analisis puisi dengan pendekatan struktural
TRANSCRIPT
ANALISIS PUISI DENGAN PENDEKATAN STRUKTURAL
1. PERBEDAAN PUISI DENGAN PROSA
Puisi Prosa
Melibatkan perasaan Melibatkan pikiran
Bahasa yang digunakan terikat Bahasa yang digunakan tidak terikat
Adanya unsur-unsur bunyi yang mengikat Tidak adanya unsur-unsur bunyi yang
mengikat
Terdiri dari kesatuan yang disebut baris
sajak
Berbentuk wacana, atau paragraph-paragraf
Pencurahan jiwa yang padat Bersifat naratif, informatif
Menyatakan suatu yang langsung Tidak langsung
2. PENGGALAN PUISI
A. Laksana bintang berkilat cahaya,
Di atas langit hitam kelam,
Sinar berkilau cahaya matamu,
Menembus aku ke jiwa dalam
(Sebagai Dahulu, Aoh Kartahadimadja)
a) Citraan yang dominan
Citraan yang dominan dalam penggalan puisi di atas yaitu jenis citraan visual. Dapat
dibuktikan pada baris pertama, kedua, dan ketiga. Laksana bintang berkilat cahaya, pada baris
pertama ini telah terlihat bahwa adanya citra penglihatan, karena seseorang mengetahui bintang
itu berkilat cahayanya dengan cara melihat. Begitu pula dengan Di atas langit hitam kelam, dan
Sinar berkilau cahaya matamu, terlihat jelas bahwa itu citraan visual. Seseorang bisa
mengatakan di atas sana langit hitam kelam dengan cara melihat. Seseorang bisa mengetahui
cahaya yang berkilau di mata seseorang juga karena melihat.
b) Gaya bahasa
Gaya bahasa yang digunakan pada penggalan puisi di atas yaitu majas perbandingan berjenis
simile dan personifikasi. Pada baris pertama yang berbunyi Laksana bintang berkilat cahaya,
merupakan majas simile karena ditandai dengan adanya kata laksana. Selain itu, pada baris
keempat dan kelima yang berbunyi Sinar berkilau cahaya matamu, Menembus aku ke jiwa
dalam, kata sinar berkilau seolah-olah hidup dan dapat menembus jiwa seseorang padahal sinar
merupakan benda mati yang hanya bisa dilihat, tetapi tidak bisa dipegang, sedangkan berkilau
merupakan kata sifat.
c) Diksi
Dalam penggalan puisi di atas kata jiwa dalam pada baris ke keempat yang berbunyi
Menembus aku ke jiwa dalam dimunculkan oleh penyair di akhir yang berkedudukan sebagai
keterangan tempat. Hal ini berhubungan dengan pilihan kata yang digunakan oleh penyair untuk
memberikan kekuatan makna dan keindahan dalam puisinya Dalam potongan bait di atas,
pengarang ingin menunjukkan bahwa jiwa dalam yang dilukiskan dalam puisi tersebut
menunjukkan tempat berlabuhnya perasaan seseorang di dalam jiwa yang paling dalam. Selain
itu, susunan dalam larik tersebut pun bisa diubah, misalnya dengan menaruh kata jiwa
dibelakang, tetapi hal itu menjadikan puisi tersebut kehilangan makna aslinya, karena yang ingin
ditekankan maknanya adalah jiwa dalam yang menunjukkan suatu tempat. Tempat yang
dimaksud bukan hanya di dalam jiwa saja, tetapi tempat yang menunjukkan bagian jiwa yang
paling dalam.
d) Feeling dan tone
Feeling dalam penggalan puisi tersebut menggambarkan penyair ingin mengungkapkan
perasaannya melalui pilihan kata yang bermakna, sedangkan tone yaitu penyair tidak hanya
menyampaikan perasaannya saja, tetapi penyair ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa dia
sedang jatuh cinta pada seseorang.
e) Pokok persoalan
Pokok persoalan dalam penggalan puisi di atas yaitu masalah percintaan antara seorang laki-
laki yang sedang gundah dan akhirnya kegundahaannya sirna ketika melihat seorang perempuan
yang memancarkan aura ketenangan, keteduhan, bahkan keindahan yang terpancar dari matanya
di dalam diri laki-laki tersebut yang membuat laki-laki itu jatuh cinta yang terbukti pada baris
ketiga dan kelima, baris pertama membuktikan aura ketenangan pada diri seseorang, sedangkan
baris yang kedua membuktikan adanya kegundahan yang dialami seseorang.
B. Dua puluh tiga matahari
Bangkit dari pundakmu
Tubuhmu menguapkan bau tanah
(Nyanyian Suto untuk Fatima, Rendra)
a) Citraan yang dominan
Citraan yang dominan pada penggalan puisi diatas yaitu jenis citra visual dan penciuman. Pada
baris pertama dan kedua merupakan citra visual. Dua puluh tiga matahari Bangkit dari
pundakmu, dari baris itu terlihat bahwa seseorang mengetahui dua puluh tiga matahari bangkit
dari undak seseorang karena adanya penglihatan. Berbeda dengan Tubuhmu menguapkan bau
tanah, baris tersebut menunjukkan citra penciuman karena adanya kata menguapkan bau.
b) Gaya bahasa
Gaya bahasa yang digunakan yaitu majas personifikasi yang terbukti pada baris pertama Dua
puluh tiga matahari, dan baris kedua Bangkit dari pundakmu. Matahari pada baris tersebut
seolah-olah merupakan benda hidup, padahal faktanya matahari merupakan benda mati dan
mustahil dapat bangkit dari pundak seseorang.
c) Diksi
Dalam penggalan puisi di atas, alasan penyair memilih kata pundakmu karena adanya makna
tertentu yang ingin disampaikan dan tidak bisa digantikan dengan organ tubuh yang lain. Pundak
memiliki makna yang kuat dalam islam, yaitu sebagai tempat pencatatan amal baik dan buruk
oleh malaikat yang kelak akan dipetik seseorang di akhirat. Hubungannya dengan Dua puluh tiga
matahari, yaitu penyair ingin menyampaikan pesan bahwa di padang mahsar kelak matahari
akan sedekat dengan manusia yang berjarak 2 mil, sehingga suhunya sangat panas dan akan
membakar tubuh seseorang. Hanya amal baik yang dicatat di pundak sebelah kanan, yang dapat
menolong seseorang kelak di padang mahsar, sebaliknya catatan buruk di pundak sebelah kiri
akan menjerumuskan seseorang ke dalam sengatan matahari yang begitu panasnya.
d) Feling dan tone
Feeling dalam penggalan puisi tersebut menggambarkan bahwa penyair menggungkapkan
perasaannya dengan penuh makna melalui pilihan kata matahari dan pundak yang menunjukkan
adanya keterkaitan antar keduanya. Tone pada penggalan puisi di atas yaitu penyair tidak hanya
menunjukan panasnya betapa panasnya matahari ketika di padang masyar yang diibaratkan dua
puluh tiga kali panas dunia, tetapi penyair juga ingin menyampaikan pesan agama kepada
pembaca bahwa kelak amal baik dan buruk akan dipetiknya saat di akhirat.
e) Pokok persoalan
Pokok persoalan dalam penggalang puisi di atas yaitu membahas tentang
kematian tepatnya di tempat padang masyar yaitu sebuah tempat berkumpulnya roh ketika hari
pembangkitan di akhirat. Saat itu tiba, matahari berjarak 2 mil dari kepala manusia, sehingga
penyair ingin memberikan pesan bahwa apabila ingin selamat dari panasnya matahari saat itu,
mereka harus melakukan amal baik yang akan dicatat malaikat, begitu pula dengan amal buruk
yang akan membinasakan seseorang kelak dan penyair mengibaratkan bahwa panasnya matahari
di padang masyar, dua puluh tiga kali panas matahari ketika di dunia.
C. Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari benerang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini, tanah, air tidur, hilang ombak
(Senja di Pelabuhan Kecil, Chairil Anwar)
a) Citraan yang dominan
Citraan yang dominan pada penggalan puisi di atas yaitu visual yang terbukti pada baris
pertama pada syair Ada juga kelepak elang, pada baris ketiga dan keempat yang melibatkan
indera penglihatan. Selain itu, juga terdapat citra auditif yang terbukti pada syair desir hari lari
benerang yaitu adanya suara desiran, dan juga citraan kinestetik yang terbukti pada kata lari
yang merupakan aktifitas, sedangkan kata benerang melibatkan indera penglihatan.
b) Gaya bahasa
Gaya bahasa pada penggalan puisi di atas yaitu majas personifikasi. Kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang, dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Penyair seolah-olah menghidupkan juga kelepak elang yang mampu menyinggung perasaan
orang yang sedang muram. Hari pun dikatakan penyair seakan berlari dan berenang menjauhi
dia, sehingga dia tidak bisa memutar balik waktu itu. Dia juga berusaha menidurkan tanar dan air
sehingga merasa dalamlah kebekuan hati seseorang yang digambarkan. Semuanya ini
menyebabkan hanya sendu yang bisa dia peluk bukan orangnya.
c) Diksi
Pilihan kata dalam puisi ini terlihat biasa dan terkesan kata-kata yang digunakan dalam
kesehariaannya. Tetapi arti katanya bukan arti yang sebenarnya. Walaupun dengan kata-kata
yang biasa tapi Chairil memberikannya sebaagai kata-kata yang mengandung makna konotasi.
