· web viewsejarah, ideologi, dan karakter gerakan islam politik di indonesia 3.1 pendahuluan...
Post on 26-Mar-2018
237 Views
Preview:
TRANSCRIPT
121
BAB III
SEJARAH, IDEOLOGI, DAN KARAKTER GERAKAN ISLAM POLITIK DI
INDONESIA
3.1 Pendahuluan
Gerakan Islam politik di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3: 1) gerakan
Islam revolusioner; 2) Gerakan Pemurnian Islam; dan 3) Gerakan Dakwah Khilafah
Islamiyah. Pembagian ini merujuk teori Dekmejian yang membaginya menjadi 4,
yang salah satunya adalah Gerakan Islam Syiah Revolusioner, gerakan syiah di
Indonesia dewasa ini tidak berkembang. Gerakan Islam revolusioner berupaya
memperjuangkan berdirinya khilafah Islamiyah/ pemerintahan Islam dengan cara
jihad dan kekerasan, gerakan serupa ini dilakukan oleh MMI di Yogyakarta dan JAT
di Surakarta. Adapun gerakan pemurnian Islam terdiri dari 2 kelompok, yang pertama
melakukan gerakan yang bersifat kritis, radikal, dan kasar terhadap masyarakat dan
pemerintah yang dipandang menyimpang dari aturan syariat Islam, gerakan ini
dilakukan oleh FPI, FPIS, LUIS, Laskar Jihad, dan GSM. Kelompok gerakan
pemurnian Islam yang kedua, melakukan kegiatan dakwah pemurnian Islam dengan
cara dakwah dan ceramah-ceramah walaupun kritis tetapi tidak menggunakan
kekerasan, misal sebagian gerakan Salafy dan MTA. Sedangkan gerakan Dakwah
khilafah Islamiyah yang dimaksud di sini adalah gerakan Islam politik yang
122
melakukan dakwah secara bertahap untuk melakukan revolusi pemikiran ke arah
berdirinya khilafah Islamiyah, yaitu dari kelompok Hizbut Tahrir Indonesia.
GIP Yogyakarta dan Surakarta yang dijadikan objek penelitian ini dibatasi
menjadi 3: 1) MMI Yogyakarta; 2) JAT Surakarta; dan 3) GSM1 Surakarta. GSM
adalah gerakan Laskar Jihad, FPIS, dan LUIS. Kalaupun ditambahkan uraian tentang
HTI dan MTA, dimaksudkan untuk memberikan penjelasan pada objek primer di
atas, karena gerakan–gerakan itu sama-sama mengangkat ideologi pemurnian dan
penegakan syariat Islam, tetapi ada sedikit perbedaan visinya.
3.2 Sejarah dan Ideologi Gerakan Islam Politik di Indonesia
Secara keseluruhan Dekmejian membuat tipologi tentang gerakan Islam di dunia
ini menjadi 4 kategori: 1) Islam Pragmatik bertahap (Gradualist-Pragmatic); 2) Islam
Syi’ah Revolusioner (Revolutionary Shi’ite); 3) Islam Sunni Revolusioner
(Revolutionary Sunni); dan 4) Dakwah Islam Murni (Messianic-Puritanical)
(Dekmejian, 1995: 57-60).
Dekmejian mampu menguraikan secara detil tentang gerakan Islam sejak Nabi
Muhammad saw. sampai dengan masa Revolusi Islam Iran, tetapi sisi lain, buku ini
1 1 GSM singkatan dari Gerakan Salafy Militan, istilah ini dipakai oleh M. Syafii Anwar (Disektur Eksekutif ICIP (International Center for Islam and Pluralism), pada artikel “Memetakan Tipologi Politik dan Anatomi Gerakan Salafy Militan di Indonesia”. 2007. Pada Pengantar Buku Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi. hal. xii-xxxvii.
123
tidak menjelaskan tentang pengaruh gerakan Islam di Timur Tengah terhadap dunia
Islam, apalagi Indonesia. Padahal Gerakan Islam Politik di Indonesia merupakan.
Pada hakikatnya agama Islam adalah satu Al-Islamu kullu laa yatajaza’ artinya,
‘Islam adalah tunggal dan tidak dapat dipecah-pecah’. Tetapi pada kenyataannya, di
antara pemeluknya menunjukkan adanya ekspresi dan aktualisasi yang beragam.
Dalam perkembangan Islam yang mutakhir, keragaman Islam itu ditunjukkan oleh
dinamika dan ekspresi Islam kontemporer dengan kebangkitan Islam. Di pihak lain,
ada pula fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul secara meluas di
Indonesia, ialah penerapan syariat Islam secara formal dalam kehidupan negara
(Nashir, 2006: 167). Di samping itu, di Indonesia juga ada gerakan Islam politik yang
memperjuangkan terealisasinya pemurnian Islam dengan penegakan syariat Islam
dalam pelbagai kehidupan.
3.2.1. Sejarah Gerakan Islam Politik Indonesia
Penyebaran aliran Wahabi ke wilayah Nusantara dibawa oleh para haji yang baru
pulang menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci. Salah satunya melalui kaum
Padri di Minangkabau yang dikembangkan tiga tokoh.Guru Besar Ilmu Sejarah
Pemikiran Politik Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, Abd A’la,
dalam pidato ilmiahnya mengungkapkan, ketiga tokoh yang tertarik dengan ajaran
Wahabi itu adalah Haji Miskin dari Lu(h)ak Agam, Haji Abdur Rahman dari
Piobang, bagian dari Lu(h)ak Limah Puluh Kota, dan Haji Muhammad Arief dari
Sumanik, Batusangkar. ''Sekembali dari Tanah Suci antara tahun 1803 dan 1804, Haji
Miskin membawa ide bahwa perubahan total dalam masyarakat Minangkabau yang
124
(dalam anggapannya) tidak sesuai dengan ajaran Alquran harus dilakukan melalui
kekuatan sebagaimana dilakukan kaum Wahabi di Arab,'' tutur Prof A'la. Secara
prinsip, kata Prof A'la, ide itu juga diamini oleh dua Haji yang lain. Sejak saat itu,
gerakan kaum Padri mulai berusaha menancapkan pengaruhnya di berbagai daerah
Minangkabau. Menurut dia, dalam upaya melakukan perubahan radikal, gagasan-
gagasan tiga Haji itu mendapat tantangan keras dari guru-guru Tarekat Syattariyah.
Usaha ketiga tokoh itu dan tidak dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan.
Menurut Prof Abd A'la, Haji Miskin misalnya, yang berasal dari Empat Angkat,
Agam, tidak mampu meyakinkan Tuanku Nan Tuo, tokoh agama yang dulu menjadi
teman seperdagangan sebelum berangkat ke Tanah Suci mengenai pola keagamaan
yang akan dikembangkan. ''Karena itu ia pergi ke Enam Kota, dan tinggal di Pandai
Sikat. Di sini ia tidak begitu berhasil melakukan pembaharuan, dan terpaksa angkat
kaki menuju Kota Lawas. Setelah mengalami beberapa kesulitan, akhirnya Haji
Miskin bersama Kaum Padri berhasil mengenalkan pembaharuan mereka,'' papar
A’la. Setelah itu, seluruh Enam Kota termasuk Kota Lawas dan Pandai Sikat menjadi
benteng kaum Padri, setelah sebelumnya mereka melakukan pembakaran terhadap
balai di Kota Lawas. Menurut Prof Abd A'la, pada awalnya gerakan Padri merupakan
gerakan sporadis yang ada di berbagai tempat di Minangkabau. Dengan berlalunya
waktu, para pemukanya saling berhubungan satu dengan yang lain sehingga gerakan
Padri menjadi satu komunitas yang relatif terorganisir. Kekuatan kaum Padri mulai
menemukan pijakan yang kokoh ketika pada 1811. Saat itu, Haji Miskin sampai di
Bukit Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh, pemuka agama yang juga
125
bervisi sama. Di sana mereka sepakat merencanakan pembaharuan masyarakat secara
total. Mereka didukung oleh enam pemuka lain yang kemudian disebut Harimau Nan
Selapan (karena jumlahnya delapan orang). Mereka adalah Tuanku di Kubu Sanang,
Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di
Koto Ambalan, dan Tuanku di LubukAur. Selanjutnya, pada tahun 1813 Tuanku
Lintau ikut bergabung dan menjadi penganut fanatik ajaran-ajaran kaum
Padri.Sejatinya jauh sebelum itu, sekitar tahun 1807, Tuanku Muda dari Alahan
Panjang dan nantinya disebut Tuanku Imam Bonjol ikut memperkuat posisi kaum
Padri. Melalui tangan dingin para pemuka itu, kaum Padri sebagaimana akan
dijelaskan nanti berkembang menjadi gerakan yang menyebar di alam Minangkabau
dengan segala karakteristiknya dan nantinya menguasai seluruh nagari di sana.
''Sejarah mencatat, kaum Padri tidak hanya melakukan pembaharuan keislaman di
daerah Minangkabau semata. Kelompok ini juga melakukan islamisasi ke Tapanuli
Selatan yang terletak di utara alam Minangkabau dan daerah-daerah sekitarnya,'' ujar
Prof Abd A'la. Setelah itu, paham Wahabi masih berkembang pesat di Indonesia.
Pengikut manhaj dakwah Muhammad bin Abdul Wahab sangat sangat pesat
pekembangannya. Di era prakemerdekaan dan pascakemerdekkaan, pemikiran
Wahabi banyak memengaruhi pemikiran Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad.
Namun demikian, kehadiran Wahabi setelah tahun 90-an, semakin merebak dan
fenomenal dengan aliran Wahabi terbaru yang menamakan diri sebagai jamaah
salafiyah. Di Indonesia, gerakan salafi terpecah ke dalam beberapa kelompok.
Kelompok-kelompok Salafiyah Sejatinya, para pengikut Muhammad bin Abdul
126
Wahab menamakan diri mereka dengan Salafiyun. Namun, para penentang dan lawan
dari gerakan ini menyebutnya sebagai Wahabi. Menurut para pengikut Abdul Wahab,
sebutan Wahabiyun diberikan oleh kaum orientalis agar orang menjauh
(http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&id=56195&Itemid=366
20613).
Sesudah gerakan Padri, di Indonesia ada gerakan Islam yang revolusioner, yaitu
gerakan Islam politik di Indonesia yang berideologi mendirikan Negara Islam.
Gerakan ini muncul sejak diproklamasikannya NII (Negara Islam Indonesia) oleh DI/
TII. Dalam lintasan sejarah Indonesia, sebutan NII tidak dapat dilepaskan dari
embrionya, yaitu Darul Islam, dan juga tokoh utamanya, yaitu Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo. Sebutan Darul Islam, dalam khazanah politik Indonesia dipakai untuk
menunjuk pada suatu gerakan yang terjadi sesudah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia tahun 1945, gerakan ini dimaksudkan untuk merealisasikan cita-
cita Negara Islam Indonesia, demikian dikatakan Van Dijk (1987:1).
Pada tahun 1980 sisa-sisa perjuangan DI/ TII Kartosuwiryo dibagi menjadi 7
faksi wilayah: 1) Wilayah Bogor, Serang, Purwakarta, dan Subang; 2) Cianjur,
Purwokerto, Subang, Jakarta , Lampung; 3) Garut, Bandung, Surabaya, dan Jakarta;
4) Sumatera; 5) Jawa Tengah dan Yogyakarta; 6) Sulawesi Selatan; dan 7)
Komandemen wilayah IX (selain wilayah yang tersebut di atas) (Yunanto dkk., 2003:
35).
Sebelum bergabung ke dalam TNI, Ali Murtopo pernah bergabung dengan laskar
Hizbullah, salah satu unsur cikal bakal TNI. Danu M. Hasan adalah salah satu anak
127
buah Ali di Hizbullah, ketika Ali masuk TNI Danu bergabung ke dalam DI/ TII dan
menjadi orang kepercayaan Imam NII Kartosuwirjo. Danu M. Hasan sempat
menjabat Komandemen DI/ TII se Jawa. Kelak, pasukan Danu berhasil ditaklukkan
oleh Banteng Raiders yang dikomandani Ali Murtopo.
Perjalanan berikutnya, pasca penaklukan, terjalinlah hubungan yang lebih
intensif antara Ali dengan Danu di dalam kerangka “membina mantan DI/ TII. Pada
kasus persidangan kasus DI/ TII (tahun 1980-an) diketahui bahwa Ali Murtopo secara
khusus menugaskan Kolonel Pitut Suharto untuk menyusup ke golongan Islam, antara
lain dengan mengecoh Haji Ismail Pranoto (Hispran) di Jawa Timur. Di Jawa Barat,
Pitut mendekati Dodo Kartosuwirjo dan gagal, tetapi berhasil membina Ateng
Djaelani, yang kemudian di kalangan petinggi DI/ TII dianggap sebagai pengkhianat.
Muncul kasus Komando Jihad yang merupakan muslihat Ali Murtopo, yang
menggunakan istilah Islam justru untuk menjebak umat Islam (Awwas, 2008: 68).
Sebuah sumber lain menyebutkan tentang waktu yang paling awal dari gerakan
Darul Islam dinyatakan bahwa Kartosuwirjo memproklamasikan Negara Islam
Indonesia pada hari-hari sekitar menyerahnya Jepang. Menurut Alers, S.M.
Kartosuwirjo memproklamasikan Darul Islam sejak 14 Agustus 1945. Tetapi ia
menarik kembali proklamasinya sesudah mendengar pernyataan kemerdekaan oleh
Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Mengenai kejadian ini, ada pihak
yang meragukan karena berbagai alasan. Di antara alasan itu adalah: sangat tidak
mungkin Kartosuwirjo memproklamasikannya di Jakarta; Jepang tidak akan
mengizinkannya; tidak ada pemberitaan secara luas mengenai kejadian tersebut (Dijk,
128
1987: 5). Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo bukanlah warga Jawa Barat, melainkan
berasal dari Cepu, lahir pada tanggal 7 Februari 1905. Ia mengikuti pendidikan di
Inlandsche School der Twede (Sekolah Bumiputera kelas dua), ia melanjutkan
sekolahnya ke sekolah-sekolah dasar kelas satu. Pertama-tama masuk di Hollandsch-
Inlandsch School (Bekolah Bumiputera bahasa Belanda), dan kemudian pada tahun
1919 masuk Europeesche Lagere School (ELS) di Bojonegoro. Selanjutnya pada
tahun 1923 ia masuk Nederlandsch Indische Arsten School (NIAS) di Surabaya.
Tetapi karena alasan politik, ia harus keluar pada tahu 1927. Seperti banyak temannya
yang aktif berpolitik, salah satunya adalah aktif di Jong Islamiteen Bond. Karena
alasan itulah, ia pun dikeluarkan dari sekolahnya, NIAS.
Selanjutnya pada tahun 1923 ia masuk Nederlandsch Indische Arsten School
(NIAS) di Surabaya. Tetapi karena alasan politik, ia harus keluar pada tahun 1927.
Seperti banyak temannya yang aktif berpolitik, salah satunya adalah aktif di Jong
Islamiteen Bond. Karena alasan itulah, ia pun dikeluarkan dari sekolahnya, NIAS.
Berbeda dengan sejumlah tokoh Muslim dan modernisme Islam, Kartosuwirjo
tidak pernah ke luar negeri untuk memperluas pengetahuannya tentang Islam.
Pengetahuan tentang Islam yang dimilikinya berasal dari perkenalan pribadi dengan
para ulama yang berjumpa dengannya secara kebetulan saja. Lebih penting bagi
pekembangan cita-cita keagamannya adalah pemimpin-pemimpin Islam pedesaan
yang dikenalnya sejak tahun 1929. Atas dasar alasan kesehatan, Kartosuwirjo pindah
ke Malangbong, sebuah kota kecil di dekat Garut dan Tasikmalanya. Selama tinggal
129
di Malangbong, ia mempelajari agama Islam pada sejumlah kiai, salah satunya adalah
Kiai Jusuf Tauziri dan Kiai Ardiwisastra, mertuanya.
Bermukimnya Kartosuwirjo di Malangbong tidak hanya membentuk cita-cita
keagamannya, melainkan membuatnya akrab dengan budaya Jawa Barat, dan bahkan
terpupuklah ikatan seumur hidup antara Malangbong dan Kartosuwirjo. Pada waktu
pindah ke Malangbong tahun 1929, ia diangkat sebagai wakil PSII (Partai Sarekat
Islam Indonesia). Karena ketekunannya, pada tahun 1931 terpilih sebagai sekretaris
umum PSII dan pada tahun 1936 menjadi wakil ketua. Kartosuwirjo dikeluarkan dari
keanggotaannya dari PSII (1939) bersama dengan temannya, termasuk Kiai Jusuf
Tauziri dan Kamran. Orang yang disebut terakhir ketika itu menjadi pimpinan
pemuda PSII dan Panglima Tentara Islam Indonesia. Alasan pemecatan Kartosuwirjo
dan kawan-kawan adalah karena mereka bertahan dengan politik nonkooperasinya
terhadap Belanda.
Selama pendudukan Jepang, dalam beberapa lama Kartosuwirjo memimpin
kesatuan Hizbullah di Malangbong. Peranannya dalam Hizbullah dan Jawa Hokokai
kiranya menyimpulkan seluruh kegiatan politik dan militernya selama pendudukan
Jepang. Ia pun kemudian aktif dalam MIAI dan menjadi salah satu anggota komite
sentral yang mengelola Bait al-Mal. Ketika MIAI dalam konggres Oktober 1945
membubarkan dirinya sendiri termasuk Bait al-Malnya, Kartosuwirjo berhenti
memainkan peranan yang terkemuka dalam gerakan Islam. Kecewa dengan politik
Masyumi, ia pun kembali ke Malangbong dan mulai menyusun pasukan gerilya Islam
di daerah ini. Pada tahun 1947 ia mendirikan Dewan Pertahanan Umat Islam di Garut
130
dan Majelis Umat Islam di Tasikmalaya. Kedua organisasi ini direncanakan untuk
mengkoordinasikan perjuangan masyarakat Islam setempat melawan Belanda. Untuk
sementara Kartosuwirjo tetap loyal kepada Republik. Dalam suatu pidatonya ia
pernah menyatakan bahwa sesama bangsa Indonesia hendaknya menghentikan
pertikaian yang disebabkan perbedaan ideologi dan ia pun sangat menekankan
pentingnya suara mayoritas dari keingian ideologis bangsa Indonesia.
Sebagai akibat dari persetujuan Renville (1948), pihak Belanda berupaya
membentuk negara-negara federal di wilayah-wilayah yang telah direbutnya
(Ricklefs, 2008: 475). Karena persetujuan tersebut, tentara Republik Indonesia resmi,
yaitu Divisi Siliwangi, harus mematuhi ketentuan-ketentuannya. Tentara Divisi
Siliwangi harus hijrah dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah. Ketika Divisi Siliwangi
bergerak menuju Yogyakarta, Kartosuwirjo merasa bahwa Jawa Barat telah
ditinggalkan dan diserahkan kepada pihak Belanda. Akibat dari perjanjian itu pula, di
Jawa Barat akan dibentuk Negara Pasundan yang merupakan bagian dari negara
federal yang dibentuk Belanda. Berdasarkan keadaan ini, Kartosuwirjo merasa punya
hak untuk mempertahankan Jawa Barat dari penguasanya oleh Belanda. Hal ini
dilihat oleh Kartosuwirjo sebagai realisasi keadaan yang telah diharapkannya.
Jatuhnya pemerintah Republik dan penangkapan pemimpin-pemimpinnya yang
dilakukan Belanda memberikan peluang besar untuk mengajukan pemerintah Negara
Islam sebagai pemerintah Indonesia yang sah. Karena itulah, maka pada tanggal 7
Agustus 1949, bertempat di Desa Cisampang, Cisayong, Kartosuwirjo
131
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (Awwas, 2008: 211; Dijk:
1987; Abas: 2005; Ricklefs: 2008).
3.2.2 Ideologi Gerakan Islam Politik di Indonesia
Secara umum, ideologi Gerakan Islam Politik di Indonesia terdiri dari 3 kategori:
1) Gerakan Islam revolusioner seperti DI/TII, MMI, JAT, dan Lasykar Jihad. 2)
Gerakan Dakwah Islam ke arah berdirinya khilafah Islamiyah, misal HTI. Dan 3)
Gerakan Islam untuk pembelaan dan pemurnian Islam, hal ini dilakukan oleh FPI,
Lasykar Jihad, FPIS, dan sebagaimnya. Adapun mengenai kelompok yang pertama,
yaitu Gerakan Islam Revolusioner, kelompok ini dilakukan oleh MMI dan JAT.
Ideologi MMI dan JAT tak banyak perbedaannya. Perbe pokok terletak tentang teknis
kepemimpinan, padaI pemimpin dipilihbn secara periodikm sedangkan Jtak mengenal
system perodisasi dalam pemilihan kepemimpinan, jadi pemimpin itu dipilih seumur
hidup. Pihak MMI mengatakan bahwa kepemimpinan yang dimaksud di sini
bukanlah pemimpin negara atau khalifah, yang dipermasalahkan oleh Abubakar
Baasyir adalah tentang kepemimpinan organisasi, padahal menurut Irfan, organisasi
belum memiliki wilayah kekuasaan, maka boleh saja dilakukan secara periodik atau
berkala dipilih secara musyawarah (Wawancara dengan Irfan, tokoh MMI
Yogyakarta, 6 Agustus 2008).
Gerakan Islam lain yang perjuangannya setara dengan MMI dan JAT adalah
kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang secara de Jure tak pernah ada di Indonesia,
tetapi secara de facto dapat disebutkan bahwa gerakan tersebut ada di Indonesia.
Sebagaimana dikutip oleh penelitian Yunanto dkk. tentang Gerakan Militan Islam: Di
132
Indonesia dan di Asia Tenggara, bahwa Abdullah Sungkar yang memimpin (DI/ TII,
pen.) wilayah Jawa Tengah, sebelum ia bergabung dengan NII, ia telah mendirikan
sebuah kelompok yang diberi nama “Jamaah Islamiyah”, yang kemudian berbaiat
kepada salah seorang pimpinan NII, H. Ismail Pranoto yang kelak terkenal di Solo
(Lihat Karen Armstromg dan Abdul Hamid Al-Ghazali dalam Yunanto, dkk., 2003:
37-41). Perjuangannya di Jamaah Islamiyah ini, setelah Abdullah Sungkar (Surakarta,
pen.) meninggal dilanjutkan oleh Abubakar Ba’asyir (Surakarta, pen.) sepulangnya
dari pelariannya ke Malaysia. Agenda terbesar Abubakar Ba’asyir saat itu adalah
menyelenggarakan Konggres I MMI. Tujuan penyelenggaraan konggres adalah untuk
menyatukan berbagai elemen perjuangan Islam Indonesia, termasuk NII Faksi Non-
Abdullah Sungkar. Pada Konggres MMI I diputuskan adanya Piagam Yogyakarta,
yang isinya:
1) Wajib hukumnya melaksanakan syariat Islam bagi Muslim di Indonesia dan di
dunia pada umumnya.
2) Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam, yang berakibat
syirik dan nifak, serta melanggar hak asasi manusia.
3) Membangun satu kesatuan shaf Mujahidin yang kokoh dengan membentuk
Majelis Mujahidin untuk menegakkan syariat Islam, baik di dalam negeri, di
tingkat regional dan internasional.
4) Membentuk institusi Mujahidin demi membentuk Imamah Islamiyah.
133
5) Menyeru kepada kaum muslimin untuk menegakkan dakwah dan jihad di
seluruh penjuru dunia demi tegaknya Islam sebagai rahmatan lil’alamin
(Yunanto dkk., 2003: 37-38).
Tokoh MMI sering menggunakan referensi perjuangan DI/TII, misal ketika
Konggres MMI di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta 9-11 Agustus
2008 dengan tema “Indonesia Bersyariah Solusi Tepat Salah Urus Negara” (Penulis
menjadi peserta Konggres MMI), Pada kesempatan itu Irfan S. Awwas selaku Ketua
Lajnah Tanfidziyah MMI yang membuka acara konggres itu, jadi Irfan menjadi tokoh
utama MMI sebelum ketua MMI yang baru dipilih. Pada kesempatan itu Irfan
menulis buku yang dijual pada saat Konggres berlangsung dengan judul “Trilogi
Kepemimpinan Negara Islam Indonesia Negara Islam Indonesia: Menguak
Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler”, Penerbit
Uswah, (Awwas: 2008). Saat Konggres III MMI, Ketua MMI Abubakar Ba’asyir tak
hadir lantaran beberapa hari sebelumnya dia telah mengundurkan diri dari MMI,
sehingga Abaubakar Ba’asyir memang tak diundang pada acara Konggres tersebut.
Ketidak-hadiran Abubakar Ba’asyir adalah disebabkan oleh adanya perbedaan
ideologi.
Menurut Ahmad Syafii Maarif Studi tentang Percaturan dalam Konstituante:
Islam dan Masalah Kenegaraan (1996) mengatakan bahwa, sampai saat ini masih
cukup langka tentang kajian ilmiah dan sistematis yang mampu mengartikulasikan
hakikat dan corak negara Islam yang oleh sebagian kelompok untuk diterapkan di
Indonesia, bahkan di negara-negara Islam sendiri sulit sekali ditemukan kajian yang
134
secara teoretis membahas hakikat, watak, dan sifat negara yang berdasarkan Islam
(Idem: 125). Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak awal kelompok modernis
(yaitu kelompok yang membela demokrasi menentang gerakan politik otoriter
Sukarno tahun 50-an) dan pesantren telah memilih sistem demokrasi (Idem. 125-126).
Menurut data yang diperoleh oleh Syafii Maarif, pemimpin-pemimpin Syarikat Islam
(SI) seperti Surjopranoto dan Soekiman Wirjosandjojo telah berbicara tentang
kekuasaan dan pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an, mereka mengemukakan
pendapatnya bahwa tujuan kemerdekaan adalah untuk menciptakan suatu
pemerintahan Islam (Idem: 126). Selanjutnya dalam Pemilu 1955 partai Islam hanya
memperoleh 45% suara, menurut UUDS 1950 yang juga mengatur Pemilu itu, suatu
UUD-baru baru sah jika rancangannya telah disetujui oleh paling kurang 2/3 anggota
parlemen yang hadir dalam rapat. Sehingga dapat diketahui bahwa secara
konstitusional suatu perjuangan membentuk negara berdasarkan Islam menjadi tidak
mungkin.
Pada mulanya, Majelis Konstituante memiliki draft rancangan dasar negara atas
dasar usulan 3 fraksi yang ada, ketiga rancangan itu ialah: Pancasila, Islam, dan
Sosial-ekonomi. Perdebatan tentang dasar negara, sehingga akhirnya Majelis
Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada Juli 1959, dalam usaha
menciptakan suatu tatanan politik baru dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (1059-
1965) (Idem: 124). Pada 9 April 1945 Jepang membentuk BPUPKI yang anggotanya
68 orang, lembaga ini membahas bentuk, batas, dan dasar filsafat negara. Konsep
tentang dasar negara Islam sudah dibahas dalam lembaga ini, tetapi dari 68 anggota
135
BPUPKI, hanya ada 15 orang yang membawakan aspirasi kelompok Islam,
selebihnya adalah kelompok nasionalis sekuler (Maarif, 1996: 102-103). Perubahan
anak kalimat pada sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, pada 18 Agustus 1945 merupakan saat penting bahwa wakil-wakil umat Islam
saat itu menyetujui penghapusan anak kalimat “…dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya”, menjadi ”…Yang Maha Esa” (hal. 109-110), yang
berarti upaya untuk mendirikan negara Indonesia berdasarkan syariat Islam telah
berakhir secara konstitusional.
Syarifuddin Jurdi mengatakan bahwa, umat Islam dan para pemimpinnya tidak
dapat melepaskan diri dari politik global – apalagi sebagian dari negara-negara Islam
masih tergantung pada ”belas-kasih” Barat dalam menata perekonomian, militer, dan
sebagainya. Umat Islam tidak boleh mengabaikan persoalan kontemporer tentang
sistem politik yang tepat untuk digunakan dalam mengatur mekanisme sosial
masyarakatnya. Islam sebagai suatu doktrin nilai sejatinya menyediakan ruang untuk
bekerjasama dengan pihak mana pun juga, termasuk dengan Barat sekalipun (Jurdi,
2008: 7-8). Dikatakan pula, kerjasama tidak harus dimaknai sebagai suatu yang
negatif, karena orientasi umum dari negara-negara dewasa ini adalah perlu
mengembangkan kerjasama dengan negara lain untuk menciptakan semacam
peradaban dunia yang damai, aman, dan mencerminkan nilai-nilai religiositas.
Kerjasama diperlukan untuk mengurangi ketegangan, kecurigaan, dan sentimen
antarkelompok atau antarnegara, dengan tujuan umum agar tercipta tatanan sosial
136
baru yang lebih baik, di tengah arus teror dan kekerasan yang membangkitkan
kepanikan di kalangan warga negara.
Persoalan sistem pemerintahan, pada penganut Islam Sunni menganggap siapa
saja dapat menjadi khalifah sepanjang memenuhi syarat secara syariat, namun pada
kalangan Syi’ah pemimpin tertinggi atas negara dan agama ada di tangan imam, yang
harus keturunan Husein putera Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah cucu Nabi
Munammad saw. Konsep tentang kepemimpinan Islam ini diharapkan dapat
menjamin terlaksananya ajaran Islam, sehingga pemerintahan Islam terlindungi dari
hegemoni Barat. Kenyataan yang ada sekarang ini, kondisi umat Islam rapuh, tidak
solid, sulit bersatu, dan terjadinya banyak egoisme yang tinggi dari kelompok dan
aliran-aliran yang ada (Jurdi, 2008: 89-93).
Oliver Roy dalam bukunya Gagalnya Politik Islam mengatakan bahwa langkah
politik Islam kaum Islamis kenyataannya bukan menuntun ke arah pembentukan
negara atau masyarakat Islam, tapi malah terjerembab dalam logika negara (seperti
kasus Iran), atau pengotakan tradisional, walaupun sudah disusun ulang (seperti
Afganistan) (Roy, 1996: 28-30). Pemikiran gerakan-gerakan ini terdiri dari dua kutub,
kutub revolusioner dan kutub reformis. Menurut kutub revolusioner, Islamisasi
masyarakat terjadi lewat kekuasaan negara. Sedangkan menurut kutub reformis,
tindakan sosial dan politis terutama bertujuan reislamisasi masyarakat dari bawah ke-
atas, yang dengan sendirinya juga akan mewujudkan negara Islam. Perbedaannya
terletak bukan pada masalah perlunya negara Islam, melainkan pada cara
pencapaiannya, ada yang dengan cara revolusioner dan ada yang dengan cara
137
konstitusional lewat perjuangan dalam parlemen. Dua kutub ideologi ini tidak selalu
konsisten berdiri sendiri, tetapi sering berbaur. Misal, suatu saat Ikhwanul Muslimin
menganjurkan adanya penolakan untuk kompromi, tetapi di kali lain menganjurkan
untuk dilakukan kolaborasi. Di pihak lain, ada pula yang disebut oleh Oliver Roy
sebagai Neofundamentalis, yaitu kelompok yang mempunyai karakter berdakwah,
populis, konservatif, dan memberi tempat pada pemaknaan kembali tentang revolusi
dan perempuan (Roy, 1996: 28-30). Roy menyebut gerakan Ikhwanul Muslimin
dalam penegakan syariat Islam ini disebut sebagai Kelompok Islamis, sedangkan
gerakan Wahabi ini sebagai kelompok fundamentalis konservatif. Namun kaburnya
batasan antara fundamentalis dengan Islamis juga membantu tumbuhnya
Neofundamentalis, yaitu kaum yang menggalang propaganda kembali Islam murni
versi Hanbali, bersih dari segala bentuk sinkretisme, nilai-nilai dan pengaruh luar,
baik bersifat mistis maupun pengaruh materialisme Barat (Roy, 1996: 150-151).
