analisis status kualitas perairan daerah ...repository.utu.ac.id/509/1/bab i_v.pdfdr. edwarsyah,...
TRANSCRIPT
ANALISIS STATUS KUALITAS PERAIRAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI HILIR KRUENG MEUREUBO ACEH BARAT
SKRIPSI
SYAHRUL RAMADHANI
08C10432077
PROGRAM STUDI PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH
2013
ANALISIS STATUS KUALITAS PERAIRAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI HILIR KRUENG MEUREUBO ACEH BARAT
SKRIPSI
SYAHRUL RAMADHANI
08C10432077
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Serjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univesitas Teuku Umar
PROGRAM STUDI PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH
2013
LEMBARAN SURAT PENGESAHAN
Judul Skripsi : Analisis Kualitas Perairan Daerah Aliran Sungai
Hilir Krueng Meureubo Aceh Barat.
Nama : Syahrul Ramadhani
Nim : 08C10432077
Program Studi : Perikanan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Dr. Edwarsyah, S.P, M.P Ir. Said Mahjali, M.M
NIDN : 01-1102-6901 NIDN : 01-1011-6502
Diketahui,
Ketua Dekan Program Studi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Muhammad Rizal, S.Pi, M.Si Uswatul Hasanah, S.Si, M.Si
NIDN : 01-1101-8301 NIDN : 01-2105-4802
Tanggal Ujian Sarjana : 03 Desember 2013
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi/tugas akhir dengan judul:
ANALISIS STATUS KUALITAS PERAIRAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI HILIR KRUENG MEUREUBO ACEH BARAT
Yang disusun oleh :
Nama : Syahrul Ramadhani
Nim : 08C10432077
Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan
Program Studi : Perikanan
Telah dipertahankan didepan dewan penguji pada tanggal 03 Desember 2013 dan
dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
1. Dr, Edwarsyah, S.P, M.P
(Penguji I) …………………
2. Ir, Said Mahjali, M.M
(Penguji II) . …………………
3. Afrizal Hendri, S.Pi, M.Si
(Penguji III) …………………
4. Erlita, S.Pi
(Penguji IV) …………………
Alue Penyareng, 03 September 2013
Dekan Fakultas Perikanan dan Perikanan
Uswatun Hasanah, S.Si, M.Si
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sapeng pada tanggal 04
Mei 1989 dari ayah Saidi dan ibu Nurhayati. Penulis
merupakan anak ketiga dari 5 (lima) bersaudara. Awal
pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1997 di
Sekolah Dasar Negeri Paya Peuleukung, Kecamatan
Seunagan Timur, Kebupaten Nagan Raya, Propinsi
Aceh dan lulus pada tahun 2002. Kemudian penulis
menempuh pendidikan Madrasah di MTsN Jeuram,
lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA
Negeri 1 Jeuram dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis
terdaftar sebagai Mahasiswa program Sarjana Progam Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Univesitas Teuku Umar (UTU). Penulis juga telah
melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Budidaya Air Payau (BBAP)
Ujung Batee, Propinsi Aceh pada bulan Juli - Agustus 2011.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (UTU), penulis melakukan penelitian
berjudul ”Analisis Status Kualitas Perairan Daerah Aliran Sungai Hilir
Kreung Meureubo Aceh Barat” dibawah bimbingan Dr. Edwarsyah, S.P, M.P
dan Ir. Said Mahjali, M.M.
Syahrul Ramadhani
NIM: 08C10432077
Lembar Persembahan
Yang utama dari segalanya adalah...
Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan,
membekaliku dengan ilmu serta memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia serta kemudahan yang Engkau berikan
akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan
Rasullah Muhammad SAW.
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan kusayangi...
Ya Allah Ya Rabbi
Ku Kersembahkan Kepada :
Ayahanda yang mulia,
Ibunda yang tercinta titasan doa, Air mata dan peluh perjuanganmu
Telah membawa ananda mamasuki gerbang kesuksesan Dari rasa khawatir hingga rasa yakin
Ananda mencoba bertahan atas nama cerita ananda Ananda selalu yakin …. Dengan dukunganmu
Selalu…dan selalu ingin ananda ceritakan semua Tapi ananda selalu kehabisan kata-kata
Mungkin hanya inilah yang mampu ananda buktikan kepadamu
Bahwa ananda tak pernah lupa pengorbananmu Bahwa ananda tak pernah lupa nasehat dan dukunganmu
Bahwa ananda tak pernah lupa segalanya…..dan selamanya.
Ucapan Terima Kasihku Kepada :
Dosen Pembimbing Tugas Akhirku
Bapak “ Dr, Edwarsyah, S.P, M.P”, dan Bapak “ Ir, Said Mahjali, M.M”, selaku dosen pembimbing tugas akhir saya,
terima kasih banyak pak..., saya sudah dibantu selama ini, sudah dinasehati, sudah diajari, saya tidak akan lupa atas
bantuan dan saran dari bapak...
My Best friend’s
Buat teman-teman di AN “2008” yang tak bisa di sebutkan satu-persatu terima kasih atas bantuan kalian, semangat
kalian dan candaan kalian, aku tak akan melupakan kalian.
Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Perikanan :
Terima kasih banyak untuk semua ilmu, didikan dan pengalaman yg sangat berarti yang telah kalian berikan
kepada kami...
Serta semua pihak yg sudah membantu selama penyelesaian Tugas Akhir ini...
.”your dreams today, can be your future tomorrow”
SYAHRUL RAMADHANI
PERNYATAAN SIKAP MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis
Status Kualitas Perairan Daerah Aliran Sungai Hilir Kreung Meureubo
Aceh Barat” adalah benar merupakan karya sendiri dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka pada bagian akhir skripsi ini. Meulaboh, September 2013 Syahrul
Ramadhani Nim 08C10432077
Meulaboh, September 2013
Syahrul Ramadhani
Nim 08C10432077
ANALISIS STATUS KUALITAS PERAIRAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI HILIR KRUENG MEUREUBO ACEH BARAT
Oleh
Syahrul Ramadhani¹ Edwarsyah² Said Mahjali²
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber Pencemaran
Perairan Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir Kueng Meureubo. Dilakukan
penelitian ini pada Tanggal 15-16 bulan Mei 2013 yang bertempat di Kreung Meureubo Kebupaten Aceh Barat. Penelitian ini dilaksanakan dengan Metode
Inteks Pencemaran (IP). Pengambilan contoh 2 titik pada 3 stasiun pengamatan. Hasil yang didapatkan kemudian dianalisis menggunakan Analisis dengan Metode Inteks pencemar (IP) karena Hilir Kreung Meureubo sudah terjadi pencemaran
yang disebabkan oleh kegiatan pertanian, pemukinan padat penduduk,perternakan skala ramah tangga, pembangunan jembatan, kegiatan kapal baik kapal ikan maupun kapal pengangkutan pasir, pencucian kapal, pengolahan ikan dan
pembuangan sampah. Nilai Suhu pada perairan Hilir krueng Meureubo bekisar 25 - 38 °C. Kekeruhan bekisar 37 - 47.1 NTU. Kecerahan bekisar 40 - 90 cm. pH
bekisar 4,7 - 7,6. DO bekisar 15 - 17 mg/l. COD bekisar 4,6 - 8 mg/l. BOD bekisar 2,1138 - 6,0163 mg/l. Hg bekisar 0,000017 - 0,000026 mg/l. Nilai indeks pencemaran yang dilakukan berdasarkan PP No 82 Tahun 2001 yang dipadukan
melalui baku mutu air adalah sebagai berikut; suhu 0.72 °C, TSS 2.49 mg/l, kekeruhan 0.675 NTU, kecerahan 1.085 Cm, pH 0.57, DO 2.49 mg/l, COD 0.48
mg/l, BOD 1.815 mg/l dan Hg 0.011695 mg/l.
Kata kunci : Pencemaran Perairan Daerah Aliran Sungai, Indeks Pencemaran (IP).
¹ Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univesitas Teuku Umar ² Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univesitas Teuku Umar
ANALYSIS OF WATER QUALITY STATUS WATERSHED
DOWNSTREAM KRUENG MEUREUBO ACEH BARAT
by
Syahrul Ramadhani¹ Edwarsyah² Said Mahjali²
ABSTRACT
This study aims to find out the source of Water Pollution Watershed
(WPW) Downstream Kueng Meureubo. The research conducted on Date 15-16
May 2013, which took place in Kreung Meureubo Kebupaten West Aceh. This study was conducted with the method Inteks Pollution (IP). 2 sampling points on the 3 observation stations. The results obtained were analyzed using the analysis
method Inteks pollutants (IP) for Downstream Kreung Meureubo already happening pollution caused by agricultural activities, the settlement densely
populated, friendly scale household farming, construction of bridges, ship activities both fishing vessels and vessels transporting sand, washing vessels, fish processing and disposal of waste. Downstream water temperature values at
Krueng Meureubo ranged 25-38 ° C. Turbidity ranged 37 - 47.1 NTU. Brightness ranged 40-90 cm. pH ranged from 4.7 to 7.6. DO ranged 15-17 mg/l. COD ranged
from 4.6 to 8 mg/l. BOD ranged from 2.1138 to 6.0163 mg/l. Hg ranged from 0.000017 to 0.000026 mg/l. Value of pollution index that is based on Government Regulation No. 82 of 2001 which incorporated through water quality standards are
as follows: temperature of 0.72 ° C, 2:49 TSS mg/l, 0.675 NTU turbidity, brightness of 1,085 cm, pH 0:57, 2:49 DO mg/l, COD 0.48 mg/l, BOD 1,815 mg/l
and Hg 0.011695 mg/l.
Keywords: Water Pollution Watershed, Indeks Pollution (IP).
¹ Student in Fisheries and Marine Science Faculty, University of Teuku Umar ² Lecturer in Fisherien and Marine Science Faculty, University of Teuku Umar
RINGKASAN
SYAHRUL RAMADHANI (08C10432077) ANALISIS STATUS PERAIRAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI HILIR KRUENG MEUREUBO ACEH
BARAT, DIBAWAH BIMBINGAN BAPAK Dr. EDWARSYAH, S.P, M.P
DAN Ir. SAID MAHJALI, M.P.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Fabuari 2013, di Pera iran Daerah
Aliran Sungai (DAS) Hilir Krueng Meureubo. Analisis status Kualitas
pencemaran diperairan Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir Krueng Meureubo
Aceh Barat sedangkan untuk uji Analisis Kualitas perairan dilakukan pada
Laboratorium Fakultas Pertanian UNSYIAH Banda Aceh.
Analisis data yang digunakan adalah analisis Indeks Pencemaran (IP)
dalam Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup mengusulkan
suatu indeks yang berkaitan dengan senyawa pencemaran parameter yang
bermakna untuk suatu peruntukan. Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks
Pencemaran yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran terhadap
parameter kualitas air yang diizinkan.
Hasil pencemaran disebabkan oleh kegiatan pertanian, pemukiman padat
penduduk, perternakan skala rumah tangga, pembangunan jembatan, kegiatan bot
baik bot pengkapan maupun bot angkutan pasir, pencucian bot,
penglangan/pengolahan ikan dan pembuangan sampah. Sedangkan nilai indek
pencemaran yang dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah No. 82 tahun 2001
yang dipadukan melalui baku mutu air adalah sebagai berikut; suhu 0.72, TSS
2.49, kekeruhan 0.675, kecerahan 1.085, pH 0.57, DO 2.49, COD 0.48, BOD
1.815 dan Hg 0.011695.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh
senyawa lainnya. Dalam jaringan hidup, air merupakan medium untuk berbagai
reaksi dan proses ekskresi. Air merupakan komponen utama, baik dalam tanaman
maupun hewan termasuk manusia. Tubuh manusia terdiri dari 60 - 70 % air
(Rukaesih, 2004). Air dipergunakan oleh manusia untuk berbagai kebutuhan,
kebutuhan air yang paling utama bagi manusia adalah air bersih dan air baku
untuk diolah sebagai air minum. Air tanah merupakan sumber air yang
digunakan untuk kebutuhan air bersih dan air baku yang diolah sebagai air
minum.
