uji resistensi insektisida malathion dan temephos terhadap aedes...
Post on 11-Feb-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
UJI RESISTENSI INSEKTISIDA MALATHION DAN TEMEPHOS
TERHADAP AEDES AEGYPTI BERDASARKAN
ENDEMISITAS DBD DI TORAJA UTARA
RESISTENCY OF MALATHION INSECTICIDES AND TEMEPHOS AEDES AEGYPTI BASED ON
ENDEMISITY DENGUE FEVER IN NORTH TORAJA
SEPRI PONNO
P1801215013
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
-
UJI RESISTENSI INSEKTISIDA MALATHION DAN TEMEPHOS
TERHADAP AEDES AEGYPTI BERDASARKAN
ENDEMISITAS DBD DI TORAJA UTARA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan oleh
SEPRI PONNO
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
-
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sepri Ponno
Nim : P1801215013
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini adalah
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
adalah hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar,
SEPRI PONNO
-
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis berjudul “Uji
Resistensi Insektisida Malathion Dan Temephos Terhadap Aedes
Aegypti Berdasarkan Endemisitas Dbd Di Toraja Utara”. Tesis ini penulis
ajukan sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi
Magister Kesehatan Masyarakat Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin Makassar.
Ucapan terima kasih kepada Ayahanda Joni S.Pd dan Ibunda tercinta
Ludia S.Pd beserta saudaraku Aprianus Ponno S.Hut., MM dan Selfrin J
Ponno S.T serta semua keluarga yang secara tulus dan ikhlas mendoakan,
memotivasi serta memberikan perhatian, semangat dan bantuan dalam
menyelesaikan pendidikan ini. Di samping itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc., Ph.D selaku Pembimbing I dengan
kesabaran dan sikap yang bersahaja telah memberikan bimbingan dan
arahan dalam penyusunan Tesis ini.
2. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar dan sebagai
-
Pembimbing II dengan kesabaran dan ketekunan telah membimbing
dalam penyusunan Tesis ini.
3. Anwar, SKM., M.Sc., Ph.D., Dr. Hasnawati Amqam, SKM., M.Sc dan
Dr. Atjo Wahyu, SKM., M.Kes., selaku penilai yang telah memberi
koreksi dan saran demi penyempurnaan Tesis ini.
4. Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc, selaku ketua program Studi Kesehatan
Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
5. Semua Dosen di program studi kesehatan masyarakat Sekolah
pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, yang telah memberikan
ilmu selama penulis menjalani pendidikan.
6. Staf Konsentrasi Kesehatan Lingkungan: ibu Mustika, SE yang sangat
kooperatif melayani kami selama menjalani pendidikan.
7. Dinas Kesehatan Kab. Tanah Toraja yang telah memberi izin kepada
peneliti untuk melaksanakan penelitian ini di lapangan.
8. Kepala Laboratorium Bapak dr. Isra Wahid, Ph.D, para staf dan
rekanrekan terkhusus Kak Nana, Laboratorium Entomologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin atas izin, bimbingan dan bantuannya
selama penelitian ini.
9. Sisilia Ira Lobo beserta Keluarga terkhusus Ibunda yang telah
memberikan bantuan fasilitas selama berada di Kab. Toraja Utara.
10. Abd. Haris H Muhammad yang telah memberikan banyak bantuan
selama penelitian ini berjalan di Laboratorium Entomologi.
-
11. Palfrisda dan Virginia ivonela yang selalu memimjamkan buku-bukunya
dan Teman – teman di Konsentrasi Kesling angkatan 2015
sesungguhnya kebersamaan dengan kalian adalah pengalaman yang tak
terlupakan.
12. Accink, Elyeser Tandilino, Nio Matana dan Meilson Sallata yang telah
memberikan bantuan selama penelitian di Kab. Tanah Toraja.
Walaupun penulis berusaha semaksimal mungkin mewujudkan karya
terbaik, namun pada akhirnya tetap terdapat kekurangan-kekurangan
didalamnya sebagai akibat keterbatasan penulis. Penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi penyempurnaan tesis ini.
Kiranya tesis ini dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi siapa saja
yang membacanya.
Makassar, Agustus 2017
Sepri Ponno
-
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………………………………………………………………............... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… vi
LAMPIRAN ………………………………………………………………………. viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………… 7
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 9
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 10
E. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………… 11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Nyamuk Aedes aegypti …................................... 12
B. Tinjauan Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti ........................... 25
C. Tinjauan Faktor Endemisitas DBD …………………….................. 32
D. Tinjauan Tentang Malathion dan Temephos ……………………... 39
E. Tinjauan Umum Resistensi …………………………………………. 43
F. Penentuan / Uji Resistensi ……………………………………….. 50
G. Kerangka Teori …………………………………………………….. 58
-
iii
H. Kerangka Konsep …………………………………………………. 59
I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ………………………… 60
J. Hipotesis Penelitian …………………………………………………. 63
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian .......................................................... 64
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………………. 66
C. Populasi dan Sampel ………………………………………………. 67
D. Prosedur Penelitian …………………………………………………. 69
E. Pengumpulan Data ………………………………………………….. 73
F. Metode Analisis ……………………………………………………… 73
G. Kontrol Kualitas ……………………………………………………… 75
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................................ 76
B. Pembahasan ................................................................................ 92
C. Keterbatasan Penelitian ............................................................... 106
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 107
B. Saran ............................................................................................ 107
Daftar Pustaka
-
iv
DAFTAR TABEL
No Halaman
1 Sintesa penelitian yang relevan dengan
pengendalian vector DBD
37
2 Sintesa penelitian yang relevan dengan uji
kerentanan nyamuk
55
3 Jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada
paparan malathion konsentrasi 0,8 % menurut
lama kontak di daerah endemis tinggi
Kabupaten Toraja Utara.
78
4 Jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada
paparan malathion konsentrasi 5% menurut
lama kontak di daerah endemis tinggi
Kabupaten Toraja Utara.
79
5 Jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada paparan malathion konsentrasi 0,8 % menurut lama kontak di daerah tidak endemis Kabupaten Toraja Utara.
80
6 Jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada 81
-
v
paparan malathion konsentrasi 5 % menurut
lama kontak di daerah tidak endemis Kabupaten
Toraja Utara.
7 Jumlah mortalitas larva Aedes aegypti pada
paparan temephos 1% menurut lama kontak di
daerah endemis tinggi Kabupaten Toraja Utara.
84
8 Jumlah mortalitas larva Aedes aegypti pada
paparan temephos 1% menurut lama kontak di
daerah tidak endemis Kabupaten Toraja Utara.
84
9 Nilai Kolmogorov-Smirnov konsentrasi malathion
dan temephos terhadap mortalitas Aedes
aegypti di endemis tinggi dan tidak endemis.
86
11 Hasil uji One way anova perbedaan mortalitas
Ae. aegypti paparan insektisida malathion dan
temephos di daerah endemis tinggi dan tidak
endemis.
87
12 Status resistensi nyamuk Aedes aegypti
terhadap insektisida malathion pada daerah
endemis tinggi dan tidak endemis, Toraja Utara.
91
13 Status resistensi larva Aedes aegypti terhadap
insektisida temephos pada daerah endemis
tinggi dan tidak endemis, Toraja Utara.
92
-
vi
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti 14
2 Telur Aedes aegypti 15
3 Larva Aedes aegypti 16
4 Pupa Aedes aegypti 17
5 Mesonotum Aedes aegypti 18
6 Mesepimeron Aedes aegypti 19
7 Skema mekanisme resistensi serangga 48
8 Kerangka teori penelitian 58
9 Kerangka konsep penelitian 59
10
11
Skema desain penelitian uji insektisida
malathion
Skema desain penelitian uji insektisida
temephos
64
65
12 Persentase perbandingan rata-rata mortalitas
nyamuk Aedes aegypty paparan insektisida
malathion di daerah endemis tinggi dan tidak
endemis di Toraja Utara.
82
13 Persentase perbandingan rata-rata mortalitas
larva Aedes aegypti paparan insektisida
temephos 1% di daerah endemis tinggi dan
tidak endemis di Toraja Utara.
85
-
vii
14 Nilai lethal time (LT50, LT90, LT95, dan LT99)
untuk konsentrasi 0,8% di daerah endemis tinggi
dan tidak endemis, Toraja Utara.
88
15 Nilai lethal time (LT50, LT90, LT95, dan LT99)
untuk konsentrasi 5% di daerah endemis tinggi
dan tidak endemis, Toraja Utara.
89
16 Nilai lethal time (LT50, LT90, LT95, dan LT99)
insektisida Temephos 1% di daerah endemis
tinggi dan tidak endemis, Toraja Utara.
90
-
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Lampiran 2 Output hasil uji
Lampiran 3 Data kasus DBD Kab. Toraja Utara
Lampiran 4 Fogging dan Abatisasi Kab. Toraja Utara
Lampiran 5 Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 6 Surat pengambilan data awal.
Lampiran 7 Surat Izin Penelitian dari Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan
Lampiran 8 Rekomendasi Penelitian Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Kab. Toraja
Utara.
Lampiran 9 Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Lampiran 10 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Dinas Kesehatan
Kab. Toraja Utara.
Lampiran 11 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Laboratorium
Entomologi Fakultas Kedokteran UNHAS
Lampiran 12 Lembar Observasi Uji Kerentanan
Lampiran 13 Dokumentasi Penelitian
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Aedes aegypti merupakan vektor utama dalam penyebaran virus
dengue. Penularan virus dengue kepada manusia dapat terjadi melalui
gigitan nyamuk yang infektif. Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun
dan dapat menyerang seluruh kelompok umur (Kemenkes RI. 2015).
Kejadian DBD di dunia meningkat secara drastis. Dalam 50 tahun terakhir
terjadi 30 kali lipat peningkatan kasus DBD (WHO, 2013).
Data dari WHO, diperkirakan jumlah kasus insiden DBD sebanyak 390
juta pertahun, dimana 96 juta kasus dinyatakan kasus yang berat. Amerika,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan wilayah endemis DBD yang
tinggi dimana terdapat 2,5 miliar orang atau dua perlima dari populasi dunia
beresiko untuk tertular DBD. Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan salah
satu negara yang endemis DBD. Diperkirakan 500.000 orang dengan insiden
DBD memerlukan rawat inap setiap tahun dan sekitar 2,5 % dari mereka
mengalami kematian ( WHO. 2016).
