analisis proksimat nilai kalori, kadar sulfur batubara
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan galian merupakan salah satu sumber daya alam non hayati,
yang keterjadiannya disebabkan oleh proses-proses geologi. Berdasarkan
keterjadian dan sifatnya bahan galian dapat dibagi menjadi 3 (tiga)
kelompok yaitu mineral logam, mineral industri, serta batubara dan gambut.
Karakteristik ketiga bahan galian tersebut berbeda, sehingga metode
eksplorasi yang dilakukan juga berbeda. Oleh karena itu diperlukan berbagai
macam metode untuk mengetahui keterpadatan, sebaran, kuantitas, dan
kualitasnya (Rachimoellah, 2002).
Dewasa ini pemerintah tengah meningkatkan pemanfaatan batu bara
sebagai energi alternatif baik untuk keperluan domestik seperti pada sektor
industri dan pembangkit tenaga listrik, maupun untuk ekspor. Sejalan
dengan itu pemerintah telah melibatkan pihak swasta dalam pengusahaan
pengembangan batu bara. Propinsi Kalimantan Selatan mempunyai potensi
yang besar dalam pengusahaan pertambangan bahan galian khususnya
batubara. Batubara merupakan salah satu komoditi yang diunggulkan
propinsi ini. Batubara juga merupakan produk pertambangan andalan yang
menarik bagi investor dan akan berkembang pada tahun-tahun mendatang
seiring dengan harga batubara yang bagus. Eksplorasi mineral bijih besi
telah dilakukan di Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, Kotabaru dan
Balangan dan akan mulai dieksploitasi saat kondisinya memungkinkan.
Masih banyak jenis mineral lainnya seperti intan, emas, marmer, lempung,
serpentinit yang terbuka bagi eksploitasi. Produk turunan dari mineral
tersebut akan memberikan nilai tambah ekonomi dibanding memasarkan
langsung mineral tersebut (Tim Kajian Batubara Nasional, 2006).
Analisis terhadap mutu dari bahan galian tentu manjadi pilihan
utama agar para pengusaha dapat memilah dapat dijadikan apa sekiranya
bahan galian tersebut sesuai dengan kualitas yang dimilki oleh bahan galian
tersebut. Oleh karena itu diperlukan analisis terlebih dahulu sebelum bahan
galian tersebut digunakan atau diproses. Sampai sekarang ini telah banyak
berdiri penyedia layanan untuk analisis bahan galian baik itu milik
pemerintah maupun swasta.
Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Kalimantan Selatan adalah
salah satunya yang merupakan Instansi Pemerintah yang meneliti serta
memberikan informasi mengenai kualitas dan kuantitas hasil pertambangan
yang ada di Kalimantan Selatan, salah satunya adalah analisis kandungan
bahan galian, analisis kandungan air serta mekanika tanah.
Dengan mengikuti kegiatan magang di Dinas Pertambangan dan
Energi ini diharapkan dapat menjadi batu loncatan dan sebagai tolak ukur
bagi mahasiswa untuk menghadapi dunia kerja. Sehingga diharapkan
mahasiswa dapat lebih terampil dan profesional dalam menjalankan
pekerjaannya. Karena untuk menjadi tenaga kerja yang terampil dan
profesional tidak hanya menguasai teori belaka namun juga dapat
menerapkan ilmu tersebut secara efektif pada bidang pekerjaan yang
ditekuni. Sebagai mahasiswa yang mempelajari disiplin ilmu kimia,
tentunya dituntut untuk dapat mengaplikasikan keilmuannya ketika
memasuki dunia kerja.
1.2 Tujuan
Tujuan umum dilaksanakannya kerja praktik adalah untuk :
1. Membuka wawasan mahasiswa agar lebih mengenal dunia kerja.
2. Mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menerapkan teori-teori
yang diperoleh diperkuliahan.
3. Membina mahasiswa agar berhasil menjadi sarjana yang berkualitas, dan
4. Menyiapkan mahasiswa agar lebih familiar dengan lingkungan dunia
kerja.
Tujuan khusus dilaksanakannya kerja praktik adalah untuk:
1. Mempelajari metode-metode analisa seperti analisis kandungan kimia
pada air dan analisis bahan galian terutama batubara dan bijih besi.
2. Untuk memenuhi persyaratan Praktek Kerja Lapangan (PKL).
1.3 Manfaat
Kegiatan ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu :
1. Menunjang program link and match antara pihak perguruan tinggi dan
instansi.
2. Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan bagi mahasiswa tentang
bagaimana cara menganalisis kandungan bahan galian khususnya yang
terdapat di Kalimantan Selatan.
BAB II
KEADAAN UMUM DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI
BANJARBARU
2.1 Sejarah dan Perkembangannya
Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi Kalimantan
Selatan mula-mula dengan nama “Kantor Perwakilan Daerah Departemen
Pertambangan Banjarmasin” berdasarkan S.K. Menteri Pertambangan
No.280/Kpts/M/Pertamb/1971 Tanggal 7 Juni 1971 (Dinas Pertambangan
dan Energi, 2005).
Kedudukan kantor tersebut adalah di Banjarbaru lebih kurang 25 km
sebelah tenggara Kota Banjarmasin dan wilayah tugasnya adalah meliputi
Propinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur. Kantor Perwakilan Daerah Departemen Pertambangan
Banjarmasin mempunyai 4 (empat) buah seksi yaitu:
a. Seksi Penyusunan dan Data
b. Seksi Pengawasan
c. Seksi Bimbingan dan Pengembangan
d. Seksi Tata Usaha (Dinas Pertambangan dan Energi, 2005).
Dengan surat keputusan memberi pertimbangan No.675/Kpts/
M/Pertamb/1973 tertanggal 7 Desember 1973 Kantor Perwakilan Daerah
Departemen Pertambangan Banjarmasin dirubah namanya menjadi Kantor
Daerah Departemen Pertambangan yang meliputi 2 seksi dan sebuah
sekretariat yaitu:
a. Seksi Pembinaan dan Pengembangan
b. Seksi Pengawasan dan Pertambangan
c. Sekretariat (Dinas Pertambangan dan Energi, 2005).
Kemudian dengan S.K. Menteri Pertambangan No.204 tahun 1975
tertanggal 30 April 1975 dengan surat Sekretaris Jenderal Pertambangan
No.1426/S.JP/75 tanggal 8 Juli 1975 Kantor Daerah Pertambangan
Banjarmasin dirubah namanya menjadi Kantor Wilayah Departemen
Pertambangan Kalimantan yang mempunyai 4 (empat) buah seksi dan 1
(satu) sub bagian, yaitu :
a. Seksi Pengembangan Wilayah Pertambangan
b. Seksi Pengembangan Pertambangan
c. Seksi Pengawasan Pertambangan
d. Seksi Penyuluhan dan Dokumentasi
e. Sub Bagian Tata Usaha (Dinas Pertambangan dan Energi, 2005).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertambangan No.
149/Kpts/M/Pertamb/1982 Kantor Wilayah Departemen Pertambangan
Kalimantan. Disamping yang semula Kantor Wilayah Pertambangan
Kalimantan masih eselon III maka dengan terbitnya S.K. Menteri
Pertambangan dan Energi eselon II yang mempunyai 4 (empat) bidang,
yaitu:
a. Bidang Geologi
b. Bidang Pertambangan
c. Bidang Minyak dan Gas Bumi
d. Bidang Ketenagaan (Dinas Pertambangan dan Energi, 2005).
Untuk memperlancar tugasnya, maka Kantor Wilayah Departemen
Pertambangan Kalimantan, telah menempatkan pejabat-pejabat sebagai
penghubung di tiap ibukota Propinsi yaitu:
1. Penghubung I di Samarinda, Kalimantan Timur dengan Surat Keputusan
Menteri Pertambangan No. 173/Kpts/M/Pertamb/1973 tanggal 23 April
1973.
2. Penghubung II di Palangkaraya, Kalimantan Tengah dengan Surat
Keputusan Menteri Pertambangan No. 172/Kpts/M/Pertamb/1973
tanggal 23 April 1973.
3. Penghubung III di Pontianak, Kalimantan Barat dengan Surat Keputusan
Menteri Pertambangan No. 09/Kpts/M/Pertamb/173 tanggal 23 April
1974 (Dinas Pertambangan dan Energi, 2005).
Setelah adanya Surat Keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan
Selatan No. 036 tahun 2001 bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi
Daerah No. 8 tahun 2000 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, yang antara lain meliputi organisasi
sehingga sampai sekarang Kantor Wilayah Departemen Pertambangan
dirubah menjadi Dinas Pertambangan Energi Propinsi Kalimantan Selatan
(Dinas Pertambangan dan Energi, 2005).
Gambar 2.1 Kantor Dinas Pertambangan dan Energi
Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi Propinsi
Kalimantan Selatan adalah unit kerja pelaksana teknis dinas yang
berkedudukan di bawah Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi
Kalimantan Selatan yang pembentukannya dimaksudkan untuk
mempermudah jangkauan pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten/Kota
khususnya pelayanan analisa laboratorium, penggunaan peralatan eksplorasi,
pengolahan data geologi dan pertambangan serta memberikan pelayanan
informasi wilayah usaha pertambangan dan percetakan peta yang diharapkan
dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap Pendapatan Asli Dearah
(PAD) (Dinas Pertambangan dan Energi, 2009).
Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi tentunya
masih terdapat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, meskipun demikian beberapa kegiatan sudah mampu
dilaksanakan oleh seksi dan sub bagian di lingkup unit ini. Dasar-dasar
Hukum :
a. Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi berdasarkan
“Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999” tentang Pemerintah Daerah.
Pembentukan Unit Pelayanan Jasa Sumber Mineral dan Energi
berdasarkan “Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan Nomor 12
Tahun 2002” tentang pembentukan susunan organisasi dan tata kerja Unit
Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi di lingkungan Dinas
Pertambangan Propinsi Kalimantan Selatan.
b. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya
Mineral dan Energi berdasarkan dan berpedoman pada “Keputusan
Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 0246 Tahun 2003, BAB III pasal 3
ayat (3) tantang tata hubungan kerja antara dinas-dinas daerah unit
pelaksana teknis dinas di lingkungan Pemerintah Kalimantan Selatan.
c. Undang-Undang yang dipergunakan oleh Unit Pelayanan Jasa Sumber
Daya Mineral dan Energi dalam hal Pendapatan Asli Daerah (PAD)
adalah berdasarkan “Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah memberikan
keleluasaan bagi daerah dalam meningkatakan pendapatannya sesuai
dengan potensi yang dimiliki serta PP No 25 Tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah pusat propinsi Kalimatan Selatan.
d. Sedangkan untuk landasan hukum yang dijadikan dasar dalam penentuan
Perda tarif “pelayanan jasa” pada Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya
sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2006 tentang retribusi
pelayanan laboratorium dan peralatan eksplorasi (Dinas Pertambangan
dan Energi, 2009).