Seperti kata gudang, rumah tua pada cerita, tiang serta temali, mempercaya mau berpaut kata-
kata ini bermakna sebuah kedukaan. Bagi penyair gudang dan rumah tua dianggap sebagai
sesuatu yang tak berguna seperti dirinya yang dianggap tiada berguna lagi. Kata ”mempercaya
mau berpaut” itu sebenarnya juga berarti harapan Chairil akan kekasihnya.
Pilihan kata seperti kelam dan muram juga memberi kesan pada makna kesedihan yang
dirasakan. Kata menemu bujuk pangkal akanan juaga merupakan harapan penyair. Sedangkan
kata tanah dan air yang tidur juga menyatakan suatu kebekuan.
Chairil mampu mengolah pilihan katanya sebaik mungkin walaupun dengan bahasa
percakapan tapi mampu menghadirkan makna yang dalam. Hanya ada satu kata yang tidak biasa
diucapkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu akanan.
d) Feeling dan tone
Feeling pada penggalan puisi di atas yaitu merupakan luapan hati penyair yang sedih
setelah orang yang dicintainya tidak lagi besamanya. Hal itu membuat penyair terpukul, sehingga
ia hanya bisa meratapi nasibnya. tone ada penggalan puisi di atas yaitu penyair tidak hanya
melukiskan luapan hatinya, tetapi penyair juga ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa
tidak selamanya diri penyair bisa menjadi orang yang tegar dan selalu optimis pada segala hal.
Akan tetapi penyair juga bisa merasakan kesedihan yang dalam, sehingga pembaca seakan-akan
ikut terbawa di dalamnya.
e) Pokok persoalan
Pokok persoalan dalam penggalan puisi di atas yaitu kesedihan karena kegagalan cinta
yang dirasakan penyair, terbukti adanya kata kelam, muram pada syair tersebut yang
menandakan bahwa penyair sedih karena cintanya yang kandas.
D. Betsyku bersih dan putih sekali
Lunak dan halus bagaikan karet busa
Rambutnya merah tergerai
Bagai berkas benang-benang rayon warna emas
Dan kakinya sempurna Singsat dan licin Bagaikan ikan salmon
(Rick dari Corona, Rendra)
a) Citraan yang dominan
Citraan yang dominan pada penggalan puisi di atas yaitu jenis citraan visual yang terbukti
pada baris pertama, ketiga, keempat, dan kelima. Kata bersih dan putih pada baris pertama
menandakan adanya indera penglihatan, begitu pula dengan baris ketiga, keempat, dan kelima.
Seolah-olah pembaca ikut melihat sosok seseorang yang digambarkan dalam puisi tersebut
adalah seorang yang berkulit bersih, putih, berambut merah tergerai, dan kakinya kencang serta
mulus.
b) Gaya bahasa
Gaya bahasa yang digunakan penyair pada penggalan puisi tersebut yaitu majas perbandingan
berjenis simile yang ditandai dengan kata bagai, bagaikan, pada baris kedua, keempat, dan
kelima. Selain itu, ada juga majas berjenis hiperbola yaitu terlihat pada baris kelima Dan kakinya
sempurna, potongan syair itu melebih-lebihkan karena manusia tidak ada yang sempurna
termasuk dalam hal organ yang dimilikinya.
c) Diksi
Dalam penggalan puisi di atas kata Betsyku memang sengaja diletakkan penyair di awal
karena merupakan sebuah nama seseorang wanita yang menjadi sorotan atau inti dari puisi
tersebut atau sebagai pelaku yang dibicarakan. Ws. Rendra sangat piawai dalam mengolah kata,
seperti pada kata karet busa, dan ikan salmon. Karet busa merupakan benda yang lunak, halus,
elastis, empuk dan penyair mengibaratkan salah satu bagian tubuh wanita selayaknya karet busa
yang halus dan lunak. Ikan salmon merupakan ikan yang mahal, mewah, bagus, dan kebanyakan
hanya dibeli oleh orang yang kaya. Nah, penyair menggunakan ikan salmon karena ingin
mengibaratkan seorang wanita panggilan yang dibeli oleh seorang yang mempunyai uang.
d) Feeling dan tone
Feelingnya yaitu penyair menunjukkan keindahan yang dimiliki seorang wanita panggilan.
Tonenya yaitu penyair tidak hanya menunjukkan adanya keindahan pada diri wanita pangilan,
tetapi penyair juga menunjukkan bahwa wanita panggilan dibeli oleh seorang yang mempunyai
banyak uang alias tidak sembarang orang dapat membelinya.
e) Pokok persoalan
Pokok persoalan dalam penggalan puisi di atas yaitu penyair mengungkap kisah kehidupan
seorang wanita panggilan yang sering dibeli dengan harga tertentu karena memiliki keindahan
dalam dirinya yang berupa kulit bersih dan putih, memiliki rambut berwarna merah alias bule,
serta memiliki kaki yang indah.
E. Tetapi istriku terus berbiak
Seperti rumput di pekarangan mereka
Seperti lumut di tembok mereka
Seperti cendawan di roti mereka
Sebab bumi hitam milik kami
Tambang intan milik kami
Gunung natal milik kami
(Afrika Selatan, Subagio Sastrowardjoyo)
a) Citraan yang dominan
Citraan yang dominan dalam penggalan puisi tersebut yaitu jenis citraan visual yang
terlihat pada baris kedua seperti rumput di pekarangan mereka, pada baris ketiga seperti lumut di
tembok mereka, dan baris keempat seperti cendawan di roti mereka. Baris-baris itu menunjukkan
adanya pengelihatan. Seseorang mengetahui kata rumput, lumut, dan cendawan di tempat yang
berbeda karena keterlibatan indera mata.
b) Gaya bahasa
Gaya bahasa yang terdapat pada penggalan puisi di atas yaitu majas perbandingan
berjenis simile. Dapat dibuktikan dengan adanya kata seperti pada baris kedua seperti rumput di
pekarangan mereka, ketiga seperti lumut di tembok mereka dan keempat seperti cendawan di
roti mereka.
c) Diksi
Penyair memilih kata berbiak ingin menggambarkan bahwa seorang wanita dalam puisi
itu merasa tertekan karena kehidupannya diusik oleh ras berkulit putih. Rumput, lumut,
cendawan merupakan benalu, dan ras kulit putih diibaratkan seperti benalu itu yang tidak pernah
menganggap bahwa ras kulit hitam berhak hidup di daerah Afrika yang memiliki gunung natal
dan tambang intan. Ras kulit putih mengangap bahwa Afrika pantas di huni oleh ras kulit putih,
sehingga muncullah deskriminasi yang dialami ras berkulit hitam. Penyair sangat pandai dalam
pemilihan kata yang tepat untuk menunjukkan adanya ketidak adilan yang dialami ras kulit hitam
dengan menggunakan kata sehari-hari sepperti berbiak, rumput, lumut, cedawan, tetapi memiliki
makna yang kuat.
d) Feeling dan tone
Feelingnya yaitu bahwa penyair menunjukkan adanya deskriminasi ras kulit putih
terhadap ras kulit hitam. Tonenya yaitu penyair tidak hanya menunjukkan adanya deskriminasi
terhadap kulit hitam, tetapi penyair ingin menyampaikan bahwa bumi ini milik kita semua, entah
itu ras berkulit hitam maupun ras berkulit putih, bahwa dihadapan Tuhan semuannya sama dan
perlunya menghargai satu sama lain.
e) Pokok persoalan
Pokok persoalannya yaitu adanya deskriminasi yang dilakukan oleh ras berkulit putih
terhadap ras berkulit hitam. Ras putih menganggap bahwa ras kulit hitam dianggap tidak pantas
menduduki wilayah Afrika.