Insiden DBD di indonesia pertama kali di laporkan pada tahun 1968,
tercatat ada 58 kasus DBD dengan 24 kasus diantaranya meninggal. Insiden
DBD terus meningkat, sehingga WHO (2009) menetapkan Indonesia sebagai
salah satu negara hiperendemik dengan jumlah provinsi yang terkena DBD
-
2
sebanyak 32 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia dan 355 kabupaten/kota
dari 444 kota terkena DBD. Setiap hari dilaporkan, sebanyak 380 kasus DBD
dan 1-2 orang meninggal setiap hari (Arsin, A. 2013)
Akhir tahun 2014, tercatat sebanyak 433 kabupaten/Kota dari total 508
Kabupaten/kota (sekitar 85,2%) di 34 Provinsi telah terjangkit DBD. Dimana
terdapat 907 kasus yang meninggal akibat DBD dari sekitar 100.347 Kasus.
Akhir Juni 2015 tercatat ada 48.480 kasus dengan 872 kematian. Pada akhir
Januari Tahun 2016, Kementerian Kesehatan melaporkan tejadi kejadian luar
biasa DBD di sembilan kabupaten dan 2 kota dari 7 Provinsi. Tercatat
sepanjang bulan januari sebanyak 25 kasus kematian dari 492 kasus DBD
(DPR-RI, 2016).
Angka kematian (AK) / Case fatality rate ( CFR ) pada tahun awal
kasus DBD merebak di Indonesia cukup tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun
mulai menurun dari 41,4 % pada tahun 1968 terus menurun sampai menjadi
0,89% pada tahun 2009 (Arsin, A. 2013 ). Pada Tahun 2015, provinsi dengan
CFR DBD tertinggi adalah Gorontalo (6,06%), Maluku (6%) dan Papua Barat
(4,55%). Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi dari 13 provinsi
yang dinyatakan dengan CFR yang masih cukup Tinggi (di atas 1%)
(Kemenkes RI, 2016).
Data dari Dinas kesehatan kota menunjukan pada tahun 2013 insiden
DBD di Sulawesi selatan sebanyak 5.030 kasus (IR= 50,89%) (Dinkes prov.
Sulsel. 2014). Pada tahun 2014 berdasarkan laporan P2PL insiden rate DBD
-
3
sebesar 3517%. Rata-rata angka insiden rate di Provinsi Sulawesi Selatan
cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan target Nasional
(IR=36%) (Dinkes prov. Sulsel. 2015).
Toraja utara merupakan Kabupaten yang endemis DBD di Provinsi
Sulawesi Selatan. Data dari Dinas Kesehatan Toraja Utara mencatat pada
tahun 2014 sebanyak 31 kasus (IR= 13,84%) meningkat pada tahun 2015
sebanyak 39 kasus (17,29%) dan meningkat sangat drastis pada tahun 2016
dengan jumlah kasus sebanyak 96 (Dinkes Toraja Utara, 2017).
Pengendalian vektor DBD di hampir di semua negara dan daerah
endemis tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan belum mampu
memutus rantai penularan (Depkes RI, 2010). Menurut Hadi (2006),
pengendalian vector DBD yang efisien dan efektif adalah memutuskan rantai
penularan dengan membunuh vektornya dengan berbagai cara yaitu dapat
secara mekanis, yaitu membunuh secara langsung nyamuk, dapat secara
biologis, misalnya dengan memasukkan ikan pemakan jentik nyamuk ke
dalam tempat perindukannya, dan penggunaan insektisida. Insektisida ini ada
yang di taburkan di air dan ada yang berupa asap melalui penyemprotan
untuk membunuh nyamuk dewasa (Sembiring, 2009).
Pengendalian vektor menggunakan insektisida merupakan salah satu
strategi dalam pemberantasan nyamuk yang dianggap lebih efektif, cepat dan
mudah pemakaiannya. Penggunaan insektisida dalam menentukan ukuran
dosis yang tepat merupakan salah satu faktor yang penting dalam
-
4
menentukan keberhasilan pengendalian vektor. (Tosepu, R, 2010).
Penggunaan jenis insektisida golongan organofosfat telah lama digunakan di
Kabupaten Toraja Utara. Hingga saat ini, bahan kimia yang digunakan yaitu
malahtion (95%) untuk fogging dengan konsentrasi 5% dan temephos untuk
abatisasi konsentasi 1% (Dinkes Toraja Utara. 2016). Penggunaan
insektisida dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan resistensi vektor
DBD (Depkes RI. 2010).
World Health Organization (WHO) mendefinisikan resistensi sebagai
kemampuan berkembangnya toleransi suatu spesies serangga terhadap
dosis toksik insektisida yang mematikan sebagian besar populasi. Resistensi
terhadap malathion dan temephos terjadi apabila vektor tidak dapat dibunuh
oleh dosis standar atau vektor berhasil menghindari kontak dengan
insektisida (Prasetyowati, H, dkk. 2016). Daniel (2010) menyebutkan bahwa
ketika dilakukan penyemprotan insektisida di lokasi, nyamuk yang peka akan
mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya.
Paparan insektisida yang terus menerus menyebabkan nyamuk beradaptasi
sehingga jumlah nyamuk yang kebal bertambah banyak. Nyamuk yang kebal
tersebut dapat membawa sifat resistensi ke keturunannya (Ridha, M, R.
2011).
Laporan resistensi Larva Ae. aegypti terhadap temephos sudah
ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Venezuela,
Kuba, French Polynesia, Karibia, dan Thailand (Gafur, A. 2006). Selain itu
-
5
juga telah dilaporkan resistensi larva Aedes aegypti terhadap abate
(temephos) di Surabaya (Nugroho, A. 2011). Penelitian yang dilakukan
Rocha et al di Pulau Santiago, Cabo Verde pada tahun 2015 menunjukkan
awal munculnya resistensi terhadap temephos pada populasi Aedes aegypti.
Laporan adanya resistensi Ae. aegypti terhadap organofosfat juga pernah
dilaporkan di wilayah DKI Jakarta, namun tidak semua tempat resisten,
mengingat masih ditemukan tempat yang toleran terhadap organofosfat
(Prasetyowati, H, dkk. 2016).
Untuk penggunaan temephos 1% dalam bentuk bubuk abate
dimaksudkan untuk membunuh larva nyamuk sebelum berkembang menjadi
nyamuk dewasa. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengujinya.
Penelitian yang dilakukan Prasetyowati, H, dkk,( 2016 ) di tiga Kotamadya
DKI Jakarta menunjukan bahwa Status kerentanan Ae. aegypti pada semua
wilayah penelitian telah resisten terhadap insektisida temephos 1%. Hal yang
sama terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Handayani, N (2016) di
Semarang bahwa larva Ae. Aegypti di pelabuhan tanjung emas di wilayah
perimeter sudah toleran dan wilayah buffer telah resisten terhadap temephos.
Di Guadeloupe dan Sain Martin populasi Ae. Aegypti resisten terhadap
temephos (Goindin, et al. 2017).
Secara khusus untuk malathion, beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengujinya. Penelitian yang di lakukan oleh Salim, M, dkk, (2009) di
-
6
kota Palembang, pada stadium dewasa nyamuk Aedes aegypti masih rentan
terhadap malathion dosis 5% . hal yang sama terjadi pada penelitian yang
dilakukan oleh Suwito (2010) di Kota Surabaya, pada lokasi dengan kasus
tinggi DBD sudah ada populasi nyamuk yang toleran terhadap insektisida
malahion dosis 5%. Penelitian juga dilakukan di Koderma (Jharkhand), India
menunjukkan bahwa nyamuk Ae. aegypti di lokasi tersebut masih rentan
terhadap malathion (Singh, 2011). Penelitian di Sri Lanka di temukan nyamuk
Aedes aegypti masih rentan terhadap paparan insektisida malathion
(Karunaratne, et al. 2013).
Di Kabupaten Toraja Utara pengendalian vektor DBD mengunakan
insektisida masih merupakan pilihan yang utama. Program pemberantasan
vektor DBD menggunakan insektisida malathion melalui pengasapan/ fogging
dengan dosis 5% dan penggunaan temephos 1% dalam betuk bubuk abate
dinilai belum memberi hasil yang maksimal. Dari data Dinas Kesehatan
Toraja Utara, frekuensi fogging dan penggunaan bubuk abate masih
berbanding lurus dengan kejadian DBD (Dinkes Toraja Utara. 2016).
Dari uraian di atas, maka dipandang perlu melakukan deteksi dini
resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida malathion 5% dan temephos 1%.
Selain resistensi terhadap dosis aplikasi malathion 5% juga diperlukan data
dosis 0,8% yang masih mungkin dilakukan berdasarkan daerah endemisitas.
Dengan demikian dapat menjadi referensi untuk penentuan dosis yang efektif
dalam fogging serta aman terhadap lingkungan karena efek residu yang kecil.
-
7
Dengan adanya informasi mengenai status resistensi Ae. aegypti
dapat diketahui apakah program pemberantasan vektor menggunakan
malathion 5% dan temephos 1% masih layak digunakan atau perlu direvisi
sehingga pengendalian vektor demam berdarah dengue dapat memberi hasil
yang positif dalam menekan peningkatan insiden demam berdarah dengue di
Kabupaten Toraja Utara.
B. Rumusan Masalah
Tingginya insiden DBD di beberapa kecamatan di Toraja Utara
menunjukan bahwa program pengendalian vektor DBD mutlak tetap
dilakukan. Hingga saat ini, Toraja utara masih tergolong daerah yang
endemis di provinsi sulawesi selatan. Terdapat 2 kecamatan yang endemis
tinggi, 6 kecamatan sebagai sporadis dan 11 kecamatan belum ada kasus
DBD (Dinkes Toraja Utara. 2017).
Program pengendalian vektor DBD di Toraja Utara dengan
menggunakan insektisida malathion untuk memberantas nyamuk dewasa
dengan cara pengasapan (fogging) dan penggunaan temephos dalam bentuk
bubuk abate merupakan cara yang cukup diandalkan. Meskipun dianggap
cepat dan praktis, cara ini dapat menimbulkan resistensi terhadap vektor
DBD. Sehingga upanya pemberantasan tidak efektif serta dapat
menimbulkan pemborosan dan masalah lingkungan terkait residunya.
