analisis deskriptif kecerdasan emosional pada kisah kisah...
TRANSCRIPT
ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASAN
EMOSIONAL PADA KISAH-KISAH AL-QURAN
DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAK
USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh:
Lia Widyawati
NIM: 107011000241
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASANEMOSIONAL PADA KISAH.KISAH AL.QURAN
DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAKUSIA6SAMPAI 9TAHUN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Oleh:
Lia WidvawatiNIM: 107011000241
Dibawah Bimbingan :
NIP: 1971 103 191998032001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMFAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
Skipsi berjudul "ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASANEMOSIONAL PADA KISAH.KISAH AL.QURAN DAN UPAYAPENGEMBANGANNYA PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN"disusun oleh Lia Widyawati Nomor Induk Mahasiswa 107011000241, diajukankepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif HidayatullahJakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 03 Juli2014 dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelarSarjana S1 (S.Pd.D dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, Juli20l4
Panitia Uj ian Munaqasah
Tanggal
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
Dr. H. Abdul Maiid Khon. M.Ae
NIP. 19580707 198703 1 005
Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Marhamah Saleh
NIP. 19720313 200801 2010
Penguji I
Siti 4hadiiah. MA
NrP. 19700727 199703 2 004
Penguji II
Dra. Elo AL Busis. M.As
NrP. 19560119 t99403 2 001
MA. :1) f:r?!1Lc
2p4
Mengetahui:
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
rl, t,o11"'r'T"""""""'
Tanda Tangan
NIP. 19591020 r98603 2 001
SIIRAT PERNYATAAN KARYA ILMIAII
Yang bertandatangan di bawah ini:: Lia Widyawati:1070I1000241: Pendidikan Agama Islam
: Jl. H" Sulaiman No. 12 Bedahan Kec. Sawangan Kota Depok
Nama
NIMJurusan
Alamat
Nama PembimbingNIPJurusanlProgram Studi
:Dr.Sururin, MA.:1971103191998032001
: Pendidikan Agama Islam
Dengan ini menyatakan :
Bahwa skripsi yang berjudul Analisis Deskriptif Kecerdasan Emosional Pada
Kisah-Kisah Al-Qru'an Dan Pengembangannya Pada Anak Usia 6 Sampai 9
Tahun adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:
Demikian surat prnyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siaprrenerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karyasendiri.
Iakarta,03 Juli 2014
Yang Menyatakan
Lia WidyawatiMM. 107011000241
i
ABSTRAK
Lia Widyawati, NIM. 107011000241, Skripsi Analisis Deskriptif Kecerdasan
Emosional Pada Kisah-kisah Al-Qur’an Dan Upaya Pengembangannya Pada
Anak Usia 6 sampai 9 Tahun, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Juli 2014.
Skripsi ini membahas tentang konsep kecerdasan emosional bertujuan untuk
mengenalkan kepada manusia atau masyarakat betapa pentingnya
mengembangkan kecerdasan emosional sejak dini. Karena kecerdasan emosional
merupakan aspek pendukung dalam mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ).
Selain itu, ia juga menjelaskan tentang perkembangan emosi anak usia 6 sampai 9
tahun dalam merealisasikan kecerdasan emosionalnya tersebut. Adapun metode
yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif, melalui
pendekatan deskriptif dalam menemukan jawaban yang terkait dengan
permasalahan yang ada pada skripsi ini.
Dalam mencapai hasil perkembangan yang baik, terdapat lima kecakapan atau
kemahiran yang perlu dikembangkan dalam kecerdasan emosional ini, yaitu
kemahiran mengenali emosi diri, kemahiran pengaturan diri, kemahiran empati,
dan kemahiran memotivasi emosi diri, serta kemahiran dalam membina hubungan
dengan orang lain. Kelima kecakapan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Jika ada salah satu dari kelima kecakapan tersebut yang tidak berkembang
dengan baik, maka kecerdasan emosional seorang itu dapat dikatakan belum
sempurna dan sulit untuk mengembangkannya ketika ia telah tumbuh dewasa.
Dalam mengembangkan kecerdasan emosional dibutuhkan sarana yang
tepat yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam. Oleh karenanya, dalam
pembahasan ini dikaitkan dengan kisah-kisah Nabi yang terkandung dalam
Al-Quran. Ada tiga kisah tentang Nabi yang berhubungan dengan perkembangan
emosi anak, yaitu kisah kedua putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., dan Kisah
kelahiran Nabi Musa as. Di dalam ketiga kisah tersebut terdapat berbagai macam
hikmah yang dapat diambil untuk diteladani dalam perkembangan pribadi seorang
anak.
ABSTRACT
Lia Widyawati, NIM. 107011000241, “Skripsi”, Analysis Of Descriptive
Of Emotional Intelligence In Quran Histories And The Effort Of
Achievement In Child Of 6 To 9 Years Old. Islamic Department, July 2014.
This “Skripsi” explains about the concept of emotional intelligence that
aims to introduce human being or people how it is important to develop the
emotional intelligence in early age because it is one of many aspects needed in
developing the intelligence intellectual (IQ). Besides, it also explains about the
developing the child emotion in 6 and 9 years old in realizing that. The method
used in this “skripsi” is the descriptive method, through the descriptive approach
finding the solution and answer related to the problem which is discussed.
In achieving the result of good development, there are five accomplishments
or skills which have to be developed in this emotional intelligence, those are the
skill of recognizing the emotion, the competence of self-regulation, empathy
skills, the skills of motivating ourselves, and the skills of leading the other
relationships. The five skills mentioned cannot be separated from each other. If
one of these skills is not good, the emotional intelligence will not complete and
difficult to develop when he grows up.
In developing the emotional intelligence, it needs the proper things which
are related to the Islamic education. Therefore, this discussion is associated with
the prophet storiesin the Quran. There are three prophet stories related to the
development of the child emotion, namely the story of two Adam’s sons, Noah,
and the birth of Musa. There are many lessons which can be learned from those
stories to be applied in developing the child character.
ii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulilah, kata yang dapat saya ucapkan kepada Tuhan yang
Maha Agung dan Bijaksana, yakni Allah SWT. karena berkat limpahan rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul
“ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASAN EMOSIONAL PADA KISAH-
KISAH AL-QUR’AN DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAK
USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN”.
Shalawat teriring salam tidak lupa penulis sampaikan kepada sang rahmatan
lil ‘alamin Nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya, para sahabat, dan para
pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Beliau yang menjadi tauladan bagi
penulis untuk terus berusaha menyelesaikan skripsi ini yang menjadi sebuah
kewajiban bahwa menuntut ilmu pengetahuan wajib hukumnya bagi setiap
muslim.
Penulis sampaikan rasa terima kasih yang begitu besar kepada kedua orang
tua yang telah menyayangi, membiayai, serta senantiasa mendoakan penulis agar
menjadi sukses dan bermanfaat setelah menempuh perjuangan masa kuliah di
universitas ini.
Salam ta’zim penuh khidmat penulis kepada Ibu Dr. Sururin, MA. yang telah
memberikan waktu luang kepada penulis dalam membimbing sehingga
terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih atas semua kebaikan Ibunda semoga
Allah membalas dengan berlipat ganda. Amin.
Karya skripsi ini merupakan hasil perjuangan panjang yang penulis tempuh
selama mengenyam pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyelesaian
ini tidak lepas dari motivasi dan dukungan orang-orang yang berhati luhur,
dengan segala gormat penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Dra. Nurlena Rifa’i, MA. Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, MA., ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Marhamah Saleh, Lc. MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Sururin, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan pengarahan secara berkala kepada penulis hingga
terselesaikannya skripsi ini.
5. Segenap Dosen yang ada di Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dari semester
pertama hingga semester terakhir penulis.
6. Kedua orang tua penulis, Bapak H. Bacheroni dan Ibu Hj. Rohimah serta
yang senantiasa membimbing dan memotivasi baik secara moril maupun
materil.
7. Suami penulis tercinta, Ahmad Syarif, S,Pd.I beserta buah hati tersayang,
Faazat Faradina Syarief yang selalu memberikan inspirasi dan
penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Untuk rekan-rekan seperjuangan, Jurusan PAI angkatan 2007 khususnya
kelas A yang telah memberikan warna selama menempuh studi kuliah di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Karya skripsi ini bukanlah akhir dari kesempurnaan pemikiran penulis, masih
banyak kekurangan dan kesalahan yang penulis lakukan dalam penyusunan karya
ini. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa diharapkan guna
penyempuraan di masa mendatang.
Jakarta, 02 Juni 2014
Penyusun
iv
DAFTAR ISI
JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................. 6
C. Pembatasan Masalah ............................................................. 7
D. Perumusan Masalah .............................................................. 8
E. Tujuan Penelitian .................................................................. 9
F. Kegunaan Penelitian.............................................................. 9
G. Metode Penelitian.................................................................. 9
1. Sumber Data .................................................................. 10
a. Sumber Data Primer ............................................... 10
b. Sumber Data Sekunder ........................................... 11
2. Pendekatan Penelitian ................................................... 11
3. Teknik Penulisan ........................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL
A. Pengertian Kecerdasan Emosional ....................................... 13
1. Pengertian Emosi............................................................. 13
2. Pengertian Kecerdasan Emosional................................... 16
B. Kecakapan-kecakapan Utama Kecerdasan Emosional ......... 19
1. Mengenali Emosi Diri...................................................... 19
2. Mengelola Emosi Diri...................................................... 20
3. Memotivasi Diri Sendiri .................................................. 22
4. Mengenali Emosi Orang Lain .......................................... 23
v
5. Membina Hubungan Dengan Orang Lain ....................... 24
C. Karakteristik Perkembangan Kecerdasan Emosional Untuk
Anak 6 sampai 9 Tahun......................................................... 26
D. Sasaran Kecerdasan Emosional............................................. 29
BAB III KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN ...................................... 32
A. Pengertian Kisah Al-Quran ................................................... 32
1. Pengertian Kisah ........................................................... 32
2. Pengertian Kisah Al-Quran ........................................... 35
B. Macam-macam Kisah dalam Al-Quran ................................. 36
C. Kisah-kisah Nabi dalam Al-Quran ........................................ 38
1. Kisah Dua Putra Nabi Adam as.: Qabil dan Habil ........ 39
2. Kisah Nabi Nuh as. ........................................................ 42
3. Kisah Kelahiran Nabi Musa as. ..................................... 47
BAB IV ANALISIS KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN MENGENAI
KECERDASAN EMOSIONAL PADA PERKEMBANGAN
ANAK USIA 6 – 9 TAHUN ....................................................... 53
A. Aspek-aspek Kemahiran Kecerdasan Emosional pada
Perkembangan Anak Usia 6 – 9 Tahun melalui Kisah-kisah
Al-Quran ............................................................................... 53
1. Kemahiran Mengenali Emosi Diri ................................ 53
2. Kemahiran Mengelola Emosi Diri ................................ 57
3. Kemahiran Memotivasi Emosi Diri .............................. 61
4. Kemahiran Mengenali Emosi Orang Lain .................... 67
5. Kemahiran Membina Hubungan Dengan Orang Lain .. 71
B. Upaya Penerapan Kecerdasan Emosional pada Anak Usia 6 – 9
Tahun ..................................................................................... 75
BAB V PENUTUP ................................................................................... 78
A. Kesimpulan ........................................................................... 78
B. Saran-saran ............................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan saat ini, banyak dari masyarakat yang
menganggap bahwa anak yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual
(Intelligence Qoutient) yang tinggi, maka anak tersebut memiliki peluang
untuk meraih kesuksesan yang lebih besar dibanding dengan anak-anak yang
lain. Apabila melihat kenyataan yang terjadi pada saat ini, banyak sarjana
yang belum sukses dalam pekerjaannya, mirisnya lagi bahkan masih ada yang
menjadi pengangguran. Namun seringkali orang yang memiliki pendidikan
formal lebih rendah, justru sebaliknya mereka banyak yang berhasil.1
Orangtua adalah guru pertama bagi anak-anaknya, untuk itu orangtua
harus mengetahui kecerdasan apa yang pertama-tama patut dimiliki seorang
anak. Muhammmad Muhyidin mengatakan bahwa kecerdasan yang pertama-
1 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ,
(Jakarta: Arga, 2001), h. 41.
2
tama patut dimiliki seorang anak adalah kecerdasan emosional, sebelum anak
memiliki kecerdasan-kecerdasan yang lain.2
Daniel Goleman, yang telah berjasa mempopulerkan kecerdasan
emosional (Emotional Qoutient) pada akhir tahun 1995, menjelaskan bahwa
ada patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang selain IQ
(Intelligence Quotient). Ia berpendapat bahwa keberhasilan kita tidak hanya
ditentukan oleh IQ semata tetapi juga kecerdasan emosional.3 Selanjutnya ia
juga telah membuktikan bahwa tingkat emosional manusia ternyata lebih
mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Mengadaptasi dari definisi Peter Salovey, Daniel Goleman membagi
kecakapan Kecerdasan emosional dalam lima ranah utama yaitu ; mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain dan membina hubungan.4
Kecerdasan emosional dengan beberapa kecakapan utamanya ini, tidaklah
mudah diperoleh karena ia tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba atau
langsung jadi. Sebaliknya, kemampuan tersebut harus dipelajari sejak dini.
Kecerdasan emosional tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan
seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Anggapan masyarakat untuk
menekankan kecerdasan intelektual (Intelligence Qoutient) pada anak saja
tidak cukup untuk menjamin kesuksesannya, hal ini harus diimbangi dengan
menanamkan kecerdasan emosional (Emotional Qoutient). Pentingnya
penanaman kecerdasan emosional ini salah satunya dapat dilihat dalam sebuah
riset keterbatasan peranan IQ.
2 Muhammmad Muhyidin, Manajemen ESQ Power, (Jogjakarta: DIVA Press, 2007), h. 180.
3 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari buku,
Working with Emotional Inteligence,oleh Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1999), Cet. 6, h. 512. 4 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence, oleh
T. Hermaya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 59.
3
Riset di Macaussets, Amerika. Riset ini meneliti kondisi 450 bayi hingga
40 tahun kemudian. 2/3 anak berasal dari keluarga berpenghasilan terbatas
dan hidup dengan bantuan-bantuan lembaga-lembaga sosial. IQ 1/3 anak
berada dibawah 90. Meskipun demikian, penelitian itu membuktikan bahwa
IQ memberikan pengaruh yang tidak begitu penting bagi mereka dalam
menjalankan pekerjaannya dan hidupnya. Sementara pengaruh terbesar
diberikan oleh kemampuan sederhana yang mereka dapatkan diwaktu kecil,
seperti kemampuan mernyikapi kegagalan, tidak tercapainya harapan,
mengendalikan perasaan-emosi, dan kemampuan hidup berdampingan dengan
orang lain.5
Dengan melihat hasil riset tersebut menunjukkkan EQ mempunyai peran
yang penting dalam menciptakan kemampuan dan keterampilan untuk
keberhasilan anak dimasa yang akan datang. Untuk itu diperlukan barbagai
cara untuk menerapkan kecerdasan emosional pada anak sejak dini, karena
kecerdasan emosional tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba atau langsung
jadi.
Terdapat berbagai cara untuk menanamkan dan membentuk kecakapan-
kecakapan emosional pada anak. Salah satunya adalah dengan menggunakan
cerita-cerita atau kisah keteladanan. Shapiro berpendapat bahwa kisah-kisah
keteladanan bisa menjadi cara yang paling baik untuk mengajarkan
keterampilan emosional, entah dibacakan dari buku yang sudah ada atau di
karang sendiri.6
Dunia anak merupakan dunia yang pasif ide, maka untuk menunjang
menyesuaikan diri membutuhkan rangsangan yang cocok dengan jiwa
mereka. Dengan mendengarkan kisah-kisah keteladanan dapat dijadikan bekal
5 Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj dari Adz-Dzaka’ Al-
Athifi wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah, oleh. Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2010), h. 16. 6 Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, oleh. Alex Tri
Kantjono, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 98.
4
untuk menghadapi dunia yang akan ditempuhnya tanpa merasa dijejali. Apa
yang dibaca seseorang di masa kecil sangat membekas dan berpengaruh pada
emosi, perilaku, dan pemikirannya saat ia dewasa kelak.7 Ketika seorang anak
berhadapan dengan hal yang baru, maka mereka akan menyikapinya secara
langsung dengan meniru apa yang telah didengar. Hal ini yang menjadikan
pentingnya pengaruh kisah-kisah dalam menerapkan kecakapan-kecakapan
emosional pada diri anak.
Kisah yang yang dapat menggambarkan emosi dan perasaan anak dapat
dilakukan dengan penyajian tokoh-tokoh dalam kisah. Hal ini dapat
membantu anak memahami diri mereka sendiri, memahami orang lain, dan
memahami lingkungan tempat hidupnya serta anak dapat mengidentifikasi diri
dengan tokoh dalam kisah.8
Anak pada usia 6 sampai 9 tahun merupakan masa mendongeng atau
berkisah karena pada usia ini anak gemar sekali dengan kisah-kisah kehidupan
yang menyajikan tokoh-tokoh. Masa ini bertepatan dengan perkembangan
anak ke arah kenyataan.9 Sehingga cocok untuk menanamkan kecerdasan
emosional pada usia ini.