2.2 Visi dan Misi
2.2.1 Tugas Pokok
Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi
mempunyai tugas pokok yaitu memberikan pelayanan sumber daya
mineral dan energi
2.2.2 Fungsi
1. Pelaksanaan analisa laboratorium
2. Penggunaan peralatan dan pelayan eksplorasi
3. Pengolahan data geologi dan pertambangan serta pemberian
informasi pencadangan wilayah dan penyedia peta
4. Pelaksanaan urusan ketatausahaan
2.2.3 Visi
Terciptanya kualitas sistem pelayanan teknis pertambangan
kepada masyarakat secara komprehensif, profesional, efektif dan
efesien.
2.2.4 Misi
Menciptakan kualitas dan kuantitas pelayanan pertambangan
dan energi melalui peningkatan sarana, prasarana dan kualitas SDM.
2.2.5 Maksud dan Tujuan
1. Meningkatkan kegiatan pelayanan jasa laboratorium dan peralatan
eksplorasi dibidang pertambangan dan energi serta lingkungan
pertambangan
2. Meningkatkan kegiatan pelayanan kepada masyarakat dalam upaya
pemanfaatan eksplorasi air tanah untuk mengatasi daerah sulit air
dan eksplorasi bahan galian untuk mengetahui potensi daerah.
3. Meningkatkan pemanfaatan jasa perpetaan dalam upaya
pengembangan wilayah dan eksplorasi serta eksploitasi bahan
galian
4. Meningkatkan pelayanan dibidang pertambangan dan energi
melalui pendaya gunaan fasilitas yang ada pada Unit Pelayanan Jasa
Sumber Daya Mineral dan Energi (Dinas Pertambangan dan Energi,
2009).
2.3 Kegiatan Unit Dinas Pertambangan dan Energi Banjarbaru
Pembentukan Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi
berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan No.12 Tahun
2002 tentang pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi di lingkungan Dinas
Pertambangan dan Energi Propinsi Kalimantan Selatan.
2.3.1 Susunan Organisasi
Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi dipimpin
oleh seorang kepala unit (Eselon III) yang berada dibawah kepala
Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Kalimantan Selatan
Kepala Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi
membawahi 1 Kasubag dan 3 Kasi yang bereselon IV.a, yaitu:
a. Kepala Subag Tata Usaha
b. Kepala Seksi Laboratorium
c. Kepala Perpetaan
d. Kepala Pelayanan Eksplorasi (Dinas Pertambangan dan Energi,
2009).
2.3.2 Sub Bagian Tata Usaha
Uraian tugas Sub bagian Tata Usaha adalah menyiapkan
penyusunan program. Evaluasi kepegawaian, keuangan, melaksanakan
urusan administrasi kepegawaian, keuangan, kearsipan, pelengkapan
RT, kehumasan, ketatalaksanaan dan perpustakaan. Sub bagian Tata
Usaha mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Menyusun program, evaluasi dan pelaporan Unit Pelayanan Jasa
berdasarkan kegiatan tahun sebelumnya dan usulan dari unit-unit
kerja di lingkungan Unit Pelayanan Jasa SDM dan Energi.
b. Melaksanakan urusan surat-menyurat, kearsipan, administrasi
kepegawaian, kelembagaan dan ketata laksanaan.
c. Melaksanakan urusan keuangan.
d. Melaksanakan urusan perlengkapan RT, kehumasan dan
perpustakaan (Dinas Pertambangan dan Energi, 2009).
2.3.3 Seksi Laboratorium
Seksi Laboratorium mempunya tugas memberikan pelayanan
jasa pemeriksaan/analisa fisika dan kimia terhadap SDM dan Energi
secara laboratoris. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Seksi
Laboratorium mempunya fungsi sebagai berikut:
a. Melaksanakan analisa sampel-sampel bahan galian, air dan energi
serta bahan limbah akibat kegiatan pertambangan.
b. Pelayanan analisa dan memberikan info tentang pelayanan analisa
sampel bahan galian, serta bahan limbah dan hal yang berkaitan
dengan pelayanan laboratorium kepada pihak yang memerlukan.
c. Melaksanakan pengelolaan dan perencanaan pengadaaan dalam
rangka pengembangan fasilitas laboratorium.
d. Melakukan percobaan analisa dalam rangka peningkatan pelayanan
pemerikasaaan laboratorium guna mendukung pengembangan
pemanfaatan SDM, air dan energi.
e. Melaksanakan kegiatan untuk mendukung usaha-usaha
perlindungan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dalam
rangka bimbingan pertambangan.
f. Melaksanakan pelayanan untuk mendukung kegiatan yang berkaitan
dengan pengembangan kelistrikan dan energi baru serta bahan bakar
migas (Dinas Pertambangan dan Energi, 2009).
Gambar 2.2 Laboratorium dan Ruang Pemetaan Dinas Pertambangan dan Energi
Propinsi Kalimantan Selatan
Laboratorium di bawah Unit Pelayanan Jasa Sumberdaya Mineral
(UPJSDM) menyediakan pelayanan seperti dalam tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Layanan yang disediakan oleh Laboratorium Kantor Unit
Pelayanan Jasa dan Sumber Daya Mineral dan Energi
No. Layanan Jenis Uji
1. Sample preparation (Preparasi contoh)Homogenous sample
preparation
2.Chemical Water Analyses (Analisis
Kimia Air)
Physical and Chemical
Analysis
3. Coal analysis (Analisis Batubara) Proximate analysis
4.Coal Briquette analysis (Analisis
briket)Proximate analysis
5. Iron analysis (Analisis batu besi)Wet chemical and
gravimetric analysis
6.Quartz sand analysis (Analisis Pasir
Kuarsa)
Wet chemical and
gravimetric analysis
7. Kaolin analysis (Analisis Kaolin)Wet chemical and
gravimetric analysis
8. Clay analysis (Analisis Lempung)Wet chemical and
gravimetric analysis
9. Phosphate analysis (Analisis Fosfat)Wet chemical and
gravimetric analysis
10. Mangan analysis (Analisis Mangan)Wet chemical and
gravimetric analysis
11.Limestone analysis (Analisis Batu
gamping)
Wet chemical and
gravimetric analysis
12. Physical analysis (Analisis Fisik)Size analysis, HGI,
Density
(Dinas Pertambangan dan Energi, 2009).
2.3.4 Seksi Pelayanan Eksplorasi
Seksi Pelayanan Eksplorasi dan Perpetaan mempunyai tugas
memberikan pelayanan jasa peralatan pemboran, pemetaan,
ketenagalistrikan dan peralatan lainnya serta eksplorasi bahan galian
dan air. Untuk melaksanaan tugas tersebut disamping melaksanakan
pengolahan data geologi dan pertambangan, memberikan informasi
pencadangan wilayah usaha pertambangan dan penyediaan peta. Seksi
Pelayanan Ekplorasi dan Perpetaan mempunyai fungsi :
a. Melaksanakan pelayanan pemakaian peralatan pemboran,
pemetaan, ketenagalistrikan dan peralatan lainnya.
b. Melaksanakan pelayanan kegiatan eksplorasi bahan galian dan air.
c. Pelayanan pemakaian peralatan dan memberikan informasi tentang
pelayanan pemakaian peralatan pemboran, pemetaan,
ketenagalisrikan serta peralatan lainnya dan hal – hal yang
berkaitan dengan pelayanan pemakaian peralatan eksplorasi bahan
galian dan air kepada pihak yang memerlukan.
d. Melakukan perawatan dan pemeliharaan peralatan, pemboran,
pemetaan, ketenagalistrikan dan peralatan lainnya.
e. Melaksanakan perencanaan pengadaan peralatan dan
pengembangan fasilitas peralatan eksplorasi, ketenagalistrikan dan
peralatan lainnya.
f. Melaksanakan pengolahan data – data dari hasil survey dan
pemetaan topografi, geologi, dan bahan galian serta hasil survey
geolistrik
g. Melaksanaan pengumpulan dan pengeplotan data – data wilayah
usaha pertambangan dalam rangka pemberian informasi
pencadangan wilayah usaha pertambangan.
h. Melaksanakan pembuatan, pengompilasian dan pendigitasian peta
geologi dan peta bahan galian.
i. Melaksanakan pelayanan pengolahan data – data pertambangan.
j. Melaksanakan pelayanan pencetakan dan penyediaan peta digitasi
dalam berbagai skala.
k. Memberikan pelayanan kepada Pemerintahan Daerah, Masyarakat
dan Instansi lain yang memerlukan informasi data sumber daya
mineral, geologi teknik dan data – data lainnya (Dinas
Pertambangan dan Energi, 2009).
Gambar 2.3 Struktur Organisasi Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi
Kalimantan Selatan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Batubara
Batubara (coal) adalah sumber energi fosil yang paling banyak kita
miliki di dunia ini. Batubara sendiri merupakan campuran yang sangat
kompleks dari zat kimia organik yang mengandung karbon, oksigen, dan
hidrogen dalam sebuah rantai karbon serta sedikit nitrogen dan sulfur. Pada
campuran ini juga terdapat kandungan air dan mineral (Anonim1, 2010).
Batubara merupakan sisa tumbuhan dari zaman prasejarah yang
berubah bentuk yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut.
Penimbunan lanau dan sedimen lainnya, bersama dengan pergeseran kerak
bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik) mengubur rawa dan gambut
yang seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam. Dengan
penimbunan tersebut, material tumbuhan tersebut terkena suhu dan tekanan
yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi tersebut menyebabkan tumbuhan
tersebut mengalami proses perubahan fisika dan kimiawi dan mengubah
tumbuhan tersebut menjadi gambut dan kemudian batu bara (Anonim2,
2009).
Kondisi yang baik pada proses pembentukan batubara adalah
lingkungan yang berawa dangkal. Kondisi tersebut terdapat pada cekungan
sedimen yang terbentuk sepanjang pantai, daerah delta dan danau. Batubara
terbentuk oleh adanya perubahan secara fisik dan kimia yang dipengaruhi
oleh bakteri pengurai, tekanan, temperatur, serta waktu (Anonim2, 2009).
Pembentukan batu bara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan
hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman
Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu, adalah masa pembentukan batu
bara yang paling produktif dimana hampir seluruh deposit batu bara (black
coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk. Pada zaman
Permian, kira-kira 270 juta tahun lalu, juga terbentuk endapan-endapan batu
bara yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan
berlangsung terus hingga ke zaman tersier (70 - 13 juta tahun lalu) di
berbagai belahan bumi lain (Anonim2, 2009).
Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode
Pembentukan Karbon atau Batu Bara) dikenal sebagai zaman batu bara
pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu.
Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta
lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik. Proses
awalnya gambut berubah menjadi lignit (batu bara muda) atau brown coal
(batu bara coklat). Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas organik
rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak
lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan.
Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi
batu bara sub-bituminus. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung
hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam dan
membentuk bituminus atau antrasit. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan
maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk
antrasit (Anonim2, 2009).
