tugas pemberdayaan masyarakat - prof totok oleh nur rachmat
Post on 31-Dec-2015
149 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT MELALUI REHABILITASI
BERSUMBERDAYA MASYARAKAT
TUGAS
Mata Kuliah: Pemberdayaan Masyarakat Dosen Pengampu: Prof . Dr. Ir. Totok Mardikanto, MS
Program Studi S3 Penyuluhan Pembangunan
Oleh : NUR RACHMAT T 621308004
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan masyarakat adalah pembangunan sumber daya manusia yang
utuh dan menjamin adanya perubahan yang positif sebagai daya dukung
pembangunan bangsa itu sendiri. Banyak dimensi pembangunan yang harus
diperhatikan untuk mencapai kondisi yang demikian. Dimensi ‘kunci’ yang harus
diperhatikan salah satunya ialah ‘manusia’. Apabila melihat kembali perjalanan
konsepsi pembangunan, semakin mengarah kepada penanganan manusia sebagai
objek sekaligus subjek pembangunan tersebut.
Dalam rangka pembangunan manusia, Indonesia perlu lebih banyak
berinvestasi tidak hanya sekedar untuk memenuhi hak-hak dasar warganya tetapi juga
untuk meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi dan menjamin kelangsungan
demokrasi dalam jangka panjang. Hal ini merupakan investasi jangka panjang yang
signifikan dalam mendukung pembangunan bangsa.
Pembangunan manusia merupakan suatu proses untuk memperbanyak pilihan-
pilihan warga negara, yaitu pilihan untuk hidup sehat dan berumur panjang, berilmu
pengetahuan, memiliki akses terhadap sumberdaya agar hidup layak dan dapat turut
berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya, yang
meliputi kebebasan politik, hak asasi, dan harga diri.
Berdasarkan data BPS tahun 2005, jumlah masyarakat yang kurang sejahtera
atau miskin semakin tahun semakin bertambah. Jumlah kemiskinan tahun 2005
mencapai 15,97% (35,01 juta jiwa) dan pada tahun 2006 sebesar 17,75% (39,05 juta
jiwa). Bahkan kalau kita mencermati data BPS tahun 2005 untuk Provinsi Jawa Timur
maka kemiskinan di Jawa Timur sebesar 21,91% dari jumlah total penduduk di Jawa
Timur.
Angka ini cukup besar jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa,
seperti DKI Jakarta (3,42%), Banten (9,22%), Jawa Barat (13,38%), dan DIY
(20,14%). Sedangkan Jawa Timur menempati posisi ke- 22 dalam urutan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia (Data PPLS
Oktober 2009). Dengan demikian, jelas bahwa masyarakat miskin dan pembangunan
manusia di Provinsi Jawa Timur masih harus ditingkatkan.
Sejak penerapan kebijakan desentralisasi, otonomi daerah merupakan modal
untuk memperkecil kesenjangan antar daerah. Pemerintah daerah memiliki peran
yang sangat penting sebagai ujung tombak pembangunan manusia. Karena itu, ke
depan harus lebih memprioritaskan pembangunan manusia. Dalam Undang-Undang
Dasar 1945 telah diamanatkan bahwa semua warga negara Indonesia berhak
mendapatkan dampak dan hasil pembangunan yang merata dan berkeadilan. Tentu
saja, dalam hal ini juga bagi penyandang cacat (penca) yang termasuk sebagai warga
negara.
Bahkan pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No. 4 tahun
1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 43
tahun 1998 tentang Upaya Kesejahteraan Penyandang Cacat telah menjamin secara
legal formal segala persamaan hak dan kedudukan para penyandang cacat dengan
warga negara Indonesia yang lain.
Kesamaan hak dan kedudukan itu antaranya ialah kesamaan dalam
memperoleh pendidikan; pekerjaan dan penghidupan yang layak; berperan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan; aksesbilitas dalam mencapai kemandirian;
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; serta
menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya.
Mencermati kondisi ini maka sudah selayaknya pemerintah lebih
memperhatikan penyandang cacat (penca) agar dapat memberdayakan diri sendiri dan
tidak tergantung kepada pihak lain atau kemandiriannya dapat tercapai. Oleh karena
itu, Standar Pelayanan Publik Program Pemberdayaan Penyandang Cacat tahun 2011
ini disusun sebagai acuan dasar bagi pengelola program di semua tingkatan, agar
mampu mengelola program secara tepat tujuan, tepat sasaran dan tepat
pelaksanaannya.
