analisis stabilitas dan sistem perbankan - lps
TRANSCRIPT
Pada edisi ini kami melakukan konstruksi indeks kerentanan ekonomi (economic vulnerability
index) dan indeks ketahanan ekonomi (economic resilience index) untuk mengetahui tingkat
kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap potensi guncangan dari luar. Dua
indeks ini menunjukkan bahwa selama 1995–2013, kecuali pada 1998, ekonomi Indonesia
memiliki kerentanan dan ketahanan yang di bawah rata-rata. Secara umum, perkembangan
dua indeks ini menunjukkan adanya perbaikan.
Kami melakukan analisa pergerakan bersama pasar keuangan (nilai tukar, indeks saham dan
yield obligasi) pada pasar domestik, untuk melihat pengaruh return pasar keuangan negara
berkembang, negara asia, dan negara maju terhadap pergerakan return pasar keuangan
Indonesia pada saat fase stabil dan turbulensi. Selama Januari 2011-Februari 2014, pada fase
turbulensi, pergerakan return IHSG berbanding lurus dengan pergerakan return ekuitas tiga
kelompok negara tersebut. Sedangkan pergerakan return USD/IDR dan yield, berbanding
terbalik dengan pergerakan return nilai tukar dan yield negara maju.
Tahun 2014, perbankan nasional masih dihadapkan dengan risiko likuiditas yang dapat terjadi
bila persaingan suku bunga terlalu ketat sehingga menimbulkan kenaikan suku bunga yang
terlalu tinggi. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada profitabilitas perbankan. Namun,
perbankan belum memberi respon berlebihan terkait posisi likuiditas yang mengetat saat ini
kedalam perilaku bisnisnya. Target pertumbuhan kredit di kisaran 15-17% oleh BI dinilai
sudah tepat dan sesuai untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Risiko perekonomian dan sistem keuangan secara kualitatif beralih ke status normal pada
kuartal IV 2013. Aspek Pasar Keuangan dan Neraca Pembayaran mengalami perbaikan yang
signifikan dari kondisi di kuartal III 2013. Akan tetapi, Aktivitas Bisnis Domestik dan Sistem
Perbankan masih menjadi aspek yang perlu dicermati.
Kami menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,3% menjadi 5,5%.
Meski demikian, kami mempertahankan perkiraan inflasi di 4,8% dan BI rate di 7,5%.
Menurut estimasi terbaru kami, kredit dan dana pihak ketiga akan tumbuh 18,4% dan 14,3%
pada 2014.
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) pada bulan Februari 2014
mengalami penurunan sebesar 43 bps dari Januari 2014 sebesar 101,11 menjadi 100,68 pada
Februari 2014. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP), BSI
kembali berada pada kategori “Normal”.
Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan Triwulan I 2014
Ringkasan
Analisis Kerentanan dan Ketahanan
Ekonomi Indonesia
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
1
Analisis Kerentanan dan Ketahanan Ekonomi Indonesia
Tahun 2013 kembali menunjukkan bahwa persepsi investor terhadap kondisi fundamental
ekonomi suatu negara sangat berpengaruh terhadap perkembangan arus modal asing di negara
itu. Pada tahun lalu, negara-negara berkembang yang memiliki defisit neraca berjalan relatif
besar “dihukum” oleh investor di tengah ekspektasi pengurangan stimulus moneter (tapering)
oleh Federal Reserve. Modal asing jangka pendek banyak keluar dari negara-negara ini, sehingga
berimbas pada depresiasi nilai tukar. Persepsi investor tersebut didasari oleh pemikiran bahwa
kondisi moneter global yang lebih ketat bakal menyulitkan negara-negara ini untuk mencari
dana eksternal untuk membiayai defisit neraca berjalan mereka. Pemikiran ini tidak salah. Meski
begitu, tentu masih ada banyak faktor fundamental domestik lain yang pantas dipertimbangkan
dalam menilai kekuatan suatu perekonomian dalam menghadapi potensi gangguan dari luar.
Tulisan ini ditujukan untuk mengupas aspek kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia yang
secara umum mencerminkan kemampuan perekonomian dalam menghadapi potensi kejutan
yang bersifat eksternal. Analisis difokuskan pada pembentukan indeks yang mencerminkan
kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia.
Kerentanan ekonomi (economic vulnerability) didefiniskan sebagai eksposur suatu perekonomi-
an terhadap guncangan yang bersifat eksogen, yang muncul dari karakter inheren perekonomian
itu. Sedangkan, ketahanan ekonomi (economic resilience) adalah kemampuan suatu perekono-
mian, yang didukung oleh kebijakan, untuk menahan atau pulih dari dampak suatu guncangan
yang kuat. Definisi ini diberikan oleh Briguglio et all dalam makalahnya, yakni “Economic
Vulnerability and Resilience Concepts and Measurements”, yang dimuat di WIDER Research
Paper pada Mei 2008. Pembedaan dua aspek ini penting karena suatu perekonomian bisa
memiliki kerentanan yang tinggi, namun kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya membuatnya
memiliki ketahanan yang baik dalam menghadapi potensi guncangan dari luar. Sebaliknya,
kebijakan yang salah bisa membuat suatu perekonomian memiliki ketahanan yang buruk dalam
menghadapi guncangan eksternal, meski secara inheren perekonomian itu sebenarnya tidak
rentan. Perbedaan dua aspek ini membuat pemetaan tingkat kerentanan dan ketahanan suatu
perekonomian menjadi penting, karena hal ini bisa menunjukkan risiko yang dihadapi jika terjadi
guncangan dari luar.
Tingkat kerentanan dan ketahanan ekonomi diukur dengan indeks berbeda yang mencakup
aspek-aspek yang menjadi penjelasnya. Penyusunan indeks kerentanan ekonomi (economic
vulnerability index atau EVI) telah menjadi objek penelitian yang cukup intensif. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, melalui salah satu unitnya, the Committee for Development
Policy (CDP), mengembangkan EVI sebagai salah satu kriteria untuk mengidentifikasi negara-
negara berkembang yang terbelakang (least developing countries). Konstruksi EVI, beserta
dengan indeks ketahanan ekonomi (economic resilience index atau ERI), pada tulisan ini
menggunakan hasil studi Briguglio et al (2008).
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
2
Ind
eks
Ko
mp
on
en
Asp
ek
Yan
g D
ije
lask
anP
roks
iSu
mb
er
Dat
a
EVI
Ke
terb
uka
an e
kon
om
iEk
spo
sur
terh
adap
gu
nca
nga
n e
kste
rnal
me
lalu
i jal
ur
pe
rdag
anga
n
lin
tas
ne
gara
Rat
a-ra
ta p
ors
i eks
po
r d
an im
po
r b
aran
g d
an ja
sa t
erh
adap
PD
B n
om
inal
CEI
C, I
MF
Ko
nse
ntr
asi e
ksp
or
Ke
terg
antu
nga
n t
erh
adap
eks
po
r b
aran
g te
rte
ntu
Ind
eks
ko
nse
ntr
asi e
ksp
or
UN
CTA
D
Ke
terg
antu
nga
n t
erh
adap
imp
or
Ke
terg
antu
nga
n t
erh
adap
imp
or
bar
ang
tert
en
tuP
ors
i im
po
r p
rod
uk
pe
rtan
ian
ata
u p
rod
uk
tam
ban
g d
an b
ahan
bak
ar (
dip
ilih
yan
g te
rtin
ggi)
te
rhad
ap P
DB
no
min
alB
ank
Du
nia
, CEI
C, I
ntr
ace
n, W
TO
Po
pu
lasi
Ke
be
raga
man
akt
ivit
as e
kon
om
iJu
mla
h p
en
du
du
kC
EIC
, IM
F
Ke
tid
akst
abil
an p
rod
uks
i pe
rtan
ian
Ke
ren
tan
an t
erh
adap
pe
rub
ahan
ko
nd
isi a
lam
Stan
dar
de
vias
i dar
i pe
rtu
mb
uh
an o
utp
ut
pe
rtan
ian
pad
a 10
tah
un
te
rakh
irB
ank
Du
nia
, CEI
C
Ke
terg
antu
nga
n t
erh
adap
mo
dal
asi
ng
Ke
ren
tan
an t
erh
adap
ris
iko
pe
nar
ikan
mo
dal
asi
ng
Ras
io s
urp
lus/
de
fisi
t n
era
ca b
erj
alan
te
rhad
ap P
DB
no
min
alIM
F, b
ank
sen
tral
ERI
Stab
ilit
as m
akro
eko
no
mi:
Surp
lus/
de
fisi
t fi
skal
Re
spo
ns
keb
ijak
an f
iska
l un
tuk
me
ngh
adap
i/m
en