Tingkat perubahan yang dialami batubara dalam proses
pembentukannya, dari gambut sampai menjadi antrasit disebut sebagai
pengarangan memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut
disebut sebagai tingkat mutu batu bara. Batu bara dengan mutu yang rendah,
seperti batu bara muda dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan
materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Baru bara muda
memilih tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang
rendah, dan dengan demikian kandungan energinya rendah. Batu bara
dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan seringkali
berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batu bara dengan mutu yang lebih
tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban
yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak (Anonim3,
2010).
Sumber daya batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan
batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batu bara ini
dibagi dalam kelas-kelas sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan
geologi yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi geologi/tingkat
kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya
ini dapat meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian
kelayakan dinyatakan layak. Cadangan batubara (Coal Reserves) adalah
bagian dari sumber daya batubara yang telah diketahui dimensi, sebaran
kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakan dinyatakan
layak untuk ditambang (Putrago, 2009).
3.2 Klasifikasi Batubara
3.2.1 Materi pembentuk batu bara
Hampir seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan.
Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya menurut
Diessel (1981) adalah sebagai berikut:
a. Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel
tunggal. Sangat sedikit endapan batu bara dari periode ini.
b. Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan
turunan dari alga. Sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
c. Pteridofita, umur Devon Atas hingga karbon atas. Materi utama
pembentuk batu bara berumur Karbon di Eropa dan Amerika
Utara. Tumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan
spora dan tumbuh di iklim hangat.
d. Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga
Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam
buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi.
Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris
adalah penyusun utama batu bara Permian seperti di Australia,
India dan Afrika.
e. Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis
tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina
dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae
sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan (Anonim1,
2010).
3.2.2 Jenis batu bara
A. Gambut (peat)
Golongan ini sebenarnya belum termasuk jenis batubara, tapi
merupakan bahan bakar. Hal ini disebabkan karena masih
merupakan fase awal dari proses pembentukan batubara. Endapan
ini masih memperlihatkan sifat asal dari bahan dasarnya (tumbuh-
tumbuhan).
B. Lignit (Batubara Coklat, “Brown Coal”)
Golongan ini sudah memperlihatkan proses selanjutnya berupa
struktur kekar dan gejala pelapisan. Apabila dikeringkan maka gas
dan airnya akan keluar. Endapan ini bisa dimanfaatkan secara
terbatas untuk kepentingan yang bersifat sederhana, karena panas
yang dikeluarkan sangat rendah.
C. Sub-Bituminous (Bitumen Menengah)
Golongan ini memperlihatkan ciri-ciri tertentu yaitu warna
yang kehitam-hitaman dan sudah mengandung lilin. Ciri lain adalah
sisa bagian tumbuh-tumbuhan tinggal sedikit dan berlapis. Endapan
ini dapat digunakan untuk pemanfaatan pembakaran yang cukup
dengan temperatur rendah. Nilai kalori 3000- 6300 kal/gram.
D. Bituminous
Golongan ini dicirikan dengan sifat-sifat yang padat, hitam,
rapuh (brittle) dengan membentuk bongkah-bongkah prismatik.
Berlapis dan tidak mengeluarkan gas dan air bila dikeringkan.
Endapan ini dapat digunakan antara lain untuk kepentingan
transportasi dan jenis industri kecil. Nilai kalori antara 6300 – 7300
kal/gram.
E. Antrasite
Merupakam kelas batubara yang tinggi, warna hitam sangat
mengkilap, keras, dan kompak. Nilai kalori lebih dari 7300
kal/gram.
Tingkat perubahan yang dialami batu bara, dari gambut sampai
menjadi antrasit disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan
yang penting dan hubungan tersebut disebut sebagai tingkat mutu
batu bara. Batubara dengan mutu yang rendah, seperti batu bara
muda dan sub-bitumen biasanya lebih lembut dengan materi yang
rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Barubara muda memilih
tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah,
dan dengan demikian kandungan energinya rendah. Batubara dengan
mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan seringkali
berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara dengan mutu yang
lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat
kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih
banyak (Sukandarrumidi, 2004).
3.2.3 Kelas Sumber Daya
A. Sumber Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal
Resource)
Sumber daya batu bara hipotetik adalah batu bara di daerah
penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
untuk tahap penyelidikan survei tinjau. Sejumlah kelas sumber
daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan
batubara yang diharapkan mungkin ada di daerah atau wilayah
batubara yang sama dibawah kondisi geologi atau perluasan dari
sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya, sumberdaya berada
pada daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat
bukti untuk ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari
distant outcrops, pertambangan, lubang-lubang galian, serta
sumur-sumur. Jika eksplorasi menyatakan bahwa kebenaran dari
hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan informasi yg cukup
tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka akan di
klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi
(identified resources) (Sukandarrumidi, 2006).
B. Sumber Daya Batubara Tereka (Inferred Coal Resource)
Sumber daya batu bara tereka adalah jumlah batu bara di
daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang
dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi. Titik pengamatan
mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari
sumber daya tidak dapat diandalkan. Daerah sumber daya ini
ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan
kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan
bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km – 4,8 km. termasuk
antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub
bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan
ketebalan 150 cm atau lebih (Sukandarrumidi, 2006).
C. Sumber Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)
Sumber daya batu bara tertunjuk adalah jumlah batu bara di
daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang
dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan. Densitas dan
kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran
secara relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah
insitu batubara dan dengan alasan sumber daya yang ditafsir
tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika eksplorasi
yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan
dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas
data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti
geologi dalam daerah antara 0,4 km – 1,2 km. termasuk antrasit
dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub-bituminus
dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150
cm (Sukandarrumidi, 2006).
D. Sumber Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)
Sumber daya batu bara terukur adalah jumlah batu bara di
daerah peyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang
dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat–syarat yang
ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci. Densitas dan kualitas
titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan
penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah
batubara insitu. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi
ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik
pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam
radius 0,4 km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan
ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75
cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm (Sukandarrumidi,
2006).
3.3 Proses Pembentukan Batubara
A. Prinsip Sedimentasi
Pada dasarnya batubara termasuk ke dalam jenis batuan sedimen.
Batuan sedimen terbentuk dari material atau partikel yang terendapkan di
dalam suatu cekungan dalam kondisi tertentu, dan mengalami kompaksi
serta transformasi balik secara fisik, kimia maupun biokimia. Pada saat
pengendapannya material ini selalu membentuk lapisan yang horisontal.
B. Skala Waktu Geologi
Proses sedimentasi, kompaksi, maupun transportasi yang dialami
oleh material dasar pembentuk sedimen sehingga menjadi batuan sedimen
berjalan selama jutaan tahun.
Kedua konsep tersebut merupakan bagian dari proses pembentukan
batubara vang mencakup proses :
1. Pembusukan, yakni proses dimana tumbuhan mengalami tahap
pembusukan (decay) akibat adanya aktifitas dari bakteri anaerob.
Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen dan menghancurkan
bagian yang lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma, dan
pati.
2. Pengendapan, yakni proses dimana material halus hasil pembusukan
terakumulasi dan mengendap membentuk lapisan gambut. Proses ini
biasanya terjadi pada lingkungan berair, misalnya rawa-rawa.
3. Dekomposisi, yaitu proses dimana lapisan gambut tersebut di atas
akan mengalami perubahan berdasarkan proses biokimia yang
berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian akan menghilang dalam
bentuk karbondioksida (CO2), karbonmonoksida (CO), dan metana
(CH4).
4. Geotektonik, dimana lapisan gambut yang ada akan terkompaksi oleh
gaya tektonik dan kemudian pada fase selanjutnya akan mengalami
lipatan dan patahan. Selain itu gaya tektonik aktif dapat menimbulkan
adanya intrusi/terobosan magma, yang akan mengubah batubara low
grade menjadi high grade. Dengan adanya tektonik setting tertentu,
maka zona batubara yang terbentuk dapat berubah dari lingkungan
berair ke lingkungan darat.
5. Erosi, dimana lapisan batubara yang telah mengalami gaya tektonik
berupa pengangkatan kemudian dierosi sehingga permukaan batubara
yang ada menjadi terkupas pada permukaannnya. Perlapisan batubara
inilah yang dieksploitasi pada saat ini (Anonim2, 2009).
3.4 Faktor-Faktor dalam Pembentukan Batubara
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan batubara
adalah :
1. Material dasar, yakni flora atau tumbuhan yang tumbuh beberapa juta
tahun yang lalu, yang kemudian terakumulasi pada suatu lingkungan dan
zona fisiografi dengan iklim clan topografi tertentu. Jenis dari flora
sendiri amat sangat berpengaruh terhadap tipe dari batubara yang
terbentuk. Lingkungan pengendapan, yakni lingkungan pada saat proses
sedimentasi dari material dasar menjadi material sedimen.
Lingkungan pengendapan ini sendiri dapat ditinjau dari beberapa
aspek sebagai berikut :
• Struktur cekungan batubara, yakni posisi di mana material dasar
diendapkan. Strukturnya cekungan batubara ini sangat berpengaruh
pada kondisi dan posisi geotektonik.
• Topografi dan morfologi, yakni bentuk dan kenampakan dari tempat
cekungan pengendapan material dasar. Topografi dan morfologi
cekungan pada saat pengendapan sangat penting karena menentukan
penyebaran rawa-rawa di mana batubara terbentuk. Topografi dan
morfologi dapat dipengaruhi oleh proses geotektonik.
• Iklim, yang merupakan faktor yang sangat penting dalam proses
pembentukan batubara karena dapat mengontrol pertumbuhan flora
atau tumbuhan sebelum proses pengendapan. Iklim biasanya
dipengaruhi oleh kondisi topografi setempat.
2. Proses dekomposisi, yakni proses transformasi biokimia dari material
dasar pembentuk batubara menjadi batubara. Dalam proses ini, sisa
tumbuhan yang terendapkan akan mengalami perubahan baik secara
fisika maupun kimia.
3. Umur geologi, yakni skala waktu (dalam jutaan tahun) yang menyatakan
berapa lama material dasar yang diendapkan mengalami transformasi.
Untuk material yang diendapkan dalam skala waktu geologi yang
panjang, maka proses dekomposisi yang terjadi adalah fase lanjut clan
menghasilkan batubara dengan kandungan karbon yang tinggi.
Posisi geotektonik, yang dapat mempengaruhi proses
pembentukan suatu lapisan batubara dari :
• Tekanan yang dihasilkan oleh proses geotektonik dan menekan
lapisan batubara yang terbentuk.
• Struktur dari lapisan batubara tersebut, yakni bentuk cekungan stabil,
lipatan, atau patahan.
• Intrusi magma, yang akan mempengaruhi dan/atau merubah grade
dari lapisan batubara yang dihasilkan (Anonim2, 2010).
3.5 Komposisi Kimia Batubara
Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat yang terdapat di alam
dengan komposisi yang cukup kompleks. Pada dasarnya terdapat dua jenis
material yang membentuk batubara, yaitu :
1. Combustible Material, yaitu bahan atau material yang dapat
dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umumnya terdiri
dari:
• karbon padat (fixed carbon)
• senyawa hidrokarbon
• senyawa sulfur
• senyawa nitrogen, dan beberapa senyawa lainnya dalam jumlah kecil.
