analisis film
DESCRIPTION
lorenzo's oilthee good earthTRANSCRIPT
BLOK 17 NEUROPSIKIATRI
TUGAS ANALISIS FILM
Oleh:
ARRUM CHYNTIA YULIYANTI
H1A 010 024
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
NUSA TENGGARA BARAT
2013
ANALISIS FILM “LORENZO’S OIL”
Film Lorenzo’s Oil disutradarai oleh George Miller (1992). Film ini diangkat dari
kisah nyata Augusto Odone dan Michaela Odone, sepasang suami istri yang tanpa lelah
mencari obat untuk putra mereka, Lorenzo Odone yang menderita Adrenoleukodistrofi.
Lorenzo lahir pada tahun 1978. Sampai usia 6 tahun ia adalah seorang anak yang sehat
dengan masa depan yang cerah. Dia pandai berbicara bahasa Inggris, Prancis dan Italia.
Suatu hari pihak sekolah memberi tahu ibu Lorenzo bahwa anaknya adalah anak
yang nakal di sekolah. Lorenzo sering menghancurkan lukisan teman-temannya. Ibunya,
Mrs Michaela Odone sangat kaget karena Lorenzo tidak pernah mengganggu atau
berperilaku aneh selama di rumah. Pihak sekolah mengatakan bahwa perilaku Lorenzo
sudah sangat mengganggu dan seperti anak hiperaktif sehingga harus dikeluarkan dari
sekolah untuk mendapat pendidikan di rumah.
Lorenzo jatuh dari sepeda dan perdarahan dari kepala. Orangtuanya membawa
Lorenzo ke dokter untuk mengobati lukanya. Beberapa hari kemudian Lorenzo jatuh saat
hendak menghias pohon natal karena gerakan kaki dan badan yang kaku. Dokter yang
merawat Lorenzo mengatakan bahwa hasil EEG, CT, dan rontgen tengkoraknya normal.
Suatu hari Lorenzo mendengarkan musik dengan volum sangat keras. Ibunya menjadi
curiga sehingga ia segera membawa anaknya ke rumah sakit. Menurut dokter, Lorenzo
mengalami gangguan di otak yang berhubungan dengan fungsi pendengaran sehingga
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang. Dokter melakukan Rekam otak, CT, tes
visual, tes pendengaran, dan tes laboratorium lainnya.
Dokter mendiagnosis Lorenzo mengalami Adrenoleukodistrofi (ALD) dan hanya
bisa bertahan hidup 2 tahun setelah diadiagnosis. ALD disebut juga Siemerling-Sreutzfeldt
Disease atau Schilder’s disease, merupakan sebuah penyakit metabolik yang jarang terjadi,
diturunkan secara genetik melalui kromosom X sehingga disebut X-linked
Adrenoleukodystrophy (X-ALD). Kelainan ini menyebabkan kerusakan otak yang
progresif, kegagalan kelenjar adrenal dan pada akhirnya kematian. Adrenoleukodistrofi
secara progresif merusak myelin, sebuah bagian dari jaringan neural yang membungkus
berbagai nervus sistem saraf sentral dan perifer. Tanpa myelin yang fungsional, jaringan
saraf tidak mampu mengkonduksikan impuls, sehingga memicu peningkatan disabilitas.
Insidensi minimum X-ALD pada laki-laki adalah 1:21.000. Semua ras dapat memperoleh
defek tersebut. Tanda pasti yang didapatkan pada ALD yaitu kadar lemak dalam darah
tinggi, terdapat lemak jenuh rantai panjang tertentu dalam darah.
Orang tua Lorenzo sangat sedih menerima kenyataan ini. Mereka mencari ahli
neurologi anak yang dapat membantu Lorenzo. Seorang dokter bernama Gus Nikolais
menyarankan diet yang mengandung very long-chain saturated fat seperti buah yang tak
dikupas, bayam, keju, selai kacang, minyak zaitun, daging merah, dan keju agar lemak
jenuh tidak banyak mengendap dalam darah dan dapat memperlambat kaskade gejala
neurologis yang dialami. ALD adalah penyakit pautan seks sehingga dokter Nikolais
menyarankan konseling genetik pada saudara-saudara wanita ibu Lorenzo.
Orangtua Lorenzo setuju anaknya diikutkan dalam penelitian yang dilakukan oleh
dokter Nikolais selama 6 bulan. Diet tersebut mulai diberikan kepada Lorenzo. Namun
Ayah Lorenzo kaget mengapa hasil pemeriksaan lemak jenuh C24 dan C26 Lorenzo
meningkat dalam darah padahal mereka sudah mengeliminasi zat tersebut dari diet
anaknya selama 6 minggu. Mereka tidak dapat sabar menunggu selama 6 bulan dan
mencari alternatif lain. Orang tua Lorenzo memilih untuk mengikutkan Lorenzo dalam
penelitian imunosupresi dan kemoterapi untuk ALD.
10 minggu setelah didiagnosis Lorenzo mengalami hemianopia dengan nistagmus
horizontal transient. Refleks cahaya pupil intak. Belum ada atrofi optik. Gaya berjalannya
pun berubah. 2 bulan yang lalu adalah simply motor lag, namun sekarang terlihat gait
akibat hiperefleksia, yang dieksaserbasi oleh paresis yang mengganggu.
Suatu hari ayah Lorenzo mendapat telepon dari Ellard Muscatine, seorang pendiri
ALD foundation yang dimiliki oleh orangtua anak yang mengalami ALD di seluruh dunia.
Ia menawarkan bantuan kepada orangtua Lorenzo untuk bergabung di konferensi ALD
tahun 1984. Orangtua Lorenzo sempat mengikuti acara tersebut dan berbagi dengan para
orangtua anak penyandang ALD lainnya, namun masih sering terjadi ketidakcocokan
pendapat. Orangtua Lorenzo terus berjuang dengan mempelajari berbagai ilmu yang
berhubungan dengan penyakit ALD. Hingga 5 bulan setelah diagnosis, gejala-gejala yang
dialami Lorenzo semakin berat. Kata-kata yang ia ucapkan mulai tidak bisa dimengerti.
