tugas psikolog.pdf
Post on 16-Nov-2015
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
Olbiran Opiksi, 2012 Perbedaaan Perilaku Agresif ....
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PERILAKU AGRESI
1. Definisi Perilaku Agresi
Menurut Buss (1961), perilaku agresi adalah suatu perilaku yang
dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-
individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut. Baik secara
fisik atau verbal dan secara langsung maupun tidak langsung. Samahalnya
dengan pendapat Berkowitz (1995) yang menyatakan bahwa agresi merupakan
segala bentuk perilaku yang disengaja untuk menyakiti seseorang, baik secara
fisik maupun mental.
Sementara itu Baron & Byrne (2005) mendefinisikan perilaku agresi
sebagai suatu bentuk perilaku yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku
tersebut. Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan Myers (2002), yang
menyebutkan bahwa perilaku agresi merupakan perilaku fisik atau verbal yang
disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.
Selanjutnya dijelaskan bahwa perilaku agresi terjadi dengan bentuk yang
berbeda-beda dan dengan tingkat yang berbeda pula, khususnya dalam hal
gender antara pria dan wanita (Krahe, 2005). Kemudian suatu perilaku dapat
dikategorikan sebagai perilaku agresi apabila memenuhi tiga syarat (Krahe,
dalam Hanurawan, 2010). Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
-
14
a. Terdapatnya niat individu untk menimbulkan penderitaan atau
kerusakan pada suatu objek sasaran. Syarat niat ini harus ada dalam
kerangka untuk membedakan dari perilaku individu yang terjadi secara
tidak sengaja.
b. Terdapatnya harapan bahwa suatu perilaku dapat menimbulkan
penderitaan atau kerusakan pada diri objek sasaran. Syarat harapan ini
menunjukkan bahwa perilaku agresi berbeda dari perilaku yang oleh
pelakunya sama sekali tidak diharapkan.
c. Adanya keinginan objek sasaran untuk menghindari perlakuan
merugikan yang diberikan oleh pelaku tindakan agresi. Syarat ini
menunjukkan bahwa perilaku tertentu yang tidak dihindari oleh objek
sasaran tidak termasuk perilaku agresi.
Dengan memperhatikan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa agresi merupakan bentuk perilaku yang bersifat destruktif dan
dilakukan dengan sengaja, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta
merugikan pihak lain yang tidak dikehendaki oleh yang bersangkutan. Agresi
termasuk perilaku destruktif karena agresi merugikan pihak lain baik secara
fisik, psikologis maupun sosial. Agresi dikatakan dengan sengaja karena
perilaku termotivasi dan pada umumnya tidak sesuai dengan norma dalam
masyarakat. Jadi, suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan walaupun
menghasilkan agresi bagi orang lain maka tidak dapat dimasukkan sebagai
agresi.
-
15
2. Teori-teori Agresi
Teori tentang agresi terbagi dalam beberapa kelompok (Sarwono, 2002)
yaitu:
a. Teori Bawaan
Teori bawaan atau bakat ini terdiri atas teori psikoanalisa dan teori
Biologi.
1) Teori Naluri
Freud dalam teori Psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa
agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Naluri agresi atau
tanatos ini merupakan pasangan dari naluri seksual atau eros. Naluri
seks berfungsi untuk melanjutkan keturunan sedangkan naluri agresi
berfungsi mempertahankan jenis. Kedua naluri tersebut berada dalam
alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang
disebut Id yang pada prinsipnya selalu ingin agar kemauannya dituruti
(prinsip kesenangan atau Pleasure Principle) dan terletak pada bagian
lain dari kepribadian yang dinamakan Super Ego yang mewakili
norma-norma yang ada dalam masyarakat dan Ego yang berhadapan
dengan kenyataan.
Kemudian Freud juga membahas tentang adanya insting kematian
yang dimiliki oleh individu. Insting kematian ini bisa tertuju kepada
organisme itu sendiri, yang artinya merupakan dorongan perusakan
diri, atau tertuju ke luar, yang berarti kecenderungan merusak pihak
lain (Fromm, 2000).
-
16
2) Teori Biologi
Teori biologi ini menjelaskan perilaku agresi, baik dari proses faal
maupun teori genetika (illmu keturunan). Proses faal adalah proses
tertentu yang terjadi otak dan susunan saraf pusat. Kenakalan remaja
lebih banyak terdapat pada remaja pria, karena jumlah testosterone
meningkat sejak usia 25 tahun. Produksi testosteron yang lebih besar
ditemukan pada remaja dan dewasa yang nakal, terlibat kejahatan,
peminum, dan penyalah guna obat dibanding pada remaja dan dewasa
biasa.
b. Teori Lingkungan
Inti dari teori lingkungan adalah perilaku agresi yang merupakan reaksi
terhadap peristiwa atau stimulus yang terjadi di lingkungan.
1) Teori Frustrasi-Agresi
Frustasi hanyalah salah satu dari berbagai penyebab agresi, dan
merupakan penyebab yang cukup lemah. Myers (2002) menjelaskan
bahwa frustasi (keadaan tidak tercapainya tujuan peilaku) menciptakan
suatu motif untuk agresi. Ketakutan akan hukuman atau tidak disetujui
untuk agresi melawan sumber penyebab frustasi mengakibatkan
dorongan agresi diarahkan melawan sasaran lain.
Gambar 2.1
Teori Dorongan Atas Agresi: Motivasi Untuk Menyakiti Orang Lain (Myers, 2002)
Kondisi eksternal
(misalnya frustasi,
kondisi lingkungan yang tidak
menyenangkan)
Dorongan untuk
menyakiti atau
melukai orang lain Agresi yang nyata
-
17
Adapun hipotesis frustasi-agresi oleh Dollar dkk (Baron & Byrne,
2005) memberikan pandangan bahwa frustasi mengakibatkan
terangsangnya suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti
orang atau objek, terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab
frustasi.
Selanjutnya pendapat dari Gerungan (1978) menyatakan bahwa
perilaku agresi dilakukan oleh orang-orang yang mengalami frustasi
apabila maksud dan keinginan yang diperjuangkannya secara intensif
mengalami hambatan atau kegagalan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa penyebab dari munculnya perilaku
agresi berdasarkan faktor frustasi adalah kegagalan dari individu
memenuhi keinginannya atau terhalangnya suatu keinginan yang
hendak dicapai.
2) Teori Belajar Sosial
Menurut Bandura (Dayakisni dan Hudaniah, 2009) teori ini
menekankan kondisi lingkungan yang membuat seseorang
memperoleh dan memelihara respon-respon agresif. Asumsi dasar teori
ini adalah sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil
belajar melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku yang
ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model. Dengan
demikian, para ahli teori ini percaya bahwa observasional dan social
modelling adalah metode yang lebih sering menyebabkan agresi.