Tujuan Umum :
Program pemberdayaan penyandang cacat ini bertujuan untuk mewujudkan
kemandirian masyarakat penyandang cacat dalam penanggulangan kemiskinan dan
pengangguran melalui Unit Pengelola Keuangan dan Usaha (UPKu) Penyandang
Cacat dengan pendekatan 3 S (Social initiative, Synergy, Sustainability).
Tujuan Khusus :
1. Meningkatkan peran serta aktif penca dalam pembangunan bangsa yang
berdasarkan kepada peran serta aktif masyarakat, sinergisitas elemen
masyarakat dan keberlanjutan program pembangunan.
2. Mengembangkan kemampuan usaha dan peluang berusaha dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan bagi penca berpotensi.
3. Menciptakan peluang kerjasama/ kemitraan antara penca dengan dunia usaha/
dunia industri (DU/DI) melalui program pemberdayaan penyandang cacat.
4. Mengoptimalkan keterlibatan pemerintah melalui kecamatan dan desa/
kelurahan dalam pembangunan ekonomi dan lokalitas.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemahaman Pemberdayaan terhadap Penyandang Cacat melalui Rehabilitasi
Bersumberdaya Masyarakat
1. Pengertian dan kategori penyandang cacat
Coleridge melalui WHO mengemukakan defenisi kecacatan yang berbasis
pada model sosial sebagai berikut :
Impairment (kerusakan/kelemahan): Ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang
disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya, kelumpuhan di bagian bawah
tubuh disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki.
Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan): adalah Kerugian/ keter- batasan dalam
aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama
sekali tidak memperhitungkan orang- orang yang menyandang "kerusakan/
kelemahan" tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang itu dari arus aktivitas
sosial. (1997:132)
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan
Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang
menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh
karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan
kegiatan- kegiatan secara layak, terdiri dari : cacat tubuh, cacat netra, cacat mental,
cacat rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis. Kategori
penyandang cacat tersebut disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
4 tahun 1997 tentang penyandang cacat yang mendefenisikan bahwa Penyandang
Cacat adalah "setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya," yang terdiri dari penyadang cacat fisik,
penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental.
Ferial dan Slamet (1998:2) dalam manual RBM, mendefinisikan penyandang
cacat sebagai bayi/anak/dewasa/ orang tua yang mengalami gangguan-gangguan
sebagaimana berikut, yaitu : a. Gangguan kejang (ayan), adalah kecacatan yang
disebabkan oleh adanya iritasi didalam otak.
b. Gangguan belajar, yaitu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam
mempelajari sesuatu, karena memiliki tingkat kecerdasan atau kepandaian yang
rendah dibandingkan dengan yang lainnya.
c. Gangguan wicara, adalah seseorang yang mengalami hambatan dalam berbicara
atau menyampaikan sesuatu.
d. Gangguan pendengaran, yaitu seseorang yang mengalami hambatan dalam
mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi atau masih bisa berkomunikasi tetapi
tidak baik.
e. Gangguan penglihatan, adalah seseorang yang mempunyai kelainan pada indera
penglihatan sedemikian rupa, sehingga menghambat dalam melaksanakan aktivitas
sekali-hari.
f. Gangguan gerak, yaitu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam
menggerakkan lengan, badan, atau tungkai. Hal ini disebabkan karena lemahnya
fungsi dari lengan, badan dan tungkai, atau karena kehilangan salah satu anggota
badannya.
g. Gangguan perkembangan; yaitu kondisi secara khusus yang dialami oleh bayi
atau anak kecil, dimana perkembangannya tidak senormal orang lain.
h. Gangguan Tingkah laku, adalah keadaan dimana seseorang memperlihatkan
gangguan tingkah laku karena pikirannya tidak bekerja seperti biasanya, berubah-
ubah dan tidak dapat berpikir jernih dan bahkan tidak menyadari akan tingkah
lakunya.
i. Gangguan mati rasa, yaitu keadaan dimana seseorang sudah tidak dapat
memfungsikan indera perasanya.
j. Gangguan lain-lain, seperti bibir sumbing, luka bakar, sesak, termasuk yang
mengalami gangguan/cacat ganda.
Untuk mempermudah memahami perbedaan definisi tersebut di atas, dapat dilihat
dalam tabel berikut ini.
