bbp2tp.litbang.pertanian.go.idbbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/publikasi/bulletin vol 4 no 1...
Post on 17-Aug-2019
237 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BuletinBuletinBuletinBuletin
INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
Volume 4, Nomor 1, Juni Tahun 2018
Penanggungjawab:
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Dewan Redaksi
Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP) Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor) Mitra Bestari
I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jaya Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)
Redaksi Pelaksana
Achmad Subaidi Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Lira Mailena Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Agung Susakti Alamat Redaksi
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : jpptp06@yahoo.com Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi diterbitkan dua kali setahun, oleh balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, merupakan media ilmiah yang memuat artikel hasil Litkaji dan diseminasi inovasi pertanian, khususnya yang bernuansa spesifik lokasi. Buletin ini dapat juga memuat tinjauan kritis terhadap hasil litkaji dan diseminasi inovasi pertanian yang berupa gagasan, opini maupun konsepsi orisinil inovasi pertanian. Substansial inovasi
pertanian dapat mencakup aspek teknis maupun aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
ISSN-2407-0955
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 4 Nomor 1, Tahun 2018
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
ISSN-2407-0955
BuletinBuletinBuletinBuletin
Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 4 Nomor 1, Tahun 2018
KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH DENGAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
Dewi Sahara dan Chanifah....................................................................................................................... 1-9
PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN JERUK (Citrus spp.) DI KABUPATEN NABIRE, PAPUA Fajriyatus Sho’idah dan Muhammad Thamrin.........................................................................................
11-23
INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN DESA MANDIRI BENIH DI KABUPATEN MAJALENGKA
Yati Haryati dan Atang M. Safei..............................................................................................................
25-31
ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PRODUKSI BENIH JAGUNG HIBRIDA NASIONAL: STUDI KASUS DESA MANDIRI BENIH JAGUNG DI SULAWESI SELATAN
Bahtiar dan Suriany ..............................................................................................................................
33-42
MODEL PENGEMBANGAN PRODUKSI BENIH KEDELAI DI PROVINSI BANTEN
Pepi Nur Susilawati, Zuraida Yursak dan Hijriah Muthmainah .................................................................. 43-57
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUIPENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI SAWAH TADAH HUJAN KAWASAN PERBATASAN KABUPATEN SAMBAS
Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim .........................................................................................
59-68
PERTUMBUHAN INDIGOFERA sp PADA SELA PERTANAMAN KELAPA DI KABUPATEN SIGI Wardi , Andi Baso Lompengeng Ishak
dan Muhamad Takdir ...............................................................
69-75
WAKTU TANAM PADI SAWAH RAWA PASANG SURUT PULAU KALIMANTAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin........................................................................................................
77-86
PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA KEPIK COKLAT (Riptortus linearis F.) PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine max L.)
Nita Winanti dan Sri Kurniawati..................................................................................................................
87-96
OPTIMALISASI LAHAN DI BAWAH TEGAKAN KELAPA DENGAN TANAMAN SELA DI KABUPATEN HALMAHERA MALUKU UTARA
Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono.......................................................................................................... 97-105
1Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah
Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)
KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PRODUKSI
BAWANG MERAH DENGAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
Dewi Sahara dan Chanifah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Jl. Soekarno Hatta KM.26 No.10, Tegalsari, Bergas Lor, Semarang
E-mail: dewisahara.ds@gmail.com
ABSTRACT
The Performance of Shallot Growth and Production with Eco-Friendly Technologies. Increased
production of shallot is achieved with high inputs mainly inorganic fertilizers and chemical pesticides. However, the
use of chemicals continuously can reduce quality of yield and decrease soil’s fertility. Therefore it needs an
introduction of eco-friendly technologies in shallot farming at the farmers’ level. This study aimed to reveal the
diversity of the growth and the yield of the eco-friendly shallot farming compared to the existing shallot
farmers’practices. The study was carried out in the Mulyorejo Village, Demak sub district, Demak district from June
to August 2016. The eco-friendly shallot farming was implemented using components technologies namely manure,
inorganic fertilizers (NPK Mutiara, Phonska, and ZA), biological agencies (Feromone exi, Trichoderma harzianum,
Beauveria bassiana and PGPR), and “likat kuning”, while the existing farming applied semi organic and chemically
farming. The observation on growth and yield of crops was applied in every type of farming. Data was analyzed
using a statistical test with a real difference descriptive (F-test and t-test). Results of the study indicated that the eco-
friendly shallot farming was very different compared to the other style of farming, but the spring shallot and semi
organic farming had no differences compared to the chemically shallots farming. For the same width of planted area,
the production of eco-friendly shallot was about 1406.5 kgs, however, the production of semi organic spring of
shallot farming was 980 kg and the production of the chemical shallot farming was 680 kg.
Keywords: Shallot, growth, production, eco-friendly
ABSTRAK
Peningkatan produksi bawang merah dicapai dengan input produksi tinggi terutama pupuk anorganik dan pestisida
kimia, namun penggunaan bahan kimia tersebut secara terus menerus dapat mengurangi kualitas hasil dan
penurunan kesuburan tanah. Oleh karena itu perlu dikenalkan teknologi ramah lingkungan pada usahatani bawang
merah di tingkat petani. Kajian bertujuan untuk melihat keragaan pertumbuhan dan hasil bawang merah pada
usahatani ramah lingkungan dibandingkan usahatani bawang merah eksisting petani. Kajian dilaksanakan di Desa
Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak pada bulan Juni – Agustus 2016. Implementasi teknologi
usahatani bawang merah ramah lingkungan dengan menerapkan komponen teknologi berupa pupuk kandang,
pupuk anorganik (NPK Mutiara, Phonska dan ZA), agensia hayati (Feromon exi, Beauveria bassiana, Trichoderma
harzianum dan PGPR), dan likat kuning, sedangkan usahatani eksisiting petani terdiri dari usahatani semi organik
dan usahatani kimia. Pengamatan pertumbuhan dan hasil tanaman dilakukan pada setiap jenis usahatani. Analisis
data menggunakan statistik deskriptif dengan uji beda nyata (uji F dan uji t). Hasil kajian menunjukkan bahwa
usahatani bawang merah dengan teknologi ramah lingkungan berbeda nyata dengan usahatani lainnya, namun
usahatani bawang merah semi organik tidak berbeda nyata dengan usahatani bawang merah kimiawi. Produksi
bawang merah ramah lingkungan sebesar 1.406,5 kg berbeda nyata dengan produksi bawang merah usahatani semi
organik (980 kg) dan kimia (680 kg).
Kata kunci: bawang merah, pertumbuhan, produksi, ramah lingkungan
2
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:1-9
PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan salah satu
komoditas sayuran yang hampir digunakan setiap
hari oleh masyarakat sebagai bumbu berbagai
masakan. Konsumsi bawang merah di tingkat
rumah tangga relatif cukup kecil, yaitu 4,56
kg/kapita/tahun. Meskipun dalam jumlah kecil,
namun jika digunakan setiap hari oleh setiap
rumah tangga, total kebutuhan bawang merah
sangat besar. Selain kebutuhan rumah tangga,
bawang merah juga diperlukan oleh industri
makanan (acar/pickles, bumbu, bawang goreng)
dan industri farmasi sebagai bahan baku campuran
obat-obatan. Kebutuhan tersebut secara
berkesinambungan dan dalam jumlah yang cukup
besar. Kebutuhan bawang merah yang cukup besar
merupakan peluang bagi petani untuk
meningkatkan produksi bawang merah. Bahkan
Suriani (2011) mengemukakan potensi
pengembangan bawang merah masih terbuka lebar
tidak saja untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi
juga luar negeri.
Pada umumnya untuk meningkatkan
produksi bawang merah petani meningkatkan
penggunaan input produksi terutama pupuk kimia.
Hal ini dikarenakan adanya asumsi petani bahwa
semakin banyak pupuk yang diberikan maka hasil
yang diperoleh juga semakin banyak. Di sisi lain,
pestisida kimia juga sering digunakan untuk
mengatasi serangan hama dan penyakit pada
tanaman bawang merah. Asandhi et al. (2005)
menyatakan bahwa usahatani bawang merah di
Jawa Tengah pada umumnya menggunakan input
produksi terlalu tinggi terutama bahan kimia
sintetis, baik pupuk anorganik maupun pestisida
kimia.
Penggunaan bahan-bahan kimia memang
mudah dilakukan dan cepat memberikan dampak
terhadap produksi. Namun petani kurang
menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia dengan
dosis tinggi secara terus menerus dapat
mengurangi kualitas hasil umbi bawang merah,
mendorong terjadinya lingkungan yang cocok
untuk perkembangan penyakit, berpengaruh
terhadap penurunan produktivitas lahan,
meningkatnya polusi tanah dan air, serta
meningkatnya biaya produksi bawang merah
(Suwandi et al., 2008; Novisan, 2002; Humberto
dan Alan, 2013). Lebih lanjut dikatakan bahwa
dampak dari penggunaan bahan-bahan kimia
tersebut dapat mengurangi kualitas hasil umbi
bawang merah, yaitu besarnya susut bobot setelah
umbi disimpan sehingga mempengaruhi akumulasi
berat akhir umbi bawang merah.
Untuk mengurangi penggunaan bahan-
bahan kimia pada sistem usahatani, maka arah
pembangunan pertanian berubah dari revolusi hijau
ke arah pertanian ramah lingkungan dengan
menggunakan dan memanfaatkan potensi
sumberdaya setempat. Soenandar dan Tjachjono
(2012) menyatakan bahwa pertanian ramah
lingkungan merupakan salah satu alternatif
pertanian modern dengan mengandalkan bahan
alami dan menghindari bahan sintetik, baik pupuk
maupun pestisida. Namun teknologi ramah
lingkungan tersebut belum banyak diadopsi oleh
petani karena sikap dan perilaku petani yang belum
berkeinginan untuk mengubah kebiasaan lama
(Wahyuni, 2010; Ernita et al., 2016). Oleh karena
itu, diperlukan kajian untuk mengenalkan
teknologi ramah lingkungan pada usahatani
bawang merah di tingkat petani. Pengkajian ini
bertujuan untuk melihat keragaan pertumbuhan
dan hasil yang diperoleh pada sistem usahatani
bawang merah dengan teknologi ramah lingkungan
dan teknologi eksisting di tingkat petani.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa
Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak
yang merupakan salah satu daerah pengembangan
tanaman bawang merah di Jawa Tengah. Penelitian
berlangsung selama bulan Juni – Agustus 2016.
Pelaksanaan dan Rancangan Penelitian
Kajian usahatani bawang merah dengan
teknologi ramah lingkungan dilaksanakan di lahan
sawah milik petani (on-farm) pada luasan 1.750
3Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah
Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)
m2. Lahan seluas 1.750 m2 dibuat
guludan/bedengan sebanyak delapan buah dengan
ukuran 1,2 m x 80 m. Selain usahatani bawang
merah ramah lingkungan, juga diamati usahatani
bawang merah eksisting, yaitu usahatani bawang
merah yang dilakukan oleh petani di daerah kajian.
Usahatani bawang merah petani terbagi dua, yaitu
usahatani bawang merah semi organik dan
usahatani bawang merah secara kimiawi. Setiap
pengamatan pada ketiga jenis usahatani bawang
merah pada luasan 0,25 bahu (1.750 m2).
Implementasi teknologi ramah lingkungan
pada usahatani bawang merah sebagai berikut:
1) Pupuk kandang dengan dosis 10 t/ha
diaplikasikan dua minggu sebelum tanam.
2) Pemasangan perangkap kuning dan Feromon
exi serta penyemprotan lahan dengan PGPR (5
cc/10 liter air) dilakukan satu minggu sebelum
tanam.
3) Tanam bawang merah dengan jarak tanam 13
cm x 13 cm dengan 1 umbi per lubang tanam.
4) Penyemprotan Trichoderma harzianum dan
Beauveria bassiana setiap minggu dimulai
setelah tanaman berumur dua minggu hingga
menjelang panen (lima kali penyemprotan)
dengan dosis 0,5 g/liter air.
5) Pupuk NPK Mutiara (250 kg/ha) diberikan pada
umur tanaman 7 HST.
6) Pemupukan dengan pupuk Phonska (350 kg/ha)
dan ZA (300 kg/ha) diberikan dua kali, yaitu
pada umur 3 MST dan 5 MST.
7) Penyemprotan dengan PGPR dengan dosis 0,5
ml/liter air pada umur 4 MST.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan mencakup data
pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman, jumlah
daun, jumlah anakan) dan generatif tanaman
(jumlah dan berat umbi basah, umbi kering, dan
rogolan). Pengamatan vegetatif pada tanaman
bawang merah dilaksanakan pada setiap jenis
usahatani dengan interval waktu dua minggu,
sedangkan pengamatan generatif tanaman
dilaksanakan pada waktu panen (umur 60 HST).
Pengamatan dilakukan pada tanaman yang sudah
ditentukan sebagai tanaman sampel, sebanyak 30
tanaman setiap lajur bedengan sehingga pada
setiap jenis usahatani terdapat 240 tanaman
sampel.
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian
dikelompokkan tiap parameter pengamatan dan
tiap jenis usahatani. Data teknis usahatani bawang
merah dianalisis statistik deskriptif dengan
menggunakan rata-rata dan uji beda nyata dengan
uji F dan uji t (t-test). Uji F digunakan untuk
mengetahui perbedaan parameter yang diuji secara
bersama-sama dengan hipotesis:
H0 = µ1 = µ2 = µ3,
yaitu tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-
rata hitung parameter pengamatan pada ketiga jenis
sistem usahatani bawang merah.
H1 = µ1 ≠ µ2 ≠ µ3,
yaitu terdapat perbedaan yang nyata antara rata-
rata hitung parameter pengamatan pada ketiga jenis
sistem usahatani bawang merah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Penerapan Input Usahatani
Pada ketiga jenis usahatani bawang merah,
petani menggunakan umbi bawang merah Varietas
Bima Brebes sebanyak 250 kg. Penggunaan umbi
ini sesuai dengan pendapat Sumarni dan Hidayat
(2005) bahwa kebutuhan umbi bawang merah
sekitar 1,3 – 2,6 t/ha tergantung dari
ukuran/diameter benih yang digunakan. Pupuk
kandang yang digunakan sebagai pupuk dasar pada
usahatani ramah lingkungan dan semi organik
adalah pupuk kandang yang berasal dari kotoran
sapi. Pupuk kandang pada usahatani ramah
lingkungan sebanyak 1.450 kg, sedangkan pada
usahatani semi organik sebanyak 130 kg sehingga
terdapat perbedaan penggunaan pupuk kandang
sebanyak 1.320 kg. Sistem usahatani bawang
merah secara kimia tidak menggunakan pupuk
kandang sama sekali. Keragaan penggunaan input
4
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:1-9
produksi pada ketiga jenis usahatani bawang merah
disajikan pada Tabel 1.
Pupuk anorganik pada usahatani bawang
merah ramah lingkungan diaplikasikan sebanyak 3
kali dengan cara dibenamkan diantara barisan
tanaman, sedangkan pada usahatani eksisting (semi
organik dan kimia) pupuk anorganik dilakukan
sebanyak 2 kali dengan cara disebar di antara
tanaman. Pada usahatani ramah lingkungan dan
semi organik, petani menggunakan agensi hayati
berupa Feromon exi, PGPR, dan Trichoderma
harzianum, sedangkan likat kuning dan Beauveria
bassiana hanya digunakan pada usahatani bawang
merah ramah lingkungan. Feromon exi dan likat
kuning digunakan untuk mengendalikan hama
tanaman, sedangkan untuk pengendalian penyakit
yang disebabkan jamur menggunakan Beauveria
bassiana, sedangkan PGPR digunakan sebagai zat
pengatur tumbuh tanaman.
Hampir semua tahapan kegiatan usahatani
bawang merah menggunakan tenaga kerja
keluarga, kecuali untuk kegiatan tanam dan panen.
Dari total penggunaan tenaga kerja, usahatani
bawang merah ramah lingkungan memerlukan
curahan waktu kerja lebih tinggi dibandingkan
usahatani bawang merah semi organik dan kimia,
yaitu masing-masing sebesar 47 HOK, 41 HOK,
dan 38 HOK. Tingginya tenaga kerja pada
usahatani bawang merah ramah lingkungan
disebabkan adanya penyemprotan agensi hayati
dan penggantian air pada Feromon exi setiap
minggu, sedangkan pada sistem usahatani secara
kimia agensi hayati tidak digunakan sama sekali.
Tabel 1. Rata-rata penggunaan input produksi per luasan usahatani bawang merah di Desa Mulyorejo,
Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, MT. III/2016
No Jenis Input Produksi System Usahatani Bawang Merah
Ramah Lingkungan Semi Organik Kimia
1. Umbi bawang merah (kg) 250,00 250,00 250,00
2. Pupuk kandang (kg) 1.450,00 130,00 0,00
3. Pupuk Mutiara (kg) 43,75 36,00 33,00
4. Pupuk Phonska (kg) 61,25 37,00 68,75
5. Pupuk ZA (kg) 52,50 7,50 17,00
6. PGPR (liter) 13,00 1,00 0,00
7. Trichoderma harzianum (kg) 16,50 0,50 0,00
8. Feromon exi (buah) 7,00 4,00 0,00
9. Likat kuning (buah) 7,00 0,00 0,00
10. Beauveria bassiana (liter) 5,25 0,00 0,00
11. Tenaga kerja (HOK) 47,00 41,00 37,00
Sumber: Data primer, 2016 (diolah)
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman bawang merah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, MT
III/2016
No Jenis Teknologi Tinggi Tanaman (cm)
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST
1. Ramah lingkungan 20,43a 32,33
a 38,86
a 35,01
a
2. Semi organik 17,18b 29,59
b 34,83
b 31,01
b
3. Konvensional/kimia 18,80c 25,84
c 31,53
c 31,33
b
F-hitung 34,82 67,66 74,34 15,22
Sumber: Data primer, 2016 (diolah)
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf α = 5 persen (uji-t)
5Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah
Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)
Keragaan Pertumbuhan Tanaman
Tinggi tanaman bawang merah pada ketiga
jenis usahatani secara bersama-sama menunjukkan
perbedaan sangat nyata pada setiap pengamatan.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai F-hitung yang
lebih besar dari F-tabel. Tinggi tanaman bawang
merah pada usahatani ramah lingkungan
memberikan nilai tertinggi dibandingkan tinggi
tanaman pada usahatani lainnya, dan secara
statistik berbeda nyata (uji t). Pengamatan terhadap
tinggi tanaman bawang merah dari umur 2 – 8
MST di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak,
Kabupaten Demak disajikan pada Tabel 2.
Tinggi tanaman bawang merah pada umur
2 – 8 MST pada usahatani ramah lingkungan
memberikan nilai tertinggi dibandingkan usahatani
lainnya. Hal ini diduga disebabkan adanya
pemberian pupuk kandang dan PGPR sebelum
tanam sehingga telah terjadi proses penguraian
pupuk kandang di dalam tanah dan aktifnya zat
pengatur tumbuh dalam PGPR yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Sulistyaningsih et al. (2007) menyatakan bahwa
proses degradasi dan dekomposisi bahan organik
disebabkan adanya bakteri di dalam pupuk
kandang yang cukup efektif. Demikian pula
Firmansyah et al. (2015) menyatakan terdapatnya
mikroorganisme (bakteri) menguntungkan yang
hidup di dalam tanah sangat penting untuk
memacu pertumbuhan tanaman karena
mempercepat penyediaan hara dan juga sebagai
sumber bahan organik tanah. Mikroorganisme
tersebut akan mempercepat proses dekomposisi
pupuk kandang dirombak menjadi unsur yang
dapat digunakan tanaman untuk tumbuh dan
berkembang.
Secara umum, perkembangan tinggi
tanaman yang cepat terjadi pada umur 4 MST (28
HST). Purba (2014) menyatakan bahwa percepatan
pertumbuhan pada tanaman bawang merah
diperoleh pada umur 21 HST. Pada umur tersebut
tanaman memperlihatkan kecepatan tumbuh
(vigoritas) yang maksimal sehingga pada umur 4
MST tanaman bawang merah pada ketiga jenis
usahatani memperlihatkan vigor pertumbuhan yang
cukup baik. Namun pada umur 8 MST, tinggi
tanaman menunjukkan penurunan karena tanaman
berada pada fase menjelang panen dan daun sudah
mulai menguning. Meskipun begitu tinggi tanaman
bawang merah pada usahatani bawang merah
ramah lingkungan masih menunjukkan nilai lebih
tinggi dan berbeda nyata dengan tinggi tanaman
pada usahatani lainnya, sedangkan tinggi tanaman
pada usahatani bawang merah semi organik tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tinggi
tanaman pada usahatani bawang merah secara
kimiawi.
Jumlah daun tanaman bawang merah pada
ketiga jenis usahatani secara bersama-sama
memberikan pengaruh yang berbeda nyata,
ditunjukkan dengan nilai F-hitung > F-tabel.
Jumlah daun terbanyak pada awal pertumbuhan
(umur 2 MST) diperoleh pada usahatani bawang
merah secara kimiawi, namun pada minggu-
minggu berikutnya jumlah daun terbanyak
diperoleh pada usahatani bawang merah ramah
lingkungan dan secara statistik uji-t berbeda nyata
dengan usahatani lainnya, sedangkan jumlah daun
pada sistem usahatani semi organik dan kimia
tidak berbeda nyata secara statistik. Tidak
Tabel 3. Rata-rata jumlah daun tanaman bawang merah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak,
MT. III/2016
No Jenis Teknologi Jumlah Daun (helai)
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST
1. Ramah lingkungan 09,03a 15,89
a 19,84
a 14,82
a
2. Semi organik 07,00b 11.63
b 15.94
b 12,59
b
3. Konvensional/kimia 10,55c 12,75
b 15,89
b 10,90
b
4. F-hitung 39,38 35,21 18,13 9,61
Sumber: Data primer, 2016 (diolah)
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
pada taraf α = 5 persen (uji-t)
6
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:1-9
berbedanya jumlah daun bawang merah pada
usahatani semi organik dan kimia diduga
penggunaan pupuk organik dan anorganik yang
tidak berbeda jauh. Rata-rata jumlah daun tanaman
bawang merah disajikan pada Tabel 3.
Melihat jumlah daun tanaman bawang
merah pada Tabel 3 cukup bervariasi, menandakan
bahwa tanaman responsif terhadap pemberian
input produksi. Secara umum perkembangan
jumlah daun pada usahatani ramah lingkungan
memberikan hasil pengamatan yang lebih baik.
Hal ini menandakan bahwa pemberian agensi
hayati dan pupuk kandang pada usahatani ramah
lingkungan dapat memacu pertumbuhan dan
perkembangan jumlah daun. Sesuai dengan
pendapat Santoso et al. (2007) yang menyatakan
bahwa PGPR, pupuk kandang, dan agensi hayati
lainnya mampu merangsang pertumbuhan sistem
perakaran untuk memacu pembentukan daun.
Pertambahan jumlah daun maksimal
terjadi dari umur 2 MST ke 4 MST, menunjukkan
pertumbuhan optimal tanaman, sedangkan
pertambahan jumlah daun dari umur 4 MST ke 6
MST sudah mulai melambat dan menurun pada
umur 8 MST. Berkurangnya jumlah daun pada
umur 8 MST disebabkan daun mengering karena
telah mendekati masa panen.
Perkembangan jumlah umbi per rumpun
tanaman bawang merah pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa jumlah umbi per rumpun pada awal
pertumbuhan (umur 2 MST) pada usahatani
kimiawi memberikan jumlah umbi yang lebih
banyak, namun mulai umur 4 MST rata-rata
jumlah umbi per tanaman terbanyak diperoleh pada
usahatani bawang merah ramah lingkungan.
Jumlah umbi per rumpun antar jenis usahatani
menunjukkan pengaruh yang nyata (nilai F-hitung
> F-tabel).
Jumlah umbi per rumpun tanaman bawang
merah pada usahatani ramah lingkungan berbeda
nyata dengan usahatani semi organik maupun
kimia, namun usahatani semi organik tidak
mempunyai pengaruh yang berbeda nyata dengan
usahatani kimia pada umur 4 MST, 6 MST, dan 8
MST. Jumlah umbi per rumpun diduga berkorelasi
positif dengan jumlah daun, artinya semakin
banyak daun yang terbentuk maka umbi yang
dihasilkan juga semakin banyak. Hal ini
dikarenakan semakin banyak jumlah daun semakin
mempercepat laju fotosintesis sehingga fotosintat
yang dihasilkan meningkat digunakan untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan umbi
bawang merah (Purba, 2014).
Saragih et al. (2015) mengemukakan
bahwa pemberian pupuk kandang hingga dosis
tertentu dapat meningkatkan jumlah umbi per
rumpun. Dengan demikian, pemberian pupuk
kandang 10 t/ha pada usahatani ramah lingkungan
dapat dimanfaatkan secara optimal oleh akar
tanaman untuk membentuk umbi bawang merah,
sehingga tanaman bawang merah pada usahatani
ramah lingkungan mempunyai jumlah umbi per
rumpun yang lebih banyak.
Selain pupuk kandang, usahatani bawang
merah ramah lingkungan juga menggunakan pupuk
anorganik NPK Mutiara dan Phonska. Kedua jenis
pupuk tersebut memiliki kandungan N dan K yang
diperlukan tanaman pada fase vegetatif dan
generatif. Irfan (2013) menyatakan bahwa
pemberian pupuk N dan K pada dosis yang tepat
pada tanaman bawang merah hingga umur 43 HST
memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih kuat
hingga saat awal pembentukan umbi.
Pembentukan umbi bawang merah terjadi pada saat
umur tanaman 36 – 50 HST, oleh karena itu
pemberian hara N dan K akan optimal bagi
tanaman jika diberikan pada umur 35 – 55 HST.
Serapan hara tersebut didukung dengan aplikasi
agensi hayati pada usahatani bawang merah ramah
lingkungan yang berperan sebagai pengganti
pestisida dan sekaligus mengefisienkan serapan
hara kimia pada tanaman (Ashrafuzzaman et al.,
2009; Bhattacharya dan Jha, 2012).
Keragaan Produksi Bawang Merah
Rata-rata produksi bawang merah
bervariasi antar jenis usahatani, yaitu 680 kg –
1.406,5 kg per luasan usahatani. Secara statistik,
produksi bawang merah berbeda nyata ditunjukkan
dengan nilai F-hitung = 12,40 dan lebih besar
dibandingkan nilai F-tabel dan secara individu (uji-
t) produksi bawang merah usahatani ramah
7Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah
Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)
lingkungan berbeda nyata dengan jenis usahatani
lainnya, tetapi produksi bawang merah semi
organic dan kimia tidak berbeda nyata secara
statistik. Demikian pula uji statistik (uji F dan uji-t)
terhadap berat umbi basah, berat umbi kering askip
dan berat rogolan. Pengamatan terhadap berat
umbi dan produksi bawang merah disajikan pada
Tabel 5.
Pengurangan bobot (susut) yang lebih
besar pada bawang merah ramah lingkungan
menggambarkan bahwa tanaman bawang merah
yang diusahakan dengan teknologi ramah
lingkungan mempunyai pertumbuhan yang subur
dan jumlah daun lebih banyak, sehingga setelah
dikeringkan mempunyai susut bobot tertinggi.
Pengurangan berat umbi dari bobot basah menjadi
kering askip (susut bobot) terbesar diperoleh pada
tanaman bawang merah ramah lingkungan, yaitu
susut 6,99 gram/umbi, diikuti dengan bawang
merah semi organik susut 3,01 gram/umbi dan
bawang merah kimia susut 1,21 gram/umbi.
Firmansyah et al. (2015) menyatakan
bahwa pemberian pupuk organik dan pupuk hayati
yang memadai dapat meningkatkan kesuburan
tanah sehingga tanaman bawang merah dapat
tumbuh dan berproduksi dengan lebih baik. Selain
itu umbi bawang merah pada usahatani ramah
lingkungan memiliki kadar air dan proporsi berat
daun yang lebih tinggi dibandingkan bawang
merah usahatani lainnya sehingga susut bobotnya
terbesar. Meskipun begitu rata-rata bobot umbi
kering askip 5,05 gram hampir sama dengan hasil
penelitian Azmi et al. (2011) bahwa bobot basah
umbi bawang merah Varietas Bima sebesar 6,7
gram setelah kering askip menjadi 5,19 gram.
Santoso et al. (2007) menyatakan bahwa
pemakaian agensi hayati pada usahatani bawang
merah ramah lingkungan juga mampu memacu
pertumbuhan tanaman dan menekan perkembangan
patogen pada tanaman sehingga tanaman yang
diberikan perlakuan tersebut mampu berproduksi
dengan lebih baik. Produksi riil yang diperoleh dari
usahatani bawang merah ramah lingkungan
sebanyak 1.406,5 kg per luasan 0,175 m2 (setara
dengan 11,48 t/ha), semi organik 980 kg/0,175 m2
(setara dengan 8,00 t/ha), dan kimia 680 kg/0,175
Tabel 4. Rata-rata jumlah umbi per rumpun tanaman bawang merah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak,
Kabupaten Demak, MT. III/2016
No Jenis Teknologi Jumlah umbi per rumpun (buah)
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST
1. Ramah lingkungan 2,75a 3,96
a 4,96
a 5,01
a
2. Semi organik 2,35b 3,42
b 4,09
b 4,22
b
3. Konvensional/kimia 3,25c 3,49
b 4,11
b 4,28
b
4. F-hitung 24,11 9,26 9,52 6,35
Sumber: Data primer, 2016 (diolah)
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
pada taraf α = 5 persen (uji-t)
Tabel 5. Rata-rata berat umbi dan produksi bawang merah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten
Demak, MT. III/2016
No Jenis Teknologi Berat Umbi (g/umbi) Produksi
(kg) Basah Kering Askip Rogolan
1. Ramah lingkungan 12,04a 5,05
a 4,77
a 1.406,5
a
2. Semi organik 6,13b 3,12
b 2,91
b 980,0
b
3. Kimia 5,00b 3,79
b 3,62
b 680,0
b
F-hitung 27,25 16,95 15,10 12,40
Sumber: Data primer, 2016 (diolah)
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata pada taraf α = 5 persen (uji-t)
8
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:1-9
m2 (setara dengan 5,55 t/ha). Produksi bawang
merah pada usahatani ramah lingkungan pada
luasan tersebut lebih tinggi 43,52% dibandingkan
produksi pada usahatani semi organik dan
106,84% dibandingkan produksi pada usahatani
kimia. Produksi bawang merah pada usahatani
ramah lingkungan secara statistik berbeda nyata
dengan usahatani semi organik maupun kimia,
namun produksi bawang merah pada usahatani
semi organik tidak berbeda nyata dengan produksi
bawang merah pada usahatani kimia.
KESIMPULAN
Mencermati hasil yang diperoleh, baik
pada pengamatan vegetatif maupun generatif
tanaman bawang merah di lokasi kegiatan maka
usahatani bawang merah dengan teknologi ramah
lingkungan dengan mengaplikasikan pupuk
kandang 10 t/ha dan agensi hayati (PGPR,
Trichoderma harzianum, Beauveria bassiana, dan
Feromon exi) serta likat kuning mampu
memberikan pertumbuhan dan produksi yang lebih
baik dibandingkan usahatani semi organik maupun
usahatani bawang merah secara kimiawi.
Pertumbuhan vegetatif tanaman bawang
merah dengan indikator tinggi tanaman, jumlah
daun dan jumlah umbi terbaik diperoleh pada
usahatani bawang merah ramah lingkungan.
Demikian juga dengan hasil umbi yang diperoleh,
baik terhadap bobot basah, bobot kering askip
maupun berat rogolan umbi bawang merah ramah
lingkungan memberikan hasil yang berbeda nyata
dengan umbi bawang merah pada usahatani semi
organik maupun kimiawi. Produktivitas usahatani
bawang merah ramah lingkungan mampu
mencapai 11,48 t/ha, usahatani bawang merah semi
organik 8,00 t/ha dan usahatani bawang merah
secara kimiawi sebesar 5,55 t/ha. Oleh karena itu
disarankan untuk memperluas kajian usahatani
bawang merah ramah lingkungan untuk
mengetahui stabilitas hasil bawang merah yang
diperoleh.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
atas pembiayaan yang diberikan melalui program
kerjasama (KKP3SL) TA. 2016 pada kegiatan
Kajian Efisiensi Usahatani Bawang Merah Menuju
Ramah Lingkungan di Jawa Tengah. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada: 1) Dr.
Bambang Prayudi yang telah purna tugas atas
segala bimbingan dan masukan selama
pelaksanaan kegiatan, dan 2) Prof. Suwandi dari
Balitsa dan S. Endang Ambarwati, SP., MSi atas
kerjasama selama pelaksanaan kegiatan di
Kabupaten Demak.
DAFTAR PUSTAKA
Asandhi, A. A., N. Nurtika dan N. Sumarni. 2005.
Optimasi pupuk dalam usahatani LEISA
bawang merah di dataran rendah. Jurnal
Hortikultura, vol.15 (3): 199 – 207.
Ashrafuzzaman, M., F. A. Hossen, M. R. Ismail,
M. A. Hoque, M. Z. Islam, S. M.
Shahidullah and S. Meon. 2009. Efficiency
of plant growth-promoting rhizobacteria
(PGPR) for the enhancement of rice growth.
African Journal of Biotechnology, vol.8 (7):
1247 – 1252.
Azmi, C., I. M. Hidayat dan G. Wiguna. 2011.
Pengaruh varietas dan ukuran umbi terhadap
produktivitas bawang merah. Jurnal
Hortikultura, vol. 21(3): 206 – 213.
Bhattacharya, P. N. and D. K. Jha, 2012. Plant
growth-promoting rhizobacteria (PGPR)
emergence in agriculture. Journal
Microbiology Biotechnology, vol.28: 1327 -
1350.
Ernita, M., Zahanis dan Jamilah. 2016. Aplikasi
rhizobakteri dalan meningkatkan
pertumbuhan, hasil dan ketahanan pada
tanaman bawang merah. Jurnal Pengabdian
Kepada Masyarakat, vol.22 (3): 131 – 134.
9Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah
Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)
Firmansyah, I., Liferdi, N. Khaririyatun, dan M. P.
Yufdy. 2015. Pertumbuhan dan hasil
bawang merah dengan aplikasi pupuk
organik dan pupuk hayati pada tanah
alluvial. Jurnal Hortikultura, vol.25 (2): 133
– 141.
Humberto Blanco-Canqui and Alan, J.S. 2013.
Implications of inorganik fertilization of
irrigated corn on soil properties: lessons
learned after 50 years Journal of
Environment Quality, vol.42 (3): 861.
Irfan, M. 2013. Respon bawang merah (Allium
ascalonicum L) terhadap zat pengatur
tumbuh dan unsur hara. Jurnal
Agroteknologi, vol.3 (2): 35 – 40.
Novizan. 2002. Membuat dan memanfaatkan
pestisida ramah lingkungan. Penerbit Agro
Media Pustaka. Tangerang.
Purba, R. 2014. Produksi dan keuntungan
usahatani empat varietas bawang merah di
luar musim (off-season) di Kabupaten
Serang, Banten. Agriekonomika, vol.3 (1):
55 – 64.
Santoso, S. E., L. Soesanto, dan T. A. D. Haryanto.
2007. Penekanan hayati penyakit moler
pada bawang merah dengan trichoderma
harzianum, trichoderma koningii, dan
pseudomonas fluorescens P60. Jurnal HPT
Tropika, vol.7 (1): 53 – 61.
Saragih, F. J. A., R. Sipayung dan F. E. T. Sitepu.
2015. Respon pertumbuhan dan produksi
bawang merah (Allium ascalonicum L.)
terhadap pemberian pupuk kandang ayam
dan urine sapi. Jurnal Agroekoteknologi,
vol.4 (1): 1703 – 1712.
Soenandar, M dan Tjachjono H.R. 2012. Membuat
pestisida nabati. PT. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Sulistyaningsih N., Wahyuni W., dan Mudjiharjati,
A. 2007. Potensi Pseudomonas aeruginase
dalam ekstrak pupuk kompos limbah
sayuran sebagai biofertilizer tembakau
cerutu. Jurnal Pertanian Mapeta, vol.10 (1):
42 – 50.
Sumarni, N dan A. Hidayat. 2005. Panduan teknis
budidaya bawang merah. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 20p.
Suriani, N. 2011. Bawang bawa untung: budidaya
bawang merah dan bawang putih. Cahaya
Atma Pustaka. Yogyakarta.
Suwandi, R. Rosliani dan T.K. Moekasan. 2008.
Penentuan paket teknologi budidaya bawang
merah di dataran rendah dan medium
melalui pendekatan analisis model indeks
komposit. Jurnal Hortikultura, vol.18 (4):
420 – 429.
Wahyuni, S. 2010. Perilaku petani bawang merah
dalam penggunaan dan penanganan pestisida
serta dampaknya terhadap lingkungan. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
11Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus
Sho’idah dan Muhammad Thamrin)
PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN JERUK (Citrus spp.) DI KABUPATEN NABIRE, PAPUA
Fajriyatus Sho’idah dan Muhammad Thamrin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Jln Yahim No 49, Sentani, Jayapura 99352
fajriyatus.s@gmail.com
ABSTRACT
Prospects and Directions for the Development of Oranges in Nabire District,Papua. Citus is the main fruit
commodities in Papua which covers up to 59,3% of the total fruit production (30.924,5 tons) in 2016. Nabire is one
of centers of citrus production consists of 90,97% of the total citrus production in Papua. The availability of access
to loading and unloading facilities in Nabire such as airports and ports allows Nabire to establish citrus marketing
widely. The strategy of citrus development in Nabire is to extend of citrus cultivation areas, to increase productivity
and citrus varieties, and citrus management related to product continuity for the stability of citrus prices in the
market. Supports of the regional government regarding the provision of production facilities and infrastructure,
strengthening farmer institutionals and collaboration with various parties is absolutely be required in the efforts to
enhance citrus development in Nabire.
Key words: Citrus, Development, Area, Nabire
ABSTRAK
Jeruk adalah komoditas buah utama di Provinsi Papua dengan produksi mencapai 59,3% dari total produksi buah
(30.924,5 ton) pada tahun 2016. Nabire merupakan salah satu sentra produksi Jeruk di Papua dengan produksi
16.696 ton, 90,97% dari total produksi jeruk keprok dan siam di Papua. Tersedianya akses transportasi bongkar
muat barang di Nabire seperti bandara dan pelabuhan memungkinkan Nabire untuk memasarkan jeruk secara luas.
Arahan pengembangan jeruk di Nabire yakni perluasan areal pertanaman jeruk, peningkatan produktivitas dan
keragaman jeruk, serta manajemen produksi terkait kontinuitas produk untuk stabilitas harga jeruk. Dukungan
pemerintah daerah terkait penyediaan sarana dan prasarana produksi, penguatan kelembagaan petani dan kerjasama
berbagai pihak mutlak diperlukan dalam upaya pengembangan kawasan jeruk di Nabire.
Kata kunci: Jeruk, Kawasan, Nabire
12 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23
PENDAHULUAN
Nabire merupakan salah satu wilayah
pengembangan agribisnis jeruk di Papua. Hal
tersebut ditetapkan berdasarkan Kepmentan Nomor
45 tahun 2015 yang diperbarui dengan Kepmentan
No 830 tahun 2016 dan Renstra 2014-2018 Dinas
Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Provinsi
Papua.
Jeruk keprok dan siam merupakan
komoditas buah dengan hasil produksi terbesar di
Provinsi Papua pada tahun 2016, yakni
sebesar18.352,10 ton, yang mencapai 59,3% dari
total produksi buah di Papua (30.924,5 ton).
Produksi tertinggi jeruk berasal dari Kabupaten
Nabire sebanyak 16.696 ton, 90,97% dari total
produksi jeruk keprok dan siam di Papua (BPS
Papua 2017).
Nabire memiliki pelabuhan dan bandara
sebagai fasilitas bongkar muat barang. Tersedianya
fasilitas tersebut memungkinkan Nabire untuk
memasarkan jeruk secara luas, baik di dalam
provinsi, luar provinsi maupun ke luar negeri.
Jeruk Nabire sudah dipasarkan ke daerah Biak,
Serui, Jayapura, Sorong, Manokwari, Maluku dan
Surabaya (Laksono 2018). Papua New Guinea
yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua
menjadi negara tujuan ekspor jeruk Indonesia
dalam tahun 2014-2017 (Pusdatin 2018).
Penurunan produksi jeruk yang signifikan
terjadi di Nabire akibat konversi lahan ke
komoditas pangan di Distrik Nabire Barat sebagai
sentra produksi jeruk (Laksono 2018) dan adanya
serangan penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem
Degeneration). Kendala lain dalam pengembangan
jeruk di Nabire yakni adanya musim panen raya
yang menyebabkan harga jeruk di tingkat petani
menurun. Dengan demikian, teknologi diperlukan
agar produksi jeruk meningkat dan tidak berlebih
pada bulan-bulan tertentu. Tulisan ini membahas
rekomendasi arah pengembangan jeruk di Nabire
yang dikaitkan dengan kondisi di lapang dalam
upaya meningkatkan daya saing Jeruk Nabire.
PROSPEK PENGEMBANGAN JERUK
Karakteristik kesesuaian lahan dan sumber
daya genetik jeruk
Kegiatan budidaya jeruk sebaiknya
memperhatikan kesesuaian lahan sehingga
tanaman bisa tumbuh dan berproduksi dengan
optimal. Tingkat kesesuaian lahan terdiri dari S1
(sangat sesuai), S2 (sesuai), S3 (kurang sesuai),
dan N (tidak sesuai). Upaya perbaikan dan
optimalisasi lahan untuk komoditas jeruk bisa
dilakukan pada kesesuaian lahan S1, S2 dan S3
sehingga produksi bisa mendekati optimal.
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan
dalam pembudidayaan jeruk yaitu pemilihan
varietas berdasarkan ketinggian tempat. Balai
Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika
(Balitjestro) memiliki beberapa jenis jeruk spesifik
lokasi yang telah dikembangkan diantaranya
Keprok Soe, Keprok Beras Sitepu, Keprok Batu
55, Siem Maga dan Siem Madu Batu 55, Soe,
Berasitepu, dan Garut (Martasari 2017). Adaptasi
beberapa varietas jeruk terhadap ketinggian tempat
disajikan pada Tabel 2.
13Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus
Sho’idah dan Muhammad Thamrin)
Pengembangan komoditas jeruk di Papua
Pengembangan buah di Papua mengikuti
arah pengembangan komoditas unggulan buah
yang telah ditetapkan pemerintah pusat, yakni
jeruk, mangga, pisang, rambutan, nenas, dan salak.
Nabire merupakan salah satu wilayah
pengembangan kawasan hortikultura jeruk di
Papua berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 45 tahun 2015 yang diperbarui dengan
Kepmentan No 830 tahun 2016. Pemerintah
Provinsi Papua juga telah menetapkan Nabire
sebagai salah satu wilayah pengembangan jeruk
dalam Renstra 2014-2018 (Dinas TPH, 2014).
Pengembangan jeruk di Papua menurut Wilayah
Tabel 1. Karakteristik dan kriteria kesesuaian lahan budidaya jeruk
Persyaratan penggunaan/
karakteristik lahan
Kelas kesesuaian lahan
S1 S2 S3 N
Temperatur (tc)
Temperatur rerata (°C) 19 - 33 33 - 36 36 - 39 > 39
16 - 19 13 - 16 < 13
Ketersediaan air (wa)
Curah hujan (mm) 1.200 - 3.000 1.000 - 1.200 800 - 1.000 < 800
3.000 - 3.500 3.000 - 4.000 > 4.000
Lamanya masa kering
(bln)
2,5 - 4 4 - 5 5 - 6 > 6
Kelembapan (%) 50 - 90 <50; >90
Ketersediaan oksigen (oa)
Drainase baik, sedang agak terhambat terhambat,
agak cepat
sangat terhambat,
cepat
Media perakaran (rc)
Tekstur sedang, agak halus Agak kasar, halus sangat halus kasar
Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 55 > 55
Kedalaman tanah (cm) > 100 75 - 100 50 - 75 < 50
Gambut:
Ketebalan (cm) <50 50 - 100 100 - 200 > 200
Kematangan saprik saprik, hemik hemik, fibrik
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) > 16 5-16 <5
Kejenuhan basa (%) ≥ 20 < 20 <20
pH H2O 5,5 - 7,6 5,2 - 5,5 < 5,2
7,6 - 8,0 > 8,0
C-organik (%) >1,2 0,8 – 1,2 < 0,8
Retensi hara (nr) N total (%) Sedang Rendah Sgt rendah -
P2O5 (mg/100 g) Tinggi Sedang Rendah-sgt rendah -
K2O (mg/100 g) Sedang Rendah Sgt Rendah -
Toksisitas (xc)
Salinitas (dS/m) < 3 3 - 4 4 – 6 > 6
Sodisitas (xn)
Alkalinitas/ESP (%) < 8 8 - 12 12 - 15 > 15
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100 - 125 60 - 100 < 60
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) < 8 8 - 15 15 - 30 > 30
Bahaya erosi sangat ringan ringan - sedang Berat sangat berat
Bahaya banjir/ genangan pada
masa tanam (fh)
- Tinggi (cm) - - - 25
- Lama (hari) - - - <7
Penyiapan lahan (lp)
Batuan di permukaan (%) < 5 5 - 15 15 - 40 > 40
Singkapan batuan (%) < 5 5 - 15 15 - 25 > 25
Sumber: Ritung et al. 2011
14 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23
Pengembangan Adat disajikan pada Tabel 3. Jeruk
merupakan komoditas buah unggulan Nabire dan
merupakan komoditas prioritas yang perlu
dikembangkan (Lestari 2012; Lewaherilla 2018).