Abdullah Sungkar meyakini logika yang tersebut di dalam Alquran surah Al-
Baqarah ayat 255 yang menyatakan bahwa “…lahu mā fī s-samāwāti wa mā fī l-
ardh…”, artinya: ‘Semua yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah’.
Berdasarkan ayat ini perlu disadari bahwa bumi dan langit ini milik Allah, berarti
pula negara Indonesia dan bangsa Indonesia milik Allah juga, dengan begitu maka
sudah sepantasnya bila semua yang milik Allah itu diatur dengan hukum Allah.
Sehingga tidaklah benar adanya suatu pernyataan bahwa negara dan bangsa Indonesia
adalah milik bangsa Indonesia, maka harus diatur dengan hukum yang dibuat oleh
bangsa Indonesia, paham ini biasa dikenal dengan nasionalisme, paham ini tidak
138
cocok dengan syariat Islam (lihat: Nursalim, 2001: 29-30). Upaya penegakan syariat
secara konstitusional di negara RI selalu mengalami kegagalan (Idem: 41), di pihak
lain Abdullah Sungkar aktif dalam penegakan syariat Islam di negara RI melalui
berbagai jalur, di antaranya melalui gerakan Usrah, Komando Jihad, dan Majelis
Mujahidin Indonesia (Idem: 41-75).
Abu Mariyah Al-Qurasy dalam buku Aqidah Islam Al-Qaida: Faktor Idiologis di
Balik Gerakan Jihad Global Kaum Salafi Jihadi, menyatakan bahwa organisasi Al-
Qaeda dirintis oleh sang penyulut perang, yaitu Syeh Abu Abdillah Usamah bin
Ladin dari Afganistan, menurut pengakuan mereka, anggota dari organisasi ini telah
tersebar ke berbagai penjuru dunia, terutama di Jazirah Arab, Irak, dan Aljazair (Al-
Qurasy, 2009: 22-23). Gerakannya didasarkan pada Al-‘Aqīdatu ‘sh-Shahīhah (akidah
yang benar), amal mereka didasarkan pada Alquran, Al-Hadis. Ijmak, dan Kias,
mereka sering merujuk kepada beberapa ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah, Syeh Muhammad bin Abdul Wahhab, Ulama Salaf, Imam
Syafi’i, dan sebagainya. Di pihak lain, mereka mengingkari apa yang diyakini oleh
kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah (Idem: 106-125). Ideologi mereka tentang
kekuasaan adalah bahwa, apabila sebuah negara undang-undangnya berdasar aturan
kafir, dan hukum kafir lebih mendominasi hukum Islam, maka negara itu adalah
negara kafir, dalam hal ini mereka tidak menuduh semua warga negaranya juga kafir,
mengingat daulah yang berlaku bukan Negara Islam, dan penguasanya mayoritas
adalah orang non-Islam (Idem: 126). Menurut mereka darah, kehormatan, dan harta
139
kaum muslimin adalah haram. Dan apabila ada orang kafir yang menyerang kusucian
kaum muslimin, maka ketika itu hukum jihad adalah fardhu ‘ain (Idem: 142).
3.2.2.1 Ideologi Gerakan Islam Politik di Yogyakarta dan Surakarta
Pada hakikatnya agama Islam adalah satu Al-Islamu kullu laa yatajaza’ artinya,
‘Islam adalah tunggal dan tidak dapat dipecah-pecah’. Tetapi pada kenyataannya, di
antara pemeluknya menunjukkan adanya ekspresi dan aktualisasi yang beragam.
Dalam perkembangan Islam yang mutakhir, keragaman Islam itu ditunjukkan oleh
dinamika dan ekspresi Islam kontemporer adalah kebangkitan Islam. Di pihak lain,
ada pula fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul secara meluas di
Indonesia, ialah penerapan syariat Islam secara formal dalam kehidupan negara
(Nashir, 2006: 1-2).
Perjuangan mengusung kembali Piagam Jakarta untuk masuk dalam
Amandemen UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, yang berakhir
dengan kegagalan (lagi). Kegagalan itu disebabkan oleh tidak adanya dukungan
mayoritas anggota parlemen. Gerakan sekelompok umat Islam di sejumlah daerah
seperti di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), serta
daerah-daerah lain yang telah memperoleh status Otonomi Khusus untuk menerapkan
syariat Islam dalam segala aspek kehidupan. Gerakan ini cukup meluas dan dalam
beberapa hal telah menghasilkan Perda dan Surat Keputusan Bupati untuk
menerapkan syariat Islam, seperti di Bulukumba, Cianjur, Tasikmalaya, (Gresik), dan
sebagainya. Gerakan ini di Sulawesi Selatan hingga saat ini terus meluas ke daerah-
daerah lain, termasuk memperjuangkan status Otonomi Khusus sebagaimana di NAD.
140
Kelompok Islam yang memperjuangkan penerapan syariat Islam secara gigih dan
radikal adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam Indonesia (KPPSI). Adapun dari
kelompok partai politik Islam ialah Partai Bulan Bintang (PBB). Tulisan Haidar
Nashir menyoroti berbagai gerakan Fundamentalis yang berasal dari reproduksi
salafy ideologis, sehingga belum dapat merepresentasikan gerakan Islam politik yang
ada di Indonesia, karena gerakan ini tidak khusus dari reproduksi salafy. Dan perlu
ditambahkan bahwa masih ada gerakan Islam politik yang lain yaitu Majelis Tafsir
Alquran, Hizbut Tahrir, dan Jamaah Ansharut Tauhid, yang belum dibahas di situ
(Nashir, 2006: 4-5).
Banyak kalangan yang menyebutkan bahwa Pondok Pesantren Ngruki
Sukoharjo, Surakarta adalah pusat Islam Fundamentalis, atau bahkan sering disebut
sebagai pusat teroris. Di Pondok ini pernah tinggal dua orang tokoh penting bagi
gerakan Islam radikal, yaitu Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abubakar Ba’asyir.
Keberadaan dua tokoh ini tak dapat digeneralisasi bahwa kedudukan Lembaga
Pondok Ngruki selalu mengikuti jejak para tokoh tadi. Berikut penelitian Amir
Mahmud tentang Pondok Ngruki.
. “Pesantren Al-Mukmin Ngruki tumbuh dan ikut andil dalam mengajarkan nilai-
nilai kesalihan dengan pemahaman Assalafu’sh-shalih, sebagai pemeliharaan tradisi
Islam dan penghasil ulama dalam transmisi dan trasfer ilmu-ilmu Islam. Di zaman
Orde Baru (Orba, pra 1998), pesantren ini pernah mendapat predikat dari pemerintah
sebagai pesantren ekstrim karena ketegasannya dalam mengamalkan prinsip ajaran
141
aqidah Islamiyah. Di era reformasi, tuduhan yang hampir sama muncul dengan
predikat “Islam Radikal”, dan “Sarang Teroris”. Hal ini disebabkan karena adanya
beberapa alumni terkait aksi peledakan bom di sejumlah wilayah Indonesia maupun
luar negeri, serta terkait jaringan teroris internasional” (Mahmud: 2007).
Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki memiliki organisasi IKAPPIM (Ikatan
Alumni Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin) Ngruki. Secara organisatoris, lembaga
ini berada di luar struktur pesantren dan bersifat independen. Kiprah dan perjuangan
alumni didasarkan pada manhaj atau cara perjuangan ke arah penegakan aqidah dan
syariat Islam. Mereka berpendapat bahwa Islam adalah risalah bagi seluruh umat di
dunia, yang tidak dibatasi oleh ruang gerak dan geografis suatu wilayah. Prinsip ini
pula yang mewarnai IKAPPIM menjadi wadah untuk menjalin ikatan sillaturrahim
antar alumni yang senantiasa memiliki komitmen yang sama dalam menegakkan
Islam di segala bidang tanpa mengenal batasan kultur (Mahmud: 2007).
Hasil penelitian Mahmud adalah: (1) paham keagamaan alumni pesantren Al-
Mukmin didasarkan pada ajaran As-salāfu ‘sh-shālih yaitu mengikuti ajaran generasi
terdahulu dengan baik; (2) Alumni Al-Mukmin yang tergabung dalam IKAPPIM
selalu menjalin kerja sama yang bersifat antar lembaga dalam rangka membentuk dan
mencetak kader dai dan ulama/’āmilīn fī sabīlillāh; (3) keterlibatan alumni pesantren
Al-Mukmin dalam tindak kekerasan di sejumlah tempat lebih disebabkan karena rasa
solidaritas dalam pembelaan terhadap sesama muslim yang mendapat perlakuan tidak
adil dan dizalimi oleh pihak lain.
142
Pada artikel M. Syafi’i Anwar, 2007 dikatakan di era pemerintahan Presiden
Habibie (1998 dst.) banyak gerakan Islam yang ingin mengambil momentum untuk
memperjuangkan politik Islam, di bawah pemerintahan ini, gerakan politik Islam
seperti mendapatkan kesempatan, dan tidak mungkin hal ini terjadi di zaman Presiden
Soeharto (Anwar, 2007: xii-xiii). Ideologi pasca Soeharto adalah gerakan Islam
dengan bingkai GSM (Gerakan Salafy Militan).
Apabila pemerintah RI gagal dalam membangun masyarakat yang adil,
demokratis, dan sejahtera, maka GSM dan gerakan-gerakan sejenis lainnya akan
hidup subur dengan tuntutan pada pelaksanaan syariah. Sejarah menunjukkan bahwa
ketidakadilan sosial, ketidakmenentuan politik, masyarakat tanpa hukum, adalah
rentan dan saat empuk bagi kemunculan eksklusifisme, fanatisme, dan militansi
agama (Anwar, 2007: xxxvi).
3.2.2.2 Ideologi Salafy
1) Ide-ide Penting Gerakan Salafy
Pertanyaan paling mendasar yang muncul kemudian adalah apa yang menjadi
ide penting atau karakter khas gerakan ini dibanding gerakan lainnya, yang
disebutkan sedikit-banyak terpengaruh dengan ide purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-
Wahhab di Jazirah Arabia? Setidaknya ada beberapa ide penting dan khas gerakan
Salafy Modern dengan gerakan-gerakan tersebut, yaitu:
(1) Hajr Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah menjadi hal yang
mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka
143
kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan
membersihkan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh
berbagai lapisan masyarakat Islam. Dan sebagai sebuah upaya meminimalisir
kebid’ahan, para ulama Ahl al-Sunnah menyepakati sebuah mekanisme yang
dikenal dengan hajr al-mubtadi’ atau pengisoliran terhadap mubtadi’ (Abu
Zaid: 1996). Dan semua gerakan salafi sepakat akan hal ini. Akan tetapi, pada
praktiknya di Indonesia, masing-masing faksi –salafy Yamani dan haraki sangat
berbeda. Salafy Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan mekanisme
ini. Fenomena yang nyata adalah dengan menerapkan cara melemparkan tahdzir
(warning) terhadap person yang bahkan mengaku mendakwahkan gerakan
salafy. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan “daftar nama-nama ustaz
yang direkomendasikan” dalam situs mereka www.salafy.or.id. Dalam daftar ini
dicantumkan 86 nama ustaz dari Aceh sampai Papua yang mereka anggap dapat
dipercaya untuk dijadikan rujukan, dan ‘uniknya’ nama-nama itu didominasi
oleh murid-murid Syekh Muqbil al-Wadi’i darti Yaman ((Ikhsan, 2006: 4).
Sementara itu, Salafy Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-
mubtadi’ ini sebagai sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya
tergantung pada maslahat dan mafsadat-nya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’
dilakukan tidak lebih untuk memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah.
Namun jika itu tidak bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah
yang berguna (Abu Zaid, 1996: 19).
144
(2) Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi
bukanlah gerakan politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka
memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan
umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan
disebarkan dengan gencar oleh pendukung Salafi Yamani. Muhammad As-
Sewed mislanya –yang saat itu masih menjabat sebagai ketua FKAWJ mengulas
kerusakan-kerusakan pemilu sebagai berikut:
a. Pemilu adalah sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena
menetapkan aturan berdasarkan suara terbanyak (rakyat), padahal yang
berhak untuk itu hanya Allah.
b. Apa yang disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun
bertentangan dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
c. Pemilu adalah tuduhan tidak langsung kepada islam bahwa ia tidak mampu
menciptakan masyarakat yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
d. Partai-partai Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada,
meskipun aturan itu bertentangan dengan Islam.
e. Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala
cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat
dari itu.
f. Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme jahiliah terhadap partai-
partai yang ada (Jamhari dan Jahroni, 2004: 121; Ikhsan, 2006: 5).
145
Berbeda dengan Salafy Haraki yang cenderung menganggap masalah ini
sebagai persoalan ijtihadiyah belaka. Dalam sebuah tulisan bertajuk al-
Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah yang dimuat oleh situs islam
today.com (salah satu situs yang dianggap sering menjadi rujukan mereka,
dikelola oleh Salman ibn Fahd al-‘Audah) misalnya, dipaparkan bahwa sistem
peralihan dan penyematan kekuasaan dalam Islam tidak memiliki sistem yang
baku. Karena itu, tidak menutup kemungkinan untuk mengadopsi sistem pemilu
yang ada di Barat setelah ‘memodifikasi-nya agar sesuai dengan prinsip-prinsip
politik Islam. Alasan utamanya adalah karena hal itu tidak lebih dari sebuah
bagian adminstratif belaka yang memungkinkan kita untuk mengadopsinya dari
manapun selama mendatangkan mashlahat.(Ikhsan, 2006: 5). Maka tidak
mengherankan jika salah satu ormas yang dianggap sebagai salah satu
representasi faksi ini, Wahdah Islamiyah, mengeluarkan keputusan yang
menginstruksikan anggotanya untuk ikut serta dalam menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu-pemilu yang lalu (www.wahdah.or.id).
(3) Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan pendukung gerakan Salafy modern di Indonesia terhadap
berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari
penerapan prinsip hajr al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafy
Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat
dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’.
Sehingga tidak mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda pandangan
146
dengan gerakan Islam yang lain. Jika Salafy Haraki cenderung ‘moderat’ dalam
menyikapi gerakan lain, maka Salafy Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan
seringkali tanpa kompromi sama sekali. Fenomena sikap keras Salafy Yamani
terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:
a. Sikap Salafy terhadap MMI dan JAT
Sebelum dibahas tentang pandangan kelompok Salafy terhadap MMI dan JAT ,
perlu dibahas di sini bagaimana tentang hubungan MMI dengan JAT. MMI
yang dipimpin oleh Ustad Abubakar Ba’asyir ini pada 13 Juli 2008
ditinggalkannya. Ustad Ab mengundurkan diri dari MMI lantaran ytak setuju
dengan system kepemimpinan yang selama ini berlaku di MMI. Menjelang
Konggres III MMI di Yogyakarta, Ustad Abu mengundurkan diri dari MMI dan
pada Konggres III di Yogyakarta, dipilih Amir Majelis Mujahidin Muhammad
M. Thalib.
Ustad Abu Bakar Ba'asyir mundur karena merasa sistem organisasi MMI belum
sesuai dengan syariat Islam. Secara resmi, pria kelahiran Jombang 17 Agustus
1938 ini telah mengirimkan surat pengunduran diri pada 19 Juli 2008. Berikut
surat pengunduran diri Ba'asyir kepada Pimpinan Pusat MMI seperti tercantum
dalam situs ABB Center, Selasa (5/8/2008):
“Surat Pernyataan Amirul Mujahidin Abu Bakar Ba'asyir BismillahirrahmanirrahimAssalamulaikum Wr WbNama : Abu Bakar Ba'asyirTempat/tanggal lahir : Jombang, 12 Dzulhijjah 1359H / 17 Agutus 1938Alamat : komplek Pon.Pes. Al-Mukmin, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo, Jateng.
147
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT saya mengambil keputusan menyatakan mundur dari Majelis Mujahidin demi kelancaran perjuangan menegakkan syariat Islam, baik untuk diri saya maupun Majelis Mujahidin dengan alasan sebagai berikut:a) Menurut keyakinan saya, Majelis Mujahidin sebagai sebuah institusi
perjuangan Islam masih menerapkan sistem kepemimpinan yang tidak dikenal di dalam ajaran Islam, meskipun tujuan perjuangannya sudah Islami.
b) Sejak saya diangkat menjadi pimpinan AHWA di Majelis Mujahidin (Amir Mujahidin), saya sudah melihat kekeliruan ini dan saya juga sudah berusaha untuk menolak diangkat menjadi Amir Mujahidin, tetapi karena banyaknya desakan, maka saya menerima jabatan itu untuk sementara demi kemaslahatan dan dengan tekad bahwa pada suatu hari saya berharap akan bisa memperbaiki kekurangan ini.
c) Selama masa jabatan saya sebagai Amir Mujahidin, saya belum memiliki kesempatan yang cukup untuk meluruskan kekurangan ini karena baru dua tahun saya menjabat, saya harus menerima ujian penjara oleh musuh-musuh Allah. Maka setelah saya bebas dari penjara, saya mulai mengajak jajaran pengurus organisasi ini untuk kembali kepada sistem kepemimpinan yang sesuai dengan ajaran Islam yakni sistem Al-Jamaah wal Imamah.
d) Saya sudah berusaha mengajak segenap pengurus dan anggota MMI untuk kembali kepada sistem kepemimpinan yang Islami, namun selama ini mendapatkan penolakan dari beberapa orang pengurus dan anggota MMI yang nampaknya belum bisa diselesaikan di dalam Intern organisasi.
Oleh karena sebab-sebab di atas, maka saya menyatakan mundur dari Majelis Mujahidin walaupun saya masih siap bekerja sama dalam perjuangan menegakkan kalimah Allah selagi masih di atas cara yang syar'i dan sesuai sunnah Nabi SAW. Serta memohon maaf sebesar-besarnya kepada seluruh anggota Majelis Mujahidin jika selama masa jabatan saya menjadi Amir Mujahidin ada kesalahan yang saya lakukan, semoga Allah mengampuni dan selalu merahmati kita semua.Demikian surat pernyataan mundur ini saya buat, semoga menjadi pilihan yang direstui oleh Allah.Wassalamualaikum Wr. Wb.Ngruki, 16 Jumadits Tsani 1429 H/19 Juli 2008 MAbu Bakar Ba'asyir.2
2 Peneliti mendapatkan foto kopi faksimile surat ini ketika menjadi peserta Konggres MMI III di Yogyakarta, 8-10 Agustus 2008.
148
Kecuali itu, Ustad Ba’asyir sebagai mantan tokoh MMI sekaligus juga sebagai
pimpinan JAT tak sepaham dengan kelompok Laskar Jihad pimpinan Ustad Ja’far
Umar Thalib, yang nota bene sebagai akar gerakan Salafy. Suatu ketika pernah terjadi
salah paham, pada saat melakukan perjuangan Jihad di Poso, Sulawesi. Perbedaan
paham ini sebagai bentuk implementasi bahwa di antara mereka tidak seideologi.
Perbedaan paham ini pernah dilakukan islah di Bandung, 13 Februari 2007 yang
digagas oleh Forum Umat Islam, Bandung, pimpinan K.H. Athian Ali Da’i, tetapi
islah tersebut tak berhasil (Risalah Mujahidin, Maret 2007: 26-27). Kelompok Salafy
yang bermarkas di Ponpes Daarus Salafi, kawasan Cemani, Grogol, Sukoharjo, Jawa
Tengah, menyebarkan selebaran yang isinya “Membongkar Kebohongan Risalah
Mujahidin”, risalah ini diterbitkan oleh MMI. Pembicara pada pengajian Senin 4 Juni
2007 adalah Ustad Abu Karimah Askary, ia dari jamaah Salafy, isi pengajian
membahas masalah tulisan di Risalah Mujahidin yang menulis tentang “Agen Mossad
dalam Gerakan Islam” (edisi April 2007, halaman 42), yang dari isi tulisan itu
kelompok Salafy merasa tersinggung karena dianggap sebagai agen dan pro Yahudi.
Selain itu, Ustad Abu Karimah juga menghujat Amirul MMI Ustad Abu Bakar
Ba’asyir (Risalah Mujahidin, Juli 2007: 83). Risalah Mujahidin sebagai corong bicara
MMI juga tak setuju dengan isi disertasi Haidar Nashir, tentang “Ciri Gerakan Islam
Syariah” (Risalah Mujahidin, Agustus 2007: 96). Di sini, MMI banyak memberikan
lontaran kritikan terhadap Jamaah Salafy, tetapi di lain pihak secara umum Haidar
Nashir menyebutkan bahwa dari perspektif judulnya saja disertasinya berjudul:
“Gerakan Islam Syari’at Reproduksi Salafiyyah Ideologis di Indonesia”
149
(Nashir:2006). Pada disertasi juga dibahas tentang gerakan dan aktivitas MMI, maka
penulis disertasi itu disebut sebagai “pengamatan jarak jauh, tanpa parameter yang
jelas dan syar’i, menyesatkan, dan sebagai generasi salah asuh” (Risalah Mujahidin,
Agustus 2007).
Pada tanggal 17 Ramadhan 1429 H. bertepatan dengan tanggal 17 September
2008, Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) yang dibentuk pada 24 Rajab 1429 atau 27
Juli 2008 di Solo dideklarasikan oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Asrama Haji
Bekasi. Mantan Amirul Mujahidin Majelis Mujahidin itu bersama beberapa aktivis
dakwah Islamiyah lainnya, sepakat melanjutkan perjuangan penegakan Syariat Islam
sesuai dengan pola Sunnah dan meninggalkan cara–cara yang meragukan Ustadz
yang dikenal berhati lembut tapi sangat tegas dalam memegang prinsip ini seperti
diketahui sebelumnya, Abu Bakar Ba’asyir meninggalkan Majelis Mujahidin setelah
tidak menemukan jalan tengah untuk melakukan perubahan sesuai sunnah dalam
sistem kepemimpinan institusi Majelis Mujahidin. Anshorut Tauhid sepenuhnya
mengadopsi sistem Jamaah Imamah yang diajarkan dalam Syariat Islam sebagai
bentuk kepemimpinan yang tepat sekalipun dalam keadaan ketiadaan Khilafah Ar-
Rasyidah. Amir Jamaah dan anggotanya akan memiliki kewajiban dan kewenangan
sepanjang Syariat Islam sesuai dengan kemampuan yang ada pada mereka.
b. Sikap terhadap Ikhwanul Muslimin
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan Ikhwanul Muslimin nampaknya
menjadi musuh utama dari kalangan Salafy Yamani. Mereka bahkan seringkali
memelesetkannya menjadi “Ikhwanul Muflisin”. (www.salafy.or.id/print.php ?
150
id_artikel=557). Tokoh-tokoh utama gerakan IM tidak pelak lagi menjadi sasaran
utama kritik tajam yang bertubi-tubi dari kelompok Salafy. Di Saudi sendiri (yang
menjadi asal gerakan ini), fenomena ‘kebencian’ pada Ikhwanul Muslimin dapat
dikatakan mencuat seiring bermulanya kisah Perang Teluk bagian pertama. Rabi’ ibn
Hadi al-Madkhali yang pertama kali menyusun berbagai buku yang secara spesifik
menyerang Sayyid Quthb dan karya-karyanya. Salah satunya dalam buku yang diberi
judul “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashhab al-Rasul” (Tikaman-tikaman Sayyid Quthub
terhadap Para Sahabat Rasul).(lihat: Ikhsan, 2006: 12-13). Fenomena ini bisa
dikatakan baru, mengingat pada masa-masa sebelumnya beberapa tokoh Ikhwan
seperti Syekh Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi pernah menjadi
anggota dewan pendiri Islamic University di Madinah, dan banyak tokoh Ikhwan
lainnya yang diangkat menjadi dosen di berbagai universitas Saudi Arabia. Dalam
berbagai penulisan ilmiah (termasuk itu tesis dan disertasi) pun karya-karya tokoh
Ikhwan termasuk Fi Zhilal al-Qur’an yang dikritik habis oleh Rabi al- Madkhali
sering dijadikan rujukan. Bahkan Syekh Bin Baz (Mufti Saudi waktu itu) pernah
mengirimkan surat kepada Presiden Mesir, Gamal Abdul Naser untuk mencabut
keputusan hukuman mati terhadap Sayyid Quthb (Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam
Ikhsan, 2006: 12-13). Terkait dengan ini misalnya, Ja’far Umar Thalib misalnya
menulis:
Di tempat Syekh Muqbil pula saya mendengar berita-berita penyimpangan tokoh-tokoh yang selama ini saya kenal sebagai da’i dan penulis yang menganu pemahaman salafus shalih. Tokoh-tokoh yang telah menyimpang itu ialah Muhammad Surur bin Zainal Abidin, Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl Al-Qarni, Nasir Al-Umar, Abdurrahman Abdul Khaliq.
151
Penyimpangan mereka terletak pada semangat mereka untuk mengelu-elukan tokoh-tokoh yang telah mewariskan berbagai pemahaman sesat di kalangan ummat Islam, seperti Sayyid Qutub, Hasan Al-Banna, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha dan lain-lainnya. (Majalah Salafy, 2005: 6).
Dan jauh sebelum itu, Ja’far Umar Thalib juga melontarkan celaan yang sangat
keras terhadap Yusuf al-Qaradhawy (salah seorang tokoh penting Ikhwanul Muslimin
masa kini) dengan menyebutnya sebagai ‘aduwullah (musuh Allah) dan Yusuf al-
Qurazhi (penisbatan kepada salah satu kabilah Yahudi di Madinah, Bani Quraizhah).
Meskipun kemudian ia dikritik oleh gurunya sendiri, Syekh Muqbil di Yaman, yang
kemudian mengganti celaan itu dengan mengatakan: Yusuf al-Qaradha (Yusuf Sang
penggunting syariat Islam).(Majalah Salafy, 1995: 34). Di Indonesia sendiri, sikap ini
berimbas kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dianggap sebagai representasi
Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
Berbeda dengan yang disebut Salafy Haraki, mereka cenderung kooperatif dalam
melihat gerakangerakan Islam yang ada dalam bingkai “nata’awan fima ittafaqna
‘alaih, wa natanashahu fima ikhtalafna fihi.”((Ikhsan, 2006: 12-13). Karena itu, faksi
ini cenderung lebih mudah memahami bahkan berinteraksi dengan kelompok lain,
termasuk misalnya Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok inipun harus
rela diberi cap “Sururi” oleh kelompok Salafy Yamani. Yayasan Al-Sofwa, misalnya,
masih mengakomodasi kaset-kaset ceramah beberapa tokoh PKS seperti Ahzami
Sami’un Jazuli (idem).
152
c. Sikap terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan
Salafi Yamani terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai
manhaj gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan
kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Tokoh ini dianggap sebagai pelopor
paham yang mengadopsi dan menggabungkan ajaran Salafi dengan Ikhwanul
Muslimin. Di samping Muhammad Surur, nama-nama lain yang sering dimasukkan
dalam kelompok ini adalah Safar ibn ‘Abdirrahman al-Hawali, Salman ibn Fahd
Al-‘Audah (keduanya di Saudi) dan Abdurrahman Abdul Khaliq dari Jam’iyyah Ihya’
al-Turats di Kuwait.
Dalam sebuah tulisan berjudul Membongkar Pikiran Hasan Al-Banna-Sururiyah
(III) diuraikan secara rinci pengertian Sururiyah itu:
“Ada sekelompok orang yang mengikuti kaidah salaf dalam perkara Asma dan Sifat Allah, iman dan taqdir. Tapi, ada salah satu prinsip mereka yang sangat fatal yaitu mengkafirkan kaum muslimin. Mereka terpengaruh oleh prinsip Ikhwanul Muslimin. Pelopor aliran ini bernama Muhammad bin Surur. Muhammad bin Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia menyempal dari jamaah sesat ini dan membangun gerakannya sendiri berdasarkan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya masalah demonstrasi, kudeta dan yang sejenisnya)...” (www.salafy.or.id/print.php?id-artikel =338).
Tulisan yang sama juga menyimpulkan beberapa sisi persamaan antara
Sururiyah dengan Ikhwanul Muslimin, yaitu:
- Keduanya sama-sama mengkafirkan golongan lain dan pemerintah muslim.
- Keduanya satu ide dalam masalah demonstrasi, mobilisasi, dan selebaran-
selebaran.
153
- Keduanya sama dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta.
- Keduanya sama dalam hal tanzhim dan sistem kepemimpinan yang mengerucut
(piramida).
- Keduanya sama-sama tenggelam dalam politik (Ikhsan, 2006).
Hanya saja banyak ‘tuduhan’ sebenarnya terlalu tergesa-gesa untuk tidak
mengatakan membabi buta. Ada yang tidak mempunyai bukti akurat, atau
termasuk persoalan yang sebenarnya termasuk kategori ijtihad dan tidak bisa
disebut sebagai kesesatan (baca: bid’ah).
(4) Sikap terhadap pemerintah Secara umum, sebagaimana pemerintah yang umum
diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan gerakan
separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah-, Gerakan Salafi juga
meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan atau upaya yang dianggap ingin
menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi cap Khawarij, bughat
atau yang semacamnya (Ba’abduh, 664-702).
Dalam tulisannya yang bertajuk “Membongkar Pemikiran Sang Begawan
Teroris” (I), Abu Hamzah Yusuf misalnya menulis: “Tokoh-tokoh yang disebutkan
Imam Samudra di atas (maksudnya: Salman al-Audah, Safar al-Hawali dan lain-lain
–pen):
“…tidaklah berjalan di atas manhaj Salaf. Bahkan perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam yang menunjukkan mereka jauh dari manhaj Salaf. Tak ada hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah. Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj (metodologi). Tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyah, dan Kharijiyah...”.
154
Dalam “Mereka Adalah Teroris” juga misalnya disebutkan:
“...Kemudian dilanjutkan tongkat estafet ini oleh para ruwaibidhah (sebutan lain untuk Khawarij-pen) masa kini semacam Dr. Safar Al-Hawali, Salman Al-Audah dan sang jagoan konyol Usamah bin Laden. Sementara Imam Samudra hanyalah salah satu bagian kecil saja dari sindikat terorisme yang ada di Indonesia. Kami katakan ini karena di atas Imam Samudra masih ada tokoh-tokohkhawarij Indonesia yang lebih senior seperti: Abdullah Sungkar alias Ustadz Abdul Halim, Abu Bakar Ba’asyir alias Ustadz Abdush Shamad.”(Ba’abduh, 59).
Pernyataan ini disebabkan karena tokoh-tokoh yang dimaksud dikenal sebagai
orang-orang yang gigih melontarkan kritik ‘pedas’ terhadap pemerintah Kerajaan
Saudi Arabia terutama dalam kasus penempatan pangkalan militer AS di Saudi
Arabia. Sementara dua nama terakhir dikenal sebagai orang-orang yang gigih
memformalisasikan syariat Islam di Indonesia. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini,
maka muncul kesan bahwa kaum Salafy cenderung ‘enggan’ melontarkan kritik
terhadap pemerintah. Meskipun sesungguhnya manhaj al-Salaf sendiri memberikan
peluang untuk itu meskipun dibatasi secara “empat mata” dengan sang penguasa.
Namun pada praktiknya kemudian, ternyata prinsip inipun sedikit banyak telah
dilanggar oleh mereka sendiri. Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi misalnya –yang menulis
kritik tajam terhadap gerakan ini menyebutkan salah satu penyimpangan Salafi
Yamani: “Sikap Melawan Pemerintah”. Ia menulis:
“Dalam beberapa kasus, jelas-jelas Salafy Yamani telah melawan pemerintah yang diakui secara konsensus oleh Umat Islam Indonesia, khususnya melalui tindakan-tindakan Laskar Jihad di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Tanggal 6 April 2000, mereka mengadakan tabligh akbar di Senayan, tak lama kemudian mereka berdemo di sekitar Istana Negara di mana Abdurrahman Wahid sedang berada di dalamnya. Kenyataan yang sangat mengherankan, mereka bergerak secara massal
155
dengan membawa senjata-senjata tajam. Belum pernah Istana Negara RI didemo oleh orang-orang bersenjata, kecuali dalam peristiwa di atas. Masih bisa dimaklumi, meskipun melanggar hukum, jika yang melakukannya adalah anggota partai komunis yang dikenal menghalalkan kekerasan, tetapi perbuatan itu justru dilakukan oleh para pemuda yang mewarisi manhaj Salafus Shalih. Masya Allah, Salafus Shalih mana yang mereka maksudkan?”(Ath-Thalibi, 2006: 69).
Kaum Salafy masih saja melancarkan kritik yang pedas terhadap Partai Keadilan
Sejahtera, (yang dianggap sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin di Indonesia).
Namun kenyataannya sekarang bahwa Partai ini telah menjadi bagian dari
pemerintahan Indonesia yang sah. Beberapa anggota mereka duduk sebagai anggota
parlemen, ada yang menjadi menteri dalam kabinet, bahkan mantan ketuanya,
Hidayat Nur Wahid pernah menjabat sebagai Ketua MPR-RI. Bukankah berdasarkan
kaidah yang selama ini mereka gunakan, kritik pedas mereka terhadap PKS dapat
dikategorikan sebagai tindakan khuruj atas pemerintah? “Ja’far Umar Thalib Telah
Meninggalkan Kita...” Kalimat ini dapat dijadikan sebagai bukti fase baru
perkembangan gerakan Salafy di Indonesia. Setelah sebelumnya dijelaskan bahwa
dalam perjalanannya gerakan ini terbagi menjadi setidaknya 2 faksi: Yamani dan
haraki, maka setidaknya sejak dewan eksekutif FKAWJ membubarkan FKAWJ dan
Laskar Jihad pada pertengahan Oktober 2002, ada hembusan angin perubahan yang
sangat signifikan di tubuh gerakan ini. Salafi Yamani ternyata kemudian berpecah
menjadi 2 kelompok: yang pro Ja’far dan yang kontra terhadapnya. Ja’far Umar
Thalib sejak saat itu dapat dikatakan menjadi ‘bulan-bulanan’ kelompok eks Laskar
Jihad yang kontra dengannya. Apalagi setelah Rabi’ al-Madkhali (ulama yang dulu
156
sering ia jadikan rujukan fatwa) justru mengeluarkan tahdzir terhadapnya.
Pesantrennya di Yogyakarta pun mulai ditinggalkan oleh mereka yang dulu menjadi
murid-muridnya. Uniknya, kelompok yang kontra terhadapnya justru ‘dipimpin’ oleh
Muhammad Umar As-Sewed, orang yang dulu menjadi tangan kanannya (wakil
panglima) saat menjadi panglima Laskar Jihad. Ja’far Thalib-pun mulai dekat dengan
orang-orang yang dulu dianggap tidak mungkin bersamanya. Arifin Ilham Majlis Az-
Zikra’ dan Hamzah Haz, contohnya. Karena itu, Qomar ZA (redaktur majalah Asy-
Syariah) yang dulu adalah murid Ja’far Umar Thalib menulis artikel pendek berjudul
“Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita...” (Ikhsan: 2006). Di sana antara lain
ia menulis:
“Adapun sekarang betapa jauh keadaannya dari yang dulu (Ja’far Umar Thalib, red). Jangankan majlis yang engkau tidak mau menghadirinya saat itu, bahkan sekarang majlis dzikirnya Arifin Ilham kamu hadiri, mejlis Refleksi Satu Hati dengan para pendeta dan biksu kamu hadiri (di UGM, red), majlis dalam peresmian pesantren Tawwabin yang diprakarsai oleh Habib Riziq Syihab, Abu Bakar Baa’syir Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain. Kamu hadiri juga peringatan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinukil dalam majalah Sabili dan banyak lagi... Apakah gurumu yang sampai saat ini kamu suka menebeng di belakangnya yaitu Syekh Muqbil, semoga Allah merahmatinya, akan tetap memujimu dengan keadaanmu yang semacam ini??... Asy-Syaikh Rabi’ berkata: “...Dan saya katakan: Dialah yang meninggalkan kalian dan meninggalkan manhaj ini (manhaj Ahlus Sunnah)...”
Ja’far sendiri belakangan nampak menyadari sikap kerasnya yang berlebihan di
masa awal dakwahnya. Dan nampaknya, apa yang ia lakukan belakangan ini –meski
menyebabkannya menjadi sasaran kritik bekas pendukungnya-adalah sebuah
upayanya untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Dalam artikelnya, “Saya
157
Merindukan Ukhuwwah Imaniyah Islamiyah” , ia menulis pengakuan itu dengan
mengatakan:
“...Saya lupa dengan keadaan yang sesungguhnya mayoritas umat di Indonesia yang tingkat pemahamannya amat rendah tentang Islam. Saya saat itu menganggap tingkat pemahaman umatku sama dengan tingkat pemahaman murid-muridku. Akibatnya ketika saya menyikapi penyelewengan umat dari As-Sunnah, saya anggap sama dengan penyelewengan orang-orang yang ada di sekitarku yang selalu saya ajari ilmu. Tentu anggapan ini adalah anggapan yang dhalim. Dengan anggapan inilah saya akhirnya saya ajarkan sikap keras dan tegas terhadap umat yang menyimpang dari As-Sunnah walaupun mereka belum mendapat penyampaian ilmu Sunnah. Sayapun sempat menganggap bahwa mayoritas kaum muslimin adalah Ahlul Bid’ah dan harus disikapi sebagai Ahlul Bid’ah. Maka tampaklah Dakwah Salafiyyah yang saya perjuangkan menjadi terkucil, kaku dan keras. Saya telah salah paham dengan apa yang saya pelajari dari kitab-kitab para Ulama’ tersebut di atas tentang sikap Ahlul Bid’ah. Saya sangka Ahlul Bid’ah itu ialah semua orang yang menjalankan bid’ah secara mutlak.” (Majalah Salafy, 2005: 9-10).
Penyebutan Salafy menjadi Haraki dan Yamani atau yang lain, sebenarnya
adalah penyebutan label yang diberikan oleh orang luar Salafy. Orang-orang
Salafy sendiri tak suka dengan sebutan dan pengelompokan itu.
“Penyebutan Salafy Haraki dan Salafy Yamani, adalah sebutan bagi orang-orang di luarnya. Sedangkan saya dari sejak pertama kali mengikuti manhaj ini tidak pernah ada perbedaan-perbedaan. Dan hal ini telah dijelaskan 6 tahun yang lalu oleh Syaikh Salim bin Ied Al Hilali hafizhahulloh. “Karena sesungguhnya, barangsiapa yang telah tetap kesalafyyahannya maka dia adalah saudara kita, sama saja baik dia berada dari bagian barat bumi ataupun timurnya... Adapun memilah-milah dakwah salafyyah menjadi salafyyah Syamiyah atau Salafyyah Hijaziyah atau Salafyyah Maghribiyah atau Salafyyah Yamaniyah, maka kami berlepas diri dari pemilah-milahan ini, karena salafyyah itu satu!!! Telah wafat para imam kita dan mereka semua bersepakat di atasnya, telah wafat al-Albani dan beliau mencintai Ibnu Baz, telah wafat Ibnu Baz dan beliau mencintai al-Albani, telah wafat pula Ibnu ‘Utsaimin dan beliau mencintai keduanya, serta telah wafat permata negeri Yaman, Syaikh Muqbil dan
158
beliau mencintai seluruhnya...”Beliau hafizhahullahu juga berkata:“Dan kami dengan fadilah dari Alloh, menyebarkan manhaj ini di bumi bagian timur dan barat, dan kami tidak memilah-milah di antara salafiyyin, kami tidak mengutamakan antara satu dengan lainnya, namun kami persatukan kalimat mereka dan kami ajak mereka kepada perdamaian di antara mereka serta kami seru mereka kepada saling meluruskan di antara mereka...”. Sebenarnya permasalahan kerasnya Dakwah Ja'far Umar Thalib hafizhahulloh tidaklah beliau mengatakan bahwa dirinya adalah Yamani ataupun Haraki. Bahkan seluruh salafiyyin yang ada di dunia ini tahu tak ada istilah itu, istilah itu hanya dibawa oleh orang-orang di luar salafiyyin yang sengaja mengotak-ngotakkan salafy untuk membuat perpecahan di kalangan salafiyyin sendiri” (http://myquran.org/forum/ index.php?topic=25024.5;wap2).
3.3 Karakter Gerakan Islam Politik di Indonesia
3.3.1 Gerakan Islam Politik di Indonesia
Mubarak menyebut berbagai gerakan militanl Islam di Indonesia dengan sebutan
GSM (Gerakan Salafy Militan). Mereka memiliki kharakter secara umum sebagai
berikut (Mubarak: 2008; Anwar, 2008: xvii-xviii):
1) GSM mempromosikan peradaban tekstual Islam. Teks sepenuhnya dipahami
sebagai teks, dan bukan sebagai wacana yang perlu ditelusuri secara integratif
dari konteks historis, sosiologis, dan latar-belakang kultural dari teks tersebut.
Nyaruis mayoritas GSM menafsirkan Alquran dengan cara ini, sehingga
melahirkan sikap kaku, literal, dan intoleran kepada sesame (muslim, pen.)
dalam kehidupan sehari-hari.
2) GSM setia kepada “Syariah Minded”. Seruan inti yang disuarakan oleh GSM
ialah formalisasi syariah di tingkat negara pada seluruh aspek kehidupan muslim,
159
seruan formalisasi syariah mulai bergema setelah runtuhnya pemerintahan Orde
Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun (Anwar, 2008:
xvii-xviii). Selama 32 tahun umat Islam terbungkam oleh pemerintahan Orde
Baru, sehingga tak berani menyempaikan aspirasinya secara politis praktis
sehingga baru saat pemerintahan Presiden B.J. Habibie krisis multidimensional
yang melanda pemerintahan NKRI, maka GSM menawarkan solusi dengan
penegakan syariat Islam di berbagai aspek kehidupan, sehingga muncullah FPI,
MMI, Lasykar Jihad, dan sebagainya.
3) Kepercayaan yang berlebihan terhadap teori konspirasi dan bahwa umat Islam
menjadi korbannya. Dalam hal ini adalah konspirasi Barat, terutama Amerika
Serikat dengan para sekutunya. Kepercayaan terhadap konspirasi ini didasarkan
pada tafsir literal-tekstual dan juga didasarkan pada ketidak-mampuan
menghadapi hegemoni kekuasaan politikm militer, ekonomi, dan Budaya Barat
secara kritis dan kreatif. Akibatnya, muncul sikap resistensi yang didasarkan
pada ideologisasi terhadap persoalan yang menyangkut hubungan Islam-Barat.
Untuk itu Barat selalu dikaitkan dengan warisan tradisi dan peradaban Yahudi-
Nasrani.
4) GSM cenderung merendahkan segala sesuatu yang berbau pluralisme. Ideologi
ini dianggap tak sesuai dengan Islam, karena Islam merupakan kebenaran
tunggal dan ideologi selain ysng mereka miliki adalah kafir (Anwar, 2008: xvii-
xviii).
160
Setiap gerakan mempunyai prioritas atau penekanan terhadap tema tertentu
dalam gerakannya, Laskar Jihad misalnya, gerakannya memberikan tekanan kepada
penegakan syariat dan pertolongan terhadap kaum muslimin yang dizalimi oleh orang
lain.
A. Maftuh Abegebriel mengatakan bahwa sudah saatnya dan seharusnya ada
garis demarkasi yang membedakan mana yang Islam dan mana yang Arab karena
Islam tidak identik dengan Arab dan sementara keduanya adalah komponen yang
incomparable. Pemaksaan kebijakan-kebijakan yang berwarna “Arab” harus
dipahami sebagai sebuah kebijakan yang lepas dari warna “Islam”. Hal ini berlaku
juga dalam ranah nilai-nilai keagamaan antara yang murni Islam dan mana yang bias
Arab termasuk kultur yang membedakan masing-masing bangsa (Abegeriel, 2004: x).
Selanjutnya dikatakan oleh Abegeriel bahwa ‘meski kami yakin bahwa Tuhan kami
sangat dan pasti mempunyai kemampuan untuk memaksa hambanya, namun jika
kemudian ada pemaksaan nilai-nilai kultur suatu bangsa misalnya pengharusan
pakaian khas Arab yang bernama “Jubah dan Surban” untuk menggantikan “Sorjan
dan blangkon” Yogya atas nama Tuhan, maka kami akan mengadakan “Kudeta
Teologis” dan menggantinya dengan Tuhan yang baru’. ‘Kami sangat yakin bahwa
Tuhan yang kami kenal dengan sebutan “Allah” lewat kitab “Aqidatul Awwam”
samengan “Al-Ibanah Al-Ushul Ad-Diyaanah”; “Maqaalat Al-Islaamiyyah”; “Minhaj
As-Sunnah An-Nabawiyyah’, dan juga “Al-Ushul Al-Khamsah”, tidak mengharuskan
penghapusan sebuah kultur kreativitas hamba-Nya atAs nama “Hegemoni Tuhan”
(Abegebriel, 2004: x-xi). Karena sebuah Hadis harus dipahami secara cermat dalam
161
kapasitas apa Nabi Muhammad merilis Hadis tersebut, apakah Muhammad sebagai
salah satu orang Arab dengan segala setting kulturalnya, dan apakah Muhammad
sebagai Rasul yang membawa pesan-pesan ke-Tuhanan, sehingga pemetakan ini
amatlah penting guna memahami sabda Nabi sebagai nasihat yang bersifat kultural
dan pesan Nabi sebagai nasihat keagamaan yang bersifat mengikat dan harus diikuti
(Abegebriel, 2004: x).
Gerakan Islam politik yang berskala internasional seperti Alqaeda dan Jamaah
Islamiyah, gerakannya bersifat global dan internasional. Dari hasil penyergapan
terhadap Noordin, yang ditemukan oleh Densus-88 beberapa bukti penting, di
antaranya dokumen Al-Qaeda Asia Tenggara (dalam bahasa Arab), Laptop, teropong
binokuler, handycam, kamera digital, senjata laras panjang dan pistol baretta milik
Noordin. Dari dokumen, terbaca adanya prosedur kaderisasi dan langkah-langkah
menyelamatkan organisasi. Dokumen juga menyebutkan tanzhim Al-Qaeda di
Afghanistan secara resmi mengakui Noordin, Syahrir, Syaefuddin Jaelani dan
Ibrohim sebagai pimpinan wilayah Asia Tenggara. Al-Qaeda juga menyatakan akan
memberikan dukungan dan pembelaan terhadap semua tindakan kelompok Noordin
di Asia Tenggara. Dari laptop yang disita, juga terdapat dokumen dalam format pdf
berisi manual pembuatan bom rakitan. Manual lengkap dari mulai mencari bahan
hingga cara meledakkannya (Ramelan, 2009: http://umum.kompasiana.com/
2009/09/19/al-qaeda-di-indonesia-dari-dokumen-noordin-14499.htm).
Informasi intelijen yang sangat penting dari dokumen tersebut adalah benar,
posisi Noordin sebagai pimpinan Al-Qaeda Wilayah Asia Tenggara. Ternyata
162
menyempalnya Noordin dari JI, secara resmi telah mendapat pengakuan serta
dukungan dari tanzhim Al-Qaeda di Afghanistan. Yang cukup mengejutkan, ternyata
Ibrohim yang hanya bekerja sebagai tukang bunga di Hotel JW Marriott dan
kemudian mati tertembak beberapa waktu lalu juga seorang tokoh besar, yang duduk
menjadi pimpinan wilayah Asia Tenggara. Dari empat nama yang disebut, kini tersisa
nama dua orang pimpinan Al Qaeda Asia Tenggara yang masih bebas, yaitu
Muhammad Syahrir dan Syaifudin Zuhri. Kedua orang itu adalah kakak beradik, dan
juga masih mempunyai tali persaudaraan dengan Alm Ibrohim. Syahrir alias Aing
belakangan diketahui sebagai ahli mesin pesawat terbang dan pernah bekerja di
Garuda Indonesia. Sementara Syaifuddin Zuhri tercatat pernah mengenyam
pendidikan tinggi di Yaman. Dalam berbagai aksi teror bom, dialah yang oleh polisi
dicurigai sebagai perekrut ‘pengantin’ atau pelaku bom bunuh diri (Ramelan, 2009:
http://umum.kompasiana.com/ 2009/09/19/al-qaeda-di-indonesia-dari-dokumen-noor-
din-14499.htm).
3.3.1.1 DI (Darul Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia).
Gerakan Islam radikal dapat ditelusuri jejaknya hingga ke belakang, terutama
sejak munculnya oposisi politik di bawah bendera Darul Islam, dalam khazanah
politk Indonensia dipakai untuk menunjuk pada suatu gerakan yang terjadi sesudah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 yang dimaksudkan untuk
merealisasikan cita-cita Negara Islam Indonesia, demikian dikatakan Dijk (1987:1).
Darul Islam pimpinan S.M. Kartosuwiryo, yang beroperasi di beberapa tempat di
Jawa Barat pada awal 1950-an (Mubarak, 2008: 8). Menurut Nieuwehuije asal mula
163
gerakan ini merupakan gerakan lokal yang berpusat di Jawa Barat, tepatnya berada di
wilayah Tasikmalaya dan Ciamis. Tokoh yang disebut dibalik gerakan ini adalah para
kiai, di antaranya adalah Kiai Jusuf Tauziri. Semula, pimpinan gerakan yang berada
di tangan para kiai, secara perlahan beralih ke tangan salah seorang politikus yang
bernama Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Disebutkan oleh Hiroko Horikoshi, Kiai
Jusuf Tauziri menarik dukungannya ketika Kartosuwirjo memberontak terhadap
Republik Indonesia pada tahun 1949 (Dijk, 1987: 5).
Kegagalan para politisi Islam Indonesia dalam memperjuangkan “Tujuh kata”
pada rumusan Pancasila di Piagam Jakarta dinilai menimbulkan kekecewaan yang
memdalam di kalangan Islam Militan. Selang 3 tahun``setelah proklamasi
kemerdekaan RI, tepatnya 7 Agustus 1948, di bawah pimpinan S.M. Kartosuwiryo
diproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Pada waktu proklamasi NII, didukung
dengan Tentara Islam Indonesia yang terdiri dari milisi Sabililah dan Hizbullah, yang
ketika itu berkuasa di 3 daerah pertahanan, yaitu: Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya
(Yunanto dkk., 2003: 4-5). Dikatakan bahwa ke 3 daerah itu berada di wilayah
Jawa Barat, padahal daerah-daerah itu telah ditinggalkan oleh TNI karena ibu kota RI
memusat di Yogyakarta, sedangkan dalam Perjanjian Renville, Belanda memaksa
penyerahan Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, dan Sumatera ke dalam penguasaan
Belanda. Gerakan DI ini hanya bertahan sampai pertengahan 1950, lantaran
perpecahan internal dan tidak adanya dukungan masa petani di Jawa Barat. Pada
1962, Kartosuwiryo ditangkap, dan sisa-sisa pengikutnya meneruskan perjuangan
dengan teror-teror di kemudian hari (Yunanto dkk., 2003: 5).
164
Eksekusi mati terhadap Kartosuwiryo pada 4 September 1962 telah
mengakhiri kiprah perjuangan Kartosuwiryo, tetapi ideologi dan gerakan yang
dirintisnya tidak juga menjadi pupus. Gerakan DI/TII ini setelah mengalami proses
beberapa kali evolusi, dan terbelah menjadi beberapa faksi, beberapa di antaranya
menjadi cikal bakal berdirinya gerakan radikal Islam di Indonesia, sejak era
pascakemerdekaan hingga masa sekarang ini (Mubarak, 2008: 107). Sepeninggal
Daud Beureuh, bibit ikhtilaf mulai tampak akibat adanya struktur baru yang dibentuk
Ali Murtopo bersama orang-orang yang berkhianat semasa Kartosuwiryo. Pada 1980
muncul berbagai faksi yang tersebar di seluruh Indonesia: (1) Faksi Atjeng Kurnia,
meliputi daerah Bogor, Serang, Purwakarta, dan Subang; (2) Faksi Ajengan Masduki,
meliputi daerah Cianjur, Purwokerto, Subang, Jakarta, dan Lampung; (3) Faksi Abdul
Fatah Wiranagapati, meliputi daerah Garut, Bandung, Surabaya, dan Kalimantan; (4)
Faksi Gaos Taufik, meliputi seluruh wilayah Sumatera; (5) Faksi Abdullah Sungkar,
meliputi daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta; (6) Faksi Ali Hate, meliputi daerah
Sulawesi Selatan; (7) Faksi Komandemen Wilayah IX, dipimpin oleh Abu Toto
Syech Panji Gumilang (Yunanto dkk., 2003:34-35). Adanya faksi-faksi memang
disengaja merupakan koordinasi wilayah, tetapi oleh pihak lain yang tidak senang
dengan NII faksi ini disalah gunakan, demikian menurut sebuah sumber
(http://myquran.org/ forum/index.php?topic=9867.0;wap : 1999):
“Sesungguhnyalah adanya faksi-faksi bukan berarti NII terpecah. Faksi-faksi itu sesungguhnya mempunyai satu Imam Negara. Namun, dengan adanya lebih dari satu fraksi, ternyata ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk menghancurkan NII dari dalam. Namun kami
165
yakin terhadap janji Allah SWT bahwa kebathilan pasti akan dikalahkan oleh yang Haq. Untuk itu, tujuan kami mengetengahkan berita ini hanyalah dalam rangka saling menasihati dalam yang haq. Untuk itu, kami mengingatkan kita terhadap kelompok-kelompok yang mengaku akan mendirikan Negara Islam Indonesia bahkan kelompok itu dengan tanpa rasa bersalah menyebut kelompok mereka dengan Negara Islam Indonesia. Mungkin kelompok inilah yang disebut Al-Chaidar sebagai Waratsatul Mafaasid…. artikel ini ana dapat dari situs NII tapi sekarang udah ga ada…”.
3.3.1.2 Gerakan Salafy Militan
1) LPI (Laskar Pembela Islam) dan FPI (Front Pembela Islam)
Laskar Pembela Islam adalah divisi para militer Front Pembela Islam (FPI)
yang didirikan oleh Habib Muhammad Rizieq Syihab, ia dari keturunan Hadrami
(Arab) keluarga Sayyid yang terkenal sebagai dai dan guru agama di Sekolah Islam
Jamiatul Khair, Tanah Abang, Jakarta Pusat (Hasan, 2008: 3-4). FPI dideklarasikan
pada 17 Agustus 1998 di Pondok Al-Um, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan
(Yunanto dkk., 2003: 52).
Ketika proses reformasi terjadi, sebagian umat Islam menggalang kekuatan
untuk mengambil peran politik yang lebih strategis, Bagi FPI, reformasi merupakan
peluang untuk merebut kembali hak-hak umat Islam yang terampas oleh negara pada
masa Orde Baru. Saat reformasi terjadi, kekuatan negara dan aparaturnya terasa
hilang, saat itu merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk menawarkan nilai-nilai
Islam sebagai alternatif untuk menjawab problem bangsa tanpa harus khawatir
dicurigai dan dituding sebagai ekstrim kanan, maupun fundamentalis yang harus
166
diberangus, bahkan mereka merasa bangga dengan sebutan-sebutan tersebut (bdk.
Ngatawi, 2002: 84).
Dalam menghadapi situasi dan penyelesaian masalah-masalah khusus, FPI
membentuk badan yang berada di bawah komando. Badan-badan itu adalah : BIF
(Badan Intelejen Front), BAT (Badan Anti Teror), BPM (Badan Pengkaderan
Mujahidin), BBH (Badan Bantuan Hukum), BPF (Badan Pencari Fakta), dan BAF
(Badan Ahli Front). Di samping itu FPI membentuk LPI (Laskar Pembela Islam)
yang memiliki struktur khusus dan diatur dalam ketetapan tersendiri. Anak organisasi
ini bertujuan untuk mempercepat tercapainya cita-cita organisasi (Yunanto dkk.,
2003: 53).
Semakin besarnya tekanan dunia internasional dan publik dalam negeri (dengan
suatu harapan) agar pemerintah bersikap lebih tegas terhadap organisasi Islam radikal
ini, akhirnya membuahkan hasil berupa pembubaran diri Laskar Jihad dan
pembekuan LPI (Laskar Pembela Islam), baik Ja’fat Umat Thalib maupun Habib
Rizieq dalam beberapa waktu harus berhadapan dengan proses peradilan (Mubarak,
2008: 56). Organisasi ini sudah cukup kuat, sehingga kalau pun membubarkan diri
atau dibubarkan, masih dapat lagi berbentuk organisasi lain dengan visi yang sama.
“Salah seorang deklarator FPI Habib Rizieq pernah mengatakan, ‘Kalau semua petani menanam padi dan tak ada yang memberantas hama, maka bersiaplah menerima panen yang gagal. Kalau semua petani memberantas hama dan tak ada yang menanam padi maka bersiaplah tidak makan. Kedua pekerjaan itu harus dilakukan secara harmonis. Demikian juga amar ma’ruf dan nahi munkar, keduanya harus ada yang melakukan. Karena itu harus ada rakyat yang bekerja untuk membangun negeri dan harus ada polisi yang menjaga keamanan rakyat. Dan sebagai negara dengan mayoritas Islam maka di Indonesia harus ada pula umat Islam yang menjaga
167
keamanan agama Islam. Untuk itulah FPI didirikan. Semoga ini menjadi pembagian tugas harmonis yang saling menguatkan.”“Pernyataan Rizieq bukan tanpa alasan. Baik aparat penegak hukum maupun umat Islam tak mampu berbuat semestinya ketika kemaksiatan merajalela. Begitu juga dengan kasus-kasus pelecehan Islam yang seringkali dianggap sebagai ungkapan kebebasan berekspresi, tak membuat pemerintah tanggap menghukum pelakunya, dibiarkan bebas seolah-olah negeri ini membuka ruang pelecehan bagi kesucian agama Islam” (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/174364-bekukan-tiga-ormas-anar-ki: 2012).“Sikap FPI tergambar dari pernyataan Ketua FPI Habib Rizieq Shihab di situs resmi ormas itu pada 12 Juli (2010) lalu. Di situ ia menyatakan telah sejak lama mensinyalir adanya konspirasi untuk membubarkan FPI. Menurut dia, penyebabnya karena FPI yang dia klaim beranggotakan 7 juta orang ‘paling keras dalam memberantas kemaksiatan di Indonesia’".“Dia (Rizieq) sendiri menyatakan tidak masalah FPI dibubarkan. "Kalau hari ini FPI dibubarkan, maka besok akan saya bikin Front Pecinta Islam. Dengan singkatan yang sama, pengurus yang sama, gerakan yang sama dan wajah yang sama pula, kan UU tidak melarang", kata Rizieq. "Jadi saya tidak pernah pusing dengan pembubaran." (http://fokus.news.viva.co.id/ news/read/174364-bekukan -tiga-ormas-anarki: 2010).
3.3.1.3 Gerakan Salafy Militan Lokal: di luar Yogyakarta dan Surakarta
1) KPPSI (Komite Persiapan Pelaksanaan Syariat Islam) di Sulawesi Selatan
Seminar tentang Syariat Islam melahirkan rekomendasi menuntut diseleng-
garakan Konggres Umat Islam (KUI), dalam rangka mewujudkan syariat Islam di
Pemerintahan Daerah Sulawesi Selatan. Di bawah koordinasi FUI Sulawesi Selatan
konggres umat Islam berhasil terlaksana tanggal 19-21 Oktober 2000 di Makassar,
dihadiri oleh para tokoh dari berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, partai politik
Islam, lembaga-lembaga Islam, ulama, kaum intelektual muslim, dan aktivis dakwah
di Provinsi Sulawesi Selatan (Ramly, 2006: 145). Konggres Umat Islam kemudian
menjadi latar belakang berdirinya KPPSI sebagai wadah politik perjuangan
168
penegakan syariat Islam secara konstitusional di Sulawesi Selatan. Yakni perjuangan
menegakkan syariat Islam yang secara teoretis seharusnya tidak bertentangan dengan
nilai-nilai demokrasi, konstitusi Indonesia bersumebr pada Pancasila danUUD 1945
(Ramly, 2006: 146).
Sebenarnya di Makassar, aksi-aksi untuk menggalang dukungan pemberlakuan
syariat Islam telah berlangsung dengan gencar. Gerakan ke arah ini telah dirintis sejak
dilangsungkannya Konggres Umat Islam I di Makassar diusulkan berdirinya KPPSI
dengan dipimpin oleh Abdul Aziz Kahhar Muzakkar, putera bungsu tokoh DI/TII
Kahar Muzakkar (Mubarak, 2008: 182).
2) Hizbut Tahrir Indonesia atau Partai Pembebasan (Party of Liberation)
Hizbut Tahrir artinya ‘partai pembebasan’ berdiri untuk berjuang menegakkan
suatu pemerintahan berdasarkan apa yang diyakini sebagai sesuatu perintah Allah,
yaitu tegaknya kembali khilafah (Hizbut Tahrir Indonesia: 2006). Sang pendiri partai
pembebasan ini yaitu Syeh Taqiyuddin An-Nabhani dilahirkan di komunitas pecinta
ilmu/ gudang ilmu. Kakeknya, yaitu Syeh Husein An-Nabhani adalah ulama besar di
zaman Khilafah Usmaniyah. Syeh Taqiyuddin adalah sarjana bidang peradilan dan
berpendidikan terakhir Al-‘Alamiyah atau setara Doktor. Di Palestina ia aktif di
bidang pendidikan dan terakhir bertugas di bidang peradilan, dan aktif di Mahkamah
Tinggi di Palestina (Jahroni, 2004: 161-178).
Hizbut Tahrir bercita-cita membangun tatanan masyarakat dan sistem politik
berdasarkan landasan aqidah Islam (Rahmat: 2005). Selanjutnya dia mengatakan
169
bahwa. Islam harus menjadi tata aturan kemasyarakatan dan menjadi dasar konstitusi
dan undang-undang. Selain bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari
kemerosotan, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan
hukum-hukum yang tidak berasal dari Islam, serta membebaskan umat Islam dari
dominasi dan pengaruh Barat, Hizbut Tahrir juga bercita-cita membangun kembali
Daulah Khilafah Islamiyah di seluruh dunia. Melalui penegakan Daulah Khilafah
Islamiyah, Hizbut Tahrir berkeyakinan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan
(Rahmat, 2005: 48-49).
Ada yang berpendapat bahwa Hizbut Tahrir masuk di Indonesia sejak 1972
(Yunanto dkk. 2003: 61). Gerakan Hibut Tahir Indonesia (HTI) berdiri di Bogor pada
tahun 1980-an pemikiran Hizbut Tahrir dibawa ke Indonesia oleh Ustaz Mama
Abdullah Bin Nuh, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ghazali, Bogor. Abdullah Bin
Nuh mengajak aktivis Hizbut Tahrir Ustaz Abdurrahman Al-baghdadi, yang semula
tinggal di Australia untuk menetap di Bogor. Mulai saat itu aktivis berinteraksi
dengan mahasisa IPB Bogor, dan selanjuytnya Hizbut Tahrir berkembang ke seluruh
Indonesia, termasuk Solo dan Yogyakarta (Lihat Majalah Sabili, 2003: 143). Saat ini
HTI dipimpin oleh Ismail Yasanto.
Organisasi ini merupakan pecahan dari Gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir.
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali (keberadaan umat Islam) dari
kemerosotan yang amat parah, membebaskannya dari ide-ide, sistem perundang-
undangan dan hukum kufur, dan membebaskan dari dominasi negara-negara kafir
170
dengan membangun Daulah Islamiyyah (pemerintahan Islam) dan mengembalikan
Islam kepada kejayaannya masa lampau (Yunanto dkk., 2003: 61).
3) Komji (Komando Jihad)
Munculnya Komji ini diciptakan oleh pemerintah Orde Baru untuk menimbulkan
kesan bahwa pemerintah RI mendapat ancaman dari kelompok ekstrim kanan, setelah
sebelumnya yaitu tahun 1965 pemerintah dapat menyelesaikan ancaman dari ekstrim
kiri PKI (Yunanto dkk. 2003: 8). Cara yang dipakai oleh Ali Murtopo sebagai Ketua
Bakin (Badan Koordinasi Intelejen Negara) untuk mendeteksi keberadaan para aktivis
NII, DI, dan TII adalah dengan cara merekrut para aktivis DI yang baru keluar dari
penjara pada dasawarsa 1960-an. Dengan siasat untuk tujuan mengganyang PKI, para
aktivis DI itu masuk dalam pembinaan BAKIN hingga akhirnya PKI dibubarkan.
Rangkaian pembinaan terhadap aktivis DI itu memunculkan gerakan “Komando
Jihad” (Yunanto dkk., 2003: 8).
Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan,
ketika Ali Murtopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali
kekuatan NII, guna menghadapi bahaya laten komunis dari utara maupun dalam
rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali Murtopo ini selanjutnya diolah Danu
Mohammad Hasan dan dipandu Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda,
Tahmid Rahmat Basuki (anak SMK), dan H. Isma’il Pranoto (Hispran). Keberadaan
dan latar belakang Pitut Suharto yang memiliki kedekatan hubungan pribadi dengan
Andi Sele di Makassar, juga dengan H. Rasyidi di Gresik Jawa Timur, pada tahun
1968 akhirnya ditugaskan Ali Murtopo untuk mengolah hubungan dan keberadaan
171
para mantan petinggi NII yang sudah dirintisnya sejak 1965 tersebut dengan
kepentingan membelah mereka menjadi 2 faksi. Faksi pertama diformat menjadi
moderat untuk memperkuat Golkar, dan faksi kedua diformat bagi kebangkitan
kembali organisasi Neo NII (Abduh: 2006).
Resistensi terhadap situasi yang penuh ketakutan dan ancaman ini meledak
dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, sekelompok orang yang bergabung
dalam Komji, di bawah kepemimpinan Ismail Pranoto melakukan serangan-serangan
bom di Jawa dan Sumatera: yang lain dipimpin oleh Abdul Qadir Djaelani dan
menyebut dirinya”Pola perjuangan revolusioner Islam” menyerang gedung MPR
pada SU MPR Maret 1978, tidak kurang pentingnya adalah serangkaian pembunuhan
dan perampokan yang dilakukan oleh sekelompok radikal pimpinan M. Warman,
yang dikenal dengan “Teror Warman” dan serangan-serangan kelompok pimpinan
Imran M. Zein yang ditujukan kepada sejumlah fasilitas pemerintah, yang berpuncak
pada pembajakan pesawat Garuda Indonesia pada 28 Maret 1981. Dipimpin para
veteran Darul Islam Jawa Barat yang sebelumnya dipakai oleh operator-operator
intelejen Murtopo untuk menghancurkan komunis, kelompok-kelompok ini beraksi
karena satu tujuan yang sama, yaitu melakukan revolusi melawan Suharto dan
mendirikan Negara Islam. Meskipun demikian, Suharto tak bergeming dan dengan
konsisten menghancurkan pemberontakan-pemberontakan itu dengan kekuatan
bersenjata. Menyusul peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang menewaskan
jumlah korban yang cukup besar (Hasan, 2008: 48-49).
172
Di kalangan pemuka muslim garis keras, dikatakan bahwa serangkaian peristiwa
radikalisme itu jika dilihat secara kritis, tak lebih dari sebagai projek Operasi Khusus
(Opsus) pemerintah, mereka tampil dalam lembaga yang tidak resmi tetapi memiliki
kewenangan yang luas, yang diotaki Ali Murtopo. (Mubarak, 2008: 80). Dikatakan
pula bahwa menurut pandangan Natsir, dikemukakan bahwa orang-orang yang
terlibat dalam beberapa kejadian teror tersebut merupakan bekas aktivis DI/ TII yang
direkrut dan dibina oleh Ali Murtopo, termasuk orang yang dibina adalah Haji Ismail
Pranoto yang terlibat peristiwa Komando Jihad. Isu-isu yang dipakai Ali Murtopo di
antaranya adalah bahwa kaum komunis akan come back, oleh sebab itu maka para
tokoh DI/ TII ditawari persenjataan untuk melawan kaum komunis tersebut (David
Jenkins dalam Mubarak, 2008: 80-81).
Mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang pada akhir 1970-an merupakan
rival politik Ali Murtopo (memperebutkan posisi Wakil Presiden), menjelaskan
secara gamblang adanya keterkaitan Ali Murtopo dengan bekas anggota DI. TII. Ali
meyakinkan para aktivis tersebut bahwa jika kelak Ali menang, maka pintu untuk
mendirikan Negara Islam akan terbuka lebar (Mubarak, 2008: 81). Sehubungan
dengan aksi yang dilakukan oleh Imran berupa pembajakan pesawat Garuda DC-9 di
Woyla, maka Jenderal Soemitro mengatakan bahwa aksi ini adalah rekayasa Opsus.
4) NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) dan Gerakan Islam di Jawa Barat.
Perjuangan ke arah pemberlakukan syariat Islam dalam Perda-perda te;lah
meningkat aplikasinya. Ada kecenderungan dari gerakan Islam untuk pemberlakuan
syariat Islam. Kebijakan yang bersifat istimewa dari pemerintah pusat terhadap Aceh
173
merupakan upaya pemerintah untuk meredam konflik yang telah berlangsung lama.
Penerapan Syariat ini telah dirintis pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
dengan ditetapkannya UU nomor 44 tahun 1999 yang menyatakan: “Diberikannya
kebebasan kepada masyarakat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dalam bidang
adat, pendidikan, dan agama (Mubarak, 2008: 173-174). Penerapan hukum
berdasarkan Islam telah diterapkan dalam produk hukum/Qanun pada tahun 2003,
dan diaplikasikan di masyarakat pada tahun 2005. Tahun 2005 di NAD telah dapat
menghasilkan 18 Perda dan Peraturan Gubernur berdasarkan syariat Islam (Nashir,
2006: 65).
Gerakan Syariat Islam muncul di Jawa Barat sebagaimana juga di daerah lain
bersamaan dengan isu diusungnya Piagam Jakarta oleh para ormas Islam. Daerah-
daerah yang mengusung diberlakukannya syariat Islam tersebut adalah: Cianjur,
Tasikmalaya, Garut, dan Indramayu. Legislasi syariat Islam di Jawa Barat belum
sampai pada tingkat Perda tetapi sudah mulai dirintis dengan Surat Keputusan/ Surat
Edaran Bupati (Nashir, 2006: 64-65).
3.3.2 GIP Yogyakarta: Laskar Jihad dan MMI
1) . Laskar Jihad
Laskar Jihad adalah kelompok para militer yang menyatukan para pemuda yang
menyebut diri mereka “salafy” (Hasan, 2008: 7). Kelompok ini aktif di bawah
organisasi FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlus-Sunnah wal Jamaah). Organisasi ini
diperkenalkan pertama kali di Yogyakarta, pada saat Tabligh Akbar Januari 2000,
Sumber lain mengatakan bahwa Laskar Jihad diperkenalkan pertama kali ketika
174
dilaksanakan Tabligh Akbar di Gelora Manahan Solo, 14 Februari 1998 (Mujahid,
2013: 23-27). Sebelum FKAWJ diresmikan, organisasi ini telah ada terlebih dahulu
ada dengan nama Jamaah Ihya’us-Sunnah, organisasi ini merupakan gerakan
dakwah yang berfokus pada pemurnian iman dan integritas moral pribadi-pribadi
(Hasan, 2008: 7). Sebuah sumber mencatat FKAWJ lahir bulan April, saat
meletusnya kasus Sara di Ambon (Majalah Salafy, 2005: 13). Pada tanggal 7 Oktober
2002 Ja’far Umar Thalib membubarkan diri Laskar Jihad tersebut (Wawancara News
Virginia dengan Thalib 15 Maret 2011).
Sebelum Laskar Jihad berdiri, lembaga ini melakukan Tabligh Akbar di Solo dan
Yogyakarta Januari 2000 (Yunanto dkk., 2003: 44). Laskar Jihad didirikan pada
Tabligh Akbar di Senayan 6 April 2000, oleh Ja’far Umar Thalib (Yunanto dkk. ,
2003: 44). Ia (Thalib) lahir 1961, keluarga Arab Hadrami yang aktif di organisasi Al-
Irsyad, yaitu organisasi Islam modern kalangan Hadrami non-sayyid. Laskar Jihad
didukung oleh beberapa tokoh salafy yang lain, yaitu Muhammad Umar As-Sewed,
Ayip Syafruddin, dan Ma’ruf Bahrun. Salah satu gerakan Islam tersebut adalah yang
menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Salafiyah. Salah satu peristiwa fenomenal
gerakan ini di Indonesia, yang sempat “menghebohkan” adalah kelahiran Laskar
Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pasca meletusnya konflik bernuansa
Sara di Ambon dan Poso (Majalah Salafy, 2005: 13). Berdasarkan hadis ini, maka
yang dimaksud dengan As-Salaf adalah para sahabat Nabi saw,kemudian tabi’in, lalu
atba’ al-tabi’in. Karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan
Al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan) (Ath-
175
Thalibi, 2006: 8). Sebagian ulama kemudian menambahkan label Ash-Shalih
(menjadi As-Salaf ash-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan
pendahulu kita yang lain (Al-Jazairi, 1997: 30). Sehingga “seorang salafi” berarti
seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-
tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka. Sampai di sini nampak
jelas bahwa sebenarnya tidak ada masalah yang berarti dengan paham Salafiyah ini,
karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat
Nabi saw dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya itu; tabi’in dan atba’ al-
tabi’in. Atau dengan kata lain seorang muslim manapun sebenarnya sedikit-banyak
memiliki kadar kesalafian dalam dirinya meskipun ia tidak pernah mendakwakan diri
bahwa ia seorang salafi. Sebagaimana juga pengakuan kesalafian seseorang juga tidak
pernah dapat menjadi jaminan bahwa ia benar-benar mengikuti jejak para As-Salaf al-
Shalih, dan hal ini sama dengan pengakuan kemusliman siapapun yang terkadang
lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka. Mereka memiliki beberapa ide dan
karakter yang khas, yang kemudian membedakannya dengan gerakan pembaruan
Islam lainnya. Laskar Jihar dibubarkan oleh ketuanya sendiri yaitu Ja’far Umar
Thalib, pada 7 Oktober 2002 (Wawancara, 15 Maret 2011).
“Visi kita membentuk Laskar Jihad tepatnya pada tanggal 6 April tahun 2000 itu ialah karena keputus-asaan kita, yakni harapan kita agar pemerintah Indonesia melindungi rakyatnya khususnya kaum Muslimin di Maluku. Sehingga dengan sebab itu kita tergerak untuk membentuk Laskar Jihad sebagai ganti daripada hak perlindungan yang hilang bagi umat Islam. Lusile: Sebenarnya masalah yang terjadi diMaluku itu bagaimana? Ustadz: Di Maluku terjadi peristiwa pembantaian kaum muslimin sejak tanggal 19 Januari tahun 1999 yang dilakukan oleh kelompok RMS (Republik Maluku Selatan), di mana mereka menggunakan Gereja sebagai
176
jalur mobilisasi gerakan di kalangan komunitas Kristen. Dan yang dijadikan sasaran ialah para penentang gerakan RMS yaitu kaum Muslimin. Lusile: Apa benar Mr. Thalib yang memobilisasi kaum Muslimin untuk berangkat jihad ke Maluku? Ustadz: Ya, saya memobilisasi gerakan jihad ke bumi Maluku adalah untuk memerangi kelompok RMS, di mana mereka memangsa kaum Muslimin di Maluku sehingga seolah-olah kami berhadapan dengan komunitas Kristen di sana, padahal sesungguhnya kami berhadapan dengan kelompok RMS ini. Sebab jika semata-mata hanya komunitas Kristen yang kita hadapi, maka sesungguhnya tidak perlu kami pergi ke Maluku, karena di Jogja sini banyak yang bisa kita lakukan. Namun permasalahannya bukan menghadapi komunitas Kristen atau Katolik, akan tetapi yang kita hadapi ialah kelompok RMS yang berlindung dibalik Gereja. Lusile : Apakah kelompok RMS ini didominasi oleh Kristen? Ustadz: Yaa memang didominasi oleh Kristen, dan mereka bergerak di balik Gereja protestan Maluku. Lusile: Bagaimana anda menyikapi hal ini, karena mungkin tidak semua orang itu bersalah dan bisa jadi ada orang yang tidak bersalah itu terbunuh? Ustadz: Ya memang kondisi perang di mana Gereja yang memobilisasi masyarakat Kristen Maluku untuk dilibatkan secara keseluruhan ketika berhadapan dengan kekuatan pemerintah Indonesia, dan kemudian berhadapan dengan kami Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Padahal sesungguhnya jika kami mengetahui adanya orang-orang yang tidak terlibat dari kalangan komunitas Kristen dengan mereka, maka tentunya kami akan melindunginya seperti yang kami lakukan terhadap komunitas Kristen di daerah kota Jawa pulau Ambon. Lusile: Masyarakat Internasional menganggap ini sebagai tindakan terorisme, bagaimana tanggapan anda?” (Wawancara News Virginia dengan Ja’far Umar Thalib, 15 Maret 2011).
2) MMI (Majelis Mujahidin Indonesia)
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), organisasi ini lahir pada Agustus 2000,
dengan ketua atau Amirul Mujahidin pertama, yaitu K.H. Abu Bakar Ba’asyir.
Menurut sebuah sumber, MMI lahir pada saat dilaksanakan Konggres I tanggal 05-07
Agustus 2000 di Yogyakarta. Saat konggres tersebut hadir kira-kira 1500 orang dari
berbagai unsur Islam di tanah air, Moro Filipina, Malaysia, dan Saudi Arabia.
Organisasi ini berdiri berdasarkan gagasan beberapa tokoh penting yaitu Irfan
Suryahardi Awwas, Prof. Dr. Deliar Noer, Ir.H.Syahirul Alim, M.Sc., Mursalin
177
Dahlan, dan K.H. Mawardi Noor, S.H. (Wikipedi Indonesia, Ensiklopedi Bebas
Berbahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis Mujahidin Indonesia, Mei
2006)
Visi MMI adalah Tathbiqu sy-Syari’at artinya ‘Menegakkan syariat’ dalam
kehidupan umat Islam di Indonesia secara kaffah (lihat: Abubakar Ba’asyir, 2001: 79-
90). Menurut MMI, penerapan syariat merupakan implementasi dari semangat tauhid,
pengakuan akan keesaan Allah. Dalam kehidupan bangsa Indonesia, yang
berketuhanan Yang Maha Esa sudah semestinya aspirasi yang merupakan kesadaran
berketuhanan ini tidak boleh dihalang-halangi. Adapun syariat yang dimaksudkan
adalah sistem kehidupan yang digariskan Allah untuk para hamba-Nya yang dibawa
oleh Rasulullah Saw.
