendekatan untuk
mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan
daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh
karena itu, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu
diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan
perubahan yang terjadi. Dengan perubahan tata
46
pemerintahan 2009-2014, penyelenggaraan transmigrasi
diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung
pembangunan daerah, melalui pendekatan peningkatan
produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan
kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan
pemerintah maupun swadana daerah melalui kebijakan
langsung maupun tidak langsung.
Salah satu faktor pendorong transmigrasi adalah
semakin sempitnya lahan pertanian yang dimiliki oleh para
petani di daerah asal dan bahkan tidak memiliki lahan sama
sekali untuk digarap. Dengan motivasi yang tinggi dan
harapan di tempat yang baru memperoleh kesempatan
untuk mendapatkan lahan yang lebih luas untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Dalam masyarakat transmigrasi alokasi
waktu merupakan faktor penentu terhadap jumlah produksi
yang dihasilkan. Sehingga dapat dikatakan besar kecilnya
jumlah pendapatan yang diperoleh terutama ditentukan
oleh penggunaan waktu yang dialokasikan untuk kegiatan
yang produktif.
Alokasi waktu dalam rumah tangga merupakan
sesuatu yang harus diatur dengan cermat. Pertimbangan
waktu tersebut dialokasikan untuk kegiatan bersenang-
senang dan bekerja di pasar. Becker (1965) dalam Elfindri
dan Bachtiar (2004) mengasumsikan bahwa waktu tidak
dapat dinikmati jika dalam mengkonsumsi barang-barang
tidak membutuhkan waktu. Secara serentak kepuasan yang
diperoleh berasal dari masukan waktu untuk menikmati
konsumsi dan masukan konsumsi yang dikonsumsi. Ini
berarti waktu yang digunakan untuk aktivitas tersebut
harus dinilai sebesar harga pasar setiap waktu yang
digunakan, dengan kata lain bila tingkat upah meningkat,
maka harga relatif waktu untuk aktivitas pekerja yang
menyita waktu juga akan meningkat. Meningkatnya
pendapatan rumah tangga berkorelasi positif dengan
pengeluaran konsumsi keluarga.
47
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pengeluaran konsumsi: (1) faktor-faktor ekonomi, (2) faktor-
faktor Kependudukan, dan (3) faktor-faktor non-ekonomi.
Faktor ekonomi menurut Rahardja dan Manurung (2001)
yaitu: (a) pendapatan rumah tangga, biasanya makin tinggi
tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi pula,
karena bila tingkat pendapatan meningkat, kemampuan
rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi
menjadi besar.(b) kekayaan rumah tangga, pengertian
kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riel (misalnya
rumah, tanah, dan mobil) serta finansial (deposito, saham,
surat-surat berharga). Kekayaan-kekayaan tersebut dapat
meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan
disposable.(c) tingkat bunga, jika tingkat bunga tinggi orang
cenderung menyimpan uang di bank karena lebih
menguntungkan ketimbang dihabiskan untuk konsumsi,
dan jika tingkat bunga rendah, yang terjadi adalah orang
cenderung meminjam uang untuk digunakan menambah
konsumsinya, dan (d) perkiraan tentang masadepan.Bila
rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik
pada saat ini, mereka akan lebih leluasa untuk melakukan
konsumsi, sehingga pengeluaran konsumsi cenderung
meningkat. Bila rumah tangga memperkirakan masa yang
akan datang makin jelek, mereka pun mengambil ancang-
ancang dengan menekan pengeluaran konsumsi, sehingga
tabungan akan meningkat.
Dalam konsep pembangunan transmigrasi kedepan
hal yang ingin dicapai adalah, secara internal transmigrasi
dapat meningkatkan kesejahteraannya dibandingkan
dengan kondisi di daerah asal. Penyediaan lahan oleh
pemerintah pada awalnya sebanyak 2 Ha. Lahan tersebut
hanya diperuntukkan bagi kelangsungan hidup
transmigrasi dan keluarganya satu generasi. Berdasarkan
kondisi di lapangan saat ini transmigrasi telah mempuyai
keturunan sampai dengan generasi kedua, bahkan generasi
ke tiga. Sementara itu anak-anak mereka telah masuk dalam
48
usia kerja, sehingga waktu yang tersedia untuk kegiatan
yang produktif semakin bertambah. Seiring dengan semakin
bertambahnya waktu yang dapat dimanfaatkan di pasaran
kerja sementara lahan yang akan diolah terbatas maka
banyak waktu yang terbuang. Konsekuensinya dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya dibutuhkan
lahan yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan mereka,
sedangkan pemerintah daerah dalam hal ini punya
keterbatasan untuk menyediakan lahan untuk itu. Jika hal
ini yang terjadi tentu akan berdampak terhadap pemupukan
modal (investasi). Bila hal ini tidak diperhatikan tentu akan
menjadi beban bagi transmigrasi dan keluarganya dan akan
mengganggu kesejahteraan transmigrasi. Seperti apa yang
dikatakan oleh salah seorang generasi kedua transmigran
(Sudarno, 2012) yang dikutip dari Syafwan, B (2012)
sebagian dari transmigrasi kehidupannya mulai membaik,
sebaliknya ketersediaan lahan berkurang. Oleh karena itu
orang tua harus mencarikan alternatif untuk kehidupan
anak-anaknya, mereka disekolahkan supaya ada bekal
hidup diluar kebun yang dimiliki orang tuanya.
Alternatif yang akan dilakukan adalah bagaimana
agar generasi kedua tidak tergantung hanya terhadap lahan
yang ada dan mereka juga tidak terjebak hanya di sektor
pertanian. Dengan berbekal tingkat pendidikan yang
dimiliki oleh generasi kedua yang lebih baik, maka peluang
kerja tidak hanya dapat diperoleh di daerah transmigrasi di
bidang pertanian, akan tetapi semakin terbuka di sektor non
pertanian baik di kawasan transmigrasi maupun diluar
kawasan transmigrasi. Berdasarkan kondisi tersebut
diharapkan ke depan transmigrasi tidak menjadi beban
tambahan bagi pemerintah di era otonomi daerah.
Berdasarkan teori, pendapat dan penjelasan yang
telah diuraikan sebelumnya dalam upaya untuk mengetahui
keberhasilan pelaksanaan program transmigrasi di Provinsi
Jambi dibandingkan kesejahteraan yang dicapai dari
generasi ke generasi. Sebagai indikator dalam kesejahteraan
49
generasi kedua transmigran digunakan beberapa variabel
yang bersifat lebih mikro atau individual. Variabel-variabel
tersebut lebih mencerminkan karakteristik ekonomi
dibandingkan dengan variabel non ekonomi.
a. Kepemilikan lahan, dalam hal ini dibandingkan luas
kepemilikan lahan rata-rata yang dikuasai oleh generasi
kedua dengan generasi pertama.
b. Kondisi perumahan,hal ini dapat tergambar dari
beberapa indikator berikut: Luas lantai per kapita, Jenis
lantai terluas, Jenis dinding terluas dan Jenis atapterluas.
c. Kepemilikan asset rumah tangga, beberapa indikator
yang digunakan dalam riset ini adalah: Kepemilikan
mobil, Kepemilikan sepeda motor, Kepemilikanmesin
cuci, dan kepemilikan kulkas.
d. Penghasilan dan tabungan, merupakan jumlah barang
dan jasa yang diperoleh responden yang berasal dari
pekerjaan utama dan sampingan dalamkurun waktu
tertentu. Sedangkan tabungan merupakan bagian dari
pendapatan yang tidak dikonsumsi oleh responden akan
tetapi merupakan investasi.
e. Aspek ketenagakerjaan, kesejahteraan dapat juga di
ukur denganmembandingkan: Status pekerjaan,
Lapangan usaha, Jenis pekerjaan dan Jam kerja.
f. Pendidikan,pendidikan formal yang ditamatkan oleh
responden merupakan Salah satu indikator untuk
mengukur tingkat kesejahteraan secara sosial.
Beberapa indikator kesejahteraan tersebut juga
digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Junaidi
(2012) dengan berpedoman pada data PODES 2008, dan
Sensus Ekonomi 2006. Keenam indikator yang digunakan
untuk mengukur tingkat kesejahteraan generasi kedua
transmigran akan dilakukan pengujian secara deskriptif dan
untuk beberapa indikator tertentu selain uji deskriptif juga
dilanjutkan dengan uji Chi Kuadrat.
50
4. Permukiman Kembali di Negara-Negara Lain
Perpindahan penduduk (migrasi) merupakan bentuk
relokasi sumber daya modal manusia. Sebagaimana halnya
sumber daya fisik, sumber daya manusia cenderung untuk
pindah (dialokasikan) pada daerah yang memberikan nilai
tambah (value added) yang relative lebih tinggi. Migrasi juga
dapat berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi di
daerah asal dan tujuan. Migrasi dapat pula merupakan salah
satu jalan untuk memperbaiki standar hidup dan
kesejahteraan seseorang dan keluarganya (Alatas,1995).
Dalam teori ekonomi disebutkan bahwa, mekanisme
pasar akan mampu untuk mengalokasikan sumber daya
secara efisien. Mekanisme pasar akan berlangsung
berdasarkan kekuatan demand dan supply. Cara kerja ini akan
cepat menunjukkan dimana terjadinya kelebihan
permintaan (excess demand) dan kelebihan penawaran
(excess supply). Apabila mekanisme pasar gagal berada
pada arah yang diinginkan (benar), untuk itu diperlukan
adanya intervensi pemerintah agar mekanisme pasar
memberikan hasil sesuai dengan keinginan.
Terkait dengan alokasi sumber daya manusia, ketika
migrasi berada pada arah yang tidak sesuai (katakanlah
pindahnya penduduk dari desa ke kota, sedangkan kota
sudah memiliki jumlah penduduk yang begitu padat atau
terjadi perpindahan penduduk dari daerah yang jarang ke
daerah yang padat penduduknya), maka perlu campur
tangan pemerintah untuk membuat migrasi berjalan ke arah
yang benar. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah
tersebut adalah melalui transmigrasi atau yang dikenal
secara umum sebagai bentuk permukiman kembali
penduduk (Junaidi, 2012).
Permukiman kembali penduduk adalah konsep yang
sudah populer, sejak kebijakan distribusi penduduk dimulai
dan semakin penting dalam mengatasi masalah
kependudukan, terutama ketimpangan persebaran
penduduk. Permukiman kembali diterjemahkan dari kata
51
resettlement. Settlement bermakna a place where people have
come to live and make their homes, especially where few or no
people lived before. Sedangkan to resettleberarti to go and live in
a new country or area.
Kata lain yang terkait dengan resettlement antara lain
relocation, movement, passage, exodus, immigration.Dengan
demikian permukiman kembali didefinisikan sebagai
kegiatan memindahkan penduduk dari suatu tempat ke
tempat yang lain dengan tujuan menetap (Soegiarto, at al.
2005).
Permukiman kembali merupakan kegiatan yang di
dalamnya mengandung pemahaman tentang penduduk
yang pindah. Penyelenggaraan perpindahan penduduk ini
tidak hanya terdapat di Indonesia. Di Asia antara lain
Thailand, Malaysia dan Vietnam. Di Amerika Latin
diantaranya Peru, Paraguay dan Brazil. Di Afrika seperti
Tunisia, Ghana dan Nigeria. Permukiman kembali
penduduk di setiap negara memiliki latar belakang dan
sasaran-sasaran yang berbeda, kendati demikian pada
dasarnya alasan tersebut mencakup kepentingan-
kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya dan Hankam,
bahkan dalam upaya untuk pemantapan ideologi
(Yudohusodo, 1997).
52
Tabel 2.1 Komparasi Tujuan Program Permukiman Kembali
pada Tujuh Negara.
No. Persamaan Negara
1 Demografi (penyebaran
penduduk,
Distribusi penduduk)
Thailand, Malaysia, Vietnam,
Indonesia, Tunisia, Brazil
2 Sosial (pengentasan
kemiskinan,
Pengangguran, reformasi
agraria)
Thailand, Malaysia, Vietnam,
Indonesia, Tunisia, Brazil,
Australia
3 Ekonomi (pembangunan
daerah,
Pengembangan areal pertanian)
Thailand, Malaysia, Vietnam,
Indonesia, Tunisia, Brazil
4 Politik (interaksi sosial budaya,
Geopolitik, integrasi politik)
Thailand, Malaysia, Vietnam
Indonesia, Tunisia, Brazil,
Australia
No. Keunikan Program, Negara
1 Mengisi pembangunan pusat-
pusat
Industry, jarak dekat
Self DefenseVillages,
Thailand
2 Sosial Ekonomi, bukan Cuma-
Cuma
(no charity)
FELDA, Malaysia
3 Lintas Etnis, interaksi sosial
budaya
Zone Ekonomi Baru, Vietnam
4 Pembangunan infra struktur
dan permukiman, skala kecil Namatjira, Australia
5 Ekonomi skala kecil Lembah Majerda, Tunisia
6 Pertahanan keamanan,
reformasi agraria
Incra Precidencia, Brazil
Sumber: The Oxford World Atlas, 1994 dalam Soegiarto at al,
2005.
Berdasarkan Tabel 2.1, Soegiarto, et al (2005)
menyatakan tujuan umum program permukiman kembali
mempunyai persamaan antara satu negara dengan negara
lain.Perbedaan yang ada lebih disebabkan oleh spesifikasi
dan kondisional dari masing-masing negara oleh karena itu
53
pembahasan lebih ditekankan pada persamaan daripada
perbedaan yang ada. Dalam konteks penyelenggaraannya,
dijumpai pula beberapa perbedaan dan persamaannya
dengan program transmigrasi di Indonesia. Model tersebut
mencakup seleksi lokasi, seleksi calon pemukim, serta
pemilihan dalam komoditas dan pembagian lahan.
5. Seleksi Lokasi
Seleksi lokasi merupakan kegiatan yang paling utama
dilakukan dari serangkaian kegiatan permukiman
penduduk. Secara umum penentuan wilayah di dasarkan
pada tujuan untuk mengurangi jumlah penduduk. Seleksi
lokasi dilakukan untuk memantapkan penentuan areal
permukiman yang diharapkan dapat memberikan
kehidupan yang lebih aman dan lebih baik bagi penduduk
yang dimukimkan. Terdapat variasi dalam hal pembagian
wilayah-wilayah padat penduduk sebagai target daerah
asal, dengan cakupan mulai dari provinsi sampai ke
kecamatan. Dijumpai pula pembagian wilayah berdasarkan
kawasan Utara dan Selatan, daratan tinggi dan rendah, serta
bentuk pertimbangan lainnya.
Di Vietnam, permukiman kembali penduduk dimulai
pada zaman kolonial Perancis. Setelah Perancis
meninggalkan Vietnam, Pemerintahan Vietnam mengambil
alih program pemindahan penduduk. Pemindahan
penduduk dilakukan dari Utara ke Selatan, dari kota ke
desa, dan dari dataran rendah ke dataran tinggi, serta dari
provinsi yang padat penduduk ke provinsi yang mempuyai
penduduk yang jarang. Perhatian pemerintah baru
diarahkan pada pemindahan penduduk dalam jumlah besar
dari kota Vietnam Selatan ke daerah perdesaan, ke daerah
asal mereka atau ke Zona Ekonomi Baru (Soegiarto, at al.
2005).
Di Malaysia, upaya permukiman penduduk lebih
mempertimbangkan terjadinya pemerataan pendapatan
antar wilayah dibandingkan pemerataan dalam jumlah
penduduk. Wilayah yang dipilih untuk menerima pemukim
54
terdapat di enam negeri bagian, tiga diantaranya negeri
bagian dengan pendapatan terendah yang terdapat di pantai
timur (Kelantan, Pahang dan Trengganu). Demikian pula
dengan wilayah yang berada di bagian utara Kedah, yang
merupakan wilayah berpenduduk jarang dibandingkan
dengan negeri bagian yang ada di bagian barat
semenanjung. Di Negara-negara Amerika Latin, secara
umum pemindahan penduduk merupakan permukiman
kembali penduduk dari wilayah dataran tinggi ke daerah
rendah beriklim tropis, kecuali Peru dimana era gurun
dipilih sebagai wilayah untuk kolonisasi pertanian (Junaidi,
2012).
6. Seleksi Calon Pemukim
Pertimbangan utama yang perlu diperhatikan dalam
seleksi calon pemukim adalah latar belakang pemukim,
keuletan serta keterampilan yang dimiliki. Ke semua faktor-
faktor tersebut tercermin dalam kriteria pemilihan seperti
umur, latar belakang keluarga, pengalaman di bidang
pertanian, serta motivasi dalam mengikuti program. Calon
pemukim yang lulus seleksi diberi pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan tujuan program permukiman
kembali yang dilaksanakan. Secara garis besar kriteria,
seleksi ini dapat dibedakan atas dua bentuk. Pertama kriteria
seleksi yang ditujukan pada kelompok penduduk yang
paling tidak beruntung, misalnya penduduk miskin dan
petani tanpa lahan atau yang berlahan sempit. Kedua,
kriteria seleksi yang ditujukan kepada sumber daya yang
lebih berkualitas dan memiliki inisiatif. Kedua bentuk
seleksi yang dilakukan ini menunjukkan orientasi dari
program yang dilaksanakan, apakah termasuk dalam
kerangka tujuan sosial atau ekonomi.
“Seleksi Untuk Tujuan Sosial”
Secara umum pelaksanaan permukiman kembali
penduduk di berbagai negara tidak semata-mata dalam
rangka penyeimbangan jumlah penduduk. Program ini
diselenggarakan lebih sebagai pendekatan untuk mencapai
55
tujuan yang lebih luas, termasuk tujuan-tujuan sosial. Model
permukiman kembali di Negara-negara ASEAN umumnya
memberi peluang kepada penduduk yang lebih tua
dibanding dengan usia migran spontan. Di bidang
pendidikan, secara umum peserta program permukiman
kembali memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan
penduduk dari daerah asal dibandingkan dengan tingkat
pendidikan kaum migran spontan. Di Indonesia peserta
transmigrasi memiliki tingkat pendidikan yang paling
rendah bila dibandingkan dengan mereka yang melakukan
kegiatan yang serupa di Negara-negara ASEAN lainnya.
Di Australia, program permukiman kembali
ditujukan bagi penduduk asli, yaitu suku Aborigin. Mereka
dimukimkan kembali karena tinggal di lingkungan tidak
sehat, seperti akomodasi yang buruk, kurangnya
infrastruktur kesehatan seperti buruknya penyediaan air
minum, buruknya buangan limbah, drainase yang tidak
memadai. Berdasarkan pengalaman di berbagai negara,
tujuan sosial juga dicakup dalam program-program
permukiman kembali yang mereka selenggarakan.Seringkali
karena pertimbangan sosial membuat program ini
dilaksanakan dengan mengabaikan faktor seleksi positif
(positive selection), yang sebenarnya sangat diperlukan
untuk mencapai keberhasilan program (Soegiharto, at al.
2005).
Di Thailand dan Malaysia, tujuan permukiman
kembali tidak mengutamakan tujuan demografis, akan
tetapi lebih banyak pertimbangan yang bersifat intra
provinsi. Melalui pendekatan ini pertimbangan kesamaan
dalam latar belakang dapat mengurangi potensi konflik
antara kaum pendatang dengan penduduk setempat.
Sementara itu di masa yang lalu, program permukiman
kembali di Indonesia dan Filipina kurang memperhatikan
intra provinsi, sehingga tujuan demografis merupakan
alasan utama program permukiman di kedua negara
dimaksud.
56
“Seleksi Untuk Tujuan Ekonomi”
Program permukiman penduduk tidak hanya
dimaksudkan agar terjadi perpindahan tempat atau
perpindahan secara geografis, akan tetapi merupakan
bagian dari sebuah rencana pembangunan nasional. Untuk
itu perpindahan penduduk kemudian diarahkan pada
tujuan ekonomi yang lebih spesifik, yang dikaitkan dengan
pembangunan daerah asal dan daerah tujuan. Tidak
berlebihan jika dikatakan penyelenggaraan permukiman
kembali dalam seleksinya lebih menekankan pada
pertimbangan sosial dan kemanusiaan dari pada tujuan
efisiensi ekonomi. Contoh aplikasinya pada skema FELDA
(Federal Land Development Authority) di Malaysia. Seleksi
permukiman diarahkan untuk memberi peluang kepada
mereka yang memiliki inisiatif yang tinggi, dan bukan
kepada mereka yang malas.
Diawali pada tahun 1961, skema FELDA menerapkan
sistem seleksi dengan memasukkan persyaratan berikut:
Warga Negara Malaysia, Peneroka (istilah untuk generasi
pertama Pemukim) berumur antara 18-35 tahun, berstatus
kawin, memiliki lahan kurang dari 2 acres(kurang dari 0,8
ha) dan dalam kondisi fisik sehat. Bagi pemukim yang
merupakan Pensiunan Polisi atau tentara umur mereka
tidak lebih dari 45 tahun. Sesuai dengan peraturan
pemerintah, untuk pensiunan pegawai negeri diberi kuota
sebesar 20 persen pada program permukiman kembali.
Selain itu, untuk pensiunan pegawai negeri, tidak
diberlakukan ketentuan harus memiliki keterampilan
bertani.
7. Pembagian Lahan dan Pemilihan Komoditas
Luas lahan yang dialokasikan kepada para pemukim
di lokasi barunya di berbagai negara ditetapkan secara
berbeda-beda. Keadaan ini sangat tergantung pada kondisi
lokasi, seperti tipe permukaan lahan, karakter tanah, tipe
tanaman, kondisi pasar, pengelolaan sumber daya, peralatan
57
yang digunakan, serta perubahan teknologi. Pemerintah
biasanya akan memberikan lahan dengan luasan yang dapat
memberikan kehidupan, dan luasnya disesuaikan dengan
kemampuan mereka mengolah lahan dengan bantuan
tenaga kerja keluarga.
Setiap keluarga kolonis di Thailand mendapat lahan
maksimal 50 rai (8 acre). Di Malaysia, lahan dengan luas 8-
10 acre bagi setiap peneroka merupakan batas minimum
untuk tanaman karet, dan 12 acre untuk tanaman kelapa
sawit. Di Vietnam, pertimbangan kesuburan tanah menjadi
faktor penentu dalam penentuan luas lahan yang
diserahkan ke pemukim. Untuk lahan yang dikategorikan
sangat subur akan menerima sekitar 0,5 Ha, dan 1sampai
2Ha diperuntukkan bagi pemukim yang memperoleh
wilayah hutan marginal.
Dalam pelaksanaan program transmigrasi di
Indonesia setiap transmigran memperoleh lahan yang
luasnya disesuaikan dengan pola usahanya. Luas lahan
yang diterima oleh transmigran berkisar antara 0,75 Ha
sampai dengan 2 Ha.
Dalam prosedur pembebasan tanah, di Filipina
Kementerian reformasi Agraria (Ministry of Agrarian Reform)
memindahkan pemukim ke lokasi permukiman kembali
yang merupakan tanah negara. Dalam kementerian tersebut
Bureau of Resettlementbertanggung jawab terhadap
Perencanaan,koordinasi dan implementasi program
permukiman kembali. Di Thailand, pada tahun 1942
dikeluarkan keputusan tentang alokasi lahan (the land
allocation act) untuk meningkatkan distribusi tanah negara
kepada petani tuna wisma. Selanjutnya program
permukiman kembali secara simultan dilakukan oleh
beberapa instansi. Instansi yang ikut menangani
diantaranya Departemen Sosial (Department of Public Welfare)
dalam Kementerian dalam Negeri (ministry of the Interior),
Departemen Pertanahan (the Department of Lands),
58
Departemen Koperasi (Department of Cooperates), dan
Agricultural Land Reform Office dari Kementerian Pertanian.
Di Malaysia, karena adanya konflik kepentingan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah federal,
menyebabkan permasalahan Land colonization menjadi
kompleks. Dalam usaha menyelesaikan masalah tersebut
pada tahun 1959 dibentuk Kementerian Pembangunan Desa
(Ministry of Rural Development), untuk melakukan
terobosan dalam struktur federal dengan mengambil alih
kewenangan pusat. Dalam periode 1961-1967, sebagai
bagian dari mandat, FELDA diberi kewenangan secara
langsung membangun tanah-tanah negara yang secara
tradisional merupakan properti para sultan. Kendati
demikian konflik mengenai kontrol atas tanah telah
mengakibatkan hambatan terutama di Kelantan. Namun
FELDA, yang memperoleh dukungan dari departemen-
departemen lain ikut berperan dalam penyelenggaraan
permukiman kembali (Soegiarto, at al. 2005).
Di Indonesia, dengan model transmigrasi dimana
setiap transmigran mendapatkan lahan yang luasnya sesuai
dengan pola permukimannya. Lahan untuk tujuan
transmigrasi ini dimiliki oleh pemerintah, yaitu berupa
tanah negara atau lahan bebas. Prosedur pembebasan lahan
dilaksanakan oleh institusi pemerintahan yang terkait,
seperti Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Negara
(BPN), Departemen tenaga Kerja dan Transmigrasi serta
pemerintah provinsi/kabupaten. Terdapat banyak variasi
dalam pemilihan komoditi tanaman. Di beberapa negara,
tujuan ekonomi permukiman kembali adalah untuk
meningkatkan produksi pangan, sedangkan di negara lain,
prioritas utamanya adalah untuk meningkatkan produk
tanaman ekspor.
Di Malaysia, para peneroka(pembuka daerah atau
tanah baru) tidak mempunyai pilihan lain untuk tanaman
komoditi utama. Pemerintah telah menetapkan karet
sebagai tanaman unggulan sebagai awal penyelenggaraan
59
skim FELDA. Dalam upaya diversifikasi pemerintah
menyiapkan lahan seluas 0,8 Ha untuk tanaman buah-
buahan, diluar lahan yang dibagikan dengan luas standar
2,4 Ha untuk tanaman karet. Pada tahun 1961 barulah
tanaman kelapa sawit diperkenalkan, dan ternyata tanaman
ini secara cepat dapat mengungguli areal komoditas karet.
Di Thailand, setiap lokasi permukiman kembali
memiliki tanaman campuran (mixed crop). Terutama
tanaman yang paling mudah beradaptasi dengan kondisi
lokal seperti jagung, padi, kacang-kacangan dan kelapa dan
kapas. Di Vietnam, pada awalnya tanaman yang
diprioritaskan adalah padi dan cassava. Pada waktu Zone
Ekonomi Baru di Vietnam dibuka dibawah Rencana Lima
Tahun ke empat, penggunaan lahan telah mengalami
diversifikasi dengan tanaman karet, kopi, teh, kelapa, lada
dan buah-buahan.
Terkait dengan keikutsertaan pemerintah dalam
memberikan subsidi kepada para kolonis, terdapat berbagai
bentuk pendapat. Secara umum pemerintah harus
menyediakan infra struktur dasar, termasuk pelayanan
masyarakat dalam mempersiapkan lokasi permukiman. Di
beberapa negara pemukim melakukan sendiri seluruh
kegiatan penyiapan lahan, sedangkan di negara lainnya
pembukaan lahan (land clearing) dan pembangunan lahan
sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah. Perbedaan dalam
hal ini disebabkan ketersediaan dana untuk penyiapan
lahan. Selain itu terjadinya variasi dalam penyiapan lahan
disebabkan skala usaha dan tujuan program premukiman.
Pada skema Self-helfdi Thailand para permukim
menanggung biaya yang cukup besar dalam pembangunan
fisik. Kebijakan membangun desa-desa dalam rangka
mengurangi migrasi keluar, juga telah memberikan
kontribusi positif bagi solusi permasalahan migrasi internal.
Model yang serupa juga di temui di Vietnam. Di Vietnam,
para tentara peserta program bekerja membersihkan lahan.
Pada tahap selanjutnya, sekelompok pemuda sukarelawan
60
mempersiapkan lahan dan membangun tempat tinggal
mereka.
Malaysia, melalui skema FELDA menerapkan capital
intensive, artinya mereka mengeluarkan dana yang tidak
sedikit untuk investasi dalam kegiatan pembukaan lahan,
pembangunan rumah dan penanaman tanaman. Dengan
demikian pengembangan lahan (land development) menjadi
suatu langkah efektif untuk memecahkan berbagai
permasalahan. Skema FELDA dengan mengeluarkan dana
yang cukup besar untuk pengembangan lahan telah
membuat para peneroka mampu menahan diri untuk
menetap di daerah permukiman.
Di Indonesia, secara umum terdapat dua tipe skema
penduduk. Ada model yang sepenuhnya dibiayai (subsidi)
pemerintah yang disebut dengan transmigrasi umum (TU),
dan yang dibiayai bersama oleh pemerintah, swasta dan
petani. Skema yang mirip dengan FELDA adalah program
transmigrasi Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Trans). Pada
pola ini pemerintah sangat berperan dalam penyediaan
berbagai fasilitas terutama dalam hal membuka lahan,
menyiapkan bibit non perkebunan, menanam dan
memelihara sampai tanaman dapat menghasilkan. Petani
(transmigran) dalam hal ini bertindak selaku plasma, yang
didatangkan untuk menetap. Selanjutnya mereka mengelola
kebun, memanen hasil dan membayar kredit sesuai dengan
kesepakatan bersama dengan investor, sedangkan
pembinaan teknis dan pemasaran hasil dilakukan oleh
pihak swasta selaku perusahan inti.
Berbeda dengan negara lainnya, lokasi untuk
permukiman transmigrasi ditentukan oleh Pemerintah
dalam hal ini pemerintah provinsi/kabupaten. Bentuk
penyiapan lokasi bervariasi tergantung dari kondisi lokasi
dan jenis transmigrasi.
Transmigrasi umum menerima bantuan paling
banyak dari pemerintah. Dalam hal luasan lahan yang
dibagikan untuk transmigran terdapat fleksibilitas. Proporsi
61
penggunaan lahan untuk pertanian subsistem pada
transmigrasi masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan
yang ada di negara-negara ASEAN lainnya. Sebagaimana
yang terjadi di kebanyakan negara, pada skim transmigrasi
terdapat tren yang jelas dalam peningkatan penggunaan
lahan untuk diversifikasi produk pertanian.
8. Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan pada akhir-akhir ini
menjadi suatu konsep pembangunan yang dapat diterima
oleh setiap negara di dunia untuk mengelola sumber daya
alam agar tidak mengalami kerusakan dan kehancuran di
masa yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan
diartikan sebagai pembangunan yang tidak menurunkan
kapasitas generasi yang akan datang untuk melakukan
pembangunan meskipun terdapat penyusutan cadangan
sumber daya alam dan memburuknya lingkungan, tetapi
keadaan tersebut dapat digantikan oleh sumber daya
manusia maupun sumber daya modal (Irawan dan
Suparmoko, 2014). Jadi dengan pembangunan berkelanjutan
harus dicari titik keseimbangan antara kebijakan
pembangunan dan kebijakan lingkungan, sehingga tercapai
kebijakan pembangunan ekonomi yang benar-benar
menjamin peningkatan kesejahteraan manusia dalam jangka
panjang.
Pembangunan berkelanjutan adalah proses
pembangunan yang mengutamakan prinsip memenuhi
kebutuhan pada waktu sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan pada generasi yang akan datang.
Salah satu faktor yang harus dihadapi dalam pembangunan
berkelanjutan adalah memperbaiki lingkungan tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan
keadilan sosial.
Selanjutnya pembangunan ekonomi yang
menghasilkan barang dan jasa demi pemenuhan kebutuhan
manusia akan dibarengi dengan meningkatnya produksi
limbah yang dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu
62
dalam pembangunan ekonomi ada aspek positif yaitu
adanya keberhasilan perekonomian dalam meningkatkan
barang dan jasa, sedangkan aspek negatif berupa semakin
terkurasnya sumber daya alam dan juga semakin
memburuknya lingkungan. Pembangunan berkelanjutan
bersifat multidisiplin, karena banyak aspek pembangunan
yang harus dipertimbangkan, diantaranya adalah aspek
ekologi, ekonomi, sosial budaya, hukum dan kelembagaan.
Terdapat berbagai persyaratan pembangunan berkelanjutan
yang dikemukakan oleh para ahli dengan aspek-aspek yang
hampir sama akan tetapi dengan cara serta pendekatan yang
berbeda.
Pada prinsipnya pembangunan berkelanjutan
merupakan upaya terpadu dan terorganisir untuk
mengembangkan kualitas hidup secara berkelanjutan,
dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya secara
berkelanjutan dengan prasyarat terselenggaranya suatu
sistem kepemerintahan yang baik (good governance).
Pembangunan berkelanjutan juga diartikan sebagai
pemaduan tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi. Secara
konseptual pemaduan ini masuk akal, akan tetapi
implementasinya tidaklah sederhana. Hal ini antara lain
karena permasalahan sosial,ekonomi dan ekologi yang
terpisahkan atau dipisahkan secara spasial (Simbolon, H B,
2009).
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali
diperkenalkan oleh The World Commission on Environment
and Development (WCED) pada tahun 1987 dengan laporan
yang berjudul Our Common Future ( Kay dan Alder, 1999
dalam Simbolon, HB, 2009). Laporan tersebut dibuat oleh
sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem
Brundtland, sehingga laporan tersebut sering disebut
Laporan Brundtland (The Brundtland Report). Dalam
laporannya terkandung definisi pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat
63
memenuhikebutuhan saat ini tanpa membatasi peluang
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan pengertian ini, maka Beller (1990)
mengemukakan prinsipJustice of fairness yang berarti
manusia dari berbagai generasi yang berbeda mempunyai
tugas dan tanggung jawab satu terhadap yang lainnya
seperti layaknya berada dalam satu generasi.
Pembangunan berkelanjutan merupakan proses
pembangunan yang mengandung prinsip memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi pada masa yang akan datang. Salah satu
faktor yang dihadapi untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan adalah memperbaiki kehancuran lingkungan
tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi
dan keadilan sosial.
Pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga
pilar tujuan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi (Munasinghe,
1993). Pilar pertama, pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi. Pilar
kedua, pembangunan sosial yang bertujuan untuk
mengentaskan kemiskinan, pengakuan jati diri dan
pemberdayaan masyarakat. Pilar ketiga adalah
pembangunan lingkungan yang berorientasi pada perbaikan
lingkungan seperti sanitasi lingkungan, industri yang lebih
bersih dan rendah emisi, serta kelestarian sumber daya
alam. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan dengan tujuan
ekonomi, sosial dan lingkungan dapat dilihat pada (gambar
5).
64
Gambar 5. Pilar-Pilar Pembangunan Berkelanjutan Sumber: Munasinghe, 1993
Pendekatan ekonomi dalam pembangunan
berkelanjutan didasarkan pada maksimisasi pendapatan
yang dapat digeneralisasikan saat pemeliharaan aktiva
(modal) yang menghasilkan keuntungan (manfaat). Hal ini
merupakan konsep optimalisasi dan penerapan efisiensi
ekonomi dalam menggunakan sumber daya alam. Dimensi
ekonomi merupakan bagian yang penting dan selalu
berkontradiksi dengan kepentingan pelestarian sumber
daya alam. Pendekatan ekologi untuk pembangunan
berkelanjutan difokuskan pada keseimbangan sistem biologi
dan sistem fisik, terutama pentingnya kelangsungan hidup
subsistem yang kritis untuk keseimbangan global dan
ekosistem yang menyeluruh (Adiatmojo, 2008).
EKONOMI Efisiensi
Pertumbuhan
EKOLOGI Sumberdaya
Alam
SOSIAL Keadilan
Pemerataan
Nilai-nilai Budaya
Partisipasi
Konsultasi
Penanggulangan Kemiskinan
Pemerataan Kelestarian
65
Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati
adalah aspek penting dan merupakan sebagai aspek kunci.
Sistem alami dapat diinterpretasikan ke dalam seluruh
aspek biosfer, termasuk lingkungan buatan manusia seperti
permukiman transmigrasi. Pendekatan sosial budaya dalam
pembangunan berkelanjutan adalah berusaha untuk
memelihara stabilitas sistem sosial dan budaya, yang
mempunyai bentuk-bentuk dan perilaku yang sudah
terpolakan, menciptakan kepercayaan dan nilai-nilai
bersama yang dirancang untuk memberi makna bagi
tindakan kolektif.
Pandangan pembangunan berkelanjutan yang
dikemukakan oleh Moffatt dan hanley dalam Adiatmojo
(2008), mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan
merupakan bagian penting yang harus mengintegrasikan
komponen-komponen sumber daya, yaitu komponen
ekonomi, komponen sosial budaya dan komponen
lingkungan secara serasi dan seimbang. Pemanfaatan
komponen-komponen sumber daya secara serasi dan
seimbang dimaksudkan untuk optimalisasi pemanfaatan
sumber daya pada saat sekarang tanpa mengurangi
kesempatan dan pemenuhan kehidupan generasi pada saat
mendatang.
Harger dan Meyer dalam Adiatmojo (2008)
mengatakan bahwa, dari masing-masing dimensi utama
dalam pembangunan berkelanjutan tersebut diuraikan
dalam beberapa kategori yakni, ekologi, ekonomi dan sosial.
Dimensi ekologi dengan kategori: penggunaan energi,
atmosfir, iklim; sistem yang berhubungan dengan air
(aquatic system); sistem terstrial; natural hazard dan biosfer.
Dimensi sosial dengan kategori; pertanian; penduduk;
kesehatan; urban system; kemiskinan; politik; pengelolaan
lingkungan; pendidikan; rural system; fasilitas publik dan
infra struktur serta masyarakat dan budaya. Dimensi
ekonomi dengan kategori; pertimbangan militer;
66
telekomunikasi; perdagangan; industri; transportasi;
bantuan luar negeri dan alih teknologi.
Berdasarkan berbagai pendapat tentang
pembangunan berkelanjutan, jelas bahwa setiap
pembangunan haruslah memenuhi ketiga pilar dan ketiga
indikator pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
berkelanjutan haruslah dapat memenuhi semua kebutuhan
dasar untuk semua generasi serta diberikan peluang yang
sama untuk mengejar cita-cita mereka agar memperoleh
kehidupan yang lebih baik, untuk masa sekarang maupun
di masa yang akan datang. Kebutuhan yang wajar haruslah
dilihat dari aspek sosial dan kultural, dengan
pembangunanberkelanjutan harus mampu untuk
menyebarluaskan nilai-nilai yang menciptakan standar
konsumsi yang berada dalam batas-batas kemampuan
secara ekologi.
Pada konsep pembangunan berkelanjutan tujuan
ekonominya adalah untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat transmigrasi dan masyarakat lokal. Tujuan
sosial adalah untuk mencegah terjadinya berbagai konflik
dan kesenjangan dan menciptakan keadilan dalam
kehidupan masyarakat, termasuk antara masyarakat asli
dan pendatang(transmigrasi). Sedangkan tujuan dari aspek
lingkungan adalah untuk menjaga keanekaragaman hayati,
konservasi lahan dan air. Untuk aspek teknologi
mengaplikasikan teknologi tepat guna, dan tujuan dari
aspek hukum dan kelembagaan adalah kepatuhan hukum
dan berfungsinya kelembagaan.
Pendekatan wilayah dalam pelaksanaan
pembangunan, khususnya dalam kaitan dengan
pelaksanaan otonomi daerah, menjadi penting karena
kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis antara satu
wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Budiharsono
(2001) mengatakan melalui pendekatan wilayah, upaya
pembangunan dapat dilaksanakan untuk memacu
pembangunan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan
67
pendapatan serta menjaga kelestarian lingkungan suatu
wilayah tertentu. Pembangunan wilayah berbeda dengan
pembangunan nasional yang dilaksanakan secara merata
dan menyeluruh, dan bukan pen-disagregasi-an dari
pembangunan nasional yang berbeda. Kondisi ini tentu
akan berbeda pula dengan pendekatan pembangunan
sektoral yang hanya bertujuan untuk mengembangkan dan
menyelesaikan permasalahan satu sektor tertentu, tanpa
memperdulikan keterkaitannya dengan sektor yang lain.
Konsep pengembangan wilayah memerlukan
berbagai teori dan ilmu terapan seperti geografis, ekonomi,
sosiologi, statistika, ilmu politik, ilmu lingkungan dan
sebagainya. Karena pembangunan dipandang sebagai suatu
proses multidimensional yang mencakup berbagai
perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping
tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi,
penanganan ketimpangan pendapatan, pengentasan
kemiskinan, sehingga dibutuhkan berbagai pendekatan
bidang ilmu (Todaro, 2000). Pembangunan wilayah pada
prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan perkembangan
wilayah menuju tingkat perkembangan yang diinginkan.
Pembangunan wilayah dilaksanakan melalui optimalisasi
pemanfaatan sumber daya yang dimilikinya secara
harmonis, serasi melalui pendekatan yang bersifat
komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan
budaya untuk pembangunan daerah ke depan (Misra, 1982).
Pembangunan sebagai suatu usaha atau rangkaian
usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan
pemerintahan menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa (nation building), untuk meningkatkan kesempatan
warga negara memperoleh kehidupan yang lebih baik
(Riyadi, 2004). Pembangunan harus dipandang sebagai
suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai
perubahan mendasar atas struktur sosial sikap-sikap
68
masyarakat dan institusi-institusi nasional, di samping tetap
mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan
ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan
(Syahroni, 2002). Pengembangan dapat diartikan usaha
untuk memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan
apa yang sudah ada. Kedua istilah tersebut sering
digunakan untuk maksud yang sama.
Pembangunan dan Pengembangan itu dapat dalam
bentuk fisik maupun non fisik. Pembangunan dan
pengembangan dapat pula dalam skala nasional, regional
dan lokal. Pembangunan dan pengembangan nasional
meliputi seluruh wilayah negara dengan penekanan
perekonomian. Pembangunan/pengembangan lokal
meliputi kawasan kecil dengan tekanan pada keadaan fisik.
