uji diagnostik otoendoskop dibandingkan dengan...
Post on 18-Jan-2020
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UJI DIAGNOSTIK OTOENDOSKOP DIBANDINGKAN
DENGAN OTOSKOP LANGSUNG DALAM
MENDIAGNOSIS KELAINAN TELINGA PADA USIA
60 TAHUN KEATAS DI PANTI BERDIKARI BSD DAN
PANTI WERDHA MELANIA REMPOA
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH:
Niswatur Rosyidah
NIM:11151030000002
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2018
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Oktober 2018
Niswatur Rosyidah
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
UJI DIAGNOSTIK OTOENDOSKOP DIBANDINGKAN DENGAN
OTOSKOP LANGSUNG DALAM MENDIAGNOSIS KELAINAN
TELINGA PADA USIA 60 TAHUN KEATAS DI PANTI BERDIKARI BSD
DAN PANTI WERDHA MELANIA REMPOA
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Fakultas Kedokteran untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Niswatur Rosyidah
NIM: 11151030000002
Pembimbing II
di'. Fikri Mi4.hdr. Cut Wamaini, M.PH
NrP. 1982121t 200912 2 00t
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440IJt2018 M
111
Pembimbing I
anto, Sp.THT-
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Penelitian berjudul UJI DIAGNOSTIK OTOENDOSKOP
DIBANDINGKAN DENGAN OTOSKOP LANGSUNG DALAM
NIENDIAGNOSIS KELAINAN TELINGA PADA USIA 60 TAHUN
KEATAS DI PANTI BERDIKARI BSD DAN PANTI WERDHA MELANIA
REMPOA yang diajukan oleh Niswatur Rosyidah (NIM: 11151030000002),
telah cliujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 26
Oktober 2018. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada Fakultas Kedokteran.
Ciputat, Oktober 2018
DEWAN PENGUJI
dr. Fikri Mi Sp. THT-KL
dr. Fikri Mirza Pu
Pembimbing II
^.h Nv
dr. Cut Wamaini, M.PH
NrP. 19821211200912 2 001NIP. -
Penguii I
Dr. Cr. Syarief Hasan [,utfie, Sp.KFR
NrP. 19620840 199003 1 002
dr. Wahya Sigit Purnomo, Sp.THT-KL
NIP. 3671 07 1,4 098000 12
PIMPINAN FAKULTAS
KAN FK UIN
, Ph.D., Sp.PDKEMD
KAPRODI PSKed
--------*--- fr>r-'fi,ffidr. Achmad zuui,i...npid, Sp.oT
NrP. 19780s07 200501 1 005
iv
Pembimbing I
t965tt232003t2 1 003
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur saya panjatkan atas kehadirat
Allah SWT, karena limpahan nikmat, rahmat, serta anugerah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bawa penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar – besarnya kepada:
1. dr. H. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD selaku dekan FK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp. THT-KL dan dr Cut Warnaini, M.PH selaku
dosen pembimbing skripsi, yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing, memberi masukan serta arahan dan motivasi selama
pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.
3. drg. Laifa Hendarmin, DDS, Ph.D. dan dr. Flori Ratna Sari, Ph.D. selaku
dosen penanggung jawab riset mahasiswa Fakultas Kedokteran UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2015 yang telah memotivasi kami
untuk dapat menyelesaikan riset tepat waktu dan memberi arahan serta
masukan dalam penelitian yang akan kami lakukan.
4. dr. Diana Rosalina, Sp. THT-KL selaku ahli THT-KL yang telah bersedia
membantu penelitian ini sebagai pembaca hasil diagnosis telinga.
5. Kedua orangtua penulis yang tercinta, Abi Sachlan Joediono dan Ibu
Endah Pujiwati, serta adik-adik tersayang Almas Ahmad N dan Dafa
Fadilah H yang selalu mencurahkan cinta dan kasih sayangnya dan selalu
memberi dukungan baik moril, materil dan spiritual yang tak kunjung
hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.
6. Teman seperjuangan penelitian, yaitu Harum Dzati Fitriyah, Wafa Sofia
Fitri, dan khususnya Andi Noldy yang telah bersedia bersama-sama
vi
mengantar kami selama bimbingan serta ke panti werdha untuk
melakukan penelitian dan telah bekerja sama dengan baik dan saling
bahu membahu memberikan dukungan, semangat dan motivasi selama
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat penulis, yaitu Igor Ade Albion, Fatimah Azzahra, Dwy
Ainurrokhimah, Shiella Fauziah, Hasna Aqilah, Qotrun Nada, dan teman-
teman Razveda Jabodetabek yang telah memberi dukungan dan menjadi
tempat keluh kesah selama proses penelitian ini berlangsung.
8. Seluruh teman – teman program studi kedokteran angkatan 2015 yang
selalu memberi dukungan dan semangat.
9. Semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan skripsi
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan
ketidasempurnaan mengingat keterbatasan kemampuan penulis, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran.
Ciputat, Oktober 2018
Penulis
vii
ABSTRAK
Niswatur Rosyidah. Program Studi Kedokteran. Uji Diagnostik Otoendoskop
Dibandingkan dengan Otoskop Langsung dalam Mendiagnosis Kelainan
Telinga Pada Usia 60 tahun Keatas di Panti Berdikari BSD dan Panti
Werdha Melania Rempoa. 2018.
Latar belakang: Menurut Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan
pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (36,6%), kemudian
kelompok umur 65-74 tahun (17,1%). Maldistribusi dokter spesialis di Indonesia
menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak maksimal. Terlebih dokter
spesialis THT, yang dapat menyebabkan keterlambatan proses rujukan. Uji
diagnostik otoendoskop dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan telinga
dan sangat mudah digunakan bagi yang mempunyai kompetensi serta dapat
dengan mudah dikonsultasikan hasilnya kepada dokter lain. Tujuan: Mengetahui
hasil uji diagnostik otoendoskop dibandingkan dengan otoskop langsung dalam
mendiagnosis kelainan telinga pada lansia. Metode: Penelitian ini menggunakan
desain penelitian cross sectional dengan total 42 lansia dan 84 gambaran telinga
dari dua panti berbeda. Diagnosis diperoleh dari dua dokter spesialis THT-KL
yang ikut saat pemeriksaan dan yang tidak ikut. Hasil: Bedasarkan hasil diagnosis
dokter ikut didapatkan nilai sensitivitas 94,1%, spesifisitas 79,4%, nilai duga
positif 82%, nilai duga negatif 93,1%, dan akurasi 86,7%. Sedangkan hasil untuk
dokter tidak ikut didapatkan nilai sensitivitas 87,5%, spesifisitas 87,8%, nilai duga
positif 87,5%, nilai duga negatif 87,8%, dan akurasi 87,5%. Nilai kesesuaian antar
dua dokter spesialis THT-KL didapatkan sebesar 0,7. Simpulan: Nilai sensitivitas,
spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan akurasi otoendoskop
dibandingkan otoskop langsung dalam mendiagnosis kelainan telinga pada lansia
adalah baik. Nilai kesesuaian yang didapat dari dua dokter juga baik.
Kata kunci: Uji diagnostik, otoendoskop, kelainan telinga, lansia
viii
ABSTRACT
Niswatur Rosyidah. Medical Study Program. Otoendoscope Diagnostic Test
Compared to Direct Otoscope in Diagnosing Ear Disorders at The Age of 60
Years and Above at Panti Berdikari BSD and Panti Werdha Melania. 2018.
Background: According to Riskesdas 2013, the highest prevalence of hearing loss
was found in the age group 75 years and over (36.6%), then the age group 65-74
years (17.1%). The uneven distribution of specialist doctors in Indonesia causes
health services to be not optimal. Moreover, ENT specialists, which can cause
delays in the referral process. Otoendoscope diagnostic test can help establish a
diagnosis of ear disorders and is very easy to use for those who have competence
and can easily consult the results of other doctors. Objective: To find out the
results of the otoendoscope diagnostic test compared to direct otoscope in
diagnosing ear disorders in the elderly. Methods: This study used a cross sectional
study design with a total of 42 elderly and 84 ear images from two different
institutions. Diagnosis was obtained from two ENT specialists who took part in
the examination and who did not participate. Result: Based on the results of the
diagnosis the doctor obtained a sensitivity value of 94.87%, specificity of 79,4%,
positive predictive value of 82%, negative predictive value of 93.5%, and
accuracy of 86,7%. Whereas the results for doctors were not take a part in the
examination has a sensitivity value of 88.88%, specificity of 87,8%, positive
predictive value of 87,5%, negative predictive value of 87,8%, and accuracy of
87,5%. The suitability value (kappa) between two ENT specialists was 0.7.
Conclusion: The value of sensitivity, specificity, positive predictive value,
negative predictive value, and the accuracy of autocloscope compared to otoscope
directly in diagnosing ear disorders in the elderly is good. The suitability value
(kappa) obtained from two doctors is also good.
Keywords: Diagnostic test, autoendoscope, ear disorders, elderly
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.3 Hipotesis ........................................................................................................ 3
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3
1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 3
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3
1.5.1 Bagi Peneliti ............................................................................................ 3
1.5.2 Bagi Subjek Penelitian ............................................................................ 4
1.5.3 Bagi Perguruan Tinggi ............................................................................ 4
1.5.4 Bagi Dunia Kedokteran .......................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1 Landasan Teori .............................................................................................. 5
2.1.1 Anatomi Telinga ..................................................................................... 5
2.1.1.1 Telinga Luar ......................................................................................... 5
2.1.1.2 Membran Timpani ............................................................................... 6
2.1.1.3 Telinga Tengah .................................................................................... 7
x
2.1.2 Variasi Kelainan Liang Telinga .............................................................. 7
2.1.2.1 Serumen ............................................................................................... 7
2.1.2.2 Otitis Eksterna...................................................................................... 8
2.1.2.3 Otomikosis ......................................................................................... 12
2.1.2.4 Kolesteatoma Eksterna ...................................................................... 13
2.1.3 Variasi Kelainan Telinga Tengah ......................................................... 14
2.1.3.1 Otitis Media Supuratif ....................................................................... 14
2.1.3.2 Otitis Media Non Supuratif................................................................ 20
2.1.3.3 Otitis Media Adhesiva ....................................................................... 21
2.1.4 Gangguan Pendengaran Pada Usia 60 Tahun Keatas ........................... 22
2.1.5 Pemeriksaan Telinga Menggunakan Otoskop ...................................... 23
2.1.5.1 Otoskop .............................................................................................. 23
2.1.5.2 Otoendoskop ...................................................................................... 25
2.1.5.3 Prosedur Penggunaan Otoskop .......................................................... 26
2.1.6 Uji Diagnostik ....................................................................................... 29
2.1.7 Uji Kesesuaian ...................................................................................... 29
2.2 Kerangka Teori ............................................................................................ 30
2.3 Kerangka Konsep ........................................................................................ 31
2.4 Definisi Operasional .................................................................................... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 32
3.1 Desain Penelitian ......................................................................................... 32
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 32
3.3 Populasi Penelitian ...................................................................................... 32
3.3.1 Populasi Target ..................................................................................... 32
3.3.2 Populasi Terjangkau ............................................................................. 32
3.4 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel ....................................................... 32
3.4.1 Besar Sampel ....................................................................................... 33
3.4.1.1 Penghitungan Besar Sampel .............................................................. 33
3.4.1.2 Sampel yang Diambil......................................................................... 33
3.4.2 Kriteria Sampel ..................................................................................... 33
3.4.2.1 Kriteria Inklusi ................................................................................... 33
3.4.2.2 Kriteria Eksklusi ................................................................................ 34
xi
3.5 Cara Kerja Penelitian ................................................................................... 34
3.6 Alur Penelitian ............................................................................................. 35
3.7 Managemen Data ......................................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 37
4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................ 37
4.1.1 Gambaran Umum Penelitian ................................................................. 37
4.1.3 Hasil Uji Diagnostik Otoendoskop Dibandingkan dengan Otoskop
Langsung ........................................................................................................ 39
4.1.4 Hasil Uji Kesesuaian ............................................................................. 41
4.2 Pembahasan ................................................................................................. 42
4.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 44
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 45
5.1 Simpulan ...................................................................................................... 45
5.2 Saran ............................................................................................................ 45
BAB VI KERJASAMA PENELITIAN ............................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 47
LAMPIRAN .......................................................................................................... 50
xii
DAFTAR SINGKATAN
WHO : World Health Organization
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
THT-KL : Telinga Hidung Tenggorok - Kepala Leher
OMA : Otitis media akut
OMSK : Otitis media supuratif kronik
Lansia : Lanjut usia
RI : Republik Indonesia
USB : Universal Serial Bus
Wifi : Wireless Fidelity
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi karakteristik subyek dan sebaran diagnostik
pemeriksaan otoskop langsung ............................................................................. 38
Tabel 4.2 Uji diagnostik otoendoskop dengan otoskop langsung dokter ikut ...... 39
Tabel 4.3 Uji diagnostik otoendoskop dengan otoskop langsung dokter tidak
ikut ........................................................................................................................ 40
Tabel 4.4 Tabel silang hasil uji kesesuaian otoendoskop antara dokter ikut dan
dokter tidak ikut .................................................................................................... 41
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Anatomi Telinga................................................................................. 5
Gambar 2.2: Anatomi Membran Timpani ............................................................... 6
Gambar 2.3: Otitis Eksterna Akut Terlokalisasi (Furunkel) ................................. 10
Gambar 2.4: Otitis Eksterna Difusa (Swimmer ear) ............................................. 11
Gambar 2.5: Otomikosis ....................................................................................... 13
Gambar 2.6: Otitis Media Akut Stadium Supuratif .............................................. 16
Gambar 2.7: Otitis Media Akut Stadium Perforasi ............................................... 17
Gambar 2.8: Otitis Media Akut Stadium Resolusi................................................ 18
Gambar 2.9: Otoskop ............................................................................................ 24
Gambar 2.10: Spekulum........................................................................................ 24
Gambar 2.11: Otoendoskop LESHP 2 in 1 ........................................................... 25
Gambar 2.12: Otoendoskop LESHP 2 in 1 ........................................................... 25
Gambar 2.13: Cara menarik daun telinga ............................................................. 27
Gambar 2.14: Cara memegang otoskop ................................................................ 27
Gambar 2.15: Anatomi membran timpani kanan .................................................. 28
Gambar 7.1: Surat Izin Kerjasama .................................................................50
Gambar 7.2: Foto bersama pengurus panti Werdha Melania................................. 51
Gambar 7.3: Proses pengambilan gambar dengan posisi subyek tidur.................. 51
Gambar 7.4: Proses pengambilan gambar dengan posisi subyek duduk ..............51
Gambar 7.5: Otitis media perforasi .................................................................51
Gambar 7.6: Normal .....................................................................................51
Gambar 7.7: Serumen basah ..........................................................................51
Gambar 7.8: Serumen kering .........................................................................51
Gambar 7.9: Tidak dapat dinilai ............................................................................51
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Kerjasama.....................................................................50
Lampiran 2 Lembar Penjelasan Penelitian.......................................................51
Lampiran 3 Gambar Proses Penelitian.............................................................53
Lampiran 4 Gambar Hasil Diagnosis...............................................................54
Lampiran 5 Tabel Induk...................................................................................55
Lampiran 6 Hasil Analisis Statistik.................................................................58
Lampiran 7 Riwayat Penulis............................................................................60
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan keseimbangan yang
terdiri dari telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Pendengaran merupakan
salah satu sensori manusia yang amat penting untuk hidup.1 Maka dari itu,
kesehatan telinga adalah syarat penting bagi upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia karena sebagian besar infomasi diserap melalui proses mendengar
yang baik.
