analisis yuridis ultra petitum partium dalam perkara...
TRANSCRIPT
ANALISIS YURIDIS ULTRA PETITUM PARTIUM
DALAM PERKARA CERAI TALAK
(Studi atas Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
SAEFUL MUPID
NIM. 1113044000010
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H / 2018 M
iv
ABSTRAK
Saeful Mupid, 1113044000010, “ANALISIS YURIDIS ULTRA
PETITUM PARTIUM DALAM PERKARA CERAI TALAK (Studi atas
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT
dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA
JK)”. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H / 2018 M. ix + 73 halaman + 49
halaman lampiran.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: a) mengetahui implementasi asas
ultra petitum partium terkait hak asuh anak pada putusan pengadilan agama
Jakarta Timur nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan putusan pengadilan tinggi
agama Jakarta nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK. b) mengetahui penyebab disparitas
putusan pengadilan agama Jakarta Timur nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan
putusan pengadilan tinggi agama Jakarta nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK.
Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian dengan jenis
penelitian kualitatif dan pendekatannya menggunakan pendekatan yuridis
normatif. Sumber data primer diperoleh dari berkas putusan pengadilan agama
Jakarta Timur nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT, berkas putusan pengadilan tinggi
agama Jakarta nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK dan Hasil wawancara dengan hakim
yang memutus perkara nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan perkara nomor
16/Pdt.G/2015/PTA JK. Sumber data sekunder, yaitu: data-data yang memberikan
penjelasan mengenai data hukum primer, berupa buku-buku, Al-qur’an, As-
Sunah, jurnal, skripsi, artikel, ensiklopedia, dan penulisan skripsi ini meliputi
bahan-bahan bacaan yang ada hubungannya dengan masalah ultra petitum partium
terkait hak asuh anak. Teknis pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka,
dokumentasi dan wawancara. Analisa data dilakukan dengan deskriptif-kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa hakim pada asasnya tidak boleh
memutus melebihi dari yang diminta, tapi asas tersebut tidak berlaku bagi para
pihak yang telah melakukan perceraian walaupun para pihak tidak meminta hak
asuh anak, hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua untuk
mengasuh dan mendidik anak. Sehingga asas ultra petitum partium dapat
dikesampingkan selama ada aturan yang lebih khusus yakni SEMA No 7 Tahun
2012. Implementasi asas ultra petitum partium pada putusan nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT sudah berjalan dengan baik, hanya saja hakim tingkat
pertama tidak menerapkan SEMA No. 7 Tahun 2012 pada putusannya. Lain
halnya dengan hakim tingkat banding pada putusan nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK
yang menunjuk ibu sebagai pengasuh bagi ketiga anaknya pasca perceraian.
Adapun faktor yang menyebabkan adanya perbedaan putusan tersebut ialah
implementasi asas ultra petitum partium dan implementasi SEMA No. 7 Tahun
2012.
Kata Kunci : Hak Asuh Anak, Ultra Petitum Partium, Putusan Nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT, Putusan Nomor
16/Pdt.G/2015/PTA JK.
Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, M.A.
Daftar Pustaka : 1997-2016.
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberikan limpahan kasih-sayang
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tak lupa shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluarga, para sahabat, dan
pengikutnya sebagai suri tauladan yang baik bagi kita semua.
Dari awal masa perkuliahan hingga tahap penyelesaian penyusunan skripsi
ini, banyak pihak yang selalu memberi dukungan, bimbingan dan arahan kepada
penulis. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr. Phil. H. Asep Saepudin Djahar, M.A. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Bapak Indra Rahmatullah, S.H.I.,
M.H. Selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Hj. Hotnidah Nasution, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
selalu membimbing, memberikan arahan dan selalu memotivasi hingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, hanya ucapan
terimakasih dan doa yang dapat penulis sampaikan.
4. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang selalu membimbing, mengarahkan dan mengajarkan penulis dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan, yang tidak
vi
dapat penulis sebutkan satu persatu tapi tidak mengurangi rasa hormat
penulis.
6. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membantu dan
memberikan pelayanan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
7. Staf Pengadilan Agama Jakarta Timur, Staf Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta dan Staf Pengadilan Tinggi Agama Banten yang telah memberikan
jalan dan akses untuk mendapatkan data-data yang penulis perlukan dalam
penyusunan skripsi ini.
8. Bapak Drs. Ahmad Zawawi, M.H. selaku hakim Pengadilan Agama
Jakarta Timur yang penulis wawancarai yang senantiasa memberikan
motivasi dan semangat.
9. Bapak Drs. Sam’un Abduh, S.Q., M.H. selaku hakim Pengadilan Tinggi
Agama Banten yang penulis wawancarai yang senantiasa meluangkan
waktunya.
10. Yang teristimewa Ibunda tercinta Hj. Nurhayati, Ayahanda tercinta
H. Atuy Masturo, Adik tersayang Akmal Wildan dan sicantik Aira
Himmatul Alya, Nenek tercinta Alm. Hj. Umsih, Kakek tercinta H.Udin
dan semua keluarga penulis, yang telah memberikan kasih sayang,
pengorbanan dan segalanya, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya tanpa doa, nasihat dan pengorbanan dari kalian mustahil skripsi
ini dapat diselesaikan. ( اغفرليذنوبيالل كمارب يانىصغيراهم وارحمهما ولوالدى )
Terkhusus nenek tercinta Alm. Hj. Umsih semoga amal dan ibadah beliau
diterima Allah SWT. Aammiinn… ucapan terimakasih dan doa selalu
penulis panjatkan ( ورحمهاوعافهاواعفعنهاهماغفرلهاالل )
11. Kawan seperjuangan penulis di Majlis Al-Fajriyah Fajri Arba, Murdanil
Arifin dan Sutarno Ibnu Abdullah Terimakasih telah menemani dan
berbagi ilmu semoga kita tetap berkumpul dalam kebaikan.
vii
12. Saudara Penulis di Toko Aneka Lestari Mang IIp, Fajri Hidayat dan Dion
terimakasih telah menyemangati penulis berkat support dari kalian skripsi
ini dapat diselesaikan.
13. Sahabat – sahabat penulis Rahmat Hidayat, Muhammad Ihsan Muttaqin,
dan Ahmad Ferizqo Achdan yang telah menemani dari awal perkuliahan
hingga penyelesaian skripsi.
14. Keluarga Besar SAS A angkatan 2013, {Mim, Dayat, Husnil, Fuad, Jamil,
Andri, Holil, Lukman, Zhaffar, Sakino, Alim, Alwi, Icat, Abi, Nidzom
Alfan, Annisaul, Robiah, Kholis, samha, Lulu, Rustanti, Dina, Azri, Najla,
Mela, Dina, Fahra, Farah, Vicky, Ais, Elma, Tami, Hikmah, Eno}.
15. Seluruh teman-teman mahasiswa Hukum Keluarga angkatan 2013 dan
teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah menemani penulis
dalam menempuh pendidikan di Program Studi Hukum Keluarga UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
Ciputat, 25 Oktober 2018
16 Safar 1440
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 5
C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 6
D. Perumusan Masalah.............................................................................. 6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 6
F. Metode Penelitian ................................................................................. 7
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 9
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG CERAI TALAK, HAK ASUH
ANAK, ULTRA PETITUM PARTIUM DAN KAJIAN
KEPUSTAKAAN
A. Cerai Talak ......................................................................................... 11
B. Hak Asuh Anak .................................................................................. 16
C. Ultra Petitum Partium ......................................................................... 22
D. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 27
BAB III PROFIL PENGADILAN DAN PUTUSAN TENTANG CERAI TALAK
TERKAIT YANG TIDAK DITUNTUT
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur ............................................ 30
B. Profil Pengadilan Tinggi Agama Jakarta ........................................... 34
C. Putusan Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT ............................................ 39
C. Putusan Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK............................................. 48
ix
BAB IV ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM PADA PUTUSAN NOMOR
1082/Pdt.G/2013/PTA JK DAN PUTUSAN NOMOR
16/Pdt.G/2015/PTA JK
A. Implementasi Asas Ultra Petitum Partium ......................................... 54
B. Faktor Penyebab Disparitas Putusan .................................................. 58
C. Kebebasan Hakim Dalam Mengenyampingkan Asas Ultra Petitum
Partium ............................................................................................... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 68
B. Saran ................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan adalah makhluk Allah yang
diciptakan-Nya berpasang-pasangan. Hubungan antara pasang-pasangan itu
membuahkan keturunan, agar hidup di alam semesta ini berkesinambungan.
Dengan demikian penghuni dunia ini tidak pernah sunyi dan kosong, tetapi terus
berkembang dari generasi ke generasi.1
Allah SWT. Tidak ingin manusia memiliki perilaku yang sama dengan
makhluk-Nya yang lain (binatang,red) yang senang mengumbar nafsunya dan
melampiaskannya dengan bebas, hubungan antara laki-laki dan perempuan terjadi
tanpa aturan maupun ikatan. Allah SWT telah menetapkan aturan sesuai dengan
fitrah manusia, yang dengan fitrah tersebut, harga diri dan kehormatannya dapat
terjaga. Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan hubungan laki-laki dan
perempuan dalam ikatan yang suci, yaitu pernikahan yang terjalin atas dasar
saling ridha diantara calon suami dan calon isteri.2
Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikannya dasar yang kuat bagi
kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan
utama yang baik bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah SWT. Untuk
mencapai kehidupan yang bahagia dan menjauhi syariat dan hukum-hukum Islam
agar dilaksanakan manusia dengan baik.3
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat di tegakkan dan dibina
sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga
berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling
berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang
1 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada
Media, 2003), cet-1, h. i. 2 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2010), cet-1, Jilid 4, h. 197. 3 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
penerjemah: Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), cet-2, h. 39.
2
berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”. Keluarga merupakan
unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan
perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat
ridha dari Allah SWT.4
Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri
tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan
perkawinan tersebut. Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya
cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut. Perkawinan yang dibangun
dengan cinta yang semu (tidak lahir batin), maka perkawinan yang demikian itu
biasanya tidak berumur lama dan berakhir dengan suatu perceraian.5
Pasal 113 Kompilasi isinya sama dengan pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974
yang menentukan perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian;
b. Perceraian; dan
c. Atas putusan pengadilan.6
Putus hubungan dalam perkawinan merupakan suatu perbuatan yang tidak
disukai. Karenanya, ia dibenci Allah. Maka sedapat mungkin kekejaman ini harus
dihindari, dengan sekuat tenaga, baik dari pihak suami atau dari pihak isteri. Juga
dari pihak kaum keluarga dan mereka yang sanggup untuk turut serta dalam hal
ini, untuk bersama-sama menuntun dan mendamaikan. Dijelaskan oleh Abdul
Rahman (1996:80) sebagai berikut:7
Syari’at bermaksud membentuk suatu unit keluarga yang sejahtera melalui
perkawinan, namun karena beberapa alasan tujuan ini gagal, maka tak perlu lagi
memperpanjang harapan-harapan tersebut, sebagaimana yang dipraktekan dan
diajarkan oleh beberapa agama lain bahwa perceraian itu tidak diperbolehkan.
Islam lebih menganjurkan perdamaian diantara kedua suami isteri dari pada
4 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2008), Cet-2, h. 1. 5 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet-2, h. 1. 6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV. Akademi Pressindo ,2010), Edisi
Pertama, Cet-4, h. 140. 7 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam,
(Bandung : Pustaka Al-Fikriis 2009), Cet-1, h. 190-191.
3
memutuskannya. Namun, jika hubungan baik diantara pasangan itu tak
memungkinkan terus dilangsungkan, maka Islam pun tidak membelenggu dengan
rantai yang memuakkan, mengakibatkan keadaan yang menyiksa dan
menyakitkan. Maka diizinkanlah perceraian.8
Perceraian diakui dalam Islam sebagai satu jalan keluar dari kemelut rumah
tangga yang disebabkan oleh pertengkaran yang tidak ada hentinya, dimana bila
hal itu tidak dilakukan, maka sebuah rumah tangga seolah-olah menjadi neraka
bagi kedua belah pihak atau bagi salah satunya. Dan hal seperti itu jelas
bertentangan dengan tujuan disyariatkannya pernikahan.9
Perceraian hanya boleh dilakukan karena mengandung unsur kemaslahatan,
karena setiap jalan perdamaian antara suami istri yang bertikai tidak menemukan
jalan perdamaian. Perceraian hendaknya menjadi alternatif yang lebih mendidik
kedua belah pihak. Hukum islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang,
dalam batas-batas yang dapat dipertanggung jawabkan. Di samping banyaknya
akibat buruk dari suatu perceraian menyangkut kehidupan kedua belah pihak dan
anak-anak, dapat pula dibayangkan betapa tersiksanya seseorang yang mana
kedamaian rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan, sehingga dalam
kondisi seperti ini perceraian sebagai jalan untuk menyelesaikan permasalahan
ini.10
Menurut hukum islam, seorang suami mempunyai hak talak sedangkan istri
tidak. Talak adalah hak suami, karena dialah yang berminat melangsungkan
perkawinan, dialah yang berkewajiban memberi nafkah, dia pula yang wajib
membayar mas kawin, mut’ah, serta nafkah di samping itu laki-laki lebih sabar
terhadap sesuatu yang tidak disenangi oleh perempuan. Laki –laki tidak akan
segera menjatuhkan talak apabila marah atau ada kesukaran yang menimpanya.
Sebaliknya kaum wanita itu lebih cepat marah, kurang tabah sehingga ia cepat-
8 Aulia Muthiah, Hukum Islam – Dinamika perkembangan Seputar Hukum Perkawinan
dan Hukum Keluarga, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017), h. 104. 9 Mustaming, Al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Tanah Luwu,
(Sleman: DEEPUBLISH, 2012), h. 72. 10 Aulia Muthiah, Hukum Islam – Dinamika perkembangan Seputar Hukum Perkawinan
dan Hukum Keluarga, h. 104.
4
cepat minta cerai hanya karena sebab yang sebenarnya sepele atau tidak masuk
akal. Karena itulah kaum wanita tidak diberi hak untuk menjatuhkan talak.11
Hukum islam memberikan kekuasaan mutlak untuk menyatakan perceraian
adalah suami, akan tetapi isteri juga mempunyai hak untuk menyatakan berpisah
dengan suaminya. Jika suami menceraikan isterinya dalam tata hukum islam di
Indonesia disebut dengan permohonan talak, namun jika seorang istri yang
bermaksud untuk berpisah dengan suaminya hal ini disebut dengan gugat cerai,
karena yang memiliki hak talak adalah suami.12
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai
beberapa akibat hukum berdasarkan Pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut :
a. Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul;
b. Memberi nafkah, makan dsan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada
bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyuz dan dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila
qabla al-dukhul;
d. Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum
mencapai umur 21 tahun.13
Salah satu asas yang wajib diperhatikan dalam proses penyelesaian sengketa
mengenai cerai talak adalah asas ultra petitum partium, Hakim wajib mengadili
semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak
dituntut atau mengabulkan melebihi dari yang dituntut. Asas inilah yang lazim
dikenal sebagai asas ultra petitum partium.14
11 Aulia Muthiah, Hukum Islam – Dinamika perkembangan Seputar Hukum Perkawinan
dan Hukum Keluarga, h. 105. 12 Aulia Muthiah, Hukum Islam – Dinamika perkembangan Seputar Hukum Perkawinan
dan Hukum Keluarga, h. 105. 13 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet-
2, h. 77. 14 Hartini, “Pengecualian terhadap penerapan asas ultra petitum partium dalam beracara
dipengadilan agama”, Mimbar Hukum, XXI, 2 (juni 2009), h. 382.
5
Salah satu produk Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tentang cerai talak yakni
putusan nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK. Yang menjadi kontroversi dalam putusan
ini ialah majelis hakim menunjuk penggugat rekonvensi selaku ibu kandung
sebagai penanggung jawab pemeliharaan atas ketiga orang anak, anak pertama
laki-laki lahir pada tanggal 17 Juni 1997, anak kedua perempuan lahir pada
tanggal 10 Juli 2001 dan anak ketiga laki-laki lahir pada tanggal 27 Oktober 2002
masing-masing masih berusia di bawah 21 tahun. Dalam posita dan petitum
penggugat rekonvensi tidak menuntut hak asuh anak, tapi dalam hal ini. Majelis
hakim menunjuk penggugat rekonvensi selaku ibu kandung yang bertanggung
jawab atas pemeliharaan ketiga anaknya. Berbeda dengan putusan tingkat pertama
nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT Pengadilan Agama Jakarta Timur, Majelis hakim
tidak menunjuk salah satu dari kedua orang tuanya untuk bertanggung jawab atas
pemeliharaan ketiga anaknya.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik menelitinya dalam
bentuk skripsi dengan judul : ANALISIS YURIDIS ULTRA PETITUM
PARTIUM DALAM PERKARA CERAI TALAK (Studi atas Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK).
B. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah saya buat diatas, saya dapat
mengidentifikasi pembahasan tema skripsi saya ini kedalam beberapa pertanyaan
guna mengidentifikasi permasalahan yang akan saya bahas:
1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan?
2. Apa yang dimaksud dengan Perceraian?
3. Apa yang dimaksud dengan cerai talak?
4. Apa yang dimaksud dengan cerai gugat?
5. Apa saja penyebab putusnya perkawinan?
6. Apa yang dimaksud dengan ultra petitum partium?
7. Apa akibat hukum yang ditimbulkan dari cerai talak?
8. Apa yang menjadi pertimbangan hakim pada perkara ultra petitum partium
terkait hak asuh anak?
6
9. Bagaimana tata cara penyelesaian sengketa Ultra Petitum Partium terkait Hak
Asuh Anak yang tidak dituntut dalam perkara nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK?
10. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara tersebut?
