tugas mandiri hukum acara perdata al ayubi
Post on 28-Dec-2015
37 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TUGAS MANDIRI
AKIBAT HUKUM PENERAPAN SITA JAMINAN TERHADAP PEMBAGIAN
HARTA BERSAMA APABILA TERJADI PERCERAIAN DI PENGADILAN
AGAMA LUMAJANG (Putusan Nomor :1191/Pdt.G/2009/PA.LMJ)
Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata
Dosen : Rizki Tri Anugrah Bhakti, SH, MH
Disusun Oleh
AL AYUBI
120710022
Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Putera Batam
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberi nikmat dan kasih sayang – Nya kepada kami karena hanya dengan
izin – Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata
kuliah Hukum Acara Perdata ini dengan baik.
Seperti kata pepatah “ Tak ada gading yang tak retak “ kami pun
menyadari bahwa makalah yang telah kami susun ini masih banyak kekurangan
baik secara sistematika penulisan, bahasa, dan penyusunannya. Oleh karena itu,
kami memohon saran serta pendapat yang dapat membuat kami menjadi lebih
baik dalam melaksanakan tugas di lain waktu. Mudah – mudahan karya tulis yang
kami buat menjadi bermanfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi
pembacanya.
Batam, Desember 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
1.1. Latar Belakang..........................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................4
BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN UMUM......................................5
2.1. Landasan Teori..........................................................................................5
2.2. Tinjauan Umum.........................................................................................6
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kedudukan harta bersama dalam hukum perkawinan Indonesia diatur pada
Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyatakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama dan dapat dipergunakan atas persetujuan kedua belah pihak,
sedangkan harta bawaan, hadiah, dan warisan tetap di bawah penguasaan masing-
masing dan merupakan hak sepenuhnya sepanjang para pihak tidak menentukan
lain. Artinya, harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama
masa ikatan perkawinan. Oleh karena itu, harta bersama merupakan harta
perkawinan yang dimiliki suami istri secara bersama-sama. Yakni, harta baik
bergerak maupun tidak bergerak yang diperoleh sejak terjalinnya hubungan suami
istri yang sah, yang dapat dipergunakan oleh suami dan istri untuk membiayai
keperluan hidup mereka beserta anak-anaknya, sebagai satu kesatuan yang utuh
dalam rumah tangga. Karena itu, harta bersama adalah harta yang diperoleh
selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapa. Awal terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ini, karena
masih adanya prinsip masing-masing suami dan istri untuk berhak menguasai
harta bendanya sendiri, sebagaimana halnya sebelum mereka menjadi suami istri,
kecuali harta bersama yang tentunya dikuasai bersama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 dan 36 di atas, maka UU No. 1 Tahun 1974
tidak menganut asas percampuran atau penyatuan harta akibat adanya perkawinan,
sehingga harta bawaan, hadiah, dan warisan suami dan istri terpisah dan tetap di
bawah penguasaan masing-masing dan merupakan hak sepenuhnya, sepanjang
para pihak tidak menentukan lain melalui perjanjian perkawinan. Sedangkan harta
bersama yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, menjadi milik bersama
suami istri, tanpa mempersoalkan siapakah sesungguhnya yang menguras jerih
3
payahnya untuk memperoleh harta tersebut serta dikuasai dan dikelola secara
bersama dan masing-masing suami istri merupakan pemilik bersama atas harta
bersama tersebut.
Semua pendapatan atau penghasilan suami istri selama ikatan perkawinan,
selain harta asal dan/atau harta pemberian yang mengikuti harta asal adalah harta
bersama. Tidak dipermasalahkan apakah istri ikut aktif bekerja atau tidak,
walaupun istri hanya tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak,
sedangkan yang bekerja suami sendiri. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah
Agung tanggal 7 September 1956 No. 51/K/Sip/1956, bahwa menurut hukum
adat, semua harta yang diperolehkan selama berlangsungnya perkawinan termasuk
dalam gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatan suami sendiri.
Putusnya perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum
terhadap orang tua atau anak dan harta perkawinan. Seperti dalam Putusan
Pengadilan Agama Lumajang yang memutus sengketa perkara gugatan harta
bersama dalam perkawinan Nomor : 1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj. Pada kasus ini
perkawinan berlangsung antara penggugat dan tergugat selama 26 tahun, telah
berhasil mengumpulkan dan memperoleh harta bersama yang belum dibagi dan
hal ini sudah menjadi asas kepatutan hukum harta bersama itu harus dibagi dua.
