analisis semiotika foto pada buku jakarta...
TRANSCRIPT
ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU
JAKARTA ESTETIKA BANAL KARYA ERIK
PRASETYA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Diajukan Oleh:
Marifka Wahyu Hidayat
NIM: 107051102182
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU JAKARTA ESTETIKA
BANAL KARYA ERIK PRASETYA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Marifka Wahyu Hidayat
NIM 107051102182
Di Bawah Bimbingan
M. Hudri. MA
NIP: 1972060199803
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Januari 2014
Marifka Wahyu Hidayat
i
ABSTRAK
Nama : Marifka Wahyu Hidayat
NIM : 107051102182
Jurusan : Konsentrasi Jurnalistik
Skripsi : Analisis semiotika foto pada buku Jakarta Estetika Banal karya Erik
Prasetya
Perkembangan dunia fotografi menjadikan alat ini sebagai sebuah replika
dari realitas dan sensasi bagi pancaindra manusia. Melalui fotografi, dunia
menjadi serangkaian yang terkait, menyejarah dan memiliki banyak arti.
Begitujuga dengan para fotografer mencari formula baru untuk kemajuan dunia
fotografi terutama memasuki babak baru yakni transformasi dari analog ke dunia
digital yang semakin berkembang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna foto Jakarta Etetika
Banal agar dapat dipahami dan mengetahui prosedur-prosedurnya serta makna
yang terkandung dalam foto tersebut. Bagaimana Estetika Banal tersebut bekerja
dalam merekam kota Jakarta beserta warganya.
Penulis menggunakan pendekatan metode deskriptif kualitatif dalam
membedah obyek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan riset
kepustakaan, dan wawancara. Analisa data menggunakan teori analisis visual
Theo Van Leeuwen dengan peminjam metode semiotika Roland Barthes yang
mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam foto Jakarta Estetika
Banal.
Estetika banal merupakan sebuah tawaran pendekatan fotografi yang
dicetuskan oleh Erik Prasetya saat dunia fotografi mulai beranjak hijrah dari
analog ke digital dan terbukti dalam karyanya selama 20 tahun untuk merekam
Jakarta yang tertuang dalam buku fotografi Jakarta Estetika Banal. Sebuah
peristiwa di ruang kota yang menampilkan pergulatan dan pergerakan manusia
dengan berbagai macam persoalannya yang terekam dalam Jakarta Estetika Banal
Dengan demikian, foto-foto yang direkam Erik dengan formula estetika
banal dapat kita ketahui dari analisis semiotika Roland Barthes dalam membaca
foto dan konteks yang dibicarakan dalam foto-foto karya Erik yang mempunyai
ragam tema dalam memotret Jakarta baik dari segi sosial, politik, ekonomi,
kultural dan lingkungan hidup.
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan diantaranya adalah dari
foto Jakarta Estetika Banal memang seperti itulah realitas gambaran kota
Jakarta yang sangat banal, biasa, umum, dan dangkal. Kemiskinan, polusi, kumuh,
hedonis, konsumtif, banjir, macet, eksploitasi anak ,dan masih banyak lainnya.
Hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa di kota modern bernama Jakarta.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang maha esa berkat nikmatnya penulis diberikan
kesehatan serta keberkahan sehingga berbagai kesulitan dapat penulis lalui dengan
perasaan bahagia dan penuh syukur.
Selawat dan salam senantiasa terlimpahbagi nabi Muhammad SAW.
Beliaulah Sang Pembawa misi kebenaran sepanjang zaman dan semoga dengan
kasihnya kita dapat menjadi umatnya yang selalu dalam naungannya.
Selanjutnya, Penulis mempersembahkan banyak terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini:
1. DR. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi, Dr. Suparto, M.Ed, Ph.D Wakil Dekan I Bidang
Akademik, Drs. Jumroni, M.Si selaku Wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum dan Drs. Wahidin Saputra MA selaku Wakil
Dekan III Bidang Kemahasiswaan.
2. Rubiyanah, MA selaku ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina
Farida, M.Si selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta serta Dr Rulli Nasrullah yang telah bersedia memberikan ilmu
serta nasehat kepada penulis.
3. Terima kasih kepada Dosen Pembimbing Skripsi Bapak Hudri yang
dengan sabar mengajari dan dan meluangkan waktunya untuk penulis.
Semoga selalu diberikan limpahan karunia dan nikmat serta senantiasa
mendapat perlindungan dari Allah SWT.
iii
4. Dosen-dosen Fakultas Ilmu dakwah dan Komunikasi, yang namanya
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan
dedikasi yang diberikan kepada penulis.
5. Terima kasih kepada Erik Prasetya yang telah bersedia menjadi
narasumber dalam penelitian ini serta menjadi guru sekaligus inspirasi
penulis saat memotret .
6. Secara khusus kepada Orang tua tercinta, Bapak dan Ibu (Amat
Saefudin dan Maryani) serta sesepuh Mbah Kodim, Mbah Putri,
Engkong H. Idup memberikan doa, kasih sayang, materi, dan semangat
kepada penulis.
7. Untuk adik ku satu-satunya, Septi Dwi Ratu Nirwana yang selalu sabar
dengan kejahilan penulis sehingga mampu memberikan semangat baru
dalam kehidupan sehari hari.
8. Kepada semua teman-teman Jurnalistik 2007, Iman, Alan, Era, Topik,
Dodo, Ibenk, Miral, Munir, Rezza, Fajar, Anay, Ajat, Helmi, Kiki,
Cahya, Dita, Zeto, Ririn, Zabrina, Zahra, Mawa, Yanti, Sintia, Lola,
Nunu, Nana, Nia, Aul, dan Ika., Zenal, Aiboy, Nadia dan Jhon. Tidak
lupa Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik dari seluruh angkatan semoga
jalinan tali silahturahmi kita akan terus abadi .
9. Untuk Kawan kawan Komunitas Djuanda Mufti Al-umam, Ray
Sanggah Kusuma, Renal Rinoza, Farabi Ferdiansyah, Imam, Eni
Wibowo, Jayu, Choril Codri, Enzen, Anggi kalian kalian telah
memberi warna yang berbeda dalam kehidupan penulis.
iv
10. Kawan Galeri Jalanan Bau Tanah Lutfi Saputra, Edo, Reffi Mascot,
Fernando Rendi, Risang, Mas Tirto, Denis, serta kawan kawan
angkatan 5 yang telah memberikan ilmu fotografinya.
11. Terima kasih kepada seluruh rekan rekan jurnalis foto dari Pewarta
Foto Indonesia khususnya rekan pekerja media Tempo, Kantor Berita
Antara, dan Jawa Pos Group yang saya tidak bisa sebutkan satu
persatu, mereka banyak memberikan saya kesempatan menimba
pengalaman selama ini.
Ciputat, Januari 2014
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan PerumusanMasalah........................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6
D. Metodologi Penelitian .............................................................. 7
1. Pengumpulan Data ............................................................. 7
2. Pengelolahan Data .............................................................. 8
3. Menganalisa Data .............................................................. 8
E. SistematikaPenulisan ............................................................... 9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Fotografi ................................................................. 11
B. Pengertian Estetika Banal ........................................................ 14
1. Pengertian Estetika ............................................................. 14
2. Pengertian Banal ................................................................ 19
3. Metode Kerja Estetika Banal ............................................. 20
C. Semiotika Visual ...................................................................... 23
1. PengertianSemiotika .......................................................... 23
2. Konsep Semiotika Roland Barthes..................................... 28
3. Analsisis visual dari semiotika Sosial Theo Van Leeuwen 34
BAB III GAMBARAN UMUM BUKU JAKARTA ESETIKA BANAL
A. Profil Erik Prasetya .................................................................. 37
B. Profil Buku Jakarta Estetika Banal ......................................... 39
vi
BAB IV ANALISIS DATA FOTO
A. Analisis Data Foto 1 ................................................................. 47
1. Tahap Denotasi................................................................... 48
2. Tahap Konotasi .................................................................. 51
3. Mitos .................................................................................. 52
B. Analisis Data Foto 2 ................................................................. 52
1. Tahap Denotasi................................................................... 52
2. Tahap Konotasi .................................................................. 53
3. Mitos .................................................................................. 55
C. Analisis Data Foto 3 ................................................................. 56
1. Tahap Denotasi................................................................... 56
2. Tahap Konotasi .................................................................. 57
3. Mitos .................................................................................. 58
D. Analisis Data Foto 4 ................................................................. 59
1. Tahap Denotasi................................................................... 59
2. Tahap Konotasi .................................................................. 60
3. Mitos .................................................................................. 61
E. Analisis Data Foto 5 ................................................................. 61
1. Tahap Denotasi.................................................................. 62
2. Tahap Konotasi ................................................................. 62
3. Mitos .................................................................................. 64
F. Analisis Data Foto 6 ................................................................. 64
1. Tahap Denotasi................................................................... 65
2. Tahap Konotasi .................................................................. 65
3. Mitos .................................................................................. 67
G. Analisis Data Foto 7 ................................................................. 68
1. Tahap Denotasi................................................................... 68
2. Tahap Konotasi .................................................................. 68
3. Mitos .................................................................................. 70
H. Analisis Data Foto 8 ................................................................. 71
1. Tahap Denotasi.................................................................. 71
2. Tahap Konotasi ................................................................. 72
3. Mitos .................................................................................. 73
vii
I. Analisis Data Foto 9 ................................................................. 74
1. Tahap Denotasi.................................................................. 74
2. Tahap Konotasi .................................................................. 75
3. Mitos .................................................................................. 76
J. Analisis Data Foto 10 ............................................................... 77
1. Tahap Denotasi.................................................................. 77
2. Tahap Konotasi ................................................................. 78
3. Mitos .................................................................................. 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .............................................................................. 80
B. Saran ......................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
1. Data Foto 4.1 .............................................................................................. 47
2. Data Foto 4.2 .............................................................................................. 52
3. Data Foto 4.3 .............................................................................................. 56
4. Data Foto 4.4 .............................................................................................. 59
5. Data Foto 4.5 .............................................................................................. 61
6. Data Foto 4.6 .............................................................................................. 64
7. Data Foto 4.7 .............................................................................................. 68
8. Data Foto 4.8 .............................................................................................. 71
9. Data Foto 4.9 .............................................................................................. 74
10. Data Foto 4.10 ............................................................................................ 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gambar yang dibuat pada permukaan cadas muncul mendahului bahasa
tulisan dan merupakan bahasa rupa tertentu, dan yang menarik lagi adalah bahwa
gambar cadas tersebut merupakan sebuah media komunikasi untuk
menyampaikan pesan tertentu bukan karya seni murni yang bertujuan estetika.1
Fotografi bertindak sebagai dokumen sosial dengan meletakkannya
sebagai dokumentasi berarti foto memiliki isi dan pesan mengenai informasi-
informasi yang bisa dijadikan dokumen. Kalau foto itu merekam orang, barang
dan situasi maka ia bisa dianggap sebagai dokumen sosial dan sebagainya.
Foto sebagai dokumen sosial sering dikaitkan dengan terminologi fotografi
dokumenter, foto jurnalistik dan fotografi jalanan (street photography) yang
pengertiannya sering tumpang tindih. Menurut Wikipedia, fotografi dokumenter
biasanya mengacu pada bentuk populer fotografi yang digunakan untuk mencatat
peristiwa penting dan bersejarah. Hal ini biasanya tercakup dalam foto jurnalistik
profesional, atau reportase kehidupan nyata, tetapi juga dapat menjadi amatir,
1 Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat (ed.)
Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI, 1999,
hlm.230
2
artistik, atau akademik. Fotografer mencoba untuk menghasilkan fotografi jujur,
obyektif, dan biasanya jujur terhadap topik tertentu, paling sering gambar orang.2
Namun kita dapat melihat perbedaan antara fotografi dokumenter dan foto
jurnalistik, Wikipedia menuliskan, bahwa fotografi dokumenter pada umumnya
berkaitan dengan proyek-proyek jangka panjang dengan alur cerita yang lebih
kompleks, sementara foto jurnalistik lebih menyiarkan berita (breaking news).
Kedua pendekatan sering tumpang tindih. 3
Sedangkan fotografi jalanan (street photography) adalah genre non-formal
fotografi yang menampilkan subyek dalam situasi candid di tempat umum seperti
jalan, taman, pantai, mall, konvensi partai politik dan latar yang terkaitnya.
Fotografi jalanan dan fotografi dokumenter adalah dua genre fotografi yang
sangat mirip yang sering tumpang tindih sementara memiliki kualitas individu
yang berbeda.
Fotografi jalanan memiliki kemampuan untuk mendokumentasikan
sementara fotografi dokumenter memiliki niat yang pasti dari sejarah perekaman.
Fotografi dokumenter bisa berterus terang, tapi fotografi jalanan didefinisikan
oleh kejujurannya. Fotografi jalanan menghasilkan hiburan yang ironis sementara
fotografi dokumenter menyediakan intensitas emosional. Bahasa fotografi jalanan
yang halus dan bukan sebagai yang keras dan blak-blakan seperti pada bahasa
fotografi dokumenter.
2 http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013
3 http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013
3
Pada abad ke-19, puncak fotografi jalanan, kebanyakan fotografer adalah
naif untuk menyajikan fakta bahwa mereka mendokumentasika sejarah sebagai
fotografer jalanan mereka tidak punya niat tertentu atau tujuan di luar produksi
cetak candid. 4
Foto-foto Erik Prasetya adalah sebuah studi atas Jakarta, ia melakukannya
selama 20 tahun sebagai seorang warga di dalam ruang dan peristiwa kota itu.
Kemudian hadir di dalam lokasi tersebut. Ia adalah fotografer kelahiran Padang
tahun 1958 yang menawarkan sebuah model pendekatan yang disebut sebagai
“Estetika Banal”. Estetika tentu saja mengandung keindahan, sedangkan banal
berarti kasar, membosankan, atau menjenuhkan.5 Foto-foto Erik adalah apa yang
disebut dengan praktik voyeurisme6 , dengan memaknai ruang hidup kota Jakarta
dengan komplesitasnya, manusia Jakarta. Hal ini ia utarakan dalam bukunya
bahwa ia tertarik pada wajah manusia dan pergerakannya di dalam kota. Ia tidak
tertarik pada bangunan dan struktur yang kosong. 7
Begitupun, foto-foto Erik bagian dari fotografi jalanan yang memiliki
subyektifitasannya sebagai pendekatan dalam membahasakan fotografi secara
4 http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013
5Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal: Dewan Kesenian Jakarta, 2011, hal 11
6 Menurut Wikipedia Voyeurisme adalah minat seksual di atau praktik memata-matai
orang yang terlibat dalam perilaku yang intim, seperti membuka baju, aktivias seksual, atau
tindakan yang biasanya dianggap bersifat pribadi. Karakteristik utama dari voyeurisme adalah
bahwa voyeur tidak biasanya berhubungan langsung dengan subyeknya/minatnya, yang sringkali
tidak menyadari sedang diamati. Voyeurisme mungkin melibatkan pembuatan sebuah foto atau
video rahasia dari subyek selama kegiatan intim. Ketika kepentingan dalam subyek tertentu yang
obsesif, perilaku yang apat digambarkan sebagai menguntit.
http://en.wikipedia.org/wiki/Voyeurism, diakses 10 Maret 2013. Namun dalam
perkembangannya praktik voyeurisme tidak melulu soal seksualitas melainkan merambah ke hal
yang lain dan apa yang dilakukan oleh Erik coba mengintip karakteristik kota Jakarta dari sudut
bidikan fotonya. 7 Erik Prasetya, Jakarta: Estetika Banal. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia
(KPG), 2011.
4
lebih halus dan jujur serta turut membentuk wajah kota seperti foto-foto Henri
Cartier-Bresson yang turut andil membentuk kota Paris. 8
Estetika banal tidak memotret drama atau peristiwa besar melainkan
memotret hal-hal sehari-hari yang menjadi bagian kehidupan fotografer. Betapa
sebuah kota mempunyai kekurangan pengetahuan tentang kebutuhan dan
kemampuan yang nyata dari penduduknya, sehingga sebagian besar kebutuhan itu
tidak terpenuhi dan sebagian besar kemampuannya tidak disertakan dalam
membangun kotanya.
Buku Jakarta Estetika Banal adalah statement Erik dalam merekam dan
menghayati kota Jakarta dengan keterlibatannya sebagai bagian dari warga kota
Jakarta. Bagi Erik, kota Jakarta dengan penduduk melebihi 10 juta orang tersebut
berkembang menjadi “kota informal”. Sederhananya, kota informal adalah kota
yang lebih tidak terencana ketimbang terencana. Kota yang utamanya terbentuk
dari sektor informal. 9
Foto-foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika Banal dimulai di awal
tahun 1990-an, dimana ia memulai proyek pemotretan Jakarta. Akhir masa Orde
Baru, tahun 1990-an, adalah periode ketika warga kehilangan ruang publik dan
mal menjadi ruang publik pengganti bagi kelas menengah. Awal 2000-an adalah
era kelas menengah yang menjadi asal sebagian besar fotografer profesional. 10
8 Saya ulas dari Wikipedia, Street Photography,
http://en.wikipedia.org/wiki/Street_photography, diakses 10 Maret 2013
9 Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta:
2011. Hlm. Tanpa Halaman. 10
Ibid
5
Namun Erik mencoba keluar dari pendekatan eksotis romantis dalam
memotret sebuah obyek. Apa yang ia hadirkan dalam proyek pemotretan Jakarta
yang terhimpun dalam bukunya ini merupakan antithesis dari dominasi
pendekatan yang sering digunakan oleh para jurufoto. Erik menangkap kota
Jakarta dengan banalitasnya dan sesuatu yang hambar, biasa-biasa saja bahkan
membosankan. Ini tak terlepas dari pandangan Erik mengenai kota Jakarta yang
tidak terencana dengan baik dan semerawut.
B. Pembatasan dan perumusan masalah
Karena ruang lingkup penelitian ini sangat luas, maka batasan
permasalahan yang di ambil dari penelitian ini adalah “Analisis semiotika foto
pada buku Jakarta Estetika Banal karya Erik Prasetya”.
Agar pembahasan penelitian ini lebih terarah maka rumusan masalah
dalam penelitian ini di rangkum melalui pertanyaan :
a. Bagaimana menganalisis Denotasi foto yang terkandung dalam
perspektif semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta
Estetika Banal?
b. Bagaimana menganalisis konotasi foto yang terkandung dalam
perspektif semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta
Estetika Banal?
c. Bagaimana menganalisis mitos foto yang terkandung dalam perspektif
semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta Estetika
Banal?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang di atas, maka
tujuan penelitian adalah untuk :
1. Mengetahui makna Denotasi foto yang terkandung dalam perspektif
semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal.
2. Mengetahui makna konotasi foto yang terkandung dalam perspektif
semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal.
3. Mengetahui makna Mitos foto yang terkandung dalam perspektif
semiotika pada foto foto Erik Prasetya dalam buku Jakarta estetika banal.
Manfaat penelitian :
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini di harapkan mampu memberikan kontribusi pada kajian Ilmu
komunikasi terlebih pada kajian ilmu jurnalistik foto khususnya di bidang
fotografi, Penelitian ini juga di harapkan menjadi salah satu referensi bagi
pecinta fotografi dalam menghasilkan sebuah karya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi komunikasi terlebih
bagi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam kosentrasi Jurnalistik agar
lebih mengetahui ilmu Fotografi Jurnalistik. Kemudian penelitian ini
diharapkan mampu mengembangkan pemikiran serta pengetahuan
mengenai simbol simbol dan tanda tanda di balik foto.
7
D. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif, dimana hasil temuan akan dideskripsikan kemudian ditinjau
kembali untuk dianalisis dari hasil pengamatan lapangan dan penelusuran
pustaka. Metode deskriptif kualitatif adalah proses pencarian data untuk
memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian menyeluruh.
1. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ada beberapa tahap, dengan menggunakan
kualitatif, kemudian melakukan observasi yang terlibat langsung
dengan objek yang diteliti melalui interview. Sampel kecil merupakan
ciri yang digunakan dalam pendekataan kualitatif, karena itu pada
pendekatan ini menekankan pada kualitasnya bukan jumlahnya.
2. Pengelolahan Data
Dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika yang
menggunakan tiga demensi yaitu denotasi analogon, konotasi dan
mitos. Denotasi analogon adalah pesan langsung tanpa kode,pesan
yang sampai pada kita tanpa penafsiran dari teks hanya dengan melihat
foto secara keseluruhan.konotasi citra mengacu pada enam prosedur,
yaitu Trick Effect, Pose, Pemilihan Object, Photogenia, Aestheticsm,
dan Syntax.
Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam istilah dan representasi
atau tingkatan nama. Roland Barthes menggunakan istilah order of
Signification. Tahap pertama dari order of Signification adalah
denotasi sedangkan tahap keduanya adalah konotasi. Makna denotasi
8
merupakan penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Kemudian dari
pemaknaan tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental
lain yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai
penanda). Pemaknaan inilah yang kemudian menjadi konotasi.11
3. Menganalisa Data
Tahap selanjutnya adalah menganalisa data, dalam tahap ini akan
dianalisis foto foto yang dijadikan sampel dalam penelitian dalam
tahap ini akan menggunakan data sekunder yang didapat dari literatur
dan kepustakaan.