Pembangunan atau pengembangan regional meliputi suatu
wilayah dengan tekanan utama pada perekonomian dan
tekanan kedua pada keadaan fisik (Jayadinata, 1986).
Pembangunan nasional mendorong berkembangnya
pembangunan regional dan dil ain pihak pembangunan
nasional memperkuat pembangunan regional. Keduanya
antara pembangunan nasional dan pembangunan regional
terdapat keterkaitan yang mengisi, sehingga membentuk
struktur perekonomian yang kokoh dan kuat (Adisasmita,
R, 2013).
Pengembangan wilayah walaupun secara eksplisit
dapat memiliki tujuan yang berbeda antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya. Akan tetapi secara umum akan
meliputi satu atau lebih dari tujuan-tujuan pembangunan
yang saling berkaitan antar wilayah. Menurut Tarigan (2005)
tujuan pembangunan yang bisa diatur di daerah secara lebih
baik, dan merupakan tujuan pokok tambahan adalah:
a. Terjaganya kelestarian lingkungan hidup.
b. Pemerataan pembangunan dalam wilayah
c. Penetapan sektor unggulan daerah.
69
d. Membuat keterkaitan antar sektor yang lebih serasi
dalam wilayah, sehingga menjadi bersinergi dan
berkesinambungan.
e. Pemenuhan kebutuhan pangan wilayah.
Terkait dengan pengembangan wilayah, menurut
Syahroni (2002) Tujuan pembangunan wilayah adalah ; (1)
mengurangi disparitas atau ketimpangan antar wilayah dan
antar sub-wilayah serta antar warga masyarakat
(pemerataan dan keadilan), (2) memberdayakan masyarakat
dan mengentaskan kemiskinan, (3) menciptakan atau
menambah lapangan pekerjaan, (4) meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat daerah, dan (5)
mempertahankan atau menjaga kelestarian sumber daya
alam agar bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi
masa mendatang, termasuk dalam hal kelangsungan
generasi transmigrasi.
C. KAJIAN TENTANG TRANSMIGRASI DI INDONESIA
Berbagai kajian tentang keberhasilan transmigrasi di
Indonesia telah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian yang
terkait dengan kelangsungan dan keberhasilan transmigran
pada tahapan lanjutan (anak-anak transmigran) atau disebut
juga “generasi ke dua’ sampai disertasi disusun ini belum
penulis temukan. Berpedoman pada pelaksanaan transmigrasi
yang berlangsung sudah cukup lama (sejak zaman kolonisasi
sampai dengan masa kemerdekaan, orde lama, orde baru dan
era reformasi yang ditandai dengan otonomi daerah) secara
jujur dapat dikatakan telah menunjukkan keberhasilan baik
dari sisi demografis maupun non demografis.
Dari sisi kuantitatif, sejak dimulainya pemindahan
penduduk dari wilayah yang padat di Pulau Jawa ke luar Pulau
Jawa (waktu itu kolonisasi) sampai era reformasi yang ditandai
dengan otonomi daerah telah mampu dipindahkan penduduk
sebanyak 405.390 KK atau setara dengan 1.498.760 jiwa. Namun
secara kualitatif, transmigrasi sebagai program yang bertujuan
untuk meningkatkan pemerataan pembangunan daerah dan
70
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, diharapkan dapat
berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan yang
memberikan dampak terhadap wilayah sekitarnya.
Sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang No.
15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Transmigrasi
diselenggarakan dengan tujuan yaitu: (1). Meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan penduduk sekitarnya, (2)
mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah, dan (3)
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui ketiga
tujuan tersebut transmigrasi diharapkan dapat memecahkan
permasalahan demografi, sosial, ekonomi dan politik.
Setelah otonomi daerah, terjadi pergeseran paradigma
transmigrasi dari yang eksklusif ke paradigmainklusif. Secara
konseptual telah memasukkan masyarakat desa-desa
sekitarnya sebagai bagian dari masyarakat transmigrasi. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang no. 15 Tahun
1997, dan Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2009, yang mengatakan lingkup
geografis kawasan transmigrasi terdiri atas permukiman baru
transmigrasi, desa-desa eks. Transmigrasi dan desa-desa
setempat.
Keadaan ini diperkuat lagi dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah No. 3 Tahun 2014 tentang Ketransmigrasian
khususnya pasal 7 ayat (1) berbunyi: Kawasan transmigrasi
sebagaimana dimaksud pada pasal 5, dibangun dan
dikembangkan di kawasan perdesaan sebagai sistem produksi
pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang memiliki
keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan dengan pusat
pertumbuhan dalam satu kesatuan sistem pengembangan.
Kemudian dalam pasal 10, dikatakan SKP paling sedikit terdiri
atas 3 (SP) dan paling banyak 6(SP). SP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pasal 11 berupa: (a). SP-Baru, (b). SP-Pugar, atau
(c). SP-Tempatan.
Hasil penelitian Junaidi (2012) dengan judul
“Perkembangan Desa-desa Eks Transmigrasi dan Interaksi
dengan Wilayah sekitarnya Serta kebijakan ke depan” (suatu
71
Kajian di Provinsi Jambi). Diperoleh kesimpulan (1).
Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ditentukan oleh
jarak lokasi permukiman terhadap pusat-pusat kegiatan, sarana
prasarana (terutama sarana jalan), komoditas utama
transmigrasi, karakteristik utama transmigran, lamanya
penempatan dan kinerja makro wilayah. (2). Berkaitan dengan
interaksi antara desa-desa eks transmigrasi dengan desa
sekitarnya dipengaruhi oleh berbagai fasilitas dan aktivitas
produksi yang tumbuh dan berkembang di desa-desa sekitar
permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional dalam
bentuk supply dan demand dengan desa-desa
transmigrasi.Faktor jarak dan tidak terbangunnya sistem
transformasi menjadi faktor penghambat dalam interaksi.(3).
Pencapaian kesejahteraan pada tingkat individu/keluarga
transmigrasi dipengaruhi oleh budaya (etos) kerja, pendidikan,
beban tanggungan keluarga dan kemampuan mempertahankan
kepemilikan lahan. Etos kerja yang lebih tinggi dari
transmigran asal Jawa menyebabkan mereka lebih sejahtera
dibandingkan transmigran lokal (asal Jambi).
1. Transmigran Generasi kedua di Berbagai Permukiman di
Indonesia.
Dalam konteks parsial banyak keberhasilan yang
telah dicapai oleh transmigrasi di berbagai kawasan di
Indonesia. Menurut data statistik (BPS, 2000) penduduk asal
Jawa di Sumatera Utara berjumlah 6 juta jiwa, maka
sebagian besar dari jumlah itu merupakan keturunan orang
yang bermigrasi pada era perkebunan masa kolonial di
akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20. Kemudian setelah
kemerdekaan perpindahan ini semakin meningkat terutama
mereka yang bekerja di sektor perkebunan, sehingga
muncul istilah buruh perkebunan Jawa yang dipekerjakan
di perkebunan yaitu “Jawa kontrak”dan berlaku juga untuk
keturunan mereka (generasi kedua dan seterusnya) yang
sudah lahir di Deli (Sumatera Utara) dan tidak lagi hidup di
komoditas perkebunan, tapi sudah memasuki berbagai
aspek lapangan usaha yang ada pada saat ini.
72
Di Provinsi Lampung, salah satu wilayah penempatan
transmigrasi adalah di Kecamatan Sumberjaya. Lokasi ini
telah di tempati oleh transmigran asal Jawa khususnya Jawa
Barat sejak tahun 1952, dan telah diresmikan sebagai
perkampungan baru oleh Presiden Soekarno pada waktu itu
(Pasya, 2004). Perkembangan terakhir, program transmigrasi
pemerintah tidak terlalu beorientasi pada wilayah
Sumberjaya, namun tetap saja migrasi spontan berdatangan
dari Pulau Jawa dan Bali. Sementara generasi keduanya
yang lebih memiliki sifat kewirausahaan lebih tinggi tertarik
pada kesuburan tanahnya. Hingga saat ini masih banyak
dasar lembah yang cukup luas untuk digunakan. Pada
tahun 1976 transmigran dari Suku Jawa dan Sunda
memanfaatkan kondisi lansekap yang tidak diminati oleh
suku Semendo (Suku yang pertama kali menempati wilayah
tersebut) untuk budidaya kopi, dan mengubahnya menjadi
pertanian sawah beririgasi (Charras dan Pain, 1993).
Kisah sukses generasi kedua transmigrasi juga
ceritakan oleh Ratna Sari (2012) adalah Mustafa salah
seorang penduduk transmigrasi yang tinggal di Kampung
Inggris Karang Indah Kecamatan Mandastana Kabupaten
Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Bisa dikatakan dia adalah
transmigran generasi kedua, karena lahir dan besar di
daerah tersebut. Kedua orang tuanya adalah transmigran
asal Jawa Timur yang sudah bertahun- tahun tinggal di
daerah itu. Mustafa inilah yang mengajarkan anak-anak dan
masyarakat berbahasa Inggris setiap harinya. Mustafa
sendiri merupakan salah seorang mahasiswa jurusan teknik
mesin UNY (Yogyakarta). Dia dibantu oleh 2 orang tenaga
yang juga sarjana Pendidikan Bahasa Inggris. Mereka
bertiga sama-sama alumni kampung Inggris Pare Kediri,
Jawa Timur.
Mustafa mengatakan masyarakat di kampung Inggris
ini memiliki kemauan yang tinggi untuk belajar. Sejak awal
tidak pernah ada penolakan ataupun keberatan dari pihak
mereka untuk diajarkan bahasa Inggris. Semangat ingin
73
maju yang mereka miliki cukup tinggi. Pada hal, kalau
dilihat pekerjaan mereka hanya berkebun dan bertani, tapi
masih mau diajak untuk belajar. Secara ekonomi tingkat
pendapatan masyarakat Desa Karang Indah yang berasal
dari produksi jeruk siam dan beras “Karang unus’ cukup
tinggi. Selain itu secara kelembagaan, sudah dibentuk BUD
yang menjadi badan pengelola usaha tersebut ucap
“Jamaluddin Malik”(2012) Dirjen Pembinaan Kawasan
Transmigrasi, Kemenakertrans (Dirjen P2Ktrans).
Di Desa Rimbo Bujang I yang merupakan bagian dari
Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo tercatat sebagai
Kawasan transmigrasi yang pertama di era Repelita di
Provinsi Jambi. Pada tahun 1976 penempatan transmigrasi
di Desa ini tercatat sebesar 500 KK atau setara dengan 2068
jiwa. Ketika itu masing-masing KK disediakan lahan seluas
2,5 Ha. Dengan lahan seluas tersebut diperuntukkan untuk
lahan pekarangan (0,5 Ha), Lahan usaha I sebesar (1,00 Ha)
dan Lahan usaha II seluas (1,00 Ha). Pada waktu itu lahan
pekarangan yang ada ditanami dengan tanaman-tanaman
muda seperti ubi kayu, sayur-sayuran, dan lahan usaha I
diperuntukkan untuk tanaman-tanaman seperti Nangka,
danJeruk. Sedangkan untuk lahan usaha II lebih
diperuntukkan untuk tanaman perkebunan terutama karet
yang baru dapat menghasilkan dalam kurun waktu yang
lebih panjang (DinSosNakerTran, Jambi 2008). Seiring
dengan perjalanan waktu penempatan transmigrasi di
kawasan transmigrasi ini telah berlangsung lebih kurang 40
Tahun. Selama kurun waktu tersebut telah banyak
keberhasilan yang dicapai dan tentu juga tidak terlepas dari
berbagai aspek yang masih kurang. Keberhasilan ini tentu
telah berdampak terhadap perkembangan anak-anak
transmigrasi (Generasi kedua) dalam berbagai aspek
kehidupan baik secara ekonomi, sosial budaya, politik
pemerintahan dan mobilitas.
Berdasarkan berbagai informasi dan Sosnakertran
(2008) transmigrasi (generasi kedua) di kawasan
74
transmigrasi daerah ini sudah menunjukkan berbagai
kemajuan yang dicapai. Sebahagian diantara anak-anak
transmigrasi yang telah berhasil di berbagai kegiatan baik di
sektor formal maupun informal. Baik yang masih
berdomisili di desa sendiri maupun telah keluar menuju
tempat yang baru. Mereka telah menekuni berbagai profesi
sebagai guru, Dosen, dokter dan keahlian lainnya. Di
samping itu juga menduduki berbagai jabatan baik di
pemerintahan, swasta dan menjadi wiraswasta.
Desa Sri Agung merupakan salah satu desa eks
transmigrasi dalam Kecamatan Batang Asam (ketika
penempatan Transmigrasi merupakan Kecamatan Tungkal
Ulu) Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Transmigrasi
pertama di desa ini dimulai tahun 1991, dimana waktu itu
komposisi transmigrasi dari pusat 70% dan transmigrasi
lokal 30 %. (Wawancara dengan Bapak Muhammad Hatta,
Kepala desa Sri Agung). Sebagian besar hasil pertanian desa
adalah tanaman Padi, selain Jagung, Ketela dan Sayuran
lainnya. Selain itu terdapat tanaman tua seperti Kelapa dan
kelapa sawit. Desa ini merupakan sentra produksi padi
untuk kecamatan Merlung bahkan untuk kabupaten
Tanjung Jabung Barat.
Produksi padi di daerah ini mencapai 4-5
ton/ha/panen, dan keinginan masyarakat dapat
ditingkatkan menjadi 6-7 ton/ha, bila irigasi yang ada dapat
dimaksimalkan dan penanaman padi dapat ditingkatkan
dari 2 kali menjadi 3 kali penanaman dalam se tahun. Hasil
produksi belum bisa ditampung di wilayah tersebut, dan
banyak yang di jual ke daerah tetangga (Riau). Hal ini
terjadi selain faktor kemudahan (pembeli datang) juga
karena harga yang lebih bersaing jika dijual ke Provinsi
sendiri (Jambi), sehingga alasan ekonomi merupakan alasan
yang paling tepat yang menyebabkan produksi lari ke
provinsi lain.
Berdasarkan data Monografi Desa tahun 2014, jumlah
penduduk desa Sri Agung tercatat sebanyak 4.360 jiwa atau
75
tergabung dalam 876 KK. Angka kelahiran di daerah ini
masih tergolong tinggi dengan TFR sebesar 3,8 dengan
jumlah anggota rumah tangga sekitar ± 5 orang. Penduduk
usia produktif (15 tahunke atas) tercatat sebanyak ± 63%.
Generasi kedua di wilayah transmigrasi sebagian
besar berada di desa sendiri, dan Desa Rawa Medang yang
sebelumnya merupakan pemekaran dari Desa Sri Agung.
Kebanyakan dari mereka melanjutkan usaha dari orang
tuanya sebagai perintis. Bagi generasi kedua yang memiliki
pendidikan lebih baik (SLTA ke atas) banyak yang bekerja
di bidang pertanian lainnya seperti Perkebunan, buruh
pabrik, menjadi sopir dan bidang lainnya. Bahkan telah ada
juga yang bekerja di sektor di luar pertanian diluar kawasan
transmigrasi seperti di bidang perdagangan, di kantor,
pembantu di toko, satpam dan sebagainya.
Berikut ini adalah kisah sukses generasi kedua
transmigran yang diceritakan oleh (Ria Efrianti, September
2012, generasi kedua transmigrasi Sungai Bahar, Muaro
Jambi, Provinsi Jambi). Orang tuanya bernama Sutrisno
(bapak) dan ibunya Demitun, mereka transmigran yang
berasal dari Kediri Jawa Timur yang mulai tinggal di Sungai
Bahar tahun1990, dan merupakan bagian transmigran
lainnya bersama-sama dengan transmigran asal Jawa
Tengah dan Jawa Barat.
Bapak Sutrisno berangkat dari kampung halamannya
berikut istri dan seorang anaknya bernama Erna Yulianti
yang pada saat itu baru berumur 2 tahun. Ketika
menginjakkan kaki di daerah yang baru desa Talang Datar
mereka disediakan lahan 0,25 Hektar untuk perumahan,
sebagaimana juga untuk transmigran yang lain memperoleh
jumlah yang sama per KK, kemudian disiapkan lahan ke II
masing-masing per KK seluas 2 Hektar yang diperuntukkan
untuk lahan perkebunan. Untuk lahan perkebunan ini
bekerja sama dengan PTPN yang tergabung dalam
Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Tran).
76
Beberapa waktu setelah tinggal di daerah
permukiman kemudian keluarga Sutrisno telah dikarunia 2
orang anak yaitu 1 orang perempuan dan yang bungsu laki-
laki, sehingga anggota keluarga bertambah menjadi 5
orang. Seiring dengan perjalanan waktu pada saat ini ketiga
anak-anak mereka telah dewasa dan bahkan yang tertua
telah berkeluarga pada tahun 2008. Pada saat ini telah
dikaruniai seorang cucu. Anak yang pertama tamat
perguruan tinggi di Jambi dan memilih profesi sebagai guru
karena lulusan fakultas Keguruan dan mengabdi di daerah
permukiman transmigrasi Sungai Bahar, dan suaminya
bergerak di bidang wiraswasta. Anak ke dua berada pada
semester akhir Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Jambi, sedangkan anak terakhir masih duduk di bangku
salah satu SMA di Kota Jambi.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan diperoleh
informasi bahwa kehidupan dari generasi kedua anak-anak
transmigrasi sebagian besar cukup berhasil. Ini ditunjukkan
dengan pendapatan yang diperoleh rata-rata antara Rp
4.000.000, - Rp 4.500.000,- per bulan. Di bidang sosial di
kawasan transmigrasi sampai saat ini telah ada 3 buah SMP,
dan 1 SMP satu atap dan tingkat SLTA terdapat 1 SMA dan
1 SMK. Sarana dan prasarana jalan raya di daerah eks desa-
desa transmigrasi sebagian telah di aspal, dan sebagian ada
yang masih pengerasan.
Generasi kedua transmigrasi, saat ini telah banyak
mengalami perubahan dan telah banyak yang melakukan
migrasi bertahap(chain migration). Ada yang melakukan
perpindahan dalam kawasan transmigrasi sendiri dalam
kecamatan yang sama, ada yang ke kecamatan lain dalam
kabupaten yang sama, ada yang diluar kabupaten dalam
provinsi yang sama bahkan sebagian kecil ada yang pindah
keluar dari Provinsi Jambi.
Berdasarkan pekerjaan yang ditekuni oleh generasi
kedua transmigran Sungai Bahar, mereka bekerja di
berbagai bidang. Sebahagian meneruskan bekerja di Sektor
77
Perkebunan sebagai petani sawit, buruh perusahaan. Diluar
itu terdapat juga yang bekerja di Bank, menjadi PNS,
Pedagang, bengkel, polisi, perawat dan lain-lain yang
tersebar baik di Kabupaten Muaro Jambi maupun di luar
kabupaten Muaro Jambi.
Desa Talang Datar sebagai salah satu desa Unit
Permukiman Transmigrasi (UPT), yang sekarang ini
merupakan desa eks transmigrasi di Sungai Bahar, hampir
semua wilayahnya ditanami dengan Kelapa sawit. Tercatat
luas Perkebunan Inti Rakyat (PIR) seluas 568 Hektar, dan
swadaya 194 Hektar. Jumlah penduduk menurut monografi
desa berjumlah 1.383 jiwa, yang tergabung dalam 206 KK.
Pendapatan rata-rata berkisar Rp 4,5-5,0 Jt per bulan, angka
ini telah diatas rata-rata pendapatan kabupaten Muaro
Jambi, maupun Provinsi Jambi.
Berdasarkan penempatan transmigran dapat
dibedakan transmigran program pusat sebesar 80% (yaitu
asal Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat) dan
transmigrasi lokal 20 % berasal dari Kabupaten Kerinci,
Jambi. Untuk transmigrasi lokal, terutama petani yang
dipindahkan akibat dari perluasan areal Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS). Pada tahun awal penempatan selain
Kelapa sawit, transmigran juga bercocok tanam padi,
Jagung dan tegalan. Kemudian setelah tahun 1993, hampir
semua lahan tanaman tersebut beralih fungsi ke perkebunan
kelapa sawit.
Seiring dengan perjalanan waktu pada saat ini,
sebagian besar dari perkebunan Kelapa sawit itu telah
memasuki masa penurunan produksi. Kegiatan selanjutnya
petani dihadapkan pada masalah penanaman kembali
(replanting), terkait dengan hal iniberdasarkan interview
sebagian telah berjalan karena sebelumnya para petani telah
mencicil biaya tersebut, dan ada juga sebagian kecil petani
menjual lahan dan dibelikan pada lahan yang baru. Bapak
Sutrisno sendiri pada saat ini tidak lagi menjadi petani
sawit, tapi beralih ke profesi pedagang pengumpulseiring
78
dengan semakin menuanya usia dan anak-anaknya telah
dapat berdiri sendiri dan tidak banyak lagi tergantung pada
orang tuanya.
2. Generasi Kedua Felda di Malaysia.
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) merupakan salah satu
pola perkebunan yang diperkenalkan di Indonesia sejak
tahun 1980-an, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) sebagai
salah satu pelaksana di lapangan, apakah sudah
sepenuhnya mencapai sasaran dalam meningkatkan
kehidupan petani (transmigran) dan turunan generasi kedua
transmigran.
Berpedoman pada usaha yang dilakukan oleh
Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan atau Felda (federal
Land Development Authority) Malaysia yang telah dimulai
sejak tahun 1956, model seperti ini telah menunjukkan
keberhasilan yang baik dicontoh oleh Indonesia. Berbeda
dengan generasi pertama sebagai perintis, dimana orang tua
mereka turut langsung kelapangan dalam membangun
kebunnya, mulai dari awal sampai membuka kawasan
hutan, menanam dan memelihara tanaman dari lahan
plasmanya.
Anak-anak generasi kedua petani tinggal menikmati
hasil jerih payah orang tuanya. Berdasarkan kajian
Sosiologis yang dilakukan oleh University Malaya dalam
Ismail, R (2007) anak-anak pemilik lahan yang berada pada
usia kerja (15-29 tahun berjumlah sebanyak 72,20 % kembali
menjadi tenaga buruh di Felda tersebut. Baik untuk tenaga
kerja laki-laki maupun perempuan. Untuk mereka yang
melakukan migrasi dari permukimannya tercatat menekuni
pekerjaan di sektor perindustrian dan buruh sebanyak 21,90
%, ketentaraan (9,60%), pembantu di toko (6,10%), serta
menjadi guru, pegawai rendah dan tinggi sebanyak
(11,40%). Selain itu pekerjaan yang ditekuni oleh generasi
kedua menyebar sebagai pembantu di klinik, sopir,
mekanik, tukang masak, tukang jahit, tukang kebun
kondektur bus, dan lainnya berjumlah (17,50%).
79
Menurut arah migrasi yang mereka lakukan
sebanyak 58,30% menuju kawasan perkotaan dan sisanya
41,70% melakukan perpindahan masih sekitar wilayah
permukiman. Berdasarkan angka pengangguran menurut
pendidikan yang ditamatkan diperoleh data, bahwa hanya
sekitar 1,00% tamatan Sekolah Dasar yang menganggur,
tamatan SMP sebanyak 19,20%, Lulusan SMA 30,00% dan
belum ada tamatan perguruan tinggi yang tercatat sebagai
pengangguran.
Kendatipun data statistik diatas hanya
mendeskripsikan keadaan permukiman di suatu kawasan,
namun demikian Felda menurut Ismail, R (2012) telah
menempuh kebijakan sebagai berikut: (1). Mewujudkan
generasi kedua yang terpelajar, bertanggung jawab, sadar
dan insaf tentang peranan mereka untuk kemajuan program
pembangunan. (2). Memberi dan menyokong usaha
pelajaran dan pendidikan. (3). Memperkenalkan sistem
hidup dan bekerja secara berkelompok dan terorganisir. (4).
Memberi dan menyelaraskan latihan-latihan kemahiran. (5).
Memberi peluang kerja yang sesuai dan sejajar dengan
kemampuan dan kesanggupan anak tersebut. (6).
Menyediakan kesempatan berniaga dan mandiri, melalui
proyek-proyek perniagaan dan perusahan swasta serta
memberi bantuan dan sokongan dana yang diperlukan,
serta (7). Memberi bantuan konsultasi dan bimbingan karir.
Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut,
sejak tahun 1985 Felda telah mendirikan sekolah hampir di
setiap kawasan permukiman. Kemudian mereka juga telah
mendirikan semacam biro pendidikan Felda di setiap
permukiman dan bekerja sama dengan Persatuan Orang tua
Murid (POM). Pada tingkat pusat, seperti kantor direksi di
PTPN mereka membentuk bagian Pendidikan dan
Pengabdian sosial Felda. Kegiatannya adalah untuk
membantu keuangan bagi pendidikan anak-anak petani
plasma yang berprestasi tetapi kesulitan dalam bidang
keuangan, dan bimbingan belajar bagi anak-anak yang akan
80
memasuki perguruan tinggi. Bahkan, Felda menyediakan
asrama bagi anak-anak yang tinggal di kota-kota yang ada
Universitasnya.
Beberapa puluh tahun kemudian, program ini telah
menunjukkan hasil yang menggembirakan dimana sudah
dapat dijumpai pada anak-anak petani di permukiman telah
banyak dari mereka yang menamatkan Sarjana, baik di
dalam maupun lulusan dari luar negeri. Tercatat lulusan
dari luar negeri seperti Amerika Serikat ataupun United
Kingdom, yang memiliki gelar Master maupun Doktor
dalam berbagai bidang ilmu tamatan dari luar negeri.
Mencermati apa yang telah dilakukan oleh Felda,
barangkali sesuatu yang mungkin juga dapat dilakukan
terhadap anak-anak generasi kedua petani plasma di
Indonesia. Karena kelapa sawit yang tumbuh di Indonesia
merupakan jenis yang sama tumbuh di Malaysia. Jumlah
produksi per hektar dan harga per kilogram juga tidak
berbeda diantara kedua negara. Lalu kenapa Indonesia
belum mampu berbuat seperti apa yang telah di lakukan
olehnegara tetangga tersebut? Masalahnya adalah kembali
kepada kemauan dari pemerintah dan menjadikan PIR
sebagai suatu badan usaha yang independen (Ismail, R,
2012).
3. Transmigrasi dan peningkatan kesejahteraan
Pembangunan merupakan suatu proses produksi dan
konsumsi dimana materi dan energi diolah dengan
memanfaatkan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja,
modal, mesin dan bahan baku. Dalam hal penyediaan bahan
baku dan proses produksi kegiatan pembangunan dapat
berdampak terhadap lingkungan alam dan masyarakat
sekitarnya (transmigran), dan pada gilirannya berdampak
pada kemajuan pembangunan.
Program transmigrasi telah terbukti mampu untuk
meminimalisir permasalahan kependudukan di Indonesia.
Beberapa pulau yang kepadatan penduduknya tergolong
tinggi seperti Jawa, Madura dan Bali, secara berangsur
81
mulai turun dan daya dukungnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup penduduk mulai meningkat. Sementara
pulau-pulau dengan potensi sumber dayanya melimpah,
akan tetapi memiliki keterbatasan dalam sum berdaya
manusia, telah berkembang dan mampu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan adanya penempatan
transmigrasi.
Konsep pembangunan transmigrasi merupakan
konsep pembangunan dengan pendekatan peubah
kewilayahan, yang mengacu pada struktur wilayah
pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi.
Berdasarkan kondisi tersebut, permukiman transmigrasi
lalu dirancang secara hirarki. Artinya terdapat hubungan
yang saling menopang dan terintegrasi dalam simpul-
simpul pusat produksi serta distribusi barang dan jasa
sehingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi
dan administrasi wilayah.
Berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 1997
tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah No.2
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi,
dijelaskan sasaran dan arah penyelenggaraan transmigrasi.
Sasaran penyelenggaraan transmigrasi adalah sebagai
berikut: (1) meningkatkan kemampuan dan produktivitas
masyarakat transmigrasi, (2) membangun kemandirian, dan
(3) mewujudkan integrasi di permukiman transmigrasi
sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan
berkembang secara berkelanjutan. Arah penyelenggaraan
transmigrasi adalah: (1) penataan persebaran penduduk
yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan
daya dukung lingkungan, (2) peningkatan kualitas sum
berdaya manusia, dan (3) perwujudan integrasi masyarakat.
Beberapa hal pokok yang menjadi konsep
pengembangan kawasan transmigrasi dalam konteks
menjalankan misi pembangunan transmigrasi, menurut
Simbolon, HB (2009) adalah sebagai berikut: (1)
pengembangan akan meliputi seluruh unit permukiman
82
dalam kawasan, baik permukiman transmigrasi,
permukiman penduduk tempatan dan areal potensial
sebagai calon permukiman, (2) mewujudkan kemudahan
interaksi antar unit-unit permukiman ke pusat
pertumbuhan ekonomi yang diusulkan, baik langsung
maupun secara berjenjang, (3) mengembangkan komoditi
potensial/unggulan di seluruh kawasan dengan pendekatan
sistem agribisnis melalui pemberdayaan ekonomi
kerakyatan dan menarik investor (kemitraan) untuk
pengembangan komoditi yang memerlukan investasi besar,
(4) mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada melalui:
pembukaan lahan usaha II yang masih lahan tidur,
pembukaan lahan tidur penduduk desa sekitar , dan
membuka areal produksi baru pada areal potensial dengan
memperhatikan prinsip clear and clear dan catur layak, (layak
huni, layak usaha, layak berkembang dan layak lingkungan)
dan (5) setiap program pemberdayaan transmigran selalu
melibatkan masyarakat desa sekitarnya.
Pada era otonomi daerah, urgensi dan peranan
kebijakan pembangunan daerah menjadi lebih besar dan
penting (Sjafrizal, 2008). Dalam kondisi demikian, masing-
masing daerah dapat menetapkan kebijakan pembangunan
berbeda sesuai dengan kondisi, permasalahan dan potensi
daerah bersangkutan. Setelah otonomi daerah terjadi
pergeseran pradigma transmigrasi dari ekslusif menjadi
pradigma inklusif. Hal ini berarti secara konseptual telah
melibatkan masyarakat desa-desa sekitar sebagai bagian
dari kawasan transmigrasi. Sebagai landasan yuridis telah
dinyatakan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1997,
Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1999 dan Undang-
undang No. 29 Tahun 2009, lingkup geografis kawasan
transmigrasi terdiri dari permukiman baru transmigrasi,
desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa setempat.
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997
tentang Ketransmigrasian dinyatakan bahwa salah satu
tujuan diselenggarakan transmigrasi adalah untuk
83
meningkatkan kesejahteraan transmigran dankeluarganya
serta penduduk sekitarnya. Adapun sasaran yang ingin
dicapai adalah meningkatkan kemampuan produktivitas
masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian, dan
mewujudkan integrasi di permukiman transmigrasi
sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan
berkembang secara berkelanjutan.
Program transmigrasi juga diselenggarakan sebagai
pendekatan untuk tujuan sosial. Transmigrasi diarahkan
untuk membagikan lahan kepada petani-petani yang
kurang beruntung, meningkatkan ekonomi keluarga,
pendapatan petani miskin, serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Faktor-faktor kependudukan yang berpengaruh
terhadap konsumsi adalah jumlah dan komposisi
penduduk. (a) jumlah penduduk, bila jumlah penduduk
bertambah pengeluaran konsumsi juga akan meningkat,
walaupun pengeluaran rata-rata per orang per keluarga
relatif rendah, namun secara absolut pengeluaran tetap
meningkat. (b) komposisipenduduk, makin banyak
penduduk yang ber usia kerja produktif makin tinggi
kebutuhan konsumsi. Makin tinggi tingkat pendidikan
masyarakat, tingkat konsumsinya juga makin tinggi, sebab
pada saat seseorang /suatu keluarga makin berpendidikan
tinggi, kebutuhan hidupnya makin banyak. Makin banyak
penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban)
pengeluaran konsumsinya juga makin tinggi. Sebab
umumnya pola hidup masyarakat perkotaan lebih
konsumtif dibanding masyarakat perdesaan.
Faktor-faktor non ekonomi yang paling berpengaruh
terhadap konsumsi adalah faktor sosial-budaya masyarakat.
Misal berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika
dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat
lain yang dianggap lebih hebat. Dalam kenyataannya sulit
memilah-milah faktor mana yang lebih dominan dan faktor
84
mana yang mempengaruhi mana sehingga menyebabkan
terjadinya perubahan/peningkatan konsumsi.
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian
terdahulu bahwa pelaksanaan transmigrasi di era otonomi
daerah, dihadapkan berbagai tantangan yang terkait dengan
perubahan tata pemerintahan. Otonomi daerah selain
menyebabkan pergeseran kewenangan penyelenggaraan
transmigrasi, juga pelaksanaan transmigrasi harus
disesuaikan dengan potensi dan karakteristik spesifik
daerah. Menyangkut semakin terbatasnya lahan
(fragmentasi lahan), peningkatan produksi selama ini
dengan cara ekstensifikasi mungkin tidak tepat lagi dan
perlu dikombinasikan dengan pola diversifikasi dan
intensifikasi. Untuk memperoleh lahan bagi permukiman
transmigrasi ke depan semakin dibutuhkan dana (investasi)
yang cukup besar. Oleh karena itu dalam rangka
pembangunan wilayah berkelanjutan dan agar transmigrasi
tidak menjadi beban bagi daerah penerima yang berakibat
pada kemiskinan, maka perlu direncanakan pemanfaatan
lahan (ruang). Hal ini dapat diwujudkan melalui keterkaitan
pengelolaan yang tepat antara sum berdaya alam, dengan
aspek sosial ekonomi dan budaya setempat.
Terkait dengan pola tanaman yang diusahakan oleh
transmigran di daerah penelitian dapat dibedakan atas
tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman pangan (padi).
Pola tanaman yang diusahakan tersebut telah berlangsung
dari generasi ke Generasi seperti yang terdapat di
Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten
Tanjung Jabung Barat. Keberhasilan yang telah dicapai oleh
transmigrasi tidak terlepas dari pada karakteristik sosial,
ekonomi dan budaya baik yang dibawa dari daerah asal
maupun yang telah tercipta dan berkembang di tempat
yang baru. Disisi lain karakteristik sosial, ekonomi dan
budaya untuk generasi kedua transmigran dan selanjutnya
juga akan berpengaruh terhadap sebaran permukiman
transmigrasi di masa yang akan datang.
85
Berkembangnya daerah transmigrasi diharapkan juga
akan semakin kuat interaksinya tidak saja dengan desa-desa
eks transmigrasi akan tetapi juga dengan desa-desa non
transmigrasi, sehingga terjadi keterkaitan yang saling
menguntungkan. Pada tahap berikutnya kesenjangan
pembangunan antara daerah transmigrasi dengan daerah
diluar kawasan transmigrasi dapat dikurangi. Dengan
demikian transmigrasi dapat memacu pengembangan
wilayah ke arah yang lebih baik, dan tidak menambah
beban bagi daerah tujuan.
Pengembangan kawasan transmigrasi ke depan perlu
dikelola dengan baik agar mencapai tujuan pembangunan
yang telah ditetapkan. Dalam konsep pembangunan
berkelanjutan telah ditetapkan tujuan ekonominya adalah
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat transmigran
dan masyarakat lokal, tujuan sosial untuk mencegah
terjadinya berbagai konflik dan kesenjangan serta
menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Di
bidang lingkungan menjaga keanekaragaman hayati,
konservasi lahan dan air. Aspek teknologi dimaksudkan
mengaplikasikan teknologi tepat guna, serta tujuan
dibidang hukum dan kelembagaan adalah untuk mentaati
hukum dan berfungsinya kelembagaan. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu adanya sinergi semua stakeholder yang
terkait dalam pengembangan kawasan transmigrasi.
Selektivitas terhadap calon transmigrasi perlu
dilakukan dengan serius terutama terkait dengan kualitas
sumberdaya. Orientasinya harus berubah dari target
populasi ke target peningkatan kemampuan, sehingga di era
Otonomi daerah transmigrasi tidak lagi menjadi beban bagi
daerah penerima.
86
BAB III
JAMBI: GAMBARAN UMUM,
PEREKONOMIAN DAN
TRANSMIGRASI
Pada bab ini akan dibahas tentang sisi geografis provinsi
Jambi mencakup topograsi, penggunaan lahan dan kependudu-
kan. Selanjutnya akan dijabarkan perekonomian provinsi Jambi
yang meliputi kesempatan kerja, ketanakerjaan, tingkat
pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan upah di Jambi. Di bagian
akhir bab akan dibahas secara umum transmigrasi di Jambi seperti
sejarah, penempatan dan asal transmigran.
A. LETAK WILAYAH DAN TOPOGRAFI
Provinsi Jambi secara geografis terletak di bagian tengah
Pulau Sumatera yaitu pada koordinat 0°45’- 245’LS dan 101°10’-
105°55’BT. Membujur dari pantai timur Pulau Sumatera ke arah
barat. Secara administratif provinsi ini berbatasan, sebelah
Utara dengan Provinsi Riau, sebelah Selatan dengan Provinsi
Sumatera Selatan, sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera
Barat dan sebelah Timur dengan Selat Berhala dan Provinsi
Kepulauan Riau. Posisi Provinsi Jambi cukup strategis karena
berhadapan langsung dengan kawasan pertumbuhan ekonomi
yaitu IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth
Triangle). Dengan kondisi yang strategis tersebut dimana
Provinsi Jambi terletak di kawasan ASEAN, Asia dan Pasifik
sehingga sangat prospektif, dalam perdagangan antar wilayah
maupun perdagangan Internasional dan diharapkan dapat
mendukung pemerintah dalam menjalin kerja sama untuk
meningkatkan kemajuan pembangunan daerah.
Luas wilayah Provinsi Jambi sesuai dengan Undang-
undang nomor 19 tahun 1957, tentang pembentukan Daerah-
Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau,
dan kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 61
Tahun 1958 (Lembaran Negara tahun 1958 nomor 112) adalah
87
seluas 53.435,72 km² yang terdiri dari daratan 50.160,05km² dan
perairan seluas 3.274,95km². Secara administratif, pada saat ini
Daerah Jambi terdiri dari 9 (Sembilan) kabupatendan 2 (dua)
kota.
Provinsi ini telah mengalami pemekaran wilayah, yang
sebelumnya terdiri dari 5 kabupaten dan 1 kotamadya.
Kabupaten yang mengalami pemekaran tersebut meliputi
Kabupaten Batanghari dengan ibukota Muara Bulian dan
Kabupaten Muaro Jambi dengan ibukota Sengeti. Kabupaten
Tanjung Jabung dimekarkan menjadi Kabupaten Tanjung
Jabung Barat dengan ibukota Kuala Tungkal dan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur dengan ibukota Muara Sabak.
Kemudian Kabupaten Sarolangun Bangko dipecah menjadi
Kabupaten Merangin dengan ibukota Bangko dan Kabupaten
Sarolangun dengan ibukota Sarolangun, selanjutnya Kabupaten
Bungo Tebo menjadi Kabupaten Bungo dengan ibukota
Muara Bungo dan Kabupaten Tebo dengan ibukota
Muara Tebo. Terakhir Kabupaten Kerinci dimekarkan menjadi
Kabupaten Kerinci dengan ibukota Siulak dan Kota Sungai
penuh dengan pusat pemerintahan di Sungai Penuh. Secara
keseluruhan Provinsi Jambi meliputi 138 kecamatan dan terdiri
dari 1551 desa dan kelurahan. Kabupaten Merangin merupakan
daerah Tingkat II yang paling banyak memiliki kecamatan (24
kecamatan), sedangkan Kabupaten Kerinci mempunyai
desa/kelurahan yang paling banyak dengan jumlah 287
desa/kelurahan (BPS, 2016). Berikut ini dapat diketahui luas
Daerah Jambi menurut kabupaten dan kota seperti disajikan
pada Tabel 3.1.1.
88
Tabel 3.1.1. Sebaran Luas Wilayah Provinsi Jambi
Berdasarkan Daerah Kabupaten/Kota, Tahun
2015.
Wilayah Luas(km²) Persentase
(%)
Kabupaten Kerinci 3.808,50 7,13
Kabupaten Bungo 6.461,00 12,09
Kabupaten Tebo 6.802,59 12,73
Kabupaten Merangin 7.451,30 13,94
Kabupaten Sarolangun 6.175,43 11,56
Kabupaten Batanghari 5.804,83 10,86
Kabupaten Muaro Jambi 5.246,00 9,82
Kabupaten Tanjab Barat 5.645,25 10,56
Kabupaten Tanjab Timur 5.444,98 10,19
Kota Jambi 205,78 0,38
Kota Sungai Penuh 391,50 0,73
Provinsi Jambi 53.435,72 100,00
Sumber: Bappeda Provinsi Jambi, tahun 2016.
Berdasarkan Tabel 3.1.1. diketahui bahwa
kabupaten/kota di daerah Jambi memiliki luas yang sangat
bervariasi. Kabupaten Merangin merupakan daerah tingkat II
yang paling luas yaitu sebesar 7.451,30 km² atau 13,94 persen
dari wilayah Provinsi Jambi diikuti oleh Kabupaten Tebo
(12,73%) dan Bungo dengan luas wilayah (12,09%). Kabupaten/
kota yang luas wilayahnya paling kecil adalah Kota Jambi,
yakni 205,78 km² atau hanya 0,38 persen dari luas Provinsi
Jambi secara keseluruhan.
Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemekaran
wilayah ini adalah agar pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat lebih baik, dan program kerja yang dilaksanakan
89
lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat. Dengan
demikian diharapkan akan berdampak terhadap penciptaan
lapangan kerja yang pada tahap selanjutnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Jambi
khususnya.
Menurut topografis wilayah, Provinsi Jambi dapat
dikategorikan dalam tiga (kelompok) variasi ketinggian yakni:
1. Daerah daratan rendah antara 0-100 meter dari permukaan
air laut (dpal) merupakan daerah yang terluas (69,10%) dari
keseluruhan luas Provinsi Jambi. Daerah daratan rendah ini
terdapat di Kota Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sebahagian Kabupaten
Batang Hari, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan
Kabupaten Merangin.
