analisis kedudukan dan wewenang mahkamah …
TRANSCRIPT
ANALISIS KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH
KONSTITUSI DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN
INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
ARFANDI AHMAD PERMANA 105430014615
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
MOTTO
“Keadilan jadi barang sukar, ketika hukum hanya
tegak pada yang bayar”
ABSTRAK
Arfandi Ahmad Permana. 2019. Analisis Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Skripsi. Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Dr. A. Rahim, SH., M.Hum., Pembimbing II Auliah Andika Rukman, SH, MH.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah peneliti ingin mengungkap analisis hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat dan hambatan yang dihadapi terkait implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di lapangan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum sehingga putusan hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat final dan mengikat serta hambatan yang dihadapi Mahkamah konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Teknik pengambilan sampel yaitu Purposive Sampling. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat final dan mengikat karena mengingat kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Di samping itu, tafsir terhadap setiap perkara yang diadili Mahkamah Konstitusi hanya boleh dilakukan sekali atau satu kali. Berangkat dari persoalan itulah sehingga sudah sewajarnya putusan Mahkamah Konstitusi harus bersifat final dan berlaku secara mengikat. Adapun hambatan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi hingga saat ini terkait masalah implementasi putusan Mahkamah Konstitusi yang terkadang tidak dijalankan sepenuhnya oleh lembaga negara yang terkena adressat putusan baik lembaga negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kata Kunci: Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi dan Hambatan yang Dihadapi Mahkamah Konstitusi
ABSTRACT
Arfandi Ahmad Permana. 2019. Analysis of the Position and Authority of the Constitutional Court in the Indonesian Constitutional Law System. Thesis. Pancasila and Citizenship Education Study Program Faculty of Teacher Training and Education, University of Muhammadiyah Makassar. Supervisor I Dr. A. Rahim, SH., M.Hum., Supervisor II Auliah Andika Rukman, SH, MH.
Law No. 8 of 2011 Article 10 paragraph 1 concerning the final and binding and related decisions of the Constitutional Court relating to the implementation of the Constitutional Court's decisions on the ground. This type of research is a qualitative research that aims to study the legal considerations of the Constitutional Court judge's decision that prove final and binding and hinder the constitutional court in carrying out its duties and authorities. The sampling technique is purposive sampling. Data collection techniques used were interviews and documentation.
The results of this study show the fact that the decision of the Constitutional Court is final and binding on the decision of the first and last Constitutional Court. In addition, the interpretation of each case tried by the Constitutional Court can only be done once or once. Decisions of the Constitutional Court must be final and binding. Decisions of the Constitutional Court issued in connection with decisions of the Constitutional Court issued by state institutions that support adressat decisions of both state legislative, executive and judicial bodies.
Keywords: Nature of Decision of the Constitutional Court and Obstacles Faced by the Constitutional Court
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb...
Tiada kata lain yang lebih baik dan indah diucapkan selain puji dan syukur
kehadirat Allah SWT atas segala limpahan dan hidayah-Nya. Tuhan Yang Maha
Pemurah yang kepada-Nya segala munajat dan berserah diri. Tak lupa pula
penulis panjatkan salam dan shalawat selalu kepada Sang Revolusioner Islam,
Nabi Muhammad SAW. Semoga tercurah kasih dan sayang kepada beliau beserta
keluarga, sahabat-sahabat dan pengikutnya.
Tulisan ini cukup menghabiskan kurun waktu dalam sejarah panjang
perjalanan hidup penulis baik suka dan duka yang turut serta mewarnai kehidupan
penulis selama menempuh studi pada Program Stui Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Melalui kesempatan
ini perkenankanlah penulis menghaturkan sebuah sembah sujud dan rasa terima
kasih yang tak terhingga kepada “Nenek saya tercinta Olling serta Ayahanda
tercinta Ir.Mustahir Pabubung dan Ibunda tercinta Kasmiati Kaseng,S.Pd”
yang telah mengasuh dan mendidik dengan penuh kasih sayang dan kesabaran,
segala bantuan dan dorongan yang diberikan baik secara materil maupun moril
serta doa restu yang tulus hingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Namun keberhasilan dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari
semua pihak yang senantiasa ikhlas telah membantu memberikan bimbingan,
dukungan, dorongan yang tak pernah henti.Harapan dari penulis agar kiranya
skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan andil guna pengembangan lebih
lanjut. Atas petunjuk - Nya, skripsi ini dapat selesai, oleh karena itu dengan segala
hormat penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Rahman Rahim, SE, MM. selaku Rektor
Universitas Muhammadiyah Makassar.
2. Bapak Erwin Akib, S.Pd., M.Pd.,P.hD. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Dr. Muhajir, M.Pd. Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila Dan
kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar.
4. Bapak Dr. A. Rahim, SH., M.Hum. selaku Pembimbing I yang selama ini
telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga terselesaikannya
skripsi ini.
5. Bapak Auliah Andika Rukman, SH., MH. selaku Pembimbing II yang
selama ini telah banyak memberikan ide, bimbingan dan pengarahan kepada
penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Teruntuk kepada sahabat saya Yektie Nurprayoga LM,Taufik Hidayat Nur
dan Yudistira Rahmadani terima kasih dengan atas kerelaan hatinya
memberikan semangat, bantuan, motivasi,dedikasi dan bimbingannya dalam
penyusunan skripsi ini.
8. Terima kasih pula saya sampaikan kepada teman-teman seperjuangan saya
selama menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar yaitu
Kelas A,B,C dan D Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Angkatan
2015.Terkhusus kepada Barmas team dan teman-teman sekelas saya yang
selalu menjaga solidaritas dan memberikan banyak motivasi dan bantuan
dalam penyusunan skripsi ini.
9. Terima kasih pula kepada teman-teman organisasi terkhusus HIMA PRODI
PPKn dan BEM FKIP Unismuh Makassar yang telah membentuk saya dan
memberikan pengalaman tak terlupakan selama menjadi Mahasiswa
Dalam penyusunan Skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin
untuk mencapai kesempurnaan. Namun penulis menyadari dalam penyusunan
Skripsi ini masih banyak kekurangan, semua itu dikarenakan karena keterbatasan
dan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis akan menerima dengan
kerendahan hati atas segala kritik dan saran dari berbagai pihak demi
kesempurnaan Skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini memiliki
guna dan manfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb...
Makassar, 15 Agustus 2019
Penulis
ARFANDI AHMAD PERMANA DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii SURAT PERNYATAAN ............................................................................... iv SURAT PERJANJIAN .................................................................................. v MOTTO .......................................................................................................... vi ABSTRAK ...................................................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................. xi DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1 1. Rumusan Masalah ................................................................... 4 2. Tujuan Penelitian .................................................................... 5 3. Manfaat Penelitian .................................................................. 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Kedudukan Mahkamah Konstitusi .... 6 1. Pengertian Analisis .................................................................. 6 2. Pengertian Kedudukan ............................................................ 8 3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi .......................................... 9
B. Tinjauan Umum Mengenai Wewenang Mahkamah Konstitusi .... 13 1. Pengertian Wewenang .............................................................. 13 2. Sumber Kewenangan ............................................................... 14 3. Wewenang Mahkamah Konstitusi ........................................... 18 4. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi ................................. 25 5. Analisa Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung ........... 31 6. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia ................................... 43
C. Kerangka Pikir ............................................................................... 51 BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ............................................................................... 52 B. Lokasi Penelitian ............................................................................. 52 C. Informan Penelitian ........................................................................ 53 D. Fokus Penelitian.......... .................................................................... .54 E. Instrumen Penelitian ........................................................................ .54
F.Teknik Pengumpul Data................................. .................................. .55 G.Teknik Analisis Data ....................................................................... .57
H. Teknik Keabsahan Data ................................................................... 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................................. 62 1.1. Analisis Hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 Ayat 1 Tentang
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final ............... 62 1.2.Hambatan yang Dihadapi Terkait Implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi di Lapangan ....................................... 65 A. Pembahasan ........................................................................................ 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 79 B. Saran .................................................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 91 LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
No. Uraian Hal
1. Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir 54
2. Gambar 3.1 Contoh Gambar Purposive Sampling 56
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai anak kandung reformasi telah
memberikan harapan baru untuk menjawab kompleksitas perkembangan
ketatanegaraan Indonesia. Keberadaannya merupakan usaha
melembagakan supremasi konstitusi. Hingga saat ini, MK menjadi satu-
satunya lembaga negara yang mempunyai kewenangan konstitusional
untuk menafsirkan dan mengawal kemurnian konstitusi. Karena itu, MK
disebut sebagai the sole interpreter of constitution dan the guardian of the
constitution. Layaknya institusi peradilan pada umumnya, MK
juga mengeluarkan produk hukum berupa putusan. Perbedaan yang sangat
mendasar antara putusan yang dikeluarkan oleh MK dengan institusi
peradilan lainnya yaitu mengenai upaya hukum lanjutan atas putusannya.
Jika putusan yang dikeluarkan oleh institusi peradilan lainnya (Mahkamah
Agung dan peradilan di bawahnya) dapat dilakukan upaya hukum lanjutan,
baik berupa banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, putusan MK
tidak mengadopsi mekanisme tersebut.
Dikatakan di dalam konstitusi bahwa MK
merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final. Dipertegas kembali di dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
1
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa makna sifat final
putusan MK juga mencakup di dalamnya kekuatan mengikat. Artinya,
putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Di
Indonesia, perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 memberikan
warna baru dalam sistem ketatanegaraan. Salah satu perubahan mendasar
dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2)
yang berbunyi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak
lagi dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi
dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. Selain hal tersebut
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan suatu lembaga
negara yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi, yakni
dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi.
Secara konseptual, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi
adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final dalam hal menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945, dan kewenangan lain yang dimilikinya.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan
sangat penting dalam melindungi dan mengemban suara rakyat. Dengan
putusan-putusannya, Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban konkrit
atas segenap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap
perundang-undangan yang dinilai warga bertentangan dengan konstitusi.
Melalui putusannya pula, Mahkamah Konstitusi hadir sebagai
lembaga negara yang memiliki kewenangan yang super power yang
seakan akan sulit untuk dikontrol dan tidak jarang pula Mahkamah
Konstitusi keluar atau menabrak rambu-rambu pembatas kewenangannya.
Hal ini tentunya menuai perdebatan dan petanyaan di tengah-tengah publik
soal kontrol kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan final dan mengikat
yang harus dihormati. Namun, terkadang ada hambatan atau kendala yang
dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan atau eksekusi
putusannya di lapangan. Kemudian, hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah
selalu sempurna. Sudah pasti ada sejumlah hal yang membuat seorang
hakim Mahkamah Konstitusi menjadi kurang teliti dalam mengambil
keputusan. Selain itu, tidak ada jaminan seratus persen hakim Mahkamah
Konstitusi selalu bersih dan kuat menghadapi godaan suap.
Keadaan itu juga diperkuat dengan gencarnya
pemberitaan di media tentang praktik suap terhadap hakim konstitusi yang
diduga mampu mempengaruhi putusannya dan menurunkan kewibawaan
peradilan di Mahkamah Konstitusi, olehnya itu pengawasan terhadap
kinerja para hakim konstitusi perlu dioptimalkan.
Dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam
sistem hukum ketatanegaraan Indonesia yang melengkapi lembaga-
lembaga negara yang ada maka diharapkan lembaga negara pembentuk
Undang-Undang (DPR) bersama Pemerintah (Presiden) tidak dapat
seenaknya membuat dan mengesahkan Undang-Undang sesuai kehendak
mereka sendiri karena dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi yang salah
satu kewenangannya adalah melakukan uji materi (judicial review)
Undang-Undang terhadap UUD 1945. Maka
masyarakat, organisasi atau lembaga-lembaga negara terkait dapat
mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi apabila
ada Undang-Undang yang berlaku yang muatan materinya dianggap
bertentangan dengan UUD 1945 serta merasa hak konstitusionalnya tidak
terpenuhi.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, maka peneliti
tertarik untuk merumuskan masalah sebagai berikut:
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Analisis Hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1
tentang Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan
Mengikat?
2. Apa Hambatan yang Dihadapi Terkait Implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi di Lapangan?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui analisis hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat
1 tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat.
2. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi terkait implementasi
putusan Mahkamah Konstitusi di lapangan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini meliputi:
1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan kajian dalam memahami mengenai kedudukan dan
wewenang Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan
Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam
sistem hukum ketatanegaraan Indonesia.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat mengembangkan referensi
mengenai kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam
sistem hukum ketatanegaraan Indonesia dan menjadi bagian utama
dalam proses penyelesaian studi pendidikan S1 penulis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Kedudukan Mahkamah Konstitusi
1. Pengertian Analisis
Menurut Komaruddin (2001:53) Pengertian analisis adalah
kegiatan berpikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi
komponen sehinga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungannya
satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan yang
terpadu.
Menurut Harahap (2004:189) bahwa pengertian analisis adalah
memecahkan atau menguraikan sesuatu unit menjadi berbagai unit
terkecil.
Menurut Kasiram (2006: 274) Analisis adalah penguraian suatu
pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta
hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan
pemahaman arti keseluruhan.
