analisis pendapat imam malik tentang kedudukan...
TRANSCRIPT
ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
KEDUDUKAN KHULU SEBAGAI TALAK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: A. Agus Salim Ridwan
NIM: 042111153
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG 2010
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 5 (lima) eksemplar Kepada Yth Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari'ah
a.n. Sdr. Agus Salim IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : A. Agus Salim Ridwan
Nomor Induk : 042111153
Jurusan : AS
Judul Skripsi : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK
TENTANG KEDUDUKAN KHULU
SEBAGAI TALAK
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang, Juni 2010
iv
M O T T O
فإن طلقها فال تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره )230: البقرة(
Artinya: "Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain." (QS. al-Baqarah: 230).∗
∗ Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 55. .
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang
selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang
tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:
o Orang tuaku tersayang (Bapak Solahul Amal dan Ibu Istiqomah) yang
selalu memberi semangat dan motivasi dalam menjalani hidup ini.
o Kakak dan Adikku Tercinta (Mas Muh Hasim beserta istri dan Adik
Amaliah Hasanah) yang kusayangi yang selalu memberi motivasi dalam
menyelesaikan studi.
o Teman-Temanku jurusan AS, angkatan 2004 Fak Syariah yang selalu
bersama-sama dalam meraih cita dan asa.
Penulis
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam daftar kepustakaan yang
dijadikan bahan rujukan.
Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka
penulis bersedia menerima sanksi berupa
pencabutan gelar menurut peraturan yang
berlaku
Semarang, 01 Juni 2010
A. Agus Salim Ridwan NIM: 042111153
vii
ABSTRAK
Dalam kehidupan rumah tangga tidak selalu harmonis dan tanpa
konflik. Satu ketika bisa saja suami isteri berselisih faham dari persoalan yang kecil sampai pada masalah yang menimbulkan perceraian. Dalam kondisi seperti ini, jika kesalahan fatal datangnya dari pihak suami, maka isteri memiliki hak untuk meminta cerai dari suaminya. Perceraian atas inisiatif isteri dikenal dengan istilah khulu'. Problem yang muncul adalah apakah khulu' itu memiliki akibat sama dengan talak ataukah hanya beraikibat senacam fasakh? Problem ini menimbulkan rangkaian perbedaan pendapat. Sesuai dengan tema skripsi ini yang hendak ditelaah adalah pendapat Imam Malik. Berdasarkan hal itu yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimana pendapat Imam Malik tentang khulu' sebagai talak? Apa yang menjadi alasan hukum Imam Malik tentang khulu' sebagai talak?
Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu Kitab al-Muwatta' dan Kitab al-Mudawanah al-Kubra karya Imam Malik. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan metode dokumenter. Sedangkan metode analisisnya adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal yaitu deskriptif analisis. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Dengan demikian penelitian ini hendak berupaya meneliti latar belakang sosial budaya kehidupan Imam Malik dan corak atau karakteristik pemikirannya, kemudian dihubungkan dengan konteks masa kini.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut Imam Malik bahwa khulu' itu mempunyai kedudukan sebagai talak, sehingga khulu' mempunyai sifat mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami dan suami dapat merujuk kembali istrinya selama dalam masa iddah. Imam Abu Hanifah menyamakan khulu' dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu' itu adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas ra. Alasan Imam Malik yang berpendapat bahwa khulu' sebagai talak didasarkan pada qaul sahabat, yaitu pendapat Abdullah bin Umar. Di samping itu, karena kata-kata khulu' itu hanya dimiliki suami, meskipun atas permintaan istri dengan memberikan iwadh (tebusan). Karena itu, tepat kiranya jika khulu' dianggap sebagai talak dan bukan fasakh. Karena kalau khulu' sebagai fasakh maka fasakh itu merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan dan yang bukan berasal dari kehendak istri. Sedangkan khulu' ini berpangkal pada kehendak istri, oleh karena itu khulu' bukanlah fasakh.
.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
KEDUDUKAN KHULU SEBAGAI TALAK” ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak H. Abdul Ghofur, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak H.
Dede Rodin, Lc, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,
beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan
5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .................................................... 7
D. Telaah Pustaka .................................................... 7
E. Metode Penelitian .................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KHULU' DAN TALAK
A. Tentang Khulu' .................................................... 14
1. Pengertian Khulu' .................................................... 14
2. Dasar Hukum Khulu' .................................................... 16
3. Syarat dan Rukun Khulu' ................................................... 18
B. Tentang Talak .................................................... 25
1. Pengertian Talak .................................................... 25
2. Macam-Macam Talak .................................................... 26
3. Syarat dan Rukun Talak 39
x
BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KHULU' SEBAGAI
TALAK
A. Biografi Imam Malik ..................................... 50
1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Imam Malik.. 50
2. Karya-Karyanya ..................................... 56
3. Situasi Politik dan Sosial Keagamaan................................ 56
B. Pendapat Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak............ 60
C. Alasan Hukum Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak... 62
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KHULU'
SEBAGAI TALAK
A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak 71
B. Analisis Alasan Hukum Imam Malik tentang Khulu'
Sebagai Talak ..................................... 81
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................... 85
B. Saran-saran .................................................... 86
C. Penutup .................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Khulu' adalah pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan
diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan
sebagai imbalan hak talak yang diberikan kepada laki-laki. Dimaksudkan
untuk mencegah kesewenangan suami dengan hak talaknya, dan menyadarkan
suami bahwa istri pun mempunyai hak sama untuk mengakhiri perkawinan.
Artinya dalam situasi tertentu, istri yang sangat tersiksa akibat ulah suami atau
keadaan suami mempunyai hak menuntut cerai dengan imbalan sesuatu.
Bahkan, khulu' dapat dimintakan istri kepada suaminya akibat telah
hilangnya perasaan cinta dari istri kepada suaminya walaupun suami tidak
melakukan suatu perbuatan yang menyakiti istrinya. Hak yang sama juga
dapat dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu manakala suami memang tidak
mempunyai lagi perasaan cinta kepada istrinya, dengan menjatuhkan talak.
Intisari dari terjadinya suatu perikatan perkawinan adalah keridaan serta
kecintaan kedua belah pihak untuk melaksanakan hidup bersama. Oleh karena
itu, kalau seandainya kecintaan itu tidak didapati lagi dalam perkawinan,
keridaan itu pun akan musnah. Akibatnya, persekutuan itu tidak akan lagi
dapat diharapkan kemaslahatannya. Apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan
mereka yang terlibat persekutuan itu tidak dapat melaksanakan ketentuan-
2
ketentuan Allah dan mereka akan terseret untuk memasuki wilayah-wilayah
yang diharamkan Allah.1
Alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk bercerai yang dikemukakan
undang-undang, pada akhirnya bermuara pada ketidaksenangan salah satu
pihak karena keadaan atau perlakuan pihak lain. Alasan-alasan yang
dikemukakan undang-undang tersebut bukanlah alasan yang otomatis dapat
menceraikan mereka, tetapi merupakan option bagi yang bersangkutan untuk
memakainya atau tidak. Kalau yang bersangkutan menerima keadaan atau
perlakuan seperti itu dari pasangannya, perkawinan dapat berjalan terus
walaupun keadaannya semrawut, kadang-kadang aman, kadang-kadang
gawat.2
Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara:
talak, khulu'', fasakh, li'an dan ila' .3 Oleh sebab itu menurut Mahmud Yunus
Islam memberikan hak talak kepada suami untuk menceraikan isterinya dan
hak khulu'' kepada isteri untuk menceraikan suaminya dan hak fasakh untuk
suami istri. Dengan demikian maka yang memutuskan perkawinan dan
menyebabkan perceraian antara suami istri, ialah talak, khulu'', fasakh.4 Hal
ini berarti bahwa khulu'' merupakan salah satu bentuk putusnya perkawinan.
Khulu'' adalah mashdar dari khala'a seperti khata'a, artinya
menanggalkan;
1Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 172 2Ibid 3Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 2. 4Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya Agung,
1990, hlm. 110.
3
5 خلع الرجل ثوبه خلعا أزاله عن بدنه ونزعه عنه Artinya: Laki-laki menanggalkan pakaiannya, atau dia melepaskan
pakaiannya dari badannya. Dasar Hukum disyari'atkanya khulu'' ialah firman Allah surat al-
Baqarah ayat 229:
أخذوا مما آتيتموهن شيئا إال أن يخافا أال وال يحل لكم أن تيقيما حدود الله فإن خفتم أال يقيما حدود الله فال جناح عليهما
)229: البقرة(فيما افتدت به Artinya: tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya." (Q.S. Al-Baqarah: 229).6
Khulu'' berasal dari kata khala'as sauba (خلع الثوب) yang berarti
menanggalkan pakaian. Karena perempuan sebagai pakaian laki-laki, dan laki-
laki juga sebagai pakaian perempuan. Firman Allah SWT:
)187: البقرة(هن لباس لكم وأنتم لباس لهن Artinya: "... mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka." (Q.S. Al-Baqarah: 187).7
Khulu'' dinamakan juga tebusan, karena istri menebus dirinya dari
suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya. Dengan demikian,
khulu'' menurut istilah syara' adalah perceraian yang diminta oleh istri dari
5Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1972, hlm. 299. 6Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 55 7 Ibid., hlm. 45.
4
suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri
memisahkan dirinya dari suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya.
Pengertian tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan dalam Ibnu Abbas
r.a.:
حدثنا أزهر بن جميل حدثنا عبدالوهاب الثقفي حدثنا خالد عن أتت النبي عكرمة عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس
لت يا رسول الله ثابت بن قيس ما عليه وسلم فقاصلى الله أعتب عليه في خلق ولا دين ولكني أآره الكفر في الإسلام فقال
عليه وسلم أتردين عليه حديقته قالت نعم رسول الله صلى الله عليه وسلم اقبل الحديقة وطلقها الله صلى الله رسولقال
)نسائرواه ال(تطليقة Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Azhar bin Jamil dari Abdul
Wahhab al Tsaqafi dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW. sambil berkata, "Wahai Rasulullah! aku tidak mencela akhlak dan agamanya Tsabit bin Qais, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Nabi SAW., "Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit suaminya?)" Jawabnya, "Mau" Maka Rasulullah SAW. bersabda, "Terimalah (Sabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali talak." (H.R. An-Nasai).8
Firman Allah dan hadis di atas menjadi dalil disyari'atkannya khulu''
dan sahnya khulu'' antara suami istri
Imam Abu Hanifah menyamakan khulu'' dengan talak dan fasakh
secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu'' itu
adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan
Ibnu Abbas ra. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa khulu'' itu adalah
8Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,
hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
5
talak. Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu' tidak menggunakan kata-
kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya. Sedang apabila khulu'
tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya.9
Fuqaha yang menganggap khulu' sebagai talak mengemukakan alasan,
bahwa fasakh itu tidak lain merupakan perkara yang menjadikan suami
sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak
berasal dari kehendaknya. Sedang khulu' ini berpangkal pada kehendak. Oleh
karenanya, khulu' itu bukan fasakh. Fuqaha yang tidak menganggap khulu'
sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam al-Qur'an, mula-mula Allah
Swt. menyebutkan tentang talak:
)229: البقرة( الطالق مرتان Artinya: "Talak yang dapat dirujuki itu dua kali" (QS. al-Baqarah:
229).10 Kemudian Dia menyebutkan tentang tebusan (khulu'), dan selanjutnya
Dia berfirman:
فإن طلقها فال تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره )230: البقرة(
Artinya: "Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain." (QS. al-Baqarah: 230).11
Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak
halal lagi bagi suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu
9Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 52. 10Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 55. 11 Ibid.,
6
menjadi talak yang keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat
terjadi dengan suka sama suka karena disamakan dengan fasakh dalam jual
beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri. Fuqaha yang menentang
pendapat ini mengatakan bahwa ayat tersebut memuat kedudukan tebusan
sebagai suatu tindakan yang disamakan dengan talak, bukan tindakan yang
berbeda dengan talak.12
Jadi, silang pendapat ini terjadi disebabkan, apakah adanya imbalan
untuk memutus ikatan perkawinan mi dapat dianggap keluar dari jenis
pemutusan perkawinan karena talak, menjadi jenis pemutusan perkawinan
karena fasakh atau tidak?
Berdasarkan keterangan tersebut mendorong penulis memilih tema ini
dengan judul: Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Kedudukan Khulu'
Sebagai Talak.
B. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Imam Malik tentang khulu' sebagai talak?
2. Apa yang menjadi alasan hukum Imam Malik tentang khulu' sebagai
talak?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
12Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 52.
7
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang khulu' sebagai talak.
2. Untuk mengetahui alasan hukum Imam Malik tentang khulu' sebagai talak.
D. Telaah Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, ada beberapa penelitian yang materi
bahasannya hampir sama dengan penelitian ini, namun fokus penelitiannya
belum menyentuh pada persoalan pendapat Imam Malik tentang kedudukan
khulu' sebagai talak. Penelitian yang dimaksud di antaranya:
1. Skripsi yang disusun Ali Zubaidi (NIM: 2101297) dengan judul "Sifat
Harta Pengganti (iwadl) dari Isteri yang melakukan Khulu' (Analisis
Pendapat Imam Malik)'". Pada intinya penyusun skripsi ini
mengungkapkan bahwa Imam Syafi'i dan Abu Hanifah mensyaratkan
bahwa harta pengganti (iwadl) dari Isteri yang melakukan Khulu' harus
diketahui sifat dan wujud harta tersebut. Sedangkan Imam Malik
membolehkan harta yang tidak diketahui wujud dan kadarnya serta harta
yang belum ada, seperti hewan yang lepas atau lari, buah yang belum
layak dipetik/panen, dan hamba yang tidak diketahui sifat-sifatnya.
2. Skripsi yang disusun Muhammad Arifin Subki (NIM: 2198146) dengan
judul: "Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Khulu'' yang
Dijatuhkan dengan Imbalan Barang yang Haram". Dalam kesimpulan
skripsi ini dijelaskan bahwa fuqaha berselisih pendapat tentang khulu''
yang dijatuhkan dengan imbalan barang yang haram, seperti khamar atau
babi, apakah istri harus mengganti atau tidak, setelah mereka sependapat
bahwa talak dapat terjadi.
8
3. Skripsi yang disusun Ahmad Mutohar (NIM: 2101104) dengan judul:
"Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kedudukan Khulu''
sebagai Talak dan Fasakh". Pada intinya penyusun skripsi ini
mengungkapkan bahwa Imam Abu Hanifah menyamakan khulu'' dengan
talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat
bahwa khulu'' adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad
dan Dawud, dan sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas
r.a.
Beberapa buku yang membahas persoalan khulu', di antaranya:
Abdurrrahmân al-Jazirî, dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz.
4 mengetengahkan pendapat empat mazhab tentang persoalan khulu' dan
akibat hukumnya. Demikian pula Fuad Said dalam bukunya, Perceraian
Menurut Hukum Islam mengemukakan bahwa rukun khulu' itu ada empat
yaitu 1. istri (yang membayar iwad); 2. iwad; 3. shighat; 4. suami.13 Pendapat
yang sama dikemukakan Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia bahwa rukun khulu' ada empat (pertama,
suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan; kedua, istri yang meminta
cerai dari suaminya dengan uang tebusan; ketiga, uang tebusan atau iwad;
keempat, alasan untuk terjadinya khulu'.14
Adapun tentang syarat khulu', maka menurut Ibnu Rusyd dalam
kitabnya Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II mengenai
13Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm.
102 14Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2006, hlm. 234.
9
syarat-syarat diperbolehkannya khulu', ada yang berkaitan dengan kadar harta
yang boleh dipakai khulu' dan ada juga yang berkaitan dengan sifat (keadaan)
di mana khulu' boleh dilakukan. Ada juga yang berkaitan dengan keadaan
wanita yang melakukan khulu', atau wali-wali wanita yang tidak boleh
bertindak sendiri.15
Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu
penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengungkapkan pendapat dan
metode istinbat hukum Imam Malik tentang khulu' sebagai talak.
E. Metode Penelitian
Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-
langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan
masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya
dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:16
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-
sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan library
15Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 51 16Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1991, hlm. 24.