2. Daerah daratan sedang antara 100-500 meter dari
permukaan air laut (dpal) dengan luas wilayah sekitar 16,40
persen yang berada di wilayah tengah. Daerah dengan
ketinggian sedang ini berada di Kabupaten Tebo, Kabupaten
Sarolangun dan Kabupaten Merangin serta sebagian
Kabupaten Batang Hari.
3. Daerah dengan ketinggian lebih dari 500 meter dari
permukaan air laut (dpal) yang luasnya sekitar (14,50%)
umumnya terdapat di wilayah barat Provinsi Jambi. Daerah
perbukitan ini terdapat di Kabupaten Kerinci, Kota Sungai
Penuh, serta sebagian dari Kabupaten Tebo, Kabupaten
Merangin dan Kabupaten Sarolangun. Daerah ini masih
merupakan bagian dari bukit barisan dengan beberapa
gunung yang cukup tinggi seperti Gunung Kerinci dengan
ketinggian (3.805 m), Gunung Masurai (2.933 m), Gunung
Tujuh (2.605 m), dan Gunung Alas dengan tinggi 2.050 m.
Untuk lebih jelasnya ketinggian wilayah dalam Provinsi
Jambi menurut luas dan wilayah kabupaten/kota disajikan
pada Tabel 3.1.2.
90
Tabel 3.1.2. Klasifikasi Topografi/ Ketinggian Wilayah di
Provinsi Jambi.
Topografi/ketinggian
(m/dpal)
Luas Wilayah/
Kabupaten Ha %
Dataran Rendah
(0-100) 3.431.165 69,10
Kota Jambi, Tanjab
BaratTanjung Jabung
Timur, Muaro Jambi,
Merangin, Batanghari
Dataran Sedang
(100-500) 903.180 16,40
Sebagian Batanghari, Kota
Sungai Penuh, Merangin,
Sebagian Sarolangun,
Tebo, Sungai Penuh,
Merangin, dan sebagian
Kabupaten Bungo
Dataran Tinggi
(>500) 765.655 14,50
Kerinci, Kota Sungai
PenuhSebagianMerangin,
sebagian Sarolangun dan
sebagian Kabupaten
Bungo
Sumber: Bappeda Provinsi Jambi, Tahun 2016
Pada umumnya wilayah Provinsi Jambi berada pada
dataran rendah yang ditandai dengan tanah-tanah yang penuh
air dan rentan terhadap banjir dengan pasang surut serta
banyaknya sungai besar dan kecil yang melewati daerah ini.
Dengan iklim tropis basah yang bervariasi dimana curah hujan
hampir merata sepanjang tahun. Sebagian kecil saja wilayah
Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh
yang beriklim bukan tropis dengan temperatur rata-rata
bulanan terdingin dibawah 20° C. Berdasarkan kawasan
Provinsi Jambi memiliki hutan seluas 2.962.969 Ha, yang terdiri
dari taman nasional, suaka alam, hutan lindung, serta kawasan
hutan gambut sebesar 18 persen. Jumlah hutan produksi
terbatas tercatat 12,25 persen, hutan produksi tetap 36,22 persen
dan hutan konversi sebanyak 92.487 Ha (Bappeda, 2010).
1. Penggunaan Tanah
Berdasarkan luas wilayah menurut jenis tanah yang
ada di Provinsi Jambi menunjukkan jenis tanah yang
dominan adalah Podzolik Merah Kuning (PMK) dengan
luas 2.272.729 hektar atau 44,56 persen dengan
91
kesuburannya relatif rendah. Daya dukung lahan cukup
baik yang sangat potensial untuk pengembangan komoditas
pertanian dan perkebunan. Untuk jenis tanah Latosol dan
Litosol hanya sekitar 2.380 hektar atau 0,05 persen saja
(Bappeda, 2016).
Tabel. 3.1.3. Sebaran Penggunaan Lahan Di Provinsi Jambi
Tahun, 2015
No. Jenis Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Lahan Permukiman 49.631 1,002
2 Lahan Sawah Irigasi 40.446 0,817
3 Lahan Sawah Tadah Hujan 34.743 0,702
4 Lahan Sawah Lebak 33.271 0,672
5 Lahan Sawah Pasang Surut 70.719 1,428
6 Tegalan /Ladang 117.516 2,373
7 Kebun Campuran 112.787 2,277
8 Kebun Karet 1.284.003 25,926
9 Kebun Sawit 941.565 19,012
10 Kebun Kulit Manis 93.609 1,890
11 Kebun Teh 4.691 0,095
12 Semak dan Alang-alang 87.177 1,760
13 Hutan Lebat 1.433.470 28,944
14 Hutan Belukar 413.406 8,347
15 Hutan Sejenis 187.704 3,790
16 Lain-lain 47.757 3,790
Jumlah 4.952.495 100,00
Sumber: Bappeda Provinsi Jambi, Tahun 2016.
Berdasarkan karakter kawasan ekologinya,
perkembangan kawasan budidaya khususnya untuk
pertanian terbagi atas tiga daerah yaitu kelompok ekologi
hulu, tengah dan hilir. Menurut Nainggolan (2017) masing-
masing kawasan budidaya memilikikarakter khusus,
dimana pada kawasan ekologi hulu merupakan daerah yang
terdapat kawasan lindung dan pertanian tanaman pangan.
Ekologi tengah merupakan kawasan budidaya dengan
ragam kegiatan yang sangat bervariasi terutama
92
perkebunan dan pertanian tanaman pangan dan kawasan
ekologi hilir merupakan kawasan budidaya dengan
penerapan teknologi tata air untuk perikanan budidaya
perikanan tangkapdan pertanian tanaman pangan.
Berdasarkan Tabel 3.1.3. dapat dijelaskan bahwa
sekitar separuh (50,10 %) penggunaan lahan di Provinsi
Jambi diperuntukkan untuk lahan perkebunan. Dari jumlah
tersebut lebih separuhnya merupakan perkebunan Karet
diikuti untuk lahan perkebunan Kelapa Sawit, Kebun Kulit
Manis dan Kebun Teh. Sementara lahan yang digunakan
untuk kegiatan budidaya pertanian, baik pertanian lahan
sawah maupun pertanian bukan sawah mencapai sekitar
297 Ha, atau sekitar 7,56 persen, dan sisanya sebesar 42, 15
persen sebagian besar masih merupakan kawasan hutan
lebat.
2. Kependudukan
Salah satu modal dasar dan penting dalam
pembangunan adalah penduduk. Informasi tentang
penduduk, baik jumlah, pertumbuhan, persebaran, struktur
dan komposisi penduduk sangat dibutuhkan dalam
perencanaan pembangunan. Daerah dengan jumlah
penduduk yang besar dan berkualitas dianggap sebagai
asset potensial dan berguna dalam mendukung percepatan
pembangunan. Pertumbuhan penduduk merupakan
keseimbangan dinamis antara faktor-faktor yang menambah
dan faktor-faktor yang mengurangi jumlah Penduduk.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi tanpa diimbangi
dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, dapat
menimbulkan permasalahan dalam pembangunan. Berikut
ini pada Tabel 3.1.4 disajikan perbandingan laju
pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi dan Indonesia
periode 1971-2015.
93
Tabel 3.1.4 Perbandingan Laju Pertumbuhan Penduduk
Jambi dan Indonesia, Tahun 1971-2015.
No. Periode
( Tahun)
Jambi
(%)
Indonesia
(%)
1 1971 - 1980 4,07 2,31
2 1980 - 1990 3,40 1,98
3 1990 - 2000 1,84 1,49
4 2000 - 2010 2,56 1,49
5 2010 - 2015 2,34 1,38
Sumber: BPS Indonesia, Tahun 2016.
Tabel 3.1.4, menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
penduduk Provinsi Jambi selalu berada diatas rata-rata
Indonesia. Ini berarti peningkatan pertambahan penduduk
Daerah Jambi lebih cepat dari pertambahan penduduk
nasional. Pada tahun 1990 penduduk Daerah ini berjumlah
sebanyak 2.020.568 jiwa, kemudian bertambah menjadi
2.407.160 jiwa menurut Sensus Penduduk (SP) tahun 2000
dan menjadi 3.092.365 jiwa,(SP 2010) dan kemudian
menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS)
tahun 2015, telah meningkat menjadi 3.292.265 jiwa
(BPS,2016). Tingginya angka pertumbuhan penduduk
selama periode 1971 sampai dengan tahun 2015, tidak
terlepas dari pada variabel-variabel yang berpengaruh
terhadap kekuatan-kekuatan yang menambah dan
kekuatan-kekuatan yang mengurangi pertambahan
penduduk. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar
2,56 persen pada tahun 2010 kategori ini sudah tergolong
dalam peledakan penduduk atau Population explosion pada
tahun yang sama tingkat pertumbuhan penduduk secara
nasional sudah turun menjadi 1,49 persen atau disebut pada
tingkat pertumbuhan penduduk tergolong cepat atau Rapid.
Masih tingginya laju pertumbuhan penduduk di
Provinsi Jambi disebabkan oleh beberapa faktor terutama
faktor Demografi. Peubah yang dimaksud adalah Fertilitas,
Mortalitas dan Migrasi. Pertambahan alami (natural increase)
di Provinsi Jambi masih dibawah 2 persen yaitu selisih
94
antara jumlah Kelahiran dikurangi dengan kematian, hal ini
diyakini salah satu karena faktor keberhasilan dalam
program Keluarga Berencana. Akan tetapi bila dibanding-
kan jumlah penduduk yang datang ke Daerah Jambi
(migrasi masuk) dikurang dengan penduduk Jambi yang
meninggalkan Provinsi ini, maka diperoleh angka migrasi
neto positif. Hal ini berarti jumlah penduduk yang masuk ke
Provinsi Jambi lebih banyak daripada penduduk Jambi yang
meninggalkan daerah ini. Migrasi berkaitan erat dengan
pembangunan, sebab perpindahan penduduk merupakan
bagian integral dari pembangunan. Di samping itu adanya
pemindahan penduduk secara permanen oleh pemerintah
dalam bentuk program transmigrasi telah mempercepat
pertumbuhan penduduk suatu daerah.
Kepadatan penduduk tahun 2015 tercatat rata-rata
61,65 jiwa/km², dan angka ini telah meningkat dibanding
sebelumnya pada tahun 2000 dengan rata-rata 58 jiwa/km².
Kota Jambi mempunyai tingkat kepadatan yang paling
tinggi dengan densitas rata-rata 2.589 jiwa/km² dan Kota
sungai Penuh sebesar 210 jiwa/km². Tingginya kepadatan
penduduk di Kota Jambi dimungkinkan karena sebagai
ibukota provinsi merupakan pusat aktivitas ekonomi,
sebagai pusat pemerintahan, Industri dan perdagangan.
Kondisi ini telah menyebabkan kota ini menjadi salah satu
tujuan yang menarik bagi migran masuk (pendatang) tidak
saja yang berasal Kabupaten dan Kota di Provinsi Jambi,
tapi juga dari berbagai daerah di luar Provinsi Jambi.
Berdasarkan Tabel 3.1.5, juga dapat dijelaskan bahwa
sebaran dan jumlah penduduk Provinsi Jambi menurut
kawasan wilayah Barat dan Jambi kawasan Timur secara
relatif lebih berimbang. Jumlah penduduk di wilayah Barat
yang terdiri dari (Kerinci, Kota Sungai Penuh, Merangin,
Sarolangun, Bungo dan Kabupaten Tebo dihuni oleh
penduduk sekitar 48 % ), sedangkan untuk kawasan Timur
yang meliputi (Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi,
Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kota
95
Jambi) jumlah penduduk yang berdomisili tercatat sebesar
52 persen. Pengelompokan penduduk dapat juga disusun
menurut karakteristik tertentu, misal menurut umur dan
jenis kelamin.
Tabel 3.1.5. Sebaran Jumlah Penduduk dan Kepadatan
Penduduk Berdasarkan Kabupaten /Kota di
Provinsi Jambi, Tahun 2015.
No. Kabupaten/Kota
Luas
daerah
(km²)
Jumlah
Penduduk
Kepadatan
Penduduk
(Jiwa/km2)
1 Kerinci 3.355,27 229.495 68,40
2 Merangin 7.679,00 333.206 43,39
3 Sarolangun 6.184,00 246.245 39,82
4 Batanghari 5.804,00 241.334 41,58
5 Muaro Jambi 5.326,00 342.952 64,39
6 Tanjabbar 4.649,85 278.741 59,95
7 Tanjabtim 5.445,00 205.272 37,70
8 Tebo 6.461,00 297.735 46,08
9 Bungo 4.659,00 303.135 65,06
10 Kota Jambi 205,43 531.857 2.588,99
11 Kota Sungai
Penuh
391,50 82.293 210,20
Jumlah 50.160,05 3.292.265 61,65
Sumber: BPS Provinsi Jambi, Tahun 2017
Komposisi penduduk menurut umur dan jenis
kelamin merupakan pencerminan dari proses demografi
yang pernah terjadi pada masa lalu dan juga dapat
menggambarkan perkembangan penduduk pada masa yang
akan datang melalui proses kelahiran dan kematian.
Pengelompokan penduduk menurut kelompok umur dan
jenis kelamin juga akan dapat digunakan untuk mengetahui
perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan
perempuan atau juga disebut dengan istilah (Sex Ratio).
Jumlah penduduk Provinsi Jambi menurut kelompok umur
dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 3.1.6.
96
Tabel 3.1.6 JumlahPenduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Provinsi Jambi, Tahun
2015.
Kelompok
umur
Laki- laki
(L)
Perempuan
(P) (L +P)
Rasio
Jenis
Kelamin
(SR)
0-4 165.483 158.906 324.389 104,14
5-9 162.472 157.329 319.801 103,27
10-14 159.250 156.241 315.491 101,93
15-19 152.857 148.294 301.151 103,08
20-24 153.877 148.139 302.016 103,87
25-29 154.735 146.471 301.206 105,64
30-34 148.885 145.271 294.156 102,49
35-39 144.164 138.456 282.620 104.12
40-44 126.280 117.939 244.219 107,07
45-49 104.498 97.854 202.352 106,79
50-54 85.648 80.294 165.992 106,73
55-59 67.313 61.372 128.685 109,68
60-64 46.298 41.283 87.581 112,15
65-69 28.380 27.205 55.585 104,32
70-74 18.391 19.315 37.706 95,22
75+ 17.468 21.634 39.102 80,71
Total 1.736.468 1.666.003 3.402.052 104,20
Sumber: BPS Provinsi Jambi, Tahun 2017
Berdasarkan kelompok umur dapat diketahui bahwa
Penduduk Provinsi Jambi masih tergolong dalam struktur
umur muda (young population), hal ini ditandai oleh jumlah
penduduk yang berumur konsumtif (0 – 14 tahun dan usia
60 tahun ke atas) lebih besar dari 30 %. Penduduk usia
produktif di Provinsi Jambi yaitu mereka yang berumur 15–
64 tahun sebesar 65,62 %, dan sebanyak 6,47 % merupakan
penduduk dengan usia lanjut (usila). Dengan membanding-
kan jumlah penduduk usia produktif dengan penduduk
yang non produktif dapat dihitung Rasio ketergantungan
(Dependency Ratio). Rasio ketergantungan atau “rasio beban
97
tanggungan” penduduk Provinsi Jambi Pada tahun 2015
tercatat sebesar 62,25 persen. Ini berarti bahwa setiap seratus
penduduk yang produktif menanggung mereka yang tidak
produktif sebesar 62 orang. Semakin mendekati angka
seratus semakin besar beban tanggungan, sebaliknya
semakin kecil angka Dependency Ratio semakin sedikit
jumlah penduduk yang akan menjadi beban mereka yang
produktif. Hal ini juga berarti merupakan perbandingan
antara penduduk muda dan penduduk tua dengan
penduduk usia kerja.
Pada tahun 2015, rasio jenis kelamin (Sex ratio)
Penduduk daerah Jambi tercatat sebesar 104,20 atau 104 ini
berarti setiap seratus orang penduduk perempuan Provinsi
Jambi pada tahun tersebut, terdapat penduduk laki-laki
sebanyak 104 orang. Besar kecilnya rasio jenis kelamin di
suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
a. Rasio jenis kelamin waktu lahir (Sex ratio at birth). Para
ahli kependudukan mengajukan bahwa perbandingan
antara bayi laki-laki dengan perempuan pada waktu
lahir berkisar antara 103-105 bagi laki-laki per 100 bayi
perempuan.
b. Pola mortalitas antara penduduk laki-laki dan
perempuan. Jika jumlah kematian laki-laki lebih besar
dari kematian perempuan, maka rasio jenis kelamin
semakin kecil. Hal ini bisa terjadi misalnya, di suatu
daerah dengan pekerjaan yang berbahaya bagi laki-laki
seperti pertambangan dan peperangan (Nurdin dan
Adioetomo, 2010).
c. Pola migrasi antara penduduk laki-laki dan perempuan.
Jika suatu daerah memiliki rasio jenis kelamin lebih kecil
dari 100, maka hal ini berarti di daerah tersebut lebih
banyak penduduk perempuan, dan sebaliknya jika rasio
jenis kelamin lebih besar dari 100 suatu pertanda bahwa
daerah yang bersangkutan lebih banyak penduduk yang
memasuki daerah tersebut. Ini tentu akibat dari
tingginya mobilitas penduduk laki-laki ke Provinsi Jambi
98
dibanding perempuan Berpedoman pada komposisi
penduduk Provinsi Jambi tahun 2015, menurut umur
dan jenis kelamin dapat dikatakan bahwa banyaknya
jumlah penduduk laki-laki dibanding perempuan di
daerah ini lebih disebabkan karena faktor mobilitas
penduduk dibanding variabel fertilitas dan mortalitas.
Migrasi penduduk ke Provinsi Jambi baik itu dalam
bentuk migrasi spontan maupun dalam bentukprogram
yang dilaksanakan pemerintah seperti transmigrasi.
Berikut ini pada Tabel 3.1.7. disajikan penduduk
Provinsi Jambi yang berumur 15 tahun ke atas yang Bekerja,
Mencari Pekerjaan (pengangguran) dan Bukan Angkatan
Kerja menurut kabupaten/kota, tahun 2015.
99
Tabel 3.1.7 Penduduk Provinsi Jambi Usia 15 tahun ke
atas yang Bekerja, Mencari Pekerjaan dan
Bukan Angkatan Kerja menurut Kabupaten/
Kota, Tahun 2015.
No Kabupaten/
Kota
Angkatan Kerja Bukan
Angkatan
Kerja
Bekerja Mencari
kerja/
Pengangguran
Total
1 Kerinci 121.140 4.615 125.755 50.386
2 Merangin 158.682 9.020 167.702 91.787
3 Sarolangun 130.586 6.202 136.788 57.250
4 Batanghari 114.560 4.003 118.563 67.223
5 Muaro Jambi 166.449 9.510 175.959 111.873
6 Tanjabtim 105.246 1.536 106.782 49.834
7 Tanjabbar 143.738 3.960 147.698 72.358
8 Tebo 165.912 3.280 169.192 65.888
9 Bungo 150.375 4.617 154.992 87.930
10 Kota Jambi 254.351 20.098 274.449 154.093
11 Sungai Penuh 39.364 3.508 42.872 21.090
Jumlah 1.550.4403 70.349 1.620.752 829.712
Sumber: BPS Provinsi Jambi, Tahun 2016.
Pada bagian lain penduduk dapat juga
dikelompokkan berdasarkan aktif secara ekonomi
(Economically Active population) dan penduduk yang tidak
aktif secara ekonomi (Economically In Active population).
Berdasarkan susunan ini penduduk Provinsi Jambi
dibedakan menurut status bekerja, mencari pekerjaan dan
bukan angkatan kerja. Dengan membandingkan jumlah
angkatan kerja dengan tenaga kerja (penduduk usia kerja)
akan dapat diketahui Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK).
Berdasarkan Tabel 3.1.7 dapat dijelaskan bahwa pada
tahun 2015 TPAK penduduk Provinsi Jambi sebesar 66,14 %.
100
Ini berarti bahwa dari sekitar 100 orang penduduk usia kerja
di daerah ini telah masuk menjadi angkatan kerja sebanyak
66 orang. Meningkatnya TPAK dibandingkan pada tahun
2010 yang sebesar 64,25 % tidak terlepas dari semakin
bertambahnya peluang kerja yang terbuka di Provinsi
Jambi. Kondisi ini ditunjukkan pula oleh tingkat bekerja
penduduk daerah ini pada tahun 2015 tercatat sebesar 95,66
% yang berarti juga tingkat pengangguran terbuka (open un
employment) hanya sebesar 4,34 %. Tingkat pengangguran
terendah berdasarkan Kabupaten/Kota terdapat di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur hanya sebanyak 1536
orang atau (1,43%), ini berarti bahwa hampir 99% angkatan
kerja di daerah ini telah tersalurkan. Namun demikian
tingkat pengangguran tertinggi terdapat di Kota Jambi
dengan angka 7,32 % dan disusul oleh Kabupaten Muaro
Jambi sebesar 5,40%. Tingginya angka pengangguran di
kedua daerah ini disebabkan oleh karena Kota Jambi
merupakan pusat Pemerintahan, selain pusat perdagangan
dan Pendidikan yang menjadi tujuan utama dari pendatang
untuk memperoleh kesempatan di daerah ini. Sementara itu
Kabupaten Muaro Jambi yang letaknya tidak begitu jauh
dari ibu Kota Provinsi Jambi jugamenjadi alternatif tujuan
dari pencari kerja baik yang datang dari kabupaten lain di
Provinsi Jambi, maupun yang datang dari luar Provinsi
Jambi.
3. Ketenagakerjaan
Penduduk dalam suatu daerah mengkonsumsi
barang dan jasa memenuhikebutuhannya, tetapi hanya
sebagian dari mereka yang secara langsung terlibat atau
berusaha terlibat dalam memproduksi barang dan jasa.
Penduduk Provinsi Jambi masih dikategorikan sebagai
masyarakat agraris, karena bagian terbesar dari mereka
yang bekerja (55,04%) pada tahun 2012 mempunyai mata
pencaharian pada sektor pertanian. Kendatipun keadaan ini
menunjukkan penurunan sampai akhir tahun 2015 mereka
101
yang bekerja pada sektor tersebut masih lebih dari separuh
(52,86 %).
Masih dominannya penduduk usia 15 tahun ke atas
yang bekerja di sektor pertanian tidak terlepas dari semakin
berkembangnya usaha-usaha dalam bidang tersebut. Sektor
pertanian yang merupakan penggabungan dari sub sektor
perkebunan, pertanian tanaman pangan, kehutanan
peternakan dan perikanan. Untuk sub sektor perkebunan
terutama perkebunan Kelapa sawit dan Karet yang
merupakan bagian terbesar dari sub sektor yang
menampung tenaga kerja di sektor pertanian telah terjadi
pertambahan tenaga kerja sebanyak 36.044 orang atau 4,60
persen rata-rata selama periode 2012- 2015.
Secara lebih rinci jumlah penduduk umur 15 tahun ke
atas yang bekerja menurut lapangan usaha dapat disajikan
pada Tabel 3.1.8. berikut:
Tabel 3.1.8. Penduduk Provinsi Jambi umur 15 tahun ke
atas yang Bekerja menurut Lapangan Usaha
tahun 2012- 2015.
Lapangan Usaha 2012 2013 2014 2015
Pertanian (55,04) (52,37) (49,36) (52,86)
Pertambangan dan Penggalian.
( 1,96) ( 1,91) (2,27) (1,77)
Industri Pengolahan.
( 3,32) ( 3,80) ( 3,52) (3,40)
Konstruksi ( 4,37) ( 4,34) ( 4,15) (4,19)
Perdagangan (16,13) (16,74) (16,89) (16,87)
Pengangkutan ( 3,15) ( 3,79) ( 3,72) ( 3,55)
Lembaga Keuangan dan
Jasa Perusahaan ( 1,59) ( 1,61) ( 1,71) ( 1,38)
Jasa-Jasa ( 14,23) (15,33) (18,08) (15,27)
Total (100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
BPS Provinsi Jambi, Tahun 2016.
Untuk sektor lain yang banyak menyerap tenaga kerja
adalah sektor perdagangan dengan jumlah 16,13 % pada
102
tahun 2012 dan 16,87 % di tahun 2015, diikuti oleh sektor
jasa yang menampung tenaga kerja sebanyak 236.782 orang
atau 15,27 % pada tahun 2015. Sektor industri yang
merupakan salah satu sektor yang menjadi tujuan dari
perkembangan ekonomi di Provinsi Jambi pada tahun 2015
hanya mampu menampung angkatan kerja sebesar 3,40 %,
sedangkan lapangan usaha yang paling sedikit menyerap
tenaga kerja, hanya (1,38%) dalam tahun 2015 yaitu lembaga
keuangan dan jasa perusahaan.
4. Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja dalam hal ini adalah jumlah orang
yang bekerja menurut lapangan pekerjaan. Jumlah angkatan
kerja yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2010
sebanyak 51,97 %, dan pada tahun 2014 menurun menjadi
49, 18 %. Secara absolut sebenarnya terjadi pertambahan
jumlah penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian dari
670.841 orang di tahun 2010 menjadi 755.612 orang pada
tahun 2014, atau bertambah sebanyak 84.771 orang.
Sektor perdagangan menempati posisi kedua dalam
penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jambi, kemudian
diikuti oleh sektor Jasa yang masing-masing memberi
kontribusi 18,70% untuk perdagangan dan 17,73% untuk
Jasa pada Tahun 2014. Sektor lain masih memberikan
sumbangan yang relatif kecil terhadap penyerapan tenaga
kerja sehingga ke depan perlu ditingkatkan agar mampu
menyerap angkatan kerja baru yang semakin bertambah.
Perubahan Kesempatan kerja menurut Lapangan
pekerjaan di Provinsi Jambi disajikan pada Tabel 3.1.9.
103
Tabel 3.1.9 Perubahan Kesempatan Kerja Menurut
Lapangan Pekerjaan di Provinsi Jambi Tahun
2010 – 2014.
Sumber: BPS Provinsi Jambi, Tahun 2016
5. Tingkat Pendidikan
Karakteristik penduduk menurut tingkat pendidikan
akan mempengaruhi kemampuan dan daya saing penduduk
dalam memperoleh dan menciptakan Value Added dan pada
akhirnya mempengaruhi kemampuan ekonomi suatu
daerah. Tingkat pendidikan diukur dari jumlah penduduk
umur 15 tahun keatas menurut status tamat suatu jenjang
pendidikan formal. Tamat sekolah diartikan sebagai telah
selesainya seseorang mengikuti pelajaran pada kelas
No Lapangan Pekerjaan
Tahun 2010 Tahun 2014 Perubahan
Jumlah % Jumlah %
1 Pertanian 670.841 51,97 755.612 49,18 84.771
2 Pertam bangan
22.727 1,76 25.634 1,66 2.907
3 Industri
Pengolahan 34.821 2,70 43.971 2,86 9.150
4 Listrik, Gas,
Air 5.268 0,41 5.268 0,34 0,000
5 Bangunan 46.063 3,57 54.251 3,53 8.188
6
Perdaga ngan, Hotel,
dan Restoran
211.946 16,4
2 287.247 18,70 75.301
7
Angkutan dan
Telekomuni kasi
63.675 4,93 54.535 3,54 -9.140
8 Keuangan 13.526 1,05 37.300 2,42 23.774
9 Jasa-jasa 211.839 16,4
1 272.514
17,73
50.675
Total 1.290.706 100,00 1.536.332 100,00 245.625
104
tertinggi sampai akhir dengan mendapatkan tanda tamat
belajar atau ijazah, baik dari sekolah negeri maupun swasta.
Mengetahui komposisi penduduk yang bekerja menurut
tingkat pendidikan yang ditamatkan akan diperoleh
informasi tentang kondisi sumber daya manusia yang
tersedia dalam suatu daerah, yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan pembangunan khususnya wilayah yang
bersangkutan. (Tabel 3.1.10).
Tabel 3.1.10. Penduduk Provinsi Jambi Umur 15 tahun ke atas yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan yang ditamatkan dan jenisKelamin Tahun 2015.
No Tingkat
Pendidikan Laki-laki Perempuan L + P Persentase
1 Tidak/belum
pernah Sekolah 18.124 19.228 37.352 2,41
2 Tidak/belum
tamat SD 127.615 85.873 213.488 13,77
3 Tamat SD 297.809 152.661 450.470 29,05
4 Tamat SMP/
sederajat 215.629 83.936 299.565 19,32
5 SMA/
sederajat 276.800 110.556 387.356 24,98
6
Diploma/
Akademik/
Universitas
82.234 79.938 162.172 10,46
Total 1.018.211 532.192 1.550.430 100,00
Sumber: BPS Provinsi Jambi, Tahun 2016.
Berdasarkan Tabel 3.1.10, diketahui bahwa kualitas
penduduk Daerah Jambi menurut tingkat pendidikan
formalnya sampai dengan tahun 2015 relatif masih rendah.
Hampir separuh penduduk (45,23%) belum tamat SD atau
hanya tamat SD. Persentase yang tidak bersekolah lebih
tinggi pada penduduk perempuan dibandingkan dengan
penduduk laki-laki. Keadaan yang sama juga terjadi pada
jenjang pendidikan tidak/belum tamat SD dimana laki-laki
105
jumlahnya 59,78 % dan perempuan yang tidak/belum tamat
SD sebesar 40,22 %.
Pada jenjang pendidikan SMA/sederajat persentase
penduduk laki-laki yang tamat lebih 2 kali lipat penduduk
perempuan di Provinsi Jambi, dimana jumlah laki-laki
tercatat sebanyak 71,46 % dan perempuan hanya 28,54%.
Keadaan ini mengindikasikan bahwa masih terdapat
ketimpangan gender dalam bidang pendidikan terutama
pada level SMA/sederajat. Namun demikian suatu hal yang
cukup menarik adalah jumlah penduduk Jambi yang
menamatkan pendidikan Diploma/Akademi/ Universitas
antara penduduk laki-laki dan perempuan tidak terdapat
perbedaan yang mencolok. Jumlah penduduk laki-laki yang
menamatkan pendidikan tinggi tercatat sebanyak 50,71 %,
sedangkan perempuan berjumlah sebesar 49,29 %.
B. PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI JAMBI
Pertumbuhan ekonomi menggambarkan terjadinya
peningkatan jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh
suatu wilayah dalam periode tertentu (satu tahun). Bagi daerah
indikator ini penting untuk mengevaluasi terhadap kebijakan
pembangunan yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam
perekonomian Daerah Jambi, peranan sektor pertanian sangat
penting dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). Data PDRB menjadi gambaran mengenai kemampuan
Provinsi Jambi dalam mengelola sumber daya yang ada melalui
suatu proses produksi sehingga menghasilkan nilai tambah
secara ekonomi. Pertumbuhan PDRB dari tahun ke tahun
menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai
daerah tersebut semakin baik.
Sektor pertanian merupakan penyumbang utama dalam
PDRB, dan merupakan sumber pertumbuhan dominan. Untuk
itu apabila membicarakan kinerja pertumbuhan ekonomi
daerah secara tidak langsung bicara tentang kinerja sektor
pertanian. Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan cukup
106
pesat adalah sektor keuangan, listrik, gas dan air bersih diikuti
oleh sektor konstruksi.
Berdasarkan data tahun 2006 dan 2015, struktur
perekonomian Daerah Jambi masih didominasi oleh sektor
primer yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan dan
konstruksi (45,67%). Sektor sekunder yang tergabung dalam
listrik, gas dan air minum sebanyak 17,34% serta sektor tersier
yang meliputi sektor perdagangan hotel dan restoran, angkutan
dan telekomunikasi, keuangan serta Jasa-jasa sebesar 36,99%.
Dari informasi tersebut struktur perekonomian Provinsi Jambi
masih tergolong dalam kelompok agraris.
Struktur PDRB Provinsi Jambi menurut lapangan usaha
selama periode 2006-2015 disajikan pada Tabel 3.2.1.
Tabel 3.2.1. Struktur PDRB Provinsi Jambi Menurut
Lapangan Usaha, Tahun 2006 dan Tahun 2015.
No. Lapangan Usaha
Distribusi persentase (%)
PDRB ADHB PDRB ADHK 2000
Tahun
2006
Tahun
2015
Tahun
2006
Tahun
2015
1 Pertanian 27,53 29,69 31,75 29,34
2 Pertambangan 15,86 15,98 11,02 12,54
3 Industri
Pengolahan 11,94 10,68 13,85 12,18
4 Listrik, Gas, Air
Minum 1,01 0,96 0,79 0,86
5 Konstruksi 4,56 5,70 4,27 5,67
6 Perdagangan,
Hotel, Restoran 16,37 16,98 17,36 18,76
7 Angkutan,
Telekomunikasi 7,57 6,31 8,10 7,27
8 Keuangan 3,90 5,21 3,83 5,76
9 Jasa-jasa 11,26 8,49 9,05 7,62
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS Provinsi Jambi, Tahun 2016.
Merujuk pada Tabel 3.2.1 dapat dijelaskan bahwa sektor-sektor basis di Wilayah Jambi sebagian besar berasal dari sektor
107
pertanian, yang terdiri dari sub sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, minyak dan gas bumi serta industri pengolahan hasil pertanian. Sektor-sektor tersebut mempunyai nilai Location Quation (LQ) lebih besar dari satu (LQ>1) artinya terdapat Comparative Advantages daerah
Jambi dibandingkan dengan daerah lain. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi selama periode
2000 – 2015 disajikan pada Tabel 3.2.2.
Tabel 3.2.2 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi, Tahun
2000– 2015.
No. Tahun PDRB
(Jutaan Rupiah)
Perkembangan
(%)
1 2000 9.569.242 -
2 2001 10.205.592 6,65
3 2002 10.803.423 5,85
4 2003 11.343.280 5,00
5 2004 11.953.885 5,38
6 2005 12.619.972 5,57
7 2006 13.363.621 5,89
8 2007 14.275.161. 6,82
9 2008 15297.771. 7,16
10 2009 16.274.908 6,39
11 2010 17.471.686 7,35
12 2011 18.963.517 8,54
13 2012 20.201.072 7,05
14 2013 21.627.268 7,06
15 2014 23.303.381 7,75
16 2015 25.132.696 7,85
Rata-rata 6,65
Sumber: BPS Provinsi Jambi, Tahun 2016.
Sektor pertanian menjadi sektor basis karena potensi
alam yang berupa lahan pertanian yang masih sangat luas dan
sangat mungkin untuk dikembangkan. Meningkatnya sektor
basis dalam suatu daerah akan menambah arus kegiatan ke
108
daerah tersebut, sehingga akan berpengaruh pula terhadap
permintaan barang dan dari daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan sektor-sektor yang tergabung dalam PDRB
akan dapat dianalisis perekonomian DaerahJambi selama
periode tertentu. Meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat
dari waktu ke waktu dalam memproduksi barang dan jasa
akan berdampak terhadap peningkatan investasi yang pada
tahap berikutnya dapat memperluas kesempatan kerja.
Struktur ekonomi Provinsi Jambi dapat digambarkan
dengan tabel distribusi PDRB Provinsi Jambi seperti Tabel 3.2.2.
Pertumbuhan ekonomi Daerah Jambi dari tahun ke tahun
menunjukkan perkembangan pembangunan yang telah dicapai
selama kurun waktu tertentu.
Tabel 3.2.2 menunjukkan pada tahun 2001 pertumbuhan
ekonomi Provinsi Jambi mencapai sebesar 6,65 persen. Pada
tahun 2002 dan 2003 terjadi peningkatan perolehan PDRB akan
tetapi pertumbuhannya menurun masing-masing hanya 5,85 %
dan 5,00 persen pada tahun yang sama. Pada tahun 2003
tercatat sebagai peningkatan terkecil dalam PDRB Provinsi
Jambi selama periode analisis. Sejak tahun 2004 sampai dengan
tahun 2015 PDRB Daerah Jambi selalu meningkat, dengan
pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2015 dengan angka
7,85 persen. Tingkat pertumbuhan yang dicapai tersebut telah
memposisikan Provinsi Jambi sebagai Daerah Tingkat I dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Sumatera dan posisi
ke 2 diantara 34 Provinsi-provinsi yang ada di Indonesia.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan
berdampak terhadap terbukanya kesempatan kerja yang luas di
daerah tersebut. Dengan kesempatan kerja yang lebih luas dan
bervariasi akan menarik tenaga kerja untuk masuk ke daerah
yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi,
rata-rata (6,65%) per tahun selama periode analisis telah
menyebabkan Provinsi Jambi menjadi salah satu tujuan yang
menarik untuk migrasi masuk di Pulau Sumatra.
109
1. Perkembangan Upah di Provinsi Jambi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 78 tahun 2015 pasal 1 tentang pengupahan,
yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/
buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-
undangan, termasuk tunjangan dari pekerja/ buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan. Upah merupakan tujuan utama
seseorang untuk bekerja, semakin tinggi upah semakin besar
keinginan orang untuk masuk ke pasar kerja.
Tabel 3.2.3 Perkembangan UMP di Provinsi Jambi
Periode 2000–2015.
No. Tahun UMP
( Rupiah)
Perkembangan
( %)
1 2000 173.000 -
2 2001 245.000 41,61
3 2002 304.000 24,08
4 2003 390.000 8,97
5 2004 425.000 14,12
6 2005 485.000 16,08
7 2006 563.000 16,87
8 2007 658.000 16,05
9 2008 724.000 10,03
10 2009 800.000 10,50
11 2010 900.000 12,50
12 2011 1.028.000 14,22
13 2012 1.142.000 11,09
14 2013 1.300.000 13,84
15 2014 1.502.000 15,55
16 2015 1.730.000 15,16
Sumber: BPS Provinsi Jambi, Disosnakertran, Tahun 2016.
110
Berdasarkan tabel 3.2.3, dapat dijelaskan bahwa
perkembangan Upah Minimum Provinsi (UMP) sejak tahun
2000 sampai dengan tahun 2015 menunjukkan perkemba-
ngan yang berfluktuasi. Pada tahun 2000 – 2003 telah terjadi
penurunan UMP dari 41,61 persen di tahun 2001 menjadi
8,97 % pada tahun 2003. Secara rata- rata UMP telah
mengalami penurunan sebesar 24, 87 %, walaupun secara
absolut tetap terjadi penambahan upah dalam kurun waktu
tersebut. Penurunan tingkat upah ini diduga selama tahun
2000-2003 di Provinsi Jambi banyak perusahan-perusahan
yang melakukan rasionalisasi dalam penggunaan tenaga
kerja, sehingga banyak tenaga kerja yang mengalami
pemutusan hubungan kerja (PHK).
Setelah tahun 2004 sampai dengan tahun 2015 selama
periode analisis terjadi peningkatan upah setiap tahunnya.
Secara rata-rata UMP di Provinsi Jambi telah meningkat
selama periode 2000-2015 sebesar 16,04 %. Kendatipun upah
tidak satu-satunya variabel yang berpengaruh terhadap
daya tarik pendatang ke Provinsi Jambi namun kenyataan
menunjukkan selama periode 2010 – 2014 telah terjadi
pertambahan kesempatan kerja sebanyak 245.625 orang atau
rata meningkat sebesar 4,76 % per tahun.
2. Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di Provinsi
Jambi.
Pelaksanaan Transmigrasi di Provinsi Jambi telah di
mulai pada masa kolonisasi.Keberhasilan kolonisasi di
Lampung pada tahun 1905 dengan memberangkatkan
sebanyak 155 Kepala Keluarga asal Jawa Tengah dari
Kabupaten Karang Anyar, Kebumen dan Purworejo, ke
Gedong Tataan, Keresidenan Lampung merupakan tonggak
dari pada program kolonisasi Pemerintah Hindia Belanda.
Pada awalnya daerah Lampung merupakan tempat
percobaan terutama dalam penyediaan tanaman pangan,
keadaan ini telah memotivasi Pemerintah Belanda untuk
mengembangkan produksi pangan dengan memperluas
daerah kolonisasi di berbagai wilayah di Indonesia
111
termasuk ke daerah Jambi. Mengetahui kolonisasi ke
Gedong Tataan ini diperkirakan telah terjadi pemindahan
yang terorganisasi buruh dari Jawa ke perkebunan di
Sumatera Timur yang dilakukan oleh pemerintah, perincian
lebih lanjut tidak ada data (P3T, 1990).
Pada masa kolonisasi, Provinsi Jambi (dulu berstatus
Keresidenan Jambi) tergabung dalam wilayah Sumatera
Tengah. Pelaksanaan program kolonisasi di mulai pada
tahun 1940 yang ditandai dengan mengirimkan 506 Kepala
keluarga (KK) atau sebanyak 1.945 jiwa dari Pulau Jawa
menuju daerah Bangko- Tabir dekat Rantau Panjang yang
sekarang di kenal dengan kampung 1 s/d kampung 12 Desa
Margoyoso. Kolonisasi pada waktu itu masih bersifat
kolonisasi pertanian dengan maksud menyediakan tenaga
kerja/buruh murah untuk membantu pembangunan
pertanian dalam jangka panjang (Junaidi, 2012).
Setelah kemerdekaan Pemerintah Indonesia
meneruskanpemindahan penduduk dari daerah asal di
Pulau Jawa ke daerahlainnya di luar Pulau Jawa dengan
istilah transmigrasi.Konsep transmigrasi yang dicetuskan
pada permulaan kemerdekaan Indonesia merupakan
kebijakan kependudukan yang ditujukan untuk mengurangi
jumlah penduduk di Pulau Jawa dengan jalan
memindahkan penduduk ke luar Pulau Jawa. Rencana
pemindahan penduduk waktu itu dikenal sebagai Rencana
Tambunan, dilaksanakan transmigrasi secara besar-besaran,
yang bertujuan tidak hanya untuk mengurangi
pertumbuhan penduduk di Jawa, tetapi juga untuk
mengurangi jumlah penduduk Pulau Jawa secara absolut
(Kartomo, W. 2010).