Menurut Pasal 35 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakangan diatas dapat disimpulkan yang
menjadi permasalahan adalah :
1. Apakah harta bersama dalam permohonan sita jaminan masih dapat
dimanfaatkan oleh pihak yang bersengketa apabila terjadi perceraian? dan
2. ratio recidendi hakim dalam mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian (Studi Putusan Nomor :
1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj)
4
BAB II
LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN UMUM
1.3. Landasan Teori
Adapun landasan teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum dan
teori perlindungan hukum.
Teori Kepastian Hukum Menurut Sudikno Mertokusumo adalah jaminan
bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh
haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat
kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum
bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan
keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan1.
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya
sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu
mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan
negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif2
Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond
bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara
membatasi berbagai kepentingan di lain pihak3. Kepentingan hukum adalah
mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas
tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan
dilindungi4.
1 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 2007) Hal 160.
2 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta : Kompas, 2007) Hal. 953 Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum’, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), Hal. 53.4 Ibid, hal. 69
5
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-
hak yang diberikan oleh hukum5.
Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak
asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant,
manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas
menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian
rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu,
tidak boleh dihalangi oleh negara.
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif6.
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di
lembaga peradilan.
Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya
yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar
dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan
hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut
bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut
bersamaan7.
5 Ibid., Hal. 546 Phillipus M. Hadjon, “perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia”, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1987), Hal. 27 Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat
Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas Brawijaya, 2010), hal. 18.
6
1.4. Tinjauan Umum
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa8.
Perkawinan adalah perihal (urusan dsb) kawin; pernikahan; 2 pertemuan
hewan jantan dan betina secara seksual;~ tempat mati, pb perkawinan yg
sungguh-sungguh dilakukan sesuai dng cita-cita hidup berumah tangga yg
bahagia.9
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi
yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam
budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi - yang biasanya intim
dan seksual.Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara
pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk
keluarga.10
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan
itu adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.11
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.12
Harta Bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama.13 Ini berarti harta bersama mutlak ada dan tak boleh ditiadakan
oleh para pihak. Sumber dari harta bersama perkawinan adalah peroleh selama
perkawinan.
8 Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 19 Kamus Besar Bahasa Indonesia10 Wikipedia, “Perkawinan”, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan pada tanggal 08
Desember 2013 jam 18.41 WIB11 Saleh, K. Wancik. Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Hal. 14.12 Marpaung, Happy. Masalah Perceraian, Tonis, Bandung, 1983, Hal. 8.13 Pasal 35 ayat (1) Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
7
Sita Marital adalah Sita yang di mohonkan oleh pihak istri terhadap barang-
barang suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, sebagai jaminan untuk
memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian, agar supaya
selama proses berlangsung barang-barang tersebut jangan dihilangkan oleh
suami14.
14 Hendro persada, “Sita Marital”, diakses dari http://hendropersada.blogspot.com/2011/07/sita-marital.html pada tanggal 08 Desember 2013 Jam 18.46 WIB
8
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Pelaksanaan Sita Marital Seusai Dengan Putusan No.
1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj. Apakah Sudah Sesuai Dengan Ketentuan yang
Berlaku
dalam perkara antara :
SALAMUN bin P. MARSO, umur 49 tahun, agama Islam, pekerjaan Tani,
bertempat tinggal di Dusun Karang Tengah RT. 02 RW. 01, Desa Madurejo,
Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, semula TERGUGAT, sekarang
PEMBANDING ;
M E L A W A N MIARSIH binti P. ATIM, umur 42 tahun, agama Islam,
pekerjaan Tani, bertempat tinggal di Dusun Dompyong RT. 10 RW. 04, Desa
Madurejo, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, dalam hal ini diwakili
kuasanya ADI RIWAYANTO, S.H., Advokat, berkantor di Jalan Kalimas RT. 07
RW. 10 (Perbatasan Suko), Kelurahan Rogotrunan- Lumajang, semula
PENGGUGAT, sekarang TERBANDING ;
Pengadilan Tinggi Agama tersebut Telah mempelajari berkas perkara dan semua
surat yang berhubungan dengan perkara ini ;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Mengutip segala uraian tentang hal ini sebagaimana termuat dalam putusan
Pengadilan Agama Lumajang tanggal 22 Juli 2010 M. bertepatan dengan tanggal
10 Sya’ban 1431 H. Nomor : 1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj, yang amarnya berbunyi
sebagai berikut :
DALAM KONPENSI :
Dalam Provisi :
1. Mengabulkan gugatan Provisional Penggugat ;
9
2. Memerintahkan kepada Panitera/Juru Sita Pengadilan Agama Lumajang atau
jika berhalangan diganti wakilnya yang sah, disertai dua orang saksi yang
memenuhi syaratsyarat yang termuat dalam pasal 197 HIR untuk melakukan sita
jaminan atas obyek yang di sengketakan ;
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;
2. Menetapkan bahwa harta berupa :
2.1. Sebidang tanah sawah atas nama Tergugat dengan leter C Desa No. 925,
persil I, S 1, seluas 550 M2 yang terletak di Dusun Karang Tengah RT. 02 RW.
