wali fasiq dalam pernikahan -...
Post on 25-Aug-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
WALI FASIQ DALAM PERNIKAHAN
(Studi Perbandingan Pendapat Imam Al-Mawardi Dan Imam Al-Kasani)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
Siti Umi Nurus Sa’adah
132111129
JURUSAN AKHWAL ASY-SYAHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
iv
MOTTO
1. مرشد و شاهدي عدل ال نكاح إال بإذن ولي
“Tidak ada Nikah yang sah kecuali dengan izin wali yang mursyid dan dua saksi
yang adil.” (H.R. Baihaqi dan Bukhari)
اء بعض إال تفعلوه تكن فتنة فى الرض وفساد روا بعضهم أوليوالذين كف
كبير
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang
telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar.” (Q.S. Al-Anfal [08]: 73)2
1 Abu Qasim Sulaiman bin al-Baqihaqi, al-Mu’jam al-Austah, Kairo: Dar al-Haramain,
1995, hal. 166 2 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kudus: Mubarakatan Tayyibah
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjalanan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan kaya tulis sekripsi ini untuk orang-rang yang selalu
hadir dan berharap keindahan-Nya. Sebagai rasa syukur kepada Allah Swt
Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu
kehidupan untuk:
1. Orang tuaku tercinta, ayahanda Sahlan dan Ibunda Darsih yang
senantiasa memberikan do’a restu, motivasi, cinta dan kasih sayang
disetiap waktu dengan penuh keikhlasan. Salam ta’dzimku kepadamu
ayah dan ibu, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat, ampunan
serta kebahagian dunia akhirat bagimu berdua, Amiin.
2. Bapak Dr. KH. Fadholan Musyaffa’, LC.MA, Bapak KH. Abdul
Kholiq, LC, Bapak KH. Mustagfirin, S.Pd.I, bapak Muhammd
Qalyubi, S.Ag, dan Bapak Ruhani S.Pd.I, M.Pd, sang inspirator yang
telah membuka cakrawala ilmu yang sangat luas bagi penulis.
3. Kakak-kakakku tersayang dan kakak-kakak iparku, Siti Sofiyah dan
Abdul Lathif, Khumairoh dan Muhammad Thoifur, Siti Masyfu’ah dan
Misbahul Munir, Siti Rohmatul Mu’awwanah dan Mifathul Huda yang
selalu memberikan semangat bagi penulis.
4. Keponakan-keponakan yang imut dan lucu, Shicha Uhbatul Maula, M.
Badrus Sa’idil Hamidi, M. Hisyam Ma’ruf, M. Kuroyyim Rojih, M.
Lutfillah Aufa wajah polos kalian yang selalu memberikan warna
hidup.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tdak berisi maeteri yang
telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi pikiran-pikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam
refrensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 14 Juli 2017
Deklarator
Siti Umi Nurus Sa’adah
132111129
vii
ABSTRAK
Wali dalam pernikahan memiliki kedudukan yang penting sehingga ada
beberapa kriteria yang disyaratkan wali dalam pernikahan. Menurut jumhur ulama
wali merupakan orang yang mengucapkan ijab dalam pernikahan. Sedangkan
secara bahasa wali merupakan penolong, pelindung dan penguasa. Wali dalam
pernikahan bermacam-macam wali nasab, wali hakim dan wali tahkim. Posisi
manusia diciptakan Allah Swt di bumi untuk menjadi khalifah yang menjalankan
tugas meramaikan (membangun) dunia serta mentaati perintah dan menjauhi
segala larangannya. Terkait dengan sifat manusia, ada banyak faktor yang
menjadikannya untuk melakukan perbuatan tercela. Seperti kurangnya ilmu
agama baik yang bersifat ubudiyah maupun ta’abbudiyah. Orang fasiq merupakan
salah satu sifat tercela yang dimurka Allah Swt yang masih ditanyakan kaitannya
dengan melakukan perintah Allah yang bersifat ta’abbudiyah.
Dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai keabsahan wali fasiq
dalam pernikahan. Ada beberapa rumusan masalah yang akan penulis teliti untuk
memecahkan permasalahan tersebut, diantaranya adalah pertama bagaimana
pendapat dan metode istinbath hukum Imam al-Mawardi dan Imam al-Kasani
tentang wali fasiq dalam pernikahan, dan kedua bagaimana relevansi wali fasiq
dalam pernikahan dengan perilaku masyarakat Indonesia.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library
research). Sumber data diperoleh dari data sekunder dan data pendukung lainnya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan
teknik dokumentasi. Setelah mendapatkan data yang diperlukan, maka data
tersebut dianalisis dengan metode analisis komparatif.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ‘illat hukum yang
digunakan Imam al-Mawardi dalam menghukumi tidak sah pernikahan dengan
wali fasiq adalah sifat rusyd (memiliki ilmu agama yang banyak) tidak dimiliki
orang fasiq. Metode istinbaht yang digunakan Imam al-Mawardi adalah as-
Sunnah. Kemudian ‘illat yang digunakan Imam al-Kasani dalam menghukumi sah
pernikahan dengan wali fasiq adalah orang fasiq masih memiliki akal yang
kemungkinan dapat membimbing dan mengarahkan seseorang menuju jalan yang
benar, meskipun kemungkinannya sedikit. Metode istinbaht yang digunakan
adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Metode istinbath hukum yang digunakan kedua
Imam tersebut memiliki perbedaan, sehingga keduanya menghasilkan interpretasi
yang berbeda kaitannya dengan wali fasiq dalam pernikahan.
Kata kunci : wali, fasiq, hukum islam di Indonesia
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi huruf Arab yang dipakai dalam menyusun skripsi ini
berpedoman pada Keputusan Bersama Menteri agama dan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987.
1. Konsonan No Arab Latin
No Arab Latin
{t ط Tidak dilambangkan 16 ا 1
{z ظ B 17 ب 2
‘ ع T 18 ت 3
G غ s| 19 ث 4
F ف J 20 ج 5
Q ق h} 21 ح 6
K ك Kh 22 خ 7
L ل D 23 د 8
M م z\ 24 ذ 9
N ن R 25 ر 10
W و Z 26 ز 11
H ه S 27 س 12
' ء Sy 28 ش 13
Y ي s} 29 ص 14
{d ض 15
2. Vokal pendek 3. Vokal panjang
qa>la قال <a = ئا kataba كتب a = أ
qi>la قيل <i = ئي su'ila سئل i = إ
yaqu>lu يقول <u = ئو yaz|habu يذهب u = أ
4. Diftong
kaifa كيف ai = اي
h}aula حول au = او
5. Kata sandang Alif+Lam
Transliterasi kata sandang untuk Qamariyyah dan Shamsiyyah dialihkan menjadi
= al
حمن al-‘A<lami>n = العالمين al-Rahma>n = الر
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang senantiasa memberikan
Rahmat, Hidayah, Taufiq serta Inayah-Nya kepada seluruh hambanya.Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Agung Nabi akhirus
zaman beliau Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang yakni Agama Islam, serta yang
kita nanti-nantikan syafa’atnya di hari kiamat kelak.
Suatu kebahagian tersendiri jika suatu tugas dapat terselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari akan keterbatasan
ilmu yang dimiliki penulis, tentunya banyak bimbingan dan masukan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak rasa terimakasih
kepada :
1. Bapak Drs. H. Ahmad Ghozali M.SI., selaku pembimbing I dan Bapak
Muhammad Soim, S.Ag., MH., Selaku pembimbing II, yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
arahan dan masukan dalam materi skripsi ini.
2. Ayah dan Ibu tercinta, Bapak Sahlan dan Ibu Darsih yang senantiasa
memberikan do’a dan dukungan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan penuh suka cita.
3. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor UIN Walisongo
Semarang.
4. Bapak Dr. Akhmad Arif Junaidi, M.Ag. selaku dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
5. Seluruh Dosen, Karyawan dan Civitas akademika Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
6. Keluarga penulis, kakak-kakakku Siti Sofiyah, S.Pd.I, Khumairoh,
S.Pd., Siti Masyfu’ah, Siti Rohmatul Mu’awwanah, S.Pd.I yang telah
memberikan dorongan materil maupun moril dalam setiap pijakan
proses menuntut ilmu.
x
7. Keponakan-keponakanku, Shicha Uhbatul Maula, M. Badrus Sa’idil
Hamidi, M. Hisyam Ma’ruf, M. Kuroyyim Rojih, M. Lutfillah Aufa
wajah polos kalian yang selalu memberikan warna hidup.
8. Seluruh sanak saudara dari Bani Bakri dan Bani Pasilah yang selalu
mendo’akan penulis.
9. Seluruh keluarga besar Ma’had al-Jami’ah Walisongo, khususnya
Bapak KH. Fadholan Musaffa’, LC. MA., dan Ibu Fenty Hidayah,
S.Pd.i. dan segenap Rayon Sudan dan rayon Mecca.
10. Seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Roudhatuth Tholibin,
khususnya Ibu Nyai Hj. Muthohirah, Bapak KH. Abdul Khaliq, LC.,
Bapak KH. Mustaghfirin, LC., Bapak Muhammad Qalyubi, S.Ag., dan
Bapak Ruhani, S.Pd.I, M.Pd., yang dengan penuh sabar dan keikhlasan
beliau-beliau membimbing mengarahkan memotivasi serta nasihat-
nasihat beliau.
11. Teman-teman santri PP. Raudhatuth Tholibin (PPRT) khususnya
Teman-teman seperjuangan: Zumaroh, Zatul, Mawar, Maulida, Ulfa,
Khilya, Karimah, Husna, Risma, Nihla, Uyun, et all. Kebersamaan dan
canda tawa yang selalu terkenang dalam memori hidupku.
12. Teman-teman kelas Muqaranah Madzahib 2013: Rahma, Irfa’, Nida,
Isria, Maftuhah, Asri, Uswah, Aziz, Bagus, Zarko, Rohmat et all,
semoga tetap terjalin tali persaudaraan kita selamanya.
13. Keluarga KKN Reguler ke-67 Boyolali Posko 20: Tri Margono, Dian
Wicaksono, Priliansyah Ma’ruf , Syamsul, Aziz, Farid, Rofida,
Hazian, Eva, Annisaul, Miss Asiyah, Farikha. Yang memberikan kesan
dan pengalaman hidup yang selalu terkenang dalam memori.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebukan satu persatu yang telah
membantu hingga selesainya skripsi ini.
Kepada semua pihak yang telah penulis sebutkan, semoga Allah senantiasa
membalas amal baik mereka dengan sebaik-baiknya balasan. Serta meninggikan
xi
derajat dan selalu menambahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis dan
mereka semua. Amin.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis sadar sepenuhnya
bahwa karya tulis ini sangat jauh dari kesempurnaan. Sehingga kritik dan saran
konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan karya tulis penulis
selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan
refrensi bagi generasi penerus dan semoga karya kecil ini dapat bermanfaat untuk
penulis khususnya dan untuk pembaca pada umumnya.
Semarang, 28 Mei 2017
Penulis
Siti Umi Nurus Sa’adah
NIM. 132 111 129
xii
DAFTAR ISI
Halaman Cover .................................................................................................. i
Halaman persetujuan pembimbing..................................................................... ii
Halaman pengesahan ......................................................................................... iii
Halaman Motto .................................................................................................. iv
Halaman persembahan ....................................................................................... v
Halaman Deklarasi ............................................................................................. vii
Halaman Abstrak ............................................................................................... viii
Halaman Translitrasni Bahasa ........................................................................... x
Halaman Kata Pengantar ................................................................................... ix
Halaman Daftar Isi ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
B. Rumusan Masalah ..............................................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................................
D. Telaah Pustaka ...................................................................................
E. Metode Penelitian ..............................................................................
F. Sistematika Penulisan ........................................................................
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI WALI NIKAH DAN FASIQ
A. Wali Nikah
1. Pengertian Wali Nikah ................................................................. 21
2. Dasar Hukum Wali Nikah ............................................................ 25
3. Macam-Macam Wali Nikah ......................................................... 28
B. Fasiq
1. Pengertian Fasiq ............................................................................ 31
2. Macam-macam Fasiq .................................................................... 32
3. Kriteria dan ciri-ciri Fasiq ............................................................. 35
4. Keabsahan Wali Fasiq Dalam Pernikahan .................................... 41
BAB III ORANG FASIQ MENJADI WALI NIKAH MENURUT IMAM AL-
MAWARDI DAN IMAM AL-KASANI
xiii
A. Imam Al-Mawardi
1. Biografi Imam Al-Mawardi ........................................................... 44
2. Hasil Karya Imam Al-Mawardi dan Murid-muridnya ................... 45
3. Metode Istinbath Hukum yang digunakan Imam Al-Mawardi ...... 48
4. Pendapat Imam Al-Mawardi Tentang Orang Fasiq Menjadi Wali
Nikah .............................................................................................. 50
5. Dasar Hukum Imam Al-Mawardi Mengenai Orang Fasiq Menjadi
Wali Nikah ..................................................................................... 52
B. Imam Al-Kasani
1. Biografi Imam Al-Kasani............................................................... 55
2. Hasil Karya Imam Alkasani dan Murid-muridnya......................... 56
3. Metode Istinbath Hukum yang digunakan Imam Al-Kasani.......... 57
4. Pendapat Imam Al-Kasani Tentang Orang Fasiq Menjadi Wali
Nikah .............................................................................................. 60
5. Dasar Hukum Imam Al-Kasani Mengenai Orang Fasiq Menjadi Wali
Nikah .............................................................................................. 63
BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP KEABSAHAN WALI FASIQ
DALAM PERNIKAHAN MENURUT IMAM AL-MAWARDI DAN
IMAM AL-KASANI
A. Analisis Perbandingan Pendapat Imam Al-Mawardi dan Imam Al-Kasani
Tentang Hukum Wali Fasiq Dalam Pernikahan ................................... 66
B. Relevansi Pendapat Imam Al-Mawardi Dan Imam Al-Kasani Mengenai
Wali Fasiq dalam pernikahan Dengan Perilaku Masyarakat Indonesia
Masa Kini ............................................................................................. 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 83
B. Saran ...................................................................................................... 84
C. Penutup .................................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, yaitu dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan tentram. Kehidupan bersama
yang diciptakan dalam rumah tangga ini yang kemudian akan melahirkan
anak dari keturunan mereka dan merupakan sendi yang paling utama bagi
pembentukan negara dan bangsa. Kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat dan negara, sebaliknya rusak dan kacau hidup bersama yang
bernama keluarga ini akan menimbulkan rusak dan kacaunya bangunan
masyarakat.1 Perintah Allah kepada manusia untuk menikah sebagaimana
dalam firman-Nya dalam Al-Qur‟an :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Q.S. an-Nuur : 32)2
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-
1 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, cet ke-1, hal. 3
2 Al-Qur‟an dan Terjemahannya Juz 16s/d 30, Kudus: Mubarakatan Thoyyibah, t.t., hal.
354
2
cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah.”
(Q.San-Nahl : 72)3
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. ar-
Rumm : 21)4
Perintah untuk menikah dapat kita temukan dalam sabda Nabi Saw
yang berbunyi :
زذثب ذ ث س جخ أث ش ث ثىش ث از س ث س خ ػ ؼب أخجشب أث س افظ خ ؼب أث ؼب ػ خ ذ ؼالء ا ا
خ لبي و م ػ ػ إثشا ش ػ ى فم الػ ث غ ػجذالل ش ذ أ
خه خبسخ أال رض بأثب ػجذاشز ب ث فمبي ػث ؼ سذ فمب ب ػث
به لبي فمبي ػجذ الل ص ضى ب شن ثؼض ب رزو ذ شبثخ ؼ ل ئ
جبءح ا ى إعزطبع ؼشش اشجبة ملسو هيلع هللا ىلص ب ران مذ لبي ب سعي الل
ثبص غزطغ فؼ فشج أزص جصش أغض ج فإ زض ف
خبء.سا غفإ 5
Artinya:“Dari Yahya bin Yahya At-Tamimi, Abu Bakar bin Abu Syaibah
dan Hammad bin Al-„Ala Al-Hamdani semuanya memberitahukan dari
Abu Mu‟awiyah sebagai lafadz hadits dari yahya, Abu Mu‟awiyah telah
mengabarkan kepada kami dari al-A‟masy dari Ibrahim, dari Alqamah, ia
berkata aku berjalan bersama Abdullah di Mina, lalu ia ditemui oleh
Utsman ra, maka terjadilah dialog diantara keduanya. Utsman bertanya
kepada Abdullah, Wahai Abdurrahman! Tidakkah engkau ingnin kami
nikahkan dengan seorang perempuan yang masih muda agar perempuan
tersebut bisa mengingatkanmu akan sebagian dari masa lalumu? Alqamah
3Ibid, hal. 274
4Ibid, hal. 406
5Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Harisma, t.t., hal. 200. Lihat juga
Imam Muslim, Shohih Muslim Syarah an-Nawawi, juz 7, Bairut Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah,
t.t., hal. 171-172
3
berkata, Abdullah menjawab, Jika kamu mngatakan demikian, maka
sungguh Rasulullah Saw pernah bersabda kepada kami, “ Wahai para
pemuda barang siapa di antara kamu sekalian yang sudah mampu
memberi nafkah dan mampu berjimak maka hendaklah ia menikah, karena
ia lebih dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan
barang siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab itu
bisa menjadi perisai (kendali) baginya.”
Tercapainya rukun akad nikah dan syarat nikah merupakan
pengertian pernikahan secara syara‟.6 Pernikahan di Indonesia akan diakui
dan sah menurut islam maupun menurut negara jika telah memenuhi rukun
dan syarat dalam pernikahan. Adapun rukun nikah secara umum terdiri
dari : Shighat (Ijab dan Qabul), wali, dua orang saksi dan kedua calon
mempelai. Sedangkan syarat nikah adalah : mahar atau mas kawin.
Sedangkan rukun nikah menurut para ulama berbeda-beda yaitu :
1. Ulama‟ Hanafiyah mengatakan rukun nikah hanya ijab dan
qabul yang menjadi rukun nikah.
2. Ulama‟ Malikiyah, mengatakan rukun nikah ada lima yaitu
wali, mahar, zawj (calon suami), zawjah (calon istri) dan
shighah (ijab-qabul).
3. Ulama‟ Syafi‟iyah,membagi rukun nikah ada lima, yaitu
zawj,zawjah, wali, dua saksi, dan shighah. Namun ada juga
ulama‟ Syafi‟iyah yang memasukkan dua saksi sebagai syarat
bukan rukun.7
4. Ulama‟ Hanabilah, mengatakan rukun nikah ada tiga yaitu
suami dan istri, ijab dan qabul.8
Hal-hal yang mendorong terjadinya pernikahan seperti subyek
dalam malukan prosesi pernikahan harus berakal, baligh, merdeka, wanita
yang tidak diharamkan, disyaratkan laki-laki bagi wali dan saksi bahkan
6 „Alauddin as-Samarqandi, Tuhfatul Fuqaha‟ juz 2, Bairut Libanon: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah, 1984, hal. 118 7 Moh. Fauzi, Sejarah Sosial Fikih, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, cet-1, hal. 150.
Lihat juga Abdur Rahman al-Jaziri, Fiqh „ala Madzhib al-Arba‟ah, juz 4, Bairut Libanon: Dar al-
Kotob Al-Ilmiyah, 2003, hal. 16-17 8 Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris bin Al-Buhuti, Kasysysaf al-Qinna‟ jilid 5,Bairut:
Alam al-Kutub, 1983, hal. 37
4
ada yang meyebutkan harus adil. Merupakan serangkaian syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam prosesi akad nikah.9
Wahbah az-Zuhaili membedakan antara rukun dan syarat nikah.
Rukun nikah hanya ada satu yakni shighat (Ijab dan Qabul). Sedangkan
syarat nikah beliau mengelompokkan dalam empat jenis syarat dalam
pernikahan yaitu syarat in‟iqād (pelaksanaan), syarat shihhah (sah), syarat
nafaadz (terlaksana) dan syarat luzuum (kelanggengan). Sedangkan wali
merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan yang disyaratkan demi
keabsahan sebuah pernikahan.10
Ibnu Rusyd membagi syarat nikah
menjadi 3 macam. Diantaranya adalah Wali, Saksi dan Mahar. Setiap
bagian tersebut ada penjelasan dan syarat yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan akad nikah.11
Akad nikah tidak akan sah kecuali dengan kehadiran wali.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 232 yang artinya
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya.” Imam al-Syafi‟i berkata: Semua pernikahan
tanpa wali adalah batil (tidak sah) berdasarkan sabda Nabi Saw :
ي الل ػبئشخ لبذ : لبي سع ػ ب ب ملسو هيلع هللا ىلص أ ش إر شأح ىسذ ثغ ا
ب ثبط فىبز طب ا فبغ عزدش ب, فإ فشخ باعزس ش ث ب ا ب ف ث دخ , فإ
أخشخ السثؼخ ال زجب اث اخ س أث ػ صس إال اغبئى,
اسبو 12
“Dari Aisyah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda :“Siapa saja diantara
wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal. Jika
dia sudah kumpul maka wajib memberi makan, bila para wali menolak,
maka sulton menjadi wali orang perempuan yang tidak punya wali.”
Berdasarkan hadits di atas peran wali sangat penting dalam sebuah
pernikahan dan tidak akan sah bila tidak adanya seorang wali. Wali dalam
9Alauddin as-Samarqandi, op.cit, hal. 120
10 Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu 9, penerjemah Abdul hayyie al-Kattani,
dkk, cet-1, Jakarta: Gema Insani, 2011, hal. 67 11
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid juz 3, Kairo Al-Azhar:Dar as-Salaam, 1995, hal.