Penempatan transmigrasi pertama di Provinsi Jambi
dilangsungkan pada tahun 1967 (periode Pra Pelita) pada
Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Rantau Rasau I
Kabupaten Tanjung Jabung Timur sekarang. Sebelum
pemekaran Tahun 1999 berstatus sebagai Kabupaten
112
Tanjung Jabung. Jumlah transmigran yang ditempatkan
pada periode pertama sebanyak 249 KK atau 1208 jiwa.
Selama Pelita I (tahun 1969/1970-1973/1974), jumlah
transmigran yang ditempatkan berjumlah 2.450 KK (11.371
jiwa) di 4 lokasi (UPT). Ke semua lokasi tersebut berada di
wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang merupakan
kelanjutan dari UPT Rantau Rasau I dengan penempatan
pada UPT Rantau Rasau II, III, IV dan V.
Pada masa Pelita ke II (periode 1974/1975-1978/1979),
realisasi jumlah transmigran yang telah ditempatkan
tercatat sebanyak 13.476 KK atau setara dengan 61.161 jiwa
pada 33 lokasi (UPT). Pada periode ini lokasi penempatan
transmigrasi semakin diperluas pada 3 kabupaten lain
diluar Kabupaten Tanjung Jabung Timur, adalah Kabupaten
Bungo, Sarolangun dan Tebo.
Setelah Pelita II, program penempatan transmigrasi di
Provinsi Jambi dilanjutkan pada Pelita III. Selama Pelita III
(1979/1980-1983/1984) jumlah transmigran yang telah
ditempatkan sebanyak 22.741 KK (94.485 jiwa) tersebar pada
47 lokasi UPT. Pada masa ini semua kabupaten-kabupaten
penerima transmigrasi pada Pra Pelita, Pelita I, Pelita II dan
Pelita III, lokasi penempatan transmigrasi diperluas lagi ke
Kabupaten Batanghari, Merangin dan Muaro Jambi,
sehingga hampir semua Kabupaten yang ada di Provinsi
Jambi menjadi lokasi penempatan transmigrasi, kecuali
Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kerinci.
Selanjutnya pada Pelita IV (1984/1985-1988/1989),
terjadi penurunan dalam jumlah penempatan transmigrasi
di Daerah Jambi dibandingkan dengan periode sebelumnya,
kondisi yang sama juga terjadi secara nasional. Pada
periode ini jumlah transmigran yang ditempatkan hanya
sebanyak 11.141 KK atau 47.136 jiwa. Mereka ditempatkan
pada 27 lokasi (UPT), yang menyebar pada daerah baru
yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan (sebelum
pemekaran tahun 1999 sebagai Kabupaten Tanjung Jabung).
113
Pada Pelita V (1989/1990-1993/1994) jumlah
transmigran yang ditempatkan kembali mengalami
peningkatan. Dalam waktu ini telah berhasil ditempatkan
transmigran sebanyak 17.411 KK (71.676 jiwa) pada 43 lokasi
(UPT). Untuk kabupaten sebagai daerah tujuan transmigran
tidak mengalami perubahan dibanding dengan Pelita
sebelumnya.
Dimasa Pelita VI (1994/1995-1998/1999) kembali
terjadi penurunan penempatan transmigrasi menjadi 9.710
KK atau 41.871 KK. Dalam kurun waktu ini transmigran
ditempatkan pada 27 lokasi (UPT). Kabupaten sebagai
penerima transmigran meliputi Kabupaten Bungo,
Sarolangun, Tebo,Batanghari, Merangin, Muaro Jambi dan
Tanjung Jabung Barat.
Memasuki era otonomi daerah (periode 2000-2004)
penempatan transmigran di Provinsi Jambi semakin
menurun, keadaan ini sejalan dengan kondisi penempatan
transmigran yang juga menunjukkan penurunan secara
nasional. Pada periode ini jumlah transmigran yang
ditempatkan sebanyak 4.050 KK (17.028 jiwa) di 15 lokasi
(UPT). Mereka ditempatkan di Kabupaten Batanghari,
Bungo, Muaro Jambi, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan
Tebo. Selanjutnya pada periode 2005-2009 dimukimkan
sebanyak 2.023 KK setara dengan 7.790 jiwa pada 11 lokasi
(UPT). Periode ini daerah penerima transmigran adalah
Kabupaten Batanghari, Bungo, Kerinci, Muaro Jambi dan
Sarolangun. Untuk periode (2010 -2015) ditempatkan lagi
transmigran sebanyak 383 KK (1441jiwa) pada 3 lokasi
(UPT), yaitu lokasi Sungai Bremas di Kabupaten Kerinci,
Rantau Pandan X di Kabupaten Bungo dan Sapintun untuk
Kabupaten Sarolangun.
114
Tabel 3.2.4 Perkembangan Penempatan Transmigrasi di
Provinsi Jambi dari Pra Pelita Sampai dengan
Tahun 2015
No Periode
penempatan(a) UPT/ LPTb)
Penempatan(
b) KK Jiwa
Rata-rata per Tahun
KK Jiwa
1 Pra Pelita
(1950-1968) 1 249 1208 14 67
2 Pelita I (1969/
70-1973/74) 4 2450 11371 490 2274
3 Pelita II (1974/
75-1978/79) 33
13476
61161 2695 12232
4 Pelita III (1979/
80-1983/84) 47
22741
94485 4548 18897
5 Pelita IV (1984/
85-1988/89) 27
11141
47136 2228 9427
6 Pelita V (1989/
90-1993/94) 43
17411
71676 3482 14335
7 Pelita VI (1994/
95-1998/99) 27 9710 41871 1942 8374
8 2000 - 2004 15 4050 17082 810 3406
9 2005 - 2009 11 2030 7790 406 1558
10 2010 - 2015 3 383 1441 77 288
Jumlah 211 83.641 355221 1287 5465
Sumber:Kemenakertrans 2012, Junaidi 2012, Disosnakertran
Provinsi Jambi, 2016.
Keterangan: a) Berdasarkan tahun awal penempatan
b) Jumlah sampai akhir periode penempatan
Di era otonomi daerah, Pemerintah daerah memiliki
tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
di daerahnya termasuk dalam hal transmigrasi. Khusus
115
diera ini dilaksanakan dalam model kerja sama antar
daerah. Pola kerja sama tersebut yaitu kerja sama antara
daerah pengirim transmigrasi dan daerah penerima (dalam
hal ini Provinsi Jambi). Pada tanggal 17 Desember 2002,
disepakati kerja sama antara Provinsi Jambi dengan lima
provinsi asal transmigran yaitu D.I Yogyakarta, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Junaidi, 2012).
Kerja sama yang disepakati mencakup di bidang
Komunikasi, Informasi dan Edukasi, Survei Potensi
Kawasan; Penyediaan Areal; Perencanaan Tata Ruang
Permukiman Transmigrasi; Penyiapan transmigrasi;
Pengerahan dan Penempatan Transmigrasi serta
Pemberdayaan Masyarakat. Pelaksanaan penyelenggaraan
transmigrasi berdasarkan konsep kerja sama antar daerah,
biaya penyelenggaraannya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), provinsi pengirim
transmigran; Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Provinsi Jambi; Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Kabupaten/ Kota terkait dengan
pelaksanaan kesepakatan bersama ini serta sumber dana
lain yang tidak mengikat.
Dalam konteks otonomi daerah, transmigrasi adalah
suatu kewenangan (urusan) pilihan, baik bagi pemerintah
(pusat) maupun pemerintah daerah (provinsi atau
kabupaten/kota). Namun konsekuensi yang muncul bagi
pusat dan daerah dari penentuan pilihan kewenangan
(urusan)ini belum jelas. Konsekuensi kebijakan yang
semestinya diambil pemerintah pusat terhadap daerah,
karena adanya klausul “pilihan”, selama ini juga masih
belum dirumuskan secara jelas. Artinya bahwa transmigrasi
masih diselenggarakan dan dilaksanakan dengan masih
tetap mengacu pada UU No. 15 tahun 1997 dan PP No. 2
Tahun 1999, sehingga klausul tentang kewenangan (urusan)
pilihan belum sepenuhnya berimplikasi pada proses
perencanaan transmigrasi, baik secara nasional, provinsi,
116
maupun lokal, baik perencanaan program maupun
penganggaran (Anharudin, et al. 2008).
Berdasarkan penempatan transmigrasi mulai periode
Pra Pelita sampai tahun 2015; sebanyak 83.641 KK (355.221
jiwa) pada 211 lokasi (UPT). Perkembangan penempatan
transmigrasi disajikan pada Tabel 3.2.4.
Berdasarkan jumlah UPT di Provinsi Jambi sebanyak
211 UPT, 9 UPT diantaranya masih UPT Binaan. UPT binaan
tersebut berada pada 5 (lima) kabupaten di Provinsi Jambi,
dan merupakan transmigrasi yang dimukimkan dari tahun
2004 – 2015, dengan jumlah penempatan sebanyak 1433 KK
(5586 jiwa). Berikut ini disajikan UPT binaan di Provinsi
Jambi Tahun 2015.
Tabel 3.2.5. UPT Binaan Provinsi Jambi Tahun 2015
No Kabupaten Kecama
tan Lokasi UPT
Tahun
penempa
tan
Jumlah
penempat
an
KK Jiwa
1 Batanghari
Rantau
Pandan
Tebing Jaya
III 2007 200 781
2 Batanghari
Rantau
Pandan
Tebing jaya
IV 2008 150 576
3 Muaro
Jambi
Kumpeh
Ulu
Gd. Karya,
S.Aur 2009 200 717
4 Bungo
Rantau
Pandan
Rantau Pandan
V 2004 210 849
5 Bungo
Rantau
Pandan
Rantau Pandan
X 2008 200 720
6 Bungo Pelepat Pelepat II 2006 190 811
7 Kerinci Siulak
Sungai
Bernas 2009 100 420
8 Sarolangun Pauh
Lamban
Sigatal 2009 100 380
9 Sarolangun Pauh Sapintun 2015 83 332
Jumlah 1433 5586
Sumber: Junaidi 2012, Disosnakertrans Prov. Jambi, 2016.
117
Ditinjau dari segi pembiyaannya penempatan
transmigrasi di Provinsi Jambi merupakan bentuk
transmigrasi umum (TU) dan transmigrasi swakarsa (TS).
Transmigrasi Umum dibangun atas dasar subsidi
(dukungan finansial) penuh pemerintah. Tantangan yang
muncul pada model transmigrasi ini salah satunya adalah
sistem hukum dan budaya kepemilikan tanah masyarakat.
Agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan mulus,
sebaiknya penempatan transmigrasi dibangun diatas tanah-
tanah bekas hutan produksi (HP) sehingga tidak
bersinggungan dengan kepemilikan masyarakat.
Menurut UU No. 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan
Pokok Transmigrasi, disebutkan tujuan pemerintah secara
bertahap menghapuskan transmigrasi umum dan
menggantikannya dengan transmigrasi swakarsa. Dengan
demikian pada tahun penempatan selanjutnya persentase
jumlah transmigrasi umum menjadi lebih kecil
danpersentase jumlah transmigrasi swakarsa meningkat.
Ada dua macam transmigrasi swakarsa, yaitu transmigrasi
swakarsa berbantuan dan transmigrasi swakarsa murni
(TSM). Transmigrasi swakarsa mandiri adalah transmigrasi
yang dilaksanakan oleh transmigran yang bersangkutan
secara perseorangan atau kelompok.
TSM dapat dikatakan sebagai transmigrasi “bebas
biaya pemerintah”. Namun demikian, pemerintah akan
terus memainkan peranan utama dalam mengatur dan
mengawasi transmigrasi, akan tetapi berusaha menghindari
pekerjaan yang lebih mahal yang diperlukan supaya
permukiman itu secara ekonomis dapat memberi harapan
(Hardjono, J. 1986). TSM tidak sepenuhnya bebas dari biaya
pemerintah, tapi bila dibandingkan dengan TU dan TSB,
bantuan atau subsidi dari pemerintah untuk TSM jauh lebih
sedikit. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009
pasal 15, transmigrasi swakarsa mandiri berhak
memperoleh bantuan dari pemerintah dan atau pemerintah
daerah dalam bentuk: a) pengurusan perpindahan dan
118
penempatan di permukiman transmigrasi; bimbingan untuk
mendapatkan lapangan pekerjaan atau lapangan usaha atau
fasilitas untuk mendapatkan lahan usaha; b) lahan tempat
tinggal dengan status hak milik; dan c) bimbingan,
pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan
usaha.
Sebaran tentang perkembangan Transmigrasi
Swakarsa Mandiri di Provinsi Jambi disajikan pada Tabel
3.2.6 berikut.
Tabel 3.2.6 Perkembangan Transmigrasi Swakarsa
Mandiri (TSM) diProvinsi Jambi tahun
1990/1991 – 2015.
No.
Tahun
penempa
tan
Penataan Murni Total
KK Jiwa KK Jiwa KK Jiwa
1 1990/1991 400 1.240 0 0 400 1.240
2 1991/1992 1600 3.895 0 0 1.600 3.895
3 1992/1993 1.250 4.349 0 0 1.250 4.349
4 1993/1994 1.000 3.369 0 0 1.000 3.369
5 1994/1995 0 0 2.100 7.156 2.100 7.156
6 1995/1996 0 0 2.205 6.085 2.205 6.085
7 1996/1997 0 0 2.550 7.987 2.550 7.987
8 1997/1998 0 0 2.899 9.722 2.899 9.722
9 1998/1999 0 0 153 417 153 417
10 2000 0 0 127 464 127 464
11 2009 0 0 200 785 200 785
12 2010 0 0 200 720 200 720
13 2011 0 0 100 389 100 389
14 2015 0 0 83 332 83 332
Total 4.250 12.853 10.437 34.057 14.687 46.910
Sumber: Junaidi, 2012; Disosnakertrans Provinsi Jambi,
2016.
Di Provinsi Jambi Transmigrasi Swakarsa Mandiri
dibedakan atas dua bentuk yakni TSM Penataan dan TSM
Murni. TSM penataan dilaksanakan sejak tahun 1990/1991
119
sampai dengan tahun 1993/1994, sedangkan TSM murni
diselenggarakan sejak tahun 1994/1995 sampai tahun 2015.
Sejak tahun 1990/1991 sampai dengan tahun 2015,
telah dimukimkan TSM di Provinsi Jambi sebanyak 14.687
KK (46.910 jiwa). Jumlah tersebut terdiri dari TSM penataan
sebanyak 4.250 KK (12.853 jiwa) dan TSM murni berjumlah
sebanyak 10.437KK atau 34.057 jiwa. Permukiman TSM
selama kurun waktu tersebut masih terbatas pada lokasi-
lokasi unit permukiman/desa eks transmigrasi yang telah
ada, memanfaatkan sisa cadangan areal yang belum
dimanfaatkan
3. Transmigrasi Berdasarkan Lokasi dan Daerah Penempatan
Di Provinsi
Jambi.
Penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi terutama
sejak Pelita I (1969/1970) sampai dengan tahun 2015
tersebar hampir di semua daerah tingkat II kabupaten dan
kota kecuali di Kota Jambi dan Sungai penuh.
MenurutDisosnakertran Provinsi Jambi (2016) selama kurun
waktu 46 tahun (1969/1970- 2015) telah ditempatkan
transmigrasi di 210 lokasi (UPT) di Provinsi Jambi yang
tersebar di 9 (Sembilan) kabupaten yang di wilayah Jambi.
Kabupaten Bungo merupakandaerah yang paling banyak
dengan 34 Lokasi atau (16,19%). Diikuti dengan Kabupaten
Merangin (15,24%), Kabupaten Muaro Jambi (14,76%) dan
yang paling sedikit Lokasi di Kabupaten Kerinci hanya
(0,48%).
Untuk mengetahui lebih rinci transmigrasi menurut
Lokasi, dan jumlah penempatan disajikan pada Tabel 3.2.7
berikut ini. Berdasarkan jumlah 83.514 KK atau 327.674 jiwa
transmigrasi yang telah ditempatkan di Provinsi Jambi
penyebarannya adalah sebagai berikut. Penempatan
terbanyak adalah di Kabupaten Muaro Jambi dengan
proporsi sebesar 18,38 persen atau (60.237 jiwa), kendatipun
dari sisi jumlah Lokasi (31 UPT) lebih sedikit dari
Kabupaten Bungo.
120
Tabel 3.2.7. Jumlah Transmigrasi Menurut Lokasi dan
Daerah Penempatan di Provinsi Jambi
(1969/1970- 2015).
No Kabupaten
Jumlah
Lokasi
(UPT)
KK Jiwa
(Orang)
Persen
Tase
(%)
1 Batanghari 19 6.763 26.372 8.05
2 Bungo 34 11.420 48.375 14,76
3 Merangin 32 13.134 53.966 16,47
4 Muaro jambi 31 14.318 60.237 18,38
5 Sarolangun 24 9.450 39.228 11,97
6 Tanjabbar 20 7.396 30.294 9,24
7 Tanjabtim 22 10.859 47.204 14,41
8 Tebo 27 9.974 21.254 6,49
9 Kerinci 1 200 744 0,23
Total 210 83.514 327.674 100,00
Sumber: Disosnakertrans Provinsi Jambi, Tahun 2016.
Selanjutnya kabupaten dengan jumlah penerima
transmigrasi terbanyak ke dua adalah Kabupaten Merangin
dengan jumlah 53.966 jiwa atau 16,47 persen, kemudian
disusul oleh Kabupaten Bungo dengan proporsi 14,79
persen (48.375 jiwa), dan yang paling sedikit adalah
Kabupaten Kerinci hanya sebanyak 200 KK (744 jiwa) atau
setara dengan 0,23 persen. Hal ini beralasan karena
Kabupaten Kerinci dengan luas wilayah yang terbatas hanya
(7,13 %) saja dari luas wilayah Provinsi Jambi termasuk
dalamnya areal Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang
merupakan paru-paru dunia.
4. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal Dan Kabupaten
Penempatan di Provinsi Jambi.
Sesuai dengan konsep transmigrasi merupakan
perpindahan penduduk dari daerah yang padat
penduduknya di Pulau Jawa dan Bali ke wilayah yang
121
masih kekurangan jumlah penduduk di luar Pulau Jawa dan
Bali. Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah
penempatan transmigrasi yang utama di luar Pulau Jawa
sampai saat ini. Sebarantransmigrasi di sajikan pada Tabel
3.2.8.
Berdasarkan daerah asal transmigrasi yang ada di
Provinsi Jambi, dapat dijelaskan menurut Provinsi. Provinsi
pengirim utama transmigrasi berasal dari Jawa Tengah
dengan jumlah 26.928 KK atau 32,34 persen. Selanjutnya
diikuti oleh transmigrasi asal penduduk setempat (TPS)
sebanyak 19.340 KK (23,23%).
Tabel 3.2.8 Sebaran Transmigrasi Di Provinsi Jambi
Menurut Daerah Asal.
Kabupaten
penem
patan
Daerah Asal
DKI JABAR JATENG JATIM DIY TPS JUMLAH
Batanghari 245 1.309 1.181 816 428 2.784 6.763
Bungo 167 2.130 3.815 1.814 756 2.758 11.523
Merangin 50 2.094 5.173 2.909 1.220 1.688 13.134
Muaro
Jambi 607 2.338 2.253 2.411 1.275 5.384 14.268
Sarolangun 94 2.201 2.297 1.463 1.280 2.072 9.407
Tanjabbar 398 1.021 1.541 1.077 685 2.674 7.396
Tanjabtim 20 2.060 3.431 3.236 1.279 833 10.859
Tebo 68 520 7.212 588 406 1.180 9.974
Kerinci 0 50 50 0 0 100 200
Total 1.649 13.723 26.953 14.314 7.329 19.390 83.358
Sumber: Junaidi, 2012; Disosnakertrans Provinsi Jambi
2016.
Selanjutnya Provinsi Jawa Timur sebesar 14.314 KK
(17,19 %), Provinsi Jawa Barat sebesar 16,45 persen atau
setara dengan 13.698 KK, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sebesar 8,80 persen (7.329 KK), dan Provinsi
Pengirim transmigrasi yang paling sedikit adalah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota (DKI) dengan jumlah transmigran
sebanyak 1.649 KK atau hanya 1,98 persen.
122
Penempatan transmigrasi asal Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur telah berlangsung sejak Pra Pelita,
kemudian transmigrasi dari DIY berlangsung mulai dari
Pelita I, sedangkan transmigrasi dari DKI terlaksana sejak
Pelita III.
Berdasarkan Tabel 3.2.8 diketahui bahwa transmigrasi
asal penduduk setempat (TPS) menempati posisi yang
cukup signifikan dari jumlah penduduk yang ditempatkan
di Provinsi Jambi. Khusus transmigran yang berasal dari
Provinsi ini merupakan kelompok masyarakat yang dapat
dikategorikan sebagai:
a. Transmigrasi Alokasi Penempatan Penduduk Daerah
Transmigrasi (APPDT)adalah penduduk setempat yang
berasal dari penduduk yang terkena areallokasi
transmigrasi dan penduduk desa sekitarnya di
kabupaten yangbersangkutan.
b. Transmigrasi yang berasal dari Taman Nasional Kerinci
Seblat (TNKS)adalah penduduk yang dipindahkan
karena termasuk dalam wilayah TNKS dengan alasan
guna menyukseskan program menjaga paru-paru dunia.
c. Transmigrasi yang berasal dari Kota Jambi adalah
mereka yang bertempattinggal sebelumnya di wilayah
perkotaan, dengan pertimbangan tertentu dalam rangka
pertimbangan pelaksanaan pembangunan dipindahkan
ke lokasitransmigrasi.
d. Transmigrasi yang berasal dari pensiunan PNS dan
purnawirawan ABRI.
e. Transmigrasi yang berasal dari penduduk pengungsi
(TPP).
Proporsi transmigran TPS di Provinsi Jambi secara normal sebesar 20 persen lebih besar dari total penempatan transmigrasi. Hal ini disebabkan mulai tahun 1992/1993 Menteri Transmigrasi dan PPH memberikan kebijakan penempatan transmigrasi TPS di Provinsi Jambi sebesar 50 persen dari target penempatan setiap tahun. Kondisi ini beralasan dengan mempertimbangkan untuk menampung
penduduk dari kawasan kumuh Kota Jambi, perambah
123
hutan/peladang berpindahpindah dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang jumlahnya cukup besar serta memperkecil kesenjangan sosial antara transmigran dari daerah asal dan penduduk setempat (Junaidi, 2012).Berdasarkan penempatan lima kelompok masyarakat tersebut, proporsi TPSterbesar adalah untuk kelompok APPDT dengan proporsi sebesar 76,33 persen (15.054 KK) dari total TPS. Kemudian jumlah proporsi terbesar kedua adalah TNKS sebesar 17,54 persen (3.460 KK) diikuti oleh Kodya sebesar 3,46 persen(682 KK), ABRI sebesar 1,48 persen (293 KK), Pengungsi (TPP) sebanyak 0,78Persen (153 KK dan PNS sebesar 0,42 persen (81 KK). Untuk lebih rinci lihat tabel 3.2.9.
Tabel 3.2.9. Sebaran TPS di Provinsi Jambi Berdasarkan
Kelompok Masyarakat Kabupaten
Penempatan (KK) Tahun 2015.
Kabupaten
penempatan
Kelompok Masyarakat
APPDT TNKS KODYA ABRI PNS TPP JUMLAH
Batanghari 2.026 666 53 19 20 0 2.784
Bungo 2.893 20 0 0 0 45 2.958
Merangin 1.577 33 0 0 0 78 1.688
Muaro Jambi 3.338 1.477 366 183 20 0 5.384
Sarolangun 1.667 375 0 0 0 30 2.072
Tanjabbar 1.510 839 242 51 32 0 2.674
Tanjabtim 833 0 0 0 0 0 833
Tebo 1.060 50 21 40 9 0 1.150
Kerinci 150 0 0 0 0 0 150
Jumlah 15.054 3.460 682 293 81 153 19.723
Sumber: Junaidi, 2012; Disosnakertrans Provinsi Jambi,
2016.
Keterangan: APPDT= Transmigran Alokasi Penempatan
Penduduk Daerah Transmigrasi; TNKS = Transmigran
dari Taman Nasional Kerinci Seblat; KODYA=
Transmigran dari Kota Jambi; ABRI =Transmigran dari
ABRI; PNS= Transmigran dari Pegawai Negeri Sipil; TPP=
Transmigran Penduduk Pengungsi.
124
BAB IV
PERBANDINGAN GENERASI
PERTAMA DAN KEDUA
TRANSMIGRAN
Pada bab ini akan dibahas tentang perbandingan antara
generasi pertama dan kedua transmigran di Porvinsi Jambi.
Pembahasan meliputi karakteristik generasi pertama dan generasi
kedua transmigran serta analisis tingkat kesejahteraan generasi
kedua dan pertama. Pada bagian akhir bab akan dianalisis Faktor-
Faktor yang mempengaruhi sebaran permukiman generasi kedua.
Berikut adalah penjabaran perbandingan kedua generasi
transmigran tersebut.
A. Karakteristik Generasi Pertama Transmigran
1. Umur Kepala Keluarga
Umur berpengaruh baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap perilaku dan pola pengambilan
keputusan individu. Umur seseorang memegang peranan
penting dalam proses produksi, hal ini dikarenakan sangat
menentukan produktivitas kerja dan kualitas seseorang.
Pengaruh umur juga dapat dikaitkan dengan pengalaman
maupun dari sisi kedewasaan dalam berpikir yang
menyertai peningkatan umur seseorang.
Rata-rata umur kepala keluarga generasi pertama di
daerah-daerah transmigrasi di Provinsi Jambi bervariasi,
dengan rata-rata umur 64,31 tahun. Berdasarkan kelompok
umurnya, dapat dijelaskan bahwa sebagian besar Kepala
keluarga (63, 10 %) berada dalam usia 60 tahun ke atas.
Kondisi ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 36,90%
kepala keluarga yang masih berada dalam usia produktif.
Apabila dirinci menurut kabupaten yang dijadikan objek
penelitian keadaannya semakin bervariasi, dimana untuk
lokasi Rimbo Bujang jumlah kepala keluarga yang tidak
produktif tercatat sebanyak 94,64%, sedangkan untuk lokasi
125
Batang Asam tercatat lebih rendah yaitu sebesar 61,50 % dan
untuk lokasi Sungai Bahar hanya berjumlah 32,14 % saja.
Tingginya perbedaan usia kepala keluarga generasi
pertama di daerah penelitian tidak terlepas dari pada waktu
penempatan transmigrasi yang berbeda di daerah ini. Di
lokasi transmigrasi Rimbo Bujang transmigran ditempatkan
pertama pada tahun 1976, sedangkan untuk lokasi Batang
Asam tercatat tahun 1987 dan Sungai Bahar pada tahun
1991. Umur kepala keluarga generasi pertama secara lebih
rinci disajikan pada Tabel 4.1.1.
Tabel 4.1.1 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut KelompokUmur di Lokasi
Transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2017
Kelompok
Umur
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
<=49 0 3 3 6
(0,00) (5,36) (5,36) (3,57)
50 – 59 3 18 35 56
(5,36) (32,14) (62,50) (33,33)
60 – 69 17 28 16 61
(30,36) (50,00) (28,57) (36,31)
70 – 79 17 5 1 23
(30,36) (8,93) (1,79) (13,69)
>79 19 2 1 22
(33,93) (3,57) (1,79) (13,10)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Rata-rata 73,45 61,88 57,59 64,31
Sumber: Penelitian lapangan, 2017
Keterangan: angka yang dikurung dalam persen
126
2. Jenis Kelamin
Bila dilihat dari jenis kelamin, tidak semua kepala
keluarga di lokasi transmigrasi di Provinsi Jambi berjenis
kelamin laki-laki. Sebagian besar (79,76%) dari kepala
keluarga di daerah penelitian adalah laki-laki, dan sisanya
sebanyak 20,24 persen adalah perempuan. Berdasarkan
daerah sampel ternyata kepala keluarga perempuan untuk
Rimbo Bujang tercatat lebih tinggi dibanding Batang Asam
dan Sungai Bahar. Keadaan ini terlihat di Rimbo Bujang
Kepala keluarga adalah perempuan sebanyak 44,64 persen,
Sungai Bahar 16,07 persen dan tidak ada kepala keluarga
sampel di Batang Asam yang berstatus perempuan.
Keadaan kepala keluarga generasi pertama menurut jenis
kelamin di lokasi penelitian di Provinsi Jambi seperti terlihat
pada Tabel 4.1.2.
Tabel 4.1.2 Persentase Kepala Keluarga Menurut Jenis
Kelamin di Lokasi Transmigrasi Provinsi
Jambi, Tahun 2017.
Jenis Kelamin
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Laki-Laki 31 56 47 134
(55,36) (100,00) (83,93) (79,76)
Perempuan 25 0 9 34
(44,64) (0,00) (16,07) (20,24)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: angka yang dikurung dalam persen
3. Status Kawin
Secara umum komposisi penduduk menurut Status
perkawinan di Indonesia dapat dibedakanbelum kawin,
kawin, cerai hidup dan cerai mati. Pada penelitian ini status
kawin disederhanakan menjadi Kawin, cerai hidup/mati.
127
Untuk kepala keluarga yang berstatus kawin artinya kedua
pasangan masih hidup, sedangkan untuk cerai hidup / mati
salah satu pasangan yang tidak lengkap. Sebagian besar
kepala keluarga generasi pertama (75,60%) masih berstatus
kawin dan sisanya sebanyak 24,40 persen kepala keluarga
tercatat sebagai single parent. Status perkawinan Generasi
Pertama disajikanpada Tabel 4.1.3.
Tabel 4.1.3 Persentase Kepala Keluarga Generasi Pertama
Menurut Status Perkawinan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Status Kawin
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Kawin 25 53 49 127
(44,64) (94,64) (87,50) (75,60)
Cerai
Hidup/Mati 31 3 7 41
(55,36) (5,36) (12,50) (24,40)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
4. Pendidikan
Sebagian besar responden generasi pertama di
wilayah penelitian (42,86%) hanya memiliki pendidikan
tamat Sekolah Dasar (SD). Responden yang tidak/belum
pernah sekolah dan yang tidak/belum tamat SD tercatat
sebanyak (33,92%). Jadi bila dijumlahkan responden yang
hanya tamat SD dan tidak tamat pendidikan serta tidak
pernah sekolah angkanya sangat besar yaitu mencapai
(76,78%). Dengan pendidikan yang begitu rendah tentu
akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang
mereka lakukan.
128
Untuk responden dengan pendidikan tamat SLTP
Umum maupun kejuruan berjumlah sebanyak 13,09 persen.
Sementara itu responden yang diwawancarai memiliki
tingkat pendidikan SLTA berjumlah sebanyak (8,93%), dan
hanya sebesar 1,19% persen saja responden yang menikmati
pendidikan tamat DiplomaIV/ Sarjana.
Keadaan yang lebih memprihatinkan terjadi kalau
ditinjau menurut lokasi penelitian. Di Rimbo Bujang hampir
semua kepala keluarga generasi pertama (96,43%) hanya
memilki pendidikan SD ke bawah. Sisanya 3,57 persen
hanya memiliki pendidikan SLTP dan SLTA, dan tidak
ditemui responden yang menamatkan pendidikan
DiplomaIV/ Sarjana di lokasi penelitian.
Berbeda halnya dengan lokasi Batang Asam, tingkat
pendidikan yang dimiliki oleh responden lebih baik yang
ditandai dengan sekitar (64,29%) responden menamatkan
pendidikan SD. Kemudian yang tamat pendidikan SLTA
dan SLTP berjumlah sebanyak (12,50%), dan tidak ditemui
responden yang tidak/belum pernah sekolah.
Keadaan responden berdasarkan tingkat pendidikan
yang dapat ditamatkan disajikan secara rinci pada Tabel
4.1.4. berikut:
129
Tabel 4.1.4 Persentase Responden Generasi Pertama Menurut
Pendidikan yang Ditamatkan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Pendidikan
Generasi Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tdk/Blm Pernah
Sekolah 16 0 0 16
(28,57) (0,00) (0,00) (9,52)
Tdk/Blm Tamat SD 22 13 6 41
(39,29) (23,21) (10,71) (24,40)
SD 16 36 20 72
(28,57) (64,29) (35,71) (42,86)
SLTP Umum 0 5 13 18
(0,00) (8,93) (23,21) (10,71)
SLTP Kejuruan 1 0 3 4
(1,79) (0,00) (5,36) (2,38)
SLTA Umum 1 2 12 15
(1,79) (3,57) (21,43) (8,93)
Diploma IV/S1 0 0 2 2
(0,00) (0,00) (3,57) (1,19)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: angka yang dikurung dalam persen
Untuk lokasi Sungai Bahar pendidikan yang dimiliki
oleh responden lebih bervariasi. Mereka yang tidak pernah
sekolah dan tidak tamat SD berjumlah sebanyak (33,92%).
Responden yang tamat SD tercatat sebesar 42,86 persen.
Selain itu ditemui responden sebanyak (22,02%) yang
memiliki pendidikan tamatan SLTP dan SLTA, di luar itu
masih terdapat responden yang memiliki pendidikan tamat
Diploma IV/Sarjana walaupun dengan jumlah yang relatif
sedikit dan hanya sebanyak (1,19 %).
130
Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
para transmigran di daerah penelitian merupakan bagian
dari persoalan yang harus menjadi pertimbangan ketika
melakukan recruitment terhadap calon transmigrasi. Di
samping itu keterampilan yang dimiliki oleh calon
transmigrasi di masa yang akan datang merupakan
persyaratan lain yang harus diperhatikan. Jika tidak kesan
yang muncul selama ini bahwa transmigrasi hanya akan
memindahkan kemiskinan dari Pulau Jawa ke luar Pulau
Jawa tidak terbukti.
5. Provinsi Asal
Secara umum provinsi asal transmigrasi berasal dari
provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Menurut hasil penelitian
jumlah transmigrasi tercatat 88,69 persen di dominasi oleh
Provinsi Jawa Timur sebanyak (39,29 %), Yogyakarta
(21,43%), Jawa Barat (16,07 %) dan Jawa Timur sebesar 11,90
persen. Untuk pendatang yang berasal dari luar Pulau Jawa
yang jumlahnya tidak terlalu banyak merupakan migran
masuk dari Provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Provinsi –
provinsi tersebut berturut-turut Provinsi Jambi (disebut juga
translok), kemudian diikuti oleh Provinsi Lampung (2,38%),
Sumatera Utara (1,79%) dan Sumatera Barat dan Sumatera
Selatan masing-masing 0,60 persen.
Bila dilihat secara lebih rinci asal provinsi
transmigran generasi pertama di daerah penelitian dapat
dijelaskan sebagai berikut. Semua sampel transmigran di
Rimbo Bujang (100%) waktu penempatan berasal dari 3(tiga)
provinsi Yakni Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Barat.
Tidak demikian halnya untuk lokasi Batang Asam dan
Sungai Bahar dimana terdapat transmigrasi lokal (Jambi),
masing-masing sebesar 16,07 persen dan 1,79 persen.
Keadaan responden generasi pertama menurut
provinsi asal transmigran di daerah transmigrasi
digambarkan pada Tabel 4.1.5.
131
Tabel 4.1.5 Persentase Responden Generasi Pertama
berdasarkan Asal Provinsi di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, tahun 2017.
Provinsi
Asal
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Jawa
Tengah 35 19 12 66
(62,50) (33,93) (21,43) (39,29)
Yogyakarta 11 4 21 36
(19,64) (7,14) (37,50) (21,43)
Jawa Barat 10 6 11 27
(17,86) (10,71) (19,64) (16,07)
Jawa Timur 0 13 7 20
(0,00) (23,21) (12,50) (11,90)
Jambi 0 9 1 10
(0,00) (16,07) (1,79)
(5,95)
Sumatera Utara 0 0 3 3
(0,00) (0,00) (5,36) (1,79)
Lampung 0 4 0 4
(0,00) (7,14) (0,00) (2,38)
Sumatera
Selatan 0 1 0 1
(0,00) (1,79) (0,00) (0,60)
Sumatera Barat 0 0 1 1
(0,00) (0,00) (1,79) (0,60)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen.
6. Tahun Awal Tinggal di Desa
Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan
transmigrasi di Provinsi Jambi sudah berlangsung dalam
kurun waktu yang cukup lama. Secara terkoordinir program
132
penempatan transmigrasi di wilayah ini dimulai sejak Pelita
I tahun (1969/70-1973/74). Di daerah penelitian
penempatan transmigrasi dapat dibedakan untuk Rimbo
Bujang merupakan transmigran yang ditempatkan periode
(1975- 1977), di Batang Asam periode (1986-1988) dan
periode (1991-1994) untuk lokasi Sungai Bahar.
Untuk mengetahui lebih rinci tahun awal responden
tinggal di desa transmigrasi disajikan pada Tabel 4.1.6.
Tabel 4.1.6 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Tahun AwalTinggal di Desa Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Tahun
Awal
Tinggal
di Desa
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
1975 - 1977 56 0 0 56
(100,00) (0,00) (0,00) (33,33)
1986 - 1988 0 0 56 56
(0,00) (0,00) (100,00
) (33,33)
1991 - 1994 0 56 0 56
(0,00) (100,00) (0,00) (33,33)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian lapangan, 2017.
Keterangan: angka yang dikurung dalam persen
Berdasarkan tahun penempatan tersebut diperkirakan
di lokasi Rimbo Bujang transmigran telah bermukim lebih
kurang selama 41 tahun, di Batang Asam sekitar 30 tahun
dan 25 tahun untuk lokasi Sungai Bahar. Berdasarkan
lamanya mereka berdomisili di daerah transmigrasi di duga
dari sisi keturunan sudah memasuki generasi ke dua,
bahkan generasi ke tiga.
133
7. Status Ketransmigrasian
Transmigrasi umum (TU) merupakan jenis
transmigrasi yang di sponsori oleh pemerintah. Sementara
transmigrasi spontan adalah bentuk perpindahan penduduk
yang dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri, segala
konsekuensi yang muncul akibat tindakan ini menjadi
tanggung jawab pribadi. Sedangkan transmigrasi swakarsa
merupakan bentuk perpindahan penduduk yang dirancang
oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan badan
usaha sebagai mitra usaha transmigran bagi penduduk yang
berpotensi berkembang untuk maju.
Status ketransmigrasian di daerah penelitian Provinsi
Jambi secara terperinci disajikan pada Tabel 4.1.7.
Tabel 4.1.7 Persentase Responden Generasi Pertama Menurut
StatusKetransmigrasian di Lokasi Transmigrasi di
Provinsi Jambi, Tahun 2017
Status
Ketransmigrasian
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Transmigrasi
Umum 42 50 56 148
(75,00) (89,29) (100,00) (88,10)
Transmigrasi
Spontan 0 4 0 4
(0,00) (7,14) (0,00) (2,38)
Swakarsa 14 2 0 16
(25,00) (3,57) (0,00) (9,52)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian lapangan, 2017
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Di lokasi penelitian sebagian besar (88,10%) transmigran merupakan transmigrasi umum, sedangkan transmigrasi swakarsa berjumlah sebanyak 9,52 persen, dan hanya sekitar 2,38 persen saja transmigran yang berstatus
134
spontan. Bila dirinci menurut daerah sampel ternyata di Rimbo Bujang jumlah transmigrasi swakarsa sebanyak (25,00%), untuk Batang Asam terdapat (3,57%) dan tidak ada transmigrasi yang berstatus swakarsa di Sungai Bahar.
8. Alasan Ikut Transmigrasi
Terdapat beberapa alasan yang diberikan oleh responden kenapa mereka tertarik mengikuti program transmigrasi. Alasan-alasan dimaksud adalah: tidak memiliki lahan, terpaksa pindah karena pembangunan bendungan, tidak memiliki pekerjaan, demi masa depan yang lebih baik, dan ikut keluarga.
Untuk mengetahui Keadaan transmigran berdasarkan
alasan ikut transmigrasi di daerah penelitian dapat
diketahui pada Tabel 4.1.8.
Tabel 4.1.8 Persentase Responden Generasi Pertama Menurut Alasan Ikut Bertransmigrasi di Lokasi Transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2017
Alasan Ikut Transmigrasi
Kecamatan Total
Rimbo Bujang
Batang Asam
Sungai Bahar
Tidak memiliki lahan
20 (35,71)
11 (19,64)
0 (0,00)
31 (18,45)
Terpaksa pindah karena pembangunan bendungan
6 (10,71)
0 (0,00)
0 (0,00)
6 (3,57)
Tidak memiliki pekerjaan
1 (1,79)
9 (16,07)
1 (1,79)
11 (6,55)
Demi masa depan lebih baik
28 (50,00)
34 (60,71)
53 (94,64)
115 (68,45)
Ikut keluarga 1 2 2 5
(1,79) (3,57) (3,57) (2,98)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
135
Sebagian besar responden (68,45%) ikut program
transmigrasi karena alasan demi masa depan yang lebih
baik, keadaan ini lebih tinggi lagi di lokasi Sungai Bahar
dengan jumlah sebanyak (94,64%). Sekitar 18,45 persen
transmigran meninggalkan daerah asal karena tidak
memiliki lahan untuk digarap, faktor ini mendorong mereka
untuk melakukan perpindahan. Transmigran yang ikut
bertransmigrasi karena alasan tidak memiliki pekerjaan
sebanyak 6,55 persen. Hanya sebagian kecil saja transmigran
(2,98%) yang meninggalkan daerah asal dengan alasan ikut
keluarga.
