analisis eksistensi persistensi pengangguran di … · indonesia dengan melengkapi koleksi data...
TRANSCRIPT
ANALISIS EKSISTENSI PERSISTENSI PENGANGGURAN DI INDONESIA
OLEH ARIF RAHMAN
H14104062
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
ARIF RAHMAN. Analisis Eksistensi Persistensi Pengangguran di Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA).
Pengangguran merupakan masalah fundamental perekonomian suatu bangsa. Berbagai kalangan telah mengkaji isu pengangguran, baik dalam ruang lingkup akademis, sosial, maupun dimensi politik. Namun demikian, berbagai kajian yang ada belum cukup memberikan kontribusi solusi terhadap tingkat pengangguran yang cenderung meningkat. Hal ini berimplikasi tingkat pengangguran di Indonesia tetap tinggi dan cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Penelitian ini merupakan proses penelitian lanjutan yang pernah dilakukan oleh International Center for Applied Finance and Economic (InterCAFE) yaitu “Studi Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia Beserta Penanggulangannya Berdasarkan Analisis Data Mikro” dengan menggunakan data sampai tahun 2006. Dengan merujuk kepada penelitian Jorgen Elmeskov (1993), penulis melakukan pengkajian lagi mengenai eksistensi persistensi yang terjadi di Indonesia dengan melengkapi koleksi data terbaru dan menambahkan indikator Non Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU) ke dalam indikator pengukuran terhadap tren pengangguran. Penelitian ini bisa dijadikan bahan perbandingan dengan penelitian yang sudah ada, dan diharapkan bisa memberikan pemahaman dan informasi tambahan dalam menyikapi permasalahan pengangguran.
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka penelitian ini memiliki tiga tujuan utama yakni: (1) memotret gambaran umum karakteristik pengangguran di Indonesia; (2) mengkaji eksistensi persistensi pengangguran di Indonesia; dan (3) menganalisis pola pengangguran di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan pengkajian dengan pendekatan statistika deskriptif, aplikasi matematis serta rekonstruksi model ekonometrika. Data yang digunakan adalah data sekunder ekonomi makro yang diperoleh dari berbagai sumber di antaranya Badan Pusat Statistik (BPS), Census and Economic Information Center (CEIC), International Labour Organization (ILO), dan instansi terkait lainnya. Data yang tersedia diolah menggunakan software E-Views 5.1 dan MS. Office Excell.
Berdasarkan pendekatan analisis deskriptif terhadap karakteristik pengangguran, selama periode penelitian, pengangguran di Indonesia cenderung terus meningkat atau dengan kata lain tingkat pengangguran lebih tinggi daripada tingkat partisipasi angkatan kerja. Sedangkan berdasarkan dimensi pengangguran, terdapat beberapa karakteristik struktur pengangguran di Indonesia, diantaranya (1) tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi daripada pengangguran usia tidak muda; (2) tingkat pengangguran berpendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan pengangguran yang berpendidikan tinggi; dan (3) tingkat pengangguran
laki-laki lebih tinggi daripada pengangguran perempuan, namun terdapat kecenderungan perbedaan yang semakin menipis.
Setelah melihat fenomena pengangguran yang terjadi, dirasa perlu untuk mengetahui apakah pengangguran yang terjadi di Indonesia persisten atau tidak. Dari hasil uji akar unit terhadap data pengangguran, dihasilkan cukup bukti bahwa terjadi persistensi pengangguran di Indonesia. Alternatif analisis lain melalui pengujian koefisien autoregressive (AR) diperoleh hasil koefisien AR yang mendekati unit root. Hasil dari pendekatan ekonometrik di atas mengandung pengertian secara statistik bahwa tingkat pengangguran cenderung konvergen ke nilai jangka panjangnya. Hal ini menunjukan persistensi pengangguran yang terjadi di Indonesia berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Analisis selanjutnya yang mendukung bahwa terjadi persistensi di Indonesia adalah dengan membandingkan komponen tren terhadap komponen siklikal dari data pengangguran. Untuk mengukur indikator tren ini, digunakan empat indikator pendekatan pengangguran alamiah, yaitu : (1) NAWRU; (2) NAIRU; (3) kurva Beveridge; dan (4) kurva Okun. Pendekatan pengukuran dengan keempat indikator tersebut memberikan gambaran kecenderungan keempat kurva tersebut adalah meningkat, yang artinya tingkat pengangguran alamiah terus mengalami kenaikan dan persisten selama periode penelitian. Dapat disimpulkan juga bahwa komponen tren lebih dominan daripada siklikal. Kemudian dengan melihat pola persistensi yang terjadi, dengan merekonstruksi model ekonometrika dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terjadi fenomena disequilibrium persistent dan tidak terjadi mekanisme self correcting.
Pada intinya, studi ini menyimpulkan bahwa pengangguran yang terjadi di Indonesia selama ini dapat dikategorikan sebagai disequiliubrium persistent unemployment without self correcting mechanism, yang berarti bahwa persistensi terjadi di luar keseimbangan pasar tenaga kerja serta tidak memiliki mekanisme otomatis untuk menuju titik keseimbangan.
Implikasi utama dari penelitian ini adalah: (1) menyadari betapa pentingnya pemahaman tentang permasalahan pengangguran yang terjadi di Indonesia. (2) perlunya untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan melalui kebijakan pro aktif (active policy), sehingga dapat menyentuh permasalahan-permasalahan inti dari pengangguran. (3) diperlukan penelitian lanjutan secara empiris baik makro maupun mikro untuk mengetahui faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran di Indonesia, agar dapat dirumuskan kerangka kebijakan sehingga diperoleh solusi yang tepat.
ANALISIS EKSISTENSI PERSISTENSI PENGANGGURAN DI INDONESIA
OLEH ARIF RAHMAN
H14104062
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Arif Rahman
Nomor Registrasi Pokok : H14104062
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Eksistensi Persistensi Pengangguran di
Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec. NIP. 131 846 870
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2008
Arif Rahman H14104062
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Arif Rahman lahir pada tanggal 14 Februari 1985 di
Tasikmalaya. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Emi
Suhaemi (Alm) dan Ade Rohaeti. Penulis menjalani pendidikan di bangku sekolah dasar
dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1998 di SDN Tuguraja II Tasikmalaya.
Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 1998 sampai
dengan tahun 2001 di SLTPN 2 Tasikmalaya. Setelah itu, penulis melanjutkan
pendidikan menengah umum di SMUN 1 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2004.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di dalam beberapa kelembagaan dan
kegiatan, baik di internal maupun di eksternal kampus. Penulis pernah menjadi Ketua
Umum Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
(HIPOTESA), serta Ketua Komisi Advokasi dan Aspirasi Dewan Perwakilan
Mahasiswa (DPM) FEM IPB. Di eksternal kampus, penulis aktif di HMI Komisariat
FEM, sebagai caretaker Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI) Cabang Bogor
serta OMDA HIMALAYA. Penulis juga pernah berpartisipasi dalam seleksi mahasiswa
berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi, penghargaan di bidang karya tulis ilmiah,
beasiswa pendidikan dari PERTAMINA, serta mendapat beasiswa unggulan aktifis
2008 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan menjadi wakil IPB dalam
program Student Exchange di Malaysia.
Di samping aktif dalam kegiatan kelembagaan dan organisasi yang telah
disebutkan, penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan akademik. Penulis pernah
menjadi sebagai asisten Mata Kuliah Ekonomi Umum Tingkat Persiapan Bersama
(TPB), serta Teori Mikroekonomi I dan Teori Makroekonomi I di Departemen Ilmu
Ekonomi serta Program Khusus Sarjana Manajemen dan Agribisnis.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9
2.1. Pengertian dan Definisi ....................................................................... 9
2.1.1. Definisi Pengangguran ............................................................... 9
2.1.2. Definisi Persistensi Pengangguran ............................................. 11
2.1.3. Kekakuan Upah Nominal ........................................................... 12
2.1.4. Kekakuan Upah Riil ................................................................... 13
2.1.5 Perbedaan Hysterisis dan Slow Adjustment ............................... 13
2.2. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 15
2.2.1. Pengukuran Persistensi Pengangguran ....................................... 15
2.2.2. Penentuan Struktur Persistensi Pengangguran ........................... 18
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ......................................................... 21
2.4. Hipotesis Penelitian ............................................................................. 24
III. METODE PENELITIAN .................................................................... 25
3.1. Jenis Sumber Data Pengangguran ....................................................... 25
3.2. Pengukuran terhadap Isu Pengangguran (Measurement Issues) ......... 25
3.2.1. Definisi dari Sumber Data Pengangguran ................................. 26
3.2.2. Pasar Tenaga Kerja yang Dualistik: Formal dan Informal ........ 26
3.3. Metode Pengukuran dan Analisis Sumber Persistensi ........................ 28
3.3.1. Uji Akar Unit ............................................................................. 28
3.3.2. ARIMA (Autoregressive – Integrated Moving Average)........... 32
3.3.3.Pengukuran Tren Pengangguran ................................................. 33
3.3.3.1. Indikator NAWRU ........................................................ 33
3.3.3.2. Indikator NAIRU ........................................................... 34
3.3.3.3. Kurva Beveridge ............................................................ 34
3.3.3.4. Kurva Okun ................................................................... 34
3.3.4. Penentuan Pola Persistensi Pengangguran ................................. 35
3.3.5. Analisis Panel Data .................................................................... 36
3.4 . Sintesis............................................................... ................................. 46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 47
4.1. Gambaran Umum Karakteristik Struktur Pengangguran di Indonesia 48
4.1.1. Karakteristik Pengangguran Berdasarkan Usia ......................... 52
4.1.2. Karakteristik Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan . 53
4.1.3. Karakteristik Pengangguran Berdasarkan Gender ..................... 54
4.2. Pengujian Eksistensi Persistensi Pengangguran .................................. 55
4.2.1. Hasil Uji Ekonometrika ............. ............................................... 56
4.2.2. Pengukuran Dinamika Pengangguran ....................................... 58
4.2.2.1. Pengukuran Tren Pengangguran
(Hasil Aplikasi Matematis) ............................................ 59
4.2.2.2. Komponen Siklikal dari Pengangguran ........................ 63
4.3. Pola Persistensi Pengangguran ............................................................ 64
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 69
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 69
5.2. Saran .................................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 71
LAMPIRAN ................................................................................................. 73
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3.1. Perubahan Definisi Pengangguran dan Usia Kerja ............................... 27
3.2. Perbedaan Data Stasioner dan Tidak Stasioner .................................... 29
4.1. Tingkat Pengangguran di Indonesia (dalam persen) ............................ 50
4.2. Pengujian Persistensi Pengangguran di Indonesia sampai Tahun 2006 56
4.3. Pengujian Persistensi Pengangguran di Indonesia sampai Tahun 2007 56
4.4. Pengujian Siklus dari Tenaga Kerja ..................................................... 63
4.5. Pengujian Pengaruh Tenaga Kerja Pada Pembentukan Upah .............. 65
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Tren Tingkat Bekerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia ........... 3
2.1. Perbedaan Hysterisis dan Slow Adjustment ......................................... 17
2.2. Kerangka Pemikiran Konseptual .......................................................... 22
4.1. Ikhtisar Alur Analisis ........................................................................... 48
4.2. Pengangguran dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja ....................... 51
4.3. Tingkat Pengangguran antar Kelompok Usia ....................................... 52
4.4. Tingkat Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan .................... 54
4.5. Tingkat Pengangguran antar Gender .................................................... 55
4.6. Perbandingan Tren Pengangguran di Indonesia ................................... 60
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Pengangguran .................................................................................. 74
2. Batasan Kegiatan Formal dan Informal dalam Sakernas sebelum
Tahun 2003 .............................................................................................. 75
3. Batasan Kegiatan Formal dan Informal Sakernas Tahun 2003…………….. 76
4. Uji Akar Unit dengan none (tanpa constancy dan trend) ……………... 77
5. Uji Akar Unit dengan Konstanta ............................................................. 78
6. Unit Akar dengan Drift ............................................................................ 79
7. Uji Akar Unit dengan Drift and Trend .................................................... 80
8. Uji Persistensi Koefisien Autoregresif dengan ARMA ........................... 81
9. Pengujian Komponen Siklikal ................................................................. 82
10. . Estimasi Panel Pola Persistensi ............................................................. 83
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengangguran merupakan masalah fundamental perekonomian suatu negara.
Berbagai kalangan telah mengkaji isu pengangguran, baik dalam lingkup akademis, sosial,
dan tidak jarang sampai dimensi politik. Namun demikian, berbagai kajian yang ada belum
cukup memberikan kontribusi solusi terhadap tingkat pengangguran yang cenderung
meningkat.
Permasalahan tingginya tingkat pengangguran dirasakan sangat berpengaruh
terhadap kemajuan suatu negara. Kesadaran terhadap perlunya studi yang komprehensif
mengenai permasalahan pengangguran telah dilakukan negara Eropa dan Amerika
beberapa dekade terakhir. Hal ini memperlihatkan bahwa tingginya tingkat
pengangguran merupakan masalah yang sangat serius dihadapi oleh berbagai negara.
Studi-studi yang menjelaskan mengapa tingkat pengangguran begitu tinggi diawali oleh
studi di beberapa negara Eropa dan Amerika seperti yang dilakukan Blanchard dan
Summer (1986). Penelitian juga dilakukan oleh Elmeskov (1993), dimana dikaji
mengenai eksistensi pengangguran di negara-negara anggota OECD (Organization for
Economic Co-operation and Development), dan yang lebih terbatas penelitian mengenai
tingginya tingkat pengangguran di Swedia yang dilakukan oleh Linbad (1997).
Banyaknya referensi penelitian tentang permasalahan pengangguran tidak secara
otomatis mempermudah dalam memformulasikan kebijakan dalam mengatasi tingginya
tingkat pengangguran di Indonesia. Fakta yang ada lebih memprihatinkan, dimana
dalam periode perbaikan ekonomi pasca krisis, justru tingkat pengangguran cenderung
mengalami peningkatan. Data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukan antara tahun
1994-2000 tingkat pengangguran rata-rata sebesar 5.49 persen yang kemudian selama
periode tahun 2000-2007 mengalami peningkatan menjadi 9.57 persen. Dengan
demikian, terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran yang cukup tinggi di antara
kedua periode tersebut sebesar 71.22 persen. Fakta tersebut menunjukan bahwa
kebijakan anti pengangguran yang dilakukan pemerintah saat ini belum sepenuhnya
efektif, paling tidak untuk menurunkan tingkat pengangguran. Hal ini bisa terjadi
disebabkan oleh pemahaman yang kurang tepat dalam menyikapi tingginya tingkat
pengangguran di Indonesia.
Dilihat dari salah satu indikator pertumbuhan ekonomi terutama pada tahun-tahun
terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menunjukkan peningkatan. Berbeda
dengan tingkat pengangguran yang kecenderungannya semakin memburuk, maka
pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren peningkatan, walaupun jika dibandingkan
dengan pertumbuhan yang pernah dicapai periode sebelum krisis. Pertumbuhan ekonomi
sejak tahun 2002 menunjukkan peningkatan yaitu sebesar 4.38 persen, 4.72 persen pada
tahun 2003, hingga 6.35 persen pada tahun 2007 (BPS, 2008) .
Sejalan dengan teori yang berlaku seharusnya semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi maka semakin besar kemampuan perekonomian dalam menyerap tenaga kerja
sehingga pengangguran juga menurun. Sebaliknya, di Indonesia jumlah pengangguran
justru meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Jumlah angkatan kerja yang setiap tahun mengalami peningkatan tidak sepenuhnya
dapat diserap dan pada gilirannya mengakibatkan peningkatan jumlah pengangguran.
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia menunjukkan tren
yang meningkat, kecuali pada tahun 2007 tingkat pengangguran di Indonesia sedikit
mengalami penurunan.
86.0087.0088.0089.0090.0091.00
92.0093.0094.0095.0096.00
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 20070.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Tingkat Bekerja Tingkat Pengangguran
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008), diolah
Gambar 1.1 Tren Tingkat Bekerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia
Pengangguran yang cenderung terus meningkat dan relatif sulit untuk turun
merupakan masalah yang serius sehingga berbagai upaya untuk menanggulangi masalah
tersebut mutlak dilakukan. Upaya yang dilakukan harus bersifat mendasar dan menyeluruh.
