analisis gramatikal terjemahan santri...
TRANSCRIPT
ANALISIS GRAMATIKAL TERJEMAHAN SANTRI PONPES MODERN
TERHADAP TEKS ARAB MODERN
(Studi Kasus Terjemahan Santri Pondok Pesantren Modern Al-Amanah
Al-Gontory Perigi Baru, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra (SS)
Ahmad Fairobi
103024027531
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2010 M
ABSTRAK
Ahmad Fairobi, Analisis Gramatikal Terjemahan Santri Ponpes Modern
terhadap Teks Arab Modern (Studi Kasus Terjemahan Santri Pondok
Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory, Perigi Baru, Pondok Aren,
Tangerang Selatan, Banten), Jakarta: Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Kegiatan penerjemahan merupakan aktifitas yang dilakukan banyak
kalangan, bukan hanya para penerjemah profesi, melainkan mencakup seluruh
siswa sekolah di Indonesia. Kegiatan penerjemahan – dalam hal ini bahasa Arab –
dilakukan terus-menerus oleh siswa sekolah terutama oleh santri di pondok
pesantren, baik itu pondok pesantren salafi maupun pondok pesantren modern.
Hal ini sangat menarik perhatian penulis, karena kegiatan penerjemahan yang
mereka lakukan, sepenuhnya dilakukan pada saat mereka mulai mempelajari
kedua bahasa tersebut. Padahal, tingkat kemahiran dalam dwi bahasa, bagi
seorang penerjemah adalah mutlak diperlukan dalam proses penerjemahan. Baik
itu mahir dalam sturktur kata, struktur gramatikal, pemaknaan kata, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini permasalahan akan difokuskan pada analisis
gramatikal dalam proses penerjemahan yang dilakukan oleh para santri.
Kemudian perumusan masalahnya terdiri dari bagaimana para santri tersebut
menerjemahkan teks bahasa Arab. Lalu ditelusuri tentang hasil terjemahan mereka
dilihat dari sisi struktur gramatikal kedua bahasa.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori tentang penerjemahan
dan teori tentang struktur gramatikal kedua bahasa. penelitian tentang “Analisis
Gramatikal Terjemahan Santri Ponpes Modern terhadap Teks Arab Modern (Studi
Kasus Terjemahan Santri Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory,
Perigi Baru, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten)” ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Sedangkan dalam penganalisaan data, digunakan perangkat
analisis teks yang mendasarkan pada pendekatan interpretatif (subjektif) maka
penelitian ini termasuk ke dalam kategori paradigma konstruksionis. Peneliti
mencoba mengamati konstruksi teks BSu dan BSa hasil terjemahan para santri
dengan menggunakan perangkat analisis struktur gramatikal. Olah data yang
digunkan dalam penelitian ini dengan menggunakan dokumentasi, penelusuran
data dari buku-buku, dan wawancara dengan narasumber yang kompeten.
Dari hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa proses
penerjemahan yang dilakukan oleh para santri tersebut secara keseluruhan baik.
Namun, penulis menemukan bahwa hasil terjemahan mereka masih kurang tepat,
terutama pada pengimplementasian struktur gramatikal bahasa Indonesia yang
baik dan benar. hal ini disebabkan oleh kurangnya materi kebahasa-Indonesiaan
dalam keseharian mereka.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘Âlamîn. Segala puja dan puji senantisa terpanjatkan ke
hadirat Allah Swt. Dia-lah pengatur proses penulisan skripsi ini dan Dia-lah
penentu kesempurnaan dan penyelesaian skripsi ini. Salawat serta salam tak henti-
henti penulis haturkan kepada pemandu makhluk semesta, baginda Rasulullah,
Muhammad Saw. putra Abdullah. Ajaran dan suri tauladan beliau menjadi bekal
penulis dalam melakukan penelitian ini serta dalam penulisannya.
Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Allah Swt.
Pencipta alam semesta. Berkat anugerah dan karunia-Nya, penulis mampu dan
bisa menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
kedua orangtua, bapak dan ibu yang telah merawat, mendidik, menjaga, dan
membiayai semua pendidikan yang penulis tempuh. Begitu juga atas segala kasih
sayang, perhatian, dan motivasi keduanya yang selalu memberi semangat
perjuangan. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak
yang telah banyak memberikan sumbangsih yang tak terhingga dalam penulisan
skripsi ini. Mereka adalah:
1. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
2. Drs. Ikhwan Azizi, M.A, selaku Ketua Jurusan Tarjamah yang selalu siap
sedia dan selalu ada bagi kemajuan Jurusan Tarjamah.
3. H. Ahmad Syaekhuddin, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Tarjamah yang
banyak membantu penulis dalam kelancaran proses sidang skripsi ini.
4. Drs. H. Ahmad Syatibi, M.A, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
menyetujui judul skripsi yang penulis ajukan ini.
5. Irfan Abubakar M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan setia
membimbing dan menunggu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap dosen Jurusan Tarjamah dan Fakultas Adab dan Humaniora yang
telah memberikan begitu banyak ilmu pengetahuan. Tak lupa seluruh
karyawan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memberikan bantuan
administrasi selama perkuliahan berlangsung.
7. Keluarga penulis, Abah, Umi, Abang-abang, serta adik penulis. Terimakasih
atas semua motivasi dan kasih sayang kalian yang tak terhingga.
8. Teman-teman di Jurusan Tarjamah Angkatan 2003 dan semua teman-teman
seperjuangan di kampus. Terima kasih atas semua bantuan dan sumbangsih
kalian yang tak terhitung.
Semoga semua kebaikan dan sumbangsih mereka mendapat penghargaan
yang mulia dari Allah Swt. dan semoga seluruh sumbangsih tersebut menjadi
pahala kebaikan bagi mereka. Penulis berharap skripsi ini bisa menjadi manfaat
bagi pribadi penulis dan semua pihak. Tiada daya dan upaya yang abadi bagi
makhluk. Lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azîm.
Tangerang, 31 Agustus 2010
Ahmad Fairobi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………………………………………………………………..... i
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..... iv
DAFTAR ISTILAH …………………………………………………......... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………. vii
BAB I PENDUHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………......... 1
B. Tinjauan Pustaka ………………………………………………........ 10
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………......... 10
D. Tujuan Penelitian ………………………………………………........ 11
E. Metode Penelitian ………………………………………………....... 12
F. Sistematika Penulisan …………………………………………......... 12
BAB II KERANGKA TEORI
A. Teori Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan …………………………………………. 15
2. Model Penerjemahan …………………………………………... 16
3. Cara Menerjemahkan …………………………………………... 17
4. Perangkat Penerjemahan ……………………………………….. 17
5. Kesetiaan dalam Penerjemahan ………………………………... 18
6. Kesepadanan dalam Penerjemahan …………………………….. 20
B. Teori Gramatikal dan Penggunaannya dalam Penerjemahan
1. Kategori Sintaksis ……………………………………………... 29
2. Kategori Gramatikal ………………………………………….... 43
3. Morfologi …………………………………………………….... 46
4. Semantik ………………………………………………………. 49
C. Pesantren dan Tradisi Penerjemahan
1. Pengertian Pesantren ………………………………………….. 52
2. Sejarah Umum Pesantren ……………………………………... 54
3. Tradisi Penerjemahan di Pesantren …………………………… 57
BAB III GAMBARAN UMUM PESANTREN AL-AMANAH
AL-GONTORY
A. Letak Pesantren Al-Amanah Al-Gontory …………………………. 59
B. Sejarah Singkat Pesantren Al-Amanah Al-Gontory ………………. 59
C. Santri ……………………………………………………………… 61
D. Kitab-kitab yang Diajarkan dan Sistem Pengajarannya …………... 64
E. Pengajaran Penerjemahan di Pesantren …………………………… 65
BAB IV ANALISIS TEKS
A. Analisis Susunan Kalimat Logis ..................................................... 67
B. Analisis Penerjemahan Prase ........................................................... 77
C. Analisis Perluasan Pola Kalimat ...................................................... 81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………….. 84
B. Saran ……………………………………………………………… 84
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 86
LAMPIRAN ……………………………………………………………... 88
DAFTAR ISTILAH
Penulis menggunakan beberapa istilah dan singkatan dalam skripsi ini.
Penulisan istilah dan singkatan tersebut bertujuan untuk mempermudah para
pembaca. Istilah dan singkatan tersebut adalah sebagai berikut:
BSa = Bahasa sasaran
BSu = Bahasa sumber
Hlm = Halaman
HR. = Hadits riwayat
Num TT = Numeralia tak takrif
QS. = Al-Qur`an dan surah
TSa = Teks sasaran
TSu = Teks sumber
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, data bahasa Arab diberi transliterasi Arab-Latin berdasarkan
buku Pedoman Transliterasi Arab-Latin versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis di bawah ح
kh k dan h خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha هـ
apstrof ΄ ء
y ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL
LATIN
KETERANGAN
___ a Fathah
___
i Kasrah
___ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL
LATIN
KETERANGAN
ai a dan i ___ي
au a dan u ___و
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL
LATIN
KETERANGAN
â a dengan topi di atas ـ#
î i dengan topi di atas ـ$
û u dengan topi di atas ـ&
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rikâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) - , dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan yang menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ا.-,+ورة tidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
NO KATA ARAB ALIH AKSARA
1. /01+2 tarîqah
al-jâmi’ah al-islâmiyyah ا.9#84/ ا34567/ .2
wahdat al-wujûd و>;ة ا.&ج&د .3
Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî dan al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam Ejaan Yang Disempurnakan sebetulnya
juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini. Contoh, ketentuan mengenai huruf
catak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judl buku itu
ditulis dengan cetak miring, begitu juga dalam alih aksaranya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Contoh, Abdussamad al-Palimbani, tidak ditulis
‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.
Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut ini adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
KATA ARAB ALIH AKSARA
dzahaba al-ustâdzu ذه? ا.<6=#ذ
AB tsabata al-ajru@ ا.<ج+
/,1+C8.آ/ ا+E.ا al-harakah al-‘asriyyah
Fإ.# ا I.أن .# إ ;KLأ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
M.#,C.ا NO4 #P#.&4 Maulânâ Malik al-Sâlih
+QBR1Fا Sآ yu’atstsirukum Allâh
/,3O08.ه+ ا#TU.ا al-mazâhir al-‘aqliyyah
/,3P&V.1#ت اWا al-âyât al-kauniyyah
al-darûrat tubîhu al-mahzûrât ا.-,+ورة تM3A ا.TEU&رات
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang
merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan pesantren di
Indonesia dimulai sejak Islam masuk di negeri ini dengan mengadopsi
sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah berkembang
sebelum kedatangan Islam.1
Pondok pesantren mempunyai fungsi utama yaitu mencetak muslim
yang menguasai ilmu-ilmu agama (tafaqquh fî al-dîn) secara mendalam
serta menghayati dan mengamalkannya dengan ikhlas semata-mata
ditujukan untuk pengabdiannya kepada Allah SWT.2
Pada awal perkembangannya memang pesantren belum
terstruktur, tetapi sejalan dengan perkembangan Islam di negeri ini
terutama setelah terjadi persentuhan yang semakin kuat dengan tradisi
intelektual di Timur Tengah, penyelenggaraan pendidikan ini makin
terstruktur. Sejak itulah muncul tempat-tempat pengajian yang
1Amin, Haedari, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan,
Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis & Media Nusantara, 2006), cet ke. 2, hlm. 3 2Mahmud, Model-Model Pembelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara,
2006), cet. Ke. 1, hlm. 20
merumuskan kurikulumnya, yakni pengajaran nahwu/sharf, tafsîr, hadîts,
tauhîd, fiqh, ahlâk, dan lain-lain.3
Pesantren telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Terbukti dengan banyaknya jumlah pondok pesantren yang ada
sekarang ini. Menurut Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama,
Mohammad Ali dalam surat elektronik kepada detikcom, Jumat
(28/11/2008). Saat ini jumlah pesantren di Indonesia mencapai 15 ribuan
dengan jumlah 5-6 juta santri.4
Secara garis besar lembaga pesantren dapat dikelompokkan dalam
tiga kelompok besar, yaitu:
1. Pesantren Salafi (tradisional) murni, yaitu pesantren yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab kuning sebagai inti
pendidikan di pesantren. Dalam pesantren ini tidak ada pendidikan
formal (madrasah/sekolah umum)
2. Pesantren Khalafi (modern), yaitu pesantren yang telah
memasukkan pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang
dikembangkannya, atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam
lingkungan pesantren. Metode bandongan dan sorogan mulai
ditinggalkan atau didampingi dengan sistem madrasi atau klasikal
dengan mempergunakan alat peraga, evaluasi, dengan berbagai
3Amin, Haedari, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan,
Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis & Media Nusantara, 2006), cet ke. 2, hlm. 24 4Hizbut Tahrir Indonesia, “Depag: Tidak Ada Pesantren Ajarkan Terorisme”,
artikel yang dikutip dari: http://hizbut-tahrir.or.id/2008/11/29/depag-tidak-ada-
pesantren-ajarkan-terorisme/
variasinya dan juga latihan-latihan. Prinsip-prinsip psikologi
perkembangan dalam pendidikan dan proses belajar mulai
diterapkan. Kenaikan kelas, pembagian kelas, dan pembatasan
masa belajar diadakan. Administrasi di sekolah pun dilaksanakan
dalam organisasi yang tertib. Pengajaran kitab kuning pada jenis
pesantren ini hanya sedikit yang diajarkan.
3. Pesantren Salafi (tradisional) yang dikombinasikan dengan sistem
lain (tidak murni), yaitu pesantren yang selain mengajarkan
pengajaran kitab kuning juga membuka pendidikan formal dengan
sistem madrasi (klasikal).5
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional
dan ada yang bersifat modern (baru). Tradisional adalah metode
pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan
yang telah dipergunakan di pesantren atau metode pembelajaran asli
(original) pesantren. Metode pembelajaran tradisional seperti
bandongan, sorogan, musyawarah/bahtsul masâ’il dan metode
pengajian pasaran. Sedangkan pembelajaran modern merupakan
metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren dengan
mengadopsi metode-metode yang berkembang di masyarakat modern.
Metode pembelajaran modern seperti muhâfazah (hafalan), ‘amaliyah
(peragaan), rihlah ‘ilmiyah (studi tour), muhâdatsah (bercakap-cakap).6
5Nurcholisoh, “Studi Perbandingan Terjemahan Santri Salafi Terhadap Teks Kitab
Kuning dan Modern: Kasus Santri Pondok Pesantren al-Jazirah”, (Skripsi S1, Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN syarif Hidayatullah, 2004), hlm. 3 6Mahmud, Model-Model Pembelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara,
2006), cet. Ke. 1, hlm. 50
Metode pembelajaran sangat erat kaitannya dengan fokus atau
tujuan dari pembelajaran tersebut. Misalnya pada pesantren modern,
lebih menitik-beratkan pada penguasaan bahasa di atas ilmu-ilmu yang
lain, terutama bahasa Arab dan Inggris. Metode pembelajaran yang
sering dipakai untuk mendukung tujuan terdebut adalah muhâdatsah
(bercakap-cakap).
Terkait dengan fokus atau tujuan tersebut, Pondok Modern
Darussalam Gontor misalnya, langsung mengaitkannya dengan materi
ajar lain yang berkaitan erat dengan penggunaan bahasa tertentu, yang
sesuai dengan standar kecakapan berbahasa pada tahap perjenjangan
kelas. Hal ini terlihat dari materi-materi ajar yang berbahasa Arab. Seperti
pada:
1. Kelas I, pada level pertama ini murid mulai disentuh dengan
materi-materi ajar yang berbahasa Arab. Misalnya, Aqâ’id
(tauhid), tajwîd, tafsîr, dan hâdits.
2. Kelas II, bahasa Arab mulai digunakan sebagai bahasa pengantar,
walaupun masih cukup sederhana.
3. Kelas III dan IV, semua mata pelajaran selain ilmu pengetahuan
umum sudah disampaikan dengan bahasa Arab yang terstruktur.
4. Kelas V dan VI, mulai menjelajahi materi-materi referensi (literature)
yang juga berbahasa asing. Bahkan pada level ini, sudah dituntut
agar bagaimana cara mengajar berbahasa asing yang baik
terhadap adik-adik kelasnya secara langsung yang diawasi oleh
guru. 7
Sistem belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor, secara sekilas
kelihatan menghilangkan satu elemen penting dalam tradisi sistem
pendidikan pesantren, yaitu kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab
kuning. Namun pada kenyataannya kesan dan asumsi ini tidak tepat,
karena yang dilakukan Pondok Modern Darussalam Gontor hanya
menyangkut metode pengajaran di kelas. Sedangkan esensi pelajaran
agama yang menjadi inti kitab-kitab kuning itu tetap ada dan dikemas
sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis dan sistematis serta
disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri.8
Pesantren dan kegiatan penerjemahan
Penerjemahan berasal dari kata terjemah. Terjemah berarti menyalin
(memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain, sedangkan penerjemahan
berarti proses, cara, perbuatan menerjemahkan. Orang yang
menerjemahkan disebut penerjemah.
Larson merumuskan pengertian penerjemahan secara lebih lengkap
sebagai berikut: “Menerjemahkan berarti mempelajari leksikon, struktur
gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari bahasa sumber
(selanjutnya disingkat BSu). Kemudian menganalisis teks tersebut untuk
7Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2005, hlm. 14 8Abdullah Syukrti Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, hlm. 15
menemukan makna yang sama dan mengungkapkannya dengan
leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran
(selanjutnya disingkat BSa) dan konteks tersebut9.”
Agar pengalihan suatu bahasa terjemahan tersebut dapat
dipahami dan dimengerti, maka harus diperhatikan bentuk Bsa-nya.
Harimurti Kridalaksana mendefinisikan bahwa penerjemahan sebagai
pemindahan suatu amanat dari BSu ke dalam BSa dengan pertama-
tama mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya bahasanya.
Eugene A. Nida dalam bidang linguistik, mengungkapkan bahwa
menerjemahkan berarti menciptakan padanan paling dekat dalam
bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal
makna dan kedua pada gaya bahasanya.10
Proses penerjemahan membutuhkan keahlian dalam berbahasa,
paling tidak ada dua bahasa, yaitu BSu dan BSa. Sebagaimana kita
ketahui, baik itu di pesantren tradisional maupun modern, bahasa Arab
adalah bahasa yang wajib dipelajari. Hal ini karena literatur-literatur Islam
yang menjadi bahasan dalam pesantren sebagaian besar masih
berbahasa Arab.
