analisis struktur komunitas bivalvia pada …

100
ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA KABUPATEN SINJAI Analysis on Bivalvia Community Structure of Several Conditions of Mangroves Areas at East Sinjai and North Sinjai Districts Sinjai Regency ANNITA SARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

Upload: others

Post on 07-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

1

ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA

PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE

DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA

KABUPATEN SINJAI

Analysis on Bivalvia Community Structure of Several

Conditions of Mangroves Areas at East Sinjai and

North Sinjai Districts Sinjai Regency

ANNITA SARI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

Page 2: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

2

ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA

PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE

DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA

KABUPATEN SINJAI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Disusun dan diajukan oleh

ANNITA SARI

kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

Page 3: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

3

ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA

PADA BEBERAPA KONDISI KAWASAN MANGROVE

DI KECAMATAN SINJAI TIMUR DAN SINJAI UTARA

KABUPATEN SINJAI

Disusun dan diajukan oleh :

ANNITA SARI

Nomor Pokok P0304209001

Menyetujui

Komisi Penasihat,

Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA. Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.SiKetua Sekretaris

Ketua Program Studi,Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc

Page 4: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

4

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Annita SariNomor Mahasiswa : P0304209001Program Studi : Pengelolaan Lingkungan Hidup

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis/disertasi yang saya

tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan

merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila

dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau

keseluruhan tesis/disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia

menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 05 Agustus 2011

Yang menyatakan,

Annita Sari

Page 5: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

5

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil‘alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya tesis ini.

Gagasan yang melatar belakangi tesis ini muncul karena

banyaknya kegiatan rehabilitasi mangrove namun dampak ekologis dari

kegiatan tersebut belum banyak diteliti, padahal manfaat ekosistem ini

secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap

keberlanjutan pengelolaan suatu wilayah pesisir. Untuk itu maka penelitian

mempelajari mengenai keberhasilan ekologi dari beberapa kondisi

mangrove terhadap bivalvia.

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka

penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka

tesis ini selesai pada waktunya.

Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima

kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA. sebagai Ketua Komisi Penasihat dan

Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M. Si. sebagai Anggota Komisi Penasihat

atas bantuan dan bimbingannya sejak awal penelitian sampai

penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. M. Farid Samawi, M. Si., Prof. Dr. Ir. Niartiningsih, M.Si., dan

Dr. Ir. Ali Hamzah, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Penguji atas

saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tesis ini.

Page 6: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

6

3. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Syahrir Sutarman, SE. dan

Ibunda Hj. Sitti Aminah, atas limpahan kasih sayang, do’a,

perhatian dan dukungan baik secara spiritual maupun materiil, serta

Saudara-saudaraku atas dukungan dan perhatiannya.

4. Tim penelitian Restu Sirante, Andi Chadijah, K’ Rhido Alam Syah,

Syamsul Syarif, Arman, Andi Hikmah Adria, Andi Mutia Tungke atas

kerjasama dan kebersamaannya selama penelitian.

5. Teman-teman PLH’09 : Restu Sirante, Yuliana Ulfah, K’ Ade

Widyasari, K’ Asmidar, K’ Nova monika, K’ Rudy Syam, atas

kebersamaanya selama menimba ilmu di Pasca Sarjana UNHAS.

6. Teman-temanku yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu,

terima kasih atas bantuannya.

Makassar, 05 Agustus 2011

Penulis

Page 7: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

7

ABSTRAK

Annita Sari. Analisis Struktur Komunitas Bivalvia Pada Beberapa Kondisi

Kawasan Mangrove di Kecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara Kabupten Sinjai.

(dibimbing oleh Ambo Tuwo dan Chair Rani)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) struktur komunitas;

(2) struktur komunitas bivalvia pada beberapa ekosistem mangrove diKecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara; (3) Dampak ekologi usaharehabilitasi mangrove terhadap stuktur komunitas bivalvia; (4) pengaruhfaktor lingkungan terhadap struktur komunitas bivalvia.

Sebaran dan kerapatan mangrove diukur dengan metode kuadarat 10x10

m2. Sampling bivalvia menggunakan sekop (20x20 cm2) dalam transek kuadrat

ukuran 1x1 m2. Analisis data yang digunakan adalah One-Way Anova untuk

melihat tingkat perbedaan kerapatan mangrove, jumlah jenis dan kepadatan

bivalvia. Keterkaitan lingkungan dengan bivalvia menggunakan metode

Canonical Correspondence Analysis.

Hasil penelitian menunjukkan ada empat jenis mangrove (Avicennia alba,

R.mucronata, R.stylosa dan Ceriops spp.). Hasil identifikasi bivalvia ditemukan

13 jenis dari 8 famili sebanyak 252 ind. Jumlah jenis dan kepadatan bivalvia yang

memiliki sebaran tertinggi, yaitu A.antiquata dan G.tumidum. Indeks ekologi

mengindikasikan mangrove yang relatif masih alami lebih baik dibandingkan

dengan mangrove hasil rehabilitasi. Mangrove rehabilitasi secara nyata

mempengaruhi jumlah jenis bivalvia namun tidak pada kepadatan bivalvia.

Kata Kunci : Mangrove, Bivalvia

Page 8: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

8

ABSTRACT

Annita Sari. Analysis on Bivalvia Community Structure of Several Conditions of

Mangroves Areas at East Sinjai and North Sinjai Districts Sinjai Regency

(supervised by Ambo Tuwo and Chair Rani)

The Research aimed to : (1) elaborate the mangrove community structrue

at East Sinjai and North Sinjai Districts; (2) Analyse bivalvia community structure

on several mangrove ecosystems at East Sinjai and North Sinjai Districts; (3)

affect the ecology of effort rehabilitating mangrove to bivalvia community

structure; (4)investigate the impact of the environment factor towards bivalvia

community structure.

Mangrove distribution and density were measured by a quadratic method

of 10x10m2. Bivalvia sampling used a spade (20x20 cm2) in the quadratic

transect of 1x1m2 size. Data analysis used was One-Way anova to perceive the

difference level of the mangrove density, the number, type and density of

bivalvia. The environment relationship with bivalvia used the Canonical

Correspondence Analysis Method.

During the research, four types of mangroves (Avicennia alba,

R.mucronata, R.stylosa dan Ceriops spp.) are obtained. The result of bivalvia

identification produces 13 types and 8 families as many as 252 ind. The number

of bivalvia types and densities which has the highest spreading is A.antiquata

and G.tumidum. The ecology index indicates that the mangroves which are still

natural are better than the rehabilitation result mangroves. The rehabilitation

mangroves factually influence the number of bivalvia types, but not on the

bivalvia density.

Key-word : Mangrove, Bivalvia

Page 9: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

9

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xii

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang 1B. Rumusan Masalah 4C. Tujuan Penelitian 4D. Kegunaan Penelitian 5E. Lingkup Penelitian 5

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Mangrove

a. Definisi Mangrove 6b. Penyebaran Mangrove 7c. Zonasi Mangrove 8d. Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove 10e. Kerusakan Kawasan Mangrove 12

B. Bivalviaa. Morfologi Bivalvia 15b. Habitat Bivalvia 17c. Bivalvia Sebagai Indikator Pencemaran 19d. Parameter Lingkungan yang mempengaruhi keberadaan

Bivalvia 20C. Indeks Ekologi 24D. Kerangka Pikir 26E. Riwayat Penyelamatan Lingkungan 29F. Gambaran Umum Lokasi 31

III. METODE PENELITIANA. Waktu dan Lokasi Penelitian 33B. Alat dan Bahan 34C. Tahapan Penelitian 36

1. Tahap Persiapan dan Observasi 362. Prosedur Pengambilan Data 363. Analisis Data 42

Page 10: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

10

IV. HASIL DAN PEMBAHASANA. Struktur Komunitas Mangrove

1. Sebaran dan Kerapatan Mangrove 482. Indeks Nilai Penting (INP) 51

B. Struktur Komunitas BIvalvia1. Sebaran dan Komposisi jenis 522. Jumlah jenis dan Kepadatan Bivalvia 573. Indeks Ekologi Bivalvia 60

C. Analisis Dampak Ekologia. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia 63b. Perbandingan Indeks Ekologi 65c. Hubungan Tinggi-Berat Cangkang Bivalvia 67

D. Keterkaitan Struktur Komunitas Bivalvia dengan Lingkungan 71

V. KESIMPULAN DAN SARANA. Kesimpulan 75B. Saran 76

DAFTAR PUSTAKA 77

LAMPIRAN

Page 11: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

11

DAFTAR TABEL

nomor halaman

2.1. Luas Hutan Mangrove di Indonesia (Arief, 2003) 7

2.2. Beberapa Dampak Aktivitas Manusia terhadapHutan Mangrove (Bengen, 2000) 13

2.3. Kategori Indeks Keanekaragaman Jenis 25

2.4. Kategori Indeks Keseragaman Jenis 25

2.5. Kategori Indeks Dominansi 26

2.6. Kegiatan Tahunan Penanaman Mangrove 29

3.1. Peralatan dan Bahan yang digunakan 35

3.2. Klasifikasi Sedimen berdasarkan Ukuran Partikel 40

3.3. Kriteria Kerusakan Mangrove 44

4.1. Sebaran Mangrove pada setiap stasiun pengamatan 49

4.2. Kondisi Mangrove berdasarkan nilai kerapatan (KMNLH,2004) 51

4.3. Indeks Nilai Penting (INP) mangrove 52

4.4. Sebaran Jenis bivalvia pada setiap stasiun pengamatan 53

4.5. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia pada beberapakondisi mangrove 57

4.6. Nilai Koefisien a dan b berdasarkan analisis regresi linierhubungan Tinggi-Berat Bivalvia 67

Page 12: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

12

DAFTAR GAMBAR

nomor halaman

2.1. Zona Kawasan Mangrove yang masih lengkap (Bengen, 2000) 9

2.2. Morfologi Bivalvia 16

2.3. Anatomi Bivalvia 17

2.4. Siklus Hidup Bivalvia 18

2.5. Kerangka Pikir Penelitian 28

3.1. Peta Lokasi Penelitian 33

3.2. Model Pemasangan Line Transek dan Plot pengamatanMangrove 38

3.3. Model Pengambilan Sampel Bivalvia pada setiap plotpengamatan mangrove 39

3.4. SegitigaTekstur Tanah 41

3.5. Bagan Alir Penelitian 47

4.1. Kerapatan mangrove. Huruf yang berbeda pada grafikmenunjukkan perbedaan yang nyata pada alpha 5%berdasarkan Anova (one-way anova) 49

4.2. Komposisi Jenis Bivalvia pada seluruh Stasiun 53

4.3. Komposisi Jenis Bivalvia stasiun I (a); stasiun II (b);Stasiun III (c); stasiun IV (d) dan daerah Non-Vegetasi/NV (e) 55

4.4. Jumlah Jenis Bivalvia (a) dan Kepadatan bivalvia (ind/m2) (b)yang ditemukan pada setiap stasiun. Huruf yang berbedapada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata pada alpha5% berdasarkan Anova (one-way anova) 59

4.5. Grafik Indeks Keanekaragaman (H’) antar stasiun 60

4.6. Grafik Indeks Keseragaman (E) bivalvia antar Stasiun 61

4.7. Grafik Indeks Dominansi (D) bivalvia antar stasiun 62

Page 13: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

13

4.8. Dendrogram kemiripan struktur komunitas bivalvia yangditemukan selama penelitian pada beberapa jenis mangrove 63

4.9. Jumlah Jenis Bivalvia (a); Kepadatan bivalvia (b)Uji t-berpasangan (paired sample t-test) pada alpha 5%. 64

4.10. Perbandingan Indeks Ekologi antara Stasiun Mangrove denganNon-Vegetasi. a) Indeks Keanekaragaman (H’);b) Indeks Keseragaman (E); c) Indeks Dominansi (D) 66

4.11. Hubungan Tinggi-Berat Cangkang Bivalvia. Anadara antiquata (a);Gafrarium tumidum (b); Meretrix meretrix (c);Tellina timorensis (d); Marcia opima (e);Polymesoda bengalensis (f) 68

4.12. Hasil Analisis CCA jenis makrozoobentos yang dominankaitannya dengan lingkungan 71

Page 14: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

14

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor halaman

1. Gambar Kondisi dan Klasifikasi Mangrove 82

2. Gambar Jenis-jenis dan Klasifikasi Bivalvia yang ditemukanpada Lokasi Penelitian 85

3. Hasil Perhitungan One-Way Anova Mangrove 92

4. Hasil Perhitungan One-Way Anova, Uji-T Bivalviadan Analisis Regresi 93

5. Perhitungan Parameter Lingkungan dan Bivalvia (CCA) 105

Page 15: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekosistem mangrove sering disebut sebagai hutan payau atau

hutan bakau. Ekosistem mangrove merupakan tipe hutan daerah tropik

yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang masih

dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan banyak dijumpai di wilayah

pesisir yang terlindung dari hempasan ombak. Pengertian ekosistem

mangrove secara umum adalah merupakan komunitas vegetasi pantai

tropik yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh

dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen,

2000).

Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.

Fungsi ekonomi hutan mangrove antara lain sebagai penghasil keperluan

rumah tangga (furniture), penghasil bahan baku industri dan penghasil

bibit. Sedangkan fungsi ekologisnya, yaitu sebagai tempat tinggal

(habitat), daerah mencari makan (feeding ground), daerah asuhan dan

pembesaran (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground)

bagi biota perairan dan juga sebagai pelindung pantai dari serangan

angin, arus dan ombak (Dahuri, dkk., 2001).

Meningkatnya angka pertumbuhan penduduk dan aktivitas

pembangunan, maka fungsi lingkungan pantai di beberapa daerah telah

Page 16: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

16

menurun atau rusak. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya proses intrusi

air laut, abrasi pantai dan degradasi sumberdaya hayati. Meningkatnya

permintaan dan kepentingan manusia untuk memenuhi kebutuhannya

menyebabkan kawasan mangrove mengalami degradasi, sehingga

kawasan mangrove tidak dapat melakukan pemulihan alami. Kegiatan

pengalihan kawasan mangrove misalnya konversi status peruntukan

kawasan mangrove menjadi pemukiman, tambak, maupun dermaga.

Penanaman (permudaan) mangrove di Kabupaten Sinjai (misalnya

Tongke-Tongke) telah dilakukan sejak tahun 1985 oleh masyarakat.

Kegiatan Penanaman mangrove dilakukan karena pesisir pantai daerah

tersebut berada dalam kondisi yang rusak, sehingga pada saat angin

kencang, ombak besar dapat merusak pemukiman nelayan, misalnya

abrasi dan pengendapan lumpur di muara sungai mencapai kedalaman

0,50 meter. Merasakan dampak negatif dari abrasi dan sedimentasi

tersebut akhirnya muncul pemikiran dari tokoh-tokoh masyarakat untuk

melaksanakan penanaman mangrove.

