analisis kekuatan hukum putusan mahkamah ...repository.ub.ac.id/5902/1/nurhadid muharram...

92
ANALISIS KEKUATAN HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE PADA KASUS LAUT CHINA SELATAN ANTARA CHINA DAN FILIPINA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : NURHADID MUHARRAM HOSEN NIM : 125010118113045 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM MALANG 2017

Upload: others

Post on 24-Jan-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS KEKUATAN HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE PADA

KASUS LAUT CHINA SELATAN ANTARA CHINA DAN FILIPINA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan

Dalam Ilmu Hukum

Oleh :

NURHADID MUHARRAM HOSEN

NIM : 125010118113045

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2017

Abstract

The Arbitration Court declared that China has violated the right of Philippines sovereignty. It also mentioned that China has caused 'fatal damage to coral reef environment' by building artificial islands.

China claims almost the entire territory of the South China Sea, including corals and islands that

are also claimed by other countries. In 2013, the Philippines objected to China's claims and

activities in the South China Sea to the UNCLOS’s Arbitration Court in Den Haag, Netherlands.

The Philippines accused China of interfering in their territory by fishing and reclaiming to build

artificial islands.

The Philippines argues that China's claims in the territorial of the South China Sea marked by

nine-dash-line is against the sovereignty of the Philippines and international maritime law. Judges

in these courts basing their ruling on the UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), which

was signed by the government of China and the Philippines. This decision is binding, but the

Arbitration Court did not have the power to implement it. But the judge recommends that both

parties must obey by the terms of the convention they have signed.

In this case, another possible effort by the Philippines is to bring the case to ITLOS, requesting

ASEAN’ assistance through the Treaty Amity and Cooperation (TAC) and efforts to resolve the

dispute violently.

Keywords: Judgment, Arbitration, Dispute

Abstrak

Mahkamah arbitrase menyatakan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina. Disebutkan

pula bahwa China telah menyebabkan 'kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang' dengan

membangun pulau-pulau buatan.

China mengklaim nyaris seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk karang dan pulau yang

juga diklaim negara lain. Pada 2013, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas China

di Laut China Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda. Filipina

menuding China mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi

membangun pulau buatan.

Filipina berargumen bahwa klaim China di wilayah perairan Laut China Selatan yang ditandai

dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash-line bertentangan dengan kedaulatan wilayah

Filipina dan hukum laut internasional. Hakim di pengadilan ini mendasarkan putusan mereka pada

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang ditandatangani baik oleh pemerintah China

maupun Filipina. Keputusan ini bersifat mengikat, namun Mahkamah Arbitrase tak punya

kekuatan untuk menerapkannya. Namun hakim menganjurkan bahwa kedua belah pihak harus

mematuhi ketentuan konvensi yang telah mereka tanda tangan.

Dalam kasus ini upaya lain yang dapat dilakukan Filipina yaitu dapat membawa kasus tersebut

kedalam ASEAN melalui traktat TAC dan upaya penyelesaian sengketa secara kekerasan.

Kata kunci: Putusan, Arbitrase, Sengketa

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Nurhadid Muharram Hosen

Nama Panggilan : Hosen

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 12 Juni 1994

Alamat Tempat Tinggal : Jl. PROF.DR Latumeten 1 No. 3,

RT.001 RW.005

Kelurahan Jelambar, Kecamatan

Grogol Pertamburan, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi

DKI Jakarta

Alamat Email : [email protected]

Telepon : 081294113527

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Negeri 01 Jakarta Barat, 2001-2006

SMP : SMP Negeri 111 Jakarta Barat, 2007-2009

SMA : SMA Negeri 112 Jakarta Barat, 2010-2012

Perguruan Tinggi : Universitas Brawijaya Malang, 2012-2017

PRESTASI

2005 : Juara 1 Lomba Paduan Suara Tingkat Wilayah Kotamadya

2014 : Juara 3 Lomba Debat Antar Fakulatas Universitas Brawijaya

PENGALAMAN ORGANISASI

Staff Ahli Hukum DPKM (Dewan Perwakilan Keluarga Mahasiswa) Universitas

Brawijaya

Anggota Komisi Advokasi DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya

Staff Umum ALSA (Asian Law Students Association) Local Chapter Universitas

Brawijaya

Anggota BILSTUF (Perkumpulan Mahasiswa Konsentrasi Hukum Internasional)

Universitas Brawijaya

Anggota JSC (Jabodetabek Students Comunity) Universitas Brawijaya

JKTMOVEIN

EXPERIENCE

Staff Magang Kementrian Perdagangan Indonesia

Ketua Pelaksana Aksi Mahasiswa dalam Menuntut Keadilan

Ketua Acara Pelaksana dalam Seminar Kebanggsaan Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya

Ketua Acara Pelaksana dalam Sekolah Hukum Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya

Ketua Acara Pelaksana dalam Seminar Hukum Indonesia Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya

Koordinator Pengawas PK2MABA Fakultas Hukum Universitas Brawjiaya

Anggota Lomba IHL Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Anggota Panitia Transportasi dan Acara dalam Acara ALSA Enterprenuer Day

Anggota Panitia Acara dalam Acara ALSA Care

Anggota Panitia Acara dalam ALSA Visit

Anggota Panitia Acara dalam Acara Malang Leader Summit karya Indonesia

Future Leader Chapter Malang

Anggota Panitia Humas dalam Acara Malang Youthphoria karya Indonesia Future

Leader Chapter Malang

Anggota Panitia Acara dalam JSC sambut Maba

Sie.Perizinan, Keamanan dan Bendahara Panitia Buku Tahunan Siswa dan Prom

Night SMAN 112 Jakarta

KEMAMPUAN

Mampu Bekomunikasi dan Teknik Lobby ing dan Marketing dengan baik

Mampu Menggunakan Ms. Word, Excels, Power Point dengan baik

Dapat bekerja didalam tekanan atau tidak

Dapat bekerja dalam Team atau tidak

HOBBY

Membaca (Buku Sejarah dan Biografi)

Olahraga (Diving dan Berenang)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah

serta karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: ”Analisis Kekuatan

Hukum Putusan Mahkamah Arbitrase Pada Kasus Sengketa Laut China Selatan Antara China dan

Filipina”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu

dalam penyelesain penulisan ini terutama kepada:

1. Bapak Dr. Racmad Safa’at, S.H., M.Si, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

2. Ibu Dr. Hanif Nur Widhiyanti, S.H., M.Hum., Selaku Kepala Bagian Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

3. Bapak Nurdin, S.H., M.Hum., Selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan

petunjuk, pengetahuan baru dalam pembuatan skripsi ini.

4. Ibu Dhiana Puspitawati, S.H., LLM., Ph.D., Selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang

telah memberikan petunjuk, dorongan dan pengetahuan baru dalam membimbing saya.

5. Orang tua saya, Bapak Nuril Kohar dan Ibu Neneng Kartni yang telah membantu saya dalam

segala hal termasuk dukungan moral dan materil serta tidak pernah lelah memberikan doa dan

semangat kepada saya.

6. Saudara kandung saya, Nurlatifah Dewi dan Nur Zikri Hosen yang selalu memberikan

semangat kepada saya.

7. Sahabat-sahabat saya yang telah menemani saya selama di Malang dan mendengarkan keluh-

kesah saya selama menulis skripsi ini, teruntuk BETEK Dicko, Patudu, Darmo, Lanjar,

Maman, Angga, Kevin, Ardan, Eca Firhan, Ecang, Tika, Mba Aus dan teruntuk juga Teman

Teman Terbaik, Harvy Pramadio, Marco, Mirah, Nastiti, Aldo, Arin, Rina, Odi, serta Adam

terima kasih atas bantuan dan cerita terbaiknya di Malang.

8. Sahabat-sahabat saya yang selalu memberikan semangat dari Jakarta dalam proses penulisan

skripsi ini, WASIM FAMILY .

9. Teman-Teman Gazebo Fakultas Hukum dan Partai Mahasiswa Pinggiran yang berada di

Malang, Bang Randy, Bang Ucok, Bang Disty, Mas Lemos, Mba Kiqy, Bang David, Bang

Okto, Bang Daniel, Bang Gultom, Mas Galuh, Mas Ami, Bang Haris, Mas Ucup, Mas Nagfir,

Bang Dippo, Bang Malon, Bang Ari, Kak Ririn, Kak Novi, Nirwan, Gahan, Mike, Audi, Japar,

Gabriel, Surya, Sakdek, Kelvy, Dinda, Mutia, Surya, Tasya, Markus, Riko, Nopal, Anggialeo,

Putri Harahap, Dea Nabila, Ananda, Paung, Destra, Handa, Jorgi, Mekel, Gumilar, Ramdhani,

Saswi Arif, Akbar koto dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebut satu-persatu didalam

kata pengantar saya, terimakasih atas pengalaman, ilmu dan pembelajarannya selama saya di

Malang.

10. Teman-Teman Seperjuangan Dari Hukum KEDIRI, Icha, Novi, Rosida, Neno, Lingling/Aria,

Ananta, Bimo, Samsul, Ali, Deanggara, Adit Capcus dan juga teman teman dari UB KEDIRI,

Alan, Rere, Audi, Rafi, Kiky, Gadot, Paron, Aldit, Ega, Jasmine, Khansa, Agung, Prayedi,

Riza, Nopal, Zaza, Aga, Rikardo, Andrew, Vero/kasih tak sampai, Vander, Ello&Gomes, Irfan,

Prabowo, Ade, Lukman, Icad/Bedul, Bayu, Hito, Fadil, Mas Agus, Syarief, Jordan, Recup,

Zakdon terimakasih telah menemani saya selama berada di ”UB IV”.

11. Teman-Teman ALSA LC UB, Cukil, Jerico, Jepri, Atar, Simon, Dave, Kevin, Alex, Hoseng,

Karmel, Carlos, Pace, Adong, Jodi, Egan, Zikri dan komplotan nya serta teman-teman lain

yang tidak dapat saya sebut satu-persatu didalam kata pengantar saya, terima kasih atas

pengalaman, ilmu dan pembelajarannya selama saya berorganisasi di Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya.

12. Teman-Teman DPM FH UB 2016 dan BILSTUF, terimakasih atas pembelajarannya selama

saya kuliah.

13. Teman-Teman Di Malang yaitu Boban, Wicak Kaciw, Usman, Teman Teman SWABLE

BRAWIJAYA, Teman Teman MALANG LEADER SUMMIT, JSC, Abang Abang BETEK

JILID 1, Bang Kibar, Mojoe, dan yang lain yang namanya saya lupa dan tidak sempat

menulisnya.

14. Dan Terima kasih juga kepada Nabilla Octavia yang sudah membantu saya dalam mengerjakan

skripsi ini dan selalu mensupport saya.

15. Pihak-pihak lain yang turut membantu kelancaran dalam pengerjaan skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya

jika dalam proses pembuatan skripsi ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, besar

harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 4 Juli 2017

Penulis

SURAT PERNYATAAN

KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan dibawah ini,saya

Nama : Nurhadid Muharram Hosen

NIM : 125010118113045

Menyatakan bahwa dalam penulisan karya ilmiah hukum berupa skripsi ini adalah asli karya

penulis, tidak ada karya/data orang lain yang telah dipublikasikan, juga bukan karya orang lain

dalam rangka mendapatkan gelar kesarjanaan diperguruan tinggi, selain yang diacu dalam kutipan

dana tau dalam daftar pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat, jika dikemudian hari terbukti karya ini merupakan karya

orang lain baik yang dipublikasikan maupun dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan

diperguruan tinggi, saya sanggup dicabut gelar kesarjanaan saya.

Malang, 4 Juli 2017

Yang menyatakan,

Nurhadid Muharram Hosen

NIM. 125010118113045

i

DAFTAR ISI

Cover .................................................................................................................. i

Lembar Pengesahan .......................................................................................... ii

Lembar Persetujuan ......................................................................................... iii

Kata Pengantar................................................................................................... iv

Ringkasan........................................................................................................... vii

Summary .............................................................................................................. ix

Daftar Isi ............................................................................................................. xi

Daftar Tabel ...................................................................................................... xiii

Daftar Lampiran .............................................................................................. xiv

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 12

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 13

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 13

E. Sistematika Penulisan.............................................................................. 14

BAB II. KAJIAN PUSTAKA .......................................................................... 16

A. Landasan Teori ........................................................................................ 16

1. Hakikat Hukum Internasional ........................................................... 16

2. Macam-macam Metode Penyelesaian Sengketa Internasional ......... 18

3. Hukum Laut Internasional................................................................. 27

4. Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court Of Arbitration ............ 32

a. Sejarah Berdirinya Permanent Court Of Arbitration (PCA) ...... 32

b. Kompetisi Permanent Court Of Arbitration (PCA) .................... 33

5. Konflik Laut China Selatan ............................................................... 35

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................. 40

A. Jenis Penelitian ........................................................................................ 40

B. Sumber Bahan Hukum ............................................................................ 41

ii

C. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 42

D. Analisis Data ........................................................................................... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 43

A. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah ................................................... 43

1. Yuridiksi Lembaga PCA ................................................................... 53

2. Yuridiksi Pengadilan Arbitase .......................................................... 55

B. Upaya Hukum yang Dilakukan Oleh Filipina Jika China Tidak

Menjalankan Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional .................... 67

BAB V. KESIMPULAN.................................................................................... 77

A. Kesimpulan ............................................................................................. 77

B. Saran ........................................................................................................ 78

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 80

LAMPIRAN ...................................................................................................... xiv

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 8

iv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Penetapan Bimbingan Skripsi.

Lampiran 2 : Kartu Bimbingan Skripsi.

Lampiran 3 : Surat Keterangan Deteksi Plagiasi.

Lampiran 4 : Surat Pernyataan Keaslian Skripsi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Berlakang

Setelah Perang Dingin, Laut China Selatan menjadi flashpoint1 utama karena signifikansi

dari wilayah tersebut. Laut China Selatan telah menjadi wilayah yang penting bagi sistem

pelayaran dan perdagangan internasional, suplai energi, dan juga memiliki sumber daya alam yang

besar.2 Laut China Selatan telah tumbuh sebagai wilayah jalur perdagangan yang menjadi bagian

dari ekonomi global. Wilayah ini menghubungkan pelabuhan pengiriman tersibuk di dunia seperti

Sihanghai, Singapura, Hongkong, Guangzhou ke seluruh penjuru dunia. Hampir setengahnya, dari

segi tonase3, dari seluruh barang-barang niaga melewati Laut China Selatan, termasuk barang

perdagangan Amerika Serikat yang senilai lebih dari $1,2 triliun, setiap tahunnya.4 Sumber daya

alam yang dimiliki oleh Laut China Selatan juga sangat potensial yaitu ikan dan minyak. Wilayah

tersebut menjadi habitat perkembangbiakan ikan dan juga menjadi habitat tuna dan udang. Selain

ikan, Laut China Selatan memiliki minyak. Ada banyak perkiraan mengenai cadangan minyak

yang ada di Laut China Selatan.