Menurut Liker (1987:126) Analisa adalah waktu untuk
mengumpulkan bukti, waktu untuk berulangkali bertanya "mengapa?" dan
untuk menemukan sumber suatu masalah, yaitu akarnya.
Menurut Fatta (1984:254) Analisa merupakan tahap awal dalam
pengembangan sistem dan merupakan tahap fundamental yang sangat
menentukan kualitas sistem informasi yang dikembangkan.
6
Menurut Umar (1974:130) Analisa merupakan suatu proses kerja
dari rentetan tahapan pekerjaan sebelum riset didokumentasikan melalui
tahapan penulisan laporan.
Menurut Rahayu (2000:234) Analisa adalah suatu cara membagi-
bagi suatu subjek ke dalam komponen-komponen; berarti melepaskan,
menanggalkan, menguraikan sesuatu yang terikat padu.
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1996:779)
menyatakan bahwa analisis diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu
peristiwa (karangan, atau perbuatan) untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya).
Menurut Kamus Akuntansi (2000:48) pengertian analisis adalah
melakukan evaluasi terhadap kondisi dari pos-pos atau ayat-ayat yang
berkaitan dengan akuntansi dan alasan yang memungkinkan tentang
perbedaan yang muncul.
Pengertian Analisis menurut KBBI meliputi: Penyelidikan terhadap
suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan lainnya) untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkara, dan
sebagainya), aktivitas penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan,
Pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya dan
penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, peneliti menarik suatu
kesimpulan bahwasanya analisis ada suatu tindakan yang dilakukan
seseorang atau sekelompok orang dalam rangka menegetahui kejadian
yang sebenarnya.
2. Pengertian Kedudukan
Kedudukan berarti status, baik untuk sesorang, tempat, maupun
benda. Kamus Besar Bahasa Indonesia kedudukan sering dibedakan antara
pengertian kedudukan (status) dan kedudukan sosial (sosial status).
Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu
kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang
dalam lingkungan pergaulannya, serta hak dan kewajiban. Kedua istilah
tersebut memiliki arti yang sama serta digambarkan dengan kedudukan
(status) saja.
Kedudukan juga dapat diartikan sebagai posisi jabatan seseorang
dalam memiliki sebuah kekuasaan. Dimana orang yang memiliki
kekuasaan dapat mempengaruhi kedudukan atau statusnya di tempat
tingglnya tersebut.
Pada umumnya, kedudukan pada masyarkat memiliki tiga macam,
yaitu sebagai berikut:
a. Ascribed status, kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan
tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang
bangsawan adalah bangsawan. Umumnya ascribed status dijumpai
pada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup, seperti
masyarakat feodal, atau masyarakat tempat sistem lapisan bergantung
pada perbedaan rasial.
b. Achieved status, kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha
yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang guru
asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut
bergantung pada yang bersangkutan bisa atau tidak bisa menjalaninya.
Apabila yang bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan
tersebut, ia tidak akan mendapatkan kedudukan yang diinginkan
c. Assigned status, kedudukan yang diberikan pada seseorang.
Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan achieved
status. Suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang
lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa yang telah
memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
masyarakat”(Puspa,2008:284).
Menurut peneliti kedudukan dapat diartikan sebagai posisi
jabatan seseorang dalam memiliki sebuah kekuasaan. Dimana orang
yang memiliki kekuasaan dapat mempengaruhi kedudukan atau
statusnya di tempat tingglnya tersebut.
3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Kedudukan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24 huruf c
ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi:
Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar,memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih lamjut dijabarkan dalam
UU No 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU No 8 Tahun
2011 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 1 ayat 1 yung berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dengan terbentuknya
Mahkamah Konstitusi, bidang kajian hukum tata negara mendapatkan
lahan praktik yang sangat efektif dan berarti. Jika hukum tata negara
dilihat secara luas mencakup bidang hukum administrasi negara, maka
sebenarnya lahan praktik peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata
negara di Mahkamah Konstitusi dan peradilan tata usaha negara di
Mahkamah Agung serta badan-badan peradilan tata usaha negara yang ada
di bawahnya. Namun, apabila peradilan tata negara itu kita persempit
maknanya, dengan tidak mencakup peradilan tata usaha negara yang
dilembagakan secara tersendiri di dalam lingkungan Mahkamah Agung,
maka peradilan tata negara dimaksud dapat kita kaitkan dengan fungsi
Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari Mahkamah
Agung”(Jimly,2006:332).
Oleh sebab itu, peradilan tata negara itu sendiri dapat kita bedakan
dalam tiga pengertian, yaitu:
(i) peradilan tata negara dalam arti yang paling luas di mana
mencakup peradilan tata negara (constitusional adjudication) yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan peradilan tata usaha negara
(administrative adjudication) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung serta
badan-badan peradilan tata usaha negara;
(ii) peradilan tata negara dalam arti yang lebih sempit tetapi masih
tetap luas adalah peradilan tata negara (constitusional adjudication) yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ditambah peradilan pengujian
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Pengujian peraturan perundang-undangan itu juga termasuk
lingkup peradilan tata negara dalam arti luas;
(iii) peradilan tata negara dalam arti yang paling sempit, yaitu
peradilan yang dilakukan di dan oleh Mahkamah Konstitusi menurut
ketentuan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945”(Jimly,2006:333).
Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat
dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan
institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum.
Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan
kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi
demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik.
Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi
lembaga lain, atau terjadi pertentangan antara lembaga atau institusi yang
melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian
hukum dan kontraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi.
Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah
berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic
politics”. Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum,
kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan
konsep negara hukum yang demokratis”(democratische
reshtsstaat)”(Jimly,2015:293).
Dengan demikian, maksud pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia yang paling pokok adalah menjaga agar tidak ada UU yang
bertentangan dengan UUD dan kalau itu ada, maka MK dapat
membatalkannya. Itulah sebabnya, sering dikatakan bahwa MK
merupakan pengawal konstitusi dan penafsir tunggal (yang mengikat) atas
konstitusi.
Tujuan pembentukan MK untuk mengawal konstitusi terutama
untuk menjaga agar tidak UU yang melanggar UUD, tampaknya benar dan
cukup berhasil. Ini terbukti dari kenyataan bahwa sejak dibentuk pada
tahun 2003 sampai sekarang MK sudah menerima permintaan dan
melakukan pengujian terhadap hamper 100 UU yang banyak di antara
putusan-putusannya dianggap sebagai putusan yang
terbaik”(Mahfud,2010:99).
B. Tinjauan Umum Mengenai Wewenang Mahkamah Konstitusi
1. Pengertian Wewenang
Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata wewenang disamakan
dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk
bertindak,kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan
tanggung jawab kepada orang/badan lain”(Kamal,2010:35).
Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari
hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh
aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam
hubungan hukum publik”(Ridwan,2013:71).
Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus berarti hak dan
kewajiban”(Nurmayani,2009:26).
Kewenangan adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang
dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku,
dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan
hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi
kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau
institusi. Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian
hukum tata negara dan hkum administrasi negara. Begitu pentingnya
kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G.Steenbeek
menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum
administrasi negara”(Ridwan,2013:99).
Berdasarkan definisi kewenangan menurut para ahli diatas, peneliti
berkesimpulan bahwa kewenangan merupakan suatu hak yang dimiliki
oleh seorang pejabat atau institusi yang beritindak menjalankan
kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sumber Kewenangan
Indroharto, mengemukakan bahwa wewenang diperoleh secara
atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai
berikut: wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang
pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah
memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan
atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh
adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu
pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan
atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain”(Indroharto,1993:68).
Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan
pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah.
Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi,
dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian
kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan
delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
Kemudian Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat perbedaan antara
delegasi dan mandate. Dalam hal delegasi mengenai prosedur
pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan,
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris.
Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali
setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas “contrarius actus”
Artinya, setiap perubahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan
perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan
dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih
tinggi. Dalam
hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan
yang bersifat rutin. Adapun tanggungjawab dan tanggung gugat tetap pada
pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri
wewenang yang dilimpahkan itu”(Ridwan,2013:108-109).
Bagir Manan,
menyatakan dalam Hukum Tata Negara, kekuasaan menggambarkan hak
untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang mengandung arti hak dan
kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan
tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu Dalam hukum administrasi negara wewenang
pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
diperoleh melalui cara-cara yaitu atribusi, delegasi dan
mandat”(Bagir,2000:2).
Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru
oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi
kewenangan dalam peraturan perundang-undangan adalah pemberian
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang pada
puncaknya diberikan oleh UUD 1945 atau UU kepada suatu lembaga
negara atau pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan
dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap diperlukan. Disini
dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru”(Ridwan,2013:104).
Legislator yang kompeten untuk
memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan: Original
legislator, dalam hal ini di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk
Undang-Undang Dasar dan DPR bersama Pemerintah sebagai yang
melahirkan suatu undang-undang. Dalam kaitannya dengan kepentingan
daerah,oleh konstitusi diatur dengan melibatkan DPD. Di tingkat daerah
yaitu DPRD dan pemerintah daerah yang menghasilkan Peraturan Daerah.
dalam Pasal 22 ayat (1), UUD 1945 memberikan kewenangan kepada
Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU jika
terjadi kepentingan yang memaksa. Delegated legislator, dalam hal ini
seperti presiden yang berdasarkan suatu undang-undang mengeluarkan
peraturan pemerintah, yaitu diciptakan wewenang-wewenang
pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara
tertentu”(Ridwan,2013:104).
Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah
ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh
wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata
usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya
suatu atribusi wewenang”(Ridwan,2013:104-105).
Misal, dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Pasal 93 (1) Pejabat
struktural eselon I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Menteri yang bersangkutan (2) Pejabat struktural eselon II ke bawah
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bersangkutan. (3) Pejabat
struktural eselon III ke bawah dapat diangkat dan diberhentikan oleh
Pejabat yang diberi pelimpahan wewenang oleh Menteri yang
bersangkutan”(Ridwan,2013:105).
Pengertian mandat dalam asas-asas Hukum Administrasi Negara,
berbeda dengan pengertian mandataris dalam konstruksi mandataris
menurut penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan. Dalam Hukum
Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk
melaksanakan atasan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan
oleh pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab.
Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ
pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan
perundang-undangan, yaitu dari redaksi pasal-pasal tertentu dalam
peraturan perundang-undangan” (Ridwan,2013:109).
Penerima dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern
pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada
penerima wewenang (atributaris)”(Ridwan,2013:109).
3. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 pasal 24 C yang
berbunyi:
“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar, (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden, (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi, (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara, (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang” Pada mulanya di Indonesia hanya satu lembaga negara yang
dikenal sebuah mahkamah, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan lembaga
kehakiman di bawahnya, yang merupakan lembaga tinggi negara yang
memiliki kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 (demikian pasal 24
ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen). Tetapi setelah perubahan ketiga
UUD 1945 yang menghasilkan rumusan pasal 24 C yang terdiri atas 6
(enam) ayat, sebagai penjabaran dari pasal 24 ayat (2) selain MA dan
badan peradilan yang berada dibawahnya kekuasaan kehakiman juga
dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi”(Soimin,dkk,2012:62).
Menurut Harjono antara MA dan MK, keduanya merupakan
lembaga tinggi negara yang terpisah tetapi memiliki hubungan yang
bersifat horizontal-fungsional. Artinya, kedua lembaga tersebut tidak
saling mensubordinasikan, tetapi masing-masing mempunyai kompetensi
secara mandiri. Akan tetapi walaupun keduanya memiliki kompetensi dan
kewenangan yang berbeda, masing-masing tetap dalam fungsi besarnya,
yaitu sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan kehakiman
atau judicial power”(Soimin,dkk,2012:62).
Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman, MK mempunyai
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
sengketa pelaksanaan kaidah konstitusi sesuai bidang yang telah
ditentukan oleh UUD 1945. MK menyelenggarakan fungsi peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia yang
demokratis. Untuk itu, putusan MK bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap, serta mengikat untuk dilaksanakan oleh siapapun,
termasuk oleh pejabat tinggi negara”(Soimin,dkk,2012:62-63).
UUD 1945 hasil amandemen ketiga menetapkan bahwa MK
merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang mempunyai kedudukan
setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti MPR, DPR,
Presiden, dan MA. Sebagaimana ketentuan pasal 24 ayat (1) ,Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga yudikatif selain MA yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Sebagai lembaga tinggi negara yang mempunyai kedudukan setara dengan
lembaga tinggi negara lainnya, keberadaan MK semakin menegaskan
bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengadopsi prinsip
pemisahan kekuasaan (separation of power) dan check and balances
sebagai pengganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya”
(Soimin,dkk,2012:63).
MK seperti yang dikonstruksi dalam UUD 1945 mempunyai 4
(empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 24C dan Pasal 7B. Keempat kewenangan itu adalah mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (1)
menguju Undang-Undang (UU) terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa
antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3)
memutuskan pembubaran partai politik, dan (4) memutuskan sengketa
hasil pemilihan umum. Adapun kewajibannya adalah memeriksa
,mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden”(Soimin,dkk,2012:63-64).
Dicantumkannnya 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban
MK dalam UUD 1945 paling tidak telah memenuhi kebutuhan mendasar
akan terwujudnya demokrasi konstitusional (constitusional democracy).
