analisis keragaman genetik kerbau … anggota : dr. ir. achmad farajallah, m.si. perkembangan ilmu...
TRANSCRIPT
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KERBAU LOKAL
(Bubalus bubalis) BERDASARKAN HAPLOTIPE
DNA MITOKONDRIA
SKRIPSI
WIWIN TARWINANGSIH
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
WIWIN TARWINANGSIH. 2009. Analisis Keragaman Genetik Kerbau Lokal
(Bubalus bubalis) Berdasarkan Haplotipe DNA Mitokondria. Skripsi. Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.
Perkembangan ilmu dan pengetahuan dalam biologi molekuler, khususnya
pada pengkajian karakter bahan genetik telah menghasilkan kemajuan yang sangat
pesat untuk perkembangan identifikasi organisme dan pemanfaatannya bagi
kesejahteraan manusia. Pengetahuan dari tingkat keragaman genetik dapat
menyediakan bahan dasar untuk keputusan dalam konservasi dan menjaga serta
memanfatkan ternak sebagai kekayaan bangsa. Analisis DNA mitokondria sering
digunakan untuk mempelajari keragaman genetik populasi dan hubungan filogenetik.
Genom mitokondria memiliki pewarisan sifat yang murni dari ibu/maternal. Salah
satu cara untuk melihat keragaman genetik adalah melalui pengamatan polimorfisme
DNA mitokondria (mtDNA) dengan mengggunakan teknik Polymerase Chain
Reaction- Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).
Penelitian ini bertujuan mempelajari dan membandingkan keragaman genetik
berdasarkan daerah d-loop genom mitokondria kerbau lokal (Bubalus bubalis) dan
mengkaji pola hubungan kekerabatan antar populasi daerah pengambilan sampel,
yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara dan Banten. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai dengan Januari 2009 di
Laboratorium Zoologi dan Laboratorium Terpadu, Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Sampel darah
kerbau yang digunakan dalam penelitian ini adalah 44 sampel yang dikumpulkan dari
beberapa tempat di Indonesia, masing-masing sebanyak 10 sampel dari Jawa Tengah,
12 sampel dari Nusa Tenggara Barat, 10 sampel dari Sumatera Utara dan 12 sampel
dari Banten.
Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer AF22 dan AF23 terhadap genom
mtDNA Bubalus bubalis adalah 1145 pasang basa (pb). Bagian yang digandakan
bermula dari ujung cyt-b hingga daerah pengendali (d-loop). Hasil pemotongan
dengan empat enzim restriksi (AluI, HaeIII, HinfI dan MspI) ditemukan dua
haplotipe mtDNA. Haplotipe pertama memiliki pola penyebaran luas di seluruh
wilayah pengambilan sampel, sedangkan haplotipe kedua hanya ditemukan pada satu
sampel dari wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan ada tidaknya situs restriksi dari
dua haplotipe, diperoleh nilai keragaman nukleotida (π) sebesar 0,17%. Perhitungan
jarak genetik dalam bentuk dendrogram menunjukkan bahwa sampel kerbau yang
berasal dari Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Banten diduga berasal dari
nenek moyang yang sama (D=0,0000). Begitu pula dengan sampel kerbau dari
Sumatera Utara berkerabat dekat dengan ketiga wilayah tersebut (D=0,0061).
Kata-kata kunci: gen mtDNA, kerbau, Bubalus bubalis, PCR-RFLP.
ABSTRACT
Genetic Diversity of Mitochondrial DNA of Local Buffalo (Bubalus bubalis)
Tarwinangsih, W., C. Sumantri and A. Farajallah
Mitochondrial genome (mtDNA) in vertebrate is a circular double stranded DNA
molecule. It has a high mutation rate and strictly maternally inherited. This research
was conducted to investigate the diversity among local buffalos based on mtDNA’s
control region. Samples that were used in this research were native buffalos from 10
Jawa Tengah, 12 Nusa Tenggara Barat, 10 Sumatera Utara and 12 Banten. By in
vitro amplification with Polymorphism Chain Reaction method (PCR) using a pair of
primer AF22 and AF23, yielded 1145 base pair long. The selected region is a
segment spanning the region of end part 3’ cyt-b gene through the partial of the 3’
control region (d-loop). The PCR product was digested with four restriction
enzymes, which were AluI (AG↓CT), HaeIII (GG↓CC), HinfI (G↓AnTC) and MspI
(C↓CGG). Two haplotypes were detected among 44 samples. The nucleotide
diversity among these haplotypes is 0,17%. Haplotype 1 found in all sample
locations, while haplotype 2 was only found in one sample from Sumatera Utara.
Genetically, the buffalos from Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat and Banten
guessed have a same origin heredity (D = 0,000) and they have a near kinship with
Sumatera Utara’s buffalo (D= 0,0061).
Keywords: mtDNA gene, buffalo, Bubalus bubalis, PCR-RFLP.
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KERBAU LOKAL
(Bubalus bubalis) BERDASARKAN HAPLOTIPE
DNA MITOKONDRIA
WIWIN TARWINANGSIH
D14052420
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KERBAU LOKAL
(Bubalus bubalis) BERDASARKAN HAPLOTIPE
DNA MITOKONDRIA
Oleh
WIWIN TARWINANGSIH
D14052420
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 07 April 2009
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc Dr. Ir. Achmad Farajallah, M. Si
Dekan Ketua Departemen
Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Juli 1987 di Kota Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak
Nanang Ruhyana dan Ibu Euis Rayaningsih.
Pendidikan kanak-kanak diselesaikan di TK PGRI Galunggung pada tahun
1993. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN Indihiang Gadis.
Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 1
Indihiang dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2005 di
SMAN 6 Kota Tasikmalaya.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis kembali diterima
sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor pada tahun 2006.
Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Penulis pernah
aktif dalam beberapa Organisasi Mahasiswa diantaranya Himpunan Mahasiswa
Tasimalaya (HIMALAYA), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-D), Paduan Suara
Graziono Shimphonia, dan beberapa keanggotaan profesional lainnya. Sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, Penulis menyelesaikan skripsi dengan
judul Analisis Keragaman Genetik Kerbau Lokal (Bubalus bubalis)
Berdasarkan Haplotipe DNA Mitokondria.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH AWT. atas segala rahmat, karunia, hidayah
serta kasing sayang-Nya sehingga Penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan
sripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad
SAW, keluarga, sahabat serta umatnya yang istiqomah di jalan-Nya.
Tulisan ini berjudul Analisis Keragaman Genetik Kerbau Lokal (Bubalus
bubalis) Berdasarkan Haplotipe DNA Mitokondria. Kerbau merupakan salah satu
jenis ternak ruminansia Indonesia yang mempunyai kelebihan untuk ditingkatkan
perannya terutama berkaitan dengan potensi genetik dan aspek lingkungannya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan membandingkan
keragaman genetik berdasarkan daerah d-loop genom mitokondria kerbau lokal
(Bubalus bubalis) dan mengkaji pola hubungan kekerabatan antar populasi daerah
pengambilan sampel, yaitu populasi Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera
Utara dan Banten. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini perlu dilakukan tahap
pendeteksian keragaman yang lebih lanjut guna mendapatkan hasil yang lebih jelas.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Peternakan (SPt.) di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Sepenuhnya
Penulis menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan dalam
tulisan ini. Sesungguhnya kesalahan dalam tulisan ini datang dari Penulis dan
kebenarannya datang dari Allah SWT. Penulis berharap, semoga tulisan ini dapat
memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan dunia peternakan di Indonesia.
Amin.
Bogor, April 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ........................................................................................... i
ABSTRACT ............................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xi
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................ 1
Tujuan ......................................................................................... 2
Manfaat ......................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
Kerbau ......................................................................................... 3
Populasi Kerbau di Indonesia ....................................................... 3
Potensi Ternak Kerbau ................................................................ 5
Keragaman Genetika Ternak ........................................................ 6
Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak .................................... 7
Karakteristik DNA Mitokondria ................................................. 8
Metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction
Fragment Lenght Polymorpmism) ............................................... 9
Sekuensing DNA........................................................................... 10
METODE .......................................................................................... 12
Lokasi dan Waktu ....................................................................... 12
Materi .......................................................................................... 12
Sampel Darah ................................................................... 12
Ekstraksi DNA .................................................................. 12
Primer ................................................................................ 12
Amplifikasi teknik Polymerase Chain Reaction-Restriction
Fragment Length Polymorphment (PCR-RFLP) .............. 13
Elektroforesis .................................................................. 13
Pewarnaan Perak ............................................................. 13
Halaman
Rancangan ................................................................................... 13
Keragaman Haplotipe (h) .................................................. 14
Keragaman Nukleotida (π)................................................ 14
Jarak Genetik (D) .............................................................. 14
Prosedur ...................................................................................... 15
Pengambilan Sampel Darah ............................................ 15
Isolasi DNA dari Sampel Darah ....................................... 15
Amplifikasi mtDNA dengan Teknik Polymerase Chain
Rection-Restriction Fragment Lengh Polymorphism
(PCR-RFLP) ................................................................... 15
Elektroforesis Produk PCR ............................................... 15
Pewarnaan Perak ............................................................... 16
Pemotongan dengan Enzim Restriksi ............................... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 17
Amplifikasi Ruas Target ............................................................. 17
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment
Length Polymorphment (PCR-RFLP) ........................................... 18
Keragaman Haplotipe (h) dan Nukleotia (π) .................... 24
Jarak Genetik .................................................................... 25
Manajemen Konservasi Genetik ................................................... 28
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 29
Kesimpulan ................................................................................. 29
Saran ........................................................................................... 29
UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 31
LAMPIRAN .......................................................................................... 33
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pola Pemotongan Enzim Restriksi .................................................... 19
2. Haplotipe mtDNA Masing-masing Populasi. ................................... 24
3. Keragaman Haplotipe mtDNA Bubalus bubalis di Wilayah Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara dan Banten. ........... 24
4. Jarak Genetik Berdasarkan Haplotipe ............................................... 25
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Genom Mitokondria Mamalia ......................................................... 8
2. Hasil Amplifikasi Daerah Pengendali mtDNA (Kolom M =
Marker (Penanda) 100 pb, Kolom 1-7= Pasangan Primer
AF22 dan AF23 ............................................................................... 17
3. Fragmen Gen D-loop (Cetak Hitam) dan Cyt-b (Cetak Biru)
Didasarkan pada Sekuens Gen mtDNA di GenBank (No
Akses Genbank AY702618) Hasil Amplifikasi PCR dengan
Menggunakan Pasangan Primer AF22_23 (Cetak Merah). ............ 18
4. Posisi Situs Potong Enzim Restriksi Alu1(AG↓CT), HaeIII
(GG↓CC), Hinf1 (G↓AnTC) dan Msp1 (C↓CGG). Mutasi
(Delesi) Terjadi pada Pirimidin T (Cetak Merah) dan (Transvesi)
Perubahan dari Basa Purin A Menjadi G (Cetak Biru).. ................. 19
5. Peta Situs Restriksi Dua Haplotipe mtDNA Bubalus bubalis
yang Dianalisis ................................................................................ 20
6. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim AluI. A= 423,
356, 182, 84, 57 dan 43 pb.. ......................................................... 22
7. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim HaeIII. A= 609,
151, 145, 126, 63, 41 dan 10 pb. ..................................................... 22
8. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim Hinf1. A= 700,
382 dan 63 pb, B= 700, 233,149 dan 63 pb. ................................... 23
9. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim MspI. A= 499,
260, 230, 123 dan 33 pb………………………………………….. 23
10. Dendogram Populasi Bubalus bubalis Wilayah Jawa Tengah (1),
Nusa Tenggara Barat (2), Sumatera Utara (3) dan Banten (4)……. 26
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Modifikasi Metode Isolasi DNA Menggunakan Genomic DNA
Mini Kit Geneiad ........................................................................... 34
2. Hasil Penjajaran (Alignment) DNA d-loop Genom Mitokondria
(Nomor Posisi Nukleotida Dibaca Secara Vertikal)……………... 35
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas
ternak di Indonesia termasuk ternak kerbau. Populasi ternak kerbau dari data statistik
peternakan sampai tahun 2006 adalah 2,201 juta ekor (Badan Pusat Statistik, 2006).
Informasi yang diketahui mengenai jumlah populasi ternak kerbau pada tahun 2007
adalah 2,5 juta ekor. Namun jika dilihat dari sumbangan daging, kontribusi kerbau
sejumlah 41 ribu ton per tahun, maka peran kerbau dalam suplai daging hanya sekitar
8%. Hal ini terjadi karena budidaya ternak kerbau masih dipelihara secara ekstensif
dan masyarakat Indonesia secara umum hanya menjadikan ternak kerbau sebagai
usaha sampingan saja. Pemahaman ini harus diubah kerena produktivitas kerbau
sebenarnya tidak lebih rendah daripada sapi. Selain itu dagingnya juga memiliki nilai
gizi yang cukup tinggi.
