yusri wahyuni nim:...
Post on 24-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
URGENSI LEMBAGA DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM
STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
YUSRI WAHYUNI
NIM: 16160480000004
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H / 2018 M
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Yusri Wahyuni
Nim : 16160480000004
Tempat, Tanggal Lahir : Batusangkar, 13 Mei 1996
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Juli 2018
YUSRI WAHYUNI
NIM:16160480000004
v
ABSTRAK
Yusri Wahyuni, NIM 16160480000004,“Urgensi Lembaga Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 1439 H/2018 M. x + 72 halaman 5 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui urgensi lembaga Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia dengan melihat
perbandingan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, komposisi
anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) serta melihat urgensi nasihat dan
pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) melalui
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan sejarah.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi dokumen yaitu
peraturan perundang-udangan serta literature dan data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan diolah menggunakan metode analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lembaga ini (Wantimpres) memang
diperlukan dan dibutuhkan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, agar Presiden
mempunyai lembaga khusus yang dapat membantunya dalam memecahkan masalah
dan mendapatkan masukan dan pertimbangan yang baik untuk kemajuan bangsa dan
negara. Dengan menelaah perbandingan Wantimpres dengan DPA dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia, kedua lembaga ini sebenarnya mirip, tetapi memiliki perbedaan
yang prinsip, yang menyebabkan Wantimpres lebih efektif dan efisien daripada DPA. Dari
komposisi anggota Wantimpres memang sangat tergantung dari subjektivitas Presiden,
perlunya pengaturan tentang dilarangnya politisi untuk diangkat menjadi anggota
Wantimpres untuk mengantisipasi adanya kepentingan golongan diatas kepentingan
bangsa dan negara. Presiden dalam menjalankan tugasnya memang membutuhkan
masukan dan nasihat-nasihat, tetapi bentuk nasihat itu seharusnya tidak dirahasiakan
dan harus dipublikasikan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas lembaga ini
kepada publik.
Kata Kunci :Urgensi, Lembaga Dewan Pertimbangan Presiden,
Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Pembimbing I : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H
Pembimbing II : Irfan Khairul Umam, SH.I., LLM
Daftar Pustaka : 1965-2017 Tahun
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيم
Puji dan rasa syukur mendalam peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah
Muhammad SAW.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa
dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan dan dukungan
tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu peneliti secara khusus ingin menyampaikan terimakasih kepada yang
terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta
para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., MH., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum;
3. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., dan Irfan Khairul Umam, SH.I.,
LLM., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan
ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
4. Bapak Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., dan Nur Rohim, LLM.,
selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini;
5. Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, Narasumber dan Pimpinan
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi fasilitas dan
informasi serta ilmunya hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
6. Kedua orang tua tercintah Ayahanda Syarif Usman dan Ibunda Noviar, dan semua
vii
pihak yang terkait dengan skripsi ini yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu
yang telah memberikan do’a dan dukungan sehingga peneliti bisa menyelesaikan
skripsi ini dengan baik;
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan atas
bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Aamiin.
Jakarta, 10 Juli 2018
Peneliti
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .............. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7
D. Metode Penelitian ................................................................ 7
E. Sistematika Penulisan .......................................................... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual .......................................................... 12
B. Teori-Teori Terkait .............................................................. 15
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................... 27
BAB III PROFIL DEWAN PERTIMBANGAN SEBELUM DAN SESUDAH
AMANDEMEN
A. Sejarah Dewan Pertimbangan..... ......................................... 30
B. Profil Anggota Dewan Pertimbangan ................................. 34
ix
C. Tugas dan Fungsi Dewan Pertimbangan ............................. 41
D. Pembiayaan dan Hak Keuangan Dewan Pertimbangan ......
............................................................................................. 42
E. Bidang dan Jenis Kegiatan Dewan Pertimbangan Presiden 43
F. Mekanisme Kerja Dewan Pertimbangan dalam Perspektif Peraturan
Perundang-Undangan .......................................................... 46
BAB IV URGENSI LEMBAGA DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN
DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Perbandingan Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan
Pertimbangan Agung dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
............................................................................................. 50
B. Komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ........... 56
C. Urgensi Nasihat dan Pertimbangan Wantimpres dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia .................................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 66
B. Rekomendasi ....................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekuasaan Presiden RI ada dua jenis, yaitu sebagai Kepala Pemerintahan dan
sebagai Kepala Negara. Di dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan
dijelaskan bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD. Arti
kekuasaan pemerintah adalah kekuasaan di bidang eksekutif dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara.1 Lembaga kepresidenan dipimpin oleh seorang Presiden, yang
mana seorang Presiden dipilih langsung melalui Pemilihan Umum setiap periodenya.
Presiden menurut bahasa, kata “Presiden” adalah derivative dari to preside (verbum)
yang artinya memimpin atau tampil di depan. Kalau dicermati dari bahasa latin, yaitu
prae yang artinya di depan dan sedere yang berarti menduduki.2
Presiden memiliki kekuasaan pemerintahan Negara. Landasan hukum kekuasaan
pemerintahan Negara oleh Presiden Republik Indonesia di era reformasi tidak
mengalami perubahan karena selama proses perubahan pertama UUD 1945 s.d.
perubahan ke-empat MPR RI tidak mengubah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tersebut.3
Perubahan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang dilakukan secara bertahap
sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah membawa
akibat yang luas dan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan
institusi secara besar-besaran itu mengakibatkan berubahnya format dan struktur
ketatanegaraan secara cukup ekstrem,4 baik berupa penghapusan lembaga Negara
1 Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta, 2010), h. 115.
2 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 13.
3 Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara... h. 134.
4 Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in Indonesia, (New York:
Combridge University Press, 2013), h. 1-3.
2
tertentu, pembentukan lembaga-lembaga Negara baru, maupun penataan ulang
kewenangan lembaga-lembaga Negara yang ada.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, tugas pemberian nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan berlangsung sejak lama, yang pada
masa sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUD 1945 yang asli (sebelum perubahan).
Pada perkembangannya, perubahan keempat UUD 1945 yang disahkan pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2002 menghapus lembaga yang bernama Dewan Pertimbangan
Agung tersebut. Dewan Pertimbangan Agung yang sebelumnya berkedudukan sebagai
lembaga tinggi Negara yang pengaturannya ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu
Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung, dihapus dan diganti dengan suatu dewan
pertimbangan bentukan Presiden yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden5. Penghapusan DPA dan penggantiannya dengan sebuah dewan
pertimbangan bentukan Presiden itu termaktub dalam Pasal 16 UUD 1945 hasil
perubahan ke-empat, yang berbunyi:
“Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang
Dewan Pertimbangan Presiden yang selanjutnya disebut UU Wantimpres, Wantimpres
merupakan lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUD NRI Tahun 1945.
Dilihat dari sejarahnya, Wantimpres pertama kali didirikan oleh Presiden ke-6
Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 April 2007.
Wantimpres merupakan kelanjuan dari Dewan Pertimbangan Agung Republik
Indonesia yang dibubarkan pada tanggal 31 Juli 2003 pada masa pemerintahan
Presiden ke-5 Republik Indonesia Dr. (HC) Hj. Megawati Sukarnoputri dikarenakan
adanya amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar 1945 oleh Majelis Pemusyawaratan
5 Jimly Asshiddiqie, Momorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005), h. 115.
3
Rakyat (MPR) Republik Indonesia yang pada saat itu diketuai oleh Dr. H. Amien
Rais.6
Ada sejarah panjang dengan segala alasan yang melatarbelakangi mengapa
Dewan Pertimbangan Agung dihapus dan diganti dengan Dewan Pertimbangan
Presiden. Alasan yang paling penting adalah tidak efektifnya peran DPA sebagai
lembaga tinggi Negara dalam mengaktualisasikan fungsinya sebagai advisory organ
(organ penasehat). 7 Meskipun DPA secara umum dianggap kurang berhasil dalam
mengemban tugas konstitusionalnya sebagai organ penasehat, akan tetapi mayoritas
perumus perubahan UUD NRI 1945 masih menghendaki dipertahankannya fungsi
pemberian nasihat dan pertimbangan tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dari sepanjang masa berdirinya Wantimpres tersebut hingga saat ini, nampaknya
sulit dipungkiri bahwa eksistensi dan peran dari lembaga ini masih kurang terdengar
gaungnya. Bahkan dalam perkembangan yang terkini, dalam kasus gesekan
kepentingan antara KPK dan Polri pada akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015,
Presiden lebih memilih untuk membentuk tim independen yang dikenal luas dengan
sebutan “Tim 9” untuk melaksanakan tugas-tugas yang sebetulnya bisa dilakukan oleh
Wantimpres. Tugas dan output dari tim tersebut adalah memberi rekomendasi tentang
langkah-langkah yang perlu yang diambil oleh Presiden dalam rangka menyelesaikan
konflik KPK dengan Polri yang mana sebetulnya itu merupakan tugas pokok daripada
Wantimpres.8 Alasan Presiden mengenai penunjukan dan penugasan Tim 9 itu ialah
6 Yeni Handayani, Ada Apa dengan Dewan Pertimbangan Presiden?, RechtsVinding Online, h.
1.
7 Jimly Asshiddiqie, Momorabilia Dewan Pertimbangan Agung... h. 115.
8 Tim independen bentukan Presiden Jokowi yang disebut “tim 9” ini adalah tim yang terdiri dari
tokoh nasional lintas bidang yang ditugasi oleh Presiden untuk menganalisis konflik KPK-Polri dan
diakhiri memberikan rekomendasi langkah-langkah yang perlu diambil oleh Presiden dalam rangka
menyelesaikan konflik dua lembaga tersebut. Tim ini dibentuk secara informal oleh presiden tanpa
melalui keputusan Presiden atau dasar legalitas lainnya pada awal tahun 2015. Lihat berita mengenai isi
ini, salah satunya di kompas, Jokowi bentuk Tim atasi kisruh KPK-Polri, edisi 25 Januari 2015,
http://nasional.kompas.com/read/2015/01/25/21444121/Jokowi. bentuk Tim.Atasi, diakses pada
Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 10.43 WIB.
4
agar Presiden mendapat banyak masukan terkait konflik KPK dengan Polri. Alasan ini
memang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebagai satu-
satunya organ yang ditunjuk konstitusi9
Kasus baru-baru ini antara PKPU dengan Menkumham juga banyak
diperbincangkan, PKPU yang berisi larangan mantan napi korupsi menjadi calon
legislatif itu menuai polemik sejak diwacanakan oleh KPU. Menkumham pun tegas
menolak untuk meneken PKPU tersebut.10 Presiden Jokowi sebelumnya menegaskan,
KPU memiliki kewenangan untuk membuat aturan sendiri, apabila ada pihak yang
keberatan atas peraturan KPU tersebut, Presiden Jokowi mengatakan ada mekanisme
hukum yang dapat ditempuh, yaitu melalui permohonan uji materi di Mahkamah
Agung (MA). Terjadinya dua pendapat yang berseberangan antara PKPU dengan
Menkumham. Mestinya antara Presiden dan Menkumham sejalan dan satu. 11
Satu lagi kontroversial muncul di jagad politik nasional, terkait dengan
pengumuman daftar 200 mubaligh atau penceramah yang dikeluarkan Kementerian
Agama (Kemenag). Label anti-NKRI dan anti-kebangsaan bisa muncul kepada para
penceramah yang berada di luar daftar pilihan kemenag. Langkah ini kurang tepat,
karena justru akan membuat umat Muslim terbelah sekaligus melahirkan persepsi yang
kurang kondusif bagi bangunan solidaritas nasional. Ada kesan bahwa 200 orang yang
direkomendasikan Kemenag itu pembela NKRI dan bervisi kebangsaan, sedangkan
yang lainnya, yang tidak termasuk dalam daftar tersebut, seakan-akan sebaliknya. 12
9 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 49
10 https://nasional.tempo.co/read/1102817/kata-refly-harun-soal-pkpu-larangan-eks-napi-korups
i-jadi-caleg, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 20.00 WIB.
11 http://nasional.kompas.com/read/2018/07/03/13171711/jokowi-diminta-tegur-menkumham-
soal-pkpu-larangan-eks-koruptor-nyaleg, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 18.20 WIB
12 http://m.republika.co.id/berita/nasional/news/analysis/18/05/21/p91irj440-daftar-200-mubali
gh-kemenag-yang-bikin-gaduh, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 18.40 WIB
5
Kasus-kasus yang sudah dipaparkan di atas peneliti menilai bahwa Wantimpres
masih kurang dilibatkan secara langsung dalam memberikan solusi terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Presiden. Seharusnya Wantimpres lebih
diberdayakan dan ditingkatkan perannya untuk terjun langsung memberikan masukan
dan rekomendasi yang terbaik untuk kemajuan bangsa.
Beberapa alasan tidak dibutuhkan adanya Dewan Pertimbangan Presiden,
Pertama, dalam jajaran kabinet sebagai pelaksana pemerintahan di bawah Presiden
telah ada tenaga-tenaga profesional dibidangnya, sehingga Presiden lebih tepat minta
nasihat dan pertimbangan kepada mereka dibandingkan dengan minta nasihat dan
pertimbangan kepada Wantimpres. Kedua, walau sekalipun anggota Wantimpres
dipilih orang-orang profesional dibidangnya, kalau tidak terlibat langsung dalam
pelaksanaan pemerintahan maka nasihat dan pertimbangan tidak aplikatif dan
implementatif. Hal ini disebabkan para anggota Wantimpres tidak terlibat langsung
dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Sehingga tidak paham realitas
kenegaraan dan kepemerintahan yang terjadi. Ketiga, penyelenggaraan pemerintahan,
apabila sistem berjalan dengan baik maka tidak dengan begitu mudahnya membentuk
dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada
Presiden. sistem yang dimaksud, meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
serta nasihat dan pertimbangan. Terlebih selama waktu 4 (tahun) sejak DPA dihapus,
penyelenggaraan pemerintahan tetap berjalan, walau tanpa ada kekuasaan konsultatif.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa eksistensi Wantimpres tidak bermanfaat dalam
penyelenggaran negara.13
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa eksistensi Wantimpres tidak bermanfaat
dalam penyelenggaran negara, peneliti menganggap perlunya penelitian lebih lanjut
untuk menunjukkan apakah Indonesia benar-benar membutuhkan lembaga ini atau
13 Yudi Widagdo Harimurti, “Analisis Kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1,
(Februari 2014), h. 63
6
tidak, lembaga ini perlu ada atau tidak, dan seberapa pentingnya Wantimpres dalam
Struktur ketatanegaraan Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti menganggap penting untuk
menjelaskan tentang “URGENSI LEMBAGA DEWAN PERTIMBANGAN
PRESIDEN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah dalam penelitian ini, di antaranya:
a. Kedudukan Wantimpres dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia
b. Peran dan kewenangan Wantimpres
c. Fungsi Wantimpres terhadap pelaksanaaan undang-undang
d. Efektivitas Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
e. Urgensi Lembaga Wantimpres dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya penelitian ini, maka perlu dilakukan pembatasan. Peneliti
membatasinya pada Urgensitas Lembaga Wantimpres dalam Struktur
ketatanegaraan Indonesia, yaitu dengan menelaah perbandingan Wantimpres
dengan DPA, komposisi anggota Wantimpres, dan urgensi Nastim Wantimpres
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan
masalah, maka peneliti merumuskan masalah utama yang menjadi fokus
permasalahan yakni urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia. Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama di atas, maka
peneliti membatasi penulisan ini melalui rincian perumusan masalah sebagai
berikut :
7
a. Bagaimanakah perbandingan antara Dewan Pertimbangan Presiden dengan
Dewan Pertimbangan Agung dalam struktur ketatanegaraan Indonesia ?
b. Bagaimanakah komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden?
c. Bagaimanakah urgensi nasihat dan pertimbangan Dewan Pertimbangan
Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui perbandingan antara Dewan Pertimbangan Presiden dengan
Dewan Pertimbangan Agung dalam struktur ketatanegaraan Indonesia
b. Untuk mengetahui komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
c. Untuk mengetahui urgensi nasihat dan pertimbangan Dewan Pertimbangan
Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan
dan pengetahuan dalam memahami urgensi lembaga Wantimpres dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia serta menambah literature perpustakaan
khususnya dalam bidang ilmu hukum.
b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan yang
berguna dan bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang urgensi
lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Adapun metode pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang
dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.14
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet, IV, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 137
8
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.15 Dan juga menggunakan penelitian kepustakaan
(library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa
serta merumuskan buku-buku, literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya
dengan judul skripsi ini.
