analisis - pendis.kemenag.go.id filepengambilan keputusan di lingkungan ditjen pendidikan islam,...
TRANSCRIPT
Direktorat Jenderal Pendidikan IslamDEPARTEMEN AGAMA
2008
ANALISIS STATISTIK DATA PENDIDIKAN ISLAM
Ditjen Pendidikan Islam
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga akhirnya kami dapat menyelesaikan penulisan
buku Analisis Statistik Data Pendidikan Islam Tahun 2008. Analisis Statistik Data
Pendidikan ini akan sangat bermanfaat untuk proses perencanaan program dan
pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, untuk mendukung proses perencanaan program dan
pengambilan keputusan di lingkungan Ditjen Pendidikan Islam, Sekretariat Ditjen
Pendidikan Islam melalui Bagian Perencanaan dan Data berinisiatif untuk
menyiapkan sebuah buku yang berisi Analisis Statistik Data Pendidikan Islam,
khususnya analisis pada data statistik siswa, guru, dan hasil ujian nasional siswa
madrasah.
Analisis Statistik Data Pendidikan Islam ini diharapkan dapat menjadi alat
ukur sejauh mana peran serta dan kontribusi lembaga pendidikan agama dan
keagamaan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional untuk menyukseskan
tujuan pendidikan nasional. Selain itu buku ini diharapkan dapat dipergunakan
sebagai bahan perencanaan program dan pengambilan keputusan di lingkungan
Ditjen Pendidikan Islam, agar perencanaan dan pengambilan keputusan dapat
lebih baik dan tepat sasaran.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kami
sampaikan kepada tim perencanaan dan data serta seluruh pihak yang telah
berpartisipasi aktif membantu dalam proses penyusunan buku ini sehingga dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Jakarta, Nopember 2008 Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Sekretaris, Dr. H. Afandi, MA NIP. 150236289
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar iDaftar Isi ii I Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan Siswa Madrasah 1 Zainal Achmad II Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan
Keagamaan 26
Bambang Setiawan
III Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun
2008 44
Asep Sjafrudin
IV Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun
2008 62
Asep Sjafrudin
Tambahan
• Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 34 Tahun 2007 tentang
Ujian Nasional
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
1
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan
Siswa Madrasah Oleh : Ir Zainal Achmad, M.Si
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan indikator utama pembangunan dan kualitas SDM
suatu bangsa. Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu
negara adalah tersedianya cukup sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Merujuk pada amanat UUD 1945 beserta amandemennya (pasal 31 ayat 2),
maka melalui jalur pendidikan pemerintah secara konsisten berupaya
meningkatkan SDM penduduk Indonesia. Upaya percepatan peningkatan
pendidikan penduduk mulai dilaksanakan pemerintah pada tahun 1973/1974,
yaitu dengan menyebarkan pembangunan sekolah dasar (SD) ke seluruh pelosok
negeri melalui program SD Inpres. Program wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun,
gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA), dan berbagi program pendukung
lainnya adalah bagian dari upaya pemerintah mempercepat peningkatan kualitas
SDM, yang pada akhirnya akan menciptakan SDM yang tangguh, yang siap
bersaing di era globalisasi. Peningkatan SDM sekarang ini lebih difokuskan pada
pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengecap
pendidikan, terutama kelompok penduduk usia sekolah (umur 7 – 24 tahun).
Madrasah, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan sebagai
sub sistem dari sistem pendidikan nasional. Selanjutnya jika berbicara tentang
masalah pembangunan pendidikan di Indonesia, maka permasalahan yang
berhubungan dengan madrasah tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena
madrasah merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan nasional
yang ada.
Saat ini, pendidikan Islam masih dalam proses transisi. Akan tetapi arah
dan bentuk pendidikan Islam sudah terformulasikan dalam sistem pendidikan
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
2
nasional secara integratif (Hayat, 2006), ke depan kebijakan pendidikan Islam
dan alokasi anggarannya akan lebih proporsional dilihat dari persfektif sistem
pendidikan nasional yang adil dan tidak diskriminatif. Tahun 2006, Depdiknas dan
Depag untuk pertama kalinya memiliki kebijakan pendidikan yang disusun
bersama-sama dalam bentuk Rencana Strategis Pendidikan Nasional.
Umar (2005) menegaskan bahwa diperlukan kerja keras untuk
meningkatkan kualitas lulusan madrasah sehingga kesenjangan yang terjadi
antara pendidikan madrasah dengan sekolah umum semakin mengecil. Untuk itu
diperlukan kebijakan yang tepat bagi peningkatan mutu pendidikan madrasah.
Proses perencanaan pembangunan pendidikan, khususnya menyangkut
Lembaga Pendidikan Islam (madrasah) harus didasarkan pada peta kekuatan –
strengths, kelemahan – weakness, peluang – opportunities, dan tantangan –
threats (SWOT). Program yang dicanangkan diharapkan benar-benar menyentuh
kebutuhan riil Lembaga Pendidikan Agama dan Keagamaan. Untuk mendukung
perencanaan tersebut dibutuhkan data pendukung sebagai landasan
pengambilan kebijakan. Sebagian data pendukung tersebut selama ini telah
tersedia dalam Buku Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan yang series
terakhirnya terbitan tahun 2007. Namun untuk lebih mempertajam nilai
kepekaan agar landasan kebijakan benar-benar menyentuh permasalahan yang
ada di sekitar madrasah maupun lembaga pendidikan keagamaan, diperlukan
analisis lanjutan baik mengenai kesiswaan itu sendiri maupun tenaga pendidiknya
Sebagai bagian dari suatu sistem pendidikan nasional yang tidak
terpisahkan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU pendidikan, maka
keberhasilan pembangunan bidang pendidikan tidaklah terlepas dari kemajuan
bidang pendidikan agama dan keagamaan dalam hal ini madrasah sesuai dengan
jenjangnya yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI) , Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Madrasah Aliyah (MA), yang antara lain diindikasikan dengan meningkatnya APK
menurut jenjang pendidikan MI, MTs dan MA.
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan
dan keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat
tergantung dari kualitas pendidikan. Pentingnya pendidikan tercermin dalam UUD
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
3
1945, yang mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga
Negara yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauh mana amanat
ini dilaksanakan dapat tercermin dari perkembangan kemajuan indikator-
indikator pendidikan yang dihitung dan di analisis dari data pendidikan yang
diperoleh dari hasil survey maupun sensus serta data yang merupakan hasil
kompilasi dari produk administrasi.
Indikator-indikator yang dapat mengindikasikan tingkat keberhasilan
pembangunan pendidikan antara lain adalah :
a. Angka partisipasi pendidikan, yang mengindikasikan tingkat partisipasi
penduduk dalam mengakses program pendidikan, yang terdiri dari ;
i. Angka Partisipasi Sekolah (APS) , yang mengindikasikan seberapa besar
akses dari penduduk usia sekolah dapat menikmati pendidikan formal di
sekolah.
ii. Angka Partisipasi Murni (APM), yang mengindikasikan proporsi anak usia
sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu.
iii. Angka Partisipasi Kasar (APK), mengindikasikan partisipasi penduduk
yang sedang mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya.
Angka APK ini bisa lebih besar dari 100 persen karena populasi murid
yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan, mencakup anak diluar batas
usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Secara umum,
APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan
pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan
bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan.
b. Rasio murid dan kelas/sekolah yang mengindikasikan seberapa jauh jumlah
kelas/sekolah telah mencukupi kebutuhan.
Selanjutnya untuk mengukur sejauh mana peran serta lembaga pendidikan
agama dan keagamaan/madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
maka perlu dilakukan analisis terhadap data statistik pendidikan agama dan
keagamaan, khusus yang menyangkut segi kesiswaan maka analisis meliputi
analisis terhadap Angka Partisipasi Pendidikan, dengan melakukan analisis kohort
dan perkembangan APK dan APM.
Untuk memudahkan membaca analisis berikut, maka perlu penyeragaman
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
4
pembacaan istilah mengenai jenjang pendidikan berikut ini;
- Jenjang Pendidikan Dasar (SD), didalam nya mengandung pengertian SD +
Madrasah Ibtidaiyah (MI).
- Jenjang Pendidikan Menengah (SMP),didalamnya mengandung pengertian
SMP + Madrasah Tsanawiyah (MTs).
- Jenjang Pendidikan Menengah lanjutan (SMA), didalamnyamengandung
pengertian SMA + SMK + MA + MAK.
1.2. Permasalahan
Pertanyaan yang mendasar dalam menganalisis pendidikan agama dan
keagamaan adalah masih besarkah minat penduduk khususnya penduduk muslim
untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke Madrasah, hal ini bisa tercermin
dari APK murid madrasah menurut jenjang Pendidikan MI, MTs dan MA.
Kemudian bagaimana kualitas pendidikan yang ada ditingkat MI, MTs dan MA
yang dapat ditandai persentase tingkat kelulusan yang semakin meningkat.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis seberapa jauh tingkat
partisipasi murid madrasah (MI, MTs dan MA) dan peranannya dalam
perkembangan pembangunan pendidikan di tingkat nasional.
2. Bahan dan Metodologi
2.1. Bahan dan Data
Data yang digunakan merupakan data hasil publikasi Statistik Pendidikan
Agama dan Keagamaan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama serta data Statistik Pendidikan terbitan Badan Pusat
Statistik, data Susenas dan Statistik Persekolahan terbitan Depdiknas.
2.2. Metode Analisis
Metode analisis kuantitaf yang digunakan adalah analisis deskriptif
terhadap perkembangan APK dan APM menurut jenjang pendidikan. Selain itu
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
5
dilakukan analisis kohort terhadap perkembangan murid menurut jenjang
pendidikan dan tingkat kelas.
3. Hasil dan Pembahasan
Pembangunan pendidikan kini tidak bisa lagi dikembangkan dalam
perspektif ke dalam (inward looking), yaitu dalam rangka mendidik manusia agar
cerdas, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan berkepribadian mulia.
Pendidikan mesti berorientasi keluar (outward looking), yakni untuk
menumbuhkembangkan sistem sosial, ekonomi, dan budaya yang baik di
masyarakat. Sehingga, proses pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
atau bagian integral dari pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai
subjek sekaligus objek pembangunan. Dengan demikian, pendidikan harus
mampu melahirkan SDM yang berkualitas dan tidak menjadi beban
pembangunan dan masyarakat, yaitu SDM yang menjadi sumber kekuatan atau
sumber pengerak (driving forces) bagi seluruh proses pembangunan dan
kehidupan masyarakat (Ace Suryadi). Oleh karena itu, pendidikan mesti
berhubungan secara timbal balik dengan pembangunan di berbagai bidang
kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya). Sehingga, pendidikan akan dapat
dimaknai sebagai suatu bentuk investasi SDM untuk menciptakan iklim yang
memungkinkan semua penduduk atau warga negara turut andil dalam
pembangunan dan mengembangkan diri mereka agar menjadi warga negara
yang produktif.
Selanjutnya Ace Suryadi menyatakan bahwa Rencana pengembangan dan
pelaksanaan reformasi pendidikan semestinya mengindahkan kondisi geografis
dan penyebaran penduduk yang unik ini. Sebagai contoh, 60% penduduk
Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, yang luas areanya hanya 7%
dari luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya, Sulawesi,
Maluku dan Papua memiliki penduduk 21% dari seluruh penduduk Indonesia,
padahal ketiga daerah ini sebesar 69% dari luas wilayah Nusantara.
Konsekuensinya, isu utama dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah
efektivitas dan efisiensi biaya dalam peningkatan mutu pendidikan. Lebih dari itu,
reformasi pendidikan seharusnya juga peka terhadap keragaman penganut
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
6
agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan aliran-aliran
kepercayaan).
Berdasarkan UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang menyebutkan bahwa Madrasah merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pendidikan formal di Indonesia sehingga peran Madrasah (Ibtidaiyah,
Tsanawiyah dan Aliyah) tidaklah kecil terhadap pembangunan pendidikan dasar
dan menengah di Indonesia, yang antara lain akan dapat dilihat dari tingkat
partisipasi pendidikannya, tingkat drop-out dan berbagai indikator lainnya pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
3.1. Partisipasi Pendidikan
Pendidikan nasional saat ini masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang cukup menonjol, diantaranya masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan, ketimpangan pemerataan pendidikan antar wilayah
geografis antara perkotaan dan perdesaan, antara Kawasan Timur Indonesia
(KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI), dan antar tingkat pendapatan
penduduk maupun antar jenis kelamin.
Untuk mengatasi beragam permasalahan pendidikan khususnya di
pendidikan dasar, maka dalam UU no 20 tahun 2003 dimuat berbagai landasan
hukum mengenai hak dan kewajiban masyarakat atas pendidikan, khususnya
penduduk usia sekolah yang wajib mengenyam pendidikan dasar 9 tahun seperti
yang tercantum pada pasal 6. Selain itu pemerintah mengeluarkan Inpres No.5
tahun 2006 mengenai Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GN-
PWPPBA).
Target pembangunan pendidikan sampai akhir tahun 2009 sebagaimana
ditetapkan dalam PP No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah, antara lain adalah :
a. Meningkatnya secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan
program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang antara lain ditandai :
i. Meningkatnya APK jenjang SD termasuk SDLB,MI dan paket A sebesar
115,76 persen dan APK jenjang SMP/MTs/Paket B sebesar 98,09 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
7
ii. Meningkatnya APS penduduk usia 7 – 12 tahun menjadi 99,57 persen dan
APS penduduk 13 – 15 tahun menjadi 96,64 persen.
b. Meningkatnya partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan menengah
secara signifikan, yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK jenjang
pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/Paket C) menjadi 69,34%.
c. Meningkatnya partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan tinggi secara
signifikan, yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK jenjang
pendidikan tinggi menjadi 18,00 persen.
3.2. Angka Partisipasi Sekolah
Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk tingkat nasional tahun 2006 seperti
yang terlihat pada table 3.1, dibagi menjadi 4 kelompok umur, yaitu 7–12 tahun
mewakili usia SD, 13–15 tahun mewakili usia SLTP, 16–18 tahun mewakili usia
SLTA, dan 19–24 tahun mewakili usia Perguruan Tinggi. Secara umum APS
kelompok umur 7-12 tahun sebesar 97,39, APS kelompok umur 13-15 tahun
sebesar 84,08 persen, APS kelompok umur 16-18 tahun sebesar 53,92 persen
dan APS kelompok umur 19-24 tahun sebesar 11,38 persen. Bila didasarkan pada
jenis kelamin APS perempuan sedikit lebih besar pada kelompok umur 7-12
tahun dan 13-15 tahun, sementara pada kelompok umur 16-18 dan 19-24 APS
laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Semakin tinggi kelompok umur baik bagi
laki-laki maupun perempuan APS nya semakin rendah.
Bila diperhatikan lebih lanjut menurut daerah tempat tinggal, APS
penduduk perkotaan lebih besar dari APS penduduk pedesaan untuk semua
kelompok umur. Perbedaan menjadi semakin besar untuk kelompok umur yang
lebih tua.
Status ekonomi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap tingginya
rendahnya APS, sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 3.2. Semakin tinggi
status ekonomi rumah tangga, yang direfleksikan dengan kelompok 20 persen
golongan pendapatan tertinggi, memperlihatkan angka APS yang tertinggi untuk
semua kelompok umur sekolah, setelah itu posisi APS berikutnya ditempati oleh
golongan status sosial menengah yaitu kelompok 40 persen rumah tangga yang
berpendapatan menengah.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
8
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, dapat tercermin dari
angka APS untuk kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, tidak
memperlihatkan beda yang terlalu signifikan untuk semua golongan status
ekonomi rumahtangga. Untuk kelompok umur 7-12 tahun APS golongan status
ekonomi tertinggi tercatat 98,70 persen, pada status ekonomi menengah sebesar
98,02 persen, dan pada status ekonomi terendah adalah 96,45 persen.
Perbedaan APS per status ekonomi rumah tangga sedikit melebar tapi belum
terlalu signifikan pada kelompok umur 13-15 tahun, tercatat APS pada status
ekonomi tertinggi sebesar 92,17 persen, selanjutnya pada status ekonomi
rumahtangga menengah APS nya sebesar 88,15 persen dan pada kelompok
status ekonomi terendah menunjukan APS sebesar 77,70 persen.
Tabel 3.1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, Tahun 2006
7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 24(2) (3) (4) (5)
Perkotaan
Laki-laki 98,14 90,19 66,60 17,88
Perempuan 98,54 89,26 64,38 16,54
L + P 98,33 89,74 65,50 17,20
Perdesaan
Laki-laki 96,37 79,50 45,03 6,28
Perempuan 97,16 81,08 44,99 5,59
L + P 96,75 80,25 45,01 5,94
K + D
Laki-laki 97,08 83,75 54,09 11,81
Perempuan 97,72 84,44 53,73 10,95
L + P 97,39 84,08 53,92 11,38
Kelompok Umur (tahun)TipeDaerah / Jenis Kelamin
(1)
Sumber : Susenas 2006, BPS
Kesenjangan APS menurut golongan status ekonomi rumah tangga
makin melebar signifikan terlihat pada kelompok umur 16-18 tahun, APS
golongan status ekonomi tertinggi mencapai 68,64 persen, kemudian pada
golongan menengah APS mencapai 58,40 persen dan pada golongan status
ekonomi rumah tangga terendah APS nya sebesar 43,10 persen. Kesenjangan
APS menjadi semakin melebar pada kelompok umur 19-24 tahun, dimana pada
status ekonomi rumahtangga tertinggi APS sebesar 25,70 persen dan pada
golongan status ekonomi rumah tangga terendah APS nya sebesar 4,09 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
9
Kesenjangan APS menurut golongan status ekonomi rumah tangga
apabila diperhatikan lebih jauh pada tabel 3.2 memperlihatkan bahwa khusus
pada kelompok umur 16-18 di daerah pedesaan kesenjangan lebih lebar bila
dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Tabel 3.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk menurut Tipe Daerah, Status Ekonomi Rumah Tangga & Kelompok Umur,Tahun 2006
7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 24(2) (3) (4) (5)
Perkotaan
40% Rendah 97,52 83,47 54,69 5,36
40% Menengah 98,97 94,97 72,46 15,79
20% Tinggi 99,30 95,60 75,50 38,24
Perdesaan
40% Rendah 95,72 73,63 33,96 2,94
40% Menengah 97,37 83,65 48,00 5,05
20% Tinggi 98,32 90,01 63,23 12,89
K + D
40% Rendah 96,45 77,70 43,10 4,09
40% Menengah 98,02 88,15 58,40 10,17
20% Tinggi 98,70 92,17 68,64 25,70
TipeDaerah / Status Ekonomi RTKelompok Umur (tahun)
(1)
Sumber : Susenas 2006, BPS
Jarak APS pada kelompok umur 16-18 antara status ekonomi rumah tangga yang
tertinggi dan terendah di daerah perkotaan sebesar 20,81 persen sedangkan di
daerah pedesaan jaraknya sebesar 29,27. Hal sebaliknya diperlihatkan pada
kelompok umur 19-24 tahun, jarak APS antara golongan status sosial tertinggi
dan terendah pada daerah perkotaan lebih lebar jaraknya dibanding daerah
pedesaan. Perbedaan APS untuk golongan umur ini di daerah perkotaan antara
golongan status ekonomi tertinggi dan terendah adalah sebesar 32,88 persen,
sedangkan di daerah pedesaan hanya berbeda 9,95 persen.
Angka partisipasi sekolah (APS) menurut propinsi tahun 2006 sebagaimana
diperlihatkan pada tabel 3.3 dapat mencerminkan kesenjangan antar daerah,
kesenjangan yang kelihatan tidak begitu signifikan adalah pada kelompok umur
7-12 tahun, hal ini menunjukkan bahwa program wajib belajar 9 tahun sudah
benar-benar dilaksanakan secara merata di seluruh Indonesia. APS tertinggi
pada kelompok umur 7-12 tahun terjadi di Provinsi Yogyakarta yaitu sebesar
99,35 persen dan yang terendah di Provinsi Papua sebesar 80,38 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
10
Tabel 3.3. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Provinsi & Kelompok Umur, Tahun 2006
7 - 12 13 - 15 16 - 18 19 - 24
(1) (2) (3) (4) (5)NAD 98,88 93,83 72,43 20,95
Sumatera Utara 98,19 90,62 65,09 13,22
Sumatera Barat 97,71 88,45 64,29 18,29
Riau 97,68 91,15 62,87 12,33
Jambi 97,20 83,77 53,75 10,41
Sumatera Selatan 96,84 83,43 52,77 10,35
Bengkulu 98,10 96,75 58,77 14,77
Lampung 97,77 84,14 49,47 7,26
Babel 96,26 79,04 44,95 6,07
Kepri 97,78 90,36 63,24 5,96
DKI Jakarta 98,46 90,16 60,26 15,84
Jawa Barat 97,64 79,70 45,62 8,88
Jawa Tengah 98,47 83,41 51,31 9,26
DI Yogyakarta 99,35 90,55 71,18 39,71
Jawa Timur 98,22 85,99 56,79 10,28
Banten 97,36 80,35 48,65 10,36
Bali 98,27 87,16 63,21 10,98
Nusa Tenggara Barat 96,75 84,84 55,62 12,92
Nusa Tenggara Timur 94,00 77,24 46,51 11,62
Kalimantan Barat 96,53 83,46 48,55 9,30
Kalimantan Tengah 98,33 86,08 53,39 9,32
Kalimantan Selatan 96,36 78,41 48,75 9,50
Kalimantan Timur 97,51 89,91 64,03 13,10
Sulawesi Utara 97,37 88,01 55,84 11,15
Sulawesi Tengah 97,12 80,74 47,90 12,35
Sulawesi Selatan 95,08 78,40 50,85 12,88
Sulawesi Tenggara 97,04 85,22 58,19 14,64
Gorontalo 93,39 75,84 47,60 7,96
Sulawesi Barat 94,02 74,13 42,80 7,44
Maluku 97,55 90,61 70,39 15,86
Maluku Utara 97,35 88,37 61,85 14,40
Papua Barat 90,94 88,38 56,00 11,53
Papua 80,38 77,54 53,64 13,50
Indonesia 97,39 84,08 53,92 11,38
Kelompok UmurProvinsi
Sumber : Susenas 2006, BPS
Demikian pula pada kelompok umur 13 – 15 angka APS per provinsi tidak
meperlihatkan kesenjangan yang signifikan, APS tertinggi untuk kelompok umur
ini terjadi di Provinsi Bengkulu sebesar 96,75 persen dan yang terendah ada di
Provinsi Sulawesi Barat sebesar 74,13 persen. Kesenjangan semakin lebar pada
APS umur 16 – 18, pada kelompok umur ini APS tertinggi ada di Provinsi NAD
sebesar 72,43 persen dan yang terndah di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 42,80
persen. Pada kelompok umur 19 –24 tahun APS tertinggi di Propvinsi D.I
Yogyakarta sebesar 39,71 persen dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau
sebesar 5,96 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
11
3.3 Angka Partisipasi Kasar (APK)
Bila APS digunakan untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia
sekolah yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan, tanpa melihat jenjang
pendidikannya, maka Angka Partisipasi Kasar (APK), mengindikasikan partisipasi
penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya.
Angka APK ini bisa lebih besar dari 100 persen karena populasi murid yang
bersekolah di suatu jenjang pendidikan, mencakup anak diluar batas usia sekolah
pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. APK digunakan untuk mengukur
keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam
rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan.
APK untuk kelompok umur SD tahun 2006 (Tabel 3.4) tercatat sebesar
109,95 persen, kelompok umur SMP sebesar 81,87 persen, kelompok umur SMA
sebesar 56,69 persen dan pada kelompok umur PT tercatat sebesar 12,16
persen. Secara umum APK di daerah perkotaan untuk semua kelompok umur
lebih besar dibandingkan didaerah pedesaan, kecuali untuk kelompok umur SD
APK di daerah pedesaan lebih besar dari daerah perkotaan. APK daerah
pedesaan untuk kelompok umur SD tercatat 110,28 persen sedangkan APK
daerah perkotaan tercatat sebesar 109,47 persen.
Tabel 3.4 Angka Partisipasi Kasar (APK) menurut Tipe Daerah,Jenis Kelamin & Jenjang Pendidikan,
Tahun 2006
SD SMP SM PT(2) (3) (4) (5)
Perkotaan
Laki-laki 109,60 90,40 73,38 19,16
Perempuan 109,34 91,10 70,91 17,79
L + P 109,47 90,74 72,15 18,47
Perdesaan
Laki-laki 110,80 75,23 43,43 5,88
Perempuan 109,72 76,57 46,36 6,66
L + P 110,28 75,87 44,80 6,27
K + D
Laki-laki 110,32 81,25 56,00 12,22
Perempuan 109,56 82,53 57,42 12,11
L + P 109,95 81,87 56,69 12,16
TipeDaerah / Jenis KelaminKelompok Umur (tahun)
(1)
Sumber : Susenas 2006, BPS
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
12
Tabel 3.5 memperlihatkan perbandingan antara APK madrasah dengan
APK nasional menurut jenjang pendidikannya, dimaksudkan untuk melihat peran
madrasah dibandingkan dengan sekolah umum lainnya menurut jenjang
pendidikannya. Data yang tersedia untuk diperbandingkan hanya 2 tahun yaitu
tahun 2003 dan 2006, diharapkan sudah dapat memperlihatkan perkembangan
partisipasi kasar (APK) madrasah dan perannya pada perkembangan APK
nasional pada periode tersebut.
Selama periode 2003 sd 2006 APK SD/MI secara nasional mengalami
peningkatan dari 105,82 persen menjadi 109,95 persen tetapi APK Madrasah
Ibtidaiyah mengalami penurunan dari 11,00 persen menjadi 10,85 persen.
Demikian juga APK untuk SMP dan MTs serta SMA dan MA pada dua periode
tersebut yaitu tahun 2003 dan 2006 selalu mengalami kenaikan yaitu dari 81,09
persen menjadi 81,87 persen untuk APK SMP dan MTs serta untuk APK SMA dan
MA dari 50,89 persen menjadi 56,69 persen. APK MTs ikut menunjang kenaikan
APK tingkat SMP yaitu 14,26 persen menjadi 16,07 persen sedangkan APK
Madrasah Aliyah ikut menunjang kenaikan APK tingkat SMA yaitu dari 5,05
persen menjadi 5,84 persen.
Di tingkat SD/MI, pada periode tahun 2003 hingga 2006 semua provinsi
mengalami kenaikan APK. Akan tetapi di tingkat MI, yang secara nasional APK-
nya mengalami penurunan disebabkan APK di beberapa provinsi yang juga
mengalami penurunan. Provinsi-provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh
Darussalam (NAD), Bengkulu, Babel, Jawa Timur, Banten, NTB, Kalteng, Kalsel,
Sultera, Maluku Utara dan Papua. Di tingkat SMP/MTS secara nasional APK
mengalami kenaikan. Akan tetapi, beberapa provinsi ternyata mengalami
penurunan. Provinsi-provinsi tersebut antara lain Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Bali, Kaltim dan Sulut.
Di tingkat MTS, penurunan APK hanya terjadi di tiga provinsi yaitu, Sultera,
Maluku Utara, Papua.
Selanjutnya untuk tingkat SMA/MA, penurunan APK terjadi di provinsi-
provinsi NAD, DKI Jakarta, DIY dan Bali. Sementara itu, di tingkat Madrasah
Aliyah penurunan APK terjadi di provinsi Bengkulu, DIY, Maluku Utara dan Papua.