1248 12
Ibnu Hajar al-„Asqolani, op.cit, hal. 204
5
pernikahan merupakan orang yang memiliki hak kuasa untuk menikahkan
seseorang walau terkadang hak itu bisa diberikan kepada orang lain
dengan seizinnya. Deskripsi tersebut dapat mengidentifikasikan wali
sebagai sosok yang memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap
kelanggengan pernikahan.13
Para ulama berbeda pendapat mengenai wali apakah merupakan
syarat sah atau syarat tamam nikah. Menurut ulama Malikiyah dan ulama
Syafi‟iyah wali merupakan syarat sah nikah. Berbeda dengan ulama
Hanafiyah wali merupakan syarat tamam nikah. Oleh karena itu kehadiran
wali menurut ulama Hanafiyah tidak mempengaruhi pelaksanaan akad
nikah. Hal ini di kuatkan dengan riwayat Ibnu Qasim dari Malik bahwa
kehadiran wali merupakan sunnah bukan wajib.14
Makna perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan
pertolongan. Sedangkan menurut istilah para fuqaha‟ memiliki makna
kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada
izin seseorang. Sebab disyari‟atkannya perwalian dalam menikahkan anak
kecil dan orang-orang gila adalah perwalian yang bersifat harus. Yang
berupa perlindungan terhadap kepentingan mereka itu, serta penjagaan
hak-hak mereka akibat ketidakmampuan dan kelemahan mereka agar
jangan sampai hak mereka ini hilang dan tersia-siakan.15
Pasal 1 Huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan;
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang
untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua
orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan
perbuatan hukum.16
Kedudukan wali dalam pernikahan masih ada khilaf diantara
kalangan para madzhab. Imam Hanafi tidak mensyaratkan wali dalam
perkawinan. Perempuan yang sudah baligh dan berakal boleh
13
Abu Yasid, Fiqh Today; Fatwa Tradisional untuk Orang Modern; Buku Tiga:Fikih
Keluarga, Jakarta: Erlangga, 2007, hal. 93 14
Ibnu Rusyd, op. cit, hal. 1248 15
Wahbah az-Zuhaili,op. cit, hal. 178 16
Kompilasi Hukum Islam Offline
6
mengawinkan dirinya sendiri, tetapi wajib dihadiri oleh dua orang saksi,
sedangkan Imam Malik berpendapat, bahwa wali adalah syarat untuk
mengawinkan perempuan bangSawan bukan untuk mengawinkan
perempuan awam.17
Perbedaan pendapat tentang kedudukan wali dalam pernikahan di
atas, pada dasarnya berpangkal pada perbedaan istinbath al-hukm
(pengambilan hukum) terhadap nas al-Qur‟an dan al-hadits. Diantara nas
Al-Qur‟an yang dijadikan dalil kelompok yang mengharuskan adanya wali
dalam pernikahan adalah :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Q.S. an-Nur : 32)18
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
17
Departemen Agama, Ilmu Fiqih jilid I, Jakarta: IAIN Jakarta, 1985, hal. 101 18
Al-Qur‟an dan Terjemahannya,op. cit, hal. 354
7
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (Q.S. al-Baqarah : 221)19
Kedua ayat tersebut merupakan Khitab Allah yang ditujukan
kepada laki-laki, dan bukan kepada perempuan. Jadi seolah-olah Allah
berkata kepada para wali agar tidak menikahkan perempuannya kepada
orang Musyrik.20
Nas al-Qur‟an yang dipakai dari golongan Hanafiyah adalah Q.S.
al-Baqarah ayat 130 dan ayat 232. Dalam dua ayat tersebut terdapat
penyandaran nikah kepada perempuan. Padahal menurut asalnya, dalam
penyandaran haruslah ke subyek pelaku yang sebenarnya (fā‟il haqiqy)21
ayat tersebut berbunyi :
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman
di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu
dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S.
al-Baqarah : 232)22
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang
memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnyadi
19
Ibid, hal. 35 20
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, Beirut:Dar al-Fikr, 1995, hal. 239-240 21
Sayyid Sabiq, op. cit, hal. 242 22
Al-Qur‟an dan Terjemahannya,op. cit,hal. 37
8
dunia dan Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar Termasuk orang-
orang yang saleh.” (Q.S. al-Baqarah : 130)23
Secara umum, setidaknya ada dua kelompok yang berbeda
pendapat tentang wali nikah. Kelompok pertama berpendapat bahwa wali
menjadi salah satu kunci penentu sahnya suatu pernikahan. Menurut
kelompok ini, perempuan tidak sah menikahkan dirinya atau orang lain,
meskipun dia sudah dewasa. Pendapat ini dikemukakan oleh Malikiyah,
Syafi‟iyah, Hanabalah dan Zahiriyah. Sedangkan kelompok kedua yang
dipelopori Hanafiyah berpendapat bahwa wali hanya diperlukan bagi
perempuan yang belum dewasa. Sementara bagi perempuan dewasa yang
berakal sehat berhak menikahkan dirinya dengan laki-laki pilihannya,
asalkan sederajat (Kufu).24
Wali nikah ada dua macam, pertama wali nasab, yaitu wali yang
hak perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan darah. Perwalian
ini biasanya dilakukan oleh orang tua kandungnya, dan juga wali aqrab
dan ab‟ad (saudara terdekat atau saudara yang agak jauh). Kedua wali
hakim, yaitu wali hak perwaliannya timbul, karena orang tua mempelai
perempuan menolak („adhal) atau tidak ada, atau karena sebab lain.25
Mengenai syarat wali nikah, dijelaskan secara umum yang dapat
menjadi wali nikah. Seperti dalam KHI pasal 20 yang berbunyi “Yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.”26
Para ulama mazhab
sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi
wali dipersyaratkan harus baligh, mengerti dan seagama, bahkan banyak
diantara mereka yang mensyaratkan bahwa wali itu harus adil, sekalipun
ayah dan kakek.27
23
Ibid, hal. 20 24
Moh. Fauzi, op.cit, hal. 151 25
A. Idhoh Anas, Risalah Nikah ala Rifa‟iyyah, Pekalongan: al-Asri, 2008, hal.50 26
Kompilasi Hukum Islam Offline 27
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 169
9
Sejalan dengan apa yang tercantum dalam KHI pasal 20 tersebut,
Imam Taqiyuddin bin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini
mengemukakan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali
nikah adalah : Islam, Baligh, Berakal, Merdeka, Laki-laki, dan Adil.28
Adapun permasalahan kali ini mengenai keabsahan wali fasiq dalam
pernikahan. Sedangkan jika dilihat dari kehidupan sekarang ini sangat sulit
untuk mengetahui apakah wali tersebut fasiq atau tidak.
Dalam penelitian ini penulis akan membahas studi perbandingan
pendapat Imam al-Mawardi dan Imam al-Kasani mengenai wali fasiq
dalam pernikahan. Tidak hanya menguraikan pendapat kedua Imam
tersebut, akan tetapi penulis akan menggali metode pengambilan hukum
bagaimana latar belakang masing-masing pendapat tersebut. Bagaimana
pemaknaan kata wali yang fasiq, siapakah yang memiliki hak menjadi wali
dalam pernikahan jika diketahui kefasiqannya, apakah wali fasiq
bisadiakui keeksistensinya untuk mengawinkan anak perempuannya dan
kedudukan serta kekuatan dari wali nasab jika diketahui wali tersebut
fasiq.
Untuk mengetahui kategori fasiq dalam pernikahan. Terlebih
dahulu mengetahui pengertian mukmin haqqon, fasiq dan munafiq. Orang
yang beriman serta bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa merupakan
definis dari orang mukmin. Perihal orang mukmin dijelaskan dalam sutar
al-Anfal ayat 2 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka
yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” M Qurash Shihab
memberikan argumen mengenai sifat-sifat orang mukmin yang dijelaskan
dalam ayat 2-4 surat al-Anfal yang mana ayat keempat membatasi ayat
kedua mengenai membatasi orang-orang mukmin yang sebenarnya lagi
sempurna imannya tidak lain kecuali yang hanya menyandang kelima sifat
28
Imam Taqiyuddin bin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz 2,
Surabaya: Al-Hidayah, t.t., hal. 49
10
tersebut yang dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu. Hal ini berarti apabila
salah satu dari kelima sifat tersebut tidak disandang maka yang
bersangkutan tidak dapat dinamai mukmin sejati. Menurut M Quraish
Shihab bukan berarti hal yang tidak memenuhinya otomatis tidak beriman,
atau tidak mencapai salah satu dari peringkat iman yang memadai.
Menurutnya ia bukan termasuk orang tidak beriman akan tetapi ia
termasuk orang yang tidak dalam golongan mukmin haqqan, yaitu yang
paripurna.29
Secara tersirat ayat kedua surat al-Anfal ada dua jenis
mukmin yaitu mukmin haqqan dan mukmin paripurna. Mukmin paripurna
bisa dipahami dengan orang yang beriman akan tetapi juga melakukan
maksiat.
Fasiq menurut etimologi adalah keluar dari sesuatu.30
Secara
terminologi fasiq merupakan orang yang percaya kepada Allah SWT tetapi
tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan perbuatan
dosa.31
Sedangkan kata munafiq dalam KBBI diartikan dengan berpura-
pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dsb. Tapi
sebenarnya dalam hatinya tidak, suka (selalu) mengatakan sesuatu yang
tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua.32
Ali bin Thalhah dari
Ibnu Abbas memberikan pengertian munafik yaitu orang-orang yang di
dalam hatinya tidak terbetik sedikitpun ingat kepada Allah ketika
menunaikan suatu kewajiban. Mereka tidak beriman kepada ayat-ayat
Allah , tidak bertakwa kepada Allah, tidak menunaikan sholat apabila jauh
dari pandangan orang lain dan tidak menunaikan zakat harta mereka.33
Dari penjelasan mengenai mukmin sejati (haqqan) dan bukan
mukmin sejati yakni panipurna, atau dengan bahasa lain disebut dengan
29
M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 5, Jakarta:Lentera Hati, 2002, hal. 382 30
https://id.wikipedia.org/wiki/fasiq Diakses Pukul 12.00WIB pada Tanggal 10 Januari
2017 31
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama, 2008, hal. 389 32
Ibid, hal. 939 33
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur‟an jilid 5,penerjemah, As‟ad Yasin dkk.,
Jakarta:Gema Insani, 2003, hal. 147
11
mukmin asiin (orang melakukan maksiat). Dalam hal ini penulis
memasukkan fasiq dalam kategori mukmin yang paripurna. Walaupun
memiliki sifat fasiq akan tetapi masih menyakini dan percaya kepada
Allah Swt hanya saja ia sering melakukan maksiat atau dikenal dengan
mukmin „āshī. Dikaitkan dengan perilaku masyarakat sekarang memang
sudah tidak seperti pada zaman dahulu. Sehingga terlalu sulit untuk
mengetahui perilaku keislaman dan keimanan seseorang apakah benar-
benar termasuk orang fasiq atau bukan.
Perwalian yang dilakukan oleh orang fasiq terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama, menurut pendapat yang kuat tidak sah sebab
orang yang tidak mengerjakan shalat karena malas berarti fasiq sedang
perwalian orang fasiq tidak dibenarkan, sedang menurut pendapat
kalangan Malikiyyah, Hanafiyyah dan pendapat segolongan ulama
dikalangan Syafi‟iyyah seperti al-Ghozali, Ibn Abdis Salam, an-nawaawi,
as-Subky dan Ibn Shalah hukumnya sah dan boleh.
ازي ي اثب م ا اخر......... فغك ػى اش ا ػذ شزشط فى ا
س ا صس , زأخش ا أفزى ، ال غؼ إال خ, ث ز أص ابط ػ ػطمب34 فبعك ا بػبد أ خ فخ أث ز ه ب ت ز اغضا ، ػجذ اغال
Artinya : Disyaratkan dalam wali tidak ada kefasiqan menurut pendapat
yang kuat. Sedang pendapat yang kedua yang di laksanakan
raja-raja sejak dahulu yang difatwakan oleh ulama-ulama
mutaakhkhirin serta dibenarkan oleh Ibn Abdis Salam dan al-
Ghozali juga merupakan madzhab Imam malik dan Abu Hanifah
adalah sesungguhnya orang fasiq boleh menjadi wali secara
mutlak.
، الػظ ب ش اإل فبع ك غ الخ ف, فال رى خ زش ػذخ ششط ف ا خجش ت ز ا زا ، ق الخ، وبش غ ا بدح، ف فغك مص مذذ ف اش ا ل
ي ازي اخزبس ا ، : إ لبي ثؼض ششذ. ر :الىبذ إال ث س اص
سبو م ث ر فبعك، ز الخ ث مبء ا اغض بافزى ث ، جى اغ اصالذ و بث35
فبعك .
34
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Bughyatul Mustarsyidin,
Damaskus, Syiria: Darul Fikr, t.t., hal. 331-332 35
Syekh Ahmad Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Fannani, Fathul
Mu'in Bisyarhi Qurrotil Ain Bimuhimmatiddin, muhaqqiq Bassam Abdul Wahhab Al-Jabi, Beirut
Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2004, hal. 464-465
12
Artinya : Disyaratkan dalam wali pernikahan sifat adil, merdeka dan
taklif, maka tidak ada kewalian bagi orang yang fasiq selain
Imam A‟dzam sebab kefasiqan adalah sifat kurang yang dapat
mencederaipersaksian maka mencegah kewalian seperti
budak.Pendapat inilah yang dijadikan madzhab Syafi‟i
berdasarkan hadits shahih “Tidak ada pernikahan tanpa wali
yang adil”.Namun sebagian ulama berpendapat dia boleh
menjadi wali, pendapat yang dipilih oleh an-nawaawy, Ibn
Shalahm dan as-Subky adalah apa yang difatwakanal-Ghozali
yakni hukum perwalian tetap ada pada orang fasiq, sekiranya
perwalian itu dapat pindah kepada hakim yang fasiq.
Hadits Nabi Saw yang berbunyi :
لبي ػ ػجبط أ ذي ػذي اث ش ششذ 36: الىبذ إال ث
Potongan hadits tersebut yang diriwayatkan oleh Aisyah, Abdullah
bin Abbas, Abi Musa al-Asy‟ari dan Abi Hurairah yang artinya “Tidak ada
Nikah kecuali dengan Wali yang Mursyid dan kedua saksi yang adil”.
Imam al-Mawardi dan Imam Al-Kasani mengartikan kata Mursyid dengan
makna yang berbeda. Sehingga menimbulkan hukum yag berbeda pula.
لبي الىبذ إال ث ي هللا ص هللا ػ ع أ سع ي ػ ب س اززح ث ذ.... ظ ثشش فبعك ا ر, ؼى اصب ر ث ص شذ وب ؼى اش ششذ ث ا ششذ.
ششذ ل فبعك ا . ؼم ا سشبد د اإل خ ش ششذ غ 37
Artinya: Imam Syafi‟i sepakat dengan apa yang diriwayatkan dari
Rasulullah Saw, bahwa Rasulullah Saw bersabda “ tidak ada
nikah kecuali dengan wali yang mursyid.” Menurut Imam Al-
Mawardi kata Mursyid diartikan dengan kata al-Rosyid (orang
yang insyaf, bijaksana) semakna dengan kata al-Mushlih atau as-
Shoolih (orang yang baik agamanya) dan orang fasiq bukan
termasuk orang yang mursyid. Sedangkan menurut Imam Al-
Kasani mengartikan kata Mursyid dengan kata al-„Aqiil (orang
berakal atau memiliki akal sehat).
Dari akar masalah tersebut mereka berselisih mengenai keabsahan
wali fasiq dalam pernikahan.
36
Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Hāwi al-Kabir, Juz
9, Bairut, Libanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t., hal. 61 37
Imam Aludin Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani, Kitab Badā‟i as-Shonāi‟, Juz 3, Bairut,
Libanon: Dar al-Kutub al-„Alamiyah, t.t., hal. 349&352
13
شش ا لبي ال ىبذ إال ث ػجبط أ ثبث ذي ػذيززح اشبفؼ شب ذ
وب , فإ ف اىبذ ششط ف صسخ ػمذ ب لبي سشذ ا زا و سدي : ب لبي ا
ت اش ز ش ػمذ ػى اظب فبعمب ثط اء با ع ل س ش ا فؼ,
ال دجش وبؼصجبد دجش ػى اىبذ وبالة أ ا .وب38
Artinya : Imam Syafi‟i berhujjah dengan hadits Nabi Saw yang
diriwayatkan oleh ibnu Abbas, Rasulullah Saw bersabda “
Tidak ada nikah kecuali dengan wali yang mursyid dan dua
saksi yang ādil.” Imam Al-Mawardi, salah satu murid dari
Imam Syafi‟i mengatakan bahwa : Rusydul Wali merupakan
syarat sahnya akad dalam pernikahan. Oleh karena itu jika wali
tersebut fasiq maka batal pernikahan tersebut menurut madzhab
kami. Masyhur ulama Syafi‟i berpendapat sama saja bila wali
tersebut bersifat mujbir yakni seperti bapak atau tidak mujbir
seperti ashobah (kerabat terdekat).
ج ض فبعك أ ذب, الخ ػ ثجد ا غذ ثششط ؼذخ وزا ا اثز اث
. ش اصغ39
ؼذي وب ش الخ ػى غ ا ا فى الخ ػى فغ ا أ افبعك ل د أ خ ش ششذ غ ششذ ل فبعك ا بدر. ب ش زا لج . اؼم خ اإلسشبد
40
Artinya : Imam Al-Kasani salah satu murid dari Imam Hanafi, beliau juga
berpendapat : sifat „Adalah bukan merupakan syarat
ditetapkannya perwalian dalam pernikahan menurut madzhab
kami. Orang fasiq boleh menikahkan anak laki-laki dan atau
anak perempuan mereka yang masih kecil. Dikarenakan fasiq
dapat menjadi ahliyah bagi dirinya maka dia juga bisa menjadi
ahliyah bagi orang lain seperti adil, dan oleh karena itu
persaksiannya diakui atau dapat dipercaya. Menurut kami
orang fasiq juga termasuk orang yang mursyid karena dia bisa
menunjukkan atau bisa membimbing orang lain kepada
kebaikan, yaitu masih memiliki akal. Akal dijadikan perantara
untuk menunjukkan bahwa dia merupakan mursyid.
Pernikahan di Indonesia akan diakui jika pelaksanaannya
dilakukan di KUA atau di tempat mempelai namun harus di hadiri oleh
pejabat KUA setempat. Umumnya masyarakat Indonesia menikahkan
anaknya dengan diwakilkan kepada naib (penghulu) atau kyai setempat.
Menurut pendapat K.H. Ahmad Rifa‟i dalam kitabnya yang diterjemahkan
38
Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri, op.cit, hal. 61 39
Imam Aludin Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani, op. cit, hal. 239 40
Ibid, hal. 352
14
oleh A. Idhoh Anas bahwa semasa beliau hidup urusan perkawinan yang
khusus menyangkut wali nikah lazim dilakukan oleh penghulu, padahal
penghulu itu diangkat oleh pemerintah kolonial belanda yang tidak
beragama islam. Oleh karena itu menurut beliau, para penghulu itu
termasuk orang-orang fasiq, dan perkawinan yang diperwakilkan kepada
mereka menjadi tidak sah dan harus diperbarui (tajdid).41
Dari penjelasan yang penulis paparkan diatas, penulis mencoba
untuk mengungkapkan bahasan tersebut dalam bentuk skripsi yang
berjudul “WALI FASIQ DALAM PERNIKAHAN (STUDI
PERBANDINGAN PENDAPAT IMAM AL-MAWARDI DAN IMAM
AL-KASANI)
B. Rumusan Masalah
Melihat latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka ada
beberapa rumusan masalah yang akan di bahas diantaranya :
1. Bagaimana pendapat dan istinbath hukum Imam Al-Mawardi dan
Imam Al-Kasani mengenai wali fasiq dalam pernikahan?
2. Bagaimana relevansi Wali Fasiq dalam Pernikahan menurut Imam Al-
Mawardi dan Imam Al-Kasani di Indonesia?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pendapat Imam
Al-Kasani membolehkan orang fasiq menjadi wali nikah dari pada
Imam Al-Mawardi
2. Untuk mengetahui relevansi pendapat Imam Al-Mawardi dan Imam
Al-Kasani tentang wali fasiq dalam pernikahan di Indonesia.
Dari penelitian ini penulis mengharapkan semoga dapat bermanfaat
bagi orang yang ingin melangsungkan dan atau orang yang akan menjadi
41
A. Idhoh Anas, loc.cit, hal. 122
15
wali dalam pernikahan anaknya serta dapat menjaga dan termasuk dari
syarat wali yang sesuai dengan syariat agama islam.
D. Telaah Pustaka
Penelitian mengenai wali fasiq dalam pernikahan ini belum begitu
banyak diteliti oleh para sarjana hukum ataupun sarjana syari‟ah bahkan
belum ada yang meneliti. Banyak para sarjana meneliti mengenai
kedudukan wali, peran wali, fungsi dan sejenisnya yang berkaitan dengan
wali dalam pernikahan.
Yuldi Hendri dalam skripsinya yang berjudul Wali Nikah dalam
Pandangan K.H. Husein Muhammad, dia mengatakan bahwa laki-laki
sebagai syarat wali nikah yang selama ini dianggap mapan dalam literatur-
literatur kitab fiqih yang dipandang sebagai syari‟at oleh masyarakat,
menurut K.H. Husein Muhammad perlu direkonstruksi ulang. Hal tersebut
dikarenakan adanya bias pernafsiran terhadap teks-teks yang berbicara
tentang wali nikah, sehingga menimbulkan ketimpangan gender.42
Kemudian penelitian oleh Ahmad Hadi Sayuti dalam skripsinya
yang berjudul Wali Nikah dalam Perspektif Dua Madzhab dan Hukum
Positif, ia memaparkan wali mujbir menurut madzhab Syafi‟i dan
madzhab Hanafi, kemudian dihubungkan dengan hukum positif yaitu KHI
dan UU No. 1 ahun 1974 tentang Perkawinan.43
Etty Murtiningsih dalam Tesisnya yang berjudul “Peranan Wali
Nikah Dalam Perkawinan dan Pengaruh Psikologis Adanya Wali Nikah
dalam Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam”44
Menurut hukum
islam peranan wali dalam perkawinan adalah sangatpenting sebab semua
perkawinan yang dilakukan harus dengan izindan restu wali nikah,
42
Yuldi Hendri, “Wali Nikah dalam Pandangan K. H. Husein Muhammad:Analisis Kritis
terhadap Pemahaman K. H. Husein dalam Konsep Wali Nikah”,Skripsi Ushuluddin, Yogyakarta,
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2009 43
Ahmad Hadi Sayuti, “Wali Nikah dalam Perspektif Dua Madzhab dan Hukum Positif”,
Skripsi Syari‟ah, Jakarta, Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2011 44
Etty Murtiningsih, “Peranan Wali Nikah Dalam Perkawinan dan Pengaruh Psikologis
Adanya Wali Nikah dalam Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam”, Tesis kenotariatan,
Semarang, Uneversitas DiPonegoro, 2005
16
terutama wali nasab yaitu ayah, karenaperkawinan tersebut memakai dasar
ajaran agama Islam. Pernikahan tanpa izin wali adalah tidak sah. Dan juga
adanya kepercayaan masyarakat setempat, khususnya parawanita yang
mau menikah, yang begitu besar terhadap ustadz sehinggacalon mempelai
wanita ketika hendak menikah menggunakan waliustadz dan tanpa
meminta ijin orang tuanya sebagai wali nikahnyayang sah maupun orang
tua mengijinkan anaknya menikah dengan menggunakan ustadz sebagai
wali nikahnya, karena para orang tuamenganggap ustadz adalah orang
yang lebih paham dalam ilmu agamaIslam.
Penelitian oleh Rokhmadi dalam jurnal yang berjudul Penetapan
„Adam Wali Nikah oleh Pejabat KUA di Kota Semarang, beliau
berpendapat bahwa dalam menentukan Wali bagi anak yang lahirnya
kurang dari 6 bulan pernikahan disesuaikan dengan keberlakuan Surat
Dirjen Bimas dan Urusan Haji No. D/ED/PW.01/03/1992. Dengan kaidah
hukum: lek generalis derogat lek specialis, artinya kekuatan hukum yang
lebih umum (di atasnya) mengalahkan kekuatan hukum yang lebih khusus
(di bawahnya). Dengan kata lain keberlakuan Surat Dirjen tersebut masih
eksis, khususnya bagi masyarakat yang melakukan “kumpul kebo”,
sehingga para pejabat KUA tidak memperlakukan sama antara mereka
yang sudah melakukan nikah sirri yang ada bukti kuat. Berkenaan dengan
istinbāṭ hukumnya adalah beberapa ayat QS. al-Baqarah: 233, QS.
Luqmān: 14 dan QS. al-Aḥqāf:15, beberapa hadis tersebut dan juga kitab
al-Muhadhdhab, menurut hemat penulis bahwa batas minimal usia
kehamilan 6 bulan adalah dihitung dari mereka akad nikah, baik akad
nikah yang tercatat resmi di KUA (mempunyai akta nikah) maupun akad
nikah yang tidak resmi (nikah sirri), tetapi tidak berlaku bagi mereka yang
melakukan kumpul kebo/berzina, dan juga orang tuanya tidak melakukan
akad nikah, sehingga. bayi atau anak tersebut dianggap sebagai bayi atau
anak yang lahir diluar perkawinan, ia hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan kata lain, orang tuanya
(bapaknya) tidak bisa menjadi wali nikah menurut ketentuan hukum Islam
17
(fikih), maka kewenangan hak perwaliannya pindah menjadi "wali
hakim”.45
Penelitian yang saya kira hampir sama dengan Judul yang saya
angkat adalah skripsi saudara Suhadi dengan judul skripsinya “Studi
Komparatif Perspektif Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi‟i Tentang
Syarat Adil Menjadi Hakim Dalam Perdailan Islam” dijelaskan dalam
skripsinya bahwa menurut Imam Abu Hanifah bahwa adil tidak menjadi
syarat hakim, karena beliau menggunakan metode istihsan, oleh karena itu
orang fasiq boleh menjadi hakim dan putusan hukumnya sah asal
putusannya itu berdasarkan hukum syara‟ dan undang-undang yang
berlaku, walaupun ada orang yang lebih pantas dari padanya. Sedangkan
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa seorang hakim harus adil, didasarkan
pada metode qiyas yaitu diqiyaskan pada saksi yang tidak diterima
kesaksiannya apabila dia fasiq.46
Penelitian ini merupakan hal yang baru, sejauh ini penulis belum
menemukan penelitian mengenai wali fasiq dalam pernikahan. Yang
membedakan diantara penelitian-penelitian yang lain adalah dalam
penelitian ini penulis akan menguraikan mengenai syarat adil dan rusd
bagi wali dalam pernikahan sehingga jika ada orang fasiq menikahkan
anaknya apakah sah dan boleh menurut pendapat Imam al-Mawardi dan
Imam al-Kasani atau sebaliknya serta kekuatan dan kedudukan wali nasab
jika diketahui wali tersebut fasiq.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan data dan dibandingkan dengan standar ukuran yang
45
Rokhmadi, “Penentuan „Adam Wali Nikah oleh Pejabat KUA di Kota Semarang”
Jurnal Hukum, Semarang, UIN Walisongo, Volume 26 Nomor 2, 2016 46
Suhadi, “Studi Komperatif Perspektif Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i tentang
Syarat Adil Menjadi Hakim dalam Peradilan Islam”, Skripsi Syari‟ah, Surabaya, Perpustakan
IAIN Sunan Ampel, 2009
18
ditentukan.47Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.48
Dalam penelitian ini
menggunakan beberapa metode penelitian diantaranya :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif berupa
penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan menelaah bahan-bahan pustaka, baik berupa buku,
kitab-kitab fiqh, dan sumber lainnya yang relevan dengan topik yang
dikaji.49
Penelitian ini merupakan kajian yang menitik beratkan pada
analisis atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteksnya.50
2. Sumber Data
Sumber data dalam metode penelitian studi kepustakaan ialah
berbentuk dokumenter. Yakni analisa terhadap sumber-sumber data
tertulis yang ditulis langsung oleh pelakunya sendiri dan sifat sumber
data ini adalah sumber data utama.51
Adapun sumber data dalam
penelitian ini ialah Kitab Al-Hawi Al-Kabir karya Imam Al-Mawardi
yang merupakan murid dari Imam Syafi‟i dan kitab Badai‟ Sana‟i
karya Imam Al-Kasani murid dari Imam Hanafi.Kemudian data
pendukung yang berkaitan dengan data utama ialah seperti kitab Fiqh
Sunnah karangan Sayyid Sabiq, kitab al-Fiqhu „ala Madzabih al-
Arba‟ah karangan Abdur Rahman al-Jaziry, kitab Al-Islam Wa
Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaily dan literatur lain yang sesuai
dengan tema penelitian.
3. Metode Pengumpulan Data
47
Imam Suprayogo dan Tabroni, Metode Penelitian Sosial Agama, Bandung: Posda
Karya, 2011, hal. 138 48
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta ,
2016, hal. 2 49
Imam Suprayogo dan Tabroni, op.cit, hal. 138 50
Jusuf Soewadji, Pengantar Metodologi Penelitian,Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012,
hal. 59 51
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Praktis Untuk Peneliti Pemula, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2012, hal. 101
19
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
pengumpulan data dengan teknik dokumentasi. Dokumentasi
(Documentation) dilakukan dengan cara pengumpulan beberapa
informasi pengetahuan, fakta dan data. Dokumen merupakan catatan
peristiwa yang telah lalu, yang dapat berbentuk tulisan, gambar, atau
karya-karya monumental seseorang.52
Dengan demikian maka dapat
dikumpulkan data-data dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-
bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari
sumber dokumen yaitu kitab, buku-buku, jurnal ilmiah, website, dan
lain-lain.
4. Metode Analisa Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis
Komparatif, yaitu penelitian yang bersifat membandingkan persamaan
dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat obyek yang
diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.53
Analisis ini
bertujuan untuk menemukan dan mencermati sisi persamaan dan
perbedaan antara pendapat Imam Al-Mawardi dan Imam Al-Kasani
dalam hal sifat wali dalam pernikahan dan sifat Rusyd bagi wali nikah.
Sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai jawaban dari
sebagian pertanyaan yang terdapat dalam pokok masalah.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu
kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi.
BAB I merupakan gambaran secara global mengenai isi dari
sekripsi. Dalam bab ini meliputi : Pendahuluan yang terdiri dari sub bab
yakni Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
52
Sugiono, op.cit, hal. 240 53
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 30
20
BAB II adalah tentang kerangka teori yang berisi tinjauan umum
tentang pernikahan, wali nikah dan fasiq. Tinjauan pernikahan secara
umum meliputi Pengertian, Dasar-dasar Hukum dan Macam-macam
nikah. Tinjauan wali secara umum diantaranya Pengertian Wali Nikah,
Dasar Hukum Wali Nikah, Macam-Macam Wali Nikah. Sedangkan
tinjauan umum fasiq meliputi Pengertian Fasiq, Macam-Macam Fasiq dan
Keabsahan Hukum Wali Fasiq dari beberapa pendapat ulama.
BAB III, mengenai wali fasiq dalam pernikahan menurut Imam al-
Mawardi dan Imam al-Kasani. Berisi tentang biografi Imam Al-Mawardi
dan Imam Al-Kasani, tentang sejarah pendidikan, karya-karya serta murid
Imam al-Mawardi dan Imam al-Kasani, Metode istinbath hukum yang
digunakan untuk menggali hukum secara umum, dan pendapat serta dasar
pemikiran mengenai wali fasiq menurut Imam Al-Mawardi dan Imam Al-
Kasani.
BAB IV, berisi tentang analisa yang diberikan oleh penulis
kaitannya dengan seluruh pemaparan yang telah dijabarkan dalam bab-bab
sebelumnya dengan analisa yang obyetik dan komprehensif. Didalamnya
meliputi: Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan pendapat mengenai
hukum wali fasiq dalam pernikahan dan relevansi antara pendapat Imam
Al-Mawardi dan Imam Al-Kasasni mengenai wali fasiq dalam pernikahan
di Indonesia.
BAB V, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan, saran,
dan penutup.
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN FASIQ
A. Tinjauan Umum Wali
1. Pengertian Wali
Secara etimologis, wali mempunyai arti pelindung, penolong,
atau penguasa. Wali mempunyai banyak arti antara lain:
1. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi
kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum
anak itu dewasa
2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu
yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
3. Orang saleh (suci), penyebar agama
4. Kepala pemerintah.1
Sayyid Sabiq memberikan pengertian wali sebagai suatu
ketentuan hukum yang dapat dipaksaka kepada orang lain sesuai
dengan bidang hukumnya.2 Dengan kata lain wali dapat diwakilkan
kepada orang yang memang mampu dan mengetahui akan hukum
agama. Abdul Hadi menjelaskan pengertian perwalian dengan
kemampuan untuk menumbuhkan aqad dengan efektif.3 Di dalam
perundangan yang menyangkut perkawinan terdapat perbedaan antara
wali nikah dan wali anak, perbedaan tersebut termaktub dalam UU No
1 Tahun 1974 Bab XI Pasal 50-54 tentang perwalian. Namun yang
dimaksud wali dalam pasal tersebut ialah wali sebagai pengampu atau
kurator bagi anak yang dalam pengampuan (safih atau hajru).4Wali
nikah adalah orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan
1 Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, Jakarta: Rajawali Press,
2009, hal. 89 2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 3, penerjemah. Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2007, hal. 11 3 Abdul Hadi, Fikih Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989, hal 69.
4 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Gravindo Persada, 2015,
hal.66
22
calon suaminya, sedangkan wali anak adalah wali dari anak yang
belum berumur 18 tahun atau belum pernah menikah, dan tidak di
bawah kekuasaan orang tua.5
Kedudukan wali memang sangat penting dalam pernikahan.
Banyak Undang-undang, PMA (Peraturan Mahkamah Agung) yang
menyinggung akan keberadaan fungsi serta yang menjadi wali.
Diantaranya dijelaskan dalam PMA pasal 23 nomor 3 tahun 1975 yang
berbunyi :
- Aqad nikah dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah (P3. NTR) yang mewilayahi tempat tinggal calon
isteri dan dihadiri oleh dua orang saksi
- Apabila aqad nikah dilaksanakan diluar ketentuan di atas,
maka calon pengantin atau walinya harus memberitahukan
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal calon isteri.
Kemudian pasal 25 PMA nomor 3 tahun 1975, disebutkan :
- Pada waktu akad nikah, calon suami dan wali nikah datang
sendiri menghadap Pegawai Pencatat Nikah (P3. NTR)
- Apabila calon suami atau wali nikah tidak hadir pada waktu
akad nikah disebabkan keadaan memaksa maka dapat
diwakili oleh orang lain.6
Selajutkan peraturan Mahkamah Agung tersebut seakan
diperjelas dalam Pasal 6 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Disebutkan :
- Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (Dua Puluh Satu) tahun harus mendapat
izin dari kedua orang tua (pasal 6 ayat 2)
- Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.7
5 Hilman Haikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, cet.
1, hal. 94 6 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan Hukum Acara Peradilan
Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 8-9 7 Nuansa Aulia, red., Kompilasi Hukum Islam; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, cet. 3, hal. 77
23
Dari penjelasan PMA dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, mengenai wali nikah. Sekiranya penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa yang diperlukan dalam pernikahan
bukanlah kehadiran wali akan tetapi izin dari orang tua. Hal ini jelas
tertera dalam pasal 6 ayat 2 “Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (Dua Puluh Satu) tahun harus
mendapat izin dari kedua orang tua” artinya jika kedua calon
mempelai jika sudah mencapai umur di atas 21 (Dua Puluh Satu) tahun
maka tidak perlu izin dari orang tua. Meskipun demikian keberadaan
wali sangat diperlukan dalam pernikahan dan menjadi salah satu
sahnya pernikahan.
Menurut Hanafi, tidak disyaratkan adanya wali dalam Nikah
(pernikahan). Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa akibat ijab
(penawaran), akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang dewasa dan
berakal (aqil baligh) adalah sah secara mutlak. Menurut mereka wali
nikah hanya sebagai syarat sah untuk nikah. Tapi bagi perempuan
maupun laki-laki yang hendak menikah sebaiknya mendapatkan restu
dan izin dari orang tuanya.
Pada dasarnya ijab dalam nikah diucapkan oleh mempelai
wanita, jadi mempelai wanita yang menawarkan dirinya untuk
dinikahkan dengan seorang laki-laki, sedangkan qabul (penerima ikrar)
diucapkan oleh laki-laki. Oleh karena fitrah wanita jawa itu pemalu
maka dia harus diwakili oleh orang tuanya yang bertindak sebagai wali
(wakil pengantin perempuan).
Jika ditinjau dari yuridis alasan atau dasar hukum perempuan
mengucapkan ijab dan laki-laki mengucapkan qabul ialah
sebagaimana sebagian fieman Allah dalam al-Qur‟an baik perintah
maupun larangan perkawinan ditujukan kepada laiki-laki bukan
kepada wanita.
24
Sedangkan menurut golongan Syafi‟iyah wali merupakan syarat
sahnya nikah dan tidak akan sah pernikahan tersebut tanpa adanya
wali. Mereka berdasarkan atas dalil Hadits dan al-Qur‟an yang
diantaranya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 221 yang artinya
“Dan janganlah kamu nikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-
wanita mukmin sebelum mereka beriman.” Dan hadits yang
diriwayatkan oleh al-Daruquthni yang artinya “Jangan kamu nikahkan
perempuan akan yang lain dan jangan pula seorang perempuan
menikahkan dirinya.”8
Merdeka, berakal, sehat dan dewasa baik dia seorang muslim
maupun bukan muslim merupakan syarat-syarat menjadi wali.
Beragama islam termasuk juga dalam syarat menjadi wali jika orang
yang diwakilkan itu orang islam. Oleh karena itu orang yang non
muslim tidak boleh menjadi wali untuk orang islam begitu juga
sebaliknya. Ada juga yang memasukkan sifat adil sebagai syarat
menjadi wali. Menurut Sayyid Sabiq seorang wali tidak disyaratkan
adil. Jadi seorang yang durhaka tidak kehilangan hak menjadi wali
dalam perkawinan kecuali bila kedurhakaaannya melampaui batas-
batas kesopanan yang berat maka haknya menjadi wali akan hilang.9
Menurut Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikut madzhab
Maliki “rusyd” tidak termasuk syarat bagi wali. Perselisihan mereka
berpangkal dari kesamaan antara wilayah fin nikah dan wilayah fil mal.
Bagi yang mengatakan sama, maka rusyd adalah syarat. Sedangkan
bagi yang mengatakan tidak ada kesamaan antara rusyd fil mal dengan
rusyd dalam menentukan kriteria kafa‟ah, karena fasiq pun bisa
mampu memilihkan jodoh yang sekufu.10
Menurut al-Kasani dan Ibnu „abidin keduanya pengikut Hanafi,
berpendapat bahwa wali hanya menjadi syarat sah bagi pernikahan
perempuan yang belum dewasa, orang gila, dan budak. Wali tidak
8 Moh. Idris ramulyo, op. cit, hal. 3-5
9 Sayyid Sabiq, op. cit, hal. 11
10 Abdul Hadi, op. cit, hal 75. Lihat juga Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz II, hal. 12
25
diperlukan lagi bagi pernikahan Mukallafah (perempuan dewasa yang
berakal sehat) dan orang merdeka, sehingga tanpa izin walinya pun
pernikahan tetap sah. Namun si wali berhak menolak bila pernikahan
tersebut tidak dengan laki-laki yang sekufu, selama perempuan belum
melahirkan.11
2. Dasar Hukum Wali Nikah
Kedudukan wali dalam nikah memang diperselisihkan,
Syafi‟iyah dan Malikiyah menyepakati bahwa hadirnya wali
merupakan salah satu rukun dari beberapa rukunnya nikah dan dapat
menentukan sahnya suatu akad nikah. Berbeda dengan Hanabilah dan
Hanafiyah yang mengkategorikan wali dalam salah satu syarat dari
beberapa syarat nikah bukan dalam rukun, mereka mengringkas rukun
nikah hanya ada ijab dan qabul saja.12
Mengenai dasar hukum wali nikah telah dijelaskan dalam Al-
Qur‟an dan Hadits. Diantaranya adalah :
a. Al-Qur‟an
Surat al-Baqarah : 232
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.
Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman
di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
11
Moh. Fauzi, Sejarah Sosial Fikih, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, cet-1, hal. 151-
152. 12
Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ala Madzahib al-arba‟ah, hal. 38
26
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.”13
Asababun uzul ayat ini adalah suatu riwayat yang
dijelaskan bahwa Muaqqal bin Yasar mengawinkan adik
perempuannya dengan seorang laki-laki. Kemudian laki-laki
itu menceraikannya. Setelah iddahnya habis, laki-laki tersebut
melamarnya kembali dan adik perempuan Muaqqal setuju.
Muaqqal bertanya kepada laki-laki itu, “Aku telah menikahkan
kamu dengannya, kemudian dia kamu ceraikan sekarang kamu
ingin kembali kepadanya. Tidak, demi Allah kamu jangan
kembali kepadanya.” Akhirnya turulah ayat ini, yang melarang
Muaqqal menghalangi laki-laki tersebut menikah dengan
adiknya itu.
Kemudian surat an-Nisa‟ ayat 25
......
.....
“...karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,
dan berilah maskawin mereka menurut yang patut...14
Kata ه أ dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa تإر
adanya wali menjadi syarat keabsahan suau pernikah.15
Pernyataan ini didukung dan dijelaskan lebih rinci dalam
hadits rasulullah saw yaitu “barang siapa diantara kalian
wanita menikah tanpa ada izin dari walinya maka nikahnya
batal, dan jika sudah dukhul, baginya membayar mahar untuk
menghalalkan farjinya, dan jika masih ada perseteruan maka
13
Al-Qur‟an dan terjemahannya Juz 1s/d15, op. cit, hal. 37 14
Ibid, hal. 82 15
Kadar Muhammad Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam; Tafsir Ayat Teamtik Ayat-Ayat Hukum,
Jakarat: Amzah, 2011, hal. 221- 223
27
hakimlah yang menjadi wali bagi oranga yang tidak punya
wali.”
b. Hadits
ا ح ش ائ ع ع ل هللا ملسو هيلع هللا ىلص "أ ا لاند : لال سس الل ع ايشأج كذد سض
ا اسرذم ي ش ت ا ان ا فه دخم ت ا تاطم, فإ ا فكاد ن ش إر تغ
ن" أخشج األستعح إال ن ال ي ن ا فانسهطا شرجش ا, فإ فشج
انذاكى.انسائ صذذ أت عاح ات دثا
ض ل هللا ملسو هيلع هللا ىلص " الذض هللا ع لال : لال سس شج سض ش أتى ع . ا" سا ات ياج انذاسلط شأج فس ض ان ال ذض شأج, شأج ان ان
سجان شماخ.16
Dari Aisyah r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda
“barang siapa diantara kalian wanita menikah tanpa ada
izin dari walinya maka nikahnya batal, dan jika sudah
dukhul, baginya membayar mahar untuk menghalalkan
farjinya, dan jika masih ada perseteruan maka hakimlah
yang menjadi wali bagi oranga yang tidak punya wali. (HR.
Empat Imam kecuali Imam Nasa‟i dan dianggap shohih oleh
Abu „Awanah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Dari abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah SAW
bersabda “janganlah wanita menikahkan wanita lain, dan
janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri”. (HR. Ibnu
Majjah dan Dar al-Quthni)
Semua ulama sepakat bahwa dalil yang menunjukkan
keharusan wali dalam pernikahan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, Daruquthni, Ibnu Hibban
dan Imam empat kecuali Imam Nasai. Meski telah disepakati
adanya wali dalam pernikahan, namun mengenai fungsi dari
wali masih diperdebatkan. Ada yang mengartikan bahwa
wali merupakan syarat sahnya nikah dan ada juga yang
mengartikan wali merupakan syarat kesempurnaan dalam
nikah.
Dalam permasalahan tersebut kemungkinan Hadits tersebut
dimaknai dengan makna secara haqiqi, mungkin juga dimaknai dengan
makna secara majazy. Untuk yang memaknai dengan makna haqiqi
yaitu bahwa tidak sahnya nikah bila tanpa adanya wali, yang termasuk
16
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Harisma, t.t., hal. 204-205
28
dalam golongan ini adalah Malikiyah, Syafi‟iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan hadits tersebut dimaknai dengan makna majazy yakni nikah
yang dilakukan dengan wali hanya anjuran, atau hanya untuk
kesempurnaan saja (lā nikāha mustahabban aw kāmilan illā bi
waliyyin). Pendapat ini di pelopori oleh golongan Hanafiyah, karena
menurut mereka ada banyak hadits pendukung lain seperti sahnya
nikah perempuan tanpa wali, seperti nikahnya janda. Bahkan janda
lebih berhak atas dirinya dibandingkan dengan wali. Oleh karena itu
hadits “lā nikāha illa bi waliyyin” bukan menunjukkan sahnya nikah
melainkan hanya tidak adanya kesempurnaan nikah.17
Dari kedua dalil mengenai wali nikah, yang disepakati oleh
jumhur ulama. Menyatakan bahwa wali itu harus ada. Meskipun
demikian tidak semua jumhur ulama mengatakan bahwa wali dapat
menentukan sahnya pernikahan. Ulama Hanafiyah memberikan makna
pada ayat 232 al-Baqarah tidak menunjukkan kepada keharusan
adanya wali. Menurut beliau, khitab larangan yang terkandung dalam
ayat itu ditunjukkan kepada suami bukan kepada wali. Ayat tersebut
diartikan dengan “Apabila seorang suami menceraikan istrinya,
kemudian iddah istrinya itu sduah selesai, maka suami tersebut tidak
boleh menghalangi istrinya menikah dengan laki-laki lain.” Adapun
hadits yang disepakati jumhur ulama, menurut mereka tidak
menunjukkan keharusan adanya wali dalam nikah, tetapi menunjukkan
keutamaan. Dengan itu hadits tersebut diartikan nikah itu lebih baik
disertai dengan wali.18
3. Macam-macam wali nikah
Susunan wali nasab menurut urutan haknya adalah 19
:
1. Ayah
2. Kakek dari bapak mempelai putri
3. Saudara laki-laki yang seayah seibu dengannya (sekandung)
17
Moh. Fauzi, op. cit, hal. 155 18
Kadar Muhammad Yusuf, op. cit, hal. 231 19
A. Ghozali, Fiqih Munakahat I, Semarang: IAIN Walisongo, 1988, hal. 53
29
4. Saudara laki-laki yang seayah dengannya
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah seibu
dengannya (sekandung)
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja
dengannya
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudra laki-laki sekandung
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudra laki-laki seayah
9. Saudara ayah yang laki-laki (paman dari pihak ayah)
sekandung
10. Saudara ayah yang laki-laki (paman dari pihak ayah) seayah
11. Anak laki-laki dari saudara ayah yang sekandung
12. Anak laki-laki dari saudara ayah yang seayah
13. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara ayah yang
sekandung
14. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara ayah yang seayah
15. Hakim
Kalangan Hanafiyah wilayah wali dibedakan menjadi dua
macam. Pertama, wilayah hatm atau ijab (keharusan), yaitu bagi orang
yang belum dewasa dan orang gila meskipun telah dewasa. Kedua,
wilayah nadb atau istihab (anjuran), yaitu bagi mukallafah.20
Adapun macam-macam wali dapat penulis uraikan sebagai
berikut:
1. Wali Nasab
Wali nasab ialah wali yang mempunyai pertalian darah atau
turunan dengan perempuan yang akan dinikahkan. Mengenai
urutannya telah penulis sebutkan diatas. Wali nasab bila
ditinju dari jauh dekatnya dengan anak dibagi menjadi dua,
yaitu:
20
Imam Aludin Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani, Badai‟ as-Shonai‟, hal. 357-370.
30
a. Wali akrab, wali yang lebih dekat dengan kepada
perempuan yang akan dinikahkan. Misalnya ayah lebih
dekat dari pada kakek.
b. Wali ab‟ad, yaitu wali yang lebih jauh kepada
perempuan yang akan dinikahkan. Seperti kakek lebih
jauh dibandingkan ayah.21
Sedangkan wali nasab ditinjau dari segi otoritas (kekuasaan)
untuk menikahkan dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Wali mujbir, yaitu wali yang memliki wewenang/hak
penuh untuk menikahkan putrinya atau cucunya yang
masih gadis, baik yang telah baligh atau belum baligh,
tanpa izin darinya. Yang termasuk kategori ini adalah
ayah dan kakek.
b. Wali ghoiru mujbir, yaitu wali yang tidak memliki
wewenang/hak penuh untuk menikahkan putrinya atau
cucunya yang ada hubungan perwalian dengan mereka.
Yang termasuk kategori ini adalah wali nasab kecuali
ayah dan kakek.22
2. Wali Hakim
Ialah wali nikah yang diambil dari hakim (pejabat
pengadilan atau aparat KUA atau PPN) atau penguasa dari
pemerintah.
Wai hakim dapat dilakukan jika wali nasab tidak ada,
walinya adhol, sedang ihram, wali aqrab ghaib, dan wali
tersebut tidak memenuhi syarat.
3. Wali Tahkim
Wali tahkim yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau
calon istri. Cara pengangkatan wali tahkim adalah: calon
suami mengucapkan tahkim kepada calon istri dengan
21
A. Ghozali, op. cit, hal. 54 22
A. Ghazali, op. cit, hal. 56
31
kalimat “saya angkat bapak/saudara untuk menikahkan saya
pada si (calon istri) dengan mahar.. dan putusan
bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu,
calon istri juga mengucapkan hal sama. Kemudian calon
hakim menjawab, “Saya terima tahkim ini.”23
B. Fasiq
1. Pengertian Fasiq
Allah Swt menggambarkan penduduk bumi dalam al-Qur‟an
terbagi atas tiga jenis yaitu orang-orang mukmin, kafir dan munafikin.