3. Data Penelitian
Dalam penelitian kepustakaan digunakan data sekunder berupa bahan hukum
yang terdiri dari bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, bahan
hukum sekunder berupa yang berupa buku-buku, buku-buku, jurnal-jurnal hukum,
kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari internet
yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.
4. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan rujukan dalam
penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini peneliti bagi ke dalam dua
jenis data, yaitu :
a Sumber Primer
Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan.
Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang mengikat.16 Dalam hal ini, yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1967 Tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
15 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 294.
16 Soejono Sukanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO,
2001), h., 13.
9
b Sumber Sekunder
Yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum primer, yaitu
data pendukung dan data pelengkap, Adapun bahan hukum sekunder yang
peneliti gunakan adalah buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus
hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan
dengan pembahasan dalam penelitian ini.17 Selain melakukan wawancara
dengan beberapa narasumber untuk memperkuat sumber data primer.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data studi dokumen yaitu
dengan mempelajari dokumen-dokumen yang didapatkan dari Wantimpres dan
juga mewawancarai narasumber untuk pengumpulan data dengan jalan komunikasi
baik secara lisan maupun tertulis. Kedua metode pengumpulan tersebut akan
dipadukan baik data yang berupa dokumen maupun dengan hasil wawancara untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
6. Subjek Penelitian
Subyek penelitian yang akan dijadikan sebagai bahan analisis dalam
penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres), dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 Tentang DPA.
Adapun subyek yang menjadi sumber data tambahan adalah mewawancarai
beberapa narasumber seperti ahli hukum tata negara, pengamat politik, praktisi
hukum, dan Anggota atau Sekretariat Wantimpres untuk menilai seberapa
pentingnya lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
7. Teknik Pengolahan Data
Cara mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari
pendekatan yang di lakukan oleh peneliti yaitu yuridis normatif, ,kemudian
dihubungkan dengan pendapat para ahli-ahli hukum atau narasumber, dari sini akan
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum... h., 155.
10
ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini. Dan hal lain yang
akan dijadikan sebagai bahan penunjang dan bahan pelengkap dalam penelitian ini
didasarkan atas beberapa aspek penelitian untuk mendapatkan sumber data dan
informasi yang akurat. Dan kemudian dianalisis untuk mendapatkan titik terang dan
jawaban terhadap permasalahan yang dikaji.
8. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dan dikumpulkan baik dalam data primer maupun data
sekunder dianalisis secara kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang dilakukan guna
mencari kebenaran kualitatif yakni data yang tidak berbentuk angka.18 Analisis
kualitatif dilakukan dengan jalan memberikan penilaian apakan ketentuan UU
Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan Pertimbangan Presiden dapat dijadikan
pedoman untuk menilai urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia, kemudian dipaparkan secara deskriptif yaitu dengan cara
menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan permasalahan yang berkaitan
dengan permasalahan yang dikaji.
9. Pedoman Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini peneliti merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan gambaran
secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis menyusun skripsi ini dalam
beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
Identifikasi, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
18 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010), h. 56
11
BAB II Merupakan kajian pustaka yaitu pembahasan terkait kerangka
konseptual, teori-teori terkait dan tinjauan (review) kajian terdahulu. Kerangka teori
yaitu definisi operasional yang berkaitan dengan judul skripsi sedangkan teori-teori
terkait adalah pandangan atau teori-teori hukum yang berkaitan dengan penulisan
skripsi ini. Selanjutnya akan dijelakan terkait review (tinjauan ulang) studi terdahulu,
agar tidak ada persamaan dengan apa yang ditulis pihak lain.
BAB III berisi tentang profil dewan pertimbangan sebelum dan sesudah
amandemen, yang berisi sejarah dewan pertimbangan, profil anggota dewan
pertimbangan, tugas dan fungsi dewan pertimbangan, pembiayaan dan hak keuangan
dewan pertimbangan, bidang dan jenis kegiatan Wantimpres, dan mekanisme kerja
dewan pertimbangan dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan.
BAB IV berisi tentang hasil analisis dari sumber data yang didapat untuk melihat
bagaimana perbandingan Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan
Pertimbangan Agung dalam struktur ketatanegraan Indonesia, komposisi Anggota
Dewan Pertimbangan Presiden dan urgensi nasihat dan pertimbangan Dewan
Pertimbangan Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
BAB V merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari apa
yang sudah diuraikan dari Bab I – IV yang kemudian diberikan solusi dan rekomendasi
yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Sesuai dengan judul penelitian, pokok bahasannya adalah urgensi lembaga
Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Agar tidak
terjadi kekaburan dan kerancuan pemahaman terhadap istilah-istilah kunci, peneliti
akan mendeskripsikan dan merumuskan istilah-istilah dimaksud.
1. Urgensi
Pengertian Urgensi jika dilihat dari bahasa latin “urgere” yaitu kata kerja
yang berarti mendorong dan jika dilihat dari bahasa Inggris bernama “urgent”
yang memiliki arti kata sifat dalam bahasa Indonesia “urgensi” disebut kata benda.
Istilah urgensi menunjuk pada sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita
untuk diselesaikan, dengan demikian mrngandaikan ada suatu masalah dan harus
segera ditindak lanjuti. Urgensi bisa juga berarti “pentingnya”.1 Urgensi yang
dimaksud dalam skripsi ini adalah urgensi yang berarti “pentingnya” yaitu urgensi
lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Itu berarti
“pentingnya” lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
2. Lembaga Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
Lembaga Dewan Pertimbangan Presiden (biasa disingkat Wantimpres)
adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berkedudukan di bawah Presiden dan
bertanggungjawab kepada Presiden. Namun ketentuan Pasal 16 baru ini
ditempatkan menjadi bagian bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan
Negara. Dengan demikian berarti, keberadaan lembaga baru ini berada dalam
1 https://id.answers.yahoo.com, diakses pada tanggal 7 Juni 2018 Pukul 14.20 WIB
13
lingkup cabang kekuasaan pemerintahan negara. Posisi strukturalnya tidak lagi
seperti kedudukan DPA di masa lalu yang diperlakukan sebagai salah satu
lembaga tinggi negara yang sederajat dengan Presiden/Wakil Presiden, DPR, MA,
dan BPK. 2
3. Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945, struktur dan/atau hirarki
peraturan perundang-undangan menempatkan UUD 1945 berada pada posisi
paling atas. Setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
Lembaga Tertinggi Negara pada posisi kedua yang anggota-anggotanya terdiri
dari: Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) ditambah dengan Utusan Golongan dan
Utusan Daerah. Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, dan terakhir Mahkamah Agung (MA).3
Setelah dilakukan amandemen, maka posisi dan mekanisme kerja
kelembagaan negara mengalami perubahan yang cukup signifikan. MPR yang
tadinya sebagai lembaga tertinggi negara berubah menjadi lembaga tinggi negara.
Artinya, posisi MPR sudah sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti
DPR, Presiden, BPK, dan lain-lain. Dengan demikian, struktur kelembagaan
negara setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. 4
Setelah UUD NRI 1945 mengalami perubahan sebanyak empat kali, sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia juga mengalami perubahan. Perubahan terjadi
dalam beberapa lembaga Negara, baik mengenai hubungan antara lembaga
2 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 182
3 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi, Gramata Publishing, 2016), h. 22
4 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945... h.
23
14
Negara, penambahan nama lembaga Negara baru, dan mengenai pembubaran
lembaga Negara yang ada. Penambahan lembaga baru setelah amandemen UUD
1945 misalnya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi yudisial (KY), dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pembubaran lembaga Negara setelah
Amandemen semisal pembubaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA).5 Dewan
Pertimbangan Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia termasuk baru.
Lembaga ini diadakan sebagai pengganti dari penghapusan Dewan Pertimbangan
Agung pada perubahan keemapat UUD 1945 pada Sidang Umum MPR Tahun
2002. 6
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD NRI 1945, tidak
menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut
kepribadian bangsa Indonesia. Namun sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
tidak terlepas dari ajaran trias politica montesquieu. Ajaran trias politica tersebut
adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut
dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-
masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat
saling meminta pertanggungjawaban. 7Apabila ajaran trias politica diartikan suatu
ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas UUD NRI 1945 menganut ajaran tersebut,
oleh karena memang dalam UUD NRI 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan,
dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada
suatu alat perlengkapan negara.
5 Sri Warjiati, Al-daulah: jurnal hukum dan perundangan Islam, volume 2, nomor 2,
Oktober 2012; ISSN 2089-0109, h. 185-186
6 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 115.
7 Kartohadiprojo Soediman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
pembangunan, 1965), h. 24.
15
B. Teori-teori Terkait
1. Teori Kelembagaan Negara
Konsep lembaga negara secara terminologis tidak hanya mempunyai arti
yang tunggal dan seragam tetapi ada banyak makna. Menurut kepustakaan Inggris
istilah lembaga negara disebut dengan istilah political institution, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut dengan instila staat organen. Sementara di Indonesia
menggunakan banyak istilah seperti lembaga, badan, dan organ. Secara definitif
alat-alat kelengkapan negara atau biasanya disebut dengan lembaga negara
merupakan institusi yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi negara.
Berdasarkan teori trias politica, dalam penyelenggaraan negara setidaknya ada tiga
badan yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan menjadi tiga
badan selain untuk membedakan fungsi dan peran juga sebagai cara untuk
mencegah dominasi salah satu badan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Jimly
Asshiddiqie bahwa untuk mewujudkan struktural dan mekanisme kelembagaan
yang sesuai dengan kaidah hukum, maka ada dua jenis penggolongan yakni
pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan. Tetapi, istilah tersebut menurut
Jilmy Asshiddiqie mempunyai arti yang sama tergantung konteks yang dianutnya.8
UUD NRI 1945 pra amandemen tidak menjelaskan secara jelas definisi
lembaga negara. Tap MPR No. III/MPR/1978, memberikan pencerahan ketika
dalam Tap MPR tersebut membagi menjadi dua kategori yakni lembaga negara
tertinggi dan lembaga negara tinggi. UUD 1945 pasca amandemen pun tidak
ditemukan definisi secara gamblang berkaitan lembaga negara. Hanya saja dalam
Pasal 24 C ayat (1) yang menyebutkan kewenangan MK yakni MK dapat mengadili
dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945. Di sisi lain keberadaan lembaga negara pasca
amandemen tidak saja dibentuk atas dasar konstitusi, tetapi ada lembaga yang
8 Andi Setiawan, dkk, Pengantar State Auxuliary Agency, (Malang: UB Press, 2015), h. 23-
24
16
dibentuk atas dasar undang-undang dan Kepres.9 Sistem kelembagaan negara
dengan mekanisme check and balances menjadikan kelembagaan negara terpisah
kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lain. Pengaturan lembaga negara oleh
konstitusi (UUD), sebagaimana bentuk dan fungsi lembaga negara tersebut, serta
dalam praktek ketatanegaraan ada pengaturan lembaga negara oleh peraturan
perundang-undangan. Menurut Max Weber sebagaimana dikutip oleh Yudi
Widagdo Harimurti mengenai pembagian kekuasaan dan persaingan antar
kekuasaan dalam suatu negara. Pendapat tersebut secara tersirat mengenai
kelembagaan negara dalam merealisasikan kekuasaan-kekuasaan negara. 10
Bagir Manan sebagaimana dikutip Andi Setiawan dkk mengklasifikasikan
lembaga negara menjadi tiga kategori yakni lembaga negara yang bersifat
ketatanegaraan, lembaga negara yang bersifat administratif, dan bersifat auxiliary.
Pertama, lembaga negara yang termasuk dalam kategori ketatanegaraan meliputi
lembaga negara sebagai syarat keberadaan negara dan lembaga yang tidak absolut
terhadap keberadaan sebuah negara. Yang dimaksud sebagai syarat keberadaan
negara adalah keberadaan negara harus ada agar fungsi negara bisa berjalan seperti
fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Setiap negara secara umum melaksanakan
fungsi-fungsi tersebut guna tercapainya sebuah tujuan negara. sedangkan lembaga
negara yang tidak absolut mempunyai arti bahwa tanpa lembaga negara ini fungsi-
fungsi negara dapat berjalan. Dengan kata lain lembaga ini di luar konsteks trias
politica. Kedua, lembaga yang bersifat administratif artinya keberadaan lembaga
ini sebagai pelaksanan pemerintahan secara administratif. Ketika, lembaga yang
bersifat bantu. Lembaga negara ini sebagai pendukung dari lembaga-lembaga yang
menyelenggarakan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga yang bersifat
bantu ini biasanya dibentuk atas dasar Undang- Undang atau bahkan Kepres.
9 Andi Setiawan, dkk, Pengantar State Auxuliary Agency... h. 24
10 Yudi Widagdo Harimurti, Analisis Kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden, Bangkalan: Universitas Trunojoyo Madura, h. 60
17
Terlepas dari banyaknya konsep lembaga negara. Secara nyata keberadaannya
selain untuk menjalankan fungsi negara, lembaga juga mempunyai peran
menjalankan fungsi pemerintahan. 11 Konsep trias politica merupakan sebuah
konsep yang dicetuskan oleh Montesquieu yang menyebutkan kekuasaan harus
dibagi ke dalam tiga kekuasaan yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-
masing cabang kekuasaan itu menjalankan fungsinya sendiri-sendiri tanpa ada
hubungan dengan cabang kekuasaan yang lain. Pemisahan kekuasaan ke dalam tiga
cabang tersebut juga berfungsi untuk membatasi dan mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak-pihak yang berkuasa. 12
Untuk membatasi pengertian pemisahan kekuasaan dalam trias politica, G.
Marshall dalam karyanya Constitutional Theory, membedakan ciri-ciri doktrin
pemisahan kekuasaan dalam lima aspek yakni : (a) Differentiation. Doktrin ini lebih
menitikberatkan pada perbedaan fungsi-fungsi kekuasaan seperti legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini menjalankan sesuai dengan
fungsi dan perannya. (b) Legal Incompatibility of office holding. Dalam doktrin ini
menghendaki tidak adanya rangkap jabatan. Seseorang sudah menduduki jabatan di
legislatif tidak diperkenankan untuk menduduki jabatan di luar legislatif seperti
eksekutif ataupun yudikatif. (c) Isolation, Immunity, Independence. Doktrin
pemisahan kekuasaan ini menghendaki bahwa masing-masing fungsi tidak boleh
ikut campur atau saling intervensi satu sama lain dalam pelaksanaan fungsi
kekuasaan/lembaga yang lain. (d) Checks and balances adanya konsep checks and
balances di setiap cabang kekuasaan menginginkan adanya saling mengimbangi
dan mengawasi antara cabang kekuasaan. Hal ini dikarenakan dalam menjalankan
tugas dan perannya tidak dapat sendiri melainkan harus didukung oleh lembaga
yang lain dan mencegah adanya konsentrasi oleh salah satu cabang kekuasaan. (e)
11 Andi Setiawan, dkk, Pengantar State Auxuliary Agency, h. 25
12 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 282.
18
Coordinate state and lack of accountability, prinsip koordinasi dan kesederajatan
mempunyai arti bahwa negara dalam menyelenggarakan fungsi legislatif, eksekutif
dan yudikatif bersifat koordinat bukan subordinat dari lembaga yang lain. 13
Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Sri Nur Hari Susanto, organ
negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi
menciptakan hukum (lawcreating function) atau fungsi yang menerapkan hukum
(law-applying function). Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly
Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pasca perubahan UUD 1945, dapat dikatakan
terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang
kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat
disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau
yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik 15
Indonesia Tahun 1945. Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu
dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antar lembaga negara itu
penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum
terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang
lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata
tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para
pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki
bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas
fungsinya. yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.
Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-
34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang
bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary), dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga
itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai
13 Jimly Asshiddiqie, Komisi-Komisi Negara Independen; Eksistensi Independent Agencies
Sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2012),
h. 34.