Kualitas air dapat dipengaruhi karena kepadatan penduduk, limbah
industri, tata ruang yang salah dan tingginya eksploitasi sumber daya air. Selain
itu, banyak orang yang membuang sampah, kotoran maupun limbah ke sungai.
Bahkan, ada yang membuang limbah berbahaya kedalam perairan daerah aliran
sungai (DAS). Hal inilah yang menyebabkan semakin memburuknya kualitas air.
Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Athena (1996) menunjukkan 41.5
% sampel air di Jakarta mengandung Merkuri (Hg) berlebih, 25.4 % sampel air.
2
Pencemaran air dapat diartikan sebagai suatu perubahan keadaan di suatu
tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat
aktivitas manusia. Perubahan ini mengakibatkan penurunan kualitas air hingga ke
tingkat yang membahayakan sehingga air tidak bisa digunakan sesuai
peruntukannya. Fenomena alam seperti gunung berapi, badai, gempa bumi dan
lain- lain juga mengakibatkan perubahan terhadap kualitas air, tapi dalam
pengertian ini tidak dianggap sebagai pencemaran (Athena, 1996).
Pencemaran air di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas
manusia yang meninggalkan limbah pemukiman, limbah pertanian, dan limbah
industri termasuk pertambangan. Limbah pemukiman mempunyai pengertian
sebagai salah satu bahan pencemar yang dihasilkan oleh daerah pemukiman atau
rumah tangga. Limbah pemukiman ini bisa berupa sampah organik (kayu, daun
dan lain- lain), dan sampah non organik (plastik, logam, dan deterjen), (Rukaesih,
2004).
Limbah pertanian mempunyai pengertian segala bahan pencemar yang
dihasilkan oleh aktifitas pertanian seperti penggunaan pestisida dan pupuk.
Sedangkan limbah industri mempunyai pengertian sebagai bahan pencemar yang
dihasilkan oleh aktifitas industri yang sering menghasilkan bahan berbahaya dan
beracun (B3).
Kecamatan Meureubo merupakan salah satu lokasi yang telah
mengkonversi lahan pantai, menjadi kawasan lain antaranya; aktifitas manusia,
limbah pertanian serta barang - barang bekas yang dibuang keperairan DAS
Krueng Meureubo. Air perairan DAS tersebut mengalir keperairan Kecamatan
3
Meureubo, baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap
keseimbangan ekosistem di kawasan tersebut.
Identifikasi dari perubahan komponen fisik, kimia dan biologi perairan di
sekitar DAS. Perubahan komponen fisik dan kimia tersebut selain menyebabkan
penurunan kualitas perairan juga menyebabkan bagian dasar perairan (sedimen)
menurun, dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan terutama pada struktur
komunitasnya. Salah satu biota perairan yang diduga akan terpengaruh langsung
akibat penurunan kualitas perairan dan sedimen di lingkungan DAS Krueng
Meureubo adalah hewan makrobenthos dan sejenis ikan.
Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menjaga kelanjutan
organisme perairan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir Krueng Meureubo
dengan judul ; Analisis Status Kualitas Perairan Daerah Aliran Sungai Hilir
Krueng Meureubo Aceh Barat.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas maka rumusan
masalah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Darimana sumber pencemaran perairan di Daerah Aliran Sungai ( DAS ) Hilir
Krueng Meureubo ?
2. Berapa Indek Pencemaran perairan dan baku mutu di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Hilir Krueng Meureubo ?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sumber pencemaran perairan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Hilir Krueng Meureubo.
2. Untuk mengetahui Indek Pencemaran ( IP ) dan Baku Mutu perairan Daerah
Aliran Sungai (DAS) Hilir Krueng Meureubo Aceh Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi tentang kondisi
lingkungan di kawasan perairan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kecamatan
Meureubo Kebupaten Aceh Barat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Batasan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004, disebutkan bahwa Daerah
Aliran Sungai adalah suatu bentang alam yang dibatasi oleh pemisah alami berupa
puncak-puncak, gunung dan punggung-punggung bukit. Bentang alam tersebut
menyimpan curah hujan yang jatuh diatasnya kemudian mengatur dan
mengalirkan secara langsung maupun tidak langsung beserta muatan sedimen dan
bahan-bahan lainnya ke sungai utama yang akhirnya bermuara ke laut maupun
danau.
Menurut Seyhan (1990), sungai memiliki tiga sifat aliran:
1. Aliran yang bersifat sementara, hanya dapat mengalir setelah terjadinya hujan
badai yang menghasilkan limpasan permukaan yang memadai. Permukaan air
bumi selalu berada di bawah dasar sungai.
2. Aliran yang terputus-putus, mengalir selama musim hujan saja. Selanjutnya
debit ini terdiri atas pemberian limpasan permukaan dan air bumi pada dasar
sungai. Permukaan air bumi berada diatas dasar sungai hanya selama musim
hujan. Pada musim kemarau permukaan tersebut berada di dasar sungai.
3. Aliran abadi (permanen), mengalir sepanjang tahun dengan debit-debit yang
lebih tinggi selama musim penghujan. Debit sungai terdiri atas pemberian
limpasan permukaan dan air bumi pada dasar bumi. Permukaan air tanah selalu
berada di atas dasar sungai.
6
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan wilayah bersifat
kompleks yang dipengaruhi karakteristik fisik variabel meteorologinya.
Karakteristik fisik yang berupa pola penggunaan lahan, bentuk jaringan sungai,
kondisi tanah, topografi, dan ketinggian tempat merupakan karakteristik DAS
yang sifatnya dapat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Sedangkan variabel
meteorologi yang meliputi curah hujan, suhu, kelembapan, radiasi matahari dan
kecepatan angin bersifat sangat berubah-ubah tergantung kondisi iklimnya
(Dewan Riset Nasional Kelompok II, Sumber daya Alam dan Energi, 1994).
2.2 Pencemaran Perairan
Miller dan Connell, (1995) diacu dalam Henni Wijayanti M, (2007)
mengatakan bahwa pencemaran perairan merupakan peristiwa masuknya
senyawa-senyawa yang dihasilkan dari kegiatan manusia ditambahkan ke
lingkungan perairan, menyebabkan perubahan yang buruk terhadap kondisi fisik,
kimia, biologis dan estetis. Makhluk hidup memiliki berbagai reaksi mulai dari
pengaruh yang sangat kecil sampai ke subletal seperti berkurangnya pertumbuhan,
perkembangbiakan, pengaruh perilaku atau kematian yang nyata. Sedangkan
Radojevic dan Bashkin (2007) diacu dalam Henni Wijayanti M, (2007)
mengatakan bahwa pencemar dapat berasal dari daerah khusus dan terdistribusi.
Sumber pencemar daerah khusus, misalnya: saluran buangan pabrik dan sumur
pengebolan minyak. Sumber pencemar terdistribusi, misalnya: limpasan pestisida
yang berasal dari sawah dan domestik.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 - Peraturan
Pemerintah 82/2001 - Tentang Pengendalian Pencemaran Air, yang dimaksud
dengan pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
7
energi, atau komponen lain di dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas
air menurun sampai ke titik tertentu yang menyebabkan tidak lagi berfungsi sesuai
dengan peruntukannya. Dari definisi tersebut, dapat dicatat beberapa hal penting
terkait dengan pencemaran air, yaitu:
(1) kegiatan manusia merupakan penyebab dari pencemaran air.
(2) pencemaran air ditunjukkan oleh menurunnya kualitas air.
(3) baku mutu dan fungsi peruntukan air menjadi dasar dalam penentuan tingkat
pencemaran air.
Penentuan tingkat pencemaran air didasarkan pada baku mutu air sesuai
dengan peruntukannya. Klasifikasi kualitas air menurut Peraturan Pemerintah
82/2001 ditetapkan menjadi empat kelas sesuai dengan peruntukannya, yaitu:
(1) Kelas I, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
(2) Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
(3) Kelas III, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan
lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
8
(4) Kelas IV, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
2.3 Kualitas Air
2.3.1. Parameter Fisika Kualitas Air
2.3.1.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor dalam reaksi kimia dan aktifitas biologi
didalam suatu perairan yang sangat berperan dan berpengaruh dalam
mengendalikan kondisi ekosistem perairan, terutama terhadap kelangsungan hidup
suatu organisme (Palmer, 2001. diacu dalam Krismono Priambodho, 2005).
Kenaikan suhu sebesar 10°C menyebabkan kebutuhan oksigen hewani perairan
naik hampir dua kali lipat. Sebaliknya peningkatan suhu menyebabkan
konsentrasi oksigen terlarut akan menurun dan peningkatan suhu juga akan dapat
menaikan daya racun polutan terhadap organisme perairan (Moriber, 1974. Diacu
dalam Krismono Priambodho, 2005). Menurut Hawkes (1979) diacu dalam Henni
Wijayanti M (2007) suhu perairan yang tidak lebih dari 30°C tidak akan
berpengaruh secara drastis terhadap makrozoobenthos.
Fardiaz (1992) mengungkapkan bahwa kenaikan suhu air akan
menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut:
a. Jumlah oksigen terlarut dalam air akan menurun.
b. Kecepatan reaksi kimia meningkat.
c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d. Jika suhu melampaui batas bisa mengakibatkan kematikan terhadap ikan dan
hewan air lainnya.
9
2.3.1.2. Total Padatan Tersuspensi ( Total Suspended Solid )
Padatan tersuspensi total (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter
> 1 µm) tertahan pada saringan milipore dengan pori-pori 0,45 µm. TSS terdiri
atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, terutama disebabkan oleh
kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003).
TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan sehingga mempengaruhi
penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses
fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air yang selanjutnya akan
mengurangi pasokan oksigen terlarut dan meningkatkan pasokan CO2 di perairan.
Menurut Priyono (1994) Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir,
lumpur, tanah, dan bahan kimia in organik menjadi bentuk bahan tersuspensi di
dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab polusi tertinggi di dalam air.
Kebanyakan sungai dan daerah aliran sungai selalu membawa endapan lumpur
yang disebabkan erosi alamiah dari pinggir sungai. Akan tetapi, kandungan
sedimen yang terlarut hampir semua sungai meningkat terus karena erosi dari
tanah pertanian, kehutanan, konstruksi dan pertambangan. Partikel yang
tersuspensi menyebabkan kekeruhan dalam air, sehingga mengurangi kemampuan
ikan dan organisme air lainnya memperoleh makanan dan mengurangi tanaman
air melakukan fotosintesis.
2.3.1.6. Kecerahan dan Kekeruhan
Kecerahan dan kekeruhan air dalam suatu perairan dipengaruhi oleh
jumlah cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan atau disebut juga dengan
intensitas cahaya matahari. Cahaya matahari di dalam air berfungsi terutama
10
untuk kegiatan asimilasi tanaman di dalam air. Oleh karena itu, daya tembus
cahaya ke dalam air sangat menentukan tingkat kesuburan air.
Dengan diketahuinya intensitas cahaya pada berbagai kedalaman tertentu,
kita dapat mengetahui sampai dimanakah masih ada kemungkinan terjadinya
proses asimilasi di dalam air. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan
dan pengukuran cahaya matahari di dalam air dapat dilakukan dengan
menggunakan lempengan/kepingan Secchi disk.