Menggunakan Analisis Visual Theo Van Leeuwen dengan Semiotika
Roland Barthes yaitu mengetahui makna denotasi, konotasi, mitos di
dalam foto Jakarta Estetika Banal. Menurut Saussure ( Budiman,
1999a:107) semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda tanda di tengah masyarakat dan dengan demikian
menjadi bagian dari disiplin ilmu psikologi sosial. Tujuannya adalah
untuk menunjukan bagaimana tebentuknya tanda tanda tersebut
berserta kaidah kaidah yang mengaturnya.12
11
M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Konunikasi. (Yogyakarta: Gitanyali,2004,
hal 56 12
Alek Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Penerbit Remaja
Rosdakarya,2006,hal 12
9
E. Sistematika Penulisan
Sistematika pemabhasan dalam penelitian ini terdiri dari 5 pokok
bahasan yang meliputi :
BAB I PENDAHULUAN
Membahas memgenai bagian pendahuluan, memuat
mengenai latar belakang masalah, Pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan
BAB II LANDSAN TEORI
Membahas mengenai Landasan teori, memuat mengenai
pengertian fotografi, makna foto Jakarta estetika banal,
analisis semoitika.
BAB III GAMBARAN UMUM BUKU JAKARTA ESTETIKA
BANAL
Membahas mengenai gambaran umum buku Jakarta
estetika banal, profil Erik Prasetya, profil buku, sampel
foto.
BAB IV ANALISIS DATA FOTO
Membahas mengenai analisis tentang makna dan simbol
simbol yang ada di dalam sebuah foto dalam buku Jakarta
estetika banal dengan menggunakan semiotika Roland
Barthes.
10
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
membahas mengenai kesimpulan dari penelitian ini serta
saran terutama untuk Erik Prasetya dan para pencinta
fotografi agar mengiptakan karya yang lebih baik dan
kreatif serta memiliki konsep.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Fotografi
Kata fotografi berasal dari bahasa Yunani, dari kata phos artinya cahaya
dan graph yang berarti menulis atau menggambar. Jadi secara harfiah, fotografi
berarti menggambar dengan bantuan cahaya.1
Pada Tahun 1558 ilmuwan italia Giambasista Della Forta menyebut
kamera “camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap
bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya
menyempurnkan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera yang
disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar sudah mencapai
taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari saat ke saat semakin berhasil,
tetap saja belumbisa disebut proses fotografi karena media perekam gambarnya
masih belum bisa membuat gambar permanen. 2
Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran,
transmisi dan titik resepsi. Struktur foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi,
karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks, judul,
keterangan, yang selalu mengiringi foto.Dengan demikian pesan keseluruhannya
dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.3
1 M. Mudaris, Jurnalistik foto, (Semarang; Badan penerbitan universitas Diponegoro.
1996). Hal. 7 2Ray Bachtiar, Ritual Fotografi, Chip foto video edisi special. H.8
3Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.27
11
12
Barthes mengajukan tesis di dalam bukunya Image Music Text, tentang
pesan fotografi, ia mengatakan apa isi pesan fotografi? apa yang foto itu
sampaikan? tentu gambar bukanlah realitas tapi setidaknya itu adalah analagon
sempurna dan itu adalah persis kesempurnaan analogis ini yang ada, dengan akal
sehat. Fotografi itu adalah pesan tanpa kode, dari mana proporsi merupakan
konsekuensi penting yang harus segera ditarik: pesan fotografi adalah pesan yang
terus menerus. 4
Fotografi umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang
memungkinkan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa. Dengan bantuan
bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi monochrome (hitam
putih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan), sebuah foto pada
dasarnya adalah wujud suatu moment dari suatu angka atau serangkaian gerak. 5
Penemuan di bidang fisika dan kimia yang didasari pengamatan bahwa
semua benda memantulkan cahaya kembali, dan cahaya tersebut dapat direkam
menjadi dasar penciptaan kamera. Penemuan tersebuat juga menciptakan cara
merekam objek atau subjek secara permanen yang berada di depan lensa kamera.6
Fotografi merupakan sebuah proses membuat gambar dengan
menggunakan media cahaya, metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari
suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut
pada media yang peka cahaya. Alat yang digunakan adalah kamera, dan pada
prinsipnya cara kerja fotografi yakni memfokuskan cahaya dengan bantuan
4 Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977.
Hlm. 17 5 Ed Zoelverdi, Mat Kodak. (Jakarta; PT .Tempoprint, 1985), h. 76.
6 Robi Irsyad, Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar
nasional. Hal. 11
13
pembiasan sehingga mampu merekam medium penangkap cahaya yang kemudian
menghasilkan bayangan identik kemudian cahaya yang memasuki medium
pembiasan yang biasa disebut lensa.
Hasil karya fotografi dikerjakan dengan menggunakan kamera, yang
memiliki cara kerja yang sama dengan cara kerja mata manusia, kamera memiliki
lensa, dan mengambil pantulan cahaya terhadap suatu objek agar menjadi sebuah
gambar, sebuah kamera dapat merekam sebuah gambar kedalam sebuah film dan
hasilnya dapat diperbanyak, dan diperlihatkan kepada orang lain. Sedangkan
mata, hanya dapat merekam gambar kedalam otak dan tidak bisa dilihat secara
langsung kepada orang lain.
Kalau salah satu fungsi bahasa adalah representatif (fungsi
menghadirkan),munculnya foto harus mendapatkan perhatian secara serius karena
foto mempunyai kemampuan representatif yang sempurna.7 Foto menjadi bentuk
yang lain dari informasi yang disajikan dalam bentuk kajian jurnalistik, selain
sebagai pendamping berita, foto dapat sebagai daya tarik sendiri untuk dikaji dan
didalami sebagai sebuah cabang dari bahasa visualyang ada dalam foto tersebut,
melalui kajian semiotika dapat terungkap yang tersirat dan tersurat dalam foto
tersebut, karena kelebihan fotografi terletak pada kemampuanya untuk merekam
semua hal yang dilihat oleh fotografer lewat lensanya.
Fotografi menjadi sebuah perubahan dalam cara pandang manusia,
kemudian fotografi bukan hanya menciptakan citraan yang begitu akurat, rinci dan
obyektif dalam menangkap realitas lewat sebuah kamera, namun lebih dari pada
7 St sunardi, Semiotika Negative,(Buku baik.yogyakarta), h. 138
14
itu fotografi bagi Moholy Nagy adalah dapat menyelesaikan atau melengkapi alat
optik kita, mata .8 Dan bagi Moholy Nagy, perkembangan penglihatan manusia
diluar yang diberikan oleh mata demikian terhubung dengan kapasitas sosial dan
biologis untuk berpartisipasi dalam representasi.9
Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna atau
analogon dari realitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai kepada
pembaca sudah dalam bentuk konotasi.10
Demikian pula dengan sebuah bentuk
atau karya seni rupa yang disentuh dengan perangkat lunak, setidaknya wajib
mempunyai gagasan sekecil apapun di dalamnya.
B. Pengertian Estetika Banal
1. Pengertian Estetika
Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau
sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera
perasaan.11
Erik Prasetya menerangkan pengertian estetika yang merujuk pada
definisi Oxford Advanced Learner‟s Dictionary adalah (1)concerned with beauty
and art and the understanding of beautiful things; (2) made in an artistic way and
beautiful to look at; (3) the aesthetic quality and ideas of something; (4) aesthetic:
the branch of philosophy that studies the principles of beauty, especially in art. 12
8 Celia Lury, Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New
York: Routledge. 1998. Hlm. 163 9 Celia Lury, Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New
York: Routledge. 1998. Hlm. 164 10
St sunardi,Semiotika negative, (Buku baik.yogyakarta), h. 145
11 Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.16 12
Wawancara dengan Erik Prasetya ditambah penjelasan yang utuh dari definisi Oxford
Advanced Learner‟s Dictionary tentang Estetika.
15
Alexander Baumganten (1714-1762), seorang filsuf jerman yang pertama
memperkenalkan kata “ aisthetika” sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz
(1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia berharap dapat memberikan
tekanan pada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the
perfection of sentient knowledge).13
Bagi Baumganten, dia percaya bahwa dasar dari seni adalah “representasi
sensitif” yang bukan hanya sensasi, tetapi yang berhubungan dengan perasaan.
Tentu saja, untuk mengatakan bahwa estetka ada hubungannya dengan aspek
sensual dari pengalaman.14
Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan
dengan batasan rakitan (structure) dan peranan (role) dari keindahan, khususnya
dalam seni.15
Estetika merupakan studi filsafat yang berdasarkan nilai apriori dari
seni (Panofsky) dan sebagai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya dalam seni
(worringer).16
Herbert Read dalam bukunya The Meaning of Art merumuskan keindahan
sebagai suatu kesatuan arti hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan
pencerapan indrawi kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu
yang menyenangkan bila dilhat.Kant menitikberatkan estetika kepada teori
keindahan dan seni.
13
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.16 14
David E. W. Fenner, Introducing Aesthetic, Westport, CT: Praeger. 2003. Hlm. 7 15
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.6 16
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.7
16
Keindahan dalam arti yang luas, semula merupakan pengertian dari bangsa
yunani, yang didalamnya tercangkup pula ide kebaikan. Plato misalnya menyebut
tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan
keindahan sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang
ilmu yang indah dan kebajikan yang indah.17
Ada dua teori mengenai keindahan, yaitu bersifat subjektif dan
objektif.Keindahan yang bersifat subjektif ialah keindahan yang ada pada mata
yang memandang, sedangkan keindahan objektif menempatkan keindahan pada
benda yang dilihat.18
Pandangan klasik (Yunani) tentang hubungan seni dengan keindahan
keduanya saling mendukung, Sortais menyatakan bahwa keindahan ditentukan
oleh keadaan sebagai sifat objektif dari bentuk (I‟esthetique est la science du
beau). Lips berpandangan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan
subjektif atau pertimbangan selera (die kunst ist die geflissenliche hervorbringung
des schones).19
George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan
dengan pencerapan dari nilai-nilai.20
Nilai estesis selain terdiri dari dari nilai
positif kini dianggap pula meliputi nilai negatif.Hal menunjukan nilai negatif
yakni kejelakan.Kejelakan yang dimaksud merujuk pada ciri yang sangat
17
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1, h.3 18
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 10 19
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 11 20
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.14
17
bertentangan sepenuhnya dengan kualitas yang indah tersebut, kini keindahan dan
kejelakan sebagai nilai estesis yang positif dan negatif yang pada
umumnyadiartikan sebagai kemampuan dari suatu benda untuk menimbulkan
suatu pengalaman estetis.21
Estetika timbul tatkala pikiran filsuf mulai terbuka dan mengkaji
berbagai keterpesonaan rasa.Estetika bersama dengan etika dan logika membentuk
satu kesatuan yang utuh dalam ilmu normative di dalam filsafat.22
Pertumbuhan
estetika secara garis besar dibedakan ke dalam tiga periode :
Periode Platonius atau Dogmatis
Periode Kritika
Periode positif
Periode Platonis atau Dogmatis berlangsung sejak Sokrates hingga
Baumgarten.Jika istilah estetika diartikan filsafat keindahan, maka sejarah estetika
berarti sejarah filsafat keindahan.23
Kemudian periode kritik berangkat pada massa sesudah Baumgarten
sampai wafatnya Kant (1904) dan berimbas setelah Kant. Tatkala Estetika dalam
periode kritik, atau lebih tepatnya dari objektivisme kepada relativisme atau
21
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.15 22
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 16 23
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.48
18
mengarah ke subjektifitas, maka mengalami perkembangan yang membawa keluar
dari ontology ke bidang penyelidikan ilmujiwa.24
Periode positif mempinyai ciri yang sangat bertentangan dengan
metafisika.Tacher adalah orang yang berjasa dalam merintis penggunaan
eksperimen yang sistematis untuk membentuk Estetika formil yang ilmiah25
.
Dalam perjalanannya estetika pada abad pertengahan merupakan abad
gelap yang menghalagi kreatifitas seniman dalam berkarya seni, gereja Kristen
lama bersifat memusuhi seni dan tidak mendorong refleksi filosofis terhadap hal
itu. Seni mengabdi hanya untuk kepentingan gereja karena kaum gereja
beranggapan bahwa seni itu hanyalah dan selalu memperjuangkan bentuk visual
yang sempurna26
.
Kemudian pada estetika modern David Hume berpendapat bahwa
keindahan bukanlah kualitas objektif dari objek.Sebuah benda dikatakan indah
bila bentuknya menyebabkan saling mempengaruhi secara harmonis, diantara
imajinasi dan pengertian (pikiran).Penilaian sebjektif dalam arti ini.27
Kemudian Bennedotte Croce mengemukakan teori estetikanya dalam
sebuah sistem filosofis dari idealisme.Segala sesuatu adalah ideal yang merupakan
aktifitas pikiran. Dan menurut Comte estetika adalah wilayah pengetahuan
24
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.54 25
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.56 26
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h. 76 27
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung :
Rekayasa Sains , 2004), cet.1,h.79
19
intuitif.Satu intuisi merupakan sebuah imajinasi yang berada dalam pikiran
seniman.28
Diantara filsuf awal abad 20, John Dewey mungkin memiliki, perlakukan
terdalam dari pengalaman estetis. Bagi Dewey, pengalaman estetika adalah
pengalaman yang maksimal disatukan. Semua pengalaman ia menandaskan adalah
estetika tingkat tertentu, khususnya sejauh mana mereka dipersatukan.
Pengalaman-pengalaman individu yang bersatu membentuk apa yang disebut
Dewey sebagai pengalaman.29
2. Pengertian Banal
Terminologi banalitas dipolulerkan oleh filsuf Hannah Arendt pada
penjabaran pemikirannya tentang banalitas kejahatan yang tertulis di dalam
bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil
yang berangkat dari fenomena kekerasan para tentara NAZI. 30
Ketika itu yang dia amati adalah Adolf Eichmann, seorang tangan kanan
Hitler yang bertugas mengatur pembantaian orang-orang Yahudi, yang sedang
diadili di sidang pengadilan. Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi
terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan, tidak berpikir berbeda sama
sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan
kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir
28
Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika (Bandung : Rekayasa
Sains , 2004), cet.1,h.79. 29
David. E.W. Fenner, Introducing Aesthetics, Westport, CT: Praeger. 2003. Hlm. 11 30
Reza A.A Wattimena, Artikel Hannah Arendt dan Banalitas Kejahatan,UNIKA Widya
Mandala. Surabaya. 201, hlm.32
atau http://rumahfilsafat.com/2011/12/23/hannah-arendt-dan-banalitas-kejahatan/
20
secara sistemik (bukan sistematis). Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak
sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu yang mengerikan.
Perbedaan ekspresi kebudayaan sering ditampilkan dalam bingkai
pertentangan atau oposisi biner (binary opposition), misalnya pertentangan antara
budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass culture). Perbedaan
mempunyai nilai-nilai `luhur‟ (indah, suci, atas, serius, mulia, tinggi) dan yang
mempunyai nilai-nilai `bawah‟ (rendah, banal, buruk, profan, asal jadi, instan).31
Postmodernisme pluralis mengakui kesetaraan antara tinggi dan populer,
dengan menghapus metafora spasial tinggi/rendah, sehingga setiap bentuk
mempunyai hak yang sama untuk hidup.32
Banalitas secara harfiah menurut
Kamus Webster, berarti sesuatu yang biasa dan remeh-temeh. 33
Erik Prasetya menjelaskan pengertian banal yang dirujuk dari defenisi
Oxford Advanced Learner’s Dictionary adalah Very Ordinary and Containing
Nothing that is Interesting or Important, sesuatu yang biasa-biasa saja tidak
mengandung sesuatu yang menarik dan penting.34
3. Metode Kerja Estetika Banal
Dalam proses kerja estetika banal Erik Prasetya memilih pola kerja dan
materi untuk menyatakan ekspresinya dengan memiliki warna teorits dan praktis
dengan memilih kamera analog karena ingin mengandirkan kembali apa yang
31
Yasraf Amir Piliang, Makalah Sastra dan Estetika Massa pada diskusi gerakan
cakrawala, Bandung . 2008. 32
Yasraf Amir Piliang, Makalah Sastra dan Estetika Massa pada diskusi gerakan
cakrawala, Bandung . 2008.
33
Iding R. Hasan, Artikel Pencalonan Artis dan Banalitas Politik, 2010. 34
Wawancara dengan Erik Prasetya
21
telah direkam dalam pemikirannya. Bagi Erik Prasetya estetika banal tidak
memotret drama atau persitiwa besar, melainkan memotret hal sehari-hari yang
menjadi bagian hidup fotografer.35
Ia pun berbeda dengan kebayakan fotografer
yang lain karena ia selalu mendahulukan adegan dan membiarkan pencahayaan
seadanya. Ini menyebabkan karya-karya iatidak mempunyai dimensi kedalaman
ruang yang membangun kenikmatan dalam memandang gambar karena kekayaan
komposisi dan detail.
Pilihan Erik Prasetya pada kamera film berjenis korel (bulir) yang halus
karena saat dipaksakan push processing ia tidak membentuk bulir-bulir yang halus
melainkan yang jarang dan kasar, sementara ia banyak memaksa kemampuan
rekam cahaya film untuk berkerja diluar batas kemampuan. Ini mungkin saja
bukan pilihan awal saat memulai kerja tetapi akhirnya mengacu pada hasil akhir
yang ia rasakan sebagai maksimal.
Erik tidak menanti pencahayaan yang ideal, ia memilih waktu atau lebih
tepatnya moment saat pertemuan ekspresi oleh komposisi yang tepat, menjadikan
satu gambar yang memiliki impresi yang maksimal. Mungkin ini dapat dikatakan
sebagai antithesis bagi mereka yang mengacu pada estetika, sehingga Erik
meskipun sama-sama merekam kota tetapi boleh dikatakan bersebrangan, bahkan
berdiri berhadapan dengan jurufoto kota Jerman, Peter Bialobrzeski, yang
menanti suasana tepat untuk diabadikan serta cenderung meniadakan manusia
(sebagai makhluk teraliensi di kota). Erik menangkap dinamika dan wajah
manusia dan kota “sebenarnya”.
35
Wawancara dengan Erik Prasetya
22
Begitu juga banalitas Erik justru menghadirkan suasana pencahayaan yang
rill di kota Jakarta. Saat melihat karya-karya Erik tidak memliki pencahayaan
yang klasik tadi, ia seperti apa yang dirasakan sehari-hari, cenderung datar dan
monoton, sedang dinamika yang ada datang dari wajah, ekspresi, tindak laku
manusia atau pun suasana yang ada.
Menggunakan film dengan kontras rendah, pendekatan tersebut spontan
sebagai estetika yang menjadi anutan dan menjadikan karya-karyanya menjadi
beda karena ia mampu menghadirkan kenyataan kehidupan besar di kota besar
seperti apa adanya, dan bila ada yang surreal, itu hanya pilihan hitam putih saja ,
kemudian saat ia berkerja memotret Jakarta estetika banal ia tidak pernah
menggunakan lensa tele (panjang), ia bekerja dengan lensa normal serta semi
lebar karena distorsi sudut pandang mata tidak banyak mengalami perubahan,
hanya saja sesekali ia mengubah sudut pandang.
Dalam estetika banal hubungan fotografer dengan yang dipotret lebih
dialogis ketimbang subyek obyek. Mencari pola sintagmatik untuk
menggambarkan paradigmatik. Peristiwa banal yang paradigmatik dan
sintagmatik ini yang kita cari estetikanya agar bisa menggambarkan peristiwa
yang banal. Dalam fotografi estetika banal apa yang bisa kita ulik yang bisa kita
mainkan agar elemen-elemen bisa menciptakan sebuah yang paradigmatik. 36
36
Wawancara dengan Erik Prasetya
23
C. Semiotika Visual
1. Pengertian Semiotika
Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu
yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di eropa sedangkan
semiotika lazim dipakai oleh ilmuan Amerika. Semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda.37
Semiologi adalah ilmu umum tentang tanda, dalam definisi Saussure,
semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di
tenmgah masyarakat dan dengan demikian menjadi bagian dari disiplin psikologi
sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana terbentuknya tanda-tanda
beserta kaidah kaidah yang mengaturnya. Para ahli semiotika prancis tetap
mempertahankan istilah semiologi saussurean ini bagi bidang kajiannya. Dengan
cara itu mereka ingin menegaskan perbedaan antara karya-karya mereka dengan
karya-karya semiotik yang kini menonjol di Eropa Timur, Italia, dan Amerika
Serikat.38
Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda tanda,
lambang lambang, sistem dan prosesnya.39
Semiotika sebagai suatu model dari
ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang
37
Alex sobur. Semiotika Komunikasi (Bandung ; Remaja Rosdakarya, 2006). h 15 38
Kris bidiman, Kosa Semiotika (Yogyakarta : LKIS. 1999) h. 107 39
Puji santosa.Ancangan Semiotika dan Pengkaajian Susastra, ( Bandung ; Angkasa.
1931). h.3
24
memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”. Dengan demikian, semiotika
mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.40
Ferdinand de Saussure dalam bukunya Course in General Linguistics,
mengatakan bahwa semiologi, berasal dari bahasa Yunani semeion, yang akan
menyelidiki sifat tanda-tanda dan hukum yang mengatur mereka. Karena belum
ada kita tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa itu akan ada. Linguistik
hanyalah salah satu cabang dari ilmu pengetahuan umum. Hukum semiologi akan
menemukan hukum yang berlaku dalam linguistik, dan linguistik dengan
demikian akan ditugaskan ke tempat yang jelas di bidang pengetahuan manusia. 41
Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai semiologi, arti
harfiahnya adalah kata-kata mengenai tanda-tanda .Kata semi dalam semiologi
berasal dari semeion (bahasa Latin), yang artinya tanda. Semiologi telah
dikembangkan untuk menganalisis tanda tanda.42
Untuk menyederhanakannya kemudian Umberto Eco dalam bukunya A
Theory of Semiotics menjelaskan dan mempertimbangkan, bahwa semiotika
berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda adalah
segala sesuatu yang dapat dimaknai tanda tanda. Suatu tanda adalah segala
sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk
sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini tidak terlalu dan mengharuskan perihal adanya
atau mengaktualsasi perihal dimana dan kapan suatu tanda memaknainya.Jadi,
semiotika ada semua kerangka (prinsip), semua disiplin studi, termasuk dapat pula
40
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing , (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.hal. 87 41
Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm. 3 42
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet 1. h.4
25
digunakan untuk menipu bila segala sesuatu tidak dapat dipakai untuk
menceritakan (mengatakan) segala sesuatu.43
Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai kebohongan, dalam tanda
ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri.
Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan
oleh kata-kata dan tanda-tanda yang digunakan dalam konteks sosial.44
Semiotika berkembang sejak awal abad ke 20. Memang pada awal abad 18
dan ke 19 banyak ahli teks (khususnya Jerman) berusaha mengurai berbagai
masalah yang berkaiatan dengan tanda, namun mereka tidak menggunakan
pengertian semiotika.45
Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure didalam Course in
General Lingustics. Sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian
dari kehidupan sosial.46
Sedangkan Semiotika menurut Roland barthes adalah
ilmu mengenai bentuk (form). Studi ini mengkaji signifikasi yang terpisah dari
sisinya (content). Semiiotika tidak hnaya meneliti mengenai signifier dan
signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka. Tanda yang berhubungan
secra keseluruhan.47
43
Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet 1. H.4 44
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing , (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet .6, h. 87 45
Tommy Cristomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1,
h.81 46
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003),h.256 47
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.h al.123
26
Kemudian menurut Premiger, Semiotka adalah ilmu tentang tanda-
tanda.Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari system-
sistem,aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti.48
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu
sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat.Latar Belakang
keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Pierce filsafat.Saussure menyebut
ilmu yang dikembangkan semiologi (semiology).49
Ada dua pendekatan penting atas tanda tanda. Pertama pendekatan yang
didasarkan pada pandangan Saussure yang mengatakan bahwa tanda disusun oleh
dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi
visual) dan suatu konsep tempat citra-bunyi itu disandarkan. 50
Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer
(bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Pendekatan kedua yang
penting untuk memahami tanda-tanda, yakni suatu sistem analisis tanda yang
dikembangkan oleh filsuf Charles Sanders Pierce pemikir Amerika. Pierce
mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang
48
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) cet 6.h al. 96 49
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna
pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet.2, h.11 50
Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet. 1. h.13-14
27
menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan kausal dengan tanda-tanda
tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan
kausalnya, dan symbol untuk asosiasi konvensionalnya. 51
Menurut Saussure, bahasa merupakan sistem tanda (sign). Tanda adalah
kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah idea atau petanda
(signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan
yang bermakna.52
Sebuah tanda linguistik bukanlah hubungan antara hal dan
nama, tetapi antara konsep signified dan pola suara signifier. Pola suara tidaklah
benar benar suara, karena suara adalah sesuatu yang bersifat fisik. Pola suara
adalah impresi psikologis dari si pendengar suara, seperti yang diberikan
kepadanya oleh bukti indranya. Pola suara hanya dapat disebut sebagai unsur
„materi‟ dalam representasi impresi sensorik kita sehingga pola suara dapat
dibedakan dari unsurlain yang terkait dengan itu dalam sebuah tanda linguistik.
Elemen lain ini pada umumnya dari jenis yang lebih abstrak konsep. 53
Berbeda dengan Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya
dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat
saran tanda.54
Pierce dikenal melalui pemikirannya mengenai teori segitiga
makna-nya (triangle meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat
dari tiga elemen utama yang terdiri dari: Tanda (sign), Acuan Tanda (Object),
Pengguna Tanda (Interpretant). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah
kata, sedangkan objeknya adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara
51
Atrhur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, Edisi baru (Yogyakarta ; tiara wacana, 2010) cet. 1. h. 16-17 52
Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),cet 2, h.46 53
Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm.14 54
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna
pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet.2, h.16
28
interpretant adalah tanda yang ada di benak seseorang tentang objek yang dirujuk
sebuah tanda.Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam benak
seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda
tersebut.55
Peirce dan Saussure secara luas dianggap sebagai pendiri yang sekarang
lebih umum dikenal sebagai semiotika.Mereka mendirikan dua tradisi teoritis
utama.Istilah Saussure 'semiologi' kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada
tradisi Saussurean sementara istilah 'semiotika' kadang-kadang mengacu pada
tradisi Peircean.Namun, saat ini istilah 'semiotika' secara luas digunakan sebagai
istilah umum untuk merangkul seluruh bidang (Noth 1990, 14).56
2. Konsep Semiotika Roland Barthes
Tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama, yaitu : Charles
Sanders Pierce yang mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure yang
mewakili tradisi eropa, keduanya tidak pernah pernah sama sekali dan berangkat
dari disiplin ilmu yang berbeda, Pierce adalah seorang guru besar filsafat dan
logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik57
Menurut Geogre Mounin, Saussure yang menjadi tokoh karena dalam
bukunya “ Cours de Linguistique Generale”, telah mendefinisikan secara garis
55
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing , (bandung : R,emaja Rosdakarya, 2006) cet 6, h. 115 56
Daniel Chandler, Semiotics The Basics, Second Edition. Routledge.2002, 2007. Hlm. 3-
4 57
Aart Van Zoest, Interprestasi dan semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida
Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta :
Gramedia, 1991), h. 1
29
besar ilmu umum tentang semua sistem tanda (atau tentang semua system simbol),
system sistem itu bisa membuat manusia bisa berkomunikasi diantara mereka.58
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Prosten di
Cherbourg dan dibesar di Bayone, kota kecil dekat pantai Atlantik disebelah Barat
Daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah satu pemikir strukturalis yang rajin
mempraktikkan model linguistik semiologi Saussure.59
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
rajin memperaktekan model linguistik dan semiologi Saussurean.Ia juga
intelektual dan kritikus sasrta prancis yang ternama, eksponen penerapan
strukturalisme dan semiotika pada studi sastra.60
Tetapi Barthes telah
mengembangkan pendekatan struktural untuk membaca sebuah fenomena
gambar dan mengandung tahapan-tahapan dan pendekatan lain yang dapat kita
digunakan untuk membedah penandaan dalam karya fotografi.
Bagi Roland Barthes perspektif semiologi adalah semua sistem tanda,
entah apapun substansinya serta batasannya (limit) :gambar, gerak tubuh, bunyi,
melodis, benda-benda, dan berbagai kompleks yang tersusun oleh substansi yang
merupakan system signifikasi (pertandaan), kalau bukan merupakan „bahasa‟
(languge).61
Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang
58
Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta ; Jalasutra, 2010), cet. 1, h.2 59
Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),cet 2, h.63 60
Alex sobur. Semiotika komunikasi (Bandung ; Remaja Rosdakarya, 2006). h. 42 61
Jeane Martinet , Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta; Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 3
30
sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Roland Barthes
meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of
signification”. 62
Pada awalnya Barthes membatasi medan riset semiologi dengan sistem-
sistem tanda, tetapi melihat sistem-sistem tersebut dengan cara yang berbeda.
Bagi Barthes sistem itu dicirikan oleh fakta bahwa sistem tersebut memiliki
signifikasi atau beberapa signifikasi; tetapi kita bias mempertanyakan apakah
pendapat tersebut tidak membuat kita juga mengurusi sistem-sistem yang ada
didalamnya perkara yang sudah didefinisikan hanyalah pelbagai kumpulan yang
berisi fakta-fakta signifikatif.63
a. Makna Denotasi
Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan
pertandaan) Barthes berpendapat terdiri dari first order of signification yaitu
denotasi dan second order of significationyaitu konotasi, tatanan yang pertama
mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut
dengan denotasi.64
Denotasi adalah tingkat yang pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang
eksplisit, langsung, dan pasti.Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang
62
Rahmat Kriyantono, Teknik praktis Riset komunikasi,(Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006),cet. 6, h.268 63
Jeane Martinet , Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 5 64
M. Antonius birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta
:Gitanyali, 2004), h. 56
31
menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroprasi
makna yang bersifat implicit dan tersenbunyi.65
Biasanya makna denotasi itu bersifat langsung, maksudnya makna
khusus yang terdapat dalam sebuah tanda yang bersifat objektif, dikatakan
objektif karena makna denotasi ini bersifat umum.
Denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung makna atau
perasaan-perasaan tambahan.Maknanya disebut denotatif. Maka denotatif
memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, mkana referensial,
makna konseptual, atau makna ideasional
b. Makna Konotasi
Menurut Barthes, konotasi fotografi memiliki prosedur yang baginya
konotasi, pengenaan makna kedua pada pesan fotografi yang tepat.66
terjadi pada
beberapa tahap berbeda yang merupakan bagian dari proses panjang produksi foto
(pemilahan, tindakan teknis, framing, lay-out) dan memperlihatkan, pada
akhirnya, suatu proses pengkodean (coding) analog fotografis. 67
Dengan
demikian memungkinkan untuk memisahkan berbagai prosedur konotasi
mengingat bagaimanapun prosedur ini tidak ada sama sekali unit penandaan
seperti analisis berikutnya dari jenis semantik yang mungkin suatu hari berhasil
65
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia), cet. 1, h. 94 66
Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977.
Hlm. 20 67
Roland Barthes: Imaji, Musik, Teks, (Terj.) oleh Agutinus Hartono (Yogyakarta :
Jalasutra, 2010), cet.1 , h. 6.
32
mendefinisikan, mereka tidak benar-benar berbicara bagian dari struktur fotografi.
68
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaanya.Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, makna konotasi bersifat subjektif dalam
pengertian bahwa ada pergeseran nilai dari makna umum (denotatif), karena sudah
ada penambahan rasa dan nilai.
Menurut Barthes prosedur-prosedur konotasi tersebut khususnya
menyangkut fotografi antara lain meliputi :69
1. Trick effect, misalnya dengan memadukan dua gambar sekaligus secara
artificial.
2. Pose, misalnya dengan mengatur arah pandangan mata atau duduk dari
seorang subjek
3. Objek, misalnya dengan menyeleksi dan menata objek-objek tertentu.
Kepentingan khusus harus diberikan kepada apa yang biasa disebut benda
berpose, di mana makna berasal dari yang difoto.
4. Fotogenia, misalnya dengan cara mengatur eksposur, pencahayaan
(lighting), manipulasi teknik cetak dan sebagainya. Di photogenia pesan
dikonotasikan adalah gambar itu sendiri, 'menghiasi' (yang berarti secara
umum disublimasikan) dengan teknik pencahayaan, paparan dan
pencetakan
68
Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977.
Hlm.20 69
Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta, Buku Baik, 2003), h.71
33
5. Aestethicism (estetika) yaitu dalam hal ini berkaitan dengan
pengkomposisian gambar secara keseluruhan sehingga menimbulkan
makna-makna tertentu.
6. Syntax (sintaksis) hadir dalam rangkaian foto yang ditampilkan dalam satu
judul, di mana makna tidak muncul dari bagian-bagian yang lepas antara
satu dengan yang lain tetapi pada keseluruhan rangkaian dari foto terutama
yang terkait dengan judul. sintaksis tidak harus dibangun dengan lebih dari
satu foto, dalam satu foto pun bisa dibangun sintaks dan ini, biasanya,
dibantu dengan caption.
c. Membaca Mitos
Mitos dalam pandangan Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-
nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap
alamiah.70
Mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signifield
dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu
form, concept dan signification.71
Form atau penanda merupakan subjek, concept
atau petanda adalah objek dan signification atau tanda merupakan hasil perpaduan
keduanya.
Menurut Fiske, mitos (mytos) menjelaskan beberapa aspek realitas atau
gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu
dominisi. Menurut Susilo, mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideology
70
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia), cet. 1, h. 94. 71
http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threaded.
34
berwujud. Menurut Van Zoest, ideology adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi
harus dapat diceritakan, cerita itulah yang dinamakan mitos (myth).72
3. Analsisis visual dari semiotika Sosial Theo Van Leeuwen
Pemikiran analsis visual dari semiotika sosial Theo Van Leeuwen sangat
mengapresiasi semiotika Roland Barthes dan dekonstruksi Derrida. Karena ciri
dan cara kerja semiotika social Theo Van Leeuwen cenderung berada didalam
paradigma dekonstruksionisme, semiotika yang digunakan meletakkan tanda
dalam kemungkinan maknanya yang dapat jadi bertingkat dan menganggap
konteks sosial sebagai ruang yang memiliki pengaruh pada level tekstual tanda.
Semiotika sosial Leeuwen hadir, tidak saja mengambil pembendaharaan
konsep Barthes yang sudah keluar dari strukturalisnya, namun juga
menambahkannya dengan item pemikiran lainnya yang dianggap relevan untuk
pengkajian tekstual. Lebih dalam lagi, kemudian social semiotic kreasi Leeuwen
lahir sebagai pendekatan yang melihat semiotikus tidak sekedar dalam perannya
serupa pecinta tanda, yang mengintervensasi dan menganilisis apapun, dengan
menempatkan sumber-sumber lahirnya tanda dalam kepadatan makna yang siap
dianalisis. Makna adalah sesuatu yang dihayati, berada dalam ruang internal
manusia yang melakoni dan bergumul dengan tanda-tanda, hingga makna apapun
yang dapat dianggap padu pada tanda bisa jadi palsu.73
72
Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Miots ( Mitologi Karya Roland
Barthes), minggu, 25 Maret 2007. 73 Leeweun, T.2005. Introducing Social Semiotics. New York: Rouledge. Hlm 26
35
Leeuwen mengembangkan semiotika sosial, dengan menekankan pada
empat dimensi utama, yaitu :
a. Discourse merupakan bagian semiotika sosial yang memfokuskan
bagaimana sumber-sumber semantik digunakan untuk membangun
representasi dan kehadiran.
b. Genre, berhubungan dengan penggunaan sumber semiotik untuk
menetapkan interaksi komunikatif yang berhubungan dengan
representasi baik dalam percakapan ataupun unsur komunikasi lain
yang memisahkan waktu dan jarak.
c. Style, bersangkut paut dan berhubungan secara langsung dengan gaya
hidup individu yang dipertontonkan dalam aktifitas komunikasi, yang
secara tersirat ataupun tersurat, menyatakan identitas dan nilai-nilai
yang dianutnya.
d. modality, bagian yang mempelajari penggunaan-penggunaan semiotik
untuk menciptakan atau mengkomunikasikan kebenaran atau nialai-
nilai realitas dari representasi-representasi mereka, baik itu sebagai
fakta atau fiksi, membuktikan kebenaran atau dugaan, dan
sebagainya.74
Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk
mendeteksi dan memneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang
dimarjinalkan posisinya dam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan
74 Definisi empat jenis semiotika tersebut, diambil dari rangkuman bacaan penulis pada
buku Leeweun, T.2005. Op. cit., halaman 93-160.
36
memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya,
sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus menerus
sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk.
Pengungkapan makna dalam bahasa visual lebih dijelaskan Theo van
Leeuwen sebagai deskripsi tentang struktur komposisi utama dalam membangun
makna visual, di mana mereka memperlakukan bentuk-bentuk komunikasi visual
sama seperti bentuk-bentuk linguistik. Komunikasi dalam realitas media
kontemporer mendorong pentingnya memahami komunikasi visual agar kita dapat
mempelajari apa yang sedang dikomunikasikan oleh sebuah objek visual dan
desain visualnya.
Bahasa dan komunikasi visual keduanya dapat digunakan untuk
mewujudkan sistem dasar yang sama dari makna yang membentuk budaya, tetapi
setiap melakukannya melalui bentuk-bentuk yang spesifik, melakukannya secara
berbeda, dan mandiri. Bahasa dan komunikasi visual mengekspresikan makna
yang dimiliki dan diatur oleh budaya dalam satu masyarakat, proses semiotik,
meskipun-bukan berarti semiotik sangat mirip dan ini menghasilkan tingkat
kesesuaian yang cukup antara keduanya.
37
BAB III
GAMBARAN UMUM BUKU JAKARTA ESTETIKA BANAL
A. Profil Erik Prasetya
Erik Prasetya Lahir di Padang 15 Februari 1958, ia adalah seorang nasrani
yang taat. Pengenalannya dengan dunia fotografi bermula sejak masa kecil , saat
ia diminta membuat foto keluarga olehnya ayahnya, kemudian ibunya
memberikan segala fasilitas untuk membuat foto dengan baik. Ayahnya seorang
militer yang membuat erik menjadi seseorang yang disiplin dalam pribadinya.
Masa kecil Erik selalu berpindah pindah tempat ketika berumur sekitar 17
tahun, ia pindah ke Bandung untuk kuliah, saat menjadi mahasiswa Jurusan
Tambang Institut Teknologi Bandung tepatnya tahun1977, ia aktif dalam gerakan
mahasiswa dan sempat menjadi Ketua Badan Perwakilan Anggota, sejenis badan
legistalif namun kegiatan tersebut tidak berlangsung lama dan erik beralih
kegiatan ke olah raga panjat tebing sambil mengembangkan hobi fotografi,
dengan latar belakang inilah kemudian erik menjadi kontributor khusus
petualangan di majalah Mutira, yang menyebabkan ia bertemu dengan para ahli
fotografi. Pertemuan dan penugasan dari jurufoto senior Ed Zoelverdi membuat ia
berkembang lebih jauh dan pada 1990 ia menekuni esai foto, terutama untuk
rubrik “kamera” majalah Tempo.
38
Pada tahun 1997 Erik pun sempat berkerja sebagai asisten pada jurufoto
dokumenter Sebastian Salgado1 fotografer asal Brazil yang banyak mempengaruhi
pemikirannya. Dalam perkembangannya, meskipun Erik bekerja di berbagai
bidang, termasuk bidang komersial, ia lebih dikenal sebagai jurufoto jurnalistik
dokumenter. Lebih dari 20 tahun Erik berkarya dan merekam dengan pendekatan
yang khas peristiwa dan keadaan di tahun- tahun yang penuh dinamika perubahan
sosial politik pada masyarakat.
Karya-karyanya sudah beredar melalui media cetak nasional serta
internasional.Erik saat ini berkerja sebagai fotografer lepas, kadang untuk berita,
komersil, atau memilih dan melakukan kerja yang diinginkan untuk kepentingan
pribadi. Sudah sejak lama Erik berkecimpung didunia jurnalistik yang memegang
teguh konsep kejujuran dan kebenaran dalam dunia foto jurnalistik, tidak ayal
kebenarannya terkait dengan sikap politik. Tentu saja pada massa reformasi Erik
tidak mempunyai kesempatan banyak untuk menyampaikan pendapatnya karena
situasi politik yang kacau pada waktu itu.
1Salgadolahirpada tanggal 8 Februari1944 di Aimorés, negara bagian Minas Gerais,
Brasil.Setelah berpindah- pindah, Salgado awalnya dididik sebagai seorang ekonom, mendapatkan
gelar master di bidang ekonomi dari University of SãoPaulo di Brasil.Dia mulaibekerja sebagai
seorang ekonomuntukInternational Coffee Organization, sering bepergian ke Afrika pada misi
untuk BankDunia, ketika ia pertama mulai serius mengambil foto. Dia memilih untuk
meninggalkan karir sebagai ekonom dan beralih ke fotografi pada tahun 1973, awalnya bekerja
pada tugasberita sebelum membeloklebih ke arah dokumenter.Salgado awalnya bekerjadengan
foto agen Sygmadan Gammayang berbasis di Paris, namun pada tahun 1979 ia bergabung dengan
perkumpulan fotografer internasional, Magnum Photos. Dia meninggalkan Magnum pada tahun
1994dan dengan istrinyaLeliaWanick Salgado membentuk lembaga sendiri, Amazonas Images, di
Parisuntuk mewakili karyanya. Ia sangat terkenal karenafotografi documenter sosialnya tentang
pekerjadi negara-negara berkembang. http://en.wikipedia.org/wiki/Sebasti%C3%A3o_Salgado,
diakses 10 Maret 2013
39
Erik Prasetya masuk dalam Photo Summit Indonesia 2007 bertema kota
dan masalah urban 2. Kemudian pameran foto-foto dari buku ini di rangkaian
acara Jakarta International Photo Summit 2010, buku Jakarta Estika Banal karya
Erik Prasetya masuk dalam pameran buku fotografi terbaik bersama Jerman,
Jepang, dan Indonesia yang dipamerkan atas kerja sama Goethe-Institut
Indonesien, Japan Foundation, dan Panna Foto Institute. Kemudian erik masuk
dalam fotografer yang berpengaruh di Asia, termasuk memperoleh penghargaan di
dunia fotografi dunia dalam Invisible Photographer Asia (IPA) serta masuk dalam
Jakarta Binale 2003.
Pemihakan atau pendekatan yang kritis ini adalah satu hal yang
ditekuninya hampir sepuluh tahun lebih, termasuk saat ia ikut serta dalam acara
fotografi internasional Art Connexion yang melibatkan juru foto dan kurator dari
Asia Tenggara, Australia, Selindia Baru, dan Jerman. Ia konsisten dan merekam
serta menghadirkan kembali masyarakat atau individu-individu yang menjadi
kerumunan dalam suatu kota, yang terasingkan oleh sistem.
Selain menjadi fotografer dan curator seni erik juga menjadi salah satu
pengajar di Institut Kesenian Jakarta dan beberapa sekolah serta workshop
fotografi untuk memberikan sebuah kontribusi terhadap perkembangan seni
khususnya fotografi.
B. Gambaran Buku Jakarta Estetika Banal
Jakarta Estetika Banal adalah sebuah buku fotografi yang diproduksi oleh
Dewan Kesenian Jakarta dan diterbitkan oleh penerbit Kepustakaan Populer
2 http://www.suaramerdeka.com/harian/0712/06/bud02.htm
40
Gramedia (KPG), buku ini adalah hasil karya Erik Prasetya selama 20 tahun
mengenai Jakarta tepatnya memotret kronik kota Jakarta dengan pendekatan
banalitas kehidupan sehari-hari yang dilakoni manusia-manusianya untuk
bertahan hidup.