Tabel. 2 Kategori Penyandang Cacat dan Dasar Penggolongan
Sumber : Diolah dari Coloredge (1997), Nomor 4 tahun 1977 dan Manual RBM
(1998)
Caleridge dalam membahas permasalahan penyandang cacat dengan
menggunakan tiga model pendekatan yaitu model tradisional, model medis dan model
sosial. Model tradisional merupakan konstruk yang dibuat oleh agama dan budaya
ditiap masyarakat, yang memandang kecacatan sebagai sebuah hukuman, penyandang
cacat dianggap sebagai orang yang telah berbuat dosa besar, dan akibat kemarahan
para leluhur. Penyandang cacat dalam model ini dipandang sebagai orang yang
bernasib sial, berbeda, kotor dan tercela.
Metode kedokteran menganggap kecacatan sebagai suatu abnormalitas,
sehingga orang yang mengalami kecacatan harus dinormalkan, dikoreksi,
ditanggulangi dan disembuhkan, sehingga hambatan yang mereka hadapi di
masyarakat dapat diatasi. Model sosial, disusun berdasarkan pemahaman bahwa
penyatuan diri penyandang cacat diartikan sebagai proses merobohkan rintangan-
rintangan dan menjinakkan ranjau-ranjau sosial. Model ini menekankan aspek
perubahan sikap masyarakat terhadap penyandang cacat yang menghambat
kemandirian dan pengembangan dirinya.
Pada kebanyakan negara berkembang masalah orang cacat dikendalikan oleh
orang yang bukan cacat. Lembaga, pusat pelatihan khusus, pusat pendidikan, dan
bengkel kerja semuanya dirancang dan dikerjakan oleh ahli-ahli yang bukan cacat
(1991:10) Goffman sebagaimana dikemukakan oleh Johnson (1990:47),
mengungkapkan bahwa masalah sosial utama yang dihadapi penyandang cacat adalah
bahwa mereka abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain
tidak merasa enak atau tidak mampu berinteraksi dengannya. Lingkungan sekitar
telah memberikan stigma kepada penyandang cacat, bahwa mereka dipandang tidak
mampu dalam segala hal merupakan penyebab dari berbagai masalah di atas.
Berdasarkan berbagai gambaran tentang permasalahan penyandang cacat,
terlihat bahwa permasalahan yang dihadapi penyandang cacat tidak sebatas pada
penyandang cacat itu sendiri melainkan terkait dengan keluarga penyandang cacat dan
masyarakat. Kenyataan sebagaimana terungkap diatas mengarah kepada kesimpulan
bahwa penyandang cacat, keluarga dan masyarakat adalah sasaran dari pembinaan
dan pendidikan dalam rangka memahami dan mengerti kecacatan serta cara-cara
untuk mengatasinya.
Adam dan Soifer dalam Browne (1982 :49) mengemukakan adanya berbagai
kebutuhan dari penyandang cacat dan keluarganya. Penyandang cacat membutuhkan
dukungan emosional, kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dan kesempatan
untuk memperoleh pengetahuan perilaku, secara bertahap supaya mendapatkan
kembali pengetahuan mengenai pengendalian diri dan emosional yang terdapat pada
individu.
Selanjutnya mereka mengemukakan bahwa keluarga dan anggotanya yang lain
perlu untuk memahami bagaimana hubungan dengan satu sama lainnya menjadi
berubah. Keluarga perlu untuk mengetahui siapa yang mengambil alih peran dan
fungsi, bagaimana anggota keluarga dan penyandang cacat merasakan perubahan-
perubahan tersebut, dan bagaimana keluarga sebagai suatu unit ekonomi dan sosial,
telah merubah keberfungsiannya.
2. Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM)
Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa Rehabilitasi
diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik,
mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Lebih lanjut
dijelaskan, rehabilitasi bagi penyandang cacat meliputi:
. 1) Rehabilitasi medik; dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mencapai
kemampuan fungsional secara maksimal.
. 2) Rehabilitasi Pendidikan; dimaksudkan agar penyandang cacat dapat
pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
. 3) Rehabilitasi Pelatihan; dimaksudkan agar penyandang cacat dapat
memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
. 4) Rehabilitasi Sosial; dimaksudkan untuk memulihkan dan
mengembangkan kemauan dan kemampuan penyandang cacat agar dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal di masyarakat.
Pelayanan rehabilitasi dapat dilaksanakan dalam bentuk pelayanan yang
bersifat kelembagaan atau system panti (institutional Based) maupun rehabilitasi yang
berbasis masyarakat (community Based). Kegiatan rehabilitasi melalui pendekatan
berbasis masyarakat kemudian dikembangkan menjadi pelayanan system non panti;
artinya pelayanan rehabilitasi yang diselenggarakan diluar panti yang dikenal dengan
sebutan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) atau Community Based
Rehabilitation.