Perjuangan dan pengorbanan orang tua Lorenzo sangat besar. Augusto dan
Michaela Odone tidak berhenti berjuang walau banyak orang dari kalangan dokter dan
ilmuwan bertentangan dengan pendapat mereka. Mereka tetap bertahan dan berusaha
dengan cara membaca banyak artikel di perpustakaan medis, dan mendesak untuk
menyelenggarakan simposium internasional tentang penyakit ini, untuk berdiskusi dengan
dokter-dokter terkemuka di seluruh dunia. Akan tetapi kondisi Lorenzo semakin hari
semakin memburuk, kondisinya menurun setiap waktu, dia mulai kesulitan untuk berjalan,
berbicara, dan bernafas. Hingga dia harus terbaring di tempat tidur dan bernafas dengan
alat bantu.
Michaela menjadi terlalu sensitif dan selalu memecat perawat yang membantu
merawat Lorenzo. Ia kemudian mencarikan anaknya seorang teman yang diundang untuk
tinggal bersama mereka. Namun ia tidak memberitahu teman baru Lorenzo dari Afrika
tentang seberapa parah penyakit ini pada Lorenzo. Augusto khawatir bahwa temannya
tidak akan mampu menerima kondisi Lorenzo yang tak berdaya. Namun teman Lorenzo
justru menyayangi dan merawat Lorenzo dengan tulus.
Berkat perjuangan orangtua Lorenzo, pada 10 november 1984 diadakanlah
simposium internasional ALD pertama. Berkat simposium yang diadakan, mereka
menambahkan minyak zaitun pada terapi yang diberikan untuk Lorenzo. Akan tetapi
pemberian secara terus menerus, dapat menyebabkan kerusakan hati. Orang tua Lorenzo
tidak putus asa. Mereka terus mencari tahu, hingga akhirnya mereka menambahkan jenis
minyak tertentu yang diisolasi dari rapeseed (kanola) minyak dan minyak zaitun untuk diet
anak mereka. Mereka menghubungi banyak perusahaan di seluruh dunia, hingga akhirnya
mereka menemukan seorang ahli kimia Inggris lansia bernama Don Suddaby yang bekerja
untuk Croda International yang bersedia untuk menyuling erucid acid. Pada tanggal 21
november 1984 ayah Lorenzo mulai memberikan Asam oleat (oleic acid) murni dalam
bentuk trigliserid yang mereka dapatkan dengan susah payah menempuh berbagai cara.
Hal ini ternyata berhasil dalam menormalkan akumulasi dari rantai asam lemak
yang sangat panjang yang telah menyebabkan penurunan fungsi otak anak mereka dan
dapat menekan perkembangan penyakit. Pada januari 1985 kadar C24 dan C26 pada darah
Lorenzo menurun 50% setelah pemberian asam oleat.
Suatu malam Lorenzo mengalami keadaaan seperti kejang, yang disebut
paroksisme, yang dicetuskan oleh saliva pada selang NGT hingga masuk trakea. Padahal
orangtua Lorenzo telah mensuction saliva tersebut secara regular. Pada orang normal batuk
dapat mengeluarkan aspirat tersebut, namun pada Lorenzo justru menjadi refleks yang
meningkat dan menjadi keadaan seperti kejang. Akibat telah terjadi kerusakan neurologis
ini, orangtua Lorenzo semakin giat melakukan analisis, hingga akhirnya ditemukan
pengobatan baru untuk menumbuhkan selubung myelin (isolator lipid) di sekitar saraf.
Akumulasi abnormal very long-chain saturated fatty acid (VLCFA) yaitu C24, C26
merupakan tanda adanya gangguan peroksisom. Pada sistem saraf pusat (SSP), akumulasi
ini menyebabkan demielinisasi pada akson. Hal ini berkaitan dengan respon inflamasi
yang kuat di substansia alba, dengan peningkatan kadar leukotrien karena defisiensi beta-
oksidasi. Selain itu, terdapat pula respon berupa infiltrasi perivaskular oleh sel T, sel B,
dan makrofag seperti pada respon autoimun. Kadar TNF, dan imunoreaktivitas alfa di
astrosit dan makrofag pada di lesi paling ujung mengalami peningkatan.
Pada seluruh fenotip, perkembangan biasanya normal selama 3-4 tahun pertama.
Pada bentuk childhood cerebral pada ALD, gejala klinis pertama kali muncul antara usia 4
dan 8 tahun (3 tahun pada yang lebih awal). Manifestasi awal yang paling umum adalah
hiperaktivitas, yang biasanya salah diartikan sebagai gangguan atensi, penurunan
kemampuan belajar di sekolah pada anak yang sebelumnya dapat belajar dengan baik.
Selain itu, terdapat pula gangguan pendengaran yang disertai gangguan dalam
membedakan suara, gangguan orientasi spasial. Gejala inisial lainnya adalah gangguan
visual, ataksia, tulisan tangan yang jelek, kejang, gangguan visual, kejang, dan strabismus.
Seluruh gejala-gejala ini tampak pada Lorenzo. Manifestasi awal dari childhood cerebral
ALD sulit dibedakan dengan gangguan atensi umum atau gangguan belajar. Progres yang
cepat, tanda-tanda demensia, atau kesulitan dalam membedakan suara mengindikasikan
adanya ALD. Diagnosis definitif tergantung pada ditemukannya akumulasi VLCFA, yang
hanya dapat terjadi pada ALD yang terkait kromosom X dan gangguan peroksisom
lainnya, yang dapat dibedakan dengan ALD terkait kromosom X melalui tampilan klinis
selama periode neonatal.
Terapi yang dapat dilakukan adalah penggantian kortikosteroid untuk insufisiensi
atau hipofungsi adrenal efektif tetapi tidak dapat mengubah disabilitas neurologis pasien.
Transplantasi sumsum tulang memberi manfaat kepada pasien yang menunjukkan adanya
demielinisasi akibat inflamasi. Namun mekanisme terapi ini dapat memberi efek baik pada
pasien ALD belum diketahui dengan pasti. Sumsum tulang menghasilkan sel-sel normal
(mengekspresikan ALDP) dan sel mikroglia otak. Oleh karena itu, kelainan metabolik di
otak dapat dikorekasi dengan penggantian sel-sel normal tersebut. Selain itu sel tersebut
dapat memperbaiki respon inflamasi di jaringan otak. Pertimbangan transplantasi sumsum
tulang juga relevan secara neurologis terhadap pasien asimtomatik atau gejala ringan.