9. Kedatangan dari Daerah Asal
Bentuk mobilitas penduduk yang berlangsung selama
ini dapat dibedakan atas mobilitas langsung (Direct mobility)
dan mobilitas tidak langsung (indirect mobility).Migrasi
langsung merupakan perpindahan dari daerah asal menuju
daerah tempat tinggal terakhir. Migrasi tidak langsung
merupakan perpindahan dari tempat asalke tempat tujuan
yang telah melewati beberapa tahap atau lebih dari satu
tahap. Bentuk ini lazim juga disebut perpindahan bertahap
(chain migration).
Pola perpindahan ini banyak terjadi di Indonesia,
transmigrasi sebagai program perpindahan penduduk
dalam bentuk transmigrasi umum merupakan bentuk kasus
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Sementara
perpindahan penduduk dalam bentuk perpindahan tidak
langsung ditandai dengan tempat tinggal sekarang tidak
sama dengan tempat tinggal sebelumnya dan tidak sama
dengan tempat tinggal asal. Contoh daerah asal dari Jawa
Barat lalu transmigrasi ke Lampung, dan kemudian pindah
lagi ke Rimbo Bujang di Provinsi Jambi
Sebagian besar dari transmigran di Provinsi Jambi di
daerah penelitian (88,10%) merupakan transmigrasi yang
pindahsecara langsung. Sisanya sekitar (11,90%) merupakan
transmigrasi yang telah melakukan perpindahan tidak dari
daerah asal tapi dari tempat perpindahan sebelumnya.
136
Tinggi rendahnya tingkat perpindahan yang terjadi antara
daerah tujuan pertama dengan daerah selanjutnya sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab-penyebab
tersebut dapat berupa faktor sosial, ekonomi, budaya,
keamanan dan sebagainya.
Untuk lebih jelasnya, kedatangan dari daerah asal
transmigrasi di Provinsi Jambi disajikan pada Tabel 4.1.9.
Tabel 4.1.9 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Kedatangan di Daerah Asal di
Lokasi Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun
2017
Kedatangan
dari Daerah
Asal
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Transmigrasi
Langsung
56
(100,00)
36
(64,29)
56
(100,00)
148
(88,10)
Transmigrasi
Tidak
Langsung
0
(0,00)
20
(35,71)
0
(0,00)
20
(11,90)
Total 56
(100,00)
56
(100,00)
56
(100,00)
168
(100,00)
Sumber: Penelitian lapangan, 2017
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
10. Jumlah Anggota Rumah Tangga Yang Dibawa
Anggota Rumah Tangga (ART) dalam penelitian ini
adalah semua personal yang ada dalam suatu ikatan rumah
tangga termasuk kepala keluarga. Secara keseluruhan
jumlah anggota rumah tangga yang dibawa ketika
bertransmigrasi rata-rata sebesar(3,31 orang). Berdasarkan
lokasi penelitian terlihat bahwa rata-rata ART di Rimbo
Bujang sebesar (3,57 orang), lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata ART di Batang Asam (3,66 orang) dan di
Sungai Bahar hanya sebesar (2,70 Orang).Lebih separuh
(55,95%) transmigrasi di daerah penelitian ketika mulai
137
berangkat dari daerah asal memiliki jumlah ART berkisar
antara 3-4 orang. Terdapat sebanyak (30,36%) kepala
keluarga transmigran ketika meninggalkan daerah asalnya
dengan yang memiliki ART antara 1-2 orang, dan hanya
sekitar (13,69%) saja transmigran yang berangkat dari
daerah asalnya yang memiliki jumlah ART lebih besar dari 4
orang.
Keadaan transmigran berdasarkan jumlah anggota
rumah tangga yang dibawa ketika memulai berangkat
transmigrasi disajikan pada Tabel 4.1.10.
Tabel 4.1.10 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut JumlahAnggota Rumah Tangga
Yang Dibawa di Lokasi transmigrasi Provinsi
Jambi, Tahun 2017
Jumlah
ART
yang
dibawa
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
1 - 2 16 9 26 51
(28,57) (16,07) (46,43) (30,36)
3 - 4 27 39 28 94
(48,21) (69,64) (50,00) (55,95)
> 4 13 8 2 23
(23,21) (14,29) (3,57) (13,69)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Rata-
rata 3,57 3,66 2,70 3,31
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Terbatasnya jumlah ART yang dimiliki oleh transmigran ketika memulai berangkat dari kampung halamannya (daerah asal), memang salah satu syarat dalam melakukan transmigrasi. Dengan keluarga yang lebih mini diharapkan di daerah tujuan transmigran akan mempunyai
138
waktu yang lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan di luar rumah tangga. Alokasi waktu yang tersedia untuk bekerja di sektor pertanian diharapkan dapat membantu transmigran dalam hal memenuhi kebutuhannya, sehingga secara bertahap mereka lebih produktif. Meningkatkannya produktivitas transmigran akan lebih mudah dalam mencapai kesejahteraannya.
11. Kegiatan Utama Saat Ini
Dalam konsep ketenagakerjaan kegiatan utama penduduk meliputi bekerja, mencari pekerjaan, sekolah, urus rumah tangga dan lainnya. Pada penelitian ini kegiatan utama hanya ditujukan untuk kepala keluarga generasi pertama. Kegiatan utama dalam hal ini hanya dibedakan sebagai kegiatan bekerja dan sebagai penerima pendapatan.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan hampir semua kepala keluarga (92,86%) memiliki kegiatan utama pada saat ini “Bekerja”, dan hanya sebagian kecil saja sebesar (7,14%) sebagai penerima pendapatan. Kepala keluarga yang tercatat sebagai penerima pendapatan ini baik disebabkan tidak produktif lagi karena usia lanjut, dan lahannya digarap oleh orang lain dan ada juga karena alasan dilarang oleh anak-anak mereka yang sudah mempunyai penghasilan lebih baik. Keadaan kepala keluarga di lokasi penelitian Provinsi Jambi menurut kegiatan utama pada saat ini disajikan pada Tabel 4.1.11.
Tabel 4.1.11 Persentase Responden Menurut Kegiatan
Utama Pada Saat ini di Lokasi Transmigrasi di
Provinsi Jambi, tahun 2017
Kegiatan
Utama Saat
Ini
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Bekerja 44
(78,57)
56
(100,00)
56
(100,00)
156
(92,86)
Penerima
pendapatan 12
(21,43)
0
(0,00)
0
(0,00)
12
(7,14)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan: angka yang dikurung dalam persen
139
12. Lapangan Usaha
Lapangan usaha dalam penelitian ini dikelompokkan
atas 6(enam) bidang meliputi (Pertanian tanaman pangan,
Perkebunan, Peternakan, Bangunan Perdagangan, hotel dan
restoran dan Jasa lainnya). Hampir dua pertiga ( 65,38%)
responden di lokasi transmigrasi bekerja di sektor
perkebunan. Kemudian pertanian tanaman pangan
merupakan sektor kedua lapangan usaha dari responden
dengan jumlah sebanyak (26,92%). Sektor Jasa lainnya
tercatat sebanyak (3,21%).
Terkosentrasinya lapangan usaha generasi pertama
pada Sektor Perkebunan dan Pertanian Tanaman Pangan
(92,30%) tidak dapat disangkal karena memang bentuk
transmigrasi yang ada di Provinsi Jambi adalah
Transmigrasi Umum (TU) sebanyak (88,10%). Sebagaimana
diketahui pola transmigrasi ini semua beban biaya yang
muncul menjadi tanggungan pemerintah termasuk dalam
penyiapan lahan. Perkembangan sektor non Perkebunan
dan Pertanian tanaman pangan di lokasi transmigran relatif
masih terbatas.
Untuk mengetahui lebih rinci lapangan usaha
generasi pertama di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi
disajikan pada Tabel 4.1.12.
140
Tabel 4.1.12 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Lapangan Usaha di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Lapangan
Usaha
Generasi
Pertama
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Pertanian
Tanaman
Pangan
3
(6,82)
39
(69,64)
0
(0,00)
42
(26,92)
Perkebunan 38
(86,36)
14 50 102
(25,00) (89,29) (65,38)
Peternakan 1
(2,27)
0
(0,00)
0
(0,00)
1
(0,64)
Bangunan 1
(2,27)
1
(1,79)
0
(0,00)
2
(1,28)
Perdaganga,
Hotel dan
Restoran
0
(0,00)
2
(3,57)
2
(3,57)
4
(2,56)
Jasa lainnya 1
(2,27)
0
(0,00)
4
(7,14)
5
(3,21)
Total 44
(100,00)
56
(100,00)
56
(100,00)
156
(100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
13. Jenis Pekerjaan
Salah satu pengelompokan dalam struktur
ketenagakerjaan adalah jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan
dalam penelitian ini dibedakan atas (1). Tenaga professional,
(2). Tenaga Tata Usaha, (3). Tenaga usaha jasa dan usaha
penjualan, (4). Tenaga usaha pertanian dan peternakan, dan
(5). Pekerja kasar, tenaga kebersihan dan tenaga ybdi.
Untuk mengetahui secara lebih rinci jenis pekerjaan
generasi pertama di lokasi penelitian disajikan pada Tabel
4.1.13 berikut.
141
Tabel 4.1.13 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Jenis Pekerjaan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi jambi, Tahun 2017.
Jenis
Pekerjaan
Generasi
Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tenaga
Profesional
0 1 3 4
(0,00) (1,79) (5,36) (2,56)
Tenaga Tata
Usaha
0 1 1 2
(0,00) (1,79) (1,79) (1,28)
Tenaga usaha
jasa dan usaha
penjualan
1 1 2 4
(2,27) (1,79) (3,57) (2,56)
Tenaga usaha
pertanian dan
peternakan
40 52 35 127
(90,91) (92,86) (62,50) (81,41)
Pekerja kasar,
tenaga
kebersihan
dan tenaga
ybdi
3 1 15 19
(6,82) (1,79) (26,79) (12,18)
Total 44 56 56 156
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan: angka yang dikurung dalam persen
Berdasarkan hasil penelitian di lokasi transmigrasi
Provinsi Jambi diperoleh jenis pekerjaan generasi pertama
berikut. Sebagian besar generasi pertama (81,41%) bekerja
sebagai Tenaga usaha pertanian dan peternakan. Kemudian
diikuti oleh jenis pekerjaan sebagai pekerja kasar, tenaga
kebersihan dan tenaga ybdi sebanyak (12,18%). Sisanya
generasi pertama di wilayah penelitian bekerja sebagai
Tenaga professional sebesar (2,56%), dan Tenaga usaha jasa
dan usaha penjualan juga sebesar (2,56%), dan hanya sekitar
(1,28%) saja yang bekerja sebagai Tenaga tata usaha.
142
Banyaknya jumlah generasi pertama yang bekerja
sebagai Tenaga usaha pertanian dan peternakan, cukup
beralasan karena pekerjaan ini secara relatif tidak
membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi. Keadaan ini
sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
generasi pertama di lokasi penelitian dimana sekitar
(42,86%) hanya memiliki pendidikan tamat sekolah Dasar
(SD) Bahkan generasi pertama yang tidak/belum pernah
sekolah dan yang tidak/belum tamat SD tercatat sebanyak
(33,92%). Secara akumulasi responden yang hanya tamat SD
dan tidak tamat angkanya sangat besar yaitu (76,78%).
Dengan bekal pendidikan yang mereka miliki sulit untuk
mengembangkan inovasinya terhadap sektor lain yang
membutuhkan keterampilan khusus.
14. Status Pekerjaan
Status pekerjaan dalam riset ini terdiri dari: 1).
Berusaha sendiri, 2). Berusaha dengan pekerja
keluarga/tidak dibayar, 3). Berusaha dengan buruh tetap,
dan 4). Buruh/ karyawan. Berdasarkan kelompok tersebut
status pekerjaan generasi pertama di daerah penelitian
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sebagian besar status pekerjaan generasi pertama
(70,51%) mereka berusaha sendiri. Artinya transmigrasi
generasi pertama di lokasi penelitian melakukan pekerjaan
tidak terikat pada pihak lain. Mereka merupakan petani
petani yang bekerja di lahan sendiri dan tidak tergantung
pada pihak lain, dan termasuk dalam proses produksi dan
pemasaran hasil-hasilnya. Keputusan yang diambil biasanya
ditetapkan tidak melalui musyawarah dengan pihak lain
akan tetapi keputusan final merupakan keputusan
perseorangan, yang merupakan ciri tersendiri dari status
pekerjaan berusaha sendiri.
Generasi pertama dengan status pekerjaan Berusaha
dengan pekerja keluarga/tidak dibayar berjumlah sebanyak
(13,46%). Artinya keterlibatan keluarga dalam melaksana-
kan pekerjaan cukup berarti walaupun secara ekonomis
143
kontribusi keluarga kurang diperhitungkan. Peranan
anggota keluarga turut serta dalam menopang ekonomi
rumah tangga dalam bentuk berpartisipasi aktif untuk
kegiatan-kegiatan di luar rumah tangga dalam
menghasilkan barang dan jasa.
Hasil wawancara di lokasi transmigrasi juga
diperoleh sebanyak (6,41%) generasi pertama dengan status
pekerjaan Berusaha dengan buruh tetap. Ini menunjukkan
bahwa responden dalam menghasilkan produksi telah
menggunakan tenaga kerja tetap, baik diperoleh dari
lingkungan keluarga maupun dari luar yang menerima
penghasilan tetap. Kendatipun masih tergolong kecil
jumlahnya penggunaan tenaga kerja di luar keluarga sudah
diperhitungkan.
Responden dengan status pekerjaan sebagai
buruh/karyawan tercatat sebanyak (9,41%). Buruh atau
karyawan merupakan pekerja yang menerima balas jasa dari
pihak lain baik berupa uang atau barang yang dinilai
dengan uang. Penghasilan buruh/karyawan sangat
ditentukan diantaranya dari kelangsungan hidup
perusahaan/instansi yang ada di wilayah penelitian. Selain
itu kompensasi yang diberikan kepada buruh/karyawan
tidak terlepas dari tingginya pendidikan dan keterampilan
yang dimiliki oleh pekerja.
Untuk mengetahui lebih rinci sebaran status
pekerjaan generasi pertama disajikan pada Tabel 4.1.14
berikut.
144
Tabel 4.1.14 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Status Pekerjaan Di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Status Pekerjaan
Generasi
Pertama
Berusaha
Sendiri
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
25 51 34 110
(56,82) (91,07) (60,71) (70,51)
Berusaha
dengan pekerja
keluarga/ tdk
dibayar
5 3 13 21
(11,36) (5,36) (23,21) (13,46)
Berusaha
dengan buruh
tetap
7 0 3 10
(15,91) (0,00) (5,36) (6,41)
Buruh/
Karyawan
7 2 6 15
(15,91) (3,57) (10,71) (9,62)
Total 44 56 56 156
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
15. Kepemilikan Pekerjaan Sampingan
Pekerjaan sampingan dalam penelitian ini maksudnya
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh responden generasi
pertama diluar pekerjaan pokok (utama). Pengelompokan
atas pekerjaan utama dan sampingan biasanya didasarkan
pada waktu yang lebih intensif dalam melakukan suatu
pekerjaan. Atau pekerjaan yang lebih banyak menyita
waktu dan pikiran dari responden.
Keadaan responden menurut pekerjaan sampingandi
lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.1.15.
145
Tabel 4.1.15 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Kepemilikan Pekerjaan Sampingan
di Lokasi transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun
2017.
Kepemilikan
Pekerjaan
Sampingan
Generasi Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Punya 14 16 16 46
(31,82) (28,57) (28,57) (29,49)
Tidak Punya 30 40 40 110
(68,18) (71,43) (71,43) (70,51)
Total 44 56 56 156
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
Secara keseluruhan responden di daerah transmigrasi
yang memiliki pekerjaan sampingan berjumlah sebanyak
(29,49%). Sisanya sebanyak (70,51%) responden tidak
memiliki pekerjaan sampingan. Berdasarkan lokasi
Kecamatan variasi responden punya pekerjaan sampingan
dan tidak punya pekerjaan sampingan tidak terlalu
signifikan.
Besarnya jumlah responden yang tidak memiliki
pekerjaan sampingan berarti bahwa fokus mereka lebih
tertuju pada pekerjaan pokok. Ini berarti pula bahwa
sumber utama pendapatan rumah tangga responden
bersumber dari hasil pekerjaan pokok. Dengan demikian
curahan waktu yang dialokasikan untuk memperoleh
produksi sebagian besar adalah untuk pekerjaan pokok.
16. Jam Kerja Per Minggu
Rata-rata jam kerja per minggu generasi pertama di
lokasi transmigrasi Provinsi Jambi berjumlah selama (31,54
Jam) dalam se minggu. Bila dibandingkan dengan jam kerja
normal menurut standar International Labor Organization
(ILO) selama 35 jam atau lebih, jam kerja generasi pertama
146
masih tergolong kurang atau dibawah jam kerja penuh.
Secara keseluruhan generasi pertama yang bekerja dalam
seminggu 35 jam atau lebih berjumlah kurang dari separuh
(48,72%). Terdapat sebanyak 31,41 persen generasi pertama
yang memiliki jam kerja antara (14-34 jam) per minggu.
Pada bagian lain masih ada generasi pertama yang
mencurahkan waktunya bekerja kurang dari 14 jam per
minggu.Berdasarkan hasil wawancara di lokasi penelitian
jumlah generasi pertama yang bekerja kurang dari standar
kerja jam normal berjumlah (51,28%). Ini berarti bahwa lebih
separuh dari generasi pertama yang bekerja di daerah riset
belum memanfaatkan waktunya secara optimal.
Keadaan responden generasi pertama menurut jam
kerja dalam seminggu disajikan pada Tabel 4.1.16 berikut:
Tabel 4.1.16 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Jam kerja per Minggu di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Jam Kerja
Perminggu
Generasi
Pertama
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
< 14 8 0 23 31
(18,18) (0,00) (41,07) (19,87)
14 – 34 22 5 22 49
(50,00) (8,93) (39,29) (31,41)
>=35 14 51 11 76
(31,82) (91,07) (19,64) (48,72)
Total 44 56 56 156
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Rata-rata 24,83 46,20 22,17 31,54
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
147
B. KARAKTERISTIK GENERASI KEDUA TRANSMIGRAN
1. Umur
Secara umum rata-rataumur generasi kedua di daerah
penelitian mencapai 35 tahun. Dengan umur tersebut
generasi kedua berada dalam kelompok umur produktif
dimana jumlah kelompok tersebut termasuk dalam rentang
(30-39 tahun), dan kelompok ini berjumlah sebanyak
(42,26%). Untuk generasi kedua yang berusia antara (40-49
tahun) tercatat sebanyak 20,83 persen, sebarannya di lokasi
Rimbo Bujang hampir separuhnya (48,21%), sementara di
Batang Asam terdapat sebanyak 12,50 persen, dan hanya
1,79 persen saja responden yang berada di lokasi Sungai
Bahar.
Untuk lebih jelasnya rincian keadaan responden
menurut umur di lokasi transmigrasi dalam Provinsi Jambi
disajikan pada Tabel 4.2.1.
Tabel 4.2.1 Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut KelompokUmurdi Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Kelompok
Umur
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
20 – 29 1 26 26 53
(1,79) (46,43) (46,43) (31,55)
30 – 39 19 23 29 71
(33,93) (41,07) (51,79) (42,26)
40 – 49 27 7 1 35
(48,21) (12,50) (1,79) (20,83)
50 + 9 0 0 9
(16,07) (0,00) (0,00) (5,36)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Rata-rata 42,25 31,46 29,98 34,57
Sumber: Penelitian Lapangan, Tahun 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
148
Pada bagian lain diperoleh temuan secara total terdapat generasi kedua yang telah berumur diatas 50 tahun yaitu sebanyak 5,36 persen. Suatu hal yang menarik adalah responden dengan umur 50 tahun atau lebih hanya ditemui di lokasi Rimbo Bujang, dan tidak ada responden dengan usia tersebut di lokasi Batang Asam dan Sungai Bahar. Hal ini sangat beralasan karena lokasi transmigrasi di Kecamatan Rimbo Bujang (sekitar 14- 16 tahun) lebih dahulu dari lokasiBatang Asam dan Sungai Bahar.
Untuk responden yang berusia antara (20-29 tahun) secara keseluruhan berjumlah sebanyak 31,55 persen. Berdasarkan lokasi di Batang Asam dan Sungai Bahar jumlahnya tercatat masing-masing sebanyak 46,43 persen, sedangkan di Rimbo Bujang jumlahnya sangat sedikit, hanya sekitar 1,79 persen saja.
2. Jenis Kelamin
Berdasar hasil penelitian di daerah sampel diperoleh informasi dua pertiga atau 66,67 persen responden berjenis kelamin laki-laki, sisanya sebanyak 33,33 persen adalah responden perempuan. Bila dipelajari menurut lokasi Kecamatan diperoleh hasil berikut. Ternyata persentase responden perempuan lebih besar di daerah Rimbo Bujang, dibanding dengan kedua lokasi Batang Asam maupun Sungai Bahar.
Secara lebih rinci keadaan responden generasi kedua
di daerah penelitian disajikan pada Tabel 4.2.2.
Tabel 4.2.2 Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Jenis Kelamindi Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Jenis Kelamin Kecamatan
Total Rimbo Bujang
Batang Asam
Sungai Bahar
Laki-Laki 35 39 38 112 (62,50) (69,64) (67,86) (66,67)
Perempuan 21 17 18 56 (37,50) (30,36) (32,14) (33,33)
Total 56 56 56 168 (100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: angka yang dikurung dalam persen
149
Di Rimbo Bujang responden yang berjenis kelamin
perempuan tercatat sebanyak 37,50 persen, jumlah ini lebih
tinggi dibandingkan dengan responden yang ada di Batang
Asam sebesar 30,36 persen dan di Sungai Bahar berjumlah
sebanyak 32,14 persen. Keadaan ini diduga karena
perbedaan rata-rata usia responden di lokasi masing-masing
daerah penelitian.
3. Status Perkawinan
Sebagian besar jumlah responden di lokasi penelitian
berstatus kawin (88,69%). Terdapat responden sebanyak
(7,74%) dengan status perkawinan “belum kawin” (belum
menikah). Diluar itu diperoleh data responden dengan
status perkawinan“cerai hidup/mati” sebanyak (3,57%).
Untuk mengetahui lebih rinci tentang status
perkawinan responden di lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 4.2.3.
Tabel 4.2.3 Persentase Responden Generasi Kedua
menurut Status Perkawinan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Status Kawin
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Belum
Kawin
0 0 13 13
(0,00) (0,00) (23,21) (7,74)
Kawin 53 56 40 149
(94,64) (100,00) (71,43) (88,69)
Cerai
Hidup/Mati
3 0 3 6
(5,36) (0,00) (5,36) (3,57)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
150
Bila dirinci berdasarkan lokasi kecamatan diperoleh
angka status perkawinan yang sangat bervariasi. Keadaan
ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Di Rimbo Bujang hampir semua responden (94,64%) berstatus kawin, sedangkan responden yang berstatus “cerai hidup/mati adalah sebanyak (5,36%) dan tidak terdapat responden generasi kedua yang status perkawinannya “ belum kawin,” di lokasi penelitian.
Berbeda dengan apa yang terjadi di lokasi lain di wilayah penelitian seperti di Sungai Bahar proporsi responden yang berstatus Kawin masih mendominasi dengan jumlah sebanyak (71,43%). Pada bagian lain responden yang berstatus belum kawin jumlahnya cukup banyak yaitu sebesar (23,21%), dan terdapat juga responden dengan status perkawinan “cerai hidup/mati sebanyak (5,36%). Di sisi lain semua responden (100,00%) yang diwawancarai di Kecamatan Batang Asam adalah mereka yang berstatus perkawinan “Kawin”.
4. Pendidikan
Generasi kedua yang merupakan anak (turunan) dari generasi pertama umumnya lahir dan dibesarkan di lokasi transmigrasi. Secara pendidikan umumnya generasi kedua memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tuanya sebagai transmigrasi awal yang didatangkan dari daerah asal di Pulau Jawa.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diperoleh informasi berikut. Lebih seperduanya (54,76%) generasi kedua di wilayah transmigrasi Provinsi Jambi menamatkan pendidikan SLTA dan sederajat. Sementara itu generasi pertama yang menamatkan pendidikan SLTA sederajat hanya sebanyak 8,93 persen. Generasi kedua yang menamatkan pendidikan Diploma I dan III berjumlah sebanyak (7,04%), sedangkan yang berhasil mencapai pendidikan DIV/S1 tercatat berjumlah 10,71 persen.
Untuk generasi kedua yang berpendidikan SLTP, baik umum dan kejuruan berjumlah sebanyak 16,66%. Generasi kedua yang hanya menamatkan jenjang pendidikan dasar (SD) berjumlah sebanyak (10,71 %). Tidak ditemui generasi kedua yang Tidak/belum pernah sekolah dan Tidak/belum tamat SD ketika wawancara dilakukan.
151
Berdasarkan rata-rata tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh generasi kedua dibandingkan dengan generasi pertama, dapat disimpulkan bahwa pendidikan generasi kedua lebih tinggi dari generasi pertama. Tingkat pendidikan rata-rata generasi kedua adalah SLTA (54,76%), sedangkan pendidikan rata-rata generasi pertama (orang tuanya) hanya tingkat SD (42,86%). Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan pendidikan generasi kedua, 2 (dua) tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan generasi pertama.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang pendidikan yang ditamatkan oleh generasi kedua di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi disajikan secara rinci pada Tabel 4.2.4. berikut.
Tabel 4.2.4 Persentase Responden Generasi kedua
Menurut Pendidikan di Lokasi Transmigrasi
Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Pendidikan Generasi Kedua
Kecamatan Total
Rimbo Bujang
Batang Asam
Sungai Bahar
SD 16 2 0 18 (28,57) (3,57) (0,00) (10,71)
SLTP Umum 13 2 3 18 (23,21) (3,57) (5,36) (10,71)
SLTP Kejuruan 5 4 1 10 (8,93) (7,14) (1,79) (5,95)
SLTA Umum 15 37 24 76 (26,79) (66,07) (42,86) (45,24)
SLTA Kejuruan 3
(5,36) 4
(7,14) 9
(16,07) 16
(9,52)
Diploma I/II 0
(0,00) 2
(3,57) 2
(3,57) 4
(2,38)
Diploma III 2
(3,57) 1
(1,79) 5
(8,93) 8
(4,76)
Diploma IV/S1 2
(3,57) 4
(7,14) 12
(21,43) 18
(10,71)
Total 56
(100,00) 56
(100,00) 56
(100,00) 168
(100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
152
5. Lapangan Usaha
Berbeda halnya dengan generasi pertama, lapangan
usaha generasi kedua lebih berkembang dan bervariasi.
Lapangan usaha generasi kedua masih didominasi oleh
sektor Perkebunan (47,62%). Kemudian diikuti oleh sektor
Jasa lainnya sebesar 23,21 persen dan sektor Pertanian
Tanaman Pangan (15,48%).
Berikut ini dapat diketahui secara rinci keadaan lapangan usaha generasi kedua yang disajikan pada Tabel 4.2.5. Tabel 4.2.5 Responden Generasi Kedua Menurut
Lapangan Usaha di Lokasi Transmigrasi
Provinsi Jambi, tahun 2017.
Lapangan Usaha Generasi Kedua
Kecamatan Total
Rimbo Bujang
Batang Asam
Sungai Bahar
Pertanian Tanaman Pangan
0 (0,00)
26 (46,43)
0 (0,00)
26 (15,48)
Perkebunan 48 8
(14,29) 24
(42,86)
80
(85,71) (47,62)
Kehutanan 0
(0,00)
0 1 1
(0,00) (1,79) (0,60)
Industri 0
(0,00)
3 1 4
(5,36) (1,79) (2,38)
Listrik, Gas dan Air Bersih
0 1 0 1
(0,00) (1,79) (0,00) (0,60)
Bangunan 2
(3,57)
1 0 3
(1,79) (0,00) (1,79)
Perdagangan, Hotel dan Restoran
2 5 5 12
(3,57) (8,93) (8,93) (7,14)
Pengangkutan dan Komunikasi
0 (0,00)
1 0 1
(1,79) (0,00) (0,60)
Keuangan, Persewaan dan Jasa
1 (1,79)
0 0 1
(0,00) (0,00) (0,60)
Jasa lainnya 3
(5,36)
11 25 39
(19,64) (44,64) (23,21)
Total 56
(100,00)
56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
153
Diluar 3(tiga) sektor utama tersebut lapangan usaha
generasi kedua menyebar pada sektor Perdagangan, Hotel
dan Restoran (7,14%), Industri (2,38%) dan Bangunan
sebesar (1,79%). Selain itu masih terdapat generasi kedua
yang memiliki lapangan usaha di bidang Listrik, Gas dan
Air bersih, Pengangkutan dan Komunikasi, dan sektor
Keuangan, Persewaan dan Jasa masing-masing sebesar 0,60
persen.
Berkembangnya lapangan usaha generasi kedua di
daerah transmigrasi diluar sektor pertanian menunjukkan
bahwa aktivitas ekonomi diluar sektor tersebut semakin
meningkat. Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan
bentukan transmigrasi berpotensi cukup besar untuk
dikembangkan lebih lanjut. Pusat pertumbuhan merupakan
tempat berkumpulnya kegiatan yang mampu berfungsi
sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi serta mempunyai
keterkaitan produksi baik secara vertikal maupun
horizontal.
6. Jenis Pekerjaan
Bila generasi pertama hanya memiliki 5(lima) jenis
pekerjaan di daerah transmigrasi Provinsi Jambi, tidak
demikian dengan generasi kedua. Jenis pekerjaan generasi
kedua semakin luas dan berkembang sesuai dengan
peningkatan pendidikan dan keterampilan yang
dimilikinya.
Jenis pekerjaan utama generasi kedua masih sebagai
Tenaga usaha pertanian dan peternakan, akan tetapi
persentasenya menurun drastis dibanding generasi
pertama dan hanya berjumlah sebesar (57,74%). Pada
generasi kedua tercatat jumlah tenaga professional sebanyak
12,50 persen, jauh lebih besar bila dibandingkan dengan
generasi pertama yang hanya berjumlah (2,56%) saja. Untuk
Tenaga usaha jasa dan usaha penjualan jumlah generasi
kedua yang memiliki pekerjaan ini tercatat sebanyak
(11,31%), serta yang mempunyai jenis pekerjaan sebagai
154
Pekerja kasar, tenaga kebersihan dan ybdi berjumlah
sebanyak ( 8,33%).
Selain itu pada generasi kedua ditemui pula beberapa
jenis pekerjaan yang tidak dijumpai pada generasi pertama.
Selain tenaga professional, ditemui pula generasi kedua
yang bekerja sebagai Teknisi dan Asisten tenaga profesional
dengan jumlah (2,98%). Terdapat pula jenis pekerjaan
sebagai Operator.
Berdasarkan data tersebut dikatakan Semakin
meluasnya jenis lapangan pekerjaan yang ditekuni oleh
generasi kedua transmigrasi di Provinsi Jambi. Keadaan ini
mengindikasikan bahwa telah banyak kemajuan yang
dicapai dalam perjalanan panjang program transmigrasi di
lokasi penelitian khususnya, dan di Provinsi Jambi
umumnya.
Untuk mengetahui lebih rinci keadaan generasi kedua
menurut jenis pekerjaan yang ditekuni disajikan pada Tabel
4.2.6. berikut
155
Tabel 4.2.6 Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Jenis Pekerjaan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Jenis Pekerjaan Generasi Kedua
Kecamatan
Total Rimbo Bujang
Batang Asam
Sungai Bahar
Pejabat Lembaga, Legislatif, Pejabat Tinggi, Manajer
1 1 1 3
(1,79) (1,79) (1,79) (1,79)
Tenaga Profesional 2 11 8 21
(3,57) (19,64) (14,29) (12,50)
Teknisi dan Asisten Tenaga Profesional
1 1 3 5
(1,79) (1,79) (5,36) (2,98)
Tenaga Tata Usaha 0 0 6 6
(0,00) (0,00) (10,71) (3,57)
Tenaga usaha jasa dan usaha penjualan
3 6 10 19
(5,36) (10,71) (17,86) (11,31)
Tenaga usaha pertanian dan peternakan
46 34 17 97
(82,14) (60,71) (30,36) (57,74)
Tenaga pengolahan dan kerajinan
0 1 0 1
(0,00) (1,79) (0,00) (0,60)
Operator dan perakit mesin
1 (1,79)
0 (0,00)
1 (1,79)
2 (1,19)
Pekerja kasar, tenaga kebersihan dan tenaga ybdi
2 (3,57)
2 (3,57)
10 (17,86)
14 (8,33)
Total 56
(100,00) 56
(100,00) 56
(100,00) 168
(100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
7. Status Pekerjaan
Berdasarkan informasi dari hasil penelitian status
pekerjaan yang ditekuni oleh generasi kedua menurut
bidang tidak berbeda dengan generasi pertama. Perbedaan
yang nyata adalah dari status pekerjaan Berusaha sendiri
dan sebagai Buruh/karyawan. Status pekerjaan generasi
kedua Berusaha sendiri lebih sedikit (61,31%) dibanding
156
dengan generasi pertama yang berstatus demikian. Kondisi
ini dimungkinkan karena generasi kedua selain memiliki
tingkat pendidikan lebih tinggi dari generasi pertama.
Penyebab lain semakin terbukanya peluang kerja tidak
hanya di sektor pertanian, tapi juga di sektor non pertanian
di lokasi transmigrasi dalam Provinsi Jambi.
Dari status pekerjaan sebagai Buruh/karyawan dapat
dijelaskan persentase generasi kedua yang berstatus sebagai
Buruh/karyawan jumlahnya lebih dari dua kali lipat jumlah
generasi pertama. Bila generasi pertama yang menjadi
Buruh/karyawan hanya sebesar (9,62%), maka jumlah
generasi kedua yang tercatat sebagai Buruh/karyawan
berjumlah sebanyak (23,81%). Banyaknya persentase
transmigran generasi kedua yang menjadi Buruh/karyawan
dibandingkan dengan generasi pertama sangat
dimungkinkan karena generasi kedua lebih maju dan
berkembang dari generasi pertama.
Generasi pertama pada awal penempatan
transmigrasi memang semuanya diperuntukkan/ditujukan
untuk mengolah lahan di sektor pertanian. Dengan luas
lahan yang dianggap cukup untuk menghidupkan
transmigran dan keluarganya sehingga keinginan untuk
bekerja di sektor lain terbatas. Keterbatasan lain adalah
rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan generasi
kedua sehingga sulit untuk memasuki sektor non pertanian
yang secara relatif membutuhkan tingkat pendidikan dan
keterampilan yang tinggi.
Untuk mengetahui lebih rinci keadaan status
pekerjaan generasi kedua di lokasi transmigrasi di Provinsi
Jambi disajikan pada Tabel 4.2.7.
157
Tabel 4.2.7. Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Status Pekerjaan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Status
Pekerjaan
Generasi
Kedua
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Berusaha
Sendiri
41 44 18 103
(73,21) (78,57) (32,14) (61,31)
Berusaha
dengan
pekerja
keluarga/ tdk
dibayar
10 0 4 14
(17,86) (0,00) (7,14) (8,33)
Berusaha
dengan buruh
tetap
2 1 8 11
(3,57) (1,79) (14,29) (6,55)
Buruh/
Karyawan
3 11 26 40
(5,36) (19,64) (46,43) (23,81)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
Untuk status pekerjaan generasi kedua Berusaha
dengan buruh tetap sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan generasi pertama. Sementara itu status pekerjaan
generasi kedua Berusaha dengan pekerja keluarga/tidak
dibayar jumlahnya lebih sedikit (8,33%) dibanding dengan
generasi pertama. Hal ini sejalan dengan semakin
terbukanya kesempatan kerja dari generasi kedua akibat
dari semakin berkembangnya keadaan sosial ekonomi di
daerah transmigrasi, dan adanya keinginan untuk
memperoleh penghasilan sendiri bagi generasi kedua
transmigran.
8. Kepemilikan Pekerjaan Sampingan
Transmigrasi generasi kedua yang memiliki pekerjaan
sampingan berbeda jumlahnya dengan generasi pertama.
158
Demikian juga untuk responden yang tidak punya
pekerjaan sampingan berbeda antara generasi kedua dan
generasi pertama.
Secara keseluruhan persentase generasi kedua yang
punya pekerjaan sampingan berjumlah sebanyak (36,31%).
Dengan demikian jumlah generasi kedua yang tidak punya
pekerjaan sampingan berjumlah sebanyak 63,69 persen.
Berdasarkan lokasi kecamatan terdapat perbedaan
dalam generasi kedua yang tidak punya pekerjaan
sampingan. Untuk Kecamatan Sungai Bahar responden
yang tidak punya pekerjaan sampingan berjumlah (73,21%)
lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Batang Asam
(66,07%) dan Kecamatan Rimbo Bujang sebesar (51,79%).
Untuk generasi kedua yang mempunyai pekerjaan
sampingan menurut lokasi kecamatan dapat dijelaskan
berikut. Hampir separuh (48,21%) responden generasi
kedua di Kecamatan Rimbo Bujang mempunyai pekerjaan
sampingan. Di lokasi Kecamatan Batang Asam jumlah
generasi kedua yang punya pekerjaan sampingan tercatat
sebanyak (33,93 %) dan untuk Kecamatan Sungai Bahar
berjumlah sebanyak (26,79%). Tingginya jumlah responden
yang punya pekerjaan sampingan di Kecamatan Rimbo
Bujang dibanding dua lokasi Kecamatan yang lain diduga
lokasi ini jauh lebih maju dari daerah yang bersangkutan.
Selain itu daerah ini tercatat lebih dahulu sebagai
penempatan transmigrasi dibanding kedua Kecamatan
Batang Asam dan Sungai Bahar.
Secara lebih rinci keadaan responden generasi kedua
berdasarkan kepemilikan pekerjaan sampingan disajikan
pada Tabel 4.2.8 berikut.
159
Tabel 4.2.8. Persentase Responden Generasi Kedua
Berdasarkan Kepemilikan Pekerjaan
Sampingan di Lokasi Transmigrasi Provinsi
Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan
Pekerjaan
Sampingan
Generasi
Kedua
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Punya 27 19 15 61
(48,21) (33,93) (26,79) (36,31)
Tidak Punya 29 37 41 107
(51,79) (66,07) (73,21) (63,69)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen.
9. Jam kerja per minggu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 39,05
persen generasi kedua di lokasi penelitian di daerah
transmigrasi bekerja antara kurang dari 14 jam per minggu,
sd 35 jam atau lebih. Sebanyak (60,71%) responden bekerja
diatas jam kerja normal yaitu 35 jam atau lebih dalam
seminggu. Mereka yang bekerja dibawah jam kerja standar
terdiri dari 31,55 persen bekerja (antara 14 sd 34 jam per
minggu), dan masih terdapat responden yang bekerja
kurang dari 14 jam per minggu sebanyak (7,43%).
Dibanding dengan generasi pertama, baik menurut
lokasi kecamatan maupun berdasarkan total responden
yang mencurahkan waktunya untuk bekerja generasi kedua
lebih baik. Pada Kecamatan Batang Asam sebesar (92,86%)
transmigrasi bekerja dalam seminggu sesuai dengan standar
normal yaitu (35+ jam per minggu). Sedangkan di
Kecamatan Rimbo Bujang jumlahnya tercatat (48,21%), dan
di Sungai Bahar Mencapai 41,07 persen.
160
Secara keseluruhan responden yang bekerja dalam satu minggu dibawah 35 Jam berjumlah sebanyak (31,55 %). Variasi per kecamatan menunjukkan di Sungai Bahar sebesar (58,93%) transmigrasi generasi kedua mencurahkan waktunya selama kurang dari 35 jam per minggu. Untuk Rimbo Bujang berjumlah (51,79%), sedangkan untuk Kecamatan Batang Asam jumlah responden yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu hanya sebesar (7,14%) saja. Ini berarti di Kecamatan Batang Asam transmigrasi telah mencurahkan waktu kerjanya per minggu sesuai dengan jam kerja standar.
Berdasarkan jam kerja yang telah dicurahkan oleh generasi kedua lebih tinggi dibanding rata-rata generasi pertama dimungkinkan karena sebagian besar generasi kedua berada dalam usia produktif. Sehingga hal ini sangat mendukung tercapainya pencurahan waktu jam kerja normal.
Berikut ini dapat dijelaskan secara rinci keadaan responden generasi kedua di lokasi penelitian berdasarkan jam kerja per minggu pada Tabel 4.2.9.
Tabel 4.2.9 Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Jam Kerja Per Minggu di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Jam Kerja Per
minggu
Generasi Kedua
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
< 14 4
(7,14)
2
(3,57)
7
(12,50)
13
(7,74)
14 - 34 25
(44,64)
2
(3,57)
26
(46,43)
53
(31,55)
>=35 27
(48,21)
52
(92,86)
23
(41,07)
102
(60,71)
Total 56
(100,00)
56
(100,00)
56
(100,00)
168
(100,00)
Rata-rata 36,45 49,14 31,57 39,05
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
161
C. ANALISIS KESEJAHTERAAN GENERASI KEDUA
TRANSMIGRAN
1. Luas Lantai Per kapita Generasi Pertama dan Kedua
Luas lantai merupakan salah satu indikator yang
digunakan untuk mengetahui kondisi perumahan yang
ditempati oleh transmigran di lokasi penelitian Provinsi
Jambi. Untuk mendapatkan luas lantai per kapita dapat
dilakukan dengan membandingkan antara luas lantai secara
keseluruhan dengan jumlah anggota rumah tangga sebagai
penghuninya. Dengan luas lantai tertentu rumah tangga
tersebut akan dapat dikatakan memenuhi persyaratan
kondisi perumahan yang layak.
