analisis komparatif antara perlakuan zakat …
TRANSCRIPT
i
ANALISIS KOMPARATIF ANTARA PERLAKUAN ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PENGHASILAN KENA PAJAK DENGAN PERLAKUAN ZAKAT SEBAGAI PENGURANG LANGSUNG PAJAK PENGHASILAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun oleh :
Apriliana
106082002572
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
ii
ANALISIS KOMPARATIF ANTARA PERLAKUAN ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PENGHASILAN KENA PAJAK DENGAN PERLAKUAN ZAKAT SEBAGAI PENGURANG LANGSUNG PAJAK PENGHASILAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun Oleh :
Apriliana 106082002572
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ahmad Rodoni Yessi Fitri, SE, Ak, M.Si NIP. 19690203 200112 1 003 NIP. 19760924 200604 2 002
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
iii
Hari ini Selasa Tanggal 15 Juni 2010 telah dilakukan ujian komprehensif atas
nama Apriliana NIM 106082002572 dengan judul skripsi “ANALISIS
KOMPARATIF ANTARA PERLAKUAN ZAKAT SEBAGAI
PENGURANG PENGHASILAN KENA PAJAK DENGAN PERLAKUAN
ZAKAT SEBAGAI PENGURANG LANGSUNG PAJAK PENGHASILAN”.
Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka
skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 15 Juni 2010
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Abdul Hamid Cebba, Ak.,MBA.,CPA Yessi Fitri, SE, Ak., MSi Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Azzam Jasin, MBA Penguji Ahli
iv
Hari ini Tanggal 15 September 2010 telah dilakukan Ujian Skripsi atas nama
Apriliana NIM 106082002572 dengan judul skripsi “ANALISIS
KOMPARATIF ANTARA PERLAKUAN ZAKAT SEBAGAI
PENGURANG PENGHASILAN KENA PAJAK DENGAN PERLAKUAN
ZAKAT SEBAGAI PENGURANG LANGSUNG PAJAK PENGHASILAN”.
Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka
skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi (SE) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 September 2010
Tim Penguji Ujian Skripsi
Prof. Dr. Ahmad Rodoni Yessi Fitri, SE, Ak.,M.Si Pembimbing I Pembimbing II
Afif Sulfa, SE, Ak., M.Si Reskino, SE, Ak.,M.Si Penguji Ahli I Penguji Ahli II
v
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Apriliana
NIM : 106082002572
Jurusan : Akuntansi
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang
merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan
merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang
lain.
Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi, maka skripsi
dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi
baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian
hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 03 September 2010
Apriliana
vi
Daftar Riwayat Hidup
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Apriliana
2. Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 9 April 1987
3. Alamat : Jl. Pinang Ranti II No.15A RT.013
Rw.001, Jakarta Timur 13560
4. Telepon : 085280738072
II. PENDIDIKAN
1. TK (1992-1993) : Ar Rahmah, Jakarta Timur
2. SD (1993-1999) : SD Negeri 04 Pinang Ranti, Jakarta Timur
3. SMP (1999-2002) : SMPN 20 Bulak Rantai, Jakarta Timur
4. SMA (2002-2005) : SMA Negeri 93 Jakarta Timur
5. S1 (2006-2010) : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
III. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Nama Ayah : Laman Thanawi Adli
2. Tempat/Tgl Lahir : Bengkulu, 14 Agustus 1945
3. Alamat : Jl. Pinang Ranti II No.15A RT.013
Rw.001, Jakarta Timur 13560
4. Nama Ibu : Hj. Nusni Yunus
5. Tempat/Tgl Lahir : Bengkulu, 30 Desember 1952
6. Alamat : Jl. Pinang Ranti II No.15A RT.013
Rw.001, Jakarta Timur 13560
7. Anak ke : 2 dari 3 Bersaudara
vii
ABSTRACT Apriliana . 2010. “Comparative Analyze between The Way of Treating Zakah as
Deductible Expense with The Way of Treating Zakah as Tax Credit”. Minithesis. Accounting Departement. Faculty Of Economy and Bussiness, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. This study aimed to analyze the deference in two way of treating zakah.
The first treatment, zakah as deductible expense, and second zakah as tax credit. This research is case study with descriptive analyzing method. The scope of this research are Zakah Maal paid by Muzakki and tax income for tax obligation person personal. The result showed that have difference between both of treatment. On first treatment, the expenditure of zakah and tax payable are greater than the second treatment. Zakah as deductible expense means zakah to reduce from netto income, but zakah as tax credit means zakah to reduce from tax payable. The last analyzing that research is have positive correlation between tax and zakah.
Key words: Treatment of Zakah, Deductible Expense, and Tax Credit.
viii
ABSTRAKSI
Apriliana . 2010. Analisis Komparatif Antara Perlakuan Zakat sebagai Pengurang
Penghasilan Kena Pajak dengan Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang Langsung Pajak Penghasilan. Skripsi. Program Studi Akuntansi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan antara dua
perlakuan zakat. Perlakuan pertama, zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, dan yang kedua perlakuan zakat sebagai pengurang langsung pajak penghasilan (kredit pajak). Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode deskriptif analisis. Lingkup penelitian ini meliputi zakat maal yang dibayarkan oleh Muzakki dan pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kedua perlakuan tersebut. Pada perlakuan pertama, pengeluaran atas kewajiban zakat dan pajak lebih besar dibandingkan dengan perlakuan yang kedua. Zakat sebagai pengurang PKP atinya zakat dikurangkan dari penghasilan neto, sedangkan zakat sebagai kredit pajak artinya zakat dikurangkan dari PPh terutang. Analisis terakhir dari penelitian ini adalah terdapat korelasi positif antara pajak dan zakat. Kata Kunci: Perlakuan Zakat, Pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP), dan Kredit
Pajak.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah Kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan taufik, inayah serta hidayah-Nya yang tiada ternilai dan tak
tertandingi kepada hamba-hamba-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan kita Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umatnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Adalah suatu hal yang tidak dipungkiri betapa besar nikmat yang dicurahkan
Allah SWT kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penggarapan penulisan
skripsi ini dengan judul : “Analisis Komparatif Antara Perlakuan Zakat
Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Dengan Perlakuan Zakat
Sebagai Pengurang Langsung Pajak Penghasilan”.
Penyusunan Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan
guna menyelesaikan studi program strata satu Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Akuntansi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Disamping itu penulis juga mencoba untuk menyumbangkan pikiran dalam usaha
mengembangkan ilmu pengetahuan bidang perpajakan.
Dan dalam penyusunan skripsi ini penulis telah banyak dibantu oleh beberapa
pihak, baik berupa sumbangan pikiran, tenaga, moril maupun materil. Maka
dengan penuh ketulusan dalam kesempatan kali ini penulis menyampaikan banyak
terima kasih kepada:
1. Kedua Orangtuaku Ayahanda dan Ibundaku tercinta Laman Thanawi Adli
(alm) dan Hj. Nusni Yunus serta kakak dan adikku Gemala Nurtania dan
Apriliani dengan penuh kasih, ketulusan dan kesabaran serta perhatiannya
telah memberikan support baik moril, materil dan doa yang tak pernah putus
hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
x
3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis.
4. Bapak Afif Sulfa, SE, Ak, M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis.
5. Bapak Prof. Dr. Ahmad Rodoni selaku Dosen Pembimbing I yang dengan
tulus ikhlas serta kesabarannya dalam membimbing dan meluangkan
waktunya untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Yessi Fitri, SE, Ak, M.Si selaku Dosen Pembimbing II dan Sekretaris
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang dengan tulus ikhlas
serta kesabarannya dalam membimbing dan meluangkan waktunya untuk
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
7. Segenap Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mewariskan ilmunya kepada penulis.
8. Seluruh Pemimpin, staf perpustakaan, dan pegawai akademik dan jurusan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku seperjuangan (Evi, Ndah, Neng, Icha, Dina, Emma) ga kan
kulupakan kenangan kita dari semester 1 sampai semester 8. Terima kasih atas
semua persahabatan, dukungan, semangat serta doa yang kalian berikan
hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Thanks you so much My
Friends…!!
10. Teman-teman seperjuangan Angkatan 2006, terima kasih atas perhatian,
semangat, nasihat, kenangan manis dan pahit selama berada dibangku kuliah.
11. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu yang
turut serta dalam membantu penyelesaian penulisan skripsi ini.
xi
Semoga Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang membalas
segala budi baik mereka semua dengan ganjaran yang setimpal dan berlipat ganda.
Amin.
Penulis menyadari bahwa “Tak ada gading yang tak retak”, penyusunan
skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karenanya kritik serta saran yang konstruktif
sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Jakarta, 31 Agustus 2010
Penulis
xii
DAFTAR ISI
COVER SKRIPSI ................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN KOMPREHENSIF .................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ........................................ iv
SURAT PERNYATAAN ......................................................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................. vi
ABSTRACT ............................................................................................. vii
ABSTRAK ............................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................. ix
DAFTAR ISI ........................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian .............................................................. 1
B. Perumusan Masalah........................................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori dan Konsep Zakat ................................................................. 10
B. Teori dan Konsep Pajak.................................................................. 31
C. Persamaan Antara Zakat dan Pajak................................................. 45
D. Perbedaan Antara Zakat dan Pajak ................................................. 47
E. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 50
F. Kerangka Pemikiran....................................................................... 52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup penelitian .............................................................. 53
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ..................................................... 53
C. Definisi Operasional Variabel......................................................... 54
D. Metode Pengumpulan Data............................................................. 55
xiii
E. Metode Analisis Data ..................................................................... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ketentuan Zakat Dalam Undang-undang Perpajakan ....... ………… 57
B. Analisis Teori ........................................................ .......................... 61
C. Analisis Studi Kasus........................ ................................................ 65
D. Analisis pada Penerimaan dari Sektor Pajak dan Zakat ....... ....... 71
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan ................................................................................... 78
B. Implikasi ....................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 81
LAMPIRAN ............................................................................................ 83
xiv
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
1.1 Penerimaan Pajak dan Zakat di Malaysia..................................... 5
2.1 Formal Pengenaan Pajak dan Zakat untuk WPOP ....................... 44
2.2 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)........................................ 44
2.3 Tarif Pajak Pasal 17..................................................................... 45
2.4 Perbedaan Zakat dan Pajak.......................................................... 49
2.5 Penelitian Terdahulu ................................................................... 51
4.1 Zakat sebagai Pengurang PKP..................................................... 65
4.2 Persentase Pajak dan Zakat sebagai Pengurang PKP.................... 66
4.3 Zakat sebagai Pengurang Langsung PPh (Kredit Pajak)............... 67
4.4 Persentase Pajak dan Zakat sebagai Pengurang Langsung PPh
(Kredit Pajak).............................................................................. 67
4.5 Persentase Perbandingan Pengeluaran .......................................... 68
4.6 SPT Tahunan Zakat sebagai Pengurang PKP................................ 69
4.7 SPT Tahunan Zakat sebagai Pengurang Langsung PPh
(Kredit Pajak).............................................................................. 70
4.8 Penerimaan Pajak dan Zakat di Malaysia...................................... 72
4.9 Perhitungan Zakat sebagai Pengurang PKP dan sebagai
Pengurang PPh ............................................................................ 75
4.10 Perhitungan Peningkatan Penerimaan dari Zakat dan Pajak .......... 76
xv
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran .................................................................. 52
4.1 Pergeseran Kurva Permintaan dan Penawaran sebagai Pengaruh
dari Zakat ................................................................................... 73
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
No Keterangan Halaman
1 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 ............................. 83
2 Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ/2003 .................... 85
3 Wawancara ............................................................................... 88
4 Realisasi Penerimaan Negara Tahun 2007-2010 ........................ 89
5 Contoh SPT Tahunan 1770 SS .................................................. 91
6 Contoh SPT Tahunan 1770 S ..................................................... 92
7 Contoh Bukti Setoran Zakat ....................................................... 95
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Ditengah menguatnya peranan pajak dalam penerimaan negara, secara
bersamaan muncul sebuah kesadaran umat akan peranan zakat. Dua hal ini
menuntut adanya pengelolaan yang tepat. Manajemen yang buruk atas dua hal
ini akan menimbulkan efek yang kontra produktif dalam pembangunan
nasional. Salah satunya yaitu beban ganda atas kewajiban untuk membayar
pajak dan zakat (Damanhur, 2006: 24).
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang kewajibannya bersifat
mutlak atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu yang telah
diatur dalam Al Quran dan Hadis. Dalam konteks negara modern, zakat
bukanlah pajak yang merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Zakat
dipandang sebagai sarana komunikasi utama antara manusia dengan manusia
lain, yang memiliki peranan sangat penting sebagai sarana distribusi
penghasilan dalam menyusun kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan di
dalam sebuah negara. Kedudukan zakat dalam Islam merupakan suatu
keunggulan dalam sistem agama Islam. Zakat menggambarkan perwujudan
kekuatan seorang muslim terhadap Sang Khaliq. Hal ini merupakan suatu
penjelmaan dari solidaritas seorang muslim dalam kehidupan bermasyarakat.
Solidaritas itu sendiri merupakan hasil dari persetujuan-persetujuan di dalam
masyarakat sebagai keanekaragaman yang ada dalam kehidupan
2
bermasyarakat. Keanekaragaman dalam hal ini misalnya dari sisi nasib,
kepandaian dan keterampilan manusia. Jadi jika sholat berusaha membentuk
keshalehan pribadi individu, maka zakat berperan membentuk keshalehan
sosial dalam diri individu. Hikmah zakat adalah mengurangi kesenjangan
sosial antara golongan mampu dengan golongan tidak mampu, disinilah fungsi
distribusi berperan.
Adapun korelasi antara zakat dengan pajak adalah sama-sama
mempunyai fungsi pemungutan. Pada zakat, fungsi pemungutannya dapat
dilakukan oleh orang yang terkena kewajiban membayar zakat dan dapat
langsung disalurkan kepada orang yang berhak menerimanya atau dilakukan
oleh suatu badan atau lembaga resmi (BAZ atau LAZ) yang dibentuk untuk
memungut zakat serta mendistribusikan kepada delapan golongan yang berhak
menerima zakat. Sedangkan dalam pajak, fungsi pemungutannya dilakukan
oleh negara melalui Dirjen Pajak. Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya
dipungut oleh negara atau lembaga yang diberi mandat oleh negara dan atas
nama pemerintah yang bertindak sebagai wakil fakir miskin. Pengelolaan
dibawah otoritas badan yang dibentuk oleh negara akan jauh lebih efektif
pelaksanaan fungsi dan dampaknya dalam membangun kesejahteraan umat
yang menjadi tujuan zakat itu sendiri, dibanding zakat dikumpulkan dan
didistribusikan oleh lembaga yang berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada
koordinasi satu sama lain. Untuk memfasilitasi kewajiban berzakat bagi umat
Islam di Indonesia, undang-undang menetapkan kewajiban pemerintah yaitu
memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki,
3
mustahiq, dan amil zakat. Dalam hal ini yaitu dilakukan oleh badan atau
lembaga amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Disamping itu, Undang-
Undang juga memberi peluang kepada amil zakat swasta untuk
mengumpulkan dan mendistribusikan zakat dengan syarat dan ketentuan yang
telah diatur.
Dengan fakta bahwa subjek pajak terbesar adalah kaum muslim yang
jumlahnya 87% dari total penduduk Indonesia, pemerintah berupaya untuk
meminimalkan kewajiban ganda yang memberatkan. Untuk mengatasinya
dilakukan upaya titik temu antara pajak dan zakat sehingga kedua kewajiban
tersebut dapat dilaksanakan oleh umat Islam tanpa memberatkannya.