gan
tisi
pas
i
gun
can
gan
Ras
io s
urp
lus/
de
fisi
t an
ggar
an p
em
eri
nta
han
um
um
te
rhad
ap P
DB
no
min
alIM
F
Eco
no
mic
mis
ery
ind
ex
Pe
nge
lola
an k
eb
ijak
an f
iska
l dan
mo
ne
ter
Pe
nju
mla
han
infl
asi d
an t
ingk
at p
en
gan
ggu
ran
CEI
C, I
MF
Uta
ng
luar
ne
geri
Ke
bij
akan
luar
ne
geri
yan
g d
ite
mp
uh
inst
itu
si p
ub
lik
dan
sw
asta
Ras
io u
tan
g lu
ar n
ege
ri t
erh
adap
PD
BC
EIC
, IM
F, b
ank
sen
tral
Efis
ien
si p
asar
di s
ekt
or
mik
ro:
Re
gula
si d
i pas
ar k
red
itEf
isie
nsi
alo
kasi
su
mb
er
day
a d
i pas
ar k
red
itSu
b-i
nd
eks
re
gula
si d
i pas
ar k
red
it d
ari E
con
om
ic F
ree
do
m o
f th
e W
orl
d In
de
xFr
ase
r In
stit
ute
Re
gula
si d
i pas
ar t
en
aga
kerj
aEf
isie
nsi
alo
kasi
su
mb
er
day
a d
i pas
ar t
en
aga
kerj
aSu
b-i
nd
eks
re
gula
si d
i pas
ar t
en
aga
kerj
a d
ari E
con
om
ic F
ree
do
m o
f th
e W
orl
d
Ind
ex
Fras
er
Inst
itu
te
Re
gula
si b
isn
isEf
isie
nsi
alo
kasi
su
mb
er
day
a d
i du
nia
usa
ha
Sub
-in
de
ks r
egu
lasi
bis
nis
dar
i Eco
no
mic
Fre
ed
om
of
the
Wo
rld
Ind
ex
Fras
er
Inst
itu
te
Tata
ke
lola
pe
me
rin
tah
an
Ind
ep
en
de
nsi
hu
kum
Ke
ren
tan
an a
kib
at h
uku
m y
ang
tid
ak in
de
pe
nd
en
Sub
-in
de
ks in
de
pe
nd
en
si h
uku
m d
ari E
con
om
ic F
ree
do
m o
f th
e W
orl
d In
de
xFr
ase
r In
stit
ute
Ke
tid
akb
erp
ihak
an p
en
gad
ilan
Ke
ren
tan
an a
kib
at p
en
gad
ilan
yan
g m
em
ihak
Sub
-in
de
ks k
eti
dak
be
rpih
akan
pe
nga
dil
an d
ari E
con
om
ic F
ree
do
m o
f th
e W
orl
d
Ind
ex
Fras
er
Inst
itu
te
Pro
teks
i ata
s ke
kaya
an in
tele
ktu
alK
ere
nta
nan
aki
bat
pe
lan
ggar
an k
eka
yaan
inte
lekt
ual
Sub
-in
de
ks p
rote
ksi a
tas
keka
yaan
inte
lekt
ual
dar
i Eco
no
mic
Fre
ed
om
of
the
Wo
rld
Ind
ex
Fras
er
Inst
itu
te
Inte
rve
nsi
mil
ite
r d
alam
hu
kum
Ke
ren
tan
an a
kib
at c
amp
ur
tan
gan
mil
ite
r d
alam
pro
ses
hu
kum
Sub
-in
de
ks in
terv
en
si m
ilit
er
dal
am h
uku
m d
ari E
con
om
ic F
ree
do
m o
f th
e
Wo
rld
Ind
ex
Fras
er
Inst
itu
te
Inte
grit
as s
iste
m p
en
gad
ilan
Ke
ren
tan
an a
kib
at s
iste
m p
en
gad
ilan
yan
g ti
dak
be
rin
tegr
itas
Sub
-in
de
ks in
tegr
itas
sis
tem
pe
nga
dil
an d
ari E
con
om
ic F
ree
do
m o
f th
e W
orl
d
Ind
ex
Fras
er
Inst
itu
te
Pe
rke
mb
anga
n s
osi
alK
ual
itas
su
mb
er
day
a m
anu
sia
Hu
man
De
velo
pm
en
t In
de
x (H
DI)
UN
DP
Tab
el 1
. Des
krip
si k
om
po
nen
-ko
mp
on
en y
ang
men
yusu
n E
VI d
an E
RI
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
3
Untuk mengukur tingkat kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi guncangan
eksternal, kami menyusun EVI yang mencakup komponen-komponen: 1) keterbukaan ekonomi;
2) konsentrasi ekspor; 3) ketergantungan terhadap impor; 4) besar populasi; 5) ketidakstabilan
produksi pertanian; dan 6) ketergantungan terhadap modal asing. Sementara, ERI kami hitung
dengan mencakup empat komponen, yaitu: 1) stabilitas makroekonomi; 2) efisiensi pasar di
sektor mikro (microeconomic market efficiency); 3) tata kelola pemerintahan; dan 4)
perkembangan sosial. Penjelasan komponen-komponen ini, berikut proksi dan sumber datanya
dijabarkan pada Tabel 1.
EVI dan ERI sebenarnya adalah indeks relatif yang membandingkan indikator Indonesia dengan
negara lain. Ada 10 negara yang kami cakup dalam analisis ini, yaitu Afrika Selatan, Brazil, China,
Filipina, India, Indonesia, Malaysia, Rusia, Thailand, dan Turki. Data dari tiap negara pada suatu
tahun tertentu dinormalisasi dengan persamaan berikut:
yang mana adalah nilai komponen j hasil normalisasi untuk negara i dan adalah nilai
aktual komponen j untuk negara i. Sedangkan, dan adalah nilai maksimal dan nilai
minimal komponen j dari 10 negara pada satu tahun yang sama. Dengan normalisasi ini, nilai
yang dihasilkan akan berkisar dari 0 (paling tidak rentan untuk EVI dan paling lemah untuk ERI)
hingga 100 (paling rentan untuk EVI dan paling kuat untuk ERI). Normalisasi di atas dilakukan
untuk indikator-indikator yang jika semakin besar menunjukkan bahwa perekonomian menjadi
makin rentan (EVI) atau makin kuat (ERI). Untuk indikator-indikator yang menunjukkan kondisi
berkebalikan (misalnya utang luar negeri), diberlakukan normalisasi dengan formula berikut:
Data tertentu tidak tersedia untuk periode tertentu, sehingga kami harus melakukan interpolasi.
Setelah melakukan normalisasi untuk tiap komponen, dihasilkan EVI dan ERI yang adalah hasil
rata-rata sederhana dari komponen-komponen yang menyusunnya. Dengan begitu, bobot tiap
komponen diasumsikan sama.
Indeks kerentanan ekonomi (EVI) dan indeks ketahanan ekonomi (ERI) lalu dapat dipetakan ke
dalam grafik cartesius. Dalam tulisan ini, sumbu X (horisontal) dan sumbu Y (vertikal) tidak
berada di titik nol, melainkan di posisi rata-rata EVI dan ERI untuk seluruh periode observasi
(1995–2013) dan semua negara. Dengan demikian, akan terbentuk empat kuadran yang masing-
masing dibatasi oleh sumbu X dan Y. Kuadran I di kiri atas menunjukkan kondisi worst case
karena perekonomian memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dan ketahanan yang rendah.
Kuadran II di kanan atas disebut oleh Briguglio et al (2008) sebagai self made, artinya
perekonomian memiliki kerentanan yang tinggi, namun dengan ketahanan yang juga tinggi.
Kuadran III di kiri bawah disebut sebagai prodigal son. Perekonomian yang ada di kuadran ini
memiliki kerentanan yang rendah, tapi juga ketahanan yang rendah. Terakhir, kuadran IV di
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
4
kanan bawah disebut best case karena posisi kerentanan yang rendah dan ketahanan yang
tinggi. Pembagian kuadran ini juga menunjukkan kondisi perubahan koordinat posisi EVI/ERI
yang diinginkan (desirable), yakni menuju ke kiri atas. Sebaliknya, pergerakan ke kanan bawah
tidak diinginkan (undesirable).
Pemetaan EVI dan ERI Indonesia selama 1995 hingga 2013 ditampilkan pada Gambar 1. Terlihat
bahwa sepanjang periode observasi, kecuali pada 1998, ekonomi Indonesia berada pada
kuadran prodigal son, atau memiliki kerentanan yang rendah, tapi dengan ketahanan yang juga
rendah. Ada beberapa perubahan koordinat yang desirable, yakni pada 1999, 2002, 2006, dan
2009. Sebaliknya, pergerakan yang undesirable terjadi pada 1998, 2000, 2004–2005, dan 2012.
Sumber: LPS Gambar 1. Pemetaan EVI dan ERI Indonesia, 1995–2013
Jika dilihat terpisah, pergerakan EVI dan ERI Indonesia sebenarnya menunjukkan perkembangan
yang positif. EVI cenderung turun dari titik puncaknya pada 1998, menggambarkan penurunan
kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi potensi guncangan dari luar. Di saat yang
sama, ERI juga cenderung naik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ditempuh otoritas fiskal
dan moneter telah memperbaiki daya tahan ekonomi Indonesia dalam menghadapi guncangan.
Jika dilihat komponen-komponen yang menyusun EVI, kekuatan utama Indonesia adalah pada
produksi sektor pertaniannya yang cenderung lebih stabil dan kondisi ekonominya yang relatif
tidak terbuka jika dibandingkan dengan sembilan negara lain. Sementara itu, penurunan ERI
Indonesia ditunjang oleh perbaikan yang gradual di sisi tata kelola pemerintahan, relatif
terhadap kondisi di negara lain. Akan tetapi, kualitas sumber daya manusia secara konsisten
menjadi faktor yang membatasi perbaikan daya tahan ekonomi Indonesia.