Keragaman genetik ternak baru-baru ini sangat diminati oleh peneliti dan
praktisi yang menyadari efek negatif dari hilangannya sumber daya genetik. Isolasi
keragaman kerbau dari populasi terjadi selama beberapa abad, bersamaan dengan
adopsi manajemen lokalisasi dan metode seleksi menjadikan keragaman genetik
menjadi suatu subjek yang harus diperhatikan untuk diselidiki dalam mengetahui asal
keturunan, sejarah dan evolusi, penyakit, ketahanan terhadap stres, kualitas dan
komposisi dari produk, serta adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda. Oleh
karena itu, pengetahuan dari tingkat keragaman genetik dapat menyediakan bahan
dasar untuk keputusan dalam konservasi serta menjaga dan memanfaatkan ternak
kerbau sebagai kekayaan bangsa (Moioli et al., 2001).
Umumnya keragaman genetik dari suatu populasi dapat terjadi karena adanya
mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat ke tempat lain. Perkembangan
ilmu dan pengetahuan dalam biologi molekuler, khususnya pada pengkajian karakter
bahan genetik telah menghasilkan kemajuan yang sangat pesat bagi perkembangan
penelaahan suatu organisme dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan manusia. Secara
umum penggunaan teknik molekuler untuk tujuan identifikasi suatu organisme
mempunyai keunggulan yaitu lebih akurat dan lebih cepat. (Moioli et al., 2001).
Salah satu metode analisa keragaman genetik pada tingkat biologi molekuler
yang dapat diaplikasikan adalah Deoxiribonucleic acid (DNA) mitokondria
(mtDNA). Metode ini banyak digunakan untuk mempelajari keragaman genetik
hewan dan hubungan sistematis pada berbagai tingkat hierarki (Lamb dan Osentoski,
1995) dikarenakan mtDNA bersifat maternal, yaitu murni diturunkan dari induk
betina. Genom mitokondria juga memiliki ukuran yang relatif kecil yaitu ± 16500 pb
dan memiliki laju evolusi yang cepat terutama pada daerah pengendali (d-loop)
sehingga menimbulkan keragaman yang tinggi pada sekuen mtDNA intraspesies
(Avise, 1994). Untuk mengetahui keragaman genetik daerah pengendali mtDNA
dapat dilakukan dengan mengggunakan teknik Polymerase Chain Reaction –
Restrictsion Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dan membandingkan keragaman
genetik berdasarkan daerah d-loop genom mitokondria kerbau lokal (Bubalus
bubalis) dan mengkaji pola hubungan kekerabatan antar populasi daerah
pengambilan sampel, yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara dan
Banten.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar bagi dunia
peternakan dalam menerapkan strategi konservasi dan manajemen populasi yang
tepat. Dalam jangka panjang, potensi kerbau lokal bisa dioptimalkan dengan sistem
breeding dan pemeliharaan secara intensif.
TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau
Berdasarkan klasifikasi taksonomi Bubalus bubalis, termasuk famili Bovidae,
dan subfamily Bovinae, genus Bubalus. Dari genus Bubalis ini terdapat 4 species
yaitu: Bubalus bubalis (Wild Asian Buffalo), Bubalus mindorensis (Tamaraw),
Bubalus depressicornis (Lowland Anoa), dan Bubalus quariesi (Mountain Anoa).
Kerbau Asia pada saat ini dalam kondisi endangered dan kemungkinan terancam
akan punah dalam waktu dekat, kecuali ada upaya efektif konservasi yang segera
dilakukan. (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).
Menurut sejarah perkembangan domestikasi, ternak kerbau yang berkembang
di seluruh dunia berasal dari daerah sekitar India. Diduga kerbau telah lama dibawa
ke Jawa, yaitu pada saat perpindahan nenek moyang kita dari India ke Jawa pada
tahun 1.000 SM (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Umumnya semua tipe kerbau
domestik (Bubalus bubalis) dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau sungai
(riverine buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo). Kromosom
kerbau liar Asia maupun kerbau domestik (kerbau rawa) adalah 2n = 48, sedangkan
kerbau sungai (riverine buffalo) adalah 2n = 50. Kedua kelompok kerbau ini
mempunyai sifat biologis yang berbeda. Kerbau tipe lumpur biasa digunakan sebagai
ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagi penghasil daging dan tidak pernah
sebagai penghasil susu, sedangkan kerbau sungai merupakan tipe penghasil susu
(Hasinah dan Handiwirawan, 2006).
Populasi Kerbau di Indonesia
Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia.
Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2006) menunjukkan bahwa jumlah
populasi kerbau di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 2001, 2005, 2006 dan 2007
berturut–turut adalah sebanyak 2,333 juta ekor, 2,428 juta ekor, 2,201 juta ekor dan
dan 2,500 juta ekor yang menyebar hampir di seluruh propinsi tetapi tidak merata
jumlahnya. Lima propinsi yang memiliki populasi ternak kerbau terbanyak di
Indonesia adalah Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa
Barat dan Nusa Tenggara Barat, yang masing-masing berjumlah 340.031, 261.308,
211.008, 156.570 dan 156.568 ekor.
Populasi kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau lumpur dan
hanya sedikit kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara
oleh masyarakat keturunan India dan digunakan sebagai penghasil susu (Hasinah dan
Handiwirawan, 2006). Kerbau lumpur yang berkembang dan dibentuk menurut
agroekosistem memunculkan berbagai tipe kerbau. Indonesia mempunyai berbagai
bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya kemudian beradaptasi
dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat. Di Toraja
ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau Rawa, di Tapanuli Selatan
ada kerbau Binanga, di Kalimantan Selatan ada kerbau Kalang dan di Maluku ada
kerbau Moa. Disamping itu di daerah Taman Nasional Baluran didapatkan pula
kerbau liar. Hanya sedikit sekali kerbau lumpur yang dimanfaatkan air susunya,
karena produksi susunya sangat rendah yaitu hanya 1-1,5 l/hari, dibandingkan
dengan tipe sungai yang mampu menghasilkan susu sebanyak 6-7 l/hari. Terdapat
pula jenis kerbau sungai yang hidup di Sumatera Utara yang dikenal sebagai Murrah
yang memiliki kemampuan produksi susu sekitar 8 liter per hari (Subandryo, 2008).
Kerbau yang ada di Indonesia umumnya jenis kerbau lumpur dengan
keragaman warna, ukuran dan tingkah laku yang cukup besar. Ciri-ciri fisik kerbau
sungai yaitu memiliki tanduk melingkar ke bawah atau lurus memanjang dan
memiliki bulu berwarna hitam atau abu-abu agak gelap. Sedangkan kerbau rawa atau
kerbau lumpur umumnya memiliki tanduk melengkung ke atas dan memiliki bulu
berwarna abu–abu terang. Asoen (2008) melakukan pengamatan terhadap kerbau
rawa yang menghasilkan 96,2% dari jumlah kerbau memiliki bentuk tanduk normal
yang memanjang ke belakang lalu melengkung ke atas. Kerbau rawa yang diamati
memiliki warna abu–abu terang (36,5%), abu–abu gelap (29,5%) coklat dan merah
masing–masing 11% dan 19%. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Erdiansyah (2008) di Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat menunjukkan
bahwa kerbau yang terdapat di daerah tersebut merupakan kerbau rawa dengan jenis
tanduk melingkar ke atas sebesar 98%. Sifat khas warna kulit berkaitan dengan hasil
pengukuran morfometrik tubuh kerbau dimana kerbau yang memiliki warna kulit
merah dan coklat memiliki ukuran relatif lebih kecil dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Asoen (2008).
Garis kalung merupakan ciri spesifik kerbau rawa. Berdasarkan hasil
penelitian Sitorus (2008) ditemukan lima variasi garis kalung pada kerbau rawa yaitu
tunggal di bagian atas, tunggal di bagian bawah, tunggal di bagian bawah dan
bercabang, double yaitu di leher bagian atas dan bawah, serta double dengan bagian
bawah yang bercabang. Hasil penelitian Erdiansyah (2008) adalah terdapat 1,5%
kerbau lokal di Nusa Tenggara Barat tidak memiliki chevron dan 18,5% yang
memiliki chevron tunggal.
Kaki kerbau lokal umumnya berwarna terang. Hasil penelitian yang diperoleh
Sitorus (2008) terdapat dua variasi warna kaki kerbau rawa yaitu 94,12% berwarna
abu–abu muda dan hanya 5,88% berwarna abu-abu. Warna hitam pada kaki
ditemukan hanya 4% dari populasi kerbau lokal yang diamati. Kerbau rawa
umumnya memiliki jenis teracak mangkok sehingga banyak digunakan untuk
mengolah lahan pertanian karena kemampuannya menekan keras ke bawah
(Erdiansyah, 2008).
Penelitian yang dilakukan Hidayat (2007) menunjukkan bahwa antara kerbau
Banten dan Sumatera Utara mempunyai ukuran tubuh yang berbeda, kerbau
Sumatera Utara mempunyai tinggi pundak dan lingkar dada yang lebih besar
dibandingkan kerbau Banten. Rataan tinggi pundak kerbau Banten adalah 120 cm
dan Sumaera Utara 126 cm. Rataan lingkar dada kerbau Banten adalah 170 cm dan
Sumatra Utara 182 cm. Rataan panjang badan kerbau Banten 121 cm dan kerbau
Sumatera Utara yaitu 118 cm.
Potensi Ternak Kerbau
Kerbau lokal mempunyai potensi yang besar untuk dapat dikembangkan
sebagai ternak penghasil daging karena menghasilkan bobot karkas yang relatif lebih
tinggi dibandingkan sapi lokal serta telah biasa dipelihara di perdesaan (Hasinah dan
Handiwirawan, 2006). Kerbau dapat berkembang dalam rentang kondisi
agroekosistem yang sangat luas, dari daerah dengan kondisi yang basah sampai
dengan kondisi yang kering. Melihat kemampuan adaptasi kerbau tersebut,
pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di
Indonesia dengan memperhatikan jenis kerbau dan daya adaptasinya (Diwyanto dan
Handiwirawan, 2006).
Daging kerbau lebih merah dibanding daging sapi karena mempunyai
pigmentasi yang lebih banyak dan kurang lemak intramuskuler. Kondisi ini
menyebabkan daging kerbau relatif lebih keras dibanding sapi, tetapi justru disukai
sebagian konsumen yang memiliki resep masakan tradisional yang unik. Secara
umum harga daging dan kerbau hidup lebih rendah dibandingkan sapi, kecuali di
beberapa daerah yang memang menyukai daging kerbau. Dengan harga yang lebih
rendah maka pasar bagi daging kerbau menjadi lebih luas, banyak konsumen yang
mampu untuk membelinya sehingga peluang pengembangannya menjadi lebih
terbuka (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).
Keragaman Genetika Ternak
Keragaman genetik adalah hirarki yang paling rendah dalam tingkatan
keragaman hayati. Hal ini mencakup area yang meliputi keragaman habitat,
komunitas, populasi sampai dengan spesies. Keragaman genetik merupakan
cerminan keragaman di dalam spesies yang secara umum disebut subspesies.
Terminologi sumberdaya genetik diartikan untuk merefleksikan adanya keragaman
genetik di dalam satu spesies sampai pada tingkat DNA. Semakin beragam
sumberdaya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka
yang lama serta semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan
lingkungan (Frankham et al., 2002).
Keragaman genetika dihasilkan oleh mutasi, sedangkan perubahan frekuensi
alel disebabkan oleh migrasi, seleksi dan penghanyutan gen (genetic drift).
Berkurangnya keragaman genetika atau terlalu banyaknya kondisi homozigot dapat
membahayakan daya tahan dan fitness suatu spesies atau populasi. Hal ini
dikarenakan setiap kombinasi gen memiliki respon berbeda-beda terhadap kondisi
lingkungan. Adanya berbagai macam gen dari individu-individu di dalam populasi,
berbagai perubahan lingkungan dapat direspon lebih baik (Frankham et al., 2002).
Kehilangan keragaman genetika dapat muncul oleh mekanisme: (1) punahnya
spesies dan populasi; (2) fiksasi (penetapan/pemilihan) alel-alel yang
menguntungkan oleh seleksi; (3) penghapusan secara selektif alel-alel yang
merugikan; (4) hilangnya alel-alel secara acak oleh sampling dalam populasi kecil;
dan (5) silang dalam (inbreeding) di dalam populasi yang dapat mengurangi
heterozigositas. Pemeliharaan keragaman genetika merupakan fokus utama dalam
konservasi biologi. Hal ini dikarenakan: (1) perubahan lingkungan merupakan proses
yang berkelanjutan sehingga keragaman genetika diperlukan populasi untuk
berkembang dan beradaptasi terhadap perubahan; dan (2) kehilangan keragaman
genetika berhubungan dengan silang dalam (inbreeding) dan pengurangan dalam
fitness reproduksi. Aktivitas yang berlangsung dalam konservasi biologi (genetika)
ini meliputi: (1) manajemen genetika populasi kecil untuk memaksimalkan daya
tahan keragaman genetika dan meminimalkan silang dalam (inbreeding); (2)
memecahkan kembali permasalahan taksonomi dan juga mengggambarkan unit
manajemennya; dan (3) penggunaan analisa genetika molekular dalam forensik dan
untuk memahami biologi suatu spesies (Frankham et al., 2002).
Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pemuliaan ternak,
bioteknologi, permintaan pasar, mekanisme pertanian dan produksi ternak, akan
mendorong eksploitasi ternak melalui persilangan, penggantian breed baru, maupun
pengurasan stock secara berlebihan, dan pada gilirannya akan mengancaam
keragaman genetik ternak. Di lain pihak pelestarian keragaman genetik ternak akan
selalu diperlukan dalam pemuliaan di masa mendatang, karena tanpa adanya
keragaman genetik, pemuliaan ternak tidak mungkin dilaksanakan untuk
mengantisipasi keperluan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi, 2003).
Pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak lokal sebagai bagian dari
komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan
pangan, pertanian dan pengembangan sosial masyarakat di masa yang akan datang.
Studi mengenai struktur dan fungsi gen-gen pada tingkat molekuler suatu populasi
ternak dapat membantu menentukan kesamaan material genetik yang dibawa oleh
dua atau lebih populasi dan keragaman genetik dalam populasi ternak yang diamati.
Identifikasi gen-gen dari individu ternak akan membantu program pemuliaan
(genetika) ternak, yang membedakan dari penampilan (fenotipe) yang tampak, yang
dapat menentukan proses pemilihan tetua unutk generasi yang akan datang (seleksi
buatan) (Subandriyo dan Setiadi, 2003).
Karakteristik DNA Mitokondria
Sumber DNA dapat diperoleh dari organel-organel sitoplasmik antara lain
DNA mitokondria. Genom mitokondria memiliki karakteristik, dan memiliki
molekul DNA yang diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, ukuran
molekulnya kecil/pendek yang susunannya berbeda dengan DNA inti, dan memiliki
variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti. Tingginya variasi
nulkeotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5-10 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan DNA inti (Muladno, 2006). Ilustrasi peta genetik
mtDNA mamalia dapat dijelaskan pada Gambar 1.
Gambar 1. Genom Mitokondria Mamalia (http://commons.wikimedia.org/wiki/
Image: Mitochondrial_DNA_it.png)
Genom mitokondria merupakan organel sel yang terbesar pada sel hewan
setelah nukleus, memiliki utas ganda yang berbentuk sirkuler pasang basa, organel
intrasel pada organisme eukaryot yang berperan dalam suplai energi yang diperlukan
oleh sel. Energi dalam bentuk Adenosin Triphosphat (ATP) diproduksi di
mitokondria melalui proses fosforilasi oksidatif (OXPHOS). Mitokondria memiliki
molekul DNA tersendiri dengan ukuran kecil yang susunannya berbeda dengan
DNA inti. Ukuran genom mitokondria relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan
ukuran genom intinya (Solihin, 1994).
Karakteristik mtDNA berbeda dari DNA inti antara lain hampir pada semua
aspek. Ditinjau dari aspek pewarisan, DNA inti diwariskan dari kedua orang tua dan
gen-gennya ditata ulang dalam proses rekombinasi, sementara mtDNA hanya
diwarisi dari ibu (matrilineal) dan biasanya tidak ada perubahan dari orang tua ke
keturunannya. Walaupun mtDNA juga mengalami rekombinasi, hal ini dilakukan
dengan mengkopi dirinya sendiri di dalam mitokondrion yang sama. Karena itu,
ditambah dengan laju mutasi mtDNA yang lebih tinggi daripada DNA inti, mtDNA
merupakan alat yang ampuh untuk mencari jejak nenek moyang melalui garis
keturunan perempuan (matrilineage) dan telah digunakan untuk melacak nenek
moyang spesies makhluk hidup serta dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu
individu (Solihin, 1994).
Oleh karena mtDNA berevolusi sangat cepat, maka dapat digunakan untuk
melacak kejadian yang relatif baru seperti pada studi alami antara dua subspesies.
Adanya sifat yang menurun dari induk betina tanpa rekombinasi, mendukung
penggunaan mtDNA dalam mempelajari asal muasal dan biologi populasi suatu
hibrid. Studi keragaman genetik interspesifik berdasarkan perbedaan dan persamaan
mtDNA dapat menghasilkan konstruksi filogenik dari beberapa spesies yang saling
berdekatan. Berdasarkan penanda mtDNA, dapat diketahui proses terjadinya
pemecahan dari spesies yang satu terhadap yang lain. Dengan demikian, genom
mitokondria memiliki banyak sifat khusus dan positif yang dapat dijadikan sebagai
penanda genetik sehingga besar sekali manfaatnya untuk studi keragaman genetik
dan biologi populasi. Oleh karena mtDNA hewan relatif kecil dan terdapat dalam
jumlah banyak maka eksplorasi dan penelaahannya lebih mudah (Solihin, 1994).
Metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction
Fragment Lenght Polymorpmism)
Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu metode yang
dapat digunakan untuk memperbanyak segmen DNA secara in vitro (Ausabel, 1995).
Segmen DNA tersebut kemudian dapat diketahui runutan nukleotidanya, salah
satunya yaitu dengan menggunakan enzim restriksi. Enzim restriksi dapat memotong
DNA secara spesifik dan terbatas pada situs yang dikenalinya (Lewin, 1994). Proses
PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus temperatur yang
berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan. Tahapan yang pertama
adalah denaturasi cetakan DNA (DNA template) pada temperatur 94-96°C, yaitu
pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. Sesudah itu, dilakukan
penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45-60°C yang memungkinkan
terjadinya penempelan (annealing) atau hibridisasi antara oligonukleotida primer
dengan utas tunggal cetakan DNA. Primer merupakan oligonukelotida utas tunggal
yang sekuens-nya dirancang komplementer dengan ujung fragmen DNA yang ingin
disalin, primer menentukan awal dan akhir daerah yang hendak disalin. Tahap yang
terakhir adalah tahap ekstensi atau elongasi (elongation), yaitu pemanjangan primer
menjadi suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Temperatur pada tahap
ini bergantung pada jenis DNA polimerase yang digunakan. Pada akhirnya, satu
siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA atau DNA target,
sebab setiap utas baru yang disintesis akan berperan sebagai cetakan pada siklus
selanjutnya (Ausubel, 1995).
Perbedaan pola pemotongan DNA dari jenis gen yang sama antar beberapa
ternak disebut Restriction Fragment Lenght Polymorphism (RFLP). Pada prinsipnya,
RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau menciptakan sekuen
rekognisi subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim
restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan
terjadinyan perbedaan pola pemotongan DNA (Lewin, 1994). Metode RFLP telah
diterapkan untuk mendeteksi Quantitative Traits Loci (QTL) pada ternak.
Pendeteksian RFLP dilakukan pada sekuen DNA yang telah diketahui fungsinya,
misalnya gen (penyandi protein), dan juga pada sekuen DNA yang belum jelas
fungsinya (Montgomery dan Kinghorn, 1997).
Sekuensing DNA
Satu dari terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan
metode mensekuen potongan DNA secara cepat. Terdapat dua metode yang
dikembangkan, yaitu metode Maxam-Gilbert dan metode Sanger yang keduanya
diperkenalkan pada tahun 1977. Karena lebih mudah, praktis dan efisien, metode
Sanger lebih sering digunakan dalam jutaan nukleotida dari berbagai spesies telah
berhasil disekuens dengan menggunakan metode ini. Prinsip dari metode Maxam-
Gilbert adalah menggunakan pendekatan degradasi fragmen DNA secara kimiawi,
sedangkan metode Sanger menggunakan pendekantan sintesis molekul DNA baru
dan pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu (Muladno, 2002).
Ada banyak aktivitas yang memerlukan informasi sekuens, misalnya untuk
mengetahui struktural gen. Penggunaan penting lainnya dari data sekuens adalah
dalam membandingkan sekuens dari gen yang sama pada spesies yang berbeda, yang
memungkinkan dibuatnya diagram filogenetik (Muladno, 2002).
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai dengan
Januari 2009. Lokasi yang dijadikan tempat melakukan penelitian ini adalah
Laboratorium Zoologi dan Laboratorium Terpadu Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Sampel Darah
Sampel darah kerbau yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 44 sampel
yang dikumpulkan dari beberapa tempat di Indonesia, yaitu 10 sampel dari Jawa
Tengah, 12 sampel dari Nusa Tenggara Barat, 10 sampel dari Sumatera Utara dan 12
sampel dari Banten. Sampel darah disimpan dalam alkohol 70% yang mengandung
etilendiamin tetraasetat (EDTA) 1%. Isolasi DNA dilakukan menggunakan Genomic
DNA mini kit (Geneaid).
Ekstraksi DNA
Bahan - bahan yang digunakan untuk mengekstraksi DNA adalah 5 M NaCl,
0,001M EDTA, NaCl 0,2 µl dan 0,9 % proteinase K (5 mg/ml), 1 x STE (sodium tris
EDTA), 10 dan 20% sodium dodesil sulfat (SDS), fenol, kloroform iso amil alkohol,
70% etanol, dan 80% buffer TE (tris EDTA).
Alat-alat yang digunakan antara lain tabung vaccutainer (penampung darah),
tabung Eppendorf ukuran 0,5 dan 1,5 ml, pipet mikro Eppendorf ukuran 10 µl-1 ml,
tips Eppendorf, vortex mixer, vacuum desicator, alat sentrifugasi makro dan mikro,
refrigerator (4oC), freezer (-20
oC), autoclave, sarung tangan plastik dan kertas tisu.
Primer
Primer adalah molekul oligonukleotida yang berukuran pendek (sekitar 18-24
basa) yang akan menempel pada DNA cetakan di tempat yang spesifik. Amplifikasi
ruas daerah pengendali pada DNA mitokondria menggunakan pasangan primer AF22
(5’-GCG TAC GCA ATC TTA CGA TCA-3’) dan AF23 (3’-ATG CAG TTA AGT
CCA GCT AC-5’) yang meliputi ruas bagian ujung 3’ gen cyt- b sampai ke bagian
daerah pengendali atau d-loop.
Amplifikasi DNA dengan Teknik Polymerase Chain Reaction-Restriction
Fragment Lenght Polymorphment (PCR-RFLP)
Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel DNA, air bebas ion steril,
GoTaq®
PCR Core System 1 (Promega) yang terdiri dari enzym taq polymerase
(NEB) dan buffernya, MgCl2 (NEB) dan dNTP, pasangan primer (Forward Reverse),
enzim restriksi (AluI, HaeIII, Hinf I dan MspI) dengan buffernya, dan air destilata.
Alat–alat yang digunakan antara lain tabung PCR, mesin Thermocycler
(TaKaRa PCR Thermal Cycler MP4 – TaKaRa Biomedicals), alat sentrifugasi, pipet
mikro Eppendorf 2 µl dengan tipsnya, vortex, deep freezer dan power supply
500VA.
Elektroforesis
Bahan – bahan yang digunakan untuk membuat satu lembar gel
poliakrilamida 6% non denaturasi adalah sebagai berikut: air destilata steril 12 ml,
akrilamida 30% (akrilamida:bis = 29:1), larutan 5xTBE 4ml, tetramethylendiamine
(TEMED) 15µl dan 10% ammonium persulfat (APS) sebanyak 160 µl, loading dye,
dan marker 100 pb (biorad).
Alat – alat yang digunakan antara lain dua lempeng kaca untuk cetakan gel,
pipet Mohr, tabung reaksi, sisir khusus untuk sumur, pipet mikro 2µl dengan tipsnya,
tangki elektroforesis vertikal dan power supply 500VA.
Pewarnaan Perak
Bahan – bahan yang digunakan adalah air destilata, Cetyl Trimetil Ammonium
Bromide (CTAB) 0,2 g/200 ml DW, NH4OH 2,4 ml/200 ml DW, larutan yang terdiri
dari AgNO3 0,32 g, 10 N NaOH 0,08 ml, NH4OH 0,8 ml dalam air destilata 200 ml,
larutan Na2CO3 4 g dengan formaldehida 0,1 ml dan asam asetat glacial 1%. Alat-
alat yang digunakan antar lain nampan, gelas ukur, labu Erlenmeyer, dan water-bath
shaker.
Rancangan
Analisa data dilakukan dengan metode deskriptif berdasarkan parameter
keragaman nukleotida dan keragaman haplotipe. Sedangkan untuk melihat
hubungan kekerabatan dan perbedaan jarak genetik yang nyata antar populasi
diilustrasikan dalam bentuk dendrogram.