Satuan untuk nilai kecerahan dari suatu perairan adalah satuan cm. Jumlah
cahaya yang diterima oleh phytoplankton diperairan asli tergantung pada
intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam permukaan air dan daya
perambatan cahaya di dalam air. Masuknya cahaya matahari ke dalam air
dipengaruhi juga oleh kekeruhan air (turbidity).
Sedangkan kekeruhan menggambarkan tentang sifat optik yang ditentukan
berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan
yang terdapat di dalam perairan.
Definisi kekeruhan adalah banyaknya zat yang tersuspensi pada suatu
perairan. Hal ini menyebabkan hamburan dan absorbsi cahaya yang datang
sehingga kekeruhan menyebabkan terhalangnya cahaya yang menembus air.
2.3.1.3. Salinitas
Salinitas merupakan ciri khas perairan pantai atau laut yang
membedakannya dengan air tawar. Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota
yang bersifat stenohaline dan euryhaline. Biota yang mampu hidup pada kisaran
yang sempit disebut sebagai biota bersifat stenohaline dan sebaliknya biota yang
mampu hidup pada kisaran luas disebut sebagai biota euryhaline (Supriharyono,
11
2000). Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara
vertikal maupun horizontal. Menurut Barnes (1980) diacu dalam Henni Wijayanti
M (2007) pengaruh salinitas secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi dalam suatu ekosistem. Menurut Gross (1972) diacu dalam
Henni Wijayanti M (2007) menyatakan bahwa hewan benthos umumnya dapat
mentoleransi salinitas berkisar antara 25 - 40 ‰.
Menurut Budiman dan Dwiono (1986) bahwa gastropoda yang bersifat
mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang
terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika
pengaruh air tawar berlangsung lama. Selain itu reproduksi dari jenis-jenis
gastropoda seperti Littorina scabra sangat dipengaruhi oleh salinitas.
2.3.2. Parameter Kimia Kualitas Air
2.3.2.1. pH
Nilai pH perairan merupakan salah satu parameter yang penting dalam
pemantauan kualitas perairan. Organisme perairan mempunyai kemampuan
berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan
karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi (Pescod, 1973 diacu dalam Henni
Wijayanti M, 2007).
Menurut Sutamihardja (1978) derajat keasaman merupakan kekuatan
antara asam dan basa dalam air dan suatu kadar konsentrasi ion hidrogen dalam
larutan. Nilai pH menggambarkan kekuatan bahan pelarut dari air, karena itu
penunjukkannya mungkin dari reaksi kimia pada batu-batuan dan tanah-tanah.
Pertumbuhan organisme perairan dapat berlangsung dengan baik pada kisaran pH
6,5 - 8,5.
12
Fakhri (2000) menyebutkan bahwa perairan sudah dianggap tercemar jika
memiliki nilai pH < 4,8 dan > 9,8. Derajat keasaman atau pH air biasanya
digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran dengan melihat tingkat
keasaman atau kebasaan air yang dikaji. Mackereth et al.dalam Effendi (2003)
berpendapat bahwa pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas.
Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah
kadar karbondioksida bebas. Larutan yang bersifat asam akan bersifat korosif.
Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia perairan, misalnya proses
nitrifikasi akan berakhir jika kadar pH rendah.
Keberadaan karbonat, hidroksida dan bikarbonat bertambah pada dasar
perairan, sementara keberadaan mineral bebas asam dan asam karbonik bertambah
dalam keasaman. Perairan asam tidak lebih umum dari pada perairan alkali.
Sumber pembuangan air asam dan sampah-sampah industri yang sudah tidak
dinetralkan akan bersamaan dengan pengurangan pH dari air.
2.3.2.2. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peranan yang
sangat penting bagi kehidupan biota air sekaligus menjadi faktor pembatas bagi
kehidupan biota. Daya larut oksigen dapat berkurang disebabkan naiknya suhu air
dan meningkatnya salinitas. Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter kualitas
air yang penting. Umumnya konsentrasi DO di suatu perairan akan bersifat
sementara atau musiman dan berfluktuasi. Biasanya organisme air seperti ikan
memerlukan oksigen terlarut antara 5,8 mg/l (Palmer, 2001 diacu dalam Krismono
Priambodho, 2005). Kandungan oksigen terlarut yang tinggi adalah pada sungai
yang relatif dangkal dan adanya turbulensi oleh gerakan air. Daya larut oksigen
13
akan menurun dengan kenaikan suhu, sebaliknya pada air yang dingin kadar
oksigen akan meningkat (Odum, 1971 diacu dalam Henni Wijayanti M 2007).
Konsentrasi oksigen terlarut dipengaruhi oleh proses respirasi biota air dan
proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Pengaruh ekologi lain yang
menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menurun adalah penambahan zat
organik (buangan organik) (Connel dan Miller, 1995 diacu dalam Henni
Wijayanti M, 2007).
2.3.2.3. COD ( Chemical Oxygen Demand )
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan
untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Bahan organik
yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium
bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Metcalf &
Eddy, 1991 diacu dalam Krismono Priambodho 2005), sehingga segala macam
bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan
teroksidasi.
Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20
mg/l. Sementara pada perairan yang tercemar memiliki nilai COD dapat melebihi
200 mg/l. Oleh karena itu perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak baik
untuk kegiatan perikanan (Fakhri, 2000).
2.3.2.4. BOD ( Biochemical Oxygen Demand )
BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah suatu karakteristik yang
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme
(biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam
14
kondisi aerobik (Metcalf & Eddy, 1991diacu dalam Krismono Priambodho,
2005). Mays (1996) diacu dalam Krismono Priambodho (2005) mengartikan BOD
sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang
terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang
dapat diurai. Dari pengertian-pengertian ini dapat dikatakan bahwa, walaupun
nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga
diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable
organic) yang ada di perairan.
2.3.2.5. NH3 (Amonia)
Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi toksik terhadap organisme
akuatik. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika
terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu. Ammonia jarang
ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasokan oksigen, sebaliknya pada
tempat anoksik (tampa oksigen) yang biasanya terdapat didasar perairan, kadar
amoniak relative tinggi (Effendi,2003).
2.3.2.6. Hg ( Merkuri )
Merkuri merupakan unsur trece elemen yang bersifat cair pada suhu
ruang dan daya hantar listrik yang tinggi (Budiono, 2003).
Merkuri memiliki sifatsifat sebagai berikut (Fardiaz 2005):
1. merkuri merupakan satusatunya logam yang berbentuk cair, pada suhu
(25 °C) dan memilki titik beku yang paling rendah dibanding logam
lainnya, yaitu 39 °C.
2. merkuri dalam bentuk cair memiliki kisaran suhu yang luas.
3. memiliki volatilitas yang tinggi dibanding logam lainnya.
15
4. merupakan konduktor yang baik karena memilki ketahanan listrik yang rendah.
5. banyak logam yang terdapat dalam merkuri yang membentuk komponen
yang disebut amalgam (alloy).
6. merkuri dan komponenkomponen ber sifat toksik terhadap semua makhluk
hidup.
Sifatsifat itulah yang menyebabkan merkuri banyak digunakan oleh
manusia seperti dalam aktivitas penambangan, peleburan untuk menghasilkan
logam dari biji tambang sulfidnya, pembakaran bahan bakar fosil dan produksi
baja, semen serta fosfat. Pemakai utama merkuri adalah pabrik alkali, industri
bubur kayu, dan pabrik perlengkapan listrik (Lu, 2006 diacu dalam Aryo Sarjono,
2009).
Fardiaz (2005) mengatakan bahwa merkuri di alam ditemukan dalam
bentuk gabungan dengan elemen lainnya dan jarang ditemukan dalam bentuk
terpisah, Beliau juga mengklasifikasikan bentuk merkuri di alam menjadi dua
bentuk, yaitu.
1. merkuri anorganik, termasuk logam merkuri (Hg ₂+) dan garam garam
nya seperti merkuri klorida (HgCl₂) dan merkuri oksida (HgO₂).
2. komponen merkuri organik (organomerkuri), terdiri dari:
a) aril merkuri, mengandung hidrokarbon aromatik seperti fenil merkuri asetat
b) alkil merkuri, mengandung hidrokarbon alifatik dan merupakan merkuri
yang paling beracun, misalnya metil merkuri dan etil merkuri
c) alkoksialkil merkuri (ROHg).
16
Komponen organomerkuri yang terpenting secara komersil adalah
fenil merkuri asetat (FMA). Industri industri pulp dan kertas menggunakan FMA
untuk mencegah pembentuk lendir pada pulp kertas yang masih basah selama
pengolahan dan penyimpanan.
Sumber alami merkuri adalah cinnabar (HgS) dan mineral sulfide,
misalnya sphalerite (ZnS), chalcopyrite (CuFeS) dan galena (PbS). Pelapukan
batuan dan erosi tanah dapat melepas merkuri ke dalam perairan (Efendi, 2003).
Penambangan, peleburan, pembakaran bahan bakar fosil, dan produksi baja,
semen dan fosfat juga merupakan sumber merkuri yang dapat menambah
keberadaannya di alam (Lu, 2006 diacu dalam Aryo Sarjono, 2009).
Di perairan alami logam berat merkuri terdapat dalam bentuk Hg, Hg +
dan Hg ₂+ yang ditentukan oleh kondisi reduksi atau oksidasi. Perairan dengan
oksigen terlarut cukup baik (€h ≥ 0,5 mV), maka Hg ₂+ terlarut menjadi
dominan. Dalam keadaan reduksi atau fakultatif akan terbentuk Hg dan Hg +,
dan apabila terdapat sulfit akan terbentuk senyawa HgS (Sanusi, 2006).
Kelarutan merkuri di perairan laut dalam bentuk Hgcl4 dan HgCl3 dengan
klorida yang dominan. Merkuri tidak hanya larut dalam air tetapi juga akan
terabsorpsi oleh partikelpartikel tersuspensi. Dalam substrat anoksida, merkuri
ada dalam bentuk HgS dan HgS2. Sistem mikroba dalam laut dapat mengubah
semua bentuk merkuri anorganik menjadi metil merkuri, untuk selanjutnya dapat
diakumulasi oleh organisme hidup(Clark, 1997 diacu dalam Henni Wijayanti M,
2007). Hal senada juga dikatakan oleh Lu (2006) diacu dalam Henni Wijayanti M
(2007) bahwa unsur merkuri akan menjadi senyawa anorganik melalui proses
oksidasi dan kembali menjadi unsur merkuri lewat reduksi. Merkuri anorganik
17
dapat menjadi merkuri organik melalui kerja kuman anaerobic tertentu, dan
senyawa ini secara lambat terdegradasi menjadi merkuri anorganik.
Proses metilasi terpengaruh dengan adanya dominasi unsur sulfur (S),
yaitu pada keadaan anaerob dan redok potensial yang rendah. Faktorfaktor yang
sangat berpengaruh di dalam pembentukan metil merkuri antara lain suhu, kadar
ion Cl, kandungan organik, derajat keasaman (pH), dan kadar merkuri. Hasil
akhir dari proses metilasi adalah metil merkuri (CH3Hg) yang memiliki daya
racun tinggi dan sukar terurai dibandingkan zat asalnya.
Merkuri dimanfaatkan dalam bidang kedokteran, pertanian dan industri.
Dalam bidang kedokteran merkuri digunakan untuk pengobatan penyakit kelamin
(sifilis). Sebelum diketahui berbahaya, HgCl digunakan sebagai pembersih luka,
bahan kosmetik dan digunakan dalam bidang kedokteran gigi (Fardiaz, 2006).
