analisis faktor-faktor psikologis yang...
TRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG
MEMPENGARUHI DEATH ANXIETY
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh
gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh :
DIANA MUMPUNI
NIM: 109070000191
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/ 1435 H
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
B) April 2014
C) Diana Mumpuni
D) Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Death Anxiety pada
Lansia
E) 110 Halaman + Lampiran
F) Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh locus of control, perceived
social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis
kelamin terhadap death anxiety pada lansia. Subjek dalam penelitian ini
berjumlah 150 lansia baik pria maupun wanita di RW 09 Kelurahan Kebon Pala,
Jakarta Timur. Penelitian menggunakan metode kuantitatif melalui pemberian
kuesioner kepada sampel penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah regresi berganda yang diperoleh dari hasil perhitungan skala death
anxiety (Death Anxiety Scale), skala locus of control (I, P, & C Locus of Control
Scale), skala perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived
Social Support), dan skala religious orientation (Religious Orientation Scale-
Revised). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara seluruh variabel independen terhadap death anxiety secara
simultan. Apabila dilihat dari koefisien regresi masing-masing variabel,
ditemukan satu variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap death
anxiety yaitu variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel locus of control,
perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai
kematian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety.
Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan proporsi varians masing-masing variabel
maka terdapat satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap death anxiety,
yaitu extrinsic religious orientation. Pada penelitian selanjutnya diharapkan
memperluas jangkauan sampel agar lebih beragam, serta mengukur variabel
death anxiety dengan aspek-aspek yang terpisah sehingga terlihat hasil yang
lebih menarik.
G) Bahan Bacaan : 20 Buku, 3 Artikel, 18 Jurnal (1966-2014)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat
kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat
dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma shalli ‘alasaiyidinaa
Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad.
Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan
jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan kurikulum yang telah
ditetapkan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyelesaian skripsi ini peneliti tidak luput dari proses pembelajaran yang amat
panjang. Peneliti telah melewati berbagai macam bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan Terima Kasih
yang sebesar – besarnya kepada pihak yang telah membantu, yaitu sebagai berikut :
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah beserta
jajaran dekanat yang selalu berjuang agar Fakultas Psikologi menjadi lebih baik.
2. Jahja Umar, Ph.D atas kebijakannya yang membuat kami lebih banyak dan giat
belajar serta mengembangkan Fakultas Psikologi menjadi lebih baik dan
berkualitas.
3. Dr. Achmad Syahid, M.A, penasihat akademik penulis yang telah banyak
memberikan dukungan dan masukan selama masa perkuliahan berlangsung.
4. Ibu S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi, sebagai pembimbing I dan ibu Yufi
Adriani, M. Psi, sebagai pembimbing II, terima kasih atas waktu dan kesabaran
yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mempu menyelesaikan skripsi ini.
Serta kepada ibu Dra. Netty Hartati, M.Si sebagai penguji I, Terima kasih atas
segala masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu,
teladan, serta kerja kerasnya dalam mendidik kami selama ini.
6. Seluruh warga lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala yang bersedia menjadi sampel
penelitian ini, serta para kader lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala, ibu Ummi
Marfu’ah, dan ibu Neneng yang telah membantu penulis dalam pengambilan data
penelitian.
7. Kedua orang tua penulis, Bapak Musidi dan Ibu Siwiyastiana Anjarhiaswati atas
kasih sayang, dukungan, do’a dan ketulusan yang telah menyertai penulis selama
ini.
8. Seluruh Staf Akademik yang sangat sabar melayani dan menyediakan kebutuhan-
kebutuhan yang Penulis butuhkan selama proses penyelesaian skripsi.
9. Sahabat-sahabat: Anggun Setiawati, Syifa Alamiah, Evy Megawati, Emmy
Primasti, Rizky Setyowati, Yuli Utami, Seila Rizkina, Rosita Dewi, Yuska
Wulandari, Terimakasih telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk
memberikan bantuan apapun dan kapanpun yang penulis butuhkan. Tiara
Maharani, Nisaul Istiqomah, Fitriyah, Yunia Syukmawati, terima kasih atas
dukungannya yang menguatkan, serta teman-teman kelas E 2009 yang sangat
peneliti banggakan, terima kasih atas keceriaannya selama masa perkuliahan.
10. Dian Nilasari dan Adi Nugroho, kakak dan adik tersayang, atas dukungannya yang
tidak biasa sekaligus luar biasa.
11. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah
membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, Penulis hanya bisa memohon kepada Allah SWT agar memberikan
balasan yang sebaik-baiknya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam
rentang kehidupan Penulis. Amin Allahumma Amin.
Jakarta, 30 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ………………………………….. ii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………..…. iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ………………………………….. iv
ABSTRAK………………………………………………………………………. v
KATA PENGANTAR …………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. viii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………... xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………… xiii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………….… 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan masalah ……………………......… 11
1.2.1 Pembatasan masalah ……………………………………. 11
1.2.2 Perumusan masalah ………..…………………………… 12
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………… 13
1.3.1 Tujuan penelitian ………………………………………. 13
1.3.2 Manfaat penelitian ……………………………………… 13
1.4 Sistematika Penulisan ………………………………………..… 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………………………………………………… 16
2.1 Lansia…………………………………..................................... 16
2.1.1 Pengertian lansia........................………...…………. . . . 16
2.1.2 Karakteristik Lansia……………………………………. 17
2.1.3 Perubahan-perubahan di masa lansia…………………… 18
2.1.3 Death Anxiety pada Lansia…………................................. 22
2.2 Death Anxiety ......…………………………………………........ 26
2.2.1 Pengertian death anxiety….. . . . . ……………………… 26
2.2.2 Penolakan terhadap death anxiety …...……………..….. 29
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety............. 31
2.2.4 Pengukuran death anxiety................................................. 34
2.3 Locus of Control…………………………………………...……. 34
2.3.1 Pengertian locus of control……………..……………….. 34
2.3.2 Dimensi-dimensi locus of control ………………………. 36
2.3.3 Pengukuran locus of control............................................... 38
2.4 Religious Orientation……………………………………………. 38
2.4.1 Pengertian religious orientation…………..…………….. 38
2.4.2 Dimensi-dimensi religious orientation …………………. 41
2.4.3 Pengukuran religious orientation………………………... 43
2.5 Perceived Social Support……………………………………………… 43
2.5.1 Pengertian social support…………………………..………… 43
2.5.2 Aspek-aspek social support…………………..……………… 45
2.5.3 Perceived social support……………………………………… 47
2.5.4 Pengukuran perceived social support………………………. 48
2.6 Pengalaman mengenai Kematian………………………………… 48
2.6.1 Pengukuran pengalaman mengenai kematian……..……... 50
2.7 Kerangka Berpikir ……………………………………………...... 50
2.7 Hipotesis………………………………………………………….. 55
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………….... 57
3.1 Sampel dan Teknik Pengambilan Data ……………….………... 57
3.2 Variabel Penelitian ……………………………………………... 57
3.3 Definisi Operasional……………………………………………. 58
3.4 Pengumpulan Data……................................................................ 59
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data……………………………… 59
3.4.2 Instrumen Penelitian…………………………………….. 62
3.5 Pengujian Validitas Konstruk........................................................ 64
3.5.1 Uji validitas konstruk death anxiety ……...…………….. 66
3.5.2 Uji validitas konstruk locus of control.............................. 68
3.5.3 Uji validitas konstruk perceived social support................ 71
3.5.4 Uji validitas konstruk religious orientation……………… 72.
3.6 Prosedur Pengumpulan Data…………………………………...... 77
3.7 Metode Analisis Data..................................................................... 78
BAB IV HASIL PENELITIAN ……………..………………………….……. 81
4.1 Analisis Deskriptif …………………………………………….. 81
4.2 Uji Hipotesis Penelitian ………………………………………... 88
4.2.1 Analisis regresi variabel penelitian ……………………. 88
4.2.2 Pengujian proporsi varian masing-masing IV …………. 94
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN ……....……………………..... 98
5.1 Kesimpulan …………………………………………………..... 98
5.2 Diskusi ………………………………………………………… 99
5.3 Saran …………………………………………………………... 105
5.3.1 Saran Teoritis …………………………………….……. 105
5.3.2 Saran Praktis ……………………………………….….. 106
Daftar Pustaka ………………………………………………………….......... 108
Lampiran
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Bobot nilai.....................................................………………… 61
Tabel 3.2 Blue Print Death Anxiety Scale………………….................... 62
Tabel 3.3 Blue Print I, P, & C Locus of Control Scale …………….…... 63
Tabel 3.4 Blue Print Multidimensional Scale of Perceived Social Support 63
Tabel 3.5 Blue Print Religious Orientation Scale-Revised……………… 64
Tabel 3.6 Muatan Faktor dimensi death anxiety .................................….. 67
Tabel 3.7 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian internal………. 68
Tabel 3.8 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-chance 70
Tabel 3.9 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-powerful others
………………………………………………………… 71
Tabel 3.10 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian family 72
Tabel 3.11 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian friends 73
Tabel 3.12 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian significant
others ………………………………………………………………… 74
Tabel 3.13 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian intrinsic.... 75
Tabel 3.14 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian extrinsic… 77
Tabel 4.1 Tabel subjek berdasarkan jenis kelamin..…………………...….. 81
Tabel 4.2 Tabel subjek berdasarkan death anxiety…………………….......... 82
Tabel 4.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxietyjenis kelamin..... 82
Tabel 4.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat internal locus of control……... 83
Tabel 4.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat external locus of control…….. 84
Tabel 4.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support family 84
Tabel 4.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support friends 85
Tabel 4.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support
significant others……………………………………………………… 86
Tabel 4.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat intrinsic religious orientation… 87
Tabel 4.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat extrinsic religious orientation… 88
Tabel 4.11 Tabel Anova………………………………………………………. 89
Tabel 4.12 Tabel R Square…………………………………………………… 90
Tabel 4.13 Tabel Koefisien Regresi………………………………………….. 91
Tabel 4.14 Tabel Proporsi Varians …………………………………………... 95
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir …………………………………………. 54
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 Path Diagram CFA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah dan pokok bahasan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan skripsi.
1.1 Latar Belakang Masalah
Masa tua adalah periode penutup dari perkembangan masa hidup manusia.
Masa ini adalah sebuah periode dimana seseorang “berpindah” dari periode
yang lebih diinginkan — atau saat-saat ketika mereka merasa “berguna”
(Hurlock, 1980). Artinya, orang yang berada pada masa tua seharusnya telah
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saat ini, populasi warga lanjut usia
atau lansia cenderung mengalami peningkatan di Asia Tenggara, terutama
Indonesia. Kementerian Sosial melansir data bahwa jumlah penduduk lansia
Indonesia berjumlah 9,58% dari total populasi pada tahun 2010 dan akan
bertambah menjadi 11,34% pada tahun 2020 (Kemensos, 2007).
Bertambahnya populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari
peningkatan usia harapan hidup dari semula 52,2 tahun pada 1980, meningkat
2
menjadi 67,4 tahun pada 2010 serta perkiraan usia harapan hidup hingga 71,1
tahun pada tahun 2020 (Kemensos, 2007).
Peningkatan usia harapan hidup pada lansia tersebut memang
merupakan suatu kemajuan, namun hal tersebut bukan tanpa masalah. Lanjut
usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai
dengan berbagai perubahan ke arah penurunan fungsi, baik fisik, psikologis,
maupun minat. Mereka mengalami kecemasan-kecemasan karena penurunan
fungsi fisik pada diri mereka dan rekan seusianya, serta karena mereka mulai
dianggap “tua” oleh dirinya sendiri dan lingkungan budayanya (Hoyer &
Roodin, 2003).
Berdasarkan data kuesioner mengenai hal apa yang paling dicemaskan
pada 150 lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur saat ini, 43
responden menyatakan takut terkena penyakit, 37 responden menyatakan
takut pada kematian, 34 responden menyatakan takut tidak bisa bertemu
dengan keluarga, sedangkan 36 lainnya mencemaskan hal lain, seperti
kesepian, keadaan finansial, dan hidup sendiri. Data tersebut menunjukkan
bahwa kecemasan terbesar lansia adalah terserang penyakit. Walaupun bukan
kecemasan yang paling banyak dialami oleh lansia, namun kematian menjadi
hal yang relatif dicemaskan bagi banyak lansia. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk meneliti lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur
sebagai lokasi penelitian.
3
Yang harus diperhatikan adalah ketika mereka mengalami beragam
penurunan, terutama penurunan kesehatan, mereka cenderung berkonsentrasi
pada kematian dan memberikan perhatian penuh pada hal tersebut (Hurlock,
1981), karena usia tersebut (masa lanjut usia) merupakan masa kritis manusia
menuju ke kematian. Dengan penurunan kondisi fisik dan mental, paparan
terhadap kematian yang meningkat, serta dukungan sosial yang berangsur-
angsur menurun karena meninggalnya orang terdekat, lansia menjadi rentan
mengalami kecemasan, termasuk kecemasan yang berhubungan dengan
kematian.
Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya
yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini
telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya
kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian,
meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini,
persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok
orang.
Kematian dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang menakutkan
maupun sesuatu yang wajar di dalam kehidupan. Persepsi positif dalam hal ini
menganggap kematian sebagai suatu bentuk pencapaian dalam kehidupan dan
hal yang wajar dialami oleh manusia merupakan penerimaan yang positif pada
kematian. Sedangkan jika seseorang merasa takut dan cemas mengenai
4
kematian, hal ini merupakan persepsi negatif terhadap kematian dan akan
menimbulkan ketakutan akan kematian. Dengan menerima kematian dengan
positif, hal tersebut dapat membebaskan lansia dari segala kecemasan dan
mendukung kehidupan yang lebih vital dan bermakna (Tomer & Eliason,
2008). Namun, penerimaan terhadap kematian tersebut tidak dialami oleh
semua lansia.
Rangkaian perasaan-perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran
mengenai kematian disebut sebagai death anxiety (Schultz, 1979, dalam
Bryant, 2003). Kastenbaum (2000) menyatakan bahwa tingkat death anxiety
yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya
mungkin dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode
stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang
terdekatnya. Tingkat death anxiety juga berhubungan dengan masalah fisik
dan psikologis (Cicirelli, 2002). Death anxiety diasosiasikan dengan
kecemasan, gejala-gejala depresi, dan keyakinan-keyakinan mengenai apa
yang akan dialami setelah kematian (Khawar, Aslam, & Aamir, 2013).
Dari wawancara singkat peneliti terhadap tujuh lansia di RW 09
kelurahan Kebon Pala, tiga orang menyatakan tidak takut terhadap kematian
sedangkan empat orang lain mengaku merasakan takut terhadap kematian.
Lansia yang memiliki rasa takut terhadap kematian tersebut memiliki alasan
yang berbeda-beda mengapa mereka takut terhadap kematian. Dua orang
5
menyatakan mereka takut meninggal karena mereka takut keluarganya sedih
karena ditinggalkan dan karena mereka masih mengurus keluarganya. Satu
orang tidak menyatakan alasan mengapa ia takut pada kematian (hanya takut),
dan satu orang lainnya takut karena merasa kurang beribadah kepada Tuhan.
Sedangkan tiga orang sisanya lebih siap menghadapi kematian karena mereka
sadar bahwa mereka sudah berusia lanjut, bahwa kematian itu adalah takdir
Tuhan yang harus diterima.
Dari data wawancara tersebut dapat terlihat bahwa lansia memiliki
sikap terhadap kematian yang berbeda. Di satu sisi, ada lansia yang siap
dengan kematian, dan di sisi lain merasa takut terhadap kematian. Individu
dengan agama, budaya, dan perspektif yang sama mungkin dapat memiliki
perbedaan sikap terhadap kematian. Tinggi rendahnya death anxiety seseorang
dapat dijelaskan oleh berbagai aspek. Berbagai penelitian telah membuktikan
adanya pengaruh berbagai faktor terhadap death anxiety, diantaranya Cicirelli
(1999) meneliti pengaruh locus of control, perceived social support terhadap
death anxiety. Sementara itu, Swanson & Byrd (1998) meneliti pengaruh
religious orientation terhadap death anxiety, dan Azaiza et al., (2011) yang
meneliti pengalaman terhadap kematian orangtua yang kehilangan anaknya
terhadap death anxiety. DePaola et al., (2003) juga meneliti mengenai
pengaruh faktor demografis jenis kelamin tehadap death anxiety.
6
Suatu faktor yang penting yang terkait dengan kelangsungan hidup
dan juga kesehatan adalah perasaan untuk mengontrol (Baltes & Wahl, 1991;
Schmidt, 1990; Santrock, 2002). Locus of control adalah perbedaan individu
dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam
situasi yang sama (Rotter, 1966). Individu-individu yang percaya bahwa
mereka memiliki tingkat kontrol yang tinggi lebih cenderung merasa bahwa
tindakan-tindakan mereka dapat membuat sesuatu yang berbeda dalam
hidupnya, sehingga mereka lebih cenderung merawat dirinya sendiri secara
lebih baik dengan memakan makanan yang sehat dan berolahraga. Sebaliknya,
mereka yang memiliki perasaan kontrol yang kurang mungkin merasa bahwa
apapun yang mereka lakukan tidak akan membuat sesuatu yang berbeda, dan
kemudian tidak bersusah-susah untuk berusaha membuat sesuatu yang
berbeda (Rodin & Timko, 2001 dalam Santrock, 2002).
Memang pada dasarnya kematian merupakan suatu hal yang tidak
terelakkan. Namun, dengan adanya perasaan kontrol diri di dalam aspek
kematian yang lain, hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat death anxiety.
Kepercayaan religius mengenai adanya kehidupan setelah kematian dapat
menjadi sebuah ilusi kontrol terhadap kematian. Perasaan kontrol pada
lingkungan seseorang dapat menghasilkan perasaan aman dan dalam hal ini
individu dengan internal locus of control memiliki ketakutan akan kematian
yang rendah (Cicirelli, 1999). Williams (1990) dalam penelitiannya
7
membuktikan bahwa orang dengan internal locus of control memiliki
penerimaan terhadap kematian yang lebih baik.
Faktor berikutnya yang dapat menjelaskan tinggi rendahnya death
anxiety adalah social support. Masa tua merupakan waktu dimana social
support terkadang menurun intensitasnya. Lansia mungkin dapat menerima
dukungan yang lebih sedikit sebagai akibat dari kehilangan atau mereka
merasa enggan untuk meminta pertolongan ketika mereka memiliki masalah
(Sarafino & Smith, 2011). Dukungan sosial (social support) dianggap mampu
mereduksi kecemasan lansia dalam menghadapi kematian. Setelah seseorang
memasuki masa lansia, maka dukungan sosial dari orang lain menjadi sangat
berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya.
Lansia yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki
ketakutan yang lebih rendah terhadap kematian karena adanya perasaan aman
dari ikatan dirinya dengan orang lain (Becker, 1973 dalam Daaleman &
Dobbs, 2010). Social support ditemukan memiliki hubungan dengan death
anxiety dan ketakutan akan hal-hal yang gaib (Mullins & Lopez, 1982 dalam
Azaiza et. al., 2010). Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menemukan
hubungan yang negatif antara death anxiety dan social support.