Seiring dengan berjalannya waktu kegiatan penanaman mangrove

semakin meluas, hal tersebut dapat dilihat pada luas area penanaman

dilakukan oleh masyarakat. Luasan area penanaman mangrove mencapai

± 244 Ha pada desa Lappa kecamatan Sinjai Utara, sedangkan di

Kecamatan Sinjai Timur, luas mangrove pada desa Tongke-Tongke ± 325

Ha dan Panaikang mencapai ± 95,50 Ha (Anonim, 2010). Model

pengelolaan kawasan penanaman mangrove di wilayah tersebut dilakukan

sepenuhnya oleh masyarakat (Amri, 2005).

Page 17: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

17

Berhasilnya kegiatan penanaman mangrove di sepanjang pesisir

pantai Tongke-Tongke akhirnya menjadikan kawasan tersebut sebagai

kawasan konservasi mangrove. Mangrove yang tumbuh di Tongke-

Tongke umumnya jenis Rhizophora spp. dengan adanya kegiatan tersebut

diharapkan dapat membantu melestarikan dan memperbaiki perairan

pantai yang layak baik biota laut misalnya ikan, udang, kepiting dan

khususnya bivalvia.

Beberapa jenis bivalvia memiliki nilai ekonomis tinggi karena dapat

dijadikan sebagai perhiasan, sumber makanan misalnya Anadara granosa

(Kerang darah), Anadara antiquata (Kerang bulu), Mytilus viridis (kerang

hijau), Crassotrea cucullata (Tiram bakau) (Nontji, 1993). Selain memiliki

nilai ekonomis kelompok bivalvia sering dijadikan sebagai bioindikator

pencemaran (Wardhana, 1995).

Kelompok bivalvia dapat dijadikan sebagai indikator pencemar

karena memiliki siklus hidup yang panjang, mudah diidentifikasi,

kelimpahannya dapat dihitung, ukuran tubuh relatif besar, tersebar

secara kosmopolit, pergerakannya terbatas, cocok untuk pengamatan

pada skala laboratorium, menempati beberapa posisi yang penting

dalam rantai makanan serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap

perubahan lingkungan perairan (Rosenberg & Resh, 1993).

Perubahan kondisi fisik pantai juga terjadi, karena adanya kegiatan

penanaman mangrove dan secara tidak langsung mempengaruhi struktur

komunitas dari bivalvia. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk

Page 18: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

18

mengetahui pengaruh karakteristik lingkungan ekosistem mangrove

dengan struktur komunitas bivalvia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi struktur komunitas mangrove yang terdapat di

wilayah Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur?

2. Bagaimana struktur komunitas bivalvia pada beberapa kondisi

komunitas mangrove?

3. Bagaimana keberhasilan ekologi dari upaya rehabilitasi mangrove di

Kabupaten Sinjai, khususnya terhadap komunitas bivalvia?

4. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan terhadap struktur komunitas

bivalvia di ekosistem mangrove?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis struktur komunitas mangrove di beberapa wilayah

Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur

2. Menganalisis struktur komunitas bivalvia pada beberapa ekosistem

mangrove di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur

3. Menganalisis dampak ekologi usaha rehabilitasi mangrove terhadap

struktur komunitas bivalvia

4. Mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap struktur komunitas

bivalvia terhadap berbagai kondisi kawasan mangrove.

Page 19: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

19

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian tersebut, ialah :

1. Sebagai bahan informasi dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan

pelestarian wilayah pesisir, khususnya dalam meningkatkan

produktivitas dan biodiversitas perairan pantai.

2. Sebagai bahan informasi dan bahan pembanding untuk penelitian lebih

lanjut.

E. Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada kajian terhadap struktur komunitas

bivalvia, dalam hal ini mencakup komposisi jenis, kepadatan, indeks

keanekaragaman, indeks keseragaman dan dominansi Bivalvia pada areal

mangrove di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara dan Tongke-

Tongke serta Panaikang di Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.

Sedangkan parameter lingkungan yang diamati sebagai parameter

pendukung antara lain:

Mangrove (Kerapatan Jenis, Kerapatan Relatif, Penutupan Jenis

dan Nilai Penting)

Suhu, Salinitas, oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH), Eh-

pH sedimen, bahan organik total (BOT) sedimen dan tekstur

sedimen.

Page 20: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mangrove

a. Definisi Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan

dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk

hutan yang ekstensif dan produktif, karena hidupnya di dekat pantai,

mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan

payau, atau hutan bakau.

Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas

mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,

Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum. Selain itu juga ditemukan jenis-

jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Mangrove

mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman

struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan

perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan

mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai

penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya

sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke

daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk

perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat

sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme

epifit (Nybakken, 2007).

Page 21: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

21

b. Penyebaran Mangrove

Perkembangan hutan mangrove di Indonesia terjadi di daerah

pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai dengan variasi lebar

beberapa meter sampai dengan ratusan meter lebih. Hutan Mangrove

tumbuh hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Wilayah hutan mangrove

yang paling luas terdapat di Papua, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan,

Riau dan Maluku (Arief, 2003). Luas hutan mangrove di Indonesia dapat

dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Luas Hutan Mangrove di IndonesiaNo Provinsi Unesco 1990 (Ha) INTAG 1993 (Ha)1 Daerah Istimewa Aceh 50.000 102.9692 Sumatra Utara 60.000 93.3443 Sumatra Barat - 4.8444 Riau 95.000 221.0455 Jambi - 13.4536 Sumatra Selatan 195.000 363.4247 Bengkulu - 2.6128 Lampung 17.000 49.443

Sumatra 417.000 856.1349 DKI Jakarta - -10 Jawa Barat 20.400 594.06111 Jawa Tengah 14.000 12.18812 DI Yogyakarta - 1.87513 Jawa Timur - 10.156

Jawa 34.400 618.28014 Bali - 015 Nusa Tenggara Barat 3.700 016 Nusa Tenggara Timur - 4.598

Bali dan Nusa Tenggara 3.700 4.59817 Kalimantan Barat 40.000 194.28818 Kalimantan Tengah 10.000 48.73319 Kalimantan Selatan 75.000 120.78220 Kalimantan Timur 40.000 775.640

Kalimantan 165.000 1.139.44521 Sulawesi Utara - 38.13522 Sulawesi Tengah - 37.64023 Sulawesi Tenggara 29.000 70.84124 Sulawesi Selatan 24.000 104.021

Sulawesi 53.000 250.63725 Maluku 100.000 148.69626 Papua 2.943.000 1.326.990

Jumlah Total 3.707.100 3.771.493(Sumber : FAO, 1990 dan Ditjen Intag, 1993 dalam Arief, 2003)

Page 22: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

22

c. Zonasi Mangrove

Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor

yang saling mempengaruhi, baik di dalam maupun di luar pertumbuhan

dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan

mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut dengan

nama jenis-jenis vegetasi yang mendominasi. Pembagian zona

berdasarkan perbedaan penggenangan yang juga menyebabkan

perbedaan salinitas. Hal tersebut membuat adanya perbedaan jenis di

kawasan mangrove.

Menurut Arief (2003), pembagian zonasi juga dapat dilakukan

berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan

adalah sebagai berikut :

1. Zona Avicennia

Zonan avicennia terletak pada lapisan luar dari hutan mangrove. Pada

zona avicennia kondisi tanah berlumpur lembek dan berkadar garam

tinggi. Jenis Avicennia banyak ditemukan berasosiasi dengan

Sonneratia spp. Karena tumbuh di bibir laut, jenis-jenis ini memiliki

perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari hempasan

ombak laut. Zona avicennia merupakan zona perintis atau pioneer,

karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkeraman

perakaran tumbuhan jenis-jenis ini.

2. Zona Rhizophora

Zona Rhizpohora, terletak dibelakang zona Avicennia dan Sonneratia.

Pada zona rhizophora kondisi tanah berlumpur lembek, dengan kadar

Page 23: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

23

garam lebih rendah. Perakaran tanaman tetap terendam selama air

laut pasang.

3. Zona Bruguiera

Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini,

tanah berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta

hanya terendam pasang naik dua (2) kali sebulan.

4. Zona Nypah

Zona Nypah, yaitu Zona pembatas antara daratan dan lautan, namun

zona ini sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar

yang mengalir (sungai) ke laut.

Gambar 2.1. Zona Kawasan Mangrove yang masih lengkap(Sumber : Bengen, 2000)

Gambar 2.1 merupakan gambar zonasi mangrove yang masih

lengkap karena semua jenis masih terdapat di dalam kawasan. Di

beberapa kawasan serta kepulauan Indonesia, tidak seluruh zonasi

tersebut ada. Ketidaksempurnaan zonasi disebabkan oleh beberapa

faktor, misalnya ketidak sempurnaan penggenangan ataupun pasang

surut.

Page 24: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

24

d. Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove

Mangrove membantu dalam pengembangan dalam bidang sosial

dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk

industri perikanan. Selain itu telah diketemukan bahwa tumbuhan

mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang

dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari

nyamuk Aedes aegypti (Thangam and Kathiresan,1989 dalam Arief,

2003). Itulah fungsi dari hutan mangrove yang ada di India, fungsi tersebut

tidak jauh berbeda dengan fungsi yang ada di indonesia baik secara fisika

kimia, biologi, maupun secara ekonomis.

Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam

menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu

karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi

dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai

fungsi ekologis bagi lingkungan. Secara garis besar fungsi hutan

mangrove dapat dikelompokkan menjadi :

1. Fungsi Fisik

Menjaga garis pantai agar tetap stabil

Mempercepat pembentukan lahan baru

Sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus

Sebagai pelindung tepi sungai atau pantai

Mendaur ulang unsur-unsur hara penting

Page 25: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

25

2. Fungsi Biologi

Sebagai kawasan pemijahan atau asuhan (Nursery ground) bagi

ikan, udang, kepiting dan lain sebagainya yang pada saat dewasa

organisme-organisme tersebut akan kembali ke lepas pantai.

feeding ground

spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya

sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika

Habitat berbagai kehidupan liar

3. Fungsi Ekonomi

Akuakultur, untuk budidaya sangat bagus karena unsur hara tinggi

serta sebagai pengahsil alami bibit ikan, udang, kerang, kepiting,

telur burung dan madu.

Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang serta kayu untuk

bahan bangunan dan perabot rumah tangga.

Penghasil bahan baku industry, misalnya kertas, tekstil, makanan,

obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetika dan zat warna.

Rekreasi

4. Fungsi lain (wanawisata), kawasan mangrove antara lain adalah

sebagai berikut:

Sebagai kawasan wisata alam pantai dengan keindahan vegetasi

dan satwa, serta berperahu di sekitar area mangrove

Sebagai tempat pendidikan, konservasi dan penelitian.

Page 26: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

26

5. Fungsi Kimia

Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan

oksigen

Sebagai penyerap karbondioksida

Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industry

dan kapal-kapal di lautan

e. Kerusakan Kawasan Mangrove

Kerusakan kawasan mangrove banyak yang diakibatkan oleh faktor

manusia, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja. Kerusakan yang

tidak disengaja oleh manusia misalnya pengambilan kayu-kayu sebagai

sumber energi atau kayu bakar, bahan bangunan ataupun asesoris rumah

tangga karena bentuknya antik. Bahkan, di wilayah dengan penduduk

yang mengerti masalah obat-obatan tradisional, perakaran jenis pasak

dipanen untuk digunakan sebagai obat tumor dan alat kontrsepsi, daun B.

sexangula dipetik untuk digunakan sebagai pencegah tumor dan kulit kayu

Xylocarpus spp. diambil untuk digunakan sebagai obat diare serta

penyakit-penyakit lainnya.

Selain karena hal-hal tersebut, kerusakan kawasan mangrove juga

disebabkan oleh faktor-faktor fisik yang disengaja dilakukan oleh manusia.

Faktor-faktor fisik tersebut antara lain aliran sungai yang dibendung,

konversi atau perubahan status peruntukkan dan pengambilan batu atau

karang pantai. Akibat proses-proses tesebut, hutan mangrove menjadi

semakin berkurang. Akibat lebih lanjut adalah terjadinya abrasi pantai

serta kerusakan terumbu karang.

Page 27: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

27

Pembangunan sebagian kawasan mangrove seringkali berdampak

terhadap kekuatan gelombang ke kawasan pantai. Sebelum dilakukan

pembangunan ataupun konversi kawasan pantai, semua gelombang

diredam oleh kawasan mangrove. Setelah sebagian kawasan mangrove

menghilang karena fungsi lain, sebagian besar aras gelombang akan

membelok ke kawasan mangrove yang tersisa. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan vegetasi mangrove

yang akhirnya memusnahkan kawasan zonasi. Beberapa dampak dari

aktivitas manusia terhadap ekosistem hutan mangrove dapat dilihat pada

Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Beberapa Dampak dari Aktivitas Manusia Terhadap EkosistemMangroveKegiatan Dampak Potensial

Tebang Habis Berubahanya komposisi tumbuhan,pohon-pohon mangrove akan digantikanoleh species-species yang nilaikomersialnya rendah dan hutan mangroveyang ditebang habis ini tidak lagiberfungsi sebagai daerah nursery ground,feeding ground yang optimal bagibermacam ikan dan udang stadium mudayang komersial penting.

Pengalihan aliran air tawar,misalnya pada pembangunanirigasi

Peningkatan salinitas hutan (rawa)mangrove menyebabkan dominasi darispesies-spesies yang lebih toleranterhadap air yang menjadi lebih asin, ikandan udang dalam stadium larva danjuvenile mungkin tidak dapat menoleransipeningkatan salinitas karena merekalebih sensitif terhadap perubahanlingkungan.

Menurunnya tingkat kesuburan hutanmangrove karena pasokan zat-zat haramelalui aliran air tawar berkurang

Konversi menjadi lahanpertanian, perikanan

Mengancam regenarasi stok-stok ikandan udang di perairan lepas pantaimemerlukan hutan (rawa) mengrovesebagai nursery ground larva ataustadium muda ikan dan udang

Pencemaran laut oleh bahan-bahan

Page 28: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

28

pencemar yang sebelum hutan mangrovedikonversi apat diikat oleh substrat hutanmangrove.

Intrusi garam melalui saluran-saluranalam yang bertahankan keberadaannyaatau melalui saluran-saluran buatanmanusia yang bermuara di laut

Erosi garis pantai yang sebelumnyaditumbuhi mangrove

Pembuangan sampah cair(sewage)

Penurunan kandungan oksegen terlarutdalam air bahkan data terjadi keadaananoksik dalam air sehingga BO yangterdapat dalam sampah cair mengalamidekomposisi anaerobic, antara lainmenghasilkan Hidrogen sulfide (H2S) danammonia (NH3) yang keduanyamerupakan racun bagi organisme dalamair.

Pembuangan sampah padat Kemungkinan terlapisnya pneumatophoredengan sampah padat yang akanmengakibatkan kematian pohon-pohonmangrove

Perembesen bahan-bahan pencemardalam sampah padat yang kemudian larutdalam air ke peraiaran di sekitarpembuangan sampah

Pencemaran minyak akibatterjadinya tumpahan minyakdalam jumlah besar

Kematian pohon-pohon mangrove akibatterlapisnya pneumtophore oleh lapisanminyak

Didaratan sekitar hutanmangrove

Pengendapan sedimen yang berlebihanyang mengakibatkan terlapisnyapneumatophore oleh sedimen yang padaakhirnya dapat mematikan pohonmangrove

(Sumber : Bengen, 2000)

Menurut Arief (2003), kerusakan-kerusakan kawasan mangrove

secara garis besar antara lain adalah sebagai berikut :

1. Perubahan sifat-sifat fisika dan kimia, meliputi suhu air, nutrisi,

salinitas, hidrologi, sedimentasi, kekeruhan, substansi beracun dan

erosi tanah.