Terapi lain seperti dikisahkan pada film ini adalah pemberian terapi oral berupa
campuran 4:1 gliseril trioleat dan gliseril trierukat (Lorenzo’s Oil) jika dikombinasikan
dengan pengurangan asupan lemak, akan menormalkan kadar VLCFA dalam 4 minggu.
Terapi ini tidak begitu efektif pada pasien yang telah menunjukkan gejala (simtomatik),
tetapi dapat memberikan efek preventif pada anak laki-laki asimtomatik yang usianya
kurang dari 6 tahun. Interferon-β dan terapi imunosupresif belum terbukti efektif.
Konseling genetik, pencegahan primer dan sekunder terhadap X-ALD sangatlah
penting. Skrining dilakukan pada tiap anggota keluarga yang berisiko dan memiliki
hubungan darah dengan pasien simtomatik. Pemeriksaan plasma cukup akurat dalam
mengidentifikasi laki-laki yang kadar VLCFA plasmanya telah meningkat sejak lahir.
Identifikasi laki-laki asimtomatik dengan tujuan agar dapat memberikan terapi pengganti
steroid dan mencegah terjadinya krisis adrenal yang dapat berakibat fatal. Silsilah keluarga
pasien baru dengan X-ALD perlu disusun secara detail untuk mengidentifikasi seluruh
wanita yang berisiko sebagai carrier dan laki-laki yang berisiko memiliki kelainan.
Investigasi ini perlu diiringi oleh perhatian terhadap sosial, emosional, dan isu etik selama
konseling.
Dengan penyempurnaan Lorenzo’s oil, kondisi Lorenzo perlahan mulai membaik,
otaknya sedikit demi sedikit dapat kembali mengatur pergerakan organ tubuhnya. Pada
usia 14 tahun, Lorenzo sudah berhasil menelan sendiri, menjawab ya dan tidak dengan
mengedipkan matanya. Akhirnya Lorenzo dapat hidup hingga usia 30 tahun, padahal
dokter dulu mengatakan bahwa ia hanya bisa hidup 2 tahun. Penemuan ini sungguh sangat
berharga dan telah membantu banyak anak-anak yang menderita ALD di seluruh dunia,
yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk disembuhkan. Sebagai bentuk
penghargaan, Augusto Odone menerima gelar dokter kehormatan.
Nilai yang dapat diambil dari film ini adalah bahwa penelitian yang baik
memerlukan minat dan rasa keingintahuan yang besar untuk mencari jawaban-jawaban
dari pertanyaan yang belum terjawab. Peneliti memerlukan dedikasi, devosi, hasrat, haus
akan pengetahuan, semangat, kemampuan berpikir kritis, perhatian secara mendetil, dan
tingkat pengetahuan tertentu dari subjek yang dipelajari. Keterlibatan keluarga memiliki
peranan yang besar dalam perbaikan kondisi pasien, terlebih bagi seorang anak di bawah
umur seperti Lorenzo. Pengertian orangtua atau keluarga pasien sangat dibutuhkan agar
manajemen penyakit pasien dapat dilakukan dengan baik dan pasien tidak merasa
diasingkan.
ANALISIS FILM “TEMPLE GRANDIN”
Film ini mengisahkan seorang wanita bernama Temple Grandin, yang mengidap
gejala autistik yang diketahui sejak ia berumur 4 tahun. Pada tahun 1951, di Boston saat
berumur 4 tahun, ibunya membawa Temple ke dokter untuk berkonsultasi masalah yang
tampak pada Temple. Dokter kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibu
Temple, antara lain; apakah Temple tertarik bermain dengan anak lain, apakah Temple
bermain boneka atau mainan lainnya, dan apakah Temple sudah bisa berbicara di usia 4
tahun. Kemudian didapatkan jawaban dari Ibu Temple bahwa Temple tidak tertarik
bermain dengan anak lainnya, ia lebih menyukai bermain dengan benda mati, dan ia belum
dapat berbicara di usia 4 tahun. Gejala yang menonjol antara lain tidak tertarik bermain
dengan anak lain, senang merobek benda, belum dapat berbicara hingga usia 4 tahun dan
tidak mau dipeluk. Menurut Ibunya Temple dulunya adalah bayi yang normal. Dokter
kemudian mendiagnosis Temple mengidap gejala autistik atau Infantile Scizofrenia.
Menurut Dokter hal ini terjadi kemungkinan karena ikatan Temple dengan Ibu, pada fase
krusial itu, Ibu terlalu dingin dan jauh dari memberikan kasih sayang kepada Temple.
Temple tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah, alasannya adalah karena ia tidak
suka bertemu orang banyak. Ia tidak bisa mengerti perasaan orang lain, sehingga sering
dianggap aneh. Saat liburan musim panas di tahun 1966, ia pergi ke Arizona. Ia
mempelajari tentang ternak sapi, salah satunya adalah bagaimana sapi-sapi tersebut bias
langsung tenang setelah dimasukkan ke dalam suatu kotak. Ia juga membuat bermacam
alat, termasuk squeeze-machine (mesin peluk) yang terinspirasi dari ternak sapi. Mesin ini
sangat membantu menenangkan dirinya.
Bujukan dari ibunya akhirnya membuat Temple bersedia untuk melanjutkan kuliah.
Ia masuk kuliah di Franklin Pierce College di tahun 1966. Keadaannya membuat Temple
kesulitan mengikuti materi perkuliahan. Ia kemudian membuat squeeze-machine di
kamarnya. Namun hal ini tidak disetujui karena dianggap melakukan perbuatan seksual.
Temple bersikeras untuk mendapatkan squeeze-machine tersebut, ia melakukan penelitian
untuk membuktikan pengaruh mesinnya terhadap orang lain. Hasil penelitiannya yang
koheren (masuk akal) dan menggunakan grup control ternyata diterima. Ia diperbolehkan
untuk menempatkan mesin tersebut di kamarnya. Mesin ini mengantarkan keberhasilan
studinya di tahun 1970. Dalam pidato kelulusannya, ia menegaskan kata-kata “aku tidak
berdiri sendiri.”