F. Seruling di pasir tipis, merdu
Antara gundukan pepohonan pina
Tembang menggema di dua kaki
Burangrang-Tangkubanperahu
(Tanah Kelahiran, Ramadhan KH)
a) Citraan yang dominan
Citra yang dominan pada puisi di atas yaitu jenis citra visual yang terdapat pada syair
Seruling di pasir tipis, merdu. Seseorang mengetahui adanya seruling di pasir tipis karena
melihat, dan juga adanya citra auditif yang ditandai adanya kata merdu, berarti suara yang
didengar. Antara gundukan pepohonan pina, syair ini juga merupakan citra visual karena adanya
penglihatan, begitu pula dengan Tembang menggema di dua kaki dan Burangrang-
Tangkubanperahu. Lain halnya dengan Tembang menggema, ini merupakan citra auditif yaitu
adanya suatu tembang yang mengeluarkan suara menggema dan didengar oleh seseorang.
b) Gaya bahasa
Gaya bahasa yang terdapat pada penggalan puisi di atas yaitu majas personifikasi yang
terlihat pada ketiga yang berbunyi Tembang menggema di dua kaki, yaitu kaki tidak bisa
mengeluarkan suara dengan cara hentakan, tetapi kaki tidak bisa menembang.
c) Diksi
Pilihan katanya sulit dipahami oleh pembaca seperti pada kata di pasir tipis yang
menunjukkan makna yang tersembunyi.
d) Feeling dan tone
Feelingnya yaitu bahwa penyair menunjukkan keindahan Burangrang Tangkubanperahu,
sedangkan tonenya penyair tidak hanya ingin menunjukkan keindahan di tanah kelahirannya,
tetapi lebih ingin membawa pembaca turut serta merasakan keindahan di tempat tersebut.
e) Pokok persoalan
Pokok persoalan dalam penggalan puisi di atas yaitu keindahan di tangkuban perahu.
Rahuvana Tattwa, Membaca Epik Ramayana Dengan Sudut Pandang Terbalik.
Ketika masku memilih membeli buku ini di pameran buku di Gedung KONI beberapa waktu lalu, agak males melihat ketebalannya yang hampir 600 halaman. Apalagi ketika sekilas membukanya langsung berhadapan dengan kamus yang mengartikan kata-kata yang sedikit bikin puyeng. Buku ini menceritakan tentang Epik Ramayana, cerita pewayangan yang sudah masyhur itu. Cerita asli Ramayana dikarang oleh Valmiki. Menceritakan perjalanan Ravana (Rahwana), atau kita mengenalnya dengan Prabu Dasamuka, Raja dengan Sepuluh Wajah.Saya memang sejak kecil sedikit banyak mengenal cerita pewayangan. Karena Abah saya dulu langganan Jayabaya dan Panyebar Semangat, Majalah mingguan berbahasa Jawa. Bahkan nilai STTB saya mendapat nilai 9 untuk mata pelajaran Bahasa Daerah. Hanya bedanya jika Rahuvana Tattwa menceritakan asal-usul sampai Ravana gugur sementara cerita pewayangan di kedua majalah tersebut biasanya menceritakan setahap demi setahap atau penggalan seri Ramayana ini. Jadi sangat menarik juga membaca cerita pewayangan dengan versi lengkap dan silsilah yang cukup bikin mumet.Karya-karya Mas Agus Sunyoto sendiri lebih bergaya novel, namun hebatnya novel yang dihasilkan selalu melalui studi empiris. Pada Rahuvana Tattwa ini ada kurang lebih 30 puluhan referensi yang dia gunakan. Jadi walaupun berbentuk novel namun seakan-akan nyata, bahkan seperti jurnal yang berbentuk novel, saking validnya. Dan sejujurnya sangat mengasyikkan membaca Novel Mas Agus Sunyoto ini, selain ceritanya mudah diikuti walaupun dibaca oleh orang yang awam tentang cerita pewayangan sekalipun, namun yang lebih asyik bahwa novel ini mengambil sudut pandang yang berbeda dari cerita aslinya. Jadi kalau pada versi aslinya, Valmiki menggambarkan betapa kejamnya si Ravana (setelah menjadi raja ia bergelar Rahuvana), betapa biadabnya bangsa raksasha, dan Rama digambarkan sebagai ksatriya keturunan Dewa, atau bagaimana si Hanuman kera sakti
ksatriya pembantu Sri Rama yang gagah berani tanpa tandingan. Namun pada versi Mas Agus Sunyoto keadaan itu benar-benar dibalik 180 derajat. Ia ceritakan bahwa si Ravana adalah keturunan bangsa yang lebih beradab, daripada keturunan Indra Raja para Dewa. Sungguh apik penggambarannya dan mengalir seakan kita dipaksa untuk tidak bisa protes dengan pendapatnya tersebut, bahkan asyik-asyik saja membaca novel dengan sudut pandang terbalik.Satu lagi ciri khas yang tak bisa hilang dari karya Mas Agus Sunyoto, dia berusaha menyelipkan pendapat yang melangit namun tak berkesan menggurui. Lihatlah dialog ketika Sri Rama berbuat culas dengan memanah Bali, Raja Kiskindha dari belakang ketika Bali sedang berhadapan dengan adiknya Sugriva yang mengkhianati kakaknya dengan merebut tahta Kiskindha dengan bantuan Sri Rama. Begitu Bali tahu bahwa yang membokongnya dari belakang adalah Rama yang dikenal sebagai ksatriya, dia sangat kecewa dan menangis, lihatlah dialog indah ini,“Aku menangis bukan karena kesakitan terkena panah saktimu wahai Rama, jika aku ditakdirkan mati maka memang itulah jalanku untuk kembali, namun aku menangis karena engkau sebagai ksatriya telah melakukan tindakan yang jauh dari sifat ksatriya. Bahkan sangat menjijikkan.”Demi mendengar kalimat Bali seorang raja yang terkenal arif itu Rama hanya bisa klincutan.Atau bagian ini yang paling kusuka, ketika Rahuvana akhirnya gugur membela tanah airnya. Rahuvana yang terkenal dengan kesaktianyan tiada tanding, bahkan karena ketekunan dan kesungguhannya dalam semedi untuk menyempurnakan ilmunya ia dianugerahi ilmu yang bisa mempengaruhi tiga dunia. Itu ilmu yang sangat tinggi, yang tak sembarangan orang mampu mempelajarinya. Ketika dikisahkan, akhirnya ia harus gugur dan kalah oleh ilmu yang justru meniadakan segalanya. Ilmu yang hanya bisa dicapai oleh Rama jika ia bermunajat dan mencapai derajat Yang Tak Terbayangkan. Jadi segala kesaktian dan tetek bengek ilmu yang dimiliki Rahuvana hanya bisa dikalahkan oleh Yang Tak Terbayangkan.Atau ketika Rahuvana mempelajari ilmu Pancasuna, ia tak bisa mencapai level tertinggi ilmu tersebut karena dalam hatinya masih ada semacam keinginan bahwa ilmunya akan digunakan untuk membangun peradaban dan membalaskan dendam pada Dewa Indra. Dan ternyata yang bisa mencapai kesempurnaan ilmu tersebut adalah Kumbhakarna, adik dari Rahuvana, karena Kumbakharna tidak mempunyai ambisi apapun dalam mendalami ilmu tersebut, sehingga Sang Brahma pun menganugerahinya 2 ilmu Brahma tingkat tertinggi dimana ia tak akan terluka dan terbunuh oleh senjata apapun dan oleh siapapun jika ia masih berpijak ditanah.Juga digambarkan bagaimana sebenarnya Rahuvana lebih romantis dan sopan sikapnya terhadap Sita dibanding Rama yang notabene adalah suaminya sendiri, bahkan Rama mencurigai Sita telah berselingkuh dengan Rahuvana, dan membiarkan Sita Obong, atau membakar dirinya kedalam api. Alih-alih menerima istrinya kembali setelah bela pati obong tersebut, Rama bahkan semakin cuek dengan istrinya.Novel diakhiri dengan sangat manis dan heroik. Satu persatu keturunan dan saudara Rahuvana akhirnya gugur sebagai pahlawan yang membela tanah air dan bangsanya. Keruntuhan Rahuvana karena pengkhianatan adiknya lain ibu, bernama Bhibisana. Karena semua saudara Rahuvana dididik oleh Ayah (Visrava) dan kakek (Sumali) sehingga mereka semua tahu kelemahan dan kelebihan masing-masing. Dan pada akhirnya semua gugur karena kelemahan mereka satu persatu ditunjukkan oleh Bhibisana si pengkhianat kepada
Rama. Walaupun pada akhirnya ia menjadi Raja di Alengka menggantikan Rahuvana yang telah parastra, namun ia sudah tak memiliki prajurit ataupun bangsa rakhsasa pilihan yang mendampinginya, sehingga dia merasa kesepian dan merasakan hidup yang hampa hingga akhir hayatnya. Tidak seperti Rahuvana yang sangat di puja-puja dan sangat dihormati dan dicintai oleh rakyat dan bangsanya. Sehingga semua rakyatnya bersedia bela pati untuk mempertahankan kehormatan tanah air dan bangsanya.Yang jelas sangat asyik membaca Novel ini, terbukti novel tebal tersebut dapat kuselesaikan dalam tempo 2 hari. Untuk menambah khasanah pengetahuan kita tentang Pewayangan, tentunya dengan versi lain rasanya tidak rugi membaca novel ini. Asyik, itu satu kata yang bisa saya ungkapkan. Terima kasih buat Mas Agus Sunyoto, saya akan selalu menunggu karya-karya sampeyan. Semoga Allah membarakahi sampeyan dan keluarga sehingga akan lebih banyak karya-karya yang sampeyan hasilkan. Bi barakatillah.Ujung, 05.06.07 (tanggal yang bagus tuh)
ditulis oleh bunda Gangga-Gautama-…
Rabu, 19 Februari 2014
Layla Majnun, Sebuah Kitab yang Tak Biasa (Muhammad Al-Fayyadl, Penulis Derrida, LKis 2005)
Aku baru saja berdiri dari tempat duduk ketika kusadari gagang kacamataku basah oleh sedikit
rembesan air mata. Sebuah buku telah menghisapku sedemikian dalam ke seluruh pori-pori
katanya, membuat apa yang terkatakan menjadi tak terkatakan, dan menjadikan waktu dan detak
jantung seperti sepakat untuk berhenti bersama. Aku tahu ini hanyalah fiksi, cerita yang telah
menjadi sebuah legenda dari masa ke masa, namun bagi otak bawah sadarku ini adalah fakta yang
nyata. Toh, apalah arti fakta dan fiksi di bawah dunia fana ini—yang barangkali hanyalah “rekaan”
bagi pikiran Dia Sang Maha di langit sana?