Sebagai pendidik, baik itu orangtua maupun guru secara teliti harus dapat
memilih kisah-kisah manakah yang dapat memberikan keteladanan kepada
anak usia 6 sampai 9 tahun. Seringkali anak pada masa itu hanya dijejali
dengan kisah-kisah yang hanya berisi kekerasan tanpa memberikan
bimbingan, sehingga anak tumbuh dewasa dengan rasa takut atau sebaliknya
cenderung beringas. Dengan demikian kesesuaian kisah-kisah yang
mengandung nilai-nilai keteladanan merupakan dasar untuk menerapkan
kecakapan-kecakapan emosional kepada mereka.
7 Makmun mubayidh, Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak (Jakarta: Pustaka al
Kautsar, 2006) h. 247. 8 Makmun mubayidh, Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak, h. 249.
9 Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. 2, h. 56.
5
Salah satu sumber kisah yang baik untuk diajarkan pada anak adalah Al-
Quran. Al-Quran telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala
seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah Al-Quran
dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan rinci
yang mencangkup semua sisi kehidupan manusia, baik sebagai individu
maupun masyarakat, tentang karakter kehidupan, alam semesta dan dimensi
kejiwaan. Dimensi kejiwaan ini dibahas dalam banyak ayat-ayat, khususnya
ayat-ayat yang membahas tentang cerita atau kisah.
Namun sekarang ini banyak masyarakat yang kurang perhatian terhadap
manfaat yang terkandung dalam kisah-kisah Al-Quran. Mereka cenderung
meniru kehidupan barat, dengan menceritakan kisah-kisah yang belum
deketahui kebenarannya. Allah telah menceritakan kepada manusia kisah-
kisah Nabi dan menyifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang tidak diragukan
lagi kebenarannya. Allah juga menyifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang
terbaik (Ahsanul Qashash), sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan
mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum
(Kami mewahyukannya) adalah orang-orang yang belum mengetahui
(Q.S. Yusuf: 3)10
Allah telah memerintahkan agar meneladani orang-orang baik (shalihin)
dan penganjur kebaikan (muslihin ) dari orang-orang terdahulu, yang kisah-
kisah mereka telah dipaparkan serta telah diperlihatkan metode mereka dalam
dakwah, perbaikan (ishlah), perlawanan terhadap musuh musuh Allah,
10
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994),
h. 348.
6
perjuangan jihad, kesabaran dan keteguhan.11
Sehingga tidak diragukan lagi
bahwa kisah-kisah Nabi dalam Al-Quran yang perlu untuk disampaikan
kepada anak dalam rangka menerapkan kecerdasan emosi kepada mereka.
Dalam perkembangan tafsir tematik (maudhu’i), akan terdapat berbagai
tafsir, salah satunya tafsir kejiwaan secara umum dan tafsir emosi secara
khusus. Ayat-ayat yang berkaitan dengan emosi yang membahas tokoh-tokoh
misalkan kedua putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., Nabi Musa as., dan lain-
lain.
Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat masih
asing dengan masalah kecerdasan emosional dan mereka cenderung
mengabaikan manfaat kisah-kisah dalam Al-Quran sebagai alat untuk
menerapkankan kecerdasan emosional kepada anak. Untuk itulah maka
penulis berusaha menjabarkan betapa pentingnya kisah-kisah dalam Al-Quran
sebagai alat untuk menerapkan kecerdasan emosional pada anak melalui
penulisan skripsi ini, dengan judul “ANALISIS DESKRIPTIF
KECERDASAN EMOSIONAL PADA KISAH-KISAH AL-QURAN DAN
UPAYA PENGEEMBANGANNYA PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 9
TAHUN” .
B. Identifikasi Masalah
Seperti yang di paparkan dalam latar belakang di atas, maka penulis
mengidentifikasi masalah dalam penelitian kali ini sebagai berikut:
1. Dalam pendidikan untuk anak, mayoritas masyarakat cenderung lebih
menekankan kecerdasan intelektual daripada kecerdasan emosional,
sehingga kecerdasan emosional kurang ditekankan.
2. Perlunya cara penanaman kecerdasan emosional anak sejak dini,
karena kecerdasan emosional tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba.
11
Shalah Al-Khalidy, Kisah-kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu, Terj. dari
Qoshosul Qur’an, oleh. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), jilid 1, h. 16.
7
3. Pentingnya penyajian kisah-kisah pada perkembangan anak usia 6
sampai 9 tahun dalam penanaman kecerdasan emosional.
4. Mayoritas masyarakat belum mengetahui kisah-kisah yang
mengandung kecerdasan emosional untuk perkembangan anak.
5. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hikmah atau pelajaran
yang terdapat di dalam kisah Al-Quran yang mengandung kecerdasan
emosional.
6. Kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9
tahun dapat diterapkan melalui kisah-kisah dalam Al-Quran, seperti
Kisah Kedua Putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., dan Nabi Musa as.
C. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti
agar pembahasan ini nantinya lebih terarah, spesifik, dan sistematis. Untuk
menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka dalam penelitian
ini dibuat suatu batasan. Ruang lingkupnya dibatasi pada kecerdasan
emosional teori Daniel Goleman pada perkembangan anak usia 6 sampai 9
tahun yang terkandung dalam kisah Kedua Putera Nabi Adam as. dalam surat
Al-Maidah ayat 27-32, Nabi Nuh as. dalam surat Al-Ankabut ayat 14, dan
Nabi Musa as. dalam surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13.
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional atau Emotional Intelligence merrujuk kepada
kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang
lain. Kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola
emosi dengan baik pada diri sendiri serta dalam hubungannya dengan
orang lain.12
12
Daniel Goleman, op.cit., h. 512
8
Adapun pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada pembentukan
lima kecakapan utama kecerdasan emosional yang meliputi:
a. Kemahiran mengenali emosi diri
b. Kemahiran mengelola emosi diri
c. Kemahiran memotivasi emosi diri
d. Kemahiran mengenali emosi orang lain
e. Kemahiran membina hubungan dengan orang lain.
2. Cerita-cerita dalam Al-Quran
Yang dimaksud dengan cerita-cerita dalam Al-Quran disini adalah
cerita-cerita yang bersumber dari kitab suci Al-Quran kisah-kisah para
Nabi.
Dalam masalah ini, akan dibahas pengertian, macam-macam, dan
hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari kisah-kisah dalam Al-Quran,
yaitu kisah kedua putera Nabi Adam as. dalam surat Al-Maidah ayat 27-32,
Nabi Nuh as. dalam surat Al-Ankabut ayat 14, dan Kelahiran Nabi Musa as.
dalam surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana kecerdasan emosional yang terkandung pada kisah-kisah
Al-quran dalam surat Al-Maidah ayat 27-32, surat Al-Ankabut ayat
14, surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13.?
2. Bagaimana pengembangan kecerdasan emosional anak usia 6 sampai
9 tahun melalui kisah-kisah Al-Quran?
9
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang didasarkan atas perumusan
masalah di atas, tujuan tersebut yaitu mengetahui:
1. Untuk mengetahui kecerdasan emosional yang harus dimiliki oleh
anak usia 6 sampai 9 tahun.
2. Untuk memahami hikmah dan pelajaran yang terdapat di dalam Al-
Quran yang mengandung kecerdasan emosional.
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat memperlancar proses
pengambangan ilmu yang diperoleh sebagai alternatif pelaksanaan
salah satu Tri Darma Perguruan yaitu penelitian.
2. Sebagai masukan bagi pendidik baik orangtua maupun guru supaya
menjadi bahan pertimbangan bahwa dalam proses pembelajaran tidak
hanya berorientasi pada perkembangan intelektual siswa semata,
akan tetapi kecerdasan emosional anak juga perlu dikembangkan
secara lebih maksimal.
3. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiyah di kalangan akademis
khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih
gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisaasi.
G. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini bersifat kualitatif (Qualitative research). Penelitian
kualitatif adalah suatu penelitian yang diajukan untuk mendskripsikan dan
menganalisis fenomena, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi
10
pemikiran orang secara individual maupun kelompok.13
Penelitian pada
skripsi ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis kecerdasan
emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun melalui kisah-
kisah Al-Quran.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah
dengan menggunakan metode Deskriptif, yaitu metode pembahasan masalah
dengan cara memaparkan atau menguraikan pokok masalah secara teoritis,
kemudian menganalisanya dalam rangka mendapatkan suatu kesimpulan yang
tepat.14
Adapun yang dimaksud pada penelitian skripsi ini dengan
menggunakan pendekatan deskriptif, adalah ditujukan untuk mendeskripsikan
atau menggambarkan kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6
sampai 9 tahun melalui kisah-kisah Al-Quran.
1. Sumber Data
Penulisan menggunakan metode penelitian berupa penelitian
kepustakaan (Library research) adalah penelitian yang dilakukan di
perpustakaan sebagai tempat penelitian dimana objek penelitiannya adalah
bahan-bahan perpustakaan. 15
Sumber data yang akan digunakan dalam
penulisan skripsi ini meliputi:
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber-sumber yang dijadikan bahan
pokok dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang dijadikan sumber
pokok dalam penulisan skripsi ini adalah :
1) Yang berhubungan dengan kecerdasan emosional:
- Buku Emotional intelligence karya Daniel Goleman.
13
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), Cet.3, h. 60. 14
Nana Syaodih Sukmadinata, ibid., h. 72 15
Nuraida dan halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Tangerang: Islamic
Research Publising, 2009), C.1, h.20.
11
- Working with Emotional Intelligence karya Daniel Goleman.
2) Yang berhubungan dengan kisah-kisah dalam Al-Quran:
- Al-Quran .
- Buku-buku tentang kisah-kisah dalam Al-Quran.
- Kitab Mabahits Fi ulumil Qur’an karangan Mana’ul Qathan.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber-sumber yang dapat
menunjang bagi pembahasan skripsi ini. Sumber-sumber sekunder ini
antara lain berupa buku-buku kecerdasan emosional, kitab-kitab tafsir
yang terkait dengan permasalahan yang dibahas, artikel, karya ilmiah,
dan buku-buku lainnya yang menunjang penulisan skripsi ini.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitaian ini dengan
menggunakan pendekatan data kualitatif yang bersifat induktif. Dalam
proses mencari data dengan menginventarisasi seluruh data yang
berhubungan dengan kecerdasan emosional teori Daniel Goleman dan
kisah-kisah Nabi dari berbagai sumber. Kemudian kisah-kisah Nabi
dikategorisasikan pada lima kecakapan kecerdasan emosional pada
perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun. Usia 6 sampai 9 tahun
merupakan masa dimana seorang anak menyukai sebuah cerita atau kisah
mengenai sesuatu hal sehingga kecakapan kecerdasan emosional yang
terdapat pada perkembangan anak tersebut melalui kisah-kisah dalam Al-
Quran akan mudah terbentuk.
Dengan merujuk pada objek penelitian maka pendekatan yang
digunakan dalam kisah Al-Quran ini menggunakan pendekatan tafsir
maudhu’i. Yaitu, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai
maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik
12
masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-
ayat tersebut.16
3. Teknik Penulisan
Adapun untuk teknik penulisan dalam menulis skripsi ini penulis
menggunakan buku panduan dari UIN Syarif Hidayatullah yakni,
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis oleh tim penulis: Kadir, Sururin
dkk, tahun 2011, yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
16
Al-Farmawi, Metode Tafsir mawdhu’iy, Terj. dari Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy,
oleh. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 38.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL
A. Pengertian Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere yang berarti
bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman
emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.1
Menurut Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf dalam bukunya
Executive EQ, kata emotion bisa didefinisikan dengan gerakan
(movement), baik secara metaforis maupun literal, kata emotion adalah
kata yang menunjukkan perasaan. Dengan begitu, menurut mereka,
1 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari
buku, Working with Emotional Inteligence,oleh Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), Cet. 6, h. 411
14
kecerdasan emosionallah yang lebih memotivasi kita untuk mencarin
potensi kita sendiri, untuk mencapai tujuan unik kita yang mengaktifkan
nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kita yang paling dalam dari apa yang kita
pikirkan.2
Sedangkan menurut Zikri Neni Iska, emosi adalah setiap keadaan diri
seseorang yang disertai dengan warna yang efektif, baik pada tingkat
yang lemah maupun pada tingkat yang kuat. Namun ada pendapat lain
yang memberikan definisi emosi adalah reaksi yang kompleks yang
mengandung aktifitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan
dalam kejasmanian serta berkaitan dengan perasaan yang kuat.3
Ahli psikologi memandang manusia adalah makhluk yang secara
alami memiliki emosi. Menurut James, emosi adalah keadan jiwa yang
menampakan diri dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi
setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak
secara nyata pada perubahan jasmaninya.4
Pada dasarnya emosi manusia bisa dibagi menjadi dua kategori umum
jika dilihat dari dampak yang ditimbulkannnya. Ketegori pertama adalah
emosi positif yang memberikan dampak yang menyenangkan dan
menenangkan. Macam dari emosi positif ini seperti tenang, santai, rileks,
gembira, lucu, haru dan senang.
Kategori kedua adalah emosi negatif yang menberikan dampak tidak
menyenangkan atau menyusahkan. Macam dari emosi negatif ini
2 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful
Intelegence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 176-177 3 Zikri Neni Iska, Psikologi pengantar pemahaman diri dan lingkungan, (Jakarta:
KIZI BROTHER’S, 2006),h. 104 4 Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), h. 11
15
diantaranya, sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi,
marah, dendam dan masih banyak lagi.5
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara
lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas: Desire (hasrat),
Hate (benci), Sorrow (sedih), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy
(kegembiraan).6 Sedangkan JB Watson mengemukakann tiga macam
emosi, yaitu: Fear (ketakutan), Rage (kemarahan), Love (cinta).7 Dan
menurut F. Wundi ada tiga pasang kutub emosi, yaitu: Lust-Unlust
(senang-tak senang), Spanning-Losung (tegang-tak tegang), Eerregung-
berubigung (semangat-tenang).8
Daniel Goleman mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak
berbeda jauh dengan ketiga tokoh diatas, yaitu:
1) Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati.
2) Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi
diri, putus asa.
3) Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut
sekali, waspada, tidak tenang, ngeri.
4) Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur,
bangga.
5) Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih sayang.
6) Terkejut: terkesiap, terkejut, takjub, terpana.
7) Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka.
8) Malu: malu hati, kesal, sesal, hina.
5 Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi,h. 13
6 Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. 1,
h. 100 7 Netty Hartati, dkk., Ibid., h. 94
8 Netty Hartati, dkk., Ibid., h. 102
16
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa emosi adalah
suatu perasaan (efek) yang mendorong individu untuk merespon atau
bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun
luar dirinya.
2. Pengertian kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan istilah yang belum lama dikenal
baik di dunia psikologi dan sosial pada umumnya. Sebagai sandingan IQ,
aspek terpenting Kecerdasan emosional berada pada mental dan emosi.
Topik tentang Kecerdasan emosional menjadi ramai dibicarakan oleh
masyarakat luas setelah terbitnya buku karya Daniel Goleman pada tahun
1995 yang berjudul Emotional Intelligence.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John Mayer dari
University of New Hampshire. Sebuah model pelopor lain untuk
kecerdasan emosi diajukan dalam tahun 1980-an oleh Reuven Bar-On,
seorang psikolog Israel. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan
sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk
memadu pikiran dan tindakan.9
Mengutip pendapat Cooper dan Sawaf dalam buku Revolusi
Kecerdasan Abad 21 mendefinisikan Kecerdasan Emosional
nsebagaimana dibawah ini:
“Emotional Intellegence is the ability to sense, un derstand, and
effectively apply the power and acumen of emotions as a source of
human energy, information, connection, and influence. (kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara
9 Daniel Goleman, op.cit., h. 513
17
efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai
energy manusia, informasi, hubungan dan pengaruh)”.10
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan emosional, tidak
bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan
lingkungan terutama orangtua pada masa kanak-kanak sangat
mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Gardner mengemukakan kecerdasan emosional sebagai kemampuan
seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan produk dalam
suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.11
Dalam buku Frame Of Mind, Gardner menyatakan bahwa bukan
hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih
sukses dalam kehidupan, melainkan ada spectrum kecerdasan yang lebar
dengan tujuh varietas utama yaitu naturalistik, linguistik,
matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan
intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai
kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan
emosional.12
Menurut Gardner, “Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan
untuk memahami orang lain : apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu-membahu
dengan mereka. Tenaga-tenaga penjualan yang sukses , para guru,
dokter dan pemimpin keagamaan semuanya orang-orang yang
mempunyai tingkat kecerdasan pribadi yang tinggi. Kecerdasan
intrapribadi adalah kemampuan korelatif, tetapi terarah. Ke dalam
kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk model diri
sendiri yang diteliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk
menggunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan
secara efektif”13
.