19
lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja,
sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-
lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer
(primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung
atau penunjang (auxiliary state organs). Corak dan struktur organisasi negara kita
di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Setelah
masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-
komisi independen yang dibentuk. 14
Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa diantara lembaga-lembaga atau
komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan
dikelompokkan sebagai berikut:15
a. Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu:
1) Presiden dan Wakil Presiden;
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
5) Mahkamah Konstitusi (MK);
6) Mahkamah Agung (MA);
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
b. Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen
berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya,
seperti:
1) Komisi Yudisial (KY);
2) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;
3) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
14 Sri Nur Hari Susanto, Pergeseran Kekuasaan Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD
1945, MMH, Jilid 43 No. 2, April 2014, h. 283.
15 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 25-27.
20
4) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
5) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
6) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya
dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan
tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga
memiliki constitutional importance yang sama dengan kepolisian;
7) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU
tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat
(3) UUD 1945;
8) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( komnas-HAM0 yang dibentuk
berdasarkan undang-undang tetapi juga memiliki sifat constitutional
importance.
c. Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-
undang, seperti:
1) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
2) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
3) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
d. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah)
lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat
khusus di dalam lingkungan peme-rintahan, seperti:
1) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);
2) Komisi Pendidikan Nasional;
3) Dewan Pertahanan Nasional;
4) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);
5) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
6) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
7) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
8) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
9) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
21
10) Lembaga Informasi Nasional (LIN).
e. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah)
lainnya, seperti:
1) Menteri dan Kementerian Negara;
2) Dewan Pertimbangan Presiden;
3) Komisi Hukum Nasional (KHN);
4) Komisi Ombudsman Nasional (KON);
5) Komisi Kepolisian;
6) Komisi Kejaksaan.
f. Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum
yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya,
seperti:
1) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;
2) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
3) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);
4) BHMN Perguruan Tinggi;
5) BHMN Rumah Sakit;
6) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
7) Ikatan Notaris Indonesia (INI);
8) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi)
2. Teori Efektivitas Hukum
Efektivitas dalam kegiatan organisasi dapat dirumuskan sebagai tingkat
perwujudan sasaran yang menunjukkan sejauh mana sasaran telah dicapai.
Semawardi berpendapat bahwa: organisasi dapat dikatakan efektif bila organisasi
tersebut dapat sepenuhnya mencapai sasaran yang telah ditetapkan.16 Peranan
efektivitas manajemen biasanya diakui sebagai faktor paling penting dalam
16 Sumaryadi, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Jakarta: Citra Utama,
2005), h. 105.
22
keberhasilan jangka panjang suatu organisasi. Keberhasilan diukur dalam bentuk
pencapaian sasaran organisasi. Keberhasilan organisasi dapat diukur dengan konsep
efektivitas. Yang dimaksud efektivitas adalah sesuatu yang menunjukkan tingkatan
keberhasilan kegiatan manajemen di dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.17
Sharma memberikan kriteria atau ukuran efektivitas organisasi yang
menyangkut faktor internal organisasi dan faktor eksternal organisasi yang meliputi
antara lain :18
a. Produktivitas organisasi atau output
b. Efektivitas organisasi dalam bentuk keberhasilannya menyesuaikan diri dari
perubahan-perubahan di dalam dan di luar organisasi
c. Tidak adanya ketegangan di dalam organisasi atau hambatan-hambatan konflik
diantara bagian-bagian organisasi.
Steers mengemukakan lima kriteria dalam pengukuran efektivitas organisasi
yaitu:19
a. Produktivitas
b. Kemampuan adaptasi atau fleksibelitas
c. Kepuasan kerja
d. Kemampuan berlaba
e. Pencarian sumber daya
Efektivitas hukum diartikan keberhasilan hukum, berkenaan dengan
keberhasilgunaan hukum, berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum.
Pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada
sudut pandang yang dibidiknya. Menurut Soejono Soekanto berbicara mengenai
17 Komaruddin Sastradipoera, Kegunaan Konsep Koefisien Gini dan Konsep Kesenjangan
Pendidikan dalam Pemerataan Kesempatan Pendidikan, (Bandung: IKIP Bandung, 1989), h. 126.
18 Hassel Nogi S. Tangkilisan, Manajemen Publik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2005), h. 148.
19 M. Richard Steers, Efektifitas Organisasi Perusahaan, (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 206.
23
derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara oleh taraf kepatuhan warga
masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal
asumsi, bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan indikator
berfungsinya sistem hukum, serta berfungsinya hukum merupakan petanda hukum
telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha mempertahankan dan melindungi
masyarakat dalam pergaulan hidup.20
Teori efektivitas hukum merupakan teori yang mengkaji dan menganalis,
kegagalan dan faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan
hukum. Teori efektivitas hukum antara lain dikemukakan oleh Bronislaw
Malinowski, Lawrance M. Friedman, Soejono Soekanto, Clearance J. Dias,
Howard, Mummers, Satjipto Rahardjo dan Tan Kamelo. Ada tiga fokus kajian teori
efektivitas hukum, yang meliputi :
a. Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum;
b. Kegagalan di dalam pelaksanaannya; dan
c. Faktor yang mempengaruhinya. 21
Keberhasilan hukum apabila norma hukum itu ditati dan dilaksanakan
masyarakat maupun penegak hukum, pelaksanaan hukum dikatakan efektif atau
berhasil dalam implementasi, kegagalan pelaksanaan hukum adalah ketentuan
hukum tidak mencapai maksudnya atau tidak berhasil dalam implementasinya.
Faktor yang mempengaruhi hal yang ikut menyebabkan atau mempengaruhi di
dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor yang mempengaruhi
dapat dikaji dari aspek keberhasilannya dan aspek kegagalannya. Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan, meliputi subtansi hukum, staruktur hukum, kultur,
dan fasilitasnya. Norma hukum dikatakan berhasil atau efektif apabila ditaati dan
dilaksanakan masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri. Faktor yang
20 Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Bandung: Rajawali Pres, 1996), h. 62
21 Dahlan, Problematika Keadilan: dalam Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan
Narkoba, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 185
24
mempengaruhi kegagalan di dalam pelaksanaan hukum karena norma hukum yang
kabur atau tidak jelas, aparatur penegak hukum yang korup, atau masyarakat yang
tidak sadar atau taat pada hukum atau fasilitas yang tersedia untuk mendukung
pelaksanaan hukum itu sangat minim:
Derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan
masyarakat terhadap hukum, termasuk penegak hukum, sehingga dikenal asumsi
bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya
sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum telah
mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha mempertahankan dan melindungi
masyarakat dalam pergaulan hidup.22
Dari beberapa teori efektivitas di atas, dari sisi pelaksanaan fungsi dan tugas
Dewan Pertimbangan Presiden tidak bisa dinilai apakah sudah efektif atau belum,
karena dinilai dari rekomendasi yang diberikan kepada Presiden bersifat rahasia dan
tidak boleh dipublikasikan.
3. Teori Politik Hukum
Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan atas
Hukum,23 mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini
masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya yang
berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, yang dikatakan
bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut
22 Dahlan, Problematika Keadilan: dalam Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan
Narkoba, h. 186
23 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasatkan atas hukum, Cet. II, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), h. 160
25
dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya
sendiri.24
Sementara Soedarto sebagaimana yang dikutip oleh Sutekti mendefinisikan
politik hukum “sebagai kebijakan negara melalui badan-badan negara yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat dan untuk mrncapai apa yang dicita-citakan”.25 Menurut
Sunaryati Hartono,26 faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak
semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada
kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut
ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta
perkembangan hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara
tertentu dengan negara lain inilah yang kemudian menimbulkan apa yang disebut
dengan Politik Hukum Nasional.
Pengertian politik hukum tersebut jelas menunjukkan tugas penyelenggaraan
negara terhadap eksistensi dan keberlangsungan hidup. Kebijakan atau pernyataan
kehendak politik penyelenggara negara agar tidak sewenang-wenang. Maka harus
berlandaskan etika atau moral dan tidak absolut kebenarannya. Tepat jika ada
pendapat yang menyatakan, politik hukum itu, “lebih mirip suatu etika yang
menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang
dapat diuji dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya harus dapat diuji dengan
kriteria moral”.27 Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas
24 Padmo Wahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, (Forum
Keadilan, 1991), h. 65
25 Sutekti, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat, (Malang: Surya Pena
Gemilang, 2010), h. 65
26 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:
Alumni, 1991), h. 23
27 Bernard L Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2011), h. 2-3
26
memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan
hukum tertentu dalam masyarakat.28 Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara
sebagaimana yang dikutip oleh Mahfud MD dalam bukunya, politik hukum adalah
kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh
suatu pemerintahan negara tertentu.29
4. Teori Tujuan Hukum
Roscou Pound sebagaimana dikutip oleh Salim mengemukakan bahwa tujuan
hukum untuk melindungi kepentingan manusia (law as tool of social engineering).
Kepentingan manusia adalah suatu tatanan yang dilindungi dan dipenuhi manusia
dalam bidang hukum. Sedangkan menurut Jeremy Bentham dengan teori utilitasya,
berpendapat bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang
banyak. Pendapat ini dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak
dan bersifat umum tanpa memerhatikan soal keadilan. Maka teori ini menetapkan
bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-banyaknya.
Menurut Geny berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk keadilan semata-
mata. Isi hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis. Adil
atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi bathin seseorang, menjadi tumpukan
dari teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap bathin orang menjadi
ukuran untuk menentukan warna keadilan dan kebenarnnya. Menurut Sudikno
Mertousumo bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat
yang: tertib; ketertiban; dan keseimbangan. Masyarakat yang tertib merupakan
masyarakat yang teratur, sopan, dan menaati berbagai peraturan-peraturan
perundang-undangan dan peraturan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
ketertiban suatu keadaan di mana masyarakatnya hidup serba teratur baik. Yang
diartikan dengan keseimbangan adalah suatu keadaan masyarakat, di mana
28 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000)... h. 35
29 Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010),h. 15
27
masyarakatnya hidup dalam keadaan seimbang dan sebanding. Tujuan hukum
menurut Van Apeldoorn adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai
dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil
dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama
lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi
haknya. 30
Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling
utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Tujuan kepastian hukum
menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain namun, setelah
melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan
Nazime legalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa
Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek – praktek
kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya
tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas
tujuan hukum yang lain. Kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi
benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara
keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.31
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang membahas dan mengkaji Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres). Diantaranya adalah Yudi Widagdo Harimurti yang menulis
“Analisis kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tetang Dewan Pertimbangan Presiden”.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penjabaran mengenai eksistensi, tugas dan
keanggotaan Wantimpres setelah ditelaah secara seksama dengan cara proses
30 Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 42-46.
31 Keadilan Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia, http://www .academia.edu
/10691642/Keadilan-Kepastian-dan-Kemanfaatan-Hukum-di-Indonesia, di akses pada tanggal 30 April
00.37 BBWI
28
perbandingan antara standar nasihat dan pertimbangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dengan fakta yang terjadi. Maka dapat diperoleh analisis hasil, bahwa
Wantimpres tidak efektif, tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan. Terlebih jelas
Wantimpres sebagai lembaga Negara non permanen (pendukung) sama dengan jenis
lembaga Negara permanen. Demikian pula dengan dengan kewenangan yang ada pada
Wantimpres mestinya adalah derevatif dari lembaga Negara permanen.32
Bedanya penelitian di atas dengan penelitian ini adalah penelitian di atas menilai
dan menganalisis menggunakan teori-teori hukum serta membandingkan Wantimpres
melalui UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres dengan lembaga yang
mempunyai kewenangan yang sama dengan Wantimpres yaitu DPA (Dewan
Pertimbangan Presiden) yang dihapus pada amandemen ke-4 UUD 1945, sedangkan
penelitian ini membahas tentang urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia menelaah dengan membandingkan Wantimpres dengan
DPA, melihat latar belakang susunan anggota Wantimpres dan urgensi Nastim
Wantimpres, tidak hanya menelaah teori saja tetapi juga mewawancarai beberapa
narasumber untuk memperkuat data yang didapat.
Henry Afrian Sancoko yang menulis, “Kedudukan Dan Fungsi Dewan
Pertimbangan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia (Studi
Komparasi Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Pertimbangan Presiden)”. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa kedudukan dan peranan Dewan Pertimbangan
Presiden didalam sebuah struktur organisasi pemerintahan sangatlah penting,
penasehat-penasehat adalah orang-orang yang ahli, seorang negarawan yang
mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum sangat membantu
Presiden dalam menjalankan tugasnya. Sekaligus dimaksudkan agar Presiden dalam
setiap pengambilan keputusan atau kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip hukum,
demokrasi serta pemerintahan yang baik dalam rangkan pencapaian tujuan negara.
32 Yudi Widagdo Harimurti, “Analisis Kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1,
(Februari 2014), h. 58
29
Peningkatan kedudukan dan fungsi Dewan Pertimbangan Presiden tergantung kepada
kemauan politik Presiden bersama-sama semua pimpinan dan anggota partai-partai
politik yang sekarang ini menjabat kedudukan di lembaga negara untuk
menentukannya.33
Bedanya penelitian di atas dengan penelitian ini adalah penelitian di atas
penelitian yuridis normatif yang menelaah Kedudukan dan Fungsi Dewan
Pertimbangan Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia dan Urgensi Dewan
Pertimbangan dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia sebelum dan sesudah
amandemen UUD 1945. sedangkan penelitian ini membahas tentang urgensi lembaga
Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menelaah dengan
membandingkan Wantimpres dengan DPA, melihat latar belakang susunan anggota
Wantimpres dan urgensi Nastim Wantimpres, tidak hanya menelaah teori saja tetapi
juga mewawancarai beberapa narasumber untuk memperkuat data yang didapat.
Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya ilmiah yang secara
khusus membahas tentang urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia, para peneliti baru sebatas mengakaji analisis kritis UU
Nomor 19 Tahun 2006 tetang Dewan Pertimbangan Presiden, dan Tugas, Fungsi dan
Kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden Menurut Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2006 serta Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia: Analisis Yuridis Kewenangan dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden
Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945. Oleh karena itu, peneliti bermaksud
mengisi kekosongan penelitian tentang urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia.
33 Henry Afrian Sancoko yang menulis, Kedudukan Dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden
Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia (Studi Komparasi Dewan Pertimbangan Agung dan
Dewan Pertimbangan Presiden), (Penulisan Hukum: Universitas Muhammadiyah Malang, 2013).
30
BAB III
PROFIL DEWAN PERTIMBANGAN SEBELUM DAN SESUDAH
AMANDEMEN
A. Sejarah Dewan Pertimbangan
Dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) memiliki banyak sejarah yang panjang, baik pada masa
persiapan pembentukannya maupun perjalanan sejak masa Pemerintahan Presiden Ir.
Sukarno hingga masa Pemerintahan Presiden Ir. Joko Widodo. Di awal kelahirannya
Wantimpres dikenal sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA berubah
menjadi Wantimpres pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.1
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan
berlangsung sejak lama yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung. Sebelum
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI Tahun 1945), Dewan Pertimbangan Agung diatur dalam bab tersendiri, yaitu BAB
IV Dewan Pertimbangan Agung. Hasil Amandemen ke-empat UUD NRI Tahun 1945,
Dewan Pertimbangan Agung merupakan salah satu lembaga negara yang dihapus.
Keberadaan Dewan Pertimbangan Agung diganti dengan suatu dewan yang
ditempatkan dalam satu rumpun bab yang diatur dalam BAB III Kekuasaan
Pemerintahan Negara. Amandemen tersebut menunjukan bahwa keberadaan suatu
dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden
masih tetap diperlukan.2
Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno, Wantimpres dibentuk setelah satu
bulan satu minggu proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
1 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi, (Jakarta: Wantimpres, 2017), h. 3.