∑ ∑
∑
< <
<
+=
ji ji
ji
ji
ij
nn
n
S
2
Keragaman Haplotipe (h)
Keragaman haplotipe merupakan variasi genetika yang menggambarkan
variasi dari DNA. Perhitungan nilai h berdasarkan persamaan (Nei, 1987) :
Keterangan:
h = keragaman haplotipe
n = jumlah sampel
Xi = frekuensi haplotipe sampel ke-i
Keragaman Nukleotida (π)
Keragaman nukleotida merupakan ukuran keragaman genetika berdasarkan
ada atau tidaknya situs restriksi. Perhitungan nilai ini berdasarkan persamaan (Nei
dan Kumar, 2000) :
; π = (- ln S)/b
Keterangan :
π = keragaman nukleotida
S = peluang jika setiap haplotipe memiliki situs yang sama
b = jumlah nukleotida setiap enzim
nij = jumlah situs pada kedua haplotipe i dan j
ni = jumlah situs pada haplotipe i
nj = jumlah situs pada haplotipe j
Jarak Genetik (D)
Jarak genetik merupakan ukuran perbedaan genetik antara populasi yang
dihitung berdasarkan frekuensi haplotipe setiap populasi. Perhitungan nilai D
berdasarkan persamaan :
ILnD −=
( )∑−−
=2
11
iXn
nh
( )5,0
1 1
2
1
2∑ ∑∑= ==
÷×=
m
i
m
i
m
i
PiyPixPiyPixI
Keterangan :
Pix = frekuensi alel ke-i dari populasi X
Piy = frekuensi alel ke-i dari populasi Y
D = jarak genetik
Prosedur
Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah kerbau diambil dengan menggunakan tabung vakum yang
mengandung antikoagulan, kemudian ditambahkan alkohol 75% dan dikocok
membentuk angka delapan dan disimpan dalam suhu ruang sampai dilakukan
ekstraksi DNA.
Isolasi DNA dari Sampel Darah
Isolasi DNA dilakukan dari sampel darah yang disimpan dalam alkohol 70%
menggunakan metode isolasi mengikuti petunjuk produsen Genomic DNA mini kit
Geneaid (Lampiran 1).
Amplifikasi mtDNA dengan Teknik Polymerase Chain Reaction–Restriction
Fragment Lenght Polymorphism (PCR-RFLP)
Proses amplifikasi DNA secara umum menggunakan metode sebagai berikut:
sampel DNA 2 µl dimasukkan kedalam tabung PCR, kemudian ditambah larutan
premix 23 µl yang terdiri dari primer 1 µl, air destilata 16,35 µl, 10 x buffer sebanyak
2,5 µl, MgCl2 2 µl, 2 mM dNTP 1 µl, dan enzim taq polymerase Promega 0,15 µl.
Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan mesin TaKaRa Thermal Cycler
dengan kondisi predenaturasi 940C selama 5 menit yang kemudian diikuti dengan
denaturasi 940C selama 1 menit, penempelan (annealing) 58
0C selama 2 menit dan
pemanjangan (elongation) 720C selama 2 menit yang diulang 30 kali.
Elektroforesis Produk PCR
Amplikon atau produk PCR dipisahkan dengan teknik elektroforesis gel
polyakrilamida 6%. Gel dibuat dengan cara mencampurkan air destilata 12 ml, 5 x
TBE 4 ml, akrilamida 30% sebanyak 4 ml, TEMED 15 µl, dan APS 10% sebanyak
160 µl. Produk PCR sebanyak 2 µl dilarutkan dalam loading dye. Elektroforesis
dilakukan selama 60 menit pada tegangan konstan 180 V atau sampai pewarna
bromtimol blue mencapai bagian bawah gel. Setelah elektroforesis selesai, gel
diambil untuk dilakukan pewarnaan perak.
Pewarnaan Perak
Pewarnaan perak (silver staining) dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
gel dimasukan kedalam larutan CTAB 0,2 g/200 ml air destilata selama 8 menit
sambil digoyang, kemudian dicuci dengan air destilata selama 2 x 2 menit. Air
tersebut dibuang dan ditambahkan larutan NH4OH selama 6 menit sambil digoyang.
Kemudian dilanjutkan dengan larutan AgNO3 selama 10 menit sambil digoyang.
Kemudian gel dicuci kembali dengan air destilata 2 x 2 menit. Pemunculan pita
dilakukan dengan cara perendaman gel dalam larutan Na2CO3. Setelah pita muncul,
ditambahkan larutan asam asetat.
Pemotongan dengan Enzim Restriksi
Metode Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) digunakan untuk
mengetahui keragaman ruas target berdasarkan ada tidaknya situs restriksi. Enzim
yang digunakan dalam penelitian ini adalah AluI (AG↓CT), HaeIII (GG↓CC), Hinf I
(G↓AnTC), dan MspI (G↓CGG). Kondisi reaksi pemotongan pada setiap enzim
restriksi mengikuti petunjuk teknis produsen, yaitu produk PCR sebanyak 3 µl
ditambahkan enzim restriksi sebanyak 1 unit dengan menggunakan buffer (New
England Biolabs) yang menyertai setiap enzim restriksi. Kemudian campuran
tersebut diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370C selama semalam.
Hasil pemotongan dielektroforesis pada gel poliakrilamid 6% (30%
akrilamid) dalam buffer 1xTBE (Tris 0,5 M; Asam Borat 0,65 M; EDTA 0,02 M)
pada tegangan 180 V selama 60 menit. Visualisasi hasil pemotongan oleh enzim
restriksi dilakukan dengan pewarnaan perak. Pola pita hasil pemotongan tiap enzim
restriksi digunakan untuk menentukan haplotipe mtDNA atau disebut sebagai
genotiping. Penentuan genotip dilakukan dengan cara menentukan ukuran panjang
potongan DNA berdasarkan jarak migrasi pada gel poliakrilamid yang diacukan pada
DNA ladder 100 base pair (Biorad).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Ruas Target
Ruas pengendali mtDNA kerbau lokal (Bubalus bubalis) yang diamplifikasi
menggunakan pasangan primer AF22_23 sebesar 1145 pasang basa (pb) (Gambar 2).
Kerbau lokal (Bubalus bubalis) memiliki ukuran mtDNA sekitar 16359 pb (Qian et
al., 2004). Panjang fragmen hasil amplifikasi dapat lebih dipastikan dengan cara
mencocokkan situs penempelan pasangan primer pada sekuen gen mtDNA Bubalus
bubalis (GenBank No. Acc. AY702618).
M 1 2 3 4 5 6 7
Gambar 2. Hasil Amplifikasi Daerah Pengendali mtDNA (Kolom M= Marker
(Penanda) 100 pb, Kolom 1-7= Pasangan Primer AF22 dan AF23
Produk amplifikasi dengan menggunakan pasangan primer ini meliputi ujung
cyt-b sampai daerah d-loop. Tempat penempelan primer disajikan pada Gambar 3.
Ruas mtDNA target yang diamplifikasi adalah ruas pengontrol yang hipervariabel
dan memiliki laju mutasi yang relatif cepat dibanding bagian lain di genom
mitokondria. Pada dasarnya, bagian tengah control region (CR) ini sangat stabil yang
kemungkinan bersifat fungsional dalam kontrol ekspresi dan replikasi mtDNA
(Avise, 1994). Ukuran DNA hasil amplifikasi tersebut sesuai dengan perkiraan hasil
amplifikasi dari desain primer.
100 pb
500 pb
400 pb
200 pb
300 pb
1145 pb
15301 ccagcaaacc cactcaacac acctccccac atcaagcctg aatggtactt cctattcGCA
15361 TACGCAATCT TACGATCAat tcctaacaaa ctaggagggg ttctagccct agttctctct
AF22 Forward
15421 atcctaatcc tcattctcat gcccctgcta catacatcca aacaacgaag tatgatgttc
15481 cggccattca gccaatgcct attctgaatt ctagtagcaa acctgctaac actcacatgg
15541 attggaggac agccagtcga acacccatat attatcattg gacaactagc atctatcaca
15601 tacttcctcc tcatcctagt gctaatacca acggccagca taatcgaaaa taatctctta
15661 aaatgaagac aagtctttgt agtatactaa atacactggt cttgtaaacc agaaaaggag
15721 aacaaccaac ctccccaaga ctcagggaag aggctatagc cccactacca acacccaaag
15781 ctgaagttct atttaaacta ctccctgaat actattaata tagctccaca aatgcaaaga
15841 gccttctcag tatcaaattc actaaaactt gcaacaactt aacactgact ttacactcta
15901 gcctaacatt agaaataact acaaccatca acacacctga cctcatatgt acaacacaca
15961 acatatgacc ctactactcc gaatgggggg ggggacataa cattaatgta ataaggacat
16021 aatatgtata tagtacatta tattatatgc cccatgcata taagcgggta cacaaacatg
16081 catgatagta catagtacat tcaattattg atcgtacata gtgcattcaa gtcaaatccg
16141 tcctcgccaa catgcatatc ccctccacta gatcacgagc ttggtcacca tgccgcgtga
16201 aaccagcaac ccttcagaca gggatccctc ttctcgctcc gggcccatgt cttgtggggg
16261 tagctattca atgaacttta acaggcatct ggttctttct tcagggccat ctcacctaaa
16321 atcgcccact ctttcccctt aaataagaca tctcgatgga ctaatgtcta atcagcccat
22 gctcacacat aactgtgctg tcatacattt ggtatttttt tattttgggg gatgcttgga
82 ctcagctatg gccgtcaaag gccccgaccc ggagcatgaa ttGTAGCTGG ACTTAACTGC
AF23 Reverse
142 ATcttgagca ccagcataat ggtaggcatg ggacattgc
Gambar 3. Fragmen Gen D-loop (Cetak Hitam) dan Cyt-b (Cetak Biru)
Didasarkan pada Sekuens Gen mtDNA di GenBank (No Akses
Genbank AY702618) Hasil Amplifikasi PCR dengan
Menggunakan Pasangan Primer AF22_23 (Cetak Merah).
Kesesuaian penempelan primer forward adalah 95,24% karena terdapat satu
jenis basa yang berbeda dengan fragmen dari primer AF22. Perbedaan ini terdapat
pada basa ke 15360 dari mtDNA yaitu terjadi mutasi dari basa guanine (G) menjadi
basa adenin (A), demikian pula dengan kerbau sungai (Water buffalo), sapi Bos
indicus dan Bos taurus. Pada domba, primer forward AF22 dapat menempel secara
sempurna (100%), sedangkan pada yak dan kambing terdapat perbedaan pada dua
basa yaitu terjadi transisi purin (G ke A) dan pirimidin (C ke T). Penelusuran
dilakukan dengan menggunakan bantuan Genetyx-Win (software) dan untuk
meyakinkan ketepatan maka dilakukan kembali penelusuran secara manual
(Lampiran 2). Penempelan primer reverse AF23 terjadi secara sempurna (100%).
Demikian pula terjadi pada kerbau sungai, sapi Bos indicus dan Bos taurus, kambing
dan yak.
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment
Length Polymorphment (PCR-RFLP)
Hasil pemotongan menggunakan empat enzim restriksi, yaitu AluI (AG↓CT),
HaeIII (GG↓CC), HinfI (G↓AnTC), dan MspI (C↓CGG) terhadap DNA hasil
amplifikasi disajikan dalam Tabel 1. Posisi situs potong masing-masing enzim
restriksi ditunjukkan pada Gambar 4, sedangkan peta situs restriksi dua haplotipe
mtDNA Bubalus bubalis yang dianalisis ditunjukkan pada Gambar 5.
Tabel 1. Pola Pemotongan Enzim Restriksi
Enzim Pemotong Haplotipe Jumlah
Alu1 HaeIII Hinf1 Msp1
A A A A AAAA 43
A A B A AABA 1
Keterangan : AluI Tipe A= 423, 356, 182, 84, 57, 43 pb; HaeIII Tipe A= 609,
151, 145, 126, 63, 41, 10 pb; Hinf1 Tipe A= 700, 382, 63 pb dan
Tipe B= 700, 233,149, 63 pb; dan MspI Tipe A= 499, 260, 230,
123, 33 pb.
