analisis komparatif kinerja pengelolaan keuangan daerah sebelum dan sesudah pengalihan pbb-p2...
DESCRIPTION
Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : ANANDA FARAH MAULIDATRANSCRIPT
ANALISIS KOMPARATIF KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN
DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH PENGALIHAN PBB-P2 MENJADI
PAJAK DAERAH DI KAB/KOTA SELURUH INDONESIA TAHUN 2012
Ananda Farah MaulidaUniversitas Negeri [email protected]
AbstractLocal government’s financial performance analysis is one alternative that can be used to see the ability and success of local governments in implementing the regional autonomy. This research is quantitative research that has a purpose to knowing the comparison between financial performance of local governments districts and cities in Indonesia during the period before and after the transfer of PBB-P2 from central taxes to local taxes in 2012. The analytical tool that used to analyze the financial performance of local governments was using financial ratio analysis area, ratio of fiscal decentralization, ratio of the area of financial dependence, area of financial independence ratio, effectiveness ratio, efficiency ratio, activity ratio, and ratio of revenue growth. The results showed that on the ratio of fiscal decentralization and the ratio of revenue growth there are significant differences in the financial performance of local governments districts and cities during the period before and after of the transfer of PBB-P2 from central taxes to local taxes. But as long as, on the ratio of the area of financial dependence, ratio of financial independence ratio, effectiveness ratio, efficiency ratio and activity ratio there are no significant difference in the financial performance of local governments districts and cities during the period before and after of the transfer of PBB-P2 from central taxes to local taxes.
Keywords : Performance of Local Governmets Finance, Diversion of PBB-P2, Local Governments Financial Ratios.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan kapasitas fiskal daerah, pada tanggal 15
September 2009 telah disahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan berlaku secara
efektif pada tanggal 1 Januari 2009. Latar belakang pembentukan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 antara lain adalah untuk memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada daerah dalam mengatur pajak daerah dan retribusi daerah,
meningkatkan akuntabilitas dalam penyediaan layanan dan pemerintahan,
memperkuat otonomi daerah, serta memberikan kapastian hukum bagi masyarakat
dan dunia usaha.
Hal yang paling fundamental dalam UU 28 tahun 2009 adalah
dialihkannya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi pajak daerah.
Pada awalnya PBB-P2 merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan
oleh pemerintah pusat sedangkan penerimaannya dibagikan ke daerah dengan
proporsi tertentu. Dengan pengalihan ini seluruh kegiatan pengelolaan PBB-P2
mulai dari pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian,
pemungutan/penagihan dan pelayanan akan diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah (Pemda). Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan dan
pertambangan masih tetap menjadi pajak pusat.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, pengalihan pengelolaan BPHTB dilaksanakan mulai 1
Januari 2011 dan pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke seluruh pemerintahan
kabupaten/kota dimulai paling lambat 1 Januari 2014. Namun yang terjadi di
lapangan pengalihan PBB-P2 ini tidak dapat dilakukakan serempak pada seluruh
wilayah di seluruh Indonesia karena setiap daerah memiliki kesiapan yang
berbeda-beda dalam menyelengggarakan pengelolaan PBB-P2 sepenuhnya.
Terhitung hingga 2013, pengalihan PBB-P2 baru dilakukan 123 dari total 492
daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada tahun 2011 kota Surabaya
merupakan kota pertama yang menerima pengalihan pengelolaan PBB-P2. Pada
tahun 2012 terdapat 17 daerah yang sudah melaksanakan pengalihan pengolalaan
PBB-P2 menjadi pajak daerah dan sisanya sebanyak 369 daerah baru melakukan
pendaerahan PBB-P2 pada tahun 2014.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi fiskal membuka jalan
bagi pemerintah untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi
pada kepentingan publik. Evaluasi terhadap Kinerja keuangan pemerintah daerah
akan menentukan tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan
daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu
kebijakan atau ketentuan perundang-perundangan selama satu periode anggaran.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat kinerja pengelolaan keuangan
daerah sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah. Oleh
karena itu, penelitian ini mengambil judul “Analisis Komparatif Kinerja
Pengelolaan Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Pengalihan PBB-P2 menjadi
Pajak Daerah di Kabupaten/Kota Se-Indonesia Tahun 2012.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana kinerja pengelolaan keuangan daerah
sebelum dan sesudah pegalihan PBB-P2 dilihat dari rasio desentralisasi, rasio
ketergantungan, rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio aktivitas
serta rasio pertumbuhan PAD di Kab/Kota seluruh Indonesia?
Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisisbagaimana kinerja pengelolaan keuangan daerah sebelum dan
sesudah pegalihan PBB-P2 dilihat dari rasio desentralisasi, rasio ketergantungan,
rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio aktivitas serta rasio
pertumbuhan PAD di Kab/Kota seluruh Indonesia
KAJIAN PUSTAKA
New Public Management
Farazmand (2006) menyatakan New public Management is the practical
result of the 1980s normative idea of “Private is better than public”. NPM
merupakan teori manajemen publik yang beranggapan bahwa praktik manajemen
sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik manajemen pada
sektor publik. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kinerja sektor publik perlu
diadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor swasta
ke dalam organisasi sektor publik, Menurut Ahsan (2012) yang menyebutkan
bahwa Pada dasarnya New Public Management mengandung tujuh prinsip atau
komponen utama, yaitu:
1. Manajemen profesional di sektor publik
2. Adanya standar kinerja dan ukuran kinerja
3. Penekanan yang lebih besar terhadap pengendalian output dan outcome
4. Pemecahan unit-unit kerja di sektor publik
5. Menciptakan persaingan di sektor publik
6. Pengadopsian gaya manajemen di sektor bisnis ke dalam sektor publik
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih besar dalam
menggunakan sumber daya.
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat 37
menjelaskan pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(PBB-P2) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Adapun objek
pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(PBB-P2) adalah objek pajak yang:
1) Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan
2) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan
3) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau
4) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum
dibebani suatu hak,
5) Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik
6) Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Undang-Undang terbaru yang mengatur pajak dan retribusi
daerah yaitu Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 Besarnya Nilai Jual Objek
Pajak tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh
juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Sedangkan Subjek Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi,
dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Tabel 2.1
Perbandingan PBB pada UU PBB dengan UU Pajak Daerah dan Retribusi DaerahUU PBB UU PDRD
Subjek
Orang/Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, memperoleh manfaat atas bumi, memiliki, menguasai memanfaatkan atas bangunan . (Pasal 4 )
Sama
(Pasal 78 ayat 1 & 2)
ObjekBumi dan/atau Bangunan
(pasal 2)
Bumi dan/atau bangunan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (Pasal 77 Ayat 1)
TarifSebesar 0,5%
(Pasal 5)
Paling Tinggi 0,3%(pasal 80)
NJKP20% s.d. 100% (PP 25 Tahun 2002 ditetapkan sebesar 20% atau 40%) (Pasal 6)
Tidak dipergunakan
NJOPTKPSetinggi-tingginya Rp12 Juta.
(Pasal 3 Ayat 3)
Paling Rendah Rp10 Juta
(Pasal 77 Ayat 4)
PBB Terutang
Tarif x NJKP x (NJOP-NJOPTKP)
(Pasal 7)
Max: 0,3% x (NJOP-NJOPTKP)
(Pasal 81)
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak, 2011
Hal yang paling fundamental dalam UU 28/2009 adalah dialihkannya Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi pajak daerah. Tujuan
Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-
undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
1) Meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah.
2) Memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru
(menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah).
3) Memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi
dengan memperluas basis pajak daerah.
4) Memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah.
5) Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan
pada daerah.
Kinerja Keuangan Daerah
Pengertian kinerja seperti yang dikemukakan oleh Bastian (2010:329)
adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi
organisasi terutang dalam perumusan skema strategis suatu organisasi.
Pengukuran kinerja adalah alat untuk menilai kesuksesan organisasi. Dalam
konteks sektor publik, kesuksesan organisasi tersebut akan digunakan untuk
mendapatkan legitimasi dan dukungan publik. Menurut Mardiasmo (2002:121)
Pengukuran kinerja sektor publik digunakan untuk menilai prestasi manajer dan
unit organisasi yang dipimpinnya. Pengukuran kinerja sangat penting untuk
menilai Akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan
publik yang lebih baik. Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu
sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu
strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja
diperkuat dengan menetapkan reward and punishment system. Pengukuran kinerja
sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud, yaitu:
1) Pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki
kinerja pemerintah. Ukuran kinerja yang dimaksusdkan untuk dapat
membantu pemerintah berfokus kepada tujuan dan sasaran program unit kerja.
Hal ini pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi
sektor publik.
2) Ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan
pembuatan keputusan.
3) Ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan
pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah
adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan
dan dilaksanakannya (Halim, 2012:230). Peggunaan analisis rasio pada sektor
publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori
belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya.
Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan,
jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD
berbeda dengan keuangan yang dimilki oleh perusahaan swasta (Halim, 2012:231)
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan
hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya
sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat
pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah
daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi
daerahnya relative sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah
daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.
Analisis Rasio Keuangan Pada APBDAnalisis laporan keuangan pada dasarnya merupakan analisis yang
dilakukan terhadap berbagai macam informasi yang tersaji dalam laporan
keuangan. Perbedaan analisis laporan keuangan bisnis dan sektor publik terletak
pada objeknya. Penggunaan analisis rasio keuangan pada sektor publik belum
begitu banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan mengenai
nama dan kaidah pengukurannya (Halim, 2012 :231). Meskipun demikian, dalam
rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel, analisis rasio
keuangan terhadap laporan keuangan Pemda perlu dilaksanakan, meskipun kaidah
akuntansi dalam laporan keuangan Pemda berbeda dengan laporan keuangan yang
dimiliki organisasi privat. Menurut Mahmudi (2010:142) terdapat beberapa
analisis rasio keuangan pada APBD, diantaranya yaitu:
a) Rasio Desentralisasi
Tingkat desentralisasi fiskal adalah ukuran untuk menunjukkan tingkat
kewenangan dan tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Bentuk penyelenggaraan asas desentralisasi oleh pemerintah
daerah salah satunya adalah bahwa pemerintah daerah diberi kewenangan oleh
pemerintah pusat untuk memungut pajak dan retribusi daerah yang hasilnya
diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Rasio desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah PAD
dengan total penerimaan daerah.