Menurut World Health Organization (WHO) saat ini diperkirakan ada 360
juta (5,3%) orang di dunia mengalami gangguan pendengaran, dan 328 juta (91%)
diantaranya adalah orang dewasa (183 juta adalah laki-laki dan 145 juta
perempuan) dan 32 juta (9%) adalah anak-anak. Prevalensi gangguan meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi gangguan pendengaran pada orang di
atas 65 tahun bervariasi, dari 18 sampai hampis 50% di seluruh dunia.2
Di Indonesia sendiri, jumlah penderita gangguan pendengaran ternyata
cukup banyak. Kementerian Kesehatan pada tahun 1994 – 1996 pernah
mengadakan Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran di
tujuh propinsi di Indonesia. Hasilnya ditemukan bahwa prevalensi ketulian 0,4%,
morbiditas telinga 18,5%. Penyakit telinga luar 6,8%, penyakit telinga tengah
3,9%, presbikusis 2,6%, ototoksisitas 0,3%, tuli mendadak 0,2%, dan tuna rungu
0,1%.3
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan Lanjut Usia (lansia)
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.4 Secara umum,
kondisi fisik seseorang yang telah memasuki masa lanjut usia mengalami
penurunan. Salah satunya adalah berkurangnya fungsi pendengaran.
Berkurangnya fungsi ini dapat menyebabkan terjadinya isolasi sosial, depresi dan
menarik diri dari aktivitas hidup. Gangguan pendengaran ini meliputi tuli,
kehilangan pendengaran berat, ataupun kehilangan pendengaran parsial yang
dapat menyebabkan sulit berkomunikasi.5
2
Bedasarkan hasil Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan
pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (36,6%), kemudian
kelompok umur 65-74 tahun (17,1%). Sedangkan angka prevalensi terkecil berada
pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,8%).
Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur dengan gangguan
pendengaran, yaitu umur lebih dari 75 tahun (1,45%), dan prevalensi terkecil
berada pada kelompok umur 5-14 tahun dan 15-24 tahun (masing-masing 0,04%).
Kemudian jika dilihat bedasarkan jenis kelamin, perempuan sedikit lebih tinggi
daripada laki-laki (2,8%;2,4%), begitu pula prevalensi ketulian, perempuan sedikit
lebih tinggi daripada laki-laki (0,10%;0,9%).6
Di Indonesia masih terdapat beberapa kekurangan mengenai jumlah tenaga
kesehatan yang dimiliki, antara lain adalah jumlah tenaga kesehatan yang masih
kurang, distribusi yang tidak merata, dan kualitas yang belum memadai. Distribusi
tenaga kesehatan yang tidak merata masih menjadi hal penting yang harus
diselesaikan. Distribusi dokter spesialis tertinggi terdapat di Jakarta yang
mencapai 70,6%, kemudian disusul DI Yogyakarta 38,5% per 100.000 penduduk.
Jumlah ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain seperti
Nusa Tenggara, Maluku, Kalimantan, Papua, Bengkulu yang tidak mencapai 10%
distribusinya. Maldistribusi ini menyebabkan sulitnya pelayanan kesehatan di
Indonesia.7 Orang yang ingin mendapat pelayanan kesehatan yang lebih baik
harus pergi ke pusat kota terlebih dahulu dan menempuh waktu yang lama. Hal ini
menjadi penting apabila dokter yang berada di daerah harus merujuk pasien ke
pusat kota karena tidak memiliki peralatan yang memadai.
Oleh karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan banyak penderita
kelainan telinga khususnya lansia, peneliti ingin menguji nilai sensitivitas,
spesifisitas, dan nilai kesesuaian otoendoskop sebagai alat diagnostik yang bisa
digunakan untuk membantu dokter-dokter umum untuk berkonsultasi dengan
dokter spesialis telinga hidung tenggorok (THT) yang berada jauh dari jangkauan
dalam mendiagnosis kelainan telinga sehingga proses perujukan tidak terlambat.
Otoendoskop ini termasuk alat yang baru buatan China. Namun untuk validasi alat
ini belum dilakukan. Kelebihan lain dari otoendoskop ini adalah alat yang handy,
mudah dipakai, dan ringan jadi bisa dibawa kemanapun dan digunakan saat
3
diperlukan. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan studi pendahuluan mengenai
alat ini agar dapat membuka kesempatan kepada peneliti lain untuk melakukan
penelitian lanjutan dengan otoendoskop.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah otoendoskop dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan telinga
pada usia 60 tahun keatas di panti reda?
1.3 Hipotesis
Otoendoskop dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan telinga pada usia
60 tahun keatas di panti reda.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hasil uji diagnostik otoendoskop dibandingkan dengan otoskop
langsung dalam mendiagnosis kelainan telinga pada usia 60 tahun keatas
1.4.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas otoendoskop
dibandingkan dengan otoskop langsung dalam mendiagnosis kelainan
telinga pada lansia
Untuk mengetahui nilai duga positif dan nilai duga negatif otoendoskop
dibandingkan dengan otoskop langsung dalam mendiagnosis kelainan
telinga pada lansia
Untuk mengetahui nilai akurasi otoendoskop dibandingkan dengan
otoskop langsung dalam mendiagnosis kelainan telinga pada lansia
Untuk menilai tingkat kesesuaian diagnosis otoendoskop antara dokter
yang ikut saat pengambilan sampel dan dokter yang tidak ikut saat
pengambilan sampel
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Menjadi salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana dokter di FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
Mengasah kemampuan menggunakan alat otoendoskop
Menambah pengetahuan peneliti tentang gangguan pendengaran pada
geriatri, analisis statistik, dan cara pembuatan skripsi
1.5.2 Bagi Subjek Penelitian
Mengetahui diagnosis kelainan telinga pada usia 60 tahun keatas
menggunakan otoendoskop
1.5.3 Bagi Perguruan Tinggi
Melaksanakan kegiatan tridarma perguruan tinggi sebagai lembaga
penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian bagi masyarakat
Menambah referensi penelitian di FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada bidang kedokteran
Menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang serupa di
masa mendatang
1.5.4 Bagi Dunia Kedokteran
Menjadi dasar untuk diaplikasikannya otoendoskop di Indonesia sebagai
pendeteksi gangguan pendengaran
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Anatomi Telinga
Telinga manusia terdiri dari tiga bagian, yakni telinga luar, telinga
tengah, dan telinga dalam. Bagian luar dan tengah berguna untuk menyalurkan
gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan. Telinga dalam
memiliki Koklea yang berguna untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls
saraf sehingga kita dapat mendengar, dan Aparatus Vestibularis yang penting
sebagai sensasi keseimbanagan.8 Dan disini akan dibahas khususnya telinga luar
dan telinga tengah.
2.1.1.1 Telinga Luar
Gambar 2.1: Anatomi Telinga
Sumber: Principles of Anatomy and Physiology, Tortora, 2009
Telinga luar terdiri dari pinna (daun telinga), meatus auditorius eksternus
(saluran telinga) dan membran timpani (gendang telinga). Pinna berupa lipatan
menonjol tulang rawan berlapis kulit yang gunanya untuk mengumpulkan
gelombang suara dan menyalurkan ke saluran telinga luar.8
Meatus auditorius
6
adalah saluran sepanjang 2,5 cm yang dijaga oleh rambut-rambut halus. Kulit
yang melapisi saluran ini mengandung kelenjar keringat modifikasi yang
menghasilkan serumen. Serumen ini adalah suatu sekret lengket yang menjebak
partikel-partikel kecil asing. Rambut halus dan serumen berguna untuk mencegah
partikel di udara mencapai bagian dalam saluran telinga. Membran timpani
membentang merintangi pintu masuk ke telinga tengah, dan bergetar ketika
terkena gelombang suara.8
2.1.1.2 Membran Timpani
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah
liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut
pars flaksida, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida terdiri
dari dua bagian, yakni bagian luar yang merupakan lanjutan epitel kulit liang
telinga dan bagian dalam yang dilapisi oleh sel kubus bersilia. Namun untuk pars
tensa, memiliki satu lapis lagi di tengah, yakni lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan
sirkuler pada bagian dalam. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik,
di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga
tengah dengan antrum mastoid.9
Bagian yang disebut umbo adalah bayangan penonjolan bagian bawah
maleus pada membran timpani. Dari umbo terdapat reflek cahaya (cone of light)
ke arah bawah yakni pada pukul tujuh untuk membran timpani kiri dan pukul lima
untuk membran timpani kanan. Reflek cahaya adalah cahaya dari luar yang
dipantulkan oleh membran timpani.9
Gambar 2.2: Anatomi Membran Timpani
Sumber: Gray’s Anatomi for Student
7
Membran timpani dibagi menjadi empat kuadran, dengan menarik garis
searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di
umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-belakang,
dan bawah-depan. Pembagian ini berguna untuk menunjukkan letak perforasi
membran timpani.9
2.1.1.3 Telinga Tengah
Telinga tengah adalah rongga berisi udara di dalam tulang temporalis yang
terbuka melalui tuba auditorius ke nasofaring dan melalui nasofaring ke luar.
Tuba ini biasanya tertutup, tapi ketika mengunyah, menelan, dan menguap,
saluran ini terbuka mengakibatkan tekanan di kedua sisi gendang telinga
seimbang.8
Dinding medial telinga tengah memiliki tingkap bulat dan tingkap oval
yang menghubungkan telinga tengah dengan telinga dalam. Ada tiga osikel, yakni
maleus (palu) terikat dengan membran timpani, stapes (sanggurdi) melekat ke
tingkap oval, dan incus (landasan) yang terletak diantara maleus dan stapes.10
2.1.2 Variasi Kelainan Liang Telinga
2.1.2.1 Serumen
Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel
kulit yang terlepas dan partikel debu. Dalam keadaan normal, serumen terdapat di
sepertiga luar liang telinga karena kelenjar-kelenjar tersebut ditemukan di daerah
ini. Konsistensinya biasanya lunak, namun kadang juga kering. Serumen ini dapat
keluar dengan sendirinya dari liang telinga akibat migrasi epitel kulit yang
bergerak dari arah membran timpani menuju keluar, dan juga dibantu oleh
gerakan rahang saat mengunyah.9
Serumen dalam liang telinga sendiri mempunyai efek proteksi. Serumen
akan mengikat kotoran dan menyebabkan aroma yang tidak disukai oleh serangga,
sehingga serangga enggan untuk ke dalam liang telinga. Namun pada gumpalan
serumen yang menumpuk, akan menyebabkan gangguan pendengaran berupa tuli
konduktif. Terutama saat telinga masuk air seperti mandi dan berenang, serumen
8
akan mengembang kemudian menyebabkan rasa tertekan dan gangguan
pendengaran yang sangat mengganggu.9
Serumen dapat dibersihkan sesuai dengan konsistensinya. Serumen yang
lembik, dapat dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada pelilit kapas.
Sedangkan serumen yang keras, dapat dibersihkan dengan pengait atau kuret.