10
research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau
penelitian murni.17
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang langsung yang segera diperoleh dari
sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu.18 Data yang
dimaksud adalah Kitab al-Muwatta' dan Kitab al-Mudawamah al-
Kubra. Ada beberapa versi yang mengemukakan tentang latar
belakang penyusunan al-Muwatta'. Menurut Noel J. Coulson,19
problem politik dan sosial keagamaan-lah yang melatarbelakangi
penyusunan al-Muwatta. Kondisi politik yang penuh konflik pada
masa transisi Daulah Umayyah-Abasiyyah yang melahirkan tiga
kelompok besar (Khawarij, Syi'ah-Keluarga Istana) yang mengancam
integritas kaum Muslim. Di samping kondisi sosial keagamaan yang
berkembang penuh nuansa perbedaan. Perbedaan-perbedaan
pemikiran yang berkembang (khususnya dalam bidang hukum) yang
berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi dan rasio di sisi
yang lain, telah melahirkan pluralis yang penuh konflik.20
b. Data Sekunder, yaitu data yang telah lebih dahulu dikumpulkan oleh
orang di luar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu
17Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9. 18Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik,
Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 134-163. 19Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, Terj. Hamid Ahmad, "Hukum Islam
dalam Perspektif Sejarah", Jakarta: P3M, 1987, hlm. 59 20M. al-Fatih Suryadilaga (Ed), op. cit, hlm. 7
11
sesungguhnya adalah data yang asli.21 Dengan demikian data sekunder
adalah literatur pendukung lainnya yang relevan dengan judul di atas,
di antaranya: Muhammad Zakaria al-Kandahlawi dengan judul Aujaz
al-Masalik ila Muwatta' Malik, dan Muhammad ibn 'Abd al-Baqi al-
Zarqani dengan judul Syarh al-Zarqani 'al-Muwatta' al-Imam Malik,
dan Jalal al-Din 'Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi'i yang berjudul
Tanwir al-Hawalik Syarh 'al-Muwatta' Malik..
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library
research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang
dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang
digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi berupa artikel dan
jurnal, agar dapat ditemukan berbagai teori hukum, dalil, pendapat, guna
menganalisa masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan masalah
yang sedang dikaji.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data ini menggunakan metode deskriptif analisis
dengan pendekatan normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu
penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder. Penelitian
hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang
merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian hukum
21Ibid
12
kepustakaan.22 Dengan demikian penelitian ini hendak berupaya meneliti
latar belakang sosial budaya kehidupan Imam Malik dan corak atau
karakteristik pemikirannya, kemudian dihubungkan dengan konteks masa
kini.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-
masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan
yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara
global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang khulu' dan talak yang meliputi
tentang khulu' (pengertian khulu, dasar hukum khulu, syarat dan rukun khulu),
tentang talak (pengertian talak, macam-macam talak, syarat dan rukun talak).
Bab ketiga berisi pendapat Imam Malik tentang khulu sebagai talak
yang meliputi biografi Imam Malik, pendidikan dan karyanya (latar belakang
kehidupan dan pendidikan Imam Malik, karya-karyanya, corak khusus
pemikiran fiqih Imam Malik), pendapat Imam Malik tentang khulu sebagai
talak, alasan hukum Imam Malik tentang khulu sebagai talak.
22Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988, hlm. 9
13
Bab keempat berisi analisis pendapat Imam Malik tentang khulu
sebagai talak yang meliputi analisis pendapat Imam Malik tentang khulu
sebagai talak, analisis alasan hukum Imam Malik tentang khulu sebagai talak.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan
penutup.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KHULU' DAN TALAK
A. Tentang Khulu'
1. Pengertian Khulu'
Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam
ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik dan masing-masing pihak
menjalankan kewajibannya dengan baik.1 Namun tidak jarang juga timbul
perselisihan sehingga tidak tampak keharmonisan dalam keluarga, bahkan
sulit diselesaikan dengan baik dan damai. Apabila hal ini terjadi, masing-
masing antara suami dengan istri mempunyai hak. Apabila keinginan
untuk berpisah datang dari pihak suami, maka dia berhak mengajukan
talak kepadanya. Jika keinginan berpisah itu datang dari pihak istri maka
Islam juga memperbolehkan dengan menebus dirinya dengan jalan khulu'.
Keduanya dapat dilakukan selama tidak menyimpang dan sesuai dengan
hukum Allah SWT.2 Allah SWT. berfirman dalam salah satu ayat-Nya:
وال يحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيئا إال أن يخافا أال يقيما حدود الله فإن خفتم أال يقيما حدود الله فال جناح
)229: البقرة(عليهما فيما افتدت به Artinya: tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
1Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 318. 2Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV Pustaka Setia,
1999, hlm. 85
15
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya." (Q.S.Al-Baqarah: 229).3
Khulu' adalah mashdar dari khala'a seperti khata'a, artinya
menanggalkan;
4 خلع الرجل ثوبه خلعا أزاله عن بدانه ونزعه عنهArtinya: Laki-laki menanggalkan pakaiannya, atau dia melepaskan
pakaiannya dari badannya.
5 امرأته وخالعت المرأة زوجهامخالعة إذا افتدت منهالرجلخلع Artinya: Seorang laki-laki meng-khulu' istrinya, berarti dia
menanggalkan istrinya itu sebagai pakaiannya apabila istri membayar tebusan.
Abdurrahman Al-Jaziri memberikan definisi Khulu' menurut
masing-masing madzhab:6
1. Golongan Hanafi mengatakan :
الخلع ازالة ملك النكاح المتوقفة على قبول المرأة بلفظ الخلع اوما فى معناة
Artinya: Khulu' ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang diterima oleh istri dengan lafaz khulu' atau yang semakna dengan itu."
2. Golongan Malikiyah mengatakan:
الخلع شرعا هوالطالق بعوض
Artinya: Khulu' menurut syara' adalah talak dengan tebus.
3. Golongan Asy-Syafi'iyah mengatakan:
3Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 55. 4Abdurrrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz. 4, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1972, hlm. 299. 5Ibid.,hlm. 299-230 6Ibid., hlm. 300
16
ع رعاهوالخل زوجين فظلال ش ين ال راق ب ى الف دال عل ال بعوض
متوفرة فيه الشروطArtinya: Khulu' menurut syara' adalah lafaz yang menunjukkan
perceraian antara suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu.
4. Golongan Hanabilah mengatakan:
ع والخل زوج فراق ه ذه ال ه بعوض يأخ زوج امرأت ال امرأته اوغيرهابألفاظ محصوصة من
Artinya: Khulu adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan yang diambil oleh suami dan istrinya atau dari lainnya dengan lafaz tertentu.
Lafaz Khulu' itu terbagi dua, yaitu lafaz sharih dan lafaz kinayah.
Lafaz sharih misalnya; khala'tu, fasakhtu dan fadaitu. Berdasarkan
pengertian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Khulu' adalah
perceraian .yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan
atau 'iwadh kepada suami untuk dirinya dan perceraian disetujui oleh
suami.
2. Dasar Hukum Khulu'
Khulu' dibenarkan oleh Islam berasal dari kata khala'as sauba ( خلع
yang berarti menanggalkan pakaian. Karena perempuan sebagai (الثوب
pakaian laki-laki, dan laki-laki juga sebagai pakaian perempuan. Firman
Allah SWT:
)187: البقرة(م لباس لهن هن لباس لكم وأنت
17
Artinya: "... mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka." (Q.S. Al-Baqarah: 187).7
Khulu' dinamakan juga tebusan, karena istri menebus dirinya dari
suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya. Dengan
demikian, khulu' menurut istilah syara' adalah perceraian yang diminta
oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya.
Artinya istri memisahkan dirinya dari suaminya dengan memberikan ganti
rugi kepadanya. Pengertian tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan
dalam Ibnu Abbas r.a.:
دثنا ي ح دالوهاب الثقف دثنا عب ل ح ن جمي ر ب دثنا أزه حيس ن ق خالد عن عكرمة عن ابن عباس أن امرأة ثابت ب
هأ لى الل ي ص ت النب ه ت ول الل ا رس ت ي لم فقال ه وس عليي ن ولكن ا دي ق ول ي خل ه ف ب علي ا أعت يس م ن ق ثابت ب
ال ه أآره الكفر في الإسلام فق لى الل ه ص ول الل ه رس عليرد لم أت ال وس م ق ت نع ه قال ه حديقت ه ين علي ول الل رس
ة صلى الله ا تطليق ة وطلقه رواه ( عليه وسلم اقبل الحديق )نسائال
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Azhar bin Jamil dari Abdul Wahhab al Tsaqafi dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas sesungguhnya istri Sabit bin Qais Syammas datang kepada Rasulullah SAW. sambil berkata, "Wahai Rasulullah! aku tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW., "Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Sabit suaminya?)" Jawabnya, "Mau" Maka Rasulullah SAW. bersabda, "Terimalah (Sabit) kebun itu dan talaklah ia satu kali talak." (H.R. An-Nasai).8
7 Ibid., hlm. 45. 8Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,
hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
18
Firman Allah dan hadis di atas menjadi dalil disyari'atkannya
khulu' dan sahnya khulu' antara suami istri
3. Syarat dan Rukun Khulu'
Menurut Fuad Said rukun khulu' itu ada empat yaitu 1. istri (yang
membayar iwad); 2. iwad; 3. shighat; 4. suami.9 Pendapat yang sama
dikemukakan Amir Syarifuddin bahwa rukun khulu' ada empat (pertama,
suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan; kedua, istri yang
meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan; ketiga, uang tebusan
atau iwad; keempat, alasan untuk terjadinya khulu'.10 Adapun tentang
syarat khulu', maka menurut Ibnu Rusyd mengenai syarat-syarat
diperbolehkannya khulu', ada yang berkaitan dengan kadar harta yang
boleh dipakai khulu' dan ada juga yang berkaitan dengan sifat (keadaan) di
mana khulu' boleh dilakukan. Ada juga yang berkaitan dengan keadaan
wanita yang melakukan khulu', atau wali-wali wanita yang tidak boleh
bertindak sendiri.
1. Harta/barang yang dipakai untuk khulu'
Dalam hal ini, syarat khulu' bisa dilihat dari segi:
a. Kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu'
Imam Malik, Syafi'i dan segolongan fuqaha berpendapat
bahwa seorang istri boleh melakukan khulu' dengan memberikan harta
yang lebih banyak dari mahar yang pernah diterimanya dari suami jika
9Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 102 10Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2006, hlm. 234.
19
kedurhakaan itu datang dari pihaknya, atau bisa juga memberikan
yang sebanding dengan mahar atau lebih sedikit. Segolongan fuqaha
lain berpendapat bahwa suami tidak boleh mengambil lebih banyak
dari mahar yang diberikan kepada istrinya.
Bagi fuqaha yang mempersamakan kadar harta dalam khulu'
dengan semua pertukaran dalam mu'amalat, maka mereka berpendapat
bahwa kadar harta itu didasarkan atas kerelaan. Sedangkan fuqaha
yang memegang hadis secara zahir, maka mereka tidak membolehkan
pengambilan harta yang lebih banyak daripada mahar. Mereka seolah-
olah menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk pengambilan
harta tanpa hak.11
b. Sifat harta pengganti
Imam Syafi'i dan Abu Hanifah mensyaratkan bahwa harta
tersebut harus dapat diketahui sifat dan wujudnya. Sedangkan Imam
Malik membolehkan harta yang tidak diketahui kadar dan wujudnya,
serta harta yang belum ada. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan
oleh adanya kemiripan harta pengganti (khulu') dengan harta
pengganti dalam hal jual beli, barang-barang hibah, atau wasiat.
Bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam
khulu' dengan jual beli, mereka mensyaratkan padanya syarat-syarat
yang terdapat dalam jual beli dan harta pengganti dalam jual beli.
Sedang bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam
11Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 51
20
khulu' dengan hibah, mereka tidak menetapkan syarat-syarat tersebut.
Tentang khulu' yang dijatuhkan dengan barang-barang, seperti
minuman keras, fuqaha berselisih pendapat: apakah istri harus
mengganti atau tidak, setelah mereka sepakat bahwa talak itu dapat
terjadi. Imam Malik mengatakan bahwa istri tidak wajib
menggantinya. Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah. Sedang
Imam Syafi'i berpendapat bahwa istri wajib mengeluarkan mahar
misil.12
c. Keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan khulu'
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu' boleh diadakan
berdasarkan kerelaan suami istri, selama hal itu tidak mengakibatkan
kerugian pada pihak istri. Dasarnya adalah firman Allah SWT.:
بعض ما آتيتموهن إال أن يأتين وال تعضلوهن لتذهبوا ب )19: النساء(بفاحشة مبينة
Artinya:. dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (Q.S. An-Nisa: 19).13
Firman Allah SWT.:
فإن خفتم أال يقيما حدود الله فال جناح عليهما فيما افتدت )229: البقرة(به
Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya," (Q.S. Al-Baqarah: 229).14
12Ibid., hlm. 51. 13Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 55. 14 Ibid., hlm. 117.
21
Abu Qilabah dan Hasan Al-Basri berpendapat bahwa suami
tidak boleh menjatuhkan khulu' atas istrinya, kecuali jika ia melihat
istrinya berbuat zina, karena mereka mengartikan bahwa "keji " dalam
ayat di atas dengan perbuatan zina. Daud berpendapat bahwa suami
tidak boleh menjatuhkan khulu' kecuali bila ada kekhawatiran bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
berdasarkan ayat tersebut secara zahir. Adapun An-Nu'man
mengatakan bahwa khulu' dapat dijatuhkan meskipun merugikan.
Berdasarkan aturan fiqih, tebusan itu diberikan kepada istri
sebagai imbangan talak yang dimiliki oleh suami. Oleh karena itu,
talak diberikan kepada suami jika ia membenci istri, maka khulu'
diberikan kepada istri jika ia membenci suami. Dengan demikian
terdapat keseimbangan antara keduanya.15
2. Istri yang Boleh Mengadakan Khulu'
Di kalangan jumhur fuqaha telah disepakati bahwa istri yang
mampu boleh mengadakan khulu' untuk dirinya, sedangkan perempuan
hamba tidak boleh mengadakan khulu' untuk dirinya, kecuali dengan
seizin tuannya. Demikian juga, istri yang bodoh (safihah) adalah
bersama walinya, sebagaimana pendapat fuqaha yang menetapkan
adanya kemampuan atasnya.
Imam Malik berpendapat bahwa, seorang ayah boleh
mengadakan khulu' untuk anaknya (perempuan) yang masih kecil
15Slamet Abidin dan Aminuddin, op.cit., hlm. 91.
22
sebagaimana ia boleh menikahkannya. Demikian pula untuk anak
lelakinya yang masih kecil, karena menurut Imam Malik seorang ayah
dapat menceraikan atas namanya. Kemudian timbul perbedaan pendapat
berkenaan dengan anak lelaki yang masih kecil (di bawah umur). Imam
Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ayah tidak boleh
mengadakan khulu' atas namanya, karena itu seorang ayah tidak boleh
menjatuhkan talak atas namanya juga.
Selanjutnya, Imam Malik berpendapat bahwa, istri yang sedang
sakit keras boleh mengadakan khulu'. jika harta tebusannya sebesar
warisan dari suaminya. Tetapi Ibnu Nafi' mengatakan bahwa istri yang
sakit tersebut dapat mengadakan khulu' dengan sepertiga dari jumlah
harta seluruhnya.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa apabila istri mengadakan khulu'
sebesar mahar misilnya, maka hal itu diperbolehkan, dan harta tersebut
diambil dari sebagian dari harta pokok. Apabila lebih dari mahar misil,
maka tambahan tersebut harus dari sepertiga dari harta pokok.
Adapun istri yang terlantar (Al-Muhmalah), yakni yang tidak
memiliki wasi dan ayah, maka Ibnu Qasim berpendapat bahwa ia boleh
mengadakan khulu' atas dirinya sebesar mahar misil. Jumhur ulama
mengatakan bahwa istri yang dapat menguasai dirinya boleh
mengadakan khulu'. Sebaliknya Al-Hasan dan Ibnu Sirin berpendapat
bahwa ia tidak boleh mengadakan khulu' kecuali dengan ijin penguasa.