Untuk memberikan gambarannya perlu dipelajari secara mendalam karateristik
pengangguran di Indonesia.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan indikator-indikator makro lainnya
tampaknya belum cukup untuk digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam
menyelesaikan masalah pengangguran. Tingkat pengangguran yang cenderung terus
meningkat sewajarnya mendapat perhatian lebih serius dari pengambil kebijakan, bahwa
pengangguran merupakan permasalahan yang fundamental bagi perekonomian baik dari
segi makro maupun mikro. Diperlukan kesadaran bahwa tingkat pengangguran di Indonesia
sudah sangat memprihatinkan, sehingga berpengaruh nyata terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Berbagai kondisi yang menggambarkan sulitnya tingkat pengangguran kembali ke
titik keseimbangan awal, menimbulkan pertanyaan terhadap kondisi pengangguran yang
terjadi. Apakah dengan kenaikan yang terus menerus tingkat pengangguran
mengindikasikan bahwa di Indonesia terjadi persistensi pengangguran sebagaimana pernah
terjadi di beberapa Negara Eropa ? Untuk menjawab hal tersebut, akan sangat penting
dilakukan kajian mengenai eksistensi pengangguran yang terjadi.
Seperti telah dibahas sebelumnya, sejalan dengan teori yang berlaku seharusnya
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka semakin besar kemampuan perekonomian
dalam menyerap tenaga kerja sehingga pengangguran juga menurun. Sebaliknya di
Indonesia, jumlah pengangguran justru meningkat sejalan dengan peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi paradoks antara
kenaikan tingkat pertumbuhan dengan tingkat pengangguran. Perlu dikaji apakah
fenomena yang terjadi di Indonesia mencerminkan bahwa laju pertumbuhan tersebut
masih terlalu rendah sehingga belum mampu mengurangi tingkat pengangguran, atau
mungkin terdapat masalah struktural dalam pengangguran yang tidak bisa melakukan
penyesuaian, misalnya terhadap perubahan pasar tenaga kerja.
Jika penyebabnya adalah faktor yang pertama, dengan membiarkan
pertumbuhan menuju tingkat keseimbangannya, yaitu sekitar 7 persen, maka akan
dengan sendirinya mengurangi tingkat pengangguran tersebut. Namun jika penyebabnya
adalah faktor yang kedua, berapapun laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi, maka
tingkat pengangguran akan tetap tinggi karena transformasi struktural tidak berjalan
dengan baik. Artinya, pertumbuhan pada sektor padat modal tidak menyerap atau
setidaknya tidak mampu menginduksi penyerapan surplus tenaga kerja dari sektor-
sektor padat karya. Dalam keadaan seperti ini, upaya-upaya nyata (active policy)
menjadi suatu keharusan.
Pemaparan di atas menunjukkan pentingnya melakukan identifikasi apakah pola
pengangguran di Indonesia murni merupakan mekanisme pasar (market clearing)
tenaga kerja yang akan kembali ke tingkat keseimbangan dan mampu melakukan self
correction dalam jangka pendek, ataukah merupakan masalah struktural yang dapat
berlangsung lama dan membutuhkan kebijakan komprehensif yang tepat untuk
mengatasinya. Penelitian mengenai pola pengangguran ini dimaksudkan untuk
melakukan identifikasi permasalahan tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Penggangguran merupakan masalah krusial yang belum bisa diselesaikan secara
sistematis sampai saat ini. Penggangguran yang semakin meningkat dan relatif sulit untuk
turun bahkan cenderung terus meningkat menjadi beban bagi perekonomian Indonesia bila
tidak diatasi dengan solusi yang tepat, sehingga diperlukan pemahaman yang mendalam
mengenai pengangguran yang terjadi di Indonesia.
Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka permasalahan yang perlu
dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran umum karakteristik pengangguran di Indonesia ?
2. Apakah fenomena persistensi pengangguran terjadi di Indonesia ?
3. Bagaimana pola pengangguran yang terjadi di Indonesia ?
1.3. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memotret gambaran umum karakteristik pengangguran di Indonesia.
2. Mengkaji eksistensi persistensi pengangguran di Indonesia.
3. Menganalisis pola pengangguran di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan tambahan referensi terhadap penelitian
yang sudah ada, dan bisa memberikan gambaran yang utuh mengenai kondisi
permasalahan pengangguran, serta mampu mengidentifikasi eksistensi pengangguran
yang terjadi di Indonesia selama periode penelitian. Penelitian ini juga mencoba
memberikan pemahaman bahwa permasalahan pengangguran merupakan masalah yang
krusial yang harus menjadi fokus kebijakan pemerintah. Implikasi kebijakan yang
dirumuskan secara objektif dari hasil analisis penelitian tidak bisa dilihat dari satu sisi
permasalahan, sehingga perlu kebijakan yang terintegrasi di semua bidang.
Melalui penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi semua pihak termasuk
penulis sendiri dalam menambah kompetensi dan ilmu mengenai ekonomi terutama
yang berkenaan dengan pengangguran, ketenagakerjaan serta proses analisisnya. Selain
untuk penulis, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan bagi kepentingan individu atau
pihak lain yang membutuhkan. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan, penelitian ini
dapat dipergunakan sebagai bahan informasi, referensi dan bahan pertimbangan bagi
penelitian lebih lanjut.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Studi ini hanya menggunakan analisis data makro, sehingga penelitian ini hanya
sampai pada pengkajian terhadap kondisi struktur pengangguran yang terjadi di
Indonesia. Penelitian ini merupakan proses studi lanjutan yang telah dilakukan oleh
International Center for Applied Finance and Economic (InterCAFE) dalam hal
mengkaji kembali eksistensi persistensi pengangguran yang terjadi di Indonesia.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penambahan
indikator pengukuran tren pengangguran dan penambahan periode penelitian. Penelitian
ini tidak mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan tingkat persistensi yang cenderung
terus meningkat dari data mikro. Dengan keterbatasan yang telah disebutkan, maka
penelitian ini belum bisa memberikan rekomendasi teknis kebijakan yang paling tepat
untuk mengatasi permasalahan pengangguran. Diperlukan kajian lanjutan secara empiris
baik dari data makro maupun mikro untuk menghasilkan perumusan kerangka kebijakan
untuk mengatasi permasalahan pengangguran.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan mencoba memberikan uraian teori-teori yang berhubungan dengan
studi mengenai pengangguran secara umum, serta teori-teori yang dapat memberikan
pemahaman mengenai struktur persistensi pengangguran yang terjadi di Indonesia.
Ditambahkan juga beberapa kajian terdahulu, kerangka pemikiran konseptual serta
hipotesis yang berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
2.1. Pengertian dan Definisi
2.1.1. Definisi Pengangguran
Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga
macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, pengangguran struktural.
Pengangguran siklis mengacu kepada pengangguran yang terjadi jika permintaan total
tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi,sehingga
menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil daripada keluaran
potensial. Orang-orang yang menganggur secara siklis dikatakan sebagai orang yang
menganggur terpaksa (involuntary unemployment), dalam arti mereka ingin bekerja
dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaannya tidak tersedia. Pengangguran
struktural dapat didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian
antara struktur angkatan kerja berdasarkan keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi
geografis dan juga struktur permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran
friksional diakibatkan perputaran (turn-over) normal tenaga kerja. Sumber penting
pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan
mencari pekerjaan. Sumber lainnya adalah orang-orang yang keluar dari pekerjaannya,
baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena
diberhentikan.
Studi yang lebih mendalam mengenai pasar tenaga kerja dilakukan oleh Moore
dan Elkin (1987), disimpulkan bahwa pengangguran friksional merupakan akibat dari
fluktuasi jangka pendek di dalam pasar tenaga kerja, informasi yang tidak sempurna dan
tenaga kerja yang tidak bergerak. Sedangkan pengangguran struktural merupakan
karakteristik jangka panjang, dimana terjadi persistensi mengenai ketidaksesuaian
antara permintaan dan penawaran tenaga kerja dengan skill dan atau lokasi kerja.
Menurut Bellante dan Jackson (1990), secara konseptual pengangguran
dibedakan menjadi pengangguran friksional, struktural, dan pengangguran karena
kurangnya permintaan (demand deficiency unemployment). Pengangguran karena
kurangnya permintaan timbul apabila pada tingkat upah dan harga yang sedang berlaku,
tingkat permintaan akan tenaga kerja secara keseluruhannya terlalu rendah, akibatnya
jumlah tenaga kerja yang diminta perekonomian secara agregat lebih rendah
dibandingkan dengan dengan penawaran tenaga kerjanya. Sedangkan, pengangguran
struktural dikatakan ada apabila lowongan yang tersedia membutuhkan keahlian yang
berbeda dengan yang dimiliki oleh penganggur atau lowongan pekerjaan yang tersedia
berada dalam wilayah geografis yang berbeda dengan lokasi tempat tinggal pekerja
yang menganggur. Sedangkan pengangguran friksional terjadi diakibatkan oleh proses
pencarian kerja dan penyebabnya adalah informasi lowongan kerja yang kurang
sempurna serta biaya untuk mengakses informasi tersebut terlalu mahal.
2.1.2. Definisi Persistensi Pengangguran
Persistensi pengangguran dapat didefinisikan sebagai terjadinya peningkatan
tingkat pengangguran secara terus menerus. Secara umum, kecenderungan tingginya
tingkat pengangguran dijelaskan oleh Coakley, et al. (2003), Bianchi dan Zoega (1998),
Elmeskov (1993), Blanchard dan Summers (1986), dimana dapat diketahui dengan
melihat pada beberapa kondisi, yaitu : pertama, slow adjustment terhadap tingkat
keseimbangan (persistence unemployment); kedua perubahan pada tingkat
keseimbangan yang bisa disebabkan oleh mean shifting atau struktural breaks serta
kenaikan terus-menerus pada tingkat keseimbangan (trend unemployment). Dengan kata
lain, gangguan dalam keseimbangan pasar tenaga kerja menyebabkan terjadinya
pengangguran yang persisten.
Menurut Blanchard dan Summer (1986), persistensi pengangguran terjadi
manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat keseimbangan berjalan dengan
lambat. Walaupun dengan penyesuaian yang lambat, tingkat pengangguran yang berada
pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat semula
atau tingkat sebelumnya (mean reversion). Kondisi ini perlu dibedakan dengan
hysteresis yang merupakan kondisi fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang memiliki
dampak yang permanen terhadap tingkat pengangguran. Secara teoritis, hysteresis
merupakan suatu proses unit root (tidak stasioner) sedangkan persistensi pengangguran
disebut sebagai near unit root dan memiliki kecenderungan untuk kembali ke titik
semula.
Pemahaman kondisi pengangguran menjadi sangat penting dalam penyusunan
kebijakan fundamental yang terkait dengan kebijakan ekonomi secara umum. Dengan
kondisi pengangguran yang terjadi, dapat dikaji berbagai kebijakan perekonomian yang
bersifat temporer maupun permanen.
2.1.3. Kekakuan Upah Nominal
Upah nominal bersifat kaku ke bawah (downward rigidity) dan kekakuan
tersebut bersifat asimetrik, dalam arti upah nominal mudah mengalami kenaikan tetapi
sulit untuk turun. Penurunan upah yang bersifat kaku, menurut Jhon Maynard Keynes
merupakan fakta sosial dari kehidupan (social fact of life), dan kemungkinan besar
disebabkan oleh besarnya perceived cost yang berasosiasi dengan penurunan upah
sehingga perusahaan cenderung sulit mengalami penurunan upah.
Kekakuan upah nominal (nominal wage rigidity) dapat dijelaskan sebagai
ketidakmampuan upah untuk menjadi penyeimbang antara penawaran dan permintaan
tenaga kerja. Kekakuan upah nominal terjadi ketika tingkat upah berada di atas
keseimbangan sehingga terjadi peningkatan pengangguran di atas tingkat pengangguran
alamiah. Artinya, tidak selamanya upah nominal mencerminkan penawaran dan
permintaan terhadap tenaga kerja, sehingga jika pertumbuhan kinerja perusahaan negatif
dan upah tidak turun, maka tingkat upah akan lebih tinggi dibandingkan tingkat upah
seharusnya (tingkat upah keseimbangan), sehingga jumlah pengangguran akan
meningkat.
2.1.4. Kekakuan Upah Riil
Konsep kekakuan upah riil (real wage rigidity) sedikit berbeda dengan kekakuan
upah nominal. Secara teoritis, untuk mempertahankan tingkat pengangguran alamiah
(natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of
unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan MPL (Marginal
Productivity to Labor). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun, maka
upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika tidak terjadi penurunan, maka upah riil
tersebut kaku. Pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari pertumbuhan
produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan penambahan jumlah pengangguran.
2.1.5. Perbedaan Hysterisis dan Slow Adjustment
Untuk mengetahui perbedaan antara hysteresis dan slow adjustment, maka dapat
diperlihatkan dari Gambar 2.1. Full hyterisis akan meningkat saat keseimbangan tenaga
kerja dan pengangguran tergantung pada total tenaga kerja dan pengangguran saat ini.
Jika terjadi goncangan pada permintaan secara temporal (seperti kebijakan ketat pada
makroekonomi atau gangguan terms of trade dari harga minyak), hal ini mengakibatkan
pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke kiri, (Id(1) ke Id(2). Keseimbangan jangka
pendek akibatnya akan bergerak dari titik A ke B. Dalam kondisi histerisis, e2 dan e1
merepresentasikan keseimbangan jangka panjang. Untuk mengetahui imprecise dari
histerisis, maka konsep histerisis dapat terlihat dari perbedaan anata shock yang
diantisipasi dan tidak diantisipasi.
Interpretasi grafik menunjukan bahwa skema penentuan upah (wage setting)
adalah dalam jangka panjang, yang menyatakan pergerakan dari tenaga kerja. Sebagai
contoh, keuntungan dari recovery permintaan yang diantisipasi kembali ke Id(1), akan
menyebabkan upah yang lebih tinggi untuk para pekerja yang baru daripada tingkat
tenaga kerja yang lebih tinggi dan pengangguran yang lebih rendah, sehingga tingkat
keseimbangan yang baru akan berada di titik C. Perubahan dari permintaan atau
penawaran yang tidak diantisipasi akan menyebabkan pergeseran dari keseimbangan
jangka panjang.
Sumber : Elmeskov (1993), diolah
Gambar 2.1 Kurva Perbedaan Hysterisis dan Slow Adjustment
Perspektif lainnya dalam memahami pengangguran yang persisten adalah konsep
yang dikenal dengan slow adjustment, yaitu saat perilaku penentuan upah (wage setting)
yang memberikan respon sepanjang terjadinya pengangguran yang tinggi. Slow
adjustment secara tidak langsung berpengaruh pada perubahan karena shock permintaan
dari Id(1) ke Id(2). Berdasarkan grafik tersebut, skema wage setting bergerak kebawah
sebagai respon dari tingkat pengangguran yang terjadi di titik B. Penyesuaian upah juga
akan berlangsung secara bertahap dan secara partial. Skema wage setting sebagai
contoh pada akhirnya akan menurun ke ws(2) dengan keseimbangan keseimbangan
Pekerja
Tin
gkat
Upa
h R
iil
E1 E2 E
W
Ld1
C
Ws1
Ws2
D
Ld2
A
B
E
Is
akan berada di titik D. Jika natural rate dari pengangguran jangka panjang stabil, maka
tingkat keseimbangan pada akhirnya akan berada pada titik E (Elmeskov, 1993).
2.2. Penelitian Terdahulu
2.2.1. Pengukuran Persistensi Pengangguran
Hasil studi literatur menunjukkan bahwa pengangguran merupakan masalah
yang dialami oleh banyak negara. Berbagai upaya melalui berbagai studi yang
menjelaskan mengapa tingkat pengangguran begitu tinggi yang kemudian dilanjutkan
dengan rumusan kebijakan reformasi pasar tenaga kerja telah banyak
diimplementasikan untuk mengurangi masalah pengangguran.
Studi-studi yang menjelaskan mengapa tingkat pengangguran begitu tinggi
diawali oleh studi di beberapa negara Eropa dan Amerika seperti yang dilakukan
Blanchard dan Summer (1986). Hingga saat ini banyak metode ekonometrika yang
ditawarkan untuk mengukur tingkat pengangguran disesuaikan dengan kondisi dan
tujuan yang diinginkan, di mana setiap metode pengukuran memiliki kelebihan dan
kekurangan.
Berikut adalah beberapa metode yang dapat digunakan, terutama apabila data
yang digunakan berupa individual series (tidak membandingkan antarseries kategori):
1. Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. ADF-test umumnya dilakukan sebagai
indikasi awal terjadinya persistensi pengangguran, seperti yang direfer oleh
banyak publikasi ilmiah. Namun demikian studi-studi tersebut juga mencatat
bahwa ADF-test memiliki kekurangan yaitu adanya kecenderungan untuk
menerima H0 (tak stasioner) terutama apabila data series mengalami struktural
breaks dan memiliki tren.