10
Iskandar, Psikologi Sebuuah Orientasi baru, (Ciputat: gaung Persada Press, 2009),
h. 53 11
Ibid. 12
Daniel Goleman,Kecerdasan Emosional ,Terj dari Emotinal Intellegence oleh
T. Hermaya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Cet. 7 h. 50-53 13
Ibid., h. 52
18
Dalam rumusan lain Gadner mencatat bahwa inti kecerdasan
antarpribadi itu mencangkup “kemampuan untuk membedakan dan
menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat
orang lain”. Dalam kecerdasan antarpribadi yang merupakan kunci
menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-
perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah
laku”.14
Kedua jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner ini jelas
memperlihatkan kaitan yang erat dengan pengertian kecerdasan
emosional sebagaimana yang dikemukakan oleh Salovey dan Mayer.
Hanya saja di sini terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu dalam hal
ini Gardner serta rekan-rekannya tidak mengejar secara lebih terperinci
peran perasaan dalam kecerdasan, mereka lebih memfokuskan pada
pemahaman tentang perasaan dan dari sudut pandang bagaimana kognisi
melihat emosi. Fokus ini barangkali secara tidak sengaja menyebabkan
belum terjelajahinya lautan emosi yang begitu kaya dan yang membuat
kehidupan batin dan hubungan-hubungan menjadi begitu kompleks.15
Sedangkan kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman adalah
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.16
Orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin
hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi
dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar
menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia.
Mereka adalah pemimpin-pemimpin alamiah, orang yang mampu
14
Ibid., h. 53 15
Ibid., h. 53 16
Daniel Goleman, op. cit, h. 512
19
menyuarakan perasaan kolektif serta merumuskannya dengan jelas
sebagai penduan bagi kelompok untuk meraih sasaran. Mereka adalah
jenis orang yang disukai oleh orang disekitarnya karena secara emosional
mereka menyenangkan. Mereka membuat orang lain merasa tenteram,
dan menimbulkan, komentar, “menyenangkan sekali bergaul
dengannya.”17
Dalam penelitian ini penulis memilih pada pendekatan yang digunakan
oleh Daniel Goleman, yang lebih mengarah kepada peranan emosi dalam
pembentukan kecerdasan emosional antara lain, kemampuan mengenali
perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri
dan dalam hubungan dengan orang lain.
B. Kecakapan-kecakapan Utama Kecerdasan Emosional
Dalam definisi yang dikemukakan oleh Salovey dan Mayer serta Daniel
Goleman, disebutkan beberapa kemampuan utama yang harus dimiliki yang
berhubungan dengan kecerdasan emosional. Kemampuan-kemampuan
tersebut mencakup lima wilayah utama kecerdasan emosional yaitu:
1. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional.
kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu
merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri.
Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan berusaha
menyadari emosinya ketika emosi itu menguasai dirinya. Melalui
kesadaran diri tersebut, seseorang dapat mengetahui dan memahami
emosinya. Namun kesadaran diri ini tidak berarti bahwa seseorang itu
hanyut terbawa dalam arus emosinya tersebut sehingga suasana hati
17
Agus Efendi, op. cit., h. 172
20
itu menguasai dirinya sepenuhnya. Sebaliknya kesadaran diri adalah
keadaan ketika seseorang dapat menyadari emosi yang sedang
menghinggapi fikirannya akibat permasalahan-permasalahan yang
dihadapi untuk selanjutnya ia dapat menguasainya. Orang yang
keyakinannya lebih dan menguasai perasaannya dengan baik dapat
diibaratkan pilot yang andal bagi kehidupannya, karena ia
mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang
sesungguhnya.18
Kesadaran emosi dimulai dengan penyelarasan diri terhadap
aliran perasaan yang terus ada dalam diri seseorang, kemudian
mengenali bagaimana emosi-emosi ini membentuk persepsi, fikiran
dan perbuatannya. Seseorang yang unggul dalam kecakapan ini selalu
sadar tentang emosinya bahkan sering dapat mengenali kehadiran
emosi-emosi itu dan merasakannya secara fisik. Ia dapat
mengartikulasikan perasaan-perasaan itu, selain menunjukkan
ekspresi sosialnya yang sesuai.19
2. Mengelola Emosi Diri
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras,
sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Dengan kata
lain pengendalian emosi oleh diri sendiri berarti berupaya untuk
meredam atau menahan gejolak nafsu yang sedang berlaku agar
emosi tidak terekspresikan secara berlebihan sehingga seseorang
tidak sampai dikuasai sepenuhnya oleh arus emosinya.
Namun demikian pengendalian emosi diri tidak berarti
pengendalian secara berlebihan, sebab kendali diri yang berlebihan
dapat mendatangkan kerugian baik fisik maupun mental. Orang yang
18
Daniel Goleman, op. cit., h. 58 19
Daniel Goleman,,ibid., h. 86
21
mematikan perasaannya, terutama perasaan negatif yang kuat,
menyebabkan meningkatnya denyut jantung sekaligus naiknya
tekanan darah. Mereka yang memendam emosi akan mendapatkan
sejumlah kerugian. Mereka mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda
yang kelihatan bahwa mereka sedang mengalami pembajakan emosi,
tetapi sebagai gantinya mereka menderita kehancuran internal seperti;
pusing-pusing, mudah tersinggung, terlalu banyak merokok dan
minum, sulit tidur dan sebagainya. Dan mereka mempunyai resiko
yang sama dengan mereka yang mudah meledak emosinya.20
Menangani perasaan agar dapat terungkapkan secara pas adalah
kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Emosi muncul
secara tiba-tiba dan cepat sekali tanpa dapat kita duga. Misalnya,
emosi marah akan menjadi aktif dan bertindak dengan cepat sekali
tanpa kita duga, ketika mendapat rangsangan emosi seperti apabila
hak kita dirampas, dicemooh orang ataupun ketika merasa disakiti
baik secara fisik maupun psikis. Dalam situasi seperti ini orang
mempunyai waktu yang sangat terbatas untuk dapat mengendalikan
emosi tersebut. Semakin cepat ia dapat menentukan dan
mengidentifikasi emosi ini maka akan semakin berpeluang untuk
dapat mengendalikannya, sehingga emosi akan tersalurkan secara
tepat, dan orang itu akan terhindar dari melampiaskan emosi ini
secara berlebihan.
Terdapat lima kemampuan utama yang berhubungan dengan
pengaturan diri sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel Goleman
yaitu: pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas,
dan inovatif.21
20
Daniel Goleman, op. cit., h. 129 21
Ibid., h. 130
22
3. Memotivasi Diri Sendiri
Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri
individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri
terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta
mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme,
gairah, optimis, dan keyakinan diri.
Dalam salah satu definisi kecerdasan emosional di muka telah
disebutkan bahwa kecerdasan emosional adalah mengetahui
bagaimana untuk meraih dari emosi yang negatif menjadi positif.
Dalam hal ini Motivasi diri adalah komponen utama untuk
mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan memotivasi emosi negatif
yang sedang dirasakan. Melalui motivasi diri emosi negatif tersebut
diarahkan kepada hal-hal yang baik.
Emosi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan prestasi fikiran
kognitif dengan cara-cara tertentu. Di antaranya adalah dengan cara
menumbuhkan harapan dalam diri seseorang itu. Harapan, menurut
penelitian modern, lebih bermanfaat daripada memberikan sedikit
hiburan di tengah kesengsaraan..22
Apabila seseorang mempunyai
harapan, maka segala kebimbangan, keputusasaan dan kesedihan
yang dialami dapat diredakan karena segala masalah dapat diatasi.
Segala pekerjaan yang diiringi dengan harapan akan dibantu perasaan
gembira dan bersemangat untuk melaksanakannya. Dan orang yang
memiliki harapan yang tinggi, menurut penemuan Snyder, memiliki
ciri-ciri tertentu, di antaranya adalah mampu memotivasi diri, merasa
cukup banyak akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap
memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatunya akan
beres ketika sedang menghadapi tahap sulit, cukup luwes untuk
22
Ibid.,h. 121
23
menemukan cara alternatif agar sasaran tetap tercapai atau untuk
mengubah sasaran jika sasaran semula musykil dicapai.23
Adapun yang termasuk dalam kecakapan motivasi diri yang
diungkapkan oleh Daniel Goleman antara lain : Dorongan prestasi,
Komitmen, Inisiatif dan Optimisme.24
4. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga
empati. Menurut Daniel Goleman, kemampuan seseorang untuk
mengenali perasaan orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan
empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih
mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih
mampu menerima sudut pandang orng lain, peka terhadap perasaan
orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Seseorang yang mau membaca emosi orang lain haruslah
berempati. Empati berbeda dengan simpati. Simpati hanya sekedar
memahami masalah atau perlakuan seseorang. Empati lebih dari itu,
empati bukan hanya memahami masalah orang lain tetapi juga
merasakan apa yang dirasakan orang tersebut. Misalnya, seseorang
memahami masalah yang dihadapi temannya yang sedang tertimpa
musibah, tetapi ia tidak ikut merasakan perasaan temannya, maka
orang itu hanya bersimpati. Jika orang tersebut berempati terhadap
temannya, maka ia tidak sekedar memahami masalah yang dihadapi
temannya, tetapi meletakkan dirinya dalam kedudukan temannya
untuk merasakan perasaan temannya itu.
Rosenthal dalam openelitiannya menunjukkan bahwa orang-
orang yang mampu membaca dan isyarat non verbal lebih mampu
23
Ibid., h. 120 24
Ibid., h. 127
24
membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu
menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah
bergaul dan lebih peka.25
Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa
anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi
dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang
mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang
tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu
mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut
mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.26
Kemampuan empati sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-
sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Tanpa empati akan
menyebabkan seseorang sulit untuk bergaul dan membina
persahabatan yang erat dengan orang lain. Namun empati atau
memahami sudut pandang atau perspektif seseorang -tahu mengapa
mereka merasakan demikian- tidak berarti kita juga harus
mengalaminya.27
Setelah berempati barulah kita dapat membantu
dengan cara yang lebih rasional dan positif.
5. Membina Hubungan dengan Orang Lain
Kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain
merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.28
Keterampilan dalam
berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan
membina hubungan. Individu sulit untuk mendapat apa yang
25
Ibid., h. 136 26
Ibid., h. 172 27
Ibid., h. 232 28
Ibid., h. 59
25
diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan
orang lain.
Keterampilan berhubungan dengan orang lain merupakan sosial
yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan sesame.
Tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada
ketidakcakapan dalam dunia sosial, atau berulangnya bencana antar-
pribadi. Karena tidak dimiliki keterampilan-keterampilan inilah,
orang-orang yang paling pintar otaknya dapat gagal dalam membina
hubungan mereka. Sebab, penampilan mereka angkuh, mengganggu,
atau tidak berperasaan. Kemampuan sosial ini memungkinkan orang
untuk membentuk hubungan, menggerakkan dan mengilhami orang-
orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan
mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman.29
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan
ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang yang berhasil dalam
pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancer pada orang
lain. Orang-orang ini popular dalam lingkungannya dan menjadi
teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi.
Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat
dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina
hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian siswa
berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang
dilakukannya.
29
Ibid., h. 158-159
26
C. Karakteristik Perkembangan Kecerdasan Emosional Pada Anak Usia 6
Sampai 9 Tahun
Peran kematangan emosi berkembang seiring dengan perkembangan
intelektual anak, yang menghasilkan kemampuan untuk memahami makna
yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam
jangka waktu yang lebih lama dan memutuskan ketegangan emosi pada satu
objek. Demikian pula dengan kemampuan mengingat dan menduga
mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian anak-anak menjadi lebih
reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada
usia yang lebih muda. Kelenjar endokrin mempengaruhi kematangan perilaku
emosional selama rentang kehidupan seseorang, sejak lahir sampai usia
matang secara seksual. Pengaruh kelenjar ini membesar pada fase sampai
anak berusia 5 tahun, kemudian pembesarannya melambat pada usia 5-11
tahun, dan membesar kembali bahkan lebih pesat sampai anak berusia 16
tahun. Pengaruhnya penting terhadap keadaan emosional pada masa kanak-
kanak.30
Beriikut adalah karakteristik perkembangan emosional anak khususnya
dalam rentang 6-9 tahun. Hal ini disesuaikan dengan pembatasan pada
penelitian ini. Pada masa ini anak sudah menyadari bahwa anak tidak dapat
menyatakan dorongan dan emosinya begitu saja tanpa pertimbangan
lingkungan. Anak mulai belajar mengungkapkan perasaannya dalam perilaku
yang dapat diterima secara sosial. Tumbuhnya kesadaran ini bergantung dari
bagaimana sikap orangtua dan pendidik dalam mengajarkan perilaku sosial
pada anak. Melalui permainan dan olahraga dimungkinkan anak dapat
mengeluarkan emosinya secara wajar. Dalam hal perkembangan sosial,
keinginan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok makin besar.
penerimaan oleh kelompok teman sebaya begitu berarti bagi anak.
30
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Terj. dari Developmental
psicology, oleh. Istiwidayanti dan Soedjarwo, (Jakarta: Erlangga, 1998), h.213
27
Rentang usia 6-10 tahun merupakan masa kritis bagi anak-anak untuk
mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa anak mampu berkarya dan
bereksplorasi. Erik Erikson yang mengemukakan tentang perkembangan
emosi, menyatakan bahwa anak-anak di usia ini memasuki masa Industry vs.
Inferiory (berkarya/etos kerja vs. minder). Pada masa ini seharusnya anak
terlihat antusias dalam belajar dan berimajinasi, sehingga mereka tumbuh
dengan sikap ingin berkarya, bermotivasi tinggi dan beretos kerja. Sangat
penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri bahwa “aku bisa”, “aku kuat”
atau “aku anak yang baik”, apabila ini tidak tumbuh, maka akan timbul
perasaan rendah diri atau minder, seperti “aku gagal” atau “aku tidak dapat
berkarya”. Usia ini anak paling kritis dalam membentuk kepribadian anak
yang akan menentukan masa depannya. 31
Nurani mengemukakan tentang karakteristik perkembangan emosional
anak usia 6-8 tahun, sebagai berikut: emosi cenderung meninggi bila anak
sedang sakit atau lelah, misalnya cepat marah, rewel dan susah untuk
dihadapi. Anak suka beradaptasi dengan pekerjaan orang dewasa, seperti
membantu pekerjaan orangtuanya. Anak belajar membina persahabatan
dengan anak lain. Menerima kelainan-kelainan pada teman dan menghargai
akan kebutuhan-kebutuhannya. Menunjukkan rasa setia kawan yang besar
terhadap teman sebayanya. Suka menolong dan membantu orang lain dalam
kesusahan. Berperilaku sayang pada semua ciptaan Tuhan, karena pada usia
ini kemapuan berempati sudah muncul. Menghargai pendapat orang lain saat
berinteraksi.32
Pada usia sekolah ini anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi
secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh
31
Ratna Megawati, Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan, (Bogor: Indonesia
heritage Foundation. 2004), h. 12 32
Yuliani Nuraini, kurikulum Alternatif Berbasis Kompetensi Anak Usia Dini,
(Jakarta: Pusdiani Press, 2002), h. 82
28
karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi
emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan
latihan (pembiasaan).
Dalam proses peniruan, kemampuan orangtua atau guru dalam
mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh, apabila anak dikembangkan
di lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil, maka perkembangan
emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan tetapi, apabila kebiasaan
orangtua dalam mengepresikan emosinya kurang stabil atau kurang control
(seperti: marah-marah, mudah mengeluh, kecewa dan pesimisdalam
menghadapi masalah), maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang
stabil atau tidak sehat.33
Menurut Aliah, anak pada usia tujuh sampai dua belas tahun
menunjukkan keterampilan regulasi diri dengan variasi yang lebih luas.
Kecanggihan dalam memahami dan menunjukkan tempilan emosi yang sesuai
dengan aturan sosial meningkat pada tahap ini. Anak mulai mengetahui kapan
harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai
keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan
emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial. Anak lebih sensitif
terhadap isyarat lingkungan sosial yang mengatur keputusan dalam
mengontrol emosi negatif. Berbagai faktor mempengaruhi keputusan perilaku,
termasuk termasuk jenis emosi yang telah dialami, hubungan dengan orang
yang melibatkan emosi, usia anak dan jenis kelamin. Anak juga sudah
membentuk serangkaian harapan tentang hasil dari ekspresi emosinya kepada
orang lain. Secara umum, anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan
kesedihannya kepada teman-temannya daripada orangtuanya. Karena mereka
mengharap emosi negative dari teman-temannya, sepeti ejekan atau
cemoohan.