Mengenai rukun khulu', selain dua hal tersebut di atas (adanya harta
23
yang digunakan. dan istri yang mengadakan khulu') juga harus ada
ucapan khulu'.16
Para fuqaha berpendapat bahwa dalam khulu' harus diucapkan
kata " khulu' " ع atau lafal yang terambil dari khulu'. Atau bisa juga خل
kata lain yang seperti dengannya. seperti: "mubara'ah" (ارأة = (مب
melepas diri dan fidyah (فدية) = tebusan.17
Jika tidak menggunakan kata khulu' atau yang searti dengannya,
misalnya suami berkata, "Engkau tertalak" sebagai imbalan dari barang-
barang seharga sekian, lalu istri mau menerimanya. Maka perbuatan ini
termasuk talak dengan imbalan harta. bukan termasuk khulu'.
Ibnu Qayim menyangkal pendapat tersebut, katanya,
"Barangsiapa yang hendak memikirkan hakikat dan tujuan dari akad
atau perjanjian bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja.
tentu akan menganggap khulu' sebagai fasakh. bila diucapkan dengan
kata apapun, sekalipun dengan kata "talak". Pendapat ini juga
merupakan salah satu pendapat murid-murid Imam Ahmad. Juga
pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata, "Barang siapa hanya melihat
dan berpegang kepada lafal-lafal itu, dan memperhatikannya pula
bagaimana adanya dalam hukum akad, tentu ia akan menentukan lafal
"talak" untuk "talak" saja.
16Ibid., hlm. 91. 17Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 320
24
Selanjutnya Ibnu Qayim melemahkan pendapat ini. katanya,
"Orang yang membaca fiqih dan usul fiqih akan dapat menyaksikan
bahwa dalam akad yang diperhatikan adalah hakikat dan maksud
akadnya, bukan formalitas dan sekadar kata-kata yang diucapkannya."
Alasannya ialah bahwa Nabi SAW. pernah menyuruh Sabit Ibnu Qais
agar menalak istrinya secara khulu'. dengan sekali talak. Selain itu Nabi
SAW. menyuruh istri Sabit untuk beriddah sekali haid. Hal ini jelas
menunjukkan . fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan ucapan
talak.18
Di samping itu, Allah SWT juga menghubungkannya dengan
hukum fidyah, karena memang ada fidyahnya. Telah diketahui bahwa
fidyah tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kala khusus, dan Allah
pun tidak menetapkan lafal yang khusus untuk itu. Talak dengan tebusan
sifatnya terbatas dan tidak tergolong ke dalam hukum talak yang umum
sebagaimana ia tidak tergolong kepada hukum talak yang dibolehkan
rujuk kembali, dan beriddah dengan tiga kali suci seperti ketentuan
sunnah yang sah.
B. Tentang Talak
1. Pengertian Talak
18Slamet Abidin dan Aminuddin, op.cit., hlm. 93.
25
Dalam Kamus Arab Indonesia, talak berasal dari ق ق –طل – يطل
ا 19 Sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir, talak berarti.(bercerai) طالق
berpisah, bercerai (طلقت المرأة ).20
Secara terminologi, menurut Abdurrrahman al-Jaziri adalah:
اال صطالح بأنه ازالة النكاح او نقصان حله بلفظ مخصوص فى21
Artinya: Talak itu ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau
mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Menurut Sayyid Sabiq
22 ةهاء العالقة الزوجي رابطة الزوج وانع حلالشروفى Artinya: Talak menurut syara' ialah melepaskan tali perkawinan dan
mengakhiri tali pernikahan suami isteri.
Menurut Imam Taqi al-Din:
فىالشرع اسم لحل قيد النكاح وهو لفظ جاهلى وهوورد الشرع بتقريره واألصل فيه الكتاب والسنة
23واجماع اهل الملل مع اهل السنة
Artinya; "Talak menurut syara' ialah nama untuk melepaskan tali ikatan nikah dan talak itu adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak adalah
19Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973, hlm. 239. 20Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 861 21Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar
al-Fikr, 1972, hlm. 216. 22Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, hlm. 278. 23Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 84
26
berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma' ahli agama dan ahlus sunnah.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa talak
adalah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau dimasa
mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau
cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata itu.
2. Macam-Macam Talak
Talak itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa
keadaan.
I. Dengan melihat kepada keadaan isteri waktu talak itu diucapkan oleh
suami, talak itu ada dua macam:
1. Talak sunni
Yang dimaksud dengan talak sunni ialah talak yang
didasarkan pada sunnah Nabi, yaitu apabila seorang suami men-
talak isterinya yang telah disetubuhi dengan talak satu pada saat
suci, sebelum disetubuhi.24 Atau dengan kata lain yaitu talak yang
pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam Al-
Qur'an atau sunnah Nabi. Bentuk talak sunni yang disepakati oleh
ulama adalah talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si isteri
waktu itu tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang
pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya25. Di antara
ketentuan menjatuhkan talak itu adalah dalam masa si isteri yang
24Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar, " Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm. 438.
25Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 74.
27
di talak langsung memasuki masa 'iddah. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat at-Talak ayat 1:
)1: الطالق (يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن
Artinya: Hai nabi bila kamu men-talak isterimu, maka talak-lah di waktu akan memasuki ''iddah. (Q.S. at-Thalaq: 1)26
Yang dimaksud dengan masa ''iddah di sini adalah
المرأة وتمتنع عن ي اسم للمدة التي تنتظرفيهاه العدة 27التزويج بعد وفاة زوجها
Artinya: "'Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak boleh nikah setelah wafat suaminya, atau setelah pisah dari suaminya."
Cara-cara talak yang termasuk dalam talak sunni diluar
yang disepakati oleh ulama di antaranya adalah talak dalam masa
''iddah, namun diikuti lagi dengan talak berikutnya. Talak dalam
bentuk ini tidak disepakati ulama. Imam Malik berpendapat bahwa
talak semacam itu tidak termasuk talak sunni. Sedangkan Abu
Hanifah mengatakan yang demikian adalah talak sunni. Hal ini
juga berlaku di kalangan ulama Zhahiriyah.28
2. Talak bid'iy
Talak bid'iy, yaitu talak yang dijatuhkan tidak menurut
ketentuan agama. Bentuk talak yang disepakati ulama termasuk dalam
26Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 945. 27Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 341. 28Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 48
28
kategori talak bid'iy itu ialah talak yang dijatuhkan sewaktu isteri
dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun telah digauli oleh
suami. Talak dalam bentuk ini disebut bid'iy karena menyalahi
ketentuan yang berlaku, yaitu menjatuhkan talak pada waktu isteri
dapat langsung memulai 'iddahnya.29 Hukum talak bid'iy adalah haram
dengan alasan memberi mudarat kepada isteri, karena memperpanjang
masa 'iddahnya.
Yang menjadi dalil talak dalam kategori bid'iy adalah sabda
Nabi yang berasal dari Ibnu Umar muttafaq alaih:
حدثنا إسماعيل بن عبدالله قال حدثني مالك عن نافع عن أنه طلق امرأته وهي لله بن عمر رضي الله عنهعبدا
عليه وسلم فسأل رسول الله صلى الله على عهدحائض عليه وسلم عن رسول الله صلى اللهعمر بن الخطاب
عليه وسلم مره فليراجعها رسول الله صلى اللهذلك فقالا حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء ثم ليمسكه
تي أمر أمسك بعد وإن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة ال 30) رواه البخاري( أن تطلق لها النساء اهللا
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Ismail bin Abdullah
dari Malik dari Nafi' dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Ibnu Umar r.a. men-talak isterinya sewaktu haid dalam masa Rasulullah Saw, maka Umar (ayahnya) menanyakan kepada Nabi Saw tentang hal itu. Nabi Saw. bersabda: "Suruh dia (Ibnu Umar) kembali kepada isterinya, kemudian menahannya sehingga isterinya itu suci kemudian haid dan kemudian suci. Sesudah itu bila ia mau dia dapat menahannya dan kalau dia mau dia boleh men-talak isterinya itu sebelum digaulinya. Itulah masa 'iddah yang disuruh Allah bila akan men-talak isterinya. (HR. al-Bukhari).
29Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 161 30Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 286
29
II. Apabila dilihat dari kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada
mantan isterinya, talak itu ada dua macam:
1). Talak raj'iy. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah yaitu talak
dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada isterinya
(rujuk) sepanjang isterinya tersebut masih dalam masa 'iddah, baik
isteri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.31 Hal senada
dikemukakan juga oleh Ibnu Rusyd bahwa talak raj'iy adalah suatu
talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk isteri.32 Pengertian
sama dikemukakan Ahmad Azhar Basyir bahwa talak raj'iy adalah
talak yang masih memungkinkan suami rujuk kepada bekas isterinya
tanpa nikah.33 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa talak raji'y
adalah talak di mana si suami diberi hak untuk kembali kepada
isterinya tanpa melalui nikah baru, selama isterinya itu masih dalam
masa 'iddah.
Dalam al-Qur'an diungkapkan bahwa talak raj'iy adalah talak
satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari pihak isteri, dimana
suami boleh ruju' kepada isteri, sebagaimana firman Allah pada surat
al-Baqarah (2) ayat 229:
الطالق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان )229: البقرة(
31Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 451. 32Ibnu Rusyd, Juz II, op. cit, hlm. 45. 33Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 80.
30
Artinya: Talak itu adalah sampai dua kali, sesudah itu tahanlah dengan baik atau lepaskanlah dengan baik. (Q.S. al-Baqarah: 229)34
Lafaz فإمساك بمعروف mengandung arti ruju' pada waktu
masih berada dalam masa 'iddah.
2). Talak bain. Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talak bain
adalah talak yang menceraikan isteri dari suaminya sama sekali,
dimana suami tak dapat lagi secara sepihak merujuki isterinya.35
Dengan kata lain, talak bain yaitu talak yang putus secara penuh
dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada isterinya
kecuali dengan nikah baru, talak bain inilah yang tepat untuk disebut
putusnya perkawinan.
Talak bain ini terbagi pula kepada dua macam:
a Bain sughra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas
suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas
isterinya itu.36 Atau talak yang suami tidak boleh ruju' kepada mantan
isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui
muhallil. Yang termasuk bain shughra itu adalah sebagai berikut:
Pertama: talak yang dilakukan sebelum isteri digauli oleh
suami. Talak dalam bentuk ini tidak memerlukan 'iddah. Oleh karena
tidak ada masa 'iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju', sebab
34Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55. 35Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar
Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 411. 36Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 140.
31
ruju' hanya dilakukan dalam masa 'iddah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat al-Ahzab (33) ayat 49:
يا أيها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها
)49: األحزاب(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi orang-orang perempuan beriman kemudian kamu men- talak-nya sebelum sempat kamu gauli, maka tidak ada 'iddah yang harus mereka lakukan. (Q.S. al-Ahzab: 49).37
Kedua: talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak
isteri atau yang disebut khulu'. Hal ini dapat dipahami dari isyarat
firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 229:
فإن خفتم أال يقيما حدود الله فال جناح عليهما فيما افتدت به تلك حدود الله فال تعتدوها ومن يتعد حدود الله فأولـئك
)229: رةالبق(هم الظالمون Artinya: Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak akan menegakkan
ketentuan Allah, maka tidak ada halangannya bagimu untuk memberikan uang tebusan. Demikianlah ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampauinya. Barangsiapa yang melampaui ketentuan Allah mereka itulah orang yang aniaya. (Q.S. al-Baqarah: 229)38
Ketiga: perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau
yang disebut fasakh.
b Bain kubra, yaitu talak yang telah dijatuhkan tiga.39 Atau dengan kata
lain talak yang tidak memungkinkan suami ruju' kepada mantan
37Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 675. 38Ibid., hlm. 55. 39Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 81.
32
isterinya. Dia hanya boleh kembali kepada isterinya setelah isterinya
itu kawin dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu
dan habis 'iddahnya. Yang termasuk talak dalam bentuk bain kubra itu
adalah sebagai berikut:
Pertama: isteri yang telah di-talak tiga kali, atau talak tiga.
Talak tiga dalam pengertian talak bain itu yang disepakati oleh ulama
adalah talak tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan
yang berbeda antara satu dengan lainnya diselingi oleh masa 'iddah.
Termasuknya talak tiga itu ke dalam kelompok bain kubra itu adalah
sebagaimana yang dikatakan Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat
230:
ى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فال تحل له من بعد حت )230: البقرة(فإن طلقها فال جناح عليهما أن يتراجعا
Artinya: Jika kamu men-talak-nya (setelah dua kali talak),
maka tidak boleh lagi kamu nikahi kecuali setelah dia kawin dengan laki-laki lain. Jika kemudian dia (suami kedua) men-talak-nya tidak ada halangannya bagi keduanya untuk (nikah) kembali. (Q.S. al-Baqarah: 230)40
Tentang talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu
kesempatan, menjadi perbincangan di kalangan ulama. Dalam hal ini
terdapat empat pendapat di kalangan ulama:
Pendapat pertama: talak tiga dalam "satu ucapan" itu tidak
jatuh. Alasannya adalah karena dimasukkannya talak seperti ini ke
dalam talak bid'iy, yang menurut kebanyakan ulama tidak jatuh
40Ibid., hlm. 56.
33
sebagaimana keadaannya talak dalam masa haid. Adapun yang
menjadi alasan dimasukkannya ke dalam kategori talak bid'iy adalah
kemarahan Nabi atas pelakunya, sebagaimana dalam hadis Nabi
Mahmud bin Labid menurut riwayat al-Nasai:
أخبرنا سليمان بن داود عن ابن وهب قال أخبرني مخرمة عن أبيه قال سمعت محمود بن لبيد قال أخبر
رجل طلق امرأته عليه وسلم عنرسول الله صلى اللهثلاث تطليقات جميعا فقام غضبانا ثم قال أيلعب بكتاب الله وأنا بين أظهرآم حتى قام رجل وقال يا رسول الله
41) رواه النسائ(ألا أقتله Artinya: telah mengabarkan kepada kami dari Sulaiman bin
Daud dari Wahab dari Mahramah dari bapaknya telah mendengar dari Mahmud bin Labid berkata: Nabi Saw telah memberitakan kepada saya tentang seorang laki-laki yang men-talak isterinya tiga kali dalam satu ucapan Nabi berdiri sambil marah kemudian berkata: "Apakah kamu mempermain-mainkan Kitabullah, sedangkan saya masih berada di antaramu". Seorang laki-laki berdiri dan berkata: ya Rasul Allah, kenapa tidak saya bunuh saja orang itu?"
Pendapat kedua: dipegang oleh jumhur ulama yang
mengatakan bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh talak tiga, dan dengan
sendirinya termasuk talak bain. Alasan yang digunakan golongan ini
adalah ayat Al-Qur'an yang disebutkan di atas. Mereka tidak
41Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,
hadis No. 3503 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
34
memisahkan antara talak tiga dalam satu ucapan atau dilakukan secara
terpisah.42
Pendapat ketiga: yang dipegang oleh ulama Zhahiriyah, Syiah
Imamiyah, dan al-Hadawiyah. Menurut golongan ini talak tiga dalam
satu ucapan jatuh talak satu dalam kategori talak sunni.43 Ulama ini
berdalil dengan hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang bunyinya:
رسول الله ى عهدعن ابن عباس قال آان الطلاق عل عليه وسلم وأبي بكر وسنتين من خلافة عمر صلى الله
طلاق الثلاث واحدة فقال عمر بن الخطاب إن الناس قد أمضيناه استعجلوا في أمر قد آانت لهم فيه أناة فلو
44) رواه مسلم( عليهم فأمضاه عليهم Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata: pada zaman Rasulullah Saw.
zaman kekhilafahan Abu Bakar dan dua tahun masa Umar, talak tiga itu dianggap satu. Umar bi Khattab lalu mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang itu sama terburu-buru terhadap suatu perkara yang sebetulnya mereka bisa berlaku tenang dan sabar. Seandainya hal itu aku berlakukan terhadap mereka, niscaya mereka tidak akan terburu-buru. (HR. Muslim)
Kedua hadis dari Ibnu Abbas juga yang bunyinya:
خو عن ابن عباس قال طلق رآانة بن عبد يزيد أالمطلب امرأته ثلاثا في مجلس واحد فحزن عليها حزنا
عليه وسلم آيف رسول الله صلى اللهشديدا قال فسأله
42Al-San'any, Subul al-Salam, Juz III, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1950, hlm. 174 – 175. 43Menurut golongan ini, talak tiga yang diucapkan suami tidak serta merta jatuh tiga,
melainkan yang dianggap terjadi hanya satu 44Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim,
Juz. II, Mesir: Tijariah Kubra, t.th., hlm. 183.