Pemerintah membuat peraturan yang dapat menjadi solusi bagi kewajiban
ganda yaitu pajak dan zakat yang dialami oleh umat Islam ini dalam Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Di dalam kedua
undang-undang ini, zakat atas penghasilan yang telah dibayarkan oleh wajib
pajak beragama Islam kepada badan atau lembaga yang disahkan oleh
pemerintah, dapat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa kena pajak dari
wajib pajak.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah mencoba untuk berperan
aktif dalam menciptakan pelaksanaan kewajiban keagamaan masyarakatnya
dengan menjadikan unsur zakat sebagai salah satu tax relief dalam
pemungutan PPh di Indonesia. Saat ini undang-undang menjadikan zakat
sebagai salah satu faktor pengurang penghasilan neto wajib pajak orang
4
pribadi dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak. Hal ini
diharapkan dapat meminimalkan beban ganda yang dipikul oleh umat Islam
sebagai wajib pajak dan muzakki. Namun, apakah dalam prakteknya pola
perlakuan ini adalah yang optimal untuk mengelola dan mengakomodasi zakat
dan pajak, yang kenyataannya kedua hal tersebut merupakan dua sumber
pemungutan yang sama-sama dihimpun dari masyarakat. Padahal bila upaya
pengelolaan dan pengakomodasian ini telah berjalan baik, dapat memberikan
suatu efek yang produktif dalam pembangunan nasional. Jika dilihat dari
fungsi dasarnya membayar zakat bisa disamakan nilainya dengan membayar
pajak yakni sama-sama dimaksudkan untuk melaksanakan kewajiban yang
bertujuan untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
Berbeda dengan posisi zakat di Indonesia yang hanya menjadikan salah
satu bagian dari komponen biaya yang dapat mengurangi penghasilan neto, di
Malaysia zakat telah dijadikan sebagai pengurang langsung PPh atau sebagai
kredit pajak. Dengan demikian, beban ganda yang harus ditanggung oleh umat
Islam yang juga merupakan wajib pajak tidak hanya diminimalkan, tetapi
dihilangkan dengan adanya kebijakan tersebut. Di Malaysia sendiri kebijakan
zakat sebagai kredit pajak baru berlaku pada tingkat individu.
Satu hal yang perlu dicermati dari penerapan zakat sebagai kredit pajak
di Malaysia adalah adanya peningkatan penerimaan zakat dan pajak secara
bersamaan pasca penerapan kebijakan ini (Irfan S. Beik, 2007: 88). Dalam
Laporan Kementrian Keuangan Malaysia Tahun 2006 dan Laporan Pusat
Keuangan Zakat Malaysia Tahun 2006 terungkap bahwa penerimaan pajak
5
dan zakat memiliki korelasi positif. Fakta ini memunculkan usulan yang
menyebutkan bahwa zakat bukan dianggap sebagai biaya, melainkan zakat
dapat mengurangi langsung pajak penghasilan sebagai kredit pajak
(Hafidhuddin, 2007). Usulan ini muncul antara lain dari Baznas serta FOZ
sebagai asosiasi organisasi pengelola zakat Indonesia yang mewadahi BAZ
dan LAZ di Indonesia.
Tabel 1.1 Penerimaan Pajak dan Zakat di Malaysia (dalam Ringgit Malaysia)
Tahun Zakat Pajak % Zakat terhadap Pajak 2001 321 juta 79,57 milyar 0,40 2002 374 juta 83,52 milyar 0,45 2003 408 juta 92,61 milyar 0,45 2004 473 juta 99,4 milyar 0,44 2005 573 juta 106,3 milyar 0,48
Sumber: Irfan Syauqi Beik (2007).
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa penerapan zakat sebagai kredit pajak
di Malaysia tidak menyebabkan berkurangnya penerimaan dari sektor pajak.
Justru penerimaan dari kedua sektor ini mengalami peningkatan setiap
tahunnya sejak kebijakan tersebut diterapkan. Padahal secara sistematis
semakin besar jumlah zakat yang dapat dijadikan kredit pajak, semakin kecil
jumlah penerimaan pajaknya.
Sesungguhnya di Indonesia, kebijakan zakat sebagai pengurang pajak
ternyata telah diterapkan di Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Dalam Pasal 192 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa, "Zakat yang dibayar
menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak pengahasilan (PPh) terhutang
dari wajib pajak". Ketentuan tersebut lebih lanjut diatur dengan Qanun Nomor
6
10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. Dan di Aceh juga zakat merupakan salah
satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota.
Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat yang berlaku secara nasional, disebutkan pembayaran zakat hanya dapat
mengurangi jumlah penghasilan kena pajak (taxes deductable) yang
pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-
163/PJ/2003, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh, pembayaran pajak dapat mengurangi pajak
penghasilan terhutang (taxes credit).
Adanya ketentuan yang dimuat dalam Pasal 192 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 yang menyatakan zakat sebagai faktor pengurang
terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, dan hanya berlaku di Aceh,
adalah merupakan suatu kemajuan yang luar biasa bagi umat Islam di Aceh.
Ketentuan tersebut sudah diperjuangkan oleh beberapa organisasi Islam secara
nasional dalam waktu yang cukup lama. Ini berarti pembayaran zakat di Aceh
diakui setingkat dengan pajak, karena kedua-duanya merupakan sumber
pendapatan daerah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dalam porsi yang berbeda sebagaimana yang telah berlaku di Malaysia.
Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Basir (2002), Zakat Atas
Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak, menekankan pada
pengkajian perlakuan zakat menurut undang-undang. Hasil penelitiannya yaitu
perlakuan zakat bisa disamakan dengan pajak penghasilan yaitu bukan sebagai
faktor pengurang PKP melainkan sebagai kredit pajak yang nonrefundable.
7
Perbedaan penelitian ini dengan Abdul Basir adalah Abdul Basir hanya
mengkaji dari sisi undang-undang saja. Sedangkan peneliti menggunakan
studi kasus untuk menjelaskan perbedaan mengenai kedua perlakuan zakat
tersebut. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk membuat penelitian tentang
perbedaan dua perlakuan zakat dengan menggunakan analisis studi kasus.
Dengan melihat kenyataan diatas dan besarnya potensi dana zakat di
Indonesia serta fakta yang terjadi di Malaysia mengenai peningkatan
penerimaan pajak dan zakat setelah diterapkannya kebijakan zakat sebagai
kredit pajak, maka penelitian ini membahas masalah tersebut dengan judul
Analisis Komparatif Antara Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang
Penghasilan Kena Pajak Dengan Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang
Langsung Pajak Penghasilan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan penelitian ini
adalah apakah terdapat perbedaan antara perlakuan zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak dengan perlakuan zakat sebagai pengurang langsung
pajak penghasilan.
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Untuk menganalisis perbedaan antara perlakuan zakat sebagai
pengurang penghasilan kena pajak dengan perlakuan zakat sebagai
pengurang langsung pajak penghasilan.
2. Manfaat
a. Masyarakat
Memberikan gambaran dan pemahaman kepada wajib pajak orang
pribadi yang sekaligus sebagai muzakki mengenai perlakuan zakat
dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan yang berlaku pada saat ini
b. Pemerintah
Memberikan saran kepada pemerintah atas pelaksanaan ketentuan
pajak terhadap zakat, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan
dengan lancar dan optimal serta dapat memberikan kontribusi positif
yang maksimal bagi pembangunan nasional. Dan dapat dijadikan
sebagai bahan masukan bagi pemerintah, terhadap adanya usulan
zakat sebagai pengurang langsung pajak penghasilan.
c. Ilmu Pengetahuan
Memberikan manfaat dan sumbangan bagi ilmu pengetahuan,
sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan dalam
mengadakan penelitian lanjutan.
9
d. Peneliti
Menambah wawasan penulis baik dalam hal perpajakan maupun
zakat, yang dalam hal ini keduanya merupakan sumber dana yang
sama-sama dihimpun dari masyarakat yang bertujuan untuk
kemaslahatan yaitu kesejahteraan masyarakat.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori dan Konsep Zakat
Zakat merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat, begitu
pentingnya zakat sebab itu Allah SWT dalam Al Qur’an menyebut kata zakat
sebanyak 30 kali dan 27 diantaranya beriringan dengan kata shalat. Zakat
mempunyai kedudukan yang sangat penting baik dalam konteks manusia
dengan Allah, dengan dirinya, dengan masyarakat, dan dengan hartanya.
Dalam hubungan manusia dengan Allah, zakat adalah salah satu sarana
beribadah kepada Allah, yang berfungsi untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Rasulullah menjelaskan bahwa, ”Sesungguhnya Allah menolong hamba-Nya
manakala hamba itu suka menolong saudaranya.” Kepatuhan membayar zakat
dinyatakan sebagai tanda kualitas orang yang benar-benar beriman seperti
dicantumkan dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat 18.
Dalam hubungannya dengan diri sendiri (muzzaki), zakat merupakan
salah satu cara memberantas pandangan hidup materialitis, suatu paham yang
menjadikan harta bukan lagi sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup, tetapi
menempatkannya sebagai tujuan hidup. Dengan demikian zakat menjaga
manusia dari kerusakan jiwa, dan membersihkannya dari sifat-sifat tercela.
Zakat yang dikeluarkan oleh seorang muslim karena patuh kepada Allah dan
mencari ridha Allah, akan dapat membersihkan dan mensucikannya dari dosa
11
dan sifat kikir. Di sisi lain, zakat melatih diri untuk selalu bersyukur atas
permberian Allah.
Zakat juga merupakan sarana ibadah amaliyah yang mempunyai dimensi
serta fungsi sosial ekonomi atas pemerataan karunia Allah SWT dan juga
merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusiaan dan
keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan umat dan
bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan
sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan kuat dengan
yang lemah.
Selain itu, zakat adalah media untuk menumbuhkan kesadaran di dalam
diri manusia bahwa harta benda yang mereka miliki bukanlah hak penuh
mereka. Tetapi merupakan amanah Allah yang dititipkan kepada manusia
untuk mengelolanya, untuk mengambil manfaatnya dan dipergunakan sesuai
dengan ketentuan Allah pemilik yang sebenarnya. Sebab itu perlu pemahaman
lebih dalam pada diri seorang muslim mengenai zakat.
1. Pengertian Zakat
Kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang berarti berkah,
tumbuh dan baik. Menurut lisan al Arab kata zaka mengandung arti suci,
tumbuh, berkah, dan terpuji. Zakat menurut al Qardawi (1999) dalam
istilah fiqh adalah ”Sejumlah harta tertentu yang harus diserahkan
kepada orang-orang yang berhak menurut syariat Allah SWT.” Arti
tumbuh dan suci disini tidak hanya dipakai untuk kekayaan saja, tetapi
juga untuk jiwa orang yang berzakat, sesuai firman Allah dalam Surat At
12
Taubah Ayat 103 yang artinya, ”Pungutlah zakat dari kekayaan mereka,
engkau bersihkan dan sucikan mereka dengannya.” Terdapat delapan
golongan orang-orang yang berhak menerima zakat, yaitu: orang-orang
fakir, orang-orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya
(muallaf), hamba sahaya (riqab), orang yang berhutang (gharimin),
orang yang berperang dijalan Allah (sabilillah), dan orang yang sedang
dalam perjalanan (ibnu sabil).
Zakat menurut etimologi berarti, berkat, bersih, berkembang dan
baik. Dinamakan zakat karena dapat mengembangkan dan menjauhkan
harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Zakat menurut
terminologi berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah
SWT untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al
Qur’an. Atau bisa juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang
diberikan untuk orang tertentu. Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah
harta yang diambil dari harta orang yang berzakat. Zakat dalam Al
Qur’an dan Hadis kadang-kadang disebut dengan sedekah (shadaqah).
Lebih lanjut pengertian zakat menurut LPPM Universitas Islam
Bandung dalam buku Akuntansi Pajak Kontemporer (2006), yang
ditinjau dari segi bahasa adalah:
a. Tumbuh, artinya menunjukkan bahwa benda yang dikenakan zakat
adalah benda yang tumbuh dan berkembang (baik dengan
sendirinya maupun dengan diusahakan, atau dengan campur tangan
keduanya). Dan jika benda tersebut sudah dizakati, maka ia akan
13
lebih tumbuh dan berkembang, serta menumbuhkan mental
kemanusiaan dan keagamaan pemiliknya (muzakki) dan si
penerimanya (mustahik).
b. Baik, artinya menunjukkan bahwa harta yang dikenai zakat adalah
benda yang baik mutunya. Dan jika itu telah dizakati kebaikkan
mutunya akan lebih meningkat, serta akan meningkatkan kualitas
muzakki dan mustahik-nya.
c. Berkah, artinya menunjukkan bahwa benda yang dikenai zakat
adalah benda yang mengandung berkah (potensial). Potensial bagi
perekonomian, dan membawa berkah bagi setiap orang yang
terlibat di dalamnya jika benda tersebut telah dibayarkan zakatnya.
d. Suci, artinya bahwa benda yang dikenai zakat adalah benda suci.
Suci dari usaha yang haram. Dan jika telah dizakati, ia dapat
mensucikan mental muzakki dari akhlak buruk dan juga bagi
mustahik-nya.
e. Kelebihan, artinya benda yang dizakati merupakan benda yang
melebihi dari kebutuhan pokok muzakki, dan diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan pokok mustahik-nya. Tidaklah bernilai suatu
zakat jika menimbulkan kesengsaraan bagi muzakki.
Jadi, zakat merupakan salah satu sarana beribadah kepada Allah, yang
berfungsi untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sebagai salah satu
Rukun Islam, membayar zakat hukumnya wajib. Dan jika seorang
14
pemeluk Agama Islam tidak membayar zakat berarti dia berbuat dosa
dan diancam hukuman neraka (Q.S. At Taubah: 34-35).
2. Faedah dan Syarat Zakat
Faedah zakat dibagi menjadi tiga bagian (Wikipedia, 2009) yaitu
Faedah Diniyah, Faedah Khuluqiyah, dan Faedah Ijtimaiyyah. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
a. Faedah Diniyah (segi agama)
1) Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari
Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada
kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
2) Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan
diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena
keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
3) Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat
ganda, sebagaimana firman Allah yang artinya: "Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (Q.S. Al
Baqarah: 276).
4) Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah
disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.
b. Faedah Khuluqiyah (segi akhlaq)
1) Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan
dada kepada pribadi pembayar zakat.
15
2) Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas
kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
3) Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang
bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum
muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab
sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan
dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
4) Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
c. Faedah Ijtimaiyyah (segi sosial kemasyarakatan)
1) Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi
hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok
mayoritas sebagian besar negara di dunia.
2) Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum muslimin dan
mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam
kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi
sabilillah.
3) Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa
iri bagi fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika
melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-
hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa
tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jika harta yang
demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan
16
kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih
antara si kaya dan si miskin.
4) Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan
yang jelas berkahnya akan melimpah.
5) Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda
atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka
perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang
mengambil manfaat.
Islam selalu menetapkan standar umum pada setiap
kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, termasuk penetapan
harta yang menjadi sumber atau obyek zakat. Persyaratan harta
yang menjadi sumber atau obyek zakat (Hafidhuddin, 2002)
adalah:
(a) Harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik
dan yang halal. Artinya harta yang haram, baik
substansi bendanya maupun cara mendapatkannya jelas
tidak akan dikenakan zakat, karena Allah tidak akan
menerimanya, sebagaimana yang tersebut dalam Al
Qur’an surat Al Baqarah ayat 267.