Secara historis, EVI dan ERI Indonesia juga menunjukkan tingkat kerentanan yang tinggi dan
tingkat ketahanan yang rendah pada tahun menjelang krisis 1997/1998. Ini menjelaskan posisi
Indonesia sebagai negara yang paling terdampak oleh krisis di Asia pada saat itu, yang diawali
oleh kejadian eksternal berupa pelepasan pematokan (unpegging) baht terhadap dolar AS. Pada
waktu yang sama, Thailand dan Malaysia memiliki kerentanan yang lebih buruk, tapi
ekonominya memiliki daya tahan yang jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. ERI tampaknya
juga mampu menunjukkan seberapa lama suatu perekonomian akan keluar dari kondisi krisis.
Identik dengan kasus Indonesia, Rusia juga memiliki ERI yang relatif rendah pada paruh kedua
1995
1996
1998
20012002
2005
2007
2009
2013
0
10
20
30
40
50
0 10 20 30 40 50 60
EVI
ERI
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
5
dekade 1990-an. Bukan kebetulan jika negara ini terjebak dalam resesi pada 1995, 1996, dan
1998. Di sisi lain, faktor kerentanan menjadi lebih penting dibandingkan ketahanan saat ekonomi
dunia dilanda krisis pada 2008/2009. Afrika Selatan, Malaysia, Rusia, Thailand, dan Turki –yang
memiliki EVI di atas rata-rata pada 2007– tercatat mengalami resesi ekonomi pada 2009.
Sumber: LPS Gambar 2. Pemetaan EVI dan ERI 10 Negara Berkembang pada 1996, 2007, 2012, dan 2013
Sementara itu, Gambar 2 menjelaskan bahwa EVI dan ERI tidak mampu menjelaskan perilaku
investor global yang banyak menarik dananya dari kelompok negara-negara the Fragile Five. The
Fragile Five adalah nama yang disematkan pada lima negara yang dianggap rentan ketika terjadi
turbulensi di pasar finansial global pada 2013. Lima negara itu adalah Afrika Selatan, Brazil, India,
Indonesia, dan Turki. Setahun menjelang turbulensi (pada 2012), Brazil dan Indonesia memang
masih memiliki tingkat daya tahan ekonomi yang relatif buruk dibanding, misalnya, Malaysia dan
Thailand. Akan tetapi, Brazil dan Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang jauh lebih rendah.
Di sisi lain, Afrika Selatan dan India juga memiliki daya tahan ekonomi yang lebih baik
dibandingkan Filipina, Rusia, dan Thailand. Untuk kasus Turki, persepsi investor global bisa
dimaklumi, mengingat posisi EVI dan ERI-nya yang relatif tinggi. (SW, TS)
Brazil
ChinaIndia
Indonesia
Malaysia
Filipina
Rusia
Afrika Selatan
Thailand
Turki
0
20
40
60
80
100
0 20 40 60 80 100
ERI
EVI
1996
Brazil
China India
Indonesia
Malaysia
Filipina
Rusia
Afrika Selatan
ThailandTurki
0
20
40
60
80
100
0 20 40 60 80 100
ERI
EVI
2012
Brazil
China India
Indonesia
Malaysia
Filipina
Rusia
Afrika Selatan
Thailand
Turki
0
20
40
60
80
100
0 20 40 60 80 100
ERI
EVI
2013
Brazil
ChinaIndia
Indonesia
Malaysia
Filipina
Rusia
Afrika Selatan
Thailand
Turki
0
20
40
60
80
100
0 20 40 60 80 100
ERI
EVI
2007
Analisa Co-movement Pasar Keuangan
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
6
Analisa Pergerakan Bersama Pasar Keuangan (Nilai Tukar, Indeks Saham, dan Yield Obligasi)
Pergerakan pasar keuangan di negara berkembang, negara di kawasan Asia dan negara maju
selalu menjadi topik menarik dalam berbagai studi empiris. Yang menjadi perhatian tentu
saja tidak hanya karakteristik risiko dan return yang dimiliki oleh masing-masing kawasan.
Bivariate linkage, baik antar negara maupun antar kawasan, telah menjadi konsentrasi yang
terus digali secara komprehensif, yang mana hal tersebut akan mempengaruhi risk appetite
investor dalam melakukan manajemen portofolionya. Sebagai contoh sederhana, korelasi
yang kecil di antara rupiah dan poundsterling dapat memberikan referensi bagi investor
untuk melakukan diversifikasi investasi di pasar uang global. Ketika poundsterling terdepre-
siasi, investor dapat menjadikan rupiah sebagai alternatif investasi di pasar valuta asing
(valas). Sebaliknya, korelasi positif yang kuat antara rupiah dan baht dapat mendeteksi
adanya dynamic co-movement yang sama, sehingga ketika baht terguncang, rupiah akan
memiliki probabilitas yang lebih besar untuk mengalami hal serupa.
Pada edisi ini, kami akan mengkaji linkage co-movement dari nilai tukar, saham, dan imbal
hasil (yield) obligasi pemerintah antara Indonesia dengan negara berkembang utama lain
(India, Brazil, Turki, Thailand, Filipina, Afrika Selatan, dan Malaysia), negara di kawasan Asia
(Jepang, China, India, Korea, Singapura, dan Taiwan), dan negara maju (Amerika Serikat atau
AS, Inggris, dan Jepang). Metode yang kami implementasikan dalam melakukan analisa
tersebut adalah pemodelan Markov Switching. Pemodelan ini memungkinkan kami untuk
melakukan analisa pergerakan USD/IDR, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan imbal
hasil obligasi pemerintah bersamaan dengan pergerakan nilai tukar, saham, dan imbal hasil
obligasi pemerintah dari tiga kelompok negara, yaitu negara berkembang, negara di
kawasan Asia, dan negara maju.
Data yang digunakan dalam pemodelan ini merupakan data harian nilai tukar, indeks harga
saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun dari tiga kelompok negara.
Periode observasinya dimulai dari 5 Januari 2011 sampai dengan 28 Februari 2014 (777
observasi, lihat Tabel 2). Pada tahap pertama, kami melakukan normalisasi terhadap data
mentah. Setelah itu, kami menyusun indeks nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi
pemerintah untuk masing-masing tiga kelompok negara. Indeks ini adalah rata-rata terbobot
dari nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah tiap negara yang sudah
dinormalisasi. Bobot yang kami gunakan adalah rasio produk domestik bruto (PDB) nominal
tiap negara terhadap total PDB pada masing-masing kelompok negara.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
7
Sumber: LPS Tabel 2. Daftar Variabel yang Digunakan
Untuk mengantisipasi masalah non-linearitas pada data, kami melakukan transformasi pada
data indeks dengan logaritma natural terlebih dahulu, sebelum menggunakan data tersebut
dalam pemodelan Markov Switching. Data yang kami pakai dalam pemodelan kali ini adalah
data dalam bentuk tingkat pertumbuhan (growth rate).
Dalam bentuk persamaan matematis, model Markov Switching yang kami implementasikan
pada edisi ini adalah sebagai berikut:
),0(,2
2
1
t
t
t
St
ttS
ttS
t NIDx
xy
(1)
yang mana ty adalah indeks USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10
tahun. Sedangkan, tx adalah variabel eksogen yang dapat disusun sebagai indeks growth
rate nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah untuk negara berkembang,
negara di kawasan Asia, dan negara maju. State menunjukkan kondisi indeks
USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah pada saat kondisi stabil. Sementara,
menunjukkan kondisi indeks USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah pada
saat turbulensi.
Sebelum melakukan analisa Markov Switching, terlebih dahulu kami melihat koefisien
korelasi di antara dua variabel (misalnya, indeks USD/IDR dengan indeks nilai tukar negara
berkembang). Tabel 3, 4, dan 5 masing-masing menggambarkan nilai koefisien korelasi antar
nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah untuk semua negara.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
8
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 3. Matriks Koefisien Korelasi antar Nilai Tukar
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 4. Matriks Koefisien Korelasi antar Indeks Harga Saham
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 5. Matriks Koefisien Korelasi antar Imbal Hasil Obligasi Pemerintah Bertenor 10 Tahun
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
9
Koefisien korelasi antar nilai tukar (Tabel 3) menunjukkan bahwa rupiah memiliki korelasi
yang negatif dengan euro, yen, dan poundsterling. Artinya, ketika rupiah terdepresiasi,
investor dapat mempertimbangkan tiga mata uang tersebut sebagai safe haven dalam
rangka diversifikasi investasi di pasar valas.
Untuk nilai saham, IHSG memiliki korelasi positif dengan indeks harga saham dari semua
negara yang kami pantau. Hal tersebut mengindikasikan adanya pergerakan bersama antar
harga saham di semua negara yang kami teliti. Dengan demikian, ketika IHSG mengalami
fase bearish, indeks harga saham lain terindikasi berada di fase serupa. Ini terjadi mengingat
karakteristik pergerakan harga saham yang rentan terhadap perkembangan isu-isu global
yang bersifat short-term.
Sedangkan, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia memiliki korelasi negatif dengan imbal
hasil obligasi pemerintah AS dan Jepang. Artinya, ketika terdapat tekanan di pasar surat
berharga negara (SBN) domestik, yang ditandai dengan kenaikan imbal hasil SBN yang cukup
signifikan akibat faktor fundamental domestik atau eksternal, maka investor global dapat
melakukan diversifikasi portofolio dengan membeli obligasi pemerintah AS atau Jepang.