2 Yeni Handayan, Ada Apa dengan Dewan Pertimbangan Presiden?, RechtsVinding Online, 04
Februari 2015, h. 1
31
Agustus 1945. Ketika pertama kali dibentuk pada tanggal 25 September 1945, jumlah
anggotanya sebelas orang yang diketuai oleh Margono Djojohadikusumo. Namun,
hanya sebentar karena pada tanggal 6 November 1945 Margono Djojohadikusumo
mengundurkan diri, dan digantikan oleh Wiranatakusumah pada tanggal 29 November
1945. Para pendiri bangsa yang merumuskan UUD 1945, mengusulkan nama Majelis
Pertimbangan (MP). Nama ini diusulkan oleh Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H., ahli
hukum, politikus pelopor Sumpah Pemuda sekaligus juga seorang sastrawan,
sejarawan, serta budayawan. Sejak zaman Presiden Soekarno, Presiden Soeharto,
Presiden B.J. Habibie sampai Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), lembaga
penasehat Presiden yang bersifat ekstra konstitusional juga dibentuk dengan nama yang
bermacam-macam. Antara lain Dewan, Komisi, Tim, dan lain sebagainya. Namun,
dalam rancangan naskah yang disusun oleh Hoesein Djajadiningrat, Soepomo,
Soewandi, Singgih, Sastromoeljono, Soetardjo dan Soebardjo, nama Majelis
Pertimbangan diubah menjadi Badan Penasihat Agung (BPA). Pada naskah akhir yang
disahkan, nama BPA diubah lagi menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
ketentuan mengenai DPA ini masuk dalam Bab IV UUD 1945, dengan judul Dewan
Pertimbangan Agung (DPA). Isinya hanya satu pasal, yaitu Pasal 16, yang terdiri dari
dua ayat. Ayat (1) menyatakan bahwa: “Susunan Dewan Pertimbangan Agung
ditetapkan dengan Undang-Undang”. Ayat (2) menyatakan: “Dewan ini berkewajiban
memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada
Pemerintah”. Ketika Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 dirumuskan, lembaga DPA
ini tidak dicantumkan dalam UUD 1945 karena dianggap tidak diperlukan lagi. 3
Harun Al Rasyid mengatakan bahwa DPA itu warisan Belanda dengan mengutip
ucapan Soepomo bahwa DPA itu tidak diperlukan. Dulu namanya Raad van
Nederlandsch-Indie. Karena lembaga negara yang ada dalam UUD 1945, sebagian
besar hanya meniru warisan kolonial Belanda. Seperti Gouverneur General menjadi
3 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi... h. 3.
32
Presiden, Raad van Gouverneur General menjadi Wakil Presiden, Algemene Reken
Kamer menjadi BPK, Volksraad menjadi DPR, Hogerechthoft menjadi Mahkamah
Agung dan Raad van Indie menjadi DPA. Raad van Naderladsch-indie bertugas
menyampaikan usul-usul Gouverneur General (Gubernur Jenderal). Bahkan ternyata
tugas dan kewenangan Raad van Nederlandsch-Indie justru lebih luas dari pada DPA,
karena dalam beberapa hal, Gubernur Jenderal harus mendengar nasihat-nasihat Raad
van Nederlandsch-Indie tersebut. Oleh karena itu DPA di zaman Soekarno hampir
tidak pernah difungsikan. DPA pertama diketuai Radjiman Widiodiningrat hingga
tahun 1949, keberadaannya tidak jelas. Periode berikutnya posisi DPA makin tidak
jelas. Kondisi ini berlangsung hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli
1959. DPA Sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, 22
Juli 1959. Ketuanya dirangkap oleh Presiden Soekarno. DPA definitif baru muncul
pada 1967 melalui UU No. 3 Tahun 1967 tentang DPA yang disahkan pejabat
Presiden Soeharto. Ruslan Abdu Gani menambahkan bahwa kekuasan DPA sebagai
advisory power tidak jelas dalam kerangka trias politica. Satu bentuk pemisahan
kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pendapat lain menyatakan keberadaan
DPA sama seperti dewan penasehat sistem pemerintahan negara-negara Eropa
Kontinental di abad XVIII-XIX. Apa yang disebut Le Conseil d’Etat di Perancis.
Situasi pemerintahan Gus Dur (saat itu masih menjabat sebagai Presiden) tak luput dari
evaluasi. Para peserta sidang PAH III MPR mengatakan Presiden Gus Dur lebih banyak
mendengarkan dan memperhatikan nasihat para ulama dan kyai yang sengaja datang
khusus, ketimbang DPA. Jika demikian, apa pentingnya DPA bila kenyataannya
Presiden lebih mendengar nasihat dari orang-orang yang dia percayai. Sebaliknya,
pihak yang ingin tetap mempertahankan DPA mengatakan bahwa jikapun ada
kesalahan dimasa lampau, kedepan kinerja DPA yang ditingkatkan bukan dihapus. 4
4 https://www.kompasiana.com/hendra_budiman/sejarah-lahirnya-watimpres, diakses pada
Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 15.00 WIB.
33
Baru setelah kembali ke UUD NRI Tahun 1945, keberadaan DPA dikembalikan
lagi dalam struktur pemerintahan RI sebagai Lembaga Tinggi Negara, dengan adanya
penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959 tentang DPA
Sementara (DPAS). Pada bulan Agustus Tahun 2002, DPA dihapuskan dari struktur
ketatanegaraan Indonesia, dengan disahkannya Perubahan Ke-empat UUD 1945 oleh
MPR pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Ketika itu, MPR secara bulat
meghapuskan Bab IV UUD 1945 yang menjadi dasar hukum pembentukan DPA di
Indonesia.5
Sebenarnya keinginan untuk melakukan penghapusan Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) sudah muncul sejak perubahan pertama, yaitu tahun 1999. Namun,
karena keterbatasan waktu, maka para anggota MPR menggunakan skala prioritas yang
pada akhirnya DPA baru dibubarkan pada perubahan keempat tahun 2002. Sebelum
memutuskan perlunya pembubaran lembaga ini, berbagai langkah telah dilakukan,
diantaranya melakukan kunjungan ke berbagai daerah menyerap aspirasi masyarakat,
mengundang para ahli di berbagai bidang terutama ahli hukum tata negara, dan
mengundang ketua dan anggota DPA yang ketika itu masih menjabat. Pada rapat ke-6
Panitia Ad Hoc I BP-MPR tanggal 26 Februari 2002, Ketua DPA, Achmad Tirtosudiro
mengatakan:6
Hal penting yang perlu jadi pertimbangan majelis mengenai alternatif ini adalah
bahwa format dan komposisi keanggotaan serta hak dan kewajiban badan
penasehat tentunya akan cenderung untuk disesuaikan dengan kehendak dan
kepentingan Presiden. badan penasehat Presiden ini akan menimbulkan masalah
dalam sistem ketatanegaraan di amsa depan dalam rangka meningkatkan
kehidupan demokrasi, yaitu:
1. Kedudukan badan yang merupakan sub-ordinasi dari lembaga kepresidenan
hubungan kerjanya cenderung akan diwarnai oleh suasana budaya tertutup,
ewuh pakewuh dan tidak independent;
2. Dalam melaksankan tugasnya badan ini cenderung hanya membenarkan
kehendak dan kepentingan Presiden sehingga berakibat:
5 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi.... h. 3-4. 6 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah perubahan UUD 1945
dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 114-115.
34
a. Tidak dapat mencegah terjadinya penyimpangan dan ketergesa-gesahan
Presiden dalam mengambil keputusan,
b. Tidak dapat mencegah tindakan kebijakan Presiden yang bersifat
birokratis,
c. Tidak dapat ikut mengembangkan kearifan dan kenegarawanan dan
keputusan-keputusan Presiden;
3. Badan ini cenderung akan menjadi ekslusif sehingga hakikat reformasi yang
menghendaki keterbukaan dan wawasan masyarakat tidak dapat dilakukan
secara sempurna; dan
4. Hasil pertimbangan dengan badan ini dikhawatirkan tidak dapat
disosialisasikan apalagi diawasi oleh lembaga negara yang lebih tinggi dari
lembaga kepresidenan.
Sekarang DPA hanya lembaga yang tinggal kenangan, karena Pasal 16 UUD
1945 sudah tidak mengatur Dewan Pertimbangan Agung kembali melainkan mengatur
mengenai Dewan Pertimbangan Presiden. Sesuai dengan Pasal 16 yang baru berbunyi:
“Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”
Ini artinya DPA sebagai “Lembaga Tinggi Negara” ditiadakan, dan sebagai
gantinya diatur sendiri dalam undang-undang adanya lembaga penasihat Presiden yang
berada di dalam lingkup kekuasaan pemerintahan negara. Dengan landasan konstitusi
Pasal 16 UUD 1945 yang sudah diamandemen tahun 2002, pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengubah nama Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), seperti diatur dalam Undang-
Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.7
B. Profil Anggota Dewan Pertimbangan
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pertama kali dibentuk pada tanggal 25
September 1945. Waktu itu jumlah anggotanya sebelas orang dan diketuai oleh
Margono Djojohadikusumo. Namun, hanya sebentar. Karena pada tanggal 6 November
1945 Margono Djojohadikusumo mengundurkan diri, dan digantikan oleh
7 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi... h. 4
35
Wiranatakusumah pada tanggal 29 November 1945. Pada konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1945, DPA tidak dikenal lagi, DPA muncul lagi setelah kembali ke UUD 1945
pada tahun 1959, dan dengan ditetapkannya Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959
tertanggal 22 Juli 1959. Dan sementara itu DPA diketuai oleh Presiden Soekarno.
Tetapi Wakil Ketua DPAS ini diberikan kedudukan oleh Presiden sebagai eks-officio
Menteri. Pada masa Presiden Soeharto, kedudukan Menteri ex-officio dihilangkan,
yaitu dengan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1966 pada tanggal 5 Mei 1967, yang
kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1978. Pada masa
Presiden B.J. Habibie DPA saat itu dipimpin oleh A.A. Baramuli dan pada masa
Presiden Abdurrahman Wahid juga dibentuk beberapa lembaga penasehat. Di bidang
ekonomi, seperti Widjojo Nitisastro, Frans Seda dan lain sebagainya. Bahkan mantan
Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew diangkat Presiden Abdurrahman Wahid
sebagai penasehatnya. Di bidang ekonomi Presiden Abdurrahman Wahid membentuk
Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim. Kemudian
ada juga Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) yang diketuai oleh Sofyan
Wanandi. Ada juga Komisi Nasional Hukum diketuai oleh Prof. Dr. J.E. Sahatepi; dan
lain-lain lagi. 8
Dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun 1967 tentang DPA
menyatakan susunan Anggota Dewan Pertimbangan Agung meliputi unsur-unsur dari
kehidupan masyarakat dan tersiri dari: tokoh-tokoh politik;, tokoh-tokoh karya;, tokoh-
tokoh daerah;, dan tokoh-tokoh nasional. Jumlah anggota Dewan Pertimbangan
Presiden ditetapkan sebanyak-banyaknya 27 (dua puluh tujuh) orang termasuk
Pimpinan Dewan Pertimbangan Agung. Setelah DPA dihapus pada amandemen ke-
empat UUD NRI Tahun 1945, digantikan oleh Dewan Pertimbangan Presiden.
Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode pertama pada masa
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini merupakan amanat dari UUD
8 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi... h. 5-7
36
NRI Tahun 1945 Amandemen ke-empat. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
2007-2009 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28/M Tahun 2007 tanggal 26
Maret 2007 dan dilantik pada 10 April 2007 adalah sebagai berikut:9
1. (Alm) Ali Alatas, S.H., Ketua/Anggota Wantimpres Bidang Hubungan
Internasional
2. Prof. Dr. Emil Salim, S.E., Anggota Wantimpres Bidang Lingkungan dan
Pembangunan Berkelanjutan
3. Dr. Hj. Rachmawati Soekarnoputri, S.H., Anggota Wantimpres Bidang Politik
4. (Alm) Dr. Syahrir, Anggota Wantimpres Bidang Ekonomi
5. K.H. Dr. Ma’ruf Amin, Anggota Wantimpres Bidang Kehidupan Beragama
6. Dr. T.B. Silalahi, S.H., Anggota Wantimpres Bidang Pertahanan Keamanan
7. Prof. Dr. S. Budhisantoso, Anggota Wantimpres Bidang Sosial Budaya
8. Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany, Anggota Wantimpres Bidang Pertanian
9. Prof. Dr. Iur Adnan Buyung Nasution, S.H., Anggota Bidang Hukum
Angota Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memilih dan mengangkat Dewan Pertimbangan Presiden kembali untuk
periode kedua (2010-2014) pada tanggal 25 Januari 2010 berdasarkan Keppres No.
13/P Tahun 2010, Keppres No. 30/P Tahun 2010, dan Keppres No. 2/M Tahun 2012
adalah sebagai berikut:10
1. Prof. Dr. Emil Salim, S.E., Ketua/anggota Wantimpres Bidang Ekonomi dan
Lingkungan Hidup
2. Dr. N. Hassan Wirajuda, Anggota Wantimpres Bidang Hubungan Luar
Negeri/Internasional
3. Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A. Anggota Wantimpres Bidang Pemerintahan dan
Reformasi Birokrasi
9 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi... h. 159.
10 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi... h. 165.
37
4. Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Anggota Wantimpres Pembangunan dan
Otonomi Daerah
5. K.H. Dr. Ma’ruf Amin, Anggota Wantimpres Bidang Hubungan Antar Agama
6. Laksamana TNI (Purn) Widodo A. S., S. IP., Anggota Wantimpres Bidang
Pertahanan dan Keamanan
7. Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, Anggota Wantimpres Bidang Pendidikan dan
Kebudayaan
8. Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) Anggota Wantimpres Bidang Kesejahteraan
Rakyat
9. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.,
10. Dr. Albert Hasibuan, S.H., Anggota Wantimpres Bidang Hukum dan HAM
(menggantikan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada tahun 2011)
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan
sejumlah menteri dalam kabinet Kerja secara resmi melantik sembilan anggota Dewan
Pertimbangan Presiden. Pelantikan kesembilan anggota Wantimpres berdasarkan Surat
Keputusan Presiden RI No. 6/P/2015 tentang Pengangkatan Anggota Dewan
Pertimbangan Presiden. Pelantikan dilakukan di Istana Negara. Berikut data singkat
kesembilan anggota Wantimpres tersebut:11
1. Abdul Malik Fadjar (Bidang Kesejahteraan Rakyat)
Abdul Malik Fadjar adalah tokoh pendidikan yang lahir di Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tanggal 22 Februari 1939. Sebelum dilantik sebagai anggota
Wantimpres mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang pernah menduduki
beberapa jabatan strategis dalam pemerintahan. Pada tahun 1998-1999 di era
Presiden BJ. Habibie Abdul Malik Fadjar menjabat sebagai Menteri Agama.
Kemudian pada tahun 2001-2004 di era Presiden Megawati Soekarnoputri ia
11 https://merahputih.com/post/read/profil-singkat-9-ang gota-wantimpres, diakses pada Tanggal
5 Maret 2018 Pukul 12.10 WIB.
38
ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Selanjutnya pada 22 April 2004
hingga 21 Oktober 2004 Malik menjabat sebagai Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra).
2. Ahmad Hasyim Muzadi (Bidang Kesejahteraan Rakyat)
Seperti dilansir dari Wikipedia, Hasyim Muzadi adalah ulama Nahdlatul
Ulama (NU) yang lahir di Tuban, Jawa Timur pada 8 Agustus 1944. Pada tahun
1999, Hasyim menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Sebelum menjadi pucuk pimpinan Organisasi Massa Islam terbesar di tanah air,
Hasyim pernah menjadi anggota DPRD tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986 dari
Partai Persatuan Pembangunan. Seiring berjalannya waktu karier politik Hasyim
terus meroket. Pada pemilu Presiden (pilpres) 2004, Hasyim mendampingi Ketua
Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati
Soekarnoputri maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres-
cawapres). Pada pilpres 2004 lalu, pasangan Hasyim-Mega meraih 26.2% suara di
putaran pertama, tetapi kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla di putaran kedua.