(b) Harta tersebut berkembang atau berpotensi untuk
dikembangkan, seperti melalui kegiatan usaha atau
perdagangan atau di investasikan, baik oleh diri sendiri
atau orang lain. Dalam terminologi fiqhiyyah, menurut
17
Yusuf al Qardhawi (1998) pengertian berkembang ada
dua macam, yaitu secara konkret dan tidak konkret.
Yang konkret dengan cara dikembangbiakkan,
diusahakan, diperdagangkan dan yang sejenis
dengannya. Sedangkan yang tidak konkret maksudnya
harta tersebut berpotensi untuk berkembang, baik
berada ditangannya maupun di tangan orang lain atas
namanya. Syarat ini sesungguhnya mendorong setiap
muslim untuk memproduktifkan harta yang dimilikinya.
Harta yang diproduktifkan akan selalu berkembang dari
waktu ke waktu dan ini sesuai dengan makna zakat Al
Naama yang berarti berkembang dan bertambah.
(c) Milik penuh, yaitu harta tersebut berada di bawah
kontrol dan dalam kekuasaan pemiliknya. Atau menurut
sebagian ulama bahwa harta itu berada di tangan
pemiliknya dan di dalamnya tidak tersangkut hak orang
lain serta ia dapat memilikinya.
(d) Harta tersebut menurut jumhur ulama, harus mencapai
nisab, yaitu jumlah minimal yang menyebabkan harta
terkena kewajiban zakat. Contohnya nisab zakat emas
adalah 85 gram, nishab zakat hewan ternak kambing
adalah 40 ekor dan sebagainya. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat bahwa banyak atau sedikit hasil
18
tanaman yang tumbuh di bumi wajib dikeluarkan
zakatnya, jadi tidak ada nishab. Namun menurut Didin
Hafidhuddin, nisab merupakan keniscayaan sekaligus
merupakan kemaslahatan, sebab zakat itu diambil dari
orang yang kaya (mampu) dan diberikan kepada orang-
orang yang tidak mampu. Indikator kemampuan harus
jelas, dan nisablah merupakan indikator
kemampuannya. Jika kurang dari nisab, Islam
memberikan pintu untuk mengeluarkan sebagian dari
penghasilan yaitu infak dan sedekah.
(e) Sumber-sumber zakat tertentu seperti perdagangan,
peternakan, emas dan perak harus sudah berada atau
dimiliki atau diusahakan dalam tenggang waktu satu
tahun. Persyaratan ini yang disebut persyaratan al haul.
Ini berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud dari Ali bin
Abi Thalib.
(f) Sebagian ulama Mahzab Hanafi mensyaratkan
kewajiban zakat setelah terpenuhi kebutuhan pokok,
atau dengan kata lain zakat dikeluarkan setelah terdapat
kelebihan dari kebutuhan hidup sehari-hari. Yang
dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah kebutuhan
yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan
kerusakan dan kesengsaraan dalam hidup. Namun
19
sebagian ulama berpendapat bahwa amatlah sulit untuk
menentukan atau mengukur seseorang itu telah
terpenuhi kebutuhan pokoknya atau belum. Dan
kebutuhan pokok setiap orang berbeda-beda. Karena itu
menurut mereka (al Qardawi) syarat nishab dan An
Namaa sudahlah cukup.
3. Macam-macam Zakat
a. Emas, perak dan uang
Dalil atas diwajibkannya zakat terhadap emas dan perak
adalah sebagai berikut, “Dan orang-orang yang membendaharakan
emas dan perak dan mereka tidak membelanjakannya di jalan
Allah, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa mereka akan
menderita azab yang pedih.” (Q.S. At Taubah: 34)
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
”Tidak ada seorangpun yang mempunyai emas dan perak yang dia tidak berikan zakatnya, melainkan pada hari kiamat dijadikan hartanya itu beberapa keping api neraka. Setelah dipanaskan, digosoklah lambungnya, dahinya, belakangnya dengan kepingan itu; setiap-setiap dingin, dipanaskan kembali pada suatu hari yang lamanya 50 ribu tahun, sehingga Allah menyelesaikan urusan hambaNya.”
Ayat dan hadis tersebut menegaskan bahwa mengeluarkan
zakat dari emas dan perak yang telah mencapai syarat wajib zakat,
wajib hukumnya. Syarat wajib zakat adalah telah mencapai nisab
dan haulnya.
20
Berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud, nisab zakat emas
adalah 20 misqal atau 20 dinar, sedangkan nisab perak adalah 200
dirham. Banyak perbedaan pendapat tentang 20 misqal tersebut
setara dengan berapa gram emas, ada ulama yang menyatakan 96
gram emas, 93, 91, 85 bahkan ada yang 70 gram emas. Menurut
Yusuf al Qardhawi, yang sekarang banyak dianut oleh masyarakat,
20 misqal adalah sama dengan 85 gram emas. Dua ratus dirham
perak sama dengan 595 gram perak.
Termasuk pembahasan di sekitar zakat emas dan perak adalah
zakat perhiasan. Para ulama telah sepakat wajibnya zakat atas
perhiasan yang haram dipakai seperti perhiasan yang dipakai laki-
laki, atau bejana emas dan perak yang dijadikan tempat makan dan
minum. Sedangkan terhadap perhiasan yang dipakai oleh kaum
perempuan, jumhur ulama sepakat akan tidak wajibnya zakat bagi
perhiasan selain emas dan perak yang dipakai perempuan seperti
intan, mutiara dan permata. Salah satu alasan yang dikemukakan
adalah bahwa benda-benda tersebut tidak berkembang, tetapi
sekedar kesenangan dan perhiasan bagi kaum perempuan yang
diizinkan Allah sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an surat An
Nahl ayat 14. Pendapat berbeda dikemukakan oleh ulama Syiah
yang mengatakan bahwa zakat tetap diwajibkan atas perhiasan
selain emas dan perak seperti intan dan permata berdasarkan
keumuman Al Qur’an surat At Taubah ayat 103 yang menyatakan,
21
zakat harus dikeluarkan dari setiap harta yang dimiliki. Untuk
kondisi saat ini, dimana barang-barang perhiasan bernilai ekonomis
yang tinggi, yang nilainya sangat mahal dan seringkali melebihi
nisab emas, sudah selayaknya pendapat terakhir ini harus
diperhatikan.
Hal lain yang berdekatan dengan zakat emas dan perak
adalah zakat uang. Nisab dan kadar zakat uang sama atau setara
dengan nisab emas yaitu 85 gram emas dan kadarnya 2,5%.
b. Zakat Hasil Pertanian
Para ulama sepakat tentang kewajiban zakat hasil pertanian,
sesuai dengan perintah Allah pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat
267 dan surat Al An’am ayat 141:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…” (Q.S. Al Baqarah: 267) “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya, (dengan dikeluarkan zakatnya)...” (Q.S. Al An’am: 141).
Ayat-ayat tersebut bersifat umum, dengan demikian dapat
dipahami bahwa seluruh tanaman wajib dikenakan zakatnya.
Namun demikian, ada perbedaan pendapat para ulama tentang jenis
22
tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya (M. Ali Hasan, 2000: 6)
antara lain yaitu:
1) Al Hasan al Bashri, al-Tsauri dan as-Sya’bi berpendapat
hanya empat macam jenis tanaman yang wajib dizakati yaitu
biji gandum, padi, kurma dan anggur. Syaukani juga
berpendapat demikian. Alasan kelompok ini adalah karena
hanya itulah yang disebutkan dalam nash (Al Hadis).
2) Abu Hanifah berpendapat bahwa semua tanaman yang
diusahakan (produksi) oleh manusia dikenakan zakat kecuali
pohon-pohonan yang tidak berbuah.
3) Abu Yusuf dan Muhammad (keduanya murid Abu Hanifah)
berpendapat bahwa semua tanaman yang bisa bertahan
selama satu tahun (tanpa bahan pengawet) dikenakan zakat.
4) Malik berpendapat bahwa tanaman yang bisa tahan lama
kering, dan diproduksi atau diusahakan oleh manusia
dikenakan zakat.
5) Syafi’i berpendapat bahwa semua tanaman yang
mengenyangkan (memberi kekuatan), bisa disimpan (padi,
jagung) dan diolah manusia wajib dikeluarkan zakatnya.
6) Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa semua hasil tanaman
yang kering, tahan lama, dapat ditimbang (takar) dan
diproduksi (diolah) oleh manusia dikenakan zakat.
23
7) Mahmud Syaltut, berpendapat bahwa semua hasil tanaman
dan buah-buahan yang dihasilkan oleh manusia dikenakan
zakat.
Syarat-syarat zakat pertanian adalah sebagai berikut:
(a) Berupa tanaman atau buah-buahan yang dapat
berkembang, sebab zakat adalah bagian dari barang
tersebut atau bagian dari jenisnya tanpa melihat
kepemilikan tanahnya.
(b) Nisabnya 5 ausaq berdasarkan hadist Nabi: ”Harta yang
kurang dari 5 ausaq tidak wajib zakat.” Sedangkan
kadar zakat, menurut ketentuannya tanaman yang
bergantung kepada tadah hujan, maka kadar zakatnya
sebanyak 10%, sedangkan tanaman yang
mempergunakan alat-alat yang memerlukan biaya
termasuk pemeliharaannya, kadar zakatnya 5%.
c. Zakat Peternakan
Dalam berbagai hadis dikemukakan bahwa hewan ternak
yang wajib dikeluarkan zakatnya setelah memenuhi persyaratan
tertentu ada tiga jenis hewan ternak yaitu unta, sapi dan domba.
Sedangkan di luar ketiga jenis tersebut, para ulama berbeda
pendapat. Abu Hanifah berpendapat bahwa pada binatang kuda
dikenakan kewajiban zakat, sedangkan Imam Maliki dan Imam
Syafi’i tidak mewajikannya, kecuali bila kuda itu diperjualbelikan.
24
Hal yang senada diungkapkan oleh Sabiq (Abdurrahman Al-jaziiri)
bahwa tidak ada kewajiban zakat selain hewan ternak yang tiga
tersebut. Sedangkan kuda, keledai, dan himar tidak wajib zakat
atasnya kecuali jika diperdagangkan. Dalam al-Mausu’ah al-
Fiqiyyah dikemukakan bahwa dalam hal ternak kuda, sebagian
ulama mewajibkannya, sebagian lagi menyatakan tidak. Sedangkan
keledai, himar dan binatang lainnya, tidaklah dikenakan kewajiban
zakat kecuali jika diperjualbelikan. Yusuf al Qaradhawi membahas
zakat sapi, mengutip pendapat Ibnu Mundzir yang menganologikan
kerbau pada sapi. Bahkan, ia menyatakan bahwa kedua jenis
binatang ini wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan ijma ulama.
Karena itu, apabila diperhatikan dali-dalil dalam Al Qur’an
dan Hadis serta pendapat para ulama dapatlah disimpulkan bahwa,
hewan ternak selain tiga jenis tersebut di atas yang kini dalam
perekonomian modern berkembang pesat, seperti peternakan
unggas, tidaklah termasuk pada kategori zakat hewan ternak.
Melainkan pada zakat perdagangan, karena memang sejak awal
jenis peternakan ini sudah diniatkan sebagai komoditas
perdagangan.
Nisab dan kadar zakat hewan ternak berbeda-beda untuk
setiap jenis dan jumlah ternak. Untuk unta, nisabnya mulai dari 5
ekor unta dengan kadar zakatnya untuk jumlah 5 sampai 9 ekor
unta adalah 1 ekor kambing yang berumur 2 tahun, sedangkan jika
25
jumlahnya melebihi 121 ekor maka kadar zakatnya 3 ekor anak
unta betina berumur 2 tahun atau lebih. Sedangkan sapi atau
kerbau, nisabnya mulai 30 sampai 39 ekor yang kadar zakatnya 1
ekor sapi atau kerbau berumur 1 tahun. Untuk kambing, nisabnya
mulai 40 ekor, dan kadar zakatnya untuk jumlah 40 sampai 120
ekor adalah 1 ekor anak kambing berumur 1 tahun.
Hewan-hewan yang diperselisihkan oleh fuqaha berkenaan
dengan macamnya dan ada pula sifatnya. Yang diperselisihkan
macamnya adalah kuda, dimana jumhur ulama menyatakan kuda
tidak wajib dizakati. Mengenai sifat hewan yang diperselisihkan
ialah antara yang digembalakan dan tidak digembalakan. Zakat
peternakan ini hanya diperlakukan bagi hewan-hewan yang sengaja
diternakkan, tidak dengan maksud diperjualbelikan. Sedangkan
untuk hewan-hewan yang dibudidayakan dengan maksud untuk
diperjualbelikan hewannya ataupun hasilnya seperti ayam
(pedaging dan petelur), bebek, sapi (perah dan potong), unta, kuda,
biri-biri, madu dan lain sebagainya dikenakan zakat perdagangan.
d. Zakat Perdagangan
Hampir seluruh ulama sepakat bahwa perdagangan itu setelah
memenuhi syarat tertentu harus dikeluarkan zakatnya. Yang
dimaksud harta perdagangan adalah semua harta yang bisa
dipindah untuk diperjualbelikan dan bisa mendatangkan
26
keuntungan. Kewajiban zakat harta perdagangan ini berdasarkan
nash Al Qur’an, Hadis dan Ijma.
Nash Al Qur’an ini bersifat umum, yang berarti zakat atas
semua harta yang dikumpulkan dengan cara bekerja yang halal,
termasuk jual beli. Sedangkan dasar Hadis diantaranya adalah
riwayat dari Abu Dawud dari Samurah bin Jundus, dia berkata:
“Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk mengeluarkan
sadaqah dan zakat dari apa yang kita jual.”
Syarat umum dari zakat harta perdagangan adalah adanya
nisab, sudah satu tahun, dan bebas dari hutang, termasuk
kebutuhan pokok. Sedangkan syarat praktisnya adalah adanya niat
memperdagangkan harta dagangan, dan niat untuk memperoleh
penghasilan. Menurut Mahzhab Syafi’i, syarat barang perdagangan
pertama adalah dia memiliki barang itu dengan jalan membeli, niat
ketika membeli untuk diperdagangkan (apabila dimiliki dengan
jalan pusaka, wasiat atau hibah tidak menjadi tijarah).
Standar zakat harta perdagangan biasanya berupa harta atau
uang yang ada saat ini, juga mata uang, barang berharga, hutang,
barang yang bisa diperjualbelikan (persediaan) dan harta yang
dapat dihitung dengan nilai harga tetap (fix asset). Nilai zakat harta
perdagangan para fuqaha berbeda pendapat mengenai nilai yang
dihitung ketika mengeluarkan zakat, yaitu:
27
1) Harta dagangan hendaknya dihitung dengan harga barang di
pasar ketika sampai waktu wajib zakat.
2) Harga barang tersebut dihitung dengan harga yang hakiki
terhadap nilai barang dagangan, pendapat ini berdasar riwayat
dari Ibnu Abbas. Sedangkan pendapat ketiga adalah orang
harus membayar zakat dengan harga yang dia beli dengan
nilai harta dagangan (al Qardawi). Nisab zakat harta
perdagangan adalah senilai dengan 20 misqal emas, dengan
kadar zakat 2,5%.
e. Zakat Barang Temuan dan Hasil Tambang
Meskipun para ulama telah sepakat tentang wajibnya zakat
pada barang tambang dan barang temuan, tetapi mereka berbeda
pendapat tentang makna barang tambang (ma’din), barang temuan
(rikaz), atau harta simpanan (kanz), jenis-jenis barang tambang
yang wajib dikeluarkan zakatnya dan kadar zakat untuk setiap
barang tambang dan temuan (Wahbah az Zuhaili).
Kewajiban zakat atas rikaz, ma’din dan kekayaan laut ini
dasar hukumnya adalah keumuman nash dalam Al Qur’an surat Al
Baqarah ayat 103 dan 267. Rikaz menurut jumhur ulama adalah
harta peninggalan yang terpendam dalam bumi atau disebut harta
karun. Rikaz tidak disyaratkan mencapai haul, tetapi wajib
dikeluarkan zakatnya pada saat didapatkan. Kadar zakat rikaz yaitu
seperlima (20%).
28
Ma’din adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam
perut bumi, baik padat maupun cair seperti emas, perak, tembaga,
minyak, gas, besi sulfur dan lainnya. Besar zakat yang harus
dikeluarkannya sama dengan rikaz yaitu seperlima. Namun
mengenai nisabnya ada perbedaan pendapat di kalangan para
ulama.
Pendapat yang lebih kuat dan didukung oleh Yusuf Qardhawi
adalah bahwa rikaz tetap harus memenuhi persyaratan nisab, baik
yang dimiliki oleh individu maupun negara. Demikian juga hasil
yang dikeluarkan dari laut seperti mutiara, marjan, dan barang
berharga lainnya, nisabnya dianalogikan dengan zakat pertanian.
Kategori yang kedua adalah zakat berdasarkan modal dan
hasil yang didapat dari modal tersebut. Untuk zakat ini mengikuti
persyaratan haul, yaitu berlaku satu tahun.
4. Zakat Penghasilan (Zakat Profesi)
Zakat profesi (Kasbuk-’Amal wal-Mihan al-Hurrah) yaitu zakat
upah buruh, gaji pegawai, dan uang jasa wiraswasta. Yang dimaksud
kasbul-’amal (al Qardawi) adalah pekerjaan seseorang yang tunduk pada
perseroan atau perseorangan dengan mendapatkan upah. Sedangkan
yang dimaksud dengan al-mihanul-hurrah adalah pekerjaan bebas, tidak
terikat pada orang lain, seperti pekerjaan seorang dokter, swasta,
pemborong, pengacara, seniman, penjahit, tukang kayu dan lain
sebagainya.
29
Menurut al Qardawi, masalah gaji, upah kerja, penghasilan
wiraswasta termasuk kategori mal mustafad, yaitu harta pendapatan baru
yang bukan harta yang sudah dipungut zakatnya. Mal mustafad
mencakup segala macam pendapatan, akan tetapi yang bukan
pendapatan yang diperoleh dari penghasilan harta yang sudah dikenakan
zakat, gaji, honor dan uang jasa itu bukan hasil dari harta benda yang
berkembang (harta yang dikenakan zakat), bukan hasil dari modal atau
harta kekayaan yang produktif, akan tetapi diperoleh dengan sebab lain.
Demikian juga penghasilan seorang dokter, pengacara, seniman dan lain
sebagainya mencakup dalam pengertian mal mustafad yang wajib
dikenakan zakat dan tidak disyaratkan sampai satu tahun, akan tetapi
dizakati pada waktu menerima pendapatan tersebut. Ukuran nisabnya
adalah 85 gram emas murni dan kadar zakatnya adalah 2,5% dengan
waktu zakat setiap mendapat penghasilan. Kadar zakat menurut BAZIS
adalah 2,5% setiap mendapatkan penghasilan. Jadi jika pegawai negeri
atau pegawai tetap zakatnya dipungut sebulan sekali pada waktu gaji
keluar. Alasan-alasan kadar zakat 2,5% (al Qardawi) adalah:
a. Tercakup dalam pengertian keumuman kewajiban zakat mata uang.
b. Gaji, upah, honor, dan uang jasa diperbolehkan melalui
pengorbanan tenaga dan pikiran, sedangkan menurut Hukum Islam
kadar keberatan itu memperingan kadar kewajiban.
30
c. Mengikuti amalan Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah dan Umar bin
Abdul-Aziz dalam memotong gaji para angkatan bersenjata dan
para pegawai.
d. Menurut al Qardawi, sumber pajak ada tiga macam, yaitu modal,
tenaga, dan campuran modal dan tenaga. Pungutan pajak dari
modal lebih besar daripada yang lain. Pungutan pajak dari
campuran modal dan tenaga lebih besar daripada pungutan pajak
dari tenaga. Jadi pungutan pajak dari tenaga adalah yang paling
ringan.
Mengenai dasar pengenaan zakat (penghasilan kena zakat),
beberapa kalangan berbeda pendapat mengenai hal ini, yaitu:
1) Secara langsung, yaitu zakat dihitung 2,5% dari penghasilan
bruto secara langsung tanpa dikurangkan dengan biaya
kebutuhan hidup yang menjadi tanggungan muzakki . Hal ini
dikarenakan sulitnya mengukur patokan kebutuhan pokok
yang layak bagi setiap orang. Dalam surat Al Baqarah ayat
267, “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…”
2) Secara tidak langsung, yaitu zakat dihitung 2,5% dari
penghasilan bruto setelah dikurangkan dengan biaya
kebutuhan hidup yang menjadi tanggungan muzakki. Hal ini
berpegang pada surat Al Baqarah ayat 219, yang artinya “Dan
31
mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: yang lebih dari keperluan...”
Namun menurut Yusuf Qardawi, zakat penghasilan sebaiknya
ditunaikan dari jumlah bruto penghasilan yang diterima oleh
muzakki. Hal senada juga diungkapkan oleh ketua BAZNAS Didin
Hafidhuddin (2007).
B. Teori dan Konsep Pajak
1. Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut P.J.A. Adriani, adalah:
”Pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang menurut peraturan perundang-undangan tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la
Science des Finances (1906) mengatakan:
“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.”
Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (1919), mengatakan:
“Pajak adalah bantuan uang secara incidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (sama dengan Negara), untuk memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.” Dalam buku De overheidsmiddelen van Indonesia (N. J. Feldmann,
1949) mengatakan:
32
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.” Dalam buku De Economische Betekenis der Belastingen (M.J.H.
Smeets, 1951) mengatakan:
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.” Menurut Soeparman Soemahamidjaja (1964) dalam disertasinya
yang berjudul Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong,
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.” Menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Dasar-dasar Hukum
Pajak dan Pajak Pendapatan,
“Pajak adalah iuran rakyat kepada penguasa negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” “Dapat dipaksakan” artinya bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita. Secara konstitusional pajak adalah salah satu sumber penerimaan
negara yang sah dan dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam
UUD 1945 pasal 23A menyebutkan bahwa, “Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang.”
33
Dari beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa
ahli diatas dapat disimpulkan bahwa, pajak adalah sejumlah kekayaan
yang dipungut oleh negara dari masyarakat, bersifat memaksa, ditujukan
untuk membiayai pengeluaran dalam kegiatan pemerintah guna
mencapai sasaran sosial ekonomi negara.
Dari pengertian pajak diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai
karakteristik pajak (Agoes dan Trisnawati, 2008: 4), yaitu:
a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah.
d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah
(fungsi budgeter), yang bila dari pemasukannya masih terdapat
surplus, maka dipergunakan untuk membiayai investasi publik.
e. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu
fungsi mengatur (reguler).
2. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak yang selama ini dikenal dan diterapkan
dalam pemungutan pajak sebagaimana tercermin dalam Undang-undang
Pajak (Wirawan dan Richard, 2007: 22) yaitu Official Assessment
System, Semi Self Assessment System, Self Assessment System,
Withholding System. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
34
a. Official Assessment System
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus)
untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang
terhutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini masyarakat (wajib
pajak) bersifat pasif menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan
pajak oleh fiskus. Besarnya hutang pajak seseorang baru diketahui
setelah adanya surat ketetapan pajak.
b. Semi Self Assessment System
Semi Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus)
dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang
terhutang. Dalam sistem ini setiap awal tahun pajak wajib pajak
menentukan sendiri besarnya pajak yang terhutang untuk tahun
berjalan yang merupakan angsuran bagi wajib pajak yang harus
disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun pajak, fiskus
menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan
data yang dilaporkan oleh wajib pajak.
c. Self Assessment System
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan
sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak yang
35
aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam menentukan
besarnya pajak yang terhutang seseorang, kecuali wajib pajak
melanggar ketentuan yang berlaku.
d. Withholding System
Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong atau
memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah
ditentukan tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkan kepada
fiskus. Pada sistem ini fiskus dan wajib pajak tidak aktif. Fiskus
hanya bertugas mengawasi saja pelaksanaan pemotongan atau
pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Dari keempat sistem pemungutan pajak diatas, yang diterapkan di
Indonesia secara penuh adalah self assessment sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP). Sistem ini memberikan kepercayaan kepada
masyarakat khususnya wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melapor ke Kantor
Palayanan Pajak sendiri.
3. Pajak Penghasilan
Menurut data APBN pada tahun 2009 dari pendapatan negara
sebesar Rp.984.787.000.000.000, pajak penghasilan memberikan
kontribusi pendapatan sebesar Rp.357.400.000.000.000 atau sebesar
36,3% dari pendapatan negara. Dari data tersebut, jelas bahwa pajak
36
penghasilan mempunyai peranan yang cukup besar bagi penerimaan kas
negara.
Salah satu jenis pajak yang dikenakan oleh wajib pajak adalah
pajak penghasilan. Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan
tehadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan
dalam bagian tahun pajak, jika kewajiban pajak subjektifnya dimulai
atau berakhir dalam tahun pajak (Erly Suandy, 2006). Oleh karena pajak
penghasilan melekat pada subyeknya maka ia termasuk pajak subyektif.
Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh
penghasilan. Di dalam undang-undang subyek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan ini disebut sebagai Wajib Pajak. Kewajiban
membayar pajak bagi subjek pajak dimulai saat wajib pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif. Berikut ini penggolongan wajib pajak:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi, subjek pajaknya adalah individu
sebagai orang pribadi. Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP)
dikategorikan menjadi dua, yaitu:
1) WPOP yang mempunyai penghasilan dengan melakukan
kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas yang
menyelenggarakan pembukuan atau bekerja pada satu atau
lebih pemberi kerja. Wajib pajak ini wajib menyampaikan
SPT 1770 pada tiap tahun pajak.
37
2) WPOP yang mempunyai penghasilan dengan tidak
melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas dan
bekerja pada satu atau lebih pemberi kerja. Wajib pajak ini
wajib menyampaikan SPT 1770 S pada tiap tahun pajak.
Namun jika wajib pajak dengan jumlah penghasilan bruto
setahun tidak lebih dari Rp 48.000.000 menggunakan SPT
1770 SS.
b. Wajib Pajak Badan, subjek pajaknya adalah badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia, ataupun badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia atau menerima penghasilan dari Indonesia bukan
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia.
4. Jenis Penghasilan
Dari bahasan sebelumnya, dijelaskan bahwa seorang subjek pajak
statusnya akan berubah menjadi wajib pajak bila telah memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif. Dimana kewajiban objektif muncul
bila subjek pajak memperoleh tambahan kemampuan ekonomis berupa
penghasilan yang dikenakan sebagai objek pajak dalam pajak
penghasilan. Penghasilan dikategorikan menjadi tiga macam, yakni:
a. Taxable Income, yakni penghasilan yang dapat dijadikan objek
untuk dikenakan pajak.
38
b. Non Taxable Income, yakni penghasilan yang tidak dapat dijadikan
objek untuk dikenakan pajak. Dalam hal penghasilan yang
diperoleh mustahid atas dana zakat yang dipungut dan disalurkan
oleh lembaga amil zakat termasuk dalam non taxable income.
c. Penghasilan yang dipotong pajak final, yang diatur dalam pasal 4
ayat 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu
1) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,
bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi.
2) Penghasilan berupa hadiah undian.
3) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura.
4) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan/atau bangunan, dan
5) Penghasilan tertentu lainnya.
5. Biaya-biaya sebagai Pengurang Penghasilan
Sistem perpajakan seperti halnya sistem akuntansi mengakui
adanya pengeluaran atau biaya yang dipakai oleh wajib pajak untuk
39
menghasilkan pendapatan yang diperoleh. Namun tidak semua
pengeluaran atau biaya dalam akuntansi dapat dijadikan sebagai
pengurang penghasilan dalam perpajakan. Bagi wajib pajak muslim,
dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 3 huruf a
disebutkan bahwa,
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Maksudnya, berdasarkan penjelasan pasal 4 ayat 3 huruf a diatas,
menyatakan bahwa penghasilan yang diperoleh mustahid atas dana zakat
yang diterima dan disalurkan oleh lembaga amil zakat termasuk dalam
non taxable income. Maka zakat adalah penghasilan yang tidak dapat
dijadikan objek untuk dikenakan pajak.
Sedangkan dalam perhitungannya, dalam Undang-undang Nomor
36 Tahun 2008 pasal 9 ayat 1 huruf g menyatakan bahwa, ”Zakat yang
dibayarkan oleh Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, merupakan salah satu item yang boleh
dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.”
Artinya, zakat tersebut dapat dijadikan sebagai biaya yang mengurangi
40
penghasilan kena pajak, jika zakat atas penghasilan tersebut dibayarkan
kepada badan atau lembaga amil zakat.
Hal ini memperkuat Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dan
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ./2003 sebelumnya. Dalam
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 pasal 14 ayat 3 menyatakan
bahwa, ”Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat dapat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa
kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.” Sedangkan pada Keputusan Dirjen Pajak
Nomor KEP-163/PJ./2003 dinyatakan bahwa,
Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak badan atau penghasilan neto Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Dari penjabaran diatas dijelaskan bahwa bagi wajib pajak orang
pribadi yang membayar zakat penghasilan, zakat tersebut diperbolehkan
menjadi deductible expense. Dalam keputusan Dirjen Pajak tersebut,
disebutkan pula bahwa penghasilan yang dimasukkan dalam perhitungan
zakat penghasilan bukan penghasilan yang dikenakan pajak final. Maka
jika kita memperoleh penghasilan sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat 2 yaitu penghasilan
dari bunga deposito dan tabungan, hadiah undian, transaksi saham,
41
transaksi pengalihan harta, maka zakat atas penghasilan tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Besarnya
zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak adalah
sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah penghasilan yang
merupakan objek pajak yang bukan merupakan pajak final. Sedangkan
cara perhitungan menurut Keputusan D/291 Tahun 2000 Dirjen Bimas
Islam Departemen Agama Republik Indonesia pasal 16, pada dasarnya
perhitungan zakat menganut self assesment system dimana muzakki
diberi kewenangan untuk melakukan perhitungan sendiri atas jumlah
zakatnya, namun bila muzzaki merasa kesulitan untuk menghitungnya
maka dapat meminta pertolongan badan atau lembaga amil zakat.
6. Kredit Pajak
Kredit pajak adalah pajak yang telah dilunasi setiap bulan atau
masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam tahun pajak
berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh wajib pajak maupun yang
dipotong serta dipungut oleh pihak lain, yang merupakan angsuran
pajak yang boleh dikurangkan dari pajak yang terutang pada akhir tahun
pajak yang bersangkutan, kecuali yang bersifat pembayaran pajak
penghasilan (PPh) yang final (Djuanda, 115: 2006). Kredit pajak
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Diperoleh penghasilan oleh wajib pajak dalam negeri dari
pekerjaan atau kegiatan diatur dalam PPh Pasal 21.