Pemerintah China memperkirakan bahwa Laut China Selatan terdapat hampir 200 miliar

barel minyak dan 266 triliun kaki kubik gas alam. Sementara proyeksi konservatif US Geological

Survey memperkirakan jauh lebih sedikit yaitu 4,8 miliar barel minyak dan 64 triliun kaki kubik

1 Flashpoint adalah Sebuah tempat di mana masalah, seperti kekerasan atau konflik, berpotensi untuk memanas

(http://www.merriam-webster.com/dictionary/flashpoint?show=0&t=1373782703) 2 Kerjasama Strategi Maritim Cegah Konflik Laut Cina Selatan, Pelita Online edisi 24 Oktober 2012 diunduh dari:

http://militer- hankam.pelitaonline.com/news/2012/10/24/kerjasama-strategi-maritim-cegah-konflik-laut-cina-

selatan#.UNnEyOSTxc0 Diakses tanggal 20 Desember 2016 3 Tonase adalah ukuran daya tampung kapal dalam membawa barang (http://www.merriam-

webster.com/dictionary/tonnage) 4Andrew H Ring., 2012. A US South China Sea Perspective: Just over the Horizon. Harvard University:

Weatherhead Center for International Affairs. Hlm 6

gas alam.5 Data survei langka karena upaya pemerintah China untuk mencegah pemerintah dan

perusahaan dari melakukan operasi survei di Laut China Selatan. Meskipun tanpa bukti kuat,

beberapa perusahaan minyak, misalnya, Exxon Mobil, Shell, dan Chevron, telah menyatakan

minat dalam membuat investasi besar dalam upaya eksplorasi minyak.6

Dengan kelebihan yang dimiliki Laut China Selatan sebagai jalur perdagangan vital dan

sumber daya alam yang melimpah kemudian menjadi wilayah yang merupakan arena konflik

karena beberapa negara mengakui Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayahnya. Beberapa

negara, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Cina dan Pilipina, China, dan Taiwan,

mengklaim kedaulatan atas perairan ini. Klaim kedaulatan yang dibuat oleh pihak-pihak yang

terlibat sengketa dapat dipisahkan menjadi klaim sejarah tentang penemuan dan pendudukan.

Sementara sisanya mengklaim bahwa adanya perluasan yuridiksi berdaulat dalam interpretasi

ketentuan The United Nations Law of the Sea Convention (UNCLOS).7

Sekitar tahun 1980 an banyak negara-negara yang mengirimkan militernya dengan alasan

mengamankan wilayah-wilayah di Laut China Selatan yang diklaimnya.8 Salah satu contoh

peristiwa adalah ketika terjadi bentrok militer antara China dan Cina dan Pilipina pada tahun 1988.

Selain itu, dalam kurun tahun terakhir, militer China kerap bentrok dengan militer Filipina. Namun

konflik Laut China Selatan itu sendiri tidak hanya diwarnai dengan bentrok militer. Negara-negara

yang terlibat langsung dalam konflik Laut China Selatan juga mengupayakan langkah-langkah

lain.

5 Ibid., Hlm 7 6 Steve Hargreaves, “Tensions Heat Up Over Oil, Gas in South China Sea,” CNN, 26 April, 2012,

http://money.cnn.com/2012/04/24/news/economy/south-china-sea/index.htm. diakses tanggal 20 Desember 2016 7 Ralf Emmers, Geopolitics and Maritime Territorial Disputes in East Asia (London; New York: Routledge, 2010).

Hlm 120. 8 Collins, Allan. 2003. Security and Southeast Asia’s Domestic. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Hlm 194

China dan Taiwan pernah mencoba melakukan kerjasama eksplorasi minyak di Kepulauan

Paracel. Sedangkan antara Cina dan Pilipina dan China juga mengupayakan perundingan bilateral

dengan melakukan kelompok khusus. Bulan Juni 1993, Malaysia dan Cina dan Pilipina juga

pernah mencoba melakukan kerjasama eksplorasi minyak di kepulauan Spartly. Begitu pula antara

China dan Filipina juga pernah sepakat untuk menyisihkan sengketa atas Kepulauan Spartly dan

mengembangkan eksplorasi minyak bersama-sama.9 Namun banyak dari perjanjian-perjanjian

bilateral tersebut yang gagal dan berakibat ketegangan kembali muncul di wilayah tersebut.

Dalam sengketa laut china selatan, baru-baru ini muncul berita baru dan putusan Mahkamah

Arbitrase Internasional atas Laut Cina Selatan, Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-bangsa

menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China

Selatan. Keputusan tersebut di tuangkan tanggal 12 Juli bertempat di Den Haag Belanda. Putusan

itu sesuai dengan keberatan yang diajukan oleh Filipina. Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak

ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di

Laut China Selatan.10

Mahkamah arbitrase menyatakan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina.

Disebutkan pula bahwa China telah menyebabkan 'kerusakan parah pada lingkungan terumbu

karang' dengan membangun pulau-pulau buatan.

China mengklaim nyaris seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk karang dan pulau yang

juga diklaim negara lain. Pada 2013, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas China

di Laut China Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda. Filipina

9 South China Sea: Tribunal backs case against China brought by Philippines. Diakses melalui

http://www.bbc.com/news/world-asia-china-36771749 diakses tanggal 20 Desembar 2016 10 Ibid.

menuding China mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi

membangun pulau buatan.

Filipina berargumen bahwa klaim China di wilayah perairan Laut China Selatan yang

ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash-line bertentangan dengan kedaulatan

wilayah Filipina dan hukum laut internasional. Mahkamah mengatakan China telah melakukan

pelanggaran atas hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan bahwa China 'telah menyebabkan

kerusakan lingkungan' di Laut China Selatan dengan membangun pulau-pulau buatan. Hakim di

pengadilan ini mendasarkan putusan mereka pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut

(UNCLOS), yang ditandatangani baik oleh pemerintah China maupun Filipina. Keputusan ini

bersifat mengikat, namun Mahkamah Arbitrase tak punya kekuatan untuk menerapkannya.

Perkara sengketa Laut China Selatan yang ditangani Mahkamah ini didaftarkan secara

unilateral oleh pemerintah Republik Filipina untuk menguji keabsahan klaim China antara lain

berdasarkan the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 198211.

Filipina menyatakan bahwa kawasan yang diketahui kaya cadangan minyak dan gas bumi itu

adalah wilayahnya. Kepulauan Spratley dan perairan sekitarnya juga berada dalam Zona Ekonomi

Eksklusif (ZEE), berada dalam radius 200 mil laut sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982.12

Namun semua keputusan yang di keluarkan oleh Mahkamah Internasional telah di boikot

China dengan berargumen bahwa institusi itu tidak memiliki yurisdiksi13. Apapun putusan

mahkamah, China telah telah mengatakan tidak akan 'menerima, mengakui, atau melaksanakan’.

Pemerintah Filipina menolak proposal China untuk memulai pembicaraan bilateral soal Laut China

11 http://maritimnews.com/meski-kalah-dalam-putusan-arbitrase-china-siapkan-perlawanan/ 12 Ibid 13http://transportasi.co/mahkamah_arbitrase_internasional_china_tidak_berhak_kuasai_laut_china_selatan_1132.ht

m

Selatan, karena Beijing meminta Filiphna tak membahas keputusan Mahkamah Arbitrase

Internasional.

Kasus sengketa serupa dengan upaya penyelesaian menggunakan jalur arbitrase

sebenarnya sudah pernah terjadi. Misalnya saja pada kasus sengketa pulau Dokdo antara Jepang

dan Korea Selatan. Sengketa Pulau Dokdo antara Jepang dan Korea Selatan merupakan sengketa

wilayah yang telah muncul sebelum Perang Dunia II14. Jepang dan Korea Selatan sama-sama

mengklaim sebagai pemilik Pulau Dokdo, dan mendasarkan klaimnya tersebut pada dokumentasi

historis dan konektifitas geografis. Pulau Dokdo diperebutkan karena adanya kepentingan nasional

dari kedua negara ini. Upaya penyelesaian sengketa ini pada akhirnya dilakukan melalui jalur

hukum (judicial settlement) ketika penyelesaian sengketa secara nonlitigasi tidak berhasil. Salah

satunya penyelesaian yang dipilih dalam kasus ini adalah Mahkamah Arbitrase (Court of

Arbitration). Meskipun pada akhirnya jalur Mahkamah Arbitrase ini bukan menjadi satu-satunya

jalur diplomasi yang diambil, tapi keputusan arbitrase ini dapat dihormati oleh kedua belah pihak

dan diplomasi terus berlanjut hingga saat ini.

Contoh kasus lain terkait sengketa wilayah dengan upaya penyelesaian menggunakan jalur

arbitrase adalah sengketa Pulau Palmas antara Amerika Serikat dan Belanda. Dalam kasus ini

Putusan Pengadilan Arbitrase Permanen menetapkan Belanda sebagai pemilik Pulau Palmas.

Arbiter Max Huber dalam pertimbangannya sangat menekankan pentingnya pelaksanaan

kedaulatan secara berkesinambungan atas pulau yang dipersengketakan. Dalam sengketa ini,

14 Collins, Allan. 2003. Security and Southeast Asia’s Domestic. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hlm

86

Belanda berhasil memiliki Pulau Palmas karena mampu membuktikan adanya pendudukan dengan

pengawasan yang efektif di pulau tersebut15.

Dalam dua contoh kasus di atas, masing-masing pihak yang bersengketa menunjukkan

itikad baik untuk menghormati keputusan mahkamah arbitrase. Dalam kasus sengketa AS-

Belanda, jalur mahkamah arbitrase permanen terbukti mampu memberikan jalan keluar atas

sengketa wilayah yang terjadi pada kedua Negara. Hasil putusannya sendiri hingga saat ini masinh

berlaku dan tidak ada konflik lebih lanjut. Adapun pada kasus sengketa Jepang-Korea Selatan,

meskipun salah satu pihak keberatan dengan putusan yang dikeluarkan mahkamah arbitrase, tapi

jalur diplomasi tetap dijalankan dan salah satu pihak tidak serta-merta memboikot putusan yang

dikeluarkan. Berbeda dengan kasus Laut China Selatan dimana pihak China menolak secara penuh

putusan yang dikeluarkan mahkamah arbitrase. Pihak China berargumen bahwa mahkamah

arbitrase ini bersifat illegal dan tidak memiliki yurisdiksi. China juga secara tegas mengatakan

tidak akan menerima, mengakui, atau melaksanakan apapun putusan yang dikeluarkan oleh

mahkamah arbitrase.

Berdasarkan fakta tersebut, maka muncul pertanyaan terkait mengapa hasil putusan

mahkamah arbitrase tidak dapat diterima oleh kedua belah pihak, adakah faktor lain yang

menyebabkan salah satu pihak tidak menerima putusan mahkamah arbitrase, dan bagaimana

tinjauan yuridis terkait putusan Mahkamah Internasional mengenai sengketa Laut China Selatan

antara Filipina dan China. Dari permasalahan perlu di adakan kajian secara yuridis mengenai

putusan Mahkamah Internasional mengenai sengketa laut china selatan antara Filipina dan china.

15 Scott, Hague Court Reports 2d 83. Halaman 1 .1932.,”The Island of

Palmas”,http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. 16 Desember 2016

Sehingga penulis tertarik untuk mengkali secara ilmiah mengenai Judul; “Analisis Kekuatan

Hukum Putusan Mahkamah Arbitrase Pada Kasus Sengketa China Dan Filipina”.

Adapun penelitian terkait konflik wilayah dan penyelesaian sengketa Laut China Selatan

sebelumnya sudah pernah dilakukan. Berikut disajikan penelitian terkait konflik wilayah dan

penyelesaian sengketa Laut China Selatan sebelumnya.

Tabel 1.1 Peneltiian Terdahulu16

N

O

Tahun Nama

Peneliti dan

asal Instansi

Judul Penelitian Perumusan

masalah

Keterangan

Perbdeaan

penelitian

sebelumnya

1 2013 La Ode

Hendra,

Fakultas

Hukum,

Universitas

Hasanuddin

Peranan Indonesia

Dalam Upaya

Menyelesaikan

Sengketa Atas

Klaim Beberapa

Negara Asean

Dan Cina

Terhadap

Kepulauan

Spratly Di Laut

Cina Selatan

Bagaimana

peranan

Indonesia

dalam upaya

menyelesaikan

sengketa atas

klaim beberapa

negara Asean

dan Cina

terhadap

kepulauan

Berdasarkan hasil

analisis,

disimpulkan bahwa

masing-masing

negara yang terlibat

dalam sengketa ini

memiliki dasar

klaim, baik secara

historis maupun

secara hukum

internasional serta

adanya peluang

16 Kreasi Penulis

Spratly di Laut

Cina Selatan

Indonesia untuk

menyelesaikan

sengketa ini dengan

menggunakan dua

alternatif

pendekatan

penyelesaian

sengketa yang

tertuang dalam

Piagam PBB

maupun Piagam

ASEAN sebagai

organisasi regional

di Asia Tenggara,

merupakan wadah

pemersatu bagi

negara-negara

anggotanya yang

wajib dijaga

semangat-semangat

kebersamaan untuk

menciptakan

stabilitas dan

kedamaian

kawasan Asia

Tenggara

sebagaimana tujuan

awal mula

organisasi regional

ini didirikan

2 2016 Eko

Prasetyo,

Fakultas

Ilmu Sosial

Dan Ilmu

Politik,

Universitas

Lampung

Resolusi Potensi

Konflik Regional

(Studi tentang

Diplomasi

ASEAN dalam

Penyelesaian

Konflik di Laut

China Selatan)

Bagiamana

diplomasi

ASEAN dalam

Penyelesaian

Konflik di Laut

China Selatan

sebagai bentuk

resolusi potensi

konflik

regional dalam

Hasil penelitian ini

adalah : (1) Akar

sengketa di Laut

China Selatan,

yaitu; letak strategis

dan Sumber Daya

Alam; (2)

Pendekatan

ASEAN dalam

meredakan

ketegangan

dilakukan melalui

perundingan

bilateral dan

multilateral; (3)

Problematika

penyelesaian

sengketa, yaitu;

masalah kapasitas

institusi, lemahnya

soliditas di internal

ASEAN, dan

masalah kapabilitas

militer negara

anggota ASEAN.

Penelitian ini

merekomendasikan

empat hal,

diantaranya adalah:

(1) Memperkuat

kapasitas dan

ketentuan

kepemimpinan bagi

setiap anggota yang

akan menjabat

sebagai ketua

ASEAN; (2)

Mengupayakan

perubahan status

DOC menjadi COC

(Code of Conduct);

(3)

Memaksimalkan

fungsi mekanisme

kerja lembaga

internal ASEAN;

(4) Perlunya aliansi

kekuatan militer

negara anggota

ASEAN.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ditetapkan bahwa rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana kekuatan hukum putusan mahkamah arbitrase internasional (PCA) tanggal tentang

Laut Cina Selatan Antara sengketa Filipina dan China?

2. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Filipina jika China tidak mentaati putusan

mahkamah arbitrase internasional terkait sengketa Laut Cina Selatan antara China dan

Filipina?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini yaitu;

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum putusan mahkamah arbitrase internasional (PCA)

tanggal 12 Juli 2016 tentang Laut Cina Selatan Antara sengketa Filipina dan China?

2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Filipina jika China tidak

mentaati putusan mahkamah arbitrase internasional Tanggal 12 Juli 2016 terkait sengketa

Laut Cina Selatan antara China dan Filipina?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain sebagai berikut.

a. Manfaat Teoritis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan

substansi ilmu hukum, khususnya di dalam bidang hukum internasional. Dengan penelitian

ini diharapkan dapat memberikan pemikiran-pemikiran baru bagi kalangan akademis dan para

pembaca pada umumnya terkait dengan sengketa yang terjadi atas klaim sepihak dari negara-

negara tertentu terhadap objek-objek tertentu, seperti klaim atas laut atau batas teritorial

dengan negara-negara tetangganya.

b. Manfaat Praktis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan praktisi hukum internasional

baik para pengajar atau dosen maupun mahasiswa hukum yang berkosentrasi di hukum

internasional sehingga dapat menjadi informasi dan referensi untuk mengetahui lebih dalam

sengketa-sengketa terhadap klaim sepihak negara-negara terhadap objek sengketa tertentu

serta bagaim ana upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang

serupa kelak. Selain itu, juga diharapkan menjadi informasi penting bagi Pemerintah Republik

Indonesia, untuk tetap waspada pada kasus sengketa di laut china selatan yang masih terjadi

hingga saat ini.