3. Jan Darmadi (Bidang Ekonomi)
Selain dikenal sebagai seorang pengusaha properti, Jan Darmadi adalah
seorang politisi Partai NasDem. Di Partai NasDem, pendiri PT. Jakarta Setiabudi
Internasional menjabat sebagai ketua Majelis Tinggi Partai NasDem. Partai
NasDem sendiri adalah salah satu partai pendukung utama Presiden Joko Widodo
dalam pemilu presiden (pilpres) 2014 lalu. Setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla
tampil sebagai pemenang pilpres. Partai pimpinan Surya Paloh berhasil
mendudukan 3 kadernya sebagai menteri di kabinet kerja Jokowi-Kalla. Bukan
hanya itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga dipimpin oleh politisi Partai NasDem
HM. Prasetyo
4. M. Yusuf Kartanegara (Bidang Pertahanan dan Keamanan)
Yusuf Kartanegara adalah purnawiranan TNI dengan pangkat terakhir
jenderal bintang tiga atau Letnan Jenderal. Yusuf Kartanegara sendiri adalah mantan
39
Wakil Ketua Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI). Bersama dengan Jenderal Subagyo HS dan Jenderal Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), Yusuf memanggil Prabowo Subianto untuk disidang
terkait dugaan penculikan aktivis sebelum reformasi pada tahun 1998. Dalam sidang
DKP tersebut Yusuf bersama dengan perwira tinggi ABRI lainnya memutuskan
memberhentikan Prabowo Subianto dari jabatan Panglima Komandao Cadangan
Strategis (Pangkostrad). Setelah pensiun dari dunia militer, Yusuf terjun dalam
panggung politik. Yusuf bergabung dengan Letjen (purn) TNI Sutiyoso dalam Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Berdasarkan hasil Kongres III PKPI pada
tanggal 13 April 2010, Yusuf di dapuk sebagai Sekretaris Jenderal PKPI. Dalam
pemilu 2014, PKPI gagal mendudukkan kadernya sebagai anggota DPR RI, hal
tersebut dipicu perolehan suara PKPI yang dibawah ambang batas perolehan suara
minimal (Parliementary Threshold). Meskipun demikian pada Pemilu presiden
(pilpres) 2014, PKPI adalah salah satu partai politik pendukung pasangan capres-
cawapres, Joko Widodo-Jusuf Kalla.
5. Rusdi Kirana (Bidang Ekonomi)
Publik mengenal luas Rusdi Kirana sebagai seorang penguasaha terkemuka.
Pria kelahiran Jakarta 17 Agustus 1966 kini menjabat sebagai CEO Lion Air Group.
Setelah sukses di dunia bisnis, Rusdi Kirana merambah jagad politik. Semula Rusdi
digadang-gadang sebagai salah satu peserta konvensi calon presiden (capres) Partai
Demokrat. Namun demikian hingga konvensi capres Demokrat berlangsung, nama
Rusdi sama sekali tidak muncul. Pada tanggal 12 Januari 2014, Rusdi Kirana resmi
bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski baru bergabung Rusdi
langsung menduduki jabatan Wakil Ketua Umum DPP PKB. Bergabungnya Rusdi
ke partai politik yang digawangi Muhaimin Iskandar dikritisi banyak pihak, salah
satunya pemikir politik Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti. Menurut
Ray bergabungnya Rusdi ke PKB adalah peritiwa politik yang mengecewakan.
Selain itu, Ray juga meyakini alasan kuat PKB memberikan kursi Waketum kepada
Rusdi Kirana adalah karena dana yang dimilikinya cukup besar. Hal tersebut
40
dianggap menjadi sasaran empuk partai berlambang bintang sembilan tersebut.
Alasan kuat bagi PKB untuk memberi kursi Waketum kepada yang bersangkutan,
kalau bukan karena pengalaman, kapasitas, jasa, hubungan historis, bakti, maka
yang tersedia jawabannya adalah karena dana besar yang dimiliki oleh Kirana.
6. Sri Adiningsih (Bidang Ekonomi)
Sri Adiningsih adalah salah seorang ekonom dan salah seorang dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah Mada. Ia juga pernah ditunjuk menjadi salah satu
anggota Tim Ahli Panitia Ad hoc MPR pada 2001 yang kemudian terpilih menjabat
sebagai Sekretaris Komisi Konstitusi. Sri Adiningsih adalah alumnus terbaik Cum
Laude Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 1989,
Sri berhasil meraih gelar Master of Science (MSc) dari University of Illinois
Amerika kemudian pada tanggal 15 Oktober 1996, di universitas yang sama, ia
meraih gelar Doktor bidang ekonomi.
7. Sidarto Danusubroto (Bidang Politik dan Hukum)
Sidarto Danusubroto adalah pensiun polisi dengan pangkat akhir jenderal
bintang dua (Inspektur Jenderal). Seperti dilansir dari Wikipedia, sebelum
bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan duduk
sebagai Ketua MPR RI masa jabatan 8 Juli 2013 hingga Oktober 2014 adalah bekas
ajudan Presiden Soekarno. Sidarto lahir di Pandeglang, Banten pada tanggal 11 Juni
1936. Pada tahun 1967-1968 ia menjadi ajudan Presiden Soekarno. Kemudian pada
tahun 1986-1988 ia menjadi kapolda Sumbagsel dan pada tahun 1988-1991 ia
menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat.
8. Subagyo Hadisiswoyo (Bidang Pertahanan dan Keamanan)
Subagyo Hadi Siswoyo banyak menghabiskan kariernya dalam dunia militer.
Sebelum menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) pada 1998-
1999, pria kelahiran Piyungan, Daerah Istimewa Yogyakarta 12 Juni 1946 pernah
menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus TNI AD. Subagyo HS sendiri
pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengaman Presiden (Paspamres),
Kemudian Panglima Daerah (Pangdam) IV Diponegoro, Jawa Tengah. Saat terjadi
41
huru-hara dan pesta pora pengrusakan Mei tahun 1998, Subagyo menjabat sebagai
KSAD. Ia juga pernah ditunjuk sebagai Ketua Dewan Kehormatan Perwira (DKP)
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Bersama dengan Letjen Susilo
Bambang Yudhoyono dan Letjen Yusuf Kartanegara ia memanggil tim mawar dan
Prabowo Subianto untuk dimintai keterangan. Hasil dari DKP adalah pemberhentian
dengan hormat Prabowo Subianto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis
(Pangkostrad).
9. Suharso Manoarfa (Bidang Ekonomi)
Suharso Monoarfa merupakan mantan Menteri Perumahan Rakyat kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II. Pria kelahiran Mataram, 31, Oktober 1954 ini juga
seorang pengusaha dan politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namanya tercantum dalam daftar Wantimpres yang dilantik siang ini, syarat yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden tidak membolehkan anggota Wantimpres aktif dalam bisnis
atau pun berpolitik di partai politiknya. Karena itu Suharso sudah siap melepas
jabatannya sebagai pengurus PPP. Dalam dinamika internal PPP, Suharo bersama
dengan Emron Pangkapi dan M. Romahurmuziy berbeda sikap dengan Ketua
Umum DPP PPP, Suryadharma Ali. Buntut dari perbedaan sikap tersebut, Suharso
bersama dengan Emron dan Romahurmuziy menggelar Muktamar di Surabaya,
Jawa Timur beberapa waktu lalu. Bukan hanya itu, Suharso bersama dengan rekan-
rekannya menyatakan diri mendukung penuh pemerintahan Presiden Joko Widodo
dan wakil presiden Jusuf kalla.
C. Tugas dan Fungsi Dewan Pertimbangan
Sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945, pada Pasal 16 (2) UUD 1945
sebelum amandemen disebutkan bahwa Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban
memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah. Pernyataan yang sama juga terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1967 tentang DPA, tugas Dewan Pertimbangan Agung ialah :
42
a. Memberi jawaban atas pertanyaan Presiden;
b. Memajukan usul kepada Pemerintah.
Setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945 Dewan Pertimbangan Presiden
berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang dewan Pertimbangan Presiden
kemudian diatur dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun
2007 tentang Tata Kerja Wantimpres dan Sekretariat Wantimpres, tugas Wantimpres
adalah:
(1) Dewan Pertimbangan Presiden bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada
Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara;
(2) Pemberian nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden, baik diminta atau tidak diminta oleh
Presiden;
(3) Nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan baik
secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh
anggota dewan.
Pasal 5 menyatakan bahwa:
“Dalam menjalankan tugasnya Dewan Pertimbangan Presiden melaksanakan fungsi
nasihat dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan
negara”.
Pasal 6 UU Nomor Tahun 2006 menyatakan bahwa:
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak
dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat
dan pertimbangan kepada pihak mana pun.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan
Presiden atas permintaan Presiden dapat:
a. Mengikuti sidang kabinet;
b. Mengikuti kunjungan kerja dan kunjungan kenegaraan.
D. Pembiayaan dan Hak Keuangan Dewan Pertimbangan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok
Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara
serta Uang kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara, seperti Ketua DPR, MA,
dan BPK, sebesar Rp. 5.040.000 per bulan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 huruf a:
Ketua Majelis Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Ketua Badan
pemeriksa Keuangan, dan Ketua Mahkamah Agung adalah sebesar Rp 5.040.000 (lima
juta empat puluh ribu rupiah) sebulan.
43
Sementara itu, di huruf b disebutkan gaji Wakil Ketua MPR, Wakil Ketua DPR,
Wakil Ketua DPA, Wakil Ketua BPK, Wakil Ketua MA, dan Wakil Ketua MPR yang
tidak merangkap Wakil Ketua DPR sebesar RP 4.620.000 (empat juta enam ratus dua
puluh ribu rupiah) sebulan. Huruf d nya menyebutkan gaji anggota DPA sevesar
4.200.000 (empat juta dua ratus ribu rupiah) sebulan. Tentunya gaji tersebut
dibebankan kepada Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Setelah amandemen Pada Bab VI Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun
2007 tentang Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Pertimbangan
Presiden, menyatakan bahwa:
“Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan
Pertimbangan dan Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditempatkan pada anggaran
Sekretariat Negara”.
Pasal 23 menyatakan bahwa:
(1) Hak keuangan dan fasilitas lain Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
diatur dengan Peraturan Presiden.
(2) Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden apabila berhenti atau telah
berakhir masa jabatannya tidak diberikan pensiun dan/atau pesangon.
Pembiayaan dan hak keuangan Dewan Pertimbangan Presiden terdapat juga
dalam Bab V Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengatur hal yang sama. Hak keuangan dan
fasilitas ketua dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden setara dengan menteri. 12
E. Bidang dan Jenis Kegiatan Dewan Pertimbangan Presiden
Secara internal, terdapat 4 (empat) bidang program yang menjadi tanggung jawab
anggoa Wantimpres, yaitu bidang Ekonomi oleh Sri Adiningsih, Suharso Monoarfa,
Jan Darmadi, dan Rusdi Kirana; bidang Kesejahteraan Rakyat oleh Achmad Hasyim
Muzadi dan Abdul Malik Fadjar; bidang Politik dan Hukum oleh Sidarto Danusubroto,
dan Abdul Malik Fadjar; dan bidang Pertahanan dan Keamanan oleh M. Yusuf
12 http://m.tribunnews.com/nasional/2015/01/19/sembilan-anggota-dewan-pertimbangan-presid
en-dapat-fasilitas-setara-menteri, diakses pada Tanggal 11 Juli 2018 Pukul 08.00 WIB.
44
Kertanegara dan Subagyo Hadi Siswono. Setiap bidang mengandung 3 elemen, yakni
isu fundamental, isu strategis, dan isu terkini. Isu fundamental adalah hal-hal terkait
dasar dan filosofi negara, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan bhineka Tunggal Ika. Isu strategis adalah hal-hal
terkait pelaksanaan program Nawa Cita. Sedangkan isu terkini, lebih bersifat kasuistik
yang dirasakan dan menjadi pembicaraan sebagian besar masyarakat di ruang publik,
yang memerlukan perhatian untuk memperoleh pemecahan segera. 13 Output dari tugas
anggota di atas adalah berupa nasihat dan pertimbangan Presiden baik secara
perorangan maupun kolektif. Masing-masing bidang dapat melaksanakan tugas
pokoknya melalui sejumlah kegiatan yakni:14
1) Pertemuan Terbatas
Pertemuan Terbatas merupakan pertemuan yang dilakukan dengan
mengundang beberapa narasumber untuk memberikan masukan kepada Anggota
sebagai salah satu bahan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.
2) Diskusi Terbatas
Diskusi Terbatas adalah pertemuan yang dilakukan dengan mengundang
beberapa kelompok dan narasumber dalam rangka menghimpun informasi,
pandangan, dan pengalaman dari para tokoh masyarakat, pakar, peneliti,
praktisi/pejabat terkait, serta pemangku kepentingan lainnya.
3) Kajian
Kajian yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam
waktu tertentu oleh tim yang terdiri dari beberapa pakar dari berbagai latar
belakang keilmuan untuk menemukan data dan informasi dalam rangka
memecahkan suatu masalah sebagai bahan nasihat dan pertimbangan kepada
Presiden
13 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi, (Jakarta: Wantimpres, 2017), h. 25
14 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi... h. 19-20.
45
4) Kunjungan Kerja dalam Negeri
Merupakan kegiatan Anggota Wantimpres ke daerah-daerah di Indonesia
dalam rangka mengetahui situasi dan kondisi secara langsung di lapangan terutama
yang berkaitan dengan isu-isu aktual, sebagai bahan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden. Kunjungan ke daerah ini dilakukan oleh Anggota Wantimpres
sesuai bidang tugasnya masing-masing. Anggota Wantimpres akan menghimpun
berbagai data dan informasi mengenai isu-isu strategis, permasalahan aktual, dan
aspirasi masyarakat yang terkait. Dalam kunjungan ini, para Anggota Wantimpres
akan didampingi oleh Sekretariat atau staf Anggota Wantimpres, atau staf dari
Sekretariat Wantimpres. Kegiatan yang dilakukan selama kunjungan, antara lain
berupa diskusi dengan pemerintahan provinsi, kabupaten/kota bersama-sama
dengan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan pemangku
kepentingan lainnya. Selain itu, ada dialog dengan masyarakat dan peninjauan
langsung ke lapangan.
5) Kunjungan Kerja Luar Negeri
Kunjungan kerja luar negeri adalah kegiatan Anggota Wantimpres ke
berbagai negara, dalam rangka mengetahui masalah internasional secara langsung
di negara/lembaga internasional, berkaitan dengan isu-isu aktual sebagai bahan
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden
6) Kegiatan lain
(1) Pertemuan Khsusus
Merupakan kegiatan tatap muka antara Anggota Wantimpres dengan
Presiden atau Wakil Presiden, baik dilakukan secara perorangan, sebagian,
maupun seluruh Anggota Wantimpres.
(2) Penyerapan Aspirasi
Penyerapan aspirasi adalah kegiatan Anggota Wantimpres untuk meminta
masukan dari individu atau kelompok masyarakat tentang masalah tertentu
sebagai bahan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.
46
(3) Audiensi
Audiensi adalah kegiatan Anggota Wantimpres menerima permintaan tatap
muka dari individu atau kelompok masyarakat tentang maslaah tertentu.
(4) Forum Ilmiah
Forul ilmiah adalah kegiatan Anggota Wantimpres menghadiri undangan
yang bersifat keilmuan sebagai narasumber dalam seminar, kuliah umum,
dan lain-lain.
(5) Kegiatan Tambahan
Selain kegiatan-kegiatan tersebut di atas, Anggota Wantimpres biasanya
melakukan sejumlah aktivitas, seperti menghadiri pelantikan pejabat tinggi
di Istana Negara, menghadiri jamuan makan malam kenegaraan di Istana,
menghadiri penandatanganan nota kesepahaman dan lainnya.
F. Mekanisme Kerja Dewan Pertimbangan dalam Perspektif Peraturan Perundang-
undangan
Sebelum amandemen mekanisme penetapan pertimbangan oleh DPA harus
melalui prosedur pembahasan dalam pengambilan keputusan dalam sidang anggota
DPA, sehingga membutuhkan waktu atau tidak dapat dilakukan secara serta merta
apabila Presiden membutuhkan pertimbangan yang cepat. 15
Setelah amandemen mekanisme kerja Wantimpres diatur dalam Bab IV Pasal 10,
11, 12, 13, 14, 15, dan 16 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja
Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden.
Pasal 10 menyatakan:
(1) Setiap anggota Dewan Pertimbangan Presien berhak menyampaikan nasihat dan
pertimbangan yang disampaikan secara perorangan kepada Presiden.
(2) Nasihat dan pertimbangan anggota Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden
yang bersangkutan.
15 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, (Bekasi,
Gramata Publishing, 2016), h. 44
47
(3) Nasihat dan pertimbangan anggota Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) , tembusnya disampikan kepada ketua dan Anggota Dewan
Pertimbangan Presiden yang lain.
Pasal 11 menyatakan:
(1) Nasihat dan pertimbangan yang diajukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden
merupakan nasihat dan pertimbangan yang disetujui secara mufakat oleh seluruh
anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
(2) Nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan rapat yang dihasidi paling sedikit oleh 5 (lima) orag anggota Dewan
Pertimbangan Presiden.
(3) Nasihat dan pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditandatangani oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
Pasal 12 menyatakan:
(1) Presiden dapat menunjuk 1 (satu) atau beberapa anggota Dewan Pertimbangan
Presiden untuk melakukan suatu kajian atau telaahan dan memberi nasihat dan
pertimbangan tertulis langsung kepada Presiden.
(2) Nasihat dan pertimbangan anggota Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden
yang bersangkutan.
(3) Nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya
disampaikan kepada Ketua dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang lain.
Pasal 13 menyatakan:
(1) Dewan Pertimbangan Presiden mengadakan rapat sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
dalam setiap bulan.
(2) Ketua Dewan Pertimbangan Presiden bertindak sebagai koordinator dan tidak dapat
menyampaikan nasihat dan pertimbangannya sendiri atas nama Dewan Pertimbangan
Presiden.
Pasal 14 menyatakan:
(1) Dewan Pertimbangan Presiden menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada
Presiden sekurangkurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan.
(2) Presiden dapat meminta Dewan Pertimbangan Presiden menyampaikan laporan
pelaksanaan tugasnya sewaktuwakktu apabila deperlukan.
(3) Laporan Dewan Pertimbangan Presiden kepada Presiden sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi seluruh nasihat dan pertimbangan yang
disampaikan baik secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan
pertimbangan seluruh anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
48
Pasal 15 menyatakan:
(1) Segala surat menyurat Dewan Pertimbangan Presiden ditandatangani oleh Ketua
Dewan Pertimbangan Presiden.
(2) Apabila Ketua Dewan Pertimbangan Presiden berhalangan sementara, maka salah
seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang ditunjuk oleh Ketua Dewan
Pertimbangan Presiden sebagai pelaksana tugas, berwenang menandatangani segala
surat Dewan Pertimbangan Presiden.
Pasal 16 menyatakan:
Apabila Ketua Dewan Pertimbangan Presiden berhalangan tetap, maka Presiden
memilih dan mengangkat Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang baru.
Berdasarkan Perpres Nomor 10 Tahun 2007 di atas, Tata Kerja Dewan
Pertimbangan Presiden adalah sebagai berikut:16
1. Nastim Perorangan
Nasihat dan pertimbangan (Nastim) merupakan hasil dari kegiatan para
Anggota Wantimpres, bersifat rahasia dan diberikan langsung kepada Presiden.
Dalam pelaksanaannya, Nastim dari Anggota Wantimpres dapat disampaikan secara
perorangan dan seluruh Anggota Dewan. Nastim yang disampaikan ke Presiden
menyangkut 4 (empat) aspek sesuai dengan perbidangan yang telah ditetapkan oleh
Presiden, yakni bidang ekonomi, bidang kesejahteraan rakyat, bidang politik dan
hukum, serta bidang pertahanan dan keamanan. Dan Nastim yang disampaikan
secara perorangan kepada Presiden harus ditandatangani oleh Anggota Wantimpres
yang bersangkutan, serta tembusannya disampaikan kepada Ketua dan Anggota
Wantimpres yang lain.
2. Nastim Kolektif
Nasihat dan pertimbangan (Nastim) yang diajukan oleh Wantimpres
merupakan Nastim yang disetujui secara mufakat oleh seluruh Anggota
Wantimpres, yang ditetapkan berdasarkan rapat yang dihadiri paling sedikit oleh 5
16 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi... h. 21-22
49
(lima) orang Anggota Wantimpres, Nastim yang akan diberikan kepada Presiden
terlebih dahulu ditandatangani oleh Ketua Wantimpres.
3. Permintaan Presiden
Presiden dapat menunjuk 1 (satu) stsu beberapa Anggota Wantimpres untuk
melakukan suatu kajian atau telaahan dan memberi Nastim tertulis langsung kepada
Presiden. Nastim atas permintaan Presiden ini harus ditandatangani oleh Anggota
Wantimpres bersangkutan, dan tembusnya disampaikan kepada Ketua dan Anggota
Wantimpres lainnya.
4. Laporan Pelaksanaan Tugas (Lapgas)
Wantimpres menyampaikan Laporan Pelaksanaan Tugas (Lapgas) yang sudah
dilakukan kepada Presiden sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan.
Namun, Presiden dapat meminta Wantimpres untuk menyampaikan Lapgasnya
sewaktu-waktu apabila diperlukan. Lapgas kepada Presiden tersebut meliputi
seluruh nasihat dan pertimbangan yang disampaikan, baik secara perorangan
maupun sevagai satu kesatuan Nastim seluruh Anggota Wantimpres.
5. Surat Menyurat
Dalam tata kerja Wantimpres, segala surat menyurat Wantimpres harus
ditandatangani oleh Ketua Wantimpres. Apabila Ketua Wantimpres berhalangan
sementara, maka salah seorang Anggota Wantimpres yang ditunjuk oleh Ketua
Wantimpres sebagai pelaksana tugas, berwenang menandatangani segala surat
Wantimpres. Jika Ketua Wantimpres berhalangan tetap, maka Presiden memilih dan
mengangkat Ketua Wantimpres yang baru.
50
BAB IV
URGENSI LEMBAGA DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM
STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Perbandingan Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan Pertimbangan
Agung dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Wantimpres, apabila merujuk sejarah ketatanegaraan Indonesia, terlebih pasca
Orde Lama dan pra-Orde Reformasi, sebenarnya mirip, meski tak sama persis dengan
Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dalam konstitusi pra amandemen, DPA diberi
kewajiban menjawab pertanyaan presiden dan juga diberi hak untuk mengajukan usul
kepada pemerintah. Bedanya, DPA adalah lembaga sejajar dengan presiden,
sedangkan Wantimpres berada di bawah presiden. Dalam hal komposisi anggota DPA,
UU No 3/1967 tentang DPA dan UU No 4/1978 perubahan dan penyempurnaan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang DPA menyatakan, susunan anggota
DPA terdiri dari tokoh politik, tokoh karya, tokoh daerah, dan tokoh nasional.1 DPA
yang berdasarkan UUD 1945 yang asli dan Wantimpres berdasarkan hasil amandemen
mempunyai perbedaan yang prinsip:2
Pertama, DPA tidak berada di bawah Presiden tetapi setara dengan Presiden
sehingga DPA memiliki kebebasan untuk memberikan pertimbangan berupa pendapat,
nasihat, atau kritik mengenai pemerintahan negara. Sedangkan, wantimpres yang
dibentuk oleh Presiden berdasarkan atas Keppres bersifat subordinasi kepada Presiden
dan logikanya tidak berani memberikan kritik atas kebijakan Presiden.
Kedua, keanggotaan DPA terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh nasional, tokoh
daerah, dan tokoh golongan profesi dengan kriteria yang jelas berdasarkan UU tentang
DPA, sedangkan Wantimpres sangat tergantung dari subjektivitas Presiden. Memang
1 Hifdzil Alim, Wantimpres, https://nasional.kompas.com/read/2015/01/27/14050061/Wantim
pres, diakses pada Tanggal 28 Mei 2018 Pukul 10.00 WIB.
2 M. Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 66.
51
kenyataannya, dalam Zaman Orde Baru penyelenggaran negara, keanggotaan DPA
diisi oleh eks Pejabat sipil dan militer yang sudah memasuki masa pensiun sehingga
timbul sindiran bahwa DPA diartikan sebagai “Dewan Pensiunan Agung”.
Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Jakarta yang menyatakan bahwa perbandingan antara Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
adalah sebagai berikut:3
1) DPA itu kedudukannya setingkat dengan Presiden dan lembaga negara lainnya,
sedangkan Wantimpres kedudukannya langsung di bawah Presiden;
2) DPA itu birokrasinya panjang atau proseduralnya panjang, DPA harus rapat dulu
untuk membicarakan sesuatu untuk kemudian baru bisa dilaporkan kepada Presiden
padahal Presiden sedang membutuhkan, sedangkan Wantimpres birokrasinya
mudah, jika Presiden membutuhkan Nasihat, Wantimpres bisa langsung kepada
Presiden karena kantornya juga berada ditempat kedudukan Presiden (Istana);
3) DPA pemborosan keuangan dengan jumlah pegawai yang banyak, sedangkan
Wantimpres jumlah anggotanya berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006 dalam
Pasal 7 ayat (2) terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan 8 orang anggota.
Peneliti membandingkan dua lembaga ini dengan menelaah peraturan
perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan
Pertimbangan Agung, dan juga melihat dari data yang sudah peneliti paparkan pada
bab 3 yaitu tentang profil dewan pertimbangan sebelum dan sesudah amandemen,
peneliti menemukan beberapa perbedaan antara Dewan Pertimbangan Presiden
dengan Dewan Pertimbangan Agung, diantaranya:
1) Dewan Pertimbangan Presiden berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung
jawab kepada Presiden yang berkedudukan di tempat kedudukan Presiden,
sedangkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berkedudukan di tempat kedudukan
3 Wawancara langsung dengan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Prof. Dr.
H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H., Pada tanggal 06 Juli 2018 Pukul 14.30 WIB
52
Pemerintah Pusat yang kedudukannya sejajar dengan Presiden, dan bertanggung
jawab secara langsung kepada MPR sebagai lembaga tinggi negara;
2) Jumlah anggota Wantimpres terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan 8
(delapan) orang anggota, sedangkan DPA jumlah anggotanya ditetapkan sebanyak-
banyaknya 27 (dua puluh tujuh) orang termasuk Pimpinan Dewan Pertimbangan
Agung; dari sepanjang sejarah berdirinya, jumlah anggota DPA ini pernah
mencapai 66 orang anggota pada masa Presiden Soekarno;
3) Ketua Wantimpres dijabat secara bergantian di antara anggota yang ditetapkan oleh
Presiden, sedangkan pimpinan DPA terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil
ketua yang diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Pertimbangan Agung;
4) Nasihat-nasihat dan pertimbangan yang diberikan oleh wantimpres kepada presiden
bersifat rahasia, apapun bentuk usulan dan rekomendasi dari Wantimpres tidak
boleh dipublikasi kepada publik, sedangkan DPA hingga dihapuskan pada tahun
2002 pada amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bentuk pertimbangan dan usulan dari DPA dapat dipublikasikan
terutama pada sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI). Namun juga bisa disampaikan dalam bentuk lisan langsung
kepada Presiden, salah satu bentuk dari hasil pertimbangan DPA juga dikeluarkan
dalam bentuk sebuah keputusan.
Dengan membandingkan dua lembaga yang memiliki fungsi yang sama:
memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden. Perbedaannya, Watimpres secara
tegas disebut “bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan”, sedangkan DPA
Pasal 16 ayat (2) yang lama disebut “berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan
Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah”.
Pengalaman Indonesia terhadap keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
selama pemerintahan Orde Baru telah memberikan labelling bahwa DPA tidak
memiliki fungsi sebagaimana yang diinginkan. Pertimbangan yang dahulu diberikan
53
oleh DPA seringkali dianggap tidak dipergunakan. Citra ini menumbuhkan semangat
agar 'dewan' yang nanti akan dilembagakan tidak sama dengan DPA. 4
Mengenai penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diatur dalam
Pasal 16 UUD 1945 dan kekuasaan Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan
perlu dikemukakan bahwa ditiadakannya Dewan Pertimbangan Agung DPA) pasca
amandemen UUD Tahun 1945 adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan negara. Sebelum amandemen UUD 1945, kewenangan DPA adalah
untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam kedudukan
sejajar. Namun Presiden tidak terikat dengan nasihat dan pertimbangan tersebut, ini
menujukkan keberadaan DPA sebagai lembaga tinggi negara setingkat Presiden tidak
efektif dan tidak efisien. 5
Beberapa pandangan yang ingin DPA dihapuskan dengan mengajukan beberapa
alasan. Selama ini (maksudnya sejak zaman Sukarno sampai Gus Dur), fungsi DPA
tidak efektif. Apalagi pada era Suharto, DPA diplesetkan menjadi (Dewan Pensiunan
Agung). Tempat bermukim orang-orang buangan yang tidak disukai oleh Presiden.
Atau pos untuk para mantan pejabat. Dalam kehidupan ketatanegaraan, nasihat-nasihat
DPA hampir tidak pernah digubris oleh presiden. Presiden tidak terikat dengan nasihat
DPA. Padahal secara kelembagaan antara DPA dan Presiden setara, sama-sama
lembaga tinggi negara. Sebagai lembaga tinggi negara, menjadi aneh pengangkatan
dan pemberhentian anggota DPA dilakukan oleh Presiden. Sehingga secara kultural
ada hambatan psikologis buat mereka memberi nasehat kepada Presiden. Oleh karena
itu DPA dizaman Soekarno hampir tidak pernah difungsikan. DPA pertama
diketuai Radjiman Widiodiningrat hingga tahun 1949, keberadaannya tidak
jelas. Periode berikutnya posisi DPA makin tidak jelas. Kondisi ini berlangsung
hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. DPA Sementara dibentuk
4 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasihat
Presiden
5 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, (Bekasi,
Gramata Publishing, 2016), h. 44
54
berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, 22 Juli1959. Ketuanya dirangkap
oleh Presiden Soekarno. DPA definitif baru muncul pada 1967 melalui UU No. 3
Tahun 1967 yang disahkan pejabat Presiden Soeharto. Ruslan Abdul Gani
menambahkan bahwa kekuasaan DPA sebagai advisory power tidak jelas dalam
kerangka trias politica. Satu bentuk pemisahan kekuasan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Pendapat lain menyatakan keberadaan DPA sama seperti dewan penasehat
sistem pemerintahan negara-negara Eropa Kontinental di abad XVIII-XIX. Apa yang
disebut Le Conseil d’Etat di Perancis. Situasi pemerintahan Gus Dur (saat itu masih
menjabat sebagai Presiden) tak luput dari evaluasi. Para peserta sidang PAH III MPR
mengatakan Presiden Gus Dur lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan
nasihat para ulama dan kyai yang sengaja datang khusus, ketimbang DPA. Jika
demikian, apa pentingnya DPA bila kenyataannya Presiden lebih mendengar nasihat
dari orang-orang yang dia percayai.6
Harun Alrasid, Guru Besar Universitas Indonesia sejak tahun 1995 sudah
langsung menyuarakan agar DPA dibubarkan. Menurutnya keberadaan lembaga
tersebut tidak efektif. Jika Presiden memerlukan penasehat, cukup menganggkat staf
ahli Presiden saja. Ini akan lebih memudahkan bagi seorang Presiden, dia tinggal
angkat telepon saja, tidak perlu surat-menyurat secara formal sebagaimana yang
dilakukan kepada DPA selama ini. Pendapat tersebut kembali disampaikan olehnya
pada tahun 1998 sampai lembaga tersebut akhirnya benar-benar dibubarkan pada tahun
2002 oleh MPR. 7
Jimly Asshiddiqie adalah satu-satunya ahli hukum tata negara yang
menyuarakan agar DPA tidak dibubarkan, dia mengatakan betapa pentingnya tersebut
tetap dipertahankan. Menurutnya, selama ini yang membuat lembaga ini tidak efektif
6 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999–2002 Edisi Revisi. Buku ke IV Kekuasaan
Pemerintahan Negara Jilid I (Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 691-
897.
7 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah perubahan UUD 1945
dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 116.
55
adalah karena kedudukan dan perannya tidak cukup penting. Untuk itu, sebaiknya
lembaga tersebut diberikan kewenangan yang lebih besar dari yang ditentukan dalam
UUD 1945. Tetapi jika ingin nasihat tersebut diharapkan mengikat, maka yang
memberi nasihat harus sederajat. Dengan demikian, DPA adalah jawabannya, yaitu
dengan diberikan lembaga tersebut mempunyai daya ikat terhadap Presiden. sehingga
apa yang terjadi selama ini tidak terulang lagi. DPA bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden dalam kedudukan sejajar, karena sama-sama lembaga
tinggi negara. Namun, Presiden tidak terikat dengan nasihat dan pertimbangan itu. Hal
tersebut dianggap keberadaan DPA tidak efektif dan efisien. Demikian pula
mekanisme penetapan pertimbangan oleh DPA harus melalui prosedur pembahasan
dalam pengambilan putusan sidang DPA sehingga membutuhkan waktu yang lama
sehingga ketika Presiden membutuhkan nasihat tidak dengan serta merta bisa
diberikan. 8
Hal yang senada juga dikatakan oleh Kepala Bagian Politik, Hukum dan
Keamanan Biro Data dan informasi sekretariat Wantimpres, Bapak M. Faried, S.IP,
DEA, yang menyatakan bahwa Wantimpres jika dibandingkan dengan DPA,
Wantimpres lebih efektif dan efisien dari DPA, karena jika Presiden membutuhkan
nasihat dan pertimbangan bisa langsung mendapatkan masukan dari Wantimpres,
karena kantornya juga berada ditempat kedudukan Presiden, dan dari segi pembiayaan
Wantimpres juga efisien dari DPA, karena jumlah anggota Wantimpres tidak
sebanyak anggota DPA. 9
Dari beberapa perbandingan di atas, peneliti menilai antara DPA dengan
Wantimpres, dalam hal mekanisme pelaksanaan tugas, Wantimpres lebih efektif dan
efisien dari DPA karena birokrasinya cepat, kapan saja Presiden membutuhkan bisa.
Dan dari sisi anggarannya, DPA pemborosan keuangan dengan jumlah anggota yang
8 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah perubahan UUD 1945
dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 116-117
9 Wawancara langsung dengan Kabid Polhukam Sekretariat Wantimpres, M. Faried, S.IP, DEA,
di Sekretariat Wantimpres, Pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 11.00 WIB
56
lebih banyak dari Wantimpres. Tentunya Wantimpres harus berkaca dari kegagalan
DPA di masa lalu, dan tidak mengulangi hal yang sama.
B. Komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
Kalau melihat komposisi keanggotaan Wantimpres sejak diberlakukan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden akan tampak
bahwa kebanyakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden berasal dari unsur partai
politik, para pakar di bidang yang sesuai dengan kebutuhan di Wantimpres, pimpinan
Ormas keagamaan, serta purnawirawan TNI dan Polri. Pada masa Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007-2014) hingga pemerintahan Joko widodo
(2015-2019). Anggota Wantimpres yang berasal dari unsur Pegawai Negeri aktif, tidak
ada. Berdasarkan Undang-Undang 19 Tahun 2006 sebetulnya tidak ada larangan bagi
Pegawai Negeri menjadi Anggota Wantimpres sebagaimana tersirat dalam Pasal 12
UU Nomor 19 Tahun 2006 di atas, yang kemudian diatur selanjutnya berdasarkan
Pasal 6, 7, 8 Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2007. 10
Untuk dapat diangkat menjadi seorang Anggota Dewan Penasihat Presiden,
harus dipenuhi sejumlah persyaratan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
penilaian subjektivitas dari Presiden11 , sekalipun sebenarnya itu sah saja dalam sebuah
praktek pemerintahan. Namun demikian, undang-undang ini mencoba menghindari
penilaian subjektivitas tersebut dengan mengajukan sejumlah persyaratan yang dinilai
dapat diukur. Syarat-syarat yang harus dipenuhi itu sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden adalah sebagai berikut:
1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Ketentuan ini dilihat dari ketaatan
seseorang menjalankan ibadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
10 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi, (Jakarta: Wantimpres, 2017), h. 15.
11 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasihat
Presiden
57
2) Warga negara Republik Indonesia dan bertempat tinggal dalam wilayah Negara
Republik Indonesia. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk calon anggota.
Seorang calon anggota dapat saja tidak bertempat tinggal di wilayah negara RI,
namun ketika sudah menjadi anggota, yang bersangkutan harus bertempat tinggal
di wilayah negara RI.
3) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
Ketentuan ini adalah ketentuan normatif yang disyaratkan bagi seseorang yang akan
menduduki sebuah jabatan negara.
4) Mempunyai sifat kenegarawanan; Sifat kenegarawanan dapat dilihat dari sikap
konsistensi mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Sebagai contoh adalah seseorang
yang tidak pernah mengusulkan untuk disintegrasi di sebuah wilayah negara
kesatuan RI. Dalam kelompok ini dapat dimasukkan kriteria para mantan presiden
atau mantan menteri yang dinilai telah memiliki bukti adanya sifat kenegarawanan.
5) Sehat jasmani dan rohani; Persyaratan ini dapat dibuktikan dengan surat keterangan
dari seorang dokter yang menyatakan bahwa yang bersangkutan sehat baik secara
jasmani maupun rohani. Persyaratan ini harus dipenuhi juga oleh seorang calon
anggota legislatif.
6) Jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; Persyaratan ini sama dengan persyaratan
untuk mejadi anggota legislatif. Yang dimaksud dengan "tidak pernah melakukan
perbuatan tercela" adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat lain seperti judi, mabuk,
pecandu narkoba, maupun zina.
7) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; Yang
dimaksud dengan tindak pidana kejahatan adalah tindak pidana sebagaimana yang
dimaksud dalam Buku Kedua KUHP. Dijatuhi pidana karena menabrak seseorang
misalnya, tidak dikategorikan sebagai melakukan tindak pidana kejahatan.
8) Mempunyai keahlian tertentu di bidang pemerintahan negara.
58
9) Tidak merangkap jabatan lain; Larangan merangkap jabatan dimaksudkan agar
anggota Dewan mampu berkonsentrasi penuh terhadap tugasnya sebagai penasihat
dan pemberi pertimbangan kepada Presiden. Jabatan lain yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah sebagai pejabat negara (pimpinan dan anggota lembaga negara
seperti MPR, DPR, DPD, BPK, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan
Gubernur Bank Indonesia, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Menteri,
Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kepala Polri), sebagai pejabat pemerintahan
(pejabat struktural pada kementerian/departemen dan lembaga pemerintah non
departemen dan/atau pejabat struktural yang dipersamakan di lingkungan TNI dan
Polri), pejabat lain di komisi-komisi (seperti di Pemberantasan Korupsi, Komisi
Komisi Ombudsman Nasional), badan (seperti di Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen), lembaga (Lembaga Penjamin Simpanan) yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan dibiayai oleh APBN; Gubernur,
Bupati/Walikota, serta Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, maupun
pimpinan partai politik (ketua umum, dewan syuro, dan lain-lain penyebutan dalam
partai politik), pimpinan Organisasi Masyarakat (Ormas), pimpinan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), pimpinan perusahaan (baik sebagai komisaris,
direksi, dan lain sebagainya), pimpinan BUMN, pimpinan organisasi profesi,
pejabat struktural di perguruan tinggi (seperti Rektor, Dekan, Kepala Departemen,
dan lain sebagainya).
Di masa Presiden Jokowi, anggota Wantimpres banyak didominasi politisi.
Seperti Sidarto Danusubroto (PDI Perjuangan), Yusuf Kertanegara ( PKPI), Suharso
Monoarfa (PPP), Rusdi Kirana (PKB), dan Jarmadi (Partai Nasdem). Ada juga mantan
KSAD Subagyo Hadi Siswoyo yang disebut diusulkan oleh Ketua Umum Partai
Hanura Wiranto. Anggota lainnya yakni Hasyim Muzadi adalah mantan Ketua Umum
PB Nahdlatul Ulama yang merupakan mantan penasehat Tim Transisi Jokowi-JK.
Sementara Sri Adiningsih mewakili kalangan profesional. Menteri Sekretaris Negara
Pratikno mengakui anggota Wantimpres pada masa Jokowi-JK didominasi kalangan
59
partai politik. Namun dia membantah bahwa ini bagian dari bagi-bagi kursi bagi partai
pengusung Presiden Jokowi. 12
Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono anggota Wantimpres tidak
didominasi anggota partai politik. Pada periode pertama menjabat SBY mengangkat
Ali Alatas, Emil Salim, Rachmawati Soekarnoputri, Syahrir, Ma’ruf Amin, Tiopan
Bernhard Silalahi, Adnan Buyung Nasution, Subur Budhisantoso dan Radi A Gani
sebagai anggota Wantimpres. Saat terpilih untuk kedua kalinya pada 2010 anggota
Wantimpres yang diangkat SBY adalah: Emil Salim, Hassan Wirajuda, Ryaas Rasyid,
Ginandjar Kartasasmita, Ma’ruf Amin, Widodo Adi Sutjipto, Jimly Asshiddiqie,
Meutia Farida Hatta, Siti Fadillah Supari. Pada tahun 2012 satu anggota Wantimpres
diganti. Albert Hasibuan masuk menggantikan Jumly Asshiddiqie. Pada masa Presiden
Susilo Bambang yudhoyono kalangan profesional mendominasi anggota Wantimpres
yang diangkat SBY.13
Memang untuk menentukan komposisi anggota Wantimpres adalah hak
prerogative Presiden dan terserah kepada Presiden siapa-siapa saja yang dipi``lih oleh
beliau untuk menjadi anggota Wantimpres, karena memang itu adalah anggap orang
yang beliau bisa bekerja sama dan bisa memberikan pertimbangan dan nasihat-
nasihat.14 Tetapi, Presiden juga harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2006 tentang Wantimpres, yang menjadi sumber hukum untuk memilih
komposisi anggota Wantimpres, dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap
anggota Wantimpres. Salah satu persyaratannya adalah Mempunyai sifat
kenegarawanan; Sifat kenegarawanan dapat dilihat dari sikap konsistensi
mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas kepentingan
12 https://m.detik.com/news/berita/2807749/beda-sby-dan-jokowi-saat-angkat-anggota-wantimp
res, Senin, 19 Januari 2015, Pukul 10.04 WIB 13 https://m.detik.com/news/berita/2807749/beda-sby-dan-jokowi-saat-angkat-anggota-wantimp
res, Senin, 19 Januari 2015, Pukul 10.04 WIB
14 Dialog langsung Fitri Megantara via telephone dengan Sri Adiningsih pada acara Berdayakan
Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Channel, Pada Pukul 18.25 WIB
60
pribadi, kelompok, dan golongan. Dan jika anggota Wantimpres dipilih dan
didominasi dari kalangan Partai politik sangat dimungkinkan ada intervensi partai
politik dalam memberikan setiap usulan dan pertimbangan yang diberikan kepada
Presiden. Mereka akan sangat terpengaruh dengan kepentingan politik mereka masing-
masing jika memberikan pendapat kepada Presiden. Walaupun setelah diangkat
menjadi anggota Wantimpres mereka harus keluar dari partai politik tersebut, akan
tetapi untuk mengantisipasi semua itu komposisi susunan anggota Wantimpres
seharusnya bukan dari kader-kader partai politik dan sepenuhnya mengacu kepada UU
yang sudah ditetapkan bukan semata-mata hanya hak subjektivitas Presiden saja.
Siradjuddin abbas seorang peneliti senior SMRC mengatakan bahwa, pemilihan
anggota Wantimpres menjadi wewenang penuh Presiden, dia mengira bahwa soal asal
usul partai politik menjadi tidak terlalu penting kalau kita lihat pada otoritas dan
prospek kontribusi mereka dalam memberikan nasihat-nasihat yang baik kepada
Presiden, memang orang akan cendrung sinis, sinis akan asal usul partai politiknya,
bisa jadi membawa pesanan-pesanan partai politiknya, yah tidak apa-apa, toh nantinya
mereka yang dari partai politik juga akan keluar secara formal kaitan kelembagaan
mereka dengan partai politik akan terputus dan mereka akan mengundurkan diri, tetapi
satu hal lagi yang perlu dipahami bahwa mereka itu adalah representatif satu kelompok
pemenang dalam pemilihan presiden, jadi tidak ada apa-apa menurut saya. 15
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa anggota Dewan Pertimbangan Presiden
pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Joko Widodo
mengangkat komposisi anggota Wantimpres sebetulnya tidak jauh berbeda.
Perbedaannya adalah pada masa Presiden Jokowi, anggota Wantimpres banyak
didominasi oleh politisi sedangkan pada masa Presiden SBY didominasi oleh orang-
orang birokrat, profesional, walaupun politisi juga ada tetapi tidak sebanyak pada masa
Presiden Jokowi. Sebenarnya tidak ada yang salah dari mana latar belakang komposisi
anggota Wantimpres yang akan diangkat oleh Presiden. Namun, peneliti menilai
15 Dialog langsung Fitri Megantara dengan Siradjuddin Abbas, peneliti senior SMRC pada acara
Berdayakan Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Channel, Pukul 18.38 WIB
61
lembaga ini sebagai lembaga penampungan orang-orang yang berjasa kepada
Presiden, penampungan tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh politik yang mungkin tidak
dipakai lagi. Ini dibuktikan dari 11 tahun Wantimpres didirikan, apalagi pada masa
Presiden Jokowi, kader-kader politik yang mendominasi anggota Wantimpres berasal
dari partai politik pengusung Jokowi-JK pada pilpres 2014 yang lalu. Masih banyak
orang-orang yang berkompeten di bidangnya yang bisa menjadi anggota Wantimpres,
ketimbang harus dari politisi. Sebaiknya lembaga ini diisi oleh para akademisi,
negarawan, dan dari kalangan profesional. Karena nantinya setiap kebijakan yang akan
diambil oleh Presiden akan berdampak luas untuk kemajuan bangsa dan negara. Jika
didominasi oleh politisi, ditakutkan akan berimplikasi pada bentuk nasihat dan
masukan yang nantinya akan diberikan kepada Presiden hanya untuk kepentingan
golongan saja bukan kepentingan bangsa dan negara.
C. Urgensi Nasihat dan Pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Nasihat dan pertimbangan Presiden (NASTIM) merupakan output dari sejumlah
tugas dan kegiatan yang dilaksanakan oleh para anggota. Nastim dapat dikirim kepada
Presiden baik secara perorangan maupun kolektif. 16
Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 menyatakan
bahwa:
“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden
tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi
nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun”
Pernyataan di atas memberikan larangan kepada setiap anggota Dewan
Pertimbangan Presiden memnyebarluaskan bentuk nasihat dan petimbangan yang
16 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah,
Tugas dan Fungsi... h. 47.
62
diberikan kepada Presiden. Dan hanya memberitahu jumlah nasihat dan pertimbangan
yang diberikan kepada Presiden.
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Dewan Pertimbangan
Presiden periode 2010-2014 memberikan 254 pertimbangan kepada SBY. Hal itu
terungkap dalam acara serah terima anggota Wantimpres periode 2010-2014 ke
periode 2015-2019 di Gedung Wantimpres. Sri Adiningsih sebagai ketua Wantimpres
dalam acara tersebut menyatakan bahwa “perlu kita ketahui banyak sekali yang sudah
dihasilkan, 254 pertimbangan kepada Presiden dalam kurun waktu lima tahun”. Sri
menjelaskan, pertimbangan Wantimpres sebelumnya itu disampaikan kepada Presiden
keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono secara bersama-sama atau inisiatif
perseorangan. Karena sesuai tugasnya anggota Wantimpres dapat memberikan
pertimbangan kepada Presiden jika diminta atau inisiatif secara bersama-sama atau
perorangan. Dalam kesempatan itu juga, mantan ketua Wantimpres Emil Salim
meminta maaf kepada media karena selama bertugas tidak dapat memberikan
pernyataan kepada publik. Ia menyatakan bahwa setiap anggota Wantimpres wajib
memegang rahasia negara dan hanya dapat berbicara mengenai subtansi suatu
persoalan kepada Presiden RI. Meski demikian, kata Emil semua pekerjaan
Wantimpres periode 2010-2014 telah disampaikan secara tertulis kepada Wantimpres
yang melanjutkan.17
Ketentuan di atas menyebabkan masyarakat tidak bisa menilai apakah Presiden
telah sungguh-sungguh memperhatikan nasihat dan pertimbangan dari lembaga ini
atau tidak. Sebab, masyarakat sudah sepatutnya mengetahui apa bentuk nasihat dan
pertimbangan yang telah diberikan oleh Dewan tersebut. Salah satu alasan kenapa
Nastim itu bersifat rahasia adalah, dikhawatirkan jika nasihat dan pertimbangan
tersebut terkait dengan strategi negara dalam menghadapi negara lain, sehingga harus
dirahasiakan, akan bocor ke tangan pihak yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu,
17 Era Presiden SBY, Wantimpres beri 254 Pertimbangan, http://nasional.kompas.com. Diakses
pada Tanggal 10 Mei 2018 Pukul 11.10 WIB
63
ketentuan agar Presiden memperhatikan dengan sungguh-sungguh merupakan
ketentuan yang membantu mengingatkan Presiden akan pentingnya peran dari Dewan
Penasihat dan Pertimbangan ini.18 Bagaimana publik akan mengetahui objektif
tidaknya rekomendasi atau nasihat yang diberikan oleh lembaga ini kepada Presiden
jika bentuk nasihat itu dirahasiakan.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Kepala Bagian Politik, Hukum
dan Keamanan Biro Data dan informasi sekretariat Wantimpres, Bapak M. Faried,
S.IP, DEA, menyatakan bahwa, bentuk nasihat dan pertimbangan dari setiap anggota
Wantimpres itu bersifat rahasia, dan tidak boleh dipublikasi, itu adalah perintah UU,
dan bagi yang menyebarluakan akan dikenai delik sesuai dengan aturan yang berlaku,
karena ini adalah rahasia negara, dan sayapun selama bekerja di Sekretariat
Wantimpres tidak pernah mengetahui bentuk nasihat dan pertimbangan tersebut.