2. Perubahan sifat-sifat biologis, meliputi terjadinya perubahan species

dominan, densitas, populasi, serta struktur tumbuhan dan binatang.

Page 29: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

29

3. Perubahan keseimbangan ekologi, meliputi regenerasi, pertumbuhan,

habitat, dan rantai makanan, baik pada ekosistem mangrove itu

sendiri maupun pada daerah pantai yang bersebelahan.

B. Bivalvia

a. Morfologi Bivalvia

Struktur komunitas merupakan sekumpulan populasi dari spesies-

spesies yang berlainan dan dari spesies yang sama menempati suatu

habitat (Sambas, 2003). Kelompok bivalvia atau dikenal juga dengan

nama klas Pelecypoda dari filum Moluska, merupakan klas kedua terbesar

jumlah speciesnya. Menurut Nontji (2007), diperkirakan terdapat sekitar

1000 jenis bivalvia yang hidup diperairan Indonesia. Bivalvia hidup

menetap di dasar laut, membenamkan diri dalam pasir atau lumpur dan

melekatkan/menempel pada kerangka karang-karang batu.

Pada bagian dorsal cangkang terdapat gerigi hinge yang berfungsi

sebagai tumpuan ketika cangkang terbuka dan tertutup, ligamen hinge

merupakan jaringan yang menyambungkan cangkang kanan dan kiri dan

umbo menjadi pusat pertumbuhan cangkang (Hickman, 1996).

Bentuk cangkang yang berbeda-beda dapat menjadi petunjuk

identifikasi sampai ketingkat jenis, permukaan cangkang lekukan dan

tonjolan yang tersusun hingga membentuk seperti kipas. Bentuk lipatan

akan berbeda pada setiap jenis bivalvia (Barth, 1982). Ukuran bivalvia

bervariasi dari yang berukuran ±2mm banyak ditemukan pada famili

Sphaeralidae sampai bivalvia yang memiliki panjang lebih dari satu meter,

misalnya kerang raksasa (Tridacna sp.) dengan berat mencapai 11.000 kg

Page 30: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

30

(Barnes & Ruppet, 1994). Morfologi bivalvia dapat dilihat pada Gambar

2.2.

Menurut Prawirohartono (2003) cangkang kerang tersusun atas zat

kapur yang terdiri dari 3 (tiga) lapisan, yaitu :

1. Lapisan Periostrakum, merupakan lapisan yang terluar, tipis, gelap dan

tersusun atas zat tanduk.

2. Lapisan Prismatik, merupakan lapisan tengah yang tebal, tersusun dari

Kristal-kristal CaCO3 berbentuk prisma.

3. Lapisan Nakreas (Lapisan Mutiara), merupakan lapisan yang tersusun

atas Kristal CaCO3 yang halus dan berbeda dari kristal-kristal pada

lapisan prismatik.

Gambar 2.2. Morfologi Bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005)

Ciri-ciri umum bivalvia, yaitu : hewan lunak, tidak memiliki kepala,

mata, tentakel serta radula (gigi) di dalam tubuhnya. Tubuh bivalvia hanya

terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu kaki otot berbentuk seperti lidah,

mantel, dan organ dalam. Kaki dapat ditonjolkan antara dua cangkang

Page 31: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

31

tertutup, bergerak memanjang dan memendek berfungsi untuk bergerak

dan merayap (Robert et al, 1982).

Mantel merupakan jaringan tipis dalam cangkang, bentuk mantel

pada lobus kiri dan kanan memipih, didalam mantel terdapat dua buah

lubang panjang yang merupakan tempat masuknya air disisi posterior

yang disebut Inhalent Posterior dan Incurrent Posterior. Insang berbentuk

lempengan dengan jumlah satu atau dua pasang (Umaryati, 1990). Insang

bivalvia dilengkapi dengan silis untuk Filter feeding (makan dengan

menyaring larutan). Menurut Nybakken (2007) mengklasifikasikan bivalvia

ke dalam kelompok pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit.

Karena hal tersebut maka jumlah bivalvia cenderung melimpah pada

sedimen lumpur dan lunak. Anatomi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar

2.3.

Gambar 2.3. Anatomi Bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005 )

Bentuk Kelamin pada bivalvia terpisah namun ada juga yang

hermaprodit. Perkembangan (siklus hidup) bivalvia di perairan laut lewat

trochopora dan veliger sedangkan pada perairan tawar perkembangannya

Page 32: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

32

lewat glochidia (Weisz, 1973). Perkembangan (siklus) hidup bivalvia dapat

dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Siklus hidup bivalvia(Sumber : Suwignyo dkk, 2005)

b. Habitat Bivalvia

Bivalvia memilih habitat di dasar laut dengan cara membenamkan

diri di dalam pasir atau lumpur bahkan menempel pada karang-karang

batu dengan semacam serabut yang dinamakan byssus (Nontji, 2008).

Bivalvia tersebar pada kedalaman 0,01 sampai 5000 meter, pada

beberapa spesies bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah

intertidal karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah

kehilangan air (Nybakken, 2007).

Menurut Sumich (1992), berdasarkan habitatnya bivalvia dapat di

bagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

a. Jenis bivalvia di lepas pantai

Habitat lepas pantai merupakan wilayah perairan sekitar pulau yang

memiliki kedalaman 20-40 m. Jenis bivalvia yang banyak ditemukan di

Page 33: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

33

daerah tersebut, ialah : Plica sp.; Pinctada maxima, Spondylus hysteria

dan sebagainya.

b. Jenis Bivalvia di Perairan Dangkal

Jenis-jenis bivalvia di perairan dangkal dikelompokkan lagi

berdasarkan lingkungan di mana bivalvia tersebut hidup, misalnya :

bivalvia yang hidup di garis tinggi, bivalvia yang hidup didaerah pasang

surut dan yang hidup dibawah garis surut terendah (sampai kedalaman

2 meter). Jenis bivalvia yang hidup didaerah-daerah tersebut, ialah :

Vulsella sp.; Osterea sp.; Magdalena sp., Mactra sp.; dan Mitra sp.

c. Jenis Bivalvia di Perairan Mangrove

Habitat Mangrove di pengaruhi oleh besarnya perubahan salinitas,

kandungan bahan organik, kandungan H2S yang tinggi yang

disebabkan dari hasil penguraian sisa bahan organik dalam kondisi

lingkungan yang minim kandungan oksigen. Jenis bivalvia yang

banyak hidup di daerah tersebut, ialah : Oatrea sp. dan Gelonia

cocxans.

c. Bivalvia Sebagai Indikator Pencemaran

Bivalvia sering dijadikan sebagai indikator pencemar karena

memiliki siklus hidup yang panjang, mudah diidentifikasi, kelimpahannya

dapat dihitung, ukuran tubuh relatif besar, tersebar secara kosmopolit,

pergerakannya terbatas, cocok untuk pengamatan pada skala

laboratorium, menempati beberapa posisi yang penting dalam rantai

makanan serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan

lingkungan perairan (Rosenberg & Resh, 1993).

Page 34: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

34

Beberapa organisme mempunyai kemampuan untuk mengontrol

jumlah racun dalam tubuhnya melalui proses pengeluaran, sementara

organisme lain tidak dapat melakukan hal tersebut. Organisme yang

tidak dapat mengontrol jumlah kandungan racun akan mengakumulasi

polutan dan jaringan mereka menunjukkan adanya polutan. Salah satu

biota yang sangat baik dalam mengakumulasi polutan sehingga

digunakan sebagai biomonitor polusi adalah bivalvia (Philips, 1980).

C. Parameter lingkungan yang mempengaruhi keberadaan Bivalvia

Parameter Lingkungan yang mempengaruhi keberadaan bivalvia,

adalah sebagai berikut :

a. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan

dan distribusi bivalvia. Suhu mempengaruhi proses biokimia dan

metabolisme antara lain pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim dan

penggunaan oksigen, pertumbuhan, reproduksi dan morfologi misalnya

pembentukan cangkang pada Mytilus edulis (Levinton, 1982). Suhu yang

baik untuk kerang mutiara berkisar 25-30o C, namun suhu air pada kisaran

27-31oC juga dianggap layak untuk pertumbuhan kerang mutiara

(Winanto, 2004).

b. Salinitas

Salinitas merupakan jumlah berat semua garam yang terlarut dalam

satu liter air, biasanya dalam satuan per mil, gram per mil (‰) (Nontji,

2007). Perubahan salinitas berpengaruh pada proses difusi dan osmotic.

Page 35: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

35

Bivalvia mengatur tekanan osmotik tubuhnya secara intra selluler

(Levinton, 1982).

Daerah Estuari di Indonesia memiliki variasi salinitas yang beragam

berkisar antara 15-32 ‰. Beragamnya salinitas di perairan bergantung

pada musim, topografis, pasang surut dan jumlah air tawar yang masuk di

daerah estuari (Nybakken, 2007).

c. Derajat Keasaman (pH)

Dalam pengamatan kualitas air salah satu parameter yang diamati

adalah derajat keasaman (pH), hal tersebut disebabkan karena pH

mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan air. pH

berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basah),

sedangkan batas toleransi pH dari ikan dan makhluk-makhluk akuatik

lainnya untuk hidup di perairan tersebut berkisar antara 7-8,5.

Nilai kisaran pH 5,0-9,0 menunjukkan adanya kelimpahan dari

organisme makrozoobentos, dimana sebagian besar organisme dasar

tersebut seperti polychaeta, moluska dan bivalvia memiliki tingkat asosiasi

terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda (Hawkes, 1978).

d. Dissolved Oksigen (DO)

Oksigen terlarut adalah salah satu faktor penting dalam setiap

sistem perairan. Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar bagi

organisme akuatik termasuk bentos, karena karena digunakan untuk

respirasi (Michael, 1994). Menurut Sastrawijaya (1991) kehidupan di air

dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l,

Page 36: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

36

selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifan,

kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya.

Menurut Levinton (1982) jumlah oksigen terlarut meningkat sejalan

dengan menurunnya suhu dan naiknya salinitas. Semakin besar

kandungan oksigen terlarut dalam ekosistemnya maka semakin baik pula

kehidupan makrozoobentos yang mendiaminya, dimana kadar oksigen

terlarut yang dibutuhkan oleh makrozoobentos adalah berkisar 1,00 – 3,00

mg/l (Dowing, 1984 dalam Sudarja, 1987)

e. Eh dan pH Sedimen

Redoks potensial dapat dijadikan sebagai ukuran kandungan

oksigen dalam sedimen (Bengen et al., 1995). Oksidasi atau redoks

potensial diukur dengan ukuran millivolt yang disebut skala Eh yang kira-

kira sama dengan pH, hanya saja Eh mengukur aktivitas elektron

sedangkan pH mengukur aktivitas proton. Pada wilayah redoks yang

terputus, Eh akan menurun dengan cepat dan menjadi negatif pada

wilayah yang sepenuhnya kosong (Odum, 1998).

Nilai pH sedimen sangat bergantung pada nilai Eh sedimen. Nilai

pH sedimen menurun dengan menurunnya nilai Eh sedimen yang sejalan

dengan bertambahnya kedalaman sedimen (Nybakken, 2007).

f. Substrat Dasar

Susunan substrat dasar sangat penting bagi organisme yang hidup

di dalam substrat, misalnya bivalvia. Hewan bivalvia umumnya hidup

dalam pasir atau lumpur bahkan menempel pada karang-karang batu

(Nontji, 2007).

Page 37: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

37

Makrobenthos yang mempunyai sifat penggali, pemakan deposit

cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang

merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi

(Nybakken, 1997).

g. Kandungan Bahan Organik Total (BOT)

Bahan Organik Total (BOT) menggambarkan kandungan bahan

organik total suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut,

tersuspensi (partikulate) dan koloid. Bahan organik ditemukan dalam

semua jenis perairan, baik dalam bentuk terlarut, tersuspensi maupun

sebagai koloid, dimana kesuburan suatu perairan tergantung dari

kandungan Bahan Organik Total (BOT) dalam perairan itu sendiri.

Kandungan bahan organik total yang mudah larut dalam air

berkisar antara 0,3 – 3 mg C/l, walaupun berbeda dengan yang ditemukan

di perairan pantai akibat aktivitas plankton dan polusi dari daratan (20 mg

C/l). Bagian utama dari kandungan bahan organik terlarut terdiri dari

materi kompleks yang sangat tahan terhadap bakteri, tetapi secara

ekologis merupakan bagian penyusun kecil campuran yang labil tetapi

sangat penting. Bagian tersebut mengandung subtansi yang mewakili

kelompok utama yaitu asam amino, karbohidrat, lipid dan vitamin.

Konsentrasi kandungan bahan organik terlarut di zona eufobiotik biasanya

lebih tinggi daripada lapisan air di bawahnya (Syabil, 1998 dalam Baslim,

2001).

Page 38: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

38

C. Indeks Ekologi

Kelimpahan suatu organisme dalam suatu perairan dapat

dinyatakan sebagai jumlah individu persatuan luas atau volume.

Sedangkan kepadatan relatif adalah perbandingan antara kelimpahan

individu tiap jenis dengan keseluruhan individu yang tertangkap dalam

suatu komunitas. Dengan diketahuinya nilai kepadatan relatif maka akan

didapat juga nilai indeks dominansi. Sementara kepadatan jenis adalah

sifat suatu komunitas yang menggambarkan tingkat keanekaragam jenis

organisme yang terdapat dalam komunitas tersebut. Kepadatan jenis

tergantung dari pemerataan individu dalam tiap jenisnya. Kepadatan jenis

dalam suatu komunitas dinilai rendah jika pemerataannya tidak merata

(Odum, 1998).

Indeks keanekaragaman (H’) dapat diartikan sebagai suatu

penggambaran secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan

dapat memudahkan proses analisa informasi-informasi mengenai macam

dan jumlah organisme. Selain itu keanekaragaman dan keseragaman

biota dalam suatu perairan sangat tergantung pada banyaknya spesies

dalam komunitasnya. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka

keanekaragaman akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat

tergantung dari jumlah inividu masing-masing jenis. Pendapat tersebut

juga didukung oleh Krebs (1985) yang menyatakan bahwa semakin

banyak jumlah anggota individunya dan merata, maka indeks

keanekaragaman juga akan semakin besar.