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 6. Hasil Estimasi Koefisien Persamaan Markov Switching
Hasil estimasi Markov Switching menunjukkan bahwa koefisien St (parameter Markov
Switching) pada Tabel 6 secara umum berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
(α = 5%) untuk nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah negara
berkembang. Nilai standar deviasi untuk dua state tersebut bernilai relatif kecil, terutama
pada model nilai tukar tiga kelompok negara. Ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan
pemodelan Markov Swithing pada periode observasi yang kami pantau, volatilitas yang
terjadi di pasar valas lebih kecil dibandingkan volatilitas yang terjadi di pasar SBN, dan
volatilitas di pasar SBN lebih kecil dibandingkan volatilitas di pasar saham.
Secara lebih terperinci, hasil estimasi Markov Switching pada Tabel 6 dapat diinterpretasikan
sebagai berikut:
1. Selama fase stabil, ketika return indeks nilai tukar negara berkembang naik sebesar 1%
maka rata-rata return USD/IDR harian naik sebesar 0,0041%. Pada fase turbulensi, rata-
rata return harian USD/IDR naik sebesar 0,0078% jika return indeks nilai tukar negara
Nilai
Tukar Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev.
State 1 0.000041 0.000 3.41E-15 0.000023 0.000 1.53E-14 -0.000004 0.000 6.50E-15
State 2 0.000078 0.020 1.40E-13 0.000007 0.720 3.34E-13 -0.000001 0.480 2.24E-13
Harga
Saham Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev.
State 1 0.491 0.000 0.105 -0.004 0.760 0.014 1.294 0.000 0.148
State 2 0.791 0.000 0.247 0.153 0.250 0.133 2.299 0.000 0.383
Yield
Obligasi Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev. Koefisien Beta P-Value Std. Dev.
State 1 0.006 0.660 0.013 0.004 0.650 0.008 -0.016 0.080 0.009
State 2 0.077 0.020 0.032 0.037 0.280 0.034 -0.012 0.780 0.045
Negara Berkembang Negara Asia Negara Maju
Negara Berkembang Negara Asia Negara Maju
Negara Berkembang Negara Asia Negara Maju
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
10
berkembang naik 1%. Sebaliknya, kenaikan return indeks nilai tukar negara maju sebesar
1% menyebabkan rata-rata return USD/IDR turun sebanyak 0,0001% pada fase stabil dan
turun 0,0004% pada fase turbulensi. Hasil estimasi ini selaras dengan hasil koefisien
korelasi .
2. Mengenai pergerakan bersama harga saham, selama fase stabil, rata-rata return IHSG
harian naik mendekati angka 0,5% yang disebabkan oleh 1% kenaikan return indeks
harga saham negara berkembang. Sedangkan, selama fase turbulensi, rata-rata return
harian IHSG naik 0,8%. Hasil estimasi tersebut lebih kecil dibanding dampak pergerakan
bersama dari negara maju, yang mana rata-rata return harian IHSG naik 1,29% pada fase
stabil dan naik 2,3% pada fase turbulensi. Dengan kata lain, pada dua fase, pergerakan
return IHSG berbanding lurus dengan pergerakan harga saham negara berkembang dan
negara maju.
3. Pada fase turbulensi, rata-rata pertumbuhan harian imbal hasil obligasi pemerintah
Indonesia naik sebanyak 0,077% yang disebabkan oleh 1% kenaikan pertumbuhan harian
imbal hasil obligasi negara berkembang. Kondisi sebaliknya terlihat pada hubungan
imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dengan negara maju. Jika pertumbuhan imbal
hasil obligasi pemerintah negara maju meningkat 1%, pertumbuhan imbal hasil obligasi
pemerintah Indonesia turun 0,012%. Ini menunjukkan bahwa ketika terdapat guncangan
yang cukup signifikan pada pasar SBN negara maju, risk appetite investor global untuk
obligasi di pasar domestik (Indonesia) akan naik sehingga hal tersebut akan berdampak
pada penurunan rata-rata pertumbuhan imbal hasil obligasi domestik.
Output Markov Switching berupa smoothed probabilities untuk persamaan (1) disajikan
dalam Gambar 3, 4, dan 5. Masing-masing gambar tersebut menunjukkan nilai probabilitas
USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah berada pada kondisi turbulensi (state 2).
Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 3. Smoothed Probabilities untuk USD/IDR terhadap Indeks Nilai Tukar Tiga Kelompok
Negara
8000
8500
9000
9500
10000
10500
11000
11500
12000
12500
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Jan
-11
Jan
-11
Feb
-11
Mar
-11
Mar
-11
Ap
r-1
1
May
-11
May
-11
Jun
-11
Jul-
11
Au
g-1
1
Au
g-1
1
Sep
-11
Oct
-11
Oct
-11
No
v-1
1
De
c-1
1
De
c-1
1
Jan
-12
Feb
-12
Feb
-12
Mar
-12
Ap
r-1
2
Ap
r-1
2
May
-12
Jun
-12
Jul-
12
Jul-
12
Au
g-1
2
Sep
-12
Sep
-12
Oct
-12
No
v-1
2
No
v-1
2
De
c-1
2
Jan
-13
Jan
-13
Feb
-13
Mar
-13
Ap
r-1
3
Ap
r-1
3
May
-13
Jun
-13
Jun
-13
Jul-
13
Au
g-1
3
Au
g-1
3
Sep
-13
Oct
-13
Oct
-13
No
v-1
3
De
c-1
3
De
c-1
3
Jan
-14
Feb
-14
P(St=2) (volatile_EM) P(St=2) (volatile_Asian) P(St=2) (volatile_Center) USDIDR (RHS)
Apresiasi
Apresiasi
Apresiasi ApresiasiApresiasi
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
11
Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 4. Smoothed Probabilities untuk IHSG terhadap Indeks Saham Tiga Kelompok Negara
Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 5. Smoothed Probabilities untuk Imbal Hasil Obligasi Pemerintah Bertenor 10 Tahun
terhadap Indeks Imbal Hasil Obligasi Tiga Kelompok Negara
Gambar 3 menunjukkan pergerakan USD/IDR pada saat turbulensi (state 2) bersamaan
dengan indeks pergerakan nilai tukar negara berkembang, negara di kawasan Asia, dan
negara maju. Di saat indeks nilai tukar tiga kelompok negara tersebut bergejolak, maka
probabilitas USD/IDR akan berada pada kondisi turbulensi (state 2), bernilai antara 0,5 dan
1. Pada Gambar 3, periode ketika USD/IDR mengalami kondisi turbulensi ditunjukkan oleh
area dengan shading berwarna biru. Hal tersebut mengindikasikan bahwa selain faktor
fundamental domestik seperti defisit neraca perdagangan atau inflasi, faktor contagion
3000
3500
4000
4500
5000
5500
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Jan
-11
Feb
-11
Mar
-11
Ap
r-1
1
May
-11
Jun
-11
Jul-
11
Au
g-1
1
Sep
-11
Oct
-11
No
v-1
1
De
c-1
1
Jan
-12
Feb
-12
Mar
-12
Ap
r-1
2
May
-12
Jun
-12
Jul-
12
Au
g-1
2
Sep
-12
Oct
-12
No
v-1
2
De
c-1
2
Jan
-13
Feb
-13
Mar
-13
Ap
r-1
3
May
-13
Jun
-13
Jul-
13
Au
g-1
3
Sep
-13
Oct
-13
No
v-1
3
De
c-1
3
Jan
-14
Feb
-14
P(St=2) (volatile_EM) P(St=2) (volatile_Asian) P(St=2) (volatile_Center) IHSG (RHS)
BullishBullish
Bullish
Bullish
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Jan
-11
Feb
-11
Mar
-11
Ap
r-1
1
May
-11
Jun
-11
Jul-
11
Au
g-1
1
Sep
-11
Oct
-11
No
v-1
1
De
c-1
1
Jan
-12
Feb
-12
Mar
-12
Ap
r-1
2
May
-12
Jun
-12
Jul-
12
Au
g-1
2
Sep
-12
Oct
-12
No
v-1
2
De
c-1
2
Jan
-13
Feb
-13
Mar
-13
Ap
r-1
3
May
-13
Jun
-13
Jul-
13
Au
g-1
3
Sep
-13
Oct
-13
No
v-1
3
De
c-1
3
Jan
-14
Feb
-14
P(St=2) (volatile_EM) P(St=2) (volatile_Asian) P(St=2) (volatile_Center)
10Y Yield Indo Gov Bond (RHS) Spread Yield US & Indo Gov Bond(RHS)
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
12
sangat mempengaruhi fluktuasi USD/IDR. Tabel 7 menunjukkan bahwa co-movement antara
USD/IDR dan indeks nilai tukar negara berkembang (co-movement di sini berarti probabilitas
turbulensi keduanya berada di atas 0,5 pada waktu yang sama) terjadi sebanyak 37% dari
total observasi yang kami teliti. Angka 37% ini lebih besar daripada proporsi frekuensi co-
movement USD/IDR dengan indeks nilai tukar negara Asia dan negara maju. Dengan
demikian, USD/IDR memiliki linkage co-movement dengan nilai tukar di negara berkembang.