Luas pengembangan dan produksi jeruk di Nabire
berdasarkan Distrik diuraikan pada Tabel 4 dan
Tabel 5.
Tahun 2005 telah dilakukan pewilayahan
komoditas di Nabire pada tiga distrik yaitu Nabire,
Napan, dan Wanggar. Berdasarkan karakteristik
kesesuaian lahan budi daya jeruk (Tabel 1)
terdapat beberapa zona wilayah yang sesuai untuk
kegiatan budidaya Jeruk yang disajikan dalam
Tabel 6. Lokasi rekomendasi budidaya yang
memiliki ketinggian tempat lebih dari 1200 m dpl
menunjukkan bahwa Nabire memiliki potensi
pengembangan varietas jeruk dataran tinggi (Tabel
2) dengan keunggulan warna kuning pada kulit
buah.
Kegiatan Pendampingan Jeruk di Papua
sudah dilakukan sejak tahun 2015 oleh BPTP
Papua di Nabire dalam upaya mendukung Program
Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura
(PKAH) Nasional. Kegiatan pendampingan
dilakukan di Nabire Barat, Wanggar, Yaro, Teluk
Kimi, Makimi, dan Uwapa, sedangkan kegiatan
percontohan inovasi teknologi budidaya jeruk yang
dilakukan di Kampung Samabusa Distrik Teluk
Kimi (BPTP Papua 2016).
Jeruk sebagai komoditas ekspor
Empat tahun terakhir (2014-2017) Papua
New Guinea yang berbatasan langsung dengan
Provinsi Papua menjadi negara tujuan ekspor jeruk
Tabel 2. Adaptasi beberapa varietas jeruk terhadap ketinggian tempat
Varietas
Kesesuaian ketinggian tempat*
Dataran rendah
≤ 400 m dpl
Dataran medium
>400 – 700 m dpl
Dataran tinggi
>700 m dpl
Keprok Batu 55 - + ++
Keprok Madura ++ + -
Keprok Soe - + ++
Keprok Grabag - + ++
Keprok Brastepu - - ++
Keprok Tejakula ++ - -
Keprok Garut - ++ +
Keprok Terigas ++ + -
Keprok Selayar ++ - -
Keprok Borneo Prima ++ + -
Keprok Brastagi - - ++
Keprok Siompu ++ - -
Keprok Tawangmangu - + ++
Keprok Pulung - ++ +
Keprok Ponkan - + ++
Keprok Gayo - + ++
Siam Pontianak ++ + -
Siam Madu - + ++
Siam Kintamani - + ++
Siam Banjar ++ - -
Siam Gunung Omeh - + ++
Pamelo ++ - -
* Keterangan: ++ = Optimal, + = Kurang optimal, - = Tidak direkomendasikan
Sumber: Sutopo (2014)
15Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus
Sho’idah dan Muhammad Thamrin)
Indonesia. Data perbandingan ekspor jeruk dan
komoditas hortikultura lainnya ditampilkan pada
Gambar 1. Nabire mempunyai potensi yang sangat
besar untuk mengekspor jeruk ke Negara tersebut.
Potensi tersebut dikarenakan Nabire memiliki
fasilitas bongkar muat barang berupa pelabuhan
dan bandara memungkinkan untuk melakukan
pemasaran jeruk secara langsung ke Papua New
Guinea. Oleh sebab itu pengembangan jeruk di
wilayah Nabire perlu diorientasikan untuk ekspor
ke Papua New Guinea dan negara lain.
Usaha tani jeruk
Usaha tani jeruk dilakukan di berbagai
sentra produksi dengan kelayakan usaha tani yang
bervariasi. Rasio R/C petani jeruk manis Nabire
per musim panen sebesar 2,28 (Sairdama et al.
2011), sedangkan di Batola (Kalimantan Selatan)
dan Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara) berturut-
turut sebesar 1,10 dan 2,16 (Mufidah et al. 2018).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan
petani jeruk diantaranya yaitu luas lahan, biaya
usaha tani, pengalaman bertani, jumlah tanggungan
dan modal usaha (Alitawan & Sutrisna 2017;
Nainggolan et al. 2013)
Jeruk juga makin diminati petani untuk
dibudidayakan di Distrik Nabire. Peningkatan
usaha tani jeruk manis dari luas tanam 162 ha
dengan luas panen 149 ha (2008) menjadi luas
tanam 250 ha dengan luas panen 200 ha (2010) di
Tabel 3. Pengembangan jeruk di Papua menurut Wilayah Pengembangan Adat
No Wilayah pengembangan Kabupaten/Kota
1 Mamta Keerom, Sarmi, Mamberamo Raya
2 Saireri Biak Numfor, Kep Yapen, Waropen
3 Ha Anim Boven Digul, Asmat
4 La Pago Jayawijaya, Puncak Jaya, Puncak
5 Mee Pago Nabire, Intan Jaya
Sumber: Dinas TPH Papua (2014)
Tabel 4. Luas Pengembangan Tanaman Jeruk di Nabire
Distrik Luas lahan (ha)
Total lahan (ha) Produksi Belum Produksi
Makimi 147,5 78 225,5
Teluk Kimi 48 20,5 68,5
Nabire Barat 230 75 305
Wanggar 40 40
Sumber: Dinas Pertanian dan PerkebunanKabupaten Nabire (2015)
Tabel 5. Produksi Buah Jeruk Nabire per Distrik
Distrik Produksi (ton)
2015 2016
Uwapa 110,0 600,0
Wanggar 2.000,0 -
Menou - 7.200,0
Dipa - 3.850,0
Yaur - 41,8
Nabire Barat 11.200,0 5593,0
Nabire 900,0 920,0
Teluk Kimi 6.520,0 140,0
Makimi 885,0 -
Sumber: BPS Nabire 2016 &2017
16 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23
Kampung Wadio, Nabire Barat. Faktor yang
mempengaruhi peralihan komoditas misalnya padi
menjadi jeruk yaitu pendidikan, pengalaman
berusahatani, jumlah anggota keluarga dan sosial
budaya (Matakena 2013).
Proses pemasaran yang terjadi di
Kampung Wadio, Distrik Nabire Barat dilakukan
oleh petani, pedagang pengumpul, pedagang besar,
dan pedagang pengecer. Harga jeruk umumnya
mengikuti harga yang berlaku di pasar, akan tetapi
pedagang pengumpul cenderung lebih memiliki
kekuatan untuk menentukan harga terutama ketika
musim panen (Sinaga 2011). Pemasaran jeruk
Nabire di Provinsi Papua diantaranya mencakup
kabupaten Nabire, Biak, Serui dan Jayapura.
Sedangkan pemasaran ke luar Provinsi Papua
diantaranya yakni ke Sorong, Manokwari, Maluku
dan Surabaya (Laksono 2018). Lebih lanjut
diketahui bahwa pemasaran jeruk ke luar Nabire
per bulannya bisa mencapai 3-4 kontainer (kurang
lebih 50.000 kg) (Sairdama et al. 2011).
PRIORITAS ARAH PENGEMBANGAN
Sistem pengelolaan kebun jeruk
Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat
(PTKJS) (Supriyanto et al. 2010b)
merupakan petunjuk teknis budidaya jeruk
yang dimaksudkan untuk memperpanjang masa
produksi, meningkatkan produktivitas dan mutu
buah. PTKJS meliputi:
1. Penggunaan benih bebas penyakit. Benih
berlabel bebas penyakit diperoleh dari
penangkar benih yang sudah terdaftar di BPSB
setempat.
Gambar 1. Ekspor Jeruk Indonesia Negara Tujuan Papua New Guinea (Pusdatin 2018)
17Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus
Sho’idah dan Muhammad Thamrin)
2. Pengendalian serangga penular CVPD.
Penyakit CVPD ditularkan oleh serangga
Diaphorina citri. Langkah awal pengendalian
yakni monitoring populasi serangga penular
tersebut dengan yellow trap. Pengendalian
dapat dilakukan dengan menggunakan
insektisida sistemik. Agens hayati yang mampu
mengendalikan D. citri diantaranya yaitu
Tabel 7. Teknologi Budidaya Jeruk
Jarak tanam
- Tumpang sari 5 x 4 cm
- Monokultur 4 x 4 cm
Pemangkasan
- Bentuk TBM, umur 1 tahun
- Pemeliharaan TM, setiap selesai panen
Pengendalian Hama Penyakit
- Diplodia Disemprot menggunakan insektisida seperti Matador
25 EC
- CVPD Bubur California yang dioles pada batang
Pemupukan
- Pupuk Kandang Tanaman umur 1-4 tahun = 20-40 kg/pohon
Tanaman umur >5 tahun = 40-60 kg
- NPK pada Tanaman Belum Menghasilkan Berdasarkan umur tanaman
- NPK pada Tanaman Menghasilkan Berdasarkan hasil panen
Pengendalian gulma Empat kali setahun dengan herbisida dan secara
manual
Benih Okulasi
Batang bawah JC
Sumber: Suyanto & Irianti (2011), Mustakim (2015), Sutopo (2009)
Tabel 8. Rekomendasi Pemupukan Jeruk Berdasarkan Umur Tanaman
Umur (tahun) Gram/pohon/aplikasi Aplikasi
N P2O5 K2O
1 10-20 5-10 5 2-3 kali/tahun
2 25-40 15-20 10-15 3-4 kali/tahun
3 40-75 25-40 20-30 3-4 kali/tahun
4 80-120 50-75 40-50 2-3 kali/tahun
5 125-150 80-100 60-80 2 kali/tahun
Sumber: Sutopo (2009)
Tabel 9.Rekomendasi Pemupukan Berdasarkan HasIl Panen
Panen(kg/pohon)
Dosis (g/pohon/tahun)
Jeruk Siam Jeruk Keprok Jeruk Pamelo
N P2O5 K2O N P2O5 K2O N P2O5 K2O
25 262 -
395
185 -
275
53 - 77 278 -
417
90 -
136
182 -
273
143 -
214
71 -
107
289 -
429
50 525 -
790
370 -
550
105 -
155
556 -
833
182 -
273
364 -
545
286 -
429
143 -
214
571 -
857
75 790 -
1185
555 -
830
157 -
233
833 -
1250
273 -
409
545 -
818
429 -
643
214 -
321
857 –
1286
100 1050 -
1580
740 -
1100
210 -
315
909 -
1364
364 -
545
727 -
1090
571 -
857
286 -
429
1143 -
1714
Sumber: Sutopo (2009)
18 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23
ektoparasit Tamarixia radiata, endoparasite
Diaphorencyrtus aligarhensis, predator Curinus
coeruleus dan Syrphidae, entomopatogen
Hirsutella sp. dan Metarrhizium anisopliae.
3. Sanitasi kebun. Kegiatan ini dilakukan dengan
membuang bagian tanaman yang terserang
CVPD. Jika seluruh bagian tanaman sudah
terserang, maka pohon jeruk harus dibongkar
sampai akar dan dibakar/dimusnahkan.
4. Pemeliharaan tanaman. Pemeliharaan tanaman
meliputi pemangkasan (bentuk dan
pemeliharaan), pengolahan tanah, pemupukan,
penyiraman, penjarangan buah dan
pengendalian organisme pengganggu tanaman
(OPT). Teknik budidaya jeruk secara rinci
ditampilkan pada Tabel 7, dan rekomendasi
pemupukan disajikan pada Tabel 8 dan 9.
5. Konsolidasi pengelolaan kebun. Konsolidasi
pengelolaan memakai pendekatan kelompok
tani yang kebunnya berdekatan pada satu
hamparan dengan menerapkan semua
komponen teknologi yang dianjurkan.
Penerapan PTKJS dapat digunakan sebagai
mitigasi iklim pada budidaya jeruk seperti yang
telah dilakukan di Banyuwangi yang mampu
menghasilkan panen mencapai 10-12 ton/ha.
Sistem PTKJS dapat digunakan sebagai panduan
budidaya jeruk siam di lahan kering/tegalan dan
tanah berpasir (Ashari et al. 2014).
Perluasan lahan dan peremajaan
Penurunan produksi di Nabire terjadi
karena beberapa kawasan jeruk terserang penyakit
CVPD, disamping konversi lahan jeruk ke
komoditas lain, serta usia pohon yang tidak lagi
produktif. Sentra pengembangan jeruk di Nabire
yang berada pada Distrik Nabire Barat mengalami
penurunan produksi yang signifikan sehingga
pemerintah Kabupaten Nabire mengembangkan
kawasan jeruk baru di Distrik Teluk Kimi
(Laksono 2018).
Pengembangan kawasan baru merupakan
peluang untuk penerapan PTKJS secara utuh
karena PTKJS lebih efektif diterapkan pada daerah
pengembangan baru atau daerah rehabilitasi yang
berjarak lebih dari lima kilometer dari jeruk
terinfeksi CVPD (Supriyanto et al. 2010b).
Pengembangan kawasan baru dan peremajaan
pohon jeruk yang tidak lagi produktif bisa
didahului dengan melakukan kajian pasar,
agroekofisiologi dan kemudahan akses input
teknologi untuk menentukan jenis jeruk yang
diminati oleh konsumen. Penentuan jenis jeruk
berdasarkan adaptasi elevasi dapat dilihat pada
Tabel 2.
Peningkatan produksi dan keragaman jenis
jeruk
Jeruk yang dibudidayakan di Nabire
umumnya memiliki kulit berwarna hijau. Jeruk
berkulit kuning lebih diminati oleh konsumen
Indonesia dan harganya relatif lebih tinggi.
Pengembangan jeruk untuk menghasilkan buah
berkulit kuning dapat dilakukan dengan menanam
benih baru atau menerapkan metode top working.
Metode tersebut dilakukan dengan menyambung
cabang jeruk varietas baru pada batang jeruk
varietas lama yang sudah tidak produktif.
Penyambungan cabang produktif pada batang yang
sudah berproduksi mampu mempercepat masa
berbuah jeruk.
Top working pada tanaman jeruk dapat
dilakukan secara sambung kulit, sambung celah,
penempelan dan sambung tunas (Sugiyatno 2014).
Cabang atas disambung dengan batang bawah
menggunakan interstok agar tumbuh normal.
Cabang atas Keprok Batu 55 tumbuh baik dengan
interstok jeruk manis atau jeruk siam pada batang
bawah JC (Sugiyatno et al. 2013).
Kontinuitas produk dan stabilisasi harga
Harga jeruk di tingkat petani pada panen
raya tahun 2010 di Nabire hanya Rp 2.500/kg,
sedangkan pada saat panen rutin harga tertinggi
sebesar Rp 5.000/kg. Sistem penentuan harga jeruk
umumnya mengikuti harga yang berlaku di pasar,
tetapi pedagang pengumpul cenderung lebih
memiliki kekuatan dalam menentukan harga
terutama saat musim panen raya (Sinaga 2011).
19Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus
Sho’idah dan Muhammad Thamrin)
Harga pasar mengikuti hukum permintaan-
penawaran, yaitu saat panen raya dengan
ketersediaan jeruk melimpah maka harga akan
rendah. Teknik budidaya jeruk tertentu perlu
dikembangkan agar buah jeruk bias tersedia
sepanjang tahun sehingga harga jeruk di pasaran
bisa stabil.
Bujangseta (buah berjenjang sepanjang
tahun) merupakan inovasi teknologi dari
Balitjestro agar jeruk bisa berbuah sepanjang tahun
dan tidak tergantung dengan musim. Umumnya
jeruk dipanen 1-2 kali dalam satu tahun dengan
produktivitas 40 kg/pohon/tahun. Penerapan
teknologi bujangseta menjadikan jeruk bisa
dipanen sampai lima kali setahun (interval dua
sampai tiga bulan sekali) dengan produktivitas 80-
125 kg/pohon/tahun (Technology Indonesia 2018).
Langkah teknis yang dilakukan untuk aplikasi
teknologi tersebut yaitu: (1) Prunning atau
pemangkasan, (2) Manajemen nutrisi atau
pemupukan (kombinasi pemupukan NPK bentuk
padat dan cair), (3) Aplikasi pupuk Kiserit
(MgSO4), dan (4) Pola pengendalian hama dan
penyakit (Balitjestro 2018). Meski demikian,
penerapan teknologi ini masih terbatas pada jeruk
siam. Perlu kajian lebih lanjut terkait keberhasilan
teknologi ini pada jenis jeruk lain seperti keprok
dan pamelo.
Selain Bujangseta, teknologi yang
berpotensi dikembangkan untuk produksi buah
tanpa tergantung musim yaitu induksi pembungaan
di luar musim. Pembungaan pada jeruk keprok,
siam dan pamelo dapat dilakukan dengan aplikasi
zat penghambat tumbuh (seperti prohexadion-ca
dan paclobutrazol) dan strangulasi yang
dikombinasikan dengan zat pemecah dormansi
(Etepon, KNO3 dan BAP) (Sostenes 1996,
Mulyani 1996, Syahbudin 1999, Darmawan et al.
2014, Susanto et al. 2016).
DUKUNGAN PENGEMBANGAN JERUK DI
NABIRE
Ketersediaan teknologi perbenihan
Berdasarkan data yang diolah dari kegiatan
UPBS Jeruk tahun 2009-2014, diketahui bahwa
jenis jeruk yang telah disebarkan di Papua
mencakup keprok Terigas, keprok Batu 55, dan
Siam Pontianak (Harwanto 2014). Produksi benih
jeruk di Papua pada tahun 2016 mencapai 7.700
pohon (Kementan 2017). BPTP Papua juga telah
melakukan kegiatan pendampingan perbenihan
jeruk bebas penyakit pada tahun 2017 dan 2018 di
Nabire dengan sistem okulasi pada petani
penangkar.
Produksi benih jeruk bebas penyakit
dilakukan secara bertingkat melalui Blok Fondasi
(BF), Blok Penggandaan Mata Tempel (BPMT),
dan Blok Perbanyakan Benih (BPB). Blok BF dan
BPMT dilengkapi dengan kasa anti serangga untuk
menghindarkan infeksi penyakit dari luar. Saat ini
terdapat dua petani penangkar benih jeruk siam
Pontianak dan keprok Madura yang sudah terdaftar
di BPSB Kabupaten Nabire, dengan produksi
masing-masing sebanyak 6-8 ribu pohon/tahun dan
10-15 ribu pohon/tahun. Meski demikian, petani
penangkar terancam dicabut izin produksinya
karena tidak memiliki rumah kasa untuk BPMT.
Oleh Sebab itu diperlukan bantuan pendanaan dari
pemerintah terkait pengadaan fasilitas untuk
kegiatan perbenihan.
Teknologi perbenihan jeruk menggunakan
JC sebagai batang bawah karena memiliki vigor
yang baik dan masa produksi yang singkat. Media
yang digunakan untuk penyemaian yakni
campuran pupuk kandang sapi:pasir (2:1) dan
ditempatkan pada wadah plastik berukuran
40x30x10 cm, atau pupuk kandang
sapi:pasir:sekam (2:1:2) yang ditempatkan pada
kantong plastik berdiameter 12,5 cm dengan
ketinggian 30 cm (Hardiyanto et al. 2000).
Roguing terhadap tipe simpang benih JC sebaiknya
dilakukan pada awal benih berkembang normal
sampai dengan 2 bulan setelah berkecambah
(Andrini 2014). Benih jeruk di dataran rendah
memiliki pertumbuhan yang lebih optimal
20 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23
dibanding di dataran tinggi (Budiyati dan Jati
2014).
Benih jeruk yang digunakan untuk lahan
kering umumnya diperbanyak dengan cara okulasi,
sedangkan benih untuk lahan pasang surut
menggunakan benih okulasi yang dicangkok.
Waktu pencangkokan batang bawah yang tepat
untuk menghasilkan benih okulasi-cangkok yakni
setelah pembukaan tali okulasi atau tiga minggu
setelah okulasi (Supriyanto et al. 2000a).
Dukungan Kebijakan
Dukungan pemerintah yang diperlukan
untuk pengembangan jeruk di Nabire diantaranya
yakni penyediaan sarana dan prasarana produksi
seperti kemudahan mendapatkan pupuk bersubsidi,
serta bantuan pengadaan Blok Fondasi (BF), Blok
Penggandaan Mata Tempel (BPMT), dan Blok
Perbanyakan Benih (BPB).
Penguatan kelembagaan, baik melalui
kelompok tani maupun koperasi, perlu dilakukan
untuk meningkatkan akses petani dalam pemasaran
jeruk (Sairdama et al. 2011). Penguatan
kelembagaan dilakukan melalui pendampingan
oleh pemerintah daerah. Kelembagaan oleh petani
dapat memperkuat posisi tawar petani dalam
penentuan harga. Selain itu kelembagaan petani
juga dapat dijadikan wadah pengembangan
manajemen pasca panen (seperti sortasi, grading
dan pengolahan jeruk), sehingga dapat
meningkatkan harga jual jeruk.
Pemerintah daerah harus menjadi
fasilitator yang menghubungkan petani, dinas-
dinas terkait seperti BPSB sebagai Lembaga
sertifikasi benih, BPTP sebagai lembaga
pengkajian teknologi spesifik lokasi dan
pendampingan penerapan teknologi, Balai
Penyuluhan Pertanian dalam penyuluhan teknologi
pertanian, pelaku pemasaran, penyedia input
produksi, pelaku industri dan lembaga keuangan.
Institusi dan kelembagaan tersebut kemudian
membangun pola kerjasama kemitraan sehingga
kegiatan usaha tani jeruk berjalan baik. Lebih
lanjut, untuk kepentingan ekspor jeruk pemerintah
daerah harus memediasi berbagai pihak terkait
seperti kelompok tani, Badan Karantina,
Kementerian Perdagangan, dan perusahaan
penyedia jasa pengiriman barang agar kegiatan
pemasaran jeruk berjalan lancar.
KESIMPULAN
Nabire merupakan kawasan
pengembangan komoditas jeruk dan memiliki
wilayah-wilayah yang sesuai untuk kegiatan
pembudidayaan jeruk. Pengembangan jeruk di
Nabire didukung dengan adanya teknologi
perbenihan dan infrastuktur untuk pemasaran
sampai ke luar provinsi. Strategi pengembangan
jeruk di Nabire yakni perluasan areal pertanaman
jeruk, peningkatan produktivitas dan keragaman
jenis jeruk, serta manajemen produksi terkait
kontinuitas produk untuk stabilitas harga jeruk.
Teknik-teknik budidaya yang bisa dilakukan yakni
penerapan sistem Pengelolaan Terpadu Kebun
Jeruk Sehat (PTKJS), Top Working, Bujangseta
dan pembungaan jeruk di luar musim. Dukungan
pemerintah daerah terkait penyediaan sarana dan
prasarana produksi, penguatan kelembagaan petani
dan kerjasama berbagai pihak mutlak diperlukan
dalam upaya pengembangan kawasan jeruk di
Nabire.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian (BBP2TP) yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut
dalam program pembinaan penulisan karya tulis
ilmiah, dan Ir. Agus Muharam, MS. yang telah
membimbing dalam penyusunan karya tulis ilmiah
ini.
21Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus
Sho’idah dan Muhammad Thamrin)
DAFTAR PUSTAKA
Alitawan, A.A.I. dan K. Sutrisna. 2017. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pendapatan
petani jeruk pada desa Gunung Bau
Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. E-
Jurnal EP Unud 6(5):796-826
Andrini, A. 2014. Identifikasi tipe simpang
semaian jeruk batang bawah Japansche
Citroen (JC) dan waktu yang tepat untuk
roguing berdasarkan karakter morfologi.
Prosiding Seminar Nasional PERHORTI
2014. Malang, 5-6 November 2014.
Perhimpunan Hortikultura Indonesia: hal.
15-21
Ashari, H., Z. Hanif, dan A. Supriyanto. 2014.
Kajian dampak iklim ekstrim curah hujan
tinggi (La-Nina) pada jeruk siam (Citrus
nobilis VAR. Microcarpa) di Kabupaten
Banyuwangi, Jember dan Lumajang. Planta
Tropika Journal of Agro Science 2(1):49-55
Balitjestro. 2018. Bujangseta, Buahkan Jeruk
Berjenjang Sepanjang Tahun.
http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/buja
ngseta-buahkan-jeruk-berjenjang-sepanjang-
tahun/ [16 November] 2018
BPS Nabire. 2016. Kabupaten Nabire dalam
Angka 2016. BPS Nabire. Nabire
BPS Nabire. 2017. Kabupaten Nabire dalam
Angka 2017. BPS Nabire. Nabire
BPS Papua. 2017. Provinsi Papua dalam Angka
2017. BPS Papua. Jayapura
BPTP Papua. 2005. Laporan Akhir: Pewilayahan
Komoditas Pertanian Berdasarkan AEZ
1:50.000 di Kabupaten Nabire. BPTP Papua.
Jayapura
BPTP Papua. 2016. Laporan Akhir Kegiatan TA
2016: Pendampingan Pengembangan
Kawasan Pertanian Nasional Tanaman
Hortikultura Komoditas Jeruk Di Kabupaten
Nabire, Mimika dan Biak Numfor. BPTP
Papua. Jayapura
Budiyati, E. dan Jati. 2014. Evaluasi keragaan
pertumbuhan benih jeruk 15 varietas keprok
dan 7 varietas manis di dua ketinggian
(kebun percobaan Tlekung 950 m dpldan
kebun percobaan Banjarsari 2 m dpl).
Prosiding Seminar Nasional PERHORTI
2014. Malang, 5-6 November 2014.
Perhimpunan Hortikultura Indonesia:
hal.906-911
Darmawan M., R. Poerwanto, dan S. Susanto.
2014. Aplikasi prohexadion-ca,
paclobutrazol, dan strangulasi untuk induksi
pembungaan di luar musim pada tanaman
jeruk keprok (Citrus reticula). J. Hort.
24(2):133-140
Dinas TPH Papua. 2014. Rencana Strategis
Pembangunan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Papua Tahun 2014-
2018. Dinas TPH Papua. Jayapura
Distanbun Nabire. 2015. Luas pengembangan
jeruk tahun 2015
Hardiyanto, Djoema’ijah dan A. Supriyanto. 2000.
Uji teknologi penyediaan batang bawah
jeruk JC terhadap pertumbuhan dan
keragaan bibit siap tempel. Jurnal
Hortikultura 9(4):282-287
Harwanto. 2014. Sebaran Jeruk Keprok di
Indonesia.
http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/seba
ran-jeruk-keprok-di-indonesia/ [20
November] 2018
Kementan. 2017. Statistik Pertanian 2017.
Kementerian Pertanian. Jakarta
Laksono P. 2018. Keragaman budidaya jeruk dan
tataniaga usahatani jeruk di kabupaten
Nabire, provinsi Papua. Buletin Inovasi
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Papua
1(1):24-32
Lestari E.P. 2012. Pengembangan komoditas
unggulan UMKM di kabupaten Nabire,
Papua. Joint research Pengembangan
UMKM dengan BAPPEDA Kabupaten
Nabire:1-14
22 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23
Lewaherilla N.E. 2018. Analisis komoditas
unggulan sektor pertanian provinsi Papua.
Buletin Inovasi Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi Papua 1(1):1-15
Martasari C. 2017. Pengenalan dan Identifikasi
Spesifik Jeruk.
http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/ [16
Nov] 2018
Matakena S. 2013. Faktor yang mempengaruhi
peralihan usahatani padi ke usahatani jeruk
manis (studi kasus pada komunitas petani
jeruk manis di kampung Wadio distrik
Nabire Barat kabupaten Nabire).
AGRILAN: Jurnal Agribisnis Kepulauan
2(2): 57-72.
Mufidah L., L. Zamzami dan S. Wuryantini. 2018.
Analisa usaha tani jeruk siam di lahan kering
(Konawe Selatan) dan lahan pasang surut
(Batola). Seminar Nasional dan Pra
Lokakarya Nasional FKPTPI BKS Wilayah
Timur. Surakarta, 18-19 April 2018.
Universitas Sebelas Maret: 2(1) hal. 11-17
Mulyani S. 1996. Pengaruh zat pemecah dormansi
yang diaplikasikan setelah pemberian
paclobutrazol terhadap pertumbuhan dan
pembungaan jeruk keprok siem (Citrus
reticulata B.). Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Mustakim A. 2015. Pengelolaan Pemupukan Jeruk
Keprok (Citrus Nobilis L.) di Kebun
Blawan, PTPN XII, Bondowoso, Jawa
Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Nainggolan I. C., K. Tarigan, dan Salmiah. 2013.
Analisis usahatani jeruk dan faktor-faktor
yang mempengaruhi penerimaan petani
(studi kasus: Desa Perjuangan Kecamatan
Sumbul Kabupaten Dairi). Jurnal on Social
Economic of Agriculture and Agribusiness
2(8)
Pusdatin. 2018. Basis Data Ekspor-Impor
Komoditi Pertanian.
http://database.pertanian.go.id/eksim2012as
p/index.asp [19 November] 2018
Ritung S., K. Nugroho, A. Mulyani, E. Suryani.
2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk
Komoditas Pertanian (Edisi Revisi).
BBSDLP. Bogor
Sairdama S.S., F. Nurland, dan Kaimuddin. 2011.
Prospek pengembangan agribisnis jeruk
manis di distrik Nabire Barat Kabupaten
Nabire. E-Jurnal Unhas
Sinaga C.H. 2011. Analisis Pemasaran Jeruk Siam
di Kampung Wadio, Distrik Nabire Barat,
Kabupaten Nabire, Papua. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Sostenes. Pengaruh waktu pemberian beberapa zat
pemecah dormansi yang siaplikasikan
setelah paclobutrazol terhadap pertumbuhan
dan pembungaan jeruk keprok siem (Citrus
reticulata B.). skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Sugiyatno A. 2014. Teknologi Top Working pada
tanaman jeruk. Iptek Hortikultura 10:29-35
Sugiyatno A., L. Setyobudi, M.D. Maghfoer, dan
A. Supriyanto. 2013. Respons pertumbuhan
tanaman jeruk keprok Batu 55 pada
beberapa interstock melalui metode top
working. J. Hort. 23(4):329-338
Supriyanto A., A. Hidayat, dan Setiono. 2000a.
Waktu pencangkokan batang-bawah yang
tepat untuk memproduksi benih okulasi-
cangkok jeruk keprok siem dan besar
Nambangan. Jurnal Hortikultura vol.
9(4):288-292
Supriyanto A., M. E. Dwiastuti, A. Triwiratno, O.
Endarto, Suhariyono. 2010b. Panduan
Teknis Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk
Sehat: Strategi pengendalian penyakit
CVPD. Balitjestro. Malang
Susanto S., M. Melati, dan H. Sugeru. 2016.
Perbaikan pembungaan pamelo melalui
aplikasi strangulasi dan zat pemecah
dormansi. J. Hort. Indonesia 7(3): 139-145
Sutopo. 2009. Rekomendasi Pemupukan untuk
Tanaman Jeruk.
http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/reko
mendasi-pemupukan-untuk-tanaman-jeruk/
[20 November] 2018
23Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus
Sho’idah dan Muhammad Thamrin)
Sutopo. 2014. Panduan Budidaya Tanaman Jeruk.
http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/pand
uan-budidaya-tanaman-jeruk/[20 November]
2018
Suyanto A., dan T.P. Irianti. 2011. Studi hubungan
karakteristik tipologi lahan yang digunakan
terhadap kualitas hasil jeruk siem (Citrus
nobilis var. Microcarpa) di kabupaten
Sambas. J. Perkebunan & Lahan Tropika
1(2):42-48
Syahbudin. 1999. Studi stimulans pembungaan
jeruk siem (Citrus reticulata Blanco) dengan
paclobutrazol dan zat pemecah dormansi
etepon. Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Technology Indonesia. 2018. Berkat Bujangseta,
Pohon Jeruk Berbuah Sepanjang Tahun.
http://technology-indonesia.com/pertanian-
dan-pangan/inovasi-pertanian/berkat-
bujangseta-pohon-jeruk-berbuah-sepanjang-
tahun/ [16 November] 2018
25Introduksi Varietas Unggul Baru Padi dalam Mendukung Keberlanjutan Desa Mandiri Benih di
Kabupaten Majalengka (Yati Haryati dan Atang M. Safei)
INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI
DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN DESA MANDIRI BENIH
DI KABUPATEN MAJALENGKA
Yati Haryati dan Atang M. Safei Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80, Lembang
Email : dotyhry@yahoo.com
ABSTRACT
Introduction of New High Yielding Varieties of Rice in Supporting the Sustainability of Independent Seed Villages in Majalengka District. Perceptions of farmers in adopting new superior varieties based on their
preferences vary depending on climate and type of agroecosystem. Therefore, in the introduction of new high-
yielding varieties, first-hand study is needed at the farm level. The study of New Superior Varieties was carried out
in the Gangsa I Farmer Group, Jatitengah Village, Jatitujuh Subdistrict, Majalengka Regency (Independent Village
of Rice Seeds) on land owned by farmers carrying out breeding with an area of each 2.000 m2. The design used
randomized block design with 4 replications. The new superior varieties studied were Inpari 38, 39, 41, 42 and 43.
The aim of the study was to obtain new improved varieties of rice that could adapt well and provide high yields to
be developed in the Majalengka Regency area. Parameters observed were plant height (vegetative phase and
flowering), number of tillers (maximum and productive), number of panicles per clump, panicle length, number of
grains per panicle (empty and filled) and yield (t ha-1
). Agronomic performance data were analyzed using Duncan
Test followed by multiple distance tests using SAS version 9.0 for windows and farmer preferences were analyzed
using the Friedman Test. The aim of the study was to obtain new superior varieties of rice that could adapt well
and provide high yields to be developed in the Majalengka Regency area. The results showed that the new superior
varieties of rice with the highest yield and were favored by farmers were Inpari 43 with a productivity of 9.43 t ha-1
GKP, so that it could be used as an alternative rotation to be developed in the Mandiri Rice Seed Village in
Majalengka Regency and the introduction of New Superior Varieties supporting the sustainability of Mandiri
Village Seeds in seed production according to consumer/farmer preferences.
Keywords : Varieties, adaptations, preferences
ABSTRAK
Persepsi petani dalam mengadopsi varietas unggul baru berdasarkan preferensi masing - masing lokasi
bervariasi tergantung iklim dan tipe agroekosistem. Oleh karena itu dalam introduksi varietas unggul baru sangat
diperlukan kajian lebih dulu di tingkat petani. Kegiatan kajian Varietas Unggul Baru dilaksanakan di Kelompok
Tani Gangsa I, Desa Jatitengah, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka (Desa Mandiri Benih Padi) di lahan
milik petani pelaksana penangkaran benih dengan luasan masing - masing varietas 2.000 m2. Rancangan yang
digunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 4 ulangan. Varietas unggul baru yang dikaji yaitu Inpari 38, 39, 41,
42 dan 43. Tujuan pengkajian untuk mendapatkan varietas unggul baru padi yang dapat beradaptasi baik dan
memberikan hasil tinggi untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Majalengka. Parameter yang diamati tinggi
tanaman (fase vegetatif dan berbunga), jumlah anakan (maksimum dan produktif), jumlah malai per rumpun,
panjang malai, jumlah gabah per malai (isi dan hampa) dan hasil (t ha-1
GKG). Data keragaan agronomis dianalisis
menggunakan Uji Duncan dilanjutkan dengan uji jarak berganda (DMRT) dengan menggunakan SAS versi 9.0 for
windows dan preferensi petani dianalisis menggunakan Uji Friedman Test. Tujuan kajian untuk mendapatkan
varietas unggul baru padi yang dapat beradaptasi baik dan memberikan hasil tinggi untuk dikembangkan di wilayah
Kabupaten Majalengka. Hasil kajian menunjukkan Varietas unggul baru padi dengan hasil tertinggi dan disukai
oleh petani yaitu Inpari 43 dengan produktivitas 9,43 t/ha GKP, sehingga dapat dijadikan alternatif pergiliran
varietas untuk dikembangkan di wilayah Desa Mandiri Benih Padi di Kabupaten Majalengka dan introduksi
Varietas Unggul Baru dapat mendukung keberlanjutan Desa Mandiri Benih dalam produksi benih sesuai preferensi
konsumen/petani.
Kata Kunci : Varietas, adaptasi, preferensi
26 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:25-31
PENDAHULUAN
Salah satu komponen teknologi yang
sudah terbukti meningkatkan produksi hasil adalah
penggunaan varietas unggul baru. Pada umumnya
VUB mempunyai sifat - sifat yang menonjol
terhadap potensi hasil, tahan terhadap organisme
pengganggu tertentu dan memiliki keunggulan
sifat agronomis. Pemilihan varietas yang sesuai
dengan agroekosistem sangat mendukung
keberhasilan usahatani padi.
Ketersediaan varietas - varietas yang dapat
menjadi pilihan, memudahkan petani untuk
melakukan pergiliran varietas. Semakin banyak
varietas yang berdaya hasil tinggi dan adaptasinya
luas dapat memudahkan diseminasi varietas. Selain
itu dalam rangka mempertahankan dan
meningkatkan ketahanan pangan nasional perlu
dilakukan penataan pola dan pergiliran tanam baik
pergiliran jenis tanaman maupun varietas, serta
penanaman multi varietas adaptif spesifik lokasi
dan musim (Rohaeni dan Ishaq, 2015).
Penggunaan varietas unggul baru
mempunyai beberapa kelebihan yaitu pertumbuhan
lebih seragam dan panen serempak, rendemen
tinggi, mutu hasil tinggi dan sesuai selera pasar.
Kontribusi Varietas Unggul Baru (VUB) yang
diintegrasikan dengan teknologi pengairan dan
pemupukan dalam peningkatan produktivitas
sebesar 75%. Peran nyata dari VUB dalam
peningkatan produksi nasional dari sifat - sifat
yang dimiliki mampu berdaya hasil tinggi, toleran
terhadap hama dan penyakit, umur genjah sehingga
cocok dikembangkan pada pola tanam tertentu,
rasa nasi pulen dan kadar protein yang relatif tinggi
(Badan Litbang, 2007).
Varietas unggul baru padi sudah banyak
yang dilepas tetapi sebagian kurang berkembang.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya varietas tersebut kurang memiliki
keunggulan spesifik, tidak sesuai dengan preferensi
petani dan konsumen, varietas yang dilepas
memiliki beberapa kelemahan yang sebelumnya
belum diantisipasi sehingga petani menanam
varietas yang sama dari musim ke musim yang
diyakini akan memberikan hasil tinggi, baik
kualitas maupun kuantitas (Misran, 2015).
Persepsi petani dalam mengadopsi varietas
unggul baru berdasarkan preferensi
masing - masing lokasi bervariasi tergantung iklim
dan tipe agroekosistem. Oleh karena itu dalam
introduksi varietas unggul baru sangat diperlukan
kajian lebih dulu di tingkat petani. Faktor - faktor
yang harus diperhatikan meliputi psikologis dan
sosial wilayah setempat dalam membuat keputusan
penggunaan VUB di tingkat petani dibandingkan
faktor teknis dan ekonomi (Ruskandar, 2015).
Upaya untuk memperkenalkan varietas
unggul baru perlu dilakukan untuk mendapatkan
respon petani terhadap varietas - varietas yang
diminati untuk dikembangkan sesuai dengan
lingkungan tumbuh dan selera pasar. Berdasarkan
preferensi tersebut dapat mengetahui respon petani
terhadap penampilan tanaman dan rasa nasi dari
VUB yang sedang diuji. Keragaman lingkungan
tumbuh padi yang luas, diperlukan keragaman
varietas yang dapat beradaptasi optimal pada
kondisi spesifik lokasi (Yuniarti dan Kurniawati,
2015). Penggunaan varietas unggul baru secara
bergantian dapat memutus siklus hidup hama atau
penyakit tanaman. Keterbatasan keragaan pilihan
varietas di lapangan menyebabkan penerapan
pergiliran varietas sulit dilakukan, sehingga di
beberapa daerah sering terjadi serangan Organisme
Penggangu Tanaman. Oleh karena itu perlu
dilakukan kajian beberapa varietas unggul baru di
lokasi Sekolah Lapang Mandiri Benih untuk
mendapatkan varietas unggul baru padi yang dapat
beradaptasi baik dan memberikan hasil tinggi
untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten
Majalengka dalam upaya untuk melakukan
pergiliran varietas sehingga produksi benih yang
akan dihasilkan sesuai dengan permintaan dan
kondisi wilayah setempat.
BAHAN DAN METODOLOGI
Kegiatan kajian Varietas Unggul Baru
(VUB) dilaksanakan di Kelompok Tani Gangsa I,
Desa Jati Tengah, Kecamatan Jati Tujuh,
27Introduksi Varietas Unggul Baru Padi dalam Mendukung Keberlanjutan Desa Mandiri Benih di
Kabupaten Majalengka (Yati Haryati dan Atang M. Safei)
Kabupaten Majalengka (Desa Mandiri Benih Padi)
di lahan milik petani pelaksana penangkaran benih
dengan luasan masing - masing varietas 2.000 m2.
Rancangan yang digunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan 4 ulangan. Varietas unggul baru
yang dikaji yaitu Inpari 38, 39, 41, 42 dan 43.
Introduksi teknologi yang diterapkan yaitu
1) Menggunakan Varietas Unggul Baru (Inpari
38, 39, 41, 42 dan 43),
2) seed treatment dengan menggunakan pupuk
hayati Agrimeth dengan dosis 400 g per
25 kg benih, benih yang sudah diperam
selama 24 jam ditiriskan, selanjutnya
dicampur dengan pupuk hayati untuk disemai
di lahan persemaian yang sudah dipersiapkan,
3) Menggunakan biodekomposer dengan dosis 2
kg per ha untuk mempercepat proses
pelapukan jerami sebagai bahan organik,
aplikasi dilakukan pada saat setelah
pengolahan tanah pertama dengan cara jerami
dihamparkan di lahan sawah, kemudian
disingkal dan dalam keadaan lembab
disemprot dengan biodekomposer yang sudah
dilarutkan dengan air,
4) penggunaan pupuk organik 1 ton ha-1
,
5) pupuk anorganik berdasarkan status hara
(NPK Phonska 200 kg ha-1
dan Urea 180 kg
ha-1), pupuk NPK Phonska diaplikasikan pada
saat tanaman umur 7 - 10 HST dan pupuk urea
diaplikasikan pada saat tanaman umur
30 HST 100 kg ha-1
dan 45 HST 80 kg ha-1
,
6) pengendalian gulma menggunakan power
weeder pada umur tanaman 15, 30 dan 45
HST,
7) pengendalian hama dan penyakit berdasarkan
konsep PHT,
8) panen segera setelah tanaman memasuki fase
masak dengan 95% daun padi telah
menguning, dan pasca panen dilakukan
dengan dilakukan pengeringan dengan cara
dijemur dibawah terik sinar matahari selama 3
hari sampai mencapai kadar air (KA 14%).
Parameter yang diamati tinggi tanaman
(fase vegetatif dan berbunga), jumlah anakan
(maksimum dan produktif), jumlah malai per
rumpun, panjang malai, jumlah gabah per malai
(isi dan hampa) dan hasil (t ha-1
GKG). Data
keragaan agronomis dianalisis menggunakan Uji
Duncan dilanjutkan dengan uji jarak berganda
(DMRT) dengan menggunakan SAS versi 9.0 for
windows dan preferensi petani dianalisis
menggunakan Uji Friedman. Uji Friedman
merupakan salah satu metode dari uji beberapa
sampel berhubungan dengan menguji bahwa H0
dari beberapa respon ordinal berasal dari populasi
yang sama. Persyaratan dari penggunaan prosedur
uji tersebut yaitu : data dari variabel numerik dan
data berasal dari sampel acak dan tidak
memerlukan asumsi bentuk distribusi tertentu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Agronomis
Dalam rangka untuk mendapatkan varietas
unggul baru untuk menjadi dasar dalam produksi
benih di di wilayah Desa Mandiri Benih Padi dan
mempercepat penyebaran dan adopsi Varietas
Unggul Baru (VUB), maka dilakukan pengenalan
beberapa VUB melalui display varietas (Inpari 38,
39, 41, 42, dan 43).
Pertumbuhan tanaman padi cukup baik,
pada fase vegetatif tinggi tanaman Varietas Inpari
41 paling tinggi dibandingkan varietas yang lain
(Inpari 38, 39, 42 dan 43), sedangkan pada fase
berbunga yang paling tinggi Varietas Inpari 41 dan
Inpari 39, sedangkan pada fase masak yang paling
tinggi Inpari 38. Berdasarkan deskripsi tinggi
tanaman Varietas Inpari 38 (94 cm), Inpari 39 (98
cm), Inpari 41 (95 cm), Inpari 42 (93 cm) dan
Inpari 43 (88 cm). Pertumbuhan tinggi bervariasi
dari setiap varietas akibat dari faktor genetik dari
masing-masing varietas yang berbeda sehingga
pertumbuhan di lapangan memberikan penampilan
yang berbeda, terutama dalam hal pertumbuhan
tinggi tanaman.
28 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:25-31
Perbedaan tinggi tanaman diduga
dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan tumbuh,
sehingga masing - masing varietas menunjukkan
pertumbuhan tinggi tanaman yang berbeda.
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal dari tanaman itu sendiri.
Faktor internal adalah genetika dari tanaman
tersebut yang terekspresikan melalui pertumbuhan
sehingga diperoleh hasil, sedangkan faktor
eksternal adalah faktor biotik dan abiotik yang
meliputi unsur - unsur yang menjadi pengaruh
pada kualitas dan kuantitas, antara lain iklim, curah
hujan, kelembaban, intensitas cahaya, kesuburan
tanah, serta ada tidaknya serangan hama dan
penyakit. Seiring dengan hasil penelitian Sujitno et
al. (2011), tinggi tanaman dipengaruhi oleh sifat
genetik dan kondisi lingkungan tumbuh tanaman.
Pada peubah jumlah anakan maksimum
dan jumlah anakan produktif, Inpari 43
mempunyai jumlah anakan yang paling banyak
(18,41) batang. Jumlah anakan berbeda dari setiap
varietas ditentukan oleh interaksi antara genotipe
danlingkungan rismawati et al., 2011).
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Guswara
dan Samaullah (2009), bahwa kondisi lingkungan
sangat mempengaruhi kemampuan fungsi fisiologis
dan potensi genetik tanaman dalam menghasilkan
jumlah anakan produktif. Bertambahnya jumlah
anakan berkaitan dengan peningkatan luas daun
yang menyebabkan penyerapan sinar matahari oleh
daun semakin besar yang ditunjukkan oleh
peningkatan jumlah anakan produktif (Hidayat,
2012).
Salah satu faktor yang mempengaruhi
peningkatan hasil gabah adalah komponen hasil
tanaman. Komponen hasil (jumlah malai, panjang
malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah
hampa per malai dan hasil), Inpari 43 paling
banyak, disusul oleh Inpari 42, 41, 39 dan 38. Dari
hasil yang didapat bahwa komponen hasil
berkorelasi positif terhadap hasil yang dicapai.
Dengan hasil tersebut Varietas Inpari 43
produksinya cukup tinggi (9,43 t ha-1
GKP).
Pembentukan anakan produktif sangat menentukan
jumlah malai tanaman padi. Semakin banyak
anakan produktif, semakin banyak jumlah malai.
Dengan demikian terdapat korelasi antara jumlah
malai dengan hasil, karena semakin banyak jumlah
malai, maka semakin tinggi hasil tanaman padi
(Misran, 2015). Selanjutnya menurut Sution
(2017), bahwa jumlah malai per rumpun
merupakan salah satu faktor paling menentukan
terhadap komponen hasil, karena semakin banyak
malai yang dihasilkan pada setiap rumpun akan
semakin banyak pula jumlah gabah yang
dihasilkan sehingga peluang untuk menghasilkan
berat juga semakin tinggi.
Tabel 1. Rerata Pertumbuhan Beberapa Varietas Unggul Baru di Keltan Gangsa I, Desa Jati Tengah, Kec. Jati
Tujuh, Kab. Majalengka, MK I. 2017.
Varietas
Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan (batang)
Fase
Vegetatif Berbunga Masak Maksimum Produktif
Inpari 38 78,08bc 93,75b 105,08a 14,58d 12,91c
Inpari 39 75,25c 97,25a 98,58c 19,67b 17,16
Inpari 41 75,16c 97,08a 99,08c 16,33c 16,33b
Inpari 42 89,58a 91,58c 94,00d 16,08c 13,83c
Inpari 43 81,50b 89,83d 101,58b 22,08a 18,41a
Keterangan: Angka yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada Uji Duncan
taraf 5%.
29Introduksi Varietas Unggul Baru Padi dalam Mendukung Keberlanjutan Desa Mandiri Benih di
Kabupaten Majalengka (Yati Haryati dan Atang M. Safei)
Persentase gabah isi sangat menentukan
potensi hasil maksimum suatu varietas padi. Hasil
fotosintat (karbohidrat) dalam batang dan daun,
dan translokasinya serta akumulasinya dalam
gabah sangat menentukan tingkat pengisian gabah.
Jumlah gabah hampa bisa juga dipengaruhi oleh
tidak serempaknya pematangan biji akibat tidak
bersamaannya keluar biji, sehingga pada saat
dipanen masih ada biji yang belum berisi dengan
sempurna dan pada akhirnya akan menjadi biji
hampa (Arafah dan Najmah, 2012).
Bervariasinya jumlah gabah hampa diduga
karena faktor genetik, gabah hampa merupakan
ketidak mampuan tanaman dalam melakukan
pengisian bulir tanaman, kehampaan menyebabkan
hasil tidak akan tinggi hal ini disebabkan faktor
genetik dan lingkungan (Horrie et al., 2006).
Jumlah gabah hampa berpengaruh pada
perolehan hasil panen yang didapat. Semakin
banyak jumlah gabah hampa maka hasil produksi
yang diperoleh semakin sedikit. Jumlah gabah isi
per malai, berat gabah per rumpun, dan jumlah
anakan produktif merupakan beberapa komponen
yang menentukan berat hasil (Wijayanti et al.,
2011).
Varietas yang beradaptasi baik pada
lingkungan tumbuhnya akan tumbuh maksimal dan
memberikan hasil terbaik. Mekanisme adaptasi
tersebut ditunjukkan oleh penampilan agronomi
yang baik (Hastini et al., 2014). Berdasarkan
deskripsi, potensi hasil Varietas Inpari 38 (8,16
t/ha GKG), Inpari 39 (8,45 t/ha GKG), Inpari 41
(7,83 t/ha GKG), Inpari 42 (10,56 t/ha GKG) dan
Inpari 43 (9,02 t/ha GKG). Sedangkan hasil yang
diperoleh pada display varietas bahwa Varietas
Inpari 43 menunjukkan hasil tertinggi (9,43 t/ha
GKP), produktivitas yang dicapai masih belum
sesuai dengan potensi hasil.
Preferensi Petani
Dalam pengenalan Varietas Unggul Baru
(VUB), perlu dilakukan preferensi terhadap
karakteristik agronomis untuk mengetahui respon
dari petani terhadap VUB yang akan dipilih
sebagai alternatif pergiliran varietas di wilayah
tersebut. Keputusan petani dalam memilih varietas
benih ditentukan oleh faktor eksternal meliputi
pasar, kelembagaan, kebijakan dan lingkungan
(Irwan, 2013). Semakin tinggi nilai preferensi
maka semakin prioritas pilihan konsumen untuk
memilih sesuai dengan nilai preferensi tinggi yang
mengakibatkan rangking semakin tinggi.
Berdasarkan analisis non parametrik
menunjukan terdapat penilaian yang berbeda dari
responden terhadap varietas - varietas yang diuji.
Preferensi petani terhadap karakteristik keragaan
tanaman, menyukai Varietas Inpari 43 dilihat dari
tinggi tanaman, panjang malai, jumlah malai, umur
panen, ketahanan terhadap hama dan penyakit,
bentuk gabah, warna gabah, mutu gabah,
produktivitas, dan tingkat kerontokan, sedangkan
penerimaan umum yang paling rendah adalah
Varietas Inpari 41.
Varietas Inpari 43 merupakan varietas
Green Super Rice (GSR). Istilah “Super”
menekankan pada kemampuannya memberikan
Tabel 2. Rerata Komponen Hasil Beberapa Varietas Unggul Baru di Keltan Gangsa I, Desa Jati Tengah, Kec. Jati
Tujuh, Kab. Majalengka, MK I. 2017.
Varietas
Komponen Hasil
Jumlah malai per
rumpun
Panjang malai
(cm)
Jumlah gabah isi
per malai
Jumlah gabah
hampa per malai Hasil (t ha
-1) GKP
Inpari 38 11,08c 24,21c 121,25e 11,58b 5,40e
Inpari 39 13,58b 25,16ab 135,75d 8,66c 6,03d
Inpari 41 10,75d 25,17ab 154,75c 9,83c 6,30c
Inpari 42 14,83b 25,25ab 213,83b 13,25b 7,90b
Inpari 43 17,75a 26,33a 222,58a 35,33a 9,43a
Keterangan: Angka yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada Uji Duncan
taraf 5%.
30 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:25-31
hasil yang tinggi, sedangkan “Green” menekankan
pada kemampuannya berdaya hasil tinggi
meskipun pada input usaha tani (unsur hara tanah,
pupuk, zat pengatur tumbuh dan pestisida) yang
relatif rendah.
Berdasarkan deskripsi varietas bentuk
gabah varietas unggul baru yang diujikan adalah
ramping dan wana gabah kuning bersih (BB Padi,
2011). Dilihat secara kasat mata terdapat
perbedaan tingkat kebeningan dari warna gabah.
Selanjutnya menurut Trisnawati et al.,
(2013), bahwa tingkat preferensi konsumen sangat
menentukan penerimaan varietas unggul oleh
petani.
Preferensi responden terhadap penampilan
keragaan agronmis dari beberapa VUB padi
dilakukan melalui pengujian menggunakan alat
indra yang bersifat subjektif sehingga preferensi
responden secara keseluruhan sulit untuk
mendapatkan penilaian yang objektif. Berdasarkan
hasil penelitian Shafwati (2012), bahwa preferensi
adalah selera sehingga preferensi petani akan
berbeda-beda di setiap daerah.
KESIMPULAN
Varietas unggul baru padi dengan hasil
tertinggi dan disukai oleh petani yaitu Inpari 43
dengan produktivitas 9,43 t/ha GKP, sehingga
dapat dijadikan alternatif pergiliran varietas untuk
dikembangkan di wilayah Desa Mandiri Benih
Padi di Kabupaten Majalengka.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah dan Najmah. 2012. Pengkajian Beberapa
Varietas Unggul Baru Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah,
Jurnal Agrivigor, vol. 11, no. 2, hh : 188 -
194.
BB Padi. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi.
Sukamandi.
Badan Litbang Pertanian (Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian).
2007. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian.
Jakarta.
Guswara. A., dan M. Y. Samaullah. 2009.
“Penampilan Beberapa Varietas Unggul
Baru pada Sistem Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu di Lahan Sawah
Irigasi”. Prosiding Seminar Nasional Padi
2008: Inovasi Teknologi Padi
Mengantisipasi Peruba han Iklim Global
Mendukung Ketahanan Pangan. Buku 2.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
Hastini, T., Darmawan, dan Ishaq I., 2014.
Penampilan Agronomi 11 Varietas Unggul
Baru Padi di Kabupaten Indramayu,
Agrotrop, vol. 4., no. 1., hh : 73 - 81.
Tabel 3. Preferensi petani terhadap Keragaan Tanaman Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Kelompok Tani
Gangsa I, Desa Jatitengah, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka. 2017.
Varietas Tinggi
Tanaman
Jumlah
Anakan
Panjang
Malai
Jumlah
Malai
Umur
Panen
Tahan
H&P
Bentuk
Gabah
Warna
Gabah
Mutu
Gabah
Hasil
Produksi
Tkt
Krntkn
Pnrman
Umum
Mean Rank
Inpari 38 2,86 3,38 3,16 3,26 3,39 3,42 3,71 3,34 3,12 2,99 3,41 3,13
Inpari 39 3,64 3,58 3,64 3,55 3,36 3,59 3,70 3,63 3,59 3,68 3,59 3,55
Inpari 41 3,07 3,18 3,03 3,09 3,21 2,78 3,08 3,05 3,21 3,00 3,00 2,87
Inpari 42 3,58 3,26 3,51 3,43 3,28 3,63 3,07 3,36 3,24 3,50 3,63 3,61
Inpari 43 3,75 3,74 4,18 3,93 3,59 3,42 3,36 3,54 3,74 3,93 3,68 3,67
Friedman Test
N 38 38 38 38 38 38 38 38 38 38 38 38
Chi-Square 22,548 8,526 18,876 11,901 15,445 20,639 19,144 12,308 15,747 19,390 10,089 25,773
Df 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Asymp. Sig. 0,000 0,130 0,002 0,036 0,009 0,001 0,002 0,031 0,008 0,002 0,073 0,000
Keterangan : Asym. Sig. < 0,05 artinya penilaian responden terhadap beberapa varietas berbeda nyata.
31Introduksi Varietas Unggul Baru Padi dalam Mendukung Keberlanjutan Desa Mandiri Benih di
Kabupaten Majalengka (Yati Haryati dan Atang M. Safei)
Hidayat, Y., Saleh, Y., dan Waraiya, M. 2012.
Kelayakan Usahatani Padi Varietas Unggul
Baru Melalui PTT di Kabupaten Halmahera
Tengah, Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan, vol. 31, no. 3., hh : 166 - 172.
Horrie, T.,K. Homma, and H. Yoshida. 2006.
Physiological and Morphological Traits
Associated with High Yield Potential in
Rice. Abstracts. Second International Rice
Congress 2006. 26th International Rice
Research Conference. P : 12 - 13.
Irwan. 2013 . Faktor Penentu Dan Keputusan
Petani Dalam Memilih Varietas Benih
Kedelai Di Kabupaten Pidie. Jurnal Agrisep,
vol. 14, no. 1., hh : 1 - 6.
Krismawati, A., dan Arifin, Z. 2011. Stabilitas
hasil beberapa varietas padi lahan sawah.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, vol. 14, no. 2 : 84 - 92.
Misran. 2015. Keragaan Varietas Unggul Baru
Padi Sawah di Kecamatan Pulau Punjung
Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera
Barat. Jurnal Dinamika Pertanian, vol. 30,
no.1, hh. : 7 - 12.
Ruskandar, E. 2015. Pemanfaatan Benih Padi
Berlabel di Tingkat Petani Riau. Jurnal
Agrijati, vol. 28, no. 1, hh. : 145 - 157.
Rohaeni, W. dan Ishaq, I, M. 2015. Evaluasi
Varietas Padi Sawah Pada Display Varietas
Unggul Baru (VUB) di Kabupaten
Karawang, Jawa Barat. Agric, vol. 27, no. 1
dan 2, hh. : 1 - 7.
Shafwati AR. 2012. Pengaruh Lama Pengukusan
dan Cara Penanakan Beras Pratanak
terhadap Mutu Nasi Pratanak. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sujitno, E., Fahmi, T., dan Teddy, S. 2011. Kajian
adaptasi beberapa varietas unggul padi gogo
pada lahan kering dataran rendah di
Kabupaten Garut. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, vol.
14, no.1, hh: 62 - 69.
Sution. 2017. Keragaan Lima Varietas Unggul
Baru Terhadap Pertumbuhan dan
Produktivitas Padi Sawah Irigasi, Jurnal
Pertanian Agros, vol. 19, no.2, hh: 179 - 185
Widyayanti, S., Kristamtini, dan Sutarno. 2011.
Daya Hasil Tiga Varietas Unggul Baru Padi
Sawah di Kebon Agung - Bantul,
Widyariset, vol. 14, no. 3, hh : 559 - 564.
Yuniarti, S dan Kurniawati, S. 2015. Keragaan
pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru
(VUB) padi pada lahan sawah irigasi di
Kabupaten Pandeglang, Banten, Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas
Indonesia, vol. 1, no. 7, hh : 1666 - 1669.
33Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa
Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)
ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PRODUKSI BENIH JAGUNG HIBRIDA
NASIONAL: STUDI KASUS DESA MANDIRI BENIH JAGUNG
DI SULAWESI SELATAN
Bahtiar1)
dan Suriany2)
1) Balai Penelitian Tanaman Serealia
Jln. Dr. Ratulangi No.274 Maros
Email: bahtiarhusain31121957@gmail.com 2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jln. Perintis Kemerdekaan Km.17,5 Makassar
ABSTRACT
Analysis Of Farming Income Production Of National Hybrid Corn Seed: A Case Study Of Independent Village Area Of Corn Seed In South Sulawesi.The income of corn seed production farming carried out by farmer group in
the village area in the discussion in this paper. Understanding these conditions is carried out with the technology
assistance method from 2016 to 2017 to observe the process of implementing farming activities and the role of
related institutions. The results of the observation show that hybrid corn seed production in the independent
village corn seed can provide a profit of Rp.24,282,500 in 2016 and increase to Rp.36,837,000 in 2017. These
benefits are considered economically feasible for corn seed producers becouse of the income ratio with total cost
also increased from 2.69 in 2016 to 3.52 in 2017. Then the institutional support factor also showed an creasing
trend, especially the heads of farmer group, extension agents, reseachers, seed supervisers and seed distributors.
Thus the opportunity to develop and sustainably is prosfectivelly in the future as long as the national corn seed
usage policy continuing.
Key words: Hybrid corn seed, seed producer, income, sustainability
ABSTRAK
Pendapatan usahatani produksi benih jagung nasional yang dikerjakan oleh kelompok tani dalam kawasan desa
mandiri benih menjadi pembahasan dalam tulisan ini. Pemahaman kondisi tersebut, dilakukan dengan metode
pendampingan teknologi sejak tahun 2016 sampai tahun 2017 untuk mengamati proses pelaksanaan kegiatan
usahatani dan peranan lembaga terkait. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, usahatani produksi benih jagung
hibrida di kelompok tani desa mandiri benih, dapat memberikan keuntungan sebesar Rp.24.282.500 tahun 2016 dan
meningkat menjadi Rp.36.837.000 tahun 2017. Keuntungan tersebut dinilai layak secara ekonomi bagi petani
produsen benih jagung, karena rasio penerimaan atas biaya total juga meningkat dari 2,69 tahun 2016 menjadi 3,52
tahun 2017. Kemudian faktor dukungan kelembagaan juga menunjukkan kecenderungan yang semakin baik,
terutama ketua kelompok tani, penyuluh, peneliti, pengawas benih, dan distributor benih. Dengan demikian
peluang untuk berkembang dan berkelanjutan terbuka lebar di masa datang, sepanjang kebijakan penggunaan benih
jagung nasional tetap berlanjut.
Kata kunci: Benih jagung hibrida, produsen benih, pendapatan, keberlanjutan
34 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42
PENDAHULUAN
Perhatian pemerintah terhadap komoditas
jagung semakin tinggi. Program swasembada
jagung yang berkelanjutan terus diupayakan
melalui berbagai kegiatan. Di lingkup
Balitbangtan dikenal program model desa mandiri
benih jagung yang dikembangkan di beberapa
provinsi (Kapus Litbang Tanaman Pangan, 2015).
Di lingkup Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
program desa mandiri benih digulirkan pada 1000
desa di seluruh Indonesia, walaupun hanya terbatas
pada komoditi padi (Dirjentan, 2016ZZAL).
Belajar dari keberhasilan desa mandiri benih padi,
pada tahun 2018 mulai dengan komoditi jagung
dan kedelai. Program desa mandiri benih jagung
dimulai sebanyak 80 hektar yang tersebar di 5
provinsi, dan rencana akan dikembangkan menjadi
550 hektar pada tahun 2019 (Direktur Perbenihan,
2018).
Pelaksanaan pendampingan model desa
mandiri benih jagung telah berjalan 4 tahun dan
telah menunjukkan progres menuju desa mandiri
benih yang relatif bervariasi. Di provinsi Sulawesi
Tengah, desa mandiri benih telah direplikasi ke
tiga kecamatan yaitu kecamatan Dolo Barat,
Kecamatan Labuang, dan Kecamatan Kulawi
dengan luasan penangkaran sekitar 100 ha (Ruruk.
2017). Di Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah
ada mengarah ke tiga kabupaten yaitu Lombok
Timur, Dompu dan Sumbawa Besar sendiri,
(Hippi, A. 2015). Kemudian di Provinsi Sulawesi
Selatan, Desa mandiri benihnya masih terbatas
pada satu kecamatan, tetapi luasannya sudah
mencapai 10 ha.
Hasil pendampingan menunjukkan bahwa
penerapan teknologi produksi benih jagung hibrida
dapat dipahami petani dalam satu musim tanam
saja, tetapi permasalahan yang banyak dihadapi di
lapangan adalah pemasaran benih yang dihasilkan.
Di Nangru Aceh Darussalam hasil benih
dipasarkan dengan susah payah melalui kios-kios
saprodi dan anggota kelompok tani (Iskandar,
2016). Di Sulawesi Tenggara hasil benih yang
dihasilkan dipasarkan melalui BUMN (PT. Pertani)
setelah gagal memasarkan melalui program Dinas
Pertanian (Bananiek, 2016). Di Sulawesi Tengah
hasil benih dipasarkan melalui Dinas Pertanian
Provinsi tahun 2016 dan berkembang ke distribotor
nasional pada tahun 2017, sehingga pemasarannya
dinilai lancar dan mempotivasi petani untuk
memperluas skala penangkarannya sampai 100 ha
di tahun 2017 (Ruruk, B. 2017). Di Sulawesi
Selatan, hasil benih dipasarkan melalui kerjasama
dengan UPTD perbenihan kabupaten Bantaeng
pada tahun 2016 dan tahun 2017 mulai
dikordinasikan dengan distributor benih nasional,
sehingga kelompok binaan berusaha menambah
anggota penangkaran untuk mencapai 10 hektar
tahun 2018 dan rencana 50 hektar tahun 2019
(Razak, 2015).
Untuk mendukung keberlanjutan desa
mandiri benih tersebut perlu diketahui pendapatan
petani dari produksi benih tersebut sebagai
landasan untuk melakukan pendampingan dalam
rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani. Selain itu, peran kelembagaan yang terkait
dengan penyediaan benih mulai dari saat
diproduksi di lapangan, diprosessing, sampai
didistribusikan ke pengguna juga penting
diketahui.
METODE
Penetuan Lokasi dan Responden
Studi kasus ini dilaksanakan di desa
Kaloling, Kecamatan Gattarengkeke, Kabupaten
Bantaeng dengan pertimbangan desa tersebut telah
dibina sejak 2016 menjadi desa mandiri benih
jagung mewakili provinsi Sulawesi Selatan. Ketua
kelompok dan seluruh anggotanya yang turut
memproduksi benih jagung, baik yang terlibat pada
tahun 2016 maupun yang baru terlibat pada tahun
2017 ditetapkan sebagai responden sumber
informasi penggunaan input yang digunakan dan
output yang dihasilkan. Selain itu, lembaga terkait
dengan penyediaan benih jagung juga dijadikan
responden untuk mendapatkan informasi peranan
kelembagaan.
35Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa
Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)
Pengumpulan Data
Studi kasus ini dilakukan dengan metode
survei. Pengumpulan data dilakukan dengan
beberapa metode yaitu: pengamatan langsung,
wawancara dan diskusi. Tiga cara pengumpulan
data tersebut dipadukan pada setiap kunjungan
lapangan melakukan pembinaan. Dengan demikian
diharapkan data yang diperoleh lebih akurat karena
pengumpulan data berlangsung pada saat-saat
kegiatan dilaksanakan. Variabel yang diamati
adalah penggunaan input dan output yang
dihasilkan selama dua tahun (2016-2017). Input
yang diamati adalah penggunaan sarana produksi
berupa benih, pupuk, pestisida dan herbisida, serta
biaya tenaga kerja yang digunakan mulai dari
persiapan lahan sampai pemasaran hasil. Selain
itu, peran lembaga yang terkait dalam proses
produksi dan pemasaran hasil penangkaran juga
diamati keterlibatan dan perannya.
Analisa Data
Studi kasus ini menggunakan dua model
analisis yaitu analisis kuantitatif dan analisis
kualitatif. Analisis kuantitatif untuk mengetahui
biaya dan penerimaan serta keuntungan usahatani
penangkaran (Soekartawi, 1988) dengan rumus
sebagai berikut:
1. Keuntungan usaha penangkaran (�)
� = �� ∗ �� − ��
��
2. Rasio Penerimaan atas Biaya (R/C rasio)
�� ����� = YxPY
VC
3. Rasio penerimaan atas biaya sarana produksi
(RAIC rasio)
��������� = YxPYIC
4. Rasio penerimaan atas biaya tenaga kerja
(RALC rasio)
RALCrasio = YxPYLC
5. Rasio Keuntungan atas Biaya (B/C rasio)
&� ����� = 'YxPY) − VC
VC
Keterangan:
� = Profit'Pendapatan/Keuntungan) Y = Yield (Keluaran atau hasil produksi)
PY = Price Yield (Harga keluaran)
VC = Variable Cost (Biaya variabel)
R/C = Return Cost Ratio (Penerimaan atas
biaya total)
B/C = Benefit Cost ratio (Keuntungan atas
biaya total
RAIC = Return Above Input Cost (Penerimaan
atas biaya input)
IC = Input Cost (Biaya sarana produksi)
RALC = Return Above Labor Cost (Penerimaan
atas biaya tenaga kerja)
LC = Labor Cost (Biaya tenaga kerja)
Seterusnya untuk mengetahui peluang
keberlanjutannya, tiga aspek yang diperhatikan
yaitu aspek teknis, sosial budaya, dan aspek
ekonomi. Dikatakan berpeluang besar untuk
berkelanjutan apabila secara teknis dapat
dilakukan, secara ekonomi menguntungkan, dan
secara sosial budaya tidak melanggar kaidah-
kaidah dalam berusahatani (Malian, et.al., 1988).
Dikatakan ekonomis jika nilai R/C rasio lebih
besar 1 (Simatupang, P., 2003). Dikatakan
menguntungkan apabila B/C rasio lebih besar 1
(Soekartawi, 1989).
Kemudian analisis kualitatif dilakukan
dengan metode skoring untuk mengetahui tingkat
partisipasi dan respon dari lembaga terkait,
36 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42
menggunaka skala likert (Mueller, D.J., 1996)
dengan rumus sebagai berikut:
Skor = �4� ∗ bi6
�
Skor = 1 sampai 5, semakin besar skornya semakin
berperan
ni = Jumlah responden i
bi = Bobot penilaian i
H0 = µ1 = µ2 = µ3,
yaitu tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-
rata hitung parameter pengamatan pada ketiga jenis
sistem usahatani bawang merah.
H1 = µ1 ≠ µ2 ≠ µ3,
yaitu terdapat perbedaan yang nyata antara rata-
rata hitung parameter pengamatan pada ketiga jenis
sistem usahatani bawang merah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan Sarana Produksi
Biaya sarana produksi yang menonjol
adalah parent seeds. Selain relatif sulit diperoleh
saat itu, juga harganya mahal bagi petani. Parent
seednya adalah hasil persilangan antara galur
No.180 dengan MR-14 sebagai induk betina dan
Galur Nei 9008P sebagai induk jantan untuk
varietas Bima-20 URI. Sedang untuk Varietas
Bima-19 URI induk betinanya berasal dari hasil
persilangan Galur No.193 dengan MR-14 sedang
induk jantannya adalah Galur Nei 9008P
(Balitsereal, 2017). Digunakan 20 kg per hektar
yang terdiri dari 5 kg induk jantan dan 15 kg induk
betina ditanam dengan perbandingan 1 baris jantan
dan 3 baris betina. Perbandingan tersebut dinilai
menguntungkan bagi petani pemula karena tidak
perlu bantuan persilangan di lapangan tetapi cukup
dengan persilangan alami (Azrai dan Bahtiar,
2015).
Penggunaan sarana produksi nampak
meningkat jumlahnya dari Rp.6.887.500 tahun
2016 menjadi Rp. 7.325.000 tahun 2017 (Tabel 1),
namun tingkat efisiensinya terhadap peningkatan
produksi meningkat dari 5,2 menjadi 7,0 (Tabel 3),
terjadi peningkatan efisiensi sebesar 1,8. Artinya
petani dapat tambahan pendapatan Rp.1.800 pada
setiap penggunaan biasa sarana produksi Rp.1000.
Hal ini menunjukkan indikasi bahwa terdapat
peluang besar pengembangan produksi benih
jagung hibrida di masa depan.
Tabel 1. Penggunaan sarana produksi pada kegiatan penangkaranDesa Mandiri Benih, di Desa Kaloling.
Sarana produksi
Tahun 2016 Tahun 2017
Volume
Fisik
Satuan Harga
(Rp/satuan)
Nilai
(Rp/ha)
Volume
Fisik
Satuan Harga
(Rp/satuan)
Nilai
(Rp/ha)
Parent seed 20 kg 125.000 2.500.000 20 kg 125.000 2.500.000
Saromil 50 gr 2.000 100.000 50 gr 2.000 100.000
Pupuk Urea 300 kg 2.000 600.000 300 kg 2.000 600.000
Pupuk Phonska 400 kg 2.500 1.000.000 400 kg 2.500 1.000.000
Herbisida Calaris 2,0 ltr 350.000 700.000 1,5 ltr 350.000 525.000
Pupuk cair 1,5 ltr 150.000 225.000 2,0 ltr 150.000 300.000
Insektisida 1,0 ltr 175.000 175.000 1,0 ltr 175.000 175.000
Karung 75 lbr 2.500 187.500 150 lbr 2.500 375.000
Kemasan 5 kg 400 lbr 3.500 1.400.000 500 lbr 3.500 1.750.000
Total 6.887.500 7.325.000
37Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa
Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)
Penggunaan Tenaga Kerja
Tenaga kerja di tingkat petani untuk
kegiatan usahatani termasuk usahatani jagung
berasal dari dalam dan luar keluarga. Kegiatan
yang pada umumnya menggunakan tenaga kerja
luar keluarga adalah penanaman dan panen, sedang
lainnya menggunakan tenaga kerja dari dalam
keluarga. Namun dalam perhitungan usahatani
produksi benih ini, seluruh curahan tenaga kerja
dinilai sesuai dengan upah buruh tani yang berlaku
di daerah. Hal ini dilakukan untuk memberi
gambaran bahwa, usahatani produksi benih jagung
hibirida secara bisnis memberikan pendapatan
yang memadai dan berpeluang menjadi lapangan
kerja baru bagi petani.
Kegiatan yang paling banyak
membutuhkan tenaga kerja ada tiga yaitu, kegiatan
panen 8-13- HOK, kegiatan pemupukan 18-23
HOK, dan panen sampai prosessing 20-24 HOK
(Tabel 2). Kegiatan tersebut sesungguhnya
berkorelasi positif dengan hasil yang dicapai,
sehingga dinilai bermanfaat ganda yaitu selain
menambah pendapatan juga secara implisit
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat
pedesaan.
Kegiatan pra produksi, kegiatan
penanaman dan pemupukan yang banyak
menyerap tenaga, tetapi itu tidak bermasalah
karena di daerah itu ikatan sosial masih sangat
kuat. Kegiatan saling membantu diatara petani
masih terjadi sehingga biaya tenaga kerja secara
riil hanya berupa biaya konsumsi, walaupun
jumlahnya kadang-kadang lebih besar dibanding
dengan kalau diupahkan (Belean, et.al. 2014).
Tetapi itu sangat penting dilestarikan untuk
memperkuat kebersamaan, kekompakan dan
kekeluargaan sebagai syarat terwujudnya
kedamaian kehidupan bemasyarakat dalam satu
wilayah (Syahyuti, 2006; Crame, G.L. and C.W.
Jensen, 1991).
Kemudian pada kegiatan pasca panen,
kegiatan panen dan pemipilan yang paling banyak
menyerap tenaga, tetapi itu tidak bermasalah
karena mesin pemipil sudah ada yang didesain
khusus untuk benih dan dapat digunakan apabila
penangkaran menghasilkan benih yang banyak.
Kontribusi tenaga kerja terhadap
penerimaan usahatani penangkaran juga terjadi
peningkatan dari tahun 2016 ke tahun 2017. Pada
tahun 2016 nilai RALC sebesar 5,6 meningkat
menjadi 7,0 pada tahun 2017, terjadi efisiensi
sebesar 1,4 yang berarti terjadi tambahan
pendapatan sebesar Rp.1.400 pada setiap
penggunaan biaya tenaga kerja RP.1000.
Tabel 2. Penggunaan biaya tenaga kerja pada penangkaran benih jagung hibrida, di desa Kaloling, Bantaeng.
Biaya Tenaga Kerja Tahun 2016 Tahun 2017
Fisik (HOK) Nilai (Rp/ha) Fisik (HOK) Nilai (Rp/ha)
Persiapan lahan dengan herbisida 3 255.000 3 255.000
Penanaman perbandingan 1 : 3 13 1.040.000 10 850.000
Pemupukan I 13 1.040.000 10 850.000
Pemupukan II 10 800.000 8 680.000
Penyiangan I dengan herbisida Calaris 1,5 120.000 1,5 127.500
Penyiangan II pembumbunan 17 1.360.000 17 1.445.000
Penyemprotan pupukcair 3 kali 4,5 360.000 4,5 382.500
Penyemprotan insektisida 2 kali 3 240.000 3 255.000
Roguing 3 kali 3 240.000 2 170.000
Detaselling 5 400.000 3 255.000
Panen 15 1.200.000 17 1.445.000
Prosessing 5 400.000 7 595.000
Sub Total 7.455.000 7.310.000
38 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42
Penerimaan Usahatani
Penerimaan merupakan selisih dari nilai
hasil dengan total biaya. Penerimaan usahatani
petani di Indonesia dinilai sangat kecil karena
selain skala usahataninya relatif sempit juga terjadi
kecenderungan peningkatan biaya persatuan luas
dibanding dengan peningkatan penerimaan (Taufik
dan M. Thamrin, 2009). Pada usahatani produksi
benih nilai hasil dapat diperoleh dari benih yang
terseleksi dan hasil sortirannya. Walaupun nilai
benih sebagai penghasil penerimaan yang utama.
Pada studi kasus ini nilai benih tahun 2016 sebesar
Rp 37.500.000/ha dan meningkat pada tahun 2017
menjadi Rp.50.000.000/ha jauh lebih besar
dibanding dengan nilai sortiran yang hanya
Rp.1.125.000 pada tahun 2016 dan Rp.1.472.000
pada tahun 2017 masing-masing per hektar (Tabel
3).
Hal tersebut sesungguhnya masih
berpeluang ditingkatkan apabila harga benih yang
diterima petani sesuai dengan harga penetapan
pemerintah yaitu Rp.36.000/kg untuk benih jagung
hibrida nasional dan Rp.46.000/kg untuk benih
jagung multinasional, sementara harga benih yang
diterima petani dari distributor hanya Rp.20.000/kg
pada tahun 2016 dan meningkat sedikit menjadi
Rp.25.000/kg pada tahun 2017. Hal itu terjadi
karena petani belum memenuhi syarat untuk
menjadi produsen benih dalam skala besar, tidak
mampu mengikuti persyaratan dan prosedur yang
ketat untuk menjadi penyalur benih kepada
program nasional (Mulatsih, S. dan A.Fatony.
2006). Namun demikian keuntungan yang
diperoleh dari usahatani penangkaran benih jagung
hibrida, dinilai cukup besar dibanding dengan
keuntungan usahatani produksi biji untuk
konsumsi. Keuntungan yang diperoleh dari
usahatani jagung hanya berkisar Rp.10.000.000
sampai Rp.15.000.000/ha (Biba, A. 2016;
Syuryawati dan faesal, 2016), sedangkan
keuntungan yang diperoleh dari usahatani
penangkaran ini ini mencapai Rp.35.000.000
sampai Rp.50.000.000/ha. Keuntungan tersebut
sangat layak secara ekonomi untuk dikembangkan.
Peranan Kelembagaan
Kelembagaan perekonomian disadari
memegang peranan penting dalam
mengembangkan produk pertanian (Belean, et.al.
2014). Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk
memperkuat posisi tawar petani antara lain
program primatani, Suppa, SLPTT, PUAP,
bioindustri semuanya memberi pelajaran penting
dalam pengelolaan usahatani. Namun program-
Tabel 3. Analisa pendapatan usahatani produksi benih di desa Kaloling, Bantaeng.
Uraian Tahun 2016 Tahun 2017
Luas penangkaran (ha) 3,0 6,0
Jenis varietas jagung hibrida nasional Bima-19 URI Bima-20 URI
Produksi benih (kg/ha) 1.500 2.000
Nilai Produksi benih (Rp/ha) 37.500.000 50.000.000
Hasil sortiran benih (kg/ha) 375 460
Nilai sortiran benih (Rp/ha) 1.125.000 1.472.000
Total Nilai Penerimaan (Rp/ha) 38.625.000 51.472.000
Biaya Sarana produksi (Rp/ha) 6.887.500 7.325.000
Biaya Tenaga kerja yang dibayarkan (Rp/ha) 7.455.000 7.310.000
Total biaya (Rp/ha) 14.342.500 14.635.000
Keuntungan (Rp/ha) 24.282.500 36.837.000
Rasio penerimaan atas biaya total 2,69 3,52
Rasio Penerimaan atas biaya sarana produksi 5,2 7,0
Rasio Penerimaan terhadap biaya tenaga kerja 5,6 7,0
Rasio Keuntungan atas biaya total 1,69 2,52
39Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa
Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)
program tersebut tidak ada yang berlanjut secara
lengkap sesuai dengan konsepnya, tetapi ada
bagian-bagian tertentu yang berkelanjutan
diterapkan petani (Bustaman Sy. 2014).
Dalam kaitan dengan pengembangan desa
mandiri benih, peran peneliti baik di Balai
Komoditas maupun di Balai Pengkajian serta
seluruh unit kerja kementerian di daerah sangat
diharapkan untuk mengambil peran secara aktif
sesuai dengan kewenangannya (Widiarta, 2016).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
peneliti, penyuluh, kelompok tani, pengawas
benih dan distributor mengambil peran yang
positif dan cenderung meningkat, sedang dinas
pertanian cenderung menurun peranannya (Tabel
4).
Pada tahun 2016 peran ketua kelompok
tani, lembaga penyuluhan, dinas pertanian dan
distributor masih lemah karena tidak adanya
program terpadu. Masing-masing mengerjakan
pekerjaannya sesuai dengan beban biaya yang
diterima. Kelompok tani diharapkan dapat
mengembangkan skala penangkarannya masih
sangat lemah karena belum ada kepastian harga,
bagi petani hal yang paling penting adalah
kepastian harga yang menguntungkan (Nurhayati,
S. dan D.K.S. Swastika. 2011). Penyuluh hanya
aktif menghadiri pertemuan sosialisasi, tetapi
untuk melakukan pembinaan secara terus menerus
di lapangan masih dinilai kurang. Hal itu terjadi
karena kinerja penyuluh tidak dikaitkan dengan
keberhasilan penangkar binaan (Helmy. Z, et.al.
2013). Dinas Pertanian kurang respon karena
penyediaan benih jagung dari penangkar
memerlukan pengawasan yang ketat sementara
anggaran untuk mengawasi tersebut tidak tersedia,
sehingga lebih tertarik bekerja sama dengan
produsen benih multinasional yang kemampuannya
lebih kuat dan siap untuk memenuhi kebutuhan
program nasional. Demikian pula halnya produsen
benih nasional perannya kurang karena kalah
bersaing dengan produsen benih multi nasional
baik dari segi jumlah, kualitas maupun perangkat
sistem pemasarannya di lapangan.
Berbeda dengan peneliti yang memang
menjadi tugas utamanya dan mendapat anggaran
penelitian dan pengkajian untuk membina
kelompok tani menjadi penangkar yang mandiri
dan berkelanjutan, responnya sangat tinggi.
Kegiatan peneliti tidak hanya membina petani di
lapangan untuk menerapkan teknologi produksi
benih, tetapi juga mengkordinasikan kepada
lembaga terkait agar masing-masing lembaga
mengambil peran sesuai kewenangannya (Bahtiar,
2016). Penyuluh didorong untuk bersama-sama
membina petani di lapangan mulai dari pra
produksi sampai pasca panen, sebab penyuluh
adalah mitra petani yang selalu ketemu dan
berdiskusi di lapangan tentang peningkatan
produksi dan pendapatan usahatani (Roger, E.M.,
2003; Subekti, et.al., 2016 ). Dinas Pertanian
diajak agar dapat menyerap benih yang dihasilkan
dengan menetapkan CPCL untuk varietas yang
Tabel 4. Peranan kelembagaan dalam mendukung desa mandiri benih jagung di desa Kaloling, Bantaeng.
Peran Kelembagaan Tahun 2016 Skore (1-5) Tahun 2017 Skore (1-5) Pengaruh (+/-)
Ketua Kelompok 3,3 4,7 1,4
Penyuluh Pertanian Lapangan 2,7 3,7 1,0
Peneliti BPTP 4,3 5,0 0,7
Peneliti Balitsereal 5,0 5,0 0,0
Dinas Pertanian/UPTD Perbenihan 4,3 3,3 -1,0
Balai Pengawasan Sertifikasi Benih 3,7 4,7 1,0
Distributor Benih/produsen benih nsional 2,3 5,0 2,7
Skore: 1 = sangat tidak respon 4 = Respon
2 = Tidak respon 5 = Sangat Respon
3 = Agak respon
40 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42
dihasilkan penangkar binaan, BPSB diajak dalam
pengawasan kualitas di lapangan dan pengujian
mutu untuk mendapatkan sertifikat atau label
benih, Produsen benih nasional diajak agar dapat
membantu dalam mendistribusikan pemasarannya.
Semua upaya tersebut mulai nampak hasilnya pada
tahun 2017. Penyebabnya selain, karena pengaruh
sosialisasi dan koordinasi yang inten, juga
penyebab utamanya adalah munculnya kebijakan
pemerintah untuk menggunakan produksi benih
dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan program
nasional sebesar 40% pada tahun 2017 dan
ditingkatkan menjadi 65% pada tahun 2018.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas diketahui
bahwa penangkar binaan dalam program desa
mandiri benih dapat mandiri dan berkelanjutan
karena, selain usahatani penangkaran
menguntungkan sampai puluhan juta rupiah per
hektar, juga telah mendapat dukungan dari
berbagai pihak terutama produsen benih nasional
yang siap membantu dalam memasarkan hasil
kepada pengguna. Keuntungan yang diperoleh
masih dapat ditingkatkan dengan memperkuat
kelompok agar dapat menjadi pensuplai kebutuhan
program nasional tanpa melalui perantara,
sehingga disparitas harga benih antara harga yang
ditetapkan pemerintah dengan harga riil yang
diterima penangkar dapat diminimalisir. Menurut
Sisfahyuni, et.al.,2011, pemotivasi yang paling
kuat untuk mendorong petani menerapkan dan
mengadopsi suatu komoditi untuk dibudidayakan
adalah kepastian pasar yang lebih menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Azrai, M. dan Bahtiar, 2015. Teknologi produksi
benih hibrida dan OPV. Disampaiakan pada
Acara Pelatihan Pendampingan Teknologi
GP-PTT dan Kawasan Mandiri Benih
jagung. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tenggara. Kendari, 3
Maret 2015.
Azwar, S. 2005. Sikap Manusia. Teori dan
Pengukurannya. Penerbit Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Bahtiar, 2016. Kiat-kiat Pemasaran Benih Jagung.
Makalah disampaikan pada "Training of
Trainer produksi benih jagung. Maros, 3-5
Maret 2016.
Bahtiar dan B. Ruruk, 2015. Prospek usaha
produksi benih jagung hibrida mendukung
kawasan desa mandiri benih jagung di
provinsi Sulawesi Tengah. Laporan Hasil
Pendampingan. Unpublish.
Balitsereal, 2016. Deskripsi Varietas Unggul Baru
Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia,
Maros, 2016.
