analisis tingkat ketersediaan dan daya terima … · makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Anak Usia Sekolah
Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir saat individu
menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13-14 tahun. Usia sekolah ini
merupakan awal seorang anak belajar bertanggung jawab terhadap sikap dan
perilakunya (Hurlock 1980). Terjadi perkembangan sosialisasi yang menonjol
pada anak selama periode usia sekolah. Di antaranya adalah pergaulan anak
menjadi lebih luas, tidak hanya terbatas hanya dengan anggota keluarga di
rumah. Masa sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak
bergaul dengan teman sebayanya. Selain itu, pada usia sekolah terjadi
perkembangan intelegensi, minat, emosi, dan kepribadian. Perkembangan pada
aspek-aspek tersebut membentuk karakteristik khas pada anak usia sekolah
(Akbar 2005).
Menurut teori perkembangan Piaget diacu dalam Hidayat (2004), anak
usia 7-12 tahun termasuk dalam tahap konkret operasional. Hal yang termasuk
tahap ini diantaranya yaitu kemampuan memahami konsep-konsep, hubungan
sebab akibat, hubungan yang majemuk, serta kemampuan diri yang menyangkut
proses berpikir, daya ingat, pengetahuan, tujuan, dan aksi yang meningkat.
Karakteristik anak sekolah di antaranya yaitu gigi susu yang berangsur
tanggal digantikan dengan gigi permanen, serta lebih aktif memilih makanan
yang disukai. Kebutuhan energi anak golongan umur 10-12 tahun relatif lebih
tinggi daripada anak golongan 7-9 tahun dikarenakan pertumbuhan yang lebih
cepat, terutama penambahan tinggi badan. Kebutuhan energi anak laki-laki mulai
umur 10-12 tahun berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak
melakukan aktivitas fisik sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan
anak perempuan biasanya sudah mulai haid, sehingga membutuhkan protein
dan zat besi yang lebih tinggi (RSCM dan Persagi 1990).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak sekolah menurut
Moehji (1980) adalah: (1) Anak dalam usia sekolah sudah dapat memilih dan
menentukan makanan apa yang disukai dan tidak disukai, sehingga seringkali
anak-anak salah memilih terutama jika orang tua tidak memberikan informasi
mengenai makanan sehat dan bergizi. (2) Anak dalam usia sekolah memiliki
kebiasaan untuk jajan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pergaulan dengan teman
di lingkungan sekolah. (3) Anak tiba di rumah dalam keadaan letih karena belajar
dan bermain di sekolah sehingga kurang nafsu makan sesampainya di rumah.
6
Pilihan makanan kesukaan anak sangat dipengaruhi oleh teman, orang tua, serta
media massa melalui iklan/reklame.
Penyelenggaraan Makanan di Sekolah
Penyelenggaraan makanan di sekolah termasuk dalam pelayanan gizi
makanan kelompok yang bertujuan untuk menyediakan makanan bergizi bagi
anak di sekolah dalam rangka meningkatkan status gizi dan kesehatannya
(Depkes 1991). School-feeding merupakan tindakan umum yang biasa
dilaksanakan untuk memperbaiki gizi anak sekolah. Praktik penyelenggaraan
makanan di sekolah sudah lama dan sudah banyak diselenggarakan di negara-
negara baik di Eropa maupun Asia. Bentuk dan cara penyelenggaraan makanan
berbeda-beda untuk masing-masing negara (Moehji 1980).
Penyelenggaraan makanan di sekolah adalah suatu rangkaian kegiatan
mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan pada
siswa, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui
pemberian makan siang di sekolah. Penyelenggaraan makanana anak sekolah
diselenggarakan di sekolah, dapat dilakukan oleh sekolah itu sendiri atau our-
sourcing ke pihak lain/jasa boga yang mampu mengadakan penyelenggaraan
makanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku di sekolah yang
bersangkutan (Sinaga 2007).
Tujuan dari penyelenggaraan makanan di sekolah yaitu menyediakan
makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan serta
pelayanan yang layak dan memadai bagi anak sekolah yang membutuhkan.
Tujuan utama yang langsung dapat dilihat pada penyelenggaraan makanan anak
sekolah adalah memenuhi kebutuhan gizi anak selama berada di sekolah, agar
dapat meningkatkan status gizi yang baik sehingga mampu mengikuti kegiatan
belajar mengajar yang diberikan di sekolah dengan baik juga (Sinaga 2007).
Ciri-ciri penyelenggaraan makanan anak sekolah antara lain yaitu
dilaksanakan selama anak berada di sekolah. Penyelenggaraan makanan ini
dapat dilakukan oleh sekolah sendiri/out-sourcing. Ketersediaan makanan di
sekolah setidaknya memenuhi kebutuhan gizi anak 1/3 dari kecukupannya dalam
sehari. Makanan yang diberikan di sekolah tidak berorientasi kepada
keuntungan, melainkan lebih diarahkan untuk pendidikan dan perubahan perilaku
anak terhadap makanan, juga memiliki standar sanitasi dan kebersihan yang
tinggi. Pemilihan menu yang disajikan di sekolah disesuaikan dengan
kesukaan/preferensi anak serta memiliki lokasi/tempat makan yang dibuat
7
sedemikian rupa sehingga anak dapat mengembangkan kreasi dan dapat
mendiskusikan pelajarannya (Sinaga 2007).
Menurut Sizer dan Whitney (2008), makanan selingan (snack) sebaiknya
tidak lebih dari 200 Kalori atau sekitar 10% dari kebutuhan energi siswa,
sehingga dalam sehari selingan menyumbangkan energi sebanyak 20%. Sisanya
80% diperoleh dari makan pagi, siang, dan malam dengan perbandingan 1:2:2
(Moehyi 1992). Menurut Mahan dan Stump (2004), makanan yang disajikan
dalam penyelenggaraan makanan sebaiknya menyumbangkan energi 1/3 dari
kebutuhan energi total dan zat gizi lainnya.
Manajemen Penyelenggaraan Makanan Institusi
Penyelenggaraan makanan adalah sebuah ilmu dan seni perencanaan,
persiapan, pemasakan, dan pelayanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Jika
dilihat dalam sebuah sistem, penyelenggaraan makanan adalah penggabungan
dari beberapa komponen/bagian yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan.
Palacio dan Theis (2009) mengungkapkan bahwa tujuan utama penyelenggaraan
makanan adalah untuk menyajikan makanan agar konsumen/klien merasa puas.
Menurut Moehyi (1992) penyelenggaraan makanan institusi mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (1) Penyelenggaraan makanan dilakukan oleh institusi itu sendiri
dan tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. (2) Dana yang diperlukan untuk
penyelenggaraan makanan sudah ditetapkan jumlahnya sehingga
penyelenggaraan harus menyesuaikan pelaksanaannya dengan dana yang
tersedia. (3) Makanan diolah dan dimasak di dapur yang berada di lingkungan
tempat institusi itu berada. (4) Hidangan makanan yang disajikan diatur dengan
menggunakan menu induk (master menu) dengan siklus mingguan atau sepuluh-
harian. (5) Hidangan makanan yang disajikan tidak banyak berbeda dengan
hidangan yang biasa disajikan di lingkungan keluarga.
Penyelenggaraan makanan institusi terdiri atas dua macam yaitu
penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada keuntungan (bersifat
komersial) dan penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pelayanan
(bersifat non komersil). Penyelenggaraan makanan yang berorientasi pada
keuntungan dilaksanakan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-
besarnya. Bentuk usaha ini seperti restaurant, snack bar, cafetaria, catering.
Usaha penyelenggaraan makanan ini tergantung pada bagaimana menarik
konsumen sebanyak-banyaknya dan manajemennya harus bisa bersaing dengan
institusi yang lain (Moehyi 1992).
8
Penyelenggaraan makanan non komersil dilakukan oleh suatu institusi
baik dikelola pemerintah, badan swasta ataupun yayasan sosial yang tidak
bertujuan untuk mencari keuntungan. Bentuk penyelenggaraan ini biasanya
berada di dalam suatu tempat yaitu asrama, panti asuhan, rumah sakit,
perusahaan, lembaga kemasyarakatan, sekolah dan lain-lain. Frekuensi makan
dalam penyelenggaraan makanan yang bersifat non komersil ini 2-3 kali dengan
atau tanpa selingan (Moehyi 1992).
Manajemen penyelenggaraan institusi adalah penyelenggaraan dan
pelaksanaan makanan dalam jumlah banyak (melebihi ukuran rumah tangga).
Tujuan manajemen penyelenggaraan makanan institusi yaitu menyediakan
makanan yang berkualitas tinggi yang dipersiapkan dan dimasak secara baik
serta dihidangkan secara menarik; pelayanan yang tepat, cepat, dan ramah; gizi
seimbang dengan menu yang bervariasi; harga tepat dan layak sesuai dengan
pelayanan yang diberikan; serta fasilitas yang cukup dan nyaman (Yuliati &
Santoso 1995).
Kegiatan penyelenggaraan makanan mencakup kegiatan/subsistem
penyusunan anggaran belanja makanan, penyediaan/pembelian bahan
makanan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, persiapan
dan pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan,
pelaporan, dan evaluasi, yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan
bagi kelompok masyarakat di suatu institusi (Depkes 1991). Fungsi manajemen
menurut Terry diacu dalam Yuliati & Santoso (1995) dibagi menjadi 4 yaitu
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating),
dan pengawasan (controlling).
Perencanaan
Kegiatan perencanaan yang dilakukan pada usaha penyelenggaraan
makanan dimulai dengan menentukan garis-garis besar untuk dapat memulai
usaha. Pada dasarnya kegiatan perencanaan ini harus dapat merumuskan suatu
pekerjaan yang akan dilakukan (Yuliati & Santoso 1995).
9
Perencanaan Menu. Menurut Yuliati & Santoso (1995), menu adalah susunan
makanan yang lengkap yang terdiri dari berbagai jenis makanan yang disajikan
pada waktu tertentu, misalnya pagi, siang, dan malam. Salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan makanan institusi adalah
tersedianya menu yang baik, secara kualitas maupun kuantitas. Untuk itu menu
perlu direncanakan secara matang. Perencanaan menu merupakan proses yang
bertahap yaitu terdiri dari apa yang akan disajikan dan kapan makanan itu
disajikan. Perencanaan menu yang baik antara lain berfungsi agar konsumen
menjadi senang dan puas karena kualitas maupun kuantitas makanan yang
disajikan sesuai dengan keinginan dan seleranya, bagi pegawai akan
memudahkan melaksanakan pekerjaan yang sudah pasti, dan bagi pengelola
akan memudahkan terlaksananya segala sesuatu sesuai dengan rencana
sehingga tujuan institusi yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Dalam merencanakan menu harus sesuai dengan tipe institusi, bahan
makanan yang mudah didapat di pasar atau musimnya, anggaran yang tersedia,
dan sesuai dengan kemampuan pekerja. Selain itu, pegawai yang ditugaskan
merencanakan menu harus mengetahui pengetahuan yang luas tentang seluk
beluk bahan pangan, penyediaan bahan pangan meliputi jenis bahan pangan
yang tersedia di pasar dan sesuai dengan musim, fluktuasi harga bahan pangan
di pasar, serta metoda dan prosedur mempersiapkan makanan mulai dari
belanja, pengolahan, sampai dengan penyajian (Yuliati & Santoso 1995).
Perencanaan menu disusun oleh suatu tim yang terdiri dari ahli gizi, juru
masak, pengelola dan konsumen. Menu dapat disusun untuk satu rangkaian
waktu 5, 7, 10, atau 21 hari dan selanjutnya diputarkan (siklus) selama 3 atau 6
bulan setelah itu diganti dengan rangkaian menu baru. Harus ada standar untuk
setiap porsi hidangan, sehingga macam dan jumlah bahan makanan per porsi
menjadi jelas. Standar porsi dinyatakan dalam berat bersih bahan makanan yang
digunakan. Harus ada resep standar, dilengkapi dengan macam, jumlah, harga
bumbu yang dapat dikembangkan di berbagai institusi, serta jumlah porsi per
satu resep (Depkes 1991).
10
Perencanaan Biaya. Menurut Depkes RI (1991), perencanaan biaya atau
anggaran belanja untuk suatu penyelenggaraan makanan dalam jumlah banyak
seharusnya direncanakan setahun sebelumnya dan umumnya didasari atas
pengalaman-pengalaman masa lalu. Anggaran belanja yang diperhitungkan
adalah untuk bahan makanan, peralatan, tenaga, dan pengeluaran lain yang
disebut biaya overhead (bahan bakar, air, listrik, kerusakan, sabun, pembersih,
dsb).
Pengorganisasian
Kegiatan pengorganisasian meliputi identifikasi kegiatan dan tujuan dengan
jelas, pembagian tugas sesuai dengan keterampilan dan keahlian masing-masing
atau penempatan tenaga yang sesuai dengan bidangnya, pendelegasian tugas
dan tanggung jawab dari atasan ke bawahan sehingga masing-masing akan
mendapat wewenang dan beban kerja yang sesuai. Adanya pendelegasian tugas
akan menggambarkan garis instruksi dari atas ke bawah dan garis pertanggung
jawaban dari bawah ke atas juga jelas (Yuliati & Santoso 1995).
Dalam mengorganisir penyelenggaraan makanan, baik dalam jumlah kecil
maupun besar dibutuhkan berbagai jenis tenaga yang dapat dibedakan atas
pegawai yang ahli dan pegawai yang tidak ahli. Pegawai yang ahli adalah tenaga
yang telah mendapatkan pendidikan dasar khusus seperti Sarjana Gizi, Sarjana
Muda Gizi, serta tenaga menengah gizi atau Pembantu Ahli Gizi/ Pengatur Gizi.
Tenaga-tenaga ini bertanggung jawab atas pengelolaan makanan banyak di
berbagai institusi. Kebutuhan akan tenaga ahli ini belum ada standar yang pasti,
tetapi sudah disepakati bahwa untuk institusi yang menyediakan makanan 300
porsi diperlukan seorang Sarjana Muda Gizi dan dua Pengatur Gizi. Tenaga yang
tidak ahli adalah juru masak, pembersih, tenaga administrasi, dan tenaga khusus
bila diperlukan (Muchatob et al. 1991).
Pelaksanaan
Untuk melaksanakan secara fisik kegiatan dan aktivitas penyelenggaraan
makanan, maka manajer atau pimpinan akan mengambil tindakan antara lain
memberi pengarahan kepada bawahan agar dapat bekerja dengan lancar,
memberikan konsultasi atau nasehat bila diperlukan, mengadakan supervisi yang
efektif untuk unit khusus atau keseluruhan, dapat memotivasi bawahan sehingga
mereka bersemangat dalam bekerja (Yuliati & Santoso 1995).
Menurut Fardiaz (2000), selama pengolahan, penanganan, penyimpanan,
dan transportasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) bahan makanan
11
dan ingredien harus terpisah dari bahan-bahan berbahaya, yaitu menghindari
dari kontaminasi oleh hama, bahan-bahan fisik, kimia, dan mikroba yang
membahayakan kesehatan, (2) bahan-bahan yang tidak terpakai harus dibuang
dengan cara yang higienis, dan (3) perhatian harus diberikan untuk mencegah
terjadinya kerusakan atau kebusukan makanan, termasuk pengendalian suhu,
kelembaban, dan pengendalian lainnya. Selain itu, fasilitas dan prosedur yang
tepat harus dilakukan untuk menjamin bahwa pembersihan dan pemeliharaan
dilakukan secara efektif, serta tingkat higienitas karyawan dipertahankan dengan
baik.
Pembelian Bahan Makanan. Menurut Depkes RI (1991), dalam pembelian
bahan makanan diperhatikan kebijakan institusi, standar bahan makanan yang
ditetapkan, penetapan spesifikasi bahan makanan, serta penetapan syarat jual
beli bahan makanan. Standar bahan makanan adalah ketetapan macam dan
jumlah bahan makanan yang dipakai sebagai patokan dalam penyediaan
makanan yang disusun atas dasar kecukupan gizi yang telah ditetapkan.
Prosedur pembelian bahan makanan dapat berupa pelelangan terbuka,
pelelangan terbatas, penjualan langsung, pengadaan langsung, pembelian ke
pasar, atau pembelian musyawarah. Penetapan syarat jual beli bahan makanan
yaitu cara penanganan, cara pengiriman, waktu pengiriman, cara pembayaran,
dan sanksi pelanggaran yang disepakati.
Penerimaan Bahan Makanan. Penerimaan bahan makanan didasarkan atas
pesanan bahan makanan, yang menyatakan macam, jumlah, dan kualitas bahan
makanan. Pada saat menerima bahan makanan, pesanan tersebut diteliti dan
diamati pula cara pengepakan/pembungkusan/penanganan menurut yang
tercantum dalam perjanjian jual beli, termasuk ketepatan waktu pengiriman
bahan makanan. Selanjutnya bahan makanan dikirim ke gudang/ruang
penyimpanan. Petugas mencatat dan melaporkan pemasukan bahan makanan.
Prosedur penerimaan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara
konvensional seperti yang telah diuraikan, atau secara blind (tanpa diperiksa),
karena rekanan sudah dipercaya, baik kualitas, cara pelayanan dan harga
(Depkes 1991).
Penyimpanan Bahan Makanan. Penyimpanan bahan makanan dimaksudkan
untuk mempertahankan kondisi bahan makanan, mencegah
kerusakan/gangguan lingkungan bahan makanan, melayani kebutuhan macam
dan jumlah bahan makanan dengan kualitas dan waktu yang sesuai untuk unit
12
yang memerlukan. Penyimpanan bahan kering dan basah harus dipisahkan dan
memiliki perlakuan masing-masing yang berbeda dengan memperhatikan
macam, golongan, urutan pemakaian, kartu stock, jam buka, petugas penjaga,
pembersihan, suhu dan kelembabannya (Depkes 1991).
Persiapan Bahan Makanan. Dalam mempersiapkan bahan makanan, harus
dihindari kemungkinan-kemungkinan yang dapat merusak/melarutkan zat-zat gizi
dalam bahan makanan. Perlakuan terhadap bahan makanan ini selain selama
persiapan juga harus diperhatikan selama proses pemasakan, penyajian serta
perlakuan selama masakan disimpan. Persiapan bahan makanan meliputi
kegiatan pencucian bahan makanan, pemotongan, perendaman, penggilingan,
penumbukan, pengadukan, pengasaman, pengasinan, pengayakan, pencetakan,
dan perlakuan lain sebelum bahan makanan dimasak. Kegiatan-kegiatan ini
sebaiknya mengikuti prosedur yang benar agar kehilangan zat-zat gizi dapat
diatasi (Depkes 1991).
Pemasakan. Menurut Depkes RI (1991), pemasakan adalah proses kegiatan
terhadap bahan makanan dan bumbu yang telah dipersiapkan, dengan
menggunakan berbagai cara pemasakan seperti membakar, merebus,
mengukus, menggoreng, mengetim, dan sebagainya dalam rangka
meningkatkan cita rasa, nilai cerna bahan makanan, dan menghilangkan/
mematikan kuman-kuman yang berbahaya.
Pendistribusian dan Penyajian. Ada dua cara yang dapat digunakan dalam
mendistribusikan makanan yang disesuaikan dengan keadaan dapur penyedia
makanan tersebut. Cara sentralisasi yaitu makanan langsung dibagikan pada
rantang makanan masing-masing konsumen ataupun dalam kotak makanan.
Cara desentralisasi berarti penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan
dalam jumlah besar pada alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang
makan yang ada. Kedua, di ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk
porsi (Depkes 1991).
Pengawasan
Pimpinan pada umumnya menganggap perlu untuk mengecek apa yang
telah dilakukan guna dapat memastikan apakah semua kegiatan berjalan dengan
memuaskan dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Bila terjadi
kesalahan, kekurangan, kesalahpahaman dalam tugas atau adanya kendala
yang tiba-tiba muncul, maka akan dapat segera diperbaiki dengan cara merevisi
atau rencana yang telah dibuat baik secara total atau sebagian tergantung
13
keadaan yang ditemukan saat pengawasan berlangsung (Yuliati & Santoso
1995). Pengawasan termasuk di dalamnya yaitu pencatatan, pelaporan, dan
evaluasi.
Pencatatan, pelaporan, dan evaluasi ini meliputi: (1) pemasukan,
pemakaian bahan makanan harian, (2) pencatatan tentang pemasukan dan
pemakaian peralatan dapur, (3) pencatatan kegiatan macam dan jumlah
konsumen yang dilayani setiap hari, (4) perhitungan harga makanan per orang
sehari, rata-rata dalam tiap bulan, dan setiap tiga bulan, serta (5) laporan tribulan
untuk pimpinan. Pencatatan yang dibuat harus teliti dan benar, dilengkapi
dengan bukti/informasi nyata, sehingga pengendalian kegiatan dapat berjalan
dengan baik (Depkes 1991).
Penilaian Konsumsi Pangan
Penilaian konsumsi pangan merupakan salah satu penilaian keadaan
gizi masyarakat secara tidak langsung (Kusharto & Sa‟diyyah 2008). Menurut
Hardinsyah & Briawan (1994), terdapat dua pengertian tentang penilaian
konsumsi pangan yaitu pertama penilaian terhadap kandungan energi dan zat
gizi dalam makanan, kedua membandingkan kandungan zat gizi makanan yang
dikonsumsi seseorang kelompok dengan angka kebutuhan gizi. Dalam
menghitung kandungan zat gizi pangan, sebaiknya dicatat informasi tentang
bentuk olahan. Hal ini terkait dengan koreksi kandungan vitamin dan mineral,
terutama vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan mineral Fe karena adanya
kehilangan zat gizi selama pengolahan.
Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan
individu, keluarga maupun masyarakat. Survei konsumsi tingkat individu dapat
menggunakan metode-metode berikut ini yaitu: penimbangan (weighing method),
metode mengingat-ingat (recall method), riwayat makan (dietary history),
frekuensi pangan (food frequency) dan metode kombinasi (Kusharto & Sa‟diyyah
2008).
Weighing method
Prinsip metode ini adalah mengukur secara langsung berat setiap jenis
pangan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Metode penimbangan langsung ini
dilakukan dengan pengamatan, penimbangan dilakukan sendiri oleh tenaga
pengambil data. Metode ini merupakan metode yang paling akurat, karena
dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang
dikonsumsi. Disamping kelebihan tersebut ada beberapa kekurangannya, yaitu
14
mahal, memakan banyak waktu, kadang-kadang responden segan atau malu
atau tidak memperkenankan bila makanannya harus dipindah-pindahkan dari
tempatnya untuk ditimbang, serta mungkin responden mengubah-ubah pola
konsumsi pangan dari kebiasaannya sehari-hari dengan kehadiran peneliti
(Kusharto & Sa‟diyyah 2008).
Kelebihan metode penimbangan adalah data lebih teliti karena benar-
benar merupakan penimbangan langsung. Kekurangannya adalah waktu dan
biaya cuku mahal, responden dapat mengubah kebiasaan mereka apabila
dilakukan dalam waktu yang cukup lama, tenaga penimbang harus terampil dan
harus ada kerjasama yang baik antara responden dan peneliti (Supariasa et al.
2001).
Recall Method
Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu metode
penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dapat menaksir
asupan gizi individu (Gibson 2005). Pada metode ini dicatat mengenai jumlah
dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (biasanya recall 24
jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan
dalam URT (Ukuran Rumah Tangga), setelah itu baru dikonversikan dalam
satuan berat (Kusharto & Sa‟diyyah 2008).
Kelebihan metode recall ini antara lain mudah, cepat, murah dan dapat
digunakan untuk menanyakan responden yang buta huruf. Kelemahannya yaitu
mengandalkan daya ingat dari responden dan recall 1 x 24 jam belum dapat
menggambarkan rata-rata konsumsi siswa dalam 1 hari (Supariasa et al. 2001).
Menurut Owen et al. (1993), metode recall ini membutuhkan enumerator yang
terlatih dalam mengumpulkan informasi konsumsi makanan dalam satu hari.
Food Record (Catatan Pangan)
Food record sering juga disebut dengan food diary atau buku harian
pangan. Cara ini menuntut motivasi dan pengertian kedua belah pihak, di
samping itu juga membutuhkan waktu yang lebih lama. Responden diminta
mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama paling sedikit
3 hari dalam seminggu, 2 hari biasa dan 1 hari libur. Catatan harus rinci,
termasuk cara makanan dipersiapkan dan dimasak, jika terdiri dari berbagai
bahan pangan, misalkan untuk gado-gado atau capcai, jenis dan jumlah bahan
mentahnya perlu ditulis disamping resep pembuatannya dan jumlah orang yang
menyantap masakan tersebut. Ukuran porsi makanan sebaiknya dicatat dengan
15
mengacu pada ukuran rumah tangga (URT). Makanan yang telah terukur ini
kemudian disalin dalam „gram‟. Zat gizi yang terkandung dicari pada DKBM dan
jika merupakan makanan kemasan, kandungan gizi dilihat pada label. Kesalahan
yang banyak terjadi yaitu responden tidak mampu mengkuantifikasi dengan
tepat. Kekeliruan ini dapat diatasi dengan cara meminta responden untuk
menimbang sendiri makanan dan minuman yang telah dikonsumsi pada waktu
tertentu (Arisman 2010).
Kelebihan metode food record adalah murah, cepat dan dapat
menjangkau sampel dalam jumlah besar, dapat mengetahui sampel dalam
jumlah besar, hasil cukup akurat. Kelemahannya yaitu membebani responden,
tidak cocok untuk responden yang buta huruf, memerlukan kejujuran dan
kemampuan responden dalam mengkuantifikasi jumlah konsumsi (Supariasa et
al.). Selain itu, menurut Owen et al. (1993), kualitas pengumpulan data
menggunakan food record dapat ditingkatkan dengan melakukan review secara
individu tentang record yang telah dilakukan. Review juga harus dilakukan oleh
enumerator yang terlatih untuk mengklarifikasi data-data yang telah ditulis
responden dan untuk mengetahui data-data yang lupa ditulis oleh responden.
Preferensi Pangan
Menurut Assael (1992) preferensi terbentuk dari persepsi terhadap suatu
produk. Preferensi adalah derajat kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih
disukai oleh konsumen. Preferensi juga dapat diartikan sebagai tingkatan
kesukaan. Tingkat kesukaan yang dimaksud yaitu secara kualitas dan atau bila
dibandingkan dengan tingkat kesukaan terhadap sesuatu yang lain (Martiani
2000).
Menurut Gregoire & Spears (2007), preferensi pangan menggambarkan
tingkat kesukaan terhadap suatu makanan. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa
preferensi pangan diasumsikan sebagai sikap seseorang terhadap makanan,
suka atau tidak suka yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Oleh
sebab itu, penting untuk mempelajari makanan yang disukai dan tidak disukai.
Sanjur (1982) juga menjelaskan bahwa fisiologi, perasaan dan sikap terintegrasi
membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku
konsumsi pangan.
Lyman (1989) menyatakan bahwa preferensi dipengaruhi oleh waktu dan
kondisi makanan yang disediakan, seperti kondisi lapar, perasaan dan saat
terakhir mengkonsumsi. Suatu makanan tidak akan disukai bila belum pernah
16
dicoba. Selain itu, suatu makanan bisa tidak disukai jika setelah dicoba terasa
membosankan, terlalu biasa dikonsumsi, menyebabkan alergi atau reaksi
fisiologis, dan berhubungan dengan efek penyakit setelah mengkonsmsinya.
Sikap suka atau tidak suka terhadap pangan hanyalah salah satu alasan yang
membentuk preferensi pangan. Preferensi pangan lebih menunjuk pada keadaan
ketika seseorang harus melakukan pilihan terhadap pangan dengan
menunjukkan reaksi penerimaan hedonik atau rasa makanan yang data diukur
secara verbal, dengan skala atau dengan ekspresi wajah (Rozin & Volmecke
1986 dalam Prasatya 1998).
Preferensi terhadap makanan dipengaruhi oleh karakteristik individu,
lingkungan dan karakteristik produk pangan (Ellis 1976 dalam Sanjur 1982).
Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan,
kesehatan dan pengetahuan gizi. Karakteristik produk meliputi rasa, warna,
aroma dan kemasan. Karakteristik lingkungan meliputi keluarga, tingkat sosial,
musim dan mobilitas. Karakteristik makanan meliputi penampilan, bumbu, tipe
makanan, kombinasi makanan, harga. Semua variabel tersebut saling
mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain (Sanjur 1982).
Menurut Suhardjo (2003), jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi
selain dipengaruhi oleh hasil budaya setempat, juga dipengaruhi oleh preferensi
terhadap makanan tersebut. Makanan dianggap memenuhi selera atau tidak,
tidak hanya bergantung pada pengaruh sosial budaya. Selain pengaruh reaksi
indera terhadap pemilihan pangan, kesukaan pangan pribadi makin dipengaruhi
oleh pendekatan melalui media massa seperti radio, TV, pamflet dan iklan.
Harper et al. (1985) juga mengemukakan bahwa preferensi terhadap makanan
tidak hanya bergantung pada pengaruh sosial dan budaya, tetapi juga dari sifat
fisik makanan itu sendiri.
Pengukuran data preferensi menggunakan skala (sangat tidak suka, tidak
suka, suka dan sangat suka). Contoh ditanya untuk mengidentifikasi seberapa
besar contoh menyukai makanan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka atau tidak
suka seseorang. Derajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya
terhadap makanan yang akan memberikan pengaruh yang kuat pada angka
preferensinya (Sanjur 1982). Evaluasi sensori yang banyak digunakan untuk
mengukur menu makanan secara individual yaitu rasa, warna, suhu dan jumlah
porsi (Gregoire & Spears 2007).
17
Daya Terima Makanan
Makanan yang bergizi tidak bermanfaat apabila tidak dimakan dan
diterima dengan baik (Moehyi 1992). Menurut Gregoire & Spears (2007), daya
terima suatu makanan dapat diukur dengan menggunakan sisa makanan di
piring (plate waste). Sisa makanan sering ditimbang untuk menyediakan data
secara kuantitatif yang dapat digunakan di berbagai studi, khususnya pada
penyelenggaraan makan siang di sekolah. Sisa makanan ini dapat digunakan
untuk menimbang jumlah menu yang tidak dimakan pada individu/kelompok atau
total sisa makanan.
Menurut Moehyi (1992), daya terima terhadap suatu makanan ditentukan
oleh rangsangan cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan melalui berbagai
indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, indera penciuman,
dan indera pengecap. Penampilan makanan ketika disajikan dapat
mempengaruhi selera makan. Faktor-faktor yang menentukan penampilan
makanan antara lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa makanan
(Palacio & Theis 2009), selain itu juga dipengaruhi oleh porsi, penyajian
makanan, dan penghias hidangan (Moehyi 1992).
Warna merupakan daya tarik dari suatu makanan. Setidaknya dalam
suatu hidangan makanan harus terdiri dari dua atau tiga warna makanan yang
berbeda. Sayuran hijau dapat dikombinasikan dengan ikan dan kentang yang
dipanggang, juga dapat menggunakan tomat dan lobak sebagai garnish (Palacio
& Theis 2009). Kombinasi warna yang menarik dapat meningkatkan penerimaan
terhadap makanan dan secara tidak langsung menambah nafsu makan (Sinaga
2007). Marotz (2005) juga menyatakan bahwa warna merupakan komponen
sensori yang paling berpengaruh, terutama bagi anak sekolah yang senang
dengan warna-warni yang menarik. Penyajian makanan juga merupakan aspek
yang dapat mempengaruhi indera penglihatan. Hal ini dikarenakan penyajian
merupakan hal pertama yang terlihat dari suatu makanan, sehingga diperlukan
penyajian yang baik dari segi alat saji maupun cara penyajiannya (Sinaga 2007).
Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa
makanan setelah penampilan makanan (Moehyi 1992). Komponen-komponen
yang berperan dalam menentukan rasa makanan antara lain aroma, bumbu dan
penyedap, keempukan, kerenyahan, tingkat kematangan, serta temperatur
makanan. Variasi berbagai rasa dalam suatu makanan lebih disukai daripada
hanya terdiri dari satu rasa (Palacio & Theis 2009). Rasa makanan bisa berupa
18
asin, asam, pahit dan manis. Perpaduan rasa dengan perbandingan yang sesuai
menimbulkan rasa yang enak dalam suatu makanan (Sinaga 2007).
Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat
kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan
selera (Sinaga 2007). Tekstur makanan dipengaruhi oleh cara memasak dan
lama waktu pemasakan makanan. Tekstur makanan juga mempengaruhi
penampilan makanan, dimana bentuk makanan yang serasi akan memberikan
daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan (Moehyi 1992). Tekstur
makanan dirasakan oleh indera pengecap, kerenyahan, kelembutan, dan
kekenyalan menggambarkan tekstur makanan. Variasi di dalam tekstur
sebaiknya disesuaikan dengan jenis makanan. Variasi dalam pengolahan
makanan juga harus diperhatikan dalam perencanaan suatu menu makanan.
Pengolahan makanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti digoreng,
dibakar, ditumis, ditim, dan sebagainya (Palacio & Theis 2009).
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Anak Usia Sekolah
Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat
gizi diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi
menurut kelompok umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis tertentu seperti
kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan
(reference values) yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi
makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari
defisiensi/kekurangan ataupun kelebihan asupan zat gizi (IOM 2002 dalam
WNPG 2004). AKG merupakan istilah yang digunakan di Indonesia, sebagai
terjemahan dari RDA (recommended dietary allowance). Bila diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, AKG akan memenuhi 97-98% populasi sehat (Muhilal &
Hardinsyah 2004 dalam WNPG 2004).
Kebutuhan energi anak dipengaruhi oleh metabolisme basal, umur,
aktivitas fisik, suhu lingkungan, dan kesehatannya. Komponen utama yang
menentukan kebutuhan energi adalah angka metabolisme basal (AMB) dan
aktivitas fisik. Proses metabolisme basal adalah proses metabolisme yang terjadi
dalam tubuh dalam keadaan istirahat dan energi untuk metabolisme basal ini
boleh dianggap tetap (Poedjiadi & Supriyanti 2007). Menurut FAO/WHO/UNU
(2001), kebutuhan energi diperoleh dengan mengalikan AMB dengan PAL
(physical activity level) dalam sehari.
19
Angka kecukupan energi (AKE) untuk kelompok anak usia 10-14 tahun
dalam Tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 2050 kkal (WNPG 2004). Jumlah
tersebut diperoleh berdasarkan formula meta analisis untuk kelompok usia 9-19
tahun dikembangkan oleh IOM (2002) dalam WNPG (2004) dari berbagai studi
yang luas cakupannya. Berikut ini disajikan proses estimasi untuk AKE remaja
usia 10-12 tahun.
Tabel 1 Estimasi AKE untuk remaja usia 10-12 tahun
Jenis kelamin Formula
Pria (88,5 – 61,9U)+26,7B(AkF*)+903TB+25 Wanita (88,5 – 61,9U)+26,7B(AkF**)+903TB+25
* AkF yang digunakan bagi anak pria 9-18 tahun yang sangat aktif = 1,42 dan wanita 9-18 tahun yang aktif = 1,31 (Torun et al. 1996 dalam WNPG 2004)
Kebutuhan protein menurut Almatsier (2004) adalah 10-15% dari
kebutuhan energi total, kebutuhan lemak 10-25% dari kebutuhan energi total,
dan kebutuhan karbohidrat 60-75% dari kebutuhan energi total. Berdasarkan
hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004, Angka kecukupan
protein (AKP) untuk kelompok anak usia 10-14 tahun dalam tabel angka
kecukupan gizi 2004 adalah 50 gram. Jumlah angka kecukupan protein ini
ditetapkan berdasarkan koreksi mutu protein didasarkan pada kenyataan bahwa
pangan hewani hanya berkontribusi sekitar 4% terhadap total energi, artinya
mutu protein makanan penduduk Indonesia masih rendah, sehingga diasumsikan
mutunya 85%, sehingga melahirkan faktor koreksi secara umum 1,17 yang
dibulatkan menjadi 1,2. Besar nilai AKP diperoleh berdasarkan perolehan secara
umum dari kebutuhan protein (EAR) ditambahkan dengan safe level (24%).
Faktor koreksi mutu secara khusus pada tiap golongan umur juga berbeda-beda.
Berikut ini disajikan AKP dan faktor koreksi protein dari remaja usia 10-12 tahun.
Tabel 2 AKP dan faktor koreksi mutu protein
Jenis kelamin AKP Faktor koreksi mutu
Pria 0,95 g/kg BB/hari 1,52 Wanita 0,85 g/kg BB/hari 1,56
* Perhitungan kebutuhan protein= AKP x BB x faktor koreksi mutu (WNPG 2004)
Selain energi dan protein, AKG untuk zat gizi lainnya yang dianjurkan
untuk anak usia sekolah (10-12 tahun) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Angka kecukupan gizi untuk remaja usia 10-12 tahun
Zat gizi Perempuan Laki-laki
Ca 1000 mg 1000 mg Fe 20 mg 13 mg Vitamin C 50 mg 50 mg
Sumber: Hardinsyah & Tambunan (2004) dalam WNPG (2004)
20
Tingkat kecukupan zat gizi= Konsumsi zat gizi aktual
AKG X 100
Konsumsi Energi dan Zat Gizi
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu
(Hardinsyah & Briawan 1992). Zat gizi merupakan unsur-unsur yang terdapat
dalam makanan dan diperlukan oleh tubuh untuk berbagai keperluan
menghasilkan energi, mengganti jaringan rusak, memproduksi substansi tertentu
(misalnya hormon, enzim, antibodi). Zat gizi dapat dibagi menjadi kelompok
makronutrien yang terdiri atas karbohidrat, lemak, protein dan kelompok
mikronutrien yang terdiri atas vitamin dan mineral (Hartono 2004).
Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan gizi. Penilaian untuk
mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara
konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil
perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Secara umum, tingkat
kecukupan dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):
Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996)
adalah (1) defisit tingkat berat (<70% AKE); (2) defisit tingkat sedang (70-79%
AKE); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKE); (4) normal (90-119% AKE);
kelebihan (>120% AKE). Sedangkan klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan
mineral menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77 AKG); (2) cukup (≥ 77
AKG).
Energi dan Pangan Sumber Energi
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengeturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai
cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan
jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004). Tingkat kecukupan energi
(TKE) adalah rata-rata tingkat kecukupan energi dari pangan yang seimbang
dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh
(berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan
ekonomi dan sosial yang diharapkan (WNPG 2004).
Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan
protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan
21
minyak, buah berlemak (alpokat), biji berminyak, santan, coklat, kacang-
kacangan dengan kadar air rendah dan aneka pangan produk turunannya.
Pangan sumber energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat,
serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air
rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan
sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka
produk turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004).
Protein dan Pangan Sumber Protein
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian
terbesar tubuh sesudah air. Protein merupakan molekul makro yang mempunyai
berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-
rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam ikatan
peptida.molekul protein lebih kompleks daripada karbohidrat dan lemak dalam
hal berat molekul dan keanekaragaman unit-unit asam amino yang
membentuknya. Terdapat dua puluh jenis asam amino yang diketahui, yang
terdiri dari sembilan asam amino esensial (asam animo yang tidak dapat dibuat
tubuh dan harus didatangkan dari makanan) dan sebelas asam amino
nonesensial (Almatsier 2004).
BPS (2006) dalam WNPG (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan
masyarakat dikatakan memadai jika memenuhi dua kriteria kecukupan, yaitu
kecukupan energi dan protein. Angka kecukupan protein untuk kelompok anak
usia 10-12 tahun, baik pria maupun wanita dalam tabel angka kecukupan gizi
2004 adalah 50 g per hari (WNPG 2004). Tingkat kecukupan protein
dikategorikan berdasarkan Depkes (1996) menjadi defisit tingkat berat (<70%
AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG),
normal (90-119 AKG) dan lebih (≥120 ).
Fe (Zat Besi) dan Pangan Sumber Zat Besi
Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam
tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 g dalam tubuh manusia dewasa.
(Almatsier 2003). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat
diserap oleh tubuh karena bioavailabilitas yang rendah atau kurangnya asupan
pangan hewani. Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari
hewan maupun tumbuhan (UNICEF 1998). Besi yang berasal dari sumber
hewani (heme) dapat diserap 30% lebih baik dibandingkan dari nabati (5%).
Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri mengandung non-heme 60% dan
22
heme 40%. Konsumsi heme mempunyai keuntungan ganda, selain mudah
diserap juga membantu penyerapan non heme (Kartono & Soekatri 2004).
Kekurangan besi menyebabkan anemia gizi besi yang ditandai dengan kulit
pucat, lemah/letih, dan nafas pendek akibat kekurangan oksigen. Anemia dapat
menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif,
selain itu dapat menurunkan daya tahan tubuh (Kartono & Soekatri 2004).
Ca (Kalsium) dan Pangan Sumber Kalsium
Kalsium yang terdapat di dalam tubuh hampir seluruhnya terdapat di
dalam tulang yang berperan sentral dalam struktur dan kekuatan tulang dan gigi.
(IOM-FNB 1997). Anak yang masih tumbuh dan berkembang memerlukan
kalsium untuk pembentukan tulang lebih banyak daripada orang yang sudah tua.
Usia dewasa mementingkan kalsium di tulang, sedangkan pada usia tua kalsium
diperlukan untuk mengganti kehilangan kalsium di tulang (WNPG 2004).
Sumber utama kalsium untuk masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
tinggi adalah susu dan hasil olahannya (mengandung sekitar 1150 mg Kalsium
per liter). Sumber lain kalsium adalah sayuran hijau, kacang-kacangan, dan ikan
yang dikalengkan. Roti dan biji-bijian menyumbang asupan kalsium yang nyata
dengan konsumsi yang sering. Ikan dan sumber laut lainnya mengandung
kalsium lebih banyak dibandingkan daging sapi maupun ayam (Goulding 2000).
Vitamin C dan Pangan Sumber Vitamin C
Vitamin C merupakan vitamin larut air. Dalam keadaan kering vitamin C
cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena
bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Oksidasi
dipercepat dengan kehadiran tembaga dan besi. Vitamin C tidak stabil dalam
larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin C merupakan
vitamin yang paling labil. Vitamin C umumnya terdapat di dalam pangan nabati,
yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan,
pepaya, gandaria, dan tomat. Selain pada buah, vitamin C juga banyak terdapat
dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2004).
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim
atau kofaktor. Asam askorbat merupakan bentuk vitamin C yang berfungsi
sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas. Fungsi vitamin C di
dalam tubuh antara lain sintesis kolagen, sintesis karnitin, noradrenalin,
serotonin, dan lain-lain, meningkatkan absorbsi dan metabolisme besi,
membantu absorbsi kalsium, meningkatkan daya tahan terhadap infeksi,