Pendekatan RBM ini telah berkembang selama beberapa dekade terakhir
sebagai cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan orang cacat di negara-negara
berkembang dan untuk memungkinkan integrasi sosial mereka. Gautama dkk
(1995:1.52), mengemukakan berbagai kelemahan dari rehabilitasi berbasiskan
lembaga sebagai berikut :
. 1) Kedudukan lembaga yang jauh dari lingkungan keluarga orang cacat
mensyaratkan transportasi mahal sehingga menghalangi kontak dengan
keluarga, terutama keluarga miskin.
. 2) Manfaat positif solidaritas kelompok sebaya hilang setelah anak
meninggalkan sekolah kediamannya, sementara kontak dengan masyarakat
tidak dapat dilakukan.
. 3) Standar kehidupan material bagi anak-anak cacat sering lebih tinggi dari
keluarga dan masyarakat.
. 4) dipelajari oleh keluarga atau masyarakat.
. 5) Anak-anak cacat belum mempelajari pentingnya kehidupan dan
keterampilan sosial berdasarkan cara tradisional masyarakatnya.
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa untuk mengatasi kendala tersebut,
diperlukan pendekatan berbasiskan masyarakat yang dapat melibatkan profesional,
penyandang cacat, keluarga dan masyarakat. WHO sebagaimana yang diikuti oleh
Gautam dkk. (1995:154) memberikan pengertian RBM sebagai berikut :
“(RBM merupakan rehabilitasi dengan memanfaatkan sumber-- sumber yang ada di
masyarakat, terdapat suatu transfer pengetahuan dan keterampilan dalam skala besar
mengenai kecacatan dalam rehabilitasi kepada orang-orang cacat, anggota keluarga,
anggota masyarakat,serta melibatkan masyarakat dalam, perencanaan, pembuatan
keputusan, dan evaluasi program)”
Selanjutnya dalam penjelasan bersama dari ILO, UNESCO dan WHO
(1995:154) dijelaskan dua elemen dasar dari RBM adalah :
“Rehabilitasi bersumberdaya masyarakat adalah suatu strategi dalam pengembangan
masyarakat untuk rehabilitasi, kesamaan kesempatan dan integrasi sosial bagi
penyandang cacat. RBM dilaksanakan melalui perpaduan antara penyandang cacat,
keluarga dan masyarakat melalui pendekatan pelayanan kesehatan, pendidikan,
keterampilan dan sosial yang tepat”
Program WHO dalam kegiatan RBM didasarkan pada buku manual tentang
pelatihan dalam masyarakat untuk penyandang cacat yang terdiri dari 30 paket
pelatihan menyangkut semua aspek kecacatan, dan empat pedoman untuk digunakan
pada tingkat penyandang cacat, guru dan tim rehabilitasi masyarakat. Manual
merupakan hasil dari pengalaman dan uji lapangan dimana banyak para ahli yang
terlibat didalamnya.
Proses pemberdayaan penyandang cacat sebagaimana fokus dari penelitian ini
dilaksanakan melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM).
WHO, sebagaimana dikutip oleh Gautam dkk, mengemukakan cara-cara pelaksanaan
RBM ini. Pertama, seorang pelopor dan calon pengawas, tingkat lokal direkrut dari
masyarakat kemudian memperoleh berbagai latihan. Kedua, la melatih keluarga
penyandang cacat yang meliputi dasar-dasar rehabilitasi. Ketiga, masyarakat pada
gilirannya, menjadi pendukung keseluruhan proses, dengan demikian berdasarkan
gambaran tersebut, RBM mendasarkan diri pada dua asumsi utama yaitu peran
keluarga sebagai sumber daya paling penting dalam rehabilitasi penyandang cacat dan
bahwa masyarakat sekitar bisa digerakkan sebagai pemberi dukungan dan semangat
(1995:155).
Handojo (2001:21) menekankan pentingnya partisipasi keluarga dan
masyarakat baik secara kualitas maupun kuantitas. Peningkatan perilaku masyarakat
terhadap masalah kecacatan perlu dilakukan, dalam rangka perbaikan sikap,
peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat terhadap kecacatan melalui
suatu proses perubahan yang meliputi pemberian informasi, motivasi, pendidikan,
pelatihan, demonstrasi dan uji coba. Satu hal penting yang menjembatani proses
tersebut adalah adanya peran Agent of Change yang dilaksanakan oleh
penyelenggaraan RBM baik secara individu maupun kelompok.
