universitas bengkulu fakultas hukum - core.ac.uk · kebendaan, hak-hak tanah atau mengenai...
Post on 28-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS HUKUM
PERJANJIAN PAROAN (BAGI HASIL PEMELIHARAAN KERBAU)
MENURUT HUKUM ADAT LEMBAK
DI KECAMATAN TALANG EMPAT KABUPATEN BENGKULU TENGAH
SKRIPSI Diajukan Untuk Menempuh Ujian dan Memenuhi
Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
JUPRIANSYAH
B1A009122
BENGKULU
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat
dan bantuannya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul : “Perjanjian
Paroan (Bagi Hasil Pemeliharaan Kerbau) Menurut Hukum Adat Lembak di Kecamatan
Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah” tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan
skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis sadar bahwa banyak hambatan dan
kesulitan, namun berkat bantuan dan dorongan banyak pihak, akhirnya penulis dapat
menyelesaikannya. Untuk itu, Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Ridwan Nurazi, SE, Msc, selaku Rektor Universitas Bengkulu.
2. Bapak M. Abdi S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
3. Bapak Subanrio, S.H.,M.H, selaku Pembimbing Utama dan selaku Pembimbing Pendamping
Bapak Andry Harijanto, S.H.,M.Si yang telah berperan aktif memberikan semangat, nasihat,
bimbingan dan masukan kepada penulis selama penyusunan skripsi.
4. Bapak Adi Bastian Salam, S.H., M.H dan Bapak Edi Hermansyah, S.H., M.H selaku dosen
pembahas skripsi terima kasih atas saran dan masukannya untuk perbaikan skripsi saya.
5. Bapak M. Yamani, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas
bimbingan, arahan dan nasihat yang telah diberikan selama penulis menjadi mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
6. Para Responden dan Informan yang telah banyak membantu dengan memberikan informasi
kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
7. Dosen dan staf tata usaha Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
8. Kedua orang tuaku tersayang, Ayahanda Bahni dan Ibunda Innama, terima kasih atas semua
pengorbanan, perjuangan, dan kasih sayang yang kalian berikan untukku.
9. Abang Toni P dan Ayukku Azizah Sri Hastati tersayang terima kasih atas doa dan semangat
yang kalian berikan untukku, terus belajar.
10. Semua keponakan ku semangat terus belajar kejar cita-citanya.
11. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2009 fakultas hukum UNIB.
12. Sahabat-sahabat ku Adi, gun, bambang, Heri, Pendi, Midi, Yudhi Andika, Andi Petak,
Bobby, Ichan, Dody. terima kasih atas doa dan dukungannya terima kasih atas bantuannya
dan doanya selama ini, dan seluruh keluargaku yang tidak bisa disebutkan satu persatu
13. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dorongan,
bantuan baik berupa materi, moral maupun bantuan yang lainnya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan-
kekurangan, maka diharapkan sumbangan pemikiran demi kesempurnaan penulisan. Akhirnya
penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semuanya.
Bengkulu, Januari 2014.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI ..................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ x
ABSTRAK................................................................................. ............ xi
ABSTRAK .............................................................................................. xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................... 6
D. Kerangka Pemikiran ....................................................... 7
E. Keaslian Penelitian .......................................................... 11
F. Metode Penelitian ............................................................ 12
1. Jenis Penelitian ............................................................. 12
2. Pendekatan Penelitian.............................................. ..... 12
3. Data Penelitian.............................................................. 13
4. Metode Pengumpulan Data........................................ .. 14
5. Metode Pengolahan Data...................................... ........ 16
6. Metode Analisis Data.............................................. ..... 16
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Hukum Adat.. ....................................... 18
B. Pengertian Perjanjian ........................................................ 23
C. Sistem Pemeliharaan Ternak ............................................. 29
BAB III. FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI DASAR
TERJADINYA PERJANJIAN PAROAN (BAGI HASIL
PEMELIHARAN KERBAU) MENURUT HUKUM ADAT
LEMBAK DI KECAMATAN TALANG EMPAT
KABUPATEN BENGKULU TENGAH ........................... 32
A. Pemilik kerbau tidak mempunyai waktu Serta
tempat untuk memelihara kerbau ...................................... 32
B. Meningkatkan Perekonomian Pemelihara Kerbau
Dan Pemilik Kerbau Tidak Memiliki Keahlian
Memelihara Kerbau ........................................................... . 34
BAB IV. BENTUK PERJANJIAN PAROAN (BAGI HASIL
PEMELIHARAAN KERBAU) MENURUT HUKUM
ADAT LEMBAK DI KECAMATAN TALANG EMPAT
KABUPATEN BENGKULU TENGAH ............................. 41
A. Bentuk Penjanjian Bagi Hasil Ternak
Menurut Hukum Adat ........................................................ 41
B. Bentuk Perjanjian Paroan (Bagi Hasil Pemeliharaan
Kerbau) Menurut Hukum Adat Lembak ............................ 43
BAB V. PENYELESAIAN JIKA TERJADI SENGKETA DALAM
PERJANJIAN PAROAN (BAGI HASIL PEMELIHARAAN
KERBAU) MENURUT HUKUM ADAT LEMBAK
DI KECAMATAN TALANG EMPAT KABUPATEN
BENGKULU TENGAH. ........................................................ 53
A. Menurut Ketua Adat.. ........................................................ 53
B. Menurut Kepala Desa ........................................................ 56
C. Menurut Pemilik Kerbau dan Pemelihar Kerbau .............. 57
BAB VI. PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 64
B. Saran ................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Keterangan Izin Penelitian Fakultas Hukum Uniersitas Bengkulu.
2. Surat Keterangan Izin Penelitian Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Pemerintah Provinsi
Bengkulu.
3. Surat Keterangan Izin Penelitian Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BPMPPT) Bengkulu Tengah.
ABSTRAK
Tujuan penelitian: (1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar
perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat Lembak di
Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah. (2) Untuk mengetahui bentuk
perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat Lembak di
Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah. (3) Untuk mengetahui
penyelesaian sengketa dalam perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut
hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah.
Penelitiaan ini dilakukan secara empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam dan pengumpulan data sekunder. Hasil penelitian: bahwa (1) faktor-faktor yang
menjadi dasar perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) Menurut Hukum Adat
Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah yakni, pemilki kerbau
tidak mempunyai waktu untuk memelihara kerbau dengan baik, pemilik kerbau tidak
memiliki perkarangan atau lahan untuk memelihara kerbau tersebut, pemilik kerbau tidak
memiliki keahlian dalam memelihara kerbau, sebab dalam memlihara kerbau ini tidak
gampang bisa berakibat kematian dalam pemeliharan kerbau dan pemelihara kerbau tidak
memiliki kerbau sehingga mau menerima kerbau yang dititipkan pemilik kerbau.
Penyebabkan terjadinya perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) Menurut
Hukum Adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah, di
karenakan pemilik kerbau sengaja menitipkan kerbaunya kepada peternak kerbau untuk di
peliharan dengan baik serta pemilik kerbau ingin membantu meningkatkan perekonomian
pemelihara kerbau dengan cara sistem bagi hasil. (2) Bentuk Perjanjian Paroan (bagi hasil
Pemeliharaan kerbau) Menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat
Kabupaten Bengkulu Tengah, dilakukan secara lisan dan tidak tertulis yang didasari rasa
saling percaya antara kedua belah pihal yang melakukan perjanjian Paroan (bagi hasil
Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat lembak. (3) Penyelesaian Jika Terjadi Sengketa
Dalam Perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) Menurut Hukum Adat Lembak
di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah, diselesaikan melalui
fungsionaris adat Lembak setempak, dengan tujuan penyelesaikan sengketa seperti ini
dapat diselesaikan dengan baik agar tidak menjadi keributan lagi.
Kata Kunci: Perjanjian Paroan (Bagi Hasil Pemeliharaan Kerbau) Hukum Adat
ABSTRAK
The purpose of the study: (1) To determine the factors on which the treaty Paroan
(for Maintenance outcomes buffalo) according to customary law in the District Gutters
Four Lembak Bengkulu Central. (2) To determine the shape Paroan agreement (the result
buffalo Maintenance) under customary law in the District Gutters Four Lembak Bengkulu
Central. (3) To determine Paroan dispute resolution agreement (the result buffalo
Maintenance) under customary law in the District Gutters Four Lembak Bengkulu Central.
Penelitiaan is done empirically. Data was collected through in-depth interviews and
secondary data collection. Results of the study: that (1) the factors on which the treaty
Paroan (for Maintenance outcomes buffalo) According Lembak Customary Law in District
Four Gutters Central Bengkulu ie, pemilki buffalo do not have time to properly maintain
buffalo, buffalo owners do not have perkarangan or land to preserve the buffalo, buffalo
owners do not have the expertise in maintaining buffalo, for the buffalo is not easy to
maintain both can be fatal in maintenance and maintainer buffalo buffalo buffalo so it
would not have received the deposited buffalo buffalo owners. Paroan agreements of cause
of occurrence (for Maintenance outcomes buffalo) According Lembak Customary Law in
District Four Gutters Central Bengkulu, in because the owner accidentally left the water
buffalo buffalo buffalo to farmers for peliharan well and buffalo owners want to help boost
the economy by way of the buffalo-keeping system for results. (2) Form of Agreement
Paroan (for Maintenance outcomes buffalo) Under customary law in the District Lembak
Gutters Four Central Bengkulu, made orally and not in writing are based on mutual trust
between the two sides pihal doing Paroan agreement (the result buffalo Maintenance) by
Lembak customary law. (3) If There Dispute Resolution In Paroan Agreement (the result
buffalo Maintenance) According Lembak Customary Law in District Four Gutters Central
Bengkulu, resolved through customs functionaries Lembak setempak, with the aim of
dispute settlement such as this can be done well in order not to become the fray again .
Keywords: Paroan Agreement (For Maintenance Result Buffalo) According Indigenous
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menjelaskan bahwa :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”.
Lebih lanjut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menjelaskan bahwa :
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”
Adat cerminan kepribadian dan jiwa bangsa Indonesia, selalu berkembang
senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam evaluasi mengikuti proses
perkembangan peradaban bangsa Indonesia, yang merupakan sumber mengagumkan bagi
hukum adat.1 Kehidupan masyarakat Indonesia masih terikat hukum adatnya, di mana
hukum adat tersebut meliputi hampir segala aspek kehidupan manusia, khususnya pada
masyarakat di desa-desa dan arena hukum adat merupakan tonggak kehidupan masyarakat
yang bersangkutan.
Menurut jenisnya kebutuhan hidup masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua
jenis, yaitu kebutuhan material dan kebutuhan spiritual. Kebutuhan material adalah
kebutuhan manusia yang bersifat lebih cenderung kepada kebendaan, seperti sandang,
pangan, dan papan. Kebutuhan ini diperlukan manusia untuk mempertahakan hidup.
1 Merry Yono, 2006, Ikhtisar Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Bengkulu,
Halaman. 13.
Namun demikian, usaha manusia ini tidak selalu berhasil. Hal ini disebabkan
keterbatasan akan kemampuan akal dan penegetahuan manusia itu sendiri. Untuk
mengimbangi keterbatasan itu seseorang perlu melakukan kerja sama dengan orang lain.
Demikian juga dalam hal kerja sama dalam bidang peternakan. Untuk mendapatkan
hasil yang saling menguntungkan, maka perlu diadakan kerja sama dalam bentuk bagi hasil.
Suatu perjanjian bagi hasil ternak adalah persetujuan yang diadakan antara pihak pemilik
ternak atau pemilik usaha perikanan (tambak, kolam, tebat) di perairan darat dengan pihak
penggarap, pemelihara, pengembala atau penangkap ikan, dengan sistem bagi hasil.
Seseorang yang memiliki ternak, namun tidak mampu memelihara sendiri dapat
berkerjasama dengan seseorang yang bersedia menyerahkan tenaganya untuk memelihara
ternak tersebut dengan ketentuan setelah sekian lama dipelihara maka keuntungannya dibagi
dua, sebagian untuk pemilik dan sebagian untuk pemelihara.
Salah satu bentuk perjanjian lisan adalah perjanjian adat , perjanjian dalam
pengertian hukum adat ialah “hukum adat yang menunjukkan tentang perhitungan dan
berbagai perjanjian serta berbagai transaksi, baik transaksi yang mengenai hak-hak
kebendaan, hak-hak tanah atau mengenai jasa-jasa”.2 Di samping itu, juga yang dimaksud
hukum perjanjian adat ialah “ hukum adat yang meliputi uraian tentang hukum perhitungan,
termasuk soal-soal transaksi yang menyangkut tanah, sepanjang hal itu ada hubungan
dengan masalah perjanjian yang dibuat menurut hukum adat”.3
2 Hilman Hadikusuma, 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti , Bandung,
Halaman. 144.
3 Ibid, Halaman. 150.
Perjanjian bagi hasil ternak adalah bagi hasil ternak (delwining) merupakan suatu
proses dimana pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada pihak lain untuk dipelihara
dan membagi dua hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu. 4
Hubungan hukum antara pemilik ternak dengan pemelihara ternak berlaku atas dasar
kekeluargaan dan tolong menolong sebagai asas umum dalam hukum adat, apabila
seseorang merawat atau memelihara ternak orang lain dengan persetujuan atau tanpa
persetujuan berkewajiabn membagi hasil dari perawatan ternak yang dipelihara sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.
Di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai petani atau pekebun, tetapi ada juga yang berprofesi sebagai pegawai
negeri atau pun wiraswasta. Ada juga beberapa masyarakat yang berprofesi ganda seperti
masyarakat yang berprofesi sebagai petani sekaligus peternak, dan profesi pegawai negeri
sekaligus peternak. Bagi mereka yang berprofesi sebagai pegawai negeri sebagian besar dari
mereka yang juga beternak menitipkan hewan ternak mereka ke warga lain untuk dirawat
dan dipelihara dengan perjanjian bagi hasil. Oleh karena itu, mereka membuat suatu
perjanjian bagi hasil yang mana perjanjian bagi hasil pemeliharaan ternak yang dilaksanakan
mereka menurut ketentuan-ketentuan hukum adat setempat, yaitu perjanjian tersebut dibuat
berdasarkan saling percaya antara pemilik dengan pemelihara ternak. Pada umumnya di
Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah biasanya dalam pembuatan
perjanjian bagi hasil pemeliharaan ternak jarang dibuat secara tertulis dan tidak diperlakukan
syarat bantuan dari kepala desa.
4 Soerjono Soekanto, 1986, Intisari Hukum Perikatan Adat, Ghalamania Indonesia, Jakarta, Halaman.
20.
Adapun dasar pelaksanaan sistem bagi hasil pemeliharaan ternak ini berdasarkan atas
kesepakatan bersama, didorong rasa kekeluargaan dan tolong menolong. Berdasarkan isi
perjanjian tersebut, mereka telah menyepakati berapa besar bagian yang diperoleh para
pihak dan jangka waktunya biasanya tidak ditentukan sepanjang para pihak masih
menyanggupi melakukan perjanjian bagi hasil pemeliharaan ternak tersebut. Dalam sistem
bagi hasil pemeliharaan ternak menurut hukum adat dapat juga berkelanjutan. Jadi dalam
hubungan perikatan bagi hasil, harus pula diperintahkan sejauh mana keakraban dan
berlakunya asas kekeluargaan di antara kedua pihak.
Dari hasil prapenelitian yang penulis lakukan, hukum adat yang berlaku di
Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah adalah hukum adat Lembak, hal
tersebut dikarenakan mayoritas penduduknya adalah suku Lembak, pada umumnya
penduduk setempak berkerja sebagai peternak. Adapun alasan masyarakat di Kecamatan
Talang Empat melakukan perajanjian bagi hasil Pemeliharaan ternak kerbau menurut hukum
adat Lembak dikarenakan sebagian besar masyarakat setempat merupakan masyarakat adat
Lembak, dan perjanjian Pemeliharaan ternak kerbau ini dilakukan dengan tujuan
meningkatkan perekonomian pemilik ternak dan peternak.
Dalam perjanjian bagi hasil pemeliharaan ternak, apabila ternak tersebut ingin dijual
maka uang hasil penjualan nya dibagi sama rata antara pemilik ternak dan peternak. Dalam
hukum adat Lembak perjanjian bagi hasil Pemeliharaan hewan ternak disebut dengan istilah
“paroan” yang dilakukan secara lisan dalam bentuk tidak tertulis. Perjanjian bagi hasil
Pemeliharaan ternak menurut hukum adat Lembak diharuskan adanya kata sepakat antara
kedua belah pihak, kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian bagi hasil tadi
dikenal dengan sebutan “perasanan”. Di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu
Tengah tersebut, ada 65 (Enam Puluh Lima) orang yang melakukan perjanjian bagi hasil
ternak kerbau menurut hukum adat Lembak, ternak yang dititipkan hewan berkaki empat
yaitu kerbau dengan jumlah kerbau 156 ekor ternak.