E. Sistematika Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Bab ini merupakan landasan teori yang relevan dam ada kaitanya dengan objek penelitian

serta sebagai rujukan dan dasar dalam penulisan skripsi, antara lain sebagai berikut: (1)

Tentang hokum internasional yang meliputi hakikat Hukum internasional, sejarah

perkembangan Hukum internasional, sumber Hukum internasional, Subjek Hukum

Internasional, Macam-macam subjek Hukum, Peranan Hukum terhadap ketertiban dunia,

Definisi sengketa internasional, Penyelesaian Sengketa Internasional (2) Hukum Laut

Internasional yang meliputi pengertian Hukum Laut Internasional, Sejarah Hukum Laut

Internasional, Garis Pangkal, Perairan Pedalaman, Laut Teritorial, Zona Tambahan, Landas

Kontine, Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Lepas, (3) Sejarah Berdirinya Mhakamah

Internasional.

BAB III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang meliputi jenis penelitian,

pendekatan penelitian, jenis dan sumber data, teknik memperoleh data, dan teknik analisis

data.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang permasalahan yang ada dalam penelitian ini dan dapat mengambil

suatu pengetahuan ilmu yang lebih banyak.

BAB V KESIMPULAN

Menyimpulkan hasil dari pembahasan keseluruhan

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Hakikat Hukum Internasional

Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan peraturan-

peraturan dan ketetntuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara

negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat

internasional1. Definisi hukum internasional yang diberikan oleh para pakar-pakar

hukum terkenal di masa lalu seperti oppenheim dan brierly, terbatas pada negara sebagi

satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek hukum lainnya.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin

kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga

mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional, kelompok-kelompok

supranasional, dan gerakan-pembebasan pembebasan nasional. Bahkan, dalam hukum

internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya

dengan negara-negara2.

Sedangkan menurut pendapat Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H. Hukum

Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum dan mengatur

1 Mauna, boer, Hukum Internasional, cetakan ketiga, PT. Alumni, 2010, hal.1 2 Op cit

hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yaitu hubungan

internasional yang tidak bersifat perdata3.

Selain itu hukum Internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum

yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang

terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati dan karenanya benar-

benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan

meliputi juga:

a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau

organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan antara mereka satu sama

lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu,

b. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan

badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-

negara tersebut penting bagi masyarakat internasional4.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum

internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala

internasional atau merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan

atau persoalan yang melintasi batas negara antara negara dengan Negara serta negara

3 Kusumaatmadja, Mochtar & Etty.R.Agoe, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-2,P.T.

Bandung,Alumni. Hal:1 4J.G Starke. Pengantar Hukum Internasional. (Jakarta:Sinar Grafika.2006), hlm.3

dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama

lain.

2. Macam-macam Metode Penyelesaian sengketa Internasional

Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah yang dipergunakan secara bergantian

dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils memahami persengketaan

sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti

oleh pengklaim oleh satu pihak dan

penolakan di pihak lain. Karena itu, sengketa internasional adalah

perselisihan yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi

pada lingkup internasional.5

Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah suatu situasi

ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan

atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.6 Sengketa antar

negara internasional dapat merupakan sengketa yang tidak dapat mempengaruhi

kehidupan internasional dan dapat pula merupakan sengketa yang mengancam

perdamaian dan ketertiban internasional.

a. Sengketa internasional ada dua macam, diantaranya7

1) Sengketa politik

5 Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung:PT.Refika

Aditama.hlm:224 6 Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.Jakarta:Sinar Grafika.hlm:2 7 Boer Mauna2003.Pengertian,Peranan dan Fungsi Hukum Internasional dalam era Dinamika

Global.Bandung:PT.Alumni.hlm:188-189

Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara mendasarkan tuntutan

tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas dasar politik atau kepentingan

lainnya. Sengketa yang tidak bersifat hukum ini penyelesaiannya secara politik.

Keputusan yang diambil dalam penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul

yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul tersebut tetap

mengutamakan kedaulatan negara yang bersengketa dan tidak harus

mendasarkan pada ketentuan hukum yang diambil.

2) Sengketa hukum

Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau

tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang

telah diakui oleh hukum internasional. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian

sengketa secara hukum punya sifat yang memaksa kedaulatan negara yang

bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil hanya berdasarkan atas

prinsip-prinsip hukum internasional.

b. Mekanisme penyelesaian sengketa internasional

J.G Starke menggolongkan mekanisme penyelesaian sengketa ke dalam dua

kategori;8

8 J.G Starke,2001.Pengantar Hukum Internasional 2,terjemahaan dari Bambang Iriana

Djajaatmadja dari Inroduction to International Law (1989).Jakarta:Sinar Grafika.hlm:646

1. Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati

untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.

2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi

yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan

Adapun di bawah ini akan dibahas mesing-masing golongan tersebut diatas:

1) Cara-cara penyelesaian secara damai:

Pada Piagam PBB Pasal 3 (1) mengatakan bahwa:

“Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu sengketa yang terus menerus yang

mungkin membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional,

pertama-tama harus mencari penyelesaian melalui negosiasi, penyidikan, dengan

peraturan, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan

atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilih sendiri.”

Berdasarkan Piagam PBB tersebut diatas, maka penyelesaian sengketa secara

damai dapat dibagi menjadi 3:

1. Melalui jalur diplomatik (non yurisdiksional)

a) Negosiasi

Menurut Huala Adolf, negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara

langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog

tanpa melibatkan pihak ketiga. Dialog tersebut biasanya lebih banyak diwarnai

pertimbangan politis atau argumen hukum. Namun demikian, dalam proses negosiasi

atau dialog tersebut, adakalanya argumen-argumen hukum cukup banyak berfungsi

memperkuat kedudukan para pihak. Manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya

dituangkan dalam suatu dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil

kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu dokumen perjanjian

perdamaian.9

b.Konsiliasi

Konsiliasi menurut The Institue of International Law melalui Regulations on the

Procedure of International Concilition yang diadopsi pada tahun 1961 dalam Pasal 1

dinyatakan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat intenasional dalam

suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-

pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses

penyelesaian pertikaian.10

c. Mediasi

Mediasi atau perantaraan merupakan negosiasi tambahan, tapi dengan mediator

atau perantara sebagai pihak yang aktif, mempunyai wewenang, dan memang

diharapkan, untuk mengajukan proposalnya sendiri dan menafsirkan, juga

menyerahkan, masing-masing proposal satu pihak pada pihak lain.11

d. Organisasi internasional (PBB)

9 Huala Adolf,Op.Cit.hlm:26-27

10 awahir Tantowi dan Pranoto Iskandar.Op.Cit.hlm:229 11 GMerrills.Penyelesaian Sengketa Internasional.Terjemahan Achmad Fauzan(Internasional Dispute

Settlement).Bandung:Trasito.hlm:21.

Menurut Huala Adolf, S.H ada 4 kelompok tindakan PBB dalam menciptakan

perdamaian dan keamanan internasional. Keempat kelompok tindakan tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Preventive Diplomacy

Adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa di antara para

pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu

sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh sekjen PBB, DK, Majelis Umum, atau

oleh organisasi-organisasi internasional bekerja sama dengan PBB.

2.Peace Making

Adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat,

khususnya melalui cara-cara damai seperti terdapat dalam Bab VI Piagam PBB.

Tujuan PBB dalam hal ini berada di antara tugas mencegah konflik dan menjaga

perdamaian.

3. Peace Keeping

Adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan

perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya

PBB mengirimkan personel militer, polisi PBB, dan personel sipil.

4. Peace Building

Adalah tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur-struktur yang

ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah

didamaikan berubah kembali menjadi konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerja

sama konkret yang menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan

di antara mereka.

Disamping keempat hal tersebut, ada istilah Peace Enforcement (penegakan

perdamaian). Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wewenang DK berdasarkan

Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap

perdamaian atau adanya suatu agresi. Dalam menghadapi situasi seperti ini, Dewan

berwenang memutuskan penerapan sanksi ekonomi, politik, atau militer.

Loekito Santoso berpendapat bahwa pada taraf perdamaian, maka jalan terbaik

adalah melibatkan PBB sebagai forum perdamaian internasional serta memberikan

kesempatan untuk menjadi penengah.12

2. Melalui jalur litigasi (yurisdiksional)

a) Arbitrase internasional

Arbitrase merupakan cara penyelesaian yang telah dikenal jauh di masa lampau.

Pengaturan arbitrase baru mulai pada tahun 1794, yakni ketika ditetapkan Perjanjian

(internasional) Jay antara Amerika Serikat dan Inggris. Arbitrase adalah suatu cara

penyelesaian sengketa dengan cara mengajukan sengketa kepada orang-orang tertentu,

12 Loekito Santoso.1986.Orde Perdamaian Memecahkan Masalah Perang (Penjelajah

Polemologik).Jakarta:UI Pres.hlm:29

yang dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk memutuskan

sengketa tersebut.13

Arbitrase bisa mendasarkan keputusannya pada ketentuan hukum atau juga

mendasarkan pada kepantasan dan kebaikan. Pihak yang diberi kepercayaan untuk

menyelenggarakan ini disebut arbitator, yang bisa dibentuk berdasarkan persetujuan

khusus dari pihak-pihak yang bersengketa atau melalui

perjanjian arbitrase yang ada. Kesepakatan arbitrase lazim disebut compromis.14

b) Pengadilan internasional

Pengadilan internasional yaitu penyelesaian masalah dengan menerapkan ketentuan

hukum oleh badan-badan pengadilan internasional yang dibentuk secara teratur.

Pengadilan internasional dapat dilakukan oleh Mahkamah Internasional karena

merupakan satu-satunya pengadilan tetap yang dapat digunakan dalam masyarakat

internasional. Pengadilan internasional juga dapat digunakan oleh badan lain berdasar

persetujuan pihak-pihak yang bersengketa.

Pengadilan internasional merupakan sebuah lembaga hukum yang sebelumnya

suatu negara dapat dengan permohonan secara unilateral membawa persengketaannya

dengan negara lain dan memangggilnya untuk hadir di depan pengadilan tanpa terlebih

dulu mencapai persetujuan tentang susunan pengadilan dan masalah yang akan

13 F.S ugeng Istanto.Hukum Internasional.Yogyakarta:Universitas Atmadjaya Yogyakarta.hlm:92. 14 Soemaryo Suryokusumo.OpCit.hlm :10

diajukan dan menyatakan bahwa negara lain telah menerima yurisdiksi

dari pengadilan yang bersangkutan.15

3. Melalui Organisasi internasional regional

Organisasi-organisasi atau Badan-Badan regional yang berfungsi

memelihara perdamaian dan keamanan di wilayah tertentu umumnya memiliki

mekanisme tersendiri dalam menyelesaikan sengketa internasional di antara para

anggotanya.

2) Cara-cara penyelesaian secara kekerasan

Prinsip-prinsip cara penyelesaian melalui kekerasan menurut JG. Starke adalah:

1. Perang dan tindakan bersenjata non perang

Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan

untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang

ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.

2. Retorsi

Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara

terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas

dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak

bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina; misalnya

15 Rebecca M.M.Wallace.Hukum Internasional,terjemahan Bambang Arumnadi (International

Law).Semarang:IKIP Semarang.hlm:281

merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilege- privilege

diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.

3. Tindakan pembalasan

Pembalasan adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-

negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara lain

dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan.

4.Blokade damai

Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu

damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan, tindakan itu pada

umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade

5.Intervensi

Menurut piagam PBB Pasal 2 ayat 4, intervensi tidak boleh berkembang

menjadi ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap intergrasi teritorial atau

kemerdekaan politik negara-negara manapun.16

untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara

yang memblokade.

16 Ibid.hlm:137

3.Hukum Laut Internasional

Hukum laut internasional adalah sekumpulan kaedah hukum yang mengatur

hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang

terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun subyek hukuminternasional

lainnya, yang mengatur mengenai kedaulatan negara di laut, yurisdiksi negara dan

hak-hak negara atas perairan tersebut. Hukum lautinternasional mempelajari tentang

aspek-aspek hukum di laut dan peristiwa- peristiwa hukum yang terjadi di laut17.

Hukum laut menurut dr. wirjono prodjodikoro SH ialah meliputi segala peraturan

hukum yang ada hubungan dengan laut. Hukum laut menurut Mr. w. L. P. A

molengraaff, Mr. H. F. A vollmar dan Mr. F.G scheltema adalah peraturan-peraturan

hukum yang ada hubungannya dengan pelayaran kapal di laut dan keistimewa

mengenai pengangkutan orang atau barang dengan kapal laut18.

Hukum Laut Internasional telah mengalami sejarah cukup panjang. Sebelum

Hukum Laut Internasional terbentuk banyak negara yang berjuang untuk menguasai

lautan dengan berbagai alasan dan kepentingan seperti karantina (terutama terhadap

penyakit pes), bea cukai, serta pertahanan dan keamanan. Pada waktu yang bersamaan

terjadi adu argumentasi diantara para penulis atau ahli hukum yang masing-masing

memiliki argumentasi untuk mempertahankan kepentingannya dan negaranya. Periode

ini dalam sejarah hukum laut dikenal dengan jaman pertempuran buku-buku.

Perseteruan tentang wilayah laut mulai menemukan jalan keluar dengan

terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I dan tahun-tahun permulaan

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan adanya penambahan lembaga di Perserikatan

Bangsa-Bangsa yaitu International Law Commission , yang bertugas untuk

mempersiapkan pembaharuan dan kodifikasi Hukum Internasional, diadakanlah

Konvensi Hukum Laut untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan

dengan zona laut, yaitu:19

UNCLOS I (United Nations Conference On The Law Of The Sea) atau

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut merupakan langkah

konkret Peserikatan Bangsa-Bangsa yang pertama untuk kodifikasi Hukum Laut

Internasional. UNCLOS I ini berlansung di Jenewa mulai dari tanggal 24 februari

sampai tanggal 28 april 1958, yang menghasilkan Empat Konvensi, Empat Optimal

Protokol, dan Sembilan Resolusi.20

Namun ketidak puasan masyarakat internasional akan hasil yang telah dicapai

pada UNCLOS I tampak sekali, salah satu resolusi yang dihasilkan adalah untuk

mengadakan UNCLOS II. Maka pada tahun 1960 digelar UNCLOS II dengan tujuan

untuk penyempurnaan hasil-hasil yang telah dicapai UNCLOS I, namun UNCLOS II

gagal dalam pencapaian tujuannya yaitu penyempurnaan UNCLOS I. Kegagalan ini

sudah barang tentu menimbulkan kekecewaan pada masyarakat internasional pada

umumnya karna sikap arogan Negara-Negara maritim yang besar dan maju dalam

bidang teknologi. 21

19 Loc.cit Kusumaatmadja, Mochtar & Etty.R.Agoe, H. 67 20 Syafrinaldi, Hukum Laut Internasional, 2009, UIR Pres, Pekanbaru, hlm.4 21 Ibid., Hal 5

Maka atas kegagalan dari UNCLOS II itu, pada tahun 1973 diadakan

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang UNCLOS III (United Nations

Conference On The Law Of The Sea). Konferensi ini berakhir dengan pengesahan

naskah akhir konvensi yang dilaksanakan di Montego Bay, Jamaica tanggal 10

Desember 1982 oleh 118 Negara dan mencakup hal-hal:22

4. Kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang ada, misalnya kebebasan-

kebebasan di laut lepas dan hak lintas damai di laut teritorial.

5. Pengembangan hukum laut yang sudah ada, seperti ketentuan mengenai lebar laut

territorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria landas kontinen.

6. Penciptaan aturan-aturan baru, seperti asas negara kepulauan, zona ekonomi

eksklusif (ZEE) dan penambangan di dasar laut internasional.