Bananiek, S., Z. Abidin, dan Asaad. 2015. Model
penyediaan benih padi dan jagung untuk
pemenuhan kebutuhan wilayah melalui
peningkatan kemampuan calon penangkar di
Sulawesi Tenggara. Makalah disampaikan
dalam Workshop Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian,
Bogor, 10-13 November 2015.
Belean, W. Hariadi, S.Wastutiningsih, S.Peni,
2014). Pengaruh kepemimpinan
transpormasional terhadap kemandirian
gapoktan. Jurnasl Sosial Ekonomi
Pertanian. Vol. 7, No.2.
Biba. A., 2016. Preferensi petani terhadap jagung
hibrida berdasarkan karakter agronomi,
produktivitas dan keuntungan usahatani.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol.
35, No.1.
Bustaman Sy. 2014. Penguatan kelembagaan
gapoktan PUAP dalam penerapan teknologi
spesifik lokasi. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Vol.33, No.1.
Crame, G.L. and C.W. Jensen, 1991. Agricultural
ekonomics and agribusiness. Fifth Edition.
Published by John Wiley & Sons, Inc.
Canada
41Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa
Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)
Helmy. Z, Sumardjo, N. Purnaningsih, P.
Tjiptopranoto, 2013. Hubungan
kompotensi penyuluh dengan karakterisasi
pribadi, persepsi penyuluh terhadap
dukungan kelembagaan, dan persepsi
penyuluh terhadap sifat inovasi cyber
extension. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 31.
No. 1.
Hipi, A., 2015. Model penyediaan benih untuk
pemenuhan kebutuhan wilayahnya melalui
peningkatan kemampuan calon penangkar
padi dan jagung di Nusa Tenggara Barat.
Makalah disampaikan dalam Workshop
Balai Besar Pengembangan dan Pengkajian
Teknologi Pertanian, Bogor, 10-13
November 2015.
Iskandar, T, 2015. Model penyediaan benih untuk
pemenuhan kebutuhan wilayahnyamelalui
peningkatan kemampuan calon penangkar
padi, jagung, dan kedelai di Nanggroe Aceh
Darussalamt. Makalah disampaikan dalam
Workshop Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor,
10-13 November 2015.
Kapus Litbang Tanaman Pangan, 2015. Pedoman
Umum Sekolah Lapang Kedaulatan Pangan
mendukung Swasembada Pangan
Terintegrasi Desa Mandiri Benih.
Disampaikan dalam acara Rapat Kordinasi
Sekolah Lapang Kedaulatan Pangan
Mendukung Swasembada Pangan
Terintegrasi Desa Mandiri Benih, Bogor, 3-
4 Maret 2016.
Malian, A.H., A. Djauhari, M.G. Van Deer Vean,
1988. Analisis ekonomi dalam penelitian
sistem usahatani. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Proyek
Pembangunan Penelitian Nusa Tenggara.
Mueller, D.J., 1996. Measuring Social Attitudes. A
handbook for Reaserchers and Practitioners
Dalam: Kartawidjaja, E.S (Penerjemah).
Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Mulatsih, S. dan A.Fatony. 2006. Peran delivering
subsistem dalam sistem inovasi pertanian:
Difusi Varietas Unggul Padi. Pusat
Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). LIPI Press. Jakarta:
Nurhayati, S. dan D.K.S. Swastika. 2011. Peran
Kelompok Tani dalam penerapan teknologi
pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi.
Vol. 29(2):115-128).
Razak, N, 2015. Model penyediaan benih untuk
pemenuhan kebutuhan wilayahnyamelalui
peningkatan kemampuan calon penangkar
padi, jagung, dan kedelai di Sulawesi
Selatan. Makalah disampaikan dalam
Workshop Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor,
10-13 November 2015.
Roger, E.M., 2003. Diffusion of Innovations.
Fifth Edition. Free Press. Yew York
London.
Ruruk B., 2015. Model penyediaan benih untuk
pemenuhan kebutuhan wilayahnya melalui
peningkatan calon penangkar jagung.
Makalah disampaikan dalam Workshop
Balai Besar Pengembangan dan Pengkajian
Teknologi Pertanian, Bogor, 10-13
November 2015
Simatupang, P., 2003. Daya saing dan efisiensi
usahatani jagung hibrida di Indonesia.
Dalam: Kasryno, F., E. Pasandaran, dan
A.M. Fagi (Peny). Ekonomi Jagung
Indonesia. Bogor
Sisfahyuni, M.S. Saleh, M.R.Yantu, 2011.
Kelembagaan pemasaran kakao biji tingkat
petani kabupaten Parigi Motong, Provinsi
Sulawesi Tengah. Jurnal Agro Ekonomi Vol.
29. No. 2.
Soekartawi, 1989. Prinsip dasar ekonomi
pertanian. Teori dan Aplikasi. Penerbit C.V.
Rajawali, Jakarta Utara.
Subekti, S.Sudarko dan Sofia, 2016. Penguatan
kelompok tani melalui optimalisasi dan
sinergi lingkungan sosial. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian. Vol.8, No.3.
Syuryawati dan Faesal, 2016. Kelayakan finansial
penerapan teknologi budidaya jagung pada
42 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42
lahan sawah tadah hujan. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan, Vol. 35, No.1.
Taufik dan M. Thamrin, 2009. Analisis input
output pemupukan beberapa varietas jagung
di lahan kering. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan. Vol.28, No.02.
Widiarta, Ny. 2016. Progres pelaksanaan kegiatan
desa mandiri benih lingkup Puslitbangtan.
Makalah disampaikan pada Rapat Kerja
Evaluasi dan Monitoring Kegiatan Mandiri
benih Padi, Jagung dan Kedelai. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor, 2016.
43Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida
Yursak dan Hijriah Muthmainah)
MODEL PENGEMBANGAN PRODUKSI BENIH KEDELAI DI PROVINSI BANTEN
Pepi Nur Susilawati, Zuraida Yursak dan Hijriah Muthmainah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten
Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182
Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507
email :pepi_nurs@yahoo,.co.id
ABSTRACT
A Model of Developing Soybean Seed Production in Banten Province.Seed production locations use
farmers' land in Serang Regency, Serang City, Pandeglang Regency and Tangerang Regency. New plant type
developed based on agroecosystems and preferences, generally soybean farmers in Banten Province prefer large
seeds such as Grobogan, Anjasmoro, Argomulyo and Burangrang . Soybean seed production and productivity
varies both between locations and between varieties. The highest soybean seed productivity was reached by
Burangrang (1.0 ton / ha) and Grobogan (0.9 ton / ha) in the Subur I Farmer Group location, Mandalawangi
Subdistrict, Pandeglang Regency. The production of SS soybean seeds had reached 34,530 kg with target
achievement 130% of the initial target of 26,740 kg, while for the 1000 kg FS class. Seeds are distributed to various
stake holders namely BBI, student research, Agriculture Service for PAT programs, farmer VUB trials, and farmer
soybean production. The pattern of seed production can be fulfilled by the Jabalsim pattern (inter-field seed
pathway between seasons) that is specific to Pandeglang Regency with 3 planting seasons and Lebak Regency and
Serang City with 2 planting seasons.
Key words : seed, soybean, seasons.
ABSTRAK
Peningkatan luas panen kedelai di Banten bertambah dengan adanya kegiatan SL-PTT kedelai baik itu
kawasan penumbuhan, pengembangan dan pemantapan maupun PTT Model. Peningkatan luas tanam ini perlu
diimbangi dengan kebutuhan benih bermutu salah satunya melalui sistem penyediaan benih yang tepat.Tujuan
tulisan ini adalah untuk mengetahui dan menetapkan model pengembangan benih kedelai kelas SS dan FS di
Provinsi Banten. Lokasi produksi benih menggunakan lahan petani yang ada di Kabupaten Serang, Kota Serang,
Kabupaten Pandeglang serta Kabupaten Tangerang.Varietas unggul yang dikembangkan berdasarkan pada
agroekosistem dan preferensi, umumnya petani kedelai di Provinsi Banten lebih menyukai benih berukuran besar
seperti Grobogan, Anjasmoro, Argomulyo dan Burangrang. Produksi dan produktivitas benih kedelai beragam baik
antar lokasi maupun antar varietas. Produktivitas benih kedelai tertinggi dicapai oleh varietas Burangrang (1,0
ton/ha) dan Grobogan (0,9 ton/ha) di lokasi Kelompok Tani Subur I, Kecamatan Mandalawangi Kabupaten
Pandeglang.Produksi benih kedelai SS telah tercapai sebanyak 34.530 kg dengan capaian target sebesar 130% dari
target awal sebanyak 26.740 kg, sedangkan untuk kelas FS 1000 kg. Benih didistribusikan pada berbagai stake
holders yaitu BBI, penelitian mahasiswa, Dinas Pertanian untuk program PAT, uji coba VUB petani, serta produksi
kedelai petani. Pola produksi benih dapat dicukupi dengan pola Jabalsim (jalur benih antar lapang antar musim)
yang spesifik untuk Kabupaten Pandeglang dengan 3 kali musim tanam dan Kabupaten Lebak serta Kota Serang
dengan 2 kali musim tanam.
Kata kunci : benih, kedelai, musim
44 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57
PENDAHULUAN
Benih merupakan salah satu input produksi
yang mempunyai kontribusi signifikan terhadap
peningkatan produktivitas dan kualitas hasil
pertanian. Ketersediaan benihdengan varietas yang
berdaya hasil tinggi dan mutu yang tinggi, baik
mutu fisik, fisologis, genetik maupun mutu
patologis mutlak diperlukan di dalam suatu sistem
produksi pertanian. Menurut Nugraha (2004);
TeKrony (2006), dalam pertanian modern, benih
berperan sebagai delivery mechanism yang
menyalurkan keunggulan teknologi kepada petani
dan konsumen lainnya.
Kebutuhan akan kedelai di Indonesia sangat
tinggi, dimana kedelai menjadi salah satu sumber
protein nabati utama yang digemari oleh
masyarakat (Sari, et al., 2014; Shaumiyah et al.,
2014). Kecukupan akan kedelai dapat dilakukan
melalui upaya pemanfaatan lahan kering. Lahan
kering yang tersedia di Provinsi Banten untuk
pengembangan komoditas kedelai mencapai
30.000 ha, namun pemanfaatannya masih belum
optimal. Rendahnya tingkat ketersediaan benih
kedelai bermutu, menjadi salah satu penyebab
rendahnya produktivitas kedelai di Provinsi
Banten.Rata-rata tingkat produktivitas kedelai di
Provinsi Banten pada tiga tahun terakhir baru
mencapai 1.29 ton/ha (BPS 2011).Produktivitas
kedelai di Provinsi Banten lebih rendah dibanding
rata-rata produktivitas kedelai nasional (1.35
ton/ha) dan potensi hasil varietas unggul kedelai
(1.5 – 3.0 ton/ha). Peningkatan luas panen kedelai
di Banten bertambah dengan adanya kegiatan SL-
PTT kedelai baik itu kawasan penumbuhan,
pengembangan dan pemantapan maupun PTT
Model. Peningkatan luas tanam ini perlu
diimbangi dengan kebutuhan benih bermutu salah
satunya melalui sistem penyediaan benih yang
tepat dengan memperbanyak benih dasar dan benih
pokok serta benih sebar kedelai.
Penggunaan benih bermutu dari varietas
unggul merupakan pilar penting dalam
peningkatan produktivitas (Taufik, 2011).
Pengembangan sistem perbenihan tanamn pangan,
terutama padi diawali pada tahun 1971 dengan
dibentuknya kelembagaan perbenihan yang
meliputi Badan Benih Nasional (BBN), Lembaga
Pusat Penelitian Pertanian (LP3), Perum Sang
Hyang Seri (SHS), dan Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih (BPSB).
Kondisi eksisting kapasitas dan kinerja
penangkar kedelai yang terbatas dengan modal,
prasarana serta keterampilan dalam pascapanen,
seperti penjemuran brangkasan, perontokkan,
penyortiran, pembersihan. Sedangkan potensi
lahan dan kebutuhan benih yang tinggi merupakan
peluang dan tantangan untuk memproduksi benih
kedelai di Provinsi Banten. Tujuan tulisan ini
adalah untuk mengetahui dan menetapkan model
pengembangan benih kedelai kelas SS dan FS di
Provinsi Banten.
BAHAN DAN METODE PELAKSANAAN
Produksi Benih
Teknik Produksi Benih Sumber kedelai
merujuk dan berpedoman pada Petunjuk Teknis
Produksi Benih Kedelai yang telah dihasilkan dan
direkomendasikan oleh Balitkabi (Badan Litbang,
2013). Teknik Produksi Benih Kedelai meliputi: 1)
Perencanaan produksi (penentuan produksi,
penentuan lokasi, penyiapan benih sumber), 2)
Proses Produksi (penyiapan lahan, kebutuhan
benih dan varietas unggul, tanama, pemupukan,
pengendalian gulma, pengairan, pengendalian
hama, pengendalian penyakit, 3). Pemeliharaan
Mutu Genetik (awal pertumbuhan, fase berbunga,
fase masak fisiologi, 4). Teknologi Pascapanen
Benih ( panen, perontokan, pembersihan dan
sortasi, pengeringan, pengemasan, penyimpanan),
5) Sistem Sertifikasi Mutu Benih Sumber
(Sertifikasi benih penjenis, sertifikasi benih dasar).
Sertifikasi benih dilakukan dengan bekerjasama
dengan BPSB Provinsi Banten. Tahapan produksi
benih secara rinci adalah sebagai berikut :
1. Penyiapan Lahan
� Tanah bekas pertanaman padi tidak pelu
diolah ( Tanpa Olah Tanah = TOT). Jika
mengugunakan lahan tegal, pengolahan
45Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida
Yursak dan Hijriah Muthmainah)
tanah dilakukan secara intensif, dua kali
bajak dan diratakan.
� Buat saluran untuk setiap 4- 5 m dengan
kedalaman 25 – 30 cm dan lebar 30
cm.saluran ini berfungsi untuk menguragi
kelebihan air dipetakan dan sekaligus
sebagai saluran irigasi pada saat tidak ada
hujan.
2. Pemilihan Varietas dan Kebutuhan Benih
� Saat ini telah tersedia jumlah varietas
unggul baru baru yang sesuai untuk lahan
sawah dan lahan kering. Varietas yang
sesuai dengan preferensi pengguna dan
agroekosistem di Provinsi Banten adalah
Anjasmoro dan Grobogan
� Kebutuhan benih 40 - 50 kg/ha.
3. Penanaman
� Benih ditanam menggunakan tugal dengan
kedalaman 2 – 3 cm.
� Jarak tanam 10 – 15 cm x 40 cm, 2 – 3
biji/lubang tanam.
� Pada lahan sawah, kedelai dianjurkan
untuk ditanam tidakl lebih dari tujuh hari
setelah tanam padi ditanam untuk
menghindaritanaman dari kekeringan dan
akumilasi serangan hama dan penyakit
tanaman.
4. Pemupukan
� Tanaman dipupuk dengan menggunakan
50 kg urea, 75 kg SP 36 dan 100 – 150 kg
KCL/ha pada saat tanam.
� Pada lahan sawah yang subur atau pada
laha bekas padi yang dipupuk dengan dosis
tinggi, tanaman tidak perlu tambahan
pupuk NPK.
5. Penggunaan Mulsa Jerami Padi
� Penggunaan mulsa dengan jerami padi
dapat mengurangi frekwensi
penyiangandan menekan serangan hama
lalat kacang. Pada lahan sawah dianjurkan
menggunakan mulsa.
� Mulsa jerami padi dihamparkan sebanyak
5 t/ha secara merata dipermukaanlahan
dengan ketebalan<10 cm.
� Jika gulma tidak menjadi masalah,jerami
dapat dibakar pada hamparan lahan. Cara
ini dapat lebih menyeragamkan
pertumbuhan awal kedelai.
6. Pengairan
Fase pertumbuhan kedelai yang sangat
peka terhadap kekuranganair adalah pada awal
pertumbuhan vegetatif ( 15 – 21 HST), saat
berbung (25 – 35 HST), dan saat pengisian polong
( 55 – 70 HST). Pada fase – fase tersebut tanaman
harus diari apabila tidak ada hujan.
7. Pengendalian hama
� Pengendalian hama dilakukan berdasarkan
hasil pemantauan di lapangan. Jika
populasi hama tinggi atau kerusakan daun
12,5% dan kerusakan polong 2,5%
gunakan insektisida yang efektif.
� Pengendalian hama secara kultur teknis
dan secara hayati (bologis) lebih
diutamakan.
� Pengendalian secara kultur teknis antara
lain dapat menggunakan mulsa jerami,
penggiliran tanaman, tanam serentak
dalam satu hamparan, dan penggunaan
tanaman perangkap jagung dan kacang
hijau.
8. Pengendalian penyakit
� Penyakit utama kedelai adalah karat daun
Phakspora pachyrhizi, Busuk batang,
busuk akar Schelerotium rolfsii, dan
beberapa penyakit yang disebabkan oleh
virus.
� Penyakit karat daun dapat dikendalikan
dengan fungisida anjuran seperti
Mancozeb.
� Pengendalian virus dilakukan dengan
mengendalikan vektornyaberupa serangan
hama kutu dengan insektisida anjuran
seperti decis.
46 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57
� Waktu pengendalian vektor virus tersebut
adalah pada saat tanaman berumur 40, 50
dan 60 hari.
9. Roguing
� Fase Juvenil (tanaman Muda)
Pengamatan pada fase ini dilakukan pada saat
tanaman berumur 15 – 20 hari setelah tanam.
Komponen yang diamati adalah:
a. Warna hipokotil. Kedelai hanya memiliki
warna hipokotil hijau dan ungu. Hipokotil
hijau akan menghasilkan bunga berwarna
putih, sedangkan hipokotil ungu akan
menghasilkan bunga berwarna ungu.
b. Biji berukuran besar memiliki keping biji dan
daun pertama yang juga berukuran besar.
c. Bentuk biji bulat akan diikuti oleh bentuk daun
semakin mendekati bulat.
� Fase Berbunga
Apabila fase juvenil belum dapat diketahui adanya
campuran varietas lain, maka pengamatan dapat
dilakukan lagi pada saat berbunga. Pedoman yang
dapat dipakai adalah:
a. Warna bunga. Seperti warna hipokotil, warna
bunga kedelai hanya terdiri atas putih dan
ungu.
b. Saat berbunga. Saat keluar bunga yang terlalu
menyimpang dari tanaman dominan maka
tanaman tersebut perlu segera dibuang.
c. Warna dan kerapatan bulu pada tangkai daun.
d. Posisi dan tangkai daun. Bentuk daun sering
kali cukup sulit digunakan sebagai
parameterpenilai. Parameter yang cukup
menentukan adalah ketegapan batang dan
posisi daun pada batang secara keseluruhan.
e. Reaksi terhadap penyakit. Varietas kedelai
yang memiliki warna bunga putih, misalnya
galunggung dan Lokon, cukup peka terhadap
penayakit virus.Hal ini dapat digunakan
sebagai parameter penilai.
� Fase Masak Fisiologi
Pada fase ini pertumbuhan tanaman mendekati
optimal. Hal – hal yang perlu diperhatikan adalah:
a. Keragaan tanaman secara keseluruhan. Posisi
daun, polong, dan bentukdaun merupakan
parameter yang dapat digunakan untuk
konfirmasi terhadap penilaian pada fase
sebelumnya.
b. Kerapatan dan warna bulu. Panjang pendek,
kerapatan, dan warna bulu yang terdapat pada
batang dan polong adalah penilai penting pada
fase masak fisiologi. Warna bulu kedelai
hanya ada dua yitu putih dan coklat. Karena
itu,yang perlu diperhatikan adalah kerapatan
bulu, baik pada batang maupun polong.
c. Umur polong masak. Tanaman yang umur
polong masaknya terlalu menyimpang dari
tanaman dominan juga perlu dicabut.
10. Panen
� Panen hendaknya dilakukan pada saat
mutu benih mencapai maksimal, yang
ditandai bila sekitar 95% polong telah
berwarna coklat atau kehitaman (warna
polong masak) dan sebagian besar daun
tanaman sudah mulai rontok.
� Panen dilakukan dengan cara memotong
pangkal batang.
� Brangkasan hasil panen kedelai dapat
langsung dikeringkan dibawah sinar
matahari dengan ketebalan sekitar 25 cm
selama 2 – 3 hari menggunakan alas terpal
plastik, tikar atau anyaman bambu.
Pengeringan dilakukan hingga kadar air
benih mencapai 14%.
� Uasahakan tidak menumpuk brangkasan
basahlebih dari 2 hari sebab akan
menyebabkan benih berjamur dan mutunya
rendah.
� Mengingat sulitnya pengeringan
brangkasan/polong pada musim hujan,
maka brangkasan/polong perlu diangin
anginkan dengan cara dihampar. Untuk
mempercepat proses penurunan kadar air
benih disarankanbrangkasan dihembus
dengan udara panas dari pemanas
buatan(dreyer).
47Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida
Yursak dan Hijriah Muthmainah)
11. Perontokan
� Brangkasan kedelai yang telah kering
(kadar air sekitar 14%) perlu segera
dirontok. Perontokan dapat dilakukan
secara manual (geblok) atau secara
mekanis (menggunakkan pedal thresher
atau power thresher). Apabila
menggunakan power thresher, kecepatan
silinder perontok disarankan tidak lebih
dari 400 rpm (putaran per menit).
� Secara umum perontokkan benih perlu
dilakukan secara hati – hati untuk
menghindari benih pecah kulit, benih
retak, atau kotiledon terlepas karena akan
mempercepat laju penurunan daya tumbuh
dan vigor benih selama penyimpanan.
12. Pembersihan dan Sortasi
� Benih hasil perontokan dibersihkan dari
kotoran benih, seperti potongan batang,
cabang tanaman, dan tanah. Pembersihan
dapat dengan cara ditampi (secara manual)
atau dengan menggunakan blower (secara
mekanis).
� Sortasi diperlukan untuk mendapatkan
benih yang berukuran seragam dengan cara
memisahkan sekitar 5% biji yang
berukuran kecil dan tidak dimsukkan
kedalam kelompok (lot) benih.
� Selain memisahkan biji – biji yang
berukuran kecil, sortasi juga diperlukan
untuk membuang biji yang ciri – cirinya
menyimpang dari sifat – sifat yang
tercantum dalam deskripsi varietas, antara
lain warna hilum, warna kulit, dan bentuk
benih.Membuang biji yang menyimpang
dilakukan dari benih ke benih(seed-to-
seed). Kegiatan ini penting artinya dalam
upaya perbaikan mutu genetik benih dari
varietas yang bersangkutan.
13. Pengeringan
� Benih yang sudah bersih dan ukurannya
seragam segera dikeringkan hingga
mencapai kadar air 9 – 10%. Untuk
menghindari timbulnya kerusakan mutu
fisiologis benih akibat lamanya proses
sortasi, disarankan benih dikeringkan
hingga kasar air mencapai 10%, baru
kemudian disortasi.
� Pengeringan benih dilakukan dengan
menjemur dibawah sinar matahari,
menggunakan alat terpal plastik atau tikar
pada lantai jemur yang kering., dengan
ketebalan benih sekitar 2 – 3 lapis benih.
Pembalikan benih pada saat penjemuran
dilakukan 2 – 3 jam agar benih kering
secara merata.
� Pada saat cuca cerah, penjemuran
dilakukan pada saat pukul 8.00 hingga
pukul 12.00, selam 2 – 3 hari berturut –
turut. Hindari sengatan matahari yang
sangat panas pda saat penjemuran.
� Sebelum disimpan, benih dikeringkan
hingga mencapai kadar air 9 – 10%.
Usahakan untuk tidak menumpuk benih
dalam karung atau wadah tertutup apabila
benih dalam karung atau wadah tertutup
apabila benih masih dalam kondisi panas.
Benih yang disimpan setelah dijemur perlu
diangin – anginkan sekitar 0,5 jam untuk
menyeimbangkan suhu benih dengan suhu
udara di ruang simpan.
14. Pengemasan
� Benih dikemas menggunakan bahan
pengemas kedap uadarauntuk menghambat
masuknya uap air dari luar kemasan
kedalam benih.
� Kantong plastik benih yang bening atau
buram( kapasitas 2 atau 5 kg) dengan
ketebalan 0,008 mm dua lapis cukup baik
digunakkan untuk mengemas benih kedelai
hingga 8 buklan simpan pada kondisi
ruang alami dengan kadar air awal simpan
sekitar 9 – 8 %.
� Kemasan yang telah berisi benih harus
tertutup rapat dengan cara diikat erat
menggunakan tali atau bagian atas kantong
dipres dengan kawat nikelin panas.
� Kaleng atau blek tertutup rapat dengan
kapasitas 10 – 15kg dapat pula dipakai
untuk penyimpanan benih kedelai.
48 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57
15. Penyimpanan
� Benih dalam kemasan dapat disimpan
dalam ruangan beralas kayu atau rak – rak
kayu agar kemasan tidak bersinggungan
dengan lantai/tanah.
� Benih dalan penyimpanan harus tehindar
dari serangan tikus atau binatang lainnya
yang dapat merusak kantong maupun
benih.
� Usahakan menyimpan benih pada ruangan
tersendiri, tidak dalam ruangan
penyimpanan pupuk atau bahan – bahan
lain yang dapat menyebabkaaan ruangan
menjadi lembab.
� Benih disimpan secara teratur. Selama
penyimpanan perlu adanya pemisahan
benih dari adanya pemisahan benih dari
varietas yang satu dengan varietas yang
lain.penyimpanan benih dalam ruang
simpan perlu ditata dengan sedemikian
rupa agar tidak roboh, tidak menggangu
keluar masuknya barang yang lain, dan
mudah dikontrol. Apabila benih tidak
disimpan pada rak – rak benih, maka
bagian – bagian bawah tumpukan diberi
balok kayu agar benih tidak bersentuhan
langsung dengan lantai ruang simpan.
Setiap tumpukan benih dilengkapi dengan
kartu pengawasan yang berisi informasi:
• Nama varietas
• Tanggal panenasal petek percobaan
• Jumlah/kuantitas benih asal (pada saat
awal penyimpanan)
• Jumlah kuantitas pada saat pemisahan stok
terakhir.
• Hasil uji daya kecambah terakhir (tanggal,
% daya kecambah)
Analisis Data
Data yang dikumpulkan akan dianalisis
secara deskriptif, sedangkan keragaan ekonomi
dianalisis finansial dengan analisis titik impas.
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui
kelayakan usaha perbanyakan benih. Usaha
perbanyakan benih dianggap layak jika nilai Gross
B/C lebih dari satu. Formulasi dari Gross B/C
adalah (Kasijadi dan Suwono, 2001) :
P x Q
Gross B/C = ----------
Bi
dimana :
P = harga produksi (Rp/Kg)
Q = hasil produksi (kg/ha)
Bi = biaya produksi ke i (Rp/ha)
Analisis titik impas digunakan untuk
mentolerir penurunan produksi atau harga produk
sampai batas tertentu dimana usaha yang dilakukan
masih memberikan tingkat keuntungan normal.
Nilai titik impas produksi (TIP) dan titik impas
harga (TIH) dihitung dengan rumus (Rahmanto
dan Adnyana, 1997):
TIP = BP/H dan TIH = BP/P
dimana :
P = produksi (kg),
H = harga produksi (Rp/kg),
BP = biaya produksi (biaya tetap dan biaya
variabel).
Pelatihan Petani Penangkar
Untuk peningkatan kapasitas dan kinerja
penangkar dilakukan penguatan dengan cara
pendampingan introduksi teknologi produksi benih
kedelai dan memberikan pelatihan. Pelatihan
dilakukan 2 kali pertemuan untuk memberikan
pemahaman dan keterampilan produksi benih
kedelai. Metode pelatihan berupa ceramah, diskusi
dan praktek. Materi pelatihan meliputi aspek
produksi, panen dan pasca panen kedelai (Tabel 1).
49Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida
Yursak dan Hijriah Muthmainah)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahapan kegiatan perbanyakan benih
kedelai meliputi 1) koordinasi dan konsultasi
teknis dan non teknis, 2) Sosialisasi kegiatan di
tingkat petugas di tingkat petani, 3) pelaksanaan
penangkaran benih, 4) pelatihan dan pembinaan
kelompok tani penangkar benih, 5) penyusunan
laporan akhir serta 6) seminar hasil kegiatan.
Koordinasi yang telah dilakukan bersifat teknis dan
non teknis. Koordinasi teknis terkait dengan
pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan beberapa
intitusi terkait seperti BPSB Provinsi Banten,
Puslitbangtan, BB Kedelai, Balit Sereal, serta Balit
Kabi.
Koordinasi non teknis terkait dengan
lokasi dan tenaga penunjang seperti PPL.
Pemilihan lokasi dilakukan bersama-sama dengan
dinas dan penyuluh setempat. Sosialisasi kegiatan
dilakukan dalam rangka memperkenalkan kegiatan
dan memberikan pemahaman mendasar bagi
petugas dan petani pelaksana penangkar benih.
Sosialisasi telah dilakukan diawal kegiatan yaitu
pada bulan Pebruari di Aula BPTP banten.
Pelatihan dan pembinaan kelompok tani
penangkar benih dilakukan secara intensif. Hal ini
berkaitan dengan tujuan yaitu pembentukan dan
inisiasi kelompok tani penangkar benih.
Sebagaimana diketahui bahwa usahatani penangkar
benih berbeda dengan usahatani biasa selain
membutuhkan keterampilan dan wawasan yang
cukup juga diperlukan pendampingan yang ketat
agar produk yang dihasilkan tidak dijual untuk
konsumsi.
Penyusunan laporan akhir serta seminar
hasil kegiatan merupakan langkah strategis agar
kineja kegiatan dapat terukur dan diketahui oleh
stake holders. Seminar hasil telah dilakukan pada
bulan desember dengan mengundang intansi terkait
seperti Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pertanian
kabupaten, petugas lapangan, petani pelaksana,
serta stake holders lainnya.
Tabel 1. Materi Pelatihan Petani Penangkar Benih
Materi Narasumber
Pengantar umum teknik produksi benih. (bagian penting dalam penangkaran benih: benih
sumber, penentuan lokasi, isolasi jarak/waktu, roguing, panen, pengolahan hasil); regulasi
(pendaftaran calon penangkar, sertifikasi); kontrak kerja kelompok petani penangkar.
BPTP dan BPSB
Pengolahan tanah, perlakuan benih, penanaman, pemupukan dasar. BPTP
Roguing dan pengamatan OPT Kedelai BPSB dan POPT
Pasca Panen, prosesing (pengeringan, sortasi, pengambilan sampel untuk
sertifikasi/pelabelan, pengemasan) BPTP
Managemen Kelompok, pengelolaan keuangan dan gudang, pemasaran, penentuan
rencana penangkaran musim depan (jenis varietas, luas penangkaran) BPTP/PPL/Dinas
Tabel 2. Lokasi dan Luas Areal Perbanykan Benih Kedelai MH 2015
Kabupaten/ Kota Kelompok
Tani Kecamatan Desa Ketua
Luas (Ha)
MT I MT II
Pandeglang Mukti Panimbang Mekar Sari Tasma 2 19
Marga Jaya Cimanggu Cijaralang Sobandi 5 0
Subur I Mandalawangi Gunung Sari Iin Nurosi 6 0
Kota Serang Sumber Rejeki Kasemen Bendung H. Hendry 4 0
Kab. Serang
Harapan Sejahtera
V Petir Padasuka Nurdin 3 0
Kab.Tangerang Suka Karya Sukadiri Sukadiri H. Misnan 0 2
50 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57
Kriteria Wilayah Kajian
Penentuan lokasi didasarkan pada hasil
identifikasi lapangan, koordinasi dengan dinas
pertanian, serta hasil evaluasi kegiatan pada tahun
2014. Secara umum kriteria wilayah kajian
meliputi : (1) aksesibilitas relatif baik, untuk
memudahkan pembinaan dan pengawasan, (2)
kesuburan lahan, (3) Pengalaman dan minat
kelompok tani dalam penangkaran benih kedelai,
dan (4) bukan merupakan wilayah endemis OPT
penting kedelai dan rawan bencana
(kekeringan/kebanjiran).
Berdasarkan pertimbangan tersebut,
kegiatan perbanyakan benih unggul kedelai
Provinsi Banten tahun 2015 dilakukan di beberapa
lokasi petani yang ada di Kabupaten Serang, Kota
Serang, Kabupaten Pandeglang serta Kabupaten
Tangerang. Semua kelompok tani hanya
melakukan produksi benih pada satu musim tanam
kecuali di kelompok tani Mukti yang berada di
Kecamatan Panimbang Kabupaten Panimbang
yang melakukan penanaman 2 musim (MT I dan
MT II). Hal ini karena kebiasaan petani di
KecamatanPanimbang dan sekitarnya selalu
melakukan penanaman kedelai saat musim
kemarau setelah penanaman padi. Lokasi produksi
benih kedelai tahun 2015 secara lengkap disajikan
pada tabel 1.
Lokasi penangkaran kedelai di Kabupaten
Tangerang merupakan inisiasi awal karena di
wilayah ini sangat jarang dibudidayakan, dan juga
bukan wilayah pengembangan. Namun demikian
keinginan petani di kelompok tani Sukakarya
Kecamatan Sukadiri sangat besar untuk
mengembangkan komoditas kedelai. Inisiasi awal
ini diharapkan berdampak terhadap peningkatan
minat petani Tangerang terhadap komoditas
kedelai, sehingga produksi benih kedelai telah
dilakukan dengan perencanaan dan pengawalan
yang baik, sehingga menghasilkan produksi
kedelai yang cukup baik.
Lokasi kedelai pada MT I dilakukan
dilahan kering, hal ini karena MT I bertepatan
dengan musim hujan 2015 sehingga sangat rentan
dengan resiko kelebihan air jika ditanam di lahan
sawah. Sedangkan pada MT II dilakukan dilahan
sawah setelah pertanaman padi, selain
memanfaatkan lahan bekas pertanaman padi juga
karena MT II bertepatan dengan musim kemarau
2015.
Pemilihan Varietas
Varietas unggul yang dikembangkan di
lokasi petani didasarkan pada agroekosistem dan
preferensi. Varietas unggul kedelai yang telah
Tabel 3. Sebaran dan Jenis Varietas Kedelai
Kelompok Tani
MT I 2015 MT II 2015 Kelas Benih/
Varietas Luas (Ha) Varietas Luas (Ha) Status Panen
Mukti Anjasmoro 2,0 Anjasmoro 15,0 SS/Panen
Argomulyo 4,0 SS/Panen
Marga Jaya
Anjasmoro 3,0 - - SS/Panen
Grobogan 2,0 - - SS/Panen
Subur I
Anjasmoro 2,0 - - SS/Panen
Grobogan 2,0 - - SS/Panen
Burangrang 2,0 - - SS/Panen
Sumber Rejeki
Anjasmoro 2,0 - - SS/Puso
Argomulyo 2,0 - - SS/Puso
Harapan
Sejahtera V
Grobogan 1.5 - - SS/Panen
Argomulyo 1.5 - - SS/Panen
Suka Karya - - Anjasmoro 1,0 FS/panen
Total Luas Tanam 20,0 20,0
51Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida
Yursak dan Hijriah Muthmainah)
dirakit memiliki karakter beragam, sehingga dapat
memberikan banyak alternatif pilihan dalam: (a)
Umur, yaitu umur genjah (< 80 hari), sedang (80-
90 hari), dan dalam (>90 hari); (b) Ukuran biji,
yaitu berbiji kecil (<10 g/100 biji), sedang (10-12
g/100 biji), dan besar (>12 g/100 biji); (c) Warna
kulit biji, mulai dari kuning sampai kuning
kehijauan dan hitam; serta (d) yang sesuai untuk
lahan kering masam dan lahan pasang surut (Badan
Litbang, 2012). Keragaman varietas kedelai yang
dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian akan
memberikan banyak alternatif pilihan varietas bagi
petani.
Ukuran benih menjadi salah satu kriteria
dalam pemilihan varietas, umumnya petani kedelai
di Provinsi Banten lebih menyukai benih
berukuran besar seperti Grobogan, Anjasmoro,
Argomulyo dan Burangrang. Pemilihan varietas
yang digunakan untuk penangkaran disesuaikan
dengan preferensi, agroekosistem serta musim
tanam. Menurut Rahmania (2002), bahwa
pemilihan varietas umumnya disesuaikan
preferensi konsumen seperti ukuran biji besar,
umur genjah, toleran kekeringan namun demikian
agar produksi kedelai dapat maksimal maka
pemilihan varietas juga harus didasarkan pada
agroekosistem yang sesuai. Penyebaran benih dan
luasannya di lokasi petani tercantum pada tabel 2.
Varietas kedelai yang diproduksi harus
jelas asal-usul serta karakternya harus dipahami
oleh petani penangkar, hal ini akan membantu
petani dalam mengenali tipe simpang, campuran
varietas lain serta kemurnian varietas yang
diproduksi. Deskripsi varietas memegang peranan
Tabel 4. Produksi dan Produktivitas Benih Kedelai
Kelompok Varietas Luas Produksi Benih (Kg) Provitas Total
Tani (Ha) BPTP Petani (Ton/ha) (Kg)
Produksi MT I (Musim Hujan/ Februari-Mei 2015) Kelas SS
Mukti Anjasmoro 2 750 750 0,750 1500
Marga Jaya Anjasmoro 3 450 450 0,300 900
Grobogan 2 200 200 0,200 400
Subur I Anjasmoro 2 450 450 0,45 900
Grobogan 2 900 900 0,900 1800
Burangrang 2 1000 1000 1,000 2000
Sumber Rejeki Anjasmoro 2 50 50 0,050 100
Argomulyo 2 50 50 0,050 100
Harapan Sejahtera V Grobogan 1.5 500 500 0,667 1000
Argomulyo 1.5 315 315 0,420 630
Benih Lainnya
Sampel BPSB
26
Reject/sortir
550
-
1250
Total Benih + Sortiran +Sampel BPSB MT I Kelas SS 5.241 4.665
10.580
Produksi MT II (Musim Kemarau/ Mei-Oktober 2015) Kelas SS-1
Mukti Anjasmoro 15 10.500 10.500 1.40 20.0000
Argomulyo 4 1.200 1.200 0.60 2.400
Benih Lainnya
Sampel BPSB
50
50
Reject/sortir 1.500 - 1500
Total Benih + Sortiran +Sampel BPSB MT II
Kelas SS-1
5241
4665
23.950
Produksi MT II (Musim Kemarau/ September-Desember 2015) Kelas FS
Suka Karya Grobogan 2 500 500 0.5 1000
52 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57
penting bagi penangkar dalam mengidentiifikasi
dan menjaga kemurnian varietas. Salah satu
perbedaan antara produksi benih dengan non benih
adalah dari tingkat kemurnian benih varietas yang
dihasilkan, dimana kemurnian varietas kedelai
minimal yang disyaratkan oleh Direktorat
Perbenihan adalah 99,9%. Kemurnian varietas
harus dijaga agar petani pengguna dapat menerima
benih yang sesuai yang diharapkan.
Produksi dan Produktivitas
Produksi dan produktivitas calon
benih/benih kedelai beragam baik antar lokasi
maupun antar varietas. Produktivitas benih kedelai
tertinggi dicapai oleh varietas Burangrang (1,0
ton/ha) dan Grobogan (0,9 ton/ha) di lokasi
Kelompok Tani Subur I, Kecamatan
Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Produksi
dan produktivitas pada MT I dan MT II untuk
kelas SS, SS-1 dan FS tercantum pada Tabel 3.
Produksi benih kedelai kelas BS/FS
menghasilkan produktivitas sebesar 0.75 t/ha, hasil
yang dicapai cukup bagus untuk petani penangkar
pemula serta lahan yang sebelumnya belum pernah
ditanami kedelai seperti di Kelompok Tani Suka
Karya Kabupaten Tangerang. Hasil yang dicapai
memberikan dampak positif terhadap petani
sekitar, baerdasarkan hasil wawancara pada
anggota kelompok tani Sukakarya menyatakan
bahwa mereka berminat untuk memproduksi
kedelai pada MK 2016.
Perbedaan produksi juga terjadi antara
produktivitas saat masih berupa calon benih dan
ketika sudah menjadi benih. Perbedaan tersebut
Tabel 5. Distribusi Benih Sumber Kedelai
Pengguna Tujuan Volume benih per varietas /kg Total
Anjasmoro Grobogan Argomulyo Burangrang
Distribusi MT I
BBI Provinsi* Produksi Benih - 75 - - 75
BPTP* GPPTT - 75 - - 75
Poktan Campaka (Pandeglang) Produksi Benih 500 500 - 500 1500
Poktan Tunas Mulya (Lebak) Produksi Benih - 500 - 500 1000
Petani Rajid* Produksi Benih - 300 350 - 650
Tani Mukti* Produksi Benih 550 - - - 550
Poktan Silih Asah* Uji Coba VUB Kedelai 150 150 - - 300
UPT Cimanggu PAT 500 - - - 500
Mahasiswa* Penelitian - - 15 - 15
Total Distribusi MT I 1700 1600 365 1000 4665
Distribusi MT II Kelas SS
UPT Cimarga Produksi benih 800 - - - 800
UPT Cimarga Konsumsi - - 1.100 - 1.100
GPPTT BPTP Produksi benih 300 - - 300
Petani Serang 50
PAT Serang 1000
PAT Pandeglang Produksi benih 4.000 - - 7.800
H. Misnan Produksi benih 30 - - - 30
Total Benih terdistribusi 9.981 - 1.100 - 11.120
Sisa sd 31 Desember 480 100
Distribusi MT II Kelas FS
Mahasiswa IPB Penelitian 240 240
Sisa sd 15 Januari 2016 510 510
Ket : * benih gratis
53Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida
Yursak dan Hijriah Muthmainah)
dapat diakibatkan oleh banyak faktor diantaranya
rendemen, kualitas, jumlah kontaminan, maupun
kondisi saat panen. Menurut Wahyuni (2005),
faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih
adalah benih sumber, kontaminasi, waktu tanam,
kondisi lingkungan pra panen, pemanenan,
pengeringan, pembersihan dan kondisi
penyimpanan.
Distribusi Benih Sumber
Benih yang dihasilkan difokuskan untuk
kegiatan GPPTT provinsi Banten serta untuk
memenuhi kebutuhan petani kedelai disekitar
wilayah produksi UPBS dan PAT (perluasan areal
tanam). Hasil benih pada MT I telah terdistribusi
untuk berbagai kegiatan seperti : produksi benih
BBI, penelitian mahasiswa IPB dan Untirta, PAT,
uji coba VUB petani, serta produksi kedelai petani
yang berada di kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Serang, Kota Serang, Kabupaten Lebak serta
Kabupaten Tangerang (Tabel 4).
Penjualan benih disesuaikan dengan PP
tarif PNBP yaitu sebesar Rp. 7000/lg untuk kelas
SS. Semua hasil penjualan sudah diserahkan
kepada pemerintah dalam bentuk PNBP benih
kedelai. Selain dijual benih juga didistribusikan
kepada mahasiswa dan juga petani peanngkar
dalam bentuk bantuan benih (gratis), tujuannya
adalah untuk penyebarluasan varietas kedelai.
Sebaran benih kedelai yang dihasilkan
oleh UPBS BPTP sudah tersebar luas di beberapa
Kabupaten/Kota. Sebaran varietas meliputi
Kabupaten pandeglang (Panimbang, Cimanggu,
Mandalawangi, Sobang, Cigeulis dan Cibaliung),
Kabupaten serang (Petir dan Cikeusal), Kabupaten
lebak (Cimarga), kota Serang (Walantaka dan
Kasemen), dan kabupaten Tangerang (Sukadiri dan
Sindangjaya). Sebaran varietas ini cukup
menggembirakan karena mendapat respon positif
tidak hanya dari petani pelaksana namun juga dari
Dinas dan stake holders.
Tahun 2016 diharapkan jalinan kerjasama
produksi benih kedelai antara BPTP dengan semua
petani penangkar tahun 2015 dapat dilanjutkan.
Hal ini karena semua benih yang dihasilkan oleh
UPBS BPTP Banten merupakan benih sumber
yang hanya diperuntukkan untuk panangkaran
benih bukan untuk produksi kedelai konsumsi.