Merkuri digunakan sebagai pembunuh jamur, sehingga baik untuk bahan pelapis
benih sebagai pencegah pertumbuhan kapang (Fardiaz, 2006).
Merkuri juga digunakan sebagai bahan pembasmi hama. Sedangkan dalam
bidang industri merkuri dimanfaatkan sebagai bahan dasar lampu merkuri untuk
penerangan jalan, pembuatan baterai, pembuatan klor alkali yang menghasilkan
klorin (Cl2) yang dimanfaatkan perusahaan air minum untuk penjernihan air
minum dan membasmi kuman, pembuatan kaustik soda, bahan campuran cat, dan
pembuatan plastik. Untuk mencegah lender pada pulp kertas pada industri kertas
(Fardiaz, 2006)
18
Suatu perairan dikatagorikan tidak tercemar jika kadar Hg²+ terlarut sekitar
0,02 - 0,1 mg/l untuk air tawar dan kurang dari 0,010,03 mg/l untuk air laut
(Sanusi, 2006). Moore (1991) diacu dalam Aryo Sarjono (2009) menyatakan
kadar merkuri yang diperbolehkan untuk air minum tidak lebih dari 0,3 µg/liter.
Kadar merkuri untuk biota laut sebaiknya tidak melebihi 0.2 µg/1 (Moore,
1991 diacu dalam Aryo Sarjono, 2009), Sedangkan berdasarkan baku mutu air
laut untuk budidaya perikanan/biota laut yang tercantum Keputusan Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup N. 51 tahun 2004, adalah 0.001 ppm.
Metil merkuri merupakan merkuri organik yang selalu menjadi perhatian
serius dalam toksikologi. Hal ini karena metil merkuri dapat diserap secara
langsung melalui pernapasan dengan kadar penyerapan 80%. Selain itu metil
merkuri menyerang sistem saraf pusat sehingga menyebabkan gangguan saraf
sensoris, gangguan saraf motorik, gangguan lain, seperti gangguan mental, sakit
kepala, dan hipersalivasi (Darmono, 2001).
2.4 Baku Mutu Kualitas Air
Sesuai Peraturan Pemerintah Repubrik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001
disebutkan bahwa Baku Mutu Air adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat,
energi atau komponen lain yang ada atau harus ada dan atau macam unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air pada sumber air tertentu
sesuai dengan peruntukannya. Sesuai peraturan ini, air yang dimaksud adalah
semua air yang terdapat di dalam atau berasal dari sumber air, dan terdapat di atas
permukaan tanah, tidak termasuk air laut dan air bawah tanah.
19
Beberapa hasil penelitian terhadap kualitas air yang mengacu pada dasar
ketetapan yang ada, bahwa kualitas air minum di Indonesia lebih banyak masuk
sebagai air baku air minum, yaitu air yang perlu melalui pengolahan sebelum
dimanfaatkan sebagai air minum maupun keperluan rumah tangga lainnya. Air
yang dapat langsung dikonsumsi sebagai air minum adalah relatif sedikit, karena
banyak kualitas air menurun akibat pencemaran yang sebagian besar akibat
aktivitas manusia, baik akibat kegiatan rumah tangga, pertanian, dan juga industri.
Dasar yang digunakan untuk penetapan parameter kualitas air, khususnya untuk
keperluan air minum adalah :
1. Parameter-parameter yang berhubungan dengan sifat-sifat keamanan bagi suatu
peruntukan domestik (rumah tangga).
2. Parameter-parameter yang dapat dijadikan indikator terjadinya pencemaran
sampah domestik yang berhubungan dengan kesehatan manusia.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 - 16 Mei 2013, di Perairan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir Krueng Meureubo. Adapun tempat penelitian
yang dilakukan di perairan umum Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Hilir
Kueng Meureubo Kebupaten Aceh Barat sedangkan untuk uji Analisis Kualitas
perairan dilakukan pada Laboratorium Unit Analisis dan Kajian, Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Syiah
Kuala (UNSYIAH) Darussalam Banda Aceh.
3.2 Peta Lokasi Penelitian
Gambar 1. Peta lokasi Penelitian Krueng Meureubo (BAPEDA Aceh Barat, 2001)
Lokasi penelitian
21
3.3. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Analisis Status Kualitas
Perairan Daerah Aliran Sungai Hilir Krueng Meureubo seperti yang terterabkan
dalam Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian.
No Alat Fungsi
1 Kamera Pengambilan gambar waktu penelitian
2 Meteran Pengukuran jarak penelitian
3 Boat/perahu Transportasi pengambilan sampel air
4 Buku Tulis Mencatat hasil penelitian
5 Pulpen Untuk menulis hasil penelitian
6 pHpen Mengukur Ph air
7 Sechi disk Mengukur kecerahan perairan
8 Refraktometer Mengukur salinitas perairan
9 Thermometer Mengukur suhu perairan
10 Dometer Mengukur DO di perairan
11 Timbal Untuk mengambil sampel di perairan
12 Botol Obat Sebagai botol untuk mengisi sampel
13 Cool Box
Tempat penyimpanan hasil pengambilan sampel
kualitas perairan Kekeruhan, TSS, Hg, BOD,
COD, NH3 yang akan dibawa dari lokasi
penelitian ke Laboratorium Unit Analisis dan
Kajian Kimia, jurusan Kmia Fakultas MIPA
UNYIAH Darussalam Banda Aceh
14 GPS Menentukan titik koorditad sampel
22
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian.
No Bahan Fungsi
1 Air Sungai Sebagai bahan objek penelitian
2 Kuisioner Untuk mengisi data hasil wawancara
3 Es Batu Untuk pengawetan sampel
3.4. Kerangka Penelitian
Gambar 2. Kerangka Penelitian
Kondisi Perairan DAS Hilir Krueng Meureubo Saat ini
Parameter yang diamati 1. parameter fisika
(Kecerahan, Kekeruhan) 2. parameter kimia (Suhu,
Salinitas, pH, DO, Hg, BOD, COD, NH3)
Kep-MENLH
N0.115 tahun 2003
Mengetahui Kualitas Air
PP 82/2001
Data Skunder
Data Primer
23
3.5 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Penelitian
deskriptif kuantitatif yaitu membuat deskripsi obyektif tentang fenomena terbatas
dan menentukan apakah fenomena dapat terkontrol melalui beberapa interversi.
Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan, meramalkan dan mengontrol
fenomena melalui pengumpulan data terfokus dengan pengukuran obyektif dan
analisis numerik. Sedangkan metode dekriptif yaitu suatu metode dengan
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penggunaan metode ini
adalah untuk membuat deskripsi, gambaran-gambaran secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang
diselidiki (Nazir, 1988).
Metode deskriptif kuantitatif pada penelitian ini dapat dikatakan sebagai
penelitian studi kasus karena salah satu dari jenis metode deskriptif. Studi kasus
atau penelitian kasus (Case study) adalah penelitian tentang status subyek
penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas. Kelemahan dari studi kasus adalah anggota sampel yang terlalu kecil
sehingga sulit dibuat inferensi kepada populasi dan studi kasus sangat dipengaruhi
oleh pandangan subyektif dalam pemilihan kasus. Keunggulan dari studi kasus
adalah dapat mendukung studi-studi besar dikemudian hari dan studi kasus dapat
memberikan hipotesa-hipotesa untuk penelitian selanjutnya. Dari segi edukatif,
maka studi kasus dapat digunakan sebagai contoh ilustrasi baik dalam perumusan
masalah, penggunaan statistik dalam menganalisa data-data dan cara-cara
perumusan generalisasi dan kesimpulan (Nazir, 1988).
24
3.6 Metode Pengambilan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara observasi/pengamatan langsung ke
lapangan sedangkan data sekunder berupa data-data statistik yang berhubungan
dengan penelitian. Adapun keterbatasan data sekunder adalah data hasil analisis.
3.7 Parameter yang diamati
Parameter yang diamati meliputi parameter fisik dan kimia. Parameter
yang diukur secara in situ adalah suhu, salinitas, dan oksigen terlarut, selebihnya
diukur di laboratorium tanpa pengulangan. Pengamatan parameter fisika meliputi
suhu, TSS, kecerahan dan kekeruhan. Sedangkan parameter kimia yang diamati
adalah DO, pH, Salinitas, BOD, COD, Hg, dan NH3.
3.8 Menentukan Stasiun Pengambilan Sampel
Sungai Meureubo secara administratif berada di Kecamatan Meureubo
wilayah Kabupaten Aceh Barat. Adapun pengambilan sampel air dibagi atas 3
(tiga) stasiun yaitu sebagai berikut;
1. Stasiun 1 pengambilan sampel air di jembatan Kreung Cangkoi.
2. stasiun 2 pengambilan sampel air di awal dari perpisahan air sungai yang lain.
3. stasiun 3 pengambilan sampel air di jembatan jembatan besi (jembes).
3.9 Tahapan Kerja Pengambilan Sampel
3.9.1. Pengambilan Sampel
Untuk mendapatkan sampel TSS, Hg, BOD, COD dan NH3 dilakukan
pengambilan sampel yang representatif, yaitu sampel yang dapat mewakili pada
daerah sekitarnya. Dengan pengambilan sampel yang representatif data hasil
25
pengujian dapat menggambarkan kualitas lingkungan yang mendekati kondisi
sesungguhnya. Pengambilan sampel merupakan bagian dari penelitian yang
sangat penting, karena sampel merupakan cerminan dan populasi yang ada.
Metode pengambilan sampel menggunakan metode purposif sampling yaitu
sampel dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu.
Cara pengambilan sampel air dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Badan sungai secara melintang dibagi menjadi beberapa bagian tengah badan
sungai.
2. Setiap sampel diambil pada pemukaan perairan.
3. Untuk pengambilan sampel mengunakan timbal.
4. Sampel tersebut dimasukkan kedalam botol obat berdasarkan titik sampel
kualitas air yang diambil dengan keadaan terpisah menurut stasiun dan setiap
pengambilan sampel sama.
5. kemudian sampel tersebut dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
3.9.2. Parameter yang Diamati secara Langsung (In Situ)
1. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan cara mencelupkan thermometer
kedalam perairan. Thermometer diikat pada bagian pangkal (bukan ujung air
raksa) kemudian digantung pada permukaan perairan beberapa menit dan suhu
dibaca setelah thermometer menunjukkan angka konstan.
26
2. Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan Refraktometer.
Diambil Refraktometer kemudian ditetes satu tetes air sampel diujung
Refraktometer, kemudian dilihat melalui ujung yang satu lagi, kemudian akan
terlihat nilai salinitas di perairan tersebut.
3. Kecerahan
Pengukuran kecerahan dengan menggunakan sechi disk. Sechi disk
diturunkan kedalam perairan sampai tidak kelihatan (jarak hilang) kemudian
dicatat, setelah itu Sechi disk ditarik sampai kelihatan (jarak tampak) kemudian
dicatat, kemudian antara jarak hilang ditambah jarak tampak dibagi dua.
4. pH (keasaman)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan phpen. Pengukuran
dilakukan dengan mencelupkan ujung phpen tersebut kedalam perairan kemudian
melihat angka di alat tersebut.
5. DO
Pengukuran DO dilakukan dengan menggunakan DOmeter, DOmeter
diletakkan ujungnya kedalam perairan kemudian nilai tersebut akan keluar melalui
alat tersebut
27
3.10 Metode Analisis Data
3.10.1. Identifikasi Sumber Pencemaran
Memberikan karakter terhadap data hasil observasi lapangan dan hasil
wawancara dari informan mengenai pemanfaatan hilir Krueng Meureubo oleh
masyarakat serta faktor tekanan dari lingkungan yang mempengaruhi kualitas air
pada wilayah tersebut sebagai dasar penetapan status mutu air.