3. Konsep-Konsep Pemberdayaan dan ketidakberdayaan
Konsep pemberdayaan (empowerment) mulai tampak ke permukaan sekitar
dekade 1970-an, dan terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an
(akhir abad ke-20). Kemunculan konsep ini hampir bersamaan dengan aliran-aliran,
seperti eksistensialisme, fenomenoligi, dan personalisme. Disusul kemudian oleh
masuknya gelombang pemikiran neo- marxisme, freeudianisme, termasuk didalamnya
aliran-aliran strukturalisme dan sosiologi kritik sekolah Frankurt. Bermunculan pula
konsep-konsep seperti elite, kekuasaan, anti kemampanan (anti-establishment),
gerakan populis, anti struktur, legitimasi, ideology, pembebasan dan civil society
(Pranarka dan Vidhyandika, 1996).
Konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa darah
dengan aliran-aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai
aliran post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang
beorientasi pada jargon-jargon antisistem, antistruktur, antideterminisme yang
diaplikasikan pada dunia kekuasaan.
Munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi terhadap
alam pikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya yang dikembangkan
disuatu negara (Pranarka dan Vidhyandika, 1996).
Pada awal gerakan modern, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan
alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Pada hakikatnya, proses
pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari sistem kekuasaan yang
mutlak-absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer). Konsep ini
digantikan oleh sistem baru yang berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan
(humanisme). Doktrin konsep ini sama dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme,
dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada
proses dehumanisme eksistensi manusia. Demikian juga, aliran neo-marxis,
freudianisme, sosiologi kritik, yang menolak industrialisasi, kapitalisme, dan
teknologi. Mereka beralasan bahwa ketiga hal diatas dapat mematikan manusia dan
kemanusiaan. Aliran-aliran ini bercita-cita untuk dapat menemukan sistem yang
sepenuhnya berpihak kepada manusia dan kemanusiaan (Pranarka dan Vidhyandika,
1996).
Sosiologi struktural fungsionalis parson menyatakan bahwa konsep power
dalam masyarakat adalah variabel jumlah. Menurut perspektif tersebut, power
masyarakat adalah kekuatan anggota masyarakat secara keseluruhan yang disebut
tujuan kolektif (misalnya, dalam pembangunan ekonomi). Logikanya, pemberdayaan
masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang
berpengaruh negatif terhadap kekuasaan (powerful). Dengan pengertian lain,
kelompok miskin dapat diberdayakan melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian
sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan. Hal ini yang oleh Schumacker
disebut pemberdayaan (Thomas, 1992).
Pemberdayaan akan menjadi masalah bila secara konseptual bersifat zero-sum,
maksudnya, proses pemberdayaan itu dibarengi oleh adanya power kelompok
terhadap kelompok lainnya. Weber mendefenisikan power sebagai kemampuan
seseorang/individu/kelompok untuk mewujudkan keinginannya, kendatipun terpaksa
menentang yang lainnya. Jika keadaan seperti itu, istilah pemberdayaan yang
disamakan dengan power harus dinegosiasikan sebagai strategi untuk mengadakan
reformasi sosial. (Craig dan Mayo, 1995).
Craig dan Mayo (1995) menyatakan bahwa perspektif Marxis terhadap power
dalam masyarakat kapitalis tidak dapat dipisahkan dari kekuatan ekonomi. Power ini
bersinggungan erat dengan kepentingan- kepentingan kapitalis lewat kerjasama
transnasional yang berskala global. Dalam keadaan semacam itu, pemberdayaan
masyarakat miskin dibatasi oleh gerakan-gerakan kapitalis. Karena itu, masyarakat
miskin dan sangat miskin harus diberdayakan untuk dapat berpartisipasi lebih efektif
dalam proyek dan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Kemampuan
tawar-menawar (bargaining position) dan pelayanan terhadap masyarakat miskin pun
semakin meningkat. Namun demikian, keadaan ini tidak terlepas dari masalah untung
rugi dalam pasar global.
Perspektif Marxis terhadap power of ideas adalah proses setting ideologi dan
konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci untuk menganalisis kerangka
kerja ekonomi dan kekuatan politik. Keduanya dimanfaatkan sebagai alat legitimasi
dan contestable yang efektif dalam masyarakat kapitalis. Hal tersebut merupakan
salah satu alternatif dalam pembangunan ekonomi, politik, dan transformasi sosial
(Craig dan Mayo, 1995).