Hasil Uji Mutu dan Sertifikasi Benih
Dalam kegiatan produksi benih
pengawasan mutu dan sertifikasi benih dilakukan
oleh BPSB mulai dari persiapan lahan hingga
pasca panen. Berdasarkan hasil uji laboratorium
benih yang dinyatakan lulus tercantum pada Tabel
9. Hasil kelulusan didasarkan pada tingkat
kemurnian benih berkisar 99,8-99,9%, kadar air
(9,8-10,8%), campuran varietas lain (0%), dan
daya tumbuh benih(89,0-97,0%). Faktor-faktor
tersebut merupakan syarat kelulusan benih oleh
BPSB. Menurut Wahyuni (2005), faktor-faktor
yang mempengaruhi mutu benih adalah benih
sumber, kontaminasi, waktu tanam, kondisi
lingkungan pra panen, pemanenan, pengeringan,
pembersihan dan kondisi penyimpanan.
Hasil pengujian yangdilakukan oleh BPSB
terhadap benih padi yang dihasilkan oleh petani
penanagkar benih di semua lokasi dinyatakan lulus
kecuali di Kecamatan kasemen yang mengalami
puso akibat kekeringan dan serangan dari kambing.
Tabel 6. Mutu Benih Hasil Sertifikasi BPSB Tahun 2015
Varietas /Kelas
benih
Kadar air
(%)
Benih murni
(%)
Benih varietas
lain (%)
Daya tumbuh
(%) Keterangan
Anjasmoro/SS 10,6 99,9 - 91,0 Lulus
Burangrang/SS 11,0 99,9 - 84,0 Lulus
Argomulyo/SS 11,02 99,8 - 87,0 Lulus
Grobogan/SS 10,50 99,9 - 93,0 Lulus
Anjasmoro/FS 9,80 99,9 - 95,0 Lulus
54 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57
Kriteria kelulusan benih meliputi kadar air, benih
murni, benih varietas lain dan daya tumbuh.
Begitupula dengan benih kedelai memenuhi syarat
kelulusan (Tabel 5).
Varietas Grobogan kelas SS yang
dihasilkan oleh kelompok Tani Mukti
menghasilkan daya tumbuh paling tinggi
dibandingkan dengan benih kelas SS varietas
lainnya. Hal ini disebabkan karena kadar air benih
grobogan paling rendah, terdapat hubungan antara
kadar air dengan daya berkecambah. Benih kelas
FS diusahakan diprosesing lebih ketat dan lebih
baik dibandingkan dengan kelas SS sehingga kadar
air diusahakan dibawah 10% dengan kemurnian
benih mencapai 99,9% agar benih dapat memiliki
daya tumbuh dan umur simpan yang lebih lama.
Pelatihan Calon Petani Penangkar Benih
Sumber Kedelai
Dalam upaya pemenuhan target produksi
benih sumber kedelai dan keterbatasan lahan di KP
Singamerta, maka kegiatan UPBS Kedelai
dilakukan di lokasi petani kooperator. Petani
kooperator UPBS kedelai pada umumnya
merupakan petani padi sehingga keterampilan dan
pengetahuan dalam memproduksi benih kedelai
masih kurang. Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan perlu dilakukan baik dalam bentuk
Tabel 7. Pelaksanaan Pelatihan Kedelai
Lokasi Materi
Kabupaten Kecamatan Desa Kelp. Tani
Pandeglang Mandalawangi Gn. Sari Subur I - VUB dan Kelas benih
Panimbang Mekar Sari Mukti - Roguing
Cigeulis Cijaralang Marga Jaya - OPT Kedelai
Serang Petir Padasuka Harapan Sejatera V - Pemupukan
Tangerang Sukadiri Sukadiri Sukakarya - Panen dan pasca panen
MH
Lahan Kering
Februari-Mei
MH
Lahan Kering
Oktober - Januari
MK
Lahan Sawah
Juni – September
Gambar 1. Jalur Arus benih kedelai dengan pola JABALSIM di Kecamatan Panimbang Kabupaten
Pandeglang vProvinsi Banten
55Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida
Yursak dan Hijriah Muthmainah)
MH
Lahan Kering
Maret-Juni
MH
Lahan Kering
Nov- Feb
pelatihan teori maupun praktis.
Pelatihan bagi para petani calon pennagkar
benih kedelai ataupun petani mitra binaan UPBS
BPTP sangat penting dilakukan, agar
penanagkaran benih sesuai dengan standar
operasional produksi benih. Pelatihan telah
dilakukan di beberapa kelompok tani dengan
materi meliputi teknik produksi benih kedelai,
teknik rouging dang pengamatan tanaman,
pengendalian organisme pengganggu tanaman,
pemupukan, panen dan pasca panen serta sortasi
benih (Tabel 6).
Kemampuan petani dalam menjawab
pertanyaan serta teknik pelaksanaan komponen
produksi benih beragam antar Kabupaten. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama
pengalaman petani dalam memproduksi benih.
Nilai kemampuan petani dalam praktek dan
menjawab pertanyaan di Kabupaten Tangerang
lebih rendah dibandingkan di Kabupaten lainnya
hal ini karena petani pelaksana di kabupaten
Tangerang merupakan pemula dan baru pertama
kali memproduksi benih kedelai. Secara umum
kemampuan menjawab maupun praktek teknik
produksi benih kedelai di setiap Kabupaten
tercantum pada Tabel 7.
Model Pengembangan Benih Kedelai
Komoditas kedelai menghasilkan benih
yang relatif memiliki daya simpan lebih rendah
dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan
lainnya seperti padi dan kedelai. Banyak faktor
penyebabnya seperti kandungan lemak dan protein
yang cukup tinggi, embrio benih mudah terekspose
oleh hama/penyakit, berpotensi terhadap serangan
aflatoxin, dan kadar air benih yang sangat
higroskopis. Oleh karena itu untuk benih kedelai
memerlukan penanganan yang serius terutama
dalam masa penyimpanan. Untuk menghindari
penyimpanan yang lama maka dapat dilakukan
teknik produksi benih Jabalsim (jaringan benih
antar lapang antar musim).
Pola Jabalsim juga akan menjamin
ketersediaan benih kedelai sesuai dengan prinsip 6
(enam) tepat (varietas, jumlah, mutu, waktu, harga
dan tempat). Sistem penyediaan benih perlu diatur
untuk mendapatkan benih sesuai dengan kualitas
dan kuantitas yang dibutuhkan. Menurut Douglas
(1980) sistem perbenihan merupakan peraturan-
peraturan yang harus diikuti dan program yang
harus dilaksanakan untuk mencapai produksi dan
distribusi benih dengan kualitas dan kuantitas yang
direncanakan.
Pola Jabalsim yang dikembangkan di
kecamatan Panimbang dapat mengikuti alur seperti
pada Gambar 1. Dalam satu tahun direncanakan
tiga kali penanaman kedelai sehingga tidak
mememrlukan sistem penyimpanan yang lama.
Benih yang diproduksi pada MH (Februari-Mei)
ditanam pada lahan kering, benih ini
diperuntukkan sebagai benih sumber pada MK
(Juni-September) di lahan Sawah. Benih yang
dihasilkan pada MK (Juni-September) akan
dijadikan sumber benih pada MH (Oktober-
Januari) di lahan kering. Alur ini memungkinkan
benih akan tersedia setiap saat untuk memenuhi
kebutuhan wilayah secara mandiri.
Pola Jabalsim untuk Kabupaten Tangerang
dan Serang berbeda dengan pola di Kecamatan
panimbang, pola Jabalsim dapat mengikuti alur
pada Gambar 2.
Gambar 2. Jalur Arus benih kedelai dengan pola JABALSIM di Kecamatan Cimanggu dan mandalawangi
Kabupaten Pandeglang, serta Kecamatan Petir Kabupaten Serang Provinsi Banten
56 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57
KESIMPULAN
1. Pola pola produksi benih sumber kedelai
dilakukan bekerjasama dengan petani
penangkar benih lokal. Hasil produksi
kedelai beragam antar varietas dan antar
lokasi. Produktivitas benih kedelai
tertinggi dicapai oleh varietas Burangrang
(1,0 ton/ha) dan Grobogan (0,9 ton/ha) di
lokasi Kelompok Tani Subur I, Kecamatan
Mandalawangi Kabupaten Pandeglang.
Produksi benih kedelai SS telah tercapai
sebanyak 34.530 kg dengan capaian target
sebesar 130% dari target awal sebanyak
26.740 kg, sedangkan untuk kelas FS 1000
kg.
2. Distribusi benih merupakan salah satu cara
dalam penyebarluasan varietas unggul
baru. Untuk mencapai hal tersebut benih
didistribusikan pada berbagai stake holders
yaitu BBI, penelitian mahasiswa, Dinas
Pertanian untuk program PAT, uji coba
VUB petani, serta produksi kedelai petani.
3. Model pengembangan produksi benih di
Provinsi Banten dapat mengadopsi pola
Jabalsim (jalur benih antar lapang antar
musim) yang spesifik untuk Kabupaten
Pandeglang dengan 3 kali musim tanam
dan Kabupaten Lebak serta Kota Serang
dengan 2 kali musim tanam. Pola ini
memberikan keuntungan antara lain :
ketersediaan benih mencukupi, mutu benih
terjamin, harga lebih kompetitif, serta
menjamin kesejahteraan petani penangkar
kedelai lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.
2008. Press Release Mentan Pada Panen
Kedelai.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publik
asi/wr301084.pdf. Diakses 14 maret
2015.
Balitkabi. 2015. Prinsip-Prinsip Produksi Benih
Kedelai. Balai Penelitian Aneka Kacang
dan Umbi. ISBN: 978-979-1159-66-1.66
hal.
Dewi R, Sutrisno H, Nazirwan. 2013. Pemulihan
deteriorasi benih kedelai (Glycine max
L.) dengan aplikasi giberalin. Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan 13 (2): 116-
122.
Douglas, J. 1980. Succesfull seed program. A
planning and management guide.
Westview Press, Boulder. Colorado,
USA. 310p.
Dwipa I dan Saswita W. 2017.Pengujian hasil dan
mutu benih beberapa varietas kedelai
dengan variasi jumlah satuan panas
panen. Pros. Sem. Nas Masy.
Biodiv.Indon. Vol 3(1):16-23.
Tabel 8. Kemampuan manjawab dalam pelatihan kedelai
No Jenis Pertanyaan Kemampuan Menjawab (%)
Pandeglang Serang Tangerang
1. Varietas unggul baru dan kelas benih 82.50 65.50 50.25
2. Roguing 75.00 55.50 50.00
3. Pemupukan 80.00 72.50 60.25
4. Pengolahan tanah 80.00 82.50 65.00
5. Pengendalian hama 85.00 90,25 74.50
6. Pengendalian Penyakit 75.50 77.50 50.50
7. Panen 82.50 90.50 78.50
8. Prosesing benih 80.25 90.50 82.50
57Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida
Yursak dan Hijriah Muthmainah)
ISSN:2407-8050.
DOI:10.13057/psnmbi/m030104
Hapsari RT, Adie MM. 2010. Peluang perakitan
dan pengembangan kedelai toleran
genangan.Jurnal Litbang Pertanian 29
(2): 50-57.
Krisdiana, R. 2007. Preferensi Industri Tahu dan
Tempe terhadapUkuran dan Warna Biji
Kedelai. ptek Tanaman Pangan. Vol. 2 :
1 (2007).Krisdiana, R. 2014. Penyebaran
Varietas Unggul Kedelai dan Dampaknya
terhadap Ekonomi Perdesaan. Buletin
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
Vol. 33:1
Krisdiana R. 2014. Preferensi petani dan
penyebaran varietas unggul kedelai di
provinsi nusa tenggara barat.Buletin
Palawija No. 28: 93–101 (2014).
Balitkabi Malang.
Marliah A, Hidayat T, Husna N. Pengaruh varietas
dan jarak tanam terhadap pertumbuhan
kedelai (Glycine max (L.) Merril). J
Agrista 16 (1): 22-28.
Muis A, Indradewa D, Widada J. 2013. Pengaruh
inokulasi mikoriza arbuskula terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai (Glycine
max (L.) Merril) pada berbagai interval
penyiraman. Jurnal Vegetalika 2 (2): 7-
20.
Nugraha US. 2004. Legislasi, Kebijakan, dan
Kelembagaan Pembangunan Perbenihan.
Perkembangan Teknologi PRO. 16 (1) :
61-73.
Nugrahaeni, N. 2013. Teknik Produksi Benih
Kedelai. Panduan dan Materi Workshop
Teknik Produksi Benih Kedelai Bagi
Petugas UPBS BPTP dan Penangkar
Benih.Malang, 26-29 Nopember
2013.Balitkabi. Malang.
Sari DA, Hasanah Y, Siamnungkalit T.
2014.Respons pertumbuhan dan
produksibeberapa varietas kedelai
Glycine max L. (Merril) dengan
pemberian pupuk organikcair.
Agroekoteknologi 2 (2): 653-661.
Shaumiyah A., Damanhuri, Basuki N. 2014.
Pengaruh pengeringan terhadap kualitas
benih kedelai (Glycine max (L.) Merr).
Jurnal Produksi Tanaman. Vol 2(5): 388-
394.
Sinuraya MA, Barus A, Hasanah Y. 2015. Respons
pertumbuhan dan produksi kedelai
(Glycine max (L.) Meriil) terhadap
konsentrasi dan pemberian pupuk cair.
Jurnal Agroekoteknologi 4 (1): 1721-
1725.
Sucahyono D. 2013.Invigorasi benih kedelai.
Buletin Palawija No. 25:2013.
Sudaryono, A.Wijanarko dan Suyamto.2011.
Efektivitas Kombinasi Amelioran dan
Pupuk Kandang dalam Meningkatkan
Hasil Kedelai pada Tanah Ultisol. Jurnal
Penelitian Tanaman Pangan Volume 30
(1) : 43-51.
Tatipata, A. 2008. Pengaruh Kadar Air Awal,
Kemasan dan Lama Simpan terhadap
Protein Membran Dalam Mitokondria
Benih Kedelai. Buletin Ahronomi. Vol.
36 : 1 (2008).
Taufiq, A., A. Wijarnoko dan Suyamto. 2011.
Pengaruh Takaran Optimal Pupuk NPKS,
Dolomit dan Pupuk Kandang terhadap
Kedelai di Lahan Pasang Surut, Jurnal
Penelitian Tanaman Pangan Volume 30
(1) : 43-51.
TeKrony DM. 2006. Seeds: The Delivery System
for Crop Science. Crop Sci. 46: 2263-
2269.
ayhuni S. 2008. Hasil padi gogo dari dua sumber
benih yang berbeda. Buletin Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan. Vol.
27:3(2008)
59Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan
Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI SAWAH TADAH HUJAN KAWASAN
PERBATASAN KABUPATEN SAMBAS
Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jl. Budi Utomo no, 45 Siantan Hulu Pontianak
Email:rburhansyah@gmail.com
ABSTRACT
Increasing Rice Productivity Through Integrated Crop Management in Rainfed in the Border Regions of Sambas District. The problem of rice cultivation in rainfed lowland area of Paloh subdistrict, Sambas district is
low productivity. Increasing productivity through integrated crop management (ICM) is necessary to be done. This
study aimed to evaluate the performance of integrated crop management technology in rainfed rice fields in the
border region of Sambas district, West Kalimantan. The study was conducted in Sebubus village, Paloh subdistrict,
Sambas District from December 2015 to March 2016 using assessment with two treatments consisting of
introduction technology packages versus farmer practices. The assessment involved 6 cooperative farmers as
replicates and 6 non cooperative farmers. Total land area for treatments was 2.3 hectares. The result of the study
showed that the introduction technology package consisting of Inpara 3, urea fertilizer 50 kg/ha, NPK 200 kg/ha,
KCl 100 kg/ha, organic fertilizer 500 kg/ha and liming 500 kg/ha can increase rice productivity around 76.92%
compared to farmers and financially it was feasible to be developed in rain-fed rice fields. In general, the application
of ICM was suitable in research site with indicators of increasing rice productivity and farmer income.
Keywords: rainfed rice field, productivity, rice, ICM
ABSTRAK
Permasalahan budidaya padi di lahan sawah tadah hujan wilayah Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas adalah
masih rendahnya produktivitas. Peningkatan produktivitas melalui pengelolaan tanaman terpadu perlu dilakukan.
Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di sawah tadah
hujan wilayah perbatasan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Kajian dilaksanakan di Desa Sebubus, Kecamatan
Paloh, Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas pada bulan Desember 2015 sampai Maret 2016. Rancangan yang
digunakan adalah dua perlakuan yang terdiri dari paket teknologi introduksi versus praktek petani. Pengkajian
melibatkan 6 petani kooperator sebagai ulangan dan 6 petani non kooperator dengan luas lahan total 2,3 hektar.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa paket teknologi varietas Inpara 3, pemupukan urea 50 kg/ha, NPK 200
kg/ha, KCl 100 kg/ha, pupuk organik 500 kg/ha, dan pengapuran 500 kg/ha dapat meningkatkan produktivitas padi
sekitar 76,92%, dibandingkan cara petani dan secara finansial layak dikembangkan pada sawah tadah hujan. Secara
umum penerapan PTT sawah tadah hujan sesuai dikembangkan di lokasi kajian dengan indikator peningkatan
produktivitas padi dan pendapatan petani.
Kata kunci: lahan sawah tadah hujan, produktivitas, padi, PTT
60 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68
PENDAHULUAN
Kecamatan Paloh merupakan kawasan
perbatasan kabupaten Sambas yang secara
langsung berbatasan dengan Malaysia (Serawak).
Kawasan ini termasuk kedalam kawasan tertinggal
yang masih jauh dari dinamika pembangunan.
Sarana dan prasarana yang minim menghambat
kawasan perbatasan untuk lebih maju. Konsentrasi
pembangunan pemerintah yang lebih menekankan
keamanan dan bukan kesejahteraan seperti daerah-
daerah lainnya menjadi sebuah anggapan bahwa
perbatasan merupakan daerah yang terlupakan
(Lindia et al., 2011). Permasalahan kawasan
perbatasan Kalimantan Barat dari aspek sosial
ekonomi yakni kesenjangan antara penduduk
kawasan perbatasan dengan penduduk negara
tetangga, sehingga kehidupan masyarakat kasawan
perbatasan Kalimantan lebih condong ke negara
tetangga, rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat setempat melatarbelakangi marakanya
kegiatan ilegal seperti ilegal logging, ilegal trading,
traficking, serta kegiatan illegal lainnya.
Pemenuhan kebutuhan beras bagi penduduk
merupakan langkah awal menuju peningkatan
pendapatan petani dan pembangunan
perekonomian daerah. Perbaikan pendapatan
petani akan berdampak terhadap perbaikan sistem
usahataninya. Oleh karena itu, strategi pertanian
untuk wilayah perbatasan sebaiknya diawali
dengan perbaikan kecukupan pangan dengan
perbaikan sistem usahatani berbasis padi
(Partohardjono et al., 1990). Introduksi teknologi
yang adaptif (sesuai dengan kondisi lingkungan
dan kemampuan petani setempat), efektif dan
efisien dalam meningkatkan hasil dan keuntungan
seperti pada model Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) sangat diperlukan.
Penerapan PTT pada lahan sawah tadah
hujan meningkatkan produktivitas padi. Hasil
penelitian Hidayat et al. (2012) menunjukkan
bahwa PTT dapat meningkatkan produktivitas padi
sekitar 0,54 – 2,46 ton/ha dan meningkatkan
pendapatan petani Rp 1 – 3 juta/ha menggunakan
varietas unggul baru Inpari 2, Inpari 3, Inpari 7,
dan Silugonggo di Kabupaten Halmahera Tengah.
Peningkatan produktivitas dengan pendekatan
tanaman terpadu juga diteliti oleh Widyantoro dan
Toha (2010). Rata-rata hasil padi sawah tadah
hujan mencapai 6,95 t/ha GKG atau meningkat
11,9% lebih tinggi dibandingkan dengan cara
petani yang mencapai 6,22 t/ha GKG. Melalui
pendekatan PPT padi sawah tadah hujan
pendapatan usahatani meningkat 21,2% lebih
tinggi dibandingkan cara petani.
Kinerja pertanian tanaman pangan
khususnya tanaman padi di Kecamatan Paloh
selama tiga terakhir (2012-2014) belum baik. Dari
ketiga indikator antara lain: luas panen, produksi,
dan produktivitas pertumbuhannya positif. Untuk
luas panen pertumbuhannya 7,09%, produksi
10,11% dan produktivitas -4,35%. Produtivitas
padi rata-rata sekitar 3,4 ton/ha (BPS Kabupaten
Sambas, 2015). Produktivitas padi dipengaruhi
oleh pupuk, varietas baru, tenaga kerja, kualitas
lahan (Maulana, 2004).
Peningkatan produktivas padi sawah tadah
hujan di kecamatan Paloh kawasan perbatasan
kabupaten Sambas melalui pendekatan PTT
merupakan pilihan yang tepat bagi petani.
Pendekatan PTT mengutamakan sinergisme
berbagai komponen teknologi dalam suatu paket
teknologi agar mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan input dan sekaligus hasil panen.
Pendekatan PTT memperhitungkan keterpaduan
antara tanaman di satu pihak dan sumber daya
yang ada di pihak lain (Las et al., 1999). Penerapan
model PTT dapat meningkatkan hasil gabah
sebesar 1,0 t/ha dibandingkan teknologi petani
(non PTT) pada 22 provinsi (Zaini, 2006).
Keunggulan cara PTT dibandingkan cara petani
sebelumnya di seluruh Asia juga dilaporkan
Balasubramanian et al. (2005). Salah komponen
PTTT yakni introduksi varietas padi. Introduksi
varietas padi yang adaptif dan berpotensi hasil
tinggi untuk agro-ekosistem lahan sawah tadah
hujan merupakan teknologi yang paling murah
bagi petani (Widyantoro dan Toha, 2010). Tingkat
penerapan teknologi introduksi di lahan sawah
tadah hujan relatif rendah karena pendapatan dan
modal tidak memadai (Pane et al., 2002).
61Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan
Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)
Namun, kurangnya pengetahuan dan
keterampilan petani tentang konsep PPT
merupakan faktor utama yang berpengaruh
rendahnya produktivitas padi sawah tadah hujan di
Kecamatan Paloh. Di sisi lain, banyak keterbatasan
di wilayah tersebut seperti kondisi sarana dan
prasarana yang kurang memadai, keterbatasan
jumlah tenaga penyuluh juga ikut berpengaruh
dalam peningkatan produktivitas padi sawah tadah
hujan. Petani kurang mendapatkan informasi dalam
upaya meningkatkan produktivitas padi. Melalui
pengkajian PTT padi sawah tadah hujan
menggunakan VUB sebagai salah satu komponen
dan dikombinasikan dengan komponen lainnya
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi
dan menambah pendapatan dalam mengelola
usahataninya. Pengkajian ini bertujuan untuk
mengevaluasi kinerja paket teknologi pengelolaan
tanaman padi pada sawah tadah hujan di
Kecamatan Paloh, kawasan perbatasan Kabupaten
Sambas.
METODOLOGI
Waktu dan Lokasi
Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan pada
bulan Desember 2015 sampai bulan Maret 2016 di
Desa Sebubus. Kegiatan dilaksanakan pada lahan
petani dengan melibatkan 6 petani kooperator
dengan luas total 2,3 hektar dengan beragam luas
kepenilikan tiap petaninya.
Benih yang digunakan adalah varietas Inpara
3. Pemupukan berdasarkan menggunakan PUTS.
Dari PUTS didapatkan kebutuhan pupuk N sekitar
150 kg. Pupuk P sekitar 100 kg/ha dan KCl sekitar
100 kg/ha. Dari analisis tanah, nilai pH dibawah
5,5, maka diperlukan kapur dolomit sekitar 500
kg/ha (Tabel 1). Paket teknologi yang diuji adalah
paket PTT dan paket teknologi petani.
Parameter
Parameter yang diamati antara lain hasil
gabah berdasarkan ubinan masing-masing
perlakuan dan analisis ekonomi. Analisis data
meliputi: (1) Analisis ragam dan senjang hasil, (2)
Analisis penerimaan dan pendapatan, (3) Imbalan
tenaga kerja, dan (4) Analisis anggaran parsial
(BBP2TP, 2011).
Analisis Data
Analisis Ragam dan Senjang Hasil
Uji t digunakan untuk menganalisis
pengkajian yang menguji perlakuan set 1, yaitu
membandingkan paket teknologi baru vs praktek
petani. Prosedur uji t mengikuti prosedur analisis
statistik baku: (i) Hitung masing-masing ragam
(s2) perlakuan paket teknologi dan praktek petani,
(ii) Hitung ragam gabungan (s2gab) dan
simpangan baku gabungan (sgab), (iii) Hitung t hit,
Tabel 1. Paket pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi dan teknologi petani di lokasi kajian
No. Komponen Teknologi Teknologi Introduksi Praktek petani
1. Varietas Unggul Baru (VUB) Inpara 3 (umur 115 hari) Lokal (umur 6-7 bulan)
2. Pupuk 200 kg/ha NPK, 50 kg/ha Urea,
100 kg/ha KCl
50 kg/ha NPK, 50 kg/ha Urea, KCl 6
kg
3. Pemberian pupuk organik
Dan pembenah tanah
Pupuk organik 500 kg/ha
Dolomit 500 kg/ha
Tidak ada
4. Jarak tanam Jajar legowo 4: 1
20x15x40 cm
Tegel 25 x 25 cm
5. Umur pindah bibit 14-21 hari Lebih dari 30 hari
6. Jumlah bibit per lubang 2-3 bibit 15 bibit
7. Pengendalian Gulma Pengendalian Gulma Terpadu Menggunakan herbisida
8. Pengendalian Hama dan
Penyakit
Pendekatan PHT sesuai sasaran
OPT
Menggunakan pestisida kimia
9. Pemanenan Menggunakan sabit bergerigi Ani-ani/ketam padi
62 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68
yaitu t hit. = (Yb – Ypt)/S gab., (iv) Apabila t hit.
nyata, berarti terdapat perbedaan pengaruh
perlakuan yang diuji, dan (v) Analisis senjang
hasil: menghitung (mengukur) perbedaan hasil
antara teknologi baru (introduksi) dan praktek
petani.
Analisis Penerimaan dan Pendapatan
Penggunaan konsep penerimaan dan
pendapatan sering kali dipertukarkan, padahal
keduanya tidak sama. Jika penerimaan
dilambangkan dengan R (revenue), jumlah produk
dilambangkan Q (quantum) dan harga produk
dilambangkan dengan Pq (price), maka yang
dimaksud penerimaan adalah perkalian antara
jumlah produk dengan harga produk.
Formulanya adalah sebagai berikut:
qQxPR =........................................... (1)
Penerimaan tunai usahatani didefinisikan
sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan
produk usahatani. Dalam beberapa hal, sering
dijumpai konsep penerimaan = pendapatan kotor,
dan pendapatan = penerimaan bersih. Dalam
kegiatan usahatani, yang dimaksud dengan
pendapatan kotor usahatani (grossfarm income)
didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani
dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual
maupun yang tidak dijual. Analisis usahatani dapat
dilakukan dalam satu musim tanam atau satu siklus
produksi atau satu tahun. Pendapatan (B) sering
juga disebut keuntungan (profit) yang merupakan
pengurangan penerimaan dengan biaya produksi
(C) dengan formula sebagai berikut:
CRB −= ...............................................(2)
Biaya produksi terdiri dari biaya tetap (FC =
fix cost) dan biaya tidak tetap (VC = variable cost).
VC sendiri terdiri dari beberapa jenis pengeluaran
seperti untuk benih, pupuk, pestisida, dan upah
tenaga kerja. Dengan demikian dari persamaan (2)
dan (3) dapat diturunkan lebih rinci sebagai
berikut:
)()( FCVCQxPB q +−= .............................. (3)
∑ +−= )()( FCPXXQxPB iiq ........................ (4)
Dalam hal ini ΣXiPXi menggambarkan
penjumlahan biaya untuk pembelian masing-
masinginput ke i, dengan i = 1, 2, 3, …., n; n
adalah jumlah jenis input yang digunakan.
Imbalan Tenaga Kerja
Secara umum imbalan tenaga kerja petani
adalah balas jasa yang diperoleh seorang dari
korbanan tenaga kerja yang sudah dikeluarkannya.
Dalam konteks usahatani, yang dimaksud dengan
imbalan tenaga kerja adalah besarnya pendapatan
tenaga kerja petani yang dihitung dari besarnya
pendapatan usahatani dibagi dengan korbanan
tenaga kerja (hari orang kerja) dalam menjalankan
usahatani itu. Imbalan kerja petani dapat
diformulasikan sebagai berikut :
∑∑ +−
=
HOK
FCPXXQxPIK
iiq )()(
.......................(5)
Keterangan:
IK = Imbalan Kerja Petani
Σ HOK = jumlah hari orang kerja (hari/org)
Analisis Anggaran Parsial
Untuk mengetahui tingkat optimum
penggunaan input produksi dapat dilakukan
analisis melalui cara yang lebih sederhana dan
praktis, yaitu melalui analisis anggaran parsial
(partial budget analysis). Analisis anggaran parsial
merupakan analisis pendapatan dan biaya dari
suatu alternatif kegiatan dengan menghitung
perubahan yang terjadi dari pendapatan dan biaya
yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut atau yang
disebut juga dengan laju penerimaan bersih
marjinal (marginal rate of return, MRR atau
incremental benefit cost ratio, IBCR), yakni rasio
per tambahan penerimaan bersih dengan tambahan
biaya variabel dari setiap perlakuan. Secara
matematis diformulasikan sebagai berikut:
nn
nn
CC
RR
C
RMRR
−
−
==
+
+
)1(
)1(
.................................. (6)
63Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan
Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)
Keterangan: Rn adalah pendapatan bersih ke n dan
Cn merupakan biaya variabel ke n.
Analisis anggaran parsial bisa juga
digunakan untuk mengetahui seberapa besar nilai
tambah (sebagai indikator kelayakan ekonomi)
yang diperoleh dari penerapan paket teknologi
yang dianjurkan (introduksi).
Analisis Kelayakan Perubahan Teknologi
Analisis ini digunakan untuk menghitung
usahatani apabila petani mengganti komponen
teknologi penggunan varietas lokal menjadi
varietas unggul. Perubahan komponen teknologi
mengakibatkan perubahah struktur biaya dan
pendapatan (Swastika, 2014). Perubahan
penggunaan varietas ini juga dapat dievaluasi
kelayakannya dengan menggunakan analisis
Losses and Gains seperti pada Tabel 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Senjang Hasil
Dari analisis senjang hasil menunjukkan
bahwa teknologi baru secara nyata meningkatkan
produktivitas dibandingkan dengan praktek petani.
Melalui teknologi introduksi mampu menaikkan
produktivtas sekitar 2,08 ton/ha (Tabel 3). Dari
hasil uji t berpasangan didapatkan bahwa teknologi
baru secara nyata (α=90%) berbeda dengan pola
petani. Nilai R=0,953 dan nilai t hitung > (1,31)
dan t tabel (0,003).
Tabel 2. Analisis parsial perubahan teknologi
No. Losses (Korbanan) Jumlah Gains (Perolehan) Jumlah
1. Tambahan biaya benih A Tambahan penerimaan
2. Tambahan biaya pupuk
dari kenaikan produksi
Xg@Rp Y W
3. Tambahan biiaya pembenah tanah
Kapur 500 kg @Rp 1360 B
4. Tambahan biaya herbisida
Herbisida 3,96 kg @Rp 65000 C
5. Tambahan biaya pestisida D
6. Tambahan biaya memupuk E
7. Tambahan biaya panen F
8. Tambahan bunga modal G
Total Losess (Rp) H Total Gains (Rp) Z
Tambahan keuntungan : Rp (Z-H)= I
Marginal B/C: (Total Gains)/(Total Losses) =II
Tabel 3. Biaya produksi, produksi, penerimaan dan keuntungan usahatani padi PTT dan praktek petani
Uraian PTT Praktek Petani
Rata-rata Standard Deviasi Rata-rata Standard Deviasi
Biaya Produksi (Rp) 9.562.020 5,9 5.900.020 2,1
Produksi (kg) 4.600 2,6 2600 37,2
Penerimaan (Rp) 20.700.000 2,6 11.700.000 37,2
Keuntungan (Rp) 11.546.730 8,4 4.095.121 70,5
64 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68
Analisis Penerimaan, Pendapatan Petani, dan
Imbalan Tenaga Kerja
Perhitungan input-output yang digunakan
dalam kajian tersaji pada Tabel 4 Teknologi
introduksi dengan pendekatan PTT mampu
menaikan produktivitas padi pola petani sekitar
76,92% dengan menggunakan varietas baru Inpara
3. Dengan modal Rp 9.562.000,- didapatkan
penerimaan sebesar Rp 20.700.000,
(Rp.5.175.00/bulan selama 4 bulan) dibandingkan
penerimaan usahatani petani sebesar Rp
11.700.00,(Rp 2.925.00/bulan selama 4 bulan.
Dengan kata lain bahwa dengan mengganti varietas
lokal dengan varietas unggul Inpara 3, petani
mendapat tambahan keuntungan Rp 2,7
juta/ha/musim. Dari hasil analisis tambahan biaya
dibandingkan tambahan keuntungan masih diatas 1
(MBCR =1,46). Hasil penelitian Toha (2007),
penerapan pengelolaan tanaman terpadu di
Kecamatan Seputih Raman, Lampung
menunjukkan bahwa pendapatan petani yang
menerapkan PTT selama 3 tahun berturut-turut
rata-rata Rp5.226.000/ha) dengan kisaran antara
Rp4.907.000 – 5.957.100/ha. Rata-rata nisbah R/C
1,60 dengan kisaran 1,46-1,70.
Perubahan penggunanan varietas unggul
dievaluasi kelayakannya dengan analisis Losses
dan Gains seperti disajikan pada Tabel 5. Hasil
analisis Tabel 5 menunjukkan bahwa perubahan
komponen teknologi varietas unggul menghasilkan
tambahan keuntungan bagi petani sebesar Rp
1.190.140,-/ha/musim. Angka marginal B/C dari
perubahan tesebut adalah sebesar 2,12. Rasio ini
menunjukkan bahwa tiap Rp 1,00 tambahan biaya
yang dikeluarkan akibat mengganti varietas
menyebabkan diperolehnya akibat mengganti
varietas menyebabkan diperolehnya tambahan
penerimaan sebesar Rp 2,12 (lebih dari kali lipat
tambahan biaya). Ini berarti bahwa perubahan
varietas dari varietas lokal menjadi varietas unggul
sangat layak untuk dilakukan. Hasil penelitian
Koesrini et al. (2013) varietas Inpara 3 yang
ditanam di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan
Selatan mendekati 4 ton/ha. Paket teknologi yang
diterapkan antara lain pemupukan 90 kg N/ha + 36
kg P205/ha + 50 kg K20/ha.
Untuk mengevaluasi kelayakan perubahan
komponen teknologi varietas digunakan analisis
Tabel 4. Analisis anggaran parsial PTT padi di Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, MH 2015/2016
Uraian Teknologi Introduksi (Rp) Teknologi Petani (Rp) Tambahan Biaya
Teknologi Introduksi (Rp)
Perubahan
(%)
Input
Benih inpara 3 300.000 270.000 30.000 11,11
Pupuk Urea 240.000 120.000 120.000 100,00
Pupuk NPK 345.000 230.000 115.000 50,00
Pupuk KCl 1.020.000 51.000 969.000
Pupuk organik 550.000 0 550.000
Kapur 600.000 0 600.000
Pestisida 460.000 360.000 100.000 27,78
Fungisida 205.000 205.000 0 0,00
Herbisida 495.000 495.000 0 0,00
Tenaga kerja 4.800.000 3.622.000 1.178.000 32,52
Biaya lain-lain 547.020 547.020 0 0,00
Total biaya 9.562.020 5.900.020 3.662.000 62,07
Output
Hasil 4.600 2.600 2.000 76,92
Harga gabah padi (Rp/kg) 4.500 4.500
Penerimaan 20.700.000 11.700.000 9.000.000 76,92
Pendapatan (Keuntungan) 11.137.980 5.799.980 5.338.000 92,03
R/C 2,16 1,98
B/C 1,16 0,98
MBCR 1,46
65Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan
Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)
titik impas produksi (TIP) dan titik impas harga
(TIH). Kedua analisis tersebut disajikan pada
Tabel 5 dan 6.
Dari Tabel 5 terlihat titik impas tambahan
produksi adalah 1.855 kg/h yang menggambarkan
bahwa penggantian varietas layak untuk dilakukan
jika penggantian tersebut dapat meningkatkan
produktivitas (yield) padi minimal 1.855 kg/ha.
Dengan kata lain, produktivitas padi unggul yang
dicapai petani harus lebih tinggi dari 4.455 kg/ha.
Dari hasil analisis titik impas harga padi
pada Tabel 6 sebesar Rp 1.885 atau dengan
tambahan produksi 2.000 kg/ha, penggantian
varietas bisa dilakukan jika penurunan harga tidak
sampai di bawah Rp 1.883,-/kg. (Harga semula
=Rp.4.500/kg). Jika harga tetap Rp 4.500/kg, maka
perubahan varietas sangat layak diusahakan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pendekatan paket teknologi pola tanam terpadu
memiliki peluang yang cukup baik untuk
dikembangkaan di lahan tadah hujan untuk
Tabel 6. Analisis titik impas harga padi
No. Losses (Korbanan) Jumlah Gains (Perolehan) Jumlah
1 Tambahan biaya benih 30.500 Tambahan penerimaan
2 Tambahan biaya pupuk dari kenaikan produksi
Urea :68 kg @Rp2000 136.000 2000xHy 2000Hy
NPK 33 kg @ Rp2300 75.900
KCl 94 kg @Rp10200 958.800
Organik 550 kg @Rp1000 550.000
3 Tambahan biaya pembenah tanah
Kapur 500 kg @Rp 1360 680.000
4 Tambahan biaya herbisida
Herbisida 3,96 @Rp 65000 257.400
5 Tambahan biaya pestisida 297.000
6 Tambahan biaya memupuk 200.000
7 Tambahan bunga modal 153.840
8 Tambahan biya panen 0,1dY*2000*Hy
Total Losess (Rp) 333.440+HY2000 Total Gains (Rp) 2000Hy
3.338.940 + 200 Hy = 2000Hy
1.800 Hy = 3.338.940
Hy =1.883
Tabel 5. Analisis anggaran perubahan varietas dan tambahan produksi produksi
Losses (Korbanan) Jumlah (Rp) Gains (Perolehan) Jumlah (Rp)
Perubahan Varietas
Tambahan biaya produksi 4.238.940 Tambahan penerimaan dari
kenaikan produksi 200 kg;
@Rp 4.500
9.000.000
Total Losess (Rp) 4.238.940 Total Gains (Rp) 9.000.000
Tambahan keuntungan 4.761.060
Marginal B/C 2,12 Analisis Titik Impas Tambahan Produksi Padi
Tambahan Biaya Produksi 3.338.940 Tambahan penerimaan dari
kenaikan produksi dY =
@4.500
2000dY
Tambahan biaya panen 0,1dY*2000
Total Losess (Rp) 3.338.940 Total Gains (Rp) 2000dY
66 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68
menggantikan pola petani. Hasil padi Inpara 3
sekitar 4,6 ton GKP/ha akan meningkatkan
produksi di lahan tadah hujan secara siginikan
sekitar 76,92%. Hal ini akan menunjukkan bahwa
lahan tadah hujan dapat memberi sumbangan besar
terhadap program peningkatkan poduksi beras
nasional.
KESIMPULAN
Penerapan paket teknologi pengelolaan
tanaman terpadu varietas inpara 3, pemupukan
urea 50 kg/ha, NPK 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha,
pupuk organik 500 kg/ha dan pengapuran 500
kg/ha dapat meningkatkan produktivitas padi
sektiar 76,92%, dibandingkan cara petani.
Teknologi pengelolaan tanaman terpadu dapat
kembangkan dari aspek finansial (MBCR>1) pada
lahan sawah tadah hujan kawasan perbatasan
Paloh, Kabupaten Sambas.
Penerapan paket teknologi pengelolaan
tanaman terpadu dapat meningkatkan pendapatan
petani sekitar Rp.5.338.000,- per ha per musim
dibandingkan petani. Tambahan biaya yang
diperlukan untuk penerapan teknologi pengelolaan
tanaman terpadu sekitar Rp.3.662.000,/ha-
(62,07%).
Untuk meningkatkan hasil padi pada lahan
sawah tadah hujan memerlukan kombinasi pupuk
organik, anorganik serta pemberian pembenah
tanah untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Adri dan Yardha. 2014. Upaya peningkatan
produktivitas padi melalui varietas unggul
baru mendukung swasembada berkelanjutan
di Provinsi Jambi. Jurnal Agroekotek, vol. 6
(1):1-11.
A. Sembiring dan R. Rosliani. 2014. Analisis
anggaran parsial rakitan komponen
teknologi pengelolaan tanaman kentang
secara terpadu di dataran tinggi. Jurnal
Hortikultura, vol. 2 (4):385-392.
Asnawi, R. 2014. Peningkatan produktivitas dan
pendapatan petani melalui penerapan model
penerapan model pengelolaan tanaman
terpadu padi sawah di Kabupaten
Pesawaran, Lampung. Jurnal Peneltian
Pertanian Terapan, vol.14 (1):44-52.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. 2015.
Kabupaten Sambas 2015 dalam angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. 2015.
Kecamatan Paloh dalam angka 2015. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Sambas.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. 2011. Panduan
metodologi pengkajian. BBP2TP. Badan
Litbang Pertanian.
Balasubramanian, V.R. Rajendran, V. Ravi, N.
Chellaiah, E. Castro, B. Chandrasekaran, T.
Jayaraj, and S. Ramanantah. 2005.
Integreted crop management for enchancing
yield, factor productivity and profitability in
Asian rice farms. International Rice
Commision Newsletter 54:63-72.
Basuki, S dan W. Haryanto. 2013. Antisipasi
pengurangan risiko finansial pada usahatani
padi (studi kasus di Kabupaten Brebes).
Prosiding Seminar Nasional: Menggagas
Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal
Pertanian dan Kelautan. Fakultas Pertanian
Universitas Tronojoyo Madura.
Djufri, F dan A. Kasim. 2015. Uji adaptasi varietas
unggul baaru padi rawa pada lahan sawah
bukaan baru di Kabupaten Merauke ke
Provinsi Papua. Jurnal Agrotan, vol.1
(1):99-109.
Hidayat, Y., Y. Saleh, dan M. Waralya. 2012.
Kelayakan usahatani padi varietas unggul
baru melalui PTT di Kabupaten Halmahera
Tengah. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan, vol. 31 (3):166-172.
67Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan
Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)
Ikhawani, G.R. Pratiwi, E. Paturrohman, dan
A.K.Makarim. 2013. Peningkatan
produktivitas padi melalui penerapan jarak
tanam legowo. Iptek Tanaman Pangan 8(2).
Koesrini, M. Saleh, dan D. Nursyamsi. 2013.
Keragaan varietas inpara di lahan rawa
pasang surut. Pangan 22 (3):221-228.
Kusmiatun, H, Rumiyadi, dan Sumardi. 2012.
Pengaruh penerapan pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) dan non (PTT) pada usaha
tani padi terhadap pendapatan petani di
Kecamatan Bae Kabupaten Kudus.
Agromeda, vol.30 (2):1-13.
Las,I., A.K. Makarim, Sumarno, S. Purba, M.
Mardharini, dan S. Kartaatmadja. 1999. Pola
IP padi 300: konsepsi dan prospek
implementasi sistem usaha pertanian
berbasis sumberdaya. Jakarta. Badan
Litbang Pertanian.
Maulana, M. 2004. Peranan luas lahan, intensitas
pertanaman dan produktivitas sebagai
sumber pertumbuhan padi sawah di
Indonesia 1980-2001. JAE, vol. 22 (1):74-
95.
Mayona, E.L, Salahudin, dan R.Kusmastuti. 2011.
Penyusunan arahan strategi dan prioritas
pengembangan perbatasan antar negara di
Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Tata
Loka, vol.13 (2):119-134.
Maintang. 2012. Pengelolaan tanaman terpadu dan
teknologi pilihan petani: Kasus Sulawesi
Selatan. Iptek Tanaman Pangan, vol. 7
(2):88-97.
Nurita S, T. Sugiati, T. Kartinaty, J.C. Kilmanun,
T.Purba, Panut, J.D.Haloho, R. Warman, D.
Anshory, U. Abdullah, M. Zurhan, dan
Aswanto. 2010. Laporan akhir hasil
pendampingan: pendampingan SLPTT padi
dan jagung pada >60% SLPTT padi dan
jagung dengan peningkatan produktivitas
>15%. BPTP Kalimantan Barat.