2. Bayesian Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA).
Pendekatan yang digunakan oleh Eberwein, et al. (2002) ini merupakan
pendekatan alternatif untuk menguji dan mengestimasi ketergantungan jangka
panjang (long run dependence). Hal ini didasari bahwa fenomena pengangguran
merupakan proses jangka panjang (long memory process). Kelebihan metode ini
adalah kemampuannya dalam memprediksi dampak jangka panjang suatu shock.
(InterCAFE, 2008)
Seperti yang telah banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, kelemahan
utama metode ADF-test dalam menguji persistensi pengangguran adalah
kecenderungannya untuk menerima kondisi bahwa pengangguran merupakan kondisi
yang takstasioner terutama apabila data series mengalami struktural breaks.
Elmeskov (1993) melakukan penelitian tentang eksistensi pengangguran dengan
judul “Hight and Persistent Unemployment : Assessment of the Problem and its
Causes”. Penelitian ini menjelaskan perkembangan pasar tenaga kerja bagi Negara-
negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)
dan faktor penyebabnya. Analisis penelitian ini dengan menyimpulkan adanya ukuran
yang tepat untuk menentukan tingkat pengangguran, sehingga adanya perbedaan tingkat
pengangguran antar beberapa Negara dari tahun ke tahun. Elmeskov melakukan aplikasi
matematis dalam pegukuran tingkat pengangguran. Indikator yang dipakai dalam
pendekatan aplikasi matematis yaitu : (1) NAWRU, (2) kurva Beveridge, dan (3) kurva
Okun. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan tren pengangguran di
beberapa Negara Eropa, dan disimpulkan bahwa terjadi peningkatan tren pengangguran
yang mempresentasikan peningkatan dalam tingkat pengangguran alamiah dan
keseimbangan.
Merujuk pada studi Elmeskov, InterCAFE (International Center for Applied
Finance and Economics) tahun 2008 melakukan studi tentang persistensi pengangguran
yang terjadi di Indonesia dengan analisis data makro dan mikro, dimana disimpulkan
bahwa pengangguran di Indonesia bersifat persisten dan berada di luar kondisi
keseimbangan pasar tenaga kerja, serta tidak mengalami mekanisme penyesuaian
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Dalam studi ini juga dikaji mengenai struktur
pengangguran dilihat dari berbagai persepsi, yaitu persepsi penganggur, pekerja, dan
perusahaan.
Sesuai dengan karakteristik data yang bersifat panel, alat analisis yang
digunakan adalah metode panel. Panel statis digunakan untuk menguji perbedaan
tingkat pengangguran dengan asumsi tingkat pengangguran memiliki equilibrium yang
stabil. Salah satu jurnal yang menggunakan model ini adalah Wu (2003). Model panel
lainnya yang digunakan adalah panel dinamis yang diaplikasikan jika tingkat
pengangguran memiliki keseimbangan yang bergerak sepanjang waktu. Galiani, et al.
(2004) mengaplikasikan model ini untuk menguji tingkat pengangguran dan disparitas
antar-regional di Argentina.
2.2.2. Penentuan Struktur Persistensi Pengangguran
Blanchard dan Summers (1986) menemukan bahwa derajat persistensi yang
lebih tinggi terjadi di negara-negara Eropa daripada di Amerika. Dengan demikian,
dapat diartikan bahwa fenomena persistensi lebih cenderung terjadi di EU daripada AS
sekaligus mengindikasikan hysteresis pengangguran di kawasan Eropa. Hasil riset
tersebut diperkuat dengan hasil riset yang dilakukan Ledesma (2000) yang bertujuan
untuk mengetahui apakah terjadi persisten atau hysteresis pengangguran antara kawasan
Eropa dan Amerika. Estimasi dengan menggunakan Panel Unit Root digunakan untuk
mendapatkan t-statistik yang mencerminkan derajat persistensi.
Menurut Assarsson dan Jansson (1995), persistensi pengangguran dapat
disebabkan oleh tiga faktor: (1) persistensi pengangguran dapat disebabkan oleh natural
rate shocks, (2) pengangguran dapat memiliki siklus dengan periode yang cukup lama,
(3) guncangan siklikal dalam pengangguran dapat ditransmisikan menjadi
pengangguran yang permanen.
Feve et al. (2002) melakukan penelitian untuk membuktikan adanya fenomena
histerisis pengangguran di 21 negara OECD. Menurut penelitian ini, selama periode
1980an, secara garis besar histerisis pengangguran terjadi akibat kegagalan tingkat
pengangguran untuk kembali ke tingkat yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa histerisis pengangguran tidak terjadi di negara Kanada, Belanda, dan Amerika
Serikat. Kemudian, histerisis pengangguran yang diproksikan oleh kekakuan upah, tidak
terbukti terjadi di 15 negara. Fleksibilitas tingkat upah merupakan alasan kuat yang
menghalangi terjadinya pengangguran yang persisten.
Tolvi (2003) menyatakan bahwa unemployment persistence atau unemployment
hysteresis merupakan suatu fenomena di mana tingkat pengangguran di suatu wilayah
meningkat dan diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan pengangguran
tersebut ke tingkat pengangguran semula, atau bahkan tingkat pengangguran ini tidak
akan pernah kembali ke tingkat awal tersebut. Dalam penelitiannya Tolvi ingin meneliti
fenomena persistensi pengangguran terhadap berbagai kelompok angkatan kerja yang
ada di Finlandia. Dengan menggunakan model ARFIMA (Autoregressive Fractionally
Integrated Moving Average) dan LM (Langrange Multiplier) Tolvi menemukan bahwa
selama sekitar satu setengah dekade di Finlandia telah terjadi persistensi pengangguran.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persistensi pengangguran untuk angkatan kerja
muda lebih kecil dibandingkan angkatan kerja keseluruhan. Selain itu persistensi
pengangguran pada kelompok wanita lebih kecil dibandingkan kelompok pria baik
untuk kelompok usia muda maupun untuk angkatan kerja secara keseluruhan.
Arulampalam et al. (2000) melakukan penelitian mengenai status
kebergantungan (state dependence) dari tingkat pengangguran di Inggris. Dengan
menggunakan model panel data, mereka menemukan bahwa terdapat pengaruh status
kebergantungan yang kuat dari pengangguran yang terjadi pada periode sebelumnya,
khususnya untuk golongan pria dewasa. Hasil tersebut sesuai dengan scarring theory of
unemployment di mana pengalaman menganggur seseorang akan berpengaruh terhadap
kondisi orang tersebut pada pasar tenaga kerja di masa yang akan datang. Hal ini terjadi
karena ketika seseorang menganggur menyebabkan penurunan kualitas human capital
(modal tenaga kerja) atau karena para majikan menggunakan sejarah yang terjadi pada
pasar tenaga kerja sebagai suatu indikator produktivitas tenaga kerja, atau karena para
pekerja yang menganggur akan bersedia menerima pekerjaan dengan kualitas yang lebih
rendah.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kondisi pasar tenaga kerja lokal
menghasilkan pengaruh yang kecil bagi para penganggur dengan kelompok usia muda.
Para penganggur golongan usia muda bersifat independen terhadap pengaruh siklus
bisnis. Usia, kesehatan, dan kualifikasi dari para tenaga kerja menjadi faktor-faktor
penentu yang signifikan terhadap pengangguran.
Temuan bahwa pengalaman pengangguran sebelumnya dapat meningkatkan
kemungkinan pengangguran pada masa sekarang merupakan sebuah implikasi yang
penting bagi sebuah pengambilan keputusan dimana diperlukan adanya suatu upaya
untuk menjaga tingkat pengangguran pada tingkat alamiah (NAIRU). Bukti-bukti yang
terjadi di Inggris mengindikasikan bahwa suatu kebijakan untuk mengurangi tingkat
pengangguran jangka pendek akan dapat mengurangi tingkat pengangguran dalam
jangka panjang dengan mengurangi tingkat NAIRU. Beberapa kebijakan yang dapat
diambil untuk mengurangi atau mencegah tingkat pengangguran adalah dengan
meningkatkan pendidikan dan pelatihan yang akan memberikan manfaat jangka
panjang.
Wu (2003) melakukan penelitian yang menguji eksistensi persistensi
pengangguran serta sumber persistensi yang terjadi di Cina. Studinya difokuskan pada
perbedaan yang terjadi antara pengangguran total dan kaum muda (total dan youth
unemployment), tingkat nasional dan regional dalam fenomena persistensi
pengangguran di Cina. Hasil empiris menunjukkan tiga esensi penting. Pertama,
pengangguran di tingkat provinsi (provincial unemployment) lebih persisten dibanding
pengangguran agregat nasional (national aggregate unemployment). Kedua,
pengangguran total lebih persisten daripada pengangguran kaum muda. Ketiga,
walaupun wilayah barat Cina memiliki tingkat pengangguran provinsi tertinggi tetapi
persistensi pengangguran regionalnya terendah.
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Keterkaitan antara permasalahan dan tujuan penelitian dapat kita lihat pada
bagan yang merupakan kerangka pemikiran dari penelitian, yaitu sebagaimana disajikan
dalam Gambar 2.2. Alur pemikiran yang dilakukan dalam penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan alur analisis yang dilakukan dalam studi InterCAFE.
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Konseptual
Kerangka pemikiran digunakan sebagai panduan dalam pelaksanaan penelitian,
yaitu untuk menjawab ketiga tujuan penelitian: (1) memotret gambaran umum
Persistenkah Pengangguran di Indonesia ?
Measurement Issue terhadap Struktur Pengangguran
Fenomena Pengangguran di Indonesia
Ya Tidak
Diperlukan Kajian terhadap Pola
Persistensi
Histerisis : Perubahan Struktural Perekonomian
Mengetahui Secara Pasti Pola Persistensi yang Terjadi
di Indonesia
Alamiah : Pengangguran Pada Kondisi Normal
karakteristik pengangguran di Indonesia; (2) mengkaji eksistensi persistensi
pengangguran di Indonesia; dan (3) menganalisis pola pengangguran di Indonesia.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :
pertama, pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menggali informasi mengenai
isu-isu yang terkait dengan pengukuran data pengangguran, mengidentifikasi
karakteristik pengangguran dan tenaga kerja. Pada tahap ini, selain dilihat struktur
pengangguran secara umum, karakteristik pengangguran dan tenaga kerja juga dianalisis
dari berbagai dimensi seperti usia, pendidikan dan gender. Pendekatan yang digunakan
pada tahap ini adalah metode analisis statistika deskriptif.
Masih dalam kerangka menjawab tujuan pertama penelitian, analisis yang lebih
mendalam dilakukan untuk mengetahui fenomena pengangguran di Indonesia pada
level nasional, apakah terjadi eksistensi persistensi atau tidak. Analisis yang dilakukan
pada tahap ini, merupakan tahap kedua pada Gambar 2.1. Untuk studi ini digunakan dua
alat analisis untuk membuktikan terjadinya persistensi pengangguran di Indonesia. Alat
analisis yang pertama adalah metode ekonometrika uji akar unit terhadap data time
series pengangguran. Selanjutnya dilakukan analisis pengukuran dinamika
pengangguran yang merujuk pada studi yang dilakukan Elmeskov (1993), namun dalam
penelitian ini ditambahkan indikator NAIRU. Hal yang mendasari analisis tersebut di
antaranya adalah adanya fenomena tingginya tingkat pengangguran dengan
kecenderungan yang terus meningkat. Terdapat beberapa alat analisis yang dapat
mengukur trend unemployment di antaranya: indikator NAWRU (Non Accelerating
Wage Rate of Unemployment), indikator NAIRU (Non Accelerating Wage Rate of
Unemployment) kurve Beveridge, dan kurva Okun. Keempat metode tersebut
diaplikasikan dalam studi ini untuk menggambarkan tren pengangguran yang terjadi di
Indonesia.
Hasil analisis tahap sebelumnya akan menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi
pengangguran: (1) merefleksikan peningkatan pada tingkat keseimbangan
pengangguran (natural rate), umumnya disebut unemployment trend, atau (2)
merupakan fenomena lambatnya penyesuaian (slow adjustment) terhadap tingkat
keseimbangan. Pertanyaan tersebut akan dijawab dalam analisis tahap ketiga, dimana
akan ditunjukan pola pengangguran yang terjadi di Indonesia. Apakah tren
pengangguran yang terjadi dalam hasil analisis tahap kedua mempunyai mekanisme
kembali ke keseimbangan awal dan mempunyai kemampuan untuk melakukan
penyesuaian (self correcting), dalam hal ini akan terjadi penyerapan tenaga kerja atau
justru mekanisme penyesuaian tersebut tidak terjadi.
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan konsep yang relevan serta hasil penelitian terdahulu
tentang pengangguran, maka dapat diberikan jawaban sementara atas permasalahan
yang ada. Hipotesis pertama, dengan tingkat pengangguran yang cenderung terus
meningkat, maka telah terjadi fenomena persistensi pengangguran di Indonesia. Kedua,
terjadi pola khusus dengan tingkat pengangguran yang terjadi di Indonesia, sehingga
kebijakan dalam penyelesaian masalah pengangguran selama periode penelitian relatif
tidak berhasil untuk menurunkan tingkat pengangguran.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Pengangguran
Jenis data yang digunakan untuk memperoleh jawaban dari tujuan penelitian ini
merupakan data sekunder berupa data agregat pada level nasional. Data sekunder yang
diperlukan adalah data yang terkait dengan pengangguran selama kurun waktu 1984-
2007. Namun, beberapa analisis seperti pengukuran tren pengangguran tidak bisa
menggunakan periode pengangguran yang cukup panjang, mengingat ada keterbatasan
dalam penyediaan data yang terkait dengan pengangguran, sehingga tidak bisa
dimasukan ke dalam aplikasi matematis. Data ini dapat diperoleh dari berbagai sumber,
antara lain data Badan Pusat Statistik (BPS), Data Statistik Indonesia, data statistic
International Labor Organization (ILO), data publikasi Census and Economic
Information Center (CEIC), dan instansi terkait lainnya.
3.2. Pengukuran terhadap Isu Pengangguran
Dalam bagian berikut mendiskusikan beberapa hal yang menunjukkan bahwa
data pengangguran memiliki beberapa kelemahan dalam menggambarkan kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Dengan demikian, kelemahan tersebut perlu diingat dalam
menganalisis kondisi pengangguran karena akan mempengaruhi tingkat pengangguran.
Meskipun memiliki kelemahan, hal yang dapat disimpulkan adalah meningkatnya
pengangguran menggambarkan penurunan pada tingkat utilisasi sumberdaya manusia.
3.2.1 Definisi dari Sumber Data Pengangguran
Berbagai istilah ketenagakerjaan mengalami beberapa kali perubahan definisi
sehingga mempengaruhi data yang telah dipublikasi sebelumnya. Agar perbandingan
antarwaktu dapat dilakukan, data tersebut memerlukan penyesuaian. Setelah tahun
1998, definisi penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia di atas 15 tahun.
Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja. Bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih
sekolah, ibu rumah tangga, atau pensiunan. Angkatan kerja terbagi menjadi dua yakni
bekerja dan menganggur atau mencari pekerjaan.
Menurut BPS, bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling
sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus. Kegiatan tersebut
termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau
kegiatan ekonomi.
Menurut BPS, seseorang dikategorikan sebagai menganggur atau mencari
pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang: (1) tidak bekerja, atau (2) sedang
mencari pekerjaan, baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun
yang sudah penah bekerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang
tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan,
atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Dengan adanya perubahan tersebut, (sebelum tahun 2000) sumber data yang
berbeda dapat mempublikasikan data yang berbeda bergantung apakah sudah
disesuaikan dengan definisi yang baru atau tidak. Sebagai contoh data yang dipublikasi
BPS telah disesuaikan sedangkan data publikasi CEIC belum mengalami penyesuaian.
Data ketenagakerjaan untuk tahun yang sama bisa berbeda bergantung kapan
pelaksanaan sensus yang dilakukan. Contohnya BPS menampilkan data bulan Februari
dan November, sedangkan CEIC hanya menampilkan data bulan November.
Tabel 3.1 Perubahan Definisi Pengangguran dan Usia Kerja
TAHUN DEFINISI PENGANGGURAN
1986-1993 Aktif mencari kerja selama 1 minggu sebelum survei
(hanya satu minggu)
1994-2000 Aktif mencari kerja, tanpa mempertimbangkan kapan
terakhir mencari kerja (dapat lebih dari satu minggu)
2001-sekarang
Aktif mencari kerja, tidak aktif mencari kerja, punya
pekerjaan tapi belum mulai kerja, sedang menyiapkan
usaha atau bisnis
DEFINISI POPULASI USIA KERJA
Sebelum 1998 Orang yang berumur lebih dari 10 tahun
1998-sekarang Orang yang berumur lebih dari 15 tahun
Sumber : Data Statistik Indonesia (2008) 3.2.2. Pasar Tenaga Kerja yang Dualistik: Formal dan Informal
Pasar tenaga kerja Indonesia bersifat dualistik di mana sebagian pekerja bekerja
di sektor formal (seperti di pabrik) dan sebagian pekerja berada di sektor informal
(seperti industri rumah tangga). Batasan kegiatan formal dan informal sebelum 2003
hanya berdasarkan status pekerjaan, sedangkan mulai 2003 merupakan kombinasi antara
pekerjaan utama dan status pekerjaan. Dengan perubahan definisi tersebut
mengakibatkan batasan kegiatan formal menjadi lebih luas (InterCAFE, 2008).
Gambaran secara jelas mengenai batasan formal dan informal dapat dilihat dalam
Lampiran 2 dan 3.
3.3. Metode Pengukuran dan Analisis Sumber Persistensi
Terdapat beberapa alternatif alat analisis yang dapat digunakan untuk mengukur
persistensi pengangguran dan menganalisis sumber-sumber persistensi pengangguran.
3.3.1. Uji Akar Unit
Sebelum melakukan estimasi terhadap model regresi, penting diketahui apakah
suatu data time series bersifat stasioner atau tidak stasioner. Ada beberapa perbedaan
yang penting antara data yang stasioner dan yang tidak stasioner (Enders, 1995).
Sepanjang waktu, goncangan yang terjadi pada data yang stasioner bersifat sementara
(selalu kembali kepada long-run mean), sehingga pada jangka panjang gerakan data
yang stasioner akan konvergen kepada unconditional mean-nya. Secara umum,
perbedaan data yang stasioner dan tidak stasioner adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2. Perbedaan Data Stasioner dan Tidak Stasioner
Data Stasioner Data Tidak Stasioner
1. Mean dari data stasioner
menunjukkan perilaku yang
konstan dan selalu kembali pada
kondisi long-run mean.
2. Ragamnya konstan.
3. Correlogram-nya menyempit
(diminishing).
1. Data series yang tidak stasioner
tidak kembali ke long-run mean.
2. Memiliki ketergantungan
terhadap waktu. Ragam
membesar tanpa batas seiring
dengan waktu.
3. Correlogram dari data cenderung
akan melebar.
Sumber: Enders (1995), diolah.
Untuk melihat apakah suatu data bersifat stasioner atau tidak, maka dilakukan
uji akar unit (unit root test) untuk melihat apakah datanya mengandung akar unit atau
tidak. Jika pada uji akar unit ternyata ditemukan data mengandung akar unit, maka
berarti data tersebut tidak stasioner.
Pengujian akar unit ini dilakukan untuk menghindari regresi palsu (spurious
regression), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang
nampaknya signifikan secara statistik padahal dalam kenyataan tidak sebesar regresi
yang dihasilkan tersebut, sehingga dapat menghasilkan kesalahan pengambilan
keputusan. Ciri spurious regression biasanya mempunyai R2 yang tinggi dan nilai t-
statistik yang nampak signifikan, namun tidak mempunyai arti dalam ilmu ekonomi
(Enders, 1995).
Dengan merujuk studi yang dilakukan Elmeskov (1993), dalam penelitian ini
akan diuji data pengangguran dengan beberapa alternatif pendekatan yaitu: (1) unit root
tanpa konstanta dan drift , (2) unit root dengan konstanta (3) unit root dengan drift, dan
(4) unit root dengan drift dan trend.
Misalkan variabel time series untuk data pengangguran (u) adalah sebagai
berikut,
titit euu ,1 ++= −φα . (3.1)
di mana φ adalah parameter yang akan diestimasi dan e diasumsikan white noise. Jika |φ|
≥ 1, maka ut adalah variabel yang takstasioner atau dalam definisi Blanchard dan
Summers (1986), terjadi pengangguran yang histeris, sehingga terdapat efek fluktuasi
yang permanen. Jika |φ| < 1, maka ui adalah variabel yang stasioner atau trend-
stationarity atau dengan kata lain terjadi pengangguran yang alamiah. Lebih lanjut,
pengangguran yang persisten terjadi jika nilai φ mendekati nilai 1. Karena itu, hipotesis
trend-stationarity dapat dievaluasi dengan menguji apakah nilai absolut dari ρ betul-
betul lebih kecil dari 1. Pengujian umum terhadap hipotesis di atas adalah H0: φ = 1,
dengan pengujian satu sisi dari hipotesis alternatif H1: φ < 1.
Standar umum pengujian akar-akar unit dari Dickey-Fuller (DF) adalah
persamaan (3.1). Kemudian, dengan mengurangi kedua sisi persamaan (3.1) dengan ut-1,
diperoleh persamaan:
ttt uu ερ +=Δ −1 (3.2)
atau dengan menambahkan variabel lag Δut di sisi kanan persamaan (3.2) akan
diperoleh pengujian Augmented Dickey-Fuller (ADF) sebagai berikut:
t
j
tjtjtt uuu εγρ ∑
=−− +Δ+=Δ
11 (3.3)
Di mana Δ mengindikasikan perbedaan pertama (first difference), sedangkan ρ =
(φ-1), sehingga hipotesis nol menjadi H0: ρ = 0, sedangkan hipotesis alternatif menjadi
H1: ρ< 0. Pengujian terhadap hipotesis ini dapat dievaluasi dengan t-statistik biasa,
yang kemudian dikembangkan oleh Dickey-Fuller (1979) karena mereka menunjukkan
bahwa dalam hipotesis nol adanya akar-akar unit, t-statistics yang diperoleh tidak
mengikuti student’s t-distribution yang konvensional.
Bentuk persamaan dengan pendekatan uji stasioneritas dalam penelitian ini
diberikan sebagai berikut:
Uji Akar Unit dengan ADF test
Dimana diketahui :
U = D + Z
Z = ρ Ut-1 + e
Maka aplikasi rumusnya adalah :
None (tanpa constancy dan drift) : D = 0
Constancy : D = C
Drift : D = C + αtime
Drift and Trend : D = C + αtime + βtime2
Sehingga persamaan untuk masing-masing pengujian :
U = ρ Ut-1 + e
U = C + ρ Ut-1 + e
U = C + αtime + ρ Ut-1 + e
U = C + αtime + βtime2 + ρ Ut-1 + e
Maka didapat untuk ∆U = (ρ-1) Ut-1 +e
Dengan melihat probabilitasnya, bisa ditentukan apakah data bersifat stasioner atau
tidak.
3.3.2. ARIMA (Autoregressive - Integrated Moving Average)
ARIMA atau model Bob Jenkins memfokuskan pada kombinasi prinsip-prinsip
regresi dan metode pemulusan (smoothing). Model ARIMA merupakan gabungan
model AR (p) dan MA (q). ARIMA sangat bermanfaat untuk peramalan jangka pendek.
ARIMA biasanya ditulis sebagai ARIMA (p,d,q).
p = ordo autoregresif
d = ordo integrasi
q = ordo moving average
Model ARIMA menggunakan informasi dari series-nya sendiri untuk melakukan
peramalan. Ini berbeda dengan model regresi biasa dalam hal bahwa dalam melakukan
forecasting dengan model biasa membutuhkan peramalan mengenai nilai independen
variabel.
Ada beberapa tahapan dalam model ARIMA, yaitu : (1) Identifikasi model
dengan menguji kestasioneran data dan identifikasi ordo ARIMA, (2) Estimasi
parameter dari model yang telah dipilih sesuai hasil identifkasi, (3) Pemilihan model
yang terbaik, (4) Forecasting
Model bentuk dasar dari model ARIMA adalah sebagai berikut :
Model AR (p)
Yt=α0 + α1Yt-1 + α2Yt-2 + α3Yt-3 + …… + αp Yt-p + et (3.4)
Model MA (q)
Yt=β0 + β1et-1 + β2et-2 + β3et-3 + …… + βq et-q + et (3.5)
Model ARMA (p,q)
Yt=γ0 + α1Yt-1 + α2Yt-2 + α3Yt-3 + …… + αp Yt-p + β1et-1 + β2et-2 + β3et-3 + …… + βq et-q +
et (3.6)
3.3.3. Pengukuran Tren Pengangguran
Dalam penelitian ini digunakan empat indikator untuk mengukur tren
pengangguran yang merujuk pada studi Elmeskov (1993). Keempat Indikator tersebut,
yaitu : NAWRU, NAIRU, kurva Beveridge dan kurva Okun. Aplikasi matematis dari
keempat indikator diberikan dalam beberapa subab dibawah ini.
3.3.3.1. Indikator NAWRU
NAWRU (Non Accelerating Wage Rate of Unemployment) menunjukkan
besarnya tingkat pengangguran yang dapat mengakselerasi kenaikan upah. Indikator
NAWRU diperoleh dengan formula:
NAWRU = U – (DU/D2logW) * DlogW
di mana: U = tingkat pengangguran aktual,
W = upah nominal,
D = first difference operator.
3.3.3.2. Indikator NAIRU
NAIRU (Non Accelerating Inflation Rate of Unemployment) menunjukkan
besarnya tingkat pengangguran yang dapat mengakselerasi kenaikan inflasi. Indikator
NAWRU diperoleh dengan formula:
NAIRU = U – (DU/D2π) * Dπ
di mana: U = tingkat pengangguran aktual,
π = tingkat inflasi,
D = first difference operator.
3.3.3.3. Kurva Beveridge
Kurva Beveridge adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara tingkat
pengangguran dengan lowongan kerja (vacancy rate). Indikator kurva Beveridge
diperoleh dengan formula:
b = U*Vmed(-DlogU/DlogV)
di mana: b = kurva Beveridge
U = tingkat pengangguran aktual,
V = vacancy rate.
3.3.3.4. Kurva Okun
Kurva Okun adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara tingkat
pengangguran dengan output. Indikator kurva Okun diperoleh dengan menggunakan
metode yang relatif sama dengan formula untuk membangun indikator NAWRU dan
NAIRU dengan mengganti inflasi upah dan tingkat inflasi dengan utilisasi kapasitas
(capacity utilization). Indikator kurva Okun diperoleh dengan formula:
OKUN = U – (DU/D2logGDP) * DlogGDP
di mana: U = tingkat pengangguran aktual,
GDP = output nasional,
D = first difference operator.
3.3.4. Penentuan Pola Persistensi Pengangguran
Penentuan pola persistensi pengangguran dimaksudkan untuk melihat apakah
peningkatan tren pengangguran tersebut terjadi karena peningkatan keseimbangan
(equilibrium) pasar tenaga kerja atau karena penyesuaian yang lamban (slow
adjustment) dalam pasar tenaga kerja. Selanjutnya, jika tingkat pengangguran naik maka
kompensasi yang seharusnya terjadi adalah upah riil menurun sehingga pada periode
berikutnya terjadi penyerapan tenaga kerja (terjadi mekanisme self correcting).
Untuk menganalisis beberapa kondisi diatas dilakukan pendekatan dalam
mekanisme pembentukan upah, yang dibentuk dalam model-model di bawah ini :
(1) DlogWR = c + L*A(M)*DlogWR + B(L)*DlogPCP + C(L)*DlogPGDPB +
d*f(UNR) + g*(UNR-UTREND),
(2) Dlog(WR/PCP) = c + L*A(M)*Dlog(WR/PCP) + B(M)*DDlogPCP +
C(L)*Dlog(PGDPB/PCP) + d*f(UNR) + g*(UNR-UTREND),
(3) DlogWR = c + L*A(M)*DlogWR + B(L)*DlogPCP + C(L)*DlogPGDPB +
d*f(UNR) + e*DUNR,
(4) Dlog(WR/PCP) = c + L*A(M)*Dlog(WR/PCP) + B(M)*DDlogPCP +
C(L)*Dlog(PGDPB/PCP) + d*f(UNR) + e*DUNR.
dimana :
D = first different operator,
L dan M = lag operator,
log WR = log dari upah nominal,
log PCP = log dari tingkat inflasi,
logPGDPB = log dari tingkat output,
f(UNR) = fungsi pembentukan tingkat pengangguran,
UNR-UTREND = deviasi dari tingkat pengangguran,
log(WR/PCP) = log dari upah rill,
log(PGDPB/PCP) = log dari output riil, dan
DUNR = differensial dari tingkat pengangguran.
3.3.5. Analisis Panel Data
Dalam suatu penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai
ketersediaan data yang mewakili variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Data
time series yang pendek serta bentuk data cross section yang terbatas sering dijumapai
oleh peneliti. Melalui pendekatan ilmu ekonometrika, kondisi tersebut dapat diatasi
dengan menggunakan panel data agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien.
Keuntungan dari penggunaan panel data menurut (Gujarati, 2003) adalah sebagai
berikut :
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu
2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinieritas antar
variabel, meningkatkan degrees of freedom dan lebih efisien
3. Mampu mengidentifkasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat
diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni.
4. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih komlpeks.
Keuntungan fundamental panel data dari data time series ataupun cross section
adalah bahwa panel data akan membiarkan peneliti untuk lebih fleksibel dalam
memodelkan perbedaan sifat tiap data pengamatan. Metode panel data dapat memiliki
tiga bentuk model yaitu, Pooled Least Square, Fixed Effect atau model efek tetap dan
Random Effect atau model efek acak.
(1) Pendekatan Kuadrat Terkecil
Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah dengan
menggunakan metode kuadrat terkecil biasa yang diterapkan dalam data yang berbentuk
pool. Misalkan terdapat persamaan berikut ini:
Yit = α +βj xjit + εit untuk i = 1, 2, . . . , N dan t = 1, 2, . . ., T (3.7)
di mana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode
waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil
biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross-
section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cros- section sebagai
berikut:
yi1 = αi + βj xjit + εi1 untuk i = 1, 2, . . . , N (3.8)
yang akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang sama.
Begitu juga sebaliknya, kita juga akan dapat memperoleh persamaan deret waktu (time
series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk mendapatkan
parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi
yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi.
(2) Pendekatan Efek Tetap
Masalah terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terkecil biasa adalah asumsi
intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antarindividu
maupun antarwaktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering
dilakukan adalah dengan memasukkan variabel boneka (dummy variable) untuk
menghasilkan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit cross-section maupun
antarwaktu.
Pendekatan dengan memasukkan variabel boneka ini dikenal dengan sebutan
model efek tetap (fixed effect) atau Least Square Dummy Variable (LSDV). Penggunaan
pendekatan efek tetap ini akan menghasilkan intersep yang berbeda-beda antar unit
cross section. Pendekatan tersebut dapat dituliskan dalam persaman sebagai berikut:
,'ititiit xy εβα ++= ),0(~ 2
eit IID σε (3.9)
di mana itx independen terhadap itε dan iα merupakan intersep yang berbeda-beda
untuk masing-masing cross section. Kita dapat menuliskan model ini dalam kerangka
regresi umumnya dengan memasukan variabel dummy untuk masing-masing unit
i dalam model. Berarti,
2
,N
it j ij it itj
y d xια α β ε=
= + + +∑ (3.10)
di mana 1=ijd jika ji = dan 0 untuk selainnya. Dengan begitu kita mempunyai
variabel dummy sebanyak 1N − dalam model. Parameter 1 1, ,...., Nα α α − dan β dalam
(3.9) dapat diestimasi dengan ordinary least square (OLS). Penaksir β disebut sebagai
Least Square Dummy Variable (LSDV) estimator. Secara numerik akan menjadi lebih
rumit apabila kita memiliki model regresi dengan banyak regressor. Namun demikian,
untuk mengestimasi β dapat dihitung dengan cara yang lebih sederhana. Hal ini dapat
ditunjukkan bahwa secara tepat penaksir yang sama untuk β diperoleh jika regresi
dikerjakan dalam bentuk penyimpangan dari rata-rata tiap individu. Secara esensial, hal
ini mengimplikasikan bahwa kita menghilangkan pengaruh individu 1α dengan
mentransformasi data. Untuk melihat hal ini, perlu diperhatikan bahwa:
' ,i i i iy xα β ε= + + (3.11)
di mana 1i itt
y T y−= ∑ dan begitu pula untuk variabel lainnya. Konsekuensinya, kita
dapat menulis:
( ) ' ( ),it i it i it iy y x x β ε ε− = − + − (3.12)
Model ini adalah model regresi dalam bentuk penyimpangan rata-rata tiap individu dan
tidak memasukkan pengaruh individu 1α . Transformasi yang menghasilkan observasi
dalam bentuk penyimpangan dari rata-rata tiap individu, seperti dalam (3.7), kita sebut
sebagai within transformation. Penaksir OLS untuk β yang diperoleh dari model
transformasi ini sering disebut within estimator atau fixed effect estimator, model
estimasi ini sangat identik dengan penaksir LSDV yang digambarkan di atas. Sehingga,
1
1 1 1 1
ˆ ( )( ) ' ( )( ).N T N T
i iFE it it i it iti t i t
x x x x x x y yβ
−
= − = −
⎛ ⎞⎜ ⎟= − − − −⎜ ⎟⎝ ⎠∑∑ ∑∑ (3.13)
Jika kita mengasumsikan bahwa semua itx adalah independen terhadap semua itε ,
penaksir fixed effect adalah penaksir tidak bias untuk β . Jika asumsi normalitas untuk
itε berlaku, ˆFEβ memiliki distribusi normal. Agar konsisten, kita memerlukan
( ) 0iit itE x x ε⎧ ⎫⎪ ⎪− =⎨ ⎬⎪ ⎪⎩ ⎭
(3.14)
Syarat cukup untuk kondisi ini adalah bahwa itx tidak berkorelasi dengan itε dan ix
tidak berkorelasi dengan error term. Kondisi ini menyiratkan
{ } 0=isitxE ε untuk semua ts, (3.15)
dalam kasus ini kita menyebut itx sebagai strictly exogenous. Strictly exogenous
variabel tidak boleh tergantung pada nilai saat ini, masa depan atau masa lalu dari error
term.