35
طلقتها قال طلقتها ثلاثا قال فقال في مجلس واحد قال 45) رواه احمد( قال فإنما تلك واحدة فارجعها نعم
Artinya: Dari Abbas berkata Rukanah bin Yazid Saudara al-Mutallib
men- talak isterinya talak tiga dalam satu majelis kemudian dia sangat menyesal dan sedih dan Nabi Saw. bertanya: "Bagaimana cara kamu men-talak-nya". la berkata: "Saya men-talak-nya tiga dalam satu majelis". Nabi Saw. bersabda: "Itu hanyalah talak satu, oleh karena itu ruju'lah kepada isterimu. (H.R. Ahmad)
Pendapat keempat: merupakan pendapat sahabat Ibnu Abbas
yang kemudian diikuti oleh Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini
mengatakan bahwa seandainya talak tiga dalam satu ucapan itu
dilakukan setelah terjadi pergaulan antara suami isteri, maka yang
jatuh adalah talak tiga, dan oleh karenanya termasuk talak bain kubra;
namun bila talak diucapkan sebelum di antara keduanya terjadi
hubungan kelamin yang jatuh hanyalah talak satu.46 Mereka berdalil
dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang
mengatakan:
ابن عباس قال أما علمت أن الرجل آان إذا طلق عن لاثا قبل أن يدخل بها جعلوها واحدة على عهدامرأته ث
47) رواه ابو داود( عليه وسلم رسول الله صلى اللهArtinya: Dari Ibnu Abbas berkata: menurut sepengetahuanku bila
seorang laki-laki men-talak isterinya talak tiga sebelum digaulinya yang jatuh adalah talak satu pada masa Nabi Saw. (HR. Abu Daud)
45Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi, hadis No. 2079. dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
46Al-San'any, op.cit., hlm. 175. 47Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, hadis no. 1887 dalam
CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
36
Kedua: isteri yang bercerai dari suaminya melalui proses li'an.
Berbeda dengan bentuk pertama mantan isteri yang di-li'an itu tidak
boleh sama sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya
muhallil, menurut jumhur ulama.
III. Talak ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi kepada dua macam
yaitu:
1). Talak tanjiz, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan
ucapan langsung, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan
ucapan sharîh (tegas) atau kinayah (sindiran). Inilah bentuk talak yang
biasa dilaksanakan. Dalam bentuk ini talak terlaksana segera setelah
suami mengucapkan ucapan talak tersebut.
2). Kedua: talak ta'liq, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan
menggunakan ucapan yang pelaksanaannya digantungkan kepada
sesuatu yang terjadi kemudian. Baik menggunakan lafaz sharîh atau
kinayah.48 Seperti ucapan suami: "Bila ayahmu pulang dari luar negeri
engkau saya talak". Talak dalam bentuk ini baru terlaksana secara
efektif setelah syarat yang digantungkan terjadi. Dalam contoh di atas
talak terjatuh segera setelah ayahnya pulang dari luar negeri/tidak
pada saat ucapan itu diucapkan.
Talak ta'liq ini berbeda dengan taklik talak yang berlaku di
beberapa tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab qabul
dilaksanakan. Taklik talak itu adalah sebentuk perjanjian dalam
48Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,
2006, hlm. 225.
37
perkawinan yang di dalamnya disebutkan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh suami. Jika suami tidak memenuhinya, maka si isteri
yang tidak rela dengan itu dapat mengajukannya ke pengadilan sebagai
alasan untuk perceraian.
IV. Talak dari segi siapa yang mengucapkan talak itu secara langsung dibagi
kepada dua macam:
1. Talak mubasyir, yaitu talak yang langsung diucapkan sendiri oleh
suami yang menjatuhkan talak, tanpa melalui perantaraan atau wakil.
2. Talak tawkil, yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri
oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Bila
talak itu diwakilkan pengucapannya oleh suami kepada isterinya,
seperti ucapan suami: "Saya serahkan kepadamu untuk men-talak
dirimu", secara khusus disebut talak tafwidh.
Secara arti kata tafwidh mengandung arti melimpahkan. Talak
tafwidh dengan demikian berarti talak yan talak untuk
mengucapkannya dan menjatuhkannya dilimpahkan oleh suami kepada
isteri. Berkenaan dengan wewenang isteri dalam bentuk talak tafwidh
itu, ulama tidak sepakat. Sebagian ulama asy-Syâfi'iyah
menempatkannya sebagai tamlik atau menyerahkan; sedangkan
sebagian yang lain menempatkannya sebagai tawkil.49
Beda di antara wewenang tamlik dengan tawkil ialah: bila
ditetapkan sebagai tamlik, si isteri harus melaksanakan pelimpahan
49Ibid, hlm. 226.
38
wewenang itu segera setelah ucapan pelimpahan dari suami selesai;
dan suami dalam hal ini tidak dapat mencabut apa yang sudah
dilimpahkannya. Bila pelimpahan itu ditetapkan sebagai tawkil, si
isteri tidak harus segera melaksanakan apa yang dilimpahkan
kepadanya dan si suami dalam hal ini masih berkesempatan mencabut
apa yang telah diwakilkannya.50
3. Syarat dan Rukun Talak
Untuk memperjelas rukun dan syarat talak maka lebih dahulu
dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi
maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan,"51 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk)
yang harus diindahkan dan dilakukan."52 Menurut Satria Effendi M. Zein,
bahwa menurut bahasa, syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain atau sebagai tanda,53 melazimkan sesuatu.54
Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala
sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut,
dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun
dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.55 Hal ini
50Ibid., 51Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2004, hlm. 966. 52Ibid., hlm. 1114. 53Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64 54Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34 55Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004,
hlm. 50
39
sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf,56 bahwa syarat adalah
sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan
sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan
hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’,
yang menimbulkan efeknya. Hal senada dikemukakan Muhammad Abu
Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat
bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak
adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum.57
Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap
menentukan suatu disiplin tertentu, di mana ia merupakan bagian integral
dari disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna
sesuatu, di mana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.58
Adapun untuk terjadinya talak, ada beberapa unsur yang berperan
padanya yang disebut rukun, dan masing-masing rukun itu mesti pula
memenuhi persyaratan tertentu. Di antara persyaratan itu ada yang
disepakati oleh ulama, sedangkan sebagiannya menjadi perbincangan di
kalangan ulama.
Rukun Pertama: adalah suami yang men-talak isterinya
Di antara syarat suami yang men-talak itu adalah sebagai berikut:
1 Suami yang men-talak harus seseorang yang telah baligh.59 Hal ini
mengandung arti bahwa anak-anak yang masih di bawah umur dewasa
56Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm. 118. 57Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59. 58Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar
Media, 2006, hlm. 25. 59Ahmad Azhar Basyir, op.cit., hlm. 73.
40
tidak sah talak yang dijatuhkannya; sedangkan yang menjadi batas dewasa
itu menurut fiqh adalah bermimpi melakukan hubungan kelamin dan
mengeluarkan mani. Persyaratan dewasa itu didasarkan pada beberapa
hadis Nabi dari Ali dan Umar menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud
yang bunyinya:
حدثنا موسى بن إسمعيل حدثنا وهيب عن خالد عن أبي عليهم عن النبي صلى اللهالضحى عن علي عليه السلا
وسلم قال رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن رواه ابو (الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
60) داود Artinya: telah mengabarkan kepada kami dari Nusa bin Ismail dari
Wuhaib dari Khalid dari Abu adz-Dzuha dari Ali As. Dari Nabi Saw. berkata: Diangkatkan hukum dari tiga golongan: orang tidur sampai ia bangun; anak kecil sampai ia dewasa; orang gila sampai ia sembuh (HR. Abu Daud).
Hubungan perceraian dengan kedewasaan itu adalah bahwa talak
itu terjadi melalui ucapan dan ucapan itu baru sah bila yang
mengucapkannya mengerti tentang apa yang diucapkannya. Dalam hal
anak yang belum dewasa, namun telah mengerti tentang maksud dari talak
dan tentang mengucapkan kata talak itu menjadi perbincangan di kalangan
ulama.
Sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad dalam salah satu
riwayat, dan berlaku menurut Abu Bakar, al-Karakhiy, Ibnu Hamid, Said
ibnu al-Musayyab, 'Atha', al-Hasan, al-Sya'biy dan Ishak, berpendapat
60Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, hadis No. 860 dalam
CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
41
bahwa talak dari anak-anak yang sudah memahami arti talak itu jatuh,
sebagaimana yang berlaku pada orang dewasa. Yang menjadi pedoman
bagi golongan ini adalah pengetahuannya tentang talak.
Golongan kedua adalah jumhur ulama yang terdiri dari al-
Nakha'iy, al-Zuhriy Imam Malik Hammad, al-Nawawiy ulama golongan
Irak dan Hijaz berpendapat bahwa talak-nya tidak terjatuh. Alasan yang
dikemukakan oleh golongan ini ialah bahwa anak-anak belum mukallaf
sama keadaannya dengan orang gila. Begitu pula mereka kukuh bertahan
dengan maksud hadis yang disebutkan di atas.61
2 Sehat akalnya. Orang yang rusak akalnya tidak boleh menjatuhkan talak.
Bila talak dilakukan oleh orang yang tidak waras akalnya, talak yang
dijatuhkannya tidak sah. Termasuk dalam pengertian yang tidak waras
akalnya itu adalah: gila, pingsan, sawan/tidur/minum obat, terpaksa
minum khamar atau meminum sesuatu yang merusak akalnya/ sedangkan
dia tidak tahu tentang itu. Adapun dalil tidak sahnya talak orang yang
tidak sehat akalnya itu adalah hadis Nabi yang berasal dari Ali, dan Umar
menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud yang disebutkan di atas.
Juga hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Najad,
bunyinya:
62معتوه ز إلا طلاق ال وقال علي وآل الطلاق جائArtinya: Ali as. Berkata: Setiap itu hukumnya boleh, kecuali
talak orang yang hilang akalnya.
61Talak dari anak-anak yang sudah memahami arti talak itu tidak jatuh, sebagaimana yang
berlaku pada orang dewasa. 62Abu Abdillah al-Bukhary, Sahih al-Bukhari, Juz. 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990
M, hlm. 290.
42
Tentang orang yang sedang mabuk karena sengaja minum
minuman yang memabukkan, meskipun termasuk kepada orang yang
hilang akalnya menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Bedanya dengan
mabuk seperti disebutkan di atas adalah karena dia melakukan maksiat dan
melanggar agama dengan perbuatannya itu. Apakah karena maksiat yang
dibuatnya itu menyebabkan hukum yang berkenaan dengan perbuatan
men-talak isterinya berubah, karenanya inilah yang menjadi perbincangan
ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa talak orang mabuk itu jatuh
dengan arti berlaku perceraian. Alasan yang dikemukakan ulama ini ialah
meskipun dari segi bentuknya orang mabuk itu termasuk pada orang yang
hilang akalnya, namun hilang akalnya itu disebabkan oleh karena ia
sengaja merusak akalnya dengan perbuatan yang dilarang agama.63
Segolongan ulama termasuk al-Muzanniy dari pengikut asy-
Syâfi'iyah dan sebagian pengikut Hanafiyah mengatakan talak orang
mabuk tidak jatuh meskipun sengaja ia berbuat sesuatu yang menyebabkan
dia mabuk. Pendapat ini juga dianut di kalangan ulama Syi'ah Imamaiyah.
Alasan mereka ialah bahwa orang mabuk itu sama keadaannya dengan
orang gila dan termasuk ke dalam yang dikecualikan dari jatuhnya talak
sebagaimana tersebut dalam hadis di atas.64
63Orang yang sengaja merusak akalnya dengan perbuatan yang dilarang agama tidaklah
berarti lepas dari tanggung jawab. 64Ibnu Rusyd, Juz II, op.cit, hlm. 61.
43
3 Suami yang menjatuhkan talak berbuat dengan sadar dan atas kehendak
sendiri. Dengan begitu talak yang dilakukan oleh orang yang tidak sadar
atau dalam keadaan terpaksa tidak jatuh talak-nya.
Tidak jatuhnya talak orang yang dipaksa itu adalah pendapat yang
dipegang oleh jumhur ulama. Alasannya ialah bahwa orang yang terpaksa itu
meskipun dia mengucapkan kalimat talak, namun ia tidak bermaksud
mengucapkannya.
Adapun keadaan terpaksa menyebabkan tidak terlaksana talak bila
paksaan itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama: orang yang memaksa mempunyai kemampuan melaksanakan
ancamannya bila yang dipaksa tidak melaksanakan apa yang dipaksakannya
itu. Kedua: orang yang memaksa mengancam dengan sesuatu yang
menyebabkan kematian atau kerusakan pada diri, akal, atau harta orang yang
dipaksa. Ketiga: orang yang dipaksa tidak dapat mengelak dari paksaan itu,
baik dengan Jalan memberikan perlawanan atau melarikan diri. Keempat:
orang yang dipaksa yakin atau berat dugaannya bahwa kalau apa yang
dipaksakan tidak dilaksanakannya orang yang memaksa akan melaksanakan
ancamannya.65
Sebagian ulama asy-Syâfi'iyah memisahkan antara ucapan talak dari
orang yang terpaksa itu menggunakan niat atau tidak. Kalau waktu
mengucapkan talak itu dia meniatkan talak, maka jatuh talak-nya, sebaliknya
bila tidak diniatkannya untuk talak, tidak jatuh talak-nya.
65Amir Syarifuddin, op. cit, hlm. 204
44
Sebagian ulama, termasuk di dalamnya Abu Qalabah, al-Sya'biy, al-
Nakaha'iy, al-Zuhriy, al-Nawawiy, Abu Hanifah, dan dua pengikutnya
berpendapat talak orang terpaksa itu jatuh. Alasannya ialah bahwa talak
tersebut muncul dari seorang mukallaf berkaitan dengan wewenang yang
dimilikinya, sebagaimana yang berlaku di kalangan yang bukan terpaksa.66
Walaupun jumhur ulama menyepakati tidak terjatuhnya talak orang
yang berada di bawah paksaan, mereka sepakat pula bila paksaan itu
merupakan paksaan yang hak, seperti paksaan hakim kepada seseorang yang
meng-ila' isterinya sampai batas waktu empat bulan ia tidak mau membayar
kaffarah atau menceraikan isterinya. Talak dalam bentuk ini terjadi meskipun
orang yang men-talak melakukannya di bawah ancaman.
Orang yang tersalah atau terselip lidahnya mengucapkan kata talak
tidak terjadi talak-nya karena dia melakukan perbuatan itu di luar
kehendaknya. Seperti seseorang dalam mengatakan kepada isterinya: "engkau
bertolak" namun yang tersebut dalam ucapannya adalah "engkau tertalak", dan
ungkapan lain yang sama dengan itu. Bahkan secara khusus al-Nawawiy
dalam Minhaj mempersyaratkan adanya القصد atau kehendak dalam
pelaksanaan talak. Meskipun talak diucapkan dengan ucapan yang sharîh yang
mestinya tidak memerlukan niat. Beda niat dengan qashd dalam hal ini adalah
niat itu kesengajaan hati, sedangkan qashd berarti tekad atau kehendak untuk
berbuat.
66Ibid, hlm. 61.
45
Persyaratan al-qashd terkadang menimbulkan masalah dengan ucapan
talak yang dilakukan secara bermain-main atau dalam peran sandiwara atau
pura-pura. Sebenarnya dalam bentuk ini tidak terdapat al-qashd namun
jumhur ulama menyepakati jatuhnya talak yang dilakukan sambil main-main.