1 gcatacgcaa tcttacgatc aattcctaac aaactaggag gggttctagc cctagttctc
61 tctatcctaa tcctcattct catgcccctg ctacatacat ccaaacaacg aagtatgatg
121 ttCCGGCCat tcagccaatg cctattctGA ATTCtagtag caaacctgct aacactcaca MspI HaeIII HinfI
181 tggattggag gacagccagt cgaacaccca tatattatca ttggacaact agcatctatc
241 acatacttcc tcctcatcct agtgctaata ccaacGGCCa gcataatcga aaataatctc HaeIII
301 ttaaaatgaa gacaagtctt tgtagtatac taaatacact ggtcttgtaa accagaaaag
361 gagaacaacc aacctcccca aGACTCaggg aagaggctat agccccacta ccaacaccca HinfI
421 aAGCTgaagt tctatttaaa ctactccctg aatactatta atatAGCTcc acaaatgcaa AluI AluI
481 agagccttct cagtatcaaa ttcactaaaa cttgcaacaa cttaacactg actttacact
541 ctagcctaac attagaaata actacaacca tcaacacacc tgacctcata tgtacaacac
601 acaacatatg accctactac tCCGGatggg gggggggata taacattaat gtaataagga MspI
661 cataatatgt atatagtaca ttatattata tgccccatgc atataagcgg gtacacaaac
721 atgcatgata gtacatagta cattcaatta ttgatcgcat atagtccatt caagtcaaat
781 ccgtcctcgc caacatgcat atcccctcca ctagatcacg AGCTtggtca ccatgccgcg AluI
841 tgaaaccagc aacccttcag acagggatcc ctcttctcgc tCCGGGCCca tgtcttgtgg MspI HaeIII
901 gggtAGCTat tcaatgaact ttaacaggca tctggttctt tcttcagGGC Catctcacct AluI HaeIII
961 aaaatcgccc actctttccc cttaaataag acatctcgat ggactaatgt ctaatcagcc
1021 catgctcaca cataactgtg ctgtcataca tttggtattt ttttattttg ggggatgctt
1081 gGACTCAGCT atGGCCGTca aaGGCCCcga cCCGGagcat gaattgtagc tggacttaac HinfI AluI HaeIII HaeIII MspI
1141 tgcat
Gambar 4. Posisi Situs Potong Enzim Restriksi Alu1(AG↓CT), HaeIII
(GG↓CC), Hinf1 (G↓AnTC) dan Msp1 (C↓CGG). Mutasi
(Delesi) Terjadi pada Pirimidin T (Cetak Merah) dan (Transvesi)
Perubahan dari Basa Purin A Menjadi G (Cetak Biru).
Prinsip kerja dari metode PCR-RFLP adalah pemotongan suatu ruas DNA
dengan beberapa enzim restriksi. Enzim restriksi ini dapat memotong DNA pada
sekuen spesifik yang disebut situs pemotongan. Penjumlahan panjang potongan
setiap ruas (pita DNA di atas gel poliakrilamid) akan berjumlah sama dengan
panjang ruas DNA sebelum dipotong. Banyaknya potongan ini menggambarkan
adanya situs pemotongan. Jika dalam suatu populasi ditemukan adanya panjang
pemotongan yang berbeda, hal itu menggambarkan adanya situs pemotongan yang
berbeda pula. (Lewin, 1994). Dari empat enzim yang digunakan menghasilkan tipe
pemotongan yang monomorfik pada tiga enzim restriksi (AluI, HaeIII dan MspI) dan
polimorfik pada Hinf1 .
Posisi situs restriksi (Gambar 4) untuk setiap enzim restriksi bervariasi yang
disebabkan adanya perbedaan pola runutan pada DNA. Situs restriksi umumnya
terdiri atas 4-6 nukleotida atau lebih yang mempunyai urutan basa yang spesifik
(Ausabel, 1995). Setiap pola situs restriksi disebut haplotipe. Ada dua haplotipe
kerbau yang ditemukan berdasarkan empat enzim restriksi. Haplotipe pertama
mewakili hampir semua wilayah, yaitu 43 sampel dari 44 sampel yang dianalisis,
diantaranya 10 sampel dari Jawa Tengah, 12 sampel dari Nusa Tenggara Barat, 9
sampel dari Sumatera Utara dan 10 sampel dari Banten. Haplotipe kedua hanya
terdapat pada satu wilayah yaitu Sumatera Utara sebanyak satu sampel. Dengan kata
lain, sebagian besar (97,73% dari sampel yang digunakan) ternak kerbau lokal
Indonesia bersifat monomorfik berdasarkan situs-situs pemotongan yang digunakan
dalam penelitian ini.
Perbedaan hasil pendeteksian keragaman dengan metode PCR-RFLP sangat
bergantung kepada perubahan bentuk dari ikatan utas tunggal DNA. Bentuk dari utas
tunggal DNA dalam gel dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
panjang fragmen, pemilihan matriks gel, suhu, konsentrasi ion dan konsentrasi
larutan dalam gel (konsentrasi akrilamida, perbadingan akrilamida dan bis-
akrilamida, penggunaan gliserol, suhu elektroforesis, dan kondisi buffer). Kondisi
elektroforesis dan kandungan G+C fragmen DNA juga akan berpengaruh terhadap
penentuan keragaman (Nataraj et al., 1999).
100 pb
500 pb
400 pb
200 pb
300 pb
423 pb
356 pb
400 pb
300 pb
200 pb
600 pb
700 pb
500 pb
M M Alel A
Gambar 6. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim AluI. A= 423,
356, 182, 84, 57 dan 43 pb.
Enzim AluI menghasilkan pola pemotongan yang seragam. Gambar 6
menunjukkan pola pemotongan mtDNA menggunakan enzim AluI. Pemotongan ini
menghasilkan fragmen (potongan) berukuran 423, 356, 182, 84, 57 dan 43 pb.
M M Alel A
Gambar 7. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim HaeIII. A= 609,
151, 145, 126, 63, 41 dan 10 pb.
100 pb
500 pb
400 pb
200 pb
300 pb
57 pb
423 pb
356 pb
84 pb
182 pb
609 pb
151 bp
145 pb
126 pb
63 pb
41 pb
10 pb
100 pb
200 pb
300 pb
400 pb
182 pb
84 pb
57 pb
43 pb
100 pb
609 pb
151 pb 145 pb 126 pb
63 pb
Enzim HaeIII menghasilkan pola pemotongan yang seragam. Pola
pemotongan mtDNA menggunakan enzim HaeIII ditunjukkan oleh Gambar 7. Enzim
ini menghasilkan fragmen berukuran 609, 151, 145, 126, 63, 41 dan 10 pb.
M M Alel A Alel B
Gambar 8. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim Hinf1. A= 700,
382 dan 63 pb, B= 700, 233,149 dan 63 pb.
Enzim Hinf1 menghasilkan dua pola fragmen, fragmen pertama berukuran
700, 382 dan 63 pb. Sedangkan fragmen kedua berukuran 700, 233, 149 dan 63 bp
(Gambar 8). Telah terjadi mutasi (delesi) pada fragmen kedua (Alel B) yaitu
kehilangan basa pirimidin (T) pada posisi basa ke 152 (Gambar 4).
M M Alel A
Gambar 9. Pola Migrasi PCR-RFLP Menggunakan Enzim MspI. A= 499,
260, 230, 123 dan 33 pb.
100
pb
500
pb
400
pb
200
pb
300
pb
700
pb
382
pb
149
pb
233
pb
100 pb
500 pb
400 pb
200 pb
300 pb
100 pb
200 pb
300 pb
400 pb
500 pb
700 pb
382 pb
700 pb
233 pb
149 pb
100 pb
200 pb
300 pb
400 pb
500 pb 600 pb
499 pb
260 pb
230 pb
123 pb
63 pb 63 pb
33 pb
499 pb
260 pb
230 pb
123 pb
Enzim MspI menghasilkan fragmen berukuran 490, 260, 230 dan 33 pb
(Gambar 9). Mutasi (transversi) terjadi pada basa ke 625 dari daerah control region
(CR), yaitu perubahan basa purin dari A menjadi G (Gambar 4).
Keragaman Haplotipe (h) dan Nukleotida (π)
Tinggi rendahnya keragaman genetik, dapat diindikasikan dari jumlah
maupun keragaman haplotipe (h) dan nukleotida (π). Hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini teridentifikasi dua tipe komposit haplotipe (Tabel 1). Jumlah haplotipe
mtDNA dan keragamannya pada masing-masing populasi disajikan pada Tabel 2 dan
Tabel 3.
Tabel 2. Haplotipe mtDNA Masing-masing Populasi
Populasi Haplotipe
AAAA AABA
Jateng 10 0
NTB 12 0
Sumut 9 1
Banten 12 0
Keterangan : Haplotipe AAAA untuk enzim restriksi AluI, HaeIII, HinfI dan
MspI adalah Tipe A. Haplotipe AABA untuk enzim restriksi
AluI, HaeIII dan MspI adalah Tipe A, sedangkan HinfI adalah
Tipe B.
Tabel 3. Keragaman Haplotipe mtDNA Bubalus bubalis di Wilayah Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara dan Banten.
Asal Sampel Nilai h ∑ Sampel ∑ Haplotipe
Jawa Tengah 0,0 10 1
Nusa Tenggara Barat 0,0 12 1
Sumatera Utara 0,2 10 2
Banten 0,0 12 1
Jumlah komposit haplotipe ternak kerbau yang dimiliki oleh masing-masing
populasi hanya satu kecuali pada daerah Sumatera Utara memiliki dua komposit
haplotipe. Distribusi komposit haplotipe menunjukkan ciri khas pada masing-masing
populasi. Secara keseluruhan, keragaman haplotipe (h) wilayah Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat dan Banten adalah 0,0 (seragam), sedangkan untuk wilayah
Sumatera Utara memiliki nilai keragaman haplotipe (h) 0,2. Nilai keragaman
haplotipe yang terdapat pada sampel kerbau dari Sumatera Utara tergolong rendah,
sehingga dapat pula dikatakan keragaman genetik berdasarkan keragaman haplotipe
sampel kerbau lokal (Bubalus bubalis) relatif rendah. Ditinjau dari komposisi
haplotipenya, terdapat kesamaan haplotipe antar populasi. Hal ini diduga karena
adanya proses migrasi ternak kerbau terkait lokasi yang berdekatan. Nilai keragaman
genetik yang rendah berdasarkan keragaman haplotipe pada penelitian ini diduga
karena sampel kerbau yang dijadikan objek penelitian dari keempat populasi
memiliki jenis yang sama yaitu kerbau rawa (lumpur).
Berdasarkan ada tidaknya situs restriksi dari dua haplotipe, diperoleh nilai
keragaman nukleotida (π) untuk populasi adalah 0,17%. Nilai ini relatif rendah jika
dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Tanaka et al. (1995) yang
melakukan studi pola pemotongan DNA mitokondria pada kerbau lumpur dan kerbau
sungai menggunakan 15 enzim restriksi endonuklease. Lima tipe DNA mitokondria
teridentifikasi yaitu tiga tipe pada kerbau lumpur dan dua tipe pada kerbau sungai.
Keragaman nukleotida bervariasi dari 0,2-0,6% di dalam kelompok kerbau lumpur
dan kerbau sungai dan bervariasi antara 1,9-2,4% antara kerbau lumpur dan kerbau
sungai.
Jarak Genetik
Keragaman genetik antar populasi dapat dicirikan dari jarak genetik. Jarak
populasi dalam klasifikasi atau pengelompokan ternak menggambarkan perbedaan
nilai suatu ciri antara kelompok ternak yang dibandingkan. Semakin kecil nilai jarak
genetik, semakin kecil pula keragaman antar populasi tersebut, demikian pula
sebaliknya. Nilai jarak genetik disajikan dalam bentuk matriks seperti tertera pada
Tabel 4, sedangkan ilustrasi dendrogram ditampilkan pada Gambar 10.
Tabel 4. Jarak Genetik Berdasarkan Haplotipe
Jateng NTB Sumut Banten
Jateng **** 0,0000 0,0061 0,0000
NTB **** 0,0061 0,0000
Sumut **** 0,0061
Banten ****
0,0000
0,0061
Gambar 10. Dendogram Populasi Bubalus bubalis Wilayah Jawa Tengah (1),
Nusa Tenggara Barat (2), Sumatera Utara (3) dan Banten (4).
Hasil analisis memperlihatkan adanya penstrukturan genetik sebagai
gambaran pemisahan populasi menjadi dua unit populasi, yaitu unit populasi Jawa
Tengah-Nusa Tenggara Barat-Banten, dan unit populasi Sumatera Utara (Gambar
10). Secara berturut-turut nilai jarak genetik kedua unit populasi tersebut adalah
0,0000 dan 0,0061 (Tabel 4). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini
ternyata sampel kerbau dari Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Banten diduga
memiliki genetik yang sama.
Ilustrasi dendogram memberikan informasi kekerabatan keempat populasi
daerah pengambilan sampel. Pola kekerabatan suatu ternak diduga terjadi karena
adanya penyebaran dan proses migrasi (gene flow). Hasil yang diperoleh berdasarkan
penelitian mengenai karakteristik fenotipik kerbau Banten dan Sumatera Utara yang
telah dilakukan oleh Hidayat (2007) menunjukkan bahwa jarak genetik dan pohon
fenogram antara populasi kerbau Banten dan Sumatera Utara adalah terpisah, dengan
jarak genetik dekat yaitu 0,172743. Begitu pula dengan populasi kerbau Jateng,
secara genetik hubungan populasi Jateng dengan populasi Banten dan Sumater Utara
adalah dekat. Hal yang sama dinyatakan oleh Mukherjee et al. (1991) bahwa ternak
kerbau di Asia Tenggara mempunyai fenotipe luar yang serupa dan hubungan jarak
genetik kerbau lumpur di Asia Tenggara tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Begitu pula Amano et al. (1981) mengemukakan bahwa kerbau lumpur di Jawa
Barat, Sumatera Barat, Toraja dan Ujung Pandang mempunyai jarak genetik yang
dekat, sementara itu kerbau lumpur dan kerbau murrah mempunyai jarak genetik
yang jauh. Dari analisis jarak genetik diperoleh hasil bahwa populasi kerbau lumpur
dan kerbau sungai di Indonesia mempunyai jarak genetik yang jauh, sehingga
diasumsikan bahwa kerbau lumpur dan kerbau sungai didomestikasi dari nenek
moyang yang berbeda. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Tanaka et
al. (1995) , berdasarkan pola pemotongan DNA mitokondria dengan dendogram,
memperlihatkan bahwa kelompok kerbau lumpur merupakan kelompok yang
berbeda dengan kerbau sungai.