Adapun Misi MMI adalah berjuang menyatukan potensi dan kekuatan mujahidin
agar syariah Islam menjadi sumber rujukan tunggal bagi sistem dan kebijakan
kenegaraan Indonesia dan di dunia, Tuntutan terhadap formalisasi syariat di Indonesia
bagi MMI adalah mutlak dan tak dapat ditawar. Menurut pernyataan Ustaz
H.Abubakar Ba’asyir ketika ditemui penulis (Istadiyantha) di rumahnya di kompleks
Pondok Ngruki mengatakan bahwa MMI tidak mengambil ajaran dari seseorang
ulama saja, dan tidak terpengaruh kepada salah satu mazhab, bagi MMI mazhab
apapun dan pendapat ulama manapun yang kuat argumennya diambil sebagai
pergangan MMI (Wawancara penulis dengan Ustaz Abu, Ngruki-Sukoharjo, 19
Maret 2008)..
178
Dalam sejarah perjuangan umat Islam, usaha menegakkan syariat telah ditempuh
dengan beberapa cara:
a) Secara konstitusional, yaitu perjuangan dengan masuk ke dalam lembaga seperti
MPR, DPR.
b) Dengan cara berdakwah: khutbah, majelis taklim, dan penerbitan media cetak
c) Pendidikan: sekolah, pesantren, kursus, dan pelatihan.
d) Kekuatan fisik: aksi demonstrasi dan berbagai bentuk perlawanan secara fisik.
Selama ini dalam upaya merealisasikan cita-citanya, MMI dengan menempuh
cara dakwah, baik dakwah secara politik maupun dakwah kemasyarakatan. Dakwah
secara politik dengan cara menyampaikan aspirasi kepada pejabat-pejabat pemerintah
dan lembaga tinggi negara. Penyampaian aspirasi dilakukan dalam bentuk (1)
Penyampaian beberapa surat kepada pejabat pemerintah dan lembaga tinggi Negara
(lihat buku Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir); (2) Audiensi dengan anggota
DPR, pejabat tinggi, dan tokoh organisasi massa; (3) Demonstrasi untuk sosialisasi
penegakan syariah. Dan dakwah sosial kemasyarakatan dilakukan dengan
menyelenggarakan pesantren kilat, pengajian, iktikaf, dll. Adapun guna menghadapi
kaum intelektual, dakwah yang dilakukan oleh MMI adalah dengan cara berdiskusi/
jidal.
Menurut sebuah informasi di Website (wiki/Majelis Mujahidin Indonesia: 2006)
upaya-upaya yang dilakukan oleh MMI untuk merealisasikan visi dan misinya itu
masih dalam koridor konstitusi Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Konggres
179
MMI II di Donohudan Surakarta ditegaskan bahwa MMI menolak aksi terorisme
karena bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam konggres Majelis Mujahidin I di Yogyakarta, tahun 2000 ditegaskan 5
butir kesepakatan:
1) Wajib hukumnya melaksanakan syariat Islam bagi umat Islam di Indonesia dan
dunia pada umumnya.
2) Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat syirik
dan nifaq serta melanggar hak-hak asasi manusia.
3) Membangun satu kesatuan saff Mujahidin yang kuat, baik di dalam negeri,
regional maupun internasional (antarbangsa).
4) Mujahidin Indonesia membentuk Majelis Mujahidin menuju terwujudnya imamah
(khilafah/kepemimpinan umat, baik di dalam negeri maupun dalam kesatuan umat
Islam sedunia.
5) Menyeru kepada kaum muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di
seluruh penjuru dunia demi tegaknya Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin
(Mubarak, 2008: 215, 218-219; Yunanto dkk., 2003: 37-38).).
Jika ditilik juga gerakan Al-Ikhwan yang merupakan organisasi Islam yang
memiliki pengaruh internasional di kalangan muslim paling besar yang tak disamai
oleh organisasi Islam Sunni lainnya. Gerakan organisasinya amat rapi, praktis, dan
modern, serta meliputi berbagai aspek kehidupan. Karakter gerakan Al-Ikhwan amat
khas, tujuannya menegakkan syariat Islam, dan menurut keyakinan mereka syariat
Islam bukan hanya mengatur aspek ritual tetapi harus diimplementasikan dalam
180
berbagai aspek kehidupan. Mereka menggunakan strategi gerakannya secara
konstitusional dan cara lain yang kadang-kadang berseberangan dengan kebijakan
pemerintah. Cara konstitusionalnya adalah dengan masuknya kelompok Al-Ikhwan
dalam kancah partai politik sebagai suatu kelompok oposisi dan secara umum Al-
Ikhwan berhasil memenangkan pemilu (1987) di Mesir. Adapun cara-cara yang dapat
dipandang sebagai berseberangan dengan pemerintah adalah sebagaimana dikatakan
oleh Al-Banna bahwa: …dan Nabi Muhammad Saw. tidak pernah mengisyaratkan
harus tunduk kepada suatu pemerintah, agama tak dapat dipisahkan dengan politik,
jika ada pihak yang berprasangka bahwa kami akan melakukan revolusi, ketahuilah
bahwa kami menegakkan kebenaran dan perdamaian yang menjadi keyakinan kami
…(Osman, 2005: 45).
Berdasarkan visi, misi, doktrin, dan strategi perjuangan Al-Ikhwan dapat dilihat
adanya suatu kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh berbagai gerakan
fundamentalis yang berkembang di berbagai penjuru dunia dewasa ini termasuk
MMI. MMI bertekad untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia.
Masing-masing memiliki sisi kelebihan dan kekurangannya. Pada pra berdirinya
MMI, beberapa kader MMI juga mengambil cara-cara untuk mengorganisasi
anggotanya sebagaimana cara yang pernah dilakukan oleh Al-Ikhwan, misalnya
“masing-masing organisasi itu menggembleng anggotanya dalam suatu unit kecil
yang disebut usrah, setelah itu terus dimasukkan ke dalam unit yang lebih besar
melalui suatu seleksi” (Hidayat Nur Wahid pada Osman, 2005: xvi; Shamsul, 1995:
125-126). Di Indonesia organisasi MMI cukup diwaspadai oleh pemerintah RI. Masih
181
ada sinyalemen dari pihak pemerintah bahwa MMI ada persekongkolan dengan
Jamaah Islamiyah di Malaysia untuk melakukan aksi-aksi teror. Di pihak lain, pada
Konggres II MMI (2003) di Donohudan Boyolali Surakarta, telah ditegaskan lagi
bahwa MMI menolak aksi terorisme yang bertentangan dengan syariat, dan adapun
adanya pernyataan bahwa MMI membentuk Laskar Mujahidin berlatih perang,
menurut Salman Al-Farisi pernyataan itu tidak benar, karena kegiatan itu merupakan
bentuk latihan kepemimpinan yang dikemas dalam bentuk out bond, seperti yang
biasa dilakukan dalam kegiatan kepramukaan ( http://id.wikipedia. org/wiki/Majelis
Mujahidin Indonesia).2006).
3.3.3 Gerakan Islam Politik di Surakarta: JAT, FPIS, dan LUIS
Gerakan Islam Fundamentalis di Surakarta atau Solo antara lain: Front Pemuda
Islam Surakarta (FPIS) bukan Front Pembela Islam Surakarta, Forum Komunikasi
Aktivis Masjid (FKAM)-Laskar Jundullah, Barisan Bismillah (BB), Brigade
Hizbullah Partai Bulan Bintang (BHPBB), dan Gerakan Pemuda Islam Cabang
Surakarta (GPI). Selain itu, ada organisasi yang dianggap "radikal" misalnya Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), dulu tokohnya yaitu Ustad Abu Bakar Ba’asyir berada
di Sukoharjo, Surakarta (Soloraya), tetapi pada tahun 2008 Ustad Ba’asyir
mengundurkan diri dari ketua MMI, kini MMI berpusat di Yogyakarta. Sejak tahun
2008 Ustad Ba’asyir mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang di deklarasikan
di Bekasi, tokoh dan sekaligus pendirinya berdomisili di Sukoharjo, Soloraya.
1) JAT (Jamaah Ansharut Tauhid)
182
JAT didirikan oleh Ustaz Abubakar Ba’asyir pada 27 Juli 2009 di Surakarta,
dan 17 September 2008 dideklarasikan di Asrama Haji, Bekasi, Jawa Barat. Jamaah
ini merupakan organisasi yang berusaha menolong tegaknya tauhid (Mujtama’, 2008:
22). Ada kontroversi terhadap keberadaan JAT ini, satu sisi ada yang menganggap
bahwa JAT hanya organisasi dakwah biasa untuk menegakkan tauhid dan meluruskan
syariat Islam. Sisi lain ada yang menganggap JAT sebagai organisasi berbahaya.
Harian Jogja Express memberitakan tentang tuduhan pemerintah Amerika Serikat
(ASD) bahwa JAT adalah organisasi Teroris Internasional. Diberitakan selanjutnya
bahwa dengan pernyataan ini pemerintah AS memberikan sanksi tegas terhadap JAT,
baik terhadap kegiatannya maupun bagi semua kekayaan dan properti yang
dimilikinya. Pernyataan AS ini mulai diberlakukan sejak Kamis, 23 Februari 2012
waktu setempat, pernyataan ini merupakan instruksi langsung dari Presiden AS
(Jogja Express, 2012: 1). Kelompok yang berbasis di Sukoharjo, Soloraya Indonesia
ini dinilai bertanggungjawab terhadap serangkaian penyerangan terencana terhadap
warga sipil, polisi, dan personil militer di Indonesia. Pernyataan ini berkaitan dengan
pernyataan Departemen Keuangan AS terhadap 3 orang pemimpin JAT, yaitu: (1)
Pjs. Amir JAT Mochammad Achwan; Juru Bicara JAT Son Hadi bin Muhadjir, dan
tokoh pemimpin JAT Abdul Rosyid Ridho Ba’asyir yang terkait dengan proses
rekrutmen dan pengumpulan dana. .JAT dinilai berusaha untuk mendirikan khalifah
Islam di Indonesia dan juga telah melakukan serangkaian serangan terhadap anggota
pemerintahan dan warga sipil Indonesia dalam rangka mencapai tujuannya tersebut,
demikian bunyi pernyataan resmi Deplu AS (Jogja Express, 2012: 11). Abu Bakar
183
Ba’asyir Pendiri dan pemimpin JAT juga tercatat dalam daftar UN 1267 (resolusi DK
PBB) persoalan dengan Alqaeda, telah dinyatakan bersalah dan divonis penjara pada
2011 atas perannya menggelar pelatihan terorisme di Aceh, Ba’asyir disebut juga
merupakan salah satu pendiri dan mantan pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) yang juga
dinyatakan sebagai organisasi teroris asing (FTO) yang bertanggungjwab atas bom
Bali 2002. Sehubungan dengan pernyataan ini, pengurus JAT yang berbasis di Solo
menanggapi santai terhadap pernyataan AS tersebut. Dua anggota yang terkena sanksi
Depkeu AS, Abdul Rochim dan Son Hadi hanya tertawa mendengar komentar bahwa
Depkeu AS membekukan aset mereka. Abdul Rochim Ba’asyir putra Abu Bakar
Ba’asyir juga menanggapi komentar pihak AS itu dengan tertawa juga, dan Iim dari
JAT menganggap pernyataan AS itu sebagai bentuk fitnah dan kebohongan, serta
upaya mempengaruhi proses pravonis dalam kasasi Ba’asyir. Jogja Express
menambahkan bahwa pihak Polri menganggap JAT sebagai organisasi biasa, selama
organisasi itu mematuhi hukum di Indonesia “ya tidak ada persoalan”, jelas Kadiv
Humas Mabes Polri Irjen Saud Usman Nasution (Jogja Express, 2012: 11).
Disebutkan pula pada saat berita itu dirilis, bahwa Kapolri Jenderal Timur Pradopo
akan koordinasi dengan pihak AS tenrtang kebenaran berita tersebut.
2) FPIS dan LUIS
(1) FPIS (Front Pemuda Islam Surakarta)
FPIS menurut para tokohnya, didirikan untuk menegakkan “kalimat Allah”/
syariat Islam, untuk merealisasikan tujuan ini mereka menggunakan metode antara
lain berdakwah dengan melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar dan jihad dengan
184
ilmu, harta, dan jiwa (Alfadlah dkk., 2005: 182). FPIS adalah organisasi independen
yang sama sekali tidak ada kaitan struktural dengan FPI Jakarta (yang dipimpin oleh
Habib Rizieq, pen), FPIS mempunyai misi untuk menggalang persatuan Islam
(ukhuwah Islamiyyah). Adapun anggota FPIS berasal dari perkumpulan pengajian (di
Surakarta, pen.), FPIS juga tidak sepaham dengan pemikiran mantan Presiden RI Gus
Dur, tentang formalisasi syariat Islam, karena Gus Dur anti formalisasi syariat
(Alfadlal, dkk. 2005: 182-184).
Ada beberapa persamaan antara FPI (Front Pembela Islam) dan FPIS (Front
Pemuda Islam Surakarta). Namun, ditemukan beberapa perbedaan. Kalau FPI
dipimpin oleh seorang habib yang pengikut dan aktivisnya juga banyak berasal dari
habaib, FPIS tidak dipimpin oleh habib.
(2) LUIS (Laskar Umat Islam Surakarta Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS)
pertama kali di deklarasikan pada tanggal 19 Desember tahun 2000 dalam rangka
menyikapi pasca peristiwa pembantaian umat Islam di Ambon tahun 1999, LUIS
dideklarasikan pada masa tugas Ketua MUI Surakarta adalah K.H Ahmad Slamet,
dan dihadiri oleh berbagai elemen umat Islam yang ada di Surakarta, pada awalnya
(periode pertama) kepengurusan tersebut : ketua 1: Edi Lukito, S.H., ketua 2: Salman
Alfarizi, sekertaris 1: Choirul R.S. sekretaris 2: Drs .Yusuf Suparno, Bendahara 1
Drs. Heru Prayitno, dan 2. Jayendra Dewa, S.E. (http://suparno.smansa.blogspot.com/
2010/07/sejarah-luis-surakarta-laskar-at.html).
Laskar LUIS merupakan salah satu bagian dari UIS (Umat Islam Surakarta).
LUIS adalah gabungan dari gerakan fundamenatalis yang ada di Surakarta. Perilaku
185
keagamaan LUIS berdasarkan pemahaman doktrin Islam secara harfiah dan menolak
interpretasi rasional maupun kontekstual terhadap Alquran dan Hadis. Teks-teks itu
dipahami sesuai dengan literasi yang tersurat di dalamnya.
Untuk memahami perilaku keagamaan LUIS maka kita merujuk konsep dan
prinsip keagamaan dari UIS. Pada 2007 UIS mengirimkan buku kepada pemerintah
dengan judul Surat Ulama kepada Presiden Republik Indonesia 1428/2007. Buku itu
merupakan peringatan yang disampaikan kepada para penguasa dan pemimpin negeri
ini melalului Presiden RI (SBY), Ketua DPR, dan Ketua MPR. Isi buku berupa
permintaan perubahan hukum dan aturan yang berlaku di Indonesia untuk kembali
kepada hukum syariah Islam dan hukum Allah.
LUIS bertujuan untuk menegakkan syariah Islam dan hukum-hukum Allah di
Indonesia. Syariah Islam dipahami oleh LUIS merupakan teks-teks Al-Quran dan Al-
Hadis. Karakteristik dari GSM (Lasykar Jihad, MMI, FPI, Ikhwanul Muslimin,
Hammas, Jundullah, HTI, dsb.) adalah: a) Mempromosikan peradaban tekstual Islam;
b) Setia pada Syariah Minded; c) Percaya kepada teori konspirasi, bahwa umat Islam
adalah korbannya; d) Mengembangkan agenda anti pluralisme (Anwar, 2007: xvii-
xx).
top related