uji efektivitas serbuk daun sukun (artocarpus altilis...
Post on 30-Oct-2019
31 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UJI EFEKTIVITAS SERBUK DAUN SUKUN (Artocarpus altilis) SEBAGAI
PENGENDALI HAMA KUTU JAGUNG (Sitophilus zeamais)
Usulan Penelitian
Diajukan oleh :
Vosal Rahmawati
20130210084
Program Studi Agroteknologi
Kepada :
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduknya banyak.
Mengingat besarnya jumlah penduduk juga memberikan dampak pada
pemenuhan kebutuhan makanan pokok. Makanan pokok yang dikonsumsi
masyarakat Indonesia adalah beras. Tidak dipungkiri bahwasannya beras masih
menjadi makanan pokok rakyat Indonesia, akan tetapi dari waktu ke waktu jumlah
penduduk semakin meningkat dan kebutuhan makanan pokok juga meningkat,
sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa produksi beras kurang untuk
memenuhi kebutuhan tersebut mengingat ketersediaan lahan yang menjadi
kendala dalam produksi padi.
Komoditas jagung (Zea mays L.) hingga kini masih sangat diminati oleh
masyarakat dunia. Data dari Departemen Pertanian menunjukkan angka produksi
nasional tahun 2010 tercatat 9.676.899 ton, sedangkan impor jagung nasional
sebesar 541.056.11 ton. Data tersebut menunjukkan kondisi kebutuhan jagung
nasional yang diperkirakan kurang dari 10 juta ton/tahun. Jagung merupakan
tanaman serelia yang termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber
karbohidrat kedua setelah beras. Sebagai salah satu sumber bahan pangan, jagung
telah menjadi komoditas utama setelah beras (Purwono et al., 2011).
Salah satu daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi jagung sebagai
pengganti beras adalah Sulawesi Tenggara.Produksi jagung di Sulawesi Tenggara
pada tahun 2010 sebesar 74.840 ton pipilan keringdengan luas panen jagung
29.607 ha dan pada tahun 2011 sebesar 67.316 ton pipilan kering dengan luas
panen 28.661 ha (BPS Sultra, 2011).
Salah satu kendala dalam penyimpanan hasil panen adalah serangan hama
gudang. Hama ini dapat merusak hasil panen berupa polong maupun biji di tempat
penyimpanan maupun di lapangan sebelum panen. Salah satu jenis hama gudang
pada jagung adalah hama bubuk jagungSitophilus zeamais(Classen et al. 1990;
CABI 2014). Selain sebagai hama gudang utama pada jagung, S. zeamais
merupakan hama gudang utama pada gabah/beras, sorgum, gandum, kedelai, dan
kacang hijau (Caliboso et al. 1985).Sitophilus zeamais merusak jagung di daerah
tropis maupun subtropis (Danho et al.2002). S. zeamais seperti halnya S. oryzae
ditemukan di daerah-daerah panas maupun lembap dan menyerang berbagai jenis
serealia, namun yang utama adalah pada jagung (Morallo dan Rejesus 2001).
Kerusakan yang ditimbulkan hama ini lebihtinggi pada jagung dan sorgum
dibandingkan pada gabah/beras.
Sitophilus zeamais tergolong hama utama, mampu merusak dan
berkembang dengan baik pada komoditas yang masih utuh, dan menyelesaikan
siklus hidupnya di dalam biji sehingga mengakibatkan kerusakan yang nyata
(Pranata 1985).Menurut Kalshoven (1981), S. zeamais lebih dominan pada
beras/padi dan jagung, sedangkan S. oryzae lebih banyak menyerang gandum.
Demikian pula menurut Pranata (1982), Haines (1991), dan Giga dan Mazarura
(1991), S. zeamais lebih menyukai jagung daripada beras. Nonci et al. (2008)
melaporkan bahwa S. zeamais merupakan hama bubuk jagung yang dominan
ditemukan di tempat penyimpanan jagung di Balai Penelitian Tanaman Serealia di
Maros, Sulawesi Selatan.
Kehilangan hasil selama periode pascapanen di Indonesia berkisar antara
15-20% tiap tahun. Dari jumlah tersebut, 0,5-2% disebabkan oleh hama S.
zeamais. Bergvinson (2002) mengatakan bahwa S. zeamais dapat menyebabkan
kehilangan hasil jagung hingga 30% dan kerusakan biji hingga 100% pada daerah
tropis. Menurut Tandiabang (1998) serangan S. zeamais pada jagung yang
disimpan selama 6 bulan menyebabkan kerusakan biji 85% dan penyusutan bobot
biji 17%.
Seleksi pada 256 famili jagung terhadap S. zeamais memperoleh
persentase kerusakan biji yang bervariasi antara 9,83% dan 23,58% (Pabbage et
al. 1997). Jagung tipe biji flint yang disimpan 30 hari mengalami kerusakan biji
12,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan tipe bijidentyakni 9,4% (Saenong 1996).