Proses evolusi suatu organisme berkaitan erat dengan perubahan genetik
yang terjadi, dimana perubahan genetik tersebut dapat terjadi karena adanya
perubahan pada frekuensi gen. Elseth dan Baumgerner (1984) menyatakan bahwa
ada 4 faktor dasar yang menyebabkan terjadinya perubahan pada frekuensi gen, yaitu
seleksi alam, mutasi, migrasi dan penyimpangan genetik. Seleksi alam merupakan
sebuah proses alamiah dimana beberapa individu memiliki keterkaitan dasar secara
genetik (kemampuan) yang dapat memperbaiki ketahanan hidup atau reproduksi
untuk beradaptasi dan memiliki keturunan yang dapat bertahan hidup dalam
lingkungan. Hal ini dapat dijadikan pendugaan bahwa di wilayah Sumatera Utara
masih ada beberapa spesies kerbau yang bertahan hidup sehingga mengakibatkan
keragaman genetik pada wilayah tersebut.
Adanya migrasi menyebabkan individu berpindah dari dari satu area ke area
lain. Jika individu ini bertahan dan bereproduksi di tempat barunya, maka mereka
akan mewarisi gen-gen mereka ke lingkungan barunya. Elseth dan Baumgerner
(1984) berasumsi bahwa populasi yang terisolasi tidak mempengaruhi perubahan
pada gen dengan kelompok yang bertetangga. Banyak populasi yang tidak terisolasi
secara penuh terhadap populasi lain dalam spesies yang sama, mengalami beberapa
perubahan pada gen-gen secara normal. Jika populasi-populasi tersebut mengalami
perbedaan dalam komposisi genetik, alur gen dari satu popoulsi ke lainnya dengan
cara migrasi dapat menjadi kekuatan evolusi dengan merubah frekuensi gen. Diduga
hal yang menyebabkan perbedaan garis keturunan (nenek moyang) dari kerbau yang
berasal dari Sumatera Utara dikarenakan letak lokasinya yang cukup jauh
dibandingkan dengan lokasi tempat pengambilan sampel lainnya (Jawa tengah, Nusa
Tenggara Barat dan Banten) sehingga kemungkinan untuk melakukan migrasi adalah
kecil. Kerbau merupakan hewan darat bertubuh besar yang tidak mudah untuk
melakukan migrasi (berpindah tempat) ke wilayah yang cukup jauh. Lain halnya
dengan hewan air (misal: ikan) memungkinkan untuk melakukan migrasi ke tempat
yang lebih jauh dari asalnya melalui aliran atau arus air.
Manajemen Konservasi Genetik
Manajemen konservasi genetik adalah unit dasar yang harus dilakukan dalam
kegiatan konservasi sumberdaya hayati. Sumberdaya genetik setidaknya memiliki
peran fundamental dalam konteks krisis keragaman hayati. Indikator keberhasilan
kegiatan konservasi dapat dilihat dari keanekaragaman genetik yang tinggi, sehingga
keberadaan suatu ternak secara alami dapat dipertahankan dalam kurun waktu yang
panjang sehingga kepunahannya dapat dihindari. Nilai keragaman genetik yang
rendah dalam penelitian ini belum bisa menjadi acuan sebagai sumber genetik bagi
perbaikan mutu genetik kerbau di Indonesia. Hasinah dan Handiwirawan (2006)
menyatakan bahwa persilangan antar kerbau lumpur di Indonesia dengan
mempertimbangkan kondisi lingkungan yang relatif sama diduga tidak akan
menghasilkan hasil silangan dengan peningkatan produksi yang signifikan, oleh
karena jarak genetik kerbau lumpur antar daerah di Indonesia tidak begitu jauh.
Hardjosubroto (2006) menyarankan peningkatan mutu genetik kerbau di Indonesia
dilakukan dengan memasukkan materi genetik baru dari luar negeri berupa importasi
semen beku.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Keragaman genetik kerbau lokal berdasarkan haplotipe DNA mitokondria
masih sangat rendah. Hasil pemotongan dengan empat enzim restriksi (AluI, HaeIII,
HinfI dan MspI) ditemukan dua haplotipe mtDNA. Haplotipe pertama memiliki pola
penyebaran luas di seluruh wilayah pengambilan sampel (Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat, Sumatera Utara dan Banten), sedangkan haplotipe kedua hanya
ditemukan pada satu sampel dari wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan ada tidaknya
situs restriksi dari dua haplotipe, diperoleh nilai keragaman nukleotida (π) untuk
populasi adalah 0,17%. Perhitungan jarak genetik dalam bentuk dendrogram
menunjukkan bahwa sampel kerbau yang berasal dari Jawa Tengah, Nusa Tenggara
Barat dan Banten diduga berasal dari nenek moyang yang sama (D=0,0000). Begitu
pula dengan kerbau lokal Sumatera Utara berkerabat dekat dengan ketiga wilayah
tersebut (D=0,0061).
Saran
Perlu dilakukan tahap pendeteksian keragaman lebih lanjut. Sekuensing
mungkin akan lebih baik dilakukan untuk mengetahui perbedaan susunan nukleotida
masing-masing tipe yang telah dideteksi. Enzim restriksi yang lebih banyak dengan
metode pencatatan yang lebih baik akan sangat membantu dalam penelitian yang
akan datang. Visualisasi dan interpretasi pola pita mtDNA dapat diterapkan dengan
metode lain untuk memberikan hasil yang lebih jelas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillahirobbil’alamin...Puji syukur dan sembah sujud Penulis
panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas nikmat, rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Rasa hormat serta terima kasih yang tak terhingga Penulis sembahkan untuk
Mamah dan Bapak yang dengan kesabaran dan ketulusan hatinya selalu memberikan
dorongan baik berupa materil, kasih sayang, doa dan selalu bersedia mendengarkan
segala keluh kesah sehingga menjadikan sumber motivasi utama untuk senantiasa
sabar dan semangat untuk menjalankan perjuangan ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada adik-adikku tersayang Yandi dan Lia yang telah memberikan
semangat, doa dan perhatiannya.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr.
Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc. sebagai pembimbing utama dan Bapak Dr. Ir. Achmad
Farajallah, M.Si. sebagai pembimbing anggota yang dengan sabar membimbing,
memberi motivasi dan masukan berarti bagi Penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih kepada Ir. Sri Darwati, M.Si sebagai dosen penguji seminar dan
Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. serta Ir. Kukuh Budi Satoso, MS. sebagai dosen
penguji sidang atas kritik dan masukannya. Terimakasih kepada Ir. Sri Rahayu, M.Si
sebagai dosen pembimbing akademik Penulis selama menjadi mahasiswa di FAPET
IPB. Kepada teman-teman sepenelitian (Neng, Lidi dan Ires) Penulis ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas kebersamaan, semangat dan dukungan yang
diberikan kepada Penulis. Terima kasih kepada rekan-rekan Lab Zoologi (Pak
Khoirul, Bu Bibah, Bu Ria, Kak Wildan, Kak Ogi, Mba Muli) dan A’Eryk Andreas
yang telah membimbing dan membantu Penulis selama penelitian. Sahabatku tercinta
(Anggie, Rina dan Adri) yang teramat berarti bagi Penulis, terimakasih atas semua
kasih sayang, dukungan dan doa yang kalian berikan. Tak lupa Penulis ucapkan
terima kasih kepada teman-teman seperjuangan IPTP 42. Mudah-mudahan
kebersamaan selama ini menjadi kenangan yang berharga untuk masa depan kita.
Bogor, April 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Amano, T., Katsumata, S. Suzuki, K. Nozawa. Y., Kawamoto, T. Namikawa, H.
Martojo, I.K. Abdulgani dan H. Nadjib. 1981. Morphological and geneticals
survey of water buffalous in Indonesia. The origin and phylogeny of
Indonesia native livestock. Report by Grant-in-Aid for Overseas Scientific
Survey, No. 504353. Hal : 31 - 54.
Asoen, N.J.F. 2008. Studi craniometrics dan pendugaan jarak genetik kerbau sungai,
kerbau rawa dan silangannya di Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Avise J.C. 1994. Molecular Markers, Natural History and Evolution. New York:
Chapman and Hall : 361-380p.
Ausabel. 1995. Short Protocol in Molecular Biology. 3rd
edition, New York.
Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jendral
Peternakan, Jakarta.
Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau:
Aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding lokakarya nasional usaha ternak
kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Elseth, G. D. dan Kandy, D. Baumgerner . 1984. Genetics. Adison-Wealey
Publishing, USA.
Erdiansyah, E. 2008. Studi keragaman fenotipe dan pendugaan jarak genetik antara
kerbau lokal di Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Skripsi. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Frankham, R., J.D. Ballou dan D.A. Briscoe. 2002. Introduction to conservation
genetics. Cambrigde University Press. 100-105p.
Hardjosubroto, W. 2006. Kerbau, Mutiara yang Terlupakan. Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. dan J.M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Hasinah. H. dan E. Handiwirawan. 2006. Keragaman genetik ternak kerbau di
Indonesia. Prosiding lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung
program kecukupan daging sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Hidayat, U. 2007. Karakteristik fenotipik kerbau Banten dan Sumatera Utara.
Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lamb, T. dan M.F. Osentoski. 1995. Intraspesifik phylogeography of the gopher
tortoise, gopher polyphemus : RFLP analysis of amplified mtDNA segments.
Molecular Ecology 4:709-718.
Lewin, B. 1994. Genes V. Oxford University Press, New York.
Moioli, B., A. Georgoudis, F. Napolitano, G. Catillo, E. Giubiloei, Ch. Ligda, dan M.
Hassanane. 2001. Genetic diversity between Italian, Greek and Egyptian
buffalo populations. Elseiver Science. Livestock Production Science 70:203-
211.
Montgomery, G.W. dan Kinghorn. 1997. Recent developments in gene mapping and
progress towards marker-assisted selection in sheep. Aust. J. Agric. Res.
48:729-741.
Mukherjee, T.K., J.S.F. Baker, S.G. Tan, O.S. Salvaraj, J.M. Panadm, Y. Yusharyati
dan Sreetaram. 1991. Genetic relationships among population of swamp
buffalo in Southeast Asia, Australia.
Muladno. 2002. Teknologi Rekayasa Genetik. Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
Muladno. 2006. Polimorfisme dan analisis keterpautan mikrosatelit pada genom
babi. Hayati, Bogor.
Nataraj, A. J., I. O. Glander, N. Kusukawa, dan W. E. Highsmith Jr. 1999. Single-
strand conformation polymorphism and heteroduplex analysis for gel-based
mutation detection. Electrophoresis. 20:1177-1185.
Nei, M. 1987. Moleculer Evolutionary Genetics. Columbia University Press, New
York.
Nei, M. dan S. Kumar. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford
University Press, United States.
Qian, J.X., K.J. Dong, , Y.J. Huang, B.Z. Yang, , M. He, Z.J. Liu, dan J. Li, 2004.
[Unplubish]. Laboratory, Hainan Medical College, Chengxi Road, Haikou,
Hainan, China.
Sitorus, A.J. 2008. Studi keragaman fenotipe dan pendugaan jarak genetik kerbau
sungai, kerbau rawa dan silangannya di Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Solihin, D. 1994. Peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragaman genetik
dan biologi populasi pada hewan. Jurnal Hayati. 1:(1):1-4.
Subandryo, 2008. Pengelolaan dan pemanfaatan data plasma nutfah ternak kerbau.
Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Subandriyo dan B. Setiadi, 2003. Pengelolaan plasma nutfah hewani sebagai aset
dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Komisi Nasional Plasma Nutfah,
Bogor.
Tanaka, K., T. Yamagata, S. Masangkay, M. O. Faruque, Salundik, S. S. Mansjoer,
Y. Kawamoto dan T. Namikawa. 1995. Nucleotide diversity of mitochondrial
DNA between the swamp and the river types of domestic water buffaloes,
Bubalus bubalis, based on restrcition endonuclease cleavage patterns.
Biochemical Genetics. 33 (5/6) : 137-148.
Wikimedia. 2009. Aufbau der menschlichen mitochondrialen DNA. 2009.
http://commons.wikimedia.org/wiki/Image:Mitochondrial_DNA_it.png [15
Januari 2009].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Modifikasi Metode Isolasi DNA Menggunakan Genomic DNA
Mini Kit Geneiad
Sampel darah
↓
Sentrifugasi 3500 rpm, 10 menit
Sel darah putih dipindahkan ke tabung 1,5 ml
↓
+ Etoh absolut sampai 1 ml
Masukkan ke freezer, 2 jam
↓
Sentrifugasi 7000 rpm, 10 menit
Supernatan dibuang
+ TE sampai 500 µl
↓
Sentrifugasi 7000 rpm, 10 menit
Supernatan dibuang
+ 1 x STE sampai 350 µl
+ 5 mg/ml proteinase K 10 µl
↓
Inkubasi 56°C, 1 jam
+ 10 % SDS 40 µl
+ Bufer GB 250 µl
↓
Inkubasi 70°C, 10 menit
+ Ethanol 250 µl
↓
Pindahkan ke GD Column
↓
Sentrifugasi 10000 rpm, 3 menit
Cairan ditabung penampung dibuang
+ Bufer W1 400 µl
↓
Sentrifugasi 10000 rpm, 1 menit
Cairan ditabung penampung dibuang
+ Bufer pencuci 600 µl
↓
Sentrifugasi 10000 rpm, 1 menit
Cairan ditabung penampung dibuang
Pindahkan GD Column ke tabung 1,5 ml
↓
+ Bufer pengelusi 100 µl
↓
Sentrifugasi 10000 rpm, 1 menit
Didapatkan cairan berisi DNA dalam tabung 1,5 ml
Lampiran 2. Hasil Penjajaran (Alignment) DNA d-loop Genom Mitokondria
(Nomor Posisi Nukleotida Dibaca Secara Vertikal)
1 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp GCATACGCAA TCTTACGATC AATTCCTAAC AAACTAGGAG GGGTTCTAGC
water1 GCATACGCAA TCTTACGATC AATTCCTAAC AAACTAGGAG GGGTTCTAGC water2 GCATACGCAA TCTTACGATC AATTCCTAAC AAACTAGGAG GGGTTCTAGC
taurus GCATACGCAA TCTTACGATC AATCCCCAAC AAACTAGGAG GAGTACTAGC
indicus GCATACGCAA TCTTACGATC AATCCCCAAC AAACTAGGAG GAGTACTAGC
yak GCATACGCAA TTTTACGATC AATCCCCAAT AAACTAGGAG GAGTGCTAGC
aries GCGTACGCAA TCTTACGATC AATCCCTAAT AAACTAGGAG GAGTCCTCGC
capra GCATACGCAA TCCTACGATC AATCCCCAAC AAACTAGGAG GAGTCCTAGC
1
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp CCTAGTTCTC TCTATCCTAA TCCTCATTCT CATGCCCCTG CTACATACAT
water1 CCTAGTTCTC TCTATCCTAA TCCTCATTCT CATGCCCCTG CTACATACAT
water2 CCTAGTTCTC TCCATCCTAA TCCTCATTCT CATGCCCCTG CTACACACAT
taurus CCTAGCCTTC TCTATCCTAA TTCTTGCTCT AATCCCCCTA CTACACACCT
indicus CCTAGCCTTC TCTATCCTAA TTCTTGCTCT AATCCCCCTA CTACACACCT
yak CCTAGCTTTC TCTATCCTAA TCCTTGCTCT TATTCCCCTA CTGCACACTT
aries CCTAATCCTC TCAATCCTAG TCCTAGTAAT TATACCCCTC CTCCATACAT
capra CCTAGTCCTC TCAATCCTAA TCTTAGTACT TGTACCCTTC CTCCACACAT
1111111111 1111111111 1111111111 1111111111 1111111111
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp CCAAACAACG AAGTATGATG TTCCGGCCAT TCAGCCAATG CCTATTCTGA
water1 CCAAACAACG AAGTATGATG TTCCGGCCAT TCAGCCAATG CCTATTCTGA
water2 CCAAACAACG AAGTATGATG TTCCGACCAT TCAGCCAATG CCTATTCTGA
taurus CCAAACAACG AAGCATAATA TTCCGACCAC TCAGCCAATG CCTATTCTGA
indicus CCAAACAACG AAGCATAATA TTCCGACCAC TCAGCCAATG CCTATTCTGA
yak CCAAACAACG AAGCATAATC TTCCGACCAC TCAGCCAATG CCTATTCTGA
aries CAAAGCAACG GAGCATAATA TTCCGACCAA TCAGTCAATG TATATTCTGA
capra CTAAACAACG AAGCATAATA TTCCGCCCAA TCAGCCAATG CATATTCTGA
1111111111 1111111111 1111111111 1111111111 1111111112
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ATTCTAGTAG CAAACCTGCT AACACTCACA TGGATTGGAG GACAGCCAGT
water1 ATTCTAGTAG CAAACCTGCT AACACTCACA TGGATTGGAG GACAGCCAGT
water2 ATCCTAGTAG CAAACCTGCT AACACTCACA TGAATTGGAG GACAGCCAGT
taurus GCCCTAGTAG CAGACCTACT GACACTCACA TGAATTGGAG GACAACCAGT
indicus GCCCTAGTAG CAGACCTACT GACACTCACA TGAATTGGAG GACAACCAGT
yak ACTCTAGTAG CAGACCTACT AACACTCACA TGAATCGGAG GACAACCAGT
aries ATCCTAGTAG CCGACCTATT AACACTCACA TGAATTGGAG GCCAGCCAGT
capra ATCCTGGTAG CAGATCTATT AACACTCACA TGAATTGGAG GACAGCCAGT
2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp CGAACACCCA TATATTATCA TTGGACAACT AGCATCTATC ACATACTTCC
water1 CGAACACCCA TATATTATCA TTGGACAACT AGCATCTATC ACATACTTCC
water2 CGAACACCCA TATATTATCA TCGGACAACT AGCATCCATC ACATATTTCC
taurus CGAACACCCA TATATCACCA TCGGACAACT AGCATCTATC CTATACTTTC
indicus CGAACACCCA TATATCACCA TTGGACAACT AGCATCTATC CTATACTTTC
yak CGAACACCCA TACATTATCA TTGGACAACT AGCATCTATT ATATACTTCC
aries TGAACACCCC TACATCATTA TTGGACAACT AGCATCTATT ATATATTTCC
capra CGAACATCCC TACATTATTA TTGGACAACT AGCATCTATT ATATATTTCC
2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222223
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp TCCTCATCCT AGTGCTAATA CCAACGGCCA GCATAATCGA AAATAATCTC
water1 TCCTCATCCT AGTGCTAATA CCAACGGCCA GCATAATCGA AAATAATCTC
water2 TTCTCATCCT AGTGCTAATA CCAACGGCCA GCATAATCGA AAATAATCTC
taurus TCCTCATCCT AGTGCTAATA CCAACGGCCG GCACAATCGA AAACAAATTA
indicus TTCTCATCCT AGTACTAATA CCAACAGCCG GCACAGTTGA AAACAAATTA
yak TTCTCATCCT AGTACTAATA CCAACAGCCG GCACAATTGA AAACAAACTA
aries TTATCATTCT AGTCATAATA CCAGTAGCTA GCATCATCGA AAACAACCTC
capra TCATCATTCT AGTAATAATA CCAGCAGCTA GCACCATTGG AAACAACCTT
2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222223
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp TTAAAATGAA GACAAGTCTT TGTAGTATAC TAAATACACT GGTCTTGTAA
water1 TTAAAATGAA GACAAGTCTT TGTAGTATAT TAAATACACT GGTCTTGTAA
water2 TTAAAATGAA GACAAGTCTT TGTAGTATAT TAAATACACT GGTCTTGTAA
taurus CTAAAATGAA GACAGGTCTT TGTAGTACAT CTAATATACT GGTCTTGTAA
indicus CTAAAATGAA GACAGGTCTT TGTAGTACAT CTAATATACT GGTCTTGTAA
yak CTAAAATGAA GACAAGTCTT TGTAGTACAT CTAATACACT GGTCTTGTAA
aries CTAAAATGAA GACAAGTCTT TGTAGTACAA TCAATATACT GGTCTTGTAA
capra CTAAAATGAA GACAAGTCTT TGTAGTACAA TCAATACACT GGTCTTGTAA
3333333333 3333333333 3333333333 3333333333 3333333334
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ACCAGAAAAG GAGAACAACC AACCTCCCCA AGACTCAGGG AAGAGGCTAT
water1 ACCAGAAAAG GAGAACAACC AACCTCCCCA AGACTCAGGG AAGAGGCTAT
water2 ACCAGAAAAG GAGAACAACC AACCTCCCCA AGACTCAGGG AAGAGGCTAT
taurus ACCAGAGAAG GAGAACAACT AACCTCCCTA AGACTCAAGG AAGAAACTGC
indicus ACCAGAGAAG GAGAACAACT AACCTCCCTA AGACTCAAGG AAGAAACTGT
yak ACCAGAAAAG GAGAACAACC AACCTCCCTA AGACTCAAGG AAGAAACTAC
aries ACCAGAGAAG GAGAACAACC AACCTCCCTA AGACTCAAGG AAGAAGCTAT
capra ACCAGAAAAG GAGAATAGCC AATCTCCCTA AGACTCAAGG AAGAAGCCAT
3333333333 3333333333 3333333333 3333333333 3333333334
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp AGCCCCACTA CCAACACCCA AAGCTGAAGT TCTATTTAAA CTACTCCCTG
water1 AGCCCCACTA CCAACACCCA AAGCTGAAGT TCTATTTAAA CTACTCCCTG
water2 AGCCCCACTA CCAACACCCA AAGCTGAAGT TCTATTTAAA CTACTCCCTG
taurus AGTCTCACCA TCAACCCCCA AAGCTGAAGT TCTATTTAAA CTATTCCCTG
indicus AGTCTCACCG TCAACCCCCA AAGCTGAAGT TCTATTTAAA CTATTCCCTG
yak AGTCTCACCG TCAACCCCCA AAGCTGAAGT TCTATTTAAA CTATTCCCTG
aries AGCCCCACTA TCAACACCCA AAGCTGAAGT TCTACTTAAA CTATTCCCTG
capra AGCCTCACTA TCAGCACCCA AAGCTGAAAT TCTATTTAAA CTATTCCCTG
4444444444 4444444444 4444444444 4444444444 4444444445
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp AATACTATTA ATATAGCTCC ACAAATGCAA AGAGCCTTCT CAGTATCAAA
water1 AATATTATTA ATATACCTCC ACAAATGCAA AGAGCCTTCT CAGTATTAAA
water2 AATATTATTA ATATACCTCC ACAAATGCAA AGAGCCTTCT CAGTATTAAA
taurus AACACTATTA ATATAGTTCC ATAAATACAA AGAGCCTTAT CAGTATTAAA
indicus AACACTATTA ATATAGTTCC ATAAATGCAA AGAGCCTTAT CAGTATTAAA
yak AACGCTATTA ATATAGTTCC ATAAATGTAA AGAGCCTCAC CAGTATTAAA
aries AATCATTATC AACGATACTT ATCAATATAT TTCCAAAAAT ATAAAGAGCC
capra AACCACTATT AACCACATCT ATTAATATAC CCCCAAAAAT ATTAAGAGCC
5555555555 5555555555 5555555555 5555555555 5555555555
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp TTCACTAAAA CTTGCAACAA CTTAACACTG ACTTTACACT CTAGCCTAAC
water1 TTCACTAAAA CTTGCAACAA CTTAACACTG ACTTTACACT CTAACCTAAC
water2 TTCACTAAAA CTTGCAACAA CTTAACACTG ACTTTACACT CTAACCTAAC
taurus TTTATCAAAA ATCCCAATAA CTCAACACAG AATTTGCACC CTAACCAAAT
indicus TTTATCAAAA ATCCCAATAA CTCAACACAG AATTTGCACC CTAACCAAAT
yak TTTACTAAAA ATTCCAATAA CTCAACACAA ACTTTGTACT CTAACCAAAT
aries TCTCCAGTAT TAAACTTGCT AAAACTCCCA AACATACAAC ACGGACTTCC
capra TCCCCAGTAT TAAATTTACT AAAAATTTCA AATATACAAC ACAAACTTCC
5555555555 5555555555 5555555555 5555555555 5555555556
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ATTAGAAATA ACTACAACCA TCAACACACC TGACCTCATA TGTACAACAC
water1 ATTAGAAATA ACTGCAACCA TCAACACACC TAACCTCGCA TGTACGGCAT
water2 ATTAGAAATA ACTGCAACCA TCAACACACC TAACCTCGCA TGTACGGCAT
taurus ATTACAAACA CCACTAGCTA ACATAACACG CCCATACACA GACCACAGAA
indicus ATTACAAACA CCACTAGCTA ACATAACACG CCCATACACA GACCACAGAA
yak ATTACAAACA CCACTAGCTA ACAACACACA TCCCCAAAAA TGCATTGTCC
aries CACTCCACAA GCCCACATAA CAACCCATAC AAGAAAAGCA CAACCACCCA
capra CACTCCACAA GCCTACAGAC ATGCCAACAA CCCACACGTA TAAAAACATC
6666666666 6666666666 6666666666 6666666666 6666666666
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ACAACATATG ACCCTACTAC TCCGAATGGG GGGGGGGACA TAACATTAAT
water1 ACAACATATG GTCTTACCAC TCCGAATGGG GGAATGTACA TAACATTAAT
water2 ACAACATATG GTCTTACCAC TCCGAATGGG GAACGTACAT AACATTAATG
taurus TGAATTACCT ACGCAAGGGG TAATGTACAT AACATTAATG TAATAAAGAC
indicus TGAATTACCC AGGCAAGAGG TAATGTACAT AACATTAATG TAATAAAGAC
yak AAACGGGGGA TACGTACATA ATATTAATGT AATAAAGACA TATTATGTAT
aries CCCACGGACA TGAGCGTTCA TAAACCCAAC ATATCTTATG TCTGTCTTAA
capra CCAATCCTAA CCCAACTTAG ATACCCACAC AAACGCCAAC ACCACACAAT
6666666666 6666666666 6666666666 6666666666 6666666667
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp GTAATAAGGA CATAATATGT ATATAGTACA TTATATTATA TGCCCCATGC
water1 GTAACAAGGA CATAATATGT ATATAGTACA TTACATTATA TGCCCCATGC
water2 TAACAAGGAC ATAATATGTA TATAGTACAT TACATTATAT GCCCCATGCG
taurus ATAATATGTA TATAGTACAT TAAATTATAT GCCCCATGCA TATAAGCAAG
indicus ATGATATGTA TATAGTACAT TAAATTATAT ACCCCATGCA TATAAGCAAG
yak ATAGTACATT AAATTATATG CCCCATGCAT ATAAGCAAGT ACATAACTCC
aries ACATGCAAAC GAGTACATAG TATTAATGTA ATATAGACAT TATATGTATA
capra ATTACGTGTA TGCAAGTACA TTACACCGCT CGCCTACACA CAAATACATT
7777777777 7777777777 7777777777 7777777777 7777777777
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ATATAAGCGG GTACACAAAC ATGCATGATA GTACATAGTA CATTCAATTA
water1 GTATAAGCAA GTACATAAAC ATGCATGATA GTACATAGTA CATATAATTA
water2 TATAAGCAAG TACATAGACA TGCATGATAG TACATAGTAC ATATAATTAT
taurus TACATGACCT CTATAGCAGT ACATAATGCA TATAATTATT GACTGTACAT
indicus TACATGATCT CTATAATAGT ACATAATACA TACAATTATT AACCGTACAT
yak TATTGATAGT ACATAATACA TGAAATTATT AATCGTACAT AACACATTAT
aries AAGTACATTA AATGATTTAC CTCATGCATA TAAGTACGTA CATAGTATTA
capra TACTAACATC CATATAACGC GGACATACAG CCTTCATATA GTTTACTGTA
7777777777 7777777777 7777777777 7777777777 7777777778
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp TTGATCGTAC ATAGTGCATT CAAGTCAAAT CCGTCCTCGC CAACATGCAT
water1 TTGATCGTAC ATAGCACATT TAAGTCAAAT CCATTCTTAT CAACATGCGT
water2 TGATCGTACA TAGCACATTT AAGTCAAATC CATTCTTATC AACATGCGTA
taurus AGTACATTAT GTCAAATTCA TTCTTGATAG TATATCTATT ATATATTCCC
indicus AGTACATTAT ATCAAATCCA TCCTCAACAA CATATCTACT ATATACCCCC
yak GTCAAACCTA CTCCTAACAA CATGTATACC CCCTCCACTA GATCACGAGC
aries ATGTAATATA GACATTATAT GTATAAAGTA CATTAAATGA TTTACCCCAT
capra TATCTACCCT ACACATATGC AGTACTAATC CAGCATAAAC GTAATGTATG
8888888888 8888888888 8888888888 8888888888 8888888888
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ATCCCCTCCA CTAGATCACG AGCTTGGTCA CCATGCCGCG TGAAACCAGC
water1 ATCCCTTCCA CTAGATCACG AGCTTGATCA CCATGCCGCG TGAAACCAGC
water2 TCCCTTCCAC TAGATCACGA GCTTGATCAC CATGCCGCGT GAAACCAGCA
taurus TACCATTAGA TCACGAGCTT AATTACCATG CCGCGTGAAA CCAGCAACCC
indicus TCCACTAGAT CACGAGCTTA ATTACCATGC CGCGTGAAAC CAGCAACCCG
yak TTAACTACCA TGCCGCGTGA AACCAGCAAC CCGCTAGGCG GAGGACCCCT
aries GCATATAAGC ACGCACATAG TATTAATGTA ATACAGACAT TATATGTATA
capra TACATTACAT TTTATGATCT ACTTCATGTG TACGTACATA ATATTAATGT
8888888888 8888888888 8888888888 8888888888 8888888889
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp AACCCTTCAG ACAGGGATCC CTCTTCTCGC TCCGGGCCCA TGTCTTGTGG
water1 AACCCTTCAG GCAAGGATCC CTCTTCTCGC TCCGGGCCCA TGTTATGTGG
water2 ACCCTTCAGG CAAGGATCCC TCTTCTCGCT CCGGGCCCAT GTTATGTGGG
taurus GCTAGGCAGG GATCCCTCTT CTCGCTCCGG GCCCATAAAC CGTGGGGGTC
indicus CTAAGCAGAG GATCCCTCTT CTCGCTCCGG GCCCATAGAC TGTGGGGGTC
yak CTTCTCGCTC CGGGCCCATG AACTGTGGGG GTCGCTATTT AATGAACTTT
aries AAGTACATTA AATGATTTAC CTCATGCATA TAAGCACGTA CATAGTATTA
capra AACAAGGACA TAGTATGTAT ATAGTACATT AAACGATTTT CCACATGCAT
9999999999 9999999999 9999999999 9999999999 9999999999
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp GGGTAGCTAT TCAATGAACT TTAACAGGCA TCTGGTTCTT TCTTCAGGGC
water1 GGGTAGCTAT TTAATGAATT TTAACAGGCA TCTGGTTCTT TCTTCAGGGC
water2 GGTAGCTACT TAATGAACTT TAACAGACAT CTGGTTCTTT CTTCAGGGCC
taurus GCTATCCAAT GAATTTTACC AGGCATCTGG TTCTTTCTTC AGGGCCATCT
indicus GCTATTTAAT GAATTTTACC AGGCATCTGG TTCTTTCTTC AGGGCCATCT
yak ATCAGACATC TGGTTCTTTC TTCAGGGCCA TCTCACCTAA AACCGTCCAC
aries ATGTAATATA GACATTATAT GTATAAAGTA CATTAAATGA TTTACCCCAT
capra ATTAAGGACG TACATCAGTA TTAATGTAAT AAGGACATAG TATGTATATT
1
9999999999 9999999999 9999999999 9999999999 9999999990
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp CATCTCACCT AAAATCGCCC ACTCTTTCCC CTTAAATAAG ACATCTCGAT
water1 CATCTCATCT AAAATCGCCC ATTCTTTCCT CTTAAATAAG ACATCTCGAT
water2 ATCTCACCTA AAGTCGCCCA TTCTTTCCTC TTAAATAAGA CATCTCGATG
taurus CATCTAAAAC GGTCCATTCT TTCCTCTTAA ATAAGACATC TCGATGGACT
indicus CATCTAAAGT GGTCCATTCT TTCCTCTTAA ATAAGACATC TCGATGGACT
yak TCTTTCCTCT TAAATAAGAC ATCTCGATGG ACTAATGGCT AATCAGCCCA
aries GCATATAAGC ATGTACATTT GTTTCACTGA AGCATGTAGG GTATTAAACT
capra GTACATTAAA CGATCTTCCT CATGCATATA AGCATGTATA ATATTTCTAT
1
0000000000 0000000000 0000000000 0000000000 0000000000
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp GGACTAATGT CTAATCAGCC CATGCTCACA CATAACTGTG CTGTCATACA
water1 GGACTAATGT CTAATCAGCC CATGCTCACA CATAACTGTG CTGTCATACA
water2 GACTAATGTC TAATCAGCCC ATGCTCACAC ATAACTGTGC TGTCATACAT
taurus AATGGCTAAT CAGCCCATGC TCACACATAA CTGTGCTGTC ATACATTTGG
indicus AATGACTAAT CAGCCCATGC TCACACATAA CTGTGTTGTC ATACATTTGG
yak TGCTCACACA TAACTGTGCT GTCATACATT TGGTATTTTT TTATTTTGGG
aries GCTTGACCGT ACATAGTACA TGAAGTCAAA TCCATTCTAG TCAACATGCG
capra CGGCAGTACA TAGTACATTT TACTGCATAT TCGTACATGG CACATAGGGT
1
0000000000 0000000000 0000000000 0000000000 0000000001
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp TTTGGTATTT TTTTATTTTG GGGGATGCTT GGACTCAGCT ATGGCCGTCA
water1 TTTGGTATTT TTTTATTTTG GGGGATGCTT GGACTCAGCT ATGGCCGTCA
water2 TTGGTATTTT TTTATTTTGG GGGATGCTTG GACTCAGCTA TGGCCGTCAA
taurus TATTTTTTTA TTTTGGGGGA TGCTTGGACT CAGCTATGGC CGTCAAAGGC
indicus TATTTTTTTA TTTTGGGGGA TGCTTGGACT CAGCTATGGC CGTCAAAGGC
yak GGATGCTTGG ACTCAGCTAT GGCCGTCAAA GGCCCCGACC CGGAGCATCT
aries TATCCTGTCC ATTAGATCAC GAGCTTGTTC ACCATGCCGC GTGAAACCAA
capra CAAATCCATT CTTGCCAACA TGCGTATCCC GTCCACTAGA TCACGAGCTT
1
1111111111 1111111111 1111111111 1111111111 1111111111
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp AAGGCCCCGA CCCGGAGCAT GAATTGTAGC TGGACTTAAC TGCAT------
water1 AAGGCCCCGA CCCGGAGCAT AAATTGTAGC TGGACTTAAC TGCAT-----
water2 AGGCCCCGAC CCGGAGCATA AATTGTAGCT GGACTTAACT GCAT-------
taurus CCTGACCCGG AGCATCTATT GTAGCTGGAC TTAACTGCAT -----------
indicus CCCGACCCGG AGCATCTATT GTAGCTGGAC TTAACTGCAT -----------
yak ATTGTAGCTG GACTTAACTG CAT------- ---------- -----------
aries CAACCCGCTC AGCAAGGATC CCTCTTCTCG CTCCGGGCCC ACTAACTGTG
capra GTTGACCATG CCGCGTGAAA CCAGCAACCC GCTTGGCAGG GATCCCTCTT
1
1111111111 1111111111 1111111111 1111111111 1111111112
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp --------- --------- --------- --------- ---------
water1 --------- --------- --------- --------- ---------
water2 --------- --------- --------- --------- ---------
taurus --------- --------- --------- --------- ---------
indicus --------- --------- --------- --------- ---------
yak --------- --------- --------- --------- ---------
aries GGGGTAACTA TTTAATGAAC TTTAACAGGC ATCTGGTTCT TTCTTCAGGG
capra CTCGCTCCGG GCCCATTAAC CGTGGGGGTC GCTATTTAAT GAACTTTATC
1
2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222222
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp --------- --------- --------- --------- ---------
water1 --------- --------- --------- --------- ---------
water2 --------- --------- --------- --------- ---------
taurus --------- --------- --------- --------- ---------
indicus --------- --------- --------- --------- ---------
yak --------- --------- --------- --------- ---------
aries CCATCTCATC TAAAATCGCC CACTCTTTCC CCTTAAATAA GACATCTCGA
capra AGACATCTGG TTCTTTCTTC AGGGCCATCT CACCTAAAAT CGCCCACTCT
1
2222222222 2222222222 2222222222 2222222222 2222222223
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
water1 ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
water2 ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
taurus ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
indicus ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
yak ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
aries TGGACTAATG ACTAATCAGC CCATGCCTAA CATAACTGTG GTGTCATGCA
capra TCCCTCTTAA ATAAGACATC TCGATGGACT AATGACTAAT CAGCCCATGC
1
3333333333 3333333333 3333333333 3333333333 3333333333
0000000001 1111111112 2222222223 3333333334 4444444445
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
water1 ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
water2 ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
taurus ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
indicus ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
yak ---------- ---------- ---------- ---------- ----------
aries TTTGGTATTT TTTAATTTTT GGGGATGCTT GGACT----- ----------
capra TCACACATAA CTGTGCTGTC ATACATTTGG TATTTTTTAA TTTTCGGGGA
1
3333333333 3333333333 3333333333 3333333333 3333333334
5555555556 6666666667 7777777778 8888888889 9999999990
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
swamp ----------
water1 ----------
water2 ----------
taurus ----------
indicus ----------
yak ----------
aries ----------
capra TGCTTGGACT
Keterangan : fragmen kerbau rawa (swamp) (cetak hitam tebal) dijadikan
pembanding untuk melihat perbedaan (cetak merah) nukleotida
antar spesies yang berbeda.