Pada pesantren tradisional, pengetahuan bahasa Arab kemudian
diaplikasikan secara langsung oleh interaksi kyai dan santri di pesantren
dalam proses belajar-mengajar dan proses penerjemahan terjadi di
9Milred L. Larson, Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman Untuk Pemadanan
Antar Bahasa, (Jakarta: Arca, 1991) cet. ke 2 hlm. 262 10
Nurahman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemah, (Flores: Nusa Indah, 1986), cet. ke 1,
hlm. 54
dalamnya. Kegiatan penerjemahan dalam pesantren salafi sangat unik,
karena teks bahasa Arab diterjemahkan langsung di bawah teks tersebut
dengan tulisan Arab “miring” yang berbahasa Jawa. Untuk lebih jelasnya
penulis akan cantumkan contoh teks tersebut,
ا.IO. ;UE ا.bى -,\ ب_Z ^دم ب#.SO8 و ا.ZO[ \U8 جY3U ا.S.#8 وا.5Cة
SVE.م وا&O8.ا Y31_#ب Iب#Eواص I.^ ZO[و S98.36; ا.8+ب وا ;UE4 ZO[
Teks tersebut diambil dari kitab Ta’lîm al-Muta’âlim. Perkataan ;UE.ا
diterjemahkan utawi sakabehane puji iku keduwe Allah, yang berarti
“segala puji adalah kepunyaan Allah”, perkataan ;UE.ا yang didahului
oleh ال dan diakhiri dengan huruf U (damah U) diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa dengan didahului kata utawi dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah mubtada atau pokok
kalimat. Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh santri, sebab kitab-
kitab yang diajarkan dalam sorogan dan bandongan ditulis tanpa huruf
hidup, sehingga untuk dapat membaca dengan benar dan cocok
artinya para santri harus mengetahui tata bahasa Arab. Perkataan Arab
IO. sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu li dikenal sebagai huruf jar atau
kata sandang dan Allahi yang diakhiri dengan huruf hidup I,
penerjemahan IO. dalam bahasa Jawa didahului dengan perkataan iku
untuk menunjukkan bahwa perkataan IO. berkedudukan sebagai khabar
atau predikat dalam kalimat tersebut.
Kalimat دم^ Z_ى -,\ بb.ا Diartikan kang wus ngutamakaken sapa
Allah marang putro wayahe Nabi Adam. Artinya “yang telah melebihkan
anak cucunya Adam”. Perkataan \,- diartikan wus ngutamakaken
untuk menunjukkan bahwa perkataan \,- adalah bentuk waktu selesai.
Sebelum menerjemahkan perkataan دم^ Z_ب para kyai menambahkan
pertanyaan retorik sapa Allah untuk lebih menjelaskan bahwa kata kerja
\,- adalah yang dalam bahasa Inggris disebut finite verb yang
subjeknya adalah Allah. Di dalam teks perkataan م&O8.ا Y31_#ب Iب#Eواص
SVE.وا diterjemahkan dengan perkataan pendahuluan pira-pira yang
artinya “beberapa”. Jadi diartikan dengan pira-pira sahabate Nabi, pira-
pira ilmu, lan pira-pira hikmah. Ini menunjukkan bahwa ketiga perkataan
tersebut berbentuk majemuk.11 Dalam proses penerjemahan di pesantren
tradisional ini, santri harus melalui dua tahap pengalihan bahasa,
pertama dari bahasa Arab ke Arab Jawa, baru kemudian santri
mengalihkan lagi ke bahasa Indonesia.
11Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1985), cet. ke 4, hlm. 29
Sedangkan pada pesantren modern, proses penerjemahan
dilakukan secara langsung. Menurut salah satu alumni pesantren modern,
penerjemahan dilakukan menggunakan metode kata perkata12 secara
langsung dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Sebagai contoh kalimat
dalam QS. Al-Fatihah ayat 2, yaitu:
e3U.#8.ا Qرب Fل ا ;UE.ا
Seluruh alam yang
mengatur
Allah milik Segala puji
Ini adalah contoh dari jumlah ismiyah, lalu contoh jumlah fi’liyah
dalam QS. Al-Baqarah ayat 8 yaitu:
Sب ه&Of ZO[ F S=g
mereka hati kepada Allah Telah
mengunci
Sه YU6 ZO[ و
mereka pendengaran kepada dan
12Wawancara dengan Bapak KH Sundusi Ma’mun, (Jakarta: 29 April 2009) sedangkan
Penerjemahan kata demi kata biasanya dilakukan dalam proses praktik pnerjemahan atau analisis
terjemahan, sebelum sampai pada hasil final. Penerjemahan harfiah juga demikian. Tujuannya
adalah agar seluruh komponen bentuk dan semantiknya dapat dikontrol secara cermat oleh
penerjemah (M. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, hlm. 20)
Di sini terlihat bahwa proses penerjemahan jumlah fi’liyah dengan
model terjemahan kata perkata menyebabkan ketidak-berterimaan
pada BSa. Karena mau tidak mau penerjemahan mengikuti struktur
kalimat pada bahasa sumber.
Penulis dalam hal ini juga menemukan ada satu hal yang bisa
menjadi indikasi kelemahan dalam pencapaian hasil penerjemahan yang
baik, yaitu penguasaan BSa yang kurang baik. Karena porsi bahasa
Indonesia dalam proses belajar mengajar sangat kurang dibandingkan
dengan bahasa Arab. Padahal bahasa Indonesia sebagai bahasa
sasaran (BSa) dalam penerjemahan mutlak harus dikuasai oleh setiap
penerjemah. Penulis tidak mengetahui secara pasti apa yang menjadi
dasar dari kebijakan pola pendidikan di masing-masing pesantren
tersebut, terutama berkenaan dengan pelajaran bahasa Indonesia.
Padahal seperti yang dikatakan oleh seorang peneliti yaitu Beny Hoed,
fasih berbahasa asing tidak dengan sendirinya mampu
menerjemahkan.13 Penguasaan BSu dan BSa adalah mutlak diperlukan
untuk pencapaian hasil terjemahan yang baik.
Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui lebih dalam terhadap
aktivitas penerjemahan para santri, khususnya santri pondok pesantren
modern dengan melakukan pengujian terhadap santri dalam
menerjemahkan teks bahasa Arab modern. Dengan asumsi tersebut
maka penulis menjadikan masalah ini sebagai bahan penelitian dengan
13 M. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemah, (Jakarta: 2007),
hlm. 3
judul ”ANALISIS GRAMATIKAL TERJEMAHAN SANTRI PONDOK PESANTREN
MODERN TERHADAP TEKS BAHASA ARAB MODERN (Kasus Terjemahan Santri
Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory Perigi Baru,
Kec. Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten)”. Adapun sebagai data,
Penulis memilih teks tertentu dari kitab fiqh sunnah karangan Sayyid Sabiq
yang merupakan salah satu ulama besar Mesir pada abad 20.14
B. Tinjauan Pustaka
Dari hasil tinjauan Penulis terhadap penelitian yang dilakukan oleh
salah satu skripsi yang sudah ada, penelitian yang akan Penulis lakukan
termasuk yang kurang populer, karena Penulis hanya menemukan satu
judul skripsi yaitu ”STUDI PERBANDINGAN TERJEMAHAN SANTRI SALAFI
TERHADAP TEKS KITAB KUNING DAN MODERN: Kasus Santri Pondok
Pesantren al-Jazirah” oleh Nurcholisoh. Skripsi tersebut menerangkan
tentang hasil analisis gramatika atas hasil terjemahan beberapa santri di
pondok pesantren tersebut. Lalu Penulis mencoba dengan objek yang
bisa dikatakan lain, yaitu santri pondok pesantren modern.
Penulis berharap dengan penelitian ini, ditemukan realitas atau
fakta baru yang lebih dari peneltian pertama. penulis berharap pula
14 Teks yang dimaksud adalah teks yang dikutip dari kitab Fiq Sunnah karya Sayyid Sabiq
pada muqadimah bab shalat.
penelitian ini menjadi input baru bagi perbaikan sistem pengajaran untuk
meningkatkan kemampuan para santri di pesantren tersebut pada
khususnya, dan pesantren-pesantren lain pada umumnya.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sebagaimana telah penulis kemukakan di atas bahwa metode
pengajaran bahasa Arab pada pesantren modern mempunyai
perbedaan dengan pesantren tradisional. Perbedaan tersebut dapat
mempengaruhi hasil penerjemahan, baik yang positif maupun yang
negatif.
Penulis dalam penelitian ini membedakan kitab Arab modern dan
Arab klasik. Kitab Arab modern dan Arab klasik mempunyai perbedaan
dalam beberapa hal, yaitu:
a. Pengarang dalam kitab Arab klasik umumnya adalah para
ahli agama pada fase pertama penyebaran Islam, yaitu
sekitar abad pertama sampai ke lima Hijriyah.
b. Cara penulisan dalam kitab Arab klasik berbeda dengan
kitab Arab modern, hal ini bisa dilihat dari tidak adanya sistem
paragraph, tanda koma dan titik dalam penulisan kitab Arab
klasik.
c. Kitab Arab klasik menggunakan pendekatan tata bahasa
yang kaku.
Untuk lebih mengarahkan penelitian ini kepada target yang
diharapkan oleh penulis. maka Penulis dalam penelitian ini membatasi
masalah pada rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hasil terjemahan santri dilihat dari sisi gramatikal bahasa
sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa)?
2. Bagaimana pengaruh bahasa sumber (BSu) yang terdapat pada
hasil terjemahan santri?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah penulis kemukakan di atas, tujuan
umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan terjemah
santri. Adapun tujuan khususnya yaitu:
1. Mengetahui bagaimana para santri menganalisis gramatikal Bsu
(bahasa Arab) dan menerapkannya ke dalam sistem gramatikal Bsa
(Bahasa Indonesia).
2. Mengetahui berapa besar pengaruh sistem gramtikal BSu yang masih
terdapat dalam hasil terjemahan para santri.
E. Metode Penelitian
Penulis dalam hal ini menggunakan metode penelitian yang bersifat
deskriptif kualitatif dalam arti bahwa penelitian ini bertujuan mengetahui
bagaimana santri pondok modern tersebut menerjemahkan teks bahasa
Arab secara baik.
Penelitian ini lebih diarahkan kepada analisis terjemahan yang
dilakukan oleh beberapa santri yang telah ditetapkan sebagai sampel
terhadap teks yang telah disediakan terlebih dahulu oleh penulis. Analisis
dilakukan dengan melihat teks dari sisi gramatikal BSu dan Bsa. Dari hasil
analisis gramatikal tersebut diharapkan kita dapat mengetahui
kemampuan mereka dalam menganalisis struktur gramatikal BSu dan
menerapkannya ke dalam struktur gramatikal BSa yang baik, dan
seberapa besar pengaruh struktur gramatikal BSu yang masih melekat
dalam hasil terjemahan meraka. Dan sebagai bahan pendukung
penelitian ini, Penulis mengadakan wawancara langsung baik dengan
pihak pesantren, maupun santri itu sendiri mengenai seputar
permasalahan penerjemahan.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang akan Penulis paparkan ini merupakan
strukturalisasi penulisan agar dapat dipahami dengan baik. Penulisan
skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu:
Pada BAB I, Penulis menjadikan bab ini sebagai bab pendahuluan
yang akan menjelaskan tentang masalah yang menjadi dasar dari
penelitian ini dan signifikansi atau studi kelayakan atas penelitian ini.
Penulis membagi bab ini menjadi beberapa subbab, yang terdiri dari latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada BAB II, Penulis menjadikan bab ini sebagai kerangka teori yang
dibangun yang akan menjadi landasan bagi penelitian. Bab ini sangat
penting, karena dalam bab ini akan dijelaskan bagaimana
penerjemahan itu, dan korelasi dengan metode penerjemahan pada
santri pesantren tradisional dan santri pesantren modern. Penulis
membagi bab ini menjadi beberapa subbab, yang terdiri dari definisi
penerjemahan, teori terjemah, metode penerjemahan, proses
penerjemahan, gambaran umum pesantren, pengertian pesantren,
sejarah perkembangan pesantren, kitab-kitab kuning sebagai kurikulum
inti pesantren.
Pada BAB III, Penulis menjadikan bab ini sebagai penjelasan tentang
institusi atau lembaga yang menjadi objek penelitian penulis. Penulis
membagi bab ini menjadi beberapa subbab, yang terdiri dari gambaran
umum tentang pesantren tersebut, yang meliputi sejarah singkat
pesantren tersebut, santri-santri pada pesantren tersebut, kitab-kitab yang
diajarkan, dan sistematika pengajarannya.
Sedangkan pada BAB IV, Penulis menjadikan bab ini sebagai
landasan dan proses analisis dari penelitian penulis. Di sini Penulis akan
mencoba menganalisis hasil terjemahan para santri. Analisis gramatikal
hasil terjemahan teks modern yang sudah diterjemahkan oleh santri.
Untuk BAB V, Penulis menjadikan bab ini sebagai penutup. Bab ini
memuat kesimpulan dari hasil penelitian dan saran bagi penelitian
tersebut.
Sedangkan untuk tehnik penulisan skripsi ini penulis menggunakan
buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang
diterbitkan tahun 2007 oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta edisi terbaru.
BAB II
KERANGKA TEORI
D. Teori Penerjemahan
1. Definisi penerjemahan
Translation atau penerjemahan selama ini didefinisikan melalui
berbagai cara, latar belakang teori, atau pendekatan yang berbeda.
Catford menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat
kegiatan penerjemahan dan dia mendefinisikan penerjemahan sebagai:
“the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent
textual material in another language (TL)” atau mengganti bahan teks
dalam Bsu dengan bahan teks yang sepadan dalam Bsa.15
Newmark juga memberikan definisi serupa namun lebih jelas lagi:
“Rendering the meaning of a text into another language in the way that
the author intended the text” atau menerjemahkan makna suatu teks ke
dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pengarang.16
Ilmuwan bahasa dari Jerman, G. Jäger mendefinisikan
penerjemahan sebagai transformasi teks dari satu bahasa ke teks bahasa
lain tanpa mengubah isi teks asli.17
15Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 5
16Rohayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, hlm. 5
17Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan: Language and Translation the New
Millennium Publication, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006) hlm. 9
Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam bukunya The Theory
and Practice of Translation, memberikan definisi penerjemahan sebagai:
“Translating consist in reproduction in the receptor language the closest
natural equivalent of the source language message, first in terms of
meaning and secondly in terms of style.” Atau menerjemahkan
merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima
barang yang sedekat-dekatnya dan sewajar-wajarnya, sepadan dengan
pesan dalam BSu, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua
menyangkut gayanya.18
Dari beberapa definisi di atas, terlihat jelas bahwa dalam proses
penerjemahan, faktor terpenting yang harus diperhatikan adalah
kesepadanan kata, frase, klausa, kalimat, dan unsur-unsur bahasa lainnya
pada Bsu ke dalam Bsa, agar isi yang disampaikan pada hasil
penerjemahan tetap sama dengan maksud pengarang atau penulis
(author) pada teks aslinya, sehingga memberikan kesan kepada
pembaca bahwa yang dibaca bukanlah hasil terjemahan, melainkan
buku aslinya.
2. Model penerjemahan
Agar penilaian pembaca juga tetap baik terhadap penerjemah,
maka perlu kiranya penerjemah memiliki pengetahuan tentang dua
modal: (a) ragam atau model terjemahan, (b) cara menerjemahkan.
Dengan kelengkapan itu praktis penerjemah mudah menjatuhkan pilihan
18A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Jogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 11
terhadap ragam terjemahan dan mengetahui cara menggarap naskah
atau teks lewat ragam itu dengan tepat.
Newmark mengajukan dua kelompok metode penerjemahan, yaitu
(1) metode yang memberikan penekanan terhadap BSu, yaitu metode
yang diambil penerjemah dengan berupaya mewujudkan kembali
dengan setepat-tepatnya makna kontekstual teks sumber (selanjutnya
disebut TSu), meskipun akan dijumpai hambatan-hambatan dalam proses
penerjemahan, baik itu hambatan sintaksis maupun semantik pada teks
sasaran (selanjutnya disebut TSa); (2) metode yang memberikan
penekanan terhadap BSa, dimana penerjemah berupaya menghasilkan
dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli
terhadap pembaca versi BSu.19
3. Cara Menerjemahkan
Rochayah Machali mengatakan dalam bukunya bahwa
penerjemahan bukan sekedar menggantikan sebuah teks dalam bahasa
sumber ke bahasa sasaran. Sebuah teks tidak lahir dari sebuah ruang
kosong, tanpa disertai maksud penulis, gaya penulis, budaya dan
konvensi yang diikuti penulis, dan sebagainya.20
Dengan demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang steril.
Karena ketidaksterilan itulah penerjemah harus menganalisis terlebih
19 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 49
20 Rohayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, hlm. 33
dahulu teks BSu sebelum menerjemahkannya. Ada tiga hal yang menjadi
parameter dalam menganalisis, yaitu:21
a) Apa maksud pengarang menulis teks? Apakah untuk menjelaskan
sesuatu (eksposisi), atau bercerita (narasi).
b) Bagaimana pengarang atau penulis menyampaikan maksud
tersebut? Apakah melalui kalimat yang bertenaga, atau melalui
kalimat-kalimat yang mengandung ajakan yang terselubung.
c) Bagaimana pengarang mewujudkan gaya tersebut dalam pemilihan
kata, frase, dan kalimat? Apakah dengan menggunakan bantuan
partikel penyangat seperti /-lah, kah, pun/ dalam beberapa frase
tertentu?
4. Perangkat Penerjemahan
Ada dua jenis perangkat yang lazimnya digunakan oleh
penerjemah, yaitu perangkat intelektual dan perangkat praktis.
Perangkat intelektual mencakupi: (1) kemampuan yang baik dalam BSu;
(2) kemampuan yang baik dalam BSa; (3) pengetahuan mengenai pokok
masalah yang diterjemahkan; (4) penerapan pengetahuan yang dimiliki;
(5) keterampilan. Perangkat praktis mencakupi: (1) kemampuan
menggunakan sumber-sumber rujukan, baik yang berbentuk kamus
umum biasa, kamus elektronis, maupun kamus peristilahan serta
narasumber bidang yang diterjemahkan; (2) kemampuan mengenali
konteks suatu teks, baik langsung maupun tidak langsung.22
21 Rohayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, hlm. 34
22 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 11
Kedua jenis perangkat itu juga dapat disebut sebagai modal dasar
yang harus dimiliki seorang penerjemah. Jika salah satu dari modal dasar
itu tidak dimiliki atau kurang baik, maka terjemahan yang dihasilkan
menampakkan berbagai kekurangan, tergantung dari kadar
kemampuannya memanfaatkan perangkat di atas.23
5. Kesetiaan dalam Penerjemahan
Untuk mengetahui sebuah kesetiaan dalam penerjemahan harus
ada parameter yang dapat dijadikan patokan, seorang penerjemah
harus setia pada penulis atau karya aslinya, kemudian kepada bahasa
pembacanya.
Oleh karena itu, parameter kesetiaannya adalah hubungan antara
maksud penulis karya asli, bahasa sasaran, dan masyarakat pembaca
terjemahan. Adapun mengenai penjelasan masing-masing parameter
tersebut adalah:
a. Penulis dalam membuat karyanya pasti mempunyai maksud tertentu.
Di sinilah tugas seorang penerjemah untuk melacak maksud penulis.
Ini dapat dilakukan dengan mengenali konteks, informasi karya,
gaya, ragam bahasa, dan konotasi yang digunakan.
b. Dalam mengungkapkan kembali pesan bahasa sumber, penerjemah
harus dapat mencari padanannya dalam bahasa sasaran.
23 Rohayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, hlm. 11
c. Pembaca terjemahan merupakan masyarakat yang berbeda
dengan pembaca karya asli, ini berarti terdapat perbedaan
sosiokultural, bahasa, dan persepsi.
Namun dalam beberapa kasus terjemahan suatu karya, kesetiaan
pada karya asli itu mengalami perbedaan-perbedaan. Hal ini terjadi
karena perbedaan dimensi untuk setia pada masing-masing terjemahan.
Dimensi-dimensi yang berbeda tersebut antara lain:
a. Dimensi subjektivitas
Hal ini banyak terjadi pada setiap terjemahan. Misalnya beberapa
penerjemah menerjemahkan teks yang sama, namun pendekatan
yang digunakan setiap penerjemah berbeda-beda. Maka hasil
terjemahan akan tidak sama persis.
b. Dimensi zaman
Jauhnya jarak waktu antara teks asli dan terjemahannya dapat
menimbulkan masalah seperti kekunoan bahasa yang meyebabkan
perbedaan pemahaman. Penerjemah akan mengalami dilema
ketika dituntut harus mendekatkan hasil terjemahan dengan situasi
dan kondisi teks sumber, dan di lain pihak harus pula menyesuaikan
situasi dan kondisi pembaca teks terjemahan tersebut.
Selain kedua dimensi di atas juga perlu diperhatikan adanya dimensi
fungsional dalam penerjemahan. Dimensi ini yang paling jelas adalah
tujuan dari penerjemah itu sendiri.
6. Kesepadanan dalam Penerjemahan
i. Aspek lingusitik
Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam bukunya The Theory
and Practice of Translation, mengatakan bahwa menerjemahkan
merupakan kegiatan menghasilkan kembali dalam bahasa penerima
barang yang sedekat-dekatnya dan sewajar-wajarnya sepadan dengan
pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut makna dan
kedua menyangkut gayanya.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama dari pendapat ahli
tersebut, bahwa dalam penerjemahan, padanan merupakan unsur yang
penting setelah makna. Padanan (equivalent) yaitu kata atau frase yang
sama atau bersamaan dalam bahasa lain.24
Dalam menentukan padanan untuk makna yang terkandung dalam
BSu, seorang penerjemah sedapat mungkin harus menempatkan kata-
kata yang paling sesuai, dan padanan terjemahan harus diungkapkan
secara wajar dalam BSa dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah
bahasa terjemahan, sehingga pembaca tidak merasakan atau dalam
ungkapan Nida dan Taber “melupakan sejenak” bahwa yang ia baca
adalah hasil terjemahan. Inilah yang dinamakan ekuivalensi dinamis atau
padanan dinamis oleh Nida dan Taber dalam bukunya.
24Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993,
cet. 1 hal. 152
Dari pendapat di atas tampak oleh kita bahwa kesepadanan
dalam BSa harus lebih diutamakan daripada kaidah-kaidah yang ada
dalam BSu, sehingga seorang penerjemah boleh menggunakan jenis
terjemahan bebas dengan padanan dinamis untuk mengungkapkan
padanan yang wajar dalam bahasa sasaran.
Pergeseran pemaknaan atau pemadanan tetap terjadi pada
beberapa terjemahan, karena dua bahasa yang menjadi unsur proses
terjemahan memiliki kaidah yang berbeda. Para ahli berbeda pendapat
dalam mengungkapkan jenis pergeseran yang sering terjadi dalam
penerjemahan. Rochayah Machali dalam bukunya mengklasifikasikan
pergeseran itu menjadi beberapa macam, yaitu:25
ii. Pergeseran bentuk (transposisi)
Pergeseran bentuk adalah suatu prosedur penerjemahan yang
melibatkan pengubahan bentuk gramatikal dari BSu ke BSa. Ada
empat jenis pergeseran bentuk, yaitu:
- Pergeseran bentuk wajib dan otomatis yang disebabkan oleh
sistem dan kaidah bahasa. Dalam hal ini, penerjemah tidak
mempunyai pilihan lain selain melakukannya. Seperti pergeseran
adjektiva atau kata sifat dalam bahasa Indonesia yang
maknanya menunjukkan variasi yang tersirat dalam adjektiva
menjadi penjamakan nomina dalam bahasa Inggris, contoh:
TSu: Rumah di Jakarta bagus-bagus.
25 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 63
TSa: The houses in Jakarta are built beautifully.
Pergeseran nuansa makna, yaitu built beautifully lebih khusus dari
versi BSu-nya “bagus-bagus”.
- Pergeseran yang dilakukan apabila suatu struktur gramatikal
dalam BSu tidak ada di dalam BSa. Seperti peletakan verba di
latar depan dalam bahasa Indonesia tidak lazim dalam struktur
bahasa Inggris, kecuali dalam kalimat imperatif. Maka
padanannya memakai struktur kalimat berita biasa. Contoh:
TSu: Telah disahkan penggunaannya.
TSa: Its usage has been approved.
- Pergeseran yang dilakukan karena alasan kewajaran ungkapan;
kadang-kadang, sekalipun dimungkinkan adanya terjemahan
harfiah menurut struktur gramatikal, padanannya tidak wajar atau
kaku dalam BSa. Seperti gabungan adjektiva bentukan dengan
nomina atau frase nominal dalam BSu menjadi nomina + nomina
dalam BSa, contoh:
Medical student ----- menjadi ----- mahasiswa kedokteran
- Pergeseran yang dilakukan untuk mengisi ketumpangan kosa
kata (termasuk perangkat tekstual seperti /-pun/ dalam bahasa
Indonesia) dengan menggunakan suatu struktur gramatikal.
Seperti pergeseran unit yaitu misalnya dari kata menjadi klausa,
frase menjadi klausa, dan sebagainya. Contoh:
Deliberate (TSu) ---- menjadi ---- dengan sengaja, tenang dan
berhati-hati (TSa)
iii. Pergeseran makna (modulasi)
Ada kalanya pergeseran struktur seperti yang terjadi pada prosedur
transposisi itu melibatkan perubahan yang menyangkut pergeseran
makna karena terjadi juga perubahan perspektif. Newmark membagi
modulasi menjadi dua macam yaitu:
- Modulasi wajib, adalah prosedur penerjemahan yang dilakukan
apabila suatu kata, frase atau struktur tidak ada padanannya
dalam BSa sehingga perlu dimunculkan. Contoh: kata lessor dan
lessee dalam bahasa Inggris, biasanya kata lesse diterjemahkan
sebagai penyewa, tetapi padanannya untuk lessor tidak ada.
Maka padanannya dapat dicari dengan mengubah sundut
pandangnya atau dicari kebalikannya, yaitu “orang atau pihak
yang menyewakan atau pemberi sewa”
- Modulasi bebas adalah prosedur penerjemahan yang dilakukan
karena alasan non-linguistik, misalnya untuk memperjelas makna,
menimbulkan kesetalian dalam BSa, mencari padanan yang
terasa alami dalam BSa, dan sebagainya. Contoh: menyatakan
secara tersurat dalam BSa apa yang tersirat dalam BSu, seperti
kata environmental degradation diterjemahkan menjadi
penurunan mutu lingkungan (konsep mutu tersirat dalam BSu)
iv. Adaptasi (penyesuaian)
Adaptasi adalah pengupayaan padanan kultural antara dua situasi
tertentu. Misalnya salam resmi pembukaan surat ‘Dear sir’ dalam
bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘Dengan hormat’, bukan ‘Tuan
yang terhormat’.
v. Pemadanan berkonteks
Pemadanan berdasarkan konteks atau contextual conditioning
adalah penempatan suatu informasi dalam konteks, agar maknanya
jelas bagi penerima informasi atau berita. Seperti ungkapan-
ungkapan yang erat dengan budaya setempat.
TSu: The mustang was the fastest in the race.
TSa: Kuda mustang itu adalah yang tercepat dalam pacuan
tersebut.
Kata ‘mustang‘ adalah salah satu jenis dari kuda, kata kuda di depan
kata mustang adalah hasil pemadanan berkonteks untuk
menjelaskan makna mustang yang masih rancu dalam BSa.
vi. Pemadanan bercatatan
Pemadanan bercatatan dilakukan setelah penerjemah tidak
menemukan padanan kata, frase, atau klausa dari TSu. Maka
penerjemahannya dapat dilakukan dengan memberinya catatan
(baik sebagai catatan kaki maupun sebagai catatan akhir).
b) Aspek semantik
Semantik sebagai salah satu cabang linguistik baru mendapat
perhatian dari para linguis dan menjadi kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan dari studi linguistik sejak tahun enam puluhan, ketika mereka
mulai menyadari bahwa kegiatan berbahasa merupakan kegiatan
mengekspresikan lambang-lambang bahasa untuk menyampaikan
makna-makna yang ada pada lambang-lambang tersebut.
Banyak sekali para ahli membicarakan tentang makna secara
panjang lebar, seperti Larson, Pateda, dan lain-lain. Namun di sini penulis
hanya akan membahas beberapa jenis makna yang dianggap sesuai
dengan pembahasan ini, yaitu:
1) Makna Referensial
Makna referensial adalah makna yang menunjuk pada acuannya
(referennya). Acuan tersebut dapat berupa benda, gejala, peristiwa,
dan sebagainya. Contoh makna referensial ada pada leksem /kursi/.
Makna yang diacu adalah benda dengan wujud atau bentuk kursi
seperti kalimat kursi itu terbuat dari kayu jati.
2) Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya
proses gramatika seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Proses
afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat batu seberat itu
terangkat juga oleh adik melahirkan makna dapat dan dalam
kalimat ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan
makna gramatikal tidak disengaja.
3) Makna Kontekstual
Dalam analisis wacana dan analisis semantik kita sering berbicara
tentang konteks. Makna dan informasi yang kita peroleh dan kita
tafsirkan tidak dapat dilepaskan dari konteks. Para antropolog
memberikan tiga ciri yang harus dipenuhi untuk menciptakan satu
konteks. Konteks adalah satu situasi yang terbentuk karena terdapat
setting, kegiatan, dan relasi. Jika terjadi interaksi antara tiga
komponen itu maka terbentuklah konteks.26
Jadi makna kontekstual adalah makna yang terjadi karena adanya
interaksi antara setting (waktu dan tempat), kegiatan (tingkah laku
yang terjadi dalam interaksi berbahasa), dan relasi (hubungan antara
peserta bicara dan tutur) dalam berbahasa.27
E. Teori Gramatikal dan Penggunaannya dalam Penerjemahan
Sebelum melangkah lebih jauh, penulis mencoba memahami apa
yang dimaksud dengan gramatika dan gramatikal. Harimurti Kridalaksana
dalam kamus linguistiknya mendefinisikan kata gramatika dengan
beberapa definisi, yaitu:28
1. Gramatika sebagai subsistem dalam organisasi bahasa di mana
satuan-satuan bermakna bergabung untuk membentuk satuan-
satuan yang lebih besar. Secara kasar, gramatika terbagi atas
26Jose Daniel Parera, Teori Semantik (edisi kedua), (Jakarta: Erlangga, 2004) hlm.229
27Jose Daniel Parera, Teori Semantik (edisi kedua), hlm. 229
28Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), hlm. 66
morfologi dan sintaksis dan terpisah dari fonologi, semantik, dan
leksikon.
2. Seluruh sistem hubungan struktural dalam bahasa dan dipandang
sebagai seperangkat kaidah untuk membangkitkan kalimat; di
dalamnya tercakup pula fonologi dan semantik.
3. Penyelidikan mengenai subsistem suatu bahasa yang mencakup
satuan-satuan bermakna, merupakan cabang lingustik.
4. Pemerian secara sistematis tentang satuan-satuan bermakna.
Sedangkan kata gramatikal sendiri didefinisikan juga oleh
Kridalaksana sebagai,29
1. Diterima oleh bahasawan sebagai bentuk atau susunan yang
mungkin ada dalam bahasa.
2. Sesuai dengan kaidah-kaidah gramatika suatu bahasa.
3. Bersangkutan dengan gramatika suatu bahasa.
Dari definisi yang dikemukakan oleh Harimurti Kridalaksana itu,
penulis menyimpulkan bahwa teori gramatikal adalah suatu teori yang
membahas tentang satuan-satuan bahasa yang bermakna (yaitu kata)
dan satuan-satuan itu memiliki hubungan struktural dalam satu bahasa
tertentu dan disepakati oleh suatu sekelompok orang atau suku bangsa
sebagai seperangkat kaidah-kaidah untuk merangkai kalimat.
Harimurti Kridalaksana dalam definisinya tentang gramatika,
menyebutkan bahwa gramatika terbagi atas morfologi dan sintaksis.
29Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), hlm. 67
Morfologi adalah30 bidang linguistik yang mempelajari morfem dan
kombinasi-kombinasinya. Dan sintaksis adalah31 pengaturan dan
hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang
lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam
bahasa.
Sebelum membahas sintaksis lebih jauh dalam kajian bahasa, kajian
linguistik akan memberikan pemahaman kepada kita mengenai hakikat
dan seluk beluk bahasa sebagai satu-satunya alat komunikasi terbaik
yang hanya dimiliki manusia.
Secara popular linguistik adalah ilmu tentang bahasa, atau ilmu
yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi
seperti yang dikatakan Martinet: telaah ilmiah mengenai bahasa
manusia.
Kata linguistik (berpadanan dengan linguistics dalam bahasa Inggris,
linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa
Belanda) yang diturunkan dari bahasa Latin lingua yang berarti
“bahasa”. Di dalam bahasa-bahasa “roman” yaitu bahasa yang berasal
dari bahasa Latin, terdapat kata yang serupa dengan kata Latin lingua,
antara lain, lingua dalama bahasa Italia, langue dalam bahasa Spanyol,
langage dalam bahasa Prancis.
30Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), hlm. 142 31Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), hlm. 199
Di sini perlu diperhatikan bahwa bahasa Prancis mempunyai dua
istilah, yaitu langue, dan langage dengan makna yang berbeda. Langue
berarti suatu bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, Arab, Indonesia.
Sedangkan langage, bahasa secara umum seperti tampak dalam
ungkapan “manusia punya bahasa sedangkan binatang tidak”,
sedangkan dua istilah di atas bahasa Prancis mempunya istilah lain
mengenai bahasa seperti kata parole yang berarti bahasa dalam wujud
yang nyata, kongkrit yaitu berupa ujaran yang digunakan sehari-hari
sedangkan langage adalah sistem bahasa manusia secara umum, jadi
sifatnya paling abstrak.32
Sintaksis (ilmu nahwu) merupakan salah satu kajian yang tidak dapat
dipisahkan, karena ia merupakan cabang linguistik yang mengkaji unsur
terpenting dalam bahasa yaitu kalimat. Kalimat merupakan satuan
bahasa yang pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata atau
dengan satuan-satuan yang lebih besar yang secara relatif berdiri sendiri,
mempunyai pola intonasi final baik itu secara aktual maupun potensial
terdiri dari klausa.33
Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, “sun”. Secara etimologis,
sintaksis berarti menempatkan secara bersama-sama kata-kata menjadi
kelompok kata dan kelompok kata menjadi kalimat.34
32Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), cet ke 1, hlm. 1 dan 2
33Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
cet. Ke-5, hlm. 199 dan 92 34Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1994), cet. ke 1, hlm. 2006
Oleh karena itu dalam pembahasannya, sintaksis menyangkut
kalimat dan kata berarti juga menyangkut tata bahasa, maka perlu juga
diketahui bahwa dalam tata bahasa secara keseluruhan, mempunyai
lima komponen dasar yaitu struktur gramatikal, sistem gramatikal, kategori
gramatikal, fungsi gramatikal, dan peran gramatikal. Akan tetapi, dalam
pembahasan ini Penulis hanya menjelaskan mengenai kategori sintaksis,
morfologi, dan kategori gramatikal, sesuai dengan kebutuhan dalam
penulisan skripsi ini.
1. Kategori Sintaksis
Dalam ilmu bahasa, kata dikelompokkan berdasarkan bentuk
perilakunya, dan antara satu kelompok akan berbeda dengan kelompok
lainnya. Dengan kata lain, kata dibedakan berdasarkan ketegori
sintaksisnya. Kategori sintaksis sering pula disebut kategori atau kelas kata.
Bahasa Indonesia memiliki empat macam kelas kata utama, yaitu :
Verba yang sepadan dengan fi’il dalam bahasa Arab, nomina yang
sepadan dengan isim dalam bahasa Arab, adjektiva yang sepadan
dengan na’at dalam bahasa Arab dari segi semantisnya, namun
berbeda dari segi kategorinya karena na’at bukan termasuk kelas kata,
dan kelas kata yang terakhir adalah adverbial atau kata tugas.
a. Verba (fi’il)
Verba atau kata kerja dalam bahasa Indonesia terbagi menjadi
beberapa macam bentuk tergantung pada perilakunya; apakah
sintaksis, semantik, atau bentuk morfologisnya. Namun secara umum
verba dapat dibedakan dari kelas kata lainnya terutama dari adjektiva
dengan ciri: “verba mengandung makna inheren perbuatan, proses, dan
keadaan yang bukan sifat, atau kualitas, dan memiliki fungsi utama
sebagai predikat atau inti predikat walaupun juga dapat mempunyai
fungsi lain,” contoh verba dasar tanpa afiks: “Hasan sedang makan di
dapur”. Maka kata makan merupakan verba tanpa afiks yang
memerlukan komplemen yang berupa keterangan pelengkap.35
Sedangkan yang dimaksud dengan tanda bentuk yaitu verba yang
mengadung afiks, yang pada umumnya berupa prefiks, seperti me-, di-,
ber-, ter-, per-, ada juga yang berupa konfiks gabungan prefiks dan sufiks
seperti ke-an. Sebagai contoh dari uraian di atas penulis memberi contoh
sebagai berikut:
i. Verba berafiks me- (N)
Contoh: Gadis itu memperlihatkan barisan giginya yang rapi.
ii. Verba berafiks di-
Contoh: Seorang putri Kerajaan Champa dipersunting sebagai
permaisuri.
iii. Verba berafiks ber- (aktif)
Contoh: Aku perlu berhubungan dengan dia.
iv. Verba berafiks ter- (pasif)
35Hasan Alwi, d.k.k., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia: Edisi ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2000), cet. Ke-4, hlm. 87
Contoh: Habitat Orang Utan semakin terdesak oleh perambahan
hutan
v. Verba berafiks ke-an (pasif)
Contoh: Banyak bayi di Indonesia kekurangan gizi
Dalam bahasa Arab, fi’il terbagi tiga, yaitu fi’il mâdly, fi’il mudlâri,
dan fi’il ‘amar. Walaupun ada beberapa bentuk fi’il berdasarkan bentuk
morfologisnya (sharaf). Fi’il mâdly menunjukkan kejadian atau perbuatan
yang telah berlalu. Contohnya kata ?=آ dalam kalimat .ا ei< ?=آ /jO
ا.8+ب3/ menjadi kalimat /3ا.8+ب /jO.آ=? ا .
Fi’il mudlâri menunjukkan kejadian atau perbuatan yang sedang
berlangsung dan akan datang. Contohnya kata ?=V1 yang berarti dia
(laki-laki) sedang atau akan menulis. Dan fi’il ‘amar yang berarti kata
kerja yang menuntut pendengarnya untuk melakukan apa yang
dikatakan oleh pembicara. Contohnya kata وا+U=6ا yang berarti
dengarkan atau dengarlah.36
b. Nomina (isim)
Nomina adalah kelas kata yang biasanya dapat berfungsi sebagai
subjek atau objek dari klausa. Kelas kata ini berpadanan dengan nama
orang, benda, atau hal lain yang dibedakan dalam alam luar bahasa.
36Hifni Bek Dayyah, Muhammad Bek Dayah, d.k.k., Kaidah Tata Bahasa Arab, (Jakarta:
Darul Ulum Press, 1991), cet. Ke-3, hlm. 20-24
Sebagaimana halnya verba, nomina dalam bahasa Indonesia
dapat diketahui berdasarkan perilaku sintaksis, semantik, atau bentuk
morfologisnya. Akan tetapi, nomina mempunyai ciri tertentu yang
membedakannya dari kelas kata lain yaitu nomina menduduki fungsi
subjek, predikat, atau pelengkap dalam kalimat yang predikatnya verba
dan ia tidak dapat diingkari dengan kata tidak melainkan dengan kata
bukan. Contohnya pada kalimat Ibuku bukan pramugari.37
Dalam bahasa Indonesia sebuah kata dapat dicalonkan ke dalam
kata benda jika kata tersebut berfrase dengan kata tugas di-, ke-,
tentang, pe-. Misalnya ketua, di rumah, kehendak, pemuda. Dalam
bahasa Inggris sebuah kata masuk dalam kata benda, apabila secara
frase dapat dihubungkan dengan kata-kata seperti the, a few, some,
every, atau dengan sufiks er seperti farmer, writer, reader.38
Sementara isim dalam bahasa Arab merupakan kata yang
menunjukkan makna mandiri dalam arti ia tidak terpengaruh zaman atau
kala. Contohnya kata ;U<ا yang berarti nama orang, kata tersebut tidak
terpengaruh oleh kala. Isim atau nomina secara umum terbagi dua yaitu
isim nakiroh, yaitu kata benda yang masih umum seperti kata ?.#2
maksudnya adalah seorang mahasiswa laki-laki (mana saja, boleh siapa
saja, atau masih bersifat umum). Dan isim ma’rifah yang menunjukkan
37Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
cet. Ke-5, hlm. 145 dan 146 38
Jose Daniel Parera, Bidang Morfologi, Pengantar Lingustik Umum, seri B, (Ende
Flores: Nusa Indah, 1977), hlm. 15 dan 16
kata benda tertentu (sifatnya pasti) misalnya kata ?.#2 ditambah huruf
yang berarti mahasiswa laki-laki itu (bersifat khusus ا.menjadi ?.#k ال
atau pasti).
Adapun turunan dari isim ma’rifah yaitu:
1) Isim dhomir, pronominal, person. Contohnya Z_=4+2#.? اآ Serta
derivasinya kata @Pه& ا
2) Isim idlofah, yaitu nominal yang dipakai sebagai atribut. Contohnya
f#]/ ا7ج=U#ع اآe4 +A ب3@
3) Isim isyarat atau penanda deiksis. Contohnya
و7 ت0+ب# هmb ا.9l+ة
4) Isim mausul, atau nomina relatif, contohnya
Iي 017&م إ7 بb.ا e1;.د ا#U[ $K`
5) Isim alam atau nama diri kata contohnya
SO6و I3O[ Fر6&ل ا ;UE4
c. Adjektiva
Adjektiva adalah kata yang menjelaskan kata benda atau yang
dibendakan. Dalam bahasa Indonesia adjektiva mempunyai ciri dapat
bergabung dengan kata tidak dan partikel, seperti lebih, sangat, paling,
amat, dan sedangkan. Calon kelas kata sifat bahasa Inggris pada
umumnya dapat dicirikan dalam frase very, must dan yang dapat
bersufiks dengan -er, -est, -st.
Ada juga secara morfologis calon kelas kata sifat ini berproses
dengan bentuk se/+bd+nya seperti konfiks se-nya dengan bentuk dasar
ulangan misalnya sepandai-pandainya.39
Menurut Hasan Alwi, adjektiva ada yang ditandai dengan prefiks
ter- yang berarti paling, contohnya terpintar artinya paling pintar
sedangkan verba bermakna keadaan tidak bisa menerima prefiks ter-
seperti kata mati atau suka. Lain halnya dengan kata terbuka, tertutup
atau tertidur.40
d. Adverbia (kelas kata tugas)
Dilihat dari segi fungsinya adverbia mempunyai dua peran. Pertama
memberi keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau
kalimat. Contohnya:
1) Saya ingin lekas-lekas pulang. Kata lekas adalah adverbia yang
menerangkan verba pulang.
2) Orang itu sangat baik. Kata sangat adalah adverbia yang
menerangkan adjektiva baik.
3) Ayah saya hanya petani. Kata hanya adalah adverbia yang
menerangkan nomina predikatif.
4) Sebaiknya Engkau datang. Kata sebaiknya adalah adverbia yang
menerangkan kalimat engkau datang secara keseluruhan.
39Jos Daniel Parera, Bidang Morfologi, Pengantar Lingustik Umum, seri B, (Ende Flores:
Nusa Indah, 1977), hlm. 17 40
Hasan Alwi, d.k.k., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia: Edisi ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2000), cet. ke 4, hlm. 87
Kedua adverbia sebagai kategori yang harus dibedakan dari
keterangan sebagai fungsi kalimat. Contohnya:
1) Ia datang kemarin. Kata kemarin berkategori nomina (bukan
adverbia) tetapi fungsinya adalah keterangan waktu.
2) Orang itu sangat baik. Kata sangat berfungsi sebagai keterangan
dan kebetulan juga kategorinya adalah adverbia.
Dari penjelasan di atas, peran adverbia pertama biasa disebut
tataran frase, sedangkan peran adverbia kedua bisa disebut tataran
klausa yang disebut fungsi sintaksis seperti subjek, predikat, objek, dan
sebagainya.
Adverbia yang secara semantik bergantung pada satuan leksikal
lain. Keberadaannya di dalam suatu satuan frase berkaitan dengan
konstituen lain. Keterkaitan itu merupakan hubungan antara pewatas dan
inti. Contoh pada frase sangat baik, kata baik adalah inti dan kata
sangat menjadi pewatasnya.
Adverbia yang jangkauannya meliputi seluruh kalimat atau klausa
tidak terikat pada batas frase. Adverbia jenis itu biasanya berpindah
tempat di dalam kalimat, contoh:
1) Biasanya Dia pulang sore.
2) Dia biasanya pulang sore.
3) Dia pulang sore biasanya.
Bentuk lain yang termasuk adverbia jenis itu adalah sebenarnya,
sesungguhnya, agaknya, rupanya, seyogyanya, sebaiknya.
Adverbia berdasarkan perilaku semantisnya terbagi menjadi
delapan macam. Di antaranya adverbia pewatas adjektiva, adverbial
frekuentif, atau pewatas verba dan adverbial kewaktuan.
Adverbia frekuentif atau pewatas verba merupakan adverbia yang
menggambarkan makna yang berhubungan dengan saat terjadinya
peristiwa yang diterangkan oleh adverbia itu. Kata yang termasuk dalam
adverbia ini di antaranya: baru, segera, dahulu, dan lain-lain. Contohnya:
Pamanku dulu seorang Bupati.41
e. Frase (Tarkib)
Gabungan dua buah kata atau lebih yang merupakan satu
kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek,
predikat, objek, atau keterangan) biasanya dikenal dengan istilah frase.42
Frase yaitu gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak
predikatif; gabungan dapat rapat dan renggang, misalnya: gunung
tinggi adalah frase karena merupakan konstruksi nonpredikatif, konstruksi
ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frase karena bersifat
predikatif.43
Abdul Chaer dalam bukunya mengklasifikasikan frase menjadi dua
macam. Yaitu frase yang dilihat dari kedudukan kedua unsur yang
membentuknya dan frase yang dilihat dari fungsi dan jenisnya. Frase jika
41Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta:
DepDikBud) hlm. 223-226 42
Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1998),
hlm. 301 43
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
cet. Ke-5, hlm. 145 dan 146
dilihat dari kedudukan kedua unsur yang membentuknya dibedakan
menjadi;44
1) Frase setara
Adalah frase yang kedudukan kedua unsurnya sama derajatnya.
Yang satu tidak tergantung sama yang lain, seperti: ayah dan ibu
dalam kalimat “Ternyata Ayah Ibu sudah tidak ada.”
2) Frase bertingkat
Adalah frase yang kedudukan kedua unsurnya tidak sama. Unsur
yang satu kedudukannya sangat penting sehingga tidak dapat
ditanggalkan; sedangkan unsur yang lain kedudukannya hanya
merupakan penjelas atau tambahan saja. Seperti: sudah makan
dalam kalimat “Andi sudah makan tadi pagi”.
3) Frase terpadu
Adalah frase yang kedudukan kedua unsurnya tidak dapat
ditanggalkan sama sekali. Kalau salah satu unsurnya ditanggalkan
maka kalimatnya tidak dapat diterima. Seperti: dari kantor dalam
kalimat “Ayah baru pulang dari kantor”.
Jika dilihat dari fungsi dan jenisnya, maka ada empat macam frase,
yaitu:45
a) Frase benda
44Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1998),
hlm. 302 45Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, hlm. 317.
Frase ini lazimnya digunakan untuk menjadi subjek atau objek di
dalam kalimat. Misalnya frase pidato Presiden dalam kalimat Kami
mendengarkan pidato Presiden melalui radio. Frase pidato
Presiden menjadi objek dalam kalimat tersebut.
b) Frase kerja
Frase ini lazimnya digunakan untuk menjadi unsur predikat di dalam
kalimat. Mempunyai dua struktur, yaitu a) berstruktur M – D, dan b)
berstruktur D – M. unsur D selalu kata kerja dan unsur M berupa
kata-kata keterangan. Misalnya frase tidak mendengar dalam
kalimat “Andi tidak mendengar apa-apa ketika pencuri masuk ke
rumahnya”. Frase tersebut terdiri dari kata tidak (M) dan
mendengar (D).
c) Frase sifat
Frase sifat yang biasanya menjadi unsur predikat di dalam kalimat,
juga mempunyai dua macam struktur, yaitu a) M – D dan b) D – M.
Misalnya frase sangat baik46 dalam kalimat “Budi sangat baik
dalam bekerja”.
d) Frase preposisi dan keterangan
Frase preposisi yang biasa menjadi unsur K (keterangan) di dalam
kalimat mempunyai struktur: unsur pertama berupa kata depan
dan unsur kedua berupa kata benda atau frase benda. Berbeda
dengan frase benda atau frase kerja pada frase preposisi tidak
46Unsur pertama sebagai unsur M adalah kata keterangan derajat, dan kata kedua sebagai
unsur D adalah kata sifat.
ada unsur D dan unsur M karena kedua unsur pembentuk frase
preposisi itu secara bersama-sama membentuk satu kesatuan
terpadu yang tidak dapat dipisahkan. Contoh: kalimat Ibu pergi ke
pasar tidak bisa menjadi Ibu pergi ke.
Frase keterangan yang biasa menjadi K (keterangan) di dalam
kalimat mempunyai struktur: unsur pertama berupa kata
penghubung, dan unsur kedua berupa kata keterangan atau
kata-kata lain. Sama dengan frase preposisi, frase keterangan pun
tidak ada unsur D dan M dalam pembentukannya. Karena kedua
unsur pembentuk frase preposisi itu secara bersama-sama
membentuk satu kesatuan terpadu yang tidak dapat dipisahkan.
Contoh: kalimat Mereka berjalan dengan tidak diterima, karena
seharusnya Mereka berjalan denga hati-hati.
Dalam bahasa Arab, frase diartikan sebagai tarkib atau gabungan
antara dua kata atau lebih yang belum membentuk klausa atau kalimat.
ada dua macam frase dalam bahasa Arab yaitu:
a. Tarkib Washfi
Sebagaimana yang kita ketahui dalam bahasa Inggris, frase dibagi
menjadi lima, yaitu frase nominal, frase verbal, frase adverbial,
frase adjektival, dan frase numeralia. Namun dalam bahasa Arab,
frase atau tarkib washfi bisa juga berbentuk frase adjektival dan
frase nominal.47 Tarkib washfi biasanya berbentuk na’at man’ut,
contoh:
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
Pemikiran politik
Empat langkah
$6#3i.ا +Vn.ا
Yربoا>\ ا+U.ا
b. Tarkib Idhafi
Sebagaimana yang kita ketahui dalam bahasa Inggris, frase dibagi
menjadi lima, yaitu frase nominal, frase verbal, frase adverbial,
frase adjektival, dan frase numeralia. Namun dalam bahasa Arab,
frase atau tarkib idhafi bisa berbentuk frase nominal, frase
adverbial, dan frase verbal. Frase idiomatik dalam bahasa Arab
biasanya berbentuk tarkib idhafi.48 Tarkib idhafi biasanya berbentuk
mudhaf (pokok) dan mudhaf ilaih (tambahan), contoh:
Bahasa Indonesia Bahasa Arab
Menghadapi permasalahan
Irak
Saya mengunjungi kebun milik
4&اجOVl4 /K/ ا.8+اق
;U<زرت >;01/ أ
47 Syarif, Hidayatullah, Tehnik Menerjemahkan Teks Arab I, Tangerang: Transpustaka,
2005, hlm. 21 48
Syarif, Hidayatullah, Tehnik Menerjemahkan Teks Arab I, Tangerang: Transpustaka,
2005, hlm. 25
Ahmad
1. Pola Dasar Kalimat
Masing-masing bahasa mempunya pola dasar kalimat, baik itu
bahasa Indonesia, maupun bahasa Arab. Pola dasar kalimat dalam
bahasa Indonesia, yaitu:
1. NP + NP
Contoh: Ibu Dokter.
2. NP + AP
Contoh : Bogor Sejuk.
3. NP + VP
Contoh : Petani Mencangkul.
4. NP + VP + NP
Contoh : Dia Belajar Semantik.
5. NP + VP + NP + NP
Contoh : Ibu membelikan kakak pakaian.
Pola dasar kalimat dalam bahasa Arab hanya dua pola dasar, yaitu:
1. Jumlah Ismiyah
isim + isim
Contoh: ?[7 ;1ذ atau Sp#f @Pأ
2. Jumlah fi’liyah
fi’il + fail
Contoh: .8?;1ذ atau م#f ;U<أ
f. Perluasan Pola Dasar Kalimat
Dalam bahasa Indonesia, perluasan pola dasar kalimat bisa terjadi
pada subjek, predikat maupun objek, seperti:
1. NP + VP + NP
Contoh : Petani yang rajin sedang mencangkul kebunnya yang
luas.
2. NP + NP + VP + NP + AP
Contoh : Petani yang membeli pupuk kurus.
Begitu juga dalam bahasa Arab, perluasan bisa terjadi pada
subjek maupun objek kalimat. seperti:
1. NA + A
contoh: لا#q \3U9.ب ا#=V.
g. Pernyataan Ingkar
1. NP + NP --------------------------- NP + bukan + NP
Ayah dokter. Ayah bukan dokter.
2. NP + VP --------------------------- NP + tidak + VP
Mobil itu mogok Mobil itu tidak mogok.
3. NP + AP ---------------------------- NP + tidak + AP
Petani itu kurus Petani itu tidak kurus
.
h. Pertanyaan
NP + NP ----------------------------- NP + NP + kah?
Ayah dokter. Ayah dokter kah?
NP + NP ----------------------------- NP + AP + kah?
Jakarta ramai Jakarta ramai kah?
NP + VP + NP ---------------------- NP + VP + NP + kah?
Petani mencangkul kebun Petani mencangkul kebun kah?
i. Pasif
Dalam bahasa Indonesia perubahan dari aktif ke pasif ditandai
dengan perubahan imbuhan dari me- menjadi di-. Namun dalam bahasa
Arab perubahan dari aktif ke pasif ditandai dengan perubahan bentuk
fi’il dimana pada fi’il madi perubahannya dilakukan dengan
mendamahkan huruf awal dan memberi harkat kasrah pada huruf
sebelum huruf akhir. sedangkan pada fi’il mudori perubahannya
dilakukan dengan mendamahkan huruf awal dan memberi harkat fatah
pada huruf sebelum akhir.
Contoh perubahan dalam bahasa Indonesia:
N1 + me- + Vt + N2 --------------------- N2 + di- + Vt + oleh + N1
Ayah membaca koran. Koran itu dibaca oleh Ayah.49
Contoh perubahan dalam bahasa Arab:
ا.+6#./ آ=?------------ +6#./آ=? ا>U; ا.
j. Konjungsi
Konjungsi atau kata sambung adalah kata tugas yang
menghubungkan dua klausa atau lebih. Seperti kata dan, kalau, atau,
tetapi, kemudian, karena, sejak, sehingga, sebab, meskipun, jadi,
sesudah, selanjutnya, maka, dan demikian.
Dalam praktek kebahasaan terutama dalam bahasa tulis banyak
kita jumpai penulisan kata (konjungsi) di awal kalimat dengan kata
penghubung seperti sehingga, dan, atau, tetapi, karena, kemudian,
sebahagian. Kata penghubung tersebut bertugas menduduki posisi awal
kalimat. Ada sebagian konjungsi yang menyatakan hubungan antar
kalimat atau ujaran lain seperti kata jadi, karena itu, dengan demikian,
kalau begitu, oleh karena itu, oleh sebab itu, sebab itu, meskipun
49Jose Daniel Parera, Bidang Sintaksis, Pengantar Lingusitik Umum, seri C, (Flores: Nusa
Indah, 1978), hlm. 18-24
demikian, walaupun begitu, sesudah itu, selanjutnya, itulah sebabnya,
dan karena itulah.50
k. Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang baik karena apa yang dipikirkan
atau dirasakan oleh si pembaca (si penulis dalam bahasa tulis) sama
benar dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh si penutur (si
penulis itu) atau kalimat yang dapat mencapai sasarannya secara baik.51
Selain itu kalimat efektif mempunyai ciri-ciri khas, yaitu kesepadanan
struktur, keparalelan bentuk, ketegasan makna, kehematan kata,
kecermatan penalaran, kepaduan gagasan, dan kelogisan bahasa.52
2. Kategori Gramatikal
Klasifikasi gramatikal adalah komponen dalam tata bahasa yang
memeperlihatkan bagaimana satuan-satuan gramatikal dengan
berbagai cirinya berperilaku sebagai satuan yang lebih abstrak dalam
satuan gramatikal yang besar. Kategori dibedakan atas kategori primer
yang terdiri atas kelas kata, dan kategori sekunder yang terdiri dari
modus, kala (tenses), aspek, diatesis, jumlah, dan kasus.
50Abdul Chaer, Gramatika Bahasa Indonesia, (Jakarta:1989 ), hlm. 109-113
51J.S. Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995), hlm. 188. 52
E. Zaenal Arifin, dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992), hlm. 72
Kategori primer yang terdiri dari kelas kata telah dijelaskan dalam
subbab di atas, sedangkan kategori primer yang terdiri dari enam
macam kategori, empat di antaranya menjadi kategori yang sangat
penting dalam bahasa Arab, yaitu:
a. Jumlah (number)
Jumlah adalah kategori gramatikal yang membeda-bedakan
jumlah. Misalnya tunggal (mufrad), dual (mutsanna), dan jamak (jama’).
Dalam bahasa Arab perbedaan ketiga jumlah tersebut akan
mempengaruhi struktur kalimat atau katanya. Begitu pun dalam bahasa
Inggris yang membedakan adanya single dan plural. Contoh:
kata book (single) dalam bahasa Inggris menjadi books (plural atau
dua). Sedangkan dalam bahasa Arab kata ;U94 (mufrad) menjadi
.U94 (jama’ muzakar salim untuk nomina);ون U94 (mutsanna) dan;ان
Sedang untuk verba contoh: ?=آ (mufrad) menjadi #A=آ (mutsanna) dan
Model tersebut tidak terjadi .(jama’ muzakar salim untuk verba) آ=A&ا
dalam bahasa Indoensia karena dalam bahasa Indoensia jumlah
dinyatakan dengan tidak merubah susunan kata atau menambah huruf
di belakangnya. Melainkan dinyatakan dengan kata-kata khusus seperti
seekor, dua ekor dan seterusnya (untuk menyatakan jumlah binatang)
atau sebuah, dua buah, dan seterusnya (untuk menyatakan jumlah
benda).
b. Tenses (kala)
Tenses adalah kategori gramatikal kata kerja yang dinyatakan
dengan perbedaan gramatika dengan melihat waktu pengerjaan atau
pengucapan suatu kalimat (ejaan), atau lebih jelasnya bentuk kata kerja
untuk menyatakan hubungan waktu.
Dalam bahasa Arab selain dikenal adanya tenses lampau, akan
datang, sedang, atau waktu sekarang, juga ada bentuk lain. Seperti
yang dikatakan oleh Scott bahwa dalam bahasa Arab dikenal adanya
dua bentuk tenses yaitu completed (sempurna) dan incompleted (tidak
sempurna). Scott memberi contoh kata rUOت (Dia mengecup.), sUOت (Dia
mencari atau meraba) dengan huruf terakhir diberi penanda huruf vokal
sebagai kata yang memiliki the completed tenses. Sedangkan kata rUO=1
dan sUO=1 (huruf konsonan terakhir tidak diberi vokal) mengandung
uncompleted tenses. Hal ini dalam bahasa Arab menurutnya
berpengaruh karena vokal pada huruf konsonan terakhir suatu kata
berhubungan dengan modus.53
c. Modus
Modus merupakan kategori gramatikal dalam bentuk verba yang
mengungkapkan suasana psikologis penutur terhadap tindakan,
53G.C. Scott, Practical Arabic, (London: Low and Brydone Ltd, 1962). Hlm. 109
perbuatan, menurut tafsiran pembicara atau sikap pembicara tentang
apa yang diucapkannya.54 Ada tiga macam modus, yaitu:
1) Modus subjungtif (modus non factual), untuk menyatakan makna
suatu perbuatan dalam verba (fi’il) yang belum pasti (menyatakan
keragu-raguan). Modus seperti ini ada pada fi’il mudlori yang
manshub (vocal pada huruf konsonan akhir berharakat fathah),
dalam bahasa Arab fi’il mudlori berharakat fathah apabila disertai
huruf nashab, yaitu: ان , Zآ , e. ,إذ contoh: N. +3g م&C=Pا
Antasuuma khairulaka yang artinya Bagimu berpuasa itu lebih baik.55
Merupakan perbuatan yang belum tentu dilakukan oleh
pendengar.
2) Modus indikatif (modus faktual) untuk menyatakan makna
perbuatan yang faktual (terjadi) atau suatu kebenaran umum
(netral)56 modus ini terjadi pada fi’il mudlori yang marfu (vokal
konsonan huruf akhir berharakat dammah)
3) Modus subjungtif (penegasan) untuk menunjukkan makna
penegasan, modus ini terjadi pada fi’il mudlori yang dijazemkan
(vokal huruf terakhir berharakat sukun) contoh: N. ح+lP S.ا
54Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
cet. ke 5, hlm. 139 55
Hifni Bek Dayyab, Muhammad Bek Dasyyab, Kaedah Tata Bahasa Arab, (Jakarta:
Darul Ulum Press, 1991), hlm. 88 56
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, ((Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
cet. ke 5, hlm. 139
yang artinya bukankah kami telah melapangkan dadamu ص;رك
untukmu.
d. Kasus
Kasus adalah kategori gramatikal dari nomina, frase nomina,
pronominal, atau adjektiva yang memperlihatkan hubungannya dengan
kata lain dalam konstruksi sintaksis.
Kasus berhubungan dengan fungsi, makna, dan peran suatu kata
dalam sebuah kalimat. Nomina dalam bahasa Arab mempunyai tiga
kasus, yaitu:
1) Nomina (marfu) adalah kasus yang menandai nomina atau
sejenisnya sebagai subjek dalam kalimat. Contoh: SOf dan SO0.ا
kolamu atau alkolamu.
2) Akusatif (manshub) adalah kasus yang menandai nomina atau
sejenisnya sebagai objek langsung, contoh: #UOf @1+=6إ
3) Genetif (majrur) adalah kasus yang menandai makna milik pada
nominan atau sejenisnya, contoh: eiE.ا SOf
3. Morfologi
a. Definisi kata
Untuk menganalisis bahasa tulis, Penulis akan memberikan
gambaran beberapa konsepsi definisi kata:
1) Kata mendapatkan tempat yang paling penting dalam analisis
tata bahasa. Sebab kata merupakan satu kesatuan sintaksis dalam
tutur atau kalimat.
2) Kata dapat merupakan satu kesatuan yang penuh dan komplit
dalam ujar sebuah bahasa.
3) Kata dapat berdiri sendiri (soleer hearheid). Yang dimaksud bahwa
sebuah kata dalam kalimat dapat dipisahkan dari yang lain.
b. Calon kata
Kita harus mengetahui ada calon kata dalam pengelompokan kata
yaitu:
1) Calon kelas benda (nomina).
2) Calon kelas kerja (verba).
3) Calon kelas sifat (adjetif).
4) Calon kelas kata tugas (partikel).
5) Phrase (kelompok kata).
6) Noun phrase (kelompok nominal) yakni kelompok kata yang
pusatnya benda.
7) Verba phrase (kelompok verbal).
8) Adjektif phrase (kelompok dengan pusat sifat).
9) Infinitif (bentuk kata kerja non finit).
c. Reduplikasi (pengulangan kata benda)
Pada tataran morfologi, reduplikasi adalah suatu proses morfemis,
atau proses pembentukan kata. Hasil dari proses morfemis adalah kata
ulang, sedangkan kata ulang bukanlah satu-satunya hasil dari proses
reduplikasi pada tataran morfologi.
Adapun reduplikasi pada tataran sintaksis adalah proses di dalam
pembentukan kalimat. Oleh karena itu, hasilnya bukan berupa kata
ulang. Melainkan suatu bentuk yang oleh Poerwadarminta (1976) dan
Parera (1976) disebut ulangan kata. Contoh :
a. Dia benar-benar murid yang pandai (kata ulang).
b. Benar-benar dialah muridnya (ulangan kata).
Pada tataran morfologi, reduplikasi mempunyai makna gramatikal
dan non gramatikal. Makna gramatikal yaitu makna yang perumusannya
dapat dikaidahkan, atau dapat diramalkan berdasarkan persamaan
yang berlaku secara ketatabahasaan (Chaer: 1990). Sedangkan makna
non gramatikal yaitu idiomatik atau makna yang rumusannya tidak
mengikuti kaidah umum gramatikal.
Fungsi pada tataran morfologi reduplikasi:
1. Bentuk dasarnya nomina,
a. Bermakna plural atau jamak.
b. Bermakna menyerupai, seperti, semacam.
2. Bentuk dasarnya verba
a. Bermakna intensitas (berkali-kali).
b. Resiprokal berbalasan (saling membalas).
c. Perihal.
3. Berdasarkan sifat,
a. Bermakna banyak.
b. Bermakna hanya.
c. Walaupun, tetapi.
d. Superlatif, atau paling.
4. Bentuk dasarnya kata bilangan, maka makna yang dikandungnya
adalah kelompok.
Fungsi pada tataran sintaksis reduplikasi hanya memberi makna
penegasan atau penekanan terhadap bentuk yang diduplikasikannya.
Pengulangan kata yang tidak perlu seperti nomina: orang-orang,
mereka-mereka, kamu-kamu dan kira-kira.57
4. Semantik
Studi linguistik yang objek kajiannya makna bahasa juga merupakan
satu tataran linguistik. Yang tidak dapat dipisahkan dari kajian morfologi,
sintaksis, fonologi, kata, frase, dan kalimat. Sebab semantik merupakan
unsur yang berada pada semua tataran itu. Meskipun sifat kehadirannya
pada setiap tataran tidak sama.58 Semantik mulai mendapat perhatian
pada linguist sejak 1954. Hockket, Noam Chomsky (1965) dan Ferdinand
de Sauser.
Ferdinand de Sauser dengan teori (sign lingustique) tanda linguistik,
terdiri dari dua komponen. Yang pertama signifian (yang mengartikan)
dan yang kedua signifie (yang diartikan). Ferdinand de Sauser juga
mengatakan bahwa sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai dengan
57Abdul Chaer, Reduplikasi Gabungan Kata, jilid 23 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1979) hlm. 24-3 58Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2003), hlm. 284
studi semantik adalah tidak ada artinya, sebab kedua komponen itu,
signifian dan signifie, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.59
Kegiatan berbahasa merupakan kegiatan mengekspresikan
lambang-lambang bahasa untuk menyampaikan makna-makna yang
ada pada lambang-lambang tersebut.60
Semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (kata sifat) yang
berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti
menandai atau melambangkan. Kata semantik ini kemudian disepakati
sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari
hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang
mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu semantik
dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti.61
a. Pengertian makna
Makna dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “Arti atau
maksud suatu kata”.62 sedangkan dalam kamus linguistik, makna berarti
hubungan dalam kesepadanan atau ketidak-sepadanan antara bahasa
dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang
ditujunya.63
59Abdul Chaer, Linguistik Umum, hlm. 285
60Abdul Chaer, Linguistik Umum, hlm. 288 dan 285
61Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta,1995),
hlm. 2 62
W.J.S. Poerwa Darminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 624 63
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993) hlm. 132
Makna bahasa berkaitan langsung dengan tanda atau lambing
linguistiknya. Misalnya kata baqorun merupakan tanda linguistik yang
terdiri dari huruf B/a/q/o/r/u/n yang artinya binatang berkaki empat yang
berbadan tinggi dan besar biasa diternak, diperas susunya serta
dagingnya merupakan makanan yang bergizi tinggi; dalam bahasa
Indonesia berarti sapi.64
b. Jenis makna
Mengenai jenis makna para linguist berbeda pendapat; seperti
Palmer yang mengemukakan jenis-jenis makna: kogniktif, ideasional,
denotasi, dan proposisi. Sedangkan Bloomfield dalam bukunya Language
membedakan makna atas makna sempit (Harrowd Meaning) dan makna
luas (Widened Meaning).65 Verhaar dalam bukunya Pengantar Linguistik
mengemukakan jenis-jenis makna yaitu makna leksikal dan makna
gramatikal.66
Namun dalam hal ini, Penulis hanya akan menjelaskan jenis-jenis
makna yang mempunyai relevansi dengan pembahasan skripsi ini yaitu
makna leksikal dan makna gramatikal.
1) Makna leksikal
64Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Jogyakarta:
Multi Karya Grafika, 1999), hlm. 344 65
Leonard Bloomfield, Language (New York: Holt-Rinehart and Wibstob, 1993), hlm.
151 66J.W.M. Verhaar, Pengantar Linguistik, (Jogyakarta: UGM Press, 1995), hlm. 9
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari nomina leksikon
(vokabuler, kosa-kata, perbendaharaan kata).67 Satuan dari leksikon
adalah leksem yang lazim disebut kata.68 Dengan demikian, maka makna
leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat
leksem, atau bersifat kata. Oleh karena itu, Abdul Chaer dalam bukunya
mendefinisikan makna leksikal dengan makna yang sesuai dengan
referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau
makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.69
Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguistik, mendefinisikan
makna leksikal sebagai makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang
benda, peristiwa, dan lain-lain; makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur
bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya.70
Kata sapi misalnya, makna leksikal dari kata sapi adalah binatang
berkaki empat yang biasanya digunakan sebagai alat pengangkut bajak
sawah tradisional yang juga dimanfaatkan daging dan susunya. Makna
ini tampak jelas dalam kalimat Sapi itu telah diperah susunya oleh pak
Dirman tadi pagi, atau dalam kalimat saya minum susu sapi tadi pagi.
Kata sapi pada kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang sapi,
bukan kepada yang lain.
2) Makna gramatikal
67Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta,1995),
hlm. 60 68
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, hlm. 60 69ibid, hlm. 60 70
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (edisi ketiga), (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993) hlm. 133
Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat
adanya proses gramatika, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan proses
komposisi.71 Misalnya dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan kata dasar
baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’;
dengan kata dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai
kuda’.
F. Pesantren dan Tradisi Penerjemahan
1. Pengertian Pesantren
Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa dan
Madura dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal
dari pengertian asrama para santri yang disebut pondok atau tempat
tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari bahasa
Arab funduq, yang berarti hotel atau asrama.72
Kata pesantren berasal dari kata santri73, dengan awalan pe- di
depan dan akhiran –an berarti tempat tinggal para santri. Ada dua
pendapat tentang asal-usul kata santri. Pendapat pertama mengatakan
bahwa kata santri berasal dari kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa
sansekerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini menurut Nurcholis
71 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta,1995),
hlm. 62 72
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES,
1985), cet. Ke-4, hlm. 18 73
Dalam penelitiannya Clifford geertz berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan
sempit. Dalam arti sempit adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau
pesantren. Oleh sebab itu perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat
untuk para santri.
Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi
orang-orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab
bertulisan dan berbahasa Arab.
Di sisi lain, Zamarkhsari Dhofier berpendapat, kata santri dalam
bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Atau
secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau
buku-buku tentang ilmu pengetahuan.74 Pendapat kedua yang
mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa
Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seorang yang selalu mengikuti seorang
guru ke mana guru ini menetap.75
Pesantren terdiri dari lima elemen pokok, yaitu: kyai, santri, masjid,
pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.76 Kelima elemen tersebut
merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan yang membedakan
pendidikan podok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk
lain.
Pondok pesantren merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di
Indonesia. Karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan
formal di Indonesia sebelum pemerintah kolonial Belanda
memperkenalkan sistem pendidikan ala Baratnya. Pesantren didirikan
karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Hal ini dapat dilihat dari
74Yamadi, Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid terhadap pendidikan Islam
tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.61 75
Yamadi, Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid terhadap pendidikan Islam tradisional, hlm. 62
76Yamadi, Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid terhadap pendidikan Islam
tradisional, hlm. 64
perjalanan historisnya bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas
kesadaran kewajiban dakwah Islamiah, yakni menyebarkan dan
mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama
dan da’i.77
2. Sejarah Perkembangan Pesantren
Pendidikan Islam di Indonesia memiliki ciri khusus karena eksistensi
pondok pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Pesantren
dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki akar
sejarah yang panjang.
Tentang kehadiran pesantren pertama kalinya di Indonesia, dimana
dan siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan pasti. Akan
tetapi, tentunya kehadiran pondok pesantren itu sendiri bersamaan
dengan masuknya Islam di pulau Jawa. Para ahli sejarah sependapat
bahwa ulama pembawa Islam di pulau Jawa adalah para wali sembilan
yang lebih dikenal dengan sebutan wali songo. Hal ini dapat dilihat dari
kisah kehidupan Raden Rahmat yang mendirikan pondok pesantren
Ampel Denta. Raden Rahmat pun kemudian dikenal dengan sebutan
Sunan Ampel. Murid-muridnya (santri) kebanyakan dari kalangan
77Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), cet.
ke 1, hlm. 40
bangsawan dan putra Adipati kerajaan.78 Kendati demikian, pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang peran-
sertanya tidak diragukan lagi adalah sangat besar bagi perkembangan
Islam di Nusantara.79
Pada masa penjajahan Kolonial Belanda, nama pesantren sebagai
lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam
bidang penyiaran agama Islam. Kelahiran pesantren selalu diawali
dengan perang nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan
masyarakat sekitarnya dan diakhiri dengan kemenangan pihak
pesantren. Pada masa penjajahan ini, pondok pesantren tetap berdiri,
walaupun sebagian besar berada di daerah pedesaan.
Dalam perkembangannya, pesantren sebagai lembaga pendidikan
berkembang sangat pesat. Pada zaman kolonial Belanda saja jumlah
pesantren besar dan kecil di Indonesia tercatat sebanyak 20.000 buah.
Perkembangan selanjutnya mengalami pasang surut. Ada di daerah
tertentu yang membuka pesantren baru, ada pula pesantren di daerah
lain yang bubar karena tidak terawat lagi.80
Dalam perkembangan terakhir, pendidikan pesantren sudah
memperlihatkan model yang dihasilkan oleh perubahan-perubahan yang
terjadi akibat persentuhan dengan pola pendidikan modern. Model-
78Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa,
(Surabaya: Bintang Timur), tth, hlm. 21 79
Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, hlm.
41 80
Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa,
(Surabaya: Bintang Timur), tth,, hlm. 42
model ini menggambarkan optimalisasi pemanfaatan fungsi-fungsi.
Khususnya dari lembaga pendidikan pesantren dan madrasah atau
sekolah.
Perubahan penting terjadi dalam tahun 1910 di mana pesantren-
pesantren (di antaranya pesantren Denanyar di Jombang) mulai
membuka pondok untuk murid wanita. Dalam tahun 1920-an beberapa
pesantren antara lain Pesantren Tebu Ireng di Jombang dan Pesantren
Singosari di Malang mulai mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa
Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah.81
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak
diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu
keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Maka pengajaran
kitab-kitab kuning telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas
dari proses belajar mengajar di pesantren.82
Dari segi sikap terhadap tradisi pesantren dibedakan kepada jenis
pesantren salafi dan khalafi. Jenis salafi merupakan pesantren yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikannya. Di pesantren ini pengajaran pengetahuan umum tidak
diberikan. Tradisi masa lalu sangat dipertahankan. Pemakaian sistem
madrasah hanya untuk memudahkan sistem sorogan seperti yang
dilakukan di lembaga-lembaga pengajaran bentuk lama. Pada
81Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES,
1985), cet. ke 4, hlm. 38 82
Yamadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 67
umumnya pesantren dalam bentuk inilah yang menggunakan sistem
sorogan dan weton atau bandongan.83
Pesantren khalafi tampaknya menerima hal-hal baru yang dinilai
baik di samping tetap mempertahankan tradisi lama yang baik.
Pesantren jenis ini mengajarkan pelajaran umum di madrasah dengan
sistem klasikal dan membuka sekolah-sekolah umum di lingkungan
pesantren. Tetapi pengajaran dalam bentuk ini diklasifikasikan sebagai
pesantren modern di mana tradisi salaf sudah ditinggalkan sama sekali.84
Pesantren saat ini telah menjadi sebuah institusi atau kampus yang
memiliki potensi besar dalam akselerasi pendidikan nasional. Dari jumlah
pesantren mencapai 14.798 lembaga dengan jumlah santri 3.464.334
orang, bentuk pendidikan yang diselenggarakan dapat diklasifikasi
menjadi empat tipe, yakni: (1) Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang
hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam)
maupun sekolah umum (SD, SMP, SMA dan PT Umum), seperti Pesantren
Tebuireng Jombang, Nurul Jadid Paiton, dan Pesantren as-Syafi’iyyah
Jakarta; (2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan
dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meskipun
tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti Pesantren Gontor Ponorogo
dan Darul Rahman Jakarta; (3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-
ilmu agama dalam bentuk pendidikan diniyah, seperti Pesantren Lirboyo
83Yamadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 70 84
Yamadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 71
Kediri dan Pesantren Tegalrejo Magelang; dan (4) Pesantren yang hanya
sekedar menjadi tempat pengajian.85
Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1)
Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama
(Tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam (Islam value), (2) Lembaga
keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan (3)
Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social
engineering).86
3. Tradisi Penerjemahan di Pesantren
Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan
transfer ilmu-ilmu agama (Tafaqquah fiddin) telah melahirkan suatu
konsekuensi bagi komunitas pesantren itu sendiri. Bahwa pada
kenyataannya, agama Islam adalah agama yang lahir dan besar di
negeri yang mempunyai bahasa berbeda dengan bahasa di negara
Indonesia. Oleh karena itu, pesantren dalam implementasinya sebagai
wadah transfer ilmu melakukan berbagai cara untuk menyiasati
perbedaaan bahasa tersebut.
Selain dengan mengajarkan bahasa Arab kepada santrinya. Salah
satu cara yang dilakukan oleh pesantren, baik itu pesantren salafi
85Muhammad Maftuh Bashuni, Revitalisasi Spirit Pesantren: Gagasan, Kiprah, dan
Refleksi, (Jakarta: DirJen DepAg RI, 2006), cet. Ke. I, hlm. 32 86
Muhammad Maftuh Bashuni, Revitalisasi Spirit Pesantren: Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, (Jakarta: DirJen DepAg RI, 2006), cet. Ke. I, hlm. 33
maupun khalafi adalah dengan menerjemahkan buku-buku atau
manuskrip ilmu-ilmu agama Islam ke bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk memudahkan proses transfer ilmu-ilmu agama yang
dilakukan oleh pesantren. Salah satu bukti adalah lahirnya banyak
terjemahan kitab, baik itu fikih, hadits, tafsir, dan lain sebagainya.
Dengan banyaknya kitab-kitab berbahasa Arab yang telah
diterjemahkan, maka transfer ilmu dari kyai ke muridnya berimbas pula
meluasnya syiar Islam ke masyarakat luas. Sekarang banyak orang yang
bisa menikmati membaca kitab-kitab ilmu agama yang tadinya sedikit
mereka pahami karena keterbatasan kemampuan berbahasa Arabnya.
BAB III
GAMBARAN UMUM PESANTREN AL-AMANAH AL-GONTORY
F. Letak Pesantren Al-Amanah Al-Gontory
Letak Pesantren Al-Amanah Al-Gontory di daerah Tangerang
Selatan, tepatnya di Jln. Taman Makam Bahagia ABRI Kelurahan Perigi
Baru Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang Selatan Propinsi Banten
Tlp/fax : 021-74862163. Untuk dapat sampai di pesantren kita bisa
menempuhnya dengan menggunakan angkutan umum. Dari Plaza
Bintaro kita dapat menggunakan angkutan umum jurusan Komplek
Perumahan Graha Raya dengan menempuh perjalanan selama kurang
lebih setengah jam. Kemudian berhenti di depan masjid Al-Ghofur dan
dilanjutkan lagi dengan berjalan kaki menuju pondok pesantren tersebut
selama kurang lebih dua puluh menit.
G. Sejarah Singkat Pesantren Al-Amanah Al-Gontory
Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory mulai dirintis pada tahun
1992. Pesantren ini lahir dari keinginan Bapak (Alm) H. Nadjih. Hi bin H.M.
Idup untuk mendirikan sebuah pesantren yang sama dengan pesantren
tempat beliau belajar dulu yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor.
Beliau merasakan bahwa apa yang telah didapatnya dari Pondok
Modern Darussalam Gontor sangat bermanfaat bagi dirinya maupun
orang lain. Oleh karena itu, beliau mulai merintisnya di sebuah tempat di
lembah dekat Situ Perigi.87
Menurut KH. Sundusi Ma’mun, Bapak (Alm) H. Nadjih Hi bin H.M. Idup
menganggap daerah lembah Situ Perigi merupakan tempat yang
representatif untuk berdirinya sebuah pondok pesantren. Selain karena
masih asri, keberadaan Situ Perigi sebagai danau yang menampung air
cukup banyak sangat berguna bagi kelangsungan aktifitas pondok. Hal
ini sangat dirasakan manfaatnya ketika kemarau tiba, di mana daerah
sekitar Perigi mulai kekurangan air, pondok pesantren tetap masih bisa
beraktifitas seperti biasa karena air masih tetap tersedia.88 Namun
sebaliknya, di waktu musim hujan, daerah areal pondok menjadi tempat
yang pertama kali merasakan banjir.
Pada awal pendiriannya, pesantren ini bernama Al-Amanah dan
hanya menempati tempat sederhana yang mereka namakan Ta’sis.
Namun pada tahun kedua, pihak pengurus mulai melakukan kerjasama
dengan Pondok Modern Darussalam Gontor. Hal ini sesuai dengan
keinginan pencetus, yaitu Bapak (Alm) H. Nadjih, Hi bin H.M. Idup agar
pondok pesantren ini sama dengan tempat beliau menimba ilmu dulu.89
Setelah hampir lima tahun berjuang untuk mendapatkan legitimasi
dari pesantren induk yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Akhirnya
Pondok Pesantren Modern Al-Amanah berhak menisbathkan nama Al-
87Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah
Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009. 88
Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah
Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009. 89Ibid.
Gontory di belakang nama Al-Amanah. Jadilah nama pondok pesantren
tersebut menjadi Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Gontory.90 Di seluruh
Indonesia hanya ada tiga pondok pesantren modern yang mempunyai
legitimasi PMDG untuk menisbathkan nama Al-Gontory di belakang nama
pondok pesantrennya, yaitu: (1) Pondok Modern Al-Kautsar Al-Gontory di
Lombok Timur NTB, (2) Pondok Modern Daarul Jameel Al-Gontory, dan (3)
Pondok Modern Al-Amanah Al-Gontory di Tangerang Selatan Banten.
Menurut K.H. Sundusi Ma’mun, penisbathan nama Al-Amanah
kepada Al-Gontory ini dianggap sangat penting karena selain sebagai
cita-cita awal dari para pencetus, dengan nama Al-Gontory di
belakangnya, pengurus berharap dapat meraih hati dan simpati
masyarakat terhadap keberadaan pondok pesantren ini. Sebab menurut
beliau, brand image Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai
pesantren dengan metode pendidikan yang modern mempunyai
kelebihan di mata masyakakat banyak, dan dianggap mempunyai nilai
jual yang tinggi.91
H. Santri
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II, bahwa pondok
pesantren terdiri dari lima elemen pokok, yaitu: kyai, santri, masjid,
pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam. Salah satu elemen yang juga
cukup penting dalam perkembangan pesantren adalah para pencari
ilmu itu sendiri, yaitu santri.
90Ibid. 91
Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah
Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009.
Santri Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Gontory pada waktu
pertama kali berdiri berjumlah enam orang santri. Kemudian di tahun
kedua bertambah menjadi sembilan belas orang. Seiring perkembangan
fisik pondok pesantren, jumlah santri terus bertambah. Pada tahun ajaran
2000-2001 pondok pesantren ini mulai membuka kelas untuk santri putri.
Berikut ini adalah data kelulusan santri Pondok Modern Al-Amanah
Al-Gontory:
SANTRI
NO PERIODE BELAJAR / TAHUN PELAJARAN
L P
1 1997-1998 6
2 1998-1999 19
3 1999-2000 30
4 2000-2001 29
5 2001-2002 12
6 2002-2003 14
7 2003-2004 23
8 2004-2005 9
9 2005-2006 11 2
10 2006-2007 17 9
11 2007-2008 16 12
12 2008-2009 12 16
Tabel I. (Data Kelulusan santriwan-santriwati Pondok Modern Al-Amanah Al-
Gontory)
Pola pendidikan di Pondok Modern Al-Amanah Al-Gontory
menekankan kepada pembentukan pribadi mukmin muslim yang berbudi
tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas.
Kriteria atau sifat-sifat utama ini merupakan motto pendidikan di Pondok
Pesantren Al-Amanah Al-Gontory.
1. Berbudi tinggi
Berbudi tinggi merupakan landasan paling utama yang
ditanamkan oleh Pondok ini kepada seluruh santrinya dalam
semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling
tinggi. Realisasi penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh
unsur pendidikan yang ada.
2. Berbadan sehat
Tubuh yang sehat adalah sisi lain yang dianggap penting dalam
pendidikan di pondok ini. Dengan tubuh yang sehat para santri
akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan
sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui
berbagai kegiatan olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang
wajib diikuti oleh santri sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan.
3. Berpengetahuan luas
Para santri di pondok ini dididik melalui proses yang telah
dirancang secara sistematik untuk dapat memperluas wawasan
dan pengetahuan mereka. Santri tidak hanya diajari
pengetahuan, lebih dari itu mereka diajari cara belajar yang
dapat digunakan untuk membuka gudang pengetahuan. Kyai
sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas,
tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang
itu tahu untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa ia
menambah ilmu.
4. Berpikiran bebas
Berpikiran bebas tidaklah berarti bebas sebebas-bebasnya
(liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip,
teristimewa prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini
merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil
pendidikan yang telah diterangi petunjuk illahi (hidayatullah).
Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau budi
luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas.
Santri di pondok pesantren ini, selain menjalani proses belajar-
mengajar di dalam kelas, juga banyak melakukan kegiatan yang bersifat
ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka, Marching Band,
Marawis, dan lain-lain menjadi kewajiban bagi santri untuk ikut di
dalamnya. Karena kegiatan tersebut dinilai sangat berguna bagi santri.
I. Kitab-kitab yang Diajarkan dan Sistem Pengajarannya
Dengan latar belakang sebagai pesantren yang memperoleh lisensi
dari Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), maka kitab-kitab yang
diajarkan dan sistem pengajarannya sama dengan pesantren induknya,
yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor.
PMDG bersifat mandiri dalam menyelenggarakan pendidikan dan
pengajarannya, kurikulumnya pun disusun secara mandiri. Dengan kata
lain, disesuaikan dengan program Pondok secara keseluruhan.92
Kurikulum yang diterapkan di dalam Pondok Modern Al-Amanah
Al-Gontory juga dibuat sama dengan PMDG, tetapi dengan
penambahan pada beberapa materi tertentu. Seperti pelajaran khat
(menulis Arab indah) dimasukan ke dalam kurikulum. Padahal di
pesantren lain, khat hanya masuk dalam ektra kurikuler, bukan intra
kurikuler, serta mempelajari kitab Bidaya al-Mujtahid.93
Kurikulum yang diterapkan di Kuliyatul Mualimin Islamiyah (KMI-
PMDG) yang bersifat akademik, dibagi menjadi beberapa bidang studi,
yakni; pertama; Bahasa Arab, meliputi: al-Imla, al-Insya’, Tamrin al-
Lughah, al-Muthala’ah, al-Nahwu, al-Sharf, al-Balaghah, Tarikh al-Adab,
dan al-Khat al-‘Arabi (semua materi ini disampaikan dalam bahasa Arab);
92Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren: Pengalaman Pondok Modern
Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), hlm. 145. 93
Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah
Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009
kedua; Dirasah Islamiyah yang meliputi: al-Qur’an, al-Tajwid, al-Tauhid, al-
Tafsir, al-Hadits, Mushthalah al-Hadits, al-Fiqih, Ushul al-Fiqih, al-Faraid, al-
Din al-Islami, Muqaranat al-Adyan, Tarikh al-Islam, al-Mantiq, dan al-
Tarjamah (Arab-Indonesia), semua materi ini juga menggunakan bahasa
Arab. Ketiga; ilmu keguruan, mencakup al-Tarbiyah wa al-Ta’lim
(pendidikan dan pengajaran) yang disampikan dalam bahasa Arab, dan
psikologi pendidikan yang disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Keempat; bahasa Inggris yang meliputi: Reading comprehension,
Grammar, Composition, dan Dictation (semua materi ini diberikan
dengan bahasa Inggris). Kelima; ilmu pasti, yang mencakup: Berhitung
dan Matematika. Keenam; ilmu pengetahuan Alam, yang meliputi Fisika
dan Biologi. Ketujuh; ilmu pengetahuan sosial, meliputi Sejarah Nasional
dan Internasional, Geografi, Sosiologi, dan Psikologi Umum. Kedelapan;
keindonesian atau kewarganegaraan, mencakup Bahasa Indonesia dan
Tata Negara. Point lima sampai dengan delapan disampikan dalam
bahasa Indonesia.94
J. Pengajaran Penerjemahan di Pesantren
Menurut K.H. Sundusi Ma’mun, penerjemahan merupakan bagian
yang cukup penting bagi santri. Karena di samping sebagai mata
pelajaran, penerjemahan juga merupakan latihan santri dalam
memahami al-Qur’an.
94Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren: Pengalaman Pondok Modern
Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), hlm. 146.
Mata pelajaran penerjemahan di dalam pondok pesantren
dilaksanakan pada kelas 3, 4, dan 5. Materi penerjemahan berkaitan
langsung dengan al-Qur’an, oleh karena itu, mata pelajarannya disebut
terjemah al-Qur’an. Santri dituntut untuk mampu menerjemahkan ayat al-
Qur’an ke dalam bahasa Indonesia dengan bimbingan seorang ustadz.
Target belajar yang ingin dicapai dalam mata pelajaran ini adalah santri
dapat menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an dengan baik ke dalam
bahasa Indonesia.
Sebagaimana kita tahu bahwa penerjemahan adalah suatu proses
pengalihan bahasa terhadap suatu teks. Di dalam prosesnya,
penerjemahan selalu menggunakan dua bahasa, yaitu Bsu dan Bsa.
Dalam hal ini masing-masing keduanya diwakilkan oleh bahasa Arab dan
bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pondok pesantren Al-Amanah Al-
Gontory juga memberikan porsi yang cukup besar dalam kurikulum
pendidikannya bagi kedua mata pelajaran bahasa tersebut. Di samping
karena bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang diujikan dalam
Ujian Nasional.95
95Wawancara dengan KH. Sundusi Ma’mum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amanah
Al-Gontory) pada hari Jumat tanggal 26 Juni 2009
BAB IV
ANALISIS TEKS
Penulis dalam proses penelitiannya menggunakan sampel berupa
teks berbahasa Arab yang kemudian diterjemahkan oleh para santri.
Penulis menganalisis sampel tersebut kemudian hasil analisis tersebut
penulis tuangkan dalam beberapa kategori yang sesuai dengan konteks
penelitian awal skripsi penulis yaitu gramatikal.
1. Analisis Susunan Kalimat Logis
Penyusunan kalimat yang baik merupakan hal yang penting dalam
menerjemahkan, karena untuk membuat pembaca mudah memahami
sebuah karya terjemahan, maka setiap penulis atau penerjemah harus
cermat dalam menyusun kata-kata menjadi kalimat.
Menurut Penulis, memudahkan pembaca dalam membaca karya
terjemahan merupakan bagian dari tugas penerjemah, karena tujuan
dari penerjemahan adalah menjadi jembatan bagi orang yang tidak
mampu memahami karya tulis yang bersumber dari bahasa lain selain
bahasa yang dikuasainya.
Kasus 1
اF ب=4n==E/+3AV , أf&ا7 و أ`Cv4 7#8&ص/Ue-= ت ]A#دةا.5Cة
Z.#84 , تv==U/Oi=.#3 بS. 96
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai
berikut:
Shalat adalah ibadah yang mengandung perkataan dan perbuatan
yang khusus. Dibuka dengan menyebut nama Allah dan ditutup
dengan salam.
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil
sampel pada kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu,
kalimat tersebut menunjukan perluasan dari pola dasar kalimat jumlah
ismiyah, perluasannya berbentuk tarkib wasfi atau na’at-man’ut. Jika
dilihat dari struktur gramatikal Bsa, kalimat tersebut menjadi kalimat
majemuk bertingkat. Kalimat tersebut jika dilihat dari S+P+O tersusun
menjadi:
Shalat adalah ibadah yang mengandung perkataan dan
S P O Klausa Subordinatif 1
perbuatan yang khusus. Dibuka dengan menyebut nama Allah
Klausa Subordinatif 2
96 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
dan ditutup dengan salam.
Klausa Subordinatif 3
Setelah dianalisis, penulis menemukan sebagian kecil sampel kurang
tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Sebagian kecil sampel
memenggal kalimat tersebut menjadi dua kalimat dengan memberi
tanda titik setelah kata khusus. Hal itu dibolehkan dalam penerjemahan.
Namun jika dilihat dari struktur gramatikal Bsa, proses pemenggalan
kalimat tersebut kurang tepat, karena kata dibuka berfungsi sebagai
predikat. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, posisi predikat berada
setelah subjek. Untuk kasus seperti ini, penulis memilih untuk menampilkan
kata shalat di depan kata dibuka.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
“Shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan
yang khusus. Shalat dibuka dengan takbiratul ihram dan ditutup
dengan salam.”
Kasus 2
97. `$ ا56yم x_4./ 7 تx_4 #K.;8./ أA[ /1#دة أg+ى 5COةو.
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai
berikut:
97 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
“Kedudukan shalat dalam Islam tidak dapat ditandingi dengan ibadah
yang lain.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian besar
sampel pada kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu,
kalimat tersebut menunjukan jumlah ismiyah dengan khabar muqadam
atau khabar yang diletakan di awal kalimat. Jika dilihat dari struktur
gramatikal BSa, kalimat tersebut menunjukan kalimat tunggal aktif.
Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi:
Kedudukan shalat di dalam Islam tidak dapat ditandingi dengan
ibadah
S K P O
yang lain.
Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian besar
sampel tidak tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Sebagain besar
sampel kurang memahami pesan yang dimaksud pengarang teks
tersebut. Menurut Penulis, subjek dalam kalimat tersebut adalah kata
shalat dan bukan prase kedudukan shalat. Kata kedudukan dalam
kalimat tersebut lebih tepat berfungsi sebagai objek. Hal ini didukung oleh
struktur bangun paragraph secara keseluruhan. Kalimat tersebut
berkaitan erat dengan kalimat selanjutnya yaitu يb.ا e1;.د ا#U[ $K`
Damîr atau kata ganti ( OO ) pada kalimat tersebut . إ7 ب017I&م
merujuk kepada kata shalat bukan prase kedudukan shalat.
Jadi, penerjemahan yang tepat menurut penulis adalah :
“Shalat di dalam Islam menempati kedudukan yang tidak dapat
ditandingi oleh ibadah lainnya.”
Kasus 3
`$K[ د#Ue1;.ا Iي 017&م إ7 بb.98 . ا
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai berikut:
“Dan itu adalah tiang agama yang tidak dapat berdiri kecuali dengan hal
tersebut.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian besar sampel
pada kalimat tersebut. Jika dilihat dari struktur gramatikal BSu, kalimat tersebut
menunjukan jumlah ismiyah yang mengalami perluasan pada khabarnya. Klausa
Iي 017&م إ7 بb.ا dalam kalimat tersebut merupakan penjelasan dari kata e1;.ا
. Jika dilihat dari struktur gramatikal BSa, kalimat tersebut adalah kalimat tunggal
aktif. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi:
Dan itu adalah tiang agama yang tidak dapat berdiri kecuali
S P O K
dengan hal tersebut
Setelah dianalisis, Penulis menemukan sebagian besar sampel kurang tepat
menerjemahkan kalimat tersebut. Klausa yang berkedudukan sebagai keterangan
dalam kalimat tersebut kurang tepat penerjemahannya. Klausa يb.017&م إ7 ا
98 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
Iب menyimpan dua damir (satu damir tersimpan dalam kata 01&م) yang
berkedudukan sebagai subjek dan objek dalam klausa tersebut, yaitu kata agama
dan shalat. Sebagian besar sampel kurang teliti mengimplementasikan damir
dalam proses penerjemahan klausa tersebut.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
“Shalat adalah tiang agama dimana agama tidak akan berdiri tanpa shalat (atau
tanpanya).”
Kasus 4
. ]ZO ا._A$ صZO اI3O[ F و O3. SO6/ أ6+ى بe3iUg Iا.5Cة`+ض@
99
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai
berikut:
“Telah diwajibkan atas nabi SAW pada malam mi’raj sebanyak 50
waktu.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di
atas, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu, kalimat tersebut menunjukan
jumlah fi’liyah majhul atau kalimat pasif. Hal itu bisa dilihat pada kata bentukan
fi’il majhul. Di dalam bahasa Arab, lazim dalam pembentukan kalimat pasif,
objek tidak disebutkan atau dihilangkan dalam kalimat, hal ini dikarenakan objek
yang menjadi pelaku dalam kalimat pasif diangggap telah mafhum atau telah
99 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
diketahui bersama) atau juga tidak diketahui sama sekali pelakunya. Namun di
dalam bahasa Indonesia, tidak lazim menghilangkan objek yang menjadi pelaku
dalam kalimat pasif.
Kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam BSa sebagai kalimat tunggal pasif
oleh sebagian besar sampel. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan S+P+O
tersusun menjadi:
telah diwajibkan atas nabi SAW pada malam mi’raj sebanyak 50 waktu.
P O K. waktu K. kuantitas
Setelah dianalisis, Penulis menemukan sebagian kecil sampel yang
kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kekurang-tepatan itu
disebabkan oleh sebagian sampel kurang memahami struktur gramatikal
BSu dan penerjemahannya dalam BSa. Teks BSu tersebut memiliki subjek
yang tersirat dalam fi’il madi yaitu Allah swt. yang kemudian berganti
peran menjadi objek. Posisi subjek dalam teks tersebut adalah kata shalat.
Hal ini sudah lazim dalam struktur bahasa Arab, namun tidak dalam
struktur bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penerjemahan yang tepat
menurut penulis adalah tetap menerjemahkan kata yang hanya tersirat
dalam BSu dan menempatkannya sebagai objek dalam struktur kalimat
BSa.
Jadi, penerjemahan yang tepat menurut penulis adalah :
Shalat telah diwajibkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad saw. pada
malam mi’raj sebanyak 50 waktu.
Kasus 5
=.x_4#K56مy100 . `$ ا
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai
berikut:
“Kedudukan dalam Islam.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil
sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal Bsu menunjukan bahwa
kalimat tersebut adalah jumlah ismiyah. jika dilihat dari struktur gramatikal
BSa menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tunggal aktif.
Bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi:
Kedudukan dalam Islam
S K
Setelah dianalisis, penulis menemukan bahwa sebagian kecil sampel
kurang tepat menerjemahkan sub-judul tersebut. Kekurang-tepatan itu
terjadi karena sampel tidak menerjemahkan damîr atau kata ganti #ه .
Damîr atau kata ganti #ه tersebut berfungsi sebagai objek dalam kalimat
tersebut. Hal ini berimplikasi kepada kerancuan pemahaman.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
Kedudukan shalat di dalam Islam.
100 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
Kasus 6
P0\ Fا ;A[ f eل +ب#f ط :SO6 و I3O[ Fا ZOص Fل ر6&ل ا#f. 101
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai
berikut:
“Abdullah ibn Qurt berkata Rasulullah bersabda.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan sebagian besar
sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikalnya menunjukan bahwa
kalimat tersebut adalah kalimat tunggal. Kalimat tersebut bila dilihat dari
S+P+O tersusun menjadi:
Abdullah ibn Qurt berkata Rasulullah bersabda.
S P O
Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian besar
sampel tidak tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kata P0\ dalam
kalimat tersebut adalah fi’il madi majhul atau kata kerja pasif yang
menyiratkan adanya objek yang tersimpan yaitu kata hadits. Penulis
dalam hal ini, lebih mengutamakan keutuhan struktur gramatikal BSu dari
pada segi estetika bahasa. Karena menurut Nida,102 walaupun gaya
bahasa itu penting, makna mestilah menjadi prioritas utama dalam
penerjemahan.
101 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
102Syihabudin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), Bandung: Humaniora,
2005, cet. ke 1, hlm. 11
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
“Sebuah hadits telah diriwayatkan Abdullah ibn Qurt bahwa Rasulullah Saw.
bersabda …”
Kasus 7
`$ 3A6\ ا.K9#دI_#4 6ةور ذو , ا.5CةU[m&دو , ا56yما4o+ سأر
F103 .ا
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut:
“Kepala seorang raja adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, dan puncaknya
adalah jihad di jalan Allah.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di
atas, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu-nya, kalimat tersebut menunjukan
gabungan dari tiga jumlah ismiyah (dalam bahasa Indonesia lazim disebut kalimat
majemuk setara). Kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur gramatikal BSa-nya
menunjukan kalimat majemuk setara. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan
S+P+O tersusun menjadi:
Kepala seorang raja adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat,
S P O S P O
dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.
S P O
Setelah dianalisis, penulis menemukan sebagian kecil sampel yang kurang
tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kalimat majemuk setara dalam struktur
103Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
gramatikal BSu dan BSa sedikit berbeda. Kalimat majemuk setara dalam bahasa
Arab sering menggunakan bentuk ataf (ma’tuf wa ma’tuf alaih). Sedangkan dalam
bahasa Indonesia menggunakan tanda koma. Sebagian kecil sampel tersebut
cukup terpengaruh oleh struktur gramatikal BSu, sehingga penerjemahannya
banyak menggunakan konjungsi dan. Penggunaan konjungsi yang berlebihan
dalam bahasa Indonesia tidak lazim.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
“Kepala masalah adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak
tertingginya adalah jihad di jalan Allah.”
Kasus 8
, iUg e3ى ب6I+ أ ]ZO ا._A$ صZO اI3O[ F و O3. SO6/+ض@ ا.5Cة
SBP 0C@ج Z=< 8O@ #iUg ,SBP &يد;UE4 #1 .104
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai
berikut:
“Dan diwajibkan shalat pada malam isra’ sebanyak 50, lalu dikurangi
sampai jadi 5. Lalu nabi Muhammad dipanggil oleh Allah.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil
sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu-nya, kalimat
tersebut menunjukan gabungan dari tiga jumlah fi’liah yang dihubungkan
104 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
oleh konjungsi SB (tsum-ma). Kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur
gramatikal BSa-nya menunjukan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat
tersebut bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi:
Dan diwajibkan shalat pada malam isra’ sebanyak 50,
P O K
lalu dikurangi sampai jadi 5,
P O
lalu nabi Muhammad dipanggil oleh Allah.
S P O
Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian kecil sampel
kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kata konjungsi SB (tsum-
ma) dalam Bsu sering diterjemahkan ke dalam Bsa dengan kata lalu,
kemudian, setelah itu. Penulis melihat bahwa sebagian kecil sampel
tersebut masih terpengaruh gaya bahasa Bsu. Konjungsi SB (tsum-ma)
yang lebih dari dua dalam Bsu tidak diterjemahkan dengan kata yang
sama dalam Bsa.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
Shalat telah diwajibkan kepada Nabi Muhammad saw. pada malam isra
sebanyak 50 waktu, lalu dikurangi menjadi 5 waktu, kemudian Nabi dipanggil
oleh Allah.
2. Analisis Penerjemahan Prase
Kasus 1
`$ ا.K9#دI_#4 6ةورو ذ , ا.5Cةmو]U&د , ا56yما4o+ سأر
F3\ اA6.105
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai berikut:
“Kepala seorang raja adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, dan puncaknya
adalah jihad di jalan Allah.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil sampel di
atas, jika dilihat dari struktur gramatikal BSu-nya, kalimat tersebut menunjukan
gabungan dari tiga jumlah ismiyah (dalam bahasa Indonesia lazim disebut kalimat
majemuk setara). Kalimat tersebut, jika dilihat dari struktur gramatikal BSa-nya
menunjukan kalimat majemuk setara. Kalimat tersebut, bila dikaitkan dengan
S+P+O tersusun menjadi:
Kepala seorang raja adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat,
S P O S P O
dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.
S P O
Setelah dianalisis, penulis menemukan sebagian kecil sampel yang kurang
tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kata +4oا diterjemahkan oleh sebagian
kecil sampel sebagai raja. Kata tersebut adalah bentuk ma’rifah (khusus) dari asal
105 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
kata 4أ+ yang artinya urusan, masalah.106
Kata tersebut pula, berbeda dengan
kata ^4+ yang artinya raja, penguasa.107 Ketidak-tepatan dalam menentukan
makna menyebabkan kerancuan dalam kalimat tersebut.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
“Kepala masalah adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak tertingginya
adalah jihad di jalan Allah.”
Kasus 2
mروا ;U<ي| وص أb4+=.وا $p#i_.و ا,EEI. 108
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai
berikut:
“Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I, dan Tirmiji dan disohehkan.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil
sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal Bsu, kalimat tersebut
adalah jumlah fi’liah ma’lum. Jika dilihat dari struktur gramatikal Bsa,
kalimat tersebut menunjukan kalimat tunggal pasif. Bila dikaitkan dengan
S+P+O tersusun menjadi:
106 Atabiq, Ali, d.k.k. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, 1996, hlm. 220 107
Ibid, hlm. 219 108 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I, dan Tirmiji dan disohehkan.
P S
Setelah dianalisis, Penulis menemukan sebagian kecil sampel kurang
tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Struktur gramatikal BSu yang
merupakan jumlah fi’liah ma’lum dapat diterjemahkan sebagai kalimat
tunggal pasif dalam BSa. Pemahaman struktur gramatikal BSu yang
dilakukan oleh sebagian kecil sampel sudah tepat. Namun menurut
hemat penulis, damîr atau kata ganti m (h) pada prase mروا harus tetap
ditampilkan tetapi tidak difungsikan sebagai subjek. Jumlah fi’liah tersebut
menurut penulis, lebih tepat diterjemahkan menjadi sebuah prase
dibanding sebagai kalimat pasif.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
Hadits Riwayat109 Ahmad, Nasa’I dan Turmudzi yang kemudian
menshohehkan hadits tersebut.
Kasus 3
110 . أg+ى ]A#دةأ1/ 7 تx_4 /.x_4 #K.;8./ `$ ا56yم5COةو.
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian kecil sampel sebagai
berikut:
109 lazim disingkat menjadi HR.
110 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
“Kedudukan shalat dalam Islam tidak tertandingi oleh kedudukan
ayat ibadah yang lain.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan sebagian kecil
sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikalnya menunjukan bahwa
kalimat tersebut adalah kalimat tunggal aktif. Kalimat tersebut bila dilihat
dari S+P+O tersusun menjadi:
Kedudukan shalat dalam Islam tidak tertandingi
S komplemen P
oleh kedudukan-kedudukan ayat-ayat ibadah yang lain.
O
Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian kecil sampel
kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kekurang-tepatan itu
disebabkan oleh sebagian kecil sampel tidak memahami arti kata. Kata
,dalam kalimat tersebut bermakna111 setiap, sesuatu dan apa saja أ1/
bukan bermakna ayat al-Quran seperti yang diperkirakan oleh sebagian
kecil sampel tersebut.
Jadi, penerjemahan yang tepat menurut penulis adalah :
“Shalat di dalam Islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi
oleh ibadah lainnya.”
3. Analisis Perluasan Pola Kalimat
111 Atabik, Ali, Ahmad Zuhdi, Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia – Al Ashriy,
Jogyakarta: Multi Karya Grafika,1996, cet. ke 5. hlm. 281
Kasus 1
112 . 4# أوجIA اF تe4 Z.#8 ا.A8#دات وه$ أول
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai
berikut:
“Dan dia adalah yang pertama diwajibkan Allah ta’ala dalam
ibadah.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil
sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal Bsu-nya menunjukan
bahwa kalimat tersebut adalah jumlah ismiyah. Jika dilihat dari struktur
gramatikal Bsa-nya menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat
tunggal berpelengkap. Bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi:
dan dia adalah yang pertama diwajibkan Allah ta’ala dalam
ibadah.
S P pelengkap
Setelah dianalisis, penulis menemukan bahwa sebagian besar
sampel kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kekurang-tepatan
penerjemahan kalimat tersebut kemungkinan terjadi karena sampel
kurang memahami nizam atau gaya bahasa Bsu. Sampel
menerjemahkan gaya bahasa teks tersebut secara leterleg. Hal ini terlihat
dari penempatan objek kalimat yang kurang tepat. Penerjemahan yang
112 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
demikian berimplikasi pada kerancuan pemahaman. Menurut hemat
penulis, objek dalam kalimat tersebut harus ditampilkan secara jelas.
objek dalam kalimat tersebut adalah kata ibadah.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
Shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah
Ta’ala.
Kasus 2
I3O[ ?6#E1 #4. 113 ا.A8; و ه$ أول
Kalimat tersebut diterjemahkan oleh sebagian besar sampel sebagai
berikut:
“Dan dia adalah pertama kali yang dihitung terhadap hamba.”
Pengolahan bentuk gramatikal yang dilakukan oleh sebagian kecil
sampel di atas, jika dilihat dari struktur gramatikal Bsu-nya menunjukan
bahwa kalimat tersebut adalah jumlah ismiyah. Jika dilihat dari struktur
gramatikal Bsa, menunjukan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat
tunggal pasif. Bila dikaitkan dengan S+P+O tersusun menjadi:
Dan dia adalah pertama kali yang dihitung terhadap hamba.
S P Pelengkap
113 Sayyid, Syabiq, Fiq al-Sunnah, Mesir: Dar al-Fiqr, 1983. hlm. 68
Setelah dianalisis, Penulis menemukan bahwa sebagian besar
sampel kurang tepat menerjemahkan kalimat tersebut. Kekurang-tepatan
penerjemahan kalimat tersebut kemungkinan terjadi karena sebagian
besar sampel kurang memahami nizam atau gaya bahasa Bsu. Sampel
menerjemahkan gaya bahasa teks tersebut secara leterleg. Hal ini terlihat
dari penempatan objek kalimat yang kurang tepat. Penerjemahan yang
demikian berimplikasi pada kerancuan pemahaman.
Jadi penerjemahan yang tepat menurut penulis sebagai berikut:
Shalat adalah ibadah seorang hamba yang pertama kali dihitung.
Dari data di atas, penulis melihat ada dua hal yang perlu digaris-
bawahi, yaitu:
a. Data tersebut mengindikasikan bahwa sebagian sampel kurang
memahami arti kata dalam BSu (bahasa Arab). Hal ini bisa
disebabkan oleh ketidak lengkapan kamus yang mereka miliki,
sehingga proses penentuan arti kata menjadi salah.114
b. Data tersebut mengindikasikan juga bahwa sampel terlihat masih
terpengaruh oleh struktur gramatikal Bsu (bahasa Arab) dan
kurang memahami struktur gramatikal BSa (bahasa Indonesia)
dengan baik. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya materi
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah tersebut.
114 Hasil observasi penulis menemukan bahwa kamus dwi bahasa yang dimiliki oleh
santri maupun pesantren tidak banyak macamnya. Penulis juga menemukan hampir semua santri
menggunakan kamus dwi bahasa karangan Mahmud Yunus.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setalah menganalisa secara keseluruhan dari berbagai aspek yang
dibutuhkan maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Secara keseluruhan, hasil penerjemahan santri modern cukup baik.
Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa sampel yang sudah cukup
baik menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dalam
BSu.115
b. Pertanyaan penulis di awal bab tentang seberapa berpengaruhnya
struktur gramatikal bahasa sumber (BSu) dalam proses penerjemahan,
penulis mendapatkan bahwa ada sebagian kecil sampel yang masih
terpengaruh oleh struktur gramatikal bahasa sumber (BSu). Hal ini
bisa dimaklumi karena pengetahuan sampel terhadap struktur
gramatikal bahasa sasaran (BSa) yang juga kurang baik. Penguasaan
sampel terhadap struktur gramatikal bahasa sasaran (BSa) kurang baik
karena porsi mata pelajaran bahasa Indonesia di tingkat sekolah
menengah atas pada umumnya tidak cukup.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran penulis sebagai berikut :
115 Lihat table II.
a. Sebaiknya santri atau pelajar selalu mengikuti perkembangan bahasa,
baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran
b. Sebaiknya santri atau pelajar memperhatikan struktur bahasa sumber
dan bahasa sasaran untuk memudahkan dalam proses pengalihan
bahasa.
c. Berkaitan dengan pengetahuan tentang struktur bahasa sumber dan
sasaran, sebaiknya berbagai pihak terutama pihak penyelenggara
pendidikan mulai membaiki materi pelajaran yang berkaitan dengan
bahasa, terutama bahasa sasaran. Karena kelemahan dalam
penguasaan struktur gramatikal bahasa sasaran akan sangat
berpengaruh pada hasil akhir penerjemahan.
d. Cara merumuskan sebuah gramatika haruslah terdiri dari seperangkat
unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan dengan yang lain
karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realita
dalam alam semesta tertentu. Maka unsur gramatika dalam proses
penerjemahan harus juga terdiri dari seperangkat unsur leksikal yang
mengacu pada referen yang sesuai dengan konteks budaya dalam
Bahasa Sumber (BSu).
e. Para santri diberikan banyak latihan penerjemahan agar terampil
dalam menerjemahkan teks Arab ke dalam bahasa Indonesia atau
sebaliknya.
Penulis sadar bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penelitian ini harus diperbaiki dan diteruskan sebagai instrumen perbaikan sistem
pendidikan khususnya kebahasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik, Ahmad Zuhdi, Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia –
Al Ashriy, Jogyakarta: Multi Karya Grafika,1996, cet. ke 5.
Alwi, Hasan, d.k.k., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2007, ed. Ke 3, cet. ke 6.
‘Aqib, Kharisudin, Al-Fath (Metode Cepat Belajar Membaca Tulisan (Kitab)
Gundul, Surabaya: H.I. Press, 2007, cet. ke 10.
Arifin, E. Zaenal, S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk
Perguruan Tinggi, Jakarta: Akademika Pressindo, 2006, ed. Ke 2.
Chaer, Abdul, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka
Cipta, 2003, ed. Rev, cet. ke 1.
---------------- Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
2002, cet. ke 3.
---------------- Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, cet. ke 2.
Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), cet. ke 4.
Hidayatullah, M. Syarif, Teori dan Permasalahan Penerjemahan, Diktat
Jurusan Tarjamah Fak. Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
---------------, Tehnik Menerjemah Teks Arab 1, Tangerang: Transpustaka,
2005, cet. ke 2.
---------------, Modul Kursus Terjemah Arab-Indonesia Dasar II, Tangerang:
Transpustaka, 2004, cet. ke I.
Keraf, Gorys, Komposisi, Flores: Nusa Indah, 1994, cet. Ke 10.
Kridalaksana, Harimurti, Struktur, Kategori, dan Fungsi Dalam Teori Sintaksis,
Jakarta: UNIKA Atmajaya, 2002,
-------------- Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (edisi kedua),
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, cet. Ke 2.
-------------- Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, ed.
Ke 3, cet. ke 1.
Machali, Rochayah, Pedoman Bagi Penerjemah, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2000,
Mansyur, Moh., Kustiwan, Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia
Indonesia-Arab, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002.
Munawir, A.W., Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawir Indonesia-Arab
Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007, cet. ke 1.
------------------ Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, cet. Ke 2.
Mufid, Nur, Kaserun AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia
(Cara Paling Tepat, Mudah dan Kreatif), Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007, cet. ke 7.
Nasuha, Hamid, d.k.k., Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis,
Disertasi), Jakarta: Ceqda, 2007, cet. ke 2.
Partanto, Pius A., M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Buku Kamus
Terpopuler), Surabaya: Arkola, 1994.
Rofi’I, Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia jilid 2, Jakarta: Persada
Kemala, 2002, cet. ke 1.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Mesir: Darul Fikr, 1983.
-------------- Fikih Sunnah Jilid I (Terjemahan), Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006, cet. Ke 1.
Sakri, Adjat, Ihwal Menerjemahkan, Bandung: ITB, 1985, cet. ke 2.
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), Bandung:
Humaniora, 2005, cet. ke 1.
Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Sintaksis, Bandung: Angkasa, 1986, cet.
Ke 2.
Verhaar, J.W.M., d.k.k., Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Wasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Pnenelitian (Buku Panduan
Mahasiswa), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet. Ke 2.
Widyamartaya, A., Seni Menerjemahkan, Yogyakarta: Kanisius, 1989, cet.
Ke 17.
ampiran I
Wawancara dengan Bapak KH Sundusi Ma’mun
(Bertempat di Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Ghontory pada hari
Jumat tanggal 26 Juni 2009 pukul 16.30 WIB)
Penulis : Siapa pendiri dan penggagas berdirinya Pondok Pesantren
Modern Al-Amanah Al-Ghontory?
KH. Sundusi Ma’mun : Pesantren ini dicetuskan dan didirikan oleh Bpk
(Alm) H. Nadjih Hi bin H. M. Idup pada tahun 1992 bersama
rekan-rekannya.
Penulis : Apa yang melatar belakanginya?
KH. Sundusi Ma’mun : Bpk (Alm) H. Nadjih Hi bin H. M. Idup adalah salah
satu alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo,
beliau sangat ingin dalam hidupnya mendirikan sebuah
pesantren yang sama dengan tempat beliau “nyantri” dulu.
Beliau mengangggap bahwa apa yang telah diajarkan PMDG
padanya dulu benar-benar telah membentuknya menjadi
orang yang baik.
Dahulunya lokasi yang menjadi pesantren saat ini adalah
lembah yang berada di bawah situ, yaitu Situ Perigi, yang masih
asri. Kenapa harus di sini, salah satu pertimbangannya adalah
keberadaan Situ Perigi sebagai Situ atau danau. Air dinilai
sebagai sumber daya alam yang sangat menunjang
keberadaan Pondok, manusia sangat bergantung terhadap air.
Oleh karena itu, lokasi Pondok saat ini dinilai sangat cocok oleh
para pendiri waktu itu. Dahulu pernah terjadi kemarau panjang
selama kurang lebih enam bulan lamanya, daerah-daerah yang
berada di atas Situ Perigi sudah mengalami kekeringan, namun
Pondok tetap berjalan seperti biasa karena air tetap melimpah
dari Situ Perigi. Begitu juga sebaliknya, kalau datang musim
hujan yang ekstrem, daerah areal pondok pesantren menjadi
daerah pertama yang mengalami kebanjiran.
Dahulu juga, pondok pesantren ini hanya bermula dari sebuah
gedung yang dinamakan ta’sis (masdar dari kata asas yang
artinya dasar). Yaitu tempat serbaguna bagi aktifitas pondok,
seperti kegiatan belajar-mengajar, mushola, dan asrama.116 Dan
pada tahun pertama berdirinya pondok pesantren ini hanya
memiliki enam orang santri yang menuntut ilmu.
Tipologi penduduk di sekitar pondok pesantren dulu sebagian
besar adalah petani. Tingkat pengetahuan keagamaan mereka
tidak tinggi. Sehingga penerimaan masyarakat terhadap
keberadaan pondok pesantren tidak terlalu baik saat itu.
Penduduk sekitar pondok kebanyakan adalah warga NU yang
notabene tidak terlalu menerima keberadaan pondok yang
dianggap muhammadiyah. Namun hal ini tidak berlangsung
lama, karena pada hakekatnya pro dan kontra dalam hal itu
sudah lumrah terjadi, tapi tidak menimbulkan ekses yang
negatif. Dan Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Ghontory sendiri
sebenarnya adalah pondok pesantren yang tidak menganut
paham apapun. Di PMDG sendiri, sebagai pondok pesantren
induk, tidak mengizinkan adanya dikotomi-dikotomi yang
mengarah kepada pertentangan masuk ke dalam pondok
pesantren. Oleh karena itu, keberadaan pondok pesantren
tetap eksis sampai sekarang dan terus mengalami kemajuan
yang berarti.
Penulis : Apa yang menjadi latar belakang dari nama Pondok Pesantren
Modern Al-Amanah Al-Ghontory?
KH. Sundusi Ma’mun : Pada awal berdirinya pondok pesantren ini
bernama “Al-Amanah”, namun seiring berjalannya waktu, para
pendiri pondok pesantren ini berkeinginan agar ada embel-
embel “Al-Ghontory” di belakang nama “Al-Amanah”. Hal ini
dilatar-belakangi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Keinginan dari Bapak (Alm) H. Nadjih Hi bin H. M. Idup sebagai
pencetus ide atas berdirinya Pondok agar pondok pesantren ini
sama dengan pondok pesantren tempat beliau menuntut ilmu dulu
yaitu PMDG. Dengan kata lain pondok ini harus mempunyai
kesamaan dalam berbagai hal dengan PMDG, baik itu sistem
pendidikan, metode belajar, dan SDM yang dimiliki.
b. Pondok Pesantren Modern Al-Amanah Al-Ghontory, dengan
penisbathan kata “Al-Ghontory” mengindikasikan bahwa pondok
pesantren ini bersifat atau berciri sama dengan gontor atau PMDG.
116 Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa ada lima elemn pokok yang menjadi dasar
berdirinya pondok yaitu masjid, santri, kitab-kitab yang diajarkan, santri dan asrama.
PMDG dalam sejarah perkembangan pesantren, merupakan pondok
pesantren yang sangat terkenal dengan kemodernannya dalam
sistem belajar. Dari pondok pesantren ini, banyak lahir tokoh-tokoh
Islam Modern, seperti Nurcholish Madjid, Maftuh Bashuni,
Azhumardi Azhra, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, nama
gontor menjadi brand image yang punya nilai jual tinggi. Hal ini
sangat berpengaruh dalam kuantitas santri.
Setelah hampir lima tahun berjuang untuk mendapat legitimasi dari
pesantren induk yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Akhirnya
Pondok Pesantren Modern Al-Amanah berhak menisbathkan nama
Al-Ghontory di belakang nama Al-Amanah. Jadilah nama pondok
pesantren tersebut menjadi Pondok Pesantren Al-Amanah Al-Ghontory.
Untuk diketahui bahwa banyak pondok pesantren yang menjadikan
PMDG sebagai pesantren induk, seperti Pondok Pesantren Modern Dar
el-Qolam, Darunnajah, Latansa, dan lain sebagainya. Namun yang
menggunakan nama Al-Ghontory yang dinisbathkan di belakang
namanya hanya ada tiga pondok pesantren, salah satunya adalah Al-
Amanah Al-Ghontory ini.
Penulis : Menurut Bapak, apa yang membedakan antara pondok
pesantren modern dan tradisional (salafi)?
KH. Sundusi Ma’mun : Menurut Saya, pondok pesantren modern dan
tradisional (Salafi) sama saja, sama-sama pondok pesantren.
Hanya berbeda dalam sistem belajarnya, di mana aspek
kebahasaan (yaitu bahasa Arab dan Inggris) menjadi sangat
dominan di pondok pesantren modern. Hal ini sangat terasa
dengan penggunaan bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam
kehidupan pondok pesantren sehari-hari, baik itu dalam proses
belajar-mengajar, maupun dalam keseharian santri di dalam
pondok pesantren.
Stigma yang terjadi di masyarakat bahwa pondok pesantren
modern tidak mempelajari kitab-kitab kuning sebagai salah satu
elemen pokok dalam pondok pesantren tidak benar adanya.
Pondok pesantren modern pun dalam sistem belajarnya tetap
mempelajari apa yang dinamakan oleh masyarakat sebagai
kitab-kitab kuning tersebut. Seperti kitab Bidâya al-Mujtahid, fiq
as-Sunnah, dan lain-lain. Hanya saja, memang apa yang
dipelajari di dalam pondok pesantren modern terhadap kitab-
kitab kuning tidak sebanyak di pondok pesantren tradisional
(Salafi).
Oleh karena itu, saya mengimbau kepada siapapun yang
merasa alumni, baik itu alumni pondok pesantren modern dan
tradisional untuk tidak sombong (tinggi hati dan menganggap
orang lain rendah). Karena masing-masing dari kedua tipe
pondok pesantren tersebut pasti memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Selepas dari PMDG, saya juga
belajar di pondok pesantren tradisional.
Penulis : Apa pendapat Bapak tentang penerjemahan?
KH. Sundusi Ma’mun : Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa
penerjemahan adalah salah satu proses dalam belajar. Dalam
ranah pesantren, pesantren sangat konsern terhadap wacana
penerjemahan. Karena penerjemahan dilakukan untuk
mengetahui makna suatu kata atau kalimat dalam bahasa
tertentu. Misalnya kata atau kalimat dalam bahasa Arab.
Di Pondok Pesantren Al-Amanah al-Ghontory sendiri, dalam
kurikulum belajarnya menerapkan mata pelajaran terjemah,
yaitu terjemah al-Qur’an. Al-Qura’an diterjemahkan kata
perkata oleh para santri ke dalam bahasa Indonesia tanpa
bantuan kamus, apa-apa yang tidak diketahui oleh santri
kemudian ditanyakan kepada guru. Dan tolok ukur keberhasilan
santri dalam menerjemahkan adalah ketika santri bisa
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara baik.
Penulis : Bagaimana pengetahuan tentang penerjemahan di pondok
pesantren ini dan implementasinya dalam sistem belajar?
KH. Sundusi Ma’mun : Seperti yang sudah dijelaskan tadi, bahwa
penerjemahan difokuskan pada penerjemahan al-Qur’an. Al-
Qura’an diterjemahkan kata perkata oleh para santri, masalah
bagaimana cara menerjemahkan yang baik, santri tidak
sepenuhnya mengetahui hal itu. Setelah santri menerjemahkan
dengan kemampuannya sendiri, lalu guru melakukan
pemeriksaan terhadap hasil terjemahan dan kemudian
mengoreksi kesalahannya.
Penulis : Bagaimana kurikulum dibuat di pondok pesantren ini?
KH. Sundusi Ma’mun : Kurikulum dibuat berdasarkan pada kebutuhan
belajar para santri yang dianggap baik untuk diterapkan.
Kemudian untuk memenuhi standardisasi nasional mengenai
kurikulum, pondok pesantren ini juga memasukkan mata
pelajaran yang sesuai dengan apa yang sudah ditentukan oleh
Dinas Pendidikan Nasional.
Penulis : Bagaimana penerapan kurikulum pendidikan di pondok
pesantren ini hubungannya dengan penerjemahan?
KH. Sundusi Ma’mun : Sebagaimana kita ketahui bahwa fokus belajar dari
santri di pondok ini, adalah agar santri memperoleh pendidikan
yang baik di segala bidang pendidikan. Oleh karena itu tentu
pendidikan penerjemahan salah satunya. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan yang menjadi
fokus perbaikan kami juga sebagai pengurus pondok pesantren.
Lampiran II
Daftar nama santri yang menjadi sampel dalam penelitian, yaitu:
NO NAMA KLS
1 Zakiudin VI a
2 A. Satria Fataw VI a
3 Syamsul B. VI a
4 Arie Sugiarto S. VI a
5 Angga Arya VI a
6 Eko Prasetia VI a
7 Dian H. VI a
8 Bakti Gustian VI a
9 Mujahidin VI a
10 Yasin Fadillah VI a
11 Abdul Kholiq VI a
12
Ramadhan
Akbar VI a
13
Muhammad
Reza VI a
14 Oki Susanto VI a
15 Chaerul Anwar VI a
16
Gusta
Indracahya VI a