01 Desa Madurejo, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang dengan batas-
batas :
- Utara : Sutila ;
- Timur : B. Suliha ;
- Selatan : B. Sarengat ;
- Barat : P. Salamun (Tergugat) ;
2.2. Sebidang tanah sawah seluas 1500 m2 atas nama Tergugat dengan persil 107,
SV, yang terletak di Dusun Bulakwareng, Desa Sememu, Kecamatan Pasirian,
Kabupaten Lumajang dengan batas-batas :
- Utara : P. Maryana ;
- Timur : P. Salamun (Tergugat) ;
- Selatan : Imam ;
- Barat : B. Sulima ;
2.3. Tanah sawah atas nama Tergugat letter C Desa No. 2033, persil 4, S II, yang
terletak di Dusun Darungan, Desa Sememu, Kecamatan Pasirian, Kabupaten
Lumajang seluas 1400 m2 dengan batas-batas :
- Utara : Sawah Salamun ;
- Timur : Sawah P. Kandar, sekarang P. Kusman ;
- Selatan : Sawah P. Tamar ;
- Barat : Sawah P. Karyo ;
Seluas 1620 m2 dengan batas-batas :
- Utara : Curah / Tebing sungai ;
10
- Timur : Sawah P. Kandar, sekarang P. Kusman ;
- Selatan : Sawah Salamun ;
- Barat : Sawah P. Karyo ;
Adalah harta bersama antara Penggugat dan Tergugat ;
3. Menetapkan Penggugat dan Tergugat masing-masing memperoleh setengah
bagian dari harta bersama sebagaimana tersebut pada poin 2 di atas ;
4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan bagian Penggugat sesuai diktum 3
diatas, bila tidak dapat dibagi innatura, maka dijual lelang dan hasilnya dibagi
kepada Penggugat dan Tergugat ;
5. Menetapkan Sita Jaminan ( conservatoir beslag ) sebagaimana Berita Acara Sita
Jaminan tanggal 9 September 2009 Nomor : 1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj terhadap
poin 2.1, 2.2, 2.3 di atas adalah sah dan berharga ;
6. Menetapkan bahwa gugatan Penggugat pada obyek sengketa poin 3-a
dinyatakan dicabut ;
7. Menetapkan agar Sita Jaminan (conservatoir beslaag) terhadap obyek sengketa
pada dictum poin 6 tersebut diangkat kembali ;
8. Menolak gugatan Penggugat selainnya ;
DALAM REKONPENSI :
1. Menetapkan gugatan Penggugat Rekonpensi dicabut ;
DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI :
Membebankan kepada Penggugat dalam Konpensi untuk membayar biaya perkara
yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 5.116.000,- (lima juta seratus enam belas
ribu rupiah) Membaca Akta Permohonan Banding yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Agama Lumajang tanggal 16 Agustus 2010 Nomor :
1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj, bahwa Tergugat/Pembanding pada tanggal 16 Agustus
2010 telah mengajukan permohonan banding atas putusan Pengadilan Agama
Lumajang tanggal 22 Juli 2010 M. bertepatan dengan tanggal 10 Sya’ban 1431 H.