Oleh karena itu, banyak lansia yang seharusnya mulai mencari
dukungan sosial dari lembaga-lembaga atau kegiatan yang ada di
8
lingkungannya, contohnya melalui kegiatan-kegiatan atau komunitas di
lingkungannya. Namun terkadang keterlibatan lansia dalam kegiatan-kegiatan
yang disediakan tidak terlihat. Contohnya, satu-satunya kegiatan di RW 09
kelurahan Kebon Pala yang paling digemari lansia adalah pengajian,
sedangkan program kegiatan lain yang disiapkan untuk kesejahteraan lansia
seperti posyandu lansia sangat sepi dan senam rutin minggu pagi telah
dihapus karena kurangnya peminat.
Tingginya keterlibatan lansia dalam kegiatan keagamaan dapat
menjadi suatu strategi dalam menurunkan tingkat death anxiety, karena
kematian erat kaitannya dengan religiusitas. Agama dapat meredakan
kecemasan terhadap kematian dan kehidupan setelah kematian. Perasaan
tenang yang dirasakan dari adanya agama dan rendahnya rasa takut akan
kematian cenderung identik dengan kepercayaan agama yang konservatif
(Wade, 1972 dalam Hurlock, 1981). Agama juga berfungsi sebagai sumber
dukungan emosional dan sosial pada individu, terutama pada saat-saat kritis
(Cicirelli, 2002).
Agama seharusnya dapat menurunkan tingkat death anxiety, namun
jika agama tidak benar-benar diterapkan dan diyakini seutuhnya, terutama jika
ada motif lain dalam kegiatan beragama, hal tersebut dikhawatirkan akan
semakin meningkatkan death anxiety karena individu belum menemukan
motivasi yang sebenarnya dalam beragama, yaitu mendekatkan diri pada
9
Tuhan. Intrinsic religious orientation adalah motivasi beragama yang
berpusat pada Tuhan, buka pada diri sendiri. Sedangkan extrinsic religious
orientation adalah motivasi beragama untuk mencari keuntungan personal
dalam bentuk ketenangan, harga diri dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain
(Allport, 1967 dalam Pargament, 1997).
Beberapa penelitian melaporkan hasil yang berbeda terhadap pengaruh
religious orientation pada death anxiety. Thorson & Powell (2000, dalam
Cicirelli, 2002) menemukan bahwa religiusitas intrinsik berhubungan secara
negatif dengan death anxiety. Individu dengan extrinsic religious orientation
juga dilaporkan memiliki death anxiety yang tinggi dalam penelitian Swanson
& Byrd (1998). Namun hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Chuin
& Choo (2009) dimana tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara
religious orientation dengan death anxiety.
Kemudian, peningkatan intensitas paparan terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kematian dan pengalaman kehilangan teman terdekat
atau keluarga juga dapat mempengaruhi sikap terhadap kematian. Kehilangan
orang yang disayangi merupakan hal yang berat karena keluarga, teman, atau
orang terdekat lainnya adalah salah satu sumber kekuatan seseorang dalam
bertahan menghadapi suatu masalah. Florian & Mikulnicer (1997, dalam
Azaiza et al., 2011) melaporkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi pada
wanita yang baru saja mengalami kehilangan orang yang dicintainya.
10
Sedangkan Azaiza et al., (2011) dalam penelitiannya dengan sampel orangtua
yang kehilangan anaknya, tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari
pengalaman kehilangan terhadap death anxiety.
Selain dapat dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut, tinggi rendahnya
death anxiety seseorang juga ditentukan oleh jenis kelamin. Faktor perbedaan
jenis kelamin mempengaruhi death anxiety pada individu. Wanita cenderung
lebih rentan mengalami kecemasan dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan
wanita menunjukkan gejala-gejala depresi dua kali lebih tinggi dibandingkan
pria (Russac et al., 2007). Holocomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam
Bath, 2010) menemukan bahwa wanita cenderung merasa cemas mengenai
ketidakpastian kematian dan kehidupan setelah kematian dibandingkan pria.
Wanita juga cenderung melihat kematian sebagai sesuatu yang negatif dan
sangat emosional, sedangkan pria cenderung melihat kematian sebagai hal
yang tidak terlalu memiliki pengaruh besar terhadap hidupnya (Holocomb et
al., 1993 dalam Bath, 2010).
Fortner (1995, dalam DePaola et al., 2003) menemukan tingkat death
anxiety yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Russac (2007) juga
melaporkan perbedaan tingkat ketakutan akan kematian yang signifikan antara
pria dan wanita, dimana wanita lebih merasakan takut dari pada pria.
11
Dengan melihat uraian masalah tersebut, yaitu lansia yang rentan
mengalami kecemasan termasuk kecemasan terhadap kematian, maka peneliti
tertarik untuk mengangkat tema penelitian mengenai death anxiety pada
lansia. Dengan meneliti death anxiety dan beberapa aspek yang
menjelaskannya, maka dapat diberikan gambaran mengenai tingkat death
anxiety pada lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala. Dengan demikian, maka
dapat diketahui apa saja yang mempengaruhi death anxiety pada lansia, faktor
apakah yang paling besar pengaruhnya, sehingga dapat dijadikan referensi
bagi upaya-upaya untuk menurunkan death anxiety pada lansia agar dapat
mencapai hidup yang lebih sejahtera.
Melihat dari hal-hal yang telah peneliti uraikan, maka judul yang
diangkat pada penelitian ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang
mempengaruhi Death Anxiety”.
1.2 Batasan dan Rumusan Masalah
1.2.1 Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi lebih terarah dan
menghindari kesalahan persepsi, maka penulis membatasi masalah yang
berkaitan dengan faktor-faktor psikologis dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
12
A. Locus of Control dalam penelitian ini adalah dimensi internal locus of
control dan external locus of control.
B. Perceived Social Support dalam penelitian ini adalah persepsi
dukungan dari keluarga, teman, atau significant others.
C. Religious Orientation dalam penelitian ini adalah dimensi intrinsic
religious orientation dan extrinsic religious orientation.
D. Death anxiety atau kecemasan terhadap kematian yang bersifat
unidimensional, yang menyangkut kematian diri sendiri, baik dalam
proses menuju kematian, saat kematian, maupun kehidupan setelah
kematian.
E. Pengalaman bermakna mengenai kematian dalam penelitian ini adalah
pengalaman meninggalnya keluarga, teman, kerabat, atau orang
terdekat lain yang berarti maupun tidak berarti.
F. Responden dari penelitian ini terdiri dari pria dan wanita.
G. Responden dari penelitian ini dibatasi pada masyarakat lanjut usia
(lansia) yang berusia lebih dari 60 tahun keatas serta masih mampu
membaca serta menulis.
1.2.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan diteliti pada penelitian ini antara lain:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara internal locus of control
dengan death anxiety?
13
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara external locus of control
dengan death anxiety?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support
dengan death anxiety?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara intrinsic religious
orientation terhadap death anxiety?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara extrinsic religious
orientation dengan death anxiety?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan
death anxiety?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman bermakna
mengenai kematian dengan death anxiety?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang, rumusan dan batasan masalah diatas,
maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh antara
faktor-faktor psikologis, yaitu locus of control, social support, religious
orientation, pengalaman terhadap kematian, dan jenis kelamin terhadap death
anxiety.
1.3.2 Manfaat Penelitian
14
Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
perbandingan bagi teori-teori psikologi yang berhubungan dengan
kematian atau psikologi penuaan (aging) yang belum banyak
diterapkan saat ini, serta memperkaya penelitian-penelitian mengenai
death anxiety.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi seluruh individu untuk meningkatkan kesadaran terhadap death
anxiety, dan penerapan pembelajaran mengenai kematian sehingga
diharapkan para lansia memiliki kesiapan untuk menghadapinya serta
mengurangi kecemasan yang dialaminya, serta mendukung program
persiapan menuju orang tua yang ditujukan pada komunitas lanjut usia
baik secara sosial maupun religius.
1.4 Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang dibahas
dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan sistematika penulisan
sebagai berikut.
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah,
tujuan dan manfaat dari penelitian serta sistematika penulisan.
15
BAB II : KAJIAN TEORI
Terdiri dari teori tentang locus of control, perceived social support,
religious orientation, death anxiety, asumsi dasar, kerangka berpikir, dan
hipotesis.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Terdiri dari jenis penelitian, definisi konsep dan operasional konsep,
sampel penelitian, teknik pengumpulan data, instrument penelitian, teknik
analisis data, dan prosedur penelitian.
Berisi tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi
dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis
instrumen serta metode analisis data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian disajikan dengan jelas, dilengkapi dengan tabel, dan
penjelasan berdasarkan teori terhadap hasil penelitian yang diperoleh.
BAB V : DISKUSI DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
16
BAB II
KAJIAN TEORI
Bab ini akan menjelaskan landasan teoritis penelitian mengenai definisi death
anxiety, faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety, definisi locus of control,
dimensi-dimensi locus of control, definisi religious orientation, dimensi-dimensi
religious orientation, definisi perceived social support, dimensi-dimensi perceived
social support dan kerangka berpikir beserta hipotesis yang diajukan dalam
penelitian.
2.1 Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 mengenai
kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
keatas dengan dua kategori, yaitu: lansia usia potensial adalah lansia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa,
dan lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya tergantung pada orang lain. Sedangkan menurut WHO (2014), definisi
umum lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 50 tahun keatas
17
Menurut Gorman (2000, dalam WHO, 2014), proses penuaan merupakan
realitas biologis yang memiliki dinamika tersendiri, sebagian besar diluar kontrol
manusia. Namun, hal ini juga merupakan bagaimana sebuah budaya atau komunitas
mengkonstruksikan lansia. Usia 60 atau 65 tahun, usia rata-rata masa pensiun di
negara-negara maju dan berkembang, diartikan sebagai permulaan dari masa tua.
Definisi lainnya adalah berkaitan dengan peran yang dilekatkan dengan orang tua,
yang dalam beberapa kasus, hilangnya peran yang mengikuti penurunan fungsi fisik
yang merupakan definisi yang signifikan dari masa tua. Kemudian, masa tua dalam
banyak negara berkembang terlihat dimulai ketika kontribusi aktif dalam masyarakat
sudah tidak mungkin dapat dicapai (Gorman, 2000 dalam WHO, 2014).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kategori lansia berdasarkan UU
No. 13 tahun 1998 mengenai Kesejahteraan Lanjut Usia, yaitu lanjut usia (lansia)
adalah seseorang yang telah berusia 60 tahun keatas.
2.1.2 Karakteristik Lansia
Santrock (2002) menyatakan masa dewasa akhir (lansia) dimulai pada usia 60-an dan
diperluas sampai sekitar usia 120 tahun, dan memiliki rentang kehidupan yang paling
panjang dalam periode perkembangan manusia—50 sampai 60 tahun. Kombinasi
antara panjangnya masa kehidupan dengan peningkatan dramatis orang dewasa yang
hidup menuju usia tua telah membawa peningkatan perhatian pada perbedaan periode
masa dewasa akhir (Santrock, 2002).
18
Peneliti sosial yang fokus mengenai penelitian tentang penuaan
mengemukakan terdapat tiga kelompok dewasa akhir (lansia): lansia “muda” (young
old), lansia “tua” (old old), dan lansia “lanjut” (oldest old). Secara kronologis, lansia
muda merujuk pada lansia yang berusia 65 sampai 74, yang biasanya lebih aktif dan
bersemangat. lansia tua memiliki rentang usia 75-84 tahun. Sedangkan lansia lanjut
memiliki rentang usia 85 tahun keatas dan biasanya lebih rapuh dan memiliki
kesulitan untuk beraktifitas dalam kegiatan sehari-hari (Papalia, Olds, & Feldman,
2009). Suzman, Wilis & Manton (1992 dalam Santrock, 2002) menyatakan orang tua
muda ialah seseorang yang masih berada di usia 60 tahun, sedangkan orangtua
berusia lanjut merupakan seseorang yang telah berusia 85 tahun keatas.
Orangtua lanjut lebih banyak kemungkinannya wanita, dan mereka memiliki
angka morbiditas yang lebih tinggi dan jauh lebih besar mengalami ketidakmampuan
dibandingkan orang tua yang lebih muda (Suzman, Wilis & Manton, 1992 dalam
Santrock, 2002) . Hampir di seluruh dunia, wanita hidup lebih lama dibandingkan
laki-laki (Kinsella & Phillips, 2005 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal ini
dihubungkan dengan kecenderungan mereka untuk lebih merawat dirinya sendiri dan
mencari perawatan kesehatan, tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi, peningkatan
status sosioekonomi wanita yang meningkat dalam satu dekade terakhir, dan tingkat
kematian pria yang lebih tinggi selama masa hidup (Gordman & Read, 2007 dalam
Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
2.1.3 Fase Perkembangan dan Perubahan-Perubahan di Masa Lansia
19
Menurut Erikson (1963, dalam Hoyer & Roodin, 2003), dalam tahun-tahun
terakhirnya, lansia memasuki fase ego integrity vs. despair. Beberapa orang tua
mengembangkan perasaan positif mengenai masa lalu mereka dan melihat bahwa
kehidupan mereka penuh arti dan memuaskan (ego integrity). Namun, beberapa orang
tua melihat masa lalunya dengan kepahitan atau ketidakpuasan. Beberapa juga merasa
bahwa mereka tidak dapat menciptakan kehidupan yang mereka inginkan untuk
dirinya sendiri, atau menyalahkan orang lain mengenai rasa tidak puasnya (despair).
Hurlock (1981) menyatakan tugas-tugas perkembangan di masa tua lebih
berkaitan dengan kehidupan personal mereka dibandingkan orang lain. Orang tua
diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan kekuatan dan kesehatan yang menurun.
Hal ini menandakan perubahan peran yang mereka terapkan di dalam lingkungan
rumah dan diluar. Mereka juga diharapkan untuk menemukan aktifitas-aktifitas
sebagai pengganti pekerjaan yang mereka lakukan pada saat masih muda.
Mempertemukan kewajiban sosial dan sipil sangat sulit dilakukan oleh lansia karena
kesehatan yang melemah dan berkurangnya penghasilan karena masa pensiun.
Sebagai hasilnya, mereka seringkali dipaksa untuk tidak aktif secara sosial.
Anak yang sudah besar akan lebih melibatkan diri pada masalah vokasional
dan keluarganya sendiri, jadi lansia akan mengalami berkurangnya ikatan. Hal ini
berarti bahwa mereka harus menemukan ikatan lain dengan rekan sesama usianya jika
mereka ingin menghindari rasa kesepian ketika kontaknya dengan dunia luar terputus
20
akibat pensiun dan karena mereka sedikit demi sedikit mengurangi kontak dengan
komunitas sosial.
Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa lansia menurut Hurlock
(1981) adalah sebagai berikut:
a. Perubahan penampilan
Tanda-tanda penuaan yang paling mencolok adalah adanya perubahan terutama
pada bagian wajah. Walaupun wanita dapat memakai kosmetik untuk menutupi
tanda-tanda penuaan, banyak yang tidak dapat ditutupi tetapi bagian tubuh lain
bisa. Tangan juga dapat menunjukkan usia seseorang. Seperti wajah, tangan juga
menua lebih cepat daripada bagian tubuh yang lain dan tidak terlalu bisa
dikamuflase.
b. Perubahan-perubahan internal
Walaupun perubahan-perubahan internal (di dalam tubuh) tidak terlihat,
perubahan tersebut yang paling sering dialami. Perubahan pada tulang karena
mengerasnya tulang, kurangnya asupan mineral, dan modifikasi struktur tulang.
Akibatnya, tulang menjadi rapuh dan mudah mengalami fraktur atau patah, dan
hal tersebut lebih sulit untuk disembuhkan seiring usia bertambah. Saluran
pencernaan juga berubah pada usia tua. Terdapat penurunan fungsi beberapa
organ dalam, diantaranya limpa, hati, testis, jantung, paru-paru, pankreas, dan
ginjal. Mungkin yang paling dirasakan dan dialami adalah perubahan pada
21
jantung. Sistem gastrointestinal, sistem urin dan organ berotot lunak adalah organ
yang tidak terlalu mengalami perubahan karena usia lanjut.
c. Perubahan-perubahan sensorik
Seluruh organ fungsi penginderaan mengalami penurunan fungsi pada usia lanjut.
Bagaimanapun juga, perubahan sensorik adalah perubahan yang relatif lama
prosesnya pada sebagian besar kasus, sehingga individu memiliki kesempatan
untuk beradaptasi pada perubahan tersebut. Contohnya kacamata dan alat bantu
dengar yang dapat membantu pengelihatan dan pendengaran yang menurun.
d. Perubahan-perubahan kemampuan motorik
Sebagian besar lansia menyadari bahwa mereka bergerak lebih lambat dan kurang
terkoordinasi dari sebelumnya. Perubahan dalam fungsi motorik ini termasuk
penurunan kekuatan dan energi yang merupakan kompensasi yang normal dari
perubahan fisik yang berhubungan dengan usia tua; kurangnya irama gerak otot;
kekakuan sendi; dan tremor pada tangan, lengan, kepala, dan dagu.
Bagaimanapun juga, walaupun mereka sedang dalam kondisi yang fit dan
memiliki motivasi yang kuat, beberapa individu masih berharap kemampuan
motorik mereka dapat kembali seperti saat mereka muda. Perubahan motorik ini
memiliki efek yang penting dalam adaptasi personal dan sosial.
e. Perubahan-perubahan dalam kemampuan mental
Para pakar psikologi, dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan, telah
menyatakan beberapa kepercayaan bahwa dengan adanya penurunan fungsi
beberapa area tubuh, hal tersebut mungkin dapat mempengaruhi penurunan fungsi
22
mental juga. Penyebabnya antara lain keadaan fisik yang memburuk yang juga
diikuti oleh kondisi mental yang menurun dan kurangnya stimulasi dari
lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan kemampuan inteligensi
yang tinggi memiliki resiko yang rendah dalam penurunan funsi mental daripada
orang dengan inteligensi yang rendah.
f. Perubahan-perubahan minat personal
Semakin bertambahnya usia, seseorang menjadi lebih memusatkan perhatian pada
dirinya sendiri. Mereka mungkin akan menjadi lebih egosentris dan berpusat pada
diri sendiri sehingga mereka hanya memikirkan dirinya sendiri daripada orang
lain dan cenderung tidak mempedulikan minat dan keinginan orang lain. Bahkan
ketika mereka berada dalam kondisi kesehatan yang baik, lansia cenderung terlalu
perhatian pada kesehatannya. Mereka cenderung mudah mengeluh mengenai
kesehatannya. Mereka juga sering menunjukkan perhatiannya pada dirinya sendiri
dengan cara membicarakan masa lalunya terus menerus, berharap untuk ditunggu,
dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Pemusatan pada diri sendiri tersebut
menimbulkan kesan sikap yang kurang menyenangkan pada lansia.
2.1.4 Death Anxiety pada Lansia
Melihat death anxiety pada lansia yang mengacu pada teori perkembangan
psikososial, fase kedua akhir (generativity vs stagnation) muncul ketika seseorang
menyadari dekatnya kematian dan fase tersebut akan terselesaikan jika seseorang
mampu berkontribusi terhadap perkembangan generasi berikutnya, dan death anxiety
23
akan muncul jika seseorang tidak mampu melakukannya. Fase final dari kehidupan
manusia (integrity vs. despair), tercapai jika seseorang mampu melihat dirinya secara
keseluruhan dan mampu mengingat masa lalu tanpa rasa bersalah. Hal tersebut
memunculkan ketakutan terhadap kematian yang rendah, sedangkan penyesalan
terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu serta kesempatan-kesempatan yang
tidak diambil dulu dapat berakhir pada tingginya tingkat death anxiety (Erikson,
1963; Labouvie-Vief, 1982; Cicirelli, 2002).