Anak-anak yang melihat model orang dewasa agresif secara konsisten
-
18
akan lebih agresif bila dibandingkan dengan anak-anak yang melihat
model orang dewasa non-agresif, dalam kehidupan sehari-hari model
perilaku agresi dapat ditemukan dalam keluarga, sub-culture, dan
mass-media.
c. Teori Kognitif
Teori ini menjelaskan bahwa reaksi individu terhadap stimulus agresi
sangat bergantung pada cara stimulus itu diinterpretasi oleh individu.
Model transfer eksitasi yang dipelopori oleh Zillmann menyatakan bahwa
agresi dapat dipicu oleh ransangan fisiologis (physiological arousal) yang
berasal dari sumber-sumber yang netral atau sumber-sumber yang sama
sekali tidak berhubungan dengan atribusi ransangan agresi itu (Krahe,
2005). Model ini mengemukakan bahwa individu yang membawa residu
ransang dari aktivitas fisik dalam situasi sosial yang tidak berhubungan, di
mana mereka mengalami keadaan terprovokasi akan cenderung
berperilaku agresif dibanding individu yang tidak membawa residu
semacam itu.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa teori agresi terdiri
dalam tiga perspektif, yaitu teori bawaan yang terdiri dari teori naluri dan teori
biologi. Kemudian teori lingkungan yang terdiri dari teori frustasi-agresi
klasik, teori frustasi-agresi baru, dan teori belajar sosial. Serta teori kognitif.
Ketiga teori ini menjelaskan mengenai bagaimana proses terjadinya perilaku
agresi.
-
19
3. Jenis-jenis Agresi
Menurut pendapat Myers (2002) membagi agresi dalam dua jenis, yaitu
agresi rasa benci atau agresi marah (hostile aggression) dan agresi sebagai
sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression). Agresi rasa
benci atau agresi marah (hostile aggression) adalah ungkapan kemarahan dan
ditandai dengan emosi yang tinggi dimana perilaku agresi ini adalah tujuan
agresi itu sendiri. Akibat dari agresi ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan
pelaku memang tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak
menimbulkan kerugian daripada manfaat.
Agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak
disertai emosi, bahkan antara pelaku dan korban kadang-kadang tidak ada
hubungan pribadi. Agresi disini hanya merupakan sarana untuk mencapai
tujuan lain, misalnya seorang supporter sepak bola yang memaksa menaiki
transportasi umum secara illegal untuk menunjukkan fanatisme kelompoknya
terhadap tim sepak bola yang didukungnya.
Menurut Atkinson (1999) ada beberapa jenis perilaku agresi yaitu:
a. Agresi instrumental, yaitu agresi yang ditujukan untuk membuat
penderitaan kepada korbannya dengan menggunakan alat-alat baik
benda ataupun orang atau ide yang dapat menjadi alat untuk
mewujudkan rasa agresinya, misalnya anggota supporter melakukan
penyerangan atau melukai orang lain dengan menggunakan suatu
benda atau alat untuk melukai lawannya.
-
20
b. Agresi verbal, yaitu agresi yang dilakukan terhadap sumber agresi
secara verbal. Agresi verbal ini dapat berupa kata-kata kotor atau kata-
kata yang dianggap mampu menyakiti atau menyakitkan, melukai,
menyinggung perasaan atau membuat orang lain menderita.
c. Agresi fisik, yaitu agresi yang dilakukan dengan fisik sebagai
pelampiasan marah oleh individu yang mengalami agresi tersebut,
misalnya agresi yang pada perkelahian, respon menyerang muncul
terhadap stimulus yang luas baik berupa objek hidup maupun objek
yang mati.
d. Agresi emosional, yaitu agresi yang dilakukan semata-mata sebagai
pelampiasan marah dan agresi ini sering dialami orang yang tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan agresi secara terbuka,
misalnya karena keterbatasan kemampuan, kelemahan dan
ketidakberdayaan. Agresi ini dibangkitkan oleh perasaan tersinggung
atau kemarahan, tetapi agresi ini hanya sebagai keinginan-keinginan
(bersifat terpendam), misalnya individu akan merasa terluka jika
individu lain tidak menghargai dirinya secara langsung, seperti orang
yang memegang kepala orang lain, orang yang dipegang kepalanya
akan merasa tersinggung.
e. Agresi konseptual, yaitu agresi yang juga bersifat penyaluran agresi
yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk melawan baik verbal
maupun fisik. Individu yang marah menyalurkan agresinya secara
konsep atau saran-saran yang membuat orang lain menjadi ikut
-
21
menyalurkan agresi, misalnya bentuk hasutan, ide-ide yang
menyesatkan atau isu-isu yang membuat orang lain menjadi marah,
terpukul, kecewa ataupun menderita.
Sementara pendapat lain mengenai perilaku agresi dalam bidang olahraga
dikemukakan oleh R.H. Cox (Husdarta, 2010) yang mengelompokkan
perilaku agresif dalam olah raga ke dalam dua kategori. Pertama, Hostility
Aggresion, yaitu perilaku agresif yang disertai permusuhan dan dilakukan
dengan perasaan marah serta bermaksud melukai orang lain atau lawan.
Perilaku agresif ini sering disebut juga Reactive Aggresion dan Angry
Aggresion (Buss, 1961). Kedua, Instrumental Aggresion, yaitu perilaku
agresif yang dijadikan sebagai alat untuk memenangkan pertandingan, tanpa
bermaksud melukai orang lain atau lawan. Lebih lanjut Cox menyebutkan
bahwa agresi instumental bertujuan untuk memperoleh kemenangan, uang dan
prestise.
4. Bentuk-bentuk Perilaku Agresi
Adapun pendapat Buss (1961) menyatakan bahwa tingkah laku agresi
dapat digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu fisik-verbal, aktif-pasif, dan
langsung tidak langsung. Perbedaan dimensi fisik-verbal terletak pada
perbedaan antara menyakiti fisik (tubuh) orang lain dan menyerang dengan
kata-kata. Perbedaan dimensi aktif-pasif adalah pada perbedaan antara
tindakan nyata dan kegagalan untuk bertindak. Sementara agresi langsung
-
22
berarti kontak face-to-face dengan orang yang diserang, dan agresi tidak
langsung terjadi tanpa kontak dengan orang yang diserang.