Secara total luas lantai per kapita rumah tangga
responden generasi pertama di lokasi penelitian adalah
seluas (36,81 M²). Bila dibandingkan dengan luas lantai per
kapita generasi kedua jumlah ini lebih besar, dimana
jumlahnya hanya seluas (27,80 M²). Berdasarkan kecamatan
lokasi penelitian untuk responden generasi pertama dan
kedua luas lantai per kapita menunjukkan kondisi berikut.
Untuk generasi pertama berdasarkan kecamatan
lokasi penelitian luas lantai per kapita di Rimbo Bujang
adalah seluas (51,67 M²). Keadaan ini lebih besar
dibandingkan dengan Kecamatan Sungai Bahar yang
berjumlah sebanyak (31,62 M²), dan Batang Asam dengan
luas (27,13 M²). Berdasarkan lokasi kecamatan antara
generasi pertama dan kedua juga memberi informasi
berikut. Di Rimbo Bujang luas lantai per kapita generasi
pertama lebih besar dari generasi kedua. Demikian juga
untuk Kecamatan Batang Asam dan Kecamatan Sungai
Bahar luas lantai per kapita menunjukkan kondisi yang
tidak berbeda dimana generasi pertama mempunyai luas
lantai per kapita yang lebih besar dari generasi kedua. Lebih
luas lantai per kapita generasi pertama dibanding generasi
kedua diduga karena jumlah anggota rumah tangga
generasi kedua lebih banyak dibanding generasi pertama.
162
Secara terperinci luas lantai per kapita Generasi
Pertama dan kedua disajikan pada Tabel 4.3.1 berikut ini.
Tabel 4.3.1 Luas Lantai Per kapita Responden Generasi
Pertama dan Kedua di Lokasi Transmigrasi
Provinsi Jambi, Tahun 2017 (M²)
Kecamatan Lokasi
Penelitian Generasi I Generasi II
Rimbo Bujang 51.67 24.67
Batang Asam 27.13 20.97
Sungai Bahar 31.62 38.73
Rata-rata 36.81 27.80
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
2. Jenis Lantai Terluas Generasi Pertama dan Kedua
Secara umum jenis lantai yang digunakan oleh
transmigran generasi pertama dan kedua terdiri dari tanah,
Semen dan Keramik. Secara rata-rata bagian terbesar jenis
lantai terluas yang dipakai perumahan generasi pertama
adalah Semen (75,60%). Untuk generasi kedua luas lantai
terluas juga menggunakan Semen, akan tetapi secara
persentase jumlahnya lebih kecil dibanding dengan generasi
pertama yaitu sebesar (61,96%).
Jenis lantai terluas generasi pertama yang memakai
Keramik tercatat sebanyak (20,83%), dan hanya sekitar
(2,98%) saja generasi pertama yang masih menggunakan
Tanah sebagai jenis lantai terluas. Berbeda halnya dengan
generasi kedua dimana jenis lantai terluas adalah Keramik
jumlahnya lebih banyak dibanding dengan generasi
pertama yaitu sebesar (35,58%). Kondisi ini menunjukkan
bahwa generasi kedua memiliki “selera” yang lebih tinggi
dari generasi pertama. Penyebab lain karena pendapatan
rata-rata generasi kedua lebih tinggi dibandingkan dengan
generasi kedua seperti ditunjukkan pada tabel 4.3.11 dan
4.3.11a, sehingga hal ini memungkinkan mereka untuk
memiliki jenis lantai lebih baik.
163
Berdasarkan kecamatan lokasi penelitian dapat
dijelaskan untukresponden generasipertama di Kecamatan
Batang Asam jenis lantai terluas adalah semen (78,57%),
lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Rimbo Bujang
dan Sungai bahar. Sementara itu Keramik merupakan jenis
lantai terluas yang digunakan oleh responden di Kecamatan
Sungai Bahar dengan jumlah mencapai sebesar (25,00%),
keadaan ini seperti terlihat pada Tabel 4.3.2.
Tabel 4.3.2 Persentase responden Generasi Pertama
Menurut Jenis LantaiTerluas Di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Jenis Lantai
Terluas
Generasi
Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tanah 3 1 2 5
(5.36) (1.79) (3.57) (2.98)
Semen 43 44 40 127
(76.79) (78.57) (71.43) (75.60)
Keramik 10 11 14 35
(17.86) (19.64) (25.00) (20.83)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Bila dibandingkan antara generasi pertama dengan
kedua diperoleh data berikut. Persentase responden yang
menggunakan Keramik sebagai jenis lantai terluas ternyata
di Kecamatan Rimbo Bujang jumlahnya mencapai hampir
separuh (44,64%) dan keadaan ini lebih banyak dibanding
Kecamatan Batang Asam dan Sungai bahar.
Untuk mengetahui lebih rinci penggunaan jenis lantai
terluas generasi kedua di lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 4.3.2a.
164
Tabel 4.3.2a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Jenis Lantai Terluas di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Jenis Lantai
Terluas
Generasi
Kedua
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tanah 2 2 2 6
(3.57) (3.57) (3.92) (3.68)
Semen 30 33 38 101
(53.57) (58.93) (74.51) (61.96)
Keramik 25 21 12 58
(44.64) (37.50) (23.53) (35.58)
Total 56 56 51 163
(100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
3. Jenis Dinding Terluas Generasi Pertama dan Kedua.
Semua responden, baik generasi pertama maupun
generasi kedua di lokasi penelitian memiliki jenis dinding
rumah terdiri dari Papan atau Bata. Untuk generasi pertama
jenis dinding terluas secara keseluruhan menggunakan Bata
sebesar (64,29 %), dan sisanya sebanyak 35,71 persen rumah
mereka berdinding papan. Pada responden generasi kedua
rumah yang menggunakan jenis dinding terluas adalah Bata
dengan jumlah lebih banyak dibanding dengan generasi
pertama tercatat sebanyak (73, 62%). Hanya sekitar (26,38 %)
saja rumah generasi kedua yang menggunakan dinding
terluas yang terbuat dari papan.
Seiring dengan semakin baiknya keadaan sosial
ekonomi transmigran juga berdampak terhadap jenis
dinding terluas yang digunakan. Untuk itu dapat dikatakan
secara rata-rata generasi kedua lebih berhasil dibandingkan
dengan generasi pertama di daerah transmigrasi di Provinsi
Jambi.
165
Berdasarkan kecamatan lokasi penelitian responden
generasi pertama dan kedua yang menggunakan jenis
dinding terluas dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari ke
tiga kecamatan lokasi penelitian jumlah terbesar responden
generasi pertama yang menggunakan jenis dinding terluas
adalah Kecamatan Batang Asam dengan jumlah sebanyak
(71,43%) responden, sedangkan responden yang
menggunakan jenis dinding terluas adalah Papan berada
pada Kecamatan Rimbo Bujang sebanyak (41,07%). Secara
lebih rinci jenis dinding terluas generasi pertama disajikan
pada tabel 4.3.3.
Tabel 4.3.3 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Jenis Dinding Terluas di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Jenis
Dinding
Terluas
Generasi
Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Papan 23 16 21 60
(41.07) (28.57) (37.50) (35.71)
Bata 33 40 35 108
(58.93) (71.43) (62.50) (64.29)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
Generasi kedua dengan jenis dinding terluas
berdasarkan lokasi kecamatan menggunakan Bata di Rimbo
Bujang berjumlah sebanyak (75,00%). Sementara itu untuk
kecamatan Batang Asam berjumlah sebanyak (73,21%), dan
untuk kecamatan Sungai Bahar sebesar (72,55%). Sedangkan
untuk jenis dinding yang paling banyak masih
menggunakan papan adalah Kecamatan Sungai Bahar
166
dengan jumlah (27,45%), ini diduga salah satu faktor
penyebab lokasi ini relatif lebih baru dalam penempatan
transmigran dibanding dengan lokasi yang lain.
Untuk lebih jelasnya perbandingan jenis dinding
terluas yang digunakan generasi kedua disajikan pada Tabel
4.3.3a.
Tabel 4.3.3a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Jenis DindingTerluas di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Jenis
Dinding
Terluas
Generasi
Kedua
Kecamatan
Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Papan 14 15 14 43
(25.00) (26.79) (27.45) (26.38)
Bata 42 41 37 120
(75.00) (73.21) (72.55) (73.62)
Total 56 56 51 163
(100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
4. Jenis Atap Terluas Generasi Pertama dan Kedua
Secara ekonomi nilai atap genteng lebih tinggi dan
berkelas dibanding atap seng. Penggunaan genteng sebagai
atap rumah selain nyaman juga memperindah gaya
perumahan.Berdasarkan hasil observasi di lapangan hanya
terdapat dua jenis yang digunakan sebagai atap rumah
responden baik untuk generasi pertama maupun kedua.
Pada generasi pertama jenis atap terluas yang banyak
digunakan adalah genteng. Tercatat jumlah responden yang
menggunakan genteng sebagai jenis atap terluas sebanyak
(58,93%), sisanya sebanyak (41,07%) menggunakan seng.
Bila penggunaan jenis atap terluas didasarkan pada
167
kecamatan lokasi penelitian didapatkan informasi berikut.
Tidak terdapat perbedaan jenis atap terluas yang digunakan
berdasarkan kecamatan lokasi penelitian pada generasi
pertama dalam penggunaan seng dan genteng. Pada
generasi kedua jenis atap terluas yang menggunakan
genteng merupakan jumlah terbanyak (75,00%) berada pada
Kecamatan Rimbo Bujang. Responden yang terbanyak
menggunakan jenis atap terluas seng (48,21%) berada di
Kecamatan Batang Asam (lihat Tabel. 4.3.4).
Tabel 4.3.4 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Jenis Atap Terluas di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Jenis Atap
Terluas
Generasi
Pertama
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Seng 23 23 23 69
(41.07) (41.07) (41.07) (41.07)
Genteng 33 33 33 99
(58.93) (58.93) (58.93) (58.93)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Untuk generasi kedua yang menggunakan genteng
sebagai jenis atap terluas berjumlah lebih banyak dibanding
generasi pertama yaitu sekitar 61,35 %. Ini artinya generasi
kedua dari sisi ekonomi lebih mampu dibandingkan dengan
generasi pertama dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Berdasarkan kecamatan lokasi penelitian jenis atap terluas
yang menggunakan genteng merupakan jumlah terbanyak
(75,00%) berada pada Kecamatan Rimbo Bujang. Responden
yang terbanyak menggunakan jenis atap terluas seng
168
(48,21%) berada di Kecamatan Batang Asam. Keadaan ini
lebih rinci dapat dilihat pada tabel 4.3.4a.
Tabel 4.3.4a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Jenis Atap Terluas di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Jenis Atap
Terluas
Generasi
Kedua
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Seng 14 27 22 63
(25.00) (48.21) (43.14) (38.65)
Genteng 42 29 29 100
(75.00) (51.79) (56.86) (61.35)
Total 56 56 51 163
(100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
5. Kepemilikan Lahan Generasi Pertama dan Kedua
Pada tahap awal penempatan transmigrasi di Provinsi
Jambi, transmigran dibekali oleh pemerintah dengan luas
lahan yang sama. Dengan pembagian lahan rata-rata (2Ha –
4,0 Ha) pemerintah menganggap jumlah tersebut dapat
mencukupi kebutuhan transmigran dan keluarganya. Dalam
perjalanannya lahan yang dijatahi oleh pemerintah tersebut
sudah mengalami banyak perubahan baik dari sisi
kepemilikan maupun dalam luas lahan yang digarap.
Secara total lahan yang digarap oleh generasi pertama
di lokasi transmigrasi di Provinsi Jambi sebagian besar
(79,76%) adalah Milik Sendiri dan digarap sendiri. Untuk
lahan Milik sendiri yang digarap oleh orang lain tercatat
sebanyak (26,19%), dan hanya sekitar 5,95 persen saja lahan
di lokasi transmigrasi yang milik orang lain yang digarap.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa penguasaan
lahan oleh transmigrasi generasi pertama masih tergolong
169
tinggi, dan ketergantungan mereka terhadap lahan di luar
wilayah transmigrasi tergolong rendah, lihat Tabel 4.3.5.
Tabel 4.3.5 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Kepemilikan Lahan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Lahan
Generasi
Pertama
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Milik sendiri
digarap
sendiri
28 50 56 134
(50,00) (89,29) (100,00) (79,76)
Milik sendiri
digarap
orang lain
36
5 44
(64,29) (5,36) (8,93) (26,19)
Milik orang
lain yang
digarap
0 10 0 10
(0,00) (17,86) (0,00) (5,95)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Disisi lain dalam kepemilikan lahan dapat dibedakan
berdasarkan kecamatan lokasi penelitian. Secara
keseluruhan di lokasi transmigrasi di Provinsi Jambi rata-
rata Luas lahan milik sendiri dan digarap sendiri seluas
(1,74 Ha), dengan luas maksimum lahan (13.00 Ha) per
Kepala Keluarga (KK). Di Kecamatan Sungai Bahar rata-
rata Luas lahan milik sendiri, digarap sendiri adalah sebesar
(2,56 Ha). Kondisi ini lebih luas dibandingkan dengan lokasi
Batang Asam (1,62 Ha) dan lokasi Rimbo Bujang (1,03 Ha).
Untuk Luas lahan milik sendiri digarap orang lain
berjumlah rata-rata (0,58 Ha). Menurut lokasi penelitian
terdapat perbedaan dimana di Rimbo Bujang Luas Lahan
milik sendiri, digarap orang lain sebanyak (1,45 Ha).
Keadaan ini lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Sungai
170
Bahar dan Batang Asam masing-masing sebesar (0,21 Ha)
dan (0, 07 Ha). Luas lahan milik orang lain yang digarap di
lokasi transmigrasi rata-rata (0,13 Ha), untuk lokasi Batang
Asam areal ini seluas (0,40Ha), sedangkan di dua lokasi
Rimbo Bujang dan Sungai Bahar tidak terdapat Luas lahan
orang lain yang digarap.
Secara lebih rinci tentang kepemilikan lahan generasi
pertama serta rata-rata kepemilikan lahan menurut lokasi
disajikan pada Tabel 4.3.5a berikut.
Tabel 4.3.5a Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Rata-rataKepemilikan Lahan di
LokasiTransmigrasi Provinsi Jambi, Tahun
2017.
Kecamatan Lokasi
Penelitian
Luas
lahan
milik
sendiri,
digarap
sendiri
Luas
lahan
milik
sendiri,
digarap
orang lain
Luas lahan
milik orang
lain yang
digarap
Rimbo
Bujang
Mean 1,03 1,45 0,00
Minimum 0,00 0,00 0,00
Maximum 8,00 5,00 0,00
Batang
Asam
Mean 1,62 0,07 0,40
Minimum 0,00 0,00 0,00
Maximum 7,50 2,00 6,00
Sungai
Bahar
Mean 2,56 0,21 0,00
Minimum 0,00 0,00 0,00
Maximum 13,00 4,00 0,00
Total Mean 1,74 0,58 0,13
Minimum 0,00 0,00 0,00
Maximum 13,00 5,00 6,00
171
6. Kepemilikan Lahan Generasi Kedua
Secara total luas lahan yang digarap oleh generasi
kedua di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi masih
didominasi oleh Milik sendiri digarap sendiri. Namun
secara persentasenya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan
dengan lahan yang digarap generasi pertama yaitu sebesar
(52,98%). Hal ini diduga bahwa perolehan lahan pertanian
generasi kedua berbeda dengan generasi pertama.
Kepemilikan lahan generasi kedua dapat merupakan
warisan orang tua, hasil dari pembelian sendiri atau dengan
cara lain.
Luas lahan Milik sendiri digarap orang lain secara
keseluruhan berjumlah sebanyak (13,69 %), jumlah ini bila
dibandingkan dengan kepemilikan lahan generasi pertama
lebih sedikit. Hal ini membuktikan bahwa luas lahan yang
dikuasai oleh generasi pertama lebih luas. Pada bagian lain
lahan Milik orang lain yang digarap ternyata hampir tiga
kali jumlah lahan generasi pertama yaitu sebanyak (16,67
%). ( Tabel 4.3.6).
Tabel 4.3.6. Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Kepemilikan Lahan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Lahan Generasi
Kedua
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Milik sendiri
digarap sendiri
43 36 10 89
(76,79) (64,29) (17,86) (52,98)
Milik sendiri
digarap orang
lain
16 6 1 23
(28,57) (10,71) (1,79) (13,69)
Milik orang lain
yang digarap
12 7 9 28
(21,43) (12,50) (16,07) (16,67)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
172
Luas Kepemilikan lahan bila didasarkan pada
kecamatan lokasi penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
Secara keseluruhan (semua kecamatan lokasi penelitian)
rata-rata luas Lahan milik sendiri, yang digarap sendiri
seluas (0,9685 Ha), dengan simpangan baku sebesar
(1,19128) artinya penguasaan lahan milik sendiri dan
digarap sendiri tidak terlalu bervariasi diantara responden.
Berdasarkan kecamatan lokasi penelitian rata-rata
Luas lahan milik sendiri digarap sendiri di Kecamatan
Rimbo Bujang (1,4321 Ha) lebih luas dibandingkan dengan
yang ada di Kecamatan Batang Asam (1,1071 Ha) dan
demikian juga Kecamatan Sungai Bahar dengan rata-rata
(0,3661 Ha). Untuk luas Lahan milik sendiri yang digarap
orang lain menunjukkan bahwa rata-ratanya sebesar (0,2961
Ha) dengan standar deviasi (1,07037) yang mengindikasikan
bahwa penguasaan lahan ini tidak terlalu bervariasi antara
responden generasi kedua.
Suatu hal yang sangat berbeda adalah jumlah luas
Lahan orang lain yang digarap generasi kedua. Tidak ada
luas Lahan milik orang lain yang digarap oleh generasi
pertama di lokasi penelitian Rimbo Bujang dan Sungai
Bahar. Untuk generasi kedua luas Lahan orang lain yang
digarap di lokasi transmigrasi tercatat rata-rata sebesar
(0,5104), ini menandakan bahwa secara statistik generasi
pertama lebih menguasai lahan dibanding generasi kedua.
Untuk lebih jelasnya kepemilikan lahan generasi
kedua disajikan pada Tabel 4.3.6a.
173
Tabel 4.3.6a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Rata-Rata Kepemilikan lahan di
Lokasi Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun
2017
Kecamatan Lokasi
Penelitian
Luas lahan
milik
sendiri,
digarap
sendiri G2
Luas
lahan
milik
sendiri,
digarap
orang lain
G2
Luas
lahan
milik
orang lain
yang
digarap
G2
Rimbo
Bujang
Mean 1,43 0,74 0,42
N 56 56 56
Std.
Deviation 1,12 1,73 0,93
Batang
Asam
Mean 1,11 0,12 0,33
N 56 56 56
Std.
Deviation 1,28 0,33 1,12
Sungai
Bahar
Mean 0,37 ,036 0,79
N 56 56 56
Std.
Deviation 0,90 0,27 2,11
Total Mean 0,97 0,30 0,51
N 168 168 168
Std.
Deviation 1,19 1,07 1,49
7. Kepemilikan Mobil Generasi Pertama dan Kedua
Mobil termasuk sarana angkutan yang tergolong
mewah di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi. Berdasarkan
hasil survei yang dilakukan tercatat hanya sekitar (7,74%)
saja generasi pertama yang memiliki mobil, sedangkan
sejumlah besar (92,26%) responden di daerah penelitian
tidak memiliki mobil. Kepemilikan mobil generasi pertama
174
dilihat dari kecamatan lokasi penelitian menunjukkan untuk
Kecamatan Rimbo Bujang hampir semua responden
(98,21%) tidak memiliki mobil sebagai asset rumah tangga.
Jumlah responden generasi pertama yang memiliki mobil
sebagai asset rumah tangga yang terbanyak terdapat di
kecamatan sungai Bahar (14,29%). Secara lebih rinci
kepemilikan mobil disajikan pada Tabel 4.3.7.
Tabel 4.3.7 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Kepemilikan Mobil di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan
Mobil
Generasi
Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tidak
Memiliki 55 52 48 155
(98.21) (92.86) (85.71) (92.26)
Memiliki 1 4 8 13
(1.79) (7.14) (14.29) (7.74)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, Tahun 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Berbeda halnya dengan generasi kedua, jumlah total
responden yang memiliki mobil sekitar dua kali lebih
banyak dibandingkan dengan generasi pertama yaitu
sebanyak (15,48%). Kondisi ini merupakan salah satu
indikator yang dapat dipakai untuk mengatakan bahwa
kehidupan Generasi kedua lebih berhasil dibandingkan
dengan generasi pertama, sedangkan mereka yang tidak
memiliki asset mobil berjumlah sebanyak (84,52%). Bila
dibandingkan diantara generasi kedua menurut kecamatan
lokasi penelitian tentang kepemilikan mobil diperoleh
keterangan berikut. Di Kecamatan Rimbo Bujang tercatat
175
sebanyak (21,43%)responden memiliki mobil sebagai asset
rumah tangga, sedangkan di Kecamatan lain mereka yang
memiliki mobil hanya berjumlah (12,50%).
Tabel 4.3.7a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Kepemilikan Mobil di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan
Mobil
Generasi
Kedua
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tidak
Memiliki 44 49 49 142
(78.57) (87.50) (87.50) (84.52)
Memiliki 12 7 7 26
(21.43) (12.50) (12.50) (15.48)
Total 56 56 56 168
(100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
8. Kepemilikan Sepeda Motor Generasi Pertama dan Kedua
Sepeda motor merupakan salah satu sarana angkutan
yang digunakan oleh penduduk di lokasi transmigrasi
Provinsi Jambi sekaligus merupakan sebagai asset rumah
tangga. Sebagian besar responden generasi pertama
(44,05%) memiliki 1(satu) sepeda motor. Selain itu terdapat
sebanyak (39,88%) transmigrasi di lokasi penelitian memiliki
lebih dari 1 (satu) sepeda motor, dan hanya sekitar (16,07%)
saja responden yang tidak memiliki sepeda motor.
Bila diklasifikasikan Kepemilikan sepeda motor
generasi pertama menurut kecamatan lokasi penelitian
diperoleh informasi berikut. Di Kecamatan Batang Asam
jumlah responden yang memiliki 1(satu) sepeda motor
berjumlah sebanyak (71,43%). Kecamatan lokasi penelitian
yang memiliki lebih dari 1 sepeda motor sebagai sarana
176
angkutan adalah Sungai Bahar mencapai (69,64%). Suatu hal
yang memprihatinkan adalah di Kecamatan Sungai Bahar
ditemui responden yang tidak memiliki sama sekali sepeda
motor sebagai sarana angkutan sekaligus sebagai asset
rumah tangga. Untuk lebih jelasnya keadaan responden
menurut kepemilikan sepeda motor disajikan pada Tabel
4.3.8 berikut.
Tabel 4.3.8 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut KepemilikanSepeda Motor di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan
Sepeda Motor
Generasi
Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tidak Memiliki 25 2 0 27
(44.64) (3.57) (0.00) (16.07)
Memiliki 1
sepeda motor 17 40 17 74
(30.36) (71.43) (30.36) (44.05)
Memiliki lebih
dari 1 sepeda
motor
14 14 39 67
(25.00) (25.00) (69.64) (39.88)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, Tahun 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Informasi generasi kedua tentang kepemilikan sepeda
motor dapat dijelaskan seperti berikut. Jumlah generasi
kedua yang memiliki satu sepeda motor sebagai sarana
angkutan lebih separuh (54,17%). Terdapat sebanyak (1,79%)
responden di lokasi penelitian tidak memiliki sepeda motor
sebagai sarana angkutan. Jika dibandingkan berdasarkan
kecamatan lokasi penelitian generasi kedua tergambar
177
sebagai berikut. Sebesar 71,43 persen responden di
Kecamatan Batang Asam memiliki satu sepeda motor. Di
Kecamatan Rimbo Bujang sebanyak (66,00%) responden
ternyata memiliki lebih dari satu sepeda motor, namun
demikian ada responden di Kecamatan tersebut sama sekali
tidak memiliki sepeda motor sebagai sarana angkutan dan
asset rumah tangga.
Untuk mengetahui lebih jelasnya responden generasi
kedua berdasarkan kepemilikan sepeda motor disajikan
pada Tabel 4.3.8a.
Tabel 4.3.8a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut KepemilikanSepeda Motor di
Lokasi Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun
2017.
Kepemilikan
Sepeda Motor
Generasi Kedua
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tidak Memiliki 0 1 2 3
(0.00) (1.79) (3.57) (1.79)
Memiliki 1
sepeda motor 19 40 32 91
(33.93) (71.43) (57.14) (54.17)
Memiliki lebih
dari 1 sepeda
motor
37 15 22 74
(66.07) (26.79) (39.29) (44.05)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
9. Kepemilikan Mesin Cuci Generasi Pertama dan Kedua
Mesin cuci merupakan salah satu asset rumah tangga
yang dibutuhkan umumnya oleh masyarakat. Belum
sepenuhnya setiap rumah tangga responden di lokasi
penelitian memiliki aset ini. Secara total responden generasi
pertama lebih dari separuh (53,57%) memiliki mesin cuci.
178
Sisanya sebanyak 46,43 persen tidak memiliki mesin cuci,
dan kegiatan mencuci pakaian dilakukan dengan manual
(tenaga manusia). Berdasarkan kecamatan lokasi penelitian
di Sungai Bahar merupakan jumlah responden generasi
pertama yang paling banyak memiliki Mesin cuci tercatat
(62,50%). Kecamatan lokasi penelitian tercatat paling banyak
tidak memiliki mesin cuci adalah Kecamatan Batang Asam
sebanyak (58,93 %).
Tabel 4.3.9 Persentase responden Generasi Pertama
Menurut Kepemilikan Mesin Cuci di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan
Mesin Cuci
Generasi
Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tidak
Memiliki 24 33 21 78
(42.86) (58.93) (37.50) (46.43)
Memiliki 32 23 35 90
(57.14) (41.07) (62.50) (53.57)
Total 56
(100,00)
56
(100,00)
56
(100,00)
168
(100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan: Angkayang dikurung dalam persen
Generasi kedua yang memiliki mesin cuci lebih
banyak. Hasil wawancara menunjukkan jumlah rumah
tangga yang memiliki mesin cuci berjumlah sebanyak (57,
74%). Sisanya sebesar 42,26 persen tidak mempunyai mesin
cuci, dan jumlah ini lebih sedikit dibandingkan generasi
pertama. Bila dirinci berdasarkan kecamatan lokasi
penelitian Kecamatan Rimbo Bujang merupakan lokasi
penelitian yang paling banyak memiliki mesin cuci dengan
jumlah mencapai (80,36%). Dari responden yang tidak
memiliki mesin cuci ternyata untuk Kecamatan Sungai
179
Bahar merupakan lokasi penelitian yang paling banyak
dengan jumlah (67,86%). (Lihat Tabel 4.3.9a).
Tabel 4.3.9a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Kepemilikan Mesin Cuci di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan
Mesin Cuci
Generasi
Kedua
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tidak
Memiliki 11 22 38 71
(19.64) (39.29) (67.86) (42.26)
Memiliki 45 34 18 97
(80.36) (60.71) (32.14) (57.74)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, Tahun 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
10. Kepemilikan Kulkas Generasi Pertama dan Kedua
Aset rumah tangga lain yang juga sering dijadikan
sebagai ukuran kemajuan keluarga adalah kepemilikan
kulkas. Lebih dari dua pertiga generasi pertama di daerah
penelitian (73,21%) memiliki kulkas sebagai asset rumah
tangga. Jika dirinci berdasarkan kecamatan lokasi penelitian
kepemilikan kulkas adalah bervariasi. Di Kecamatan Sungai
Bahar jumlah rumah tangga yang memiliki kulkas tercatat
paling banyak yaitu sebesar (82,14%). Responden yang
paling banyak tidak memiliki kulkas terdapat di Kecamatan
Batang Asam yaitu berjumlah (33,93%), dan yang paling
sedikit tidak memiliki adalah Kecamatan Sungai Bahar
dengan jumlah (17,86%). Lihat Tabel 4.3.10.
180
Tabel 4.3.10 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Kepemilikan Kulkas di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan
Kulkas
Generasi
Pertama
Kecamatan
Total Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tidak
Memiliki 16 19 10 45
(28.57) (33.93) (17.86) (26.79)
Memiliki 40 37 46 123
(71.43) (66.07) (82.14) (73.21)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang kurung dalam persen
Untuk generasi kedua hasil riset menunjukkan bahwa
sebanyak (72,62%) responden memiliki kulkas sebagai asset
rumah tangga. Jumlah ini jika dibandingkan dengan
kepemilikan kulkas pada generasi pertama sedikit lebih
rendah. Suatu hal yang menarik adalah kepemilikan kulkas
berdasarkan kecamatan lokasi penelitian. Di Kecamatan
Rimbo Bujang jumlah transmigran generasi kedua sebesar
(92,86 %) memiliki kulkas, hanya 7,14 persen saja responden
yang tidak memiliki kulkas. Disisi lain jumlah responden
yang memiliki kulkas di Kecamatan Sungai Baharberjumlah
sebanyak (44,64%), dan jumlah ini lebih sedikit
dibandingkan dengan transmigran generasi kedua yang
tidak memiliki kulkas, seperti terlihat pada Tabel 4.3.10a.
181
Tabel 4.3.10a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Kepemilikan Kulkas di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan
Kulkas
Generasi
Kedua
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Tidak
Memiliki 4 11 31 46
(7.14) (19.64) (55.36) (27.38)
Memiliki 52 45 25 122
(92.86) (80.36) (44.64) (72.62)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
11. Sumber Penghasilan Generasi Pertama dan Kedua
Secara umum Sumber penghasilan responden
transmigrasi generasi pertama maupun kedua diperoleh
dari pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.
Penjumlahan dari penghasilan yang berasal dari kedua
pekerjaan tersebut dikatakan total penghasilan. Secara total
penghasilan dari responden generasi pertama rata-rata per
bulan sebesar Rp 3.743.155. Dari jumlah tersebut secara rata-
rata kontribusi sumber penghasilan yang berasal dari
pekerjaan utama adalah sebesar (82,07 %), dan sisanya
sebesar (17,93%) merupakan sumbangan dari pekerjaan
sampingan.
Bila dikelompokkan berdasarkan kecamatan lokasi
penelitian didapatkan gambaran berikut. Sungai Bahar
merupakan lokasi penelitian dengan tingkat pendapatan
tertinggi dibanding dengan dua lokasi penelitian lain.
Dengan total penghasilan sebesar Rp 4.784.821 ternyata
sebesar Rp 3.579.464 atau (74,81%) merupakan kontribusi
dari pekerjaan utama. Di Kecamatan Batang Asam
182
kontribusi dari pekerjaan utama sebesar (85,00%) dari total
penghasilan total sebesar Rp 4.036.607, sedangkan di Rimbo
Bujang dengan total penghasilan sebesar Rp 2.408.036
kontribusi dari pekerjaan utama sebesar (91,66%).
Kendatipun total penghasilan generasi pertama di
Rimbo Bujang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi
Batang Asam dan Sungai Bahar. Hal yang menarik adalah
kontribusi tertinggi dari pekerjaan utama responden
terdapat di lokasi transmigrasi Rimbo Bujang. Untuk
pendapatan tertinggi kontribusi pekerjaan sampingan
sebesar (25,19%) hal ini terjadi di Sungai Bahar.
Tabel 4.3.11 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Sumber Penghasilan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017 (Rp)
Sumber
penghasilan
Generasi
pertama
Pekerjaan
Sampingan
Pekerjaan
Utama
Total
Penghasilan
Rimbo
Bujang 200.893 2.207.143 2.408.036
Batang Asam 605.357 3.431.250 4.036.607
Sungai Bahar 867.857 3.579.464 4.784.821
Rata-rata 558.036 3.072.619 3.743.155
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Untuk generasi kedua secara total penghasilan rata-
rata di lokasi penelitian transmigrasi Provinsi Jambi adalah
sebesar Rp 4.195.833. Dari total penghasilan tersebut sebesar
(81,30%) merupakan kontribusi dari pekerjaan utama. Bila
dibandingkan berdasarkan kecamatan lokasi penelitian
dapat dijelaskan sebagai berikut. Kecamatan Batang Asam
merupakan lokasi dengan pendapatan generasi kedua
tertinggi di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi dengan total
penghasilan rata-rata sebesar Rp 4.859.821. Dari jumlah
tersebut yang berasal dari pekerjaan utama adalah sebanyak
183
(87,05%). Di lokasi Rimbo Bujang dengan total penghasilan
sebesar Rp 4.316.071, ternyata yang berasal dari pekerjaan
utama adalah sebesar Rp 3.195.535 atau setara dengan
(74,04%). Selanjutnya untuk lokasi Sungai Bahar dengan
total penghasilan sebesar Rp 3.411.607, sebesar (82,04%)
berasal dari kontribusi pekerjaan utama.
Berdasarkan data total penghasilan generasi pertama
dibandingkan generasi kedua dikatakan rata-rata
penghasilan generasi kedua lebih tinggi dari generasi
pertama. Generasi pertama memberikan kontribusi rata-rata
sebesar (82,07%) terhadap total pendapatan dari pekerjaan
utama, sedangkan untuk generasi kedua kontribusi
pekerjaan utama terhadap total pendapatan berjumlah
sebanyak (81,30%). Artinya kontribusi pekerjaan sampingan
lebih tinggi ditemui pada generasi kedua dibanding
generasi pertama.
Rata-rata pendapatan generasi pertama maupun
kedua yang diperoleh dari pekerjaan utama maupun
pekerjaan sampingan berdasarkan lokasi penelitian cukup
bervariasi. Bila dibandingkan dengan pendapatan
transmigran di desa-desa eks transmigrasi tahun 2011,
angka ini lebih besar. Hasil penelitian Junaidi (2012)
memperoleh rata-rata pendapatan transmigrasi di Provinsi
Jambi sebesar Rp3.070.000, per bulan. Tingginya pendapatan
responden saat ini diduga pengaruh inflasi yang
menyebabkan bertambahnya biaya hidup dan
meningkatnya Upah Minimum Provinsi (UMP) dari Rp
900.000 pada tahun 2011 menjadi Rp 1.730.000 di tahun 2016.
Untuk mengetahui lebih rinci sumber penghasilan
generasi kedua disajikan pada Tabel 4.3.11a.
184
Tabel 4.3.11a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Sumber Penghasilan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
(Rp)
Sumber
penghasilan
Generasi
Kedua
Pekerjaan
Utama
Pekerjaan
Sampingan
Total
Penghasilan
Rimbo
Bujang 3.195.536 1.120.536 4.316.071
Batang Asam 4.230.357 629.464 4.859.821
Sungai Bahar .2.808.036 603.571 3.411.607
Rata-rata 3.411.310 784.524 4.195.833
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Berdasarkan total rata-rata pendapatan responden di
lokasi transmigrasi di daerah penelitian (lihat Tabel 5.3.11
dan Tabel 5.3.11a) dapat dihitung besarnya pendapatan per
kapita. Pendapatan per kapita generasi kedua dengan
jumlah anggota rumah tangga (ART) rata-rata 3,9 orang
adalah sebesar Rp 1.075.855, jumlah ini lebih tinggi dari
pendapatan rata-rata generasi pertama yang berjumlah
sebanyak Rp 1.039.765, dengan jumlah rata-rata ART sebesar
3,6 0rang. Pendapatan per kapita generasi kedua lebih tinggi
dibandingkan dari hasil penelitian Junaidi (2012) sebesar Rp
908.572, yang meneliti di desa-desa eks. transmigrasi dalam
Provinsi Jambi. Bila dibandingkan dengan pendapatan per
kapita Provinsi Jambi (proksi pengeluaran) pada Tahun 2015
sebesar Rp 724.489,- jumlah ini juga lebih besar, dan berada
diatas batas garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank
Dunia sebesar Rp 775.200, pada tahun 2017 (Anonim, 2017).
12. Tabungan Generasi Pertama dan Kedua
Tabungan (saving) merupakan bagian dari
penghasilan yang tidak di konsumsi akan tetapi disimpan.
Besar kecilnya tabungan sangat ditentukan oleh jumlah
penghasilan yang diterima oleh transmigran di lokasi
185
transmigrasi dalam Provinsi Jambi. Secara total rata-rata
tabungan yang dimiliki generasi pertama pada saat ini
sebesar Rp 2.523.274. Besaran jumlah tabungan responden di
lokasi penelitian sangat bervariasi. Tingkat penabung
terbesar (35,71%) mempunyai jumlah tabungan antara (Rp
1.000.000 – Rp 1.999.999), kemudian diikuti dengan jumlah
tabungan (< Rp 1.000.000) sebanyak (27,38%) dan jumlah
penabung terbesar yaitu (>= Rp 4.000.000) berjumlah
sebanyak (17,26%). Kemudian masih terdapat responden
yang memiliki jumlah tabungan (Rp.2.000.000– Rp.3.999.999)
sebanyak (19,64%).
Dalam konteks rata-rata tabungan saat ini responden
generasi pertama berdasarkan kecamatan lokasi penelitian
dapat diuraikan sebagai berikut. Jumlah tabungan rata-rata
di Kecamatan Sungai Bahar sebesar (Rp 3.076.786), angka ini
lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata tabungan
transmigrasi generasi pertama untuk Provinsi Jambi.
Kondisi ini ditandai dengan responden yang mempunyai
tabungan rata-rata (>= Rp 4.000.000) berjumlah sebanyak
(23,21%).
Untuk memperoleh gambaran secara lebih rinci
tentang rata-rata tabungan saat ini generasi pertama dapat
diketahui pada Tabel 4.3.12.
186
Tabel 4.3.12 Persentase Responden Generasi Pertama
Menurut Rata-rata Tabungan Saat ini di
Lokasi Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun
2017.
Tabungan Generasi
Pertama
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
< 1.000.000 11 12 23 46
(19.64) (21.43) (41.07) (27.38)
1.000.000 - 1.999.999 23 26 11 60
(41.07) (46.43) (19.64) (35.71)
2.000.000 - 2.999.999 8 8 7 23
(14.29) (14.29) (12.50) (13.69)
3.000.000 - 3.999.999 4 4 2 10
(7.14) (7.14) (3.57) (5.95)
>= 4.000.000 10 6 13 29
(17.86) (10.71) (23.21) (17.26)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00
)
(100,00
) (100,00)
Rata-rata Tabungan
saat ini(Rp)
2.417.85
7
.2.075.
179
3.076.7
86 .2.523.274
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Berdasarkan Tabel 4.3.12, pada lokasi Rimbo Bujang
dan Batang Asam rata-rata jumlah tabungan responden saat
ini berada dibawah rata-rata Provinsi Jambi. Hal ini
didukung oleh informasi yang menunjukkan jumlah rata-
rata tingkat tabungan responden sebesar (<Rp 1.000.000 dan
Rp 1.000.000 – Rp 1.999.999) berjumlah sebanyak (60,71%) di
Rimbo Bujang dan (67,86 % ) untuk lokasi Batang Asam.
Keadaan tersebut diperkuat lagi dengan jumlah tabungan
responden yang berada (>= Rp 4.000.000) di kedua lokasi
187
dengan (17,86%) di Rimbo Bujang, dan hanya ( 10,71%)
untuk lokasi penelitian Batang Asam.
Berkaitan dengan generasi kedua, tentang besaran tabungan pada saat ini dapat dijelaskan. Secara keseluruhan rata-rata tabungan responden sebesar (Rp 3.071.845), jumlah ini lebih besar bila dibandingkan dengan rata-rata tabungan saat ini yang diperoleh generasi pertama sebesar (Rp 2.523.274). Terdapatnya perbedaan ini selain disebabkan oleh besarnya total penghasilan yang diterima oleh masing-masing responden, mungkin faktor kesadaran dari generasi kedua dalam hal pentingnya menabung juga semakin tingginya akses generasi kedua tentang perbankann. Pada tingkat besaran tabungan (Rp 3.000.000 – Rp 3.999.999) dan (>= Rp 4.000.000) jumlah responden sebanyak (25,00%).Sebanyak (60,71%) memiliki tabungan saat ini sebesar (Rp 1.000.000 – Rp 2.999.999), dan hanya sekitar (8,93%) saja yang punya tabungan saat ini (<Rp 1.000.000).
Untuk mengetahui lebih rinci rata-rata tabungan
responden generasi kedua di lokasi penelitian disajikan
pada tabel 4.3.12a.
Tabel 4.3.12a Persentase Responden Generasi Kedua Menurut Rata-rata Tabungan saat ini di Lokasi Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Tabungan Generasi Kedua
Kecamatan Total
Rimbo Bujang
Batang Asam
Sungai Bahar
< 1.000.000 2 5 8 15
(3.57) (8.93) (14.29) (8.93)
1.000.000 - 1.999.999 18 20 20 58
(32.14) (35.71) (35.71) (34.52)
2.000.000 - 2.999.999 8 8 14 30
(14.29) (14.29) (25.00) (17.86)
3.000.000 - 3.999.999 11 8 5 24
(19.64) (14.29) (8.93) (14.29)
>= 4.000.000 17 15 9 41
(30.36) (26.79) (16.07) (24.40)
Total 56 56 56 168
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Rata-rata Tabungan saat ini (Rp)
3.645.536 2.960.536 2.609.464 3.071.845
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen.
188
Rata-rata tabungan saat ini responden generasi kedua
dibedakan berdasarkan kecamatan lokasi penelitian
diperoleh gambaran berikut. Di kecamatan lokasi penelitian
Rimbo Bujang rata-rata tabungan saat ini lebih besar
dibandingkan dengan lokasi Batang Asam dan Sungai
Bahar. Dari data yang disajikan jelas bahwa persentase
tabungan responden dengan jumlah (>=Rp 4.000.000)
terlihat di Rimbo Bujang sebesar 30,36% dan 26,79% di
Batang Asam serta hanya 16,07% saja di Sungai Bahar.