Page 39: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

39

Indeks keanekaragaman (H’) merupakan suatu angka yang tidak

memiliki satuan dengan kisaran 0–3. Tingkat keanekaragaman akan tinggi

jika nilai H’ mendekati 3, sehingga hal tersebut menunjukkan kondisi

perairan baik. Sebaliknya jika nilai H’ mendekati 0 maka keanekaragaman

rendah dan kondisi perairan kurang baik (Odum, 1998). Kategori Indeks

Keanekaragaman Jenis dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Kategori Indeks Keanekaragaman JenisIndeks Keanekaragaman (H’) Kategori

H ≤ 2,0 Rendah2,0 < H’ ≤ 3,0 Sedang

H’ ≥ 3,0 Tinggi

Indeks keseragaman merupakan suatu angka yang tidak memiliki

satuan dengan kisaran antara 0–1. Nilai tersebut menunjukkan jika

semakin kecil nilai indeks keanekaragaman, maka semakin kecil

keseragaman suatu populasi, sehingga dapat dinyatakan bahwa

penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominir populasi tersebut.

Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman yang berarti bahwa

jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau tidak jauh berbeda

dan tidak ada dominansi spesies. Kategori indeks keseragaman jenis

dapat dilihat pada Tabel 2.4 (Odum, 1998).

Tabel 2.4. Kategori Indeks Keseragaman JenisIndeks Keseragaman (E) Kategori

0,00 < E ≤ 0,50 Tertekan0,50 < E ≤ 0,75 Tidak Stabil0,75 < E ≤ 1,00 Stabil

Indeks dominansi merupakan hasil perhitungan jenis organisme

dalam suatu komunitas ekosistem perairan yang diketahui dengan cara

Page 40: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

40

menghitung indeks dominansi dari organisme tersebut, yang dimana nilai

indeks dominansi berkisar 0-1. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

semakin mendekati satu maka ada organisme yang mendominasi

ekosistem perairan, sebaliknya jika mendekati nol maka tidak ada jenis

organisme yang dominan (Odum, 1998). Kategori indeks dominansi dapat

dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Kategori Indeks DominansiIndeks Dominansi (C) Kategori

0,00 C 0,50 Rendah

0,50 < C 0,75 Sedang

0,75 < C 1,00 Tinggi

D. Kerangka Pikir

Permasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem mangrove

adalah kerusakan ekosistem mangrove akibat faktor alam dan

antropogenik. Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang

cukup unik serta memiliki berbagai fungsi fisik, ekologi dan ekonomi yang

vital dalam mendukung ekosistem pesisir dan sangat menunjang dalam

mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih penting sebagai

pendukung produktivitas perikanan pantai.

Faktor alam yang mempengaruhi ekosistem mangrove adalah

karena adanya perubahan lingkungan yang sangat ekstrim (pemanasan

global), banjir, tsunami dan badai. Sedangkan faktor antropogenik (akibat

ulah manusia), yaitu banyak kegiatan pembangunan di wilayah pesisir

telah mengorbankan ekosistem mangrove, seperti kegiatan reklamasi

untuk pembangunan kawasan industri atau pelabuhan; pembuatan

tambak. Selain itu masih kurang upaya yang kita berikan untuk

Page 41: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

41

menyelamatkan ekosistem ini. Meskipun data mengenai kerusakan

ekosistem mangrove sudah cukup banyak namun kegiatan penyelamatan

ekosistem mangrove masih kurang.

Dampak yang nyata dari degradasi ekosistem mangrove mengarah

pada penurunan keragaman biota laut sebagai akibat hilang atau

menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem ini. Upaya rehabilitasi menjadi

hal yang penting untuk diperhatikan, seperti kegiatan rehabilitasi

mangrove pada suatu habitat yang telah rusak untuk menjaga kestabilan

dan mempertahankan produktivitas perairan.

Perubahan kondisi fisik pantai juga terjadi, karena adanya kegiatan

penanaman mangrove dan secara tidak langsung mempengaruhi struktur

komunitas dari bivalvia. Sehingga untuk itu perlu dikeetahui pengaruh

karakteristik lingkungan ekosistem mangrove dengan struktur komunitas

bivalvia.

Page 42: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

42

Gambar 2.5. Kerangka Pikir Penelitian

Struktur KomunitasMangrove

Faktor Lingkungan(Parameter Fisik-kimia

Perairan)

Jenis Sedimen

Struktur KomunitasBivalvia (Kepadatan dan

Komposisi Jenis)

Faktor AlamFaktor Antropogenik

(Aktivitas manusia danrehabilitasi Mangrove)

Page 43: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

43

E. Riwayat Penyelamatan Lingkungan

Kondisi hutan mangrove di pesisir Timur Sinjai pada tahun 1985

dalam keadaan rusak, dan pantai timur dalam keadaan terbuka. Pada

saat itu angin kencang, ombak besar menghantam tempat pemukiman

nelayan pantai tersebut. Lumpur di pantai dan muara sungai mencapai

kedalaman 0,50 meter dan masyarakat merasakan penderitaan. Dengan

keadaan ini muncul pemikiran dari tokoh-tokoh masyarakat untuk

melaksanakan penanaman mangrove jenis Rhizophora spp secara

swadaya.

Tabel 2.6. Kegiatan Tahunan Penanaman Mangrove

Tahun Area (Ha)

19861987198819891990199119921993199419951996199719981999

198,50102,00129,0090,2032,7022,0037,7064,0021,0020,6024,0030,0015,00

Penyulaman

Total 786,00

(Sumber : Dinas PKT Kab Sinjai, 1999)

Pada tahun 1986 ditanam mangrove sebanyak 3.000 batang yang

tersebar pada masing-masing lokasinya dengan jarak tanam 1 x 1 m, akan

tetapi tidak berhasil. Kemudian ditanam kembali dengan jarak tanam

dipersempit yaitu 0,50 x 0,50 m dan jarak dari garis pantai 50-100 meter

Page 44: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

44

ke arah laut. Ternyata pada umur 1 tahun mangrove tumbuh dengan baik

dan ditanam lagi 3. 000 batang.

Setelah tanaman berumur 5 tahun masyarakat pantai merasakan

manfaat hutan bakau terutama bagi perlindungan pantai dan permukiman

nelayan aman dari badai dan ombak, kondisi lumpur semakin dangkal

mencapai 0,20 m.

Dengan semakin berkembang kerapatan dan kondisi mangrove

maka pihak pemerintah menaruh perhatian untuk mempertahankan

kelestarian tanaman tersebut dan menjadi lokasi uji coba dan penelitian

berbagai instansi dengan pembuatan empang parit, uji coba pemeliharaan

kepiting dan berbagai penelitian UNHAS Makassar.

Kondisi hutan mangrove yang ada saat ini mencapai tinggi rata-rata

7–15 m. Sebagai dampak keberhasilan mendapatkan penghargaan

berupa Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia yang diterima oleh

kelompok tani ACI (aku Cintai Indonesia) yang ada di dusun Tongke-

Tongke Sinjai Timur (Anonim, 2005).

Page 45: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

45

F. Gambaran Umum Lokasi

Letak Geografis

Daerah pesisir timur Kabupaten Sinjai yang terdiri dari dua

kecamatan yaitu Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur. Secara

geografis terletak antara 05036’47” LS dan 1900 48’30” – 120010’’00” BT.

Luas wilayah lebih kurang 819,96 Km2 dengan panjang garis pantai 17

Km2. Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sinjai terdiri dari

delapan (8) wilayah kecamatan, tujuh puluh lima (75) Desa/kelurahan.

Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di tiga (3) desa, yaitu Lingkungan

Talibungin yang terletak di Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai Utara dan

Desa Tongke-tongke serta Desa Panaikang yang terletak di Kecamatan

Sinjai Timur. Batas-Batas wilayah Kabupaten Sinjai secara umum adalah

sebagai berikut :

- Sebelah utara : Kabupaten Bone

- Sebelah timur : Teluk Bone

- Sebelah barat : Kabupaten Gowa

- Sebelah selatan : Kabupaten Bulukumba

Total luas daratan yang berada dalam Kabupaten Sinjai yaitu

819,96 km2 Ketinggian wilayah daratan Kabupaten Sinjai rata-rata < 25 m

dari permukaan laut dengan kemiringan 0–2 %.

Page 46: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

46

Topografi, Iklim, dan Tanah

Secara topografi terdiri dari gunung, perbukitan, daratan, dan

pantai dengan ketinggian 0-40 m. Dengan pesisir dengan ketinggian

dibawah 25 m di atas permukaan laut dengan kemiringan 0-2%.

Secara klimatologi Kabupaten Sinjai terletak pada posisi iklim

musim timur dimana bulan basah terjadi antara bulan april-oktober dan

bulan kering Oktober-April. Pola hujan sangat dipengaruhi oleh pasat

tenggara. Periode hujan daerah ini terjadi dua kali yakni periode

Maret/April hingga Juni/Juli dengan curah hujan dapat mencapai 300-400

mm/bulan dan periode Desember-Januari dengan curah hujan mencapai

150-200 mm/bulan.

Temperatur udara berkisar 22- 32 C. Jenis tanah yang ditemukan

yaitu tanah latasol yang memiliki lapisan tanah yang sangat tipis dengan

singkapan-singkapan batu kapur.

Page 47: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

47

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret hingga April

2011. Kegiatan penelitian terdiri dari survei pendahuluan, pengambilan

data primer dan data sekunder yang dilanjutkan dengan pengolahan dan

analisis data. Wilayah atau lokasi penelitian terletak di Lappa Kecamatan

Sinjai Utara, Tongke-tongke dan Panaikang Kecamatan Sinjai Timur

Kabupaten Sinjai. Peta Lokasi Penelitian pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian

Page 48: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

48

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: GPS (Global

Posisioning System) untuk menentukan posisi/titik stasiun penelitian; alat

tulis menulis untuk pencatatan data; kamera digital untuk dokumentasi;

Sekop dan saringan (ukuran mata saring 2 mm) untuk menyaring sampel

bivalvia; timbangan digital untuk mengetahui komposisi dan berat subtrat;

botol/kantong sampel dan cool box untuk wadah penyimpan sampel;

meteran dan transek kuadrat 10×10 meter untuk mengukur jarak transek

kuadrat pada pengambilan sampel bivalvia; buku identifikasi untuk

mengidentifikasi sampel (Dharma (1988 dan 1992); Roberts et al (1982);

Dance (1977 dan 1992), Abbott (1991)). Water Quality Cheker (WQC) 22

A untuk mengukur suhu perairan, kandungan oksigen terlarut dan pH;

Refractometer untuk mengukur salinitas; tabung reaksi dan cawan

porselen, oven, tanur, dan desikator untuk mengukur BOT pada sampel

sedimen.

Sedangkan bahan yang digunakan, yaitu: alkohol 70% untuk

pengawet sampel; aquades untuk mensterilkan alat di laboratorium; bahan

kimia (KMnO4, H2SO4, dan NaO3) untuk mengukur kadar BOT; sampel air

laut; sedimen untuk jenis tekstur sedimen, pengukuran BOT; dan kertas

label untuk informasi sampel. Beberapa peralatan dan bahan yang

digunakan dalam penelitian tentang struktur komunitas disajikan pada

Tabel 3.1.

Page 49: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

49

Tabel 3.1. Peralatan dan Bahan yang digunakan selama penelitian

Alat dan bahan Kegunaan

Alat

a. Kamera Digital

b. Rollmeter, tali

c. Senter

d. GPS

e. Buku Identifikasi

f. Skop dan Saringan

g. Kantong plastik berlabel

h. Refraktometer

i. Water Quality Cheker (WQC)

22 A

a. mengambil gambar sampel bivalvia

b. untuk pembuatan transek

c. Membantu dalam pencahayaan

d. Sebagai penentu Koordinat Lokasi

pengamatan

e. Untuk mengidentifikasi biota

f. Mengambil sampel dan menyaring

sampel

g. Sebagai wadah sampel sedimen

h. Untuk mengukur salinitas

i. mengukur suhu perairan, DO dan

pH

Bahan

a. Kertas Label

b. Kantong Sampel

c. Alkohol 70 %

d. Aquades

e. Sampel bivalvia

f. Sampel sedimen

a. Untuk Informasi Sampel

b. Tempat menyimpan Sampel

c. Bahan Pengawet sampel

d. Untuk mensterilkan alat-alat lab.

Page 50: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

50

C. Tahapan Penelitian

1. Tahap Persiapan dan Observasi

Tahap persiapan meliputi pengumpulan data-data sekunder dan

pustaka-pustaka yang mendukung penelitian tersebut, seperti: peta lokasi,

jurnal-jurnal ilmiah yang mendukung keberhasilan penelitian tersebut.

Observasi awal dengan pengamatan langsung di lapangan

sebelum pengambilan data dengan tujuan untuk mengidentifikasi lokasi

penelitian dan stasiun pengambilan sampel.

2. Prosedur Pengambilan Data

2.1. Penentuan Stasiun

Stasiun penelitian dipusatkan di dalam ekosistem mangrove.

Stasiun pengamatan ditentukan dengan melihat perbedaan karakteristik

lingkungan secara visual, sehingga diperoleh empat stasiun pengamatan.

Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

- Stasiun I : merupakan area mangrove yang relatif masih alami;

substrat didominasi substrat berlumpur.

- Stasiun II : merupakan daerah hasil penanaman mangrove yang

relatif jauh dari aktivitas manusia dengan umur mangrove ± 25 Tahun

- Stasiun III : merupakan daerah hasil penanaman mangrove yang

relatif dekat dengan aktivitas manusia. Substrat yang mendominasi

daerah tersebut ialah substrat berlumpur. Umur mangrove ± 10-17

Tahun.

Page 51: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

51

- Stasiun IV : merupakan daerah hasil penanaman mangrove;

substrat didominasi oleh pasir berlumpur dan umur mangrove ± 8-10

Tahun

- Stasiun V : merupakan daerah non-vegetasi yang diambil dari

jarak 100 m dari vegetasi mangrove pada setiap stasiun.

2.2. Pengamatan Mangrove

Pengamatan data mangrove dilakukan pada setiap stasiun. Adapun

prosedur pengamatan mangrove, antara lain :

1. Pada setiap stasiun pengamatan dibuat transek garis dari arah laut ke

arah darat. Pemasangan transek garis pada setiap stasiun dilakukan

sebanyak dua kali dengan jarak antar transaek garis 50 meter

(Gambar 3.2).

2. Memasang plot (transek) 10x10 m2 di sepanjang transek garis, jarak

antar plot ± 20-30 meter (Gambar 3.2)

3. Mendeterminasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada pada

setiap plot, kemudian menghitung jumlah individu setiap jenis dan ukur

lingkar batang setiap pohon mangrove yang setinggi dada

4. Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang

ditemukan, maka dapat memotong bagian ranting yang lengkap

dengan daunnya, dan jika terdapat bunga dan buah dapat diambil

sebagai sampel. Model pemasangan line transek dan plot pada setiap

stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Page 52: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

52

Gambar 3.2. Model Pemasangan Line Transek dan Plot pengamatanMangrove

Keterangan : = Jarak antar line transek (50 meter)= Jarak antarplot (±20-30 meter)

2.3. Pengambilan Sampel Bivalvia

Pengambilan sampel bivalvia dilakukan pada setiap plot di titik

pengamatan mangrove setiap dua minggu selama dua bulan.

Pengambilan sampel bivalvia dilakukan pada lima (5) titik yang dapat

mewakili areal plot 10x10 m2, yaitu dua titik pada ujung/sudut masing-

masing plot dan satu titik pada bagian tengah plot. Model pengambilan

sampel bivalvia dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Sampel bivalvia yang diambil ialah bivalvia yang berada dalam

substrat (Infauna) dengan bantuan alat berupa skop (ukuran 20x20 cm2).