Penurunan APK tingkat madrasah Ibtidaiyah tahun 2006 dibandingkan 2003
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
13
mencerminkan berkurangnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya
khusus pada tingkat dasar ke madrasah, bilamana tuntutan orangtua pada mutu
pendidikan, maka hal ini mengindikasikan bahwa orang tua menganggap mutu
madrasah masih dibawah mutu sekolah dasar secara umum.
Tabel 3.5 Angka Partisipasi Kasar (APK) Periode 2003 & 2006
2003 2006 2003 2006 2003 2006 2003 2006 2003 2006 2003 2006NAD 107,64 113,40 17,16 16,30 94,16 96,50 20,15 19,42 74,42 73,70 10,04 11,64Sumatera Utara 107,62 111,57 4,20 4,70 89,63 89,48 15,92 17,23 65,87 68,78 5,27 6,22Sumatera Barat 105,23 108,85 2,06 2,49 87,86 83,53 16,87 18,68 63,92 67,69 6,39 7,26Riau 107,19 110,00 5,34 6,32 84,93 89,88 19,00 20,50 61,61 63,18 5,57 7,51Jambi 108,41 113,35 33,71 36,22 81,58 71,47 17,14 18,39 50,55 51,51 6,87 8,67Sumatera Selatan 106,77 112,92 4,80 5,29 76,08 84,24 8,63 8,77 45,58 53,16 3,73 4,14Bengkulu 103,98 110,40 4,41 3,89 79,86 85,60 8,39 6,59 52,17 60,72 4,86 4,56Lampung 107,26 111,55 7,46 8,72 83,03 80,83 13,44 15,62 45,01 51,55 3,96 5,53Babel 114,38 114,87 3,52 3,33 68,47 73,74 7,52 7,77 42,80 50,27 2,77 3,35Kepri 0,00 111,33 0,00 5,78 0,00 91,79 0,00 8,88 0,00 67,52 0,00 3,51DKI Jakarta 106,57 109,63 8,92 11,95 98,14 92,66 6,42 10,15 77,47 68,95 2,06 2,94Jawa Barat 102,85 107,51 10,02 10,82 76,91 75,13 14,25 17,25 42,77 51,07 3,90 4,23Jawa Tengah 107,70 111,00 12,68 12,82 84,37 82,11 16,21 17,18 46,93 54,54 4,96 5,33DI Yogyakarta 102,83 107,97 3,89 4,13 100,57 91,30 9,31 10,33 75,32 72,57 5,78 5,06Jawa Timur 106,74 109,26 25,32 22,09 82,87 86,19 18,64 21,94 51,52 58,14 7,72 8,81Banten 105,01 108,28 11,57 9,68 77,19 77,47 20,89 22,94 45,54 50,16 5,15 5,65Bali 106,26 110,45 2,41 3,25 88,27 85,01 1,50 1,76 68,16 67,33 0,79 1,01Nusa Tenggara Barat 103,03 107,19 9,66 9,07 69,54 83,58 24,58 25,93 41,95 54,87 12,65 13,78Nusa Tenggara Timur 106,28 114,12 2,16 2,80 56,82 65,39 1,81 2,33 33,97 44,65 0,90 1,33Kalimantan Barat 110,02 114,56 5,03 6,58 71,93 77,93 6,85 8,64 39,56 43,76 2,61 3,74Kalimantan Tengah 109,58 113,11 9,55 9,21 76,91 80,46 10,22 10,91 48,89 50,84 3,49 4,54Kalimantan Selatan 106,21 112,21 17,26 16,51 74,76 78,02 23,22 24,53 39,18 47,37 8,83 9,76Kalimantan Timur 107,29 111,45 3,42 4,67 89,61 83,41 8,10 10,72 65,73 71,54 3,83 4,91Sulawesi Utara 105,80 112,70 2,04 2,51 93,75 83,71 2,30 3,01 59,96 67,53 0,92 1,22Sulawesi Tengah 106,39 113,45 2,52 3,09 76,35 77,48 10,36 11,78 42,96 53,34 3,94 5,53Sulawesi Selatan 101,67 107,70 5,35 5,91 67,75 74,28 9,83 13,07 46,36 55,54 4,21 6,56Sulawesi Tenggara 105,17 109,25 2,47 2,35 81,77 91,40 10,32 9,38 47,34 57,58 4,47 4,66Gorontalo 97,59 111,20 3,13 3,89 65,12 65,68 10,01 11,18 33,57 46,48 4,14 5,59Sulawesi Barat 0,00 106,06 0,00 4,47 0,00 68,90 0,00 4,78 0,00 44,41 0,00 2,55Maluku 107,93 112,24 5,32 6,77 84,72 95,96 6,09 8,00 56,72 70,05 2,53 3,81Maluku Utara 112,48 116,06 3,53 2,51 79,72 84,28 13,15 9,90 49,90 67,80 5,72 4,57Papua 99,88 114,44 1,23 1,21 67,90 77,68 1,69 0,91 41,53 52,21 0,62 0,36Papua Barat 0,00 98,83 0,00 2,99 0,00 71,87 0,00 4,38 0,00 49,41 0,00 1,74Indonesia 105,82 109,95 11,00 10,85 81,09 81,87 14,26 16,07 50,89 56,69 5,05 5,84
ProvinsiSD/MI MI SMP/MTS MTS SMU/K/MA MA
Sumber : 1. Data Susenas 2003 dan 2006, BPS 2. Data Statistik Pendidikan Agama, Depag
Kenaikan APK Madrasah Tsanawiyah demikian juga APK Madrasah Aliyah
bila ditelaah lebih jauh juga belum tentu karena kualitasnya lebih baik dari
sekolah umum lainnya yang sederajat, bisa jadi karena daya tampung sekolah-
sekolah lainnya yang terbatas menyebabkan madrasah menjadi salah satu pilihan
untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dapat diperkuat dengan
data sebagaimana yang ditunjukan pada tabel 3.6. Jumlah murid Madrasah
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
14
Tsanawiyah yang berasal dari SD negeri dan SD swasta ternyata menempati
porsi terbesar yaitu kurang lebih sebesar 70 persen. Berdasarkan data pada tabel
3.6 jumlah murid baru Madrasah Tsanawiyah tahun 2001/2002 berasal dari SDN
sebesar 65,59 persen dan SD swasta sebesar 1,90 persen. Tahun 2004/2005
jumlah murid MTs yang berasal dari SDN mencapai 70,64 persen dan dari SD
swasta sebesar 2,25 persen, tahun 2004/2005 merupakan rekor terbesar murid
MTs yang berasal dari SDN dan SD swasta. Keadaan tahun 2006/2007 jumlah
murid yang berasal dari SDN dan SD swasta. Keadaan tahun 2006/2007 jumlah
murid yang berasal dari SDN dan SD swasta sedikit menurun yaitu mencapai
69,44 persen untuk murid yang berasal dari SDN dan 2,96 persen untuk murid
yang berasal dari SD swasta.
Tabel 3.6 Jumlah Pendaftar & Siswa Baru pada Madrasah Tsanawiyah Berdasarkan Asal Sekolah
SDN SDS MIN MIS Jumlah %
Jumlah 753.212 496.244 13.558 41.959 161.333 713.094 94,67
% 69,59 1,90 5,88 22,62 100,00
Jumlah 796.996 523.658 16.302 44.455 167.006 751.421 94,28
% 477,23 313,56 9,76 26,62 827,16
Jumlah 786.003 524.103 15.774 42.669 161.647 744.193 94,68
% 70,43 2,12 5,73 21,72 100,00
Jumlah 811.290 541.738 17.254 43.238 164.721 766.951 94,53
% 70,64 2,25 5,64 21,48 100,00
Jumlah 866.915 560.592 18.623 45.469 190.434 815.118 94,03
% 68,77 2,28 5,58 23,36 100,00
Jumlah 915.643 588.375 25.086 43.476 190.424 847.361 92,54
% 69,44 2,96 5,13 22,47 100,00
2001/2002
2002/2003
Tahun PendaftarSiswa Baru Yang Diterima
2003/2004
2004/2005
2005/2006
2006/2007
Sumber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
Hal yang sebaliknya diperlihatkan pada murid baru Madrasah
Aliyah,sebagaimana diperlihatkan pada tabel 3.7. Dimana jumlah murid baru
Madrasah Aliyah yang berasal MTs negeri dan MTs swasta masih menempati
porsi yang terbesar yaitu sebesar 22,81 persen berasal dari MTsN dan 45,59
persen berasal dari MTsS pada tahun 2001/2002. Untuk tahun 2003/2004 jumlah
murid baru Madrasah Aliyah yang berasal dari MTs baik negeri maupun swasta
menempati porsi terbesar yaitu sebesar 21,33 persen berasal dari MTsN dan
sebesar 48,05 persen berasal dari MTsS. Sedangkan pada tahun 2006/2007
jumlah murid yang berasal dari MTsN sedikit menurun menjadi sebesar 19,33
persen dan yang berasal dari MTsS sebesar 47,86 persen.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
15
Kembali ke masalah APK maka peran madrasah dalam menyumbang APK
nasional dapat dihitung berdasarkan tabel 3.5. Besar peran Madrasah Ibtidaiyah
terhadap APK SD secara nasional adalah sebesar 10,40 persen pada tahun 2003
dan sebesar 9,87 persen tahun 2006. Madrasah Tsanawiyah dalam menyumbang
APK SMP secara nasional adalah sebesar 17,58 persen pada tahun 2003 dan
sebesar 19,63 persen tahun 2006. Di tingkat Madrasah Aliyah menyumbang APK
SMU/K sebesar 9,94 persen pada tahun 2003 dan sebesar 10,30 persen tahun
2006.
Tabel 3.7 Jumlah Pendaftar & Siswa Baru pada Madrasah Aliyah Berdasarkan Asal Sekolah
SMPN SMPS MTsN MTsS Jumlah %
Jumlah 271.698 57.003 21.304 56.527 112.973 247.807 91,21
% 23,00 8,60 22,81 45,59 100,00
Jumlah 295.420 61.334 22.830 57.271 115.743 257.178 87,06
% 23,85 8,88 22,27 45,01 100,00
Jumlah 291.714 58.951 21.049 55.748 125.576 261.324 89,58
% 22,56 8,05 21,33 48,05 100,00
Jumlah 298.763 62.983 22.693 57.306 129.839 272.821 91,32
% 23,09 8,32 21,00 47,59 100,00
Jumlah 319.405 66.682 24.175 59.037 139.378 289.272 90,57
% 23,05 8,36 20,41 48,18 100,00
Jumlah 341.933 73.559 27.072 59.301 146.805 306.737 89,71
% 23,98 8,83 19,33 47,86 100,00
2001/2002
2002/2003
Tahun PendaftarSiswa Baru Yang Diterima
2003/2004
2004/2005
2005/2006
2006/2007
Sumber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
Gambaran yang diperlihatkan oleh asal sekolah pada murid baru Madrasah
Aliyah ini, mudah-mudahan bukan karena mutu pendidikan di Madrasah
Tsanawiyah baik Negeri maupun Swasta masih kalah oleh SMPN maupun SMP
swasta sehingga murid lulusan Madrasah Tsanawiyah kalah bersaing dengan
lulusan SMP dalam menempatkan lulusannya di SMU/K yang pada akhirnya
lulusan SMP yang tidak mendapatkan tempat di bangku SMU/K memilih masuk
Madrasah Aliyah, sedangkan lulusan MTs hanya sebagian kecil saja yang bisa
masuk SMU/K dan sebagian besarnya kembali masuk ke Madrasah Aliyah.
Berdasarkan series dari tahun 2001/2002 sampai dengan 2006/2007
(tabel 3.8 ) APK Madrasah Ibtidaiyah berturut-turut adalah 10,82 ; 11,02 ; 10,99
; 12,06 ; 10,92; dan10,78 persen. Di tingkat Madrasah Tsanawiyah berturut-turut
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
16
APK MTs dari tahun 2001/2002 sampai dengan 2006/2007 adalah 13,49; 14,21;
14,32; 15,89; 15,79; dan 16,34 persen. Berdasarkan series tersebut APK
Madrasah Aliyah berturut-turut adalah 4,69; 4,95, meningkat lagi menjadi 5,15
kemudian 5,73; 5,70 dan pada tahun 2006/2007 meningkat lagi menjadi 5,99
persen.
Tabel 3.8 Angka Partisipasi Kasar (APK) Periode 2001/2002 s.d 2006/2007
TahunMadrasah Ibtidaiyah
Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Aliyah
2001/2002 10,82 13,49 4,69
2002/2003 11,02 14,21 4,95
2003/2004 10,99 14,32 5,15
2004/2005 12,06 15,89 5,73
2005/2006 10,92 15,79 5,70
2006/2007 10,78 16,34 5,99 S
umber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
3.4. Rasio siswa per Sekolah/Kelas
Untuk menelusuri minat masyarakat terhadap madrasah baik Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dapat diamati melalui
rasio siwa per sekolah-nya. Pada periode tahun 2001/2002 hingga periode tahun
2006/2007 seperti terlihat pada tabel 3.9 tercatat bahwa rasio siswa persekolah
untuk MI, MTS dan MA lebih rendah daripada rasio siswa SD/MI, SMP/MTS dan
SMU/K/MA.
Jumlah siswa per sekolah SD+MI selama periode 2001/2002 sampai dengan
2006/2007 berkisar antara 174 – 179, untuk rasio siswa per Madrasah Ibtidaiyah
berkisar antara 133 – 136 dan ada gerakan menurun pada tahun 2006/2007. Di
tingkat SMP+MTs jumlah siswa per sekolah berkisar antara 338 – 358 ada
penurunan di tahun 2006/2007 yang bisa mencerminkan bertambahnya jumlah
sekolah SMP+MTs. Ditingkat MTs sendiri jumlah siswa per sekolah hanya
berkisar 177 – 182. Terakhir untuk tingkat SMU/K/MA jumlah siswa per sekolah
berkisar antara 363 – 395, yang terendah justru di tahun 2006/2007 ,sama
dengan pada kasus SMP, hal ini bisa mengindikasikan tambahnya jumlah
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
17
sekolah. Pada tingkat madrasah Aliyah jumlah siswanya hanya berkisar 158 –
175, yang mana kondisi jumlah siswa tertinggi tercatat pada tahun 2001/2002.
Tabel 3.9 Rasio Siswa per Sekolah
SD/MI MI SMP/MTS MTs SMU/K/MA MA
2001/2002 174 135 358 182 388 175
2002/2003 177 136 356 181 391 174
2003/2004 178 135 354 178 395 164
2004/2005 176 134 339 177 382 159
2005/2006 175 133 338 178 375 158
2006/2007 179 133 342 182 363 162
TahunSiswa per Sekolah
Sumber : Depdiknas dan Depag
Dari data tersebut menimbulkan pertanyaan apakah daya tampung
madrasah sudah optimal atau belum karena jumlah siswa per sekolah lebih
rendah dari rata-rata secara nasional pada setiap jenjang pendidikan. Untuk
memperkuat jawaban bila pada kenyataannya daya tampung madrasah tersebut
belum optimal dapat diperlihatkan oleh tabel 3.10 yaitu tabel tentang rasio siswa
per kelas yang diperbandingkan dengan kondisi rasio siswa per-kelas untuk
semua sekolah termasuk didalamnya madrasah.
Jumlah siswa per-kelas secara nasional disemua jenjang pendidikan
umumnya lebih tinggi dari madrasah hanya untuk kondisi tahun 2001/2002
jumlah siswa per-kelas di madrasah lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu
pada tingkat MI jumlah siswa perkelas tahun 2001/2002 tercatat 49 dan untuk
SD+MI hanya 26, demikian juga untuk MTs jumlah siswa perkelas pada tahun
itu tercatat 52 dan untuk SMP+MTs jumlah siswa perkelasnya adalah 39.
Selanjutnya pada tingkat MA jumlah siswa perkelas pada tahun tersebut tercatat
42 dan pada tingkat SMU/K/MA jumlah siswa perkelasnya tercatat 38. Periode
selanjutnya yaitu tahun 2002/2003 sampai 2006/2007 jumlah siswa perkelas
pada madrasah selalu menurun dan berada dibawah rata-rata nasional.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
18
Tabel 3.10 Rasio Siswa per Kelas
SD/MI MI SMP/MTS MTs SMU/K/MA MA2001/2002 26 49 39 52 38 42
2002/2003 26 25 38 33 38 30
2003/2004 26 25 38 32 38 29
2004/2005 26 25 37 32 37 29
2005/2006 26 24 36 31 36 28
2006/2007 30 24 37 31 36 29
Tahun Siswa per Kelas
Sumber : Depdiknas dan Depag
Berdasarkan kondisi jumlah siswa persekolah dan jumlah siswa perkelas
madrasah yang selalu dibawah rata-rata nasional (sekolah umum dan madrasah)
ini maka dapatlah disimpulkan bahwa daya tampung madrasah masih belum
optimal dan perlu ditingkatkan lagi.
Gambaran sebaran jumlah siswa persekolah menurut provinsi disajikan
pada tabel 3.11, dan ternyata seperti yang tercatat pada tahun 2006/2007 tidak
semua provinsi jumlah siswa per madrasah-nya lebih rendah dari rata-rata
nasional. Untuk Madrasah Ibtidaiyah jumlah siswa per sekolah yang lebih tinggi
dari rata-rata nasional ada di Provinsi NAD, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Utara, Maluku, Papua dan Papua Barat. Sementara itu pada tingkatan SMP dan
SMA jumlah Siswa per sekolah dari Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
disemua provinsi lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah siswa per
sekolah SMP+MTs dan SMU/K+MA.
Jumlah siswa per Madrasah Ibtidaiyah secara nasional tahun 2006/2007
tercatat 133 siswa. Provinsi-provinsi yang tercatat diatas rata-rata jumlah siswa
per sekolahnya adalah provinsi NAD, Bali, Kalimantan Timur, Maluku , Papua dan
Papua Barat. Hal tersebut menandakan minat orangtua untuk menyekolahkan
anaknya di Madrasah Ibtidaiyah sangat tinggi. Untuk provinsi NAD dan
Kalimantan Timur yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan terkenal
sebagai muslim yang taat dapat di maklumi bila madrasah menjadi prioritas
utama di sana. Akan tetapi lain halnya dengan Provinsi Bali, Maluku, Papua dan
Papua Barat dimana mayoritas penduduknya beragama non muslim. Mungkin
dikarenakan penduduk muslim yang menetap di Provinsi tersebut adalah
minoritas, maka orang tua lebih mempercayakan pendidikan dasar Islam
anaknya ke sekolah umum.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
19
Di tingkat MTS, pada periode 2006/2007 rasio siswa per sekolah adalah
182. Provinsi-provinsi yang memiliki rasio siswa per sekolah di atas rata-rata
adalah NAD, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan
Banten.
Di tingkat Madrasah Aliyah, pada periode tahun 2006/2007 rasio siswa
per sekolah adalah 162. Provinsi-provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata
adalah NAD, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB,
NTT dan Kalimantan Selatan.
Tabel 3.11. Rasio Siswa per Sekolah Menurut Provinsi Periode 2006/2007
SD/MI MI SMP/MTS MTs SMU/K/MA MANAD 167 201 357 212 336 228
Sumatera Utara 192 141 347 185 363 143
Sumatera Barat 161 142 370 175 449 144
Riau 212 99 282 130 339 117
Jambi 163 105 231 121 316 119
Sumatera Selatan 201 130 318 129 357 154
Bengkulu 185 104 280 133 334 201
Lampung 235 125 311 155 344 143
Bangka Belitung 174 107 275 131 317 141
Kepulauan Riau 190 159 229 128 254 91
DKI Jakarta 273 186 387 206 387 166
Jawa Barat 213 162 446 226 401 153
Jawa Tengah 168 135 433 264 466 251
DI Yogyakarta 146 80 330 221 341 252
Jawa Timur 158 125 349 178 398 177
Banten 274 158 439 213 361 147
Bali 165 199 488 131 477 164
Nusa Tenggara Barat 200 106 425 142 392 168
Nusa Tenggara Timur 171 116 285 118 339 184
Kalimantan Barat 161 138 230 123 240 156
Kalimantan Tengah 119 125 168 145 203 139
Kalimantan Selatan 137 122 247 181 281 175
Kalimantan Timur 187 134 275 132 261 133
Sulawesi Utara 117 129 175 102 252 105
Sulawesi Tegah 129 86 214 104 268 99
Sulawesi Selatan 164 103 315 112 359 114
Sulawesi Tenggara 140 114 315 125 343 127
Gorontalo 158 94 281 119 393 120
Sulawesi Barat 136 95 292 84 283 108
Maluku 132 135 188 130 313 150
Maluku Utara 125 113 200 125 192 128
Papua 145 166 237 61 266 50
Papua Barat 133 135 190 182 320 136
Indonesia 179 133 342 182 363 162
Provinsi Siswa per Sekolah
Sumber : Depdiknas dan Depag
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
20
Rasio siswa per kelas menurut provinsi pada tahun 2006/2007
sebagaimana diperlihatkan pada tabel 3.12 mencatat rasio siswa per kelas di
tingkat Madrasah Ibtidaiyah adalah 24. Di tingkat Madrasah Tsanawiyah adalah
31 dan di tingkat Madrasah Aliyah adalah 29. Provinsi- provinsi NAD, Sumatera
Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kepri, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Banten, Bali, Papua dan Papua Barat tercatat memiliki rasio siswa per kelas yang
lebih tinggi dari rata-rata rasio siswa per kelas Indonesia pada tingkat Madrasah
Ibtidaiyah.
Tabel 3.12. Rasio Siswa per Kelas Menurut Provinsi Periode 2006/2007
SD/MI MI SMP/MTS MTs SMU/K/MA MANAD 26 28 37 29 31 33
Sumatera Utara 28 27 38 32 39 29
Sumatera Barat 32 21 34 26 36 25
Riau 29 23 35 28 37 26
Jambi 27 26 34 24 36 25
Sumatera Selatan 30 25 35 26 36 26
Bengkulu 30 18 36 23 35 30
Lampung 30 25 40 32 37 29
Bangka Belitung 26 20 35 14 34 24
Kepulauan Riau 28 27 32 23 30 23
DKI Jakarta 33 28 38 33 35 23
Jawa Barat 33 30 37 37 37 27
Jawa Tengah 28 22 38 34 38 32
DI Yogyakarta 23 14 36 27 34 26
Jawa Timur 26 21 37 33 37 32
Banten 31 30 39 34 34 27
Bali 30 48 37 20 38 26
Nusa Tenggara Barat 33 19 38 29 37 34
Nusa Tenggara Timur 29 21 34 23 32 26
Kalimantan Barat 31 24 37 25 33 30
Kalimantan Tengah 33 23 33 29 30 29
Kalimantan Selatan 30 20 33 28 33 29
Kalimantan Timur 32 23 33 28 34 30
Sulawesi Utara 30 23 32 24 31 22
Sulawesi Tegah 31 18 35 23 33 25
Sulawesi Selatan 30 18 34 21 36 26
Sulawesi Tenggara 31 23 34 28 35 31
Gorontalo 30 16 34 20 33 24
Sulawesi Barat 32 20 34 20 34 28
Maluku 32 23 31 31 35 33
Maluku Utara 34 19 31 27 29 21
Papua 31 26 36 19 34 13
Papua Barat 33 25 36 33 32 25
Indonesia 30 24 37 31 36 29
Provinsi Siswa per Kelas
Sumber : Depdiknas dan Depag
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
21
Di tingkat Madrasah Tsanawiyah provinsi-provinsi yang memiliki rasio
siswa per kelas lebih tinggi dari rata-rata Indonesia adalah Sumatera Utara,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan
Papua Barat. Adapun provinsi-provinsi NAD, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa
Timur, NTB, Kalimantan Barat ,Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Maluku
tercatat memiliki rasio siswa per kelas lebih tinggi dari rata-rata Indonesia untuk
tingkat Madrasah Aliyah.
3.5. Analisis Kohort
Penelurusan kohort siswa adalah pengamatan terhadap sekelompok siswa
dari mulai masuk sekolah sampai dengan menyelesaikan sekolahnya di tiap
tingkat pendidikan. Tujuan penelusuran ini untuk melihat tingkat keberhasilan
siswa tersebut pada tiap-tiap tingkatan sehingga bisa diperoleh probabilitas
keberhasilan siswa tiap tingkatan sampai probabilitas kelulusan siswa.
Penelusuran kohort siswa ini sebaiknya dilakukan untuk series minimal 7 tahun
bagi kohort SD, 4 tahun bagi kohort SMP dan 4 tahun bagi kohort SMA/SLTA,
karena bisa ditelusuri dari mulai masuk suatu jenjang pendidikan sampai dengan
selesai lulus.
Oleh karena data yang tersedia untuk tingkat madrasah ini hanya 4
tahun maka penelusuran kohort ini hanya untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah
dan Madrasah Aliyah saja.
3.5.1 Kohort Siswa Madrasah Tsanawiyah
Penelusuran kohort siswa Madrasah Tsanawiyah dimulai tahun 2001/2002
sampai dengan 2004/2005 karena ketersediaan datanya hanya untuk tahun
tersebut. Siswa baru tahun 2001/2002 berjumlah 713.094 ditambah yang
mengulang di kelas 1 maka siswa kelas 1 berjumlah 715.785, murid kelas 2
sebanyak 660.164 dan murid kelas 3 tercatat sebanyak 585.562, sedangkan
lulusan tahun 2001/2002 berjumlah 572.913 atau sebanyak 97,84 persen dari
jumlah murid kelas 3.
Tahun 2002/2003 sebanyak 96,73 persen murid kelas 1 naik ke kelas 2
demikian juga murid kelas 2 naik ke kelas 3 sebanyak 95,08 persen. Di tahun
berikutnya yaitu tahun 2003/2004 murid kelas 2 naik ke kelas 3 sebanyak 92,60
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
22
persen, sehingga tersisa sebanyak 634.561 siswa dari 715.785 siswa yang
masuk pada tahun 2001/2002. Dan yang lulus sebanyak 621.362 siswa. Dengan
demikian bila ditelusuri siswa yang masuk tahun 2001/2002 sebanyak 715.785
siswa sampai dia lulus hanya tinggal 621.362 siswa atau sebanyak 86,81 persen.
3.13 Kohort Siswa Madrasah Tsanawiyah
2001/2002 713.094,00 715.785,00 660.164,00 585.562,00 …100,00
95,73 95,08 97,99
2002/2003 751.421,00 753.815,00 685.254,00 627.678,00 573.792,20100,00
92,88 92,60 97,92
2003/2004 744.193,00 746.873,00 700.142,00 634.561,00 614.622,30100,00
94,38 93,54 97,92
2004/2005 766.951,00 769.725,00 704.909,00 654.930,00 621.362,13
TahunSiswa Baru Tingkat
ITingkat LulusanI II III
Sumber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
Dalam periode 3 tahun tersebut siswa kelas 1 yang naik ke kelas 2
masing-masing sebanyak 95,73 persen, 92,88 persen dan 94,38 persen. Dan
siswa kelas 2 yang naik ke kelas 3 masing-masing sebanyak 95,08 persen, 92,62
persen dan 93,54 persen. Tingkat kelulusan siswa kelas 3 selama 3 tahun
tersebut berkisar sekitar 97 – 98 persen.
3.5.2 Kohort Siswa Madrasah Aliyah
Penelusuran kohort siswa Madrasah Aliyah juga dilakukan mulai tahun
2001/2002 sampai dengan tahun 2004/2005. Siswa baru tahun 2001/2002
ditambah siswa yang tidak naik ke kelas 2 berjumlah 248.568 siswa, siswa kelas
2 sebanyak 220.557 dan siswa kelas 3 berjumlah 191.989 siswa. Tahun
2002/2003 sebanyak 91,98 persen siswa kelas 1 naik ke kelas 2 dan sebanyak
96,00 persen siswa kelas 2 naik ke kelas 3. Di tahun berikutnya yaitu tahun
2003/2004 murid kelas 2 naik ke kelas 3 sebanyak 97,86 persen sehingga tersisa
223.729 siswa dari 248.568 siswa yang duduk di kelas 1 tahun 2001/2002. Dan
yang lulus sebanyak 220.842 siswa.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
23
3.14. Kohort Siswa Madrasah Aliyah
2001/2002 247.807,00 248.558,00 220.557,00 191.989,00 …100,00
91,98 96,00 98,71
2002/2003 257.178,00 257.949,00 228.620,00 211.735,00 189.512,34100,00
93,42 97,86 98,71
2003/2004 261.324,00 262.195,00 240.969,00 223.729,00 209.003,62100,00
91,29 96,14 98,50
2004/2005 272.821,00 273.696,00 239.363,00 231.677,00 220.373,07
Tahun Siswa Baru Tingkat I
Tingkat LulusanI II III
Sumber: Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan, Departemen Agama
Dengan demikian bila di telusuri dari siswa yang duduk di kelas 1
tahun2001/2002, 3 tahun kemudian yang lulus hanya tinggal 220.842 atau
tinggal sebanyak 88,84 persen saja. Dalam periode 3 tahun tersebut siswa kelas
1 yang naik kekelas 2 masing-masing sebanyak 91,98 persen, 93,42 persen dan
91,29 persen. Kemudian siswa kelas 2 yang naik ke kelas 3 masing-masing
adalah 96,00 persen, 97,86 persen dan 96,14 persen. Adapun tingkat kelulusan
pada Madrasah Aliyah selama 3 tahun tersebut berkisar sekitar 98 – 99 persen.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
a. Berdasarkan capaian angka APS dan APK 2006 maka Target pembangunan
pendidikan sampai akhir tahun 2009 sebagaimana ditetapkan dalam PP No.7
tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah, masih bisa
dicapai.
b. Sebaran APS per provinsi yang cukup merata pada kelompok umur 7 – 12
dan 13 – 15 menunjukan bahwa program wajib belajar 9 tahun umumnya
secara merata telah dilaksanakan di seluruh Indonesia.
c. Angka Partisipasi Kasar (APK) Nasional untuk daerah perkotaan lebih besar
dari daerah pedesaan untuk semua jenjang pendidikan kecuali untuk
kelompok umur SD APK pedesaan lebih tinggi dari APK perkotaan.
d. Penurunan APK Madrasah Ibtidaiyah dari tahun 2003 ke 2006 padahal di lain
pihak APK SD+MI mengalami kenaikan, bisa mengindikasikan adanya
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
24
penurunan minat orang tua untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke
madrasah. Kenaikan APK pada MTs selama periode tahun 2003 – 2006
bahkan bisa mengindikasikan lain hal mengingat asal sekolah siswa baru
yang mendaftar ke MTs mencapai lebih dari 70 persen berasal dari sekolah
SDN dan SD swasta. Kondisi ini bisa jadi karena daya tampung SMPN
maupun swasta terbatas, sehingga lulusan SD banyak yang melanjutkan
sekolahnya ke Madrasah Tsanawiyah.
e. Hal sebaliknya diperlihatkan pada Madrasah Aliyah, yang siswa barunya yang
berasal dari SMP masih dibawah 50 persen, Hal ini bisa mengindikasikan
bahwa lulusan MTs masih banyak yang berminat melanjutkan pendidikannya
ke MA, atau bisa juga lulusan MTs kalah bersaing untuk memperebutkan
tempat di SMU/K.
f. Berdasarkan angka-angka rasio jumlah murid dengan jumlah kelas dan
sekolah dimana jumlah murid per kelas/persekolah dari madrasah umumnya
lebih rendah dari total Nasional masing-masing menurut jenjang
pendidikannya menunjukan masih rendahnya daya tampung madrasah dan
ini bisa ditingkatkan lagi dengan meningkatkan mutu pendidikan madrasah
sehingga minat untuk bersekolah di madrasah makin besar pula.
g. Analisis kohort tidak bisa dilakukan khususnya pada murid Madrasah
Ibtidaiyah karena series data yang tersedia tidak cukup panjang, hanya 4
tahun saja. Dan ini juga series minimal untuk dapat melakukan penelusuran
kohort siswa pada MTs dan MA.
4.2. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan yang diperoleh dari bahasan diatas maka
disarankan agar dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan minat orangtua
untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke Madrasah. Upaya-upaya tersebut
bisa berarti melakukan peningkatan mutu pendidikan madrasah dengan
perubahan kurikulum ataupun dengan peningkatan mutu tenaga pengajar.
Dengan demikian madrasah ini jangan cuma dipandang sebagai pelengkap dalam
sistem pendidikan nasional melainkan harus menjadi penunjang utamanya.
Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah
25
5. Daftar Bacaan
Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Rangkuman Statistik Persekolahan 2006/2007. Jakarta. Depdiknas.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Pendidikan 2006 (Hasil Susenas). Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2007. Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009, Jakarta: Depdiknas.
Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama. Series 2001/2002 sd 2005/2006. Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta. Depag.
Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama. 2007. Kerja Keras Memperbaiki Mutu Madrasah. Jakarta. Depag
Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah. 2004. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Bandung: Genesindo
Suryadi,Ace. 2008. Kependudukan dan Pembangunan Pendidikan, Jakarta Undang- Undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
26
Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan
Agama dan Keagamaan Oleh : Drs Bambang Setiawan, MM
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pasal 3 UU no 20/2003 menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan mulia di atas dilakukan melalui
pendidikan berjenjang dari pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi.
Guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan dan
di setiap jenjang pendidikan, khususnya di tingkat institusional dan instruksional.
Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk
kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang
berada di garis terdepan yaitu guru. Guru menjadi titik sentral dan awal dari
semua pembangunan pendidikan. Dalam konteks pendidikan formal, Sidi (2000)
dalam Mustafa (2005) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil studi di negara-
negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa
(36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik
(19%).
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, guru diakui sebagai jabatan profesional. Hal ini sekaligus
mengangkat harkat dan martabat guru yang sungguh luar biasa bila
dibandingkan dengan profesi lainnya di kalangan pegawai negeri sipil. Namun
demikian, untuk menjadi guru mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan
sekolah menengah (SM) persyaratannya cukup kompleks, yaitu: (a) memiliki
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 27
kualifikasi pendidikan minimal sarjana atau diploma empat, (b) memiliki
kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi profesional, (c) memiliki sertifikasi pendidik; (d) sehat jasmani dan
rokhani, serta (e) memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional (Pasal 8, UU Nomor:14/2005). Dengan demikian, keberadaan UU Guru
dan Dosen pada prinsipnya memiliki dua komponen pokok, yaitu: pertama
meningkatkan kualitas guru sebagai pendidik profesional dan kedua
meningkatkan kesejahteraan guru sebagai konsekuensi logis dari
keprofesionalannya.
Bagaimana dengan kualitas pendidikan madrasah di Indonesia?
Implementasi Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terjabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). PP ini
memberikan amanat tentang perlunya disusun dan dilaksanakannya delapan
SNP. Yakni standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan.
Dalam upaya mencapai SNP tersebut, Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama dalam Rencana Strategis 2004-2009 memfokuskan
pada tema pokok kebijakan yang antara lain, pemerataan dan perluasan akses
pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata
kelola, akuntabilitas, dan pencitraan.
Sebagai implementasi peningkatan mutu, relevansi dan daya saing,
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam c.q. Direktorat Pendidikan Madrasah melalui
Program MEDP ADB Loan No. 2294 - INO (SF) akan melaksanakan program-
program yang mencakup beberapa komponen di antaranya adalah
pengembangan kompetensi guru sesuai dengan standar nasional. Hal ini sangat
penting sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas sekolah–sekolah di
bawah kewenangan Departemen Agama yakni Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah
Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan agama
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
28
semakin meningkat. Sekolah-sekolah umum yang berlabelkan Islam mengalami
peningkatan secara kuantitatif seiring jumlah peminat yang juga makin
meningkat. Keadaan ini harus direspons dengan baik oleh Departemen Agama.
Pendidikan madrasah diharapkan mempunyai daya saing yang lebih baik untuk
dapat memenuhi keinginan masyarakat tersebut. Selain sarana dan prasarana
dan kurikulum, kualitas guru madrasah harus menjadi pertimbangan utama.
Tentu saja hal ini dapat berpengaruh terhadap peningkatan jumlah murid.
Rasio siswa dan guru dapat menjadi faktor penting dalam terpenuhinya
kebutuhan pendidikan yang merata dan dapat mempengaruhi kualitas
pendidikan. Sistem belajar-mengajar akan lebih efektif bila rasio siswa dan guru
tidak terlalu besar. Untuk itu perlu diamati dari tahun per tahun mengenai rasio
siswa dan guru di tingkat madrasah. Hal ini sangat penting untuk menentukan
arah kebijakan terutama terkait dengan penempatan guru di provinsi-provinsi
yang kekurangan guru atau melakukan mutasi dari provinsi-provinsi yang rasio
siswa dan gurunya besar.
1.2 Permasalahan
Pertanyaan-pertanyaan yang mendasari permasalahan pada penelitian ini
adalah mengenai sebaran kualifikasi guru dan rasio siswa - guru pada tingkat
madrasah dan keterbandingannya dengan sekolah umum lainnya (SD, SMP dan
SMU)
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan buku ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana tingkat
kualifikasi pendidikan guru pada madrasah sudah terpenuhi atau belum dan
tingkat rasio siswa dan guru sudah pada taraf yang ideal.
2. Bahan dan Metodologi
2.1 Bahan dan Data
Data merupakan data hasil publikasi Statistik Pendidikan Agama dan
Keagamaan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam,
Departemen Agama serta data Statistik Pendidikan terbitan Badan Pusat Statistik
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 29
dan Statistik Persekolahan terbitan Depdiknas. Data yang digunakan adalah:
a. Data persentase kualifikasi pendidikan guru di tingkat MI, MTs dan MA serta
sekolah SD, SMP dan SMA .
b. Data Rasio Siswa dan Guru di tingkat MI, MTs dan MA dan sekolah SD,SMP
dan SMA tahun 1999 – 2007
2.2 Metode Analisis
Metode analisis kuantitaf yang digunakan adalah analisis deskriptif
terhadap kualifikasi pendidikan guru di tingkat madrasah serta rasio siswa dan
guru. Baik untuk data Nasional maupun per Provinsi.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Profesi dan Kualifikasi Guru
Secara sederhana profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau
jabatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan keahliannya (expertise),
dengan kata lain, suatu profesi erat kaitannya dengan pekerjaan yang spesifik,
terstandar mutunya dan dapat menjadi sumber penghasilan sesuai dengan
penghargaan keprofesionalannya. Lebih jauh Subijanto (2006) menjelaskan
bahwa profesi merupakan pengakuan masyarakat terhadap karakteristik
pekerjaan yang memiliki sifat-sifat tertentu seperti juga profesi guru, adalah
kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan memiliki
pengetahuan spesialisasi dan pengetahuan praktis untuk menunjang proses
belajar mengajar.
Berdasarkan data yang tersedia, kualifikasi pendidikan guru selanjutnya
dibedakan menjadi lima kategori, yaitu tingkat pendidikan di bawah diploma satu
(<D1), tingkat pendidikan diploma satu (D1), tingkat pendidikan diploma dua
(D2), tingkat pendidikan diploma tiga (D3), dan tingkat pendidikan di atas
diploma tiga (>D3). Tingkat pendidikan di bawah diploma satu termasuk di
dalamnya SLTA dan sederajat serta di bawah SLTA. Sedangkan tingkat
pendidikan di atas diploma tiga termasuk di dalamnya S1, dan pasca sarjana (S2
dan S3).
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
30
02/03 06/07 02/03 06/07 02/03 06/07< D1 48,8 42,2 21,8 21,5 11,5 10,6D1 4,6 2,3 2,8 1,9 1,1 1,2D2 30,0 33,0 10,3 8,4 3,8 3,5D3 2,9 2,1 13,7 8,3 9,6 7,3
>D3 13,8 20,5 51,4 59,9 73,9 77,5Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Tabel 1. Persentase Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Tahun 2002/2003 dan 2006/2007
MAKualifikasi MI MTS
Sumber : Ditjen Pendidikan Islam, Depag
Pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), kualifikasi guru didominasi dengan
tingkat pendidikan di bawah diploma satu (<D1) dengan persentase masing-
masing sebesar 48.8%, pada tahun 2002/2003 dan 42.2% pada tahun
2006/2007. Sementara itu, persentase kualifikasi guru tingkat Madrasah
Ibtidaiyah yang memenuhi standar pendidikan nasional untuk guru yaitu harus
setingkat sarjana strata satu (S1) masih sangat rendah. Guru yang berpendidikan
setingkat sarjana dan diatasnya (> D3) persentasenya adalah 13.8% pada tahun
2002/2003 dan pada tahun 2006/2007 baru mencapai 20.5%. Meskipun
persentasenya masih rendah tapi menunjukkan tren yang terus meningkat dari
tahun ke tahun.
Meskipun demikian bila dibandingkan dengan persentase kualifikasi guru
secara nasional termasuk di dalamnya guru SD dan MI, ternyata pada tahun
2006/2007 persentase guru MI yang telah memenuhi standar pendidikan
nasional lebih besar dari persentase guru SD, yaitu sebesar 20,5% guru MI yang
berpendidikan di atas diploma tiga (>D3) dan hanya 17,2% guru SD yang
memiliki pendidikan di atas diploma tiga (>D3) (Tabel 2). Dengan demikian
dapat dikatakan kualifikasi guru MI masih lebih baik dari kualifikasi guru SD.
Pada tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), persentase kualifikasi guru
yang telah memenuhi standar pendidikan di atas diploma tiga (>D3) sudah di
atas 50 persen, sebagaimana yang ditampilkan pada tabel 1, guru MTs yang
berpendidikan sarjana keatas pada tahun 2002/2003 sebesar 51.4 persen, dan
pada tahun 2006/2007 naik menjadi 59.9 persen. Pola tren yang terus menaik
juga dapat ditemui di tingkat Madrasah Aliyah (MA) dimana persentase kualifikasi
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 31
guru dengan tingkat pendidikan di atas diploma tiga (> D3) bahkan sudah lebih
dari 70 persen. Masing–masing sebesar 73.9 persen, pada tahun 2002/2003
kemudian meningkat menjadi 77.5 persen tahun 2006/2007. Walaupun
persentase guru yang telah memiliki pendidikan sarjana ke atas pada Madrasah
SD MI SMP MTs SMA MA1 NAD 14,6 21,0 64,9 67,9 77,9 82,32 Sumatera Utara 13,3 23,3 54,7 60,0 74,5 72,03 Sumatera barat 13,8 23,5 62,2 60,5 79,7 76,04 Riau 17,2 9,1 60,6 44,2 81,3 66,65 Jambi 7,2 10,6 67,3 47,4 82,2 74,76 Sumatera Selatan 5,4 13,0 60,2 44,1 77,9 68,67 Bengkulu 9,4 14,8 67,0 65,9 80,1 80,38 Lampung 10,1 10,3 44,6 38,1 67,7 62,89 Bangka Belitung 3,8 6,8 57,9 49,0 73,2 75,210 Kepulauan Riau 14,3 23,1 38,2 58,7 55,7 72,111 DKI Jakarta 33,4 36,4 68,2 74,6 83,3 83,312 Jawa Barat 18,5 20,1 69,0 63,6 78,2 79,713 Jawa Tengah 18,3 18,1 69,6 63,3 80,0 78,314 DI Yogyakarta 28,1 18,1 68,6 72,0 85,8 85,615 Jawa Timur 33,6 24,9 77,8 62,9 87,1 79,216 Banten 14,1 21,0 55,8 51,1 80,8 71,417 Bali 20,8 35,0 31,3 72,5 70,4 84,318 NTB 12,4 14,1 60,5 56,6 84,2 78,419 NTT 2,2 9,2 41,5 55,8 71,1 81,420 Kalimantan Barat 2,6 9,2 42,9 44,8 71,2 82,221 Kalimantan Tengah 4,5 13,3 52,9 54,2 55,2 71,922 Kalimantan Selatan 8,8 19,4 66,1 62,9 82,0 77,523 Kalimantan Timur 10,3 25,9 72,2 61,5 83,2 80,524 Sulawesi Utara 9,6 27,7 57,3 64,9 82,8 82,225 Sulawesi Tengah 6,0 15,5 73,2 65,0 82,8 78,626 Sulawesi Selatan 21,9 24,3 55,4 72,7 87,1 87,627 Sulawesi Tanggara 5,7 14,3 75,0 59,5 82,7 85,828 Gorontalo 11,9 24,6 67,6 58,7 87,7 81,229 Sulawesi Barat 11,1 15,4 43,8 63,8 60,6 78,630 Maluku 1,7 5,5 44,1 41,4 62,5 67,731 Maluku Utara 2,3 15,7 43,5 61,0 82,7 76,232 Papua 3,9 18,1 54,6 72,2 78,1 84,333 Papua Barat 8,9 28,1 44,5 64,7 78,5 87,1
Indonesia 17,2 20,5 63,3 59,9 79,6 77,5
2006-2007
Tabel 2. Perbandingan Kualifikasi Guru Berpendidikan Sarjana antara Sekolah Umum dan Madrasah per provinsi
Tahun 2006/2007
No Provinsi 2006-2007 2006-2007
Sumber : Depag dan Depdiknas
Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah cukup besar, namun persentase guru yang
berpendidikan SMA atau di bawah D1 ternyata masih cukup besar. Untuk MTs,
guru yang berpendidikan di bawah D1 sebanyak tercatat sebanyak 21,8 persen
tahun 2002/2003, kemudian menurun pada tahun 2006/2007 menjadi 21,5
persen. Pola yang sama terjadi pada Madrasah Aliyah, tercatat 11,5 persen guru
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
32
MA berpendidikan di bawah D1 dan tahun 2006/2007 turun menjadi 10,6
persen.
Akan tetapi bila dibandingkan dengan persentase guru SMP dan SMA
secara nasional, kualifikasi guru MTs dan MA masih lebih rendah. Pada tahun
2006/2007, kualifikasi guru MTs yang telah memenuhi standar pendidikan
nasional adalah sebesar 59,9 persen masih lebih rendah bila dibandingkan
dengan persentase guru SMP/MTs yang mencapai standar pendidikan nasional
yaitu sebesar 63,3 persen. Sama halnya dengan kualifikasi guru di tingkat
Madrasah Aliyah atau SMA (termasuk didalamnya SMA dan SMK) dimana
persentase kualifikasi guru SMA yang berpendidikan sarjana masih lebih besar
daripada kualifikasi guru MA. Kualifikasi guru SMA yang telah memenuhi standar
sebesar 79.6% pada tahun 2006/2007. Sementara kualifikasi guru MA yang
telah memenuhi standar hanya sebesar 77.5 % pada tahun 2006/2007.
Untuk sebaran di Provinsi, sebagaimana di tingkat nasional hampir di
semua provinsi guru Madrasah Ibtidaiyah yang telah memenuhi standar
kualifikasi lebih besar dibandingkan guru SD kecuali di Provinsi Riau, dimana
persentase guru yang telah memenuhi standar kualifikasi sebesar 9,1 persen
sedangkan guru SD+MI yang telah memenuhi standar kualifikasinya adalah
sebesar 17,2 persen.
Untuk tingkat SMP dan Madrasah Tsanawiyah tercatat ada 15 Provinsi
yang mempunyai jumlah guru MTs yang mempunyai kualifikasi sesuai standar
national lebih besar dari rata-rata guru SMP. Provinsi tersebut adalah Provinsi
NAD, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, NTT,
Kalbar, Kalteng, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku Utara,
Papua dan Papua Barat. Hal yang serupa terjadi pada tingkat SMA dan MA,
tercatat pada 15 Provinsi jumlah guru Madrasah Aliyah yang mempunyai
kualifikasi standar melebihi dari rata–rata guru SMA. Provinsi-Provinsi tersebut
adalah NAD, Bengkulu, Babel, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Bali, NTT, Kalbar,
Kalteng, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Papua
dan Papua Barat.
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 33
No Provinsi < D1 D1 D2 D3 > D3
1 Nanggroe AD 20,2 1,1 55,2 2,5 21,02 Sumater Utara 44,2 2,4 27,0 3,2 23,33 Sumatera Barat 15,6 9,1 44,3 7,5 23,54 Riau 64,2 1,7 22,9 2,0 9,15 Jambi 60,9 5,3 22,1 1,0 10,66 Sumatera Selatan 59,6 1,4 23,7 2,3 13,07 Bengkulu 41,0 1,9 38,8 3,5 14,88 Lampung 59,4 5,7 22,3 2,3 10,39 Bangka Belitung 41,4 6,3 42,9 2,7 6,810 Kepulauan Riau 31,4 0,0 42,9 2,6 23,111 DKI Jakarta 23,9 4,5 25,5 9,8 36,412 Jawa Barat 42,0 2,8 33,1 2,0 20,113 Jawa Tengah 32,4 1,3 46,5 1,8 18,114 DI Yogyakarta 20,6 2,9 54,8 3,5 18,115 Jawa Timur 46,4 1,9 25,2 1,6 24,916 Banten 42,8 3,7 29,8 2,6 21,017 Bali 25,2 1,0 36,2 2,6 35,018 N T B 48,2 1,3 33,6 2,9 14,119 N T T 54,1 0,6 34,2 2,0 9,220 Kalbar 58,1 0,7 31,2 0,8 9,221 Kalteng 40,9 0,3 44,5 1,0 13,322 Kalsel 46,3 0,9 32,7 0,7 19,423 Kaltim 34,3 3,6 33,6 2,6 25,924 Sulut 52,7 0,8 17,4 1,5 27,725 Sulteng 24,7 3,1 52,2 4,4 15,526 Sulsel 20,2 1,9 51,7 1,9 24,327 Sultera 39,8 3,2 39,5 3,2 14,328 Gorontalo 36,6 2,9 34,5 1,3 24,629 Sulbar 17,1 3,9 62,5 1,1 15,430 Maluku 32,6 4,7 55,4 1,8 5,531 Maluku Utara 25,2 0,6 57,8 0,6 15,732 Papua 28,7 0,9 46,3 6,0 18,133 Irian Jaya Barat 30,4 1,2 39,2 1,2 28,1
42,2 2,3 33,0 2,1 20,5
Tabel 3. Persentase Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah per Provinsi Tahun 2006/2007
Indonesia
Sumber : Ditjen Pendidikan Islam, Depag
Standar kualifikasi guru yang sesuai dengan dengan standar pendidikan
nasional memang masih sulit terpenuhi untuk tingkat SD dan MI, hal ini karena
menyangkut jumlah sekolah yang cukup banyak, dan tersebar di seluruh pelosok
tanah air, sebagaimana bisa dimaklumi bahwa masih sulit merangsang para
pemuda yang berpendidikan sarjana untuk mengabdi sebagai guru di pelosok-
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
34
pelosok desa. Walaupun menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang
guru dan dosen, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya guru memiliki hak, yang salah satunya adalah memperoleh
penghasilan di atas kebutuhan minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Dengan kata lain, nantinya profesi guru dan dosen merupakan profesi yang
menjanjikan dan bergengsi dikalangan pegawai negeri sipil lainnya.
Berdasarkan data tahun 2006/2007 (Tabel 3) tercatat jumlah guru
madrasah Ibtidaiyah yang berpendidikan dibawah D1 masih dominan yaitu
sebanyak 42,2 persen dan yang berpendidikan diatas D3 hanya ada sebanyak
20,5 persen.
Provinsi-provinsi yang mempunyai persentase jumlah guru
berpendidikan dibawah D1 dan persentasenya diatas persentase rata-rata
Indonesia adalah Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Lampung, Jawa Timur, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel dan Sulawesi Utara. Provinsi
yang mempunyai persentase jumlah guru yang berpendidikan di bawah D1
paling sedikit adalah Provinsi Sumatera Barat sebanyak 15,6 persen, kemudian
Sulawesi Barat sebanyak 17,1 persen, sedangkan provinsi yang paling banyak
mempunyai persentase jumlah guru MI berpendidikan di bawah D1 adalah
Provinsi Riau sebanyak 64,2 persen diikuti pada urutan berikutnya adalah
Provinsi Jambi sebanyak 60,9 persen.
Di lain pihak provinsi-provinsi yang tercatat mempunyai guru yang
sudah berpendidikan di atas D3 dan persentasenya melebihi persentase rata-rata
Indonesia adalah Provinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan
Riau, DKI Jakarta Jawa Timur, Bali,Kaltim, Sulawesi utara, Sulawesi selatan,
Gorontalo dan Papua Barat. Provinsi yang terbanyak memiliki persentase jumlah
guru berpendidikan di atas D3 adalah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 36,4
persen,kemudian diikuti Provinsi Bali sebanyak 35 persen. Tercatat sebagai
provinsi yang terendah persentase guru yang berpendidikan di atas D3 adalah
Provinsi Maluku sebanyak 5,5 persen dan pada urutan diatasnya adalah Provinsi
Bangka Belitung sebanyak 6,8 persen.
Kualifikasi pendidikan guru pada Madrasah Tsanawiyah sebagaimana
yang terdapat pada Tabel 4, memperlihatkan bahwa persentase jumlah guru
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 35
yang berpendidikan diatas D3 tahun 2006/2007 telah cukup tinggi yaitu
mencapai 59,9 persen. Ada 19 provinsi yang jumlah guru berpendidikan di atas
D3 telah melebihi jumlah rata-rata nasional dan 14 provinsi dibawah rata-rata
nasional. Namun yang memprihatinkan masih terdapat guru MTs yang
berpendidikan dibawah D1, untuk tahun 2006/2007 tercatat berjumlah 21,5
persen. Masih terdapat separuh provinsi yang jumlah persentase guru
berpendidikan dibawah D1 diatas rata – rata Indonesia. Hal ini mengisyaratkan
bahwa masih sulit memenuhi jumlah guru sesuai dengan Standar Nasional.
Provinsi yang mempunyai persentase jumlah guru pada Madrasah
Tsanawiyah berpendidikan di bawah D1, yang terbanyak adalah Provinsi
Sumatera Selatan sebanyak 37,8 persen dan yang paling sedikit persentasenya
adalah Provinsi DI Yogyakarta sebanyak 2,6 persen.
Untuk tingkat Madrasah Aliyah pada tahun 2006/2007 jumlah guru yang
mempunyai kualifikasi pendidikan diatas D3 tercatat sudah cukup tinggi yaitu
sebanyak 77,5 persen (lihat tabel 5). Akan tetapi masih ada juga guru yang
berpendidikan di bawah D1 mengajar di Madrasah Aliyah, yaitu sebanyak 10,6
persen. Provinsi DI Yogyakarta termasuk yang mempunyai persentase terendah
dalam hal jumlah guru MA yang berpendidikan di bawah D1 yaitu sebanyak 3,5
persen, demikian juga DKI Jakarta tercatat hanya 3,8 persen jumlah guru MA
yang berpendidikan di bawah D1.