Kombinasi dari ketiga dimensi ini menghasilkan suatu framework untuk
mengkategorikan berbagai bentuk perilaku agresi antara lain:
a. Agresi Fisik Aktif Langsung
Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu/kelompok dengan cara
berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang
menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti
memukul, mendorong, menembak, dll.
b. Agresi Fisik Pasif Langsung
Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan
cara berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi
targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti
demonstrasi, aksi mogok, aksi diam.
c. Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung
Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain
dengan cara tidak berhadapan langsung dengan individu/kelompok lain
yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korban, membakar
rumah, menyewa tukang pukul, dll.
d. Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung
Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain
dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang
-
23
menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung,
seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh.
e. Agresi Verbal Aktif Langsung
Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan
cara berhadapan langsung dengan individu atau kelompok lain, seperti
menghina, memaki, marah, dan mengumpat.
f. Agresi Verbal Pasif Langsung
Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan
cara berhadapan dengan individu/kelompok lain, namun tidak terjadi
kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam.
g. Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung
Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan
cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain
yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba.
h. Agresi Verbal Pasif Tidak Langsung
Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan
cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi
targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak
memberi dukungan, tidak menggunakan hak suara.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku agresi pada
awalnya digolongkan kedalam tiga dimensi pokok, yaitu fisik-verbal, aktif-
pasif, dan langsung-tidak langsung. Dari ketiga dimensi ini dihasilkan suatu
framework untuk mengkategorikan berbagai bentuk perilaku agresi antara
-
24
lain: agresi fisik aktif langsung, agresi fisik aktif tidak langsung, agresi fisik
pasif langsung, agresi fisik pasif tidak langsung, agresi verbal aktif langsung,
agresi verbal aktif tidak langsung, agresi verbal pasif langsung, agresi verbal
pasif tidak langsung. Dalam penelitian ini kedelapan bentuk perilaku agresi
yang dikemukakan oleh Buss tersebut akan digunakan sebagai dimensi
perilaku agresi.
5. Faktor Pengarah dan Pencetus Agresi
Perilaku agresi individu tidak terjadi secara tanpa alasan atau tanpa
penyebab tertentu, melainkan ada faktor-faktor sebagai berikut yang memicu
terjadinya perilaku agresi tersebut;
Beberapa faktor penyebab perilaku agresi menurut Davidoff (1991), yaitu:
a. Faktor Biologis, bahwa ada tiga faktor biologis yang mempengaruhi
perilaku agresi yaitu:
1) Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang
mengatur perilaku agresi.
2) Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat
memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang
mengendalikan agresi. Orang yang berorientasi pada kenikmatan
akan sedikit melakukan agresi dibandingkan dengan orang yang
tidak pernah mengalami kesenangan dan kegembiraan.
3) Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan
faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
-
25
Wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon
kewanitaan yaitu estrogen dan progresterone menurun
jumlahnya. Akibatnya banyak wanita mudah tersinggung,
gelisah, tegang dan bermusuhan.
b. Faktor Psikologis, psikologis individu dalam kenyataannya juga
memiliki peranan untuk memunculkan perilaku agresif.
1) Amarah, marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri
aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya
perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan
adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin
juga tidak dan saat marah ada perasaan ingin menyerang,
meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan timbul
pikiran yang kejam. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa agresi merupakan salah satu respon terhadap marah.
Sebagai akibat dari kekecewaan, sakit fisik, penghinaan atau
ancaman yang sering memancing marah dan akhirnya
menstimulus reaksi agresif individu (Mu`tadin, 2002).
2) Frustasi, Dollar dkk. (Baron & Byrne, 2005) membuat dua
pernyataan penting mengenai agresi: (1) frustasi selalu
memunculkan bentuk tertentu dari agresi, dan (2) agresi selalu
muncul dari frustasi. Singkatnya, teori ini memandang bahwa
orang yang frustasi selalu terlibat dalam suatu tipe agresi dan
semua tindakan agresi, sebaliknya, berasal dari frustasi.
-
26
Selanjutnya perndapat lain menyatakan bahwa frustasi terjadi
bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu
tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan
tertentu. Adapun menurut Miller (Krahe, 2005) menyatakan
bahwa frustasi menyebabkan sejumlah respon berbeda. Salah
satu diantaranya adalah munculnya bentuk-bentuk agresi tertentu.
Akibat frustasi, individu cenderung akan menyalurkannya
melalui tindakan-tindakan negatif. Mereka cenderung lebih
sensitif, mudah marah dan bahkan berperilaku agresif (Gerungan,
1978).
c. Faktor Situasional, ini merupakan stimulus yang muncul pada situasi
tertentu yang mengarahkan perhatian individu ke arah agresi sebagai
respon potensial. Faktor-faktor ini diantaranya adalah alkohol,
kepadatan dan temperatur/suhu.
1) Alkohol memberikan pengaruh perilaku agresif untuk situasi-
situasi tertentu pada individu. Ada berbagai temuan yang
menyatakan bahwa alkohol memperlihatkan memainkan peranan
penting dalam praktik kriminalitas dengan kekerasan, termasuk
pembunuhan. Alkohol juga telah ditengarai sebagai faktor sentral
dalam berbagai macam agresi kelompok (kolektif), seperti agresi
huru-hara maupun agresi geng.
-
27
2) Kepadatan
Dalam bidang psikologi telah lama diketahui bahwa kepadatan
berkorelasi erat dengan perilaku agresif, dalam berbagai kajian
psikologi telah menjadi teori umum bahwa kepadatan (dense)
dalam sebuah ruangan menyumbang erat persepsi orang terhadap
kesesakan (crowd) yang akhirnya menghasilkan periaku agresif
(Hakim, 2008).
d. Suhu (Temperatur), merupakan keadaan cuaca di suatu wilayah
tertentu. Berbagai pandangan menyatakan bahwa suhu suatu
lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku
sosial, berupa peningkatan agresifitas (Mu`tadin, 2002). Selajutnya
Anderson, Bushman dan Groom (Krahe, 2005) menyatakan bahwa
temperatur tinggi yang tidak nyaman meningkatkan motif maupun
perilaku agresif.
e. Faktor Sosial, berbagai kondisi sosial yang merugikan ditelaah
sebagai penyebab potensial timbulnya tingkah laku agresif pada
individu (Krahe, 2005). Termasuk faktor sosial ini adalah sebagai
berikut:
1) Keluarga, keluarga adalah yang mendasari segala segi
perkembangan pribadi seorang individu. Pengaruh-pengaruh
orang yang tinggal di sekeliling sangat berpengaruh terhadap
perkembangan kepribadiannya, apakah hal itu memberi pengaruh
-
28
baik ataupun buruk. Diantara pengaruh-pengaruh tersebut adalah
kondisi-kondisi, seperti :
a) Kemiskinan dan jumlah anggota keluarga yang lebih besar.
b) Kenakalan yang terdapat di lingkungan rumah tangga
diantara orang tua dan saudara-saudara.
c) Rumah tangga yang berantakan karena kematian salah
seorang dari orang tua, perpisahan ibu dan ayah, perceraian
atau karena melarikan diri dari rumah.
d) Kurangnya keamanan jiwa disebabkan orang tua yang terus
bertengkar dan kurangnya stabilitas emosi.
e) Tidak terdapatnya persesuaian pendidikan, disiplin dan tujuan
hidup yang dicita-citakan oleh orang tua untuk anaknya.
f) Orang tua yang tidak menaruh perhatian terhadap anak, tidak
sempat menanamkan kasih sayang dan tidak pula dapat
menyatakan penghargaan atas prestasi yang diperoleh anak di
sekolah. Individu yang yang dalam perkembangannya merasa
tidak dihargai dan tidak dipahami serta tidak diterima seperti
apa adanya oleh lingkungan sekitar, terutama oleh orang tua
dirumah, maka ia akan cenderung untuk lari dari situasi riil di
depan mata, sehingga acapkali mereka melakukan tindakan
yang tidak jelas arah dan tujuannya (Yusuf, 2004).