Rasio Desentralisasi=Pendapatan Asli Daerah(PAD)¿ tal Penerimaan Daerah(TPD)
Tabel 2.2
Kriteria Penilaian Tingkat Desentralisasi
Presentase PAD terhadap TPD Tingkat Desentralisasi0,00-10,00 Sangat kurang10,01-20,00 Kurang20,01-30,00 Sedang30,01-40,00 Cukup40,01-50,00 Baik
>50 Sangat baik Sumber : Dewa dan Susanto, 2010
Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan
daerah. semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi.
b) Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Rasio ketergantungan keuangan daerah dihitung dengan cara
membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh penerimaan
daerah dengan total penerimaan daerah. semakin tinggi rasio ini maka semakin
besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat
dan/atau pemerintah propinsi. Rasio Ketergantungan dirumuskan sebagai berikut:
Rasio Ketergantungan= Dana perimbanganTotal Penerimaan APBD
x 100 %
Tebel 2.3
Kriteria penilaian ketergantungan keuangan daerah
Presentase PAD terhadap TPD Tingkat Desentralisasi
0,00-10,00 Sangat Rendah
10,01-20,00 Rendah
20,01-30,00 Sedang
30,01-40,00 Cukup
40,01-50,00 Tinggi
>50% Sangat Tinggi
Sumber : Dewa dan Susanto, 2010
c) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) mengindikasikan
kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan masyarakat yang telah membayar pajak dan
retribusi sebagai sumber pendapatan daerah. kemandirian keuangan daerah
ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan
dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lainnya misalnya bantuan
pemerintah pusat (transfer pusat) maupun dari pinjaman. Rasio kemandirian
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Rasio Kemandirian=Pendapatan Asli Daerah(PAD)
Dana Perimbanganx100 %
Untuk menilai tinggi rendahnya rasio kemandirian pemerintah daerah, bisa
mengacu pada tabel sebagai berikut:
Tabel 2.4
Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%)
Rendah Sekali 0% - 25%
Rendah 25% - 50%
Sedang 50% - 75%
Tinggi 75% - 100%
Sumber: Dewa dan Susanto, 2010
d) Rasio Efektivitas
Rasio ini menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.
Rasio Efektivitas= Realisasi PADTarget PAD
x 100 %
Semakin tinggi rasio efektivitas berarti kemampuan daerah semakin baik.
Pemerintah telah menyusun pedoman penilaian tingkat efektivitas keuangan
daerah, melalui Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996 berikut ini.
Tabel 2.5Kriteria Efektivitas Keuangan Daerah
Kriteria Keuangan Precentase Efektivitas (%)
Sangat efektif >100
Efektif >90 – 100
Cukup Efektif >80 – 90
Kurang Efektif >60 – 80
Tidak Efektif ≤60
Sumber: Dewa dan Susanto, 2010
e) Rasio Efisiensi
Analisis tingkat efisiensi keuangan daerah dapat dihitung dengan
menggunakan rasio efisiensi, yaitu rasio yang menggambarkan perbandingan
antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan
daerah. pengukuran rasio efisiensi keuangan daerah dapat diukur dengan rumus
sebagai berikut:
Rasio Efesien= Total Realisasi Belanja DaerahTotal Realisasi Pendapatan Daerah
x 100 %
Tabel 2.6 : Kriteria Efisiensi
Kriteria efisiensi Precentase Efektivitas (%)
Tidak efisien 100% keatas
Kurang efisien 90% - 100%
Cukup Efisien 80% - 90%
Efisien 60% - 80%
Sangat efisien Kurang dari 60%
Sumber: Dewa dan Susanto, 2010
f) Rasio Aktivitas Keuangan Daerah
Aktivitas keuangan daerah adalah kinerja pemerintah daerah dalam
memperoleh dan membelanjakan pendapatan daerahnya. Mengukur aktivitas
keuangan daerah dapat menggunakan rasio keserasian belanja modal.
Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintaah daerah meprioritaskan
alokasi dananya pada belanja modal secara optimal.