Kedalaman substrat pengambilan sampel ±10-15 cm. Hal tersebut di

dasarkan pada pertimbangan bivalvia mempunyai kemampuan untuk

membenamkan diri ke dalam substrat hingga beberapa cm.

KawasanMangrove

Page 53: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

53

Sampel yang diperoleh kemudian disaring untuk memisahkan

bivalvia dari sedimen, selanjutnya di bersihkan, disortir dan diawetkan

dengan menggunakan alkohol 70%, kemudian disimpan didalam cool box.

Pengidentifikasian sampel bivalvia menggunakan buku-buku tentang

identifikasi moluska kelas bivalvia ((Dharma (1988 dan 1992), Roberts et

al (1982), Dance (1977 dan 1992), Abbott (1991)).

Gambar 3.3. Model Pengambilan Sampel Bivalvia pada setiap plotpengamatan mangrove

Keterangan : = titik pengambilan sampel bivalvia dalam plot

2.4. Pengukuran Parameter Lingkungan

Pengukuran beberapa parameter lingkungan dilakukan sebelum

pengambilan sampel bivalvia. Adapun parameter yang diukur yaitu:

a. Suhu

Pengukuran suhu perairan menggunakan thermometer air raksa.

Thermometer dimasukkan kedalam perairan sedalam 5 cm, kemudian

didiamkan selama 3-5 menit hingga air raksa pada thermometer

berhenti bergerak. Catat angka yang ditunjuk pada thermometer

tersebut (Anonim, 2005).

b. Salinitas, pH dan DO

Pengukuran Suhu, Salinitas, pH dan Oksigen terlarut (DO)

menggunakan alat Water Quality Cheker (WQC).

Page 54: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

54

c. Potensial Redoks Sedimen (Eh)

Pengukuran potensial redoks dari sampel sedimen dilaksanakan

di laboratorium dengan mengunakan Eh-pH meter (Hariyadi, 2003).

d. Jenis Substrat

Metode ini digunakan untuk mengklasifikasi substrat pasir dan

lumpur dengan prosedur sebagai berikut:

1. Sampel sedimen yang telah kering ditimbang sebanyak ± 100

gram, lalu diayak menggunakan sieve net bertingkat selama 15

menit dengan gerakan konstan sehingga didapatkan pemisahan

partikel sedimen berdasarkan masing-masing ukuran ayakan (2

mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,063 mm dan <0,063 mm)

2. Sampel dipisahkan dari masing-masing ukuran ayakan hingga

bersih lalu ditimbang. Untuk menghitung % berat sedimen pada

metode ayakan kering digunakan rumus sebagai berikut:

Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran partikel dapat dilihat

pada Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran partikelNo Nama butiran Diameter (mm)

1 Pasir sangat kasar 1,00 - 2,00

2 Pasir kasar ≥ 0,50

3 Pasir sedang ≥ 0,25

4 Pasir halus ≥ 0,10

5 Pasir sangat halus ≥ 0,05

6 Debu ≥ 0,002

7 Liat < 0,002

(Sumber : Modifikasi dari USDA, 2009)

% Berat = %100ayakanhasillberat tota

ayakanhasilberatX

Page 55: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

55

Gambar 3.4. Segitiga Tekstur Tanah (Sumber : USDA, 2009)

e. Bahan Organik Terlarut (BOT)

Proses analisis kandungan bahan organik pada sampel sedimen

sebagai berikut:

1. Cawan porselen dipanaskan dalam oven pada suhu 50oC selama

1jam, kemudian ditimbang sebagai berat awal/berat cawan kosong

(BCK).

2. Memasukkan sampel sedimen yang sebelumnya telah dihaluskan

sebanyak ± 10 gram ke dalam cawan porselen, selanjutnya

ditimbang sebagai berat sampel (BS).

3. Memasukkan cawan porselen berisi sampel sedimen tadi ke dalam

tanur dengan suhu ± 600o C selama 3 jam, selanjutnya didinginkan

dalam desikator selama selama 30 menit kemudian menimbangnya

sebagai berat akhir/ berat setelah pemijaran (BSP).

Page 56: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

56

3. Analisis Data

3.1. Struktur Komunitas Mangrove

Data-data mangrove mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter

pohon yang telah diperoleh, diolah lebih lanjut untuk mengetahui

kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan dan Indeks nilai

penting dengan menggunakan formula menurut Buku Pedoman Teknis

Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Bengen, 2000)

a. Kerapatan jenis (Di)

Kerapatan jenis adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area.

Dengan : Di = Kerapatan Jenis i; ni = Jumlah total tegakan dari

jenis i; A = Luas total area pengambilan sampel (Luas

Plot)

b. Kerapatan relatif (RDi)

Perbandingan antara jumlah tegakan jenis i dan jumlah total tegakan

seluruh jenis

100xn

niRDi

Dengan : RDi = Kerapatan relatif; ni = Jumlah jenis tegakan jenis i;

∑n = Jumlah total seluruh tegakan jenis

A

niD

Page 57: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

57

c. Penutupan Jenis (Ci)

Luas penutupan jenis i dalam suatu unit area

A

BACi ;

4

2

DBHBA ; CBHDBH

Dengan : Ci = Luas Penutupan Jenis i; π = suatu Konstanta (3,14);

DBH = Diameter batang pohon dari jenis i; A = Luas total

Area plot; CBH = Lingkaran pohon setinggi dada

d. Penutupan Relatif Jenis (RCi)

Perbandingan antara Luas area penutupan jenis i dan luas total area

penutupan untuk seluruh jenis

100xC

CiRCi

Dengan : RCi = Penutupan Relatif jenis; Ci = Luas area penutupan

jenis i; ∑C = luas total area penutupan untuk seluruh jenis

e. Nilai Penting (IVi)

Jumlah nilai Kerapatan relatif jenis, Frekuensi relatif jenis dan

penutupan relatif jenis

Dengan : RDi = Kerapatan relatif jenis; RFi = Frekuensi relatif jenis;

RCi = Penutupan relatif jenis

Kerapatan mangrove yang telah dihitung selanjutnya

dikelompokkan menurut stasiun kemudian dianalisis dengan Analisis

Ragam (One Way ANOVA), sedangkan Jumlah Jenis dan Indeks nilai

penting disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan dianalisis secara

deskriptif. Penentuan tingkat kerusakan mangrove ditentukan

Nilai Penting (IVi) = (RDi + RFi + RCi)

Page 58: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

58

berdasarkan peraturan Kemetentrian Lingkungan Hidup No.201 Tahun

2004. Kriteria baku kerusakan mangrove dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Kriteria Kerusakan Mangrove

Kriteria Penutupan (%) Kerapatan(Pohon/ha)

Baik Sangat Rapat (SR) > 75 > 1500

Rapat (R) ≥ 50 - < 75 ≥ 1000 - < 1500

Rusak Jarang (J) < 50 < 1000

3.2. Struktur Komunitas Bivalvia

a. Kepadatan

Kepadatan suatu organisme dalam suatu perairan dapat

dinyatakan sebagai jumlah individu persatuan luas atau volume

(Brower, et al, 1990). Perhitungan kepadatan bivalvia dapat di

rumuskan sebagai berikut :

Dengan : D = Kepadatan (Ind/m2); ni = Jumlah Individu dari

species ke-i; A = Luas areal sampling

Sedangkan Kepadatan Relatif (KR) menurut Odum (1998)

adalah persentase dari jumlah individu suatu jenis terhadap jumlah

seluruh individu yang terdapat di area tertentu dalam suatu

komunitas dan di rumuskan sebagai berikut :

Dengan : KR = Kepadatan Relatif; ni = Jumlah individu dari

species ke-i; N = Jumlah seluruh Individu

100xN

niKR

10000

A

niD

Page 59: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

59

1

1

NN

niniD

b. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman

Indeks keanekaragaman dihitung berdasarkan indeks

Shannon-Wiener (Brower et al., 1990):

H’ = - ∑Pi log2 Pi ;

N

ni

N

niH 2

' log

Dengan : H’ = Indeks keanekaragaman; ni = Jumlah individu

untuk setiap jenis; N= Jumlah total individu

Sedangkan indeks keseragaman dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Shannon-Wiener (Brower et al., 1990) :

LogS

H

H

HE

'

'

''

max

Dengan : H’ = Indeks keanekaragaman; E’ = Indeks

keseragaman; S = Jumlah jenis

c. Indeks Dominansi

Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan formula

menurut Brower et al. (1990) sebagai berikut :

Dengan : D = Indeks Dominansi; ni = Jumlah Individu setiap

jenis; N = Jumlah individu dari seluruh jenis

Jenis bivalvia yang telah diidentifikasi kemudian dihitung

kepadatannya dan selanjutnya dikelompokkan berdasarkan stasiun,

kemudian dianalisis dengan Analisis Ragam (One Way ANOVA).

Sedangkan untuk melihat kemiripan jumlah jenis dan kepadatan struktur

Page 60: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

60

antarstasiun menggunakan Analisis Gerombol (Cluster Analisis). Adapun

proses penghitungan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Biplot.

Penyajian data nilai indeks ekologi, kepadatan dikelompokkan

menurut stasiun dan disajikan dalam bentuk grafik atau tabel dan

dianalisis secara deskriptif.

3.3. Keterkaitan Struktur Komunitas Bivalvia dengan Lingkungan.

Keterkaitan struktur komunitas bivalvia dengan faktor lingkungan

dan mangrove digunakan analisis multivariat dengan teknik Canonical

Correspondence Analysis (CCA).

Menurut Ter Braak (1986), Teknik Canonical Correspondence

Analysis (CCA) merupakan metode statistik deskriptif yang

dipresentasikan dalam bentuk grafik yang memuat informasi maksimum

dari suatu struktur data. Matrik data terdiri dari Kolom dan baris. Individu

statistik (kolom) adalah komunitas bivalvia dan peubah lingkungan,

sedangkan waktu pengamatan sebagai baris. Proses penghitungan

dilakukan dengan bantuan software Biplot.

Page 61: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

61

D. Bagan Alir Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai dari tahap persiapan sampai

dengan penyusunan laporan yang disajikan dalam bentuk bagan di bawah

ini :

Gambar 3.5. Bagan Alir Penelitian

SURVEYPENDAHULUAN

PENENTUAN STASIUNPENGAMATATAN

PENGUMPULANDATA SEKUNDER

PENGUMPULANDATA PRIMER

BIVALVIAMANGROVE &PARAMETER

LINGKUNGAN

ANALISIS DATA

INTERPRETASI

PEMBAHASAN &MENARIK

KESIMPULAN

PENYUSUNANLAPORAN

PERSIAPAN

TABULASI DATA

Page 62: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

62

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Struktur Komunitas Mangrove

1. Sebaran dan Kerapatan Mangrove

Selama penelitian ditemukan empat (4) jenis mangrove, yaitu

Avicennia alba, R. mucronata, R. stylosa dan Ceriops spp. Jenis dan

sebaran mangrove dapat dilihat pada Tabel 4.1. Sebaran mangrove yang

kaya jenis ditemukan pada Stasiun I yang merupakan area mangrove

yang relatif masih alami, sedangkan pada Stasiun II-IV hanya ditemukan

satu jenis mangrove. Hal ini disebabkan karena Stasiun II-IV merupakan

area rehabilitasi dan mangrove yang digunakan untuk rehabilitasi adalah

jenis R.mucronata. Jenis ini banyak dikembangkan karena manfaatnya

yang beragam dan relatif lebih mudah didapatkan serta cepat tumbuh.

Benih yang dipakai berasal dari buah (propagule) yang sudah tua dengan

kualitas yang baik.

Jumlah jenis mangrove di Kecamatan Sinjai Timur dan Sinjai Utara

memiliki kekayaan jenis mangrove yang rendah, karena hanya terdapat

satu jenis mangrove yang memiliki sebaran yang luas di setiap stasiun

pengamatan.

Page 63: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

63

Tabel 4.1. Sebaran Mangrove pada setiap stasiun pengamatan

SpeciesStasiun

I II III IV

Avicennia alba + - - -

Ceriops spp. + - - -

R.stylosa + - - -

R.mucronata + + + +

Ket : (+) = ada mangrove(-) = Tidak ditemukan jenis mangrove

Hasil analisis kerapatan mangrove menunjukkan kisaran sebesar

3067-7088 ind/ha. Hasil analisis ragam (One-Way ANOVA) dengan selang

kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan adanya perbedaan nyata

antara Stasiun I dengan Stasiun II-IV. Mangrove di stasiun rehabilitasi

sangat rapat dibanding stasiun mangrove yang relatif alami (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Kerapatan mangrove. Huruf yang berbeda pada grafikmenunjukkan perbedaan yang nyata pada alpha 5%berdasarkan Anova (one-way anova)

Rendahnya kerapatan pada Stasiun I (Tabel 4.2), disebabkan

karena pemanfaatan mangrove (nilai ekonomis) yang besar terjadi pada

Page 64: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

64

masyarakat di Kelurahan Lappa yang cenderung melakukan penebangan

(untuk kayu bakar atau untuk tujuan komersil) tanpa penanaman kembali,

sebaliknya pada Stasiun II-IV meskipun terjadi penebangan mangrove

tetapi dilakukan penanaman kembali sehingga keseimbangan lingkungan

tetap terjaga (Deasy, 2004).

Kerapatan mangrove yang tidak berbeda nyata pada Stasiun II-IV

(kerapatan relatif tinggi) disebabkan karena pola tanam yang sama dalam

kegiatan rehabilitasi, misalnya jarak tanam (0,5 x 0,5 m), jenis bibit

mangrove yang digunakan dan jenis sedimen (berlumpur) serta kondisi

lingkungan yang tidak terlalu berbeda (nilai kisaran suhu, salinitas dan pH

yang relatif sama). Kondisi parameter lingkungan yang diperoleh selama

pengamatan masih berada dalam kisaran toleransi mangrove untuk hidup

(Lampiran 5). Mangrove merupakan ekosistem yang unik yang memiliki

kisaran toleransi yang tinggi pada kondisi lingkungan yang ekstrim.

Adapun kisaran suhu bagi R.mucronata untuk tumbuh optimal sebesar 26-

28oC, salinitas 10-30‰ dan kisaran curah hujan 1500-3000 mm/tahun (Arief,

2003).

Kriteria baku kerusakan mangrove menunjukkan bahwa mangrove

di Stasiun I masuk dalam kriteria rapat, hal tersebut dapat dilihat dari

kerapatan mangrove 3067 ind/ha, sedangkan pada Stasiun II-IV mangrove

masuk dalam kriteria sangat rapat, dengan kerapatan berkisar 5150-7088

ind/ha (Tabel 4.2.). Penentuan kriteria kondisi mangrove dilakukan menurut

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.201 Tahun 2004, yaitu

mangrove dikatakan baik jika kerapatan pohon > 1500 pohon/ha.

Page 65: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

65

Tabel 4.2. Kondisi Mangrove berdasarkan nilai kerapatan (KMNLH, 2004)

StasiunKerapatan Total Kondisi

(ind/m²) (ind/ha) Mangrove

I/LAPPA 0,307 3067 Rapat

II/Tongke-Tongke (25th) 0,709 7088 Sangat Rapat

III/Tongke-tongke (17th) 0,515 5150 Sangat Rapat

III/Tongke-tongke (10th) 0,530 5300 Sangat Rapat

IV/Panaikang (8&10 th) 0,663 6630 Sangat Rapat

2. Indeks Nilai Penting (INP)

Hasil pengolahan data frekuensi jenis relatif, kerapatan jenis relatif

dan penutupan jenis relatif dapat diketahui indeks nilai penting dari

kawasan mangrove tersebut. Indeks nilai penting (INP) memberikan suatu

gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan

mangrove dalam komunitas mangrove. Stasiun I yang merupakan area

mangrove yang relatif masih alami terdapat 4 jenis mangrove, namun

Avicennia alba merupakan jenis yang penting dengan nilai INP sebesar

218,26, sedangkan pada Stasiun II-IV jenis yang paling penting hanya

R.mucronata (INP sebesar 300) (Tabel 4.3).

Tingginya nilai INP untuk jenis Avicennia alba dan R.mucronata

disebabkan karena sebaran dan kerapatannya yang tinggi. Fenomena ini

mengindikasikan bahwa ke-2 jenis tersebut memiliki daya adaptasi yang

baik terhadap kondisi lingkungan (Kordi, 2008).

Page 66: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

66

Tabel 4.3. Indeks Nilai Penting (INP) mangrove

StasiunSpecies INP

(Rdi+Rfi+Rci)

I/Lappa Avicennia alba 218,26

Mangrove Relatif R.stylosa 117,23

Alami R.mucronata 105,56

Ceriops spp. 42,28

II/Tongke-Tongke (25th) R.mucronata 300

III/Tongke-tongke (17th) R.mucronata 300

III/Tongke-tongke (10th) R.mucronata 300

IV/Panaikang (8&10 th) R.mucronata 300

B. Struktur Komunitas Bivalvia

1. Sebaran dan Komposisi Jenis

Hasil identifikasi terhadap jenis bivalvia dalam substrat (infauna)

pada ekosistem mangrove dan non-vegetasi ditemukan 13 jenis bivalvia

yang berasal dari 8 famili dengan jumlah individu sebanyak 252 ind.

(Lampiran 2 Tabel 2). Bervariasinya sebaran jenis bivalvia pada setiap

stasiun pengamatan umumnya karena ada perbedaan karakteristik

habitat, ketersediaan bahan organik sebagai sumber makanan dan daya

adaptasi terhadap perubahan lingkungan.

Jumlah jenis bivalvia yang ditemukan pada Stasiun I (8 jenis);

Stasiun IV (7 jenis) dan stasiun non-vegetasi (9 jenis); sedangkan pada

Stasiun II dan III memiliki jumlah jenis yang rendah (Tabel 4.4).

Bervariasinya jumlah jenis bivalvia pada setiap stasiun secara umum

berdampak pada komposisi jenis bivalvia.

Page 67: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

67

Tabel 4.4. Sebaran Jenis bivalvia pada setiap stasiun pengamatanNo Species Stasiun

I II III IV NV

1 Polymesoda bengalensis + + + - +2 Mactra violacea - - - + -3 Siliqua sp. + - - - +4 Tellina timorensis + + - - +5 Semele cordiformis - - - + -6 Gafrarium tumidum - + + + +7 Placamen chlorotica + - - + -8 Dosinia insularsum + - - - +9 Marcia opima + - - - +

10 Meretrix meretrix + + + - +11 Anadara antiquata + + + + +12 Trachycardium subrogosum - - - + -13 Mytilus edulis - - - + +

Jumlah Jenis 8 5 4 7 9

Ket : (+) = ditemukan bivalvia; (-) = Tidak ditemukan bivalvia

Komposisi jenis bivalvia pada seluruh stasiun pengamatan

didominasi oleh jenis Gafrarium tumidum, Anadara antiquata (21%) dan

Mytilus edulis (11%); sedangkan komposisi jenis terendah ditemukan pada

jenis Dosinia insularsum (1%) (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Komposisi Jenis Bivalvia pada seluruh Stasiun

Page 68: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

68

Komposisi jenis bivalvia berdasarkan stasiun pengamatan

menunjukkan adanya variasi jenis yang mendominasi (Gambar 4.3). Pada

Stasiun I (daerah mangrove relatif alami) menunjukkan komposisi jenis

bivalvia yang relatif homogen (tidak ada jenis yang dominan), hal ini dapat

dilihat dari 8 jenis bivalvia yang ditemukan terdapat 6 jenis bivalvia yang

memiliki komposisi jenis yang relatif sama dan komposisi jenis rendah

hanya 2 jenis (Gambar 4.3a).

Untuk Stasiun II-IV merupakan kawasan rehabilitasi mangrove

terdapat jenis-jenis bivalvia yang dominan, yaitu pada Stasiun II Gafrarium

tumidum (44%); Anadara antiquata (28%) dan Tellina timorensis (19%)

(Gambar 4.3b); pada Stasiun III komposisi jenis didominasi oleh jenis

Anadara antiquata (48%); Gafrarium tumidum (30%) dan Meretrix meretrix

(17%) (Gambar 4.3c); sedangkan Stasiun IV komposisi jenis yang

mendominasi adalah Gafrarium tumidum (30%); Anadara antiquata (13%)

dan Mytilus edulis (20%) (Gambar 4.3d) dan daerah non-vegetasi

(Stasiun V) komposisi tertingggi adalah Anadara antiquata (35%); Meretrix

meretrix (26%), Polymesoda bengalensis (15%) dan Marcia opima (12%)

(Gambar 4.3e).

Page 69: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

69

Gambar 4.3. Komposisi Jenis Bivalvia stasiun I (a); stasiun II (b); StasiunIII (c); stasiun IV (d) dan daerah Non-Vegetasi/NV (e)

Jenis bivalvia yang selalu muncul pada semua stasiun adalah

Anadara antiquata dan Gafrarium tumidum. Jenis Gafrarium tumidum

banyak ditemukan di daerah mangrove-non vegetasi (daerah intertidal)

pada substrat lumpur dan bersifat euryhaline. Kebiasaan makan dari

Gafrarium tumidum ialah filter feeder (Meyer et al., 2008). Sedangkan

Anadara sp. banyak ditemukan di perairan estuaria dengan substrat

lumpur berpasir dengan salinitas 21-25‰ (Sitorus, 2008).

a

c

d

b

e

Page 70: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

70

Jenis bivalvia yang lain dan mendominasi pada Stasiun II, yaitu

Tellina timorensis. Tellina timorensis merupakan bivalvia yang banyak

ditemukan pada daerah mangrove dan non-vegetasi, dengan jenis

substrat pasir berlumpur dan bersifat euryhaline. Kebiasaan makan dari

jenis ini ialah filter atau deposit feeder (Simone & Wilkinson, 2008). Pada

Stasiun III jenis yang mendominasi ialah Meretrix meretrix. Hal ini terjadi

karena sebaran hidup yang cukup luas (mangrove dan non-vegetasi)

dengan jenis substrat pasir-lumpur. Meretrix meretrix pada umumnya

bersifat filter feeder (Jayabal & Kalyani, 1986).

Bivalvia jenis lain yang dominan ditemukan pada Stasiun IV, yaitu

jenis Mytilus edulis. Mytilus edulis dapat mentolerir kisaran suhu -10-290C.

Tidak hanya pertumbuhan Mytilus yang dipengaruhi oleh suhu. Aktifitas

silia yang dimiliki oleh Mytilus juga sangat tergantung pada temperatur.

Peningkatan temperatur antara 0-340C mengakibatkan aktivitas silia

menjadi meningkat sehingga konsumsi oksigen oleh Mytilus juga menjadi

ikut meningkat, pada umumnya Mytilus edulis membutuhkan daerah yang

memiliki substrat kasar sebagai tempat menempelnya. Namun, tidak

menutup kemungkinan ditemukannya juga Mytilus pada daerah bersubtrat

lumpur yaitu menempel cobbles, pebbles yang terdapat di sedimen lumpur

tersebut. (FAO Fisheries, 2010). Sedangkan pada daerah non-vegetasi

jenis yang mendominasi ialah Polymesoda bengalensis dan Marcia opima.

Kedua jenis ini dapat hidup pada daerah mangrove dan non-vegetasi,

bersifat euryhaline dengan kondisi substrat pasir-lumpur (Russel & Hunter,

1983).

Page 71: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

71

2. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia

Nilai Kepadatan bivalvia yang diperoleh dari pengamatan pada

setiap stasiun berkisar 11,68-37,5 ind/m2 dengan kepadatan rata-rata 28,7

ind/m2. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia di beberapa daerah

mangrove dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Perbandingan nilai kepadatan bivalvia pada beberapa kondisidaerah mangrove

Lokasi Rata-rata Kepadatan(Ind/m2)

Sumber Pustaka

Pantai Larea-rea 36,67 Makkarumpa (2005)Tongke-tongke;Panaikang dan Lappa

28,7 Data hasilpengamatan lapangan

Perbedaan nilai kepadatan bivalvia pada beberapa kondisi

mangrove, disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan. Parameter

lingkungan yang sesuai bagi bivalvia juga dijelaskan oleh Sitorus (2008),

bahwa suhu yang sesuai bagi bivalvia berkisar 26-31oC dengan kisaran

salinitas 6-35‰. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme laut

berkisar antara 6,7-8,2; dan kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5-7mg/l

(Barth, 1982). Selanjutnya Sitorus (2008) menjelaskan bahwa bivalvia

lebih cenderung melimpah pada daerah pesisir pantai yang memiliki

sedimen lumpur dan sedimen lunak, karena bivalvia merupakan kelompok

hewan pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit.

Hasil analisis ragam (One-Way ANOVA) pada selang kepercayaan

95% (α = 0,05), kisaran jumlah jenis yang ditemukan, yaitu 2,10-6,50.

Jumlah jenis tertinggi ada pada Stasiun I dan jumlah jenis terendah

ditemukan pada daerah non-vegetasi. Kisaran kepadatan tertinggi

Page 72: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

72

ditemukan pada Stasiun IV (57,5 ekor/m2), hal ini terjadi karena pada

stasiun IV merupakan daerah rehabilitasi di daerah pantai, subtrat pasir

berlumpur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jabang (2008), di perairan

pantai Sumatera Barat, yang dimana salah satu lokasi stasiun

pengamatan merupakan daerah pantai bervegetasi dengan substrat pasir

berlumpur dengan kisaran kepadatan 14,3 ekor/m2. Tingginya kepadatan di

daerah tersebut terkait pada kemampuan kerang untuk beradaptasi

terhadap kondisi pasang-surut dan arus gelombang pantai.

Hasil analisis ragam menunjukkan terdapat perbedaan nyata pada

jumlah jenis bivalvia antarstasiun (Gambar 4.4a), sedangkan pada nilai

kepadatan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara Stasiun IV

dengan Stasiun II-NV dan juga tidak berbeda nyata antara Stasiun I-III

(Gambar 4.4b). Kepadatan dan Jumlah jenis bivalvia dapat dilihat pada

Gambar 4.4.

Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah jenis di setiap stasiun

memiliki sebaran yang luas namun tidak berpengaruh pada kepadatan

bivalvia. Selain itu, kondisi mangrove pada Stasiun I dan IV juga dapat

mempengaruhi jumlah jenis bivalvia. Mangrove di Stasiun I yang

mendominasi adalah jenis Avicennia alba. Jenis mangrove ini memiliki

bentuk akar pasak yang tumbuh terpencar, dengan anak akar muncul di

permukaan seperti tombak (Arief, 2003). Bentuk akar pada jenis ini tidak

mengambil semua ruang pada lantai sedimen sehingga masih terdapat

ruang bagi bivalvia (Lampiran 1 Gambar 1). Pada Stasiun IV, mangrove

yang mendominasi ialah jenis R.mucronata namun mangrove di stasiun ini

Page 73: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

73

memiliki ukuran pohon yang kecil, sehingga masih terdapat ruang pada

lantai sedimen sebagai tempat hidupnya bivalvia (Lampiran 1 Gambar 4).

Stasiun II dan III memiliki kondisi mangrove yang sangat rapat dan

ukuran pohon yang besar sehingga sangat sedikit substrat yang tidak

ditumbuhi mangrove, meskipun terdapat lantai sedimen yang kosong

tetapi sudah disesaki oleh akar mangrove. Hal tersebutlah yang menjadi

salah satu penyebab rendahnya bivalvia yang ditemukan pada Stasiun II

dan III, karena sifat bivalvia yang hidup membenamkan diri dalam subtrat

sehingga membutuhkan ruang pada lantai sedimen sebagai habitatnya

(Lampiran 1 Gambar 2 dan 3).

Gambar 4.4. Jumlah Jenis Bivalvia (a) dan Kepadatan bivalvia (ind/m2)(b) yang ditemukan pada setiap stasiun. Huruf yangberbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyatapada alpha 5% berdasarkan Anova (one-way anova).

b

a

cc

b

c

Page 74: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

74

3. Indeks Ekologi Bivalvia

a. Indeks Keanekaragaman (H’)

Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan nilai indeks

keanekaragaman bivalvia (H’) pada seluruh stasiun pengamatan berada

pada kisaran 1,7–2,81(Gambar 4.5). Nilai indeks keanekaragaman

tertinggi (H’) ada pada Stasiun I (2,81) dan yang terendah pada Stasiun III

(1,70). Secara umum Indeks keanekaragaman bivalvia (H’) yang

ditemukan pada setiap stasiun menunjukkan bahwa nilai indeks

keanekaragaman tergolong dalam kategori sedang. Menurut Krebs

(1985), keanekaragaman yang tinggi menunjukkan semakin besarnya

keragaman dan proporsi masing-masing jenis yang semakin merata.

Gambar 4.5. Grafik Indeks Keanekaragaman (H’) antar stasiun

b. Indeks Keseragaman (E)

Kestabilan suatu komunitas dapat digambarkan dengan tinggi

rendahnya nilai indeks indeks keseragaman (E) yang didapat.

Berdasarkan pada perhitungan indeks keseragaman pada setiap stasiun

bekisar 0,78-0,94 (Gambar 4.6), yang dimana indeks ini tergolong baik

Page 75: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

75

atau stabil. Nilai indeks keseragaman tertinggi pada Stasiun I (0,94), hal

ini menunjukkan kondisi komunitas baik/stabil karena memiliki nilai

kemerataan jenis mendekati 1 dan yang terendah pada stasiun non-

vegetasi (0,78), nilai indeks ini mengindikasikan bahwa penyebaran jenis

tidak merata pada stasiun tersebut.

Namun secara umum nilai keseragaman dikatakan baik/stabil jika

nilai keseragaman mendekati 1 atau sebaliknya. sehingga semakin kecil

nilai E maka kondisi komunitas tidak merata sedangkan semakin besar

nilai E maka penyebaran jenis relatif merata. Penyebaran jenis suatu

organisme berkaitan erat dengan dominasi, dimana bila nilai kemerataan

kecil mengindikasikan terjadi dominasi dari jenis-jenis tertentu (Odum,

1998).

Gambar 4.6. Grafik Indeks Keseragaman (E) bivalvia antar Stasiun

c. Indeks Dominansi (D)

Indeks dominansi yang diperoleh pada seluruh stasiun penelitian

tergolong rendah, yaitu berkisar 0,15-0,31 (Gambar 4.7). Indeks

dominansi terendah pada Stasiun I (0,15) dan yang tertinggi pada Stasiun

Page 76: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

76

II-III (0,30-0,31). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam struktur komunitas

bivalvia yang teramati tidak terdapat jenis bivalvia yang mendominasi jenis

lainnya atau penyebaran bivalvia pada Stasiun I relatif sama, sedangkan

tingginya indeks dominansi mengindikasikan dalam struktur komunitas

terdapat jenis yang mendominasi jenis lainnya. Jenis bivalvia yang

mendominasi pada Stasiun II-III ditemukannya Tellina timorensis dan

Meretrix meretrix.

Nilai indeks dominansi berkisar antara nol sampai dengan satu.

Dimana semakin mendekati satu maka ada organisme yang mendominasi

ekosistem perairan, sebaliknya jika mendekati nol maka tidak ada jenis

organisme yang dominan (Odum, 1998).

Gambar 4.7. Grafik Indeks Dominansi (D) bivalvia antar stasiun

Peningkatan jumlah spesies bivalvia, tingginya kemerataan jumlah

individu dalam setiap jenis yang terjadi pada indeks keanekaragaman dan

keseragaman serta nilai indeks dominansi rendah secara tidak langsung

mencerminkan kestabilan ekologi (Stasiun I), sedangkan Stasiun II-III

menunjukkan kondisi ekologi belum stabil, karena masih terdapat jenis-

jenis bivalvia yang mendominasi pada stasiun tertentu.

Page 77: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

77

4. Analisis Dampak Ekologi

a. Jumlah Jenis dan Kepadatan Bivalvia

Berdasarkan hasil analisis diperoleh pengelompokkan (kemiripan)

struktur komunitas bivalvia. Dendrogram kemiripan struktur komunitas

bivalvia yang ditemukan selama penelitian pada beberapa kondisi

mangrove yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Dendrogram kemiripan struktur komunitas bivalvia yangditemukan selama penelitian pada beberapa jenis mangrove

Dari kelompok yang terbentuk menunjukkan ada kemiripan struktur

komunitas bivalvia antara Stasiun II dan III. Pemisahan yang tegas pada

Stasiun I, V dan IV (Gambar 4.8). Perbedaan ini lebih disebabkan karena

perbedaan dalam jumlah jenis yang ditemukan pada setiap stasiun serta

kondisi habitat yang berbeda-beda, misalnya kerapatan mangrove, namun

secara keseluruhan menunjukkan nilai kemiripan struktur komunitas antar

stasiun sebesar 80 %.

Page 78: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

78

Berdasarkan hasil uji t-berpasangan, jumlah jenis bivalvia antar

stasiun menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Gambar 4.9a),

sedangkan nilai Kepadatan bivalvia menunjukkan tidak berbeda nyata

antara daerah mangrove dan non-vegetasi (Stasiun I-III) (Gambar 4.9b)

dan pada Stasiun IV terdapat perbedaan yang nyata antara kepadatan

bivalvia di daerah mangrove dan non-vegetasi. Hal tersebut menunjukkan

bahwa mangrove secara tidak langsung mempengaruhi jumlah jenis dan

kepadatan bivalvia (Gambar 4.9).

Gambar 4.9. Jumlah Jenis Bivalvia (a); Kepadatan bivalvia (b) Uji t-berpasangan(paired sample t-test) pada alpha 5%.

( = Mangrove; = Non-Vegetasi)

Jumlah jenis bivalvia antara daerah mangrove dan non-mangrove

menunjukkan bahwa daerah mangrove memiliki jumlah jenis yang lebih

tinggi jika dibandingkan daerah yang non-vegetasi. Hal ini disebabkan

karena pada setiap Stasiun (I-IV) terdapat faktor abiotik yang sesuai

b

a

ns *

Page 79: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

79

untuk hidup dan berkembang bivalvia. Daerah mangrove merupakan

habitat yang paling sesuai untuk bivalvia, karena pada daerah ini banyak

mengandung bahan organik yang merupakan sumber makanan bivalvia

(pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit). Selain itu,

mangrove memiliki kadar organik yang tinggi. Tingginya bahan organik

di area tersebut memungkinkan sebagai tempat pemijahan (spawning

ground), pengasuhan (nursery ground) dan pembesaran atau mencari

makan (feeding ground) (Arief, 2003).

b. Perbandingan Indeks Ekologi Area Mangrove dan Non-Vegetasi

Berdasarkan pada nilai indeks ekologi menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan antara keanekaragaman, keseragaman dan

dominansi antara daerah mangrove dan non-vegetasi. Perbandingan

indeks keanekaragaman antara Stasiun I (mangrove alami) dan IV

(rehabilitasi) lebih tinggi dari area non-vegetasi. Stasiun I dan IV dapat

diinterpretasikan memiliki kondisi lingkungan yang lebih baik, karena

keanekaragaman yang tinggi mengindikasikan keragaman dan proporsi

dari masing-masing jenis semakin merata (Krebs, 1985), sedangkan

Stasiun II (25 tahun) dan III (10-17 tahun), memiliki keanekaragaman lebih

rendah dari area non-vegetasi. Adanya dominasi dari jenis-jenis tertentu,

seperti Tellina timorensis dan Meretrix meretrix yang dapat bertahan dari

perubahan lingkungan yang ekstrim menyebabkan rendahnya indeks

keanekaragaman (Gambar 4.10a dan b).

Page 80: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

80

Gambar 4.10. Perbandingan Indeks Ekologi antara Stasiun Mangrove denganNon-Vegetasi. a) Indeks Keanekaragaman (H’); b) IndeksKeseragaman (E); c) Indeks Dominansi (D).

Indeks dominansi pada Stasiun I lebih rendah dari non-vegetasi.

Rendahnya indeks dominansi menunjukkan bahwa pada Stasiun I

komunitas bivalvia relatif sama. Namun pada Stasiun II-III, nilai indeks

dominansi lebih tinggi dari area non-vegetasi. Fenomena ini menunjukkan

adanya jenis bivalvia yang mendominasi pada stasiun tersebut, seperti

Tellina timorensis dan Meretrix meretrix (Gambar 4.10c).

a

b

c

Page 81: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

81

Berdasarkan pada perbandingan indeks ekologi menunjukkan

bahwa di daerah mangrove yang relatif masih alami memiliki lingkungan

yang lebih baik/stabil karena tidak adanya dominansi jenis tertentu jika

dibandingkan pada stasiun rehabilitasi yang menunjukkan bahwa adanya

dominansi jenis tertentu pada setiap stasiun rehabilitasi, sehingga dapat

dikatakan bahwa kegiatan rehabilitasi belum mengembalikan fungsinya

seperti kondisi alami.

Untuk meningkatkan kekayaan jenis dan kemerataan sebaran

bivalvia maka diperlukan tindakan-tindakan pengelolaan dalam kegiatan

rehabilitasi mangrove, seperti :

Penggunaan berbagai jenis mangrove, dilihat dari perbedaan jenis

akar agar terdapat ruang bagi hewan bentik (khususnya bivalvia) dan

kondisi lingkungan yang sesuai bagi mangrove untuk tumbuh.

Melakukan penjarangan pada saat bibit bakau sudah tumbuh menjadi

anakan dan sudah tahan terhadap gempuran ombak ataupun arus.

c. Hubungan Tinggi-Bobot Bivalvia

Hasil analisis regresi linier antara tinggi-bobot cangkang bivalvia

berdasarkan stasiun pengamatan didapatkan masing-masing nilai

koefisien a dan b yang bervariasi (Tabel 4.6.)

Nilai b menunjukkan pola pertumbuhan cangkang, yang dimana jika

tinggi cangkang lebih cepat pertumbuhannya dari berat cangkang

mengindikasikan bahwa organisme tersebut kurus (b≠3) pertumbuhan ini

biasa disebut allometrik, sebaliknya jika pertumbuhan berat dan tinggi

cangkang seimbang (b=3) disebut isometrik (Effendie, 2002).

Page 82: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

82

Tabel 4.6. Nilai Koefisien a dan b berdasarkan analisis regresi linierhubungan Tinggi-Bobot Bivalvia

No Jenis Bivalvia

Stasiun

I II III IV NV

1 A. antiquata

b=2,538xa=- 0,072

b = 1,735xa = 0,439

b = 2,565xa = 0,084

b = 2,213xa = - 0,015

b = 2,315xa = 0,169

R² = 0,693b < 3

R² = 0,858b < 3

R² = 0,821b < 3

R² = 0,935b < 3

R² = 0,930b < 3

2 G. tumidum -

b = 2,002xa = 0,377

b = 1,826xa = 0,442

b = 3,340xa = - 0,243

-R² = 0,941b < 3

R² = 0,885b < 3

R² = 0,914b > 3

3 M. meretrix

b =1,989xa = 0,161

- - -

b = 2,629xa = 0,175

R² = 0,924b < 3

R² = 0,970b < 3

4 M. opima

b = 1,849xa = 0,001

- - -

b = 3,222xa = - 0,676

R² = 0,848b < 3

R² = 0,926b = 3

5 P. bengalensis

b = 1,390xa = 0,761

- - -

b = 2,138xa = 0,052

R² = 0,794b < 3

R² = 0,491b < 3

6 T. timorensis

b = 2,371xa = - 0,219R

2= 0,961

b < 3

b = 2,273xa = - 0,087R

2= 0,947

b > 3

- - -

Nilai b yang diperoleh mengindikasikan model pertumbuhan

cangkang allometrik negatif (b<3) (Lampiran 4c). Koefesien korelasi yang

didapat dari tinggi dan bobot cangkang sangat bervariasi, hal ini diduga

karena makanan yang melimpah dan kondisi lingkungan mendukung,

sehingga menyebabkan masing-masing variabel berkembang secara

normal. Menurut Currey (1988), bahwa pertumbuhan berat pada bivalvia

yang hidup di daerah pasang surut sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan

dimensi cangkangnya. Lebih lanjut dikatakan oleh Walne (1979),

Pertumbuhan tinggi cangkang yang lebih besar dari pada berat adalah

sebagai strategi agar supaya tetap survive/bertahan dalam kondisi

lingkungan yang ekstrem. Hal ini seperti yang dinyatakan Seed, (1986)

Page 83: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

83

dalam Gimin et al. (2004), untuk melindungi badan dari serangan

pemangsa dan kondisi-kondisi lingkungan kurang baik, kerang

memerlukan cangkang tebal yang dapat tertutup dengan rapat.

Gambar 4.11. Hubungan Tinggi-Berat Cangkang Bivalvia. Anadaraantiquata (a); Gafrarium tumidum (b); Meretrix meretrix(c); Tellina timorensis (d); Marcia opima (e); Polymesodabengalensis (f)

a b

c d

e f

Page 84: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

84

Berdasarkan nilai koefisien regresi (nilai b = kemiringan garis

regresi) menjelaskan bahwa Anadara antiquata (Gambar 4.11a) pada

Stasiun III memiliki kondisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan

stasiun lainnya. Hal ini disebabkan karena pada Stasiun III memiliki

kandungan bahan organik terlarut (BOT) yang tinggi, yaitu 15,52% dan

merupakan kondisi yang baik bagi kelangsungan hidup bivalvia. Menurut

Baslim (2001), bahwa kandungan BOT di dalam sedimen > 15 %,

tergolong subur.

Nilai b pada Gafrarium tumidum (Stasiun IV) (Gambar 4.11b) lebih

tinggi jika dibandingkan pada Stasiun II-III. Hal ini terkait pada kerapatan

mangrove dengan substrat pasir berlumpur. Kondisi lingkungan

berpengaruh pada ketersediaan makanan (misalnya : pengaruh pasang-

surut) ketika surut air tawar sungai membawa nutrien begitupun

sebaliknya ketika pasang. Melalui mekanisme pasang surut (pasut) dan

aliran sungai terciptalah pencampuran kedua massa air tawar dan air laut

secara intensif di estuaria.

Selain itu, adanya hutan mangrove yang memiliki produksi primer

tinggi di sungai besar menyebabkan kandungan detritus organik yang

tinggi sehingga produktivitas sekunder di estuaria menjadi tinggi pula.

Oleh karena itu, habitat estuaria menjadi sangat produktif hingga dapat

berfungsi sebagai daerah pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-

larva dan juvenile dari berbagai jenis ikan, udang dan kerang-kerangan

dan daerah penangkapan (fishing ground) (Dahuri, 2003).

Page 85: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

85

Meretrix meretrix, Marcia opima dan Polymesoda bengalensis

memiliki nilai koefiesien pertumbuhan lebih besar di stasiun non-vegetasi

(NV) jika dibandingkan pada Stasiun I (Gambar 4.11c,e dan f). Hal ini

terkait pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi dan kondisi

lingkungan yang optimal untuk menunjang proses fisiologis. Adanya

pengaruh pasang-surut secara tidak langsung telah membawa bahan-

bahan organik yang dibutuhkan oleh bivalvia, mengingat bahwa bivalvia

merupakan organisme yang bersifat filter feeder. Menurut Nybakken

(1992), bahwa bahan organik dan sedimen dasar memegang peranan

penting, yaitu sebagai kontrol kelimpahan, metabolisme dan distribusi

mikroorganisme di laut dan di pantai. Russel & Hunter (1983),

menjelaskan bahwa kerang akan tumbuh lebih baik pada daerah dengan

kandungan bahan organik yang tinggi.

Pada umumnya pertumbuhan suatu individu sangat bergantung

pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi dan kondisi

lingkungan yang optimal untuk menunjang proses fisiologis. Kandungan

organik berkorelasi searah terhadap keanekaragaman bivalvia, semakin

tinggi kandungan organik pada substrat maka semakin tinggi pula

keanekaragaman bivalvia. Kandungan bahan organik terlarut dalam

sedimen mempengaruhi pertumbuhan, kehadiran dan kepadatan

organisme (Levinton, 1982).

Page 86: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

86

5. Keterkaitan Struktur Komunitas Bivalvia dengan Lingkungan

Keterkaitan struktur komunitas bivalvia dengan lingkungan dikaji

dengan menggunakan analisis multivarian Canonical Correspondence

Analysis (CCA) dapat dilihat pada Gambar 4.12.

Hasil analisis CCA menunjukkan bahwa informasi sebaran bivalvia

dengan parameter lingkungan terpusat pada sumbu 1 (57,14%), sumbu 2

(28,84%), dan sumbu 3 (9,45%). Ketiga sumbu yang digunakan dapat

menyatakan nilai 95,53% dari keragaman data.

Gambar 4.12. Hasil analisis CCA jenis makrozoobentos yang dominankaitannya dengan lingkungan

Page 87: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

87

Dari hasil analisis ketiga sumbu utama didapatkan 4 kelompok

hubungan antara bivalvia dengan parameter lingkungan, yaitu sebagai

berikut :

1. Kelompok I

Kelompok I merupakan daerah Tongke-Tongke-1 dan Tongke-

Tongke-2, yang dicirikan oleh bivalvia jenis Gafrarium Tumidum

dengan parameter lingkungan penciri adalah pHtanah (7,25) dan suhu

(28oC) yang tinggi.

Menurut Hawkes (1978) nilai kisaran pH 5,0–9,0 menunjukkan adanya

kelimpahan dari organisme makrozoobentos khususnya dari kelas bivalvia.

pH tanah pada ekosistem mangrove akan meningkat sebagai akibat dari

terlarutnya garam-garam air laut dalam tanah. Sedangkan kadar suhu yang

tinggi pada kelompok I merupakan kisaran suhu yang layak bagi

kelangsungan hidup bivalvia, yaitu suhu 25-36oC merupakan nilai kisaran

yang dapat ditolerir oleh makrozoobentos karena dapat mendukung hidup

yang layak dalam habitat mereka, khususnya dalam ekosistem mangrove

(Makkarumpa, 2005).

2. Kelompok 2

Kelompok 2 adalah daerah Lappa, dengan bivalvia penciri adalah

Polymesoda bengalensis (PB), Dosinia insularsum (DI), Siliqua sp.

dan Marcia opima (MO). sedangkan Parameter lingkungan penciri,

yaitu BOT, Eh dan pHair yang tinggi.

Tingginya kandungan BOT (15,52) menunjukkan bahwa ekosistem

mangrove di sekitar Lappa (Stasiun I) memiliki tingkat kesuburan yang

tergolong tinggi. Eh tanah juga menunjukkan kisaran yang tinggi, yaitu

Page 88: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

88

107,30 dan pHair sebesar 7,94. Tingginya kandungan BOT, Eh dan pHair

mengindikasikan bahwa perairan cukup subur.

3. Kelompok 3

Kelompok 3 adalah daerah non-vegetasi, yang menjadi penciri dari

kelompok ini adalah jenis substrat dengan kandungan pasir yang

tinggi (52%). Bivalvia penciri pada kelompok ini, yaitu Anadara

antiquata (AA), Meretrix meretrix (MM) dan Tellina timorensis (T2).

Bivalvia penciri dari stasiun ini dapat hidup pada daerah non-vegetasi

dengan substrat pasir. Hal tersebut juga didukung oleh Sitorus (2008)

bahwa jenis Tellina sp. merupakan jenis bivalvia yang dapat hidup

pada substrat berpasir, begitupun pada Anadara antiquata dan

Meretrix meretrix.

4. Kelompok 4

Kelompok 4 adalah panaikang dan Tongke-Tongke-2. Bivalvia

penciri, yaitu Mytilus edulis (ME), Mactra violacea (MV), Trachyradium

subrogosum (TS) dan Semele cordiformis (SC). Parameter lingkungan

penciri adalah kondisi substrat berupa liat dan salinitas rendah.

Organisme penciri pada kelompok ini merupakan organisme yang

mempunyai ketahanan terhadap perubahan salinitas, karena

organisme tersebut memiliki kemampuan untuk menutup rapat

cangkangnya sehingga dapat menyimpan air ketika sedang surut.

Page 89: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

89

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian, maka dapat di ambil beberapa

kesimpulan, yaitu :

1. Lokasi mangrove yang relatif masih alami (Lappa) memiliki kekayaan

jenis yang lebih tinggi (4 jenis) dengan kondisi rapat (3067 ind/ha),

dibandingkan dengan daerah yang merupakan lokasi rehabilitasi 1

jenis. Kerapatan mangrove di area rehabilitasi berkisar 5150-7088

ind/ha dengan kondisi sangat rapat.

2. Ditemukan 13 jenis bivalvia di area mangrove didominasi oleh jenis

Anadara antiquata dan Gafrarium tumidum. Jenis lain yang dominan

juga ditemukan pada lokasi Tongke-Tongke, yaitu Tellina timorensis

dan Meretrix meretrix. Mytilus edulis merupakan jenis lain yang

mendominasi pada lokasi Panaikang. Adapun jumlah jenis dan

kepadatan bivalvia bervariasi dan berbeda nyata antarstasiun. Jumlah

jenis dan kepadatan tertinggi ditemukan pada lokasi Lappa dan

Panaikang dengan nilai masing-masing 6,50 jenis dan 57,5 ekor/m2.

3. Indeks ekologi bivalvia pada mangrove yang relatif alami masih lebih

bagus dibandingkan dengan mangrove hasil rehabilitasi. Hasil

rehabilitasi mangrove hanya dapat meningkatkan jumlah jenis bivalvia,

namun kepadatan bivalvia tidak nyata meningkat, bahkan pada

daerah rehabilitasi memiliki nilai indeks ekologi yang lebih rendah

Page 90: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

90

yang ditunjukkan oleh keanekaragaman yang lebih rendah dan indeks

dominansi yang lebih tinggi. Dengan demikian, mangrove rehabilitasi

meskipun telah berumur 8-25 tahun, namun belum bisa

mengembalikan fungsi biologisnya selayaknya mangrove yang relatif

masih alami.

4. Daerah mangrove yang masih alami dicirikan oleh lebih beragamnya

bivalvia dengan parameter lingkungan yang mencirikan BOT, Eh dan

pH air yang tinggi, sedangkan daerah yang direhabilitasi dicirikan oleh

lebih sedikit bivalvia penciri dengan karakter lingkungan pH tanah dan

suhu yang tinggi.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada

beberapa saran yang diajukan, yaitu :

1. Perlu diupayakan penanaman mangrove jenis lain namun perlu

disesuaikan dengan karakteristik lingkungannya.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fisiologis bivalvia,

terutama dalam hal reproduksi dan siklus hidup bivalvia sehingga

akan diketahui kecenderungan bivalvia terhadap habitat tertentu yang

dipengaruhi oleh kondisi fisika kimia lingkungan.

Page 91: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

91

DAFTAR PUSTAKA

Amri, A. 2005. Mangrove Plantation and Land Property Rights : A Lessonfrom The Coastal rea of South Sulawesi, Indonesia. Southeast AsianStudies.

Anonim. 2005. Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan bakau (Mangrove)Sinjai. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.

Anonim. 2005. Petunjuk Praktikum Ekotoksikologi dan PengendalianPencemaran Perairan. Laboratorium Ekologi Perairan. JurusanPerikanan. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta.

Anonim. 2010. Penyebaran Luas Hutan Bakau Tahun 2010 di KabupatenSinjai. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai.

Arief, A. M. P. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. PenerbitKanisius. Yogyakarta.

Barnes, R.D. and E.E. Ruppet. 1994. Invertebrate Zoology. SixthEdition. United States of Amerika. P. 460.

Barth, R. H. 1982. The Invertebrate World. EBS Colleage PublishingUnited States of America. P. 267-282

Baslim. 2001. Hubungan Beberapa Parameter Oseanografi denganKelimpahan Makrozoobentos di Perairan Muara Sungai TalloKecamatan Ujung Tanah. Sulawesi Selatan.

Bengen, D. R., Widodo dan S. Haryadi., 1995. Tipologi Fungsional

Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Perairan Pesisir

Muara Jaya, Bekasi. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian IPB.

Bogor.

Bengen, D. R. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan PengelolaanEkosistem Mangrove. PKSPL-IPB

Brower. J. E., J. H. Zar and C. Von Ende. 1990. Field and LaboratoryMethods for General Ecology. Wm. C. Brown Publiser, USA.

Currey, J.D. 1988. Shell From and Strength. In; E.R. Trueman and M.R.Clarke (Eds), The Molluska; Form and Function. Academic Press,London. pp 183–210.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. PengelolaanSumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.Pradnya Paramita, Jakarta.

Page 92: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

92

Deasy, A. A. 2004. Kajian Pola Pemanfaatan Mangrove di DesaTongke-Tongke dan Kel. Lappa Kabupaten Sinjai. Skripsi.Fakultas Ilmu Kelautan dan Kelautan. Universitas Hasanuddin.Makassar.

Effendie, M.I., 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.Yogyakarta. 163hal.

Gimin, R., R. Mohan., L.V. Thinh., and A.D. Griffiths. 2004. TheRelationship of dimension and shell volume to live weight and softtissue weight in the mangrove clam, Polymesoda erosa (Solander,1786) from notherm Australia. Articles Naga, Worldfish CentreQuarterly. Vol. 27 No. 3 & 4 Jul-Dec 2004. pp. 32-35

Sitorus. D. 2008. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia SertaKaitannya Dengan Faktor Fisik-Kimia Di Perairan Pantai LabuKabupaten Deli Serdang. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor

FAO Fisheries. 2010. Mytilus edulis. http://www.fao.org/. (diakses tanggal02 Juli 2011).

Hawkes, H. A. 1978. Invertebrates as Indicators of River Water Qualitydalam A. James dan L. Evison (Ed.) Biological Indicator of WaterQuality. John Willey & Sons. Toronto.

Hickman P.C. 1996. Integrated Principles of Zoology. Third Edition,America. United States of America. P. 356-358.

Jabang, N., S. Jatna., M.P. Patria. dan A. Budiman. 2008. Kepadatandan Keanekaragaman Kerang Intertidal (Mollusca : Bivalve) diPerairan Pantai Sumatera Barat. Prosiding Seminar NasionalSains dan Teknologi-II. Universitas Lampung.

Jayabal, R., and M. Kalyani. 1986. Age and Growth of The Estuary ClamMeretrix meretrix (L) Inhabiting The Vellar Estuary. Bulletin of TheNational Institute of Oceanography.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004.Kriteria Baku dan Pedoman Penetuan Kerusakan Bakau.

Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distributionsand Abundance. Ed. New York: Harper and Row Publishers. 654pp.

Levinton, J. S. 1982. Marine Biology. Prentice Hall Inc. New Jersey. USA.526 p.

Page 93: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

93

Makkarumpa, A. 2005. Struktur Komunitas MakrozoobentosHubungannya dengan Karakteristik Habitat pada EkosistemMangrove di Perairan Larea-rea Kabupaten Sinjai. Skripsi.Fakultas Ilmu Kelautan dan Kelautan. Universitas Hasanuddin.Makassar.

Maqbool, T. K. 1998. Studies on the Biology of the Clam Marcia opimaGmelin From Kayamkulan Lake. Cochin University of Scienceand Technology. Cochin.

Meyer, E., and B. Nikerd. 2008. Ecological Importance ofChemoautotrophic Lucinids Bivalves In A Peri-MangroveCommunity in Eastern Thailand. The Raffles Bulletin of Zoology.National University of Singapore.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan danLaboratorium. Alih Bahasa Oleh: Y.R. Kostoer. UniversitasIndonesia Press. Jakarta. Hlm 195.

Munisa. 2003. Pembangunan Hutan Mangrove berbasis masyarakat dantantangannya (studi kasus desa Tongke-Tongke kabupaten sinjai).Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Nybakken, J. W. 2007. Biologi Laut, Suatu Pendektan Ekologis. PTGramedia Pustaka, Jakarta 458 hlm. (diterjemahkan oleh M.Eidmann, et al).

Odum, E, P., 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada. University Press,Washington D.C.

Phillips. D.J.H. 1980. Quantitative Aquatic Biological Indicator their use to

monitor trace metal and organochlorine pollution. London Applied

Science.

Prawirohartono, S. 2003. Sains Biologi 1. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Robert, D. and Soemodiharjo. 1982. Shallow Waters Marine Mollusca ofNorth-West Java. LON-LIPI. Jakarta. : p. 312-332.

Rosenberg, D.M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoringand Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York.London. Hlm. 125-127.

Page 94: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

94

Russel, W. D. and Hunter. 1983. The Mollusca. Volume 6, Ecology.Academic Press, Inc. London.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT. Rineka Cipta.Jakarta. Hlm. 83-87.

Shiomi, K., A. Shinagawa., T. Igarashi., K. Hirota., H. Yamanaka., and T.Kikuchi. 1983. Contents and Chemical Forms of Arsenic inShellfishes In Connection with Their Feeding Habits. Bulletin of theJapanese Society of Scientific Fisheries. Department of FoodScience and Technology. Tokyo University of Fisheries. Konan,Tokyo.

Ricardo, L., L. Simone. and S. Wilkinson. 2008. ComparativeMorphological Study of Some Tellinidae from Thailand (Bivalvia :Tellinoidea). The Raffles Bulletin Of Zoology. National University OfSingapore. Singapore.

Sudarja, Y. 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dariHulu ke Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik,Dermaga. Kab Bogor. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB.Bogor.

Sumich, J.L. 1992. Marine Life. Fifth Edition. Wm. C. Brown Publisher.United State of America. P. 17, 225-236.

Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardiatno, dan M. Krisanti. 2005. Avertebrata

Air I. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ter Braak, C. J. F. 1986. Canonical Correspondence Analysis: A New

Eigenvector Technique for Multivariat Direct Gradient Analysis.

Ecology 67: 1167-1179.

Umaryati, B.S. 1990. Taksonomi Avertebrata. Cetakan Pertama. PenerbitUniversitas Indonesia Press. Jakarta. Hlm. 77-90.

USDA. 2009. Soil Survey Manual. United States Department ofAgriculture. soils.usda.gov.

Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset.Yogyakarta. Hlm. 98.

Wahyu, S. L, dan M. Widyastuti. 1998. Identifikasi dan Pengukuran

Parameter-Parameter Fisik Lapangan. Kerjasama Fakultas

Geografi-UGM dan Bakosurtanal-BANGDA. Dalam Rangka Proyek

MREP. Makassar, Sulawesi Selatan.

Page 95: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

95

Walne, D.R. 1979. Culture of Bivalve Mollusc. 2nd edition. Fishing NewsBook Ltd. Farnham Survey. pp 46–66.

Weisz, P. B. 1973. The Science of Zoology. Second Edition. Mc.Graw-Hill, Inc, United States of America. P. 125.

Winanto, T. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. Cetakan 1.Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya. Hlm. 17-24.

Page 96: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

96

LAMPIRAN

Page 97: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

97

Lampiran 1. Gambar Kondisi dan Klasifikasi Mangrove

Stasiun I (Mangrove Relatif Alami)

Stasiun II (Tongke-tongke Relatif jauh dari aktivitas manusia)

Page 98: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

98

Stasiun III (Tongke-tongke Relatif dekat aktivitas manusia)

Stasiun IV (Panaikang)

Page 99: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

99

Lampiran 2. Gambar jenis-jenis dan Klasifikasi bivalvia yangditemukan pada lokasi penelitian

Polymesoda bengalensis Meretrix meretrix

Gafrarium tumidum Mactra violacea

Mytilus edulis Siliqua sp.

2 cm

2 cm

2 cm

2 cm 2 cm

Page 100: ANALISIS STRUKTUR KOMUNITAS BIVALVIA PADA …

100

Semele cordiformis Anadara antiquata

Placamen chlorotica Marcia opima(www.sealifebase.org) (www.sealifebase.org)

Tellina timorensis Dosinia insularsum(www.sealifebase.org) (www.sealifebase.org)

Trachycardium subrogosum(www.sealifebase.org)

2 cm

2 cm

2 cm

2 cm