Nomor : 1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj, permohonan banding tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawannya pada tanggal 18 Agustus 2010 ;
Menimbang, bahwa Tergugat/Pembanding telah mengajukan memori bandingnya
11
tertanggal 2 September 2010 dan Penggugat/Terbanding juga telah mengajukan
memori bandingnya tertanggal 15 September 2010 ;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding yang diajukan oleh
Tergugat/Pembanding, telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara-cara
sebagaimana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
permohonan banding tersebut harus dinyatakan dapat diterima;
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama setelah membaca dan mempeljari
berkas perkara dengan seksama serta semua surat yang berhubungan dengan
perkara a quo termasuk memori banding Pembanding dan kontra memori banding
Terbanding serta salinan resmi putusan Pengadilan Agama Lumajang tanggal 22
Juli 2010 M. bertepatan dengan tanggal 10 Sya’ban 1431 H. Nomor :
1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj, maka Pengadilan Tinggi Agama memberikan
pertimbangan sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan Pembanding dalam memori bandingnya
merupakan pengulangan pada tingkat pertama, yang telah dipertimbangkan
dengan sempurna pada putusan a quo halaman 23 sampai dengan halaman 32,
oleh karenanya keberatankeberatan Pembanding harus dikesampingkan ;
Menimbang, bahwa atas dasar apa yang telah dipertimbangkan dan disebutkan
dalam putusan Pengadilan tingkat pertama didalam amar putusannya sepenuhnya
dapat disetujui untuk dijadikan sebagai pertimbangan dan pendapat dari
Pengadilan tingkat banding sehingga oleh karenanya putusan Pengadilan tingkat
pertama tersebut dapat dikuatkan sepenuhnya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan maksud Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,
maka biaya perkara tingkat banding dibebankan kepada Tergugat/Pembanding ;
Mengingat akan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalil
syar’i yang berkaitan dengan perkara ini ;
MENGADILI
12
- Menyatakan, bahwa permohonan banding yang diajukan oleh
Tergugat/Pembanding dapat diterima ;
- Menguatkan putusan Pengadilan Agama Lumajang tanggal 22 Juli 2010 M.
bertepatan dengan tanggal 10 Sya’ban 1431 H. Nomor :
1191/Pdt.G/2009/PA.Lmj.
- Membebankan kepada Tergugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara di
tingkat banding sebesar Rp.150.000,-(seratus lima puluh ribu rupiah).
Pengganti dengan tidak dihadiri pihak Pembanding dan Terbanding.
Analisis Kasus
Setiap sita mempunyai tujuan tertentu. Dengan adanya penyitaan terhadap
harta bersama, baik penggugat atau tergugat (suami-istri), dilarang
memeindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi15.
Pengaturan dalam sita marital dapat ditemukan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan seperti pada pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975
kemudian pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 pada kedua ketentuan diatas
tidak diatur mengenai tata cara pelaksanaan sita marital. Dalam pelaksanaannya
sita marital banyak mengacu pada Reglemen Acara Perdata / Rv (Reglement Op
De Rechtsvordering Staatsblad 1847 No.52 juncto 1849 No.63) dan HIR serta
RBg16.
Berdasarkan pasal 197, 198, 199,227 HIR/208,213,214 RBg sita marital yang
dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku karena hakim baru
menetapkan sita marital tersebut setelah amar putusan dilakukan. Seharusnya
penetapan terhadap sita marital tersebut harus dilakukan sebelum amar putusan
dilakukan. Kemudian sita marital tersebut berkekuatan hukum tetap setelah amar
putusan dilakukan. Jadi tidak serta merta pelaksanaan sita marital tersebut
15 Sudikno mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”; Yogyakarta, Liberty : 1988, hal 6416 Sri Winarti, dalam Tesis “sita marital terhadap harta bersama dalam perkawinan karena
perceraian menurut undang – undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ( studi kasus putusan no. 199/pdt.g/2005/pn.smg )” hal 100
13
dilakukan pada saat amar putusan majelis hakim dibacakan. Hal ini lakukan guna
menjamin terselamatkannya harta bersama.
fungsi sita marital adalah hanya untuk melindungi, menyimpan, membekukan
harta bersama perkawinan agar tidak berpindah tangan. Dengan demikian,
pembekuan harta bersama dibawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau
keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung
jawab dari tergugat17.
Dengan demikian selama dalam sita marital tidak dapat dilakukan peralihan
hak terhadap harta bersama.
Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Sita Marital Yang Tidak
Berkelanjutan Menjadi Sita Eksekusi (Executoir Beslag)
Sebuah Tujuan sita marital (sita harta bersama) antara lain untuk
membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah
kepada pihak ketiga selama proses perceraian/pembagian harta bersama
berlangsung18. Sedangkan fungsi dari dimohonkannya sita marital adalah untuk
melindungi, hak pemohon sita marital dengan menyimpan atau membekukan
barang yang disita agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga19.