4.10.2. Penentuan Kualitas Air Sungai
Menetapkan kelayakan kualitas air sungai dilakukan dengan
membandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan
nilai baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah 82 Tahun 2001 (Pemerintah
Republik Indonesia, 2001), tentang pengolaan kualitas air dan pengadalian
pencemaran lingkungan.
3.10.3. Analisa Indeks Pencemaran (IP)
Analisis data yang digunakan adalah analisis Indeks Pencemaran (IP)
Sumitomo dan Nemerow (1970) dalam Lampiran II Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup mengusulkan suatu indeks yang berkaitan dengan senyawa
pencemaran parameter yang bermakna untuk suatu peruntukan. Indeks ini
dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran yang digunakan untuk menentukan tingkat
pencemaran terhadap parameter kualitas air yang diizinkan.
Perhitungan tingkat pencemaran menggunakan Metode Indeks
Pencemaran (IP) seperti pada Kep-MENLH N0.115 tahun 2003. Indeks
Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat
dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh badan air atau sebagian
dari suatu sungai. Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini
28
dapat memberikan masukan pada pengambilan keputusan agar dapat menilai
kualitas badan air untuk
suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika
penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. Indeks pencemaran
mencakup berbagai parameter kualitas yang independen dan bermakna.
Menurur Azwir (1996) definisi dari Indeks Pencemaran adalah apabila Lij
menyatakan kosentrasi parameter kualitas air yang tercantum dalam baku mutu
peruntukan air (J), dan Ci menyatakan kosentrasi parameter kualitas air (i) yang
diperoleh dari suatu badan air, maka Pij adalah Indeks pencemaran bagi
peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij. Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan
pencemaran relatif yang diakibatkan oleh parameter kualitas air, nisbah ini tidak
mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0 adalah nilai yang kritis, karena nilai ini
diharapkan untuk dipenuhi bagi suatu Baku Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >
1,0 untuk suatu parameter, maka kosentrasi parameter ini harus dikurangi atau
disisihkan, kalau badan air tersebut digunakan untuk peruntukan (j). Jika
parameter ini adalah parameter yang bermakna bagi peruntukan, maka pengolahan
mutlak harus dilakukan bagi air itu. Pada metode IP digunakan berbagai
parameter kualitas air, maka pada penggunaannya dibutuhkan nilai rerata dari
keseluruhan nailai Ci/Lij sebagai tolak ukur pencemaran, tetapi nilai ini tidak akan
bermakna jika salah satu nilai Ci/Lij bernilai >1. Jadi indeks ini harus mencakup
nilai Ci/Lij yang maksimum. Sungai akan semakin tercemar untuk suatu
peruntukan (j) jika nilai (Ci/Lij R ) atau (Ci/Lij M) adalah lebih besar dari 1,0.
Jika nilai (Ci/Lij)M dan atau nilai (Ci/Lij)R makin besar, maka tingkat
29
pencemaran suatu badan air akan semakin besar pula. Jadi rumus yang digunakan
untuk mengetahui tingkat pencemaran pada sungai digunakan rumus dibawah ini:
Pij = (Ci/Lij)2 M + (Ci/Lij)2R ----- ( Azwir, 1996 )
2
Dimana :
Lij = Kosentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam baku mutu
peruntukan air (J).
Ci = Kosentrasi parameter kualitas air dilapangan
Pij = Indeks pencemaran bagi peruntukan (J)
Ci/Lij)M = Nilai, Ci/Lij maksimum
(Ci/Lij)R = nilai, Ci/Lij rata-rata
Metode ini dapat langsung menghubungkan tingkat tercemar atau tidaknya
suatu perairan dipakai untuk peruntukan tertentu dengan nilai parameter-
parameter tertentu. Evaluasi terhadap nilai Indeks Mutu/Pencemaran Perairan
ditunjukkan pada Tabel 3 dan Kreteria Kelas Air Menurut Peraturan Pemerintah
N0 82 Tahun 2001 Tentang Indeks Pencemaran dapat dilihat pada lampiran 1.
Tabel 3, Hubungan Antara Nilai Indeks Pencemaran Dengan Mutu Perairan
Nilai IP Mutu Perairan
0 – 1.0 Kondisi baik
1.1 – 5.0 Cemar ringan
5.0 – 10.0 Cemar sedang
> 10.0 Cemar berat
Sumber: Keputusan Menteri LH No. 115 Tahun 2003.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Letak Geografis Daerah Penelitian
Kebupaten Aceh Barat teletak di bagian ujung pulau sumatera di pesisir
barat Propinsi Aceh dengan letak geografis 04°06’36” Lintang Utara dan 95° 52’
43” 96° 16 45” Bujur Timur. Dengan luas wilayah Kebupaten Aceh Barat
mencapai 2.927.95 Km² atau seluas 292.795 Ha, sedangkan panjang garis pantai
diperhitungkan 50.55 Km luas laut 233 Km².
Secara geografis Kebupaten Aceh Barat berbatasan, disebelah utara
dengan Kebupaten Aceh Jaya dan Kebupaten Pidie, sebelah timur dengan
Kebupaten Aceh Tengah dan Kebupaten Nagan Raya, sebelah barat dengan
Samudra India dan Nagan Raya.
Kebupaten ini memiliki 4 Kecamatan yang berbatasan langsung dengan
Samudra Indonesia dan merupakan Kecamatan Pesisir yaitu Kecamatan Johan
Pahlawan, Meureubo, Samatiga, dan Kecamatan Arongan Lambalek, dan
Kecamatan daratan ada 8 meliputi yaitu Kaway XVI, Sungai Mas, Pante Ceurmen
Panton Ree, Bubon, Woyla Barat dan Woyla Timur.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir Krueng Meureubo berbatasan dengan
Kecamatan Meureubo dan Kecamatan Johan Pahlawan. Lokasi penelitian antara
lain Stasiun 1 adalah 4°09.26” LU dan 96°08.41” BT, Stasiun 2 adalah 4°08.84”
LU dan 96°08.40” BT, dan Stasiun 4°08.78” LU dan 96°08.33” BT.
31
4.2 Sumber Pencemaran Krueng Meureubo
Sumber pencemaran hilir Kreung Meureubo disebabkan oleh kegiatan
pertanian, pemukiman padat penduduk, peternakan skala rumah tangga dan
berbagai kegiatan/usaha seperti, pembangunan jembatan, kegiatan bot baik bot
penangkapan maupun bot angkut pasir, pencucian bot, pengalengan/pengolahan
ikan.
Identifikasi sumber pencemaran bertujuan untuk mengetahui karakter
sumber pencemaran yang mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas air pada
Hilir Krueng Meurebo. Sumber pencemaran pada wilayah ini dikarnakan adanya
kegiatan pertanian dan perternakan yang masih aktif dan letaknya berbatasan
langsung dengan sungai. Pemukiman penduduk dekat dari daerah aliran Krueng
Meureubo maka limbah yang dihasilkan dari pemukiman akan terbawa masuk ke
sungai apalagi terjadinya hujan deras. Limbah yang dihasilkan berupa limbah
padat sisa-sisa kegiatan pertanian dan limbah cair berupa sisa-sisa pupuk yang
hanyut terbawa aliran air masuk ke badan air (sungai).
Masyarakat pada wilayah ini memanfaatkan air Krueng Meurebo sebagai
pencucian bot, mendirikan bot serta jalan untuk pergi melaut. Pembuang libah
ikan yang ada pengolahan ikan yang ada di PPI Ujung Baruh, serta pembangunan
jembatan.
4.3 Kualitas Air Kreung Meureubo
4.3.1. Parameter Fisika Air
4.3.1.1. Suhu
Hasil penelitian menunjukan pada setiap stasiun terlihat penyebaran suhu
yang hampir sama, dari Gambar 2 terlihat sebaran suhu tertinggi pada setiap
32
0
5
10
15
20
25
30
35
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
Tem
per
atu
r p
erair
an
(°C
)
SUHU
titik 1
titik 2
stasiun adalah pada pengamatan stasiun ke tiga yaitu berkisar antara 28 - 32 °C.
Sedangkan sebaran suhu terendah terjadi pada stasiun satu dan dua yang berkisar
antara 25 °C. Suhu dipengaruhi oleh faktor penyinaran sinar matahari dan proses
dekomposisi yang terjadi pada tiap stasiun. Seperti gambar dibawah ini:
Baku Mutu
Gambar 3. Hasil pengukuran suhu tiap pengamatan
Berdasarkan hasil pengukuran suhu air permukaan selama pengamatan
yang dilakukan, suhu permukaan Perairan Hilir Krueng Meureubo berkisar antara
25 - 32°C. Suhu terendah terletak pada stasiun 1 dan 2, sedangkan suhu tertinggi
terletak pada stasiun stasiun 3 titik ke 2. Tingginya intensitas penyinaran
matahari, menyebabkan tingginya tingkat penyerapan panas ke dalam perairan.
Kondisi kisaran suhu perairan Sungai Hilir Kreung Meureubo masih dalam batas
nilai normal bagi kehidupan organisme perairan pada umumnya.
Nybakken, 1988. diacu dalam Henni Wijayanti, 2007 menjelaskan bahwa
suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi
kimia dan biologi air akan meningkat 2 kali lipat pada kenaikan temperatur 10° C,
selain itu suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi organisme.
33
Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18 -
30°C. Apabila dibandingkan dengan baku mutu Peraturan Pemerintah No. 82
tahun 2001, pada pengamatan stasiun 3 melebihi baku mutu sehingga perairan ini
tidak sesuai untuk pengairan tanaman dan budidaya perikanan sedangkan pertama
dan kedua suhunya normal menurut baku mutu Peraturan Pemerintah No. 82
tahun 2001.
4.3.1.2. TSS (Total Supended Solid)
Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan
melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke
dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan
tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut
dalam badan air. Kedua, secara langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu
biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992),
padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga
mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga
semakin meningkat.
Hasil pengukuran nilai kekeruhan Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir
Krueng Meureubo dapat dilihat pada gambar 3 yaitu pada stasiun pertama titik
pertama 118 mg/l dan titik kedua 147 mg/l. Pada stasiun dua titik pertama 191
mg/l dan titik kedua 188 mg/l. Sedangkan stasiun tiga titik pertama 187 mg/l dan
titik kedua 156 mg/l, dapat dilihat pada Gambar 4.
34
0
50
100
150
200
250
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
TS
S (m
g/l)
TSS
titik 1
titik 2
Baku Mutu
Gambar 4. Hasil pengukuran TSS setiap stasiun
Berdasarkan hasil pengukuran TSS air selama pengamatan yang
dilakukan, TSS Perairan Hilir Krueng Meureubo berkisar antara 191-147 mg/l.
Nilai TSS terendah 147 mg/l pada stasiun 1 titik 2 sedangkan nilai tertinggi pada
stasiun 2 titik ke 1 dengan nilai 191 mg/l.
Salah satu aktivitas manusia yang bisa menyebabkan terjadinya padatan
tersuspensi adalah kegiatan pembukaan lahan baik untuk pembangunan maupun
untuk kegiatan pertanian dan industri. Peningkatan kandungan TSS di lokasi
penelitian diduga berhubungan erat dengan aliran air yang membawa bahan-bahan
yang terlarut ke perairan yang lebih rendah atau dari hulu ke hilir. Peningkatan
nilai TSS ini juga dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya semakin
banyak terjadi penggundulan hutan yang menyebabkan terjadi pengikisan tanah
yang masuk keperairan melalui proses run-off.