42
b. Pemungutan oleh pihak lain atas penghasilan dari usaha diatur
dalam PPh Pasal 22.
c. Diperoleh penghasilan dari modal, jasa, dan kegiatan tertentu
diatur dalam PPh Pasal 23.
d. Diperoleh penghasilan oleh wajib pajak luar negeri dari pekerjaan,
jasa, kegiatan dan modal diatur dalam PPh Pasal 26.
e. Pajak yang dipotong atau dipungut, dibayar terutang di luar negeri.
f. Pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri diatur dalam PPh Pasal
25.
Dalam perhitungan jumlah pajak yang harus dibayar, jumlah pajak
terutang harus dikurangi terlebih dahulu dengan kredit pajak. Apabila
pajak yang terutang lebih besar dari pada kreditnya, wajib pajak harus
membayar kekurangannya ke kas negara. Sebaliknya wajib pajak dapat
mengajukan restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak
jika kreditnya lebih besar dari pada pajak yang telah dibayar. Menurut
Thomas R. Pope dan John L. Kramer (1999) kredit pajak adalah “Tax
Credit Which include prepayment, are amount that can be substracted
from the gross tax to arrive at the tax due or refund due.” Kemudian tax
credit ini diklasifikasikan menjadi:
1) Refundable Tax Credit, are allowed to reduce tax payer’s tax
liability to zero and if some credit still remains, are rendable
(paida) by the government to the tax payer’s. Apabila kredit pajak
lebih besar dari pada pajak yang terutang maka kelebihan kredit
43
pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak, contohnya
yaitu prepayment of tax. “Prepayment of tax, which are amount
paid to the goverment during the year through means such as
witholding from wages, and selected other item are classified as
refundable tax credit.” Pengkreditan ini dapat dilakukan dengan
tujuan misalnya, untuk memperhitungkan pajak yang telah
dipotong oleh orang ketiga dan pajak yang telah dipotong di luar
negeri.
2) Non Refundable Tax Credit, can be substracted from the tax but
will not be paid to the tax payer’s institutions where the tax credit
exceed the tax. Non Refundable Tax Credit are that have been
created by congress for various social, economic, and political
reason such as the child and dependent care credit. Dalam konteks
ini, dengan berbagai pertimbangan sosial, ekonomi, dan politik,
ada beberapa biaya yang walau tidak terkait dengan pajak dapat
dikreditkan terhadap pajak terutang.
7. Pengenaan Zakat Dalam Perpajakan
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat, maka formal pengenaan pajak dan zakat untuk wajib
pajak orang pribadi adalah sebagai berikut:
44
Tabel 2.1 Formal Pengenaan Pajak dan Zakat untuk Wajib Pajak Orang
Pribadi Gaji satu bulan Tunjangan istri/anak Tunjangan perumahan Tunjangan pendidikan anak Tunjangan jabatan Tunjangan transport Jaminan Kecelakaan kerja Jaminan kematian Jaminan pemelihara kesehatan Penghasilan Bruto (PB) Pengurang: Biaya Jabatan (5% x PB) Iuran Pensiun Iuran THT Penghasilan neto sebulan Penghasilan neto setahun (-) Zakat Ph. (2,5% x PB setahun) (-) PTKP PKP PPh 21 terhutang setahun (PKP x tarif pasal 17)
Rp. XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
Rp. XXX XXX XXX
Rp XXX
Rp(XXX)
Rp XXX Rp XXX
Rp(XXX) Rp(XXX)
Rp. XXX Rp. XXX
Sumber: Data diolah sendiri sesuai UU
Untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) per tahun sesuai
dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp 15.840.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi
Rp 1.320.000 tambahan untuk wajib pajak menikah
45
Lanjutan Tabel 2.2 Rp 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami Rp 1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga
Sumber: UU No.36 Tahun 2008
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP)
bagi wajib pajak orang pribadi adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Tarif Pajak Pasal 17
Lapisan PKP Tarif Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000 5% Diatas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000
15%
Diatas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000
25%
Diatas Rp 500.000.000 30% Sumber: UU No.36 Tahun 2008
C. Persamaan Antara Zakat dan Pajak
Menurut al Qardawi, dari definisinya terdapat titik persamaan antara
pajak dan zakat, yaitu:
1. Unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan
pajak, juga terdapat dalam zakat. Bila seorang muslim terlambat
membayar zakat, karena keimanan dan keislamannya belum kuat.
2. Bila pajak harus disetor kepada lembaga masyarakat (negara), pusat
maupun daerah, maka zakat pun demikian. Karena pada dasarnya zakat
46
itu harus diserahkan kepada pemerintah sebagai badan yang disebut amil
zakat.
3. Pada ketentuan pajak terdapat tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib
pajak menyerahkan pajaknya selaku anggota masyarakat. Ia hanya
memperoleh berbagai fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan
usahanya. Demikian sama halnya dalam zakat tidak pula memperoleh
suatu imbalan. Ia membayar zakat selaku anggota masyarakat. Ia hanya
memperoleh lindungan, penjagaan dan solidaritas dari masyarakat. Ia
wajib memberikan hartanya untuk menolong masyarakat dan membantu
mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan dan penderitaan
hidup, juga menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi
kepentingan umat Islam tanpa mendapat prestasi kembali atas
pembayaran zakatnya.
4. Apabila pajak pada zaman modern ini mempunyai tujuan ke masyarakat,
ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan, maka zakat mempunyai
tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas daripada aspek-
aspek tersebut.
Ibrahim (1992: 148) menguraikan titik temu dan letak persamaan serta
perbedaan antara zakat dan pajak dimana kedua-duanya sama-sama wajib.
Bedanya zakat kewajibannya berdasarkan nash agama sedangkan pajak
berdasarkan ijtihad ulil amri, sejalan dengan tututan kebutuhan dan
kemaslahatan. Sisi persamaannya adalah keduanya sama-sama mempunyai
nilai sosial sebagai realisasi prinsip tolong menolong, kerjasama, gotong
47
royong yang jika dilandasi dengan niat yang tulus akan mendapat pahala yang
besar dari sisi Allah.
D. Perbedaan Antara Zakat dan Pajak
Termuat dalam tesis Herry Yarmanto (2003) pendapat tentang perbedaan
antara zakat dan pajak menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Dari segi nama dan etiketnya
Perbedaan antara zakat dan pajak sepintas lalu nampak dari
etiketnya, baik arti maupun kiasannya. Zakat menurut bahasa berarti
suci, tumbuh dan berkah. Berbeda dengan gambaran dari kata pajak.
Sebab kata dharibah (pajak) diambil dari kata dharaba, yang artinya
utang, pajak tanah atau upeti dan sebagainya. Yaitu sesuatu yang harus
dibayar, sesuatu yang menjadi beban.
2. Mengenai Hakikatnya
Zakat itu ibadah yang diwajibkan kepada orang Islam, sebagai
tanda syukur kepada Tuhan. Adapun pajak adalah kewajiban dari negara
semata-mata yang tak ada hubungannya dengan makna ibadah.
Karena zakat adalah ibadah dan merupakan rukun Islam sehingga
pembayarannya tidak sah jika tidak diikuti dengan niat. Karena itu pula
zakat tidak diwajibkan atas non-muslim. Sedangkan pajak dapat
dikenakan atas muslim dan non-muslim dan keabsahannya tidak
tergantung pada niat penyetor (Ibrahim Teuku H. Muslim, 1992: 173).
48
3. Mengenai Batas dan Ketentuannya
Zakat adalah hak yang ditentukan oleh Allah, sebagai pembuat
syariat. Dialah yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda
dan membebaskan kewajiban itu terhadap harta yang kurang nisabnya.
Allah juga memberikan ketentuan atas kewajiban zakat iru dari
seperlima, separuh, sampai seperempat puluh. Tak seorang pun boleh
mengubah atau mengganti apa yang telah ditentukan oleh syariat,
ataupun menambah atau mengurangi. Berbeda dengan pajak yang
tergantung pada kebijakan dan kekuasaan penguasa baik mengenai
objek, persentase, harga dan ketentuan lainnya. Bahkan ditetapkan dan
dihapuskannya pajak itu tergantung pada penguasa, sesuai dengan
kebutuhan (al Qardawi).
4. Mengenai Kelestarian dan Kelangsungannya
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. Ia
akan diwajibkan seterusnya selagi Islam dan umat Muslim ada di muka
bumi ini. Adapun pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan terus-
menerus, baik mengenai macam, persentase, dan kadarnya. Pajak amat
tergantung pada situasi, kondisi perkembangan zaman dan perubahan
kebutuhan sehingga pemerintah dapat mengubahnya selagi diperlukan.
5. Mengenai Pengeluarannya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang telah ditetapkan dalam Al
Quran. Sasarannya adalah kemanusiaan dan ke-Islaman. Sedangkan
49
pajak dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
negara sesuai dengan ketetapan penguasa.
6. Tujuan Spiritual
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari
pajak. Tujuan yang luhur itu tersirat pada kata zakat yang terkandung
didalamnya.
Tabel 2.4 Perbedaan Zakat dan Pajak
Perbedaan Zakat Pajak Definisi Kewajiban atas sejumlah harta
tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu.
Pungutan wajib kepada negara.
Dasar Hukum
Al Qur’an, Hadis dan Ijma. Hukum negara (undang-undang).
Objek Harta produktif. a. Penghasilan. b. Juga dikenakan atas
konsumsi (PPN). c. Harta tidak produktif
(PBB dan PKB). Subjek Hanya dikenakan kepada orang
Muslim. Dikenakan kepada seluruh warga negara tanpa melihat agama yang dianutnya.
Hishab dan Tarif
Ditentukan oleh Allah dan bersifat mutlak, besarnya tarif atau persentase zakat tidak akan berubah.
Ditentukan oleh negara dan dapat berubah sesuai dengan kondisi neraca anggaran negara.
Sanksi Sanksi dari Allah, baru dikenakan di akhirat, kecuali negara-negara yang pemerintahannya menggunakan dasar Hukum Islam.
Dapat dikenakan sanksi secara langsung berdasarkan undang-undang.
Motivasi pembayaran
Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
Ketaatan dan ketakutan kepada negara dan sanksinya.
50
Lanjutan Tabel 2.4 Pemanfaatan Penerimaan
Disalurkan untuk 8 golongan yaitu fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, garim, sabilillah dan ibnu sabil.
Digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana publik, sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh orang kaya atau orang miskin.
Perhitungan Dipercayakan kepada muzakki. Dapat menggunakan bantuan jasa akuntan atau konsultan pajak.
Ijab Qabul Disyaratkan untuk melakukan ijab qabul.
Tidak perlu ijab qabul.
Sifat Meskipun zakat adalah kewajiban tiap Muslim, namun pemungutan zakat tidak dapat dipaksakan.
Dapat dipaksakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan pajak yang berlaku.
Sumber: Indonesian Tax Review Vol IV/Ed 47/2007
G. Penelitian Terdahulu
Peneliti meninjau beberapa penelitian sebelumnya dengan beberapa
tujuan (a) memberitahu pembaca hasil penelitian-penelitian lain yang
berhubungan dengan penelitian yang sedang dilaporkan. (b) Menghubungkan
suatu penelitian dengan dialog yang lebih luas dan berkesinambungan tentang
suatu topic dalam pustaka, mengisi kekurangan dan memperluas penelitian-
penelitian sebelumnya. Berikut ini penelitian sebelumnya yang digunakan
peneliti sebagai bahan rujukan penelitian.
51
Tabel 2.5 Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Metodologi Penemuan Abdul Basir (2002) Herry Yarmanto (2003)
“Zakat Atas Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak” ”Analisis Zakat Sebagai Faktor Pengurang Penghasilan Kena Pajak” (Tinjauan Aspek Sinergi Antara Zakat dan Pajak)
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Metode pengumpulan data: 1. Studi
Kepustakaan 2.Penelitian
Lapangan (wawancara)
Penelitian dilakukan dengan pengumpulan data sekunder (LAZIS yang telah dikukuhkan oleh pemerintah) dan studi literatur.
Zakat penghasilan dan pajak penghasilan merupakan institusi pengumpul dana, namun UU No.38 Th.1999 dan UU No.17 Th.2000 hanya memperkenalkan zakat penghasilan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Perlakuan zakat bisa disamakan dengan pajak penghasilan yaitu bukan sebagai faktor pengurang PKP melainkan sebagai kredit pajak yang nonrefundable. Pajak dan zakat memiliki banyak kesamaan dan perbedaan. Keduanya memiliki fungsi yang saling beririsan yaitu berperan dalam fungsi distribusi. Adanya dua pendapat yang berbeda mengenai cara penghindaran beban ganda atas suatu objek yang sama, (1) pendapat pertama mengatakan bahwa zakat boleh dikurangkan dari pajak yang terhutang, dan (2) pendapat kedua mengatakan dasar untuk menghitung pajak ditentukan setelah zakat yang benar-benar dibayar diperhitungkan didalamnya. Cara pertama lebih dekat dengan pendapat Imam Ahmad bin Hamdal yang dianut oleh Malaysia.
52
Lanjutan Tabel 2.5 Sedangkan cara kedua zakat
yang telah dibayar diperbolehkan mengurangi PKP, ini dilakukan di Indonesia.
Sumber: Data diolah sendiri
F. Kerangka Pemikiran
Berikut ini adalah kerangka pemikiran dari penelitian yang dilakukan:
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
WPOP Wajib Zakat (Muzakki)
Pola perlakuan zakat dalam pajak
Zakat sebagai pengurang PPh (kredit pajak)
Membayar zakat dan pajak
Analisis
Zakat sebagai pengurang
PKP
Yang berlaku sekarang
dalam UU PPh
Usulan alternatif kebijakan
pajak
Individu yang memperoleh penghasilan
53
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian studi komparatif yang bertujuan
untuk mengetahui perbandingan antara perlakuan zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak dengan perlakuan zakat sebagai pengurang langsung
pajak penghasilan. Zakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Zakat
Maal yang meliputi zakat atas penghasilan atau zakat profesi. Sedangkan
pajak yang diteliti hanya menyangkut pajak penghasilan atas wajib pajak
orang pribadi.
B. Jenis dan Pendekatan Penetilian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Menurut Newman (2000: 30), penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang berusaha menggambarkan secermat mungkin suatu hal dari
data yang ada. Penelitian ini tidak terbatas pada pengumpulan dan penyusunan
data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti dari data itu, menjadi
suatu wacana dan konklusi dalam berfikir logis, praktis, dan teoritis.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (1994: 2), karakteristik permasalahan
penelitian kualitatif yaitu berusaha menggambarkan atau menjelaskan secara
54
lebih mendalam suatu fenomena dan untuk mengembangkan suatu teori.
Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti ingin mengeksplorasi
kemungkinan penerapan perlakuan zakat sebagai pengurang langsung pajak
penghasilan (kredit pajak) sebagaimana yang telah diterapkan di Malaysia.
C. Definisi Operasional Variabel
Yang dimaksud dengan definisi operasional adalah melekatkan arti pada
suatu variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-
tindakan yang perlu untuk mengukur variabel tersebut. Dengan kata lain,
definisi operasional berfungsi memberikan batasan atau arti suatu variabel
dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur
variabel tersebut (Kerlinger, 2003: 51). Adapun definisi operasional dari
variabel penelitian adalah sebagai berikut:
1. Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Pada pola ini, penghasilan neto dikurangi dengan zakat penghasilan
yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi (muzakki). Perlakuan
ini diterapkan di Indonesia.