Adapun batas-batas maritim yang tertuang dalam UNCLOS 1982 meliputi batas-

batas Laut Teritorial (Territorial Sea), batas-batas Perairan Zona Ekonomi

Eksklusif/ZEE (Economic Exclusive Zone), dan batas-batas Landas Kontinen (

Continental Shelf). Dengan demikian, adanya kejelasan batas wilayah dapat dijadikan

alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara23. Selain itu,

kejelasan batas wilayah tersebut juga dapat menciptakan kesejahteraan warga negara

melalui terjaminnya pemanfaatan potensi-potensi sumber kekayaan alam yang terdapat

di laut, seperti pemanfaatan sumber daya perikanan, tumbuh-tumbuhan laut eksploitasi

22 T. May Rudy, Hukum Internasional 2 , PT. Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm 17-18 23 http://rofianifamous.blogspot.co.id/2011/12/ratifikasi-perjanjian-batas-batas.html diakses. Kamis

tanggal 18 tahun 2017

lepas pantai (off-shore), dan dari segi pemanfaatan untuk wisata seperti wisata bahari,

ataupun transportasi laut dan pemanfaatan lainnya.

Kejelasan batas-batas perairan suatu Negara juga memberikan manfaat kepada

Negara itu sendiri yaitu membantu memperjelas pertahanan Negara, yaitu menjaga

kemungkinan serangan atau penyusupan dari luar wilayah NKRI (Negara Kesatuan

Republik Indonesia). Konferensi ketiga mengharapkan (UNCLOS III) 1982 tidak di

sahkan oleh (UNCLOS III) yang sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB tentang

Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang

ditandatangani oleh 119 Negara di Teluk Montego Jamaika tanggal 10 Desember 1982.

Bagi sebuah Negara UNCLOS 1982 membagi laut menjadi tiga jenis atau zona

maritime yaitu:24

1. Laut yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan yaitu ( di laut teritorial, laut

pedalaman; dan perairan kepulauan (khusus untuk negara kepulauan)

2. Laut yang bukan merupakan wilayah kedaaulatannya namun negara tersebut

memiliki hak-hak yurisdiksi terhadap aktifitas-altifitas tertentu yaitu ( di zona

tambahan dan zona ekonomi esklusif);

3. Laut yang berada di luar dua di atas ( artinya bukan termasuk wilayah

kedaulatannya dan bukan wilayah yurisdiksi) namun negara tersebut memiliki

kepentingan ( yaitu laut bebas);

24 Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritime Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi

Bidang Maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan laut, 2009), h 19.

Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang berada pada

arah darat dari garis tersebut dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dalam keadaan-

keadaan tetentu dapat digunakan garis pangkal yang lain, yang akan menimbulkan

perairan pedalaman Di dalam UNCLOS 1982 selain mengatur mengenai batas-batas

maritim juga mengatur hak-hak dan kewajiban Negara pantai yang yang harus dipatuhi

oleh Negara di Dunia, terhadap Negara pantai dapat menegakkan peraturan

perundang-undangannya seperti yang telah disampaikan dalam Konvensi Hukum Laut

Internasional (UNCLOS III) dalam pasal 73 yang berbunyi bahwa:

a. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan

eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di

zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal,

memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana

diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang

ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini.

b. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya kapalnya harus segera dibebaskan

setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.

c. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan

perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup

pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang

bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainya. 25

25 Pasal 73 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang di singkat dengan KHL

4. Mahkamah Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration

a. Sejarah berdirinya Permanent Court of Arbitration (PCA)

Perkembangan penting penggunaan arbitrase ditandai dengan

diselenggarakannya Konferensi Perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan Konferesni

Den haag II tahun 1907. Hasil Kofperensi I, yaitu Konvensi Den Haag 1899 hingga

akhir tahun 1996, terdapat 68 negara telah meratifikasinya. Untuk Konvensi Den Haag

II tahun 1907, 64 negara telah meratifikasinya.20 Indonesia hingga kini belum atau

tidak meratifikasi kedua konvensi tersebut.

Sebenarnya motif penyelenggaraan dua konferensi perdamaian ini tidak

terlepas dari kepentingan menggalakkan arbitrase. Konferensi Perdamaian ini

diselenggarakan, didorong oleh eksisnya penggunaan arbitrase pada abad ke-19. Di

samping itu, masyarakat internasional juga menunjukkan keinginannya pada waktu itu

untuk menjadikan arbitrase sebagai suatu badan yang permanen.Kedua Konferensi

berupaya mengkodifikasi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang ada

mengenai arbitrase. Setelah kodifikasi tersebut, mereka berharap dapat

mengembangkannya kemudian. Kofperensi pertama dihadiri oleh 26 negara.

Konperensi kedua dihadiri oleh 44 negara. Kedua konferensi menghasilkan dan

mengesahkan the Convention for the Pacific Settlement of International Disputes

tanggal 29 Juli 1899 dan tanggal 18 Oktober 1907.

b. Kompetensi Permanent Court of Arbitration (PCA)

Didirikannya the Permanent Court of Arbitration (PCA). PCA berkedudukan di

gedung Peace Palace, Den Haag Belanda. Badan arbitrase permanen ini, pada saat itu,

merupakan badan peradilan arbitrase pertama yang menyelesaikan sengketa-sengketa

antar negara

Permanent Court of Arbitration memiliki dasar hukum dari dua konvensi

mengenai penyelsaian sengketa internasional secara damai yaitu;

1) Convention for the pacific settlement of international disputes of july 29 1899;

2) Convention for the pacific settlement of international disputes of October 18

1907.26

Struktur organisasi Permanent Court of Arbitration (PCA) terdiri dari biro-biro

internasional dan administrative council. Biro-biro internasional ini terdiri dari sekjen

dan stafnya yang pada praktinya harus berkewarganegaraan belanda. Sekjen dipilih

administrative council. Administrative council ini berisi perwakilan diplomatik dari

negara-negara yang menandatangani kedua konvensi diatas dengan menteri luar negeri

belanda sebaga presiden administrative council. Tugas dari administrative council

adalah member arahan dan pengawasan terhadap biro internasional dan juga

memperbaiki kulaitas kerja sama biro internasional dan setiap tahun mengirimkan

laporan kerjanya kepada negara-negara angotaPermanent Court of Arbitration (PCA)

ini.27 PCA memiliki suatu panel arbitrator yang disebut dengan Member Of The Court.

26 https://en.wikipedia.org/wiki/Permanent_Court_of_Arbitration. diakses Pada tangal 18 Mei 2017. 27 Ibid.

Badan ini terdiri dari 260 arbitrator. Mereka adalah para ahli hukum terkemuka yang

berasal dari negara-negara anggota PCA.

Kewenangan hukum dari Permanent Court of Arbitration (PCA) adalah

memeriksa perkara penerapan putusan (award) antar negara yang menandatangani

kedua konvensi diatas, jika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui

jalur diplomasi. Kewenangan khusus Permanent Court of Arbitration (PCA)

menyelesaikan sengketa antarnegara anggota PCA. Atau sengketa antara negara angota

PCA dengan negara angota non PCA.28

Prosedur penanganan perkara di PCA dilakukan dengan cara melalui berikut :

1) Pengajuan gugatan secara tertulis.

2) Pada tahap dengar pendapat hakim pengadilan PCA dapat menyatakan sidang

terbuka untuk umum tergantung kesepakatan para pihak yang bersengketa. Pada

tahap ini hakim pengadilan PCA dapat menunda sidang jika para pihak tidak hadir

dimuka pengadilan ataupun tidak menunjuk perwakilannya.

3) Pelaksanaan putusan dari PCA terhadap sengketa yang diperiksa harus segera

dilaksanakan (mengikat) dengan menghormati hukum nasional negara anggota.29

5. Konflik Laut China Selatan

28 http://khafidsociality.blogspot.co.id/2011/03/permanent-court-of-arbitration.html diakses Pada

tangal 18 Mei 2017. 29 Loc.cit

Konflik di Laut China Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika

Inggris mengklaim Kepulauan Spartly, diikuti oleh China pada awal abad ke-20, dan

Perancis sekitar tahun 1930-an. Disaat berkecambuknya perang dunia II, Jepang

mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spartly sebagai basis kapal selam.

Dengan berakhirnya PD II, Perancis kembali mengklaim kawasan tersebut dan diikuti

oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai bagian dari

kepentingan keamanan dari kawasannya. Sejak 1970 klaim terhadap kawasan tersebut

meningkat pesat sejalan dengan perkembangan penemuan dan hukum internasional.

Perkembangan pertama menyangkut ditemukannya ladang minyak yang diperkirakan

cukup banyak di kawasan tersebut berdasarkan survey geologi yang dilakukan para

peneliti dari perusahaan Amerika dan Inggris. Penemuan ini sudah tentu membuat

harga kepulauan dan pulau kecil serta batu karang di kawasan tersebut meroket.

Perkembangan kedua, berkaitan dengan ditetapkannya Zona Ekonomi Eksklusif

sepanjang 200 mil laut bagi setiap negara berdasarkan ketentuan dari UNCLOS (United

Nation Conference on The Law of The Sea).30

Klaim terhadap Laut China Selatan yang dilakukan oleh negara-negara sering

sekali didasarkan pada alasan historis semata. Klaim berdasarkan alasan historis ini

menyebabkan ketidakpastian dalam penguasaan dan kepemilikan Laut Cina Selatan.

Tiap-tiap negara mengklaim dengan alasan sejarahnya masing-masing sehingga terjadi

30 https://www.merdeka.com/tag/k/konflik-laut-china-selatan. Diakses 18 mei 2017

tumpang tindih dalam mengklaim Laut China Selatan. Dan klaim yang tumpang tindih

ini mengakibatkan konflik di Laut China Selatan.

Alasan historis dijadikan dasar oleh negara-negara dalam mengklaim Laut

China Selatan, contohnya saja China, Cina dan Pilipina, dan Filipina. China mengklaim

Laut China Selatan berdasarkan sejarah bahwa Kepulauan Paracel yang terletak 300

Km sebelah tengggara pantai China telah dikuasai oleh Pemerintahan Dinasti Han

antara 206 sebelum masehi hingga 220 sesudah masehi. Disebutkan pula oleh Direktur

Institut Arkeologi Provinsi Guangdong; Gu Yunguan, 98% benda-benda yang telah

ditemukan digugus Paracel merupakan mata dagangan buatan China. Sejak itu China

terus melancarkan berbagai upaya demi membuktikan kedaulatannya atas Kepulauan

Paracel termasuk Kepualaun Spratly dengan berpegang pada dokumen sejarah dan

peninggalan Arkeologi. Sedangkan Cina dan Pilipina berpendapat bahwa Kaisar gia

Long dari Cina dan Pilipina (1802) telah mencantumkan Spartly sebagai wilayah

kekuasaannya.

Nelayan-nelayan Cina dan Pilipina sebelumnya telah lama melakukan

pelayaran di wilayah tersebut. Cina dan Pilipina juga menyebutkan bahwa Kepulauan

Spartly dan Paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua

kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan suatu negara. Cina dan Pilipina tidak

mengakui wilayah kedaulatan China di kawasan tersebut, sehingga pada saat Perang

Dunia II berakhir Cina dan Pilipina Selatan menduduki Kepulauan Paracel, termasuk

beberapa gugus pulau di Kepulauan Spartly. Ada catatan sejarah mengungkapkan

kepulauan yang juga disebut Hoang Sa dalam bahasa Cina dan Pilipina (Xisha dalam

bahasa China) masuk dibawah distrik Binh Son Cina dan Pilipina. Sementara Filipina

menduduki kelompok gugus pulau di bagian timur Kepulauan Spartly, dan tahun 1978

menduduki lagi gugus Pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut

karena kawasan itu merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara

manapun (kosong). Filipina juga merujuk kepada Perjanjian Perdamaian San Francisco

1951 , yang antara lain menyatakan bahwa Jepang telah melepaskan haknya terhadap

Kepulauan Spartly, dan tidak mengemukakan diserahkan kepada negara mana. Selain

ketiga negara tersebut, ada juga klaim yang diajukan oleh Malaysia dan Brunei

Darussalam. Malaysia menduduki beberapa gugus pulau Kepulauan Spartly. Menurut

Malaysia, langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun

1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau

lain juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu Laksamana yang

diduduki oleh Filipina dan Amboyna yang diduduki Cina dan Pilipina. Sementara,

Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari

1984 juga ikut mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya

mengklaim peraian dan bukan gugus pulau. Perbedaan sejarah dalam mengklaim Laut

China Selatan tidak hanya menyebabkan klaim tumpang tindih dan konflik, tetapi juga

menimbulkan perbedaan pemberian nama Laut China Selatan dan kepulauan di Laut

China Selatan.31

31 https://international.sindonews.com/topic/684/sengketa-laut-china-selatan, diakses 18 Mei 2017

Istilah South China Sea merupakan nama dalam bahasa Inggris yang paling

sering digunakan untuk menyebut Laut China Selatan. Sementara para pelaut Portugis

pada abad keenam belas menyebutnya Mar Da China (Laut China). Kemudian, untuk

membedakannya dengan wilayah perairan di dekatnya, namanya berubah menjadi Laut

China Selatan. Namun di negara-negara sekitar Laut China Selatan sendiri, nama laut

tersebut berbeda-beda, dan seringkali sebutannya mencerminkan klaim historis untuk

menghegemoni laut tersebut. Secara resmi, pemerintah Cina dan Pilipina menyebutnya

“Bien Dong (Laut Timur)”. Nama Bien Dong digunakan pada peta resmi Cina dan

Pilipina. Bagian Laut China Selatan di dalam wilayah perairan Filipina sering disebut

“Dagat Luzon (Laut Luzon)” di peta-peta yang diterbitkan di negara tersebut,

mengikuti nama pulau besar di Filipina, Pulau Luzon. Namun, di Filipina nama “Dagat

Timog Tsina (Laut China Selatan)” masih diterima untuk menyebut laut tersebut secara

keseluruhan. Di Asia Tenggara, Laut China Selatan dulu disebut Laut Champa atau

Laut Cham, sesuai nama kerajaan maritim yang pernah muncul pada abad keenam

belas. Bangsa Jepang menyebut Laut China Selatan sebagai Minami Shina Kai .

Sedangkan China sendiri menyebut Laut China Selatan sebagai Laut Selatan saja.

Perbedaan penamaan juga terjadi pada kepulauan di Laut China Selatan.

Penamaan ini umumnya tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan

Kepulauan Spratly dengan Shinnengunto, Cina dan Pilipina menyebut Kepulauan

Spratlydengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kepulauan Spratly

dengan Kelayaan (Kemerdekaan), Malaysia menyebut Kepulauan Spratly dengan Aba

dan Terumbu Layang-Layang, sedangkan China lebih suka menyebut Nansha Quadao

(kelompok pulau selatan). Sedangkan masyarakat internasional sering menyebutnya

Kepulauan Spratly yang berarti burung layang-layang.32

32 Op.cit. Retno Windari, h 87

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian

hukum yuridis normatif yaitu merupakan penelitian yang menitik beratkan pada

penelitian kepustakaan atau studi dokumen, penelitian yang hanya dilakukan pada

peraturan-peraturan yang tertulis atau penelitian yang didasarkan pada data sekunder.

Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar

untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan

literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini

mengkaji hukum internasional yang berhubungan dengan isu hukum yang dibahas.1

Adapun penelitian ini juga menggunakan pendekatan perundang-undangan (

statue approach) dan menggunakan pendekatan konseptual normative (conseptual

approach). Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) adalah Pendekatan

perundang-undangan yang dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang berhubungan ataupun memiliki keterkaitan dengan isu hukum yang

sedang diteliti oleh penulis. Sementara itu Pendekatan Konseptual (Conseptual

1 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali

Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14

2

Approach) Pendekatan konseptual merupakan pendekatan yang beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum yang

berkaitan dan berhubungan dengan isu hukum yang diangkat oleh penulis.

B. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data berdasarkan data sekunder,

yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan seperti :

a. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nation

Convention on the Law of the Sea III 1982/UNCLOS III 1982)

b. Permanent Court of Arbitration Case No 2013-19 In The Matter Of The South

Tiongkok Sea Arbitration;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari berbagai bahan kepustakaan dan

hasil-hasil penelitian jurnal dan lain-lain.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus-

kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya2.

2Ibid, hal. 113-114.

3

C. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan dalam penelitian ini menggunakan teknik atau metode pengumpulan

data dengan menggunakan alat pengumpulan data dari penelitian kepustakaan berupa

studi dokumen dengan mempelajari, menganalisa dan mengkaji literatur-literatur dan

bahan bacaan yang berkaitan dengan permasalahan ini.

D. Analisa Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kualitatif, sehingga teknik

analisis data yang digunakan juga menggunakan teknik kualitatif, dimana proses

pengolahan data dilakukan secara deduktif, yakni di mulai dari dasar-dasar

pengetahuan yang umum, kemudian meneliti hal-hal yang bersifat khusus sehingga

dari proses analisis ini kemudian di tarik suatu kesimpulan. Pendekatan yang dilakukan

adalah yuridis normatif yaitu dengan melakukan penjabaran atas data-data yang ada

sebagai hasil dari penelitian. Dalam pendekatan normatif ini, penelitian dilakukan

terhadap norma-norma hukum yang memiliki permasalahan dengan yang akan diteliti.

Pendekatan semacam ini dilakukan dengan meneliti realitas hukum yang dilakukan

dari segi yuridis sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai permasalahan

yang ada.

4

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KEKUATAN HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL

(PCA) TENTANG LAUT CINA SELATAN ANTARA SENGKETA FILIPINA DAN

CHINA

Konflik di Laut Cina Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika Inggris mengklaim

Kepulauan Spratly, diikuti oleh Cina pada awal abad ke-20, dan Perancis sekitar tahun 1930-an.

Disaat berkecamuknya PD II, Jepang mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spratly

sebagai basis kapal selam. Dengan berakhirnya PD II, Perancis kembali mengklaim kawasan

tersebut dan diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai bagian

dari kepentingan keamanan dari kawasannya. Sejak 1970 klaim terhadap kawasan tersebut

meningkat pesat sejalan dengan perkembangan penemuan dan hukum internasional.1

Perkembangan pertama menyangkut ditemukannya ladang minyak yang diperkirakan cukup

banyak di kawasan tersebut berdasarkan survey geologi yang dilakukan para peneliti dari

perusahaan Amerika dan Inggris. Penemuan ini sudah tentu membuat harga kepulauan dan pulau

kecil serta batu karang di kawasan tersebut meroket. Perkembangan kedua, berkaitan dengan

ditetapkannya Zona. Ekonomi Eksklusif sepanjang 200 mil laut bagi setiap negara berdasarkan

ketentuan dari UNCLOS.2

Klaim terhadap Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh negara-negara sering sekali didasarkan

pada alasan historis semata. Klaim berdasarkan alas an historis ini menyebabkan ketidakpastian

1 Anonim, Konflik Laut Cina Selatan, 22 Juni 2017,

https://leeyonardoisme.wordpress.com/portfolio/konflik-laut-cina-selatan/, Di akses Pada 22 Juni 2017 2 Ibid

dalam penguasaan dan kepemilikan Laut Cina Selatan. Tiap-tiap negara mengklaim dengan alasan

sejarahnya masingmasing sehingga terjadi tumpang tindih dalam mengklaim Laut Cina Selatan,

klaim yang tumpang tindih ini mengakibatkan konflik di Laut Cina Selatan.3

Alasan historis dijadikan dasar oleh negara-negara dalam mengklaim Laut Cina Selatan,

contohnya saja Cina, Vietnam, dan Filipina. Cina mengklaim Laut Cina Selatan berdasarkan

sejarah bahwa Kepulauan Paracel yang terletak 300 KM sebelah tengggara pantai Cina telah

dikuasai oleh Pemerintahan Dinasti Han antara 206 sebelum masehi hingga 220 sesudah masehi.

Disebutkan pula oleh Direktur Institut Arkeologi Provinsi Guangdong; Gu Yunguan, 98% benda-

benda yang telah ditemukan digugus Paracel merupakan mata dagangan buatan Cina Sejak itu

Cina terus melancarkan berbagai upaya demi membuktikan kedaulatannya atas Kepulauan Paracel

termasuk Kepulauan Spratly dengan berpegang pada dokumen sejarah dan peninggalan Arkeologi.

Sedangkan Vietnam berpendapat bahwa Kaisar Gia Long dari Vietnam (1802) telah

mencantumkan Spratly sebagai wilayah kekuasaannya. Nelayan-nelayan Vietnam sebelumnya

telah lama melakukan pelayaran di wilayah tersebut. Vietnam juga menyebutkan bahwa

Kepulauan Spratly dan Paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke-17. ketika kedua

kepulauan itu tidak berada dalam pengu asaan suatu negara. Vietnam tidak mengakui wilayah

kedaulatan Cina di kawasan tersebut, sehingga pada saat PD II berakhir Vietnam Selatan

menduduki Kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus pulau di Kepulauan Spratly. Ada catatan

sejarah mengungkapkan kepulauan yang juga disebut Hoang Sa dalam bahasa Vietnam (Xisha

dalam bahasa Cina) masuk di bawah distrik Binh Son Vietnam. Sementara Filipina menduduki

kelompok gugus pulau di bagian timur Kepulauan Spratly, dan tahun 1978 menduduki lagi gugus

3 ibid

Pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah

yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara manapun (kosong).

Filipina juga merujuk kepada Perjanjian Perdamaian San Francisco 1951,29 yang antara lain

menyatakan bahwa Jepang telah melepaskan haknya terhadap Kepulauan Spratly, dan tidak

mengemukakan diserahkan kepada negara mana. Selain ketiga negara tersebut, ada juga klaim

yang diajukan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam. Malaysia menduduki beberapa gugus pulau

Kepulauan Spratly. Menurut Malaysia, langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas

Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spratly. Dua kelompok

gugus pulau lain juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu Laksamana yang

diduduki oleh Filipina dan Amboyna yang diduduki Vietnam. Sementara, Brunei Darussalam yang

memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari 1984 juga ikut. mengklaim wilayah

di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim peraian dan bukan gugus pulau.4

Adapun identitas perkara yang diajukan adalah sebagai berikut:

Case: The Republic of Philippines v. The People’s Republic of China, PCA Case No. 2013-

19.5

Commencement date : 22 January 2013

Jurisdictional basis : Article 287 and Annex VII to the Convention

Tribunal members Judge : Thomas A. Mensah (President), Judge Jean-Pierre Cot, Judge Stanislaw Pawlak, Prof. Alfred H.A. Soons, Judge Rüdiger Wolfrum

Means of termination : Finish ed

Further information :

http://www.pca-cpa.org/showpage.asp?pag_id=1529

Pada tahun 2013, Republik Filipina melembagakan atau menyerahkan proses ini mengenai

"sengketa Filipina dengan China atas yurisdiksi maritim Filipina di Laut Filipina Barat." Oleh Note

4 Anonim, 9 November 2010, https://johnpau.wordpress.com, (02.30). di akses 22 juni 2017 5 Permanent Court of Arbitrase. Contribution Of The Permanent Court Of Arbitration To The Report Of The

Secretary-General On Oceans And The Law Of The Sea. Den Hague. 2014. Hlm 7

Verbale ke Filipina tanggal 19 Februari 2013, Cina menggambarkan "Posisi China pada isu-isu

Laut Cina Selatan," dan ditolak dan dikembalikan ke Pemberitahuan dan Pernyataan Klaim

Filipina.6

Adapun tuntutan Filipina melalui PCA terdiri dari 15 tuntutan. Atas dasar fakta dan

hukum yang ditetapkan dalam peringatan ini, Filipina dengan hormat meminta Pengadilan

untuk menghukum dan menyatakan bahwa:

1) Claim hak maritim China atas Laut China Selatan, termasuk yang berada di wilayah Filipina,

mungkin melanggar perizinan yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut

(UNCLOS);

2) Klaim China terhadap hak-hak berdaulat dan yurisdiksi, dan "historical right", sehubungan

dengan wilayah maritim di Laut China Selatan yang mereka sebut dengan "nine-line dash"

bertentangan dengan aturan Konvensi dan tanpa dasar yang diperbolehkan bag mereka untuk

melampaui batas geografis dan substantif hak maritim Cina di bawah UNCLOS;

3) Scarborough Shoal tidak menghasilkan hak untuk zona ekonomi eksklusif atau landas

kontinen;

4) Mischief Reef, Second Thomas Shoal dan Subi Reef adalah wilayah air pasang-surut yang

tidak menghasilkan hak untuk laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, atau landas kontinen,

dan bukan fitur (alasan) yang mampu diterima melalui cara apapun atau sebaliknya;

5) Mischief Reef dan Second Thomas Shoal merupakan bagian dari zona ekonomi eksklusif dan

landas kontinen dari Filipina;

6) Gaven Reef dan McKennan Reef (termasuk Hughes Reef) adalah wilayah ketinggian air

pasang-surut yang tidak menghasilkan hak untuk laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau

6 Ibid., Hlm 7.

landas kontinen, tapi garis air rendah mereka dapat digunakan untuk menentukan baseline dari

mana lebar laut teritorial Namyit dan Sin Cole, masing-masing, diukur;

7) Johnson Reef, Cuarteron Reef dan Fiery Cross Reef tidak menghasilkan hak untuk zona

ekonomi eksklusif atau landas kontinen;

8) China telah secara tidak sah mengganggu kemapanan dan pelaksanaan hak-hak berdaulat

Filipina sehubungan dengan sumber daya hidup dan non-hidup zona ekonomi eksklusif dan

landas kontinen;

9) China telah secara tidak sah gagal mencegah warga dan kapal dari mengeksploitasi sumber

kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif Filipina;

10) China telah secara tidak sah mencegah nelayan Filipina mengejar mata pencaharian mereka

dengan mengganggu aktivitas nelayan tradisional di Scarborough Shoal;

11) China telah melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi untuk melindungi dan

melestarikan lingkungan laut di Scarborough Shoal dan Kedua Thomas Shoal;

12) Pendudukan dan konstruksi kegiatan China pada Mischief Reef

(A) melanggar ketentuan Konvensi mengenai pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan;

(B) melanggar tugas China untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut di bawah

Konvensi; dan

(C) merupakan tindakan melanggar hukum apropriasi berusaha melanggar Konvensi;

13) China telah melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi dengan mengoperasikan kapal

penegak hukum yang secara berbahaya menyebabkan risiko serius dari tabrakan ke kapal

Filipina menavigasi di sekitar Scarborough Shoal;

14) Sejak dimulainya arbitrase ini pada Januari 2013, China telah secara tidak sah memperburuk

dan memperpanjang sengketa oleh, antara lain:

(A) mengganggu hak Filipina navigasi di perairan di, dan berdekatan dengan, Kedua Thomas

Shoal;

(B) mencegah rotasi dan memasok tenaga Filipina ditempatkan di Second Thomas Shoal; dan

(C) membahayakan kesehatan dan kesejahteraan personil Filipina ditempatkan di Second

Thomas Shoal; dan

15) China akan berhenti dari klaim melanggar hukum lebih lanjut dan kegiatan.7

Pada tanggal 27 Agustus 2013, Majelis Arbitrase mengadopsi tata tertib dan mencatat

bahwa sesuai dengan Pasal 9 Lampiran VII Konvensi, tidak adanya partai (pihak lain) atau

kegagalan pihak penuntut dalam mempertahankan kasusnya menjadi pertimbangan diajukannya

kasus ini persidangan arbbitrase internasional. Dalam keadaan tersebut, sebelum membuat

putusan, Mahkamah Arbitrase mempersiapkan diri sebagai pihak penengah yang nantinya

memberikan putusan terkait sengketa, tidak hanya dikarenakan Mahkamah Arbitrase dalam hal ini

memiliki yurisdiksi atas sengketa yang diajukan, tetapi juga karena mahkamah arbitrase dianggap

mampu memutuskan kebenaran klaim yang berdasarkan pada fakta dan hukum.8 Dalam

melaksanakan prinsip ini, Peraturan Tata didirikan prosedur untuk Arbitrase untuk mengajukan

pertanyaan kepada pihak-pihak terkait "isu-isu spesifik yang Arbitrase menganggap belum diteliti,

atau telah memadai diteliti, dalam pembelaan yang disampaikan" di acara tersebut bahwa Pihak

lainnya gagal mempertahankan kasusnya. Pada tanggal 16 Desember 2014, Majelis Arbitrase

mencatat fakta bahwa Cina tidak mengajukan argumen Counter-Memorial andrequested ditulis

lanjut dari Filipina pada isu-isu tertentu dibesarkan di Filipina 'Memorial. Filipina mengajukan

Tambahan Ditulis Submission di respon pada 16 Maret 2015.9

7 The Philippines’ Final Submissions as set out at pages 271 and 272 of its Memorial (the “Submissions”) 8 Permanent Court of Arbitrase. Contribution Of The Permanent Court Of Arbitration To The Report Of The

Secretary-General On Oceans And The Law Of The Sea. Den Hague. 2014. Hlm 7 9 Ibid., Hlm 8

Hasil putusan awal PCA dalam sidang ini antara lain:

1. Status PCA dan keberadaan pengadilan arbitrase sudah sesuai dengan hasil konvensi di

lampiran vii.

2. Ketidakhadiran china tidak mempengaruhi hasil putusan

3. Filipina tindakan memulai arbitrase ini dan tidak merupakan penyalahgunaan proses

diplomasi.

4. Tidak ada pihak ketiga (yang sangat diperlukan) yang absen/tidak hadir dan menggangu

Pengadilan yurisdiksi.

5. Deklarasi China-ASEAN 2002 atas dasar kesepakatan beberapa pihak yang memiliki wilayah

di Laut China Selatan, sehingga laporan bersama dari Pihak tersebut menyebabkan Perjanjian

Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara dan Konvensi Keanekaragaman hayati antara

ASEAN-China tidak menghalangi jalannya pengadilan arbitrase ini

6. Pihak yang hadir dalam pengadilan arbitrase ini telah bertukar pandangan dan

mempertimbangkan kasus ini.

7. Pengadilan telah mempertimbangkan pengajuan tuntutan dari Filipina

8. Telah ditentuan apakah Pengadilan memiliki yurisdiksi untuk mempertimbangkan tuntutan

Filipina No 1, 2, 5, 8, 9, 12, dan 14 akan melibatkan pertimbangan masalah konflik teritori

yang tidak memiliki karakter eksklusif awal, dan sesuai kesepakatan pertimbangan yurisdiksi

disepakati untuk menindaklanjuti tuntutan No 1, 2, 5, 8, 9, 12, dan 14 ke fase solusi pemecahan

masalah.10

10 Permanent Court of Arbitrase. Award On Jurisdiction And Admissibility: An Arbitral Tribunal Constituted

Under Annex VII To The 1982 United Nations Convention On The Law Of The Sea Between The Republic

Of The Philippines and The People’s Republic Of China. Den Hague. 2016. Hlm 138

Pada Desember 2014, China menerbitkan "Position Paper dari Pemerintah Republik

Rakyat China pada Soal Yurisdiksi di Laut Cina Selatan Arbitrase Diprakarsai oleh Republik

Filipina" di mana China menetapkan pandangannya bahwa Majelis Arbitrase tidak memiliki

yurisdiksi untuk mempertimbangkan pengajuan dari Filipina. Pada bulan Juli 2015, Majelis

Arbitrase akan mengadakan sidang pada lingkup yurisdiksi dan diterimanya klaim Filipina.

Jika, setelah sidang, Majelis Arbitrase menentukan bahwa ada masalah yurisdiksi yang tidak

memiliki karakter eksklusif awal, kemudian, hal-hal tersebut akan disediakan untuk

pertimbangan dan keputusan pada tahap berikutnya dari proses.

Selanjutnya majelis PCA meminta Filipina untuk memperjelas isi dan mempersempit ruang

lingkup tuntutan 15 dan meminta dewan pertimbangan yurisdiksi menindaklanjuti tuntutan Nomor

15 ke fase pemecahan masalah.

Pada tahap akhir, tahun 2016, PCA memutuskan bahwa:

“Majelis PCA menganggap di luar sengketa saat ini, kedua Pihak wajib mematuhi

Konvensi, termasuk ketentuan terkait penyelesaian sengketa, dan menghormati hak-

hak dan kebebasan Negara lain di bawah Konvensi (UNCLOS). Baik pihak yang

bertikai ini, dan Majelis PCA karena itu tidak yakin bahwa itu diperlukan atau tepat

untuk itu untuk membuat deklarasi keputusan lebih lanjut”11

Putusan pengadilan tidak akan memenangkan atau mengalahkan penggugat atau

tergugat. Sebab, karakter putusannya hanya bersifat menafsirkan pasal-pasal UNCLOS

terhadap fakta hukum yang dipersoalkan.12 Jadi hasil dari pengadilan ini hanya memberikan

penekanan pada pemberlakuan regulasi UNCLOS sebagai dasar pemecahan masalah teritori

antara China-Filipina. Di sisi lain, putusan ini secara otomatis mematahkan claim China atas

wilayah mereka yang disengketakan dengan Filipina berdasarkan “Historical Right” selama

11 Ibid., Hlm 140 12 Ibid., Hlm 140

ini. Dengan diberlakukannya UNCLOS maka China tidak berhak mengklaim wilayah

mereka di Laut China Selatan di masa yang akan datang.

1. Yurisdiksi Lembaga PCA

PCA memiliki suatu panel arbitrator yang diebut dengan Member of the court. Badan

ini terdiri dari 260 arbitrator. Mereka adalah para ahli hukum terkemuka yang berasal dari

negara-negara anggota PCA. Kewenangan hukum dari Permanent Court of Arbitration

(PCA) adalah memeriksa perkara penerapan putusan (award) antar negara yang

menandatangani kedua konvensi diatas, jika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan

melalui jalur diplomasi. Kewenangan khusus Permanent Court of Arbitration (PCA)

menyelesaikan sengketa antarnegara anggota PCA. Atau sengketa antara negara angota PCA

dengan negara angota non PCA. Kasus yang pertama kali yang ditangani oleh PCA adalah

The Pious Fund Arbitration tahun 1907.13

Sebagaimana disebutkan di atas, Meskipun PCA pada awalnya didirikan untuk

arbitrase antar Negara, Konvensi Den Haag memungkinkan fleksibilitas yang cukup dalam

konstitusi dari "Dewan khusus Arbitrase." 14 Berdasarkan berbagai Aturan Opsional, pihak

berikut mungkin, pada prinsipnya, setuju untuk membawa kasus sebelum PCA yang:

Setiap dua atau lebih Negara;

Sebuah Negara dan organisasi internasional (yaitu sebuah organisasi antar pemerintah);

Dua atau lebih organisasi internasional;

Suatu Negara dan pihak swasta; dan

Sebuah organisasi internasional dan pihak swasta.

13 Ibid 14 1899 Convention, Art. 26; 1907 Convention, Art. 47.

Aturan PCA terkait prosedur untuk menengahi perselisihan berkaitan dengan Sumber

Daya Alam dan / atau Lingkungan dan Peraturan Opsional untuk Konsiliasi Sengketa Terkait

dengan Sumber Daya Alam dan / atau Lingkungan tidak mengandung persyaratan bahwa

salah satu pihak menjadi suatu negara atau organisasi Negara. pihak swasta mungkin setuju

untuk menggunakan fasilitas administrasi dan lain dari PCA di arbitrase dilakukan di bawah

Peraturan UNCITRAL, dan PCA sedang memikirkan mengadopsi versi institusinya sendiri

dari Peraturan UNCITRAL untuk tujuan ini.15

Tidak ada persyaratan bahwa suatu Negara menyetujui penyelesaian sengketa PCA

menjadi pihak pada 1899/1907 Konvensi, dan aksesi Konvensi tidak menetapkan jenis

yurisdiksi wajib.16 Dengan demikian, dalam kasus ini penolakan China atas terselenggaranya

PCA dalam penyelesaian sengketa wilayah China dan Filipina menjadi pertimbangan dalam

penyelesaian sengketa karena cina dan Filipina menjadi salah satu negara yang dapat

mempengaruhi putusan. Hal ini juga menunjukkan bahwa Putusan PCA memiliki kekuatan

hukum yang kuat secara yuridis dalam berperan sebagai penengah dalam penyelesaian

sengketa China dan Filipina. Dasar ini juga menunjukkan bahwa PCA memiliki yurisdiksi

untuk memberikan putusan terkait sengketa China dan Filipina. Ditambah lagi dengan

keanggotaan Filipina dan China sebagai anggota PCA, maka kedua belah pihak selayaknya

menyetujui upaya penyelesaian sengketa melalui PCA. Dalam hal ini, penolakan China

justru dianggap salah karena sebagai anggota PCA, sikap penolakan tersebut menunjukkan

ketidakhormatan China atas yurisdiksi PCA.

2. Yurisdiksi Pengadilan Arbitrase

15 United Nations document no. A/CN. 9/230 (1982), supra, note 22. 16 United Nations Conference on Trade and Development. Dispute Settlement: Permanent Court of Arbitration.

New York and Genewa. 2003. Hlm 5

Dalam United Nations Conference on Trade and Development ditunjukkan bahwa:

Landasan dari semua jenis yurisdiksi arbitrase adalah kesalah pahaman antar Filipina

dan cinah. Perjanjian yang mengakibatkan perselisihan antara Filipina dan cina dapat

dilakukan dengan cara perjanjian terpisah meliputi sengketa yang ada (sering disebut

sebagai "perjanjian penyerahan") atau melalui klausul dalam perjanjian, kontrak, atau

instrumen hukum lainnya, yang biasanya lebih umum, meliputi masa depan setiap

perselisihan "yang timbul di bawah" atau "sehubungan dengan" instrumen yang

bersangkutan.17

Berbagai Aturan Filipina dan cina yang tidak sama yang seharusnya mengikuti Aturan

UNCITRAL dalam memberdayakan majelis arbitrase untuk memutuskan keberatan pada

wilayah hukumnya18, dan memberikan itu, untuk tujuan menentukan yurisdiksi, perjanjian

arbitrase dianggap dapat dipisahkan dari instrumen yang terkandung. Dengan demikian,

ketidakabsahan kontrak, perjanjian atau instrumen tidak ipso facto mencabut pengadilan

arbitrase yurisdiksi.19 Di bawah dua set Aturan PCA menyediakan untuk keterlibatan pihak

swasta dengan baik Negara atau Organisasi internasional, perjanjian arbitrase di bawah

aturan merupakan pengabaian kekebalan berdaulat dari yurisdiksi pada bagian dari Negara

atau organisasi internasional yang bersangkutan.20

Filipina dan cina terjadi perselisihan melalui atbitrase Terkait batas waktu kekuatan

yurisdiksi PCA sendiri, juga ditunjukkan dalam United Nations Conference on Trade and

Development. Berbagai aturan prosedur tidak menempatkan batasan temporal bagi rujukan

sengketa antara flipina dan cina melalui mahkama arbitrase. Sebenarnya batas antara Filipina

dan cinah ini juga ditemukan dalam perjanjian arbitrase.21 Dengan demikian, Peputusan PCA

17 Ibid., Hlm 15 18 1899 Convention, Art. 2; 1907 Convention, Art.21 (1) 19 1899 Convention, Art. 2; 1907 Convention, Art.21 (2) 20 Any waiver of sovereign immunity from execution, however, must be express; see, for example, PCA Optional Rules

for Arbitrating Disputes between Two Parties of Which Only One is a State, Introduction, http://www.pca-

cpa.org/BD/2stateeng.htm. 21 United Nations Conference on Trade and Development. Dispute Settlement: Permanent Court of Arbitration.

New York and Genewa. 2003. Hlm 20.

dalam sengketa China-Filipina terkait Laut China Selatan bersifat mengikat untuk masa yang

akan datang tanpa batasan waktu. Artinya kedua belah pihak wajib menghormati putusan ini

dan menerapkannya di masa yang akan datang.

Adapun putusan PCA dalam hal ini dpat di perdebatan / pertimbangan yurisdiksi dalam

praktek PCA, tidak seperti yang dari ICJ, tidak mengenal perbedaan antara yurisdiksi

perdebatan dan penasehat. PCA hampir selalu kontroversial, dan dapat dibedakan dari

bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa non-yudisial oleh sifat final dan mengikat dari

putusan arbitrase yang dihasilkan. Metode non-mengikat PCA untuk penyelesaian sengketa,

termasuk mediasi, konsiliasi dan penyelidikan atau pencarian fakta, karena itu mungkin lebih

tepat untuk pihak mencari penasihat - atau tidak mengikat - deklarasi hak bersama dan

kewajiban mereka.22

Adanya perdebatan yang dilakukan oleh Filipina dan cinah untuk menganalisis secara

yurisdiksi dalam praktek PCA ini dapat dilihat jelas dalam sengketa China dan Filipina.

Dalam kasus ini, sifat PCA yang selalu kontroversial digunakan oleh China dalam

menyatakan penolakan atas yurisdiksi PCA sebagai lembaga internasional yang layak

menengahi sengketa wilayah. China menganggap bahwa PCA tidak memiliki wewenang

yang sah dalam memutuskan hak wilayah suatu negara yang berkaitan dengan kedaulatan.

Di sisi lain, dijelaskan dalam United Nations Conference on Trade and Development

pula terkait subjek pokok PCA. Di sini ditunjukkan bahwa yurisdiksi subyek potensial PCA

adalah tidak terbatas.23 Perselisihan antara Filipina dan cina ruang lingkup yang dilakukan

melalui yurisdiksi yang diatur oleh perjanjian internasional dan penyelesaian perselisihan

22 United Nations Conference on Trade and Development. Dispute Settlement: Permanent Court of Arbitration.

New York and Genewa. 2003. Hlm 17 23 Ibid., 19

perjanjian malalui arbitrase yang berlaku. PCA Aturan Prosedur untuk menengahi

perselisihan Berkaitan dengan Sumber Daya Alam dan / atau Lingkungan tegas menyatakan

bahwa:

"Karakterisasi sengketa sebagai yang berkaitan dengan lingkungan atau sumber daya

alam tidak diperlukan untuk yurisdiksi, di mana semua pihak telah sepakat untuk

menyelesaikan sengketa tertentu di bawah aturan-aturan ini."24

Melalui jalur Atbitrase yang dilakukan oleh Filipina dan cinah Tidak terbatasnya

subyek potensial laut dan kekayaan alam dari kedua negara tersebut, putusan atbitrase

dapat dijadikan dasar hukum yang kuat dalam menilai kekuatan hukum putusan PCA

dalam sengketa China-Filipina terkait Laut China Selatan. Terlebih lagi isu yang

diangkat berkaitan dengan lingkungan atau sumber daya alam sehingga tidak

diperlukan yurisdiksi tertentu untuk melihat apakah PCA diperlukan sebagai penengah

atau tidak. Berdasarkan aturan ini, di mana jika semua pihak telah sepakat untuk

menyelesaikan sengketa tertentu di bawah aturan-aturan PCA maka PCA berhak

menjadi penengah dan memiliki hak dalam memutuskan sengketa. Terkait penolakan

China sendiri tidak mempengaruhi yurisdiksi PCA dan tidak mempengaruhi putusan

PCA karena persyaratan pengajuan tuntutan sudah layak dan keanggotaan China

sebagai anggota PCA menuntut China menghormati yurisdiksi PCA dalam hal ini

termasuk menghormati putusan PCA.

Dalam hal ini Hakim Permanent Court of Arbitration (PCA) dengan suara bulat

menerbitkan ‘award’ pada tanggal 12 Juli 2016 tentang sengketa Laut China Selatan antara

Filipina dan China, yang memenangkan Filipina secara mutlak. Putusan PCA ini sangat

dinantikan oleh banyak pihak yang terkait dengan sengketa internasional tersebut dan

24 1899 Convention, Art. 2; 1907 Convention, Art.21 (1)

menarik karena sikap China yang kontroversial selama kasus tersebut diperiksa oleh PCA.

Kasus ini telah menyedot perhatian publik karena terkait dengan perebutan wilayah laut

China selatan yang melibatkan enam negara yaitu Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan,

Vietnam, Malaysia, dan China – dan karena salah satu negara pihak adalah negara besar dan

anggota tetap Dewan Keamanan PBB25. Kasus ini semakin menarik tatkala China melakukan

penolakan terhadap apapun putusan Mahkamah tersebut. Bahkan China mengancam akan

memberikan sanksi ekonomi terhadap Filipina sebagai balasan atas kekalahan China pada

kasus ini.

Tak pelak sikap China yang menyangkal putusan Mahkamah Internasional ini

membuat banyak pihak skeptic terhadap kekuatan mengikat dan enforcement hukum

internasional. Banyak pihak menyangsikan kemampuan hukum internasional dalam

menyelesaikan kasus sengketa ini mengingat China yang sangat gigih dari awal ketika kasus

ini pertamakali dibawa ke PCA pada 22 Januari 2013, China sudah menyatakan

penolakannya terhadap yurisdiksi dan kewenangan dari PCA.26 China mendalilkan bahwa

PCA tidak punya kewenangan untuk mengadili kasus ini. Selain itu, banyak pihak yang

meragukan keberanian PCA mengadili kasus ini karena posisi China sebagai negara terbesar

di Asia dan merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Namun apapun sikap China, putusan PCA ini paling tidak telah memperlihatkan

keberlakuan hokum internasional sebagai hokum bagi masyarakat internasional.Selama ini

hokum internasional diklasifikasikan sebagai weak law, hokum yang enforcementnya lemah.

Bahkan golongan positivis menyatakan hokum internasional ini bukanlah hokum melainkan

25 http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160711_dunia_filipina_cina_mahkamah_preview. Diakses jam 10

wib pada tanggal 23 juli 2017 26 https://www.voaindonesia.com/a/keputusan-mahkamah-internasional-peruncing, diakses jam 10 wib pada tangal 23

juli 2017

norma internasional, sejajar dengan norma social dan norma agama, yang tidak mempunyai

kekuatan mengikat dan kekuatan hokum sebagai daya paksa terhadap negara-negara sebagai

anggota masyarakat internasional, dan bahkan hokum internasional tidak mempunyai sanksi

seperti halnya hokum nasional. Hal ini terjadi terutama karena negara-negara anggota

masyarakat internasional tersebut masing-masing merupakan negara berdaulat.27 Dalam

kontek negara berdaulat ini, maka negara mempunyai kekuasaan penuh mengatur dirinya

sendiri, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi diatasnya untuk memaksa negara tunduk pada

kekuasaan itu. Atas dasar kedaulatan itu juga, China dalam kasus ini menolak berpartisipasi

dalam pengadilan arbitrasi internasional di PCA ini dan mendalilkan bahwa sengketa ini

merupakan sengketa dua negara dan diselesaikan dengan jalur negosiasi bilateral. China juga

menyatakan bahwa Filipina telah melanggar Deklarasi ASEAN tentang the Conduct of

Parties in the South China Sea tahun 2002.