2. Non Combustible Material, yaitu bahan atau material yang tidak dapat
dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umumnya terdiri dari
senyawa anorganik (SiO2, A12O3, Fe2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO,
Na2O, K2O, dan senyawa logam lainnya dalam jumlah yang kecil) yang
akan membentuk abu/ash dalam batubara. Kandungan non combustible
material ini umumnya diingini karena akan mengurangi nilai bakarnya.
Pada proses pembentukan batubara/coalification, dengan bantuan
factor fisika dan kimia alam, selulosa yang berasal dari tanaman akan
mengalami perubahan menjadi lignit, subbituminus, bituminus, atau
antrasit. Proses transformasi ini dapat digambarkan dengan persamaan
reaksi sebagai berikut
5(C6Hl0O5) → C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO
Selulosa lignit gas metan
6(C6H10O5) → C22H20O3 + 5CH4 + 10H2O + 8CO2 + CO
Selulosa bituminous gas metan
Untuk proses coalification fase lanjut dengan waktu yang cukup
lama atau dengan bantuan pemanasan, maka unsur senyawa karbon
padat yang terbentuk akan bertambah sehingga grade batubara akan
menjadi lebih tinggi. Pada fase ini hidrogen yang terikat pada air yang
terbentuk akan menjadi semakin sedikit.
Nitrogen pada batubara pada umumnya ditemukan dengan kisaran
0,5 – 1,5 % w/w yang kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk
selama proses pembentukan batubara.
Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 – 30 % w/w
terdapat pada lignit atau 1,5 – 2,5 % w/w untuk antrasit, berasal dari
bermacam-macam material penyusun tumbuhan yang terakumulasi
ataupun berasal dari inklusi oksigen yang terjadi pada saat kontak
lapisan source dengan oksigen di udara terbuka atau air pada saat
terjadinya sedimentasi.
Variasi kandungan sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 – 5 %
w/w yang muncul dalam bentuk sulfur organik dan sulfur inorganik
yang umumnya muncul dalam bentuk pirit. Sumber sulfur dalam
batubara berasal dari berbagai sumber. Pada batubara dengan
kandungan sulfur rendah, sulfurnya berasal material tumbuhan
penyusun batubara. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan
sulfur menengah-tinggi, sulfurnya berasal dari air laut (Anonim4, 2009).
3.6 Kualitas Batubara
Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang
mempengaruhi potensi kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh
maseral dan mineral matter penyusunnya, serta oleh derajat coalification
(rank) (Anonim5, 2008).
Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa
kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis
ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air
(moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon), dan
kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan
kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang (Anonim5, 2008).
Kualitas batubara ditentukan dengan analisis batubara di
laboraturium, diantaranya adalah analisis proksimat dan analisis ultimat.
Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut
menguntungkan untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan
batubara di daerah penelitian. Berikut parameter-parameter yang sering
menjadi acuan dalam menentukan kualitas batubara:
a. Kalori (Calorific Value atau CV, satuan kal/g atau kkal/kg)
Kandungan nilai kalor total batubara adalah kandungan panas pada
batubara yang dihasilkan dari pembakaran setiap satuan berat dalam
jumlah kondisi oksigen standar.
b. Kadar kelembaban (Moisture, satuan persen berat)
Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi free moisture (FM)
dan inherent moisture (IM). Adapun jumlah dari keduanya disebut
dengan total moisture (TM). Kadar kelembaban mempengaruhi jumlah
pemakaian udara primernya. Batubara berkadar kelembaban tinggi akan
membutuhkan udara primer lebih banyak untuk mengeringkan batubara
tersebut pada suhu yang ditetapkan oleh output pulveriser.
c. Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen berat)
Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan
intensitas api. Penilaian tersebut didasarkan pada rasio atau perbandingan
antara kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut
dengan rasio bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio maka
jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin
banyak. Jika perbandingan tersebut nilainya lebih dari 1.2, maka
pengapian akan kurang bagus sehingga mengakibatkan kecepatan
pembakaran menurun.
d. Kadar abu (Ash content, satuan persen berat)
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui
ruang bakar dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang
jumlahnya mencapai 80 persen dan abu dasar sebanyak 20 persen.
Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan mempengaruhi tingkat
pengotoran (fouling), keausan, dan korosi peralatan yang dilalui
.
e. Kadar karbon (Fixed Carbon atau FC, satuan persen berat)
Nilai kadar karbon diperoleh melalui pengurangan angka 100
dengan jumlah kadar air (kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang.
Nilai ini semakin bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Kadar
karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk
menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio sebagaimana
dijelaskan di atas.
f. Kadar sulfur (Sulfur content, satuan persen berat)
Kandungan sulfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur,
sulfate sulfur, dan organic sulfur. Namun secara umum, penilaian
kandungan sulfur dalam batubara dinyatakan dalam Total Sulfur (TS).
Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang
terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih
rendah dari pada titik embun sulfur, di samping berpengaruh terhadap
efektivitas penangkapan abu pada peralatan electrostatic precipitator.
g. Ukuran (Coal size)
Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus (pulverized
coal ataudust coal) dan butir kasar (lump coal). Butir paling halus untuk
ukuran maksimum 3 milimeter, sedangkan butir paling kasar sampai
dengan ukuran 50 milimeter.
h. Tingkat ketergerusan (Hardgrove Grindability Index atau HGI)
Kinerja pulveriser atau mill dirancang pada nilai HGI tertentu.
Untuk HGI lebih rendah, kapasitasnya harus beroperasi lebih rendah dari
nilai standarnya pula untuk menghasilkan tingkat kehalusan (fineness)
yang sama (Anonim5, 2008).
3.7 Sulfur dalam Batubara
Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat
sebagai sulfur organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam
batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yang erat hubungannya dengan
proses fisika dan kimia selama proses penggambutan dan dapat juga sebagai
sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara
akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan. Sulfur
walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen
penting pada batubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara
terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh
lapisan pengapit yang terendapkan dalam lingkungan laut, pengaruh air laut
selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH
(Sukandarrumidi, 2006).
Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4 – 8 (netral – basa)
dan Eh cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan.
Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai
unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan & mineral.
Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk
terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air
tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah
( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri
rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada
kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran
ion Fe dan aktivitas bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang
dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar
sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan
darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan persentase
pirit yang rendah (Sukandarrumidi, 2006).
Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur
adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang
menunjukkan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara :
Gambar 3.1 Skema pembentukan sulfur dalam batubara
Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya
terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan
penutup dan lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan
pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan
abu dan sulfur yang tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan
pada lingkungan payau atau laut (Anonim2, 2009).
Terdapat 3 (tiga) jenis sulfur yang terdapat dalam batubara, yaitu :
1. Sulfur Piritik
Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum
dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia
yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk
isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Anonim2, 2009).
Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar
terhadap kandungan sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan
sulfur piritik. Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu :
1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses
penggambutan (peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk
framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material
pembentuk batubara.
2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses
pembatubaraan. Pirit jenis ini biasanya terendapkan dalam kekar,
rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif.
Umumnya pirit jenis ini dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada
batubara (Anonim2, 2009).
Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh
organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil
reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi
kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara.
Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi
rekahan karena kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan
terbawa ke dalam batubara oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan
selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah tereduksi untuk kemudian
membentuk pirit (Anonim2, 2009).
Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh
keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang
cocok bagi pembentukannya. Persamaan umum pembentukan pada pirit
adalah :
SO4 2- + 2CH2O → 2CHO3 - + H2S
3H2S + 2FeO.OH → 2FeS + S + 4H2O
FeS + SO → FeS2
Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen laut dangkal yang
selanjutnya akan direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen
sulfida dengan reaksi sebagai berikut :
SO4 2- + 2CH2O → 2HCO3 + H2S
Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite
(FeO.OH), atau hidrogen sulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric
iron (FeIII) menjadi ferrous iron (FeII). Oksigen seringkali mampu
menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi
unsur sulfur (SO). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga berlangsung
dengan media ferric iron (FeIII). Berikut persamaan reaksinya :
3H2S +2 FeO.OH → 2 FeS + S + 4H2O
FeS + SO → FeS2
(Anonim2, 2009).
Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi
dengan sulfida membentuk polisulfida (SSn), yang selanjutnya mungkin
akan diperlukan untuk proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini
dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses
terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu
semakin tinggi harga pH maka akan mempercepat reaksi karena dalam
suasana basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Disamping itu unsur
sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan komponen organik
batubara membentuk senyawa sulfur organik (Anonim2, 2009).
Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang
terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang
mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk pada
lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh transgresi air laut atau
payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal
dan terendapkan sebelum fase transgresi (Anonim2, 2009).
2. Sulfur Organik
Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur
makromolekul dalam batubara yang kehadirannya secara parsial
dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari material
tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur
inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. Secara umum sebagian
besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang keterdapatan
dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses
pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari
material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga
mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan
gambut (Sukandarrumidi, 2004).
Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik
oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum,
penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam
pembentukan sulfur organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat
pada lingkungan yang basah atau jenuh air. Sulfur yang bukan berasal dari
material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menentukan
kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam
lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk
hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia.
Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi
hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri
desulfovibrio dan desulfotomaculum (Sukandarrumidi, 2004).
Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan
unsur atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur
sulfur (SO) kemungkinan muncul dari proses oksidasi hidrogen sulfida
yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi – kisi air, di
samping itu SO juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur
sulfur (SO) dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama
proses penggambutan (Sukandarrumidi, 2004).
3. Sulfur Sulfat
Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi,
kalsium dan barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali
atau tidak ada kecuali jika batubara telah terlapukkan dan beberapa
mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. Sulfur sulfat juga dapat
berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang mengisi lapisan dasar
yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan
batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada
bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan
tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara
(Sukandarrumidi, 2006).
BAB IV
METODE KERJA PRAKTEK
4.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan kerja praktik ini dilaksanakan pada tanggal 18 Januari
2010 sampai 17 Februari 2010, sedangkan tempat pelaksanaan kegiatan ini
adalah Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Kalimantan Selatan di
Banjarbaru.
4.2 Bentuk Kerja Praktek
Kegiatan kerja praktek berupa kegiatan magang, yaitu mengikuti
kegiatan yang ada pada instansi tersebut selama jam kerja yakni
mempelajari metode-metode analisis bahan galian dengan dibimbing oleh
pembimbing eksternal dan para staf lainnya.