Sumatera Selatan tercatat sebagai yang terbanyak memiliki jumlah guru
yang berpendidikan dibawah D1 yaitu 18,2 persen diikuti Lampung sebanyak
17,6 persen.
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
36
No Provinsi < D1 D1 D2 D3 > D31 Nanggroe AD 14,9 0,5 5,1 11,6 67,92 Sumatera Utara 25,1 2,5 5,2 7,3 60,03 Sumatera Barat 17,1 0,8 9,7 11,9 60,54 Riau 36,6 2,2 8,8 8,1 44,25 Jambi 26,8 1,0 10,3 14,5 47,46 Sumatera Selatan 37,8 2,2 9,6 6,2 44,17 Bengkulu 18,4 0,9 6,5 8,4 65,98 Lampung 37,3 3,8 12,8 8,1 38,19 Bangka Belitung 30,1 1,3 12,6 7,0 49,010 Kepulauan Riau 23,4 1,2 4,8 11,8 58,711 DKI Jakarta 4,8 3,2 3,4 14,0 74,612 Jawa Barat 18,3 1,5 8,7 7,9 63,613 Jawa Tengah 20,5 1,4 6,0 8,8 63,314 DI Yogyakarta 2,6 6,3 3,1 16,0 72,015 Jawa Timur 19,4 2,0 7,8 8,0 62,916 Banten 24,5 2,7 14,6 7,1 51,117 Bali 17,9 0,0 4,7 4,9 72,518 N T B 23,1 1,1 10,6 8,7 56,619 N T T 22,4 0,8 9,5 11,4 55,820 Kalbar 29,8 2,6 15,9 6,9 44,821 Kalteng 27,2 0,7 11,9 6,0 54,222 Kalsel 25,3 0,6 5,8 5,4 62,923 Kaltim 23,3 3,0 6,6 5,6 61,524 Sulut 8,5 12,1 4,9 9,6 64,925 Sulteng 18,9 1,5 8,2 6,3 65,026 Sulsel 10,5 1,1 9,3 6,5 72,727 Sultera 24,4 0,5 6,5 9,1 59,528 Gorontalo 21,5 6,6 5,0 8,3 58,729 Sulbar 11,1 1,8 16,0 7,3 63,830 Maluku 25,6 1,9 19,5 11,6 41,431 Maluku Utara 19,5 1,1 10,3 8,0 61,032 Papua 14,7 0,0 5,0 8,0 72,233 Irian Jaya Barat 18,5 2,7 5,4 8,7 64,7
21,5 1,9 8,4 8,3 59,9Indonesia
Tabel 4. Persentase Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Tsanawiyah per Provinsi Tahun 2006/2007
Sumber : Ditjen Pendidikan Islam. Depag
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 37
No Provinsi < D1 D1 D2 D3 > D3
1 Nanggroe AD 9,6 0,2 2,1 5,8 82,32 Sumater Utara 14,4 1,0 2,9 9,8 72,03 Sumatera Barat 12,0 1,1 2,1 8,8 76,04 Riau 13,3 3,1 5,3 11,7 66,65 Jambi 13,7 1,5 4,8 5,3 74,76 Sumatera Selatan 18,2 1,9 5,4 5,8 68,67 Bengkulu 9,4 0,6 1,7 8,0 80,38 Lampung 17,6 3,5 6,7 9,4 62,89 Bangka Belitung 12,8 0,0 4,8 7,2 75,210 Kepulauan Riau 10,3 0,4 1,9 15,3 72,111 DKI Jakarta 3,8 0,7 2,6 9,6 83,312 Jawa Barat 8,1 1,0 3,3 7,9 79,713 Jawa Tengah 11,3 0,6 2,2 7,7 78,314 DI Yogyakarta 3,5 2,8 1,0 7,1 85,615 Jawa Timur 10,7 0,9 3,0 6,2 79,216 Banten 13,7 1,8 5,3 7,8 71,417 Bali 11,9 0,9 1,3 1,7 84,318 N T B 6,9 1,9 4,7 8,0 78,419 N T T 6,6 1,1 2,7 8,2 81,420 Kalbar 7,4 0,5 5,6 4,3 82,221 Kalteng 15,1 1,0 7,6 4,3 71,922 Kalsel 14,1 0,3 3,2 4,9 77,523 Kaltim 10,1 2,7 2,3 4,4 80,524 Sulut 6,8 1,3 2,5 7,2 82,225 Sulteng 4,4 2,3 3,6 11,0 78,626 Sulsel 4,9 0,5 3,0 4,0 87,627 Sultera 5,9 0,3 3,0 5,0 85,828 Gorontalo 8,8 2,0 1,4 6,5 81,229 Sulbar 7,5 0,6 6,4 6,9 78,630 Maluku 11,5 2,0 7,3 11,5 67,731 Maluku Utara 9,7 0,9 6,0 7,1 76,232 Papua 8,1 0,0 0,6 7,0 84,333 Irian Jaya Barat 5,2 0,0 0,0 7,8 87,1
10,6 1,2 3,5 7,3 77,5Indonesia
Tabel 5. Persentase Kualifikasi Pendidikan Guru Madrasah Aliyah per Provinsi Tahun 2006/2007
Sumber : Ditjen Pendidikan Islam. Depag
Guru madrasah Aliyah yang berpendidikan di atas D3 sudah cukup
dominan, bahkan tercatat ada 20 provinsi yang persentase jumlah guru
berpendidikan di atas D3 berada di atas rata-rata Indonesia. Hal ini bisa
dimaklumi karena memang jumlah MA relatif masih belum sebanyak MTs.
Provinsi yang memiliki jumlah guru berpendidikan di atas D3 terbanyak adalah
Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebanyak 87,6 persen, dan tercatat sebagai yang
terendah adalah Provinsi Lampung sebanyak 62,8 persen.
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
38
Standar kualifikasi pendidikan saja sebenarnya belum cukup untuk dapat
mengangkat kualitas pendidikan, kompetensi sosial guru sangat diharapkan
dapat memenuhi semua alat, media dan sumber belajar siswa yang dibutuhkan
dalam proses belajar siswa. Guru diharapkan dapat menemukan dan
mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam proses pembelajaran siswa.
3.2 Rasio Siswa dan Guru
Rasio siswa dan guru madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah diamati
dari tahun ajaran 1999/2000 sampai dengan tahun 2006/20007. Dari grafik
dapat diamati bahwa rasio siswa dan guru untuk madrasah ibtidaiyah lebih besar
daripada rasio siswa dan guru untuk madrasah tsanawiyah dan aliyah. Rata-rata
rasio siswa dan guru untuk MI adalah sebesar 16 yang dapat diartikan bahwa 1
guru mengajar 16 siswa. Rasio siswa dan guru terbesar di MI terjadi pada tahun
1999/2000 yaitu sebesar 20. Sementara itu, rasio siswa dan guru pada MTs dan
MA relatif hampir sama. Hal ini menandakan bahwa jumlah guru untuk MTs dan
MA secara relatif lebih banyak daripada guru untuk MI dalam hal
keterbandingannya dengan jumlah siswa.
Rasio siswa terhadap guru berdasarkan grafik diatas berkisar antar 10 -11
orang per guru untuk siswa Madrasah Tsanawiyah dan untuk siswa Madrasah
aliyah rasio siswa terhadap guru rata-rata berjumlah 9 orang siswa per guru.
Sehingga makin tinggi jenjang sekolahnya makin banyak pula jumlah guru yang
tersedia dibandingkan jumlah siswanya.
Ketersediaan jumlah guru antara madrasah dengan sekolah umum lainnya
yang sederajat, masih lebih baik di madrasah, seperti yang terlihat pada tabel 6.
Umumnya rata-rata jumlah siswa per guru pada madrasah masih lebih rendah
dibandingkan rata-rata jumlah siswa per guru pada sekolah umum dan
madrasah. Rata-rata jumlah siswa perguru SD+MI tahun 2004/2005 – 2006/2007
masing-masing sebanyak 19 siswa. Sedangkan Jumlah siswa per guru pada MI
pada periode tersebut hanya 15 siswa per tahun. Untuk tingkat SMP, rata-rata
jumlah siswa per guru dari sekolah SMP+ MTs adalah 14 siswa tahun 2004/2005,
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 39
kemudian menjadi 13 siswa tahun 2005/2006 dan menjadi 14 siswa tahun
2006/2007.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
99/00 00/01 01/02 02/03 03/04 04/05 05/06 06/07
MIMTSMA
Gambar 1. Grafik Rasio Siswa dan Guru Madrasah Tahun 1999/2000 – 2006/2007
2004/2005 2005/2006 2006/20071. Tingkat SD a. SD + MI 19 19 19 b. MI 15 15 152. Tingkat SMP a. SMP + MTs 14 13 14 b. MTs 10 10 113. Tingkat SMA a. SMA + MA 13 12 12 b. MA 8 8 8
TahunSekolah
Tabel 6. Rasio Siswa dan Guru Madrasah (MI, MTs dan MA)Tahun 2004/2005 - 2006/2007
Sumber : Depag dan Depdiknas
Jumlah siswa per guru di MTs pada periode tersebut masing-masing
sebanyak 10 siswa, 10 siswa dan 11 siswa. Hal yang sama diperlihatkan pada
tingkat SMA, jumlah siswa per guru di Madrasah Aliyah lebih sedikit dibandingkan
dengan rata-rata tingkat SMA + MA.
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
40
Secara proses belajar mengajar dari kondisi yang tersirat tentunya dapat
menghasilkan proses belajar mengajar yang lebih baik pada madrasah, Namun
bila dibandingkan dengan kualitas guru yang mengajar, terutama sekali guru
yang telah memiliki standar nasional (segi pendidikan), sekolah-sekolah umum
diluar madrasah masih lebih baik kualifikasinya.
Sebaran per provinsi rasio siswa per guru periode 2002/2003 dan
2006/2007 seperti yang disajikan pada tabel 7 dapat menggambarkan
perkembangan rasio siswa per guru selama 2 periode tersebut. Dengan
memperhatikan sebaran per provinsi, kebijakan alokasi guru per provinsi dapat
dilakukan untuk memperkecil ketimpangan antar provinsi. Jumlah siswa per guru
selama 5 tahun tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Perubahan yang
terlihat pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah menunjukkan bahwa jumlah siswa per
guru turun dari 16 siswa tahun 2002/2003 menjadi 15 siswa tahun 2006/2007.
Begitu pula pada tingkat Madrasah Aliyah pada tahun 2002/2003 tercatat
ada 9 siswa per guru menjadi 8 siswa per guru pada tahun 2006/2007. Kondisi
ini mengisyaratkan adanya persentase pertambahan jumlah guru lebih besar dari
persentase pertambahan jumlah murid.
Bila diperhatikan sebaran per provinsi, ternyata tidak semua provinsi
mengalami pertambahan jumlah guru yang lebih besar persentasenya
dibandingkan persentase pertambahan jumlah siswa, tercatat beberapa provinsi
yang mempunyai jumlah siswa per guru semakin besar selama periode 5 tahun
tersebut. Untuk Madrasah Ibtidaiyah jumlah siswa per guru yang semakin besar
setelah periode 5 tahun adalah Provinsi Lampung , Jawa Tengah, Banten, Sulut,
Sulsel dan Irian Jaya Barat. Sedangkan pada Madrasah Tsanawiyah Provinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah, NTB, Kalbar, Kaltim , Sulut, Sultera dan Irian Jaya Barat
jumlah siswa per guru nya bertambah banyak setelah 5 tahun. Pada tingkat
Madrasah Aliyah tercatat Provinsi Riau, Bengkulu, Jawa Tengah, NTT, Sulut dan
Irian Jaya Barat yang mempunyai jumlah siswa per guru lebih banyak setelah 5
tahun.
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 41
02/03 06/07 02/03 06/07 02/03 06/071 Nanggroe AD 17 14 13 10 12 102 Sumater Utara 19 18 12 12 9 93 Sumatera Barat 15 14 9 10 8 74 Riau 16 14 10 10 7 85 Jambi 22 18 10 9 10 86 Sumatera Selatan 15 14 10 8 11 87 Bengkulu 15 13 10 9 8 108 Lampung 14 15 11 10 9 89 Bangka Belitung 14 14 10 9 11 810 Kepulauan Riau 17 10 711 DKI Jakarta 19 18 10 11 8 812 Jawa Barat 22 21 11 12 9 813 Jawa Tengah 8 16 9 14 10 1114 DI Yogyakarta 14 9 10 9 9 715 Jawa Timur 20 12 11 10 8 816 Banten 16 19 14 11 13 817 Bali 16 16 7 6 7 718 N T B 11 10 7 8 8 819 N T T 15 15 8 8 9 1020 Kalbar 13 15 8 10 11 1121 Kalteng 18 16 10 10 9 922 Kalsel 15 13 11 10 9 923 Kaltim 15 15 8 9 8 824 Sulut 14 20 7 10 6 725 Sulteng 15 12 8 8 7 726 Sulsel 14 15 10 8 8 727 Sultera 13 14 7 12 6 828 Gorontalo 15 12 8 8 9 729 Sulbar 13 6 730 Maluku 19 16 13 11 10 1031 Maluku Utara 20 15 12 10 11 732 Papua 17 5 333 Irian Jaya Barat 15 17 7 12 6 7
16 15 11 11 9 8
Tabel 7. Rasio Siswa dan Guru Madrasah (MI, MTs dan MA)Tahun 2002/2003 dan 2006/2007
Indonesia
MI MTs MANo Provinsi
Sumber : Ditjen Pendidikan Islam. Depag
Melihat rasio siswa per guru pada madrasah umumnya lebih rendah
dibandingkan sekolah umum lainnya yang sederajat, hal ini bisa mengisyaratkan
masih kurang minatnya masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya
ke madrasah, sehingga daya tampung madrasah masih cukup besar, hanya saja
Analisis Statistik Kualifikasi Guru
42
perlu dikaji lebih jauh bagaimana cara menaikkan minat masyarakat khususnya
muslim agar mau mempercayakan pendidikan anaknya ke madrasah.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
a. Pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), kualifikasi guru masih di dominasi oleh
guru yang berpendidikan di bawah D1, tercatat berjumlah 48,8 persen tahun
2002/2003 dan sedikit menurun di tahun 2006/2007 menjadi 42,2 persen.
b. Persentase Guru MI yang memiliki pendidikan di atas D3 tahun 2006/2007
hanya sebesar 20,5 persen, namun ini masih lebih baik dibandingkan dengan
rata-rata SD/MI yang persentasenya hanya sebesar 17,2 persen.
c. Sebaliknya untuk tingkat SMP dan SMA, persentase guru MTs dan MA yang
berpendidikan di atas D3 masih dibawah rata-rata guru SMP/MTs maupun
rata-rata guru SMA/MA.
d. Walaupun persentase jumlah guru yang memenuhi standar nasional atau
berpendidikan di atas D3 sudah cukup tinggi baik tingkat Madrasah
Tsanawiyah maupun tingkat Madrasah Aliyah, namun persentase jumlah guru
yang berpendidikan di bawah D1 masih cukup besar yaitu sebesar 21,5 persen
untuk tingkat MTs dan 10,6 persen untuk tingkat MA.
e. Secara umum rasio siswa per guru pada madrasah lebih rendah dari rasio
siswa per guru pada sekolah umum lainnya SD, SMP dan SMA. Hal ini bisa
mengindikasikan daya tampung madrasah masih cukup besar, atau dengan
kata lain minat terhadap sekolah-sekolah umum masih lebih besar
dibandingkan madrasah.
Analisis Statistik Kualifikasi Guru 43
4.2. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan yang diperoleh dari bahasan diatas maka
disarankan agar dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan mutu tenaga
pendidik sehingga lebih banyak guru yang bisa memenuhi standar nasional, serta
mengupayakan bisa menarik kepercayaan masyarakat khususnya yang muslim
untuk dapat lebih mempercayakan pendidikan anaknya ke madrasah. Dengan
demikian madrasah ini benar-benar bisa menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam sistem pendidikan .
Daftar Bacaan
Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Rangkuman Statistik Persekolahan 2006/2007. Jakarta. Depdiknas. Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Pendidikan 2006 (Hasil Susenas). Jakarta Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009, Jakarta: Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Depdiknas. Jakarta. Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama. Series 2001/2002 sd 2005/2006. Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta. Depag. Ditjen Pendidikan Islam. Departemen Agama Renstra 2004 – 2009. Depag. Jakarta. Sidi, Indra Jati . 2004. Masalah Guru lebih rumit diera otonomi. Seminar terbuka tentang pendidikan dasar dan menengah. Subijanto. 2006. Profesi guru sebagai profesi yang menjanjikan Pasca Undang-Undang guru dan dosen. Balitbang.Depdiknas. Jakarta
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
44
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah
Tahun 2008
Oleh : Asep Sjafrudin, M.Si
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sebagai jenjang terakhir dalam program Wajib Belajar 9 Tahun
Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas). Jenjang Madrasah Tsanawiyah/Sekolah
Menengah Pertama (MTs/SMP) memiliki peranan yang sangat penting dalam
mempersiapkan siswa untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Dalam
pasal 17 Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang yang
melandasi jenjang pendidikan menengah.
Dengan demikian jenjang pendidikan dasar merupakan tahapan yang
sangat penting dalam upaya pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan.
Mutu pendidikan nasional dan pengajaran perlu dipantau terus-menerus dalam
setiap tahap dan langkah kegiatan pendidikan. Pantauan itu ditujukan sebagai
upaya pengendalian mutu pendidikan dan lebih jauh sebagai penjaminan mutu
pendidikan. Upaya inilah yang dimaksud dalam UU No. 20 tahun 2003 dan
Kepmendiknas No. 153/U/2003 dan dikenal dengan Ujian Akhir Nasional
(UAN/UN). UN merupakan fungsi pengendalian mutu pendidikan (educational
quality control) dan fungsi penjaminan mutu pendidikan (educational quality
assurance).
Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk; (1)
Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; (2) Seleksi masuk jenjang
pendidikan berikutnya; (3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program
dan/atau satuan pendidikan; (4) Pembinaan dan pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (Permendiknas
No. 34/2007)
Pada UN tahun 2008, mata pelajaran yang diujikan untuk jenjang
MTs/SMP adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Sebagai upaya penilaian dan evaluasi ujian nasional pada
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
45
tingkat Madrasah Tsanawiyah, pada tulisan ini akan dilakukan analisis hasil ujian
nasional pada Madrasah Tsanawiyah seluruh Indonesia tahun 2008.
1.2. Tujuan
Analisis hasil ujian nasional Madrasah Tsanawiyah tahun 2008 bertujuan
untuk:
1. Membandingkan hasil ujian nasional tahun 2008 antara Madrasah
Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Pertama.
2. Mendeskripsikan angka ketidaklulusan siswa Tsanawiyah pada ujian nasional
tahun 2008 setiap propinsi.
3. Mendeskripsikan karakteristik nilai ujian nasional Madrasah Tsanawiyah
tahun 2008.
2. Bahan dan Metodologi
2.1. Bahan
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah (MTs) tahun 2008
menggunakan data sekunder yang berasal dari Pusat Penilaian Pendidikan
(Puspendik) Departemen Pendidikan Nasional yang berisikan hasil-hasil ujian
nasional pada semua jenjang pendidikan mulai dari SD/MI, SMP/MTs, dan
SMA/K/MA dan data Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan tahun 2003–
2008. Hasil ujian nasional tersebut meliputi angka ketidaklulusan siswa peserta
UN setiap propinsi pada setiap program studi yang diikutinya. Juga terdapat nilai
rata-rata ujian setiap mata pelajaran di setiap propinsi dan program studi. Daftar
lengkap dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.
2.2. Metodologi
Analisis yang digunakan adalah analisis statistika deskriptif, analisis
cluster dan analisis Biplot menggunakan fasilitas software Microsoft Excel,
Minitab versi 14.00 dan SPSS versi 14.00.
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
46
3. Hasil dan Pembahasan
Perkembangan jumlah lembaga Madrasah Tsanawiyah (MTs) semakin
meningkat setiap tahun. Selama kurun waktu tahun 2003 sampai 2008 lembaga
MTs bertambah rata-rata 2,43% setiap tahun. Sedangkan jumlah siswa MTs
bertambah rata-rata 3,05% setiap tahun (Statistik Pendidikan Agama dan
Keagamaan 2003-2008). Sedangkan kontribusi lembaga dan jumlah siswa MTs
terhadap pendidikan nasional jenjang SMP/MTs adalah 34,29% dan 21,76%.
Gambar 1. Perkembangan Jumlah Lembaga dan Siswa MTs 2003-2008
Ujian Nasional tahun 2008 pada jenjang MTs diikuti oleh 693.298 orang
siswa. Jumlah siswa terbanyak berasal dari propinsi Jawa Timur yaitu 136.667
siswa, kemudian propinsi Jawa Barat berjumlah 130.266 siswa dan propinsi Jawa
Timur berjumlah 110.917 siswa. Jumlah siswa peserta UN terkecil untuk jenjang
Madrasah Tsanawiyah adalah propinsi Papua berjumlah 357 orang siswa.
Dari jumlah 693.298 orang siswa tersebut, 167.343 orang (24,14%)
merupakan siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan 525.955 orang
(75,86%) merupakan siswa Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTsS). Jumlah siswa
peserta Ujian Nasional MTsS lebih banyak dibandingkan dengan MTsN, hal ini
berbanding lurus dengan jumlah lembaga MTs yang mayoritas adalah lembaga
swasta dibandingkan negeri yaitu 90,23% : 9,77%. (Statistik Pendidikan Agama
dan Keagamaan 2008)
Perkembangan Jumlah Lembaga MTs Tahun 2003-2008
11.706
12.054
12.49812.619
12.883
11.000
11.200
11.400
11.600
11.800
12.000
12.200
12.400
12.600
12.800
13.000
2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008
Perkembangan Jumlah Siswa MTs Tahun 2003-2008
726.893
744.736
777.627
817.920
855.553
650.000
700.000
750.000
800.000
850.000
900.000
2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
47
Siswa Peserta Ujian Nasional Jenjang MTs (%)
24,14
75,86
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
MTsN MTsS
Gambar 2. Jumlah Peserta Ujian Nasional Jenjang MTs Tahun 2008
3.1. Perbandingan Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah dan
Sekolah Menengah Pertama Tahun 2008.
Nilai rata-rata ujian nasional siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata ujian nasional siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) kecuali untuk mata ujian Bahasa Inggris. Pada mata
ujian Bahasa Inggris, nilai rata-rata ujian nasional siswa SMP lebih tinggi
dibandingkan nilai rata-rata ujian nasional siswa MTs baik pada lembaga negeri
maupun swasta (Tabel 1).
Angka ketidaklulusan siswa MTs pada ujian nasional tahun 2008 relatif
lebih rendah dibandingkan siswa SMP yaitu 5,61% berbanding 7,17%. Hal yang
sama juga terjadi pada MTsN dan MTsS yang mempunyai angka ketidaklulusan
lebih rendah dibanding SMPN dan SMPS. Hal ini mengindikasikan secara umum
kualitas siswa MTs relatif lebih baik dibanding siswa SMP.
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
48
Tabel 1. Perbandingan Hasil Ujian Nasional MTs dan SMP
BIN ING MAT IPAMTs 6,89 6,92 6,80 7,06 5,61%- MTsN 7,00 6,88 6,78 7,14 5,24%- MTsS 6,85 6,94 6,80 7,04 5,72%SMP 7,00 6,80 6,69 7,00 7,17%- SMPN 7,04 6,80 6,71 7,03 6,41%- SMPS 6,89 6,83 6,61 6,93 9,31%
Jenjang Nilai Ujian Tidak Lulus
Secara umum juga dapat diambil kesimpulan bahwa kualitas MTsN/SMPN
relatif lebih baik dibandingkan dengan MTsS/SMPS, hal ini terlihat dari angka
ketidaklulusan siswa lembaga negeri lebih rendah dibanding lembaga swasta.
Pada Sekolah Menengah Pertama terdapat selisih ketidaklulusan yang relatif
tinggi antara lembaga negeri dan swasta yaitu 6,41% : 9,31%. Sedangkan pada
Madrasah Tsanawiyah, selisih ketidaklulusan relatif rendah yaitu 5,24% : 5,72%.
Hal ini mengindikasikan terdapat variasi kualitas yang lebih tinggi pada lembaga
SMP dibandingkan dengan MTs.
Perbandingan Angka Ketidaklulusan UN Siswa MTs/SMP (%)
5,24
6,415,72
9,31
-
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
10,00
MTs SMP
Negeri Swasta
Gambar 3. Perbandingan Angka Ketidaklulusan UN Siswa MTs dan SMP Tahun 2008
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
49
3.2. Perbandingan Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Setiap
Propinsi
Pada ujian nasional tahun 2008, ketidaklulusan siswa MTs terbesar
terdapat pada propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebanyak 976 (47,75%)
siswa, selanjutnya adalah propinsi Kalimantan Barat sebanyak 2.271 (33,41%)
siswa dan propinsi Bangka Belitung sebanyak 481 (30,79%) siswa peserta UN.
Sedangkan ketidaklulusan terendah terdapat pada propinsi DKI Jakarta yaitu 0%
atau semua siswa MTs peserta UN dinyatakan lulus.
Gambar 4 menunjukkan siswa tidak lulus terbanyak terdapat di propinsi
Nusa Tenggara Timur, kemudian Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung dengan
ketidaklulusan di atas 20%. Sedangkan Propinsi DKI Jakarta merupakan propinsi
dengan siswa tidak lulus terendah yaitu seluruh 13.633 siswa MTs peserta UN
dinyatakan lulus atau ketidaklulusan 0% (Tabel 2).