Adapun untuk mengetahui kinerja dari lembaga ini tunggu 20 tahun lagi baru bentuk
nasihat dari lembaga ini bisa di akses dan masyarakat baru bisa menilai efektif
tidaknya lembaga ini, tetapi dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara
Presiden memang memelukan nasihat-nasihat dan pertimbangan untuk mengambil
sebuah keputusan. 19
Hal senada juga disampaikan oleh Sri Adiningsi Ketua Wantimpres periode
2015-2019 menyatakan bahwa, peran dari Wantimpres tidak akan pernah dipahami
dan diketahui oleh masyarakat karena pertimbangan ataupun nasihat yang diberikan
oleh Wantimpres itu kepada Presiden sifatnya rahasia, dan hanya boleh diberikan
kepada Presiden bahkan Wantimpres tidak diperbolehkan untuk mendiskusikan itu
kepada publik. Dan mengatakan bahwa Wantimpres bisa memberikan rekomendasi
yang baik pada saatnya diperlukan dan memang digunakan oleh Presidendan itu akan
bisa meningkatkan kinerja Presiden untuk membuat keputusan yang baik, dan
18 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasihat
Presiden
19 Wawancara langsung dengan Kabid Polhukam Sekretariat Wantimpres, M. Faried, S.IP, DEA,
di Sekretariat Wantimpres, Pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 11.00 WIB
64
Wantimpres memberikan masukan yang objektif, yang terbaik dan bukan asal Presiden
senang saja. Dan secara tidak langsung indikator keberhasilan kinerja Wantimpres
akan terlihat pada kinerja Presiden dalam memimpin kekuasaan pemerintahan.20
Pertimbangan ataupun usulan yang diberikan oleh Wantimpres kepada Presiden
bersifat rahasia, dan tidak boleh dipublikasikan, jika dilihat pada masa DPA terdahulu
yang dihapuskan pada amandemen ke-empat UUD NRI Tahun 1945, hasil
pertimbangan dan usulan dari Wantimpres ini dapat dipublikasikan terutama pada
Sidang Tahunan MPR RI.
Seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.,
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta yang menyatakan bahwa dari
sisi nasihat, Presiden memang membutuhkan nasihat dan pertimbangan untuk untuk
kepentingan bangsa dan negara. Tetapi, bentuk nasihat dan pertimbangan itu
seharusnya tidak semua harus dirahasiakan, ada beberapa nasihat yang publik harus
mengetahuinya. 21
Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa pemberian nasihat dan
pertimbangan Presiden masih tetap diperlukan, dan dilakukan oleh suatu organ baru
yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Hal yang sama juga
disampaikan oleh Masinton Pasaribu, anggota Komisi III DPR RI bahwa dari sisi
kelembagaan Wantimpres masih diperlukan untuk membantu Presiden dalam
memberikan nasihat-nasihat dan pertimbangan dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan negara. 22
Dari beberapa pernyataan di atas, peneliti menilai bahwa dari sisi nasihat,
Presiden memang membutuhkan masukan dan nasihat-nasihat untuk membuat sebuah
20 Dialog langsung Fitri Megantara via telephone dengan Sri Adiningsih pada acara Berdayakan
Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Chhannel, Pukul 18.25 WIB
21 Wawancara langsung dengan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Prof. Dr.
H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H., Pada tanggal 06 Juli 2018 Pukul 14.30 WIB
22 Wawancara langsung dengan Masinton Pasaribu, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Pada
tanggal 28 Maret 2018, Pukul 12.30 WIB
65
kebijakan, dan membentuk Dewan Pertimbangan Pesiden adalah jawabannya, tetapi
sebaiknya nasihat-nasihat itu tidak dirahasikan sedemikian rupa sehingga tidak
satupun orang yang mengetahuinya kecuali hanya antara Presiden dan anggotanya
saja. Tidak perlu ada larangan bahwa bentuk Nastim dari Wantimpres itu berifat
rahasia. Biarkan itu menjadi kewenangan Wantimpres untuk bisa mempublikasikan
nasihatnya atau jika nasihatnya itu berkaitan dengan strategi dengan negara lain yang
nantinya ditakutkan akan bocor kepada pihak yang tidak diinginkan tidak perlu
dipublikasikan. Publik perlu tahu bahwa nasihat dan pertimbangan Wantimpres ini
benar-benar objektif, dan berguna untuk kemajuan bangsa dan negara. Seperti DPA,
publik bisa menilai efektif tidaknya kinerja DPA karena bentuk Nastim yang diberikan
dipublikasikan kepada publik. Inilah keunggulan DPA dari Wantimpres.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Perbandingan antara Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan
Pertimbangan Agung dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, dari sisi tugas
dan fungsinya keduanya sama, yaitu sama-sama memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden. yang membedakannya adalah dewan
pertimbangan presiden kedudukannya di bawah Presiden dan bertanggung jawab
kepada Presiden, sedangkan DPA kedudukannya sejajar dengan Presiden dan
bertanggung jawab kepada MPR. Dari sisi kelembagaan, Wantimpres dinilai
lebih efektif dan efisien dari DPA terdahulu yang dihapus pada amandemen
keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945.
2. Komposisi anggota Wantimpres, dari 11 tahun Wantimpres didirikan sampai
sekarang anggotanya banyak didominasi oleh kalangan politisi, sebaiknya
anggota Wantimpres berasal dari kalangan profesional, negarawan dan
akademisi sehingga setiap masukan dan nasihat yang diberikan benar-benar
objektif dan semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara bukan
kepentingan golongan.
3. Urgensi nasihat dan pertimbangan Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia sangat penting dan dibutuhkan, Tetapi isi nasihat dan pertimbangan
tersebut sebaiknya tidak semua dirahasikan, sebagai bukti transparansi dan
akuntabilitas lembaga ini kepada publik. Sehingga ukuran efektif tidaknya
kinerja lembaga ini bisa dinilai oleh publik seperti DPA di masa lalu.
67
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penelitian ini, peneliti
mengajukan beberapa saran dan rekomendasi konstruktif sebagai berikut:
1. Setiap Anggota Wantimpres harus banyak belajar dan berkaca dari kegagalan
DPA di masa lalu, sehingga bisa menjadi pelajaran untuk bisa lebih
meningkatkan kinerjanya sebagai lembaga pensehat Presiden. karena anggaran
yang dihabiskan untuk lembaga ini tidak sedikit, jadi wantimpres diharapkan
bisa efektif dan efisien seperti yang diharapkan. .
2. Perlunya persyaratan tambahan untuk menjadi anggota Wantimpres yang
termuat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006, yaitu setiap
anggota Wantimpres dilarang dari kalangan politisi sebagai upaya untuk
mengantisipasi bahwa lembaga ini murni menjalankan tugas untuk kepentingan
negara, bukan kepentingan golongan.
3. Revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres Pasal 6 ayat
(1) yang menyatakan bahwa setiap anggota Wantimpres tidak dibenarkan
memberikan pernyataan kepada publik terkait dengan isi nasihat dan
pertimbangan yang diberikan kepada Presiden. Tidak perlu ada larangan untuk
mempublikasikan bentuk Nastim tersebut, ada saatnya publik mengetahui
Nastim yang diberikan Wantimpres tersebut kepada Presiden, sehingga
masyarakat bisa menilai bahwa Nastim yang diberikan benar-benar objektif dan
berpengaruh untuk kemajuan bangsa dan negara.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat menjadi solisi untuk menyelesaikan
sekelumit persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam
mengetahui urgensi lembaga dewan pertimbangan Presiden dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia. Aamiin.
68
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010)
Alder, John, Constitutional and Administrative, (London: The Macmillan Pres LTD,
1989)
Asshiddiqie, Jimly, Momorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005).
-----------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2006).
-----------, Komisi-Komisi Negara Independen; Eksistensi Independent Agencies
Sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan,
(Yogyakarta: Genta Press, 2012).
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008)
Dahlan, Problematika Keadilan: dalam Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan
Narkoba, (Yogyakarta: Deepublish, 2017)
Fachrudin, Ahmad, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019:
Sejarah, Tugas dan Fungsi, (Jakarta: Wantimpres, 2017)
Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009)
Harimurti, Yudi Widagdo, Analisis Kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Th. 27, Nomor 1, (Februari 2014)
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:
Alumni, 1991)
Hartono, M. Dimyati, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar
1945, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009)
69
Horowitz, Donald L., Constitutional Change and Democracy in Indonesia, (New York:
Combridge University Press, 2013)
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Pubblishing, 2008)
Lahamid, Agus Wanti, Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia: Analisis Yuridis Kewenangan dan Fungsi Dewan
Pertimbangan Presiden Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, Tesis:
Universitas Indonesia, 2007.
Maggalatung, Salman Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi, Gramata Publishing, 2016)
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cet, IV, (Jakarta: Kencana, 2008)
MD, Mahfud, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010)
Mubarrak, Mugammad Zaki, Tugas, Fungsi dan Kedudukan Dewan Pertimbangan
Presiden Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006, Skripsi:
Universitas Islam Indonesia, 2010
Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan
Penasihat Presiden
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999–2002 Edisi Revisi.
Buku ke IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid I (Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010)
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000)
Sastradipoera, Komaruddin, Kegunaan Konsep Koefisien Gini dan Konsep
Kesenjangan Pendidikan dalam Pemerataan Kesempatan Pendidikan,
(Bandung: IKIP Bandung, 1989)
Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
Sancoko, Henry Afrian Sancoko, Kedudukan Dan Fungsi Dewan Pertimbangan
Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia (Studi Komparasi
70
Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Pertimbangan Presiden), (Penulisan
Hukum: Universitas Muhammadiyah Malang, 2013).
Setiawan, Andi dkk, Pengantar State Auxuliary Agency, (Malang: UB Press, 2015)
Soediman, Kartohadiprojo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
pembangunan, 1965).
Soekanto, Soejono, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Bandung: Rajawali Pres, 1996)
Soekanto, Soejono dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO,
2001).
Sumaryadi, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Jakarta: Citra
Utama, 2005)
Susanto, Sri Nur Hari, Pergeseran Kekuasaan Lembaga Negara Pasca Amandemen
UUD 1945, MMH, Jilid 43 No. 2, April 2014
Sutekti, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat, (Malang: Surya Pena
Gemilang, 2010)
Steers, M. Richard, Efektifitas Organisasi Perusahaan, (Jakarta: Erlangga, 1985)
Tangkilisan, Hassel Nogi S., Manajemen Publik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2005).
Tamrin, Abu dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2010)
Tanya, Bernard L, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2011).
Wahyono, Padmo, Indonesia Negara Berdasatkan atas hukum, Cet. II, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986)
Warjiati, Sri, Al-daulah: jurnal hukum dan perundangan Islam volume 2, nomor 2,
Oktober 2012; ISSN 2089-0109.
Yeni Handayani, Ada Apa dengan Dewan Pertimbangan Presiden?, RechtsVinding
Online
71
WEBSITE
Alim, Hifdzil, Wantimpres, https://nasional.kompas.com/read/2015/01/27/ 14050061/
Wantimpres, diakses pada Tanggal 28 Mei 2018 Pukul 10.00 WIB.
Era Presiden SBY, Wantimpres beri 254 Pertimbangan, http://nasional.kompas.com,
diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 10.00 WIB.
Hai Mr. Jokowi, untuk Apa Wantimpres, https://www.kompasiana.com/abahpitung
/hai-mr-jokowi-untuk-apa-wantimpres, diakses pada Tanggal 28 Maret 2018
Pukul 10.00 WIB.
https://m.detik.com/news/berita/2807749/beda-sby-dan-jokowi-saat-angkat-anggota-
wantimpres , Senin, 19 Januari 2015, Pukul 10.04 WIB
https://id.answers.yahoo.com diakses pada tanggal 7 Juni 2018 Pukul 14.20 WIB
https://nasional.tempo.co/read/1102817/kata-refly-harun-soal-pkpu-larangan-eksnapi-
korupsi-jadi-caleg, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 20.00 WIB.
http://nasional.kompas.com/read/2018/07/03/13171711/jokowi-diminta-tegur-menku
mham-soal-pkpu-larangan-eks-koruptor-nyaleg, diakses pada Tanggal 10 Juli
2018 Pukul 18.20 WIB
http://m.republika.co.id/berita/nasional/news/analysis/18/05/21/p91irj440-daftar-200-
mubaligh-kemenag-yang-bikin-gaduh, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018
Pukul 18.40 WIB
http://nasional.kompas.com/read/2015/01/25/21444121/Jokowi.bentuk.Tim.Atasi.
diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 10.43 WIB.
http://Merdeka.com, ini alasan Jokowi bentuk tim independen, diakses pada tanggal 29
April 2018
Keadilan Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia, http://www.academia
.edu/10691642/Keadilan-Kepastian-dan-Kemanfaatan-Hukum-diIndonesia ,
di akses pada tanggal 30 April 00.37 WIB
Profil Singkat 9 Anggota Wantimpres, https://merahputih.com/post/read/profil-sing
kat-9-anggota-wantimpres, diakses pada Tanggal 5 Maret 2018 Pukul 12.10
WIB.
72
Sejarah Lahirnya Wantimpres, https://www.kompasiana.com/hendrabudiman/sejarah -
lahirnya-watimpres, diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 15.00 WIB
WAWANCARA
Dialog langsung Fitri Megantara via telephone dengan Sri Adiningsih pada acara
Berdayakan Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Channel, Pada
Pukul 18.25 WIB
Dialog langsung Fitri Megantara dengan Siradjuddin Abbas, peneliti senior SMRC
pada acara Berdayakan Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News
Channel, Pukul 18.38 WIB
Wawancara langsung dengan Masinton Pasaribu, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI,
Pada tanggal 28 Maret 2018, Pukul 12.30 WIB
Wawancara langsung dengan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,
Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H., Pada tanggal 06 Juli 2018
Pukul 14.30 WIB
Wawancara langsung dengan Kabid Polhukam Sekretariat Wantimpres, M. Faried,
S.IP, DEA, di Sekretariat Wantimpres, Pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 11.00
WIB
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan Pertimbangan Presiden,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 108
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 Tentang Dewan Pertimbangan Agung
DOKUMENTASI WAWANCARA
Wawancara Langsung dengan Bapak M.Faried, S.IP, DEA
Kepala Bagian Politik, Hukum dan Keamanan Biro Data dan Informasi di Sekretariat
Dewan Pertimbangan Presiden
Wawancara Langsung dengan Bapak Masinton Pasaribu, SH di Ruang Rapat Komisi III
DPR RI
Dialog Langsung dengan Bapak Sirajuddin Abbas, Peneliti Senior SMRC, dalam acara
BERITA SATU
Dialog Langsung dengan Ibu Sri Adiningsih, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden
2015-2019, dalam acara BERITA SATU
top related