Temple melanjutkan studinya untuk meraih gelar master di Arizona State pada
tahun yang sama. Ia belajar tentang sapi di Scottsdale Feed Yards, Arizona. Ia kemudian
melakukan penelitian untuk gelar masternya mengenai agitasi (gejolak) pada sapi dan
sistem kontrol yang baik untuk sapi. Penelitiannya terus dilakukan hingga ia menerbitkan
banyak artikel di majalah-majalah dan dapat membuat alat baru untuk menghemat biaya
dalam proses mandi sapi sesuai dengan hasil penelitiannya. Ia juga berhasil menghubungi
salah satu pusat pemotongan sapi dan memperbaiki sistem yang ada disana, sehingga dapat
lebih menghemat dalam prosesnya.
Berhasil meraih gelar master belum dapat membuat Temple senang berada di
tengah keramaian. Saat merayakan natal di Bronxville, New York pada tahun 1975 setelah
resmi mendapatkan gelar master, ia masih menjauhi orang-orang. Ia merasa orang lain
tidak suka mendengarkannya. Namun, ibunya memberi pengertian tentang bagaimana
orang lain bersosialisasi.
Pada tahun 1981, Temple menghadiri National Autism Convention. Ia diminta
untuk berbicara di depan orang banyak mengenai autisme yang dideritanya. Ia menjadi
contoh bagi penderita autisme untuk tetap maju dan berkarya walaupun banyak halangan
dalam perjalanannya.
Selain dari gejala yang dikemukakan oleh Ibu Temple di atas, terdapat beberapa
gejala yang diperlihatkan sepanjang film ini. Temple memiliki gangguan dalam
berinteraksi sosial, hal ini dapat dilihat setiap Temple melakukan interaksi sosial, ia tidak
pernah melakukan kontak mata dengan lawan bicaranya. Temple juga memiliki kesulitan
dalam memahami orang lain. Temple tidak mengerti dari ungkapan sebuah perasaan yang
direflesikan dalam eskpresi wajah, sehingga ia tidak mengetahui ekspresi wajah bahagia
ataupun sedih. Hal ini mempersulit Temple dalam melakukan interaksi sosial. Temple
tidak mengerti arti kehilangan seseorang, tidak bisa menginterpretasikan perasaannya yang
diperlihatkan dalam film saat guru sekaligus sahabatnya Dr. Carlock meninggal dunia.
Temple tidak suka saat ia disentuh orang atau dipeluk seseorang, bahkan oleh Ibunya
sendiri. Ia sangat mudah marah dan menyerang orang lain saat terprovokasi atau saat
rutinitasnya terganggu. Hal ini terlihat saat teman Temple merusak hasil tugasnya yang
memancing amarah Temple dan memukulnya.
Temple sangat sensitif terhadap suara, sehingga stimulasi suara tertentu akan
menimbulkan perasaan menyakitkan bagi dirinya. Ia juga mudah cemas jika berhadapan
dengan lingkungan yang baru. Untuk mengatasi kecemasannya ini, Temple membuat
mesin yang disebut “Squeeze Machine”, yang fungsinya mirip dengan perasaan dipeluk
seseorang sehingga membuat perasaan Temple lebih tenang saat ia menggunakannya.
Selain itu Temple juga sering berputar sendiri. Menurutnya stimulasi ini dapat
membuatnya lebih nyaman, dimana orang lain menganggap hal tersebut tidak nyaman.
Dalam berbicara, Temple selalu berbicara dengan cepat dan memiliki kebiasaaan
berbicara repetitif, mengulang kalimat yang ia anggap menarik, sehingga pada masa anak-
anak ia sering diejek sebagai tape recorder oleh teman-temannya. Temple memiliki
gangguan dengan sistem pencernaannya, ia menderita colitis yang membuatnya hanya
memakan Jelly-O saja.
Temple memiliki keistimewaan. Kemampuan visual kognitifnya baik, dapat
mempelajari sesuatu dan mereflesikannya ke dalam bentuk gambar yang disimpan sebagai
ingatan jangka panjang yang luar biasa.
Gangguan Autistik atau Infantile Autism merupakan suatu kondisi manifestasi
klinis pada anak-anak usia dini dengan karakteristik berupa abnormalitas kualitatif dalam
berinteraksi sosial, ditandai dengan kemampuan komunikasi yang menyimpang dan
perilaku repetitif dan stereotipik. Ada perbedaan antara Infantile Autism dengan Infantile
Scizofrenia. Pada sebelum tahun 1960an dan sebelum DSM III kedua hal itu dianggap
sama sebagai gejala psikosis pada masa anak-anak. Namun sekarang kedua hal tersebut
dipisah. Infantile Scizofrenia memiliki gejala halusinasi, waham, bicara atau perilaku yang
terdiorganisasi, dan perilaku menarik diri. Onset kejadian Scizofrenia juga pada masa
remaja dan dewasa muda. Jadi menurut saya kemungkinan dokter dalam film
mendiagnosis Temple sebagai Infantile Scizofrenia karena diagnosis untuk Infantile
Autism belum terpisah dengan Infantile Scizofrenia, padahal Temple tidak memiliki gejala
waham ataupun halusinasi, dan gejala yang muncul pada Temple saat ia berusia 4 tahun.
Di film tersebut dokter mengatakan bahwa perilaku ini dikarenakan kurangnya
kasih sayang dari orang tua. Namun dari penelitian terakhir yang membandingkan orang
tua dari anak autistik dengan orang tua dari anak yang normal tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna dalam kemampuan membesarkan anak. Tidak ada bukti
memuaskan yang menyatakan bahwa jenis jenis tertentu fungsi keluarga yang
menyimpang atau kumpulan faktor psikodinamika yang menyebabkan perkembangan
autistik. Namun kemungkinan ada kaitan antara faktor psikodinamika ini sebagai faktor
predisposisi terhadap anak yang memiliki “bakat” autistik, dalam artian memiliki kelainan
organik maupun kelainan neuroanatomi secara genetik.