Menurut Dennis C Muller, sistem politik dan ketatanegaraan yang
menganut doktrin demokrasi konstitusional memerlukan adanya: (1)
mekanisme memtuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar
lembaga-lembaga negara yang mempunyai kedudukan dan sederajat, yang
kewenangannya diberikan UUD 1945, (2) pelembagaan peran hukum dan
hakim yang dapat mengontrol proses dan produk kebijakan politik yang
mendasarkan pada prinsip “the rule of majority”, (3) juga mekanisme
untuk memutuskan berbagai persengketaan yang tidak dapat diselesaikan
melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil Pemilu, dan
tuntutan pembubaran partai politik” (Soimin,dkk,2012:64).
Kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada
MK sebagai lembaga yudikatif, mencerminkan semakin kuatnya prinsip
negara hukum (rechstaat) dalam UUD 1945 setelah amandemen. Hal ini
juga ditegaskan secara fundamental dalam Pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD 1945”. Dengan penegasan pasal tersebut,
semakin nyata bahwa Indonesia yang menganut asas demokrasi dalam
sistem ketatanegaraannya yang menyandarkan kepada konstitusi, yaitu
UUD 1945. Melalui dua modus fungsi ideal MK, yaitu sebagai pengawal
konstitusi dan penafsir konstitusi, terwujudnya konstitusionalisme
demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lembaran
sejarah baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia”
(Soimin,dkk,2012:64-65).
Mengenai kewajiban MK yang menyangkut kewajiban untuk
memutuskan pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden, pada awalnya memang senpat menimbulkan
kontroversi, karena secara institusional MK terseret pada keputusan-
keputusan yang bersifat politis. Karena dalam hal tersebut putusan MK
memiliki implikasi politis yang sangat kuat, misalnya dalam hal
pemberhentian Presiden. Apalagi putusan itu bersifat final dan punya
kekeuatan hukum tetap. Maka seharusnya memiliki implikasi maupun
konsekuensi atas putusan tersebut. Apabila terjadi proses hukum
berkenaan dengan masalah kasus impeachment atas kekuasaan Presiden.
Oleh sebab itu, kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam
keterlibatan politis di dalam tubuh MK mungkin terjadi”
(Soimin,dkk,2012:65).
Dengan begitu porsi kekuasaan kehakiman di atas, sekilas secara
struktur ketatanegaraan menempatkan MK berada di atas kedua lembaga
tersebut (Presiden dan DPR). Namun hal tersebut dibantah oleh Ketua
MK, Jimly Asshiddiqie. Putusan MK terhadap tuduhan DPR kepada
Presiden, dalam konteks bersalah atau tidak bersalah. Sejauh yang menjadi
kewenangan MK, putusannya bersifat final, dan tidak bisa dibatalkan oleh
lembaga manapun. Dari putusan itulah MPR dapat mengambil kebijakan
politik meng impeachment atau tidaknya terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden. MK berwenang hanya memutuskan bersalah (guilty) atau tidak
bersalah (not guilty), yang memutuskan menjatuhkan hukuman adalah
MPR. Jadi,pada prinsipnya memang peran MK sangat menentukan sebab
dalam hukum berlaku “geen straf sonder schuld”, tidak ada hukuman
tanpa kesalahan. Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden tidak
bersalah, MPR tidak bisa memberhentikan Presiden”(Soimin,dkk,2012:65-
66).
Posisi MK dalam sengketa di atas tidak dalam posisi yang terlibat
di dalam konflik tersebut. Melainkan sebagai lembaga negara yang
sederajat, dengan kewajiban memberikan penilaian dalam putusannya
apakah tuduhan DPR terhadap presiden dan/atau Wakil Presiden, benar
atau salah, dan/atau apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat-syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan perspektif ini, MK harus dilihat pada proporsi kewenangan
dan kewajibannya, bukan pada perspektif conflicting, karena hal itu bisa
menyeret fungsi MK kepada perseteruan politik”(Soimin,dkk,2012:66).
Dari segi hirarki peraturan perundang-undangan, di antara lembaga
negara lainnya yang memiliki kewenangan membuat undang-undang,
putusan MK berada lebih tinggi di atas putusan lembaga negara lainnya.
Jelas itu karena putusan MK yang bersifat pertama dan final, tidak dapat
dianulir oleh lembaga negara manapun, termasuk MPR yang selama ini
sebagai lembaga negara tertinggi. Putusan konstitusional MK, tidak ada
lagi yang lebih tinggi yang bisa membanding, atau final. Untuk itu,
berkali-kali, dalam berbagai kesempatan Jimly Asshiddiqie sebagai ketua
MK, melarang para hakim konstitusi untuk mengomentari putusan yang
telah mendapatkan kekuatan hukum tetap dari MK. Hal ini untuk
menghindari pembiasan dari dissenting opinion para hakim konstitusi,
yang juga dicantumkan dalam putusan MK”(Soimin,dkk,2012:66).
Hal itu menunjukkan bahwa posisi politik MK merupakan
penggambaran yang bersifat antitesis atau prinsip negara hukum dan
demokrasi yang ingin diwujudkan seperti niat dalam UUD 1945 ketika
dirumuskan oleh founding fathers, karena dalam demokrasi perwakilan
(representative democracy) yang membuat suatu UU dan
mengesahkannya ialah DPR sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 20
ayat (1) UUD 1945. Di mana dalam pengesahan suatu RUU harus berdasar
suara terbanyak atas materi yang diundangkan pada suatu
RUU”(Soimin,dkk,2012:66-67).
Maka dalam penggambaran demokrasi perwakilan MK yaitu
melalui penafsiran dan interpretasi terhadap materi UUD 1945 seakan
mereduksi peran DPR sebagai wakil rakyat. Sehingga MK adalah
mekanisme alat kontrol yang dibentuk untuk maksud mengawal dan
menjaga agar UUD 1945 sebagai hukum tertinggi benar-benar dijalankan
atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan
Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme yang bercirikan
dengan prinsip negara hukum dan demokrasi”(Soimin,dkk,2012:67).
a. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusionalitas
yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat
ditelusuri dari latar belakang pembentukannya yaitu untuk menegakkan
supremasi konstitusi”(Pasal 7B ayat 3 UUD 1945).
Di dalam penjelasan umum undang-undang No 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa tugas dan fungsinya
adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional
tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
tanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan sebagai
koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan”(Pasal 7B ayat 3 UUD
1945).
Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan
pertimbangan konstitusional. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya
terdapat lima fungsi yang melekat keberadaan Mahkamah Konstitusi dan
dilaksanakan melalui wewenangnya yaitu sebagai pengawal konstitusi,
penafsir final konstitusi, pelindung hakasasi manusia, pelindung hak
konstitusional warga negara, dan pelindung demokrasi”(Pasal 7B ayat 3
UUD 1945).
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
telah ditentukan dalam Pasal 24 C UUD 1945 pada ayat (1) dan (2), yaitu:
1.) Melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. (Pasal 7B ayat 3 UUD 1945 amandemen ke 4). Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Melalui kewenangan judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 9 Tahun 2011 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara. 2.) Sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga
negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 8 Tahun 2011. 3.) Pembubaran Partai Politik, kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi, partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU Nomor 8 Tahun 2011 telah mengatur tentang kewenangan ini. 4.) Perselisihan hasil Pemilu, perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi:
a. Terpilihnya anggota DPD b. Penetapan pasangan calon yang masuk pada
putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden
c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79
5.) Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden,kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD, tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini hanya DPR yang dapat
mengajukan ke Mahkamah Konstitusi, namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.
Seperti ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang sudah
diubah, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua badan atau dua
mahkamah; yang satu bernama Mahkamah Agung, dan yang lain bernama
Mahkamah Konstitusi. Kedua mahkamah tersebut mempunyai kedudukan
sederajat, tetapi dengan fungsi dan peran yang berbeda. Dalam
membicarakan kedudukan, fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi ini kita
akan melihatnya dari perspektif konstitusi. Artinya, apa yang dikatakan
oleh undang-undang dasar tentang Mahkamah Konstitusi ?. Seperti kita
ketahui, pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Bab
IX. Judul Bab IX adalah tentang “kekuasaan kehakiman”. Bab IX tersebut
terdiri atas empat pasal, yaitu Pasal 24, Pasal 24-A, Pasal 24-B dan Pasal
24-C”(Soemantri,2014:283).
Pasal 24 mengatur kekuasaan kehakiman secara umum, sedangkan
Pasal 42-A mengatur Mahkamah Agung, Pasal 24-B mengatur Komisi
Yudisial dan Pasal 24-C mengatur Mahkamah Konstitusi. Selain dalam
Pasal 24-C ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi juga terdapat dalam
Pasal 7-B”(Soemantri,2014:283).
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia berpijak pada 4 (empat) pilar fundamental,
yakni: pertama, sebagai paham konstitusionalitas yang pada hakekatnya
ingin menciptakan terselenggaranya pembatasan kekuasaan secara
berimbang oleh penyelenggara negara agar tidak sewenang-wenang;
kedua, sebagai instrumen check and balance sehingga tercipta saling
kontrol. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, check and balances yang
perlu dikedepankan adalah sistem kontrol yudisial. Oleh karena itu
kehadiran MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman sangat
dibutuhkan untuk mewujudkan pelaksanaan check and balances agar tidak
terjadi overlapping dalam pelaksanaan kekuasaan oleh penyelenggara
negara yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan
perubahannya”(Sirajuddin,2015:163).
Ketiga, menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih sehingga
paar penyelenggara negara harus memiliki kepekaan terhadap kepentingan
rakyat dengan mentaati asas-asas penyelengaraan negara yang baik dan
bersih; keempat, perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) karena
kekuasaan yang tidak tersentuh oleh mekanisme kontrol sangat potensial
melakukan tindakan sewenang-wenang, oleh karena itu kehadiran MK
diharapkan melakukan pengawasan secara mandiri dan obyektif terhadap
para penyelenggara negara agar tetap berpijak pada perlindungan dan
penghormatan terhadap HAM dan prinsip-prinsip
demokrasi”(Sirajuddin,2015:163-164).
Keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut berperan dalam
penyelengaraan kekuasaan kehakiman, khususnya di bidang pengujuan
konstitusional, bahkan diidealkan sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution). Hal ini sesuai dengan setumpuk kewenangan
dan kewajiban yang harus diembannya dalam melaksanakan fungsi
peradilan”(Iriyanto,2007:133).
Berdasarkan fungsi dan wewenang tersebut, Mahkamah Konstitusi
memiliki arti penting dan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan
dewasa ini, karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat
penyelenggara negara dapat dinilai konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi. Dengan demikian, setiap penyelenggara pemerintahan selalu
terbangaun oleh dan berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan
konstitusi” (Iriyanto,2007:133).
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi berperan mengawasi,
mengontrol, dan mengimbangi prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang
seringkali hanya mengandalkan kekuatan politik, dapat dikendalikan dan
diimbangi sesuai dengan prinsip demokrasi dan konstitusionalisme atau
negara hukum. Adanya Mahkamah Konstitusi juga memberi harapan baru
bagi para pencari keadilan di tengah masyarakat yang sedang mengalami
krisis kepercayaan kepada institusi peradilan”(Iriyanto,2007:133).
Pelembagaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia pada prinsipnya merespons tuntutan dinamika yang berkembang
dalam masyarakat yang menghendaki terwujudnya peradilan ini untuk
menguji undang-undang secara objektif, tekstual dan kontekstual
bertentangan dengan UUD 1945” (Iriyanto,2007:134).
Lahirnya MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia akibat
adanya perubahan UUD 1945. MK menjadi lembaga pemegang kekuasaan
kehakiman Indonesia bersama dengan Mahkamah Agung (MA).
Kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 dan ketentuan konstitusional
mengenai MK ditetapkan pada Pasal 24C UUD 1945. Penjabaran
ketentuan konstitusional tersebut kemudian diatur dalam undang-undang
organik dimana pemerintah bersama DPR menyetujui bersama Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK)”(Ahmad,2011:5).
MK sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman telah
memperoleh jaminan konstitusional akan independensi kelembagaannya.
Pengaturan prinsip independensi MK dalam konstitusi itu diturunkan
dalam ketentuan yang lebih teknis lagi dalam UU MK” (Ahmad,2011:8).
b. Analisa Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
Mengenai keberadaan kekuasaan kehakiman dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Sebelum dilakukan perubahan keempat UUD 1945, kekuasaan
kehakiman diatur dalam BAB IX yang terdiri dari pasal 24 dan 25 UUD
1945. Berdasarkan pasal 24, kekuasaan kehakiman (rechterlijke macht,
judicial power), hanya dilakukan oleh sebuah MA, dengan badan-badan
peradilan yang ada dibawahnya. Pasal 24 berbunyi :
“1.) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang, 2.) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”
Jadi semula berdasarkan UUD 1945, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 24 ayat (1), kekuasaan kehakiman hanya dipegang dan
dilaksanakan oleh MA saja. Pasal 24 ayat (1) yang lama, tidak mengenal
kekuasaan kehakiman yang lain diluar MA. Bertitik tolak dari ketentuan
Paal 24 UUD 1945 teersebut, dilahirkan UU No. 14 tahun 1970 tentang
kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanaan pembentukan badan-badan
peradilan. Memang mendahului UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan
kehakiman pada masa orde lama (era Presiden Soekarno). Akan tetapi, UU
ini dianggap tidak merupakan pelaksanaan murni Pasal 24 UUD 1945,
karena memuat ketentuan yang bertentangan dengan prinsip kekuasaaan
kehakiman yang merdeka yang digariskan Pasal 24 ayat (1), sebab
memberi kewenangan bagi Presiden untuk mencampuri pelaksanaan
peradilan”(Harahap,2007:11-17).