Terjadinya resistensi berkaitan dengan intensitas paparan
penggunaan dosis insektisida yang digunakan. Penggunaan malathion dalam
-
8
fogging dengan konsentrasi 5% dan temephos 1% telah bertahun-tahun
digunakan di Toraja Utara. Adapun frekuensinya berdasarkan pada status
endemisitas. Daerah dengan endemisitas tinggi memiliki frekuensi fogging
dan abatisasi yang tinggi begitupula daerah yang tidak endemis memiliki
frekuensi fogging dan abatisasi yang rendah atau tidak dilakukan. Data data
dari dinas kesehatan Toraja Utara menunjukan daerah yang memiliki
frekuensi fogging yang tinggi, masih memiliki angka insiden DBD yang masih
tinggi.
Daerah yang memiliki frekuensi fogging dan abatisasi yang tinggi yaitu
Kecamatan Rantepao. Data dari dinas kesehatan tercatat pada tahun 2016
frekuensi fogging sebanyak 30 kali dan abatisasi sebanyak 10 kali. Adapun
daerah yang tidak endemis yaitu Kecamatan Sanggalangi. Pada tahun 2016
di Kecamatan Sanggalangi tidak dilakukan fogging dan abatisasi.
Dengan mengetahui status resistensi Ae. aegypti dapat mencapai
fogging dan abatisasi yang efektif serta dapat mencegah pemborosan
insektisida dan meminimalkan dampak terhadap lingkungan. Untuk itu, perlu
mengetahui status resistensi dari dosis yang di aplikasikan dalam program
pengendalian vektor DBD. Terkait dengan hal itu, yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana tingkat resistensi nyamuk
Ae. aegypti terhadap insektisida malathion dan temephos di daerah endemis
tinggi dan tidak endemis di Toraja Utara? Apakah konsentrasi itu efektif atau
tidak?
-
9
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah
penelitian ini dalam beberapa pertanyaan yaitu sebagai berikut :
a. Bagaimanakah perbedaan jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti
menurut paparan konsentrasi malathion pada daerah endemis tinggi dan
tidak endemis?
b. Bagaimanakah perbedaan jumlah mortalitas Larva Aedes menurut
paparan konsentrasi temephos pada daerah endemis tinggi dan tidak
endemis?
c. Bagaimanakah LT50, LT90, LT95 dan LT99 berdasarkan paparan konsentrasi
malathion dan temephos pada daerah endemis tinggi dan tidak endemis?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis tingkat resistensi Aedes aegypti terhadap dosis
aplikasi insektisida malathion dan temephos di daerah endemisitas di
Kabupaten Toraja Utara.
2. Tujuan Khusus.
a. Untuk menganalisis perbedaan jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti
menurut paparan konsentrasi malathion pada daerah endemis tinggi dan
tidak endemis.
-
10
b. Untuk menganalisis perbedaan jumlah mortalitas Larva Aedes aegypti
menurut paparan konsentrasi temephos 1% pada daerah endemis tinggi
dan tidak endemis.
c. Untuk menganalisis LT50, LT90, LT95 dan LT99 berdasarkan paparan
konsentrasi malathion dan temephos pada daerah endemis tinggi dan
tidak endemis.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Institusi
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan
masukan dan rujukan dalam merevisi penerapan dan pelaksanaan
penggunaan insektisida malathion dan temephos sehingga tercapainya
program pengendalian vektor demam berdarah dengue yang efektif dan
ramah lingkungan di Kabupaten Toraja Utara.
2. Manfaat ilmiah
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberi sumbangan
perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengendalian vektor
demam berdarah dengue menggunakan insektisida malathion dan temephos.
3. Manfaat Bagi peneliti
Penelitian ini sebagai sarana mengaplikasikan ilmu yang di dapat
selama proses pendidikan serta mendapat pengetahuan dan pengalaman
yang baru.
-
11
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah endemis tinggi dan tidak endemis
menggunakan studi eksperimen semu dengan subjek menguji dosis aplikasi
insektisida malathion dan temephos terhadap Aedes aegypti untuk melihat
tingkat resistensi. Untuk pengambilan sampel digunakan ovitrap yang
dipasang di dalam dan diluar rumah. Sampel yang di dapat akan
dikembangbiakkan untuk mendapat keturunan F1.
Prosedur eksperimen dan kriteria status resistensi mengacu pada
metode yang diperkenalkan oleh CDC (Center for Disease control) yaitu
dengan bioassay test. Tingkat mortalitas larva dan nyamuk dihitung menurut
lama kontak dan paparan dosis insektisida.
-
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Nyamuk Aedes aegypti
Merrit dan Cummins (1978) menyebutkan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus secara morfologi keduanya sangat mirip, Namun dapat
dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Pada
skutum Aedes aegypti pada umumnya berwarna hitam dengan dua strip putih
sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung yang
berwarna putih sedangkan skutum pada Aedes alpbopictus berwarna hitam
pada umumnya dan pada bagian dorsalnya terdapat garis putih tebal
(Arsin,A. 2013). Keduanya merupakan spesies dari genus Aedes spp.
Nyamuk Aedes spp tersebar di daerah tropis dan subtropics di seluruh dunia
pada temperatur udara paling rendah sekitar 100 C (Djunaedi, 2006).
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vector penularan virus dengue.
Virus dengue termasuk dalam kelompok B Arthropod borne virus
(Arboviroses) yang sampai saat ini di kenal sebagai genus flavivirus, family
flaviviridae dan memiliki 4 jenis serotif, yaitu : DEN-1, Den-2, DEN-3, DEN-4.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia (Arsin, A. 2013)
Dalam Arsin. A. 2013, Nyamuk Aedes aegypti diklasifikasikan sebagai
berikut :
-
13
Kingdom : Animal
Filum : Invertcharata
Kelas : Insekta
Sub Kelas : Pterygota
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Nenmatocera
Famili : Culicidae
Sub Famili : Aedes
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
1. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
Dalam siklus kehidupan nyamuk mengalami proses metamorfosis
sempurna, yaitu perubahan dalam bentuk tubuh yang melewati beberapa
tahap, yaitu tahap telur, larva, pupa, dan imago atau nyamuk dewasa.
Nyamuk dewasa hidup di alam bebas, sedangkan ketiga stadium lainnya
hidup dan berkembang di permukaan air (Syukur, A. 2012). Nyamuk dewasa
Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan
perut, memiliki sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu pada
kepala. Pada umumnya nyamuk memiliki warda dasar hitam dengan bintik-
bintik putih. Bagian dada atau toraks terdapat sepasang kaki depan,
sepasang kaki tengah dan sepasang kaki belakang (Hasan, w, 2006). Pada
tubuh nyamuk terdapat sisik-sisik putih yang pada umumnya mudah terlepas
-
14
sehingga menyulitkan untuk identifikasi spesies pada nyamuk-nyamuk yang
sudah tua (Soegijanto, S. 2006).
Gambar 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Sumber : Depkes RI. 2010
a. Telur Nyamuk Aedes aegypti
Kebanyakan Aedes aegypti betina dalam satu siklus gonotropik
meletakkan telur di beberapa tempat perindukan, Telur diletakkan satu
persatu pada permukaan yang lembab tepat di atas batas air. (Depkes RI,
2003). Seekor nyamuk Aedes aegypti betina rata-rata dapat menghasilkan
100 butir telur setiap kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam
waktu 2 hari dalam keadaan telur terendam air. Telur nyamuk Aedes aegypti
berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit tampak garis-garis yang menyerupai
sarang lebah, panjang 0,80mm, berat 0,0010-0,015 mg. Telur nyamuk dapat
bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan kering. Hal tersebut dapat
-
15
membantu kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak
memungkinkan (Depkes RI, 2007).
Perletakan telur Aedes aegypti yaitu pada wadah-wadah berair
dengan permukaan yang kasar dan warna yang gelap. Seekor Aedes aegypti
betina rata-rata dapat bertelur kira- kira 89 butir. Telur akan menetas dalam
waktu satu sampai 48 jam pada tempera tur 23 sampai 27ºC dan pada
pengeringan biasanya telur akan menetas segera setelah kontak dengan air
(Boesri, H. 2011).
Gambar 2.2. Telur Nyamuk Aedes aegypti
Sumber : Gambar Sivanathan. 2006 (Bahari, D.N., 2011.)
b. Larva (jentik) Aedes aegypti
Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang dan tanpa kaki
dengan bulu–bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Ciri utama
larva Aedes aegypti adalah bentuk siphon oval agak gemuk dan berwarna
kecoklatan. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami
4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut
disebut larva instar I, II, III, dan IV (Agustinus, H, B. 2010). Dalam
-
16
membedakan instar dari Aedes aegypti dapat yaitu : instar I dengan lebar
kepala lebih kurang 0,3 mm, instar II lebar kepalanya lebih kurang 0,45 mm,
instar III lebar kepala lebih kurang 0,65 mm, instar IV lebar kepala lebih
kurang 0,95 mm ( Boesri, H. 2011).
Gambar 2. 3. Larva Nyamuk Aedes aegypti
Sumber : Gambar Sivanathan. 2006 (Bahari, D.N., 2011.)
c. Pupa ( Kepompong ) Aedes aegypti
Stadium pupa atau kepompong merupakan fase akhir siklus nyamuk
dalam lingkungan air. Stadium ini membutuhkan waktu sekitar 2 hari pada
suhu optimum atau lebih panjang pada suhu rendah. Pupa nyamuk Aedes
aegypty bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada
(cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,
sehingga tampak seperti tanda baca “Koma” Pada bagian punggung (dorsal)
dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapats
sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Pupa adalah bentuk
tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila di bandingkan dengan larva
(Arsin, A. 2013).
-
17
Pupa Aedes agypty dengan cephalothorax yang tebal, abdomen
dapat digerakkan vertikal setengah lingkaran, warna mulai ter bentuk agak
pucat berubah menjadi kecoklatan kemudian menjadi hitam ketika menjelang
menjadi dewasa, dan kepala mempunyai corong untuk bernapas yang
berbentuk seperti terompet panjang dan ramping (Boesri, H. 2011).
Gambar 2. 4. Pupa (Kepompong ) Nyamuk Aedes aegypti
Sumber : Gambar Sivanathan. 2006 (Bahari, D.N., 2011.)
d. Ntamuk Dewasa Aedes aegypti.
Nyamuk dewasa terdiri atas kepala, torak, dan abdomen yang
meruncing. Nyamuk jantan memiliki umur yang lebih pendek dari nyamuk
betina, kira-kira seminggu. Nyamuk dewasa membutuhkan cairan buah-
buahan atau tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya. Nyamuk betina
memerlukan darah untuk pematangan telurnya (Rosarie, P. 2011 ). Alat mulut
nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih
menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian
mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia. Nyamuk
betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe
-
18
plumose. Tiga hari setelah nyamuk betina mengisap darah, nyamuk betina
tersebut akan kembali bertelur (Sembel, 2009).
Aedes aegypty secara makroskopis terlihat hampir sama seperti
Aedes albopictus, tetapi berbeda pada letak morfologis pada punggung
(mesonotum) di mana Aedes agypti mempunyai gambaran punggung
berbentuk garis seperti lyre dengan dua garis lengkung dan dua garis putih
(Rahayu, dkk. 2013).
Aedes aegypti
Gambar 2. 5. Mesonotum Aedes aegypti.
Sumber : Rahayu, dkk. 2013
Secara mikroskopis mesepimeron pada mesonotum Aedes agypti
terdapat dua sisik yang menempel secara terpisah.
-
19
Aedes aegypti
Gambar 2. 6. Mesepimeron Aedes aegypti
Sumber : Rahayu, dkk. 2013
2. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti mula-mula banyak ditemukan di kota-kota
pesisir dan dataran rendah, kemudian menyebar ke pedalaman. Penyebaran
nyamuk Aedes aegypti terutama dengan bantuan manusia seperti ikut
terbawa oleh alat transportasi, mengingat jarak terbang rata-rata yang tidak
terlalu jauh, yaitu sekitar 40 – 100 meter (Sudibyo, P. 2013). Nyamuk Aedes
aegypti jantan yang lebih cepat menjadi nyamuk dewasa tidak akan terbang
terlalu jauh dari tempat perindukan untuk menunggu nyamuk betina yang
muncul untuk kemudian berkopulasi. Aedes aegypti bersifat antropofilik dan
hanya nyamuk betina saja yang menghisap darah. Bionomik merupakan ilmu
yang menerangkan mengenai pengaruh antara organisme hidup dengan
lingkungannya. Bionomik nyamuk Aedes aegypti meliputi berbagai variabel,
meliputi kesukaan memilih tempat perkembangbiakan, kebiasaan menggigit,
-
20
kebiasaan beristirahat, jangkauan terbang dan variasi musiman yang
berkaitan dengan iklim baik mikro maupun makro (Kemenkes RI, 2010).
a. Tempat Bertelur (breeding habit)
Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti biasanya berupa
genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana yang terbuka.
Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat meletakkan telurnya digenangan air yang
langsung bersentuhan dengan tanah. Genangan yang di sukai sebagai
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti ini berupa genangan air
yang tertampung di suatu wadah yang biasanya di sebut container atau
tempat penampungan air bukan genangan air di tanah (Arsin, A. 2013).
Nyamuk Aedes aegypti memilih tempat perindukan (breeding place) pada air
jernih yang tergenang dan terlindung dari sinar matahari langsung (Sudibyo,
P. 2013.).
Hasil penelitian yang dilakukan di Semarang menunjukan bahwa letak
container, keberadaan penutup kontainer dan sumber air kontainer tidak
mempengaruhi keberadaan jentik Aedes aegypti. Tetapi ada perbedaan
keberadaan jentik Aedes aegypti berdasarkan bahan container, volume
kontainer dan kondisi air kontainer (Ayuningtyas, 2013). Penelitian yang di
lakukan Loka Litbang P2B2 Donggala menyebutkan di temukan Sembilan
container yang positif jentik Aedes aegypti yaitu bak mandi, bak WC, drum,
tempanyan, ember, kulkas, ban bekas, dispenser, dan jerigen (Veridiana, N,
N.,dkk. 2008).
-
21
Nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai tempat-tempat perindukan
di luar rumah, di kebun, dan di halaman rumah seperti ketiak daun, pelepah
tanaman, lubang pohon, tunggul bamboo (Nadifah, dkk. 2016). Hasil
penelitian menunjukan nyamuk Aedes spp terbukti dapat bertahan hidup
pada air sumur gali (SGL), air comberan (got), serta air PAM. Keberadaan
nyamuk hidup pada air got mampu bertahan sampai 15 hari dengan jumlah
nyamuk yang sama dari hari pertama sampai hari terakhir. Fenomena ini
berbeda pada air SGL dan PAM dimana nyamuk mampu bertahan sampai
hari ke-15 meskipun dengan persentase kecil. Nyamuk Aedes aegypti
terbukti tidak dapat bertahan hidup pada air limbah sabun (Jacob, A. 2014).
b. Kesenangan Menggigit (feeding habit)
Berdasarkan tempat diperolehnya darah dibedakan menjadi nyamuk
indofagik dan eksofagik. Indofagik adalah nyamuk yang cenderung mencari
darah dari dalam rumah, sedangkan eksofagik adalah nyamuk yang
cenderung mencari darah di luar rumah. Nyamuk Aedes aegypti termasuk
dalam antropofilik, yaitu nyamuk yang menyukai darah manusia. Oleh karena
itu, nyamuk Aedes aegypti lebih bersifat indofagik (Sudibyo, P. 2013).
Nyamuk Aedes hidup di dalam dan di sekitar rumah sehingga makanan yang
diperoleh semuanya tersedia di situ. Kebiasaan menghisap darah terutama
pada pagi hari jam 08.00-12.00 dan sore hari jam 15.00-17.00. Nyamuk
betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali
dari satu individu ke individu yang lainnya. Hal ini disebabkan karena pada
-
22
siang hari manusia dalam keadaan aktif/bergerak sehingga nyamuk tidak
dapat menghisap darah sampai kenyang pada satu individu (Arsin, A.2013).
Penelitian yang di lakukan pada beberapa daerah di Indonesia yaitu
Cikarawang, Babakan, dan Cibanteng Kabupaten Bogor (2004),
Cangkurawuk Darmaga Bogor (2005, 2007), Pulau Pramuka, Pulau Pari
Kepulauan Seribu (2008), Gunung Bugis, Gunung Karang, Gunung Utara
Balikpapan (2009) dan Kayangan, Lombok Utara (2009) menemukan bahwa
Aktifitas Ae. aegypti meng-hisap darah pada malam hari (nokturnal) dari jam
18:00–05:50. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis vektor tersebut tidak
hanya aktif menghisap darah di siang hari tetapi juga di malam hari ( Hadi,
dkk. 2012).
Perilaku menggigit juga di pengaruhi beberapa factor, yaitu bau yang
di pancarkan inang, temperature, kelembaban, kadar karbon dioksida serta
warna (Arsin, A. 2013). Inang yang disukai pada nyamuk spesifik tetapi tidak
menutup kemungkinan bila inang yang disukai tidak ada maka dia akan
mencari alternatif lain. Christophers, 1960 menyebutkan di alam bebas
nyamuk Aedes aegypti menghisap darah hewan vertebrata berdarah panas
lainnya, bahkan pernah dilaporkan dapat pula menghisap darah hewan
vertebrata berdarah dingin seperti katak dan kadal (Novelani, 2007).
c. Kesenangan Nyamuk Istirahat
Perilaku istirahat pada nyamuk dibedakan menjadi dua pengertian.
Istirahat dalam proses menunggu pematangan telur dan istirahat sementara,
-
23
yaitu istirahat pada saat nyamuk masih aktif mencari darah. Setelah
menghisap darah, selama menunggu waktu pematangan telur, nyamuk akan
berkumpul di tempat-tempat dimana terdapat kondisi yang optimum untuk
beristirahat, setelah itu akan bertelur dan menghisap darah lagi (Sudibyo, P.
2013).
Kesenangan istirahat nyamuk Aedes aegypti lebih banyak di dalam
rumah atau kadang-kadang di luar rumah dekat dengan tempat
perindukannya yaitu di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat -
tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telur. Nyamuk betina
membutuhkan waktu 2 – 3 hari untuk beristirahat dan mematangkan telurnya.
(Ayuningtyas, 2013). Tempat beristirahat di dalam rumah biasanya di bawah
perabotan rumah tangga, gantungan pakaian, horden, di bawah tempat tidur,
dinding, kloset, kamar mandi, dapur, dan di dalam sepatu (Depkes, R.I.,
2002).
d. Jarak Terbang Nyamuk
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari
mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh
kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan
oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk
menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh
dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas (Ayuningtyas,
2013). Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari
-
24
mangsa dan ke tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak
terbang nyamuk betina biasanya 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya
angin atau terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh.
Penelitian terbaru di Puerto riko menunjukan bahwa nyamuk ini dapat
menyebar sampai lebih dari 400 m terutama untuk mencari tempat bertelur.
Transportasi pasif dapat berlangsung melalui telur dan larva yang ada dalam
penampungan (Arsin, 2013).
e. Penyebaran Nyamuk Aedes aegypti.
Aedes aegypti terdistribusi secara luas di wilayah tropis dan subtropis
Asia Tenggara, terutama di perkotaan. Penyebarannya ke daerah pedesaan
dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air bersih dan perbaikan
sarana transportasi. Aedes aegypti merupakan vektor perkotaan dan
populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan
penyimpanan air (Fatmawati. 2014).
Aedes aegypti dapat ditemukan pada ketinggian antara 0 -1000 m di
atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (< 500 m) memiliki tingkat
kepadatan populasi yang sedang sampai berat, sedangkan di daerah
pegunungan (>500m) kepadatan populasi rendah. Batas ketinggian
penyebaran Aedes spp. di kawasan Asia Tenggara berkisar 1000 – 1500 m
(WHO. 2005).
-
25
f. Variasi Musim
Indeks Curah Hujan (ICH) yang merupakan perkalian curah hujan dan
hari hujan dibagi dengan jumlah hari pada bulan tersebut. ICH tidak secara
langsung mempengaruhi perkembang-biakan nyamuk, tetapi berpengaruh
terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai
menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi
tempat perkembang-biakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih
(misalnya cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas,
atap atau talang rumah). Tersedianya air dalam media akan menyebabkan
telur nyamuk menetas dan setelah 10 – 12 hari akan berubah menjadi
nyamuk. Bila manusia digigit oleh nyamuk dengan virus dengue maka dalam
4-7 hari kemudian akan timbul gejala DBD. Sehingga bila hanya
memperhatikan faktor risiko curah hujan, maka waktu yang dibutuhkan dari
mulai masuk musim hujan hingga terjadinya insiden DBD adalah sekitar 3
minggu (Depkes RI, 2010)
B. Tinjauan Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti
Dewasa ini berbagai program untuk mengendalikan laju kejadian
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue telah banyak di lakukan di
berbagai negara. Di Indonesia berbagai kegiatan secara intensif seperti
Gerakan masyarakat untuk mengendalikan Tempat Perindukan Nyamuk,
pengendalian larva, kegiatan penyuluhan untuk pelibatan masyarakat secara
positif telah di laksanakan. Peraturan Daerah tentang Pengendalian Jentik
-
26
dan Nyamuk Dewasa penular Demam Berdarah di beberapa tempat juga
telah diimplementasikan. Namun jumlah kasus tetap saja cenderung
meningkat (Depkes RI, 2010).
Pengendalian merupakan suatu usaha untuk menekang suatu hal
dengan pengaturan sumber daya, agar tujuan yang ditetapkan dapat dicapai
dengan membandingkan antara usaha dengan suatu standar tertentu yang
telah ditetapkan. Pengendalian vektor bertujuan :
1. Pencegahan terhadap wabah penyakit golongan vector borne diseases.
Tercapainya tujuan ini dengan cara memperkecil resiko kontak antara
manusia dengan vektor penyakit dan memperkecil sumber penularan
penyakit atau reservoir.
2. Memasukkan vektor atau penyakit yang baru ke suatu kawasan yang
bebas sebagai upanya pencegahan. Hal ini akan tercapai dengan
melakukan pendekatan perundang-undangan maupun dengan aplikasi
insektisida baik dengan melakukan penyemprotan, pengumpanan,
maupun pemasangan perangkap (kusnadi, S C. 2006).
Dalam perspektif teori simpul pengendalian penyakit pendekatan
pengendalian DBD sekarang hanya menitikberatkan pada pengendalian
simpul 2 yakni pengendalian lingkungan untuk memutus transmisi atau
penularan dengan cara Pemberantasan Sarang Nyamuk (pengendalian
tempat perindukan nyamuk), fogging, dan lain-lain. Selain itu, kegiatan utama
lainnya adalah penyuluhan untuk mendapatkan perubahan perilaku positif
-
27
dalam rangka pengendalian tempat perindukan maupun upaya pengendalian
faktor risiko lainnya (Depkes RI, 2010).
Pencegahan dan pengendalian terhadap serangan nyamuk DBD tidak
akan berjalan jika dilakukan secara simultan dan tidak terpadu. Jika salah
satu lingkungan saja tidak ikut berpatisipasi, lingkungan tersebut bisa menjadi
sumber infeksi serangan nyamuk demam berdarah. Usaha-usaha
pencegahan dan pengendalian yang bias dilakukan sebagai berikut
(Kardinan, 2007):
1. Pencegahan
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat
dilakukan secara individu dengan menggunakan repellent, menggunakan
pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana
panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara.
Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk di dalam keluarga bisa memasang
kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk. Insektisida rumah tangga
seperti semprotan aerosol dan repellent: obat nyamuk bakar, vaporize mats
(VP), dan repellent oles anti nyamuk bisa digunakan oleh individu. Pada 10
tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai
insecticide treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu
melindungi gigitan nyamuk (Depkes RI, 2010).
-
28
2. Pengendalian
Kejadian luar biasa DBD dapat di hindari bila system kewaspadaan
dini (SDK) dan pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan
berkesinambungan. Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur
dalam Kepmenkes no. 581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) di lakukan secara periodic oleh masyarakat yang
dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.
Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode
komunikasi/penyampain informasi/pesan yang berdampak pada perubahan
perilaku masyarakat dalam pelaksanaan PSN melalui pendekatan social
budaya setempat, yaitu metode kommunication for Behavior Impact (COMBI)
(Arsin, A. 2013).
Pengendalian terhadap vektor demam berdarah dengue dapat di
lakukan dengan beberapa cara:
a. Pegendalian Biologi
Pengendalian vektor secara biologi dilakukan dengan menggunakan
agent biologi seperti predator/pemangsa, parasit dan bakteri. Jenis predator
yang digunakan yaitu ikan pemakan jentik seperti guppy, cuppang, tampalo
dan ikan gabus. Agen biologi lain seperti Bacillus thuringiensis (BTI)
digunakan sebagai pembunuh jentik nyamuk atau larvasida yang tidak
mengganggu lingkungan. Keunggulan BTI karena dapat menghancurkan
jentik nyamuk tanpa menyerang predator (Sembiring. 2009).
-
29
Penelitian yang di lakukan Gama (2010) menunjukan daya toksisitas
bakteri Bacillus thuringiensis isolat Madura cukup besar yaitu dapat
membunuh larva nyamuk Aedes aegypti instar I sampai 88,89%. Daya
toksisitas yang tinggi tersebut terdapat pada kepadatan bakteri sebanyak
1,51x 108 sel/ml, tetapi untuk kepadatan bakteri di bawahnya kurang efektif
dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Semakin tua umur stadium
larva nyamuk maka semakin resisten terhadap serangan toksin yang
dihasilkan oleh bakteri Bacillus thuringiensis isolat Madura.
b. Pengendalian Secara Kimia
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam
pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa
menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida kalau digunakan secara
tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu
mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
dan organisme yang bukan sasaran (Depkes RI, 2010).
Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis
insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual.
Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida yang langsung
berkontak dengan tubuh serangga saat diaplikasikan. Aplikasi kontak
langsung dapat berupa penyemprotan udara (space spray) seperti
pengkabutan panas (thermal fogging), dan pengkabutan dingin (cold fogging)
-
30
/ ultra low volume (ULV). Jenis-jenis formulasi yang biasa digunakan untuk
aplikasi kontak langsung adalah emusifiable concentrate (EC),
microemulsion (ME), emulsion (EW), ultra low volume (UL) dan beberapa
Insektisida siap pakai seperti aerosol (AE), anti nyamuk bakar (MC), liquid
vaporizer (LV), mat vaporizer (MV) dan smoke. Insektisida residual adalah
Insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu tempat dengan
harapan apabila serangga melewati/hinggap pada permukaan tersebut akan
terpapar dan akhirnya mati. Umumnya insektisida yang bersifat residual
adalah Insektisida dalam formulasi wettable powder (WP), water dispersible
granule (WG), suspension concentrate (SC), capsule suspension (CS), dan
serbuk (DP) (Depkes RI. 2012).
Penelitian yang dilakukan Wati (2013) menunjukan populasi nyamuk
belum dewasa (A), populasi nyamuk betina belum kawin (I), populasi
nyamuk betina subur (F), populasi nyamuk jantan normal (M) mengalami
penurunan karena adanya penerapan Insektisida, sedangkan untuk populasi
nyamuk jantan steril (MT). Program SIT dan Insektisida dapat membasmi
populasi nyamuk belum dewasa(A), betina belum kawin (I), betina subur (F),
jantan normal (M ).
c. Pengendalian Lingkungan Fisik.
Manajemen pengendalian lingkungan adalah upaya pengelolaan
lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat
perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan
-
31
populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau
dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan
lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan. Sejarah
keberhasilan manajemen lingkungan telah ditunjukkan oleh Kuba dan
Panama serta Kota Purwokerto dalam pengendalian sumber nyamuk
(Depkes RI, 2010).
Pengendalian secara fisik dapat dilakukan dengan program di
Indonesia yaitu 3M+1T (Depkes RI, 2005):
1. Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang
berkembang di dalam ai dan tidak ada telur yang melekat pada dinding
bak mandi.
2. Menutup tempat penambungan air sehingga tidak ada nyamuk yang
memiliki akses ke tempat tersebut untuk bertelur.
3. Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan
dijadikan tempat nyamuk bertelur.
4. Telungkupkan barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan
dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.
d. Pengendalian Terpadu
Pengendalian Vektor Terpadu merupakan pendekatan Pengendalian
Vektor menggunakan prinsip-prinsip dasar manajemen dan pertimbangan
terhadap penularan dan pengendalian penyakit. Pengendalian Vektor
Terpadu dirumuskan melalui proses pengambilan keputusan yang rasional
-
32
agar sumber daya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian
lingkungan terjaga. Untuk itu yang harus di lakukan :
1. Pengendalian vektor harus berdasarkan data tentang bioekologi vektor
setempat, dinamika penularan penyakit, ekosistem, dan perilaku
masyarakat yang bersifat spesifik lokal (evidence based).
2. Pengendalian vektor dilakukan dengan partisipasi aktif berbagai sektor
dan program terkait, LSM, organisasi profesi, dunia usaha/swasta serta
masyarakat.
3. Pengendalian vektor dilakukan dengan meningkatkan penggunaan
metode non kimia dan menggunakan pestisida secara rasional serta
bijaksana.
4. Pengendalian vektor harus mempertimbangkan kaidah ekologi dan prinsip
ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Depkes RI.
2010).
C. Tinjauan Faktor Endemisitas DBD
Jumlah kasus KLB DBD yang dilaporkan masih tampak tampak
berfluktuasi. Hal ini perlu menjadi perhatian dan diteliti faktor-faktor yang
mempengaruhi, sehingga dapat diketahui upaya pencegahannya dan
dilakukan tindak lanjut. Penyebaran DBD di pengaruhi oleh multifactor,
diantaranya adalah perilaku masyarakat, lingkungan dan factor demografi
(Arsin, A.2013).
-
33
1. Perilaku masyarakat.
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh factor predisposisi (predisposing), factor pendukung
(enabling) dan factor penguat (reinforcing). Faktor predisposisi seperti
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan. Factor pendukung seperti
kesediaan sumber daya alam, fasilitas kesehatan yang memadai dan
terjangkau. Sedangkan factor penguatnya adalah dukungan masyarakat dan
pemerintah (Arsin, A.2013).
Kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah merupakan indikasi
menjadi kesenangan beristirahat nyamuk Aedes aegypti. Kegiatan PSN dan
3M ditambahkan dengan cara menghindari kebiasaan menggantung pakaian
di dalam kamar merupakan kegiatan yang mesti dilakukan untuk
mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan
penyakit DBD dapat dicegah dan dikurangi (Boekoesoe, L. 2013).
Hasil penelitian Ishak, H, dkk.(2008) bahwa kebiasaan masyarakat
seperti tidur siang dan menggantung pakain di temukan masing-masing 55
orang (93,2%) pada responden yang ada kejadian DBD sedangkan 129
orang (94,25%) yang tidak terdapat DBD. Pada analisis Bivariat dengan
menggunakan Fisher Exact Test diperleh nilai p =0,063 > 0,05 ini berarti tidak
-
34
ada hubungan antara kebiasaan masyrakat dengan kejadian DBD ( Arsin, A.
2013)
2. Lingkungan
Ehler dan Steel, (1990) mengemukakan bahwa “sanitasi lingkungan
adalah usaha mencegah terjadinya suatu penyakit dengan cara
menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan
dengan rantai penularan penyakit. Berdasarkan pengertian ini maka sanitasi
lingkungan mempunyai peranan besar terhadap jaminan suatu lingkungan
yang sehat, makin baik sanitasi lingkungan makin baik jaminan lingkungan
terhadap mahluk hidup di dalamnya (Boekoesoe, L. 2013).
Pada prinsipnya usaha sanitasi bertujuan untuk menghilangkan
sumber-sumber makanan (food preferences), tempat perkembangbiakan
(breeding place) dan tempat tinggal (resting place) yang sangat dibutuhkan
vektor dan binatang pengganggu. WHO (2001) menyatakan aspek
penyediaan air bersih, pengelolaan sampah dan perbaikan desain rumah
sangat penting kaitannya dengan upaya pengendalian vektor DBD. Dari
uraian diatas maka dalam menangani Demam berdarah sangat penting untuk
memperhatikan vektor penyakit yang berasal dari lingkungan, sehingga
antara vektor dan sanitasi adalah satu kesatuan yang saling berhubungan.
Berbagai faktor iklim terhadap DBD, dimana nyamuk dapat bertahan
hidup pada suhu rendah tetapi metabolismenya menurun atau bahkan
terhenti bila suhu udara turun sampai di bawah suhu kritis. Pada suhu yang
-
35
lebih tinggi dari 320C juga dapat mempengaruhi proses fisiologis, rata-rata
suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 260C – 320C.
Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 100C
atau lebih dari 400C, sedangkan untuk pertumbuhan jentik diperlukan suhu
udara berkisar 260C – 320C (Boekoesoe, L. 2013).
3. Faktor Demografi
Perkembangan jumlah penduduk, maka pemukiman terus
berkembang, tidak terjadi secara alami namun dengan sengaja dibangun,
dan kita menyebut perumahan. Suatu kompleks rumah yang dihuni oleh
masyarakat, yang sebelumnya belum ada interaksi yang terjadi pada
lingkungan tersebut, sejalan dengan perkembangan aktivitas dan
peningkatan kebutuhan.
Pemukiman yang padat penduduk lebih rentan terjadi penularan DBD
utamanya pada daerah perkotaan (urban) karena jarak terbang nyamu Aedes
di perkirakan 50-100 m. Pada daerah yang berpenduduk padat di sertai
distribusi nyamuk yang tinggi, potensi transmisi virus meningkat dan
bertendensi kearah terbentuknya suatu daerah endemis (Arsin, A.2013).
Mobilitas penduduk berpengaruh terhadap penyebaran DBD. Mobilitas
penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain.
Migrasi antar desa tentunya dapat pula membawa akibat terhadap pola dan
penyebaran penyakit menular di desa-desa yang bersangkutan maupun
desa-desa di sekitarnya. Peranan migrasi atau mobilitas geografis didalam
-
36
mengubah pola penyakit di berbagai daerah menjadi lebih penting dengan
makin lancarnya perhubungan darat, udara dan laut (Dinata, A. 2012).
Menurut pendapat Sunaryo (2003), mobilitas penduduk memudahkan
penularan dari satu tempat ke tempat lainnya dan biasanya penyakit menjalar
dimulai dari suatu pusat sumber penularan kemudian mengikuti lalu lintas
penduduk. Makin ramai lalu lintas itu, makin besar kemungkinan penyebaran
(Dinata, A. 2012). Hasil penelitian yang di lakukan di kota Makassar
menunjukan Mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, Container Index (CI),
dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) tidak berhubungan dengan tingkat
endemisitas DBD di Kota Makassar (Rahim, S, dkk 2013).
-
37
Tabel 2. 1. Tabel sintesa penelitian tentang vektor DBD
No Peneliti/ Tahun Judul Metode Temuan
1 1. Muhammad
Arifudin.
2. Adrial.
3. Selfi Renita
Rusjdi
/ 2016
survei larva nyamuk aedes
vektor demam berdarah
dengue di kelurahan kuranji
kecamatan kuranji
kotamadya padang provinsi
sumatera barat.
survei deskriptif Berdasarkan spesies larva selama
penelitian, Aedes aegypti lebih
banyak ditemukan daripada Ae.
albopictus. Aedes aegypti ditemukan
sekitar 83,20% didalam rumah dan
14,50% diluar rumah, sedangkan Ae.
albopictus hanya ditemukan diluar
rumah, yaitu sekitar 2,29%. Hal ini
menunjukkan bahwa Ae. Aegypti
merupakan pemeran utama dalam
menyebarkan virus dengue ke
manusia
2 1. M. Rasyid
Ridha
2. Nita Rahayu
3. Nur Afrida
Rosvita
Hubungan kondisi
lingkungan dan kontainer
dengan keberadaan
jentik nyamuk Aedes
aegypti di daerah endemis
Survei Observasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa
larva nyamuk Aedes aegypti adalah
penyebab utama dalam pembawa
virus dengue, karena kondisi
lingkungan (pH, suhu air, dan
-
38
4. Dian Eka
Setyaningtya
2013
demam berdarah
dengue di kota Banjarbaru
kelembaban udara), dan kontainer
(jenis kontainer) sangat mendukung
keberadaan larva Ae. aegypti
3 1. Upik
Kesumawati
Hadi.
2. Susi Soviana
3. Dwi Djayanti
Gunandini
/2012
Aktivitas nokturnal vektor
demam berdarah dengue di
beberapa daerah di
Indonesia
Bare leg collection dan
resting collection
Aktivitas menggigit nyamuk Ae.
aegypti dan Ae. albopictus tidak
hanya di siang hari tetapi juga malam
hari.
4 1. Nova
Pramestuti.
2. Anggun
Paramita
Djati /2013
Distribusi vektor demam
berdarah dengue (DBD)
daerah perkotaan dan
perdesaan di Kabupaten
Banjarnegara
Non-intervensi dengan
desain deskriptif
Aedes aegypti dan Ae. albopictus
merupakan vektor DBD. Aedes
aegypti lebih banyak ditemukan di
perkotaan pada area permukiman.
Aedes albopictus lebih banyak
ditemukan di perdesaan pada area
permukiman.
-
39
D. Tinjauan Tentang Malathion Dan Temephos
1. Insektisida Malathion
Insektisida Malathion temasuk kelompok insektisida organofosfor yang
dipergunakan secara luas untuk membasmi serangga dalam bidang
kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga, dan mempunyai daya
racun yang tinggi pada serangga sedangkan toksisitasnya terhadap
mammalia relatif rendah, sehingga banyak digunakan.
Djojosumarto, (2008) menyatakan Ciri Khas malathion adalah
mempunyai kemampuan melumpuhkan serangga dengan cepat, korasif,
berbau, dan memiliki rantai karbon yang pendek. Juga bekerja sebagai racun
perut, sebagai racun kontak ( contak poison) dan racun inhasi. Insektisida
organofosfat merupakan racun serangga yang bekerja dengan cara
menghambat kolinestrase (ChE) yang mengakibatkan serangga sasaran
mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati ( Sembiring, 2009).
Bahan aktif malathion biasanya berbentuk cairan bening yang dapat
menjadi formulasi, konsentrat emulsi, debu dan bubuk yang dapat
dibasahkan. Berdasarka pengalaman, penggunaan malathion secara residual
dengan dosis 100-200 mg/square feet (standar aplikasi : 1-2 gal, malathion
2,5-5% per 100 square Ft) telah mampu membunuh nyamuk selama 3-5
bulan. Fogging dengan malathion dosis 1:19 (5%), dengan konsentrasi
malathion 95% dicampur dengan solar maka campuran tersebut harus jernih
-
40
dan tidak ada endapan (Kusnadi, 2006). Adapun spesifikasi malathion adalah
sebagai berikut :
Bahan aktif : malathion
Golongan : organofosfat
Rumus molekul : C10H19O6PS2
Kandungan bahan aktif : Malathion 95%
Dosis aplikasi : 50 ml/liter solar
No reg komisi pestisida : R1-1246/I-2002/T
Aplikasi : thermal fogging, cold fogging
Serangga sasaran : Ae. Aegypti, Culex sp, Anopheles sp
(Sembiring, 2009)
Insektisida Malation merupakan jenis racun kontak, racun perut
ataupun racun fumigan. Senyawa malathion berpenetrasi ke dalam tubuh
serangga melalui kutikula selanjutnya racun tersebut menghambat aktivitas
enzim cholinesterase (ChE) dalam sistem syaraf serangga (Tarumingkeng,
1992).
Di lingkungan, residu insektisida malathion di perairan dapat diserap
oleh tumbuhan air, memasuki tubuh organ hewan akuatik atau melalui mata
rantai makanan, dan masuk secara langsung melalui insang, sisik, kulit.
Residu malathion juga dapat masuk ke dalam tubuh mammalia darat (tikus)
melalui matarantai makanan, yaitu dengan konsumsi ikan atau tumbuhan air
yang terkontaminasi (Hamzah, 2009).
-
41
2. Insektisida Temephos
Temephos merupakan insektisida yang termasuk golongan
Organophosfat . Suatu golongan insektisida yang dalam susunan kimianya
mengandung fosfor. Penggunaannya pada tempat penampungan air minum
telah dinyatakan aman oleh WHO,dapat digunakan di bak mandi serta tempat
penampungan air rumah tangga (DepKes RI, 2005). Temefos merupakan
insektisida organofosfat non sistemik yang tersedia dalam bentuk emulsi,
serbuk (Wettable powder) dan granul, senyawa murni berupa kristal putih
padat dengan titik lebur300-30,50 C, tidak larut dalam air pada suhu 20 C,
tidak larut dalam heksana tetapi larut dalam aseton, asetonitril, eter,
kebanyakan aromatic, klorinasi hidrokarbon dan mudah terdegradasi bila
terkena sinar matahari sehingga kemampuan membunuh larva tergantung
dari sinar matahari (Yulidar,dkk.2014).
Konsentrasi efektif temefos atau konsentrasi letal temefos menurut
anjuran Kementerian Kesehatan RI yaitu 10 gr dalam 100 liter air (0,1
mg/liter) (DepKes RI, 2005). Temephos dalam abate memiliki efek residu
selama dua hingga tiga bulan. Jadi bila dalam satu tahun suatu daerah
dilakukan empat kali abatesasi maka selama setahun populasi nyamuk akan
terkontrol. Aplikasi 1 temephos dalam abate di lakukan dua bulan sebelum
musim penularan yang tinggi di suatu daerah atau pada daerah yang belum
pernah terjangkit DBD. Aplikasi II dilakukan dua hingga dua setengah bulan
berikutnya ( pada masa penularan/populasi Aedes yang tinggi), dan aplikasi
-
42
III dilakukan dua atau dua setengah bulan setelah aplikasi II (Suegijanto, S.
2006).
Kerja dari temephos adalah dengan menghambat enzim
Kolinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf akibat
tertimbunnya acetylcholine pada ujung syaraf. Keracunan fosfat organic pada
serangga diikuti oleh kegelisahan, hipereksitasi, tremor dan konvulasi,
kemudian kelumpuhan otot (paralise). Penetrasi temefos dengan konsentrasi
efektif kedalam tubuh larva diabsorpsi dalam waktu 1-24 setelah perlakuan (
Yulidar, dkk. 2014). Laporan WHO (2001) bahwa dibeberapa Negara telah
terjadi kekebalan Aedes Aegypti terhadap bubuk abate ( temephos ), Khusus
wilayah Asia Tenggara Tingkat Kekebalan Aedes aegypti tidak pernah
dilaporkan (Sucipto, C, D. 2011).
Hasil Penelitian yang dilakukan Yulidar dan Hadifah, Z. (2014 )
menunjukan semakin tinggi konsentrasi temephos pada media air
menyebabkan kadar air pada tubuh larva semakin tinggi akibatnya terjandi
perbedaan tekanan osmotic. Kerusakan morfologi larva setelah terpapar
temephos yaitu rambut seta yang rontok, abdomen terlihat mengkerut serta
abdomen, kepala, torak dan sifon yang menghitam.
3. Toksikologi Insektisida.
Toksisitas pada suatu organisme selalu dinyatakan dengan dengan
dosis dan waktu. Perry et al (1998) menyatakan bahwa LT50 (lethal time)
merupakan waktu yang dibutuhkan sehingga menyebabkan kematian 50%
-
43
hewan percobaan pada dosis dan konsentrasi tertentu. Pengukuran lethal
time (LT) dilakukan untuk mengetahui perubahan toksisitas bahan uji setelah
waktu tertentu dalam media uji. Pengujian lethal time memperlihatkan adanya
kecenderungan perubahan jumlah kematian hewan uji (Agustinus, H, B.
2010).
Hasil penelitian yang dilakukan Asriani (2015) di makassar
menunjukan bahwa Konsentrasi dan waktu memiliki hubungan yang positif
terhadap mortalitas nyamuk dengan kategori korelasi kuat pada daerah
endemis tinggi (R=0,527) dan pada endemis rendah (0,483). LT50, LT90, LT95
dan LT99 pada semua konsentrasi di daerah endemis tinggi lebih tinggi
dibanding di derah endemis rendah dengan nilai berturut-turut yaitu -510,6;
2119,2; 2865 dan 4263,6 pada daerah endemis tinggi dan -684; 1023,6;
1508,4 dan 2416,2 pada daerah endemis rendah (konsentrasi 4%).
E. Tinjauan Umum Resistensi
1. Pengertian Resistensi Nyamuk
Resistensi adalah kemampuan individu serangga untuk bertahan
hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat
membunuh spesies serangga tersebut. Resistensi merupakan suatu
fenomena evolusi yang di sebabkan oleh seleksi serangga hama yang diberi
perlakuan insektisida terus menerus (Sucipto, C, D. 2011).
Ketika arthopoda telah kebal (resisten) terhadap jenis insektisida bila
dengan menggunakan dosis yang sama yang biasa digunakan, Arthopoda
-
44
tidak akan dapat dibunuh. Soedarto (1989) menyebutkan resistensi dapat
terjadi oleh karenan berbagai sebab yaitu serangga memiliki system enzim
yang mampu menetralisasi racun (insektisida), selain itu terdapat timbunan
lemak di dalam tubuh serangga dapat menyerap insektisida yang masuk dan
hambatan-hambatan lain yang mencegah penyerapan insektisida ke dalam
meningkatkan daya resistensi arthropoda terhadap insektisida (Kusbaryanto,
2001).
Penggunaan Insektisida pada pengendalian populasi nyamuk,
menyebabkan tekanan seleksi atas individu nyamuk yang memiliki
kemampuan untuk tetap hidup bila kontak dengan insektisida dengan
mekanisme yang berbeda. Secara umum resistensi dikenal 3 tipe :
a. Kekebalan secara fisiologis (physiological resistance).
Populasi nyamuk sebagai makhluk hidup akan mengadakan reaksi
sebagai akibat adanya tekanan racun serangga. Misalnya dengan cara
menghasilkan enzim untuk menawarkan daya racun serangga, mengikat
racun serangga dalam jaringan lemak, memblokir racun serangga dalam
tubuh atau segera mengeluarkan racun serangga dari dalam
tubuhnya.kekebalan ini disebabkan oleh mekanisme fisiologis suatu gen
sehingga dapat menurun.
Tipe resistensi ini adalah reversible (dapat pulih seperti semula) ketika
tekanan insektisida di hilangkan, tetapi kerentanan jarang dapat kembali ke
-
45
nilai sebelumnya dan menurun kembali dengan cepat manakala penggunaan
insektisida dimulai lagi.
b. Kekebalan yang bersifat toleransi (Vigour tolerance )
Terjadi sedikit kenaikan toleransi terhadap satu atau beberapa
Insektisida (penurunan Kerentanan), dihasilkan dari seleksi kontinyu populasi
serangga yang tidak memiliki gen spesifik untuk resistensi terhadap
insektisida tertentu.
Kekebalan ini bukan karena faktor genetik tetapi dikarenakan variasi
musiman seperti bentuknya yang lebih besar, kutikula menebal, kenaikan
kandungan lemak dan lain-lain, sehingga tidak memperoleh cukup dosis
racun serangga untuk mematikannya.
c. Resistensi Perilaku (resistensi behaviouristic).
Kemampuan populasi nyamuk lari/ menghindar dari efek insektisida
karena perlaku alamiah atau modifikasi perilaku mereka akibat insektisida.
Hal ini dilakukan dengan cara menghindari dari permukaan atau udara yang
mendapat perlakuan insektisida atau memperpendek periode kontak
(Sucipto, C, D. 2011).
2. Jenis-Jenis Resistensi Nyamuk.
a. Resistensi Bawaan
Gandahusa et al (1993) menyatakan dari suatu populasi serangga
yang pada dasarnya sudah resisten terhadap suatu insektisida, sifat ini akan
turun-temurun sehingga selanjutnya terjadi populasi yang resisten
-
46
seluruhnya. Resisten bawaan juga terjadi karena perubahan gen yang
menyebabkan mutasi (Kusbaryanto 2001).
b. Resistensi Yang Didapat
Gandahusada et al, 1993 menyatakan dari suatu populasi nyamuk
yang rentan menyesuaikan diri terhadap pengaruh insektisida, sehingga tidak
mati dan membentuk populasi baru yang resisten. Resisten fisiologik yang
didapat disebabkan karena timbulnya toleransi terhadap insektisida karena
sebelumnya telah mendapat dosis subletal (Kusbaryanto 2001)
3. Penyebab Resistensi
Menurut Georghiou (1979) terjadinya proses penurunan status
kerentanan insektisida pada tubuh serangga termasuk nyamuk secara garis
besar dapat di pengaruhi tiga fakto yaitu genetik, biologis dan factor
operasional (Kusbaryanto. 2001).
a. Faktor Genetik.
Diketahui adanya gen yang berperan dalam pengendalian resisten (R-
gen), baik dominan atau resesif, homozygote maupun heterozygote yang
terdapat pada nyamuk maupun pada serangga lainnya. Factor genetic seperti
gen-gen yang menjadi pembentukan enzim esterase, yang dapat
menyebabkan resisten serangga terhadap insektisida organofosfat atau
pyrethroid (Sucipto, C, D. 2011).
-
47
b. Faktor Biologi
Meliputi biotik (adanya pergantian generasi, perkawinan monogamy
atau poligami dan waktu berakhirnya perkembangan setiap generasi pada
serangga di alam), perilaku serangga misalnya : migrasi, isolasi, monofagi
atau folifagi serta kemampuan serangga di luar kebiasaannya dalam
melakukan perlindungan terhadap bahaya atau perubahan tingkah laku
(Sucipto, C, D. 2011).
c. Faktor Operasional
Meliputi bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian vektor
(golongan insektisida, kesamaan target dan sifat insektisida yang pernah
digunakan), serta aplikasi insektisida tersebut di lapangan (cara aplikasi,
frekuensi dan lama penggunaan) (Sucipto, C, D. 2011).
4. Mekanisme Terjadinya Resistensi.
Menurut WHO (1980), Ada tiga mekanisme dasar yang berperan
dalam proses terjadinya resistensi/ perubahan status kerentanan serangga
terhadap insektisida (Kusbaryanto, 2001), yaitu :
a. Detoksikasi toksikan (insektisida) dalam tubuh serangga oleh enzim mixed
function oxydase (MFO), hidrolase, esterase dan glutathione dependen
transferase.
b. Penurunan status sensitivitas tempat sasaran dalam tubuh serangga,
berupa insensitivitas syaraf dan insensitivitas enzim asetilkholinesterase
(Ache)
-
48
c. Penurunan penetrasi toksikan (insektisida) ke arah tempat aktif.
Perilaku masyarakat mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis
pestisida dan frekuensi aplikasi, mengakibatkan semakin menghilangnya
proporsi individu yang peka. Tindakan ini meningkatkan proporsi individu
individu yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi
individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya
populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang resisten. Resistensi
tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominansi oleh individu-
individu yang resisten sehingga pengendalian hama menjadi tidak efektif lagi
(Asriani, dkk. 2015).
Secara skematis, timbulnya resistensi pada serangga dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. 7. Skema mekanisme resistensi serangga
(Fest, 1992 dan Asriani, 2015 )
Resistensi perilaku
Tekanan In
sektisida
Serangga
Resistensi fisiologis
Meningkatkan
metabolisme
Mengurangi sensitifitas
dari system ( AchE)
Mengurangi permeabilitas
dari exokutikula
(penetrasi)
Degradasi enzimatik Meningkatkan ekskresi Resistensi penyimpanan
( akumulasi) Oksidasi Hidrolisis
-
49
5. Manajemen Resistensi
Deteksi dini resistensi vektor terhadap insektisida adalah pencarian
dan penemuan vektor yang menunjukkan gejala toleransi atau potensi
resistensi terhadap suatu jenis insektisida di wilayah pengendalian nyamuk
vektor yang di usulkan dalam perencanaan dan pelaksanaan operasional
dengan aplikasi insektisida. Strategi lanjutan dalam penggunaan insektisida
kimia adalah dilakukan pemantauan (monitoring) resistensi vektor terhadap
insektisida itu (Sucipto, C, D. 2011).