11. Bagaimana amar putusannya?
C. Pembatasan masalah
Skripsi ini dibatasi pada pembahasan implementasi asas ultra petitum partium
dalam perkara cerai talak pada putusan nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan
putusan nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK.
D. Perumusan masalah
Untuk memperjelas masalah yang akan penulis bahas, penulis mencoba
merumuskan masalah agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan jelas
pembahasannya, rumusannya sebagai berikut:
1. Bagaimana Implementasi asas ultra petitum partium terkait hak asuh anak
pada putusan nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan putusan nomor
16/Pdt.G/2015/PTA JK?
2. Faktor apakah yang menyebabkan adanya disparitas putusan antara
Pengadilan Agama Jakarta Timur pada putusan nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada putusan
nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK?
E. Tujuan dan manfaat penelitian
Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui implementasi asas ultra petitum partium terkait hak asuh
anak pada putusan nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan putusan nomor
16/Pdt.G/2015/PTA JK.
2. Untuk mengetahui penyebab disparitas putusan nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT dan putusan nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK.
Manfaat penelitian
1. Dapat memberikan sumber reverensi pembelajaran bagi mahasiswa FSH pada
umumnya dan bagi mahasiswa bagian hukum keluarga islam pada khususnya.
7
2. Memberikan informasi dalam perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan
hukum keluarga pada khususnya yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas oleh peneliti.
3. Secara ilmiah penelitian ini diharapkan mampu menambah pengembangan
keilmuan hakim dalam memutus perkara terutama dalam perkara ultra
petitum partium terkait Hak Asuh Anak.
F. Metode penelitian
Untuk mendukung penelitian dan pembahasan skripsi ini agar diperoleh hasil
yang koperhensif dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, maka
diperlukan metodologi pembahasan yang diharapkan mampu menjadi sarana
eksplorasi yang diperlukan dalam penulisan. Adapun metode yang digunakan
adalah sebagai berikut.
1. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat.15
2. Jenis penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif,
yakni penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.16
3. Sumber data
a. Sumber data primer, yaitu: Data Primer yaitu data yang diperoleh penulis
dari lapangan berupa berkas putusan perkara Cerai Talak.
1) Berkas Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT
2) Berkas Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
16/Pdt.G/2015/PTA JK
15 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet-1, h. 105. 16 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004), cet-18, h. 3.
8
3) Hasil wawancara dengan Hakim yang memutus perkara nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT dan 16/Pdt.G/2015/PTA JK
b. Sumber data sekunder, yaitu: data yang memberikan penjelasan mengenai
data hukum primer, berupa buku-buku, Al-quran, As-Sunnah, jurnal,
skripsi, artikel, ensiklopedia, dan penulisan skripsi ini meliputi bahan-
bahan bacaan yang ada hubungannya dengan masalah Ultra Petitum
Partium terkait Hak Asuh Anak
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Studi Pustaka
Dilakukan untuk memahami dan mendapatkan data tentang teori dan
konsep yang berkenaan dengan metode ijtihad Hakim melalui beberapa
buku dan literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan objek
penelitian.
b. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan.
penelitian ini adalah studi dokumenter yakni studi yang mengkaji tentang
berbagai dokumen-dokumen, baik yang berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan maupun dokumen-dokumen yang sudah ada.17
c. Wawancara
Penulis melakukan wawancara dengan hakim yang memutus perkara
nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT Pengadilan Agama Jakarta Timur dan
hakim yang memutus perkara nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta.
5. Metode Analisa Data
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Deskriptif adalah
penelitian yang dimaksudkan untuk menerima informasi seluas-luasnya tentang
variable yang bersangkutan. Sedangkan penelitian kualitatif berkenaan dengan
17 Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 19.
9
data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk simbolik seperti
pernyataan-pernyataan tafsiran, tanggapan-tanggapan, lisan harfiah, tanggapan
non verbal (tidak berupa ucapan lisan), dan grafik-grafik.
6. Teknik penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan
menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I Merupakan Pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan, rumusan masalah, tujuan,
manfaat penulisan, review studi terdahulu, metode penelitian,
sistematika penulisan dan daftar pustaka sementara.
BAB II Pada Bab ini membahas Tinjauan umum tentang , Cerai Talak, Hak
Asuh Anak dan Ultra Petitum Partium, dimana tinjauan umum dari
masing masing sub menguraikan pengertian, dasar hukum, macam-
macam, sebab-sebab terjadinya dan akibat hukum.
BAB III Pada Bab ini membahas tentang Profil Pengadilan Agama Jakarta
Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang terdiri dari sejarah,
fungsi, dan tugas pokok. Serta membahas tentang Cerai Talak dan
Ultra Petitum Partium terkait Hak Asuh Anak, dimana masing-masing
sub menjelaskan duduk perkaranya, alasan diajukannya, amar
putusannya, pertimbangan hakim sampai tahap penyelesaiannya.
BAB IV Pada bab ini membahas tentang analisis isi putusan nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT dan putusan nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK
yang terbagi beberapa sub bab, diantaranya isi dari kedua putusan
tersebut, perbedaan pertimbangan Hakim pada kedua putusan tersebut
10
faktor penyebab adanya disparitas putusan antara Pengadilan Agama
Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
BAB V Merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dari permasalahan
yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran sebagai
solusi dari permasalahan.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG CERAI TALAK, HAK ASUH ANAK,
ULTRA PETITUM PARTIUM DAN KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Cerai Talak
1. Pengertian Cerai Talak
Talak secara bahasa ialah ath-Thalaq (الطالق) yang artinya adalah
melepaskan. Dikatakan (طللقة الناقة) “unta itu lepas”.1 Adapun secara syara, talak
berarti melepaskan ikatan pernikahan dengan kata “talak” (cerai) atau
sejenisnya.2
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan pernikahan atau mengakhirinya.3 Dalam tradisi para ahli
fiqih, talak adalah terlepasnya ikatan suami istri, baik secara langsung
ataupun di masa mendatang, dengan menggunakan ucapan khusus ataupun
ucapan yang berada pada posisinya (menggantikan ucapan talak). 4
Sementara dalam kompilasi hukum Islam, Talak adalah ikrar suami di
hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan,5 Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan
untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujuinya disebut cerai
talak.6
1 Tim ulama fikih dibawah arahan Shalih bin Abdul Aziz Alu-asy-Syaikh, Fiqih
Muyassar, penerjemah: Izzudin Karimi, (Jakarta: Darul Haq, 2015), cet-1, h. 500. 2 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz, (Jakarta: Al Mahira, 2010), cet-1, h. 579. 3 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009), cet-1 Jilid 4, h. 2. 4 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, penerjemah:
Harist Fadly dan Ahmad Khotib, (Solo: Era Intermedia, 2005), cet-1, h. 311. 5 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Presindo, 2010), Edisi Pertama, cet-4, h. 141. 6 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
Cet-2, h. 80.
12
2. Dasar Hukum Talak
فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان الطلاق مرتان
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (Q.S. Al-
Baqarah: 229)
Juga berdasarkan sunah adalah sabda Rasulullah saw,
د اهلل إىل اهلل الطالقابغض احلالل عن
“Perkara halal yang paling dibenci oleh allah adalah talak”. (HR Abu
Dawud dan Ibnu Majah).
Manusia telah berkonsensus atas pembolehan talak. Hal itu juga
didukung oleh logika. Bisa saja kondisi hubungan suami istri telah rusak,
sehingga dipeliharanya ikatan sumi istri hanya semata-mata menjadi sebuah
kerusakan dan keburukan, dengan dibebankannya suami untuk memberikan
nafkah dan tempat tinggal. Dan si istri ditahan dengan perlakuan yang buruk,
serta pertikaian yang bersifat terus menerus yang tidak ada faidahnya. Oleh
karena itu, ditetapkan syariat yang dapat melepaskan ikatan perkawinan,
untuk menghilangkan kerusakan dari perkawinan ini.7
3. Macam-macam Hukum Talak
a. Haram, seperti talak yang dijatuhkan di saat istri haid atau di saat
melakukan hubungan seksual dengan istri. Talak ini dinamakan talak
bid’ah yang bertentangan dengan sunah.
b. Wajib, seperti talak yang dijatuhkan oleh qadi (hakim) ketika tidak
mungkin lagi mendamaikan suami istri.
c. Makruh, seperti talak yang dijatuhkan karena tidak ada keperluan.
7 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie al-
Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet-1, jilid 9, h. 318-319.
13
d. Mubah, seperti talak yang dijatuhkan karena adanya suatu kebutuhan.
e. Sunah, seperti talak yang dijatuhkan oleh suami yang tidak mampu
melaksanakan hak-hak suami istri.8
4. Rukun Talak
Rukun talak ada lima, yaitu:
a. Orang yang menalak.
b. Shighat atau kata-kata talak.
c. Orang yang ditalak.
d. Perwalian.
e. Niat.9
5. Syarat Talak
Suami yang menceraikan istrinya disyaratkan harus baligh,berakal dan
atas kehendak sendiri.10 Sementara, bagi perempuan yang diceraikan
disyaratkan harus berupa istri atau berada dalam status istri, dan perempuan
yang diceraikan masih berada pada masa iddah talak dari suaminya tersebut.11
Kemudian kata-kata (shighat) talak ditunjukan kepada pihak perempuan bisa
menggunakan kata ganti orang kedua, seperti “kamu ditalak”.12
6. Macam – macam Talak
Untuk mengetahui macam-macam talak, perlu diketahui lebih dahulu dari
segi mana kita melihatnya.
a. Dilihat dari segi ucapannya, talak itu dibagi menjadi dua yaitu :
1) Talak Sharih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas. Contohnya
“kamu ditalak”.
8 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, penerjemah:
Harist Fadly dan Ahmad Khotib, h. 312-313. 9 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz, h. 580. 10 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz, h. 580. 11 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, penerjemah:
Harist Fadly dan Ahmad Khotib, h. 312. 12 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz, h. 582.
14
2) Talak Kinayah, yaitu talak yang diucapkan dengan sindiran.
Contohnya “kamu bebas”.13
b. Dilihat dari segi pengaruhnya, talak terbagi menjadi dua bagian:
1) Talak Raj’i, yaitu talak yang membolehkan suami untuk kembali
kepada istinya selama masih dalam masa ‘iddahnya tanpa akad baru,
meskipun si istri tidak ridha dan terjadi setelah talak pertama dan talak
kedua yang bukan talak ba’in. sedangkan jika masa ‘iddah sudah
habis, maka ia menjadi talak ba’in dan suami tidak memiliki hak rujuk
kepada istri yang telah dicerainya kecuali dengan akad baru.
2) Talak Ba’in adalah talak yang tidak memberikan kesempatan lagi,
bagi suami untuk merujuk kembali istri yang telah ditalaknya. Jenis
talak ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Talak Ba’in Shugra adalah talak yang tidak memberikan
kesempatan pada suami untuk rujuk kembali kepada istrinya
kecuali melalui akad baru dan mahar baru.
b) Talak Ba’in Kubra adalah talak yang tidak memberikan peluang
bagi suami untuk merujuk istri yang ditalaknya, baik dalam
masa ‘iddah maupun sesudahnya, kecuali dengan akad baru,
mahar baru, setelah ia (istri) menikah dengan laki-laki lain dan
suami kedua tersebut telah menyenggaminya, untuk kemudian ia
menjanda, baik karena ditinggal mati atau dicerai suami
keduanya, hingga masa ‘iddahnya berakhir.14
c. Dilihat dari segi sifatnya, talak dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Talak Sunnah adalah talak yang sesuai dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya, dan dijatuhkan dengan mekanisme yang diizinkan secara
syara’. Aspek syara’ dalam talak terkait dengan dua hal: waktu
penjatuhannya dan jumlah talak.
13 Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam
Madzhab Syafi’I, penerjemah: D.A Pakihsati, (Surakarta: Media Zikir, 2015), cet-4, h. 374. 14 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah:
Khairul Amru Harahap, (Jakarta: Pustaka Azzam,2009), edisi revisi, cet-3, h. 457-465.
15
2) Talak bid’ah adalah talak yang bertentangan dengan ketentuan talak
Sunnah, baik dari segi waktu penjatuhan talak maupun dari segi
jumlah talak yang dijatuhkan. 15
d. Dilihat dari segi berlakunya konsekuensi yang ditimbulkan, talak terbagi
menjadi tiga, yaitu:
1) Talak Munajjaz adalah talak yang redaksinya terbebas dari ta’liq
(ketergantungan) pada syarat tertentu atau disandarkan pada masa
mendatang, akan tetapi pentalak menginginkan penjatuhan talak pada
saat itu juga. Misalnya “kamu tertalak!”.
2) Talak Mudhaf adalah talak yang redaksinya disertai waktu, sehingga
jika waktu yang ditentukan telah tiba, maka jatuhlah talak tersebut.
Misalnya: “kamu tertalak awal bulan depan, atau terhitung sejak pukul
24.00 hari ini!”.
3) Talak Mu’allaq adalah talak yang digantungkan pada terjadinya
sesuatu, baik berkaitan dengan perbuatan pentalak maupun tertalak,
atau bukan perbuatan seseorang (terkait dengan syarat). Misalnya: si
suami berkata kepada istrinya, “jika kamu keluar rumah, maka kamu
tertalak!” atau “jika si fulan mengunjungimu, kamu tertalak!.”.16
7. Waktu Menjatuhkan Talak
Hendaknya suami menjatuhkan talak dalam masa suci istrinya (yakni
bukan ketika istri sedang haid), dan juga sebelum melakukan hubungan suami
istri (jimak) pada masa suci tersebut. Sebab, menjatuhkan talak ketika istri
sedang haid ataupun setelah melakukan hubungan suami istri dalam masa
suci, adalah perbuatan bid’ah (dalam istilah talak disebut talak bid’iy) yang
haram hukumnya kendatipun sah (yakni tetap jatuh talaknya). Perbuatan
seperti itu diharamkan, karena mengakibatkan penderitaan bagi istri, dengan
menambah panjangnya masa iddah yang harus dijalani.17
15 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah:
Khairul Amru Harahap, edisi revisi, cet-3, h. 457-465. 16 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah:
Khairul Amru Harahap, edisi revisi, cet-3, h. 472-474. 17 Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan, penerjemah:
Muhammad Al-Baqir, (Jakarta: Mizan, 2014), h. 170.
16
Seandainya seorang suami terlanjur mentalak istrinya, hendaknya dia
segera rujuk, yakni menjalin kembali hubungan perkawinan yang telah dia
putuskan. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah menceraikan
istrinya ketika sedang haid. Ketika berita itu sampai kepada Nabi Saw., beliau
berkata kepada Umar (ayah Abdullah), “Perintahkan Abdullah agar rujuk
dengan istrinya itu, sampai dia telah suci kembali dari haidnya, lalu datang
lagi haid selanjutnya, lalu dia suci kembali. Setelah itu, terserah dia jika
hendak menceraikan istrinya ataupun mempertahankan hubungan perkawinan
dengannya. Rasullah Saw. Memerintahkan kepada Abdullah bin Umar agar
menunggu dua kali masa suci itu, setelah rujuk (seperti hadis di atas), agar
tindakan rujuknya itu tidak semata-mata bertujuan membolehkan talak
baginya.18
8. Akibat Talak
Ikatan perkawinan putus karena suami mentalak istrinya mempunyai
beberapa akibat hukum berdasarkan Pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul;
b. Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada
bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila
qabla al-dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak yang belum mencapai umur 21
tahun.19
B. Hak Asuh Anak
1. Pengertian Hak Asuh Anak
Hadhanah diambil dari kata al-hidnu yang artinya samping atau
merengkuh ke samping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya
18 Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan, penerjemah:
Muhammad Al-Baqir, h. 171. 19 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 149.
17
pemeliharaan anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa
juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus
kebutuhannya sendiri karena tidak mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa
tetapi gila. Pemeliharaan di sini mencakup urusan makanan, pakaian, urusan
tidur, membersihkan, memandikan, mencuci pakaian dan sejenisnya.20
Pengertian hadlanah dalam kompilasi hukum Islam adalah kegiatan
mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu
berdiri sendiri.21 Definisi hadhanah menurut ahli fikih adalah aktifitas untuk
merawat anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau anak
belum dewasa yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri, melakukan yang
terbaik untuk dirinya, menjaga mereka dari sesuatu yang menyakiti dan
menimbulkan dari mudharat baginya, memberikan pendidikan kepadanya
baik jasmani, emotional dan akalnya sampai mereka mampu berdiri sendiri
dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawab.22
2. Dasar Hukum Hadhanah
Alqur’an menyatakan bahwa orang tua diperintahkan Allah SWT untuk
memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh
anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-
larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak23. Hal
tersebut dijelaskan di dalam Q.s. At-Tahrim: 6.
(6:66/)التحرمي ارةوالحجاس ا النودهيا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وق
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.
20 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie al-
Kattani dkk, cet-1, jilid 10, h.59-60. 21 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 113. 22 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Abdurrahim dan Masrukhin, h. 138-
139. 23 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003),
cet-1, h. 176-177.
18
3. Tanggung Jawab Hadhanah dalam Perceraian
Pada dasarnya tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban orang
tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau ketika perkawinan
mereka gagal karena perceraian.24 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan Pasal 42-54 dijelaskan bahwa orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 18
tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak
putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi
untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam
dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi
pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi
dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu
kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial
ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah
dalam hukum islam, di mana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban
memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.25
Seorang suami, sesuai penghasilannya, menanggung biaya rumah tangga,
perawatan, pengobatan, dan pendidikan anak. Kewajiban orang tua berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu terus
berlaku meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Batas usia anak yang
mampu berdiri sendiri/dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tidak cacat
fisik/mental dan belum kawin. Semua biaya penyusuan anak
dipertanggungjawabkan kepada ayahnya, bila sudah meninggal, dibebankan
kepada orang yang berkewajiban menafkahi ayah atau walinya.26
24Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1997), cet-2, h. 247. 25 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta: Prenada Media Group,2005) cet-3, h. 429. 26 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), h. 207.
