analisis bentuk dan makna kata bahasa jawa …
TRANSCRIPT
ANALISIS BENTUK DAN MAKNA KATA
BAHASA JAWA SUBDIALEK BANYUMAS JAWA TENGAH
PAGUYUBAN PAKUMAS DI TANJUNGPINANG
ARTIKEL E-JOURNAL
diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
RAHAYU SEPTIANINGSIH NIM 110388201 088
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2016
ABSTRAK
SEPTIANINGSIH, RAHAYU. 2016. Analisis Bentuk dan Makna Kata
Bahasa Jawa Subdialek Banyumas Jawa Tengah Pada Paguyuban
Pakumas di Tanjungpinang. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Maritim
Raja Ali Haji. Pembimbing I Titik Dwi Ramthi Hakim, M.Pd.
Pembimbing II Wahyu Indrayatti, M.Pd.
Kata Kunci : Bentuk dan Makna Kata
Penelitian ini membahas tentang bentuk dan makna kata yaitu bentuk
dan makna kata bahasa Jawa subdialek Banyumas Jawa Tengah pada
Paguyuban Pakumas di Tanjungpinang. Hal tersebut dilatarbelakangi bahwa
bahasa daerah selain bahasa Melayu memiliki kesamaan dan berkontribusi
dalam terbentuknya bahasa Indonesia. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah teknik cakap semuka, teknik pencatatan, dan teknik rekam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk kata dalam bahasa Jawa
juga sama dengan bentuk kata bahasa Indonesia. Bahasa Jawa juga memiliki
afiksasi yang sama dengan bahasa Indonesia. Dalam hal makna kata, bahasa
Jawa memiliki makna kata sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa
subdialek Banyumas memiliki kekhasannya tersendiri dibandingkan dengan
bahasa Jawa standar (bahasa Yogyakarta dan Solo).
Berdasarkan penelitian ini dalam diambil simpulan bahwa bentuk kata
dalam bahasa Jawa juga dapat diklasifikasikan sama seperti halnya bahasa
Indonesia. Bentuk kata itu terdiri dari kata kerja (tembung kriya), kata benda
(tembung aran), kata sifat (tembung sipat), kata keterangan (tembung
katrangan), dan kata ganti (tembung ganti). Makna kata sendiri
diklasifikasikan seperti makna kata berimbuhan, makna kata pengulangan
(reduplikasi), dan makna kata majemuk (komposisi).
ABSTRAK
SEPTIANINGSIH, RAHAYU. 2016. Analysis of Form and Meaning of Words
Javanese Subdialek Banyumas in Central Java In Society Pakumas in
Tanjungpinang. Education Department of Language and Literature
Indonesia. Faculty of Teacher Training and Education. University
Maritim of Raja Ali Haji. Supervisor I: Titik Dwi Ramthi Hakim, M.Pd.
Supervisor II: Wahyu Indrayatti, M.Pd.
Keywords: Form and Meaning of Words
This study discusses the shape and meaning of words and the meanings
of words that form the Java language subdialek Banyumas in Central Java at the
Society Pakumas in Tanjungpinang. It is motivated that the regional languages
besides Malay have similarities and contribute to the formation of Indonesian. The
method used in this research is descriptive qualitative. The data collection
technique used is the technique capable face to face, writing techniques, and
recording technique.
The results showed that the shape of the Javanese is also similar to the
shape of Indonesian words. Java language also has the same affixation to
Indonesian. In terms of the meaning of words, the Java language has a word
meaning the same as Indonesian. Banyumas subdialek Java language has its own
uniqueness compared to standard Java language (the language of Yogyakarta and
Solo).
Based on this research in the drawn conclusion that the form of words in
the Java language can also be classified as well as Indonesian. The word form
consists of a verb (tembung kriya), noun (tembung aran), adjectives (tembung
sipat), adverbs (tembung katrangan), and pronouns (tembung ganti). The meaning
of the word itself is classified as affixation word's meaning, the meaning of the
word repetition (reduplication), and the meaning of compound words
(composition).
1. Pendahuluan
Pada dasarnya bahasa tersebut mempunyai dua aspek mendasar, yaitu aspek
bentuk dan makna. Aspek bentuk berkaitan dengan bunyi, tulisan maupun struktur
bahasa, sedangkan aspek makna berkaitan dengan leksikal, fungsional maupun
gramatikalnya. Apabila kita perhatikan dengan terperinci dan teliti bahasa itu
dalam bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan antarpengungkapannya,
antara penutur yang satu dengan penutur yang lain. Perbedaan-perbedaan bahasa
itu menghasilkan ragam-ragam bahasa atau variasi bahasa. Variasi itu muncul
karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi dan kondisi sosial, serta
faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya, seperti letak geografis, kelompok
sosial, situasi berbahasa atau tingkat formalitas, dan karena perubahan waktu.
Indonesia memiliki beranekaragam suku bangsa. Ada suku Jawa, suku
Minang, suku Bugis, suku Melayu, suku Batak, dan masih banyak lagi.
Dikarenakan beranekaragaman suku, bahasa pun akan beranekaragam pula.
Ini disebabkan adanya faktor ekonomi, sosial, maupun letak geografisnya.
Penyebab ini pula menyebabkan adanya variasi bahasa dari sekelompok
penutur yang berbeda dengan kelompok penutur lainnya.
Semua daerah di Indonesia ini memiliki bahasanya masing-masing.
Begitu pula daerah Kepulauan Riau. Propinsi yang 90% merupakan lautan ini
memiliki bahasa aslinya yaitu bahasa Melayu. Namun, dengan adanya faktor
ekonomi, sosial, dan sebagainya, daerah ini akhirnya memiliki bahasa yang
bukan bahasa asli Kepulauan Riau akibat dari datangnya para pendatang dari
beberapa daerah di luar Kepulauan Riau. Ada bahasa Jawa, bahasa Minang,
bahasa Batak, bahasa Bugis, dan lain-lain. Tidak ada yang tahu pasti kapan
tepatnya para pendatang ini datang ke daerah Kepulauan Riau ini.
Salah satu bahasa yang dibawa oleh para pendatang ke Kepulauan Riau
yaitu bahasa Jawa. Bahasa Jawa sendiri terbagi menjadi beberapa bahasa,
diantaranya bahasa Jawa Sunda, bahasa Jawa Solo, bahasa Jawa Banyumas,
bahasa Jawa Pacitan, dan sebagainya.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif guna menganalisis bentuk dan makna kata bahasa Jawa subdialek
Banyumas Jawa Tengah pada Paguyuban Pakumas di Tanjungpinang.
Djayasudarma mendefinisikan metode deskriftif dan kualitatif secara terpisah.
Metode deskriptif adalah data yang dikumpulkan bukanlah angkaangka, dapat
berupa kata-kata atau gambaran sesuatu (Djayasudarma, 2010:16) sedangkan
metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif
berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa (Djayasudarma 2010:11).
Pendekatan kualitatif yang melibatkandata lisan di dalam bahasa melibatkan
yang disebut informasi (penutur asli bahasa yang diteliti).
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di lapangan
yang melibatkan 19 orang informan yang menggunakan teknik cakap semuka,
teknik pencatatan, dan teknik rekam, diketahui bentuk dan makna kata bahasa
Jawa subdialek Banyumas Jawa Tengah pada Paguyuban Pakumas di
Tanjungpinang adalah sebagao berikut:
1. Bentuk Makna
1. Inyong njaluk wedang putih anget bae la, awake adhem panas, ora
patek penak.
Kata adhem panas merupakan bentuk kata keterangan (tembung
katrangan) yaitu kata yang memberi keterangan pada kata sifat, kata
kerja, kata benda atau pada kalimat (Budi Anwari. 2016:66). Namun
jika dipisahkan menjadi kata adhem dan panas akan menjadi bentuk
kata sifat (tembung sipat) yaitu kelas kata yang mengubah kata
benda atau kata ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau
membuatnya menjadi lebih spesifik. Kata sifat dapat menerangkan
kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas, maupun penekanan suatu kata
(Budi Anwari. 2016:66).
Kata adhem dan panas merupakan kata dasar yang tidak diberi
imbuhan, namun jika digabung menjadi satu kesatuan akan mengalami
proses komposisi yaitu proses penggabungan dasar dengan dasar
(biasanya berupa akar maupun bentuk berimbuhan) untuk mewadahi
suatu “konsep” yang belum tertampung dalam sebuah kata (Abdul
Chaer. 2008:209).
2. Yo ngalah. Rika kaya pengantin anyar bae, adhep-adhepan sekang
melebu maring ngeneh.
Kata adhep-adhepan merupakan bentuk kata kerja (tembung kriya)
yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang
bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi
sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Pada kata adhep-adhepan
terjadi proses reduplikasi (tembung dwilingga) yaitu pengulangan
seluruh leksem atau secara sederhana (Budi Anwari. 2016:63).
Kata adhep-adhepan berasal dari kata dasar adhep, jika berdiri sendiri
tanpa mengalami proses reduplikasi maka akan memiliki bentuk kata
benda (tembung aran) yaitu kelas kata yang menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan
(Budi Anwari. 2016:66).
3. Age-age lah mangan disit.
Kata age-age merupakan bentuk kata keterangan (tembung katrangan)
yaitu kata yang memberikan keterangan kepada kata lain, seperti verba
(kata kerja) dan adjektiva (kata sifat), yang bukan nomina (kata benda)
(Budi Anwari. 2016:66). Pada kata age-age terjadi proses reduplikasi
(tembung dwilingga) yaitu pengulangan seluruh leksem atau secara
sederhana (Budi Anwari. 2016:63).
Kata age-age berasal dari kata dasar age, jika berdiri sendiri tanpa
mengalami proses reduplikasi maka akan memiliki bentuk kata sifat
(tembung sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina,
biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih
spesifik (Budi Anwari. 2016:66).
4. Lah tebel tenan dompete, kabotan duit nggo badha ya.
Kata kabotan merupakan bentuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata
yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang bukan
merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi sebagai
predikat (Budi Anwari. 2016:66). Pada kata kabotan terjadi proses
afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung) ke- abot –an yang berasal
dari kata dasar abot (berat), yaitu kata yang diberi imbuhan pada awal
dan akhir kata (Budi Anwari. 2016:62).
Kata kabotan berasal dari kata dasar abot, jika berdiri sendiri tanpa
mengalami proses afiksasi maka akan memiliki bentuk kata sifat
(tembung sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina,
biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih
spesifik (Budi Anwari. 2016:66).
5. Inyong njaluk wedang putih anget bae la, awake adhem panas, ora
patek penak. Rasane kadheman terus.
Kata kadheman merupakan bentuk kata keterangan (tembung
katrangan) yaitu kata yang memberi keterangan pada kata sifat, kata
kerja, kata benda atau pada kalimat (Budi Anwari. 2016:66). Dalam
kata kadheman terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan
gabung) ke- adhem –an yang berasal dari kata dasar adhem (dingin),
yaitu kata yang diberi imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi
Anwari. 2016:62).
Kata kadheman berasal dari kata dasar adhem, jika berdiri sendiri
tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki bentuk kata sifat
(tembung sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina,
biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih
spesifik (Budi Anwari. 2016:66).
6. Aja kadohan lingguhe. Mengko ora krungu Pak Riyandi ngomong
apa.
Kata kadohan merupakan bentuk kata benda (tembung aran) yaitu
kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan (Budi Anwari. 2016:66). Dalam
kata kadohan terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung)
ka- adoh –an yang berasal dari kata dasar adhem (dingin), yaitu kata
yang diberi imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi Anwari.
2016:62).
Kata kadohan berasal dari dasar adoh, jika berdiri sendiri tanpa
mengalami proses afiksasi akan memiliki bentuk kata sifat (tembung
sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina, biasanya
dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik (Budi
Anwari. 2016:66).
7. Mungkin ana seka bapane ibune ngajokaken nggo halal bihalal bulan
ngarep.
Kata ngajokaken merupakan bentuk kata kerja (tembung kriya) yaitu
kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang
bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi
sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata ngajokaken
terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung) N- aju –en
yang berasal dari kata dasar aju (maju), yaitu kata yang diberi
imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi Anwari. 2016:62).
Kata ngajokaken berasal dari kata dasar aju, jika berdiri sendriri tanpa
mengalami proses afiksasi akan memiliki bentuk kata kerja (tembung
kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau
keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja
biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66).
8. Uwis lah, kakehan jangane.
Kata kakehan merupakan bentuk kata benda (tembung aran) yaitu
kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan (Budi Anwari. 2016:66). Dalam
kata kakehan terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung)
ka- akeh –an yang berasal dari kata dasar akeh (banyak), yaitu kata
yang diberi imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi Anwari.
2016:62).
Kata kakehan berasal dari kata dasar akeh, jika berdiri sendiri tanpa
mengalami proses afiksasi akan memiliki bentuk kata sifat (tembung
sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina, biasanya
dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik (Budi
Anwari. 2016:66).
9. Aja sampe kowe ngaku-ngaku uwis bayar duit arisane.
Kata ngaku-ngaku merupakan betuk kata kerja (tembung kriya) yaitu
kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang
bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi
sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata ngaku-ngaku
terjadi proses reduplikasi (tembung dwilingga) yaitu pengulangan
seluruh leksem atau secara sederhana (Budi Anwari. 2016:63).
Kata ngaku-ngaku berasal dari kata dasar ngaku, jika berdiri sendiri
tanpa mengalami proses reduplikasi akan memiliki bentuk kata kerja
(tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan,
atau keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja
biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66).
10. Maring nganah la, aja ngalang-alangi inyong.
Kata ngalang-alangi merupakan betuk kata kerja (tembung kriya)
yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang
bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi
sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata ngalang-alangi
terjadi proses reduplikasi (tembung dwilingga) yaitu pengulangan
seluruh leksem atau secara sederhana (Budi Anwari. 2016:63).
Kata ngalang-alangi berasal dari kata dasar alang, jika berdiri sendiri
tanpa mengalami proses reduplikasi akan memiliki bentuk kata kerja
(tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan,
atau keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja
biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66).
2. Makna Kata
1. Inyong njaluk wedang putih anget bae la, awake adhem panas, ora
patek penak.
Kata adhem panas mengalami proses komposisi yang kata dasarnya
(leksem) adalah adhem dan panas. Jika kata tersebut disatukan
menjadi kata majemuk akan memiliki makna kata majemuk yang
terdapat dalam kata yang berkategori verbal, nomina, dan adjektiva
(Mansoer Pateda. 2001:146) yaitu panas dingin atau demam.
Kata adhem jika berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan kata yang
lain dapat memiliki makna kata dasar (leksem) dingin yaitu bersuhu
rendah jika dibandingkan dengan suhu tubuh manusia, sedangkan kata
panas jika berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan kata yang lain
dapat memiliki makna kata dasar (leksem) panas yaitu suhu yang lebih
tinggi dari suhu tubuh manusia atau dapat dikatakan lawan kata dari
dingin.
2. Yo ngalah. Rika kaya pengantin anyar bae, adhep-adhepan sekang
melebu maring ngeneh.
Kata adhep-adhepan nengalami proses reduplikasi yang kata dasarnya
(leksem) adalah adhep. Jika kata adhep mengalami proses reduplikasi
seperti adhep-adhepan akan memiliki makna kata reduplikasi yang
menyatakan banyak, meskipun, menyerupai, perbuatan, pekerjaan,
saling, agak, paling, menyatakan intensitas, bermacam-macam, dan
menyatakan sifat (Mansoer Pateda. 2001:143) yaitu berhadapan.
Kata adhep jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi
akan memiliki makna hadap (sisi atau bidang sebelah muka; arah ke).
3. Age-age lah mangan disit.
Kata age-age mengalami proses reduplikasi yang kata dasarnya
(leksem) adalah age. Jika kata age mengalami proses reduplikasi
seperti age-age akan memiliki makna kata reduplikasi yang
menyatakan banyak, meskipun, menyerupai, perbuatan, pekerjaan,
saling, agak, paling, menyatakan intensitas, bermacam-macam, dan
menyatakan sifat (Mansoer Pateda. 2001:143) yaitu cepat-cepat
(dengan segera sekali).
Kata age jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi akan
memiliki makna dalam waktu singkat dapat menempuh jarak cukup
jauh (perjalanan, gerakan, kejadian, dan sebagainya); laju; deras.
4. Lah tebel tenan dompete, kabotan duit nggo badha ya.
Kata kabotan mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata dasarnya
(leksem) adalah abot. Jika kata abot mengalami proses afiksasi akan
memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan munculnya
makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks
(Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu keberatan (perihal beratnya suatu
benda, tugas, perasaan, penyakit, dan sebagainya).
Kata abot jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan
memiliki makna berat (perihal beratnya suatu benda, tugas, perasaan,
penyakit, dan sebagainya).
5. Inyong njaluk wedang putih anget bae la, awake adhem panas, ora
patek penak. Rasane kadheman terus.
Kata kadheman mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata
dasarnya (leksem) adalah adhem. Jika kata adhem mengalami proses
afiksasi akan memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan
munculnya makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks,
dan konfiks (Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu dingin (bersuhu rendah
jika dibandingkan dengan suhu tubuh manusia).
Kata adhem jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan
memiliki makna kedinginan (terkena dingin; menderita dingin;
kesejukan).
6. Aja kadohan lingguhe. Mengko ora krungu Pak Riyandi ngomong
apa.
Kata kadohan mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata dasarnya
(leksem) adalah adoh. Jika kata adoh mengalami proses afiksasi akan
memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan munculnya
makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks
(Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu kejauhan (tempat yang jauh; jarak
jauh).
Kata adoh jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan
memiliki makna kejauhan (panjang antaranya (jaraknya); tidak
dekat).
7. Mungkin ana seka bapane ibune ngajokaken nggo halal bihalal bulan
ngarep.
Kata ngajokaken mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata
dasarnya (leksem) adalah aju. Jika kata aju mengalami proses afiksasi
akan memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan
munculnya makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks,
dan konfiks (Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu mengajukan (usul,
permohonan, pendapat, dan sebagainya).
Kata aju jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan
memiliki makna maju berjalan (bergerak) ke muka; tampil ke muka).
8. Uwis lah, kakehan jangane.
Kata kakehan mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata dasarnya
(leksem) adalah akeh. Jika kata akeh mengalami proses afiksasi akan
memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan munculnya
makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks
(Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu kebanyakan (perihal banyak;
banyaknya; jumlahnya).
Kata akeh jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan
memiliki makna banyak (besar jumlahnya; tidak sedikit).
9. Aja sampe kowe ngaku-ngaku uwis bayar duit arisane.
Kata ngaku-ngaku mengalami proses reduplikasi yang kata dasarnya
(leksem) adalah ngaku. Jika kata ngaku mengalami proses reduplikasi
seperti ngaku-ngaku akan memiliki makna kata reduplikasi yang
menyatakan banyak, meskipun, menyerupai, perbuatan, pekerjaan,
saling, agak, paling, menyatakan intensitas, bermacam-macam, dan
menyatakan sifat (Mansoer Pateda. 2001:143) yaitu mengaku sebagai
(menyatakan (menganggap) dirinya (pandai, kaya, dan sebagainya).
Kata ngaku jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi
akan memiliki makna mengaku (menerima dan menyatakan bahwa
dirinya salah, keliru, dan sebagainya).
10. Maring nganah la, aja ngalang-alangi inyong.
Kata ngalang-alangi mengalami proses reduplikasi yang kata
dasarnya (leksem) adalah alang. Jika kata alang mengalami proses
reduplikasi seperti ngalang-alangi akan memiliki makna kata
reduplikasi yang menyatakan banyak, meskipun, menyerupai,
perbuatan, pekerjaan, saling, agak, paling, menyatakan intensitas,
bermacam-macam, dan menyatakan sifat (Mansoer Pateda. 2001:143)
yaitu menghalangi.
Kata alang jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi
akan memiliki makna menghalang (melintang; merintang).
4. Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan analisis data dan pembahasan, diketahui bentuk dan makna
kata bahasa Jawa subdialek Banyumas Jawa Tengah Paguyuban Pakumas di
Tanjungpinang, dapat disimpulkan bahwa bahasa Banyumas ini merupakan
bahasa yang dibawa para pendatang yang sudah lama ada di kota
Tanjungpinang. Bahasa Banyumas di kota Tanjungpinang ini tetap
dipertahankan oleh para pendatang asli Banyumas dengan mendirikan
perkumpulan/paguyuban yang bernama Paguyuban Pakumas.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan adanya pembentukan kata
pada bahasa Jawa subdialek Banyumas, Jawa Tengah. Pembentukan kata
tersebut terdiri dari afiksasi, komposisi, dan reduplikasi. Ini juga membuktikan
bahwa bahasa Banyumas memiliki kekhasannya sendiri jika dibandingkan
dengan bahasa Jawa standar lainnya (bahasa Yogyakarta dan Solo).
Peneliti juga mengharapkan penelitian-penelitian yang berhubungan
dengan dialek-dialek daerah dapat ditingkatkan lagi. Bahasa daerah bukan
hanya bahasa Banyumas saja yang merupan aset penting bangsa Indonesia.
Masih banyak bahasa-bahasa daerah yang lain yang dapat diteliti karena itulah
harta bangsa Indonesia yang patut dijaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E. Zaenaldan Junaiyah H.M., Morfologi: Bentuk, Makna, dan
Fungsi. Jakarta: Grasindo. 2009.
Anwari, Budi., Baboning Pepak Basa Jawa. Surabaya: Genta Group
Production. 2016.
Chaer, Abdul., Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Chaer, Abdul., Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2002.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina., Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Chaer, Abdul., Morfologi Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta:
Rineka Cipta. 2008.
Chaer, Abdul., Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta. 2011.
Departemen Pendidikan Nasional., Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi
ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2001.
Djajasudarma, T. Fatimah., Metode Linguistik: Ancangan Metode
Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama. 2010.
Djajasudarma, T. Fatimah., Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal.
Bandung: Refika Aditama. 2012.
Kridalaksana, Harimurti., Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007.
Lubis, Hamid Hasan., Glosarium Bahasa dan Sastra. Bandung: Angkasa.
1994.
Mahsun., Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.
Masnon., Analisis Bentuk dan Makna Morfem Subdialek Bahasa Melayu
Masyarakat Sekanah Kecamatan Lingga Utara Kabupaten
Lingga. Skripsi Universitas Maritim Raja Ali Haji. 2014.
Muslich, Masnur., Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tata
bahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Norliana, Isnaeni Praptanti, dan Siti Fathonah., Kajian Morfologi Bahasa
Jawa Dialek Banyumas. Skripsi Universitas Muhammadyah
Purwokerto. 2014.
Pateda, Mansoer., Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Rohmadi, Muhammad dan Lili Hartono., Kajian Bahasa, Sastra, dan
Budaya Jawa: Teori dan Pembelajarannya. Surakarta: Pelangi
Press. 2011.
Tarigan, Henry Guntur., Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa. 2009.
Wati, Riau., Bahasa Indonesia: Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tanjungpinang: CV. Malay Village Library. 2013.