analisis novel rumah kaca
DESCRIPTION
Judul : Rumah KacaPengarang : Pramoedya Ananta ToerTebal : 646 halamanTRANSCRIPT
ANALISIS NOVEL RUMAH KACA
Judul : Rumah KacaPengarang : Pramoedya Ananta ToerTebal : 646 halaman
I. Ringkasan Novel :
Pangemanan adalah seorang inspektur polisi yang memiliki keluarga yang sempurna
dan bahagia. Ia sudah banyak memecahkan kasus-kasus berat dan diakui banyak orang. Pada
suatu hari ia ditugaskan untuk memata-matai dan menyingkirkan seseorang yang tiada lain
tiada bukan ialah orang yang ia kagumi, Raden Mas Minke. Akhirnya ia melakukan hal
tersebut secara diam-diam dengan cara mendatangi rumah Minke seakan-akan ingin
bersilaturahmi. Dalam tugas ini ia dibantu oleh Suurhof yang akan menjadi bawahannya
langsung. Namun pada saat ini pagemanann masih belum berhasil. Akan tetapi ia selalu
berusaha untuk mengenyahkan Minke. Pada akhirnya ia berhasil untuk menyingkirkan Raden
Mas Minke hingga akhirnya Minke diasingkan ke Ambon. Minke adalah seorang pemimpin
redaksi Koran. Ia berpihak kepada rakyat pribumi dan terus menerus menularkan semangat
nasionalismenya kepada rakyat pribumi. Hal inilah yang merisaukan pemerintahan Belanda
dan membuat Belanda mengambil jalan untuk mengasingkannya. Atas berhasilnya
pangemanann menjatuhkan Minke, hadiahnya ia diangkat menjadi seorang ajukan komisaris.
Tiba-tiba,pangemanan dipecat dari jabatannya dan dipindahkan ke kantor pusat
Algemenee secretarie untuk menggantikan Simon De Lange yang bunuh diri 3 hari sebelum
kedatangannya sebagai orang yang memata-matai rakyat pribumi yang berpotensi untuk
menjadi bibit menyulitkan bagi pemerintah Belanda sekaligus memusnahkan orang tersebut
secara diam-diam. Dalam sepak terjangnya,muncullah Siti Soendari, seorang perawan yang
sangat semangat dalam berpidato seputar nasionalisme, Marco, murid Minke yang suka
menulis di surat kabar sambil mengobarkan semangat nasionalismenya dan orang-orang
lainnya. Pekerjaannya di Algemene secretarie berjalan lancar namun diam-diam dia merasa
jijik dan benci juga terhadap pekerjaannya karena secara tidak langsung ia melanggar hukum
dan berlaku tidak adil terhadap orang-orang yang sebenarnya tidak berdosa, malah sebenarnya
orang-orang yang mulia. Disamping itu, hubungannya dengan keluarganya pun memburuk
sehingga Paullete meminta kembali ke Prancis bersama anak-anaknya.
Semakin lama, pangemanann merasa semakin sepi dan sendiri. Ia merasa semakin
kehilangan segala sesuatu yang ia miliki. Semuanya hilang, termasuk dirinya sendiri. Ia
merasa sudah tidak mengenal dirinya lagi. Akan tetapi ia tetap terus melanjutkan
pekerjaannya. Sering kali ia merenung dan meratapi nasibnya sambil merasa bersalah
terhadap semua orang yang sempat berurusan dengannya, terutama Raden Mas Minke. Tak
jarang ia membaca buku Minke berulang-ulang berharap dengan begitu orang yang
dihormatinya itu akan memaafkannya.
Ketika Gubernur Jendral Idenburg diganti menjadi Gubernur Jendral Van Limbung
Stirum yang lebih lembut, Minke dibebaskan dari pengasingannya dan pangemanann
menjemputnya. Minke yang sekarang sudah jauh berbeda dengan Minke dahulu yang
memiliki banyak pengikut. Sekedar namanya pun sekarang sudah tidak terdengar lagi. Ia
sudah dilupakan. Baru saja Minke bebas, tak berapa lama kemudian ia meninggal
dikarenakan penyakit disentri. Hal ini mengejutkan sang pangemanann sehingga ketika Minke
hendak dikuburkan, ia ikut menggiringnya dari jauh. Sepeninggalnya Minke, pangemanann
bertemu dengan Madame Sanikem La Bouq, yang tiada lain tiada bukan adalah ibunda dari
Raden Mas Minke. Madam Sanikem yang tidak tahu apa pekerjaan pangemanann
menanyakan keberadaan Minke kepada sang pengamanann dengan wajah berseri. Ketika
pangemanann menceritakan kenyataan bahwa Minke telah meninggal, wajah Madam berubah
padam. Ketika ditanya apa penyebabnya, pangemanann ragu dalam menjawab sehingga
Madam mencurigainya dan hal ini sungguh membuat pangemanann merasa sangat hina. Ia
merasa telah merenggut kebahagiaan orang yang ada di hadapannya ini. Setelah itu mereka
berziarah ke makan Minke.
Sehabis itu mereka kembali ke rumah masing-masing. Pangemanann merasa sangat
sakit jiwa dan raga. Seharian tadi, keringat dinginnya tak berhenti mengucur, wajahnya pucat
dan bahkan berjalan pun ia tak sanggup. Ia sadar. Ia telah banyak sekali menghianati orang-
orang yang memercayainya. Mulai dari istrinya yang ia khianati, bangsanya bahkan dirinya
sendiri ia khianati. Ia merasa sangat tidak berguna sehingga pada akhirnya ia memutuskan
untuk menuliskan surat kepada Madam La Bouq dan memberinya tulisan-tulisan Minke
sambil mengakui segala pengkhianatannya selama ini. Setelah itu ia memberikan semua hal
yang ia miliki sekarang kepada pembantunya sedangkan ia bertolak ke Belanda.
“Deposuit Potentes de Sade et Exaltavat Humiles”
Dia rendahkan Mereka Yang Berkuasa dan Naikkan Mereka Yang Terhina
II. Unsur Ekstrinsik :
Riwayat Hidup Pramoedya Ananta Toer :
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantungPulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung
dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada
Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat
kabar Jepang diJakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan
seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku
sepanjang karir militernya dan dipenjara Belandadi Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-
an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat
kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya
berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik
pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan
pemerintahan Soekarno.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan
menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara
terbuka di koran. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik
pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer,
dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi
wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda,
kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-
otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan
kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni
Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga
memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors'
Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke
Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan. Ada sekitar
200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat
usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah
dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah
sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 27 April 2006, Pram juga sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya
memutuskan membawa dia ke RS Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis
menderitaradang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah
komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pada 30 April 2006 pukul 08.55. Pramoedya wafat
dalam usia 81 tahun.