Terhadap amar putusan yang telah dinyatakan bahwa Sita Marital tersebut
telah Sah dan berharga maka penggugat dapat mengajukan kelanjutan ke Sita
Ekskutorial. Karena sita Marital tidak serta merta berlanjut ke Sita Eksekutorial
karena untuk ditetapkan sebagai sita eksekutorial maka diperlukan penetapan
lebih lanjut oleh Pengadilan. Penetapan Sita Marital menjadi Sita Eksekutorial
diperlukan pengajuan terhadap Pembagian harta bersama. Apabila telah dibacakan
amar putusan mengenai Pembagian harta bersama maka Sita Marital tersebut
berubah menjadi Sita Ekskutorial.
17 M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian dan Putusan Pengadilan”, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, Hal 369
18 Ibid19 Sudikno mertokusumo, Op. Cit Hal 92
14
Jadi bagaimana perlindungan hukum terhadap sita marital yang tidak
berkelanjutan adalah bahwa hukum tidak dapat menetapkan berapa lama waktu
yang diperlukan untuk merubah sita marital tersebut menjadi sita eksekutorial.
Akan tetapi hukum tidak dapat merubah begitu saja sita marital menjadi sita
eksekutorial. Oleh karena itu diperlukan sebuah aturan khusus mengenai lama
waktu pelaksanaan sita marital menjadi sita eksekutorial.
15
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1.5. Kesimpulan
Berdasarkan pasal 197, 198, 199,227 HIR/208,213,214 RBg sita marital yang
dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku karena hakim baru
menetapkan sita marital tersebut setelah amar putusan dilakukan. Seharusnya
penetapan terhadap sita marital tersebut harus dilakukan sebelum amar putusan
dilakukan. Kemudian sita marital tersebut berkekuatan hukum tetap setelah amar
putusan dilakukan. Jadi tidak serta merta pelaksanaan sita marital tersebut
dilakukan pada saat amar putusan majelis hakim dibacakan. Hal ini lakukan guna
menjamin terselamatkannya harta bersama.
Terhadap amar putusan yang telah dinyatakan bahwa Sita Marital tersebut
telah Sah dan berharga maka penggugat dapat mengajukan kelanjutan ke Sita
Ekskutorial. Karena sita Marital tidak serta merta berlanjut ke Sita Eksekutorial
karena untuk ditetapkan sebagai sita eksekutorial maka diperlukan penetapan
lebih lanjut oleh Pengadilan. Penetapan Sita Marital menjadi Sita Eksekutorial
diperlukan pengajuan terhadap Pembagian harta bersama. Apabila telah dibacakan
amar putusan mengenai Pembagian harta bersama maka Sita Marital tersebut
berubah menjadi Sita Ekskutorial.
1.6. Saran
Diharapkan agar dalam menetapkan mengenai sita marital hakim (Jurist) agar
lebih berhati hati lagi dikarenakan kesalahan dalam amar putusan dapat
mengakibatkan terganggunya hak dan kewajiban para pihak yang bermasalah.
Sehingga diperlukan ketelitian terhadap hal tersebut.
16
Pemerintah harus melakukan perombakan hukum terhadap Reglemen Hukum
Acara Perdata dan Hukum Perdata dikarenakan dewasa ini banyak sekali hak dan
kewajiban hukum dari subyek hukum yang tidak dipenuhi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Harahap, M. Yahya,2004, Hukum Acara Perdata tentang gugatan, persidangan,
penyitaan, pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika
M. Hadjon, Phillipus,1987, perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: PT. Bina Ilmu
Marpaung, Happy, 1983, Masalah Perceraian, Tonis, Bandung
Mertokusumo,Sudikno,1988, Hukum Acara Perdata Indonesia; Yogyakarta,
Liberty
Saleh, K. Wancik, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta
Tesis
Winarni, Sri,2009, sita marital terhadap harta bersama dalam perkawinan
karena perceraian menurut undang – undang no. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan ( studi kasus putusan no. 199/pdt.g/2005/pn.smg ), Universitas
Diponegoro,
Website
http://hendropersada.blogspot.com/2011/07/sita-marital.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan
18
Undang – Undang
Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang
No. 1 Tahun 1974
19
top related