Siswa Mts Tidak Lulus UN (%)
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
NTT
KALB
AR
BABE
L
BEN
GKU
LU
KEPR
I
DIY
SULT
ENG
SULS
EL
NAD
JATE
NG
SULB
AR
MAL
UKU
PAPU
A
KALS
EL
MAL
UT
NTB
SUM
BAR
SULT
RA
LAM
PUN
G
JAM
BI
RIA
U
SUM
UT
JATI
M
GTL
O
SULU
T
SUM
SEL
KALT
ENG
PABA
R
BAN
TEN
KALT
IM
JABA
R
BALI
DKI
Gambar 4. Siswa MTs yang Tidak Lulus UN 2008 Setiap Propinsi
Nilai rata-rata ujian nasional tertinggi pada jenjang MTs adalah propinsi
Jawa Barat dengan total nilai rata-rata 29,81, kemudian di peringkat kedua dan
ketiga adalah propinsi Bali dan Jawa Timur dengan total nilai rata-rata 29,77 dan
29,25. Sedangkan nilai rata-rata ujian nasional terendah pada jenjang MTs
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
50
adalah propinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung
dengan total nilai rata-rata 20,80, 22,11 dan 22,62. Persentase siswa MTs tidak
lulus tertinggi juga terdapat pada 3 propinsi ini. (Tabel 2)
Tabel 2. Nilai Rata-rata UN dan Ketidaklulusan Propinsi
BIN ING MAT IPA Total PesertaTdk
Lulus%
JABAR 7,33 7,46 7,43 7,59 29,81 130.266 800 0,61 BALI 7,19 7,33 7,36 7,89 29,77 899 5 0,56 JATIM 7,24 7,35 7,13 7,53 29,25 136.667 3.932 2,88 BANTEN 6,87 7,18 7,29 7,50 28,84 40.488 428 1,06 GTLO 6,39 7,82 7,57 7,04 28,82 1.901 45 2,37 SUMUT 6,75 7,34 7,09 7,21 28,39 46.874 1.349 2,88 DKI 7,63 6,87 6,68 7,04 28,22 13.633 - - SULUT 6,62 6,71 7,03 7,27 27,63 1.410 33 2,34 NAD 6,25 7,22 7,10 7,03 27,60 18.707 2.488 13,30 SULTRA 6,32 7,17 6,97 7,00 27,46 4.737 335 7,07 JAMBI 6,46 7,02 6,89 7,02 27,39 10.440 605 5,80 MALUKU 6,41 6,85 6,83 7,06 27,15 2.641 223 8,44 SUMSEL 6,60 7,03 6,90 6,61 27,14 13.690 249 1,82 KALTIM 6,85 6,75 6,75 6,75 27,10 5.279 38 0,72 NTB 6,15 7,11 6,60 6,84 26,70 24.492 1.836 7,50 SUMBAR 6,85 6,44 6,23 6,98 26,50 17.161 1.267 7,38 KALSEL 6,70 6,23 6,27 7,20 26,40 15.809 1.255 7,94 KALTENG 6,50 6,58 6,54 6,65 26,27 5.051 75 1,48 SULSEL 5,89 7,15 6,31 6,75 26,10 17.031 2.326 13,66 LAMPUNG 6,59 6,34 6,31 6,79 26,03 24.151 1.486 6,15 RIAU 6,54 6,56 6,43 6,39 25,92 18.778 957 5,10 SULBAR 5,97 6,76 6,43 6,54 25,70 2.062 178 8,63 PAPUA 6,42 6,20 6,20 6,70 25,52 357 29 8,12 MALUT 5,93 6,53 6,53 6,42 25,41 2.587 200 7,73 BENGKULU 6,59 6,32 5,80 6,64 25,35 2.397 418 17,44 JATENG 6,75 6,03 6,09 6,32 25,19 110.917 12.608 11,37 PABAR 6,18 5,99 6,45 6,14 24,76 683 10 1,46 KEPRI 6,81 6,33 5,80 5,75 24,69 1.678 245 14,60 DIY 7,43 5,98 5,43 5,74 24,58 5.737 837 14,59 SULTENG 5,86 5,95 5,83 6,34 23,98 6.372 880 13,81 BABEL 6,32 5,70 5,04 5,56 22,62 1.562 481 30,79 KALBAR 6,48 5,31 4,85 5,47 22,11 6.797 2.271 33,41 NTT 6,10 4,77 4,71 5,22 20,80 2.044 976 47,75
PropinsiMata Ujian Jumlah
Tabel 3. Pengelompokan Propinsi Berdasarkan Hasil UN MTs
Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3
DKI Jakarta
Jabar, Jateng, DIY, Jatim, NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalteng,
Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, Bali,
NTB, Papua, Bengkulu, Malut, Gtlo, Banten, Kepri, Sulbar,
Pabar
Kalbar, Babel, NTT
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
51
Bila dianalisis lebih lanjut menggunakan analisis cluster berdasarkan nilai
setiap mata ujian dan angka ketidaklulusan, maka hasil ujian nasional siswa MTs
tahun 2008 setiap propinsi dapat dikelompokkan menjadi tiga cluster. Cluster
pertama adalah propinsi DKI Jakarta (kode 1) dengan nilai rata-rata UN sebesar
28,22 dan 0% ketidaklulusan, cluster kedua adalah propinsi Jabar, Jateng, DIY,
Jatim, NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalteng, Kalsel,
Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, Bali, NTB, Papua, Bengkulu, Malut,
Gorontalo, Banten, Kepri, Sulbar, dan Papua Barat (kode 2 – 33) dengan nilai
rata-rata UN berkisar antara 23,98 – 29,81 dan cluster ketiga adalah propinsi
Kalbar, Babel, dan NTT (kode 13, 24, dan 28) dengan nilai rata-rata UN berkisar
20,8 – 22,62 dan ketidaklulusan di atas 20%.
Observations
Sim
ilari
ty
242813429183133332272614925121582319161117211020630722521
76,10
84,07
92,03
100,00
Dendrogram with Single Linkage and Euclidean Distance
Gambar 5. Dendogram Pengelompokan Propinsi Berdasarkan Hasil UN MTs
3.3. Karakteristik Nilai Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah
Karakteristik nilai ujian nasional bisa dilakukan dengan analis biplot.
Analisis Biplot merupakan upaya penampilan grafis dua dimensi terhadap tabel
dengan banyak variabel. Ada tiga hal penting yang bisa didapatkan dari tampilan
biplot yaitu ; (1) kedekatan antar objek : dimana informasi ini bisa dijadikan
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
52
panduan objek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan objek tertentu
; (2) keragaman variabel : informasi ini digunakan untuk melihat apakah ada
variabel tertentu yang nilainya hampir sama untuk setiap objek, atau sebaliknya
bahwa nilai dari setiap objek ada yang sangat besar dan ada juga yang sangat
kecil ; (3) Korelasi antar variabel : informasi ini bisa digunakan untuk menilai
bagaimana variabel yang satu mempengaruhi/dipengaruhi variabel yang lain.
Gambar 6. Biplot Hasil UN MTs
Karena biplot adalah upaya membuat gambar di ruang berdimensi banyak
menjadi gambar di ruang dimensi dua. Pereduksian dimensi ini mempunyai
konsekuensi menurunnya besar informasi yang terkandung dalam biplot.
Pada hasil ujian nasional siswa Madrasah Tsanawiyah, analisis biplot
memberikan gambaran bahwa propinsi DKI, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa
Barat, dan Bali relatif memiliki nilai Bahasa Indonesia lebih baik dibandingkan
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
53
propinsi lainnya. Sedangkan propinsi Sulawesi Barat, Maluku Utara, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Tengah relatif memiliki nilai Bahasa Indonesia lebih rendah
dibandingkan propinsi lainnya.
Propinsi Sumatera Utara, Gorontalo, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa
Barat, dan Jawa Timur relatif memiliki nilai IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris
lebih baik dibanding propinsi lain. Sedangkan propinsi NTT, Kalbar, dan Bangka
Belitung relatif memiliki nilai IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris lebih rendah
dibanding propinsi lain.
Vektor variabel nilai Bahasa Inggris dan Matematika hampir berhimpitan,
hal ini menunjukkan kedua variabel tersebut berkorelasi positif. Yang berarti
propinsi yang nilai Bahasa Inggris tinggi akan memiliki nilai Matematika yang
tinggi pula.
4. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis hasil ujian nasional Madrasah
Tsanawiyah tahun 2008 ini adalah :
• Nilai rata-rata ujian nasional siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata ujian nasional siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) kecuali untuk mata ujian Bahasa Inggris.
• Angka ketidaklulusan siswa MTs pada ujian nasional tahun 2008 relatif
lebih rendah dibandingkan siswa SMP yaitu 5,61% berbanding 7,17%.
• Pada UN 2008, ketidaklulusan siswa MTs terbesar terdapat pada propinsi
Nusa Tenggara Timur yaitu sebanyak 976 (47,75%) siswa, selanjutnya adalah
propinsi Kalimantan Barat sebanyak 2.271 (33,41%) siswa dan propinsi Bangka
Belitung sebanyak 481 (30,79%) siswa.
• Hasil ujian nasional siswa MTs tahun 2008 setiap propinsi dapat
dikelompokkan menjadi tiga cluster. Cluster pertama adalah propinsi DKI Jakarta
dengan nilai rata-rata UN sebesar 28,22 dan 0% ketidaklulusan, cluster kedua
adalah propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
54
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Bali,
Nusa Tenggara Bara, Papua, Bengkulu, Maluku Utara, Gorontalo, Banten,
Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, dan Papua Barat dengan nilai rata-rata UN
berkisar antara 23,98 – 29,81 dan cluster ketiga adalah propinsi Kalimantan
Barat, Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Timur dengan nilai rata-rata UN
berkisar 20,8 – 22,62 dan ketidaklulusan di atas 20%.
• Analisis Biplot memberikan gambaran bahwa propinsi DKI, DI Yogyakrta,
Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali relatif memiliki nilai Bahasa Indonesia lebih
baik dibandingkan propinsi lainnya. Sedangkan propinsi Sulawesi Barat, Maluku
Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah relatif memiliki nilai Bahasa
Indonesia lebih rendah dibandingkan propinsi lainnya.
• Propinsi Sumatera Utara, Gorontalo, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa
Barat, dan Jawa Timur relatif memiliki nilai IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris
lebih baik dibanding propinsi lain. Sedangkan propinsi Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung relatif memiliki nilai IPA, Matematika,
dan Bahasa Inggris lebih rendah dibanding propinsi lain.
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008
55
5. Daftar Bacaan
Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama. Series 2001/2002 sd 2007/2008. Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta. Depag. Departemen Statistika FMIPA IPB. 2006. Analisis Peubah Ganda. Bogor. FMIPA IPB. Keputusan Mendiknas No 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional (UAN). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 34/2007 tentang Ujian Nasional. Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Laporan Hasil Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007. Jakarta. Depdiknas. Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Laporan Hasil Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2007/2008. Jakarta. Depdiknas Tatham. Ronald. L, Anderson. Rolph.E, & Hair. Joseph. E. 1987. Multivariate Data Analysis. Second Edition. New York: Macmillan Publishing Company. Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Lampiran 1a
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH TSANAWIYAH
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT IPA Total
1 DKI 13.633 - - 7,63 6,87 6,68 7,04 28,22 2 JABAR 130.266 800 0,61 7,33 7,46 7,43 7,59 29,81 3 JATENG 110.917 12.608 11,37 6,75 6,03 6,09 6,32 25,19 4 DIY 5.737 837 14,59 7,43 5,98 5,43 5,74 24,58 5 JATIM 136.667 3.932 2,88 7,24 7,35 7,13 7,53 29,25 6 NAD 18.707 2.488 13,30 6,25 7,22 7,10 7,03 27,60 7 SUMUT 46.874 1.349 2,88 6,75 7,34 7,09 7,21 28,39 8 SUMBAR 17.161 1.267 7,38 6,85 6,44 6,23 6,98 26,50 9 RIAU 18.778 957 5,10 6,54 6,56 6,43 6,39 25,92
10 JAMBI 10.440 605 5,80 6,46 7,02 6,89 7,02 27,39 11 SUMSEL 13.690 249 1,82 6,60 7,03 6,90 6,61 27,14 12 LAMPUNG 24.151 1.486 6,15 6,59 6,34 6,31 6,79 26,03 13 KALBAR 6.797 2.271 33,41 6,48 5,31 4,85 5,47 22,11 14 KALTENG 5.051 75 1,48 6,50 6,58 6,54 6,65 26,27 15 KALSEL 15.809 1.255 7,94 6,70 6,23 6,27 7,20 26,40 16 KALTIM 5.279 38 0,72 6,85 6,75 6,75 6,75 27,10 17 SULUT 1.410 33 2,34 6,62 6,71 7,03 7,27 27,63 18 SULTENG 6.372 880 13,81 5,86 5,95 5,83 6,34 23,98 19 SULSEL 17.031 2.326 13,66 5,89 7,15 6,31 6,75 26,10 20 SULTRA 4.737 335 7,07 6,32 7,17 6,97 7,00 27,46 21 MALUKU 2.641 223 8,44 6,41 6,85 6,83 7,06 27,15 22 BALI 899 5 0,56 7,19 7,33 7,36 7,89 29,77 23 NTB 24.492 1.836 7,50 6,15 7,11 6,60 6,84 26,70 24 NTT 2.044 976 47,75 6,10 4,77 4,71 5,22 20,80 25 PAPUA 357 29 8,12 6,42 6,20 6,20 6,70 25,52 26 BENGKULU 2.397 418 17,44 6,59 6,32 5,80 6,64 25,35 27 MALUT 2.587 200 7,73 5,93 6,53 6,53 6,42 25,41 28 BABEL 1.562 481 30,79 6,32 5,70 5,04 5,56 22,62 29 GTLO 1.901 45 2,37 6,39 7,82 7,57 7,04 28,82 30 BANTEN 40.488 428 1,06 6,87 7,18 7,29 7,50 28,84 31 KEPRI 1.678 245 14,60 6,81 6,33 5,80 5,75 24,69 32 SULBAR 2.062 178 8,63 5,97 6,76 6,43 6,54 25,70 33 PABAR 683 10 1,46 6,18 5,99 6,45 6,14 24,76
693.298 38.865 5,61 6,89 6,92 6,80 7,06 27,67 JUMLAH
JumlahNo
Mata UjianPropinsi
56
Lampiran 1b
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT IPA Total
1 DKI 5.045 - - 7,76 6,77 6,62 7,04 28,19 2 JABAR 24.795 110 0,44 7,39 7,34 7,45 7,67 29,85 3 JATENG 23.251 2.317 9,97 6,89 6,05 6,15 6,45 25,54 4 DIY 3.767 511 13,57 7,43 5,94 5,42 5,68 24,47 5 JATIM 30.973 868 2,80 7,39 7,18 6,94 7,52 29,03 6 NAD 11.547 1.213 10,50 6,28 7,28 7,27 7,17 28,00 7 SUMUT 7.789 261 3,35 7,00 7,44 7,32 7,59 29,35 8 SUMBAR 10.691 483 4,52 7,01 6,59 6,48 7,15 27,23 9 RIAU 2.850 60 2,11 6,84 7,00 6,88 6,89 27,61
10 JAMBI 3.754 29 0,77 6,75 7,36 7,34 7,48 28,93 11 SUMSEL 3.251 15 0,46 6,60 7,35 7,30 6,99 28,24 12 LAMPUNG 3.452 109 3,16 6,87 6,74 6,60 7,45 27,66 13 KALBAR 1.803 502 27,84 6,99 5,48 4,86 5,71 23,04 14 KALTENG 1.772 19 1,07 6,67 6,82 6,66 6,97 27,12 15 KALSEL 7.391 540 7,31 6,89 6,27 6,22 7,35 26,73 16 KALTIM 1.675 8 0,48 6,96 6,83 6,84 6,77 27,40 17 SULUT 533 24 4,50 6,46 6,66 6,80 7,17 27,09 18 SULTENG 1.794 96 5,35 6,02 6,12 6,14 6,65 24,93 19 SULSEL 3.867 233 6,03 6,24 7,44 6,76 7,05 27,49 20 SULTRA 2.075 68 3,28 6,48 7,45 7,35 7,36 28,64 21 MALUKU 817 10 1,22 6,57 7,28 7,32 7,67 28,84 22 BALI 428 1 0,23 7,55 7,33 7,60 8,05 30,53 23 NTB 2.893 213 7,36 6,40 7,07 6,66 6,97 27,10 24 NTT 1.017 523 51,43 6,03 4,60 4,69 5,17 20,49 25 PAPUA 25 - - 6,68 5,20 5,86 6,87 24,61 26 BENGKULU 1.446 192 13,28 6,68 6,53 5,90 6,80 25,91 27 MALUT 750 74 9,87 5,80 6,46 6,40 6,30 24,96 28 BABEL 466 145 31,12 6,50 5,29 5,08 5,50 22,37 29 GTLO 601 2 0,33 6,48 8,30 7,79 6,97 29,54 30 BANTEN 5.513 29 0,53 6,99 7,09 7,04 7,26 28,38 31 KEPRI 531 94 17,70 6,98 6,21 5,87 5,94 25,00 32 SULBAR 209 17 8,13 5,75 6,61 6,61 6,89 25,86 33 PABAR 572 5 0,87 6,09 6,02 6,48 6,16 24,75
167.343 8.771 5,24 7,00 6,88 6,78 7,14 27,80 JUMLAH
JumlahNo
Mata UjianPropinsi
57
Lampiran 1c
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH TSANAWIYAH SWASTA
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT IPA Total
1 DKI 8.588 - - 7,55 6,93 6,72 7,05 28,25 2 JABAR 105.471 690 0,65 7,31 7,49 7,42 7,57 29,79 3 JATENG 87.666 10.291 11,74 6,72 6,02 6,07 6,29 25,10 4 DIY 1.970 326 16,55 7,43 6,06 5,46 5,83 24,78 5 JATIM 105.694 3.064 2,90 7,19 7,40 7,18 7,53 29,30 6 NAD 7.160 1.275 17,81 6,21 7,13 6,83 6,81 26,98 7 SUMUT 39.085 1.088 2,78 6,70 7,32 7,05 7,14 28,21 8 SUMBAR 6.470 784 12,12 6,59 6,20 5,83 6,69 25,31 9 RIAU 15.928 897 5,63 6,49 6,48 6,35 6,33 25,65
10 JAMBI 6.686 576 8,62 6,30 6,83 6,64 6,76 26,53 11 SUMSEL 10.439 234 2,24 6,61 6,93 6,78 6,50 26,82 12 LAMPUNG 20.699 1.377 6,65 6,54 6,28 6,27 6,68 25,77 13 KALBAR 4.994 1.769 35,42 6,29 5,26 4,84 5,39 21,78 14 KALTENG 3.279 56 1,71 6,42 6,46 6,47 6,48 25,83 15 KALSEL 8.418 715 8,49 6,54 6,20 6,32 7,07 26,13 16 KALTIM 3.604 30 0,83 6,29 6,72 6,72 6,75 26,48 17 SULUT 877 9 1,03 6,71 6,74 7,17 7,33 27,95 18 SULTENG 4.578 784 17,13 5,80 5,88 5,70 6,22 23,60 19 SULSEL 13.164 2.093 15,90 5,79 7,07 6,18 6,66 25,70 20 SULTRA 2.662 267 10,03 6,20 6,95 6,67 6,71 26,53 21 MALUKU 1.824 213 11,68 6,34 6,65 6,61 6,79 26,39 22 BALI 471 4 0,85 6,86 7,34 7,14 7,75 29,09 23 NTB 21.599 1.623 7,51 6,11 7,11 6,59 6,82 26,63 24 NTT 1.027 453 44,11 6,16 4,93 4,72 5,27 21,08 25 PAPUA 332 29 8,73 6,40 6,27 6,22 6,69 25,58 26 BENGKULU 951 226 23,76 6,46 6,01 5,64 6,39 24,50 27 MALUT 1.837 126 6,86 5,98 6,56 6,58 6,47 25,59 28 BABEL 1.096 336 30,66 6,25 5,88 5,02 5,58 22,73 29 GTLO 1.300 43 3,31 6,34 7,60 7,46 7,08 28,48 30 BANTEN 34.975 399 1,14 6,85 7,20 7,34 7,53 28,92 31 KEPRI 1.147 151 13,16 6,73 6,39 5,76 5,66 24,54 32 SULBAR 1.853 161 8,69 5,99 6,78 6,41 6,50 25,68 33 PABAR 111 5 4,50 6,68 5,84 6,28 6,02 24,82
525.955 30.094 5,72 6,85 6,94 6,80 7,04 27,63 JUMLAH
JumlahNo
Mata UjianPropinsi
58
Lampiran 2a
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Peserta Tdk Lulus % BIN ING MAT IPA Total1 DKI 116.258 15 0,01 7,86 7,29 7,06 7,22 29,43 2 JABAR 416.288 4.296 1,03 7,39 7,42 7,31 7,52 29,64 3 JATENG 374.164 35.020 9,36 7,13 6,02 6,26 6,40 25,81 4 DIY 41.490 3.514 8,47 7,86 6,56 6,18 6,30 26,90 5 JATIM 346.424 11.519 3,33 7,48 7,29 7,01 7,62 29,40 6 NAD 56.924 9.188 16,14 6,05 6,95 6,87 7,09 26,96 7 SUMUT 177.381 13.909 7,84 6,67 7,00 6,85 7,09 27,61 8 SUMBAR 55.026 4.458 8,10 6,97 6,38 6,05 7,04 26,44 9 RIAU 56.037 1.969 3,51 6,63 6,68 6,46 6,50 26,27
10 JAMBI 29.634 576 1,94 6,81 7,20 7,05 7,42 28,48 11 SUMSEL 83.829 1.086 1,30 6,78 7,32 7,15 7,14 28,39 12 LAMPUNG 86.245 7.714 8,94 6,85 6,43 6,32 6,89 26,49 13 KALBAR 43.599 11.506 26,39 6,69 5,55 5,04 5,60 22,88 14 KALTENG 20.403 365 1,79 6,71 6,72 6,52 6,77 26,72 15 KALSEL 23.789 1.851 7,78 6,90 6,37 6,39 7,26 26,92 16 KALTIM 38.868 235 0,60 7,00 6,90 6,82 6,84 27,56 17 SULUT 29.479 475 1,61 6,81 6,86 7,38 7,18 28,23 18 SULTENG 26.143 4.963 18,98 6,11 5,58 5,58 6,31 23,58 19 SULSEL 88.673 12.017 13,55 6,11 6,92 6,38 6,88 26,29 20 SULTRA 28.444 2.093 7,36 6,29 7,00 6,93 6,99 27,21 21 MALUKU 23.007 1.692 7,35 6,14 6,68 6,70 6,96 26,48 22 BALI 47.974 381 0,79 7,18 7,65 8,03 8,55 31,41 23 NTB 46.897 7.447 15,88 6,25 6,59 6,18 6,52 25,54 24 NTT 54.733 29.341 53,61 5,93 4,59 4,47 5,03 20,02 25 PAPUA 22.252 2.105 9,46 6,06 6,36 6,47 6,64 25,53 26 BENGKULU 22.240 3.385 15,22 6,87 6,41 5,94 6,59 25,81 27 MALUT 14.094 687 4,87 5,89 6,46 6,55 6,45 25,35 28 BABEL 11.120 3.139 28,23 6,75 5,75 5,01 5,83 23,34 29 GTLO 10.130 258 2,55 6,27 7,41 7,31 7,14 28,13 30 BANTEN 92.530 1.453 1,57 6,83 6,84 6,68 7,07 27,42 31 KEPRI 14.275 2.444 17,12 7,06 6,68 5,55 5,91 25,20 32 SULBAR 11.452 883 7,71 6,24 6,12 6,18 6,79 25,33 33 PABAR 8.762 630 7,19 6,04 6,07 6,33 6,20 24,64
2.518.564 180.614 7,17 7,00 6,80 6,69 7,00 27,49 JUMLAH
JumlahNo Mata UjianPropinsi
59
Lampiran 2b
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI
Peserta Tdk Lulus % BIN ING MAT IPA Total1 DKI 73.540 2 0,00 7,89 7,14 6,92 7,20 29,15 2 JABAR 290.603 1.815 0,62 7,44 7,46 7,38 7,59 29,87 3 JATENG 287.603 19.074 6,63 7,24 6,10 6,42 6,52 26,28 4 DIY 31.145 1.570 5,04 7,98 6,70 6,44 6,51 27,63 5 JATIM 249.500 5.341 2,14 7,62 7,34 7,10 7,69 29,75 6 NAD 52.955 8.563 16,17 6,03 6,94 6,88 7,09 26,94 7 SUMUT 107.242 6.827 6,37 6,75 6,95 6,87 7,10 27,67 8 SUMBAR 51.248 4.044 7,89 6,98 6,36 6,05 7,04 26,43 9 RIAU 44.223 1.402 3,17 6,65 6,67 6,45 6,52 26,29
10 JAMBI 26.660 511 1,92 6,82 7,16 7,04 7,42 28,44 11 SUMSEL 64.419 754 1,17 6,81 7,29 7,13 7,14 28,37 12 LAMPUNG 54.769 4.653 8,50 6,97 6,46 6,36 6,96 26,75 13 KALBAR 30.167 7.532 24,97 6,78 5,52 5,05 5,64 22,99 14 KALTENG 17.615 292 1,66 6,71 6,71 6,50 6,78 26,70 15 KALSEL 21.469 1.683 7,84 6,92 6,34 6,40 7,24 26,90 16 KALTIM 31.286 150 0,48 7,02 6,86 6,81 6,83 27,52 17 SULUT 21.036 291 1,38 6,79 6,80 7,37 7,16 28,12 18 SULTENG 23.713 4.606 19,42 6,11 5,55 5,56 6,30 23,52 19 SULSEL 74.658 9.823 13,16 6,16 6,88 6,43 6,90 26,37 20 SULTRA 27.339 2.007 7,34 6,30 6,99 6,91 6,98 27,18 21 MALUKU 17.002 993 5,84 6,12 6,74 6,75 7,03 26,64 22 BALI 34.494 244 0,71 7,24 7,70 8,03 8,57 31,54 23 NTB 44.131 6.979 15,81 6,26 6,59 6,17 6,52 25,54 24 NTT 34.229 18.188 53,14 5,88 4,59 4,47 5,03 19,97 25 PAPUA 16.020 1.544 9,64 6,11 6,25 6,44 6,64 25,44 26 BENGKULU 21.437 3.234 15,09 6,88 6,41 5,95 6,60 25,84 27 MALUT 11.127 508 4,57 5,90 6,42 6,54 6,46 25,32 28 BABEL 9.085 2.522 27,76 6,80 5,70 4,98 5,84 23,32 29 GTLO 9.729 249 2,56 6,27 7,40 7,31 7,13 28,11 30 BANTEN 54.484 678 1,24 6,84 6,59 6,37 6,80 26,60 31 KEPRI 11.068 2.024 18,29 7,08 6,49 5,53 5,87 24,97 32 SULBAR 10.247 782 7,63 6,24 6,12 6,20 6,79 25,35 33 PABAR 6.389 464 7,26 6,04 6,02 6,24 6,21 24,51
1.860.632 119.349 6,41 7,04 6,80 6,71 7,03 27,58 JUMLAH
JumlahNo Mata UjianPropinsi
60
Lampiran 2c
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SWASTA
Peserta Tdk Lulus % BIN ING MAT IPA Total1 DKI 42.718 13 0,03 7,83 7,54 7,31 7,27 29,95 2 JABAR 125.685 2.481 1,97 7,26 7,35 7,14 7,37 29,12 3 JATENG 86.561 15.946 18,42 6,75 5,76 5,72 5,98 24,21 4 DIY 10.345 1.944 18,79 7,50 6,13 5,37 5,66 24,66 5 JATIM 96.924 6.178 6,37 7,13 7,15 6,76 7,44 28,48 6 NAD 3.969 625 15,75 6,35 7,02 6,74 7,03 27,14 7 SUMUT 70.139 7.082 10,10 6,54 7,07 6,82 7,07 27,50 8 SUMBAR 3.778 414 10,96 6,83 6,62 6,10 7,01 26,56 9 RIAU 11.814 567 4,80 6,53 6,71 6,49 6,44 26,17
10 JAMBI 2.974 65 2,19 6,77 7,51 7,15 7,36 28,79 11 SUMSEL 19.410 332 1,71 6,70 7,40 7,23 7,15 28,48 12 LAMPUNG 31.476 3.061 9,72 6,64 6,36 6,26 6,77 26,03 13 KALBAR 13.432 3.974 29,59 6,47 5,59 5,03 5,51 22,60 14 KALTENG 2.788 73 2,62 6,72 6,76 6,64 6,74 26,86 15 KALSEL 2.320 168 7,24 6,69 6,61 6,30 7,42 27,02 16 KALTIM 7.582 85 1,12 6,94 7,04 6,85 6,85 27,68 17 SULUT 8.443 184 2,18 6,86 7,03 7,39 7,20 28,48 18 SULTENG 2.430 357 14,69 6,07 5,88 5,80 6,43 24,18 19 SULSEL 14.015 2.194 15,65 5,87 7,15 6,13 6,78 25,93 20 SULTRA 1.105 86 7,78 6,07 7,26 7,39 7,18 27,90 21 MALUKU 6.005 699 11,64 6,19 6,50 6,54 6,76 25,99 22 BALI 13.480 137 1,02 7,03 7,50 8,02 8,48 31,03 23 NTB 2.766 468 16,92 6,09 6,66 6,30 6,42 25,47 24 NTT 20.504 11.153 54,39 6,02 4,57 4,47 5,04 20,10 25 PAPUA 6.232 561 9,00 5,93 6,65 6,52 6,63 25,73 26 BENGKULU 803 151 18,80 6,60 6,45 5,77 6,42 25,24 27 MALUT 2.967 179 6,03 5,83 6,61 6,60 6,45 25,49 28 BABEL 2.035 617 30,32 6,53 5,98 5,11 5,79 23,41 29 GTLO 401 9 2,24 6,21 7,56 7,43 7,54 28,74 30 BANTEN 38.046 775 2,04 6,81 7,20 7,13 7,46 28,60 31 KEPRI 3.207 420 13,10 7,00 7,37 5,63 6,06 26,06 32 SULBAR 1.205 101 8,38 6,26 6,07 5,99 6,80 25,12 33 PABAR 2.373 166 7,00 6,03 6,20 6,56 6,18 24,97
657.932 61.265 9,31 6,89 6,83 6,61 6,93 27,26 JUMLAH
JumlahNo Mata UjianPropinsi
61
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
62
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri
Tahun 2008
Oleh : Asep Sjafrudin, M.Si
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) dan Keputusan Mendiknas No 153/U/2003 tentang Ujian Akhir
Nasional (UAN) merupakan dasar penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN)
yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Mutu pendidikan nasional dan pengajaran perlu dipantau terus-menerus
dalam setiap tahap dan langkah kegiatan pendidikan. Pantauan itu ditujukan
sebagai upaya pengendalian mutu pendidikan dan lebih jauh sebagai penjaminan
mutu pendidikan. Upaya inilah yang dimaksud dalam UU No. 20 tahun 2003 dan
Kepmendiknas No. 153/U/2003 dan dikenal dengan Ujian Akhir Nasional
(UAN/UN). UN merupakan fungsi pengendalian mutu pendidikan (educational
quality control) dan fungsi penjaminan mutu pendidikan (educational quality
assurance).
Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk; (1)
Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; (2) Seleksi masuk jenjang
pendidikan berikutnya; (3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program
dan/atau satuan pendidikan; (4) Pembinaan dan pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (Permendiknas
No. 34/2007)
Kebijakan penyelenggaraan UAN menimbulkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat. Meskipun terjadi beberapa kesenjangan dan kontroversi di
kalangan pakar pendidikan, pendidik/guru, siswa dan masyarakat namun tidak
menggoyahkan niat pemerintah untuk tetap melaksanakan UAN.
Tahun 2003 merupakan awal dilaksanakannya UAN untuk tingkat
SMA/MA dengan persyaratan minimal nilai kelulusan 3,01, yang artinya nilai di
bawah 3,01 dinyatakan tidak lulus. Kemudian untuk meningkatkan mutu
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 63
pendidikan nasional, standar kelulusan dinaikkan menjadi 4,01 dan sebenarnya
standar kelulusan ini masih lebih rendah dibanding negara-negara lain. Pada
tahun 2005 UAN diganti dengan UN dan menaikkan standar kelulusan menjadi
4,25. Kemudian tahun 2006, standar kelulusan dinaikkan lagi menjadi 4,50.
Ujian Nasional tahun 2007 terjadi beberapa perubahan tentang standar
kelulusan yaitu harus memiliki nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang
diujikan minimal 5,00 dengan nilai tiap mata pelajaran tidak ada di bawah 4,25.
Kalaupun memiliki nilai 4,00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan, nilai
dua mata pelajaran lainnya yang diujikan harus 6,00. sedangkan di tingkat SMK
harus menggunakan ujian kompetensi. Semakin ruwet saja standar kelulusan
tahun 2007, namun pemerintah merasa standar ini lebih luwes karena ada
beberapa kategori yang dinyatakan lulus. Namun tidak akan diadakan ujian ulang
bagi siswa yang tidak lulus berarti mereka harus menempuh ujian paket B dan C.
Pada UN tahun 2008, mata pelajaran yang diujikan untuk tingkat SMA/MA
bertambah menjadi 6 mata pelajaran. Untuk program IPA, mata pelajaran yang
diujikan adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan
Biologi. Pada program IPS, mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi. Pada
program Bahasa, mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Matematika, Sastra Indonesia, Antropologi, dan Bahasa Asing lainnya.
Pada program Agama, mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, Matematika, Tafsir, Hadits, dan Tasawuf.
Madrasah Aliyah sebagai bagian dari jenjang pendidikan tingkat
menengah juga memerlukan upaya pengendalian, penjaminan dan penilaian
mutu dan kualitas. Sebagai upaya penilaian mutu dan kualitas Madrasah Aliyah
Negeri, pada tulisan ini akan dilakukan analisis hasil ujian nasional pada
Madrasah Aliyah Negeri seluruh Indonesia tahun 2008.
1.2. Tujuan
Analisis hasil ujian nasional Madrasah Aliyah Negeri tahun 2008 bertujuan
untuk :
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
64
1. Membandingkan angka ketidaklulusan siswa Madrasah Aliyah Negeri pada
ujian nasional tahun 2007 dan 2008.
2. Membandingkan hasil ujian nasional tahun 2008 antara Madrasah Aliyah
Negeri dan Sekolah Menengah Atas Negeri
3. Mendeskripsikan angka ketidaklulusan siswa Madrasah Aliyah Negeri pada
ujian nasional tahun 2008 setiap propinsi.
4. Mendeskripsikan karakteristik nilai ujian nasional Madrasah Aliyah Negeri
tahun 2008.
2. Bahan dan Metodologi
2.1. Bahan
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri tahun 2008
menggunakan data sekunder yang berasal dari Pusat Penilaian Pendidikan
(Puspendik) Departemen Pendidikan Nasional yang berisikan hasil-hasil ujian
nasional pada semua jenjang pendidikan mulai dari SD/MI, SMP/MTs, dan
SMA/K/MA dan data Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan tahun 2008.
Hasil ujian nasional tersebut meliputi angka ketidaklulusan siswa peserta UN
setiap propinsi pada setiap program studi yang diikutinya. Juga terdapat nilai
rata-rata ujian setiap mata pelajaran di setiap propinsi dan program studi. Daftar
lengkap dapat dilihat pada lampiran 1.
2.2. Metodologi
Analisis yang digunakan adalah analisis statistika deskriptif dan analisis
Biplot menggunakan fasilitas software Microsoft Excel dan SPSS versi 14.00.
3. Hasil dan Pembahasan
Ujian Nasional tahun 2008 pada jenjang Madrasah Aliyah Negeri diikuti
oleh 94.469 orang siswa. Jumlah siswa terbanyak berasal dari propinsi Jawa
Timur yaitu 16.446 siswa, kemudian propinsi Jawa Tengah berjumlah 13.603
siswa dan propinsi Jawa Barat berjumlah 11.259 siswa. Jumlah siswa peserta UN
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 65
paling sedikit untuk jenjang Madrasah Aliyah Negeri adalah propinsi Papua Barat
berjumlah 181 orang siswa.
Jumlah Peserta Ujian Nasional 2008
38.495
49.453
5.603
918-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
IPA IPS BHS AGM
Gambar 1. Jumlah Peserta Ujian Nasional 2008
Dari jumlah 94.469 orang siswa peserta UN tahun 2008 tersebut
mayoritas berasal dari program IPS yaitu 49.453 siswa, kemudian siswa program
IPA berjumlah 38.495 siswa, siswa program Bahasa berjumlah 5.603 siswa, dan
terakhir siswa program Agama berjumlah 918 siswa.
3.1. Ketidaklulusan Siswa pada Ujian Nasional Tahun 2007 dan 2008.
Pada Ujian Nasional tahun 2008 secara keseluruhan terdapat 8.015
(8,48%) siswa Madrasah Aliyah Negeri yang tidak lulus UN. Dari jumlah tersebut
persentase siswa yang tidak lulus terbesar terdapat pada siswa program Agama
yaitu sebanyak 116 (12,64%) siswa dari 918 siswa peserta UN. Selanjutnya
adalah siswa program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yaitu sebanyak 4.953
(10,02%) siswa dari 49.453 siswa peserta UN. Kemudian adalah siswa program
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yaitu sebanyak 2.612 (6,79%) siswa dari 38.495
siswa peserta UN. Dan terakhir adalah siswa program Bahasa yaitu sebanyak 334
(5,96%) siswa dari 5.603 siswa peserta UN. Secara grafis hal tersebut
ditunjukkan pada gambar 2.
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
66
Siswa Yang Tidak Lulus Pada UN 2008 (%)
6,79
10,02
5,96
12,64
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
IPA IPS BHS AGM
Gambar 2. Siswa MAN yang Tidak Lulus UN 2008
Fakta ini menunjukkan terdapat kenaikan ketidaklulusan siswa Madrasah
Aliyah Negeri pada tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada UN 2007
tercatat sejumlah 7,49% siswa MAN tidak lulus UN, sedangkan pada UN tahun
2008 siswa MAN tidak lulus berjumlah 8,48%. Lebih jelas ditampilkan pada
gambar 3 berikut :
7,49
8,48
6,8
7
7,2
7,4
7,6
7,8
8
8,2
8,4
8,6
2007 2008
Perbandingan Jumlah Siswa Tidak Lulus UN Tahun 2007 dan 2008 (%)
Gambar 3. Perbandingan Jumlah Siswa Tidak Lulus UN Tahun 2007 dan 2008
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 67
Jika dibandingkan antara Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN), maka dapat dilihat bahwa persentase siswa tidak
lulus di MAN lebih banyak pada program IPA dan IPS, sedangkan pada program
Bahasa tingkat ketidaklulusan siswa di MAN lebih sedikit dibandingkan dengan
SMAN. Pada program Bahasa siswa MAN yang tidak lulus adalah 5,96%
sedangkan di SMAN berjumlah 8,48%. Lebih lengkap dapat dilihat pada gambar
4 berikut :
Perbandingan Jumlah Siswa Tidak Lulus Di MAN dan SMAN (%)
4,32
9,098,48
6,79
10,02
5,96
0
2
4
6
8
10
12
IPA IPS BHS
SMAN MAN
Gambar 4. Perbandingan Jumlah Siswa Tidak Lulus di MAN dan SMAN pada UN 2008
3.2. Perbandingan Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri dan
Sekolah Menengah Atas Negeri Tahun 2008.
Nilai rata-rata ujian nasional siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) untuk
setiap mata ujian program IPA ternyata lebih rendah dibandingkan dengan nilai
rata-rata ujian nasional siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN). Hal ini
mengindikasikan untuk program IPA, secara umum dapat disimpulkan kualitas
siswa SMAN relatif lebih baik dibandingkan siswa MAN (Tabel 1). Tingkat
ketidaklulusan siswa MAN pun lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMAN
yaitu 6,79% berbanding 4,32%.
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
68
Tabel 1. Perbandingan Hasil Ujian Nasional Program IPA antara MAN dan SMAN
BIN ING MAT FIS KIM BIO TotalMAN 7,45 6,95 7,12 6,68 7,58 7,57 43,35 6,79%SMAN 7,72 7,39 7,62 7,00 7,87 7,91 45,51 4,32%
Nilai Ujian Program IPA Tidak LulusJenjang
Demikian pula untuk program IPS, nilai rata-rata ujian nasional siswa
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) untuk setiap mata ujian program IPS ternyata
lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata ujian nasional siswa Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN). Hal ini mengindikasikan untuk program IPS,
secara umum dapat disimpulkan kualitas siswa SMAN relatif lebih baik
dibandingkan siswa MAN (Tabel 2). Tingkat ketidaklulusan siswa MAN pun lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa SMAN yaitu 10,02% berbanding 9,09%.
Tabel 2. Perbandingan Hasil Ujian Nasional Program IPS antara MAN dan SMAN
BIN ING MAT EKO SOS GEO TotalMAN 6,95 6,56 6,89 7,65 7,63 6,41 42,09 10,02%SMAN 7,05 6,78 7,16 7,75 7,68 6,53 42,95 9,09%
Jenjang Nilai Ujian Program IPS Tidak Lulus
Untuk program Bahasa, nilai rata-rata ujian nasional siswa MAN pada
mata ujian Bahasa Indonesia, Sastra, Antropologi, dan Bahasa Asing lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa SMAN, hanya pada mata ujian Bahasa Inggris dan
Matematika nilai rata-rata ujian nasional siswa MAN lebih kecil dibandingkan
siswa SMAN. Tingkat ketidaklulusan siswa MAN pada program Bahasa pun lebih
rendah dibandingkan siswa SMAN yaitu 5,96% berbanding 8,48%. Hal ini
mengindikasikan, untuk program Bahasa kualitas siswa MAN lebih baik
dibandingkan siswa SMAN. Lebih lengkap dapat lihat pada tabel 3 berikut :
Tabel 3. Perbandingan Hasil Ujian Nasional Program Bahasa antara MAN dan SMAN
BIN ING MAT SAS ATR BAS TotalMAN 6,75 6,75 6,80 7,03 7,64 8,10 43,07 5,96%SMAN 6,65 6,79 6,94 7,00 7,48 7,64 42,50 8,48%
Jenjang Nilai Ujian Program Bahasa Tidak Lulus
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 69
3.3. Perbandingan Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Setiap
Propinsi
Pada UN 2008, ketidaklulusan siswa terbesar terdapat pada propinsi
Kalimantan Barat yaitu sebanyak 453 (36,86%) siswa dari 1.229 siswa peserta
UN. Kemudian propinsi Sulawesi Tengah yaitu sebanyak 275 (30,42%) siswa dari
904 siswa peserta UN. Sedangkan ketidaklulusan paling sedikit terdapat pada
propinsi Papua Barat, yaitu dari 181 siswa peserta UN seluruhnya lulus.
Siswa Tidak Lulus UN (%)
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
KALB
AR
SULT
ENG
NTB
BABE
L
NTT
BEN
GKU
LU
KEPR
I
NAD
SUM
BAR DIY
RIA
U
JAM
BI
MAL
UKU
KALS
EL
JATE
NG
SUM
UT
LAM
PUN
G
BALI
SULT
RA
SULS
EL
SULU
T
MAL
UT
JATI
M
KALT
IM
GTL
O
SULB
AR DKI
KALT
ENG
SUM
SEL
BAN
TEN
JABA
R
PABA
R
Gambar 5. Siswa yang Tidak Lulus UN 2008 Setiap Propinsi
Gambar 5 menunjukkan siswa tidak lulus terbanyak terdapat di propinsi
Kalimantan Barat, kemudian Sulawesi Tengah, NTB, Bangka Belitung, NTT,
Bengkulu, Kepulauan Riau dan Nanggroe Aceh Darussalam dengan
ketidaklulusan di atas 20% (Tabel 4). Propinsi Papua Barat merupakan propinsi
dengan siswa tidak lulus terendah yaitu 0%.
Bila dilihat berdasarkan program studinya, pada program IPA siswa tidak
lulus terbanyak terdapat di propinsi Kalimantan Barat yaitu berjumlah 135
(40,79%) siswa dari 331 siswa peserta UN. Sedangkan persentase terendah
siswa yang tidak lulus UN pada program IPA terdapat pada propinsi Sulawesi
Utara dan Papua Barat yaitu 0%.
Siswa tidak lulus pada program IPS terbanyak terdapat di propinsi
Sulawesi Tengah yaitu berjumlah 217 (42,80%) siswa dari 507 siswa peserta UN.
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
70
Sedangkan persentase terendah siswa yang tidak lulus UN pada program IPS
terdapat pada propinsi Papua Barat yaitu 0%.
Tabel 4. Ketidaklulusan UN Tahun 2008 setiap Propinsi
IPA IPS BHS AGM PesertaTdk
Lulus%
KALBAR 40,79 36,69 18,75 1.229 453 36,86 SULTENG 15,71 42,80 - 21,43 904 275 30,42 NTB 26,88 24,34 15,56 40,54 2.818 665 23,60 BABEL 25,48 20,98 381 87 22,83 NTT 21,09 31,72 4,49 847 193 22,79 BENGKULU 18,02 24,74 16,04 1.396 313 22,42 KEPRI 2,35 31,49 266 59 22,18 NAD 13,11 29,71 36,31 7.905 1.637 20,71 SUMBAR 13,00 16,50 1,82 12,26 4.294 625 14,56 DIY 18,97 12,44 - 1.710 243 14,21 RIAU 6,33 22,88 0,72 1,49 1.846 252 13,65 JAMBI 8,54 13,30 16,67 4,55 1.999 234 11,71 MALUKU 12,81 6,17 42,86 617 67 10,86 KALSEL 5,46 10,08 10,38 33,33 3.467 302 8,71 JATENG 6,59 10,28 2,97 13.603 1.160 8,53 SUMUT 10,58 4,62 20,31 24,66 5.268 438 8,31 LAMPUNG 13,46 2,82 1,06 - 2.575 180 6,99 BALI 1,09 9,69 - 347 20 5,76 SULTRA 2,97 6,78 22,73 1.040 57 5,48 SULSEL 1,31 6,30 6,21 3.195 125 3,91 SULUT - 8,25 3,13 - 275 9 3,27 MALUT 2,62 2,23 5,88 511 14 2,74 JATIM 1,55 3,73 1,01 - 16.446 427 2,60 KALTIM 1,32 2,61 - 1.058 22 2,08 GTLO 1,31 0,79 9,09 461 9 1,95 SULBAR 2,56 1,90 - 319 6 1,88 DKI 0,28 1,88 0,57 - 2.272 28 1,23 KALTENG 0,48 1,98 - 998 12 1,20 SUMSEL 0,36 1,75 2.595 30 1,16 BANTEN 0,41 0,82 - 2.387 15 0,63 JABAR 0,24 0,72 0,61 11.259 58 0,52 PABAR - - - 181 - -
TotalPropinsi
Persentase Tidak Lulus
Pada program Bahasa siswa tidak lulus terbanyak terdapat di propinsi
Maluku yaitu berjumlah 12 (42,86%) siswa dari 28 siswa peserta UN. Sedangkan
persentase terendah siswa yang tidak lulus UN pada program Bahasa terdapat
pada propinsi DIY, Sulteng, Kalteng, Kaltim, Bali, Banten, Sulbar, dan Papua
Barat yaitu 0%.
Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan propinsi dengan siswa tidak
lulus terbanyak pada program Agama yaitu berjumlah 15 (40,54%) siswa dari 37
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 71
siswa peserta UN. Sedangkan persentase terendah siswa yang tidak lulus UN
pada program Agama terdapat pada propinsi DKI Jakarta, Jatim, Lampung, dan
Sulut yaitu 0%.
3.4. Karakteristik Nilai Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri.
Karakteristik nilai ujian nasional bisa dilakukan dengan analis biplot.
Analisis Biplot merupakan upaya penampilan grafis dua dimensi terhadap tabel
dengan banyak variabel. Ada tiga hal penting yang bisa didapatkan dari tampilan
biplot yaitu ; (1) kedekatan antar objek : dimana informasi ini bisa dijadikan
panduan objek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan objek
tertentu; (2) keragaman variabel : informasi ini digunakan untuk melihat apakah
ada variabel tertentu yang nilainya hampir sama untuk setiap objek, atau
sebaliknya bahwa nilai dari setiap objek ada yang sangat besar dan ada juga
yang sangat kecil; (3) Korelasi antar variabel : informasi ini bisa digunakan untuk
menilai bagaimana variabel yang satu mempengaruhi/dipengaruhi variabel yang
lain.
Karena biplot adalah upaya membuat gambar di ruang berdimensi banyak
menjadi gambar di ruang dimensi dua. Pereduksian dimensi ini mempunyai
konsekuensi menurunnya besar informasi yang terkandung dalam biplot.
3.4.1. Program IPA
Pada hasil ujian nasional program IPA, analisis Biplot memberikan
gambaran terdapat dua kelompok propinsi yang terbentuk (Gambar 6).
Kelompok pertama adalah Jateng, Gorontalo, Kaltim, Lampung, DKI Jakarta,
Jatim, Bali, Jabar, Sulsel, Banten, Sumut, Sumsel, Riau, Sulut dan Sultra. Di
kelompok kedua adalah DIY, Kepulauan Riau, NTT, Kalbar, Babel, Bengkulu,
Sumbar, Kalteng, NTB, Sulbar, Maluku, Jambi, Maluku Utara, NAD, dan Sulteng.
Bila diperhatikan lebih lanjut pengelompokan propinsi tersebut dapat
dibedakan berdasarkan total nilai ujian nasional. Propinsi-propinsi yang berada di
kelompok satu mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan propinsi-propinsi yang
berada di kelompok dua.
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
72
Dari gambar dapat dilihat lebih jelas bahwa propinsi Jawa Tengah,
Gorontalo, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali relatif memiliki nilai
Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia lebih baik dibandingkan dengan propinsi
lain. Sedangkan propinsi Sumatera Utara, Riau, Sulawesi Tenggara, dan
Sumatera Selatan relatif memiliki nilai Biologi dan Kimia lebih baik dibandingkan
propinsi lain. Sebaliknya propinsi-propinsi yang tergabung dalam kelompok dua
memiliki nilai-nilai ujian nasional lebih rendah.
Gambar 6. Biplot Hasil UN Program IPA
Vektor variabel nilai Bahasa Indonesia dan Matematika membentuk sudut
tumpul hampir 180 derajat, hal ini menunjukkan kedua variabel tersebut
berkorelasi negatif. Yang berarti propinsi yang nilai Bahasa Indonesianya tinggi
relatif memiliki nilai Matematika yang rendah, begitupun sebaliknya.
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 73
3.4.2. Program IPS
Pada hasil ujian nasional program IPS, analisis Biplot memberikan
gambaran terdapat tiga kelompok propinsi yang terbentuk (Gambar 7).
Kelompok pertama adalah Jatim, Jabar, Kaltim, DKI Jakarta, dan Sulsel. Di
kelompok kedua adalah propinsi Gorontalo, Sumsel, Lampung, Banten, Jambi,
Sulut, dan Papua Barat. Selainnya masuk dalam kelompok ketiga seperti NTT,
Sulteng, Kepulauan Riau, Sulbar dan lain-lain.
Gambar 7. Biplot Hasil UN Program IPS
Dari gambar 7 diketahui propinsi Jatim, Jabar, Kaltim, DKI Jakarta, dan
Sulsel memiliki nilai rata-rata Sosiologi relatif lebih baik dibandingkan propinsi
lain. Sedangkan propinsi Gorontalo, Sumsel, Lampung, Banten, Jambi, Sulut, dan
Papua Barat memiliki nilai Bahasa Inggris, Ekonomi, dan Geografi lebih baik.
Vektor variabel nilai Sosiologi dan Geografi membentuk sudut tumpul
hampir 180 derajat, hal ini menunjukkan kedua variabel tersebut berkorelasi
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
74
negatif. Yang berarti propinsi yang nilai Sosiologinya tinggi relatif memiliki nilai
Geografi yang rendah, begitupun sebaliknya.
3.4.3 Program Bahasa
Pada hasil ujian nasional program Bahasa, analisis Biplot memberikan
gambaran terdapat tiga kelompok propinsi yang terbentuk (Gambar 8).
Kelompok pertama adalah Sulawesi Tengah, Gorontalo, Lampung, Banten, DKI
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, DIY, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Utara. Di kelompok kedua yaitu Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Papua Barat,
Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Bengkulu, dan NTB.
Selainnya masuk kelompok Ketiga yaitu Maluku, Riau, Jambi, Sulawesi Utara,
NTT, Maluku Utara, dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Gambar 8. Biplot Hasil UN Program Bahasa
Dari gambar 8 diketahui propinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Bali
memiliki nilai rata-rata Bahasa Asing dan Bahasa Inggris lebih baik dibandingkan
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 75
propinsi lain. Sedangkan propinsi DIY dan Sulsel memiliki nilai rata-rata lebih baik
pada mata ujian Matematika dan Sastra.
Vektor variabel nilai Antropologi dan Matematika membentuk sudut
tumpul hampir 180 derajat, hal ini menunjukkan kedua variabel tersebut
berkorelasi negatif. Yang berarti propinsi yang nilai Antropologinya tinggi relatif
memiliki nilai Matematika yang rendah, begitupun sebaliknya.
Panjang vektor nilai ujian Antropologi dan Matematika relatif lebih
panjang dibandingkan mata ujian yang lain, yang berarti nilai rata-rata
Antropologi dan Matematika lebih beragam dibandingkan mata ujian yang yang
lain.
3.4.4 Program Agama
Madrasah Aliyah Negeri yang menyelenggarakan program Agama hanya
terdapat pada 12 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Lampung, Kalbar, Kalsel, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Gambar 9. Biplot Hasil UN Program Agama
Gambar 9. Biplot Hasil UN Program Bahasa
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
76
Pada hasil ujian nasional program Bahasa, analisis Biplot memberikan
gambaran terdapat dua kelompok propinsi yang terbentuk (Gambar 9). Kelompok
pertama yaitu propinsi Lampung, Jambi, Jabar, Jatim, dan Sulut. Selainnya yaitu
Sumbar, Riau, Sumut, Kalbar, Kalsel, Sulteng dan NTB masuk kelompok kedua.
Propinsi Sulawesi Utara relatif memiliki nilai ujian Matematika lebih baik
dibandingkan propinsi lain. Vektor nilai bahasa Inggris dan Tasawuf membentuk
sudut tumpul hampir 180 derajat, hal ini menunjukkan kedua variabel tersebut
berkorelasi negatif. Yang berarti propinsi yang nilai Antropologinya tinggi relatif
memiliki nilai Matematika yang rendah, begitupun sebaliknya.
Panjang vektor nilai ujian Bahasa Inggris, Matematika dan Tasawuf relatif
lebih panjang dibandingkan mata ujian yang lain, yang berarti nilai rata-rata
Bahasa Inggris, Matematika dan Tasawuf lebih beragam dibandingkan mata ujian
yang yang lain.
4. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis hasil ujian nasional Madrasah
Aliyah Negeri tahun 2008 ini adalah :
• Persentase siswa yang tidak lulus terbesar terdapat pada siswa MAN
program Agama yaitu sebanyak 116 (12,64%) siswa dari 918 siswa peserta UN.
Selanjutnya adalah siswa program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yaitu sebanyak
4.953 (10,02%) siswa dari 49.453 siswa peserta UN. Kemudian adalah siswa
program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yaitu sebanyak 2.612 (6,79%) siswa dari
38.495 siswa peserta UN. Dan terakhir adalah siswa program Bahasa yaitu
sebanyak 334 (5,96%) siswa dari 5.603 siswa peserta UN.
• Pada UN 2008, ketidaklulusan siswa terbesar terdapat pada propinsi
Kalimantan Barat yaitu sebanyak 453 (36,86%) siswa dari 1.229 siswa peserta
UN. Kemudian propinsi Sulawesi Tengah yaitu sebanyak 275 (30,42%) siswa dari
904 siswa peserta UN. Sedangkan ketidaklulusan terendah terdapat pada propinsi
Papua Barat, yaitu dari 181 siswa peserta UN seluruhnya lulus.
• Terdapat kenaikan ketidaklulusan siswa Madrasah Aliyah Negeri pada
tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada UN 2007 tercatat sejumlah
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008 77
7,49% siswa MAN tidak lulus UN, sedangkan pada UN tahun 2008 siswa MAN
tidak lulus berjumlah 8,48%.
• Siswa MAN program Bahasa relatif mempunyai kualitas lebih baik
dibandingkan siswa SMAN yang ditunjukkan oleh nilai hasil ujian nasional dan
tingkat kelulusan yang lebih baik. Sedangkan untuk program IPA dan IPS siswa
SMAN relatif mempunyai kualitas lebih baik.
• Pada program IPA siswa tidak lulus terbanyak terdapat di propinsi
Kalimantan Barat yaitu berjumlah 135 (40,79%) siswa dari 331 siswa peserta UN.
Sedangkan persentase terendah siswa yang tidak lulus UN pada program IPA
terdapat pada propinsi Sulawesi Utara dan Papua Barat yaitu 0%.
• Siswa tidak lulus pada program IPS terbanyak terdapat di propinsi
Sulawesi Tengah yaitu berjumlah 217 (42,80%) siswa dari 507 siswa peserta UN.
Sedangkan persentase terendah siswa yang tidak lulus UN pada program IPS
terdapat pada propinsi Papua Barat yaitu 0%.
• Pada program Bahasa siswa tidak lulus terbanyak terdapat di propinsi
Maluku yaitu berjumlah 12 (42,86%) siswa dari 28 siswa peserta UN. Sedangkan
persentase terendah siswa yang tidak lulus UN pada program Bahasa terdapat
pada propinsi DI Yogyakarta, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Bali, Banten, Sulawesi Barat, dan Papua Barat yaitu 0%.
• Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan propinsi dengan siswa tidak
lulus terbanyak pada program Agama yaitu berjumlah 15 (40,54%) siswa dari 37
siswa peserta UN. Sedangkan persentase terendah siswa yang tidak lulus UN
pada program Agama terdapat pada propinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Lampung,
dan Sulawesi Utara yaitu 0%.
• Pada program IPA, propinsi Jawa Tengah, Gorontalo, Jawa Timur, DKI
Jakarta, Jawa Barat, dan Bali relatif memiliki nilai Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia lebih baik dibandingkan dengan propinsi lain. Sedangkan propinsi
Sumatera Utara, Riau, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Selatan relatif memiliki
nilai Biologi dan Kimia lebih baik dibandingkan propinsi lain.
• Pada program Bahasa, propinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Bali
memiliki nilai rata-rata Bahasa Asing dan Bahasa Inggris lebih baik dibandingkan
Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008
78
propinsi lain. Sedangkan propinsi DI Yogyakarta dan Sulawesi Selatan memiliki
nilai rata-rata lebih baik pada mata ujian Matematika dan Sastra.
5. Daftar Bacaan
Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama. 2007/2008. Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta. Depag. Departemen Statistika FMIPA IPB. 2006. Analisis Peubah Ganda. Bogor. FMIPA IPB. Keputusan Mendiknas No 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional (UAN). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 34/2007 tentang Ujian Nasional. Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Laporan Hasil Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007. Jakarta. Depdiknas. Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Laporan Hasil Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2007/2008. Jakarta. Depdiknas Tatham. Ronald. L, Anderson. Rolph.E, & Hair. Joseph. E. 1987. Multivariate Data Analysis. Second Edition. New York: Macmillan Publishing Company. Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Universitas Negeri Yogyakarta. 2007. Sejarah Ujian Nasional. Yogyakarta. UNY
Lampiran 1a
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH ALIYAH NEGERIPROGRAM IPA
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT FIS KIM BIO Total
1 DKI 726 2 0,28 7,80 7,24 7,67 7,17 7,49 7,75 45,12 2 JABAR 4.630 11 0,24 7,91 7,23 7,78 7,09 8,27 8,07 46,35 3 JATENG 5.131 338 6,59 7,61 6,71 6,52 6,98 7,09 6,96 41,87 4 DIY 580 110 18,97 8,14 6,41 5,12 5,73 6,02 6,46 37,88 5 JATIM 6.839 106 1,55 8,07 7,32 7,43 6,76 8,22 8,22 46,02 6 NAD 4.354 571 13,11 6,49 6,38 7,43 5,91 7,66 7,13 41,00 7 SUMUT 2.684 284 10,58 7,21 7,26 7,13 6,72 7,75 7,60 43,67 8 SUMBAR 1.415 184 13,00 7,59 6,68 6,31 5,83 7,12 7,89 41,42 9 RIAU 758 48 6,33 7,14 6,56 6,73 8,25 7,55 7,79 44,02
10 JAMBI 738 63 8,54 6,54 6,65 6,14 6,46 7,18 7,60 40,57 11 SUMSEL 1.108 4 0,36 7,42 7,54 7,84 7,91 7,87 7,73 46,31 12 LAMPUNG 1.033 139 13,46 7,16 7,29 6,36 7,19 7,43 7,59 43,02 13 KALBAR 331 135 40,79 7,14 5,55 5,35 5,12 5,18 6,26 34,60 14 KALTENG 416 2 0,48 7,40 6,94 6,56 6,83 6,76 6,41 40,90 15 KALSEL 1.209 66 5,46 7,22 7,25 6,77 7,03 7,01 7,48 42,76 16 KALTIM 378 5 1,32 7,39 7,36 7,03 6,94 7,29 7,87 43,88 17 SULUT 123 - - 7,34 7,16 8,99 7,07 7,75 8,66 46,97 18 SULTENG 331 52 15,71 5,89 5,32 6,66 6,33 7,21 7,21 38,62 19 SULSEL 1.527 20 1,31 7,67 7,67 8,55 6,06 7,87 8,10 45,92 20 SULTRA 539 16 2,97 7,08 6,66 7,57 7,49 8,22 7,81 44,83 21 MALUKU 281 36 12,81 6,94 6,62 6,48 5,57 6,50 7,64 39,75 22 BALI 92 1 1,09 7,92 7,57 7,72 7,37 8,10 8,35 47,03 23 NTB 919 247 26,88 6,64 5,82 6,19 5,87 6,27 6,49 37,28 24 NTT 256 54 21,09 7,17 5,87 5,40 4,91 5,36 5,41 34,12 25 BENGKULU 344 62 18,02 7,39 6,27 5,14 6,37 6,60 7,72 39,49 26 MALUT 191 5 2,62 6,36 6,02 7,13 6,25 6,79 6,79 39,34 27 BABEL 157 40 25,48 7,31 5,81 5,77 4,78 6,41 6,31 36,39 28 GTLO 153 2 1,31 7,51 7,25 7,40 5,71 7,48 7,35 42,70 29 BANTEN 975 4 0,41 7,42 7,62 7,75 6,90 7,76 7,91 45,36 30 KEPRI 85 2 2,35 7,72 7,10 5,82 6,44 6,64 6,47 40,19 31 SULBAR 117 3 2,56 6,61 6,29 6,90 6,18 6,29 6,12 38,39 32 PABAR 75 - - 7,16 6,87 6,75 7,84 7,51 7,25 43,38 33 PAPUA - - - - - - - - - -
38.495 2.612 6,79 7,45 6,95 7,12 6,68 7,58 7,57 43,35JUMLAH
JumlahNo
Mata UjianPropinsi
79
Lampiran 1c
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH ALIYAH NEGERIPROGRAM BAHASA
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT SAS ATR BAS Total
1 DKI 174 1 0,57 6,86 6,53 7,27 7,41 8,23 8,28 44,58 2 JABAR 815 5 0,61 7,35 7,60 7,57 7,19 7,86 8,67 46,24 3 JATENG 674 20 2,97 7,07 6,69 6,55 7,15 7,80 7,93 43,19 4 DIY 61 - - 7,21 6,79 6,86 7,17 7,78 7,72 43,53 5 JATIM 1.290 13 1,01 7,15 6,91 7,27 7,07 7,93 8,56 44,89 6 NAD 168 61 36,31 5,64 6,13 4,62 5,86 6,93 7,23 36,41 7 SUMUT 128 26 20,31 6,39 6,89 6,59 6,75 7,04 8,47 42,13 8 SUMBAR 110 2 1,82 6,77 6,53 5,88 7,02 7,07 7,89 41,16 9 RIAU 138 1 0,72 6,35 6,26 6,96 6,60 7,01 6,62 39,80
10 JAMBI 156 26 16,67 6,07 6,23 5,50 6,78 7,18 7,58 39,34 11 LAMPUNG 94 1 1,06 7,02 7,30 6,34 7,45 8,25 8,34 44,70 12 KALTENG 76 - - 6,83 6,19 7,39 6,81 6,74 7,09 41,05 13 KALSEL 212 22 10,38 5,91 6,43 6,12 6,94 8,20 8,25 41,85 14 KALTIM 29 - - 6,86 6,49 6,63 6,80 7,45 7,03 41,26 15 SULUT 32 1 3,13 6,48 7,10 8,70 7,16 6,97 7,87 44,28 16 SULTENG 38 - - 6,24 6,20 6,17 7,38 8,96 8,20 43,15 17 SULSEL 177 11 6,21 6,60 7,35 7,39 7,58 7,37 7,97 44,26 18 SULTRA 44 10 22,73 6,15 6,08 5,25 6,93 6,76 7,65 38,82 19 MALUKU 28 12 42,86 6,04 5,46 7,45 7,30 5,46 8,15 39,86 20 BALI 59 - - 7,08 6,52 7,89 7,48 8,41 8,74 46,12 21 NTB 572 89 15,56 6,20 6,36 6,49 7,07 7,01 7,50 40,63 22 NTT 178 8 4,49 5,80 5,86 6,19 6,45 7,53 6,83 38,66 23 BENGKULU 106 17 16,04 6,24 5,82 5,68 6,99 7,79 8,38 40,90 24 MALUT 51 3 5,88 6,07 5,44 5,91 6,31 6,75 6,95 37,43 25 GTLO 55 5 9,09 6,24 7,66 6,87 6,50 8,30 8,23 43,80 26 BANTEN 75 - - 6,75 6,49 6,15 7,39 7,67 9,03 43,48 27 SULBAR 44 - - 6,06 6,30 6,83 6,45 7,67 8,59 41,90 28 PABAR 19 - - 5,88 6,94 6,99 6,03 7,64 8,07 41,55 29 SUMSEL - - - - - - - - - 30 KALBAR - - - - - - - - - - 31 PAPUA - - - - - - - - - - 32 BABEL - - - - - - - - - - 33 KEPRI - - - - - - - - - -
5.603 334 5,96 6,75 6,75 6,80 7,03 7,64 8,10 43,07
Mata Ujian
JUMLAH
No PropinsiJumlah
81
Lampiran 1b
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH ALIYAH NEGERIPROGRAM IPS
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT EKO SOS GEO Total
1 DKI 1.327 25 1,88 7,27 6,64 6,98 8,00 7,96 6,83 43,68 2 JABAR 5.814 42 0,72 7,56 7,09 7,89 8,17 8,32 6,84 45,87 3 JATENG 7.798 802 10,28 7,07 6,34 6,14 7,60 7,27 6,14 40,56 4 DIY 1.069 133 12,44 7,62 5,87 6,08 7,46 7,63 6,14 40,80 5 JATIM 8.247 308 3,73 7,65 6,86 7,47 7,88 8,31 6,16 44,33 6 NAD 3.383 1.005 29,71 5,72 5,84 6,19 6,68 6,74 5,55 36,72 7 SUMUT 2.383 110 4,62 6,95 6,98 7,53 7,96 7,46 7,03 43,91 8 SUMBAR 2.345 387 16,50 6,64 6,14 6,45 7,31 7,66 5,88 40,08 9 RIAU 883 202 22,88 6,65 6,09 6,41 7,66 6,93 6,37 40,11
10 JAMBI 1.083 144 13,30 5,92 6,36 6,55 7,68 8,08 7,02 41,61 11 SUMSEL 1.487 26 1,75 7,13 7,10 7,40 7,80 7,37 7,10 43,90 12 LAMPUNG 1.416 40 2,82 6,73 7,02 6,89 8,24 7,67 7,33 43,88 13 KALBAR 834 306 36,69 6,54 5,03 6,00 6,59 6,77 5,56 36,49 14 KALTENG 506 10 1,98 7,00 6,42 6,37 7,19 6,59 6,62 40,19 15 KALSEL 2.013 203 10,08 6,60 6,92 6,63 7,53 7,29 6,73 41,70 16 KALTIM 651 17 2,61 7,06 6,78 7,10 7,82 7,98 6,59 43,33 17 SULUT 97 8 8,25 6,79 7,17 8,62 7,40 6,76 7,12 43,86 18 SULTENG 507 217 42,80 4,94 4,96 5,88 7,19 6,30 5,77 35,04 19 SULSEL 1.491 94 6,30 6,93 7,37 7,81 8,09 8,21 7,11 45,52 20 SULTRA 457 31 6,78 6,69 6,33 6,95 7,40 7,47 5,90 40,74 21 MALUKU 308 19 6,17 6,73 6,68 6,94 7,18 7,30 6,85 41,68 22 BALI 196 19 9,69 7,39 6,74 7,89 8,13 7,81 6,76 44,72 23 NTB 1.290 314 24,34 5,71 5,52 6,14 7,35 6,88 5,48 37,08 24 NTT 413 131 31,72 5,91 5,13 5,36 5,53 5,81 5,70 33,44 25 BENGKULU 946 234 24,74 6,17 5,87 5,66 7,05 7,64 6,55 38,94 26 MALUT 269 6 2,23 6,50 6,21 7,63 7,07 7,21 6,44 41,06 27 BABEL 224 47 20,98 6,89 5,69 5,73 6,43 7,21 5,41 37,36 28 GTLO 253 2 0,79 6,66 6,62 7,74 7,44 7,61 6,71 42,78 29 BANTEN 1.337 11 0,82 6,91 7,50 7,75 8,47 8,02 7,63 46,28 30 KEPRI 181 57 31,49 6,87 5,85 5,33 6,29 7,05 5,15 36,54 31 SULBAR 158 3 1,90 6,37 6,45 6,75 7,89 6,45 6,99 40,90 32 PABAR 87 - 7,08 6,53 6,87 8,17 6,72 8,69 44,06 33 PAPUA - - - - - - - - -
49.453 4.953 10,02 6,95 6,56 6,89 7,65 7,63 6,41 42,09
Mata Ujian
JUMLAH
No PropinsiJumlah
80
Lampiran 1d
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH ALIYAH NEGERIPROGRAM AGAMA
Peserta
Tdk Lulus
% BIN ING MAT TAF HAD TWF Total
1 JABAR 45 - - 7,59 6,92 8,08 6,79 7,71 7,73 44,82 2 JATIM 70 - - 8,30 6,93 8,47 8,11 8,56 8,75 49,12 3 SUMUT 73 18 24,66 5,72 7,08 6,37 7,15 7,06 6,87 40,25 4 SUMBAR 424 52 12,26 7,01 6,42 6,51 7,23 6,66 7,22 41,05 5 RIAU 67 1 1,49 6,38 5,93 7,29 7,22 6,88 7,09 40,79 6 JAMBI 22 1 4,55 6,15 6,15 7,08 7,72 7,95 7,99 43,04 7 LAMPUNG 32 - - 7,06 8,14 7,41 8,63 8,39 8,55 48,18 8 KALBAR 64 12 18,75 6,65 5,44 6,07 7,09 7,10 7,18 39,53 9 KALSEL 33 11 33,33 6,47 6,90 4,61 6,73 7,01 6,68 38,40
10 SULUT 23 - - 6,48 6,62 8,37 7,87 6,28 7,88 43,50 11 SULTENG 28 6 21,43 5,14 5,87 6,51 5,73 6,38 7,83 37,46 12 NTB 37 15 40,54 4,97 4,67 5,51 7,10 6,91 7,07 36,23 13 DKI JAKARTA - 14 JATENG - 15 DIY - 16 NAD - 17 KALTENG - 18 KALTIM - 19 SULSEL - 20 SULTRA - 21 MALUKU - 22 BALI - 23 NTT - 24 BENGKULU - 25 BABEL - 26 MALUT - 27 GTLO - 28 BANTEN - 29 SULBAR - 30 PABAR - 31 SUMSEL - 32 PAPUA - 33 KEPRI
918 116 12,64 6,77 6,42 6,73 7,27 7,03 7,40 41,62
Mata Ujian
JUMLAH
No PropinsiJumlah
82
Lampiran 1a
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH ALIYAH NEGERIPROGRAM IPA
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT FIS KIM BIO Total
1 DKI 726 2 0,28 7,80 7,24 7,67 7,17 7,49 7,75 45,12 2 JABAR 4.630 11 0,24 7,91 7,23 7,78 7,09 8,27 8,07 46,35 3 JATENG 5.131 338 6,59 7,61 6,71 6,52 6,98 7,09 6,96 41,87 4 DIY 580 110 18,97 8,14 6,41 5,12 5,73 6,02 6,46 37,88 5 JATIM 6.839 106 1,55 8,07 7,32 7,43 6,76 8,22 8,22 46,02 6 NAD 4.354 571 13,11 6,49 6,38 7,43 5,91 7,66 7,13 41,00 7 SUMUT 2.684 284 10,58 7,21 7,26 7,13 6,72 7,75 7,60 43,67 8 SUMBAR 1.415 184 13,00 7,59 6,68 6,31 5,83 7,12 7,89 41,42 9 RIAU 758 48 6,33 7,14 6,56 6,73 8,25 7,55 7,79 44,02
10 JAMBI 738 63 8,54 6,54 6,65 6,14 6,46 7,18 7,60 40,57 11 SUMSEL 1.108 4 0,36 7,42 7,54 7,84 7,91 7,87 7,73 46,31 12 LAMPUNG 1.033 139 13,46 7,16 7,29 6,36 7,19 7,43 7,59 43,02 13 KALBAR 331 135 40,79 7,14 5,55 5,35 5,12 5,18 6,26 34,60 14 KALTENG 416 2 0,48 7,40 6,94 6,56 6,83 6,76 6,41 40,90 15 KALSEL 1.209 66 5,46 7,22 7,25 6,77 7,03 7,01 7,48 42,76 16 KALTIM 378 5 1,32 7,39 7,36 7,03 6,94 7,29 7,87 43,88 17 SULUT 123 - - 7,34 7,16 8,99 7,07 7,75 8,66 46,97 18 SULTENG 331 52 15,71 5,89 5,32 6,66 6,33 7,21 7,21 38,62 19 SULSEL 1.527 20 1,31 7,67 7,67 8,55 6,06 7,87 8,10 45,92 20 SULTRA 539 16 2,97 7,08 6,66 7,57 7,49 8,22 7,81 44,83 21 MALUKU 281 36 12,81 6,94 6,62 6,48 5,57 6,50 7,64 39,75 22 BALI 92 1 1,09 7,92 7,57 7,72 7,37 8,10 8,35 47,03 23 NTB 919 247 26,88 6,64 5,82 6,19 5,87 6,27 6,49 37,28 24 NTT 256 54 21,09 7,17 5,87 5,40 4,91 5,36 5,41 34,12 25 BENGKULU 344 62 18,02 7,39 6,27 5,14 6,37 6,60 7,72 39,49 26 MALUT 191 5 2,62 6,36 6,02 7,13 6,25 6,79 6,79 39,34 27 BABEL 157 40 25,48 7,31 5,81 5,77 4,78 6,41 6,31 36,39 28 GTLO 153 2 1,31 7,51 7,25 7,40 5,71 7,48 7,35 42,70 29 BANTEN 975 4 0,41 7,42 7,62 7,75 6,90 7,76 7,91 45,36 30 KEPRI 85 2 2,35 7,72 7,10 5,82 6,44 6,64 6,47 40,19 31 SULBAR 117 3 2,56 6,61 6,29 6,90 6,18 6,29 6,12 38,39 32 PABAR 75 - - 7,16 6,87 6,75 7,84 7,51 7,25 43,38 33 PAPUA - - - - - - - - - -
38.495 2.612 6,79 7,45 6,95 7,12 6,68 7,58 7,57 43,35JUMLAH
JumlahNo
Mata UjianPropinsi
79
Lampiran 1c
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH ALIYAH NEGERIPROGRAM BAHASA
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT SAS ATR BAS Total
1 DKI 174 1 0,57 6,86 6,53 7,27 7,41 8,23 8,28 44,58 2 JABAR 815 5 0,61 7,35 7,60 7,57 7,19 7,86 8,67 46,24 3 JATENG 674 20 2,97 7,07 6,69 6,55 7,15 7,80 7,93 43,19 4 DIY 61 - - 7,21 6,79 6,86 7,17 7,78 7,72 43,53 5 JATIM 1.290 13 1,01 7,15 6,91 7,27 7,07 7,93 8,56 44,89 6 NAD 168 61 36,31 5,64 6,13 4,62 5,86 6,93 7,23 36,41 7 SUMUT 128 26 20,31 6,39 6,89 6,59 6,75 7,04 8,47 42,13 8 SUMBAR 110 2 1,82 6,77 6,53 5,88 7,02 7,07 7,89 41,16 9 RIAU 138 1 0,72 6,35 6,26 6,96 6,60 7,01 6,62 39,80
10 JAMBI 156 26 16,67 6,07 6,23 5,50 6,78 7,18 7,58 39,34 11 LAMPUNG 94 1 1,06 7,02 7,30 6,34 7,45 8,25 8,34 44,70 12 KALTENG 76 - - 6,83 6,19 7,39 6,81 6,74 7,09 41,05 13 KALSEL 212 22 10,38 5,91 6,43 6,12 6,94 8,20 8,25 41,85 14 KALTIM 29 - - 6,86 6,49 6,63 6,80 7,45 7,03 41,26 15 SULUT 32 1 3,13 6,48 7,10 8,70 7,16 6,97 7,87 44,28 16 SULTENG 38 - - 6,24 6,20 6,17 7,38 8,96 8,20 43,15 17 SULSEL 177 11 6,21 6,60 7,35 7,39 7,58 7,37 7,97 44,26 18 SULTRA 44 10 22,73 6,15 6,08 5,25 6,93 6,76 7,65 38,82 19 MALUKU 28 12 42,86 6,04 5,46 7,45 7,30 5,46 8,15 39,86 20 BALI 59 - - 7,08 6,52 7,89 7,48 8,41 8,74 46,12 21 NTB 572 89 15,56 6,20 6,36 6,49 7,07 7,01 7,50 40,63 22 NTT 178 8 4,49 5,80 5,86 6,19 6,45 7,53 6,83 38,66 23 BENGKULU 106 17 16,04 6,24 5,82 5,68 6,99 7,79 8,38 40,90 24 MALUT 51 3 5,88 6,07 5,44 5,91 6,31 6,75 6,95 37,43 25 GTLO 55 5 9,09 6,24 7,66 6,87 6,50 8,30 8,23 43,80 26 BANTEN 75 - - 6,75 6,49 6,15 7,39 7,67 9,03 43,48 27 SULBAR 44 - - 6,06 6,30 6,83 6,45 7,67 8,59 41,90 28 PABAR 19 - - 5,88 6,94 6,99 6,03 7,64 8,07 41,55 29 SUMSEL - - - - - - - - - 30 KALBAR - - - - - - - - - - 31 PAPUA - - - - - - - - - - 32 BABEL - - - - - - - - - - 33 KEPRI - - - - - - - - - -
5.603 334 5,96 6,75 6,75 6,80 7,03 7,64 8,10 43,07
Mata Ujian
JUMLAH
No PropinsiJumlah
81
Lampiran 1b
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH ALIYAH NEGERIPROGRAM IPS
PesertaTdk
Lulus% BIN ING MAT EKO SOS GEO Total
1 DKI 1.327 25 1,88 7,27 6,64 6,98 8,00 7,96 6,83 43,68 2 JABAR 5.814 42 0,72 7,56 7,09 7,89 8,17 8,32 6,84 45,87 3 JATENG 7.798 802 10,28 7,07 6,34 6,14 7,60 7,27 6,14 40,56 4 DIY 1.069 133 12,44 7,62 5,87 6,08 7,46 7,63 6,14 40,80 5 JATIM 8.247 308 3,73 7,65 6,86 7,47 7,88 8,31 6,16 44,33 6 NAD 3.383 1.005 29,71 5,72 5,84 6,19 6,68 6,74 5,55 36,72 7 SUMUT 2.383 110 4,62 6,95 6,98 7,53 7,96 7,46 7,03 43,91 8 SUMBAR 2.345 387 16,50 6,64 6,14 6,45 7,31 7,66 5,88 40,08 9 RIAU 883 202 22,88 6,65 6,09 6,41 7,66 6,93 6,37 40,11
10 JAMBI 1.083 144 13,30 5,92 6,36 6,55 7,68 8,08 7,02 41,61 11 SUMSEL 1.487 26 1,75 7,13 7,10 7,40 7,80 7,37 7,10 43,90 12 LAMPUNG 1.416 40 2,82 6,73 7,02 6,89 8,24 7,67 7,33 43,88 13 KALBAR 834 306 36,69 6,54 5,03 6,00 6,59 6,77 5,56 36,49 14 KALTENG 506 10 1,98 7,00 6,42 6,37 7,19 6,59 6,62 40,19 15 KALSEL 2.013 203 10,08 6,60 6,92 6,63 7,53 7,29 6,73 41,70 16 KALTIM 651 17 2,61 7,06 6,78 7,10 7,82 7,98 6,59 43,33 17 SULUT 97 8 8,25 6,79 7,17 8,62 7,40 6,76 7,12 43,86 18 SULTENG 507 217 42,80 4,94 4,96 5,88 7,19 6,30 5,77 35,04 19 SULSEL 1.491 94 6,30 6,93 7,37 7,81 8,09 8,21 7,11 45,52 20 SULTRA 457 31 6,78 6,69 6,33 6,95 7,40 7,47 5,90 40,74 21 MALUKU 308 19 6,17 6,73 6,68 6,94 7,18 7,30 6,85 41,68 22 BALI 196 19 9,69 7,39 6,74 7,89 8,13 7,81 6,76 44,72 23 NTB 1.290 314 24,34 5,71 5,52 6,14 7,35 6,88 5,48 37,08 24 NTT 413 131 31,72 5,91 5,13 5,36 5,53 5,81 5,70 33,44 25 BENGKULU 946 234 24,74 6,17 5,87 5,66 7,05 7,64 6,55 38,94 26 MALUT 269 6 2,23 6,50 6,21 7,63 7,07 7,21 6,44 41,06 27 BABEL 224 47 20,98 6,89 5,69 5,73 6,43 7,21 5,41 37,36 28 GTLO 253 2 0,79 6,66 6,62 7,74 7,44 7,61 6,71 42,78 29 BANTEN 1.337 11 0,82 6,91 7,50 7,75 8,47 8,02 7,63 46,28 30 KEPRI 181 57 31,49 6,87 5,85 5,33 6,29 7,05 5,15 36,54 31 SULBAR 158 3 1,90 6,37 6,45 6,75 7,89 6,45 6,99 40,90 32 PABAR 87 - 7,08 6,53 6,87 8,17 6,72 8,69 44,06 33 PAPUA - - - - - - - - -
49.453 4.953 10,02 6,95 6,56 6,89 7,65 7,63 6,41 42,09
Mata Ujian
JUMLAH
No PropinsiJumlah
80
Lampiran 1d
HASIL UJIAN NASIONAL 2008 MADRASAH ALIYAH NEGERIPROGRAM AGAMA
Peserta
Tdk Lulus
% BIN ING MAT TAF HAD TWF Total
1 JABAR 45 - - 7,59 6,92 8,08 6,79 7,71 7,73 44,82 2 JATIM 70 - - 8,30 6,93 8,47 8,11 8,56 8,75 49,12 3 SUMUT 73 18 24,66 5,72 7,08 6,37 7,15 7,06 6,87 40,25 4 SUMBAR 424 52 12,26 7,01 6,42 6,51 7,23 6,66 7,22 41,05 5 RIAU 67 1 1,49 6,38 5,93 7,29 7,22 6,88 7,09 40,79 6 JAMBI 22 1 4,55 6,15 6,15 7,08 7,72 7,95 7,99 43,04 7 LAMPUNG 32 - - 7,06 8,14 7,41 8,63 8,39 8,55 48,18 8 KALBAR 64 12 18,75 6,65 5,44 6,07 7,09 7,10 7,18 39,53 9 KALSEL 33 11 33,33 6,47 6,90 4,61 6,73 7,01 6,68 38,40
10 SULUT 23 - - 6,48 6,62 8,37 7,87 6,28 7,88 43,50 11 SULTENG 28 6 21,43 5,14 5,87 6,51 5,73 6,38 7,83 37,46 12 NTB 37 15 40,54 4,97 4,67 5,51 7,10 6,91 7,07 36,23 13 DKI JAKARTA - 14 JATENG - 15 DIY - 16 NAD - 17 KALTENG - 18 KALTIM - 19 SULSEL - 20 SULTRA - 21 MALUKU - 22 BALI - 23 NTT - 24 BENGKULU - 25 BABEL - 26 MALUT - 27 GTLO - 28 BANTEN - 29 SULBAR - 30 PABAR - 31 SUMSEL - 32 PAPUA - 33 KEPRI
918 116 12,64 6,77 6,42 6,73 7,27 7,03 7,40 41,62
Mata Ujian
JUMLAH
No PropinsiJumlah
82
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan
adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
c. bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf a, sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Guru dan Dosen;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 22 d, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
Dengan . . .
- 2 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
3. Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
4. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
5. Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal.
6. Satuan . . .
- 3 -
6. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.
7. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
8. Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
10. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
11. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.
12. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
13. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.
14. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
15. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
16. Penghasilan . . .
- 4 -
16. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.
17. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
18. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
19. Pemerintah adalah pemerintah pusat.
20. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
21. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 3
(1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 4 . . .
- 5 -
Pasal 4
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 5
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 6
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
BAB III
PRINSIP PROFESIONALITAS
Pasal 7
(1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang
pendidikan sesuai dengan bidang tugas; d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas; e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalan;
f. memperoleh . . .
- 6 -
f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
(2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi
dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
BAB IV
GURU
Bagian Kesatu Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
Pasal 8
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10
(1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
(2) Ketentuan . . .
- 7 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu.
Pasal 13
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
a. memperoleh . . .
- 8 -
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Guru . . .
- 9 -
(3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 16
(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan
tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 18 . . .
- 10 -
Pasal 18
(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. bertindak . . .
- 11 -
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagian Ketiga Wajib Kerja dan Ikatan Dinas
Pasal 21
(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan
ketentuan wajib kerja kepada guru dan/atau warga negara Indonesia lainnya yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan
pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan
dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.
(2) Kurikulum . . .
- 12 -
(2) Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan nasional, pendidikan bertaraf internasional, dan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
Bagian Keempat Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan,
dan Pemberhentian
Pasal 24
(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal sesuai dengan kewenangan.
(4) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.
Pasal 25
(1) Pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan . . .
- 13 -
(2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 26
(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan/atau promosi.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan, Pemerintah atau pemerintah daerah memfasilitasi kepindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangan.
(4) Pemindahan . . .
- 14 -
(4) Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi kenaikan pangkat rutin secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1 (satu) kali, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menandatangani pernyataan kesanggupan untuk ditugaskan di daerah khusus paling sedikit selama 2 (dua) tahun.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang telah bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih di daerah khusus berhak pindah tugas setelah tersedia guru pengganti.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan guru, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin keberlanjutan proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai guru yang bertugas di daerah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena: a. meninggal dunia; b. mencapai batas usia pensiun; c. atas permintaan sendiri; d. sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat
melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan; atau
e. berakhirnya . . .
- 15 -
e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.
(2) Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena: a. melanggar sumpah dan janji jabatan; b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama; atau c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1
(satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.
(3) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 60 (enam puluh) tahun.
(5) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang diberhentikan dari jabatan sebagai guru, kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.
Pasal 31
(1) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(2) Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Bagian Kelima
Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 32
(1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan . . .
- 16 -
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan fungsional.
(4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.
Pasal 33
Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 35
(1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.
(2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam . . .
- 17 -
Bagian Keenam Penghargaan
Pasal 36
(1) Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.
(2) Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 37
(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari guru nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh . . .
- 18 -
Bagian Ketujuh Perlindungan
Pasal 39
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
Bagian Kedelapan
Cuti
Pasal 40
(1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan . . .
- 19 -
Bagian Kesembilan Organisasi Profesi dan Kode Etik
Pasal 41
(1) Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen.
(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi. (4) Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.
Pasal 42
Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:
a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
b. memberikan bantuan hukum kepada guru;
c. memberikan perlindungan profesi guru;
d. melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
e. memajukan pendidikan nasional.
Pasal 43
(1) Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.
Pasal 44
(1) Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru.
(2) Keanggotaan . . .
- 20 -
(2) Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru.
(3) Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
(4) Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.
(5) Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
BAB V
DOSEN
Bagian Kesatu Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik
Pasal 45
Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 46
(1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian.
(2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum: a. lulusan program magister untuk program diploma atau
program sarjana; dan b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana.
(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen.
(4) Ketentuan . . .
- 21 -
(4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh masing-masing senat akademik satuan pendidikan tinggi.
Pasal 47
(1) Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada
perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; b. memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten
ahli; dan c. lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi
yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi untuk menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
(1) Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap.
(2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
(3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor.
(4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.
(2) Profesor . . .
- 22 -
(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.
(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 50
(1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen.
(2) Setiap orang, yang akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti proses seleksi.
(3) Setiap orang dapat diangkat secara langsung menduduki jenjang jabatan akademik tertentu berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Hak dan Kewajiban
Pasal 51
(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh . . .
- 23 -
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;
e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan
g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 53
(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan . . .
- 24 -
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
(1) Pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 55
(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Pemerintah memberikan tunjangan kehormatan kepada
profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi setara 2 (dua) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(2) Ketentuan . . .
- 25 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
(1) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu
langka berhak memperoleh dana dan fasilitas khusus dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.
Pasal 60
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban:
a. melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;
b. merencanakan . . .
- 26 -
b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
d. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
f. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagian Ketiga Wajib Kerja dan Ikatan Dinas
Pasal 61
(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan
ketentuan wajib kerja kepada dosen dan/atau warga negara Indonesia lain yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai dosen di daerah khusus.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara
Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 62
(1) Pemerintah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon dosen untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional, atau untuk memenuhi kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi
calon dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat . . .
- 27 -
Bagian Keempat Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian
Pasal 63
(1) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
Pasal 64
(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah dapat ditempatkan
pada jabatan struktural sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 65
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.
Pasal 66
Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 67 . . .
- 28 -
Pasal 67
(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai dosen karena: a. meninggal dunia; b. mencapai batas usia pensiun; c. atas permintaan sendiri; d. tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus
selama 12 (dua belas) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau
e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara dosen dan penyelenggara pendidikan.
(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatan sebagai dosen karena: a. melanggar sumpah dan janji jabatan; b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama; atau c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1
(satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.
(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.
(5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun.
(6) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang diberhentikan dari jabatan sebagai dosen, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.
Pasal 68
(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Bagian Kelima . . .
- 29 -
Bagian Kelima Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 69
(1) Pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen dilakukan melalui jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pembinaan dan pengembangan karier dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.
Pasal 70
Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 71
(1) Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen.
(3) Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
Pasal 72 . . .
- 30 -
Pasal 72
(1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam Penghargaan
Pasal 73
(1) Dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.
(2) Dosen yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah
khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 74
(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi keilmuan, dan/atau satuan pendidikan tinggi.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan tinggi, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan . . .
- 31 -
(4) Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan tinggi, hari pendidikan nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh Perlindungan
Pasal 75
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
(6) Dalam . . .
- 32 -
(6) Dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan
Cuti
Pasal 76
(1) Dosen memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
SANKSI
Pasal 77
(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran; b. peringatan tertulis; c. penundaan pemberian hak guru; d. penurunan pangkat; e. pemberhentian dengan hormat; atau f. pemberhentian tidak dengan hormat.
(3) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(4) Guru . . .
- 33 -
(4) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(5) Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.
(6) Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri.
Pasal 78
(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran; b. peringatan tertulis; c. penundaan pemberian hak dosen; d. penurunan pangkat dan jabatan akademik; e. pemberhentian dengan hormat; atau f. pemberhentian tidak dengan hormat.
(3) Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(5) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri.
Pasal 79 . . . Pasal 79
- 34 -
(1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, dan Pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa:
a. teguran; b. peringatan tertulis; c. pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan
pendidikan; atau d. pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan
pendidikan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
a. guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
b. dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
(2) Tunjangan . . .
- 35 -
(2) Tunjangan fungsional dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 81
Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan guru dan dosen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 82
(1) Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan
sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 83
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 84
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 36 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AD INTERIM, ttd YUSRIL IHZA MAHENDRA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 157
Salinan sesuai dengan aslinya
DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
ABDUL WAHID
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN
I. UMUM
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; dan (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
- 2 -
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
kedudukan . . .
Berdasarkan uraian di atas, pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan Undang-Undang ini sebagai berikut: 1. mengangkat martabat guru dan dosen; 2. menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen; 3. meningkatkan kompetensi guru dan dosen; 4. memajukan profesi serta karier guru dan dosen; 5. meningkatkan mutu pembelajaran; 6. meningkatkan mutu pendidikan nasional; 7. mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antardaerah
dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi; 8. mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah; dan 9. meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
- 3 -
Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Untuk meningkatkan penghargaan terhadap tugas guru dan dosen, kedudukan guru dan dosen pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi perlu dikukuhkan dengan pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, guru dan dosen harus memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Selain itu, perlu juga diperhatikan upaya-upaya memaksimalkan fungsi dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen, perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Selain . . .
Berdasarkan visi, misi, dan pertimbangan-pertimbangan di atas diperlukan strategi yang meliputi: 1. penyelenggaraan sertifikasi pendidik berdasarkan kualifikasi
akademik dan kompetensi; 2. pemenuhan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga
profesional yang sesuai dengan prinsip profesionalitas; 3. penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pengangkatan,
penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru dan dosen sesuai dengan kebutuhan, baik jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensi yang dilakukan secara merata, objektif, dan transparan untuk menjamin keberlangsungan pendidikan;
- 4 -
4. penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian para guru dan dosen;
5. peningkatan pemberian penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas profesional;
6. peningkatan peran organisasi profesi untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas sebagai tenaga profesional;
7. penguatan kesetaraan antara guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat;
8. penguatan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah dalam merealisasikan pencapaian anggaran pendidikan untuk memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional; dan
9. peningkatan peran serta masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen.
Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional merupakan bagian dari pembaharuan sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan, kepegawaian, ketenagakerjaan, keuangan, dan pemerintahan daerah. Sehubungan dengan hal itu, diperlukan pengaturan tentang kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam suatu Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.
II. PASAL DEMI PASAL . . .
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas. Pasal 2
Ayat (1)
- 5 -
Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4
Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8
Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 . . .
- 6 -
Pasal 10 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1)
huruf a Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua.
huruf b Cukup jelas.
- 7 -
huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas. huruf e Cukup jelas. huruf f Cukup jelas.
huruf g . . . huruf g Cukup jelas. huruf h Cukup jelas. huruf i Cukup jelas. huruf j Cukup jelas. huruf k Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 15 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja. Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga. Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.
- 8 -
Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada guru sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus. Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) . . . Ayat (3)
Tunjangan profesi dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Tunjangan fungsional dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran
- 9 -
pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 18 Ayat (1)
Tunjangan khusus dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru adalah berupa kesempatan dan keringanan biaya pendidikan bagi putra-putri guru yang telah memenuhi syarat-syarat akademik untuk menempuh pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) . . . Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 34 . . . Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45
Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan dosen dapat
- 12 -
melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.
Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 . . . Pasal 48 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dosen tetap adalah dosen yang bekerja penuh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu. Yang dimaksud dengan dosen tidak tetap adalah dosen yang bekerja paruh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tidak tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan secara langsung adalah tanpa berjenjang. Ayat (4) Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 51 Ayat (1) huruf a
Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dosen dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua.
huruf b Cukup jelas. huruf c Cukup jelas. huruf d Cukup jelas. huruf e Cukup jelas.
huruf f . . . huruf f Cukup jelas. huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja. Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga.
- 14 -
Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus. Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Lihat penjelasan Pasal 52 ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) . . . Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bidang ilmu yang langka adalah ilmu yang sangat khas, memiliki tingkat kesulitan tinggi, dan/atau mempunyai nilai-nilai strategis serta tidak banyak diminati. Yang dimaksud dengan dana dan fasilitas khusus adalah alokasi anggaran dan kemudahan yang diperuntukkan bagi dosen yang mendalami ilmu langka tersebut.
Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas.
- 16 -
Pasal 66 . . .
Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas.
- 17 -
Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas.
Pasal 81 . . . Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4586
- i -
SALINAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34 TAHUN 2007
TENTANG
UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH/SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA
(SMP/MTs/SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH/ SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMA/MA/SMALB), DAN SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN (SMK) TAHUN PELAJARAN 2007/2008
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 67 ayat (3), Pasal 71 dan
Pasal 72 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/MA/SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2007/2008;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 tahun 2006;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;
2
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007
tentang Standar Penilaian Pendidikan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG UJIAN NASIONAL SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH/ SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA (SMP/MTs/SMPLB), SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH/ SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA (SMA/MA/ SMALB), DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) TAHUN PELAJARAN 2007/2008.
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
2. SMPLB dan SMALB adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
luar biasa bagi peserta didik tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras. 3. BSNP adalah Badan Standar Nasional Pendidikan yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4. Kurikulum 1994 adalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang sudah
berlaku secara nasional sejak tahun pelajaran 1994/1995 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993, Nomor 061/U/1993 Tahun 1993, Nomor 080/U/1993, Nomor 126/U/1993, dan Nomor 129/U/1993.
5. Kurikulum 2004 adalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang sudah
diterapkan secara terbatas mulai tahun pelajaran 2001/2002 berdasarkan Keputusan
3
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 399a/C.C2/Kep/DS/2004, Keputusan Direktur Pendidikan Menengah Umum Nomor 766a/C4/MN/2003, dan Nomor 1247a/C4/MN/2003.
6. Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang selanjutnya disebut
standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006.
7. Prosedur operasi standar yang selanjutnya disebut POS adalah prosedur operasi
standar yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan ujian nasional yang ditetapkan oleh BSNP.
8. Kompetensi keahlian adalah kemampuan teknis peserta didik Sekolah Menengah
Kejuruan. 9. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 10. Departemen adalah Departemen Pendidikan Nasional. 11. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.
Pasal 2
Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 3 Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: a. Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; b. Seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; d. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan.
Pasal 4
(1) Setiap peserta didik yang belajar pada tahun akhir SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, dan SMK berhak mengikuti UN.
(2) Untuk mengikuti UN, peserta didik harus memenuhi persyaratan:
a. Memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar pada satuan pendidikan mulai semester I tahun pertama hingga semester I tahun terakhir; dan
b. Memiliki ijazah atau surat keterangan lain yang setara, atau berpenghargaan sama dengan ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah, atau memiliki bukti kenaikan kelas dari kelas III ke kelas IV untuk siswa Kulliyatul-Mu’alimin Al-Islamiyah (KMI)/Tarbiyatul-Mu’alimin Al-Islamiyah (TMI) yang pindah ke SMA, MA, dan SMK.
4
(3) Peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti UN di satuan pendidikan yang bersangkutan, dapat mengikuti UN di satuan pendidikan lain pada jenjang dan jenis yang sama.
(4) Peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat
mengikuti UN utama dapat mengikuti UN susulan.
(5) Peserta didik yang belum lulus UN berhak mengikuti UN pada tahun berikutnya.
Pasal 5
(1) UN utama dilaksanakan satu kali pada minggu keempat bulan April 2008. (2) UN susulan dilaksanakan satu minggu setelah UN utama. (3) Ujian kompetensi keahlian dilaksanakan sebelum UN utama.
Pasal 6
(1) Mata pelajaran yang diujikan pada UN:
a. Mata Pelajaran UN SMP, MTs, dan SMPLB meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA);
b. Mata Pelajaran UN SMA dan MA:
1) Program IPA, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi;
2) Program IPS, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi;
3) Program Bahasa meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing lain yang diambil, Sejarah Budaya (Antropologi), dan Sastra Indonesia; dan
4) Program Keagamaan meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, dan Tasawuf/Ilmu Kalam;
c. Mata Pelajaran UN SMALB meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan
Matematika; d. Mata Pelajaran UN SMK, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, dan Kompetensi Keahlian Kejuruan.
Pasal 7
(1) Standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional (SKLUN) Tahun 2008 merupakan
irisan (interseksi) dari pokok bahasan/sub pokok bahasan Kurikulum 1994, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2004, dan Standar Isi.
5
(2) SKLUN Tahun 2008 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 8 (1) Soal ujian dipilih dan dirakit dari soal yang disusun khusus, dan bank soal sesuai
dengan SKLUN Tahun 2008. (2) Bank soal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan dan dikelola oleh
Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). (3) Paket-paket soal UN ditelaah dan ditetapkan oleh BSNP.
Pasal 9
(1) Penggandaan soal UN dilakukan di tingkat provinsi oleh perusahaan percetakan
yang ditetapkan oleh penyelenggara UN tingkat provinsi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Untuk menjamin kelancaran distribusi soal UN, perusahaan percetakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
(3) Perusahaan percetakan yang dapat ditetapkan adalah perusahaan percetakan
yang memenuhi persyaratan kelayakan berdasarkan kriteria yang ditetapkan BSNP.
(4) Kriteria kelayakan percetakan meliputi:
a. Keamanan dan kerahasiaan; b. Kualitas hasil cetakan; c. Ketepatan waktu penyelesaian; dan d. Domisili percetakan.
Pasal 10 UN diselenggarakan oleh BSNP yang pelaksanaannya bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan satuan pendidikan.
Pasal 11
(1) Dalam penyelenggaraan UN, Menteri bertanggungjawab untuk:
a. Menetapkan sekolah/madrasah penyelenggara untuk peserta didik pada sekolah Indonesia di luar negeri;
b. Menetapkan jumlah dan sumber dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan UN;
c. Menyediakan blanko Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN); serta d. Memantau, mengevaluasi, dan menetapkan program tindak lanjut.
(2) Dalam penyelenggara UN, BSNP bertanggungjawab untuk: a. Membentuk penyelenggara UN tingkat pusat; b. Melaksanakan penjaminan mutu paket soal; c. Menyiapkan master soal bekerja sama dengan Puspendik;
6
d. Mengkoordinasikan pelaksanaan UN yang jujur; e. Memantau kesesuaian percetakan yang ditetapkan oleh gubernur; f. Melakukan supervisi pengolahan hasil pemindaian (scanning) lembar jawaban
ujian; g. Membentuk tim pemantau independen UN; h. Mengkoordinasikan kegiatan pemantauan UN; i. Menyusun dan menetapkan POS UN; j. Mengevaluasi pelaksanaan UN; k. Melaporkan pelaksanaan UN kepada Menteri.
(3) Dalam pelaksanaan UN, gubernur bertanggungjawab untuk:
a. Membentuk tim pelaksana UN tingkat provinsi; b. Menetapkan sekolah/madrasah pelaksana UN untuk peserta didik pada
SMPLB, SMA, MA, SMALB, dan SMK; c. Mendata dan menetapkan calon peserta UN; d. Mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan UN dengan perguruan tinggi di
wilayahnya sebagaimana yang ditetapkan oleh BSNP; e. Menetapkan jumlah dan sumber dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan
UN; f. Menggandakan soal ujian; g. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan lembar soal UN, lembar jawaban
yang sudah diisi oleh peserta ujian, dan dokumen pendukungnya; h. Mengkoordinasikan pengolahan hasil ujian di wilayahnya; i. Menjamin keamanan, kejujuran, dan kerahasiaan pemindaian lembar jawaban
UN; j. Menjamin objektivitas dan kredibilitas pelaksanaan UN di provinsi; k. Menerima hasil UN dari BSNP dan mengirimkannya kepada penyelenggara
UN tingkat kabupaten/kota; dan l. Melaporkan pelaksanaan UN di wilayahnya kepada Menteri.
(4) Dalam penyelenggaraan UN, perguruan tinggi berfungsi membantu pelaksanaan UN dan sebagai pemantau independen.
(5) Dalam kapasitas membantu pelaksanaan UN, perguruan tinggi bersama-sama
dengan penyelenggara UN Kabupaten/Kota menentukan pengawas UN sekolah/madrasah.
(6) Dalam penyelenggaraan UN, perguruan tinggi sebagai tim pemantau independen
bertanggungjawab untuk: a. Mengawasi percetakan yang menggandakan soal sebagaimana ditetapkan
penyelenggara tingkat provinsi; b. Mengawasi distribusi soal dan lembaran jawaban UN; c. Melakukan pengawasan pelaksanaan UN bersama-sama dengan pemerintah
daerah; d. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan lembar soal UN, lembar jawaban
yang sudah diisi oleh peserta ujian, dan dokumen pendukungnya; e. Mengawasi pemindaian lembar jawaban UN di tingkat provinsi; f. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan UN bersama-sama dengan
pemerintah daerah; g. Melaporkan pelaksanaan UN kepada gubernur dan BSNP.
(7) Dalam pelaksanaan UN, bupati/walikota bertanggungjawab untuk:
7
a. Mengkoordinasikan dan menjamin pelaksanaan UN yang jujur di wilayahnya; b. Membentuk penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota; c. Menetapkan sekolah/madrasah pelaksana UN untuk SMP dan MTs; d. Mendata dan menetapkan pengawas pelaksanaan UN bersama-sama dengan
perguruan tinggi yang ditetapkan BSNP; e. Menetapkan jumlah dan sumber dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan
UN; f. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan soal ujian dan dokumen
pendukungnya; g. Menjamin kejujuran pelaksanaan UN; h. Menjamin keamanan dan kerahasiaan proses pengumpulan dan penyimpanan
lembar jawaban UN yang sudah diisi beserta dokumen pendukungnya yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota dari satuan pendidikan penyelenggara UN;
i. Mengirimkan lembar jawaban sebagaimana dimaksud pada huruf (h) ke penyelenggara UN tingkat provinsi;
j. Menerima hasil UN dari penyelenggara UN tingkat provinsi dan mengirimkannya ke sekolah/madrasah penyelenggara UN;
k. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan UN bersama-sama dengan perguruan tinggi yang ditetapkan BSNP; dan
l. Melaporkan pelaksanaan ujian di wilayahnya kepada Menteri melalui gubernur. (8) Dalam pelaksanaan UN di luar negeri, Duta Besar Republik Indonesia
bertanggungjawab untuk: a. Mengkoordinasikan dan menjamin pelaksanaan UN yang jujur; b. Menetapkan calon peserta UN; c. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan soal ujian dan dokumen
pendukungnya; d. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan lembar jawaban UN yang sudah
diisi oleh peserta ujian beserta dokumen pendukungnya; e. Mengirimkan hasil pemindaian kepada BSNP; f. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan UN; dan g. Melaporkan pelaksanaan ujian di wilayahnya kepada Menteri.
(9) Dalam pelaksanaan UN, sekolah/madrasah bertanggungjawab untuk: a. Melakukan pendataan calon peserta UN; b. Mengamankan dan menjaga kerahasiaan soal ujian dan dokumen
pendukungnya; c. Melaksanakan ujian secara jujur dan amanah sesuai POS; d. Mengirimkan lembar jawaban ujian yang telah diisi oleh peserta ujian kepada
dinas kabupaten/kota; e. Menerima hasil UN dari penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota; f. Menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN); g. Menetapkan dan mengumumkan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan sesuai dengan ketentuan Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
h. Melaporkan pelaksanaan UN kepada pejabat yang menugaskannya.
Pasal 12
8
(1) Pengawasan di ruang ujian dilakukan oleh tim pengawas UN dengan sistem silang murni antara sekolah dengan madrasah.
(2) Kekurangan pengawas di sekolah penyelenggara yang disebabkan oleh jumlah
guru madrasah yang tidak mencukupi, maka pengawasan dilakukan dengan silang murni antar sekolah.
(3) BSNP dapat mengusulkan pengawas UN yang tidak berasal dari
sekolah/madrasah.
Pasal 13
(1) Pelaksanaan UN di setiap provinsi, kabupaten/kota dan sekolah/madrasah
dipantau oleh Tim Pemantau Independen (TPI). (2) Tugas TPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah memantau kesesuaian
penempatan pengawas, penerimaan dan penyimpanan soal, pelaksanaan pengawasan UN, pengumpulan lembar jawaban, pengiriman lembar jawaban ke penyelenggara UN kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai TPI diatur dalam POS tersendiri.
Pasal 14
(1) Pemindaian (Scanning) lembar jawaban UN dilakukan oleh penyelenggara UN tingkat provinsi dengan menggunakan sistem dan standar penilaian yang ditetapkan oleh BSNP.
(2) Daftar hasil pemindaian diskor oleh Puspendik dengan supervisi BSNP. (3) Daftar nilai hasil UN setiap sekolah/madrasah diisi oleh penyelenggara UN
tingkat provinsi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BSNP. (4) Puspendik mengelola arsip permanen dari hasil UN di bawah koordinasi dan
tanggung jawab BSNP.
Pasal 15
(1) Peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut: a. memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang
diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; atau
b. memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
9
(2) Pemerintah daerah dan/atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Peserta UN diberi Surat Keputusan Ujian Hasil Ujian Nasional (SKHUN) yang
diterbitkan oleh sekolah/madrasah penyelenggara.
Pasal 16
Biaya penyelenggaraan UN sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 17
(1) Perorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan
UN wajib menjaga kerahasiaan, kejujuran, keamanan, dan kelancaran penyelenggaraan UN.
(2) Perorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang melakukan pelanggaran atau
penyimpangan dalam penyelenggaraan UN dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Peserta didik yang terbukti melakukan kecurangan dalam mengerjakan soal UN
dinyatakan gagal dalam UN oleh satuan pendidikan penyelenggara UN, duta besar RI, bupati/walikota, gubernur, Kepala BSNP, atau Menteri.
Pasal 18
Hal-hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan UN diatur dalam POS.
Pasal 19
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2007 MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, TTD. BAMBANG SUDIBYO Salinan sesuai dengan aslinya. Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, Kepala Bagian Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I, Muslikh, S.H. NIP 131479478