4.3 Prosedur Kerja
4.3.1 Penentuan Nilai Kalori Batubara dengan Bomb Calorimeter
Menyiapkan alat kalori meter, kemudian menghidupkan
calorimeter dan water handling system. Menyalakan pompa aliran air
pada pemanas dan pendingin air pada kalorimeter. Setelah itu
membiarkan kalorimeter untuk bekerja beberapa waktu hingga
menunjukan sinyal stand by, artinya suhu aliran air telah sesuai dan
stabil dengan pengaturan alat. Namun sebelumnya perlu menimbang
sampel batubara terlebih dahulu pada neraca analitik yang telah
terhubung pada konektor kalorimeter dan dimasukkan ke dalam
cawan. Kemudian cawan tersebut dipasang pada elektroda yang
tersedia, dengan kawat wolfram yang terikat pada tiang elektroda
kemudian kawat wolfram tersebut dihubungkan dengan sampel
batubara. Mengukur 10 ml aquades dan masukan kedalam tabung
bomb calorimeter. Luaran tabung Bomb Calorimeter dibersihkan dan
menutup Bomb Calorimeter tersebut rapat-rapat dengan tutupnya.
Kemudian mengisikan gas oksigen dengan tekanan 30-40 atm ke
dalam bomb melalui konektor. Calorimeter bucket sebelumya harus
diisi dengan 2 liter air dari water handling system sebelum tabung
bomb calorimeter dimasukkan kedalamnya. Saat memasukkan tabung
bomb calorimeter harus dengan menggunakan penjepit kedalam
bucket agar posisinya sesuai. Setelah itu kedua kabel elektroda pada
bomb calorimeter dipasang, kemudian ditutup, lalu menekan tombol
‘Start’ untuk memulai. Sinyal ‘Sample ID’ akan nampak pada monitor,
masukan identitas sampel dan tekan tombol ‘Enter’. Sinyal ‘bomb ID’
akan Nampak pada monitor, masukan nomor bomb yang digunakan
dan tekan tombol ‘Enter‘. Sinyal ‘Sample Weight’ akan tampak pada
monitor, masukan berat contoh dan tekan tombol ‘Enter’. Menunggu
beberapa menit, akan terdengar bunyi yang terputus-putus, artinya
proses pembakaran sedang berlangsung. Sinyal ‘Idle’ akan nampak
jika pembakaran sudah sempurna diiringi dengan bunyi yang panjang.
Secara otomatis nilai kalori dari sampel batubara tersebut akan terbaca
pada monitor. Penutup kalorimeter tersebut dibuka dan dikeluarkan
bomb nya kemudian gas pada bomb tersebut dibuang dengan
membuka katup gas secara perlahan-lahan. Bomb tersebut dibuka dan
masing-masing bagian dibersihkan dengan hati-hati. Perlu adanya
pengecekan kestabilan kalorimeter dengan mengkalibrasinya
menggunakan sampel asam benzoat minimal satu bulan sekali atau
setiap 500 kali pemakaian wadah bomb. Apabila hasilnya jauh dari
nilai kalori yang tertera pada botol asam benzoat, maka perlu
dikalibrasi ulang sampai menunjukkan data yang sesuai.
Gambar 4.1 Bomb Calorimeter Leco AC-350
4.3.2 Analisis Kadar Sulfur (S) Batubara
Sampel berupa air hasil pembakaran kalorimeter disaring
dengan menggunakan kertas whatman no. 42. Penggunaan air hasil
pembakaran karena pada saat pembakaran sulfurnya akan keluar dan
terlarut dalam air yang terkandung dalam bucket. Kemudian hasil
saringan dibilas lagi dengan aquades. Diambil filtratnya dan
ditambahkan dengan 10 ml larutan BaCl 10% (10 gram BaCl2 dalam
100 ml akuades). Pengambilan filtrat disini yaitu untuk analisis sulfur
yang masih terkandung dalam air sisa pembakaran, sedangkan endapan
yang dihasilkan pada kertas saring adalah abu dan pengotor lain yang
terikut. Larutan diaduk sampai homogen dan dipanaskan pada suhu
90oC dengan penangas air hingga terbentuk endapan berwarna putih
yang merupakan hasil reaksi antara barium yang telah ditambahkan
dengan sulfur yang terkandung dalam air. Air sampel disaring dengan
kertas whatman no. 42 bebas abu, kertas whatman no. 42 tersebut
dengan endapan didalamnya dilipat dan dimasukkan ke dalam cawan
porselen kemudian dibakar dalam furnace pada temperatur 700-800OC
selama 1 jam. Sampel hasil dari pembakaran ditimbang massanya
kemudian menentukan besarnya sulfur yang terkandung dalam
batubara dengan menggunakan rumus :
S=W BaSO4
W sampelx
BM SBM BaSO4
x 100 %
W BaSO4 diatas menunjukkan massa hasil pembakaran
dikurang massa cawan yang digunakan. W sampel adalah massa
sampel yang digunakan, biasanya satu gram koma sekian. BM S dan
BM BaSO4 menunjukkan berat molekulnya.
4.3.3 Analisis Kadar Abu Contoh Batubara
Cawan ditimbang dan kemudian dimasukkan sampel ke dalam
cawan sebanyak 1 gram. Sampel dimasukkan ke dalam furnace, yaitu
memulai dari suhu rendah 2500C selama 30 menit kemudian suhu
250-500 0C selama 30 menit dan 500-8150C selama 60 menit. Cawan
logam diambil dari dalam furnace dan diletakkan pada lempengan
logam kemudian didinginkan dalam desikator. Setelah dingin
kemudian sampel ditimbang. Cara ini diulangi untuk sampel yang
sama, sampai didapat hasil yang tepat (SNI 13-3478, 1994).
4.3.4 Analisis Kadar Air Lembab Contoh Batubara Kering Udara
Analisis kadar air lembab ini adalah untuk mengetahui
kandungan air dalam 1 gram batu bara. Kadar air yang terkandung
dibagi menjadi 3 bagian yaitu free moisture, inherent moisture, dan
total moisture. Cawan beserta tutupnya ditimbang dan dimasukkan
sampel ke dalam cawan sebanyak 1 gram. Oven sampel selama 1 jam
pada suhu 105-1100C. Cawan diambil dari dalam oven kemudian
didinginkan dalam desikator. Setelah dingin sampel ditimbang (SNI
13-13477, 1994).
Gambar 4.2 Botol timbang berisi sampel
4.3.5 Analisis Kadar Zat Terbang (Volatile Matter) Contoh Batubara
Cawan silika dan tutup ditempatkan di atas piringan, lalu
dimasukkan dalam furnace dan dipanaskan pada suhu 9000C selama 7
menit. Dudukan dan diambil cawan tersebut dari dalam furnace lalu
didinginkan dalam desikator. Kemudian cawan beserta tutupnya
ditimbang. Sampel dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang
sebanyak 1 gram. Cawan perlahan digoyang agar permukaan contoh
rata. Letakan kembali cawan didudukan. Cawan dimasukkan ke
dalam furnace dan dipanaskan pada suhu 9000C selama 7 menit.
Dudukan diangkat dan didinginkan dalam desikator. Cawan beserta
sampelnya ditimbang setelah dingin (SNI 13-3999, 1995).
4.3.6 Analisis Kadar Karbon Tertambat (Fixed Carbon) Contoh Batubara
Kadar karbon tertambat pada contoh batubara tidak dilakukan
dengan analisis. Untuk mengetahui kadarnya cukup dengan
perhitungan namun memerlukan data analisis lainnya seperti kadar air
lembab, kadar abu dan zat terbang. Perhitungannya yakni 100
dikurang jumlah dari kadar air lembab, abu, dan zat terbang (SNI 13-
3998, 1995).
BAB V
PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
5.1 Evaluasi Pelaksanaan Kerja Praktek
Pelaksanaan praktek yang kami lakukan berdasarkan metode –
metode yang telah dilakukan oleh staf laboran dan dengan bimbingan staf
laboran Dinas Pertambangan dan energi Propinsi Kalimantan Selatan. Untuk
analisis proksimat batubara dilakukan berdasarkan metode standar SNI.
Sebenarnya di laboratorium terdapat instrumen untuk menganalisis kadar
moisture batubara yaitu moisture analyzer, namun tidak kami gunakan untuk
analisis karena keakuratan datanya tidak mencapai rentang repeaitibility
yang telah ditentukan SNI. Untuk analisis kadar sulfur batubara tidak
dilakukan dengan instrumen berupa infrared sulfur analyzer karena alat
tersebut mengalami kerusakan sehingga tidak dapat digunakan sebagaimana
mestinya untuk menentukan kadar total sulfur batubara.
Gambar 5.1 Moisture analyzer
5.2 Hasil Pengamatan dan Pembahasan
5.2.1 Penentuan Nilai Kalori Batubara dengan Bomb Calorimeter
Kalorimetri adalah suatu metode yang mempelajari jumlah
panas/kalor berdasarkan perubahan temperatur. Hukum
termodinamika pertama dikemukakan bahwa energi dapat diubah dari
suatu bentuk yang satu ke bentuk yang lain, tetapi energi tidak dapat
diciptakan maupun dimusnahkan. Energi adalah suatu kemampuan
untuk melakukan usaha, bila suatu benda mempunyai energi, maka
benda itu dapat mempengaruhi benda lain dengan jalan melakukan
kerja kepadanya (Mirmanto, 2007).
Semua bentuk energi dapat diubah keseluruhannya kepanas dan
bila energi diukur, biasanya dalam bentuk kalor. Cara yang biasa
digunakan untuk menyatakan panas disebut kalori, pada mulanya
kalori didefinisikan sebagai jumlah panas yang diperlukan untuk
menaikkan temperatur 1 gram air dengan suhu awal 15oC sebesar
1oC, tetapi akhir-akhir ini satuan kalori digunakan untuk menyatakan
perubahan energy (Mirmanto, 2007).
Nilai kalor bahan bakar adalah jumlah panas yang dihasilkan
atau ditimbulkan oleh suatu gram bahan bakar tersebut dengan
meningkatkan temperatur 1 gram air dari 3,5oC – 4,5oC, dengan
satuan kalori. Makin tinggi kadar abunya di dalam batubara, makin
rendah nilai kalor yang diperolehnya. Kalorimeter bom adalah suatu
alat yang digunakan untuk menentukan panas yang dibebaskan oleh
suatu bahan bakar dan oksigen pada volume tetap. Alat tersebut
ditemukan oleh Prof. S. W. Parr pada tahun 1912, oleh sebab itu alat
tersebut sering disebut ”Parr Oxygen Bomb Calorimeter” (Mirmanto,
2007).
Pengukuran nilai kalor (heating value) didalam batu bara kami
lakukan dengan menggunakan bomb Calorimeter Leco AC-350.
Sampel yang akan diukur kemudian dimasukan ke dalam sebuah
kontainer logam yang tertutup, serta diberi muatan oksigen dengan
tekanan tinggi. Kemudian bomb ditempatkan di dalam kontainer air
dan selanjutnya bahan bakar dinyalakan menggunakan eksternal
kontaktor listrik. Selanjutnya temperatur air diukur sebagai fungsi
waktu sesudah proses pembakaran berakhir dan dari pengetahuan
besaran masa air di dalam sistem, masa dan panas spesifik kontainer
dan kurva pemanasan maupun pendinginan, maka energi yang
terlepas selama pembakaran bisa ditentukan. Dalam hal ini motor
penggerak pengaduk bekerja untuk menjamin keseragaman
temperatur air disekitar bomb. Dalam kondisi khusus pemanasan luar
disuplai oleh mantel air untuk mempertahankan suhu seragam,
sementara dalam contoh lain mantel bisa dibiarkan kosong untuk
mempertahankan mendekati kondisi air didalam kontainer adiabatis.