Sehingga, ketika nilai tukar di negara berkembang berada pada kondisi turbulensi, maka
rupiah akan sangat rentan untuk mengalami kondisi yang sama.
Pada pasar saham, tren penguatan IHSG telah terlihat mulai dari 2Q12 sampai 2Q13. Hal ini
ditunjukkan oleh IHSG yang memiliki probabilitas turbulensi yang sangat kecil atau di bawah
0,5 (Gambar 4). Pada periode tersebut, bursa saham negara berkembang menunjukkan
kinerja positif sebagai dampak dari sentimen positif di pasar global dan kondisi fundamental
negara berkembang yang relatif kuat. Di negara maju, program Quantitative Easing III yang
dijalankan the Fed menyebabkan adanya capital inflow yang cukup deras ke pasar saham
Indonesia. Kondisi sebaliknya terjadi pada periode pertengahan Mei 2013 hingga akhir
September 2013, ketika isu QE tapering muncul dan menjadi sentimen negatif yang
mendorong investor asing untuk melakukan portfolio adjustment di negara berkembang.
Pada periode tersebut, IHSG bergerak fluktuatif dan menyebabkan probabilitas IHSG berada
pada state 2 (turbulensi) naik mendekati 1. Dari Tabel 7, dapat dilihat bahwa proporsi
frekuensi co-movement IHSG terbesar adalah bersama dengan indeks harga saham negara
maju. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa IHSG memiliki linkage co-movement
dengan harga saham negara maju.
Sumber: Bloomberg, LPS
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Co-movement Nilai Tukar, Harga Saham, dan Imbal Hasil Obligasi
Pemerintah Bertenor 10 Tahun pada Fase Turbulensi
Tabel 7 juga menunjukkan distribusi frekuensi imbal hasil obligasi ketika berada pada kondisi
turbulensi. Pada tabel tersebut, terlihat bahwa frekuensi co-movement imbal hasil obligasi
pemerintah Indonesia dengan imbal hasil obligasi pemerintah negara berkembang, negara di
kawasan Asia, dan negara maju tidak memiliki perbedaan yang signifikan. (RR, DSR)
yt Negara Berkembang Negara Asia Negara Maju
Nilai Tukar 0.37 0.34 0.28
Harga Saham 0.34 0.30 0.36
Imbal Hasil Obligasi 10 Thn 0.34 0.33 0.33
Likuiditas Perbankan: Permasalahan,
Risiko dan Kebijakan
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
13
Likuiditas Perbankan: Permasalahan, Risiko, dan Kebijakan
Salah satu tema besar risiko sistem perbankan saat ini adalah likuiditas yang ketat. Pada
Desember 2013, rasio kredit terhadap simpanan (LDR) perbankan telah mencapai 90%, level
tertinggi sejak krisis 1997/1998. Sepanjang Desember 2012 hingga Desember 2013, sistem
perbankan telah menyalurkan dana pinjaman sebesar Rp 594,2 triliun, sedangkan dana pihak
ketiga (DPK) yang dihimpun pada periode yang sama hanya sebesar Rp 438,8 triliun. Dengan
kata lain, telah terjadi net fund outflow sebesar Rp 155,4 triliun. Net fund outflow ini terlihat
mengalami sedikit penurunan dibandingkan pada bulan lalu.
Sumber: BI Gambar 6. Pertumbuhan DPK dan Kredit Perbankan
Kondisi ini jelas tidak stabil dan menimbulkan potensi risiko likuiditas yang signifikan bagi
perbankan. Risiko dapat terjadi jika persaingan suku bunga terlalu ketat, sehingga
menimbulkan kenaikan bunga yang terlalu tinggi. Sebagian besar bank mungkin tidak
langsung melakukan pass through kenaikan suku bunga tersebut kepada debiturnya (dalam
bentuk kenaikan suku bunga kredit) karena adanya kekhawatiran akan terjadinya penurunan
kualitas kredit atau pindahnya nasabah bank itu kepada bank lain (yang tidak menaikkan
suku bunga kredit). Akibatnya, margin bunga bersih (NIM) akan tergerus dan mempengaruhi
profitabilitas bank. Meski BI rate stabil dalam tiga bulan belakangan ini, potensi pengetatan
lanjutan masih mungkin terjadi, terutama jika kembali terjadi turbulensi di pasar keuangan.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
14
Sumber: CEIC dan BI Gambar 7. Perkembangan Uang Inti dan Alat Likuid Perbankan
Sumber likuiditas yang utama adalah uang inti (uang kartal dan giro perbankan di Bank
Indonesia). Perkembangan uang inti ditransformasikan menjadi likuiditas perbankan melalui
aktivitas intermediasi. Sejak awal 2013, pertumbuhan uang inti mengalami penurunan yang
bersumber dari komponen aktiva dalam negeri bersih (net domestic assets atau NDA) dan
aktiva luar negeri bersih (net foreign assets atau NFA).
NFA menurun disebabkan oleh pelemahan appetite investor asing kepada instrumen dalam
negeri sehingga capital inflow berkurang. Sedangkan NDA terlihat mengalami penurunan
mulai pertengahan tahun 2013, sejalan dengan arah pengetatan kebijakan moneter dalam
rangka pengendalian inflasi serta stabilisasi defisit neraca berjalan.
Posisi alat likuid perbankan (dalam persentase terhadap total aset) telah menurun dari awal
tahun 2010. Pulihnya sentimen bisnis pasca krisis global menyebabkan bank kembali agresif
menyalurkan kredit. Alat likuid telah menurun dari kisaran 33,8% aset (April 2010) menjadi
25,9% aset (November 2013). Posisi alat likuid ini adalah yang terendah sejak akhir 2003.
Penurunan terjadi pada seluruh komponen yang mana pos surat berharga mengalami
kontraksi terbesar, yakni dari 15,5% menjadi 10,4% pada periode yang sama.
Respon alamiah yang seharusnya dilakukan bank dalam kondisi likuiditas ketat saat ini
adalah dengan menyesuaikan aktivitas intermediasi, yaitu: (1) mengurangi pertumbuhan
kredit dan/atau (2) menambah pertumbuhan DPK. Dua strategi itu memiliki trade off.
Strategi pertama menimbulkan biaya berupa kemungkinan hilangnya posisi bisnis bank
(karena direbut oleh bank lain yang memiliki daya tahan likuiditas yang lebih baik). Strategi
kedua dapat menimbulkan peningkatan biaya dana dan penurunan NIM secara drastis.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
15
Sumber: LPS Gambar 8. Peta Koordinat Penyesuaian Aktivitas Intermediasi
Sejauh ini respons dari perbankan masih dapat dikatakan business as usual. Hanya 26 dari
109 bank yang telah menurunkan pertumbuhan kreditnya hingga di bawah pertumbuhan
DPK. Tidak seperti yang diduga, saat ini belum terlihat adanya hubungan negatif (serta
signifikan) antara LDR dan pertumbuhan kredit. Sebaliknya pola yang ada justru cenderung
positif meskipun lemah. Di sisi lain, hubungan antara LDR dengan deposito cenderung
negatif. Beberapa bank dengan pola hubungan seperti ini mengandalkan modal atau surat
utang untuk pembiayaan kreditnya.
Melihat respons perbankan hingga posisi akhir tahun 2013, dapat disimpulkan bahwa
likuiditas masih menjadi risiko utama di tahun 2014. Perbankan belum merespons secara
optimal posisi likuiditas yang mengetat saat ini ke dalam perilaku bisnisnya. Moral suasion
yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengarahkan pertumbuhan kredit bank ke kisaran
15%–17% sudah tepat dan perlu digalakkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
16
Sumber: CEIC Gambar 9. Profil Distribusi Simpanan DPK dan Deposito Berjangka
Cara lain yang dapat ditempuh untuk memitigasi risiko likudiitas adalah melalui sisi pemasok
dana (nasabah penyimpan). Gambar 9 menunjukkan profil distribusi simpanan yang ada
pada perbankan. Dapat dilihat bahwa mayoritas DPK berasal dari nasabah ritel (individual)
dengan pangsa sebesar 61%, disusul oleh korporasi sebesar 21%. Gambaran serupa juga
terlihat pada segmen produk deposito berjangka, yang mana dominasi nasabah ritel
mencapai 56,5% dan korporasi sebesar 21,5%. Dengan demikian kebijakan likuiditas perlu
diimplementasikan dengan melihat kepada perilaku dua segmen ini.
Sumber: CEIC dan BI Gambar 10. Pertumbuhan DPK dan Suku Bunga
Dilihat dari aspek sensitivitas terhadap pergerakan suku bunga, data sebelum tahun 2011
menunjukkan bahwa nasabah ritel cukup sensitif terhadap suku bunga. Mereka melakukan
relokasi aset finansial kepada deposito bank jika return-nya (suku bunga) mengalami
peningkatan. Walau demikian, hubungan ini terlihat melemah sejak awal tahun 2012. Kami
meyakini bahwa segmen ritel masih sensitif terhadap suku bunga. Interaksi dengan
beberapa variabel lain (kemungkinan daya tarik yang lebih besar pada kelas aset lain seperti
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
17
saham) menyebabkan pola hubungan terlihat melemah pada beberapa tahun terakhir. Di sisi
lain, tidak terlihat korelasi yang spesifik di antara pertumbuhan DPK nasabah korporasi
dengan suku bunga. Untuk nasabah segmen ini, tampaknya ada variabel lain yang lebih
berpengaruh.