Tanaman sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu tanaman yang
memiliki kandungan senyawa insektisida seperti senyawa saponin, tanin, dan
flavonoid yang mempunyai dampak terhadap serangga. Maka daun tanaman
sukun berpotensi digunakan sebagai insektisida nabati. Kadar kandungan
senyawa pada daun sukun belum diketahui dikarenakan masih sedikit pengujian
fitokimianya. Namun tanaman bergetah lainnya bisa digunakan sebagai
pendekatan untuk menentukan nilai kandungan senyawa atau racun. Pada daun
lidah mertua (Sansevieria trifasciata Prain varietas S. Laurentii) mengandung
kadar saponin sebesar 3,1258 %. Tanaman yang masih satu family yaitu
Artocarpus dadahkandungan dalam kulit batang sebesar 0.0529 % untuk fenol
total, 27,7176 % tanin, 9,455 % flavonoid, dan 2,756 % alkaloid, sedangkan
dalam kayu batang sebesar 0,5555 % fenol total, 0,8987 % tanin, 3,312 %
flavonoid, dan 0,694 % alkaloid.Hariana (2011) mengatakan tanaman sukun kaya
dengan senyawa saponin terutama pada batang dan daun.Berdasarkan beberapa
penelitian, flavonoid dalam daun sukun dapat digunakan sebagai anti-inflamasi,
antiplatelet (kolesterol yang menggumpal dalam pembuluh darah), antioksidan,
antimalaria, antimikroba, antikanker, dll (Harmanto, 2012).
Beberapa senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi
sebagai insektisida yaitu golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, steroid dan
minyak atsiri (Kardinan, 2000 dalam Naria, 2005).Senyawa saponin, tanin, dan
flavonoid dalam daun sukun inilah yang menarik untuk dibahas dalam sebuah
penelitian skripsi dengan memanfaatkan daun sukun sebagai insektisida nabati.
Untuk mengurangi pemakaian insektisida sintetik, maka dilakukan
pengendalian alami yang berasal dari ekstrak tanaman terbukti lebih aman karena
mempunyai umur residu pendek. Setelah aplikasi, insektisida alami akan terurai
menjadi senyawa yang tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan (Desi,
2007).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Riza Rahayu
Ilmawati dkk, bahwa penggunan ekstrak daun papaya pada konsentrasi 5%
merupakan konsentrasi efektif terendah yang dapat digunakan untuk pengendalian
hama gudang.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah penggunaan serbuk daun sukun Artocarpus altilis sebagai
pestisida nabati efektif dalam mengendalikan hama kutu jagung Sitophilus
zeamais?
2. Berapakah dosis terbaik aplikasi serbuk daun sukun Artocarpus altilis
sebagai pengendali hama kutu jagung Sitophilus zeamais?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui efektivitas penggunaan serbuk daun sukun Artocarpus
altilissebagai pestisida nabati terhadap hama kutu jagung Sitophilus
zeamais.
2. Menentukan dosis serbuk daun sukun Artocarpus altilis yang tepat untuk
mengendalikan hama kutu jagung Sitophilus zeamais.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jagung (Zea mays L)
Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya
diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap
pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif.
Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya
berketinggian antara 1 meter sampai 3meter, ada varietas yang dapat mencapai
tinggi 6meter. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas
teratas sebelum bunga jantan. (Anonim, 2011).
Menurut Tjitrosoepomo (1991), tanaman jagung dalam tata nama atau
taksonomi tumbuh-tumbuhan jagung diklasifikasikan dalam Kingdom :Plantae,
Divisi : Spermatophyta, Kelas : Angiospermae, Subkelas : Monocotyledonae,
Ordo : Graminae, Genus : Zea, Species : Zea mays L. Biji jagung kaya akan
karbohidrat. Sebagian besar berada pada endospermium. Kandungan karbohidrat
dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk
pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Pada jagung ketan,
sebagian besar atau seluruh patinya merupakan amilopektin. Perbedaan ini tidak
banyak berpengaruh pada kandungan gizi, tetapi lebih berarti dalam pengolahan
sebagai bahan pangan. Jagung manis diketahui mengandung amilopektin lebih
rendah tetapi mengalami peningkatan fitoglikogen dan sukrosa. Untuk ukuran
yang sama, meski jagung mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih rendah,
namum mempunyai kandungan protein yang lebih banyak (Anonim, 2011).
Diantara beberapa varietas tanaman jagung memiliki jumlah daun rata-
rata 12 - 18 helai. Varietas yang dewasa dengan cepat mempunyai daun yang
lebih sedikit dibandingkan varietas yang dewasa dengan lambat yang mempunyai
banyak daun. Panjang daun berkisar antara 30 - 150 cm dan lebar daun dapat
mencapai 15 cm. Beberapa varietas mempunyai kecenderungan untuk tumbuh
dengan cepat. Kecenderungan ini tergantung pada kondisi iklim dan jenis tanah
(Berger, 1962).