19
Jika terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum
12 tahun) adalah hak ibunya, setelah mumayyiz diserahkan pada anak untuk
memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
Sedangkan biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya. Semua biaya
hadlanah dan nafkah anak tetap merupakan kewajiban ayah sesuai
kemampuannya terhadap anak-anaknya yang belum berusia 21 tahun.27
Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini
sejalan dengan bunyi Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban
untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan
dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung
jawabnya, bekas istri yang kebetulan diberi beban untuk melaksanakan
putusan Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk
membayar biaya hadlanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh
Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum
berdasarkan putusan Pengadilan Agama.28
Permohonan soal penguasaan anak dan nafkah anak dapat diajukan
bersama-sama dengan gugatan perceraian atau diajukan secara tersendiri
setelah terjadinya perceraian. Selama proses perceraian seorang istri dapat
meminta pengadilan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak. Karena proses perceraian tidak bisa
dijadikan alasan bagi suami istri untuk melalaikan tugas terhadap anak-anak,
harus dijaga jangan sampai harta kekayaan bersama, harta suami atau istri
menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik, karena tidak hanya akan
merugikan keduanya, tetapi juga pihak ketiga.29
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua juga disebutkan dalam Pasal 26
Undang-undang nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-
27 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqh al-Qadha h.
208. 28 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, h. 431. 29 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqh al-Qadha, h.
209.
20
undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu untuk
mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindunginya. Menumbuhkem-
bangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. Mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak. Memberikan pendidikan karakter dan
penanaman nilai budi pekerti pada anak. Apabila orang tua tidak ada atau
karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, kewajiban itu dapat dialihkan ke keluarga yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anak, dapat dilakukan
tindakan pengawasan bahkan kuasa orang tua dapat dicabut melalui
penetapan pengadilan. Permohonan penetapan pengadilan ini dapat
dimintakan oleh salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai
derajat ketiga. Pencabutan kuasa orang tua dapat juga diajukan oleh pejabat
atau lembaga yang berwenang, selanjutnya pengadilan dapat menunjuk orang,
yang harus seagama, atau lembaga pemerintah / masyarakat sebagai walinya.
Penetapan itu juga harus memuat pernyataan bahwa perwalian tidak memutus
hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya atau
menghilangkan kewajiban orang tua untuk membiayai anaknya dan adanya
penyebutan batas waktu pencabutan.30
Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah
a. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
30 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqh al-Qadha, h.
210.
21
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.31
Garis hukum yang terkandung dalam Pasal 41 undang-undang tersebut,
tampak tidak membedakan antara tanggung jawab pemeliharaan yang
mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab pengasuhan anak yang
mengandung nilai nonmaterial atau yang mengandung nilai kasih sayang.
Undang-Undang Perkawinan penekanannya berfokus pada nilai materiilnya,
sedangkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam penekanannya meliputi kedua
aspek tersebut. Menurut Pasal 105 KHI dalam hal terjadinya perceraian,
yaitu:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.32
Ketentuan KHI tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang ayah
kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya
atau ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami bahwa ketika anak itu masih
kecil (belum baligh) maka pemelihaaanya merupakan hak ibu, namun biaya
ditanggung oleh ayahnya. Selain itu, anak yang belum mumayyiz maka ibu
mendapat prioritas utama untuk mengasuh anaknya. Apabila anak sudah
mumayyiz maka sang anak berhak memilih di antara ayah atau ibunya yang ia
ikuti.33
4. Syarat Pengasuh dan Anak yang diasuh
Bagi orang yang hendak mengasuh, baik laki-laki maupun perempuan
ditetapkan syarat-syarat sebagai berikut:
31 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 66. 32 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 66. 33 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 67.
22
a. Baligh, anak kecil atau yang belum baligh tidak boleh menjadi pengasuh
untuk orang lain karena dia sendiri belum mampu mengurus
keperluannya sendiri.
b. Berakal, ulama Malikiyyah mensyaratkan pengasuh haruslah cerdas,
tujuannya agar harta milik anak yang dipelihara tidak dibelanjakan untuk
hal-hal yang tidak diperlukan kemudian ulama Hanabilah dan
Malikiyyah mensyaratkan pengasuh tidak menderita penyakit kusta/lepra
dan sejenisnya yang membuat orang lain menjauhinya.
c. Memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang dipelihara. Orang yang
lemah, baik karena sudah lanjut usia, sakit, maupun sibuk tidak berhak
mengurus anak, jika kesibukan pengasuh tidak menghambat dalam
mengurus anak ia diperbolehkan mengurus anak.
d. Mempunyai sifat amanah. Kategori orang tidak amanah adalah orang
yang fasik baik laki-laki maupun perempuan, pemabuk, pezina, sering
melakukan perkara haram.
e. Orang yang mengurus anak disyaratkan harus beragama Islam menurut
Syafi’iyyah dan Hanabilah.34
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh adalah:
a. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
b. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena ia tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang
yang telah dewasa dan sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah
pengasuhan siapapun.35
C. Ultra Petitum Partium
Ultra Petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas suatu perkara yang
tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta oleh pemohon, Ultra
34 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani
dkk, cet-1, jilid 10, h. 66-67. 35 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), cet,-2, h. 329.
23
Petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau meluruskan lebih dari pada yang diminta. Ultra
Petita menurut I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta. Ultra Petita
sendiri banyak dipelajari di bidang hukum perdata dengan keberadaan peradilan
yang lebih tua berdiri sejak ditetapkan kekuasaan kehakiman di Indonesia.36
Pijakan hukum Ultra Petita sendiri diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3)
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 (2)
dan (3) Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java
en Madura (RBg) yang melarang seseorang hakim memutus melebihi apa yang
dituntut (petitum). 37
Menurut Yahya Harahap Ultra Petitum Partium ialah Putusan tidak boleh
mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Hakim yang
mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui
batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya
(beyond the powers of his authority). Apabila putusan mengandung ultra petitum,
harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad
baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).
Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat, dapat
dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal) meskipun dilakukan
dengan iktikad baik.38
Oleh karena itu, hakim yang melanggar asas ultra petitum disamakan telah
melanggar prinsip rule of law, karena:
1. Tindakan itu tidak sesuai dengan hukum, padahal sesuai dengan prinsip rule
of law, semua tindakan hakim mesti sesuai dengan hukum (accordance with
the law),
2. Tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang dituntut, nyata-nyata
melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178 ayat (3) HIR
36 Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”,
Mimbar Hukum, XXII, 1 (Februari, 2010), h. 74. 37 Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”,
Mimbar Hukum, h. 74. 38 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), cet-14, h. 801.
24
kepadanya, padahal sesuai dengan rule of law siapapun tidak boleh
melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya (beyond the
powers of his authority).39
Sehubungan dengan itu, sekiranya tindakan ultra petitum itu dilakukan hakim
berdasarkan alasan iktikad baik, tetap tidak dapat dibenarkan atau illegal, karena
melanggar prinsip rule of law (the principal of the rule of law), oleh karena itu
tidak dapat dibenarkan. Hal itu pun ditegaskan dalam Putusan MA No. 1001
K/Sip/1972 yang melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau
melebihi dari apa yang diminta. Yang dapat dibenarkan paling tidak putusan yang
dijatuhkan hakim, masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan.
Demikian penegasan Putusan MA No. 140 K/Sip/1971.40
Putusan judex facti yang didasarkan pada petitum subsidair yang berbentuk ex
aequo et bono, dapat dibenarkan asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan
inti petitum primair. Bahkan terdapat juga putusan lebih jauh dari itu. Dalam
Putusan MA No. 556 K/Sip/1971, dimungkinkan mengabulkan gugatan yang
melebihi permintaan dengan syarat asal masih sesuai dengan kejadian kejadian
materiil. Namun perlu diingat, penerapan yang demikian sangat kasuistik.41
Akan tetapi, sebaliknya dalam hal petitum primair dan subsidair masing-
masing dirinci satu persatu, tindakan hakim yang mengabulkan sebagian petitum
primair dan sebagian lagi petitum subsidair, dianggap tindakan yang melampaui
batas wewenang, oleh karena itu tidak dibenarkan. Demikian penegasan Putusan
MA Np. 882K/Sip/1974. Dalam hal gugatan mencantumkan petitum primair dan
subsidair, pengadilan hanya dibenarkan memilih satu diantaranya, apakah
mengabulkan petitum primair dan subsidair. Hakim tidak dibenarkan
39 Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenada Media Group,
2014), cet-1, h. 40. 40 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet-14, h. 802. 41 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet-14, h. 802.
25
menggunakan kebebasan cara mengadili dengan jalan mengabulkan petitum
primair atau mengambil sebagian dari petitum subsidair. 42
Apalagi mengabulkan sesuatu yang sama sekali tidak diajukan dalam petitum,
nyata-nyata melanggar asas ultra petitum, oleh karena itu harus dibatalkan.
Seperti yang dikemukakan dalam Putusan MA No. 77 K/Sip/1973, putusan harus
dibatalkan, karena putusan PT mengabulkan ganti rugi yang tidak diminta dalam
gugatan. Begitu juga putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang
menyimpang dari dasar gugatan, menurut Putusan MA No. 372 K/Sip/1970 harus
dibatalkan.43
Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata
di Indonesia. Namun demikian, dalam perkembangannya, ultra petita bukan lagi
hanya terjadi di pengadilan perdata, tetapi juga telah merambah ke pengadilan
lain, termasuk pengadilan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang
berwenang untuk mengawal konstitusi.44
Di dalam hukum perdata berlaku asas hakim bersifat pasif, dalam artian ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa
pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan ditentukan
oleh hakim dan para pihak secara bebas sewaktu-waktu sesuai dengan
kehendaknya dapat mengakhiri sendiri sengketa yang diajukannya ke muka
persidangan pengadilan. Bilamana para pihak yang bersengketa di persidangan
tersebut sudah memutuskan untuk mengakhiri persengketaannya dan tidak
menginginkan pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung diteruskan maka
hakim tidak dapat menghalang-halanginya karena inisiatif maupun luas pokok
sengketa sepenuhnya ada pada pihak yang bersengketa dan hakim hanya mencari
kebenaran formil.45
42 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet-14, h. 802. 43 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet-14, h. 803. 44 Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”,
Mimbar Hukum, h. 74. 45 Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, h. 34.
26
Dalam hal ini menghadapi suatu persoalan hukum yang diajukan ke
pengadilan, hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan
tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra
petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan
dan dibuktikan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia
tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan
lebih dari yang diminta. Jadi dalam peradilan perdata, jelas bahwa ultra petita
tidaklah diperkenankan oleh undang-undang dan manakala ternyata terjadi
pelanggaran oleh hakim, maka putusan dimaksud bisa dibawa ke dalam upaya
hukum lebih lanjut, seperti kasasi dan peninjauan kembali.46
Oleh karena larangan ini secara tegas ditentukan dalam undang-undang, maka
apabila hakim mengabulkan melebihi apa yang diminta dalam gugatan maka
perbuatan hakim tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan yang ilegal atau
telah melanggar prinsip rule of law. Prinsip rule of law mengajarkan bahwa semua
tindakan hakim harus sesuai dengan hukum (accordan with law).47
Mengapa hakim dilarang untuk memberikan putusan yang melebihi posita,
dapat dipahami jika masalah ini kita tarik kebelakang sampai dengan timbulnya
sengketa. Gugatan perdata selalu bersumber dari konflik yang latar belakangnya
adalah pelanggaran terhadap kesepakatan atau karena perbedaan penafsiran
terhadap klausula perjanjian. Kesepakatan dan perjanjian adalah lembaga hukum
yang ada dalam hubungan hukum perdata atau hubungan yang bersifat privat.
Hubungan hukum dalam ranah hukum privat didasarkan pada prinsip
kesederajatan dan kebebasan para pihak.48
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 Tentang
Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pelaksana
Tugas bagi Pengadilan, bahwa sejak 19 september 2011 telah diadakan rapat
untuk membahas pedoman penerapan sistem kamar dalam proses penanganan
46 Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”,
Mimbar Hukum, h. 74. 47 Djoko Imbawani Atmadjaja, “Ultra Petita Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”,
Jurnal Konstitusi, I, 1 (November 2012), h. 37. 48 Djoko Imbawani Atmadjaja, “Ultra Petita Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”,
Jurnal Konstitusi, h. 39.
27
perkara, masing-masing kamar telah melakukan rapat pleno yang membahas
persoalan hukum yang sering kali memicu perbedaan pendapat para hakim dalam
memutus suatu perkara. Maka dengan adanya SEMA Nomor 07 tahun 2012 sub
kamar perdata umum point XII ialah tidak memberlakukan asas ultra petitum
partium yang berkaitan dengan akibat perceraian, suami istri yang telah
melakukan perceraian tidak memunculkan perwalian, maka hakim harus
menunjuk salah satu dari kedua orang tua sebagai pihak yang bertanggung jawab
untuk memelihara dan mendidik anak tersebut. Dengan keluarnya peraturan
tersebut jelas hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua untuk
mengasuh anak tersebut, walaupun kedua orang tua tidak ada yang meminta hak
asuh anak.
D. Review Studi Terdahulu
Untuk menghindari plagiat atau kesamaan dalam pembahasan judul skripsi
ini saya melakukan studi review untuk mengetahui bahwa judul yang saya buat
belum ada yang membahas dan tidak disebut plagiat. Studi review saya sebagai
berikut:
Skripsi Ulul Azmi (206044103793) yang berudul “Ultra Petitum Partium
dan Hak Ex Officio Hakim, Studi Kasus Cerai Talak di Pengadilan Agama
Slawi (Putusan No.0203/Pdt.G/2010/PA.Slw)” Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011.
1. Pada kesimpulannya asas ini bersifat umum sehingga dapat disingkirkan
selama ada aturan lebih khusus dan tidak bertentangan dengan undang-
undang, misal dalam kasus cerai talak meski tidak diminta hakim dapat
membebani bekas suami untuk memberi nafkah kepada bekas istri.
2. Apabila ketentuan suatu pasal Undang-undang bertentangan dengan
kepatutan dan tidak sesuai dengan kenyataan dinamika kondisi serta keadaan
yang berkembang dalam jiwa, perasaan dan kesadaran masyarakat. Maka
hakim secara “ex officio” tanpa ada gugat rekonvensi dari isteri dapat
menjatuhkan hukum bagi suami sebagai pemohon untuk membayar nafkah
iddah dan nafkah mut’ah.
28
Skripsi Risnu Arisandi (107043200850) yang berjudul “Analisis Yuridis
Putusan Cerai Talak di Sebabkan Perselisihan Suami Isteri di Pengadilan
Agama Ternate” Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2012.
1. Skripsi ini membahas Perselisihan suami isteri merupakan salah satu alasan
perceraian dan penyebabnya adalah faktor ekonomi yakni isteri berhutang
tanpa sepengetahuan suami.
2. Hakim yang memutuskan perkara menyatakan bahwa hutang menjadi pemicu
perselisihan yang menyebabkan perceraian.
Skripsi Siti Hidayah (102044125021) yang berjudul “Analisa Putusan
Kewajiban Nafkah bagi isteri dalam perkara cerai talak di pengadilan
agama Jakarta barat (studi kasus terhadap No. Perkara
442/Pdt.G/2005/PAJB) Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007.
1. Dalam skripsi ini hanya membahas nafkah iddah ialah nafkah yang diberikan
oleh mantan suami kepada isteri yang di talak selama dalam masa iddahnya ,
nafkah iddah ini hanya berlaku kepada mantan isteri yang di talak satu dan
talak dua , ketika isteri di talak tiga maka tidak ada kewajiban bagi mantan
suami.
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat tentang nafkah iddah pada nomor
perkara 442/Pdt.G/2005/PAJB sudah sesuai dengan KHI pasal 149 b dan KHI
118.
Jurnal Hartini yang berjudul “Pengecualian Terhadap Penerapan Asas
Ultra Petitum Partium Dalam Beracara di Pengadilan Agama” Mimbar
Hukum Volume 21 Nomor 2 Juni 2009.
Jurnal ini membahas asas ultra petitum partium secara umum, dalam hal ini
ketentuan tentang larangan hakim melakukan ultra petitum partium tentunya
harus diterapkan juga dalam proses memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara. Tetapi dalam kasus tertentu Hakim juga boleh menerapkan asas ultra
petitum partium dengan dasar dan pertimbangan yang memberikan rasa keadilan.
29
Jika dilihat dari studi terdahulu diatas, jelas berbeda objek serta masalah yang
dikaji oleh penulis nantinya, karena yang akan penulis angkat ialah tentang cerai
talak, yang menjadi pokok permasalahannya hakim memberikan putusan yang
tidak dituntut oleh para pihak terkait hak asuh anak yang diberikan kepada ibu.
30
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR, PENGADILAN
TINGGI AGAMA JAKARTA DAN PUTUSAN NOMOR
1082/PDT.G/2013/PAJT DAN PUTUSAN NOMOR 16/PDT.G/2015/PTA JK
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur
1. Sejarah
Sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun
1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17
khusus untuk Jakarta (Betawi) di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik
yang terdiri dari :
a. Komandan distrik sebagai Ketua.
b. Para penghulu masjid dan Kepala wilayah sebagai anggota.1
Tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan
penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut.
“Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai
soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang
harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi
keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari
keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan-
pengadilan biasa”.2
Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari
pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam
bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari
hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838
di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW).3
1 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah,2012), cet-1, h. 195. 2 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, (Jakarta: Tatanusa, 2013), cet-1, h. 40. 3 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum
Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut
Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), Edisi Pertama, cet-2, h. 36.