Ada beberapa patogenesis yang menjelaskan tentang gejala yang dialami oleh
Temple, namun hanya sebatas teori. Gejala gangguan kognitif, sosial dan emosi
kemungkinan disebabkan karena adanya kelainan neuroanatomi pada regio frontal,
temporal dan cerebellum. Pembesaran dari amigdala dan hippocampus kemungkinan
menjadi penyebab emosi yang abnormal pada Temple, yaitu mudah marah. Selain kelainan
neuroanatomi, kelainannya mungkin juga terjadi di tingkat organik. Adanya
ketidakseimbangan antara neurotransmitter yang menghantarkan impuls saraf, terjadi
peningkatan kadar serotonin dan efinefrin. Pada autopsi individu yang mengalami autism,
memperlihatkan penurunan tipe B reseptor untuk GABA di korteks girus cinguli, yang
merupakan region kunci untuk evaluasi hubungan sosial, emosi, dan kognitif.
Pertanyaan yang diajukan oleh dokter adalah sesuai dengan M-CHART, dimana
pertanyaan tersebut untuk mengarahkan pasien kepada gejala austistik. Ada kriteria
diagnosis untuk menegakkan pasien mengalami autism berdasarkan DSM IV antara lain;
A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan
masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3)
1. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya
2 dari beberapa gejala berikut ini :
a. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata,
ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.
b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai
dengan tingkat perkembangannya.
c. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan
orang lain.
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal
balik.
2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala
berikut ini:
a. Perkembangan bahasa lisan (bicara) terlambat atau sama sekali tidak
berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non
verbal.
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulang-ulang.
d. Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi
sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.
3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada
1dari gejala berikut ini :
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan focus dan intensitas yang
abnormal/ berlebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas
c. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-
gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh.
d. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian
tertentu dari obyek.
B. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada
salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3)
cara bermain simbolik dan imajinatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak.
Berdasarkan kriteria tersebut jika dikoherensikan dengan gejala yang dialami Temple,
maka Temple dapat didiagnosis mengalami gangguan Autistik. Tulisan bergaris tebal pada
kriteria di atas merupakan kriteria yang koheren dengan gejala yang diperlihatkan Temple.
Namun yang menarik pada film ini adalah Temple memiliki kemampuan kognitif yang
luar biasa, padahal sekitar 75% anak yang mengalami gejala autism juga diikuti oleh
keterbelakangan mental (retardasi mental). Dapat disimpulkan bahwa Temple Grandin
adalah contoh kisah nyata yang dijadikan drama untuk kasus autism. Autisme dapat terjadi
akibat adanya bagian abnormal pada otak yang dapat mempengaruhi perkembangan
perilaku maupun perkembangan lainnya.
ANALISIS FILM “FRONT OF THE CLASS”
Film ini berdasarkan kisah nyata tentang kisah seorang penderita Sindrom Tourette,
yang bernama Brad Cohen, dalam memperjuangkan cita-citanya untuk menjadi guru.
Sindrom Tourette merupakan penyakit akibat kelainan saraf yang membuat pengidapnya
melakukan beberapa gerakan spontan di luar kesadaran, seperti mata berkedip terlalu
sering, mangeluarkan suara berdehem, menggerakkan bahu secara spontan, mendecak-
decakkan lidah, mengeluarkan kata-kata kotor (Coprolalia) dan mengulangi kata yang
didengar dari orang lain (Echolali), di masyarakat awam dua hal terakhir ini dikenal
dengan latah. Sampai sekarang penyakit ini belum ada obatnya, yang bisa dilakukan
penderita sindrom Tourette lebih kepada pengontrolan diri dan emosi.
Brad dikenal sebagai seorang pembuat onar, karena tak mampu menghentikan
gerakan kaki, kepala, maupun suara aneh. Hal ini sangat mengganggu sang ayah, karena ia
tidak dapat mengerti mengapa Brad tidak dapat menjadi anak manis yang dapat duduk
dengan tenang.
Brad kecil adalah seorang anak yang menderita Sindrom Tourette sering diejek,
dijadikan bahan olokan, dijauhi, dan bahkan diasingi oleh orang disekitarnya karena
gerakan dan suara aneh yang ia buat yang disebabkan penyakit Tourette yang dideritanya.
Brad kecil menjadi sosok yang sangat terasing di lingkungannya sendiri meskipun
sebenarnya ia tidak menginginkan.
Banyak upaya yang telah dilakukan Brad dan orang tuanya sehubungan dengan
penyakit Tourette yang dideritanya, seperti mencoba mengunjungi terapi penderita
Tourette di sebuah gereja. Akan tetapi setelah melihat terapi yang dilakukan, Ibu Brad dan
Brad keluar dari tempat tersebut karena tidak ingin anaknya diperlakukan seperti penderita
Tourette lain yang hidup terasing di lingkungannya.
Brad terus hidup terasing meskipun sudah berusaha. Kemudian Brad menemukan
filosofi hidupnya dan merasa diterima ketika dalam sebuah konser musik yang diadakan
sekolahnya. Ia dipanggil oleh kepala sekolahnya untuk maju ke depan. Brad yang
sebelumnya merasa khawatir akan dihukum dan dipermalukan didepan teman-temannya
karena suara-suara aneh yang dibuatnya, ternyata malah diberikan sokongan dari sang
kepala sekolah dan memberitahukan kepada teman-temannya bahwa penyakit Tourette
yang diderita Brad akan semakin parah jika Brad merasa tidak diterima sehingga ia secara
tidak langsung mengajak pengunjung yang hadir untuk menerima kondisi Brad. Sejak saat
itu, mereka tidak pernah mengejek Brad lagi, bahkan sebagian dari mereka menunjukkan
rasa simpati. Brad mulai memiliki rasa percaya diri dan semakin mempelajari sindrom
Tourrete. Hal inilah yang menjadi inspirasi bagi Brad untuk menjadi seorang guru untuk
menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk belajar,
meskipun mempunyai keterbatasan.
Setelah lulus SMA, Brad memutuskan untuk berkuliah di Bradley University,
Illinois dan lulus dengan predikat cumlaude. tetapi predikat cumlaude tersebut tak
membuat Brad mudah mendapatkan pekerjaan dikarenakan pihak sekolah ragu apakah
seorang penderita Tourette Syndrome dapat mengajar dengan baik.
Setelah lulus menjadi sarjana, Brad melamar ke berbagai sekolah untuk menjadi
seorang pengajar di berbagai sekolah. Brad seringkali ditolak saat wawancara kerja karena
penyakit Tourette yang dideritanya meskipun ia memiliki catatan akademik yang baik.
Brad seringkali dipandang sebelah mata karena penyakitnya. Ia sudah 24 kali gagal dalam
wawancara, tetapi ia tidak putus asa dan terus berusaha. Hingga pada wawancara yang ke
25 ia diterima menjadi guru kelas 2 di SD Mountain View, Atlanta.
Brad mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang yang berpikiran terbuka.
Ia menceritakan tentang penyakit Tourette yang dideritanya dengan cara yang menghibur
dan penuh humor. Brad juga mengajarkan kepada murid-muridnya kalau seberapapun
sulitnya mereka dalam hidup, mereka tetap dapat menjadi orang yang lebih baik. Brad
mencontohkan tentang sulitnya ia membaca dan berkonsentrasi karena Tourette yang
dideritanya, namun ia tidak mau menyerah. Semua siswa Brad sangat menyenangi dan
menikmati pola pembelajaran yang dilakukan oleh Brad. Murid-murid Brad mendapat
banyak pelajaran berharga dari Brad mulai dari jangan pernah menyerah pada keadaan
hingga pelajaran tentang toleransi dan menerima perbedaan. Brad menjadikan Tourette
sebagai gurunya dalam mengarungi hidup dan dalam proses belajar mengajar. Karena
kegigihannya Brad akhirnya terpilih menjadi guru teladan di kota tempat ia mengajar pada
tahun 1997.
Istilah sindrom Tourette berasal dari seorang ahli saraf dan psikiater berkebangsaan
Perancis bernama Georges Albert Édouard Brutus Gilles de la Tourette yang bekerja di
sebuah rumah sakit di Paris. Istilah Sindrom Tourette diberikan oleh Jean-Martin Charcot
yang merupakan seorang profesor, ahli saraf terkenal pada akhir abad ke-9 di Perancis
yang juga merupakan mentor dari Georges Gilles de la Tourette. Contoh anak sindrom
Tourette terlihat dari sering mengedipkan mata, mengalami ketegangan leher, mengangkat
bahu terus menerus, kedutan pada wajah, mendecak lidah, latah dengan mengeluarkan
kata-kata yang didengarnya bahkan kata-kata kotor. Sindrom tourette merupakan bagian
dari tics disorder.
Sindrom Tourette bisa terjadi pada siapa saja dan dari golongan manapun. Sindrom
tourette ini berhubungan dengan tics. Tics adalah gerakan motorik dan vokalisasi yang
berulang, tiba-tiba dan sering. Tanda-tanda awal Sindrom Tourette berupa kebiasaan
berkedip hingga berkali-kali, sentakan kepala ke kiri dan ke kanan, meregangkan leher,
sampai mengeluarkan suara-suara keras. Gerakan berulang-ulang ini terjadi tanpa disadari
(tic) atau tanpa diinginkan penderita. Hal inilah yang dapat terlihat pada Brad.
Gejala sindrom Tourette dapat berbeda antara satu anak dengan anak lainnya,
namun berdasarkan DSM-IV gejala umum yang biasanya muncul adalah:
Berbagai macam tics baik itu motorik maupun vokalisasi telah muncul beberapa
kali selama kurun waktu gangguan, walaupun tidak muncul secara bersamaan.
Tics sering muncul dalam sehari (biasanya dalam rentang waktu yang pendek)
dan hampir setiap hari atau tidak teratur dalam periode lebih dari 1 tahun, dan selama
periode ini tidak pernah ada periode bebas tics yang lebih dari 3 bulan.
Kemunculannya pertama kali (onset) pada usia di bawah 18 tahun.
Gangguan tidak disebabkan langsung oleh pengaruh substansi (misalnya stimulant)
atau kondisi medik umum (misalnya penyakit Huntington atau postviral encephalitis)
Dalam PPDGJ-III kriteria diagnosisnya adalah :
Tic motorik multipel dengan satu atau beberapa tic vokal, yang tidak harus
timbul secara serentak dan dalam riwayatnya hilang timbul
Onset hampir selalu pada masa kanak atau remaja.
Sindrom ini sering memburuk pada usia remaja dan lazim pula menetap sampai
usia dewasa Tic vokal sering bersifat multipel dengan letupan vokalisasi yang berulang-
ulang, seperti suara mendehem, bunyi ngorok, dan ada kalanya diucapkan kata-kata atau
kalimat-kalimat cabul. Ada kalanya diiringi gerakan isyarat ekopraksia, yang dapat juga
bersifat cabul (kopropraksia). Seperti juga pada tic motorik, tic vocal mungkin ditekan
dengan kemauan untuk jangka waktu singkat, bertambah parah karena stress dan berhenti
saat tidur. Ada 2 kategori untuk sindrom Tourette adalah simpel yaitu gejala-gejala yang
ditunjukkan adalah tics (seperti kedipan mata, gerak tubuh & wajah) dan vokalisasi
(seperti suara-suara serak yang berulang). Kompleks yaitu gejala-gejalanya lebih berat,
termasuk melompat, berputar-putar, kompulsi, dan vokalisasi pengulangan kata-kata atau
suara (echolalia) dan umpatan (coprolalia). Gejala akan lebih sering muncul jika anak
merasakan tekanan (stress) dan ketidakstabilan emosi, terutama tics yang menjadi lebih
sering muncul. Teori ini mendukung mengapa rasa percaya diri yang mulai tertanam pada
diri Brad dapat menghilangkan gejala-gejalanya.
Hipotesis terbaru menyebutkan bahwa sindrom Tourette diakibatkan oleh
PANDAS (Pediatric Autoimmune Neuropsychiatric Disorders Associated with
Streptococcal infections), genetik (minimal riwayat tics dan OCD), serta akibat dari cedera
saat kelahiran.
Haloperidol sering digunakan sebagai obat untuk mengendalikan gejala sindrom
Tourette, tetapi efek samping yang ditimbulkan telah menurunkan frekuensi penggunaan
obat tersebut. Farmakoterapi lainnya antara lain penggunaan pimozide, clonazepam, dan
clonidin. Sebuah penelitian memprediksi bahwa 70% penderita sindrom Tourette akan
mengalami pengurangan gejala saat penderita memasuki usia remaja akhir, dan 30%-40%
penderita akan mengalami kesembuhan total saat melewati usia dewasa akhir, namun
gejala dapat muncul kembali ataupun menjadi semakin parah akibat stressor-stresor
psikologis. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa mayoritas penderita sindrom Tourette
dapat hidup tanpa terapi obat. Hal ini menjadi dasar psikoterapi sebagai salah satu
penunjang bagi penderita sindrom Tourette untuk dapat mengoptimalkan potensinya dan
hidup dengan cara-cara yang adaptif. Beberapa pesan yang dapat diambil dari film tersebut
diantaranya pelajaran tentang jangan pernah menyerah terhadap keadaan, bagaimana
memanfaatkan dan mengambil hikmah dari kekurangan yang kita miliki, dan perlunya
toleransi terhadap perbedaan yang dimiliki sesama manusia.
ANALISIS FILM CRIMINAL MIND “THE GOOD EARTH”
Emma Kerrigan adalah seorang janda yang tinggal berdua di wilayah rural dengan
seorang anak perempuannya, Lexy yang berumur 10 tahun. Suaminya meninggal 1,5 tahun
yang lalu karena kecelakaan mobil.
Emma memiliki penyakit kejiwaan yang di sebut hipokondriasis di mana dia selalu
merasa sakit padahal dirinya tidak sakit sama sekali. Emma punya riwayat menderita
penyakit scleroderma tetapi sudah sembuh sejak lama. Ia berulang kali mengunjungi
dokternya untuk memeriksakan penyakitnya tapi ia tidak percaya kepada dokternya kalau
ia sebenarnya sudah sembuh.
Dokter mengatakan bahwa skleroderma yang dahulu sudah sembuh sempurna dan
mengatakan bahwa ini adalah waham. Dokter pernah menyarankan Emma pergi ke ahli
jiwa karena memiliki waham namun Emma tidak melakukannya. Emma meyakini bahwa
obat yang manjur untuk penyakitnya adalah pupuk alami yang terbuat dari manusia
sehingga ia menculik beberapa orang pria sesuai dengan kriteria yang di butuhkannya dan
membuat mereka menjadi pupuk sekaligus menjadi obat untuknya. Korban-korban Emma
dibunuh dan dipakai menjadi pupuk alami untuk perkebunan tomat yang ditanamnya.
Emma terus merasakan gatal pada kedua tangan dan wajahnya yang ia yakini
merupakan scleroderma. Ia mencari wanita hamil dan menyekapnya. Ia melakukan irisan
di perut wanita itu dengan pisau bergerigi tajam dan menjahit dengan kasar. Ia
mengeluarkan bayi dari dalam perut wanita itu dan mengambil plasentanya. Wanita itu dan
bayinya diam-diam dibawa dan ditinggalkan Emma di tempat parkir sebuah rumah sakit.
Emma meminum darah dari wanita itu. Ia senang dan meyakini bahwa kulitnya
sembuh setelah meminum darah. Kemudian ia melihat seolah-olah Lexy mengalami
penyakit kulit yang sama, padahal Lexy tidak mengalami hal apapun. Emma mengubur
Lexy di tanah dekat tomat-tomat dan mengatakan bahwa tanah tersebut dapat
menyembuhkannya. Dengan berbagai ketegangan, Tim FBI yang sudah lama menyelidiki
pembunuhan ini akhirnya mencium tindakan Emma. Mereka menyergap rumah Emma dan
menangkap Emma.
Emma sudah 30 kali mengunjungi rumah sakit untuk memeriksakan penyakit
sclerodermanya yang sebenarnya sudah lama sembuh. Kelainan yang di alami oleh Emma
merupakan gangguan somatoform yaitu hipokondriasis. Hipokondriasis merupakan salah
satu dari enam gangguan somatoform yang dikategorikan dalam DSM-IV. Hipokondriasis
dibedakan dari kelainan delusi somatic lainnya oleh karena gangguan ini dihubungkan
dengan pengalaman gejala fisik yang dirasakan oleh penderitanya, dimana gangguan
somatoform lainnya tidak menunjukkan gejala fisik di dalam dirinya. Gejala yang timbul
bisa saja merupakan pernyataan gejala fisik yang dilebih-lebihkan, yang justru akan
memperberat gejala fisik yang disebabkan oleh keyakinan bahwa pasien tersebut sedang
sakit dan keadaannya lebih buruk dari keadaan yang sebenarnya. Gangguan somatoform
diperkenalkan pada DSM-IV sebagai kategori diagnosis bagi gejala somatik yang tidak
dapat dijelaskan oleh kondisi medis umum.
Pasien dengan gangguan hipokondriasis secara khas datang dengan ketakutan dan
perhatian terhadap penyakitnya, dibandingkan dengan gejala yang dirasakannya. Pasien
dengan hipokondriasis percaya bahwa mereka sedang menderita suatu penyakit yang
serius yang belum pernah dideteksi, dan tidak dapat menerima penjelasan akan gangguan
yang dideritanya. Mereka terus menyimpan keyakinan bahwa mereka memiliki penyakit
yang serius. Hipokondriasis biasanya disertai dengan gejala depresi dan anxietas dan
biasanya terjadi bersamaan dengan gangguan depresi dan ansietas. Namun Emma memiliki
waham yang menetap. Ia juga tidak memakan apapun yang bukan ia tanam sendiri karena
alasan yang tidak jelas. Ia meyakini bahwa abu dari mendiang suaminya juga dapat
menyembuhkan penyakitnya. Bahkan ia telah melakukan banyak tindakan kejahatan,
sehingga saya memikirkan diagnosis lain yaitu Skizofrenia.
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab (banyak
yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
"deteriorating") yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik,
fisik, dan sosial budaya. Angka skizofrenia di AS cukup tinggi (lifetime prevalence rates)
mencapai 1/100 penduduk.
Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal sampai dengan
umur pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain: fase prodomal (berlangsung 6
bulan-1 tahun), fase aktif (berlangsung sekitar 1 bulan), dan fase residual.
Berikut ini merupakan pedoman diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ III :
• Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
(a) Thought echo, Thought insertion, Thought broadcasting
(b) Delusion of control, Delusion of influence, Delusion of passivity, Delusion of
perception
(c) Halusinasi auditorik:
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien,
- mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara).
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagi tubuh
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dam kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
• Atau paling sedikit 2 gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
(e) halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
berulang.
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(h) Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
• Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih.
• Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed atitude), dan penarikan diri
secara sosial.
ANALISIS FILM CRIMINAL MIND “DORADO FALLS”
The BAU (FBI's Behavioral Analysis Unit) menyelidiki pembunuhan massal di
Synalock, sebuah perusahaan keamanan Internet yang berlokasi di Charlottesburg,
Virginia. Pada kejadian tersebut lima orang ditembak, sementara tiga orang lainnya
ditikam. Sasaran yang dituju adalah kepala eksekutif kantor, Adam Werner. The BAU
menduga bahwa hanya ada satu pelaku dalam pembunuhan itu. Secara berurutan, setelah
kejadian itu, terjadi juga pembunuhan pada Mark Dolan dan Mary Dolan. Anggota The
BAU berpikir bahwa pelaku dari pembunuhan ini adalah orang yang sama, yaitu Luke
Dolan, anak dari Mark Dolan dan Mary Dolan serta sahabat dari Adam Warner.
Luke Dolan adalah seorang mantan veteran yang menjadi sahabat Adam Warner
yang pernah bersama-sama bekerja pada angkatan laut di unit yang sama. Warner sebagai
pemimpinnya dan Dolan sebagai pendampingnya yang saat itu pernah melakukan sebuah
misi yang disebut Dorado Fall. Sebelum terjadi pembunuhan selanjutnya, The BAU telah
mengasingkan istri dan anak perempuan Dolan.
The BAU berpikir kalau Dolan saat ini mengalami gangguan mental sehingga
menyebabkan Dolan untuk membunuh orang-orang terdekatnya. Disini the BAU
mengetahui bahwa Dolan membunuh orang-orang terdekatnya dengan menganggap bahwa
mereka adalah orang-orang asing (musuhnya). Awalnya mereka berpikir kalau Dolan
mengalami suatu PTSD (Post Trauma Stress Disorder) akibat kenangan masa lalunya
dengan misi Dorado Fall. Namun setelah diselidiki, ternyata 3 hari yang lalu Dolan
mengalami kecelakaan mobil sehingga The BAU mengubah pemikirannya bahwa Dolan
mengalami suatu gangguan delusi yang disebut Capgrase Syndrome.
Capgras Syndrome adalah suatu kelainan di mana seseorang mengalami delusi
keyakinan bahwa seorang teman, pasangan, orang tua atau anggota keluarga dekat yang
lain, telah digantikan oleh orang lain (penipu). Capgrase Syndrome digolongkan sebagai
sindrom misidentification, suatu keyakinan delusional yang melibatkan misidentifikasi
orang, tempat atau benda. Sindrom ini dapat terjadi secara akut, temporer, atau kronis.
Sindrom ini pertama kali dijelaskan oleh dua dokter Perancis yaitu Joseph Capgrasdan
Jean Reboul-Lachaux. Hasil diagnosis ini berdasarkan riwayat pasiennya yang bernama
Madame M yang meyakini bahwa semua anggota keluarga dan tetangganya telah
digantikan oleh seorang penipu.
Tidak ada kriteria khusus DSM IV diagnostik yang digunakan untuk mengevaluasi
sindrom Capgras. Penderita sindrom ini seperti mengalami ketidaknyataan (delusi) dan
salah mengidentifikasi orang-orang terdekatnya. Penderita menuding orang-orang tersebut
telah menipu dengan menjadi orang-orang terdekatnya. Orang yang memiliki sindrom ini
berpikir bahwa pasangan, anggota keluarga atau binatang peliharaannya telah diganti
menjadi sosok yang berbeda. Kondisi ini membuat penderitanya bingung karena merasa
orang yang dilihatnya tampak sama dengan orang yang dikenalnya. Namun ia tetap
menganggap bahwa orang tersebut adalah seorang penipu. Wajah seseorang dapat dikenali
tetapi setelah itu merasa asing karena tidak muncul kedekatan emosionalnya. Capgras
Syndrome bisa terjadi dalam jangka panjang, tetapi juga dapat hanya merupakan gejala
singkat setelah peristiwa. Diagnosis Capgras Syndrome dipertimbangkan setelah
menyingkirkan patologi organik yang mendasari.
Ada beberapa teori yang menjelaskan mengapa sindrom ini bisa terjadi. Banyak
peneliti berpikir bahwa sindrom capgrase terjadi karena ada sesuatu yang salah di otaknya.
Meskipun pasien sindrom capgras sering terlihat seperti memiliki kelainan jiwa, tapi lebih
dari sepertiganya memiliki tanda-tanda trauma di kepalanya seperti akibat stroke atau
penggunaan obat yang berlebihan. Selain itu beberapa pasien juga memiliki kondisi
tertentu seperti epilepsi atau Alzheimer. Lesi pada otak itu akan mengakibatkan gangguan
komunikasi yang mungkin terjadi antara bagian otak yang memproses informasi visual
untuk wajah dan bagian yang mengontrol respons emosional yaitu sistem limbik
Beberapa penelitian juga menunjukkan orang buta dengan sindrom ini memiliki
delusi hingga suara seseorang (bukan wajah) dan berpikir bahwa suara itu adalah suara
seorang penipu. khayalan mereka meluas ke suara seseorang. Jadi mungkin hal ini bukan
masalah di pusat penmprosesan wajah. Penelitian lain menunjukkan bahwa orang-orang
yang yakin melihat orang yang dilihat adalah seorang penipu, tetapi mereka mampu
mengenali suara orang tersebut di telepon.
Terapi psikologis dianggap sebagai perawatan yang paling baik untuk penderita
sindrom ini. Ketekunan diperlukan untuk membangun terapeutik empati tanpa melawan
anggapan keliru si penderita. Teknik kognitif yang meliputi pengujian realitas dan
reframing dapat digunakan. Antipsikotik telah digunakan dengan kesuksesan relatif.