Hoyer dan Roodin (2003) mengemukakan, seperti halnya kecemasan yag
merupakan emosi yang normal, kecemasan yang berhubungan dengan kematian juga
merupakan suatu hal yang normal. Banyak penelitian lanjutan dari death anxiety
dalam populasi nonklinis. Penemuan-penemuan dari penelitian Kastenbaum (2000)
adalah sebagai berikut:
1. Sebagian besar responden dalam sebuah komunitas tidak
menunjukkan tingkat death anxiety yang tinggi.
2. Wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi
dibandingkan pria.
3. Dalam penelitian lintas budaya, orang dengan usia yang lebih tua pada
umumnya tidak menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang usianya lebih muda walaupun
mereka lebih dekat dengan kematian itu sendiri.
24
4. Tingkat pendidikan dan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi
berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah.
5. Tingkat religiusitas yang tinggi dan partisipasi dalam praktek religius
tidak berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah.
Kastenbaum (2000) juga menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang
sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya mungkin
dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau
ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang terdekatnya.
Pada umumnya, orang lanjut usia tidak terlalu merasa cemas terhadap
kematian dibandingkan dengan orang pada usia yang lebih muda (Bengston, Cuellar,
& Ragan, 1975 dalam Papalia et al., 2007). Kesadaran akan kematian meningkat
seiring bertambahnya usia, tetapi orang yang lebih tua menunjukkan penerimaan yang
lebih tinggi daripada individu pada usia yang lebih muda atau pertengahan
(Woodruff-Pak, 1988 dalam Hoyer dan Roodin, 2003). Mereka lebih cenderung
menggunakan strategi coping emosional. Dari tahun ke tahun, selama mereka
mengalami kehilangan teman-teman terdekat dan kerabatnya, mereka secara perlahan
menata pemikiran dan perasaannya untuk dapat menerima kenyataan mengenai
kematian.
Kemunduran fisik dan masalah-masalah lain pada masa lanjut usia mungkin
dapat mengurangi kenikmatan seseorang dalam menjalani hidupnya. Namun
sebaliknya, ketika 414 pasien rumah sakit yang berusia 80-90 ditanya berapa lama
25
waktu yang akan mereka tukar jika mereka ditawarkan untuk menukarnya dengan
kesembuhan dan hidup yang sehat, 2 dari 3 orang tidak ingin memberikan lebih dari
sebulan masa hidupnya (Tsevat et al., 1998 dalam Papalia et al., 2007). Menurut
Erikson, orang-orang di masa lanjut usia harus menghadapi fase kedelapan dari
perkembangan manusia, yaitu integrity versus despair. Seseorang yang dapat
melewati fase ini meraih kebijaksanaan yang memungkinkan mereka untuk dapat
menerima apa yang telah mereka lakukan selama hidup dan kematian yang akan
segera datang (Papalia et al., 2007).
Ketika seseorang telah mencapai usia lansia, mereka tahu bahwa waktu
mereka sudah dekat dengan akhir kehidupan. Ditambah lagi, mereka dihadapkan
dengan meningkatnya paparan terhadap kematian di dalam lingkungannya.
Pasangannya, saudara, dan teman mungkin sudah terlebih dahulu meninggal, dan hal
tersebut menjadi pengingat konstan mengenai kematiannya sendiri. Prevalensi
kematian pada lansia membuat mereka lebih kurang merasakan kecemasan mengenai
kematian daripada di awal-awal kehidupan mereka. Hal ini bukan berarti bahwa para
lansia menerima kematian. Justru hal ini mengimplikasikan bahwa mereka menjadi
lebih realistis dan reflektif mengenai hal itu. Mereka berpikir mengenai kematian, dan
mulai mempersiapkannya (Feldman, 2011).
Walaupun banyak yang membuktikan bahwa lansia memiliki penerimaan
yang lebih besar dalam hal kematian daripada orang yang usianya lebih muda atau
dewasa madya, pengalaman masa lalu seseorang dan konfrontasi terhadap kematian
26
adalah prediktor yang lebih baik dalam menentukan penerimaan kematian daripada
faktor usia (Hoyer & Roodin, 2003).
Menurut Tomer et. al. (2008), terdapat tiga determinan utama dari death
anxiety, yaitu:
1. Penyesalan yang berhubungan dengan masa lalu (past-related regret), yaitu
tipe emosi atau kognisis yang berhubungan dengan masa lalu seseorang
(kesalahan — sesuatu yang dilakukan seseorang namun tidak terlaksana).
2. Penyesalan yang berhubungan dengan masa depan (future related regret),
yaitu sesuatu yang kita rasakan ketika rencana penting atau perbuatan kita di
masa depan menjadi tidak mungkin terlaksana.
3. Kebermaknaan dari kematian, yaitu kenseptualisasi individu tentang kematian
sebagai hal yang positif atau negatif, sebagai sesuatu yang masuk akal atau
sesuatu yang absurd/ tidak masuk akal. Jika penyesalan di masa lalu tidak
teratasi, atau kematian dianggap tidak berarti, maka individu tersebut akan
merasakan death anxiety yang tinggi.
2.2 Death Anxiety
2.2.1 Pengertian Death Anxiety
Teori yang dianggap sebagai teori klasik dari death anxiety adalah Big Theories yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud (Kastenbaum, 2000). Ia sebenarnya menolak
gagasan death anxiety sebagai sebuah masalah yang mendasar. Ia sadar bahwa
manusia memiliki berbagai pemikiran mengenai kematian. Sudah merupakan hal
27
yang biasa jika ketakutan akan kematian terlihat sebagai reaksi yang menonjol, atau
diekspresikan melalui mimpi.
Menurutnya, Hanya karena seseorang yang cemas tiba-tiba membicarakan
kematian, bukan berarti kematian adalah akar dari masalah yang dialami oleh orang
tersebut. Semua masalah yang berkaitan dengan kematian hanyalah sekedar kemasan
yang menutupi masalah yang sebenarnya. Thanataphobia (ketakutan akan kematian)
sebenarnya merupakan ekspresi simbolik dari konflik yang belum terselesaikan dalam
dunia psikis kita yang terdalam.
Dalam Terror Management Theory, Becker (1970 dalam Cicirelli, 2002)
bersumsi bahwa pada dasarnya manusia secara tidak sadar selalu didorong oleh
insting untuk mempertahankan hidupnya dan melanjutkan eksistensi, sementara pada
waktu yang sama mereka tidak mengetahui bahwa mereka tidak dapat menghindari
kematian. Hasilnya, manusia memiliki kemungkinan secara sadar untuk merasa
diteror oleh kematian.
Kecemasan yang terjadi berkaitan dengan hal-hal mengenai kematian sering
disebut death anxiety. Tomer (1994, dalam Cicirelli, 2002) menyatakan ketakutan
akan kematian dapat diartikan sebagai kecemasan yang dialami di dalam kehidupan
sehari-hari yang disebabkan karena antisipasi kondisi kematian. Hal ini dianggap hal
yang biasa dan berbeda dengan kecemasan ketika seseorang mengetahui ada pistol di
kepalanya, maupun kecemasan yang diakibatkan bencana alam. Templer (1970,
28
dalam Templer et. al., 2006) mendefinisikan death anxiety sebagai suatu kondisi
emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang manakala ia
memikirkan kematian, dan karena keadaan tidak jelas yang menyertai kematian.
Neimeyer (2008, dalam Azaiza et al., 2011) menyatakan death anxiety
meliputi berbagai bentuk sikap terhadap kematian, yang dikarakteristikkan dengan
rasa takut, ancaman, ketidaknyamanan, dan reaksi negatif lainnya, bersamaan dengan
kecemasan sebagai ketakutan yang tidak beralasan terhadap objek yang tidak jelas.
Firestone (1997, dalam Tomer et. al., 2008) mengkonseptualisasikan death anxiety
sebagai fenomena kompleks yang mereprentasikan paduan proses pemikiran-
pemikiran dan emosi yang berbeda, termasuk ketakutan akan kematian, teror dari
mental dan fisik yang memburuk, perasaan kesepian, pengalaman kehilangan dan
perpisahan, kesedihan mengingat diri yang akan hilang, dan kemarahan yang
memuncak terhadap keadaan yang sama sekali tidak dapat dikontrol. Walaupun death
anxiety memiliki pengaruh yang luas terhadap emosi-emosi yang negatif, definisi
tersebut merujuk kepada realisasi penuh bahwa hidup kita bisa berakhir.
Dalam teori Self-Realization, ketakutan akan kematian muncul dari kesadaran
akan dekatnya kematian seseorang, serta ancamannya terhadap keberfungsian diri
(Maslow, 1968; Rogers, 1989 dalam Cicirelli, 2002). Schultz (1979 dalam Bryant,
2003) menyatakan death anxiety adalah suatu rangkaian perasaan yang dipicu oleh
pemikiran-pemikiran mengenai kematian. Meskipun merupakan sebuah bentuk
kecemasan, death anxiety merupakan suatu hal yang universal. Artinya mayoritas
orang di dunia memiliki ketakutan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kematian.
29
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa death
anxiety merupakan kecemasan yang berhubungan dengan kematian, baik secara sadar
maupun tidak sadar yang timbul dari pemikiran individu mengenai kematian dan hal-
hal yang berkaitan dengan kematian.
2.2.2 Penolakan terhadap Death Anxiety
Tidak semua orang yang dekat dengan kematian dapat mengkomunikasikannya
dengan jujur dan terbuka. Penolakan adalah sebuah karakteristik seseorang ketika
dohadapkan dengan kematian. Penolakan akan melindungi seseorang dari kenyataan
bahwa mereka akan segera meninggal. Beberapa ahli melaporkan hubungan yang
negatif antara penolakan dan penerimaan terhadap kematian (Shneidman, 1992,
dalam Hoyer & Roodin, 2003).
Penolakan terhadap kematian memiliki beragam bentuk. Menolak untuk
mengetahui adanya penyakit atau situasi yang mengancam jiwa adalah salah satu
bentuk penolakan. Sebagai contoh, seorang pria yang akan menjalani operasi kanker
kolon mungkin dapat menolak kenyataan dan lebih mempercayai bahwa operasi
tersebut hanya untuk mengangkat polip. Atau seseorang yang menerima kenyataan
bahwa dirinya mengidap gangguan ginjal, namun menyangkal bahwa hal tersebut
membahayakan jiwa. Denial dapat menjadi suatu hal yang maladaptif jika hal
tersebut menyebabkan seseorang persisten dalam menolak kenyataan. Contohnya, hal
tersebut dapat membuat seseorang menghindari pemeriksaan kesehatan menyeluruh
30
dan perawatannya ketika gejala-gejala penyakit berbahaya muncul (Hoyer & Roodin,
2003).
Yalom (1980, dalam Tomer et. al., 2008) menyatakan bahwa death anxiety
dimanifestasikan bukan sebagai argumen filosofis, namun lebih kepada penolakan. Ia
membedakan dua bentuk penolakan tersebut, bentuk pertama terdiri dari kepercayaan
seseorang terhadap “spelialitas”, kepercayaan yang berada dalam akar menuju ke
heroisme. Tipe kedua dari mekanisme ini terdiri dari kepercayaan terhadap
penyelamat agung, yaitu Tuhan atau figur pemimpin, atau mungkin figur politik yang
dikagumi atau dokter yang hebat, memutuskan seluruh keputusan untuknya, atau
orang tua yang perhatian.
Penolakan terhadap kematian juga dikemukakan oleh Firestone & Catlett
(2009). ia menyebutkan bahwa penolakan (denial) merupakan pertahanan utama
terhadap death anxiety, dan terdapat dua bentuk dasar dari penolakan terhadap
kematian, yaitu:
1. Literal Immortality, seringkali dimanifestasikan kepada agama atau
religiusitas dan hal ini merupakan pertahanan kunci yang
meniadakan/menolak fakta bahwa manusia akan mati sama dengan spesies
lainnya, dan tidak ada bukti ilmiah mengenai kehidupan setelah kematian
(akhirat).
31
2. Symbolic Immortality. Yaitu ilusi dalam memperpanjang usia dan arti
hidup seseorang lewat pertahanan-pertahanan dengan meninggalkan
warisan yang tetap ada setelah penciptanya/ pemiliknya meninggal dunia.
Warisan tersebut seperti karya, anak, kesombongan dan mengumpulkan
harta kekayaan serta kekuasaan.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Death Anxiety
Beberapa faktor telah diteliti dan memiliki pengaruh dengan death anxiety.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
a) Religiusitas
Religiusitas adalah salah satu faktor teoritis yang potensial, dan
dikonseptualisasikan sebagai: totalitas sistem kepercayaan, iman atau
disposisi dari dalam diri, atau praktek ritual keagamaan (Wulff, 1997 dalam
Daaleman dan Dobbs, 2003).
Religiusitas memainkan peran penting sebagai salah satu faktor death
anxiety karena masing-masing agama menjamin umat-umat pengikutnya akan
kehidupan setelah kematian. Selain itu, tingkat religiusitas yang berbeda juga
menghasilkan tingkat death anxiety yang berbeda-beda pula. Seperti yang
dinyatakan oleh Daaleman dan Dobbs (2010) bahwa orang yang memiliki
tingkat kepercayaan yang moderat memiliki ketakutan yang lebih besar
dibandingkan mereka yang memiliki tingkat kepercayaan yang kuat.
32
Perbedaan agama juga membuat persepsi kematian yang berbeda pada
masing-masing pengikutnya. Williams (1990) menyatakan bahwa orang
yahudi dan Kristen menganggap kematian adalah jalan menuju sebuah
keabadian, sedangkan orang Hindu di India mempersepsikan kematian lewat
perspektif reinkarnasi.
b) Locus of Control
Bagaimana cara kita memandang apa yang terjadi pada diri kita, apakah
cenderung ke faktor luar diri atau dalam diri, juga dapat mempengaruhi
tingkat death anxiety. Williams (1990) menyatakan bahwa individu yang
memiliki kecenderungan locus of control internal terlihat lebih mampu
mengendalikan lingkungan luar dan juga lingkungan afektif dari dalam yang
kemudian dapat menghasilkan perilaku kematian yang lebih baik. Vargo dan
Black (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya hubungan antara locus of
control eksternal dan death anxiety pada mahasiswa kedokteran. Dan
Hickson, Housley, dan Boyle (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya
interaksi yang signifikan antara locus of control dan usia dengan death
anxiety. Fry (dalam Daaleman dan Dobbs, 2010) juga menyatakan bahwa
individu dengan keyakinan yang kuat terhadap dirinya cenderung berpikir
untuk mengatur dan memainkan control yang kuat terhadap pikiran-pikiran
mereka dan hal itu akan menurunkan tingkat death anxiety.
33
c) Kepribadian
Tipe kepribadian yang melandasi bagaimana kita berperilaku juga memegang
peranan penting terhadap death anxiety dan perilaku seperti apa yang akan
ditampilkan. Frazier dan Foss-Goodman (dalam Williams, 1990) melaporkan
bahwa death anxiety dengan tingkat yang tinggi berkorelasi dengan
neurotisisme dan behavioral pattern type A.
d) Social Support
Dukungan sosial juga dibuktikan memiliki pengaruh terhadap death anxiety.
Menurut Becker (1973) dalam Daaleman dan Dobbs (2010), Orang tua yang
memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih
rendah karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain.
Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menunjukkan hasil penelitian dimana
terdapat hubungan yang negatif antara perceived social support dengan death
anxiety.
e) Usia
Death anxiety diketahui memiliki hubungan dengan usia. Russac et. al. (2007)
dalam penelitiannya membuktikan bahwa wanita menunjukkan tingkat death
anxiety yang tidak terduga selama awal usia 50 tahun. Setelah berusia 60
tahun, kecenderungannya menurun dan menjadi stabil. Namun, Chuin & Choo
(2009) membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara death
anxiety dengan faktor usia.
f) Jenis Kelamin
34
Antara pria dan wanita diketahui memiliki pola pikir yang berbeda satu sama
lain, perbedaan pola pikir tersebut juga mempengaruhi death anxiety.
Holcomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam Bath, 2010) membuktikan
bahwa wanita cenderung melihat kematian sebagai suatu kepastian dan
kehidupan selanjutnya dibanding pria. Namun, studi lainnya membuktikan hal
yang tidak sejalan. Neimeyer (1994, dalam Bath, 2010) menemukan bahwa
tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam ketakutan akan kematian.
Dari faktor-faktor tersebut, penulis memutuskan bahwa faktor-faktor yang
akan peneliti gunakan sebagai variabel bebas adalah Religious Orientation, Locus of
Control dan Perceived Social Support.
2.2.4 Pengukuran Death Anxiety
Untuk mengukur variabel death anxiety, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan
skala baku Death Anxiety Scale dari Templer (1970). Alat ukur ini akan diadaptasi
kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia.
Alat ukur ini terdiri dari 15 item dan memiliki dua alternatif jawaban, True (benar)
dan False (salah). Dalam penelitian ini, peneliti mengganti alternatif pilihan jawaban
menjadi 4, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat
tidak setuju) agar dapat dianalisis lebih lanjut. Responden harus memilih salah satu
dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.
2.3 Locus of Control
2.3.1 Pengertian Locus of Control
35
Selama tahun 1950-an dan awal 1960-an, Rotter mulai tertarik dengan observasi
terhadap banyak orang yang tidak meingkatkan perasaan kontrol personal mereka
setelah mengalami kesuksesan, dan orang lainnya yang tidak meurunkan ekspektasi
mereka setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang (Zuroff & Rotter, 1985
dalam Feist & Feist, 2009). Dengan kata lain, beberapa orang cenderung untuk
menganggap tercapainya sesuatu yang diinginkan sebagai hasil dari keberuntungan,
sementara orang lain mempertahankan kontrol personal yang tinggi setelah beberapa
perilaku yang dilakukan tidak membuahkan penguatan. Kecenderungan ini sering
terjadi pada situasi yang dianggap ambigu atau baru (Rotter, 1992 dalam Feist &
Feist, 2009), atau pada saat mereka tidak mengetahui apakah akibat dari perilaku
mereka disebabkan oleh kemampuan mereka sendiri atau kebetulan.
Rotter (1990 dalam Feist & Feist, 2009) berpendapat bahwa baik situasi
maupun orangnya berkontribusi pada perasaan kontrol personal. Oleh karena itu, jika
seseorang telah memiliki ekspektasi untuk dapat berhasil dalam suatu kondisi, dapat
memiliki perasaan kontrol personal yang rendah dalam situasi lainnya.
Rotter (1989) menyatakan bahwa kontrol internal dan eksternal mengacu pada
bagaimana seseorang mengharapkan sebuah penguat atau akibat dari sebuah perilaku
merupakan bagian dari perilakunya sendiri atau karakteristik personal versus apakah
seseorang menganggap penguat atau akibat dari perilaku merupakan hasil dari
keberuntungan, kesempatan, atau sekedar tidak dapat diduga.
36
Rotter (1966) menyatakan bahwa locus of control mengacu pada perbedaan
yang terjadi di antara individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan
seseorang dalam situasi yang sama. Sedangkan Levenson (1981) mengartikan locus
of control sebagai espektasi umum untuk mempersepsikan penguat sebagai suatu
kesatuan dan bagian dari perilaku individu (internal control) atau merupakan hasil
dari kekuatan diluar kontrol manusia dan bergantung pada takdir, kesempatan, atau
orang yang berkuasa (external control).
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa locus of
control adalah bagaimana individu mempersepsikan kejadian-kejadian disekitarnya
apakah karena faktor dari dalam (tingkah lakunya sendiri dan usaha yang
dilakukannya sendiri) atau karena faktor dari luar dirinya (keberuntungan,
kesempatan, orang-orang yang berkuasa atau takdir).