Layla Majnun bukan sebuah buku biasa. Tadi sore tanpa sengaja aku memilihnya, lalu membelinya,
dan membawanya ke ruang baca. Tak terpikirkan olehku bahwa aku akan membaca novel yang
judulnya sudah lama kutahu itu, dan bagiku tampak klise. Aku menyadari bahwa sangkaanku salah:
buku ini—jika kau pernah membacanya, sebaiknya kau tak beranjak sedikit pun sampai kau benar-
benar mengkhatamkannya.
Terpujilah untuk penerjemah dan penyunting buku ini, yang berhasil menyuguhkan suatu bacaan
yang sangat hidup dan “sempurna” ke sidang pembacanya. Kalian berdua adalah pasangan serasi,
ibarat Majnun dan Layla. Terpujilah untuk penerbit buku ini, yang mau menerbitkan buku yang akan
memperkaya khazanah kata. Terpujilah Nizami sang pengarang, seorang pujangga Persia abad ke-
12, yang mau menggubah kisah ini dengan kecemerlangan yang sulit ditandingi. Dan tentu saja, tak
akan pernah lupa, terpujilah untuk Dia yang menciptakan Layla dan Majnun ke dunia ini, yang untuk
cinta-Nya Nizami dan para pengarang-sufi lainnya berkarya.
Perlukah bagiku untuk menceritakan kembali isi buku yang tak biasa ini? Jika kau membaca sendiri
buku ini, kau akan mengerti kenapa kata-kata seperti harus meluap-luap untuk menggambarkan
nuansanya. Aku yang baru membacanya sekali, seperti ingin berteriak kegirangan dan menari
sejenak walau cuma dalam imajinasi. Bagaimana dengan William Shakespeare, yang tergerak
menulis Romeo and Juliet untuk meniru keindahan buku ini? Bagaimana dengan Jalaluddin Rumi,
yang menjadikan karya ini inspirasi terpenting bagi Matsnawi-nya? Terbayangkankah betapa
mereka tak cuma girang dan menangis, tapi juga menari? Seperti al-Hallaj yang berteriak
sempoyongan karena ketergilaannya pada Tuhan, sang Mawlana—Rumi—pastilah ekstase setelah
membaca karya ini.
Sejatinya Layla Majnun adalah kisah “tragis” tentang cinta yang tak sampai antara dua orang
manusia. Seseorang bernama Qays, dan seseorang lagi bernama Layla. Mereka bertemu, saling
jatuh cinta, namun hubungan mereka tak direstui. Mereka kemudian berpisah secara menyakitkan,
ketika cinta mereka sedang di puncak baranya. Qays begitu tergila-gila pada Layla hingga
menyebutnya sepanjang waktu, menyanyikan sajak-sajak cinta di mana pun ia berada-hingga orang
mencapnya “Majnun” alias sinting. Ia menelantarkan studinya karena cintanya pada Layla, ia
merendahkan harga dirinya karena cinta, dan menggelandang kesana kemari hanya untuk
mengungkapkan cintanya kepada Layla.
Padahal Qays adalah anak bangsawan kaya. Dan ayahnya, tahu dan sedih dengan kondisi Qays,
berminat melamar Layla, namun lamaran itu ditolak mentah-mentah oleh ayah Layla. Qays semakin
majnun, semakin tenggelam dia dalam kegilaannya, dan orang-orang terus mencemooh dan
mencacinya karena ketidakwarasan itu, hingga kemudian ada seorang kesatria Arab bernama
Naufal membantu ingin merebut Layla dari sukunya dan mempertemukan Layla dengan Qays
Terjadi perang besar, suku Layla kalah, namun ayah Layla tak mau menyerahkan Layla kepada
Naufal. Qays tetap merana dalam kesendiriannya. Ia berkelana ke gurun-gurun pasir tanpa
kejelasan nasib, pikirannya terlalap api cinta, dan tubuhnya semakin menderita, kurus ceking dan
tinggal tulang belulang. Sementara, Layla diincar oleh seorang pemuda Arab bernama Ibnu Salam
yang datang melamar ke keluarga Layla dan diterima. Layla pun dinikahkan dengan Ibnu Salam,
walaupun lelaki itu tak pernah dicintainya. Dan benar, selama bersama dengan Ibnu Salam,
kesucian Layla tetap terjaga; lelaki itu, meski jadi suaminya, tak pernah bisa menyentuhnya.
Selama masa-masa perpisahan itu, Qays si Majnun hidup di hutan, berkawan dengan rimba,
dengan binatang-binatang, dan kehilangan akal kemanusiaannya. Terasing dari keluarganya, dari
sukunya, dan bahkan dari manusia, dia memilih hidup untuk merawat cinta, sendiri di ganasnya
hutan belantara. Sementara Layla berhari-hari memendam rindunya pada Qays, Qays membalas
rindunya pada Layla dengan sajak-sajak cinta yang dititipkannya pada alam raya. Hingga keduanya
mati, mereka hanya bertemu sekali di ujung perpisahan panjang itu. Layla mati, dan Qays pun
menyusul kekasihnya ke gerbang kematian. Demikianlah, seseorang kemudian bermimpi melihat
keduanya bercengkerama bersama dan saling bermesra ria di surga…
Tak ada yang pernah dapat menceritakan kembali keanggunan Layla Majnun hanya dalam satu-dua
halaman, kecuali kau menjelma Nizami, dan kalaupun ada yang mau meringkasnya, jangan pernah
percaya sebelum kau membacanya dengan mata kepala. Layla Majnun bagiku bukan untuk
diceritakan ulang; karya ini untuk dibaca dan dihayati, terutama jika kau pernah mencecap apa yang
disebut “cinta”.
Layla Majnun bukan kisah cinta biasa. Cinta antara jantan dan betina, antara dua jiwa yang sekadar
ingin bersama. Ia bukan cinta yang sering kali berselubung nafsu dan berahi. Jika saja kau benar-
benar merasakannya, mencecapnya hingga kata-kata terakhir di dalamnya, kau akan tahu betapa
karya ini sebenarnya berbicara tentang cinta yang lebih hakiki, cinta seorang hamba pada
Tuhannya.
Majnun adalah tipikal seorang hamba yang diperbudak oleh cintanya. Sedangkan Layla adalah
tipikal seorang kekasih yang mendamba untuk dicintai. Majnun adalah seorang pencari cinta,
sedangkan Layla adalah penunggu cinta. Majnun adalah budak cinta yang menghamba untuk
diizinkan mencintai, sedangkan Layla adalah majikan yang tak sabar untuk segera dicintai.
Bukankah semua ini cukup menggambarkan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya?
Tuhan, seperti pernah dikatakannya dalam sebuah hadis Qudsi, adalah Khazanah Tersembunyi. Ia
ingin dikenal, maka ia ciptakan semesta dan seisinya. Ia mencipta bukan karena Ia butuh kepada
ciptaannya, tapi agar Ia kelak dikenal dan dirindu—serta dicumbu—oleh ciptaannya.
Layla Majnun memberi kita ruang untuk menafsiri cinta sesuka hati kita, seturut nurani pembacanya.
Namun, pembaca yang satu ini lebih memilih menafsiri dengan kegilaan yang sudah lama tak
dirasakannya—kegilaan yang dulu membuatnya begitu gandrung pada al-Hallaj dan sufi-sufi sinting
lainnya. Dalam kegilaannya, yang hanya sepersekian persen dari kegilaan Majnun, pembaca yang
satu ini menuliskan satu pasase di halaman pertama buku yang baru dibelinya: sebuah tanda
tangan dan sebuah doa “Semoga Allah selalu merahmati Nizami dengan keluhuran karyanya…”.
(*Persembahan untuk edisi Layla Majnun [yang sementara ini tampaknya merupakan edisi terbaik
dalam bahasa Indonesia] karya Nizami, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Ali Noer Zaman dan
disunting oleh Salahuddien Gz, Kayla Pustaka, Jakarta, cet. I Februari 2009… dan juga
persembahan untuk Layla-ku, “masihkah kau selalu jadi Layla bagi Majnun-mu?”)