Apabila serumen terlalu keras dan tidak dapat dikeluarkan, maka perlu dilunakkan
dengan tetes karbolgliserin 10% selama 3 hari. Namun untuk serumen yang sudah
terlalu jauh masuk ke dalam liang telinga dan dikhawatirkan akan melukai
membran timpani, dilakukan irigasi dengan air hangat yang suhunya sama dengan
suhu tubuh.9
2.1.2.2 Otitis Eksterna
Definisi
Otitis eksterna adalah sutu inflamasi atau infeksi dari meatus akustikus
eksterna yang disebabkan oleh bakteri ataupun jamur dengan tanda-tanda rasa
tidak enak di liang telinga, deskuamasi, terdapat sekret dan berkecenderungan
terjadinya kekambuhan.9
Etiologi
Otitis eksterna terutama disebabkan oleh infeksi bakteri, yaitu
staphylococcus aureus, staphylococcus albus, dan escherichia coli. Penyakit ini
dapat juga disebabkan oleh jamur (10% otitis eksterna disebabkan oleh jamur
terutama jamur pityrosporum dan aspergilosis), alergi, dan virus (misalnya: virus
varisela zoster).9 Otitis eksterna dapat juga disebabkan oleh terlalu sering
membersihkan serumen atau retensi air (swimmer’s ear) yang menyebabkan
meatus akustikus eksternus menjadi lebih alkali dan menurunnya produksi dari
agen antibakterial seperti lisozim.11
9
Klasifikasi Otitis Eksterna
Otitis eksterna diklasifikasikan atas :
1) Otitis eksterna akut :
Otitis eksterna akut adalah kondisi peradangan saluran telinga luar yang
dapat menyebar secara lateral ke pinna dan proksimal ke membran timpani yang
dapat menyebabkan otalgia, gatal, edema kanal, eritema, dan otorrhea. Temuan
klinis biasanya nyeri saat tragus dan pinna digerakkan. Otitis eksterna akut sering
terjadi setelah berenang atau trauma kecil dari pembersihan yang tidak benar.
Mekanisme pertahanan menjadi tidak aktif pada telinga yang basah dan
deskuamasi kulit menyebabkan celah kecil sebagai tempat masuk
mikroorganisme.12
a. Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel / bisul)
Otitis eksterna sirkumskripta adalah infeksi oleh kuman pada kulit
disepertiga luar liang telinga yang mengandung adneksa kulit, seperti folikel
rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar serumen sehingga membentuk furunkel.
Sering timbul pada seseorang yang menderita diabetes. Kuman penyebabnya
biasanya Staphylococcus aureus atau Staphylococcus albus.9
Gejala dari otitis eksterna sirkumskripta adalah rasa nyeri yang hebat,
tidak sesuai dengan besar bisul. Gejala ini dirasakan karena kulit liang telinga
tidak mengandung jaringan longgar dibawahnya, sehingga rasa nyeri timbul pada
penekanan perikondrium. Rasa nyeri dapat juga timbul spontan pada waktu
membuka mulut (sendi temporomandibula). Selain itu terdapat juga gangguan
pendengaran bila furunkel besar dan menyumbat liang telinga. Rasa sakit bila
daun telinga ketarik atau ditekan. Terdapat tanda infiltrat atau abses pada
sepertiga luar liang telinga.9
Terapi pada otitis ini tergantung pada keadaan furunkel. Bila sudah
menjadi abses, tatalaksana yang diberikan yaitu aspirasi secara steril untuk
mengeluarkan abses. Antibiotik lokal diberikan dalam bentuk salep, seperti
Polymyxin B atau Bacitracin, atau antiseptik (asam asetat 2-5%) dalam alkohol.
10
Jika dinding furunkel tebal, dapat dilakukan insisi, kemudian dipasang salir
(drain) untuk mengalirkan abses. Biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik
secara sistemik, hanya diberikan obat simtomatik seperti analgetik dan obat
penenang.9
Gambar 2.3: Otitis Eksterna Akut Terlokalisasi (Furunkel)
Sumber: http://eac.hawkelibrary.com/ (06/05/18)
b. Otitis eksterna difus
Otitis eksterna difus dikenal juga sebagai telinga perenang (swimmer
ear), karena merupakan suatu problema umum dibagian otologi yang didapat pada
5–20 % penderita yang berobat ke dokter di daerah-daerah tropis dan subtropis.
Setelah mendapat pajanan air yang berkepanjangan, flora normal dari saluran
telinga luar yakni bakteri Gram positif menjadi didominasi bakteri Gram negatif.
Patogen yang sering adalah Pseudomonas aeruginosa yang terjadi pada 22-62%
kasus dan selanjutnya didominasi oleh patogen Gram positif Staphylococcus
aureus yang terjadi pada 11-34% kasus.11
Otitis eksterna difus biasanya
mengenai kulit liang telinga dua pertiga bagian dalam. Otitis eksterna difus
merupakan komplek gejala peradangan yang terjadi sewaktu cuaca panas dan
lembab dan dapat dijumpai dalam bentuk ringan, sedang, berat dan menahun.9
Tidak adanya serumen didalam liang telinga luar bisa merupakan suatu
predisposisi untuk terjadinya infeksi telinga. Telah dikemukakan bahwa serumen
dari telinga yang bersifat anti bakteri dianggap berguna untuk mempertahankan
telinga yang sehat.9
11
Diagnosis otitis eksterna difusa ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala dari anamnesis yang
didapatkan adalah otalgia (70%), terasa gatal (60%), telinga terasa penuh (22%),
dengan atau tanpa gangguan pendengaran (32%) atau sakit pada saluran telinga
saat. Dan tanda khas dari otitis eksterna difus adalah nyeri saat tragus dan pinna
digerakkan.12
Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop didapatkan kulit liang
telinga hiperemis, dan edema dengan batas yang tidak jelas, adanya sekret yang
berbau dan tidak mengandung musin.9
Gambar 2.4: Otitis Eksterna Difusa (Swimmer ear)
Sumber: http://eac.hawkelibrary.com/ (06/05/18)
Ada lima langkah dasar dalam penatalaksanaan otitis eksterna, yakni
membersihkan saluran telinga, mengobati peradangan dan infeksi, mengontrol
rasa sakit, menghindari faktor penyebab, dan menindaklanjuti penyakit.12 Langkah
pertama untuk terapi otitis eksterna difusa adalah berupa pembersihan secara
cermat semua debris dan abses di dalam liang telinga dengan menggunakan ujung
penghisap yang kecil.
Setelah meatus akustikus eksterna bersih, selanjutnya diberikan terapi
obat topikal. Pengobatan topikal dianggap lebih baik dari pengobatan oral atau
pembedahan karena proses peradangan terbatas pada kulit liang telinga.
Penatalaksanaan menggunakan antiseptik dan antibiotik topikal. Kortikosteroid
topikal juga dapat digunakan untuk membantu resolusi dari edema lokal dan
sebagai penghilang rasa sakit.12
Kadang-kadang diperlukan antibiotik sistemik.
Suatu antibiotika yang mengandung neomisin bersama polimiksin B sulfat
(cortisporin) atau kolistin (colymiysin) akan efektif pada 99 % pasien. Bila infeksi
12
disebabkan oleh jamur, salep Nystatin (mycostatin) dapat dioleskan semuanya ke
kulit liang telinga dan dapat digunakan tetesan m-kresil asetat (creysylate) atau
mertiolat dalam air (1:1000). Harus dihindarkan masuknya air selama 2 minggu
setelah infeksi teratasi untuk mencegah rekurensi.9
2) Otitis eksterna kronik
Otitis eksterna kronik adalah otitis eksterna yang berlangsung lama dan
ditandai oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks). Adanya sikatriks
menyebabkan liang telinga menyempit. Otitis eksterna malignan adalah infeksi
difus di liang telinga luar dan struktur lain disekitarnya. Biasanya terjadi pada
orang tua dengan penyakit diabetes mellitus. Pada otitis eksterna malignan
peradangan meluas secara progresif kelapisan subkutis, tulang rawan dan tulang
disekitarnya. Sehingga dapat timbul kondroitis, osteitis, dan osteomielitis yang
menghancurkan tulang temporal.9
Gejalanya dapat dimulai dengan rasa gatal pada liang telinga yang dengan
cepat dapat diikuti nyeri hebat, sekret yang banyak dan pembengkakan liang
telinga. Rasa nyeri tersebut semakin meningkat, liang telinga tertutup oleh
tumbuhnya jaringan granulasi yang tumbuh secara cepat. Saraf fasial dapat
terkena, sehingga menimbulkan paresis dan paralisis fasial.9
Derajat keparahan pada otitis eksterna kronik adalah sebagai berikut9:
Derajat I : Otitis eksterna nekrotikan (otalgi yang menetap, terbatas pada liang
telinga luar, tidak ada kelumpuhan n. fasialis)
Derajat II : Osteomielitis pada basis tengkorak yang terbatas (kelumpuhan nevus
fasialis pada foramen jugualar bagian lateral)
Derajat III : Osteomielitis pada basis tengkorak yang ekstensif (Ekstensi sampai
foramen jugular dan lebih medial bawah dari kepala).
2.1.2.3 Otomikosis
Otomikosis adalah infeksi liang telinga karena jamur. Jamur yang sering
menyebabkan otomikosis adalah Aspergillus niger, A. Fumigatus, dan Candida
13
albicans atau jamur lain. Infeksi jamur ini biasanya dipermudah dengan keadaan
yang panas dan lembab seperti di negara-negara tropis dan subtropis.
Pertumbuhan jamur sekunder juga terlihat pada pasien yang menggunakan
antibiotik topikal sebagai pengobatan otitis eksterna atau otitis media supurasi.13
Gambar 2.5: Otomikosis
Sumber: Buku Ballenger
Gejala dari infeksi jamur ini biasanya ada rasa gatal dan rasa penuh di liang
telinga, nyeri telinga, cairan encer dan sedikit bau, dan telinga seperti tersumbat
tapi sering juga ditemukan tanpa adanya keluhan.9,13
Koloni jamur akan tampak
putih, coklat atau hitam. Ketika diperiksa menggunakan otoskop, Aspergillus
niger akan tampak pertumbuhan filamen bewarana hitam, A. Fumigatus akan
tampak sedikit bewarna biru pucat atau hijau, dan Candida albicans akan
bewarna putih atau krem. Dan pada liang telinga akan tampak basah, merah, dan
edema.13
Pengobatan yang bisa dilakukan adalah membersihkan liang telinga dengan
meneteskan larutan asam asetat 2% dalam alkohol, larutan Iodium povidon 5%,
atau tetes telinga yang mengandung campuran antibiotik dan steroid. Kadang juga
diperlukan obat anti jamur yang diberikan secara topikal yang mengandung
nistatin, klotrimazol.9
2.1.2.4 Kolesteatoma Eksterna
Pada kolesteatoma eksterna terjadi erosi tulang liang telinga di daerah
posteroinferior. Berbeda dengan kolesteatoma pada telinga tengah, epitel
skuamosa dari saluran eksternal akan menginvasi tulangnya. Biasanya ada
14
beberapa kelainan pada tulang eksterna sehingga epitel dapat dengan mudah
menginvasi seperti pasca trauma atau pasca bedah.13
Gejalanya berupa nyeri tumpul yang menahun dan otorea. Hal ini
disebabkan karena invasi dari kolesteatoma ke tulang yang menimbulkan
periosteitis. Pendengaran pada penderita biasanya normal, dan ditemukan hanya
pada satu sisi telinga. Penyakit ini lebih sering menyerang pada usia tua.9
Pengobatan pada kolesteatoma eksterna perlu dilakukan operasi untuk
mengangkat kolesteatoma dan tulang yang nekrotik. Indikasi dilakukannya
operasi adalah bila destruksi tulang sudah meluas ke telinga tengah, erosi tulang
pendengaran, kelumpuhan saraf fasialis, terjadi fistel labirin, atau otorea yang
berkepanjangan. Bila kolesteatoma masih kecil dan terbatas, dapat dilakukan
tindakan konservatif. Kolesteatoma dan jaringan nekrotik diangkat sampai bersih,
diikuti pemberian antibiotik topikal secara berkala. Pemberian obat tetes telinga
dari campuran alkohol atau gliserin dalam H2O2 3 % tiga kali seminggu sering
kali dapat menolong.9
2.1.3 Variasi Kelainan Telinga Tengah
2.1.3.1 Otitis Media Supuratif
1. Otitis Media Supuratif Akut
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastodi, dan sel-sel mastoid. Otitis media akut
(OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Faktor utama penyebab
OMA adalah sumbatan pada tuba Eustachius.9 Fungsi dari tuba Eustachius adalah
ventilasi pada telinga tengah, menjaga keseimbangan telinga tengah dengan
tekanan atmosfir. Jika tuba terhalang karena edema, sekret, dan peradangan dari
infeksi saluran napas atas, tekanan telinga tengah menjadi relatif negatif dan
menarik cairan ke dalam menyebabkan efusi. Bakteri akan tumbuh di cairan
telinga tengah dan menyebabkan inflamasi. Disfungsi dari tuba Eustachius yang
menyebabkan efusi pada telinga tengah jauh lebih umum pada anak-anak karena
tuba berorientasi lebih horizontal daripada dewasa dan gravitasi memiliki efek
yang lebih kecil pada drainase.14
15
Kuman penyebab OMA adalah bakteri piogenik seperti Streptococcus
hemolitikus, Staphylococcus aureus,dan Pneumococcus. Kadang juga dapat
ditemukan bakteri Haemophillus influenza, Escherichia coli, Streptococcus
anhemolitikus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aeruginosa.9
Gejala klinik
yang dirasakan pasien adalah otalgia (iritasi dan telinga tertarik pada anak-anak),
rasa penuh di telinga, kehilangan pendengaran, tinnitus, demam, membran
timpani menebal dan hiperemis, terdapat cairan di ruang telinga tengah (membran
timpani tidak bergerak atau menggembung berwarna kuning).9 Terdapat lima
stadium pada OMA bedasarkan perubahan mukosa telinga tengah, yaitu13
:
Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium oklusi tuba, terjadi edema dan hiperemis. Ujung nasofaring
dari tuba Eustachius akan memblok tuba dan menyebabkan tekanan di intra
timpani menjadi negatif. Terdapat retraksi membran timpani dan efusi pada
telinga tengah. Namun mungkin secara klinis belum terlalu terlihat. Gejala pada
stadium ini adalah tuli, sakit telinga, dan umumnya tidak ada demam. Tanda saat
dilakukan pemeriksaan otoskopi adalah retraksi membran timpani, prosesus
malleus lebih menonjol dan refleks cahaya menjadi hilang. Pada pemeriksaan
garpu tala akan menunjukkan tuli konduktif.13
Pengobatan pada stadium ini bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius agar tekanan negatif di dalam telinga tengah hilang. Obat yang
digunakan adalah obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis
untuk anak kurang dari dua belas tahun atau HCl efedrin 1% dalam larutan
fisiologis untuk anak di atas dua belas tahun dan dewasa. Sumber infeksi juga
harus diobati, bisa menggunakan antibiotik jika penyebabnya adalah bakteri.9
Stadium Presupurasi
Jika okulis tuba terjadi secara berkepanjangan, bakteri piogenik akan
menyerang rongga timpani dan menyebabkan hiperemis pada lapisannya.