Daun tanaman jagung adalah daun sempurna. Bentuk memanjang, antara
pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang
daun. Permukaan daun ada yang licin ada yang berambut. Setiap stoma dikelilingi
sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon
tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun (Wirawan dan Wahab, 2007).
Batang tanaman jagung padat, ketebalan sekitar 2 – 4 cm tergantung pada
varietasnya. Genetik memberikan pengaruh yang tinggi pada tanaman. Tinggi
tanaman yang sangat bervariasi ini merupakan karakter yang sangat berpengaruh
pada klasifikasi karakter tanaman jagung (Singh, 1987).Biji jagung merupakan
jenis serealia dengan ukuran biji terbesar dengan berat rata-rata 250-300 mg. Biji
jagung memiliki bentuk tipis dan bulat melebar yang merupakan hasil
pembentukan dari pertumbuhan biji jagung. Biji jagung diklasifikasikan sebagai
kariopsis. Hal ini disebabkan biji jagung memiliki struktur embrio yang sempurna.
Serta nutrisi yang dibutuhkan oleh calon individu baru untuk pertumbuhan dan
perkembangan menjadi tanaman jagung (Johnson, 1991).
Akar jagung termasuk dalam akar serabut yang dapat mencapai kedalaman
8 meter meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 meter. Pada tanaman yang
cukup dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang
membantu menyangga tegaknya tanaman (Suprapto, 1999).
Buah jagung terdiri dari tongkol, biji, dan daun pembungkus. Biji jagung
mempunyai bentuk, warna, dan kandungan endosperm yang bervariasi tergantung
pada jenisnya. Umumnya buah jagung tersusun dalam barisan yang melekat
secara luas atau berkelok-kelok dan berjumlah antara 8-20 baris biji (AAK, 2006).
B. Hama Kutu Jagung Sitophilus zeamais
Hama bubuk jagung S. zeamais tergolong ke dalam kingdom :Animalia,
filum :Arthropoda, kelas: Insekta, ordo :Coleoptera, subordo : Polyphaga, family
:Curculionidae, subfamily :Calandrinae, genus :Sitophilus Syn: Calandra, spesies
:Sitophilus zeamais (Motschulsky) (Kalshoven 1981; Sidik et al. 1985;
Sosromarsono et al. 2007).Kumbang dewasa atau imago mempunyai moncong
(snout) sehingga kumbang kecil ini disebut kumbang bubuk (Kartasapoetra 1987;
Canadian Grain Commission 2013; Anonymous 2014).Identifikasi spesies hama
bubuk jagung telah dilakukan melalui bedah genitalia dan secara visual. Spesies
hama bubuk jagung di Indonesia adalah S. zeamais (Nonci et al. 2008), sesuai
bentuk genitalia serangga jantan dan alat kelamin serangga betina.
Sitophilus zeamais merusak jagung di daerah tropis maupun subtropis
(Danho et al.2002). S. zeamais seperti halnya S. oryzae ditemukan di daerah-
daerah panas maupun lembap dan menyerang berbagai jenis serealia, namun yang
utama adalah pada jagung (Morallo dan Rejesus, 2001). Kerusakan yang
ditimbulkan hama ini lebihtinggi pada jagung dan sorgum dibandingkan pada
gabah/beras. Hama ini juga merusak kacang-kacangan seperti buncis, kapri,
kacang tanah, dan kedelai (Kranz et al. 1980). Selain itu, S. zeamais mampu
tumbuh dan berkembang pada berbagai jenis serealia maupun produk olahan
serealia, misalnya pasta dan mi (Anonymous, 2014). Namun, S. zeamais dominan
ditemukan berasosiasi dengan jagung dan gandum (CABI, 2014).
Sebaran, inang, dan Sitophilus zeamais
Negara Komoditas Jenis Hama Referensi
Indonesia Beras, jagung,
gandum, sorgim,
ubi kayu
S. zeamais Prevett (1975);
Haines dan
Pranata (1982)
Filipina Beras, jagung,
gandum, sorgum
S. zeamais Santhoy dan
Morallo-Rejesus
(1975); Mollasgo
(1982)
Thailand Beras, jagung,
sorgum
S. zeamais Sukprakarn dan
Tauthong (1981)
Beberapa negara Beras, jagung,
gandum, sorgum
S. zeamais Morallo-Rejesus
(1979); Phillips
(1971)
Sumber : Semple (1985).
Dalam siklus hidupnya, S. zeamais melalui beberapa stadia perkembangan
atau mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur, larva, pupa, dan imago.