Reaksi yang terjadi didalam wadah Bomb :
Batubara + O2 → Abu + CO2(g) + H2O (g) + SO3(g) + NO2 + kalori
Reaksi yang terjadi dalam “kalorimeter bomb” berada pada
volume yang tetap karena bejana bomb tak dapat membesar atau
mengecil. Berarti bila gas terbentuk pada reaksi di sini, tekanan akan
membesar maka tekanan pada sistem dapat berubah. Karena pada
keadaan volume yang tetap maka panas reaksi yang diukur dengan
kalorimeter bomb disebut panas reaksi pada volume tetap.
Kalorimeter berhubungan dengan udara dan tekanan pada sistem
dapat tetap konstan. Maka perubahan energi diukur dengan
kalorimeter adalah panas reaksi pada tekanan tetap. Nilai kalori
batubara yang telah kami dapatkan dengan menggunakan Bomb
Calorimeter adalah 4962,74 kal/g. Berdasarkan nilai kalori yang
didapat dapat disimpulkan bahwa jenis batu bara yang dianalisis
termasuk jenis sub-bituminus atau bitumen menengah yang
mempunyai rentang kalori 3000-6300 kal/g.
Pengukuran panas reaksi pada reaksi pada volume tetap dan
tekanan tetap tak banyak berbeda tapi tidak sama. Karena kebanyakan
reaksi yang ada kepentingannya dilakukan dalam wadah terbuka jadi
berhubungan dengan tekanan udara yang tetap dari atmosfer, maka
akan dibicarakan hanya panas reaksi pada tekanan tetap, dan reaksi
dan diberikan dengan simbol ΔH.
Definisinya:
ΔH = Hakhir – Hmula-mula
(Ratna, 2009).
Walaupun ini merupakan definisi yang biasa dari ΔH, keadaan
entalpi H, mula-mula dan akhir (yang sebenarnya berhubungan
dengan jumlah energi yang ada pada keadaan ini) tak dapat diukur. Ini
disebabkan karena jumlah energi dari sistem termasuk jumlah dari
semua energi kinetik dan energi potensialnya. Jumlah energi total ini
tidak dapat diketahui karena kita tidak mengetahui secara pasti berapa
kecepatan pergerakan molekul-molekul dari sistem dan juga berapa
gaya tarik menarik dan tolak menolak antara molekul dalam sistem
tersebut. Bagaimanapun definisi yang diberikan oleh persamaan yang
diatas sangat penting karena telah menegakkan tanda aljabar ΔH
untuk perubahan eksoterm dan endotermik. Perubahan eksotermik
Hakhir lebih kecil dari Hmula-mula. Sehingga harga ΔH adalah negatif.
Dengan analisis yang sama kita mendapatkan harga ΔH untuk
perubahan endotermik harganya positif (Ratna, 2009). Apabila terjadi
pembakaran karbon dengan oksigen reaksi dapat berlangsung
eksotermik :
2C + O2 → 2CO ΔH = -221 KJ/mol.
5.2.2 Analisa Kadar Sulfur (S) Contoh Batubara
Pada alat infrared sulfur analyzer penggunaannya bisa
dikatakan cukup praktis dan efisien untuk pengukuran sampel dalam
jumlah yang banyak. Karena pengukurannya tidak memerlukan waktu
yang cukup lama. Infrared sulfur analyzer dihubungkan pada
komputer sehingga hasil pengukurannya dapat langsung terlihat pada
komputer. Hasil pengukurannya berupa konsentrasi kandungan sulfur.
Pengukuran dilakukan pada suhu tinggi yaitu diatas
13500C±500C. Aliran gas dari oksigen (O2) menyebabkan suhu pada
furnace bisa mencapai suhu yang sangat tinggi sekali. Setelah katup
oksidasi
gas dibuka dan mengaliri alat infrared sulfur analyzer maka didiamkan
sampai suhu furnace mencapai 13500C ± 500C.
Prinsip pengukuran dengan menggunakan alat infrared sulfur
analyzer ini adalah pengukuran gas hasil oksidasi dari sulfur oleh sinar
infra merah yang kemudian akan membawanya ke detektor. Alat ini
dilengkapi dengan dua buah detektor yaitu detektor low sulfur dan
detektor high sulfur. Perbedaan dari kedua detektor ini terdapat pada
ukurannya, dimana untuk yang low sulfur bentuknya lebih panjang
tetapi luas pernukaannya lebih kecil. Sedangkan untuk yang high
sulfur bentuknya lebih pendek dengan luas permukaan yang besar.
Untuk hasil pengukuran, detektor low sulfur lebih banyak memberikan
hasil pengukuran.
Sampel yang dimasukkan ke dalam furnace selanjutnya akan
dibakar oleh O2 sehingga terjadilah proses oksidasi yang akan
mengubah sulfur menjadi gas SO2. Reaksi yang terjadi adalah :
S SO2
Gas yang keluar dari hasil pembakaran akan segera terbaca
oleh sinar infra merah yang selanjutnya akan membawa kedetektor.
Detektor akan membaca sinar infra merah tersebut dan hasilnya akan
muncul pada komputer. Selama proses pengukuran grafik pada layar
komputer akan berubah-rubah namun akan berhenti apabila seluruh
sulfur telah habis teroksidasi dan gas SO2 telah terukur semua. Dengan
demikian pada penggunaan alat tersebut akan lebih mudah menentukan
kadar sulfurnya.
Pada proses analisis kadar sulfur batubara tanpa menggunakan
alat infrared sulfur analyzer dapat dilakukan dengan metode
gravimetri dimana metode gravimetri ini merupakan suatu metode
kimia kuantitatif yang didasarkan pada prinsip penimbangan berat
yang di dapat dari proses pemisahan analit dari zat – zat lain dengan
metode pengendapan. Suatu sampel berupa air hasil dari pembakaran
batubara dalam wadah Bomb (reaction chamber) pada Bomb
Calorimeter. Air tersebut sudah mengandung sulfur didalamnya karena
saat pembakaran batubara, menghasilkan sulfur dalam bentuk SO3
dalam wadah yang tertutup rapat. Reaksi yang terjadi adalah :
H2O + SO3 → SO42-
Air sampel tersebut disaring dengan kertas Whatman No. 42,
agar abu batubara yang bercampur dengan air akan terpisah. Air filtrat
yang mengandung SO3 tersebut dipanaskan dengan penangas air
kemudian direaksikan dengan barium klorida. Barium klorida adalah
ionik senyawa kimia dengan rumus Ba Cl 2, garam barium bersifat
racun. BaCl2 mengkristal baik dalam fluorit dan mengikat klorida. Di
dalam larutan air, BaCl2 bersifat sebagai garam sederhana, dalam air
yang bersifat elektrolit dan pada larutan pH netral. Larutan tersebut
setelah diaduk sampai homogen akan membentuk suatu endapan putih.
Barium klorida bereaksi dengan ion sulfat untuk menghasilkan
endapan putih tebal dari barium sulfat. Reaksi yang terjadi adalah :
Ba2+ + SO42- → BaSO4
Namun pada sampel yang kami kerjakan menghasilkan
endapan berwarna putih sedikit kekuningan karena terdapatnya sedikit
Fe. Sulfur yang terkandung dalam batubara yang kami analisis dalam
laboratorium dinas pertambangan dan energi umumnya mengandung
sulfur pirit (FeS2), pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur
primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi.
Endapan yang dihasilkan disaring dengan kertas whatman bebas abu
dan dimasukkan ke dalam cawan porselen untuk dibakar pada furnace
700-800oC selama satu jam. Sampel diangkat dan dibiarkan dingin,
kemudian ditimbang.
Tabel 5.1 Data hasil pengamatan kadar sulfur batubara
Sampel
Batubaram sampel (g)
m cawan
(g)
m hasil pembakaran
BaSO4 (g)
Sampel A 1,0172 g 18,5379 g 18,5691 g
Sampel B 1,0389 g 19,0507 g 19,0707 g
Sampel batubara yang digunakan adalah sampel yang berasal dari
klien. Analisis ini menggunakan dua jenis sampel yang berbeda lokasi
asalnya sehingga kemungkinan kandungan sulfurnyapun akan
berbeda. Sesudah dipreparasi masing-masing sampel diambil 1 gram
untuk kemudian dianalisis.
Perhitungan:
Sampel A
Diketahui : BM S = 32 gram/mol
BM BaSO4 = 233 gram/mol
m BaSO4 = 18,5691 - 18,5379 = 0,0312 gram
m sampel = 1,0172 gram
S=W BaSO4
W sampelx
BM SBM BaSO4
x 100 %
Kadar Sulfur=0,03121,0172
x32
233x100 %
= 0,42 %
Sampel B
Diketahui : BM S = 32 gram/mol
BM BaSO4 = 233 gram/mol
m BaSO4 = 19,0707 – 19,0507 = 0,0200 gram
m sampel = 1,0389 gram
S=W BaSO4
W sampelx
BM SBM BaSO4
x 100 %
Kadar Sulfur=0,02001,0389
x32
233x100 %
= 0,26 %
W BaSO4 diatas menunjukkan massa hasil pembakaran dikurang
massa cawan yang digunakan. W sampel adalah massa sampel yang
digunakan, biasanya satu gram koma sekian. BM S dan BM BaSO4
menunjukkan berat molekulnya.
Tabel 5.2 Data hasil perhitungan kadar sulfur batubara
Sampel (batubara) Sulfur yang terkandung / g
Sampel A 0,42 %
Sampel B 0,26 %
Rata-rata 0,37 %
Berdasarkan hasil yang didapatkan dapat dikatakan bahwa kedua
jenis sampel termasuk dalam kategori sulfur yang rendah karena
masih berada dalam kisaran kadar sulfur dibawah 1%. Hubungan
antara kadar sulfur dan nilai kalori biasanya semakin tinggi kadar
sulfur semakin tinggi pula kalorinya namun ketika dalam hal ini
didapatkan kadar sulfur yang kecil sehingga bisa diprediksikan bahwa
nilai kalorinyapun kecil.
5.2.3 Analisa Kadar Abu Contoh Batubara
Prinsip analisa kadar abu batubara ini adalah berdasarkan sisa
dari hasil pembakaran sampel batubara secara sempurna pada kondisi
standar yaitu kondisi yang dianjurkan dan tertera pada aturan SNI 13-
3478-1994. Kondisi yang dimaksud adalah kondisi pada waktu
pemanasan dalam furnace dimana ada beberapa rentan waktu pada
setiap pemanasan. Pada saat pemanasan awal suhu yang diperlukan
hanya 2500C dan pemanasan ini dilakukan selama ± 30 menit. Tahap
selanjutnya suhu furnace terus ditingkatkan hingga mencapai 5000C.