Selanjutnya Coie dan Dodge (Krahe, 2005) menyatakan
-
29
bahwa anak-anak yang dianiaya dan ditelantarkan
memperlihatkan tingkat agresi yang lebih tinggi .
g) Kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anak.
komunikasi yang semakin minimal disebabkan banyak tidak
menyambungnya atau bahkan tidak jarang malah
menimbulkan pertengkaran dari kedua pihak. Kegagalan
komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu
penyebab timbulnya perilaku agresi pada individu (Gunarsa
& Gunarsa, 2003).
h) Kesenjangan Generasi, adanya perbedaan atau jurang
pemisah (gap) antara anak dengan orangtuanya, dapat terlihat
dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal
dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi
orangtua dan anak diyakini sebagai penyebab timbulnya
perilaku agresi pada individu.
i) Proses pendisiplinan yang keliru. Pendidikan disiplin yang
otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan
dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan
berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Disiplin orang
tua yang keras memiliki hubungan yang tinggi dengan
agresifitas anak-anaknya, antara lain karena anak-anak itu
menganggap hukuman badan sebagai bentuk tindakan
mengatasi konflik yang dapat diterima (Yusuf, 2004).
-
30
Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi
seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan
membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan
spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
2) Masyarakat, pengaruh yang dominan adalah perubahan sosial
kehidupan masyarakat yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa
yang sering menimbulkan ketegangan, seperti revolusi,
ketidakpuasan pekerjaan, persaingan dalam perekonomian,
terjadinya diskriminasi, korupsi, pengangguran, fasilitas rekreasi
(seperti play station ), dan penyelenggaraan klub-klub malam,
seperti diskotik Kondisi-kondisi yang tidak menggembirakan
seperti ini akan dapat menjadi faktor pendorong munculnya
perilaku agresif.
Selanjutnya menurut Lorenz (Dayakisni dan Hudaniah, 2009), perilaku
agresi dapat muncul karena beberapa faktor, antara lain:
a. Deindividuasi
Deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan
dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi
lebih intens. Deindividuasi memperbesar kemungkinan terjadinya agresi
karena deindividuasi menyingkirkan atau mengurangi peranan beberapa
aspek yang terdapat pada individu yakni, identitas diri atau personalitas
-
31
individu pelaku maupun identitas diri korban agresi dan keterlibatan
emosional individu pelaku agresi terhadap korbannya.
Bagi setiap individu yang secara psikologis sehat (well-adjusted),
identitas dirinya maupun identitas individu-individu lain merupakan
hambatan personal yang bisa mencegah pengungkapan agresi atau
setidaknya bisa membatasi intensitas agresi yang dilakukannya. Karena
itulah dengan hilangnya (untuk sementara) identitas diri pelaku dan target
(calon korban) kemungkinan munculnya agresi menjadi lebih besar, lebih
leluasa dan intens. Demikian pula dengan tidak adanya keterlibatan
emosional pelaku dengan korbannya, maka pelaku agresi bisa menutup
mata atas akibat-akibat yang diderita oleh korbannya atau kehilangan rasa
kasihan sehingga menjadi lebih tega dalam melakukan agresi atas
korbannya itu (Dayakisni & Hudaniah, 2009).
b. Kekuasaan dan Kepatuhan
Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat
dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan
(complience). Bahkan kepatuhan itu sendiri diduga memiliki pengaruh
yang kuat terhadap kecenderungan dan intensitas agresi individu. Milgram
(Dayakisni dan Hudaniah, 2009) menyatakan kepatuhan individu terhadap
otoritas atau penguasa mengarahkan individu tersebut kepada agresi yang
lebih intens, karena dalam situasi kepatuhan individu kehilangan tanggung
jawab (tidak merasa bertanggung jawab) atas tindakan-tindakannya serta
meletakkan tanggung jawab itu pada penguasa.
-
32
c. Provokasi
Agresi adalah hasil provokasi (provocation) fisik atau verbal dari
orang lain. Ketika individu sedang menerima suatu bentuk agresi dari
orang lain, kritik yang tidak adil, ungkapan sarkastis, atau kekerasan fisik,
maka individu jaran mengalah. Sebaliknya, individu cenderung untuk
membalas, memberikan agresi sebanyak yang diterima, atau mungkin
lebih sedikit, terutama jika individu itu merasa orang lain tersebut sudah
pasti menyakitinya (Ohara & Ochbucci, dalam Baron & Byrne, 2005).
Sejumlah teori percaya bahwa provokasi bisa mencetus agresi, karena
provokasi itu oleh para pelaku agresi dilihat sebagai ancaman yang harus
dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang
diisyaratkan oleh ancaman itu (Myers, 2002). Dalam menghadapi
provokasi yang mengancam, para pelaku agresi agaknya cenderung
berpegang pada prinsip bahwa dari pada diserang lebih baik mendahului
menyerang, atau daripada dibunuh lebih baik membunuh. Juga terdapat
kecenderungan menggunakan provokasi sebagai dalih untuk melakukan
agresi meskipun provokasi itu tidak bersifat mengancam. Dalam berbagai
kasus, pelaku agresi bahkan menggunakan provokasi yang diciptakannya
sendiri sebagai pembenar atau dalih bagi agresi yang dilakukannya.
d. Pengaruh Obat-obatan Terlarang (Drug effect)
Banyak terjadi perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang
mengkonsumsi alkohol. Menurut hasil penelitian Phil dan Ross (Dayakisni
& Hudaniah, 2009) mengkonsumsi alkohol dalam dosis tinggi
-
33
meningkatkan kemungkinan respon agresi ketika seseorang diprovokasi.
Sementara Lang, dkk. (Dayakisni & Hudaniah, 2009) menjelaskan bahwa
pengaruh alkohol terhadap perilaku agresi tidak semata-mata karena
proses farmakologi, karena orang tidak terprovokasi untuk meningkatkan
agresi bahkan dalam kondisi mengkonsumsi alkohol dengan dosis tinggi.