Terlepas dari dalil yang dilontarkan oleh China, Filipina telah mengajukan gugatannya

kepada PCA. Isi gugatan Filipina terdiri dari 15 submissions, yang pada akhirnya PCA hanya

mengambil 7 submissions dalam putusannya. Atas gugatan Filipina ini, China menyatakan

PCA bukan mahkamah yang berwenang mengadili sengketa ini. China tidak menunjuk

pengacara, konsultan hokum dan wakilnya di PCA sebagai bentuk ketidaksetujuannya. Bisa

jadi China menginginkan sengketa ini 2 dibawa ke Mahkamah Internasional (International

Court of Justice), ketika jalur diplomasi lewat negosiasi bilateral tidak menghasilkan solusi.

Jika sengketa ini dibawa ke MI maka harus ada perjanjian kesepakatan dari kedua belah

pihak yang menyatakan mengakui yurisdiksi MI, sebagai persyaratan beracara di MI. Dan

persyaratan ini mustahil bisa ditempuh Filipina, karena China pasti tidak akan bersedia

27 www.anneahira.com/laut- cina-selatan.html., diakses pada tanggal 23 juli 2017 pulul 11 wib

membuat perjanjian tersebut. Sebenarnya di PCA pun juga berlaku hal yang sama, bahwa

kedua negara harus bersepakat tentang yurisdiksi dan kewenangan PCA termasuk pemilihan

arbitratornya.28 Namun, PCA sebagai mahkamah arbitrasi mendasarkan kewenangan

mengadili pada ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 (the United Nations Convention on

the Law of the Sea 1982/UNCLOS), ketika China sebagai pihak dalam sengketa menyatakan

tidak akan berpartisipasi dalam proses peradilan di PCA. Mahkamah ini merujuk ketentuan

UNCLOS dalam memeriksa dan mengadili kasus ini. Baik China maupun Filipina

merupakan negara peratifikasi UNCLOS, sehingga dua negara tersebut terikat pada isi

ketentuan UNCLOS.29

Pada 29 Oktober 2015 PCA memutuskan bahwa PCA mempunyai yurisdiksi dan

kewenangan mengadili sengketa tersebut. Dasar mengadili PCA yaitu Annex VII UNCLOS

yang menyatakan “the absence of a party or failure of a party to defend its case shall not

constitute a bar to the proceedings”.30 Sehingga atas dasar ketentuan inilah, PCA menyatakan

bahwa ketidakhadiran China tidak menghalangi PCA untuk memeriksa dan mengadili

sengketa antara Filipina dan China. Hal ini merupakan optional exceptions atas keberlakuan

prosedur wajib yang diatur dalam pasal 298 bagian 3 dari Bab XV UNCLOS tentang

sengketa wilayah laut. Sebenarnya, menurut sifatnya, beracara di PCA sebagai sebuah

mahkamah arbitrasi, maka para pihak dapat memilih para arbitrator dan prosedurnya sendiri,

tidak seperti yang terjadi pada pengadilan nasional dimana para pihak tidak dapat memilih

hakim dan prosedur pengadilannya sendiri.

28 Mauro Rubino-Sammartano,2014,International Arbitration Law and Practice,New York,Juris, hlm. 151 29 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Convention on the Law of The Sea 1982, 30 O. Adede, 1987,The System for Settlement of Disputes Under the UnitedNations Convention on

Law of the Sea, Boston, Nijhoff, hlm. 134

Dalam kasus ini masih diperdebatkan tentang perbedaan cara pandang antara dua

negara, China mendasarkan klaimnya atas dasar sejarah yaitu wilayah perairan tersebut

sebagai historic waters sebagai traditional fishing ground. Namun dasar ini tidak diatur

dalam UNCLOS dan MI dalam kasus antara Tunisia dan Libya tahun 1982 menyatakan

bahwa historic rights of waters diatur dalam hokum kebiasaan internasional bukan

UNCLOS. Baik China maupun Filipina didukung oleh negaranegara yang lain. China

bahkan menyatakan didukung oleh sekitar 60 negara, yang menurut China hal itu merupakan

dukungan penuh masyarakat internasional atas posisi China yang ingin menyelesaikan

sengketa ini melalui dialog atau negosiasi.

Sedangkan Filipina didukung oleh beberapa negara, termasuk AS dan Inggris. Pada

pertemuan US- ASEAN Press Conference di California, Amerika Serikat tanggal 16

Februari 2016, dalam pidatonya presiden Barack Obama menyatakan bahwa “and we

discussed how any disputes between claimants in the region must be resolved peacefully,

through legal means, such as the upcoming arbitration ruling under the UN Convention of

the Law of the Sea, which the parties are obligated to respect and abide by.31” Jelas disini

bahwa AS mendukung tindakan Filipina membawa sengketa tersebut ke badan arbitrasi

internasional. Sedangkan Australia dan Selandia baru mengambil jalan tengah yaitu

mengakui adanya hak untuk mencari jalan keluar melalui arbitrasi.

Sengketa internasional wajib diselesaikan secara damai (peacefully means) yang diatur

dalam pasal 33 ayat 3 Piagam PBB. Dalam masyarakat internasional dikenal beberapa

31 Dominice, Cristian,2007, “Iron Rhine Arbitration and the Emerge of A Principle of General

International Law”, “Law of the Sea, Environmental Law and Settlementof isputes: Liber Amicorum

Judge Mensah Diedit oleh Tafsir Malick Ndiaye, Rüdiger Wo lfrum, Chie Kojima, Leiden, Nijhoff

Pub., hlm. 62

mekanisme penyelesaian sengketa internasional yang dibedakan menjadi dua, yaitu secara

diplomatik dan secara hukum. Secara diplomatik dapat berupa negosiasi atau konsultasi,

mediasi, konsiliasi dan inquiri. Dan mekanisme 3 hukum yaitu para pihak dapat membawa

sengketa mereka ke depan mahkamah internasional, MI atau International Tribunal for the

Law of the Sea (mahkamah internasional bentukan UNCLOS). Sedangkan PCA meskipun

namanya mengandung kata ‘court’, PCA bukan pengadilan, PCA merupakan lembaga

arbitrasi. Seperti halnya MI, PCA berkedudukan di Peace Palace, di Den Haag. Yurisdiksi

dari PCA ini meliputi semua sengketa internasional yang para pihaknya adalah negara,

bagian dari negara, organisasi internasional, perusahaan multi nasional, pihak privat atau

individu. Ini berbeda dengan MI, yang para pihak yang bersengketa hanya mencakup negara

saja. Dengan kata lain, semua negara di dunia dapat membawa sengketa mereka baik ke MI

atau PCA, apabila tahapan penyelesaian sengketa secara diplomatic sudah dilakukan dan

tidak membuahkan hasil.32

Dalam kasus ini Filipina telah melampaui tahapan negosiasi melalui Deklarasi China

- ASEAN tahun 2002, dan tampaknya sudah lebih dari satu decade belum menampakkan

hasil yang jelas atas hak berdaulatnya di wilayah perairan disekitar kepulauan Spratly.

Dalam kasus ini Filipina mengajukan gugatan tentang hak dan kewajiban negara pihak

menurut UNCLOS terkait dengan klaim China ‘nine-dash line’, Filipina juga

mempertanyakan status ‘maritime features’, yang diklaim kedua pihak, menurut UNCLOS,

apakah statusnya bisa disebut sebagai pulau, batu, atau low-tide elevations or submerged

banks (‘pulau’ yang hanya muncul ketika air surut).

32 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Convention on the Law of The Sea 1982, op. cit.,

Pasal 287, ayat 1.

Tiga status ini mempunyai konsekuensi yang berbeda terhadap pengukuran zona

wilayah laut suatu negara. Filipina juga mempertanyakan tindakan China selama ini yang

melakukan intervensi atas hak berdaulat dan kebebasan Filipina dalam mengelola sumber

daya alam di wilayah perairan Filipina, dan kegiatan penangkapan ikan kapal-kapal China

yang membahayakan lingkungan hidup. Filipina juga meminta keadilan atas tindakan

tertentu China, yaitu reklamasi besar-besaran dan pembangunan pulau buatan di kepulauan

Spartly. Atas gugatan Filipina ini, pada 12 Juli 2016 PCA telah memutuskan bahwa klaim

‘nine-dash line’ tidak sah karena tidak mempunyai dasar hukum, dan Scarborough Shoal

merupakan traditional fishing ground bagi Filipinos (bangsa Filipina), atau dengan kata lain

Filipina memenangi sengketa ini dan meminta pemerintah China mematuhi hukum

internasional. Atas putusan ini, banyak negara berharap dua pihak yang bersengketa,

khususnya China mematuhinya33. Terkait dengan putusan PCA ini hendaknya negara-negara

supporter masing-masing pihak supaya saling menahan diri untuk tidak terlibat, dan

mengingat komplesitas sengketa dan banyaknya negara yang wilayah perairannya over

lapping, maka wilayah perairan Laut China Selatan sebaiknya ditetapkan sebagai wilayah

laut bersama yang dilindungi sehingga pengelolaannya dapat dilakukan secara bersama-

sama dengan koordinasi PBB.34 Dengan demikian tujuan pokok dari hokum internasional

untuk selalu menjaga dan menjamin perdamaian dan keamanan dunia dapat dicapai.

33 https://www.nytimes.com/topic/destination/china diakses pukul 10 wib tangal 24 juli 2017 34 Mauro Rubino-Sammartano, 2014, International Arbitration Law and Practice

, New York,Juris, hlm. 151

B. UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH FILIPINA JIKA CHINA

TIDAK MENJALANKAN PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE

INTERNASIONAL

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Filipina apabila china tidak tunduk terhadap

keputusan arbitrase, bisa melalui berbagai cara alternatif lainnya, dalam menyelesaikan

sengketa mereka batas landas kontinen di Laut China Selatan antara China dengan

Filipina, adapun caranya yaitu meminta bantuan ASEAN selaku organisasi regional yang

dimana konflik tersebut masuk didalam wilayah ASEAN, dan cara-cara lain yang

menurut Hukum Internasional diperbolehkan. Salah satu cara melalui ASEAN adalah

sebagai berikut Filipina dalam menyelesaikan kasus LCS dengan china, bisa meminta

bantuan dari ASEAN. Dikarenakan Filipina sendiri merupakan anggota dari ASEAN.

Sementara itu ASEAN juga mempunyai traktat damai antar negara negara ASEAN

dengan negara negara lain disebut Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang dimana

traktat tersebut dibuat dan disetujui di Bali pada tanggal 24 Februari 1976 oleh beberapa

negara ASEAN dan negara diluar ASEAN yang dimana salah satu negara tersebut adalah

China. Didalam prinsip-prinsip di bentuknya TAC ada satu unsur yang dimana

pembentukan traktat tersebut bertujuan untuk menjaga kestabilan keamanan kawasan

ASEAN dengan negara sekitar yang bukan merupakan negara ASEAN serta tujuan lain

nya adalah dapat menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Karena China sudah

mengakui traktat tersebut maka dari itu China mempunyai hak dan tanggung jawab

terhadap traktat tersebut. Maka dari itu Filipina dapat melakukan mekanisme

penyelesaian sengketa nya terhadap China melalui jalur TAC, karena didalam traktat

TAC itu sendiri terdapat penjelasan mengenai cara-cara menyeselaikan konflik antar

negara anggota. Adapun menurut pasal 13, pasal 14, dan pasal 15 menjabarkan :

Pasal 13 “Para Anggota Negara TAC harus memiliki tekad dan itikat baik untuk mencegah

permasalahan yang timbul. Jika permasalahan itu terpaksa harus timbul, terutama perselisihan

yang mungkin mengganggu perdamaian dan keamanan regional, mereka harus menahan diri dari

pengancaman atau penggunaan kekuatan dan harus menyelesaikan perselisihan tersebut di

antara mereka melalui negosiasi yang bersahabat.”

Pasal 14 “Untuk menyelesaikan perselisihan secara damai dalam wilayah, Para Anggota Negara

TAC akan membentuk dewan tinggi, Dewan Tinggi yang terdiri dari Perwakilan di tingkat menteri

dari masing-masing Negara Anggota TAC untuk mengetahui adanya perselisihan atau situasi

yang mungkin mengganggu perdamaian regional dan keamanan.”

Pasal 15 “Jika tidak ada solusi yang dicapai melalui perundingan langsung, Dewan Tinggi harus

mempertimbangkan perselisihan atau situasi tersebut dan akan merekomendasikan kepada pihak-

pihak yang mengajukan sengketa mengenai cara penyelesaian yang tepat seperti menawarkan

pihak ketiga, mediasi, penyelidikan atau konsiliasi. Dewan Tinggi mungkin menawarkan pihak

ketiga, atas kesepakatan para pihak yang bersengketa, membentuk dirinya sebagai komite

mediasi, penyelidikan atau konsiliasi. Bila dianggap perlu, Dewan Tinggi harus

merekomendasikan langkah-langkah yang tepat untuk mencegah bertambah parahnya

perselisihan.”35

35 1976. Treaty Of Amity and Coorperation In Southeast Asia. Chapter IV: Pacifis Settlement of Disputes. Article13, 14, and 15.

Dengan adanya mekanisme yang mengatur didalam traktat tersebut untuk menyelesaikan sengketa

maka dari itu jalur melalui ketentuan TAC dapat dipakai oleh Filipina untuk menyelesaikan konflik

dengan China, ditambah konsekuensi dari dilanggar nya isi dari traktat TAC tersebut kemungkinan

China akan mendapatkan sanksi dari negara anggota TAC lain nya. Meskipun sampai saat ini

belum ada kasus yang diselesaikan di TAC dan belum adanya sanksi tetapi tidak ada salahnya

untuk dicoba.

Adapun upaya terakhir lainnya yang dapat dilakukan oleh pipipina terhadap cina dalam

penyelesaian sengketa internasional yang mereka hadapi dapat dengan cara pemaksaan atau

kekerasan. Seperti yang kita ketahui Hukum Internasional memilliki metode -metode penyelesaian

sengketa internasional publik yang digolongkan dalam dua kategori yaitu:

1) Cara cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk

menemukan suatu solusi yang bersahabat.

2) Cara cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang

dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan karena jalur damai tidak berhasil.36

Maka salah satu cara tersebut dapat digunakan sebagai jalan keluar penyelesaian sengketa

bilamana upaya hukum secara damai maupun secara pengadilan masih tetap di indahkan oleh

China. Penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan kekerasan secara garis besar

dibagi menjadi 5 yaitu:

a) Perang

Keseluruhan maksud dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk

membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa di mana Negara yang ditaklukan tersebut tidak

36 J.G. Starke 2014, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 646

memiliki alternatif lain selain mematuhinya.Cara perang untuk menyelesaikan sengketa

merupakan cara yang telah diakui dan dipraktikkan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan

sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman

mereka mengenai aturan-aturan hukum internasional. Dalam perkembangannya kemudian, seiring

dengan berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal, masyarakat internasional menyadari

besarnya bahaya dari penggunaan perang, karenanya masyarakat internasional sekarang ini tengah

berupaya untuk menghilangkan cara penyelesaian ini atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.37

Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan kekerasan bersenjata dalam

penyelesaian sengketa internasional. Dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyebutkan “Semua

Anggota harus menyelesaikan persengketaan internasional dengan jalan damai sedemikian rupa

sehingga perdamaian dan keamanan internasional, dan keadilan, tidak terancam.”, Pasal tersebut

menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB diwajibkan untuk menempuh cara-cara

penyelesaian sengketa secara damai. Kewajiban lainnya yang melarang penggunaan kekerasan

dalam Piagamtercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa dalam hubungan

internasional, semua negara harus menahan diri dalam menggunakan cara-carakekerasan, “Semua

Anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau

penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik setiap negara, atau

dengan cara lain tidak konsisten dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.”38

37 Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 206

38 Dominice, Cristian, 2007, “Iron Rhine Arbitration and the Emerge of A Principle of General

International Law”Law of the Sea, Environmental Law and Settlementof Disputes: Liber Amicorum

Judge Mensah” Diedit olehTafsir Malick Ndiaye, Rüdiger Wolfrum, Chie Kojima, Leiden, Nijhoff

Pub., hlm. 62

Penggunaan kekerasan senjata dalam suatu sengketa hanya dapatdimungkinkan pada saat

keadaan terdesakuntuk melakukan pembelaan diriapabila terlebih dahulu diserang oleh negaralain

Tindakan ini didasarkan pada Pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan “Tidak ada suatu ketentuan

dalam Piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri

apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa,

sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara

perdamaian serta keamanan internasional. Tindakan- tindakan yang diambil oleh Anggota-

anggota dalam mclaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan

Keamanan dan dengan cara bagaimanapun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung

jawab Dewan Keamanan menurut Piagam ini untuk pada setiap waktu mengambil tindakan yang

dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan intemasional.”39

.