Belakangan ini, banyak studi tentang Siti Jenar meramaikan semarak tasawuf di negeri
kita. Salah satunya, Novel Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syeh Siti Jenar (LKiS,
2003) karya Agus Sunyoto. Cover dari
novel tujuh jilid tersebut cukup menarik. Ada seorang pakaian putih, berkerudung
daun pisang. Kepalanya tak tampak karena tertutup kerudung daun itu. Sungguh
mistik, semistik kandungan isinya. Ia menggambarkan sebuah perjalanan sunyi
spiritual (suluk) yang tidak harus diketahui orang, atau bahkan disesatkan masyarakat
sekalipun.
Yang menarik, novel hasil riset ini merujuk kepada teks Jawa-Baratan yang melihat Siti
Jenar lebih manusiawi. Hal yang berbeda dengan mitos di Jawa-Tengahan. Di belahan
ini, Siti Jenar dianggap evolusi mistis dari cacing yang "mencuri ilmu" pengajaran
Sunan Bonang atas Sunan Kalijaga. Menarik, karena Agus Sunyoto mampu
menemukan aspek gerakan politik egalitarian yang mengobrak-abrik feodalisme
Rajadewa di Jawa. Satu pembaruan politik yang mungkin sangat modern, karena
wahdatul wujud kemudian melahirkan kontrak sosial selayak demokrasi klasik.
Apakah ini yang membuat ajaran Siti Jenar disesatkan? Betulkah ia melampaui
syari'at? Kenapa harus bersitegang dengan Walisongo, dan benarkah ketegangan itu?
Bukankah Dewan Wali juga sudah mencapai maqam manunggaling kawula gusti? Dan
bagaimana aplikasi ajaran Siti Jenar terhadap kegersangan spiritual urban di era
materialistik ini? Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan salah satu pendekar
peradaban Nusantara asal Surabaya, yang sangat hafal lekuk sejarah, bahasa, dan
kebudayaan Hindu-Jawa tersebut.
Sejak kapan mas Agus melakukan riset tentang Siti Jenar, dan kenapa memilih
tokoh ini sebagai objek riset? Adakah momen spiritual spesial, yang
menggerakkan mas untuk menulis novel Siti Jenar?
Saya mulai kenal nama Syaikh Siti Jenar (SSJ) sejak kakek saya bercerita tentang
tokoh tersebut. Kakek orang asal desa Ploso, Jombang, santri Tebuireng angkatan
pertama. Kakek saya cerita kalau ajaran SSJ beliau peroleh dari KH Hasyim Asy'ari.
Sejak menulis cerbung Kyai Ageng Badar Wonosobo di Jawa Pos tahun 1987-1988,
saya sudah ngumpulkan data tentang SSJ.
Penelitian intensif saya terhadap ajaran SSJ lewat Thariqat Akmaliyyah saya mulai
tahun 1999. Momentum saya nulis cerita SSJ dipicu oleh terjadinya peristiwa 2
November 2001 yang 'melukai' jiwa saya. Saat itu saya diundang teman-teman aktivis
NU di Jogja untuk bicara geopolitik-geostrategi pasca jatuhnya Gus Dur. Dalam acara
itu, saya dapati sekulerisme dan rasionalisme yang empirik materialistik sangat
menguasai cara pandang anak-anak muda NU. Mereka lebih yakin kebenaran gagasan
Karl Marx, Georg Lukac, Antonio Gramsci, Jacques Derrida dalam filsafat dan teori-
teori sosial daripada kebenaran agama. Bahkan mereka anggap term-term iman dan
taqwa dalam perubahan sosial sebagai 'takhayul' yang tidak bisa dijadikan pijakan
analisis sosial.
Saat itu saya terilhami untuk memberi alternatif teoritik dalam filsafat dan perubahan
sosial yang khas Nusantara kepada anak-anak muda NU ini, yaitu momentum sejarah
di era Walisongo yang dimotori SSJ. Dari 7 jilid buku SSJ yang saya tulis, konsep
filosofis dan sosiologi saya tuang di buku 3-4-5 dengan titel Sang Pembaharu. Jadi
lewat buku SSJ saya memberi alternatif pilihan bagi kawan-kawan aktivis NU dalam
penggunaan teori sosial dengan asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, mitos yang
khas Nusantara-Islam (maaf, selama ini orang Indonesia yang dididik di sekolah selalu
mengekor teori-teori Barat & tidak mampu membangun teori sendiri).
Jika ini riset, kenapa dituangkan dalam bentuk novel? Apakah penulisan
ilmiah kognitif tidak memadai bagi pengalaman spiritual? Konsep penulisan
ilmiah kognitif adalah hegemoni Barat dalam pengetahuan. Saya menolak itu. Sebab
konsep itu hanya berpijak pada ilmu akal (rasio). Sementara pengetahuan Islam dan
Timur, mengenal dua sistem pengetahuan:
1) Ilmu Akal/Nalar yang berpusat di otak manusia;
2) Ilmu Qalbu/ Kaweruh yang berpusat di qalbu manusia.
Sepanjang saya pelajari sejarah, hampir semua naskah dari era Kalingga sampai
Majapahit menggunakan bahasa sastra seperti1. Perjalanan Hayam Wuruk dalam reportase Pu Prapanca yang diberi judul
Negarakertagama ditulis dalam bahasa sastra;2. Sejarah Perang Bubat ditulis dalam bahasa kidung; 3. Penegakan awal Majapahit hingga pemberontakan Ranggalawe ditulis dalam
sastra yaitu Kidung Panjiwijayakrama yang isinya identik dengan isi prasasti2; di kitab ketatanegaraan seperti Nitipraja ditulis dalam bentuk sastra. Hanya KUHP seperti Kutara Manawa yang ditulis tidak dalam bahasa sastra.
Lewat institusi sekolah, Barat sudah menghegemoni pikiran kita, dengan asumsi dasar
bahwa karya-karya sastra adalah karya imajiner yang tidak ilmiah. Ini sangat
hegemonik dan konyol, karena karya-karya fiksi seperti Republic yang ditulis Plato,
The Utopian Island yang ditulis Thomas Moore, City of The Sun yang ditulis Tomasso
Campanella, Also Sprach Zaratushtra yang ditulis Nietzsche, bahkan teori Karl Marx
yang imajiner tentang masyarakat komunis dianggap karya filsafat. Sementara kalau
karya reportase, sejarah, tatanegara, filsafat, hukum ditulis dalam bentuk sastra oleh
bangsa kulit berwarna dinilai karya imajiner. Itu ras diskriminasi. Kita yang bodoh dan
bermental inlander saja yang menerima dan mengekor pandangan Barat itu dengan
membuta. Jadi sebagai seorang yang sadar akan eksistensi diri manusia merdeka,
saya tulis hasil penelitian saya dalam bentuk novel sebagai resistensi saya terhadap
hegemoni Barat dan sekaligus membangkitkan budaya lama Nusantara. Lantaran itu
karya-karya novel saya selalu disertai exegese dan daftar pustaka. Dan ternyata,
masyarakat Nusantara lebih mudah memahami penjelasan lewat bahasa sehari-hari
yang saya sampaikan daripada jika saya gunakan bahasa ilmiah ala Barat (baca novel
saya Rahuvana Tattwa).
Apa penemuan baru yang mas temukan dalam riset tersebut, mengingat Siti
Jenar merupakan simbol kontroversi dalam sejarah tasawuf kita? Apakah ia
sebatas mitos, yang ditulis untuk menggambarkan pergulatan kebudayaan
Islam Jawa, ataukah sebagai person sejarah, ia nyata ada?
Karena penelitian yang saya lakukan menggunakan pendekatan kualitatif yang
sebenarnya sudah digunakan sarjana-sarjana muslim di masa silam, maka obyek-
subyek yang saya teliti adalah tarikat-tarikat yang menisbatkan ajaran kepada SSJ. Itu
berarti, SSJ bukan tokoh fiktif karena meninggalkan ajaran tarikat yang riil diikuti
masyarakat hingga di jaman ini.
Temuan saya yang unik tentang ajaran tarikat SSJ itu, sbb: 1. tidak ada mursyid dalam wujud manusia karena mursyid ada di dalam ruhani
manusia (seperti konsep Dewaruci dalam ajaran Sunan Kalijaga);2. menafikan semua pengkultusan terhadap manusia, benda-benda bertuah,
makam-makam keramat, dan makhluk gaib;3. tidak mengenal konsep jama'ah dalam mujahadah sehingga dilakukan sendiri-
sendiri karena itu ajaran jadi tertutup dan terrahasia; 4. mengajarkan filsafat sebagai ilmu akal dalam memahami konsep Tauhid untuk
memulai perjalanan ruhani sebagai pijakan awal dalam memasuki ajaran ruhani yang hanya menggunakan ilmu qalb;
5. SSJ tidak mengajarkan cara menuju surga maupun menghindari neraka karena keduanya dianggap makhluk, sehingga inti ajarannya hanya terfokus pada bagaimana cara menuju Allah;
6. tidak ada doa-doa dan wirid-wirid maupun hizb yang memberi peluang pamrih bagi manusia untuk meminta nikmat kepada Allah;
7. SSJ hanya mengajarkan dzikir dan tanafus dalam rangka menuju Allah. Saya kira, dengan ciri-ciri ini, wajar jika ajaran SSJ jadi kontroversial dalam sejarah tasawuf di Nusantara.