Bila diperhatikan isyarat ayat-ayat Al-Qur'an untuk tidak
mempermudah perceraian, yang diikuti oleh pendapat ulama yang
mempersyaratkan adanya kesengajaan untuk talak, perlu melihat hadis ini
secara hati-hati, karena hadis ini menurut lahirnya tidak sejalan dengan isyarat
ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Adalah bijaksana menempatkan hadis Nabi itu
sebagai peringatan untuk tidak mempermain-mainkan talak.
Kelihatannya ulama Syi'ah Imamiyah beda pendapat dengan jumhur
dalam hal ucapan talak sambil main-main ini. Bagi mereka talak hazl atau
main-main itu tidak jatuh, dengan alasan tidak terdapat padanya unsur
kesengajaan yang menjadi syarat dalam pelaksanaan talak. Mungkin ulama ini
melihat hadis yang disebutkan di atas tidak kuat untuk membatasi keumuman
ayat Al-Qur'an yang menghendaki berhati-hati dalam pelaksanaan talak.
Dalam hal talak bain yang diucapkan suami saat sakit keras yang
membawa kepada kematiannya, juga menjadi perbincangan di kalangan
ulama, karena di satu sisi terlihat ketidakmurnian maksud orang yang
menceraikan isterinya itu. Orang yang ber'iddah dalam talak bain sudah lepas
dari wilayah suami dan ia diceraikan, waktu itu ia tidak berhak mendapatkan
warisan dari suaminya. Bila si suami menjatuhkan talak dalam keadaan
46
demikian terkesan si suami ingin menyingkirkan isterinya dari hak warisan.
Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat.
Imam asy-Syâfi'i dan segolongan ulama berpendapat talak bain yang
dilakukan dalam keadaan sakit yang membawa kepada kematian adalah sah
dan terjadi. Alasannya ialah bahwa orang sakit itu masih sehat akalnya dan dia
berbuat dengan kehendak sendiri, tanpa melihat kepada kemungkinan dia
berbuat untuk tujuan yang tidak baik. Pendapat ini juga berlaku di kalangan
ulama Zhahiriyah.67
Ulama lainnya dan merupakan mayoritas ulama berpendapat bahwa
isteri masih berhak atas warisan suaminya. Hal ini mengandung arti bahwa
talak yang dijatuhkan suami tidak sah. Hanya mereka berbeda dalam cara
pewarisannya. Satu kelompok di antaranya Abu Hanifah dan pengikutnya
mengatakan si isteri menerima warisan selama masih berada dalam 'iddah.
Kelompok kedua termasuk Imam Ahmad dan Ibnu Abi Laila mengatakan
bahwa isteri itu mewarisi selama dia belum kawin; dan sekelompok lagi
mengatakan isteri mewarisi baik dalam 'iddah atau tidak, belum kawin atau
sudah kawin. Dasar pendapat dari kebanyakan ulama ini adalah untuk
mencegah suami berbuat sesuatu yang tidak sejalan dengan tujuan syara'.
Prinsip ini dinamakan sadd al-zari'ah.68
Rukun Kedua: perempuan yang ditalak
Perempuan yang di-talak itu berada di bawah wilayah atau kekuasaan
laki-laki yang men-talak; yaitu isteri yang masih terikat dalam tali perkawinan
67Tidak berarti orang sakit itu sakit pula akalnya dan tidak bisa berbuat dengan kehendak sendiri,
68Ibnu Rusyd, Juz II, op.cit, hlm. 62.
47
dengannya. Demikian pula isteri yang sudah diceraikannya dalam bentuk talak
raj'iy dan masih berada dalam 'iddah; karena perempuan dalam keadaan ini
status hukumnya seperti isteri dalam hampir seluruh seginya. Hal ini sudah
merupakan kesepakatan ulama.
Tentang men-talak perempuan yang belum dikawininya namun dengan
syarat terjatuhnya talak setelah dikawininya menjadi perbincangan di kalangan
ulama.69 Ini yang disebut masalah menggantungkan talak setelah dikawini.
Cara ini ada dalam dua bentuk. Pertama; secara umum terhadap perempuan
mana saja, seperti ucapannya: "Siapa saja perempuan yang ada di daerah ini
bila saya kawini dia akan saya talak", kedua: secara khusus, seperti
ucapannya: "bila saya kawin dengan si Ani ia akan saya talak".
Segolongan ulama yang terdiri dari Imam Ahmad, Imam asy-Syâfi'i,
Daud al-Zhahiriy dan sekelompok ulama berpendapat bahwa talak dalam
bentuk itu tidak jatuh, baik diucapkan untuk perempuan secara umum atau
perempuan tertentu.
Segolongan ulama yang terdiri dari Abu Hanifah dan sekelompok
ulama lainnya berpendapat bahwa talak jatuh baik syarat yang dikaitkan pada
talak itu ditujukan kepada perempuan tertentu atau secara umum. Alasannya
ialah bahwa sewaktu terjatuhnya talak yang disyaratkan itu si perempuan telah
menjadi isterinya.
Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa bila syarat yang
dikaitkan pada talak itu ditujukan kepada perempuan tertentu jatuh talak-nya;
69Ibid, hlm. 63.
48
sebaliknya bila ditujukan kepada perempuan secara umum tidak terjatuh talak-
nya.
Rukun Ketiga: Shigat atau ucapan talak
Dalam akad nikah terdapat dua ucapan yang merupakan rukun dari
perkawinan, yaitu ucapan ijab dari pihak perempuan dan ucapan qabul dari
pihak laki-laki. Kedua ucapan yang bersambung itu dinamai akad. Dalam
talak tidak terdapat ijab dan qabul karena perbuatan talak itu merupakan
tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada tindakan isteri untuk itu. Oleh
karena itu, sebagai imbalan akad dalam perkawinan, dalam talak berlaku
shighat atau ucapan talak.
Jumhur ulama berpendapat bahwa talak terjadi bila suami yang ingin
menceraikan isterinya itu mengucapkan ucapan tertentu yang menyatakan
bahwa isterinya itu telah lepas dari wilayahnya. Oleh karena itu, kalau suami
hanya sekadar berkeinginan atau meniatkan tetapi belum mengucapkan apa-
apa, maka belum terjadi talak. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama
tersebut di atas, al-Zuhriy berpendapat meskipun tidak diucapkannya, tetapi ia
telah bertekat atau berazam untuk menceraikan isterinya, maka talak-nya
jatuh.
50
BAB III
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KHULU' SEBAGAI TALAK
A. Biografi Imam Malik
1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Imam Malik
Imam Malik memiliki nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin
Abi Amir bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin
Al-Harits Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah Al-Madani dan
merupakan imam Dar Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari Bani
Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin
Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah, dari sepasang suami-istri
Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah imam
Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi'in yang
sangat minim sekali informasinya. Buku sejarah hanya mencatat, bahwa
ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, suatu
tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai
pembuat panah.1 Kakek Malik, Abu Umar, datang ke Madinah dan
bermukim di sana sesudah Nabi wafat. Karenanya kakek Malik ini tidak
termasuk golongan sahabat, tetapi masuk golongan tabi’in. 2
1M. Alfatih Suryadilaga (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003, hlm. 2. 2TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 461
51
Tentang tahun kelahirannya, Adz-Dzahabi berkata, "Menurut
pendapat yang lebih shahih Imam Malik lahir pada tahun 93 Hijriyah,
yaitu pada tahun dimana Anas, pembantu Rasulullah, meninggal.3 Para
ahli tarikh berbeda pendapat, Yasin Dutton menyatakan kemungkinan
pada 93 H/711 M.4 Ibnu khalikan menyebut 95 H, ada pula yang
menyatakan 90 H, 93 H, 94 H dan ada pula yang menyatakan 97 H. Tetapi
mayoritas ulama cenderung menyatakan beliau lahir tahun 93 H pada
masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan dan meninggal
tahun 179 H. Jadi Imam Malik 13 tahun lebih muda dari rekannya yang
termasyhur, Imam Abu Hanifah.5
Mengenai sifat-sifatnya Mathraf bin Abdillah berkata, "Malik bin
Anas mempunyai perawakan tinggi, ukuran kepalanya besar dan botak,
rambut kepala dan jenggotnya putih, sedang kulitnya sangat putih hingga
kelihatan agak pirang. Dari Isa bin Umar Al-Madani, dia berkata, "Aku
tidak pernah melihat ada orang yang mempunyai kulit putih dan
mempunyai wajah yang kemerah-merahan, sebagus yang dimiliki Malik,
dan aku tidak melihat pakaian yang lebih putih dari pakaian yang
dikenakan Malik.Dari Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata, "Aku tidak
3Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, hlm. 260. 4Yasin Dutton, The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal, Terj. M.
Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", Yogyakarta: Islamika, 2003, hlm. 16
5Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 104.
52
melihat ada orang yang lebih mulia dari Malik, dan aku tidak melihat ada
orang yang lebih sempurna akal dan ketakwaannya dari Malik.6
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan 3
anak laki-laki (Muhammad, Hammad dan Yahya) dan seorang anak
perempuan, Fatimah (yang mendapat julukan Umm al-Mu'minin).
Menurut Abu Umar, Fatimah termasuk di antara anak-anaknya yang
dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik Kitab al-Muwatta'.
Menurut Munawar Khalil, Imam Malik sesudah berputra beberapa
orang, yang dari antaranya ada yang dinamakan Abdullah, maka beliau
lalu terkenal dengan sebutan Abu Abdillah. Kemudian setelah beliau
menjadi seorang alim besar dan terkenal dimana-dimana; juga setelah
ijtihad beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh
sebagian kaum muslimin, maka hasil ijtihad beliau dikenal dengan sebutan
mazhab Maliki.7
Setelah menjadi ulama besar, Imam Malik mempunyai dua tempat
pengajian yaitu masjid dan rumahnya sendiri. Beliau sering
menyampaikan hadis dan masalah-masalah fiqh. Dalam mengajar, Imam
Malik sangat menjaga diri agar tidak salah dalam memberi fatwa. Oleh
karena itu, untuk masalah-masalah yang ditanyakan, sedang beliau belum
yakin betul akan kebenaran jawabannya, sering menjawab la adri (saya
6Syaikh Ahmad Farid, loc.cit 7Munawar Khalil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta:
Bulan Bintang, 1977, hlm. 80.
53
tidak tahu).8
Imam Malik terdidik di kota Madinah, tempat berkumpulnya para
sahabat, tabi'in, cerdik-pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik
di tengah-tengah mereka sebagai seorang anak yang cerdas, cepat
menerima pelajaran, kuat dalam berfikir, setia dan teliti.
Dari kecil beliau membaca al-Qur'an dengan lancar dan
mempelajari sunnah. Setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan
fuqaha di kota Madinah, menghimpun pengetahuan yang didengar dari
mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, mengutip atsar-atsar
mereka, dan mengambil ka'idah-ka'idah mereka, sehingga beliau menjadi
orang yang paling pandai diantara mereka, dan menjadi seorang pemuka
sunnah serta pemimpin ahli hukum agama di negeri Hijaz.9
Perlu diterangkan, bahwa Malik, datuk beliau adalah termasuk
pembesar tabi'in dan ulama terkemuka. Semenjak kecil beliau seorang
fakir karena bukan berasal dari keturunan orang mampu. Sekalipun dalam
keadaan demikian, beliau tetap sebagai seorang pelajar yang setia dalam
menuntut ilmu pengetahuan. Karena itu, setelah beliau menjadi seorang
alim besar di kota Madinah, banyak hadiah yang diberikan kepadanya.10
Imam Malik sering mengunjungi para syekh, sehingga Imam
Nawawi mencatat bahwa ia berguru pada 900 syekh, 300 tabi'in dan 600
tabi'it-tabi'in. la juga berguru kepada syekh-syekh pilihan yang terjaga
8A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 128. 9Munawar Khalil, loc. cit. 10Ibid, hlm. 80.
54
agamanya dan memenuhi syarat-syarat untuk meriwayatkan hadis yang
terpercaya. la menghindari berguru pada syekh yang tidak memiliki ilmu
riwayat meskipun istiqamah dalam agamanya. Secara khusus, Imam
Malik berguru kepada Abdurrahman bin Hurmuz al-A'raj selama tujuh
tahun lebih. Selama masa itu ia tidak berguru pada syekh lain. la selalu
memberi kurma anak-anak Syekh Abdurrahman bin Hurmuz dan berkata,
"Bila ada yang mencari syekh, katakan ia sedang sibuk." la bermaksud
agar ia bisa konsentrasi belajar semaksimal mungkin.11
Di antara guru-gurunya adalah Rabi'ah bin Abi Abdurrahman, guru
Imam Malik di masa kecilnya. Ibunya berkata, "Pergilah mencari ilmu!"
Lantas ibunya memberinya seragam dan sorban "Pergilah ke Rabi'ah.
Belajarlah adab sebelum mempelajari ilmu." la pun menaati perintah
ibunya. Nafi', budak Abdullah bin Umar, juga termasuk guru Imam Malik.
la sering mendatanginya dan bertanya padanya. Demikian juga Ja'far
Muhammad al-Baqir, Muhammad bin Muslim al-Zuhri, Abdurrahman bin
Dzakwan, Yahya bin Sa'ad al-Anshari, Abu Hazim Salamah bin Dinar,
Muhammad bin Munkadir, Abdullah bin Dinar dan lain-lain.12
Kepandaian Imam Maliki tentang pengetahuan ilmu agama dapat
diketahui melalui para ulama pada masanya, seperti pernyataan Imam
Hanafi bahwa beliau tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih alim
daripada Imam Maliki. Imam al-Laits bin Sa'ad pernah berkata, bahwa
pengetahuan Imam Maliki adalah pengetahuan orang yang takwa kepada
11Ahmad asy-Syarbasy, Empat Mutiara Zaman Biografi Empat Imam Mazhab, Terj. Futuhal Arifin, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 82
12Ibid
55
Allah dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak
mengambil pengetahuan".13
Imam Yahya bin Syu'bah menyebutkan bahwa pada masa itu tidak
ada seorang pun yang dapat menduduki kursi mufti di masjid Nabi Saw
selain Imam Maliki. Karena kepandaian Imam Maliki tentang ilmu agama
dan seorang alim besar, beliau terkenal sebagai seorang ahli kota Madinah
dan imam di negeri Hijaz.14
Imam Malik adalah ulama pendiri mazhab, karena itu, ia memiliki
murid dan pengikut yang meneruskan dan melestarikan pendapat-
pendapatnya. Di antara pengikut Imam Malik yang terkenal adalah (1)
Asad ibn al-Furat, (2) 'Abd al-Salam al-Tanukhi (Sahnun), (3) Ibnu
Rusyd, (4) Al-Qurafi, dan (5) Al-Syathibi.
Malik bin Anas wafat pada hari kesepuluh bulan Rabi'ul Awal
tahun 179 H dalam usia 60 tahun. Beliau berwasiat bahwa kalau wafat,
hendaknya dikafani dengan kain putih dan disalati di tempat jenazah.
Beliau disalati oleh banyak manusia, diantaranya adalah Ibnu Abbas
Hasyim, Ibnu Kinanah, Sya'bah bin Daud, sekretaris beliau Habib, dan
putra beliau. Pendudukan Madinah dari berbagai usia mengiringi
pemakamannya di Baqi' di Madinah.15
13M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.
196. 14Ibid, hlm. 196 - 197 15Ali Fikri, Kisah-Kisah Imam Mazhab, Terj. Abd Aziz, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2003, hlm. 71.
56
2. Karya-karyanya
Karya Imam Malik adalah (a) al-Muwatta'. Kitab ini merupakan
hadis dan fikih sekaligus yang di dalamnya dihimpun hadis-hadis dalam
tema-tema fikih yang dibahas Imam Malik, seperti praktek atau amalan
penduduk Madinah, pendapat tabi'in yang ia temui, dan pendapat sahabat
serta tabi'in yang tidak sempat ditemuinya.16 Karya lainya, adalah: (b)
Kitab 'Aqdiyah, (c) Kitab Nujum, Hisab Madar al-Zaman, Manazil
al'Qamar, (d) Kitab Manasik, (e) Kitab Tafsir li Garib al-Qur'an, (f)
Ahkam al-Qur'an, (g) al-Mudawanah al-Kubra, (h) Tafsir al-Qur'an (i)
Kitab Masa' Islam (j) Risalah ibn Matruf Gassan (k) Risalah ila al-Lais,
(1) Risalah ila ibn Wahb. Namun, dari beberapa karya tersebut yang
sampai kepada kita hanya dua yakni, al-Muwatta' dan al-Mudawwanah al-
Kubra.17
Kitab ini sudah disyarahi oleh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi
dengan judul Auzhaz al-Masalik ila Muwatta' Malik, dan Muhammad ibn
'Abd al-Baqi al-Zarqani dengan judul Syarh al-Zarqani 'al-Muwatta' al-
Imam Malik, dan Jalal al-Din 'Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi'i yang
berjudul Tanwir al-Hawalik Syarh 'al-Muwatta' Malik.