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada
dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial.
Menurut Rappaport (1987), pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara
psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan
hak-haknya menurut undang-undang. Sementara itu, Mc Ardle (1989) mengartikan
pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara
konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai
tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan
”keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi
pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan
mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun
demikian, Mc Ardle mengimplikasikan hal tersebut bukan untuk mencapai tujuan,
melainkan makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan. Partisipasi
merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses
pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Sebaiknya, orang-orang harus terlibat dalam
proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk
memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk
mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan secara kumulatif sehingga
semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuan
berpartisipasinya.
Konsep pemberdayaan kemunculannya di dasari oleh gagasan yang
menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri. Payne
sebagaimana dikutip Adi (2001:32), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah :
Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan
tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi
efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan
melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang
ia miliki antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
Berdasarkan pandangan Payne tersebut, terdapat pemahaman bahwa pemberdayaan
merupakan proses pertolongan kepada klien agar mempunyai kemampuan untuk
pengambilan keputusan dan pilihan- pilihan yang selaras dengan kehidupannya.
Hasenfeld dalam DuBois dan Miley (1992: 227) memberikan batasan
pemberdayaan sebagai berikut :
Empowerment is a process through which client obtain resources - personal,
organizational, community - then enable them to gain greater control over their
environment and to obtain their aspirations
(Pemberdayaan adalah suatu proses melalui mana klien mencapai sumber-personal,
organisasi, komunikasi yang memungkinkan mereka memperoleh pengendalian yang
lebih besar atas lingkungan mereka dan mencapai aspirasi-aspirasi mereka)
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan merupakan suatu proses yang
memberikan peluang bagi klien untuk dapat mengungkapkan aspirasi mereka,
memperoleh sumber baik individu, organisasi, maupun komunitas.
Ife (1995:182) menjelaskan bahwa "empowerment means providing people with the
resources, opportunities, knowledge and skill to increase their capacity to determine
their own future and to participate in and affect the life of their community."
Pemberdayaan sebagai sarana untuk memberikan orang dengan sumber-sumber,
kesempatan-kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan
kapasitas mereka sehingga dapat menentukan masa depannya dan berpartisipasi
dalam kehidupan komunitas mereka.
Lebih lanjut Ife (1995:183) mengemukakan bahwa pemberdayaan ditujukan
untuk membawa masyarakat yang tidak beruntung kepada masyarakat yang lebih adil
dan akan memperkuat anggota komunitas lokal sebagai komunitas serta berupaya
mewujudkan komunitas dengan berbasis struktur yang efektif.
Pemberdayaan dilaksanakan dengan bertolak dari situasi ketidakberdayaan
yang dialami oleh klien baik secara perseorangan, kelompok maupun komunitas.
Ketidakberdayaan sebagaimana dikemukakan Keiffer dan Torre yang dikutip oleh
Suharto (1997:1-34) pada umumnya dialami oleh kelompok masyarakat karena
kondisi fisik maupun faktor-faktor tertentu sehingga mereka terpaksa tidak
berkemampuan dan berkesempatan untuk menentukan apa yang ada pada dirinya.
Ife membagi kelompok-kelompok yang tidak berdaya/beruntung kedalam tiga
kelompok sebagai berikut :
a. Kelompok lemah secara struktur (primary structural disadvantaged groups),
yaitu mereka yang tidak beruntung akibat tekanan-tekanan struktural terutama
terkait dengan kelas; gender dan etnis yang meliputi orang miskin,
penganggur, wanita, masyarakat lokal dan kelompok minoritas.
b. Kelompok lemah khusus (other disadvantaged groups), yaitu manula, anak
dan remaja, penyandang cacat (fisik, mental), gay, lesbian, suku terasing.
c. Kelompok lemah secara personal (the personally disadvantaged), menjadi
tidak beruntung, sebagai hasil dari siklus personal yang meliputi mereka yang
mengalami masalah pribadi, keluarga, dan kesedihan krisis identitas.
B. Pemberdayaan Partisipatif
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang menjadi pusat perhatian
dalam proses pembangunan belakangan ini di berbagai negara. Kemiskinan yang terus
melanda dan mengerus kehidupan umat manusia akibat resesi internasional yang terus
bergulir dan proses restrukturisasi, agen-agen nasional-internasional, serta negara-
negara setempat menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap partisipasi
masyarakat sebagai sarana pencepatan proses pembangunan. Karena itu, perlu
ditekankan peningkatan tentang pentingnya pendekatan alternatif berupa pendekatan
pembangunan yang diawali oleh proses pemberdayaan masyarakat lokal (Craig dan
Mayo, 1995).