Mohon penjelasan tentang ajaran Siti Jenar, terkait sasahidan, sangkan paraning
dumadi, awang-uwung, dan manuggaling kawula gusti.
Yang dimaksud Sasahidan adalah ajaran tentang persaksian dalam perjalanan ruhani
mendaki (taraqqi) menuju Allah. Persaksian al-murid menuju Al-Murid melalui maqam-
maqam.
Puncak dari persaksian adalah saat keakuan seseorang sudah lenyap (fana')
tenggelam dalam Allah. Saat itulah seluruh makhluk mempersaksikan bahwa
keakuan yang lenyap itu telah bersemayam di dalam Dzat Tuhan Yang Mahasuci dan
karenanya memiliki sifat-sifat Ilahi. Itulah tahap penyatuan Ruh Ilahi yang
bersemayam di dalam diri manusia saat ditiupkan (nafakhtu) pada waktu penciptaan
dengan Allah yang meniupkan-Nya. Itulah tahap kembalinya Ruh al-Haqq kepada Al-
Haqq.
Itulah tahap puncak kembalinya unsur Ilahiyyah di dalam diri manusia (Ruh al-Haqq)
kepada Sang Pencipta (ini tidak bisa dijabarkan secara ilmiah karena merupakan
pengalaman ruhani yang tak terwakili oleh bahasa manusia. Ini sama dengan peristiwa
ruhani Isra' wa Mi'raj yang tidak bisa dijabarkan secara ilmiah).
Yang dimaksud Sangkan Paraning Dumadi adalah ajaran yang memutlakkan Huwa
sebagai Dzat Mutlak yang Azali yang menjadi Sumber segala sumber penciptaan.
Huwa itu tak terjangkau akal. Tak terjabarkan konsep. Tak terbandingkan. Huwa
adalah Huwa. Tan kena kinaya ngapa. Tidak bisa diapa-apakan. Laisa kamitslihi
syai'un. Dia dilambangkan dengan Suwung. Hampa. Tetapi bukan hampa yang tidak
ada melainkan Ada tetapi tak tergambarkan. Karena itu lambang Suwung itu disebut
juga Awang-Uwung. Ada tetapi tidak ada. Tidak ada tetapi Ada. Huwa yang tak
terjangkau itu kemudian muncul sebagai Pribadi Ilahi, Allah, yang dikenal Sifat dan
Asma-Nya.
Pribadi Ilahi yang disebut Allah itulah Yang menjadi Pusat segala ciptaan di mana
segala ciptaan pada dasarnya adalah 'pemunculan' dari Dzat, Sifat, Asma, Af'al dari
Sang Pencipta. Proses 'pemunculan' itu diyakini melalui tujuh tahap tanazzul :
Haahuut - Laahuut - Jabaruut - Malakuut - Asmaa' -- Nasuut.
Apakah segenap ajaran tersebut merupakan elaborasi atas bentuk mistik Ibn
'Arabi (wahdatul wujud) dan martabat tujuh (al-maratib al-sab'ah) milik al-
Burhanpuri? Apakah ia memang terkonstruk dalam terma tasawuf falsafi yang
dekat dengan Syi'ah?
Saya belum meneliti hubungan ajaran SSJ dengan Ibnu Araby, Burhanpuri maupun
Syi'ah. Namun merujuk silsilah Tarikat Akmaliyyah yang berpuncak pada Abu Bakar
as-Shiddiq dan watak tarikatnya yang egaliter, saya tidak melihat hubungan tarikat
SSJ dengan tasawuf Syi'ah.
Adakah proses akulturasi antara Islam dan mistik Hindu-Jawa dalam tasawuf
Jenar?
Sepanjang yang saya tahu, mistik Hindu-Jawa penuh dengan perangkat ritual dengan
banyak simbol-simbol dalam upacara bersifat mistis. Sementara ajaran tarikat SSJ
'bersih' dari simbol dan upacara ritual bersifat mistis. Tarikat SSJ sangat ringkas.
Aplikatif. Tidak dikenal dewa-dewa sebagai perantara menuju Sang Mahadewa. Tidak
dikenal juga wasilah melalui wali-wali keramat. Yang dikenal adalah hubungan
langsung dari manusia sebagai individu menuju Allah dengan satu-satunya wasilah:
Nur Muhammad.
Kontroversi nyata yang mengiringi ajaran Siti Jenar adalah tuduhan "abai
syari'at". Jika sudah manunggal, maka syari'at tak dibutuhkan lagi. Apakah
betul? Mohon penjelasan hubungan antara syari'at dan hakikat dalam tasawuf
Siti Jenar.
Tuduhan "mengabaikan syariat" sangat lekat dengan ajaran SSJ. Itu terkait dengan
prinsip disiplin keilmuan yang harus dipilahkan secara tegas. Maksudnya, disiplin
syariat atau lebih spesifik ilmu fiqih tidak boleh digunakan memaknai dan menilai ilmu
tasawuf. Sebab piranti pengetahuan, asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan
mitos masing disiplin sangat berbeda.
Dalam disiplin ilmu tasawuf, misal, ajaran SSJ menganut faham wahdatul adyan
(kesatuan agama-agama) di mana semua agama sejatinya adalah berasal dari Tuhan
dan orang seorang menganut agama tertentu karena kehendak Tuhan semata. Dengan
pandangan itu, murid-murid SSJ dalam agama formal tetap ada yang Hindu dan
Buddha maupun Kapitayan. Kepada mereka tentu saja SSJ tidak memerintahkan untuk
menjalankan syariat Islam.
Jika ada yang tanya kenapa SSJ tidak mensyaratkan semua muridnya
Islam? Itulah pandangan ulama sufi yang tidak sederhana untuk dinilai dengan
kacamata fiqih. Selain itu, para pengikut SSJ memandang bahwa ketentuan syariat
yang diwajibkan atas manusia tidak bersifat mutlak. Semua hal yang bukan Tuhan
selalu nisbi. Demikian juga syariat. Orang gila, anak belum baligh, orang pingsan,
orang tidur, orang tidak sempurna akalnya, orang idiot, orang hilang ingatan, orang
linglung, misal, pasti tidak kena hukum wajib syariat. Karena itu, pada saat seseorang
dalam perjalanan ruhani tenggelam ke dalam Tauhid (fanaa fii Tauhid) yang berarti
hilang kesadaran jati dirinya, lenyap keakuannya, tidak kena hukum syariat.
Bagaimana dia bisa menjalankan syariat sedang dirinya sendiri saja dia tidak sadar.
Tetapi manakala orang sudah sadar kembali dari keadaan lupa diri (karena hanya
ingat Allah saja) dan hidup bermasyarakat, maka wajib bagi dia mengikuti syariat.
Nah yang sering terjadi di kalangan pengamal ajaran SSJ dari kalangan grass-root
yang sejak awal memang tidak berada di lingkungan kaum agamis, menggunakan
klaim bahwa SSJ menolak syariat dengan tujuan utama agar mereka tidak menjalani
syariat. Bahkan berbeda jauh dengan SSJ yang menganggap syariat adalah sarana
penting untuk menjaga kerendahan hati dan merupakan pijakan awal untuk mencapai
ma'rifat setelah melalui thariqat dan hakikat, mereka yang dari kalangan grass-root
justru menganggap bahwa syariat adalah lambang kerendahan maqam ruhani. Ini
sangat berlawanan dengan ajaran SSJ.
Mereka terjebak oleh ketidak-fahaman dan terjerat sifat takabur. Bahkan karena grass-
root tak terdidik dan tidak mampu mewadahi ajaran SSJ yang sarat dengan pemikiran
filosofis, mereka menafsirkan ajaran SSJ dengan ilmu otak-atik matuk. Ini sangat
berbeda dengan pengamal ajaran SSJ dari kalangan bangsawan dan ulama (sayangnya
mereka menutup diri dan merahasiakan ajarannya secara sangat eksklusif).
Terkait dengan pertanyaan diatas, betulkah Jenar dieksekusi (hukuman mati) oleh Wali Songo? Kalau benar, apa sebabnya? Ajarannya kah, atau lebih kepada kepentingan politik rezim Demak? SSJ tidak dihukum mati Walisongo. Tapi ajarannya dilarang oleh Trenggana, Sultan Demak. Latarnya jelas politis. Keikut-sertaan Walisongo dalam proses pelarangan ajaran SSJ, menurut saya, lebih disebabkan oleh "keharusan moral" untuk memihak kepentingan Trenggana dalam kapasitas keluarga. Hendaknya diingat, bahwa Trenggana adalah cucu Sunan Ampel. Sunan Bonang adalah uwaknya. Sunan Drajat adalah pamannya. Sunan Giri II adalah sepupunya. Sunan Kalijaga adalah mertuanya. Sunan Gunung Jati adalah besannya. Sunan Ngudung sepupu jauhnya.