Karena variabel eksogen adalah independen terhadap semua error, intersep N diestimasi
dengan tidak bias sebagai
^
'ˆ ˆ , 1,....,FEi i iy x i Nα β= − = (3.16)
Di bawah asumsi (3.12) penaksir ini adalah konsisten untuk fixed effects iα ketika
T menuju tak hingga.
Bagaimanapun, fixed effect model memusatkan perhatian pada perbedaan dalam
individu, berarti, menjelaskan mengapa ity berbeda dari iy dan tidak menjelaskan
mengapa iy berbeda dari jy . Pengaruh perubahan x terhadap variabel lain yang
ditangkap dengan parameter β memiliki pengaruh yang sama, apakah itu perubahan
dari satu periode ke periode yang lain atau perubahan dari satu individu ke individu
yang lain.
Keputusan memasukkan variabel boneka ini harus didasarkan pada
pertimbangan statistik. Tidak dapat kita pungkiri, dengan melakukan penambahan
variabel boneka ini akan dapat mengurangi banyaknya degree of freedom yang pada
akhirnya akan mempengaruhi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Pertimbangan
pemilihan pendekatan yang digunakan, didekati dengan menggunakan statistik F yang
berusaha membandingkan antara nilai jumlah kuadrat dari error proses pendugaan
dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dan efek tetap yang telah memasukkan
variabel boneka. Rumusan untuk memperoleh nilai statistik tesebut adalah sebagai
berikut:
( ) ( )( ) ( )
1 22,
2
/ 1/N T NT N T
ESS ESS NF
ESS NT N K+ − − −
− −=
− − (3.17)
di mana ESS1 dan ESS2 adalah jumlah kuadrat sisa dengan menggunakan metode
kuadrat terkecil biasa dan model efek tetap, sedangkan statistik F mengikuti distribusi F
dengan derajat bebas N-1 dan NT – N – K . Nilai F-statistik uji ini kemudian
dibandingkan dengan nilai statistik F tabel yang akan menentukan pilihan model yang
akan digunakan.
(3) Pendekatan Efek Acak
Keputusan untuk memasukkan variabel boneka dalam model efek tetap tak dapat
dipungkiri akan dapat menimbulkan trade off. Penambahan variabel boneka akan dapat
mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan
mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Berkaitan dengan hal ini, dalam
model data panel dikenal pendekatan ketiga yaitu model efek acak (random effect).
Penggunaan pendekatan efek acak ini didasari oleh hal berikut ini. Dalam
analisis regresi, diasumsikan bahwa semua faktor yang mempengaruhi variabel
dependen tetapi tidak dimasukan sebagai regresor dalam model dinyatakan dalam
random error term. Dalam kasus kita, hal ini membawa kepada asumsi bahwa iα
adalah faktor acak (random factors), yang independen dan secara identik didistribusikan
antar individu. Jadi, kita bisa menulis the random effect model sebagai:
),0(~ );,0(~ , 22it
'αε σασεεαβμ IIDIIDxy iitiitit +++= (3.18)
dimana μ adalah rata-rata dari seluruh intersep dan i itα ε+ diperlakukan sebagai error
term yang terdiri atas dua komponen: iα sebagai komponen spesifik individu
(komponen cross section error) yang tidak berubah sepanjang waktu, dan itε sebagai
komponen sisaan yang terdiri dari komponen time series error dan komponen
combination eror yang diasumsikan tidak berkorelasi sepanjang waktu.
Bentuk efek acak ini kemudian dapat ditulis
'it it ity xμ β ω= + + (3.19)
it i itω α ε= + (3.20)
it i t itv wω α= + + (3.21)
di mana: iα ~ N(0, σ2α) = komponen cross section error,
tν ~ N(0, σ2ν) = komponen time serries error,
itw ~ N(0, σ2w) = komponen combination error,
iti εα dan diasumsikan saling bebas dan independen terhadap
).dan semua(untuk sjx js Hal ini mengimplikasikan bahwa penaksir OLS adalah
konsisten dan tidak bias.
Struktur komponen kesalahan (the error component structure)
mengimplikasikan bahwa gabungan dari error term yang berbentuk iti εα +
menunjukan adanya autokorelasi (kecuali 02 =ασ ). Konsekuensinya, penaksir OLS
menjadi tidak tepat dan akan lebih efisien jika menggunakan penaksir GLS yang bisa
diperoleh dengan memanfaatkan struktur error covariance matrix.
Untuk memperoleh penaksir GLS, pertama perlu diperhatikan bahwa untuk
individu i semua error term dapat disusun sebagai ,1 iT εια + di mana
TT berdimensi )'1...,1 ,1(=ι dan )',...,( 1 iTii εεε = . The covariance matrix untuk vektor
ini adalah:
{ } ,2'2TTTiTi IV εα σιισεια +=Ω=+ (3.22)
di mana TI adalah matriks identitas dengan dimensi T . Covariance matrix ini bisa
digunakan untuk memperoleh penaksir generilized least square (GLS) bagi parameter
dalam (3.15). Kita dapat mentransformasi data dengan mengalikan ulang vektor
)',...,( 1 iTii yyy = dan lainnya. Dengan 1−Ω adalah
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
+−=Ω −− '
22
221
TTT TI ιι
σασ
σαε
αε , (3.23)
yang juga dapat ditulis sebagai:
,11 ''21⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡+⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ −=Ω −−
TTTTT TTI ιιψιισ ε (3.24)
bahwa '1TTT T
I ιι− mentransformasi data dalam bentuk penyimpangan dari rata-rata
individu dan '1TTTιι menunjukan rata-rata individu, penaksir GLS untuk β dapat ditulis
1
1 1 1
1 1 1
ˆ ( )( ) ' ( )( ) '
( )( ) ( )( ) ,
N T N
GLS it i it i i ii t i
N T N
it i it i i ii t i
x x x x T x x x x
x x y y T x x y y
β ψ
ψ
−
= = =
= = =
⎛ ⎞⎜ ⎟
= − − + − −⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎛ ⎞⎜ ⎟
× − − + − −⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠
∑∑ ∑
∑∑ ∑
(3.25)
di mana ( ) ,1
( ) iti tx xNT= ∑ menunjukkan rata-rata keseluruhan dari itx . Dari sini
dapat kita lihat bahwa jika 0=ψ penaksir fixed effect muncul. Karena
, jika 0 ∞→→ Tψ maka penaksir fixed dan random effect adalah identik untuk T yang
besar. Dari rumusan umum untuk penaksir GLS dapat diperoleh bahwa
ˆ ˆ ˆ( ) ,GLS B K FEIβ β β= Δ + −Δ (3.26)
di mana
1
1 1 1
ˆ ( )( ) ' ( )( )N T N
B it i it i i ii t i
x x x x x x y yβ
−
= = =
⎛ ⎞⎜ ⎟= − − − −⎜ ⎟⎝ ⎠∑∑ ∑ (3.27)
adalah disebut sebagai between estimator untuk β . Penaksir OLS dalam model untuk
rata-rata individu adalah :
' , 1,..., .i i i iy x i Nμ β α ε= + + + = (3.28)
matrik Δ adalah matrik pembobot dan proporsional terhadap invers covariance matrix
ˆBβ . Berarti, penaksir GLS adalah matrik rata-rata terbobot dari between estimator dan
within estimator, dimana bobotnya tergantung pada keragaman dari dua penaksir
tersebut.
Dengan menggunakan model efek acak, maka kita dapat menghemat pemakaian
derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada model
efek tetap. Hal ini berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi
semakin efisien. Keputusan penggunaan model efek tetap ataupun efek acak ditentukan
dengan menggunakan spesifikasi yang dikembangkan oleh Hausmann. Spesifikasi ini
akan memberikan penilaian dengan menggunakan nilai Chi Square Statistics sehingga
keputusan pemilihan model akan dapat ditentukan secara statistik.
Menurut Hsiou dalam Sibarani (2002) apabila tidak dapat ditentukan secara
teoritis dampak dari gangguannya,maka model efek acak dipilih jika data diambil dari
sampel individu yang merupakan sampel acak dari populasi yang lebih besar. Dengan
kata lain menarik kesimpulan suatu populasi atau hanya meliputi beberapa individu.
Namun jika evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi
beberapa individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut, maka lebih baik
digunakan model efek tetap (fixed effect model). Dikarenakan jumlah kerat lintang dari
persamaan yang digunakan pada penelitian ini mencerminkan seluruh populasi yaitu
seluruh propinsi yang ada di Indonesia, maka secara teori model fixed effect yang
dipilih.
3.4. Sintesis
Hasil-hasil penelitian yang diperoleh dari tahapan sebelumnya, yang berasal dari
pendekatan secara makro dengan menggunakan data sekunder (ekonometrika)
selanjutnya digunakan untuk membentuk sintesis tentang persistensi pengangguran dan
pola persistensi penganguran yang terjadi di Indonesia.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana telah disampaikan di bab sebelumnya, penelitian
”Analisis Eksistensi Persistensi Pengangguran di Indonesia ”, merupakan penelitian
lanjutan yang mencoba mengkaji kembali dan berusaha melengkapi penelitian
International Center for Applied Finance and Economic (InterCAFE, 2008) dalam
melihat eksistensi persistensi pengangguran di Indonesia. Diawali dengan mengkaji
berbagai dimensi karakteristik pengangguran dari gambaran umum yang terjadi di
Indonesia, akan dapat dihasilkan gambaran terkini mengenai kondisi pengangguran di
Indonesia. Dalam tahapan tersebut, selain dilihat struktur pengangguran secara umum,
karakteristik pengangguran dan tenaga kerja juga dianalisis dari berbagai dimensi
pengangguran.
Fenomena yang terlihat dari tingkat pengangguran di Indonesia yang cenderung
terus mengalami peningkatan, merupakan indikasi terjadinya persistensi pengangguran
di Indonesia. Setelah melihat adanya indikasi terjadinya peristensi pengangguran di
Indonesia, selanjutnya dikaji komponen-komponen dari pengangguran itu sendiri.
Pendekatan yang dilakukan untuk menguji indikasi persistensi pengangguran dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan ekonometrika dan pendekatan aplikasi
matematis. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah mengetahui pola persistensi
yang terjadi di Indonesia
Untuk mempermudah memahami alur analisis dalam bab pembahasan ini,
diberikan ikhtisar alur analisis yang dirangkai dalam Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Ikhtisar Alur Analisis
Penelitian lebih lanjut mengenai pengangguran di Indonesia ini diuraikan dalam
beberapa sub bab di bawah ini:
4.1. Gambaran Umum Karakteristik Struktur Pengangguran di Indonesia
Tingkat pengangguran di Indonesia cenderung terus mengalami peningkatan.
Data menunjukkan bahwa antara tahun 1994-2000, tingkat pengangguran rata-rata
sebesar 5.39 persen yang kemudian selama tahun 2000-2007 mengalami peningkatan
menjadi 9.76 persen. Dari hasil perbandingan antara kedua periode tersebut, terjadi
peningkatan yang signifikan atau terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran
sebesar 71.22 persen. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan studi yang dilakukan oleh
InterCAFE, dimana dengan periode yang lebih pendek, yaitu membandingkan periode
1996-2000 dan 2001-2006 terjadi peningkatan rata-rata tingkat pengangguran sebesar
Siklik Trend
Keseimbangan Diluar Keseimbangan
Persistensi Pengangguran Terjadi di Luar Keseimbangan dan Tidak Mempunyai
Mekanisme Penyesuaian Secara Otomatis
Tidak Terjadi Mekanisme Penyesuaian
Persisten
Gambaran umum Pengangguran di Indonesia
Alamiah Histerisis
74.32 persen. Periode pembanding yang dilakukan dalam penelitian ini maupun
penelitian InterCAFE dimaksudkan untuk melihat kondisi pengangguran periode
sebelum krisis ekonomi yang dialami Indonesia dan periode setelah krisis atau dalam
masa perbaikan kondisi perekonomian indonesia.
Tingginya peningkatan rata-rata tingkat pengangguran, sebagaimana disajikan
dalam Tabel 4.1 memberikan kesimpulan bahwa segala kebijakan anti pengangguran
yang sudah digulirkan oleh berbagai kalangan belum sepenuhnya berjalan efektif, dan
belum berhasil dalam menurunkan tingkat pengangguran yang terjadi. Padahal kalau
kita lihat, periode kedua merupakan periode dimana Indonesia sedang dalam masa
perbaikan kondisi perekonomian, atau telah melewati periode krisis. Hal ini juga
mengindikasikan terjadinya masalah yang serius dalam tatanan struktur angkatan kerja
yang dari tahun ke tahun selalu bertambah. Dari gambaran sementara mengenai kondisi
pengangguran tersebut, seharusnya bisa memberikan point of view bagi semua pihak
untuk menjadikan permasalahan pengangguran sebagai masalah serius yang harus
segera ditanggulangi.
Tabel 4.1 Tingkat Pengangguran di Indonesia (dalam persen)
Rata-rata
1994-2000
Rata-rata
2000-2007 2007
Perubahan rata-rata tahun 1994-2000
terhadap rata-rata tahun 2000-2007
5.35 9.15 9.76 71.22
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008), diolah
Peningkatan yang konsisten tingkat pengangguran, memberikan gambaran
bahwa tidak berjalannya mekanisme penyerapan angkatan kerja yang dihasilkan. Atau
dengan kata lain, tingkat partisipasi angkatan kerja lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat pengangguran yang terus mengalami peningkatan. Kondisi tingginya tingkat
pengangguran tersebut seiring dengan peningkatan jumlah angkatan kerja yang
dihasilkan. Kondisi tersebut disajikan dalam Gambar 4.2, yang menunjukkan tingkat
partisipasi angkatan kerja yang menurun dengan tingkat pengangguran yang cenderung
meningkat. Namun untuk tahun 2007 terjadi perbaikan kondisi pengangguran di
Indonesia, dimana tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami peningkatan meskipun
belum signifikan. Sedangkan untuk tingkat pengangguran, untuk tahun 2007 mengalami
penurunan dari 10.45 persen pada tahun 2006, menjadi 9.76 persen. Kondisi
pengangguran yang membaik dalam kurun waktu satu tahun terakhir belum bisa
dijadikan acuan bahwa tingkat pengangguran akan terus menurun taun-tahun
selanjutnya. Apalagi kalau terjadi shock seperti yang terjadi pada tahun 2005 yang
disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
S
umber : Badan Pusat Statistik (2008), diolah
Gambar 4.2 Pengangguran dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Setelah mengetahui gambaran secara umum yang terjadi di Indonesia, dirasa
penting untuk mengetahui karakteristik dari struktur pengangangguran yang terjadi di
Indonesia. Untuk itu perlu dikaji beberapa dimensi pengangguran seperti dari dimensi
usia, pendidikan dan gender. Hal ini dilakukan untuk menganalisis sumber
permasalahan yang terjadi pada setiap karakteristik pengangguran. Sama seperti
analisis-analisis sebelumnya, penelitian ini menambahkan data tahun 2007 untuk
melengkapi penelitian terdahulu.
4.1.1. Karakteristik Pengangguran Berdasarkan Usia
Diantara beberapa dimensi pengangguran, karakteristik pengangguran yang
paling mendapat perhatian adalah pengangguran usia muda terutama mengenai seberapa
tinggi tingkat pengangguran usia muda tersebut. Hal yang umumnya terjadi adalah
tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan pengangguran usia dewasa.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1996
pengangguran usia muda berjumlah hampir dua kali lebih besar dibandingkan
pengangguran usia dewasa. Gambaran tingginya pengangguran usia muda dibandingkan
dengan bukan usia muda dapat dilihat pada Gambar 4.3 di bawah ini.
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008), diolah
Gambar 4.3 Tingkat Pengangguran antar Kelompok Usia
Salah satu faktor yang diindikasikan menjadi penyebab tingginya pengangguran
usia muda adalah lemahnya sistem pendidikan dalam mempersiapkan siswa-nya untuk
memasuki dunia kerja. Sistem pendidikan yang terbangun selama ini tampaknya masih
menghasilkan angkatan kerja usia muda dengan kemampuan yang terbatas dan
diperparah dengan kurangnya pengalaman angkatan kerja usia tersebut (lack of skill and
experience) .
Durasi waktu tunggu (menganggur) juga disinyalir berpengaruh terhadap hal ini,
Semakin lama seseorang menganggur akan semakin berdampak pada perkembangan
karirnya seperti kemampuan yang semakin berkurang, pendapatan yang cenderung
menurun, rendahnya kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang baru serta semakin
tingginya peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang cenderung
kurang stabil.
Diperlukan suatu mekanisme untuk mampu menekan pengangguran usia muda
diantaranya program pendidikan dan pelatihan yang komprehensif dan terintegrasi,
sehingga calon angkatan kerja mempunyai bekal yang cukup untuk masuk ke dunia
kerja.
4.1.2. Karakteristik Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sejalan dengan banyaknya pengangguran usia muda, tingginya pengangguran
yang berpendidikan rendah (unskilled) juga bisa disebabkan karena lemahnya sistem
pendidikan dalam mempersiapkan siswa-nya untuk memasuki dunia kerja. Dilihat dari
tingkat pendidikan yang ditamatkan, terlihat bahwa tingkat pengangguran di Indonesia
didominasi oleh angkatan kerja yang berada pada golongan unskilled. Tingginya
pengangguran yang bersifat unskilled dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008), diolah
Gambar 4.4 Tingkat Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan
4.1.3. Karakteristik Pengangguran Berdasarkan Gender
Secara umum data pengangguran di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat
pengangguran laki-laki lebih tinggi dibandingkan pengangguran wanita meskipun
perbedaannya relatif kecil. Namun demikian, terdapat kecenderungan bahwa perbedaan
tingkat pengangguran antargender tersebut semakin mengecil. Hal ini bisa disebabkan
oleh semakin tingginya eksistensi wanita dalam mengisi lowongan pekerjaan beberapa
tahun terakhir, sehingga wanita mendapatkan porsi yang semakin meningkat di dunia
kerja. Khusus untuk di Indonesia, peningkatan penyerapan golongan wanita, sedikit
banyak dipengaruhi oleh implementasi dari penetapan undang-undang yang
mengharuskan ada proporsi tertentu dalam suatu instansi keberadaan peran wanita.
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008), diolah
Gambar 4.5 Tingkat Pengangguran antar Gender
4.2. Pengujian Eksistensi Persistensi Pengangguran
Setelah dari hasil analisis terhadap struktur karakteristik pengangguran dan
disimpulkan bahwa tren-nya terus mengalami peningkatan, maka dipandang perlu untuk
mengetahui apakah terjadi fenomena persistensi pengangguran di Indonesia. Pengujian
eksistensi persistensi pengangguran dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan
yaitu metode ekonometrika (analisis time series) dengan uji akar unit terhadap data time
series pengangguran, dan pengukuran dinamika pengangguran terhadap komponen tren
dan siklikal data pengangguran .
4.2.1. Hasil Uji Ekonometrika
Penelitian ini akan mencoba membandingkan hasil uji akar unit yang telah
dilakukan oleh InterCAFE. Perbedaan uji yang dilakukan adalah data yang dipakai
dalam penelitian ini sampai dengan tahun 2007, sedangkan studi yang dilakukan
InterCAFE menggunakan data sampai 2006.
Pengujian persistensi dalam penelitian ini melalui empat pendekatan yang
merujuk pada studi Elmeskov (1993) yaitu : a) unit root tanpa constanta dan drift; b)
unit root dengan constanta; c) unit root dengan drift; d) unit root dengan constanta dan
drift. Hasil pengujian ini diberikan pada Tabel 4.2. dan Tabel 4.3.
Tabel 4.2 Pengujian Persistensi Pengangguran di Indonesia
Probability of unit root against hypothesis of stationarity with:
Persistence (coefficient AR)
Standard Deviation
Constancy Drift Drift and Trend
0.955 0.493 0.0001 0.934 0.068
Sumber : InterCAFE (2008)
Tabel 4.3 Pengujian Persistensi Pengangguran di Indonesia
Probabilitas Data Pengangguran Pendekatan Uji Stasioneritas dengan Uji Akar Unit
Persistensi (Koefisien
AR)
Standar Deviasi
Tanpa Constanta dan drift
Constanta Drift Drift dan
Tren
0.997 0.068 0.9609 0.9181 0.4137 0.0001***
***Signifikan pada taraf nyata 1%
Sumber : Lampiran 4,5,6,7 dan 8
Dari hasil pengujian akar unit yang ditampilkan dalam tabel diatas, secara
statistik dapat diartikan bahwa pengujian akar unit tanpa menggunakan constanta atau
drift hasilnya tidak signifikan, sedangkan kalau menggunakan constanta dan drift tahun
saja hasilnya sama tidak signifikan. Hal ini memperlihatkan data bersifat tidak stasioner.
Namun dari data yang dihasilkan, terdapat kecendrungan probabilitas semakin
mengecil, terutama setelah memasukan drift tahun dalam model. Pendekatan yang
keempat adalah dengan menggunakan drift dan trend dalam model yang dapat
menghasilkan p-value sebesar 0.0001 yang berarti sangat signifikan. Hasil pengujian
akar unit ini memberikan cukup bukti bahwa di Indonesia terjadi persistensi
pengangguran.
Alternatif analisis lain yang digunakan adalah dengan menghitung koefisien
persistensi atau koefisien autoregressive (AR). Untuk koefisien AR dari data
pengangguran aktual yang mendekati satu (1), hal ini mengindikasikan adanya
persistensi pengangguran. Namun, apabila nilai koefisiennya lebih dari satu (1) maka
pengangguran yang terjadi di Indonesia mengalami kondisi yang disebut dengan
hysteresis. Nilai koefisien yang diperoleh dari hasil pengujian koefisien AR atau
koefisien pengangguran sebesar 0.997 dengan standard deviation sebesar 0.068. Hal ini
memperlihatkan bahwa data tingkat pengangguran merupakan proses autoregressive
yang mendekati unit root. Dengan nilai koefisien yang didapat,maka menghasilkan
indikasi yang relatif kuat mengenai terjadinya persistensi pengangguran di Indonesia.
Hasil estimasi diatas memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan yang
studi yang pernah dilakukan oleh InterCAFE. Namun melalui pendekatan ekonometrika
diatas, hasil yang diperoleh tidak bisa diinterpretasikan lebih jauh. Namun secara
statistik, tingkat pengangguran cenderung konvergen ke nilai jangka panjangnya tetapi
dengan kecepatan yang lambat. Hal ini menunjukan periode pengangguran yang tinggi
dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Analisis pengujian persistensi
pengangguran melalui pendekatan dengan metode ekonometrika dapat disimpulkan
bahwa selama periode analisis, pengangguran yang terjadi di Indonesia bersifat
persisten.
4.2.2. Pengukuran Dinamika Pengangguran
Setelah menguji eksistensi persistensi di Indonesia, sangat penting untuk
mengetahui apakah persistensi pengangguran yang terjadi akan konvergen ke sebuah
titik atau tidak. Pada dasarnya, pengangguran yang terjadi bisa diidentifikasi menjadi
komponen tren dan siklikal. Secara sederhana, komponen siklikal dapat diartikan
sebagai perbedaan antara tingkat pengangguran aktual terhadap tren-nya. Sedangkan
kalau komponen tren-nya lebih dominan terhadap komponen siklikal, maka
pengangguran yang terjadi akan cenderung mengalami peningkatan terus menerus dan
membutukan waktu yang lama untuk mengembalikan pengangguran ke titik semula.
Pembahasan mengenai dinamika pengangguran melalui komponen tren dan siklikal
dijelaskan lebih lanjut dalam dua subbab berikut ini :
4.2.2.1. Pengukuran Tren Pengangguran (Hasil Aplikasi Matematis)
Tren pengangguran didefinisikan sebagai perubahan dalam tingkat
pengangguran alamiah. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, analisis pengukuran tren
pengangguran ini menggunakan empat indikator pendekatan pengangguran alamiah,
yaitu : (1) NAWRU (Non Accelerating Wage Rate of Unemployment) , yaitu tingkat
pengangguran yang diasosiasikan dengan tingkat upah nominal, (2) NAIRU (Non
Accelerating Inflation Rate of Unemployment), yaitu tingkat pengangguran yang
diasosiasikan dengan tingkat inflasi, (3) Kurva Beveridge, yaitu tingkat pengangguran
yang berasosiasi dengan tingkat lowongan kerja normal (vacancy rate), dan (4) Kurva
Okun, yaitu tingkat pengangguran pada saat kapasitas penuh (full capacity utilization).
Hasil dari pendekatan aplikasi matematis tersebut, yang menggambarkan tren
pengangguran di atas dapat dilihat pada keempat di Gambar 4.6. Terlihat dengan jelas
bahwa kecenderungan keempat kurva tersebut adalah mengalami peningkatan, yang
artinya tingkat pengangguran natural terus meningkat dan persisten selama kurun waktu
1991 – 2007.
Sumber : CEIC (2008), diolah
Gambar 4.6 Perbandingan Tren Pengangguran di Indonesia
Indikator pertama adalah indikator NAWRU (Non Accelerating Wage Rate of
Unemployment). Tingkat pengangguran NAWRU merupakan tingkat pengangguran
naturnal yang tidak menyebabkan adanya akselerasi upah nominal. Kurva NAWRU
memberikan gambaran hubungan berbanding terbalik antara perubahan upah nominal
dengan tingkat pengangguran. Jika tingkat pengangguran aktual lebih rendah dari
NAWRU maka akan ada akselerasi peningkatan upah nominal. Dengan kondisi krisis
ekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1997, maka terjadi shock berupa
penurunan upah sehingga pada tahun tersebut tingkat pengangguran mengalami
penurunan. Namun, pada tahun berikutnya terjadi penyesuaian upah minimum yang
drastis sehingga pasar permintaan terhadap tenaga kerja ikut melakukan penyesuaian
sehingga pengangguran terus mengalami peningkatan sampai tahun 2006.
Indikator kedua adalah indikator NAIRU (Non Accelerating Inflation Rate of
Unemployment). Konsep NAIRU sebenarnya sama saja dengan NAWRU, yaitu tingkat
pengangguran natural yang tidak menyebabkan adanya akselerasi tingkat inflasi. Kurva
NAIRU memberikan gambaran hubungan berbanding terbalik antara perubahan tingkat
inflasi dengan tingkat pengangguran.
Sesuai dengan teori, kalau pengangguran tinggi maka dengan meningkatkan
tingkat pertumbuhan, otoritas moneter bisa melakukan ekpansi dengan harapan
pengangguran akan teratasi. Namun yang terjadi ternyata pelaku ekonomi melakukan
ekpektasi, baik forward maupun backward. Kondisi ini menjelaskan bahwa kebijakan
inflationary moneter tidak bisa diarahkan untuk mentarget pengangguran. Kondisi
tersebut bisa dilihat dari tingkat pengangguran yang cenderung terus meningkat disaat
kebijakan moneter yang dilakukan berjalan.
Indikator ketiga yang digunakan untuk menganalisis tren pengangguran di
Indonesia adalah melalui Kurva Beveridge. Kurva ini menghubungkan antara tingkat
pengangguran dengan indeks lowongan kerja normal (vacancy rate). Kurva ini
dibangun dengan konsep bahwa semakin tinggi lowongan kerja seharusnya tingkat
pengangguran akan semakin rendah, dan berlaku sebaliknya.
Berbeda dengan aturan umum kurva Beveridge, fenomena yang terjadi di
Indonesia menunjukkan bahwa sebelum periode krisis (1991 – 1996) lowongan kerja
terus meningkat, tapi pengangguran juga naik. Hal ini mengindikasikan proses market
clearing di pasar tenaga kerja tidak terjadi. Dengan demikian terlihat bahwa akar
permasalahan tingginya tingkat pengangguran sebenarnya sudah ada sejak sebelum
krisis terjadi.
Selama periode krisis (1997 – 1998), lowongan kerja mengalami penurunan.
Penurunan lowongan kerja seharusnya memberi indikasi bahwa perekonomian
mendekati kondisi full employment. Namun, pada periode tersebut Indonesia sedang
mengalami masa krisis, sehingga sangat sulit untuk mencapai kondisi full employment.
Salah satu penjelasan mengapa terjadi penurunan lowongan pekerjaan adalah lebih
disebabkan karena perusahaan tidak menawarkan lowongan kerja dan keadaan ini terus
berlanjut dan tingkat lowongan kerja belum kembali ke level sebelumnya.
Indikator keempat yang digunakan dalam menganalisis tren pengangguran
adalah Kurva Okun. Kurva ini menghubungkan antara tingkat kapasitas ekonomi
dengan tingkat pengangguran. Secara konsep, capacity utilization yang rendah
mengindikasikan bahwa perekonomian belum mampu menyerap tenaga kerja secara
optimal. Sebaliknya, jika kapasitas perekonomian mencapai tingkat yang optimal,
penyerapan tenaga kerja juga menjadi lebih baik.
Walaupun merupakan pola yang wajar karena pertumbuhan perekonomian
juga mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan adanya paradoks karena dalam
periode yang sama pengangguran juga meningkat. Pada periode 1998 – 1999 kapasitas
turun secara drastis akibat dari krisis ekonomi. Setelah periode tersebut kapasitas
kembali meningkat tetapi sampai 2006 kapasitas ini masih jauh lebih rendah
dibandingkan pada tahun 1996-1997. Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar jika
pengangguran menjadi lebih banyak.
Hubungan antara tingkat pengangguran dengan pertumbuhan upah, tingkat
inflasi, lowongan kerja dan output secara konsisten menunjukkan bahwa fenomena
persistensi pengangguran terjadi di Indonesia. Keempat kurva tersebut memberikan
gambaran yang komprehensif mengapa pengangguran di Indonesia menjadi persisten
selama kurun waktu analisis.
Dengan tambahan data pada tahun 2007 dimana tingkat pengangguran terjadi
penurunan, memberikan gambaran bahwa kondisi pengangguran di Indonesia belum
memberikan jaminan akan terus mengalami perbaikan, terutama jika terjadi guncangan
terhadap beberapa variabel yang berhubungan dengan pengangguran.
4.2.2.2. Komponen Siklikal dari Pengangguran
Setiap alternatif pengukuran trend unemployment memberikan gambaran
terjadinya pengangguran yang terus meningkat dan persisten. Dengan menggunakan
definisi bahwa pengangguran siklikal merupakan selisih dari pengangguran aktual
terhadap tren-nya, maka dipandang perlu untuk menganalisis komponen siklikal dari
pengangguran. Hasil pengujian komponen siklikal diberikan Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Pengujian Siklus dari Tenaga Kerja
Variability of output
Employment responsiveness
Elasticity of employment with respect to output
Responsiveness of labour force to employment
Variability of unemployment
rate 2.448 0.004 0.387*** 0.859*** 0.669
Catatan: *** sigifikan pada taraf nyata 1%. Sumber : Lampiran 9
Variabilitas output nasional selama kurun waktu analisis cukup besar (2.448)
sedangkan variabilitas tingkat pengangguran relatif lebih kecil (0.669). Perbedaan
antara variabilitas output dan tingkat pengangguran tampaknya relatif besar. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian besar variabilitas dalam pengangguran tidak bisa
dijelaskan oleh variabilitas output. Artinya, dalam jangka pendek kemungkinan besar
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja relatif lemah.
Lebih lanjut, hal ini ditunjukkan dengan respon tenaga kerja yang hanya sebesar 0.004
dan elastisitas tenaga kerja terhadap output hanya 0.387. Dilain pihak, respon dari
angkatan kerja terhadap tenaga kerja cukup besar, yaitu 0.859. Hasil ini mendukung
hasil sebelumnya bahwa dalam jangka panjang tren lebih dominan karena pertumbuhan
angkatan kerja lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja
sehingga pengangguran meningkat dan persisten.
4.3. Pola Persistensi Pengangguran
Hasil analisis sebelumnya mengindikasikan bahwa pengangguran di Indonesia
mengalami tren yang meningkat dan persisten. Analisis selanjutnya mengkaji apakah
peningkatan tren tersebut terjadi karena peningkatan keseimbangan (equilibrium) pasar
tenaga kerja atau karena penyesuaian yang lamban (slow adjustment) dalam pasar
tenaga kerja. Untuk menganalisis hal tersebut, dikaji pola pembentukan upah yang dapat
membedakan apakah merupakan fenomena tren pengangguran yang terjadi merupakan
kondisi equilibrium atau slow adjutment.
Model dasar yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana pembentukan upah
terjadi adalah model permintaan dan penawaran pasar tenaga kerja. Model
pembentukan upah ini digunakan untuk menguji apakah tren pengangguran merupakan
fenomena keseimbangan atau tidak sama sekali mengalami keseimbangan. Jika tren
pengangguran yang meningkat betul-betul merupakan fenomena keseimbangan
(equilibrium), maka seharusnya upah riil hanya responsif terhadap deviasi tingkat
pengangguran terhadap tren-nya. Hasil estimasi pembentukan upah diberikan dalam
Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Pengujian Pengaruh Tenaga Kerja Pada Pembentukan Upah
Persamaan (Level)
Pengolahan Model Panel Fixed Random Pooled
Koefisien Nilai Signifikansi Nilai Signifikansi Nilai Signifikansi (1) d -0.048 *** 0.001 *** 0.001 ***
g 0.065 *** 0.028 *** 0.028 *** (2) d -0.007 tidak
signifikan 0.001 tidak
signifikan 0.001 tidak
signifikan g 0.024 *** 0.017 *** 0.017 ***
(3) d -0.022 *** 0.001 tidak signifikan
0.001 tidak signifikan
e 0.023 *** 0.011 tidak signifikan
0.011 tidak signifikan
(4) d 0.0003 tidak signifikan
0.001 tidak signifikan
0.001 tidak signifikan
e -0.001 tidak signifikan
-0.001 tidak signifikan
-0.002 tidak signifikan
Sumber : Lampiran 10 Catatan:
(1) DlogWR = c + L*A(M)*DlogWR + B(L)*DlogPCP + C(L)*DlogPGDPB +
d*f(UNR) + g*(UNR-UTREND),
(2) Dlog(WR/PCP) = c + L*A(M)*Dlog(WR/PCP) + B(M)*DDlogPCP +
C(L)*Dlog(PGDPB/PCP) + d*f(UNR) + g*(UNR-UTREND),
(3) DlogWR = c + L*A(M)*DlogWR + B(L)*DlogPCP + C(L)*DlogPGDPB +
d*f(UNR) + e*DUNR,
(4) Dlog(WR/PCP) = c + L*A(M)*Dlog(WR/PCP) + B(M)*DDlogPCP +
C(L)*Dlog(PGDPB/PCP) + d*f(UNR) + e*DUNR.
Model pembentukan upah yang diestimasi pada tahap ini terdiri dari 4 jenis.
Estimasi model panel yang dipakai dalam penelitian ini adalah model fixed (efek tetap).
Model fixed dipilih sesuai dengan tujuan penelitian dan ketersediaan data yang ada,
yaitu data propinsi yang ada di Indonesia.
Model 1 diturunkan dari kurva Phillip standar. Sedangkan model 2 (persamaan
real wages) sudah memasukkan unsur statis dan dinamis. Untuk kedua model tersebut,
deviasi tingkat pengangguran terhadap tren-nya sama-sama menjadi variabel penjelas.
Seperti telah dibahas sebelumnya, NAWRU berasosiasi dengan peningkatan
upah. Jika tingkat pengangguran betul-betul merupakan fenomena
keseimbangan(equilibrium), maka hubungan antara upah (riil atau nominal) dengan
deviasi tingkat pengangguran terhadap tren-nya adalah negatif dan signifikan (koefisien
g dalam Tabel 4.4). Di samping itu hubungan antara tingkat pengangguran dengan
tingkat upah juga harus signifikan dan negatif (koefisien d).
Pada model 1 dan 2 di dalam Tabel 4.4, koefisien g bernilai positif dan
signifkan. Hal ini menunjukkan bahwa tren pengangguran bukan disebabkan karena
naiknya keseimbangan(equilibrium). Koefisien d bernilai negatif dan signifikan. Hal ini
sesuai dengan hipotesis, namun ini mengindikasikan tren-nya belum mencapai
keseimbangan. Jika tingkat pengangguran masih mempengaruhi upah artinya
keseimbangan(equilibrium) belum tercapai.
Estimasi model 3 dan 4 digunakan untuk menguji apakah ada suatu kekuatan
(forces) yang mampu mengoreksi tingkat pengangguran setelah terjadi suatu shock
dalam perekonomian. Dalam hal ini yang akan diuji adalah apakah tren pengangguran
disebabkan oleh hysteresis atau penyesuaian yang lamban (slow adjustment). Untuk
model ini, full hysteresis terjadi apabila upah riil merespon perubahan dalam
pengangguran. Artinya, koefisien perubahan tingkat pengangguran harus bertanda
negatif dan signifikan (koefisien e).
Hasil estimasi model 3 menunjukkan hal yang semakin tidak jelas. Koefisien e
memiliki tanda yang tidak sesuai (positif). Hal ini semakin menunjukkan bahwa
mekanisme self correcting sama sekali tidak terjadi.
Dalam model 4, koefisien e mempunyai tanda yang sesuai tetapi tidak
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa yang terjadi bukan slow adjustment dalam upah.
Jika tingkat pengangguran naik, maka yang seharusnya terjadi adalah upah riil menurun
sehingga pada periode berikutnya terjadi penyerapan tenaga kerja (terjadi mekanisme
self correcting). Karena nilai koefisien ini tidak signifikan maka mekanisme ini tidak
terjadi atau dengan kata lain mekanisme penyesuaian tidak terjadi.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil analisis di atas adalah bahwa
persistensi pengangguran di Indonesia terjadi bukan karena peningkatan keseimbangan
atau karena pasar tenaga kerja terlalu lamban untuk melakukan penyesuaian.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa selama periode penelitian,
pengangguran di Indonesia cenderung terus mengalami peningkatan. Dari hasil analisis,
diidentifikasi terjadi eksistensi persistensi pengangguran di Indonesia. Persistensi
pengangguran yang terjadi di luar keseimbangan, dimana pengangguran terjadi pada
saat kekuatan dan tata kelembagaan pasar tenaga kerja tidak lagi sepenuhnya berfungsi
dalam menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja. Selain itu persistensi
di Indonesia ditandai dengan lebih dominannya komponen tren dibandingkan komponen
siklik. Persistensi jenis ini ditandai dengan peningkatan tren pengangguran yang
merupakan pergeseran dalam pengangguran alamiah dari waktu ke waktu.
Pola persistensi disimpulkan tidak mengalami mekanisme penyesuain, karena
hampir bisa dipastikan bahwa sulit untuk kembali ke keseimbangan jangka panjangnya.
Dengan sifat yang seperti ini, sangat sulit untuk mengharapkan mekanisme pasar dapat
secara otomatis mengatasi pengangguran. Dengan kata lain perlu adanya kebijkan pro
aktif (hands on strategy) dari pemerintah.
Pada intinya, studi ini menyimpulkan bahwa persistensi pengangguran yang
terjadi selama ini di Indonesia termasuk kategori disequilibrium persistent
unemployment without self correcting mechanism, yang berarti bahwa persistensi terjadi
di luar keseimbangan pasar tenaga kerja serta tidak memiliki mekanisme otomatis untuk
menuju titik keseimbangan. Penelitian ini juga menguatkan temuan dari penelitian
InterCAFE, dan dengan penambahan satu titik tahun dalam periode penelitian, dapat
disimpulkan meskipun pada tahun 2007 pengangguran di Indonesia mengalami
penurunan, tetapi sangat rentan terhadap goncangan terhadap kondisi perekonomian.
5.2. Saran
Dari hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa tingkat pengangguran
merupakan fenomena persistensi, maka dari penelitian ini disarankan :
1. Diperlukan pemahaman yang jelas mengenai permasalahan pengangguran untuk
semua pihak, terutama berbagai pengambil kebijakan bahwa pengangguran di
Indonesia telah menjadi permasalahan yang sangat krusial untuk segera diatasi.
2. Diperlukan penelitian lanjutan secara empiris baik dari data makro maupun mikro
untuk mengetahui faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran di Indonesia,
agar dapat diperoleh solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan pengangguran.
DAFTAR PUSTAKA
Agell, J dan P. Lundbrog. 1991. “Survey Evidence on Wage Rigidity and Unemployment : Sweden in the 1990s”. Departement of Economics, Uppsala University, Sweden.
Anderton, R. 1998. “Policy Regime and Persistence Of Wage Inflation and
Unemployment”. The Manchester School Vol.66 . No. 4. Manchester. Arumpalam, W., A. L. Booth, dan M. P. Taylor. 2000. “Unemployment Persistence”.
Oxford Economic Papers 52. Oxford University Press. Badan Pusat Statistik. Laporan Badan Pusat Statistik. Sakernas, Berbagai Edisi, BPS,
Jakarta. Bianchi, M dan G. Zoega. 1998. “Unemployment Persistence : Does the Size of the
Shock Matter?”. Journal of Applied Economics. Vol. 13 No. 3. University of Essex.
Blanchard, O. 1991. “Wage Bargaining and Unemployment Persistence”. Journal of
Money, Credit and Banking, Vol. 23, No. 3, Part 1. Ohio State University Press. Blanchard, O. J. dan L. H. Summers. 1986. “Hysteresis and the European
unemployment problem”. NBER Working Paper/1950, Cambridge, MA. Calmfors, L. dan B. Holmlund. 2000. “Unemployment and economic growth : a
partial survey”. Swedish Economic Policy Review 7. Coakley, J., A. F. Maria, dan G. Zoega. 2001. “Evaluating the Persistence and
Structuralist Theories of Unemployment from a Nonlinear Perspective”. University of Essex.
Eberwein, C., J. Handa, dan O. Mikhail. 2002. “Persistence in Sectoral Canadian
Unemployment : Testing and Estimation”. Centers For Human Resource Research, Ohio State University.
Elmeskov, J. 1993. “High and Persistent Unemployment : Assesment Of The Problem
and Its Causes”. Resource Allocation Division Organisation For Economic Co-Operation and Development. Paris.
Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. John Wiley and Sons, Canada. Galiani, S., C. Lamarche, dan A. Portoc. 2004. “Persistence and Regional Disparities in
Unemployment (Argentina 1980–1997)”. University of Illinois at Urbana-Champaign, US.
Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
InterCAFE, 2008. “Studi Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya Berdasarkan Analisis Data Mikro”. Penelitian InterCAFE dan Bank Indonesia. Jakarta.
International Monetary Fund (IMF). 2008. International Financial Statistic (IFS). http//
www.imf.org. [23 Maret 2008]. Kratena, K. 2000. “Sectoral Shifts and Unemployment Persistence”. Austrian Institute
of Economic Research. Austria. Laboratorium Komputasi. 2004. Basic Econometrics. Departemen Ilmu Ekonomi FEUI,
Jakarta. Layard, R., S. Nickell, dan R. Jackman (1991). Unemployment. Oxford University
Press. Linbad, H. 1997. “Persistence in Swedish Unemployment Rates”. Working Paper
Department of Economics. University of Stockholm, Stockholm. Sweden. Lipsey, R, et al. 1997. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah].
Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi ke-4. Iwan Nurmawan [penerjemah].
Erlangga, Jakarta. Steinier, V. 2001. “Unemployment persistence in the West German labour market :
negative duration dependence or sorting?”. Oxford Bulletin Economice and Statistics. Blackwell Publishers. Routledge
Tolvi, J. 2003. “Unemployment persistence of different labour force groups in Finland”.
Applied Economics Letter, Vol 10. Finlandia. Wu, Z. 2003. “The Persistence of Regional Unemployment : Evidence from China”.
Routledge Taylor & Francis Group. China.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Pengangguran
Tahun U UR t t2 1984 1114.64 1.52 1 1 1985 1368.477 2.14 2 4 1986 1854.725 2.64 3 9 1987 1842.87 2.55 4 16 1988 2077.495 2.79 5 25 1989 2083.188 2.76 6 36 1990 1951.702 2.51 7 49 1991 2032.369 2.59 8 64 1992 2185.602 2.71 9 81 1993 2245.536 2.76 10 100 1994 3737.524 4.36 11 121 1995 6251.201 7.24 12 144 1996 4407.769 4.89 13 169 1997 4275.155 4.68 14 196 1998 5062.483 5.46 15 225 1999 6030.319 6.36 16 256 2000 5813.231 6.08 17 289 2001 8005.031 8.1 18 324 2002 9132.104 9.1 19 361 2003 9531.09 9.5 20 400 2004 10251.3 9.86 21 441 2005 11899.27 11.24 22 484 2006 10932 10.28 23 529 2007 10550 9.93 24 576
Keterangan Tabel :
Tahun : Tahun periode penelitian
U : Pengangguran (dalam ribuan)
UR : Tingkat pengangguran (dalam persen)
t : time (waktu)
t2 : waktu dikuadratkan
Lampiran 2. Batasan Kegiatan Formal dan Informal dalam Sakernas sebelum Tahun 2003
Sumber: BPS
Catatan: F = Formal; INF = Informal.
Status
Peker-
Jaan
Jenis Pekerjaan Utama
Tenaga
Profesio
nal
Tenaga
Kepe
mimpina
n
Pejabat
Pelaksana &
Tata Usaha
Tenag
a
Penjua
-
Lan
Tenaga
Usaha
Jasa
Tenaga
Usaha
Pertani
an
Tena
ga
Prod
uksi
Tenaga
Opera-
sional
Peke
rja
Kasa
r
Lai
n-
nya
Berusaha
Sendiri INF INF INF INF INF INF INF INF INF INF
Berusaha
dgn Bantuan
Buruh Tidak
tetap
F F F F F F F F F F
Berusaha
dgn Bantuan
Buruh tetap
F F F F F F F F F F
Buruh/Kary
awan/
Pekerja
dibayar
INF INF INF INF INF INF INF INF INF INF
Pekerja
Bebas di
Pertanian
INF INF INF INF INF INF INF INF INF INF
Pekerja
Bebas di
Non
Pertanian
INF INF INF INF INF INF INF INF INF INF
Pekerja tak
dibayar INF INF INF INF INF INF INF INF INF INF
Lampiran 3. Batasan Kegiatan Formal dan Informal Sakernas Tahun 2003
Status Peker-
Jaan
Jenis Pekerjaan Utama
Tenaga
Profesion
al
Tenaga
Kepe
mimpina
n
Pejabat
Pelaksa
na &
Tata
Usaha
Tenag
a
Penju
a-
Lan
Tenag
a
Usaha
Jasa
Tenaga
Usaha
Pertania
n
Tenaga
Produk
si
Tenag
a
Opera
-
sional
Pekerj
a
Kasar
Lain
-
nya
Berusaha
Sendiri F F F INF INF INF INF INF INF INF
Berusaha dgn
Bantuan Buruh
Tidak tetap
F F F F F INF F F F INF
Berusaha dgn
Bantuan Buruh
tetap
F F F F F F F F F F
Buruh/Karyaw
an/ Pekerja
dibayar
F F F F F F F F F F
Pekerja Bebas
di Pertanian F F F INF INF INF INF INF INF INF
Pekerja Bebas
di Non
Pertanian
F F F INF INF INF INF INF INF INF
Pekerja Tak
dibayar INF INF INF INF INF INF INF INF INF INF
Sumber: BPS (2008)
Catatan: F = Formal; INF = Informal.
Lampiran 4. Uji Akar Unit dengan none (tanpa constancy dan trend)
Null Hypothesis: U has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=5)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.476519 0.9609 Test critical values: 1% level -2.669359
5% level -1.956406 10% level -1.608495
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(U) Method: Least Squares Date: 08/24/08 Time: 11:31 Sample (adjusted): 1985 2007 Included observations: 23 after adjustments
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
U(-1) 0.051691 0.035009 1.476519 0.1540
R-squared -
0.080382 Mean dependent var 410.2330
Adjusted R-squared -
0.080382 S.D. dependent var 968.8302S.E. of regression 1007.016 Akaike info criterion 16.70988Sum squared resid 22309793 Schwarz criterion 16.75924
Log likelihood -
191.1636 Durbin-Watson stat 2.048353
Lampiran 5. Uji Akar Unit dengan Konstanta
Null Hypothesis: U has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=5)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.251791 0.9181 Test critical values: 1% level -3.752946
5% level -2.998064 10% level -2.638752
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(U) Method: Least Squares Date: 08/24/08 Time: 11:33 Sample (adjusted): 1985 2007 Included observations: 23 after adjustments
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
U(-1) -
0.015416 0.061226 -0.251791 0.8037C 486.7007 367.2272 1.325340 0.1993
R-squared 0.003010 Mean dependent var 410.2330
Adjusted R-squared -
0.044466 S.D. dependent var 968.8302S.E. of regression 990.1359 Akaike info criterion 16.71650Sum squared resid 20587750 Schwarz criterion 16.81524
Log likelihood -
190.2398 F-statistic 0.063398Durbin-Watson stat 2.075622 Prob(F-statistic) 0.803651
Lampiran 6. Uji Unit Akar dengan Drift
Null Hypothesis: U has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=5)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.307709 0.4137 Test critical values: 1% level -4.416345
5% level -3.622033 10% level -3.248592
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(U) Method: Least Squares Date: 08/24/08 Time: 11:33 Sample (adjusted): 1985 2007 Included observations: 23 after adjustments
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
U(-1) -
0.377685 0.163662 -2.307709 0.0318
C -
65.61496 407.4213 -0.161049 0.8737@TREND(1984) 195.7707 83.19849 2.353056 0.0290
R-squared 0.219176 Mean dependent var 410.2330Adjusted R-squared 0.141094 S.D. dependent var 968.8302S.E. of regression 897.8847 Akaike info criterion 16.55907Sum squared resid 16123940 Schwarz criterion 16.70718
Log likelihood -
187.4293 F-statistic 2.806984Durbin-Watson stat 1.870077 Prob(F-statistic) 0.084243
Lampiran 7. Uji Akar Unit dengan Drift and Trend
Null Hypothesis: RESID01 has a unit root Exogenous: None Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=5)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.555001 0.0001 Test critical values: 1% level -2.692358
5% level -1.960171 10% level -1.607051
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 19
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID01) Method: Least Squares Date: 08/24/08 Time: 16:26 Sample (adjusted): 1989 2007 Included observations: 19 after adjustments
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
RESID01(-1) -
2.235400 0.490757 -4.555001 0.0004D(RESID01(-1)) 1.454586 0.405749 3.584936 0.0030D(RESID01(-2)) 1.003060 0.390749 2.567016 0.0224D(RESID01(-3)) 0.842699 0.284843 2.958464 0.0104D(RESID01(-4)) 0.690601 0.254046 2.718408 0.0166
R-squared 0.666853 Mean dependent var -
103.3768Adjusted R-squared 0.571668 S.D. dependent var 1068.994S.E. of regression 699.6253 Akaike info criterion 16.15990Sum squared resid 6852658. Schwarz criterion 16.40844
Log likelihood -
148.5191 Durbin-Watson stat 1.850009
Lampiran 8. Uji Persistensi Koefisien Autoregresif dengan ARMA Dependent Variable: U Method: Least Squares Date: 07/02/08 Time: 19:24 Sample (adjusted): 1985 2006 Included observations: 22 after adjustments Convergence achieved after 38 iterations Backcast: 1984
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
C 198797.6 5630815. 0.035305 0.9722AR(1) 0.997631 0.068660 14.53012 0.0000
MA(1) -
0.241524 0.286030 -0.844400 0.4090
R-squared 0.921371 Mean dependent var 5135.020Adjusted R-squared 0.913094 S.D. dependent var 3423.066S.E. of regression 1009.115 Akaike info criterion 16.79766Sum squared resid 19347967 Schwarz criterion 16.94644
Log likelihood -
181.7743 F-statistic 111.3198Durbin-Watson stat 1.847872 Prob(F-statistic) 0.000000
Inverted AR Roots 1.00 Inverted MA Roots .24
Lampiran 9. Pengujian Komponen Siklikal Dependent Variable: LE Method: Least Squares Date: 07/09/08 Time: 23:37 Sample (adjusted): 1985 2007 Included observations: 23 after adjustments Convergence achieved after 4 iterations
Variable Coefficien
t Std. Error t-Statistic Prob.
LY 0.386578 0.023016 16.79633 0.0000C 5.902487 0.322986 18.27475 0.0000
AR(1) 0.083284 0.189185 0.440227 0.6645
R-squared 0.945594 Mean dependent var 11.32156Adjusted R-squared 0.940154 S.D. dependent var 0.120412S.E. of regression 0.029457 Akaike info criterion -4.090667Sum squared resid 0.017354 Schwarz criterion -3.942559Log likelihood 50.04267 F-statistic 173.8043Durbin-Watson stat 1.029276 Prob(F-statistic) 0.000000
Inverted AR Roots .08
Dependent Variable: DEV_LF Method: Least Squares Date: 07/09/08 Time: 23:38 Sample: 1984 2007 Included observations: 24
Variable Coefficien
t Std. Error t-Statistic Prob.
DEV_E 0.859029 0.083165 10.32920 0.0000C 3.28E-10 152.0372 2.16E-12 1.0000
R-squared 0.829050 Mean dependent var 8.50E-10Adjusted R-squared 0.821279 S.D. dependent var 1761.845S.E. of regression 744.8270 Akaike info criterion 16.14384Sum squared resid 12204879 Schwarz criterion 16.24201Log likelihood -191.7260 F-statistic 106.6923Durbin-Watson stat 1.527302 Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 10. Estimasi Panel Pola Persistensi A. Model 1
Fixed Effect
Dependent Variable: DLOGUMP Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/03/08 Time: 02:04 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP(-1) -
0.067615 0.056724 -1.192000 0.2392
DLOGIHK(-1) -
0.172892 0.216556 -0.798368 0.4287DLOGGDP(-1) 0.829881 0.099649 8.328061 0.0000
UR -
0.048089 0.007994 -6.015577 0.0000DEV 0.065292 0.014748 4.427045 0.0001
C 0.499344 0.104454 4.780528 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.686417 Mean dependent var 0.218655Adjusted R-squared 0.486258 S.D. dependent var 0.161091S.E. of regression 0.085953 Sum squared resid 0.347236F-statistic 3.429359 Durbin-Watson stat 2.677003Prob(F-statistic) 0.000077
Unweighted Statistics
R-squared 0.676750 Mean dependent var 0.154144Sum squared resid 0.357941 Durbin-Watson stat 2.138342
Random Effect
Dependent Variable: DLOGUMP Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/03/08 Time: 02:07 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 Swamy and Arora estimator of component variances White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP(-1) 0.048872 0.098163 0.497871 0.6201DLOGIHK(-1) 0.442915 0.173648 2.550656 0.0129DLOGGDP(-1) 0.669078 0.128849 5.192719 0.0000
UR 0.001820 0.002869 0.634312 0.5279DEV 0.028285 0.015504 1.824326 0.0723
C 0.000594 0.028386 0.020910 0.9834
Effects Specification S.D. Rho
Cross-section random 0.000000 0.0000Idiosyncratic random 0.086850 1.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.249480 Mean dependent var 0.154144Adjusted R-squared 0.197361 S.D. dependent var 0.095264S.E. of regression 0.085347 Sum squared resid 0.524458F-statistic 4.786698 Durbin-Watson stat 1.890718Prob(F-statistic) 0.000782
Unweighted Statistics
R-squared 0.249480 Mean dependent var 0.154144Sum squared resid 0.524458 Durbin-Watson stat 1.890718
Poolled Effect Dependent Variable: DLOGUMP Method: Panel Least Squares
Date: 07/03/08 Time: 02:09 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP(-1) 0.048872 0.098163 0.497871 0.6201DLOGIHK(-1) 0.442915 0.173648 2.550656 0.0129DLOGGDP(-1) 0.669078 0.128849 5.192719 0.0000
UR 0.001820 0.002869 0.634312 0.5279DEV 0.028285 0.015504 1.824326 0.0723
C 0.000594 0.028386 0.020910 0.9834
R-squared 0.249480 Mean dependent var 0.154144Adjusted R-squared 0.197361 S.D. dependent var 0.095264
S.E. of regression 0.085347 Akaike info criterion -
2.010376
Sum squared resid 0.524458 Schwarz criterion -
1.829090Log likelihood 84.40465 F-statistic 4.786698Durbin-Watson stat 1.890718 Prob(F-statistic) 0.000782
B. Model 2
Fixed Effect
Dependent Variable: DLOGUMP_IHK Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/03/08 Time: 21:35 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP_IHK(-1) -
0.141265 0.058932 -2.397101 0.0206DDLOGIHK 0.306146 0.114067 2.683918 0.0100
DLOGPDB_IHK -
0.717922 0.057323 -12.52417 0.0000
UR -
0.007214 0.007679 -0.939438 0.3523DEV 0.024176 0.005404 4.473979 0.0000
C 0.183390 0.074625 2.457468 0.0177
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.704090 Mean dependent var 0.119747Adjusted R-squared 0.515212 S.D. dependent var 0.175107S.E. of regression 0.076352 Sum squared resid 0.273992F-statistic 3.727739 Durbin-Watson stat 2.564382Prob(F-statistic) 0.000028
Unweighted Statistics
R-squared 0.676754 Mean dependent var 0.073058Sum squared resid 0.299303 Durbin-Watson stat 2.241698
Random Effect Dependent Variable: DLOGUMP_IHK Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/03/08 Time: 21:36 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 Swamy and Arora estimator of component variances White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP_IHK(-1) -
0.014320 0.081663 -0.175353 0.8613DDLOGIHK 0.052897 0.160453 0.329670 0.7426
DLOGPDB_IHK -
0.567953 0.078612 -7.224774 0.0000UR 0.002160 0.001930 1.119436 0.2667
DEV 0.017713 0.005999 2.952721 0.0043C 0.076992 0.011500 6.695097 0.0000
Effects Specification S.D. Rho
Cross-section random 0.000000 0.0000Idiosyncratic random 0.079047 1.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.184833 Mean dependent var 0.073058Adjusted R-squared 0.128225 S.D. dependent var 0.084186S.E. of regression 0.078603 Sum squared resid 0.444850F-statistic 3.265103 Durbin-Watson stat 1.689324Prob(F-statistic) 0.010307
Unweighted Statistics
R-squared 0.184833 Mean dependent var 0.073058Sum squared resid 0.444850 Durbin-Watson stat 1.689324
Poolled Effect Dependent Variable: DLOGUMP_IHK Method: Panel Least Squares Date: 07/03/08 Time: 21:36 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP_IHK(-1) -
0.014320 0.081663 -0.175353 0.8613DDLOGIHK 0.052897 0.160453 0.329670 0.7426
DLOGPDB_IHK -
0.567953 0.078612 -7.224774 0.0000UR 0.002160 0.001930 1.119436 0.2667
DEV 0.017713 0.005999 2.952721 0.0043C 0.076992 0.011500 6.695097 0.0000
R-squared 0.184833 Mean dependent var 0.073058Adjusted R-squared 0.128225 S.D. dependent var 0.084186
S.E. of regression 0.078603 Akaike info criterion -
2.175003
Sum squared resid 0.444850 Schwarz criterion -
1.993718Log likelihood 90.82513 F-statistic 3.265103Durbin-Watson stat 1.689324 Prob(F-statistic) 0.010307
C. Model 3
Fixed Effect
Dependent Variable: DLOGUMP Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/03/08 Time: 21:37 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP(-1) -
0.009082 0.079049 -0.114891 0.9090DLOGIHK(-1) 0.597747 0.048271 12.38318 0.0000DLOGGDP(-1) 0.903647 0.066754 13.53694 0.0000
UR -
0.022711 0.006827 -3.326764 0.0017DUR 0.023243 0.008174 2.843439 0.0066
C 0.174940 0.084669 2.066160 0.0443
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.699059 Mean dependent var 0.241051Adjusted R-squared 0.506969 S.D. dependent var 0.218848S.E. of regression 0.092397 Sum squared resid 0.401252F-statistic 3.639224 Durbin-Watson stat 2.553678Prob(F-statistic) 0.000037
Unweighted Statistics
R-squared 0.697684 Mean dependent var 0.154144Sum squared resid 0.403085 Durbin-Watson stat 2.224518
Random Effect Dependent Variable: DLOGUMP Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/03/08 Time: 21:38 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 Swamy and Arora estimator of component variances White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP(-1) 0.074053 0.087677 0.844607 0.4011DLOGIHK(-1) 0.622813 0.282755 2.202658 0.0308DLOGGDP(-1) 0.723045 0.119258 6.062849 0.0000
UR 0.001639 0.002504 0.654731 0.5147DUR 0.011051 0.007694 1.436355 0.1552
C -
0.030282 0.041422 -0.731064 0.4671
Effects Specification S.D. Rho
Cross-section random 0.000000 0.0000Idiosyncratic random 0.092561 1.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.216860 Mean dependent var 0.154144Adjusted R-squared 0.162476 S.D. dependent var 0.095264S.E. of regression 0.087182 Sum squared resid 0.547252F-statistic 3.987524 Durbin-Watson stat 1.851832Prob(F-statistic) 0.003002
Unweighted Statistics
R-squared 0.216860 Mean dependent var 0.154144Sum squared resid 0.547252 Durbin-Watson stat 1.851832
Poolled Effect Dependent Variable: DLOGUMP Method: Panel Least Squares Date: 07/03/08 Time: 21:39 Sample (adjusted): 2002 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 78 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP(-1) 0.074053 0.087677 0.844607 0.4011DLOGIHK(-1) 0.622813 0.282755 2.202658 0.0308DLOGGDP(-1) 0.723045 0.119258 6.062849 0.0000
UR 0.001639 0.002504 0.654731 0.5147DUR 0.011051 0.007694 1.436355 0.1552
C -
0.030282 0.041422 -0.731064 0.4671
R-squared 0.216860 Mean dependent var 0.154144Adjusted R-squared 0.162476 S.D. dependent var 0.095264
S.E. of regression 0.087182 Akaike info criterion -
1.967831
Sum squared resid 0.547252 Schwarz criterion -
1.786545Log likelihood 82.74540 F-statistic 3.987524Durbin-Watson stat 1.851832 Prob(F-statistic) 0.003002
D. Model 4
Fixed Effect
Dependent Variable: DLOGUMP_IHK Method: Panel Least Squares Date: 07/03/08 Time: 21:40 Sample (adjusted): 2003 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 52
Variable Coefficie
nt Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP_IHK(-1) -
0.065142 0.087422 -0.745144 0.4644DDLOGIHK(-1) 0.645444 0.225559 2.861534 0.0093
DLOGPDB_IHK(-1) 0.107131 0.276258 0.387794 0.7021UR 0.000301 0.012514 0.024020 0.9811
DUR -
0.000909 0.006989 -0.130044 0.8978C 0.066618 0.108960 0.611398 0.5475
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.816088 Mean dependent var 0.052054Adjusted R-squared 0.553356 S.D. dependent var 0.056936
S.E. of regression 0.038051 Akaike info criterion -
3.414176
Sum squared resid 0.030406 Schwarz criterion -
2.250935Log likelihood 119.7686 F-statistic 3.106166Durbin-Watson stat 3.851852 Prob(F-statistic) 0.004446
Random Effect Dependent Variable: DLOGUMP_IHK Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/03/08 Time: 21:41 Sample (adjusted): 2003 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 52Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficien
t Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP_IHK(-1) -0.022114 0.075706 -0.292104 0.7715DDLOGIHK(-1) 0.689702 0.203673 3.386321 0.0015
DLOGPDB_IHK(-1) 0.303649 0.200647 1.513350 0.1370UR 0.001038 0.003155 0.329110 0.7436
DUR -0.001995 0.004577 -0.435927 0.6649C 0.052439 0.029679 1.766870 0.0839
Effects Specification S.D. Rho
Cross-section random 0.038818 0.5100Idiosyncratic random 0.038051 0.4900
Weighted Statistics
R-squared 0.200639 Mean dependent var 0.029654Adjusted R-squared 0.113752 S.D. dependent var 0.041004S.E. of regression 0.038601 Sum squared resid 0.068543F-statistic 2.309197 Durbin-Watson stat 1.768420Prob(F-statistic) 0.059300
Unweighted Statistics
R-squared 0.118676 Mean dependent var 0.052054Sum squared resid 0.145708 Durbin-Watson stat 0.831885
Poolled Effect Dependent Variable: DLOGUMP_IHK Method: Panel Least Squares Date: 07/03/08 Time: 21:42 Sample (adjusted): 2003 2004 Cross-sections included: 26 Total panel (balanced) observations: 52
Variable Coefficien
t Std. Error t-Statistic Prob.
DLOGUMP_IHK(-1) 0.005779 0.093591 0.061745 0.9510DDLOGIHK(-1) 0.636891 0.273137 2.331761 0.0241
DLOGPDB_IHK(-1) 0.419117 0.214800 1.951200 0.0571UR 0.001150 0.002770 0.415342 0.6798
DUR -0.002963 0.005831 -0.508209 0.6137C 0.045122 0.026237 1.719761 0.0922
R-squared 0.129603 Mean dependent var 0.052054Adjusted R-squared 0.034995 S.D. dependent var 0.056936S.E. of regression 0.055931 Akaike info criterion -2.821223Sum squared resid 0.143902 Schwarz criterion -2.596080Log likelihood 79.35181 F-statistic 1.369892Durbin-Watson stat 0.914611 Prob(F-statistic) 0.253101