Kemudian selanjutnya akan muncul eksudat inflamasi di telinga tengah. Gejala
yang dirasakan adalah sakit telinga yang dapat menganggu aktivitas tidur dan
berdenyut, tuli, tinnitus. Dapat juga disertai demam tinggi dan gelisah pada anak-
anak.13
16
Pada stadium presupurasi, tampak pembuluh darah yang melebar di
membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis dan edema.
Sekret yang terbentuk juga masih bersifat eksudat serosa sehingga sulit dilihat.9
Pengobatan pada stadium ini adalah antibiotik, obat tetes hidung, dan
analgetik. Antibiotik yang dianjurkan adalah dari golongan ampisilin atau
penisilin yang diberikan melalui intramuskular pada terapi awal agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat di dalam darah untuk mencegah mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran, dan kekambuhan. Pemberian antibiotik juga dianjurkan
minimal tujuh hari pemberian. Bila pasien alergi dengan penisilin, bisa diberikan
eritromisin.9
Stadium Supurasi
Pada stadium supurasi ditandai dengan pembentukan nanah di telinga
tengah dan bisa sampai ruang mastoid. Membran timpani akan menggembung dan
bisa saja ruptur. Gejala yang dirasakan adalah sakit telinga yang sangat menyiksa,
tuli akan semakin meningkat, dan demam tinggi. Bisa juga disertai muntah dan
bahkan kejang pada anak. Pada pemeriksaan otoskopi juga membran timpani
tampak merah dan cembung, bengkak, dan menonjol.13
Gambar 2.6: Otitis Media Akut Stadium Supuratif
Sumber:http://otitismedia.hawkelibrary.com/aom/1_13 (13/05/2018)
Pengobatan untuk stadium ini adalah pemberian antibiotik dan idealnya
disertai tindakan insisi membran timpani (miringotomi) bila membran timpani
masih utuh. Dengan miringotomi luka insisi akan menutup kembali, gejala klinis
akan lebih cepat hilang, dan ruptur membran dapat dihindari. Bila tidak dilakukan
17
insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka kemungkinan besar
membran timpani akan ruptur dan abses akan keluar ke liang telinga luar.9
Stadium Perforasi
Pada stadium perforasi, terjadi ruptur membran timpani dan abses keluar
mengalir ke liang telinga luar. Hal ini disebabkan terlambatnya pengobatan seperti
antibiotik atau karena virulensi kuman yang tinggi. OMA yang biasanya terjadi
pada anak-anak, pada stadium ini membuat anak menjadi tenang, suhu badan
turun, dan dapat tidur dengan nyenyak.9
Pengobatan yang dilakukan pada stadium ini adalah untuk mengurangi
sekret yang keluar dari liang telinga. Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci
telinga H2O2 3% selama 3-5 hari dan antibiotik yang adekuat. Biasanya sekret
akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.9
Gambar 2.7: Otitis Media Akut Stadium Perforasi
Sumber:http://otitismedia.hawkelibrary.com/aom/3_2_CSOM_Otorrhea
(13/05/2018)
Stadium Resolusi
Jika membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani akan
normal kembali secara perlahan. Jika sudah terjadi perforasi, maka sekret akan
berkurang dan akhirnya kering. OMA akan berubah menjadi otitis media supuratif
kronik (OMSK) bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus menerus
atau hilang timbul. OMA juga akan menimbulkan gejala sisa berupa otitis media
serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa adanya perforasi.9
Gejala yang dirasakan dengan evakuasi dari pus adalah sakit telinga
berkurang, demam turun, dan pasien merasa lebih baik. Hiperemis pada selaput
timpani akan berkurang dan kembali pada warna sebelumnya. Meatus akustikus
18
eksternal mungkin dapat mengandung darah yang kemudian menjadi
mukopurulen. Biasanya juga terlihat perforasi kecil pada kuadran anteroinferior
pars tensa.13
Gambar 2.8: Otitis Media Akut Stadium Resolusi
Sumber:http://otitismedia.hawkelibrary.com/aom/1_21 (13/05/2018)
Jika tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret yang keluar dari
liang telinga luar melalui perforasi membran timpani. Keadaan ini disebabkan
karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan ini, antibiotik
yang diberikan dapat dilanjutkan sampai tiga minggu. Bila pengobatan mencapai
tiga minggu dan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis,
dan keadaan ini disebut OMSK.9
2. Otitis Media Supuratif Kronik
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga
tengah terus-menerus atau hilang timbul. OMSK ini berasal dari OMA yang
prosesnya sudah berlanjut lebih dari dua bulan. Faktor penyebabnya adalah terapi
yang terlambat, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan
tubuh pasien rendah, dan higiene yang buruk. Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk
mendiagnosis OMSK ini dibuat bedasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
menggunakan otoskopi. Pemeriksaan penunjang juga dapat membantu mengakkan
diagnosis berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari
sekret telinga.9
Letak perforasi pada membran timpani juga menjadi penentu jenis OMSK
pada pasien. Pada perforasi sentral, perforasi terdapat pada pars tensa, sedangkan
19
di seluruh tepi perforasi masih ada sisa membran timpani. Pada perforasi
merginal, sebagian tepi langsung berhubungan dengan anulus timpanikum.
Kemudian pada perforasi atik adalah perforasi yang berada pada pars flaksida.9
OMSK dibagi menjadi dua jenis, yakni OMSK tipe aman dan OMSK tipe
bahaya. Pada OMSK tipe aman, peradangan terbatas pada mukosa dan biasanya
tidak mengenai tulang, dan perforasinya terletak di sentral. OMSK tipe aman ini
jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya karena tidak terdapat
kolesteatoma. Pada OMSK tipe bahaya, peradangan yang terjadi disertai
terbentuknya kolesteatoma. OMSK tipe ini dapat menimbulkan komplikasi yang
bahaya. Tanda klinis stadium dini dari OMSK tipe bahaya adalah terdapat
perforasi di marginal atau atik. Kemudian pada stadium lanjut dapat terlihat abses
atau fistel retroaurikuler, polip atau jaringan granulasi pada liang telinga luar yang
berasal dari telinga tengah, terlihat kolesteatoma, sekret berbentuk nanah dan
berbau khas atau terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.9
Terapi pada OMSK seringkali memerlukan waktu yang lama dan harus
dilakukan secara berulang. Prinsip pada terapi OMSK tipe aman adalah
konservatif atau dengan medikamentosa. Bila selret keluar terus-menerus, maka
diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah
sekret berkurang, kemudian terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes
telinga yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Bila sekret telah kering
tetapi perforasi masih ada selama diobservasi dua bulan, maka idealnya dilakukan
miringoplasti atau timpanoplasti. Tindakan ini berguna untuk menghentikan
infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani, dan mencegah
komplikasi lebih lanjut.9
Prinsip terapi pada OMSK tipe bahaya adaah pembedahan, yakni
mastoidektomi. Jadi bila ada OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat adalah
mastoidektomi dengan atau tanpa miringoplasti. Terapi medikamentosa hanya
terapi sementara sebelum dilakukannya pembedahan. Bila terdapat abses
subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan sebelum
mastoidektomi.9
20
2.1.3.2 Otitis Media Non Supuratif
Otitis media non supuratif adalah keadaan terdapatnya sekret nonpurulen di
telinga tengah namun membran timpani masih utuh. Adanya cairan di telinga
tengah dengan membran timpani yang masih utuh tanpa tanda-tanda infeksi
disebut juga otitis media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis
media serosa, namun apabila efusi tersebut kental disebut otitis media mukoid
(glue ear). Otitis media serosa terjadi akibat adanya transudat atau plasma yang
mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah akibat perbedaan tekanan
hidrostatik. Sedangkan otitis media mukoid terjadi akibat adanya cairan di telinga
tengah karena sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, dan rongga mastoid.9
1. Otitis Media Serosa Akut
Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga
tengah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Gangguan
fungsi tuba ini disebabkan oleh terbentuknya cairan di telinga tengah karena virus
dan alergi yang berhubungan dengan jalan napas atas, sumbatan tuba, dan
idiopatik.9
Gejala yang timbul pada otitis media serosa akut ini adalah pendengaran
berkurang, rasa tersumbat di telinga, suara sendiri terdengar lebih nyaring pada
telinga yang sakit. Kadang juga terasa ada cairan yang bergerak dalam telinga saat
ada perubahan posisi kepala. Rasa sedikit nyeri dalam telinga dapat terjadi saat
awal tuba terganggu yang menyebabkan timbul tekanan negatif pada telinga
tengah. Pada pemeriksaan otoskopi terlihat membran timpani retraksi. Kadang
juga tampak gelembung udara atau permukaan cairan dalam kavum timpani.9
Pengobatan untuk otitis media serosa akut ini dapat dilakukan secara
medikamentosa dengan obat vasokontriktor lokal (tetes hidung), antihistamin,
serta perasat valsava bila tidak ada tanda-tanda infeksi di jalan napas atas dan
pembedahan miringotomi bila setelah satu atau dua minggu gejala-gejala penyakit
masih menetap.9
21
2. Otitis Media Serosa Kronik (Glue Ear)
Perbedaan dengan otitis media serosa akut dan kronik hanya terdapat pada
cara terbentuknya sekret. Pada otitis media serosa akut, sekret terbentuk secara
tiba-tiba di telinga tengah dan terdapat rasa nyeri di telinga. Sedangkan pada otitis
media serosa kronis, sekret terbentuk secara bertahap dan tanpa rasa nyeri.9
Otitis media serosa kronik sering terjadi pada anak-anak , sedangkan otitis
media serosa akut sering terjadi pada dewasa. Sekret yang terbentuk pada otitis
media serosa kronik kental seperti lem, maka dari itu disebut glue ear. Penyebab
dari otitis media serosa kronik ini biasanya merupakan gejala sisa dari OMA,
infeksi virus, alergi, ataupun gangguan mekanis tuba. Gejala klinis yang timbul
adalah perasaan tuli sampai (40-50dB) karena adanya sekret yang kental. Pada
pemeriksaan otoskopi terlihat membran timpani utuh, terdapat retraksi, suram,
kuning kemerahan atau keabu-abuan.9
Pengobatan yang dilakukan adlah mengeluarkan sekret dengan miringotomi
dan memasang pipa ventilasi. Namun pada kasus yang masih baru, dapat
diberikan dekongestan tetes hidung dan kombinasi anti histamin dengan
dengokestan per oral. Pengobatan medikamentosa ini dianjurkan selama tiga
bulan, kemudian bila tidak berhasil baru disarankan melakukan tindakan
pembedahan. Selain itu perlu juga dilakukan pengobatan pada faktor-faktor
penyebab seperti alergi, pembesaran adenoid atau tonsil, dan infeksi hidung atau
sinus.9
2.1.3.3 Otitis Media Adhesiva
Otitis media adhesiva adalah keadaan terbentuknya jaringan fibrosis di
telinga tengah akibat proses peradangan yang berlangsung lama sebelumnya.
Otitis media adhesiva ini juga dapat terjadi akibat komplikasi dari otitis media
supuratif atau non supuratif yang menyebabkan rusaknya mukosa telinga tengah.