Baku mutu kadar TSS untuk kualitas air kelas I berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Pemerintah Republik Indonesia, 2001) adalah
sebesar 50 mg/l, Kandungan TSS di Kreung Meureubo daerah hilir tidak
memenuhi baku mutu kelas I, maka perairan tersebut tercemar.
35
0
10
20
30
40
50
stasuin 1 stasuin 2 stasuin 3
Kek
eru
han
(N
TU
)
KEKERUHAN
titik 1
titik 2
4.3.1.3. Kekeruhan
Tingginya nilai kekeruhan dan warna perairan yang hitam dapat
mengganggu kehidupan biota perairan, misalnya mengganggu penetrasi cahaya
matahari ke kolom perairan, sehingga menyebabkan terganggunya proses
fotosintesis yang berperan dalam penyediaan oksigen di perairan. Kekeruhan juga
dapat mengganggu penglihatan biota dalam mencari makanan, menutup saluran
pernapasan sehingga biota perairan sulit bernapas kemudian menyebabkan
kematian biota (Aryo sarjono, 2009).
Hasil pengukuran nilai kekeruhan Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir
Krueng Meureubo dapat dilihat pada gambar 3 yaitu pada stasiun pertama titik
pertama 42.5 NTU dan titik kedua 41.9 NTU. Pada stasiun dua titik pertama 46.2
NTU dan titik kedua 37 NTU. Sedangkan stasiun tiga titik pertama 45.7 NTU dan
titik kedua 47.1 NTU, dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Hasil pengukuran kekeruhan tiap pengamatan
36
Berdasarkan hasil pengukuran kekeruhan air selama pengamatan yang
dilakukan, kekeruhan Perairan Hilir Krueng Meureubo berkisar antara 37 - 47,1
NTU. Nilai kekeruhan terendah 37 NTU pada stasiun 2 titik 2 sedangkan nilai
tertinggi pada stasiun 3 titik ke 2 dengan nilai 47,1 NTU.
Baku mutu kadar kekeruhan untuk kualitas air kelas I berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Pemerintah Republik Indonesia,
2001) adalah sebesar < 50 NTU. Kandungan kekeruhan di Kreung Meureubo
daerah hilir memenuhi baku mutu.
4.3.1.4. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan
secara visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan
perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut,
partikel-partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh
aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah,
sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan.
Hasil penelitian di Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir Kreung Meureubo
kekeruhannya sebagai berikut: Stasiun pertama titik pertama dan titik kedua sama
yaitu 90 cm, stasiun kedua titik pertama dan kedua juga sama yaitu 40 cm
sedangkan stasiun tiga titik pertama dan kedua juga sama yaitu 50 cm, dapat
dilihat pada Gambar 6.
37
Gambar 6. Hasil pengukuran kecerahan tiap pengamatan
Berdasarkan hasil pengukuran kecerahan air selama pengamatan yang
dilakukan, kecerahan Perairan Hilir Krueng Meureubo berkisar antara 40 - 90 cm.
Nilai kecerahan terendah 40 cm pada stasiun 2 sedangkan nilai tertinggi pada
stasiun 1 dengan nilai 90 cm. Sedangkan baku mutu kadar kecerahan untuk
kualitas air kelas I berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
(Pemerintah Republik Indonesia, 2001) adalah sebesar > 50 cm. Kandungan nilai
kecerahan di Kreung Meureubo daerah hilir memenuhi baku mutu.
4.3.1.5. Salinitas
Hasil penelitian didaerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir Kreung
Meureubo bahwa salinitasnya tidak nampak, karena pada saat penelitian air
sungai mengalir kelaut (pasang surut) maka salinitas tidak ada.
4.3.2. Parameter Kimia Air
4.3.2.1. pH
Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion
hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar
tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7
0
20
40
60
80
100
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
Kec
erah
an
(cm
)
KECERAHAN
titik 1
titik 2
38
0
2
4
6
8
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
pH Air
titik 1
titik 2
adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH >
7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003)
Terlihat pada Gambar 5 adanya perbedaan nilai pH perairan pada stasiun
pertama dengan stasiun pengamatan yang lain. Pada stasiun pertama kondisi nilai
pH perairannya sebesar 7.5 dan 7,6 . Pada stasiun pengamatan yang ke dua 4,7
dan 4,8. Sedangkan stasiun ke tiga 5,0 dan 4,8, dapat dilihat pada Gambar 7.
Baku Mutu
Gambar 7. Hasil pengukuran pH tiap pengamatan
Berdasarkan hasil pengukuran nilai pH perairan selama tiga kali
pengamatan di Perairan Hilir Krueng Meureubo menunjukkan nilai pH perairan
kisaran nilai 4,7 - 7,6. Nilai terendah terletak pada stasiun 2 titik 1 sedangkan
yang tertinggi pada stasiun 1 titik 2. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Hilir
Krueng Meureubo cenderung bersifat asam. Hal ini disebabkan karena di
Kebupaten Aceh Barat masih banyak terdapat daerah rawa yang memiliki derajat
keasaman yang cukup tinggi. Semakin ke muara sungai semakin banyak daerah
rawa, sehingga air yang masuk dari anak sungai ke sungai induk masih memiliki
nilai derajat keasamaan yang cukup tinggi. Secara umum berdasarkan pengukuran
pada setiap pengamatan dan berdasarkan perhitungan nilai derajat keasamannya
39
7,4
7,45
7,5
7,55
7,6
7,65
7,7
7,75
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
DO
met
er (
Mg/l)
DO
titik 1
titik 2
maka perairan Hilir Krueng Meureubo tergolong pada kategori layak, baik bagi
organisme perairan di dalamnya maupun untuk kegiatan sektor perikanan lainnya.
Berdasarkan kisaran nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa, kondisi
perairan Hilir Krueng Meureubo berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 (Pemerintah Republik Indonesia, 2001) adalah sebesar 6-9.
Kandungan pH di Kreung Meureubo daerah hilir memenuhi baku mutu.
4.3.2.2. DO (Dissolved Oxygen)
Nilai oksigen terlarut pada penelitian di Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir
Meureubo sebagai berikut; Stasiun pertama titik pertama 7,7 mg/l dan titik kedua
7,6 mg/l, stasiun kedua titik pertama 7,5 mg/l dan titik kedua 7,5 mg/l, sedangkan
stasiun ketiga titik pertama 7,6 mg/l dan kedua 7,6 mg/l, dapat dilihat pada
Gambar 8.
Baku Mutu I
Gambar 8. Hasil pengukuran DO tiap pengamatan
Hasil pengukuran DO selama pengamatan menunjukkan kisaran nilai 7,7-
7,5 ppm. Nilai konsentrasi DO tertinggi terjadi pada stasiun 1 titik 1 sedangkan
nilai DO terendah di temukan pada stasiun 2. Rendahnya nilai konsentrasi DO
pada stasiun 2 disebabkan oksigen dimanfaatkan untuk mengurai limbah yang
40
0
2
4
6
8
10
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
CO
D (m
g/l
COD
titik 1
titik 2
masuk ke perairan. Menurut Salmin (2005), perairan dapat dikatagorikan sebagai
perairan yang baik dan tingkat pencemarannya rendah jika kadar oksigen
terlarutnya > 5 ppm.
Selain tingginya beban limbah yang masuk perairan, proses pengadukan
sedimen oleh arus menyebabkan perairan menjadi keruh diduga turut
mempengaruhi sinar matahari tidak dapat menembus kolom perairan, sehingga
proses fotosintesis tidak dapat berlangsung dengan baik.
Baku mutu kadar DO untuk kualitas air kelas I berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Pemerintah Republik Indonesia, 2001) adalah
sebesar 6 ppm keatas. Kandungan DO di Kreung Meureubo daerah hilir
memenuhi baku mutu.
4.3.2.3. COD (Chemical Oxygen Demand )
Nilai oksigen terlarut dalam penelitian di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Hilir Meureubo sebagai berikut; Stasiun pertama titik pertama 5.6 mg/l dan titik
kedua 7.2 mg/l, stasiun kedua titik pertama 4.8 mg/l dan titik kedua 6.4 mg/l,
sedangkan stasiun ketiga titik pertama 6.4 mg/l dan kedua 8 mg/l, dapat dilihat
pada Gambar 9.
Baku Mutu
Gambar 9. Hasil pengukuran COD tiap pengamatan
41
Hasil pengukuran COD selama pengamatan menunjukkan kisaran nilai
4,8-8 mg/l. Nilai konsentrasi COD tertinggi terjadi pada stasiun 3 titik 2 dengan
nilai 8 mg/l sedangkan nilai COD terendah di temukan pada stasiun 2 titik 1
dengan nilai 4,8 mg/l. Warlina (2004) nilai COD pada perairan yang tidak
tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l. Hal ini berarti berdasarkan hasil
pengukuran, bahwa perairan Hilir Krueng Meureubo kategori baik karena nilai
COD nya di bawah 20 mg/l, perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak di
inginkan bagi kepentingan pertanian maupun perikanan (Effendi, 2003).
Baku mutu kadar COD untuk kualitas air kelas I berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Pemerintah Republik Indonesia, 2001) adalah
sebesar 10 mg/l kebawah. Kandungan COD di Kreung Meureubo daerah hilir
memenuhi baku mutu.
4.3.2.4. BOD (Chemical Oxygen Demand)
Hasil pengukuran kandungan BOD pada DAS Hilir Keung Meureubo
adalah sebagai berikut: Stasiun pertama titik pertama 5,3659 mg/l dan titik kedua
2,7642 mg/l stasiun kedua titik pertama 2,1138 mg/l dan titik kedua 4,7154 mg/l
sedangkan stasiun tiga titik pertama 3,4146 mg/l dan titik kedua 6,0163 mg/l,
dapat dilihat pada Gambar 10.
42
0
2
4
6
8
stasiun 1 stasiun 1 stasiun 3
BO
D (m
g/l)
BOD
titik 1
titik 2
Baku Mutu III
Baku Mutu I
Gambar 10. Hasil pengukuran BOD tiap pengamatan
Hasil pengukuran BOD selama pengamatan menunjukkan kisaran nilai
2,1138 - 6,0163 mg/l. Nilai konsentrasi BOD tertinggi terjadi pada stasiun 3 titik 2
dengan nilai 6,0163 mg/l sedangkan nilai BOD terendah di temukan pada stasiun
2 titik 1 dengan nilai 2,1138 mg/l. Menurut Salmin (2005), berdasarkan kadar
oksigen biokimia (BOD) maka tingkat pencemaran Hilir Kreung Meureubo
tergolong rendah dan termasuk kategori perairan yang baik (kadar BOD 1-10
mg/l). Bedasarkan baku mutu kadar BOD untuk kualitas air kelas I berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Pemerintah Republik Indonesia,
2001) adalah sebesar 2 mg/l dan 6 mg/l. Kandungan BOD di Hilir Kreung
Meureubo tidak memenuhi baku mutu air kelas I, maka daerah tersebut tercemar.
4.3.2.5. NH3 (Amonia)
Amoniak berupa gas yang berbau tidak enak sehingga kadarnya harus rendah,
pada air minum kadarnya harus nol sedangkan air surgai kadarnya 0.5 mg/l. Hasil
penelitian didaerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Hilir Kreung Meureubo bahwa
NH3 tidak Nampak (0), karena pada saat pengambilan sampel diambi pada atas
permukaan perairan tersebut tidak berbau sebab pada saat itu perairan agak deras
sehingga NH3 tidak ada.