Rasio Belanja Modal= Total Belanja ModalTotal Belanja Daerah
x 100 %
Kriteria untuk menetapkan kinerja keuangan dari perbandingan antara
realisasi belanja modal dan total belanja daerah dapat dikategorikan sebagai
berikut:
Tabel 2.7: keserasian Belanja Modal Keuangan Daerah
Keserasian belanja daerah otonom
Rasio Keserasian Belanja (%)
Tidak serasi 0-20
Kurang serasi >20 – 40
Cukup serasi >40 – 60
Serasi >60 – 80
Sangat serasi >80 – 100
Sumber: Mahsun, Moh : 2006
g) Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan mengukur kemampuan Pemerintah Daerah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai selama
beberapa periode. Jika pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber
pendapatan dan pengeluaran sudah diketahui, maka dapat digunakan untuk
menilai potensi mana yang perlu mendapat perhatian. Rasio pertumbuhan
dirumuskan sebagai berikut:
Rasio Pertumbuhan=PADtahun p−PADtahun p−1PADtahun p−1
x100
Penelitian Terdahulu
Terkait dengan penelitian ini, penulis bertitik tolak dari beberapa
penelitian terdahulu yang relevan, diantaranya:
Setiyono (2012) pada penelitiannya yang berjudul “Analisis Penerapan
New Public Management (NPM) Sebagai Kerangka Peningkatan Kualitas
Pelayanan Pada Balai Kesehatan/Rumah Sakit” Setiyono menyimpulkan bahwa
penerapan konsep NPM telah memberikan peningkatan drastis dalam sektor
publik menuju tercapainya pelayanan prima. Selanjutnya, Fahrisal (2014) Pada
penelitian yang dilakukannya mengenai pengaruh pelimpahan pemungutan PBB-
P2 menjadi pajak daerah terhadap realisasi penerimaan di kota Surabaya hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2009 dan diterapkannya pendaerahan PBB-P2 mempengaruhi
realisasi penerimaan PAD Kota Surabaya yang semakin meningkat.
Selanjutnya Fidelius (2012) melakukan penelitian tentang analisis rasio
untuk mengukur kinerja pengelolaan keuangan daerah Kota Manado. Dalam
penelitian ini alat ukur yang digunakan untuk menilai kinerja keuangan daerah
yaitu menggunakan rasio-rasio keuangan diantaranya rasio kemandirian, rasio
aktivitas, rasio efektivitas serta rasio pertumbuhan. Hasil penelitan tersebut
menujukkan bahwa kinerja pengelolaan keuangan daerah Kota Manado
berdasarkan analisis rasio kemandirian keuangan masih sangat rendah yang berarti
bahwa kontribusi PAD masih sangat kecil dalam APBD serta campur tangan
pemerintah pusat masih sangat dominan. Sedangkan berdasarkan analisis rasio
efektifitas kinerja pengelolaan keuangan Kota Manado sudah cukup efektif. Serta
dilihat dari rasio pertumbuhan, rasio aktivitas pemerintah daerah kinerja keuangan
daerah Kota Manado dapat dikatakan cukup baik.
METODE PENELITIAN
Pendekatan dan Rancangan PenelitianPendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, karena
penelitian ini disajikan dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Sugiyono (2012:13) penelitian kuantitatif adalah penelitian
yang data penelitiannya berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik.
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan
pemerintah daerah berupa rasio keuangan menurut Mahmudi (2010:142) dan
Halim (2012:231) yaitu:
Varibel Penelitian
Definisi Operasional Pengukuran
Rasio Desentralisasi
Ukuran yang menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam menggali dan mengelola pendapatan
PADTotal Pendapatandaerah
Rasio Ketergantungan
Ukuran yang menunjukkan tinggi rendahnya tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Dana perimbanganTotal Penerimaan APBD
Rasio Kemandirian
Ukuran yang menunjukkan kemampuan pemerintah Daerah membiayai sendiri kegiatan pemerintahan.
PADDana Perimbangan
Rasio Efektivitas
Ukuran yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah
Realisasi Penerimaan PADTarget Penerimaan PAD
Rasio Efisiensi Ukuran yang menunjukkan perbandingan antara output dan input, atau perbandingan antara
TotalbelanjaTotal Pendapatan
Varibel Penelitian
Definisi Operasional Pengukuran
realisasi pengeluaran dan realisasi penerimaan daerah.
Rasio Pertumbuhan
Ukuran yang menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai
¿PAD th p−PAD th p−1PADth p−1
Rasio Aktivitas Ukuran aktivitas Pemerintah Daerah dalam memprioritaskan alokasi dananya pada belanja pembangunan secara optimal.
Total Belanja ModalTotal Belanja Daerah
Sumber: Data Diolah Penulis
Populasi dan SampelPenelitian ini menggunakan populasi pemerintah kab/kota di seluruh
Indonesia. Sedangkan sampel dalam penelitian ini dipilih secara purposive
sampling dengan penentuan kriteria kab/kota se-Indonesia yang melakukan
pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah tahun 2012 yang terdiri 17 kab/kota.
Dalam penelitian ini data amatan terdiri dari 2 tahun sebelum pengalihan PBB-P2
menjadi pajak daerah (2010-2011) dan 2 tahun sesudah pengalihan PBB-P2
menjadi pajak daerah (2012-2013). Dengan demikian total sampel penelitian
adalah 4 X 17 amatan (68 amatan).
Jenis Data dan Sumber Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder dalam penelitian ini berupa laporan keuangan daerah atau dengan nama
lain laporan APBD. Sumber data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS) serta melalui website/situs resmi Badan Pemeriksaan Keuangan Republik
Indonesia (www.bpk.go.id).
Teknik Pengumpulan DataMetode pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran data sekunder
dengan kepustakaan dan manual. Data dikumpulkan dengan metode dokumentasi.
Data-data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik serta melalui situs resmi Badan
Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (www.bpk.go.id).
Teknik Analisis Data1. Analisis Rasio Keuangan Pemerintah Daerah
Analisis data pertama dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
melakukan perhitungan rasio-rasio keuangan atas laporan realisasi APBD dari 17
kab/kota yang telah dtentukan menjadi sampel. Dalam penelitian ini
menggunakan perhitungan 7 rasio keuangan yaitu rasio desentralisasi, rasio
ketergantungan, rasio kemandirian, rasio efektivitas dan efisiensi, rasio aktivitas
dan rasio pertumbuhan. Hasil perhitungan analisis rasio tersebut dapat digunakan
sebagai data dalam pengujian statistik.
2. Analisis Statistik
Pengujian statistik dilakukan karena dengan uji statistik penelitian uji beda
tersebut dapat dilakukan dengan lebih signifikan. Metode analisis statistik yang
dipergunakan adalah:
a. Uji Normalitas
Uji hipotesis yang diperlukan untuk menentukan apakah data terdistribusi
secara normal atau tidak. Jika data terdistribusi secara normal, maka dipergunakan
uji statistik parametrik dan jika tidak terdistribusi secara normal, maka
dipergunakan uji statistik non parametrik. Uji normalitas menggunakan Uji
Kolmogorov-Smirnov.
Kriteria penentuan normal tidaknya distribusi data adalah sebagai berikut:
1) Apabila nilai signifikansi uji one sample kolmogorov-smirnov lebih besar
dari tingkat kesalahan 5% maka disimpulkan distribusi dari data telah
mengikuti sebaran normal.
2) Apabila nilai signifikansi uji one sample kolmogorov-smirnov lebih kecil
dari tingkat kesalahan 5% maka disimpulkan distribusi dari data belum
mengikuti sebaran normal.
b. Uji Beda
Melakukan uji beda pada rasio – rasio keuangan pemerintah daerah. Untuk
distribusi data yang telah menyebar normal menggunakan uji beda berpasangan
(paired sample t-test) dan uji wilcoxon untuk distribusi data yang tidak menyebar
menurut distribusi normal. Adapun Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan
perbedaan yang signifikan adalah sebagai berikut:
1) Apabila nilai signifikansi uji paired sample t-test atau wilcoxon kurang
dari tingkat kesalahan 5% maka disimpulkan rasio kinerja keuangan
periode sebelum krisis global dan setelah krisis global berbeda nyata.
2) Apabila nilai signifikansi uji paired sample t-test atau wilcoxon lebih besar
dari tingkat kesalahan 5% maka disimpulkan rasio kinerja keuangan
periode sebelum krisis global dan setelah krisis global tidak berbeda nyata.
Batas tingkat kesalahan 5% karena sesuai dengan tingkat toleransi
kesalahan yang dapat diterima dalam penelitian ekonomi.
c. Membuat kesimpulan.
Kesimpulan diambil dengan melihat hasil analisis statistik yang dilakukan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Uji Normalitas Data Rasio Kinerja Keuangan Daerah
Berdasarkan hasil uji One Sample Kolomogorov-Smirnov seperti pada
tabel 4.1 diketahui bahwa rasio desentralisasi fiskal, rasio ketergantungan
keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas, rasio
efisiensi, rasio aktivitas keuangan daerah serta rasio pertumbuhan PAD
kabupaten/kota se-Indonesia pada periode dua tahun sebelum pengalihan PBB-P2
dan dua tahun sesudah pengalihan PBB-P2 pada tahun 2012 secara total memiliki
distribusi data yang normal (nilai sig> 0,05). Dari hasil tersebut dapat ditentukan
pengujian perbedaan rasio kinerja keuangan daerah menggunakan uji parametik.
Tabel 4.1Uji Normalitas Rasio Kinerja Keuangan Daerah Menggunakan Uji One
Sample Kolomogorov-SmirnovRasio Kinerja Keuangan Daerah Kolomogorov-Smirnov Z Nilai Sig
Rasio Desentralisasi Fiskal 0,534 0,938
Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah 0,635 0,815
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah 0,824 0,505
Rasio Efektivitas Keuangan Daerah 0,655 0,784
Rasio Efesiensi Keuangan Daerah 0,736 0,651
Rasio Aktivitas Keuangan Daerah 0,654 0,785
Rasio Pertumbuhan Keuangan Daerah 0,880 0,420
Sumber: Data yang diolahUji Beda Rasio Kinerja Keuangan Daerah
Berdasarkan hasil uji beda seperti pada tabel 4.2 diketahui bahwa rasio
desentralisasi fiskal, rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio kemandirian
keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio aktivitas keuangan daerah
serta rasio pertumbuhan pendapatan asli daerah pada kabupaten/kota se-Indonesia
periode sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak
daerah terdapat perbedaan signifikan (nilai sig<0,05) sedangkan pada rasio
efektivitas keuangan daerah menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (nilai sig > 0,05).
Tabel 4.2Uji Beda Rasio Keuangan Daerah Kab/Kota se-Indonesia sebelum dan
sesudah pengalihan PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah 2012Rasio Kinerja Keuangan t/Z Sig
Desentralisasi Fiskal -6,556 0,000
Ketergantungan Keuangan Daerah 5,012 0,000
Kemandiran Keuangan Daerah -3,701 0,001
Efektivitas Daerah 0,383 0,705
Efisiensi Daerah -2,591 0,015
Aktivitas Keuangan Daerah -4,517 0,000
Pertumbuhan PAD -5,068 0,000
Sumber : Data yang diolah
Pembahasan
Rasio Desentralisasi Fiskal Daerah
Berdasarkan hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat
rasio desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 di
kabupaten/kota se-Indonesia Tahun 2012. Hasil menunjukkan bahwa nilai rata-
rata tingkat desentralisasi fiskal sesudah pengalihan PBB-P2 di kab/kota se-
Indonesia (2012-2013) lebih tinggi, yaitu sebesar 22,61% dibanding dengan nilai
rata-rata tingkat desentralisasi fiskal sebelum pengalihan PBB-P2 (2010-2011)
yaitu sebesar 15,48%. Berdasarkan kriteria penilaian tingkat desentralisasi fiskal
seperti pada tabel 2.2, hasil menunjukkan bahwa rasio desentralisasi fiskal
sebelum pengalihan PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah adalah
tergolong kurang. Sedangkan tingkat rasio desentralisasi fiskal sesudah
pengalihan PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah termasuk dalam kriteria
sedang. Artinya, pemerintah daerah mulai mampu dalam melaksanakan
desentralisasi fiskal berupa peningkatan dalam pemungutan PBB-P2 yang
meningkatkan PAD.
Adanya kebijakan pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah telah
menjadikan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dan kewenangan yang
lebih luas dalam menggali potensi-potensi penerimaan pajak, baik secara
intensifikasi maupun secara ekstensifikasi. Data objek dan subjek pajak secara
bertahap dapat diperbaharui sesuai dengan kondisi lapangan, sehingga akurasi
data terjamin serta permasalahan yang ada dimasyarakat juga dapat diproses
secara langsung tanpa harus menunggu keputusan dari pemerintah pusat.
Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Berdasarkan hasil uji perbedaan diketahui bahwa terdapat perbedaan
tingkat rasio ketergantungan keuangan daerah sebelum dan sesudah pengalihan
PBB-P2 di kab/kota se-Indonesia Tahun 2012. Hasil menunjukkan bahwa nilai
rata-rata tingkat ketergantungan keuangan daerah sesudah pengalihan PBB-P2 di
kab/kota se-Indonesia (2012-2013) lebih rendah, yaitu sebesar 51,09% dibanding
dengan nilai rata-rata tingkat ketergantungan keuangan daerah sebelum
pengalihan PBB-P2 (2010-2011) yaitu sebesar 58,04%. Namun, Berdasarkan
kriteria penilaian tingkat ketergantungan keuangan daerah seperti pada tabel 2.3,
menunjukkan bahwa rasio ketergantungan keuangan daerah kab/kota periode
sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah termasuk dalam
kategori sangat tinggi, karena nilai ketergantungan masih berkisar diatas 50%.
Keadaan tersebut dapat terjadi dikarenakan meskipun melalui pengalihan
PBB-P2 menjadi pajak daerah telah mampu meningkatkan PAD namun porsi dana
perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
juga tetap meningkat. Hal ini menyebabkan tingkat ketergantungan pemerintah
daerah masih dalam kategori yang sangat tinggi. Adanya dana perimbangan dalam
era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan bentuk tanggung jawab
dari pemerintah pusat atas berjalannya proses otonomi daerah. Namun disisi lain,
adanya dana perimbangan yang terlalu besar akan menimbulkan persepsi bahwa
daerah tersebut tidak mandiri secara fiskal dan akan sampai pada kesimpulan
bahwa otonomi daerah tidak efektif untuk dilaksanakan.
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Berdasarkan hasil uji perbedaan diketahui bahwa terdapat perbedaan
tingkat rasio kemandirian sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 di kab/kota
se-Indonesia Tahun 2012. Hasil menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat
kemandirian keuangan daerah sesudah pengalihan PBB-P2 di kab/kota se-
Indonesia (2012-2013) lebih tinggi, yaitu 41,78% dibanding dengan nilai rata-rata
tingkat kemandirian keuangan daerah sebelum pengalihan PBB-P2 (2010-2011)
yaitu sebesar 29,04%. Namun, Berdasarkan kriteria penilaian tingkat kemandirian
dan kemampuan keuangan daerah seperti pada tabel 2.4, hasil menunjukkan
bahwa rasio kemandirian keuangan daerah kab/kota periode sebelum dan sesudah
pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah termasuk dalam kategori rendah, karena
nilai kemandirian masih berkisar diantara 25%-50%.
Hal tersebut terjadi karena masih berkaitan dengan tingkat pelaksanaan
desentralisasi fiskal oleh pemerintah daerah dalam hal pemungutan pajak yang
belum optimal untuk meningkatan pendapatan asli daerahnya dan disertai dengan
tingkat ketergantungan pemerintah daerah yang masih sangat tinggi terhadap
bantuan pemerintah pusat berupa dana perimbangan.
Rasio Efektivitas Keuangan Daerah
Berdasarkan hasil uji perbedaan diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan tingkat efektivitas keuangan daerah sebelum dan sesudah
pengalihan PBB-P2 di kab/kota se-Indonesia Tahun 2012. Hasil menunjukkan
bahwa nilai rata-rata tingkat efektivitas sesudah pengalihan PBB-P2 menjadi
pajak daerah 1,16% yang berbeda tipis dengan tingkat efektivitas keuangan daerah
sebelum pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah yang hanya sebesar 1,18%.
Berdasarkan kriteria penilaian tingkat efektivitas seperti pada tabel 2.8, hasil
menunjukkan bahwa rasio efektivitas kab/kota sebelum dan sesudah pengalihan
PBB-P2 menjadi pajak daerah termasuk dalam kategori tidak efektif, karena nilai
rasio efektivitas masih kurang dari 60% dan jauh dari angka 100%.
Rendahnya tingkat efektivitas salah satu faktornya tidak terlepas dari
kesiapan pemerintah daerah dalam melakukan pengalihan PBB-P2. Sebagai pajak
daerah yang baru, Pengalihan PBB-P2 tentu membutuhkan beberapa persiapan
yang tidak mudah. Adapun yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah
daerah dalam proses pengalihan PBB-P2 adalah menyiapkan peraturan baik
peraturan daerah, peraturan kepala daerah, maupun standar operasional prosedur
(SOP) pengelolaan PBB-P2. Pengelolaan PBB-P2 tentunya memerlukan SDM
yang handal dan profesional, sehingga pemerintah daerah harus memperhatikan
secara khusus baik kuantitas maupun kualitas SDM yang ada dengan menyiapkan
alokasi SDM dengan pelatihan-pelatihan yang memadai serta sejalan dengan
pengelolaan PBB-P2. Selanjutnya pemerintah daerah harus menyiapkan sarana
prasarana seperti ruangan/gedung pengelolaan PBB-P2, peralatan komputer
dengan spesifikasi tertentu, basis data, dan formulir-formulir pendukung
pengelolaan PBB-P2.
Rasio Efisiensi Keuangan Daerah
Berdasarkan hasil uji perbedaan diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan pada tingkat efisiensi keuangan daerah sebelum dan sesudah
pengalihan PBB-P2 di kab/kota se-Indonesia Tahun 2012. Hasil menunjukkan
bahwa nilai rata-rata tingkat efisiensi sesudah pengalihan PBB-P2 menjadi pajak
daerah 1,12% yang berbeda tipis dengan tingkat efisiensi keuangan daerah
sebelum pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah yang hanya sebesar 1,06%.
Berdasarkan kriteria penilaian tingkat efisiensi seperti pada tabel 2.6, hasil
menunjukkan bahwa rasio efesiensi Kab/Kota sebelum dan sesudah pengalihan
PBB-P2 menjadi pajak daerah termasuk dalam kategori sangat efisien, karena
nilai rasio efisiensi menunjukkan kurang dari 60%.
Ketercapaian efisiensi ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah
mampu mengelola penerimaan dan pengeluaran keuangan dengan baik, yang
artinya bahwa pemerintah daerah dalam mengelola pengeluaran belanja daerah
tidak melebihi dari batas kemampuan pendapatan yang diterima.
Rasio Aktivitas Keuangan Daerah
Berdasarkan hasil uji perbedaan diketahui bahwa terdapat perbedaan
pengelolaan belanja daerah sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 di kab/kota
se-Indonesia Tahun 2012. Hasil menunjukkan bahwa nilai rata-rata kontribusi
pengelolaan belanja daerah sesudah pengalihan PBB-P2 19,40% lebih tinggi
dibanding rata-rata kontribusi pengelolaan belanja daerah sebelum pengalihan
PBB-P2 yang hanya sebesar 14,08%. Berdasarkan kriteria tingkat keserasian
belanja modal seperti pada tabel 2.7, hasil menunjukkan bahwa kinerja keuangan
pemerintah daerah dilihat dari rasio aktivitas belanja modal keuangan daerah
kab/kota sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah termasuk
dalam kategori tidak serasi, karena nilai keserasian rasio belanja modal masih
kurang dari 20%. Artinya, kinerja pemerintahan daerah dalam melakukan
pengelolaan belanja daerah masih rendah.
Kondisi tersebut terjadi dikarenakan dalam pengelolaan belanja daerah,
Pemerintah daerah lebih memperioritaskan dananya untuk belanja pegawai
pemerintah daerah mengalokasikan dana ke belanja modal lebih sedikit dibanding
dengan belanja pegawai. Padahal realisasi belanja modal merupakan variabel
penting dalam penyediaan infrastruktur publik.
Rasio Pertumbuhan PAD
Berdasarkan hasil uji perbedaan diketahui bahwa terdapat perbedaan
pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD) sebelum dan sesudah pengalihan
PBB-P2 dari pajak pusat menjadi pajak daerah di kabupaten/kota se-Indonesia
Tahun 2012. Hasil menunjukkan bahwa nilai rata-rata pertumbuhan PAD sesudah
pengalihan PBB-P2 5,20% lebih tinggi dibanding pertumbuhan PAD sebelum
pengalihan PBB-P2 sebesar 1,78%. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan
bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah pada rasio pertumbuhan PAD sesudah
pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah termasuk dalam kategori baik,
dikarenakan pemerintah daerah mulai dapat mengoptimalkan dalam
mempertahankan dan meningkatkan PAD yang diperoleh tiap periodenya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan hasil pembahasan dari uji
hipotesis, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah Terdapat perbedaan kinerja
keuangan pemerintah daerah dilihat dari rasio desentralisasi fiskal dan rasio
pertumbuhan PAD sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 di kab/kota se-
Indonesia. Sedangkan pada rasio ketergantungan, kemandirian, efektivitas,
efisiensi dan aktivitas keuangan daerah terdapat perbedaan kinerja keuangan
sebelum dan sesudah pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah di kab/kota se-
Indonesia.
Saran Bagi Pemerintaha. Pemerintah kabupaten/kota dapat lebih bergerak cepat dalam kegiatan
pendataan dan penilaian agar potensi penerimaan dari sektor PBB-P2 dapat
lebih tergali dengan maksimal serta perlu dilakukannya review terhadap
ketetapan penyesuaian NJOP oleh Pemerintah Daerah setelah dilakukannya
pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah.
b. Pemerintah pusat sebaiknya melakukan evaluasi dan review kembali terkait
dengan kualitas perencanaan alokasi besarnya bantuan berupa dana
perimbangan yang diberikan kepada pemerintah daerah.
c. Pemerintah kabupaten/kota sebaiknya lebih secara serius memperbaiki kinerja
pengelolaan keuangan di daerahnya dan memperbaiki kualitas belanjanya,
sehingga dapat terfokus pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas
pelayanan publik.
Bagi Peneliti SelanjutnyaDalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan untuk mewakili dari
jumlah populasi yang ada tergolong masih sangat kurang. Bagi peneliti
selanjutnya dapat melakukan analisis kinerja keuangan dengan menggunakan
jumlah sampel yang lebih banyak dan periode data yang lebih panjang
DAFTAR PUSTAKAAhsan, Nazmul Kalimullah dkk. 2012. New Public Management: Emergence and
Principles, (online), Vol 1, Issue 1, (http://www.bup.edu.bd/journal/1-22.pdf).
Bastian, Indra. 2010. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Erlangga
Dewa, I Gede Bisma dan Susanto, Hery. 2010. Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2003-2007, (online), (http://unmasmataram.ac.id)
Halim, Abdul. 2012. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Jakarta: Salemba Empat
Fahrisal, Jogi Ramadhan. 2014. Pengaruh Pelimpahan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan Menjadi Pajak Daerah Terhadap Realisasi Penerimaannya Di Kota Surabaya., (Online), Vol 2 Nomor 3, (http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-akuntansi/article/view/7153).
Farazmand, Ali. 2006. “ Globalization Issues In Public Management”. Handbook of Globalization, Governance and Publik Administration: Page 885, (online), (https://www.academia.edu/4183261/New_Public_Management_Theory_Ideology_and_Practice).
Fidelius. 2012. Analisis Rasio Untuk mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Manado, (Online), Volume 1, No 4, (http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/view/3418).
Mahmudi. 2010. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Mahsun, M. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi
Setiyono, Dedi. 2012. Analisis Penerapan New Public Management (NPM) Sebagai Kerangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Pada Balai
Kesehatan/Rumah Sakit, (Online),(http//fe.unira.ac.id/wpcontent/uploads/2012/11/JURNAL-1-PAK.pdf).
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
_______Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
_______Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
_______Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah