analisis tutor sken c.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Blok genetika dan biologi molekuler adalah blok keenam pada semester II dari kurikulum
berbasis kompetensi pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang. Pada blok keenam ini diajarkan agar mahasiswa mengenal dan mempelajari ilmu
tentang genetika dan biologi molekuler.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus skenario B yang memaparkan
kasus Lee bergolongan darah AB dan normal, akan tetapi memiliki adik laki - laki Lee
mengalami anodontia. Lee berencana menikah dengan Ling –Ling bergolongan darah O,
yang ayahnya menderita anodontia sedangkan ibunya normal. Sebelum menikah mereka
ingin melakukan pemeriksaan genetic terlebih dahulu, karena mereka khawatir akan
keturunan mereka nanti.
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan dari sistem pembelajaran
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan
pembelajaran kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data tutorial
Tutor : dr. Dimyati Burhanuddin, M.Sc.
Moderator : M.Ragil Pamungkas Wijaya
Sekretaris : Dita Mutiara Irawan
Notulen : Ayu Anggreini
Waktu : Selasa, 12 Mei 2015 (tutorial tahap 1)
Jumat, 15 Mei 2015 (tutorial tahap 2)
Peraturan tutorial :
1. Menonaktifkan ponsel atau dalam keadaan diam.
2. Mengacungkan tangan saat akan mengajukan argumen dan pertanyaan.
3. Izin saat akan keluar ruangan.
4. Dilarang membawa makanan dan minuman saat proses tutorial berlangsung.
2.2 Skenario B Blok 6:
Yono, umur 9 tahun dibawa ibunya kerumah sakit karena sudah lebih dari seminggu
mengalami demam. Demam berlangsung terus – menerus, naik turun namun tidak sampai
kesuhu normal, tidak disertai menggigil. Yono juga mengeluh sakit perut, mual, dan
muntah. Muntah terjadi sesekali setelah makan, muntah tidak menyemprot dan
mengeluarkan isi apa yang dimakan. Nafsu makan Yono menurun. Yono mengeluh
pusing dan nyeri otot. Yono sudah 3 hari tidak BAB, BAK normal. Tidak dijumpai batuk
dan pilek. Yono mempunyai kebiasaan sering jajan dipinggir jalan. Empat hari
sebelumnya, Yono berobat ke Puskemas dan mendapat obat parasetamol 3 x 250mg dan
Antasida 3 x 1cth, namun masih belum ada perbaikan.
Pada pemeriksaan fisik
Keadaan umum: tampak sakit sedang, kesadaran: composmentis, BB: 27 kg, TB: 125 cm.
Tanda Vital: TD 100/60 mmHg, nadi 88 x/menit, RR: 28x/menit, temperature 38,5℃.
Keadaan spesifik:
Kepala: konjungtiva anemis (+), sklera tidak ikterik, faring tidak hiperemis,
Tonsil T2-T2 tenang. Lidah kotor (+), bibir pecah – pecah.
Leher: KGB tidak teraba membesar.
Toraks: jantung dan paru dalam batas normal.
Abdomen: datar, lemas, bising usus normal, hepar teraba 2cm dibawah arcus
costae, lien tidak teraba, nyeri tekan pada epigastrium (+).
Ekstremitas: dalam batas normal.
Pemeriksaan Laboratorium: Darah rutin: Hb: 9 mg/dl, leukosit 4500 /mm, Diff count:
0/1/5/50/40/4, LED 12 mm/jam, hematocrit 28 mg%, trombosit 135.000/mm.
2.3 Klarifikasi Istilah
Istilah Klarifikasi
Menggigil
Sakit perut
Mual
Muntah Pengeluaran secara paksa isi perut melalui mulut
Nyeri otot
Batuk Ekspulsi udara dalam paru yang tiba – tiba sambil
mengeluarkan suara berisik.
Pilek
Antasida Golongan obat yang diindikasikan untuk mengobati sakit
magh.
Paracetamol Obat analgesic yang digunakan untuk menurunkan
demam dan meringankan sakit kepala
Sklera Lapisan luar bola mata yang berwarna putih dan menutupi
kurang lebih 5/6 dari permukaan belakang bola mata.
KGB Kelenjar getah bening (Kelenjar Limfoid)
Arcus Costae Lengkungan; Busur sebuah iga
Hb Pigmen pembawa oksigen pada eritosit dibentuk oleh
eritosit yang sedang berkembang dalam sumsum tulang
belakang
Leukosit Sel darah putih yang berguna untuk melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme yang menyebabkan penyakit
Diff count Perhitungan dari berbagai jenis dari leukosit diekspresikan
dalam persentase berdasarkan apusan darah
LED Laju endap darah. Kecepatan mengendapnya eritosit dari
specimen vena yang tercampur baik yang diukur melalui
jarak dari berbagai atas kodon endapan eritosit dalam
waktu dan keadaan tertentu
Hematocrit Persentase volume eritosit dalam sejumlah darah
(Dorland, 2014).
Trombosit Struktur mirip cakram dengan diameter dengan diameter
2-4 mikromete yang ditemukan dalam sejumlah darah dan
memiliki peran penting dalam pembekuaan darah.
2.4 Identifikasi masalah
1. Yono, umur 9 tahun dibawa ibunya kerumah sakit karena sudah lebih dari seminggu
mengalami demam. Demam berlangsung terus – menerus, naik turun namun tidak sampai
kesuhu normal, tidak disertai menggigil.
2. Yono juga mengeluh sakit perut, mual, dan muntah. Muntah terjadi sesekali setelah
makan, muntah tidak menyemprot dan mengeluarkan isi apa yang dimakan. Nafsu makan
Yono menurun.
3. Yono mengeluh pusing dan nyeri otot. Yono sudah 3 hari tidak BAB, BAK normal.
Tidak dijumpai batuk dan pilek. Yono mempunyai kebiasaan sering jajan dipinggir jalan.
4. Empat hari sebelumnya, Yono berobat ke Puskemas dan mendapat obat parasetamol.
5. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: tampak sakit sedang, kesadaran: composmentis, BB: 27 kg, TB: 125 cm.
Tanda Vital: TD 100/60 mmHg, nadi 88 x/menit, RR: 28x/menit, temperature 38,5℃.
Keadaan spesifik:
Kepala: konjungtiva anemis (+), sklera tidak ikterik, faring tidak hiperemis,
Tonsil T2-T2 tenang. Lidah kotor (+), bibir pecah – pecah.
Leher: KGB tidak teraba membesar.
Toraks: jantung dan paru dalam batas normal.
Abdomen: datar, lemas, bising usus normal, hepar teraba 2cm dibawah arcus
costae, lien tidak teraba, nyeri tekan pada epigastrium (+).
Ekstremitas: dalam batas normal.
6. Pemeriksaan labratorium: Darah rutin: Hb: 9 mg/dl, leukosit 4500 /mm, Diff count:
0/1/5/50/40/4, LED 12 mm/jam, hematocrit 28 mg%, trombosit 135.000/mm.
2.5 Analisis masalah
1. Yono, umur 9 tahun dibawa ibunya kerumah sakit karena sudah lebih dari seminggu
mengalami demam. Demam berlangsung terus – menerus, naik turun namun tidak sampai
kesuhu normal, tidak disertai menggigil.
a. Apa yang menyebabkan demam pada kasus ?
b. Apa jenis – jenis demam ?
Jawab:
1. Demam Septik : demam yang suhunya tidak pernah mencapai normal, tinggi
pada malam hari dan turun ke tingkat diatas normal pada pagi hari.
2. Demam heptik : demam yang suhunya mencapai normal.
Gambar 2.1 Demam Septik dan Heptik
(Sumber : Nelwan, 2009)
3. Demam remitten : demam yang suhu badan dapat turun setiap
hari tetapi tidak pernah mencapai suhu normal, perbedaan suhu 2 derajat
celcius.
Gambar 2.2 Demam Remitten
(Sumber : Nelwan, 2009)
4. Demam intermitten : demam yang suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam sehari.
Gambar 2.3 Demam Intermitten
(Sumber : Nelwan,2009)
5. Demam kontinyu : demam yang suhunya bervariasi sepanjang hari tidak
berbeda lebih dari 1 derajat.
Gambar 2.4 Demam Continyu
(Sumber : Nelwan,2009)
6. Demam siklik : demam yang kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang
diikuti periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu tubuh seperti semula. (Nelwan,2009).
Gambar 2.5 Demam Siklik
(Sumber : Nelwan, 2009)
Sintesis :
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari
yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus
(Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C.
Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C
atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C.
Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia
adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien
dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan
perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit. Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi,
keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-
hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin,
dan antihistamin) (Katzung,2014)
c. Apa saja factor – factor yang menimbulkan demam?
Jawab:
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
1) Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur,
ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada
anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis,
tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis,
selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain . Infeksi virus yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam
berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1.
Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides
imitis, criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis
2) Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu
tinggi,keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-
hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin,
dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai
akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari.al lain yang juga
berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem
saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus,
atau gangguan lainnya. (Gubler,1997).
d. Bagaimana mekanisme proses terjadinya demam?
Jawab:
Pirogen eksogen (Vaksin DPT 1 yang mengandung toksoid difteri murni, toksoid
tetanus murni, bakteri pertussis inaktif) menstimulasi sel-sel darah putih (monosit,
limfosit, dan neutrophil) mengeluarkan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan
IFN). Setelah itu, Pirogen eksogen bersama pirogen endogen merangsang
endothelium hipotalamus membentuk prostaglandin peningkatan patokan
thermostat di pusat hipotalamus. Hipotalamus menganggap suhu sekarang lebih
rendah dari suhu patokan baru mekanisme untuk meningkatkan panas
(menggigil, vaskontriksi kulit, dll) peningkatan produksi panas dan penurunan
pengurangan panas suhu tubuh naik ke patokan baru (demam).
Sintesis :
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit,
limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator
inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan
zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN).
Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium
hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat
di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu
sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu
mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut.
Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan
pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik
ke patokan yang baru tersebut (Guyton dan Hall, 2007).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan
suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan
peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga
tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam
merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di
titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan
merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga
tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006)
e. Apa makna demam berlangsung terus – menerus, naik turun namun tidak sampai
kesuhu normal ?
f. Apa makna demam tidak disertai menggigil ?
2. Yono juga mengeluh sakit perut, mual, dan muntah. Muntah terjadi sesekali setelah
makan, muntah tidak menyemprot dan mengeluarkan isi apa yang dimakan. Nafsu makan
Yono menurun.
a. Mengapa Yono sakit perut ?
b. Mengapa terjadi mual dan muntah ?
c. Bagaimana mekanisme terjadinya sakit perut?
Jawab:
d. Bagaimana mekanisme terjadinya mual dan muntah?
Jawab:
e. Apa makna Yono muntah tidak menyemprot dan mengeluarkan isi apa yang
dimakan?
f. Mengapa nafsu makan Yono menurun?
3. Yono mengeluh pusing dan nyeri otot. Yono sudah 3 hari tidak BAB, BAK normal.
Tidak dijumpai batuk dan pilek. Yono mempunyai kebiasaan sering jajan dipinggir jalan.
a. Bagaimana mekanisme pusing dan nyeri otot pada kasus ini?
b. Mengapa Yono sudah 3 hari tidak BAB?
c. Apa makna Yono sudah 3 hari tidak BAB?
Jawab:
d. Bagaimana hubungan sering jajan dipinggir jalan dengan keluhan yang dialami
Yono?
Jawab:
4. Empat hari sebelumnya, Yono berobat ke Puskemas dan mendapat obat parasetamol…
a. Termasuk golongan apakah paracetamol dan antasida?
b. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik dari paracetamol dan antasida?
c. Mengapa setelah diberi obat Yono masih belum ada perbaikan?
Jawab:
5. Pada pemeriksaan fisik
Keadaan umum: tampak sakit sedang, kesadaran: composmentis, BB: 27 kg, TB: 125 cm.
Tanda Vital: TD 100/60 mmHg, nadi 88 x/menit, RR: 28x/menit, temperature 38,5℃.
Keadaan spesifik:
Kepala: konjungtiva anemis (+), sklera tidak ikterik, faring tidak hiperemis,
Tonsil T2-T2 tenang. Lidah kotor (+), bibir pecah – pecah.
Leher: KGB tidak teraba membesar.
Toraks: jantung dan paru dalam batas normal.
Abdomen: datar, lemas, bising usus normal, hepar teraba 2cm dibawah arcus
costae, lien tidak teraba, nyeri tekan pada epigastrium (+).
Ekstremitas: dalam batas normal.
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik dan spesifik?
b. Bagaimana mekanisme dari hasil pemeriksaan fisik dan spesifik?
6. Pemeriksaan laboratorium Darah rutin: Hb: 9 mg/dl, leukosit 4500 /mm, Diff count:
0/1/5/50/40/4, LED 12 mm/jam, hematocrit 28 mg%, trombosit 135.000/mm.
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium?
b. Bagaimana mekanisme dari hasil pemeriksaan laboratorium?
7. Pemeriksaan penunjang: Test widal, TPO 1/80, Paratyphi H 1/160, Tubex Tf.
a. Bagaimana DD pada kasus?
b. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus? (Gall culture)
Jawab:
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoiddibagi dalam empat kelompok, yaitu (Prasetyo., Ismoedijanto, 2010):
a.Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisamenurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung
jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofiliadan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh
beberapailmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endapdarah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai perkiraan
yangcukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid
atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan
kuatdiagnosis demam tifoid.
b.Identifikasi kuman mekakui isolasi / biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari
rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudahditemukan d alam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
padastadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif
memastikandemam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid,
karenahasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil biakan meliputi(1) jumlah darah yang diambil(2) perbandingan volume darah
dari media empedu(3) waktu pengambilan darah.Volume 10-15 mL dianjurkan untuk
anak besar, sedangkan pada anak kecildibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume
sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam
sumsum tulang ini juga lebih sedikitdipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya
biladibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih
sedikitdan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk
S.typhi
adalah mediaempedu (
gall
) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya
S. typhi
dan
S. paratyphi
yang dapat tumbuh padamedia tersebut Biakan darah terhadap Salmonella juga
tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti
melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volumedarah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6
Bakteri dalam fesesditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%)dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakansumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering
tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan.Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah
mendapatkanterapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir
ini sangatinvasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentudapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum
danmemberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas
karenaadanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada
anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat
disebabkan oleh keterbatasan mediayang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,
jumlah bakteri yang sangatminimal dalam darah, volume spesimen yang tidak
mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun
spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan
yang lebihcanggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat
untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita
c.Identifikasi kuman melalui uji serologisUji serologis digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoiddengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap
komponen antigen
S. typhi
maupunmendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologisini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan..Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai pentingdalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanyavariasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik
S.typhi
oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,teknik yang
dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakandalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadiumdini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit)Berikut adalah macam-macam uji serologis yang
dapat membantu menegakandiagnosis demam tifoid :
1)Uji WidalUji
Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinindalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadapantigen somatik
(O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang samasehingga terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkanaglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapatdilakukan dengan
menggunakan uji hapusan ( slide test) atau uji tabung ( tube test).Uji hapusan dapat
dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji
tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapidapat digunakan untuk konfirmasi
hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak olehChoo dkk (1990) mendapatkan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40
dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar
99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoidanak dengan hasil biakan
positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widalsebesar 64-74% dan
spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harusmemperhatikan
beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapatmempengaruhi
pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakatsetempat (daerah
endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitasserta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akanmemperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saatini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masihdiperdebatkan dan
sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilaistandar aglutinasi (
cut-off point
). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnyaditentukan titer dasar (
baseline titer
) pada anak sehat di populasi dimana padadaerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O danH pada anak-anak sehat. Antigen
OAntigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan
100°Cselama 2–5 jam, alkohol dan asam yang ence1.a.Antigen HAntigen H
merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili
S
.
typhi
dan berstruktur kimia protein.
S. typhi
mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang jugadimiliki beberapa
Salmonella
lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atassuhu 60°C dan pada pemberian
alkohol atau asam. b.Antigen ViAntigen Vi terletak di lapisan terluar
S. Typhi
(kapsul) yang melindungi kuman darifagositosis
n
dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak biladipanaskan selama 1 jam pada suhu
60°C, dengan
pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakanuntuk mengetahui adanya
karier.c.OuterMembrane Protein (OMP)Antigen OMP
S typhi
merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membransitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungansekitarnya. OMP ini terdiri
dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin.Porin merupakan komponen
utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMPF dan merupakan saluran
hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <6000. Sifatnya resisten
terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C.Protein nonporin terdiri atas
protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifatsensitif terhadap protease, tetapi
fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.Beberapa peneliti menemukan antigen
OMP S typhi yang sangat spesifik yaituantigen protein 50 kDa/52 kDa.
2)Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yangsederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan denganmenggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan padaSalmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karenahanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalamwaktu beberapa menit. Walaupun
belum banyak penelitian yang menggunakan tesTUBEX® ini, beberapa penelitian
pendahuluan menyimpulkan bahwa tes inimempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal.4Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan
hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas100%.15 Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitassebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena
cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
3)Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgMdan
IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkanfase
awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan
IgGmenunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah
endemisdimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara
kasusakut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang
merupakanmodifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG
total sehinggamenghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan
antigenterhadap Ig M spesifik.Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan ujiWidal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur
positif yang bermaknatidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M ini dapatmenggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur
untuk mendapatkandiagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.Beberapa
keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas danspesifisitas yang tinggi
dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam
lain, murah (karena menggunakan antigen dan membrannitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapatdigunakan secara luas di tempat yang
hanya mempunyai fasilitas kesehatansederhana dan belum tersedia sarana biakan
kuman. Keuntungan lain adalah bahwaantigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila
disimpan pada suhu 4°C dan bila hasildidapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.
4)Metode Enzime-Linked Immunirbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap
antigenflagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen ViS. typhi. Uji ELISA yang
seringdipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi
dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitasuji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada
sampel feses dan 40% padasampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan
S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65%
pada satu kali pemeriksaandan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas
100%.18 Penelitian oleh Fadeeldkk (2004) terhadap sampel. urine penderita demam
tifoid mendapatkan sensitivitasuji ini sebesar 100% pada deteksi antigen. Vi serta
masing-masing 44% pada deteksiantigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap
antigen Vi urine ini masihmemerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan,terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas
timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.
5)DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimanadapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi
dan antibodi IgM antihuman immobilized sebagai reagen kontrol.Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukanalat yang spesifik
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitaslaboratorium yang
lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkansensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulangdan 86.5% bila dibandingkan
dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9%dan nilai prediksi positif
sebesar 94.6%.20. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90%dan spesifisitas sebesar
96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan reratasensitivitas sebesar
65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yangmenunjukkan adanya
serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbuktimudah dilakukan,
hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasilkultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.d.Identifikasi kuman secara molekuler Metode lain
untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksiDNA (asam nukleat)
gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian olehHaque dkk (1999)
mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitasyang 10 kali lebih
baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL
darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitassebesar 63%
bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).Kendala yang
sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risikokontaminasi yang
menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknistidak 10 dilakukan
secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisamenghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam
empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknisyang relatif rumit.
Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belummemberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatasdalam laboratorium
penelitian.
c. Bagaimana working diagnosis pada kasus?
Jawab:
1.Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkandengan penderita dewasa. Mas tunas rata-rata 10-20 hari. Yang
tersingkat 4 hari jikainfeksi terjadi melalui makanan,sedangkan yang terlamasampai
30 hari jika infeksimelalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan
gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat.Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a.Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remitendan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada
dalamkeadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun
dannormal kembali pada kahir minggu ketiga
b.Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya kemerahan,
jarangdisertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung.
Hatidan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi,akan tetapi mungkin pula normal, bahkan dapat terjadi diare.
c.Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatissampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.
2.Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan rata-rataantara
10–40 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapatterjadi
disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik penjamu,
serta lama sakit di rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam
tifoidmempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai
dengandemam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapaititik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan
tinggi.Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat
soredan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.Pada minggu pertama, gejala
klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeriotot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, danepistaksis.Dalam minggu ke-
2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu
1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali,meteroismus, ganguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.
4. Pemeriksaan penunjang
5. Gold standar diagnosis
Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan dengan ditemukannya kuman
Salmonellatyphi dari biakan darah, urin, tinja, sumsum tulang atau dari aspirat
duodenum. Tetapi pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang lama sehingga secara
klinik tidak menjadi patokan untuk memberikan terapi. Dengan demikian secara praktis
diagnosisklinis demam tifoid telah dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan darah tepi, dan pemeriksaan serologis. Macam-macam spesimen yang
digunakanuntuk kultur :
a. Kultur & Identifikasi
S.typhi dalam darah
1)Baku emas (mahal, waktu lama)
2)Waktu pengambilan: mg I demam
3) Prosedur pemàisolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik 4)
(-) palsu : waktu tdk tepat, pemakaian antimikroba, spesimen sedikit
b. Kultur Kultur & Identifikasi
S.typhi dalam tinja
1)Waktu pengambilan: mg II & III demam.
2)Spesimen : tinja segar, tdk tercampur urin, wadah steril, px < 2 jam
3)Prosedur pemàisolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik
4)Hasil (+) àmendukung dx jika gejala klinis (+)
c. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam urin
1)Waktu pengambilan: mg II & III demam.
2)Spesimen : urin porsi tengah, pagi, wadah steril
3)Prosedur pemàisolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologic.
d. Bagaimana tataklaksana pada kasus (farmakoterapi dan nonfarmako)?
Jawab:
1. Farmakoterapi
Indikasi rawatKlinis ringan dapat dirawat jalan dengan control poli teratur.
Jika klinis disertaihiperpireksia, muntah-muntah, intake tidak adekuat, dehidrasi,
keadaan umum lemah,maka harus di rawat inapkan.
PerawatanPenderita harus tirah baring 5-7 hari bebas panas, kemudian
secara bertahap mulaimobilisasi.DietPemberian diet tahap awal pada penderita
demam tifoid harus mengutamakan lunak,mudah dicerna, tidak merangsang,
bebas serat, dan tidak menimbulkan gas.Pemberian makan dalam porsi kecil tetapi
sering. Biasanya disajikan dalam bentuk bubur saring.MedikamentosaObat
terpilih untuk penderita demam tifoid adalah kloramphenikol dengandosis 50-100
mg/kgBb/ hari maksimal 2 gr/hari. Obat diberikan sampai 7 hari bebas panas,
minimal diberikan selama 10 hari. Bila dalam 10 hari pemberiankloramphenikol
panas tidak turun maka obat diganti ampicilin 200mg/kgBb/haridiberkan secara Iv
selama 10-14 hari. Demikian juga bila ditemukan Hb<8 g/dl, danatau leukosit
<2000/mm3 obat diganti dengan ampicilin.Pada kasus berat, dapat diberi
seftriakson dengan dosis 80 mg/kg BB/kali dandiberikan sekali sehari, intravena,
selama 5-7 hari.Pada ensefalopati tifoid diberikan juga dexamethason dengan
dosis awal 3mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam, sebanyak 8 kali
(selama 48 jam), lalu distop tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5 kebutuhan,
lakukan pemeriksaan elektrolit,dan dilakukan Lumbal Punksi bila tidak terdapat
kontraindikasi.
2.Non farmakoterapi
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum
dankhusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan
higiene dansanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan
insidensidemam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan
sampah).Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut
(diminum ataudimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai
transmisi juga pentingyaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
minuman/makanan.
e. Bagaimana prognosis pada kasus?
Jawab:
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka
kematian pada anak-anak adalah 2,6% dan pada orang dewasa adalah 7,4 %.
Sehingga rata-ratanyaadalah 5,7%.
e. Bagaimana komplikasi yang bisa terjadi pada kasus?
Jawab:
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
Komplikasi intestinal
1.Perdarahan usus2.Perforasi usus3.Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintetstinal
1.Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
miokarditis,trombosis dan tromboflebitis.
2.Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau
koagulasiintravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3.Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4.Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5.Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6.Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7.Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis
perifer,sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang
terjadi.Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan
umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.
g. Bagimana etiologi pada kasus?
Jawab:
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram
negatif,mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob.Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen
(H) yangterdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.
Mempunyaimakromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding seldan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan 77ulllllllldengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Bakteri
Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup
2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dlm
flagella,bersifatspesifik spesies.
Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul.Berhubungan dengandaya
invasif bakteri dan efektifitas vaksin. Endotoksin merupakan bagian terluar dinding sel
terdiri dari :
a. antigen O yg sdh dilepaskan
b. lipopolisakaridac.lipid A.Ke tiga antigen tadi di tubuh akan membentuk
antibodi aglutinin.
4.Outer Membran Protein :
a. Antigen ini merupakan bagian dari dinding sel terluar
b. Fungsinya sebagai barier fisik yg mengendalikan masuknya zat dan cairan ke
dlmmembran sitoplasma
d. Sebagai reseptor untuk bakteriofag & bakteriosid.
g. Bagaimana epidemiologi pada kasus?
Jawab: IPDL 549
i. Bagaimana kompetensi dokter umum pada kasus?
8. Bagaimana pandangan islam pada kasus ini?
Jawab:
اًل� َح�اَل� ْر�ِض�� اَأْل� ِف�ي ِم�َّم�ا �وا �ُل ُك �اُس� الَّن �َه�ا ُّي
� �اَأ ُّي�ا �ًب َط�ِّي
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 168)
2.6 Hipotesisbbbb
Yono, umur 9 tahun mengalami demam, sakit perut, mual, dan muntah pusing serta nyeri
otot. Kemungkian disebabkan oleh demam typhoid.
2.7 Kerangka konsep
Salmonella typhi sering jajan dipinggir jalan
Demam typhoid
Demam, sakit perut, mual dan muntah, pusing dan nyeri otot.