Imago betina membuat lubang pada biji jagung denganmenggunakan
moncongnya, kemudian ovipositornya meletakkan satu butir telur, lalu lubang
tersebut ditutup atau dilindungi dengan lapisan lilin/egg-plug (Anonymous,
2014).Telur S. zeamais berwarna putih bening, berbentuk lonjong, lunak dan licin,
berukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Grist dan Lever 1969; Anonymous
2014).Keberadaan telur di dalam biji dapat diketahui dengan menggunakan
larutan acid fuchsin. Perlakuan ini akan membuat biji berwarna merah gelap dan
lapisan lilin dapat terlihat (Peadt, 1978). Seekor imago betina dapat menghasilkan
telur antara 300-400 butir (Kalshoven 1981; Morallo dan Rejesus 2001;
Anonymous 2014).Satu ekor imago betina S. zeamais meletakkan telur kurang
lebih 25 butir/hari dan menyebar selama 100 hari (Parker 2014). Telur akan
menetas selama 3 hari, bergantung pada kelembapan dan kadar air biji (Parker,
2014). Periode inkubasi telur adalah 6 hari pada suhu 250C (CABI 2004;
Anonymous 2014).
Larva S. zeamais berwarna putih kekuningan, tidak bertungkai, dengan
kepala berwarna cokelat. Larva terdiri atas empat instar. Panjang larva berkisar
antara 1,5–4 mm. Larva berjalan dengan mengerutkan badannya (Kartasapoetra,
1987). Periode larva berlangsung 25 hari. Periode larva stadia 1 sampai stadia 4
berlangsung antara 18–23 hari, kemudian larva menjadi pupa (Anonymous,
2014).Pupa berkembang di dalam biji jagung, yaitu pada lubang bekas gerekan
larva.Stadia pupa berlangsung 3-9 hari.
Deteksi awal serangan S. zeamais sulit diketahui karena larva
merusak/menggerek bagian dalam biji jagung. Serbuk hasil gerekan larva
bercampur dengan kotoran larva di dalam biji (Anonymous, 2014). Jika
kerusakannya berat, dalam satu biji bisa terdapat lebih dari satu lubang gerekan.
Salah satu indikasi biji jagung terserang hama bubuk yaitu bila biji tersebut
dimasukkan ke dalam air maka biji akan terapung. Untuk biji jagung yang
disimpan dalam gudang yang besar, serangan S. zeamais dapat dideteksi melalui
peningkatan suhu.Namun, tanda serangan yang paling mudah diamatiadalah
adanya imago yang muncul (Anonymous, 2014). Biji jagung yang disimpan
selama 5 minggu setelah infestasi dari tiap kilogram biji akan muncul 100 ekor
imago/hari. Nonci et al. (2006) melaporkan bahwa tujuh galur sintetik jagung
yang diinfestasi S. zeamaisdan disimpan selama 3 bulan akan mengalami
kerusakan 7,40- 57,33% pada germ maupun endosperm, dengan jumlah turunan
F1 rata-rata 12,67-94,33 ekor.
Kerusakan yang disebabkan oleh S. zeamais bervariasi sesuai dengan
varietas tanaman yang diserang dan populasi S. zeamais. Hama ini bersifat polifag
atau dapat merusak berbagai jenis biji-bijian, antara lain beras/gabah, jagung,
gandum, dan sorgum (Nonci et al. 2005; BPTP Sulawesi Tengah, 2010).
Kehilangan hasil akibat S. zeamais di daerah tropis dapat mencapai 100%
(Bergvinson, 2002).
C. Daun Sukun Artocarpus altilis
Tanaman sukun, Artocarpus altilis Park di bagi menjadi dua yaitu yang
berbiji (dreadnut) dan yang tanpa biji (breadfruit). Sukun termasuk tanaman
tropis sejati, tumbuh paling baik pada daratan rendah yang panas. Tanaman ini
tumbuh baik juga di daerah basah, juga bisa tumbuh di daerah yang sangat kering
asalkan terdapat air tanah dan aerasi tanah yang cukup. Sukun bahkan juga bisa
tumbuh baik di pulau karang dan di pantai. Pada musim kering, di saat tanaman
lain produksinya merosot, sukun justru dapat tumbuh dan berbuah dengan lebat.
Menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), tanaman sukun
diklasifikasikan dalam Kingdom :Plantae, Divisi : Spermatophyta, Subdivisi :
Magnoliophyta, Kelas : Magnoliopsida, Ordo : Urticales, Familia : Moraceae,
Genus : Artocarpus, Spesies : Artocarpus altilis. Pohon sukun dapat tumbuh
mencapai tinggi mencapai 20 - 30 meter, dengan stek umumnya pendek dan
bercabang rendah. Buah yang tidak bermusim, namun mengalami puncak
pengeluaran buah dan bunganya dua tahun sekali (Mustafa, 1998).Batangnya
besar agak lunak dan bergetah banyak. Bercabang banyak, pertumbuhan
cenderung ke atas. Permukaan kasar, coklat, kayunya lunak dan kulit kayu sedikit
kasar. Daunnya lebar bercanggap menjari dan berbulu kasar. Tunggal, berseling,
lonjong, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi bertoreh, panjang 50-70 cm,
lebar 25-50 cm, pertulangan menyirip tebal, permukaan kasar hijau. Bunga-bunga
sukun berkelamin tunggal (bunga betina dan bunga jantan terpisah), tetapi
berumah satu. Bunganya keluar dari ketiak daun pada ujungcabang dan ranting.