Dengan demikian, maka perlu diadakannya penelitian dan analisis lebih lanjut
tentang berbagai hal seperti akibat-akibat hukum yang berkaitan dengan perjanjian bagi hasil
ternak menurut hukum hukum adat Lembak, dalam hal ini penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul “Perjanjian Paroan (Bagi Hasil Pemeliharaan Kerbau) Menurut
Hukum Adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah”.
B. Indentifikasi Masalah
1. Faktor-faktor yang menjadi dasar perjanjian paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau)
menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu
Tengah?
2. Bagaimanakah bentuk perjanjian paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut
hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah?
3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam perjanjian paroan (bagi hasil Pemeliharaan
kerbau) menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten
Bengkulu Tengah?
C. Tujuan dan Manfaat Penilitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar terjadinya perjanjian paroan (bagi
hasil Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat
Kabupaten Bengkulu Tengah.
b. Untuk mengetahui bentuk perjanjian paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut
hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah.
c. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam perjanjian paroan (bagi hasil
Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat
Kabupaten Bengkulu Tengah.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis
1) Hasil Penelitian diharapkan dapat memperluas dan memperkaya khasanah ilmiah
dalam pembelajaran hukum perjanjian adat, khsusunya perjanjian bagi hasil.
2) Untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti ujian guna memperoleh gelar
sarjana di bidang ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
b. Secara Praktis
Hasil Penilitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada semua pihak yang terkait mengenai perjanjian bagi hasil Pemeliharaan kerbau
menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu
Tengah.
D. Kerangka Pemikiran
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-
peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya.
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola sendiri dalam menyelesaikan
sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan dengan
sistem hukum yang lainnya. Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga
keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat
tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang disepakati dan diyakini
kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat memiliki relevansi kuat dengan
karakter, nilai, dan dinamika yang berkembang dalam hukum adat.
Dengan demikian hukum adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat
dalam bentuk keputusan-keputusan para pejabat hukum tersebut di atas (pejabat hukum
meliputi ketiga kekuasaan, yaitu: eksekutif, legislatif, yudikatif).5Jadi bukan saja keputusan
hakim, tetapi juga keputusan kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas di
lapangan agama dan petugas-petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja keputusan
mengenai suatau sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu, berdasarkan kerukunan atau
musyawarah, keputusan-keptutusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai
dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan warga persekutuan itu.
Dalam hukum adat Lembak perjanjian bagi hasil Pemeliharaan hewan ternak disebut
dengan istilah “paroan” yang dilakukan secara lisan dalam bentuk tidak tertulis. Perjanjian
bagi hasil Pemeliharaan ternak menurut hukum adat Lembak diharuskan adanya kata
sepakat antara kedua belah pihak, kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian
bagi hasil tadi dikenal dengan sebutan “perasanan”.6
Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud perjanjian dalam pengertian hukum adat
yaitu: “Hubungan hukum antara 2 (dua) pihak yang terjadi karena adanya perbuatan atau
kesepakatan dalam bentukpersetujuan atau perjanjian karena adanya sesuatu kepentingan.
5 Tersedia Pada , yessysca.blogspot.com/2011/02/rangkuman-hukum-adat-karangan-soerojo.html,
diakses pada tanggal 4 Juli 2014, pukul 23.00 WIB.
6 Hasil penelitian penulis 23 Desember 2013 Di Kecamatan Talang Eempat Kabupaten Bengkulu
Tengah.
Jadi adanya perikatan karena kesepakatan.”7 Disamping itu juga menurut Hilman
Hadikusuma yang dimaksud hukum perjanjian adat ialah “ Hukum adat yang meliputi uraian
tentang hukum perhitungan, termasuk soal-soal transaksi yang menyangkut tanah, sepanjang
hal itu ada hubungan dengan masalah perjanjian yang dibuat menurut hukum adat”.8
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan, dikatakan dalam Pasal 17 ayat (1):
“Peternakan atas dasar bagi hasil ialah penyerahan ternak sebagai amanat, yang
dititipkan oleh pemilik ternak kepada orang lain, untuk dipelihara baik-baik,
diternakkan, dengan perjanjian bahwa dalam waktu tertentu titipan tersebut dibayar
kembali berupa ternak keturunannya atau dalam bentuk lain yang disetujui oleh kedua
pihak”.
Perjanjian bagi hasil ternak adalah persetujuan yang diadakan anatara pihak pemilik
ternak dengan pihak pemelihara ternak dengan sistem bagi hasil.9 Ternak ayng dimaksud
adalah seperti kerbau, sapi, kambing, unggas, tempat perikanan dan bibitnya, disediakan oleh
pemiliknya dan diserahkan pemeliharaannya kepada pekerja sebgai penggarap atau
pemeliharaannya, kemudian dari keuntungan dibagi antara dua pihak. Menurut pendapat
Soerojo Wignjodipoero bahwa, :
“Memberikan kesempatan yang tidak memilik ternak dengan perjanjian hasil
penjualan atau kembang biak ternak akan dibagi; disini pemilik ternak memberikan
pertolongan kepada warga persekutuannya yang ahli dalam memelihara ternak tetapi
tidak mempunyai ternak memperoleh perkerjaan yang sesuai dengan bakatnya
sedangkan warga persekutuan tersebut member bantuan pemilik ternak bersangkutan
yang tidak paham akan cara pemeliharaan ternak untuk memeliharakan ternak.”10
7 Hilman Hadikusuma, Op,Cit, Halaman 45.
8 Ibid, Halaman 150.
9 Ibid, Halaman 156.
10
Soerojo Wignjodipoero, 1983, Kedudukan Serta Perkembangan hukum adat Setelah
Kemerdekaan, Gunung Agung, Jakarta, Halaman 53.
Milik ternak terkadang-kadang terikat pada aturan-aturan tersendiri mengenai
menyemblihnya dan memindahkan tangannya, tapi tidak sedemikian sehingga hak atas
ternak itu tidak dapat disebut hak milik. Di beberapa daerah misalnya di daerah Batak,
terdapatlah karena adanya paruh hasil pelihara (deelwinning).11
Maka dengan adanya janji, pada para pihak sudah tercapai suatu kesepakatan yang
merupakan landasan terjadinya perjanjian. Kesempakatan dalam perjanjian adat merupakan
suatu syarat yang mutlak dalam pelaksanaan perjanjian, dan dan dalam hal ini tidak ada
unsur-unsur ketepaksaan dari pihak lain. Untuk membuat suatu perjanjian apabila ada
perjanjian yang dibuat karena unsure keterpaksaan maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.
Menurut hukum adat, perjanjian bagi hasil dapat terjadi diantara dua pihak yang
melakukan kesepakatan untuk saling menguntungkan atau karena sifatnya maka dianggap
adanya perjanjian. Sedangkan bantuan kepala persekutuan hukum tidak merupakan syarat
sahnya perjanjian terutama perjanjian bagi hasil.
Untuk sahnya suatu perajanjian maka tidak perlu ada perkisaran atau peralihan dari
pihak kedua, dimana perbuatan itu biasanya jarang dilakukan secara tertulis hanya
berdasarkan atas rasa saling tolong menolong.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini merupakan hasil karya penulis sendiri. Sumber-sumber,
baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar. Berdasarkan
hasil pencarian yang berasal dari internet maupun hasil penelitian lain dalam bentuk jurnal,
karya ilmiah, atau pun skripsi diperpustakaan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu belum
ditemukan penelitian yang mengkaji permaslahan “Paroan (Bagi Hasil Pemeliharaan
11
Ter Haar, 1983, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, Halaman 139.
Kerbau) Menurut Hukum Adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu
Tengah.” dan apabila terdapat kesamaan dengan penelitian karya penulis lain, maka dapat
penulis nyatakan bahwa penelitian ini merupakan hasil penelitian penulis sendiri. Adapun
terdapat beberapa judul penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya adalah: Ili
Sukmawati , Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Tahun 2008 dengan judul
skripsi: “Perjanjian bagi hasil tanaman karet menurut hukum Rejang di Desa Gunung Selan
Kecamatan Kota Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara.” Penelitian yang telah
dilakukan oleh Ili Sukmawati membahas mengenai mekanisme Perjanjian bagi hasil
tanaman karet menurut hukum Rejang, Sedangkan pada penelitian ini penulis membahas
mengenai paroan (bagi hasil pemeliharaan kerbau) menurut Hukum Adat Lembak di
Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif. Menurut
Soerjono Soekanto suatu penelitian deskriptif, dimaksud untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.12
Penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa,
kejadian yang terjadi untuk menjelaskan faktor-faktor yang menjadi dasar perjanjian
paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat Lembak dan bagaimanakah
bentuk perjanjian paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat Lembak,
serta bagaimanakah penyelesaian sengketa dalam perjanjian paroan (bagi hasil
12
Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, Hal. 10.
Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat
Kabupaten Bengkulu Tengah.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan dalam penelitian hukum empiris, Dalam penelitian hukum empiris,
hukum dikonsep sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata,
dalam hal ini hukum tidak semata-mata dikonsep sebagai gejala normatif yang mandiri
(otonom), sebagai Ius constituendum dan ius constitutum, tetapi secara empiris ius
operatum yaitu hukum sebagai apa yang ada dalam masyarakat.13
Oleh sebab itu
pendekatan penelitian hukum empiris ini tergolong pada penelitian efektifitas hukum yang
merupakan penelitian hukum yang hendak menelaah efektifitas suatu peraturan perndang-
undangan.14
Berdasarkan penjelasan di atas dalam hal ini penulis melakukan penelitian
yang yang berjudul” Perjanjian Paroan (Bagi Hasil Pemeliharaan Kerbau) menurut Hukum
Adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah”.
3. Data penelitian
Ada dua data yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder.
a. Data primer
Menurut Soerjono Soekanto “data primer adalah data yang di peroleh dari
sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, melalui penelitian. Menurut
Soerjono Soekanto “data primer adalah data yang di peroleh dari sumber
13
M. Abdi dkk, Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum(s1), Bengkulu: Fakultas
Hukum Universitas Bengkulu, 2014, Halaman 41.
14
Ade Saptomo, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni, Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2009, Halaman 42.
pertama, yakni perilaku warga masyarakat, melalui penelitian. 15 Untuk memperoleh
data primer ini, menggunakan teknik wawancara mendalam. Dalam melakukan
wawancara ini penulis menggunakan pedoman pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya sesuai dengan data yang diperlukan, namun di sini pedoman
pertanyaannya hanya masalah pokok saja, sehingga informan masih mempunyai
kebebasan dan wawancara tidak menjadi kaku sehingga tidak tertutup kemungkinan
perluasan yang diselaraskan dengan keperluan penulis (wawancara bebas
terpimpin).
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan
cara melakukan penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mencari data berupa,
teori-teori, pendapat-pendapat, pandangan-pandangan, dan asas-asas hukum yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang diteliti.16
4. Metode Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
menggunakan wawancara mendalam. Wawancara atau interview mendalam yakni kegiatan
wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui tanya
jawab antara peneliti dan orang yang diteliti.
Menurut Ade Saptomo wawancara yang baik adalah orang yang diwawancara tidak
merasa diwawancara sehingga mampu memberikan keterangan luas dan dalam.17).
Pada
saat wawancara, peneliti memberikan pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu yang
berkenaan perjanjian paroan (bagi hasil pemeliharaan kerbau) menurut hukum Adat
15
Soerjono Soekanto Loc,Cit.
16 Ibid,
17
Ade Saptomo, Loc, Cit. Halaman 86.
Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah. Pertanyaan yang
diajukan boleh di luar pedoman pertanyaan sesuai dengan perkembangan pada saat situasi
wawancara.
Wawancara dilakukan sesuai dengan judul penelitian dan rumusan permasalahan,
maka penelitian ini dilakukan Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah
Terdiri dari di Desa Lagan, Desa Taba Lagan, Desa Lagan Bungin, K, tempat ini dipilih
karena mayoritas penduduknya suku Lembak. Dan penduduknya pernah melakukan
perjanjian bagi hasil Pemeliharaan kerbau berdasarkan hukum adat Lembak. Dalam
penentuan informan yang akan diwawancarai oleh penulis mengunakan metode Purposive,
yaitu untuk menentukan informan yang dipilih secara sengaja dengan menggunakan
kriteria dan pertimbangan penelitian. Dalam hal ini, yang menjadi informan adalah sebagai
berikut:
1) Kelompok informan yang berkenaan dengan sistem kepemimpinan tradisional yaitu
tokoh Adat Lembak, seperti Ketua Adat Lembak. Pemilihan informan ini
dilandaskan oleh suatu pertimbangan bahwa mereka memiliki pengalaman hidup dan
pengetahuan cukup memadai berkaitan dengan praktik dan perjanjian bagi hasil
Pemeliharaan kerbau menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat
Kabupaten Bengkulu Tengah. ada pun informan yang berkenaan dengan penelitian
ini yaitu:
a) Ketua Adat Lembak Desa Lagan.
b) Kepala Desa Lagan.
c) Ketua Adat Lembak Desa Taba Lagan.
d) Kepala Desa Taba Lagan
e) Ketua Adat Lembak Lagan Bungin.
f) Kepala Desa Lagan Bungin.
2) Kelompok informan yang terdiri dari warga yang terlibat dengan masalah ini, yang
dilandasi oleh suatu pertimbangan bagaimana pengalaman, pengetahuan dan
pandangan mereka masing-masing berkaitan dengan praktik perjanjian bagi hasil
Pemeliharaan kerbau menurut hukum adat Lembak di Kecamatan Talang Empat
Kabupaten Bengkulu Tengah. ada pun informan yang melakukan perjanjian bagi
hasil Pemeliharaan kerbau tersebut yaitu:
a) 2 Orang Pemilik Kerbau
b) 3 Orang Pemelihara Kerbau.
5. Metode Pengolahan Data
Pengolahan yang dimaksud setelah data diperoleh baik data primer maupun data
sekunder, kemudian data-data tersebut diolah sesuai dengan kebutuhan apa yang
menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini, yang kemudian data-data tersebut
dikelasifikasikan hasil pada sub bab sesuai dengan kegunaan dalam penulisan, seperti
pengelompokan hasil wawancara pada sub bab tertentu.
6. Metode Analisis data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini metode analisis kualitatif,
yaitu analisis data dengan mendeskripsikan ke dalam bentuk pernyataan-pernyataan
dengan menggunakan cara berpikir induktif-deduktif atau sebaliknya, cara berpikir
induktif yaitu menggeneralisasikan data dari sampel (informan) sebagai hasil penelitian
untuk menggambarkan keadaan umum sedangkan cara berfikir deduktif yaitu kerangka
berpikir untuk menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum. Setelah data
dianalisis satu persatu selanjutnya disusun secara sistematis sehingga dapat menjawab
permasalahan yang disajikan dalam bentuk skripsi.18
Dengan cara ini kajian mengenai
berkenaan perjanjian paroan (bagi hasil pemeliharaan kerbau) menurut hukum Adat
Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah dapat penulis
deskripsikan dalam skripsi ini.
18).
Soerjono Soekanto, Op. Cit., Hallaman. 264.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Hukum Adat
1. Pengertian Adat
Menurut Andri Harijanto Hartiman adat adalah sebagai berikut:
Kata adat yang berasal dari bahasa Arab, diartikan sebagai kebiasaan baik
untuk menyebut kebiasaanyang buruk (adat Jahiliah) maupun bagi kebiasaan
yang baik (adat islamiah istilah adat yang berasal dari bahasa Arab ini. Diambil
alih oleh bahasa Indonesia dan dianggap sebagai bahasa sendiri, maka
pengertian adat dalam bahasa Indonesia menjadi berbeda.19
Menurut Soerojo Wignjodipoero adat adalah merupakan pencerminan dari
pada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.20
Adat itu adalah renapan (endapan) kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa
kaedah-kaedah adat itu berupa kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat itu.21
Adat adalah merupakan pencerminan dari pada kepribadian suatu
bangsa,merupakan salah satu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa
bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.22
19
Andri Harijanto Hartiman dkk, 2007, Bahan Ajar Hukum Adat, Fakultas Hukum UNIB,
Bengkulu, Halaman 8.
20
Soerojo Wignjodipoero, 1979, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni Bandung,
Jakarta, Halaman. 25.
21
Bushar Muhammad, 1994, Asas-asas Hukum Adat, PT. Pradaya Pratama, Jakarta, Halaman.
30.
22
Soerojo Wignjodipoero, 1967, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung,
Jakarta, Halaman. 25.
Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu
masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi
masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan
manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum
adat. Adat telah melembaga dalam dalam kehidupan masyarakat baik berupa tradisi,
adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilau warga masyarakat
dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh
masyarakat menjadi cukup penting.23
2. Pengertian Hukum Adat
Indonesia adalah sebuah negara hukum (rechtsaat), dimana setiap ketentuan
yang berlaku selalu berpedoman kepada suatu sistem hukum yang berlaku secara
nasional.24
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah
peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Hukum Adat adalah sistem aturan berlaku dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang berasal adat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati dan
ditaati oleha masyarakat sebagai tradisi bangsa Indonesia.25
Umunya, hukum dipahami
23
Teddy,2012,Pengertian,Perkawinanhttp://www.pengertiandefinisi.com/2011/05/pengertian-
adat. pada tanggal 24 febuari 2013, Pukul 03.00.WIB
24
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melanggar Hukum, Mandar Maju, Bandung, Hal. 1.
25
Ilham Bisri, 2012, Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, Hal. 112.
sebagai seperangkat aturan atau norma, tertulis maupun tidak tertulis yang
mengkategorikan suatu perilaku benar atau salah.26
Hukum adat itu memiliki dua unsur mutlak, yaitu: pertama unsure kenyataan,
bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan
kedua unsure psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa
adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum. Dan unsure inilah yang
menimbulkan adanya kewajiban hukum (opinion necessitaris). Intisari hukum
adat menurut Van Vollenhoven terdiri atas dua unsur, yakni hukum asli
penduduk yang pada umumnya masih tidak tertulis (jus non-scriptum) dan
ketentuan-ketentuan hukum agama yang sebagian besar sudah tertulis ( jus
scriptum). 27
Van Dijk mengatakan bahwa kata “hukum Adat” itu adalah istilah untuk
menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasikan dalam kalangan orang Indonesia asli
dan kalangan orang Timur Asing (orang Tionghoa, orang Arab dan lain-lain).
Selanjutnya, bahwa kata “adat” adalah suatu istilah yang dikutip dari bahasa Arab,
tetapi sekarang telah diterima dalam semua bahasa di Indonesia. Pada permulaannya
istilah itu berarti “kebiasaan” . Dengan istilah ini sekarang dimaksud semua
kesusilaan disemua lapangan hidup, jadi, semua peraturan tentang tingkah-laku macam
apapun yang biasanya dijalankan orang Indonesia.
Jadi meliputi pula peraturan-peraturan hukum yang mengatur hidup bersama orang
Indonesia.28
Ter Haar Bzn dalam pidatonya tahun 1937 yang bertemakan : ”Hukum Adat
Hindia-Belanda di dalam ilmu praktek dan pengajaran” menegaskan sebagai berikut:29
26
Ade Saptomo, 2013, Budaya Hukum dan Kearifan Lokal Sebuah Perspektif perbandingan,
Fakultas Hukum Universitas Pancasila Press, Jakarta. Hal.36-37.
27 R.Soerojo Wignjodipoero, 1983, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah
Kemerdekaan, PT.Gunung Agung. Jakarta, Halaman 75. 28
Bushar Muhammad, 2003, Asas-Asas Hukum Adat “Suatu Pengantar”, PT Pradnya
Paramita, Jakarta, Halaman 13.
29 R.Soerojo Wignjodipoero, Loc cit.
1) “Hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan
para warga masyarakat hukum terutama keputusan berwibawa dari Kepala-
Kepala Rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum,
atau - dalam hal pertentangan kepentingan – keputusan para hakim yang
bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena
kesewenangan atau kurang prngertian, tidak bertentangan dengan keyakinan
hukum rakyat, diterima dan diakui atau setidak-tidaknya ditolerir oleh
rakyat.
2) Hukum adat itu – dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis, yang
terdiri daripada peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja adalah
keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para
pejabat hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa authority, macht)
serta pengaruh dan yang pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan
dipatuhi dengan sepenuh hati.
Menurut Ter Haar dalam buku Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa :
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-
keputusan dari kelapa-kelapa adat dan berlaku secara spontan dalam
masyarakat. Ter Haar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk
melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka
perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap pelanggar
peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan
hukuman terhadap si pelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum
adat.”30
Hukum adat merupakan bagian dari adat atau adat istiadat, maka dapatlah
dikataka, bahwa hukum adat merupakan konkritisasi dari pada kesadaran hukum,
khususnya pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana.31
Dengan demikina hukum adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan
dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para pejabat hukum tersebut di atas (pejabat
hukum meliputi ketiga kekuasaan, yaitu: eksekutif, legislatif, yudikatif). Jadi bukan
saja keputusan hakim, tetapi juga keputusan kepala adat, rapat desa, wali tanah,
petugas-petugas di lapangan agama dan petugas-petugas desa lainnya. Keputusan itu
30
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Maju Mundur, Bandung, Halaman
43.
31
Soerjono Soekanto, 2002, Hukum Adat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal 338.
bukan saja keputusan mengenai suatau sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu,
berdasarkan kerukunan atau musyawarah, keputusan-keptutusan itu diambil
berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup
kemasyarakatan warga persekutuan itu.
B. Pengertian Perjanjian
1. Perjanjian Dalam Pengertian Hukum Adat
Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud perjanjian dalam pengertian hukum
adat ialah “Hukum adat yang menunjukkan tentang perhitungan dan berbagai perjanjian
serta berbagai transaksi, baik transaksi yang mengenai hak-hak kebendaan, hak-hak tanah
atau mengenai jasa-jasa”.32
Disamping itu juga menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud hukum
perjanjian adat ialah “ Hukum adat yang meliputi uraian tentang hukum perhitungan,
termasuk soal-soal transaksi yang menyangkut tanah, sepanjang hal itu ada hubungan
dengan masalah perjanjian yang dibuat menurut hukum adat”.33
Menurut Ter Haar Bzn dalam buku Soejono Soekanto, sebagaimana salah satu
bentuk perjanjian yang ada di dalam adat yaitu perjanjian bagi hasil ternak. bagi hasil
ternak bagi hasil ternak (delwining) merupakan suatu proses dimana pemilik ternak
menyerahkan ternaknya kepada pihak lain untuk dipelihara dan membagi dua hasil ternak
atau peningkatan nilai dari hewan itu pokok perjanjian dalam masyarakat hukum adat,
adalah sebagai berikut 34
32
Hilman Hadikusuma, 1992, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, Halaman 144.
33
Ibid, Halaman 150.
34
Soejono Soekanto, Op Cit, Halaman 20.
2. Perjanjian Bagi Hasil Ternak Menurut Hukum Adat
a) Pengertin Perjanjian Bagi Hasil Ternak Menurut Hukum Adat
Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud perjanjian dalam pengertian
hukum adat yaitu: “Hubungan hukum antara 2 (dua) pihak yang terjadi karena adanya
perbuatan atau kesepakatan dalam bentukpersetujuan atau perjanjian karena adanya
sesuatu kepentingan. Jadi adanya perikatan karena kesepakatan.”35
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dikatakan dalam Pasal 17 ayat (1):
“Peternakan atas dasar bagi hasil ialah penyerahan ternak sebagai amanat, yang
dititipkan oleh pemilik ternak kepada orang lain, untuk dipelihara baik-baik,
diternakkan, dengan perjanjian bahwa dalam waktu tertentu titipan tersebut
dibayar kembali berupa ternak keturunannya atau dalam bentuk lain yang
disetujui oleh kedua pihak”.
Perjanjian bagi hasil ternak adalah persetujuan yang diadakan anatara pihak
pemilik ternak dengan pihak pemelihara ternak dengan sistem bagi hasil.36
Ternak
yang dimaksud adalah seperti kerbau, sapi, kambing, unggas, tempat perikanan dan
bibitnya, disediakan oleh pemiliknya dan diserahkan pemeliharaannya kepada pekerja
sebgai penggarap atau pemeliharaannya, kemudian dari keuntungan dibagi antara dua
pihak.
Menurut pendapat Soerojo Wignjodipoero bahwa,
“Memberikan kesempatan yang tidak memilik ternak dengan perjanjian hasil
penjualan atau kembang biak ternak akan dibagi; disini pemilik ternak
memberikan pertolongan kepada warga persekutuannya yang ahli dalam
memelihara ternak tetapi tidak mempunyai ternak memperoleh perkerjaan yang
sesuai dengan bakatnya sedangkan warga persekutuan tersebut member
35
Hilman Hadikusuma, Op,Cit, Halaman 45.
36
Ibid, Halaman 156.
bantuan pemilik ternak bersangkutan yang tidak paham akan cara pemeliharaan
ternak untuk memeliharakan ternak.”37
Milik ternak terkadang-kadang terikat pada aturan-aturan tersendiri mengenai
menyemblihnya dan memindahkan tangannya, tapi tidak sedemikian sehingga hak atas
ternak itu tidak dapat disebut hak milik. Di beberapa daerah misalnya di daerah Batak,
terdapatlah karena adanya paruh hasil pelihara (deelwinning)38
Dengan adanya janji, pada para pihak sudah tercapai suatu kesepakatan yang
merupakan landasan terjadinya perjanjian. Kesempakatan dalam perjanjian adat
merupakan suatu syarat yang mutlak dalam pelaksanaan perjanjian, dan dan dalam hal
ini tidak ada unsur-unsur ketepaksaan dari pihak lain. Untuk membuat suatu perjanjian
apabila ada perjanjian yang dibuat karena unsure keterpaksaan maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan.
b) Bentuk Perjanjian Bagi Hasil
Menurut hukum adat, perjanjian bagi hasil dapat terjadi diantara dua pihak
yang melakukan kesepakatan untuk saling menguntungkan atau karena sifatnya maka
dianggap adanya perjanjian. Sedangkan bantuan kepala persekutuan hukum tidak
merupakan syarat sahnya perjanjian terutama perjanjian bagi hasil.
Untuk sahnya suatu perajanjian maka tidak perlu ada perkisaran atau peralihan
dari pihak kedua, dimana perbuatan itu biasanya jarang dilakukan secara tertulis hanya
berdasarkan atas rasa saling tolong menolong. Imam Sudiyat menyatakan tentang
bentuk perjanjian bagi hasil sebgai berikut
37
Soerojo Wignjodipoero, 1983, Kedudukan Serta Perkembangan hukum adat Setelah
Kemerdekaan, Gunung Agung, Jakarta, Halaman 53.
38
Ter Haar, 1983, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, Halaman
139.
a) Bantuan Kepala persekutuan hukum tidak merupakan syarat untuk sahnya;
untuk berlakunya tidak perlu ada perkisaran/perlihan yang harus terang; jadi
transaksi itu terlaksana di antara kedua pihak saja.
b) Jarang dibuat akte dari perbuatan hukum itu.
c) Perjanjian dapat dibuat oleh kedua belah pihak.
d) Hak pertuanan tidak berlaku terhadap perbuatan hukum itu; jadi tidak ada
pembatasan tentang siapa yang dapat menjadi pembagi hasil.39
c) Isi Perjanjian Bagi Hasil Pemeliharaan Ternak
Dalam bagi hasil ternak yang diperoleh si pemilik dan si pemelihara ternak,
Soerjono Wignjodipoero menyatakan bahwa :
“Khusus di Tapanuli terdapat apa yang disebut milik sebagian (delbezit) dari
pada ternak, misalnya memiliki ¼ kerbau. Ini ini disebabkan karean daerah
tersebut ada kebiasaan ternak disuruh memelihara oleh orang lain dengan
perjanjian kelak apabila sudah dijual hasil penjualannya akan dibagi. Kalau
imbang pembagian itu 1:3, maka ini berarti ada pihak yang memiliki ¼ ternak
dan ada pihak yang memiliki ¾ ternak. Perlu pula dikemukakan bahwa pemilik
ternak(kerbau, sapi, kambing, atau ayam) kadang-kadang membiarkan
ternaknya dipelihara oleh orang lain dengan suatu perjanjian, bahwa yang
memelihara itu akan berhak atas sebagian dari pada anak-anak ternak yang
nantinya akan dilahirkan.40
d) Pelaksanaan Bagi Hasil Pemeliharaan Ternak
Dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pemeliharaan ternak berdasarkan adat
kebiasaan, menyangkut transaksi dengan tujuan membagi anak dan untuk membagi
keuntungan. Induk atau modal dari ternak yang dipelihara dalam pelaksanaan bagi
hasil tetap menjadi kepunyaan sipemilik semula.
Pada umumnya pelaksanaan bagi hasil pemeliharaan ternak di kalangan
masyarakat itu dilaksanakan berdasarkan suatu perjanjian dimana di dalamnya terdapat
kesepakatan bersama antara kedua pihak, didorong rasa kekeluargaan dan rasa tolong
menolong. Dalam perjanjian tersebut beralih menjadi pemilik ternak atau pemelihara.
39
Iman Sudiayat , 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, Halaman 62.
40
Soerojo Wignjodipoero, Loc, Cit.
e) Resiko Yang Harus Ditanggung Jika Ternak Mati Atau Hilang
Mengenai resiko yang harus ditanggung oleh si pemilik dan si pemelihara
apabila ternak mati atau hilang ataupun tidak dipelihara dengan baik, Soerojo
Wignjodipoero mengatakan bahwa:
“Pemeliharaan ternak wajib menanggung sendiri ongkos-ongkos
pemeliharaannya: ini sebagian dari anak-anak ternak yang kemudian lahir.
Apabila pemelihara tidak melakuan tugasnya (memelihara) sebagaimana
mestinya, maka pemilik ternak berhak mengambil kembali ternaknya, tanpa
diwajibkan memberikan ganti rugi kepada si pemelihara.”41
Menurut Hilman Hadikusuma berpendapat bahwa:
“Apabila dalam ikatan perjanjian ini kemudian ternak itu mati bukan karena
kelalaian si pemilik numpang maka kematian ternak itu tidak berakibat baginya
mengganti kerugian kepada pemilik ternak tetapi jika kematian ternak itu
karena kelalaian pemilik numpang yang menggembalanya, misalnya mati
karena termakan racun, maka ada kemungkinan bagi si pemiliknya. Segala
kemungkinan yang berakibat timbulnya tuntutan ganti kerugian oleh salah satu
pihak yang harus dilihat dari latar belakang perjanjian itu, apakah perjanjian itu
bersifat bantu membantu antar orang yang mampu terhadap orang yang tidak
mampu atau kah perjanjian itu bersifat komersil semata-mata bertujuan
mencari laba. Dalam hal yang terkhir itu maka tuntutan ganti kerugian oleh
pihak yang dirugikan berlaku, walaupun dalam suasana masyarakat desa cara
penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan damai dan tidak bersifat tunai”.42
f) Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Pemeliharaan Ternak
Mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil ternak pada umumnya tergantung
kepada kemampuan pemilik dalam menanggung semua biaya di dalam pemeliharaan,
apakah ia masih ingin memakai penggaduh atau tidak, yang tidak terikat oleh jangka
waktu berapa lama para penggaduh tersebut harus bekerja, melainkan hanya terikat
oleh beberapa lama memelihara ternaknya.
Selanjutnya dikatakan bahwa ternak sebagai titipan itu tidak boleh kurang dari
lima tahun, untuk ternak besar, bagi ternak hasil kecil jangka waktunya dapat pendek.
41
Ibid , Halaman 219. 42
Hilman Hadikusuma, 1982, Hukum Perjanjian adat, Alumni, Bandung, Halaman 30.
Hasil ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dikatakan dalam Pasal
17 ayat (2) yaitu:
Waktu tertentu termasuk pada Ayat (1) tidk boleh kurang dari 5 (lima) tahun,
dalam hal yang dipeternakan atas dasar bagi hasil itu ialah ternak besar. Bagi
ternak kecil jangka waktunya dapat diperpendek.
Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa perjanjian bagi hasil ternak berlaku
antara pemilik kerbau dengan para pengurus atau pemelihara di mana perhitungan bagi
hasilnya dilakukan pada setiap waktu dilakukan mengandang tahunan dengan
menghitung beberapa jumlah anaknya.43
C. Sistem Pemeliharaan Ternak
Pemeliharaan ternak dilakukan warga masyarakat dengan berbagai cara, ada yang
dilakukan dengan system kandang dan pengembalaan, dan masih ada pula yang
menggunakan cara sederhana, seperti pemeliharaan “kerbau lepas” di padang ilalang
semak belukar dan rawa-rawa dengan sistem kandang tahunan (Lampung: kibau
padangan). Setiap tahun pemelihara kerbau liar itu menggiring kerbau-kerbaunya ke
dalam kandang untuk diberi tanda milik dengan cara member tanda cap dengan besi
bakar terhadap anak-anak kerbau yang sudah besa dan melakukan tusuk hidung
(Lampung: jarung) . Hubungan kerja antara pemilik kerbau dan pemelihara
(penggembala) berlaku atas dasar bagi hasil, atau bagi anak, atau bagi laba dari penjualan
ternak itu.44
Dalam sistem pemeliharaan ternak yang sederhana, yang ada di berbagai daerah,
seperti pemeliharaan ternak “kerbau lepas” (Lampung: kibau padangan), di mana
43
Ibid, Halaman 32.