Pemanasan pada suhu ini juga menggunakan waktu ± 30 menit.
Terakhir adalah menaikkan suhu hingga 8150C. Pemanasan tidak
dilakukan sekaligus pada suhu 8150C untuk menjaga agar hasil
pembakaran benar-benar sempurna. Karena apabila langsung
dipanaskan pada suhu tinggi maka dikhawatirkan tidak seluruh sampel
dapat terbakar. Dan proses pembakarannya tidak merata.
Kemungkinan dibagian luar sudah terbakar semua tetapi pada bagian
dalamnya masih ada yang tidak terbakar. Setelah dikeluarkan dari
furnace dan kemudian ditimbang, maka itulah hasil dari sisa
pembakaran abu. Dihitung dengan menggunakan persamaan sehingga
dapat diketahui kadar abu pada sampel batubara tersebut.
Pengukuran terhadap kualitas batubara juga sangat menentukan
terhadap kualitas batubara. Kandungan abu akan terbawa bersama gas
pembakaran melalui ruang bakar dan daerah konveksi dalam bentuk
abu terbang atau abu dasar. Sekitar 20% dalam bentuk abu dasar dan
80% dalam bentuk abu terbang. Semakin tinggi kandungan abu dan
tergantung komposisinya mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling),
keausan dan korosi peralatan yang dilalui.
Selain kualitas yang akan mempengaruhi penanganannya, baik
sebagai fly ash maupun bottom ash tetapi juga komposisinya yang
akan mempengaruhi pemanfaatannya dan juga terhadap titik leleh yang
dapat menimbulkan fouling pada pipa-pipa. Dalam hal ini kandungan
Na2O dalam abu akan sangat mempengaruhi titik leleh abu. Abu ini
akan dihasilkan dari pengotor bawaan (inherent impurities) maupun
pengotor sebagai hasil penambangan. Komposisi abu seyogyanya
diketahui dengan baik untuk kemungkinan pemanfaatannya sebagai
bahan bangunan atau keramik dan penanggulangannya terhadap
masalah lingkungan yang dapat ditimbulkannya.
Data yang didapatkan dari hasil uji ini adalah sebagai berikut :
Tabel 5.3 Data hasil pengamatan kadar abu batubara
No.
Sampelm cawan (g)
m wadah +
sampel (g)
m sampel
(g)
m sesudah
pembakaran (g)
1 16,6194 17,6488 1,0294 16,6610
2 16,7992 17,8365 1,0373 16,8403
Analisis kadar abu ini menggunakan satu jenis sampel saja yaitu
sampel in home Januari 2010. Pecobaan dilakukan secara duplo dan
dicoba apakah hasilnya akan memenuhi nilai repeatibility yang
diizinkan.
Perhitungan:
Sampel nomor 1
Diketahui : m1 = berat cawan kosong + tutup = 16,6194 gram
m2 = berat cawan + tutup + sampel = 17,6488 gram
m2 – m1 = berat sampel = 1,0294 gram
m3 = berat cawan + tutup + abu = 16,6610 gram
Kadar abu (%) =
m3 − m 1m2 − m 1
x 100%
=
16,6610 − 16 , 619417 ,6488−16 ,6194
x 100 %
= 4,04 %
Sampel nomor 2
Diketahui : m1 = berat cawan kosong + tutup = 16,7992 gram
m2 = berat cawan + tutup + sampel = 17,8365 gram
m2 – m1 = berat sampel = 1,0373 gram
m3 = berat cawan + tutup + abu = 16,8403 gram
Kadar abu (%) =
m3 − m 1m2 − m 1
x 100 %
=
16,8403 − 16 ,799217 , 8365−16 ,7992
x 100 %
= 3,96 %
Tabel 5.4 Data hasil perhitungan kadar abu batubara
Sampel Batubara Kadar Abu
Sampel 1 4,04 %
Sampel 2 3,96 %
Rata-rata 4,00 %
Berdasarkan hasil yang didapat ternyata sampel ini memiliki
kadar abu rata-rata sebesar 4 %, yaitu 0,04 gram dalam setiap
gramnya. Kadar abu ini tergolong rendah. Selisih data yang dihasilkan
sebesar 0,08 %, nilai ini memenuhi rentang repeatibility yang
ditentukan. Batas maksimal repeatibility yang diizinkan sesuai SNI
yaitu 0,2 % untuk batubara yang mengandung abu < 10 % dan 2,0 %
untuk batubara yang mengandung kadar abu ≥ 10 %.
5.2.4 Analisa Kadar Air Lembab Contoh Batubara Kering Udara
Air lembab merupakan air yang terkandung dalam contoh
batubara yang telah dikeringkan pada suhu tertentu. Kondisi ini adalah
kondisi suhu dan waktu yang sesuai dengan ketentuan SNI 13-3477-
1994. Pada prinsipnya pengukuran kadar air lembab ini adalah dengan
cara menghitung kehilangan berat contoh batubara apabila dipanaskan
pada suhu dan kondisi standar dalam oven.
Proses pemanasan dilakukan dalam oven selama 1 jam pada
suhu 105 – 1100C. Penyusutan volume contoh batubara ditimbang
kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan diatas sehingga
dapat diketahui. Pada saat pemanasan sangat dihindari kontak dengan
udara luar. Sehingga pada saat pemanasan tutup cawan pun juga ikut
disertakan. Pada saat pemanasan cawan tidak ditutup melainkan
dibiarkan terbuka. Sebelum dikeluarkan dari oven cawan ditutup
kemudian baru dikeluarkan. Pendinginan dilakukan dalam desikator.
Setelah dingin maka cawan ditimbang sehingga dapat diketahui
kandungan air pada batubara tersebut. Dari perhitungan diperoleh
kadar air lembab rata-rata yang terdapat pada sampel batubara tersebut
sebesar 12,95 %.
Kandungan air lembab ini juga merupakan salah satu faktor
yang menentukan kualitas suatu batubara. Kualitas disini maksudnya
adalah beberapa parameter yang digunakan untuk menentukan
bagaimana batubara tersebut, apakah masuk dalam batas standar atau
tidak yang nantinya kan disesuaikan dengan penggunaannya atau tidak
diizinkan penggunaanya karena tidak memenuhi standar. Kandungan
air lembab ini mempengaruhi terhadap jumlah pemakaian udara
primernya, pada batubara dengan kandungan air lembab tinggi akan
membutuhkan udara primer lebih banyak guna mengeringkan batubara
tersebut. Selain itu juga kandungan air ini banyak pengaruhnya pada
pengangkutan, penanganan, penggerusan maupun pada
pembakarannya. Pada proses pembakaran akan sangat merugikan
apabila kandungan air lembabnya tinggi, karena akan mengurangi
panas yang dihasilkan oleh batubara tersebut.
Data yang didapatkan dari hasil uji ini adalah sebagai berikut :
Tabel 5.5 Data hasil pengamatan kadar air lembab batubara
No. Sampelm wadah +
tutup (g)
m wadah +
sampel (g)
m sampel
(g)
m sesudah
pemanasan (g)
1 51,3388 52,4004 1,0616 52,2617
2 51,0719 52,0739 1,0020 51,9451
Analisis kadar air lembab ini menggunakan jenis sampel yang
sama yaitu sampel in home Januari 2010. Wadah sampel yang
digunakan untuk analisis ini adalah botol timbang beserta tutup.
Masing-masing botol timbang ditimbang terlebih dahulu karena
massanya yang berbeda-beda tergantung jenis botol timbang yang
digunakan.
Perhitungan :
Sampel nomor 1
Diketahui : m1 = berat cawan kosong + tutup = 51,3388 gram
m2 = berat cawan + tutup + sampel = 52,4004 gram
m2 – m1 = berat sampel = 1,0616 gram
m3 = berat cawan + tutp + sampel setelah pemanasan =
52,2617 gram
Mad =
m 2 − m3m2 − m1
x 100%
=
52 ,4004 − 52 ,261752 ,4004 − 51 ,3388
x 100 %
= 13,06 %
Sampel nomor 2
Diketahui : m1 = berat cawan kosong + tutup = 51,0719 gram
m2 = berat cawan + tutup + sampel = 52,0739 gram
m2 – m1 = berat sampel = 1,0794 gram
m3 = berat cawan + tutup + sampel setelah pemanasan =
51,9451 gram
Mad =
m 2 − m3m2 − m1
x 100 %
=
52 ,0739 − 51 ,945152 ,0739 − 51 ,0719
x 100 %
= 12,85 %
Tabel 5.6 Data hasil perhitungan kadar air lembab batubara
Sampel Batubara Kadar Air Lembab
Sampel 1 13,06 %
Sampel 2 12,85 %
Rata-rata 12.96 %
Berdasarkan data hasil analisis didapatkan kandungan air lembab
rata-rata yakni 12,96%. Kadar air lembab ini juga disebut sebagai
inherent moisture yaitu kadar air yang terkandung atau terikat dalam
batubara. Data tersebut di atas bisa dikatakan memenuhi rentang
repeatibility sesuai acuan standar yang digunakan yaitu SNI.
Referensi menyebutkan bahwa repeatibility maksimal untuk batubara
dengan kadar air lembab <5% adalah 0,2 sedangkan untuk jenis
batubara yang memiliki kadar air lembab ≥5% adalah 0,3. Artinya
hasil analisis diatas masih memenuhi standar karena selisih yang
dihasilkan hanya 0,21 untuk batubara yang memiliki kadar air ≥ 5%.
Kadar air yang terkandung dalam batubara ini disimpulkan cukup
besar.
5.2.5 Analisa Kadar Zat Terbang (Volatile Matter) Contoh Batubara
Kadar zat terbang (volatile matter) merupakan jumlah (%)
kehilangan berat apabila batubara dipanaskan tanpa oksidasi pada
kondisi standar setelah dikoreksi terhadap kadar air lembab. Pada
prinsipnya penentuan terhadap volatile matter ini adalah dengan cara
menghitung kehilangan berat dari contoh yang dipanaskan tanpa
oksidasi pada kondisi standar, kemudian dikoreksi terhadap kadar air
lembab. Kondisi standar ini adalah kondisi yang sesuai dengan
ketentuan SNI 13-3999-1995, yaitu dipanaskan dalam furnace pada
suhu 9000C selama 7 menit.
Cawan yang digunakan pada proses pengukuran volatile matter
ini sangat kecil sehingga untuk mempermudah pada proses peletakan
dan pengangkatannya pada furnace, cawan ditempatkan pada dudukan
logam. Setelah dipanaskan dalam furnace, sampel didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Penyusutan volum yang terjadi dihitung
dengan menggunakan persamaan.
Jumlah volatile matter juga turut mempengaruhi terhadap
kualitas batubara. Karena kandungan volatile matter ini akan
mempengaruhi terhadap kesempurnaan pembakaran dan intensitas api.