3. Situasi Politik dan Sosial Keagamaan
Situasi ketika Malik hidup memberikan pengaruh besar terhadap
sikap konsistensinya pada hadis dan keengganannya pada ijtihad rasio.
16Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: PT.Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994, hlm. 142. 17M. al-Fatih Suryadilaga (ed), op.cit., Yogyakarta: Teras, 2003, hlm. 6
57
Selama empat puluh tahun ia hidup dalam periode Umayyah dan empat
puluh enam tahun dalam periode Abbasiyah, maka masa-masa ini
merupakan orde penuh gejolak dan sarat gelombang fitnah dan politik.
Dalam lapangan politik, misalnya, muncul aliran Syi'ah dan Khawarij,
dalam teologi muncul aliran Qadariyah, Jahmiyah dan Murji'ah. Masing-
masing aliran ini berusaha keras membela mazhabnya. Kadang-kadang
mereka menggunakan hadis-hadis Nabi Saw secara serampangan.
Terkadang pula mereka membuat atau mengubahnya sesuai dengan dan
untuk kepentingannya masing-masing yang akhirya menimbulkan
(memunculkan) hadis-hadis palsu dan pertentangan di kalangan
masyarakat. 18
Akibat dari kecerobohan-kecerobohan terhadap hadis-hadis Nabi
itu, Imam Malik merasa perlu untuk meneliti riwayat-riwayat hadis. Kitab
monumentalnya, al-Muwatta' adalah bukti sejarah yang nyata hingga
sekarang. Kitab ini memuat hadis-hadis shahih, perbuatan orang-orang
Madinah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi'ien yang disusun secara sistematis
mengikuti sistematika penulisan fiqih. Keistimewaan dari al-Muwatta' '
adalah bahwa Imam Malik memerinci berbagai persoalan dan kaidah-
kaidah fiqhiyah yang diambil dari hadis-hadis. Kitab yang disusun selama
empat puluh tahun ini merupakan satu-satunya kitab yang paling
komprehensif di bidang hadis dan fiqih, sistematis dan ditulis dengan cara
yang sangat baik, minimal, yang muncul pada saat itu. Kitab ini diberi
18Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah
Gusti,1995, hlm. 95.
58
judul al-Muwatta' yang berarti "kemudahan" dan "kesederhanaan", karena
penulisannya diusahakan sebaik mungkin untuk memudahkan dan
menyederhanakan kajian-kajian hadis dan fiqih. Seperti diakui sendiri
oleh Imam Malik, kitab ini ditulis karena ada desakan-desakan dan
kebutuhan memberikan pemahaman yang mendasar terhadap masyarakat.
Abu Ja'far al-Mansur yang saat itu menjabat sebagai khalifah kedua dari
Bani Abbas juga pernah menyarankan Malik untuk melakukan kerja
agung itu.
Ada beberapa versi yang mengemukakan tentang latar belakang
penyusunan al-Muwatta'. Menurut Noel J. Coulson,19 problem politik dan
sosial keagamaan-lah yang melatarbelakangi penyusunan al-Muwatta.
Kondisi politik yang penuh konflik pada masa transisi Daulah Umayyah-
Abasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij, Syi'ah-
Keluarga Istana) yang mengancam integritas kaum Muslim. Di samping
kondisi sosial keagamaan yang berkembang penuh nuansa perbedaan.
Perbedaan-perbedaan pemikiran yang berkembang (khususnya dalam
bidang hukum) yang berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi
dan rasio di sisi yang lain, telah melahirkan pluratis yang penuh konflik.20
Versi lain menyatakan, penulisan al-Muwatta dikarenakan adanya
permintaan Khalifah Ja'far al-Mansur atas usulan Muhammad ibn al-
Muqaffa' yang sangat prihatin terhadap perbedaan fatwa dan pertentangan
yang berkembang saat itu, dan mengusulkan kepada Khalifah untuk
19Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987, hlm. 59
20M. al-Fatih Suryadilaga (ed), op. cit, hlm. 7
59
menyusun undang-undang yang menjadi penengah dan bisa diterima
semua pihak. Khalifah Ja'far lalu meminta Imam Malik menyusun kitab
hukum sebagai kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik
menerima usulan tersebut, namun ia keberatan menjadikannya sebagai
kitab standar atau kitab resmi negara. Sedangkan versi yang lain, di
samping termotivasi oleh usulan Khalifah Ja'far al-Mansur, sebenarnya
Imam Malik sendiri memiliki keinginan kuat untuk menyusun kitab yang
dapat memudahkan umat Islam memahami agama.21
"Sekarang ini tidak ada orang alim kecuali saya dan anda," kata al-
Mansur, "Sedangkan saya sibuk dengan urusan politik. Saya berharap
anda akan menulis buku tentang fiqih dan Sunnah. Usahakan hindari
kelonggaran Ibnu Abbas, keekstriman Ibnu Umar dan pandangan-
pandangan kontroversial Ibnu Mas'ud. Usahakan untuk mempermudah
dan menyederhanakan sedapat mungkin."22 al-Muwatta' mendapat
sambutan hangat dari masyarakat, terutama kalangan ulama. Banyak
ulama yang datang minta riwayat hadis dari Imam Malik. Melihat
sambutan yang sangat semarak itu, al-Mansur berhasrat untuk
menyebarkannya ke berbagai daerah. "Saya bermaksud meletakkan al-
Muwatta' di pintu Ka'bah dan menyebarkannya ke seluruh daerah agar
menjadi pegangan umum masyarakat," kata al-Mansur. "Jangan," kata
Imam Malik, menolak, "Jangan lakukan itu. Sebab para sahabat menyebar
di mana-mana dan mereka meriwayatkan suatu hadis yang tidak
21Ibid, hlm. 7 – 8. 22Mun’im A. Sirry, op. cit, hlm. 95.
60
diriwayatkan oleh ulama-ulama Hijaz yang saya jadikan pegangan.
"Biarkan mereka tetap seperti semula."23
B. Pendapat Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak
Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta' menyatakan sebagai berikut:
ت معوذ بن عفراء حدثني يحيى عن مالك عن نافع أن ربيع بنجاءت هي وعمها إلى عبد الله بن عمر فأخبرته أنها اختلعت من زوجها في زمان عثمان بن عفان فبلغ ذلك عثمان بن
24ن عمر عدتها عدة المطلقة عفان فلم ينكره وقال عبد الله بArtinya: "Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik, dari Nafi'
bahwa Rubayyi' bint Mu'awwadh ibn 'Afra' datang bersama pamannya kepada 'Abdullah ibn 'Umar dan memberitahunya bahwa ia telah bercerai dari suaminya dengan membayar pengganti kepadanya pada masa 'Utsman ibn 'Affan, dan 'Utsman ibn 'Affan mendengar tentang itu dan tidak menyalahkannya. 'Abdullah ibn 'Umar berkata: "Masa 'iddahnya adalah 'iddah seorang wanita yang dicerai."
ليمان بن أن سعيد بن المسيب وسحدثني عن مالك أنه بلغهويسار وابن شهاب آانوا يقولون عدة المختلعة مثل عدة المطلقة
25ثلاثة قروء Artinya: "Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik bahwa ia telah
mendengar bahwa Sa'id ibn al-Musayyab, Sulayman ibn Yasar dan Ibn Shihab mereka berkata bahwa seorang wanita yang meminta cerai kepada suaminya dengan membayar iwad masa 'iddahya seperti seorang wanita yang bercerai tiga periode menstruasi/suci".
23Ibid, hlm. 96. 24Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, al-Muwatta'
Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, tth, hlm. 345. 25Ibid
61
إال بنكاح جديد إنها الترجع إلى زوجها: قال مالك في المفتدية عليها عدة من فإن هو نكحها ففارقها قبل أن يمسها لم يكن له
26الطالق االخر وتبني على عدتها األولىArtinya: Malik mengatakan tentang wanita yang menebus dirinya (untuk
bercerai dari suaminya): bahwa wanita itu tidak bisa kembali kepada suaminya kecuali dengan akad nikah baru. Bila kemudian suaminya menikahinya lalu menceraikannya sebelum menggaulinya, maka ia tidak perlu lagi menjalani iddah dari talak yang terakhir ini, tapi ia tetap berpatokan pada iddahnya yang pertama, (yakni melanjutkannya).
27وهذا أحسن ما سمعت فى ذلك: قال مالك Artinya: Malik mengatakan, ini adalah pendapat terbaik yang pernah aku
dengar dalam masalah ini.
المرأة من زوجها بشيء على أن يطلقها إذا افتدت: قال مالكفطلقها طالقا متتابعا نسقا فذلك ثابت عليه فإن آان بين ذلك
28صمات فما أتبعه بعد الصمات فليس بشيءArtinya: Malik mengatakan, bila seorang wanita menebus dirinya dari
suaminya dengan sesuatu juga memberikan iwadh agar ia menceraikan dirinya, lalu suaminya itu mentalaknya dengan talak yang berturut-turut tanpa berhenti, maka hal itu berlaku padanya, tapi bila ada diam di antara ucapan talak itu, maka apa yang setelah diam itu tidak lagi dianggap.
مع الطالق تطليقتان إال أن يكون لم يطلق قبله شيئا الخلع 29فالخلع تطليقة
Artinya: khulu' disertai talak menjadi dua talak kecuali suami tersebut belum pernah mentalak sebeumnya maka khulu' menjadi talak satu.
26Ibid 27Ibid 28Ibid 29Imam Malik, Mudawanah al-kubra, Juz. II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994, hlm.
242
62
Dengan demikian dalam perspektif Imam Malik bahwa khulu' itu
mempunyai kedudukan sebagai talak. Kesimpulan yang dapat diambil dari
pendapat Imam Malik yaitu dalam pandangan Imam Malik bahwa khulu' itu
mempunyai kedudukan sebagai talak, sehingga khulu' mempunyai sifat
mengurangi jumlah talak yang dimiliki suami dan suami dapat merujuk
kembali istrinya selama dalam masa 'iddah. Imam Abu Hanifah menyamakan
khulu'' dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i
berpendapat bahwa khulu'' itu adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam
Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas ra.
C. Alasan Hukum Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak
Imam Abu Hanifah menyamakan khulu'' dengan talak dan fasakh
secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu'' itu
adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan
Ibnu Abbas ra. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa khulu'' itu adalah
talak.30
Imam Malik tidak menuliskan secara langsung dasar-dasar fiqhiyah
yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi murid-muridnya kemudian
menuliskan dasar-dasar fiqhiyah Malik dari beberapa isyarat yang ada dalam
fatwa-fatwanya dan kitabnya, Muwatta',.
Al-Qarafi dalam kitabnya, Tanqih al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar
mazhab Maliki sebagai berikut: Al-Qur'an, Sunnah, ijma', perbuatan orang-
30Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 52.
63
orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, 'urf, sadd al-zara`i',
istihsan dan istishab. Al-Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki,
menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu al-
Qur'an, Sunnah, ijma' dan ra'y (rasio). Penyederhanaan Syatibi ini memang
cukup beralasan, sebab, qaul sahabat dan tradisi orang-orang Madinah yang
dimaksud Imam Malik adalah bagian dari Sunnah, sedangkan ra'y itu meliputi
maslahah mursalah, sadd al-zara-i', 'urf, istihsan dan istishab.31
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa metode dan dasar-
dasar kajian fiqih Malik sepenuhnya mengambil kerangka acuan mazhab ahli
hadis yang muncul di Hijaz. Penggunaan qiyas, misalnya jarang sekali
dilakukan, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik dalam
menetapkan atau memutuskan hukum mendahulukan "perbuatan orang-orang
Madinah". Sampai sejauh itu Imam Malik tidak berani menggunakan rasio
secara bebas. Ibnu Qasim, salah seorang muridnya yang sering melakukan
dialog dengannya, mengatakan bahwa Imam Malik mengaku, dalam masa
lebih dari sepuluh tahun ini, untuk menjawab suatu masalah ia tidak pernah
mendahulukan rasio. Keteguhan Imam Malik dalam memegang al-Qur'an dan
hadis sedemikian rupa, sehingga dalam masalah-masalah yang tidak ada nash
yang jelas baik dari keduanya, ia tidak berani memutuskannya, sebagaimana ia
juga tidak suka memprediksikan masalah-masalah yang belum muncul.
Ada beberapa hal menarik dari dasar-dasar mazhab Maliki. Pertama,
Imam Malik mendahulukan perbuatan orang-orang Madinah sebelum qiyas,
31Mun’im A. Sirry, op.cit., hlm. 96-97.
64
suatu metode yang tidak dipergunakan fuqaha lainnya. Perbuatan orang-orang
Madinah, menurut Imam Malik, termasuk bagian dari sunnah mutawatirah
karena pewarisannya melalui generasi ke generasi yang dilakukan secara
massal sehingga menutup kemungkinan untuk terjadi penyelewengan. Para
sahabat yang berada di Madinah bergaul dengan Nabi Saw dan
mengembangkan tradisi hidup Nabi Saw yang kemudian diwariskan kepada
tabi'in dengan cara yang sama. Pewarisan itu berlangsung secara
berkesinambungan hingga sampai kepada tabi'it tabi'in.32
Dalam suratnya kepada Laits bin Sa'ad, Imam Malik berkata,
"Madinah adalah tempat hijrah, tempat turunnya al-Qur'an, dihalalkannya
yang halal dan diharamkannya yang haram. Para sahabat mengikuti jejak Nabi
Saw dalam segala hal, demikian pula tabi'in. Jika demikian halnya, menurut
pendapat saya, tidak seorang pun yang boleh melanggarnya." Laits bin Sa'ad
menjawab surat Malik secara panjang lebar dan menanggapi beberapa point
dari pendapatnya. "Sebagaimana anda, saya pun ingin mengemukakan
pendapat saya dalam masalah ini," tulis Laits, "Karena perbedaan pendapat ini
sebenarnya merupakan warisan para sahabat dan tabi'in. Bagaimana anda
dapat berkesimpulan bahwa perbuatan orang-orang Madinah sebagai sumber
hukum padahal anda pun tahu bahwa sahabat sendiri berbeda pendapat dalam
berbagai persoalan, kemudian tradisi ikhtilaf itu pun, diikuti oleh tabi'in?33
Tradisi dialog seperti itu akan menguatkan hipotesa kita bahwa betapapun
Imam Malik sangat tertutup terhadap perkembangan yang ada di sekitarnya,
32Ibid, hlm. 97. 33Ibid
65
tetapi ia pun berusaha membuka dialog terbuka dengan para ulama yang tidak
sealiran dengannya.
Kedua, Imam Malik juga menganggap qaul sahabat sebagai dalil
syar'i, yang harus didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi keras
oleh seluruh ulama, termasuk Syafi'i. Sebab suatu dalil, demikian para
penyanggah, hanya dapat diperoleh dari orang-orang ma'shum, sedangkan
yang tidak ma'shum tidak dapat dijadikan dalil karena ada kemungkinan untuk
salah.34
Ketiga, maslahah mursalah. Teori ini semula hanya dikenal dalam
mazhab Maliki kemudian mendapat pengakuan dari hampir semua mazhab
meski dengan sebutan yang berbeda. Dalam teori ini dapat diketahui bahwa
ternyata fiqih mazhab Maliki pun memakai rasio. Karena betapapun sejauh
masalahnya menyangkut fiqih pasti mengandung unsur pemakaian rasio.
Maslahah mursalah yaitu suatu kemaslahatan dimana syar’i tidak
mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada
dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.35 Tegasnya,
maslahah mursalah artinya suatu kemaslahatan yang tidak ada ketegasan nash
Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi dirujukkan pada tujuan-tujuan moral dan
pemahaman menyeluruh dari nash-nash itu.