Sumber: CEIC Gambar 11. Pertumbuhan DPK dan Siklus Ekonomi
Siklus ekonomi (yang digambarkan oleh pertumbuhan PDB) terlihat memiliki pengaruh
positif terhadap pertumbuhan DPK. Koefisien korelasi di antara pertumbuhan ekonomi dan
pertumbuhan DPK mencapai 0,61. Perkembangan DPK segmen korporasi terlihat jauh lebih
sensitif terhadap siklus ekonomi dibandingkan segmen ritel. Koefisien korelasi DPK segmen
korporasi mencapai 0,58 sedangkan di segmen ritel adalah sebesar 0,13. Kondisi pro-cyclical
pada segmen korporasi tampak bertentangan dengan conventional wisdom yang mana
seharusnya pertumbuhan DPK segmen korporasi cenderung rendah di saat aktivitas
ekonomi tinggi karena dana tersebut terserap untuk aktivitas bisnis seperti pembentukan
modal kerja dan capital expenditure. Sebaliknya kondisi ini mengindikasikan bahwa
korporasi akan mengoptimalkan dana menganggur (idle) yang dimiliki dengan
mengalokasikannya ke aset finansial lain (surat berharga).
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
18
Melihat kondisi ini, tampaknya stimulasi pertumbuhan DPK dapat dicapai dengan
memperbaiki momentum pertumbuhan ekonomi, sekaligus juga lingkungan suku bunga
yang “cukup” tinggi. Menurut kami nasabah perbankan saat ini (khususnya segmen ritel)
masih memiliki paradigma tradisional, simpanan di bank adalah suatu investasi dan
diharapkan mampu memberikan return yang layak (setidaknya di atas inflasi). Jika hal ini
tidak tercapai, maka nasabah akan mengurangi porsi simpanannya dan bergeser kepada
instrumen lain.
Sumber: BI dan LPS Gambar 12. Perkembangan Suku Bunga Pasar dan Deposit Yield Curve
Likuiditas yang ketat telah termanifestasi pada kenaikan suku bunga yang drastis. Kami
menggunakan data suku bunga deposito harian untuk melihat kondisi persaingan suku
bunga saat ini. Gambar 12 menunjukkan bahwa tren kenaikan suku bunga simpanan masih
terus berlanjut sekalipun BI rate telah stabil sejak November 2013. Pada periode November
2013–Februari 2014, suku bunga pasar dari bank benchmark masih naik sebesar 47 basis
poin (bps). Sangat menarik untuk melihat bahwa kenaikan terbesar terjadi pada segmen
bank menengah (yakni 55 bps), bukan di segmen bank sangat kecil (yang sebesar 45 bps)
seperti yang diduga semula.
Hal menarik lainnya di tengah kondisi likuiditas yang ketat saat ini adalah fenomena inverted
yield curve. Fenomena yang kami identifikasikan di awal tahun ini masih terus bertahan
hingga menjelang kuartal kedua tahun 2014. Bank-bank umumnya menawarkan suku bunga
yang lebih rendah untuk simpanan berjangka dengan tenor panjang dibandingkan tenor
pendek. Dalam perspektif ekonomi makro, hingga saat ini probabilitas suku bunga simpanan
bank masih lebih tinggi untuk meningkat dibandingkan turun.
Dari data historis sejak 2004, DPK memiliki rata-rata pertumbuhan jangka panjang sebesar
14,4%. Angka ini jelas tidak dapat mendukung tingkat permintaan akan kredit yang
diperkirakan mencapai 22%–25%. Dengan demikian, kecuali ditemukan terobosan untuk
mengatasi handicap pendanaan kredit, pertumbuhan ekonomi akan mengalami kendala
pembiayaan serius. Apakah ada terobosan yang dapat dilakukan?
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
19
Sumber: Credit Suisse Global Wealth Data Book (2014) Gambar 13. Wealth Profile Individu Indonesia Tahun 2000 versus 2013
Rilis data kekayaan individu global (Global Wealth Data Book) dari Credit Suisse (2014)
memberikan optimisme atas potensi DPK Indonesia. Terdapat beberapa temuan menarik
yang dapat dikelola lebih lanjut untuk mengatasi masalah handicap pertumbuhan DPK.
Pertama adalah penetrasi keuangan yang rendah. Pada 2013, pangsa aset keuangan “hanya”
sebesar 16% dari total kekayaan individu Indonesia (yang sebesar US$ 11.839). Selama
2000–2013, porsi kekayaan finansial ini secara nominal telah berkembang hampir 10 kali
lipat, meskipun sebagai suatu pangsa “hanya” naik dua kali lipat.
Sumber: Credit Suisse Global Wealth Data Book (2014) Gambar 14. Wealth Profile Individu Indonesia Tahun 2000 versus 2013
Penetrasi pasar keuangan Indonesia yang relatif rendah juga dapat dilihat melalui komparasi
dengan negara lain. Seperti yang terlihat pada Gambar 14, pangsa aset finansial terhadap
total kekayaan pada 2013 “hanya” sebesar 16,5%, sebanding dengan Turki dan India.
Negara-negara Asia Tenggara umumnya dapat dikatakan melek finansial dengan pangsa di
atas 40%. Dengan kata lain, jika paradigma tradisional ini dapat digeser, potensi pendanaan
bank sebenarnya dapat diatasi. Sebagai ilustrasi, jika preferensi aset finansial nasabah dapat
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
20
ditingkatkan ke 30% dengan asumsi aset finansial likuid adalah sebesar 40% maka pasokan
DPK ritel saat ini dapat ditingkatkan dari Rp 2.104 triliun menjadi Rp 2.584 triliun (kenaikan
hampir 25%).
Upaya perubahan paradigma ini tidak cukup dicapai melalui perluasan akses layanan
finansial (financial inclusion). Di luar itu, diperlukan perubahan cara pandang masyarakat.
Masyarakat Indonesia masih cenderung tradisional dalam memahami arti investasi:
menanamkan dana idle ke dalam aset tidak bergerak seperti tanah dan rumah. Sebaliknya, di
luar negeri, khususnya negara maju, investasi telah umum dilakukan kepada instrumen
finansial. Perubahan cara pandang ini memerlukan edukasi finansial yang ekstensif. (WMR,
MDA)
Analisis Industri: Otomotif Risiko serta Prospek Perekonomian dan
Sistem Keuangan
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
21
Update Risiko serta Prospek Perekonomian dan Sistem Keuangan
Dalam segmen ini, kami menyampaikan update terhadap assessment risiko dan prospek
perekonomian dan sistem keuangan, sejalan dengan data yang diperoleh pada 4Q13. Secara
umum, kami menilai bahwa risiko perekonomian dan sistem keuangan telah mengalami
perbaikan sepanjang kuartal terakhir 2013. Peningkatan yang signifikan terlihat terutama pada
aspek Pasar Keuangan (PKU) serta Neraca Pembayaran dan Nilai Tukar (NPNT). Di sisi lain, aspek
Aktivitas Bisnis Domestik (ABD) serta Sistem Perbankan (SPB) masih menjadi aspek yang perlu
dicermati. Dengan perkembangan ini, kami menilai bahwa risiko perekonomian dan sistem
keuangan sudah dapat dikatakan (secara kualitatif) kembali ke status normal.
Sumber: LPS (Maret 2014) Gambar 15. Peta Risiko Kualitatif Perekonomian dan Sistem Keuangan
Stabilitas di pasar keuangan terus terjaga dengan semakin redanya spekulasi proses QE tapering
serta capaian resolusi atas pendanaan fiskal di Amerika Serikat (AS). Janet Yellen telah secara
resmi memegang tampuk pimpinan the Fed. Dalam beberapa komunikasi awal yang diberikan,
terlihat jelas bahwa proses transisi kebijakan moneter AS yang super longgar saat ini menuju
normal akan dilakukan secara terukur dan konservatif. Meskipun tingkat pengangguran per
Januari 2014 (6,6%) telah sangat dekat dengan targetnya (6,5%), the Fed diperkirakan tidak akan
terburu-buru mengubah stance kebijakannya. Jika dilihat secara komprehensif, perkembangan
positif pada pasar tenaga kerja AS sebenarnya tidak terlalu solid.
NPNT
ABD
HKM
SPB
PKU
KBF
0
1
2
3
4
5
6
0 1 2 3 4 5 6
Kinerja
Outlook
3Q13
4Q13
NPNT: Neraca Pembayaran & Nilai Tukar
ABD: Aktivitas Bisnis Domestik
HKM: Harga & Kebijakan Moneter
KBF: Kebijakan Fiskal
PKU: Pasar Keuangan
SPB: Sistem Perbankan
Normal Waspada Siaga Krisis
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
22
Dengan berkurangnya intensitas spekulasi terhadap trajectory renormalisasi suku bunga the Fed,
maka risk appetite investor pada instrumen pasar negara berkembang diperkirakan membaik.
Meski demikian, pelaksanaan Pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) di
pertengahan tahun 2014 sedikit banyak akan menimbulkan ketidakpastian yang mengikis
appetite investor terhadap pasar Indonesia. Jika Pilpres dapat berlangsung dalam satu putaran,
yang mana calon favorit pasar muncul sebagai pemenang, maka capital inflow yang cukup
signifikan dapat terjadi pada 3Q14 dan 4Q14.