33
Syamsu Yusuf, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Rajawali, 2011), h. 63-64
29
Anak pada usia ini juga mendemonstrasikan keterampilan kognitif dan
perilaku untuk mengatasi emosinya, seperti rasionalisasi atau kejadian yang
tidak mereka sukai. Selama masa kanak-kanak pertengahan, anak mulai
memahami keadaan emosi orang lain tidak sesederhana yang mereka
perkirakan, dan seringkali merupakan hasil dari penyebab yang rumit dan
terkadang tidak jelas. Mereka juga memahami bahasa sesorang mungkin
merasakan lebih dari satu waktu, walaupun kemampuan ini terbatas dan
berkembang perlahan. Tampilan empati juga lebih sering pada tahap ini. Anak
dengan keluarga yang sering mendiskusikan kompleksitas emosi lebih siap
menghadapi hal ini daripada keluarga yang biasa menghindarinya. Orangtua
yang terbiasa memberikan aturan yang jelas dan lebih banyak memperhatikan
oranglain, lebih dapat menghasilkan anak yang empatik daripada orangtua
yang kasar dalam membatasi perilaku.34
D. Sasaran Kecerdasan Emosional
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa kecerdasan emosional sangat
penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu kecerdasan emosional perlu
ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Upaya penanaman kecerdasan
emosional dapat dilakukan oleh orang tua dan para guru di sekolah dengan
cara-cara tertentu. Untuk itu, orang tua dan guru sebagai pendidik emosi harus
mengetahui dan memahami sasaran-sasaran yang terkandung di dalam setiap
kecakapan-kecakapan emosional. Dengan demikian, arah serta tujuannya akan
menjadi jelas dan terancang.
Adapun sasaran-sasaran di dalam lima komponen utama kecakapan
emosional, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel Goleman, adalah
sebagai berikut
34
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi perkembangan Islami, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 169-170
30
1. Kesadaran emosi diri :
a. Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri.
b. Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul.
c. Mengenali perbedaan perasaan dan tindakan.
2. Mengelola emosi :
a. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan
amarah.
b. Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang
kelas.
c. Lebih mampu memngungkapkan amarah dengan tepat tanpa
berkelahi.
d. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.
e. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan
keluarga.
f. Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.
g. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
3. Memotivasi diri :
a. Lebih bertanggung jawab.
b. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
dan menaruh perhatian.
c. Kurang impulsif, lebih menguasai diri.
4. Empati (membaca emosi) :
a. Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.
b. Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
c. Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
5. Membina hubungan dengan orang lain :
a. Meningkakan kemampuan menganalisis dan memahami
hubungan.
31
b. Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan
persengketaan.
c. Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam
hubungan.
d. Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi.
e. Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan
teman sebaya.
f. Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.
g. Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa.
h. Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam
kelompok.
i. Lebih suka berbagi rasa, bekerja keras,dan suka menolong.
j. Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.35
Sasaran-sasaran dalam lima komponen utama kecerdasan emosional itu
jelas mengarah pada pembentukan kecerdasan emosional. Kecakapan-
kecakapan tersebut tidak mudah diperoleh kecuali dengan adanya pendidikan
dan pelatihan emosi sejak dini. Dan hal ini adalah tugas utama bagi orang tua
dan para guru untuk mewujudkannya. Pendidikan emosi yang teratur dan
terancang dengan baik akan dapat membina anak-anak untuk memiliki
kecakapan-kecakapan emosional sebagaimana yang tersebut di atas. Salah
satu cara untuk membentuk kecakapan-kecakapan ini pada anak-anak adalah
dengan menggunakan cerita-cerita keteladanan, terutama cerita-cerita yang
ada dalam Al-Quran yang begitu kaya akan hikmah dan pelajaran hidup.
Pendekatan ini sangat baik digunakan oleh orang tua dan guru, diberikan
kepada anak-anak atau murid-muridnya agar berhasil sebagai manusia yang
seimbang perkembangan intelek, emosi dan rohaninya.
35
Daniel Goleman, op. cit., h. 403
32
BAB III
KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN
A. Pengertian Kisah Al-Quran
1. Pengertian Kisah
Dalam percakapan sehari-hari seseorang sering mendengarkan kata-
kata kisah. Ketika manusia mendengar kata kisah tersebut yang terlintas
dalam fikirannya adalah suatu cerita yang berkenaan dengan suatu
kejadian pada masa lampau tentang seseorang atau masyarakat tertentu.
Kata “kisah” berasal dari akar kata “al-qassu” yang berarti mencari
atau mengikuti jejak. Kata al-qasas adalah bentuk masdar. 1
Menurut al-
Khalidy al-qasas berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah).
Kisah dengan arti-arti tersebut di atas, dipergunakan juga dalam
Alquran, antara lain;
1 Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi „ulumil Al-Quran, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996),
h. 305.
33
a) Al-qashash berarti mengikuti jejak sebagaimana firman Allah SWT.
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Al-Kahfi: 64)
Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan:
"Ikutilah dia". (Al-Qashash: 11)
b) Al-qashash berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah), seperti
dalam surat Ali Imran ayat 62 dan surat Al-Qashash ayat 25 dan
surat Yusuf ayat 3.
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar…”(Ali Imran: 62)
“Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan
menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata:
"Janganlah kamu takut.” (Al-Qashash: 25)
Secara terminologi kisah dalam kesusteraan bahasa Indonesia atau
Melayu dapat diartikan dengan cerita, penuturan tentang suatu peristiwa,
suatu kejadian atau seseorang.2
Pada tataran terminologi ini para pakar dan ulama pun banyak sekali
memberikan defenisi tentang pengertian kisah ini diantaranya menurut
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menyebutkan kisah adalah upaya
mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau imajinatif, sesuai
2 AG Pringgo Digdo dan Hasan Syadily, Ensiklopedi Umun, (Yogyakarta: Ofset Kanissus,
1997), h. 567
34
dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya satu
episode atau episode demi episode. Al-Quran tidak selalu menggunakan
kata tersebut dalam arti mengisahkan satu kisah, tetapi ia juga digunakan
dalam arti memberi tuntutan, baik tuntutan tersebut merupakan kisah
maupun hanya pesan singkat.3
Adapun Muhammad Khalafullah mendefinisikan kisah sebagai suatu
karya kesusastraan yang merupakan hasil khayal pembuat kisah terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku yang sebenarnya
tidak ada, atau dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tetapi
peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak
benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa-peristiwa itu terjadi atas diri
pelaku, tetapi dalam kisah tersebut disusun atas dasar seni yang indah, di
mana sebagian peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dibuang, atau
terhadap peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan
penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran
yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayali”.4
Selain itu, Al-Syiba’i al-Bayumi mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan kisah adalah setiap tulisan yang bersifat kesusasteraan
dan indah. Yang keluar dari seorang penulis dengan maksud untuk
menggambarkan suatu keadaan tertentu dengan suatu cara dimana
penulis melepaskan diri dari perasaan dan pikirannya, sehingga
pribadinya tercermin dalam penggambaran itu yang dapat mengadakan
dari orang lain yang mempunyai tulisan yang sama.5
Dari beberapa definisi mengenai kisah di atas dapat penulis
simpulkan bahwa yang dimaksud dengan kisah adalah sebuah cerita atau
peristiwa yang telah terjadi pada masa sebelumnya mengenai perubahan
3 M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah vol 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 363
4 A. Hanafi. MA., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al-Qur‟an, 0(Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), h. 14. 5 AG Pringgo Digdo dan Hasan Syadily, op.cit., h. 567
35
alam ataupun kehidupan manusia baik bersumber dari ucapan turun
temurun maupun tulisan-tulisan yang ditemukan dari generasi ke
generasi.
2. Pengertian Kisah Al-Quran
Al-Quran banyak sekali memuat keterangan-keterangan tentang
kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri, dan
peninggalan atau jejak setiap umat. Semua keadaan ini diceritakan dan
disampaikan dengan cara yang menarik dan mempesona para pembaca
maupun pendengarannya. Untuk itu semua ini Al-Quran memaknai istilah
kisah Al-Quran.
Manna Al-Qattan dalam bukunya Studi ilmu-ilmu Al-Quran
menyatakan bahwa Qasas Al-Quran adalah pemberitaan Al-Quran
tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang
terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.6 Hasby al-Shiddieqy
juga memberikan definisi yang tidak jauh berbeda, bahwa yang dimaksud
dengan Qasasul Quran ialah kabar-kabar Al-Quran tentang keadaan umat
yang telah lalu dan kenabian masa terdahulu, peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi. Al-Quran melengkapi tentang keterangan peristiwa-
peristiwa yang telah terjadi, keadaan negeri-negeri serta menerangkan
bekas-bekas dari kaum terdahulu tersebut.7
Dari definisi yang telah diberikan oleh pakar-pakar ilmu Al-Quran
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kisah Al-
Quran adalah kabar atau keterangan tentang hal dan ihwal umat atau
suatu komunitas yang telah lalu ataupun yang akan datang, yang menjadi
gambaran sebuah peristiwa, untuk dapat mengambil manfaat dan
6 Manna’ Al-Qaththan, Ibid, h. 305.
7 Hasby Al-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran Media Pokok Dalam Penafsiran Al-Quran,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1972), cet.1, h. 176
36
pelajaran bagi generasi yang akan datang. Semua ini disampaikan dengan
gaya bahasa khas dan khusus sehingga dapat menarik perhatian.
B. Macam-Macam Kisah Dalam Al-Quran
Di dalam Alquran banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah
terjadi dalam sejarah. Dari Alquran dapat diketahui beberapa kisah yang
pernah dialami oleh orang-orang terdahulu. Al-Quran juga telah menceritakan
beberapa peristiwa yang terjadi di zaman Nabi Adam as. sampai Nabi
Muhammad Saw. Di samping itu kisah selain nabi, seperti kisah tentang
orang-orang Yahudi, Majusi dan Nasrani serta kisah orang mukmin dan
musyrik juga banyak dimuat dalam Alquran.
Untuk mengungkap macam-macam kisah dalam Alquran, terdapat tiga
pendekatan antara lain:
1) Tinjauan waktu (timing)
Ditinjau dari segi waktunya, kisah-kisah dalam Alquran dapat di
kategorikan dalam tiga bagian yaitu:
a) Kisah-kisah gaib tentang masa lampau, Contohnya:
1) Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai
penciptaan khalifah di bumi sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-
Baqarah: 30-34.
2) Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana terdapat
dalam QS Al- Furqan: 59., Qaf: 38.
3) Kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan kehidupannya ketika di
syurga sebagaimana terdapat dalam QS Al-A’raf: 11-25.
b) Kisah tentang hal gaib yang terjadi masa kini, Contohnya :
1) Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam lailatul
Qadar seperti diungkapkan dalam QS Al-Qadar:1-5.
37
2) Kisah-kisah tentang kehidupan makhluk-makhluk gaib seperti
setan, jin atau iblis seperti diungkapkan dalam QS Al-A’raf: 13-
14.
3) Kisah hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang,
contohnya:
a. Kisah tentang akan datangnya hari kiamat seperti dijelaskan
dalam Alquran surat Al-Qari’ah, surat Al-Zalzalah dan lainnya.
b. Kisah tentang Abi Lahab kelak di akhirat seperti diungkapkan
dalam surat Al-Lahab.
c. Kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan orang-orang
yang hidup di dalam neraka seperti diungkapkan dalam
Alquran surat Al-Ghasyiah dan lainnya. 8
4) Pendekatan kedua, dari sudut isi (matter), setidaknya untuk pendekatan
ini terbagi menjadi tiga bagian juga yaitu:
a) Kisah-kisah yang menyangkut para rasul dan para nabi. Kisah ini
mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat
yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang
memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta
akibat-akibat yang diterima mereka yang mempercayai dan golongan
yang mendustakan. Misalnya; kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa,
Harun, Isa dan sebagainya.
b) Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan
kenabiannya. Misalnya kisah orang-orang yang keluar dari kampung
halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah talut
dan jalut, dua orang putra Nabi Adam, penghuni gua, Zulkarnain,
8 Ahmad Syadali, Ulumul Al-Quran II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 28.
38
Qarun, Ashabus Sabti, Maryam, Ashabul Ukhdud, dan Ashabul Fil
dan sebagainya.
c) Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud
dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surat At-
Taubah, perang akhzab dalam surat Al-Ahzab, hijrah, isra’, dan lain
sebagainya. 9
5) Dari segi jenisnya, kisah-kisah Alquran terbagi menjadi dua macam yaitu:
a) Kisah yang dibawa oleh Alquran. Kisah ini terdiri dari kisah tentang
para nabi dan rasul terdahulu berikut sikap dan kesabarannya
menghadapi aneka ragam tanggapan dan tingkah laku kaumnya. Para
nabi dan rasul itu didustakan dan disakiti oleh kaum yang menentang,
tetapi pada akhirnya mereka memperoleh kemenangan atas izin
Allah, dan kaum kafir itu mendapatkan siksaan karena perbuatannya
sendiri. Dengan kisah semacam ini, dimaksudkan oleh Allah agar
Nabi Muhammad Saw. memiliki keteguhan hati dalam mengajarkan
agama Islam.
b) Kisah yang mengundang turunnya Alquran. Kisah ini berisi kasus-
kasus, fenomena-fenomena, masalah-masalah dan problem-problem
yang mendapat tanggapan Alquran, baik tanggapan positif seperti
pelajaran, pengarahan, maupun tanggapan negatif seperti
pengungkapan rahasia kejahatan, kekufuran, kemunafikan dan lain
sebagainya. Kisah jenis kedua inilah yang oleh para ahli ilmu-ilmu
Alquran diistilahkan sebagai Asbabun Nuzul. 10
9 Manna’ Al-Qaththan., op.cit., h. 306
10 Ahmad Muhammad Jamal, Koreksi Al-Quran Terhadap Ummat, (Alih bahasa; Jamaluddin
Kafie), (Jakarta: Media Da’wah, tt), h. 1.
39
C. Kisah-Kisah Nabi Dalam Al-Quran
Kisah para Nabi merupakan kisah yang mengandung dakwah Nabi
kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap
orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan
perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang
mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh,
Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad dan Nabi-nabi serta Rasul
lainnya. 11
Untuk membatasi kisah-kisah para Nabi, maka penulis membatasi
pada tiga kisah yaitu, kisah dua anak Nabi Adam as., kisah kelahiran Nabi
Nuh as. dan kisah Nabi Musa as. Berikut kisah-kisahnya:
1. Kisah Dua Putra Nabi Adam: Qabil dan Habil
Kisah mengenai kedua Putra Nabi Adam as. merupakan kisah yang
terdapat di dalam Al-Qur’an dan diambil melalui pendekatan tafsir
maudhu’i. Sedangkan dalam segi macamnya, kisah dua putra Nabi
Adam as. termasuk ke dalam macam yang ditinjau dari sudut isi, yakni
kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya.
Para ulama sepakat. Sejak diturunkan ke bumi, istri Adam as. yakni
Hawa melahirkan anak-anak Adam as. sebanyak 20 kali. Namun, setiap
kelahiran selalu kembar putra dan putri. Dan diantara sekian banyak anak
adam, terdapat kisah yang menjadi awal mula pembunuhan di muka
bumi. Pembunuhan itu dilakukan oleh Qabil terhadap adiknya yang
bernama Habil. Nabi Adam as. menikahkan Qabil dengan kembaran
Habil, begitu juga sebaliknya. Namun Qabil menolak karena dia merasa
lebih tua daripada Habil dan kembarannya lahir bersama dirinya. 12
11
Manna’ Khalil Al-Qaththan, Ibid, h. 436 12
Syahruddin El Fikri, Situs-Situs Dalam Al-Quran (Dari Banjir Hingga Bukit Tursina),
(Jakarta: Republika, 2010), h. 34
40
Nabi Adam memerintahkan keduanya untuk berkorban, siapa yang
korbannya diterima oleh Allah SWT maka dialah yang berhak atas
saudara sekelahiran dengan Qabil. Akhirnya Allah menerima kurban
Habil. Maka terjadilah Qabil membunuh saudaranya (Habil).13
Allah Ta’ala berfirman,
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan
Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil)
dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti
membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa".(Q.S. Al-Maidah ayat 27)14
Hal ini dijelaskan pula dalam hadis shohih:
Tidaklah jiwa seorang dibunuh secara aniyaya kecuali atas putra Adam
yang pertama menanggung darahnya, karena sesungguhnya ia orang
pertama yang mengadakan peraturan pembunuhan.
Ucapan Habil ketika diancam dibunuh oleh saudaranya (Qabil):
13
Muhammad Ali ash Shabuniy, Kenabian dan Para Nabi, Terj. Dari an Nubuwwah wal
Anbiya‟oleh Arifin Jamian Maun, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), h. 199 14
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2008), Cet.
10, h. 112 15
Muhammad Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Shohih Bukhori, (Beirut: Dar al-Hadist,
1987), juz. 3, h. 1213
41
Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku
kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah,
Tuhan seru sekalian alam. (Q.S. Al-Maidah ayat 28)16
Menunjukkan akhlak mulia yang dimiliki Habil, serta rasa takutnya
kepada Allah SWT, dan enggan membalas saudaranya itu dengan
keburukan serupa.