Bunga jantan berbentuk tongkatpanjang disebut ontel, panjang 10-20 cm
berwarnakuning. Bunga betina berbentuk bulat bertangkaipendek (babal) seperti
pada nangka. Kulit buahmenonjol rata sehingga tampak tidak jelas
yangmerupakan bekas putik dari bunga sinkarpik.
Buahnya terbentuk dari keseluruhan kelopak bunganya, berbentuk bulat
atau sedikit bujur. Ukuran garis pusatnya ialah diantara 10 hingga30 cm. Berat
normal buah sukun ialah diantara 1hingga 3 kg. Mempunyai kulit yang berwarna
hijaukekuningan dan terdapat segmen-segmen petakberbentuk polygonal pada
kulitnya. Segmenpolygonal ini dapat menentukan tahap kematanganbuah sukun.
Polygonal yang lebih besar menandakanbuahnya telah matang, manakala buah
yang belummatang mempunyai segmen-segmen polygonal yanglebih kecil dan
lebih padat. Buah-buah sukun mirip dengan buah keluwih (timbul). Perbedaannya
adalahduri buah sukun tumpul, bahkan tidak tampak padapermukaan buahnya.
Biji berbentuk ginjal, panjang 3-5 cm, berwarna hitam. Akar tanaman sukun
mempunyai akar tunggang yangdalam dan akar samping yang dangkal. Akar
sampingdapat tumbuh tunas yang sering digunakan untuk bibit (Heyne, 1987).
Tanaman sukun diperkirakan dari kepulauan nusantara sampai Papua yang
kemudian menyebar ke daerah lainnya melalui kegiatan migrasi penduduk atau
misi perdagangan antara lain di Madagaskar, Afrika, Amerika Tengah dan
Selatan, Karibia, Asia Tenggara, Srilanka, India, Indonesia, Australia. Sebaran
tanaman sukun di kepulauan Indonesia meliputi Sumatera (Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Nias, Lampung), Pulau Jawa (Kepulauan Seribu, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Madura, P. Bawean, Kepulauan
Kangean), Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
(Minahasa, Gorontalo, Bone, Makasar, Malino), Maluku (Seram, Buru Kai,
Ambon, Halmahera dan Ternate), dan Papua (Sorong, Manokwari, pulau-pulau
kecil lainnya) (Heyne, 1987).
Menurut Wuri dkk (2013), daun sukun banyak mengandung senyawa kimia
yang berkhasiat, seperti saponin, polifenol, asam hidrosianat, asetilkolin, tanin,
riboflavin, fenol, dan flavonoid. Senyawa pada tanaman yang bertanggung jawab
terhadap efek pestisida adalah saponin, tanin, flavonoid, triterpenoid, sulfur,
kumarindan steroid.
D. Hipotesis
1. Penggunaan serbuk daun sukun Artocarpus altilis sebagai pestisida nabati
efektif dalam mengendalikan hama kutu jagung Sitophilus zeamais.
2. Pemberian serbuk daun sukun Artocarpus altilis dengan dosis 5 gram
diharapkan dapat mengendalikan hama kutu jagung Sitophilus zeamais.
III. TATA CARA PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada bulan Januari 2018 sampai Februari 2018
di Laboratorium Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
B. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian adalah daun sukun,
hama Sitophilus zeamais, benih jagung, putih telur, dan phostoxin.
Alat yang akan digunakan adalah blender, gunting, pisau, toples plastik,
wadah nampan, saringan, timbangan digital, dan alat tulis.
C. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan menggunakan metode eksperimen, dengan
rancangan perlakuan faktor tunggal yang disusun dalam Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan yaitu :
A :100 gram jagung + 0 gram serbuk
B :100 gram jagung + 5 gram serbuk
C :100 gram jagung + 10 gram serbuk
D :100 gram jagung + 15 gram serbuk
E :100 gram jagung + 0,0009 gram phostoxin
Sehingga diperoleh 5 pelakuan. Setiap perlakuan diulang 3 kali, sehingga
diperoleh 15 unit percobaan. Tiap unit diulang 3 kali, sehingga total didapat 45
unit percobaan.
D. Cara Penelitian
Penelitian dilakukan meliputi proses pembuatan serbuk daun sukun,
aplikasi, dan uji kualitas jagung.
1. Proses Pembuatan Serbuk Daun Sukun
Proses pembuatan serbuk daun sukun dilakukan di Laboratorium Proteksi
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Pertama daun sukun dicuci bersih, kemudian dipotong kecil-kecil lalu
dikeringkan selama 24 jam. Daun sukun yang sudah kering kemudian
diblender hingga halus.
2. Aplikasi Serbuk Daun Sukun
Aplikasi serbuk daun sukun dilakukan di Laboratorium Proteksi Tanaman
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pertama toples
plastik yang terlebih dulu dilubangi bagian tutupnya disiapkan sebagai
wadah. Kemudian masukkan jagung masing-masing sebanyak 100 gram
dalam wadah. Lalu infeksikan hama sebanyak 10 ekor pada tiap-tiap
perlakuan, hama didapat dari koleksi laboratorium proteksi.Setelah itu
mencampur serbuk daun sukun dengan biji jagung yang telah diinfeksi hama
sesuai perlakuan pada tiap-tiap wadah, diaduk lalu ditutup. Pengamatan
dilakukan dengan menghitung jumlah serangga yang mati selama 3 hari
sekali setelah aplikasi.
3. Uji Mutu Benih Jagung
Menguji warna, aroma, dan rasa jagung dari masing-masing perlakuan
oleh 5 orang panelis.
E. Parameter Yang Diamati
1. Uji Toksisitas
Pengamatan hama yang mati dilakukan setiap 3 hari sekali selama empat
minggudengan cara menghitung jumlah hama yang mati dan dinyatakan
dalam satuan ekor, jumlah hama yang mati digunakan untuk menghitung
mortalitas dan efikasi dengan rumus :
a. Mortalitas (%)
Pengamatan mortalitas dilakukan setiap 3 hari sekali selama empat
minggu. Menunjukkan tingkat kemampuan atau daya bunuh serbuk daun
sukun dalam membunuh kutu jagung Sitophilus zeamais diperoleh rumus:
Mortalitas =
100%
b. Efikasi (%)
Pengamatan perhitungan efikasi dilakukan setiap 3 hari sekali selama
empat minggu untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau kemanjuran dari
tiap perlakuan yang diujikan dalam penelitian dibandingkan dengan kontrol
diperoleh rumus:
Efikasi (
)
Ket : Ta = jumlah hama yang hidup pada benih jagung sesudah aplikasi
Tb = jumlah hama yang hidup pada benih jagung sebelum aplikasi
Ca = jumlah hama yang hidup pada perlakuan kontrol sesudah aplikasi
Cb = jumlah hama yang hidup pada perlakuan kontrol sebelum aplikasi
2. Kecepatan kematian hama kutu jagung (%)
Pengamatan kecepatan kematian dilakukan setiap 3 hari sekali selama
empat minggu. Menunjukkan seberapa cepat pengaruh serbuk daun sukun
pada kematian kutu jagung dilihat dari jumlah kematian per harinya,
diperoleh rumus :
Ket : V = kecepatan kematian
T = waktu pengamatan
N = jumlah serangga yang mati
n = jumlah serangga yang diujikan
3. Uji Kualitas Jagung
Menguji kualitas jagung dilakukan oleh 5 orang panelis. Parameter yang
diamati untuk menentukan kualitas jagung dengan memasak jagung
dimasukkan kedalam plastik dan selanjutnya di kukus, untuk menguji
warna, aroma dan rasa jagung.
a. Warna
Pemeriksaan warna jagung dilakukan dengan menggunakan skala 1,
2, dan 3 yaitu,skala 1 = jagung berwarna bersih, skala 2 = jagung berwarna
kecoklatan, dan skala 3 = jagung berwarna kehitaman.
b. Aroma
𝑉 =T1N1 + T2N2 + T3N3 +⋯+ TnNn
n
Untuk mengetahui aroma jagung tersebut berbau apek atau tidak
dilakukan dengan cara mencium jagung tersebut. Penilaian penciuman dapat
dinyatakan dalam keterangan apek atau tidak apek. Jika berbau, dapat
diukur dengan memberikan skala 1 = tidak apek, skala 2 = agak apek, dan
skala 3 = sangat apek sesuai dengan tingkat bau yang tercium.
c. Rasa
Untuk mengetahui rasa jagung tersebut layak atau tidak untuk
dikonsumsi, dibutuhkan panelis yang bersedia mencoba rasa jagung yang
telah dimasak.Penilaian dengan menggunakan keterangan rasa jagung enak
dan tidak enak, dengan skala 1 = enak, skala 2 = agak enak, dan skala 3 =
tidak enak.
F. Analisis Data
Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk grafik dan histogram. Hasil
pengamatan kuantitatif dianalisis menggunakan sidik ragam atau analysis of
variance(ANOVA) taraf 5%. Apabila ada perbedaan nyata antar perlakuan yang
diujikan maka dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test
(DMRT).
G. Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
Bulan
Januari Februari Maret
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan
2 Pembuatan ekstrak
3 Aplikasi
4 Pengamatan
5 Uji kualitas jagung
6 Analisis
7 Pembahasan
Lay Out Penelitian
AU1S1 E U1S1 A U3S3 D U3S1 E U2S3
CU3S2 C U2S2 A U3S1 B U3S3 C U1S1
CU2S1 B U3S2 B U3S1 D U1S3 D U2S1
BU1S2 C U1S2 E U1S3 E U2S1 E U3S3
Jumlah Kebutuhan Bahan
1. Jumlah total serbuk
- 5 gram= 5 gram x 9 sampel
= 45 gram
- 10 gram = 10 gram x 9 sampel
= 90 gram
- 15 gram = 15 gram x 9 sampel
= 135 gram
Total = 45 gram + 90 gram + 135 gram
= 270 gram serbuk
CU3S3 A U3S2 C U2S3 D U2S2 E U3S2
AU1S2 A U1S2 A U2S3 D U2S3 E U3S1
CU3S3 B U1S3 D U3S2 B U2S1 B U1S1
CU2S2 B U2S2 D U1S1 D U1S2 E U2S3
BU1S3 B U2S3 D U3S3 A U2S1 A U1S3
2. Jumlah total jagung
100 gram x 45 sampel = 4500 gram (4,5 kg)
3. Jumlah total hama
10 ekor x 45 sampel = 450 ekor
4. Jumlah total phostoxin
0,0009 gram x 9 sampel = 0,0081 gram
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 2006. Teknik Bercocok Tanam Jagung Manis. Kanisius. Yogyakarta.
Diakses pada tanggal 27 Juli 2017.
Anonym, 2011. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. Diakses Pada
Tanggal 30 November 2011.
Anonymous. 2014. Greater Rice Weevil Sitophilus zeamais. http://
agspsrv34.agric.wa.gov.au/ento/pestweb/Query1_1.idc?ID=1055010548.
[9 December 2014].
Berger, J. 1962. Maize Production and the Manuring of Maize. Printed in Press,
Yogyakarta.
Bergvinson, D. 2002. Storage Pest Resistance in Maize. CIMMYT Maize
Programs. pp. 32-39.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sultra. 2011. Berita Resmi Statistik BPS
Propinsi Sulawesi Tenggara.
http://sultra.bps.go.id/images/pub/aram_201111.pdf. Diakses tanggal 6
Januari 2012.
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Sulawesi Tengah. 2010. Budi Daya
Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Palu. 29
hlm.
CABI. 2004. Crop Protection Compendium: Module II. CAB International,
Wallingfort, UK.
CABI. 2014. Sitophilus zeamais. Invasive Species Compedium. www.cabi.org.
[8 December 2014].
Caliboso, F. M., P. D. Sayaboc, and M. R. Amoranto. 1985. Pest Problem and Use
of Pesticide in Grain Storage in the Philippines. In B.R. Champ and E.
Highey (Eds.) Pesticides and Humid. Tropical Grain Storage System.
ACIAR Proc. 14: 17-29.
Canadian Grain Commission. 2013. Maize weevil Sitophilus zeamais
Motschulsky. http://www.grainscanada.gc.ca/storage-entrepose/ pip-
irp/mw-cr-eng.htm. [9 December 2014].
Classen, D., J. T. Anarson, J. A. Seratos. J. D. H. Lambert, and C. Nozzolillo.
1990. Correlation of Phenolic Acid Content of Maize to Resistance to
Sitophilus zeamais, The Maize Weevil in CIMMYT’S collections. J.
Chem. Ecol. 16(2): 301-315.
Danho, M., C. Gaspar, and E. Haubruge. 2002. The Impact of Grain Quantity on
The Biology of Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera:
Curculionidae): Ovopisition, Distribution of Egg, Adult Emergence,
Body Weight and Sex Ratio. J. Stored Products Res. 38: 259-266.
Desi, A. 2007. Pemanfaatan Biji Bengkuang Sebagai Insektisida Alami.
http://www.pkm.dikti.net/pkmiaward2006/pdf/pkmi06068.pdf. Diakses
tanggal 27 Juli 2007.
Giga, D.P. and U. W. Mazarura. 1991. Levels of Resistance to the Maize Weevil
Sitophilus zeamais Motsch in Exotic, Local Open Pollinated and Hybrid
Maize Germplasm. Insect Sci. Appl. 12 (1/2/3): 159-169.
Grist, D.H. and R.A.A.W. Lever. 1969. Pest of Rice. Longman and Co. Ltd.,
London. p. 520.
Haines, C. P. 1991. Insects and Arachnids of Tropical Stored Products: Their
Biology and Identification. A training manual. Natural Resources
Institute, Kent, UK. 246 pp.
Hariana, A. 2011. Tumbuhan Obat & Khasiatnya Seri 3, Penebar Swadaya,
Jakarta
Harmanto, N 2012, Daun Sukun Si Daun Ajaib, Penakluk Aneka Penyakit, PT.
Agro Media Pustaka, Jakarta.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Badan Litbang
Kehutanan. Jakarta.
Johnson, L. A. 1991. Corn: Production, Processing and atilitation. Di dalam
Lorenzo KJ, Kulp K, editor. Handboojk of Cereal Science and
Technology. New York: Marcel Dekker Inc.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta.