Sumber: CEIC Gambar 16. Perkembangan Neraca Pembayaran dan Neraca Berjalan
Neraca pembayaran mengalami perbaikan pada 4Q13. Saldo neraca mengalami reversal dari
defisit US$ 2,6 miliar menjadi surplus US$ 4,4 miliar. Pembalikan kinerja neraca pembayaran ini
dipicu oleh penurunan defisit neraca berjalan dari US$ 8,5 miliar (3Q13) menjadi US$ 4 miliar
(4Q13) serta perbaikan salso di pos investasi lain dari defisit US$ 2 miliar menjadi surplus US$ 5,9
miliar.
Menurut kami, perkembangan positif pada neraca pembayaran ini hanya bersifat sementara.
Perbaikan neraca berjalan lebih disebabkan oleh kenaikan tajam pada ekspor mineral dalam
rangka memanfaatkan momentum terakhir sebelum pemberlakukan aturan restriksi ekspor.
Sedangkan, kenaikan pos investasi diperkirakan tidak berulang, mengingat pelaku usaha
mungkin akan menunda pembiayaan proyek di depan ketidakpastian akan hasil Pemilu.
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
1Q
05
3Q
05
1Q
06
3Q0
6
1Q
07
3Q
07
1Q
08
3Q
08
1Q
09
3Q
09
1Q
10
3Q
10
1Q
11
3Q1
1
1Q
12
3Q
12
1Q
13
3Q
13
4Q Sum, Miliar USD
Basic Balance
Neraca Berjalan
Portofolio
Neraca Pembayaran
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
1Q
05
3Q
05
1Q0
6
3Q
06
1Q
07
3Q
07
1Q
08
3Q
08
1Q
09
3Q
09
1Q
10
3Q
10
1Q1
1
3Q
11
1Q
12
3Q
12
1Q
13
3Q
13
4Q Sum, Miliar USD
Barang Jasa
Pendapatan Transfer Berjalan
Neraca Berjalan
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
23
Sumber: Bloomberg Tabel 8. Perkembangan Beberapa Indikator Keuangan Terpilih
Positive surprise pada data posisi eksternal Indonesia ini telah berdampak kepada beberapa
kelas aset finansial, khususnya rupiah dan yield surat utang negara (SUN). Secara point to point,
rupiah tercatat masih mengalami depresiasi sekitar 5% terhadap dolar AS pada 4Q13, namun
angka ini masih lebih rendah dari pelemahan sekitar 17% pada kuartal sebelumnya. Selama dua
bulan pertama tahun ini, rupiah bahkan mengalami penguatan 4,6%. Sejak pertengahan Februari
2014, rupiah juga secara konsisten diperdagangkan di bawah level Rp 12.000/US$. Sementara
itu, harga SUN mengalami peningkatan. Yield SUN bertenor 10 tahun secara point to point turun
5 basis poin (bps) pada 4Q13, menyusul kenaikan 137 bps pada triwulan sebelumnya. Perbaikan
kinerja SUN masih berlanjut di dua bulan pertama 2014, dibuktikan oleh penurunan yield
sebesar hampir 12 bps.
Dengan mempertimbangkan perkembangan yang ada, kami telah melakukan revisi pada
proyeksi nilai tukar rupiah dan posisi eksternal. Kami menilai bahwa pelaksanaan Pileg dan
Pilpres akan memberi angin segar bagi minat investasi (dan memicu capital inflow). Proyeksi
posisi akhir tahun rupiah telah kami upgrade dari Rp 11.613/US$ menjadi Rp 11.276/US$.
Selanjutnya, kami juga merevisi ke bawah defisit neraca berjalan dari US$ 27,2 miliar (2,9% PDB)
menjadi US$ 26,8 miliar (2,8% PDB). Kondisi ekonomi global tahun ini akan lebih mendukung
ekspor Indonesia, sedangkan peristiwa politik masih akan menekan impor barang modal.
FY2013 YTD 1M 1W Posisi
(%) (%) (%) (%) 28/02/2014
USD/IDR (24.28) 4.61 4.94 1.14 11,610
USD/INR (12.37) 0.07 1.44 0.60 61.76
USD/CNY 2.83 (1.50) (1.38) (0.88) 6.15
USD/BRL (15.13) 0.75 2.84 0.06 2.34
USD/TRY (20.52) (2.61) 2.23 (1.32) 2.21
USD/THB (6.93) 0.43 1.39 (0.14) 32.56
USD/PHP (8.27) (0.54) 1.51 (0.16) 44.64
USD/KRW 1.37 (1.70) 1.24 0.42 1,068
USD/MYR (7.12) (0.04) 1.98 0.56 3.28
USD/ARS (32.64) (20.73) 1.81 (0.32) 7.87
Mata Uang
FY 2013 YTD 1M 1W Posisi
(%) (%) (%) (%) 28/02/2014
Korea Selatan 0.43 (0.09) (0.12) (0.03) 3.50
Indonesia 3.26 (0.12) (0.70) (0.06) 8.33
India 0.77 0.04 0.08 0.07 8.86
Thailand 0.39 (0.23) (0.33) (0.10) 3.67
Filipina (0.60) 0.54 0.07 0.02 4.35
Singapura 1.26 (0.10) 0.00 (0.08) 2.46
Malaysia 0.63 (0.01) (0.13) (0.00) 4.12
China 1.03 (0.22) (0.13) (0.15) 4.40
Afrika Selatan 1.12 0.65 (0.37) (0.08) 8.54
Turki 3.60 0.06 0.15 0.02 10.22
Brazil 3.56 (0.48) (0.67) (0.13) 12.69
Yield SUN
10 Tahun
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
24
Sumber: CEIC Gambar 17. Perkembangan Ekonomi Domestik dan Leading Indicators Terpilih
Kinerja perekonomian pada 4Q13 lebih baik dari yang diduga semula. Pertumbuhan PDB pada
kuartal lalu mencapai 5,72%, meningkat dari 5,63% pada 3Q13. Dengan demikian, selama 2013,
pertumbuhan ekonomi mencapai 5,78%. Rebound kinerja pertumbuhan pada triwulan lalu
ditopang oleh perbaikan kinerja perdagangan, yang mungkin hanya bersifat sementara. Aspek
Aktivitas Bisnis Domestik (ABD) tetap berada dalam fase corrective adjustment.
Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase slowdown terlihat dari beberapa
leading indicators. Gambar 17 menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan mobil masih berada
dalam fase menurun dan impor barang modal bahkan telah mengalami kontraksi dalam enam
bulan terakhir. Dua indikator ini menandakan bahwa komponen investasi dalam PDB masih
berada dalam tekanan. Indikator penjualan ritel masih tumbuh cukup solid, mengindikasikan
bahwa konsumsi (sebagai motor ekonomi terbesar) secara umum masih kuat. Dengan gambaran
ini, kami sedikit merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 dari 5,3% ke 5,5%. Di sisi
lain, kami mempertahankan perkiraan inflasi kami di posisi 4,8% tahun ini.
Kami melihat Sistem Perbankan (SPB) sebagai aspek yang masih mungkin mengalami
pemburukan risiko lanjutan. Risiko likuiditas dan penurunan kualitas kredit masih menjadi faktor
risiko penting di tahun 2014. Seperti yang terlihat di gambar 18, suku bunga deposito berjangka
(sebagai indikator biaya dana perbankan) masih mengalami tren yang meningkat. Di sisi lain,
bunga kredit modal kerja (sebagai indikator loan yield) tidak meningkat sebesar kenaikan bunga
deposito. Pada periode Agustus–Desember 2013, selisih di antara dua bunga ini telah menurun
dari 5,9% menjadi 4,8%. Penurunan margin yang lebih besar akan terjadi pada bank-bank
menengah-kecil, terutama mereka yang tidak memiliki akses dana murah (CASA) yang kuat.
-4
0
4
8
12
16
20
2
3
4
5
6
7
8
4Q0
1
4Q
02
4Q
03
4Q
04
4Q
05
4Q0
6
4Q
07
4Q
08
4Q
09
4Q
10
4Q
11
4Q
12
4Q
13
4Q Sum, % YoY4Q Sum, % YoY
PDB (LHS)
Konsumsi Rumah Tangga (RHS)
Investasi (RHS)
-20
0
20
40
60
Jan
-10
Ap
r-1
0
Jul-
10
Oct
-10
Jan
-11
Ap
r-1
1
Jul-
11
Oct
-11
Jan
-12
Ap
r-1
2
Jul-
12
Oct
-12
Jan
-13
Ap
r-1
3
Jul-
13
Oct
-13
Jan
-14
12MMA, % YoY
Impor Barang Modal
Penjualan Ritel
Penjualan Mobil
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
25
Sumber: CEIC dan BI Gambar 18. Perkembangan Suku Bunga dan Kualitas Kredit
Kualitas kredit secara umum terlihat menurun. Pertumbuhan kredit bermasalah (NPL) sistem
perbankan kembali mengalami peningkatan dari 6,8% pada bulan November 2013 menjadi 7,6%
di bulan berikutnya. Pada periode yang sama, pertumbuhan kredit bermasalah di sektor
perdagangan mengalami kenaikan terbesar, yakni dari 9,9% menjadi 11,7%.