Harapan-harapan dari beberapa peminum tentang pengaruh alkohol
mungkin menjadikan suatu isyarat (cues) bagi perilaku agresif. Namun
ternyata proses ini tidak terjadi pada setiap orang tentang apakah alkohol
akan merangsang perilaku agresif. Penjelasan lain menyatakan bahwa
mengkonsumsi alkohol dalam dosis tinggi akan memperburuk proses
kognitif terutama pada informasi yang kompleks dan menyebabkan
gangguan kognitif (cognitive disruption), yaitu mengurangi kemampuan
seseorang untuk mengatasi atau bertahan dalam situasi-situasi yang sulit.
Gangguan kognitif ini khususnya mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-
isyarat (cues) yang samar sehingga lebih mungkin mereka akan melakukan
interpretasi yang salah tentang perilaku orang lain sebagai agresif atau
mengancam dirinya (Taylor, dalam Breakwell, 1998).
Berbeda dengan alkohol, marijuana biasanya mengakibatkan
perasaan senang, euphoria, dan jarang dikaitkan dengan tindakan
kekerasan. Akan tetapi phencyllidrine tampaknya berhubungan langsung
dengan kekerasan. Tindakan kekerasan terjadi segera setelah
mengkonsumsi atau selama dalam pengaruh obat itu. Sedangkan
barbiturates tampaknya menimbulkan perasaan mudah terangsang
-
34
(irritability), permusuhan dan agresi terbuka. Streroids yang digunakan
para atlit untuk meningkatkan kemampuan ternyata dalam dosis besar
dapat meningkatkan reaksi kemarahan, demikian pula cocaine sering
digunakan dalam kekerasan instrumental (suatu bentuk kekerasan yang
dilakukan untuk memperoleh uang yang pada gilirannya digunakan untuk
membeli obat-obat terlarang) yang mempunyai efek menimbulkan
paranoia dan meningkatkan agresivitas 15-20% pada penggunanya,
khususnya bila digunakan bersama-sama dengan alkohol (Brigham, 1991,
dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2009). Mengingat kebanyakan obat-obat
demikian adalah ilegal dan mahal harganya, maka para pengguna
seringkali melakukan agresi instrumental untuk memperoleh uang guna
mendukung kebiasaannya.
Kemudian menurut Breakwell (1998) faktor-faktor pemicu perilaku agresi
paling umum adalah sebagai berikut:
a. Intensifikasi rangsangan permusuhan.
b. Awal kehilangan kendali yang diakibatkan oleh obat-obatan dan
sebagainya.
c. Kesadaran tiba-tiba bahwa tidak ada pilihan alternatif selain
penggunaan kekerasan.
d. Adanya isyarat-isyarat yang menunjang kekerasan, misalnya:
hadirnya orang-orang lain atau anggota-anggota kelompok sebaya
yang dipandang merestui kekerasan.
-
35
e. Meningkatnya kesadaran bahwa tindak kekerasan dapat diganjar
dengan penghargaan.
f. Penggunaan kata-kata yang dikenal provokatif bagi orang yang
bersangkutan (kata-kata ini sering disebut ejekan).
g. Dialaminya perubahan-perubahan besar mendadak dalam hidup orang
yang bersangkutan, atau datangnya pencetus stress baru.
h. Pelaku yang mengidap psikosis.
Selanjutnya Breakwell (1998) menjelaskan tentang anonimitas individu
dalam kelompok, bahwa seseorang yang berada di dalam kelompok cenderung
lebih agresif dan irrasional serta penuh dengan emosi-emosi permusuhan
daripada ketika mereka bertindak sebagai individu. Mereka merasa anonim
dalam kelompok itu dan merasa dapat berperilaku agresi tetapi terbebas dari
konsekuensi-konsekuensinya secara metaforis dan kadang secara harfiah
karena mereka adalah salah satu bagian dari masa yang tidak dapat
diidentifikasikan. Dengan kata lain seseorang yang berada dalam suatu
kelompok tidak dipandang sebagai individu melainkan sebagai bagian kecil
dari kelompok itu sendiri. Sehingga apapun yang dilakukan seseorang tersebut
dengan kelompoknya tidak menjadi tanggung jawabnya secara individu.
Selain itu dalam Sarwono dan Meinarno (2009) perilaku agresif juga
disebabkan oleh beberapa faktor lain, diantaranya:
a. Situasional
Harries. K dan Stadler (Sarwono dan Meinarno, 2009) melakukan
penelitian terkait dengan cuaca dan tingkah laku dimana disebutkan bahwa
-
36
ketidaknyamanan akibat panas menyebabkan kerusuhan dan bentuk-
bentuk agresi lainnya. Hal yang paling sering muncul ketika udara panas
adalah timbulnya rasa tidak nyaman yang berujung pada meningkatnya
agresi sosial.
b. Sumber Daya
Manusia senantiasa ingin memenuhi kebutuhannya. Salah satu
pendukung utama kehidupan manusia adalah daya dukung alam. Daya
dukung alam terhadap manusia tidak selamanya memenuhi kebutuhan
tersebut. Di awali dengan tawar-menawar. Jika tidak tercapai kesepakatan,
maka akan terbuka dua kemungkinan besar. Pertama, mencari sumber
pemenuhan kebutuhan lain; kedua, mengambil paksa dari pihak lain yang
memilikinya.
c. Media Massa
Menurut Ade E. Mardiana (Sarwono dan Meinarno, 2009), tanyangan
dari televisi berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya. Hal yang
dinyatakan Mardiana tampak tidak terlalu mengherankan, mengingat hasil
penelitian klasik Bandura tentang modelling kekerasan oleh anak-anak.
Khusus untuk media massa televisi yang merupakan media tontonan
dan secara alami mempunyai kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk
mengamati apa yang disampaikan secara jelas. Beberapa penelitian tentang
televisi dan kekerasan menyimpulkan secara teoritis bahwa perilaku
agresif yang disebabkan oleh televisi terjadi melalui proses belajar sosial.
-
37
Acara televisi yang menyuguhkan adegan kekerasan akan
menimbulkan ransangan dan memungkinkan individu yang melihatnya,
terlebih mereka yang berusia muda,meniru model kekerasan seperti itu.
Situasi tiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka ragam, sedikit
demi sedikit anak memberikan penguatan bahwa hal itu merupakan hal
yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan (Davidof, dalam
Sarwono dan Meinarno, 2009). Dengan menyaksikan adegan kekerasan
tersebut terjadilah proses belajar sosial dari model yang melakukan
kekerasan sehingga akan memunculkan perilaku agresi. Ada penularan
perilaku (Fisher dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) yang disebabkan
oleh seringnya seseorang melihat tanyangan perilaku agresi melalui
televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil perilaku agresi
seperti pembunuhan, tawuran, dan penganiayaan.