2.3.2 Dimensi-Dimensi Locus of Control
Terdapat dua dimensi dari locus of control. Dimensi-dimensi tersebut antara lain:
1. Internal Locus of Control
Internal locus of control adalah keyakinan bahwa perbuatan seseorang dapat
menghasilkan konsekuensi sesuai yang diharapkan (Friedman & Schutstack,
2009). Individu dengan internal locus of control cenderung lebih berorientasi
pada prestasi karena mereka yakin bahwa perilaku mereka menghasilkan efek
yang positif, dan mereka cenderung adalah orang-orang yang berprestasi (high
achievers) (Findley & Cooper, 1983 dalam Friedman & Schustack, 2009).
37
Menurut Rotter (1966), apabila seseorang mempersepsikan bahwa
suatu kejadian merupakan akibat dari perilakunya ataupun karakteristiknya
yang relatif permanen.
2. External Locus of Control
External locus of control adalah keyakinan bahwa hal-hal yang berasal dari
luar diri individu, seperti kesempatan atau kekuatan, dapat menentukan
terjadinya konsekuensi yang diharapkan (Friedman & Schutstack, 2009).
Sedangkan Rotter (1966) menyatakan external locus of control adalah ketika
seseorang mempersepsikan penguat yang mengikuti sebuah perilaku dianggap
bukan hasil dari dirinya, namun dalam budaya kita dianggap sebagai hasil dari
keberuntungan, kesempatan, karena kontrol dari kekuatan orang lain, atau
kebetulan.
Individu dengan external locus of control cenderung kurang
independen dan lebih mudah depresi dan stress, seperti yang diduga oleh
Rotter (Benassi, Sweeney, & Dufour, 1988; Rotter, 1954 dalam Friedman &
Schutstack, 2009). Dalam 40 tahun terakhir, sebagian besar locus of control
dari anak-anak amerika adalah eksternal. Mereka percaya bahwa hidup
mereka lebih dikontrol oleh kekuatan dari luar diri. Hal tersebut berbeda
dengan apa yang orangtua mereka yakini saat mereka masih muda di usia
yang sama dengan anak mereka (Twenge, Zhang, & Im, 2004 dalam
Friedman & Schutstack, 2009). Sayangnya, hal tersebut menjadi konsisten
dengan peningkatan sinisme dan depresi. Orang-orang tersebut lebih mudah
38
menyalahkan orang lain untuk masalah-masalah yang mereka alami dan
kurang memiliki inisiatif untuk mengambil sikap dalam rangka
pengembangan masyarakat (Friedman & Schutstack, 2009). Merton (1946,
dalam Rotter, 1966) menyatakan bahwa kepercayaan pada keberuntungan
merupakan perilaku defensif dalam rangka “mempersiapkan fungsi psikologis
bagi seseorang agar dapat melindungi self-esteem mereka dalam menghadapi
kegagalan.
Sedangkan Levenson (1981) dalam konsep multidimensionalnya
berpendapat bahwa terdapat dua tipe orientasi eksternal, yaitu kepercayaan
bahwa dunia merupakans suatu hal yang tidak terduga dan kepercayaan
bahwa dunia sebenarnya dapat diprediksi serta ada orang yang berkuasa yang
ikut mengendalikan kejadian-kejadian di dunia.
Seseorang yang mempercayai bahwa kesempatan itu ada mungkin
memiliki kontrol yang berbeda secara perilaku dan kognitif dari orang-orang
yang memiliki kontrol personal yang rendah. (Levenson, 1981).
2.3.3 Pengukuran Locus of Control
Untuk mengukur variabel locus of control peneliti menggunakan alat ukur
berdasarkan skala baku Levenson’s I,P, and C Scale dari Levenson (1981). Alat ukur
ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma
yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 24 item dan memiliki empat alternatif
jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
39
Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang
paling menggambarkan dirinya.
2.4 Religious Orientation
2.4.1 Pengertian Religious Orientation
Menurut Pargament (1997) pengertian yang cocok dalam kehidupan sehari-
hari ketika kita berbicara mengenai agama adalah agama mengacu pada sebuah
entitas, ide, kepercayaan, atau praktek yang spesifik. Agama juga merupakan sebuah
sistem kepercayaan kepada kekuatan ketuhanan dan praktek atau ritual peribadatan
yang ditujukan kepada kekuatan tersebut (Argyle & Beit-Hallahmi, 1975 dalam
Pargament, 1997)
Agama berfungsi sebagai sumber pendukung emosional dan sosial, terutama
pada masa-masa krisis. Sebagai tambahan, agama memberikan seseorang gambaran
perilaku dalam kehidupan personal mereka, menegakkan standar-standar bagi
perilaku dan memunculkan ide-ide (Cicirelli, 2002).
Menurut Flere & Lavric (1989), Dasar religiusitas yang multifaset dan
kompleks telah dipola dengan cara yang berbeda-beda yang membuatnya menjadi
lebih komprehensif. Salah satunya adalah klasifikasi dari Glock and Stark (1965
dalam Flere & Lavric, 1989). Dibalik perilaku, perbuatan, dan afiliasi institusional,
terdapat juga motif-motif yang seringkali tidak dapat terpisahkan dari religiusitas itu
sendiri. Pendekatan inilah yang digunakan pula oleh Allport (1950 dalam Flere &
Lavric, 2007) untuk mendasari apa yang disebut dengan „orientasi religius‟.
40
Allport (1950, dalam Flere & Lavric, 2007) pada mulanya menyatakan
orientasi religius sebagai motif-motif dibalik perilaku untuk memahami berbagai
bentuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan, termasuk yang dianggap berlawanan
oleh penganut kristiani. Dimulai dari gagasan bahwa ada bentuk kematangan dan
ketidakmatangan religius, ia sampai kepada tipologi religius intrinsik dan ekstrinsik.
Cara yang paling tepat untuk mendeskripsikan dua kutub dari subjektifitas
agama adalah bahwa orang yang termotivasi secara ekstrinsik “memakai” agamanya,
sedangkan orang dengan motif intrinsik “hidup dengan agamanya” (Allport, 1967).
Allport (1967, dalam Pargament 1997) secara lebih lanjut menjelaskan bahwa orang
yang lebih berorientasi intrinsik mengetahui apa motif dasar dari agama yang
dianutnya. Motif tersebut berpusat pada Tuhan, bukan pada diri sendiri. Sedangkan
orang yang berorientasi ekstrinsik mencari keuntungan personal dalam bentuk
ketenangan, harga diri, dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain.
Pargament (1997) mendefinisikan religious orientation sebagai disposisi
umum untuk menggunakan kutub yang berbeda dalam rangka meraih tujuan hidup
yang berbeda. Orientasi yang berbeda ini timbul dari keterlibatan Tuhan dalam
pencarian tujuan hidup. Kata “umum” digunakan untuk menekankan bahwa religious
orientation tidak berlaku pada situsi secara keseluruhan, namun merupakan fenomena
lintas budaya; yang menjelaskan kecenderungan umum untuk menggunakan tujuan
beragama tertentu dan menceri tujuan beragama tertentu dalam berbagai situasi.
41
Kirkpatrick (1988, dalam Gorsuch & McPherson, 1989) menganalisa kembali
beberapa penelitian yang menggunakan skala I-E yang lebih lama. Ia kemudian
menyimpulkan skala ekstrinsik yang terbagi kedalam kategori ekstrinsik, yaitu apa
yang kita sebut dengan “Ep untuk item skala yang cenderung berorientasi personal
dan “Es” untuk item skala ekstrinsik yang lebih berorientasi sosial.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi
religius dapat diartikan sebagai motivasi yang mendasari seseorang dalam beragama,
apakah didasari oleh dorongan-dorongan dari luar diri ataukah didorong dari
keinginan untuk menjadikan agama tersebut sebuah landasan bagi kehidupannya dan
mendekatkan diri pada Tuhan, yang dapat dilihat dari caranya berperilaku dalam
menjalankan ajaran agamanya.
2.4.2 Dimensi-Dimensi Religious Orientation
Allport (1950 dalam Flere & Lavric, 2007) membagi orientasi religius kedalam dua
dimensi yang berbeda, yaitu intrinsic religious orientation (orientasi religius
intrinsik) dan extrinsic religious orientation (orientasi religius ekstrinsik). Dimensi-
dimensi tersebut adalah:
1. Intrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Intrinsik). Allport & Ross
(1967) berpendapat bahwa individu dengan orientasi ini telah menemukan
motif dasar dari beragama. Kebutuhan lainnya, sekuat apapun, dianggap
kurang penting dan sebisa mungkin memiliki harmoni dengan kepercayaan
42
religius. Individu berusaha untuk menginternalisasikan keyakinannya dan
mengikuti ajaran-ajaran agamanya. Inilah yang disebut bahwa seseorang
menjalankan keyakinanya.
Keyakinan seperti ini dapat merubah eksistensi seseorang tanpa
memaksakannya pada konsep-konsep yang terbatas dan kebutuhan-kebutuhan
egosentris. Tipe ini dapat disebut tipe agama yang “interioris” atau “intrinsik”
atau “berpusat diluar diri”, yang dalam kasus ini bertolak belakang dengan
tipe ekstrinsik yang mengedepankan manfaat, berpusat pada diri sendiri
(Allport 1950, dalam Stark dan Glock, 1968).
Intrinsic religious orientation juga didefinisikan sebagai kedewasaan
spiritual (Thomas, 1994 dalam Tomer et. al., 2008), atau sebagai cara hidup
dan komitmen seseorang terhadap Tuhan. Orang dengan orientasi religius
intrinsik cenderung mempercayai adanya kehidupan yang lebih baik setelah
kematian (Tomer et. al., 2008).
2. Extrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Ekstrinsik). Allport (1950
dalam Stark dan Glock , 1968) mengkategorikan tipe religius ekstrinsik
sebagai religius yang memanfaatkan, mementingkan diri sendiri, berpusat
pada keselamatan, status, kenyamanan dan protektifitas dari penganutnya.
Orang yang religius dalam artian ini “menggunakan” Tuhan. Mereka adalah
orang yang bergantung dan pada dasarnya kekanak-kanakan. Individu dengan
orientasi religius ekstrinsik mungkin telah mendapatkan doktrin agama dari
lembaga-lembaga atau rumah ibadah, namun karena mereka tidak terlalu
43
melibatkan agama dalam kehidupannya, mereka memiliki kemungkinan untuk
takut terhadap hal-hal yang gaib dan masa depan setelah kematian (Donahue,
1985 dalam Tomer et al., 2008). Selanjutnya, Gorsuch & McPherson (1989)
menyatakan terdapat dua komponen yang berbeda dari orientasi religius
ekstrinsik, yaitu:
a. Social Extrinsic Orientation (Es), yaitu orientasi religius ekstrinsik yang
mengacu pada pencapaian manfaat-manfaat sosial. Tipe ini mengharapkan
manfaat secara sosial (Flere & Lavric, 2007).
b. Personal Extrinsic Orientation (Ep), yaitu orientasi religius ekstrinsik
yang menekankan pada penanganan dan kontrol pada masalah-masalah
dan tekanan psikologis. Tipe ini mengacu pada mengatasi dan mengontrol
masalah-masalah psikologis personal (Flere & Lavric, 2007).
2.4.3 Pengukuran Religious Orientation
Untuk mengukur variabel religiusitas, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan
skala baku Religious Orientation Scale-Revised (ROS-R) dari Gorsuch & McPherson
(1989). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan
dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini memiliki empat alternatif
jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang
paling menggambarkan dirinya.
2.5 Perceived Social Support
44
2.5.1 Pengertian Social Support
Sumber psikososial yang paling vital dan protektif adalah dukungan sosial (social
support). Ikatan sosial dan hubungan dengan orang lain telah dianggap sebagai aspek
kehidupan yang memuaskan secara emosional. Social support juga dapat meredakan
efek dari stress, membantu seseorang untuk dapat mengatasi kejadian-kejadian yang
membuat stress, dan menurunkan kemungkinan stress yang dapat memperburuk
kondisi kesehatan (Taylor, 2009).
Social support diartikan sebagai informasi bahwa ada orang yang menyayangi
dan memperhatikan kita, meninggikan harga diri dan menilai tinggi diri kita, dan
menganggap kita adalah seseorang yang berharga. Social support bisa datang dari
orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat, teman-teman, komunitas (seperti klub atau
kegiatan keagamaan) (Rietschlin dalam Taylor, 2009), atau bahkan hewan peliharaan
(Allen, 2003 dalam Taylor, 2009).
Social support (dukungan sosial) merujuk kepada ketersediaan rasa nyaman,
perhatian, harga diri, atau bantuan kepada seseorang yang datang dari orang lain atau
kelompok (Uchino, 2004, dalam Sarafino & Smith, 2011). Dukungan tersebut dapat
datang dari mana saja—dari pasangan atau kekasih, keluarga, teman, dokter, atau
komunitas organisasi.Seseorang dengan social support percaya bahwa dirinya
dicintai, dihargai, dan menjadi bagian dari lingkungan sosial, seperti keluarga atau
organisasi komunitas. Dukungan tersebut dapat membantu disaat membutuhkan
(Sarafino & Smith, 2011).
45
Social support menunjukkan konsep dari perspektif yang berbeda-beda,
termasuk perbedaan antara persepsi individu dalam menerima dukungan, perspektif
observer bahwa dukungan telah diterima, dan perspektif penyedia dukungan bahwa
dukungan tersebut telah ia berikan (Dunkel-Schetter, Blasband, Feinstein, & Herbert,
1992 dalam Neufeld & Harrison, 2010).
Sarafino & Smith (2011) menyatakan bahwa social support bukan hanya
mengacu kepada perilaku yang secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut
received support, namun juga merujuk pada persepsi seseorang bahwa kenyamanan,
perhatian, dan bantuan selalu tersedia jika dibutuhkan atau disebut dengan perceived
support.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
(social support) merupakan suatu betuk hubungan interpersonal yang di dalamnya
berisi pemberian bantuan yang melibatkan aspek-aspek dari informasi, perhatian,
emosi, penilaian dan bantuan instrumental yang diperoleh oleh individu melalui
interaksi dengan lingkungan dan memiliki manfaat emosional atau efek perilaku bagi
penerima, sehingga dapat membantu individu dalam menjalani kehidupannya atau
ketika menghadapi masalah yang dialaminya.
2.5.2 Aspek-Aspek Social Support
Menurut Taylor (2009), social support memiliki beberapa bentuk, yaitu:
46
1. Tangible assistance melibatkan ketersediaan material, seperti pelayanan,
dukungan finansial, atau harta benda. Contohnya, hadiah makanan yang
diterima setelah kematian seseorang dalam sebuah keluarga dapat diartikan
bahwa keluarga yang berkabung tidak perlu memasak untuk diri mereka dan
kerabat yang datang disaat energi mereka sedang berada dalam tingkat yang
rendah.
2. Informational support, yaitu dukungan dari keluarga atau teman mengenai
situasi atau keadaan yang penuh tekanan. Sebuah informasi dapat membantu
individu untuk dapat memahami situasi stress lebih baik dan menentukan
strategi coping apa yang tepat digunakan dalam situasi tersebut. Contohnya,
ketika seseorang akan menghadapi prosedur medis yang tidak menyenangkan,
teman yang pernah mengalami kejadian yang sama akan memberikan
informasi mengenai langkah-langkah apa yang ia tempuh, ketidaknyamanan
yang akan terjadi, dan sebagainya (Taylor , 2009).
3. Emotional Support. Saat berada dalam kondisi stres, seseorang terkadang
menderita secara emosional dan mungkin dapat mengalami depresi,
kesedihan, kecemasan, dan keyakinan diri yang rendah. Teman-teman dan
keluarga yang mendukung dapat memberikan emotional support dengan
menenangkan orang tersebut bahwa ia adalah seseorang yang berharga.
Kehangatan dan perhatian dari orang lain dapat menurunkan tingkat stres dan
memungkinannya untuk menghadapai stres dengan keyakinan yang tinggi.
47
Tipe-tipe dari social support tersebut melibatkan ketersediaan dari bantuan
yang nyata dari seseorang ke orang lain. Namun nyatanya, banyak manfaat dari social
support justru datang dari persepsi bahwa social support tersedia untuknya.
Menerima social support secara langsung sebenarnya memiliki beberapa resiko.
Pertama, individu dapat menyita atau memonopoli waktu dan perhatian dari orang
lain, dimana dapat menimbulkan rasa bersalah. Keinginan untuk bersandar pada
orang lain juga dapat membahayakan self-esteem seseorang, karena hal tersebut
sering terlihat sebagai suatu ketergantungan terhadap orang lain (Bolger, Zuckerman,
& Kessler, 2000 dalam Taylor, 2009). Resiko dari penerimaan social support ini
dapat membahayakan fungsi dari social support tersebut yang seharusnya dapat
memperbaiki tingkat stres seseorang (Taylor, 2009).
2.5.3 Perceived Social Support
Social support tidak selalu bisa meredakan stres dan bermanfaat bagi
kesehatan. Hal itu karena dukungan yang tersedia tersebut mungkin tidak kita
persepsikan sebagai suatu hal yang mendukung (tidak dibutuhkan) (Dunkel-Schetter
& Bennet, 1990; Wilcox, Kasl, & Berkman, 1994, dalam Sarafino & Smith, 2011).
Kemungkinan itu terjadi karena batuan atau dukungan tersebut tidak sesuai dengan
kebutuhan kita, atau memang kita tidak sedang membutuhkan bantuan. Ketika kita
tidak menganggap bantuan itu mendukung, dukungan dari orang lain itu kurang
mampu menurunkan stres yang kita alami.
48
Menerima dukungan atau bantuan dari orang lain terkadang membuat
penerima bantuan dianggap tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri, yang dapat
mengakibatkan self-esteem yang rendah (Lepore et al., 2008 dalam Sarafino & Smith,
2011). Konsekuensi negatif inilah yang menjadi alasan bahwa manfaat kesehatan
yang diterima dari persepsi seseorang bahwa dirinya memiliki dukungan menjadi
prediktor yang lebih baik daripada dukungan yang benar-benar diterima (Uchino,
2004, dalam Sarafino & Smith, 2011).
Perceived social support atau perceived support adalah fungsi dukungan yang
dipersepsikan selalu tersedia jika dibutuhkan (Wills & Shinar, 2000). Cobb (1974
dalam Wills & Shinar, 2000) menyatakan bahwa fungsi dukungan dapat membantu
seseorang mengatasi permasalahan dan perubahan. Selain itu ia juga menyatakan
bahwa efek dari dukungan tersebut timbul dari informasi yang membuat seseorang
percaya bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dinilai, dan dianggap sebagai
bagian dari sebuah jaringan komunikasi. Jenis dukungan seperti ini dianggap mampu
membantu seseorang dalam menghadapi stres, dan memungkinkan seseorang untuk
menghadapi permasalahan hidup lainnya. Adanya persepsi dukungan ini terbukti
memiliki signifikansi yang tinggi dalam kesehatan.
2.5.4 Pengukuran Perceived Social Support
Untuk mengukur variabel perceived social support, peneliti menggunakan alat
ukur berdasarkan skala baku MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived Social
Support) dari Dahlem, Zimet, & Walker (1991). Alat ukur ini akan diadaptasi
49
kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia.
Alat ukur ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Responden harus memilih salah
satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.
2.6 Pengalaman Terhadap Kematian
Hampir semua orang akan mengalami kehilangan orang yang dicintainya selama
masa hidupnya. Ketika seseorang menua, coping terhadap rasa duka akibat
kehilangan orang yang disayangi akan menjadi hal yang sulit (Azaiza et al., 2011).
Malkinson & Bar-Tur (2005 dalam Azaiza, et al., 2011) menyatakan bahwa orangtua
akan mengalami kehilangan yang signifikan: anggota keluarga dan teman yang sakit
dan kemudian meninggal, masa pensiun yang dapat mengurangi relasi sosial,
berkurangnya aktifitas yang dulu dilakukan ketika bekerja, serta rumah yang terasa
sepi. Kemudian, orangtua atau lansia akan merasa cemas mengenai kematian yang
akan datang padanya dan mengkhawatirkan keluarga yang akan terbengkalai ketika
dirinya meninggal (Malkinson & Bar-Tur, 1999 dalam Azaiza, 2011).
Hoyer & Roodin (2003) menyatakan terdapat beberapa kematian yang
sulit untuk dilupakan. Yaitu kematian anak yang masih kecil, kematian anak yang
telah dewasa, kematian saudara, kematian orangtua, dan kematian pasangan.
Kematian anak yang masih kecil menyisakan rasa duka yang sulit dipulihkan,
terutama jika penyebab kematian adalah kecelakaan atau penyakit berat. Kematian
anak yang sudah dewasa juga dapat menyisakan rasa duka yang mendalam, namun
50
tidak lebih intens dari kehilangan pasangan atau orangtua. Kematian saudara
merupakan hal yang sering dirasakan oleh lansia, namun juga menyisakan rasa duka
yang mendalam. Kematian orangtua bukan hanya menunjukkan efek jangka panjang
ketika terjadi pada masa anak-anak karena perpisahan dengan pengasuhnya, namun
juga pada lansia hal tersebut juga merupakan kehilangan yang besar. Kemudian,
kehilangan pasangan hidup merupakan kehilangan yang paling umum dirasakan oleh
lansia dan membuat lansia harus menghadapi rasa duka yang mendalam serta
tantangan-tantangan hidup lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengalaman mengenai kematian adalah
pengalaman mengenai meninggalnya orang-orang yang ada di sekitar kita, baik
keluarga, teman, maupun orang lain yang menyisakan duka maupun tidak.
2.6.1 Pengukuran Pengalaman mengenai Kematian
Untuk mengukur variabel pengalaman mengenai kematian, peneliti memberikan
pertanyaan apakah responden pernah mengalami kehilangan baik keluarga, teman,
maupun orang lain. Kemudian, peneliti membuat skala kebermaknaan kematian
tersebut kedalam 2 alternatif pilihan, sangat bermakna dan tidak bermakna.
Responden harus memilih salah satu dari dua alternatif pilihan yang paling
menggambarkan kebermaknaan tersebut.
2.7 Kerangka Berpikir
51
Peningkatan populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari peningkatan harapan
hidup. Akan tetapi, sebagaimana manusia yang sedang berada di akhir tahap
perkembangan, lansia mengalami banyak penurunan fungsi yang kompleks, baik
fisik, mental, minat, dan finansial. Lansia juga mengalami lebih banyak paparan
terhadap kematian, terlihat dari banyaknya rekan-rekan seusianya serta keluarga yang
telah meninggal. Karena hal-hal tersebut, lansia rentan mengalami kecemasan,
terutama kecemasan yang berkaitan dengan kematian. Setiap orang memiliki persepsi
yang berbeda terhadap kematian. Persepsi yang positif akan memunculkan
penerimaan terhadap kematian dan persepsi negatif akan memunculkan death anxiety.
Death anxiety dapat dirasakan berbeda bagi pria dan wanita. Wanita yang
cenderung rentan pada kecemasan, memandang kematian sebagai suatu hal yang
emosional sehingga wanita rentan memiliki death anxiety yang tinggi. Sedangkan
pria lebih memandang kematian dari segi kognitif, oleh karena itu, pria lebih
memiliki sikap terhadap kematian yang lebih positif.
Seseorang yang memiliki ketakutan akan kematian tidak terlepas dari
pegalamannya mengenai kematian itu sendiri. Individu yang telah mengalami atau
menyaksikan keluarga, kerabat, atau temannya meninggal dapat memiliki death
anxiety yang berbeda dengan individu yang mengalami perpisahan dengan orang
yang kurang berarti dalam hidupnya. Orang yang lebih sering terpapar oleh kematian
diasumsikan memiliki sikap terhadap kematian yang lebih baik dibandingkan orang
52
yang belum mengalami pengalaman yang berarti mengenai kematian orang yang
dicintainya.
Kematian memang tidak terlepas dari kontrol Tuhan, namun sebaiknya kita
sebagai manusia turut mengupayakan hal-hal yang dapat mempertahankan kehidupan
kita. Dengan perasaan kontrol yang kuat bahwa kita sudah berusaha mempertahankan
kesehatan kita dan meningkatkan religiusitas, maka death anxiety dapat dikurangi.
Individu dengan perasaan kontrol terhadap lingkungannya akan merasa lebih
aman, sehingga orang dengan internal locus of control akan memiliki ketakutan akan
kematian yang lebih rendah. Sebaliknya, individu dengan external locus of control
mempercayai bahwa ia tidak dapat mengontrol kehidupannya, bahwa kejadian-
kejadian di dalam hidupnya merupakan suatu takdir akan memiliki ketakutan akan
kematian yang lebih tinggi karena ketidakpastian hidup. Hayslip & Stewart-Bussey
(1987, dalam Cicirelli, 1999) melaporkan eksternalitas berhubungan dengan death
anxiety yang lebih tinggi, dan internalitas berhubungan dengan death anxiety yang
lebih rendah.
Tingginya death anxiety memerlukan upaya untuk menurunkannya sehingga
lansia dapat hidup lebih sejahtera dan bahagia. Upaya tersebut diantaranya melalui
dukungan sosial dan religiusitas. Dukungan sosial (social support) berupa ikatan
yang kuat antara lansia dengan orang-orang terdekatnya. Dengan kedekatannya pada
orang-orang disekitarnya, hal tersebut dapat memicu persepsi bahwa banyak orang
53
yang mendukung dirinya yang nantinya akan dapat menurunkan tingkat kecemasan
pada kematian.
Persepsi social support merupakan faktor yang positif, sedangkan death
anxiety adalah faktor yang negatif. Oleh karena itu, perceived social support
diasumsikan memiliki pengaruh yang negatif dengan death anxiety. Individu yang
memiliki perceived social support yang tinggi cenderung memperlihatkan death
anxiety yang rendah (Khawar, Aslam, & Aamir, 2013). Social support dapat
diperoleh bukan hanya dari keluarga, namun juga dengan mengikuti komunitas-
komunitas dan kegiatan-kegiatan yang bukan hanya dapat dapat memberdayakan
lansia, namun juga menambah relasi sehingga lansia mendapatkan social support
yang lebih baik.
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan death anxiety yang
lain adalah religiusitas. Sayangnya, orang yang terlihat religius belum tentu benar-
bear mengamalkan agamanya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Terdapat motif-
motif lain seseorang dalam beribadah dan menjalankan agamanya, contohnya motif
sosial dan emosional. Individu yang memiliki intrinsic religious orientation
cenderung memandang agama sebagian dari hidupnya dan benar-benar ingin
mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan individu dengan extrinsic religious
orientation memandang agama sebagai sebuah agen sumber kenyamanan, solusi bagi
masalah-masalah di dunia dan ajang bersosialisasi.
54
Sebagai catatan penting mengenai penelitian yang melibatkan religiusitas
ekstrinsik bergantung pada kepercayaan religius individu. Jika kepercayaan individu
menekankan pada hal pembalasan pada kehidupan setelah kematian, maka religiusitas
yang tinggi akan membuat ketakutan akan kematian yang tinggi pula (Florian &
Kravits, 1983 dalam Cicirelli, 2002). Sebaliknya, jika kepercayaan tersebut lebih
condong kepada cinta Tuhan, Tuhan sebagai penyayang utama, dan dengan konsep
kehidupan setelah kematian sebagai suatu hal yang indah, berhubungan dengan
tingkat death anxiety yang rendah (Rigdon & Epting, 1985 dalam Cicirelli, 2002).
Jadi dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti pengaruh locus of control,
perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan
jenis kelamin pada lansia. Gambar 2.1 merupakan rangkuman kerangka berpikir yang
digunakan dalam penelitian ini.
55
Death Anxiety
Internal Locus Of Control
External Locus of Control
Perceived Social Support Family
Perceived Social Support Friends
Perceived Social Support
Significant Others
Intrinsic Religious Orientation
Extrinsic Religious
Orientation
Pengalaman Mengenai Kematian
Jenis Kelamin
56
2.8 Hipotesis
2.7.1 Hipotesis Mayor
Ha : ada pengaruh yang signifikan antara religiusitas dan locus of
control terhadap death anxiety
2.7.2 Hipotesis Minor
H1 : ada pengaruh yang signifikan antara internal locus of control
terhadap death anxiety
H2 : ada pengaruh yang signifikan antara external locus of control
terhadap death anxiety
H3 : ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support
family terhadap death anxiety
H4 : ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support
friend terhadap death anxiety
H5 : ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support
significant others terhadap death anxiety
H6 : ada pengaruh yang signifikan antara intrinsic religious
orientation terhadap death anxiety
H7 : ada pengaruh yang signifikan antara extrinsic religious
orientation terhadap death anxiety
57
H8 : ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman bermakna
mengenai kematian terhadap death anxiety
H9 : ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan death
anxiety
57
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini akan memberikan penjelasan mengenai metode penelitian yang
meliputi populasi dan sampel, variabel penelitian beserta definisi operasionalnya,
instrumen pengumpulan data, pengujian validitas konstruk, prosedur penelitian, dan
metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.
3.1 Sampel dan Teknik Pengambilan Data
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 150 orang dengan
kriteria yaitu lansia yang berusia lebih dari 60 tahun baik pria maupun wanita di RW
09 kelurahan Kebon Pala Jakarta Timur, masih mampu membaca dan menulis, serta
bersedia menjadi responden di dalam penelitian ini. Adapun pengambilan sampel
dalam penelitian ini termasuk kategori nonprobability sampling dimana semua
anggota populasi tidak diketahui probabilitas atau peluangnya untuk dijadikan
sampel.
3.2 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel terikat (dependent variable)
dan variabel bebas (independent variable). Variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
58
a. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah death
anxiety.
b. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini yaitu:
1. Variabel locus of control dengan dimensi-dimensi yang meliputi
internal locus of control dan external locus of control.
2. Variabel religious orientation dengan dimensi-dimensi yang meliputi
intrinsic religious orientation dan extrinsic religious orientation.
3. Variabel perceived social support dengan dimensi-dimensi yang
meliputi perceived social support family, perceived social support
friend, dan perceived social support significant others.
4. Variabel pengalaman mengenai kematian
5. Variabel jenis kelamin
3.3 Definisi Operasional Variabel
1. Death Anxiety adalah skor yang diperoleh dari pengukuran death anxiety
melalui skala death anxiety berdasarkan tingkat kecemasan manusia
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kematian yang diperoleh dari
skor skala death anxiety Templer (1970).
2. Locus of Control adalah skor yang diperoleh dari pengukuran locus of
control melalui skala locus of control berdasarkan bagaimana individu
mempersepsikan keberhasilan atau kegagalan yang diraihnya karena
faktor dari dalam (tingkah lakunya sendiri dan usaha yang dilakukannya
sendiri) atau karena faktor dari luar dirinya (keberuntungan, kesempatan,
59
atau takdir) terdiri dari internal locus of control dan external locus of
control yang diperoleh dari skala locus of control Levenson (1981).
3. Perceived Social Support adalah skor yang diperoleh dari pengukuran
perceived social support melalui skala perceived social support
berdasarkan bagaimana individu memepersepsikan apakah dukungan dan
bantuan akan selalu ada disaat ia membutuhkan dari keluarga teman atau
orang terdekat (significant others) yang diambil dari MSPSS
(Multidimensional Scale of Perceived Social Support) oleh Dahlem,
Zimet, & Walker (1991).
4. Religious Orientation adalah skor yang diperoleh dari pengukuran
orientasi religius melalui skala orientasi religius berdasarkan dimensi-
dimensi intrinsic religious orientation dan extrinsic religious orientation
yang diperoleh dari skala orientasi religius Gorsuch & McPherson (1989).
5. Variabel jenis kelamin adalah skor yang diperoleh dari usia subjek berupa
data mengenai jenis kelamin subjek.
6. Variabel pengalaman mengenai kematian yaitu skor yang diperoleh dari
pengalaman bermakna kematian berupa data mengenai pengalaman
bermakna mengenai kematian dari orang-orang yang disayangi
3.4 Pengumpulan Data
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan instrumen baku
yang telah dikembangkan oleh peneliti lain. Instrumen yang diadaptasi Antara
60
lain Death Anxiety Scale (Templer, 1970), Levenson’s I, P, and C Locus of
Control Scale (Levenson, 1981), Multidimensional Scale of Perceived Social
Support (MSPSS) oleh Dahlem, Zimet, & Walker (1991) dan Religious
Orientation Scale-Revised (ROS-R), (Gorsuch & McPherson, 1989). Peneliti
kemudian akan menerjemahkan item-item dalam instrumen tersebut kedalam
bahasa Indonesia. Dalam proses penerjemahan dan penyusunan alat ukur,
peneliti menggunakan literatur yang terkait dengan instrumen penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode skala sebagai alat
pengumpul data, yaitu sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh
jawaban dari responden. skala yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan skala model Likert dengan variasi pilihan respon dan skala
penilaian.
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan alat ukur
model Likert antara lain adalah terdapat variasi pilihan respon yang masing-
masing terdiri dari empat alternatif jawaban yang disediakan. untuk mengukur
variabel-variabel penelitian ini, peneliti menggunakan skala model Likert
yang telah dimodifikasi, yaitu dengan menghilangkan jawaban netral agar
mendorong responden untuk memilih dan memutuskan respon negatif ataupun
positif, sehingga terlihat central tendency dari jawaban responden.
Selanjutnya pernyataan tertinggi untuk pernyataan unfavorable
diberikan pada pilihan jawaban “sangat tidak setuju” dan skor terendah
diberikan untuk pilihan “sangat setuju”.
61
62
Tabel 3.1 Tabel Skor Skala Model Likert
Kategori Respon SS S TS STS
Favorable 4 3 2 1
Unfavorable 1 2 3 4
Skala model likert dipilih untuk mengukur variabel death anxiety,
locus of control, perceived social support, dan religious orientation.
Dalam penelitian ini, subjek akan diberikan kuesioner yang terdiri dari
tiga bagian, yaitu:
3.1 Bagian Pengantar, berisi tentang nama peneliti, tujuan dari
penelitian, kerahasiaan jawaban yang diberikan oleh responden,
dan ucapan terima kasih peneliti.
3.2 Bagian data, berisi tentang data-data subjek seperti nama insial,
jenis kelamin, dan pengalaman mengenai kematian.
3.3 Bagian inti, berisi tiga alat ukur penelitian, yaitu alat ukur death
anxiety, locus of control, perceived social support dan religious
orientation.
Saat penelitian, subjek diminta untuk memilih salah satu dari pilihan
jawaban yang menunjukkan kesesuaian pernyataan yang diberikan dengan
keadaan yang dirasakan oleh responden dengan memberikan tanda silang (X)
pada pilihan jawaban.
63
3.4.2 Instrumen Penelitian
1. Skala Death Anxiety
Untuk mengukur death anxiety dalam penelitian ini menggunakan skala
berdasarkan skala baku death anxiety scale dari Templer (1970). Skala ini
menggunakan model Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
skala ini terdiri dari 15 butir item pertanyaan yang mengukur death anxiety.
Tabel 3.2 Blue Print Death Anxiety Scale
No Indikator Item Jumlah
1 Death anxiety secara umum 5, 7*, 1 3
2 Ketakutan akan sakit 11, 4, 9, 6* 4
3 Pemikiran mengenai kematian 10, 14, 3* 3
4 Bergantinya waktu dan kehidupan
yang singkat 12, 8, 2* 3
5 Ketakutan akan masa depan 13, 15* 2
Keterangan: (*) unfavorable
2. Skala Locus of Control
Untuk mengukur kecenderungan locus of control pada penelitian ini
menggunakan skala model Likert berdasarkan skala baku Levenson’s I,P,
and C Locus of Control Scale. Skala ini menggunakan model Likert
dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
64
Tabel 3.3 Blueprint Levenson’s I, P, and C Locus of Control Scale
No Dimensi Nomor Butir Jumlah
1 External Locus of Control
(Chance)
2, 6, 7, 10, 12, 14, 16,
24
8
2 External Locus of Control
(Powerful Others)
3, 8, 11, 13, 15, 17, 20,
22
8
3 Internal Locus of Control 1, 4, 5, 9, 18, 19, 21, 23 8
3. Skala Perceived Social Support
Untuk mengukur kecenderungan perceived social support pada penelitian
ini menggunakan skala model Likert berdasarkan skala baku Levenson’s
I,P, and C Locus of Control Scale. Skala ini menggunakan model Likert
dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Tabel 3.4 Blueprint MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived
Social Support) Dahlem, Zimet, & Walker (1991)
No Dimensi Nomor Butir Jumlah
1 Perceived Social Support (Family) 3, 4, 8, 11 4
2 Perceived Social Support (Friends) 6, 7, 9, 12 4
3 Perceived Social Support
(Significant Others)
1, 2, 5, 10 4
4. Skala Religious Orientation
Untuk mengukur religiusitas, pada penelitian ini peneliti menggunakan
skala model Likert, berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh
65
Gorsuch & McPherson, (1989), Skala ini menggunakan model Likert
dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Tabel 3.5 Blue Print Skala Religious Orientation
No Dimensi Butir Jumlah
1 Intrinsic Religious Orientation 1, 3*, 4, 5, 7,
10*, 12, 14*
8
2 Extrinsic Religious Orientation-
Personally Oriented
6, 8, 9 3
3 Extrinsic Religious Orientation-
Socially Oriented
2, 11, 13 3
Keterangan: (*) unfavorable
3.5 Pengujian Validitas Konstruk
Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan pengujian terhadap validitas
konstruk keempat instrumen yang dipakai, yaitu 1) Death Anxiety Scale 2)
Levenson’s I, P, & C Locus of Control Scale 3) Multidimensional Scale of Perceived
Social Support dan 4) Religious Orientation Scale-Revised. Untuk menguji validitas
konstruk alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
Confirmatory Factor Analysis (CFA). Adapun logika dari CFA (Umar, 2011) :
1 Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara
operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk
mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap
faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.
66
2 Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap
subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat
unidimensional.
3 Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks korelasi
antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks
korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data
empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka
tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ - matriks S atau bisa juga
dinyatakan dengan ∑ - S = 0.
4 Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi
square. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis nihil tersebut
“tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat diterima bahwa
item ataupun sub tes instrument hanya mengukur satu faktor saja.
5 Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau
tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan t-value. Jika hasil
t-value tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa
yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di drop dan sebaliknya.
6 Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya
negatif, maka item tersebut harus di drop. Sebab hal ini tidak sesuai dengan sifat
item, yang bersifat positif (favorable).
67
Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan menggunakan
software LISREL 8.70 (Joreskog dan Sorbom, 1999). Uji validitas tiap alat ukur akan
dipaparkan pada sub bab berikut.