Penggunaan perang sebagai alternatif penyelesaian suatu sengketa internasional

merupakan pilihan yang harus digunakan dalam situasi tertentu. Penggunaan senjata sebagai media

penyelesaian sengketa harus dilakukan untuk alasan pertahanan diri dan bukan sebagai

tindakanuntuk menekan pihak lain.40

b) Retorsi (retortion)

Retorsi merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu negara terhadap

tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk

39 Sefriani,op. cit., hlm. 358. 40 Ibid.

tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, misalnya pemutusan hubungan diplomatik,

pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan ekonomi dan penarikan konsesi pajak dan tarif.41

Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi hingga kini belum dapat secara pasti

ditentukan karena pelaksanaan retorsi sangat beraneka ragam. Dalam Pasal 2 paragraf 3 Piagam

PBB ditetapkan bahwa anggota Perserikatan Bangsa -Bangsa harus menyelesaikan sengketa

mereka dengan cara damai sehingga tidak mengganggu perdamaian dan keamanan internasional

dan keadilan. Penggunaan retorsi secara sah oleh negara anggota PBB terikat oleh ketentuan

piagam tersebut.

c) Tindakan Tindakan Pembalasan (repraisals)

Reprisal adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi, akan tetapi terbatas

pada penahanan orang dan benda. Pembalasan merupakan upaya yang dilakukan oleh suatu negara

terhadap negara lain dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang timbul oleh karena

negara tersebut telah melakukan tindakan yang tidak dibenarkan. Perbedaan tindakan repraisal dan

retorsi adalah bahwa pembalasan adalah mencakup tindakan yang pada umumnya dapat dikatakan

sebagai tindakan ilegal, sedangkan retorsi meliputi tindakan balas dendam yang dapat dibenarkan

oleh hukum.42 Pembalasan dapat dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-barang terhadap

suatu negara tertentu, suatu embargo atau suatu penyanderaan terhadap seseorang. Saat ini pada

umumnya bahwa suatu pembalasan hanya dibenarkan apabila negara yang menjadi tujuan tindakan

ini bersalah karena melakukan tindakan yang sifatnya merupakan pelanggaran internasional.

Reprisal dapat dilakukan dengan syarat sasaran reprisal merupakan negara yang melakukan

41 Dedi Supriyadi, loc. cit. 42 Sefriani, op. cit., hlm. 349.

pelanggaran internasional, negara yang bersangkutan telah terlebih dahulu diminta untuk

mengganti kerugian yang muncul akibat tindakannya, serta tindakan reprisal harus dilakukan

dengan proporsional dan tidak berlebihan.43

d) Blokade secara damai

Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada waktu damai.

Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade

untuk mengganti kerugian oleh negara yang melakukan blokade. Blokade secara damai dapat

dipandang sebagai suatu prosedur kolektif yang diakui untuk memperlancar penyelesaian sengketa

antara negara. Secara tegas tindakanblokade disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu

tindakan yang boleh diprakasai oleh Dewan Keamanan demi untuk memelihara kedamaian

dunia.44

e) Intervensi (intervention45).

Internvensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan

melakukan tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara tertentu. Hukum

internasional pada prinsipnya menegaskan bahwa suatu negara dilarang untuk turut campur dalam

urusan negara lain. Hal ini ditekankan dengan jelas dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (7) Piagam

PBB, yang mana melarang negara anggota untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri negara

lain dalam bentuk apapun. Pengecualian terhadap hal ini diberikan kepada Dewan Keamanan PBB

43 Dedi Supriyadi, loc. cit. 44 Sefriani, op. cit., hlm.352 45 Anonim, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional, loc. cit

yang mana berhubungan dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB. Suatu negara dapat melakukan

tindakan intervensi dengan beberapa alasan, J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi

negara atas kedaulatan negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum.

Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan

menurut hukum internasional. Tindakan tersebut adalah apabila:

(1) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB;

(2) Untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negaranya di negara

lain;

(3) Jika negara yang diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas

hukum internasional.46

Suatu tindakan intervensi harus dilakukan dengan mendapatkan izin terlebih dahulu melalui

Dewan Keamanan PBB. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-

pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah tindakan

intervensi diperlukan dalam keadaan tersebut.47

46 J.G. Starke, op. cit., hlm. 136

47 Muhammad Sood, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan atas uraian bab-bab yang terdahulu maka penulis coba mengemukakan

beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut :

1. Kekuatan hukum putusan mahkamah arbitrase internasional (PCA) mengikat PAC

mengeluarkan sebuah putusan yang final and binding. Selain itu PCA juga menetapkan

segala aktifitas Cina di wilayah fitur-fitur Laut Cina Selatan tidak memberikan hak

berdaulat bagi Cina, hal tersebut dilakukan PCA dengan cara melakukan penafsiran

terhadap fitur-fitur laut itu berdasarkan UNCLOS. Cina juga dianggap telah merusak

lingkungan ketika melakukan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah sengketa. Dengan

demikian keputusan PCA Seharusnya bisa menyelesaikan masalah sengketa kedaulatan

dan hak berdaulat antara Cina dan Filipina di Laut Cina Selatan, dengan keluarnya putusan

PCA setidaknya lahir kejelasan bahwa klaim dan aktifitas sepihak Cina di Laut Cina

Selatan adalah ilegal. Filipina akan diuntungkan jika suatu saat melakukan perundingan

dengan Cina untuk menyelesaikan masalah delimitasi maritim kedua negara, karena

memiliki alasan untuk menekan Cina untuk bersikap lebih fleksibel

2. Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Filipina jika China tidak mengindihkan

putusan PCA yaitu bisa meminta bantuan ASEAN karena didalam ASEAN ada traktat

ASEAN yang di tanda tanganin oleh China dimana traktat tersebut juga mempunyai cara

untuk menyelesaikan sengketa, dan juga traktat tersebut mempunyai hak dan tanggung

jawab negara anggotanya sehingga China dapat dipertanyakan hak dan tanggung

jawabnya. Dan cara lain yang bisa dilakukan Filipina yaitu melaksanakan secara paksa atau

dengan kekerasan, apabila solusi yang dipakai atau dikenakan melalui jalur damai tidak

berhasil. Jalur kekerasan yang bisa Filipina pakai ialah Perang, Retorsi (retortion),

Tindakan Tindakan Pembalasan (repraisals), Blokade secara Damai dimana tindakan ini

pada umumnya ditunjukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk

mengganti kerugian oleh negara yang melakukan blockade, Intervensi (intervention) yang

merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan melakukan tindakan

campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara tertentu.

B. Saran

Setelah mengemukakan beberapa kesimpulan, maka selanjutnya akan mencoba

memberikan saran-saran yang berhubungan dengan penulisan hukum ini. Saran-saran yang

dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya dibuat peraturan Atbitrase yang mengatur tentang perselisihan antara

kekayaan negara dan batas-batas negara yang berkaitan dengan perselisihan antara negara

internasional yang lebih kongkrit lagi

2. Melihat banyaknya kendala yang dihadapi dalam penyelesaian atbitrasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan di negara –negara yang berbeda maka perlu lebih

ditingkatkan lagi kerjasama dan koordinasi antara negara nternasiona dengan PBB agar

penyelesaian sengketa bisa melalui mediasi internasioanl.

3. Perlu adanya peningkatan kesadaran mengenai hak dan kewajiban masingmasing Negara

agar tidak terjadisaling melempar tanggung jawab.

4. Sebaiknya kewenangan dari mahkamah adbitrasi yang dapat disalahgunakan oleh

pengadilan internasional harus dikaji ulang agar keputusannya tidak menimbulkan

perpecahan antar negara.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bambang Sunggono, 2003. Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada:Jakarta.

Collins, Allan. 2003. Security and Southeast Asia’s Domestic. Singapore: Institute of

Southeast Asian Studies.

Emmers, Ralf. 2010. Geopolitics and Maritime Territorial Disputes in East Asia.

London; New York: Routledge.

Etty R Agoes, 1991.Konvensi Hukum Laut 1982-Masalah Pengaturan Hak Lintas

Kapal Asing.Cet 1. Abardin.

Huala Adolf, 2006. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika.

Bandung.

ICJ. 1986. The International Court of Justice, The Haque.

J.G Starke, 2003, Pengantar Hukum Internasional. edisi Kesepuluh jilid 2 Cetakan

Keempat. Sinar Grafika. Jakarta

Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang di singkat dengan KHL

Peter Malanczuk, 1997. Akehurst's Modern Introduction to International Law. London:

Routledge.

Rebecca M.M Wallace. 1986. Hukum Internasional Pengantar untuk Mahasisw. IKIP

Semarang Press. Semarang

Sefriani, 2012. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Raja Grafindo. Depok

Soekanto, Soerjono., & Mamudji, Sri. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers.

Syafrinaldi, 2009. Hukum Laut Internasional. UIR Pres. Pekanbaru

T. May Rudy, 2002. Hukum Internasional 2. PT. Refika Aditama. Bandung

Safriani, 2010. Hukum Internasional Suatu Pengantar. raja wali pres. jakarta

Ralf Emmers, 2010, Geopolitics and Maritime Territorial Disputes in East Asia

(London; New York: Routledge

Collins, Allan. 2003. Security and Southeast Asia’s Domestic. Singapore: Institute of

Sou theast Asian Studies.

Mauna, boer, 2010, Hukum Internasional, cetakan ketiga, PT. Alumni,

2

Kusumaatmadja, Mochtar & Etty.R.Agoe, 2003, Pengantar Hukum Internasional,

Cetakan ke-2,P.T. Bandung,Alumni.

Syafrinaldi, 2009, Hukum Laut Internasional, UIR Pres, Pekanbaru,

J.G Starke. 2006, Pengantar Hukum Internasional. (Jakarta:Sinar Grafika.)

T. May Rudy, Hukum Internasional 2 , PT. Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm 17-

18

Retno Windari, 2009, Hukum Laut, Zona-Zona Maritime Sesuai UNCLOS 1982 dan

Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan

laut.

UNDANG UNDANG

UNCLOS ( United Nations Covention On The Law Of The Sea) 1982

TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA 1976

PIAGAM PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DAN STATUTA MAHKAMAH

INTENASIONAL 1945

JURNAL

La Ode Hendra. Peranan Indonesia Dalam Upaya Menyelesaikan Sengketa Atas Klaim

Beberapa Negara Asean Dan Cina Terhadap Kepulauan Spratly Di Laut Cina

Selatan. Universitas Hasanuddin Fakultas Hukum Bagian Hukum

Internasional Makassar 2013.

Muhammad Eko Prasetyo, Resolusi Potensi Konflik Regional (Studi tentang

Diplomasi ASEAN dalam Penyelesaian Konflik di Laut China Selatan),

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Lampung Bandar Lampung

2016.

United Nations Conference on Trade and Development. Dispute Settlement:

Permanent Court of Arbitration. New York and Genewa. 2003. Hlm 5

Permanent Court of Arbitrase. Award On Jurisdiction And Admissibility: An

Arbitral Tribunal Constituted Under Annex VII To The 1982 United

3

Nations Convention On The Law Of The Sea Between The Republic Of

The Philippines and The People’s Republic Of China. Den Hague. 2016.

Hlm 140

United Nations document no. A/CN. 9/230 (1982), supra, note 22.

Permanent Court of Arbitrase. Award On Jurisdiction And Admissibility: An

Arbitral Tribunal Constituted Under Annex VII To The 1982 United

Nations Convention On The Law Of The Sea Between The Republic Of

The Philippines and The People’s Republic Of China. Den Hague. 2016.

Hlm 138

The Philippines’ Final Submissions as set out at pages 271 and 272 of its Memorial

(the “Submissions”)

Andrew H Ring., 2012. A US South China Sea Perspective: Just over the Horizon.

Harvard University: Weatherhead Center for International Affairs. Hlm 6

Website

http://rofianifamous.blogspot.co.id/2011/12/ratifikasi-perjanjian-batas-batas.html

diakses. Kamis tanggal 18 tahun 2017

http://abdulfhunila13.blogspot.co.id/2015/04/hukum-laut-internasional_29.html

Hystory of Permanent Court of Arbitrase. 2015. Diakses melalui http://www.pca-

cpa.org

Any waiver of sovereign immunity from execution, however, must be express; see, for

example, PCA Optional Rules for Arbitrating Disputes between Two Parties

of Which Only One is a State, Introduction, http://www.pca-

cpa.org/BD/2stateeng.htm

Flashpoint adalah Sebuah tempat di mana masalah, seperti kekerasan atau konflik,

berpotensi untuk memanas (http://www.merriam-

webster.com/dictionary/flashpoint?show=0&t=1373782703

Kerjasama Strategi Maritim Cegah Konflik Laut Cina Selatan, Pelita Online edisi 24

Oktober 2012 diunduh dari: http://militer hankam.

pelitaonline.com/news/2012/10/24/kerjasama-strategi-maritim cegah-konflik-

laut-cina-selatan#.UNnEyOSTxc0 Diakses tanggal 20 Desember 2016

4

Tonase adalah ukuran daya tampung kapal dalam membawa barang

(http://www.merriam webster.com/dictionary/tonnage)

Steve Hargreaves, “Tensions Heat Up Over Oil, Gas in South China Sea,” CNN, 26

April, 2012, http://money.cnn.com/2012/04/24/news/economy/south-china-

sea/index.htm. diakses tanggal 20 Desember 2016

South China Sea: Tribunal backs case against China brought by Philippines. Diakses

melalui http://www.bbc.com/news/world-asia-china-36771749 diakses

tanggal 20 Desembar 2016

http://maritimnews.com/meski-kalah-dalam-putusan-arbitrase-china-siapkan-

perlawanan/

http://transportasi.co/mahkamah_arbitrase_internasional_china_tidak_berhak_kuasai_

laut_china_selatan_1132.htm

Scott, Hague Court Reports 2d 83. Halaman 1 .1932.,”The Island of

Palmas”,http://www.gwu.edu/~jaysmith/Island.html. 16 Desember 2016

https://en.wikipedia.org/wiki/Permanent_Court_of_Arbitration. diakses Pada tangal

18 Mei 2017.

http://khafidsociality.blogspot.co.id/2011/03/permanent-court-of-arbitration.html

diakses Pada tangal 18 Mei 2017.

https://www.merdeka.com/tag/k/konflik-laut-china-selatan. Diakses 18 mei 2017

https://international.sindonews.com/topic/684/sengketa-laut-china-selatan, diakses 18

Mei 2017

http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/article/22583/article.co, di akses 19 Mei 2017