Pasal 10 UU No. 14 tahun 1970, kekuasaan kehakiman yang
diberikan kepada MA, pelaksanaanya dilakukan oleh pengadilan yang
terdiri dari beberapa lingkungan:
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 10 UU No. 14 tahun 1970, Tempat kedudukannya
ditempatkan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi:
“Mahkamah Agung adalah peradilan tertinggi”
Dalam kedudukan yang demikian, MA bertindak sebagai peradilan
kasasi terhadap putusan-putusan yang dijatuhkan terakhir oleh pengadilan-
pengadilan yang lain. Serta juga melakukan pengawasan tertinggi atas
perbuatan pengadilan lain”(Harahap,2007:11-17).
Mengenai kedudukan MA terhadap semua lingkungan peradilan
yang disebut pada Pasal 10 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, dipertegas
kemudian pada Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1985, yang berbunyi:
“Mahkamah Agung adalah Peradilan Negara tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”
Berdasarkan ketentuan ini MA sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman:
a. Merupakan Pengadilan Negara tertinggi (Highest State Court)
b. Kedudukannnya sebagai Pengadilan Negara tertinggi meliputi semua
lingkungan peradilan yang disebut pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970.
2. Sesudah perubahan ketiga UUD 1945, pelaksanaan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh dua buah mahkamah.
Pada perubahan ketiga (amandemen ketiga) UUD 1945, BAB IX
yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, mengalami perombakan dan
perluasan. Kalau semula BAB IX hanya memuat Pasal 24 dan Pasal 25
(hanya dua Pasal saja), sekarang terdiri dari Pasal 24, Pasal 24A, Pasal
24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 (terdiri dari lima pasal dan beberapa
ayat)”(Harahap,2007:11-17).
Mengenai pelaksanaan kekuasaan kehakiman diatur pada Pasal 24
ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:
“kekuaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Apa yang dirumuskan Pasal 24 ayat (2) diatas, dipertegas ulang
kembali pada Pasal 2 dan pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 sebagai langkah
penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Dengan demikian bertitik tolak
pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2 dan Pasal 10 UU No. 4 Tahun
2004, pelaksanaan kekuasaan kehakiman setelah era reformasi, dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a. Mahkamah Agung (MA)
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004,
masih tetap mempertahankan MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang ada
dibawahnya”(Harahap,2007:11-17).
Baik Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 2 jo Pasal 10 UU
No. 4 2004, tetap mengikuti pola dan sistem MA yang digariskan Pasal 10
ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 yakni dalam menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman, pelaksanaanya dilakukan oleh MA beserta badan lingkungan
peradilan yang ada dibawahnya. Pola dan sistem MA dengan lingkungan
peradilan yang sudah ada sebelumnya tidak mengalami
perubahan”(Harahap,2007:11-17).
Keberadaan MA bukan lagi satu-satunya penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, ditegaskan juga pada Pasal 1 UU No. 14 Tahun
1985, sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 (UU MA) yang
berbunyi:
“Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Jadi menurut Pasal 1 UU MA ini pun: MA bukan lagi satu-satunya
pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman,akan tetapi, MA hanya
salah satu dari pelaku dan penyelenggara kekuasaan kehakiman menurut
UUD 1945”(Harahap,2007:11-17).
b. Mahkamah Konstitusi (MK)
Pelaku dan pelaksana kekuasaan kehakiman, selain dari MA adalah
MK. Keberadaan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,
selain ditegaskan pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, juga disebut Pasal 2
UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi:
“penyelelenggara kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Seperti yang pernah disinggung, rumusan Pasal 2 UU No. 4 Tahun
2004 tersebut, persis sama dengan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945. Bertitik
tolak dari ketentuan Pasal-Pasal di atas, keberadaan dan kedudukan MK
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam pasal 1
angka 1 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK)
yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Selanjutnya Pasal 2 UU MK memperjelas lagi apa yang disebut
Pasal 1 angka 1 diatas sebagai berikut:
1. MK merupakan salah satu lembaga Negara;
2. Fungsinya melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
3. Dalam melaksanakan penyelenggaraan peradilan, MK sebagai
kekuasaan kehakiman adalah merdeka;
4. Menurut Pasal 3 UU MK, MK sebagai salah satu pelaku dan
penyelenggara kekuasaan kehakiman, berkedudukan di ibu kota Negara
Republik Indonesia
Salah satu perbedaan antara MA dan MK sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman: Pada MA terdapat dibawahnya badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara,
sebaliknya pada MK dibawahnya tidak terdapat badan peradilan lain,
karena keberadaannya oleh UUD 1945 maupun UU No. 4 Tahun 2004
adalah berdiri sendiri, sehingga MK dalam melaksanakan penyelenggaraan
peradilan adalah berdiri sendiri serta manunggal”(Harahap,2007:11-17).
Memang demikian, baik Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 maupun
Pasal 10 ayat (1) UU MK telah mendesain MK sebagai:
“Penyelenggara peradilan yang berdiri sendiri, oleh karena itu, tidak perlu dibawahnya dilettakan badan peradilan lain, sehubungan dengan itu, kewenangan peradilan yang diberikan konstitusi kepada MK adalah bersifat tingkat pertama dan terakhir (first and last instance), dengan demikian putusan yang dijatuhkan MK langsung final (final judgement) atau res judicata, oleh karena itu terhadapnya ditutup segala bentuk upaya hukum apapun”
Desain itu pula yang digariskan pasal 10 ayat (1) UU MK,
yurisdiksi MK telah ditentukan secara limitatif atau enumeratif dalam
batas bidang hukum maupun peristiwa tertentu”(Harahap,2007:11-17).
Perlu dijelaskan, meskipun MA dan MK sama-sama pelaku
penyelenggara kekuasaan kehakiman, antara keduanya tidak terdapat
kaitan hubungan dalam bentuk apapun. Baik MA maupun MK, masing-
masing berdiri sendiri. Antara yang satu dengan yang lain terpisah dalam
segala hal. Bukan hanya terpisah dan berbeda dari segi yuridiksi saja.
Antara yang satu dengan yang lain, tidak saling subordinasi, susunan
organisasinya juga terpisah dan berdiri sendiri”(Harahap,2007:11-17).
Kedudukan dan susunan organisasi MA diatur dalam UU No. 14
Tahun 1985, sebagaimana diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 (UU MA),
adapun kedudukan dan susunan organisasi MK diatur dalam UU No. 8
Tahun 2011 (UU MK) ”(Harahap,2007:11-17).
MA bersama MK berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan
kehakiman (yudicial power) yang merdeka dan mandiri dengan tugas
menyelenggarakan peradilan dengan tujuan menegakkan hukum dan
keadilan. Di mana untuk melihat pencapaian tujuan dari kedua lembaga
kehakiman tersebut (MA dan MK) adalah bagaimana kedua lembaga itu
bekerja berdasarkan kekuasaan dan kewenangannya untuk terpenuhinya
penegakan hukum dan keadilan. Sebab sebagai negara hukum bangsa
Indonesia harus dapat menegakkan hukum dan keadilan yang menjadi
karakter di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip negara
hukum dan demokrasi yang berlandaskan pada paham konstitusional
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan
bahwa: “negara Indonesia adalah negara hukum”(Soimin,dkk,2012:74 -
75).
Prinsip ini dilandasi dari paham pembagian kekuasaan negara
(separation of power) yang terbagi menjadi lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Hal ini sangat diperlukan di dalam negara yang menganut
supremasi hukum dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Yang
berarti segala tindakan lembaga tinggi negara didasarkan pada UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan di bawahnya yang berlaku. Dengan
demikian, MK bersama MA melakukan pembatasan dan pencegahan
penyalagunaan kekuasaan (abouse of power), penegakan hukum dan
konstitusi, serta keadilan hukum. Selain itu, melakukan proses kontrol
terhadap penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak
terjadi penyimpangan dari aspirasi rakyat oleh lembaga eksekutif maupun
legislatif yang ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
disebutkan,bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD 1945”(Soimin,dkk,2012:75).
Ketentuan ini menunjukkan pada kedaulatan ada di tangan rakyat
dan dijalankan menurut UUD 1945. Sehingga dalam pembagian ketiga
lembaga tinggi negara berdasarkan konsep trias politica dalam
menjalankan kekuasaan dan kewenangannya itu bersumberkan pada
ketentuan normatif yang ada pada UUD 1945. Di mana dari ke tiga
lembaga negara yang terbagi pada badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
itu dengan komposisi yang sesuai pada kompetensi dari masing-masing
ketiga lembaga tinggi negara tersebut. Yaitu kekuasaan dan kewenangan
badan legislatif berdasarkan pada konsepsi trias politica untuk
menjalankan fungsi legislasi dan anggaran” (Soimin,dkk,2012:75).
Fungsi-fungi tersebut dijalankan oleh lembaga legislatif untuk
melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif. Di mana kekuasaan dan
kewenangan badan eksekutif ialah untuk menjalankan peraturan-peraturan
pemerintahan yang dijadikan sumber hukum yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah. Sedangkan kekuasaan dan kewenangan pada badan yudikatif
ialah untuk melaksanakan pengawasan terhadap semua peraturan hukum
yang berlaku tersebut, apakah sudah dilaksanakan atau sebaliknya oleh
badan eksekutif dalam menjalankan pemerintahan negara”
(Soimin,dkk,2012:75 - 76).
Bunyi Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman dibagi ke dalam dua lembaga negara,yaitu: Pertama, MA yang
peradilan di bawahnya terdiri dari lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara dan Kedua, MK
yang secara normatif dari kedua lembaga tinggi negara yang berbeda pada
kekuasaan kehakiman (yudicial of power), dijalankan oleh MA bersama
MK dengan kompeten yang berbeda, namun demikian, bunyi Pasal 24 ayat
(2) tersebut memungkinkan timbulnya penafsiran hukum yang berbeda-
beda dari para ahli hukum tata negara dengan melihat ketentuan normatif
teks Pasal tersebut, karena memungkinkan dari teks Pasal tersebut para
hakim agung atau para hakim konstitusi akan melihat dari sudut pandang
yang berbeda berdasarkan kepentingan masing-masing lembaga
kehakiman. Dimana ketentuan teks pasal tesebut memungkinkan
timbulnya penafsiran bahwa MA kedudukannya lebih tinggi daripada MK.
Dengan alasan bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
menyebutkan ketentuan tugas, wewenang, dan kewajibannya itu
disebutkan pertama kali baru kemudian MK, sehingga pengaturan yang
demikian itu timbul penafsiran bahwa MK subordinasi dari
MA”(Soimin,dkk,2012:76).
Sebaliknya dari hakim konstitusi juga memungkinkan timbulnya
penafsiran yang berbeda dari hakim agung terhadap konsepsi teks Pasal 24
ayat (2) UUD 1945, yaitu bahwa kedudukan MK lebih tinggi daripada MA
dengan alasan bahwa kompetensi yang diberikan oleh UUD 1945 baik
tugas, wewenang, dan kewajiban MK lebih tinggi daripada kekuasaan dan
kewenangannya yang diberikan UUD 1945 kepada MA. Sehinga
pengaturan yang demikian itu timbul penafsiran dari MK bahwa MA
subordinasi dari MK meskipun dengan kewenangan yang berbeda dan
tidak dapat saling mengintervensi dari masing-masing kedua lembaga
tersebut. Demikian pula dalam sistem peradilan yang diselenggarakan dari
kedua lembaga kehakiman (yudicial of power) tersebut juga berbeda”
(Soimin,dkk,2012:75 - 76). Dimana MA dalam hal mengadili
pelanggaran ketentuan UU dalam lapangan hukum perdata, pidana, dan
TUN sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dengan sistem bercabang dari
wilayah lingkungan Peradilan Tunggi dan Peradilan Negeri yang terbagi
pada lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha
negara, dan peradilan militer, sedangkan MK sistem peradilannya bersifat
mandiri dan tidak bercabang. Dari pembagian wilayah hukum dalam
peradilan,sehingga hanya ada di pusat saja” (Soimin,dkk,2012:77).
Selain itu dapat pula dilihat pada putusan dan eksekusi di dalam
lingkungan kekuasaan dan kewenagan dari masing-masing lembaga
kehakiman, diaman MA sifat putusannya itu mengikat tetapi bisa
dilakukan peninjauan kembali (PK) kalau ada novum atau bukti baru, dan
putusannya yang sudah ditentukan oleh MA itu eksekusinya dilakukan
oleh jaksa penuntut umum dari lembaga kejaksaan agung, sedangkan kalau
di MK putusan yang diambil oleh sembilan hakim konstitusi dalam amar
putusannya itu bersifat pertama dan terakhir atau
final”(Soimin,dkk,2012:77 - 78).