34Ibid, hlm. 98 35Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm 84.
Maslahah mursalah termasuk sumber hukum yang masih dipertentangkan di antara ulama ahli fiqh. Golongan mazhab Hanafi dan Syafi’i tidak menganggap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan memasukkannya ke dalam bab atau kategori qiyas. Jika di dalam suatu maslahat tidak ditemukan nash yang bisa dijadikan acuan qiyas, maka maslahat tersebut dianggap batal, tidak diterima. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 280.
66
Contoh dari penggunaan teori ini dapat dilihat pada tindakan Umar bin
Khathab terhadap beberapa orang Yaman yang membunuh satu orang. Ketika
itu sekelompok dari orang-orang Yaman mengadakan konspirasi dalam
pembunuhan satu orang. Tidak ada nash yang menegaskan kasus ini, yang ada
adalah annafs bin nafsi (satu jiwa dengan satu jiwa). Sesudah mendiskusikan
kasus ini dengan Ali bin Abi Thalib, Umar memutuskan qisas terhadap orang-
orang yang terlibat dalam konspirasi itu. Sikap itu, demikian kata Umar,
adalah suatu upaya mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan, yaitu mencegah
pertumpahan darah dan terjadinya hukum rimba. Kemaslahatan ini juga
merupakan suatu kemaslahatan yang menjadi sasaran utama al-Qur'an. Sebab
jika orang-orang yang terlibat itu tidak dibunuh, maka cara konspirasi seperti
itu akan dianggap sebagai cara yang paling aman untuk menghindar dari qisas.
"Kalau saja semua orang Yaman sepakat untuk melakukan pembunuhan, saya
akan bunuh mereka semua," kata Umar.36 Dan inilah yang dimaksudkan
maslahah mursalah.
Keempat, keteguhan Imam Malik dalam memegang "tradisi orang-
orang Madinah" dalam penerimaan hadis ahad. Menurut Imam Malik, suatu
hadis ahad dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-
orang Madinah, karena kedudukan dan perbuatan orang-orang Madinah sama
dengan hadis mutawatir. Sedangkan hadis mutawatir harus didahulukan dari
qiyas.37
36M. Alfatih Suryadilaga (ed), op. cit, hlm. 3. 37Qiyas adalah mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan
hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi
67
Berdasarkan keterangan di atas barangkali dapat disimpulkan bahwa
Imam Malik adalah seorang yang berpikiran tradisional. Hanya karena
kedalaman ilmunya ia dapat mengimbangi berbagai perkembangan yang
terjadi saat itu.
Secara umum, metode dan dasar-dasar istinbat yang digunakan Imam
Malik adalah:
1. Al-Qur'an
Seperti halnya para imam mazhab yang lain, Imam Malik
meletakkan Al-Qur'an di atas semua dalil karena Al-Our'an merupakan
pokok syariat dan "hujjahnya. Imam Malik mengambil dari:
a Nash yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk
lahirnya;
b Mafhum muwafaqah atau fahwa al-khitab, yaitu hukum yang semakna
dengan satu nash (Al-Qur'an dan Al-Hadis) yang hukumnya sama
dengan yang disebutkan oleh nash itu sendiri secara tegas;
c Mafhum mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari
dalil yang disebutkan dalam nash (Al-Qur'an dan Al-Hadis) pada
sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash; dan
d 'Illat-'illat hukum (sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum).
2. Sunnah
Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur'an. Sunah yang
diambil oleh Imam Malik ialah:
persamaan antara keduanya yang disebut illat. Lihat A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 63. .
68
a Sunah mutawatir;
b Sunah masyhur, baik kemasyhurannya itu di tingkat tabiin ataupun
tabi' at-tabi'in (generasi sesudah tabiin). Tingkat kemasyhuran setelah
generasi tersebut di atas tidak dapat dipertimbangkan; dan
c Khabar (hadis) ahad yang didahului atas praktek penduduk Madinah
dan kias. Akan tetapi kadang-kadang khabar ahad itu bisa tertolak oleh
kias dan maslahat.
3. Praktek Penduduk Madinah
Hal itu dipandang sebagai hujah, jika praktek itu benar-benar
dinukilkan dari Nabi Saw. Sehubungan dengan itu praktek penduduk
Madinah yang dasarnya ra'yu (akal, penalaran) bisa didahulukan atas
khabar ahad. Imam Malik mencela ahli fikih yang tidak mau mengambil
praktek penduduk Madinah, bahkan menyalahinya.
4. Fatwa Sahabat
Fatwa ini dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan.
Dalam kaitan ini Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat
dalam soal manasik haji dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan
alasan sahabat yang bersangkutan tidak melaksanakannya karena hal ini
tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perintah dari Nabi Saw.
Sementara itu, masalah manasik haji tidak mungkin bisa diketahui
tanpa adanya penukilan langsung dari Nabi Saw. Imam Malik juga
mengambil fatwa tabiin besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya
dengan fatwa sahabat.
69
5. Qiyas, al-Maslahah al-Mursalah, dan Istihsan.
Imam Malik mengambil kias dalam pengertian umum yang
merupakan penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara yang tidak
ditegaskan dengan hukum yang ditegaskan. Hal ini disebabkan adanya
persamaan sifat (illat hukum). Sementara istihsan adalah memandang
lebih kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz'iyah (sebagian) atas
ketetapan hukum berdasarkan kias berdasarkan kias. Jika dalam kias ada
keharusan menyamakan suatu hukum yang tidak tegas dengan hukum
tertentu yang tegas, maka maslahat juz'iyah mengharuskan hukum lain dan
ini yang diberlakukan, yang kemudian dinamakan istihsan. Akan tetapi
dalam Mazhab Maliki, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup
setiap maslahat, yaitu hukum maslahat yang tidak ada nash, baik dalam
tema itu dapat diterapkan kias ataupun tidak, sehingga pengertian istihsan
itu mencakup al-maslahah al-mursalah.
6. Az-Zara'i', yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan
maka akan menjadi haram pula, sarana yang membawa pada hal-hal yang
dihalalkan maka akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada
kerusakan maka diharamkan juga. Sarana yang membawa pada kerusakan
(mafsadah) dalam Mazhab Maliki dibagi menjadi empat.
Pertama, sarana yang secara pasti membawa pada kerusakan, seperti
menggali sumur di belakang pintu rumah.
70
Kedua, sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan,
seperti jual-beli anggur dengan dugaan akan dibuat khamar (minuman keras)
oleh pembelinya.
Ketiga, sarana yang jarang bisa membawa pada kerusakan, seperti
menggali sumur di suatu tempat yang tidak membahayakan orang lain.
Keempat, sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan, tetapi
tidak dipandang umum, seperti jual-beli dengan tenggang waktu yang dapat
membawa pada praktek riba
Setelah mengungkapkan metode istinbath hukum Malik secara umum,
maka alasan Imam Malik secara khusus dalam konteksnya dengan khulu'
sebagai talak, alasannya adalah karena kata-kata khulu' itu hanya dimiliki
suami atau dengan kata lain bahwa khulu' itu diucapkan oleh suami, meskipun
atas permintaan istri dengan memberikan iwadh (tebusan). Karena itu hakikat
khulu' sama dengan talak.38
Dalam perspektif Imam Malik bahwa fatwa sahabat dianggap tidak
jauh berbeda dengan hadis yang harus dilaksanakan. Dalam konteks ini Imam
Malik juga menganggap qaul sahabat sebagai dalil syar'i, yang harus
didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi keras oleh seluruh ulama,
termasuk Syafi'i. Sebab suatu dalil, demikian para penyanggah, hanya dapat
diperoleh dari orang-orang ma'shum, sedangkan yang tidak ma'shum tidak
dapat dijadikan dalil karena ada kemungkinan untuk salah.39
38Ibnu Rusyd, op.cit, hlm. 52. 39Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah
Gusti,1995, hlm. 98
71
Adapun alasan Imam Malik yang berpendapat bahwa khulu' sebagai
talak ba'in adalah karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa
'iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi.40 Imam Abu Hanifah
menyamakan khulu'' dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan
Imam Syafi'i berpendapat bahwa khulu'' itu adalah fasakh. Demikian pula
pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas ra. Sedangkan
Imam Malik berpendapat bahwa khulu'' itu adalah talak. Abu Tsaur
berpendapat bahwa apabila khulu' tidak menggunakan kata-kata talak, maka
suami tidak dapat merujuk istrinya. Sedang apabila khulu' tersebut
menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha
yang menganggap khulu' sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh
itu tidak lain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang
kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari
kehendaknya. Sedang khulu' ini berpangkal pada kehendak. Oleh karenanya,
khulu' itu bukan fasakh.
40Ibnu Rusyd, op.cit, hlm. 52.
72
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KHULU' SEBAGAI
TALAK
A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak
Sebelum menganalisis pendapat Imam Malik tentang khulu' sebagai
talak, ada baiknya dikemukakan sepintas pendapat para ulama lainnya tentang
tentang khulu' sebagai talak ataukah sebagai fasakh. Berdasarkan hal itu maka
dalam sub ini hendak diketengahkan tiga hal: (1) pendapat para ulama lainnya;
(2) Pendapat Imam Malik; (3) Analisis penulis.
Pertama, pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah menyamakan
khulu'' dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i
berpendapat bahwa khulu'' itu adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam
Ahmad, Imam Abu Daud dan Ibnu Abbas ra. Sedangkan Imam Malik
berpendapat bahwa khulu'' itu adalah talak. Abu Tsaur berpendapat bahwa
apabila khulu' tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat
merujuk istrinya. Sedang apabila khulu' tersebut menggunakan kata-kata talak,
maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu' sebagai
talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh itu tidak lain merupakan perkara
yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan
perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedang khulu' ini
berpangkal pada kehendak. Oleh karenanya, khulu' itu bukan fasakh. Fuqaha
yang tidak menganggap khulu' sebagai talak mengemukakan alasan bahwa
dalam al-Qur'an, mula-mula Allah Swt. menyebutkan tentang talak:
73
)229: البقرة( الطالق مرتان
Artinya: "Talak yang dapat dirujuki itu dua kali" (QS. al-Baqarah: 229).1
Kemudian Dia menyebutkan tentang tebusan (khulu'), dan selanjutnya
Dia berfirman:
تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيرهفإن طلقها فال )230: البقرة(
Artinya: "Jika suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain." (QS. al-Baqarah: 230).2
Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri
tidak halal lagi bagi suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang
lain itu menjadi talak yang keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu
dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan dengan fasakh dalam
jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri. Fuqaha yang menentang
pendapat ini mengatakan bahwa ayat tersebut memuat kedudukan tebusan
sebagai suatu tindakan yang disamakan dengan talak, bukan tindakan yang
berbeda dengan talak. Jadi, silang pendapat ini terjadi disebabkan, apakah
adanya imbalan untuk memutus ikatan perkawinan mi dapat dianggap keluar
dari jenis pemutusan perkawinan karena talak, menjadi jenis pemutusan
perkawinan karena fasakh atau tidak?3
Kedua, pendapat Imam Malik.
1Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 55. 2 Ibid., 3Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dâr Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 52.
74
Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta' menyatakan sebagai berikut:
بيع بنت معوذ بن عفراء حدثني يحيى عن مالك عن نافع أن رجاءت هي وعمها إلى عبد الله بن عمر فأخبرته أنها اختلعت من زوجها في زمان عثمان بن عفان فبلغ ذلك عثمان بن
الله بن عمر عدتها عدة المطلقة عفان فلم ينكره وقال عبدحدثني عن مالك أنه بلغه أن سعيد بن المسيب وسليمان بن يسار وابن شهاب آانوا يقولون عدة المختلعة مثل عدة المطلقة
4وء ثلاثة قرArtinya: Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik, dari Nafi' bahwa
Rubayyi' bint Mu'awwidh ibn 'Afra' datang dengan paman dari rumpun bapaknya kepada 'Abdullah ibn 'Umar dan memberitahunya bahwa ia telah bercerai dari suaminya dengan membayar pengganti kepadanya pada masa 'Utsman ibn 'Affan, dan 'Utsman ibn 'Affan mendengar tentang itu dan tidak menyalahkannya. 'Abdullah ibn 'Umar berkata: "Masa 'iddahnya adalah 'iddah seorang wanita yang bercerai." Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik bahwa ia telah mendengar bahwa Sa'id ibn al-Musayyab, Sulayman ibn Yasar dan Ibn Shihab kesemuanya berkata bahwa seorang wanita yang diceraikan suaminya demi pengganti memiliki masa 'iddahya seperti seorang wanita yang bercerai tiga periode menstruasi.
Dengan demikian dalam perspektif Imam Malik bahwa khulu' itu
mempunyai kedudukan sebagai talak. Dengan demikian pada saat itu tidak
ada peluang lagi bagi kedua belah pihak untuk bersatu kecuali jika istri
menikah lagi dengan pria lain, kemudian bercerai, maka dalam hal ini harus
terlebih dahulu ada proses muhallil.
Ketiga, analisis pendapat
4Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, al-Muwatta'
Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, tth, hlm. 345.
75
Menurut penulis bahwa pendapat Imam Malik yang menempatkan
khulu' sebagai talak mempunyai akibat hukum yang berbeda dengan ulama
lain yang mendudukkan khulu' sebagai fasakh. Jika berpijak pada pendapat
yang mendudukkan khulu' sebagai fasakh maka itu berarti boleh melakukan
khulu' berapa kali pun tanpa memerlukan muhallil.5
Istilah muhallil adalah berkaitan dengan istilah pernikahan muhallil,
maka yang dimaksud dengan nikah muhallil adalah nikah untuk menghalalkan
mantan istri yang telah ditalak tiga kali. Menurut Ibnu Rusyd, nikah muhallil
adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan bekas istri yang telah
ditalak tiga kali.6 Sayyid Sabiq mendefinisikan kawin tahlil adalah seorang
laki-laki menikahi seorang perempuan yang sudah bertalak tiga sesudah habis
masa iddahnya dan dia telah dukhul kepadanya kemudian ia mentalak wanita
itu dengan maksud agar dia dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang
pertama.7
Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya
adalah haram. Kalau dikaitkan kepada nikah akan berarti perbuatan yang
menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan nikah menjadi
boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain
melakukan nikah itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal
5Ibid 6Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44. 7Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 134.
76
melakukan nikah disebabkan oleh nikah yang dilakukan muhallil dinamai
muhallallah.8
Nikah tahlil dengan demikian adalah nikah yang dilakukan untuk
menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali
kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah menceraikan istrinya
sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak
boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah
menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya.
Kembali pada persoalan khulu' bahwa sebagaimana dikatakan di atas
bahwa pendapat yang mengatakan khulu' itu fasakh maka itu berarti boleh
melakukan khulu' berapa kali pun tanpa memerlukan muhallil. Sedangkan jika
berpegang pada pendapat Imam Malik yang menempatkan khulu' sebagai
talak maka khulu' tidak boleh lebih dari tiga kali. Bila istri yang telah
melakukan khulu' sebanyak tiga kali, ia baru dapat kembali kepada istrinya itu
setelah adanya muhallil sebagaimana yang berlaku dalam talak. Dengan
demikian pendapat Imam Malik ini mengandung konsekuensi yaitu khulu' itu
mengurangi jumlah bilangan cerai. Maksudnya yaitu kalau khulu' dianggap
talak, maka khulu' terbatas hanya sampai tiga kali, namun jika khulu' sebagai
fasakh maka berapa kali pun khulu' tidak jatuh sebagai talak.9
Bila terjadi fasakh baik dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum
perkawinan atau terdapatnya halangan yang tidak memungkinkan melanjutkan
perkawinan, terjadilah akibat hukumnya. Khusus akibat hukum yang
8Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm.. 103.
9Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 52.
77
ditimbulkan oleh putus perkawinan secara fasakh itu adalah suami tidak boleh
ruju' kepada mantan istrinya selama istri itu menjalani masa iddah, oleh
karena perceraian dalam bentuk fasakh itu berstatus bain sughra. Bila mantan
suami dan mantan istri berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya,
mereka harus melakukan akad nikah baru, baik dalam waktu mantan istri
menjalani masa iddah dari suami itu atau setelah selesainya masa iddah.10
Akibat yang lain dari fasakh itu ialah tidak mengurangi bilangan talaq.