Hal ini dapat kita lihat dan amati dalam firman-Nya awal ayat surat al-
Baqarah. Empat ayat pertama menggambarkan sikap orang-orang
mukmin, kemudian dua ayat selanjutnya menjelaskan sikap orang-
orang kafir, dan yang terkhir menjelaskan menganai sikap orang
munafik dijelaskan sebayak tiga belas ayat.
Fasiq ialah orang yang percaya kepada tuhan, tetapi tidak
mengerjakan perintah-perintahNya bahkan berbuat dosa besar
meskipun hanya sekali. Atau berbuat dosa kecil terus-menerus. Fasiq
juga berarti orang yang keluar dari garis kebenaran Islam. Atau orang
yang berbuat jahat, atau tidak ta‟at kepada Allah SWT.24
Kata fasiq banyak disebutkan dalam al-Qur‟an yang mana pada
setiap penyebutannya berbeda pengertian yang tegantung pada konteks
kalimatnya. Dalam surat al-Baqarah ayat 27 disebutkan kata fasiq
dengan pengertian orang-orang yang melanggar janji, yaitu dengan
menerjang apa yang telah diperintahkan Allah dan apa-apa yang telah
mereka sepakati, yaitu untuk beriman kepadaNya; setelah sebelum
mereka menyepakati perjanjian itu melalui lisan para rasul-rasulnya.
Mereka memutus tali silatur rahmi dan hubungan kekerabatan dan
tidak mau berteman dengan sesama orang mukmin. Mereka di bumi
23
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hal. 249-250 24
M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi‟ah, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994, hal. 74-75
32
selalu melakukan kemaksiatan dan menghalangi orang lain untuk
mempercayai kerasulan muhammad saw mereka itu penghuni neraka.25
Penjelasan dalam ayat 27 surat al-Baqarah merupakan
serangkaian sifat, sikap serta ciri orang yang fasiq. Tidak hanya dalam
ayat tersebut, akan tetapi masih banyak sikap fasiq yang dijelaskan
dalam al-Qur‟an yang terkadang digandengkan dengan kata kekafiran
dan kedurhakan atau dengna kebohongan dan percekcokan. Mengenai
ciri-ciri dari sikap fasiq akan penulis jelaskan dalam sub bab
berikutnya.
2. Macam-macam fasiq
Dalam al-Qur‟an kata al-fusuq (sikap fasiq) diredaksikan dengan
dua cara. Pertama disendirikan tanpa disertai kata al-„ishyan (durhaka).
Kedua, disertai dengan kata al-ishyan. Al-fusuq yang redaksinya
disendirikan dibagi menjadi dua kelompok yakni (1) fusuq akbar yang
membuat seseorang keluar dari agama Islam, dan (2) fusuq ashghar
yang tidak sampai membuat seseorang murtad.26
Sikap fasiq yang tidak disertai dengan kedurhakaan dan tidak
membuat dia keluar dari Islam (Murtad) dijelaskan dalam firman-Nya
:
....
“.... dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasiqan pada
dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.”(Q.S. al-Baqarah : 282)27
25
Wahbah Az-Zuahali, Mhammad Adnan Salim, Muhammad Rasyid Zein, Muhammad
Wahbi Sulaiman, Ensiklopedia al-Qur‟an, Jakarta: Gema Insani, 2007, hal.6 26
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tobat dan Inabah, penerjemah Ahmad Dzulfikar, Jakarta:
Qitshi Press, 2012, hal. 313 27
Ibid, Juz 1s/d15, hal. 48
33
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasiq membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.”(Q.S. al-Hujurat : 6)28
Kedua ayat tersebut merupakan sikap orang fasiq yang tidak
membuat dia keluar dari agama Islam. Sehingga mengharuskan dia
untuk bertaubat. Dan jenis sikap fasiq yang mengharuskan dia
bertaubat dibagi menjadi dua yakni; fasiq dalam masalah akidah dan
fasiq dalam masalah amal perbuatan.29
Fasiq yang berkaitan dengan
masalah akidah dapat dicontohkan dengan kefasiqan yang dilakukan
oleh pelaku bid‟ah. Sedangkan fasiq yang berkaitan dengan amal
perbautan dapat digambarkan seperti orang yang melanggar larangan
Allah Swt, dan dia disebut dengan orang yang melakukan maksiat.
Fasiq bisa diartikan dalam kategori orang mukmin. Kefasiqan
mereka tidak sampai membuatnya keluar dari agama, sehingga orang-
orang fasiq dari kaum muslim disebut al-„ashi (pelaku maksiat) dan
kefasiqannya tidak membuatnya keluar dari agama Islam.30
Seperti
dalam surat al-Baqarah ayat 197,
....
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasiq dan
28
Ibid, Juz 16s/d30, hal. 516 29
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, op.cit, hal. 316 30
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid 3, penerjemah Ainul Haris
Arifin, Jakarta: Darul Haq, 2012, cet ke-14, hal. 27
34
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang
kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. (Q.S. al-
Baqarah : 197)31
Kata fasiq dalam ayat tersebut bisa diartikan bahwa orang yang
keluar dari ketaatan secara keseluruhan termasuk orang kafir,
sedangkan orang keluar dari ketaan sebagian termasuk fasiq dan itulah
orang yang termasuk mukmin.
Ibnu Jarir sebagaimana yang dikutip oleh Supendi
mengemukakan bahwa beliau tidak hanya mengartikan makna fasiq
begitu saja namun melihat dari konteks kalimatnya. Ada beberapa
pengertian fasiq yang dilihat dari segi konteks kalimatnya.
Diantaranya:
a. Fasiq diartikan dengan perbuatan yang mendekati kekafiran
dan juga perbuatan syirik yang menunjukkan pada makna
tidak beriman kepada Allah secara mutlak, diantaranya
dalam ayat-ayat sebagai berikut : Q.S. an-Nisa‟ : 82, 110,
Q.S. Yunus : 33, Q.S. at-Taubah : 80,84, Q.S. al-
Munafiquun : 6 dan Q.S. al-Hadiid : 16.
b. Fasiq menunjukkan kepada perbuatan mengabaikan
kebenaran yang terdapat dalam kitab-Nya agar berhukum
dengan petunjuk hukum-Nya, diantara ayat-ayat tersebut
adalah Q.S. al-Baqarah : 26, Q.S. al-Kahfi : 50, Q.S. al-
Maaidah : 47, 49 dan 59
c. Fasiq juga menunjukkan pada perbuatan yang menentang
perintah Allah secara langsung yang dibawa oleh utusan-
Nya, diantara ayat-ayat tersebut adalah Q.S. al-Maaidah :
25,26, Q.S. al-Qashash : 32, Q.S. ash- Shaff : 5 dan Q.S. al-
Anbiyaa‟ : 74
31
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Juz 1s/d15, loc.cit, hal. 31
35
d. Fasiq adakalanya beliau artikan kedalam perbuatan ringan,
artinya perbuatan tersebut tidak mengakibatkan pelakunya
keluar dari batasan keimanan, diantara ayat yang
menerangkan hal tersebut adalah Q.S. al-An‟am : 121, 145
dan Q.S. al-Baqarah : 197.32
3. Kriteria dan ciri-ciri fasiq
Ada beberapa penyebab yang menjadikan orang itu termasuk
kategori fasiq. Penyebab itu bisa dari dalam dirinya sendiri dan ada
juga yang dari luar dirinya. Adapun penyebab fasiq dari dirinya
(internal) adalah pertama, bodoh (ketidaktahuan), kedua mengikuti
hawa nafsu, ketiga cinta kepada dunia. Penyebab tersebut dapat kita
temukan pada beberapa ayat-ayat al-Qur‟an. Pertama mengenai
kebodohan (ketidaktahuan) yang membuatnya melukakan perbuatan
fasiq, adalah surat al-Baqarah : 99.
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat
yang jelas; dan tidak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-
orang yang fasik. (Q.S. al-Baqarah : 99)
Ibnu Abbas berkata, “firman Allah ini merupakan jawaban
untuk Ibnu Syuriya yang berkata kepada Rasulullah Saw: “wahai
Muhammad engkau datang kepada kami tanpa membawa sesuatu yang
dapat kami kenali, dan kepada engkau pun tidak diturunkan ayat yang
jelas, sehingga karenanya kami dapat mengikutimu.” Maka Allah pun
menurunkan ayat ini.33
Pada ayat tersebut ada kandungan makna mengenai sikap orang-
orang yahudi. Yakni ketika datang suatu kebenaran, mereka lebih
32
Supendi, Penafsiran Fasiq dalam Tafsir Jami‟ Al-Bayan An-Tanwil Ay Al-Qur‟an
Karya Ibnu Jarir Al-Tabari, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 2003 33
Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi 2; penerjemah, Fathurrahman, Ahmad
Hotib; editor, Mukhlis B Mukti, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, hal. 93
36
memilih kesesatan dibanding petunjuk, karena terdorong rasa dengki
yang bersemayam di dalam hati mereka terhadap orang-orang yang
membawa kebenaran.34
Dengan demikian mereka tidak bisa dipercaya
dalam segala hal karena sering merusak janji dan tidak bisa diharapkan
untuk menuju iman karena kesesatan yang telah membudaya di
kalangan mereka.
Penyebab internal yang kedua, mengikuti hawa nafsu. Perbuatan
ini digambarkan Allah dalam firman-Nya surat al-Maidah : 49.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan
sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. al-Maidah : 49)
Ketiga, cinta akan dunia. Dalam al-Qur‟an menjelaskan bahwa
dunia merupakan tempat bermain dan bercanda.
34
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi; penerjemah, Bahrun Abu Bakar, Hery
noe Aly, Anshori Umar Sitanggal, Semarang: Toha Putra, 1993, hal. 323
37
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-
isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal
yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya
dan dari berjihad di jalanNya, Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S. at-Taubah : 24)
Allah memerintahkan kepada Rasulnya untuk memberikan
peringatan kepada orang-orang yang lebih mengutamakan keluarga
dan kerabatnya, usaha yang diperoleh, rumah-rumah yang
ditempatinya daripada Allah dan RasulNya dan daripada jihad di jalan
Allah, mereka tidak akan mendapat petunjuk dari Allah disebabkan
perbuatan fasiknya.35
Penyebab eksternal (dari luar diri manusia) yang menyebabkan
serta mendorongnya untuk melakukan perbuatan fasiq adalah godaan
syetan, taklid pada nenek moyang, dan teman yang buruk. Mengenai
godaan syetan terdapat dalam surat al-Baqarah: 36
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan
dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah
kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu
ada tempat kediaman di Bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu
yang ditentukan." (Q.S. al-Baqarah : 36)
Mengikuti nenek moyang tanpa mengetahui kebenarannya dapat
menjadikannya fasiq. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Baqarah : 170.
35
Syaikh Imam al-Qurthubi , op. cit, jilid 8, hal. 219-222
38
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?" (Q.S. al-Baqarah : 170)
Teman yang buruk akan menimbulkan perbuatan yang
menyimpang dan fasiq.
“Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha
Pemurah (Al Quran), Kami adakan baginya syaitan (yang
menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya.” (Q.S. az-Zdukruf : 36)
Mengidentifikasi perbuatan fasiq merupakan hal yang sulit.
Kesulitan tersebut salah satunya dikarenakan populasi manusia yang
meningkat pesat dan pergaulan yang bebas. Dengan bantuan
pemahaman teks-teks al-Qur‟an akan mempermudah mengidentifikasi
perbuatan fasiq itu pada seseorang. Diantara ciri-ciri fasiq adalah
sebagai berikut:
1. Tidak mentaaati perintah Allah, Rasul Nya, dan
mendustakan ayat-ayat Allah.
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi
(Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi),
niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang
musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan
dari mereka adalah orang-orang yang fasik.”(Q.S. al-
Maidah : 81)
Pada ayat ini mereka diperintahkan untuk beriman
kepada Allah dan kitab yang dibawa oleh utusanNya, akan
tetapi mereka meminta pertolongan kepada orang kafir.
39
Dalam surat al-Baqarah ayat 99 menjelaskan mengenai tidak
ada orang yang beriman kecuali mereka yang berbuat ingkar
dan mereka adalah orang-orang fasiq.
2. Mencitai dunia daripada Allah, At- Taubat : 24
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-
saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad
di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.”
3. Munafik, dalam surat At-Taubah : 67
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian
dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh
membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf
dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah
lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang
yang fasik.”
Pada ayat ini sikap dari orang-orang munafik adalah
mengajak pada kemungkaran dan menolak pada ma‟ruf.
40
Sebaliknya dengan orang-orang mukmin yang mengajak
pada ma‟ruf (kebaikan) dan menolak kemungkaran. Ajakan
oran munafik kepada kemungkaran berupa kekufuran,
kemaksiatan, melarang beriman dan taat kepada allah dan
mereka itulah orang fasik.36
4. Menuduh orang baik-baik melakukan zina, Surat An-Nuur :
4
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-
baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah
orang-orang yang fasik.”
Menuduh orang baik-baik berbuat zina merupakan
perbuatan fasik dan dosa besar dengan tuduhan secara dusta
wanita mukminat baik-baik yang sedang lengah. Dengan
perbuatan tersebut peersaksiannya ditolak dan tidak diterima
untuk selama-lamanya dalam perkara apapun.37
5. Tidak memenuhi janji, Surat Al-A‟raf : 102
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi
janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka
orang-orang yang fasik.”
36
Imam Jalauddin as-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Surat Al-Kahfi
s.d. an-Nas, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012, hal. 748 37
Ahmad mustafa al-Maraghi, op. cit, hal. 132
41
Qur‟an Surat at-Taubah ayat 8 menjelaskan tentang
pembatan perjanjian terhadap kaum musyrikin karena
bagaimana bisa ada perjanjian yang langgeng dari sisi Allah
dan rasul Nya dengan orang-orang musyrik padahal mereka
selalu memusuhi kamu dan selalu inkar. 38
6. Berbuat zalim, Al-Baqarah : 59
“Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan
(mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.
sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu
dari langit, karena mereka berbuat fasik.”
Pada ayat ini dijelaskan akan kedzaliman seseorang
merupakan perbuatan fasiq. Mereka dari kalangan bani Israil
mengganti ucapan yang tidak diperintahkan kepada mereka
untuk mengucapkannya, sehingga mereka pun terkena
malapetaka.39
4. Keabsahan wali fasiq dalam pernikahan menurut para ulama fiqh
Orang yang keluar serta tidak mentaati aturan disebut dengan
orang yang fasiq. Para madhzab berselisih akan kedudukan orang fasiq
mengenai hukum yang berlaku baginya dalam muamalah. Salah
satunya kedudukan dan keabhasahan orang fasiq jika menjadi wali
atau saksi dalam pernikahan. Dalam hal ini penulis akan menjelaskan
sedikit mengenai berbagai pendapat ulama mengenai keabsahan orang
fasiq dalam menjalankan peran wali dalam pernikahan.
a. Imam Sayyid Abdurrahman yang terkenal dengan sebutan
al- Baalawi, dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidin, beliau
menyebutkan :
38
M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hal. 537 39
Syaikh Imam al-Qurthubi , Tafsir al-Qurtubi 1, op. cit, hal. 907
42
ل انص ا انم اجخ......... ن عذو انفسك عهى انش شرشط فى ان
أفرى , ز أصيح, تم ال سعى إال م ان اط ي ع ان زي عه
ة يانك يز انغضان, عثذ انس الو ذ ا صذ , رأخش ان انفاسك ه يطهما40 اعاخ أ ج فح أ ت د
Artinya: Disyaratkan dalam wali tidak ada kefasiqan
menurut pendapat yang kuat. Sedang pendapat yang
kedua yang di laksanakan raja-raja sejak dahulu
yang difatwakan oleh ulama-ulama mutaakhkhirin
serta dibenarkan oleh Ibn Abdis Salam dan al-
Ghozali juga merupakan madzhab Imam Malik dan
Abu Hanifah adalah sesungguhnya orang fasiq boleh
menjadi wali secara mutlak.
b. Imam al-Fanani juga menyebutkan
ش اإلياو الح نفاسك غ ف, فال ذكه دش ح عذنح ن ششط ف ان زا , ق الح, كانش ع ان ادج, ف انفسك مص مذح ف انش األعظى, أل
ى لال تعض يششذ". ن خ : "الكاح إال ت ذ ة نهخثش انص ز ان
, يا افرى ت ثك انس انص الح ي كات ان زي اخراس ان ه, : إ مم نذاكى فاسك 41 س ذ الح نهفاسك, د تماء ان ي انغضن
Artinya: Disyaratkan dalam wali pernikahan sifat adil,
merdeka dan taklif, maka tidak ada kewalian bagi
orang yang fasiq selain Imam A‟dzam sebab
kefasiqan adalah sifat kurang yang dapat mencederai
persaksian maka mencegah kewalian seperti budak.
Pendapat inilah yang dijadikan madzhab Syafi‟i
berdasarkan hadits shahih “Tidak ada
pernikahan tanpa wali yang adil”. Namun sebagian
ulama berpendapat dia boleh menjadi wali, pendapat
yang dipilih oleh an-nawaawy, Ibn Shalahm dan as-
Subky adalah apa yang difatwakan al-Ghozali yakni
hukum perwalian tetap ada pada orang fasiq,
sekiranya perwalian itu dapat pindah kepada hakim
yang fasiq.
c. Ahmad Rifa‟i, dalam kitab yang dia terjemahkan Tabyinul
Ishlah memberikan pendapat dalam sub bab wali. Apabila
diketahui wali fasiq telah merata (menyebar secara luas)
40
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Al-Masyhur, Bughyatul
Mustarsyidin, Damaskus, Syiria: Darul Fikr, t.t., hal. 331-332 41
Syekh Ahmad Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Fannani, Fathul
Mu'in Bisyarhi Qurrotil Ain Bimuhimmatiddin, muhaqqiq Bassam Abdul Wahhab Al-Jabi, Beirut
Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2004, hal. 464-465
43
pada suatu tempat maka seorang wanita dihukumi sah dalam
pernikahannya dengan wali fasiq tersebut. Menurut qaul
mu‟tamad (pendapat yang kuat) hal ini dikarenakan adanya
suatu udzur. Akan tetapi jika yang fasiq tersebut adalah wali
aqrab, sedangkan di tempat tersebut masih terdapat wali
ab‟ad yang adil, maka perwaliannya berpindah dari wali
aqrab kepada wali ab‟ad.42
d. Imam Ibnu Abidin,
ة ي ان ى ك ز ف اس م ا ع ه ى ان ن اس ز ا ن ث ان غ ان ع ال م ان ن ا ن
ض ي ض ف اس م ا, ف ه ه م اض ى أ انج ذ إر ا ك ا األ ب أ ر ك ا. أ ي ر
إ ر ا ك ا ه ح ع ذ ا, ن ك ال س ه ة األ ك ا إ ان ف اس ك ان ك ف ء . أ
ي ص ه ي اس أ ذ ى ي ص ه ذ ح . ج إ ال ت ش ش ط ان ر ك ا ال ف ز ذ ض األ ب ي ر
ن أ ت ا ان ك ا ت غ ش ك ف ء إ ف اد ش أ ت غث ن ن ض و ل ي ص ف " ل
ع ش ف ال ." إ اء ا إل خ ر اس ا س ج ذ ا ن ى ع ش ف ي ا
ال ر ي ط ه م ا.43 ع ى س ئ اال خ ر اس ال ذ س م ظ ت ر ك ر ان ف اس ك ان
Artinya: Menurut madzhab kami pengertian wali secara
syara‟ adalah orang yang baligh, berakal, mewarisi
walaupun orang itu fasiq selagi fasiqnya tidak
mutahattik (mengerti akan ilmu tapi tidak bisa
menjalankannya). Jika Ayah dan kakek itu fasiq,
maka hakimlah yang dapat menikahkan wanita
tersebut jika sekufu dengan laki-lainya. Selanjutnya
pembahasan fasiq dalam pernikahan merupakan
bukan salah satu penghalang untuk menjadi wali.
Menurut Ibnu Abidin kefasiqan seseorang bisa
menjadikan dia wali selagi dia tidak merupakan
fasiq yang mutahattik. Pengertian fasiq mutahattik
menurutnya ialah apabila pilihannya yang buruk.
Maksudnya dalam mencari calon laki-laki bagi
anaknya itu tidak sesuai dengan ketentuan agama
Islam atau syara‟. Sehingga dia dapat menjadi wali
pernikahan.
42
Ahmad Rifa‟i, Terjemahan dan Ringkasan Tanbihul Ishlah, ed., Moh. Ehwandha, Pati
: , 2012, hal. 27 43
Muhammad Amin Syahir Ibnu Abidin, Raddul Mukhtar ala Dar Mukhtar Syarh
Tanwir al-Abshor, juz 4, Bairut Libanon: Dar al-Alam al-Kutub, t.t., hal. 153
44
44
BAB III
KEABSAHAN ORANG FASIQ MENJADI WALI DALAM PERNIKAHAN
MENURUT IMAM AL-MAWARDI DAN IMAM AL-KASANI
A. Imam Al-Mawardi
1. Biografi Imam Al-Mawardi
Al-Mawardi, nama lengkapnya Ali bin Muhammad bin Habib
al-Mawardi, al-Bashri as-Syafi‟i. Yang dikenal dengan Imam Al-
Mawardi. Lahir di Bashrah tahun 364 H dan wafat pada bulan Robi‟ul
Awwal 450 H.1 Ia dikenal dengan nama al-Mawardi karena berasal
dari keluarga yang memperdagangkan perangkai dan menjual air
mawar.
Al-Mawardi lahir di kota Bashrah, Irak. Sebuah kota yang
berbatasan dengan Persia. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab
memilih dua kota dari Irak untuk dijadikan sebagai pusat ilmu yakni
Bashrah dan Kuffah. Dalam Mu‟jam Al-Buldan disebutkan bahwa
kota Bashrah dan Kuffah merupakan dua kota yang dijadikan sebagai
pusat peradaban Islam karena udara disana sangat sejuk.2 Secara
geolitik Bashrah dan Kuffah terletak di ujung timur jazirah arabia
yang berbatasan langsung dengan Persia. Selain dijadikan sebagai
pusat ilmu kota tersebut sangat strategis untuk dijadikan daerah
militer, untuk menjaga daerah perbatasan.
Dalam kitab al-Haawi al-Kabiir disebutkan Al-Mawardi wafat
di Baghdad setelah sebelas hari wafatnya qadhi Abi at-Thoyyib yaitu
pada bulan Rabi‟ul Awwal tahun 450 H yang kemudian dimakamkan
1 Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, Al-Hāwi al-Kabir, Juz 1, Bairut,
Libanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t., hal. 55 2 Imam Syihabuddin Abi Abdillah Yaqut bin Abdullah, Mu‟jam al-Buldan Jilid I, Bairut:
Dar Shadir, 1977, hal. 430
45
di samping makam beliau Qadhi Abi at-Thoyyib.3 Tepatnya di bab al-
Harb Baghdad.