Artinya, tidak ada lagi upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak baik
pemohon atau penggugat untuk melakukan upaya hukum dari putusan
hakim konstitusi. Sehingga eksekusi dari putusan hakim konstitusi yang di
putuskan dalam persidangan peradilan konstitusi secara otomatis dimuat
dalam lembaran negara. Hanya saja dalam putusan persidangan peradilan
konstitusi harus memberikan amar putusan di dalam putusan peradilan
konstitusi”(Soimin,dkk,2012:77 - 78).
Namun demikian, yang ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
secara tegas membagi lembaga yudikatif (yudicial institution) ke dalam
dua lembaga yaitu: (i) Mahkamah Agung dan (ii) Mahkamah Konstitusi
dengan kekuasaan dan kewenangan yang berbeda dimana MA merupakan
lembaga kekuasaan kehakiman (yudicial of power) yang berfungsi sebagai
lembaga pengadilan untuk melakukan penegakan hukum dan keadilan
yang membawahi peradilan di bawahnya dari lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer dalam
konteks melakukan pengawasan terhadap pelanggaran dari ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama dalam lapangan
hukum perdata dan hukum pidana” (Soimin,dkk,2012:78).
Sedangkan MK merupakan lembaga
kehakiman (judicial of power) yang berfungsi sebagai lembaga peradilan
di bidang lapangan sengketa hukum tata negara. Artinya, kompetensi yang
dimiliki oleh lembaga MK dalam menjalankan sistem peradilannya hanya
dalam lingkungan permasalahan ketatanegaraan berdasarkan ketentuan
UUD 1945”(Soimin,dkk,2012:78).
c. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia
1. Sumber Materiil dan Formal
Pandangan hidup bangsa Indonesia yang terangkum dalam
perumusan sila-sila pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara
berdasarkan UUD 1945. Sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah
bernegara, Pancasila itu merupakan sumber hukum dalam arti materiil
yang tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus dilaksanakan dan tercermin
oleh dan dalam setiap peraturan hukum Indonesia. Oleh karena itu, hukum
Indonesia haruslah berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian
yang adil dan beradab, merupakan faktor pemersatu bangsa, bersifat
kerakyatan, dan menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang
berlaku, apakah bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Dengan demikian, bahwa setiap peraturan hukum
yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku.
Dalam bentuk
formalnya, nilai-nilai Pancasila itu tercantum dan dalam perumusan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun
disamping itu, sumber hukum formal itu tidak hanya terbatas kepada yang
tertulis saja. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanyalah salah
satu bentuk yang tertulis dari norma dasar atau hukum dasar yang bersifat
tertinggi itu. Di samping, hukum dasar yang tertulis dalam naskah UUD
1945, ada pula hukum dasar atau konstitusi yang sufatnya tidak tertulis.
Sumber hukum formal Hukum Tata Negara Indonesia itu dapat dilihat
pertama-tama pada Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar
1945 sebagai sumber hukum, selain merupakan hukum dasar tertulis yang
mengatur masalah kenegaraan, juga merupakan landasan hukum bagi
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan-peraturan lainnya.
Misalnya, Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Susunan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diatur dalam undang-undang”.
Penunjukan diatur dengan undang-undang dalam ayat ini menyebabkan
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber hukum bagi pembentukan
undang-undang yang akan mengatur tentang susunan Dewan Perwakilan
Rakyat itu. Dengan demikian, dari ketentuan UUD 1945 itu mengalir
peraturan-peraturan pelaksanaan yang merupakan sumber hukum formil
pula sesuai dengan tingkatan hierarkisnya bagi peraturan-peraturan di
bawahnya masing-masing”(Jimly,2009:159-160).
2. Peraturan Dasar dan Norma Dasar
Seperti dikemukakan oleh O.Hood Phillips, Paul Jackson dan
Patricia Leopold dalam “The constitusional law of a state is the law
relating to the constitution of that state”, maka penting sekali untuk
memahami hukum, negara, dan konstitusi secara bersamaan. Hukum
sendiri diakui tidak mudah untuk didefenisikan.H.L.A Hart sendiri
menyatakan bahwa mengenai apa itu hukum merupakan pertanyaan yang
senantiasa diajukan di sepanjang sejarah umat manusia. Menurutnya “it is
a persistent question”yang selalu diajukan dari waktu ke waktu.
Namun demikian, di lapangan hukum tata negara, kita memusatkan
perhatian hanya kepada hukum dalam konteks kenegaraan, yaitu hukum
tata negara (state law), hukum kota (municipal law), hukum desa (village
law), dan sebagainya. Dalam perspektif hukum tata negara, hukum negara
(the law of a state) kita lihat sebagai hukum yang terdiri atas pedoman
perilaku (rules of conduct) yang ditetapkan oleh lembaga negara yang
bertindak sebagai legislator atau regulator dan yang ditegakkan oleh
lembaga pengadilan yang dibentuk oleh negara (duly constituted courts of
the state). Akan tetapi, di pihak lain juga berfungsi sebagai pedoman bagi
organ-organ negara dalam arti yang seluas-luasnya untuk menjalankan
tugas dan kewenangannya.
Pada pokoknya hukum konstitusi itu mendahului keberadaan
organisasi negara, seperti apa yang dikatakan oleh Thomas Paine bahwa
konstitusi lebih dulu ada daripada adanya pemerintahan karena
pemerintahan justru dibentuk berdasarkan ketentuan konstitusi. Oleh
karena itu, menurut Thomas Paine:
“A constitution is not the act of a government,but of a people constituting a government and a government without a constitution is power without right”
Konstitusi bukanah peraturan yang dibuat oleh pemerintahan, tetapi
merupakan peraturan yang dibuat oleh rakyat untuk mengatur
pemerintahan, dan pemerintahan itu sendiri tanpa konstitusi sama dengan
kekuasaan tanpa kewenangan.
Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan
sekaligus paling tinggi kedudukannya dalam sistem bernegara. Namun
sebagai hukum, konstitusi itu sendiri tidak selalu bersifat tertulis
(geschreven constitutie atau written constitution). Konstitusi yang bersifat
tertulis biasa disebut undang-undang dasar sebaagi konstitusi dalam arti
sempit, sedangkan yang tidak tertulis merupakan konstitusi dalam arti
yang luas. Menurut Hans Kelsen,
grund norm atau norma dasar itulah yang disebut konstitusi. Grund norm
itu dijabarkan lebih lanjut menjadi abstract norms yang selanjutnya
dioperasionalkan dengan general norms yang untuk seterusnya
dilaksanakan dengan keputusan-keputusan yang berisi concrete and
individual norms. Bagi Hans Kelsen peraturan perundang-undangan berisi
general and abstract norms yang tertuang dalam bentuk formal, sedangkan
grund norms tercakup dalam rumusan pengertian konstitusi dalam arti
materiil. Konstitusi dalam arti materiil inilah yang disebut Kelsen dengan
the first constitution yang mendahului the (second) constitution atau
konstitusi dalam bentuknya yang formal tersebut.
Sementara itu, Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen,
menyebut grund norms itu dengan istilah staats fundamental norms yang
juga dibedakannya dari konstitusi. Tidak semua nilai-nilai yang terdapat
dalam konstitusi merupakan staats fundamental norms. Nilai-nilai yang
termasuk staats fundamental norms menurutnya hanya spirit nilai-nilai
yang terkandung di dalam konstitusi itu, sedangkan norma-norma yang
tertulis di dalam pasal-pasal undang-undang dasar termasuk kategori
abstract norms. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan sistem konstitusi
Republik Indonesia, dapat dibedakan antara Pembukaan UUD 1945
dengan Pasal-Pasal UUD 1945.
Bahkan, Padmo Wahyono dan hamid S.Attamimi menyejajarkan
pengertian staats fundamental norm itu dengan kedudukan Pancasila
sebagai dasar negara, sedangkan Pasal-Pasal UUD 1945 didudukkan
sebagai abstract norms. Oleh karena itu, dalam hierarki peraturan
perundang-undangan menurut Padmo Wahyono dan Hamid S.Attamimi,
Pancasila itu harus ditempatkan di luar dan di atas UUD 1945.
Pandangan yang demikian, sampai sekarang terus
dianut oleh murid-murid Padmo Wahyono dan Hamid S.Attamimi, seperti
tercermin, misalnya, dalam pandangan Maria Farida Indrati mengenai hal
tersebut. Pokok pikiran yang melandasi pandangan demikian tidak lain
adalah stuffenbau theorie menurut versi Hans Nawiasky tersebut di atas,
yang sangat berbeda dengan stuffenbau theorie menurut versi Hans
Kelsen. Bagi Kelsen, grund norm itulah konstitusi, sedangkan peraturan
perundang-undangan berisi general and abstract norms sehingga Pancasila
dan Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang
terpisah dari Pasal-Pasal UUD 1945 itu sendiri.
Keduanya tercakup dalam pengertian UUD 1945 sebagai konstitusi
yang tertulis yang berisi grund norm. Tentu saja di samping UUD 1945
sebagai konstitusi tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang
hidup dalam kesadaran hukum dan praktik penyelenggaraan negara yang
diidealkan sebagai bagian dari pengertian konstitusi dalam arti luas
sehingga juga merupakan norma-norma dasar atau grund norms yang
mengikat sebagai bagian dari konstitusi”(Jimly,2009:160-163).
3. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang berisi
norma-norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan
oleh legislator maupun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana
undang-undang yang mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-
undang untuk menetapkan peraturan-peraturan tertentu menurut peraturan
yang berlaku. Produk legislatif atau produk
legislator yang dimaksud di sini adalah peraturan yang berbentuk undang-
undang, dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
pembahasannya dilakukan bersama-sama dengan Presiden/Pemerintah
untuk mendapatkan persetujuan bersama akan disahkan oleh Presiden dan
diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah Presiden. Untuk undang-
undang tertentu, pembahasan bersama dilakukan dengan melibatkan pula
peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Selain peraturan yang berbentuk undang-undang, ada pula peraturan yang
disusun dan ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana undang-undang.
Setiap lembaga pelaksana undang-undang yang diberi kewenangan
regulasi oleh undang-undang dalam rangka menjalankan undang-undang
yang bersangkutan. Di samping itu, pemerintah karena fungsinya diberi
kewenangan pula untuk menetapkan suatu peraturan tertentu, di samping
undang-undang itu sendiri dapat pula menentukan adanya lembaga
regulasi yang bersifat tertentu pula. Semua produk hukum tertulis yang
berisi norma yang bersifat mengatur (regeling) itu dalam ilmu hukum kita
namakan peraturan perundang-undangan.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bentuk-bentuk dan
tata urut peraturan perundang-undangan dimaksud adalah: (i) Undang-
Undang Dasar dan perubahan Undang-Undang Dasar; (ii) Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan
Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v) Peraturan Daerah. Namun, di
samping bentuk-bentuk yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 itu, masih ada bentuk peraturan lainnya yang sampai sekarang
masih berlaku atau masih terus dibuat dalam praktik.
Misalnya, banyak ketetapan-
ketetapan MPR/S yang masih ada dan sampai sekarang masih
diberlakukan berdasarkan Ketetapan (TAP) MPR No.I/MPR/2003,
meskipun MPR sendiri dewasa ini tidak lagi mempunyai kewenangan
menetapkan ketetapan yang bersifat mengatur (regeling)”
(Jimly,2009:164).
Selain itu dalam praktik, kita juga dapat menjumpai banyak sekali
bentuk-bentuk peraturan lainnya, seperti Peraturan Menteri, Peraturan
Bank Indonesia (PBI), Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), Peraturan
atau Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lain-lain
sebagainya. Keputusan-keputusan para pejabat yang bersifat regeling atau
yang mengandung regulasi juga masih banyak yang dituangkan dalam
bentuk keputusan-keputusan yang ditetapkan untuk maksud mengikat
untuk umum. Misalnya, keputusan-keputusan Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), serta termasuk Keputusan-Keputusan
Menteri, seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri
Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Agama, Menteri Pendidikan
Nasional, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Tenaga Kerja
dan sebagainya. Demikian pula Keputusan-Keputusan Direktur Jenderal,
seperti Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar, dan lain sebagainya”(Jimly,2009:163-165).
C. Kerangka Pikir
Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
UUD 1945
UU No 24 Tahun 2003 Jo UU No 8 Tahun 2011 Tentang
Mahkamah Konstitusi
Gambar 2.1.Skema Kerangka Pikir
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif
deskriptif. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu
oleh teori, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat
dilapangan. Oleh karena itu, analisis data yang dilakukan bersifat induktif
berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat
dikonstruksikan menjadi hipotesis dan teori. Pendekatan kualitatif tidak
mengandalakan bukti berdasarkan logika sistematis, prinsip angka atau
Hambatan yang Dihadapi MK dalam Menjalankan Tugas & Wewenangnya
Pertimbangan Hukum Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Sehingga Dikatakan Bersifat Final dan Mengikat
Terlaksananya Tugas Pokok & Fungsi Pokok MK Sesuai
UUD 1945
metode statistik pembicaraan yang sebenarnya, isyarat dan tindakan sosial
lainnya adalah bahan mental untuk analisis kualitatif.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini, secara geografis terletak di Kelurahan Gambir,
Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Lokasi ini dipilih karena lokasi penelitian merupakan tempat
Mahkamah Konstitusi berada dan untuk mempermudah mendapatkan
informasi mengenai Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan. Penelitian ini dilaksanakan mulai
dari tanggal 17-31 Juli 2019.
C. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah hakim konstitusi dan mantan
hakim konstitusi. Proses Pengumpulan data digunakan Teknik Purposive
Sampling. Purposive Sampling merupakan teknik pengambilan informan
sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang tersebut
dianggap terkait dengan apa yang kita teliti, atau mungkin orang tersebut
memiliki peran penting sehingga akan memudahkan mencari informasi
yang diteliti.
Di bawah ini merupakan contoh gambar Purposive Sampling.
52
Gambar 3.1
Menentukan informan dapat dilakukan dengan cara melalui
keterangan orang yang berwenang atau orang yang terkait langsung
dengan penelitian seperti hakim konstitusi ataupun mantan hakim
konstitusi. Melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti.
Berdasarkan pendapat diatas, jelaslah bahwa tujuannya adalah agar
peneliti dapat memperoleh informasi yang akurat dan benar-benar
memenuhi persyaratan karena informan tersebut mengetahui secara
lengkap tentang keadaan lapangan atau lokasi penelitian tersebut.
Penetuan sampel dalam penelitian kualitatif tidak didasarkan
perhitungan stastitik. Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan
informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasikan.
D. Fokus Penelitian
Adapun sebagai fokus penelitian dalam penelitian ini adalah
Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum
Ketatanegaraan Indonesia.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam memperoleh data penelitian ialah
berupa lembar observasi, panduan wawancara, serta catatan dokumentasi
sebagai pendukung dalam penelitian ini.
1. Lembar Observasi
Berisi catatan-catatan yang diperoleh penelitian pada saat
melakukan pengamatan langsung di lapangan. Adapun yang peneliti
observasi dalam penelitian ini adalah Mahkamah Konstitusi
2. Pedoman Wawancara
Merupakan seperangkat daftar pertanyaan yang sudah disiapkan
oleh peneliti sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan peneliti yang
akan dijawab melalui proses wawancara. Adapun yang diwawancarai
peneliti dalam penelitian ini adalah hakim Konstitusi dan mantan hakim
Konstitusi
3. Catatan Dokumentasi
Dokumentasi adalah data pendukung yang dikumpulkan sebagai
penguatan data observasi dan wawancara yang berupa gambar,grafik, data
angka, sesuai dengan kebutuhan penelitian.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data primer (data
yang diperoleh langsung dari sumbernya) dan data sekunder (data yang
diperoleh tidak langsung dari sumbernya) dengan melalui wawancara,
observasi, dan dokumentasi.
1. Observasi
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan
pengamatan langsung ke locus dan obyek penelitian tepatnya di
Mahkamah Konstitusi. Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian
kualitatif, pengamatan yang dimanfaatkan sebesar-besarnya seperti yang
dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 2005:174-175)
yaitu:
a. Teknik pengambilan ini didasarkan atas pengamatan secara
langsung
b. Teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati
sendiri kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana
yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya.
c. Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam
situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposisional maupun
pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.
Observasi merupakan bagian dari teknik pengumpulan data di
mana mahasiwa menjadi objek dalam penelitian dan dalam penelitian
tersebut akan dicapai apa menjadi pokok permasalahan yakni mengetahui
apa penyebab terjadinya degradasi fungsi pendidikan serta memahami
bentuk degradasi fungsi dari pendidikan kontemporer.
2. Wawancara
Teknik pengumpulan data primer dari para pihak yang dijadikan
informan penelitian. Teknik wawancara dilakukan dengan mempersiapkan
terlebih dahulu Pedoman Wawancara. Pedoman wawancara tersebut berisi
pokok-pokok pertanyaan terbuka untuk diajukan kepada para informan
penelitian. Secara garis besar ada dua macam pedoman wawancara, yaitu:
a. Pedoman wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara
yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Dalam hal ini
perlu adanya kreativitas pewawancara sangat diperlukan, bahkan
pedoman wawancara model ini sangat tergantung pada
pewawancara.
b. Pedoman pewawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang
disusun secara terperinci sehingga menyerupai chek-list.
Pewawancara hanya tinggal memberi tanda v (check).
Dalam pelaksanaan penelitian dilapangan, wawancara biasanya
dilaksanakan dalam bentuk ”semi structured”. Dimana interviwer
menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu
persatu diperdalam dalam menggali keterangan lebih lanjut. Dengan
model wawancara seperti ini, maka semua variabel yang ingin digali
dalam penelitian akan dapat diperoleh secara lengkap dan mendalam.
3. Dokumentasi
Data dalam penelitian kualitatif kebanyakan diperoleh dari sumber
manusia atau human resources, melalui observasi dan wawancara. Bentuk-
bentuk dokumen tersebut diatas, bentuk lainnya adalah foto dan bahan
statistik. Dengan menggunakan foto akan dapat mengungkap suatu situasi
pada detik tertentu sehingga dapat memberikan informasi deskriptif yang
berlaku saat itu. Foto dibuat dengan maksud tertentu, misalnya untuk
melukiskan kegembiraan atau kesedihan, kemeriahan, semangat dan
situasi psikologis lainya. Foto juga dapat menggambarkan situasi sosial
seperti kemiskinan daerah kumuh, adat istiadat, penderitaan dan berbagai
fenomena sosial lainnya.
G. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif.
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data
kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat
diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data.
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak,
sehingga perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan
sebelumnya, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data yang
diperoleh akan semakin banyak, kompleks, dan rumit. Untuk itu perlu
segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.
Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan
yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada
temuan. Oleh karena itu, apabila peneliti dalam melakukan penelitian
menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum
memiliki pola, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam
melakukan reduksi data.
Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan
kecerdasan, keleluasaan, dan kedalaman wawasan yang tinggi. Bagi
peneliti yang masih baru, dalam melakukan reduksi data dapat
mendiskusikan dengan teman atau orang lain yang dipandang cukup
menguasai permasalahan yang diteliti. Melalui diskusi itu, wawasan
peneliti akan berkembang, sehingga dapat mereduksi data-data yang
memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yang signifikan.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data
kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi
disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan
kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif
(berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan.
Dengan adanya penyajian data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi, dan merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Selanjutnya oleh Miles dan
Huberman disarankan agar dalam melakukan display data, selain dengan
teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network (jaringan
kerja), dan chart.
3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Penarikan kesimpulan merupakan salah satu dari teknik analisis
data kualitatif. Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat
digunakan untuk mengambil tindakan.
Langkah ketiga dalam analisis data dalam penelitian kualitatif
menurut Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara,
dan akan mengalami perubahan apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang
kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal
didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali
ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang kredibel.
Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin
dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi
mungkin juga tidak. Mengapa bisa demikian? Karena seperti telah
dikemukakan di atas bahwa masalah dan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah
peneliti berada di lapangan.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru
yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau
gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau
bahkan gelap, sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan ini dapat
berupa hubungan kausal atau interaktif, maupun hipotesis atau teori.
H. Teknik Keabsahan Data
Sugiyono (2012:369-371), dalam penelitian ini, teknik keabsahan
data yang digunakan adalah trianingulasi (peer debriefing). Triangulasi
dalam pemeriksaan keabsahan data diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan
demikian, terdapat tringulasi teknik dan tringulasi waktu. Teknik
keabsahan data dalam penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Triangulasi sumber, untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
2. Triangulasi teknik, untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
3. Triangulasi waktu, untuk menguji kredibilitas data dapat dilakukan dengan
cara melakuakan pengecekan dengan wawancara, obsevasi atau teknik lain
dalam waktu atau situasi yang berbeda.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Analisis Hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 tentang
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan di Mahkamah
Konstitusi, Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat
dimulai sejak tanggal 17 Juli sampai dengan 31 Juli 2019. Dalam
penelitian ini seperti yang dijelaskan pada bagian metode penelitian yang
mencakup kegiatan observasi, wawancara dan dokumentasi, berikut ini
peneliti akan memaparkan secara jelas.
Peneliti dalam penelitian ini mengambil subjek beberapa orang
diantaranya hakim konstitusi dan mantan hakim konstitusi. Penentuan
subjek dalam penelitian kualitatif, peneliti memilih orang tertentu yang
dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan dan selanjutnya
berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari subjek. Sebelum itu
peneliti dapat menetapkan informan lainnya yang dipertimbangkan akan
memberikan data lebih lengkap. Peneliti melakukan observasi dan
wawancara pada hakim konstitusi dan mantan hakim konstitusi yang
dapat memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat
memang sangat diperlukan dalam menjalankan tugas pokok dan
wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus berbagai
perkara ketatanegaraan pada tingkat pertama dan terakhir sepanjang
masih dalam ranah kewenangannya.
Hal ini diperkuat keterangan informan WA sebagai salah satu
hakim Konstitusi yang menyatakan:
“Karena di Undang-Undang itu disebut sebagai pengadilan pertama dan terakhir, bukan soal kekeliruan tapi itulah Undang-Undang mengatakan begitu”(Hasil wawancara 19 Juli 2019). Selanjutnya informan MFI selaku mantan hakim Konstitusi, menyatakan: “Iya betul tapi kita memang dikatakan oleh konstitusi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak bisa diupayakan hukum lagi, jadi final dan mengikat. Kemudian maka kita bisa melihat bahwa putusan MK itu kan sembilan hakim semuanya tetapi karena MK tidak mengadili pendapat maka kita bisa melihat bahwa mungkin orang mengatakan itu keliru,itu pertama dalam konstitusi tapi kami anggap itu tidak bertentangan”(Hasil Wawancara 25 Juli 2019).
Hasil wawancara yang diutarakan oleh informan diatas yaitu
mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang dikatakan final dan
mengikat diatur dalam Undang-Undang sebagai pengadilan pertama dan
62
terakhir dan lebih lanjut beliau mengatakan bukan soal kekeliruan tapi
itulah Undang-Undang mengatakan begitu terkait putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat yang tidak dapat dilakukan
upaya hukum setelahnya yang tidak ada jaminan sembilan orang hakim
konstitusi terlepas dari kekeliruan dalam memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang mereka tangani.
Selanjutnya hasil wawancara yang diutarakan oleh informan MFI
dikatakan oleh Konstitusi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
final dan tidak bisa diupayakan hukum lagi, jadi final dan mengikat lebih
lanjut beliau mengatakan kita bisa melihat bahwa putusan MK itu kan
sembilan hakim semuanya tetapi karena MK tidak mengadili pendapat
maka kita bisa melihat bahwa mungkin orang mengatakan itu keliru, itu
pertama dalam konstitusi tapi kami anggap itu tidak bertentangan terkait
putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat yang
tidak dapat dilakukan upaya hukum setelahnya yang tidak ada jaminan
sembilan orang hakim konstitusi terlepas dari kekeliruan dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang mereka tangani.
Dari hasil wawancara kedua informan di
atas, peneliti menemukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
dikatakan bersifat final dan mengikat karena kedudukan Mahkamah
Konstitusi sebagai peradilan pertama dan terakhir disamping itu,
Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang
kesemuanya adalah satu kesatuan dalam menangani setiap perkara yang
berdampak luas bagi kelangsungan penegakan hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Hambatan yang Dihadapi Terkait Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi di Lapangan.
Berikut keterangan dari MFI sebagai salah satu mantan hakim
konstitusi menyatakan bahwa:
“Sebetulnya hambatan tidak ada yah ,tapi diawal memang karena orang
tidak tahu, orang belum tahu apa Mahkamah Konstitusi itu, apa saja yang boleh diuji disana maka orang tidak tahu karena orang juga tahunya kalau seperti ke Mahkamah Agung jadi ada kasus konkret kemudian dia mengajukan ke Mahkamah Konstitusi sedangkan orang kan tidak semua orang itu bisa melihat undang-undang yang berlaku iya kan. Jadi kalau mereka tidak tahu undang undang yang berlaku yah bagaimana dia akan mengajukan pengujian. Berbeda dengan kasus-kasus konkret, kasus konkret kan orang membunuh yah jelas orang mengetahui itu kejahatan tapi kalau untuk Mahkamah Konstitusi memang tidak jadi dan juga melihat suatu undang undang bertentangan dengan undang undang dasar itu juga sangat sulit kadang-kadang iya kan karena pembentuk undang-undang pasti juga sudah merumuskan bagaimana sehingga rumusan-rumusan dalam Pasal-Pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi tapi orang bisa melihat bahwa dengan rumusan seperti ini, ini melanggar Pasal-Pasal dalam undang-undang dasar maka itu kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi”
Menurut beliau sebetulnya tidak ada hambatan yang dihadapi
Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya hanya
saja terkadang orang belum tahu Mahkamah Konstitusi itu seperti apa,
apa-apa saja yang boleh diuji disana. Orang selama ini tahunya kalau ada
kasus konkret itu dibawa ke Mahkamah Agung sedangkan tidak semua
orang bisa melihat undang-undang yang berlaku, jadi bagaimana mereka
akan mengajukan pengujian kalau mereka tidak tahu undang-undang yang
berlaku. Lebih lanjut beliau menerangkan berbeda dengan
kasus-kasus konkret, dalam kasus konkret orang membunuh yah jelas
orang mengetahui itu kejahatan tapi kalau di Mahkamah Konstitusi tidak
mengadili kasus seperti itu dan juga untuk melihat suatu undang-undang
bertentangan dengan undang-undang itu juga terkadang sulit karena
pembentuk undang-undang pasti sudah merumuskan bagaimana sehingga
rumusan-rumusan dalam Pasal-Pasal itu tidak bertentangan dengan
Konstitusi tapi orang bisa melihat apabila ada rumusan-rumusan dalam
suatu undang-undang yang berlaku yang dianggap bertentangan dengan
Pasal-Pasal dalam undang-undang dasar maka itu dapat diajukan ke
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan keterangan dari informan di atas, peneliti menemukan bahwa
terkadang setiap orang yang berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak
dapat membedakan mana perkara yang dapat diajukan ke Mahkamah
Konstitusi dan mana perkara yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung.