44
R. Soerojo Wignjodipoero, Op Cit, Halaman 10.
kerbau-kerbau itu tidak digembala tetapi dilepas bebas di padang ilalang rawa-rawa
terbuka dengan system “kandang tahunan”. Pada waktu pengandangan tahunan itu
pemilik kerbau bersama pembantu-pembantunya melakukan pemberian “tanda milik”
terhadap anak-anak kerbau yang sudah besar dengan “cap besi” yang dipanaskan pada
badan-badan kerbau itu, dan atau melakukan “ngejarung” yaitu menusuk lubang hidung
kerbau dan diberi tali45
.
Untuk pekerjaan mengawasi, menggiring ke kandang dan member tanda milik
tersebut, para pemilik kerbau member balas jasa kepada para pembantunya dengan
sejumlah uang sebagai tanda terima kasih atau denag sistem bagi hasil (bagi ternak) bagi
para tenaga pembantu yang tetap. Begitu pula apabila ada kerbau yang disembelih untuk
dijual dagingnya diadakan pembagian labanya.
Sistem pemberian tanda terima kasih tersebut berlaku juga dalam pemeliharaan
ternak (kerbau, sapi, kambing, dan unggas) yang digembala secara teratur, oleh si
pemilik dan para karyawannya, berupa bagian hasil sewa, jika kerbau atau sapi itu
disewa untuk membajak sawah, atau membalik tanah ladang, atau sebagai
penarik pedati; atau bagian telur jika ternak ayam atau itik dan lainnya, atau
dengan sistem bagi hasil, maro atau mertelu dalam kerja sama memelihara ternak
kambing dan lainnya. 46
Usaha pemeliharaan ikan, ternak dan unggas, cukup dilakukan oleh anggota
keluarga atau menggunakan orang lain dengan perjanjian kerja bagi hasil yang saling
menguntungkan, atau dengan sistem balas jasa.47
Suatu perjanjian bagi hasil ternak, adalah persetujuan yang diadakan antara pihak
pemilik ternak atau pemilik usaha perikanan (tambak, kolam, tebat) di perairan darat,
dengan pihak penggarap, pemelihara, penggembala atau penangkap ikan, dengan sistem
45
Ibid, Halaman 75.
46
Ibid.
47
Ibid, Halaman 45.
bagi hasil. Ternak yang dimaksud ialah seperti ternak kerbau, sapi, kambing, unggas,
tempat peikanan dan bibitnya, disediakan oleh pemiliknya dan diserahkan
pemeliharaannya kepada pekerja sebagai penggarap atau pemeliharanya, kemudian dari
keuntungan dibagi antara dua pihak.
Sistem bagi hasil ternak menurut hukum adat berlaku dengan cara membagi anak,
yang disebut “maro anak” (bagi dua anak) atau “mertelu anak” (bagi 3 (tiga) anak) atau
“maro bati” (bagi laba dari penjualan ternak), sedangkan ternak bibitnya tetap. Begitu
pula dalam bagi hasil ternak unggas, dengan bagi hasil anak ayam atau jika ayam ras,
dibagi telurnya, atau bagi hasil penjualan telurnya, setelah dikurangi biaya pemeliharaan
lainnya. Demikian juga dalam bagi hasil dalam usaha peikanan perairan darat (kolam,
tebat, maharo, lebak dan lainnya).
Terjadinya bagi hasil peliharan adalah dikarenakan pemilik ternak menyerahkan
atau menitipkan ternaknya, misalnya seekor kerbau unutuk diurus dan dipelihara oleh
seorang penggembala. Apabila kelak kerbau itu menghasilkan anak maka anak kerbau itu
jika seekor saja dimiliki dua orang dan jika dua ekor maka masing-masing memiliki
seekor, sedangkan kerbau indukan nya tetap menjadi milik dari pemilik ternak itu.48
48
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., Halaman. 30.
BAB III
FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI DASAR TERJADINYA PERJANJIAN
PAROAN (BAGI HASIL PEMELIHARAAN KERBAU) MENURUT HUKUM
ADAT LEMBAK DI KECAMATAN TALANG EMPAT KABUPATEN
BENGKULU TENGAH
A. Pemilik Kerbau Tidak Mempunyai Waktu Serta Tempat Untuk Memelihara Kerbau
Berdasarkan hasil penelitian dibeberapa desa yaitu Desa Lagan, Desa Taba Lagan,
Desa Lagan Bungin Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah yang mayoritas
60% penduduk setempat adalah masyarakat Lembak. Masyarakat Suku Lembak atau juga
yang dikenal dengan Suku Lembak yang merupakan bagian dari masyarakat Kabupaten
Bengkulu Tengah tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah.
Pada umumnya pelaksanaan bagi hasil pemeliharaan kerbau pada masyarakat adat
Lembak dilaksanakan berdasarkan suatu perjanjian dimana di dalamnya terdapat
kesepakatan bersama antara kedua pihak, didorong rasa kekeluargaan dan rasa tolong
menolong. Dalam perjanjian tersebut beralih menjadi pemilik kerbau atau pemelihara
kerbau.
Berdasarkan hasil penelitian penulis di Kecamatan Talang Empat Kabupaten
Bengkulu Tengah mayoritas di tempati oleh masyarakat adat Lembak sebagaimana dapat
dilihat pada tabel berikut:
No Suku Jumlah berdasarkan persentase
1 Lembak 60 %
2 Rejang 20%
3 Jawa 10 %
4 Serawai 10%
Sumber: Kantor Camat Talang Empat tahun 2013
Berdasarakan hasil penelitian penulis di Kecamatan Talang Empat Kabupaten
Bengkulu Tengah adapun jumlah ternak kerbau secara keseluruhan nya 260 ekor kerbau,
sedangkan yang kerabu yang di Paroan sebanyak 156 ekor kerbau.
Perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut hukum adat Lembak di
Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah pada saat ini masih terus
berlangsung:
Berdasarkan hasil wawancara dengan Saukani, yang melatarbelakangi terjadinya
perjanjian paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) ini dikarenakan pemilik kerbau tidak
mempunyai waktu serta tempat untuk memelihara kerbau tersebut sehingga pemilik lebih
memilih menitipkan kerbau nya kepada peternak kerbau dari pada kerbau yang ia miliki
tidak terurus. Terkadang peternak kerbau tersebut tidak memiliki kerbau tetapi
mempunyai keahlian dalam memelihara kerbau 49
.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pemilik kerbau Rahmat Hidayat,
menjelaskan penitipan pemeliharaan kerbau dengan sitem bagi hasil merupakan salah satu
jalan tujuan untuk menjaga perkembangbiakan kerbau karena terkadang pemilki kerbau
tidak mempunyai waktu untuk memelihara kerbau tersebut dengan baik. Sehingga pemilik
kerbau lebih memilih menipitkan pemeliharaan kerbau tersebut kepada orang kepercayaan
agar kerbau tersebut terawat dengan baik. Kerbau yang dititipkan kepada pemelihara
kerbau terkadangan kerbau jantan saja atau kerbau betina saja, namun tidak menutup
kemungkinan sepasang kebau jantan dan kebau betina tergantung modal pemilik kerbau.
Dalam pembagian hasil ternak tergantung pada kesapakatan kami berdua asalkan
pembagian hasil pemeliharan kerbau tersebut sama rata dan tidak ada yang dirugikan
49
Hasil wawancara penulis dengan Kepala Desa Lagan di Talang Empat Kabupaten Bengkulu
tengah, Pada 26 November 2013.
dalam perjanjian tersebut. perjanjian bagi hasil pemeliharaan kerbau menurut hukum adat
Lembak dikarenakan pemilik kerbau dan pemeliharan kerbau atau peternak kerbau
mempunyai kesamaan keturunan orang Lembak, oleh sebab itu mereka memiliki rasa
saling percaya antar pemilik kerbau dan pemelihara kerbau. 50
Perjanjian yang dilakukan pemilik kerbau hanya dilakukan secara lisan kepada
pemelihara ternak, karena pemiliki kerbau percaya kerbaunya dititipakan kepada
pemelihara ternak.
B. Meningkatkan Perekonomian Pemelihara Kerbau Dan Pemilik Kerbau Tidak
Memiliki Keahlian Memelihara Kerbau
Selanjutnya hasil wawacara penulis pemilik kerbau dengan Akbar, menjelaskan,
bahwa selama menjadi pemeliharan kerbau titipan orang pada umumnya pemilik kerbau
melakukan penitipan kerbau karena faktor pemilik kerbau tidak memiliki waktu untuk
memelihara kerbau dan perkarangan atau lahan untuk memelihara kerbau tersebut. oleh
sebab itu mereka pemilik kerbau lebih memilih menitipkan pada pemeliharan kerbau atau
peternak kerbau. Pemeliharan kerbau titipan pemilik kerbau dilakukan dengan baik, setiap
harinya pemelihara kerbau pada pagi harinya kerbau dilepaskan untuk diberikan makan,
dalam seminggu kerbau dimandikan satu atau dua kali itu tergantung cuacanya dan pada
siang harinya kerbau diberikan makan lagi terkadang kerbau hanya dilepaskan pada
perkarangan atau di kebun petani untuk memakan rumput-rumput liar dengan diawasi agar
tidak memakan tanaman yang dilarang pemilik kebun. Pada sore hari nya kerbau di
gembala untuk di masukan kekandang lagi. Terkadang yang menjadi tujuan pemilik
50
Hasil wawancara penulis dengan pemilik kerbau Desa Lagan di Talang Empat Kabupaten
Bengkulu tengah, Pada 26 November 2013.
menitipkan kerbau ini ingin meningkatkan perekonomian pemelihara kerbau dengan cara
sistem bagi hasil.51
Pemeliharan kerbau yang baik merupakan salah satu unsur dari rasa saling percaya
antara pemilik kerbau deng pemelihara kerbau. Sehingga perjanjian paroan (bagi hasil
pemeliharan kerbau) menurut hukum adat Lembak bisa terlaksana dengan baik.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pemiliki kerbau Andi menjelaskan,
penitipan pemeliharaan kerbau ke pada pemelihara kerbau disebabkan tidak memiliki
waktu merawat kerbau tersebut, sehingga lebih memilih menitipkan kerbau untuk
dipelihara kepada orang yang telah dipercaya untuk menitipkan kerbaunya. Sebab apabila
pemeliharaan penitipan kerbau tersebut tidak dengan orang yang kita percaya bisa
mengakibatkan kerugian bagi pemilik kerbau. Misalnya kerbau pemilik bisa sakit
terkadang smapai mati. Apabila kerbau sakit merupakan tanggung jawab pemelihara.
Tujuan pemilik kerbau memiliki kerbau sebagai penunjang perekonomian walaupun gaji
yang diterima dikantor cukup. Penjualan kerbau tergantung keperluan para pemilik dan
pemelihara kerbau jadi kapan waktu pembagian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau)
tidak dapat ditentukan. 52
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pemelihara kerbau dengan Oby
Riantori, menjelaskan bahwa yang pada umumnya para pemilik kerbau melakukan
penitipan kerbau karena tidak keahlian dalam memelihara kerbau, sebab dalam memlihara
kerbau ini tidak gampang bisa berakibat kematian dalam pemeliharan kerbau. Terdapat
berbagai cara pemeliharaan kerbau, mulai dari pemeliharaan kerbau sebagai ternak multi-
51
Hasil wawancara penulis dengan pemelihara kerbau Desa Lagan di Talang Empat Kabupaten
Bengkulu tengah, Pada 26 November 2013. 52
Hasil wawancara penulis dengan pemilik kerbau kerbau Desa Taba Lagan di Talang Empat
Kabupaten Bengkulu tengah, Pada 26 November 2013.
guna yang dipelihara di halaman belakang rumah sampai pemeliharaan kerbau sebagai
penghasil susu dengan sistem peternakan modern. 53
Oby Riantori menambahkan dalam pemeliharaan kerbau harus dilaksanakan dengan
baik misalnya dimulai dari kandang kerbau harus dapat melindungi kerbau dari stres panas
terutama cahaya langsung dari sinar matahari, hujan lebat dan cuaca dingin. Kandang juga
harus dilengkapi sistem ventilasi yang memadai.Pada setiap kandang harus disediakan
ruang yang cukup untuk masing-masing kerbau. Halaman luar kandang sebaiknya tertutup
rumput atau beton agar tidak menjadi kubangan yang tidak sehat di musim hujan. Kerbau
mungkin terlihat gelisah di lingkungan yang panas dan lembab. Kerbau berkulit gelap dan
memiliki sedikit kelenjar keringat sehingga relatif tergantung pada air untuk menyejukkan
badannya. Kerbau yang terlindung dari cahaya matahari langsung bisa hidup dengan baik
dalam cuaca panas dan lembab karena mereka mampu melepaskan panas melalui saluran
pernapasan. Kerbau dengan tingkat produksi daging atau susu yang tinggi memerlukan
asupan pakan yang banyak sehingga menyebabkan produksi panas metabolisme yang lebih
tinggi. Dengan demikian, kerbau dengan produktivitas tinggi kurang mengntungkan
dibandingkan dengan kerbau dengan produktivitas rendah karena memerlukan lebih
banyak fasilitas penyejuk. 54
Selanjutnya hasil wawancara dengan pemelihara ternak Gunawan, menjelaskan
terkadang perjanjian pemeliharaan kerbau ini menurut hukum adat Lembak di Kecamatan
Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah dilatarbelakangi misalnya yang pemilik kerbau
53
Hasil wawancara penulis dengan pemelihara kerbau Desa Taba Lagan di Talang Empat
Kabupaten Bengkulu tengah, Pada 27 November 2013.
54
Hasil wawancara penulis dengan pemelihara kerbau kerbau Desa Taba Lagan di Talang Empat
Kabupaten Bengkulu tengah, Pada 27 November 2013
tidak memiliki keahlian sedangkan orang yg memiliki keahlian memlihara kerbau tidak
memiliki kerbau. Dengan demikian penitipan pemeliharan kerbau ini dilakukan karena
pemilik kerbau percaya kepada pemelihara kerbau sebab pemelihara kerbau sudah
berpengalaman dan mempunyai keahlian.55
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di atas dapat di simpulkan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan
kerbau) Menurut Hukum Adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu
Tengah yaitu:
a) Pemilki kerbau tidak mempunyai waktu untuk memelihara kerbau tersebut dengan
baik.
b) Pemilik kerbau tidak memiliki perkarangan atau lahan untuk memelihara kerbau
tersebut.
c) Pemilik kerbau tidak memiliki keahlian dalam memelihara kerbau, sebab dalam
memlihara kerbau ini tidak gampang bisa berakibat kematian dalam pemeliharan
kerbau.
d) Pemilik kerbau ingin membantu meningkatkan perekonomian pemelihara kerbau
dengan cara sistem bagi hasil.
e) Pemelihara kerbau tidak memiliki kerbau sehingga mau menerima kerbau yang
dititipkan pemilik kerbau
Penyebabkan terjadinya perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut
Hukum Adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah,
55
Hasil wawancara penulis dengan pemelihara kerbau kerbau Desa Lagan Bungin di Talang Empat
Kabupaten engkulu tengah, Pada 27 November 2013
dikarenakan pemilik kerbau sengaja menitipkan kerbaunya kepada peternak kerbau untuk
dipelihara dengan baik atas dasar rasa kebersamaan.
Penitipan kerbau seperti ini dilakukan dengan sengaja, menurut Hilman
Hadikusuma yang di maksud dengan sengaja adalah didasarkan pada adanya
pembicaraan, perundingan dan penyerahan barang antara dua pihak.56
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan informan tentang faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perjanjian Paroan (bagi hasil Pemeliharaan kerbau) menurut
Hukum Adat Lembak di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah sesuai
dengan teori Tolib Setiady, bahwa terjadinya bagi hasil ternak adalah dikarenakan atas
dasar rasa kebersamaan, artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama dimana
kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama. Hubungan hukum antara
anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya didasarkan oleh rasa kebersamaan,
kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong,57
seperti perjanjian bagi hasil
pemeliharaan kerbau.
Perjanjian paroan (bagi hasil pemeliharaan Kerbau) menurut hukum adat Lembak
di Kecamatan Talang empat Kabupaten Bengkulu Tengah. Sesuai dengan Pasal 17 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu:
“Peternakan atas dasar bagi hasil ialah penyerahan ternak sebagai amanat, yang
dititipkan oleh pemilik ternak kepada orang lain, untuk dipelihara baik-baik,
diternakkan, dengan perjanjian bahwa dalam waktu tertentu titipan tersebut
dibayar kembali berupa ternak keturunannya atau dalam bentuk lain yang
disetujui oleh kedua pihak”.
56
Hilman Hadikusuma, Op,Cit, Halaman. 94.
57
Tolib Setiady, Op. Cit, Halaman. 30.
Dari penjelasan Pasal di atas dapat dipahami bahwa perjanjian bagi hasil
pemeliharaan ternak yang dilaksanakan mereka menurut ketentuan-ketentuan hukum
adat setempat, yang di mana perjanjian tersebut dibuat berdasarkan saling percaya
antara pemilik dengan pemelihara ternak sejalan dengan undang-undang Nomor 6
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan
top related