2. Hasil karya Imam Al-Mawardi dan Murid-muridnya
Al-Mawardi belajar pendidikan sejak masa awal
pertumbuhannya seperti tokoh-tokoh intelektual muslim lainnya. Ia
menerima pendidikan pertama kali di kota Bashra. Ia belajar al-Qur‟an
dan Hadits kepada Muhammad Ibn „Adi Ibn Zuhar al-Maqarri, dan
kepada Ja‟far Ibn Muhammad Ibn Fadl Ibn „Abdillah Abu al-Qasim
al-Daqqaq yang terkenal dengan Ibn al-Maristani al-Baghdadi. Lalu ia
memperdalam fiqih dari seorang faqih Syafi‟i yang terkenal di
Bashrah yaitu Abu al-Qasim „Abd al-Walid al-Shaimari dan Abu
Muhammad al-Baqi. Kemudian ia melanjutkan belajar fiqih di kota
Baghdad pada tokoh fiqih Syafi‟i Abu Hamid al-Isfaraini. Belajar
hadits pada al-Za‟faraini, Muhammad al-Jabali, Abu al-Qasim al-
Diqqaq, dan Ibn „Adi. Ia melengkapi pengetahuannya tentang tata
bahasa dan kesusasteraan dari „Abdullah al-Bafi dan Abu „Abdullah
al-Azadi. Ia memperdalam ilmu kalam dari Abu Hamid Ahmad Ibnu
Abu Thahir al-Isfaraini.4
Banyak ilmu yang beliau pelajari. Diantaranya ilmu hadits
riwayah maupun dirayah, fiqh, ushul fiqh dan ilmu-ilmu syari‟at. Dari
beberapa ilmu yang beliau pelajari dari beberapa guru-guru beliau,
tidak secara langsung lahir dalam pemikirannya. Diantara guru-guru
beliau adalah :
a. Abu Qasim Abdul Wahid bin Husain al-Shimri
b. Muhammad bin Adiyyi al-Minqariyyi
3 Abdurrahim al-Asnawi (Jamaluddin) Thobaqat al-Syafi‟iyyah, juz 2, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1987, hal. 206 4 Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, op. cit. Lihat juga Abu Bakar Ahmad Ibn
Tsabit Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad au Madinah al-Salam, jilid 12, Beirut: Dar al-Fikr,
t.t., hal. 110
46
c. Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jaili, beliau merupakan
shahabat dari Abu Hanifah. Darinya Imam al-Mawardi belajar
hadits.
d. Ja‟far bin Muhammad al-Baghdadi
e. Muhammad Muhalla al-Azdi, beliau merupakan guru Bahasa
Arabnya.
f. Abu Hamid Ahmad bin Abi Thohir Muhammad bin Ahmad Al-
Isfarayini
g. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad al-Bukhari, yang
dikenal dengan al-Baqi.5
Tidak diragukan lagi kepandaian beliau dalam berbagai ilmu.
Sehingga banyak murid yang ingin belajar ilmu darinya. Adapun
murid-murid beliau diantaranya adalah :
a. Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi al-Hafidz Abu
Bakar al-Khotib al-Baghdadi
b. Abdul Malik bin Ibrahim bin Ahmad Abu Fadhli al-Ham bin al-
Faradhi al-Ma‟ruf bil Maqsidi
c. Muhammad bin Ahmad bin Abdul Baqi bin Ali Hasan bin
Muhammad bin Thauq Abul Fadhoil al-Roba‟i
d. Ali bin Said bin Abdurrahman bin Muhriz bin Abi Ustman al-
Ma‟ruf bin Abi Hasan al-„Adzariyyi
e. Mahdiyyi bin Alyyi al-Isfarayini, al-Qadhi Abu Abdullah
f. Ahmad bin Hasan bin Ahmad bin Khoirun al-Baghdad al-Muqri‟i
bin al-Baqillani
g. Abdurrahman bin Abdul Karim bin Hawazin Abu Manshur al-
Qusyairy
h. Abdul Wahid bin Abdul Karim bin Hawazin
i. Abdul Ghanni bin Nazil bin Yahya bin Hasan bin Yahya bin
Syami al-Alwahi Abu Muhammad al-Mishri
j. Ahmad bin Ali bin Badran Abu Bakar al-Hulwani
5 Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, op. cit, hal. 58-60
47
k. Muhammad bin Ali bin Maimun bin Muhammad an-Nirasiyyi
l. Ahmad bin Ubaidillah bin Muhammad bin Ubaidillah bin
Muhammad bin Ahmad bin Hamdani bin Umar bin Ibrahim bin
Shahibinnabi Utabah bin Farqod al-Silmi al-Ukzari yang dikenal
dengan Ibnu Kadisy6
Selain mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada murid-
muridnya, al-Mawardi adalah seorang politikus yang ulung dan
penulis kreatif dalam berbagai ilmu pengetahuan. Kelebihan yang
dimilikinya menjadikan ia sangat dekat dengan khalifah al-Qadir.
Khalifah memberinya kehormatan yang tinggi atas reputasinya, ia
diangkat sebagai diplomat keliling dalam berbagai misi diplomatik ke
negara-negara tetangga maupun negara-negara satelit (buffer state).
Diplomasinya yang tinggi dan kearifannya yang mendalam bisa
menjaga wibawa dan kekhalifahan Baghdad yang sedang merosot di
tengah masa dinasti Buwaihi dan Saljuk. Dan atas jasa-jasa al-
Mawardi dalam melaksanakan tugasnya dan kedalaman ilmunya, pada
tahun 429 H khalifah al-Qadim bi Amrillah mengangkatnya sebagai
pejabat kehakiman yang paling tinggi sebagai adha al-qudhat
(HakimAgung) di Baghdad. Dia menjabat sampai akhir hayatnya.7
Al-Mawardi dikenal sebagai ulama yang sangat produktif. Ia
menulis sejumlah besar buku dalam berbagai cabang ilmu, seperti
Ushul Fiqh, Fiqh, Hadits, Tafsir, Politik dan Satra. Diantara karya-
karya Imam al-Mawardi adalah :
a. Ahkam Sulthoniyah
b. Al-Hawii al-Kabir
c. Al-Iqna‟
d. Dala‟il al-Nubuwwah
e. Qanun al-Wuzarat
f. Siyasat al-Mulk fi al-Siyasah
6 Ibid, hal. 60-70
7 Yaqut al-Hamawi, Mu‟jam Udaba‟, jilid 15, Beirut: Dar al-Ihya‟ al-turats al-„Arabi,
1988, hal. 56-57
48
g. Adab al-Dunya wa al-Din
Masih banyak lagi karya-karya Imam Al-Mawardi yang tidak
dipublikasikan. Hal ini karena semasa dia masih hidup tidak suka jika
karangannya dipublikasikan. Dia menganggap bahwa karangannya
mungkin tidak diterima di sisi Allah.8
3. Metode Istinbath Hukum yang digunakan Imam al-Mawardi
Kata Istinbath berasal dari kata istanbatha yastanbithu
istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan atau menarik
kesimpulan. Dengan demikian istinbath hukum ialah suatu cara yang
dikeluarkan oleh pakar hukum (faqih) untuk mengungkapkan suatu
dalil hukum yang dijadikan dasar dalam mengeluarkan suatu produk
hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.9
Imam Al-Mawardi dalam permasalahan fiqh sering mengambil
beberapa perkataan Imam Syafi‟i. Sehingga istinbath hukum yang
beliau jadikan dasar hukum tidak berbeda dari beliau. Diantara
istinbath hukum yang digunakan Imam al-Mawardi adalah:
a. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an merupakan sumber utama. Al-Qur‟an adalah
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw dalam bentuk lafal Arab dengan perantara Malaikat
Jibril dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.
Secara garis besar al-Qur‟an itu berisi Akidah, Ibadah,
Akhlak, Hukum, Kisah, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
dan Wa‟du dan Wa‟id (perjanjian baik dan ancaman
buruk).10
b. Hadits
8 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta:
LKPSM, 2001, cet ke- 1, hal. 151-152 9 Abdul Fatah Idris, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: Pustaka
Zaman, 2007, cet ke-1, hal. 5 10
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hal. 92
49
Menurut Imam Syafi‟i kedudukan Al-Qur‟an dan
Sunnah Mutawatirah dan selain hadits ahad adalah sederajat
dan kesamaan martabat dalam istidlal saja. Dan karena
keduanya merupakan wahyu Allah.
Hadits merupakan segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan. Hadits bisa juga diartikan
dengan Sunnah.
Sunnah atau Hadits dilihat dari sisi bentuknya ada tiga
macam, yakni:
1. Qauliyah, yaitu ucapan Nabi Saw, seperti
بي ثببد... ب الػ إ
2. Fi‟liyah, yaitu perbuatan Nabi Saw seperti wudlu,
praktik sholat lima waktu, praktik manasik haji dan
lain sebagainya.
ى أصى ز ب سأ ا و ص
3. Taqririyah
Segala sesuatu yang muncul dari sahabat yang
diakui keberadaannya oleh Rasul baik berupa
ucapan maupun perbuatan dengan cara diam tanpa
pengingkaran atau persetujuan dan keterusterangan
Rasul menganggapnya baik bahkan
menguatkannya. Seperti contoh: Rasulullah tidak
melarang dan tidak juga menyuruh atau diam ketika
para sahabat mengkonsumsi dlab (biawak).
c. Ijma‟
Menurut ulama ushul fiqh, ijma‟ adalah kesepakatan
semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah Saw atas hukum syara‟ mengenai suatu kejadian.
Ijma‟ dibagi menjadi dua macam yaitu:
50
1. Ijma‟ Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu
masa atas hukum suatu kasus, dengan cara masing-
masing dari mujtahid menjelaskan dengan jelas
pendapatnya melaui fatwa atau putusan hukum.
2. Ijma‟ Sukuti, yaitu sebagian dari mujtahid suatu
masa mengemukakan pendapat mereka dengan jelas
mengenai suatu kasus. Sebagian dari mereka ada
yang mengemukakan pendapatnya dengan jelas dan
sebagiannya lagi tidak memberikan tanggapan atas
pernyataan pendapat tersebut, baik menerima
mapun menolak pendapat tersebut.
d. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan sesuatu hukum dari
peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa
yang sudah memiliki nash hukum sebab sama dalam illat
hukumnya.11
Tidak bisa dikatakan Qiyas apabila tidak memenuhi
rukun Qiyas, diantaranya adalah al-Ashlu, al-Far‟u, Hukum
asal dan „Illat hukum.
4. Pendapat Imam Al-Mawardi Tentang Orang Fasiq Menjadi Wali
Nikah
Kedudukan wali dalam pernikahan menurut Imam al-Mawardi
merupakan syarat sah. Sehingga jika tidak ada wali dalam suatu
pernikahan maka tidak sah atau batal pernikahan tersebut. Oleh karena
kedudukan wali itu penting sehingga ada beberapa syarat yang
dipenuhinya antara lain adalah merdeka, baligh, berakal, adil,
mursyid, dan sekufu serta keridhaan dari orang tua wali.12
Pengertian wali fasiq dalam pernikahan ialah wali tersebut
terhindar dari perbuatan maksiat. Artinya ketika menjadi wali
11
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hal. 40-66 12
Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Juz 9, op. cit, hal. 37
51
pernikahanan wali tersebut dalam keadaan bersih dan tidak melakukan
maksiat. Sehingga menurut Imam al-Mawardi wali fasiq dalam
pernikahan tidak sah sama halnya tanpa kehadiran wali.
, فإ خ ػمذ ف اىبذ ششط فى صس ب لبي سشذ ا زا و سدي: ب لبي ا
وب س ش ا ت اشبفؼ, ز ش ػمذ ػى اظب فبعمب ثط ا
ل دجش دجش ػى اىبذ وبلة أ ا اء وب ع ل
ؼصجبد. وب13
Artinya : “Ini sebagaimana kata al-Mawardi bahwa dalam sahnya
pernikahansemua wali disyaratkan rusyd. Maka jika wali
itu fasiq maka batal akadnya menurut dhahirnya madzhab
Syafi‟i baik wali itu mujbir seperti ayah atau ghairu mujbir
seperti ashabah.”
Golongan Syafi‟iyah sangat memperhatikan dan teliti dalam
menanggapi suatu permasalahan. Wali dalam pernikahan merupakan
syarat penentu terwujudnya pernikahan oleh karena itu menurut
pendapat al-Mawardi kriteria yang menjadi wali pernikahan harus
benar-benar orang yang alim dan shalih. Pendapat Imam al-Mawardi
diatas dapat dipahami bahwa sifat Rusyd yang dijadikan qarinah
dalam menetapkan wali diartikan dengan orang yang benar-benar
shālih dan berprilaku baik. Sehingga menurutnya jika ada orang fasiq
(fasiq besar maupun fasiq kecil) menjadi wali maka tidak sah
pernikahan tersebut.
Orang fasiq menurutnya adalah orang yang melakukan maksiat.
Sedangkan yang berhak menjadi wali dalam pernikahan adalah orang-
orang yang shālih dan baik sifat serta akhlaqnya. Oleh karena itu
kefasiqan seseorang dapat mencegahnya menjadi wali. Dan menurut
al-Mawardi tidak sah pernikahan seseorang yang dihadiri oleh wali
yang fasiq karena dia termasuk orang yang maksiat.
13
Ibid, Juz 9, hal. 61
52
5. Dasar Hukum Imam Al-Mawardi Tentang Orang Fasiq Menjadi
Wali Nikah
Permasalahan wali fasiq dalam pernikahan, Imam al-Mawardi
hanya mengambil satu dalil untuk dijadikan dasar hukumnya, yakni
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dalam kitabnya ada
redaksi yang menyebutkan :
ػجبط لبي: ل اث ش ػ خج ذ ث ا عؼ بس ب د ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص : لىبذ إل بي سع
ب فىبز ط ػ غخ ب ىس شأح أ ب ا أ ذي ػذي" شب ششذ ث
. فب ػ ل ػجبط ا اث . س ثبط
" : : فم ل اششذ ف فإ فؼ خذ ذ مزضى ا سش م ششذ" إ ششذا ب ثىفء وب خ إرا ص , د ف فغ خ ش غ وب إ , ش غ
ذا. سش ى 14
Artinya: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Sa‟id bin
Jabir menyebutkan : Rasulullah Saw bersabda : “tidak ada
nikah kecuali dengan wali yang mursyid dan dua saksi yang
adil” dan wanita siapa mana yang dinikahkan oleh wali yang
maskhut maka nikahnya batal. Hadits tersebut diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas yang rawinya mauquf, dan dikeluarkan oleh
Imam Daruquthni.
Mengenai dalil yang dijadikan landasan hukum al-Mawardi
dijelaskan dalam kitab Fathul Bāri, dalam Kitab Nikah bab Sulthon
menjadi Wali. Hadits tersebut berbunyi:
ث عؼذ لبي : ع ػ أثى زبص ه ػ عف أخجشب زذثب ػجذالل ث
ال فمبي ذ ط فغى, فمب جذ ي هللا ملسو هيلع هللا ىلص فمبذ : إ شأح إى سع خبءد ا
خ : ص ب؟ سخ ئ رصذل ش ذن ػ ب زبخخ, لبي : ه ث رى ب إ
ئب ظ ش ز ب إب خغذ ل إصاس ه,فب ز أػط ذي إل إصاسي, فمبي: إ ب ػ لبي:
ظ ز ئب فمبي ا ب أخذ ش فمبي: ؼه دذ فمبي: أ ذ, ف زذ ب خبر
ب خبو ب فمبي لذ ص ب س ع غ سح وزا ع , عسح وزا ئ؟ لبي: ؼ ش مشأ ا
. مشأ ا ؼه ب ث
( ث مشأ ا ؼه ب ب ث خبو ي اج ملسو هيلع هللا ىلص ص م , طب )ثبة اغ عبق ل
لذ ب, ثبلفشاد, خزى ه ثفظ "ص ب ش طش جخ ا عؼذ ف ا ث ث ع زذ
لغ ف سد لذ , ازؼظ ب ث خى ثفظ ص خ زا اخ أث رس س
ش شأح ىسذ ثغ ب ا ع أ شف ث ػبئشخ ا ف زذ طب اغ ر ثأ ازصش
. ب ثبط ب فىبز ب, اخشخ إر ل طب اغ ف ث. اسذ
زجب اث خ خض اث اخ صسس أث ػ زغ زي ازش د أث دا
14
Ibid, hal. 62
53
لصخ جط ػى ششط اعز ى ب اسبو, ى ذ اطجشا ػ جخ. ا ا
, ل طب اغ , ػجبط سفؼ " لىبذ إل ث ث اث زذ ك طش ؼ ف خب اخشخ عفب مبي, أسطب ف اسدبج ث ف اعبد
ششذ ا ػجبط ثفظ "لىبذ إل ث اث عظ ثبعبد اخش زغ طجشا ف ال
." طب اغ أ15
Artinya: Menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf dari jalur
malik dari abu Hazm dari Sahal bin Sa‟ad, dia berkata,
“Seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw dan
berkata, „Sesungguhnya aku menyerahkan diriku‟. Kepadamu
Lalu Rasulul beridir dalam waktu yang lama hingga seorang
laki-laki berkata, „Nikahkanlah aku ya Rasul dengannya,
sekiranya engkau tidak berhajat kepadanya‟. Rasulullah Saw
bersabda, „Apakah engkau memiliki sesuatu yang bisa
dijadikan mahar untuknya?‟ Dia berkata, „Aku tidak memiliki
apapun selain sarungku‟. Beliau bersabda, „Jika engkau
memberikannya kepadanya, engkau akan duduk tanpa
sarung. Carilah sesuatu‟. Dia berkata, „Aku tidak
mendapatkan sesuatu‟. Beliau bersabda, „Carilah meskipun
sebuah cincin dari besi‟. Namun dia tidak mendapatkannya.
Beliau bersabda, „Apakah engkau memiliki hafalan Al-
Qur‟an?‟ Dia menjawab, „Benar, surah ini dan surah ini‟,
beberapa surah yang dia sebutkan nama-namanya. Beliau
bersabda, „Kami telah menikahkanmu kepadanya dengan
mahar mengajarkan beberapa surah Al-Qur‟an yang kamu
hafal‟.”16 Bab sulthon menjadi wali, berdasarkan sabda Nabi
Saw “nikahkanlah dia dengan kamu dengan Al-Qur‟an”
kemudian Imam Bukhari menyebutkan hadits Sahal bin Sa‟id
tentang perempuan yang menyerahkan dirinya, dari jalur
Malik dengan lafadz “Aku telah menikahkanmu”, yakni
dalam bentuk tunggal. Namun dalam riwayat Abu Dzar dari
jalur ini dinukil, “kami telah menikahkanmu”, yakni
menggunakan kata jamak untuk pengagungan. Pernyataan
bahwa sulthan adalah wali telah ditegaskan pada hadits
Aisyah yang marfu‟, (Siapa di antara perempuan yang
menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya dianggap batil).
Dalam hadits ini dikatakan juga (Sulthan adalah wali bagi
perempuan yang tidak memili wali). Hadits diriwayatkan
oleh Abu Daud serta at-Tirmidzi dan dia menggolongkannya
sebagai hadits hasan. Adapun Abu Awanah, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim menshahihkannya.
15
Ahmad bin Ali ibn Hajar al-„Asqalani, Fathul Baari, juz 9, libanon: Dar al-Fikr, t,t.,
hal. 190-191 16
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bāri jilid 25:Shaih Bukhari, penerjemah, Amiruddin;
editor, Abu Azza, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, cet ke-4, hal. 307
54
Aka tetapi karena hadits ini tidak sesuai dengan kriterianya,
maka dia menyimpulkan hukum tersebut berasal dari kisah
perempauan yang menyerahkan dirinya. Dalam riwayat ath-
Thabarani dari Hadits Ibnu Abbas, dari Nabi Saw
disebutkan, لىبذ إل ل طب اغ , و ث (tidak
ada nikah tanpa wali, dan sulthon adalah wali bagi siapa
yang tidak memiliki walinya). Dalam sanadnya terdapat Al-
Hajjaj bin Artha‟ah dan dia masih diperbincangkan. Sufyan
meriwayatkannya dalam kitab al-Jami‟ dari jalurnya, dan At-
Thabrani dalam kitab al-Ausath melalui sanad yang berbeda
dengan berstatus hasan, dari Ibnu Abbas, لىبذ ال ث
.ششذ أ اغطب
Penulis tidak menemukan asbabul wurud hadits yang dijadikan
landasan hukum wali itu harus mursyid. Akan tetapi penulis
menemukan redaksi lain dari hadits yang juga dari Ibnu Abbas namun
masih merujuk pada kitab induk yakni Shohih Bukhari yang penulis
sebutkan diatas. Hadits tersebut berbunyi :
لبي: مبع ا ذث شي لبي: زذثب ػجذالل زذثب أز اس م ش ا ػ ث ذالل زذثب ػج
ػجذالل , ػ عفب ػ ذي و ث ز ػجذاش فض ا ثشش ث د, دا ث
خ ذ ث عؼ ػ خث ث ب ػث ملسو هيلع هللا ىلص : ث ي الل ػجبط لبي: لبي سع ث ش ػ ج
. طب ع ششذ أ لىبذ إلثإر17
Artinya: Menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaim dia berkata:
menceritakan kepada kami ubaidah bin umar al-Qawariri
berkata diceritakan kepada kami Abdullah bin Daud dan
Busyra bin Mufadhdhal dan Abdurrahman bin Mahdiy
semuanya dari Sufyan, dari Ustman bin Khutsaim dari Sa‟id
bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata : Rasulullah Saw
bersabda : Tidak ada nikah kecuali dengan izin wali yang
mursyid atau hakim.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani masih dalam
satu sumber yakni berita hadits tersebut berasal dari Ibnu Abbas. Ibnu
Abbas merupakan sahabat Nabi dan merupakan anak dari Abbas bin
Abdul Muththalib, paman dari Rasulullah Muhammad Saw. Dikenal
dengan nama lain Ibnu Abbas. Banyak hadits shahih yang
17
Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, Al-Mu‟jam al-Ausath juz I, Kairo: Dar
al-Haramain, 1995, hal. 166
55
diriwayatkan melalui beliau karena beliau merupakan sahabat yang
pengetahuannya luas.18
B. Imam Al-Kasani
1. Biografi Imam Al-Kasani
Al-Kasani, nama lengkap beliau adalah Abu Bakar bin Mas‟ud
bin Ahmad al-Kasani. Nama al-Kasani dinisbatkan pada kota Kasan
yaitu sekitar kota Syasy, Baghdad. Mengenai kelahiran beliau penulis
tidak menemukan riwayat yang pasti. Namun beliau wafat pada
tanggal 10 Rojab 587 H. Ketika itu beliau sedang membaca al-Qur‟an
surat Ibrahim.19
Sebutan al-Kasani diambil dari istilah al-Kasan, yaitu sebuah
daerah sekitar Syasy. Dalam kitab Musytabihun Nisbah karya ad-
Dzahabi disebutkan bahwa daerah Kasan merupakan daerah yang luas
di Turkistan dan penduduk aslinya sering menyebut daerah tersebut
dengan Kasan yang berarti sebuah yang indah dan memiliki benteng
yang kokoh.
Al-kasani merupakan salah satu pengikut Madzhab Hanafi yang
tinggal di Damaskus. Pada masa kekuasaan Sultan Nuruddin Mahmud
dan di masa ini pula al-Kasani menjadi gubernur daerah Halawiyah di
Alippo. Dan juga pada masa kekuasan Sultan Mas‟ud bin Qalaji
Arsalan As-Saljuki.20
Tidak banyak buku yang menjelaskan mengenai biografi beliau.
Mengenai kehidupan beliau, al-Kasani memperistri Fatimah binti
Alauddin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi. Fatimah merupakan
wanita yang cantik yang hafal kitab at-Tuhfah karya ayahnya. Banyak
raja-raja dari Negeri Ruum yang melamarnya dan ketika itu al-Kasani
18
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Abdulllah_bin_Abbas Diakse pada tanggal 01 Mei
2017 pukul 11.30 WIB 19
Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas‟ud Al-kasani, Kitab Badā‟i as-Shonāi‟, Juz 3,
Bairut, Libanon: Dar al-Kutub al-„Alamiyah, t.t., hal. 76 20
https://ar.wikipedia.org/wiki/ ػالء اذ اىغب Diakses pada Tanggal 30 Maret 2017
pukul 11.40 WIB
56
mengarang kitab Badai‟ dan memperlihatkan pada gurunya yakni ayah
dari Fatimah, beliau sangat senang. Kemudian gurunya
menikahkannya dengan putrinya, yang mana karangan kitab tersebut
dijadikan sebagai mahar.21
Dari kejadian tersebut banyak orang yang
menjadikan buku sebagai mahar dalam pernikahan.
2. Hasil Karya Imam Al-kasani dan Murid-muridnya
Salah satu pengikut Madzhab Hanafi yang tinggal di Damaskus.
Semasa hidupnya al-Kasani menjadi gubernur di daerah Halawiyah di
Alippo pada pemerintahan Nuruddin Muhammad.
Pendidikan beliau tidak banyak diketahui oleh khalayak umum.
Sehingga penulis sulit mendapatkan referensi mengenai biorgafi
beliau. Meskipun demikian beliau dikenal sebagai orang yang rajin,
tekun, pandai serta cepat faham pelajaran yang diajarkan gurunya.
Al-Kasani terkenal di Bukhara (Mexico) Seperti halnya ulama-
ulama fiqih yang lain, beliau memperoleh ilmu dari gurunya. Diantara
guru-gurunya adalah :
a. Alauddin Mahmud bin Ahmad al-Samarqandi
b. Sadr al-Islam Abi al-Yasar al-Badawi
c. Abu al-Mu‟min Maemun al-Khahuli
d. Majidul Aimah Imam al-Ridho al-Syarkasi22
Murid beliau adalah:
a. Mahmud, yakni putra Imam al-Kasani
b. Ahmad bin Mahmud Al-Ghozwani
Diantara karya-karya beliau adalah :
a. Bada‟i ash-Shanai‟ fi Tartib al-Sharai‟. Kitab Bada‟i ash-
Shanai‟ fi Tartib al-Sharai‟ merupakan syarah dari kitab
Tuhfah al-Fuqaha karya al-Samarqandi. Al-kasani
dinikahkan dengan putrinya yang bernama Fatimah
dikarenakan al-Kasani murid yang pintar dan cepat
21
Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas‟ud Al-kasani, op. cit, hal. 75 22
Ibid, hal. 74
57
memahami pelajaran yang diajarkan oleh gurunya al-
Samarqandi, serta dia mensyarahi kitabnya, maka dia
dinikahkan dengan putrinya yang cantik dan hafal isi dari
kitab ayahnya. Dengan karyanya al-Kasani membuat sang
guru senang dan kitab tersebut dijadikan mahar pernikahan.
b. Al-Shulton al-Mubin fi Ushul ad-Din. Mengenai kepandaian
al-Kasani, sebagaimana yang terdapat pada beberapa
syairnya, diantaranya:
“Aku mendahului orang-orang yang alim kepada kedudukan
yang benar dan kemampuan tinggi”
“Demikian kebijakan munculnya cahaya petunjuk pada
malam yang gelap gulita”
“Orang-orang ingkar mendadakannya, tetapi Allah
menghalangi hingga Allah yang menyempurnakannya”23
c. Al-Mu‟tamad Min Al-Mu‟taqid.24
Karya terbesar Imam al-Kasani adalah kitab fiqh yang berjudul
Bada‟i ash-Shanai‟ fi Tartib al-Sharai‟, kitab ini merupakan salah
satu rujukan bagi orang yang bermadzhab Hanafi. Kitab Bada‟i ash-
Shanai‟ fi Tartib al-Sharai‟ merupakan penjelasan dari kitab at-
Tuhfatul Fuqaha yang dikarang oleh Imam al-Samarqandi.
Kitab Bada‟i ash-Shanai‟ fi Tartib al-Sharai‟ teriri dari 8
(delapan) Jilid. al-Kasani tidak hanya membahas mengenai fiqh saja
akan tetapi segala persoalan mulai dari ibadah, muamalah, sosial dan
politik.25
3. Metode Istinbath Hukum yang di gunakan Imam al-Kasani
Metode istinbat hukum yang digunakan Imam Al-Kasani dalam
menyelesaikan suatu permaslahan adalah dengan menggunakan
23
Ibid, hal. 75 24
https://ar.wikipedia.org/wiki/ ػالء اذ اىغب Diakses pada tanggal 30 Maret 2017
pukul 11.40 WIB
25 Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas‟ud Al-kasani, op. cit, hal. 77
58
beberapa metode yang sudah digunakan oleh guru dan Imam
Madzhabnya.
Ulama Hanafiyah pada umumnya menggunakan Al-Qur‟an,
Sunnah, Qiyas dan Qaul shahabat dalam menggali hukum, berijtihad
maupun beristinbath. Kemudian jika Qiyas itu bertentangan dengan
nas, ijma‟ dan mashlahat maka menggunakan istihsan. Kemudian jika
masih belum menemukan maka menggunakan ijma‟ kemudian „urf
shahih.26
Tidak berbeda dari Imam Madzhabnya, metode istinbaht hukum
yang secara global digunakan Imam al-Kasani dalam menyelesaikan
permasalahan adalah:
a. Al-Qur‟an
Sumber hukum islam yang pertama dan utama adalah
Al-Qur‟an. Al-Qur‟an adalah kitab Allah yang diturunkan
kepada Rasulullah Saw yg tertulis di mushaf dan sampai
kepada kita dengan mutawatir serta tanpa syubhat (yakin).27
Al-Qur‟an yang berbahasa arab dijadikan sebagai undang-
undang sekaligus pedoman bagi ummat manusia dan sebagai
amal ibadah bila membacanya. Terdiri atas 114 surat yang
dimulai dengan surat Al-Fatichah dan ditutup dengan surat
an-Naas.
Al-Qur‟an merupakan sumber hidayah yang
didalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat
diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang-undang.28
Oleh karena Al-Qur‟an sumber hukum yang pertama dan
utama maka jika ada permasalaha yang dirujuk pertama
adalah al-Qur‟an dan kemudian bila tidak menemukan maka
merujuk ke Sunnah atau Hadits.
b. Sunnah
26
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqih Pesantren, Jakarta: Kencana, 2008, cet-1, hal. 74 27
Ahmad Sanusi; Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, cet-1, hal. 15 28
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 1, Jakarta: Kencana, 2009, cet ke-4, hal. 77
59
Sunnah, sumber hukum islam kedua setelah Al-
Qur‟an telah disepakati dan diikuti semua mahdzab akan
keberadaan sunnah sebagai sumber hukum yang kedua.
Apa-apa yang bersumber dari Nabi Saw selain al-
Qur‟an baik berupa ucapan, perliaku atau ketetapan.29
c. Ijma‟
Sumber hukum ketiga setelah sunnah adalah ijma‟.
Secara bahasa kesepakatan atau sependapat. Sedangkan
secara istilah adalah kesepakatan mujtahid umat Islam
tentang hukum syara‟ peristiwa yang terjadi setelah
Rasulullah Saw meninggal dunia.30
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa kedua macam
ijma‟ (ijma‟ qath‟i dan ijma‟ sukuti), dijadikan hujjah.
Sedangkan mayoritas ulama seperti Imam Syafi‟i tidak
memegangi ijma‟ sukuti atau ijma‟ zhanni sebagai hujjah.31
Imam al-Kasani dalam kitabnya menyebutkan adanya
dalil ijma‟ ummah yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Kemungkinan yang dimaksud Imam al-Kasani adalah Ijma‟
ulama Kufah. Yang mana ijma‟ tersebut dilakukan oleh
ulama-ulama Kufah. Dan sebagian dari Madzhab Hanafi
menjadikan ijma ulama Kufah sebagai sumber hukum
Islam.32
d. Qaul shohabi
Qaul shohabi ialah ucapan sebagian sahabat rasul yang
hidup pada masa rasul, mengetahui hukum syari‟at dan
tingkatannya sampai pada mujthid sehingga berijtihad
menggunakan nas yang sharih atau sunnah Rasulullah Saw.
29
Ahmad Sanusi, op. cit, hal 35 30
Ibid, hal. 43 31
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah,
2009, hal. 109 32
Ahmad Sanusi, op. cit, hal. 50
60
Imam Abu Hanifah berkata: sesuatu yang datang dari
sahabat maka ikutilah mereka dan sesuatu yang datangdari
tabi‟in maka zaahamna.33
e. Qiyas
Secara bahasa adalah menyamakan, membandingkan
atau mengatur. Sedangkan secara istilah adalah menetapkan
hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan „illat
antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.34
f. Istihsan
Secara bahasa ialah menganggap baik sesuatu. Secara
istilah adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas yang nyata kepada qiyas yang samar atau dari
hukum umum kepada perkecualian karena ada kesalahan
pemikiran.35
g. „Urf
Perbuatan manusia yang dilakukan secara terus menerus
sehingga menjadikannya ringan untuk mengerjakan dan
berat untuk ditinggalkan merupakan pengertian dari „Urf.
„Urf bisa disebut juga dengan adat atau kebiasaan.36
4. Pendapat Imam Al-Kasani Tentang Orang Fasiq Menjadi Wali
Nikah
Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa wali bukan salah satu
syarat sah dalam pernikahan. Seperti perkatan Rābi‟ dalam suatu
riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Qasim dari Malik dalam
33
Muhammad Musthofa As-Stalabi, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Bairut: Dar Al-Nahdhal
Al-„Arabi, 1986, hal. 357 34
Ibid 35
Abdul Wahab Khallaf, op. cit, hal. 79 36
Muhammad Musthofa As-Stalabi, op. cit, hal. 313
61
perwalian : syarat wali dalam pernikahan bersifat sunnah bukan wajib.
Oleh karena itu diperbolehkan perempuan janda menjadi wali dalam
akad nikahnya. Dalam hal ini wali dalam pernikahan merupakan
syarat tamam (sempurna) bukan syarat sah. Namun masih
diperselisihkan dalam ulama Baghdad. Sebab perbedaan kedudukan
wali ini dikarenakan tidak ada ayat al-Qur‟an atau Hadits yang secara
jelas menjelaskan syarat wali dalam pernikahan. Ayat-ayat dan Hadits
yang biasa dijadikan hujjah syarat wali itu hampir atau berpotensi
terjadi. Karena pada dasarnya menghilangkan tanggungan.37
Imam Al-Kasani dalam kitabnya memberikan pendapat
mengenai orang fasiq yang menjadi wali nikah baik untuk dirinya
sendiri maupun untuk orang lain (anaknya). Beliau berbendapat
bahwa :
بث س ص أ ذ ػ خ ل ا د ج ث ط ش ش ث ذ غ خ ا ذ ؼ ا ا ز و ج ض أ ك بع ف ب
ش غ اص ز اث ث إ ح ض از خ ل ك بع ف ظ ط ش ى ش ؼ بف اش ذ ػ . 38
Artinya: Begitu juga dengan ādil bukan salah satu syarat perwalian
menurut madzhab kami. Dan bagi orang yang fasiq boleh
menikahkan anak laki-laki atau anak perempuannya yang
masih kecil. Menurut Imam al-Syafi‟i ādil merupakan syarat
perwalian dan orang fasiq tidak memiliki hak perwalian
dalam nikah.
Imam al-Kasani memasukkan wali fasiq dalam kategori wali
Qarabah pada ranah syarat Tsubut Al- Wilayah (penetapan wali).
Syarat wali Qarabah itu ada dua, yakni syarat Tsubut Al-Wilayah dan
Syarat At-Taqaddum. Dalam syarat Tsubut Al-Wilayah tersebut juga
di bagi menjadi tiga komponen yakni syarat bagi wali, maula „alaih
(calon) dan nafsu at-tashorruf. Karena pembahasan ini lebih mengacu
pada wali maka penulis hanya akan mengambil penjelasan mengenai
wali Qarabah dan syarat-syaratya.
37
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid juz 3, Kairo Al-Azhar:Dar as-Salaam, 1995, hal.
1249 38
Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas‟ud Al-kasani, op. cit, Juz 3, hal. 349
62
Sama dengan syarat wali lainnya, wali Qarabah memiliki
beberapa syarat diantaranya adalah berakal, baligh dan dapat mewarisi
satu dengan yang lain. Secara umum Islam bukanlah syarat untuk
menetapkan perwalian, karena ada banyak keyakinan yang dipegang
teguh oleh manusia. Sehingga firman Allah yang berbunyi:
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung
bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak
melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan
terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. Q.S. al-
Anfal : 73
Ayat tersebut merupakan penunjukan untuk mengambil para
wali yang sesuai dengan agama masing-masing. Bukan orang Islam
mengambil wali orang kafir dan begitu sebaliknya. Sehingga Imam al-
Kasani menyebutkan berakal, baligh dan dapat mewarisi untuk
menjadi wali dalam pernikahan. Beliau tidak menyebutkan sifat yang
spesifik seperti harus adil, rusyd dan sebagainya.
Ada satu hadits yang berbunyi ث ل إ بذ ى ل ذ ػ ذ ش .
Menurut al-Kasani hadits tersebut menyebutkan bahwa akad tidak
akan terlaksana kecuali dua saksi tersebut muslim. Dari permasalahan
ini timbul pertanyaan jika saksi tersebut merupakan orang fasiq.
Menurut pendapat Abu Hanifah, kesaksian mereka berdua (fasiq)
diterima. Karena masih memungkinkan bagi mereka bersaksi, maka
sah saja kesaksiannya seperti halnya kemungkinan-kemungkinan yang
lainnya. Dari dua hadits yang ada, tidak dijelaskan hakekat dari syarat
adil akan tetapi akadnya dapat diterima dengan kesaksian mustawraa
(orang yang tidak tampak kefasiqannya). 39
39
Mamduh Tirmidzi, Dudi Rosadi; Ibnu Qudamah, Al-Mughni; jilid 9, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2012, hal. 230
63
5. Dasar Hukum Imam Al-Kasani Mengenai Orang Fasiq Menjadi
Wali Nikah
Dasar hukum atau metode istinbath hukum yang digunakan
Imam al-Kasani sama seperti halnya ulama Hanafiah lainnya, yaitu al-
Qur‟an, hadits, ijma‟, qiyas dan istihsan. Kebolehan wali fasiq dalam
pernikahan menurut Imam al-Kasani berlandaskan pada; pertama
beliau melihat al-Qur‟an surat an-Nuur: 32
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya,
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Khitab pada ayat tersebut diberikan kepada para wali untuk
hendak menikahkan putrinya. Pengkhitaban tersebut ditandai dengan
kata al-ayyām yang diartikan dengan wanita-wanita yang belum
memiliki pasangan. Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai bukti
tentang anjuran kawin walau belum memiliki kecukupan. Selain itu
memberikan janji dan harapan kepada kita untuk memperoleh
tambahan rizqi bagi mereka yang akan kawin.40
Ayat tersebut mengandung beberapa perkara dalam pernikahan,
seperti kewajiban seorang wali untuk menikahkan anaknya,
dianjurkan bagi yang mampu untuk segera melaksanakan nikah untuk
menjaga dan memelihara kemaluan, tidak diperbolehkan menikahkan
diri sendiri karena statusnya yang „abd (hamba sahaya), dan
40
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah;Pesan Kesan dan Keserasian Al-
Qur‟an volume 8, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hal. 538
64
membolehkan menikahkan diri sendiri kecuali ada dalil yang kuat
menyatakan akan kebolehannya.41
Kemudian yang kedua, Imam al-Kasani menggunakan hadits
Nabi Saw sebagai dasar hukum dalam menetapkan wali yaitu :
ذ ث س ك طش ث ػبئشخ زذ زجب ربثؼ أخشخ اث ا اغذي ش ش, ر اضث ش ث صب ا ى بر ا ث خ ملسو هيلع هللا ىلص ص ل ػب ص ف ش غ بء ف و ل
42
Artinya: Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dari haditsnya
Aisyah Ra. Dari jalan Muhammad bin Marwan as-Sadi dan
pengiktnya, Rasulullah Saw bersabda: Nikahkanlah anak-
anak perempuan kalian dengan laki-laki sekufu tanpa ada
perselisihan.
Dalam hadits tersebut adanya khitab untuk menikahkan anak
mereka yang sederajat tanpa adanya perselisihan dari kata Min Ghairi
Fashlin. Dari kata tersebut Imam al-Kasani memasukkan sifat fasiq
merupakan sesuatu yang tidak harus diperselisihkan, karena
kedudukan wali merupakan syarat untuk menyempurnakan akad nikah
bukan syarat sahnya nikah.
Selanjutnya metode ketiga yang digunakan Imam al-Kasani
ialah ijma‟ ummat. Maksud dari ijma‟ ummat disini adalah
kesepakatan para ulama mujtahid golongan Hanafiyah. Ijma‟ tersebut
berbunyi :
ػ ش آخ ػ بط ا إ ب ف ض أ خ ال بع خ ب إ ي ع س ذ بص خ ب
ى ملسو هيلع هللا ىلص إ هللا ب ا ص ص خ ذ ز أ ش ى ش غ بر ث خ ض ا ز ب اة ش ػ ل
43ان ش ر ال اد ش و ال
Artinya: “Sesungguhnya masyarakat awam atau khusus mulai dari
Rasulullah Saw sampai sekarang menikahkan putri-putrinya
tanpa ada yang inkar (sepakat dan tidak ada perdebatan
apakah dia fasiq atau tidak) terutama orang arab, Kurdi dan
Turki.”
41
Abu Hafsh Umar bin Ali bin „Âdil al-Damasyqi, Al-Lubab fi Ulum al-Kitab, Juz 14,
Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-„Alamiyah, 1998, hal. 363-369 42
Ibnu mas‟ud al-Kasani, loc. cit, Juz 3, hal. 351. Lihat juga Isma‟il al-Syafi‟i al-
„Ajluniy, Kasyful Khifa‟, nomor hadits 1436, hal. 342. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban yang diperoleh dari Aisyah Ra. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai hadits ini. 43
Ibid, hal. 352
65
Imam al-Kasani memberikan pengukuhan atas ijma‟ ummat
yang dijadikan landasan permasalahan wali fasiq. Menurutnya :
ى ف ل ش ظ ا ص س ى ر ػ ح س ذ م ى ا ف ذ ذ م ل ك غ ف ا ش ظ خ ل ز ل
ي ذ ؼ ب و خ ل ى ا ف ذ ذ م ال ف خ اث س ى ا ف ذ ذ م ا ل ز و خ م ف اش ى إ اػ اذ
ش ى غ ػ خ ل ا أ ى ف غ ف ى ػ خ ل ا أ ك بع ف ا ل
ه ا خ ل خ ل ا ى ػ ذ ز أ أ ل ر بد ب ش ج ا ل ز ي ذ ؼ ب و
أ ج ض ى ز ز شخ ال ع ا أ ى ف ز44
Artinya: Dan oleh karena pernikahan itu perwalian yang bersifat
nadhar (pandangan atau pemeliharaan dan pengawasan
orang tua terhadap anak), dan kemampuan orang fasiq
dalam mengakadkan tidaklah dicela, karena sifat sayangnya
kepada putrinya. orang fasiq termasuk orang yang mampu
menjadi wali untuk dirinya sendiri, maka menjadi wali untuk
orang lain pun bisa. Oleh karenanya persaksiannya dapat
diterima. Kebolehannya menjadi wali atau menjadi saksi
karena dia merupakan salah satu dari dua jenis perwalian
yaitu wilayah milik, dia bisa menikahkan budak
perempuannya. Maka dia juga termasuk dalam ahli
perwalian lain (wilayah nadhor ).
Pengukuhan akan ijma‟ ummat tersebut memiliki tujuan untuk
mengantisipasi terjadinya hal-hal seperti kefasiqan seseorang. Karena
menurut beliau perwalian dalam pernikahan sama halnya perwalian
lainnya. Seperti yang penulis sebutkan di atas. Hemat penulis Imam
al-Kasani tidak meberikan batasan siapa yang lebih berhak menjadi
wali akan tetapi siapa saja boleh menjadi wali yang terpenting dia
merupakan orang Islam bukan orang kafir.
44
Ibnu Mas‟ud al-Kasani, op. cit, Juz 3, hal. 352
66
BAB IV
ANALISIS HUKUM TERHADAP KEABSAHAN WALI FASIQ DALAM
PERNIKAHAN MENURUT IMAM AL-MAWARDI DAN IMAM AL-
KASANI
A. Analisis Perbandingan Pendapat Imam Al-Mawardi dan Imam Al-
Kasani Tentang Wali Fasiq Dalam Pernikahan
Untuk melegalkan perkawinan, disyaratkan adanya wali dalam
pernikahan, dikarenakan kedudukan dan peranannya yang penting. Wali
nikah dibutuhkan bagi perempuan yang sudah dewasa dan baligh
(perawan) maupun sudah menikah kemudian dicerai (janda), demikianlah
pernyataan dari Imam al-Mawardi.1 Berbeda dengan pernyataannya Imam
al-Kasani yang mana kedudukan wali dibutuhkan hanya untuk perempuan
yang belum dewasa namun sudah baligh, sedangkan untuk janda boleh
menikahkan dirinya sendiri.2
Keberadaan wali dalam pernikahan disebutkan dalam firman Allah
Swt :
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka nikah
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di
antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
1 Abi Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, -Hāwi al-Kabir, Juz 9, Bairut,
Libanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t., hal. 38 2 Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas‟ud Al-kasani, Kitab Badā‟i as-Shonāi‟, Juz 3,
Bairut, Libanon: Dar al-Kutub al-„Alamiyah, t.t., hal. 349
67
kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-
Baqarah [02]:232)3
Pernyataan tersebut didukung dengan adanya hadits Nabi yang
berbunyi :
ا ن س إذ كسد تغ ا ايسج ل هللا ملسو هيلع هللا ىلص "أ عائشح قاند: قال زظ ع
ا تاطم، اشردسا فكاز ا، فإ فسخ ا اظرسم ي س ت ا ان ا فه دخم ت فإ
، صسس أت عاح، ات فانعهطا ن" أخسخ األزتعح إالانعائ ن ال ي ن زثا انساكى.
4
Artinya: Dari Aisyah Ra berkata : Rasulullah Saw bersabda “Siapa saja
diantara perempuan menikah tanpa izin dari walinya maka
pernikahannya batal, dan jika sudah dukhul maka wajib
memberi mahar untuk menghalalkan farjinya, dan jika wali
menolak maka sulthan atau hakim menjadi wali bagi orang
yang tidak memiliki wali.” Hadits diriwayatkan oleh Imam
empat kecuali Imam Nasa‟i dan dianggap shohih oleh Imam
Abu Awanah, Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim.
Ada hadits lain yang menyatakan akan kedudukan wali sangat
penting, yang berbunyi :
ل هللا هللا ذعانى عا قال: قال زظ زض أت أتى يظى ع أتى تسدج ات ع " زا أزد األزتعح، صسس ات اندى ات زثا، أعم ملسو هيلع هللا ىلص "ال ن كاذ إال ت
تاإلزظال.5
Artinya : Dari Abi Burdah bin Abi Musa dari ayahnya RadiyaAllahu
„anhuma berkata : Rasulullah Saw bersabda “Tidak sah suatu
pernikahan tanpa adanya wali” Hadits diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Imam empat, dianggap shohih oleh Ibnu Madaniy
dan Ibnu Hibban.
Perlu disadari bersama bahwa teks-teks hadits yang dibawa
Rasulullah Saw bersifat statis karena semenjak beliau wafat hadits telah
berhenti, demikian juga al-Qur‟an. Sementara itu, kehidupan umat
manusia bersifat dinamis, dari waktu ke waktu selalu mengalami
perubahan dan perkembangan yang memunculkan permasalahan-
3 Al-Qur‟an dan Terjemahannya, , hal. 37
4 Ibnu Hajar al-„Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Harisma, t.t, hal. 204
5Ibid, hal. 204
68
permasalahan baru. Perkembangan masalah itu menyentuh pada ketentuan
dan keabsahan wali fasiq dalam pernikahan. Hadits nabi yang menjelaskan
mengenai permasalahan tersebut masih berkaitan pada pertanyaan boleh
dan tidak, serta apakah Nabi Saw pernah melakukannya atau tidak. Namun
sekarang, masalah itu berkembang salah satunya kepada pertanyaan
bagaimana jika wali dalam pernikahan itu adalah seorang yang telah
baligh, sehat jasmani dan rohaninya, tetapi fasiq.
Permasalahan tersebut mencoba ditanggapi oleh Imam Abdullah
bin Mas‟ud al-Kasani, salah seorang pengikut dari madzhab Hanafi yang
hidup pada abad ke lima hijriyah (wafat tahun 587 H) dan Imam Ali bin
Muhammad bin Habib al-Mawardi, pengikut dari madzhab Syafi‟i yang
hidup pada abad ke tiga sampai pertangahan abad ke empat (364-450 H).
Keduanya memiliki pendapat yang berbeda mengenai keabsahan
wali fasiq dalam pernikahan. Imam al-Mawardi menegaskan tidak boleh
dan tidak sah pernikahan tersebut jika dihadiri oleh wali yang fasiq karena
wali merupakan rukun dari pernikahan dan yang menjadi wali haruslah
orang yang benar-benar sholih terhindar dari perbuatan maksiat.
, ح عقد ف انكاذ شسط فى صس ن ا قال زشد ان را ك زدي: ا قال ان
ن ق ز ي ش ان ة انشافع, ير س ي فاظقا تطم عقد عهى انظا ن ان كا فإ
اء كا ال دثس كانعصثاخ. ظ ي دثس عهى انكاذ كاألب أ ي ن ان6
Artinya: “Ini sebagaimana kata al-Mawardi bahwa dalam sahnya
pernikahansemua wali disyaratkan rusyd. Maka jika wali itu fasiq
maka batal akadnya menurut dhahirnya madzhab Syafi‟i baik
wali itu mujbir seperti ayah atau ghairu mujbir seperti ashabah.”
Sementara itu Imam al-Kasani membolehkan wali fasiq menjadi
wali nikah, bagi perempuan yang masih kecil atau belum dewasa,
menurutnya wali dalam pernikahan sama halnya dengan perwalian dalam
pemeliharaan anak.
ات س ص أ د ع ح ال ان خ ث ث ن ط س ش ت د ع ن ح ان د ع ا ان ر ك ت إ ج ص أ ق اظ ف ه ن ا
س غ انص ر ات .ح ص انر ح ال ق اظ ف ه ن ط ن ط س ى ش ع اف انش د ع . 7
6Abi Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, op. cit, Juz 9, hal. 61
7Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas‟ud Al-kasani, op.cit, hal. 349
69
Artinya : Begitu juga dengan ādil bukan salah satu syarat perwalian
menurut madzhab kami. Dan bagi orang yang fasiq boleh
menikahkan anak laki-laki atau anak perempuannya yang masih
kecil. Menurut Imam al-Syafi‟i âdil merupakan syarat perwalian
dan orang fasiq tidak memiliki hak perwalian dalam Nikah.
Nabi Saw tidak pernah memberikan kriteria khusus untuk menjadi
wali dalam pernikahan kecuali beragama Islam, baligh serta berakal.
Kedudukan dan kehadiran serta izin dari wali merupakan sesuatu yang
dapat menjadikan pernikahan itu sah. Seperti hadits-hadits diatas yang
sudah penulis sebutkan.
Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya
bantuan dari manusia yang lain bahkan dengan makhluk Allah yang lain.
Allah berfirman :
Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. al-Baqara : 30)8
Pada ayat tersebut malaikat menanyakan apakah manusia di bumi
ini bisa di andalkan untuk menjadi khalifah (pemimpin, panutan)? Padahal
manusia itu sering melakukan perbuatan yang dapat merusak dunia. Untuk
menjadi khalifah yang kaitannya dalam mengelola kehidupan di dunia
menjadi baik sesuai dengan perintah Allah Swt, maka Allah Swt
memerintahkan para Nabi dan orang-orang yang dipilih Allah untuk
mengajak, membimbing, serta memperingatkan manusia kepada jalan
8 Al-Qur‟an dan Terjemahannya, op. cit, hal. 6
70
yang benar, berperilaku baik dan menjalankan tugasnya sebagai khalifah
di bumi. Banyak ayat-ayat al-Qur‟an yang mengancam akan perbuatan
manusia yang tercela, seperti orang yang berbuat fasiq, syirik, munafiq,
kafir dan bahkan keluar dari agama Islam.
Menjalankan akad pernikahan merupakan salah satu perbuatan
yang mengelola kehidupan menjadi lebih baik. Oleh karena itu keluarga
yang dibangun dengan dasar pondasi keimanan yang baik dan kuat, maka
pilar kehidupan yang dibangun akan menjadi baik pula. Begitu sebaliknya
pondasi yang dibangun dalam keluarga itu tidak baik atau rusak maka
kehidupan pun akan ikut menjadi rusak.9
Dalam hal ini keberadaan orang fasiq (menyimpang dan keluar dari
aturan Allah Swt) terancam akibat hukumnya. Jika dilihat dari segi tauhid
orang fasiq merupakan orang yang kurang ilmu sehingga menimbulkan dia
melakukan perbuatan menyimpang yang telah ditentukan Allah Swt.10
Seorang laki-laki bertanya pada Rasulullah Saw, “Muslim yang
bagaimanakah yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak
(terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya.” jawab Rasulullah
Saw. Rasulullah Saw bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba
hingga lurus lidahnya. (H.R. Ahmad) begitu pula pesan Sayyidina
Umar Ra. “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah
bersuara/ bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan
amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan
lidahnya” “orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti
imanya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun
ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari
hal-hal yang haram/ terlarang; dan akhlak mulia dalam
bermasyarakat (bergaul)”, “yang paling aku khawatirkan dari
kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah
orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah
orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan sebenarnya
masuk surga adalah dia akan masuk neraka”.11
9Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, cet ke-1, hal. 3
10 Shalil bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid 3, penerjemah Ainul Haris Arifin, Jakarta:
Darul Haq, 2012, cet ke-14, hal. 25-26 11
http://ahlithoriqoh.blogspot.com/2015/04/pengertian-fasiq-dan-orang-fasiq.html
Diakses tanggal 12 Mei 2017 pukul 09.50 WIB
71
Melihat penjelasan hadits tersebut dapat kita ambil hikmah bahwa
manusia di dunia dituntut untuk melakukan perintah Allah yang baik
sesuai dengan ketentuan Allah. Fasiq, dalam arti menyimpang dan
melakukan perbuatan yang dilarang Allah baik perbuatan itu besar
maupun kecil memiliki pandangan yang buruk dimata manusia. Perbuatan
fasiq tersebut dikaitkan dengan keberadaannya menjadi wali dalam
pernikahan.
al-Kasani maupun al-Mawardi, keduanya memiliki alasan
tersendiri dibalik perbedaan pendapatnya. Alasan perbedaan tersebut bisa
dilihat dari syarat yang ditetapkan dalam wali. Imam al-Mawardi
memberikan syarat bagi wali itu harus berakal, baligh, islam, adil dan
mursyid. Sedangkan al-Kasani tidak memasukkan syarat yang spesifik
bagi wali dalam pernikahan.
Zaman sekarang ini banyak orang yang mengesampingkan akan
keberadaan wali. Mereka yang memiliki sifat biasa (tidak alim dan sholih)
memberanikan diri untuk menikahkan anak perempuaanya yang belum
cukup umur maupun yang sudah dewasa. Terlepas dari itu biasanya
masyarakat sekarang sering melakukan perbuatan maksiat, seperti jarang
menjalankan sholat, melalaikan puasa dan lain sebagainya. Apakah orang
tersebut dapat menjadi wali atau tidak.
Berdasarkan pengamatan yang penulis baca, baik al-Mawardi
maupun al-Kasani masih tetap konsisten dengan corak madzhab masing-
masing. Al-Kasani dengan kekhasannya madzhab Hanafi yang
menggunakan akal dengan porsi lebih (rasionalis), masih kental terasa
dalam pendapatnya di atas. Menanggapi pendapatnya yang diasingkan, dia
ingin bertanya, “kenapa wali fasiq tidak diperbolehkan, padahal pada
zaman Rasulullah Saw tidak memberikan ketentuan khusus bagi wali yang
akan menikahkan anaknya?”. Begitu juga dengan al-Mawardi sebagai
pengikut Syafi‟i yang selalu mengedepankan konsep ihtiyath (kehati-
hatian) yang tinggi pada setiap pengambilan hukum, terlebih urusan yang
mengandung unsur ta‟abbudiyah seperti halnya nikah. Secara ringkas
72
bahwa al-Mawardi ingin bertanya kepada pihak yang membolehkan orang
fasiq menjadi wali “mengapa wali fasiq menikahkan anaknya itu sah,
padahal akad nikah merupakan proses akad yang sangat mengikat?”.
Menurut penulis, pendapat keduanya mempunyai konteks
kelebihan sendiri-sendiri. Untuk konteks masyarakat Indonesia, penulis
belum menjumpai wali fasiq dalam pernikahan, karena kesulitan untuk
mendeteksi apakah dia fasiq atau bukan. Akan tetapi wali yang dari
kalangan orang biasa seperti profesi seorang supir yang identik dengan
jarang melaksanakan sholat bahkan meninggalkan kewajibannya sebagai
seorang muslim. Peristiwa tersebut sesuai dengan pendapat yang diusung
oleh al-Kasani, pendapatnya yang menjelaskan bahwa wali tidak boleh
mempersulit pernikahan terdapat dalam al-Qur‟an dan untuk menjadi wali
haruslah orang yang beragama islam terdapat dalam hadits. Maka,
menurut hemat penulis, boleh (sah) saja orang yang fasiq menjadi wali
dalam pernikahan asalkan kefasiqannya tidak terlalu berat, seperti ia
menjadi kafir. Permasalahannya, jika calon suami yang akan menikah
tidak memiliki syarat seperti harus terlepas dari perbuatan fasiq, kemudian
kenapa syarat tersebut harus ada pada wali? Pernyataan tersebut dikaitkan
al-Kasani dalam pembolehan wali fasiq untuk mengakadkan anak
perempuannya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat
mendatangkan seorang kyai atau orang yang memiliki kredibilitas ilmu
agama yang luas untuk mengarahkannya dalam menjadi wali. Hal ini
dilakukan untuk tercapainya akad nikah yang sesuai dengan keadaan
masyarakat Indonesia sekarang ini.
Pendapat al-Mawardi yang tidak membolehkan orang fasiq
menjadi wali dalam pernikahan, hal tersebut rasional. Karena bisa jadi
anak perempuannya memiliki sifat yang sama dengan bapaknya, yakni
fasiq (sering melukakan perbuatan yang dilarang Allah, seperti jarang
shalat dll). Dengan demikian akan menimbulkan generasi yang tidak baik
juga. Menurut penulis, penulis sependapat dengan pendapatnya al-
Mawardi yang tidak membolehkan orang fasiq menjadi wali. Disisi lain
73
wali harus beragama Islam, maka tidak dipungkiri jika perilaku seorang
wali itu harus yang baik dan berprilaku layaknya seorang muslim yang taat
akan perintah dan menjauhi larangan Allah. Dengan demikian orang fasiq
yang dijadikan wali dalam pernikahan tidak hanya dijadikan sebagai
simbol sahnya akad pernikahan, akan tetapi sebagai salah satu bukti bahwa
seorang wali itu harus memberikan sikap dan muru‟ah yang baik kepada
anaknya nanti yang kelak akan membangun rumah tangga.
Dari segi filosofis wali dalam pernikahan, pada dasarnya yang
dibutuhkan adalah izin serta keridhaan seorang bapak bahwa anaknya akan
menyambungkan tali persaudaraan dan kasih sayang dengan laki-laki yang
dipilihnya untuk menjadi imam dalam rumah tangganya. Jika dikaitkan
dengan wali fasiq dalam pernikahan memiliki pengaruh dalam bertindak
dan menjalankan kehidupan rumah tangga anaknya. Hal inilah mengapa
sifat ādil dan rusyd bagi wali diperlukan karena akan memiliki dampak
yang buruk bagi anaknya kelak.
Menanggapi masalah khilafah (perbedaan pendapat antara Imam
al-Kasani dan Imam al-Mawardi mengenai keabsahan wali fasiq dalam
pernikahan) penulis menawarkan solusi, dari pendapat kedua Imam
tersebut jika diketahui umumnya komunitas masyarakat yang hidup di
desa atau kota tersebut memang melakukan atau banyak perbuatan
fasiqnya akan tetapi tidak sampai menjadikannya kafir dan murtad (keluar
dari agama Islam) maka boleh dijadikan wali dalam pernikahan, hal ini
diperbolehkan dan sesuai dengan pendapat Imam al-Kasani. Sedangkan
apabila dalam lingkungan yang akan melangsungkan pernikahan tersebut
campur, banyak orang yang mengerti akan agama Islam dan juga orang
yang sering melakukan perbuatan maksiat (fasiq) maka akan lebih
diutamakan orang yang mengerti akan agama islam dan memiliki muru‟ah
yang baik serta tidak pernah melakukan perbuatan fasiq. Dan apabila tetap
menggunakan wali fasiq maka tidak sah. Sesuai dengan pendapatnya
Imam al-Mawardi.
74
Terkait dengan tidak sahnya wali fasiq dalam pernikahan akan
menimbulkan pertanyaan “Bagaimana dengan kedudukan seorang ayah
yang memiliki tingkatan tertinggi dalam wali akan tersisihkan?”. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut Imam al-Mawardi dalam pendapatnya juga
menyebutkan : Sekalipun wali tersebut bersifat mujbir (wali yang
mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan orang yang berada
dibawah perwaliannya meskipun tanpa mendapat izin dari orang tersebut)
seperti ayah atau wali yang ghoru mujbir seperti „ashābah (kerabat). Abu
Ishaq al-Marwazi menambahkan pendapatnya Imam al-Mawardi,
pendapatnya : “Jika wali itu bersifar mujbir seperti ayah maka akadnya
batal sebab fasiq dan jika wali itu bersifat ghairu mujbir seperti „ashābah
maka akadnya tidak batal disebabkan fasiq, karena wali ghairu mujbir
kedudukannya seperti wakil.”12
Dengan demikian bila seorang ayah yang
memiliki sifat ijbar dalam menikahkan anaknya diketahui fasiq hak
perwaliannya bisa pindah kepada hak wali berikutnya sampai pada hakim
yang berhak menikahkan anak tersebut.
Penulis telah menguraikan pendapat dan metode istinbāth al-
Kasani maupun al-Mawardi berkaitan dengan masalah ini. Dalam hal ini,
penulis akan mencoba menganalisis metode istinbāth yang digunakan oleh
mereka. Bagaimanapun bentuk dan formula pemikiran-pemikiran mereka,
tidak lepas dari setting sosial, ruang dan waktu saat mereka masih hidup.
Mereka adalah bagian dari masa lalu dan merupakan pelaku sejarah. Dari
sinilah, ada beberapa persoalan yang akan dianalisis kaitannya dengan
istinbāth al-Mawardi yang tidak memperbolehkan wali fasiq dalam
pernikahan dan al-Kasani yang memperbolehkan wali fasiq dalam
pernikahan.
Sebagaimana penulis singgung dalam bab III (tiga), bahwa baik al-
Mawardi maupun al-Kasani menyebutkan secara terang metode
istinbāthnya yang bersandingan dengan pendapat mereka berdua, apa yang
telah mereka tempuh sehingga menghasilkan produk hukum yang berbeda.
12
Abi Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, op. cit, hal. 61
75
Hal itu maklum diketahui karena memang kekhasan kitab-kitab pada masa
itu ditulis dengan asumsi pembaca yang cerdas, yaitu pembaca yang telah
kaya dengan pembendaharaan dalil al-Qur‟an, al-Hadits, maupun metode
istinbāth. Jadi, para pembaca seolah hanya mengkonfirmasi pengetahuan
yang sebelumnya telah mereka miliki. Hal inilah yang menjadi tantangan
pembaca berikutnya yang tidak memenuhi kualifikasi di atas untuk
mengetahui dan menganalisa metode apa yang diterapkan para Imām
tersebut dalam setiap pendapatnya.
Berdasarkan hasil pengamatan, pembacaan, dan meneliti kitab-
kitab maupun buku-buku, penulis menyimpulkan bahwa dalam
beristinbāth, baik al-Mawardi maupun al-Kasani, keduanya memiliki
metode tersendiri, mengenai metode istinbāth yang digunakan Al-
Mawardi tentang wali fasiq dalam pernikahan itu tidak sah adalah hadits
yang bersumber dari Ibnu Abbas yang berbunyi :
سي قال: زدثا عثدالل زدثا أ از س انق ع ت دالل انقاظى قال: زدثا عث دت ز
عثدالل , ع ظفا ى ع دي كه ي ت ز عثدانس م فض ان تشس ت د, دا ت
خ ت ا عث ملسو هيلع هللا ىلص : ت ل الل عثاض قال: قال زظ ت س ع خث د ت ظع ى ع ث
. ظهطا يسشد أ ن الكاذ إالتإذ13
Artinya: Mencertakan kepada kami Ahmad bin Qaim berkata: menceritakan
kepada kami Ubaidah bin Umar al-Qawariri berkata diceritakan
kepada kami Abdullah bin Daud dan Busyra bin Mufadhdhal dan
Abdurrahman bin Mahdiy semuanya dari Sufyan, dari Ustman bin
Khutsaim dari Sa‟id bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata :
Rasulullah Saw bersabda : Tidak ada nikah kecuali dengan izin
wali yang mursyid atau hakim.
Hadits tersebut memiliki kedudukan yang tsiqqah (dapat
dipercaya). Beberapa sanad dalam hadits tersebut sanadnya menyambung
dan memiliki kualitas yang tsiqqah sehingga tidak ada pertentangan
mengenai hadits tersebut. Perawi hadits, yakni Imam at-Thabrani
13
Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, Al-Mu‟jam al-Ausath juz I, Kairo: Dar
al-Haramain, 1995, hal. 166. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam At-Thabrani dalam kitabnya
al-Mu‟jam al-Ausath, sejauh yang penulis amati bahwa antara sanad satu dengan sanad yang lain
saling berhubungan sehingga tingkat hadits tersebut bisa dibilang dipercaya dan bisa dijadikan
dalil.
76
merupakan perawi yang hafidz dan tsiqqah yang suka bepergian dan
melancong, seorang muhadditsul Islam dan jembatan para penyebrang
ilmu.
Dalam hadits tersebut tidak disebutkan secara jelas wali itu harus
terhindar dari perbuatan fasiq. Meskipun demikian Imam al-Mawardi
mencari sumber lain yang mengatakan bahwa wali fasiq dalam pernikahan
itu tidak sah. Kata mursyid dalam haditsnya Ibnu Abbas yang
diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani diartikan dengan seorang yang benar-
benar shālih, ālim dan berprilaku baik sesuai dengan ketentuan agama
Islam.
Kemudian, dalam beristinbāth kebolehan orang fasiq menjadi wali
dalam pernikahan (al-Kasani) adalah al-Qur‟an dan juga hadits yang
sebagai penjelas dari ayat al-Qur‟an, ayat tersebut :
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian, diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. an-Nuur : 32)
Ayat tersebut secara umum dijadikan dasar untuk menikahkan anak
perempuannya yang masih perawan. Dan anjuran menikah bagi mereka
yang sudah memiliki kemantapan baik batin maupun dhohir untuk segera
melangsungkan pernikahan. Dasar ini mungkin agak bertentangan dengan
konteks wali fasiq dalam pernikahan. Disamping itu menurut Hanafiyah
yang menjadi rukun dalam pernikahan hanyalah ijab dan qabul. Mengenai
syarat lainnya tidak begitu penting, karena yang terpenting adalah
terjadinya akad nikah.
Kemudian hadits Nabi Saw yang menafsiri ayat al-Qur‟an diatas
mengenai wali dalam pernikahan berbunyi :
77
ا يس د ت ق يس طس ث عائشح ي زد ي زثا ذاتع عايس أخسخ ات انعدي
س, ا ى ك اذ ا ت خ ملسو هيلع هللا ىلص ش ن ق ت صانر انصت م ص ف س غ ي اء ف ك أل14
Artinya : Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari „Aisyah Rasulullah Saw
bersabda : Nikahkanlah anak perempuan kalian yang sekufu
tanpa adanya perselisihan.
Menurut penulis, hadits yang dijadikan dasar tentang wali fasiq ini
hanya ada dalam hadits kalangan ulama tertentu. Tidak seperti dalilnya
Imam al-Mawardi yang masih bisa ditemukan dibeberapa kitab yang telah
disepakati. Oleh karena itu penulis kesulitan untuk mengidentifikasi
keautentikan hadits tersebut.
Dalam hadits tersebut disebutkan ada nama Muhammad bin
Marwan as-Sadi yang mana diketahui bahwa dia merupakan orang yang
berbohong dan matruk (terputus sanadnya)15
sehingga keberadaan
haditsnya tidak sekuat haditsnya Imam al-Mawardi.
Melihat dasar hukum yang dijadikan al-Kasani dalam menanggapi
wali fasiq dalam pernikahan ini bersifat umum, sehingga akibat hukum
yang timbul juga bersifat umum. Oleh karena itu menurutnya
diperbolehkan wali fasiq dalam pernikahan dan pernikahannya menjadi
sah. Al-Kasani memperkuat argumennya bahwa Orang fasiq termasuk
orang yang mampu menjadi wali untuk dirinya sendiri, maka menjadi wali
untuk orang lain pun bisa. Oleh karenanya persaksiannya dapat diterima.
Kebolehannya menjadi wali atau menjadi saksi karena dia merupakan
salah satu dari dua jenis perwalian yaitu wilayah milik, dia bisa
menikahkan budak perempuannya. Maka dia juga termasuk dalam ahli
perwalian lain (wilayah nadhor ).16
Hanafiyah, Ibnu Rusyd memberikan pernyataan bahwa sifat yang
diperlukan atau yang harus dimiliki oleh seorang wali untuk menikahkan
14
Isma‟il al-Syafi‟i al-„Ajluniy, Kasyful Khifa‟, t.kb: t.p, t.t., hal. 342. Hadits tersebut
yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban, menurut al-Syaukani, dalam sanadnya terdapat Muhammad
bin Marwan as-Sadiy dia merupakan orang yang berbohong (Fawaidul Majmu‟ah : 174). Abu
Nu‟aim mengatakan bahwa hadits tersebut ghorib dari Ziyad al- Zuhriy. 15
Muhammad bin Ali as-Syaukani, Fawaidul Majmu‟ah, t.kb: t.p, t.t., hal. 174 16
Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas‟ud Al-kasani, op. cit, hal. 325
78
anak perempuannya adalah Islam, baligh dan laki-laki. Hal ini telah
disepakati oleh jumhur ulama. Sedangkan sifat-sifat tercela yang
menjadikan wali itu tidak bisa menjadi wali adalah kafir, masih kecil dan
perempuan.17
Dari penyataan tersebut dapat kita lihat bahwa syarat yang
disepakati ulama tidak menyebutkan adanya sifat rusyd atau ādil.
Teks hadits at-Thabrani yang bersifat hasan merupakan izin wali
dalam pernikahan sangat penting. Tidak hanya izinnya saja akan tetapi
kehadirannya dalam mengakadkan nikah anak perempuan juga
mempengaruhi keabsahan nikah. Jika ditelusuri secara detail mengenai
hadits yang dijadikan dasar al-Mawardi maka sanadnya antara satu orang
dengan yang lainnya saling berhubungan dan memiliki kredibilitas tsiqqah
dan shuduq.
Sementara itu Imam al-Kasani memberikan argumen mengenai
syarat mursyid bagi wali dalam pernikahan, pendapatnya Imam al-
Mawardi yang berlandaskan dengan hadits Ibnu Abbas. Kata mursyid
dalam teks hadits tersebut diartikan dengan orang yang berakal. Dalam
kitabnya al-Kasani pendapatnya yang berbunyi
فاخ انشسعح. هح انرصس انعقم شسط أ أ18
Artinya : akal adalah syarat kecakapan bertindak secara syari‟at.
