wordpress.com · web viewpada sisi lain al-qaththan mengatakan bahwa al-qur’an seluruhnya muhkam...
Post on 01-Nov-2020
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Definisi Al-Muhkam dan Mutasyabih
Ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an adakalanya berbentuk lafaz,
ungkapan, dan uslup yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya
sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Di samping
ayat yang sudah jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat yang bersifat umum dan samar-
samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya sehingga ayat yang
seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan
kepada makna yang jelas dan tegas.1
Kelompok ayat pertama, yang telah jelas maksudnya itu disebut al-Muhkam,
sedangkan kelompok ayat yang kedua yang masih samar-samar disebut dengan
Mutasyabih, kedua macam ayat inilah yang akan menjadi pembahasan pada bagian
ini.
Pada sisi lain al-Qaththan mengatakan bahwa al-Qur’an seluruhnya muhkam
dan juga mutasyabih. Pendapat ini karena memandamg muhkam dan mutasyabih
secara umum. Seluruh al-Qur’an adalah Muhkam, jika kata muhkam itu berarti
kokoh, kuat, membedakan antara yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang
salah. Dan al-Qur’an itu seluruhnya adalah mutasyabih, jika mutasyabih itu berarti
kesempurnaan dan kebaikan. Al-Qur’an suatu ayat dengan ayat yang lainnya saling
menyempurnakan dan memperbaiki ajaran-ajaran yang salah yang selalu dilakukan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
1 Abu Anwar., Ulumul Qur’an, (Pekanbaru : Amzah, 2002), h.77.
1
a. Muhkam
Menurut bahasa terambil dari hakamutud daabah wa ahkamat, artinya
melarang.2 Sedangkan menurut istilah terdapat khilafiyah sesama ahli ushul
mengenai artinya yaitu:
1. Yang dinamakan Muhkam adalah yang diketahui apa yang dimaksud
dengannya. Adakalanya secara zahir atau nyata dan adakalanya dengan
takwil atau pengalihan artinya.
2. Yang dinamakan Muhkam adalah apa yang tidak mungkin ditakwilkan, tapi ia
hanya satu arah saja.
3. Yang dinamakan Muhkam adalah yang jelas atau terang yang dimaksud
dengannya, sehingga ia tidak mungkin dihapuskan.
4. Yang dinamakan Muhkam adalah apa yang berdiri sendiri dan tidak
membutuhkan penjelasan.
5. Yang dinamakan Muhkam ialah sesuatu yang kokoh dan bundar sehingga
tidak ada seginya.
b. Mutasyabih
Menurut bahasa adalah berasal dari:3
الشئين أحد بشبه: التشابهTerjemahannya:
Salah satu dari dua menyerupai yang lainnya.
Ia mengandung pengertian:
Al-musyaarakatu atau kebersamaan, karena ada keserupaan dan bentuknya
yang mengakibatkan keraguan. Umpamanya firman Allah Swt mengenai Bani
Israil, yaitu:
.… ….
2 Ibid. h.1193 Kahar Mansur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.120
2
Terjemahannya:
Sesungguhnya sapi serupa-serupa menurut penglihatan (surat Al-baqarah:70)
Sedangkan menurut istilah ialah:4
1. Apa yang bertalian dengan pengaruh ilmu Allah, seperti: assaa’ah atau
kehancuran total, keluar binatang-binatang besar dan dajal.
2. Apa yang tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan yang
lainnya.
3. Apa yang memungkinkan pengertian yang tidak satu saja.
4. Apa yang tidak terang, apa yang dimaksud dengan membutuhkan nasakh
atau penghapusan.
c. Beberapa pendapat mengenai definisi Al-Muhkam dan Mutasyabih yaitu: 5
Pertama, Al-Muhkam, apa yang telah diketahui maksudnya. Mutasyabih,
terserah kepada Allah ilmunya.
Kedua, Al-Muhkam, apa yang tidak mengandung selain dari satu bentuk.
Mutasyabih yaitu yang mengandung beberapa bentuk.
Ketiga, Al-Muhkam, apa yang berdiri dengan sendirinya tidak
memerlukan keterangan. Mutasyabih, yaitu apa yang tidak berdiri dengan
sendirinya, memerlukan penjelasan dengan dikembalikan pada yang lainnya.
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai
Muhkam dan Mutasyabih: 6
1. Menurut As-Suyuthi, Muhkam adalah sesuatu yang jelas artinya, sedangkan
Mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Imam Ar-Razi, Muhkam adalah ayat-ayat dalalah-nya kuat baik
maksud maupun lafaznya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang di
4 Abu Anwar. Op.Cit. h.121.5 Manna’ul Quththan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an II, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995), h.4.6 Abu Anwar. Op.Cit. h.78
3
dalamnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil, dan sulit
dipahami.
3. Menurut Manna’ Al-Qaththan, Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat
diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan
Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk
kepada ayat lain.
Dari pendapat-pendapat tentang ayat-ayat al-Qur’an yang Muhkamat
dan Mutasyabihat di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat Muhkamat adalah ayat
yang sudah jelas, baik lafaz maupun maksudnya, sehingga tidak menimbulkan
keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Ayat yang Muhkamat
ini tidak memerlukan takwil karena telah jelas, lain halnya dengan ayat-ayat
Mutasyabihat. Ayat Mutasyabihat ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang
terdapat dalam al-Quran yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan
ayat Mutasyabihat bersifat mujmal (global), dia membutuhkan rincian lebih
dalam.
Para ulama dalam menanggapi sifat-sifat Mutasyabihat mempunyai dua
mazhab, yang pertama; mazhab salaf, yaitu: mengimani sifat-sifat yang
mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Yang kedua;
mazhab khalaf, yaitu: mempertanggungkan (mentakwilkan) lafal yang mustahil
zhahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah. Mazhab ini dinisbahkan
kepada Imamul Haramain (wafat tahun 478 H) dan segolong ulama
mutaakhkhirin.
4
1.2 Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih
Mengenai masalah ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih ini terdapat
tiga pendapat:
Pertama, bahwa al-quran seluruhnya adalah muhkam, mengingat firman Allah:
..… …….
Artinya:
“Suatu kitab yang dijelaskan (ukhimat) ayat-ayatnya”. ( Q.S Hud : 1 )
Kedua, bahwa al-Quran seluruhnya adalah Mutasyabih, mengingat firman Allah:
متشافى كتاباArtinya:
“(yaitu) al-Quran yang Mutasyabih dan berulang-ulang”.
Ketiga dan yang paling kuat: ada yang Muhkam dan ada pula yang
Mutasyabih, dengan beralasan kedua ayat tersebut di atas. Sebab, maksud
ukhimat ayatuhu dalam ayat tersebut di atas menjelaskan tentang
kesempurnaan al-Qur’an dan tidak adanya pertentangan antar ayat-ayatnya.
sedangkan maksud Mutasyabih dalam ayat di atas menerangkan segi
kesamaannya dalam kebenaran, kebaikan dan kemu’jijatan.7
Ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya yaitu al-Muhkam, tidak
dibahas terlalu jauh, karena bila kita membacanya kita langsung dapat
memahami kandungan isinya. Akan tetapi, yang perlu kita bahas lebih jauh lagi
adalah ayat-ayat Mutasyabihat agar kita dapat mengetahui persoalannya.8
Ayat-ayat Mutasyabih dapat dikategorikan kepada tiga bagian yaitu:
pertama Mutasyabih dari segi lafaznya; kedua, Mutasyabih dari segi maknanya;
7 Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h.1858 Abu Anwar. Op.Cit. h.78.
5
dan yang ketiga, merupakan kombinasi dari keduanya, yaitu Mutasyabih dari
segi lafaz dan maknanya sekaligus.
1. Mutasyabih dari segi lafaz
Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula dibagi dua macam: 9
a. Yang dikembalikan kepada yang tunggal yang sulit pemaknaannya,
seperti الا�ب dan فو�ن dan yang dilihat dari segi gandanya lafaz ير�
itu dalam pemakaiannya, seperti lafaz ل�يد ا dan ل�عي�ن اb. Lafaz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya, yang
seperti ini ada tiga macam:
1) Mutasyabih Karena ringkasan kalimat, seperti firman Allah:
ان� تم� و ا ألا خف� سطو� ال�يتامى في� تف�yang dimaksud dengan ل�يتامى di ا sini ada juga mencakup
ات ل�تي�م ا2) Mutasyabih karena luasnya kalimat seperti firman Allah:
له لي�س ئ%� كمس� ش niscaya akan lebih mudah dipahami jika
diungkapkan dengan له لي�س ئ%� مس� ش
3) Mutasyabih karena susunan kalimatnya seperti firman Allah
عل� لم� و ال�كتاب عب�ده على أن�زل جا له يج� يما عجو� قakan mudah dipahami bila diungkapkan dengan
يما ال�كتاب عب�ده على أن�رل عل� لم� و ق جا له يج� عجو�
2. Mutasyabih dari segi maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat,
bagaimana dan kapan terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapat
digambarkan secara kongkrit karena kejadiannya belum pernah dialami oleh
siapapun. 10
9 Abu Anwar. Op.Cit. h.79.10 Abu Anwar. Op.Cit. h.80
6
3. Mutasyabih dari segi lafaz dan maknanya
Mutasyabih dari segi ini, menurut As-Suyuthi, ada 5 (lima) macam, yaitu:
a. Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafaz yang umum dan khusus
تلو� ر اق� كي�ن االم�ش�b. Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunah
ا ا ف ا ن�كحو� اء من لكم� طاب م النسc. Mutasyabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh
ق االله إتقو� اته ح تقd. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana di mana ayat itu diturunkan,
misalnya:
اسخو� الر ال�عل�م فى ن وe. Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu tergantung
dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan. Misalnya: ibadah
sholat, dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.
Ar-Raqhib membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga bagian:
1. Ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia,
seperti waktu tibanya hari kiamat.
2. Ayat Mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia dengan
menggunakan berbagai sarana terutama kemampuan akal pikiran.
3. Ayat-ayat Mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknanya
oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak dapat diketahui oleh
orang-orang selain mereka.
1.3 Makna Muhkam Dan Mutasyabih 11
a. Makna Muhkam
11 Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.165
7
Al-Qur’an seluruhnya Muhkamah, jika yang dimaksudkan dengan
kemuhkamahannya adalah susunan lafaz al-Qur’an dan keindahan
nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikit pun terdapat
kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya.
Dengan pengertian inilah, Allah menurunkan al-Qur’an sebagaimana yang
ditegaskan dalam firman-Nya: “sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-
ayatnya.”(Q.S. Hud: 1)
b. Makna Mutasyabih
Kita dapat menyatakan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah Mutasyabih,
jika kita kehendaki dengan kemutasyabihannya, ialah kemutamatsilan
(serupa atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balagh maupun
dalam bidang ijaz dan kesulitan kita memperlihatkan kelebihan sebagian
sukunya atau yang lain. Dengan pengertian inilah, Allah menurunkan al-
Qur’an seperti yang dilandaskan dengan firman-Nya: “Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik yaitu sebuah kitab yang ayat-
ayatnya atau serupa, lagi berulang-ulang.”(Q.S. Al Zumar:23)
Yang menyebabkan kita membicarakan Muhkam dan Mutasyabih
ialah firman Allah; “Dialah yang telah menurunkan Alkitab (Al-qur’an)
kepadamu”. Di antara ayat-ayatnya ada yang Muhkamat. Itulah pokok isi
alQur’an. Dan ayat-ayat yang lain yang Mutasyabihat. Adapun orang-orang
yang dalam bathinnya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat dari al-Qur’an itu, untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari jalan mentakwilkannya, padahal
tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Orang yang dalam
ilmunya berkata : “Kami beriman dengan Dia, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami dan tidak dapat mengambil pelajaran dari padanya melainkan orang-
orang yang berakal kuat.”(Ali Imran : 7).
8
Di dalam ayat itu telah dinyatakan bahwasanya Muhkam adalah
imbangan Mutasyabih, sebagai orang-orang yang fasikh (mendalam) ilmunya
adalah imbangan orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para
ulama telah menjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk
mendefinisikan Muhkam dan Mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-
pendapat dalam maudu’i ini yang berbagai macam pula.
Namun demikan pada akhirnya mereka menetapkan, bahwasanya
yang dikatakan Muhkam adalah yang menunjukkan kepada maknanya
dengan terang, sedikit pun tidak ada yang tersembunyi kepadanya. Sedang
Mutasyabih ialah yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk
kepada maknanya. Maka masuklah kedalam Muhkam nash dan zhahir. Ke
dalam Mutasyabih masuklah: Mujmal, Muawwal, dan Musykil. Karena lafal
mujmal memerlukan penjelasan, lafal muawwal tidak menunjukkan kepada
sesuatu makna, terkecuali sesudah takwil, sedang musykil, tersembunyi
petunjuknya.
Jelasnya adalah pada ayat yang Muhkam, menyebabkan kita tidak
perlu membahasnya, karena dengan membacanya, kita telah mengetahui
apa maksud yang tersembunyi dari ayat-ayat Mutasyabih itu, menyebabkan
kita membahasnya, supaya kita mengetahui dan menjauhinya agar tidak
tergolong dalam golongan yang sesat.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa yang Mutasyabih tidak ada
yang mengetahui takwilnya selain Allah sendiri dan mereka mengharuskan
kita ber-waqaf (berhenti) dalam membaca ayat 7 Q.S., Ali Imran, pada lafaz
jalalah.
Adapun orang-orang yang rasikh ilmunya maka mereka hanya
mengatakan: “Amanna bihi kulum min indi rabbina: kami beriman kepadanya
semuanya itu dari Tuhan kami.”
9
Abu Hasan Al Asy’ary berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada
warrasikhuna fi’ilmi. Mereka yang rasikh itu mengetahui takwil Mutasyabih.
Pendapat ini telah dijelaskan oleh Abu Ishak Asy Syirazy (wafat tahun 476 H)
dan dibelanya.
Asy Syirazy berkata: “tidak ada sesuatu pun dari ayat-ayat al-Qur’an
yang Allah sendiri mengetahui maknanya.”
Para ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah
menyebut firman-Nya ini dalam rangka menguji para ulama. Andai kata
mereka tidak mengetahui makna Mutasyabih, bergabunglah mereka dengan
orang awam.
Ar-Raghib Al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi
masalah ini. Beliau membagi Mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui
maknanya kepada tiga bagian:12
a. Bagian yang tidak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi kiamat,
binatang keluar dari dalam tanah, dan sepertinya.
b. Bagian manusia mengetahui sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafal-
lafal ganjil dari hukum-hukum yang sulit/rumit.
c. Bagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh
sebagian orang yang rasikh ilmunya, tidak diketahuinya oleh sebagian
yang lain.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu
Abbas:
اويل علمه و الذين فى فقهه اللهم الت“Wahai Tuhanku, jadikanlah dia, seorang yang fakih dalam agama dan
ajarkanlah takwil kepadanya”.
12 Abu Anwar. Op.Cit. h.83.
10
Pendapat Ar-Raghib ini adalah pendapat yang imbang, tidak ifrath
dan tidak tafrith. Zat Allah dan hakikat-hakikat sifat-Nya tidak ada yang
mengetahuinya selain dari Allah sendiri.
Dalam pengertian inilah Nabi mengatakan dalam do’anya:
عليك ثناء أحصى لا نفسك على أثنيت كما أنتArtinya:
“Sebagaimana engkau telah menyanjung diri engkau, aku tidak dapat
menghinggakan puji dan sanjung atas diri engkau”.
Mengetahui barang yang gaib adalah di antara hal yang hanya
diketahui Allah sendiri.
1.4 Contoh Ayat Mutasyabih yang kembali kepada al-Muhkam
1. Firman Allah Swt:
… ….
Terjemahannya:
“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya (Q.S. Az-Zumar : 53)
Ayat ini termasuk Mutasyabih, karena mengandung dua pengertian
yaitu:
a. Allah mengampuni dosa semuanya, bagi yang bertobat.
b. Pengampun dosa, secara keseluruhan
Bagi siapa yang tidak bertobat, maka dikembalikan pada Muhkamah.
Adapun yang dikembalikan dari Mutasyabihah kepada al-Muhkamah ialah
firman Allah Swt:
….
Terjemahannya:
11
“Sesungguhnya Aku (Allah) benar-benar suka mengampuni bagi siapa yang
bertobat, beriman dan beramal shaleh”. (Surah Thaahaa: 82)
Dari ayat Muhkamah ini terlihat, bahwa Allah telah mengampuni
dosa-dosa semua, bagi siapa yang telah bertobat kepada-Nya, dia beriman
dan mengikuti jalan hidayahnya.
2. Ayat Mutasyabih
a. Firman Allah Swt:
Terjemahannya:
“Sesungguhnya KAMI-lah yang telah menurunkan al-Qur’an dan
sesungguhnya KAMI ialah penjaganya yang benar-benar”. (Surah Al-
Hijr:9)
Ayat ini mengandung dua pengertian, yaitu:
a) Kalimat Inna (KAMI) mengandung pengertian satu yang diagungkan,
dan adalah kebenaran.
b) Inna itu untuk jama’ah atau sekumpulan atau banyak.
Pengertian seperti ini adalah bathil. Oleh sebab itu, maka kita
harus kembalikan ia kepada ayat Muhkamah.
Ia memungkinkan pula menunjukkan, bahwa Dia (Allah) yang
diagungkan satu dan di samping-Nya ada yang lain. Ayat ini dijadikan dalil
oleh Nasara sekarang yang berarti tunggal atau ber-trinitas, yaitu
bertuhan kepada: (1) Allah, (2) Yesus, dan (3) Roh Kudus.
b. Adapun ayat Mutasyabih yang kita kembalikan kepada Muhkamah,
antara lain adalah:
Firman Allah Swt:
….
Terjemahannya:
12
“Tuhanmu (kamu banyak) ialah Tuhan yang esa/satu”. (Surah An-Nahl: 22)
Terjemahannya:
“Tidak ada Allah mengangkat anak”. (Surah al-Mu’minuun: 9)
Terjemahannya:
Katakanlah, “Allah ialah Esa. Allah ash-Shamad”.
Ayat-ayat ini termasuk Muhkamat, yang dimaksud dengan Inna
itu hanyalah Allah YANG ESA/SATU yang mengagungkan dirinya
1.5 Hikmah diturunkannya Ayat-ayat Mutasyabih
Para ulama menyebutkan beberapa hikmah dari adanya ayat-ayat
Mutasyabih di antaranya:
a. Mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya
sehingga dengan demikian menambah pahala.
b. Seandainya al-Qur’an seluruhnya Muhkam, niscaya hanya ada satu mazhab,
sebab kejelasannya itu akan membatalkan semuat mazhab selainnya,
selanjutnya hal ini akan mengakibatkan para penganut mazhab tidak mau
menerima dan memanfaatkannya. Tetapi jika mengandung Muhkam dan
Mutasyabih. Maka masing-masing dari penganut mazhab itu akan
mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Dengan demikian maka
semua penganut mazhab memperhatikan dan memikirkannya. Jika mereka
terus menggalinya, maka akhirnya ayat-ayat yang Muhkam menjadi penafsir
ayat-ayat Mutasyabih.
c. Apabila al-Qur’an mengandung ayat-ayat Mutasyabih, maka untuk
memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dan yang
13
lainnya, selanjutnya hal ini memerlukan kepada berbagai-bagai ilmu seperti
ilmu bahasa, gramatikal, ma’any, bayan, ushul fiqh, dan lain sebagainya.
Seandainya tidak demikian niscaya tidak akan muncul ilmu-ilmu tersebut.
d. Al-Qur’an berisi da’wah, kepada orang-orang tertentu dan umum. Orang-
orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Karena
itu, jika mereka mendengar tentang sesuatu yang “ada” tetapi tidak
berwujud fisik dan berbentuk, maka ia akan menyangka bahwa hal itu tidak
benar, kemudian ia terjerumus ke dalam ta’thil (peniadaan sifat-sifat Allah).
Oleh sebab itu, sebaiknya mereka diajak bicara dengan bahasa yang
menunjukkan kepada apa yang sesuai dengan imajinasi dan khayalnya dan
dipadukan dengan kebenaran yang bersifat empirik.13
13 Zainal Abidin. Op.Cit. h.189
14
BAB II
SKEMA AL-MUHKAM DAN MUTASYABIH
15
Definisi
AL-MUHKAM
Bahasa : hakamutud daabah wa ahkamat, artinya melarang.
Istilah : Ayat yang sudah jelas baik, lafaz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan baik orang yang memahaminya.
Makna Muhkam
Susunan lafaz al-Qur’an dan keindahan nazhamnya sungguh sangat sempurna tidak ada sedikit pun kelemahana padanya, baik dari segi lafalnya maupun dari segi maknanya.
AL-MUTASYABIH
Bahasa : salah satu dari dua menyerupai yang lainnya (Samar-samar)
Istilah : Kumpulan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya.
Pembagian ayat-ayat Mutasyabihat
1. Mutasyabihat dari segi lafaz2. Mutasyabihat dari segi makna3. Mutasyabihat dari segi lafaz dan
maknanya
Makna Mutasyabih
Kemutamatsilan (serupa atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balagh maupun dalam bidang ijaz, dan kesulitan kita memperlihatkan kelebihan sebagian sukunya atau yang lain.
BAB III
KESIMPULAN
Adapun yang dapat penulis simpulkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya,
sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan.
2. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah
ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
3. Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam al-qur’an yang
para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam,
yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
4. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud
Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa
semua ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan
ayat-ayatnya dalam hal Balaghah dan I’jaznya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Abu., Ulumul Qur’an, (Pekanbaru : Amzah, 2002).
Abidin, Zainal., Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992).
Mansur, Kahar., Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992).
Nata, Abuddin., Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000).
Quthan, Mana’ul., Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995).
17
top related