analisis shariah compliance terhadap ketentuan pbi …
TRANSCRIPT
ANALISIS SHARIAH COMPLIANCE TERHADAP
KETENTUAN PBI NOMOR 18/2/PBI/2016 TENTANG
TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Kanza Nabeela Puteri
145020500111021
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
ANALISIS SHARIAH COMPLIANCE TERHADAP KETENTUAN PBI NOMOR
18/2/PBI/2016 TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH
Kanza Nabeela Puteri, Yenny Kornitasari
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis shariah compliance atas regulasi lindung nilai
Islam di Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia melalui PBI Nomor 18/2/PBI/2016 tentang
Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah. Metode yang digunakan dalam penelitian
adalah kualitatif dengan jenis penelitian studi dokumen (document analysist) dan studi lapangan
(field research) dimana proses pengumpulan data disesuaikan dengan sumber data yang
dibutuhkan. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dalam bentuk wawancara. Adapun data
sekunder dikumpulkan melalui pendalaman studi pustaka. Hasil penelitian ini berupa penerapan
shariah compliance dari segi rukun transaksi lindung nilai Islam yang diatur dalam pasal 3, 5, 6,
8, dan 10 sedangkan syarat transaksi nya telah diatur pasal 3, 4, 6, 8, 9, dan 11.
Sejauh ini, problematika industri jasa dan keuangan syariah adalah pengembangan inovasi
produk keuangan kontemporer, termasuk transaksi lindung nilai Islam yang membutuhkan
legitimasi syariah. Atas desakan pasar, Bank Indonesia menerbitkan PBI Nomor 18/2/PBI/2016
tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah yang memberikan kemudahan bagi
pelaku IJK Syariah. Lindung nilai Islam merupakan produk keuangan Islam kontemporer yang
digunakan untuk meminimalkan kerugian akibat missmatch currency. Seiring berkembangnya
diskusi dan penelitian mengenai lindung nilai Islam, timbul keraguan dari berbagai kalangan atas
kesesuaian mekanisme transaksi dengan konsep syariah yang ada. Berbagai opini menyatakan
bahwa lindung nilai Islam sama hal nya dengan lindung nilai konvensional. Dalam penelitian ini,
ketentuan dalam fatwa DSN-MUI No: 96/DSN-MUI/IV/2015 tentang Lindung Nilai Syariah (Al-
Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar digunakan untuk menganalisis
kepatuhan syariah (Syariah compliance) dalam muatan PBI Nomor 18/2/PBI/2016 tentang
Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah. Lainnya, hasil penelitian ini dapat menjadi
legitimasi kepada BUS (bank umum syariah) dan UUS (unit usaha syariah) dan juga bagi bank-
bank umum lainnya agar benar- benar menggunakan ketentuan PBI Nomor 18/2/PBI/2016 tentang
Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah sebagai pedoman dalam penerapan transaksi
lindung nilai Islam.
Kata kunci: Fatwa DSN-MUI, Lindung Nilai Islam, Lindung Nilai Konvensional, Peraturan Bank
Indonesia.
A. PENDAHULUAN
Industri perbankan dan keuangan Islam telah tumbuh menjadi sarana manajemen keuangan yang
unggul dengan penawaran produk keuangan syariah yang kompetitif. Demikian juga dengan sektor
keuangan Islam yang terus tumbuh dan berkembang. Negara-negara mayoritas Muslim dan
minoritas Muslim mengakui potensi segmen ini dengan menjadikan bank syariah sebagai rujukan
penggunaan produk-produk keuangan. Pada tahun 2016, perbankan Islam dilaporkan memiliki aset
global sekitar USD 1,5 triliun dan diestimasikan menjadi USD 2,4 triliun di tahun 2022. Di lain sisi,
IJK Syariah sebagai entitas keuangan tidak terlepas dari risiko yang dapat menghambat dan
mengganggu kelangsungan usaha. Khususnya pada perbankan syariah, risiko berkaitan erat dengan
fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Dengan demikian, supaya produk keuangan
syariah tetap kondusif dan berkela njutan maka IJK Syariah membutuhkan proteksi dan memitigasi
risiko yang dikhawatirkan muncul. Merujuk pada Pasal 5 ayat (1) PBI Nomor 13/23/PBI/2011 (Bank
Indonesia, 2011), diantara risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah risiko kredit, risiko
pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, risiko
kepatuhan, risiko imbal hasil (rate of return risk), dan risiko investasi. Risiko-risiko tersebut akan
semakin kompleks mengiringi perkembangan internal dan eksternal dari IJK Syariah. IJK Syariah
kemudian dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan melalui penerapan manajemen
risiko yang sesuai dengan ketentuan syariah ataupun aturan lainnya yang dikeluarkan oleh lembaga
syariah seperti Majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia.
Upaya untuk mengendalikan risiko terhadap praktek IJK Syariah dapat menggunakan instrumen
lindung nilai (hedging). Chorafas dalam (Abubakar, 2016) menyatakan bahwa dalam praktek
perbankan, tujuan lindung nilai adalah untuk mengurangi risiko yang timbul dari kegiatan investasi
atau transaksi dan memberikan proteksi terhadap aset dengan mitigasi risiko dari eksposur keuangan
lain. Adanya instrumen lindung nilai memungkinkan kedua pihak yang terikat kontrak untuk
mereduksi paparan risiko sama rata dengan kewajiban yang berbeda di pasar yang lain (Zahan &
Kennet, 2011). Dapat dikatakan, praktek lindung nilai bertujuan melindungi investasi terhadap
risiko atas kemungkinan kerugian akibat fluktuasi pasar.
Mengenyampingkan hal tersebut, jumhur ulama dan regulator standar Syariah masih terus
mengkaji legalitas dan kepatuhan nilai Syariah dalam instrumen lindung nilai Islam yang
seyogyanya harus memberikan rahmatan lil’aalamiin. Berbeda dengan keuangan konvensional,
praktek keuangan syariah harus menempatkan segala transaksi dalam koridor hukum syariah.
Dimana regulasi, mekanisme dan implementasi lindung nilai Islam harus selaras dengan dua sumber
utama hukum Islam yakni kitab suci Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian IJK Syariah tidak dapat menggunakan instrumen-instrumen lindung nilai konvensional
seperti forward, option, future dan swap. Analisis shariah compliance ini juga menjadi penting
dengan mempertimbangkan stigma buruk atas produk lindung nilai konvensional yang disandingkan
dengan spekulasi dan judi. Stigma ini berangkat dari banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh
para hedger dalam menggunakan instrumen lindung nilai dengan tujuan spekulasi. Secara umum
mereka dikenal dengan spekulan.
Pada praktek lindung nilai konvensional di pasar uang, hedger menggunakan instrumen derivatif
untuk meminimalisir paparan risiko namun spekulan menggunakan instrumen yang sama untuk
mencari celah risiko yang dapat memberikan keuntungan yang besar kepada dirinya. Moral hazard
yang dimiliki oleh segelintir pihak inilah yang memberikan label buruk terhadap instrumen lindung
nilai di dunia derivatif sebagaimana saham yang disalahpahami dengan judi di pasar modal. Mendukung stigma diatas, hasil penelitian yang dilakukan oleh Mohamad dan Tabatabei (2014)
menunjukkan bahwa masih terdapat perdebatan yang cukup banyak di kalangan ulama seputar
penggunaan kontrak derivatif lindung nilai Islam. Beberapa ulama konservatif cenderung bersikap
hati-hati dan menghindari inovasi akad lindung nilai Islam meskipun langkah tersebut dapat
menghambat industri keuangan Islam. Berangkat dari latar belakang diatas maka pokok masalah
yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis shariah compliance terhadap
ketentuan PBI nomor 18/2/PBI/2016 tentang transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Lindung Nilai Konvensional
Istilah lindung nilai atau hedging lebih dikenal dalam rangka transaksi yang berhubungan dengan
perbankan. Umumnya, transaksi lindung nilai banyak digunakan pada perdagangan di bursa
komoditas. Secara historis, merujuk pada publikasi Fortune (Loomis, 2015) dan Business Insider
(Levy, 2016), lindung nilai bermula pada saat Chicago Board of Trade (CBOT) dibentuk pada tahun
1848 oleh para pengusaha pertanian di Amerika. Organisasi ini menjadi jawaban atas fluktuasi harga
komoditas biji-bijian (grains) yang tidak terkontrol. Secara definitif, lindung nilai (hedging/al-
tahawwuth) sendiri adalah tindakan melindungi nilai utang ataupun aset yang dimiliki terhadap
kemungkinan risiko dikarenakan penurunan nilai aset ataupun kenaikan nilai utang melalu kontrak-
kontrak forward, atau swap, atau futures ataupun option (Samsul, 2010).
Hal ini dilakukan dengan menghindari posisi-posisi terbuka dalam valuta asing, yaitu tidak
seimbangnya dalam aset dan utang valas Jamli dalam (Gunawan, 2005). Ketidakseimbangan ini
diasumsikan dengan dua bentuk yaitu apabila aset mata uang asing lebih besar dari hutang mata
uang asing (posisi panjang) dan apabila hutang mata uang asing lebih banyak dari aset mata uang
asing (posisi pendek). Lindung nilai perlu dilakukan pada suatu perusahaan atau lembaga keuangan
yang memiliki komposisi struktur modal yang tidak seimbang contohnya hutang jangka panjang
dalam bentuk valuta asing. Dengan demikian, jika tidak ada perlindungan risiko atas perubahan kurs
valuta asing, perusahaan atau lembaga keuangan tersebut dapat mengalami kerugian usaha.
Adapun (Sahroni, Hasanuddin, & Hakim, 2016) mendefinisikan lindung nilai sebagai cara atau
teknik untuk memitigasi risiko yang diperkirakan akan timbul akibat fluktuasi harga di pasar
keuangan. Maksudnya, pengendalian risiko nilai tukar pada paparan eksposur yang dihadapi oleh
IJK Syariah akibat missmatch nilai tukar antara volatilitas mata uang asing dan mata uang lokal
dalam memenuhi kewajiban IJK pada masa yang akan datang. Secara sederhana, lindung nilai
dilakukan dengan menetapkan harga pada kurs tertentu atas suatu transaksi produk dengan cara
menggunakan instrumen derivatif seperti forward atau swap atau option atau futures.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan instrumen lindung nilai pada perusahaan
atau lembaga keuangan berpengaruh secara positif pada aset lembaganya. Penelitian yang dilakukan
oleh (Saleh, 2006) menunjukkan bahwa penggunaan lindung nilai akan relevan manakala terjadi
apresiasi kurs pada tanggal penyelesaian transaksi. Dimana PT “X’ Cikarang dapat mengendalikan
risiko kerugian volatilitas mata uang euro atas hutang valuta asing dengan Jhonson Matthey Inc. jika
menggunakan lindung nilai kontrak forward. Kemudian hasil penelitian (Khariska, 2016)
membuktikan bahwa lindung nilai instrumen derivatif secara signifikan berpengaruh negatif
terhadap cost of equity. Hal ini bermakna bahwa perusahaan yang melakukan lindung nilai memiliki
cost of equity lebih rendah daripada perusahaan non-lindung nilai.
Lindung Nilai Islam
Dalam Al-Qur’an, kata lindung nilai tidak ditemukan secara tekstual. Namun tujuan lindung nilai
sebagai instrumen dalam mencapai salah satu tujuan maqashid Syariah (hifdzul mal) dijadikan dasar
para ulama dalam menerangkan konsep lindung nilai pada keumuman ayat-ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan manusia untuk menjaga harta dan mempersiapkan kemungkinan yang terjadi di
masa yang akan datang. Di antaranya, QS. Al-Baqarah:282, yang memerintahkan orang beriman
untuk mendokumentasikan transaksi utang piutang, menghadirkan saksi-saksi atasnya sebagai salah
adu cara mengurangi risiko dari kemungkinan sengketa di masa depan. Ayat ini menjadi dasar Al-
Qur’an pertama yang digunakan sejumlah peneliti sebagaimana (Razif, Mohamad, & Rahman,
2012) dalam Permissibility of Hedging in Islamic Finance, (Zahan & Kennet, 2011) dalam Hedging
Instruments in Conventional and Islamic Finance, dan (Mohamad & Tabatabaei, 2008) dalam
Islamic Hedging: Gambling and Risk Management Dusuki dalam Principle and Application of Risk
Management and Hedging Instrument in Islamic Finance juga menggunakan sandaran dalil yang
serupa dan menyepakati bahwa interpretasi dari ayat diatas telah jelas dan kuat sebagai pasal
dibutuhkannya pengelolaan risiko. Korespondensi ayat tersebut ditemukan dalam konsep hifdzul
maal yang merupakan salah satu tujuan syariah yang dikenal dengan maqashid Syariah.
Lainnya, adalah QS Yusuf:47-49 yang mengandung kisah bagaimana Nabi Yusuf AS
menjalankan strategi ekonomi dalam menyiasati masa baik dan masa sulit negara Mesir, juga lazim
dijadikan sandaran dalil sejumlah peneliti seperti (Razif et al., 2012) dalam Permissibility of
Hedging in Islamic Finance, (Agha & Sabirzyanov, 2015) dalam Risk Management in Islamic
Finance: An Analysis From Objectives of Shariah Perspectives, (Mohd Noor, Ismail, & Muhammad,
2018) dalam Shariah Risk: Its Origin, Definition, and Application in Islamic Finance dan oleh (Nor,
Mohamad, & Noor, 2018) dalam A Comparison of Speculation and Hedging in Derivative Market.
Secara definisi, hampir semua cendekiawan Islam dan ulama fiqh keuangan kontemporer memiliki
definisi dalam makna yang sama atas lindung nilai, yaitu metode untuk mengurangi risiko
pergerakan harga dengan mengambil posisi berlawanan di pasar derivatif untuk melindungi
kemungkinan kerugian (di pasar berjangka) dengan keuntungan yang wajar di masa depan pasar
(pasar likuiditas). Namun jika berbicara mengenai lindung nilai Islam, semuanya sepakat bahwa
secara fungsional memiliki kesamaan dengan lindung nilai konvensional.
Argumen ini berangkat dari tujuan lindung nilai Islam yang merupakan bagian dari proses
manajemen risiko yang sejalan dengan tujuan maqashid Syariah yang ke lima yaitu hifdzul mal (Al-
Suwailem, 2006). Dimana salah satu tujuan terlaksananya syariat adalah melindungi dan menjaga
harta kekayaan dari kerusakan dan kerugian. Sebagaimana tujuan terbentuknya instrumen lindung
nilai yaitu mengantisipasi dari kemungkinan munculnya risiko pergerakan harga. Yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa dalam lindung nilai Islam harus memenuhi sejumlah ketentuan syariat.
Kasri & Rahman (2016) melengkapi bahwa lindung nilai Islam sama dengan lindung nilai
konvensional secara konsep karena tujuannya adalah norma dalam kegiatan ekonomi, yang
membedakan lindung nilai Islam harus memenuhi ketentuan Syariah jika tidak bisa maka ia tidak
dapat digunakan. Selain Suwailem dan Kasri, sejumlah pakar Muamalat kontemporer telah mengkaji
instrumen lindung nilai dalam pasar keuangan konvensional dan membuat upaya pengembangan
alternatif yang sesuai syariah seperti yang dilakukan oleh Muhamed Ali El-Gari, Abdul Sattar Abu
Ghuddah, Asyraf Wajdi Dusuki, Mohd Daud Abu Bakar, Wafica Ghoul dan cendekiawan
internasional lainnya terutama organisasi internasional yang aktif dalam pengembangan IJK Syariah
seperti AAOIFI, IIFM, ISRA, IDB, DFM, Dallah Al-Baraka, dan SAC-BNM.
Adapun fuqaha’ (ahli fiqh keuangan) yang tergabung dalam International Shariah Research
Academy for Islamic Finance (ISRA) memberikan sebuah konsensus kebolehan penggunaan
lindung nilai berdasarkan prinsip syariah. Standar yang diumumkan oleh ISRA pada IIFM Workshop
on Islamic Hedging Standards pada tanggal 10 April 2017 di Kuala Lumpur Convention Centre
(Laldin, 2017) berisi 4 (empat) ketentuan berikut:
1. Islamic hedging adalah salah satu (bukan satu-satunya) instrumen dalam mengelola risiko yang
dihadapi IJK syariah.
2. Islamic hedging harus digunakan untuk pengelolaan risiko dan tidak dimaksudkan untuk
spekulasi seperti praktek zero sum game yang dapat merusak stabilitas sistem keuangan
3. IJK syariah harus memodifikasi ulang penggunaan instrumen lindung nilai konvensional dengan
penggantian pada kontrak syariah
Penggunaan lindung nilai Islam terhadap risiko fluktuasi harga memungkinkan lembaga
perbankan untuk mengoperasikan bisnis mereka pada skala yang lebih besar. Meski pada realitasnya
biaya untuk melakukan lindung nilai Islam tidak sedikit, hal tersebut sepadan dan lebih
menguntungkan daripada tidak menggunakannya sama sekali (Dusuki, 2009). Secara ekstrinsik, jika
tidak digunakan dengan baik, lindung nilai Islam dapat dimanipulasi untuk memaksimalkan
keuntungan semata. Secara umum, seluruh ulama sepakat bahwa lindung nilai Islam dibutuhkan dan
diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang terlampir. Perbedaan pendapat pakar mengenai
definisi lindung nilai Islam hanya sebatas pada karakteristik dan model mekanismenya.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengadopsi metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi dokumen
(documentary analysis approach). Creswell (2018) mendefinisikan penelitian kualitatif dimulai
dengan asumsi dan penggunaan kerangka penafsiran yang membentuk atau mempengaruhi studi
tentang permasalahan riset yang terkait dengan makna yang dikenakan oleh individu atau kelompok
pada suatu permasalahan sosial atau manusia. Definisi yang dikemukakan oleh (Creswell, 2018)
menekankan pada proses penelitian yang berangkat dari asumsi filosofis menuju ranah penafsiran
kemudian menuju prosedur yang dilibatkan dalam mempelajari isu-isu sosial atau manusia.
Sedangkan pendapat (Sugiyono, 2017b) menekankan bahwa penelitian kualitatif adalah perolehan
makna sedalam-dalamnya karena makna adalah data yang sebenarnya sehingga generalisasi
bukanlah tujuan utama penelitian kualitatif namun transferability yakni pemahaman makna dan
konstruksi fenomena. Dengan demikian metode penelitian kualitatif adalah metode yang sesuai
dengan tujuan penelitian ini yaitu mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap
regulasi lindung nilai Islam di Indonesia.
Sedangkan pendekatan studi dokumen dianggap pendekatan yang sesuai dalam mendukung
proses penelitian untuk menelaah secara kritis dokumen yang menjadi obyek penelitian yakni PBI,
fatwa DSN-MUI, dalil-dalil yang digunakan, literatur syariah klasik, buku-buku referensi,
bibliografi buku-buku teks, indeks jurnal ilmiah, indeks buletin dan majalah, indeks surat kabar,
indeks dokumen, indeks manuskrip, dan sumber-sumber lain. Bogdan dalam (Sugiyono, 2016)
mendefinisikan dokumen sebagai catatan peristiwa yang telah berlalu, baik dalam bentuk gambar,
tulisan ataupun karya-karya monumental dari seseorang. Selanjutnya (Bowen, 2009)
mendeskripsikan pendekatan studi dokumen adalah prosedur sistematis untuk meninjau atau
mengevaluasi dokumen baik yang dicetak ataupun dipublikasikan secara elektronik.
Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah regulasi lindung nilai Islam di Indonesia yaitu
PBI No. 18/2/PBI/2016. Sementara itu, sebagai pendukung penelitian yang dilakukan maka peneliti
membutuhkan informan penelitian. Teknik penentuan informan menggunakan non-probabilitas
sampling dengan jenis purposive sampling.
1. Informan Kunci:
Informan kunci adalah Deputi Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank
Indonesia, selaku penyusun regulasi lindung nilai Islam di Indonesia dan Wakil Ketua Majelis
Ulama Indonesia selaku penanggung jawab fatwa lindung nilai Islam di Indonesia.
2. Informan Pendukung:
Informan pendukung dalam penelitian ini adalah perwakilan dari akademisi di bidang ekonomi
Islam dan ulama/ahli fiqh yang memahami lindung nilai Islam.
Sumber data pada penelitian ini menggunakan sumber data primer yang diperoleh melalui
wawancara dan observasi kepada BI dan DSN-MUI. Sedangkan data sekunder, diambil melalui studi
pustaka dari buku, jurnal atau laporan-laporan penelitian terdahulu, dan hasil publikasi lembaga atau
instansi yang terkait dalam penelitian ini seperti konsep lindung nilai Islam dan landasan
hukumlindung nilai Islam. Adapun analisis data primer menggunakan teknik analisis data dari
(Creswell, 2018) yang diawali dengan menyediakan data mentah yang berupa transkrip, catatan
lapangan dan pandangan peneliti sendiri; mengorganisasikan dan menyimpankan data yang akan
dianalisis; membaca seluruh data, melakukan koding, menyusun tema-tema dan deskripsi data,
mengkontruksi antar tema, interpretasi dan memberi makna tema yang telah tersusun.
Sedangkan pada data sekunder, analisis dilakukan melalui tiga langkah yaitu skimming
(pemeriksaan dokumen secara cepat dan dangkal), reading (pemeriksaan dokumen secara
menyeluruh), dan interpretation (penafsiran hasil pemeriksaan dokumen) (Bowen, 2009). Bagian
akhir dari penelitian adalah pengujian keabsahan data dengan tujuan mendapatkan data yang reliable
(handal), kredibel dan teruji validitasnya. Dalam penelitian ini data diuji kredibilitasnya dengan
menggunakan teknik dari Sugiyono (2017a) yang meliputi uji credibility (validitas interval),
transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas).
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Akad dalam Transaksi Lindung Nilai Islam PBI No. 18/2/PBI/2016 Tentang Transaksi
Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah
Sebagai bank sentral dan badan hukum perdata yang diamanatkan oleh Undang-Undang untuk
menjaga kestabilan nilai rupiah yang salah satunya dengan memiliki stabilitas nilai tukar rupiah
maka Bank Indonesia merumuskan kebijakan transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah.
Peraturan ini juga didasarkan pada fatwa yang telah dikeluarkan oleh fatwa dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Hal ini mendapat signifikansi nya karena produk
keuangan syariah memiliki misi dan metodologi yang eksklusif, bukan sekadar pada jumlah nominal
transaksi namun juga mencakup pada jenis, obyek dan tujuan itu sendiri. Adapun metodologinya
adalah kerangka syariah dan kaidah-kaidahnya yang bersumber dari etika dan nilai-nilai syariat
Islam yang komprehensif dan universal. Dalam hal ini, kerangka syariah yang digunakan oleh Bank
Indonesia bersumber dari fatwa yang diterbitkan DSN-MUI.
Maka dari itu dari awal diterbitkan hingga kini, para praktisi perbankan syariah juga
menggunakan fatwa DSN-MUI sebagai acuan dalam menjalankan praktek perbankan syariah.
Secara yuridis sosiologis, fatwa DSN-MUI merupakan perangkat aturan yang bersifat tidak
mengikat dan tidak ada paksaan secara hukum bagi sasaran diterbitkannya fatwa untuk mematuhi
ketentuan fatwa tersebut, namun di sisi lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, adanya kewajiban bagi regulator (Bank Indonesia) agar materi muatan yang terkandung
dalam Fatwa DSN-MUI diserap dan ditransformasikan sebagai prinsip-prinsip syariah dalam materi
muatan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang dinukilkan dari Pasal 26 ayat (2) UU
tentang Perbankan Syariah dinyatakan, “Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.” Hal ini menegaskan kekuatan dan legalitas bahwa fatwa
yang dikeluarkan oleh DSN MUI memiliki kedudukan hukum yang sangat kuat sebagai materi
muatan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Maka dari itu, hampir semua peraturan kegiatan ekonomi
syariah di bidang perbankan, asuransi syariah, pasar modal syariah menyebutkan prinsip syariah
sesuai Al-Qur’an dan hadits yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI.
Pada produk lindung nilai Islam sendiri, Bank Indonesia mengadopsi materi fatwa Nomor
96/DSN-MUI/IV/2015 tersebut ke dalam PBI No. 18/2/PBI/2016 Tentang Transaksi Lindung Nilai
Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia memuat dua transaksi
lindung nilai Islam yaitu:
1. Transaksi lindung nilai Islam sederhana ('Aqd al-Tahawwuth al-Basith)
2. Transaksi lindung nilai Islam kompleks ('Aqd al-Tahawwuth al-Murakkab)
Di lain sisi, keabsahan akad syariah kontemporer merupakan keniscayaan dan sebuah kajian
yang penting untuk menjadi dasar pijakan bahwa akad tersebut merupakan sebuah transaksi yang
absah dalam Islam dan dapat diaplikasikan seperti akad-akad yang termaktub dalam literatur fiqh
seperti mudharabah, musyarakah, salam, dan lainnya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Antonio
(2001) bahwa bentuk-bentuk bisnis di IJK Syariah yang semakin proteksionis ini, boleh dikatakan
belum memiliki hukum syariat yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits karena ketiadaan aplikasi
di masa lampau. Sedangkan ketetapan hukum atas setiap produk keuangan kontemporer dibutuhkan
supaya dapat diaplikasikan oleh masyarakat. Maka dari itu penelitian ini berusaha untuk mengkaji
dan menelaahi akad-akad dan transaksi lindung nilai Islam yang merupakan salah satu produk IJK
syariah kontemporer.
Penelitian ini dibatasi pada analisis shariah compliance atau kepatuhan syariah terhadap
transaksi lindung nilai Islam yang diterbitkan oleh BI dalam PBI dalam PBI No 18/2/2016 tentang
Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam hal ini, fatwa DSN-MUI No: 96/DSN-
MUI/IV/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami/Islamic Hedging)
atas Nilai Tukar digunakan sebagai pijakan dan batasan shariah compliance itu sendiri. Sebagai
catatan, pembahasan mengenai akad yang digunakan dalam transaksi lindung nilai Islam sederhana
dan kompleks akan mengacu pada fatwa dan keterangan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
Hal ini dikarenakan dokumen PBI No 18/2/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan
Prinsip Syariah lebih banyak mengatur tataran teknis pelaksanaan transaksi sedangkan pedoman dan
landasan dalil yang digunakan didasarkan pada fatwa DSN-MUI No: 96/DSN-MUI/IV/2015 tentang
Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami/Islamic Hedging) atas Nilai Tukar.
Berdasarkan keterangan fatwa DSN-MUI No: 96/DSN-MUI/IV/2015 bahwasanya akad yang
digunakan dalam transaksi lindung nilai sederhana (al-basith) dan kompleks (al-murakkab) adalah
sharf (jual-beli mata uang). Dalam hal ini DSN-MUI mengacu pada substansi fatwa DSN-MUI
Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang JuaI-BeIi Uang (al-Sharf) (DSN-MUI, 2015a). Akad sharf
inilah yang kemudian dijadikan landasan syariat untuk melaksanakan transaksi jual beli valuta asing
dalam kontrak lindung nilai Islam sederhana dan kompleks. Secara definitif al-Sharf adalah jual beli
antara barang sejenis atau barang tidak sejenis (Mas’adi, 2002). Al-Sharf juga dapat diartikan
perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta asing (Dewi, 2005). Valuta asing berarti nilai uang,
alat pembayaran yang terjamin oleh persediaan emas atau perak. Jadi valuta asing maksudnya mata
uang luar negeri, seperti Yen, Jepang, Dolar Amerika, Ringgit Malaysia, dan sebagai nya. Dengan
demikian dapat disarikan bahwa jual beli mata uang (al-Sharf) adalah suatu proses dimana seseorang
penjual menyerahkan uang kepada pembeli (orang lain) setelah mendapatkan persetujuan mengenai
besarnya uang tersebut, yang kemudian uang tersebut diterima oleh si pembeli dari si penjual
sebagaimana yang telah disepakati (Mubarokah, 2008).
Tinjauan Syariah Akad Sharf
Sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan internasional, IJK syariah pun tidak
dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya pada pasar valuta asing. IJK syariah harus
(setidaknya) menyusun pedoman kerja operasional bagi perlahan atau industri nya agar memiliki
akses yang luas ke pasar valuta asing tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang
bertentangan dengan prinsip syariah. Perdagangan valuta asing dianalogikan dengan pertukaran
antara emas dan perak (sharf). Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan
penjual dan pembeli (Antonio, 2001). Dalam hal ini, MUI sebagai lembaga atau organisasi ulama
yang berwenang dalam memberikan standar transaksi yang diperbolehkan syariat telah menerbitkan
dan mengesahkan fatwa DSN-MUI Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (al-
sharf). Fatwa ini dibuat berdasarkan rujukan syariat yaitu Al-Qur'an beserta hadits dan ijma’.
Adapun hadits yang digunakan sebagai dasar akad sharf adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Ubadah Ibnu as-Shamid bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Emas (hendaklah dibayar) dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan
sejenis haruslah dari tangan ke tangan (tunai). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah
sekehendak kalian dengan syarat kontan” HR. Muslim dalam kitab Al-Masaqah (Al-Mundziri,
2008).
Hadits tersebut menjelaskan transaksi pertukaran antara emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum syair (sejenis gandum) dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam
dengan garam merupakan transaksi yang dipraktekkan Rasulullah SAW dalam transaksi mata uang
yang sejenis. Transaksi dilakukan dengan kontan, harus sama-sama timbangannya dan barangnya
sama-sama ada. Dalam buku Himpunan Fatwa DSN-MUI dijelaskan bahwa ulama berpendapat
tentang menjual emas dengan perak (lain jenis) dengan berbeda (lebih banyak) adalah boleh, tetapi
mereka berpendapat bahwa menjual emas dengan perak (lain jenis) dengan berbeda (lebih banyak)
adalah boleh, tetapi jika sejenis (emas dengan emas) tidak boleh dengan kata lain riba. Agar tidak
mengandung riba, yaitu maka transaksi harus dilakukan secara sepadan (sama timbangannya,
takaran dan nilainya) spontan dan bisa diserahterimakan (DSN-MUI, 2001).
Kandungan hadits diatas yang menyebutkan bahwa penukaran barang ribawi harus dalam
takaran yang sama adalah sama maksudnya dengan pelarangan penambahan atau permintaan
tambahan. Dalam hal ini, fatwa DSN tentang sharf mendasari hukum nya dengan ayat Al-Qur'an
surat Al-Baqarah ayat 275 dimana (Shihab, 2002) memberikan interpretasi bahwa barang siapa
memberi tambahan atau meminta tambahan sesungguhnya ia telah berusaha dengan riba, baik
penerimaan atau pemberian sama-sama bersalah. Pendapat ini didukung dengan hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Muslim dengan arti:
“Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan sesungguhnya ia telah berusaha
dengan riba penerimaan dan pemberian sama-sama bersalah” (Al-Mundziri, 2008).
Dalam hadits diatas, riba diharamkan karena mengandung unsur kedzaliman terhadap orang lain.
Pengertian riba menurut syariah adalah tambahan dalam hal modal, takaran, tempo dan jumlah, baik
sedikit maupun banyak atau pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam
meminjam harta benda (Mubarokah, 2008). Adapun pendapat yang dinukil oleh (Mubarokah, 2008)
bahwa Abu Surai Hadi dalam buku nya yang berjudul ar-Riba wal Qarudl, berkata bahwa
menambahkan harus memperhatikan kepentingan umum, semua macam transaksi itu halal sebelum
ada pemerasan dan sesuai dengan keadaan ekonomi masing-masing negara. Dalam konteks fatwa,
uang atau mata uang memiliki sifat yang sama dengan keenam barang ribawi yang disebut dalam
hadits Rasulullah SAW sebelumnya (DSN, 2002). Adapun Hasan (2004) dalam bukunya yang
berjudul Mata Uang Islam Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami, menerangkan bahwa
uang adalah sesuatu yang diterima secara luas dalam peredaran, digunakan sebagai media
pertukaran, sebagai standar ukur nilai harga, alat pembayaran untuk kewajiban bayar yang ditunda
dan media penyimpan nilai. Para fuqaha’ sependapat dan menyatakan bahwa suatu jual beli itu sah
apabila cukup syarat-syaratnya. Implikasinya, pada jual beli mata uang sebagai objek jual beli adalah
sah menurut syara.
Menurut ketentuan syara’ yang terpenting dari sebuah transaksi adalah adanya kerelaan dan
kesepakatan dari kedua belah pihak baik dalam masalah harga maupun objek jual belinya, dan tidak
ada unsur gharâr yang dapat merugikan salah satu pihak dikemudian hari, Seperti kandungan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim berikut:
“Sesungguhnya jual beli itu harus berdasarkan saling rela (ridha). Rasullah melarang jual beli
yang terpaksa dan menipu”(Al-Mundziri, 2008)
Dengan demikian penetapan harga dalam pasar mata uang tidak melanggar. Prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan oleh syara’ dan tujuan utamanya adalah untuk menghindari kezaliman. Merujuk
pada pendapat (Hasan, 2004) bahwa pertukaran mata uang tersebut (sharf), penjualan mata uang
yang serupa atau penjualan mata uang dengan mata uang asing adalah mubah atau diperbolehkan
selama takar keduanya seimbang. Makna kata seimbang adalah dengan mengikuti kurs yang berlaku
pada saat transaksi. Adapun persyaratan untuk menjadikan transaksi nya sah adalah dengan
memenuhi persyaratan dasar dalam bermuamalah sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya. Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Antonio, 2001),
bahwasanya arahan Rasulullah SAW dalam hadits tersebut mengindikasikan:
1. Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh dipertukarkan dengan sejenisnya (rupiah to
rupiah atau dolar to dolar) kecuali sama jumlah nya
2. Bila berbeda jenisnya (rupiah to yen) dapat ditukarkan (exchange) sesuai dengan Market rate
dengan catatan harus naqdan atau spot atau tunai.
Transaksi Sharf yang Dilarang dan Diperbolehkan
DSN-MUI dalam fatwa Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang JuaI-BeIi Uang (al-Sharf)
sendiri telah menetapkan sejumlah hukum atas transaksi derivatif yang umum nya digunakan dalam
pasar uang di antaranya adalah:
1. Transaksi Spot yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada
saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai
proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional
2. Transaksi Forward yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan
pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai
dengan satu tahun. Hukumnya haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang
diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada
waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.
3. Transaksi Swap yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga sport yang
dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward
(spekulasi). Instrument ini diharamkan karena mengandung unsur Mesir.
4. Transaksi Option yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk
menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu
atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
Relevansi Rukun dan Syarat Sah Akad Sharf dalam PBI No. 18/2/PBI/2016 Tentang Transaksi
Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah
Dalam fiqh Muamalat suatu akad dianggap sah ketika memenuhi dua hal yaitu rukun akad dan
syarat akad. Dengan demikian, kajian kritis mengenai rukun dan syarat akad regulasi transaksi
lindung nilai Islam sederhana dan kompleks menjadi penting. Berikut adalah telaah kesyariahan
kedua transaksi tersebut yang dikomparasikan dengan rukun dan syarat akad sharf dalam Islam.
1. Rukun Akad
Menurut (Basyir, 2005), rukun dapat dipahami sebagai unsur esensial yang membentuk akad,
yang harus selalu dipenuhi dalam suatu transaksi, terdiri dari:
1.1. Subjek Akad
Pihak yang berakad, pihak yang berakad terdiri dari paling sedikit dua orang yang harus sudah
baligh, berakal sehat dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri.
1.2. Objek Akad
Objek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual beli, objeknya adalah
barang yang diperjualbelikan dan harganya. Suatu akad dapat dipandang sah jika obyek nya
memenuhi syarat berikut:
a. Telah ada pada waktu akad diadakan. Objek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan.
Barang yang belum wujud tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat kebanyakan fukaha
sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum berwujud;
b. Dapat menerima hukum akad.
c. Dapat ditentukan dan diketahui. Objek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh dua belah
pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan objek akad mudah menimbulkan sengketa
kemudian hari sehingga tidak memenuhi syarat menjadi objek akad.
d. Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi. Objek akad harus dapat diserahkan pada waktu akad
terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada
saat yang telah ditentukan dalam akad, objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar
ada di bawah kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan.
Dari empat syarat objek akad tersebut di atas, secara garis besar dapat disebutkan bahwa sesuatu
dapat menjadi objek akad apabila dapat menerima hukum akad dan tidak mengandung unsur-unsur
yang mungkin menimbulkan sengketa kemudian hari antara pihak-pihak yang bersangkutan. Syarat
yang disebut terakhir mengharuskan objek akad itu telah wujud, jelas dan dapat diserahkan.
1.3. Sighat Akad
Sighat ini terdiri dari: (a) Serah (ijab) atau penawaran; (b) Terima (qabul) atau penerimaan Ijab
ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad, buat memperlihatkan
kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja yang memulainya. Qabul ialah jawaban pihak
yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya. Yang dimaksud dengan sighat akad
adalah dengan cara bagaimana ijab dan qabul yang merupakan rukun-rukun akad itu dinyatakan.
Sighat akad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, isyarat maupun perbuatan yang telah menjadi
kebiasaan dalam ijab dan qabul.
Selanjutnya adalah tinjauan syariah atas rukun akad pada transaksi lindung nilai Islam sederhana
dan kompleks dari PBI No. 08/02/2015 yang akan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.1 Analisa Rukun Akad Transaksi Lindung Nilai Islam Sederhana dan Kompleks
No Rukun Akad Rukun Akad Sharf Dalam PBI No. 08/02/2015 Analisis
Syariat
1
Subyek akad
(minimal dua
orang yang
baligh, berakal
sehat dan cakap
untuk
melakukan
perbuatan
hukum sendiri)
Bunyi pasal 3:
Transaksi Lindung Nilai Syariah hanya dapat dimohonkan
oleh:
a. Nasabah kepada BUS atau UUS;
b. BUS atau UUS kepada BUS lainnya atau UUS lainnya;
atau
c. BUS atau UUS kepada BUK.
Tambahan dokumen Tanya Jawab Surat Edaran Bank
Indonesia No.18/11/DEKS:
a. Pemberi harus memastikan pemohon untuk
menyampaikan dokumen underlying transaksi dan/atau
dokumen pendukung saat forward agreement.
b. Dalam hal pemberi telah mengetahui track record
pemohon dan dokumen underlying transaksi yang
disampaikan bersifat final, pemohon dapat
menyampaikan dokumen pendukung secara berkala
Sesuai
2 Obyek Akad Mata uang dan nilai nominal mata uang Sesuai
a
Telah ada pada
waktu akad
diadakan
Bunyi pasal 5 ayat 1:
Transaksi Lindung Nilai Syariah harus didahului dengan
Forward Agreement atau rangkaian Forward Agreement.
Dan dilanjutkan dengan bunyi pasal 9:
Setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib memiliki
Underlying Transaksi.
Sesuai
b
Dapat
menerima
hukum akad
Bunyi pasal 10 ayat 2:
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri; dan/atau
b. investasi berupa direct investment, portfolio investment,
pembiayaan, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di
luar negeri.
Sesuai
c
Dapat
ditentukan dan
diketahui
Bunyi Pasal 6 ayat 1:
Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Syariah paling
banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi yang
tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi.
Bunyi Pasal 6 ayat 3:
Nilai tukar dan perhitungan nilai tukar:
a. harus ditentukan pada saat Forward Agreement; dan
b. tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah
Sesuai
d
Dapat
diserahkan
pada waktu
akad terjadi
Bunyi Pasal 8 ayat 1:
Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
Tambahan dokumen Tanya Jawab Surat Edaran Bank
Indonesia N0.18/11/DEKS: Pada waktu yang diperjanjikan dalam forward agreement,
pemohon dan pemberi melakukan transaksi lindung nilai
sederhana atau kompleks, diikuti dengan pemindahan dana
pokok secara penuh.
Sesuai
3
Sighat Akad
(lisan, tulisan ,
isyarat atau
kebiasaan)
Bunyi Pasal 5 ayat 1:
Transaksi Lindung Nilai Syariah harus didahului dengan
Forward Agreement atau rangkaian Forward Agreement.
Tambahan dokumen Tanya Jawab Surat Edaran Bank
Indonesia N0.18/11/DEKS: a. Pemohon mengajukan permohonan secara tertulis
kepada pemberi.
Sesuai
No Rukun Akad Rukun Akad Sharf Dalam PBI No. 08/02/2015 Analisis
Syariat
b. Pemohon dan pemberi menyepakati Forward Agreement
secara tertulis.
c. Pada waktu yang diperjanjikan dalam forward
agreement, pemohon dan pemberi melakukan transaksi
lindung nilai sederhana atau kompleks, diikuti dengan
pemindahan dana pokok secara penuh
Sumber: Hasil penelitian, 2019.
Keterangan tabel 4.1.:
a. Subjek Akad: Pelaku Transaksi Lindung Nilai Islam
Pihak yang dibolehkan untuk melakukan transaksi lindung nilai Islam yang diatur dalam PBI
No. 08/02/2015 dan fatwa DSN-MUI No. 96/DSN-MUI/IV/2015 terbatas dalam ketentuan berikut:
a) Lembaga Keuangan Syariah (LKS) atau Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank umum syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
b) Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) atau Bank Umum Konvensional yang selanjutnya
disingkat BUK adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. BUK ini berperan hanya sebagai
penerima lindung nilai. Seperti bank konvensional sebagai penerima manfaat hedging (obyek
hedging).
c) Bank Indonesia, misalnya bank syariah memohon ke Bank Sentral
d) Lembaga Bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah (sebagai penerima lindung nilai)
atau Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perbankan Syariah
e) Orang dan badan hukum lainnya sebagaimana ketentuan berikut: (1) Perorangan yang memiliki
kewarganegaraan Indonesia; atau (2) Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia,
berdomisili di Indonesia termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melaksanakan
kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah, seperti Kemenag, bisnis travel
umroh dan haji
Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga keuangan konvensional tidak boleh
menjadi pihak dalam transaksi hedging syariah, baik sebagai pembeli atau penjual namun sebagai
perantara saja antara pemohon dan penerima transaksi lindung nilai Islam. Sedangkan entitas
keuangan atau non syariah atau non syariah itu boleh menjadi pelaku lindung nilai, baik sebagai
pembeli ataupun penjual, kecuali lembaga keuangan konvensional itu, hanya dibolehkan sebagai
pembeli. Kesimpulan akhir dari pembahasan subyek akad transaksi lindung nilai Islam adalah
bahwasanya pihak-pihak yang boleh terlibat dalam transaksi telah memenuhi ketentuan syariah yaitu
paling sedikit dua orang yang harus sudah baligh, berakal sehat dan cakap untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri.
b. Objek Akad: Produk-Produk Lindung Nilai Islam
Adapun produk-produk yang menjadi obyek transaksi lindung nilai Islam sebagaimana yang
diatur dalam PBI No. 08/02/2015 adalah:
a. Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri;
b. Investasi berupa direct investment, portfolio investment, pembiayaan, modal, dan investasi
lainnya di dalam dan di luar negeri.
Obyek transaksi lindung nilai Islam ini tidak termasuk: (1) penempatan dana pada bank antara
lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD); (2) kegiatan
pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana; dan (3) fasilitas pembiayaan yang masih belum
ditarik, antara lain berupa standby financing dan undisbursed financing. Hal ini senada dengan
obyek akad yang dibolehkan dalam fatwa DSN-MUI No. 96/DSN-MUI/IV/2015 yaitu:
a) Simpanan atas transaksi perdagangan dalam valuta asing yang menggunakan valuta asing antar
bank. Dimana simpanan ini memiliki paparan risiko yang dihadapi Lembaga Keuangan Syariah
karena posisi aset dan liabilitas dalam mata uang asing yang tidak seimbang;
b) Kewajiban atau tagihan dalam mata uang asing yang timbul dari kegiatan yang sesuai prinsip
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku berupa (i) Perdagangan barang dan jasa
di dalam dan luar negeri; dan (ii) investasi berupa direct investment, pinjaman, modal dan
investasi lainnya di dalam dan luar negeri.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa ketentuan obyek akad yang diatur oleh Bank Indonesia
dan DSN-MUI adalah sama secara substansial hanya berbeda dari pengemasan diksi saja. Kalau
ditelaah pada baik pada poin A dan B dari PBI dan fatwa DSN-MUI adalah hedging atas kewajiban
bukan hedging atas aset. contoh underlying atas kewajiban ini seperti kebutuhan dalam valuta asing
untuk penyelenggaraan haji/umroh dan biaya perjalanan ke luar negeri lainnya yang sesuai dengan
syariah, kebutuhan dalam valuta asing untuk biaya pendidikan di luar negeri, atau kebutuhan lainnya
dalam valuta asing yang sesuai dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sehingga di sini dipahami bahwa pelaksanaan atas lindung nilai Islam adalah atas kebutuhan
bukan akad nya, sedangkan akadnya adalah mubah/tahsinat. Akhir kesimpulan adalah bahwa obyek
akad dalam regulasi transaksi lindung nilai Islam di Indonesia telah memenuhi ketentuan syariat
sebagaimana substansi dalam tabel 6.1. Dimana PBI dan fatwa menekankan bahwa transaksi lindung
nilai Islam harus didasari pada underlying assets yang halal atau sesuai prinsip syariah serta riil
(tidak fiktif) yaitu harus benar-benar ada dan dapat diserah terimakan (Bank Indonesia, 2016; DSN-
MUI, 2015b).
c. Sighat Akad
Adapun sighat akad dalam transaksi lindung nilai Islam yang diatur oleh BI dan DSN-MUI
adalah ijab qabul transaksi valuta asing yang dilakukan saat tanggal transaksi. Dimana tanggal ini
telah disepakati pada dokumen forward agreement untuk melakukan transaksi lindung nilai Islam
yang diikuti dengan pemindahan pokok secara penuh. Akhir kesimpulan dari pembahasan mengenai
sub bab ini adalah bahwa bahwa rukun akad dalam transaksi lindung nilai Islam sederhana dan
kompleks dalam PBI No. 08/02/2015 telah memenuhi ketentuan syariat. Lebih jauh selanjutnya
adalah penjelasan mendalam mengenai rukun-rukun dalam transaksi lindung nilai Islam.
2. Syarat Sah Akad
Selanjutnya adalah pembahasan tinjauan syariah mengenai syarat pelaksanaan akad sharf dalam
kedua transaksi tersebut. Dalam buku nya yang masyhur, Tuntas Memahami Halal dan Haram,
ulama fiqh kontemporer yaitu Yusuf Qaradhawi berpendapat bahwa jual beli mata uang harus
memenuhi dua syarat yaitu mata uang yang berbeda jenis, misalnya rupiah dengan dollar) yang
dilakukan secara tunai. Meskipun tidak sama persis, dalam istilah finansial seperti transaksi spot,
yang teknis pembayarannya dapat dilakukan dalam dua hari, sedangkan waktu dua hari dianggap
sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional (Al-
Qaradhawi, 2017). Adapun syarat akad sharf yang diatur dalam fatwa DSN-MUI No. 28/DSN-
MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) dan syarat transaksi lindung nilai Islam dalam
fatwa Nomor 96/DSN-MUI/IV/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-
Islami/Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada tujuan spekulasi
2. Adanya kebutuhan nyata
3. Tidak boleh diselesaikan dengan cara netting
4. Hak janji jual tidak boleh diperjualbelikan
5. Nilai tukar harus disepakati pada saat saling ber-muwa’adah
Sehingga pada pembahasan poin ini, analisa kesyariahan transaksi lindung nilai Islam sederhana
dilakukan dengan mengkomparasikan antara syarat akad sharf dan ketentuan akad yang digunakan
pada kedua transaksi tersebut yang diatur oleh PBI No. 08/02/2015. Hal ini akan menjadi dasar
manifestasi apakah transaksi lindung nilai sederhana dan kompleks telah memenuhi suatu ketentuan
hukum hingga pelaksanaannya dapat dianggap sah. Berikut tinjauan syarat akad pada transaksi
lindung nilai Islam sederhana dan kompleks dari PBI No. 08/02/2015 yang akan disajikan dalam
tabel 4.2.:
Tabel 4.2. Analisa Syarat Akad Transaksi Lindung Nilai Islam Sederhana dan Kompleks
No Syarat Sah Akad Sharf Syarat Lindung Nilai Islam Sederhana dan
Kompleks dalam PBI No. 08/02/2015
Analisa
Syariat
1 Tidak untuk spekulasi
(untung-untungan)
Bunyi pasal 4:
Transaksi Lindung Nilai Syariah tidak boleh
dilakukan untuk tujuan yang bersifat spekulatif
Sesuai
No Syarat Sah Akad Sharf Syarat Lindung Nilai Islam Sederhana dan
Kompleks dalam PBI No. 08/02/2015
Analisa
Syariat
2
Ada kebutuhan transaksi
atau untuk berjaga-jaga
(simpanan)
Bunyi butir 2 dalam Tanya Jawab Surat Edaran
PBI Hedging Syariah: batasan hedging syariah (ii)
Dilakukan apabila terdapat kebutuhan nyata
Sesuai
3
Apabila transaksi
dilakukan terhadap mata
uang sejenis maka
nilainya harus sama dan
secara tunai (at-
taqabudh).
Bunyi pasal 6 ayat 1:
Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Syariah
paling banyak sebesar nilai nominal Underlying
Transaksi yang tercantum dalam dokumen
Underlying Transaksi
Bunyi Pasal 8 ayat 1:
Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh
Sesuai
4
Apabila berlainan jenis
maka harus dilakukan
dengan nilai tukar (kurs)
yang berlaku pada saat
transaksi dilakukan dan
secara tunai.
Bunyi Pasal 6 ayat 3:
Nilai tukar dan perhitungan nilai tukar:
a. harus ditentukan pada saat Forward Agreement;
dan
b. tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Sesuai
5
Menghindari jual beli
bersyarat (khiyar)*
Dokumen tidak boleh
diperjualbelikan
PBI telah mengatur kedua transaksinya untuk tidak
melakukan khiyar syarat karena bertentangan
dengan syarat tunai (taqabudh). Hal ini tercermin
dalam bunyi pasal 5 ayat 3: Dokumen dari Forward
Agreement sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang diperjualbelikan
Sesuai
6
Transaksi berjangka
dilakukan dengan pihak-
pihak yang diyakini
mampu menyediakan
valuta asing yang
dipertukarkan
Bunyi pasal 3:
Transaksi Lindung Nilai Syariah hanya dapat
dimohonkan oleh:
a. Nasabah kepada BUS atau UUS;
b. BUS atau UUS kepada BUS lainnya atau UUS
lainnya; atau
c. BUS atau UUS kepada BUK*
*Penjelasan mengenai pihak-pihak yang terlibat ada
dilampirkan dalam dokumen PBI
Sesuai
7
Menghindari
perdagangan tanpa
penyerahan (future non
delivery Trading)
Bunyi Pasal 8 ayat 1:
Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh
Sesuai
8
Menghindari penjualan
melebihi jumlah nominal
yang dimiliki atau dibeli
(oversold)
Bunyi pasal 6:
(1) Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Syariah
paling banyak sebesar nilai nominal Underlying
Transaksi yang tercantum dalam dokumen
Underlying Transaksi.
Sesuai
9
Tidak dibenarkan
menjual barang yang
belum dikuasai
Bunyi Pasal 9:
Setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib
memiliki Underlying Transaksi. Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di
luar negeri; dan/atau
b. investasi berupa direct investment, portfolio
investment, pembiayaan, modal, dan investasi
lainnya di dalam dan di luar negeri. Didukung
dengan bunyi Pasal 11
Sesuai
No Syarat Sah Akad Sharf Syarat Lindung Nilai Islam Sederhana dan
Kompleks dalam PBI No. 08/02/2015
Analisa
Syariat
(1) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 wajib didukung dengan dokumen
Underlying Transaksi.
Tambahan bahwa dokumen underlying Asset tidak
dapat diperjualbelikan karena belum dikuasai
seutuhnya hingga hari H transaksi sebagaimana yang
dinukil dalam pasal 5 ayat 3.
10 Ketentuan syariah
lainnya
Jika terdapat perubahan atau penyesuaian ketentuan
dari DSN-MUI sebagai pedoman dan acuan
landasan syariah PBI maka PBI akan melakukan
penyesuaian sebagaimana bunyi pasal 1 bahwa
transaksi lindung nilai yang diatur dalam PBI
adalah teknik lindung nilai berdasarkan prinsip
syariah. Prinsip Syariah di sini adalah prinsip
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah (dalam kata lain mengacu pada DSN-MUI).
Sesuai
Sumber: Hasil penelitian, 2019.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan,
maka dapat disimpulkan bahwa analisis shariah compliance terhadap ketentuan PBI nomor
18/2/PBI/2016 tentang transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah sebagai berikut:
1. Instrumen derivatif lindung nilai Islam yang diatur oleh BI (sederhana dan kompleks)
menggunakan akad sharf. Dimana kontekstualisasi hukum Islam, akad sharf dapat digunakan
oleh pelaku IJK Syariah dengan memperhatikan transaksi sharf yang dilarang (forward, futures,
option) dan diperbolehkkan (spot)
2. Analisis shariah compliance terhadap PBI nomor 18/2/PBI/2016 ditinjau melalui pengaturan
rukun dan syarat sah akad sharf dan dalam hal ini telah memenuhi ketentuan syariat sebagaimana
yang diatur dalam pasal 3, 5, 6, 8, dan 10 (rukun akad) dan pasal 3, 4, 6, 8, 9, dan 11 (syarat sah
akad).
Keterbatasan Penelitian
Setelah melakukan analisis dan interpretasi hasil, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan
dan keterbatasan sebagai berikut:
1. Penelitian ini dibatasi pada analisis kesyariahan akad dalam mekanisme yang disusun oleh BI
sementara diskusi empiris mengenai perkembangan transaksi lindung nilai Islam juga penting
untuk dikaji.
2. Obyek penelitian terbatas pada Bank Indonesia sementara DSN-MUI juga mengeluarkan
resolusi dan standar mengenai lindung nilai Islam
3. Penelitian ini belum menampilkan simulasi dari transaksi lindung nilai Islam yang dapat
memberikan gambaran efektifitas penggunaan transaksi
Saran
Agar dapat lebih mengenali transaksi lindung nilai Islam lebih mendalam, dapat dilakukan
penelitian lain yang menguji efektifitas instrumen lindung nilai Islam dibanding konvensional
menggunakan simulasi di PUAS dan PUAB yang dirasakan lebih tepat. Temuan dari simulasi ini
nantinya dapat memberikan gambaran yang komprehensif kepada pelaku IJK Syariah sebagai
pertimbangan penggunaan instrumen lindung nilai Islam. Selain itu, diharapkan penelitian
selanjutnya dapat menyertakan instrumen lain selain derivatif dalam hedging, seperti natural
hedging, operational hedging, international diversification of business, dan lainnya. Penelitian
berikutnya diharapkan dapat lebih menjelaskan pelaksanaan dan standar lindung nilai Islam di timur
tengah atau negara mayoritas muslim sebagai refleksi dan perbandingan konsep. Regulator dalam
hal ini BI juga harus memperhatikan tingkat kompetisi antar pelaku di pasar derivatif, mengingat
semakin besar kecenderungan ke arah lindung nilai konvensional, akan semakin besar pula
ketimpangan lindung nilai Islam yang terjadi sebagai akibat menurunnya kompetisi. Sebagai bahan
pengertian bahwa untuk bisa bersaing dengan instrumen lindung nilai konvensional yang masif
diperlukan pendalaman sosialisasi yang tepat sasaran kepada pelaku IJK Syariah
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu sehingga panduan
ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada Asosiasi Dosen Ilmu
Ekonomi Universitas Brawijaya dan Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya yang memungkinkan jurnal ini bisa diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, L. T. H. (2016). Transaksi Lindung Nilai (Hedging) Dalam Praktik Perbankan Dan
Implikasinya Terhadap Pembaruan Hukum Kontrak Nasional. Rechtidee, 11(1), 84–101.
Agha, E. S., & Sabirzyanov, R. (2015). Risk management in islamic finance: an analysis from
objectives of shari’ah perspective. International Journal of Business, Economics and Law,
7(3), 46–52.
Al-Mundziri, Z. A.-D. ’Abd A.-A. (2008). Ringkasan Shahih Muslim (Baru (HC); S. Djamaluddin
& M. Zoerni, Eds.). Bandung: Mizan Media Utama.
Al-Qaradhawi, Y. (2017). Tuntas Memahami Halal dan Haram (1st ed.; M. T. Wijaya, Ed.). Jakarta:
PT Serambi Semesta Distribusi.
Al-Suwailem, S. (2006). Hedging in Islamic Finance (No. 10). Jeddah.
Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Cet. 25; D. M. H. Basri, Ed.). Jakarta:
Gema Insani.
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 Tentang Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. , Pub. L. No. 13/23/PBI/2011, 1
(2011).
Bank Indonesia. PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/2/PBI/2016 TENTANG
TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. , Pub. L. No.
18/2/PBI/2016, 1 (2016).
Basyir, A. A. (2005). Azas-Azas Hukum Muamalah (Kedua). Yogyakarta: UII Press.
Bowen, G. A. (2009). Document Analysis as a Qualitative Research Method. Qualitative Research
Journal, 9(2), 27–40. https://doi.org/10.3316/QRJ0902027
Creswell, J. W. (2018). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Cetakan
Ke; A. Fawaid, Ed.). Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Dewi, G. (2005). Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Persada Media.
DSN-MUI. (2001). Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional untuk Lembaga Keuangan Syari’ah
(I). Jakarta: DSN-MUI.
DSN-MUI. (2015a). KEPUTUSAN DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJELIS ULAMA
INDONESIA No. 02/DSN-MUI/XII/2015. Retrieved March 10, 2018, from Dewan Syariah
Nasional MUI National Shari a Board - Indonesian Council of Ulama website: mui.or.id
DSN-MUI. TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH (AL-TAHAWWUTH AL-ISLAMI / ISLAMIC
HEDGING) ATAS NILAI TUKAR. , Pub. L. No. NO: 96IDSN-MVI/N 12015, 13 (2015).
DSN. (2002). Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf). Fatwa DSN Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002.
Dusuki, A. W. (2009). Shariah Parameters on Islamic Foreign Exchange Swap as Hedging
Mechanism in Islamic Finance. International Conference on Islamic Perspectives on
Management and Finance, (July), 1–25.
Gunawan, I. D. (2005). Transaksi Derivatif, Hedging, dan Pasar Modal (Cetakan Ke). Jakarta: PT
Grasindo.
Hasan, A. (2004). Mata Uang Islam Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Kasri, N. S., & Rahman, Z. A. (2016). Issues in Islamic Hedging Practices : a Critical Analysis.
ISRA RESEARCH PAPER, 8(88), 105–110.
Khariska, F. (2016). HEDGING INSTRUMEN DERIVATIF DAN DETERMINAN COST OF
EQUITY. Universitas Airlangga.
Laldin, M. A. (2017). Islamic Hedging Standards. Kuala Lumpur: International Shari’ah Research
Academy for Islamic Finance (ISRA).
Levy, R. (2016, August 22). The Amazing Story Behind The World’s First Hedge Fund. Business
Insider, pp. 1–5. Retrieved from https://www.businessinsider.sg/alfred-winslow-jones-
started-the-first-hedge-fund-2016-8/?r=US&IR=T
Loomis, C. J. (2015, December 29). The Jones Nobody Keeps Up With. Fortune, pp. 1–12.
Retrieved from http://fortune.com/2015/12/29/hedge-funds-fortune-1966/
Mas’adi, G. A. (2002). Fiqh Mu’amalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mohamad, S., & Tabatabaei, A. (2008). Islamic Hedging: Gambling or Risk Management? SSRN,
c, 1–19. https://doi.org/10.2139/ssrn.1260110
Mohd Noor, N. S., Ismail, A. G., & Muhammad, M. H. (2018). Shariah Risk: Its Origin, Definition,
and Application in Islamic Finance. SAGE Open, 8(2), 12.
https://doi.org/10.1177/2158244018770237
Mubarokah, S. (2008). Analisis Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf). INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO.
Nor, F. M. R., Mohamad, S., & Noor, S. S. 3. (2018). A Comparison of Speculation and Hedging in
Derivative Market. Gading Journal for the Social Sciences, 21(01), 1–10. Retrieved from
https://gading.learningdistance.org/index.php/gading/article/view/166
Purnomo, R. D., Serfiyani, C. Y., & Hariyani, I. (2013). Pasar Uang & Pasar Valas. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Razif, N. F. M., Mohamad, S., & Rahman, N. N. A. (2012). Permissibility of Hedging in Islamic
Finance. Middle-East Journal of Scientific Research, 12(2), 155–159.
https://doi.org/10.5829/idosi.mejsr.2012.12.2.1679
Sahroni, O., Hasanuddin, & Hakim, C. M. (2016). INSTRUMEN HEDGING DAN SOLUSINYA
MENURUT SYARIAH. Al-Intaj Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 2(2), 71–88.
Saleh, E. T. A. (2006). MANFAAT PENGIMPLEMENTASIAN HEDGING DALAM MENGURANGI
RISIKO KERUGIAN KURS PADA PT “‘X’” DI SURABAYA. Universitas Airlangga.
Samsul, M. (2010). Pasar Berjangka Komoditas dan Derivatif. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera
Hati.
Siahaan, H. (2008). Seluk-Beluk Perdagangan Instrumen Derivatif. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Sugiyono. (2016). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2017a). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sugiyono. (2017b). Metode Penelitian Kuantitaif, kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Zahan, M., & Kennet, R. S. (2011). HEDGING INSTRUMENTS IN CONVENTIONAL AND
ISLAMIC FINANCE. Electronic Journal of Applied Statistical Analysis: Decision Support
Systems and Services Evaluation, 3(1), 59–74. https://doi.org/10.1285/i2037-3627v3n1p1