Kemudian dalam suatu penelitian longitudinal memaparkan beberapa
pernyataan yaitu: Pertama, individu mungkin belajar cara baru atau cara-
cara yang tiak mereka bayangkan sebelumnya untuk melakukan agresi dari
menonton televisi dan film. Kedua adanya dampak efek desentilisasi yaitu
setelah menonton banya adegan kekerasan, individu menjadi bebal pada
kesakita dan penderitaan orang lain; mereka menunjukkan reaksi
emosional yang lebih sedikit daripada yang seharusnya terhadap tanda-
tanda kekerasan seperti itu dan hal ini kemungkina akan mengurangi
pertahanan mereka sendiri untuk menolak terlibat dalam agresi
(Huersmann & Eron, dalam Baron & Byrne, 2005).
-
38
6. Faktor-faktor yang Mengurangi Hambatan Berperilaku Agresif
a. Rendahnya kesadaran diri (self-awareness)
Rendahnya kesadaran diri dapat mengurangi hambatan (inhibition)
untuk berperilaku agresi adanya anonimitas, tingginya arousal emosional,
kekaburan tanggung jawab, keanggotaan dalam suatu kelompok yang
kohesif dapat menyebabkan berkurangnya kesadaran publik maupun
kesadaran diri pribadi. Rendahnya kesadaran diri publik menghasilkan
perasaan tertentu sehingga seseorang tidak lagi mempertimbangkan orang
lain dan merasa tidak perlu atau tidak memiliki kebutuhan untuk takut
terhadap kecaman atau pembalasan dendam atas perilakunya
(disinhibition). Rendahnya kesadaran diri pribadi membimbing kepada
keadaan deindividuasi (tidak merasa dirinya sebagai individu yang unik),
yang mengakibatkan perhatiannya menjadi lebih rendah terhadap pikiran,
perasaan, nilai-nilai dan standar perilaku yang dimilikinya. Karena itu,
rendahnya kesadaran diri baik kesadaran diri publik maupun kesadaran diri
pribadi akan meningkatkan kesempatan terjadinya perilaku agresi, karena
kendali yang dipusatkan pada agresi melemah (Dayakisni dan Hudaniah,
2009).
b. Dehumanisasi
Hambatan untuk tidak menyakiti orang lain juga dapat menjadi rendah
jika seseorang menganggap atau melihat target person dari tindakan
agresinya itu bukan sebagai manusia (sebagai setan, binatang) atau
melakukan dehumanisasi pada korban. Adanya dehumanisasi ini
-
39
mengurangi perasaan bersalah dan kecemasan sehingga perilaku agresi
menjadi kurang peka terhadap atau tidak empati terhadap penderitaan si
korban (Dayakisni dan Hudaniah, 2009).
c. The culture of honor
Norma dan nilai yang mendasari sikap dan tingkah laku masyarakat
juga berpengaruh terhadap perilaku agresif. Bermula dari penelitian
Richard Nisbett & Dove Coven (Dayakisni dan Hudaniah, 2009) yang
menemukan adanya perbedaan tingkah laku agresi secara regional antara
Amerika Selatan dan Amerika Utara, dimana kecenderungan tingkat
kekerasan di Amerika Latin lebih tinggi daripada Amerika Utara.
Selanjutnya dijelaskan hal ini terjadi karena adanya perbedaan kultur.
Orang-orang Amerika Selatan memiliki nilai kultur yang disebut dengan
culture of honor yakni menekankan berlebihan atas kejantanan,
ketangguhan, dan kesediaan/kemauan serta kemampuan untuk membalas
kesalahan atau hinaan dari orang lain untuk mempertahankan kehormatan.
Sehingga mereka menjadi lebih sensitif terhadap hinaan atau ancaman
yang mengarah kepada kehormatan diri, dan hal ini membangkitkan suatu
kewajiban untuk merespon dengan kekerasan untuk melindungi atau
memantapkan kembali kehormatannya.
Selanjutnya dalam pemaparan lain menurut pendapat dari Segal, dkk
(Dayakisni dan Yuniardi, 2008) mengemukakan bahwa anteseden atau
faktor-faktor penyebab perilaku agresi dalam telaah lintas budaya adalah
ekologis dan struktural. Penyebab-penyebab ini mencakup kemungkinan-
-
40
kemungkinan adanya konflik atas sumber-sumber yang langka, frustasi,
norma-norma yang mendukung resolusi konflik, pengasuhan anak, dan
jenis-jenis perilaku yang diperlihatkan oleh orang-orang yang mungkin
menjadi model untuk ditiru. Semua anteseden atau penyebab ini ada dalam
setiap budaya tetapi beragam dalam setiap budaya.
Kemudian penelitian oleh Landau (Dayakisni dan Yuniardi, 2008)
menyatakan bahwa perilaku agresi disebabkan oleh lemahnya kontrol
sosial (social control), serta dipengaruhi oleh menurunnya dukungan
sosial (social support).
B. SUPPORTER SEPAK BOLA DI KOTA BANDUNG
Supporter merupakan salah satu komponen penting dan menjadi simbol
kekuatan sebuah tim sepak bola. Supporter berbeda dengan penonton meskipun
pada praktiknya sama, yaitu sama-sama menyaksikan dan memberi dukungan.
Tetapi penonton memiliki makna yang lebih luas daripada supporter.
Supporter adalah sekelompok orang yang memberikan dukungan tertentu pada
ikhwal tertentu pula (Irpani, 2010). Supporter sepakbola adalah penggemar yang
langsung melihat dan merasakan spirit permainan sepakbola di dalam stadion
(www.ilove football.com). Selanjutnya Soekanto (Irpani, 2010), menjelaskan
definisi supporter sebagai suatu bentuk kelompok sosial yang secara relatif tidak
teratur dan terjadi karena ingin melihat sesuatu (spectator crowds). Supporter
bersifat aktif, memberikan dukungan dengan dilandasi oleh perasaan cinta dan
fanatisme tertentu.
-
41
Dalam segi jumlah supporter, anggota kelompok supporter sepak bola Persib
Bandung (Bobotoh) merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Kelompok
supporter ini terbagi atas kelompok mikro diantaranya Viking dan Bombers.
1. Kelompok Supporter Viking
Nama Viking diambil dari nama sebuah suku bangsa yang mendiami
kawasan Skandinavia di Eropa Utara. Suku bangsa tersebut dikenal dengan
sifat yang keras, berani, gigih, solid, patriotis, berjiwa penakluk, pantang
menyerah, serta senang menjelajah. Karakter dan semangat itulah yang
mendasari pengadopsian nama Viking kedalam nama kelompok yang telah
dibentuk.
Secara demonstratif, Viking Persib Club pertama kali mulai menunjukan
eksistensinya pada Liga Indonesia I tahun 1993, yang digemborkan sebagai
kompetisi semi-professional pertama di Indonesia. Idealisme Viking Persib
Club adalah sebuah kelompok bukanlah organisasi atau fans club dengan
segala aturan-aturan formal yang mengikatnya. Setiap anggota atau Vikers
adalah bagian dari sebuah keluarga, dan layaknya sebuah keluarga,
keberagaman sifat dan tingkah laku yang berada didalamnya adalah
merupakan sesuatu hal yang lumrah, dan Viking akan selalu berusaha untuk
mengakomodir keberagaman tersebut.
Kelompok supporter Viking dapat dikatakan sebagai kelompok sosial,
karena didalamnya terdapat sekumpulan individu yang berinteraksi secara
bersama-sama serta memiliki kesadaran keanggotaan yang didasarkan oleh
kehendak dan perilaku yang disepakati. Para anggota Viking sebagian besar
-
42
didominasi oleh remaja dan dewasa awal. Tetapi hubungan pertemanan dan
kekeluargaan diantara mereka yang tulus, erat tanpa pamrih serta rasa
persaudaraan yang tinggi menjadi modal yang kuat bagi Viking untuk terus
eksis selama beberapa dekade.
Keanggotaan Viking Persib Club yang semakin besar, jelas menuntut
sebuah tanggung jawab serta pengaturan yang sedemikian rupa secara
professional, agar dapat lebih terukur dari segi pendataan, keuangan, rutinitas
maupun manajerial. Para anggota Viking Persib Club juga dituntut untuk lebih
aktif dalam menjalin kerjasama dan hubungan yang konstruktif dengan
manajemen Persib. Namun tentu saja semua formalitas tersebut tidak akan
menghilangkan warna, ciri khas serta karakter Viking Persib Club. Viking
Persib Club murni lahir secara independen berdasarkan inisiatif dari para
Bobotoh dari golongan grass root. Dalam pandangan Viking, supporter tidak
hanya berperan sebagai tukang sorak saat menyaksikan dan mendukung
kesebelasan kesayangannya, tetapi peran supporter harus lebih dari itu. Dia
harus menjadi pembangkit semangat saat tim kesayangannya jatuh bangun
menunaikan tugasnya di lapangan. Supporter juga harus menjadi kekuatan
tambahan bagi para pemain dilapangan.
Kepemimpinan dan Kepengurusan Viking Persib Club sejak awal
berdirinya hingga saat ini diketuai oleh Heru Joko, dengan Panglima Ayi
Beutik. Kata Panglima disini adalah sosok Ibu dalam keluarga, pengasuh
bagi anak-anaknya, sosok yang memimpin serta melindungi para anggota
apabila terjadi sesuatu dilapangan. Sedangkan jabatan Ketua Umum yang
-
43
disandang Heru Joko, adalah sebagai figur kharismatik yang memiliki fungsi
politis keluar organisasi atau kelompok lain. Lain halnya dengan Yoedi Baduy
yang menjabat sebagai Sekretaris Umum, ia mengelola dan mengkoordinir
segala bentuk kegiatan secara administratif (http://www.persibsaalamdunya.com).
2. Kelompok Supporter Bombers
BOMBERS (Bobotoh Maung Bandung Bersatu) adalah organisasi
supporter PERSIB Bandung yang berdri pada tanggal 3 Agustus 2001.
BOMBERS terkenal fanatis, cerdas, kreatif, inovatif, dan selalu tanpa henti
bergoyang memberikan yel-yel di tribun selatan untuk Pangeran Biru yang
sedang bertanding (http://www.persibsaalamdunya.com/profile).
Bomber merupakan salah satu dari beberapa kelompok bobotoh yang ingin
meramaikan laga Persib di Liga Indonesia (http://www.persib.web.id). Ketua
Umum Bombers, Asep Saepudin Abdul, menegaskan, anggota Bombers kota
Bandung berjumlah 400 orang. Anggota Bombers juga tersebar di seluruh
Jawa Barat dengan sekretariat di Jalan Babakan Ciparay No 140,
Bandung. Bombers Sejak lama, jika menyaksikan Persib menjamu musuhnya,
anggota Bombers selalu menempatkan diri di tribun selatan.
Cikal bakal Bombers berasal dari kelompok bobotoh yang menamakan
diri Persib Stones Lover. Kelompok ini berdiri tahun 90-an dan mereka
pencinta Persib sekaligus penggemar grup musik Rolling Stones.
Bombers atau Bobotoh Maung Bandung Bersatu mulai dirintis sejak 1997
tak kurang dari dua lusin perkumpulan bobotoh telah menyatakan sikap untuk
berafiliasi dan akhirnya mendeklarasikan bomber di hotel Santika Bandung
http://www.persibsaalamdunya.com/profilehttp://www.persibsaalamdunya.com/profile
-
44
pada tanggal 3 agustus 2001. Dalam berdemokrasi bomber membebaskan
perkumpulan yang berada dalam pondasi bomber untuk tetap memakai atribut
kebesaran mereka masing-masing namun jika sudah berada dilapangan
merekapun sepakat hanya akan mengibarkan bendera bomber.
Dalam perjalananya bomber sudah mengalami empat kali pergantian ketua
umum yaitu Asep S Abdul, Arip Maulana Yusuf, Arief Maulana DJ, dan pada
tahun 2007 kembali diketuai oleh Asep S Abdul hingga sekarang. Pada tahun
2006 Bomber sempat meleburkan diri bersama Viking Persib Club dan
menjadi distrik viking terbesar dengan nama Viking The Bomberman namun
hanya jelang satu tahun pada tahun 2007 bomber kembali mencoba mandiri
dan menjadi organisasi yang independent dengan nama Bombers.
Bombers mempunyai tujuan untuk mendukung Persib Bandung dalam
semua lingkup kegiatannya, mendukung timnas Indonesia dalam kancah
persepakbolaan Nasional dan Internasional, bomber juga berkomitmen untuk
membangun supporter sepak bola yang kritis, kreatif, tertib, santun, cerdas dan
bertanggung jawab demi Persib.
Dalam kepengurusan Bombers (The Bomber) tingkat tertinggi adalah
Mabes Pusat yang membawahi kepengurusan Mabes Kota/Kabupaten untuk
tingkat Kota/Kabupaten, Rayon untuk tingkat Kecamatan, dan Ranting untuk
tingkat Kelurahan yang berlaku diseluruh daerah di Indonesia dan diawasi
langsung oleh Dewan pembina, Dewan penasehat, dan Dewan pelindung
Bombers. (http://bomberpersib.com).
http://bomberpersib.com/
-
45
C. HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian ini merujuk dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk
memperkaya bahasan dan kajian peneliti. Dari beberapa penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya didapat bahasan mengenai faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perilaku agresi oleh individu dan pengaruh kompetisi
sepak bola yang buruk terhadap perilaku agresif penontonnya.
Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Wahyuni (2005) menjelaskan
bahwa Agresi adalah perilaku fisik dan verbal yang disengaja untuk melukai
orang lain atau organisme lain. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa
lingkungan sosial seperti keluarga dan teman-teman sebaya yang paling
mempengaruhi terbentuknya perilaku agresi mahasiswa. Selain itu, para
mahasiswa juga dipengaruhi oleh kedua faktor baik internal maupun eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi meliputi kepribadian tipe A, harga diri,
amarah, dan temperamen. Sedangkan, faktor ekternal yang mempengaruhi adalah
sesak jejal, serangan, pengaruh kelompok.
Adapun penelitian lain yang dilakukan oleh Stejianny (2003) menjelaskan
bahwa pengalaman memperoleh hukuman fisik sejak masa anak memiliki
hubungan dengan perilaku agresif saat remaja. Dalam lingkungan keluarga
tersebut, pola asuh orangtua memegang peranan penting dalam proses
perkembangan anak. Dalam mengasuh anaknya, ada orangtua yang menggunakan
hukuman fisik. Hukuman fisik adalah perlakuan kasar orangtua secara jasmani,
yang dapat menimbulkan rasa sakit sebagai risiko atau akibat dari kesalahan yang
dilakukan seseorang. Sedangkan perilaku agresif adalah suatu perilaku fisik atau
-
46
tindakan yang bermaksud untuk menyakiti orang lain dalam bentuk kemarahan
yang hebat dan serangan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pengalaman
memperoleh hukuman fisik sejak masa anak berkorelasi dengan perilaku agresif
saat remaja. Semakin sering, semakin berat, dan semakin banyak variasi hukuman
fisik yang diterima seseorang, maka semakin sering, dan semakin banyak perilaku
agresifnya muncul.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2004) menjelaskan
bahwa salah satu dampak perilaku kekerasan fisik yang dilakukan itu pada
anaknya adalah munculnya perilaku agresif pada anak. Perilaku agresif dapat
dipelajari anak melalui belajar sosial yaitu melalui peniruan tingkah laku dari
orang-orang terdekat khususnya ibu. Peniruan tingkah laku ibu terhadap anak
berlanjut sampai anak beranjak remaja. Hal ini dapat terlihat dari tawuran-tawuran
pelajar yang banyak dilakukan oleh para pelajar SMP khususnya SMP Negeri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuat atau lemahnya hubungan antara
perilaku kekerasan fisik ibu pada anaknya terhadap munculnya perilaku agresif
anak SMP. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan perilaku kekerasan
fisik ibu pada anaknya terhadap munculnya perilaku agresif anak SMP.
Selanjutnya penelitian tentang agresi relasional di Indonesia yang
ditindaklanjuti oleh Pidada (2003) dengan menemukan fakta bahwa agresi fisik
lebih banyak dilakukan oleh laki-laki sedangkan perempuan lebih banyak
melakukan agresi relasional. Perbedaan gender dalam tindak agresi ditemukan
lintas kelompok usia baik pada usia yang lebih muda (masa anak-anak/middle
childhood) maupun di usia yang lebih tua (masa anak-anak akhir/late childhood).
-
47
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yahya (2010) menyimpulkan
bahwa sebuah kompetisi yang buruk menciptakan budaya yang buruk pula kepada
supporter. Hal ini merupakan Output dari tindakan kekerasan supporter yang
terjadi dalam sebuah pertandingan.
Adapun keistimewaan penelitian yang akan dilaksanakan ini mengangkat tema
tentang perbedaan perilaku agresi individu di dalam kelompok sosial, yaitu salah
satu kelompok supporter sepak bola terbesar di Indonesia, supporter Persib
Bandung. Selain itu penelitian ini juga akan memberikan informasi tentang
berbagai perilaku agresi yang dilakukan oleh anggota kelompok supporter Viking
dan Bombers saat menyaksikan pertandingan Persib di stadion.
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan mengangkat judul tentang: Perbedaan Perilaku Agresif
Anggota Kelompok Supporter Sepak Bola Persib Bandung antara Anggota
Kelompok Supporter Viking dan Bombers Kota Bandung.
D. KERANGKA BERPIKIR
Peristiwa-peristiwa olahraga memang menyediakan garis besar potensial
untuk perilaku agresif, baik untuk para atlet yang terlibat maupun penontonnya.
Sifat asertif permainan sepak bola maupun agresi yang diperlihatkan oleh
pemainnya selama pertandingan memberikan stimulus agresif tambahan yang bisa
menguatkan kecenderungan agresif penontonnya. Simon dan Tylor (Krahe, 2005)
menyatakan bahwa olahraga yang membutuhkan kontak fisik ekstensif lebih
mungkin meningkatkan kecenderungan agresif penontonnya.
-
48
Menurut Buss (1961), perilaku agresi adalah suatu perilaku yang dilakukan
untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-
objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut. Baik secara fisik atau verbal dan
secara langsung maupun tidak langsung. Samahalnya dengan pendapat Berkowitz
(1995) yang menyatakan bahwa agresi merupakan segala bentuk perilaku yang
disengaja untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental.
Kelompok supporter sepak bola Persib Bandung yang biasa disebut Bobotoh
merupakan salah satu kelompok supporter yang terkenal sangat antusias dan
fanatis. Bobotoh terdiri atas kelompok-kelompok supporter mikro diantaranya;
Viking Fans Club, Bombers (Bobotoh Maung Bandung Bersatu), Lady Viking
dan lain sebagainya. Setiap kelompok supporter ini memiliki massa yang cukup
banyak dan juga terkenal agresif saat menyaksikan tim kebanggaan mereka Persib
Bandung bertanding di stadion.
Berkaitan dengan perilaku agresif kelompok supporter sepak bola, diketahui
bahwa olah raga sepakbola sendiri memang berpotensi memunculkan perilaku
agresif bagi supporter yang menyaksikannya, terutama supporter yang menonton
pertandingan sepakbola secara langsung di stadion. Kemudian perilaku agresif
yang dilakukan para anggota kelompok supporter tersebut berbeda-beda dalam
bentuk dan tingkat tertentu. Berdasarkan fakta ini, peneliti bermaksud ingin
meneliti perbedaan perilaku agresif anggota kelompok supporter sepak bola
tersebut. Dalam hal ini, peneliti ingin meneliti perbedaan perilaku agresif anggota
kelompok supporter sepak bola Persib Bandung, yaitu antara anggota kelompok
supporter Viking dan Bombers.
-
49
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Perilaku Agresif
Anggota Kelompok Supporter
Sepak Bola Persib Bandung
BOMBER
S
VIKING
top related