Proses politisasi itu terlihat dari kisah dieksekusinya SSJ di Masjid Demak dan di Masjid Kasepuhan Cirebon dengan skenario yang mirip. Apa bisa satu orang dieksekusi dua kali? Dan mayat keduanya diganti anjing. Ironisnya dikisahkan mayat SSJ menebarkan bau wangi dan darahnya menuliskan kalimah Laailaha ilallah Muhammadur rasulullah.
Bukankah skenario itu menaikkan pamor SSJ yang matinya sangat menakjubkan? Sebaliknya menjelekkan Walisongo sebagai ulama-ulama curang.? Pengikut SSJ justru tidak suka dengan cerita versi itu. Mereka yakin SSJ tidak dieksekusi. Hanya ajaran SSJ yang dilarang oleh penguasa dewasa itu dengan dukungan formal Walisongo.
Apakah ekses politik dari ajaran Siti Jenar, sehingga ia patut "disingkirkan" oleh otoritas yang ada? Kepentingan siapakah yang paling terusik? Ajaran egalitarianisme SSJ yang meneladani ajaran Nabi Saw dan sahabat, jelas menimbulkan dampak langsung dengan eksesnya karena dewasa itu bisa dianggap sangat berbahaya bagi sistem kekuasaan di Jawa yang menganut konsep Dewaraja (raja adalah titisan Tuhan) yang berlangsung meski orang sudah memeluk Islam. Kata ganti "Ingsun" yang digunakan oleh SSJ dan pengikut (Sunan Giri dan warga Gresik juga sama) adalah penghinaan spiritual terhadap raja. Karena kata ganti tersebut di era itu hanya hak diucapkan oleh raja. Selain raja, orang harus menggunakan kata ganti Kula atau Kawula (Jawa), Abdi (Sunda), saya atau sahaya (Melayu) yang bermakna budak. Bahkan di hadapan raja, orang harus menggunakan kata ganti diri "patik" (anjing). Gagasan SSJ tentang komunitas "masyarakat" yang berasal dari istilah Arab musyarakah (orang sederajat yang bekerja sama)menggantikan komunitas "kawula" (budak) di desa-desa Lemah Abang benar-benar membahayakan sistem kekuasaan dewasa itu.
Demikianlah, para pengikut SSJ yang disebut "kaum Abangan" (pengikut Syaikh Lemah Abang atau penduduk desa Lemah Abang) diposisikan sebagai kelompok murtad yang harus dibasmi. Pernyataan Sunan Giri II yang berbunyi,"SSJ kafir inda al-naas wa mu'min inda Allah" menunjuk sinyalemen adanya latar politis di balik "penggusuran" ajaran SSJ.
Banyak orang yang melihat tasawuf falsafi: tasawuf yang berangkat dari paradigma penyatuan khalik-makhluk secara mistis, merupakan sisi agama yang rumit, ekslusif, disamping sering dianggap menyimpang. Bagaimana Jenar bisa fungsional, khususnya bagi kegersangan spiritual masyarakat kota? Sejak semula ajaran SSJ memang rumit dan sangat eksklusif. Tarikat Akmaliyah
sendiri sangat tertutup. Di kalangan internal ada ketentuan yang mengatur para pengikut untuk tidak membahas ajaran SSJ kepada orang luar. Mereka mengikuti aturan yang berbunyi, "Ajaran ini haram dibicarakan kepada orang-orang yang tidak sama iktikadnya." Dengan ketentuan itu, kayaknya ajaran SSJ memang sulit disosialisasi sebagai ajaran yang terbuka dan bersifat umum. Namun demikian, di era global ketika pengetahuan manusia sudah mencapai tahap yang paling tinggi dari sejarah peradaban manusia, ajaran SSJ ternyata bisa diterima sebagai sesuatu yang masuk akal dan sepertinya bisa diamalkan.
Di era global sekarang ini, pemikiran, gagasan, konsep, dan pandangan SSJ justru banyak dijadikan kajian oleh orang Islam maupun non-Islam. Nah yang paling sulit dari ajaran SSJ untuk diaplikasi secara umum adalah pemahaman terhadap konsep Allah sebagai Sang Suwung yang meliputi segala. Sebab pada tahap ruhani itu, orang jadi aneh karena ia merasa selalu diliputi dan 'dilihat' Allah di mana saja berada sehingga pemikiran, ucapan, tindakan, dan gerak-geriknya sering menjadi ewuh-pakewuh dan tidak normal. Karena itu, menurut saya, yang paling sesuai dipelajari orang di era sekarang ini cukuplah ajaran filosofis SSJ sebagaimana banyak ditulis orang dan bukan tarikatnya.
Sumber :
www.sufinews.com
Azazil terlahir dari ilusi manusia pada era Sumaria kuno atau masa Persia kuno yang menyembah Api/Cahaya dan kegelapan secara bersamaan (Ahura-Mazda Dewa Cahaya dan Ahriman Dewa Kegelapan).
Iblis, Setan, Ahriman, Azazil, Baalzebub, Baalzebul. Semuanya tetap sama saja, perbedaannya hanya ada dalam segala sesuatu mempunyai eksistensinya masing-masing maka kita pun membuat hipotesis bahwa eksistensi yang berlawanan sepenuhnya dengan Tuhan adalah sebuah “Keburukan yang Mutlak” pula.
“Aku adalah eksistensi yang digunakan untuk memberikan justifikasi akan adanya kejahatan. Jadi lebih pantas kalau dikatakan bahwa semua kejahatan dan keburukan itulah yang menjadi asal-muasal eksistensiku.”
“Sejatinya aku adalah kamu dan aku adalah mereka.. Kamu akan mendapatkan aku ada setiap kali kamu mau, begitu juga aku aka nada setiap kali mereka mau. Aku selalu hadir di hadapan mereka untuk mengangkat dosa, melepaskan beban, dan membebaskan setipa orang yang disalahkan. Pendeka kata aku adalah alas an yang selalu dikemukakan setiap kali ada kesalahan dan dosa. Aku adalah sosok yang menginginkan dan diinginkan, bahkan aku adalah keinginan itu sendiri. Aku adalah pelayan bagi setiap hamba-Nya. Bahkan aku adalah orang yang selalu mendorong para ahli ibadah untuk terus mengejar ilusi-iusi mereka tentang makna kesalahan.”
Prof. Dr. Youssef Ziedan, adalah seorang guru Filsafat Islam di Fakultas Adab Universitas Alexandria dan Kepala Pusat Manuskrip dan Bagian Museum Perpustakaan Alexandria ini sekitar sepuluh tahun yang lalu menemukan lembaran manuskrip milik seorang Rahib bernama Hypa yang berkebangsaan Arab dari Gereja Edessa yang menganut mazhab Nestorian. Sebelumnya, ada seorang yang pertama kali menemukan manuskrip ini adalah Bapa
William Kazary. Terlepas asli atau tidak kisah hidup yang dituliskan manuskrip yang diduga tidak pernah dibuka selama lima belas abad silam ini, penelitian panjang yang dilakukan penerjemah membuktikan bahwa semua tokoh gerejawi yang dia sebutkan benar-benar ada. Demikian juga semua kejadian historis yang disinggungnya memang pernah ada.
Perjalanan hidup yang ditulis saat Hypa berumur dua puluh tiga. Ketika dia menginjakkan kaki di Alexandria, seseorang menasehatinya bahwa ada banyak nama Tuhan dan Dewa di sana. Azazil selalu mengikutinya hingga akhir hayat. Segala tingkah laku dan kejadian yang dialami sedikit banyak dipengaruhi Azazil. Pergolakan hidupnya yang memiliki latar belakang trauma masa lalu hingga membawanya keimpian yang diidamkannya, yaitu mampu mengobati orang lain. Hypa menguasai empat bahasa, yakni bahasa Yunani, Ibrani,Koptik dan Aramaik. Hypa seorang pecinta buku sejati. Hanya buku yang bisa membuatnya berkeinginan untuk menyendiri.
Kisah hidupnya juga dibalut skandal cinta tak hanya satu wanita, tapi dua. Yang pertama, dia menjalin cinta kilat bersama Oktavia seorang penyembah berhala, seorang janda dari seorang lelaki miskin yang bekerja bersamanya di dalam rumah megah. Memiliki tiga sikap yang menyatu; kasih sayang yang lembut, keberanian dan kebinalan. Oktavia memberi nama Hypa menjadi Theosorus Poseidonius, dalam bahasa Yunani yang artinya hadiah ilahiah dari Dewa Poseidon. Sebaliknya, Hypa memanggil Oktavia dengan sebutan Temasmoni, dalam kata Mesir kuno yang artinya anak kedelapan.
Setelah Hypa berumur empat puluhan, dia kembali terlibat kisah percintaan bersama Martha, sang penyanyi gereja. Janda berumur dua puluh tahun ini meruntuhkan kembali iman Hypa yang sebelumnya telah menutup hati rapat-rapat. Kisah cinta terlarang ini pun kembali berakhir singkat.
Garis lurus itu hakikatnya harus ada di dalam ilusi kita, sedangkan faktanya segala sesuatu itu bergerak dalam lingkaran yang saling berkelindan bagaikan orbit beberapa planet yang kadang kala bersinggungan.
Manusia diasumsikan berawal dari sebuah titik kehidupan, kemudian bergerak dalam lingkaran ketika mengulangi kembali apa yang sudah dan selalu dilakukan oleh para pendahulu mereka hingga kembali ke titik awal: dari tiada menjadi ada untuk kemudian menjadi tiada lagi.
Sesungguhnya tidur adalah anugerah yang tiada terkira. Kalau manusia tidak pernah tidur, pasti mereka akan gila! Semua yang ada di dunia ini tidur, bangun dan kemudian tidur lagi, kecuali dosa-dosa dan kenangankenangan kita yang tidak pernah mengenal tidur sama sekali. Karena itu, kenangan-kenangan itu akan terus memburu kita ke mana pun dan di mana pun sehingga kita tidak pernah tenang.
Keseriusan adalah lawan kata dari kelinglungan karena hilang ingatan.
Kau boleh bersedih sebentar karena itu sudah tabiat anak manusia. Namun kesedihanmu akan pergi bersama berlalunya waktunya karena keadaan anak manusia selalu berubah.
Kehidupan ini sejatinya penuh maker yang bergerak diam-diam, membawa kita tanpa disadari melalui deretan ruang dan waktu, kemudian mengubah diri kita menjadi orang lain yang bisa jadi tidak akan dikenali lagi.
Kita tahu bahwa sebuah kosakata – kalau dipahami hanya sebagai sebuah kosakata – adalah netral dari dosa dan kesalahan; dosa-dosa seperti itu baru akan muncul saat kata-kata itu disusun sedemikian rupa menjadi kalimat.
Hypatia, putrid Mahaguru Theon, seorang filsuf besar ahli matematika beraliran Pythagoras.
Apakah kalau Adam dan Hawa tetap bertahan dalam surga, mereka akan menjadi mahluk yang abadi di dalamnya?
Semua kenangan dan nostalgia masa lalu pasti menyakitkan meski itu kenangan manis dan nostalgia indah sekalipun. Kenangan manis pun akan menyakitkan karena kita sedih karena hal itu sudah lewat.
Bagaimana kuatnya seorang manusia, tetap saja dia mahluk lemah. Kita semua mahluk lemah yang tidak
mempunyai daya apa pun kecuali karena kasih sayang.
Jatuh cinta memang menimbulkan situasi yang berat di dalam jiwa.
Manusia dalam setiap masa selalu menciptakan sesosok tuhan sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya pada waktu itu. Jadi hakikat seorang tuhan bagi manusia adalah pola pandangnya, impian-impiannya yang mustahil terjadi dan juga harapan-harapannya.
Di covernya, tertulis bahwa buku ini dijuluki “The Arabic da Vinci Code” dan meraih The Arabic Booker Prize 2009, sebuah penghargaan bergengsi untuk novel yang terbit di Timur Tengah.
Setiap orang mempunyai setan sendiri yang menyertainya ke mana pun, termasuk diriku hanya saja Allah membantuku mengalahkannya hingga dia menyerah. (Imam Al-Bukhari)
"Semua hal dalam kehidupan Anda adalah perwujudan iman Anda kepada apa yang tidak terlihat."—Dr. Joseph Murphy
Apakah keajaiban? Apakah ia merupakan sesuatu yang jarang kita alami? Ataukah sebenarnya kita dilingkupi olehnya setiap hari? Dr. Joseph Murphy (1898–1981) mengatakan, keajaiban adalah segala sesuatu yang terjadi di luar kendali diri kita. Dalam bukunya ini, ia menyebut sang pengendali keajaiban yang tidak terlihat itu sebagai "Kecerdasan Tak Terhingga".
Buku ini terbagi ke dalam 15 bab yang mengandung 96 kisah nyata. Sebagian besar cerita itu berasal dari orang-orang yang berkonsultasi dengan Joseph Murphy dalam kurun waktu 50 tahun perjalanan hidupnya menggeluti spiritualitas. Buku ini sendiri terbit pada 1965. Artinya ketika itu Murphy berumur 67, usia yang matang bagi seorang "petualang spiritual" untuk menulis buku. Jadi, tidak berlebihan jika dia mengatakan, "Aku telah melihat banyak keajaiban terjadi pada lelaki dan perempuan dari segala latar belakang kehidupan di seluruh dunia."
Joseph Murphy termasuk ke dalam angkatan awal Gerakan Pemikiran Baru yang muncul pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Setelah meraih gelar PhD Psikologi dari University of Southern California, dia berpetualang untuk mempelajari agama-agama besar di dunia. Salah satu bukunya yang paling dikenal berjudul The Power Of Your Subconscious Mind.
Penceramah agama, (maha)siswa, tentara, ibu rumah tangga, pengusaha, atlet, penulis, agen real estate, dan penjahat adalah sebagian orang yang kisahnya bisa dibaca dalam buku ini. Mereka mendatangi (atau dikunjungi oleh) Murphy atau berhubungan melalui surat. Mereka mengeluhkan masalah yang sebagian besar disebabkan oleh racun spiritual yang mereka pupuk baik secara sadar atau tidak.
"Ini mustahil. Saya melihat tidak ada jalan keluar (bukan "saya tidak melihat jalan keluar"). Tidak ada harapan lagi," kata seorang gadis putus asa.
Joseph Murphy sering mendengar keluhan seperti yang dilontarkan gadis itu dengan masalah yang beragam: mulai dari persoalan akademis yang sederhana sampai kesehatan yang divonis tak dapat disembuhkan. Menurutnya, jutaan orang buta secara psikologis dan spiritual karena terus-menerus mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk memecahkan masalah mereka. Selain itu, rasa benci, sakit hati, iri, dan takut dapat menyebabkan kebutaan spiritual.
Namun, tidak semua orang yang diceritakan dalam buku ini memiliki masalah. Misalnya, seorang pemuda yang
memiliki metode tersendiri untuk mengenali racun spiritual dalam pikirannya. Dia menyebutnya "foto mental". Sang pemuda memaparkan cara melakukannya: Perhatikan dengan saksama segala lintasan pikiran, sensasi, suasana hati, reaksi, dan nada bicara kita. Kemudian, untuk segala, katakanlah, "Semua ini bukan dari Tuhan. Semua ini merusak dan menyesatkan. Aku akan berpaling kepada Tuhan dan berpikir menurut pandangan hikmah, kebenaran, dan keindahan."
Joseph Murphy menekankan pentingnya bagi kita untuk mengenal cara kerja pikiran alam bawah sadar yang menurutnya bisa dipengaruhi oleh pikiran sadar kita."Penyembuhan pikiran spiritual adalah kinerja gabungan yang selaras dari pikiran sadar dan pikiran bawah sadar Anda, yang diarahkan secara ilmiah untuk tujuan tertentu." (Hal. 61)
"Pusatkan mental dan emosi pada jawaban yang tepat, dan Anda akan mendapatkan sebuah respons (dari Kecerdasan Tak Terhingga)." (Hal. 95)
Untuk membantu orang-orang yang berkonsultasi padanya, Murphy hampir selalu menyarankan jalan keluar yang sama. Dia memerintahkan orang itu berdoa, mengingat sifat-sifat Tuhan yang ada dalam dirinya, dan membayangkan tujuan apa yang dicapai sampai terasa nyata.
Penulis buku ini menceritakan dia pernah mengunjungi seorang penjahat yang kecanduan alkohol sampai titik kronis. Si penjahat itu meyakini ajalnya sudah dekat dan akan dihukum oleh Tuhan. Dengan cara di atas, Murphy menyembuhkan orang itu dan tidak lama setelah itu, berdasarkan diagnosis medis, ia dinyatakan akan tetap hidup. Dan sepuluh hari kemudian, ia meninggalkan rumah sakit.
Bagi saya pribadi, membaca buku-buku spiritual selalu memberikan kesan berbeda. Karena, setiap penulis buku jenis ini pasti memiliki jalan tersendiri dalam pencariannya mengenal Yang Tak Terhingga. Sebagaimana lahir, batin senantiasa membutuhkan nutrisi yang salah satu cara untuk mendapatkannya adalah dengan membaca buku seperti ini.
Selamat membacaSalam keajaiban,Moh. Sidik Nugraha
Identitas BukuJudul: KEAJAIBAN KEKUATAN PIKIRANPenulis: Dr. Joseph MurphyPenerbit: Serambi Ilmu SemestaTebal: 249 HVSTerbit: November 2009