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, pada sub
pembahasan ini akan menguraikan dua hal pokok yang menjadi fokus
dalam penelitian ini yaitu analisis hukum UU No 8 tahun 2011 Pasal 10
ayat 1 tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat dan hambatan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan putusannya di lapangan. Kedua hal pokok tersebut diuraikan
sebagai berikut:
1. Analisis Hukum UU No 8 tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan Mengikat
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat
memang sangat diperlukan dalam menjalankan tugas pokok dan
wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus berbagai perkara
ketatanegaraan pada tingkat pertama dan terakhir sepanjang masih dalam
ranah kewenangannya.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu institusi peradilan, sudah
barang tentu meletakkan putusan sebagai mahkotanya. Putusan Mahkamah
Konstitusi mutlak bersifat final dan mengikat karena Mahkamah
Konstitusi dalam menjatuhkan setiap putusan menjadikan Konstitusi
sebagai batu ujinya atau dasar pengujiannya dalam artian tidak ada lagi
upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya mengingat kedudukan
putusan Mahkamah Konstitusi dilekatkan pada hakikat kedudukan
Konstitusi sebagai hukum tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang
kedudukannya lebih tinggi dari pada itu. Di samping itu,
jelaslah bahwa putusan MK dikatakan harus dan sudah selayaknya bersifat
final dan mengikat karena posisi MK sendiri telah diatur dalam Konstitusi
dan Undang-Undang sebagai pengadilan pertama dan terakhir dimana jika
merujuk pada ketentuan tersebut maka sudah selayaknya pula putusan
yang dikeluarkan MK itu tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun
pasca pengucapannya.
Maka dapat dipahami bahwa penafsiran terhadap setiap perkara yang
diadili Mahkamah Konstitusi hanya dilakukan satu kali karena apabila
tafsir dilakukan berkali-kali dikhawatirkan dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum yang tentunya akan berdampak negatif dalam proses
penegakan hukum di Indonesia, maka dari itu sudah selayaknya pula
putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan
berlaku secara mengikat.
Terkait pendapat informan MFI yang menyebut MK
terdiri dari sembilan orang hakim dalam menangani setiap perkara, jadi
dianggap tidak bertentangan, maka dapat dipahami bahwa apa yang
dikatakan informan ada benarnya juga mengingat MK terdiri atas sembilan
orang hakim Konstitusi yang kesemuanya merupakan satu kesatuan dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
Jadi dengan melihat komposisi hakim
Konstitusi sebanyak itu kecil kemungkinan kekeliruan dilakukan para
hakim Konstitusi dalam menjatuhkan putusan, berbeda halnya dengan
jumlah hakim di peradilan umum, pada tingkat peradilan umum yang
biasanya hanya terdiri atas satu hakim, tiga hakim, dan paling banyak lima
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara itupun setelah
putusan dijatuhkan di tingkat peradilan pertama masih dimungkinkan
melakukan upaya hukum setelahnya baik upaya hukum tingkat banding,
tingkat kasasi, atau bahkan sampai pada upaya hukum Peninjaun Kembali
(PK) apabila dianggap putusan hakim tersebut keliru. Jika
dibandingkan dengan jumlah hakim Konstitusi bisa kita lihat bahwa jelas
tidak sebanding dengan jumlah hakim di tingkat peradilan umum. Maka
dapat dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan MK harus bersifat final
dan mengikat karena mengingat posisi MK sebagai peradilan tingkat
pertama dan terakhir dalam artian MK tidak membawahi atau menaungi
peradilan sebelum perkara itu diadili MK, berbeda halnya dengan MA,
diamana sebelum perkara diadili MA terlebih dahulu perkara itu harus
diadli dan diselesaikan di tingkat peradilan yang dibawahi MA.
Tidak ada perdebatan secara detail
mengenai sifat putusan Mahkamah Konstitusi dalam proses perumusan
amendemen ketiga UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa seluruh pihak yang
terlibat, sejak awal hingga akhir pembahasan telah menyepakati ketentuan
tersebut. Karenanya, rumusan akhir yang disepakati yaitu bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir
yang bersifat final. Amanat UUD 1945
tersebut kemudian diderivasi ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10 ayat (1) menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final”
Dijelaskan makna final pada undang-undang ini, yaitu putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Ketentuan
lebih lanjut untuk memperjelas mengenai kekuatan hukum putusan
Mahkamah Konstitusi dapat dilihat pada Pasal 47 yang menyatakan:
“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” Ketentuan mengenai sifat putusan Mahkamah Konstitusi sebagai
bentuk derivasi dari UUD 1945 juga dapat ditemui pada Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(UU Nomor 48 Tahun 2009), yang menyatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final” Merujuk pada landasan yuridis di atas, peneliti tidak menemukan
kata mengikat sebagai sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang
seharusnya dipadukan dengan sifat final. Baik menurut UUD 1945, UU
Nomor 24 Tahun 2003, maupun UU Nomor 48 Tahun 2009, hanya
menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final.
Pada perkembangannya, kata mengikat kemudian muncul pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
merubah penjelasan Pasal 10 ayat (1) sehingga berbunyi “Putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak
ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan
Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan
hukum mengikat (final and binding)”.
Berangkat dari beberapa penjelasan
di atas, peneliti berpendapat bahwa klausul mengikat memang penting
untuk disebutkan secara eksplisit, termasuk di dalam UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi, dengan beberapa alasan. Pertama, putusan Mahkamah
Konstitusi menduduki peranan yang sangat signifikan. Bagaimanapun
upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga
kemurnian konstitusi guna melindungi hak konstitusional warga negara,
dengan cara menafsirkannya, jika tidak diikuti kekuatan mengikat tentu
hanya akan menjadi macan kertas dengan kekuatan simbolik yang hanya
menghiasi berita negara.
Menegaskan di dalam konstitusi bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi juga mengikat, di samping bersifat final, akan menjadikan sifat
putusan tersebut lebih kokoh. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa
konstitusi merupakan produk hukum yang tidak dapat diubah atau diganti
dengan mudah. Kedua, tanpa menafikan bahwa makna final juga sudah
mengandung arti mengikat secara implisit, namun demi kepastian hukum,
kata mengikat juga penting untuk dicantumkan. Mengutip yang dikatakan
oleh Satjipto Rahardjo bahwa kepastian hukum tidak turun dari langit.
Kepastian hukum tidak jatuh bersamaan lahirnya undang-undang beserta
Pasal-Pasal dan prosedurnya. Kepastian hukum membutuhkan pengerahan
tenaga dan kekuatan.
Ketentuan sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi
ini juga diperkuat dengan adanya Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009 dan
Putusan Nomor 36/PUU-IX/2011. Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009
menguji Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004. Putusan tersebut
menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para
pemohon tidak dapat diterima. Demikian pula pada Putusan Nomor
36/PUU-IX/2011 yang juga menguji Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi karena
dinilai bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Salah satu dalil
pemohon, bahwa dengan adanya ketentuan Pasal tersebut maka pemohon
tidak dapat mengajukan upaya hukum dalam bentuk apapun terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi. Pada akhirnya, amar putusan Mahkamah
Konstitusi juga menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat
diterima.
Adanya putusan MK tersebut semakin menguatkan ketentuan final
dan mengikat putusannya. Berkaitan dengan ini, Maruarar Siahaan
berpendapat bahwa penyempurnaan hukum acara MK, termasuk dalam hal
ini adalah putusan sebagai muara akhir dari proses beracara, adalah
melalui peraturan MK maupun dengan yurisprudensi konstitusi. Hal ini
juga mendasari dengan praktek di negara-negara lain seperti Korea.
Pembuat undang-undang di Korea bahkan sangat menyadari kekurangan
hukum acara yang diatur di dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi
Korea tersebut. Oleh karena itu, adanya putusan MK sebagaimana
dijelaskan di atas yang memutuskan persoalan sifat final dan mengikat
putusannya, telah menunjukkan secara tegas, bahwa produk hukum yang
dikeluarkan oleh MK jelas tidak dapat ditawar kembali sifat final dan
mengikatnya.
Beberapa penjelasan di atas menunjukkan bahwa sejak awal
wacana dibentuknya MK di Indonesia hingga saat ini, sifat putusan dari
institusi ini adalah final dan mengikat. Putusan final berarti bahwa putusan
MK merupakan upaya yang pertama (the first resort) sekaligus upaya
terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan. Ukuran untuk
menentukan apakah putusan peradilan bersifat final atau tidak, dapat
dilihat dari ada atau tidaknya badan atau institusi yang berwenang secara
hukum untuk melakukan peninjauan ulang (review) terhadap putusan
pengadilan tersebut, serta ada atau tidaknya prosedur atau mekanisme
dalam hukum acara tentang siapa dan bagaimana cara peninjauan ulang
tersebut dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat final dan mengikat karena
kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan pertama dan terakhir
dan menjadikan Konstitusi sebagai batu ujinya atau dasar pengujiannya
dalam setiap putusannya sehingga tidak ada lagi upaya hukum lanjutan
yang dapat ditempuh semua pihak setelahnya, kemudian tafsir terhadap
setiap perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi hanya boleh dilakukan
sekali karena apabila tafsir dilakukan berkali-kali dikhawatirkan dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentunya akan berdampak
negatif dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Sehingga sudah sepantasnya putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final dan berlaku secara mengikat.
Disamping itu, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim
Konstitusi yang kesemuanya adalah satu kesatuan dalam menangani setiap
perkara sehingga kecil kemungkinan terjadi kekeliruan yang hakim
Konstitusi lakukan dalam menjatuhkan putusan jika ditinjau dari segi
jumlahnya dibandingkan dengan jumlah hakim yang ada pada peradilan
umum kalaupun ada hakim Konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting
opinion) dari hakim lainnya itupun bisa dihitung dan tidak terlalu
berpengaruh besar dalam proses perumusan putusan.
2. Hambatan yang Dihadapi Terkait Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi di Lapangan
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga tinggi negara
yang berada dalam naungan kekuasaan yudikatif dalam implementasi
putusannya di lapangan tentu tidak terlepas dari hambatan atau kendala
yang dihadapi, berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk
menelusuri lebih mendalam persoalan tersebut.
Berdasarkan pendapat informan MFI sebagai
salah satu mantan hakim Konstitusi, peneliti dapat memahami bahwa
terkadang setiap orang tidak dapat membedakan mana perkara yang dapat
diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan mana perkara yang dapat diajukan
ke Mahkamah Agung, hal ini mengakibatkan terjadinya penumpukan
perkara di Mahkamah Konstitusi yang berakibat pada semakin padatnya
jadwal persidangan di Mahkamah Konstitusi karena harus menerima dan
menangani setiap perkara yang diajukan meskipun terkadang setiap
perkara yang diajukan bukan ranah kewenagannya, sehingga tidak jarang
setiap perkara yang diadili Mahkamah Konstitusi hanya sampai di tahap
sidang panel saja (tahapan sidang pendahuluan pemeriksaan perkara).
Di samping itu, Berdasarkan hasil kajian dan analisis yang
dilakukan peneliti terhadap eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi di
lapangan, terkadang putusan Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya
dilaksanakan oleh lembaga negara yang terkena adressat putusan baik
lembaga negara legislatif (DPR/DPD), eksekutif (Pemerintah) dan
yudikatif (MA). Putusan MK yang
tidak dilaksanakan oleh MA misalnya adalah Putusan Nomor 34/PUU-
XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Akibat hukum
dari putusan tersebut yaitu bahwa Peninjauan Kembali (PK) dapat
diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya lebih dari sekali selama masih
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 268 ayat (2)
KUHAP. Putusan MK ini kemudian dianulir oleh MA melalui Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2014 tentang
Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana.
Substansi dari SEMA tersebut adalah untuk menegaskan bahwa PK hanya
dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Putusan MK yang tidak dilaksanakan oleh cabang
kekuasaan eksekutif secara konsekuen yaitu Putusan Nomor 5/PUU-
X/2012 tentang pengujian Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Persoalan implementasi
putusan MK pada konteks ini yaitu pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan masih menempuh kebijakan masa transisi
untuk menghapus kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan/atau
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Padahal hakikatnya,
Putusan MK tidak mengenal masa transisi untuk dilaksanakan, namun
mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan, yang artinya sejak
saat itu pula harus dipatuhi dan diimplementasikan.