Buku ini terdiri dari delapan bab, di mana setiap bab tidak berjudul, namun
ditandai oleh sepotong puisi yang memulai sebuah bab baru, foto terlama dalam di
buku ini dibuat tahun 1990 tak terlalu banyak buku foto yang bicara khusus
tentang ibu kota Jakarta, dan kemudian Erik mencoba membuat itu.
Kemudian buku ini terdiri dari 193 halaman dengan ukuran 240 x 300 mm
Estetika banal tidak memotret drama atau peristiwa besar melainkan
memotret hal-hal sehari-hari yang menjadi bagian kehidupan fotografer. Betapa
sebuah kota mempunyai kekurangan pengetahuan tentang kebutuhan dan
kemampuan yang nyata dari penduduknya, sehingga sebagian besar kebutuhan itu
tidak terpenuhi dan sebagian besar kemampuannya tidak disertakan dalam
membangun kotanya.
Kontras antara pencakar langit dan kampung kumuh tak harus selalu
dilihat dengan suram, sebab untuk sintas atau survive yang menjalaninya tidak
bisa melihatnya demikian suram. Kehidupan malam atau gairah belanja di mal
pun tak harus dimaknai sebagai kurang bermoral.Kemiskinan tidak perlu
dieksotisasi dan kekayaan tak perlu dianggap dekaden.Semua itu adalah bagian
yang menjalankan denyut Jakarta.3
3Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Jakarta:
2011. Tanpa halaman.
41
Estetika banal bebicara mengenai keindahan yang hambar dan biasa,
dalam buku ini berbicara mengenai sebuah pertentangan keindahan dan
kehambaran.kemudian Erik Prasetya menerapkannya pada Jakarta dengan
memberi pendekatan Jakarta Estetika Banal. Jakarta adalah sebuah kota yang
karut-marut.
Dalam wawancara dengan penulis, Erik Prasetya mengatakan bahwa
dalam konteks fotografi estetika banal yang mencoba mengekspolarasi kota
Jakarta dari kacamata pendekatan street photography atau dalam pengertian Erik
Prasetya memotret wajah manusia dan pergerakannya dalam kota. 4
Kondisi karut-marut kota Jakarta hemat Erik ialah, Jakarta kota yang
tidak dirancang untuk keindahan, tidak beda sama dengan kota-kota
lain, umpamanya kita dapat ambil contoh kota Paris atau London atau
kota-kota di Amerika Serikat, itu memang dirancang dengan keindahan
dan semua tertib, sehingga kota tersebut indah. Jadi, kalau mencari
sesuatu yang indah-indah di situ kita dengan mudah mendapatkannya,
berbeda dengan kota Jakarta yang tidak pernah dirancang seperti itu,
Jakarta ini menjadi ajang kepentingan demi kepentingan yang menang,
baik birokrat maupun pemodal, mereka membangun mall dan
infrastruktur lainnya yang sekendak mereka saja, sehingga nggak karu-
karuan, ancur-ancuran sesungguhnya, kota Jakarta ini. Nah kalau kita
mau mendekati dengan estetika yang mencari keindahan, ya gak dapet,
kamu kalah dibanding sama kota Singapura, lah ngapain? Emang gak
banyak yang indah di kota Jakarta ini, ngapain kita mendekati kota
Jakarta ini dengan estetika itu, ntar ada di tulisanku itu, kamu baca lagi,
itulah makanya aku merasa oh estetika keindahan, semata-mata
keindahan ini gak cukup. Kalo kita mau me.., me..,apa? Untuk
mendekati Jakarta, mau bikin rekaman tentang Jakarta, gak cukup kita
dengan mengandalkan itu, karena nanti dapetnya gak, gak bagus. Kita
cari taman-taman yang indah, loh dimana yang indah? Paling-paling
Monas, indah-indah amat juga nggak dibandingkan sama singapur dia
punya taman apa, taman apa yang bagus-bagus, ya gak bagus, loh
jadinya kan buat kapa kita menampilkan ini loh Jakarta yang Indah,
terus orang bilang, ya gak indah gitu mah, makanya pendekatan estetika
bukan keindahan, saya mau menggambarkan ini loh Jakarta yang hidup,
ada orang sikut-sikutan, ada orang tarik-menarik , atau ini, rebutan
4 Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG),
Jakarta: 2011. Hlm. Tanpa Halaman.
42
lapak, rebutan ruang publik, segala macem, hal-hal semacam itu lah,
nah ini yang saya harus dekati dengan suatu etetika yang lain, bukan
estetika yang mengutamakan keindahan, nanti kalo itu gak dapet,
makanya saya coba cari apa ya? Kira-kira estetika apa lagi yang bisa
dipakai untuk menggambarkan jakarta yang dinamis ini, yang
amburadul ini, yang ancur-ancuran ini, itu kira-kira,5
Dan pendekatan Erik untuk membuat proyek fotografi estetika banal
didasari oleh kondisi sosiologis dan kultural kota Jakarta seperti yang ia
ilustrasikan diatas.
Di dalam buku ini Jakarta digambarkan secara eksotis, maksudnya
keanehan, tidak biasa, dan bagi warga kota itu sudah menjadi hal yang lumrah
namun bagi masyarakat Barat menjadi sesuatu yang aneh, eksotik, misalnya
minum darah ular atau sabung ayam. Eksotis di sini juga bisa diartikan
menggambarkan kemewahan yang sewenang-wenang atau berlebihan, misalnya
memelihara harimau secara pribadi.Pendekatan eksotis juga mencangkup pada
wilayah kemiskinan, misalnya kehidupan pemulung Bantar Gebang.
Foto-foto demikianlah yang membuat masyarakat menjadi aneh dan tidak
memenuhi nilai-nilai sebuah peradaban yang telah ada khususnya Barat.Karena
bagi penduduk Jakarta, kemacetan di jalan raya, masalah sampah yang tidak
terurus, bukanlah hal yang eksotik. Semua itu adalah keseharian banyak orang,
sama sehari harinya dengan Kafe, Warteg, Restoran Padang, maupun Salon dan
Mall. Semua itu adalah hal yang banal dan tiada drama.
Pada detik yang luput inilah kamera mengabadikannya lewat sebuah
keindahan yang dianggap hambar itu.Estetika banal juga menjadi sebuah saksi
sebuah penanda peralihan dari abad analog ke abad digital.Foto-foto dalam buku
ini dibuat dengan film.
5 Wawancara dengan Erik Prasetya
43
Memotret estetika banal itu tidak mudah, sebab selera kita pada fotografi
dibentuk oleh voyeurisme kelas menengah Barat. Voyeurisme adalah kesenangan
mengintip orang lain. Fotografi, sering dibilang, adalah perpanjangan dari
kedoyanan mengintip.6
Kita tahu, fotografi film adalah teknologi yang cukup mahal, namun
sekarang paradigma itu telah bergeser karena fotografi memasuki era
digital.Fotografi bukan lagi teknologi mahal.Dalam kualitas standar atau sedikit di
bawah standar,foto bisa dibuat oleh siapa pun.Dengan kamera telepon yang murah
sekalipun.
Gambar pun diproduksi manusia, sebab memproduksi gambar nyaris tanpa
biaya lagi.Maka, orang tidak lagi memotret objek istimewa.Mereka boleh
memotret hal-hal yang banal.Dan hal banal yang paling mereka sukai.
Di tengah kondisi beginilah kondisi majemuk dan tumbuh berbagai
lingkungan masyarakat Jakarta mencoba menentukan gaya hidupnya yang sesuai
dengan lingkungan baru itu. Gaya hidup kota besar dan majemuk. Artinya suatu
gaya hidup yang cukup lentur dan liat dalam menghadapi tuntutan dan tekanan
kota besar, tetapi yang masih bisa ramah dengan tarikan dan ikatan yang sangat
kuat pula dari solidaritas masyarakat lama.7
Jakarta juga bukan kota yang cantik seperti kota kota besar dan maju di
Eropa seperti Paris dan Roma, namun sampai saat ini kota Jakarta berkembang
tanpa rencana yang dipatuhi. Sebuah kota yang berantakan dan Jakarta
membutuhkan pendekatan estetika sendiri, yang disebutnya sebagai “estetika
banal”. Dengan kata lain,hal-hal yang eksotis. Jakarta: Estetika Banal
6 Mengenai Voyeuristik telah saya jelaskan tentang voyeurism di halaman 11 Bab I
7 Umar Kayam. Seni, Tradisi, masyarakat. Sinar harapan. Jakarta. 1981. Hal : 124
44
menggambarkan keseharian kelas menengah: suasana di jalan,di mal,di kendaraan
umum,di kafe, dan lain lain, yang selalu terlihat tapi luput dari penglihatan.
Buku Jakarta Estetika Banal terdiri dari delapan bab yang setiap bab-nya
dibuka dengan puisi yang akan mengantarkan pembaca pada foto-foto karya
ciptanya sesuai dengan tema yang diusung dalam setiap bab-nya dan sebagaian
besar karya dimuat dengan pilihan warna hitam putih. Menurut Abduh Aziz dalam
sambutannya foto-foto yang dipotret Erik adalah foto-foto yang tidak semata-mata
mengagungkan kota, tetapi menghadirkan kota dari sudut pandang kritis. 8
Akhirnya buku ini tidak akan melihat eksplorasi narasi kecil, melainkan
satu rekaman narasi besar dari satu zaman tentang kota dan penghuninya yang
direkam dengen pendekatan yang khas, perbandingan antara keindahan dan
kejenuhan estetika banal dari sebuah kota Jakarta. 9
8 Abduh Aziz, “Pengantar Dewan Kesenian Jakarta; Kota Jakarta Dalam Rekaman”,
dalam Erik Prasetya, Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG),
Jakarta: 2011. Hlm. Tanpa Halaman. 9 Firman Ichsan “Eksplorasi Teori Estetika dan Metode Kerja”, dalam Erik Prasetya,
Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta: 2011. Hlm.
Tanpa Halaman
45
BAB IV
ANALISIS DATA FOTO
Buku Jakarta Estetika Banal merupakan karya Erik Prasetya yang
menghimpun mengenai perjalanan karirnya sebagai seorang juru foto dokumenter
selama hampir dua puluh tahun. Dalam buku tersebut Erik Prasetya merekam kota
Jakarta dengan segala dinamikanya dan perubahan-perubahan yang terjadi. Erik
Prasetya merekam kota Jakarta dengan pendekatan jurnalistik dokumenter yang
terinspirasi dari fotogarafer Sebastian Salgado mentor Erik dalam pemikiran dan
praksis fotografi.
Estetika banal dalam pandangan Erik merupakan sebuah tawaran, bukan
suatu keharusan, maksudnya ia menawarkan sebuah alternatif dalam pendekatan
fotografi.1 Bagi Erik, memang tidak banyak yang indah di kota Jakarta, mendekati
kota Jakarta dengan estetika yang cukup mengandalkan sisi keindahan kota
Jakarta, buat apa menampilkan keindahan Jakarta, pendekatan yang Erik pakai
ialah ingin menggambarkan kota Jakarta yang hidup, ada orang sikut-sikutan, ada
orang tarik-menarik, atau ini rebutan lapak, rubutan ruang publik, segala macam,
hal-hal inilah yang ia dekati dengan estetika lain, bukan estetika yang
mengutamakan keindahan melainkan dengan pendekatan estetika banal. 2
Buku Jakarta Estetika Banal terdiri dari delapan bab yang setiap babnya
dibuka dengan puisi yang mengantarkan kita ke foto-foto karya ciptanya. 3 Dalam
1 Wawancara dengan Erik Prasetya
2 Disarikan dari wawancara dengan Erik Prasetya
3 Abduh Aziz ―Pengantar Dewan Kesenian Jakarta; Kota Jakarta Dalam Rekaman‖,
dalam Erik Prasetya Jakarta Estetika Banal, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Jakarta: 2011.
46
buku ini terdapat sebanyak 131 foto dengan tema yang berbeda. tema-tema seperti
polusi udara, massa, ruang publik.
Dalam bab ini dianalisis dengan teori semiotika Barthes dengan
menganalisis makna denotasi, konotasi dan mitos dari foto-foto yang penulis
analisis. Disamping itu, teori Barthes tentang membaca foto dengan prosedur-
prosedur konotasi dalam membaca foto yang penulis kaji di bawah ini. Prosedur-
prosedur konotasi citra, yakni imposisi makna tingkat kedua pesan ikonik, dapat
direalisaiikan pada lapis-lapis produksi yang berlainan.
Prosedur yang dimaksud akrab dan tidak ada lagi yang akan dicoba di sini
dari pada untuk menerjemahkannya ke dalam istilah struktural. Agar benar-benar
tepat, tiga pertama (efek trik, berpose, benda) harus dibedakan dari tiga
(photogenia, estetika, sintaks), karena di bekas konotasi yang dihasilkan oleh
modifikasi dari realitas itu sendiri, dari, terakhir adalah, pesan yang dilambangkan
(persiapan tersebut jelas tidak aneh pada foto). Jika mereka tetap disertakan antara
prosedur konotasi, itu karena mereka juga mendapatkan keuntungan dari prestise
denotasi: foto itu memungkinkan fotografer untuk secara elusif menyembunyikan
persiapan yang ia adalah subyek adegan yang akan direkam.4
4 Roland Barthes, Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press. 1977. Hlm.21
47
A. Analisis Data Foto I
Jalan Sudirman November 1999 seorang perempuan yang menutup
hidungnya dari polusi kendaraan di salah satu halte di kawasan Sudirman.
1. Tahap Denotasi
Tahap denotasi adalah tahap pemaknaan pada lapisan pertama. Pemaknaan
dapat dipahami oleh pembaca tanpa harus melakukan penafsiran terlebih dahulu.
Tahap ini dapat dilihat secara jelas oleh mata.
Makna denotasi dalam data foto I:
Beberapa wanita menutup hidungnya menggunakan tisu
Di sampingnya (bagian kanan) dua kendaraan umum (bis umum)
Background (latar belakang) foto adalah gambar bayi tidur pada sebuah
Angkutan umum, rambu lalu lintas, dan jembatan penyebrangan.
48
2. Tahap Konotasi
Tahap konotasi adalah tahap dimana kita menghubungkan petanda-petanda
yang terdapat dalam foto dengan aspek kebudayaan secara umum, sehingga
tercipta sebuah makna dari foto tersebut.
2.1 Trick Effect (Manipulasi Foto)
Fotografer menggunakan lensa medium. Hal tersebut terlihat dari
komposisi gambar yang padat, dimensi gambar yang tercipta dari wanita yang
menutup hidung seperti terlihat dekat dan berjejer kemudian fotografer menaruh
gambar anak tertidur lelap ada sebuah bus seperti sejajar dengan para wanita yang
menutup hidung hidung.
2.2 Pose
Fotografer ingin menampilkan pose warga kota yang terkena polusi hal
tersebut terlihat dari cara warga kota menutup hidung mereka di saat kendaraan
umum melintas yang menjadi keseharian warga kota Jakarta dengan bus kota
sebagai menyuplai zat polutan serta tatapan para wanita tersebut mengarah ke
depan seakan menunggu bus dengan kondisi badan berdiri pada trotoar di bawah
jembatan penyebrangan.
2.3 Objek
Pemilihan objek dalam foto tersebut adalah wanita menutup hidungnya
dengan tissu, sehingga tisu menjadi sebuah simbol kemudian tulisan air dalam
bahasa inggris yang diartikan sebagai udara, maka foto tersebut membentuk
sebuah persepsi tetang kondisi udara akibat asap kendaraan umum.
49
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Jika ditinjau dari tehnik pengambilan gambarnya, yang tampak dalam data
foto pertama terlihat bahwa foto pemandangan diambil di luar ruangan, sehingga
hanya mengandalkan cahaya alami (available light) yaitu matahari. Angle yang
digunakan adalah medium level, yaitu posisi kamera fotografer sejajar dengan
objek. Dilihat dari gerak bus kota tersebut menggunakan speed 1/100.
Menggunakan diafragma f 7 serta ISO 400 dimana para wanita serempak menutup
hidungnya. Terlihat latar belakang bus, orang-orang yang menunggu dengan
menutup hidung, rambu-rambu, jembatan penyebrangan.
2.5 Aestethicism
Unsur estetika pada fotografi biasanya meliputi Black and White serta
tonal tonal range, kontras, subjek, kontras film, kontras negative, lensa, sudut,
dsb. Sedangkan dalam fotografi estetika banal meliputi Gerak, komposisi yang
mengejutkan yang diperoleh dari fotografi merekam dalam kecepatan, tidak
hirarkis.
Dari foto diatas menunjukan sebuah komposisi yang mengejutkan dengan
ekspresi wajah para wanita yang tidak nyaman dan beriringan menutup hidung
mereka menggunakan tisu, kemudian terdapat sebuah penjajaran (juktaposisi)
antara wanita tersebut dengan sebuah gambar bayi serta tulisan air yang terletak
pada sebuah bus.
Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal, dan dapat
menyampaikan keadaan emosi dari seseorang kepada orang yang mengamatinya.
Ekspresi wajah merupakan salah satu cara penting dalam menyampaikan pesan sosial
dalam kehidupan manusia.
50
2.6 Syntax
Foto tersebut merupakan representasi dari sebuah kota dengan polusi
tertinggi, yang ditandai dengan gerakan serta ekspresi para calon penumpang
angkutan umum khususnya wanita yang menutup hidung mereka dengan tisu
secara serempak.
Rangkaian foto tersebut saling mengisi antara wanita yang berjejer
menutup hidungnya secara bersamaan dengan tisu, dengan cara berpaikaian ia
menandakan pekerja kantoran serta ada cara berpakaian yang berbeda antara
wanita yang di depan dengan yang dibelakangnya itu menandakan akan ada era
baru dan trend fashion pun akan berubah.
Dilihat dari cara berpakaian dari wanita yang bejejer antara yang depan
(baju hitam) dengan yang belakanganya (kemeja kotak dengan lengan yang
digulung/lipat) itu menandakan ada sebuah era yang berbeda antara keduanya atau
lebih tepatnya merupakan sebuah tanda bahwa era yang baru akan dimulai dalam
dunia berpakaian atau fasion, terhadap para pekerja kantoran khususnya wanita.
Fashion tersebut menandakan betapa berbedanya cara orang berpakaian
dengan pengaruh masyarakat sekitar, menunjukan status sosial dia serta
profesinya sebagai pegawai kantoran (pekerja kantor) pada waktu itu, kemudian
cara berpakaian dalam foto ini menunjukan ada sebuah petanda yang akan
memasuki abad atau era baru yang ditandai dengan baju hitam cara berpakaian era
2000 Abad (ke -21) sedangkan yang orang yang berada belakangnya dengan
kemeja yang digulung merupakan cara berpakaian era 1990-an Abad (ke 20), dan
foto tersebut menjadi saksi di pengunjung era 1990 tepatnya pada bulan november
1999 sebuah era pembangunan pasca reformasi 1998.
51
3. Mitos
Teori mitos dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik
atas ideologi budaya massa (budaya media). Mitos mengambil sistem semiotik
tingkat pertama sebagai landasannya sehingga mitos merupakan sistem semiotik
yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik. Roland Barthes menyebut
mitos sebagai cara berbicara yang baru (a new type of speech).
Dalam foto ini digambarkan sebuah perempuan yang menutup hidungnya
karena asap kendaraan bermotor yang melintas disampingnya. Kota Jakarta
dikenal sebagai kota menyuplai polusi udara terbesar di Indonesia. Analisa Bank
Dunia, menempatkan Kota DKI Jakarta sebagai kota ketiga berpolusi udara
terburuk setelah Meksiko, Bangkok dan Thailand. Upaya penilaian udara terbersih
dan terbersih terhadap kota-kota di dunia ini dilakukan oleh bank dunia sejak lima
tahun lalu. Kondisi itu, sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi udara Jakarta saat
ini. Masih berdasarkan laporan Bank Dunia, kerugian dari buruknya kualitas
udara di tahun 1990 mencapai 62 juta US dollar. Jika kondisinya memburuk di
tahun ini, maka di tahun 2008 mendatang, kerugian yang akan diderita bisa
mencapai 222 juta US dollar. 5 Bahkan baru-baru ini, sebuah rilis Komite
Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menunjukkan pencemaran udara
membuat 1,2 juta orang berobat karena mengidap infeksi saluran pernafasan atas
(ispa), asma serta penyakit pernafasan lainnya. Selain itu control terhadap
kualitas bahan bakar minyak pun belum maksimal. 6
5 www.indosiar.com/ragam/motor-penyebab-polusi-udara-_58530.html, diakses 6 Mei
2013 6 Pencemaran Udara Perkotaan Jadi Masalah Serius, Selasa, 18 Desember 2012,
http://www.suarapembaruan.com/home/pencemaran-udara-perkotaan-jadi-masalah-serius/28328,
diakses Senin, 6 Mei 2013
52
B. Analisis Data Foto II
Pasar Baru, 1997 Kerumunan orang yang berada di halte pada siang hari.
1. Tahap Denotasi
Tahap denotasi adalah tahap pemaknaan pada lapisan pertama. Pemaknaan
dilakukan secara deskriptif dan literal serta dapat dipahami oleh pembaca tanpa
harus melakukan penafsiran terlebih dahulu. Tahap ini dapat dilihat secara jelas
oleh mata. Pada foto ini diambil dari dalam mobil, makna denotasi dalam data
foto II:
Sebelah kiri foto berjajar dua orang wanita dan salah satunya memegang
kepalanya dengan kedua tangannya dan dibelakangnya tampak beberapa
kerumunan warga (laki-laki) yang sedang melihat barang dagangan kaki
lima.
Gagang pegangan tangan pada sebuah mobil
Foto ditengah tampak seorang laki-laki paruh baya
Foto disamping kanan tampak warga berkerumun dan ada yang memakai
payung untuk melindunginya dari terik matahari siang
53
Latar belakang tampak pertokoan dengan senuah reklame merek sepatu.
2. Tahap Konotasi
Tahap konotasi adalah tahap dimana kita menghubungkan petanda-petanda
yang terdapat dalam foto dengan aspek kebudayaan secara umum, sehingga
tercipta sebuah makna dari foto tersebut.
2.1 Trick Effect (Manipulasi Foto)
Fotografer mengambil foto di dalam mobil dan orang-orang diluar seakan-
akan menunggu kendaraan. Hal tersebut ditunjukkan dari framing kaca dan
gagang tangan di dalam mobil yang menunjukkan menunggu sebuah angkutan
umum saat fotografer mengambil gambar.
2.2 Pose
Fotografer ini menyampaikan kerumunan warga yang kebingungan saat
menunggu kendaraan umum tanpa adanya sebuah halte yang memadai, terlihat
bagaimana satu dengan yang lainya saling memandang dan menatap kemudian
tangan wanita yang berada dibagian kiri dengan gerakan tangan mengumpat dan
ekspresi wanita yang memagang kepala seakan akan pusing serta deetan warga
yang lainya memegang hidung, membawa payung dan lainya yang menjadi
sebuah kerumunan antara menuggu dengan rasa kepanasan dan membosankan
yang hampinya semua warga berdiri di trotoar.
2.3 Objek
Pemilihan objek terdiri dari tiga bagian dari komposisi gambar yang
membentuk framing gambar yakni objek foto berada diluar ruangan terutama
wanita yang menunggu kemudian gagang pegangan tangan pada sebuah mobil
dan penggunaan payung pada pada siang hari sehingga seolah olah para warga
54
menunggu sebuah angkutan umum pada siang hai dengan panasnya terik matari
tanpa adanya halte .
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Foto tersebut menggambarkan kondisi di siang hari yang panas terik.
Warga menunggu di sebuah trotoar jalan. Fotografer menggunakan diafragma
tinggi sekitar f 10. Menggunakan speed 1/200 karena momen yang ditangkap
membeku dan fotografer mengambil gambar dalam kendaraan yang bergerak.
Menggunakan ISO 200. Foto tersebut menggunakan teknik framing dengan objek
di celah-celah kaca mobil dan angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi
kamera fotografer sejajar dengan objek.
2.5 Aestethicism
Keindahan foto tersebut teletak pada ekspresi tangan warga yang
memegang kepala kemudian ditambah dengan gangang pegangan tangan yang
seolah olah menimbulkan pesepsi warga butuh pegangan agar tidak pusing dan
butuh halte tidak kepanasan, foto tersebut berkaitan agar warga yang kepanasan
dan menunjukkan sebuah komposisi framing yang paralel dengan kondisi fasilitas
umum di kota Jakarta khususnya ditempat-tempat umum dimana keberadaan halte
yang dibutuhkan warga kota tidak sesuai yang diharapkan dan bahkan dalam foto
ini dapat dilihat warga yang menunggu kendaraan umum tidak berada di sebuah
halte yang sebagaimana mestinya.
2.6 Syntax
Rangkaian foto yang diambil dari dalam mobil memperlihatkan sebuah
kesatuan yang dialami oleh warga kota dalam menjalani rutinitas hariannya.
Dimana dalam foto tersebut menggunakan sebuah simbol trotoar, gagang mobil,
55
serta payung dan kerumuman yang serta simbol pasar baru yang dipersepsikan
denagn sebuah papan reklame merek sepatu terkenal. Kondisi kota Jakarta yang
panas tanpa didukung oleh fasilitas umum yang memadai ditambah semakin tidak
tertatanya kota Jakarta, warga memegang kepalanya dari terik matahari,
menggunakan payung, cahaya di siang hari yang terlihat di salah satu punggung
warga juga di badan mereka dan kerumuman warga terutama pada pusat
perbelanjaan yang menunggu kendaraan umum.
3. Mitos
Teori mitos dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik
atas ideologi budaya massa (budaya media). Mitos mengambil sistem semiotik
tingkat pertama sebagai landasannya sehingga mitos merupakan sistem semiotik
yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik. Roland Barthes menyebut
mitos sebagai cara berbicara yang baru (a new type of speech).
Foto ini memberikan sebuah gambaran mengenai kondisi umum kota
Jakarta yang semrawut dan panas ditambah kurang tertatanya fasilitas umum
seperti halte bagi warga yang menunggu kendaraan umum. Dalam foto ini
memperlihatkan sebuah rutinitas dan aktifitas warga kota di pusat perbelanjaan
ibukota di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat dengan keramaian warga yang
menunggu kendaraan umum pada siang hari. Persoalan klasik ibukota berupa
fasilitas umum dan kendaraan umum menjadi momok yang belum tuntas
ditangani oleh Pemda DKI. Baru-baru ini, Pemprov DKI Jakarta dalam Program
Pembangunan Daerah (Propeda) yang dirilis oleh Bappeda DKI Jakarta tentang
pembangunan sarana dan prasarana kota, disitu dicantumkan tiga program
mengenai Perhubungan diantaranya (1) Program Pengembangan Jaringan Jalan
56
dan Jembatan, (2) Program Pengembangan Sarana dan Fasilitas Perhubungan dan
(3) Program Pengembangan Pelayanan Angkutan Umum. Dalam program ini
bertujuan meningkatkan kapasitas dan kualitas perhubungan termasuk persoalan-
persoalan yang tergambar di foto ini berupa ketiadaan fasilitas halte
pemberhentian dan angkutan umum yang baik. 7
C. Analisis Data Foto III
Kampung Melayu, Februari 1996, Banjir menggenangi di sebuah jalanan di
daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur.
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi dalam data foto III adalah:
Anak-anak dan beberapa orang dewasa lainnya
Genangan Air
Sebuah Kopaja yang terendam
7 Propeda Propinsi DKI Jakarta 2002-2007,
http://bappedajakarta.go.id/download/propeda/Propeda_BAB11.pdf, diakses 6 Mei 2013
57
Mobil Minibus yang terendam
Latar Belakang sebuah ruko,menara dan tiang listrik
2. Tahap Konotasi
2.1 Trick Effect (manipulasi foto)
Dalam foto tersebut fotografer melakukan teknik pemotongan gambar agar
terlihat lebih padat dan hal tersebut membuat degradasi gambar air yang
membentuk gelombang yang berada di depan anak anak .
2.2 Pose
Pose dalam foto tersebut yakni sebuah keriangan anak-anak saat terjadinya
banjir dan bermain di genangan banjir dan menaiki atas Kopaja yang terjebak
banjir. Seakan-akan atap kendaraan umum (Kopaja) menjadi tempat berlindung
karena banyaknya orang-orang menaiki atap kopaja tersebut dari luapan banjir.
2.3 Objek
Pemilihan objek foto adalah sekumpulan anak-anak yang bermain pada
genganan air angkutan kopaja yang di naiki warga serta dengan latar belakang
yang mendukung seperti gedung, tiang listrik serta menara atau pemacar yang
menajdi sebuah simbol pembangunan.
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer
sejajar dengan objek. Menggunakan speed 1/100 ISO 200 f 8 kemudian difoto
pada siang hari dengan suasana mendung dengan kondisi banjir.
2.5 Aestethicism
Aestethicism dalam foto tersbut yakni ekspersi para anak anak yang riang
saat bermain banjir yang menimbulkan gelombang gelombang air para dan
58
fotografer menunjukkan bahwa banjir tidak hanya dimaknai sebagai bentuk
musibah warga kota melainkan menjadi ruang bermain anak-anak yang kian
terbatas di ibukota saat banjir pun riang gembira .
2.6 Syntax
Hubungan yang ada dalam foto tersebut yakni sebuah gelombang air
akibat anak anak bermain dengan latar belakang tiang listik yang menimbulkan
peesepsi seolah seolah sebenarnya mereka bermain dalam keadanaa bahaya
namun mereka namun mereka riang gembira menjalaninya, kemudian di jalan
raya adanya angkutan umum serta kendaraan pribadi yang terendam banjir dan
dikaitkan dengan menara pemancar menandakan lumpuhnya akses warga baik lalu
lintas dan sebagainya akibat banjir tersebut. Latar belakang gedung bertingkat
yang diduga rumah warga menandakan menjadi sebuah solusi alternatif bagi
warga jakarta untuk menghindari genangan banjir.
3. Mitos
Foto merepresentasikan kondisi lingkungan kota Jakarta yang yang
menjadi langanan bencana banjir dan menjadi rutinitas tahunan bahkan 5
tahunan, Lantas, kondisi demikian, tidak melulu membuat masyarakat stres
menghadapinya melainkan tertawa riang dimana foto ini merepresentasikannya.
Secara geografis, Jakarta adalah kota yang berada di delta dan rentan
terhadap banjir. Dalam catatan sejarah, sejak tahun 1621 terjadi banjir besar di
Jakarta, kemudian disusul tahun 1654, 1873 dan tahun 1918 pada zaman kolonial.
Pada periode akhir, banjir besar sempat terjadi pada tahun 1979, 1996, 2002, 2007
dan belum lama ini akhir tahun 2012 atau awal 2013. Banyak warga Jakarta yang
percaya, banjir besar yang melanda Ibu Kota terjadi dalam siklus lima tahun
59
sekali. Entah kapan tepatnya warga Jakarta mengenal istilah 'mitos banjir lima
tahunan', yang jelas ungkapan itu kerap digunakan sejak banjir besar melanda Ibu
Kota pada 1996, 2002, dan 2007. Dan hal ini diperkuat dengan banjir yang terjadi
di awal tahun 2013.8
D. Analisis Data Foto IV
Sisa Kebakaran di Pejompongan, 1997.
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi dalam data foto IV adalah:
Seorang Pria
Reruntuhan Bangunan
Gedung Bertingkat
8 http://www.merdeka.com/jakarta/mitos-banjir-5-tahunan-jakarta.html
60
2. Tahap Konotasi
2.1 Trick Effect (manipulasi foto)
Fotografer ingin menyampaikan sebuah gambar seorang pria yang
rumahnya kebakaran seakan akan dekat dengan gedung pencakar langit dengan
menggunakan trik pada lensa kamera yang di zoom.
2.2 Pose
Seorag pria yang diduga korban kebakaran duduk dan melihat kebawah
tepatnya puing yang jatuh ke tanah sambil termanggu mengenai dampak
kebakaran yang sering terjadi di ibukota dengan puing-puing kebakaran
bersamaan berdiri tegak sebuah gedung pencakar langit.
2.3 Objek
Pemilihan objek foto tersebut yakni seorang pria duduk dengan baju diikat
pada leher lengkap dengan menggunakan sepatu serta celana, kemudian sisa puing
puing bangunan pasca kebakaran serta gedung bertingkat.
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer
sejajar dengan objek. Foto menggunakan speed 1/100 menggunakan diafragma
16 ISO 200 dengan lensa 80mm kemudian proses pengambilan gambar pada siang
hari.
2.5 Aestethicism
Foto tersebut menyampaikan sebuah narasi tentang kota Jakarta yang
sering dilanda kebakaran sepanjang tahunnya dan digambarkan eksprsi sesok pria
yang duduk termangu pada reruntuhan puing-puing kebakaran kemudian terlihat
latar belakang ada sebuah gedung pencakar langit.
61
2.6 Syntax
Foto yang memperlihatkan sebuah sisi pilu dalam kehidupan Jakarta di
mana seorang pria duduk termangu diatas reruntuhan puing kebakaran yang ia tak
mampu kuasai dan tampak sebuah hubungan yang sangat kontras dimana foto
memperlihatkan sebuah gedung pencakar langit yang megah berdiri.
3. Mitos
Kebakaran di ibukota Jakarta telah menjadi rutinitas yang begitu akrab di
benak warga kota, Angka kebakaran yang terjadi di Jakarta mulai Januari sampai
dengan 27 Desember 2012 mencapai angka 1.008 kejadian.9 Angka tersebut
merupakan angka terbesar yang menjadikan mitos kota Jakarta sebagai kota sering
mengalami kebakaran. Pengamat tata kota, Yayat Supriatna menambahkan,
fenomena kebakaran di Jakarta ini sudah kaya arisan, tinggal gantian saja tempat
mana yang kebakaran. 10
E. Analisis Data Foto V
Sebuah angkutan perkotaan Metro Mini yang penuh sesak oleh
penumpang yang membludak.
9http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/28/02232122/Selama.2012..Terjadi.1.008.
Kebakaran.di.Jakarta 10
http://jakarta.okezone.com/read/2012/07/24/500/667639/kebakaran-di-jakarta-seperti-
arisan
62
1. Tahap Denotasi
Tahap denotasi adalah tahap pemaknaan pada lapisan pertama. Pemaknaan
dilakukan secara deskriptif dan literal serta dapat dipahami oleh pembaca tanpa
harus melakukan penafsiran terlebih dahulu. Tahap ini dapat dilihat secara jelas
oleh mata.
Makna denotasi dalam data foto II adalah:
Sejumlah orang beregelantungan.
Beberapa orang duduk
Kaca
Angkutan umum metro mini
Ban Mobil .
2. Tahap Konotasi
2.1 Trick Effect (Manipulasi Foto)
Jarak fotografer dengan objek foto terlalu dekat. Sehingga bagian depan
mobil angkutan umum terpotong. Fotografer menggunakan lensa medium di
tambah flash hari karena malam dan itu terlihat dari pantulan flash pada kaca
mobil.
2.2 Pose
Fotografer ingin menampilkan pose para penumpang angkutan umum
yang semerawut dengan bergelantungan di pintu serta penuh sesak, ada
penumpang yang berdiri bergelantungan di pintu bus serta beberpa penumpang
duduk sambil termenung di dalam bus akibat sesaknya penumpang di dalam bus.
Kondisi kendaraan umum yang sudah tidak layak lagi ditumpangi dan para
63
penumpang yang sangat beredesakan sampai diluar pintu belakang dengan
memanfaatkan sudut agar kakinya dapat menopang badanya meskipun itu sangat
sulit.
2.3 Objek
Pemilihan objek dalam foto tersebut adalah warga ibu kota yang
berdesakan di dalam angkutan umum, hal tersebut bernama terlihat jelas ada
sebuah tulisan Metro Mini yang terpasang di angkutan umum tersebut, ditambah
kondisi badan mobil menjadi turun menyentuh ban akibat bantalan per atau shock
bekker tidak mampu menahan beban penumpang yang ada.
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Pencahayaan sangat kurang karena pada malam hari, fotografer
menggunakan bukaan rana besar f 3,5 – 5,6 sehingga cahaya yang masuk banyak
dan menggunakan shutter speed tinggi, di atas 1/100. Speed tinggi itu terlihat dari
bagaimana ekspresi para penumpang yang terekam serta gerakan yang begitu
cepat. Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer
sejajar dengan objek.
2.5 Aestethicism
Fotografer ingin memperlihatkan kondisi penumpang yang penuh sesak
dan berlebihan, angkutan umum yang tidak layak untuk digunakan serta
kapasistas penumpang yang berlebihan namun mereka tetap memaksa tanpa
memeikirkan resikonya, bahkan terlihata ada bebrapa warga yang bergelantungan
di pintu tertawa serta ekspresi para penumpang yang lainya.
64
2.6 Syntax
Sebuah komposisi foto yang menarasikan kepadatan di sebuah angkutan
umum Metro Mini yang sudah menjadi rutinitas warga kota dalam beraktifitas
dengan menggunakan kendaraan umum walaupun penuh sesak namun dalam foto
ini tergambarkan keceriaan ketika mereka sadar di foto dan sebagian besar mereka
menghadap kamera. Terlihat foto orang-orang yang di dalam kendaraan umum
ini yang berdempetan penuh sesak dan penumpang yang duduk seolah-olah
menikmati perjalanan bahakan terlihat seperti ada salah satu penumpang yang
seakan akan tertinggal di belakang bus dan terpkasa naik dibelakang.
3. Mitos
Metro Mini sangat terkenal di kawasan Jakarta hal tersebut dikarenakan
Metro Mini merupakan salah satu angkutan murah di Jakarta. Metro Mini juga
terkenal akan kebrutalan supirnya yang ugal ugalan yang menjadikan Metro Mini
sebagai raja jalanan ibu kota. Meskipun begitu, Metro Mini tetap merupakan salah
satu jenis angkutan terpopuler di Jakarta.
F. Analisis Data Foto VI
Segitiga Senen, September 2001
65
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi dalam data foto VI adalah:
Dua pria di depan dalam kendaraan
Bergai macam kendaraan
Lampu penerangan jalan
Gendung Bertingkat
Seorang yang berjalan diantara kendaraan
Kabel
Tower Pemancar
2. Tahap Konotasi
2.1 Trick Effect (manipulasi foto)
Manipulasi dalam foto tersebut yakni fotografer melakukan pemotongan gambar
sehingga gambar terlihat padat kemudian fotografer mengarahkan lampu flash ke udara
untuk mendapatkan efek cahaya yang rata .
2.2 Pose
Fotografer menyampaikan sebuah foto tentang bebrapa kendaraan yang
terjebak kemacetan kemudian ada dua pengendara atau pengemudi tyang berada
di dalam kendaraan yang duduk termenung, sementara ada seorang lelaki yang
berjalan diantara kemacetan.
2.3 Objek
Pemilihan objek dalam foto tersebut yakni kendaraan yang terjebak
kemacetan seperti kendaraan umum: Bajaj, Taxi, Serta Bus kota dan beberapa
kendaraan pribadi lainnya. Lampu penerangan juga ikut dalam pemelihan objek.
66
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer
sejajar dengan objek. Foto ini menggunakan speed 1/50 dengan menggunakan
flash (tambahan lampu) diafargma f 3.5 ISO 800. Di foto pada malam hari di jalan
raya.
2.5 Aestethicism
Unsur keindahan fotografi yang terdapat dalam foto tersebut yakni
bagaimana jejeran kendaraan terjebak kemacetan, ekspresi yang keluar dari
pengemudi terlihat merenung memikirkan sesuatu, lelah nampak terlihat dari raut
wajah para pengemudi tersebut.
2.6. Syntax
Hubungan yang berada dalam foto tersebut yakni dua pengemudi yang
berada di dalam kendaraan dan ikuti kendaraan lainya yang terjebak kemacetan
seperti kendaraan umum, ada seseorang berjalan ditengah kemacetan sehingga
menimbulkan sebuah persepsi terjadi kemacetan yang cukup parah sehingga
warga memilih jalan kaki dari pada menggunakan kendaraan.
Lampu penerangan jalan yang menyala menandakan situasi tersebut terjadi
pada malam hari dan dipersepsikan pada jam pulang kerja di mana kendaraan
mulai serentak keluar bersamaan dengan para karyawan. Data dari departemen
transportasi di Jakarta , menunjukkan bahwa ada peningkatan pada jumlah
kendaraan di Jakarta sekitar 11 persen per tahun sementara peningkatan jalan
67
hanya 1%. Dari total jumlah kendaraan di Jakarta sekarang sekitar 4,9 juta, 2,8
juta adalah kendaraan roda dua dan 2,2 juta adalah roda empat.11
3 Mitos
Pembentukan sebuah makana mitos daam foto tersebut menjadikan kota
Jakarta menjadi kota semerawut dengan kondisi lalu lintas macet, kemacetan
menjadi salah masalah penyebab di kota kota besar khusunya Jakarta
Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan
terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan
melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutama
yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga
tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk,
misalnya Jakarta. Kemacetan lalu lintas menjadi permasalahan sehari-hari
di Jakarta.12
Bayangkan karena macet kata Kanti berdasarkan data Dewan Transportasi
Kota Jakarta (DTKJ) tahun 2013, kerugian ekonomi mencapai Rp 128 triliun per
tahun atau sama dengan dua kali APBD DKI. Di luar kerugian ekonomi, macet
menyebabkan stress tinggi, belum lagi ditambah polusi. Jakarta menjadi kota
beraura negatif yang tidak produktif.13
11
http://dreamindonesia.wordpress.com/2012/04/20/inilah-10-kota-paling-macet-parah-di-dunia/ diakses 30 Januari 2014
12 http://id.wikipedia.org/wiki/Kemacetan diakses pada 30 Januari 2014
13 http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/01/29/macet-kota-jakarta-harus-
dihilangkan-dengan-cara-yang-ekstrem diakses 30 januari 2014
68
G. Analisis Data Foto VII
Bergelantungan di dalam Kereta Jabotabek jurusan Bogor, 1992
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi dalam data foto VII adalah:
Penumpang Kereta Api
Kipas Angin (Blower)
Tangan
Tiang gantungan
Lampu
Kaca mata penumpang
2. Tahap Konotasi
2.1 Trick Effect (manipulasi foto)
Fotografer menggambarkan sebuah tangan yang bergelantungan di tiang-
tiang dalam gerbong kereta api dengan kondisi yang padat serta terlihat
bagaimana fotografer membuat kondisi dalam gerbong menjadi shaking.
69
2.2 Pose
Fotografer menyampaikan sebuah kepadatan penumpang yang terjadi di
sebuah gerbong kereta api dimana tangan-tangan penumpang bergelantungan
memegang tiang dengan kondisi berdiri dan padat.
2.3 Objek
Pemilihan objek dalam foto tersebut yakni tiang peyangga dalam gerbong
kereta api tersebut dan tangan tangan penumpang yang bergelntungan serta kipas
angin yang rusak kemudian ada sebuah objek yang menarik yakni ada sebuah
kaca mata penumpang yang terhimpit serta lampu penerangan gerbong yang
menyala
.
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Angle yang digunakan adalah high angle, yaitu posisi kamera fotografer
yang lebih tinggi dari objek (penumpang KA). Foto ini menggunakan speed 1/30
ISO 1/800 menggunakan diafragma f 8. Di foto di dalam gerbong KA pada malam
hari.
2.5 Aestethicism
Dalam foto tersebut fotografer menggambarkan kondisi dalam kereta api
yang penuh sesak dan ada salah satu penumpang yang menggunakan kaca mata
terhimpit diantara penumpang yang lainnya serta ada sebuah kipas angin sebagai
fasilitas yang belum memadai. Kondisi sesak digambarakan erik dengan
kepadatan penumpang ditambah ekspresi para penumpang yang lesu serta langit
langit gerbong terlihat seperti fatamorgana atau semu yang terlihat shaking.
70
2.6 Syntax
Foto yang memperlihatkan hubungan antara padatnya penumpang kereta
api dengan sebuah kipas angin yang rusak serta kurang memadai, kondisi tangan
penumpang yang bergelantungan dengan sesak terlihat goyang dimana langit
langi gerbong terlihat shaking, lampu yang menyala menandakan bahawa kondisi
tersebut pada malam hari tepatnya jam pulang kantor.
3. Mitos
Sejak dulu, kereta api sudah identik sistem transportasi massal. Umumnya
orang menganggap kereta api sebagai layanan publik, Di Indonesia, kereta api
juga banyak dikenal sebagai alat transportasi rakyat. Daya tampungnya lebih
besar, disamping harganya yang relatif terjangkau, menjadikan kereta api sebagai
kendaraan favorit rakyat. Tidak punya uang sekalipun, asalkan nekat, bisa gratis.14
Kereta Api (KA) Jabotabek telah menjadi moda transportasi yang utama
bagi warga Jabotabek sehingga arus pengguna moda transportasi ini semakin
bertambah banyak seiring perpindahan penduduk ke daerah pinggiran ibukota
namun berbanding terbalik dengan fasilitas yang tersedia baik di dalam KA itu
sendiri maupun di stasiunnya belum lagi soal keamanan dan ditambah buruknya
kualitas layanan KA bagi pengguna jasa transportasi ini. Menurut Wikipedia saat
ini KA Jabotabek disebut dengan KA Commuter Line Jabodetabek—adalah jalur
kereta rel listrik yang dioperasikan oleh PT KAI Communter Jabodetabek. KRL
Jabotabek telah beroperasi sejak tahun 1976, yang melayani rute komuter di
wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Serpong, dan Parung Panjang.
KRL yang melayani jalur ini terdiri dari dua kelas, yaitu kelas ekonomi dan kelas
14
.http://www.berdikarionline.com/opini/20121214/kereta-api-yang-tak-lagi-
merakyat.html
71
commuter line yang menggunakan pendingin udara. Jalur komuter Jabodetabek
melewati beberapa stasiun besar seperti Jakarta Kota, Gambir, Gondangdia,
Jatinegara, Tanah Abang, Pasar Senen, dan Manggarai. 15
H. Analisis Data Foto VIII
Jalan Sudirman, 2001, Sebuah Billboard Iklan Rokok di Kawasan Jalan
Sudirman Pada Malam Hari
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi dalam data foto VIII adalah:
Kilatan cahaya dari lampu kendaraan bermotor.
Sebuah billboard atau reklame dengan gambar orang berselancar dan ada
gambar rokok.
15
KA Commuter Jabodetabek, http://id.wikipedia.org/wiki/KA_Commuter_Jabodetabek,
diakses 6 Mei 2013
72
Latar belakang gedung bertingkat.
2. Tahap Konotasi
2.1 Trick Effect (Manipulasi Foto)
Dalam foto ini tergambarkan cahaya yang berjalan seperti ombak atau arus
air dengan latar belakang papan reklame seorang yang sedang berselancar seakan-
akan orang yang berselancar tersebut ada kaitannya dengan cahaya lampu
kendaraan bermotor kemudian lampu penerang kendaraaan seperti buah yang ada
dalam pepohonan.
2.2 Pose
Terlihat gerakan kendaraan bermotor yang diwakili oleh lampu yang
terlihat panjang dan gerakan orang yang menggunakan papan selancar pada
reklame sambil melihat ke arah kanannya seperti melihat lampu penerang jalan
yang berada pada tiang jalanan ibu kota.
2.3 Objek
Lampu pada sebuah gedung bertingkat, kemudian lampu penerang jalan
serta lampu kendaraan bermotor yang meanandakan ada sebuah kehidupan
dikawasan tersebut meskipun pada malam hari, ada kilatan cahaya yang berasal
dari lampu kendaraan bermotor, lampu ditiang gantung, billborad sebuah iklan
rorok dengan model berselancar dan latar belakang gedung bertingkat.
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer
yakni vertikal sehingga hasil foto menjadi tegak . Lensa yang digunakan lensa
wide dengan bukaan lensa f 10 ISO 100 speed 0.30.
73
2.5 Aestethicism
Fotografer ingin memperlihatkan rutinitas di sebuah jalan utama ibukota
pada malam hari dengan komposisi gambar yang dihasilkan menjadi vertikal
karena erik ingin melihatkan keindahan lampu lampu kendaraan ibu kota, yang
menajadi seuah simol kehidupan, begitu juga dengan papan billboard iklan rokok
yang tepasang seakan tepat posisinya.
2.6 Syntax
Foto tersebut mengartikan betapa masih ada kehidupan malam di ibu kota
jakarta yang ditandai dengan adanya kilatan cahaya dari kendaraan bermotor,
begitu juga dengan papan reklame ikklan rokok yang terpasang di ibu kota
Jakarta, kaitan antara lampu kendaraan kemudian papan reklame dan gedung
bertingkat mempunyai arti pembangunan yang ada di kota jakarta berjalan 24
jam tiada henti, kota yang selalu ramai dan tidak pernah mati. Kota Jakarta
mengikuti alur seperti ombak di lautan yang selalu ada setiap waktu, jalan
Sudriman ditandai simbol pusat ibu kota jakarta karena di kawasan tersebut
mernjadi kawasan strategis serta kawasan bisnis.
3. Mitos
Mitos yang terapat dalam foto tersebut diartikan Jakarta menjadi salah satu
kota 24 jam yang tidk pernah mati mati, selalu ada kehidupan setiap menitnya di
jalan raya seperti ombak di lautan. Foto memperlihatkan geliat tentang hiruk-
pikuk masyarakatnya yang terwakili dalam sapuan kilatan cahaya yang berasal
dari kendaraan bermotor dan gedung bertingkat. Gambar juga memperlihatkan
model iklan rokok yang berselancar yang mempunyai hubungan sintaksis dengan
gambar yang dibawah yakni kilatan cahaya yang seolah-olah sebuah arus selancar.
74
I. Analisis Data Foto IX
Perlawanan Forkot (Forum Kota) dekat Balai Sidang Senayan. Jalan
Gatot Subroto, November 1998.
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi dalam data foto IXadalah:
Bambu
Ikat kepala
Bendera
Tas
Sejumlah massa pria
75
2. Tahap Konotasi
2.1 Trick Effect
Dalam foto tersebut seolah olah terlihat langit dan awan yang mendekati
para aktivis padahal hal terbentuk dari cahaya flash yang ditambah gerakan para
aktivis dengan lambatnya kecepatan kamera sehingga membentuk awan.
2.2 Pose
Pose dalam foto tersebut yakni aksi perlawanan aktifis mahasiswa dengan
sebuah bambu yang seakan akan memukul dan merangsek maju. Kemudian
tatapan mata para aktivis yang terlihat tegang dan emosi.
2.3 Objek
Pemilihan objek foto sekelompok massa aktifis yang sedang merangsek
masuk yang diduga menghadang aparat di depannya dengan atribut-atribut aksi
seperti batang bambu, ikat kepala dan bendera yang dijadikan senjata
mempertahankan diri.
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer
sejajar dengan objek. Kemudian fotografer memotret pada malam hari
menggunakan flash ((lampu tambahan) kemudian speed 1/50 dan ISO 800 serta
diafragma f 4.
2.5 Aestethicism
Foto tersebut yang menggambarkan sebuah ekspresi emosiaonal
perlawanan aktifis mahasiswa yang tergabung dalam Forkot, semangat
perlawanan di jakarta pada 1998 yang begitu fenomenal sebagai aksi ekstra
parlementer.
76
2.6 Syntax
Rangkaian dalam foto tersebut yakni terdiri dari bambu sebagai simbol
perlawanan, kemudian ikat keala dan bendera sebagai simbol pejuang, kondisi
tersebut menggambarkan sebuah aksi perlawanan aktifis mahasiswa yang
tergabung dalam Forum Kota (Forkot) dengan menggunakan senjata bambu serta
atribut aksi lainya untuk merangsek barikade aparat.
3. Mitos
Forum Kota yang dikenal sebagai sebuah gerakan perlawanan garis keras
terhadap pemerintah yang terdiri dari mahasiswa dan aktivis yang terkenal saat
reformasi 1998, di mana ketidakpuasan para aktifis mahasiswa terhadap
kepemimpinan pasca Soeharto. mereka menyerukan aksi ekstra parlementer
dengan tindakan perlawanan Maka dari itu Reformasi tidak lepas dari peran forkot
ketika itu. Massa Forkot, lebih memilih jalur gerakan massa sebagai alat
perlawanan. Mereka kerap melakukan pertemuan-pertemuan, dan konsolidasi ke
kampus-kampus di Jakarta. Bahkan, dia mengklaim aksi pendudukan pertama di
Gedung DPR/MPR merupakan ide Forkot yang curi oleh FKSMJ.16
Kemudian filosofi bambu dijadikan sebuah simbol untuk mengajarkan
nilai-nilai moral yang baik. Dalam falsafah Jawa, filosofi bambu disesuaikan
dengan unsur sentral kebudayaan Jawa yaitu rila(ikhlas), nrima (bersyukur),
dan sabar. 17
16
http://nasional.sindonews.com/read/2013/05/16/15/749658/reformasi-1998-mati-saat-
dilahirkan 17
http://www.asji.info/index.php?option=com_content&view=article&id=398%3Afilosofi
-bambu-dalam-falsafah-jawa&catid=14%3Akolese&Itemid=20&lang=en
77
J. Analisis Data Foto X
“Acid Rain”—bubble party yang diselenggarakan oleh perusahaan rokok
di diskotek Bengkel. Tepat pada hari peringatan Tragedi 27 Juli.1998
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi dalam data foto X adalah:
Sekerumunan pria dan wanita di lantai bawah
Sekerumunan opria dan wanita di panggung
Rokok
Lampu
Percikan air
2. Tahap Konotasi
2.1 Trick Effect (manipulasi foto)
Manipulasi dalam foto tersebut yakni kilatan lampu di atas panggung dan
percikan air yang menempel pada lensa kamera seakan akan seperti balon buatan di atas
panggung saat pesta berlangsung.
78
2.2 Pose
Fotografer menyampaikan sebuah foto tentang aktifitas pesta anak muda
yang berjoget dalam sebuah klub malam dengan yang bertepatan dengan
peristiwa 27 Juli dengan suasana histeria.
3.1 Objek
Pemilihan objek dalam foto tersebut yakni rokok yang berada di tangan
pengunjung serta percikan air yang seakan akan seperti balon balon udara di atas
panggung kemudian lampu yang menyoroti pengunjung .
2.4 Photogenia (Teknik Foto)
Angle yang digunakan adalah eye level, yaitu posisi kamera fotografer
sejajar dengan objek. Foto ini menggunakan speed 1/30 dengan menggunakan
flash (tambahan lampu) diafargma f 3.5 ISO 800. Di foto pada malam hari di
sebuah klub malam.
2.5 Aestethicism
Foto tersebut menujukan berbagai macam ekpresi nyaman yang keluar dari
para wajah pengunjung klub malam dan gerakan berjoget mereka yang menujukan
arti sebuah kebebasan terlihat juga dari gaya cara mereka berpakaian serta sebuah
rokok.
2.6 Syntax
Hubungan yang berada dalam foto tersebut yakni sebuah rokok serta
kilatan cahaya dan beberapa air seperti balon balon yang berterbangan saat pesta
menimbulkan sebuah persepsi bagaiaman sebuah pesta atau party kaum urban
yang menujukan kebabasan setelah kondisi tahun 1998 ketika terjadi pergolakan
politik yang sangat genting.
79
3. Mitos
Foto ini menarasikan sebuah pertarungan makna simbolis setelah kondisi
perpolitikan Indonesia tahun 1998 apalagi pesta tersebut diadakan bertepatan
dengan peringatan 2 tahun tragedi 27 Juli 1998. Foto ini seakan mempersepsikan
kondisi muram perpolitikan dan ekonomi Indonesia khususnya di Jakarta disaat
terjadi krisis sebagian masyarakat, yang terekam di foto ini melakukan semacam
eskapisme (pelarian) dari carut-marutnya kondisi sosial politik dan ekonomi
negara ditambah penyelenggaraan party tersebut diadakan atas sponsor
perusahaan rokok yang tanpa peduli bekerja pada mekanisme pasar.
80
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Karya Erik Prasetya dalam bukunya Jakarta Estetika Banal adalah salah satu
proyek pemotretan mengenai kota Jakarta selama 10 tahun lebih dan memberikan
sebuah perspektif baru—atau menurut Erik Prasetya mencoba untuk memberikan
suatu tawaran alternatif dalam konsep estetika fotografi. Erik Prasetya
mendefinisikan pendekatan Estetika Banal tidak membutuhkan sebuah drama atau
peristiwa besar saat memotret melainkan memotret hal sehari-hari yang menjadi
bagian hidup fotografer. Dalam bab I penulis menjelaskan menganai latar belakang
memilih etetika dan foto-foto Erik yang boleh disebut sebagai bagian dari street
photography—sebuah genre fotografi nonformal yang menampilkan subyek dalam
situasi candid dalam tempat umum seperti jalan, taman, pantai, mall, konvensi politik
dan pengaturan terkait lainnya. 1 Dalam konteks ini, karya fotografi Erik dengan
banalitasnya mencoba memotret hal-hal yang bersifat subyektif pada kejujuran lensa
dimana teknik fotografi yang menunjukkan visi murni dari situasi, seakan
merepresentasikan cerminan masyarakat.
Dalam karya fotonya Erik Prasetya seperti yang dikatakan oleh Firman Ichsan
sebagai suatu frasa yang bersifat oksimoron—artinya mengandung sesuatu yang
bertolak belakang dan bahkan bertabrakan. Foto-foto Erik berisi pengertian satu
juktaposisi yang satu sama lain berseberangan namun memberikan sebuah impresi.
Lebih lanjut Firman Ichsan dalam kata pengantarnya di buku Jakarta Estetika Banal
1 http://en.wikipedia.org/wiki/Street_photography, diakses 10 Maret 2013.
80
81
mengatakan estetika banal dapat dikatakan antitesis dalam merekam kota yang boleh
dikatakan berseberangan—Erik menangkap dinamika dan wajah manusia dan kota
“sebenarnya”. 2
Konsep kota yang tidak melulu soal fisik atau infrastruktur dan erik mecoba
membongkar dalam karya foto di buku Jakarta Estetika Banal di mana kota
dihadirkan sebagai pergerakan dan tindakan manusia di dalamnya. Pergulatan
manusia di kota memberikan sebuah pemaknaan tentang narasi kota yang dibangun
secara tidak terencana dengan baik. Bagi Erik kota Jakarta adalah kota yang
berkembang menjadi “kota informal”. Sebuah arsitektural perkotaan yang semrawut
dan acak-acakan. Manusia didalamnya saling bertarung, sikut-sikutan, tarik-menarik,
saling berebutan, dan estetika banal adalah instrumen teknis-teoritik yang tepat untuk
menggambarkan situasi chaos kota Jakarta yang berantakan dimana sebuah kota
megapolitan yang tidak ramah dan tidak manusiawi bagi warganya—maka tak heran
ada sebuah pameo yang mengatakan Jakarta lebih kejam dari ibu tiri.
Disamping itu pendekatan fotografi Erik mencoba untuk membongkar
dikotomi subyek-obyek yang sudah terlanjur menghinggapi para fotografer. Melalui
konsep estetika banal Erik meminimalisir bahkan melawan dikotomi tersebut dan
menawarkan sebuah pendekatan alternatif yang hematnya sudah berkembang di dunia
Barat. Dalam konteks Indonesia visi Erik merupakan sebuah teroboson estetis bagi
fotografer dalam membuat karyanya yang berlandaskan dokumenter. Frasa eksotik-
romantik ditampik Erik dengan membangun realitas fotografi berdasarkan hal-hal
yang biasa saja dan tidak ada drama atau foto yang ditampilkan bersifat banal. Dalam
2 Firman Ichsan “Jakarta Estetika Banal; Pernyataan Seorang Juru Foto” dalam Erik Prasetya Jakarta
Estetika Banal. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta: 2011. Tanpa halaman.
82
memotret metode kerja estetika banal menurut Erik tidak perlu mencari focus of
interest cukup menbuat komposisi saja dan pergerakan obyek.
Dalam statement di buku Jakarta Estetika Banal Erik berusaha menanggalkan
kecenderungan voyeurisme fotografi borjuis dan kembali berhubungan dalam dialog
antar subyek. Ini adalah upaya mempertanyakan kembali konsep-konsep estetika
fotografi yang umumnya dirumuskan dalam relasi subyek-obyek. 3 Melalui fotonya
Erik mencoba memaknai kota bukan dari infrastrukturnya melainkan dari wajah-
wajah dan pergerakan manusia didalamnya seperti foto-foto yang penulis kaji di
skripsi ini. Buku Jakarta Estetika Banal terdiri dari 131 foto—sebuah album yang
menggambarkan persoalan kota Jakarta secara tematis. Persoalan-persoalan kota
menjadi tema di karya foto Erik seperti permasalahan polusi udara, pergerakan massa
anonym, ruang publik, ketersediaan ruang terbuka hijau, lingkungan hidup,
transportasi, gaya hidup kelas menengah perkotaaan, fenomena mudik lebaran,
masalah kebakaran yang kerap melanda ibukota Jakarta, perayaan 17 Agustus,
gerakan mahasiswa dan reformasi 1998 dan ekonomi sektor informal yang menjadi
sebagian besar mata pencaharian warga kota Jakarta.
B. Saran
Berdasarkan analisis penulis terhadap karya-karya foto Erik Prasetya yang ia
bukukan dalam Jakarta Estetika Banal maka karya ini dapat dijadikan sebagai sebuah
pendekatan bagi para jurufoto dalam membuat karya fotonya disamping bagi para
fotografer amatir yang perlu membuka wawasannya tentang konsep estetika fotografi.
Hemat penulis, buku yang dibuat oleh Erik Prasetya ini dapat menambah khazanah
keilmuan fotografi dalam Bahasa Indonesia yang masih minim dewasa ini.
3 Erik Prasetya Jakarta Estetika Banal. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta: 2011. Tanpa
halaman.
83
Tentunya, penulisan skripsi ini adalah bagian dari memperkaya wacana
fotografi bagi publik pembaca dan akademisi di Indonesia. Perkembangan dunia
fotografi di Indonesia sudah maju pesat sedemikian rupa, begitu banyak munculnya
fotografer profesional dan amatir, klub-klub fotografi, lokakarya-lokakarya fotografi,
pameran fotografi, perlombaan fotografi dan kemampuan teknis fotografi masyarakat
Indonesia (baca: warga perkotaan) yang sebagian besar sudah “melek”. Dan tak lupa
perangkat kamera di era digital makin memudahkan orang untuk memotret. Namun
ditengah perkembangan pesat dunia fotografi di Indonesia tidak diimbangi dengan
penguatan dan pergulatan wacana fotografi di Indonesia.
Wacana fotografi Indonesia masih dibilang minim termasuk soal ketersediaan
literatur fotografi—terutama soal wacana keilmuan fotografi, dan hadirnya buku
Jakarta Estetika Banal dapat memberikan sebuah perbendaharaan khazanah keilmuan
fotografi di Indonesia yang dapat di kaji dan diwacanakan sebagai sebuah kajian
dalam fotografi.
DAFTAR PUSTAKA
Aart Van Zoest, Interprestasi dan semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida
Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi
Semiotika. Jakarta : Gramedia, 1991.
Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, fotografi. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Amir Piliang, Yasraf. Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Art Van Zoest. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita lakukan
dengannya, Jakarta: Sumber Agung, 1993.
Asa Berger, Arthur. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer, Edisi baru.Yogyakarta : Tiara Wacana, 2010. cet 1.
Barthes, Roland. Camera Lucida Reflections of Photography. Trans: Richard
Howard,New York: Hill & Wang, n.d.
Barthes, Roland. Image Music Text, trans. Stephen Heath. London: Fontana Press.
1977. Hlm. 17
Benjamin, Walter. ”The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility,
and Other Writing on Media”, Edited by Michael W. Jennings, et. all.
Cambridge, MA & London: The Belknap Press of Harvard University Press.
2008.
Birowo, M. Antonius. Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi. Yogyakarta
:Gitanyali, 2004.
Blackburn, Susan. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Penerbit Masup Jakarta,
2011.
, Kris, Kosa Semiotika. Yogyakarta : LKIS. 1999.
Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI,
1999.
Chandler, Daniel. Semiotics The Basics. Second Edition. London & New York:
Routledge. 2002, 2007.
Cristomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004. cet. 1.
David E. W. Fenner. Introducing Aesthetic. Westport, CT: Praeger. 2003.
Dharsono Sony Kartika, Nanang Ganda Prawira. Pengantar Estetika Bandung :
Rekayasa Sains, 2004. cet.1.
Drs. Maryaeni, M.P. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Durham & London: Duke University Press. 2010.
Ed Zoelverdi. Mat Kodak. Jakarta: PT. Temprint, 1985.
Frosh, Paul. The Image Factory Consumer Culture, Photography and the Visual
Contents Industry, Oxford & New York: Berg. 2003.
Jatman, Darmanto. “Tingkah Kelas Menengah Puak Melayu” dalam Hadijaya (Ed.),
Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta:
1999.
Kamala Chandrakirana & Isono Sadoko. Dinamika Ekonomi Informal Di Jakarta.
Jakarta: Penerbit UI Press, 1995.
Kayam, Umar. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981.
Kriyant ono, Rahmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006. Ed 1.
Lury, Celia. Prosthetic Culture Photography, Memory and Identity, London & New
York: Routledge. 1998.
M. Mudaris. Jurnalistik foto. Semarang: Badan Penerbitan Universitas Diponegoro.
1996.
Martinet, Jeane. Semiologi : Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. cet. 1.
Mirza Alwi, Audy. Foto jurnalistik. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Muridan S. Widjojo, “Wacana Politik Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998”, dalam
Muridan S. Widjojo et al., Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa
’98, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Prasetya, Erik. Jakarta Estetika Banal. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta &
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.
R. Hasan, Iding, Pencalonan Artis dan Banalitas Politik, 2010.
S. Lev, Daniel. “Kelas Yang Menyehatkan Negara” dalam Hadijaya (Ed.), Kelas
Menengah Bukan Ratu Adil, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta: 1999.
Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkaajian Susastra. Bandung: Angkasa.
1931.
Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa,
1931.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006. cet 6.
Sontag, Susan. On Photography, New York: Rosetta Books, LLC. 2205.
St Sunardi. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku baik, 2004
Strassler, Karen. Refracted Visions Popular Photography and National Modernity In
Java,
Sumandiria, AS. Haris. Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik,
Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006. cet. 1
Tabrani, Primadi. “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat
(ed.)
Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna
pada Karya Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra, 2008. cet.2.
Sumber Internet
AA Wattimena, Reza. Hannah Arendt dan Banalitas Kejahatan, UNIKA Widya
Mandala Surabaya: 2011 http://rumahfilsafat.com/2011/12/23/hannah-
arendt-dan-banalitas-kejahatan/
Banjir Jakarta 2013, Tumpukan Masalah Ibukota,
http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threaded.
http://en.wikipedia.org/wiki/Documentary_photography, diakses 10 Maret 2013
http://en.wikipedia.org/wiki/Photojournalism, diakses 10 Maret 2013
http://en.wikipedia.org/wiki/Sebasti%C3%A3o_Salgado, diakses 10 Maret 2013
http://en.wikipedia.org/wiki/Street_photography, diakses 10 Maret 2013
http://jakarta.okezone.com/read/2012/07/24/500/667639/kebakaran-di-jakartaseperti-
arisan, diakses 6 Mei 2013
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/01/banjir-jakarta-2013-tumpukan-
berbagai-masalah-ibu-kota, diakses 6 Mei 2013
KA Commuter Jabodetabek,
http://id.wikipedia.org/wiki/KA_Commuter_Jabodetabek, diakses 6 Mei
2013
Memahami Tradisi Mudik,
Overview- About MRT Jakarta,
http://jakartamrt.com/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid=
93&lang=en, diakses 6 Mei 2013
Pencemaran Udara Perkotaan Jadi Masalah Serius, Selasa, 18 Desember 2012,
http://www.suarapembaruan.com/home/pencemaran-udara-perkotaan-jadi-
masalah-serius/28328, diakses Senin, 6 Mei 2013
Propeda Propinsi DKI Jakarta 2002-2007,
http://bappedajakarta.go.id/download/propeda/Propeda_BAB11.pdf, diakses 6 Mei
2013
www.indosiar.com/ragam/motor-penyebab-polusi-udara-_58530.html, diakses 6 Mei
2013
Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Miots ( Mitologi Karya Roland
Barthes), minggu, 25 Maret 2007.
Sumber Lain
Amir Piliang, Yasraf. Makalah Sastra dan Estetika Massa. pada diskusi gerakan
cakrawala, Bandung , 2008.
Bachtiar, Ray. Ritual Fotografi, Chip foto video edisi special.
Irsyad, Robi. Representasi tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar
Nasional.
Media Indonesia, Bedah Buku : Belajar Membedah Mitos ( Mitologi Karya Roland
Barthes), minggu, 25 Maret 2007.
Wawancara dengan Erik Prasetya
Penulis : Apa itu Estetika Banal?
Erik Prasetya: Definisi dari dari oxford! Banal itu apa? Very ordinary and containing
nothing that is interesting or important! Apa? Eh.. sotken biasa-biasa aja, tidak mengandung
sesuatu yang menarik atau penting.
Sementara estetika, wah.. concerned with beauty, apa, berhubungan dengan kecantikan, seni,
pemahaman, dan beautiful thing, ya.
Made in an artistics way and beautiful to look at.
Dalam bahasa Indonesia kira-kira gini! Tidak elok, biasa sekali, nah estetika itu cabang ilmu
filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia
terhadapnya, kepekaan terhadap seni dan keindahan.
Sekarang kita massuk ke Henri Cartier-Bresson. Photography is not like painting, nah dia
bilang dalam bahasa Inggris. Neuneuenue... nah gitu lah nanti kamu cari sendiri statement
tentang tok thingking tangga, tapi dia merumuskan sebuah rumusan yang disebut “Decesive
Moment” ini Penting! Dalam, dalam sejarah fotografi itu ya!
Nah apa itu decisive moment? Ini nih, fotografi adalah pengenalan atas fakta secara
langsung dan segera, serta merupaan pengorganisasian ketat atas bentuk-bentuk visual yang
menyatakan dan memaknai fakta tersebut. Apa ini? Kalimat ini artinya apa? Coba nanti
kamu pahami sendiri, nanti akan saya terangin sedikit-sedikit, Decesive moment itu berasal
dari Cardinal de Retz, nah ini lah pertama-pertama orang yang me, yang ini lah, yang me,
yang mengungkapkan kata decisive moment, Nah sekarang kita lihat praktek dalam
photografi, nah ini Paris, Cartier-Bresson, nah ini difoto oleh Cartier-Bresson. Apa yang
kamu lihat di sini? Ini kan gambar yang indah sekali, cantik sekali lah ya, ada keindahan ada
kecantikan dan segala macem lah ya? Dan yang membangun nya apa? Elemen-elemen,
elmen elemen yang pada suatu waktu dia berpadu menjadi satu apa? Satu bentuk itu yang
bisa menerangkan moment itu dengan baik, jadi yang disebut oleh Bresson sebagai decesive
moment tuh itu? Ada elemen-elemen yang membentuk dan bercerita tentang keadaan itu, ada
satu waktu yang cuman sdetik, lewat ini sudah lain! Ya.
Bagaimana bayang-bayang secara in, secara elemen-elemen ini kan bagus, membentuk
keindahan, tapi juga disini ada poster kebetulan poster orang penari balet yang sedang
meloncat, ini si, apa sih? Ini loncat kearah sini, itu loncat kearah sana. Ini kan sebuah
moment yang aduuuh.. lewat sedetik tidak begini kejadiannya. Nah ini menurut Bresson
disebut decesive moment.
Estika banal tidak memotret drama/peristiwa besar, melainkan memotret hal sehari-hari
yang menjadi bagian hidup fotografer.
Penulis: Apa kaitannya estetika banal dengan Jakarta?
Erik Prasetya: Jakarta ini kan kota yang tidak dirancang untuk keindahan, gak beda sama,
sama kota-kota lain, umpamanya ambilah contoh Paris atau apa? Atau London atau kota di
Amerika, itu kan memang dirancang dengan keindahan dan semua tertib, sehingga kota itu
indah. Jadi kalau kamu motret mencari suatu yang indah-indah di situ dapet, banyak
memang, nah Jakarta ini tidak pernah dirancang begitu, Jakarta ini kepentingan demi
kepentingan yan menang, lagi kuat birokrat, pada bangun ini, lagi kuat modal, dia bangun
mall, seenak-enaknya aja, gak karu-karuan. Ancur-ancuran sesungguhnya, kota Jakarta ini,
Nah kalau kita mau mendekati dengan estetika yang mencari keindahan, ya gak dapet, kamu
kalah dibanding sama kota Singapura, lah ngapain? Emang gak banyak yang indah di kota
Jakarta ini, ngapain kita me, mendekati kota Jakarta ini dengan estetika itu, ntar ada di
tulisanku itu, kamu baca lagi, itulah makanya aku merasa oh estetika keindahan, semata-
mata keindahan ini gak cukup. Kalo kita mau me.., me.. apa? Untuk mendekati Jakarta, mau
bikin rekaman tentang Jakarta, gak cukup kita dengan mengandalkan itu, karena nanti
dapetnya gak, gak bagus. Kita cari taman-taman yang indah, loh dimana yang indah?
Paling-paling Monas, indah-indah amat juga nggak dibandingkan sama singapur dia punya
taman apa, taman apa yang bagus-bagus, ya gak bagus, loh jadinya kan buat kapa kita
menampilkan ini loh Jakarta yang Indah, terus orang bilang, ya gak indah gitu mah,
makanya pendekatan estetika bukan keindahan, saya mau menggambarkan ini loh Jakarta
yang hidup, ada orang sikut-sikutan, ada orang tarik-menarik , atau ini, rebutan lapak,
rebutan ruang publik, segala macem, hal-hal semacam itu lah, nah ini yang saya harus
dekati dengan suatu etetika yang lain, bukan estetika yang mengutamakan keindahan, nanti
kalo itu gak dapet, makanya saya coba cari apa ya? Kira-kira estetika apa lagi yang bisa
dipakai untuk menggambarkan Jakarta yang dinamis ini, yang amburadul ini, yang ancur-
ancuran ini, itu kira-kira,
Penulis: Menurut mas Erik apa kehebatan fotografi estetika banal?
Erik Prasetya: Menyatukan yang suatu yang nggak berhubungan, nah ini kan, ini kan fitrah,
fitrah dalam fotografi itu, memang kemampuan dia itu, juktab posisi, lalu apa eu..tidak
hirarki, kemudian apa? Bisa merekam dalam waktu sedetik, kalo dia detik kan cewe udah ke
sana, udah gak berhubungan lagi, tapi detik ini kan dia berhubungan, nah ini ta’ berhentiin,
sehingga terjadilah si cewe naksir kamu seakan-akan…
padahal tidak, mungkin? Ya senyum ke.. kegua yang motret, bisa aja kan? Dia melirik ke
gua, tapi karena gambarnya sebelah situ jadi seperti dia melirik kamu yang sedang difoto,
bisa begitu, nah itu salah satu fitrah dari fotografi yang lain, kaya gitu, nah ini yang saya
manfaatkan dalam banal estetik, kita bermain di situ kita pake fitrah fotografi yang memang
fitrahnya, iya kan? Nah kalau kita mencoba menghadirkan estetika yang bukan fitrahnya, ya
susah sekali memang, bisa! Umpamanya lukisan, lukisan punya fitrahnya sendiri, ada yang
lighting yang diatur oleh rembran segala macem, nah kan kita juga bisa niru itu, tapi kalau
kita meniru itu, itulah yang disebut estetika yang mengekor pada seni rupa itu, mungkin
klasik, tapi dia mengejar keindahan, keindahan seperti yang sudah dilihat orang dalam seni
rupa, kaya gitu, Nah kesana fotografi punya fitrah yang lain tadi yang kurang dimanfaatkan,
nah ini yang saya angkat dalam estetika banal maksimal,.
Penulis: Seberapa pentingnya pendekatan fotografi estetika banal dalam memotret jakarta?
Erik Prasetya: Inikan sebuah tawaran dari saya seorang fotografer, menawarkan,eh yo kita
foto nih Jakarta tapi jangan dengan pendekatan yang seperti yang sudah-sudah, susah itu.
Ini itu bisa memotret, ini kita foto dengan pendekatan estetika banal aja, kira-kira gitu. Terus
orang tanya estetika banal itu apa? Ini yang dipertanayakan, ini sebuah tawaran, bukan
suatu keharusan, maksudnya saya gak bisa bahwa, eeh.. ini apa? Euh lu kalo moto di Jakarta
jangan.. jangan begitu!, nggak! Yang, yang mau melakukan ya silahkan tapi saya
menawarkan suatu alternatif, eh ada loh cara lain, mau gak? Kan di dalam estetika banal
saya masih ada juga campuran, yang keindahan ada, saya hanya mau nunjukin bahwa
keindahan, ya begini hasilnya, tapi kalau kita mau pake banalitas nah lebih luas nih, kafe
bisa difoto, tiba-tiba, apa? Eu.. kafe, eu.. mall, orang-orang di jalan, bisa difoto, selama ini
kan orang gak memotret itu, coba kamu cari periksa buku di Jakarta, moto kafe gak ada,
temen-temen sendiri ya, kecuali umpamanya ni si joki lagi kerja, tapi itu kan bukan foto itu
hanya informasi aja, dis joki, orang di suasana di sebuah kafe gitu kan, seorang fotografi
menggambarkan ini loh sebuah kafe, ini loh kejadian di kafe, ini loh kejadian di mall, nggak
ada, karena apa? Kalau kita memotret dengan mementingkan estetika yang lama, estetika
keindahan itu, seperti saya bilang, kita butuh drama, drama itu apa? Drama itu secara
gampangnya, kalau kita datang dari kelas menengah, maka kita melihat kelas bawah itu
drama, ada drama kehidupan di situ, di Cilincing itu ada drama. Umpamanya, anak kecil itu
ngangkat besi, hanya dapet duit total sepuluh ribu sehari, padahal dia usia sekolah, nah buat
saya itu yang datang dari kelas menengah yang punya kamera Leica, yang sekolah yang dari
universitas, lihat, gila ya gak adil sekali, terasa drama itu buat kita, maka kita tahu, oh ada
dramanya maka kita foto dia, fotonya harus menghasilkan, menampilkan drama itu, betapa
dia cakep, betapa dia bekerja keras, betapa dia gak dibayar baik, inikan sebuah drama, nah
tapi, kalau kita balik ke kelas menengah kita sendiri, ke mall kamu ketemu temen kamu
makan di kentucky, kamu ketemu temen kamu lagi ngobrol-ngobrol di kafe atau di Mc
Donald, ada dramanya gak?
Gak ada drama, karena itu keseharian kita, kan kita gak bisa bilang, ih asik lo, gila gua tu
ketemu temen gua lagi makan di Mc Donald, kan gak ada, gak ada, gak masuk akal, ya kan
kita semua makan di Mc Donald, kita makan di kafe-kafe, jadi di situ gak ada drama, nah
lantas bagaimana kita memotret ini, itu jadi problemnya. Kalau gak ada drama bagaimana
kita motretnya? Kalau ada drama kita tahu motretnya gampang, itu saya tunjukin di foto-foto
Cilincing, ada kemiskinan, ada segala macem, udah, tapi kalau gak ada drama bagaimana
motretnya? Itulah yang saya tawarkan tadi. Kita pake estetika banal,
Penulis: Bagaimana foto itu bias disebut Estetika Banal ?
Foto sebagain presentasi, foto pada dirinya sendiri, kalo kamu hanya menilai, ini, dan ini,
dan ini, ini, ini,ni,ni, sama sesuatu mungkin yang mirip-mirip sebelumnya apa itu? Kita Gak
tau itu apa? Ya
Nah, Hubungan foto denga gambar yang lain memiliki kemiripan saling merujuk disebut
hubungan sintagmatik. Jadi, ini sangat mirip dengan ini, ini sangat mirip dengan ini,
dimana kemiripannya? Nanti kita bahas!
Ya jadi hubungan sintagmatik jugaberarti hubugan antar unsur dalam gambar, dan jadi ini,
ini, ini, ini, langit dan segala macem itu kan sintagmatik semua lah ya?
Estetika lebih merupakan perkara sintagmatik, ini ya bukan paradigmatik. Jadi elemen-
elemen tadi itu estetika kita ngomong, ini, ini harus dibedain ini , kalo ini aja gak jelas, kamu
kacau.
Penulis : Apa unsur estetikadalam fotografi ?
Erik Prasetya : Dari seni rupa itu ya kamu akan berurusan dengan bentuk, titik, garis,
cahaya, warna.
Dalam fotografi, nah ini kita akan berurusan dengan: black and white tonal range, jadi ada
tonal range, ada kontras subjek, kontras film, kontras negatif, kertas film, bla-bla-bla... point
of view, lensa, sudut, butirnya, depth of field, nah ini pelajaran fotografi kamu tahu ya?
Nah ini kamu akan masuk ke Cilincing, ini contoh foto-foto saya yang apa? Sangat meniru
pada Salgado, jadi , nah ini kamu tahu, ada di buku ini di cilincing, saya semua,
Nah sekarang apa estetika banal?
Ini dasar berpijaknya dulu ya. Sementara
Fotografer umumnya berasal dari kelas menengah, klo ada dari kelas bawah nanti kita
bahas, tap ini dsarnya dulu ya.
Fotografer=subyek yang dipotret=obyek
Bagaimana menurut kelas menengah dalam kehidupan sehari-hari yang banal/biasa
Nah ini ada wajah jakarta, nti deh kamu, kamu? ini,ini hanya gambaran saja supaya mudah.
Nah sekarang pertanyaan.
Dari mana fotografi mendapatkan estetikanya? Selama ini? Kan orang jarang
mempertanyakan itu
Coba kita lihat. Nah ini tadi contoh ya, ini adalah lukisan Sodom dan Gamora. Apa ciri
khasnya? Satu, tiga orang di depan, satu orang ketinggalan dibelakang dan ini kota Sodom
itu..
Nah ini statemen saya: Estetika seni rupa tidak cukup proporsional untuk memotret
peristiwa banal dan sehari-hari dari kelas menengah yang menjadi kebanyakan asal-usul
fotografer.
Kenapa? Kenapa dia tidak cukup proporsional, karena gak ada drama, saya datang dari
kelas menengah, apa hebatnya kehidupan kelas menengah. Gak ada drama maka estetika
seni rupa tadi tuh mengandalkan drama semuanya, kamu lihat tadi kan? Ada drama kan?
Yesus mmati di salib, sodom dan gamora, semua drama, andalannya drama kalo gak ada
drama, gak ada lukisannya, ngapain dilukis? Begitulah kejadiannya seni rupa. Sementara
fotografi kan nggak apa saja bisa difoto kok, nah
Hubungan fotografer dengan yang dipotret lebih dialogis ketimbang Subyek-Obyek. Jadi
yang kamu foto itu dialogis, Mencari pola-pola yang sintagmatik yang tepat/proporsional
untuk menggambarkan yang paradigmatik,
Hubungan antara foto ini yang kamu cari, kamu mainin agar dia punya suatu yang
paradigmatik. Paham ya Oke. Sintagmatik dan Paradigmatik dalam estetika Banal
Peristiwa banal yang paradigmatik, yang sintagmatik , ini yang sintagmatik ini yang kita cari
estetikanya agar bisa menggambarkan peristiwa yang banal ini, nih ya,
Sekarang kita lihat unsur-unsur estetika itu apa aja? Dalam seni rupakan itu ada bentuk,
titik, ya ini segala macem ini ya Dalam fotografi estetika banal apa yang bisa kita ulik yang
bisa kita mainkan agar elemen-elemen bisa menciptakan sebuah yang paradigmatik tadi,
lihat kita punya gerak, kita bisa memberhentikan gerak iya kan?
Komposisi yang mengejutkan yang diperoleh dari fitrah fotografi merekam dal kecepatan ,
nah sedetik, sepersekian detik orang gak pernah tahu, dulu orang melukis kuda itu, kalo lari
kakinya masih ditanah gak ada empat-empatnya di atas, baru ketika Muybridge itu seorang
fotografer yang, awal-awal abad 18 memotret bagaimana kuda berlari semua lukisan
berubah ya, fotografi yang bisa mengajarkan itu, yang memberi tahu itu
Ketika kamu meneteskan satu tetes susu ke semangko susu waktu dia jatuh, pyaaar.. gitu ini
membentuk mahkota, itu fotografi yang ngasih tahu orang gak pernah tahu, sampe sekarang
orang menggunakan itu, ada banyak iklan-iklan yang pake itu.
Penulis : Bagaimana pandangan Anda tentang street photography secara umum dan
perkembangannya saat ini?
Erik Prasetya : Street photography memang masih puber di seluruh dunia. Apakah bisa
dibilang belum mature? Tidak tahu juga. Yang jelas street photography sekarang ini memang
lagi hype. Semua orang bicara tentang street dan semua orang ingin menjadi bagian dari
street photography.” “Saya agak mengambil jarak dalam memandang ini, saya coba
melihatnya dari sisi di luar street photography. Kita tidak bisa melepaskan street photography
ini dari industri kamera secara luas. Para produsen kamera sekarang ini tiap tahun
menawarkan sesuatu yang baru kepada para fotografer maupun para pecinta gadget.
Konsumen harus diberi sesuatu yang sepadan dengan uang yang mereka belanjakan.
Kebetulan, “kue” yang paling menarik untuk ditawarkan saat ini adalah street photography.”
“Dengan membeli produk, konsumen dapat merasakan pengalaman mengenai street
photography. Bahkan walau mereka tidak mengerti tentang street photography, produsen
akan siap menawarkan workshop mengenai street photography. Setelah workshop, selain
mendapat ilmu baru, konsumen pun akan makin tertarik dengan produk-produk yang
ditawarkan tadi. Ini kan skenario marketing yang luar biasa. Cerdas dan hebat.”
Penulis: ”Lalu bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Sepertinya street photography di
Indonesia masih mencari bentuk?”
Erik Prasetya: “Di Indonesia pun kejadiannya sama. Namun seperti biasa, hal yang ditiru di
Indonesia biasanya mutunya jauh lebih jelek, “KW“, entah KW berapa. Akhirnya banyak
workshop-workshop street photography di Indonesia, dengan pembimbing yang mungkin
tidak pernah berkecimpung di street photography namun punya nama yang cukup terkenal –
cukup gaul lah orangnya. Hasil dari workshop itu pun tentunya tidak bisa diharapkan
kualitasnya. Misalnya orang dibawa ramai-ramai untuk hunting street tetapi arahnya justru
lebih mirip seperti hunting salon foto yang lebih mementingkan sisi estetika fotonya
dibandingkan spontanitasnya.” “Terus terang saya kadang khawatir, karena hal seperti ini
bisa berbahaya. Dalam suatu riset yang pernah saya baca dijelaskan bahwa dalam foto-foto di
ruang publik tahun 80-an itu terlihat masih banyak orang yang tersenyum, tahun 90-an mulai
berkurang senyumnya, dan sekarang makin surut. Jadi ada semacam perlawanan dari orang-
orang yang menjadi obyek foto, bahwa mereka merasa keberadaan mereka terancam oleh
street photography.” “Hal ini akan segera terjadi di Indonesia kalau iklim seperti ini
dibiarkan. Ada sekelompok orang yang memotret orang di jalan dengan dalih estetika, tetapi
dengan attitude yang tidak tepat, itu akan menyakiti orang secara pelan-pelan. Lama-lama
orang tidak akan mau difoto di jalan dan marah. Ini akan menjadi suatu kerugian besar bagi
kita. Nantinya tidak akan ada studi yang bisa dilakukan dari foto-foto di ruang terbuka. Kita
tidak akan punya rekaman tentang karakter kota-kota kita di Indonesia. Ini yang harus kita
lawan. Inilah concern terbesar saya dalam street photography.”
Penulis : “Lalu bagaimana seharusnya kita memahami Street photography di Jakarta?
Erik Prasetya: “Street photography mempunyai pendekatan yang berbeda-beda untuk lokasi
yang berbeda. Kita tidak bisa mengadopsi model-model street photography seperti yang
dilakukan Alex Webb atau Bruce Gilden misalnya. Dari hal teknis foto saja akan berbeda,
karena pada negara-negara yang mempunyai empat musim sinar mataharinya sangat bagus.
Mereka punya golden hour yang lebih panjang, yang bisa menghasilkan bayangan-bayangan
panjang yang indah.” “Dari sisi kondisi kotanya juga akan membawa perbedaan. Contohnya
Singapura, yang walaupun letaknya secara geografis sama dengan kita – beriklim tropis –
tetapi mereka punya keteraturan garis-garis bangunan dan infrastruktur yang indah. Dari situ
timbul pertanyaan: pendekatan street photography bagaimana yang seharusnya dilakukan di
Jakarta? Bagi saya, satu pendekatan yang bisa dipakai di Jakarta, yaitu pendekatan „banal
estetik‟.”
Penulis: “Apakah street photography bisa diapresiasi seperti aliran fotografi lainnya di
Indonesia?”
Erik Prasetya: “Di Indonesia ada tiga aliran foto yang paling berkembang: yang pertama
jurnalistik, karena kebutuhan akan berita; yang kedua adalah fotografi komersial, karena ini
yang paling menghasilkan uang; sedangkan yang ketiga adalah salon fotografi. Aliran-aliran
lain memang agak kurang, misalnya dokumenter yang dari sejarahnya dulu sulit berkembang
di jaman orde baru, apalagi street photography yang susah diapresiasi. Orang awam yang
mengharapkan unsur jurnalistik tentu tidak akan mendapatkannya dari street photography.
Sedangkan bagi penikmat salon, street photography tidak ada estetikanya sama sekali.” “Ini
yang harus pelan-pelan kita usahakan supaya masyarakat bisa membaca foto street
photography. Karena percuma juga bila kita membuat foto street photography yang bagus
tetapi tidak ada orang kita yang bisa mengapresiasinya. Biasanya nanti setelah ada orang bule
yang lihat dan bilang foto itu bagus baru ramai-ramai kita ikut mengapresiasinya.”
Penulis: “Apakah mungkin membawa street photography ini ke khalayak yang lebih luas?
Erik Prasetya: “Menurut saya sekarang inilah saatnya, karena street photography sejalan
dengan kebutuhan pemodal saat ini. Terutama di era fotografi digital ini, seperti yang saya
ceritakan di awal tadi.”
Penulis : “Kenapa Anda tidak membuat website yang menampilkan karya-karya Anda? Kami
berharap ada sebuah referensi yang mudah diakses tentang street photography dari generasi
yang lebih senior seperti anda.”
Erik Prasetya: “Saya ini gaptek. (Internet) itu bagiannya yang lebih muda lah. Kalau saya
masuk ke situ habislah energi saya. Sebagai referensi saya lebih percaya buku. Contohnya
Ansel Adams yang mengeluarkan buku-buku foto landscape hitam-putih, yang seolah-olah
itu menjadi suatu statement: “kalau kamu mau motret landscape hitam-putih, maka inilah
patokannya. Kamu gak usah bikin seperti ini lagi, bikin yang lebih bagus. Kalau kamu tidak
bisa bikin lebih baik dari ini, maka karya kamu itu jelek.” Jadi buku itu semacam suatu
injakan anak tangga pertama. Sebenarnya saya sadar akan hal itu (internet), tetapi karena saya
tidak mengerti teknologi, saya memilih untuk mewariskan buku.”
Penulis: “Baik, akan kami tunggu buku-bukunya. Harus diakui buku “Jakarta: Estetika
Banal” memang memberi sumbangan besar untuk dokumentasi Jakarta era 90-an hingga awal
2000-an. Lalu berbicara mengenai dokumentasi foto ini, dulu memang kita banyak punya
rekaman foto-foto jalanan yang tersimpan di arsip-arsip Belanda pada jaman sebelum
kemerdekaan. Tetapi lalu seperti hilang setelah sekitar tahun 60-an hingga tahun 90-an (di
luar foto-foto jurnalistik). Bagaimana pendapat Anda?”
Erik Prasetya: “Iya memang ada bagian yang hilang. Saya sendiri merasa di masa itu ada
dampak dari masuknya film warna. Dari awal masuknya film warna di tahun 70-an hingga
era fotografi digital, foto-foto berwarna masa itu tidak bagus kualitasnya. Berbeda dengan
foto-foto hitam-putih. Terlebih lagi saat banyaknya bermunculannya jasa cuci-cetak film
express.”
Penulis : “Kalau sekarang lebih memilih foto hitam-putih atau warna?”
Erik Prasetya: “Sekarang saya memilih warna setelah sekian tahun motret street
photography dengan hitam-putih, supaya ada tantangannya. Kalau kita mengulang seusatu
yang sudah kita pahami, kadang terasa bosan. Hanya saja waktu itu saat saya mau pindah
kepada foto berwarna, filmnya belum ada yang bagus. Persoalan berikut, kalaupun saya dapat
film yang bagus tidak ada yang bisa mencuci dengan bagus. Kalau film hitam-putih saya bisa
cuci sendiri dan puas dengan kualitasnya. Saya sempat belajar cara mencuci film dengan baik
pada almarhum Philip Jones Griffiths – fotografer Magnum – waktu dia datang ke Indonesia
sesaat sebelum pecahnya reformasi.” “Akhirnya saya pun memilih menggunakan kamera
digital untuk menghasilkan foto berwarna. Tetapi untuk menemukan kamera digital yang
tepat pun saya butuh waktu yang panjang. Saya sempat mencoba suatu produk kamera digital
mirrorless, tetapi harus kecewa dengan hasilnya karena tetap ada masalah shutter-lag. Setelah
melihat foto-fotonya, saya merasa mendapat hasil foto satu detik tertinggal dari adegan yang
saya mau. Saya sering bercanda dengan teman-teman jurnalis, bedanya street photography
dengan foto jurnalistik adalah foto jurnalistik itu “telat sedetik”, sedangkan street
photography “sedetik lebih dahulu” (tertawa). Memang cuma sedetik urusannya, tetapi di situ
lah perbedaannya.”
Penulis : “Tetapi dengan adanya teknologi digital ini mengambil foto menjadi pekerjaan
yang amat sangat gampang.”
Erik Prasetya : “Ya memang akhirnya terjadi revolusi dalam cara mengapresiasi maupun
melihat foto dengan masuknya teknologi digital. Ada bagusnya, ada jeleknya. Sisi bagusnya
adalah masyarakat menjadi terbiasa dengan fotografi. Di mana-mana kita bisa motret. Di
jaman analog, orang yang memotret adalah orang yang punya maksud tertentu. Sekarang
tidak, semua orang bisa motret di mana saja dan tidak mungkin dilarang. Dulu kan terlalu
banyak larang memotret di ruang publik. Bahkan saat saya menemani Salgado di Indonesia
sebagai fixer-nya di tahun 97 dulu (Erik pernah bertugas sebagai “fixer” – istilah untuk orang
yang membantu fotografer, semacam asisten – untuk Sebastiao Salgado, fotografer
dokumenter asal Brazil), ia sempat berkata, “Ada apa dengan negeri ini, di mana-mana kita
tidak bisa memotret. Apa yang kalian sembunyikan?”. Seolah-olah Indonesia begitu
tertutupnya saat itu. Berbeda dengan kondisi sekarang, orang bisa memotret menggunakan
kamera handphone di mana pun. Apalagi dengan kemudahan upload dan aplikasi-aplikasi
semacam instagram.”
Penulis : “Jadi apa kesimpulan Anda tentang teknologi digital?”
Erik Prasetya: “Menurut saya, mudah-mudahan sumbangan terbesar kamera digital pada
dunia fotografi ada pada street photography. Karena sampai saat ini kita belum bisa melihat
sumbangan yang signifikan dari kamera digital. Semua yang bisa dilakukan oleh kamera
digital saat ini sudah bisa dilakukan juga pada masa teknologi kamera analog. Kamera-
kamera lain telah punya sumbangsihnya masing-masing pada dunia fotografi. Misalnya,
Leica rangefinder yang memberi sumbangsih pada awal berkembangnya fotografi
jurnalistik.“
Penulis: “Tiap fotografer biasanya punya pola-pola atau prosedur saat memotret di jalanan.
Misalnya Trent Parke yang selalu menunggu di persimpangan-persimpangan jalan di Sidney
di pagi hari, atau Daido Moriyama yang biasanya berangkat motret di sore hari, lalu masuk
kedai minuman, minum, dan kemudian keluar untuk motret lagi sampai larut malam. Kalau
Anda sendiri bagaimana polanya?”
Erik Prasetya : “Saya tidak punya habit tertentu. Saya berusaha mengacak habit. Saya
khawatir habit itu adalah tanda-tanda ketuaan. Hahaha…. Kalau kamu sudah memilih sesuatu
dan tidak mau berubah, jangan-jangan kamu sudah tua. Bahkan jalan pulang pun aku coba
cari jalan yang lain. Dalam bahasa Padang – daerah asalku – ada istilah jalan “kondiak”.
Kondiak itu babi hutan, yang biasanya selalu pulang lewat jalan yang sama, sehingga mudah
ditemukan oleh pemburu. Nah, saya selalu menghindari jalan kondiak ini. Saya berusaha
mengacak pola. Pola akan membuat kita tidak berkembang.” “Saya rasa fotografer-
fotografer besar seperti Trent Parke, Daido, dan lain-lain itu justru sengaja mengecoh.
Maksudnya, kita seperti melihat dia sedang mencari sesuatu, padahal sebenarnya tidak.
Kadang kita seperti sudah mengenali pola mereka, tapi sebenarnya mereka sangat “eksploitif”
(penuh kejutan – red). Kembali pada pengalaman saya 40 hari menemani Salgado, saya tahu
persis bagaimana polanya dalam bekerja. Tetapi dalam buku Genesis-nya, ada variasi yang
luar biasa; walaupun juga tetap ada suatu konsistensi kerangka atau struktur di dalamnya.
Kalau kita ingin melihat “pola” yang sebenarnya dari seorang fotografer, maka lihatlah buku
“the-best”nya. Dari sanalah kita bisa telusuri “pola” besarnya.” “Contohnya kemarin saya
baru melihat buku “the best” dari Alex Webb – saya lupa judulnya. Dari situ kita bisa melihat
pola-pola yang dia pakai dalam mengejar surealisme. Memang kalau kita melihat cara kerja
fotografer-fotografer tersebut, kita seolah bisa membaca pola mereka, seperti monoton,
padahal mereka punya bayangan sendiri di kepala tentang foto yang mereka inginkan.”
Penulis : “Menurut Anda, bagaimana posisi street photography, foto dokumenter, dan
jurnalistik?”
Erik Prasetya : “Yang saya tahu sejak tahun 70-an, praktisi dokumenter memang selalu
menerapkan pendekatan jurnalistik. Dalam pandangan saya, jurnalistik, dokumenter, dan
street photography, adalah tiga himpunan yang berbeda tetapi saling mempunyai irisan.
Dalam jurnalistik, “tension” (tegangan) dalam foto penting sekali. Elemen-elemen dalam satu
foto jurnalistik itu saling membangun tension yang tinggi. Saya membahasakan jurnalistik
sebagai “foto tegangan tinggi”. Contohnya: tangan – darah – aspal – jalur busway. Itu foto
jurnalistik. Orang street photography tidak mengambil foto tersebut.” “Di sisi lain foto
dokumenter berusaha bercerita dengan lebih dalam, berusaha tidak hanya melihat dari kulit
luar saja. Dalam dokumenter kadang perlu membangun suatu setting. Misalnya saya ingin
menggambarkan suatu kemiskinan. Saya akan meminta obyek orang miskin, misalnya
seorang penjual koran, untuk berdiri di depan background gedung mewah sambil memegang
koran yang judul headline-nya tentang anggaran belanja negara. Bahkan saya bisa
mengarahkan ekspresi muka atau senyum sang obyek serta pencahayaannya. Dalam foto
dokumenter hal tersebut sah. Dan hal-hal seperti itu lah yang menjadi kelebihan dalam
fotografi dokumenter.” “Sedangkan pada street photography, bukan itu kekuatannya. Dalam
street photography, candid adalah hal yang paling penting. Itu adalah kekuatan street
photography yang tidak bisa terbayarkan. Kalau bisa dirumuskan secara kasar – ya pendapat
saya ini masih bisa di-elaborate lagi bahkan dibantah – street photography itu
mengkonsentrasikan momen-momen emosi yang pendek (candid moment) dengan bantuan
estetika, simbol, kontras, dan komposisi. Itulah senjata utama street photography, ditambah
dengan satu hal yang paling penting: surealisme. Surealisme di sini fungsinya menangkap
hal-hal yang sulit digambarkan oleh ke-empat komponen sebelumnya itu. Misalnya
absurditas. Hanya surealisme lah yang bisa menangkap absurditas.”
Penulis: “Jadi apakah praktisi street photography itu orang-orang yang absurd?”
Erik Prasetya : “Hahaha… Yang jelas hanya street photography lah yang bisa menangkap
absurditas, karena surealisme adalah jawaban terhadap absurditas. Jika kita lihat sejarahnya
secara luas, ide tentang absurditas itu muncul ketika orang melihat rasionalitas telah gagal.
Pada Perang Dunia I dan II, orang percaya pada sesuatu yang baik dan ideal, yang bila
dikerjakan akan sampai pada suatu hasil yang hebat. Tiba-tiba hal tersebut tidak terjadi.
Absurd. Sia-sia semua. Bingung lah orang.” “Lalu timbul gerakan dadaisme yang
menjungkirbalikkan semua hal yang tidak bisa dipercaya oleh rasio. Di situlah masuk
fotografer seperti Man Ray, yang bermain-main dengan pantangan-pantangan dalam proses
development film – sebagai interpretasinya terhadap penjungkirbalikan rasio. Setelah itu
lahirnya surealisme, yang dimulai dengan manifesto surealisme oleh Breton. Dalam
bahasanya yang paling sederhana, surealisme dapat dijelaskan kira-kira dengan sebuah
analogi: mesin jahit dan payung yang berada di atas meja bedah. Hal seperti ini tidak bisa kita
temui dalam realisme: tiga buah distance reality (realitas berjarak) yang berada pada satu
titik. Cartier-Bresson kemudian menangkap ide-ide ini dalam fotografi, ia menunjukkan
bahwa surealisme itu bisa kita temui dalam keseharian kita.” “Street photography lah yang
kemudian menangkap ide-ide surealisme ini dan terus bereksplorasi. Contohnya seperti Alex
Webb, dan fotografer-fotografer lainnya yang mengembangkan metode-metode baru untuk
menemukan surealisme yang berbeda dengan Cartier-Bresson.” “Kenapa street photography
selalu berkembang dengan surealismenya? Karena street photography adalah sebuah upaya
untuk menangkap emosi. Kalau kita kumpulkan foto-foto street photography pada suatu
lokasi dan masa tertentu, maka kita akan dapat menangkap emosi di tempat itu. Inilah yang
kemudian menjadikan street photography itu penting. Berbagai emosi dapat ditangkap oleh
street photography dengan pendekatan candid-nya.”
Penulis : “Bagaimana pengaruh kondisi kota atau tempat tinggal kita terhadap street
photography?”
Erik Prasetya : “Saya pernah presentasi foto-foto saya tentang Jakarta di depan suatu
komunitas foto di Solo, lalu kemudian mereka juga mempresentasikan karya-karyanya. Saya
melihat mereka benar-benar menguasai kotanya dan bisa mencarikan aplikasi yang tepat
untuk street photography di sana. Dan memang dibutuhkan kemampuan untuk beradaptasi
dengan kota tempat domisili kita dalam street photography. Jangan harap adegan-adegan
seperti yang terdapat di jalan Sudirman Jakarta bisa ditemukan juga di Solo misalnya.”
“Saya menemukan bahwa tiap jalan punya karakter dan temponya masing-masing. Tempo
(atau ritme – red.) di jalan saat jam empat sore dengan jam 12 siang itu sangat berbeda;
rasakan bedanya tempo orang mau makan dengan orang pulang kantor. Kita harus bisa
masuk ke dalam tempo-tempo di jalanan tersebut – menyusuri jalanan, mengamati, lalu tiba-
tiba akan muncullah adegan-adegan tak terduga yang sebenarnya berada tidak jauh dari kita
namun selalu lepas dari pengamatan sebelumnya.”
Penulis : “Mengenai buku Estetika Banal yang rentang waktu fotonya cukup panjang, apakah
dulu memang sudah ada keinginan mengumpulkan foto untuk sebuah buku, atau sebaliknya
ide tentang buku tersebut baru muncul belakangan setelah terkumpul foto yang banyak?”
Erik Prasetya : “Saya yakin dari awal untuk bikin buku. (Dari awal) sudah niat
mengumpulkan foto dan menerbitkannya, walaupun tidak terpikirkan tentang siapa
sponsornya, penerbitnya, dan lain-lain. Buku ini sebenarnya sudah mau diterbitkan sekitar
tahun 2000; ada beberapa penerbit yang sudah menawarkan untuk menerbitkan. Tetapi
karena satu-dua hal masalah teknis dan sebagainya, proses buku ini terpaksa mundur,
walaupun itu justru keuntungan bagi saya untuk bisa mengumpulkan foto lebih banyak lagi.
Hingga pada suatu ketika Dewan Kesenian Jakarta menawarkan untuk menerbitkan buku ini,
yang tetap saja memakan waktu proses sekitar empat tahun. Lagi-lagi, proses yang molor
tersebut menjadi kesempatan untuk menambahkan foto.”
Penulis : “Apakah kita bisa mendapatkan keuntungan dari menerbitkan buku foto bila dilihat
dari sisi komersial?”
Erik Prasetya : “Ini pendapat pribadi saya – kalau kita bicara buku foto (street
photography), itu berarti kita bicara suatu pencapaian di atas uang. Rugi tidak masalah,
karena kita bicara kualitas. Kalau mau jualan, jangan jual buku (foto). Paling ampuh untuk
jualan ya foto dokumentasi kawinan. Dalam street photography itu kita harus siap rugi: kita
buang-buang film (bagi praktisi dengan kamera analog), pikiran, tenaga, hanya untuk
sejumlah keuntungan material yang mungkin bisa terbayar sekali-dua kali kerja sebagai
wedding photographer.” “Tapi jangan juga terlalu pesimis dalam sisi keuntungan ini.
Terutama di masa sekarang, di mana banyak berkembang komunitas buku independen. Tidak
perlu cari penerbit, coba terbitkan sendiri buku itu, jual lewat media sosial. Pada saat
menerbitkan Estetika Banal beberapa tahun lalu, saya memang masih berpikir bahwa buku
seperti ini hanya bisa menyebar melalui jaringan toko buku besar. Sekarang dengan adanya
media sosial, buku-buku ini akan bisa menyebar dengan lebih cepat dan lebih tepat pada
sasaran pembacanya. Belum lagi bila memperhitungkan potongan dari toko buku, keuntungan
yang diterima bila menerbitkan dan mendistribusikan sendiri tentu jauh lebih baik. Salah satu
contoh buku independen yang cukup sukses menurut saya baru-baru ini adalah Encounters-
nya Rony Zakaria.”
Penulis : “Bagaimana peran kurator? Apakah nama kurator berpengaruh besar dalam
kesuksesan sebuah buku foto?”
Erik Prasetya : “Saya mengkurasi sendiri buku ini, bahkan lay out pun saya sendiri.
Pendapat saya, kurator tidak boleh terlalu jauh berperan dalam sebuah buku. Kita boleh minta
pendapat orang lain sebagai kurator, tetapi tidak ada yang lebih tahu tentang karya kita selain
kita sendiri. Bayangkan berapa jam yang kita habiskan untuk karya tersebut dibandingkan
waktu yang diperlukan oleh seorang kurator dalam menilai karya kita. Memang itu ada
bahayanya, karena kita terlalu dekat dengan karya kita. Untuk itulah kita perlu mendengar
pendapat orang lain, atau kurator, sebagai masukan. Pendapat itu harus kita diskusikan dan
pertimbangkan dengan baik, tetapi bukan berarti kita harus mengikutinya.”