2. Zakat Sebagai Pengurang Langsung Pajak Penghasilan
Pada pola ini, pajak terutang dikurangi dengan zakat penghasilan yang
dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi (muzakki). Perlakuan ini
diterapkan oleh Malaysia.
55
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dapat penulis uraikan yaitu:
1. Data Primer
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan data
primer adalah wawancara (interview), yaitu metode yang digunakan oleh
penulis secara langsung berhubungan dengan pihak-pihak yang
bersangkutan guna memperoleh informasi yang dibutuhkan.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
sumber eksternal, yaitu data yang didapat dari membaca dan memahami
buku-buku referensi, artikel, jurnal perpajakan, tesis dan surat keputusan
yang relevan khususnya yang berkaitan dengan zakat dan perpajakan,
serta data-data yang berasal dari badan atau lembaga amil zakat.
E. Metode Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen sebagaimana dikutip oleh
Irawan (2006: 73), menyatakan bahwa analisis data adalah:
”... proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip interview, catatan dilapangan, dan bahan-bahan lain yang anda dapatkan, yang kesemuanya itu anda kumpulkan untuk meningkatkan pemahaman anda terhadap suatu fenomena dan membantu anda kepada orang lain”. Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa proses pengolahan data
penelitian dengan analisis data kualitatif dimulai dengan menelaah berbagai
data yang diperoleh dari berbagai sumber informasi. Data yang terkumpul
56
melalui studi dokumen dan wawancara kemudian dianalisis untuk mengetahui
maksud serta maknanya, kemudian dihubungkan dengan masalah penelitian.
Pemilihan metode ini didasarkan atas pertimbangan bahwa skripsi ini
akan difokuskan pada analisis sumber-sumber hukum, baik zakat yang
merujuk pada teks-teks hukum Islam dan pajak yang merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Jadi, skripsi ini diawali dengan
pembahasan deskripsi literatur tentang zakat penghasilan dan pajak
penghasilan dan kaitan antara keduanya. Melalui penelitian deskriptif peneliti
menggambarkan perlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak
dengan perlakuan zakat sebagai pengurang langsung pajak penghasilan (kredit
pajak). Untuk memudahkan pemahaman tentang dua perlakuan zakat tersebut
maka penelitian ini dilakukan dengan contoh suatu kasus.
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ketentuan Zakat Dalam Undang-Undang Perpajakan
Reformasi peraturan perpajakan mengenai zakat dilakukan oleh
pemerintah untuk mendorong wajib pajak dan muzakki agar dapat
menunaikan kewajiban membayar pajak penghasilan dan zakat penghasilan
dengan baik. Untuk mengatasinya pemerintah telah melakukan integralisasi
antara kewajiban pajak dan zakat. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Pajak Penghasilan telah mengakomodir zakat pada Pasal 9 ayat (1)
huruf g bahwa,
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan dari harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Termaktub pula dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat Pasal 14 ayat (3) menyatakan bahwa, zakat yang telah
dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dapat
dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang
bersangkutan. Dari kedua undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa
perlakuan zakat yang berlaku di Indonesia saat ini yaitu zakat sebagai
58
pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP). Selama ini di kalangan umat Islam
beredar anggapan yang salah, bahwa membayar zakat dapat langsung
mengurangi pajak yang akan dibayar. Namun sesungguhnya tidak,
sebagaimana Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ./2003 bahwa,
Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak badan atau penghasilan neto Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
KEP ini menegaskan kembali ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
yang menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan dapat dikurangi dari
penghasilan bruto wajib pajak badan atau penghasilan neto wajib pajak orang
pribadi. Artinya wajib pajak orang pribadi yang membayar zakat penghasilan,
zakat tersebut diperbolehkan menjadi deductible expense (dapat dijadikan
biaya). Maka jika penghasilan neto seorang wajib pajak orang pribadi adalah
Rp 5.000.000 sedangkan wajib pajak tersebut telah menunaikan zakat sebesar
Rp 1.000.000, pajak yang harus dibayar adalah Rp 4.000.000 (Rp 5.000.000 –
Rp 1.000.000) dikalikan tarif progresifnya sebesar 5% yaitu Rp 200.000. Jadi
zakat bukan dapat langsung mengurangi pajak yang akan dibayar.
Selanjutnya masih dalam KEP tersebut dijelaskan bahwa penghasilan
tersebut harus penghasilan yang merupakan objek pajak yang dikenakan pajak
penghasilan yang tidak bersifat final. Maka jika kita memperoleh penghasilan
59
sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
pasal 4 ayat 2 yaitu penghasilan dari bunga deposito dan tabungan, hadiah
undian, transaksi saham, transaksi pengalihan harta, maka zakat atas
penghasilan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan
kena pajak.
Meskipun zakat penghasilan dapat diakui sebagai pengurang penghasilan
kena pajak, namun bila ditinjau lebih dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, maka untuk melaporkan zakat penghasilan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak, wajib pajak harus memenuhi beberapa persyaratan
yang sifatnya kumulatif yang harus dicantumkan dalam laporan pajak
penghasilan tahunan (SPT Tahunan PPh), diantaranya yaitu:
1. Zakat harus nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi dalam
negeri pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam. Untuk persyaratan ini tidak
sulit dipenuhi, karena memang kewajiban membayar zakat sudah dapat
pasti hanya dilakukan oleh orang pribadi beragama Islam. Permasalahan
akan timbul jika zakat tersebut dibayarkan oleh wajib pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh beberapa orang. Karena dapat terjadi jika suatu
badan dimiliki oleh beberapa orang dengan berbagai agama yang
dianutnya.
2. Zakat yang dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
60
Zakat. Dari pembayaran zakat tersebut akan dibuatkan Nomor Pokok
Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti Setor Zakat (BSZ) yang diberikan
kepada muzakki dan nantinya digunakan sebagai bukti pengurang PPh.
Namun dalam struktur masyarakat Indonesia, keberadaan amil zakat yang
berada disekitar mereka seperti lembaga amil zakat yang dikelola masjid
atau mushala maupun yayasan swadaya masyarakat, jumlahnya lebih
banyak daripada badan atau lembaga resmi pemerintah. Alhasil mereka
lebih memilih lembaga amil zakat yang berada dekat disekitar mereka
atau menyerahkannya langsung ke yang berhak karena mudah
menjangkaunya. Sehingga masih banyak wajib pajak yang belum
memanfaatkan insentif pajak ini.
3. Zakat yang dibayarkan adalah zakat yang berkenaan dengan penghasilan
yang merupakan objek pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang
tidak bersifat final. Jadi jika kita membayar zakat atas penghasilan dari
bunga deposito, hadiah undian, transaksi saham, dan transaksi pengalihan
harta, maka zakat penghasilan yang kita bayarkan tersebut tidak dapat
diakui sebagai pengurang pajak penghasilan. Sesuai Keputusan Dirjen
Pajak Nomor KEP-163/PJ./2003 ketentuan zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak baru merupakan zakat penghasilan saja. Ini tidak
berlaku untuk seluruh jenis zakat.
61
B. Analisis Teori
1. Perlakuan Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Undang-Undang PPh pasal 6 ayat 1 menjelaskan bahwa suatu
beban dapat diperlakukan sebagai pengurang penghasilan kena pajak jika
beban tersebut terkait dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan. Menurut Abdul Basir (2002), zakat penghasilan
tidak memenuhi kriteria sebagai beban yang terkait dengan kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Jika seorang
wajib pajak membayar zakat penghasilan maka pembayaran tersebut
tidak terkait dengan penghasilannnya, khususnya dalam hal
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang semuanya
bermakna akan menambah penghasilan malah justru membayar zakat
akan mengurangi penghasilan pembayar.
Pada dasarnya baik zakat penghasilan maupun pajak penghasilan
dikenakan atas objek yang sama, yaitu penghasilan yang diterima oleh
seorang individu yang beragama Islam. Adanya dua kewajiban terhadap
objek yang sama ini dapat dikatakan sebagai kewajiban ganda. Abdul
Basir menyebutkan bahwa, dengan memasukkan zakat penghasilan
sebagai penghasilan kena pajak, maka penghindaran pengenaan beban
ganda hanya efektif maksimal sebesar 30% (tarif PPh). Ini berarti wajib
pajak yang beragama Islam harus menanggung beban ganda sebesar
70%. Kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah ternyata tidak
62
menghilangkan kewajiban ganda yang harus dipikul Umat Islam, tetapi
hanya mengurangi beban pajak yang terutang.
2. Perlakuan Zakat sebagai Pengurang Langsung Pajak Penghasilan (Kredit
Pajak)
Dalam teori, untuk menghitung pajak yang harus dibayar terlebih
dahulu harus dikurangkan kredit pajak terhadap pajak terhadap pajak
yang terutang.
Sebagaimana hasil analisis diatas, dengan tidak terpenuhinya zakat
penghasilan dalam kriteria sebagai beban yang terkait dengan kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan maka
perlakuan zakat penghasilan sebagai pengurang penghasilan kena pajak
tidak tepat (Abdul Basir, 2002). Adanya kesetaraan filosofis antara zakat
penghasilan dan pajak penghasilan yang menciptakan aspek kongruensi,
maka tentunya bagi pihak warga negara khususnya wajib pajak muslim
akan menimbulkan beban ganda. Untuk menyelaraskan aspek filosofis
dan menghindari beban ganda serta menciptakan keadilan maka
perlakuan zakat penghasilan sebagai pengurang langsung pajak
penghasilan (kredit pajak) adalah tepat. Hal senada juga dikemukakan
oleh Rochmat Soemitro bahwa di negara yang memungut pajak
disamping zakat, maka zakat yang telah dibayar dapat dikurangkan
(dikreditkan) dari pajak yang terutang.
Di Malaysia pajak yang telah dibayarkan oleh setiap individu dapat
dikurangkan terhadap sejumlah nilai yang yang sebenarnya bukan
63
merupakan pembayaran pajak. Undang-Undang Pajak Penghasilan 1967
di Malaysia menyebutkan bahwa, pajak tersebut selain atas prepaid tax
juga dapat dikreditkan dengan pengurangan pajak untuk individu, zakat
dan fitrah yang dibayarkan, serta pengurusan izin tenaga kerja.
Sebaliknya di Indonesia sampai saat ini pajak hanya dapat dikreditkan
terhadap pajak. Kewajiban PPh di Indonesia tidak akan tercampur dengan
yang lain. Karena yang dipajaki adalah penghasilan, maka yang menjadi
kredit pajak adalah hal yang bersangkutan dengan penghasilan itu sendiri.
Dengan demikian PPh orang pribadi yang terutang hanya dapat
dikreditkan dengan prepaid tax yang dibayarkan pada tahun berjalan,
seperti PPh 21 yang dipotong pihak lain, PPh Pasal 25 yang dibayar
setiap bulannya, dan fiskal luar negeri.
Akhir-akhir ini berkembang wacana untuk menjadikan zakat sebagai
pengurang langsung pajak penghasilan seperti yang telah diterapkan di
Malaysia. Mereka menganggap bahwa meski esiensi antara zakat dan pajak
berbeda, tapi keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk kesejahteraan
masyarakat. Maka diperlukan solusi guna menghindarkan beban ganda atas
suatu objek yang sama. Menurut Muktiyanto dan Hendrian (2008), jika hal ini
diterapkan akan banyak kebaikan yang muncul, antara lain:
a. Akan terjadi peningkatan tax ratio, yaitu jumlah pembayar pajak akan
semakin banyak. Para wajib pajak muslim akan makin bersemangat
membayar zakat maupun pajak, disebabkan tidak adanya lagi
pembayaran ganda.
64
b. Karena aspek peruntukan zakat bagi delapan golongan mustahik, maka
masyarakat miskin akan terbantu. Dengan semakin banyaknya dana zakat
yang disalurkan melalui Badan Amil Zakat maupun Lembaga Amil
Zakat, maka program-program pemberdayaan masyarakat akan semakin
banyak bisa digulirkan. Tentunya hal ini juga sangat membantu program
pemerintah, terutama dalam pengentasan kemiskinan.
c. Akan timbul tuntutan kepada badan atau lembaga pengelola zakat untuk
menerapkan prinsip-prinsip good governance, yaitu amanah,
profesionalitas, dan transparan.
d. Penerapan zakat pengurang pajak selama ini hanya pada tataran zakat
tersebut sebagai biaya pengurang penghasilan. Pengaruhnya tentu tidak
besar bagi pembayar pajak yang juga merupakan para pembayar zakat
karena tidak dikreditkan langsung pada pajak terutang. Akan tetapi tentu
akan lebih terasa besarnya pengaruh zakat terhadap pajak jika zakat
tersebut dapat dikreditkan langsung ke pajak penghasilan. Logika
penggunaannya tentu sama. Pajak digunakan untuk pembangunan dan
kesejahteraan pegawai, begitu pula zakat yang memiliki implikasi
terhadap kesejahteraan masyarakat.
Di lain sisi, harapan ini menimbulkan adanya silang pendapat di
kalangan masyarakat. Mereka menganggap bahwa hal tersebut
merupakan kebijakan diskriminatif terhadap non Muslim. Ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa soal zakat dan pajak tidak perlu dikait-
kaitkan (Yarmanto, 2003). Mereka yang termasuk dalam pendapat ini
65
khawatir kewajiban zakat terkesan tidak ikhlas manakala mereka
menuntut adanya penggantian baik dengan cara mengurangkan zakat
tersebut pada penghasilan kena pajak atau mengurangkannya langsung
terhadap pajak penghasilan. Namun masalah sesungguhnya bukan itu,
tapi ada kekhawatiran pada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa
bila zakat dijadikan sebagai pengurang langsung pajak penghasilan maka
perolehan pajak akan berkurang.
C. Analisis Studi Kasus
Untuk mengetahui perbedaan dari dua perlakuan zakat yaitu sebagai
pengurang penghasilan kena pajak dengan pengurang langsung pajak
penghasilan (kredit pajak), berikut akan disajikan sebuah kasus mengenai dua
pola perlakuan ini.
Tuan Ahmad seorang muslim dan bekerja sebagai pegawai di PT
Sampoerna Jaya mendapatkan gaji Rp 4.500.000 tiap bulan. Ia tidak memiliki
penghasilan lain dan belum menikah. Sehingga perhitungan PPh Pasal 21
terhutang tahun 2009 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Zakat sebagai Pengurang PKP
Penghasilan Bruto setahun (-) Biaya Jabatan (5% x Ph. Bruto) Ppenghasilan Neto setahun (-) Zakat (2,5% x Ph. Bruto) Penghasilan Neto Setelah Zakat
Rp 54.000.000 2.700.000
Rp 51.300.000
1.350.000 Rp 49.950.000
66
Lanjutan Tabel 4.1 (-) PTKP (TK/0) PKP PPh 21 terutang (5% x PKP)
15.840.000 Rp 34.110.000 Rp 1.705.500
Sumber: Data diolah sendiri
Dan persentase masing-masing zakat dan pajak yang dikeluarkan jika
zakat dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.2 Persentase Pajak dan Zakat sebagai Pengurang PKP
Pajak Zakat Total Penghasilan Rp 1.705.500 Rp 1.350.000 Rp 3.055.500 Rp 54.000.000
3,16% 2,5% 5,66% 100% Sumber: Data diolah sendiri
Pada perlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, zakat
yang dikeluarkan sebesar Rp 1.350.000 dan PPh 21 terutang yang ditanggung
Tuan Ahmad adalah sebesar Rp 1.705.500. Sesuai ketentuan Pasal 1 ayat 3
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-163/PJ/2003, dalam
perhitungan penghasilan kena pajak bahwa besarnya zakat yang dapat
dikurangkan dari penghasilan kena pajak adalah sebesar 2,5 persen dari
jumlah penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan.
Dengan demikian dapatlah kita perinci berdasarkan perhitungan pajak
penghasilan, jumlah pajak dan zakat yang dibayar Tuan Ahmad dalam tahun
2009 dapat dilihat dalam Tabel 3.3. Jika menggunakan perlakuan zakat
sebagai pengurang penghasilan kena pajak maka, jumlah pajak dan zakat yang
dibayar adalah 5,66% dari penghasilan setahun Tuan Ahmad.
67
Namun jika zakat menjadi pengurang langsung pajak penghasilan atau
sebagai kredit pajak, perhitungan PPh Pasal 21 terhutang tahun 2009 adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.3 Zakat sebagai Pengurang Langsung PPh (Kredit Pajak)
Penghasilan Bruto setahun (-) Biaya Jabatan (5% x Ph. Bruto) Penghasilan Neto setahun (-) PTKP (TK/0) PKP PPh 21 terutang (5% x PKP) (-) Zakat (2,5% x Ph. Bruto) PPh 21 terutang
Rp 54.000.000 2.700.000
Rp 51.300.000
15.840.000 Rp 35.460.000 Rp 1.773.000 Rp 1.350.000
Rp 423.000
Sumber: Data diolah sendiri
Dan persentase masing-masing zakat dan pajak yang dikeluarkan jika
zakat dijadikan sebagai pengurang langsung pajak penghasilan (kredit pajak)
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4 Persentase Pajak dan Zakat sebagai Pengurang Langsung PPh
(Kredit Pajak) Pajak Zakat Total Penghasilan
Rp 423.000 Rp 1.350.000 Rp 1.773.000 Rp 54.000.000 0,78% 2,5% 3,28% 100%
Sumber: Data diolah sendiri
Sedangkan perlakuan zakat sebagai pengurang langsung pajak
penghasilan (kredit pajak), pajak terutang Rp 1.773.000 dikurangi dengan
zakat (sebagai kredit pajak) yang dikeluarkan sebesar Rp 1.350.000, sehingga
pajak yang dibayar dapat ditekan yaitu sebesar Rp 423.000.
68
Dari perhitungan tabel diatas berdasarkan perhitungan pajak penghasilan,
jumlah pajak dan zakat yang dibayar Tuan Ahmad dalam tahun 2009 dapat
dilihat dalam Tabel 3.5. Jika menggunakan perlakuan zakat sebagai pengurang
langsung pajak penghasilan (kredit pajak) maka, jumlah pajak dan zakat yang
dibayar hanya 3,28% dibandingkan dengan perlakuan zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak yaitu 5,66%.
Tabel 4.5 Persentase Perbandingan Pengeluaran
Jumlah Pengeluaran Pengurang PKP Pengurang Langsung
PPh (Kredit Pajak)
Selisih
Penghasilan
Rp 3.055.500 Rp 1.773.000 Rp 1.282.500 Rp 54.000.000
5,66% 3,28% 2,38% 100%
Sumber: Data diolah sendiri
Berdasarkan Tabel 3.6 menjelaskan bahwa:
1. Jika menggunakan perlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena
pajak, maka pengeluaran atas kewajiban pajak dan zakat yang harus
dikeluarkan adalah sebesar Rp 3.055.500 atau 5,66% dari penghasilan
wajib pajak muslim.
2. Jika menggunakan perlakuan zakat sebagai pengurang langsung pajak
penghasilan (kredit pajak), maka pengeluaran atas pajak dan zakat yang
harus dikeluarkan hanya sebesar Rp 1.773.000 atau 3,28% dari
penghasilan wajib pajak muslim.
3. Sehingga perlakuan zakat sebagai pengurang langsung pajak penghasilan
(kredit pajak) bersifat signifikan karena dapat menghemat pengeluaran
69
wajib pajak yaitu sebesar Rp 1.282.500 atau 2,38%, jika menggunakan
perlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak
Perbedaan kedua pola perlakuan zakat tersebut juga dapat mempengaruhi
SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi (1770 S). Keduanya akan terlihat
dalam tabel dibawah ini sesuai contoh diatas. Berikut SPT Tahunan Wajib
Pajak Orang Pribadi (1770 S) jika zakat menjadi pengurang Penghasilan Kena
Pajak (PKP):
Tabel 4.6 SPT Tahunan Zakat sebagai Pengurang PKP
Penghasilan Neto (-) Zakat Ph. Penghasilan Neto setelah Zakat (-) PTKP (TK/0) PKP PPh 21 terhutang Di SPT 1770 S: PPh 21 terhutang (-) Kredit Pajak PPh yang dipotong oleh pihak lain (SPT 1770 S-1) PPh Lebih Bayar
Rp 51.300.000 1.350.000
Rp 49.950.000
15.840.000 Rp 34.110.000
1.705.500
Rp 1.705.500
Rp 1.773.000 Rp 67.500
Sumber: Data diolah sendiri
Namun jika zakat menjadi pengurang langsung pajak penghasilan atau
sebagai kredit pajak, SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi (1770 S)
adalah sebagai berikut:
70
Tabel 4.7 SPT Tahunan Zakat sebagai Pengurang Langsung PPh
(Kredit Pajak) Ph. Neto (-) PTKP (TK/0) PKP PPh 21 terhutang (-) Kredit pajak dari pembayaran zakat PPh 21 terhutang Di SPT 1770 S: PPh 21 terhutang Zakat yang dikreditkan Jumlah PPh 21 terhutang (-) Kredit Pajak PPh yang dipotong oleh pihak lain (SPT 1770 S-1) PPh Lebih/Kurang Bayar
Rp51.300.000 15.840.000
Rp35.460.000 Rp 1.773.000
1.350.000
Rp 423.000
Rp 423.000 1.350.000
Rp 1.773.000
Rp 1.773.000
NIHIL
Sumber: Data diolah sendiri
Dari data diatas nampak bahwa perbedaan kedua pola perlakuan zakat
tersebut juga dapat mempengaruhi SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi
(1770 S). Perlakuan zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP)
membuat PPh menjadi lebih bayar Rp 67.500. Sedangkan perlakuan zakat
sebagai pengurang langsung pajak penghasilan atau sebagai kredit pajak, SPT
Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi (1770 S) menjadi nihil.
71
D. Analisis pada Penerimaan dari Sektor Pajak dan Zakat
Kekhawatiran terbesar pemerintah Indonesia yang hanya menerapkan
pola perlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak bukan sebagai
pengurang langsung pajak penghasilan (kredit pajak) adalah jumlah
penerimaan pajak akan menurun secara signifikan akibat diterapkannya zakat
sebagai pengurang PPh. Karena secara matematis semakin besar jumlah zakat
yang dapat dijadikan kredit pajak, semakin kecil jumlah penerimaan pajaknya.
Berbeda dengan perlakuan zakat di Indonesia hanya menjadi salah satu
bagian dari komponen biaya yang dapat mengurangi penghasilan neto, lain
halnya di Malaysia zakat telah dijadikan sebagai kredit pajak. Dengan
demikian, beban ganda yang harus ditanggung oleh wajib pajak muslim tidak
hanya diminimalkan, tetapi dengan adanya kebijakan tersebut penerimaan
zakat dan pajak ikut meningkat. Di Malaysia kebijakan zakat sebagai kredit
pajak itu sendiri baru berlaku untuk wajib pajak orang pribadi. Pengalaman
penerapan kebijakan zakat sebagai kredit pajak yang diterapkan Malaysia
menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat menjadi pemicu meningkatnya
pendapatan di kedua instrumen tersebut secara bersamaan. Penerimaan
keduanya mengalami peningkatan setelah diterapkannya kebijakan tersebut.
Dalam Laporan Kementrian Keuangan Malaysia tahun 2006 dan Laporan
Pusat Keuangan Zakat Malaysia tahun 2006 diungkapkan bahwa pendapatan
pajak dan zakat memiliki korelasi positif. Berikut ini adalah jumlah
pendapatan zakat, pajak, dan persentase zakat terhadap pajak di Malaysia
selama lima tahun:
72
Tabel 4.8 Penerimaan Pajak dan Zakat di Malaysia (dalam Ringgit Malaysia)
Tahun Zakat Pajak % zakat terhadap pajak 2001 321 juta 79,57 milyar 0,40 2002 374 juta 83,52 milyar 0,45 2003 408 juta 92,61 milyar 0,45 2004 473 juta 99,4 milyar 0,44 2005 573 juta 106,3 milyar 0,48
Sumber: Irfan Syauqi Beik (2007)
Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa penerapan zakat sebagai kredit pajak
di Malaysia tidak menyebabkan berkurangnya penerimaan dari sektor pajak.
Penerimaan dari kedua sektor ini justru mengalami peningkatan setiap
tahunnya sejak kebijakan tersebut diterapkan. Kenaikkan penerimaan pajak
diikuti oleh kenaikan penerimaan zakat. Hal ini juga dapat dicapai jika
Indonesia menerapkan kebijakan zakat sebagai kredit pajak. Berikut ini
beberapa argumentasi yang menjelaskan mengapa hal itu dapat terjadi.
1. Terciptanya Multipplier-Effect Terhadap Perekonomian
Dalam ilmu ekonomi, selain faktor harga hal yang dapat
meningkatkan jumlah permintaan barang dan jasa adalah meningkatnya
pendapatan masyarakat. Peningkatan jumlah permintaan ini kemudian
harus diimbangi dengan peningkatan penawaran agar tercipta
keseimbangan harga (ekuilibrium). Agar harga sebelum dan sesudah
peningkatan permintaan sama besarnya, jumlah produk yang ditawarkan
harus sama dengan permintaan pasar. Perubahan jumlah permintaan dan
penawaran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
73
D’ S S’
D
P
Q Q’
Gambar 4.1 Pergeseran Kurva Permintaan dan Penawaran sebagai
Pengaruh dari Zakat Sumber: Sadono Sukirno (1994)
Gambar tersebut juga dapat menjelaskan bagaimana instrumen
zakat mampu mempengaruhi mekanisme permintaan dan penawaran. PQ
adalah titik keseimbangan antara permintaan (demand) dan penawaran
(supply) sebelum adanya zakat. Karena zakat secara langsung
diperuntukan bagi fakir miskin, dana zakat akan meningkatkan
pendapatan mereka. Jika pendapatan fakir miskin meningkat, maka daya
beli akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan jumlah jumlah
permintaan barang dan jasa (D’) sehingga bergesar ke titik PQ’.
Selanjutnya permintaan ini akan berpengaruh terhadap meningkatnya
jumlah penawaran yang berarti bertambahnya jumlah produksi barang
dan jasa (S’).
Dengan demikian kondisi tersebut akan menciptakan multipplier-
effect terhadap perekonomian. Kesejahteraan rakyat miskin akan
meningkat. Jika hal itu terus berjalan, agregate demand dan agregate
supply akan naik sehingga penerimaan pajak akan meningkat, baik pajak
penghasilan (PPh) maupun pajak penjualan (PPN). Dengan semakin
74
meningkatnya penghasilan masyarakat, orang yang berzakatpun akan
bertambah sehingga meningkatkan penerimaan dari sektor zakat. Inilah
yang menyebabkan kedua sektor tersebut menunjukkan peningkatan
secara bersamaan seperti yang terjadi di Malaysia.
2. Meningkatnya Jumlah Wajib Pajak dan Muzakki
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, kebijakan zakat
sebagai pengurang penghasilan neto dirasa masih memberatkan wajib
pajak yang beragama Islam karena menimbulkan adanya kewajiban
ganda. Keadaan ini akan memacu timbulnya tiga kelompok masyarakat.
Pertama, masyarakat yang memilih untuk membayar zakat dan pajak.
Kedua, kelompok yang memilih membayar zakat saja. Ketiga, kelompok
yang memilih membayar pajak saja.
Kedua kelompok terakhir inilah yang potensial untuk dicapai
dengan adanya penerapan zakat sebagai kredit pajak. Dengan adanya
kebijakan ini, tidak ada lagi kewajiban ganda yang memberatkan umat
Islam yang juga merupakan wajib pajak. Dengan demikian, wajib pajak
yang sebelumnya tidak membayar zakat akan tergerak untuk membayar
zakat. Dan sebaliknya, muzakki yang sebelumnya hanya membayar zakat
tetapi tidak membayar pajak akan tergerak untuk membayar. Hal ini
terjadi karena kedua kelompok tersebut tidak lagi merasakan adanya dua
kewajiban yang memberatkan karena zakat yang mereka bayarkan dapat
dikreditkan dengan total PPh terutang. Kondisi ini membuat jumlah wajib
75
pajak dan muzakki bertambah dan pada akhirnya akan meningkatkan
penerimaan dari pajak maupun zakat secara bersamaan.
Berikut ini adalah contoh perhitungan meningkatnya penerimaan
dari zakat dan pajak karena penambahan jumlah wajib pajak dan
muzakki. Sebagai contoh saat ini ada 10 orang wajib pajak yang belum
membayar zakat dan 10 orang muzakki yang belum membayar pajak.
Setiap orang memiliki penghasilan sebesar Rp 100.000.000 (TK/0).
Berikut adalah perhitungannya:
Tabel 4.9 Perhitungan Zakat sebagai Sebagai Pengurang PKP dan sebagai
Pengurang PPh Keterangan Sebagai
Pengurang PKP Sebagai Pengurang PPh (Kredit Pajak)
Penghasilan neto 100.000.000 100.000.000 Zakat atas penghasilan 2.500.000 PTKP (TK/0) 15.840.000 15.840.000 PKP 81.660.000 84.160.000 PPh terutang 5% → 2.500.000
15%→ 4.749.000 Total→ 7.249.000
5% → 2.500.000 15%→ 5.124.000 Total→ 7.624.000
Kredit pajak (zakat yang telah dibayarkan)
2.500.000
PPh Kurang Bayar 7.249.000 5.124.000 Sumber: Data diolah Sendiri
Dan perhitungan peningkatan penerimaan dari zakat dan pajak
karena penambahan jumlah wajib pajak dan muzakki masing-masing 10
orang adalah sebagai berikut:
76
Tabel 4.10 Perhitungan Peningkatan Penerimaan dari Zakat dan Pajak
Zakat Sebagai Pengurang PKP Zakat Sebagai Pengurang PPh (Kredit Pajak)
a. Jumlah penerimaan dari sektor pajak 10 x 7.249.000= 72.490.000
b. Jumlah penerimaan dari sektor zakat 10 x 2.500.000 = 25.000.000
c. Total penerimaan dari keduanya sebesar 97.490.000
a. Jumlah penerimaan dari sektor pajak 20 x 5.124.000 = 102.480.000
b. Jumlah penerimaan dari sektor zakat 20 x 2.500.000 = 50.000.000
c. Total penerimaan dari keduanya sebesar 152.480.000
Sumber: Data diolah Sendiri
Dari hasil perhitungan diatas dapat diketahui bahwa dengan
diterapkannya kebijakan zakat sebagai pengurang PKP jumlah pajak
yang harus dibayar oleh setiap wajib pajak adalah Rp 7.249.000,
sehingga total pajak dan zakat yang dibayarkan sebesar Rp 9.749.000.
Akan tetapi, jika zakat dijadikan sebagai kredit pajak jumlah pajak yang
harus dibayarnya hanya sebesar Rp 5.124.000 sehingga total pajak dan
zakat yang dibayarkan menjadi Rp 7.624.000. Jika pajak dijadikan
sebagai pengurang PKP (sebagai biaya), hanya terdapat 10 orang wajib
pajak dan 10 orang muzakki sehingga total penerimaan dari pajak adalah
sebesar Rp 72.490.000 dan zakat sebesar Rp 25.000.000. Sebaliknya, jika
kebijakan zakat sebagai kredit pajak diterapkan jumlah wajib pajak dan
muzakki akan bertambah menjadi 20 orang, sehingga penerimaan dari
pajak meningkat menjadi Rp 102.480.000 dan penerimaan dari zakat
akan meningkat menjadi Rp 50.000.000. Dengan demikian ada
peningkatan penerimaan dari pajak sebesar 41,37% dan penerimaan dari
77
zakat sebesar 100%. Ini membuktikan bahwa dengan adanya peningkatan
jumlah wajib pajak dan muzakki jika zakat sebagai kredit pajak
diterapkan, maka penerimaan zakat dan pajak akan naik secara
bersamaan. Ini menepis anggapan yang mengatakan bahwa jika zakat
dijadikan sebagai kredit pajak, maka penerimaan negara dalam sektor
pajak akan menurun.
3. Zakat Dapat Dijadikan Sebagai Alat Kontrol Pembayaran Pajak
Pada dasarnya individu akan lebih jujur mengungkapkan
penghasilannya untuk kepentingan zakat. Pertama, bagi mereka zakat itu
bukan merupakan suatu beban melainkan ibadah. Kedua, pelaksanaan
zakat akan dipertanggungjawabkan langsung kepada Allah. Karena
manusia dapat menipu sesama manusia, tetapi tidak dengan Allah.
Apapun yang manusia lakukan Allah pasti akan mengetahuinya. Hal
inilah yang membuat muzakki cenderung lebih jujur untuk
mengungkapkan berapa penghasilannya.
Data mengenai jumlah zakat yang dibayarkan oleh para muzakki ini
sebenarnya dapat dijadikan sebagai informasi bagi petugas pajak untuk
menentukan berapa sebenarnya penghasilan yang diterima atau diperoleh
wajib pajak selama periode waktu tertentu. Dengan diterapkannya
kebijakan ini akan tercipta koordinasi antara lembaga zakat dan pajak
dalam cross check untuk mengetahui berapa penghasilan seseorang. Oleh
karena itu sebenarnya mekanisme ini dapat dijadikan sebagai kontrol
untuk mengetahui seberapa besar penghasilan seseorang sebenarnya.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan dari
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Zakat penghasilan maupun pajak penghasilan pada dasarnya dikenakan
atas objek yang sama yaitu penghasilan yang diterima wajib pajak
(muzakki). Perlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak
artinya zakat dapat dijadikan sebagai biaya (deductible expense).
Perlakuan tersebut tidak menghilangkan kewajiban ganda atas objek yang
sama, tetapi hanya mengurangi beban pajak yang terutang. Perlakuan
zakat sebagai pengurang langsung pajak penghasilan (kredit pajak)
artinya zakat dapat dikreditkan dari total PPh terutang.
2. Terdapat perbedaan antara perlakuan perlakuan zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak dengan zakat sebagai pengurang langsung pajak
penghasilan (kredit pajak). Penerapan perlakuan zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak mengakibatkan pengeluaran pajak dan zakat yang
dibayar oleh wajib pajak (muzakki) akan lebih besar yaitu sebesar 5,66%
dibandingkan dengan perlakuan zakat sebagai pengurang langsung pajak
penghasilan (kredit pajak) yaitu sebesar 3,28%.
3. Adanya korelasi yang positif antara pajak dan zakat. Apabila jumlah
wajib pajak dan muzakki meningkat, maka akan berdampak pula pada
79
peningkatan penerimaan dari pajak dan pajak. Yaitu ketika jumlah wajib
pajak dan muzakki naik 2 kali lipat, maka penerimaan pajak akan naik
sebesar 41,37% dan penerimaan dari zakat naik 100%.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan diatas, implikasi dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Perlakuan zakat saat ini yaitu sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak
(PKP) tidak menghilangkan kewajiban ganda atas zakat dan pajak.
Sehingga, zakat yang telah dibayarkan bisa dikurangkan langsung dari
pajak penghasilan sesuai jenis objeknya. Artinya zakat penghasilan dapat
disamakan dengan pajak penghasilan yaitu bukan sebagai faktor
pengurang penghasilan kena pajak tetapi sebagai kredit pajak yang
nonrefundable. Dengan itu kewajiban ganda tidak hanya dikurangkan,
tetapi dapat dihapuskan. Maka diharapkan kepada pemerintah dan
anggota legislatif melakukan penyempurnaan perangkat peraturan zakat
dan pajak agar sinergi keduanya tidak memberatkan umat Islam.
2. Atas usulannya yang menyatakan zakat dapat dijadikan sebagai kredit
pajak, Baznas perlu melakukan penelitian dan kajian yang komprehensif
tentang kebijakan zakat sebagai pengurang langsung pajak penghasilan
(kredit pajak) untuk disosialisasikan kepada berbagai pihak termasuk
anggota legislatif dan pemerintah, untuk meningkatkan pemahaman akan
pentingnya kebijakan ini.
80
3. Bagi pemerintah dengan adanya usulan atas perlakuan zakat sebagai
pengurang langsung pajak penghasilan (kredit pajak) ini seharusnya
dapat dijadikan perhatian dalam merevisi Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Yang perlu diperhatikan yaitu
ketika masalah pajak telah direvisi dalam undang-undang zakat, maka
pelaksanaannya harus diatur pula dalam undang-undang pajak sehingga
pengaplikasiannya akan berjalan lebih baik. Perlu adanya payung hukum
yang jelas jika zakat memang benar-benar diterapkan sebagai pengurang
langsung PPh. Payung hukum itu nantinya juga harus memperhatikan
wajib pajak yang tidak membayar zakat (non muslim). Apakah
sumbangan keagamaan serupa di agama lain akan diperlakukan sama
dengan wajib pajak yang membayar pajak. Dan yang terpenting lagi
adalah harus ada standar manajemen yang jelas bagi pengelolaan zakat di
seluruh Indonesia.
81
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. ”Penghasilanku, Dizakati dan Dipajaki”, Indonesia Tax Review, Vol
VI, Edisi 47, 2007. Basir, Abdul. ”Tesis: Zakat Atas Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan
Kena Pajak”, FISIP UI, Jakarta, 2002. Beik, Irfan Syauqi. “Menerapkan Kebijakan Zakat Pengurang Pajak”, Suara
Hidayatullah, September 2007. Damanhur. ”Mewujudkan Sistem Perpajakan Perspektif Islam”, Prosiding
Persidangan Antarabangsa Pembangunan Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, 2006.
Hafidhuddin, Didin. ”Terdapat Korelasi yang Positif Antara Pajak dengan
Zakat”, Indonesia Tax Review, Volume VI, Edisi 46, 2007.
. “Zakat Dalam Perekonomian Modern”, Gema Insani Press, Jakarta, 2002.
Hasan, M. Ali dan Masail Fiqhiyyah. “Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga
Keuangan”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Ibrahim, Teuku H. Muslim. ”Hubungan Antara Zakat dan Pajak Sebagai Sumber
Dana Kemasyarakatan” , PT Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1992. Irawan, Prasetya. “Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial”,
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta, 2006. Kerlinger, Fred N. “Asas-asas Penelitian Behavioral”, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2003. Muktiyanto, Ali dan Hendrian. “Zakat Sebagai Pengurang Pajak”, Jurnal
Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008. Mursyidi. ”Akuntansi Zakat Kontemporer”, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2006. Newman, Willian Lawrence. ”Social Research Methods Qualitative and
Quantitative Approaches”, Edisi Keempat, Allyn and Bacon, USA, 2000. Qardhawi, Yusuf. “Hukum Zakat”, PT Pustaka Litera Antarnusa, Jakarta, 1998.
82
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pajak
Pengelolaan Zakat. Suandy, Erly. “Perpajakan”, Edisi Kedua, Salemba Empat, Jakarta, 2006.
. ”Hukum Pajak”, Edisi Kedua, Salemba Empat, Jakarta 2002. Soemitro, Rahmat. ”Asas dan Dasar Perpajakan I”, PT Eresco, Bandung, 1988. Sukirno, Sadono. ”Pengantar Teori Makroekonomi”, Edisi Kedua, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1994. Sukrisno, Agoes dan Estralita Trisnawati. ”Akuntansi Perpajakan”, Salemba
Empat, Jakarta, 2008. Umar, Husein. ”Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis”, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008. Wirawan dan Richard. ”Hukum Pajak”, Salemba Empat, Jakarta, 2007. Yarmanto, Herry. ”Analisa Zakat Sebagai Faktor Pengurang Penghasilan Kena
Pajak”, FISIP UI, Jakarta, 2003. Wikipedia Bahasa Indonesia. ”Zakat”, Diakses tanggal 26 Maret 2009, dari
http://wikipedia.com
Lampiran 1 : Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009
TENTANG
BANTUAN ATAU SUMBANGAN TERMASUK ZAKAT ATAU SUMBANGAN
KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Bantuan atau Sumbangan termasuk zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BANTUAN ATAU SUMBANGAN TERMASUK ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Pasal 1 Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dikecualikan sebagai objek Pajak penghasilan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 2
Zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah zakat yang diterima oleh: a. badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah; dan b. penerima zakat Yang berhak.
Pasal 3 Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal I adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh: a. lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan b. penerima sumbangan yang berhak.
Pasal 4 Bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009
Lampiran 2 : Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-163/PJ/2003
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 163/PJ/2003
TENTANG
PERLAKUAN ZAKAT ATAS PENGHASILAN
DALAM PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK PAJAK PENGHASILAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Pajak Penghasilan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
3. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885);
4. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
5. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000;
MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN ZAKAT ATAS PENGHASILAN DALAM PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1 (1). Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak badan atau penghasilan neto Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2). Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penghasilan yang
merupakan Objek Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
(3). Besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak adalah
sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 2 (1). Zakat atas penghasilan wanita kawin dan penghasilan anak yang belum dewasa
yang pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan suami/orang tua kecuali zakat atas penghasilan tersebut pada ayat (2), dikurangkan dari penghasilan suami/orangtuanya.
(2). Zakat atas penghasilan wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah atau
penghasilan yang semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya, serta zakat atas penghasilan anak yang belum dewasa dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha
orang yang mempunyai hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat, hanya dapat dikurangkan dari penghasilan yang bersangkutan apabila terdaftar sebagai Wajib Pajak.
Pasal 3 (1). Pengurangan zakat atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dilakukan dalam tahun pajak dilaporkannya penghasilan tersebut dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan, sesuai dengan tahun diterima/diperolehnya penghasilan.
(2). Apabila dalam tahun pajak dilaporkannya penghasilan dalam SPT Tahunan, zakat
atas penghasilan tersebut belum dibayar, maka pengurangan zakat atas penghasilan dapat dilakukan dalam tahun pajak dilakukannya pembayaran sepanjang Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa penghasilan tersebut telah dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun pajak sebelumnya.
Pasal 4 (1) Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atas penghasilan, wajib
melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotokopinya yang telah dilegalisir oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat penerima setoran zakat yang bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
(2) Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagai bukti sekurang-kurangnya harus
memuat: a. Nama lengkap Wajib Pajak; b. Alamat jelas Wajib Pajak; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d. Jenis Penghasilan yang dibayar zakatnya; e. Sumber/jenis penghasilan dan bulan/tahun perolehannya; f. Besarnya penghasilan; g. Besarnya zakat atas penghasilan.
Pasal 5
Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Lampiran 3 : Wawancara
Wawancara
Narasumber : Ria (Staff BAZNAS) Hari dan Tanggal : Selasa, 22 Juni 2010 Waktu : 17.00 WIB Pertanyaan : Bagaimana tanggapan anda mengenai perlakuan zakat sebagai
pengurang penghasilan kena pajak dengan perlakuan zakat sebagai kredit pajak.
Narasumber : Sebagaimana kita ketahui bahwa di UU mengenai perlakuan
zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sudah dapt dilaksanakan di negara ini. Namun, pada prakteknya ada yang menggunakan BSZ itu sbg pengurang PKP, ada juga yang tidak, mengingat keikhlasan mereka untuk menunaikan kewajiban negara maupun kewajiban agama tanpa harus ada yang dikurangkan. Lalu terkait dengan perlakuan zakat sebagai kredit pajak sekarang sampai sekarang masih jadi isu.Karena dalam aplikasinya banyak yang perlu dipertimbangkan, apalagi antara obyek zakat dan obyek pajak tidak selalu sama sehingga jumlah yang dikenakan pungutan salah satunya bisa jadi lebih banyak dari yang lain. Hal itulah yang menjadi pertimbangan oleh Direktorat Pajak. Sebagai contohnya jika kita bicara masalah Zakat Perusahaan, maka obyek yang dikenakan akan menjadi lebih besar di zakat karena yang diambil zakatnya adalah aktiva lancar- pasiva lancar. Hal ini berbeda dengan pajak. Selain itu jika sudah terdapat kesepakatan antara pajak dan zakat, terdapat juga masalah pencantuman di UUnya. Mengingat UU pajak baru disyahkan 2009 sedangkan UU Zakat akan direvisi tahun ini. Jika masalah pajak sudah direvisi di UU Zakat tapi pada pelaksanaannya belum tercantum di UU Pajak kemarin (2009), maka akan menjadi tidak sinkron dalam pengaplikasiannya. Begitu juga sebaliknya.
Lampiran 4 : Realisasi Penerimaan Negara Tahun 2007-2010
Realisasi Penerimaan Negara (milyar rupiah) Tahun 2007-2010
Sumber Penerimaan 2007 1) 2008 1) 2009 2) 2010 3)
Penerimaan Perpajakan 490,988 658,701 725,843 729,165 Pajak Dalam Negeri 470,052 622,359 697,347 702,034 Pajak Penghasilan 238,431 327,498 357,400 340,322 Pajak Pertambahan Nilai 154,527 209,647 249,509 267,028 Pajak Bumi dan Bangunan 23,724 25,354 28,916 26,487
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
5,953 5,573 7,754 7,355
Cukai 44,679 51,252 49,495 57,026 Pajak Lainnya 2,738 3,035 4,273 3,816 Pajak Perdagangan Internasional 20,936 36,342 28,496 27,131 Bea Masuk 16,699 22,764 19,160 19,498 Pajak Ekspor 4,237 13,578 9,336 7,633
Penerimaan Bukan Pajak 215,120 320,604 258,944 180,889
Penerimaan Sumber Daya Alam
132,893
224,463
173,497
111,454
Bagian laba BUMN 23,223 29,088 30,794 23,005 Penerimaan Bukan Pajak Lainnya 56,873 63,319 49,211 36,719
Pendapatan Badan Layanan Umum 2,131 3,734 5,442 9,711
Jumlah 706,108 979,305 984,787 910,054
Catatan : Perbedaan satu digit dibelakang terhadap angka penjumlahan
karena pembulatan
1) Realisasi Januari - Desember
2) Realisasi (Angka Sementara)
3) APBN
Sumber : Departemen Keuangan