Putusan yang tidak dilaksanakan oleh cabang kekuasaan legislatif
misalnya adalah Putusan Nomor 011/PUU-III/2005 yang menyatakan
bahwa penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pada putusan tersebut MK berpendapat bahwa pada hakikatnya
pelaksanaan konstitusi tidak boleh ditunda-tunda, termasuk ketentuan
anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan telah
dinyatakan secara expres verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun, pada undang-undang
yang lain yaitu Undang-Undang tentang APBN Tahun 2005 panitia
anggaran DPR hanya mengalokasikan anggaran sebesar 36 Triliun atau
setara dengan 8,1 persen dari total anggaran yang ada.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa putusan MK mempunyai
ketegasan hanya pada tataran normatif saja. Putusan MK hanya tampak
populis serta progresif di permukaan, namun justru tidak jarang
putusannya “gagal” melimpahkan keadilan dan kepastian hukum karena
berhenti pada putusan normatif yang tidak sepenuhnya diimplementasikan
secara konsekuen oleh lembaga yang terkena adressat putusan. Hal ini
terutama berkaitan erat dengan putusan yang berada dalam ranah judicial
review atau pengujian undang-undang. Sebaliknya, implementasi putusan
MK sangat tergantung pada cabang kekuasaan lain baik legislatif,
eksekutif maupun cabang kekuasaan kehakiman berupa MA.
Keadaan tersebut tentu telah sangat
jelas menunjukkan bahwa keberadaan MK hingga saat ini belum
mempunyai daya tawar yang kuat sebagai satu-satunya lembaga tinggi
negara yang mempunyai otoritas mengawal sekaligus menafsirkan
konstitusi. Terlebih keberadaan MK memang tidak mempunyai ranah dan
wewenang untuk ikut andil dalam proses implementasi putusannya sendiri.
Tidak salah apabila dikatakan bahwa MK merupakan cabang kekuasaan
dalam struktur ketatanegaraan yang paling lemah di antara cabang-cabang
kekuasaan negara lainnya (the least dangerous power, with no purse nor
sword). Apabila
keadaan tersebut terus dibiarkan, perkembangan dan kedudukan MK
dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia hanya akan menjadi formalitas
belaka, di samping juga tingkat kepercayaan publik terhadap MK akan
menurun. Pada gilirannya, MK kehilangan marwah sebagai lembaga
penafsir dan pengawal konstitusi sebagaimana original intent dibentuknya
MK. Konsekuensi logis dari hal tersebut, MK akan ditinggalkan oleh para
pencari keadilan.
Pada aspek kepastian hukum, persoalan sebagaimana dijelaskan di atas
tentu menjadi permasalahan yang sangat fundamental. MK sebagai
pengawal konstitusi dan bentuk dari pelembagaan menuju supremasi
konstitusi tentu akan jauh dari cita-citanya. Dapat dikatakan bahwa
diimplementasikannya putusan MK secara konsekuen merupakan indikator
utama tegaknya supremasi konstitusi. Pada ruang lingkup yang lebih luas,
hal tersebut merupakan cerminan atas tegaknya negara hukum. Putusan
MK hanya menjadi macan kertas, tidak implementatif dan dapat
mencederai pemahkotaan supremasi hukum.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan meneganai kedudukan
dan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan
Indonesia. Maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi mutlak bersifat final dan mengikat
karena Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan setiap putusan
menjadikan Konstitusi sebagai batu ujinya atau dasar pengujiannya
dalam artian tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh
setelahnya mengingat kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi
dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum
tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang kedudukannya lebih
tinggi dari pada itu.
Di samping itu, jelaslah bahwa putusan MK
dikatakan harus dan sudah selayaknya bersifat final dan mengikat
karena posisi MK sendiri telah diatur dalam Konstitusi dan
Undang-Undang sebagai pengadilan pertama dan terakhir dimana
jika merujuk pada ketentuan tersebut maka sudah selayaknya pula
79
putusan yang dikeluarkan MK itu tidak dapat dilakukan upaya
hukum apapun pasca pengucapannya. Maka
dapat dipahami bahwa penafsiran terhadap setiap perkara yang
diadili Mahkamah Konstitusi hanya dilakukan satu kali karena
apabila tafsir dilakukan berkali-kali dikhawatirkan dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentunya akan
berdampak negatif dalam proses penegakan hukum di Indonesia,
maka dari itu sudah selayaknya pula putusan yang dijatuhkan
Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan berlaku secara
mengikat.
2. Hambatan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan
putusannya di lapangan adalah terkadang setiap lembaga negara
yang terkena adressat putusan tidak menjalankan sepenuhnya
putusan Mahkamah Konstitusi hal ini tentunya pasti akan
berdampak negatif pada proses penegakan supremasi hukum di
Indonesia.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan mengenai kedudukan dan wewenang
Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia di
atas, maka peneliti mengemukakan saran sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat,
hendaknya lembaga negara pembentuk undang-undang dalam hal
ini Presiden dan DPR RI kembali melakukan revisi terhadap
undang-undang yang menyangkut kedudukan dan wewenang yang
dimiliki Mahkamah Konstitusi, terutama melakukan revisi terhadap
rumusan Pasal yang menyangkut sifat putusan Mahkamah
Konstitusi karena tidak ada yang bisa menjamin kesembilan hakim
konstitusi terlepas dari yang namanya kekeliruan dalam
menjatuhkan putusan.
2. Menurut penulis ada tiga persoalan yang hingga saat ini dialami
oleh Mahkamah Konstitusi antara lain: pertama sosialisasi terhadap
tugas dan fungsi pokok yang dimilki Mahkamah Konstitusi sangat
perlu dimasifkan lagi pergerakannya. Dengan demikian, melalui
sosialisasi yang diadakan pihak Mahkamah Konstitusi tersebut
masyarakat dapat membedakan mana perkara yang dapat diajukan
ke Mahkamah Konstitusi dan mana perkara yang dapat diajukan ke
Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya, kedua
rekrutmen terhadap para calon hakim Konstitusi perlu diperketatat
lagi terutama dari segi moral dan akhlaknya di samping persyaratan
dari segi keilmuan dan yang ketiga perlu dibentuknya lembaga
khusus yang khusus menangani seleksi atau uji kepatutan dan
kelayakan (fiit and proper test) calon hakim konstitusi atau
kewenangan Komisi Yudisial (KY) diperluas dengan menambah
kewenangannya untuk melakukan seleksi atau uji kepatutan dan
kelayakan (fiit and proper test) calon hakim Konstitusi sehingga
anggapan-anggapan sebagian masyarakat bahwa hakim Konstitusi
terkadang di tunggangi kepentingan polilik bisa dihilangkan.
Karena memang selama ini proses seleksi calon hakim Konstitusi
dilakukan oleh lembaga negara pengusul calon hakim Konstitusi
masing-masing sehingga terkadang muncul anggapan hakim
“titipan”.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Asshiddiqie, Jimly, (2006), Hukum Tata Negara. Denpasar, Raja Grafindo Persada.
Ashiddiqie, Jimly, (2009), Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika.
Ashiddiqie, Jimly, (2012), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Ashiddiqie, Jimly, (2015), Konstitusi Bernegara, Jakarta, Setara Press.
Baso Ence, Iriyanto, (2007), Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Makassar, PT. Alumni.
Fadlil Sumadi, Ahmad, (2011), Bunga Rampai Mahkamah Konstitusi dan Demokrasi, Jakarta, Konstitusi Press.
Harahap, Yahya, 2007, Kekuasaan Mdahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan kembali Perkara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika.
Hidjaz, Kamal, (2010), Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Makassar.Pustaka Refleksi.
Indroharto, (1993), Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Harapan.
Mahfud MD, Moh, (2010), Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Manan, Bagir, (2000), Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung, Fakultas Hukum UNPAD.
Martiah, (2013), Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature, Cetakan Pertama, Jakarta: Konstitusi Press.
Nurmayani, (2009), Hukum Administrasi Daerah, Bandar Lampung, Universitas Lampung.
Puspa Yan Pramadya, (2008), Kamus Hukum, Semarang, Sinar Grafika.
Ridwan, (2013), Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Soimin, dkk, (2012), Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, UII Pres Yogyakarta.
Soemantri, Sri (2014), Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Siahaan, Maruarar, (2005), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, Konstitusi Press.
Sutiyoso, Bambang, (2006), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Sirajuddin, dkk, (2015), Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang, Setara Press.
Sugiyono, (2012), Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung, CV Alfabeta.
Thaib, Dahlan, (2006), Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (2010), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, (2010), Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia: Buku VI, Kekuasaan Kehakiman, Jakarta, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
B. Jurnal
Bisariyadi.2015.”Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang – Undang”Jurnal Konstitusi,Volume 12,Nomor 3,September,hal.473-502.
Laksono, Fajar, dkk, “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012 Terkait Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang” Jurnal Konstitusi Volume 12, Nomor 3, September 2015.
Moh.Mahfud MD.2009.”Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi”.Jurnal Hukum.Nomor 4.Volume 16.Oktober.hal.441-462.
Mahfud MD, Moh, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Pengembangan Hukum
dan Demokrasi di Indonesia” dalam Mariyadi Faqih, “Nilai-Nilai Filosofi
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010.
Soeroso,Fajar Laksono.2014.”Aspek Keadilan Dalam Sifat Final Putusan
Mahkamah Konstitusi”.Jurnal Konstitusi.Volume 11.Nomor 1.Maret.hal.64-84
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Bekerjasama Dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas.Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), Universitas Andalas, Padang.2010.
Syahrizal, Ahmad, “Problem Implementasi Putusan MK” Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, Maret 2007.
Siahaan, Maruarar, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum
Konstitusi”, Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 16, Juli 2009.
Utomo Nurrahman Aji, 2015, ”Dinamika Hubungan Antara Pengujian Undang-Undang dengan Pembentukan Undang-Undang”.Jurnal Konstitusi.Volume 12.Nomor 4.Desember.hal.825-848.
Zubaidy Anang. Konstitusinal Bersyarat (Conditionally Constitusional) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”Tesis Pada Program Magister Ilmu Hukum.Universitas Islam Indonesia.Yogyakarta.2012.
C. Internet
Fitria Esfandiari, dkk. ”Positive Legislature Mahkamah Konstitusi di Indonesia”dalam
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/703/690,diakses pada tanggal 13 Agustus 2019.
Anonim, “APBN 2006, Pemerintah dan DPR Abaikan Putusan MK” dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hal3876/apnb-2006-pemerintah-
dan-dpr-abaikan-putusan-mk, diakses pada tanggal 13 Agustus 2019.
Moh. Mahfud MD.” Menabrak Rambu-Rambu Demi Keadilan Substantit”http;//www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=websi
te.BeritaInternalLengkap&id=4719,diakses pada tanggal 13 Agustus 2019.
D. Peraturan Perundang – Undangan
Pasal 24 huruf C Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 7 huruf B Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 1 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 10 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 47 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 1 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 10 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 47 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi
Pasal 29 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
LAMPIRAN
LEMBAR WAWANCARA
1. Mengapa putusan hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat final dan
mengikat ? 2. Apa hambatan atau kendala yang dihadapai Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan tugas dan wewenang yang dimilikinya ?
PEDOMAN OBSERVASI
Tanggal Observasi : 17-31 Juli 2019
Tempat : Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta
Pusat
NO ASPEK YANG DIAMATI HASIL PENGAMATAN
1.
Lokasi Observasi Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat
2.
Analisis Hukum UU No 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat 1 tentang putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat
Putusan Mahkamah Konstitusi mutlak bersifat final dan mengikat karena Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan setiap putusan menjadikan Konstitusi sebagai batu ujinya atau dasar pengujiannya dalam artian tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya mengingat kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang kedudukannya lebih tinggi dari pada itu.
3.
Hambatan atau kendala yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan putusannya di lapangan
Hambatan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan putusannya di lapangan adalah terkadang setiap lembaga negara yang terkena adressat putusan tidak menjalankan sepenuhnya putusan Mahkamah Konstitusi hal ini tentunya pasti akan berdampak negatif pada proses penegakan supremasi hukum di Indonesia
DATA INFORMAN
1. Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA
Pekerjaan: Hakim Konstitusi
2. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH
Pekerjaan: Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Universitas
Indonesia/Mantan Hakim Konstitusi
RIWAYAT HIDUP
ARFANDI AHMAD PERMANA Lahir di Makassar 17
Februari 1995. Penulis adalah anak pertama dari 5 bersaudara
buah hati pasangan Mustahir dan Kasmiati Kaseng. Penulis
mengawali pendidikan di SDN 157 Cakke pada tahun 2003 dan
tamat pada tahun 2009, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Anggeraja
pada tahun 2009 dan tamat pada tahun 2012. Kemudian pada tahun yang sama
penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Anggeraja (sekarang SMAN 1
Enrekang) dan tamat pada tahun 2015. Kemudian pada tahun 2015 penulis
melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Swasta, tepatnya di Universitas
Muhammadiyah Makassar (Unismuh Makassar), dan menjadi mahasiswa pada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Pancasila
Dan Kewarganegaraan, pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Konstitusi HIMA
Prodi PPKn periode 2017-2018, dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Bidang
Sumber Daya Mahasiswa BEM FKIP Unismuh Makassar periode 2018-2019, dan
selesai pada tahun 2019.