31
Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr.
Scholten Van Oud Harleem yang menjadi ketua komisi penyesuaian undang-
undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat
sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa : Untuk
mencegah timbulnya keadaan tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan
jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumiputera, maka harus
diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam
lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka.4
Di daerah khusus ibu kota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri
Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan
perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang
menjadi 4 kantor cabang, antara lain :
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur
2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
3. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat
4. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat.5
Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur awalnya terletak di Jl. Raya
Bekasi KM 18 Kel. Jatinegara, Kec. Pulogadung Timur dibangun diatas tanah
milik Pemda DKI dengan luas tanah 360 m2 dengan luas bangunan 360 m2,
terdiri dari 2 lantai, dibangun tahun 1979 dibawah APBN Depag RI. Dengan
keadaan yang demikian kecil dan volume pekerjaan yang relatif padat, begitu
pula dengan karyawan yang berjumlah 59 orang ditambah dengan pegawai
honorer 4 orang, maka gedung tersebut tidak memadai lagi. Oleh karena itu,
pada tahun 1997/1998, melalui anggaran APBN/APBD DKI Jakarta
pemerintah membangun tambahan gedung 1 lantai dilokasi yang sama seluas
360 m2. Saat ini Pengadilan Agama Jakarta Timur menempati gedung baru
yang berkedudukan di Jl. Raya Pkp No. 24, RT 2/RW 9, Klp. Dua Wetan,
4 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum
Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut
Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh), Edisi Pertama,
cet-2, h. 36. 5 http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php/profil/sejarah# diakses 8 november
2017 jam 12.50.
32
Ciracas, Kota Jakarta timur 13730 dengan luas tanah 2.760 m2 dan luas
bangunan 1.400 m2.6
2. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Jakarta Timur
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan
salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan
keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang
yang beragama Islam.7
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dibidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.8
Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta
Timur mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut :
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
6 Sofyan Suri,”Hiperseksual Suami Sebagai Alasan Perceraian (Analisis
Yurisprudensi No: 630/Pdt.G/2009/PAJT Di PA Jakarta Timur).” (Skripsi S-1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 38. 7 http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php/profil/tugaspokok diakses 8 November
2017 Jam 13.00. 8 http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php/profil/tugaspokok diakses 8 November
2017 Jam 13.00.
33
baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun
administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan
pembangunan. (vide: Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3
Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya ( vide : Pasal
53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan
terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta
pembangunan. ( vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta. ( vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun
2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan
(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian,
keuangan, dan umum/perlengakapan) ( vide : KMA Nomor KMA/080/
VIII/2006).9
Fungsi Lainnya :
1. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan
instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-
lain ( vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
2. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya
serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era
keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.10
9 http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php/profil/tugaspokok diakses 8 November
2017 Jam 13.00. 10http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php/profil/tugaspokok diakses 8
November 2017 Jam 13.00.
34
B. Profil Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
1. Sejarah
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta (disingkat PTA Jakarta) adalah
Lembaga Peradilan Tingkat Banding yang berwenang mengadili perkara yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding di wilayah
hukum Provinsi DKI Jakarta.11
Sejarah terbentuknya PTA Jakarta tidak terlepas dari terbentuknya
peradilan agama itu sendiri. Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai
suatu Badan Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan lahir di
Indonesia (Jawa dan Madura) berdasarkan suatu Keputusan Raja Belanda
yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam
Staatsblad 1882 Nomor 152.12
Namun staatsblad tersebut tidak langsung diberlakukan. Pemerintah
Hindia Belanda beralasan akan melihat dahulu reaksi yang timbul dari
masyarakat ketika itu. Padahal, sesungguhnya pemerintah Hindia Belanda
masih enggan -setengah hati- untuk memberikan legitimasi terhadap
eksistensi peradilan agama. Oleh karena itu, atas dasar desakan dari seluruh
elemen masyarakat Muslim pada saat itu, akhirnya pemerintah Hindia
Belanda kemudian mengeluarkan Staatsblad No. 153 pada tanggal 1 agustus
1882. Atas dasar ini, umumnya para cendekiawan -Muslim- menyatakan
bahwa tanggal kelahiran Badan Peradilan Agama lazimnya disebut rapat
agama di Indonesia adalah tanggal 1 Agustus 1882.13
Pemerintah Belanda mengeluarkan Staatsblad 1937 Nomor 116 pasal 2a
ayat (1) yang berlaku tanggal 1 april 1937, kompetensi Peradilan Agama
menjadi terbatas dan lebih sempit sehingga hanya dalam bidang-bidang
tertentu, yakni:
11 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Tinggi_Agama_Jakarta diakses 28
Maret 2018 Jam 16.03. 12 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2011), cet-1, h. 217-218. 13 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), edisi pertama, cet-1, h.36-37.
35
a. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
b. Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-
orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama
(Islam).
c. Memberi putusan perceraian.
d. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (taklik
talak) sudah ada.
e. Perkara mahar (mas kawin) sudah termasuk mut’ah.
f. Perkara tentang keperluan kehidupan suami istri wajib diadakan oleh
suami.14
Keluarnya Staatsblad 1937 Nomor 116 mendapatkan protes keras dari
umat islam karena dinilai mempersempit kaum muslimin untuk menjalankan
agama. Pada tahun itu juga, tepatnya 16 Mei 1937 melalui kongres di
Surakarta berdirilah organisasi perhimpunan penghulu dan pegawai (PPDP).
15 Organisasi ini menyatakan keberatan atas pengalihan wewenang kewarisan
dari pengadilan agama ke pengadilan negeri, dengan alasan masalah Islam
tidak bisa diputuskan oleh Hukum Adat yang berubah-ubah. Begitu juga
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) memprotes keberadaan staatsblad itu,
karena dianggap telah menggoyangkan kedudukan Islam dalam masyarakat
Indonesia. Dan menegaskan pula dalam muktamarnya pada tahun 1938
bahwa staatsblad tersebut mempersempit kaum muslimin dalam menjalankan
agamanya dan merupakan pemerkosaan terhadap agama.16
Untuk meredam protes tersebut, pemerintah Hindia Belanda
melaksanakan politik keagamaan dengan mendirikan sebuah Pengadilan
Agama Tinggi (Hof voor Islamietische Zaken) atau Mahkamah Islam Tinggi
14 Basiq Djalil, Peradilan Islam, cet-1, h. 197-198. 15 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, h. 45. 16 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum
Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut
Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh), Edisi Pertama,
cet-2, h. 57-58.
36
pada 1 Januari 1938 dan dibuka secara resmi sejak 7 Maret 1938 atau 5
Muharram 1357 H. di gedung Cikini No. 8 Jakarta.17
Tidak berapa lama setelah diproklamirkan kemerdekaan Republik
Indonesia oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945. Ibu kota Negara
Republik Indonesia Jakarta, diduduki oleh tentara sekutu. Dalam keadaan
demikian, maka untuk menyelamatkan pemerintahan Negara Republik
Indonesi, pemerintah pusat yang dipimpin oleh Soekrno Hatta diungsikan dari
Jakarta ke Jogjakarta. Sehubungan dengan pemindahan pemerintah pusat ini,
maka Mahkamah Islam Tinggi, oleh Menteri Kehakiman berdasarkan Surat
Keputusan Menteri kehakiman No. T.2. kedudukannya yang semula di
Jakarta dipindahkan ke Surakarta.18
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggal 27
Desember 1949, suasana negeri mulai kondusif. Pusat pemerintahan RI
kembali berpusat di Jakarta. Tetapi MIT tidak kembali dipindahkan ke
Jakarta, ia tetap berada di Surakarta dan menjadi terkenal dengan nama MIT
Surakarta hingga kurun waktu 1949-1976 hanya ada satu MIT untuk Jawa
dan Madura, yakni MIT Surakarta.19
Pada tahun 1976, Menteri Agama mengeluarkan surat keputusan
Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976 tentang
pembentukan cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta di Bandung dan
Surabaya. Untuk cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung meliputi wilayah
hukum Jawa Barat dan Jakarta; dan untuk cabang Mahkamah Islam Tinggi
Surabaya meliputi wilayah hukum Jawa Timur dan Madura.20 Waktu itu di
Jakarta sudah ada pengadilan Agama Istimewa Jakarta raya sebagai induk,
17 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), cet-2, h. 63. 18 Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, cet-1, h. 45. 19 Arsip Pengadilan Tinggi Agama Jakarta h. 3 20 Arsip Pengadilan Tinggi Agama Jakarta h. 3
37
Pengadilan agama cabang Jakarta Utara dan Pengadilan Agama Cabang
Jakarta tengah.21
Tahun 1980, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Agama Nomor 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang penyeragaman
nama lembaga menjadi sebutan Pengadilan Agama. dan untuk tingkat
banding disebut dengan Pengadilan Tinggi Agama. Dalam hal ini Mahkamah
Islam Tinggi Surakarta menjadi Pengadilan Tinggi Agama Surakarta.22
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 61 Tahun 1985,
Pengadilan Tinggi Agama Surakata dipindah ke Jakarta, akan tetapi
realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara
otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah
menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.23 PTA Surakarta
berubah nomenklaturnya dan lokasinya, sehingga menjadi PTA Semarang
berkedudukan di Semarang yang wilayah hukumnya meliputi Jawa Tengah.
Bersamaan dengan itu terbentuk pula beberapa PTA di provinsi lain di
seluruh Indonesia.24
Maka sejak tahun 1987, secara otomatis Pengadilan agama yang sudah
ada di DKI Jakarta berada dibawah Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Pada
saat itu PTA Jakarta menempati gedung milik Kementrian Agama di jalan
Cemara Nomor 42 Jakarta Pusat.25 Dan saat ini kantor Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta terletak di Jl. Raden Inten II 3 RT 5/RW 14 Duren Sawit Kota
Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13440.
2. Tugas Pokok Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
21 http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/sejarah di akses 30
Maret 2018 Jam 8.10. 22 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, cet-2, h. 77. 23 http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/sejarah di akses 30
Maret 2018 Jam 9.46. 24 Arsip Pengadilan Tinggi Agama Jakarta h. 3 25 Arsip Pengadilan Tinggi Agama Jakarta h. 3
38
1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni
menyangkut perkara-perkara:
a. Perkawinan.
b. Waris.
c. Wasiat.
d. Hibah.
e. Wakaf.
f. Zakat.
g. Infaq.
h. Shadaqah.
i. Ekonomi Syari'ah.
Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun
2006 menyebutkan bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian
rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan
lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini pengadilan agama diminta oleh
Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian
orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki
bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka
Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1
(satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan
keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan
penentuan waktu shalat. Di samping itu, dalam penjelasan UU nomor 3 tahun
2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk Pengangkatan Anak
menurut ketentuan hukum Islam Di samping itu, Pengadilan Tinggi Agama
juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah
hukumnya.26
26 http://www.pta-jakarta.go.id/index.php/joomla-pages/layout/2-sidebar-2 di akses
11 Februari 2018 jam 08.53.
39
3. Fungsi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Tinggi Agama
mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Memberikan pelayanan teknis yustisial bagi perkara banding.
b. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan
administrasi peradilan lainnya.
c. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum
Islam pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur dalam pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
d. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku Hakim,
Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya.
e. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat
Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajarnya.
f. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di
lingkungan Pengadilan Tinggi Agama dan Penagdilan Agama.
g. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan
sebagainya.27
C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1082/Pdt.G/2013/PAJT
Pengadilan Agama Jakarta Timur menerima surat permohonan cerai talak
pada tanggal 15 April 2013 dengan Pemohon yang memiliki identitas sebagai
berikut :
1. Pemohon, umur 45 Tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat
tinggal di Kabupaten Bekasi.
Pemohon melawan Termohon yang identitasnya sebagai berikut:
27 http://www.pta-jakarta.go.id/index.php/joomla-pages/layout/2-sidebar-2 di akses
11 Februari 2018 jam 08.53.
40
2. Termohon, umur 44 Tahun, pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal
di Jakarta Timur, berdasar surat kuasa yang telah didaftarkan memberikan
kuasa insidentil kepada Hj. Musnidar, umur 70 Tahun, agama Islam,
pekerjaan pensiunan hakim.28
Adapun posita Pemohon dalam mengajukan permohonan cerai talak
tersebut ialah bahwa, pada tanggal 8 september 1996 telah dilangsungkan
pernikahan antara Pemohon dan Termohon yang dicatatkan dikantor urusan
agama, keduanya tinggal dirumah kediaman bersama. dari pernikahan
tersebut dikaruniai 3 orang anak: anak pertama laki-laki lahir pada tanggal 17
Juni 1997, anak kedua perempuan lahir pada tanggal 10 Juli 2001, anak
ketiga laki-laki lahir pada tanggal 27 Oktober 2002.29
Pemohon setelah berumah tangga dengan Termohon merasa tidak bahagia
ada hal-hal yang tidak diinginkan, seperti hubungan antara keduanya tidak
harmonis, adanya ketidakcocokan yang mengakibatkan terjadinya
perselisihan dan pertengkaran terus menerus, yang penyebabnya antara lain:
a. Adanya ketidakcocokan dan perbedaan persepsi antara Pemohon dan
Termohon dalam membangun rumah tangga.
b. Adanya komunikasi yang kurang baik antara Pemohon dan Termohon.
c. Termohon memutuskan silaturahmi dengan keluar dari pihak Pemohon,
d. Termohon tidak bisa mengelola keuangan keluarga.
e. Termohon tidak melayani Pemohon seperti menyediakan makan,
menyiapkan baju bersih dan sebagainya.
f. Termohon sering keluar rumah tanpa izin dan sepengetahuan Pemohon.
g. Termohon sering mengucapkan kata-kata kasar terhadap Pemohon.
h. Termohon sering melarang Pemohon berhubungan dengan keluarga
Pemohon.
i. Termohon selalu menolak berhubungan suami istri dengan pemohon.30
28 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 1. 29 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 2. 30 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 2-3.
41
Puncak dari pertengkaran dan perselisihan terjadi pada tanggal 5
Desember 2012 antara Pemohon dan Termohon telah pisah rumah, Pemohon
meninggalkan rumah dan tinggal di kontrakan. Sehingga sejak saat itu antara
keduanya sudah tidak pernah melakukan hubungan sebagaimana layaknya
suami istri, hilangnya rasa cinta mencintai dan kasih sayang menyebabkan
pernikahan antara Pemohon dan Termohon sulit dibina untuk membentuk
suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sebagaimana
maksud dan tujuan dari suatu pernikahan.31
Perselisihan terus menerurus membuat Pemohon merasa tidak dapat lagi
bertahan dan Pemohon memutuskan untuk bercerai sehingga Pemohon
mengajukan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Setelah keduanya hadir dipersidangan, hakim memberikan nasihat agar
Pemohon dan Termohon rukun kembali dan hidup harmonis seperti dulu tapi
nasihat tersebut gagal, hakim kemudian memerintahkan untuk melakukan
mediasi dan ditunjuklah Drs. H. Ahmad Fakaubun sebagai mediator, mediasi
yang telah dilaksanakanpun dinyatakan gagal.32
Persidangan dilanjutkan dengan membacakan surat Permohonan Pemohon
yang isinya sebagai berikut:
Primair
- Menerima dan mengabulkan Permohonan Talaq dari Pemohon untuk
seluruhnya.
- Memberikan Ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan dan membacakan
Ikrar Talaq kepada Termohon di Persidangan Pengadilan Agama Jakarta
Timur.
- Membebankan biaya perkara menurut hukum.
Subsidair
- Mohon putusan yang seadil-adilnya.33
31 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 3. 32 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 3-4. 33 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 3-4.
42
Atas permohonan Pemohon tersebut Termohon menyampaikan eksepsi
pada jawabannya tentang identitas Pemohon yang dalam surat
permohonannya tertulis bahwa pekerjaan Pemohon adalah pegawai swasta,
menurut Termohon pekerjaan Pemohon sebenarnya adalah pegawai negeri
disalah satu perusahaan BUMN sehingga ada unsur kebohongan. Oleh karena
itu, Termohon memohon kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara
ini agar permohonan cerai talak Pemohon tidak diterima.34
Setelah keduanya menikah sebenarnya tidak tinggal dirumah kediaman
bersama akan tetapi tinggal dirumah dikontrakan kemudian berpindah-pindah
sampai rumah yang sekarang Termohon tempati adalah rumah yang kesekian
kalinya Pemohon kontrak. Termohon mengaku rumah tangganya baik-baik
saja antara keduanya masih ada rasa cinta mencintai dan hormat
menghormati, Termohon merasa Pemohon adalah suami dan ayah yang
menyayangi anak dan istrinya, sekalipun terjadi pertengkaran bisa
diselesaikan dengan baik, namun sejak November 2012 terlihat gelagat dan
tingkah laku yang kurang baik dari Pemohon dimana Pemohon sering pulang
larut malam, pernah suatu saat secara tidak sengaja Termohon mendengar
Pemohon sedang menerima telpon dari seseorang, Pemohon didesak untuk
segera menikah, walaupun Pemohon sudah terpeleset mencari kesenangan
dengan perempuan lain diluar sana tapi Termohon akan tetap bersabar dan
berdoa semoga suatu saat nanti Pemohon akan kembali. Oleh karena itu,
Termohon menolak semua alasan-alasan yang dibuat oleh Pemohon,
Termohon akan tetap mempertahankan pernikahannya tidak akan berpisah
atau bercerai gara-gara Pemohon yang sedang puber untuk kedua kalinya.35
Termohon memohon kepada majelis hakim agar memutuskan perkara ini
sebagai berikut :
Primair
- Menolak permohonan cerai talak Pemohon.
- Membebankan biaya perkara menurut hukum.
34 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 4. 35 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 4-7.
43
Subsidair
- Mohon putusan yang seadil-adilnya.36
Termohon kemudian malakukan Gugatan Rekonvensi, sejak bulan
November 2012 Termohon Rekonvensi telah melalaikan kewajibannya
sebagai seorang ayah yang baik, sehingga ketiga anak kurang mendapatkan
perhatian dan kasih sayang dari Termohon Rekonvensi, ketiga anak tersebut
tinggal bersama Pemohon Rekonvensi. Keduanyapun masih mempunyai
tunggakan kredit kepemilikan rumah yang dibeli melalui KPR Bank BTN
dengan jangka waktu cicilan kredit selama 15 tahun dan baru berjalan 2
tahun, karena dikhawatirkan Termohon Rekonvensi tidak membayar cicilan
rumah tersebut maka Pemohon Rekonvensi memohon pada majelis hakim
agar Termohon Rekonvensi membayar cicilan sisa tersebut sampai lunas dan
menyerahkan rumah tersebut pada Pemohon Rekonvensi yang tujuannya
untuk tempat tinggal bersama anak-anak.37
Sulitnya melakukan komunikasi dan kedua anak sudah waktunya
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, akhirnya Permohon
Rekonvensi mengambil keputusan dengan mendaftarkan kedua anak untuk
masuk SMP dan SMA. Dimana biaya SPP dan biaya lainnya memerlukan
biaya masing-masing Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Jadi biaya untuk
kedua anak tersebut memerlukan Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) yang
harus dibayar sebelum tanggal 10 tiap awal bulan.38
Berdasarkan hal tersebut, Pemohon Rekonvensi mohon pada majelis
hakim agar memutuskan perkara sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan Pemohon Rekonvensi seluruhnya.
- Menghukum Termohon Rekonvensi membayar cicilan rumah di Perum
Bekasi setiap bulannya sampai lunas.
36 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 7. 37 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 8. 38 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 8.
44
- Menghukum Termohon Rekonvensi membayar biaya sekolah kedua
anaknya setiap bulannya sebesar Rp. 4.000.000,00 (Empat juta rupiah)
yang harus dibayarkan setiap tanggal 10 di awal bulan.39
Majelis hakim kemudian menyatakan persidangan dapat dilanjutkan,
majelis hakim perlu mengetahui lebih dahulu ada tidaknya pernikahan antara
Pemohon Rekonvensi dan Termohon Rekonvensi, berdasarkan bukti berupa
Fotokopi kutipan akta nikah dari kantor urusan agama yang telah diberi
materai, kemudian dicocokan dengan aslinya dan ternyata sesuai, bukti
tersebut dinilai telah memenuhi syarat sebagai alat bukti dan dinilai sebagai
akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga
harus dinyatakan terbukti antara Pemohon Rekonvensi dan Termohon
Rekonvensi telah terikat perkawinan yang sah.40
Setelah majelis hakim memeriksa semua alat bukti yang sudah
dikonfirmasi semua dengan aslinya, termasuk pengakuan dari Pemohon dan
Termohon diperkuat dengan keterangan saksi-saksi yang sudah ditanyakan
dan disumpah baik saksi dari Pemohon maupun Termohon, terbukti bahwa
keduanya telah pisah rumah dan komunikasi diantara keduanya pun sudah
tidak baik, dengan ini majelis hakim berpendapat ada keretakan dalam rumah
tangga antara Pemohon dan Termohon, keduanya sudah tidak rukun dan
seharmonis dulu serta adanya perselisihan secara terus menerus yang
menyebabkan hilangnya rasa kasih sayang sehingga tidak ada harapan untuk
rukun kembali.41
Dalam memutuskan perkara ini, Hakim mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Bahwa terhadap eksepsi yang diajukan Termohon terhadap dalil
permohonan pemohon yang mencantumkan identitas yang tidak benar,
seperti pekerjaan pemohon adalah pegawai swasta padahal sebenarnya
pegawai negeri sipil di salah satu perusahaan BUMN dianggap kabur dan
tidak jelas, atas eksepsi tersebut pemohon telah mengajukan surat
39 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 8-9. 40 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 9. 41 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 9-14.
45
keterangan dari atasannya yang menerangkan bahwa pemohon bukan
pegawai negeri sipil karena perusahaan Pemohon tidak terikat dengan
ketentuan Pasal 3 PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990
tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai negeri sipil,
perusahaan Pemohon hanya mengacu pada Undang-undang No. 13 Tahun
2013 tentang ketenagakerjaan dan Undang-undang No. 19 Tahun 2003
tentang badan usaha milik negara yang kesemuanya tidak mengatur
perceraian harus seizing atasan.42
2) Bahwa dari fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan telah terbukti
bahwa adanya keretakan dalam rumah tangga, adanya percekcokan dan
pertengkaran secara terus menerus, pihak keluarga juga sudah berusaha
mendamaikan Pemohon dan Termohon tetapi tidak berhasil. Menurut
Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tujuan perkawinan adalah
untuk membina rumah tangga yang bahagia dan kekal. Apabila dalam
suatu rumah tangga tidak ada kebahagiaan dan salah satu pihak telah
bertekad untuk bercerai maka mempertahankan rumah tangga yang
demikian mafsadatnya adalah lebih besar dari pada manfaat dan
maslahatnya, sesuai kaidah fiqh yang berbunyi:
املفاسدمقدم على جلب املصاحلدرأ
Artinya: Bahwa menghindarkan kerusakan harus lebih diutamakan dari
pada mendambakan kemaslahatan.43
3) Bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan diatas, majelis hakim menilai
rumah tangga antara Pemohon dan Termohon mengalami perpecahan yang
sulit untuk dirukunkan, dengan demikian maksud Pemohon Konvensi
untuk bercerai telah sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 jo. Pasal 116 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f)
KHI. oleh karena itu, dengan menunjuk kepada ketemtuan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2), permohonan pemohon sudah
42 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 15. 43 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 18-19.
46
sepatutnya dikabulkan dengan memberi izin kepada pemohon untuk
mengucapkan talak satu raj’I.44
4) Bahwa karena permohonan Pemohon Konvensi dikabulkan, maka majelis
hakim secara ex officio mempertimbangkan kewajiban Pemohon
Konvensi, bilamana perkawinan putus atas kehendak suami, suami wajib
memberikan Mut’ah. Majelis hakim secara ex officio menghukum
Pemohon Konvensi untuk memberikan mut’ah berupa uang sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) dan karena perkawinan ini putus karena
talak, majelis hakim secara ex officio menghukum Pemohon Konvensi
untuk memberikan nafkah selama masa iddah sebesar 3.000.000,- (tiga
juta rupiah).45
5) Bahwa gugatan Penggugat Rekonvensi agar Tergugat Rekonvensi
membayar biaya sekolah atas kedua orang anak yang telah dilalaikan
Tergugat Rekonvensi sebesar Rp. 4.000.000,- setiap bulan. Terhadap
gugatan tersebut Tergugat Rekonvensi telah membantahnya dengan
mengajukan bukti-bukti pembayaran, baik melalui transfer maupun datang
langsung ke sekolah. Oleh karena itu, gugatan Penggugat Rekonvensi
dinyatakan ditolak.46
6) Bahwa meskipun Tergugat Rekonvensi sebagai ayah telah memenuhi
kewajibannya untuk memberikan biaya sekolah kepada anak-anaknya
secara langsung kesekolah, namun sesuai pasal 149 huruf (d) bilamana
perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib memberikan
nafkah kepada anak-anaknya yang belum mencapai 21 tahun, majelis
hakim secara ex officio menghukum Tergugat Rekonvensi untuk
membayar nafkah kepada ketiga anaknya sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta
rupiah) setiap bulan diluar biaya pendidikan, kesehatan dan sandang.47
44 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 19-20. 45 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 20. 46 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 21. 47 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 21.
47
7) Bahwa gugatan Penggugat Rekonvensi agar Tergugat Rekonvensi
membayar sisa cicilan rumah sampai lunas dan memberikan rumah
tersebut pada Tergugat Rekonvensi dianggap tidak jelas, maka majelis
hakim menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima.48
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka amar putusannya adalah:
Dalam Eksepsi
- Menolak eksepsi Termohon
Dalam Konvensi
- Mengabulkan Permohonan Pemohon.
- Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon untuk ikrar menjatuhkan talak
1 (satu) raj’I terhadap Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama
Jakarta Timur.
- Menghukum Pemohon untuk memberikan kepada Termohon:
- Nafkah Iddah sebesar Rp. 3.000.000,- (Tiga juta rupiah)
- Mut’ah berupa uang sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah)
- Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk
mengirim salinan penetapan ikrar talak perkara ini kepada Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Cianjur Kabupaten
Cianjur Jawa Barat dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Pondok Bambu,
Kota Jakarta Timur, untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu.
Dalam Rekonvensi
- Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian.
- Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan nafkah anak sebesar
Rp. 3.000.000,- (Tiga juta rupiah) setiap bulan diluar biaya pendidikan,
kesehatan dan sandang.
- Menolak dan menyatakan tidak dapat diterima selain dan selebihnya.
48 Salinan Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 21.
48
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
- Membebankan kepada Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk
membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp. 416.000,-
(Empat ratus enam belas ribu rupiah).49
D. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No. 16 Pdt.G/2015/PTA JK
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang berkedudukan di ibu kota
mendapat permohonan banding atas putusan Pengadilan Agama Jakarta
Timur Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT yang diputus pada hari senin tanggal 1
september 2014 M bertepatan dengan tanggal 2 Zulqa’dah 1435 H,
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta kemudian memberikan nomor perkara
16/Pdt.G/2015/PTA JK. Permohonan banding tersebut diajukan oleh
Termohon karena merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Agama
Jakarta Timur. Termohon sekarang sebagai Pembanding dan Pemohon
sekarang sebagai Terbanding.50
Pembanding mengajukan memori banding dengan suratnya pada tanggal 6
oktober 2014 untuk menanggapi putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
yang dinggap luput dari pertimbangan hakim dalam memutuskan putusannya
yang di terima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Timur pada
tanggal 23 oktober 2014 dan untuk kontra memori banding di ajukan
Terbanding pada tanggal 18 November 2014 untuk menanggapi memori
banding Pembanding yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Jakarta Timur pada tangal 19 November 2014. Kemudian perkara ini
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada tanggal 20
Januari 2015. Karena perkara ini telah diajukan dengan waktu dan cara-cara
yang telah sesuai dengan aturan maka maka majelis hakim tingkat banding
menyatakan dapat diterima.51
49 Salinan Amar Putusan PA Jakarta Timur Nomor : 1082/Pdt.G/2013/PAJT, h. 22-
23 diputuskan dalam permusyawaratan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur pada
hari Rabu tanggal 1 September 2014 bertepatan dengan tanggal 2 Zulqa’dah 1435 Hijriah. 50 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 1. 51 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 3.
49
Dalam memutuskan perkara ini, hakim tingkat banding
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap keberatan Termohon/Pembanding yang menyatakan
susunan majelis hakim didalam putusan yang terdiri dari Drs. Ahmad
Zawawi, M.H., sebagai ketua majelis, Dra. Nur’aini Saladin, S.H., dan
Dra. Hj. Nuroniah, S.H., M.H., sebagai hakim anggota, ketika pembacaan
putusan yang terbuka untuk umum tersebut salah seorang hakim anggota
tidak hadir dan digantikan oleh hakim laki-laki dimana
Termohon/Pembanding tidak mengetahui namanya terhadap keberatan
tersebut majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa perbedaan
nama hakim pada saat pembacaan putusan tersebut hanya terjadi kesalahan
ketik pada kaki putusan dan tidak akan mengubah substansi putusannya,
susunan majelis telah sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang
menyatakan:”Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali
undang-undang menentukan lain.52
2. Bahwa penetapan mut’ah dan nafkah iddah yang telah diputus oleh majelis
hakim tingkat pertama telah sesuai dengan Pasal 149 huruf (a) dan (b)
KHI, majelis hakim tingkat banding sependapat dan menyetujui
pertimbangan tersebut, namun majelis hakim tingkat banding memperbaiki
jumlah masing-masing penetapan. Dengan stastus Pemohon/Terbanding
sebagai karyawan salah satu BUMN dengan perceraian ini
Termohon/Pembanding akan kehilangan hak-haknya sebagai istri
karyawan BUMN seperti asuransi kesehatan, hak pensiun dan sebagainya.
Berdasarkan kontra memori banding yang disampaikan oleh
Pemohon/Terbanding majelis hakim tingkat banding memperoleh fakta
meskipun slip penghasilan bulan November 2012 sebesar Rp 6.487.218,-
(enam juta empat ratus delapan puluh tujuh dua ratus delapan belas
rupiah), namun majelis hakim menilai kemampuan Pemohon/Terbanding
52 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 4.
50
dari pendapatan lain yaitu THR, Gaji XIII dan Bonus yang diterima bulan
Mei 2014 sebesar Rp. 58.858.711,- (lima puluh delapan juta delapan ratus
lima puluh delapan tujuh ratus sebelas rupiah), THR, Gaji XIII uang
muka/Bonus yang diterima pada bulan Juni 2014 sebesar Rp. 24.000.000,-
(dua puluh empat juta), THR, Gaji XIII, uang muka/bonus yang diterima
pada Juli 2014 sebesar Rp. 15.209.940,- (lima belas juta dua ratus
sembilan ribu sembilan ratus empat puluh rupiah). Oleh karena itu, majelis
hakim tingkat banding menetapkan biaya mut’ah sebesar Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah), sedang nafkah Iddah selama 3 bulan sebesar Rp.
4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah), yang harus dibayar tunai
pada saat ikrar sidang talak.53
3. Bahwa sesuai memori banding yang disampaikan oleh
Termohon/Pembanding melalui Panitera Pengadilan Agama Jakarta
Timur, maka Penggugat Rekonvensi mengajukan gugatan sebagai berikut:
a. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan nafkah anak-
anak dan istrinya sejumlah Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah) setiap
bulan, uang pendidikan, kesehatan dan sandang kepada anak-anak
setiap bulan sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).
b. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Terbanding mematuhi dan
melaksanakan isi surat pernyataan yang dibuat diatas materai oleh
Tergugat Rekonvensi/Terbanding sendiri pertanggal 14 November
2013 di hadapan Asisten Manager.
Ketentuan Pasal 132 b HIR menyatakan : “Tergugat Rekonvensi wajib
memajukan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabannya, baik
dengan surat maupun dengan lisan”. Berdasarkan ketentuan tersebut
majelis hakim tingkat banding berpendapat gugatan rekonvensi yang
diajukan oleh Termohon/Pembanding bersama dengan memori bandingnya
tidak memenuhi syarat formil suatu gugatan rekonvensi, oleh karena itu
majelis hakim tingkat banding tidak dapat diterima.54
53 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 6-8. 54 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 9-10.
51
4. Bahwa terhadap gugatan rekonvensi yang diajukan sesuai berita acara
persidangan, majelis hakim tingkat banding sependapat dengan majelis
hakim tingkat pertama, akan tetapi majelis hakim tingkat banding perlu
menambah dan menyesuaikannya dengan perkembangan kebutuhan
nafkah bagi ketiga anaknya menjadi sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000,-
(empat juta rupiah) setiap bulan dengan kenaikan 20% setiap tahunnya
hingga masing-masing berumur 21 tahun atau mandiri diluar biaya
pendidikan, kesehatan dan sandangnya.55
5. Bahwa dalam rangka menjaga agar tidak terjadi penelantaran terhadap
ketiga anak tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 2004 tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga
sebagai akibat kelalaian pembayaran nafkah bagi keriga anaknya, maka
majelis hakim tingkat banding menerapkan ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata, dengan menyatakan bahwa gaji dan penghasilan
Pemohon/Terbanding sebagai salah satu karyawan BUMN atau semua
harta milik Pemohon/Terbanding baik yang ada atau yang akan ada
sebagai jaminan atas kelalaian pembayaran nafkah terhadap ketiga orang
anak.56
6. Bahwa dalam rangka untuk memberikan perlindungan hukum dan
kepastian hukum terhadap siapa yang bertanggungjawab terhadap
pemeliharaan kepada ketiga anaknya setelah terjadi perceraian antara
kedua orang tuanya, maka majelis hakim tingkat banding menunjuk
Penggugat Rekonvensi/Pembanding selaku ibu kandungnya sebagai pihak
yang bertanggungjawab untuk memelihara ketiga anaknya tersebut hingga
masing-masing memilih untuk diasuh atau dipelihara oleh Tergugat
Rekonvensi/Terbanding selaku ayah kandungnya.57
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka amar putusannya adalah:
- Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menyatakan, permohonan banding yang
diajukan oleh Termohon/Pembanding dapat diterima.
55 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 10. 56 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 11. 57 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 11.
52
- Menguatkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No.
1082/Pdt.G/2013/PA JT, tanggal 01 September 2014 Masehi, bertepatan
dengan tanggal 02 Dzulqa’dah 1435 Hijriah dengan tambahan dan
perbaikan amar sehingga berbunyi sebagai berikut:
Dalam Eksepsi
- Menolak eksepsi Termohon.
Dalam Konvensi
- Mengabulkan permohonan Pemohon.
- Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i
terhadap Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur.
- Menghukum Pemohon untuk memberikan kepada Termohon:
- Mut’ah berupa uang sejumlah Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah).
- Nafkah Iddah sejumlah Rp 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu
rupiah).
Yang harus dibayar secara tunai sesaat setelah ikrar talak dijatuhkan.
- Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk
mengirim salinan penetapan ikrar talak perkara ini kepada pegawai
pencatat nikah kantor urusan agama kecamatan Cianjur, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat, dan kantor urusan agama kecamatan Tarumajaya
Kabupaten Bekasi dan kantor urusan agama kecamatan Duren Sawit, Kota
Jakarta Timur untuk dicatat dalam daftar yang telah disediakan untuk itu.
Dalam Rekonvensi
- Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian.
- Menunjuk Penggugat Rekonvensi selaku ibu kandung sebagai penanggung
jawab pemeliharaan atas ketiga orang anak yang bernama anak 1, laki-laki,
lahir 17 Juni 1997, anak 2, perempuan, lahir tanggal 10 Juli 2001, dan
anak 3, laki-laki, lahir tanggal 27 Oktober 2002, hingga masing-masing
anak tersebut berumur 21 tahun atau masing-masing anak a quo memilih
untuk diasuh atau dipelihara oleh Tergugat Rekonvensi selaku ayah
kandungnya.
53
- Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat
Rekonvensi berupa nafkah ketiga orang anak tersebut dalam point 2 (dua)
minimal sejumlah Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah) setiap bulan dengan
kenaikan 20% (dua puluh persen) pertahunnya hingga masing-masing
ketiga orang anak a quo berumur 21 tahun atau mandiri di luar biaya
pendidikan, kesehatan dan sandangnya. Dan menyatakan gaji Tergugat
Rekonvensi sebagai karyawan salah satu BUMN atau semua hartanya baik
yang ada atau yang akan ada sebagai jaminan atas kelalaian pembayaran
nafkah ketiga orang anak a quo kepada Penggugat Rekonvensi.
- Menyatakan menolak dan dapat menerima gugatan selain dan selebihnya.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
- Membebankan kepada Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi biaya
perkara sejumlah Rp 1.266.000,- (satu juta dua ratus enam puluh enam
ribu rupiah).
- Membebankan kepada Termohon/Pembanding untuk membayar biaya
perkara ini dalam tingkat banding sejumlah Rp 150.000,- (serratus lima
puluh ribu rupiah).58
58 Salinan Amar Putusan PTA Jakarta : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 12-14 diputuskan
dalam permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada hari rabu
tanggal 25 Februari 2015 bertepatan dengan tanggal 6 Jumadilawal 1436 Hijriah.
54
BAB IV
ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM PADA PUTUSAN NOMOR
1082/PDT.G/2013PAJT DAN PUTUSAN NOMOR 16/PDT.G/2015/PTA JK
A. Implementasi asas Ultra Petitum Partium terkait hak asuh anak pada putusan
Pengadilan Agama Jakarta Timur nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK.
Sistem hukum acara perdata yang terdapat di dalam HIR/RBG adalah
menyerahkan kepada hakim agar berperan untuk memimpin persidangan mulai
dari permulaan proses berperkara sampai dengan berakhirnya proses perkara
tersebut. Sistem hukum acara yang menyerahkan pimpinan proses kepada hakim
adalah sesuai dengan pikiran tradisional Indonesia yang mengutamakan
kepentingan masyarakat yang menghendaki bahwa suatu perkara diajukan pada
hakim, negara wajib menyelesaikan perkara tersebut sehingga perkara dapat
berakhir secara mutlak.1
Permasalahannya adalah apakah peranan yang diberikan kepada hakim untuk
memimpin proses berperkara tersebut sedemikian luasnya, sehingga hakim
dengan menggunakan asas et aequo et bono tidak terikat lagi pada bentuk dan isi
petitum atau bahkan hakim dapat memutus melebihi petitum yang diajukan para
pihak,2 terutama dalam kasus yang penulis bahas yaitu putusan yang tidak dituntut
baik oleh pemohon maupun termohon terkait hak asuh anak.
Mengenai perkara cerai talak ini sebenarnya baik majelis hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur maupun majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
pasca perceraian sama-sama menginginkan yang terbaik bagi anak, namun para
hakim berbeda pendapat dalam menunjuk atau tidak menunjuk hak asuhnya, di
tingkat pertama majelis hakim tidak menunjuk siapa pengasuhnya namun majelis
hakim tingkat banding menunjuk ibu sebagai pihak yang bertanggungjawab bagi
ketiga anaknya, masing-masing mempunyai ijtihad dan pertimbangan untuk
kemaslahatan anak.
1 Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, (Jakarta: Prenada Media Group,
2014), cet-1, h. 36-37. 2 Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, cet-1, h. 37.
55
Hakim tingkat pertama maupun hakim tingkat banding sebenarnya tetap
bersandar pada Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) Rbg yang melarang
seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut, hakim hanya boleh memutus
yang dituntut oleh para pihak, tidak boleh menambah hal-hal lain yang tidak
diminta. Namun dalam hal ini ada aturan khusus yakni SEMA No 7 Tahun 2012
terutama pasca perceraian walaupun tidak diminta hak asuh oleh para pihak,
hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua untuk mengasuh dan
mendidik anak tersebut, sehingga ultra petita tidak berlaku dalam hal ini. Dengan
keluarnya SEMA No 7 Tahun 2012 sub kamar perdata umum point XII ialah tidak
memberlakukan asas ultra petitum partium yang berkaitan dengan akibat
perceraian, suami istri yang melakukan perceraian tidak memunculkan perwalian,
maka hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua sebagai pihak yang
bertanggung jawab untuk mendidik dan memelihara anak tersebut.
Penerapan asas ultra petitum partium di Pengadilan Agama Jakarta Timur
pada putusan nomor 1082/Pdt.G/2013/PA JT sudah berjalan dengan baik, berikut
wawancara yang penulis lakukan dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
yang memutus perkara nomor 1082/Pdt.G/2013/PA JT.
“ Fokus kami kemarin ke perkara cerai talaknya tidak ke hadhanahnya,
karena dalam permohonan tersebut pemohon tidak meminta hak asuh,
kemudian dalam jawaban termohon juga tidak, baik dalam konvensi maupun
rekonvensi tidak ada yang mempermasalahkan hak asuh. Jadi ada asas ultra
petitum partium (pengadilan tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi apa
yang diminta) kami sesuai dengan asas itu sudah benar, kami hanya memutus
yang diminta saja. Yang saya lihat hubungan antara anak dan ayah baik-baik
saja, suka bercanda baik-baik aja tidak ada masalah artinya tidak perlu kita
tetapkan dan berjalan seperti biasa saja, jadi anak bisa kesini dan bisa kesana,
karena diawal sudah ada di ibu sesuai dengan pasal 105 KHI otomatis tidak
kita tetapkan lagi. Putusan yang kami jatuhkan sudah sesuai dengan asas ultra
petitum partium.”3
Perihal Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak menunjuk ayah atau
ibu sebagai pihak pengasuh bukan semata-mata tanpa sebab, melainkan ada alasan
dalam memutus perkara tersebut, majelis hakim melihat dalam proses persidangan
3 Ahmad Zawawi. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta,
22 Juni 2018.
56
baik ayah maupun ibu sama-sama tidak ada yang meminta hak asuh, dalam
petitum, jawaban, replik dan duplik tidak ada yang meminta hak asuh anak,
sehingga dalam petimbangan hakimpun tidak ada bahasan tentang hak asuh anak.
Namun dalam hal ini, hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak menerapkan
SEMA No 7 Tahun 2012 dalam putusannya, padahal aturan tersebut aturan
khusus yakni pasca perceraian walaupun tidak diminta oleh para pihak, hakim
harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua sebagai pihak yang
bertanggungjawab untuk mengasuh dan mendidik anaknya, dalam hal ini penulis
menganggap hakim ditingkat pertama kurang teliti membaca surat edaran
mahkamah agung sehingga putusannya kurang tepat, wawancara yang penulis
lakukan dengan hakim tingkat pertama dalam jawabannya hakim hanya membaca
surat edaran mahkamah agung di kamar agama saja tanpa melihat kamar perdata,
padahal aturan tersebut ada di sub kamar perdata umum.
“ Biasanya kalau pengadilan itu masing-masing kamar kan? Buat rumusan
rumusan, kebetulan saya juga sudah mengcopy dan yang saya copy itu khusus
untuk kamar agama karena wilayah kita di kamar agama, saya tidak baca
yang dikamar perdata umum saya langsung buka di kamar perdata agama.
Diumum itu kan kadang-kadang ada aturan perkawinan diluar Islam. Kenapa
kita tidak pertimbangkan masalah SEMA itu? Karena memang tidak ada dari
awal, dari permohonan, replik, duplik, tidak ada jadi khusus untuk cerai
talaknya saja dan nafkah anak. Masalah hak asuhnya tidak kita jadikan
masalah karena memang selama ini sudah berjalan dengan baik, kalau kita
berikan ke salah satu orang tua mungkin akan timbul sengketa, kadang
setelah ditunjuk itu bukan semakin baik malah semakin renggang karena
masing-masing punya keinginan untuk mengasuh anak. Makanya kita ambil
jalan tengah karena sudah berjalan seperti itu dan tidak ada masalah juga
lebih maslahat.” 4
Berbeda dengan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, hakim ditingkat banding
menerapkan SEMA No. 7 Tahun 2012 terkait pasca perceraian, walaupun tidak
diminta oleh para pihak. Hakim ditingkat banding menunjuk ibu sebagai pihak
yang bertanggungjawab bagi ketiga anaknya. Hakim ditingkat banding
sebenarnya tetap berpedoman pada asas ultra petitum partium. Seperti wawancara
4 Ahmad Zawawi. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta,
22 Juni 2018.
57
yang penulis lakukan, dalam jawabannya hakim menyampaikan bahwa memutus
melebihi yang dituntut tidak diperkenankan.
“yang namanya ultra petitum, gak boleh kalau hakim itu mengadili suatu
yang tidak diminta, apa yang diminta oleh sipenggugat itu yang diputus.
Umpamanya dalam perceraian, istri minta cerai dan dia hanya minta cerai
saja, si istri tidak menggugat harta tapi kok putusannya menyatakan harta dan
sebagainya itu tidak boleh. Jadi apa yang diminta itu yang diputuskan kecuali
ketika diminta ditengah proses persidangan ada perubahan itu bisa saja. Kalau
ada gugatan sesudah pembuktian itu sudah tidak bisa lagi.”5
Dalam hal ini karena ada aturan yang lebih khusus maka hakim di tingkat
banding mengenyampingkan ultra petitum partium dan menerapkan SEMA No 7
2012 dengan menunjuk ibu sebagai pihak yang bertanggung jawab bagi anaknya.
“Begini, didalam memutuskan suatu perkara harus punya sandaran atau
rujukan.. nah rujukan itu adalah SEMA. Anak itu kan harus ada yang
tanggungjawab selama masih ada orang tuanya baik bapak maupun ibunya,
itu tidak perlu menunjuk perwaliannya pada orang lain, berdasarkan SEMA
itu maka ditunjuklah ibu sebagai pihak yang bertanggungjawab, adapun
tingkat pertama tidak menggunakan SEMA itu hak mereka”6
Hakim ditingkat banding dalam putusannya kenapa memberikan hak asuh
pada ibu? Disini hakim beralasan untuk memberikan perlindungan hukum dan
kepastian hukum terhadap siapa yang bertanggung jawab untuk mengasuh ketiga
orang anaknya setelah terjadi perceraian, maka majelis hakim tingkat banding
menunjuk pembanding selaku ibu kandung sebagai pihak yang bertanggung jawab
untuk memelihara ketiga anak tersebut hingga masing-masing anak tersebut
memilih untuk diasuh atau dipelihara oleh Terbanding selaku ayah kandungnya.
Hal tersebut sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun
2012 tentang rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, sub kamar perdata umum, Point
XII, bahwa tentang akibat perceraian berdasarkan Pasal 41, 47 dan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa dengan adanya
perceraian tidak menjadikan kekuasaan orang tuanya berakhir dan tidak
5 Sam’un Abduh. Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten, Wawancara Pribadi, Jakarta,
28 Juni 2018. 6 Sam’un Abduh. Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten, Wawancara Pribadi, Jakarta,
28 Juni 2018.
58
memunculkan perwalian. Hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang
tuanya sebagai pihak yang memelihara dan mendidik anak tersebut.7
B. Faktor yang menyebabkan adanya disparitas putusan Pengadilan Agama Jakarta
Timur nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan putusan Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK tentang Ultra Petitum Partium terkait Hak
Asuh Anak.
Berdasarkan keterangan dan wawancara penulis dengan hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur dan hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dapat
diidentifikasi bahwa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan putusan tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Implementasi Asas Ultra Petitum Partium.
Hakim di tingkat pertama tetap berpegang teguh pada asas ultra petitum
partium tidak memutus bila tidak diminta, dalam proses persidangan para pihak
baik dalam posita, petitum, jawaban, replik dan duplik tidak ada yang
mempermasalahkan hak asuh anak sehingga hakim tingkat pertama tidak
memutus hak asuh tersebut, dengan ditunjuknya siapa pengasuhnya hakim
berkeyakinan akan muncul sengketa baru, akan ada perebutan hak asuh anak
sehingga hakim mengambil jalan tengah dengan tidak menunjuk pengasuh artinya
anak bisa ikut ke ibu bisa juga ikut ke ayah, hakim juga berkeyakinan dengan
tidak ditentukan ke ayah atau ke ibu selama ini sudah berjalan dengan baik dan
memberikan kemaslahatan untuk anak. Kemudian penulis juga berpendapat hakim
kurang menguasai SEMA No. 7 Tahun 2012 dalam jawabannya hakim memahami
SEMA No 7 Tahun 2012 hanya di kamar agama saja tanpa melihat kamar-kamar
lain, padahal aturan pasca perceraian anak harus ditunjuk ada di sub kamar
perdata umum.
2. Implementasi SEMA No 7 Tahun 2012.
Faktor kedua yang menyebabkan adanya perbedaan putusan ialah hakim
tingkat banding taat pada Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 Tahun 2012
tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai
Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan, sub kamar perdata umum, Point XII,
7 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 11-12.
59
bahwa tentang akibat perceraaian berdasarkan Pasal 41, 47 dan Pasal 50 Undang-
Undang Perkawinan dengan adanya perkawianan tidak menjadikan kekuasaan
orang tua berakhir dan tidak memunculkan perwalian, Hakim harus menunjuk
salah satu dari kedua orang tua sebagai pihak yang memelihara dan mendidik
anak tersebut. Walaupun pada asasnya hakim dilarang memutus melebihi dari
yang diminta, asas tersebut dapat dikesampingkan dengan adanya SEMA No 7
Tahun 2012 sehingga pasca perceraian tidak menjadikan kekuasaan orang tua
berakhir dan tidak memunculkan perwalian, walaupun tidak dimita oleh para
pihak hakim menunjuk ibu sebagai pihak yang memelihara dan mendidik ketiga
anaknya, hakim juga berkeyakinan jika tidak ditunjuk siapa pengasuhnya maka
tidak ada kepastian dan akan muncul masalah lain, hakim juga beralasan dalam
penunjukan ibu tersebut akan ada perlindungan dan kepastian hukum bagi anak.
Terhadap putusan yang tidak diminta tersebut, Majelis hakim tingkat banding
berpedoman pada Yuresprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 556/Sip/1971
tanggal 8 Januari 1972, Nomor 425K/Sip/1975 tanggal 15 Juli 1975 yang
mengandung kaidah hukum: “Judex Facti dibenarkan untuk memberikan putusan
melebihi petitum gugatan penggugat, dengan syarat hal tersebut masih sesuai
dengan dalil/posita/kejadian materiil yang dikemukakan oleh penggugat dalam
gugatannya”.8
Kemudian kenapa hak asuh ketiga anak diberikan pada ibu semua? Melalui
musyawarah, semua hakim sepakat menunjuk ibu karena ibu memiliki kasih
sayang dan perhatian yang lebih jika dibanding dengan ayah. Berikut jawaban
hakim tingkat banding ketika diwawancarai oleh penulis:
“Itu lihat kasusnya, jadi begini kenapa ayah itu tidak dapat hak asuh? ada
suatu kasus perceraian, kasus perceraian ini disamping kasus cerainya juga
mempersengketakan masalah anak, umpamanya suami menceraikan istrinya
dan sudah memiliki anak, anak itu kan ada yang masih dibawah umur dalam
arti belum mumayyiz dan ada yang sudah mumayyiz, dalam KHI anak umur
12 tahun dianggap sudah mumayyiz, kalau anak sudah mumayyiz dia
mempunyai hak pilih mau ikut bapak atau mau ikut dengan ibu, anak yang
sudah mumayiz harus dihadirkan dihadapan sidang untuk diketahui pendapat
anak tersebut, yang intinya mau kemana. Pada saat itu kita sepakat bahwa
berdasarkan SEMA harus ditentukan anak itu mau kemana supaya anak ini
8 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 12.
60
ada yang melindungi, berdasarkan kesepekatan tersebut kita menunjuk ibu
untuk mengasuh ketiga anaknya. Karena kalau tidak kita tentukan siapa yang
memelihara anak bisa kacau. Seorang bapak tentu berbeda dengan ibu, kalau
bapaknya menikah lagi dari pada ikut ibu tiri lebih baik ikut dengan ibu
kandung. Kenapa berdasar SEMA No 7 tahun 2012? Supaya anak itu ada
yang melindungi”.9
C. Kebebasan Hakim Dalam Mengenyampingkan Asas Ultra Petitum Partium.
Anak yang lahir dari kandungan ibunya, ia lahir dalam keadaan fitrah (suci
bersih) dan kedua orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya
sebaik-baiknya menjadi anak yang terdidik, shalih dan shalehah, menuju bahtera
kehidupan duniawi dan ukhrawi, sejahtera lahir batin, berbakti untuk nusa dan
bangasa. Kewajiban orang tua sebagaimana diurai diatas, berlaku sampai anak
dewasa atau dapat berdiri sendiri atau sudah kawin, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan kedua orang tua telah putus karena perceraian.10 Mengenai
perkara cerai talak ini sebenarnya baik hakim di tingkat pertama maupun hakim
ditingkat banding menginginkan yang terbaik bagi anak setelah terjadi perceraian
antara kedua orang tuanya, namun hakim berbeda pandangan dalam menentukan
hak asuh dengan menunjuk atau tidak menunjuk hak asuh pada ibu atau ayah,
hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tidak menunjuk salah satu dari kedua
orang tua untuk mengasuh anak pasca perceraian, namun hakim Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta menunjuk ibu sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk
memelihara dan mendidik anak tersebut.
Pada dasarnya ibu kandung mempunyai hak asuh terhadap anaknya yang
belum mumayyiz, sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105,
dalam hal terjadinya perceraian:
1. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
2. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan pada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya.
9 Sam’un Abduh. M.H. Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 28 Juni 2018. 10 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2015), Cet-1, h. 129.
61
3. biaya pemeliharaan diserahkan pada ayahnya.11
Mengenai permasalahan tersebut sebenarnya baik hakim Pengadilan Agama
Jakarta Timur maupun hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tetap berpedoman
pada pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) Rbg putusan yang dijatuhkan
pengadilan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Keberadaan pengaturan
tentang asas ultra petitum partium di dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189
ayat (3) Rbg, seringkali menimbulkan pemikiran yang berbeda diantara para
aparat penegak hukum, terkhusus bagi para hakim, dalam rangka memeriksa dan
memutus suatu petitum ex aequo et bono atau petitum subsidair, yang berbunyi
“mohon putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan”.12 Ex aequo et bono
menurut kamus hukum ialah memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai
kepantasan dan kesesuaian rasa keadilan masyarakat, sehingga hakim tidak
tunduk lagi pada undang-undang.13
Dalam petitum subsidair sebuah surat gugatan atau permohonan seringkali
ditemui kalimat yang umum yaitu kalimat ex aequo et bono dan biasanya
digabung dengan kalimat kalau majelis hakim berpendapat lain mohon agar
putusan yang seadil-adilnya. Menurut Yahya Harahap memasukkan mohon
keadilan ex aequo et bono sebagai petitum subsidair, dan tuntutan subsidair
diajukan sebagai antisipasi jika seandainya tuntutan primair tidak dikabulkan
hakim, oleh karenanya kalimat ini karakternya tidak mutlak, bersifat alternative,
dan sangat tergantung pada kebebasan hakim. Dengan demikian, penjatuhan
putusan ex aequo et bono merupakan putusan subsidair, bukan primair, maka
dalam putusan ex aequo et bono sekaligus merupakan putusan ultra petita.
Menurut Yahya Harahap, pada satu sisi putusan ex aequo et bono tidak boleh
melebihi materi pokok petitum primair, sehingga putusan yang dijatuhkan tidak
melanggar ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR,
sedangkan pada sisi lain, putusan ini tidak boleh sampai berakibat merugikan
11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), Edisi
Pertama, cet-4, h. 138 12 Bambang Sugeng Ariadi Subagyono dkk, “Kajian Penerapan Asas Ultra Petita Pada
Petitum Ex Aequo Et Bono” Jurnal Yuridika, XXIX, 1, (Januari-April, 2014), h. 103. 13 Jonaedi Efendi, Kamus Istilah Hukum Populer, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 139.
62
tergugat atau termohon dalam melakukan pembelaan kepentingannya.14 Mantan
ketua MA, Prof. Bagir manan menyatakan, bahwa putusan ultra petita itu
diperbolehkan asalkan sejak awal permohonan menyebut “ex aequo et bono”
didalam permohonannya.15
Hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana ditentukan di dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009. Makna mengadili menurut
hukum, bukan hanya berdasarkan pada peraturan tertulis akan tetapi juga hukum
yang tidak tertulis, dalam artian hakim tidak hanya “corong Undang-Undang”,
dengan demikian terdapat kebebasan bagi Hakim untuk menemukan hukum
(rechtsvinding) yang dianggap adil. Dengan kata lain, dalam rangka melakukan
tugas penerapan hukum, hakim harus menemukan hukum, jika tidak menemukan
dari hukum tertulis harus mencari dari hukum tidak tertulis, dari nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.16
Menurut Gerhard Robbers, secara konstektual ada 3 (tiga) esensi yang
terkandung dalam kebebasan hakim untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman,
yakni:
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.
2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.
3. Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam
menjalankan tugas yudisialnya.17
Adanya anggapan di dalam hukum acara perdata yang melarang adanya
putusan yang mengandung ultra petitum partium selama ini, sebenarnya tidak
sepenuhnya benar, karena di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung adanya
larangan hakim memutuskan melebihi dari apa yang diminta mengalami
14 Bambang Sugeng Ariadi Subagyono dkk, “Kajian Penerapan Asas Ultra Petita Pada
Petitum Ex Aequo Et Bono” Jurnal Yuridika, h. 105 15 Moh. Mahfud MD, Perdebatan hukum tata negara pasca amandemen, (Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia), 2007, cet-1, h. 99. 16 Bambang Sugeng Ariadi Subagyono dkk, “Kajian Penerapan Asas Ultra Petita Pada
Petitum Ex Aequo Et Bono” Jurnal Yuridika, h. 104-105. 17 Abintoro Prakoso, Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran dan Prosedur dalam
Menemukan Hukum. (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2016), cet-1, h. 195-196
63
pergeseran mengarah kepada diizinkan dengan tetap menggunakan pertimbangan
yang dapat dipertanggungjawabkan.18
Beberapa putusan Mahkamah Agung yang membenarkan hakim yang
menjatuhkan putusan melanggar asas ultra petitum partium antara lain:
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1043 K/Sip/1971 tanggal 3
Desember 1974 yang salah satu konsiderannya menyatakan
“menambahkan alasan-alasan hukum yang tidak diajukan oleh pihak-
pihak merupakan kewajiban Hakim berdasar Pasal 178 HIR”
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 556 K/Sip/1971 tanggal 8 Januari
1972 yang salah satu konsiderannya menyatakan “Mengabulkan
melebihi dari apa yang digugat adalah diizinkan, selama hal ini masih
sesuai dengan kejadian materiil”
3. Purusan Mahkamah Agung Nomor: 452 K/Sip/1975 tanggal 15 Juli
1975 yang salah satu konsiderannya menyatakan “Mengabulkan lebih
dari petitum, diizinkan, asal saja sesuai dengan posita. Di samping itu
dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia baik hukum acara pidana
maupun hukum acara perdata, Hakim bersifat aktif.19
Dalam peraturan hukum di Indonesia sendiri masih banyak kekosongan-
kekosongan hukum, kekosongan tersebut di isi oleh Mahkamah Agung melalui
PERMA dan SEMA. Hasil survei dari 100 responden hakim dan panitera
menunjukan “89 % responden menyatakan PERMA dan SEMA sangat penting
sebagai pengisi kekosongan hukum di Indonesia dalam peraktik peradilan dan
hukum Indonesia; 90 % responden hakim telah menjadikan PERMA dan SEMA
sebagai bagian dari landasan hukum yang dipedomani dan dipertimbangkan
hakim dalam me-manage peradilan dan memutus perkara.” Hal ini menunjukan
bahwa peranan PERMA dan SEMA sangat penting dalam konteks pengisi
18 Bambang Sugeng Ariadi Subagyono dkk, “Kajian Penerapan Asas Ultra Petita Pada
Petitum Ex Aequo Et Bono” Jurnal Yuridika, h. 105. 19 Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, Cet-1, h. 37-38.
64
kekosongan hukum di Indonesia sebagai wahana “judge made law” hakim
membentuk hukum.20
Dalam putusan tingkat pertama, penulis berpendapat bahwa hakim kurang
menguasai SEMA No. 7 Tahun 2012 terlihat dalam putusan nomor
1082/Pdt.G/2012/PAJT, pasca perceraian seharusnya hakim menerapkan SEMA
No. 7 Tahun 2012 dengan menunjuk salah satu orang tua untuk mengasuh anak
sehingga ada kepastian dan perlindungan hukum untuk anak, walaupun para pihak
tidak ada yang meminta hak asuh. Disini hakim seharusnya memperluas
pengertian ex aequo et bono semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak,
ketentuan Pasal 178 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (3) Rbg. Dapat dikesampingkan
setelah mempertimbangkan hal-hal yang dirasa baik bagi anak.
Hakim tingkat pertama menganut Positvisme Hukum, positivisme
mengutamakan kepastian hukum dibandingkan keadilan. Cara pandang
positivisme hukum yang formalistik membuat hakim tidak dapat bertanya apakah
norma hukum positif itu adil atau tidak adil. Hakim yang positivistik hanya
menemukan penafsiran undang-undangnya yang sudah tersedia dan siap saji, juga
metode berpikirnya selalu sistematik.21
Titik berat pada perkara hak asuh anak ialah kepentingan yang terbaik bagi
anak, bukan mengacu pada kepentingan orang tua,22 berdasarkan hal tersebut
majelis hakim tingkat banding sudah tepat dengan menunjuk hak asuh pada ibu
karena dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak yaitu setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya
sendiri, kecuali jika ada alasan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir. Dalam hal terjadinya pemisahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), anak tetap berhak;
20 H.M. Fauzan, Peranan PERMA dan SEMA Sebagai Pengisi Kekosongan Hukum
Indonesia Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung, (Jakarta: Prenada Media Group), 2013,
Cet-1, h. vii. 21 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Cet-1, h. 136-137. 22 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Cet-1, h. 129.
65
a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua
orang tuanya.
b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan
untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya.
c. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya.
d. Memperoleh hak anak lainnya.
Untuk menghilangkan kekhawatiran mejelis hakim tingkat banding
menjatuhkan hak asuh anak pada ibu dikarenakan ibu lebih memahami dan
menyayangi anak jika dibanding dengan ayah, biasanya seorang ayah cenderung
kaku sehingga hubungan antara anak dan ayah tidak sedekat seperti hubungan
antara ibu dan anak, kemudian pasca perceraian sudah tentu ayah akan menikah
lagi dengan perempuan lain, hal itulah yang dikhawatirkan hakim jika anak ikut
dengan ayah pasti anak akan ikut dengan ibu tiri, dari pada anak ikut dengan ibu
tiri lebih baik anak ikut dengan ibu kandung, dengan pertimbangan tersebut hakim
menunjuk ibu sebagai pengasuh bagi ketiga anaknya. Alasan lain yang menjadi
pertimbangan majelis hakim tingkat banding ialah walaupun putusan hakim pada
asasnya tidak boleh memutus melebihi dari apa yang dituntut (ultra petitum
partium) hakim tingkat banding menerobos asas tersebut dikarenakan ada aturan
khusus pasca perceraian, dalam SEMA No. 7 Tahun 2012 di sub kamar perdata
umum disebutkan tentang akibat perceraian berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50
UUP, dengan adanya perceraian tidak menjadikan kekuasaan orang tua berakhir
dan tidak memunculkan perwalian, hakim harus menunjuk salah satu dari kedua
orang tua sebagai pihak yang memelihara dan mendidik anak tersebut, walaupun
para pihak tidak ada yang meminta hak asuh anak. Berdasarkan SEMA tersebut
maka majelis hakim tingkat banding menunjuk ibu sebagai pihak yang
bertanggungjawab untuk mengasuh dan mendidik ketiga anak.
Hakim berpedoman pula kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
556/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1972, Nomor 1245/Sip/1974 tanggal 9 November
1976, dan Nomor 425/Sip/1975 tanggal 15 Juli 1975 yang mengandung kaidah
hukum: “Judex Facti dibenarkan untuk memberikan putusan melebihi petitum
66
gugatan penggugat, dengan syarat hal tersebut masih sesuai dengan
dalil/posita/kejadian materiil yang dikemukakan oleh penggugat dalam surat
gugatannya”.23
Hakim tingkat banding telah mampu melakukan terobosan dengan menaati
SEMA No 7 Tahun 2012 tentang akibat perceraian, walaupun tidak diminta hakim
menunjuk ibu sebagai pengasuh bagi ketiga anaknya, hakim tingkat banding juga
sangat progresif dibanding dengan hakim tingkat pertama yang tidak berani keluar
dari asas ultra petitum partium. Hakim tingkat banding juga telah sesuai dengan
asas peraturan perundang-undangan yakni, asas lex specialis derogat legi generali
yang artinya aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat
umum.
Dalam hak pengasuhan anak tentu harus dilihat juga perilaku dari orang tua,
ibu memiliki tabiat yang baik dan pekerja keras. Namun, ayah memiliki sikap
yang kurang baik yakni melakukan perselingkuhan dengan wanita lain. Kemudian
ketika terjadi perceraian, anak belum dewasa dan masih membutuhkan kasih
sayang terutama dari ibu. Maka ditunjuklah ibu sebagai pengasuh bagi ketiga
anaknya. Berdasarkan hal tersebut telah sesuai kaidah fiqh yang berbunyi:
درأاملفاسدمقدم على جلب املصاحل
Artinya: Bahwa menghindarkan kerusakan harus lebih diutamakan dari pada
mendambakan kemaslahatan
Penulis sependapat dengan majelis hakim tingkat banding yang menunjuk
ibu sebagai pengasuh bagi ketiga anak karena dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak ialah seorang anak belum dianggap dewasa
sebelum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak
pada saat terjadinya perceraian masing – masing berumur: anak pertama berumur
15 tahun, anak kedua berumur 11 tahun dan anak ketiga berumur 10 tahun.
Meskipun kedua orang tua bercerai, bila tidak memperselisihkan
pemeliharaan anak maka, baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan
23 Salinan Putusan PTA Jakarta Nomor : 16/Pdt.G/2015/PTA JK, h. 12.
67
mendidik anak-anaknnya semata-mata berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak.
ayah bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan anak, bilamana ayah
tidak mempunyai kesanggupan untuk itu maka ibu turut bertanggungjawab.24
Hukum positif betapa pun lengkapnya selalu tertatih-tatih mengikuti
perkembangan zaman, selalu dibatasi oleh ruang dan waktu yang pada zaman lain
sudah tidak berlaku lagi. Putusan yang mendekati keadilan tentu bukan putusan
yang penalaran hukumnya hanya menempatkan hakim sebagai mulut atau corong
undang-undang. Kita dapat menilai putusan yang berkualitas yang
argumentasinya dapat memulihkan kepercayaan masyarakat. Hakimnya tidak
hanya membaca teks, tetapi berusaha menembus apa yang ada di balik teks,
berdialog dengan konteks seraya melibatkan kepekaan nuraninya.25
Mu’adz bin Jabal ketika dilantik menjadi hakim (qadli) di yaman, beliau
diuji kelayakan oleh Rasullah SAW. “Bagaimana kamu akan menghukumi
(memutuskan hukuman)? Jawab Mu’adz, dengan kitabullah. Tanya Rasul, jika
tidak didapatkan hukumnya pada kitabullah? Jawab Mu’adz, aku putuskan dengan
Sunnah Rasul. Tanya Rasulullah, jika tidak kamu dapati dalam Sunnah? Jawab
Mu’adz, saya berijtihad dengan akal pikiran saya. Demikian pula halnya dengan
proses penemuan hukum dan pembentukan hukum.26
Pada akhirnya putusan yang menetapkan dan menunjuk secara tegas hak
asuh anak pada pihak siapa dari salah satu orang tuanya adalah putusan yang
memberi kepastian hukum dan bermanfaat pada anak dalam melindungi hak anak
untuk diasuh oleh salah satu dari orang tuanya pasca perceraian, dalam hal ini
adalah putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK.
24 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Cet-1, h. 130. 25 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Cet-1, h. 137. 26 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Cet-1, h. 141.
68
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan,
maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Implementasi asas ultra petitum partium dalam putusan Nomor
1082/Pdt.G/2013/PAJT sudah berjalan dengan baik, hanya saja hakim
dalam putusannya tidak menunjuk salah satu dari kedua orang tuanya untuk
memelihara anak pasca perceraian, walaupun pada asasnya hakim dilarang
memutus melebihi dari yang diminta (ultra petitum partium) asas itu dapat
dikesampingkan dengan adanya SEMA No. 7 Tahun 2012 yakni pasca
perceraian hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua untuk
mengasuh anaknya. Hakim tingkat banding pada putusan Nomor
16/Pdt.G/2015/PTA JK juga tetap berpedoman pada asas ultra petitum
partium, tetapi karena ada aturan yang lebih khusus yakni SEMA No 7
Tahun 2012 di sebutkan pasca perceraian tidak menjadikan kekuasaan orang
tua berakhir dan tidak memunculkan perwalian. Hakim harus menunjuk
salah satu dari kedua orang tuanya sebagai pihak yang memelihara dan
mendidik anak, atas dasar hal tersebut hakim tingkat banding menunjuk ibu
sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengasuh dan mendidik
ketiga anaknya.
2. Bahwa dalam putusan nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan putusan nomor
16/Pdt.G/2015 PTA JK terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya
perbedaan putusan hakim dengan menunjuk atau tidak menunjuk salah satu
dari kedua orang tua untuk mengasuh anak pasca perceraian. Faktor pertama
ialah implementasi asas ultra petitum partium, hakim tingkat pertama tetap
berpegang teguh pada asas ultra petitum partium tidak memutus bila tidak
diminta, dalam proses persidangan para pihak tidak ada yang
mempermasalahkan hak asuh anak sehingga hakim tingkat pertama tidak
memutus hak asuh tersebut, kemudian hakim juga kurang memahami
SEMA No 7 Tahun 2012, dalam jawabannya hakim hanya memahami
69
SEMA No 7 Tahun 2012 dikamar agama saja, padahal aturan pasca
perceraian anak harus ditunjuk ada di sub kamar perdata umum (Hakim
tingkat pertama menganut mazhab Positivisme hukum). Faktor kedua ialah
implementasi SEMA No 7 Tahun 2012, hakim tingkat banding taat pada
SEMA No 7 Tahun 2012 walaupun pada asasnya hakim dilarang memutus
melebihi dari yang diminta, asas tersebut dapat dikesampingkan dengan
adanya SEMA No 7 Tahun 2012 sehingga pasca perceraian tidak
menjadikan kekuasaan orang tua berakhir dan tidak memunculkan
perwalian, walaupun tidak diminta oleh para pihak hakim tingkat banding
menunjuk ibu sebagai pihak yang memelihara bagi ketiga anaknya (Hakim
tingkat banding sangat Progresif dimana telah mampu melakukan terobosan
hukum).
B. Saran
Setelah memperhatikan beberapa kesimpulan yang penulis uraikan diatas,
penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Dari penulisan skripsi ini, penulis menyarankan kepada para aparat penegak
hukum, terkhusus bagi para hakim agar memahami SEMA No 7 Tahun
2012 dengan sebaik mungkin, agar tidak terjadi perbedaan pendapat dalam
memutus suatu perkara yang sama.
2. Untuk para hakim yang akan memutus menyangkut kepentingan anak,
hendaknya hakim mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak,
jangan mengacu pada kepentingan orang tua.
3. Penulis menyarankan kepada setiap orang yang akan menikah, hendaknya
memilih pasangan yang benar-banar baik dan tulus, jangan sampai
pernikahan putus di tengah jalan dan anak yang menjadi korban.
70
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Edisi Pertama. Cet. Ke-4. Jakarta: CV.
Akademi Pressindo, 2010.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. Ke-2. Jakarta: Sinar Grafika,
2007.
________. Metode Penelitian Hukum. Cet. Ke-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Aripin, Jaenal. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. Edisi Pertama. Cet.
Ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
As-Sayyid Salim, Abu Malik Kamal bin. Shahih Fikih Sunnah. Penerjemah Khairul
Amru Harahap. Edisi Revisi. Cet, Ke-3. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani dkk. Cet. Ke-1. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqh al-Qadha.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Dib Al-Bugha, Musthafa. Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam
Madzhab Syafi’I. Penerjemah D.A. Pakishati. Cet. Ke-4. Surakarta: Media
Zikir, 2015.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum
Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama
Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat
Islam Aceh. Edisi Pertama. Cet. Ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006.
________. Peradilan Islam. Cet. Ke-1. Jakarta: Amzah, 2012.
Fauzan, H.M. Peranan SEMA dan SEMA Sebagai Pengisi Kekosongan Hukum
Indonesia Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung. Cet. Ke-1. Jakarta:
Prenada Media Group, 2013.
Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. Cet. Ke-2.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Hamami, Taufiq. Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia. Cet. Ke-1. Jakarta: Tatanusa, 2013.
71
Hamid Al-Ghazali, Imam Abu. Menyingkap Hakikat Perkawinan. Penerjemah
Muhammad Al-Baqir. Jakarta: Mizan, 2014.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet. Ke-14. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Cet. Ke-2. Jakarta:
Prenada Media, 2003.
HS, Salim. dan Nurbani, Erliez Septiana. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Tesis dan Disertasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Koto, Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam. Cet. Ke-1. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2011.
Mahfud MD, Moh. Perbebatan hukum tata negara pasca amandemen. Cet. Ke-1.
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2007.
Mahmud Mathlub, Abdul Majid. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Penerjemah
Harist Fadly dan Ahmad Khotib. Cet. Ke-1. Solo: Era Intermedia, 2005.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media Group, 2008.
________. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Cet.
Ke-3. Jakarta: Prenada Media Group, 2005.
Mappiase, Syarif. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Cet. Ke-1. Jakarta:
Prenada Media Group, 2015.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz. dan Sayyed Hawwas, Abdul Wahab. Fiqh
Munakahat. Penerjemah Abdul Majid Khon. Jakarta: Amzah, 2011
Muthiah, Aulia. Hukum Islam – Dinamika perkembangan Seputar Hukum
Perkawinan dan Hukum Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017.
Mustaming, Al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Tanah
Luwu, Sleman: DEEPUBLISH, 2012.
Prakoso, Abintoro. Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran dan Prosedur dalam
Menemukan Hukum. Cet. Ke-1. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2016.
72
Rahman Ghozali, Abdul. Fiqh Munakahat. Cet. Ke-1. Jakarta: Prenada Media Group,
2003.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. Ke-2. Jakarta: PT.Raja Grafindo,
1997.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin. Cet. Ke-1.
Jakarta: Cakrawala Publishing, 2010.
Sunarto. Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata. Cet. Ke-1. Jakarta: Prenada
Media Group, 2014.
Supriyadi, Dedi. dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan Islam Di Dunia
Islam. Bandung : Pustaka Al-Fikriis, 2009.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. Ke-2. Jakarta: Prenada Media, 2007.
Tim Ulama fikih dibawah arahan Shalih bin Abdul Aziz Alu-asy-syaikh. Penerjemah:
Izzudin Karimi, Fiqh Muyassar. Cet. Ke-1, Jakarta: Darul Haq, 2015.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’I. Penerjemah Muhammad Afifi dan Abdul
Hafiz. Cet. Ke-1. Jakarta: Al Mahira, 2010.
B. Jurnal
Ariadi Subagyono, Bambang Sugeng. dkk, “Kajian Penerapan Asas Ultra Petita pada
Petitum Ex Aequo Et Bono”. Jurnal Yuridika. Volume XXIX. Nomor 1.
Januari-April 2014.
Hartini. “Pengecualian terhadap penerapan asas ultra petitum partium dalam beracara
dipengadilan agama”. Mimbar Hukum. Volume XXI. Nomor 2. Juni 2009.
Atmadjaja, Djoko imbawani. “Ultra Petita Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”.
Jurnal Konstitusi. Volume I. Nomor 1. November 2012.
Siallagan, Haposan. “Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-
Undang”. Mimbar Hukum. Volume XXII. Nomor 1. Februari 2010.
C. Peraturan Perundang-undangan
HIR / R.Bg.
73
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
D. Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA.JK
E. Skripsi
Suri, Sofyan. “Hiperseksual Suami Sebagai Alasan Perceraian (Analisis
Yurisprudensi No: 630/Pdt.G/2009/PAJT Di PA Jakarta Timur).” Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta, 2011.
F. Kamus
Efendi, Jonaedi. Kamus Istilah Hukum Populer, Jakarta: Kencana, 2009.
G. Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Hakim Drs. Ahmad Zawawi, M.H.
Wawancara Pribadi dengan Hakim Drs. H. Sam’un Abduh, S.Q., M.H.
H. Internet
http://pa-jakartaselatan.go.id/en/features/2012-01-17-02-53-24/sejarah
http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php/profil/sejarah#
http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php/profil/tugaspokok
http://www.pta-jakarta.go.id/index.php/joomla-pages/layout/2-sidebar-2
https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Tinggi_Agama_Jakarta
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Drs. Ahmad Zawawi, M.H.
Tempat : Pengadilan Agama Jakarta Timur
Waktu : Jum’at, 22 Juni 2018
Durasi : 55 Menit 35 Detik
Pertanyaan : Bagaimana Bapak Hakim dalam memutus suatu perkara mengenai
hak asuh anak, apakah hanya yang diminta saja atau dapat
ditambah diluar dari permohonan?
Jawaban : Jadi fokus kami kemarin ke perkara cerai talaknya, tidak ke
hadhanahnya, karena dalam permohonan tersebut pemohon tidak
meminta hak asuh, kemudian dalam jawaban termohon juga tidak
ada, baik dalam konvensi maupun rekonvensi, jadi ada asas ultra
petitum partium (pengadilan tidak boleh menjatuhkan putusan
melebihi apa yang diminta) jadi kami sesuai dengan asas itu sudah
benar. Kami hanya memutus yang diminta saja. Yang saya lihat
hubungan antara anak dan ayah hubungannya baik-baik aja, suka
bercanda artinya baik-baik aja, artinya tidak perlu kita tetapkan
berjalan seperti biasa saja mengalir seperti itu, jadi anak bisa kesini
bisa kesitu. Putusan yang sudah kami jatuhkan sudah sesuai dengan
asas ultra petitum partium dalam putusan itu sudah benar. Karena
di awal sudah ada di ibu sesuai pasal 105 KHI otomatis tidak kita
tetapkan lagi. Didalam gugatan rekonvensi itu kan ada masalah
nafkah ya? disitu yang dikabulkan nafkah anak, itu pun disesuaikan
dengan kemampuan dari pihak pemohon, termasuk juga walaupun
gak diminta, kewajiban seorang suami yang menceraikan istri ada
hak istri yang harus dipenuhi oleh suami, seperti : nafkah iddah dan
mut’ah dalam putusan itu kita tetapkan walaupun dia gak minta itu
otomatis kewajiban bagi suami.
Pertanyaan : Mengapa Bapak Hakim menghukum Pemohon untuk memberikan
nafkah anak tanpa menunjuk siapa pengasuhnya?
Jawaban : Karena dalam permohonannya tidak meminta kepada siapa
ditetapkan hak asuh tersebut baik kebapak atau keibu, jadi kita
hanya memutuskan nafkahnya saja yang kita tetapkan, jadi disitu
yang diminta biaya sekolah untuk 2 orang anak ya? Jadi yang kita
putus hanya nafkahnya saja, dari awal permohonannya tidak ada
yang minta ditetapkan ke ayah atau ke ibunya jadi kita tidak
menentukan itu. Dalam replik duplik pun tidak ada. Jadi kita tidak
tetapkan ke ayah atau ke ibu.
Pertanyaan : Mengapa Bapak Hakim tidak menunjuk salah satu dari orang tua
untuk mengasuh ketiga anaknya, padahal sudah ada aturan yang
mengatur hal tersebut, yakni SEMA No 7 tahun 2012?
Jawaban : Biasanya kalau pengadilan itu masing-masing kamar kan? Buat
rumusan-rumusan, kebetulan saya juga udah mengcopy yang saya
copy itu khusus untuk kamar agama karena wilayah kita di kamar
agama, saya tidak baca yang dikamar perdata umum saya langsung
buka di kamar perdata agama. diumum itu kan kadang-kadang ada
aturan perkawinan diluar Islam. Kenapa kita tidak pertimbangkan
masalah SEMA itu? Karena memang tidak ada dari awal, dari
permohonan, replik, duplik, tidak ada jadi khusus untuk cerai
talaknya saja dan nafkah anak. Masalah hak asuhnya itu tidak kita
jadikan masalah karena memang selama ini sudah jalan baik, kalau
kita memberikan ke salah satu orang tua itu mungkin akan timbul
sengketa, kadang setelah ditunjuk itu bukan semakin baik malah
semakin renggang karena masing-masing punya keinginan untuk
mengasuh anak. Makanya kita ambil jalan tengah karena sudah
berjalan seperti itu dan tidak ada masalah, lebih maslahat.
Pertanyaan : Apakah putusan tersebut telah memberikan rasa keadilan bagi
semua pihak, baik untuk Pemohon, Termohon maupun Anak?
Jawaban : Ada rasa puas atau tidak puas, ukurannya ukuran masing-masing
ya? relatif tidak bisa diukur, bagi yang tidak dikabulkan tidak adil
tapi bagi yang dikabulkan dibilang adil. Umpamanya dalam
menentukan nafkah anak pemohon meminta sekian terus
dikabulkan hanya sekian, dia kan gak puas dibilang gak adil gak
sesuai dengan kebutuhan anak, padahal kita dalam menentukan
nafkah anak kita melihat kemampuan ayah. Seperti dalam kasus ini
dulu ayah punya jabatan lumayan tapi karena istri mengadu
keatasan akhirnya si suami kena sanksi dan turun jabatannya jadi
pegawai biasa, kita melihat gajinya minim jadi kalau dikasih anak
masih ada untuk suami, itu alasannya. Kita timbang semuanya baru
kita tentukan sekian dengan melihat fakta dipersidangan, masalah
keadilan itu relatif tergantung dari mana menilainya.
Pertanyaan : Apakah putusan tersebut telah memberikan kemaslahatan untuk
anak?
Jawaban : Sudah maslahat, kita tidak tentukan ke ayah atau ke ibu selama ini
sudah berjalan dengan baik gak kesana sini, bisa ke ayah bisa ke
ibu, menurut kita itu sudah bagus yang berjalan selama ini sudah
baik. Jadi kalau kita tentukan ke ayah nanti jarang ketemu ibu,
kalau kita tentukan ke ibu nanti jarang ketemu ayah, menurut
hakim itulah yang terbaik.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Drs. H.Sam’un Abduh, S.Q., M.H.
Tempat : Pengadilan Tinggi Agama Banten
Waktu : Kamis, 28 Juni 2018
Durasi : 35 Menit 54 Detik
Pertanyaan : Mengapa Bapak Hakim menunjuk Pembanding (Ibu) sebagai pihak
yang bertanggungjawab atas ketiga anaknya?
Jawaban : Begini, didalam memutuskan suatu perkara harus punya
sandaran/rujukan.. nah rujukan itu adalah SEMA. Anak itu kan
harus ada yang tanggungjawab selama masih ada orang tuanya baik
bapak maupun ibunya, itu tidak perlu menunjuk perwaliannya
pada orang lain, berdasarkan SEMA itu maka ditunjuklah ibu
sebagai pihak yang bertanggungjawab, adapun tingkat pertama
tidak menggunakan SEMA itu hak mereka
Pertanyaan : Mengapa bapak hakim tidak memberikan hak asuh anak pada
ayah? Padahal anak ada 3 dan semua di berikan pada ibu?
Jawaban : Itu lihat kasusnya, jadi begini kenapa ayah itu tidak dapat hak
asuh? ada suatu kasus perceraian, kasus perceraian ini disamping
kasus cerainya juga mempersengketakan masalah anak,
umpamanya suami menceraikan istrinya dan sudah memiliki anak,
anak itu kan ada yang masih dibawah umur dalam arti belum
mumayyiz dan ada yang sudah mumayyiz, kalau dalam KHI anak
umur 12 tahun dianggap sudah mumayyiz, kalau anak sudah
mumayyiz dia mempunyai hak pilih mau ikut bapak atau mau ikut
dengan ibu, anak yang sudah mumayiz harus dihadirkan dihadapan
sidang untuk diketahui pendapat anak tersebut, yang intinya mau
kemana. Pada saat itu kita sepakat bahwa berdasarkan SEMA harus
ditentukan anak itu mau kemana supaya anak ini ada yang
melindungi, berdasarkan kesepakatan tersebut kita menunjuk ibu
untuk mengasuh ketiga anaknya. Karena kalau tidak kita tentukan
siapa yang memelihara anak bisa kacau.seorang bapak tentu
berbeda dengan seorang ibu, kalau bapaknya menikah lagi dari
pada ikut ibu tiri lebih baik ikut ibu kandung. kenapa berdasar
SEMA No 7 tahun 2012? Supaya anak itu ada yang melindungi
Pertanyaan : Bagaimana bapak hakim dalam memutus suatu perkara, apakah
hanya pada yang diminta saja atau dapat ditambah diluar dari
permohonan?
Jawaban : Itu yang namanya ultra petitum, gak boleh kalau hakim itu
mengadili suatu yang tidak diminta, apa yang diminta oleh
sipenggugat itu yang diputus. Umpamanya dalam perceraian, istri
minta cerai dan dia hanya minta cerai saja, si istri tidak menggugat
harta tapi kok putusannya menyatakan harta dan sebagainya itu
tidak boleh. Jadi apa yang diminta itu yang diputuskan kecuali
ketika diminta ditengah proses persidangan ada perubahan itu bisa
saja. Kalau ada gugatan sesudah pembuktian itu sudah tidak bisa
lagi.
Pertanyaan : Bagaimana tanggapan bapak hakim mengenai penerapan SEMA
No. 7 Tahun 2012.kode di Pengadilan Tinggi Agama?
Jawaban : Sebagai rujukan, disini dipakai kita terapkan seperti itu, khusus
putusan yang sudah jadi ya, sebagai referensi dan rujukan supaya
anak ada yang melindungi.
Pertanyaan : Apakah menurut bapak hakim dalam putusan tersebut telah
memberikan rasa keadilan?
Jawaban : Biasanya hakim itu kan memberikan putusan yang seadil-adilnya
pada para pihak, tetapi namanya orang-orang yang berperkara
kalau pun hakim telah memberikan putusan yang dirasa adil
namanya orang kalah bilang gak adil, iya kan? Ya gitu. Jadi gak
bisa diklaim, Hakim memberikan putusan seperti itu bahwa anak
diputuskan pada pembanding pada ibunya supaya terlindungi apa
sudah adil? Kalau menurut hakim yang sudah begitu yang adil
supaya anak terlindungi karena melihat bapaknya sibuk dan
sebagainya, tapi kalau ada salah satu pihak yang merasa dirugikan
dan mengatakan tidak adil itu haknya juga, biasanya kalau yang
berperkara menang bilang adil ya? Kalau yang kalah bilang gak
adil ya? heheee
Pertanyaan : Bagaimana tanggapan bapak hakim mengenai penerapan SEMA
No 7 tahun 2012 di tingkat pertama?
Jawaban : Satu prodak putusan merupakan hasil ijtihad dari pada masing-
masing hakim, jadi hakim tingkat pertama dengan pemikiran dan
pendapatnya hasil pola pikirnya tidak menerapkan SEMA, kan
begitu ya? Kalau kita karena itu dianggap sebagai suatu rujukan
tepat kita terapkan itu saja pola pikirnya.
LAMPIRAN FOTO
Foto diambil setelah selesai melakukan wawancara dengan bapak Drs. Ahmad
Zawawi, M.H. pada Jum’at, 22 Juni 2018 di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Foto diambil setelah melakukan wawancara dengan bapak Drs. Sam’un Abduh,
S.Q., M.H. pada Kamis, 28 Juni 2018 di Pengadilan Tinggi Agama Banten.