Keadaan ini diperkuat lagi rata-rata tabungan pada level
yang lebih rendah. Di Rimbo Bujang jumlah responden yang
memiliki jumlah tabungan (<Rp 1.000.000) tercatat hanya
sekitar (3,57%), sedangkan di dua lokasi Batang Asam dan
Sungai Bahar tercatat masing-masing sebanyak (8,93%) dan
(14,29%).
Selanjutnya berdasarkan (Tabel 5.3.12 dan 5.3.12a),
dengan diperolehnya besaran total tabungan generasi
pertama dan kedua dapat dijelaskan hal berikut. Tabungan
per kapita generasi pertama sebesar Rp 700.909, diperoleh
dari (Rp2.523.274 dibagi dengan 3,6 orang) sedangkan
generasi kedua memiliki tabungan per kapita saat ini
sebesar Rp 787.653 atau (Rp 3.071.845 dibagi dengan 3,9
orang) demikian dinyatakan tabungan per kapita saat ini
yang dimiliki oleh generasi kedua di daerah penelitian lebih
tinggi dibandingkan dengan generasi pertama. Jumlah ini
juga lebih tinggi dari rata-rata tabungan penduduk Provinsi
Jambi Tahun 2015 sebesar Rp.633.928. Diperolehnya
perbedaan ini diduga selain disebabkan oleh besarnya total
penghasilan yang diterima responden, juga karena
tingginya kesadaran dari generasi kedua dalam hal
pentingnya menabung dan semakin tingginya akses
generasi kedua tentang perbankan.
189
D. Perbandingan Kesejahteraan Generasi Kedua Transmigran
1. Perbandingan Pendidikan Generasi Pertama dan Kedua.
Berdasarkan hasil penelitian di lokasi transmigrasi di
Provinsi Jambi menurut pendidikan yang dimiliki oleh
generasi pertama dan kedua dapat dijelaskan sebagai
berikut. Bagian terbesar dari responden generasi kedua
menamatkan pendidikan tamat SLTA (54,76%), sedangkan
generasi pertama yang menamatkan pendidikan SLTA
tercatat hanya sebesar (8,93%). Generasi kedua yang tamat
dari pendidikan tinggi yaitu tamatan Diploma I-III dan
D4/S1 berjumlah sebanyak (17,85%), sementara itu generasi
pertama yang mampu menamatkan pendidikan tinggi
persentasenya kecil sekali yaitu (1,98%) saja.
Selanjutnya pada jenjang pendidikan Tidak/belum
pernah sekolah dan Tidak/Belum tamat SD, tidak ditemui
responden generasi kedua pada jenjang tersebut, sedangkan
untuk jenjang pendidikan ini tercatat generasi pertama
jumlahnya cukup banyak yaitu (33,92%). Pada bagian lain
generasi pertama yang tamat pendidikan SLTP sebanyak
(13,10%), dan untuk jenjang pendidikan ini jumlah generasi
kedua yang menamatkan pendidikan SLTP juga lebih besar
dibandingkan dengan generasi pertama yaitu sebanyak
(16,67%).
Tingginya pendidikan yang dicapai oleh generasi
kedua di lokasi penelitian tidak terlepas dari pada semakin
meningkatnya pembangunan sarana dan prasarana di
bidang pendidikan khususnya di lokasi-lokasi transmigrasi
dalam Provinsi Jambi. Kemudian semakin terbukanya akses
bagi generasi kedua untuk menuntut ilmu tidak saja di
lokasi transmigrasi, tetapi juga keluar dari kawasan
transmigrasi, dan hal ini didukung oleh semakin baiknya
sarana dan prasarana transportasi dari dan ke lokasi
transmigrasi.
190
Tabel 4.4.1. Persentase Responden Generasi Pertama dan
Kedua Berdasarkan Pendidikan yang
Ditamatkan di Lokasi Transmigrasi Provinsi
Jambi, Tahun 2017
Pendidikan Generasi
Pertama Kedua
Tdk/Blm pernah sekolah 16 0
(9,52) (0,00)
Tdk/Blm Tamat SD 41 0
(24,40) (0,00)
SD 72 18
(42,86) (10,71)
SLTP 22 28
(13,10) (16,67)
SLTA 15 92
(8,93) (54,76)
Diploma I-III 0 12
(0,00) (7,14)
DIV/S1 2 18
(1,19) (10,71)
Total 168 168
(100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Selain dari pada kemudahan-kemudahan bagi
generasi kedua dalam mencapai tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Suatu hal yang sangat penting adalah keluarnya
Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan dasar 9 tahun.
Sejak tahun 1986 semua penduduk usia diatas 5(lima) tahun
sekurang-kurangnya harus menamatkan pendidikan SLTP.
Antinya bagi setiap penduduk yang memasuki pasar kerja
setidak-tidaknya harus menamatkan pendidikan SLTP/
sederajat.
Berdasarkan Peraturan tersebut, jika generasi kedua
memiliki pendidikan tertinggi hanya SLTP dapat dikatakan
pendidikan yang dicapai oleh generasi kedua sama dengan
apa yang dicapai generasi pertama. Apabila tingkat
191
pendidikan yang dicapai oleh generasi kedua setingkat
SLTA atau lebih tinggi dari itu, maka generasi kedua
dikatakan memiliki tingkat pendidikan dua tingkat lebih
tinggi dari generasi pertama. Bila hal ini yang terjadi maka
dikatakan tingkat kesejahteraan generasi kedua khususnya
di bidangsumber daya manusia lebih dan berhasil
dibandingkan dengan orang tuanya (generasi pertama).
Selanjutnya untuk melakukan Uji Kecocokan atau
Goodness of fit disajikan pada output Tabel 4.4.1a Chy-Square
Tests berikut.
Tabel 4.4.1a Chi- Square Tests Pendidikan Generasi
Pertama dan KeduaDi Lokasi Transmigrasi
Provinsi Jambi, tahun 2017
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 170,331a 6 ,000
Likelihood Ratio 207,391 6 ,000
Linear-by-Linear
Association 151,348 1 ,000
N of Valid Cases 336
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5.
The minimum expected count is 6,00.
Berdasarkan output chy Square tests terlihat nilai
asymp. Sig sebesar 0,000. Karena nilai asymp sig 0,000 <
0.05, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang
artinya terdapat hubungan yang signifikan antara
pendidikan generasi pertama dan kedua. Hal ini juga dapat
diartikan bahwa pendidikan generasi pertama transmigrasi
mempunyai korelasi dengan tingkat pendidikan
yangdiperoleh generasi kedua. Faktanya pendidikan yang
diperoleh generasi kedua lebih tinggi dibandingkan dengan
pendidikan yang diperoleh generasi pertama. Keadaan ini
192
juga memperkuat hasil analisis deskriptif yang telah
diungkapkan sebelumnya.
Kalau dilihat dari sebuah model, maka nilai P-value
sangat diperlukan untuk mengetahui keabsahan model.
Nilai P-value (Asymp. Sig) yang besar mengindikasikan
bahwa kecocokan atau sebaran distribusi responden di
lokasi penelitian kurang baik, sehingga hal tersebut dapat
dinyatakan sebagai tidak signifikan. Dalam uji X² juga
demikian, dalam menguji kecocokan antara dua kejadian P-
value menunjukkan kecocokan yang terjadi antara dua
hubungan. Nilai P-value selalu menegaskan nilai statistic uji
suatu kejadian, dalam hal ini nilai koefisien hubungan
Pearson Chi kuadrat.
2. Perbandingan Status Pekerjaan Generasi Pertama dan
Kedua
Status pekerjaan dapat pula dikelompokkan atas
status pekerjaan formal dan informal. Berdasarkan hasil
penelitian di lokasi transmigrasi di Provinsi Jambi sebanyak
(83,97%) responden generasi pertama berstatus pekerjaan
informal. Mereka merupakan gabungan dari pekerjaan
dengan status Berusaha sendiri, berusaha dengan pekerja
keluarga/Tidak dibayar, dan Berusaha dengan buruh tetap.
Tingginya jumlah pekerja di sektor informal karena
fleksibilitas yang lebih besar dalam menyikapi perubahan
kondisi ekonomi ataupun persaingan bisnis, dibandingkan
sektor formal (Feriyanto, 2014).
Bila dibanding dengan generasi pertama status
pekerjaan informal generasi kedua lebih sedikit (75,00%).
Sementara itu status pekerjaan generasi kedua yang bersifat
formal lebih tinggi, bahkan lebih dari dua kali lipat lebih
banyak dibanding dengan generasi pertama yaitu sebesar
(32,69%).
Kenyataan yang ditemui di lapangan menunjukkan
bahwa semakin berkembangnya suatu permukiman
transmigrasi semakin meningkat peluang kerja khususnya
di sektor non pertanian. Seiring dengan hal tersebut maka
193
kebutuhan terhadap tenaga kerja yang memiliki pendidikan
dan keterampilan yang lebih baik semakin terbuka.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang status pekerjaan
generasi pertama dibandingkan dengan generasi kedua
disajikan pada Tabel 4.4.2.
Tabel 4.4.2 Perbandingan Persentase Responden
Generasi Pertama dan Kedua menurut Status
Pekerjaan di Lokasi Transmigrasi Provinsi
Jambi, Tahun 2017
Status Pekerjaan Generasi
Pertama Kedua
Informal 131 117
(83,97) (75,00)
Formal 25 51
(16,03) (32,69)
Total 156 168
(100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Untuk memperkuat hasil analisis secara deskriptif
status pekerjaan generasi pertama dan kedua digunakan uji
chi Kuadrat. Keadaan tersebut disajikan pada Tabel 4.4.2a
berikut.
194
Tabel 4.4.2a Chi-Square Tests Generasi Pertama dan
Kedua Menurut Status Pekerjaan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact
Sig. (1-
sided)
Pearson
Chi-Square 9,253a 1 ,002
Continuity
Correctionb 8,472 1 ,004
Likelihood
Ratio 9,423 1 ,002
Fisher's
Exact Test ,003 ,002
Linear-by-
Linear
Association
9,225 1 ,002
N of Valid
Cases 324
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Uji
Chi Kuadrat diperoleh hasil berikut. Nilai Asymp. Sig 0,002
< dari 0,005 % yang berarti H0 ditolak artinya terdapat
perbedaan yang signifikan dalam status pekerjaan generasi
pertama dan kedua. Untuk status pekerjaan Informal baik
generasi pertama maupun kedua masih lebih tinggi
dibanding status pekerjaan Formal. Akan tetapi persentase
generasi kedua dengan status pekerjaan formal lebih tinggi
dibanding generasi pertama.
Pergeseran status pekerjaan di lokasi transmigrasi di
Provinsi Jambi telah terjadi dari generasi pertama ke
generasi kedua. Transformasi seperti ini merupakan
konsekuensi dari kemajuan yang telah dicapai oleh
transmigrasi generasi kedua yang dianggap lebih mampu
195
menyesuaikan dengan perkembangan pembangunan di
daerah transmigrasi khususnya, Provinsi Jambi umumnya.
3. Perbandingan Lapangan Usaha Generasi Pertama dan
Kedua
Sektor lapangan usaha dapat juga disederhanakan
dari 9(Sembilan) sektor menjadi 3 (tiga) sektor.
Pengelompokan ini terdiri dari Sektor pertanian (Primer),
Industri (Secondary), dan Jasa (Tersier). Tujuan
pengelompokan ini dimaksudkan agar aktivitas lapangan
usaha generasi pertama dan kedua transmigrasi di lokasi
penelitian lebih mudah dibandingkan. Hampir semua
generasi pertama (92,95%) di lokasi penelitian bekerja pada
lapangan usaha sektor Pertanian. Kondisi ini juga terjadi
pada generasi kedua walaupun persentasenya tidak sebesar
generasi pertama akan tetapi masih mendominasi sektor ini
dengan jumlah sebanyak (68,59%). Generasi pertama yang
bekerja di sektor Industri dan Jasa tercatat hanya sebesar
(7,05%) saja. Tingginya persentase generasi pertama yang
bekerja di sektor pertanian sangat dimungkinkan karena
prioritas utama lapangan usaha yang terbuka di lokasi
transmigrasi adalah sektor tersebut.
Selanjutnya persentase generasi kedua yang bekerja
di luar sektor pertanian cukup besar tercatat sebanyak
(5,13%) untuk sektor Industri dan (33,97%) di lapangan
usaha Jasa. Kondisi ini sangat beralasan karena kemajuan
pada sektor pertanian akan berdampak terhadap
perkembangan sektor lain seperti sektor Industri dan Jasa,
yang dalam gilirannya akan membuka peluang kerja pada
sektor tersebut. Perbandingan lapangan usaha generasi
pertama dan kedua disajikan pada Tabel 4.4.3.
196
Tabel 4.4.3 Perbandingan Persentase Responden generasi
Pertama dan Kedua Menurut Lapangan Usaha
di lokasi Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun
2017
Lapangan Usaha Generasi
Pertama Kedua
Pertanian 145 107
(92,95) (68,59)
Industri 2 8
(1,28) (5,13)
Jasa 9 53
(5,77) (33,97)
Total 156 168
(100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Untuk memperkuat dari hasil penelitian di lokasi
transmigrasi dalam Provinsi Jambi dilakukan dengan
menampilkan Uji Chi-kuadrat pada Tabel 4.4.3a.
Tabel 4.4.3a Chi-Square Tests Perbandingan Lapangan
Usaha Generasi Pertama dan Kedua di
Lokasi Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun
2017
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 40,167a 2 ,000
Likelihood Ratio 43,749 2 ,000
Linear-by-Linear
Association 39,066 1 ,000
N of Valid Cases 324
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 4,81.
197
Berdasarkan Chy Square tests perbedaan lapangan
usaha antara responden generasi pertama dan kedua di
lokasi penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut. Frekuensi
yang diharapkan kurang dari 5%, dan tidak boleh lebih dari
20% dari kategori, dalam penelitian ini diperoleh angka
sebesar (4,81%), dimana lebih kecil dari (5%). Sedangkan
untuk kategori diperoleh angka (16,7%).
Hasil Asymp. Sig sebesar 0,000 lebih kecil dari angka
5% (Asymp.Sig 0,000< 0,005%) sehingga disimpulkan H0
ditolak yang berarti lapangan usaha generasi pertama
berbeda dengan lapangan usaha generasi kedua. Artinya
terdapat perbedaan yang signifikan dalam pemilikan hal
lapangan usaha generasi pertama dan kedua di lokasi
penelitian.
Berdasarkan kondisi tersebut lapangan usaha
generasi pertama dan kedua transmigrasi di lokasi
penelitian di Provinsi Jambi menunjukkan perubahan yang
berarti. Terjadi perubahan lapangan usaha antara generasi
pertama dan kedua, dimana untuk generasi pertama terjadi
penurunan jumlah mereka yang bekerja di sektor pertanian.
Untuk sektor Jasa maupun industri terjadi peningkatan
yang cukup besar antara generasi pertama dan kedua.
Terjadinya transformasi lapangan usaha dari sektor primer
ke sekunder dan tersier merupakan salah satu indikasi
semakin membaiknya keadaan sosial ekonomi masyarakat
di lokasi transmigrasi di Provinsi Jambi.
4. Perbandingan Jenis Pekerjaan Generasi Pertama dan
Kedua
Pengelompokan jenis pekerjaan generasi pertama dan
kedua transmigrasi dapat juga disederhanakanmenjadi 1).
Pekerja terampil, 2). Pekerja Setengah Terampil, dan 3).
Pekerja kasar. Generasi pertama yang memiliki jenis
pekerjaan sebagai Pekerja terampil hanya sebanyak (3,85%)
dan Pekerja Setengah terampil 2,56 persen. Responden yang
tercatat sebagai Pekerja Kasar mendominasi jumlah generasi
pertama sebanyak (93,59%). Hal ini cukup beralasan karena
198
sebagian besar dari generasi pertama tidak memiliki tingkat
pendidikan dan keterampilan yang cukup.
Berbeda dengan generasi pertama, generasi kedua
yang telah berdomisili di lokasi penelitian lebih dari 20
tahun telah banyak tersentuh oleh pembangunan. Jumlah
generasi kedua yang masih tergolong dengan jenis
pekerjaan sebagai Pekerja kasar turun menjadi (73,08%).
Disisi lain terjadi kenaikan yang cukup tinggi pada jenis
pekerjaan Terampil yaitu sebesar (22,44%) dan Pekerja
SetengahTerampil mencapai 12,18 persen.
Perbandingan jenis pekerjaan generasi pertama
dengan generasi kedua disajikan pada Tabel 4.4.4
Tabel 4.4.4 Perbandingan Persentase Responden
Generasi Pertama dan Kedua Menurut Jenis
Pekerjaan di Lokasi Transmigrasi Provinsi
Jambi, Tahun 2017
Jenis Pekerjaan Generasi
Pertama Kedua
Pekerja Terampil 6 35
(3,85) (22,44)
Pekerja Setengah Terampil 4 19
(2,56) (12,18)
Pekerja Kasar 146 114
(93,59) (73,08)
Total 156 168
(100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalan persen
Dalam usaha untuk lebih memperkuat hasil
penelitian secara deskriptif tentang jenis pekerjaan
responden di lokasi penelitian ditampilkan uji Chi kuadrat
dengan menyajikan Tabel 4.4.4a berikut.
199
Tabel 4.4.4a Uji Chi-Square Generasi Pertama dan Kedua
Menurut Jenis Pekerjaan di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun, 2017
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 33,835a 2 ,000
Likelihood Ratio 36,836 2 ,000
Linear-by-Linear
Association 31,170 1 ,000
N of Valid Cases 324
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 11,07.
Berdasarkan uji Chi kuadrat untuk mengetahui
perbandingan antara frekuensi observasi yang benar-benar
terjadi/ actual dengan frekuensi harapan/ekspektasi. Dapat
dijelaskan perbandingan jenis pekerjaan generasi pertama
dan kedua di daerah penelitian. Dari hasil Asymp. Sig 0,000
< 0,005 % diperoleh kesimpulan bahwa H0 ditolak yang
berarti terdapat perbedaan yang signifikan jenis pekerjaan
antara generasi pertama dan kedua.
Pada generasi pertama dengan jenis pekerjaan sebagai
pekerja kasar jumlahnya mendekati 100%, dan pada
generasi kedua terjadi penurunan yang cukup drastis.
Sebaliknya terjadi perubahan yang cukup besar dalam jenis
pekerjaan untuk Pekerja Setengah Terampil, dan Pekerja
Terampil. Kondisi ini semakin memperkuat hasil analisis
secara deskriptif dimana telah terjadi pergeseran dalam jenis
pekerjaan pada generasi kedua di lokasi transmigrasi dalam
Provinsi Jambi.
5. Perbandingan Jam Kerja Per Minggu Generasi
Pertamadan Kedua
Berdasarkan jam kerja yang dicurahkan untuk
menghasilkan barang dan jasa oleh responden di lokasi
transmigrasi dapat dibedakan. Bekerja < 14 jam per minggu
200
disebut (Setengah pengangguran kritis), antara (14-34 jam)
per minggu disebut setengah pengangguran biasa, dan
bekerja >= 35 jam per minggu jam kerja normal.
Total jam kerja KK per minggu (Pekerjaan Utama +
Pekerjaan Sampingan) untuk generasi pertama rata-rata (31,
5 jam per minggu). Standar deviasi sebesar 16,84 jam dengan
tingkat kesalahan rata-rata 1,35 jam. Bila dibandingkan
dengan jam kerja standar sebesar 35 jam atau lebih per
minggu artinya generasi pertama di lokasi penelitian masih
tergolong sebagai setengah pengangguran. Setengah
Pengangguran menurut Sumarsono (2010) disebabkan oleh
1). Kurangnya jam kerja, 2). Rendahnya Pendapatan dan 3).
Ketidakcocokan antara pekerjaan dan keterampilan Pekerja.
Penyebab lain adalah karena sebagian generasi pertama
(lebih dari 26%) telah memasuki usia tidak produktif
(berusia 70 tahun ke atas).
Untuk generasi kedua total jam kerja yang dicurahkan
adalah sebesar 39,05 jam, keadaan ini menunjukkan bahwa
transmigrasi generasi kedua di daerah penelitian telah
bekerja sesuai dengan jam kerja normal dalam seminggu.
Dengan standar deviasi sebesar 18, 06 jam per minggu dan
tingkat kesalahan 1,39 jam. Dengan simpangan baku
(standar deviasi) sebesar 18,06 jam menunjukkan bahwa
data sampel semakin beragam.
Lebih bervariasinya jam kerja generasi kedua
dibandingkan dengan generasi pertama sangat beralasan.
Hal ini dimungkinkan karena secara umum generasi kedua
memiliki peluang yang lebih luas dengan pendidikan yang
lebih tinggi dan bervariasi.
Untuk mengetahui perbandingan jam kerja yang
dicurahkan oleh responden generasi pertama dan kedua
seperti disajikan pada Tabel 4.4.5.
201
Tabel 4.4.5 Persentase Responden Generasi Pertama dan
Kedua Menurut Jam kerja per minggu di
Lokasi Transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun
2017
Std.
Devi
ation
Std.
Error
Mean
Total Jam
Kerja KK
Perminggu
(Utama +
Sampingan)
Pertama 156 31,55 16,84 1,35
Kedua 168 39,05
18,06
3 1,39
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Untuk memperkuat hasil penelitian secara deskriptif
tentang jam kerja per minggu dilakukan ChySquare
testseperti terlihat pada Tabel 4.4.5a.
202
T
ab
el: 4
.4.5
a: U
ji C
hi
ku
adra
t v
ari
ab
el
ind
ep
en
den
di
Lo
ka
si T
ran
smig
rasi
Pro
vin
si J
am
bi,
Ta
hu
n 2
01
7
t-te
st f
or
Eq
ua
lity
of
Mea
ns
95
% C
on
fid
ence
Inte
rva
l o
f th
e
Dif
fere
nce
Up
per
-3,6
8336
-3,6
9326
Lo
wer
-11
,33
404
-11
,32
414
Std
.
Err
or
Dif
fere
nce
1,9
4440
1,9
3937
Mea
n
Dif
fere
nce
-
7,5
0870
- 7,5
0870
Sig
.
(2-
tail
ed )
,00
0
,00
0
df
32
2
32
1,9
94
t
-3,8
62
-3,8
72
Lev
ene'
s T
est
for
Eq
ua
lity
of
Va
ria
nce
s
Sig
.
,94
7
F
,00
4
Eq
ua
l
va
ria
nce
s
ass
um
ed
Eq
ua
l
va
ria
nce
s
no
t
ass
um
ed
To
tal
Jam
Ker
ja K
K
Per
min
gg
u
(Uta
ma
+
Sa
mp
ing
an
)
203
6. Perbandingan Kepemilikan Pekerjaan Sampingan
GenerasiPertama dan Kedua.
Sesuai dengan hasil temuan penelitian di lokasi
transmigrasi Provinsi Jambi terdapat perbedaan
kepemilikan pekerjaan sampingan antara generasi pertama
dan kedua. Dari informasi yang diperoleh jumlah generasi
pertama yang memiliki pekerjaan sampingan berjumlah
sebanyak (29,49%), sedangkan generasi kedua yang
memiliki pekerjaan sampingan tercatat lebih banyak dari
generasi pertama yaitu (39,10%). Terdapatnya perbedaan ini
diduga karena generasi kedua memiliki tingkat mobilitas
yang tinggi dibanding generasi pertama, kecuali itu juga
penguasaan lahan yang lebih sempit oleh generasi kedua
dibanding generasi pertama.
Untuk mengetahui perbandingan kepemilikan
pekerjaan sampingan antara generasi pertama dan kedua
disajikan pada Tabel 4.4.6 berikut.
Tabel 4.4.6 Persentase Responden Generasi Pertama dan
Kedua Menurut Kepemilikan Pekerjaan
Sampingan di Lokasi Transmigrasi Provinsi
Jambi, Tahun 2017.
Kepemilikan Pekerjaan
Sampingan
Generasi
Pertama Kedua
Punya 46 61
(29,49) (39,10)
Tidak Punya 110 107
(70,51) (68,59)
Total 156 168
(100,00) (100,00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
Berikut ini disajikan Uji Chi kuadrat untuk
mengetahui perbandingan Kepemilikan Pekerjaan
sampingan generasi pertama dan kedua di lokasi
204
transmigrasi Provinsi Jambi seperti tertera pada Tabel 4.4.6a
berikut.
Tabel 4.4.6a Chi-Square Tests Generasi Pertama dan
Kedua Menurut Kepemilikan Pekerjaan
Sampingan di Lokasi Transmigrasi di
Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Value df
Asym
p. Sig.
(2-
sided)
Exact
Sig. (2-
sided)
Exact
Sig.
(1-
sided
)
Pearson Chi-
Square 1,702a 1 ,192
Continuity
Correctionb 1,408 1 ,235
Likelihood
Ratio 1,707 1 ,191
Fisher's Exact
Test ,196 ,118
Linear-by-
Linear
Association
1,697 1 ,193
N of Valid
Cases 324
a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 51,52.
Berdasarkan Uji Chi Kuadrat pada Tabel 4.4.6a
diperoleh hasil berikut. Nilai Asymp. Sig sebesar 0, 192 >
0,005 % hipotesis H0 diterima, ini berarti terdapat hubungan
yang signifikan antara Kepemilikan Pekerjaan Sampingan
antara generasi pertama dan kedua. Pada bagian lain juga
diperoleh nilai Continuity Correction sebesar 1,408 lebih kecil
dibandingkan dengan frekuensi yang diharapkan sebesar
51,52. Dengan nilai tersebut artinya memperkuat kecocokan
205
kepemilikan pekerjaan sampingan antara generasi pertama
dan kedua.
Tidak terdapat perbedaan yang tinggi dalam
Pemilikan Pekerjaan Sampingan antara generasi pertama
dan kedua. Generasi pertama yang Tidak Punya pekerjaan
sampingan sedikit lebih tinggi dari generasi kedua.
Sebaliknya jumlah responden generasi kedua yang Punya
Pekerjaan sampingan lebih tinggi dari generasi pertama.
Kondisi ini memperkuat hasil analisis secara deskriptif.
206
BAB V
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI SEBARAN
PERMUKIMAN GENERASI KEDUA
TRANSMIGRAN
A. Tempat Tinggal Generasi Kedua
Untuk mengetahui lebih rinci keadaan responden generasi kedua menurut tempat tinggal di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Persentase Responden Generasi Kedua Menurut Tempat Tinggal di Lokasi Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Tempat tinggal generasi kedua
Kecamatan Total
Rimbo Bujang
Batang Asam
Sungai Bahar
Di desa transmigrasi, serumah dengan orang tua
20 1 23 44
(35.71) (1.79) (41.07) (26.19)
Di desa transmigrasi, tidak serumah dengan orang tua
34 33 27 94
(60.71) (58.93) (48.21) (55.95)
Di luar desa transmigrasi, dalam kabupaten
2 14 4 20
(3.57) (25.00) (7.14) (11.90)
Di luar kabupaten 0 8 2 10 (0.00) (14.29) (3.57) (5.95)
Total 56 56 56 168 (100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
Berdasarkan hasil penelitian di lokasi transmigrasi dalam
Provinsi Jambi telah terjadi perubahan dalam hal tempat
207
tinggal untuk transmigrasi generasi kedua. Terjadi berbagai
tipe tempat tinggal (permukiman) transmigrasi generasi kedua.
Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai alasan baik faktor
ekonomi, sosial, budaya dan perkawinan.
Sebagian besar generasi kedua (82,14%) masih bertempat
tinggal di desa transmigrasi. Dari jumlah tersebut tercatat
generasi kedua yang tinggal di desa transmigrasi tapi tidak
serumah dengan orang tuanya sebanyak (55,95%), sedangkan
mereka yang masih tinggal di desa transmigrasi tetapi serumah
dengan orang tuanya berjumlah sebanyak (26,19%). Kemudian
generasi kedua yang telah keluar dari desa transmigrasi,
namun masih dalam kabupaten berjumlah (11,90%), sedangkan
generasi kedua yang telah keluar dari kabupaten tempat orang
tuanya pertama kali ditempatkan hanya sekitar (5,95%).
Berdasarkan kecamatan lokasi penelitian tempat tinggal
generasi kedua pada saat wawancara dilakukan diperoleh
jawaban berikut. Di Kecamatan Rimbo Bujang jumlah generasi
kedua yang masih bertempat tinggal di desa transmigrasi, dan
tidak serumah adalah sebanyak (60,71%). Keadaan yang sama
juga terjadi di Kecamatan Batang Asam dan Sungai Bahar,
walaupun persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan
lokasi Rimbo Bujang. Keadaan lain yang menarik tentang
tempat tinggal terakhir generasi kedua adalah di Kecamatan
batang Asam dimana sebanyak (25%) responden generasi
kedua telah bertempat tinggal di luar desa transmigrasi, tapi
masih dalam kabupaten. Tidak terdapat generasi kedua yang
tinggal di luar kabupaten untuk Kecamatan Rimbo Bujang,
sedangkan di lokasi Sungai Bahar jumlahnya sebanyak (3,59 %)
dan Batang Asam (14,29%).
1. Alasan Masih Tinggal di Desa Transmigrasi
Dari jumlah generasi kedua transmigrasi yang
berhasil diwawancarai menunjukkan bahwa bagian terbesar
(82,14%) seperti terdapat pada Tabel 5.1 masih berdomisili
di desa transmigrasi. Baik mereka yang tinggal serumah
dengan generasi pertama, maupun yang sudah menempati
rumah sendiri.
208
Sebanyak (50,00%) dari responden di lokasi
transmigrasi Provinsi Jambi menyampaikan alasan masih
tinggal di desa transmigrasi karena ‘lahan yang tersedia
masih luas’. Generasi kedua yang memberikan alasan masih
tinggal di desa transmigrasi (36,23%) lahan merupakan
warisan orang tua. Selanjutnya “mudah memperoleh
pekerjaan” sehingga alasan masih tinggal di desa
transmigrasi merupakan respon dari sebanyak (13,77%)
responden.
Untuk mengetahui lebih rinci tentang alasan generasi
kedua masih tinggal di desa transmigrasi seperti disarikan
pada Tabel 5.1.1.
Tabel 5.1.1 Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Alasan Masih Tinggal Di Desa
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Alasan masih
tinggal di desa
transmigrasi
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Lahan yang tersedia
masih luas 26 12 31 69
(48.15) (35.29) (62.00) (50.00)
Lahan merupakan
warisan orang tua 27 14 9 50
(50.00) (41.18) (18.00) (36.23)
Mudah
memperoleh
pekerjaan
1 8 10 19
(1.85) (23.53) (20.00) (13.77)
Total 54 34 50 138
(100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Alasan masih tinggal di desa transmigrasi bila dilihat
dari kecamatan lokasi penelitian diperoleh jawaban yang
bervariasi. Untuk lokasi Rimbo Bujang alasan utama masih
tinggal di desa lokasi (50,00%) disebabkan ‘lahan
209
merupakan warisan orang tua’, dan hanya sekitar (1,85%)
saja dengan alasan mudah memperoleh pekerjaan. Di loasi
Sungai Bahar sebagian besar (62,00%) responden yang
masih menetap tinggal di desa transmigrasi beralasan lahan
yang tersedia masih luas. Jumlah responden yang paling
banyak (23,53%) masih tinggal di desa transmigrasi adalah
dengan alasan mudah memperoleh pekerjaan.
2. Alasan Tidak Tinggal di Desa Transmigrasi
Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin
meningkatnya kebutuhan baik barang dan jasa generasi
kedua telah terjadi berbagai perubahan.Kebutuhan
kebutuhan dimaksud terkait dengan usaha untuk
meningkatkan produksi, pendapatan, pendidikan dan
kesehatan. Ada kalanya barang dan jasa tersebut dapat
dipenuhi dari desa (lingkungan) sendiri, akan tetapi bila
mana tidak dapat diperoleh maka akan diusahakan sampai
keluar dari tempat tinggal. Hal ini telah memacu terjadinya
perpindahan dari desa lokasi transmigrasi ke luar dari
lokasi transmigrasi.
Secara lebih rinci pada Tabel 5.1.2 disajikan alasan
tidak tinggal di desa transmigrasi untuk responden generasi
kedua di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi.
210
Tabel 5.1.2 Persentase Responden Menurut Alasan Tidak
Tinggal di Desa Transmigrasi di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017
Alasan tidak tinggal
di desa transmigrasi
Kecamatan Total
Rimbo
Bujang
Batang
Asam
Sungai
Bahar
Terbatasnya lahan di
desa transmigrasi 1 1 0 2
(50.00) (4.55) (0.00) (6.67)
Untuk memperoleh
penghasilan lebih
baik
1 16 4 21
(50.00) (72.73) (66.67) (70.00)
Terbatasnya fasilitas
pendidikan dan
kesehatan
0 1 0 1
(0.00) (4.55) (0.00) (3.33)
Ikut keluarga 0 4 2 6
(0.00) (18.18) (33.33) (20.00)
Total 2 22 6 30
(100.00
)
(100.00
) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
Berdasarkan informasi dari responden generasi
kedua alasan tidak tinggal di desa transmigrasi atau mereka
meninggalkan lokasi transmigrasi adalah sebagai berikut.
Sebagian besar responden (70,00%) tidak tinggal di desa
transmigrasi mempunyai alasan untuk memperoleh
penghasilan lebih baik. Terdapat sebanyak (20,00%) generasi
kedua yang meninggalkan desa transmigrasi dengan alasan
ikut keluarga. Hanya sekitar (6,67%) saja yang tidak tinggal
di desa transmigrasi dengan alasan terbatasnya lahan di
desa transmigrasi. Hal ini di dukung oleh luasnya
kepemilikan lahan yang dikuasai oleh generasi kedua di
211
lokasi penelitian. Berdasarkan Tabel 5.1.2 secara total
generasi kedua di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi
memiliki rata-rata lahan yang digarap seluas (1,68Ha).
Berikut ini pada Tabel 5.1.2a disajikan Print out nilai
Khi Kuadrat (x²) tentang keputusan generasi kedua
transmigrasi untuk tinggal di desa atau diluar desa.
Tabel 5.1.2a Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square Df Sig.
Step 1 Step 52,999 17 ,000
Block 52,999 17 ,000
Model 52,999 17 ,000
Print out di Tabel 5.4.3a merupakan nilai Chi-kuadrat
(x²) dari model regresi. Sebagaimana halnya model regresi
linier dengan metode OLS, dalam hal ini juga dapat
dilakukan pengujian arti penting model secara keseluruhan.
Bila dalam metode OLS menggunakan uji F, maka pada
model logit menggunakan uji G. Statistik G ini menyebar
menurut sebaran Chi-kuadrat(x²). Dalam pengujian nilai G
dapat dibandingkan dengan nilai x² tabel pada α tertentu
dan derajat bebas k-1. Kriteria pengujian dan cara pengujian
persis sama dengan uji F pada metode regresi OLS (Amri,
et.al, 2009).
Berdasarkan dari output SPSS, diperoleh model dari
nilai x² sebesar 52,999 dengan p-value 0,000. Karena nilai ini
jauh dibawah 10% (bilamenggunakan pengujian dengan α =
10%), maka dapat disimpulkan bahwa model regresi logistik
secara keseluruhan signifikan atau dapat menjelaskan atau
memprediksi keputusan generasi kedua transmigrasi untuk
tinggal di desa transmigrasi atau keluar dari desa
transmigrasi.
212
B. Permukinan Generasi Kedua Transmigran
1. Permukiman Generasi Kedua Menurut Jenis Kelamin
Secara keseluruhan (82,14%) generasi kedua berada di
dalam desa transmigrasi, dan sisanya sebanyak (17,86%)
berada diluar desa transmigrasi. Berdasarkan jenis kelamin
jumlah generasi kedua perempuan yang berada di dalam
desa jumlahnya lebih banyak disbanding dengan laki-laki,
dimana perempuan tercatat sebanyak (83,93%), sedangkan
generasi kedua laki-laki berjumlah sebanyak (81,25%).
Dengan demikian jumlah generasi kedua yang tinggal
diluar desa dengan jenis kelamin laki-laki sedikit lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan. Keadaan ini
seperti disajikan pada Tabel 5.2.1.
Tabel 5.2.1 Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Jenis Kelamindi Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Sebaran
Permukiman
Jenis Kelamin Total
Laki-Laki Perempuan
Dalam Desa 91 47 138
(81.25) (83.93) (82.14)
Luar Desa 21 9 30
(18.75) (16.07) (17.86)
Total 112 56 168
(100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
Secara total generasi kedua dengan status pekerjaan
informal dan formal bertempat tinggal dalam desa
berjumlah sebanyak (82,84%). Hanya sebanyak (17,86%)
saja mereka yang bekerja baik formal maupun informal
yang berada di luar desa. Secara lebih khusus generasi
kedua yang bekerja di sektor informal tercatat tinggal dalam
desa sebanyak (80,34%), dan sisanya responden tinggal di
luar desa. Untuk generasi kedua dengan status pekerjaan
213
formal yang tinggal dalam desa sedikit lebih tinggi yaitu
tercatat sebanyak (86,27%), dan hanya sekitar (13,17%) saja
yang berada di luar desa. Untuk lebih jelasnya permukiman
generasi kedua menurut status pekerjaan disajikan pada
Tabel 5.2.1a
Tabel 5.2.1a Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Status Pekerja adan Permukiman
di Lokasi Transmigrasi provinsiJambi,
Tahun 2017.
Sebaran
Permukiman
Status Pekerjaan Total
Informal Formal
Dalam Desa 94 44 138
(80.34) (86.27) (82.14)
Luar Desa 23 7 30
(19.66) (13.73) (17.86)
Total 117 51 168
(100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
2. Permukiman Generasi Kedua Menurut Lapangan Usaha
dan Tempat Tinggal.
Pada penelitian ini lapangan usaha responden
disederhanakan atas sektor Pertanian dan Non-Pertanian.
Jumlah generasi kedua yang bekerja di sektor pertanian dan
non pertanian yang tinggal dalam desa berjumlah sebanyak
(82,14%).Sisanya sebanyak (17,86%) responden generasi
kedua yang bekerja baik di sektor pertanian maupun non
pertanian tersebar di luar desa.
Bila permukiman generasi kedua menurut lapangan
usaha hanya di sektor pertanian, diperoleh informasi
sebanyak (87,85%) mereka yang bekerja di sektor tersebut
berada dalam desa. Keadaan ini lebih tinggi daripada
responden yang tinggal dalam desa dengan lapangan usaha
di sektor non- pertanian yang berjumlah sebanyak (72,13%).
214
Untuk mengetahui lebih rinci mengenai lapangan
usaha generasi kedua berdasarkan permukiman dalam desa
dan di luar desa disajikan pada Tabel 5.2.2.
Tabel 5.2.2 Permukiman Generasi Kedua Menurut
Lapangan Usaha diLokasi Transmigrasi
Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Sebaran
Permukiman
Lapangan Usaha Total
Pertanian Non-pertanian
Dalam Desa 94 44 138
(87.85) (72.13) (82.14)
Luar Desa 13 17 30
(12.15) (27.87) (17.86)
Total 107 61 168
(100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
3. Permukiman Generasi Kedua Menurut Daerah Asal Orang
Tua
Daerah asal orang tua generasi kedua dalam
penelitian ini berasal dari provinsi- provinsi di Pulau Jawa
(Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur)
serta Jambi beserta provinsi Lainnya di Sumatera). Secara
keseluruhan (sebanyak 82,14 %) generasi kedua yang orang
tuanya berasal dari beberapa provinsi di Pulau Jawa dan
Provinsi Jambi dan sekitarnya berada dalam desa
transmigrasi. Hanya sekitar (17,86%) saja responden yang
berada di luar desa.
Berdasarkan daerah asal orang tua, ternyata dari
Provinsi Jawa Barat merupakan jumlah terbanyak (96,30%)
generasi kedua yang berada dalam desa dan diikuti oleh
Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta masing-masing
sebesar (87,88%) dan 83,33 persen. Untuk generasi kedua
permukiman berdasarkan daerah asal orang tua, ternyata
Provinsi Jambi dan Provinsi lainnya di Pulau Sumatera
215
generasi keduanya paling banyak tinggal di luar desa
(47,37%), dibanding Provinsi Lain Jawa Timur sebanyak
(30,00%) diikuti Yogyakarta (16,67%) dan yang paling
sedikit generasi keduanya di luar desa Jawa Barat hanya
(3,70%).
Secara lebih rinci permukiman generasi kedua
menurut daerah asal orang tua digambarkan pada Tabel
5.2.3.
Tabel 5.2.3 Persentase Permukiman Generasi Kedua
Menurut daerah Asal Orang Tua di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Sebaran
Permu
kiman
Daerah asal orang tua Total
Jabar Jateng Yogya Jatim Jambi+
Dalam Desa 26 58 30 14 10 138
(96.30) (87.88) (83.33) (70.00) (52.63) (82.14)
Luar Desa 1 8 6 6 9 30
(3.70) (12.12) (16.67) (30.00) (47.37) (17.86)
Total 27 66 36 20 19 168
(100.00) (100.00) (100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
4. Permukiman Generasi Kedua Menurut Pendidikan Orang
Tua
Pendidikan orang tua generasi kedua dibedakan atas
Tidak tamat SD, tamat SD, dan Tamat SLTP ke atas. Secara
keseluruhan sebesar (82,14%) orang tua generasi kedua baik
yang tidak Tamat SD, tamat SD dan berpendidikan SLTP ke
atas bermukim dalam desa. Sisanya sebesar (17,86%) berada
di luar desa.
Bila dirinci berdasarkan pendidikan yang ditamatkan
dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk generasi kedua
dengan pendidikan orang tua Tidak tamat SD, sebesar
(96,49%) berada dalam desa, dan hanya sekitar (3,51%) saja
yang berada diluar desa. Kondisi yang tidak jauh berbeda
216
juga terjadi pada pendidikan orang tua yang tamat SD
bagian terbesar (73,61%) tinggal di dalam desa, dan begitu
juga dengan orang tua dengan pendidikan SLTP ke atas
jumlah responden yang bermukim dalam desa sebanyak
(76,92%).
Untuk mengetahui gambaran tentang permukiman
generasi kedua menurut pendidikan orang tua disajikan
pada Tabel 5.2.4
Tabel 5.2.4 Persentase Permukiman Generasi Kedua
Menurut Pendidikan Orang Tua di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Sebaran
Permukiman
Pendidikan Orang Tua Total
< SD SD SLTP+
Dalam Desa 55 53 30 138
(96.49) (73.61) (76.92) (82.14)
Luar Desa 2 19 9 30
(3.51) (26.39) (23.08) (17.86)
Total 57 72 39 168
(100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan:Angka yang dikurung dalam persen
5. Permukiman generasi kedua Menurut Komoditas utama
Secara keseluruhan generasi kedua (82,14%) dengan
komoditi utama tanaman Karet, Sawit dan Pangan berada
dalam desa. Sedangkan sisanya sebanyak (17,86%)
responden di daerah penelitian berada di luar desa.
Komoditi yang terbanyak (96,43%) dengan tanaman karet
generasi keduanya berada dalam desa, dan hanya sekitar
(3,57%) saja respondennya yang berada di luar desa. Untuk
komoditi sawit jumlah generasi kedua yang tinggal di
dalam desa berjumlah sebanyak (89,29%), dan lebih banyak
dari generasi kedua dengan komoditi Pangan sebesar
(60,71%). Sementara itu generasi kedua yang berada diluar
desa komoditi terbanyak yang diusahakan adalah pangan
217
(padi) tercatat sebanyak (39,29%), kemudian diikuti oleh
komoditi sawit sebesar (10,71%).
Untuk mengetahui secara rinci keadaan generasi
kedua menurut komoditi utama disajikan pada Tabel 5.2.5
Tabel 5.2.5 Persentase Responden Generasi Kedua
Menurut Komoditi utama di Lokasi
Transmigrasi Provinsi Jambi, Tahun 2017.
Sebaran
Permukiman
Komoditi utama Total
Karet Sawit Pangan
Dalam Desa 54 50 34 138
(96.43) (89.29) (60.71) (82.14)
Luar Desa 2 6 22 30
(3.57) (10.71) (39.29) (17.86)
Total 56 56 56 168
(100.00) (100.00) (100.00) (100.00)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2017.
Keterangan: Angka yang dikurung dalam persen
6. Uji Overall Model Fit.
Uji Overall Model Fit dari model tersebut disajikan pada Tabel 5.4.10. Berdasarkan Omnibus Test of Model Coefficients diperoleh nilai statistik Chi kuadrat sebesar 54,202 dengan probabilitas signifikansi (p) = 0,000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peubah bebas dalam model secara bersama-sama mempengaruhi keputusan generasi kedua transmigran untuk tetap tinggal di dalam desa dan ke luar desa. Tabel 5.2.6 UjiOverall Model Fit Untuk Permukiman
Generasi KeduaTransmigran.
Chi-square df Sig.
Omnibus Test of Model
Coefficients
Step 54,202 14 ,000
Block 54,202 14 ,000
Model 54,202 14 ,000
Hosmer and Lemeshow
Test 3,825 8 ,873
218
Berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow diperoleh
nilai Chy-Square sebesar 3,825 dengan nilai p sebesar 0,873.
Karena nilai Chy-Square tidak signifikan dimana (p> 0,05),
kesimpulan yang diperoleh adalah probabilitas yang
diprediksi sesuai dengan probabilitas yang diobservasi. Ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara model
dengan data, sehingga model dapat dikatakan fit.
Berikut ini dari tabel klasifikasi 2 x 2 (Tabel 5.2.6a)
memperlihatkan seberapa baik model mengelompokkan
kasus ke dalam dua kelompok baik yang dalam desa
maupun di luar desa. Keakuratan prediksi secara
keseluruhan sebesar 83,90 persen,sedangkan keakuratan
generasi kedua tinggal dalam desa sebesar 93,50 persen dan
generasi kedua yang di luar desa sebanyak 40,00 persen.
Dengan kata lain, keakuratan model ini dalam memprediksi
probabilitas generasi kedua tinggal di dalam desa dan di
luar desa adalah berbeda. Atau dikatakan juga probabilitas
generasi kedua yang tinggal di dalam desa lebih dua kali
dari pada generasi kedua yang tinggal di luar desa.
Tabel 5.2.6a Klasifikasi 2 x 2 Untuk Model Generasi
Kedua Dalam Desa
Observasi
Prediksi
Kategori
Persentase
Benar
Dalam desa Luar desa
Kategori Dalam
desa 129 9 93,5
Luar desa 18 12 40,0
Persentase
Keseluruhan 83,9
219
7. Uji Parsial Parameter Sebaran Generasi Kedua
Transmigrasi.
Estimasi parameter dan uji parsial dalam model
binary logit untuk permukimangenerasi kedua disajikan
pada Tabel 5.2.7. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan
bahwa Umur (X1) tidak berpengaruh secara signifikan
dimana nilai (p > 0,05). Dengan demikian dapat
disimpulkan tidak terdapat pengaruh umur dari generasi
kedua yang bertempat tinggal di dalam desa dan di luar
desa trasmigrasi. Kondisi ini berarti keputusan untuk tetap
tinggal atau keluar dari desa transmigrasi tidak dipengaruhi
oleh umur generasi kedua. Hal ini diduga karena semua
generasi kedua berada dalam kelompok usia produktif (15-
64 tahun). Jenis kelamin (X2) juga memperlihatkan
pengaruh yang tidak signifikan yang ditandai dengan nilai
(p > 0,05). Ini berarti bahwa jenis kelamin tidak signifikan,
dengan kata lain tidak ada perbedaan preferensi generasi
kedua antara laki-laki dan perempuan untuk memilih
tinggal di dalam desa atau di luar desa transmigrasi. Secara
teori mengatakan tingkat mobilitas laki-laki lebih tinggi dari
pada perempuan. Pada awalnya variabel utama yang
menyebabkan perpindahan bagi laki-laki berturut-turut
adalah alasan pekerjaan, pendidikan dan ikut keluarga.
Untuk perempuan urutan alasannya adalah pendidikan,
ikut keluarga dan mencari pekerjaan. Tidak adanya
perbedaan berdasarkan jenis kelamin diduga semakin
meningkatnya kesempatan untuk bersaing antara laki-laki
dan perempuan di pasar kerja, karena semakin
meningkatnya pendidikan yang diperoleh perempuan di
daerah penelitian, semakin besar peluang perempuan untuk
meninggalkan tempat tinggalnya.
Pendidikan sebagai variabel (X3) dengan kategoridasar SLTP dan di bawahnya, dikemukakan terdapat perbedaan probabilitas sebaran generasi kedua antara generasi kedua yang berpendidikan (X3D2) dengan generasi kedua yang berpendidikan (X3D1). Hal ini ditunjukkan oleh koefisien dalam model yang signifikan
220
pada α = 10% diperoleh angka Odds ratio sebesar 8,149. Artinya ini menunjukkan bahwa generasi kedua yang berpendidikan SLTA ke atas memiliki peluang 8,149 kali untuk tinggal di luar desa dibandingkan dengan generasi kedua yang berpendidikan SLTP ke bawah. Dengan pendidikan yang lebih tinggi membuka kesempatan kepada generasi kedua untuk dapat bekerja di berbagai sektor baik di daerah transmigrasi maupun diluar daerah. Hal ini juga sejalan dengan hipotesis yang mengatakan semakin tinggi tingkat pendidikan generasi kedua semakin besar peluangnya untuk melakukan migrasi keluar. Sejalan dengan itu juga memperkuat pendapat Todaro (2000) dalam Expected Income Theory yang mengatakan dorongan bagi mereka untuk melakukan migrasi jauh lebih besar daripada yang dirasakan oleh mereka yang kurang berpendidikan.
Berikut ini pada Tabel 5.4.11 disajikan estimasi
parameter model permukiman generasi kedua transmigran
di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi.
Tabel 5.2.7 Estimasi Parameter Model Permukiman
Generasi Kedua Transmigran
Variabel B S.E. Wald df Sig. Odds ratio
Keterangan
X1 -,003 ,048 ,003 1 ,957 ,997 Umur
X2 -,082 ,580 ,020 1 ,888 ,921 Jenis Kelamin
X3 2,098 1,205 3,031 1 ,082 8,149 Pendidikan
X4 -1,104 ,643 2,945 1 ,086 ,332 Status Pekerjaan
X5 1,209 ,581 4,327 1 ,038 3,349 Lapangan Usaha
X6 5,080 4 ,279 Provinsi Asal
X6.D1 2,461 1,239 3,942 1 ,047 11,715 Jawa Tengah
X6.D2 2,862 1,317 4,725 1 ,030 17,496 Yogyakarta
X6.D3 2,129 1,266 2,825 1 ,093 8,404 Jawa Timur
X6.D4 2,358 1,218 3,751 1 ,053 10,571 Jambi+lainnya
X7 4,420 2 ,110 Pendidikan Ortu
X7.D1 1,699 ,865 3,855 1 ,050 5,470 SD
X7.D2 2,086 1,069 3,810 1 ,051 8,056 SLTP+
X8 -,253 ,303 ,695 1 ,405 ,777 Jumlah anak
X9 10,224 2 ,006 Komoditi utama
X9.D1 -,165 1,148 ,021 1 ,886 ,848 Sawit
X9.D2 2,117 1,028 4,238 1 ,040 8,302 Tanaman pangan
Constant -7,470 2,894 6,661 1 ,010 ,001
Sumber: Hasil Olahan Data Lapangan.
221
Berdasarkan Tabel 5.2.7, Status Pekerjaan (X4) dimana
nilai 0 = informal, dan nilai 1 = formal. Pada α = 10 %,
signifikan pada angka 0,09 atau 9 persen diperoleh koefisien
negatif. Odds ratio sebesar = 0,332 ini bermakna bahwa
generasi kedua yang bekerja di sektor informal, peluang dia
untuk tinggal di luar desa 0,332 kali dibandingkan dengan
yang bekerja di sektor formal. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa masih terbatasnya kesempatan kerja di
sektor formal yang terbuka di lokasi transmigrasi dalam
Provinsi Jambi.Ini didukung oleh masih sedikitnya sektor
formal yang ada di daerah transmigrasi yang dapat untuk
memicu berkembangnya sektor informal di daerah
penelitian.
Variabel lapangan usaha (X5) dibedakan dengan
kategori 0 = pertanian, dan kategori 1= non pertanian.
Diperoleh angka Odds ratio sebesar 3,349. Dari angka
tersebut dapat disimpulkan bahwa generasi kedua yang
bekerja di sektor non pertanian mempuyai peluang 3,349
kali dari mereka yang bekerja di sektor pertanian untuk
tinggal di luar desa transmigrasi.Tingginya peluang usaha
dari generasi kedua yang tinggal di luar desa untuk bekerja
di luar sektor non pertanian dibandingkan dengan sektor
pertanian di duga karena lebih terbukanya kesempatan
kerja di luar lokasi permukiman transmigrasi dibanding
dalam desa transmigrasi.
Berdasarkan lapangan usaha (Lihat tabel 5.2.5)
generasi kedua yang bekerja di sektor pertanian tanaman
pangan dan perkebunan sebanyak (63,10%). Sisanya sebesar
(36,90%) memiliki lapangan usaha yang beragam di luar
sektor pertanian. Sebaran lapangan usaha generasi kedua
meliputi perdagangan hotel dan restoran, bangunan,
pengangkutan dan telekomunikasi, keuangan persewaan
dan jasa, industry dan lapangan usaha jasa lainnya.
Untuk variabel Daerah asal orang tua (X6) dimana
sebagai kategori dasar adalah Provinsi Jawa Barat. Dapat
dikemukakan terdapat perbedaan probabilitas permukiman
222
generasi kedua tinggal dalam desa atau di luar desa. Dapat
dikemukakan terdapat perbedaan probabilitas antara
generasi kedua yang tinggal dalam desa dengan yang di
luar desa berdasarkan Provinsi asal orang tua (X6D1). Untuk
Provinsi Jawa Tengah dimana diperoleh Odds ratio sebesar
11,715. Ini menunjukkan bahwa orang tua generasi kedua
yang berasal dari Jawa Tengah
Mempunyai peluang untuk tinggal di luar desa 11,715
kali dibanding generasi kedua yang tinggal dalam desa.
Provinsi asal orang tua Yogyakarta (X6D2) dengan Odds
ratio sebesar 17,496 mengindikasikan generasi kedua yang
orang tuanya berasal dari Yogyakarta mempunyai
kesempatan untuk tinggal di luar desa sebanyak 17,496 kali
dibanding untuk tinggal di dalam desa.
Generasi kedua yang orang tuanya berasal dari DIY
merupakan responden yang paling tinggi mempunyai
mobilitas keluar dibandingkan dengan provinsi lain yang
berasal dari Pulau Jawa. Keadaan ini dimungkinkan karena
Provinsi ini merupakan daerah dengan luas wilayah yang
paling kecil dibandingkan provinsi-provinsi lain yang ada
di Pulau Jawa, selain itu juga jumlah generasi kedua yang
orang tuanya berasal dari Provinsi DIY mempunyai jumlah
yang lebih banyak setelah Provinsi Jawa Tengah (Lihat
Tabel 5.1.5).
Kemudian untuk generasi kedua yang daerah asal
orang tuanya Jawa Timur (X6D3) nilai Odds rasionya
sebesar 8,404. Interpretasi yang dapat diberikan adalah
kemungkinan generasi kedua yang orang tuanya berasal
dari Jawa Timur peluangnya untuk tinggal di luar desa
adalah sebesar 8,404 kali dibandingkan dengan generasi
kedua tersebut tinggal di dalam desa. Kemudian daerah asal
orang tua Provinsi Jambi dan sekitarnya (X6D4) diperoleh
angka Odds ratio sebesar 10,571. Dengan kesimpulan yang
sama menunjukkan bahwa peluang generasi kedua untuk
menyebar di luar desa adalah sebesar 10,571 kali
dibandingkan dengan generasi kedua untuk tinggal di
223
dalam desa tersebut. Atau dengan kata lain tingkat
mobilitas generasi kedua yang berasal dari Provinsi Jambi
dan sekitarnya untuk meninggalkan desanya mempunyai
peluang yang lebih besar. Suatu hal yang menarik untuk
generasi kedua yang berasal dari Provinsi Jambi dan
sekitarnya adalah faktor jarak yang lebih dekat dengan
provinsi asal. Sesuai dengan hukum-hukum migrasi yang
dikemukakan oleh Ravenstein mengatakan faktor jarak
merupakan salah satu fenomena migrasi. Disebutkan
semakin jauh jarak semakin berkurang volume migrasi, teori
ini dikenal dengan “Distance Decay Theory”.
Terkait dengan pendidikan orang tua (X7) dimana
dengan kategori dasar0 = SD dan tidak tamat; 1 = SLTP ke
atas. Mengamati Odds ratio terlihat bahwagenerasi kedua
dengan pendidikan orang tua (X7D1) dengan pendidikan
SD dan tidak tamat memiliki probabilitas 5,470kali untuk
menyebar di dalam desa dibandingkan ke luar desa.
Sedangkan untuk generasi kedua dengan pendidikan orang
tua SLTP ke atas (X7D2) dengan Odds ratio sebesar 8,056
dapat disimpulkan bahwa generasi kedua memiliki
probabilitas 8,056 kali lebih tinggi untuk tinggal di luar desa
dibandingkan dengan generasi kedua yang tinggal dalam
desa. Keadaan tersebut memperkuat analisis deskriptif yang
menunjukkan bahwa bagian terbesar dari generasi kedua
dengan tingkat pendidikan orang tua yang rendah
bermukim dalam desa. Semakin tinggi pendidikan orang
tua generasi kedua semakin besar peluang generasi kedua
tinggal di luar desa.
Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang telah
dikemukakan oleh Everett. S.Lee, dalam teorinya (Push Pull
Theory). Ada 4 faktor yang mempengaruhi terhadap
keputusan seseorang untuk melakukan migrasi diantaranya
faktor pribadi.Diantara faktor pribadi yang utama adalah
pendidikan, diluar pengalaman, kebutuhan dan sipat –sipat
pribadi. Pada bagian lain dikatakan karakteristik migran
dari sisi pendidikan lebih tinggi dari daerah yang
224
ditinggalkan dan lebih rendah dari daerah yang dituju.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin selektif migran.
Selanjutnya untuk jumlah anak dalam keluarga orang
tua (X8) tidak berpengaruh secara signifikan dimana
ditunjukkan nilai (p > 0,05). Dengan demikian dapat
disimpulkan tidak terdapat pengaruh dari jumlah anak
dalam keluarga orang tua terhadap sebaran permukiman
generasi kedua. Maksudnya besarnya jumlah anggota
rumah tangga orang tua tidak terkait dengan generasi kedua
tinggal di dalam desa atau di luar desa. Dengan Odds ratio
sebesar 0,777 memberikan makna bahwa generasi kedua
memiliki probabilitas 0,777 kali untuk tinggal di luar desa
dibandingkan dengan tinggal dalam desa. Dengan koefisien
negatif menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah anggota
keluarga orang tua semakin besar peluang kemungkinan
terjadinya generasi kedua ke luar desa. Jumlah anggota
keluarga yang banyak memerlukan fasilitas dan kebutuhan
yang banyak pula sehingga berdampak pada biaya yang
harus ditanggung. Sebaliknya rumah tangga yang memiliki
jumlah anggota rumah tangga yang sedikit secara relatif
lebih sejahtera dibandingkan dengan jumlah anggota
keluarga besar.
Berkaitan dengan jumlah anggota keluarga dalam
fenomena migrasi menunjukkan rumah tangga dengan
jumlah anggota keluarga yang besar tingkat mobilitasnya
akan rendah. Ini berkaitan dengan pertimbangan besarnya
biaya yang akan dikeluarkan untuk memindahkan sumber
daya manusia dari tempat asal ke tempat yang baru.
Untuk komoditas utama yang diusahakan oleh
generasi kedua (X9D1) = sawit. Tidak berpengaruh secara
signifikan hal ini dibuktikan oleh nilai (p > 0,10). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan probabilitas
permukiman dari generasi kedua dalam komoditas sawit
dan karet. Dengan kata lain permukiman generasi kedua di
dalam desa maupun di luar desa tidak dipengaruhi oleh
komoditas sawit atau pun karet.Kondisi hal ini di duga
225
tanaman karet dan sawit merupakan tanaman yang tidak
terlalu berbeda dalam berproduksi, dan membutuhkan
rentangan waktu dalam tahunan. Kondisi ini sejalan dengan
temuan Junaidi (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan
tidak terdapat perbedaan peluang transmigran untuk
mencapai stadia tertinggi antara desa komoditas tanaman
utama karet dengan komoditas tanaman utama kelapa sawit
di desa-desa eks transmigrasi dalam Provinsi Jambi.
Kemudian komoditas utama (X9D2) = tanaman
pangan (padi) ditunjukkan dengan nilai Odds ratio sebesar
8,302. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
permukimangenerasi kedua memiliki probabilitas 8,302 kali
untuk tinggal di luar desa dibandingkan dengan generasi
kedua yang komoditas utamanya karet. Dengan kata lain
tingkat mobilitas keluar (meninggalkan permukiman) pada
generasi kedua yang menekuni komoditas pangan lebih
tinggi.Disisi lain diketahui bahwa komoditas tanaman
pangan (padi) yang merupakan tanaman musiman yang
dapat berlangsung beberapa kali dalam satu tahun.
Dibandingkan dengan tanaman perkebunan, hasil-hasil
pertanian tanaman pangan memiliki nilai jual produk yang
secara relatif kurang menguntungkan dibandingkan
tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit, sehingga
konsekuensinya generasi kedua yang sumber mata
pencaharian orang tuanya berasal dari tanaman pangan
lebih mobil. Kondisi ini diperkuat oleh hasil penelitian
secara deskriptif (Tabel 5.4.9) yang menunjukkan bahwa
jumlah generasi kedua yang tinggal di luar desa dengan
tanaman utama pangan tercatat sebanyak sebesar (39,29%).
226
BAB VI
PENUTUP
Hasil kajian di buku ini menunjukkan rata-rata umur kepala
keluarga (generasi pertama) di lokasi transmigrasi Provinsi Jambi
sebesar 64,31 tahun. Dengan usia tersebut responden termasuk
dalam kelompok umur tidak produktif, hal ini ditunjukkan oleh
sebesar 70,51% dari mereka yang diwawancarai tidak punya
pekerjaan. Bagian terbesar dari kepala keluarga berjenis kelamin
laki-laki. Bagian terbesar tingkat pendidikan yang ditamatkan
adalah SD/sederajat. Persentase generasi pertama berdasarkan
asal provinsi yang terbesar adalah Jawa Tengah. Persentase
generasi pertama menurut status ketransmigrasian adalah
Transmigrasi Umum (88,10%). Alasan utama ikut transmigrasi
adalah demi masa depan lebih baik. Kedatangan dari daerah asal
sebagian besar merupakan transmigrasi langsung. Jumlah anggota
rumah tangga yang dibawa dari daerah asal berjumlah antara 3-4
orang. Penguasaan lahan oleh generasi pertama masih tinggi dan
ketergantungan mereka terhadap lahan diluar wilayah
transmigrasi tergolong rendah. Jumlah generasi pertama yang
punya pekerjaan sampingan lebih sedikit dibandingkan generasi
kedua. Lapangan usaha yang paling banyak ditekuni generasi
pertama adalah di sektor pertanian sebesar 92,95 persen. Dari jenis
pekerjaan generasi pertama, yang paling banyak ditekuni adalah
pekerja kasar.
Rata-rata umur generasi kedua di lokasi transmigrasi
Provinsi Jambi adalah 34,57 tahun, dengan usia tersebut
menunjukkan mereka berada dalam kelompok umur produktif.
Persentase responden generasi kedua menurut jenis kelamin
sebagian besar adalah laki-laki. Jenis pekerjaan generasi kedua
masih berada sebagai tenaga usaha pertanian dan peternakan,
akan tetapi jumlahnya menurun drastis dibandingkan generasi
pertama. Bagian terbesar tingkat pendidikan yang ditamatkan
adalah SLTA/sederajat sebanyak 54,76 persen. Persentase
227
generasi kedua yang bekerja di sektor formal lebih besar
dibandingkan dengan generasi pertama, terjadi peningkatan
dalam status pekerjaan dimana persentase generasi kedua sebagai
pekerja terampil dan setengah terampil lebih banyak
dibandingkan dengan generasi pertama yang menekuni bidang
tersebut.
Secara rata-rata generasi kedua di daerah penelitian dapat
dikatakan berhasil dan sejahtera dibandingkan generasi pertama.
Rata-rata jam kerja generasi kedua berjumlah sebesar 39,05 jam
dan telah melampaui jam kerja standar yaitu 35 jam per minggu.
Rata-rata pendapatan dan besarnya tabungan generasi kedua lebih
besar dari generasi pertama. Dari kondisi perumahan secara
keseluruhan kondisi generasi kedua lebih baik dari generasi
pertama hal ini terlihat dari penggunaan jenis lantai terluas,
dinding terluas, jenis atap terluas. Kepemilikan asset seperti:
mobil, sepeda motor, mesin cuci, dan kulkas generasi Kedua lebih
baik dan lebih banyak dari generasi pertama.
Permukiman transmigran generasi kedua sebagian besar
masih berada dalam desa. Hanya sekitar seperlimanya yang telah
keluar dari desa. Generasi kedua yang masih berada dalam desa
mempunyai alasan lahan yang tersedia pada saat ini masih cukup
luas. Sebagian generasi kedua yang keluar dari desa beralasan
untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik. Faktor utama
yang mempengaruhi terjadinya sebaran permukiman transmigran
generasi kedua di Provinsi Jambi disebabkan faktor pendidikan,
lapangan usaha, provinsi asal orang tua, pendidikan orang tua dan
komoditas tanaman utama yang diusahakan.
Berdasarkan kepemilikan lahan generasi kedua lebih kecil
dibandingkan generasi pertama, namun demikian kesejahteraan
mereka lebih tinggi, hal ini disebabkan faktor penarik generasi
kedua untuk keluar dari desa adalah untuk memperoleh
penghasilan lebih baik dan faktor pendorong adalah rendahnya
tingkat pendidikan di dalam desa sehingga fragmentasi lahan
bukan faktor utama yang menyebabkan generasi kedua
meninggalkan desa. Hal ini merupakan model
pengembangangenerasi kedua transmigran yang terjadi di
228
Provinsi Jambi dan dapat dijadikan model percontohan tidak saja
untuktransmigrasi generasi pertama tetapi juga generasi kedua
transmigran di masa mendatang.
Mengingat bahwa sebagian besar generasi kedua
transmigran masih berada di dalam desa dengan alasan
kesejahteraan mereka masih lebih baik, dan lahan yang digunakan
masih cukup oleh karena itu pemerintah sebagai pengambil
kebijakan perlu mengadakan pembekalan terhadap transmigran
di bidangketerampilan, dan pemerintah harus melakukan
alternatif agar generasi kedua tidak tergantung terhadap lahan
yang ada dan mereka tidak terjebak hanya di sektor pertanian
untuk mengantisipasi di masa yang akan datang, sehingga dapat
lebih meningkatkan pemanfaatan lahan ke arah yang lebih
produktif.
Tingkat pendidikan generasi kedua, lapangan usaha,
provinsi asal orang tua, tingkat pendidikan orang tua, dan jenis
komoditas utama merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi sebaran permukiman generasi kedua di lokasi
penelitian, oleh karena itu variabel-variabel tersebut perlu
diperhatikan dalam pengambilan kebijakan di masa yang akan
datang terutama dalam proses seleksi calon transmigran di
Provinsi Jambi, sehingga di era otonomi daerah transmigrasi tidak
menjadi beban bagi daerah penerima yang pada akhirnya
berdampak terhadap kemiskinan.
Dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk Provinsi
Jambi umumnya dan generasi kedua transmigran khususnya,
sesuai dengan era otonomi daerah, bahwa masyarakat
transmigrasi adalah transmigran dan penduduk setempat yang
ditetapkan sebagai transmigran. Ke depan perlu memberi peluang
yang lebih besar kepada penduduk setempat (lokal) terutama yang
tidak memiliki lahan atau yang mempunyai lahan sempit akan
tetapi mempunyai kemauan yang kuat untuk maju dan
meningkatkan kesejahteraannya. Untuk itu perlu pengembangan
pola usaha yang tidak semata-mata di sektor pertanian, akan tetapi
lebih mengutamakan untuk sektor-sektor non pertanian yang
229
mampu mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja di
daerah transmigrasi.
Model pengukuran yang digunakan untuk mengetahui
kesejahteraan generasi kedua transmigran masih terbatas pada
beberapa indikator ekonomi, pada hal sebagaimana diketahui
ukuran kesejahteraan lebih luas dan komprehensif dari pada itu,
sehingga perlu menjadi pertimbangan untuk menggunakan
beberapa indikator lain dalam kesejahteraan. Perlu penelitian
lanjutan sejenis dengan mengajukan model yang lain atau dengan
memodifikasi variabel yang digunakan serta perlu
memperbanyak/memperluas wilayah dan jumlah sampel yang
dirujuk dalam penelitian mendatang.
230
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, A. 1986. Transmigrasi. Suatu Analisis Ekonomi. Dalam
Sepuluh Windu Transmigrasi Di Indonesia 1905-1985.
Editor Swasono dan Singarimbun. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Alatas, S. 1995. Studi Migrasi Penduduk Indonesia. Dalam Migrasi
dan Distribusi
Penduduk di Indonesia. Kantor Menteri Negara
Kependudukan/BKKBN.
Jakarta.
Alkadri, Muchdi, Suhandojo. 2001. Tiga Pilar Pengembangan
Wilayah:
SumberdayaAlam, Sumberdaya Manusia, dan Teknologi. Jakarta:
BPPT.
Adiatmojo, GD. 2008. Model Kebijakan Pengembangan Kawasan
Transmigrasi Berkelanjutan Di Lahan Kering (Studi
Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten
Kutai Timur). (Disertasi) Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Amir. A. 2007. Pembangunan dan Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
Dalam Era Globalisasi. (Teori, Masalah dan Kebijakan).
Penerbit Biografika. Bogor.
Anharudin, Priyono, Susilo SRT. 2008. Transmigrasi di Era Kabinet
Indonesia Bersatu.Telaah Kritis Atas Rencana Strategis
Transmigrasi Tahun 2005 – 2009. Jakarta. Bangkit Daya
Insana.
Amri, A, Junaidi, Yulmardi. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi
Dan Penerapannya. IPB PRESS. Bogor.
231
Alihar,F. 2012. Transmigran dan Trauma Konflik Aceh. Jurnal
Ketransmigrasian. Vol. 29 No.2 Desember 2012.
Adisasmita, R. 2013. Teori-Teori Pembangunan Ekonomi:
Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Wilayah. Edisi
Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Ah Maftuchan, Hoelman,B M, Fanggidae, V. 2016. Transformasi
Kesejahteraan. Pemenuhan hak ekonomi dan Kesehatan
semesta. LP3ES. Jakarta.
Anonim. 2016. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Provinsi Jambi 2016-2021. Peraturan daerah Provinsi
Jambi No. 7 Tahun 2016.
_______. 2017. Garis Kemiskinan Bank Dunia. September 2017.
Jambi Ekspres. 6 Maret, 2018.
Beller, W. 1990. How to Sustain a Small Island. In Beller, W, P.
d’Ayala and P Hein (editors): Sustainable Development
and Environmental Management of Small Island. Man
and the Biosphere Series, Vol.5. Unesco and The
Parthenon Publishing Group, Paris.
Blair, JP. 1991. Urban and Regional Economics. Boston: Richard D.
Irwing. Inc.
Budiharsono. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah
Pesisir dan Kelautan. Jakarta. Pradnya Pramita. Of
Transmigration and Bondy, France: ORSTOM.
Bazzi, S, Gaduh,Rothenberg, and Wong. 2016. Skill
Transferability, Migration, and Development:
Evidence from Population Resettlement in
Indonesia: The American Economic Review.
September 2016.Artichel. Volume 106, number 9.
232
Biro Pusat Statistik .1979. Definisi Desa dan Urban dalam
Sensus Penduduk Indonesia, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2000. Penduduk Sumatera Utara Asal
Jawa. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi 2011. Jambi Dalam
Angka 2011. Jambi: BPS.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi 2015. Jambi Dalam
Angka 2015. Jambi.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi 2016. Jambi Dalam
Angka 2016. Jambi.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2010, Provinsi
Jambi Tahun 2010.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2015, Provinsi
Jambi. Tahun 2015.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2015, Kabupaten
Tebo. Tahun 2015.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2015 Kabupaten
Muaro Jambi. Tahun 2015.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.2015. Kabupaten
Tanjung Jabung Barat. Tahun 2015.
Charras, Pain. 1993. Spontaneous Settlements in Indonesia:
Agricultural Pioneers in Suthern Sumatera. Jakarta:
Departemen.
Christou, A. 2008. Imagining “home”Diasporic landscapes
of the Greek-German Second Generation.
233
Dirdjosisworo. 2003. Pengantar Ilmu hukum. Jakarta. PT.
Radja Grafindopersada.
Everret, S, Lee. 1966. “A Theory of Migration” dalam Demography,
vol. . . . 3
(Suatu Teori Migrasi) Pusat Penelitian Kependudukan. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Elfindri, Bachtiar. 2004. Ekonomi Ketenagakerjaan. Andalas
University Press. Padang.
Erfit.2011.Pengembangan Pola Kemitraan Pada Agribisnis
Hortikultura. (Disertasi). Program Pasca Sarjana,
Universitas Andalas Padang.
Fearnside.P.M. 1997. Transmigration in Indonesia: Lessons
From its Environmental and Social Impacts.
(journal) Environmental management Vol. 21. No.4.
Feriyanto, N. 2014. Ekonomi Sumber daya Manusia. Dalam
Perspektif Indonesia. Cetakan Pertama. UPP STIM
YKPN. Yogyakarta.
Hardjono, J. 1986. Beberapa Segi Geografis Daripada
Transmigrasi Swakarsa. Dalam Sepuluh Windu
Transmigrasi Di Indonesia. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Heryanti, Y. 2014. Analisis Dampak Interaksi Spasial
Terhadap Perkembangan PDRB dan Tenaga Kerja
Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi. (Tesis).
Program Magister Ilmu Ekonomi. FEB Universitas
Jambi. Jambi.
234
Ismail, R. 2007. Generasi Kedua Petani PIR: Perlu
Dipikirkan atau Biarkan Mereka Miskin?. Jurnal
Harmoni Sosial, Mei 2007, vol. I, N0.3.
Irawan dan Suparmoko, 2014. Ekonomika Pembangunan.
BPFE. UGM Yogyakarta. Edisi keenam.
John, Glasson. 1977. An Introduction to Regional Planning.
London: Hutchinson Educational.
Junaidi, Rustiadi, Slamet, Juanda. 2012. Pengembangan
Penyelenggaraan Transmigrasi Di Era Otonomi
Daerah, Jurnal Visi Publik, Vol.9.N0. 1, September
2012.
Junaidi .2012. Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi
Dan Interaksi Dengan Wilayah Sekitarnya Serta
Kebijakan Ke Depan (Kajian Di Provinsi Jambi),
(Disertasi), Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Kartomo,W. 2010. Kebijakan Kependudukan. Dalam Dasar-
Dasar Demografi. Edisi 2. LDFE UI. Jakarta.
Kemenakertrans. 2011. UPT Menjadi Pusat Pemerintahan
2010. Pusdatin Kemenakertrans. Jakarta.
Mc, Gee. 1976. An Analysis of The Determinants of Internal
labour mobility in India, in Annual of regional
Science 5.
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable
Development. World Bank Environmental paper No. 3
The World Bank, washington DC, Washington.
235
Munir,R .2010. Migrasi dalam “Dasar-dasar Demografi”
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Muhammad, H.2015. Wawancara dengan Kepala Desa Sri
Agung. Tentang Generasi Kedua Transmigran.
Januari 2015.
Nugroho, I dan Dahuri R, 2004. Pembangunan Wilayah. Perspektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta. LP3ES.
Najiyati. 2005S.. Peluang Pengembangan Koorporasi Usaha
Pertanian di Permukiman Transmigrasi Pola
Tanaman Pangan. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Ketransmigrasian.
Naim, M. .2013. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Edisi
Ketiga, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Purboadiwidjojo, S. 1985. Mencari Suatu Sistem Untuk
Melaksanakan Pemindahan Penduduk Secara Besar-
besaran. Dalam Sepuluh Windu Transmigrasi Di
Indonesia, 1905-1985. Editor Swasono dan Singarimbun.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
P3T, 1990. Persatuan Pensiunan Pegawai Transmigrasi. Bunga
Rampai Transmigrasi dari Sabang – Dili- Merauke. Buku
II. Pemutra Jakarta.
Pasya. 2004. Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan
Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat-Provinsi
Lampung. Jurnal Agrivita. Vo.26 No1.
Purbandini,L dan Pandiadi. 2012. Analisis Proses Penyediaan
Tanah Hak Untuk Pembangunan Permukiman
236
Transmigrasi Tinauka SP1 Kabupaten Donggala. Jurnal
Ketransmigrasian vol. 29 No. 1 Juli 2012. Puslitbang
Ketransmigrasian. Jakarta.
[Pusdatin Trans, IPB] Pusat Data dan Informasi Transmigrasi,
Institut Pertanian Bogor. 2012. Pengkajian Informasi dan
Analisis Tingkat Perkembangan UPT dan Tingkat
Kesejahteraan Transmigrasi. Jakarta: Pusdatin
Transmigrasi.
Rahardja dan Manurung. 2001. Teori Ekonomi Makro. Suatu
Pengantar. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta.
Ratna Sari. 2012. Kisah Sukses Generasi Kedua. Desa Karang
Indah, Kecamatan Mandastana,Kabupaten Barito Kuala,
Kalimantan Selatan.
www.jpnn.com/read/2012/08/05/135897.Efrianti,
September 2015.
Ria Efrianti. 2015. Kisah Sukses Generasi Kedua di Kawasan
Transmigrasi Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi.
Republik Indonesia. 1958. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun
1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan
Transmigrasi. Jakarta: Sekretaris Negara.
Republik Indonesia 1959. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun
1959 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan
Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia 1960. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 29 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi.
237
Republik Indonesia 1965. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965
tentang Gerakan Nasional Transmigrasi. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 1972. Undang-Undang No. 3 Tahun 1972
tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Transmigrasi.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1973
tentang Penyelenggaraan Daerah Transmigrasi. Jakarta.
Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 199
tentang Lingkup Geografis Kawasan Transmigrasi.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
TentangPemerintahan Daerah. Jakarta. Sekretariat
Negara.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 29 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun
1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2014.
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.15 Tahun 1997
tentang Ketransmigrasian Sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 Tentang
Ketransmigrasian. Jakarta. Sekretariat Negara.
Rofiq. A. Utomo. 1998. Membangun Desa- Desa Transmigrasi
(Membangun UPT Model). Jakarta: Pusat Penelitian dan
238
Pengembangan Departemen Transmigrasi dan
Permukiman Perambahan Hutan RI.
Riyadi. 2004. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah; Kajian
Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Pusat Pengkajian
Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT.
Rustiandi, E dan Junaidi. 2011. Transmigrasi Dan Pengembangan
Wilayah (Makalah). Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI di Jakarta. Februari 2011.
Sunarto, HS. 1985 Penduduk Indonesia Dalam Dinamika Migrasi
1971-1980, Dua Dimensi,Yogyakarta.
Sadono, S. 1986. Ekonomi Pembangunan. Borta Gorat. Medan.
Soetrisno. 1986. Peranan Transmigrasi Dalam Stabilitas Sosial
Politik
Daerah Perbatasan Dan Problematiknya: Kasus Irian Jaya. Dalam.
Windu Transmigrasi Di Indonesia. 1905-1985. Editor.
Swasono dan Singarimbun. PenerbitUniversitas
Indonesia (UI-PRESS)
Swasono dan Singarimbun. 1986. Sepuluh Windu Transmigrasi Di
Indonesia 1905- 1985. Penerbit Universitas Indonesia.
Jakarta.
Soeratno dan Arsyad, L. 1995. Metodologi Penelitian, Untuk
ekonomi dan Bisnis. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Saefulhakim, Rustiadi, Panuju. 2001. Studi Penyusunan Wilayah
Strategis
Development Region). Bogor: IPB dan Bappenas..
239
Santoso, AJ. 2003. Studi Kontribusi Transmigrasi Terhadap
Pembangunan Daerah. Puslitbang Ketransmigrasian.
Jakarta.
Siswono. Y. 2003. Transmigrasi. Kebutuhan Negara Kepulauan
Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang
Timpang. Jakarta. PT. Junalindo Aksara Grafika.
Syahroni. 2004. Pengertian dasar dan Generik tentang Perencanaan
Pembangunan Daerah. (Makalah). Kerjasama
Departemen Dalam Negeri dengan GTZ. Jakarta.
Soegiarto S, Saidin S, Warsono, HS. Bustani N, Kuswandari D.
2005.Berbagai Model Permukiman kembali. Studi
Perbandingan Beberapa Negara. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
Strauss, A. 2005. Dasar –dasar Penelitian Kualitatif. Pustaka
Pelajar. Jakarta.
Setiawan, N.2006. Satu Abad Transmigrasi di Indonesia:
Perjalanan Sejarah Pelaksanaan, 1905-2005.Pusat
Penelitian Kependudukan. Universitas Padjadjaran.
Bandung.
Slamet. Y. 2006. Metode Penelitian Sosial. Lembaga Pengembangan
Pendidikan (LPP) Dan UPT Penerbitan dan Pencetakan
UNS (UNS Press) . Surakarta.
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Penerbit
Baduose .Media, Padang.
Soegiarto, S. 2008. Transmigrasi. Belajar dari Kisah Sukses. Jakarta.
PT. Pustaka Sinar Harapan.
240
Simbolon, HB. 2009. Model Analisis Kebijakan Pengembangan
Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan. (Studi Kasus
Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten
Pontianak). (Disertasi).Sekolah Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Sumarsono, 2010. Teori dan Kebijakan Publik Ekonomi Sumber
daya Manusia. Edisi Pertama. Yogyakarta, Graha Ilmu.
Syofwan, B. 2012. Dulu Sempat Malu Mengaku Anak
Transmigrasi. Syofwan @ riaupos.co.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Cetakan ke 18 Penerbit Alfabeta Bandung, Bandung
Todaro, MP. 1979. Economic for a developing.World, an
Introduction to a Principle, Problem and Policies for
Development. London. Longman.
------------. 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga Jilid 1.
Alih Bahasa Munandar H. Edisi Ketujuh. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Titus, Milan, J .1982. Migrasi Antar Daerah DI Indonesia, PPS
Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Edisi
Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.
Tukiran. 2002. Mobilitas Penduduk Indonesia. Tinjauan Lintas
Disiplin. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan.
UGM. Yogyakarta.
Warsono, Sarjono Herry. 2012. Transmigrasi, Perpindahan
Penduduk dan
241
Disparitas Ekonomi Wilayah. Jurnal Visi
Publik.September 2012.
Widaryanto. 2012. Analisis Keragaman Jenis Usaha dan
Kelembagaan Ekonomi di Pusat Kota Terpadu (KTM).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian.
Jakarta. Desember 2012.
Yudohusodo S. 1997. Refleksi Sejarah dan Arah Kebijaksanaan
Transmigrasi di Masa Mendatang. Di dalam Utomo M,
Ahmad R, editor. 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun
Transmigrasi. Jakarta: Puspa Swara.
Yulmardi, 2008. Makalah Mobilitas Penduduk. Pelatihan
Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD). Kerja Sama
Fakultas Ekonomi Universitas Jambi dengan Pemerintah
Daerah Kabupaten Sarolangun. Tahun 2008.
top related