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam
rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada
akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat.
Salah satu agen internasional, Bank dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi
masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat
termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri
sendiri (Paul, 1987).
Dalam hal ini cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah
membiarkan semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat, berani
mengambil resiko, berani bersaing, menumbuhkan semangat untuk bersaing, dan
menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi masyarakat.
Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu
sentral pembangunan saat ini. Partisipasi masyarakat di negara- negara dunia ketiga
merupakan strategi efektif untuk mengatasi masalah urbanisasi dan industrialisasi
(Craig dan Mayo, 1995). Bank dunia meletakkan pemberdayaan sebagai salah satu
objek utama dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987).
Sementara itu, strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat
ke dalam efektivitas, efisiensi dan sikap kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan
dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber
dari pemerintah, tetapi LSM, termasuk organisasi dan pergerakkan masyarakat
(Clarke, 1991). Brudtland menyimpulkan bahwa jaminan pembangunan berkelanjutan
adalah partisipasi masyarakat (Craig dan Mayo, 1995). Clarke menyatakan bahwa
partisipasi masyarakat melalui LSM, saat ini, merupakan kunci partisipasi efektif
untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok
grassroot) dapat memperoleh keadilan, hak azasi manusia, dan demokrasi. Namun,
penyertaan para sukarelawan LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-
satunya cara pemberdayaan.
Pendekatan ini sama dengan laporan Lembaga Pembangunan Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mendefenisikan partisipasi dalam pola
pengambilan keputusan dan power yang ada, termasuk partisipasi ekonomi (UNDP,
1993). Kini, pemberdayaan masyarakat miskin sudah menjadi slogan umum. Dalam
bidang pembangunan dan partisipasi masyarakat, pemberdayaan merupakan hal
terpenting bagi pembangunan negara-negara yang belum berkembang dan miskin di
bagian utara-selatan (Craig dan Mayo, 1995).
C. Indikator dan Proses Pemberdayaan
1. Kondisi ketidakberdayaan dan kondisi berdaya
Ketidakberdayaan atau ketidakberuntungan, dijelaskan Ife, melalui analisa
yang diklasifikasikan, dalam empat perspektif. Pertama, individual perspective
melihat permasalahan ketidakberuntungan sebagai permasalahan individu yang
bersumber dari individu itu sendiri.
Kedua, institutional Reformist perspective menempatkan ketidakberuntungan
sebagai masalah yang terkait dengan struktur kelembagaan dalam masyarakat.
Misalnya tidak memadainya system keadilan dilihat sebagai faktor yang memberi
konstribusi terhadap masalah kriminal, kenakalan, kemiskinan.
Ketiga, Structural Persfective memahami permasalahan ketidak- beruntungan
sebagai akibat tekanan dan ketidakadilan struktur sosial. Keempat, Post Structural
Perspective yang lebih berfokus pada wacana dan pemahaman baru yang akumulatif
terhadap permasalahan. Gambaran yang lebih jelas dari perspektif
ketidakberuntungan ini dapat dalam dilihat dalam skema berikut ini.
Gambar 1 : Skema Kategori Kondisi Ketidakberdayaan
Sumber : Olahan dari Ife ( 1995 : 52-62)
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
Alder, P.S. & W.K. Seok. 20002. ”Social Capital: Prospect for a New Concept”. Academy of management Journal. Vol. 27. No. 1: 17
Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bahtiar, C. 2005. Investasi Sosial. Jakarta: LaTofi Enterprise.
(BPS) Badan Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Muna Dalam Angka. Raha: Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna.
Bachrach P. Dan M.S. Baratz. 1970. Power and Poverty: Theory and Parctice. New York: Oxford University Press.
(BP-DAS) Balai Pengelolaan DAS Sampara. 2004. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTK-RLKT). Sub DAS Jompi- SWP DAS Buton-Muna. Kendari: BP-DAS Sampara.
(BPMD) Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. 2005. Profil Kelurahan/Desa Kabupaten Muna. Raha: BPMD
(Dephut) Departemen Kehutanan. 2000. Undang-Undang Kehutanan Nomor 41, Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta: Menteri Sekretaris Negara RI.
(Dephutbun) Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Keputusan Menteri Kehutan dan Perkebunan Nomor 454/Kpts-II/1999 Tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Silawesi Tenggara. Jakarta: Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI.