Kartasapoetra, A.G. 1987. Hama Hasil Tanaman dalam Gudang. Bina Aksara,
Jakarta. hlm. 31-40.
Kranz, J., H. Schumuterer, and W. Koch. 1980. Disease Pest Weed in Tropical
Crop. John Wiley and Son, New York. 666 pp.
Morallo, B. R. and R. S. Rejesus. 2001. Biology of Predominant Storage Insect
Pest. Biology and Management of Stored Product and Postharvest Insect
Pest. pp. 31-73.
Mustafa, A. M. 1998. Isi Kandungan Artocarpus communis. Food Science. 9:23.
Naria, E. 2005. Insektisida Nabati Untuk Rumah Tangga, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Nonci, N., M.H.G. Yasin, dan Suarni. 2005. Interaksi Populasi Jagung Sintetik
dengan Serangan Sitophilus sp. Motschulsky (Coleoptera:
Curculionidae). Makalah disampaikan pada International Conference of
Crop Security.
25 hlm.
Nonci, N., I.M.J. Mejaya, dan A. H. Talanca. 2006. Ketahanan Jagung QPM
Terhadap Bubuk Jagung Sitophilus sp. Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. Palu, 5-6
Desember 2006.
Nonci, N., A. Muis, dan M.H. G. Yasin. 2008. Perakitan Varietas Jagung QPM
Tahan Hama Bubuk Jagung S. zeamais. Jurnal Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 27(3): 171-178.
Nonci, N., A. Muis. 2015. Biologi, Gejala Serangan, dan Pengendalian Hama
Bubuk Jagung Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera:
Curculionidae). Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros.
Pabbage, M. S., Maswati, dan S. Mas’ud. 1997. Kumbang Bubuk Sitophilus sp.
(Coleoptera: Curculionidae) dan Strategi Pengendaliannya. Seminar dan
Lokakarya Nasional Jagung, 11- 12 November 1997. 11 hlm.
Parker, S. 2014. Life Cycle of the Maize Weevil Sitophilus zeamais.
www.Parker.com/about_5371323_life-maize-weevil-
sitophiluszeamais.html. [2 December 2014].
Peadt, R.C. 1978. Fundamental of Applied Entomology. 3rd Edition. Mac Millan
Publ, Co. Inc., New York. pp. 591-595.
Pranata, R. I. 1982. Masalah Susut Akibat Serangga Pascapanen. (Coaching
Pengendalian Hama Gudang). Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan,
Bogor. hlm. 8.
Pranata. R. I. 1985. Mengamankan Hasil Panen dari Serangga Hama. Balai
Informasi Pertanian Ciawi. hlm. 42.
Purwono dan R. Hartono. 2011. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya.
Jakarta. 64 hal.
Sadewo, V. D., Wibowo, N. J, dan F. Zahida. 2015. Uji Potensi Ekstrak Daun
Sukun Artocarpus altilis sebagai Pestisida Nabati Terhadap Hama Lalat
Buah Bactrocera spp. Skripsi. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Saenong, M. S. 1996. Pengaruh Padat Populasi Serangga Sitophilus zeamais dan
Bentuk Biji Terhadap Tingkat Kerusakan Benih Jagung di Laboratorium.
Seminar Mingguan Balitjas, Sabtu 16 November 1996.
Semple, R. L. 1985. Problems Relating to Pest Control and Use of Pesticides in
Grain Storage: The Current Situation in ASEAN and Future
Requirements. In B.R. Champ and E. Highley (Eds.). Pesticides and
Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR Proc. (14): 45-75.
Sidik, M., M. Halid, and Pranata. 1985. Pest Problems and Use of Pesticides in
Grain Storage in Indonesia. In B.R. Champ and E. Higley (Eds.).
Pesticide and Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR Proc. (14):
37-43.
Singh, J. 1987. Field Manual of Maize Breeding Procedures. Indian Agricultural
Research Institute New Delhi. India.
Sosromarsono, S., S. Wardoyo, S. Adisoemarto, dan Y.R. Suhardjono. 2007.
Nama Umum Serangga. Perhimpunan Entomologi Indonesia. 55 hlm.
Suprapto, 1999. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta. Diakses pada
tanggal 26 Juli 2017.
Syamsuhidayat, S. S and Hutapea, J. R. 1991. Inventaris Tanaman Obat
Indonesia. Edisi kedua. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Tjitrosoepomo, C., 1991. Taksonomi Tumbuhan. Gajah Mada Universy Press,
Yogyakarta.
Wirawan, G. N., dan M. I. Wahab. 2007. Teknologi Budidaya Jagung.
http://www.pustaka-deptan.go.id. Diakses pada tanggal 26 Juli 2017.
Wuri, N., Djoko, A. B., Dwi, R. I. 2013. Uji Potensi Ekstrak Daun Sukun
(Artocarpus altilis) Terhadap Lalat Rumah (Musca domestica) Dengan
Metode Semprot. Universitas Brawijaya.
top related