43
0
0,000005
0,00001
0,000015
0,00002
0,000025
0,00003
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
Hg (m
g/l)
Hg
titik 1
titik 2
4.3.2.6. Hg (merkuri)
Hasil pengukuran kandungan Hg pada DAS Hilir Keung Meureubo adalah
sebagai berikut: Stasiun pertama titik pertama 0,000022 mg/l dan titik kedua
0,000024 mg/l stasiun kedua titik pertama 0,000017 mg/l dan titik kedua
0,000025 mg/l sedangkan stasiun tiga titik pertama 0,000022 mg/l dan titik kedua
0,000026 mg/l. dapat dilihat pada gambar 11.
Baku Mutu
Gambar 11. Hasil pengukuran Hg tiap pengamatan
Hasil pengukuran Hg selama pengamatan menunjukkan kisaran nilai
0,000026 - 0,000017 mg/l. Nilai konsentrasi Hg tertinggi terjadi pada stasiun 3
titik 2 dengan nilai 0,000026 mg/l sedangkan nilai Hg terendah di temukan pada
stasiun 2 titik 1 dengan nilai 0,000017 mg/l. Peraturan Pemerintah No. 82, 2001,
keadaan perairan seperti ini dengan kandungan merkuri (Hg) tidak melebihi dari
0,001 mg/l - 0,005 mg/l. Suatu perairan dikategorikan tidak tercemar jika kadar
Hg 2+ terlarut sekitar 0,020,1 mg/l untuk air tawar dan kurang dari 0,010,03 mg/l
untuk air laut (Sanusi, 2006). sehingga perairan tersebut dianggap belum tecemar.
44
4.4 Persebaran Parameter Fisika dan Kimia berdasarkan Kriteria Baku
Mutu Kualitas Air.
Persebaran Parameter Fisika dan Kimia hasil analisis sampel air 3 stasiun
pada 2 titik pantau dapat dilihat pada Gambar 12. sampai dengan 20.
4.4.1. Kandungan Suhu dibandingkan baku mutu
Gambar 12. Kadar Suhu dibandingkan dengan baku mutu
Hasil pengukuran kadar Suhu tertinggi yaitu sebesar 32 °C sedangkan nilai
terendah adalah sebesar 25 °C. Perbandingan Suhu terhadap baku mutu dapat
dilihat pada Gambar 12.
Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, bahwa suhu
diperairan kelas I sampai III sama yaitu 25 - 30 °C. Sedangkan diperairan Hilir
Kreung Meureubo ada kenaikan suhu pada stasiun 3 yaitu titik 2 senilai 32 °C,
karna waktu penelitian dilakukan pada jam 1 siang, maka suhu perairan terlalu
tinggi.
0
5
10
15
20
25
30
35
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 baku mutu
SUHU
titik 1
titik 2
Tem
per
atu
l
45
titik 1 titik 2
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
TSS
stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
baku mutu I
baku mutu II
baku mutu III
Tota
l Su
spen
ded
Solid
(m
g/l)
4.4.2. Kandungan TSS dibandingkan baku mutu
Gambar 13. kadar TSS dibandingkan baku mutu.
Hasil pengukuran kadar TSS tertinggi yaitu sebesar 191 mg/l sedangkan
terendah sebesar 147 mg/l. Perbandingan TSS terhadap baku mutu dapat dilihat
pada Gambar 13.
Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, bahwa TSS
diperairan kelas I dan kelas II senilai 50 mg/l sedangkan III senilai 400 mg/l.
Sedangkan diperairan Hilir Kreung Meureubo TSS yang dihasilkan diatas kelas I
dan II senilai 147 - 191 mg/l, maka perairan tersebut tecemar.
46
4.4.3. Kandungan kekeruhan dibandingkan baku mutu
Gambar 14. kadar kekeruhan dibandingkan baku mutu
Hasil pengukuran kadar kekeruhan tertinggi adalah pada yaitu sebesar 47,1
NTU sedangkan nilai terendah adalah sebesar 37 NTU. Perbandingan
perbandingan terhadap baku mutu dapat dilihat pada Gambar 14. Kriteria Kelas
Air Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, bahwa kekeruhan diperairan kelas I
sampai III senilai 50 NTU kebawah. Sedangkan diperairan Hilir Kreung
Meureubo kekeruhan yang dihasilkan dibawah kelas I sampai III, senilai 37 - 47,1
NTU, maka perairan tersebut sesuai dengan baku mutu.
4.4.4. Kandungan kecerahan dibandingkan baku mutu
Gambar 15. kadar kecerahan dibandingkan baku mutu
0
20
40
60
80
100
titik 1 titik 2
KECERAHAN
stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
baku mutu >50
0
10
20
30
40
50
60
titik 1 titik 2
KEKERUHAN
stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
baku mutu <50
47
0
2
4
6
8
10
titik 1 titik 2
pH
stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
baku mutu 6-9
Kandungan kecerahan di daerah aliran sungai hilir Krueng Meureubo pada
yaitu sebagai berikut, kecerahan yang paling tinggi adalah 90 cm sedangkan yang
paling rendah adalah 40 cm. Perbandingan kandungan kecerahan di perairan
Krueng Meureubo dengan baku mutu dapat dilihat pada Gambar 15.
Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, bahwa
kecerahan diperairan kelas I sampai III senilai 50 mg/l keatas. Sedangkan
diperairan Hilir Kreung Meureubo kecerahah yang dihasilkan pada stasiun 2
dibawah baku mutu senilai 40 cm, sedangkan stasiun 1 dan 3 diatas kelas I sampai
III, senilai 50 dan 90 cm, maka perairan tersebut tidak sesuai dengan baku mutu.
4.4.5. Kandungan pH dibandingkan baku mutu
Gambar 16. kadar pH dibandingkan baku mutu.
Kandungan pH di daerah aliran sungai hilir Krueng Meureubo yaitu
sebagai berikut, pH yang paling tinggi adalah 7,6 sedangkan yang paling rendah
adalah 4,7. Perbandingan kandungan pH di perairan Krueng Meureubo dengan
baku mutu dapat dilihat pada Gambar 16.
48
0
2
4
6
8
10
titik 1 titik 2
DO
stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
baku mutu I
baku mutu IIOk
sigen
terl
aru
t (p
pm
)
Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, bahwa pH
diperairan kelas I sampai III senilai 6 sampai 9. Sedangkan diperairan Hilir
Kreung Meureubo pH yang dihasilkan pada stasiun 1 memenuhi baku mutu,
sedangkan pada stasiun 2 dan 3 dibawah kelas I sampai III, senilai 4,7 - 5 maka
perairan tersebut di katagori asam kerena kandungan pH dibawah 5.
4.4.6. Kandungan DO dibandingkan baku mutu
Gambar 17. kadar DO dibandingkan baku mutu
Kandungan DO di perairan Hilir Krueng Meureubo nilainya hampir sama
adalah yang paling tinggi 7,7 mg/l sedangkan yang paling rendah 7,5 mg/l.
Perbandingan kandungan DO terhadap baku mutu dapat dilihat pada Gambar 17.
Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, bahwa TSS
diperairan kelas I senilai 6 mg/l, kelas II senilai 4 mg/l sedangkan III senilai 3
mg/l. Sedangkan diperairan Hilir Kreung Meureubo DO yang dihasilkan diatas
kelas I senilai 7,5 - 7,7 mg/l, maka perairan tersebut memenuhi baku mutu.
49
0
1
2
3
4
5
6
7
titik 1 titik 2
BOD
stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
baku mutu I
baku mutu II
baku mutu III
BO
D (
mg/l
)
4.4.7. Kandungan BOD dibandingkan Baku Mutu
Gambar 18. kadar BOD dibandingkan baku mutu
Kandungan BOD di daerah aliran sungai Hilir Krueng Meureubo yaitu
sebagai berikut, BOD yang paling tinggi adalah 6,0163 mg/l sedangkan yang
paling rendah adalah 2,1138 mg/l. Perbandingan kandungan BOD di perairan
Krueng Meureubo dengan baku mutu dapat dilihat pada Gambar 18.
Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, bahwa BOD
diperairan kelas I senilai 2 mg/l, kelas II senilai 3 mg/l sedangkan III senilai 6
mg/l. Sedangkan diperairan Hilir Kreung Meureubo BOD yang dihasilkan diatas
kelas I, II, dan III senilai 2,1138 - 6,0163 mg/l, maka perairan tersebut tidak
memenuhi baku mutu, ini merupakan bahwa BOD di perairan Hilir Krueng
Meureubo tercemar.
50
0
10
20
30
40
50
60
titik 1 titik 2
COD
stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
baku mutu I
baku mutu II
baku mutu III
CO
D (m
g/l
)
4.4.8. Kandungan COD dibandingkan Baku Mutu Air
Gambar 19. kadar COD dibandingkan baku mutu
Kandungan COD di daerah aliran sungai Hilir Krueng Meureubo yaitu
sebagai berikut, COD yang paling tinggi adalah 8 mg/l sedangkan yang paling
rendah adalah 4,8 mg/l. Perbandingan kandungan COD di perairan Krueng
Meureubo dengan baku mutu dapat dilihat pada Gambar 19.
Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, bahwa COD
diperairan kelas I senilai 10 mg/l, kelas II senilai 25 mg/l sedangkan III senilai 50
mg/l. Sedangkan diperairan Hilir Kreung Meureubo BOD yang dihasilkan
dibawah kelas I baku mutu air, senilai 4,8 - 8 mg/l, maka perairan tersebut
memenuhi baku mutu.
51
0
0,0005
0,001
0,0015
0,002
0,0025
titik 1 titik 2
Hg
stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
baku mutu I
baku mutu II
baku mutu III
Mek
uri
(mg/l)
4.4.9. Kandungan Hg dibandingkan baku mutu
Gambar 20. kadar Hg dibandingkan baku mutu
Kandungan Hg di daerah aliran sungai Hilir Krueng Meureubo yaitu
sebagai berikut, Hg yang paling tinggi adalah 0.000026 mg/l sedangkan yang
paling rendah adalah 0.000017 mg/l. Perbandingan kandungan Hg di perairan
Krueng Meureubo dengan baku mutu dapat dilihat pada Gambar 20.
Kriteria Kelas Air Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, bahwa Hg
diperairan kelas I senilai 0,001 mg/l, sedangkan kelas II senilai III senilai 0,002
mg/l. Sedangkan diperairan Hilir Kreung Meureubo Hg yang dihasilkan dibawah
kelas I baku mutu air, senilai 0,000017 - 0,000026 mg/l, maka perairan tersebut
memenuhi baku mutu.
4.5 Indeks Pencemaran (IP)
Berdasarkan Metode Indeks Pencemaran (IP), Nilai IP pada daerah Hilir
Kreung Meureubo berkisar antara 0,012 sampai dengan 2,49. Hal ini
menunjukkan bahwa di daerah hilir Kreung Meureubo tergolong tercemar ringan.
Perbandingan nilai indeks Hilir Kreung Meureubo dapat dilihat pada taber 4.
52
No Parameter Air Satuan Nilai (ip)
1 Suhu °C O,72
2 TSS mg/l 2,49
3 Kekeruhan NTU 0.675
4 Kecerahan mg/l 1.085
5 pH mg/l 0.57
6 DO mg/l 2.49
7 COD mg/l 0.48
8 BOD mg/l 1.815
9 Hg mg/l 0.011695
Tabel 4. Nilai indeks pencemaran
Gambar grafik nilai indeks pencemaran
Gambar 21. Nilai indeks pencemaran
Dapat kita lihat pada gambar diatas status mutu air Hilir Krueng Meureubo
didasarkan atas Metode Indeks Pencemaran (IP). Nilai IP pada kualitas air Hilir
Krueng Meureubo sebagai berikut: Suhu 0,72 °C, TSS 2,49 mg/l, kekeruhan 0.675
NTU, Kecerahan 1,085 cm, pH 0,57, DO 2,49 ppm, COD 0,48 mg/l, BOD 1,815
mg/l dan Hg 0.011695 mg/l.