Gejala klinik yang terjadi adalah pendengaran berkurang dengan adanya riwayat
infeksi telinga sebelumnya , terutama saat masih kecil. Pada pemeriksaan otoskopi
didapatkan gambaran membran timpani yang bisa bervariasi, seperti sikatriks
minimal, suram, sampai retraksi berat disertai bagian-bagian yang atrofi atau
22
“timpanosklerosis plague” (bagian membran timpani yang menebal bewarna putih
seperti lempeng kapur.)9
2.1.4 Gangguan Pendengaran Pada Usia 60 Tahun Keatas
Secara alami organ-organ pendengaran akan mengalami degenerasi.
Perubahan yang terjadi pada telinga luar contohnya adalah berkurangnya
elastisitas jaringan daun telinga dan liang telinga. Kelenjar-kelenjar sebasea dan
seruminosa mengalami gangguan fungsi sehingga produksinya berkurang, selain
itu juga terjadi penyusutan jaringan lemak yang seharusnya menjadi bantalan di
sekitar liang telinga. Hal tersebut menyebabkan kulit daun telinga dan liang
telinga menjadi kering dan mudah trauma.9,17
Terdapat kecenderungan pengumpulan serumen yang disebabkan oleh
meningkatnya produksi serumen dari bagian 1/3 luar liang telinga, bertambah
banyaknya rambut liang telinga yang tampak lebih tebal dan panjang, dan
produksi serumen yang lebih keras maupun adanya sumbatan akibat pemasangan
alat bantu dengar. Menurut Mahoney (1987) prevalensi serumen mengeras
(serumen prop) pada populasi usia lanjut adalah 34%. Struktur telinga bagian
dalam juga mengalami perubahan pada usia lanjut. Organ corti adalah bagian dari
koklea yang paling rentan terhadap perubahan akibat proses degenerasi pada usia
lanjut. Proses degenerasi yang terjadi pada sel-sel rambut luar di bagian basal
koklea juga sangat besar pengaruhnya dalam penurunan ambang pendengaran usia
lanjut.9,17
Perubahan patologis yang terjadi pada organ telinga akibat proses
degenerasi pada usia lanjut akan menyebabkan gangguan pendengaran. Jenis
gangguan pendengaran pada usia lanjut umumnya adalah tuli sensori neural,
namun bisa juga karena tuli konduktif atau tuli campur.9,17
1. Tuli Konduktif Pada Usia Lanjut9,17
Pada telinga luar dan telinga tengah proses degenerasi dapat menyebabkan
perubahan berupa berkurangnya elastisitas dan bertambahnya ukuran pinna daun
telinga, atrofi dan liang telinga bertambah kaku, penumpukan serumen, membran
timpani bertambah tebal dan kaku, dan sendi tulang-tulang pendengaran menjadi
kaku. Membran timpani yang semakin kaku juga akan menyebabkan gangguan
konduksi.
23
2. Tuli Sensorineural Pada Usia Lanjut (Presbikusis)9,17,18
Presbikusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya terjadi
mulai usia 65 tahun dan simetris pada telinga kanan dan kiri. Presbikusis dapat
dimulai dari frekuensi1000 Hz atau lebih. Pada presbikusis, laki-laki lebih cepat
mengalami progresifitas penurunan pendengaran dibanding perempuan. Faktor-
faktor yang menyebabkan presbikusis adalah herediter, pola makan, metabolisme,
infeksi, bising, dan gaya hidup.
Proses degenerasi menyebabkan koklea atrofi dan mengalami degenerasi
sel-sel rambut penunjang pada organ corti. Selain itu terdapat perubahan lain
berupa berkurangnya sel-sel ganglion dan saraf. Bedasarkan perubahan patologi
yang terjadi, presbikusis dapat digolongkan menjadi jenis sensorik, neural,
metabolik, dan mekanik. Keluhan yang biasanya terjadi adalah berkurangnya
pendengaran secara perlahan dan progresif, sertra simetris pada kedua telinga.
Keluhan lain adalah telinga berdenging (tinitus), mendengar suara percakapan
namun sulit untuk memahaminya, terutama pada latar belakang yang bising.
Rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi pendengaran biasanya dilakukan
dengan pemasangan alat bantu dengar dan adakalanya dikombinasi dengan latihan
membaca ujaran dan latihan mendengar yang dilakukan bersama ahli terapi
wicara.
2.1.5 Pemeriksaan Telinga Menggunakan Otoskop
2.1.5.1 Otoskop
Otoskop adalah alat untuk melihat meatus akustikus eksternus, jaringan
sekitar liang telinga, dan membran timpani. Pemeriksaan ini dilakukan ketika
pasien mengeluh sakit telinga atau perkembangan abnormal dari seorang anak.19
Penggunaan otoskop ini bisa diperuntukkan semua umur dari anak hingga dewasa
dengan mencocokan ukuran spekulum bedasarkan besarnya lubang telinga.
Penggunaan otoskop ini sering dilakukan pada pemeriksaan standar oleh dokter
spesialis THT. Meskipun menjadi standar pemeriksaan yang biasa dilakukan,
pemakaian otoskop juga memiliki beberapa kekurangan, yakni misdiagnosis
karena kurang dapat memperlihatkan hal-hal mendetail dalam melihat anatomi
telinga terlebih jika anatomi telinga kecil. Oleh karena itu, jika diperlukan
24
pemeriksaan yang lebih akurat dapat menggunakan otomikroskopi atau video-
endoskopi.20,21
Dalam kondisi ideal, otoskop memiliki sensitivitas 74% dan
spesifisitas 60%, masing-masing untuk pasien dengan efusi telinga tengah.22
Terdapat bagian-bagian otoskop yang perlu dipelajari sebelum
menggunakannya untuk pemeriksaan. Terdapat spekulum yang nanti akan masuk
ke dalam liang telinga, terdapat lensa okuler untuk melihat hasil pengamatan,
tombol on dan off pada leher otoskop, dan terdapat badan otoskop sebagai
pegangan sekaligus tempat penyimpanan baterai
Gambar 2.9: Otoskop
Sumber: Otoscopy and Tympanometry Manual. 2014
Spekulum yang terdapat pada otoskop sendiri memiliki berbagai ukuran.
Dari 2mm sampai 5mm. Untuk ukuran 2mm biasanya digunakan untuk bayi baru
lahir, 3mm untuk anak-anak, dan ukuran 5mm untuk dewasa.19
Gambar 2.10: Spekulum
Sumber: Otoscopy and Tympanometry Manual. 2014
25
2.1.5.2 Otoendoskop
Gambar 2.11: Otoendoskop LESHP 2 in 1
Sumber: https://www.aliexpress.com/item/LESHP-2-in-1-Ear-Cleaning-USB-
Endoscope-5-5mm-Visual-Ear-Spoon-Earpick-Otoscope-
Endoscope/32847670183.html
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah otoendoskop. Fungsinya
sama seperti otoskop biasa, yakni untuk melihat keadaan liang telinga dan
membran timpani pasien. Namun selain untuk telinga, alat ini juga dapat
digunakan untuk memeriksa hidung dan mulut. Cara penggunannya cukup mudah,
hanya dengan menyambungkan alat lewat kabel Universal Serial Bus (USB) ke
laptop atau smartphone android, lalu masukkan alat ke liang telinga seperti
penggunaan otoskop biasa, dan lihat hasil gambar dari layar laptop atau layar
handphone. Jika menggunakan smartphone iOS, smartphone harus tersambung
wifi dan kabel USB perlu dihubungkan terlebih dahulu pada wifi yang
disediakan.23
Gambar 2.12: Otoendoskop LESHP 2 in 1
Sumber: https://www.aliexpress.com/item/LESHP-2-in-1-Ear-Cleaning-USB-
Endoscope-5-5mm-Visual-Ear-Spoon-Earpick-Otoscope-
Endoscope/32847670183.html
26
Otoendoskop ini memiliki merk LESHP-2-in-1-Ear-Cleaning-USB-
Endoscope. Alat ini diproduksi oleh China, dengan fitur 2 in 1 USB yang dapat
terkoneksi dengan Komputer atau laptop dan smartphone android yang
mendukung fungsi USB On-The-Go (USB OTG) dan dapat menilai kapabilitas
kamera eksternal.23
Alat ini didesain khusus dengan ukuran yang kecil agar mudah dibawa dan
mudah digunakan untuk siapapun yang sudah memiliki kompetensi. Spesifikasi
yang dimiliki otoendoskop LESHP ini adalah terbuat dari bahan plastik metal
berdiameter lensa 5.5mm, dengan lensa ultra kecil yang memiliki piksel 0.3 MP
dan kecerahan lampu 6pcs Light Emitting Diode (LED) agar mudah mengakses
liang telinga dan melihat lebih jelas, memiliki fokus khusus dan memiliki panjang
pen sekitas 147mm.23
2.1.5.3 Prosedur Penggunaan Otoskop
Pemeriksaan telinga menggunakan otoskop harus menggunakan
spekulum yang cocok dan nyaman di liang telinga agar pemeriksaan liang telinga
dan membran timpani maksimal. Pemeriksaan ini penting dilakukan jika ada
riwayat nyeri telinga, gangguan pendengaran dalam waktu dekat, dan pasien yang
mengalami cedera kepala.24
Gunakan spekulum terbesar yang dapat masuk dengan
mudah ke dalam meatus akustikus eksterna.25
Cara pemeriksaan telinga menggunakan otoskop adalah25
:
1. Posisikan kepala pasien dengan nyaman, sedikit menunduk agar dapat
melihat kondisi liang telinga dan membran timpani dengan maksimal.
2. Pegang daun telinga dengan kuat tapi lembut, kemudian tarik ke atas lalu
ke belakang dan sedikit menjauh dari kepala.
27
Gambar 2.13: Cara menarik daun telinga
Sumber: Bate’s Guide to Physical Examination and History Taking12th edition.
2017
3. Pegang otoskop menggunakan ibu jari dan telunjuk pada tangan yang lain.
Letakkan kelingking pada wajah atau pipi pasien sebagai tumpuan. Tangan
dan otoskop akan mengikuti gerakan dari pasien. Memeriksa telinga kanan
menggunakan tangan kanan, dan sebaliknya. Jika tidak nyaman
menggunakan tangan kiri saat memeriksa telinga kiri, jangkau telinga kiri
dengan tangan kanan lalu tarik ke atas dan kembali dengan tangan kiri,
kemudian pegang otoskop dengan stabil menggunakan tangan kanan dan
masukkan spekulum secara perlahan.
Gambar 2.14: Cara memegang otoskop
Sumber: Bate’s Guide to Physical Examination and History Taking12th edition.
2017
28
4. Masukkan spekulum secara perlahan dan lembut ke dalam liang telinga,
gerakkan spekulum maju dan arahkan spekulum ke bawah menembus
rambut-rambut halus sampai pada membran timpani.
Gambar 2.15: Anatomi membran timpani kanan
Sumber: Bate’s Guide to Physical Examination and History Taking12th edition.
2017
Beberapa tanda yang perlu diperhatikan saat memeriksa telinga
menggunakan otoskop adalah24
:
1. Perhatikan meatus akustikus eksternus:
- Tanda peradangan seperti bengkak dan kemerahan, keluarnya cairan,
ada atau tidaknya nyeri. Normalnya tidak ada tanda-tanda peradangan.
- Serumen berwarna putih atau kekuningan, tembus cahaya atau berkilau
yang bisa membiaskan pandangan pada membran timpani.
- Darah atau cairan serebrospinal (cairan encer, bening), yang dapat
dilihat di kanal jika ada fraktur di dasar tengkorak.
- Vesikel pada dinding posterior sekitar meatus akustikus eksternal pada
pasien dengan herpes zoster.
2. Periksa membran timpani dengan menggerakkan spekulum masuk ke
dalam liang telinga. Membran timpani normal berwarna keabu-abuan dan
memantulkan cahaya yang mengarah pada jam lima atau jam tujuh.
Perhatikan juga warna, transparansi, menggembung atau retraksi.24
Perhatikan prosesus brevis dan prosesus longus dari maleus, pars flaksida,
pars tensa, dan angulus timpani untuk kecurigaan perforasi.25
Pars flaccida
Incus
Pars
tensa
Cone of
light
Umbo
Handle of
malleus
Short process of
malleus
29
2.1.6 Uji Diagnostik
Uji diagnostik termasuk kedalam pebelitian dengan pendekatan cross
sectional. Dalam uji diagnostik terdapat baku emas atau reference standard, yaitu
pemeriksaan yang dijadikan rujukan untuk menentukan apakah pasien sakit atau
tidak. Pengukuran yang dilakukan pada uji ini sebaiknya dilakukan secara
blinding untuk menghindari bias pada pengukuran. Blinding dilakukan dengan
cara orang-orang yang melakukan tahap pemeriksaan tidak mengetahui hasil
pemeriksaan lainnya.26
Hasil pengukuran dengan keluaran skala kategorik maupun numerik
nantinya akan diubah menjadi skala nominal dua nilai yaitu normal-abnormal atau
positif-negatif. Kemudian disusun dalam bentuk tabel 2×2. Dari hasil analisa tabel
nanti akan dapat diketahui hasil true positve, true negative, false positive, dan
false negative. Selanjutnya akan dapat dihitung menggunakan rumus sehingga
menghasilkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga
negatif.26
Nilai sensitivitas berkaitan dengan kemampuan pemeriksaan menghasilkan
hasil positif bila pasien menderitas suatu penyakit. Nilai spesifisitas berkaitan
dengan kemampuan pemeriksaan menghasilkan hasil negatif bila pasien tidak
menderita suatu penyakit. Nilai duga positif berkaitan dengan seberapa besar hasil
positif benar-benar positif ketika didapatkan hasil pemeriksaan positif. Dan nilai
duga negatif berkaitan dengan seberapa besar hasil negatif benar-benar negatif
ketika didapatkan hasil pemeriksaan negatif.26
2.1.7 Uji Kesesuaian
Uji kesesuaian adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat
kesesuaian dari hasil pengukuran yang didapat dari suatu alat ukur atau metode
yang berbeda. Penilaian kesesuaian akan dihitung menggunakan rumus Kappa
Cohen untuk mendapatkan nilai Kappa. Nilai Kappa berkisar antara nol hingga
satu (0-1) dimana semakin mendekati angka satu maka semakin besar tingkat
kesesuaiannya. Untuk melakukan pengukuran maka diperlukan subyek yang
cukup sehingga didapat angka-angka yang nantinya akan dianalisa menggunakan
analisa Kappa.27
30
Nilai Kappa yang dipakai untuk menentukan kekuatan
kesepakatan/reliabilitas merupakan suatu tes diagnostik yang dianjurkan oleh
Landis dan Koch.28
Nilai < 0 sangat jelek
Nilai 0,00-0,21 jelek
Nilai 0,21- 0,40 kurang
Nilai 0,41-0,60 sedang
Nilai 0,61- 0,80 baik
Nilai 0,81-1,00 sangat baik
2.2 Kerangka Teori
Teknik
pemeriksaan
Kualitas alat
otoendoskop
Variasi anatomi
liang telinga
Kelainan Telinga
Luar
Diagnosis
Jenis Penyakit
Serumen
Otitis
Eksterna
Kelainan Telinga
Tengah
Otitis Media
Adhesiva
Otitis Media
Non Supuratif
Otitis Media
Supuratif
Kolesteatoma
Eksterna
Otomikosis
Mudah
dibawa
Mudah
dipakai
Ringan
Output gambar yang
dapat dibagikan
kepada orang lain
Kualitas gambar
yang dihasilkan
Populasi usia 60
tahun keatas
31
2.3 Kerangka Konsep
2.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional
Cara
Pengukuran Alat Ukur
Skala
Pengukuran
1. Status
Liang
Telinga
Gambaran liang
telinga berupa:
1. Normal:
Liang telinga
normal,
membran
timpani
normal
2. Tidak
normal:
Terdapat
gambaran
serumen,
otitis
eksterna,
otitis media
perforasi,
otitis media
non perforasi,
timpano
sklerosis,
sekret liang
telinga
Otoendoskop
dimasukkan
ke dalam
liang telinga
kemudian
dilakukan
pengamatan
keadaan liang
telinga dan
membran
timpani
Otoendoskop Kategorik
Jenis penyakit
1. Serumen
2. OMSK
3. Otitis eksterna
4. Otomikosis
Diagnosis
Variasi anatomi liang
telinga
1. Atrofi liang telinga
2. Banyak Ramut telinga
3. Lekukan liang telinga
Teknik pemeriksaan
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat deskripif kategorik dengan menggunakan desain cross
sectional.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pondok Lansia Berdikari BSD dan panti Sosial
Tresna Werdha Melania pada bulan Oktober 2017 sampai bulan Oktober 2018.
3.3 Populasi Penelitian
3.3.1 Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah orang berusia 60 tahun ke atas di panti
reda X di Jakarta.
3.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah orang berusia 60 tahun ke atas
di panti werdha melania dan berdikari BSD yang tidak terdapat keluhan gangguan
pendegaran.
3.4 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Panti reda yang digunakan pada penelitian ini dipilih secara purposive
sampling. Sedangkan sampel lansia yang dipilih akan menggunakan total
sampling dari dua tempat karena tidak mencukupi dari satu tempat.
33
3.4.1 Besar Sampel
3.4.1.1 Penghitungan Besar Sampel
Untuk keluaran sensitivitas
N =
=
= 34,57 (dibulatkan menjadi 35)
N = jumlah sampel
Za = derivat baku alfa (1,96)
Sen = nilai sensitivitas yang diinginkan
D = presisi
Untuk keluaran spesifisitas
N =
=
= 34,57 (dibulatkan menjadi 35)
N = jumlah sampel
Za = derivat baku alfa (1,96)
Spes = nilai spesifisitas yang diinginkan
D = presisi
3.4.1.2 Sampel yang Diambil
Bedasarkan penghitungan rumus di atas, besar sampel yang didapat adalah 70
telinga lansia, yang artinya membutuhkan 35 orang berusia 60 tahun ke atas.
3.4.2 Kriteria Sampel
3.4.2.1 Kriteria Inklusi
1. Orang berusia 60 tahun keatas yang berada di panti
2. Orang berusia 60 tahun keatas yang bersedia untuk diperiksa
34
3.4.2.2 Kriteria Eksklusi
1. Orang berusia 60 tahun keatas yang tidak bersedia untuk diperiksa
3.5 Cara Kerja Penelitian
Cara kerja dari penelitian ini adalah:
a. Merumuskan pertanyaan penelitian.
b. Menetapkan desain penelitian, yakni cross sectional.
c. Melakukan pembelajaran penggunaan otoskop selama dua minggu dan
dilakukan ujian bersama dokter pembimbing.
d. Membuat surat perizinan pengambilan data penelitian dari Fakultas
Kedokteran ditujukan kepada panti werdha bersangkutan.
e. Melaksanakan prosedur permohonan kerjasama dengan klinisi spesialis
THT di RS Fatmawati sebagai pembimbing eksternal.
f. Memberikan informed consent dan surat persetujuan menjadi subyek
penelitian.
g. Anamnesis mengenai keluhan pendengaran selama ini kepada subyek
penelitian.
h. Pemeriksaan liang telinga menggunakan otoskop oleh dokter THT kepada
subyek penelitian.
i. Pemeriksaan liang telinga menggunakan otoendoskop oleh peneliti.
j. Pengkodean data oleh peneliti.
k. Pembacaan hasil pemeriksaan otoendoskop dua minggu kemudian oleh
dokter spesialis THT yang ikut memeriksa dan yang tidak ikut memeriksa.
Hasil gambar liang telinga akan dikirim ke dokter spesialis THT melalui
aplikasi Whatsapp.
l. Pembacaan data oleh dokter THT dan peneliti
m. Pengumpulan dan analisa data oleh peneliti menggunakan program SPSS
35
3.6 Alur Penelitian
3.7 Managemen Data
Pada data pemeriksaan telinga yang terkumpul akan dilakukan pencatatan
kemudian dilakukan pemeriksaan kelengkapan data dan kebenaran data.
Kemudian selanjutnya akan dilakukan pengkodean pada data, ditabulasi, dan
dimasukkan ke dalam data induk dengan Microsoft Excel. Setelah itu data akan
dianalisis menggunakan program SPSS 22 dan dimasukkan ke dalam tabel 2x2.
Data yang menunjukkan diagnosis serumen, otitis media perforasi, otitis
media non perforasi, dan kelainan lain akan diberi kode positif, sedangkan data
diagnosis normal akan diberi kode negatif. Selanjutnya akan dilakukan
Sampel terpilih dengan cara total sampling
Pemeriksaan dengan otoskop oleh dokter THT
Informed consent dan
anamnesis keluhan
Pemeriksaan dengan otoendoskop oleh peneliti
Diagnosis oleh dokter THT
Pencocokan hasil dengan dokter THT yang ikut memeriksa dan
yang tidak ikut memeriksa dua minggu kemudian
Analisis hasil
Pengisian form persetujuan oleh
subyek
Pengkodean data oleh peneliti
36
penghitungan untuk mencari sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga
negatif, dan akurasi.
Rumus Penghitungan29
:
a. Sensitivitas = a : (a+c)
b. Spesifisitas = d : (b+d)
c. Nilai duga positif = a : (a+b)
d. Nilai duga negatif = d : (c+d)
e. Akurasi = (a+d) : N
Setelah dilakukan uji diagnostik, akan dilakukan juga uji kesesuaian untuk
melihat kesesuaian diagnosis antar dokter. Uji kesesuaian akan menghasilkan nilai
Kappa.
TABEL 2X2
OTOSKOP
LANGSUNG JUMLAH
POSITIF NEGATIF
OTOENDOSKOP
POSITIF a b a+b
NEGATIF c d c+d
JUMLAH a+c b+d N
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Penelitian
Pengambilan sampel penelitian dilakukan dua kali pada dua tempat yang
berbeda. Hal ini dikarenakan tidak mencukupinya sampel jika harus diambil pada
satu tempat saja. Pengambilan sampel pertama dilakukan di Pondok Lansia
Berdikari BSD pada tanggal 1 Juni 2018 dengan total lansia 25 orang dan yang
memenuhi kriteria inklusi hanya 19 orang. Pengambilan sampel kedua dilakukan
di panti sosial Trisna Wredha Melania pada tanggal 8 Agustus 2018 dengan total
lansia 40 orang dan yang memenuhi kriteria inklusi hanya 23 orang. Jadi total
sampel yang didapatkan sebanyak 42 orang dan 84 gambaran telinga.
Penelitian ini dilakukan bersama dengan peneliti lain yang juga
melakukan uji diagnostik pada alat otoscope smartphone. Dalam satu kali
pengambilan sampel dilakukan pemeriksaan sebanyak tiga kali. Pertama
pemeriksaan oleh dokter spesialis THT-KL menggunakan otoskop langsung
dengan merk general care, kemudian pemeriksaan kedua dilakukan oleh peneliti
menggunakan alat otoendoskop dan pemeriksaan ketiga dilakukan oleh peneliti
lain menggunakan alat otoscope smartphone. Kemudian setelah dua minggu, data
akan dibaca oleh dokter spesialis THT-KL yang ikut memeriksa saat pengambilan
sampel (dokter ikut) dan yang tidak ikut saat pengambilan sampel (dokter tidak
ikut).
4.1.2 Karakteristik Subyek Penelitian
Pada rumus besar sampel didapatkan sampel minimal adalah 70 telinga.
Namun karena peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel total sampling
dan sampel memenuhi kriteria inklusi, didapatkan total 84 sampel telinga. Data
yang didapat mengenai distribusi frekuensi jenis kelamin dan umur dapat dilihat
pada tabel.
38
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi karakteristik subyek dan sebaran diagnostik
pemeriksaan otoskop langsung
Pada Tabel 4.1 distribusi frekuensi didapatkan bahwa presentase sampel
paling besar didapatkan dari jenis kelamin perempuan yakni 31 orang (73.8%) dan
rata-rata usia subyek penelitian adalah 77 tahun dengan rentang usia dari 65 tahun
hingga 90 tahun. Sebaran diagnosis yang didapatkan adalah gambaran normal
paling banyak 43 (51,2%) kemudian serumen 39 (46,4%).
Karakteristik Subyek Jumlah (%)
Jenis kelamin
1. Laki-laki 11 (26,2)
2. Perempuan 31 (73,8)
Usia
1. 61-70 tahun 9 (21,4)
2. 71-80 tahun 23 (54,8)
3. 81-90 tahun 10 (21,7)
Sebaran diagnosis
1. Normal 43 (51,2)
2. Serumen 39 (46,4)
3. Otitis media
perforasi 2 (2,4)
39
4.1.3 Hasil Uji Diagnostik Otoendoskop Dibandingkan dengan Otoskop
Langsung
a. Dokter Ikut saat Pengambilan Sampel
Bedasarkan evaluasi gambar didapatkan 16 sampel tidak dapat dinilai
sehingga jumlah sampel yang dinyatakan valid sebanyak 68 sampel.
Tabel 4.2 Uji diagnostik otoendoskop dengan otoskop langsung dokter ikut
Bedasarkan tabel 4.2 di atas, dapat dihitung rumus-rumus uji diagnostik
sebagai berikut29
:
a. Sensitivitas = a : (a+c) = 32 : (32+2) = 94,1%
b. Spesifisitas = d : (b+d) = 27 : (7+27) = 79,4%
c. Nilai duga positif = a : (a+b) = 32 : (32+7) = 82%
d. Nilai duga negatif = d : (c+d) = 27 : (2+27) = 93,1%
e. Akurasi = (a+d) : N = (32+27) : 68 = 86,7%
Bedasarkan penghitungan uji diagnostik tersebut, didapatkan nilai
sensitivitas untuk dokter ikut sebesar 94,1%, spesifisitas 79,4%, nilai duga positif
82%, nilai duga negatif 93,1%, dan nilai akurasi 86,7%
Otoendoskop
Dokter Ikut
Otoskop Langsung
Tidak Normal Normal
Tidak Normal 32 7
Normal 2 27
40
b. Dokter Tidak Ikut saat Pengambilan Sampel
Bedasarkan evaluasi gambar didapatkan 19 sampel tidak dapat dinilai
sehingga jumlah sampel yang dinyatakan valid sebanyak 65 sampel.
Tabel 4.3 Uji diagnostik otoendoskop dengan otoskop langsung dokter tidak ikut
Bedasarkan Tabel 4.3 dapat dihitung untuk rumus-rumus uji diagnostik sebagai
berikut29
:
a. Sensitivitas = a : (a+c) = 28 : (28+4) = 87,5%
b. Spesifisitas = d : (b+d) = 29 : (4+29) = 87,8%
c. Nilai duga positif = a : (a+b) = 28 : (28+4) = 87,5%
d. Nilai duga negatif = d : (c+d) = 29 : (4+29) = 87,8%
e. Akurasi = (a+d) : N = (28+29) : 65 = 87,7%
Bedasarkan penghitungan uji diagnostik tersebut, didapatkan nilai
sensitivitas untuk dokter tidak ikut sebesar 87,5%, spesifisitas 87,8%, nilai duga
positif 87,5%, nilai duga negatif 87,8%, dan nilai akurasi 87,7%.
Otoendoskop Dokter
Tidak Ikut
Otoskop Langsung
Tidak Normal Normal
Tidak Normal 28 4
Normal 4 29
41
4.1.4 Hasil Uji Kesesuaian
Jumlah sampel yang dinyatakan valid untuk uji kesesuaian antar dua
pemeriksa adalah 84 sampel.
Tabel 4.4 Tabel silang hasil uji kesesuaian otoendoskop antara dokter ikut dan
dokter tidak ikut
Bedasarkan Tabel 4.5 hasil pembacaan silang diperlihatkan hasil sebagai
berikut: Sebanyak 29 sampel yang terdiagnosis normal pada penilaian diagnosis
oleh dokter tidak ikut, ternyata 3 sampel dinyatakan tidak dapat dinilai pada
penilaian diagnosis oleh dokter ikut. Sebanyak 35 sampel yang terdiagnosis
serumen pada penilaian diagnosis oleh dokter tidak ikut, ternyata 1 sampel
terdiagnosis normal dan 6 sampel dinyatakan tidak dapat dinilai pada penilaian
diagnosis oleh dokter ikut. Sebanyak 2 sampel sama-sama terdiagnosis OM
perforasi pada penilaian diagnosis oleh dokter tidak ikut maupun dokter ikut.
Sebanyak 3 sampel terdiagnosis OM tanpa perforasi pada penilaian diagnosis oleh
dokter tidak ikut, namun 1 sampel didiagnosis serumen oleh dokter ikut.
Sebanyak 16 sampel yang dinyatakan tidak dapat dinilai oleh dokter tidak ikut,
ternyata 6 sampel terdiagnosis normal pada penilaian diagnosis oleh dokter ikut.
Diagnosis Dokter
Tidak Ikut
Diagnosis Dokter Ikut
Normal Serumen OM
perforasi
OM tanpa
perforasi
Tidak dapat
dinilai
Normal
Serumen
OM perforasi
OM tanpa
perforasi
Kelainan lain
Tidak dapat
dinilai
26 0 0 0 3
1 27 0 0 6
0 0 2 0 0
0 1 0 2 0
0 0 0 0 0
6 0 0 0 10
42
Kemudian dilakukan uji kesesuaian dengan penghitungan Cohen’s
Kappa dan didapatkan nilai kesesuaian antar dokter ikut dan tidak ikut sebesar
0,7 dengan total sampel 84 gambaran telinga. Dengan nilai kappa 0,7, maka nilai
tersebut dianggap baik menurut penilaian Landis dan Koch.
4.2 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2017 hingga September 2018.
Pengambilan sampel dilakukan di dua tempat berbeda karena jumlah sampel yang
tidak mencukupi jika diambil dari satu tempat saja. Didapatkan total 84 sampel
gambaran liang telinga pada populasi usia 60 tahun keatas yang dianggap sehat
dan tidak mempunyai keluhan.
Pada hasil analisis Tabel 4.1 didapatkan subyek terbanyak berasal dari jenis
kelamin perempuan yakni 31 orang (73,8%) dan rata-rata usia dari seluruh subyek
adalah 77 tahun. Pada hasil sebaran diagnosis telinga juga didapatkan gambaran
normal yang lebih banyak. Kelainan liang telinga yang paling banyak didapatkan
adalah serumen (Tabel 4.1). Hal ini disebabkan oleh kelenjar-kelenjar serumen
pada lansia akan mengalami atrofi sehingga produksi kelenjar serumen berkurang
dan menyebabkan serumen menjadi lebih kering yang akan menjadi gumpalan
(serumen prop).9
Serumen yang menumpuk pada liang telinga akan menyebabkan
transmisi suara dari luar terhambat dan berkurangnya pendengaran (tuli
konduktif).19
Hasil penghitungan diagnosis pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 didapatkan nilai
sensitivitas diagnosis dokter ikut dan tidak ikut masing-masing adalah 94,1% dan
87,5%, spesifisitas 79,4% dan 87,8%, nilai duga positif 82% dan 87,5%, nilai
duga negatif 93,1% dan 87,8%, dan nilai akurasi 86,7% dan 87,5%. Nilai
sensitivitas untuk dokter ikut (94,1%) lebih besar dibanding dokter tidak ikut
(87,5%), nilai ini menunjukkan bahwa kepekaan otoendoskop dalam mendeteksi
kelainan telinga pada individu yang sakit lebih besar dimiliki oleh dokter ikut
(94,1%). Namun untuk nilai spesifisitas, diagnosis dari dokter tidak ikut (87,8%)
lebih besar dibanding dokter ikut (79,4%), nilai ini menunjukkan bahwa kepekaan
otoendoskop dalam mendeteksi individu yang tidak memiliki kelainan telinga
(normal) lebih besar pada diagnosis dokter tidak ikut (87,8%). Hasil nilai duga
positif juga didapatkan nilai yang lebih besar pada dokter tidak ikut (87,5%)
43
dibanding dengan dokter ikut (82%), nilai ini menunjukkan bahwa sampel benar
memiliki kelainan telinga ketika hasil diagnosis otoendoskop menunjukkan hasil
tidak normal. Kemudian pada nilai duga negatif, didapatkan hasil lebih besar
untuk diagnosis dokter ikut (93,1%) dibanding dengan diagnosis dokter tidak ikut
(87,8%), nilai ini menunjukkan bahwa sampel benar tidak memiliki kelainan
telinga ketika pemeriksaan otoendoskop menunjukkan hasil normal. Nilai akurasi
didapatkan nilai lebih besar pada diagnosis dokter tidak ikut (87,5%) dibanding
dengan dokter ikut (86,7%), nilai ini menunjukkan bahwa hasil positif
pemeriksaan otoendoskop dapat mendiagnosis dengan tepat meskipun hasil
pemeriksaan otoskop langsung menunjukkan
hasil positif ataupun negatif.
Uji diagnostik dengan tingkat sensitivitas yang tinggi dibutuhkan untuk
mendeteksi penyakit dan nilai spesifisitas yang tinggi lebih dibutuhkan untuk
memperkuat dugaan adanya suatu penyakit.30
Hasil uji diagnostik pada penelitian
ini menunjukkan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang baik, hal ini menunjukkan
bahwa otoendoskop dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk mendeteksi
suatu kelainan telinga luar dan tengah. Pada penelitian ini juga lebih ditekankan
pada nilai duga positif yang dimiliki oleh dokter tidak ikut. Dibutuhkan nilai duga
positif yang baik untuk menunjang sebagai alat diagnosis. Hal ini disebabkan
karena praktik penggunaan otoendoskop akan dilakukan oleh dokter yang
bertugas di daerah dan bermaksud untuk berkonsultasi mengenai hasil gambar
telinga yang ditemukan melalui alat tersebut. Dokter tidak ikut dalam penelitian
ini dapat dianalogikan sebagai dokter yang dijadikan untuk berkonsultasi.
Sehingga, jika nilai duga positif baik maka angka kejadian sakit pada pasien yang
benar-benar sedang sakit juga akan lebih akurat.
Terdapat perbedaan jumlah pada hasil diagnosis dokter ikut dan tidak ikut
karena jumlah sampel yang dapat dinilai berbeda. Jumlah sampel pada hasil
diagnosis dokter ikut hanya didapatkan 68 sampel sedangkan dokter tidak ikut 65
sampel. Hal ini disebabkan karena terdapat sampel yang dinyatakan memiliki
kualitas pengambilan gambar yang kurang baik dari kedua dokter tersebut. Dokter
ikut tidak dapat menilai 16 gambar dan dokter tidak ikut tidak dapat menilai 19
gambar. Faktor yang menyebabkan kurangnya kualitas gambar adalah kurangnya
latihan dan keterampilan dari pemeriksa (peneliti) saat pengambilan gambar liang
44
telinga. Saat ini penelitian mengenai learning curve untuk mencapai tingkat
kemahiran yang baik dalam penggunaan otoskop belum dilakukan. Penelitian-
penelitian yang sudah ada hanya menunjukkan bahwa pemberian pelatihan kepada
mahasiswa kedokteran tingkat pertama dan kedua dengan metode seminar dan
praktik mengenai otoskopi akan meningkatkan kepercayaan diri dan akurasi
diagnostik.31,32
Faktor lainnya adalah faktor posisi saat pengambilan gambar
dengan didapatkan beberapa subyek hanya bisa tidur di ranjang sehingga
pemeriksaan dilakukan dengan posisi subyek berbaring. Posisi terbaik untuk
mendapatkan hasil yang baik adalah dengan duduk berhadapan dengan posisi kaki
bersebelahan dengan pasien. Selain itu terdapat subyek yang merasa tidak nyaman
ketika alat dimasukkan ke dalam liang telinga sehingga pemeriksaan tidak dapat
dilakukan dengan maksimal. Hal-hal tersebut menyebabkan kemungkinan
berkurangnya ketepatan pengambilan gambar.
Terdapat beberapa keluhan yang disampaikan oleh subyek saat dilakukan
pemeriksaan menggunakan otoendoskop. Salah satunya adalah terasa hangat saat
alat dimasukkan ke dalam liang telinga yang kemungkinan disebabkan oleh
adanya cahaya lampu di ujung alat yang menyala dalam waktu cukup lama
sehingga menghasilkan panas. Selain itu, alat juga berasal dari bahan metal yang
merupakan konduktor yang baik, sehingga subyek merasa alat hangat33
.
Nilai kesesuaian pembacaan diagnosis antar dua dokter spesialis THT-KL
juga dihitung dalam penelitian ini. Analisis dilakukan menggunakan SPSS untuk
mendapatkan nilai kappa. Nilai kappa yang didapatkan adalah 0,70 (Tabel 4.5).
Jika mengacu pada penilaian Landis dan Koch, kesesuaian pembacaan diagnosis
oleh dua dokter spesialis THT-KL menunjukkan hasil baik.
4.3 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan. Pertama, pemeriksaan
dilakukan oleh mahasiswa kedokteran pre-klinik. Kedua, nilai kappa didapatkan
bedasarkan populasi normal dengan variasi kelainan telinga yang rendah.
45
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa:
1. Otoendoskop dapat digunakan sebagai alternatif alat penunjang diagnostik
kelainan telinga dan dapat digunakan oleh para dokter.
2. Nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan
nilai akurasi otoendoskop pada dokter ikut masing-masing adalah 94,1%,
79,4%, 82%, 93,1%, dan 86,7%.
3. Nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan
nilai akurasi otoendoskop pada dokter tidak ikut masing-masing adalah
87,5%, 87,8%, 87,5%, 87,8%, dan 87,5%.
4. Tingkat kesesuaian diagnosis alat otoendoskop antara dokter ikut dan
dokter tidak ikut berada pada tingkat sedang dengan nilai Kappa yang
diperoleh sebesar 0,70.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian dalam setting rumah sakit agar mendapatkan variasi
penyakit yang lebih luas untuk mendapatkan nilai uji diagnosis dan kesesuaian
yang lebih akurat.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai learning curve penggunaan otoskop guna
mencapai angka kemahiran yang akurat.
46
BAB VI
KERJASAMA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kerjasama antara peneliti dengan dr. Fikri
Mirza Putranto, Sp. THT-KL dan juga melibatkan dr. Diana Rosalina Sp. THT-
KL dari RSUP Fatmawati sebagai pembaca hasil diagnosis gambaran telinga.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Kamus Dorland
2. Kemenkes RI. Pendengaran Sehat untuk Hidup Bahagia. Jakarta:
Kemenkes RI. 2013
3. Kementrian Kesehatan RI. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan
Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk Mencapai Sound Hearing
2030. Jakarta: Keputusan Menteri Kesehatan RI. 2006
4. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin Situasi dan Analisis Lanjut Usia.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2014
5. Ismayadi. Tesis Proses Menua (Aging Proses). Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 2004
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013
7. Sumantri U. Program Pemenuhan Tenaga Kesehatan. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. 2017
8. Sherwood L. Telinga: Pendengaran dan Keseimbangan . Dalam: Nella Y.
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Ed ke-8. Jakarta: EGC. 2014
9. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddi J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2017
10. Tortora GJ. Derrisckson B. Hearing and Equilibrium. Dalam: Bonnie R.
Principles of Anatomy and Physiology 12th
ed. USA:The Mcgraw-Hill
Companies. 2009
11. Pasha R, Golub JS, Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical
Reference Guide 4th Ed. San Diego: Plural Publishing Inc. 2014
12. Gonzales JLT, Moreno KD. Otitis Externa: And Update. Mexico: Department
of Otolaryngology and Head and Neck Surgery, School of Medicine,
University A. of Nuevo León. 2017
13. Dhingra PL, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head
and Neck Surgery 6th Ed. India: Elsevier. 2014
48
14. Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine 2nd Ed. USA:
Saunders/Elsevier. 2009
15. Definition of an Older or Elderly Person, Sited from
http://www.who.int/healthinfo/ageingdefnolder/ Feb 2018-02-11.
16. Maryam, R. dkk. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika. 2008
17. Katz J. Handbook of Clinical Audiology 7th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2014
18. Ballenger JJ, Snow JB. Otolaryngology Head and Neck Surgery 18th ed.
USA: People’s Medical Publishing House (PMPH). 2016
19. MDH C&TC website. Otoscopy and Tympanometry Manual. St. Paul:
Minnesota Department of Health Maternal and Child Health Section Child
and Adolescent Health Unit. 2014
20. Shiao AS, Yaun-Ching G. A comparison Assessment of Videotelescopy for
Diagnosis of Paediatric Otitis Media with Effusion. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol 2005; 69: 1497-502.
21. Kocyıgıt M, Uzun C. Comparison of The Diagnostic Accuracies of Four
Main Otoscopic Examination Methods. International Journal of Surgery and
Medicine 2017; 3(2):78-84
22. Shawabkeh MA, Haidar H, Larem A, Albu-Mahmood Z, Alsaadi A, Alqahtani
A. Acute Otitis Media An Update. J Otolaryngol ENT Res 2017; 8(4):
00252
23. https://www.aliexpress.com/item/LESHP-2-in-1-Ear-Cleaning-USB-
Endoscope-5-5mm-Visual-Ear-Spoon-Earpick-Otoscope-
Endoscope/32847670183.html
24. Talley NJ, O’connor S. Clinical examination essentials : an introduction to
clinical skills (and how to pass yourclinical exams) 4th ed. Australia:
Elsevier. 2016
25. Bickley LS, Szilagyi PG. Bate’s Guide to Physical Examination and History
Taking 12th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2017
26. Syahdrajat T. Panduan Penelitian untuk Skripsi Kedokteran dan Kesehatan.
Jakarta: Pedhe Offset. 2018
49
27. Fleiss JL. Statistical methods for rates and proportions 2nd ed. New York:
John Wiley; 1981
28. Landis JR, Koch GG. The Measurement of Observer Agreement for
Categorical Data. Biometrics. 1977; 33 (1): 159-174
29. Dahlan MS. Penelitian Diagnostik Dasar-dasar Teoritis dan Aplikasi dengan
Program SPSS dan Stata. Jakarta: Salemba Medika. 2009
30. Budiarto E. Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta:
EGC. 2002
31. Kaf WA, Masterson CG, Dion N, Berg SL, Abdelhakiem MK. Otoscopy
Competency in Audiology Students through Supplementary Otoscopy
Training. J Am Acad Audiol. 2013; 24:859–866
32. You P, Chahine S, Husein M. Improving learning and confidence through
small group, structured otoscopy teaching: a prospective interventional
study. Journal of Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 2017; 46:68
33. Giancoli, Douglas C. Fisika Jilid I (terjemahan) ed ke-5. Jakarta : Penerbit
Erlangga. 2001
50
LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Izin Kerjasama dengan Dokter di RS Fatmawati
Gambar 7.1 Surat Izin Kerjasama
51
Lampiran 2
Lembar Penjelasan Penelitian Kepada Subyek
LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN
UJI DIAGNOSTIK OTOSCOPE SMARTPHONE DAN OTOENDOSKOP
DIBANDINGKAN DENGAN PEMERIKSAAN OTOSKOP LANGSUNG
PADA PONDOK LANSIA BERDIKARI
Yth.
Calon Responden Penelitian
Di tempat
Assalamualaikum wr.wb. Saya Niswatur Rosyidah dan Harum Dzati F
Mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 2015 FK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan ini bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Uji Diagnostik
Otoscope smartphone dan otoendoskop dibandingkan dengan pemeriksaan otoskop
langsung pada lansia” .
Penelitian ini dilakukan dengan cara melihat liang telinga dan pengambilan
gambar telinga menggunakan otoscope smartphone dan otoendoskop. Proses
pengambilan gambar dilakukan 3 kali untuk dilakukan verifikasi dan didampingi
oleh dokter spesialis THT ( Telinga, Hidung, Tenggorokan ). Proses pengambilan
gambar bukanlah suatu tindakan invasif yang dapat menyebabkan bahaya pada
anak/ diri pribadi responden penelitian, sehingga tidak ada bahaya potensial
langsung yang timbul pada penelitian ini.
Data ini akan diverifikasi oleh dokter spesialis THT. Nama serta identitas
subjek akan dirahasiakan dalam pelaksanaan analisis data serta laporan hasil
penelitian. Hasil foto yang telah diverifikasi oleh dokter spesialis THT selambat-
lambatnya 1 bulan akan kami laporkan hasilnya kepada Bapak/Ibu berupa gambar
dan keterangannya sebagai hasil laporan pemeriksaan. Disini, kami juga memohon
kesediaannya kepada Bapak/ Ibu/ Subjek penelitian untuk mengolah hasil gambar
yang didapat untuk menunjang keperluan dan pencapaian tujuan dari penelitian ini.
Apabila Bapak/ Ibu/ Subjek penelitian bersedia untuk menjadi subjek
penelitian kami setelah membaca penjelasan diatas, kami memohon kesediaan
Bapak/Ibu untuk menandatangani lembar kesediaan serta mengisi lembar
pertanyaan dibawah ini. Tidak terdapat paksaan untuk mengikuti atau menolak
penelitian ini. Terimakasih. Wassalamualaikum wr.wb.
52
Tanggal Pengambilan:
UJI DIAGNOSTIK OTOSKOP SMARTPHONE DAN OTOENDOSKOP
DIBANDINGKAN DENGAN PEMERIKSAAN OTOSKOP LANGSUNG
PADA LANSIA DI PONDOK LANSIA BERDIKARI
No.Informed
Consent)*dikosongkan:
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
Saya telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan mengerti tujuan dan
manfaat penelitian mengenai Uji Diagnostik Otoscope Smartphone dan
Otoendoskop dibandingkan dengan pemeriksaan otoskop langsung pada lansia
di Panti Werdha Rempoa oleh Niswatur Rosyidah dan Harum Dzati F,
Mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 2015 FK UIN Syarif Hidayatullah.
Saya mengerti bahwa partisipasi saya dilakukan secara sukarela.
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : ___________________________
Tempat tanggal lahir :____________________________
Alamat :____________________________
No. Telepon : ___________________________
menyatakan BERSEDIA / TIDAK BERSEDIA*
bahwa saya masuk sebagai subjek penelitian yang dilakukan oleh Niswatur
Rosyidah dan Harum Dzati F Mahasiswa Pendidikan Dokter angkatan 2015
FKUIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*Coret salah satu
Tangerang, ____________2018
( ______________________ )
53
Lampiran 3
Gambar Proses Penelitian
Gambar 7.3 Proses
pengambilan gambar
dengan posisi subyek tidur
Gambar 7.4 Proses
pengambilan gambar
dengan posisi subyek
duduk
Gambar 7.2 Foto bersama
pengurus panti Werdha
Melania
54
Lampiran 4
Gambar Hasil Diagnosis
Gambar 7.6 Normal
Gambar 7.7 Serumen
kering
Gambar 7.5 Otitis media
perforasi
Gambar 7.8 Serumen
basah
Gambar 7.9 Tidak dapat
dinilai
55
Lampiran 5
Tabel Induk Diagnosis
Nama Diagnosis
Otoskop
Diagnosis Dokter
Ikut
Diagnosis Dokter
Tidak Ikut
Ira AD Normal OM tanpa perforasi OM tanpa perforasi
Ira AS Normal OM tanpa perforasi OM tanpa perforasi
Ilj AD Serumen Serumen Serumen
Ilj AS Normal OM tanpa perforasi Serumen
Pay AD Serumen Serumen Serumen
Pay AS Serumen Serumen Serumen
Yam AD Normal Normal Normal
Yam AS Normal Normal Normal
Kha AD Serumen Serumen Serumen
Kha AS Serumen Serumen Serumen
Aco AD Normal Normal Normal
Aco AS Normal Normal Tidak dapat dinilai
Tut R AD Normal Normal Normal
Tut R AS Serumen Serumen Serumen
Nas AD Normal Normal Normal
Nas AS Normal Normal Normal
Bam AD Serumen Serumen Serumen
Bam AS Serumen Serumen Tidak dapat dinilai
Jam AD Serumen Tidak dapat dinilai Normal
Jam AS Serumen Normal Normal
Sla AD Normal Tidak dapat dinilai Normal
Sla AS Serumen Serumen Serumen
Ari AD Serumen Serumen Serumen
Ari AS Serumen Serumen Serumen
Her AD Normal Serumen Tidak dapat dinilai
Her AS Serumen Serumen Serumen
Kim H AD Serumen Serumen Serumen
Kim H AS Serumen Serumen Serumen
Abd AD Serumen Serumen Serumen
Abd AS Serumen Serumen Serumen
Sur AD Normal Normal Normal
Sur AS Normal Tidak dapat dinilai Normal
Ate AD Serumen Serumen Serumen
Ate AS Serumen Serumen Serumen
Nasi AD Normal Tidak dapat dinilai Normal
Nasi AS Serumen Tidak dapat dinilai Normal
War AD Serumen Serumen Serumen
War AS Serumen Serumen Serumen
Emi AD Serumen Normal Normal
56
Emi AS Normal Normal Normal
Sum AD OM perforasi OM perforasi OM perforasi
Sum AS OM perforasi OM perforasi OM perforasi
Erl AD Serumen Serumen Tidak dapat dinilai
Erl AS Normal Normal Normal
Kat AD Normal Normal Normal
Kat AS Normal Normal Normal
Bet AD Normal Serumen Tidak dapat dinilai
Bet AS Normal Normal Normal
Pin AD Normal Normal Normal
Pin AS Normal Normal Normal
Mei AD Normal Normal Normal
Mei AS Normal Normal Normal
Nim AD Normal Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Nim AS Serumen Serumen Tidak dapat dinilai
Jen AD Serumen Serumen Serumen
Jen AS Serumen Serumen Serumen
Oon AD Normal Normal Normal
Oon AS Normal Serumen Serumen
Lih AD Serumen Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Lih AS Serumen Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Ros AD Serumen Serumen Tidak dapat dinilai
Ros AS Serumen Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Ann AD Serumen Serumen Serumen
Ann AS Serumen Serumen Serumen
Tje AD Normal Serumen Normal
Tje AS Normal Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Yos AD Normal Normal Normal
Yos AS Normal Tidak dapat dinilai Normal
Jek AD Serumen Serumen Serumen
Jek AS Normal Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Nio AD Normal Normal Normal
Nio AS Normal Normal Normal
Aci AD Normal Normal Normal
Aci AS Normal Normal Normal
Nik AD Normal Normal Tidak dapat dinilai
Nik AS Serumen Serumen Serumen
Tut AD Serumen Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Tut AS Serumen Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Hed AD Normal Normal Tidak dapat dinilai
Hed AS Serumen Serumen Serumen
Mam AD Normal Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Mam AS Normal Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Nel Ad Normal Normal Normal
Nel AS Normal Normal Normal
57
Lampiran 6
Hasil Analisis Statistik
A. Sebaran Karakteristik
JenisKelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-Laki 11 26.2 26.2 26.2
Perempuan 31 73.8 73.8 100.0
Total 42 100.0 100.0
B. Tabel Diagnosis 2x2
Umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 61-70 9 21.4 21.4 21.4
71-80 23 54.8 54.8 76.2
81-90 10 23.8 23.8 100.0
Total 42 100.0 100.0
OTOSKOPDX
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Normal 43 51.2 51.2 51.2
Serumen 39 46.4 46.4 97.6
OM perforasi 2 2.4 2.4 100.0
Total 84 100.0 100.0
DokterIkut * Otoskop Crosstabulation
Count
Otoskop
Total abnormal normal
DokterIkut abnormal 32 7 39
normal 2 27 29
Total 34 34 68
58
DokterTdkIkut * Otoskop Crosstabulation
Count
Otoskop
Total abnormal normal
DokterTdkIkut Abnormal 28 4 32
normal 4 29 33
Total 32 33 65
C. Tabel Uji Kesesuaian
IKUTDX * TIDAKDX Crosstabulation
Count
TIDAKDX
Total Normal Serumen
OM
perforasi
OM tanpa
perforasi
Tidak dapat
dinilai
IKUT
DX
Normal 26 0 0 0 3 29
Serumen 1 27 0 0 6 34
OM perforasi 0 0 2 0 0 2
OM tanpa perforasi 0 1 0 2 0 3
Tidak dapat dinilai 6 0 0 0 10 16
Total 33 28 2 2 19 84
D. Hasil Nilai Kappa
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Measure of Agreement Kappa .705 .063 9.975 .000
N of Valid Cases 84
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
59
Lampiran 7
Riwayat Penulis
Identitas
Nama : Niswatur Rosyidah
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Tulungagung, 20 Juni 1997
Agama : Islam
Alamat : Perum. Mutiara Citra Graha Blok K6 No 5, Sidoarjo,
Jawa Timur
Email : niswaross@gmail.com
Riwayat Pendidikan
• 2001 – 2003 : TKIT Dewi Sartika Surabaya
• 2003 – 2009 : SD Muhammadiyah 2 Sidoarjo
• 2009 – 2012 : SMP NEGERI 1 Candi Sidoarjo
• 2012 – 2015 : MBI Amanatul Ummah Pacet Mojokerto
• 2015 – sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
top related