Nurita S, T. Sugiati, T. Kartinaty, J.C. Kilmanun,
T. Purba, Panut, J.D. Haloho, R. Warman,
D. Anshory, U. Abdullah, M. Zurhan, dan
Aswanto. 2014. Laporan akhir hasil
pendampingan: pendampingan program
strategis Kementerian Pertanian:
pendampingan program PTT padi, jagung
dan kedelai. BPTP Kalimantan Barat.
Pane, H, Ismail, BP., I.P Wardana, Karsidi, P.,
K.Pirgadi, dan H.M. Toha. 2002.
Perssepektif peningkatan produksi padi di
lahan sawah tadah hujan. Balai Penelitian
Tanaman Padi 16p.
Partohardjono, S., J.S.Adiningsih, dan I.G.Ismail.
1990. Peningkatan produktivitas lahan
kering beriklim basah melalui teknologi
sistem usahatani In:M.Syam el al (eds)
Risalah lokakarya penelitian sistem
usahatani di lima agroekosistem. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. pp.47-62
Pringadi, K dan A.K.Makarim. 2006. Peningkataan
produktivitas padi pada lahan sawah tadah
hujan melalui pengelolaan tanaman terpadu.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
25(2):116-123.
Sembiring, H. 2007. Kebijakan penelitian dan
rangkuman hasil penelitian BB Padi dalam
mendukung peningkatan produksi beras
nasional. Apresiasi Hasil Penelitian Padi
2007.
Setiawan, K dan F.A.Fallo. 2008. Analisis
anggaran parsial penggunaan pupuk bokasi
dan super aci pada tanaman cabai. Partner
tahun 2015 (1):99-103.
Sumarno, U.G. Kartasasmita, Z. Zaini, dan L.
Hakim. 2009. Senjang adopsi teknologi dan
senjang hasil padi sawah. Iptek Tanaman
Pangan, vol.4 (2): 116-130.
Swastika, D.K.S. 2014. Beberapa analisis dalam
penelitan dan pengkajian teknologi
pertanian. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, vol.7
(1):90-103.
68 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68
Toha, H.M. 2007. Peningkatan produktivitas padi
gogo melalui penerapan pengelolaan
tanaman terpadu dengan introduksi varietas
unggul.
Widyantoro dan H.M.Toha. 2010. Optimalisasi
pengelolaan padi sawah tadah hujan melalui
pendekatan pengelolaan tanaman terpadu.
Prosiding Pekan Serelia Nasional. pp: 648-
657.
Zaini, Z., Elma Basri, Fauziah Y., Andriyani, dan
A.Irawati. 2006. Pengelolaan tanaman dan
sumber daya terpadu padi sawah di lahan
irigasi Provinsi Lampung. Prosiding
Seminar Nasional Hasil-Hasil
Penelitian/Pengkajian Spesifik Lokasi. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
.
69 Pertumbuhan Indigofera sp pada Sela Pertanaman Kelapa di Kabupaten Sigi (Wardi, Andi Baso
Lompengeng Ishak, dan Muhamad Takdir)
PERTUMBUHAN INDIGOFERA sp PADA SELA PERTANAMAN KELAPA DI
KABUPATEN SIGI
Wardi , Andi Baso Lompengeng Ishak dan Muhamad Takdir
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso No 62 Biromaru Sigi, Palu ,Sulawesi Tengah
ABSTRACT
Indigofera Sp Growth in Between Coconut Plant on Sigi District. Hijauan pakan ternak (HPT) memegang
peranan penting dalam peternakan sapi potong. Ketersediaan HPT terutama saat musim kemarau merupakan
permasalahan yang selalu akrab dengan peternak di Sulawesi Tengah. Implementasi introduksi tanaman Indigofera
sp pada sela pertanaman kelapa adalah menjadi salah satu alternatif solusi kontinuitas dan ketersediaan pakan
berkualitas sepanjang tahun. Metode yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan pemupukan
P1, P2, P3, P4 dan P5 serta parameter yang diamati antara lain tinggi tanaman, jumlah cabang serta produksi
bahan segar. Hasil kajian menunjukkan semua perlakuan pemupukan memiliki potensi yang sama terhadap berat
segar, tinggi tanaman dan jumlah cabang atau perlakuan pemupukan yang diberikan tidak ada perbedaan yang
nyata terhadap parameter yang diamati. Kajian introduksi Indigofera di sela pertanaman kelapa sangat adaptif
terhadap lahan di bawah tegakan kelapa. Dengan demikian hal ini dapat dijadikan solusi alternatif terhadap
permasalahan keterbatasan HPT pada peternakan rakyat.
Keywords: Indigofera, Potensi, Sela Kelapa
ABSTRAK
Hijauan pakan ternak (HPT) memegang peranan penting dalam peternakan sapi potong. Ketersediaan HPT terutama
saat musim kemarau merupakan permasalahan yang selalu akrab dengan peternak di Sulawesi Tengah. Implementasi
introduksi tanaman Indigofera sp pada sela pertanaman kelapa adalah menjadi salah satu alternatif solusi kontinuitas
dan ketersediaan pakan berkualitas sepanjang tahun. Metode yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
perlakuan pemupukan P1, P2, P3, P4 dan P5 serta parameter yang diamati antara lain tinggi tanaman, jumlah cabang
serta produksi bahan segar. Hasil kajian menunjukkan semua perlakuan pemupukan memiliki potensi yang sama
terhadap berat segar, tinggi tanaman dan jumlah cabang atau perlakuan pemupukan yang diberikan tidak ada
perbedaan yang nyata terhadap parameter yang diamati. Kajian introduksi Indigofera di sela pertanaman kelapa
sangat adaptif terhadap lahan di bawah tegakan kelapa. Dengan demikian hal ini dapat dijadikan solusi alternatif
terhadap permasalahan keterbatasan HPT pada peternakan rakyat.
Kata kunci: Indigofera, Potensi, Sela Kelapa
PENDAHULUAN
Hijauan Pakan Ternak (HPT) memegang
peranan penting dalam kehidupan ternak
ruminansia, khususnya sapi potong. Kekurangan
pakan serat dalam arti mutu dan ketersediaan
terutama saat musim kemarau merupakan masalah
yang selalu akrab dengan peternak di Sulawesi
Tengah. Walaupun pakan tersedia sepanjang tahun,
namun jumlah dan jenis pakan masih terbatas.
Peternak umumnya hanya mengandalkan rumput
alam dan jenis pakan lokal seperti daun beringin,
daun kapok dan sebagainya, yang kandungan
nutrisinya relatif rendah.
Disisi lain, luas lahan produktif seperti di
sela tanaman perkebunan kelapa masih sangat luas
dan belum termanfaatkan secara optimal. Menurut
BPS Sulteng (2017) data luas pertanaman kelapa
70 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:69-71
di Sulawesi Tengah mencapai 215 ribu ha,
sedangkan untuk wilayah kabupaten Sigi
mempunyai luasan perkebunan kelapa mencapai
5.984 Ha. Hal ini diperkirakan berpotensi dan
memungkinkan dimanfaatkan sebagai lahan untuk
penanaman HPT yang berkualitas di sela
pertanaman kelapa. Integrasi ternak dengan
tanaman perkebunan juga cukup potensial, seperti
pada pertanaman kelapa (Purwantari et al 2014).
Bagi ternak produktif, idealnya pakan yang
diberikan terdiri atas 60% rumput-rumputan dan
40% hijauan leguminosa. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut maka strategi yang paling
praktis dilakukan oleh peternak adalah dengan
menanam sendiri HPT yang berkualitas dan adaptif
pada lahan kosong di bawah pertanaman kelapa,
seperti jenis legum unggul yaitu Indigofera sp.
Introduksi legum pada lahan pertanaman kelapa
merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mencukupi kebutuhan protein ternak yang
pada dasarnya hanya berupa rumput alam yang
memiliki nilai gizinya relatif rendah. Introduksi
legum Indigofera sp per ha pada perkebunan
kelapa mampu menampung sekitar ± 148 – 197
pohon/ha, dapat bertahan hidup pada intensitas
cahaya < 30% untuk tanaman dewasa, kelembaban
tanah di kedalaman 10 pada jarak 5 meter 4,8%
(Hassen et al., 2007). Salah satu jenis leguminosa
yang toleran pada lahan suboptimal kondisi tanah
kering, tanah kadar garam, asam, serta logam berat
adalah Indigofera sp (Hassen et al., 2007).
Indigofera sp termasuk golongan leguminosa
pohon yang tahan terhadap naungan dan tahan
kekeringan (Smith, 1992); tahan genangan dan
salinitas (Simanihuruk dan Sirait, 2009). Kajian
lain Abdullah (2010) melaporkan bahwa
indigofera sp sangat cocok dibudidayakan di lahan
kering untuk mengantisipasi rendahnya nilai nutrisi
limbah pertanian sebagai pakan ternak pada musim
kemarau.
Pemilihan Indigofera sp sebagai sumber
protein pakan akan meningkatkan efisiensi
pemeliharaan ternak terutama untuk mendukung
Low Eksternal Input Sustainable Agriculture
(LEISA). Chen (1990) melaporkan bahwa pada
konsep pertanian campuran (mix farming)
intensitas cahaya seiring pertumbuhan tanaman
utama perlu diperhatikan. Allen dan Allen (1981)
melaporkan bahwa leguminosa Indigofera sp
mengandung protein 12,5 – 20,7% bahkan bisa
mencapai 23%. Indigofera sp pertama kali
diperkenalkan oleh Gillet tahun 1958 dan pada
tahun 1971 telah diketahui ada 145 spesies (Thulin
1982). Hasil penelitian Tarigan dan Ginting
(2011) melaporkan bahwa suplementasi Indigofera
sp dalam ransum kambing akan meningkatkan
kecernaan bahan organik, kecernaan bahan kering,
NDF, ADF dan konsumsi pakan.
Berdasarkan uraian latar belakang yang
telah dijelaskan di atas maka kajian ini bertujuan
untuk mengkaji pengaruh pemberian pupuk
terhadap peningkatan produktivitas tanaman
Indigofera sp pada sela pertanaman kelapa. Hasil
dari kajian ini dapat dijadikan rekomendasi solusi
alternatif terhadap permasalahan keterbatasan
hijauan pakan ternak (HPT) pada peternakan
rakyat di kabupaten Sigi.
METODE
Persemaian Benih Indigofera sp
Sebelum ditanam di lahan lokasi
pengkajian jenis legum yakni Indigofera sp.
Legum indigofera sp, terlebih dahulu disemaikan
pada lahan persemaian kebun percobaan Sidondo
Kec. Sigi Biromaru Kab. Sigi, dengan ukuran 1,5 x
75 cm yang dibuat setinggi 30 cm dari permukaan
tanah sekitarnya. Media persemaian terdiri dari
campuran tanah dan pupuk organik dengan
perbandingan 1 : 2.
Sebelum disemai, biji legum indigofera sp
direndam selama satu malam dengan air hangat,
lalu di tiriskan dan kemudian di tebar pada media
persemaian. Bibit legum indigofera sp dipindahkan
ke polybag setelah 14 hari di persemaian, atau saat
telah tumbuh/keluar daun 3 - 5 helai (tinggi 10
cm). Selama dalam masa perbibitan pertumbuhan
tanaman legum di amati setiap 2 minggu, sampai
umur 75 hari sebelum di pindahkan ke lahan
pengkajian. Pengamatan dan pengambilan data
pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman dan
71 Pertumbuhan Indigofera sp pada Sela Pertanaman Kelapa di Kabupaten Sigi (Wardi, Andi Baso
Lompengeng Ishak, dan Muhamad Takdir)
jumlah daun yaitu pada umur 45 hari dan 75 hari
selanjutnya data hanya ditabulasi kedalam grafik
dan tidak dilakukan analisa ANOVA.
Introduksi Indigofera sp di Sela Tanaman
Kelapa
Kegiatan kajian introduksi legum pada
lahan di sela pertanaman kelapa untuk penyediaan
pakan ternak di Sulawesi Tengah dilaksanakan
pada bulan Januari - Desember 2017. Lokasi
kegiatan di Desa Bulubete Kecamatan Dolo
Selatan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah dengan
areal pertanaman kelapa seluas ± 2,0 Ha dengan
usia kelapa masa produksi.
Indigofera sp yang telah berumur 75 hari
di polybag dipindahkan ke lahan pengkajian
melalui tahapan; pembuatan lubang tanam,
penanaman dan penimbunan kembali dengan
tanah. Lubang tanam dibuat dengan menggunakan
cangkul/sekop pada bedengan yang berukuran
lebar 1 meter, yang telah dibuat sebelumnya.
Kedalaman lubang tanam 15 - 20 cm dan diameter
10 - 15 cm. Penanaman dilakukan dengan cara;
bibit legum dikeluarkan dari dalam polybag
dengan cara menyobek plastik polybag, setelah itu
dimasukan/dibenamkan dalam lubang tanam dan
ditimbun kembali. Legum tersebut ditanam pada
kedua sisi bedengan dengan jarak tanam indigofera
sp pada tiap bedengan adalah 1 meter x 1 meter
Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja
(Purpossive sampling) dengan pertimbangan
bahwa lokasi ini merupakan salah satu sentra
peternakan rakyat di wilayah Kabupaten Sigi,
berdasarkan rekomendasi dari dinas terkait.
Perlakuan pada introduksi legum indigofera sp di
sela pertanaman kelapa menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) yang di ulang 5 kali (Gomez
& Gomez, 1995). Adapun perlakuan yang diujikan
adalah jenis dan dosis pupuk sebagai berikut :
- Perlakuan 1 (P1) = pupuk urea 200 g /
pohon
- Perlakuan 2 (P2) = pupuk urea 100 g + ZA
50 g + TSP 50 g / pohon
- Perlakuan 3 (P3) = pupuk urea 50 g + ZA
75 g + TSP 75 g / pohon
- Perlakuan 4 (P4) = pupuk ZA 100 g /
pohon
- Perlakuan 5 (P5) = pupuk TSP 100 g /
pohon
Pengamatan dan pengambilan data
pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman,
jumlah cabang dan produksi hijauan dalam bentuk
segar dilakukan setiap bulan yakni pada umur 30,
60 dan 90 HST. Hasil pengamatan yang akan di
analisa adalah 90 HST untuk legum indigofera sp
di sela pertanaman kelapa dengan mengunakan
metode analisis varian (ANOVA), apabila berbeda
nyata maka akan dilanjutkan dengan uji beda nyata
terkecil LSD (Steel et al. 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Indigofera sp di Polybag
Jenis leguminosa yang di introduksikan
pada kegiatan ini yakni indigofera sp, sebelum di
tanam di sela pertanaman kelapa di bibitkan dahulu
dalam polybag hingga berumur 75 hari di kebun
percobaan (KP) Sidondo Kecamatan Sigi Biromaru
Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Total
hasil data dari pertumbuhan tanaman legum dari
pengamatan ditabulasi pada hari ke 45 dan 75.
Rata-rata pertumbuhan legum indigofera sp yaitu
tinggi tanaman dan jumlah daun disajikan
sebagaimana pada grafik pertumbuhan tanaman
Indigofera sp sebagai berikut.
Gambar 1. Pertumbuhan jenis legum Indigofera sp
masa perbibitan di polybag (sumbe data
diolah, 2018)
72 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:69-71
Pertumbuhan Legum Indigofera sp di Sela
Pertanaman Kelapa
Penanaman Indigofera sp di lahan lokasi
pengkajian dilakukan pada umur 75 hari di
perbibitan. Indigofera sp ditanam pada bedengan
berukuran lebar 1 meter di sela pertanaman kelapa.
Dimana dengan Jarak tanam legum dalam
bedengan adalah 1 x 1 meter. Pada saat tanaman
indigofera sp berumur 30 HST dilakukan
penyiangan, pjnyulaman tanaman yang mati dan
pemupukan dasar dengan menggunakan urea 100 g
per pohon.
Gambar 2. Ilustrasi lahan yang di tanami Indigofera sp
di Sela Pertanaman Kelapa
Pengamatan dan pengambilan data
pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman,
jumlah cabang dan produksi hijauan dalam bentuk
bahan segar dilakukan setiap bulan yakni pada
umur 30, 60 dan 90 hari setelah tanam (HST).
Rata-rata produksi hijauan legum Indigofera sp
yang diperoleh selama pengamatan dalam tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa tanaman
indigofera sp memperlihatkan pertumbuhan yang
relatif baik . Hal ini dikarena indigofera sp
memiliki tingkat toleransi dan mampu beradaptasi
lebih baik pada kondisi lahan kering beriklim
kering sebagaimana kondisi di lokasi pengkajian.
Hasil beberapa penelitian sebelumnya dilaporkan
bahwa pada kondisi lingkungan yang sama
Indigofera sp lebih memiliki produksi biomasa
yang tinggi. Menurut Hassen et al. (2007)
Indigofera sp merupakan jenis tanaman
leguminosa yang memiliki kandungan nutrisi dan
produksi tinggi dan sangat toleran terhadap
cekaman kekeringan, genangan dan tanah asam.
Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang dan Produksi Hijau
Indigofera sp di sela pertanaman kelapa berdasarkan umur pengamatan
Aspek
diamati
Umur
(HST)
Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5
Tinggi
tanaman
(cm)
30 79.6 ± 1.02 77.8 ± 1.33 82.6 ± 1.02 82.6 ± 1.33 81.6 ± 1.02
60 173 ± 2.0 172.8 ± 1.2 189 ± 1.1 183.4 ± 2.0 186.8 ± 2.0
90* 220.4 ± 2.1 220.8 ± 2.6 222.8 ± 7.0 216.2 ± 10.3 218 ± 10.7
Jumlah
cabang
30 19 ± 1.1 22.2 ± 1.2 21 ± 1.4 20.2 ± 1.2 21.4 ± 1.0
60 24.4 ± 1.0 23.2 ± 1.2 23.4 ± 1.0 23.6 ± 1.0 23.8± 1.2
90* 27.6 ± 5.2 26.8 ± 5.8 28 ± 4.6 26.4 ± 3.0 24.6 ± 3.0
Produksi
Hijauan
(kg)
30 - - - - -
60 - - - - -
90* 5.50 ± 2.6 7.48 ± 3.1 5.20 ± 2.7 7.66 ± 1.4 4.78 1.4
Ket : * hasil uji statistik menunjukan (P> 0.05) berarti Perlakukan tidak berbeda nyata ;
- Produksi Segar Tidak diambil pada 30, 60 (HST) Sumber : Data diolah, 2018
73 Pertumbuhan Indigofera sp pada Sela Pertanaman Kelapa di Kabupaten Sigi (Wardi, Andi Baso
Lompengeng Ishak, dan Muhamad Takdir)
Perlakuan pemberian pupuk dengan jenis
dan dosis berbeda dilakukan setelah tanaman
Indigofera sp di panen serentak yakni pada umur
90 HST. Pada tahap ini, pengambilan data
pengaruh perlakuan pada aspek produksi hijauan
segar yakni bagian daun dan batang edible, jumlah
batang dan tinggi tanaman. Menurut Shehu et al.
(2001) bahwa rasio daun/batang pada leguminosa
pohon sangat penting, karena daun merupakan
organ metabolisme dan kualitas leguminosa pohon
dipengaruhi oleh rasio daun/batang. Semakin
banyak jumlah daun, kualitas leguminosa tersebut
semakin baik, karena daun merupakan bagian
jaringan tanaman yang memiliki kandungan
nutrisi paling tinggi dibandingkan dengan
batang/ranting.
Berdasarkan hasil panen pada jenis legum
Indigofera sp 90 HST pasca perlakuan diperoleh
rata-rata produksi hijauan segar sebagaimana pada
tabel 1 memperlihatkan hasil yang berbeda pada
setiap perlakukan, dengan kisaran berat segar yang
dihasilkan antara 5.5 – 7.6 Kg. Menurut Sirait et
al. (2009) menyatakan indigofera sp dapat
berproduksi secara optimum pada umur delapan
bulan dengan rata-rata produksi biomasa segar per
pohon sekitar 2,595 kg/panen, rasio produksi daun
per pohon 967,75 g/panen (37,29%) dan produksi
batang per pohon 1627,25 g/panen (63,57%)
dengan total produksi segar sekitar 52
ton/ha/tahun.
Hasil berat segar yang dihasilkan dari
Indigofera sp rataan terkecil 5.5 kg/pohon jika
dikalikan dengan jumlah pohon yang ditanam di
sela pertanaman kelapa dalam 1 ha dapat
menghasilkan HPT sekitar 2,20 ton/ha. Satu ST
disetarakan dengan satu ekor sapi betina dewasa
yang memiliki bobot badan 350 kg dengan
mengkonsumsi 35 kg rumput atau hijauan segar
atau setara dengan 9,1 kg rumput kering pada
kondisi bahan kering 100%. Penyeragaman
populasi ternak ruminansia dalam satuan ternak
(ST) mengikuti Ashari dkk (1999) yaitu satu ekor
sapi potong atau perah setara dengan 1 ST. Jika
kebutuhan pakan ternak sapi potong dewasa
membutuhkan hijauan sebanyak 35 kg/ekor/hari.
Maka dalam 1 Ha HPT Indigofera sp yang
dihasilkan dapat mencukupi kebutuhan pakan
ternak sapi potong dewasa sebanyak 62,8 ST.
Merujuk pada perlakukan pupuk yang
dilakukan secara umum mempunyai potensi yang
sama untuk semua perlakuan dikarenakan untuk
P>0.05 maka semua perlakuan pemupukan
memiliki potensi yang sama terhadap berat segar,
tinggi tanaman dan jumlah cabang, dengan kata
lain tidak ada perbedaan yang nyata antara
perlakuan P1, P2, P3, P4 dan P5. Namun
mempengaruhi sedikit terhadap hasil berat segar
terhadap produktivitas indigofera sp. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdull ah
et al. (2010), mengungkapkan bahwa aplikasi
pupuk daun dapat memperbaiki produksi hijauan
tanaman Indigofera sp, total produksi daun, rataan
tinggi tanaman, rataan jumlah cabang, rataan
persentase pucuk terhadap total daun dan rasio
daun-batang.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Introduksi tanaman Indigofera sp di sela
pertaman kelapa mempunyai karateristik tingkat
tinggi tanaman, jumlah cabang dan produksi
hijauan yang sangat adaptif terhadap lahan
beriklim kering di bawah tegakan kelapa.
Perlakuan jenis dan dosis pupuk berbeda
memberikan respon atau potensi yang sama (tidak
berbeda nyata) pada tingkat tinggi tanaman, jumlah
cabang dan produksi hijauan hasil panen pada
tanaman Indigofera sp.
Saran
Indigofera sp dapat menjadi solusi
alternatif terhadap permasalahan keterbatasan HPT
pada peternakan rakyat di Kabupaten Sigi. HPT ini
Diharapkan dapat dikembangkan secara luas di
kabupaten Sigi khususnya di sela pertanaman
kelapa.
74 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:69-71
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis memberikan ucapan terimaksih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penulisan karya tulis ilmiah kepada Arief
Cahyono, S.St sudah membantu dalam berdiskusi
dan Yusti Pujiawati, M.Si memberikan literatur,
dan tentunya kepada Dr. drh. Wasito, M.Si yang
telah menjadi pembimbing dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah L. 2010. Herbage production and quality
of shrub Indigofera treated by different
concentration of foliar fertilizer. Media
Peternakan. 32:169-175.
Allen ON, Allen E K, 1981. The Leguminosae, A
Source Book of Characteristic,Uses and
Nodulation. Wisconsin. The University of
Wisconsin Press.
Anguiano J M, Aguirre J, Palma J M, 2011.
Establishment of Leucaena leucocephala
with high sowing density undercoconut
(Cocusnucifera) tree. Cuban Journal of
Agricultural Science, Volume 46, Number 1
: 103 – 107.
Arachchi LP V, Liyanage M D S, 1983. Soil
physical conditions and root growth in
coconut plantations interplanted with
nitrogen fixing trees in Sri Lanka.
Agroforestry Systems 39: 305–318.
Aryogi, Sumadi, Hardjosubroto W. 2005.
Performan Sapi Silangan Peranakan Ongole
di Dataran Rendah (Studi Kasus di
Kecamatan Kota Anyar Kabupaten
Probolinggo Jawa Timur). Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor12 - 13 September 2005.
Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Ashari, F., E. Juarini, Sumanto, B. Wibowo,
Suratman, 1995. Pedoman Analisis Potensi
Wilayah Penyebaran dan Pengembangan
Peternakan. Balai Penelitian Ternak dan
Direktorat Bina Penyebaran dan
Pengembangan Peternakan. Jakarta
Bamualim A, Subowo G, 2010. Potensi dan
peluang pengembangan ternak sapi di lahan
perkebunan Sumatera Selatan. Prosiding
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi
Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Litbang
Pertanian. Kementerian Pertanian.
Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Sulawesi
Tengah dalam Angka 2015. Palu . Badan
Pusat Statistik Sulawesi Tengah
Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi Sulawesi
Tengah dalam Angka 2017. Palu . Badan
Pusat Statistik Sulawesi Tengah
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan.2017. Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Impor Komoditi
Pertanian Subsektor Peternakan.
http://database.pertanian.go.id/eksim2012as
p/hasilimporSubsek.asp. Jakarta
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan.2017. Pedoman Pelaksanaan Upaya
Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus
Siwab). Edisi Revisi 1. Jakarta
Bamualim, A M, 2011. Pengembangan teknologi
pakan sapi potong di daerah semi-arid Nusa
Tenggara. Pengembangan Inovasi Pertanian
4: 175-188.
Diwyanto K, Rusastra IW. 2013. Pemberdayaan
peternak untuk meningkatkan populasi dan
produktivitas sapi potong berbasis sumber
daya lokal. Pengembangan Inovasi Pertanian
6:105-118
Elly F.H., P. O. V. Waleleng, Ingriet D. R.
Lumenta dan F. N. S. Oroh , 2015.
Introduksi Hijauan Makanan Ternak Sapi Di
Minahasa Selatan. Jurnal Pastural Vol. 3 No.
1 : 5 – 8.
Gomez, KA, Gomez AA. 1995. Prosedur statistic
untuk penelitian. Sjamsuddin E, Baharsjah
JS, penyuting. Jakarta (Indonesia) : UI Press.
75 Pertumbuhan Indigofera sp pada Sela Pertanaman Kelapa di Kabupaten Sigi (Wardi, Andi Baso
Lompengeng Ishak, dan Muhamad Takdir)
Kementerian Pertanian RI.2016. Keputusan
menteri Pertanian Tentang Upaya Khusus
Percepatan Peningkatan Populasi Sapi Dan
Kerbau Bunting. Tanggal 3 Oktober 2016.
Jakarta
Lasamadi RD, Malalantang SS, Rustandi, Anis
SD.2013. Pertumbuhan dan perkembangan
rumput Gajah drawf (Pennisetum
purpureum cv.Mott ) yang diberi pupuk
organik hasil permentasi EM4. J Zootek. 32
:158-171
Nawas W, 2013. Mott grass. SlideShare Internet).
Available from :
http://www.slideshare.net/vicky14381/mott-
grass.
Purwantari N D, B Tiesnamurti, Y Adinata, 2014.
Ketersediaan Sumber Hijauan di Bawah
Perkebunan Kelapa Sawit
untukPenggembalaan Sapi. Wartazoa 4 : 047
– 054.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
2016. Supervisi dan Pendampingan Sapi
Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab).
Disampaikan pada Rapat koordinasi UPT
Lingkup Puslitbangnak dan BPTP. Tanggal
19 desember 2016. Bogor.
Steel RD, Torrie JH, Dickey DA. 1995. Principles
and procedures of statistics. A Biometrical
Approach. 3rd ed. New York (NY):
McGraw Hill. p. 665.
Sirait J, Tarigan A, Simanihuruk K. 2015.
Karakteristik Morfologi Rumput Gajah
Kerdil (Pennisetum purpureum cv Mott)
pada Jarak Tanam Berbeda di Dua
Agroekosistem di Sumatera Utara. Prosiding
Semnas Teknologi Peternakan dan Veteriner
2015.
Susanti, A.E., A. Prabowo dan J. Karman. 2013.
Identifikasi dan Pemecahan Masalah
Penyediaan Pakan Sapi Dalam Mendukung
Usaha Peternakan Rakyat di Sumatera
Selatan. Prosiding. Seminar Nasional
Peternakan Berkelanjutan. Inovasi
Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan
Pangan. Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran, Bandung. p: 127-132.
Takdir M, Munier FF. 2013. Kondisi Peternak dan
Keragaan Pengelolaan Reproduksi Sapi
Betina Di Lokasi Pendampingan Program
PSDS-K Sulawesi Tengah. Dalam:
Mardiana, Haryono P, Padang IS,
Irmadamayanti A, Dewi M, Biolan H, et al.,
penyunting. Akselerasi Inovasi dan
Diseminasi Teknologi Menuju Kemandirian
dan Ketahanan Pangan Berbasis
Sumberdaya Genetik Lokal. Prosiding
Seminar Nasional. Palu 18 Maret 2013.
Bogor (Indonesia): Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
hlm. 1101-1111.
Thulin M, 1982. New and noteworthy species of
Indigofera (Leguminosae) from NE Africa.
Nord. J. Bot. 2 : 41 – 50.
77Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim
(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)
WAKTU TANAM PADI SAWAH RAWA PASANG SURUT PULAU KALIMANTAN
MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
Nur Wakhid1 dan Haris Syahbuddin
2
1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru, Indonesia
2Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 10, Bogor, Indonesia
Email: nurwakhid999@gmail.com
ABSTRACT
Cropping Time of Tidal Swamp Paddy in Kalimantan Island to Face Climate Change. One of the critical
factors for agricultural cultivation in tidal swamp land is cropping time. Paddy cropping time has a very important
role in production of agricultural cultivation. Currently, there are 3 cropping times in Indonesia which area in the
rainy season (November to February), first of dry season (March to June), and second of dry season, (July to
October). However, the climate change dynamic such as drought (El Nino) and wetness (La Nina) has shifted the
cropping time and resulted a negative impact on the productivity of paddy rice. Therefore, an analysis of the rice
cropping time needs to be done on Kalimantan tidal swampland areas. Cropping time in the tidal swampland area
began after the amount of rain was sufficient to dissolve the levels of iron in water. In West Kalimantan, the cropping
time realization generally occurs in Dasarian 28 (October), while East Kalimantan on Dasarian 31 (November), and
South Kalimantan and Central Kalimantan on Dasarian 7 (March). Cropping time in tidal swamp land showed a
high level of substantiality to climate change, in which planting time did not change for 10 years in different climatic
conditions.
Keywords: decade, tidal, rainwater, substantiality
ABSTRAK
Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya pertanian di lahan rawa pasang surut adalah waktu tanam.
Waktu tanam tanaman pangan terutama padi mempunyai peranan sangat penting terhadap produksi akhir hasil
pertanian. Di Indonesia saat ini dikenal tiga Musim Tanam, yaitu musim hujan, antara bulan November-Pebruari,
musim kemarau I, antara bulan Maret-Juni; dan musim kemarau II, antara bulan Juli-Oktober. Akan tetapi,
dinamika perubahan iklim seperti kekeringan (El Nino) dan kebasahan (La Nina) yang tidak menentu, berimbas
pada pergeseran awal dan akhir musim tanam serta berdampak negatif bagi produktivitas tanaman padi. Oleh
karena itu, analisis tentang waktu tanam padi di lahan rawa pasang surut Pulau Kalimantan perlu dilakukan. Waktu
tanam di lahan pasang surut dimulai setelah jumlah air hujan mencukupi untuk melarutkan kadar besi yang ada di
dalam air. Di Provinsi Kalimantan Barat umumnya realisasi tanam terjadi pada Dasarian 28 (Oktober), Kalimantan
Timur pada Dasarian 31 (November), serta Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah Dasarian 7 (Maret). Waktu
tanam di lahan rawa pasang surut menunjukkan tingkat kekukuhan yang tinggi terhadap perubahan iklim yaitu
waktu tanam tidak terlalu berubah selama 10 tahun pada kondisi iklim berbeda.
Kata kunci: dasarian, luapan, air hujan, kekukuhan
78 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86
PENDAHULUAN
Rawa merupakan wadah air beserta air
dan daya air yang terkandung di dalamnya,
tergenang secara terus menerus atau musiman,
terbentuk secara alami di lahan yang relatif datar
atau cekung dengan endapan mineral atau gambut,
dan ditumbuhi vegetasi yang merupakan suatu
ekosistem (PP RI No. 73 Tahun 2013). Lahan rawa
merupakan salah satu lahan sub optimal yang layak
dikembangkan untuk pertanian. Di Indonesia,
terdapat hampir 30% dari 33,4 juta ha lahan rawa
layak dikembangkan untuk budidaya pertanian
(Haryono, 2012). Lahan rawa tersebut tersebar di
seluruh pulau di Indonesia khususnya Pulau
Kalimantan dengan luasan lahan rawa terbesar
(Ritung, 2011). Berdasarkan pengaruh pasang
surut, lahan rawa dibagi menjadi 2 zona yaitu
lahan rawa pasang surut dan non pasang surut atau
rawa lebak. Lahan rawa pasang surut dipengaruhi
oleh gerakan air pasang surut laut dan atau sungai,
baik langsung maupun tidak langsung, dan
merupakan lahan rawa dominan yang ada di
Indonesia. Berdasarkan perbedaan topografinya,
lahan rawa pasang surut dibagi menjadi beberapa
tipe luapan air: (1) Tipe luapan A, yaitu lahan yang
terluapi oleh pasang besar dan kecil, (2) Tipe
luapan B, yaitu lahan yang terluapi oleh pasang
besar saja, (3) Tipe luapan C, yaitu lahan yang
tidak terluapi air pasang, tetapi tinggi muka airnya
dangkal, dan (4) Tipe luapan D, yaitu lahan yang
tidak terluapi air pasang dan tinggi muka airnya
dalam (BBSDLP, 2006).
Pengembangan pertanian di lahan rawa
pasang surut merupakan salah satu hal yang perlu
dilakukan. Lahan pasang surut telah menjadi
sumber pencaharian penting bagi masyarakat
sekitarnya (Sahuri et al., 2014). Kebutuhan beras
di Indonesia diperkirakan meningkat sampai 2%
setiap tahunnya. Di sisi lain, terjadi penurunan
lahan subur pertanian di Pulau Jawa, akibat
konversi lahan yang juga meningkat setiap
tahunnya (Haryono, 2012). Produktivitas padi di
Indonesia juga dilaporkan semakin mengalami
penurunan (Kusnadi et al., 2011). Padahal potensi
lahan rawa pasang surut di Indonesia masih sangat
besar. Dari 9,45 juta ha lahan rawa pasang surut
yang dapat dijadikan lahan pertanian, baru 4,2 juta
ha yang telah direklamasi dan dimanfaatkan baik
oleh petani lokal, penempatan areal transmigrasi
dan petani pendatang lainnya (Nugroho et al.,
1993).
Pemanfaatan lahan rawa pasang surut
untuk pertanian memang tidak mudah karena
dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satu faktor
penentu kebehasilan budidaya pertanian di lahan
rawa pasang surut adalah waktu tanam. Waktu
tanam tanaman pangan terutama padi mempunyai
peranan yang sangat penting pada produksi akhir
hasil pertanian (Runtunuwu et al., 2011).
Penggesean waktu tanam walaupun hanya sekitar
10 hari (dasarian) berpotensi untuk menurunkan
hasil sampai 40% (Irianto, 2000). Di Indonesia saat
ini dikenal tiga Musim Tanam (MT), yaitu: (a) MT
I atau musim hujan (MH), antara bulan November
s/d Pebruari; (b) MT II atau musim kemarau I
(MK-I), juga disebut musim gadu, antara bulan
Maret s/d Juni; dan (c) MT III atau musim
kemarau II (MK-II), antara bulan Juli s/d Oktober.
Akan tetapi, dinamika perubahan iklim seperti
periode kekeringan (tahun El Nino) dan atau
kebasahan (tahun La Nina) yang tidak menentu,
berimbas pada pergeseran awal dan akhir musim
tanam serta berdampak negatif bagi produktivitas
tanaman, khususnya tanaman padi (Runtunuwu et
al., 2013). Oleh karena itu, analisis waktu tanam
padi di lahan rawa pasang surut Pulau Kalimantan
di tengah perubahan iklim perlu dilakukan.
METODOLOGI
Analisis waktu tanam dilakukan di sawah
rawa pasang surut Pulau Kalimantan hingga
tingkat kecamatan pada tahun 2011 sampai tahun
2012. Analisis dilakukan melalui dua tahap:
1. Analisis data sekunder meliputi: 1) Data luas
tanam 10 tahun terakhir (2000-2010) dari
Badan Pusat Statistik (BPS); 2) Data curah
hujan harian selama 10 tahun terakhir (2001-
2010) lahan rawal lebak pulau Kalimantan dari
stasiun iklim Badan Meteorologi, Klimatologi
79Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim
(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)
LUAS BAKU SAWAH
PASANG SURUT
LUAS TANAM
PER KECAMATAN
WAKTU TANAM PADI
SAWAH PASANG SURUT
SELAMA 10 TAHUN
WAKTU TANAM PADA KONDISI IKLIM YANG
BERBEDA
dan Geofisika (BMKG), Kementerian
Pekerjaan Umum (PU) dan Balai Proteksi
Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) di
Pulau Kalimantan; dan 3) Data prediksi sifat
hujan musim tanam 2011/2012 dari BMKG.
2. Survei acak daerah pertanaman padi dan
wawancara dengan petani di lapangan. Data
primer hasil wawancara petani meliputi tinggi
muka air atau genangan, puncak tanggal tanam,
rotasi tanaman, dan intensitas tanam.
3. Analisis waktu tanam menggunakan data
dasarian atau 10 harian, dimulai dari bulan
Januari sampai Desember dengan total 36
dasarian. Data dasarian digunakan untuk
penetapan waktu tanam karena mengikuti
rentang waktu dasarian data curah hujan yang
berkaitan erat dengan musim tanam (BMKG,
2014).
4. Analisis neraca beras di Pulau Kalimantan.
Data yang digunakan adalah luas panen atau
produksi padi Pulau Kalimantan dari BPS.
5. Analisis implikasi waktu tanam terhadap neraca
beras.
Bagan alur analisis dinamika waktu tanam padi di
sawah lahan rawa Pulau Kalimantan disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Bagan alur analisis waktu tanam padi di
sawah rawa pasang surut Pulau Kalimantan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Luas lahan sawah pasang surut di Pulau
Kalimantan
Total luas lahan sawah di Pulau
Kalimantan sekitar 2.798.749 ha, sekitar 394.910
ha berada di ekosistem rawa dan 78% nya adalah
sawah rawa pasang surut, sisanya berada di
ekosistem rawa lebak dan polder lainnya (BPS,
2011). Luas sawah pasang surut terluas di Provinsi
Kalimantan Selatan, diikuti Provinsi Kalimantan
Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Sawah pasang surut di Kalimantan Selatan
mencapai 168.826 ha (Gambar 2), dengan luas
lahan terluas di Kecamatan Tabunganen, Barito
Kuala. Puncak tanam di Kalimantan Selatan terjadi
pada bulan Maret seluas 96.164 ha. Sedangkan di
Kalimantan Tengah mencapai 77.235 ha, diikuti
Kalimantan Barat, seluas 57.637 ha dan
Kalimantan Timur seluas 7.527 ha (BPS, 2011).
Gambar 2. Luas sawah pada ekosistem rawa seluruh
provinsi di Pulau Kalimantan
Di seluruh Pulau Kalimantan, lahan sawah
lebih banyak diusahakan di rawa pasang surut,
meskipun dari sisi kesuburan tanah, lahan pasang
surut bersifat sangat masam, kahat unsur Fe, pirit
tinggi, dan dapat bersifat salin ketika musim
kemarau panjang. Instrusi air laut yang terus
menerus dan tidak dapat dinetralkan kembali
dengan keberlimpahan air dari daerah hulu,
menyebabkan lahan sawah pasang surut tipe
luapan A berubah fungsi menjadi tambak, seperti
80 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86
terjadi di Rawa Seragi, Lampung Selatan, serta
provinsi lainnya yang memiliki rawa. Intrusi air
laut dan berkurangnya ketersediaan air segar untuk
irigasi menyebabkan banyak lahan sawah pasang
surut yang semula dapat ditanami dua kali, menjadi
hanya dapat ditanami satu kali dalam setahun,
seperti banyak terjadi di Tarantang, Kabupaten
Barito Kuala. Selain itu, keengganan masyarakat
menggunakan pola tanam sawit dupa (unggul-
lokal) dalam bertanam padi dan ditambah dengan
peluang keuntungan yang lebih besar apabila
hamparan sawah pasang surut diubah menjadi
sistem surjan dengan pertanaman jeruk/karet/dan
tanaman buah/horti lainnya, menjadikan banyak
hamparan sawah di rawa pasang surut hanya dapat
ditanami satu kali dalam setahun.
Waktu tanam padi di lahan rawa pasang surut
Penetapan waktu tanam di lahan rawa ini
menggunakan luas lahan sawah rawa yang ada
pada masing-masing tipologi lahan. Karena
luasannya yang berubah-ubah mengikuti pola
fluktuasi pasang naik dan pasang surut muka air
laut pada rawa pasang surut, maka luas baku sawah
ini juga berubah-ubah. Pada analisis ini, data yang
digunakan adalah luas lahan sawah di rawa pasang
surut dan lebak per kecamatan tahun 2010.
Realisasi waktu tanam padi sawah rawa
pasang surut di Pulau Kalimantan menunjukkan
pola yang cukup berbeda, apalagi dibandingkan
waktu tanam lahan rawa lebak (Wakhid et al.,
2015). Waktu tanam puncak di Provinsi
Kalimantan Selatan mirip dengan pola di
Kalimantan Tengah dengan realisasi waktu tanam
terbanyak terjadi pada kisaran dasarian 7-10 atau
sekitar bulan Maret-April. Pola ini berlawanan
dengan waktu tanam di Provinsi Kalimantan Barat
dan Kalimantan Timur, karena waktu tanam
dominan terjadi pada dasarian 30-33 atau sekitar
bulan Oktober-November (Gambar 3). Pada
dasarnya, realisasi tanam petani padi sawah di
lahan rawa pasang surut terjadi setelah kejadian
hujan yang diperkirakan cukup untuk pengairan
sekaligus melarutkan kadar besi di dalam air.
Waktu tanam di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah dimulai sekitar bulan Maret.
Bulan-bulan tersebut sifat asam telah larut setelah
terjadinya curah hujan cukup lama. Selain itu, luas
sawah pasang surut di Kalimantan Selatan dan
Tengah lebih luas dibandingkan Kalimantan Barat
maupun Timur sehingga kemungkinan penanaman
setelah menunggu curah hujan beberapa waktu
menjadi sangat rasional. Jenis sawah pasang surut
yang dominan di Kalimantan Selatan dan Tengah
adalah sawah pasang surut tipe A dan B,
(BBSDLP, 2006). Pada kondisi tersebut, curah
hujan yang dibutuhkan lebih besar dan lama dari
pada sawah pasang surut tipe C atau D. Waktu
tanam di sawah pasang surut juga dipengaruhi oleh
jaringan irigasi atau saluran air sehingga kekuatan
pasang surut akan berkurang. Khusus untuk
Kalimantan Barat, waktu tanam juga dipengaruhi
oleh zona musim atau provinsi tersebut termasuk
daerah Non Zona Musim (Non ZOM), yang pada
umumnya tidak memiliki perbedaan jelas antara
periode musim hujan dan musim kemarau.
Metode tanam juga berpengaruh pada
waktu tanam keseluruhan. Proses awal tanam di
Provinsi Kalimantan Selatan membutuhkan waktu
cukup lama dalam proses awal tanam. Proses
penanaman padi di sawah pasang surut Kalimantan
Selatan biasanya menggunakan varietas lokal
dengan sistem tanam pindah sebanyak 3 kali
penyemaian yaitu persemaian I (taradakan),
persemaian II (ampakan), dan persemaian III
(lacakan). Seluruh kegiatan ini biasanya
membutuhkan waktu sekitar 4 bulan sampai
tanaman siap ditanam di lahan sawah pada sekitar
bulan Maret. Kegiatan persemaian I (menaradak)
dimulai menjelang musim hujan bila tanah sudah
mulai basah pada bulan Oktober. Kegiatan
persemaian II (maampak) dilakukan setelah umur
bibit pada persemaian I sekitar 35-40 hari, yaitu
pada bulan November. Bibit tersebut dipindah dan
ditanam ke areal petakan persemaian II yang lebih
luas dengan harapan bibit menjadi besar dan kuat
sekaligus untuk memperbanyak bibit. Kegiatan
persemaian III (malacak) dilakukan setelah bibit
berada sekitar 35-45 hari pada persemaian ke II
(Januari), bibit dicabut dan ditanam pada areal
lacakan yang lebih luas agar tanaman cukup
mampu mengatasi dinamika tinggi muka air yang
81Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim
(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)
-
3.000
6.000
9.000
12.000
15.000
Realisasi Tanam (ha)
Kalteng
-
100
200
300
400
500
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34
Realisasi Tanam (ha)
Dasarian
Kaltim
cukup tinggi. Lacakan dibiarkan tumbuh selama
50-70 hari sebelum dilakukan penanaman pada
areal persawahan pada bulan Maret, dan panen
pada bulan Agustus.
Gambar 3. Pola realisasi tanam dasarian padi pada lahan
sawah pasang surut di Kalimantan, periode 2000-2010
Waktu tanam padi sawah pasang surut pada
tahun dan kondisi iklim berbeda
Lahan rawa pasang surut juga
menunjukkan tingkat kekukuhan tinggi terhadap
perubahan iklim. Pola realisasi tanam hanya
mengalami pergeseran sedikit sekali ketika terjadi
El Nino maupun La Nina (Gambar 4). Secara
umum tinggi luapan pasang optimal untuk tanaman
padi di sawah < 24 cm. Pada musim hujan luapan
air yang dapat ditoleransi padi sekitar 35 cm dari
permukaan tanah. Pada padi lokal, terdapat
mekanisme mempertahankan diri dari genangan air
dengan memanjangkan batang melewati
permukaan air. Sementara pada padi unggul lahan
rawa, rendaman air di atas 35 cm dapat ditoleransi
apabila lama genangan tidak melebihi 14 hari.
Sementara tinggi muka air tanah yang optimal
untuk tanaman padi ialah < 40 cm. Pada kondisi
tersebut, perakaran tanaman padi masih dapat
menjangkau air untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Di saat musim kering, tinggi muka air
tanah turun atau lebih dalam dari 40 cm, perakaran
padi tidak lagi dapat menjangkau air sehingga
menjadi faktor pembatas.
Pola tanam di masing-masing provinsi di
Pulau Kalimantan juga berkaitan erat dengan sifat
hujan (ZOM BMKG) di tempat tersebut. Kondisi
iklim di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El
Nino/La Nina yang bersumber dari wilayah timur
Indonesia (Ekuator Pasifik Tengah/Nino 34) dan
Dipole Mode yang bersumber dari wilayah barat
Indonesia (Samudera Hindia Barat Sumatra hingga
Timur Afrika). Selain itu juga dipengaruhi oleh
fenomena regional, seperti sirkulasi monsun Asia-
Australia, daerah pertemuan angin antar tropis atau
Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang
merupakan daerah pertumbuhan awan, serta
kondisi suhu permukaan laut sekitar wilayah
Indonesia.
Pulau Kalimantan yang meliputi 4 provinsi
terdiri dari 22 Zona Musim (ZOM) yaitu nomor
264 s/d 285. Awal musim hujan 2011/2012 pada
22 Zona Musim (ZOM) di Kalimantan,
diprakirakan berkisar pada bulan Oktober 2011.
Sebanyak 3 ZOM, awal musim hujan antara
dasarian I – III September 2011, meliputi
Ketapang, Kutai, Malinau, dan Kertanegara.
Sedangkan 17 ZOM meliputi Sebagian besar
Kalimantan, awal musim hujan antara dasarian I –
III Oktober 2011. Sebanyak 2 ZOM, awal musim
hujan antara dasarian I – III Nopember 2011,
meliputi Pulau Laut, Tanah Bumbu bagian tengah,
dan Pasir bagian timur. Sifat hujan musim hujan
2011/2012 pada 22 Zona Musim di Kalimantan,
82 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86
diperkirakan umumnya Normal (N) hingga Atas
Normal (AN). Sebanyak 8 ZOM, sifat hujan
musim hujan 2011/2012 Atas Normal, meliputi
Kalimantan Timur bagian barat dan selatan, Pulau
Laut, Tanah Bumbu bagian tengah, Pasir bagian
timur, Barito Kuala, Banjar bagian barat, Tapin
bagian selatan, dan Tanah Laut bagian selatan.
Sedangkan 14 ZOM lainnya, sifat hujan musim
hujan 2011/2012 Normal, meliputi sebagian besar
Kalimantan.
Khusus untuk daerah Kalimantan Barat
masuk Non Zona Musim (Non ZOM) atau periode
musim hujan dan musim kemarau tidak jelas.
Dalam hal ini, daerah yang sepanjang tahun curah
hujannya tinggi atau rendah. Berdasarkan data
perkiraan hujan BMKG Pontianak tahun
2011/2012, sebagian besar wilayah Kalimantan
Barat mempunyai sifat hujan normal kecuali kota
Singkawang yang mempunyai sifat hujan atas
normal.
Prediksi waktu tanam menurut hasil kuesioner
Kalimantan Selatan
Varietas yang dominan digunakan pada
lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan adalah
varietas lokal seperti Siam berumur sekitar 10
bulan dengan sistem tanam pindah sebanyak tiga
kali penyemaian, yaitu persemaian I (taradakan),
persemaian II (ampakan), dan persemaian III
(lacakan). Pada iklim normal (TN), kegiatan
persemaian I (menaradak) dimulai menjelang
musim hujan apabila tanah sudah mulai basah pada
bulan Oktober. Kegiatan persemaian II (maampak)
dilakukan setelah umur bibit pada persemaian I
sekitar 35-40 hari, yaitu pada bulan November.
Bibit tersebut dipindah dan ditanam ke areal
petakan persemaian II yang lebih luas dengan
harapan bibit menjadi besar dan kuat sekaligus
untuk memperbanyak bibit. Kegiatan persemaian
III (malacak) dilakukan setelah bibit berumur 35-
45 hari pada persemaian ke II (Januari), bibit
dicabut dan ditanam pada areal lacakan yang lebih
luas agar tanaman cukup mampu mengatasi
dinamika tinggi muka air yang cukup tinggi.
Lacakan dibiarkan tumbuh selama 50-70 hari
sebelum dilakukan penanaman pada areal
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
83Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim
(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)
persawahan pada bulan Maret, dan panen pada
bulan Agustus.
Adanya curah hujan di bawah normal (TK)
menyebabkan terjadinya pergeseran awal
persemaian pertama, bergeser ke bulan November,
maka terjadi perpendekan waktu bibit berada pada
persemaian I, II dan III sehingga tanam tetap bulan
Maret. Demikian juga dengan adanya curah hujan
di atas normal (TB), pergeseran terjadi hanya pada
lama bibit berada pada semaian I, II dan III,
penanaman tetap dilakukan pada bulan Maret.
Pergeseran waktu tanam menjadi Februari atau
April umumnya disebabkan masalah ketersediaan
tenaga kerja atau pada lahan yang airnya sudah
surut atau masih terlalu tinggi (terutama pada lahan
tipe luapan C).
Padi varietas unggul ditanam hanya
sebagian kecil saja, umumnya di persawahan Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT) dengan pola sawit
dupa (padi lokal-padi unggul). Penanaman padi
varietas unggul dilakukan dengan memanfaatkan
lahan sisa penyemaian padi lokal (70-80% dari
luas sawah) dan waktu penyemaian I, II dan III
padi lokal, yaitu bulan Oktober s/d Februari tahun
berikutnya. Penyemaian padi unggul dilakukan
bersamaan dengan penyemaian I pada padi lokal
yaitu setelah tanah mulai basah (Oktober) dan
penanaman dilakukan pada bulan November serta
panen pada akhir bulan Februari sehingga pada
bulan Maret sudah bisa dilakukan tanam padi
lokal.
Adanya curah hujan di bawah normal
(TK), dan bila menyebabkan terjadinya pergeseran
awal musim hujan, maka penyemaian bergeser
sesuai dimulainya awal musim hujan dan secara
otomatis akan menggeser waktu tanam dan waktu
panen, tetapi pergeseran tidak terlalu lama karena
curah hujan yang rendah pada fase pemasakan
akan mempercepat proses pemasakan gabah sekitar
7-10 hari. Sedangkan adanya curah hujan di atas
normal (TB) menyebabkan ketinggian muka air
meningkat dan kesulitan tanam terutama pada
lahan tipe B yang sistem drainasenya kurang lancar
dan pada lahan tipe luapan C. Ketinggian
maksimum luapan air pasang surut berkaitan
dengan curah hujan kawasan. Pada lahan tipe D,
jarang dimanfaatkan untuk tanam padi, hanya
sebagian kecil bertanam padii gogo, saat tanam
tergantung awal musim hujan, umumnya pada
bulan Oktober untuk TB dan November untuk TN
dan Desember untuk TK.
Kalimantan Barat
Pada lahan pasang surut tipe luapan A
(diwakili lokasi Siantan, Kabupaten Pontianak)
puncak tanam pada tahun kering jatuh bulan
November, tahun basah jatuh bulan Juli dan tahun
normal juga jatuh pada bulan Juli, sedangkan pada
tipe luapan B sangat variatif sekali di lokasi Sei
Kakap, Kabupaten Kubu Raya puncak tanam pada
tahun kering jatuh pada bulan Oktober, Rasau
Jaya, Kabupaten Kubu Raya jatuh pada bulan
September, sementara lokasi Siantan, Kabupaten
Pontianak dan Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu
jatuh pada Agustus. Puncak tanam pada tahun
basah di lokasi Sei Kakap jatuh pada bulan
November – Desember, dan pada tahun normal
jatuh pada Desember, sedang di lokasi Siantan,
Kabupaten Pontianak dan Putusibau, Kabupaten
Kapuas Hulu puncak tanam tahun basah dan
normal sama-sama jatuh pada bulan September.
Pada lahan rawa pasang surut tipe luapan
B/C masing-masing puncak tanam pada lokasi
Semangau, Kabupaten Sambas pada tahun kering
jatuh pada bulan November, tahun basah dan tahun
normal jatuh pada bulan yang sama November,
sedangkan pada Sei Raya, Kabupaten Bengkayang
pada tahun kering, tahun basah dan normal jatuh
pada November. Pada lahan rawa pasang surut tipe
luapan C pada Kabupaten Sintang, puncak tanam
pada tahun kering jatuh pada Agustus, pada tahun
basah jatuh bulan September dan pada tahun
normal jatuh pada bulan Oktober, sedangkan pada
lokasi Tebas, Kabupaten Sambas puncak tanam
pada tahun kering jatuh pada November, pada
tahun basah dan tahun normal juga jatuh pada
bulan November. Puncak tanam menunjukkan
semakin ke belakang atau melambat seiring dengan
tipe luapannya atau dengan kata lain puncak tanam
pada tipe luapan B lebih awal dibandingkan luapan
C dan A pada tahun kering, tetapi tipe luapan A
berturutan lebih awal daripada tipe B, B/C dan C
84 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86
pada tahun normal. Hal serupa juga terjadi di
Kalimantan Selatan dengan tanam lebih awal pada
tipe luapan A menyusul B dan C pada tahun-tahun
normal.
Kalimantan Tengah
Pada lahan rawa pasang surut tipe A di
Kabupaten Kapuas puncak waktu tanam musim
hujan (MH) pada tahun kering (TK) terjadi pada
sepuluh hari terakhir bulan Maret hingga sepuluh
hari pertama bulan April (Maret III/April I).
Sedangkan pada lahan pasang surut tipe B puncak
waktu tanam MH pada TK terjadi pada Maret III.
Dengan demikian, baik lahan pasang surut tipe A
maupun B mempunyai kelompok waktu tanam
yang sama yaitu Maret III/April I. Kemudian di
lahan pasang surut tipe C puncak waktu tanam MH
pada TK terjadi pada Februari II, sedangkan pada
MK I terjadi pada September II untuk IP-200.
Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
posisi lahan, maka waktu tanam MH pada TK
lebih cepat. Kasus yang sama juga terjadi di
Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang
Pisau. Berbeda dengan di Desa Blanti Siam,
Kecamatan Pandihbatu, puncak waktu tanam MH
(TK) terjadi pada Oktober II/III, sedangkan pada
MK I terjadi pada Juli I/II untuk IP 200.
Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan sistem
tata air yang digunakan. Di Blanti Siam, sistem tata
air yang digunakan adalah sistem pipanisasi,
sehingga pengelolaan airnya lebih mudah
dilakukan dan sistem tanam tabela (tanam benih
langsung).
Di Teluksampit, Kotawaringin Timur,
lahan pasang surut tipe A puncak waktu tanam MH
(TK) terjadi pada September III/Oktober I dan
Januari III/Februari I, sedangkan lahan pasang
surut tipe B terjadi pada Oktober II/III dan Maret
III/April I. Puncak tanam di Teluksampit lebih
cepat dibandingkan lokasi lain karena lokasi dekat
pantai, sehingga untuk menghindari kegagalan
panen akibat intrusi air asin waktu tanam
dimajukan. Di Kotawaringin Barat puncak waktu
tanam MH (TK) pada lahan pasang surut tipe A
terjadi pada Oktober II/III, sedang pada lahan
pasang surut tipe B dan C tidak ditanami akibat
kekeringan. Di lihat dari topografi lahan di
Kotawaringin Barat lebih tinggi dibandingkan
dengan Kapuas, Pulangpisau, dan Kotawaringin
Timur.
Puncak waktu tanam MH (TN) pada lahan
pasang surut tipe A rata-rata maju 1 dasarian,
karena tidak bisa dilakukan tanam akibat genangan
air masih tinggi. Begitu juga dengan puncak
tanggal tanam MH (TB) maju 2 - 3 dasarian.
Kondisi yang sama juga terjadi pada lahan pasang
surut tipe B dan tipe C. Perbedaan ini disebabkan
karena perbedaan tinggi genangan air.
Kalimantan Timur
Puncak tanggal tanam musim hujan pada
tahun kering (TK) di lahan pasang surut tipe
luapan A Kalimantan Timur adalah pada bulan
Desember minggu kedua (Desember II) sampai
bulan Pebruari minggu pertama (Pebruari I).
Adanya perbedaan puncak tanggal tanam ini
disebabkan letak persawahan dari sungai, ada
tidaknya saluran primer, dan terpeliharanya
saluran-saluran yang telah dibuat. Persawahan
yang terletak relatif lebih jauh dari sungai dan
saluran air yang kurang baik lebih menunda saat
pertanaman sehingga puncak tanggal tanamnya
juga tertunda. Pada musim tanam kedua, puncak
tanggal tanam berkisar antara Mei II sampai Juni
II. Perbedaan ini juga disebabkan seperti pada
pertanaman pertama, yaitu faktor letak
persawahan, ada tidaknya saluran air, dan
terpeliharanya saluran air tersebut.
Pada tahun normal (TN), puncak tanggal
tanam musim hujan pada tipe luapan A pada bulan
Desember minggu ketiga (Desember III) sampai
Februari minggu kedua (Pebruari II). Sedangkan
pada musim tanam kedua terjadi pada bulan Mei
minggu keempat (Mei IV) sampai Juni minggu
kedua (Juni II). Sama seperti pada tahun kering,
ada perbedaan puncak tanggal tanam di
persawahan yang disebabkan oleh letak
persawahan dari sungai, ada tidaknya saluran
primer, dan terpeliharanya saluran-saluran yang
telah dibuat.
85Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim
(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)
Pada tahun basah (TB), puncak tanggal
tanam musim hujan pada tipe luapan A terjadi pada
bulan Desember minggu keempat (Desember IV)
sampai Februari minggu ke tiga (Februari III).
Pada musim tanam kedua, puncak tanam pada
bulan Juni minggu kedua (Juni II) sampai Juni
minggu ke keempat (Juni IV). Perbedaan puncak
tanggal tanam ini juga disebabkan oleh letak
persawahan dari sungai, ada tidaknya saluran
primer, dan terpeliharanya saluran-saluran yang
telah dibuat. Puncak tanggal tanam pada tahun
kering nampaknya lebih awal sekitar satu minggu
dibandingkan dengan tahun normal, sedangkan
puncak tanggal tanam pada tahun basah lebih
lambat sekitar satu minggu pula dibandingkan
tahun normal. Terlihat bahwa ketersediaan air dari
curah hujan sangat menentukan puncak tanggal
tanam.
Pada lahan pasang surut tipe luapan B,
puncak tanggal tanam musim hujan pada tahun
kering (TK) adalah pada bulan November minggu
kedua (November II) sampai bulan Januari minggu
pertama (Januari I). Pada musim tanam kedua,
puncak tanggal tanam pada bulan Mei minggu
kedua (Mei II) sampai Juni minggu kedua (Juni II).
Pada tahun normal (TN), puncak tanggal tanam
musim hujan pada tipe luapan B pada bulan
Desember minggu pertama (Desember I) sampai
Desember minggu keempat (Desember IV).
Sedangkan pada musim tanam kedua terjadi pada
bulan Mei minggu kedua (Mei II) sampai Juni
minggu keempat (Juni IV). Pada tahun basah (TB),
puncak tanggal tanam musim hujan pada bulan
Desember minggu kedua (Desember II) sampai
Januari minggu pertama (Januari I). Pada musim
tanam kedua, puncak tanam pada bulan Juni
minggu pertama (Juni I) sampai Juli minggu kedua
(Juli II). Perbedaan puncak tanggal tanam pada tipe
luapan B, baik pada musim hujan (musim tanam
pertama) maupun pada musim kemarau tanam
(musim tanam kedua) disebabkan oleh letak
persawahan dari sungai besar. Selain itu juga
ditentukan oleh ada tidaknya saluran primer, dan
terpeliharanya saluran-saluran yang telah dibuat
tersebut. Persawahan yang terletak relatif lebih
jauh dari sungai dan saluran air yang tidak
dipelihara dengan baik akan menunjukkan puncak
tanggal tanam lebih lambat, dibandingkan dengan
persawahan yang lebih dekat dengan sungai dan
memiliki saluran air yang terpelihara dengan baik.
Puncak tanggal tanam pada tahun kering pada tipe
luapan B nampaknya juga lebih awal sekitar dua
sampai tiga minggu dibandingkan dengan tahun
normal, sedangkan puncak tanggal tanam pada
tahun basah lebih lambat sekitar dua minggu
dibanding tahun normal. Nampaknya ketersediaan
air yang berasal dari curah hujan sangat
menentukan puncak tanggal tanam di lahan pasang
surut tipe luapan B. Pada tahun kering pertamanan
dilakukan lebih awal untuk menghindari periode
kekeringan pada saat tanaman padi memasuki
periode reproduktif. Jika terlambat tanaman
berisiko gagal panen akibat gabah puso yang
disebabkan oleh ketidaktersediaan air menjelang
fase berbunganya. Pada tahun basah, penanaman
lebih lambat karena kondisi persawahan tergenang
cukup tinggi sehingga diperlukan waktu menunggu
surutnya air agar bisa dimulai saat tanam bibit
padi.
KESIMPULAN
Waktu tanam di lahan pasang surut dimulai
setelah jumlah air hujan mencukupi untuk
melarutkan kadar besi yang ada di dalam air. Di
Provinsi Kalimantan Barat umumnya realisasi
tanam terjadi pada Dasarian 28 (Oktober). Di
Kalimantan Timur pada Dasarian 31 (November).
Sementara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah umumnya penanaman pada Dasarian 7
(Maret).
Waktu tanam di lahan rawa pasang surut
menunjukkan tingkat kekukuhan yang tinggi
terhadap perubahan iklim, dimana waktu tanam
tidak terlalu berubah selama 10 tahun pada kondisi
iklim yang berbeda.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa yang telah
86 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86
memberikan dukungan dana dan ijin penelitian
serta pihak lain yang membantu dalam
pengumpulan data.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP).
2006. karakteristik dan pengelolaan lahan
rawa. Bogor. BBSDLP. 297 hlm.
BMKG. 2011. Sifat musim hujan 2011-2012.
Jakarta. BMKG.
BPS. 2011. Kalimantan dalam angka. BPS
Kalimantan.
Haryono. 2012. Lahan rawa lumbun pangan masa
depan Indonesia. Jakarta. IAARD Press.
Irianto, G., L.I. Amien, dan E. Surmaini. 2000.
Keragaman iklim sebagai peluang
diversifikasi sumber daya lahan Indonesia.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Kusnadi, N., Tinaprillia, N., Susilowati, S.H.,
Purwoto, A. 2011. Analisis efisiensi
usahatani padi di beberapa sentra produksi
padi di Indonesia. Jurnal Agroekonomi,
vol.29 (1), Mei 2011: 25 – 48.
Nugroho, K. Alkusuma, Paidi, Wahyu, W.,
Abdulrachman, H. Suhardjo, dan IPG. W.
Adhi. 1993. Peta area potensial untuk
pengembangan pertanian lahan rawa pasang
surut, rawa dan pantai. Proyek Penelitian
Sumber Daya Lahan, Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
73 tahun 2013 tentang rawa.
Ritung, S. 2011. Karakteristik dan sebaran lahan
sawah di Indonesia. Hlm 83-98. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Pemupukan dan Pemulihan Lahan
Terdegradasi. Balai Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Bogor.
Runtunuwu E., Syahbuddin H., dan Nugroho W. T.
2011. Deliniasi kalender tanam tanaman
padi sawah untuk antisipasi anomali iklim
mendukung program peningkatan produksi
beras nasional. Majalah Pangan, No.
4/XX/12/2011.
Runtunuwu, E., Syahbuddin H., dan Nugroho, W.
T. 2013. Dinamika kalender tanam padi di
Sulawesi. Jurnal Politeknik Bandung,
JPBTPPOLBAN. 2013.
Sahuri, C.T. Stevanus, dan M.J. Rosyid. 2014.
Potensi pemanfaatan lahan dan perbaikan
kultur teknis lahan rawa pasang surut untuk
tanaman karet di Desa Riding, Kabupaten
Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal, Palembang. 26-27 September
2014. ISBN: 979-587-529-9
Wakhid, N., Syahbuddin H., Khairullah I.,
Indrayati L., Cahyana D., Mawardi, Noor
M., anwar K., Alwi M., Hairani A. 2015.
Peta kalender tanam padi lahan rawa lebak
di Kalimantan Selatan. Jurnal tanah dan
iklim, vol. 39 (1), Juli 2015, ISSN: 1410-
7244. Bogor.
.
87Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)
Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)
PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA KEPIK COKLAT (Riptortus linearis F.) PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine max L.)
Nita Winanti dan Sri Kurniawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten
Jl. Ciptayasa Km. 01 Ciruas, Serang, Banten 42182
E-mail: nitawinanti15@gmail.com
ABSTRACT
Utilization of Vegetable Insecticides in Controlling Pod Sucking Pests (Riptortus linearis F.) on Soybean Plants (Glycine max L.). Soybeans are an important commodity in realizing food self-sufficiency. Soybean
productivity in the 2011-2013 period was 1,423 t ha-1
and increased in the 2014-2016 period by 1,542 t ha-1
or
increased by 1,2 t ha-1
(4.43%). One of the problems in soybean cultivation is the presence of pod sucking pests
Riptortus linearis. The pest caused 80% yield loss and even exhibited crop failure if not controlled. One of control
measures based on the concept of integrated pest management (IPM) is the use of vegetable insecticides. This study
aims to review the ingredients of vegetable insecticides and their active ingredients content from the result of
previous studies as well as the mechanism of action of the active ingredients in controlling R. linearis. The active
ingredient has a working mechanism to inhibite skin turnover, eating, to repellent pests, and causing death. The
availability of abundant raw materials is one of the potentials in the development of the use of vegetable insectisides.
Technology regarding the formulation of the active ingredient content from various vegetable insecticides needs to
be developed in the future.
Keywords: Glycine max, vegetable insecticides, soybeans, Riptortus linearis
ABSTRAK
Kedelai merupakan komoditas penting dalam mewujudkan swasembada pangan. Produktivitas kedelai pada periode
2011-2013 sebesar 1,423 t ha-1
meningkat pada periode 2014-2016 sebesar 1,542 t ha-1
atau naik sebesar 1,2 t ha-1
(4,43%). Salah satu kendala pada budidaya kedelai adalah adanya hama pengisap polong Riptortus linearis.
Serangan hama R. linearis dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80% dan bahkan dapat menyebabkan
gagal panen apabila tidak dikendalikan. Alternatif pengendalian berdasarkan konsep Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) yaitu dengan menggunakan insektisida nabati. Kajian ini bertujuan mengulas bahan insektisida nabati dan
kandungan bahan aktifnya dari hasil-hasil penelitian sebelumnya serta mekanisme kerja bahan aktifnya dalam
mengendalikan hama R. linearis. Kandungan bahan aktif memiliki mekanisme kerja dalam mengendalikan hama R.
linearis, diantaranya yaitu menghambat pergantian kulit, menghambat makan, menolak hama, hingga menyebabkan
kematian hama tersebut. Ketersediaan bahan baku yang melimpah menjadi salah satu potensi dalam pengembangan
pemanfaatan insektisida nabati. Teknologi mengenai formulasi kandungan bahan aktif dari berbagai bahan
insektisida nabati perlu dikembangkan untuk masa mendatang.
Kata kunci: Glycine max, insektisida nabati, kedelai, Riptortus linearis
88 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max L.) merupakan
salah satu komoditas unggulan dalam mewujudkan
swasembada pangan. Kedelai merupakan salah
satu tanaman pangan penting bagi penduduk
Indonesia sebagai sumber protein nabati, bahan
baku industri pakan ternak, dan bahan baku
industri pangan (Baliadi et al. 2008). Kebutuhan
kedelai pada industri pangan dalam negeri cukup
tinggi. Saat ini kebutuhan rata-rata sebanyak 2,3
juta ton biji kering per tahun, namun produksi
dalam negeri selama lima tahun terakhir rata-rata
982,47 ribu ton biji kering atau 43% dari
kebutuhan (Balitkabi 2018). Faktor penentu tingkat
produksi kedelai, diantaranya yaitu varietas dan
benih, lingkungan tumbuh abiotik (iklim, tanah,
dan air). Lingkungan tumbuh biotik berupa
pengendalian OPT, kultur teknis persiapan dan
pemeliharaan tanaman (pengolahan tanah,
pemupukan, pengairan, dan tanam), serta panen
(Asadi 2009; Baliadi et al. 2008; Sudaryono et al.
2007).
Salah satu hama penting yang terdapat
pada pertanaman kedelai yaitu pengisap polong
Riptortus linearis. Hama tersebut termasuk ke
dalam ordo Hemiptera famili Alydidae. Nimfa dan
imago R. linearis menyerang polong kedelai
dengan cara menusukkan stiletnya pada permukaan
polong dan menghisap cairan nutrisi yang
terkandung pada biji sehingga dapat menghambat
fungsi fisiologis dari tanaman kedelai (Bayu 2015;
Laurencia 2016). Menurut Hendrival 2013, hama
pengisap polong dapat menyebabkan kehilangan
hasil tanaman kedelai baik secara kualitas maupun
kuantitas. Serangan hama tersebut dapat
menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80% dan
bahkan dapat menyebabkan gagal panen apabila
tidak dikendalikan (Indiati & Marwoto 2017).
Faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan populasi dan serangan hama di
lapang yaitu tanaman inang yang tersedia secara
terus-menerus. Selain itu, hama tersebut tersebut
memiliki banyak jenis tanaman inang lain baik
yang dibudidayaka maupun yang tidak
dibudidayakan (Sinaga et al. 2016). Potensi R.
linearis sebagai hama perlu diwaspadai karena
merupakan hama polong penting, dan menyebar ke
lintas lokasi dan musim tanam, daya rusaknya
lebih tinggi dibandingkan hama perusak polong
yang lain sehingga mengindikasikan tingkat
ambang ekonominya lebih rendah (Sari &
Suharsono 2011).
Upaya yang dilakukan terhadap
pengendalian serangan hama masih banyak
mengandalkan penggunaan insektisida kimia. Hal
tersebut dikarenakan insektisida kimia memiliki
cara kerja yang relatif cepat dalam menekan
populasi hama (Sudartik 2015). Selain itu,
penggunaan insektisida kimia relatif mahal dan
dapat menyebabkan resistensi dan resurgensi
hama, terbunuhnya serangga bukan sasaran, dan
pencemaran lingkungan khususnya terhadap
kesehatan manusia (Hendrival 2013). Adanya
dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia
maka perlu dilakukan cara lain untuk
mengendalikan hama tersebut. Cara sederhana
dalam pemanfaatan insektisida nabati yang telah
dilakukan oleh petani yaitu dengan cara
penyemprotan cairan perasan tanaman (ekstrasi
dengan air), penyebaran atau penempatan bahan
tanaman di tempat tertentu pada lahan pertanaman,
pengasapan (pembakaran bagian tanaman yang
mengandung insektisida), dan penggunaan serbuk
tanaman untuk pengendalian hama di penyimpanan
(Prijono & Triwidodo 1993).
Salah satu alternatif pengendalian hama
berdasarkan konsep Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) yaitu dengan menggunakan insektisida
nabati. Penggunaan insektisida nabati berasal dari
ekstrak tumbuhan yang relatif aman, murah, dan
mudah diperoleh. Insektisida nabati tidak cepat
menimbulkan resistensi hama, bersifat sinergis,
dan dapat dipadukan dengan teknik pengendalian
hama lainnya (Dadang & Prijono 2011).
Insektisida nabati merupakan bahan insektisida
yang cukup efektif dan aman terhadap lingkungan
(Kardinan 1999). Beberapa tanaman yang tumbuh
dan dibudidayakan di Indonesia telah
dimanfaatkan sebagai bahan baku insektisida
nabati seperti piretrum (Chrysanthemum
cinerariaefolium), jeringo (Acorus calamus),
89Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)
Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)
tembakau (Nicotiana tabacum), cengkih (Syzygium
aromaticum), serai wangi (Andropogon nargus),
kunyit (Curcuma longa), mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa), dan jarak pagar (Jatropha curcas).
Sebagai insektisida nabati, bahan aktif tanaman
diuji efektivitasnya terhadap toksisitas, daya tolak,
daya tarik, daya hambat makan, dan daya hambat
reproduksi serangga hama (Wiratno 2013).
Berdasarkan hasil penelitian Koswanudin
(2011), ekstrak daun pacar cina (Aglaia odorata)
dapat menghambat perkembangan hama R. linearis
dengan konsentrasi yang efektif 0,75-1%. Lain
halnya dengan penelitian Hendrival (2013),
aplikasi insektisida nabati dari ekstrak daun
babadotan (Ageratum indica) dan ekstrak daun
kacang babi (Tephrosia vogelii) serta penanaman
kedelai dengan varietas Kipas Merah dan
Anjasmoro dapat mengurangi populasi hama R.
linearis, menurunkan kerusakan polong, dan dapat
meningkatkan hasil produksi kedelai. Hasil
penelitian Sudartik (2015), ekstrak fermentasi daun
mimba (Azadirachta indica) dapat menekan
jumlah populasi hama R. linearis pada pertanaman
kedelai. Hasil penelitian Amalia et al. (2017)
menyebutkan bahwa aplikasi ekstrak daun mimba
pada kisaran konsentrasi 30-70% berpengaruh
terhadap mortalitas hama R. linearis sampai tujuh
hari setelah aplikasi.
Kajian ini bertujuan mengulas jenis-jenis
insektisida nabati dan bahan aktifnya dari hasil-
hasil penelitian terdahulu serta mekanisme kerja
bahan aktifnya dalam mengendalikan hama R.
linearis. Manfaat yang diharapkan yaitu dapat
memberikan informasi mengenai insektisida nabati
yang efektif untuk mengendalikan hama R. linearis
serta dapat meningkatkan pemanfaatan insektisida
yang lebih ramah lingkungan. Kajian ini
merupakan studi literatur tentang pemanfaatan
beberapa insektisida nabati beserta kandungan
bahan aktifnya dalam mengendalikan hama R.
linearis yang telah dipublikasikan.
KEDELAI DAN PRODUKTIVITAS
Menurut Balitkabi 2018, rata-rata
produktivitas kedelai pada periode 2011-2013
yaitu sebesar 1,423 t ha-1
meningkat pada periode
2014-2016 sebesar menjadi 1,542 t ha-1
atau naik
sebesar 1,2 t ha-1
(4,43%). Begitu juga dengan rata-
rata luas panen kedelai yaitu pada periode 2011-
2013 sebesar 580.220 ha meningkat pada periode
2014-2016 menjadi 605.920 ha atau naik seluas
12.360 ha (8,34%).
Peluang pengembangan kedelai di Banten
dapat terlihat dari adanya sumber daya lahan yang
cukup luas, teknologi produksi yang sesuai, serta
meningkatnya kebutuhan akan kedelai (Purba
2012). Berdasarkan data BPS Provinsi Banten
tahun 2016, luas panen tanaman kedelai sampai
dengan tahun 2015 yaitu 5.136 ha, produksi
tanaman kedelai sebanyak 72.191 t, serta
produktivitas kedelai sebesar 13,72 t ha-1
.
Apabila dilihat dari luas lahan pertanian
yang ada di Indonesia, produksi kedelai saat ini
belum mencapai produksi yang optimal. Hal
tersebut dikarenakan sebagian besar petani enggan
menanam kedelai sebagai komoditas utama akibat
banyaknya kendala budidaya yang dihadapi. Salah
satu kendala yang paling sering dihadapi adalah
tingginya serangan organisme pengganggu
tanaman (Asadi 2009). Produktivitas kedelai secara
umum dipengaruhi oleh tingkat kesesuaian lahan,
kesuburan lahan, neraca lengas musiman,
pengelolaan hara dan air, pengendalian OPT,
pemeliharaan, dan pascapanen (Sudaryono et al.
2007).
Riptortus linearis F.
Biologi R. linearis F.
Serangga hama pengisap polong termasuk
ke dalam ordo Hemiptera, famili Alydidae, genus
Riptortus, dan spesies linearis (Marwoto et al.
1999). Kepik polong kacang panjang R. linearis
memiliki tipe metamorfosis paurometabola yaitu
90 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86
terdiri dari telur, nimfa, dan imago (Mawan &
Hermalia 2011). Berikut dirinci tahapan
metamorfosis R. linearis pada Tabel 1.
Gejala dan Kerusakan Akibat Serangan R.
linearis
Hama R. linearis menjadi salah satu
kendala dalam meningkatkan produksi kedelai.
Nimfa dan imago dapat menyebabkan kerusakan
pada setiap stadia pertumbuhan polong dan biji.
Kerusakan yang diakibatkan berbeda-beda yang
ditentukan oleh frekuensi serangan dan umur biji
atau polong. Hama tersebut mengisap cairan biji di
dalam polong dengan menusukkan stiletnya. Hama
pengisap polong yang menyerang pada fase
pembentukan polong dan perkembangan biji akan
menyebabkan polong dan biji kempis, mengering,
lalu gugur. Pada fase pengisisan biji dan
pemasakan polong akan menimbulkan bercak
hitam kecoklatan pada biji kemudian menjadi
keriput. Selain itu, hama yang menyerang pada
saat polong tua atau menjelang panen akan
menyebabkan biji berlubang (Bayu 2015; Marwoto
2006; dan Tengkano et al. 1993).
Pengendalian Hama R. linearis
Pengendalian hama R. linearis pada
tanaman kedelai berlandaskan strategi penerapan
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah
suatu cara pendekatan atau pengendalian hama
yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan
efisiensi ekonomi dalam rangka mengelola
ekosistem yang berkelanjutan (Marwoto 2006).
Salah satu alternatif dalam pengendalian serangan
hama ini yang relatif aman, murah, dan mudah
diperoleh adalah dengan pemanfaatan insektisida
nabati (Hendrival 2013).
INSEKTISIDA NABATI
Insektisida berasal dari kata “insecta” yang
berarti serangga dan “cida” yang berarti
pembunuh. Insektisida dapat membunuh serangga
dengan cara meracuni tanaman atau meracuni
serangga secara langsung. Berdasarkan cara kerja
pada tumbuhan, insektisida dibagi menjadi dua
golongan yaitu insektisida sistemik dan insektisida
non-sistemik. Berdasarkan cara kerja meracuni
Tabel 1. Tabel 1. Biologi hama R. linearis
Tahapan Bentuk Warna Ukuran Umur
Telur Bulat dan bagian tengah agak
cekung
Biru keabu-abuan kemudian
menjadi coklat
1,20 mm 6-7 hari
Nimfa
Instar 1
Mirip semut gramang Kemerah-merahan kemudian
menjadi coklat kekuning-
kuningan
2,00 mm 1-3 hari
Nimfa
Instar 2
Mirip semut gramang Coklat kekuning-kuningan
kemudian menjadi coklat tua
3,0 mm 2-4 hari
Nimfa
Instar 3
Mirip semut rangrang Kemerah-merahan kemudian
menjadi coklat
6,00 mm 2-6 hari
Nimfa
Instar 4
Mirip semut polyrachis Kemerah-merahan kemudain
menjadi coklat kehitaman
7,00 mm 3-6 hari
Nimfa
Instar 5
Mirip semut polyrachis Kemerah-merahan kemudian
menjadi hitam keabu-abuan
9,90 mm 5-8 hari
Imago Abdomen imago betina
membesar dan gembung di
bagian tengahnya
Abdomen imago jantan lurus
ke belakang
Garis putih kekuningan yang
terdapat di sepanjang sisi tubuh
13-14 mm
11-13 mm
4-7 hari
Sumber: Marwoto et al. (1999); Marwoto (2006); dan Prayogo (2005)
91Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)
Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)
serangga secara langsung, terdiri dari racun
lambung (perut), racun kontak, dan racun
pernafasan. Berdasarkan struktur kimia senyawa
penyusunnya yaitu insektisida anorganik dan
insektisida organik. Insektisida organik terdiri dari
insektisida alami (senyawa-senyawa dari
tumbuhan) dan insektisida sintesis.
Beberapa tumbuhan memiliki sistem
pertahanan diri terhadap organisme lain atau
kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan
baginya, misalnya hama yang akan menyerangnya.
Salah satu sistem pertahanan diri dari tumbuhan
tersebut yaitu menghasilkan metabolit sekunder.
Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang
dihasilkan tumbuhan yang tidak memiliki fungsi
langsung pada proses fotosintesis, respirasi,
pertumbuhan, maupun fungsi-fungsi fisiologi
lainnya. Metabolit sekunder bisa juga berupa hasil
samping (intermedier) dari metabolisme primer
(Amalia et al. 2017).
Bahan Aktif Tanaman
Berdasarkan hasil penelitian Saenong
(2016), kandungan metabolit sekunder dapat
menekan perkembangan populasi serangga hama.
Tabel 2. Jenis tanaman dan bahan aktif yang potensial sebagai insektisida nabati hama R. linearis
Nama lokal Nama ilmiah Bahan Aktif Mekanisme Kerja Referensi
Mimba (daun) Azadiracta indica Azadiractin
Salanin
Melantriol
Mengganggu pergantian
kulit hingga
menyebabkan kematian
Zat penurun nafsu
makan serangga hama
Penghalau hama
Amalia et al.
(2017); Hendrival
(2013); Indiati dan
Marwoto (2008);
Sudartik (2015)
Kacang Babi (daun) Tephrosia vogelii Saponin
Flavonoid
Menghambat makan,
repellent
Hendrival (2013);
Sudartik (2015)
Kamandrah (biji) Croton tiglium Piperin
Saponin
Tanin
Steroid
Alkaloid
Menghambat makan Illah et al. (2017)
Sirsak (biji) Annona muricata Acetogenin Repellent dan
antifeedant
Siburian et al.
(2013); Apriliyanto
dan Suhastyo
(2017)
Mengkudu (biji) Morinda citrifolia Alkaloid Mengganggu sistem
pencernaan
Siburian et al.
(2013)
Pepaya (daun) Carica papaya Alkaloid
Papain
Glikosida
sianogenik
Mengganggu sistem
pencernaan, sirkulasi,
dan saraf
Menghalangi infestasi
dan aktivitas makan
Mengganggu respirasi
Conceicao (2013)
dalam Amalia et al.
(2017)
Babadotan (daun) Ageratum conyzoides Alkaloid,
saponin, tannin
Mengganggu
pencernaan
Amalia et al.
(2017); Hendrival
(2013)
Pacar cina (daun) Aglaia odorata Alkaloid Menghambat
perkembangan
Koswanudin (2011)
92 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86
Kandungan metabolit sekunder pada tanaman
diantaranya yaitu minyak atsiri, sitral, geraniol,
tanin, piperin, asetogenin, azadirahtin, saponin,
asaron, akoragermakron, akolamonin, isoakolamin,
kalameon, kalamediol, alfamirin, kaemfasterol,
salanin, nimbin, nimbidin, asetogenin, dan
beberapa kelompok asam seperti asam sianida,
asam oleanolat, dan asam galoyonat. Komponen
alkaloid dan flavonoid berdampak langsung
terhadap kehidupan serangga hama R. linearis.
Bahan aktif yang terkandung pada
beberapa jenis insektisida tersebut efektif dalam
mengendalikan hama R. linearis dalam skala
laboratorium dan rumah kaca (Tabel 2).
Mekanisme kerja Bahan Aktif Tanaman
Bahan aktif memiliki mekanisme kerja
yang beragam diantaranya yaitu menghambat
pergantian kulit, menghambat makan, menolak
hama, hingga menyebabkan kematian. Berdasarkan
hasil penelitian Amalia et al. (2017), menyebutkan
bahwa aplikasi ekstrak daun mimba (A. indica)
pada kisaran konsentrasi 30-70% berpengaruh
terhadap mortalitas hama R. linearis sejak lima
hari setelah aplikasi sampai tujuh hari setelah
aplikasi (hsa). Tanaman mimba mempunyai
kandungan bahan aktif seperti azadirachtin,
salanin, meliantriol, dan nimbin. Semakin tinggi
konsentrasi ekstrak daun nimba yang diaplikasikan
pada tanaman kedelai diduga semakin tinggi residu
azadirachtin dari daun nimba yang ditinggalkan
pada tanaman kedelai sehingga R. linearis tidak
dapat melakukan aktifitas makan atau bersifat
antifeedant dan pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap rendahnya intensitas serangan.
Mortalitas R. linearis tertinggi sebesar
38,82% terjadi pada konsentrasi 60%. Selain itu,
hasil penelitian dari Sudartik (2015) menyebutkan
bahwa ekstrak fermentasi daun mimba dapat
menekan jumlah populasi hama R. linearis pada
pertanaman kedelai.
Hasil penelitian Koswanudin (2011)
membuktikan bahwa ekstrak daun kacang babi (T.
vogelii) dapat mengurangi populasi hama R.
linearis, menurunkan kerusakan polong, dan dapat
meningkatkan hasil produksi kedelai. Lain halnya
dengan penelitian Sudartik (2015), ekstrak
fermentasi daun kacang babi dapat menurunkan
intensitas serangan sebesar 0,79% karena
mengandung rotenon, steroid, flavonoid dan
saponin yang dijadikan sebagai insektisida sebagai
penolak (repellent). Berdasarkan penelitian
Hendrival (2013), ekstrak daun kacang babi
memiliki kandungan rotenone yang menyebabkan
gangguan fisiologis dan efek kematian.
Berdasarkan penelitian Illah (2017),
ekstrak biji kamandrah (C. tiglium) efektif
membunuh kepik cokelat pada konsentrasi 1,5%
dan 2%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang
diberikan, semakin tinggi pula persentase daya
bunuhnya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
ekstrak biji kamandrah (C. tiglium) dapat
mematikan kepik cokelat pengisap polong (R.
linearis) dalam waktu 20 jam setelah aplikasi pada
perlakuan dengan konsentrasi 2% dan daya bunuh
mencapai 100%. Bahan aktif yang terkandung
dalam ekstrak biji kamandrah antara lain saponin,
tannin, dan steroid yang bersifat antifeedant.
Berdasarkan hasil penelitian Siburian et al.
(2013), komposisi kandungan bahan aktif pada
larutan biji sirsak (A. muricata) berupa acetogenin
pada konsentrasi 200 gr/l air lebih mampu untuk
mengendalikan R. linearis. Acetogenin pada
larutan biji sirsak juga bertindak sebagai penolak
serangga (repellent) dan anti-feedant dengan cara
kerja sebagai racun kontak dan racun perut
(lambung). Hasil penelitian lainnya menunjukkan
bahwa ekstrak biji mengkudu (M. citrifolia)
memiliki kandungan bahan beracun yang efektif
yaitu alkaloid dengan cara menghambat
perkembangan serangga hama.
Hasil penelitian Amalia et al. (2017),
menunjukan bahwa kematian tertinggi dari aplikasi
ekstrak daun pepaya (C. papaya) terdapat pada
konsentrasi 40% dan kematian maksimum terjadi
pada 7 hsa sebesar 17,41%. Bahan aktif dalam
ekstrak daun pepaya yang bersifat toksik terhadap
hama yaitu alkaloid, papain, dan glikosida
sianogenik. Alkaloid meracuni serangga melalui
sistem pencernaan, sirkulasi, dan saraf; sedangkan
papain mengandung enzim proteolitik lebih
93Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)
Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)
bersifat menghalangi infestasi dan aktivitas makan
hama. Adapun glikosida sianogenik jika berada
dalam bentuk tiosanat akan menimbulkan
gangguan pada proses respirasi serangga hama
(Conceicao 2006 dalam Amalia et al. 2017). Pada
penelitian lainnya, ekstrak daun babadotan (A.
indica) pada konsentrasi 60% terhadap serangga
uji R. linearis sampai dengan 7 hsa mengakibatkan
mortalitas tertinggi sebesar 21,57%. Daun
babadotan mengandung saponin, flavonoid,
polifenol, dan minyak atsiri. Bahan aktif tersebut
menghambat penetrasi ke dalam tubuh serangga
hama (Setiawati et al. 2008 dalam Amalia 2017).
Lain halnya dengan penelitian Hendrival (2013),
aplikasi insektisida nabati dari ekstrak daun
babadotan serta penanaman kedelai dengan
varietas Kipas Merah dan Anjasmoro dapat
mengurangi populasi hama R. linearis,
menurunkan kerusakan polong, dan dapat
meningkatkan hasil produksi kedelai.
Berdasarkan hasil penelitian Koswanudin
(2011), ekstrak daun pacar cina (A. odorata) dapat
menghambat perkembangan hama R. linearis
dengan konsentrasi yang efektif 0,75-1%. Daun
pacar cina mengandung alkaloid yang dapat
menghambat perkembangan hama R. linearis.
Peran Insektisida Nabati Dibandingkan dengan
Insektisida Kimia
Pengendalian hama oleh sebagian besar
petani didasarkan atas ada atau tidaknya serangan
dan satu-satunya alat pengendali yang tersedia dan
siap pakai adalah insektisida (Arifin & Tengkano
2008). Frekuensi penggunaan insektisida kimia
yang tinggi dan cara aplikasi yang tidak bijaksana
dapat memberikan dampak negatif yang luar biasa
seperti resistensi dan resurjensi, terbunuhnya
organisme berguna, pencemaran lingkungan, dan
kesehatan manusia (keracunan akut atau kronis).
Residu dari insektisida kimia sangat berbahaya
bagi kesehatan manusia. Untuk itu, strategi
pengendalian hama pada tanaman yang ramah
lingkungan dan aman amat sangat dibutuhkan.
Sifat sifat dari insektisida nabati diantaranya
adalah mudah terurai di alam, relatif aman
terhadap musuh alami hama, dapat dipadukan
dengan komponen pengendalian hama lain, dapat
memperlambat laju resistensi, dan menjamin
ketahanan dan keberlanjutan dalam berusaha tani
(Dadang & Prijono 2011).
Saat ini pemanfaatan insektisida nabati
belum berkembang di kalangan petani. Hal
tersebut dapat disebabkan karena adanya
kelemahan dari penggunaan insektisida nabati.
Sebagai contoh sifat dari insektisida nabati yaitu
mudah terurai di alam sehingga diperlukan
pengaplikasian yang lebih sering dan
membutuhkan bahan baku yang lebih banyak.
Selain itu, daya bunuh dari insektisida nabati
bersifat lambat sehingga kurang menunjukkan
hasil yang signifikan dalam pengendalian hama.
Insektisida nabati lebih bersifat selektif
(relatif tidak merugikan hama bukan sasaran) bila
dibandingkan dengan insektisida kimia.
Kesesuaian penggunaan insektisida nabati dengan
komponen lain dari PHT mempunyai peluang yang
lebih besar dalam mengendalikan hama sasaran
(Prijono & Triwidodo 1993). Dalam
pengembangan insektisida nabati terdapat 10
faktor yang menjadi pertimbangan, yaitu
ketersediaan bahan baku, efektivitas bahan nabati
yang memenuhi syarat teknologi aplikasi, industri
pestisida nabati, distribusi, transportasi, dan
kemasan, sumber daya manusia, kelembagaan,
kontribusi dalam PHT, daya saing, sosial, budaya,
dan ekonomi (Sumartini 2016). Ketersediaan
bahan baku insektisida nabati yang melimpah di
Banten perlu dikembangkan dengan memanfaatkan
teknologi mengenai formulasi senyawa aktif dari
berbagai jenis tumbuhan yang bersifat insektisidal.
Hal tersebut dapat memudahkan petani dalam
mengaplikasikan di lapang serta lebih efektif
dalam mengendalikan hama R. linearis. Dengan
adanya pengembangan teknologi insektisida nabati
ini diharapkan dapat meningkatkan minat petani
dalam budidaya kedelai.
KESIMPULAN
Kedelai (Glycine max L.) merupakan salah
satu komoditas unggulan dalam mewujudkan
94 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86
swasembada pangan. Salah satu kendala dalam
budidaya kedelai yaitu adanya serangan hama R.
linearis. Hama tersebut dapat menyebabkan
kehilangan hasil mencapai 80% dan dapat
menyebabkan gagal panen apabila tidak
dikendalikan.
Salah satu pengendalian berdasarkan
konsep PHT yaitu dengan memanfaatkan
insektisida nabati. Secara umum, beberapa jenis
insektisida nabati yang telah dikaji mampu
menekan bahkan membunuh R. linearis dengan
kandungan bahan aktif yang dimiliki oleh setiap
insektisida nabati tersebut. Ketersediaan bahan
baku yang melimpah di Banten menjadi salah satu
potensi dalam pengembangan pemanfaatan
insektisida nabati diantaranya tumbuhan sirsak,
mengkudu, pepaya, babadotan, dan pacar cina.
Untuk jangka panjang, perlu dilakukan pengkajian
secara lanjut mengenai formulasi bahan aktif dari
bahan insektisida nabati yang terdapat di daerah
Banten agar dapat meningkatkan keefektifan dalam
mengendalikan hama R. linearis di lapang.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih penulis sampaikan kepada
Bapak Dr. Achmad Dinoto sebagai pembimbing
dalam kegiatan Pelatihan Pembentukan Jabatan
Fungsional Peneliti, Bapak Ir. Agus Muharam,
M.Si. sebagai pembimbing dalam kegiatan
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah BBP2TP, dan
Bapak Dr. Ir. Sudi Mardianto, M.Si. sebagai
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Banten atas masukannya kepada penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia E.R., A.M. Hariri, P. Lestari, dan
Purnomo. 2017. Uji mortalitas penghisap
polong kedelai (Riptortus linearis F.)
(Hemiptera: Alydidae) setelah aplikasi
ekstrak daun pepaya, babadotan dan mimba
di laboratorium. Jurnal Agrotek Tropika
Vol. 5 (1): 46-50, Januari 2017.
http://media.neliti.com. [19 Agustus] 2018.
Apriliyanto E. dan A.A. Suhastyo. 2017.
Teknologi pengendalian hama kepik coklat
kedelai dengan ekstrak daun sirsak dan
gulma siam. Seminar Nasional Humaniora
dan Teknologi 2017. Purwokerto, 7 Oktober
2017. http://journal.stikomyos.ac.id. [19
Agustus] 2018.
Arifin M. dan W. Tengkano. 2008. Tingkat
kerusakan ekonomi hama kepik coklat pada
kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan Vol. 27 (1): 47-54.
http://pangan.litbang.pertanian.go.id. [4
September] 2018.
Asadi. 2009. Identifikasi ketahanan sumber daya
genetik kedelai terhadap hama pengisap
polong. Jurnal Buletin Plasma Nutfah Vol.
15 (1): 27-31. http://www.researchgate.net.
[9 September] 2018.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. 2016.
Produksi padi, jagung, dan kedelai.
http://banten.bps.go.id. [20 November]
2018.
Balitkabi. 2018. Sinar Tani Edisi 3-9 Januari 2018
No 3733 Tahun XLVIII.
http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id. [21
Agustus] 2018.
Baliadi Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2008.
Penggerek polong kedelai Etiella zinckenella
Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae), dan
strategi pengendaliannya di indonesia. Jurnal
Litbang Pertanian 27(4): 113-123.
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publika
si/p3274081.pdf. [10 September] 2018.
Bayu M.S.Y.I. 2015. Tingkat serangan berbagai
hama polong pada plasma nutfah kedelai.
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia Vol. 1 (4): 878-883.
http://smujo.id. [18 Agustus] 2018.
Dadang dan D. Prijono. 2011. Pengembangan
teknologi formulasi insektisida nabati untuk
pengendalian hama sayuran dalam upaya
menghasilkan produk sayuran sehat. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 16 (2): 100-
111. http://journal.ipb.ac.id. [21 Agustus]
2018.
95Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)
Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)
Hendrival, Latifah, dan A. Nisa. 2013. Efikasi
beberapa insektisida nabati untuk
mengendalikan hama pengisap polong di
pertanaman kedelai. Jurnal Agrista Unsyiah
Vol. 17 (1): 18-27. http://media.neliti.com.
[19 Agustus] 2018.
Illah I.N., A. Ramadhan, dan F. Dhafir. 2017. Daya
bunuh ekstrak biji kamandrah (Croton
tiglium l) terhadap kepik coklat penghisap
polong kacang panjang (Riptortus linearis)
dan penggunaannya sebagai media
pembelajaran. Jurnal Biologi Vol. 5(1): 48-
57. http://jurnal.untad.ac.id. [19 Agustus]
2018.
Indiati S.W. dan Marwoto. 2017. Penerapan
pengendalian hama terpadu (pht) pada
tanaman kedelai. Balai Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi. Buletin Palawija
Vol. 15 (2): 87-100. http://media.neliti.com.
[19 Agustus] 2018.
Koswanudin D. 2011. Pengaruh ekstrak daun
Aglaia odorata terhadap perkembangan
hama pengisap polong kedelai Nezara
viridula dan Riptortus linearis. Balai
Penelitian Dan Pengembangan Bioteknologi
Dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Seminar Nasional VIII Pendidikan Biologi
FKIP UNS 2011. Biologi, Sains,
Lingkungan, dan Pembelajarannya Menuju
Pembangunan Karakter hal. 153-156.
http://media.neliti.com. [19 Agustus] 2018.
Laurencia D.S., Lahmudin, dan Marheni. 2016.
Potensi serangan hama kepik hijau Nezara
viridula L. (Hemiptera: Pentatomidae) dan
hama kepik coklat Riptortus linearis L.
(Hemiptera: Alydidae) pada Tanaman
kedelai di rumah kassa. Jurnal
Agroekoteknologi Vol. 4 (3): 2003-2007.
http://media.neliti.com. [9 September] 2018.
Marwoto. 2006. status hama pengisap polong
kedelai Riptortus linearis dan cara
pengendaliannya. Buletin Palawija No. 12:
69–74.
http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id. [21
Agustus] 2018.
Mawan A. dan H. Amalia. 2011. Statistika
demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera:
Alydidae) pada kacang panjang (Vigna
sinensis L.). J. Entomol. Indon. Vol. 8 (1):
8-16. http://media.neliti.com. [27
November] 2018.
Prijono D. dan H. Triwidodo. 1993. Pemanfaatan
insektisida nabati di tingkat petani.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam
Rangka Pemanfaatan Insektisida Nabati hal.
76-85, Bogor 1-2 Desember 1993.
http://researchgate.net. [9 September] 2018.
Purba R. 2012. Peluang pengembangan penangkar
kedelai di banten. balai pengkajian teknologi
pertanian Banten.
http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id. [27
Agustus] 2018.
Saenong M.S. 2016. Tumbuhan indonesia
potensial sebagai insektisida nabati untuk
mengendalikan hama kumbang bubuk
jagung (Sitophilus spp.). Balai Penelitian
Tanaman Serealia. Jurnal Litbang Pertanian
Vol. 35 (3): 131-142.
http://media.neliti.com. [29 Agustus] 2018.
Sari K.P. dan Suharsono. 2011. Status hama
pengisap polong pada kedelai, daerah
penyebarannya, dan cara pengendalian.
Buletin Palawija No. 22: 79-95.
http://media.neliti.com. [4 September] 2018.
Siburian D. 2013. Pengaruh jenis insektisida
terhadap hama polong Riptortus linearis F.
(Hemiptera: Alydidae) dan Etiella
zinckenella Treit. (Lepidoptera: Pyralidae)
pada tanaman kedelai (Glycine max L.).
Jurnal Online Agroekoteknologi Vol. 2 (2):
893-904. http://media.neliti.com. [29
Agustus] 2018.
Sinaga R.A., Marheni, dan F. Zahara. 2016. Uji
preferensi kepik coklat uji preferensi kepik
coklat Riptortus linearis Fabr. (Hemiptera:
Alydidae) pada tanaman kacang kedelai
(Glycine max L.), kacang hijau (Vigna
radiata L.) dan orok-orok (Crotolaria
pallida Aiton.) di rumah kassa. Jurnal
96 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86
Agroekoteknologi Vol. 4 (4): 2376-2381.
http://media.neliti.com. [4 September] 2008.
Sudartik E. 2015. Pengaruh penggunaan berbagai
jenis ekstrak tumbuhan untuk penekanan
tingkat populasi hama Riptortus linearis Fab
pada tanaman kedelai. Jurnal Perbal
Universitas Cokroaminoto Palopo Vol. 3 (3).
http://journal.uncp.ac.id. [29 Agustus] 2018.
Sudaryono, A. Taufiq, dan A. Wijanarko. 2007.
Peluang peningkatan produksi kedelai di
Indonesia.
http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id. [20
November] 2018.
Sumartini. 2016. Biopestisida untuk pengendalian
hama dan penyakit tanaman aneka kacang
dan umbi. Iptek Tanaman Pangan Vol.11
(2): 159-165.
http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id. [9
September] 2018.
Wiratno, Siswanto, dan Trisawa. 2013.
Perkembangan penelitian, formulasi, dan
pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Litbang
Pertanian Vol. 32 (4): 150-155.
http://media.neliti.com. [4 September] 2018.
97Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera
Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)
OPTIMALISASI LAHAN DI BAWAH TEGAKAN KELAPA DENGAN TANAMAN
SELA DI KABUPATEN HALMAHERA MALUKU UTARA
Abubakar Ibrahim1 dan Chris Sugiono
2
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Komplek Pertanian No.1 Kusu, Kec.Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara
E-mail: dewisahara.ds@gmail.com
ABSTRACT
Optimization of Land Under Coconut With Intercropping Plants in Halmahera District Maluku Utara. Optimization land by intercrops tunder coconut able to increase production and increase farm incomes. Some plants
that include food crops that can be planted ,horti and spices commonly planted by farmers and having high economic
value. This writing aimed at identifying potential optimization land under coconut with cultivation intercrops as an
alternative the increased production of and the income of farmers specific halmahera north Maluku. Based on a
some the results of research has done can be concluded that cultivation intercrop of under coconut has the potential
to increas coconut production. This was apparent from the increase flower by 30 % and fruit coconut as much as 20
%. furthermore of the intercrops of also able to increase their farmers of 100 - 200 % . The condition of land north
Maluku coconut in line is quite wide and having the condition wet temperate dry low lying areas have the potential to
the intercrops of to increase production and the income of farmers in line north maluku.
Keywords: Intercrops, under coconut, income, production
ABSTRAK
Optimalisasi lahan dengan tanaman sela di bawah tegakan kelapa mampu meningkatkan produksi tanaman kelapa
dan meningkatkan pendapatan petani kelapa. Beberapa tanaman sela yang dapat diusahakan adalah tanaman
pangan, horti dan rempah yang biasa ditanami oleh petani dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Tulisan ini bertujuan
untuk mengidentifikasi potensi optimalisasi lahan di bawah tegakan kelapa dengan budi daya tanaman sela sebagai
alternatif peningkatan produksi dan pendapatan petani spesifik Kabupaten Halmahera Maluku Utara. Berdasarkan
beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa budi daya tanaman sela di bawah tegakan
kelapa berpotensi meningkatkan produksi kelapa. Hal ini terlihat pada peningkatan produksi bunga sebesar 30 %
dan buah kelapa sebesar 20 %. Selain itu tanaman sela juga mampu meningkatkan pendapatan petani kelapa
sebesar 100 - 200 %.Kondisi lahan kelapa di Halmahera Maluku Utara cukup luas dan memiliki kondisi lahan
kering beriklim basah di dataran rendah berpotensi ditanami tanaman sela untuk meningkatkan produksi dan
pendapatan petani di Halmahera Maluku Utara.
Kata kunci: tanaman sela, tegakan kelapa, pendapatan, produksi
98Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:97-95
PENDAHULUAN
Kelapa (Cocos nucifera. L) merupakan
salah satu tanaman perkebunan yang strategis
dalam usaha pertanian karena hampir seluruh
bagian dari tanaman kelapa tersebut dapat
dimanfaatkan dan perannya yang sangat besar,
baik sebagai sumber pendapatan maupun sumber
bahan baku industri. Data Direktorat Jenderal
Perkebunan tahun 2017 menunjukkan bahwa luas
tanaman kelapa Indonesia mencapai 3.585.599 ha
dan sekitar 94,40 % diantaranya adalah kelapa
dalam yang merupakan perkebunan rakyat. Maluku
Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang memiliki areal perkebunan kelapa cukup luas.
Luas lahan perkebunan kelapa rakyat di
Maluku Utara adalah 214.527 Ha. Luasnya lahan
perkebunan kelapa di daerah ini karena tanaman
kelapa sudah lama dikenal di Maluku Utara.
Produksi tanaman kelapa di Maluku Utara sebesar
223.632 ton danproduktivitas tanaman kelapa di
Maluku Utara 1.374 kg / ha (Direktorat Jenderal
Tanaman Perkebunan, 2017).Kabupaten yang
memiliki luas lahan kelapa terbesar adalah
Halmahera Utara yaitu 48.958 ha. Kelapa yang
diusahakan pada umumnya adalah kelapa dalam
yang berumur sekitar 18 – 41 tahun dan luas lahan
yang dimiliki oleh masing – masing petani berkisar
0.5 sampai 6 Ha (Patty, 2011)
Produktivitas kelapa di Maluku Utara
masih tergolong rendah. Rendahnya produksi
kelapa di Maluku Utara ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu kebanyakan tanaman kelapa
yang berumur tua dan rusak akibat kurangnya
perawatan, pemanfaatan kelapa hanya sebatas
kopra, penerapan teknologi dan pemanfataan lahan
yang belum optimal. Padahal 80 % lahan kelapa
dapat dimanfaatkan guna menambah pendapatan
petani kelapa itu sendiri. Oleh karena itu
pemanfaatan lahan marjinal termasuk di bawah
tegakan kelapa dengan ditanami tanaman sela.
menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan
produktivitas kelapa dan dapat meningkatkan
pendapatan petani kelapa yang dihasilkan oleh
tanaman sela maupun kelapa. Tanaman sela yang
diusahakan sesuai dengan nilai ekonomi dan
kesukaan petani setempat. Pada umumnya tanaman
sela yang diusahakan berupa singkong, pisang,,
kedelai jagung dan kacang tanah.
POLA BUDI DAYA TANAMAN KELAPA DI
HALMAHERA MALUKU UTARA
Usaha budi daya tanaman kelapa di
Halmahera pada umumnya adalah pola usaha
monokultur. Hasil tanaman kelapa kebanyakan
masih kurang optimal karena kebanyakan tanaman
kelapa di Halmahera adalah tanaman yang sudah
tua dan merupakan tanaman warisan. Hal ini
mengakibatkan pendapatan yang diperoleh relatif
tidak mengalami peningkatan bahkan mengalami
penurunan akibat kurangnya sanitasi kebun dan
perawatan dengan baik (Patty, 2011).
Lahan di bawah tegakan kelapa di
Halmahera Maluku Utara berada pada
agroekosistem lahan kering, dataran rendah
beriklim basah dengan kondisi yang tidak terawat
dengan baik sehingga terdapat gulma dan
tumbuhan liar yang tumbuh di areal tersebut.
Kondisi ini memberikan pengaruh terhadap hasil
dari tanaman kelapa karena memacu munculnya
hama dan penyakit yang dapat merusak tanaman
kelapa tersebut.
Upaya optimalisasi lahan di bawah tegakan
kelapa agar lahan menjadi produktif dan produksi
kelapa yang maksimal maka diperlukannya sebuah
kegiatan budi daya tanaman sela di bawah tegakan
kelapa di Halmahera untuk membantu
meningkatkan produksi kelapa. Menurut Barus
(2013), optimalisasi lahan dibawah tegakan kelapa
berpotensi menghadapi faktor pembatas
ketersediaan air dan kemasaman tanah. Perbaikan
kesuburan tanah dapat dilakukan dengan
pemberian pupuk kandang 2-4 ton/ha ke dalam
tanah di bawah tegakan kelapa, dapat
meningkatkan produksi jagung1-2 ton/ha.
99Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera
Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)
STRUKTUR PENDAPATAN USAHA TANI
KELAPA
Petani kelapa di Maluku Utara pada
umumnya menjual hasil kelapa dalam bentuk
kopra. Kelapa yang sudah menjadi kopra kemudian
dijual di pedagang pengumpul yang ada di desa
maupun di kecamatan. Harga jual pun bervariasi
dan tidak menentu baik di Desa maupun di
Kecamatan. Menurut Popoko (2013) Harga yang
diterima petani lebih kecil daripada pedagang
pengumpul namun sistem ini masih dikatakan
efisien hal ini dilihat dari nilai EP lebih kecil dari
50 %
Usaha tani kelapa ini cukup layak untuk
dijalankan. Petani kelapa di Halmahera Maluku
Utara tidak begitu intensif dalam merawat kelapa
sehingga biaya perawatan pun tidak begitu besar.
Hasil analisis usaha tani kelapa yang dilakukan
oleh Hamka 2012 menyatakan bahwa Usaha tani
kelapa cukup layak diusahakan. Hasil analisis
tersebut dapat disajikan pada tabel berikut.
Tabel tersebut menjelaskan bahwa usaha
tani kelapa di Halmahera Selatan memiliki
pendapatan Rp. 10.085.318 /ha per tahun dengan
Revenue / Cost sebesar 1.74. R/C ratio adalah
perbandingan antara total pendapatan dengan total
biaya. Jika R/C ratio lebih besar 1 maka usaha
yang dijalankan mengalami keuntungan atau layak
untuk dikembangkan, jika nilai rationya lebih kecil
dari 1 maka usaha tersebut mengalami kerugian
atau tidak layak untuk dikembangkan. Selanjutnya
jika R/C = 1 maka usaha berada pada titik impas
(Soekartawi, 2006).
Hasil analisis yang dilakukan oleh Hamka
2012 menunjukkan bahwa usaha tani kelapa
mengalami keuntungan atau layak untuk
dikembangkan karena R/C rationya lebih besar dari
1.
Adapun hasi hasil analilis usaha tani yang
dilakukan oleh Massae dan Afandi 2017 di Desa
Kasoloang, Kecamatan Bambaira, Kabupaten
Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat. Penelitian
tersebut menjelaskan bahwa rata – rata pendapatan
usaha tani Kelapa dalam dengan luasan 1 -5 ha
sebesar Rp. 4.389.725 / ha, luas lahan 6 – 8 ha
sebesar Rp. 12.494.300 / ha dan luas lahan 11 – 20
ha sebesar Rp. 29.927.950 / ha sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin luas areal pertanaman
kelapa maka semakin tinggi tingkat pendapatan
petani.
PELUANG INTEGRASI DENGAN TERNAK
Selain itu dengan menanam tanaman sela
di bawah tegakan kelapa juga memberikan
pengaruh bagi petani kelapa yang memiliki ternak
sapi, karena setiap petani kelapa di Halmahera
Maluku Utara hampir semua memiliki ternak sapi.
Selain memberikan manfaat bagi produksi tanaman
kelapa, tanaman sela juga memberikan manfaat
pada ternak sapi.
Limbah dari tanaman sela dapat
dimanfaatkan sebagai pakan dari ternak sapi
tersebut dan kotoran sapi dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk untuk tanaman sela dan kelapa. Pola
tanam polikultur ini sangat membantu petani
peternak sapi dalam mengurangi biaya pakan
ternak yang cukup tinggi yaitu 99.78 % dari total
biaya produksi dan sisanya biaya obat – obatan
Tabel 1. Tabel 1. Rata–rata penerimaan usaha tani kelapa responden di Halsel
No Uraian Per hektar
1 Penerimaan usaha tani (Rp) 23.624.892
2 Biaya usaha tani(Rp) 13.539.574
3 Pendapatan usaha tani(Rp) 10.085.318
4 Revenue cost ratio (R/C) 1.74
Sumber: Hamka, 2012
100Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:97-95
hanya 0.22 % (Salendu dan Elly, 2014)
Selain mengurangi biaya pakan ternak
sapi, Integrasi ternak sapi dan tanaman sela di
bawah tegakan kelapa juga berpotensi dalam
meningkatkan pendapatan petani kelapa dari hasil
penjualan sapi tersebut dan kotoran sapi yang
diolah menjadi kompos dengan jumlah yang besar
sehingga selain dimanfaatkan sendiri untuk pupuk
tanaman sela dan tanaman kelapa juga dapat dijual
. (Elly et al, 2008)
Adapaun cara yang dikemukaan oleh
Santoso (2017) dalam penelitiannya tentang Upaya
yang perlu dilakukan dalam mengembangkan
sistem integrasi tanaman ternak yakni: 1)
Pembuatan kandang komunal untuk mempermudah
menghimpun dan memanfaatkan kotoran sapi; 2)
Budi daya tanaman pakan ternak spesifik di sela
tanaman kebun; dan 3) Diseminasi inovasi
teknologi yang menyeluruh baik dari pemanfaatan
limbah tanaman untuk ternak ataupun pemanfaatan
limbah ternak untuk tanaman dan inovasi teknologi
lainnya.
POTENSI TANAMAN SELA DALAM
MENINGKATKAN PRODUKSI DAN
PENDAPATAN PETANI KELAPA
Halmahera Utara merupakan salah satu
sentra perkebunan kelapa di Maluku Utara dengan
jumlah luasan perkebunan kelapa terbesar namun
produktivitas kelapa masih dikategorikan rendah
berkisar (0.5 – 0.8 ton/ha) jika dibandingkan
dengan provinsi lain seperti Gorontalo yang sudah
mencapai produksi per ha yang cukup baik yaitu 1
ton / ha (Patty, 2011). Hal ini karena masih
minimnya perawatan pada tanaman kelapa dan
minimnya pengetahuan petani tentang pengelolaan
usaha tani yang optimal. Salah satu cara untuk
meningkatkan produksi kelapa adalah dengan
ditanami tanaman sela di bawah tegakan kelapa
agar perawatan pada tanaman sela dapat berimbas
pada kesuburan tanaman kelapa.
Budi daya tanaman sela di bawah tegakan
kelapa dapat meningkatkan produksi tanaman
kelapa karena dengan adanya tanaman sela
perawatan yang dilakukan pada tanaman secara
tidak langsung memberikan pengaruh pada
tanaman kelapa sehingga dapat meningkatkan
kesuburan tanah sebab lahan di sektiar pohon
kelapa menjadi lebih bersih dari gulma dan lebih
terawat, selain itu hama dan penyakit pun
berkurang (Pranowo et al., 1999). Hal ini sejalan
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Tjahjana (2000) tanaman sela memberikan
pengaruh terhadap peningkatan jumlah bunga
betina dan kelapa buah jadi masing-masing sebesar
30% dan 20%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tarigans (2002) menunjukkan bahwa jumlah
produksi buah kelapa dan kopra per pohon maupun
per hektar per tahun, pada polikultur dengan
tanaman sela lebih tinggi jika dibandingkan dengan
tanaman kelapa monokultur. Peningkatan produksi
polikutur berkisar 64.29 % - 87.70 %. Sedangkan
peningkatan produksi kopra 69.69 % - 104.87 %
terhadap produksi kopra pola monokultur. Selain
itu pada tahun yang sama Listyati dan Pranowo
(2002) juga mengatakan dalam penelitiannya
bahwa usaha tani jagung di bawah tegakan kelapa
mampu meningkatkan pendapatan kepada petani
kelapa sebesar Rp. 2.655.000 / ha. Terdapat dua
keuntungan produksi yang diperoleh petani kelapa
berupa peningkatan produksi kelapa tanpa
pemberian pupuk secara khusus terhadap kelapa
dan tambahan pendapatan dari tanaman sela
tersebut (Kadekoh, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Randriani
et al (2004) di instalasi penelitian Pakuwon
menunjukkan bahwa tanaman sela nanas dapat
memberikan tambahan pendapatan sekitar Rp.
896.000 / ha. Adapun penelitian yang dilakukan
oleh Ruauw et al (2011) memberikan informasi
tentang pendapatan petani kelapa di Kabupaten
Minahasa tepatnya di desa Tolombukan,
Kecamatan Pesan bahwa tanaman sela cengkeh
memberikan kontribusi pada pendapatan petani
sebesar 70.57%. Hal ini disajikan pada tabel
berikut.
101Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera
Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)
Pendapatan dari kelapa monokultur dan
kelapa – cengkeh pada tabel 2 tersebut meningkat
sebesar 139 %. Hasil penelitian lain yang
dilakukan oleh Kawau et al (2015) menunjukkan
bahwa pola tanam kelapa dengan tanaman sela
memberikan pendaptan petani lebih tinggi daripada
pola tanam kelapa monokultur. Hasil analisis dapat
dijelaskan dalam tabel berikut ini
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa
pendapatan petani pada tanaman kelapa yang
disisipi tanaman sela lebih tinggi bila dibandingkan
dengan pola tanam kelapa secara monokultur.
Tanaman sela yang memberikan pendapatan
tertinggi adalah dengan tanaman sela padi ladang
sebesar lebih dari 14 juta /ha dan semua tanaman
sela memberikan peningkatan pendapatan petani
kelapa.
Penelitian yang dilakukan oleh Ruskandi
(2003) di wilayah Sukabumi, menjelaskan
perbandingan usaha jagung secara monokultur dan
usaha tani jagung di bawah tegakan kelapa. Usaha
budi daya jagung di bawah tegakan kelapa cukup
menguntungkan karena masih memberikan
tambahan pendapatan yang tidak jauh berbeda
dengan hasil budi daya jagung secara monokultur.
Adapun analisis usaha yang dilakukan oleh
Ruskandi (2003) disajikan pada Tabel 4.
Anasilis usaha tani yang dilakukan oleh
Ruskandi, 2003 tersebut masih dapat ditingkatkan
lagi produksi tanaman sela dengan perbaikan
teknologi. Peningkatan produktivitas tanaman sela
pada lahan di bawah tegakan tanaman tahunan
dengan intensitas cahaya rendah akan dapat dicapai
melalui perbaikan potensi hasil untuk
menghasilkan varietas berdaya hasil tinggi dan
perbaikan adaptasi tanaman untuk menghasilkan
varietas toleran (Sopandie dan
Trikoesumaningtyas, 2011).
Pengkajian yang telah dilakukan oleh
Tamburin pada tahun 2012 terhadap lima varietas
unggul baru jagung yaitu Srikandi Kuning,
Sukmaraga, Lamuru, Lagaligo, Gumarang dan
sebagai pembanding Mando Kuning sebagai
tanaman sela di bawah tegakan kelapa dalam yang
berumur 55-60 tahun memperlihatkan bahwa lima
varietas jagung tersebut dapat beradaptasi di bawah
tegakan kelapa dengan produktifitas 6.2 – 6.8 ton /
ha dan varietas pang produktifitas tinggi adalah
Sukmaraga yaitu 6.8 ton / ha.
Tabel 2. Rata-rata penerimaan dan pendapatan petani per tahun di desa Tolombukan, kecamatan Pasan Kabupaten
Minahasa
Jenis usaha Tani Total Penerimaan
(Rp) Total Biaya Produksi (Rp) Pendapatan (Rp)
Kelapa 8.315.650 3.423.701 4.891.948
Kelapa – Cengkeh 15.839.250 4.104.554 11.734.695
Sumber: Ruauw et al (2011)
Tabel 3. Pendapatan rata - rata usaha tani kelapa dengan tanaman sela di Kabupaten Minahasa Selatan
Jenis Tanaman Penerimaan Total Biaya Produksi
(Rp) Pendapatan (Rp)
Kelapa 7.579.000 4.684.030 2.894.970
Kelapa – Jagung 22.427.500 13.357.000 9.070.500
Kelapa – Cabai 33.251.000 10.875.920 12.775.080
Kelapa - Padi Ladang 36.220.500 11.600.700 14.134.800
Kelapa – Pisang 11.773.000 5.221.540 6.551.460
Kelapa – Rambutan 12.540.500 6.247.450 6.293.050
Sumber : Kawau et al (2015)
102Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:97-95
Tanaman sela jagung juga memberikan
nilai tambah pendapatan petani kelapa. Menurut
Sudana dan Malia (2005) bahwa keuntungan
kelapa secara monokultur sebesar Rp. 58.920
meningkat karena adanya tanaman sela jagung
menjadi Rp. 1.029.420. Hal ini berpeluang untuk
usaha jangka panjang dan perlu ditingkatkan lagi
melalui produktivitas kelapa akibat residu pupuk
dari tanaman jagung dan brangkasan jagung
maupun dari perbaikan jagung sendiri seperti
penggunaan varietas unggul baru. Menurut
Sopandie dan Trikoesoemaningtiyas (2011) upaya
dalam meningkatkan produksi tanaman sela di
bawah tegakan kelapa dapat dilakukan dengan
perbaikan potensi hasil untuk menghasilkan
varietas berdaya hasil tinggi dan perbaikan
adaptasi tanaman untuk menghasilkan varietas
toleran.
Tabel 4. Analisis Usaha Tani Di Bawah Tegakan Kelapa Dan Monokultur
Uraian
Monokultur di tempat
terbuka seluas 1 ha
(Rp)
Di antara tegakan kelapa
80% dari luas 1 ha
(Rp)
I. Biaya produksi
Upah tenaga kerja lepas dan borongan
Pengolahan tanah 300.000 240.000
Penyulaman 115.000 92.000
Penyiangan, pengguludan, dan pupuk lanjutan 35.000 28.000
Pengendalian hama penyakit
Panen 225.000 180.000
Pengangkutan 40.000 32.000
Pascapanen 108.000 86.400
kupas jagung 50.000 40.000
Pipil
Jemur 50.000 40.000
jumlah upah (biaya I) 200.000 160.000
II. Bahan 132.000 106.000
Benih jagung 25 kg 1.225.000. 1,.04.400
Pupuk buatan
Urea 312.000 249.000
SP-36
KCL 315.000 252.000
Obat-obatan 166.500 133.200
Furadan Drusban 193.500 154.800
Bahan pembantu lain (tali rafia, tambang dan ember) 62.500 50.000
jumlah bahan (Biaya II) 1.275.000 1.819.600
III. Biaya lain – lain
Honor pengamat/ pengawas 250.000 200.000
Biaya penjualan 50.000 40.000
Jumlah biaya lain - lain (biaya III) 300.000 240.000
Jumlah biaya (I+II+III) 2.830.500 2.264.000
Penerimaan kotor
Hasil jagung (kg) 2.085 1.668
Penerimaan kotor 3.336.000 2.668.000
Keuntungan 505.500 404.400
Sumber: Ruskandi, (2013)
103Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera
Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)
Selain faktor internal dari tanaman yang
dibudidayakan dibawah tegakan kelapa, faktor
eksternal juga perlu diperhatikan. Hal ini telah
dijelaskan oleh Barus (2013) pada penelitiannya di
Lampung yang menyatakan bahwa kondisi lahan
dan iklim setempat berpengaruh terhadap jenis
tanaman sela yang diusahakan. Hal ini karena
faktor penyinaran dan kesuburan lahan. Kondidi
lahan di tempat penelitiannya yaitu masam dengan
pH dibawah 5 dan ketersediaan hara P yang
rendah. yang. Oleh karena itu perlu dilakukan
perbaikan dengan pemberian inokulum pelarut
fosfat, pemeberian pupuk organik dan hayati.
Selain itu, Menurut Tarigans (2000),
kriteria lain yang perlu diperhatikan dalam
memilih tanaman sela adalah harga tanaman sela
yang diusahakan dipasar tidak fluktuatif agar
petani tidak mengalami kerugian. Tarigans juga
menguatkan pernyataanya dalam penelitian pada
tahun 2005 bahwa dalam penerapan usahatani
secara horizontal menuntut pemilihan tanaman
sela yang dikembangkan didasarkan kepada
prospek pasar sehingga tanaman terpilih mampu
berperan sebagai sumber pendapatan yang
potensial
Optimalisasi lahan di bawah tegakan
kelapa dengan disisipi tanaman sela di Halmahera
Maluku Utara adalah salah satu alternatif untuk
mendukung produksi dan pendapatan petani
kelapa. Hal ini dapat dilihat dari areal pertanaman
kelapa yang cukup luas namun tidak termanfaatkan
yang memiliki tingkat intensitas cahaya berkisar 50
– 60 % dan kondisi lahan di Halmahera yang
kering, beriklim basah dan dataran rendah. Oleh
karena itu tanaman yang cocok untuk kondisi
tersebut adalah tanaman yang dapat tumbuh pada
ketinggian 0 - 500 m dpl (Mahmud, 1998).
Tanaman yang sesuai dengan kriteria tersebut
adalah Jagung yang tahan toleran naungan dan
tahan cekaman, tanaman kacang – kacangan, dan
singkong karena tanaman tersebut adalah tanaman
yang biasanya diusahakan secara monokultur oleh
petani di Halmahera.
KESIMPULAN
Optimalisasi lahan dengan tanaman sela di
kabupaten Halmahera belum dilakukan oleh petani
kelapa. Produksi kelapa rata rata berkisar 0.5 – 0.8
ton / ha atau belum bisa mencapai 1 ton dan
pendapatan petani tidak menentu karena harga
yang bervariatif. Upaya dalam meningkatkan
produksi dan pendapatan petani kelapa di
Halmahera Maluku Utara adalah dengan
mengintroduksi tanaman sela untuk dibudidayakan
di bawah tegakan kelapa. Jenis tanaman sela yang
prospektif dan mempunyai arti strategis
diusahakan di bawah tegakan tanaman kelapa
adalah jagung, kacang tanah, singkong, pisang, dan
tanaman horikultur lain. Selain itu tanaman sela
memberikan dampak positif juga bagi petani
kelapa yang memiliki ternak sapi. Pengembangan
kedelai dan jagug di lahan kering di Maluku Utara
dapat dilakukan dengan peningkatan intensifikasi
melalui pengaturan pola tanam (intercropping) di
bawah tegakan kelapa dan kedelai maupun jagung,
sehingga diharapkan selain meningkatkan produksi
kelapa dan pendapatan petani juga menjadi suatu
cara baru untuk mendukung swasembada kedelai
dan jagung Halmahera Maluku Utara.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, J. 2013. Pemanfaatan lahan di bawah
tegakan kelapa di lampung.Jurnal Lahan
Suboptimal 2.(1):68-74.
Badan Pusat Statistik. 2018. Maluku Utara Dalam
Angka. BPS Provinsi Maluku Utara.
Ternate.
Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan. 2017.
Kelapa. Statistik Perkebunan Indonesia
Komoditas Kelapa. Jakarta.
Elly, F.H, Sinaga, M.B, Kuntjoro, U.S, Kusnadi,
N. Pengembangan Usaha Ternak Sapi
Rakyat Melalui Integrasi Sapi Tanaman Di
Sulawesi Utara. 2008. Jurnal Litbang
Pertanian.27(2):63-68.
104Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:97-95
Hamka. 2012. Analisis Faktor Produksi Tanaman
Kelapa Terhadap Pendapatan Petani. Jurnal
Agrikan Ummu 5.(1):50-55.
Kadekoh. 2007. Optimalisasi Pemanfaatn Lahan
Kering Berkelanjutan. Prosiding Seminar
Nasioanal Pengembangan Inovasi Lahan
Marginal.
Kawau, S.D., Pakasi., C.B.D., Sondakh, M.L.,
Rengkung, L.R., 2015, Kajian Pendapatan
Usaha Tani Kelapa Dengan Diversifikasi
Horizontal Pada Gapoktan Petani Jaya Di
Desa Poigar 1 Kecamatan Sinonsayang Kab.
Minahasa Selatan. ASE 11(3):41–52.
Mahmud, Z. 1998. Tanaman Sela Di Bawah
Kelapa. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 17(2):61-67.
Massae, Adan Afandy. 2017. Analisis Pendapatan
Dan Kelayakan Usaha Tani Kelapa Dalam
Di Desa Kasoloang Kecamatan Bambaira
Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi
Barat. e-J. Agrotekbis 5.(1):66-71.
Listyati, D dan Pranowo, D. 2002. Analisis Usaha
Tani Jagung Di Antara Kelapa. Jurnal
Habitat. 12(2):134-138.
Santoso, B dan Elsje, T. 2015. Pemanfaatan
Tanman Sela Di Antara Kelapa. Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri. 21(1):28-29.
Ruskandi. 2003. Prospek Usaha Tani Jagung
Sebagai Tanaman Sela Di Antara Tegakan
Kelapa. Buletin Teknik Pertanian 8.(2):55-
59.
Patty, Z. 2011. Analisis Produktivitas Dan Nilai
Tambah Kelapa Rakyat (Studi Kasus Di 3
Kecamatan Di Kabupaten Halmahera Utara).
Jurnal Agroforesty.6 (2):154-159.
Popoko, S. 2012. Pengaruh Biaya Pemasaran
Terhadap Tingkat Pendapatan Petani Kopra
Di Kecamatan Tobelo Selatan Kabupaten
Halmahera Utara. Jurnal UNIERA 2.(2):80-
91.
Randriani dalam Santoso, B. 2015. Pemanfaatan
Tanaman Sela Di Antara Kelapa. Warta
Penelitian dan Penegmabangan Tanaman
Industri. 21(1): 28-29.
Ruauw, E. Baroleh, J. Powa, D. 2011. Kajian
Pengelolaan Usaha Tani Kelapa Di Desa
Tolombukan Kecamatan Pasan Kabupaten
Minahasa Tenggara. ASE 7.(2): 39-50.
Santoso, B.A. 2017. Analisis Pendapatan terhadap
Karakteristik Usaha Tani Integrasi Tanaman
Perkebunan-Sapi di Desa Mesa Kabupaten
Maluku Tengah. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 22(2):108-114.
Salendu, A.H.S dan Elly, H.F. 2014. Analisis
Pendapatan Petani Kelapa-Ternak Sapi Di
Kawasan Agropolitan Kecamatan Tenga
Kabupaten Minahasa Selata. Jurnal Zootek
34.(1):1-13.
Soekartawi. 2006. Ilmu Usaha Tani. UI Press.
Jakarta.
Sopandie dan Trikoesoemaningtiyas. 2011.
Pengembangan Tanaman Sela Di Bawah
Tegakan Tanaman Tahunan. Iptek Tanaman
Pangan 6.(2): 168-182.
Sudana, W dan I.E, Malia. 2005. Keragaan Usaha
Tani Kelapa Rakyat Dan Peluang Jagung
Sebagai Tanaman Sela Di Sulawesi Utara.
Penyediaan Paket Teknologi Pertanian
Terpadu Mempercepat Pengembangan
Agribisnis Dan Ketahanan Pangan. Prosing
Seminar Nasional Manado.
Tamburin, Y. 2012. Kajian Adaptasi Varietas
Unggul Baru Jagung DiAntara Pertanaman
Kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan
provinsi Sulawesi Utara. B. Palma. 13(1): 2-
40.
Tarigans, D.D. 2000. Introduksi Pola Tanam
Campuran Dalam pengusahaan Tanaman
Kelapa. Warta penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri. 5(4): 12-17.
Tarigans, D.D.,2002. Sistem Usaha Tani Berbasis
Kelapa. Perspektif. 1 .(1):18- 32.
105Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera
Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)
Tarigans, D.D. 2005. Diversifikasi usaha Tani
Kelapa Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan
Pendapatan Petani. Jurnal Perspektif. 4(2):
71-78.
Tjahjana, B.E., Rusli, M. Herman, D. Listiyati, G.
Indriati, H. Tampake, D.D. Tariganas, dan
A. Mahfuth. 2000. Manipulasi Jarak Dan
Sistem Tanam Kelapa Untuk Pola Tanam.
Laporan Hasil Penelitian Bagian Proyek
Penelitian Pola tanam Kelapa. Loka
Penelitian Pola Tanam Kelapa. Pakuwon.
top related