Hal itu menandakan bahwa secara syari‟at seseorang diangap sah
melakukan suatu perbuatan hukum ketika ia berakal. Tidak mengherankan
jika kalangan Hanafiyah menghukumi tidak sah bagi orang gila dan anak
kecil menjadi wali dalam pernikahan. Dengan alasan tersebut al-Kasani
memperbolehkan wali fasiq untuk menjadi wali dalam pernikahan. Karena
menurutnya orang fasiq memiliki akal yang sehat, dan dengan akalnya
bisa memberikan petunjuk atau memberikan pengarahan meskipun sedikit
arahannya.19
17
Ibnu Rusy, Bidayah al-Mujtahid juz 3, Kairo Al-Azhar:Dar as-Salaam, 1995, hal. 1225 18
Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas‟ud Al-kasani, loc.cit, hal. 20 19
Ibid, hal. 352
79
Analisis penulis mengenai kedua pendapat Imam yang berbeda
pendapat mengenai tidak diperbolehkannya wali fasiq dalam pernikahan
karena pendapat Imam al-Mawardi didukung oleh beberapa hadits yang
shohih dan tsiqqah sanad serta matannya. Kompilasi Hukum Islam yang
dijadikan sumber hukum di Indonesia dalam hal pernikahan menyebutkan
bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh.20
Kata
muslim disini dapat diartikan dengan orang yang benar-benar berperilaku
baik bukan orang yang sering mlelakukan maksiat dan perbuatan besar
yang dilarang oleh Allah Swt.
Kaidah yang berbunyi خد شسط عهق تشسط الصر إال ت انسكى ان
(hukum yang digantungkan kepada suatu syarat, tidaklah sah kecuali
dengan adanya syarat tadi).21
Kaidah ini bisa dikaitkan dengan kedua
pendapat Imam tersebut, jika dikaitkan dengan pendapatnya Imam al-
Mawardi tentu tidak akan sah pernikahan dengan dihadiri oleh orang wali
yang fasiq. Jika dikaitkan dengan pendapatnya Imam al-Kasani akan
berbalik hukumnya, yang mana diperbolehkan wali fasiq dalam
pernikahan. Hal tersebut dapat penulis lihat dari cara keduanya
memberikan syarat wali dalam pernikahan. Dan kaidah yang berbunyi
Kaidah tersebut sesuai dengan pendapatnya Imam .االصم فى انعثادج زساو
al-Kasani bahwa asal dari semua ibadah adalah haram, kecuali ada dalil
yang menunjukkan akan pensyari‟atannya. Sedangkan keberadaan wali
fasiq dalam pernikahan tidak dijelaskan secara langsung dalam al-Qur‟an
sehingga dipernolehkan fasiq menjadi wali nikah untuk menikahkan anak
perempuannya yang masih kecil atau belum cukup umur dan sudah
dewasa.
Demikianlah analisis yang dapat penulis uraikan bahwa dasar
hukum yang dijadikan Imam al-Mawardi dengan menggunakan hadits
20
Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2011, hal. 6 21
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masaalah-masalah yang praktis, Jakarta: Kencana, 2007, cet ke-2, hal. 104
80
yang kriterianya tsiqqah dan banyak didukung dengan hadits yang shohih
lebih unggul. Berbeda dengan Imam al-Kasani menjadikan al-Qur‟an dan
hadits yang secara umum masih diperselisihkan dan matruk sanadnya, dan
digunakan minoritas saja.
B. Relevansi Pendapat Imam Al-Mawardi Dan Imam Al-Kasani
Mengenai Wali Fasiq dalam pernikahan Dengan Perilaku
Masyarakat Masa Kini
Nash al-Qur‟an tidak menyebutkan secara jelas akan kriteria wali
dalam pernikahan karena manusia diciptakan Allah beragam sifat dan
tingkah laku. Selain itu, semakin berkembangnya teknologi dan
perkembangan zaman yang kemungkinan besar memberikan efek yang
positif bagi mereka yang pintar menggunakannya dan efek negatif dari
masyarakat bagi yang tidak bisa menggunakannya dengan baik. Begitu
juga dengan pergaulan yang bebas pada kalangan remaja, dewasa maupun
orang tua dapat memicu perilaku yang disebut dengan fasiq dan munafiq.
Semua nas baik al-Qur‟an maupun hadits yang menyebutkan mengenai
wali hanya menyinggung eksistensi dan pentingnya kehadiran wali dalam
pernikahan, tanpa memberikan kriteria spesifik syarat wali dalam
pernikahan.
Melihat masa sekarang ini keberadaan wali memang sangat
penting. Seperti pendapat Syafi‟iyyah yang mengharuskan wali dalam
pernikahan dan jika tidak diharuskan wali dalam pernikahan, maka
seorang yang sudah dewasa akan berani melakukan pernikahan tanpa
adanya izin dari wali sehingga kemungkinan besar akan menimbulkan
hubungan badan secara bebas. Meskipun seperti itu masih banyak
masyarakat yang mengabaikan akan keberadaan wali.
Dalam konteks masyarakat Islam di Indonesia, yang sebagian besar
menganut faham Syafi‟iyyah yaitu mengenal dan mengharuskan adanya
wali dalam akad pernikahan. Ketentuan yang menguatkan mengenai
kehadiran wali dalam status perkawinan dapat dilihat dalam Kompilasi
81
Hukum Islam Pasal 19 yaitu wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahinya.
Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.22
Pasal 20 KHI tersebut
menunjukkan bahwa ada syarat wali yang harus dimiliki untuk
menikahkan anak perempuannya. Dan ketentuan itu menjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama madzhab dalam pernikahan. Pasal 20 diatas
mencoba ditanggapi oleh Imam al-Kasani yang mana tidak memberikan
kriteria khusus bagi wali dalampernikahan, menurutnya selagi wali
tersebut Islam dan yang akan dinikahkan juga Islam maka sah saja
pernikahan tersebut.
Undang-undang tentang Perkawinan di Indonesia menyebutkan
untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.23
Pasal
tersebut dapat penulis pahami bahwa izin dari wali hanya diperlukan jika
calon mempelai perempuan belum cukup umur dan belum cakap
bertindak. Walaupun demikian masih menentingkan wali dalam
pernikahan.
Sedangkan al-Mawardi yang mensyaratkan mursyid dan adil dalam
wali, sangat relevan dengan keadaan masyarakat sekarang. Karena prosesi
akad pernikahan merupakan akad yang berhungan antara manusia dengan
manusia dan juga manusia itu sendiri kepada Allah. Tujuan dari akad
nikah adalah untuk membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah
warahmah. Dan untuk mewujudkannya maka diperlukan wali yang benar-
benar berprilaku baik dan memiliki muru‟ah dalam masyarakat.
22
Ibid 23
Undang-ungang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, pasal 6 (2)
82
Kebanyakan masyarakat di Indonesia beragama Islam, dan tidak
sedikit darinya memiliki beraneka ragam agama yang diikuti. Dengan
kondisi yang seperti sekarang ini kemungkinan besar memicu munculnya
beberapa aliran yang bisa menyebabkan dirinya menyimpang dari aturan
dan ketetapan Allah Swt. Kaitannya dengan wali dalam pernikahan, sejauh
pengamatan yang penulis temukan di masyarakat Indonesia. Kebanyakan
tidak menggunakan ayah kandungnya untuk menikahkan anak
perempuannya, akan tetapi lebih mengedepankan para kyai atau tokoh
agama setempat yang dihormati lingkungan setempat atau mencari naib
dari luar desa untuk menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki
yang dipilihnya.
Kebiasaan masyarakat setempat yang lebih mengedepankan ulama,
kyai atau tokoh Islam sangat relevan dengan pendapatnya Imam al-
Mawardi yang mensyaratkan rusyd dan ādil bagi wali nikah, sehingga
tidak sembarang orang dapat menjadi wali nikah. Keyakinan yang
dipegang oleh masyarakat dalam mengunggulkan kyai, ulama dan atau
tokoh agama setempat didukung dengan adanya pasal 28 KHI yang
berbunyi “Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah
yang bersangkutan atau wali nikah mewakilkan orang lain.”24
Menurut analisis penulis, dari pendapat ulama diatas yang sudah
dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bila ditinjau dari eksistensi wali
maka yang diperlukan hanya izin atau kehadirannya. Oleh karena itu
apabila ada wali fasiq menjadi wali maka sah pernikahan tersebut.
24
Kompilasi Hukum Islam, op. cit, hal. 9
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan dan memberikan pembahasan secara
menyeluruh, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Al-Mawardi berpendapat bahwa orang fasiq tidak bisa menjadi wali
dalam pernikahan dikarenakan peran wali yang sangat penting serta
dapat menjadikannya sah atau tidak itu tergantung pada wali. Sehingga
menurutnya jika ada seorang yang memiliki perbuatan yang
menentang agama yaitu fasiq baik secara keseluruhan atau sebagian
maka tidak sah pernikahan tersebut. Menurutnya orang yang fasiq itu
tidak memiliki prilaku yang baik sebagaimana yang dikendaki dalam
agama Islam. Sedangkan al-Kasani membolehkan orang fasiq menjadi
wali dalam pernikahan, dikarenakan ādil dan rusyd wali dalam
pernikahan bukan merupakan syarat. Disamping itu menurutnya yang
menjadi syarat wali dalam pernikahan adalah memiliki akal dan baligh.
Orang fasiq yang meskipun dia melanggar ketentuan dari agama akan
tetapi tidak menafikan jika dia memiliki akal dan sudah baligh.
Faktor yang mempengaruhi perbedaan metode istinbāth hukum Imam
al-Mawardi dan Imam al-Kasani mengenai wali fasiq dalam
pernikahan adalah perbedaan dalam penetapan syarat wali, dalam hal
ini keduanya menggunakan dasar sunnah, jika al-Mawardi
menggunakan dalil yang kekuatan sanad, matan serta rowi yang kuat
sedangkan al-Kasani menggunakan dasar hadits yang lemah.
2. Pendapat Imam al-Mawardi dan Imam al-Kasani mengenai wali fasiq
dalam pernikahan ini relevan untuk tetap dipakai dalam era sekarang.
Hanya saja melihat situasi dan kondisi dari wilayah tersebut. Menurut
penulis, dengan mempertimbangkan konsep ‘Urf (kebiasaan) untuk di
Indonesia pendapat Imam al-Kasani relevan untuk digunakan.
84
Kemashlahatan yang dihasilkan adalah tidak mempersulit bagi pemuda
pemudi yang akan menjalankan pernikahan. Meskipun begitu perlu
adanya kewaspadaan bahwa perbuatan fasiqnya tidak akan merusak
terjadinya akad nikah. Dan jika pendapatnya al-Mawardi di terapkan di
Indonesia maka akan banyak pernikahan yang walinya berpindah
kepada wali hakim atau wali yang jauh tapi yang benar-benar sholih,
ālim, ādil, dan mursyid. Sifat-sifat tersebut sangat sulit untuk
diprediksikan.
Hal ini sejalan dengan apa yang tercantum dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 20 “Yang bertindak dalam menjalankan akad nikahan
adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat dalam Islam yakni
muslim, baligh dan berakal.”
B. Saran-saran
Berdasarkan uraian diatas, maka saran yang dapat penulis
sampaikan adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya sebagai seorang muslim yang memang benar-benar
ingin menjadi muslim sejati harus menjalankan tugasnya di
bumi sesuai dengan tuntutan dan peraturan yang ditetapkan
oleh Allah Swt. Sehingga dengan ketaatan akan tercipta
lingkungan yang jauh dari perbuatan menyimpang bahkan
keluar dari aturan yang ditentukan. Seiring dengan zaman yang
sudah dimasuki oleh beberapa faktor budaya akan
menimbulkan efek yang negati dan positif, sehingga sulit sekali
untuk membedakan antara orang fasiq dan bukan.
2. Melihat dari perbedaan yang terurai diatas baik dari segi
pendapat maupun metode beristinbath mengenai wali fasiq
diharapkan bagi pembaca untuk tidak secara langsung
menghukumi boleh karena berdasarkan dalil ini, dan
menghukumi tidak boleh karena ada dalil seperti ini. Karena
taghayyuru al-ahkam bi taghayyuri al-azminah wal amkinah
85
(perubahan hukum itu menyesuaikan dengan perubahan zaman
dan tempat) dengan begitu pahami lingkungan terlebih dahulu
jika ingin menerapkan suatu hukum.
3. Untuk melangsungkan akad penikahan sebaiknya menikahkan
anaknya sendiri dalam keadaan yang tidak pernah melakukan
perbuatan fasiq. Dan jika tidak memungkinkan dirinya untuk
mengakadkan anaknya dapat mencari pengganti yang memiliki
muru’ah dan prilaku yang baik sesuai dengan syari’at agama
Islam. Karena hal itu akan mempengaruhi saat prosesi akad
nikah.
C. Penutup
Puji syukur tidak terhingga penulis panjatkan kepad Allah Swt
yang telah memberikan karunia, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulis
sadar betul bahwa idza tamma al-amr badā naqsuhu (ketika suatu urusan
telah purna, maka tampaklah kekurangannya). Maka dari itu, kritik dan
saran konstruktif selalu Penulis harapkan untuk perbaikan skripsi ini. Wa
Allahu a’lam bi al-shawwāb
DAFTAR PUSTAKA
‘Âdil, Abu Hafsh Umar bin Ali bin al-Damasyqi, Al-Lubab fi Ulum al-Kitab, Juz 14, Bairut
Libanon: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1998.
Abdurrahman, Sayyid bin Muhammad Al-Masyhur, Al-Masyhur, Bughyatul Mustarsyidin,
Damaskus, Syiria: Darul Fikr, t.t.
Abidin, Muhammad Amin Syahir Ibnu, Raddul Mukhtar ala Dar Mukhtar Syarh Tanwir al
Abshor, juz 4, Bairut Libanon: Dar al-Alam al-Kutub, t.t.
al-‘Ajluniy, Isma’il al-Syafi’i, Kasyful Khifa’, t.kb: t.p, t.t.
al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali ibn Hajar, Fathul Baari,juz 9, libanon: Dar al-Fikr, t,t.
__________, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Surabaya: Harisma, t.t.
__________, Ibnu Hajar, Fathul Bāri jilid 25:Shaih Bukhari, penerjemah, Amiruddin; editor,
AbuAzza, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, cet ke-4.
al-Asnawi, Abdurrahim (Jamaluddin) Thobaqat al-Syafi’iyyah, juz 2, Beirut Libanon: Dar al
Kutub al-Alamiyah, 1987
al-Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdullah, Kitab Tauhid 3, penerjemah Ainul Haris Arifin,
Jakarta: Darul Haq, 2012, cet ke-14.
al-Hamawi, Yaqut, Mu’jam Udaba’, jilid 15, Beirut: Dar al-Ihya’ al-turats al-‘Arabi, 1988.
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin bin Abi Bakar bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, juz 2, Surabaya:
Al-Hidayah, t.t.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Tobat dan Inabah, penerjemah Ahmad Dzulfikar, Jakarta: Qitshi
Press, 2012.
al-Jaziri, Abdur Rahman, Fiqh ‘ala Madzhib al-Arba’ah, juz 4, Bairut Libanon: Dar al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2003.
Al-kasani, Imam Alauddin Abu Bakar Ibnu Mas’ud, Kitab Badā’i as-Shonāi’, Juz 3, Bairut,
Libanon: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, t.t.
al-Maraghi,Abdullah Mustofa, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM,
2001, cet ke- 1.
________, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi; penerjemah, Bahrun Abu Bakar, Hery noe Aly,
Anshori Umar Sitanggal, Semarang: Toha Putra, 1993.
Al-Mawardi, Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Hāwi al-Kabir, Juz 1, Bairut, Libanon:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
Al-Qur’an dan Terjemahannya Juz 16s/d 30, Kudus: Mubarakatan Thoyyibah, t.t.
al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurthubi 2; penerjemah, Fathurrahman, Ahmad Hotib;
editor, Mukhlis B Mukti, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:RajaGrafindo
Persada, 2006.
Anas, A. Idhoh, Risalah Nikah ala Rifa’iyyah, Pekalongan: al-Asri, 2008.
as-Samarqandi, ‘Alauddin, Tuhfatul Fuqaha’ juz 2, Bairut Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah,
1984.
As-Stalabi, Muhammad Musthofa, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Bairut: Dar Al-Nahdhal Al-‘Arabi,
1986.
as-Suyuti, Imam Jalauddin, Tafsir Al-Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Surat Al-Kahfi s.d. an-Nas,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012.
At-Thabrani, Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad, Al-Mu’jam al-Ausath juz I, Kairo: Dar al
Haramain, 1995.
Az-Zuahali, Wahbah, Mhammad Adnan Salim, Muhammad Rasyid Zein, Muhammad Wahbi
Sulaiman, Ensiklopedia al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2007.
_________, Wahbah, Fiqh Islam wa Adillatuhu 9, penerjemah Abdul hayyie al-Kattani, dkk, cet
1, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Departemen Agama, Ilmu Fiqih jilid I, Jakarta: IAIN Jakarta, 1985.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masaalah-masalah yang praktis, Jakarta: Kencana, 2007, cet ke-2.
Fauzi, Moh., Sejarah Sosial Fikih, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, cet-1
Ghazali, Abdurrahman, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, cet ke-1.
Ghozali, A., Fiqih Munakahat I, Semarang: IAIN Walisongo, 1988.
Ghozali,Abdul Rahman,Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008.
Hadi, Abdul, Fikih Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989
Haikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, cet. 1
Hendri, Yuldi, “Wali Nikah dalam Pandangan K. H. Husein Muhammad:Analisis Kritis
terhadapPemahaman K. H. Husein dalam Konsep Wali Nikah”,Skripsi Ushuluddin,
Yogyakarta,Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2009
http://ahlithoriqoh.blogspot.com/2015/04/pengertian-fasiq-dan-orang-fasiq.html Diakses tanggal
12 Mei 2017 pukul 09.50 WIB
https://ar.wikipedia.org/wiki/عالء الدين الكساني Diakses pada Tanggal 30 Maret 2017 pukul 11.40
WIB
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Abdulllah_bin_Abbas Diakse pada tanggal 01 Mei 2017 pukul
11.30 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/fasiq Diakses Pukul 12.00WIB pada Tanggal 10 Januari 2017
Idris, Abdul Fatah, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: Pustaka Zaman, 2007,
cet ke-1.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2009.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Khatib, Abu Bakar Ahmad Ibn Tsabit al-Baghdadi, Tarikh Baghdad au Madinah al-Salam, jilid
12, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Manshur, Syaikh bin Yunus bin Idris bin Al-Buhuti, Kasysysaf al-Qinna’ jilid 5,Bairut: Alam al
Kutub, 1983.
Mughits, Abdul, Kritik Nalar Fiqih Pesantren, Jakarta: Kencana, 2008, cet-1.
Mujib, M. Abdul, Mabruri Tholhah, Syafi’ah, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994.
Murtiningsih, Etty, “Peranan Wali Nikah Dalam Perkawinan dan Pengaruh Psikologis Adanya
Wali Nikah dalam Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam”, Tesis kenotariatan,
Semarang, Uneversitas DiPonegoro, 2005
Muslim, Imam, Shohih Muslim Syarah an-Nawawi, juz 7, Bairut Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah,
t.t.
Nuansa Aulia, red., Kompilasi Hukum Islam; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia, 2013.
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an jilid 5,penerjemah, As’ad Yasin dkk., Jakarta:Gema
Insani, 2003.
Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan Hukum Acara Peradilan Agama
Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Rifa’I, Ahmad, Terjemahan dan Ringkasan Tanbihul Ishlah, ed., Moh. Ehwandha, Pati : , 2012.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia,Jakarta: Gravindo Persada, 2015.
Rokhmadi, “Penentuan ‘Adam Wali Nikah oleh Pejabat KUA di Kota Semarang” Jurnal Hukum,
Semarang, UIN Walisongo, Volume 26 Nomor 2, 2016
Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid juz 3, Kairo Al-Azhar:Dar as-Salaam, 1995.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, Beirut:Dar al-Fikr, 1995.
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Sanusi, Ahmad; Sohari, Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, cet-1.
Sayuti,Ahmad Hadi “Wali Nikah dalam Perspektif Dua Madzhab dan Hukum Positif”, Skripsi
Syari’ah, Jakarta, Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2011
ShihabMuhammad Quraish, Tafsir al-Mishbah;Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an volume
8, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Soewadji, Jusuf, Pengantar Metodologi Penelitian,Jakarta:Mitra Wacana Media, 2012.
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D,Bandung: Alfabeta , 2016.
Suhadi, “Studi Komperatif Perspektif Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tentang Syarat Adil
Menjadi Hakim dalam Peradilan Islam”, Skripsi Syari’ah, Surabaya, Perpustakan IAIN
Sunan Ampel, 2009
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Praktis Untuk Peneliti Pemula, Yogyakarta:Gajah
Mada University Press, 2012.
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Supendi, Penafsiran Fasiq dalam Tafsir Jami’ Al-Bayan An-Tanwil Ay Al-Qur’an Karya Ibnu
Jarir Al-Tabari, Skripsi Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 2003
Suprayogo, Imam dan Tabroni, Metode Penelitian Sosial Agama, Bandung: Posda Karya, 2011.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, jilid 1, Jakarta: Kencana, 2009, cet ke-4.
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Tirmidzi, Mamduh, Dudi Rosadi; Ibnu Qudamah, Al-Mughni; jilid 9, Jakarta: Pustaka Azzam,
2012.
Undang-ungang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 6 (2)
Yaqut, Imam Syihabuddin Abi Abdillah bin Abdullah, Mu’jam al-Buldan Jilid I, Bairut: Dar
Shadir, 1977.
Yasid, Abu, Fiqh Today; Fatwa Tradisional untuk Orang Modern; Buku Tiga:Fikih Keluarga,
Jakarta: Erlangga, 2007.
Yusuf, Kadar Muhammad, Tafsir Ayat Ahkam; Tafsir Ayat Teamtik Ayat-Ayat Hukum, Jakarat:
Amzah, 2011.
Zainuddin, Syekh Ahmad bin Abdul Aziz Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Fannani, Fathul Mu'in
Bisyarhi Qurrotil Ain Bimuhimmatiddin, muhaqqiq Bassam Abdul Wahhab Al-Jabi,
Beirut Lebanon: Dar Ibnu Hazm, 2004.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Siti Umi Nurus Sa’adah
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Kudus, 09 Maret 1994
Alamat Asal : Medini Gang 11 Rt/Rw 003/005
Undaan Kudus
Alamat Sekarang : Pondok Pesantren Putri Raudhotuh
Tholibin Tugurejo Rt/Rw 001/001
Tugu Semarang
No. HP/Email : 085727706415/nursaadah009@gmail.com
Motto Hidup : Al-Harakatu Barokah
DATA PENDIDIKAN
Pendidikan Formal
1. TK PERTIWI (1999-2000)
2. MI NU Mawaqi’ul Ulum (2000-2006)
3. MTS NU Mawaqi’ul Ulum (2006-2009)
4. MA Matholi’ul Falah Kajen (2009-2012)
5. S1 UIN Walisongo Semarang (2013-2017)
Pendidikan Non Formal
1. TPQ Irsyaduth Tholibin
2. Madrasah Diniyah Awaliyah Irsyaduth Tholibin
3. Madrasah Diniyah Wustho Irsyaduth Tholibin
4. Pondok Pesantren Putri Al-Husna Kajen Pati
5. Ma’had al-Jami’ah Walisongo Semarang
6. Pondok Pesantren Putri Raudhotuh Tholibin Semarang
Pengalaman Organisasi
1. JQH EL-FASYA UIN WALISONGO
top related