3.5.1 Uji Validitas Konstruk Death Anxiety
Peneliti menguji apakah lima belas item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur death anxiety. Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model
satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square= 599,90, df=90, P-value= 0,00000,
RMSEA= 0,195. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square= 66,16, df= 51, P-value= 0,07522,
RMSEA= 0,045. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang
artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur
satu faktor saja yaitu death anxiety.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
68
Tabel 3.6 Tabel Muatan faktor item death anxiety
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM01 0,87 0,08 11,24 V
ITEM02 -0,45 0,08 -5,49 X
ITEM03 0,65 0,09 7,33 V
ITEM04 0,20 0,07 2,72 V
ITEM05 0,75 0,07 10,19 V
ITEM06 0,26 0,08 3,32 V
ITEM07 0,50 0,08 6,68 V
ITEM08 0,39 0,09 4,59 V
ITEM09 0,24 0,08 3,06 V
ITEM10 0,26 0,07 3,51 V
ITEM11 0,23 0,07 3,12 V
ITEM12 0,20 0,07 3,12 V
ITEM13 0,22 0,08 2,75 V
ITEM14 0,39 0,07 5,29 V
ITEM15 0,42 0,09 4,62 V
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dan
memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 2. Oleh karena itu item
tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
Langkah terakhir yang perlu dilakukan yaitu item-item death anxiety yang
tidak di drop di hitung faktor skornya. Faktor skor ini dihitung untuk menghindari
estimasi bias dari kesalahan pengukuran. Jadi perhitungan faktor skor ini tidak
menjumlahkan item-item variabel pada umumnya, tetapi justru dihitung true score
pada tiap item. Setelah didapatkan faktor skor yang telah diubah menjadi T skor, nilai
baku inilah yang akan dianalisis dalam uji hipotesis korelasi dan regresi. Perlu
dicatat, bahwa hal yang sama juga berlaku untuk variabel-variabel lain dalam
penelitian ini
69
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Locus of Control
a. Internal Locus of Control
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan
Chi-Square=85,91, df=20, P-value=0,00000, RMSEA=0,149. Oleh karena itu,
peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square= 21,91, df= 15, P-value=0,11024, RMSEA=0,056. Nilai Chi-
Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu internal
locus of control.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.7 Tabel muatan faktor item internal locus of control
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM1 0,09 0,09 1,01 X
ITEM4 0,25 0,09 2,93 V
ITEM5 0,72 0,09 8,37 V
ITEM9 0,57 0,08 6,83 V
ITEM18 0,60 0,09 6,89 V
ITEM19 0,70 0,08 9,17 V
ITEM21 0,56 0,08 7,02 V
ITEM23 0,60 0,08 7,21 V
70
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dan
memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 2. Oleh karena itu item
tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
b. External Locus of Control-Chance
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan
Chi-Square= 34,59, df=20, P-value= 0,02242, RMSEA=0,070. Oleh karena itu,
peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square= 14,35, df= 18, P-value=0,70576, RMSEA=0,000. Nilai Chi-
Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu external
locus of control-chance.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur
faktor yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil
tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat
nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
71
Tabel 3.8 Tabel muatan faktor item external locus of control-chance
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM2 0,15 0,09 1,66 X
ITEM6 0,27 0,09 2,97 V
ITEM7 0,55 0,09 5,85 V
ITEM10 0,47 0,11 4,23 V
ITEM12 0,35 0,11 3,15 V
ITEM14 0,70 0,11 6,11 V
ITEM16 0,41 0,09 4,53 V
ITEM24 0,28 0,09 3,08 V
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96,
yaitu item nomor 1. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta
dianalisis.
c. External Locus of Control-Powerful Others
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan
Chi-Square= 87,95, df=20, P-value= 0,00000, RMSEA=0,151. Oleh karena itu,
peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square= 21,95, df= 15, P-value=0,10919, RMSEA=0,056. Nilai Chi-
Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu external
locus of control-powerful others.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
72
drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.9 Tabel muatan faktor external locus of control-powerful others
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM3 0,72 0,17 4,31 V
ITEM8 0,07 0,08 0,85 X
ITEM11 -0,11 0,09 -1,17 X
ITEM13 -0,07 0,08 -0,93 X
ITEM15 0,26 0,09 2,90 V
ITEM17 0,29 0,09 3,20 V
ITEM20 0,46 0,11 4,28 V
ITEM22 0,87 0,17 5,17 V
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas terdapat tiga item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dengan
dua item yang memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 8, 11, dan 13.
Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
3.5.3 Uji Validitas Konstruk Perceived Social Support
a. Perceived Social Support-Family
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata fit dengan Chi-
Square=5,08, df=2, P-value= 0,07867, RMSEA=0,102. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu perceived
social support-family.
73
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.10 Tabel muatan faktor item perceived social support-family
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM3 0,89 0,07 12,26 V
ITEM4 0,82 0,07 10,99 V
ITEM8 0,46 0,08 5,58 V
ITEM11 0,65 0,08 8,28 V
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas tidak terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96.
Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, pada tabel tidak terdapat item yang
memiliki muatan faktor negatif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang tidak
signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada item
yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
b. Perceived Social Support-Friends
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan
Chi-Square=6,50, df=2, P-value= 0,03868, RMSEA=0,123. Oleh karena itu, peneliti
melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa
item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-
square= 0,00, df= 0, P-value=1,00000, RMSEA=0,00. Nilai Chi-Square
74
menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu perceived
social support-friends.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.11 Tabel muatan faktor item perceived social support-friends.
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM6 0,75 0,11 7,17 V
ITEM7 0,68 0,08 8,12 V
ITEM9 0,88 0,09 10,24 V
ITEM12 0,63 0,08 7,49 V
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas tidak terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96.
Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, pada tabel tidak terdapat item yang
memiliki muatan faktor negatif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang tidak
signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada item
yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
c. Perceived Social Support-Significant Others
75
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan
Chi-Square=42,12, df=12, P-value= 0,00000, RMSEA=0,367. Oleh karena itu,
peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square= 0,00 df= 0, P-value=1,00000, RMSEA=0,00. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
perceived social support-significant others.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.12 Tabel muatan faktor item perceived social support-significant others
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM1 0,65 0,08 8,39 V
ITEM2 0,81 0,07 11,38 V
ITEM5 0,82 0,07 11,63 V
ITEM10 0,88 0,07 12,75 V
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas tidak terdapat item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96.
Selanjutnya melihat muatan faktor dari item, pada tabel tidak terdapat item yang
memiliki muatan faktor negatif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang tidak
76
signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada item
yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
3.5.4 Uji Validitas Konstruk Religious Orientation
a. Intrinsic Religious Orientation
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan
Chi-Square=98,18, df=20, P-value= 0,00000, RMSEA=0,162. Oleh karena itu,
peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square= 25,21, df= 16, P-value=0,06616, RMSEA=0,062. Nilai Chi-
Square menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu internal
religious orientation.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.13 Tabel muatan faktor item intrinsic religious orientation
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM1 0,53 0,08 6,74 V
ITEM3 0,00 0,09 0,01 X
ITEM4 0,84 0,07 12,38 V
77
ITEM5 0,93 0,06 14,73 V
ITEM7 0,89 0,06 13,82 V
ITEM10 0,44 0,08 5,66 V
ITEM12 0,82 0,07 11,98 V
ITEM14 0,36 0,08 4,40 V
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96, yaitu item
nomor 3. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
b. Extrinsic Religious Orientation
Dari hasil CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan
Chi-Square=111,68, df=9, P-value= 0,00000, RMSEA=0,277. Oleh karena itu,
peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit
dengan Chi-square= 6,67, df= 4, P-value=0,15429, RMSEA=0,067. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (signifikan), yang artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu extrinsic
religious orientation.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur atau tidak sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di
drop atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi
setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut:
78
79
Tabel 3.14 Tabel muatan faktor item extrinsic religious orientation
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM2 0,16 0,09 7,43 V
ITEM6 -0,86 0,07 -4,62 X
ITEM8 -0,87 0,07 -5,80 X
ITEM9 -0,79 0,07 -5,19 X
ITEM11 0,44 0,08 8,10 V
ITEM13 0,43 0,09 17,39 V
Keterangan: tanda V=signifikan
Pada tabel diatas terdapat empat item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96
dengan tiga item memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 6, 8, dan 9.
Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis..
3.6 Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan dalam pengumpulan data yaitu sebagai
berikut:
1. Peneliti menentukan dan menyusun instrumen yang akan digunakan dalam
penelitian, yaitu adaptasi alat ukur Templer Death Anxiety Scale (1970) untuk
mengukur death anxiety, adaptasi alat ukur Levensons I, P, & C Locus of
Control Scale (1981) untuk mengukur locus of control, Multidimensional Scale
of Perceived Social Support (MSPSS) (1991) untuk mengukur perceived
social support dan adaptasi alat ukur Religious Scale-Revised (ROS-R) (1989)
untuk mengukur religious orientation.
80
2. Menentukan sampel penelitian yaitu lansia di RW 09 Kelurahan Kebon Pala.
Pengambilan sampel bersifat nonprobability sampling, kemudian memberikan
angket yang telah disediakan kepada subjek.
3. Hasil skala yang telah diisi kemudian diri skoring untuk dianalisis datanya.
3.7 Metode Analisis Data
Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan teknik analisis regresi berganda
karena peneliti ingin melihat pengaruh IV terhadap DV. Dalam penelitian ini terdapat
10 IV dan 1 DV, sehingga susunan persamaan regresi penelitian adalah:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 +b7X7 + b8X8 + b9X9 + b10X10 + e
Jika dituliskan variabelnya maka:
Y = death anxiety
a = konstanta
b = koefisien regresi untuk masing-masing X
X1 = internal locus of control
X2 = external locus of control-chance
X3 = external locus of control-powerful others
X4 = perceived social support family
X5 = perceived social support friends
81
X6 = perceived social support significant others
X7 = intrinsic religious orientation
X8 = extrinsic religious orientation
X9 = pengalaman mengenai kematian
X10 = jenis kelamin
e = residu
Selanjutnya analisis regresi, dimulai secara simultan, kemudian dari satu per
satu IV. Sehingga nilai R2
yang dihasilkan dapat dilihat secara murni. Fungsi R2
ini
adalah untuk melihat proporsi varians dari komitmen organisasi yang dipengaruhi IV
yang ada. Melihat jumlah R2 x (dikalikan) 100%. Maka dihasilkanlah proporsi varians
atau determinant. R2
sendiri didapatkan dengan rumus :
Selanjutnya, untuk membuktikan apakah regresi Y dan X signifikan atau
tidak, maka digunakanlah uji F untuk membuktikan hal tersebut menggunakan
rumus:
82
Dimana pembilang disini adalah R2
dengan df nya (dilambangkan k), yaitu
sejumlah IV yang dianalisis, sedangkan penyebutnya (1 – R2) dibagi dengan df nya N
– k – 1 dimana N adalah jumlah sampel. Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya,
dapat dilihat apakah IV yang diujikan memiliki pengaruh terhadap DV.
Kemudian peneliti melakukan uji T dari tiap-tiap IV yang dianalisis. Maksud
uji T adalah melihat apakah signifikan dampak dari tiap IV terhadap DV. Uji T
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana b adalah koefisien regresi dan Sb adalah standar error dari b. Hasil uji
T ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya.
Adapun seluruh perhitungan penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan
software SPSS 17.0 for windows.
81
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
Dalam bab ini akan dibahas hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan
tersebut mencakup analisis deskriptif, dan pengujian hipotesis penelitian
4.1 Analisis Deskriptif
Subjek dalam penelitian ini adalah 150 orang lansia di RW 09 Kelurahan Kebon Pala,
Jakarta Timur. Selanjutnya akan dijelaskan gambaran subjek berdasarkan jenis
kelamin, dan pengalaman mengenai kematian.
Tabel 4.1 Gambaran Subjek
Kategori Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin
Laki-Laki 44 29,3%
Perempuan 106 70,7%
Pengalaman Mengenai
Kematian
Tidak bermakna 50 33,3%
bermakna 100 66,7%
Subjek dalam penelitian ini berasal dari jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dan
perempuan. Berdasarkan tabel diatas dapat kita lihat sebagian besar lansia yang
menjadi responden adalah perempuan.
82
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat death anxiety, sebagai berikut:
Tabel 4.2 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxiety
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 64 42,7%
Tinggi 86 57.3%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat death anxiety yang berbeda, berdasarkan
hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk kategori ini
peneliti membagi tingkat death anxiety dalam 2 kategori yaitu tinggi, dan rendah.
Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 20,20
dan nilai maksimum subjek 71,26 (M=50,00 ; SD=9,05926). Tingginya tingkat death
anxiety artinya individu memiliki tingkat kecemasan terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kematian, atau kecemasan yang intens ketika seseorang memikirkan
kematian. Sedangkan orang dengan tingkat death anxiety yang rendah tidak
menunjukkan kecemasan ketika dihadapkan dengan situasi atau pikiran tetang
kematian. Selanjutnya, perbedaan tingkat death anxiety berdasarkan jenis kelamin
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxiety pada pria dan wanita
Kategori Frekuensi Persentase
Pria
Rendah 26 59,1%
Tinggi 18 40,9%
Wanita
Rendah 38 35,8%
83
Tinggi 68 64,2%
Berdasarkan tabel diatas, terdapat perbedaan tingkat death anxiety antara pria dengan
wanita, dimana kecenderungan tingkat death anxiety yang tinggi terlihat pada wanita,
sedangkan pria cenderung memiliki tingkat death anxiety yang rendah.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat internal locus of control, sebagai berikut:
Tabel 4.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat internal locus of control
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 86 57,3%
Tinggi 64 42,7%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat internal locus of control yang berbeda,
berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk
kategori ini peneliti membagi tingkat internal locus of control dalam 2 kategori yaitu
tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor
minimum subjek 30,23 dan nilai maksimum subjek 69,43 (M=50,00 ; SD=8,49442).
Individu dengan internal locus of control internal locus of control yang tinggi akan
mempersepsikan bahwa dirinya memiliki kontrol yang besar terhadap kejadian-
kejadian yang ada dalam hidupnya.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat external-chance locus of control, sebagai berikut:
84
Tabel 4.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat external locus of control
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 85 56,7%
Tinggi 65 43,3%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat externaln locus of control yang berbeda,
berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti. Untuk
kategori ini peneliti membagi tingkat external locus of control dalam 2 kategori yaitu
tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan nilai skor
minimum subjek 30,15 dan nilai maksimum subjek 69,65 (M=50,00 ; SD=7,49154).
Tingkat external locus of control yang tinggi mengindikasikan individu kurang
memiliki perasaan kontrol terhadap lingkungannya, namun ada faktor dari luar diri
seperti keberuntungan, kekuatan orang lain, atau kebetulan yang turut mengontrol
kejadian-kejadian dalam hidupnya.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat perceived social support family, sebagai berikut:
Tabel 4.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support family
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 80 53,3%
Tinggi 70 46,7%
85
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat perceived social support family yang
berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti.
Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat perceived social support family dalam 2
kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan
nilai skor minimum subjek 19,25 dan nilai maksimum subjek 62,41 (M=50,00 ;
SD=8,85062). Tingkat perceived social support family yang tinggi memiliki arti
bahwa seseorang memiliki perasan bahwa dirinya mendapatkan dukungan berupa
kenyamanan, perhatian, atau bantuan yang diperoleh dari keluarga. Sedangkan
tingkat perceived social support family yang rendah memiliki arti bahwa seseorang
kurang mendapatkan dukungan tersebut dari keluarga.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat perceived social support friend, sebagai berikut:
Tabel 4.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support friend
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 106 70,7%
Tinggi 44 29,3%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat perceived social support friend yang
berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti.
Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat perceived social support friend dalam 2
kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan
nilai skor minimum subjek 19,80 dan nilai maksimum subjek 69,87 (M=50,00 ;
86
SD=8,69313). Tingkat perceived social support friends yang tinggi menandakan
bahwa seseorang memiliki perasan bahwa dirinya mendapatkan dukungan berupa
kenyamanan, perhatian, atau bantuan yang diperoleh dari teman-teman atau rekan.
Sedangkan tingkat perceived social support friends yang rendah memiliki arti bahwa
seseorang kurang mendapatkan dukungan tersebut dari teman.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat perceived social support significant others sebagai berikut:
Tabel 4.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support significant
others
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 92 61,3%
Tinggi 58 38,7%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat perceived social support significant
others yang berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh
peneliti. Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat perceived social support
significant others dalam 2 kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut
didapatkan berdasarkan nilai skor minimum subjek 22,73 dan nilai maksimum subjek
62,73 (M=50,00 ; SD=9,43854). Tingkat perceived social support significant others
yang tinggi mengindikasikan bahwa seseorang memiliki perasan bahwa dirinya
mendapatkan dukungan berupa kenyamanan, perhatian, atau bantuan yang diperoleh
dari orang lain yang turut andil dalam kehidupannya, seperti pelayan masyarakat,
87
dokter, perawat, dan lain-lain. Sedangkan tingkat perceived social support significant
others yang rendah memiliki arti bahwa seseorang kurang mendapatkan dukungan
tersebut dari orang lain tersebut.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat intrinsic religious orientation sebagai berikut:
Tabel 4.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat intrinsic religious orientation
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 72 48%
Tinggi 78 52%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat intrinsic religious orientation yang
berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti.
Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat intrinsic religious orientation dalam 2
kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan
nilai skor minimum subjek 29,73 dan nilai maksimum subjek 62,52 (M=50,00 ;
SD=9,18124). Tingkat intrinsic religious orientation yang tinggi berarti bahwa
individu telah menemukan motivasi dalam beragama, yaitu untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan, telah menginternalisasikan keyakinannya dan mengikuti ajaran-ajaran
agamanya.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat extrinsic religious orientation sebagai berikut:
88
Tabel 4.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat extrinsic religious orientation
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 91 60,7%
Tinggi 59 39,3%
Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat extrinsic religious orientation yang
berbeda, berdasarkan hasil skoring jawaban kuesioner yang diterima oleh peneliti.
Untuk kategori ini peneliti membagi tingkat extrinsic religious orientation dalam 2
kategori yaitu tinggi dan rendah. Kedua kategori tersebut didapatkan berdasarkan
nilai skor minimum subjek 32,59 dan nilai maksimum subjek 73,33 (M=50,00 ;
SD=8,37832). Individu dengan extrinsic religious orientation yang tinggi cenderung
beribadah demi memperoleh pencapaian manfaat-manfaat sosial dan personal, atau
individu yang “menggunakan” agamanya.
4.2 Uji Hipotesis Penelitian
4.2.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda
dengan menggunakan software SPSS 17. Seperti yang sudah disebutkan pada bab 3,
dalam regresi ada 3 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R square untuk
mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV, kedua apakah
secara keseluruhan IV berpengaruh secara signifikan dengan DV, kemudian terakhir
melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing masing IV.
89
Langkah pertama peneliti menganalisis dampak dari seluruh variabel
independen terhadap death anxiety lansia. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel
4.11 berikut ini.
Tabel 4.11 Tabel Anova
ANOVAb
Model Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
1 Regression 1828.348 9 203.150 2.735 .006a
Residual 10400.105 140 74.286
Total 12228.454 149
a. Predictors: (Constant), gender, roextrinsic, locinternal, lossofloved, pssfriend, rointrinsic, locexternal,
psssignificat, pssfamily
b. Dependent Variable: deathanxiety
Dari tabel Anova, diperoleh nilai F hitung yang didapat adalah sebesar 2,735.
Sementara nilai probabilitas hitung atau taraf signifikansi yang didapat adalah 0,006
karena taraf signifikansi < 0,05 maka persamaan regresi yang dipergunakan dapat
diterapkan dalam analisis data. Hal ini menjadi dasar bagi peneliti untuk menerima
hipotesis penelitian yang berbunyi “ada pengaruh yang signifikan dari locus of
control, perceived social support, religious orientation, pengalaman kematian, dan
jenis kelamin terhadap death anxiety pada lansia.
Langkah kedua peneliti melihat besaran Rsquare untuk mengetahui berapa persen (%)
varians DV yang dijelaskan oleh IV. Selanjutnya untuk Rsquare dapat dilihat pada
tabel 4.12
90
Tabel 4.12 Tabel Rsquare
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .387a .150 .095 8.61896
a. Predictors: (Constant), gender, roexternal, locinternal, lossofloved, pssfriend, rointernal, locexternal,
psssignificat, pssfamily
Berdasarkan tabel diatas diketahui nilai koefisien determinasi (R Square) pada
penelitian ini adalah sebesar 0,150. Artinya seluruh variabel independen yang diteliti
secara simultan menjelaskan 15% proporsi varian death anxiety. Hal ini menunjukkan
bahwa 85% dari bervariasinya death anxiety pada lansia dijelaskan oleh faktor lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Langkah ketiga adalah melihat koefisien regresi setiap independen variabel.
Jika nilai p< 0,05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa IV
tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap death anxiety.
Adapun penyajiannya pada tabel 4.13 berikut:
91
Tabel 4.13 Koefisien Regresi
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 51.256 8.858 5.786 .000
locinternal -.110 .095 -.103 -1.152 .251
locexternal -.061 .101 -.056 -.609 .544
pssfamily .075 .114 .074 .665 .507
pssfriend -.018 .110 -.017 -.165 .870
psssignificat .017 .105 .018 .161 .872
rointrinsic -.128 .095 -.130 -1.352 .178
roextrinsic .027 .088 .025 .311 .756
lossofloved -2.066 1.530 -.108 -1.350 .179
gender 7.058 1.673 .356 4.220 .000
a. a. Dependent Variable: deathanxiety keterangan: (*) signifikan
Berdasarkan tabel diatas, dapat dijelaskan persamaan regresi sebagai berikut:
death anxiety: 51.256 - .110 internal locus of control - .061 external locus of
control + 0,075 perceived social support family - 0,018 perceived social
support friend + 0,017 perceived social support significant others - 0,128
intrinsic religious orientation + 0,027 extrinsic religious orientation - 2.066
pengalaman kematian + 7,058 jenis kelamin
Dari tabel 4.12 , diketahui bahwa hanya ada satu variabel independen yang signifikan,
yaitu variabel jenis kelamin dengan nilai beta 3,56 dan nilai signifikansinya sebesar
0,000 (p< 0,05), sedangkan sisanya delapan variabel tidak signifikan.
Adapun penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing
variabel independen adalah sebagai berikut:
92
1. Nilai koefisien regresi internal locus of control sebesar -0,110 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,251 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel internal locus of
control secara negatif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak signifikan
berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor internal locus of control
maka semakin rendah death anxiety pada lansia.
2. Nilai koefisien regresi external locus of control sebesar -0,61 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,544 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel external-chance
locus of control secara negatif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak
signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor external locus of
control maka semakin rendah death anxiety pada lansia.
3. Nilai koefisien regresi perceived social support family sebesar +0,075 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,507 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel perceived social
support family secara positif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak
signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor perceived social
support family maka semakin tinggi death anxiety pada lansia.
4. Nilai koefisien regresi perceived social support friend sebesar -0,018 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,870 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel perceived social
support friend secara negatif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak
signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor perceived social
support friend maka semakin rendah death anxiety pada lansia.
5. Nilai koefisien regresi perceived social support significant others sebesar +0,017
dan nilai signifikansinya sebesar 0,872 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel
93
perceived social support significant others secara positif berpengaruh terhadap
death anxiety tetapi tidak signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin
tinggi skor perceived social support significant others maka semakin tinggi death
anxiety pada lansia.
6. Nilai koefisien regresi intrinsic religious orientation sebesar -0,128 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,178 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel intrinsic religious
orientation secara negatif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak
signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor intrinsic
religious orientation maka semakin rendah death anxiety pada lansia.
7. Nilai koefisien regresi extrinsic religious orientation sebesar +0,027 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,756 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel extrinsic religious
orientation secara positif berpengaruh terhadap death anxiety tetapi tidak
signifikan berdasarkan analisis statistik. Jadi semakin tinggi skor extrinsic
religious orientation maka semakin tinggi death anxiety pada lansia.
8. Nilai koefisien pengalaman mengenai kematian sebesar -2,066, dan nilai
signifikansinya sebesar 0,179 (p< 0.05). Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang
signifikan dari pengalaman mengenai kematian dengan death anxiety pada lansia.
9. Nilai koefisien regresi jenis kelamin sebesar 7,058 dan nilai signifikansinya
sebesar 0,000 (p< 0.05). Hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan dari jenis
kelamin dengan death anxiety pada lansia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini dari sepuluh hipotesis minor yang
ada, hanya satu hipotesis minor yang ditolak, yaitu:
94
1. H01 diterima, yaitu tidak ada pengaruh internal locus of control terhadap death
anxiety pada lansia.
2. H02 diterima, yaitu tidak ada pengaruh external locus of control terhadap death
anxiety pada lansia.
3. H03 diterima, yaitu tidak ada pengaruh perceived social support family terhadap
death anxiety pada lansia.
4. H04 diterima, yaitu tidak ada pengaruh perceived social support friend terhadap
death anxiety pada lansia.
5. H05 diterima, yaitu tidak ada pengaruh perceived social support significant others
terhadap death anxiety pada lansia.
6. H06 diterima, yaitu tidak ada pengaruh intrinsic religious orientation terhadap
death anxiety pada lansia.
7. H07 diterima, yaitu tidak ada pengaruh extrinsic religious orientation terhadap
death anxiety pada lansia.
8. H08 diterima, yaitu tidak ada perbedaan pengalaman mengenai kematian terhadap
death anxiety pada lansia.
9. H9 diterima, yaitu ada perbedaan jenis kelamin terhadap death anxiety pada
lansia.
4.2.2 Pengujian Proporsi Varian Masing-Masing Independent Variable
Berdasarkan hasil dari koefisien regresi, diketahui bahwa pada variabel dukungan
sosial dan variabel strategi coping hanya dua dari empat belas variabel yang
95
mempengaruhi secara signifikan. Kemudian langkah terakhir penulis ingin melihat
besarnya kontribusi signifikansi masing masing IV terhadap DV.
Tabel 4.14 Tabel Proporsi Varians untuk masing-masing independent variable
Model summary
Model R R Square
Adjusted
R
Square
Change Statistics
Std. Error
of the
Estimate
R
Square
Change
F
Change
df1 df2 Sig. F
Change
1 .067a .005 -.002 9.06931 .005 .670 1 148 .414
2 .079b .006 -.007 9.09224 .002 .254 1 147 .615
3 .119c .014 -.006 9.08713 .008 1.165 1 146 .282
4 .130d .017 -.010 9.10585 .003 .400 1 145 .528
5 .130e .017 -.017 9.13721 .000 .006 1 144 .936
6 .150f .022 -.019 9.14322 .006 .811 1 143 .369
7 .150g .023 -.026 9.17483 .000 .016 1 142 .899
8 .203h .041 -.013 9.11812 .019 2.772 1 141 .098
9 .387i .150 .095 8.61896 .108 17.805 1 140 .000*
a. Predictors: (Constant), locinternal
b. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal
c. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal,
d. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily
e. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend
f. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend, psssignificat
g. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend, psssignificat, rointrinsic
h. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend, psssignificat, rointrinsic, roextrinsic
i. Predictors: (Constant), locinternal, locexternal, pssfamily, pssfriend, psssignificat, rointrinsic, roextrinsic,
lossofloved
Keterangan: (*) signifikan
Jika di jabarkan kontribusi dari setiap IV terhadap DV diatas disampaikan sebagai
berikut:
1. Aspek internal locus of control memiliki R square change sebesar 0,005 jadi
aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,5% terhadap death anxiety lansia.
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change =
0,414>0,05
96
2. Aspek external locus of control memiliki R square change sebesar 0,002 jadi
aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,2% terhadap death anxiety lansia.
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change =
0,615>0,005
3. Aspek perceived social support family memiliki R square change sebesar 0,008
jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,8% terhadap death anxiety lansia.
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change =
0,282>0,005
4. Aspek perceived social support friend memiliki R square change sebesar 0,003
jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,3% terhadap death anxiety lansia.
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change =
0,528>0,005
5. Aspek perceived social support significant others memiliki R square change
sebesar 0,000 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,0% terhadap death
anxiety lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F
Change = 0,936>0,005
6. Dimensi intrinsic religious orientation memiliki R square change sebesar 0,006
jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,6% terhadap death anxiety lansia.
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change =
0,369>0,005
7. Dimensi extrinsic religious orientation memiliki R square change sebesar 0,000
jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,0% terhadap death anxiety lansia.
97
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,899
<0,005
8. Dimensi pengalaman mengenai kematian memiliki R square change sebesar
0,019 jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 1,9% terhadap death anxiety
lansia. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik karena sig F Change =
0,97 >0,005
9. Dimensi jenis kelamin memiliki R square change sebesar 0,108 jadi aspek ini
memberikan kontribusi sebesar 10,8% terhadap death anxiety lansia. Kontribusi
tersebut signifikan secara statistik karena sig F Change = 0,00>0,005
98
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang
penelitian serta saran secara praktis dan secara teoritis untuk penelitian selanjutnya.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan uji hipotesis yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah secara simultan,
independent variable yang diteliti pengaruhnya dalam penelitian ini memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Dengan demikian, hipotesis mayor
diterima, artinya, “terdapat pengaruh yang signifikan locus of control, perceived
social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis
kelamin terhadap death anxiety”. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil uji F yang
menguji seluruh independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV). Dilihat
dari nilai Rsquare kontribusi seluruh independent variable (IV) terhadap dependent
variable (DV) adalah sebesar 15%.
Kemudian jika dilihat secara parsial melalui koefisien regresi, hasil uji
hipotesis minor yang menguji signifikansi masing-masing koefisien regresi terhadap
dependent variable, diperoleh satu dari sepuluh koefisien regresi yang signifikan
99
pengaruhnya terhadap death anxiety yaitu jenis kelamin. Dengan demikian hanya satu
hipotesis minor yang diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin
terhadap death anxiety. Dimensi-dimensi dari independent variable lainnya tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan, yaitu locus of control, perceived social
support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian. Penyebab tidak
signifikannya variabel-variabel tersebut akan dijelaskan di subbab diskusi.
Berdasarkan proporsi varian masing-masing independent variable, hanya ada satu
sumbangan iv yang memberikan sumbangan varian yang signifikan terhadap death
anxiety, yaitu sumbangan varians dari jenis kelamin yaitu sebesar 10,9%.
5.2 Diskusi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh locus of control,
perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian dan
jenis kelamin terhadap death anxiety lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta
Timur. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa lima variabel tersebut
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death
anxiety, sedangkan variabel lain yaitu locus of control, perceived social support,
religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian tidak memberikan
pengaruh yang signifikan. Hasil ini juga menggambarkan kesesuaian sekaligus
100
pertentangan dengan teori-teori yang juga meneliti variabel-variabel ini sebelumnya.
Oleh karena itu peneliti mencoba untuk membahasnya.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Artinya dalam penelitian
ini terdapat perbedaan tingkat death anxiety pada responden pria dan wanita.
Perbedaan tingkat death anxiety antara pria dan wanita tersebut kemudian
menunjukkan bahwa responden wanita cenderung memiliki death anxiety yang lebih
tinggi dibandingkan pria. Hasil ini sesuai dengan penelitian Daaleman & Dobbs
(2010) yang menemukan bahwa wanita memiliki penerimaan yang rendah terhadap
kematian daripada pria. Penjelasan yang mungkin dapat dikemukakan dalam
perbedaan tersebut adalah bahwa pria cenderung kurang terbuka dalam
mengekspresikan perasaan takutnya, dan sebaliknya, wanita lebih “dekat dengan
perasaannya” daripada pria (Kastenbaum, 2000; Russac, et. al., 2007).
Azaiza, Ron, Shoham, & Gigini (2010) juga menemukan perbedaan tingkat
death anxiety yang siginfikan antara pria dan wanita dalam penelitiannya mengenai
death anxiety pada lansia di Arab. Pendapat yang serupa mengenai hal yang
menyebabkan penelitian ini juga dikemukakan, bahwa norma budaya mendukung
wanita untuk lebih bebas mengungkapkan emosi-emosinya, seperti rasa takut, dan
lebih menekan pria untuk melakukannya. Norma budaya ini juga terdapat di
Indonesia, dimana wanita cenderung lebih bebas mengekspresikan emosinya,
sedangkan pria dituntut untuk menjadi orang yang kuat dan tangguh karena mereka
101
menghargai kekuatan. Krieger, Epting, & Leitner, 1974 (dalam DePaola et. al., 2003)
juga menyatakan bahwa wanita lebih melihat kematian dari segi emosional,
sedangkan pria melihatnya dari segi kognitif.
Sejalan dengan itu, rendahnya tingkat death anxiety pada pria diintepretasikan
oleh Da Silva & Schork (1985, dalam Kastenbaum, 2000) berhubungan dengan
macho effect. Mereka lebih nyaman ketika menghindari pikiran tentang kematian dan
hanya memikirkannya tidak lebih dari setahun sekali. Mereka lebih termotivasi dalam
prestasi dalam hidupnya daripada pemikiran mengenai kematiannya sendiri. Pendapat
yang sama juga dilontarkan oleh Schumaker, Barraclough, & Vagg (1988, dalam
Chuin & Choo, 2009) yaitu bahwa pria lebih didorong untuk mengejar kesuksesan
dan meraih prestasi yang sebenarnya makin memperkuat ilusi imortalitas
dibandingkan wanita. Ilusi ini sering digunakan untuk melawan death anxiety.
Selain itu, tingkat death anxiety yang tinggi pada wanita juga dipicu oleh
peran wanita sebagai pengasuh di dalam keluarga. Perlu diketahui bahwa responden
wanita di dalam penelitian ini sebagian besar pekerjaannya adalah ibu rumah tangga,
yang merawat suami dan anak-anak dari kecil hingga sudah berkeluarga. Bahkan
ketika anak-anak mereka sudah berkeluarga, masih ada yang tinggal dengan
orangtuanya. Oleh karena itu, lansia wanita yang masih merawat keluarganya
cenderung mengalami ketakutan akan kematian karena mereka takut tidak akan bisa
bersama keluarganya dan anak-anak serta cucunya tidak terawat dengan baik.
Kastenbaum (2000) juga berpendapat bahwa tingginya tingkat death anxiety pada
102
wanita berhubungan dengan sensitifitas wanita pada kebutuhan-kebutuhan orang lain
dan kemauan mereka untuk memberikan perawatan dan kenyamanan.
Variabel yang tidak signifikan terhadap death anxiety adalah variabel locus of
control. Variabel internal locus of control dalam penelitian ini memiliki pengaruh
negatif yang tidak signifikan, artinya semakin internal locus of control dalam diri
seseorang, semakin rendah tingkat death anxiety. Individu dengan kecenderungan
Internal locus of control yang tinggi memiliki kepercayaan bahwa dirinya memiliki
kontrol terhadap kehidupannya. Sedangkan aspek external locus of control memiliki
pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap death anxiety. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian Cicirelli (1999) yang membuktikan bahwa ada pengaruh positif
yang signifikan antara external locus of control dengan death anxiety. Penelitian
Hayslip & Steward-Bussey (1987 dalam Cicirelli, 1999) juga menunjukkan hal yang
berbeda, yaitu eksternalitas berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih
tinggi, sedangkan internalitas berhubungan dengan death anxiety yang rendah.
Penyebab perbedaan hasil penelitian tersebut mungkin dikarenakan
kepercayaan yang kuat bahwa kontrol dari kematian sepenuhnya berasal dari Tuhan.
Profil warga RW 09 kelurahan Kebon Pala yang sebagian besar beragama Islam dan
memiliki kepercayaan bahwa kematian merupakan takdir Tuhan, berbeda dengan di
barat dimana terdapat orang-orang atheis dan agnostik yang skeptis terhadap Tuhan
dan berpersepsi bahwa individu memiliki kontrol terhadap kehidupan di dunia.
Mungkin individu dapat memiliki kontrol kuat terhadap kehidupannya, namun
103
dengan kepercayaan yang kuat ini, individu berpendapat bahwa apapun yag
dilakukannya tidak akan merubah kenyataan bahwa kematian merupakan hal yang
tidak dapat dikontrol, dan kontrol tersebut ada pada Tuhan.
Adanya pengaruh yang tidak signifikan juga ditunjukkan oleh variabel
perceived social support. Walaupun tidak signifikan, aspek perceived social support
dari keluarga menunjukkan arah yang positif, dimana jika individu menerima banyak
dukungan dari keluarga, ia akan memiliki death anxiety yang lebih tinggi. Sedangkan
dukungan yang bersumber dari teman menunjukkan arah yang negatif, diaman
semakin besar persepsi dukungan dari teman, maka death anxiety akan semakin
menurun.
Hasil yang berbeda dibuktikan oleh Cicirelli (1999) yang menemukan bahwa
terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara perceived social support terhadap
salah satu bentuk dari death anxiety. Penelitian oleh Khawar, Aslam, & Aamir (2013)
juga menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu terdapat pengaruh negatif yang
signifikan antara perceived social support terhadap death anxiety.
Variabel lain yang tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap death
anxiety adalah religious orientation. Walaupun tidak signifikan, masing-masing
dimensi memberikan pengaruh yang berbeda kepada death anxiety, yaitu dimensi
internal religious orientation yang berpengaruh negatif terhadap death anxiety dan
dimensi external religious orientation yang berpengaruh secara positif terhadap death
104
anxiety. Hasil penelitian Chuin & Choo (2009) juga menunjukkan hasil yang serupa,
yaitu tidak ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara intrinsic
religious orientation dan death anxiety, serta tidak ditemukan juga hubungan yang
signifikan antara extrinsic religious orientation dan death anxiety. Hal ini berbeda
dengan penelitian Swanson & Byrd (1998) yang menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan dari extrinsic religious orientation terhadap death anxiety. Ketidaksesuaian
ini dapat disebabkan oleh perbedaan sampel yang diambil, dimana dalam penelitian
Swanson & Byrd (1998) menggunakan sampel dewasa muda.
Penyebab tidak signifikannya variabel-variabel tersebut mungkin juga
dikarenakan level religiusitas yang serupa dalam populasi ini. Sampel hampir
seluruhnya beragama islam yang memiliki dogma yang kuat mengenai kehidupan
setelah kematian. Level religiusitas yang relatif sama pada masyarakat ini, serta
kepercayaan tradisional yang kuat bahwa takdir, kesehatan, dan penyakit merupakan
ketentuan dari Tuhan dapat menjadi faktor penyebab tidak signifikannya variabel ini.
Variabel terakhir yang tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap
death anxiety adalah variabel pengalaman mengenai kematian. Pengalaman terhadap
kematian disini adalah apakah ada anggota keluarga dari responden yang telah
meninggal. Hubungan dan pengaruh pengalaman mengenai kematian terhadap death
anxiety telah dijelaskan oleh beberapa penelitian. Hasil ini tidak sejalan dengan
Florian & Mikulnicer, yaitu ada pengaruh yang signifikan dari seseorang yang
merasakan kehilangan terhadap death anxiety. Namun, Azaiza et al., (2011) dalam
105
penelitiannya menunjukkan hasil yang sama, yaitu tidak ada pengaruh yang
signifikan dari pengalaman kehilangan terhadap death anxiety.
Hal yang mungkin dapat menjadi penyebab mengapa tidak ada perbedaan
yang signifikan dari pengalaman mengenai kematian terhadap death anxiety masih
terkait dengan kepercayaan atau agama. Yaitu kepercayaan mengenai adanya
kehidupan setelah kematian yang dapat mempertemukan kembali mereka dengan
keluarga yang telah meninggal. Selain itu, kondisi subjek pada saat penelitian yang
tidak benar-benar dalam rasa berduka juga mungkin menjadi penyebab tidak
signifikannya variabel ini mempengaruhi death anxiety .
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ini, penulis menyadari bahwa
secara keseluruhan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan keterbatasan
tersebut, penulis mencoba berbagi pengalaman dan memberikan saran sebagai
pertimbangan dalam melakukan penelitian yang terkait yaitu saran teoritis dan saran
praktis sebagai berikut:
5.3.1 Saran Teoritis
a. Karakteristik sampel yang kurang luas, yaitu hanya lansia di RW 09 kelurahan
Kebon Pala, Jakarta Timur. Seperti yang kita ketahui, lansia memiliki
beragam karakteristik di dalam setiap lingkungan tempat tinggalnya. Untuk
itu, diharapkan penelitian death anxiety selanjutnya memperluas cakupan
106
pengambilan sampel guna memperoleh hasil yang lebih beragam. Keterlibatan
wariabel demografis lainnya seperti status sosial ekonomi juga dapat
dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil yang lebih bervariasi.
b. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan aspek-aspek dari locus of control
dan religious orientation secara terpisah. Untuk penelitian selanjutnya, dapat
dipertimbangkan untuk memakai aspek locus of control dan religious
orientation yang berada dalam satu kontinum sehingga dapat diperoleh hasil
yang lebih menarik.
c. Death anxiety dalam penelitian ini bersifat unidimensional. Setiap individu
mungkin memiliki ketakutan pada kematian yang berbeda pada setiap aspek.
Juga, banyak ahli yang mengemukakan bahwa death anxiety merupaka
variabel yang memiliki aspek-aspek berbeda. Maka untuk penelitian
selanjutnya diharapkan menggunakan aspek-aspek death anxiety secara
terpisah agar lebih terlihat perbedaannya.
5.3.2 Saran Praktis
a. Perlu diketahui bahwa lansia memiliki keterbatasan terutama dalam
pengelihatan yang menurun sehingga mereka terkadang sulit membaca. Juga,
dalam kasus tertentu kemungkinan banyaknya lansia yang tidak mengenyam
jenjang pendidikan yang tinggi menyebabkan keterbatasan pemahaman lansia
dalam mengisi kuesioner. Oleh karena itu, dalam pengambilan sampel pada
penelitian berikutnya, pendampingan kepada seluruh responden lansia dalam
107
pengisian kuesioner dibutuhkan untuk menghindari bias yang terjadi sehingga
mempengaruhi hasil penelitian.
b. Pada penelitian ini, peneliti menerapkan metode kuantitatif berupa pengisisan
skala untuk mengetahui hasil penelitian. Untuk penelitian selanjutnya,
penambahan studi kualitatif berupa deep interview kepada beberapa sampel
lansia disarankan agar dapat memperkaya hasil penelitian mengenai death
anxiety.
c. Dalam penelitian ini terlihat tingkat perceived social support yang cenderung
rendah terutama yang bersumber dari teman. Untuk meningkatkan social
support pada lansia, pemerintah kelurahan dibantu oleh kader-kader lansia
diharapkan meningkatkan serta mensosialisasikan kegiatan yang melibatkan
lansia dan seluruh elemen masyarakat agar mereka dapat berinteraksi dengan
lebih banyak orang dan memperoleh social support yang lebih tinggi. Dengan
itu diharapkan dukungan terutama dukungan emosional yang diperoleh dari
interaksi antar warga tersebut dapat meningkatkan perasaan positif dari lansia
dan menurunkan tingkat death anxiety.
d. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat death anxiety yang tinggi pada
wanita. Seperti yang telah dijelaskan, wanita cenderung rentan mengalami
kecemsan dibandingkan pria. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan
untuk menurunkan kecemasan tersebut, salah satunya dengan cara
memberdayakan mereka agar lebih aktif dan memiliki relasi yang lebih luas,
108
sehingga dengan keaktifan mereka, diharapkan dapat menurunkan tingkat
death anxiety.
108
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G. W., & Ross, J. M. (1967). Personal religious orientation and prejudice.
journal of personality and social psychology, 5, 432-443.
Azaiza, F., Ron, P., Shoham, M., & Gigini, I. (2010). Death and dying anxiety among
elderly arab muslims in israel. Death Studies, 34, 351-364. DOI:
10.1080/07481181003613941
Bath, D. M. (2010). Separation from loved ones in the fear of death. Death Studies,
404-425. DOI: 10.1080/07481181003697639.
Bryant, C. D. (2003). Handbook of death and dying. California: Sage Publications.
Chuin, C. L., & Choo, Y. C. (2009). Age, gender, and religiosity as related to death
anxiety. Sunway Academic Journal, 6.
Cicirelli, V. G. (1999). Personality and demographic factors in older adults fear of
death. The Gerontologist, 39, 569-579.
Cicirelli, V. G. (2002). Older adults' view on death. New York: Springer Publishing
Company.
Daaleman, T. P., & Dobbs, D. (2010). Religiosity, spirituality, and death attitudes in
chronically ill older adults. Research on Aging, 224-243. DOI:
10.1177/0164027509351476.
Dahlem, N. W., Zimet, G. D., & Walker, R. R. (1991). The multidimensional scale of
perceived social support: a confirmation study. Journal of Clinical
Psychology, 47.
DePaola, S. J., Griffin, M., & Young, J. R. (2003). Death anxiety and attitudes toward
the elderly among older adults: the role of gender and ethnicity. Death
Studies, 27, 335-354. DOI: 10.1080/07481180390199091.
Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Theories of personality. New York: McGraw-Hill.
Feldman, R. S. (2011). Development across the life span. New Jersey: Pearson
Education.
Firestone, R., & Catlett, J. (2009). Beyond death anxiety: achieving life affirming
death awareness. New York: Springer Publishing Company.
Flere, S., & Lavric, M. (2007). Is intrinsic religious orientation a culturally specific
american protestant concept? the fusion and extrinsic religious orientation
109
among non-protestant. European Journal of Social Psychology. DOI:
10.1002/esjp.437.
Friedman, H. S., & Schustack, M. W. (2009). Personality: classic theory and modern
research. Boston: Pearson.
Gorsuch, R. L., & McPherson, S. E. (1989). Intrinsic extrinsic measurement: i/e
revised and single item scales. Journal for the Scientific Study of Religion.
Hoyer, W. J., & Roodin, P. A. (2003). Adult development and aging. New York:
McGraw-Hill.
Hurlock, E.B. (1981). Developmental psychology: a life-span approach. New York:
McGraw-Hill.
Kastenbaum, R. (2000). The psychology of death. New York: Springer Publishing
Company.
Kemsos. (2007). Penduduk lanjut usia dan masalah kesejahteraannya. Dikutip pada
tanggal 13 September 2013 dari
https://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=522
Khawar, M., Aslam, N., & Aamir, S. (2013). Perceived social support and death
anxiety among patients with chronic diseases. Pakistan Journal of Medical
Research, 52, 75-79.
Levenson, H. (1981). Differentiating among internality, powerful others, and chance.
in h. m. lefcourt, research with the locus of control construct (pp. 15-55).
New York: Academic Press.
McLaughlin, S. J., Connel, C. M., Heeringa, S. G., Li, L. W., & Roberts, S. (2009).
Successful aging in the united states prevalence estimates from a national
sample of older adults. Journal of Gerontology: Social Sciences, 216-116.
DOI: 10.1093/geronb/gbp101.
Neufeld, A., & Harrison, M. (2010). Nursing and family caregiving social support
and nonsupport. New York: Springer Publishing Company.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human development. New
York: McGraw-Hill.
Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2007). Adult
development and aging. New York: McGraw-Hill.
Pargament, K. I. (1997). The psychology of religion and coping. New York: Guilford
Press.
110
Republik Indonesia. (1998). Undang-undang tentang kesejahteraan lanjut usia.
Jakarta: Kementerian Sosial.
Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of
reinforcement. Psychological Monographs: General and Applied.
Rotter, J. B. (1989). Internal versus external control of reinforcement: a case history
of a variable. APA Award Adresses, 489-493.
Russac, R. J., Gatliff, C., Reece, M., & Spottswood, D. (2007). Death anxiety across
the adult years: an examination of age and gender effects. Death Studies, 31,
549-561.
Santrock, J. W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup, edisi 5,
jilid ii (A. Chusairi, Trans). Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2011). Health psychology. New Jersey: Wiley.
Stark, R., & Glock, C. Y. (1968). American piety: the nature of religious
commitment. California: University of California Press.
Swanson, J. L., & Byrd, K. R. (1998). Death anxiety in young adults as a function
religious orientiation, guilt, and separation-individuation conflict. Death
Studies, 22, 257-268. DOI: 0748-1187.
Taylor, S. E. (2006). Health psychology. New York: McGraw-Hill.
Templer et. al. (2006). Construction of a death anxiety scale-extended. Omega, 53(3).
209-226.
Tomer, A., Eliason, G. T., & Wong, P. T. (2008). Existensial and spiritual issues in
death attitudes. New York: Lawrence Erlbaum Associates.
Umar, J. (2010). Bahan pelatihan statistika untuk mentor akademis Fakultas Psikologi
UIN Jakarta.
World Health Organization (WHO). (2014). Definition of an older or elderly person.
Dikutip pada tanggal 1 Mei 2014 dari
http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefolder/en/
Williams, L. A. (1990). The effects of locus of control and death education in death
attitudes.
Wills, T. A., & Shinar, O. (2000). Measuring perceived and received social support.
In S. Cohen, L. G. Underwood, & B. H. Gottlieb, Social support measurement
and intervention (pp. 86-135). New York: Oxford University Press.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Assalamualaikum, Wr. Wb,
Saya Diana Mumpuni mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
sedang melakukan penelitian untuk Skripsi.
Oleh karena itu, saya mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu untuk menjadi responden
dalam penelitian ini dengan mengisi beberapa pertanyaan kuesioner terlampir. Dalam
kuesioner ini tidak ada jawaban benar atau salah. Adapun informasi atau data yang
anda berikan akan sangat bermanfaat dalam penelitian ini, dan saya berkewajiban
untuk menjaga kerahasiaan data yang anda berikan. Sebelum mengisi jawaban,
bacalah terlebih dahulu petunjuk pengisian dalam kuesioner ini.
Atas perhatiannya, saya ucapkan Terima Kasih.
Hormat Saya,
Diana Mumpuni
DATA DIRI
1. Nama/Inisial :
2. Usia Saat Ini :
3. Jenis Kelamin :
a. Laki-Laki
b. Perempuan
4. Apakah anda memiliki pengalaman berharga mengenai kematian orang
lain?
YA
Siapa?
TIDAK
a. Orangtua (Ayah/Ibu)
b. Anak
c. Pasangan (Suami/Istri)
d. Saudara/Kerabat
e. Teman
5. Kapan anda mengalaminya?
a. Kurang dari 1 tahun terakhir
b. 2-5 tahun yang lalu
c. 6-15 tahun yang lalu
d. Lebih dari 15 tahun yang lalu
6. Dari skala 1 sampai 5, seberapa berarti orang tersebut bagi anda?
Sangat
berarti
berarti
Kurang
berarti
Tidak
berarti
1 2 4 5
7. Hal apa yang paling Anda cemaskan saat ini?
a. Kesepian
b. Hidup sendiri
c. Tidak bisa bertemu dengan keluarga dan teman-teman
d. Tidak ada kegiatan/pekerjaan
e. Tidak punya uang
f. Sakit
g. Kematian
h. Lainnya (sebutkan)…..
PETUNJUK PENGISIAN:
Kuesioner ini berisi sejumlah pernyataan-pernyataan yang membantu mengambarkan
diri Anda. Baca dan pahami terlebih dahulu pernyataan tersebut, kemudian berikanlah
tanda silang (X) pada salah satu dari keempat pilihan yang tersedia di bawah
pernyataan.
Adapun pilihan tersebut adalah sebagai berikut:
A : bila Anda Sangat Setuju dengan pernyataan tersebut
B : bila Anda Setuju dengan pernyataan tersebut
C : bila Anda Tidak Setuju dengan pernyataan tersebut
D : bila Anda Sangat Tidak Setuju dengan pernyataan tersebut
Contoh:
Saya suka buah mangga.
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
Jawaban diatas (pada pilihan A, yaitu sangat setuju) berarti bahwa Anda sangat setuju
dengan pernyataan no. 1 atau Anda sangat menyukai buah mangga.
SKALA 1
1. Kemampuan saya menentukan apakah saya dapat menjadi pemimpin atau
tidak
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
2. Sebagian besar hidup saya diatur oleh kejadian-kejadian yang tidak terduga
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
3. Saya merasa bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan saya ditentukan oleh
orang-orang yang kuat/berpengaruh
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
4. Kecelakaan lalu lintas dapat terjadi tergantung kemahiran pengemudi
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
5. Ketika saya punya rencana, saya pasti bisa melakukannya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
6. Seringkali saya tidak bisa melindungi pendapat atau keinginan saya dari nasib
buruk
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
7. Saya mendapatkan apa yang saya inginkan karena saya beruntung
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
8. Walaupun saya punya kemampuan, saya tidak akan menjadi pemimpin jika
tidak dekat dengan orang-orang yang berkuasa
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
9. Banyaknya teman yang saya miliki tergantung pada seberapa baiknya saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
10. Saya merasa apa yang terjadi pastilah terjadi
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
11. Hidup saya diatur oleh orang-orang yang lebih berkuasa/kuat
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
12. Keberuntungan dapat menentukan apakah saya akan mengalami kecelakaan
lalu lintas atau tidak
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
13. Orang seperti saya hanya memiliki sedikit kesempatan untuk
mempertahankan pendapat ketika sedang konflik dengan kelompok yang lebih
kuat
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
14. Menurut saya kita tidak perlu lebih jauh berencana, karena keberuntungan
bisa merubah banyak hal
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
15. Saya harus menyenangkan atasan saya terlebih dahulu sebelum saya
mendapatkan apa yang saya inginkan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
16. Kesempatan saya menjadi pemimpin bergantung pada keberuntungan berada
di tempat yang tepat di saat yang tepat
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
17. Ketika ada orang penting yang tidak suka dengan saya, saya mungkin tidak
dapat membangun hubungan dengan orang lain
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
18. Saya bisa menentukan apa yang akan terjadi dalam hidup saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
19. Saya bisa mempertahankan pendapat saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
20. Seorang pengemudi dapat menentukan keselamatan penumpangnya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
21. Saya bisa memperoleh sesuatu karena hasil dari kerja keras saya sendiri
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
22. Agar rencana-rencana saya berjalan, saya memastikan rencana tersebut sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh atasan saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
23. Kehidupan saya ditentukan oleh perilaku diri saya sendiri
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
24. Takdir menentukan apakah saya memiliki banyak teman atau tidak
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
SKALA 2
1. Saya sangat takut meninggal
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
2. Pikiran tentang kematian terkadang memasuki pikiran saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
3. Saya tidak merasa gugup ketika orang lain membicarakan kematian
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
4. Saya takut menjalani operasi
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
5. Saya samasekali tidak takut meninggal
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
6. Saya tidak terlalu takut terkena penyakit kanker
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
7. Pikiran tentang kematian tidak pernah mengganggu saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
8. Saya sering stress karena merasa waktu berlalu begitu cepat
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
9. Saya takut tersiksa saat meninggal
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
10. Saya sangat terganggu dengan adanya kehidupan setelah kematian
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
11. Saya sangat takut terkena serangan jantung
A. Sangat Setuju B. Setuju
C. Tidak Setuju D. Sangat Tidak Setuju
12. Seringkali saya berfikir bahwa hidup ini terlalu singkat
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
13. Saya merinding mendengar orang lain membicarakan perang dunia III
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
14. Saya takut melihat mayat
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
15. Saya merasa tidak ada yang harus ditakutkan di masa depan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
SKALA 3
1. Ada orang yang spesial yang selalu ada di sekitar saya ketika saya sedang
membutuhkan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
2. Ada orang yang spesial yang bisa saya ajak bercerita mengenai kebahagiaan
dan kesedihan saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
3. Keluarga saya selalu mencoba membantu saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
4. Saya mendapatkan bantuan secara emosional dan dukungan yang saya
butuhkan dari keluarga saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
5. Saya memiliki orang yang spesial di dalam hidup saya yang memberikan
kenyamanan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
6. Teman-teman saya selalu mencoba untuk membantu saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
7. Saya bisa meminta bantuan pada teman-teman ketika ada suatu hal yang tidak
beres
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
8. Saya bisa berbicara mengenai masalah-masalah saya dengan keluarga
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
9. Saya memiliki teman yang bisa saya ajak bercerita mengenai kebahagiaan dan
kesedihan saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
10. Ada orang spesial di hidup saya yang peduli dengan perasaan saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
11. Keluarga saya mau membantu saya membuat keputusan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
12. Saya bisa membicarakan masalah-masalah yang saya alami dengan teman-
teman saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
SKALA 4
1. Saya suka membaca buku mengenai agama
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
2. Saya pergi ke tempat ibadah karena membantu untuk berkenalan dengan
orang lain
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
3. Tidak peduli agama apa yang saya anut asalkan saya dapat berbuat baik
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
4. Penting bagi saya untuk meluangkan waktu untuk berfikir dan berdoa
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
5. Saya memiliki perasaan yang kuat akan kehadiran Tuhan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
6. Saya berdoa untuk menenangkan diri dan meminta perlindungan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
7. Saya mencoba sekuat tenaga untuk hidup sesuai ajaran agama saya
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
8. Agama saya menjanjikan saya ketenangan di dalam segala kesulitan dan
kesedihan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
9. Berdoa adalah untuk kedamaian dan kebahagiaan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
10. Walaupun saya beragama, saya tidak terlalu melibatkannya dalam kehidupan
sehari-hari
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
11. Saya pergi ke tempat ibadah untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
12. Saya hidup berdasarkan apa yang agama saya ajarkan
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
13. Saya pergi ke tempat ibadah karena saya menikmati bertemu orang yang saya
kenal disana
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
14. Walaupun saya percaya dengan agama saya, masih banyak hal yang lebih
penting di dalam hidup
A. Sangat Setuju
B. Setuju
C. Tidak Setuju
D. Sangat Tidak Setuju
MOHON CEK KEMBALI JANGAN SAMPAI ADA JAWABAN YANG
TERLEWAT
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI ANDA DALAM PENELITIAN INI
LAMPIRAN 2
Path Diagram Death Anxiety
Path Diagram Internal Locus of Control
Path Diagram External-Chance Locus of Control
Path Diagram External-Powerful Others Locus of Control
Path Diagram Perceived Social Support Family
Path Diagram Perceived Social Support Friends
Path Diagram Perceived Social Support Significant Others
Path Diagram Intrinsic Religious Orientation
Path Diagram Extrinsic Religious Orientation