00,51
1,52
2,53
NILAI PENCEMARAN
53
Perbandingan kreteria Kelas Air menurut peraturan pemerintah no. 82
tahun 2001 tentang indeks pencemaran, sebagai berikut: 0 - 1,0 dalam kodisi baik,
1,1 - 5,0 dalam kondisi cemar ringan, 5,1 - 10,0 cemar sedang, sedangkan > 10.0
dalam keadaan cemar berat. Sedangkan di daerah Hilir Krueng Meureubo ada
parameter kualitas air yang diatas 1.0 diantaranya TSS dengan nilai 2,49 mg/l, DO
2,49 ppm, dan BOD 1,815 mg/l, maka perairan tersebut dalam keadaan cemar
ringan.
4.6 Hasil Analisis Kualitas Air Hilir Krueng Meureubo yang melampaui
Baku Mutu Kualitas Air Kelas 1
Beragam aktivitas yang terdapat di sepanjang Hilir Krueng Meureubo
seperti kegiatan pertanian dalam arti luas dan kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat akan menghasilkan limbah dimana terdapat kecenderungan limbah
yang dihasilkan dibuang ke badan air. Limbah tersebut dapat mengancam
lingkungan yaitu terjadinya pencemaran. Kondisi ini dipicu oleh tidak
terkelolanya limbah dengan baik, mengakibatkan tercemarnya air sungai tersebut.
Beberapa indikator yang menunjukkan terjadinya pembuangan limbah ke
lingkungan antara lain :
a. Tumpukan sampah, baik anorganik (plastik, botol, kemasan makanan dll)
maupun sampah organik (potongan kayu, sisa daun baik yang disebabkan oleh
alam maupun kegiatan manusia). Pemanfaatan DAS sebagai tempat
pembuangan sampah.
b Sedimentasi akibat alih fungsi lahan mengakibatkan terjadinya penurunan
kualitas dan kuantitas air sungai. Secara kuantitas jumlah air yang terserap
berkurang selanjutnya membawa lapisan permukaan lahan yang
54
mengakibatkan terjadinya erosi yang membawa partikel-partikel tanah tersebut
masuk ke dalam badan air sehingga peraiaran menjadi keruh.Kondisi demikian
mengakibatkan kualitas air sungai menjadi menurun yang dapat mempengaruhi
nilai sifat fisik, kimia dan biologi air sungai.
Pencemaran yang ditimbulkan akibat pembuangan limbah langsung ke
badan air ditunjukkan oleh hasil analisis pada beberapa parameter kualitas air.
Hasil analisis kualitas air menunjukkan bahwa terdapat parameter pencemaran
telah melampaui baku mutu yang ditetapkan yaitu kandungan TSS, DO dan BOD.
Kandungan air sungai dengan kandungan di atas baku mutu menunjukkan bahwa
air tersebut tidak layak digunakan sebagai air baku air minum kecuali dilakukan
treatment.
4.6.1 TSS
Menurut Priyono (1994) Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir,
lumpur, tanah, dan bahan kimia inorganik menjadi bentuk bahan tersuspensi di
dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab polusi tertinggi di dalam air.
Kebanyakan sungai dan daerah aliran sungai selalu membawa endapan lumpur
yang disebabkan erosi alamiah dari pinggir sungai. Akan tetapi, kandungan
sedimen yang terlarut pada hampir semua sungai meningkat terus karena erosi
dari tanah pertanian, kehutanan, konstruksi, dan pertambangan. Partikel yang
tersuspensi menyebabkan kekeruhan dalam air, sehingga mengurangi kemampuan
ikan dan organisme air lainnya memperoleh makanan dan mengurangi tanaman
air melakukan fotosintesis.
55
Nilai TSS rata - rata 2,49, Sumber pencemaran dari sungai ini terutama
terjadinya musim hujan sehingga lumpur yang ada dihulu sungai mengalir kehilir
sungai dan aktifitas lainnya di badan Hilir Krueng Meureubo langsung maupun
langsung terhadap air sungai.
4.6.2 DO (Oksigen Terlarut)
. Kandungan oksigen terlarut yang tinggi adalah pada sungai yang relatif
dangkal dan adanya turbulensi oleh gerakan air. Daya larut oksigen akan menurun
dengan kenaikan suhu, sebaliknya pada air yang dingin kadar oksigen akan
meningkat (Odum, 1971 diacu dalam Henni Wijayanti M 2007).
Nilai DO rata - rata 2.49 ppm, sumber kekurangan DO di sebabkan karena
penggambilan sampel pada jam 12 siang pada saat itu suhu perairan naik sehingga
DO menurun.
4.6.3 Perubahan Kadar BOD pada Hilir Krueng Meureubo
BOD yang dimaksud adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang mudah terurai.
Bahan-bahan tersebut merupakan beban bagi lingkungan perairan sungai yang
mengancam timbulnya pencemaran. Bahan organik yang mudah terurai umumnya
berasal dari bahan-bahan alam yang menjadi limbah dari berbagai kegiatan
manusia. Pada perairan alami nilai BOD antara 0,5 mg/l - 7,0 mg/l. Sedangkan
yang sukar terurai umumnya berasal dari aktivitas pertanian, peternakan, bengkel
dan kegiatan lain. Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/l dianggap
telah mengalami pencemaran.
56
baku mutu kualitas air kelas 1 adalah minimal 2 mg/l, sesuai dengan
peruntukan air yang memerlukan persyaratan tersebut, yaitu sebagai kebutuhan
untuk air baku bagi PDAM. Berdasarkan penelitian yang dilakukan 15 - 16 Mei
tahun 2013, nilai Kadar BOD melampaui Baku Mutu Air kelas 1 terjadi pada Hilir
Krueng Meureubo. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan kandungan bahan
organik pada badan air yang disebabkan oleh limbah domestik dari pemukiman,
dan tempat pencucian bot sumber pencemar juga dari bahan organik yang berasal
dari areal persawahan yang luas terdapat di sisi sungai. Sungai pada area ini
banyak dimanfaatkan penduduk untuk membuang sisa - sisa sampah.
Nilai BOD rata - rata 1,815. Tipikal sumber pencemar dari sungai ini
terutama limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai dan aktifitas lainnya di
badan Hilir Krueng Meureubo serta bersumber dari peningkatan intensitas
kegiatan baik pemukiman maupun kegiatan perdagangan yang berdampak tidak
langsung maupun langsung terhadap air sungai.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengambilan sampel air yang telah dilaksanakan pada
tanggal 15 – 16 bulan Mei 2013 di Hilir Krueng Meureubo dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik sumber pencemaran yang mempengaruhi kualitas air pada Hilir
Krueng Meurebo disebabkan oleh domestik, pertanian, pertambangan,
kegiatan pertanian, dan limbah rumah tangga yang dihasilkan tidak dikelola
dengan baik, sehingga air sungai menjadi tercemar.
2. Hasil penelitian yang dilakukan menurut metode indeks pencemaran (ip),
bahwa status indek pencemaran yang ada di daerah Hilir Kreung Meureubo
dikatagorikan sebagai pencemaran ringan, karena nilai indeks pencemaran
kualitas air (ip) 0,57 - 2,45, nilai ini berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001.
3. Status baku mutu kualitas air Hilir Krueng Meureubo berdasarkan padauan
Peratuan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 masih memenuhi kualitas air
kelas II yang ditunjukkan oleh perbandingan dengan nilai Suhu 25 - 32 °C,
TSS 147 - 191 mg/l, Kekeruhan 37 - 41,9 NTU, Kecerahan 40 - 90 cm, pH
4,7 - 7,6, DO 7,5 - 7,7 ppm, COD 4,8 - 8 mg/l, BOD 2,1138 - 6,0163 mg/l,
dan Hg 0,000017 - 0,000026 mg/l, maka hasil ini telah melampaui baku
mutu kelas I yang telah ditetapkan berdasarkan PP No 82 Tahun 2001.
58
5.2 Saran
Diharapkan kepada pihak terkait dalam hal pengelola Dinas Kelautan dan
Perikan dan Dinas Lingkungan Hidup serta Masyarakat setempat untuk menjaga
DAS Kreung Meureubo untuk kehidupan makhluk hidup yang ada dalam perairan
tersebut.
59
DAFTAR PUSTAKA
Athena. 1996. (http://www.saranatel.net/logam-.html).
Azwir. 1996. Analisis Pencemaran Air Sungai Tapung Kiri Oleh Limbah Industri Kelapak Sawit. Pt. Peputra Mastorindo di Kebupaten Tampa. Tesis
(tidak dipublikasikan). Prodi Pertanian. Univesitas Diponogoro. Semarang.
Budiman, A., dan Dwiono.1986. Ekologi Mollusca Hutan Mangrove di Jailolo, Halmahera. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove di Denpasar.
Bali. Budiono, A. 2003. Pengaruh Pencemaran Merkuri Terhadap Biota Air. Makalah
Pengantar Sains. Program Pascasarjana (S3). IPB.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Dewan Riset Nasional Kelompok II, Sumberdaya Alam dan Energi. 1994. Kebutuhan Riset dan Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air di
Indonesia. Jakarta: Dewan Riset Nasional. Eko Harsono. 2010. Evaluasi Kemampuan Pulih Diri Oksigen Terlarut Air Sungai
Citarum Hulu.Jurnal Limnotek. Vol 17 No.1 Hal 17-36.
Effendi, 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Fakhri, I. 2000. Evaluasi Kualitas Air Sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Jawa Barat selama periode 1996-1998. Skripsi (tidak
dipublikasi). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Udara dan Air. Karnisius. Yogyakarta.
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2275_deni%20k.pdf.
http://www.airlimbah.com/2011/01/18/baku-mutu-air- limbah-kawasan- industri
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia. 2001. PP RI No. 82. Tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan.
60
Priambodho, K. 2005. Kualitas Air Lindi Pada Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Galuga Kabupaten Bogor. Skripsi (tidak dipublikasi). Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Priyono, A. 1994. Parameter-parameter Kualitas Air. Laboratorium Analisis
Lingkungan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas
Kehutanan. Bogor.
Rukaesih. (2004). Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offsett. Hal 92, 93, 110-113.
Salmin . (2005). Oksigen Terlarut (DO) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan.
Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005: 21 - 26. Sanusi, 2006. Kimia Laut. Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan
Lingkungan. Prartono T, Supriyono E, editor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 188 hlm.
Sarjono A. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Cd, Pb, dan Hg Pada Air dan
Sedimen di Perairan Kamal Muara. Skrepsi (tidak dipublikasi).
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Seyhan, E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sumitomo dan Nemerow. 1970. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.
Supriharyono. 2000. Kondisi Kualitas Air di Saluran-saluran di daerah-daerah
persawahan, persawahan-pemukiman dan pemukiman, Delta Upang
Sumatera Selatan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Sutamiharjda, 1978. Kualitas Pencemaran Lingkungan. Sekolah Pascaprasarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alamdan Lingkungan. Bahan Kuliah: Instutit Pertanian Bogor. Bogor.
Warlina, Lina. 2004. Pencemaran Air : Sumber, Dampak dan
penanggulangannya. Makalah Pengantar ke Falsafah Sains. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Wijayanti, H. M. 2007. Kajian Kualitas Perairan di Pantai Kota Badar Lampung
Berdasarkan Komunitas Hewan Makrobenthos. Tesis (tidak dipublikasi).
Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Univesitas Diponegoro Semarang. Semarang