Firman Allah SWT,
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa
(membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni
neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang
zalim.
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang
diantara orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-Maidah ayat 29-30)17
Syaikh Salim bin Ied menjelaskan bahwa Habil tidak ingin membunuh
Qabil, meskipun ia lebih perkasa dan kuat dari pada Qabil. Jika Qabil
bersikeras membunuh Habil maka ia akan menanggung dosa setiap
16
Depag RI, op. cit., h. 112 17
Ibid., h. 113
42
pembunuhan dan dosa-dosanya sendiri yang pernah dilakukan
sebelumnya.18
firman Allah SWT:
kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di
bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai
celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak
ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu
jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.( Q.S. Al-
Maidah ayat 31)19
Sebagian ulama menyebutkan bahwasanya setelah Qabil membunuh
saudaranya (Habil), ia menggendongnya diatas punggungnya. Dan terus
menggendongnya sehingga Allah mengirimkan dua ekor burung gagak,
lalu kedua burung itu saling bertengkar dan akhirnya salah satunya
berhasil membunuh yang lainnya. Setelah membunuh saudaranya,
burung gagak itu turun ke tanah dan menggalinya untuk mengguburkan
saudaranya itu.
Dan Akhirnya Qabil melakukan apa yang dilakukan oleh burung
gagak tersebut, menggali tanah dan menguburkannya dalam lubang
tersebut.20
Kisah antara Habil dan Qobil di atas merupakan sebuah contoh
tokoh yang memiliki sifat baik dan buruk. Keburukan atau kejahatan
yang dilakukan oleh Qobil terhadap Habil yang baik telah merugikan
18
Salim bin Ied Hilali, Kisah Shahih Para Nabi,Terj dari Shahiih Qishashil Anbiya‟ oleh M.
Abdul Goffar, ( Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009), h. 69 19
Depag RI. Loc. Cit. 20
Salim, op. cit., h. 72-73
43
dirinya sendiri. Ia tidak hanya merugi di dunia, tetapi juga merugi di
akhirat. Karena perbuatan buruk akan dibalas dengan keburukan,
begitupun perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan oleh Allah SWT.
2. Kisah Nabi Nuh as.
Kisah mengenai Nabi Nuh as. merupakan kisah yang terdapat di
dalam Al-Qur’an dan diambil melalui pendekatan tafsir maudhu’i.
Sedangkan dalam segi macamnya, kisah mengenai Nabi Nuh as. ini
termasuk ke dalam macam yang ditinjau dari segi jenisnya, yakni jenis
kisah yang dibawa oleh Al-Quran. Kisah ini menceritakan tentang Nabi
dan Rasul terdahulu berikut sikap dan kesabarannya menghadapi aneka
ragam tanggapan dan tingkah laku kaumnya. Nabi dan Rasul tersebut telah
didustakan dan disakiti oleh kaum yang menentang, tetapi pada akhirnya ia
memperoleh kemenangan atas izin Allah, dan kaum kafir itu mendapatkan
siksaan karena perbuatannya sendiri.
Nabi Nuh as. diutus Allah SWT untuk mengajak kaumnya
menyembah Allah SWT. Dan selama kurang lebih 950 tahun. Syahruddin
menyatakan, dakwah Nabi Nuh as. yang panjang (tiga generasi kaumnya)
itu hanya mendapat pengikut sebanyak 70 orang dan delapan anggota
keluarganya.21
Firman Allah SWT:
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka
ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.
Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang
yang zalim.(Q.S. al-Ankabut ayat 14)
21
Syahruddin, op.cit. h. 50
44
Firman Allah SWT:
…
… dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.(Q.S.
Huud ayat 40)
Dan di dalam sektor yang lain, Nabi Nuh as. selalu memperoleh
kesakitan-kesakitan dari kaumnya..22
Firman Allah SWT:
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai
keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar…(Q.S. al-Ahqaf ayat
35)
Setiap pergantian generasi berlangsung, mereka senantiasa berpesan
kepada generasi penerus mereka agar tidak beriman kepada Nabi Nuh as.
dan supaya melawan dan melanggarnya. Ciri khas mereka adalah
senantiasa menolak iman dan enggan mengikuti kebenaran. Oleh karena
itu Allah berfirman:23
Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka
akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan
melahirkan selain anak yang berbuat ma'siat lagi sangat kafir.(Q.S.
Nuh ayat 27)
Karena itu pula, Allah berfirman:
22
Muhammad, op. cit., h. 220 23
Salim, op. cit., h. 130
45
Mereka berkata "Hai Nuh, Sesungguhnya kamu telah berbantah
dengan Kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap
Kami, Maka datangkanlah kepada Kami azab yang kamu ancamkan
kepada Kami, jika kamu Termasuk orang-orang yang benar".
Nuh menjawab: "Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu
kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat
melepaskan diri.(Q.S. Hud ayat 32-33)
Syaikh Salim bin Ied al-Hilali menjelaskan bahwa yang mampu
melakukan itu hanya Allah SWT. Tidak akan ada sesuatu pun yang lepas
dari-Nya.24
Setelah berdakwah siang malam namun kaumnya tak juga mau
menerima kehadirannya sebagai utusan Allah SWT. Maka Nabi Nuh as.
berdoa agar kaumnya yang suka membangkang diberikan peringatan agar
mereka mau menyembah Allah SWT. Allah memerintahkan untuk
membuat kapal sebagai persiapan bila siksa Allah berupa banjir telah
datang.25
24
Ibid. 25
Syahruddin, loc. Cit.
46
Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan
beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja),
karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu
mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan
petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku
tentang orang-orang yang zalim itu, sesungguhnya mereka itu akan
ditenggelamkan. (Q.S Hud ayat 36-37)26
Nabi Nuh as. juga diperintahkan untuk membawa binatang dan semua
makhluk hidup dengan pasangan mereka masing-masing. Selain itu Nabi
Nuh as. juga diperintahkan untuk mebawa keluarganya, kecuali yang
sudah didakwahi tetapi tetap kafir. Dan juga diperintahkan agar tidak
meminta penangguhan lagi bagi kaumnya jika mereka telah tertimpa oleh
adzab.27
Firman Allah SWT:
Lalu Kami wahyukan kepadanya: "Buatlah bahtera di bawah penilikan
dan petunjuk Kami, Maka apabila perintah Kami telah datang dan
tanur (permukaan bumi) telah memancarkan air, Maka masukkanlah ke
dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga)
keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan
ditimpa azab) di antara mereka. dan janganlah kamu bicarakan dengan
aku tentang orang-orang yang zalim, karena Sesungguhnya mereka itu
akan ditenggelamkan.(Q.S. al-Mu’minun:27)
Firman Allah SWT:
26
Depag RI, op. cit., h.225 27
Salim, op. cit., h. 139
47
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana
gunung. dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di
tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama
Kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir."
Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang
dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha
Penyayang". dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya;
Maka jadilah anak itu Termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
(Q.S. Hud: 42-43)
Dijelaskan oleh syaikh Salim bin Ied bahwa putera Nabi Nuh as. yang
bernama Qan’an adalah seorang yang kafir dan tidak pernah berbuat amal
shalih. Ia menentang agama dan pendapat ayahnya, sehingga dia pun
binasa bersama orang-orang yang binasa. Namun demikian, banyak dari
mereka yang bukan keluarga Nabi Nuh as. yang selamat, karena mereka
sepaham dan seagama dengannya.28
Kisah mengenai Nabi Nuh as. diatas terdapat sebuah nilai yang sangat
berharga, yakni bahwa ia memiliki kesabaran yang besar dalam
berdakwah. Meskipun berdakwah selama ratusan tahun dengan hanya
mendapatkan 80 orang yang mau beriman serta mengikutinya, dan selalu
mendapat ejekan dari kaumnya yang membangkang, ia tetap sabar dalam
menghadapinya. Begitu pun terhadap keluarganya yang tidak mau
28
Salim, op. cit., h. 145
48
mengikutinya, ia tetap berusaha membujuk serta mengajaknya untuk
beriman kepada Allah SWT.
3. Kisah Kelahiran Nabi Musa as.
Kisah mengenai Nabi Musa as. merupakan kisah yang terdapat di
dalam Al-Qur’an dan diambil melalui pendekatan tafsir maudhu’i.
Sedangkan dalam segi macamnya, kisah Nabi Musa as. ini merupakan
macam kisah yang ditinjau dari sudut isinya, yakni kisah yang menyangkut
seorang Nabi atau Rasul. Kisah ini mengandung dakwahnya kepada
kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-
orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya
serta akibat-akibat yang diterima mereka yang mempercayai dan golongan
yang mendustakannya.
Nabi Musa as. dilahirkan di zaman tagut, yakni pada zaman Fir’aun
yang sombong dan memusuhi Allah SWT. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam Al-Quran surah Al-Qhashas ayat 4
Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi
dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas
segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya
Fir'aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S. Al-
Qhashas ayat 4)29
Syaikh Salim bin Ied menjelaskan bahwa Fir’aun telah berbuat
sewenang-wenang, lebih mengutamakan kehidupan dunia dan menolak
29
Depag RI, op. cit., h. 385
49
berbuat taat kepada Allah SWT. Fir’aun membagi rakyatnya menjadi
beberapa kelompok, dia juga menindas satu kelompok dari mereka yaitu
Bani Israil yang termasuk dalam garis silsilah Nabi Ya’kub.30
Di ayat tersebut Syaikh Salim bin Ied menjelaskan bahwa Fir’aun
berusaha keras dan mati-matian agar Nabi Musa as.tidak lahir ke dunia,
bahkan dia mengutus beberapa orang dan kabilah untuk mencari wanita-
wanita yang sedang hamil dan mendata waktu kelahirannya, sehingga
tidak ada seorang wanita pun yang melahirkan anak laki-laki melainkan
akan dibunuh. Oleh karena itu ibunda Nabi Musa as. mendapatkan ilham.31
Seperti dalam Al-Quran surah Al-Qhashas ayat 7-9:
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila
kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan
janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena
Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men-
jadikannya (salah seorang) dari Para rasul. Maka dipungutlah ia oleh
keluarga Fir'aun yang akibatnya Dia menja- di musuh dan Kesedihan
bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Ha-man beserta tentaranya
adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah isteri Fir'aun:
"(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. janganlah kamu
30
Salim, op.cit. h. 25 31
Ibid., h. 27
50
membunuhnya, Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita
ambil ia menjadi anak", sedang mereka tiada menyadari.32
Ayat diatas menunjukkan janji Allah SWT yang akan mengembalikan
Nabi Musa as. ke pangkuan ibunya. Ibunda Nabi Musa as. melakukan
perintah Allah dengan meletakkannya di peti, lalu menghanyutkannya.
Hingga akhirnya melewati tempat tinggal Fir’aun, dan keluarga Fir’aun
memungutnya. Sebagian ulama mengatakan huruf laam pada ayat
(maka pungutlah dia) menunjukkan laam al’aaqibah yang berarti
bergantung pada kandungan pembicaraan, bahwa keluarga Fir’aun
memungut bayi yaitu nabi Musa.
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa para budak perempuan Fir’aun
telah memungut Nabi Musa as. Namun mereka tidak berani membukanya,
hingga mereka meletakkannya dihadapan istri Fir’aun yang bernama
Asiyah binti Muzahim.
Setelah Nabi Musa as. tinggal dirumah Fir’aun, wanita-wanita didekat
dekat Fir’aun ingin menyusuinya, tetapi Nabi Musa as. menolak dan tidak
mau makan. Kemudian Nabi Musa as. dibawa ke pasar, untuk
mendapatkan wanita yang tepat untuk menyusuinya.33
Hal ini dijelaskan
dalam Firman Allah surat al-Qhashas ayat 12:
Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan
yang mau menyusui(nya) sebelum itu; Maka berkatalah saudara Musa:
"Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan
32
Depag RI, ibid., h. 386 33
Salim, op.cit. h. 36
51
memeliharanya untukmu dan mereka dapat Berlaku baik
kepadanya?".34
Ibnu Abbas mengatakan: setelah saudara perempuan Nabi Musa as.
berkata “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan
memeliharanya untukmu dan mereka dapat Berlaku baik kepadanya?”
maka mereka berkata: Dari mana kamu tahu kalau mereka akan
memelihara dan berlaku baik terhadapnya? Saudara perempuan itu pun
menjawab: “ mereka hanya ingin membahagiakan raja dan mengharap
kebaikannya.” Dan Nabi Musa as. dibawa kerumah Ibunya dan langsung
meminum susunya. Firman Allah SWT surat al-Qhashas ayat 13:
Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya
dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu
adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.35
Ayat diatas menunjukkan janji Allah untuk mengembalikan Nabi
Musa as. disisi Ibunya dan mengangkatnya sebagai Rasul.
D. Manfaat Kisah-Kisah Al-Quran
Mengenai manfaat dari kisah-kisah Al-Quran, antara lain,
a) Orang tua dapat mengenalkan figur manusia-manusia yang terbaik,
yaitu para nabi.
b) Menghindarkan anak dari bersikap seperti tokoh manusia yang tidak
baik, seperti Qabil.
34
Depag RI, op. cit., h. 386 35
Ibid
52
Dengan demikian, anak-anak akan terangsang untuk
mengidetifikasikan dirinya sesuai dengan perilaku figur merekaatau
bukan.
Di samping itu terdapat beberapa kegunaan yang lain dari aktivitas
berkisah di lingkungan keluarga sebagaimana yang diungkapkan oleh
Nunu Achdiyat di antaranya adalah;
a) Membantu pengajaran Al-Quran.
b) Membantu pembentukan watak dasar.
c) Membantu terciptanya hubungan harmonis.
Manna’ Al Qathan juga menyebutkan faedah mempelajari kisah-
kisah dalam Al-Quran :
a) Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan
pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para Nabi.
b) Memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang kebenaran dan
para pendukung Nabi serta hancurnya kebathilan dan para
pembelanya.
c) Membenarkan para Nabi terdahulu, menghidupkan ketenangan
terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
d) Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad dalam dakwahnya
dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang
terdahulu di sepanjang kurun dan generasi
Di samping itu, kisah perlu dilaksanakan dalam sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal, karena hal ini mempunyai beberapa
kegunaan di antaranya adalah:
a) Membantu minat anak terhadap sejarah.
b) Membantu anak bersikap ilmiah berdasarkan keimanan.36
36
Nunu Achdiat, Seni Berkisah; Memandu Anak Memahami Al-Quran, h. 75-77
53
Pengajaran melalui kisah-kisah dapat dilakukan dengan memutar
media ataupun dengan menggunakan gambar-gambar, sehingga
memudahkan sang anak mengimajinasikan cerita. Mengajar melalui kisah
dalam Al-Quran lebih efektif karena dapat sekaligus mengajarkan dan
mengajak mereka untuk lebih mempercayai kitab suci Al-Quran yang
telah diturunkan oleh Allah swt. Serta dapat menumbuhkembangkan
keimanan pada diri anak sejak dini. Kisah yang diambil dari Al-Quran
adalah sebaik-baik kisah yang harus diajarkan kepada anak-anak.
54
BAB IV
ANALISIS KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN MENGENAI
KECERDASAN EMOSIONAL PADA PERKEMBANGAN
ANAK USIA 6–9 TAHUN
A. Aspek-aspek Kemahiran Kecerdasan Emosional Pada Perkembangan
Anak Usia 6 – 9 Tahun Melalui Kisah-kisah dalam Al-Quran
1. KemahiranMengenaliEmosiDiri
a. Emosi Qabil terhadap Habil
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan
Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua
(Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil):
"Aku pasti membunuhmu!". berkataHabil: "Sesungguhnya Allah
55
hanyamenerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".(Q.S. Al-
Maidah ayat 27)1
Ayat ini merupakan sebuah peringatan dari Allah bahwa kezhaliman
dan pelanggaran janji yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi adalah
sama dengan kezhaliman yang dilakukan seorang putra Adam
terhadap saudaranya.
Makna ayat di atas adalah, jika orang-orang Yahudi itu hendak
membunuhmu wahai Muhammad, maka sesungguhnya mereka telah
membunuh para nabi sebelum kamu, dan Qabil pun membunuh Habil.
Kejahatan itu, telah ada sejak dahulu kala. Yakni, kisah ini
mengingatkan kepada mereka.2
Kedua putra Adam as., yakni Qabil dan Habil berkurban kepada
Allah. Kurban Qabil adalah segenggam sunbulah (benih) – sebab dia
adalah seorang petani – yang dipilihnya dari tanamannya yang paling
jelek. Dia kemudian menemukan sunbulah yang baik, namun dia
justru memecahkannya dan memakannya. Sedangkan kurban Habil
adalah seekor Kibasy – sebab dia adalah seorang peternak kambing –
yang diambilnya dari kambingnya yang paling baik. “maka diterima”
(kurban Habil) dan kambing itu pun diangkat ke surga.