Hal itu berarti hak suami untuk men-talaq istrinya maksimal tiga kali, tidak
berkurang dengan fasakh itu. Dalam bahasa sederhana fasakh boleh terjadi
berkali-kali tanpa batas.
Khulu' adalah pemberian hak yang sama bagi wanita untuk
melepaskan diri dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada
kemaslahatan sebagai imbalan hak talak yang diberikan kepada laki-laki.
Dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami dengan hak talaknya,
dan menyadarkan suami bahwa istri pun mempunyai hak sama untuk
mengakhiri perkawinan. Artinya dalam situasi tertentu, istri yang sangat
tersiksa akibat ulah suami atau keadaan suami mempunyai hak menuntut cerai
dengan imbalan sesuatu.11
Bahkan, khulu' dapat dimintakan istri kepada suaminya akibat telah
hilangnya perasaan cinta dari istri kepada suaminya walaupun suami tidak
melakukan suatu perbuatan yang menyakiti istrinya. Hak yang sama juga
dapat dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu manakala suami memang tidak
10Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 103. 11Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 172.
78
mempunyai lagi perasaan cinta kepada istrinya, dengan menjatuhkan talak.
Intisari dari terjadinya suatu perikatan perkawinan adalah keridaan serta
kecintaan kedua belah pihak untuk melaksanakan hidup bersama. Oleh karena
itu kalau seandainya kecintaan itu tidak didapati lagi dalam perkawinan,
keridaan itu pun akan musnah. Akibatnya, persekutuan itu tidak akan lagi
dapat diharapkan kemaslahatannya. Apabila hal itu terjadi, besar
kemungkinan mereka yang terlibat persekutuan itu tidak dapat melaksanakan
ketentuan-ketentuan Allah dan mereka akan terseret untuk memasuki wilayah-
wilayah yang diharamkan Allah.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk bercerai yang dikemukakan
undang-undang, pada akhirnya bermuara pada ketidaksenangan salah satu
pihak karena keadaan atau perlakuan pihak lain. Alasan-alasan yang
dikemukakan undang-undang tersebut bukanlah alasan yang otomatis dapat
menceraikan mereka, tetapi merupakan option bagi yang bersangkutan untuk
memakainya atau tidak. Kalau yang bersangkutan menerima keadaan atau
perlakuan seperti itu dari pasangannya, perkawinan dapat berjalan terus
walaupun keadaannya semrawut, kadang-kadang aman, kadang-kadang
gawat.12
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi
Muhammad SAW. pernah meluluskan permintaan khulu' dari istri Tsabit bin
Qais, hanya karena wanita tersebut tidak menyukai penampilan suaminya.
Padahal Tsabit bin Qais, secara moral maupun agamis sama sekali tidak
12Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm.
104
79
bercacat. Sepintas permintaan si wanita itu seperti mengada-ada, namun kalau
kita kembalikan kepada inti suatu perkawinan, yaitu keridaan dan kecintaan,
itu adalah sesuatu yang prinsip. Jadi, ketiadaaan kecintaan dan keridaan kedua
pihak atau salah satunya dapat menyebabkan terputusnya perkawinan sebab
mempertahankan pada kondisi yang serupa itu hanya akan membuat mereka
melanggar batas-batas Allah.
Namun demikian, seperti halnya penjatuhan talak, permintaan khulu'
pun hanya dapat diajukan dalam keadaan yang luar biasa. Namun, apabila
khulu' diadakan karena alasan yang lemah, mengada-ada, si wanita diancam
oleh Nabi SAW. dengan sabdanya: "... Wanita manapun yang meminta cerai
dari suaminya tanpa alasan (yang dapat diterima) diharamkan baginya
wewangian surga."13
Khulu' juga dinamai dengan talak tebus, karena si istri menebus
dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa-apa yang pernah
diterimanya dari suaminya. Tindakan istri seperti ini dibenarkan oleh Al-
Quran, seperti tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 229.
Talak tebus ini boleh dilakukan dalam segala keadaan, di waktu suci
maupun di waktu haid sebab talak ini diajukan atas kemauan si istri dan dia
sendiri yang menanggung segala akibatnya. la akan menanggung risiko
materil berupa pengeluaran harta serta risiko immateril yang mengakibatkan
panjangnya masa 'iddah. Talak tebus ini biasanya tidak terjadi, kecuali bila
13Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 173.
80
karena perasaan istri sudah tak tertahankan lagi, sehingga semua risiko
kerugian sudah tidak dihiraukan lagi.
Akibat hukum dari talak tebus ini adalah ba'in shughra sehingga suami
tidak dapat meruju' istrinya dalam 'iddah. Hal ini karena suami tidak
mempunyai hak lagi pada istrinya karena kehendak perceraian datang dari
pihak istri. Hak-hak itu hilang karena suami telah menerima imbalan tadi.
Kalau hak ruju' itu tidak hilang apalah artinya pengorbanan materil si istri.
Kalau ada keinginan untuk bersatu lagi dari pihak suami, harus melalui
perkawinan baru. Itu pun harus ditentukan oleh kerelaan mantan istri sebab ia
mempunyai hak pilih mutlak yang tidak dapat dipaksa, seperti keadaan suami
yang mempunyai ruju' pada kasus talak raj'i.14
Mantan istri tentu berpikir panjang intuk kembali sebab perceraian itu
adalah kehendaknya dengan pengorbanan yang relatif besar. Apa artinya
pengorbanan tadi kalau akhimya dia menikah kembali dengan mantan
suaminya. Oleh karena itu, bersatunya kembali suami-istri dalam kasus talak
tebus agak sulit terlaksana kalau tidak dikatakan mustaliil terjadi. Mengenai
besanya jumlah tebusan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa kadar tebusan istri tersebut harus lebih banyak daripada mahar (Imam
Syafi'i dan Imam Malik), sebagian lain berpendapat sejumh harta yaiig pernah
diterima istri, dan sebagian lainnya lagi mengatakan tidak boleh lebih dari
mahar. Kalau mahamya sangat tinggi atau mahal, sedangkan pembayaran
iwadh harus lebih banyak daripada mahar, hal itu akan sangat memberatkan
14Ibid., hlm. 174.
81
pihak istri dan kehendaknya untuk lepas dari beban penderitaan akibat
ketidaksenangan kepada suami, akan sulit terlaksana. Sebaliknya, bila nilai
maharnya sangat rendah dan bentuk maharnya bukan materil, maka pihak
suami tentu tidak mau menerima 'iwadh yang kecil. Jalan tengah mengatasi
masalah 'iwadh ini menurut penulis adalah permufakatan kedua belah pihak
untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan kedua pihak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah khulu' ini tidak dijelaskan
secara detil. Oleh karena itu, pasal yang membahas masalah ini juga sangat
terbatas. Di dalam KHI, tidak dijelaskan suatu proses bagaimana khulu' terjadi
secara khusus serta penyelesaian khulu'. Hal ini disebabkan KHI memandang
khulu' sebagai salah satu jenis talak. Alasan untuk melakukan khulu' juga
disandarkan pada alasan dalam menjatuhkan talak. Pasal yang langsung
berkaitan dengan khulu', yaitu pasal 124 dan pasal 161, serta pasal 119 ayat
(2) b, yang menyebutkan khulu' sebagai bagian dari talak ba'in shughra.
Adapun alasan yang dapat mendasari terjadinya khulu', sama dengan alasan
talak, yaitu mengikuti pasal 116 dari huruf a sampai huruf h.15 Adapun berapa
besarnya 'iwadh, adalah berdasarkan kesepakatan atau permufakatan kedua
belah pihak, pasal 148 ayat (4). Namun, untuk menyelesaikan kasus khulu',
KHI memberikan prosedur khusus melalui pasal 148 yang lengkapnya sebagai
berikut:
15Lihat Kompilasi Hukum Islam
82
Pasal 148
1. Seorang istri yang mengajukan gugatan dengan jalan khulu',
menyampaikan permohonannya ke Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan
suaminya untuk di dengar keterangannya masing masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan
tentang akibat khulu' dan memberikan nasihat-nasihatnya;
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya 'iwadh atau tebusan,
maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama.
Terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal
131 ayat(5).
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau
'iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara
biasa.
B. Alasan Hukum Imam Malik tentang Khulu' Sebagai Talak
Berdasarkan keterangan tersebut, maka jelaslah bahwa khulu' adalah
pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan
perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan sebagai imbalan hak
talak yang diberikan kepada laki-laki. Dimaksudkan untuk mencegah
kesewenangan suami dengan hak talaknya, dan menyadarkan suami bahwa
83
istri pun mempunyai hak sama untuk mengakhiri perkawinan. Artinya dalam
situasi tertentu, istri yang sangat tersiksa akibat ulah suami atau keadaan
suami mempunyai hak menuntut cerai dengan imbalan sesuatu.16 Bahkan,
khulu' dapat dimintakan istri kepada suaminya akibat telah hilangnya perasaan
cinta dari istri kepada suaminya walaupun suami tidak melakukan suatu
perbuatan yang menyakiti istrinya. Hak yang sama juga dapat dilakukan
suami terhadap istrinya, yaitu manakala suami memang tidak mempunyai lagi
perasaan cinta kepada istrinya, dengan menjatuhkan talak. Intisari dari
terjadinya suatu perikatan perkawinan adalah keridaan serta kecintaan kedua
belah pihak untuk melaksanakan hidup bersama. Oleh karena itu, kalau
seandainya kecintaan itu tidak didapati lagi dalam perkawinan, keridaan itu
pun akan musnah. Akibatnya, persekutuan itu tidak akan lagi dapat
diharapkan kemaslahatannya. Apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan
mereka yang terlibat persekutuan itu tidak dapat melaksanakan ketentuan-
ketentuan Allah dan mereka akan terseret untuk memasuki wilayah-wilayah
yang diharamkan Allah.17
Alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk bercerai yang dikemukakan
undang-undang, pada akhirnya bermuara pada ketidaksenangan salah satu
pihak karena keadaan atau perlakuan pihak lain. Alasan-alasan yang
dikemukakan undang-undang tersebut bukanlah alasan yang otomatis dapat
menceraikan mereka, tetapi merupakan option bagi yang bersangkutan untuk
memakainya atau tidak. Kalau yang bersangkutan menerima keadaan atau
16Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 172. 17Ibid
84
perlakuan seperti itu dari pasangannya, perkawinan dapat berjalan terus
walaupun keadaannya semrawut, kadang-kadang aman, kadang-kadang
gawat.18
Dalam konteksnya dengan alasan hukum Imam Malik, bahwa
argumentasi Imam Malik sehingga berpendapat bahwa khulu' sebagai talak
yaitu karena kata-kata khulu' itu hanya dimiliki suami atau dengan kata lain
bahwa khulu' itu diucapkan oleh suami, meskipun atas permintaan istri dengan
memberikan iwadh (tebusan). Karena itu hakikat khulu' sama dengan talak.19
Menurut penulis bahwa alasan Imam Malik ini dapat dimengerti,
karena jika khulu' hanya dianggap sebagai fasakh, maka setiap waktu khulu'
dapat dijatuhkan tanpa terbatas. Dengan demikian makna khulu' akan
kehilangan fungsinya. Dengan kata lain, jika khulu' hanya dianggap sebagai
fasakh maka itu berarti boleh melakukan khulu' berapa kali pun tanpa
memerlukan muhallil. Sedangkan jika berpegang pada pendapat Imam Malik
yang menempatkan khulu' sebagai talak maka khulu' tidak boleh lebih dari
tiga kali. Bila istri yang telah melakukan khulu' sebanyak tiga kali, ia baru
dapat kembali kepada istrinya itu setelah adanya muhallil sebagaimana yang
berlaku dalam talak. Dengan demikian pendapat Imam Malik ini mengandung
konsekuensi yaitu khulu' itu mengurangi jumlah bilangan cerai. Maksudnya
yaitu kalau khulu' dianggap talak, maka khulu' terbatas hanya sampai tiga kali.
18Ibid 19Ibnu Rusyd, op.cit, hlm. 52.
85
Menurut penulis, pendapat Imam Malik itu ada baiknya dikritisi
karena mengandung manfaat yaitu agar khulu' tidak dijadikan mainan dan
digunakan secara seenaknya.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan melihat dan mencermati uraian bab pertama sampai dengan
bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Imam Malik bahwa khulu' itu mempunyai kedudukan sebagai
talak, sehingga khulu' mempunyai sifat mengurangi jumlah talak yang
dimiliki suami dan suami dapat merujuk kembali istrinya selama dalam
masa iddah. Imam Abu Hanifah menyamakan khulu' dengan talak dan
fasakh secara bersamaan. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa
khulu' itu adalah fasakh. Demikian pula pendapat Imam Ahmad, Imam
Abu Daud dan Ibnu Abbas ra.
2. Alasan Imam Malik yang berpendapat bahwa khulu' sebagai talak
didasarkan pada qaul sahabat, yaitu pendapat Abdullah bin Umar. Di
samping itu, karena kata-kata khulu' itu hanya dimiliki suami, meskipun
atas permintaan istri dengan memberikan iwadh (tebusan). Karena itu,
tepat kiranya jika khulu' dianggap sebagai talak dan bukan fasakh. Karena
kalau khulu' sebagai fasakh maka fasakh itu merupakan perkara yang
menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan
perkawinan dan yang bukan berasal dari kehendak istri. Sedangkan khulu'
ini berpangkal pada kehendak istri, oleh karena itu khulu' bukanlah fasakh.
87
B. Saran-Saran
Meskipun pendapat Imam Malik bersifat klasik, namun hendaknya
pendapat dan argumentasinya dijadikan studi banding ketika pembentuk
undang-undang atau para pengambil keputusan membuat peraturan undang-
undang yang baru atau pada waktu merevisi atau merubah undang-undang
yang sedang berlaku.
C. Penutup
Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah
SWT yang dengan karunia dan rahmatnya telah mendorong penulis hingga
dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat
disadari bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi materinya jauh dari kata
sempurna. Namun demikian tiada gading yang tak retak dan tiada usaha besar
akan berhasil tanpa diawali dari yang kecil. Semoga tulisan ini bermanfaat
bagi pembaca budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Asbahi, Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir, al-Muwatta' Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, tth.
Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.
Asy-Syarbasy, Ahmad, Empat Mutiara Zaman Biografi Empat Imam Mazhab, Terj. Futuhal Arifin, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M.
Bukhary, Abu Abdillah, Sahih al-Bukhari, Juz. 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M.
Coulson, Noel J., The History of Islamic Law, Terj. Hamid Ahmad, "Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah", Jakarta: P3M, 1987.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2004.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Djazuli, A., Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Dutton, Yasin, The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal, Terj. M. Maufur, "Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", Yogyakarta: Islamika, 2003.
Farid, Syaikh Ahmad, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006.
Fikri, Ali, Kisah-Kisah Imam Mazhab, Terj. Abd Aziz, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981.
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978.
Hanafi, A., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Hasan, M.Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986.
Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Khalil, Munawar, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Marwazi, Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani, hadis No. 2079. dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
Muchtar, Kamal, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, Juz. II, Mesir: Tijariah Kubra, t.th.
Nasa’i, Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr, hadis No. 1210 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993.
Rusyd, Ibnu, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970.
Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.
San'any, Subul al-Salam, Juz III, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950.
Sijistani, Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi, hadis no. 1887 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,1995.
Surahmad Winarno, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989.
Suryadilaga, M. Alfatih (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003.
Syarifuddin, Amir, Hukum Nikah Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006.
Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar, " Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya Agung, 1990.
-------, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973.
Zahrah, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : A. Agus Salim Ridwan
Tempat/Tanggal Lahir : Purworejo, 22 Agustus 1985
Alamat Asal : Lubang Sampang, RT 01 RW 01, Butuh, Purworejo
Pendidikan : - SDN Lubanglor Purworejo lulus th 1998
- MTs Al-Imam Bulus Purworejo lulus th 2001
- MA al-Imam Bulus Purworejo lulus th 2004
- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2004
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
A. Agus Salim Ridwan