(Dishut) Dinas Kehutanan. 2003. Statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Muna. Raha: Dinas kehutanan Kabupaten Muna.
Endang, S. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.
Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption : Human Nature and the Reconstitution of Social Order. Yokyakarta: Qalam
, 2002. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Qalam: Y ogyakarta.
Grootaert, C. dan T Van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative. Washington, D.C.: The World Bank.
Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora: Bandung.
Huseini, M. 1999. Mencermati Misteri Globalisasi: Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource- Based. Depok: Fisip Universitas Indonesia.
Husima. 1997. ”Organisasi Pengelolaan Hutan Jati. Studi Kasus KPH CDK Muna Sulawesi Tenggara”. Sikripsi Sarjana Kehutanan. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
. 2005. ”Perencanaan Pembangunan Hutan Jati di BKPH Muna Utara I, Dinas Kaehutanan Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara”. Tesis Magister Ilmu-Ilmu Pertanian. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice: Longman. Australia.
Jamasy, O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan, & Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta Selatan: Blantika.
Kartasasmita, G. 1996. Power and Empowermant: Sebuah Telaah Mengenal Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Mardikato, T. 1993. Penyuluhan Pembanguan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Mubyarto. 1999. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Laporan Tindak Program IDT. Yogyakarta: Aditya Madia.
Muller, J.H. 1977. Statistical Reasoning in Sociology. Boston: Houghton Company.
Narayan, D. 2002. Empowerment and Poverty Reduction. Washington, DC: The World Bank.
Nasseri, T. 2002. Knowledge Leverage The Ultimate Advantange. Brint Institute. USA: Britcom.
Pardosi, J. 2005. “Pemberdayaan Peladang Berpindah: Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kutai Barat Di Provinsi Kalimatan Timur”.Disertasi Doktor. Bogor: Sekolah Pasca- sarjana Institut Pertanian Bogor.
Paul, S. 1987. Community Partisipation in development Project. The World Bank Experience. Washington, D.C.: The World Bank.
Payne, M. 1997. Social Work and Community Care. London: McMillan.
Priyono, O.S. & A.M.W. Pranarka, 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Pranaka dan Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan (Empowerment). Jakarta: Centre of Strategic and International Studies (CSIS).
Prusak, L. 2001. In Good Company. Boston: Harvard Businees School Press.
Rappaport. 1987. “Terms of Empowerment: Toward a theory for Community Psychology”. American Journal of Communitry Psychology. Vol. 15. No.2: 15-16
Robinson, J.R. 1994. Community Development in Perspective. Ames: Iowa State University Press
Simon, H. 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Problematika dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta: Aditya Media.
, 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Edisi I. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika.
, 2001. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Edisi II. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika.
Singarimbun, M. dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membetuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press.
Sudjana. 2003. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung. Tarsito.
Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Rafika Aditama.
Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gaya Media.
Sumardjo. 1999. ”Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengem- bangan Kemandirian Petani: Kasus di Propinsi Jawa Barat”. Disertasi Doktor. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sumodiningrat, G. 2000. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Berbasis Pemberdayaan. Yogyakarta: IDEA.
Suparmoko, M. 1998. Metode Penelitian Praktis: Untuk lmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Suprijatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Rineka Cipta: Jakarta.
Syabra, R. 2003. ”Modal Sosial: Konsep dan aplikasi”. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Vol.V. N0.1:1-5.
Tjokrowinoto, M. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tjondronegoro, S.M.P. 2005. “Pembangunan, Modal dan Modal Sosial”. Jurnal
Sosiologi Indonesia. Vol. I. No. 7: 21-22
Todaro, P.M. & Smith S.C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Triton, P.B. 2006. SPSS 13.0 Tarapan: Reset Statistik Parametrik. Yogyakarta: Andi Offset.
Triwibowo, W. 2001. ”Perencanaan Pembangunan Hutan Di Pegunungan Kapur Gombong Selatan: Studi Kasus di RPH Redisari, BKPH Gombong Selatan”. Tesis Magister Ilmu-Ilmu Pertanian. Yogyakarta: Program Pascasarjana Univaersitas Gadjah Mada
Umar, H. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Usman, S. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Vitalaya, A., Prabowo T. dan Wahyudi R. 1995. Penyuluhan Pembangunan Indonesia: Menyosong Abad XXI. Jakarta: PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara
Winarsunu, T. 2004. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang: UMM Press.
Winter. 2000. Towards a Theorised Understanding of Family Life and Social Capital. Australia: Australian Institute of Family Studies.
top related