Ketika kurban Habil diterima, sebab dia adalah orang yang beriman,
maka Qabil pun berkata kepadanya karena perasaan Hasud – sebab dia
adalah orang yang kafir, “Akankah engkau berjalan di muka bumi
dimana manusia melihatmu lebih baik dariku? „Aku pasti
membunuhmu!”. Habil berkata, “Mengapa engkau akan
membunuhku, sementara aku tidak melakukan kesalahan apapun?
Aku juga tidak berdosa bila Allah menerima kurbanku. Adapun
(karena) aku bertakwa kepada Allah dan menetapi kebenaran,
1 Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2008), Cet. X,
h. 112 2Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi Juz VI, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 319-
320
56
sesungguhnya Allah itu hanya akan menerima (kurban) dari orang-
orang yang bertakwa”.3
Kisah di atas menunjukkan emosi yang tidak mencerminkan pribadi
yang baik bagi seorang anak. Anak 6 sampai 9 tahun akan mengenali
dan merasakan emosi dari masing-masing perilaku Qabil dan Habil.
Anak yang tidak dapat mengenali emosi dirinya maka akan seperti
Qabil yang langsung marah ketika kurban yang diberikannya tidak
diterima Allah. SWT.
Anak usia 6 – 9 tahun yang memiliki emosi yang baik adalah
anak yang dapat mengendalikan emosinya tersebut tatkala berada pada
kondisi apapun, sebagaimana kisah tersebut menggambarkan sebuah
pertikaian dengan saudara kandungnya sendiri dikarenakan tidak
dapat mengalahkan emosi yang muncul pada suatu masalah tertentu.
b. Emosi Fir‟aun terhadap penduduknya
Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi
dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas
segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
SesungguhnyaFir'aunTermasuk orang-orang yang
berbuatkerusakan.(Q.S. Al-Qhashasayat 4)
Ayat ini menyatakan, Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-
wenang di muka bumi baik terhadap Allah dengan mengakui dirinya
sebagai tuhan, dan juga kepada manusia dengan menjadikan penduduk
negeri Mesir yang dikuasai-nyaberpecah belah menjadi dua kelompok
besar. Pertama, masyarakat Mesir dan kedua, masyarakat Bani Isra‟il.
Kesewenang-wenangan itu antara lain dengan menindas segolongan
3Syaikh Imam Al Qurthubi,ibid., h. 320-324
57
dari mereka yakni golongan Bani Isra‟il, dengan menyembelih secara
kejam dan dalam jumlah yang banyak anak laki-laki merekadan
membiarkan hidup sambil mempermalukan perempuan-perempuan
mereka. Sesungguhnya dia, yakni Fir‟aun adalah salah seorang yang
termasuk kelompok para perusak, yang telah mendarah daging lagi
membudaya secara mantap sifat buruk dalam kepribadiannya.4
Kisah Fir‟aun di atas menggambarkan sebuah emosi yang tidak baik
bagi rakyatnya ataupun orang lain yang hidup bersamanya.
Anak akan mengenali emosi Fir‟aun yang sewenang-wenang terhadap
rakyatnya karena egois mementingkan kehidupan dunia dibandingkan
beriman kepada Allah. SWT. emosi tersebut merupakan emosi yang
negatif atau buruk dan tidak patut ditiru.Sebagaimana halnya emosi
anak usia 6 – 9 tahun terhadap teman-temannya, baik di sekolah
maupun di lingkungan bermain di sekitarnya, harus dapat
menunjukkan emosi yang baik dengan tidak merugikan atau melukai
jasmani maupun rohani temannya sendiri.
c. Emosi Nabi Nuh as. terhadap kaumnya
SesungguhnyajikaEngkaubiarkanmerekatinggal,
niscayamerekaakanmenyesatkanhamba-hamba-Mu,
danmerekatidakakanmelahirkanselainanak yang
berbuatma'siatlagisangatkafir.(Q.S. Nuhayat 27)
Ayat diatas menjelaskan emosi Nabi Nuh as. terhadap kaumnya
merupakan sebuah gambaran tentang pelaksanaan perintah Allah
dalam memisahkan kaumnya yang beriman dengan yang kafir. Begitu
pun pada diri anak usia 6 – 9 tahun harus memiliki emosi untuk dapat
memilih teman bermain atau bergaul. Karena emosi memilih teman
bermain atau bergaul dapat menentukan baik atau buruknya
perkembangan anak tersebut.
4M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah vol 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 304
58
Dari analisis kisah-kisah diatas, yang dimaksud anak mahir dalam
mengenali emosi diri diantaranya adalah:
a) Mampu memperbaiki dalam mengenali dan merasakam
emosi sendiri.
b) Mampu mengenali emosinya dan pengaruhnya.
c) Mampu bersifat optimis.
Adapun cara dalam penyampaian kisah pada aspek kemahiran ini yang
harus ditekankan adalah dari segi intonasi suara, ekspresi dan nasehat
pada akhir cerita.5 Kisah-kisah mengenai pengenalan emosi pada anak
seusia itu akan terfokus jika disampaikan dengan ekspresi tertentu
seperti ekspresi ketika marah, sedih, dan lain sebagainya. Selain itu,
gerak anggota tubuh juga dapat membuat anak merasakan seperti
kisah yang sedang terjadi. Karena sebuah ekspresi dan gerak tubuh
dalam hal menyampaikan akan mengantarkan pikiran anak tersebut
menjadi sesuatu yang menarik. Dan dengan memberikan nasehat akan
membuat anak lebih memahami hikmah dari kisah-kisah yang
disampaikan.Selainitudapatdilakukandenganmemutar media
ataupunmenggunakangambar-gambar,
sehinggamemudahkananakmengimajinasikancerita.
2. KemahiranMengelola EmosiDiri
a. Ketakwaan Habil kepada Allah
Sungguhkalaukamumenggerakkantanganmukepadakuuntukmembunuh
ku, akusekali-kali
tidakakanmenggerakkantangankukepadamuuntukmembunuhmu.
5Tim Pendongeng SPA Yogyakarta, Teknik Bercerita, (Yogyakarta : PT. Kurnia Kalam
Semesta, 2010), Cet. Ke-3, h. 38
59
Sesungguhnyaakutakutkepada Allah, Tuhanserusekalianalam. (Q.S.
Al-Maidah ayat 28)6
Firman Allah ta‟ala, “sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu
kepadaku”, yakni, jika engkau bermaksud untuk membunuhku, maka
aku tidak bermaksud membunuhmu. Ini merupakan kepasrahan dari
Habil. Dalam hadits dinyatakan: “Jika fitnah meletus, maka jadilah
engkau seperti orang yang terbaik dari dua putra Adam as.”.
Makna dari firman Allah tersebut adalah, aku tidak bermaksud
membunuhmu, akan tetapi aku bermaksud untuk membela diri (karena
Habil lebih kuat dari padanya). Berdasarkan pendapat ini dikatakan,
Habil sedang tidur, lalu Qabil datang dan memukul kepalanya dengan
batu. Kemudian sebelum di akhir hayatnya, Habil berkata kepadanya,
aku tidak akan berbuat zhalim, sesungguhnya aku takut kepada Allah
Tuhan seru sekalian alam.7
Kisah Habil di atas menggambarkan sebuah pengelolaan emosi yang
baik dengan tidak merubah keyakinan dan ketakwaannya kepada
Allah SWT. Seorang anak usia 6 – 9 tahun yang memiliki pengaturan
diri yang baik seperti yang dilukiskan Habil di atas, akan mampu
mengelola emosinya ketika mendapatkan suatu ancaman sehingga
mampu mengungkapkan emosi dengan tepat tanpa harus berkelahi
yang dapat merusak diri sendiri.
Dengan mengelola emosi dengan baik anak akan mempunyai
sebuah komitmen yang kuat untuk selalu berbuat baik yang bukan
hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kedua orangtuanya,
saudara-saudaranya, orang lain yang hidup disekitarnya, serta untuk
agama atau Tuhannya.
b. Keteguhan hati Ibu Nabi Musa as.
6 Depag RI, op. cit., h. 112
7Syaikh Imam Al Qurthubi,op.cit., 325-327
60
Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sesungguhnya hampir saja ia
menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya kami tidak teguhkan
hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji
Allah). (Al-Qashash ayat 10)
Ayat di atas menguraikan keadaan ibu Nabi Musa as. yang anaknya
berada di istana Fir‟aun. Ayat ini pula menyatakan, Dan menjadilah
hati ibu Musa kosong dari segala yang merisaukannya – setelah Allah
meneguhkan hatinya, sesungguhnya dia akibat kekhawaitannya yang
sangat mendalam – hampir saja menyatakannya, yakni mengakui
rahasia yang dipendamnya tentang Musa. Seandainya tidak Kami ikat
yakni teguhkan hatinya, pastilah dia mengakui bahwa anak yang
dipungut Fir‟aun itu adalah anak kandungnya. Peneguhan itu Kami
lakukan supaya ia termasuk orang-orang makmin yang mempercayai
janji-janji Allah SWT.8
Kisah Ibu Nabi Musa as. di atas mencerminkan seseorang yang dapat
menjaga amanah dengan baik, yakni dengan tidak membuka rahasia
meski hal tersebut berkaitan dengan anak kandungnya sendiri. Anak
usia 6 – 9 tahun yang telah mahir dalam mengelola emosinya adalah
anak yang dapat menjaga amanah yang telah diberikan kepadanya
tanpa mengurangi sedikitpun dari apa yang telah diamanahkannya
tersebut. Ia telah dapat bertekad untuk tidak merubah keteguhan
hatinya meskipun datang sesuatu yang hendak mengganggu hati dan
pikirannya.
c. Kesabaran Nabi Nuh as. dalam berdakwah
8M. Quraish Shihab, op.cit., h. 314
61
Makabersabarlahkamuseperti orang-orang yang
mempunyaiketeguhanhatidariRasul-rasultelahbersabar…(Q.S. al-
Ahqafayat 35)
Nuh as. adalah salah satu dari lima rasul yang mendapat gelar ulul
azmi. Kaitan dengan ayat diatas ditujukan kepada Nabi Muhammad
untuk bersabar dalam menghadapi kaumnya. Pada kata فبصبز “maka
bersabarlah”, wahai Muhammad atas apapun yang menimpamu di
jalan Allah, berupa siksaan orang-orang yang mendustakanmu dari
kaummu. ب صبز أونوا انعزو seperti orang-orang yang mempunyai“ ك
keteguhan hati”, dalam menunaikan perintah Allah dan tunduk
menaati-Nya dari kalangan rasul-Nya yang tidak terhalangi untuk
tetap menunaikan perintah-Nya meski mendapat siksa dan gangguan.
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa rasul-rasul ulum azmi
adalah mereka yang diuji dengan berbagai musibah di duniakarena
Allah, namun musibah itu justru semakin meneguhkan mereka dalam
menunaikan perintah Allah. Mereka adalah Musa, Nuh, Ibrahim, Isa,
dan Muhammad.9
Kisah Nabi Nuh as. di atas menggambarkan sebuah kesabaran
yang sangat besar dalam menghadapi kaumnya yang senantiasa
membangkang kepadanya yang sekian lama telah berjuang
menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka. Begitu juga bagi anak
usia 6 – 9 tahun yang mahir dalam pengaturan dirinya akan memiliki
kesabaran dalam menghadapi cobaan yang menimpanya. Ia tidak
merasa putus asa dan menyesal atas apa yang telah dilakukannya,
bahkan ia jadikan hal tersebut sebuah hikmah bagi dirinya serta
meningkatkan perjuangannya demi menggapai sesuatu yang hendak
dicapainya.
9Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009), h. 438
62
Dari analisis kisah-kisah diatas, yang dimaksud anak mahir dalam
mengelola emosi diri pada anakantara lain adalah:
a) Mampu mengendalikan jiwa.
b) Mampu memperkecil perasaan gelisah yang terjadi pda dirinya.
c) Mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi.
d) Mengurangi perilaku agresif atau merusak diri.
e) Mampu menghadapi kegagalan.
Adapun cara dalam penyampaian aspek kemahiran ini adalah dengan
mengajak anak tersebut untuk mengambil hikmah dari kisah-kisah di
atas baik dengan bercerita atau menggunakan perantara media
lainnya.10
Setelah menyampaikan sebuah kisah tertentu terutama
mengenai kisah tentang seorang tokoh di atas, harus terdapat
penyampaian nasehat di akhir kisah tersebut. Nasehat tersebut bersifat
singkat atau intinya saja dengan menuntut anak melakukan perbuatan
yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
3. KemahiranMemotivasiEmosiDiri
a. Balasan terhadap tindakan Qabil
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa)
dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi
penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-
orang yang zalim.
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah
membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia
seorang diantara orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-Maidah ayat
29-30)11
10
Tim Pendongeng SPA Yogyakarta, op.cit., h. 39 11
Ibid., h. 113
63
Dalam Firman Allah Ta‟ala ini, Habil berkata, “Sesungguhnya
aku tidak ingin membunuhmu. Dengan demikian, dosa yang akan
aku bawa jika aku ingin membunuhmu, aku harap akan engkau bawa
bersama dosamu karena membunuhku.
Makna ي adalah dosa yang dikhususkan kepadaku karena بإث
kesalahan-kesalahan yang aku perbuat. Maksudnya, dosa-dosaku
akan diambil dan ditimpakan kepadamu karena kezhalimanmu
terhadapku, dan engkaupun akan kembali membawa dosamu karena
membunuhku. Sebagaimana dalam sebuah hadis:
بأ ع : ي ىهس و يهع اهلل هيص اهلل لوسر بل: ق بلق ع اهلل يضر ةزيزي
وكي أ مب، قوويان ي مهحتيه، فءيش وأ ضزع ي يخأن تهظي ن جبك
ك . إىرد وأ بريد ن كي ىن إ ، وتهظي رذقب ي ذخأ حبنص مع ن ب
. )روا انبخبرى(يهع محف ببحص بثئيس ي ذخأ بثسح
“.... Rasulullah Saw. Bersabda: akan dilakukan pada hari kiamat
kepada orang yang zhalim dan dizhalimi, dimana kebaikan-kebaikan
orang yang zhalim akan diambil dan ditambahkan kepada kebaikan
orang-orang yang dizhalimi hingga lunas. Jika orang yang zhalim itu
tidak memiliki kebaikan, maka dosa-dosa orang yang dizhalimi akan
diambil dan ditimpakan kepada orang yang zhalim.”12
Selanjutnya, firman Allah Ta‟ala: “Maka hawa nafsu Qabil
menjadikannya menganggap mudah.” Yakni hawa nafsunya
membujuknya, membuatnya menganggap mudah, mendorongnya,
dan membentuk (pendapat) bahwa membunuh saudaranya
merupakan suatu perkara yang ringan dan mudah bagi dirinya.
Diriwayatkan bahwa Qabil tidak tahu bagaimana cara
membunuh Habil, lalu iblis datang dengan membawa seekor burung
12
Syaikh Imam Al Qurthubi,op.cit., h. 328
64
– atau binatang lainnya – dan memukul kepala yang berada di atas
batu dengan sebongkah batu supaya diikuti oleh Qabil, lalu Qabil
pun melakukan itu. Dan Setelah kejadian itu, “Maka jadilah ia
seorang diantara orang-orang yang merugi”, yakni dia merupakan
bagian dari orang-orang yang merugi kebaikannya.13
Kisah diatas menggambarkan sifat Qabil yang tidak baik
terhadap saudara kandungnya sendiri, yakni Habil. Ia tidak senang
jika saudaranya mendapatkan apa yang seharusnya ia miliki. Dari
rasa tidak senangnya tersebut, ia tega membunuh saudaranya
tersebut. Oleh karenanya, Allah menambahkan dosa kepadanya jika
ada yang melakukan perbuatan seperti apa yang telah ia perbuat
kepada saudara kandungnya.
Anak usia 6 – 9 tahun yang mahir dalam memotivasi dirinya
selalu berusaha untuk melakukan perbuatan baik. Karena sekecil-
kecilnya perbuatan baik akan mendapatkan balasan yang baik dari
Allah. Begitupun sebaliknya, sekecil-kecilnya perbuatan buruk akan
dibalas dengan keburukan oleh Allah.
b. Janji Allah kepada Ibu Nabi Musa as.
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila
kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil).
dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati,
karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu,
dan menjadikannya (salah seorang) dari Para rasul. (Al-Qashash
ayat 7)
13
Syaikh Imam Al Qurthubi, ibid., h. 332-337
65
Allah menetapkan bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Fir‟aun
menyangkut kepunahan kerajaannya pasti akan terjadi melalui
seseorang, yang dipersiapkan Allah untuk maksud tersebut. Dia
adalah Nabi Musa as. Ia lahir tanpa diketahui oleh Fir‟aun, namun
ibunya sangat khawatir. Ayat ini Allah menguraikan keadaan ibu
dan sang anak, sekaligus menjelaskan langkah pertama yang
dilakukan-Nya guna memenangkan orang-orang yang tertindas dan
mengalahkan Fir‟aun dan rezimnya.