Strategi yang dilakukan untuk menghambat atau menanggulangi
kejadian resistensi sebagai yang di sarankan WHO (Sucipto, C, D, 2011),
yaitu :
a. Penggunaan insektisida sebaiknya selektif saja, dengan pembatasan
jumlah insektisida yang digunakan hanya di wilayah yang laju
transmisinya tinggi.
b. Menggunakan insektisida hanya pada musim penularan.
c. Penggunaan metode pengendalian nyamuk vektor yang non-kimia saja,
atau sebagai tindakan penunjang, pada musim penularan dimana
aplikasinya cukup murah dan efektif.
d. Penggantian insektisida residual dengan non-residual yang diaplikasikan
hanya bila memang diperlukan untuk pengendalian nyamuk vektor yang
adekuat.
-
50
F. Penentuan / Uji Resistensi
Uji Resistensi atau penurunan status kerentanan serangga yang
sering digunakan adalah:
1. Uji Hayati (Bioassay)
Metode baku uji hayati yang digunakan untuk mendeteksi dan
memantau status kerentanan dan telah digunakan untuk beberapa tahun.
Untuk melaksanakan uji hayati diperlukan tes kit khusus yang telah
dibakukan oleh WHO termasuk impregnated papers dengan rangkain
konsentrasi insektisida tertentu. Uji hayati dapat dilakukan menggunakan
stadium larva maupun nyamuk dewasa. Persyaratan untuk uji hayati yang
harus dipenuhi adalah jumlah yang cukup serta kondisi fisiologis serangga
(Sucipto, C, D. 2011).
Tingkat resistensi nyamuk dihitung berdasarkan rata-rata kematian
nyamuk. Ada tiga kriteria kerentanan, yaitu :
a. Rentan, bila rata-rata kematian nyamuk sebesar 95-100%. Artinya
nyamuk uji masih bisa diberantas dalam dosis anjuran.
b. Perlu verifikasi (toleran) bila rerata kematian nyamuk 80-95%. Artinya
insektisida masih bisa digunakan tetapi harus ada peningkatan dosis.
c. Resisten, bila rerata kematian nyamuk
-
51
Adapun macam-macam uji hayati antara lain :
a. Uji bioassay untuk pengasapan (fogging/ULV)
Menurut WHO (1992), Metode baku uji susceptibility yang digunakan
untuk mendeteksi dan memantau status kerentanan dan telah digunakan
untuk beberapa tahun (Sucipto, C, D. 2011). Brogdon (1989) mengatakan
bahwa meskipun uji biossay merupakan tolak ukur dalam menentukan
resistensi insektisida populasi nyamuk tetapi tidak memberikan informasi
mengenai kondisi populasi (Polson, 2011). Bahan yang dibutuhkan yaitu
nyamuk dan air gula. Adapun alatnya yakni kertas yang sudah mengandung
insektisida, kertas pembanding (tanpa insektisida), kertas putih biasa, tabung
uji kerentanan, aspirator, sling hygrometer, kotak nyamuk, stop watch, kapas,
dan handuk basah / pelepah pisang.
Cara Kerja :
1. Pengisian tabung dengan nyamuk sehat 20-25 ekor, masing-masing
untuk tabung perlakuan dan tabung kontrol. Selanjutnya dimasukkan
kertas berinsektisida ditabung perlakuan dan kertas tanpa insektisida
ditabung pembanding.
2. Nyamuk dimasukkan kedalam tabung masing-masing dan dibiarkan
kontak dengan insektisida selama 1 jam pada posisi tabung tegak,
selanjutnya diamati nyamuk yang mati. Selama itu, waktu pengujian Rh
diukur dan selama penyimpanan diukur temperatur maks/min.
3. Nyamuk kemudian disimpan selama 24 jam, dan kembali dihitung
-
52
4. Nyamuk yang mati. Penghitungan hasil sesuai dengan uji Bioassay
Interpretasi data (WHO): Kematian 99-100% = rentan/peka, Kematian 80-
98% = Toleran, Kematian < 80%= Resisten (Sucipto, C, D. 2011).
b. Uji Bioassay kontak langsung (residu).
Bahan yaitu nyamuk sehat dan permukaan dinding yang akan
disemprot (tembok, kayu, bambu). Adapun alat yang diperlukan yakni:
aspirator, kerucut plastik, masking tape/ paku/ karet gelang, gelas
plastik/kertas, kotak nyamuk, dan sling hygrometer dan termometer.
Cara Kerja :
1. Menempelkan kerucut plastik pada berbagai permukaan (minimal 3)
kemudian memasukan 10-15 nyamuk kedalam kerucut dengan aspirator,
selanjutkan dibiarkan nyamuk kontak dengan residu insektisida pada
permukaan dinding selama 30 menit.
2. Setelah waktu pengujian selesai, nyamuk dipindahkan kedalam gelas
bertutup kasa (dihitung nyamuk yang pingsan).
3. Nyamuk diberi larutan gula 10% pada kapas sebagai nutrisi nyamul
kemudian disimpan dalam kotak penyimpanan selama 24 jam.
4. Diitung kematian nyamuk pada perlakuan dan kontrol. Jika kematian
nyamuk pada pembanding (kontrol): < 5 %, maka angka kematian dapat
digunakan dan- 5 %-20 %, maka kematian harus dikoreksi dengan rumus:
-
53
abbo’s =Kematian perlakuan (%)− kematian kontrol (%)
100%−Kematian Kontrol x 100%, Jika > 20%
kematian kontrol uji bioassay harus diulang.
c. Uji bioassay kontak tidak langsung (air bioassay) (residu)
Bahan yang dibutuhkan yaitu: nyamuk sehat dan air gula 10 %.
Adapun alat yakni kurungan kasa dengan kerangka kawat, ruangan yang
telah disemprot insektisida, dan kotak nyamuk.
Cara Kerja :
1. Kurungan kasa diisi dengan nyamuk 20-25 ekor kemudian digantungkan
disudut ruangan dengan jarak dari permukaan yang disemprot 50 cm.
Minimum dilakukan di tiga ruangan.
2. Waktu pemaparan bisa 6-12 jam (disarankan 6 jam)
3. Setelah waktu pemaparan selesai, kurungan diambil dan nyamuk
dipindahkan kedalam gelas bertutup kasa dan diberi larutan gula pada
kapas dan dihitung berapa nyamuk yang pingsan.
4. Hasil uji dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan, kotak ini dihindarkan
semut serta diukur temperatur waktu pengujian dan selama penyimpanan.
5. Perhitungan sama dengan bioassay kontak langsung.
2. Biochemical test
Uji biokimia dilakukan untuk mendeteksi resistensi atau penurunan
kerentanan serangga terhadap insektisida secara individu: Metode ini
-
54
mempunyai beberapa keunggulan apabila di bandingkan dengan uji hayati,
yaitu :
a. Uji biokimia memungkinkan untuk deteksi gen resistensi ganda dalam
bahan yang sama dari satu ekor serangga.
b. Memungkinkan untuk deteksi dan mengetahui tipe mekanisme resistensi
dan kemungkinan adanya resistensi silang.
c. Memungkinkan untuk mengetahui lebih banyak informasi dari sejumlah
kecil sampel serangga uji yang hanya diperoleh dari suatu lokasi survey.
d. Tidak memerlukan alat yang rumit karena sifatnya kolorimetri yang dapat
dilihat secara visual. (Sucipto, C, D, 2011).
Uji biokimia mempunyai beberapa keterbatasan antara lain:
a. Uji ini tidak memungkinkan untuk mengetahui semua mekanisme
resistensi yang mungkin terjadi dari banyak jenis dan macam insektisida
pada individu serangga uji.
b. Satu dari bahan kimia (acetylcholine iodide) yang digunakan dalam uji ini
harus disimpan dalam refrigerator (-200 C).
-
55
Tabel 2. 2. Tabel sintesa penelitian tentang resistensi insektisida
No Peneliti
tahun
Judul Metode Temuan
1 1. Sunaryo
2. Bina Ikawati
3. Rahmawati
4. Dyah
Widiastuti
2014
Status resistensi vektor
demam berdarah
dengue
(aedes aegypti)
terhadap malathion
0,8% dan permethrin
0,25% di Provinsi Jawa
Tengah
Eksperimen
desain potong
lintang (cross
sectional)
Kota Semarang, Kabupaten Kendal dan
Purbalingga 100% resisten tinggi terhadap
golongan organophosphat. Ae.aegypti
sudah resisten/tidak rentan terhadap
malathion 0,8% dan permethrin 0,25%.
2 1. Florensia I. J.
Lauwrens
2. J. Wahonga.
3. J.B.
Bernadus
/2014
Pengaruh dosis abate
terhadap jumlah
populasi jentik nyamuk
aedes spp di
Kecamatan
Malalayang Kota
Manado
eksperimental
laboratorium
Kematian larva sebanyak 100% dapat
dilihat pada 24 jam dengan memeberikan
butiran pasir temefos 1% (abate) dengan
dosis 100 mg/L.
3 Erna Kristinawati Uji resistensi Kuasi Status resistensi nyamuk Ae. aegypti yang
-
56
/ 2013 sipermetrin dan
malation pada aedes
aegypti di daerah
endemis DBD Kab.
lombok barat
eksperimen. berasal dari daerah endemis Lombok Barat
terhadap insektisida sipermetrin adalah
toleran
(85%) dan dengan malation rentan (100%).
4 1. Nur
Handayani
2. Ludfi
Santoso
3. Martini
4. Susiana
Purwintasari
Status resistensi larva
aedes aegypti
terhadap temephos di
Wilayah perimeter dan
buffer pelabuhan
tanjung emaskota
Semarang
Eksperimen
murni dengan
rancangan
post-test only
with control
group design
Larva Aedes aegypti dari wilayahperimet er
PelabuhanTanjung Emas dengan rata-rata
Kematian sebesar 96% sudah toleran
terhadap larvasida temephos. Sementara
larva Aedes aegypti dari wilayah buffer
Pelabuhan Tanjung Emas dengan rata-rata
kematian sebesar 68% sudah resisten
terhadap temephos.
5 1. Sin-Ying
Koou
2. Chee-Seng
Chong
3. Indra
Vythilingam
Insecticide resistance
and its underlying
top related