Sejalan dengan moral suasion yang dikeluarkan BI, pertumbuhan kredit pada tahun ini
diperkirakan menurun. Menurut perkiraan kami, kredit akan tumbuh 18,4% di 2014, lebih
rendah dari 21,8% di 2013. DPK mungkin akan tumbuh sedikit lebih tinggi dibandingkan periode
lalu, yakni sebesar 14,3% pada tahun ini. (MDA, SW)
0
3
6
9
12
15
18
Jul-
05
Jan
-06
Jul-
06
Jan
-07
Jul-
07
Jan
-08
Jul-
08
Jan
-09
Jul-
09
Jan
-10
Jul-
10
Jan
-11
Jul-
11
Jan
-12
Jul-
12
Jan
-13
Jul-
13
Jan
-14
%
BI Rate Bunga Deposito 1 Bulan
Bunga Kredit Modal Kerja Selisih Bunga-50
-25
0
25
50
75
100
125
-200
-100
0
100
200
300
400
500
Jan
-05
Jul-
05
Jan
-06
Jul-
06
Jan
-07
Jul-
07
Jan
-08
Jul-
08
Jan
-09
Jul-
09
Jan
-10
Jul-
10
Jan
-11
Jul-
11
Jan
-12
Jul-
12
Jan
-13
Jul-
13
12MMA, % YoY12MMA, % YoY
Pertambangan (RHS)
Pertanian (LHS)
Manufaktur (LHS)
Perdagangan (LHS)
Total (LHS)
Banking Stability Index LPS
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
26
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index)
Indeks Stabilitas Perbankan LPS mengalami penurunan dari 101,11 (Januari 2014) menjadi
100,68 (Februari 2014), atau turun 43 bps. Sesuai kategori skala observasi Crisis
Management Protocol (CMP), BSI kembali berada pada kategori “Normal”.
Sub-indeks Credit Pressure (CP) dan Market Pressure (MP) menunjukkan penurunan,
sedangkan sub-indeks Interbank Pressure (IP) mengalami kenaikan. Penurunan sub-indeks
CP didukung oleh kinerja perbankan nasional yang solid sepanjang 4Q13. Laba perbankan
nasional pada akhir Desember 2013 mencapai Rp 106,7 triliun atau tumbuh 15% y/y,
sehingga return on equity (ROE) mengalami peningkatan sebesar 36 bps dari 21,11% pada
November 2013 menjadi 21,47% pada bulan berikutnya. Rasio kredit bermasalah (NPL)
perbankan nasional tetap terjaga di bawah 2%, yakni sebesar 1,77% pada Desember 2013. Di
sisi lain, perlambatan pertumbuhan kredit mempengaruhi penurunan rasio kredit terhadap
simpanan (LDR) perbankan dari 89,97% (November 2013) menjadi 89,7% (Desember 2013).
Dengan demikian, sub-indeks CP mengalami penurunan sebesar 2 bps dari 100,7 (Januari
2014) menjadi 100,68 (Februari 2014).
Sumber: LPS Gambar 19. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure
Sub-indeks IP menjadi satu-satunya sub-indeks yang mengalami peningkatan pada Februari
2014 dengan besaran 55 bps, atau dari 99,37 pada bulan Januari menjadi 99,92. Peningkatan
IP dipicu oleh penurunan penempatan dana antar bank riil, sebagai salah satu indikator
pembentuk IP, sebesar 6,63%, atau dari Rp 123,1 triliun menjadi Rp 114,9 triliun. Meski
demikian, suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) bertenor overnight pada Februari 2014
tidak mengalami perubahan (di level 5,88%) bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
27
Sumber: LPS Gambar 20. Sub Indeks Credit Pressure dan Market Pressure
Sentimen positif dari sisi ekternal dan perbaikan fundamental ekonomi Indonesia berimbas
pada penguatan pada variabel-variabel pembentuk sub-indeks MP. Sub-indeks MP pada
Februari 2014 turun signifikan (sebesar 142 bps), yaitu dari 102,45 pada bulan Januari
menjadi 101,02. Sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia terindikasi oleh capital
inflow yang meningkat sehingga nilai tukar rupiah menunjukkan tren penguatan dan ditutup
di level Rp 11.634/US$ pada bulan Februari 2014. Penurunan MP juga didukung oleh
penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang ditutup di level 4620 pada Februari
2014, naik dari 4418 pada bulan sebelumnya. Di sisi lain, suku bunga JIBOR tiga bulan naik
tipis dari 7,99% pada Januari 2014 menjadi 8,02% pada bulan berikutnya. (TS)
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
28
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Group Manajemen Risiko II: Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Moch. Doddy Ariefianto, 021-5151000 (ext 384), [email protected]
Winza Mutia Rahma, 021-5151000 (ext 402), [email protected]
Seto Wardono, 021-5151000 (ext 309) [email protected]
Rina Rahmawati, 021-5151000 (ext 310) [email protected]
Dienda Siti Rufaedah, 021-5151000 (ext 395), [email protected]
Totong Sudarto, 021-5151000 (ext 396), [email protected]
Lampiran
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan
Group Manajemen Risiko II
29
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih
Sumber: LPS (Maret 2014)
Variabel 2009 2010 2011 2012 2013 2014P 2015P
Variabel Kunci
PDB Nominal (Triliun Rp) 5,606 6,436 7,427 8,242 9,084 10,044 11,157
PDB Nominal (Miliar US$) 543 709 847 892 871 953 1,063
PDB Riil (% y/y) 4.6 6.1 6.5 6.2 5.8 5.5 6.0
Inflasi (akhir periode, % y/y) 2.8 7.0 3.8 3.7 8.1 4.8 4.8
USD/IDR (akhir periode) 9,400 8,991 9,068 9,793 12,270 11,276 11,101
USD/IDR (rata-rata) 10,399 9,085 8,779 9,396 10,569 11,665 11,186
BI Rate (akhir periode) 6.5 6.5 6.0 5.8 7.5 7.5 7.0
Surplus/Defisit Fiskal (% PDB) (1.6) (0.6) (1.2) (1.8) (2.3) (1.8) (1.8)
Sustainabilitas Eksternal
Ekspor Barang (% y/y) (14.3) 32.1 26.9 (6.1) (2.6) 4.0 7.1
Ekspor Barang (Miliar US$) 119.6 158.1 200.6 188.5 183.5 190.9 204.6
Impor (% y/y) (24.0) 43.7 30.8 8.4 (1.4) 2.2 5.5
Impor (Miliar US$) 88.7 127.4 166.6 179.9 177.4 181.2 191.2
Neraca Berjalan (Miliar US$) 10.6 5.1 1.7 (24.5) (28.5) (26.8) (25.2)
Neraca Berjalan (% PDB) 2.0 0.7 0.2 (2.7) (3.3) (2.8) (2.4)
Cadangan Devisa (Miliar US$) 66.1 96.2 110.5 112.8 99.4 98.6 103.6
Utang Luar Negeri (% PDB) 31.8 28.6 26.6 27.7 30.3 29.9 29.0
PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y)
Konsumsi Rumah Tangga 4.9 4.6 4.6 5.3 5.3 5.4 5.3
Konsumsi Pemerintah 15.7 0.3 3.2 1.2 4.9 3.2 4.5
Pembentukan Modal Tetap Bruto 3.3 8.5 8.8 9.8 4.7 5.0 6.5
Ekspor Barang dan Jasa (9.7) 14.9 13.6 2.0 5.3 4.6 5.7
Impor Barang dan Jasa (15.0) 17.3 13.3 6.6 1.2 2.6 5.2
PDB Riil menurut Industri (% y/y)
Pertanian 4.0 2.9 3.0 4.0 3.5 3.6 4.0
Pertambangan dan Penggalian 4.5 3.5 1.4 1.5 1.3 1.2 1.5
Manufaktur 2.2 4.5 6.2 5.7 5.6 5.5 5.8
Listrik, Gas, dan Air Bersih 14.3 5.3 4.8 6.4 5.6 5.5 6.0
Konstruksi 7.1 7.0 6.7 7.5 6.6 5.6 6.2
Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1.3 8.7 9.2 8.1 5.9 5.7 6.2
Transportasi dan Komunikasi 15.8 13.5 10.7 10.0 10.2 10.2 10.2
Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan 5.2 5.7 6.8 7.1 7.6 6.5 7.2
Jasa-Jasa Lainnya 6.4 6.0 6.7 5.2 5.5 5.3 6.0
Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)
1 Tahun 8.1 6.4 5.5 4.6 5.7 6.5 6.4
3 Tahun 9.6 7.3 6.4 5.1 5.9 7.3 7.1
5 Tahun 10.3 7.8 6.9 5.4 6.0 7.7 7.5
10 Tahun 11.2 8.6 7.5 6.0 6.5 8.2 8.0
20 Tahun 12.0 9.7 8.7 6.8 7.3 9.1 8.7
Perbankan
Pinjaman (% y/y) 27.7 7.2 24.6 23.1 21.8 18.4 20.3
Dana Pihak Ketiga (% y/y) 12.5 18.5 19.1 15.7 13.6 14.3 15.0
LAPORAN TRIWULAN III - 2012 Sub Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Perbankan
Divisi Manajemen Risiko
1