Allah berfirman: Kami menetapkan segala sesuatu sesuai
kehendak Kami, dan untuk itu Kami wahyukan, yakni bisikan
berupa ilham kepada ibu Musa yang anaknya akan berperan dalam
kebinasaan Fir‟aun dan kekuasaannya – Kami ilhamkan bahwa,
Susuilah dia yakni anakmu itu dengan tenang bila engkau merasa
tidak ada yang memperhatikanmu. Dan apabila engkau khawatir
terhadapnya, misalnya khawatir ada yang engkau curigai melihatmu
menyusukan anak lelaki atau khawatir jangan sampai anakmu itu
dibunuh atas perintah Fir‟aun, maka jatuhkanlah dia ke sungai Nil
setelah meletakkannya di peti kecil yang dapat mengapung. Dan
janganlah engkau khawatir bahwa dia akan tenggelam atau mati
kelaparan, atau terganggu oleh apapun dan jangan pula bersedih
hati karena kepergiannya, karena sesungguhnyaKami akan
mengembalikannya kepadamu dalam keadaan sehat bugar. Dan
setelah dia dewasa, Kami akan menjadikannya salah seorang dari
kelompok para rasul yang Kami utus kepada Bani Isra‟il.14
Kisah di atas menggambarkan sebuah perjuangan seorang ibu
dalam melaksanakan perintah Allah SWT. untuk sementara waktu
berpisah dengan anaknya, yakni Musa. Allah menjanjikan suatu
kebaikan atas kesabarannya dengan mempertemukan kembali
dengan anaknya serta menjadikannya salah seorang rasul Allah.
14
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 309-310
66
Begitupun seorang anak usia 6 – 9 tahun yang dapat menghadapi
cobaan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan akan mendapatkan
balasan yang baik dari Allah di dunia bahkan di akhirat kelak.
Karena Allah itu selalu bersama dengan orang-orang yang sabar dan
janji Allah itu nyata.
c. Nasehat Allah kepada Nabi Nuh as.
Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan
beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman
(saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang
selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan
pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu
bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu,
sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.(Q.S Hud ayat 36-
37)15
Ayat ini menjelaskan tentang apa yang diduga Nabi Nuh as.
terhadap kaumnya adalah benar bahwa Allah telah menetapkan
kesesatan mereka, dengan Firman-Nya: Dan diwahyukan oleh Allah
SWT kepada Nuh, bahwa setelah ini sekali-kali tidak seorang pun
akan beriman di antara kaummu yang selama ini keras kepala dan
menolak kerasulanmu, selain orang yang sebelum ini benar-benar
telah beriman, maka karena itu janganlah engkau bersedih hati
tentang apa yang selalu mereka kerjakan antara lain menolak
kerasulanmu, mendurhakai tuntunanmu lagi menyakiti hatimu,
karena tak lama lagi Kami akan menjatuhkan hukuman atas mereka.
Ketika itulah Nabi Nuh as. mengadu kepada Allah dan
bermohon. Maka Allah SWT mengabulkan permohonannya itu
15
Depag RI, op. cit., h.225
67
danAllah berfirman: buatlah sebuah behtera untuk
menyelamatkanmu dan pengikut-pengikutmu dengan pengawasan
Kamidan petunjuk wahyu Kami dalam tata cara membuatnya, dan
janganlah engkau bicarakan dengan Aku dalam bentuk dan hal apa
pun tentang orang-orang yang zalim itu misalnya dengan memohon
agar mereka Aku maafkan, atau Aku tangguhkan atau ringankan
siksa-Ku, karena keputusan-Ku telah Kutetapkan bahwa
sesungguhnya mereka akan ditenggelamkan.16
Kisah di atas menggambarkan sebuah perjuangan Nabi Nuh as.
dalam berdakwah terhadap kaumnya, akan tetapi banyak dari
kaumnya tersebut tidak mau mengikutinya. Allah telah memberikan
wahyu kepada Nuh untuk menyelamatkan kaumnya yang beriman
dan menenggelamkan kaumnya yang sesat. Seorang anak usia 6 – 9
tahun yang memiliki kemahiran dalam memotivasi dirinya akan
selalu memilih kebaikan daripada keburukan. Ia akan selalu
mengambil suatu kebaikan meskipun susah mendapatkannya
daripada mengambil suatu keburukan yang mudah untuk didapatkan.
Dari analisis kisah-kisah diatas, yang dimaksud anak mahir dalam
memotivasi diri sendiri diantaranya adalah:
a) Mampu bertanggung jawab.
b) Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
dan menaruh perhatian.
c) Menambahkan semangat.
Adapun cara dalam penyampaian aspek kemahiran ini adalah
dengan menjelaskan kisah-kisah di atas apa adanya, tanpa
menambahkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu karena akan
mengganggu keotentikan dari kisah tersebut.17
Selain itu juga karena
dalam sebuah kisah terdapat peristiwa atau perbuatan yang telah
dilakukan oleh tokoh tertentu yang mengandung akibat atau dampak
16
M. Quraish Shihab, op.cit., h. 249 17
Tim Pendongeng SPA Yogyakarta, lok.cit., h. 38
68
positif maupun negatif. Menyampaikan dampak dari sebuah
perbuatan akan memotivasi anak untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan tersebut.
4. KemahiranMengenali Emosi Orang Lain
a. Qabil tidak membiarkan mayat Habil
kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di
bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai
celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak
ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu
jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.( Q.S. Al-
Maidah ayat 31)18
Firman Allah Ta‟ala: “kemudian Allah menyuruh seekor burung
gagak menggali-gali di bumi.” Allah mengirim dua ekor burung
gagak, lalu keduanya berkelahi hingga salah satunya berhasil
membunuh temannya, kemudian dia menggali lubang dan
menguburkannya.
Dari burung gagak itu maka Qabil dapat menguburkannya. Ketika
itulah Qabil berkata, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu
berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?‟ karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang
yang menyesal.” Sebab dia melihat Allah memuliakan Habil, yaitu
dengan mengirimkan burung gagak kepadanya hingga burung gagak
tersebut menguburkan temannya yang mati. Namun penyesalan
tersebut bukanlah penyesalan taubat. Penyesalan Qabil itu
18
Depag RI. Loc. Cit.
69
dikarenakan dia telah kehilangan Habil, bukan karena dia telah
membunuhnya. Kalau pun penyesalan itu adalah penyesalan taubat,
penyesalan itu tidak mencukupi syarat-syarat taubat, atau penyesalan
itu hanyalah penyesalan sesaat dan tidak kontinyu.19
Seorang anak usia 6 – 9 tahun dilahirkan telah memiliki rasa
sosial sebagai salah satu ciri sifat kemanusiaan sebagai tanda empati
terhadap sesama. Mahir dalam empati menempatkan anak tersebut
pada posisi yang menjadikannya sebagai makhluk sosial.
Sebagaimana pada kisah di atas, meskipun sejahat-jahatnya Qobil, ia
tetap tidak menelantarkan jasad Habil yang telah ia bunuh. Ia
menguburkannya secara manusiawi walaupun tindakan membunuh
saudaranya tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji.
b. Menyenangkan hati Ibu Nabi Musa as.
Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya
dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah
itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya.(Al-Qashash ayat 13)
Ayat ini adalah lanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan
tentang pencegahan Allah terhadap para wanita yang hendak
menyusui musa yang disertai dengan penawaran tentang siapa yang
mampu menyusui Musa. Maka inilah janji Allah dengan mengatakan,
kami mengembalikan kepada, yakni ke pangkuan ibunya,
supayasenang hatinya melalui kebersamaan sang ibu dengan anaknya
dan tanpa rasa takut atau sembunyi.sembunyi, dan agar dia tidak
berduka cita akibat kejauhan atau kecemasannya, dan supaya ia
mengetahui dengan pengetahuan berdasar ilmu yang mantap, yaitu
19
Syaikh Imam Al Qurthubi,op.cit., 339-340
70
“ain al-yaqin” bahwa janji Allah benar adanya, yakni sesuai dengan
kenyataan. Demikianlah adanya, tetapi kebanyakan mereka, yakni
rezim Fir‟aun bahkan manusia tidak mengetahui.20
Kisah di atas menggambarkan tentang keadaan ibu dari Nabi
Musa as. yang sedang berada dalam sebuah kesedihan. Ia sangat
merindukan anaknya, yakni Musa yang rindu akan air susu ibunya.
Akan tetapi, Allah SWT. telah menghiburnya sehingga ia telah dapat
menghilangkan kesedihannya tersebut. Anak usia 6 – 9 tahun yang
memiliki kemahiran empati akan selalu merasa tidak tenang jika di
sekitanya terdapat orang lain sedang dalam kesusahannya. Ia akan
berusaha membantu dan menghiburnya agar beban yang dialaminya
terasa berkurang.
c. Usaha Nabi Nuh as. membujuk anaknya
Dan
bahteraituberlayarmembawamerekadalamgelombanglaksanagunung-
gunung.danNuhmemanggilanaknya,sedangdiaberada di
tempatterpencil: "Haianakku, naiklahbersama Kami
danjanganlahberadabersama orang-orang yang kafir."
Anaknyamenjawab: "Akuakanmencariperlindungankegunung yang
dapatmemeliharakudari air bah!" Nuhberkata:
"tidakadapelindunghariinidariketetapan Allah selainsiapa yang
dirahmati". dangelombangmenjadipenghalangantarakeduanya;
Makajadilahdiatermasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Q.S.
Hud: 42-43)
20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 10, h. 315-316
71
Ayat di atas menjelaskan para penumpang yang berada di dalam
bahtera Nabi Nuh as. menyebut nama Allah SWT. dan menghayati
makna-makna ucapan yang diajarkan Nabi Nuh as. itu dan pada saat
sama bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang yang
demikian besar dan tinggi laksana gunung-gunung dan sebelum itu
Nabi Nuhmemanggil anaknya sedang dia anaknya itu berada di
tempat yang jauh terpencil serta jauh pula dari tuntunan agama yang
diajarkan sang ayah, maka ia berseru dengan penuh kasih dan harap
kepada anaknya, “Hai anakku yang kusayang, naiklah ke kapal
bersama kami agar engkau selamat dan janganlah berada dalam
bentuk dan keadaan apapun bersama orang-orang yang kafir, karena
tidak satu orang kafir pun hari ini yang akan diselamatkan Allah.”
Dia, yakni anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan
ke gunung yang tinggi yang dapat memeliharaku dari air bah
sehingga aku selamat, tidak tenggelam!” Dia yakni Nabi Nuh
berkata, “Tidak ada pelindung yang dapat melindungi sesuatu pada
hari ini dari ketetapan Allah, yakni ketetapan-Nya menjadikan air
membumbung tinngi dan ombak gelombang yang menggunung selain
siapa yang dirahmati oleh-Nya.”
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; yakni antara
ayah dan anak, atau antara anak dan gunung yang akan dicapainya
sehingga mereka tidak dapat melanjutkan percakapan, dan sang anak
pun tidak dapat selamat bahkan sang anak tidak dapat lagi melihat
anaknya dengan datangnya ombak yang besar, maka serta merta dan
dengan cepat jadilah dia, yakni putra Nabi Nuh as. itu termasuk
orang-orang yang ketika itu juga benar-benar telah ditenggelamkan.21
Pencerminan atas kisah Nabi Nuh bersama anaknya merupakan suatu
pertentangan mengenai keyakinan yang dimiliki oleh keduanya.
Meskipun anaknya telah durhaka kepadanya, tetapi ia tidak akan
21
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah vol 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 256
72
membiarkan anaknya berada dalam sebuah kesesatan, ia selalu
berusaha dengan cara membujuknya sampai ajal menjemputnya.
Seorang anak usia 6 – 9 tahun harus saling menasehati satu sama lain
untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak baik. Jangan sampai
salah satu dari temannya tersebut berada dalam kesesatan dan selalu
berbuat dosa.
Dari analisis kisah-kisah diatas, yang dimaksud anak mahir dalam empati
diantaranya adalah:
a) Suka menolong orang lain.
b) Tidak egois.
c) Membaca pesan orang lain, baik yang diutarakan langsung
dengan kata-kata maupun tidak.
d) Mengenali perasaan dan emosi orang lain.
e) Mengetahui kebutuhan orang lain.
Adapun cara dalam penyampaian aspek kemahiran ini adalah dengan
memberikan contoh perilaku tertentu, yakni melalui pergerakan tubuh.
Anak seusia itu lebih suka dan peka terhadap kejadian atau perilaku yang
sedang dilihatnya. Penyampaian cerita dengan cara tersebut akan
mentransfer sikap pendengar (anak) seperti apa yang telah dicontohkan
kepadanya. Oleh karenanya, penyampaian cerita dengan cara ini sangat
penting bagi anak untuk diteladani atau berperilaku baik yang bukan
hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang
lain.Selainitudapatdilakukandenganmemutar media
ataupunmenggunakangambar-gambar,
sehinggamemudahkananakmengimajinasikancerita.
5. KemahiranMembinaHubunganDengan Orang Lain
a. Nabi Adam as. mengadakan kurban
73
....
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan
Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua
(Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil)...(Q.S. Al-Maidah
ayat 27)22
Ayat diatas merupakan penjelasan mengenai perselisihan kedua putera
Adam as. dalam memperebutkan seorang wanita yang untuk dinikahi.
Padahal semuanya telah diatur bahwa pernikahan keturunan Nabi
Adamas. dilakukan melalui persilangan dari setiap anak yang lahir
kembar siam, yaitu laki-laki dan perempuan. Tetapi ada salah satu
keturunan Adam yang hendak melanggar peraturan tersebut, yaitu
Qabil.
Awalnya Qabil ingin menikahi saudari kembarnya sendiri yang
merupakan jodoh bagi saudaranya yang lain, yaitu Habil. Oleh karena
itu, Adam memerintahkan keduanya untuk mempersembahkan
korban kepada Allah SWT. yang bertujuan untuk mengetahui korban
siapa yang diterima oleh Allah SWT, maka dialah yang berhak
menikahi wanita tersebut.23
Kisah di atas menggambarkan sebuah jalan keluar untuk memecahkan
masalah diantara perselisihan kedua putra Adam as. Nabi Adam as.
mengadakan sebuah perlombaan untuk menentukan siapa yang berhak
menjadi pasangan bagi wanita yang sedang diperebutkan. Begitu juga
bagi seorang anak, anak usia 6 – 9 tahun yang sedang berada dalam
suatu masalah dengan temannya harus dapat diselesaikan dengan cara
sehat sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak mengarah kepada
sebuah perpecahan.
22
Depag RI, op. cit., h. 112 23
Ahmad Bahjat, Nabi-nabi Allah, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 50-51
74
b. Menunjukkan solusi terbaik
Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-
perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; Maka
berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan
kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan
mereka dapat Berlaku baik kepadanya?".(Al-Qashash ayat 12)
Ayat di atas menguraikan bagaimana Allah SWT. mengembalikan
Musa as. ke pangkuan ibunya. Allah berfirman: Dan Kami cegah
atasnya, yakni Allah menjadikan Musa enggan menyusu kepada
para wanita yang bersedia menyusukan dan dihadirkan untuk
menyusukannya sebelum itu, yakni sebelum musa dikembalikan
kepada ibunya. Maka saudara Nabi Musa as. Itu menampakkan
dirinya sebagai salah seorang yang bersedia membawa seorang
yang dapat menyusukannya dan berkatalah dia, yakni: “Maukah
aku tunjukkan kepada kamu, keluarga yang akan memeliharanya
untuk kamu mereka terhadapnya akan berlaku baik?”. Maka
keluarga Fir‟aun menyetujui penawaran tersebut.24
Kisah di atas mencerminkan sebuah pemecahan masalah yang baik
dan bermanfaat bagi orangtua si anak dan keluarga Fir‟aun.
Pemecahan masalah tersebut merupakan solusi terbaik yang
diberikan kepada sang Ibu kandung yang sekian lama rindu kepada
anaknya yakni Nabi Musa as. untuk disusui, begitu pun bagi
keluarga Fir‟aun yang merasa tenang dengan adanya orang yang
dapat menyusui si anak.
Anak usia 6 – 9 tahun yang mahir dalam membina hubungan baik
dengan orang lain atau temannya selalu memberikan solusi yang
24
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 315
75
baik dalam memecahkan suatu permasalahan agar sebuah
hubungan tetap terjalin dengan baik. Ia akan merasa tidak tenang
bila ada suatu masalah yang belum diselesaikan dengan temannya
atau diantara teman-temannya.
c. Kepedulian Nabi Nuh as. terhadap kaumnya yang beriman
Lalu Kami wahyukankepadanya: "Buatlahbahtera di
bawahpenilikandanpetunjuk Kami, MakaapabilaperintahKami
telahdatangdantanur (permukaanbumi)telahmemancarkan air,
Makamasukkanlahkedalambahteraitusepasangdaritiap-tiap
(jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang
telahlebihdahuluditetapkan (akanditimpaazab) di antaramereka.
danjanganlahkamubicarakandenganakutentang orang-orang yang
zalim, karenaSesungguhnyamerekaituakanditenggelamkan.(Q.S.
al-Mu‟minun:27)
Kisah diatas memberikan gambaran tentang betapa penting dan
berharganya suatu kaum yang beriman serta mau mengikuti jalan
nabi Nuh as. Ia sangat peduli dengan mereka dan tidak ingin salah
satu dari mereka celaka atau hilang. Oleh karenanya ia
memutuskan untuk membuat sebuah bahtera agar mereka
terlindung dari musibah banjir besar yang hendak
menenggelamkan kota mereka.
Seorang anak usia 6 – 9 tahun dalam menjalin hubungan baik
dengan temannya akan selalu peduli di setiap keadaannya baik
susah maupun senang. Terlebih dalam keadaan susah, ia akan
bersedia hati menolong atau membantunya. Ia tidak akan
membiarkan dirinya senang di atas penderitaan temannya. Ia selalu
76
merasa gelisah sebelum ia dapat menghilangkan kesusahan yang
ada pada diri temannya.
Dari beberapa analisis diatas, yang dimaksud anak mahir dalam
membina hubungan dengan orang lain diantaranya adalah:
a) Mampu mendengar orang lain secara efektif.
b) Mampu memecahkan masalah tertentu.
c) Mampu menahan beban dan mampu bertoleransi.
d) Mampu meringankan beban dan penderitaan orang lain.
e) Mampu bersikap tegas dan keras tanpa memperlihatkan sikap
marah dan negatif.
f) Mampu bekerja dalam kelompok atau team.
g) Mampu menganalisis diri dan orang lain.
h) Mampu membaca sikap dan keadaan sosial.
Adapun cara dalam penyampaian aspek kemahiran ini adalah
dengan memberikan arahan kepada anak-anak sebelum dimulainya
bercerita dari anak yang sekiranya telah mengetahui cerita atau
kisah tersebut untuk tidak mengganggu teman-temannya yang ingin
mendengarnya.25
Permulaan semacam ini telah mendidik anak
untuk dapat menghargai orang lain dengan tidak mengganggu
temannya dalam mendengarkan kisah yang belum mereka ketahui.
Selainitudapatdilakukandenganmemutar media
ataupunmenggunakangambar-gambar,
sehinggamemudahkananakmengimajinasikancerita.
B. UpayaPenerapanKecerdasanEmosionalPadaAnakUsia 6 – 9 Tahun
Sebelum seorang anak mencapai usia antara 6 – 9 tahun, pada usia 5 tahun ia
mulai mampu menjaga rahasia yang merupakan keterampilan atau
kemampuan menyembunyikan inforamasi-informasi secara terarah dan
sensitif. Jika fase ini dilalui secara alamiah dan sehat, anak yang mencapai
25
Tim Pendongeng SPA Yogyakarta, lok.cit., h. 39
77
usia 6 tahun akan memiliki keterikatan yang baik dengan kedua orangtuanya.
Dan dalam batas tertentu akan terhindar dari ketakuan dan kegoncangan. Ia
akan memahami dengan baik emosi dan perasaannya, serta mampu
mengungkapkannya dengan bahasa yang tepat.
Pada usia antara 7 hingga 8 tahun, kesadaran anak atas kehidupan pribadi dan
privacy-nya akan bertambah. Ia akan lebih bersinggungan dengan gagasan
dan emosi khususnya. Pada usia ini juga anak mulai membandingkan dirinya
dengan teman seusianya. Ia akan lebih memperhatikan kemampuannya, serta
apa yang sanggup dan tidak sanggup dilakukannya. Seperti halnya ia telah
menyadari akan adanya permainan-permainan yang menuntut adanya
kelompok yang saling bekerja sama. Sedangkan pada usia 9 tahun, perhatian
anak pada permainan emajiner akan berkurang. Ia akan bertambah agresif
dalam menekan teman-temannya. Karena ia mulai mempunyai perasaan
bersalah, terkadang ia tidak membutuhkan orang lain yang menunjukkan
benar atau salahnya suatu perbuatan.26
Dalam menerapkan dan mengembangkan kecerdasan emosional pada anak,
langkah pertama adalah dengan mengajarinya bagaimana mengenali perasaan
khususnya, dan dengan mengembangkan kecakapan bahasanya agar ia bisa
mengekspresikan emosi-emosinya. Ia tidak hanya diajari, misalnya
bagaimana mengatakan bahwa dirinya sedang marah atau sedih, tetapi juga
diajari melukiskan secara detil perasaan marah dan sedihnya itu.
Disaat kita mengajari anak bagaimana cara mengekspresikan perasaannya,
sebenarnya kita juga sedang mengajarinya untuk mengemban tanggung jawab
terhadap kebutuhan emosinya. Di saat kita sedang mengajari anak bagaimana
mengenali hakekat emosinya dan mengungkapkannya dalam kata-kata, maka
sebenarnya kita sedang membekalinya kemampuan diri dalam beradaptasi
dengan emosi dan hidupnya. Jika hal ini ditambah dengan penghormatan kita
akan perasaan anak dan mengajari mereka untuk menghormati perasaan orang
lain, maka masa depan anak akan lebih gemilang. Dimana ia mampu
26
Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2006), h. 66-67
78
menyelesaikan semua masalah dan konflik secara damai, jauh dari kekerasan
dan penggunaan kekuatan fisik.27
Di lingkungan sekolah, anak pada usia ini telah menginjakkan kakinya untuk
belajar ilmu-ilmu dasar setelah menempuh pendidikan persiapan di taman
kanak-kanak. Kondisi ini sangat penting mengingat bahwa hal ini merupakan
awal ia mengenal situasi pembelajaran yang baru, dan merupakan tugas
penting bagi seorang guru bagaimana cara mengenalkan kepadanya tentang
situasi serta hal apa saja yang harus dilakukan di sekolah. Oleh karenanya,
sebelum guru mengenalkan kecerdasan emosi pada anak di sekolah, ia pun
harus terlebih dahulu mempunyai sifat tersebut.
Kecerdasan emosional menentukan karakter sang anak atau murid dalam
berprilaku di sekolah ataupun di kelas. Maka peran guru sangat penting dalam
mengembangkan kecerdasan emosional murid-muridnya. Diantara peran guru
tersebut antara lain:
a. Membantu murid mempelajari bahasa emosi dan kalimat yang digunakan
untuk mengekspresikannya.
b. Membantu murid untuk “merasa” dirinya diperhatikan oleh guru, bukan
dihegemoni atau dikuasai guru.
c. Melatih murid untuk mengenali berbagai situasi emosi dan membedakan
satu emosi dengan lainnya.
d. Guru harus memahami emosi dan ketakutannya sendiri.
e. Guru berusaha mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan emosinya
muncul, dan jangan mencela murid karena emosinya sendiri.
f. Guru berusaha mengenali kebutuhan emosinya yang belum terpenuhi,
jangan sampai memenuhi kebutuhan tersebut dengan melampiaskan
emosi pada murid, atau jangan mengutamakan kebutuhan dirinya di atas
kebutuhan murid.28
27
Makmun Mubayidh,Ibid., h. 111-112 28
Makmun Mubayidh,Ibid., h. 128
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep mengenai kecerdasan emosional telah dijelaskan oleh Daniel
Goleman adalah sebuah kemampuan yang dimiliki oleh seorang anak
dalam hal mengenali emosi atau perasaannya sendiri maupun orang
lain, dapat mengendalikan dirinya dengan baik, dapat memotivasi
dirinya sendiri, empati kepada orang lain, serta dapat menjalin
hubungan baik dengan orang lain. Dan kemampuan tersebut harus
dipelajari sejak dini.
2. Salah satu cara yang paling baik untuk mengajarkan keterampilan
emosional adalah melalui kisah-kisah teladan. Dan salah satu sumber
kisah yang baik adalah Al-Quran. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an
khususnya kisah-kisah tentang kehidupan para Nabi merupakan sebuah
alat untuk mengantarkan seorang anak menjadi baik. Karena dalam
kisah-kisah tersebut terdapat sebuah hikmah atau pelajaran yang utuk
diteladani sehingga ia dapat memilih mana perbuatan yang baik dan
yang buruk.
80
3. Proses penyampaian tentang kisah-kisah dapat berjalan efektif jika
diterapkan pada anak usia 6 sampai 9 tahun. Karena pada usia tersebut
seorang anak mulai menyukai dongeng atau cerita-cerita yang
menarik. Pada usia itulah seorang anak mulai merasakan apa yang ada
pada dirinya maupun disekitarnya, serta mencoba mengembangkan
sesuatu untuk dijadikan sebuah teladan dalam dirinya.
4. Kisah tentang kedua putra Nabi Adam as. merupakan sebuah kisah
tentang dua sosok seorang anak yang memiliki karakter atau perilaku
yang bertentangan, yaitu yang baik yakni Habil, dan yang buruk yakni
Qabil. Seorang anak yang cerdas dalam mengenali emosinya akan
mengambil sosok Habil, bukan Qabil. Dan dalam membina hubungan
yang baik dengan orang lain, anak-anak akan meneladani Nabi adam
as. yang mampu memecahkan masalah dalam persoalan kedua
anaknya.
5. Kisah Nabi Nuh as. menceritakan tentang kehidupan seorang Nabi
Nuh as. yang senantiasa bersabar dalam berdakwah terhadap kaumnya.
Ia selalu mendapat hinaan atas dakwah yang telah disampaikan kepada
mereka, termasuk anaknya sendiri, yakni Kan’an. Seorang anak yang
cerdas emosinya tidak akan meneladani sikap Kan’an yang buruk
terhadap bapaknya sendiri. Maka anak yang memahami kisah tersebut
mampu untuk mengelola emosi diri.
6. Kisah Kelahiran Nabi Musa as. menceritakan tentang kehidupan Nabi
Musa as. di masa kecilnya yang pada masa bayi telah dipisahkan oleh
ibu kandungnya. Allah SWT. senantiasa memberikan kesabaran dan
keteguhan hati kepada ibunya untuk menjaga rahasia anaknya tersebut
kepada Fir’aun yang disertai pemenuhan janji untuk dipertemukan
kembali keduanya dengan ia menyusuinya, yakni nabi Musa as. anak
yang cerdas emosinya akan merasakan betapa besarnya kasih sayang
seorang ibu terhadap anak kandungnya dan akan memotivasi dirinya
ddengan senantiasa berbakti kepadanya.
81
7. Dalam menyampaikan sebuah cerita atau kisah dibutuhkan teknik atau
cara yang tepat agar mendapatkan suatu hasil yang diharapkan.
Diantara teknik penyampaian dalam berkisah itu yang sangat
ditekankan adalah pada segi intonasi suara, ekspresi wajah dan gerak
tubuh. Karena kedua hal tersebut dapat membuat seorang anak yang
sedang mendengarkan sebuah kisah dapat tertarik dan terbawa ke alam
yang menyenangkan, serta dapat lebih memahami alur dari kisah
tersebut. Selain itu dapat dilakukan dengan memutar media ataupun
menggunakan gambar-gambar, sehingga memudahkan anak
mengimajinasikan cerita.
B. Saran-saran
1. Setiap orang perlu memahami konsep kecerdasan emosional yang telah
dipaparkan oleh Daniel Goleman dalam rangka mengembangkan
kepribadian seorang anak, khususnya pada anak usia 6 sampai 9 tahun.
Karena mayoritas manusia lebih banyak menekankan pada kecerdasan
intelektual dibanding kecerdasan emosional yang pada dasarnya
merupakan langkah awal sebelum mengembangkan kecerdasan
intelektual.
2. Orang tua merupakan orang yang dekat dengan anaknya. Oleh karena
itu, pendidikan informal atau keluarga sangat penting dalam hal
mengembangkan kecerdasan emosional anaknya. Dengan banyak
berkomunikasi yang baik serta berkelakuan baik ataupun
menyampaikan sebuah cerita yang baik, semuanya akan menjadi
teladan bagi anak tersebut. Orang tua adalah sebuah figur yang akan
membentuk kepribadian sang anak menjadi baik atau buruk.
3. Pendidikan formal juga merupakan suatu hal yang sangat penting
disamping pendidikan informal. Karena pendidikan formal atau
sekolah adalah pendidikan lanjutan daripada pendidikan keluarga yang
dilakukan oleh orang tua. Dalam pendidikan sekolah ini yang
ditekankan adalah seorang guru. Guru yang dapat mendidik dengan
82
baik adalah guru yang mempunyai nilai seni dalam menyampaikan
pelajaran, khususnya dalam menyampaikan sebuah cerita atau kisah
dari tokoh atau peristiwa tertentu. Dengan demikian, seorang anak atau
murid akan senang kepada guru tersebut, serta dapat dijadikan teladan
untuknya.
4. Setiap lapisan masyarakat berkewajiban mendukung program
Pendidikan Islam. Program pendidikan tersebut bukan hanya terdapat
di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan masyarakat seperti
majlis ta’lim, TPQ, dan sebagainya. Tanpa dukungan tersebut maka
program Pendidikan Islam yang ada di lingkungan mereka akan
terhambat untuk berkembang bahkan dapat tertinggal dan lambat-laun
akan ditinggalkan. Oleh karenanya, program tersebut perlu adanya
sebuah sistem atau teknik dalam penyampaiannya kepada pendengar
atau anak-anak baik mengenai sebuah pelajaran maupun kisah tertentu.
83
DAFTAR PUSTAKA
Achdiat, Nunu. Seni Berkisah; Memandu Anak Memahami Al-Quran.
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ. Jakarta: Arga, 2001.
Al-Farmawi. Metode Tafsir mawdhu’iy, Terj. dari Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-
Mawdhu’iy, oleh. Suryan A. Jamrah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994.
Al-Khalidy, Shalah. Kisah-kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu,
Terj. dari Qoshosul Qur’an, oleh. Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Gema
Insani Press, 1999.
Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘ulumil Al-Quran. Beirut: Muassasah Ar-
Risalah, 1996.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi Juz VI. Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.
Al-Shidieqy, Hasby. Ilmu-Ilmu Al-Quran Media Pokok Dalam Penafsiran Al-
Quran. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. Kenabian dan Para Nabi, Terj. Dari an
Nubuwwah wal Anbiya’oleh Arifin Jamian Maun. Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1993.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
Bahjat, Ahmad. Nabi-nabi Allah. Jakarta: Qisthi Press, 2007.
Digdo, AG Pringgo dan Syadily, Hasan. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Ofset
Kanissus, 1997.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful
Intelegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
El Fikri, Syahruddin. Situs-Situs Dalam Al-Quran (Dari Banjir Hingga Bukit
Tursina). Jakarta: Republika, 2010.
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari
buku, Working with Emotional Inteligence, oleh Alex Tri Kantjono Widodo.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.
84
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence, oleh
T. Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Hanafi, A. MA. Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al-Qur’an. Jakarta:
Pustaka Alhusna, 1984.
Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.
Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi perkembangan Islami. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008.
Hilali, Salim bin Ied. Kisah Shahih Para Nabi, Terj dari Shahiih Qishashil
Anbiya’ oleh M. Abdul Goffar. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Terj. dari Developmental
psicology, oleh. Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga, 1998.
Iska, Zikri Neni. Psikologi pengantar pemahaman diri dan lingkungan. Jakarta:
KIZI BROTHER’S, 2006.
Iskandar. Psikologi Sebuuah Orientasi baru. Ciputat: Gaung Persada Press, 2009.
Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori, Muhammad. Shohih Bukhori Juz 3. Beirut: Dar
al-Hadist, 1987.
Jamal, Ahmad Muhammad. Koreksi Al-Quran Terhadap Ummat. Alih bahasa;
Jamaluddin Kafie. Jakarta: Media Da’wah, tt.
Megawati, Ratna. Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan. Bogor: Indonesia
heritage Foundation. 2004.
Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj dari Adz-
Dzaka’ Al-Athifi wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah, oleh. Muhammad Muchson
Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Muhyidin, Muhammmad. Manajemen ESQ Power. Jogjakarta: DIVA Press, 2007.
Nuraida dan Alkaf, Halid. Metodologi Penelitian Pendidikan. Tangerang: Islamic
Research Publising, 2009.
Nuraini, Yuliani. Kurikulum Alternatif Berbasis Kompetensi Anak Usia Dini.
Jakarta: Pusdiani Press, 2002.
RI, Depag. Al-Quran dan Terjemahnya. Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo,
1994.
85
RI, Depag. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Dipenogoro,
2008.
Safaria, Triantoro dan Saputra, Nofrans Eka. Manajemen Emosi. Jakarta: Bumi
Aksara, 2009.
Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, oleh. Alex
Tri Kantjono. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah vol. 6. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Syihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah vol 8. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah vol. 10. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2007.
Syadali, Ahmad. Ulumul Al-Quran II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Yogyakarta, Tim Pendongeng SPA. Teknik Bercerita. Yogyakarta : PT. Kurnia
Kalam Semesta, 2010.
Yusuf, Syamsu. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali, 2011.
Zulkifli. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.