Kesempurnaan pembakaran ditentukan oleh:
Fuel ratio =
fixed carbonvolatile matter
Semakin tinggi fuel ratio maka karbon yang tidak terbakar
semakin banyak. Oleh karena itu, volatile matter sangat erat kaitannya
dengan kelas batubara tersebut. Makin tinggi volatile matter maka
makin rendah kelasnya. Pada pembakaran batubara, maka volatile
matter yang tinggi akan lebih mempercepat pembakaran karbon
padatnya dan sebaliknya volatile matter yang rendah lebih
mempersulit proses pembakaran. Sebaliknya untuk karbon, apabila
kandungannya lebih banyak pada batubara maka akan semakin baik
kualitas batubara tersebut. Jumlah kandungan karbon yang tertambat
terhadap volatile matter disebut fuel ratio.
Data yang didapatkan dari hasil uji ini adalah sebagai berikut :
Tabel 5.7 Data hasil pengamatan kadar zat terbang batubara
No.
Sampel
m cawan logam
+ tutup (g)
m wadah +
sampel (g)
m sampel
(g)
m sesudah
pemanasan (g)
1 20,2830 21,3311 1,0481 20,7780
2 20,3169 21,3401 1,0232 20,8024
Analisis kadar zat terbang (volatile matter) ini menggunakan jenis
sampel yang sama yaitu sampel in home Januari 2010. Uji ini yaitu
untuk mengetahui jumlah zat terbang yang terkandung dalam
batubara. Untuk analisis digunakan massa sampel sebanyak 1 gram.
Perhitungan :
Sampel nomor 1
Diketahui : m1 = berat cawan kosong + tutup = 20,2830 gram
m2 = berat cawan + tutup + sampel = 21,3311 gram
m2 – m1 = berat sampel = 1,0481 gram
m3 = cawan + tutup + sampel setelah pemanasan = 20,7780 gram
Mad = kadar air lembab = 12,96 %
Volatile matter =
m2 − m3m2 − m 1
x 100 % − M ad
=
21 , 3311− 20 ,778021 , 3311− 20 ,2830
x 100 % − 12, 96 %
= 45,93%
Sampel nomor 2
Diketahui : m1 = berat cawan kosong + tutup = 20,3169 gram
m2 = berat cawan + tutup + sampel = 21,3401 gram
m2 – m1 = berat sampel = 1,0232 gram
m3 = cawan + tutup + sampel setelah pemanasan = 20,8024 gram
Mad = kadar air lembab = 12,96 %
Volatile matter =
m2 − m3m2 − m 1
x 100 % − M ad
=
21 , 3401 − 20 ,802421 , 3401 − 20 ,3169
x 100 % − 12, 96 %
= 45,75%
Tabel 5.8 Data hasil perhitungan kadar zat terbang batubara
Sampel Batubara Kadar Zat Terbang
Sampel 1 45,93 %
Sampel 2 45,75 %
Rata-rata 45,84 %
Berdasarkan data hasil analisis didapatkan kandungan zat terbang untuk
uji pertama adalah 45,93% dan yang kedua adalah 45,75%. Kandungan rata-
ratanya adalah sebesar 45,84%. Analisis yang dilakukan secara duplo ini
memiliki selisih nilai yang kecil yaitu 0,18. Sesuai dengan acuan standar
yang digunakan yaitu SNI artinya data ini presisi atau memenuhi. SNI
menyatakan bahwa repeatability batubara dengan kadar VM <10% sebesar
0,3% absolute sedangkan untuk batubara dengan kadar VM ≥10% sebesar
3% dari hasil nilai rata-rata.
Hasil yang didapat menunjukkan nili rata-rata yang relative besar yaitu
45,84%, hal ini kemungkinan dikarenakan banyaknya kandungan lain selain
karbon seperti SiO2, A12O3, Fe2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O,
dan senyawa logam lainnya dalam jumlah yang kecil.
5.2.6 Analisis Kadar Karbon Tertambat (Fixed Carbon) Contoh Batubara
Nilai kadar karbon diperoleh melalui pengurangan angka 100 dengan
jumlah kadar air (kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang. Nilai ini
semakin bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Kadar karbon
dan jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai
kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio.
Data yang didapatkan dari hasil uji ini adalah sebagai berikut :
Tabel 5. 9 Data hasil pengamatan kadar karbon tertambat batubara
No.
Sampel
Air lembab
(%)
Abu
(%)
Zat terbang
(%)
1 13,06 4,04 45,93
2 12,85 3,96 45,75
Analisa kadar karbon tertambat (fixed carbon) ini menggunakan jenis
sampel yang sama yaitu sampel in home januari 2010. Metode ini juga
berdasarkan SNI. Untuk menentukan kadar karbon tertambat dalm sampel
batubara tidak perlu percobaan lagi, hanya dihitung dengan sutu rumus
namun memerlukan data analisi sebelumnya yaitu kadar kelembaban, kadar
zat terbang dan kadar abu.
Perhitungan :
Sampel nomor 1
Diketahui : m1 = Kadar air lembab = 13,06 %
m2 = Kadar abu = 4,04 %
m3 = Kadar zat terbang = 45,93 %
Kadar karbon tertambat = 100 (m1 + m2 + m3)
= 100 (13,06 + 4,04 + 45,93)
= 100 – 63,03
= 36,97 %
Sampel nomor 2
Diketahui : m1 = Kadar air lembab = 12,85 %
m2 = Kadar abu = 3,96 %
m3 = Kadar zat terbang = 45,75 %
Kadar karbon tertambat = 100 (m1 + m2 + m3)
= 100 (12,85 + 3,96 + 45,75)
= 100 – 62,56
= 37,44 %
Tabel 5.10 Data hasil perhitungan kadar karbon tertambat batubara
Sampel Batubara Kadar Karbon Tertambat
Sampel 1 36,97 %
Sampel 2 37,44 %
Rata-rata 37,21 %
Berdasarkan data hasil perhitungan dapat kita tentukan kadar karbon
tertambat dalam batubara yaitu sisa padatan yang dapat terbakar setelah
batubara dihilangkan zat terbangnya. Nilai rata-rata karbon tertambat yang
didapatkan sebesar 37,21%. Kadar ini relatif tergolong kecil, faktor
penyebabnya adalah kandungan zat terbang (volatile matter) yang terlalu
besar. Hubungannya dengan kalori, diprediksikan batubara jenis ini
memiliki nilai kalori yang rendah karena jumlah karbon yang terbakar juga
sedikit.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pelaksanaan praktek kerja lapangan ini
adalah:
1. Batubara in home memiliki kadar abu rata-rata sebesar 4,00 % per
gram. Besarnya persen abu dapat mengakibatkan pengotoran pada
mesin yang digunakan.
2. Batubara in home memiliki kadar air lembab batubara adalah sebesar
12.96 % per gram. Kadar air ini mempengaruhi pembakaran dan dapat
menurunkan nilai kalorinya.
3. Batubara in home memiliki kadar zat terbang batubara adalah sebesar
45,84 % per gram. Angka ini menunjukkan nilai yang besar. Hal ini
dipengaruhi oleh kandungan senyawa lain yang cukup banyak dan
pengaruhnya terhadap kalori adalah berbanding terbalik.
4. Batubara in home memiliki kadar kadar karbon tertambat batubara
adalah sebesar 37,21 % per gram. Hubungannya dengan nilai kalori
adalah berbanding lurus. Semakin tinggi kadar fixed carbon semakin
tinggi pula nilai kalorinya.
5. Analisis sampel batubara dari klien yang telah dilakukan didapatkan
nilai kalori sebesar 4962,74 kal/g yang artinya jenis ini termasuk
batubara sub-bituminous atau bitumen menengah.
6. Analisis sampel batubara dari klien yang telah dilakukan didapatkan
kadar total sulfur rata-ratanya sebesar 4,00 % per gram. Angka ini
cukup besar karena batas maksimal batubara yang dapat digunakan
yaitu dengan kadar sulfur maksimal 1%.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan kita dapat melihat variasi data
yang dihasilkan. Sangat disayangkan jika kualitas batubara yang didapatkan
kurang bagus, untuk itu semestinya ada cara atau metode bagaimana
meningkatkan kualitas batubara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1. 2010. Batubara.http://id.wikipedia.org/wiki/Batu_baraDiakses pada tanggal 18 Maret 2010.
Anonim 2. 2009. Proses Pembentukan Batubara.http://www.geofacts.co.cc/2009/04/Diakses pada tanggal 18 Maret 2010.
Anonim 3. 2010. Batubara Sebagai Sedimen Organik.http://ilmubatubara.wordpress.com/Diakses pada tanggal 18 Maret 2010.
Anonim 4. 2009. Industri Batubara. http://sheiladefirays.blogspot.com/2009/12/ Diakses pada tanggal 17 April 2010.
Anonim 5. 2008. Analisis Batubara.http://idhamds.wordpress.com/2008/09/15/ Diakses pada tanggal 17 April 2010.
Bayuseno , A.P. 2009. Pengaruh Sifat Fisik dan Struktur Mineral Batu Bara Lokal terhadap Sifat Pembakaran. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Dinas Pertambangan dan Energi. 2005. Sejarah dan Perkembangan Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
____. 2009. Unit Pelayanan Jasa Sumber Daya Mineral dan Energi. Banjarbaru.
Mirmanto. 2007. Nilai Kalor Sampah Hasil Produksi Masyarakat Kota Mataram. Jurusan Teknik Mesin, Universitas Mataram.
Putrago. 2009. Pengertian Sumber Daya dan Cadangan Batubara.http://putrago.blog.akprind.ac.id/content/ Diakses pada tanggal 18 Maret 2010.
Rachimoellah. 2002. Prospek Pemanfaatan Batubara Dan Gambut Sebagai Bahan Baku Industri Kimia dalam Makalah Simposium Nasional Kimia. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Ratna. 2009. Entalpi dan Perubahan Entalpihttp://id.wikipedia.org/wiki/Entalpi_dan_Perubahan_EntalpiDiakses pada tanggal 29 Maret 2010.
Standar Nasional Indonesia. Analisis Kadar Abu Contoh Batubara. SNI 13-3478-1994.
Standar Nasional Indonesia. Analisis Kadar Air Lembab dari Contoh Batubara Kering Udara. SNI 13-3477-1994, UDC.
Standar Nasional Indonesia. Analisis Kadar Karbon Tertambat (Fixed Carbon) Contoh Batubara. SNI 13-3998-1995, ICS.
Standar Nasional Indonesia. Analisis Kadar Zat Terbang (Volatile Matter) Contoh Batubara. SNI 13-3999-1995, ICS.
Standar Nasional Indonesia. Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Batubara. Amandemen 1 - SNI 13-5014-1998, ICS 73.020.
Sukandarrumidi. 2004. Batubara dan Gambut. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
____. 2006. Batubara dan Pemanfaatannya. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tim Kajian Batubara Nasional. 2006. Batubara Indonesia. Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara.