anatomi nervus oculomotorius (autosaved)
DESCRIPTION
mgTRANSCRIPT
Anatomi Nervus Oculomotorius
Nervus okulomotorius mengandung dua yaitu macam serat yaitu serat – serat eferen
somatik dan serat – serat eferen viseral, oleh karena itu saraf ini mempunyai dua nucleus.
Pertama nucleus oculomotorius, terdiri dari dari sel – sel neuron multipolar dan terletak
setinggi colliculus superior pada mesenchepalon, langsung di sebelah dorsal fasciculus
longitudinalis medialis dan dekat dengan garis median, menempati suatu posisi pada bagian
ventral substantia grisea sentralis. Kedua, nucleus Edinger Westphal, terdiri atas neuron –
neuron kecil, bentuk ovoid, menyerupai sel – sel neuron pada nucleus dorsalis nervus X.
Nucleus ini terletak pada ujung permukaan dorsomedial bagian central nucleus
occulomotorius. Nucleus Edinger Westphal merupakan salah satu pusat parasimpatik dalam
batang otak dan menjadi pusat sumber serat – serat eferen visceral nervus III.
Serat – serat nervus okulomotorius keluar dari nucleus okulomotorius dan nucleus
Edinger Westpal dalam bentuk berkas – berkas halus yang berjalan ke arah ventral, beberapa
berkas ini berjaln di sebelah medial dan sebagian berjalan melalui nucleus ruber. Terus ke
arah ventral berkas – berkas tersebut kembali bersatu dan pada akhinya mencapai permukaan
batang otak di daerah fossa interpenducularis (mesensephalon). Nervus occulomotorius
memasuki orbita melalui fisura orbitalis superior. Di dalam orbita serat – serat eferen somatik
melayani musculus rectus superior, musculus rectus superior, musculus rectus inferior,
musculus rectus medialis, musculus rectus obliquus inferior dan juga musculus levator
palpebra superior.
Serat – serat eferen visceral di dalam mata menuju ke gangglon cilliare yang terletak
di sebelah lateral nervus opticus. Serat – serat parasimpatik preganglionik ini mengadakan
sinapsis di dalam ganglion ini, selanjutnya serat – serat parasimpatik posganglionik dari
gangglion cilliare dikenal dengan nn. Ciliares breves dan menembus bulbus oculi untuk
melayani musculus ciliaris (untuk akomodasi) dan musculus sphincter pupil (untuk
mengecilkan pupil mata). Serat – serat eferen visceral ini juga merupakan bagian eferen dari
lengkungan reflek cahaya pupil dan reflek akomodasi konvergensi.
Fibrae corticonuclear disebarkan secara bilateral pada nuclei occulomotorius, secara
homolateral pada nucleus trochlear dan konralateral terhadap nucleus abducen. Serat – serat
fasciculus pyramidalis ini tidak berasal dari kortek motorik primer , akan tetapi berasal dari
suatu daerah kortek yang lazim dikenal sebagai daerah opokinetik frontal sesuai dengan
daerah brodman 8. Pusat cortikal ini mengatur pergerakan konjugasi bulbus oculi di bawah
pegendalian kemauan. Fibrae corticonuclear mencapai nucleus oculomotorius, nucleus
trochearis dan nucleus abducens di dalam batang otak mungkin melalui capsula interna.
Posisi mata ditentukan oleh keseimbangan yang dicapai oleh tarikan keenam otot
ekstraokular. Mata berada dalam posisi memandang primer sewaktu kepala dan mata terletak
sejajar dengan bidang yang dilihat. Untuk menggerakan mata ke arah pandangan yang lain,
otot agonis menarik mata ke arah tersebut dan otot antagonis melemas. Bidang kerja suatu
otot adalah arah pandangan bagi otot itu untuk mengeluarkan daya kontraksinya yang terkuat
sebagai suatu agonis, misalnya muskulus rektus lateralis mengalami kontraksi terkuat pada
waktu melakukan abduksi mata.
Tabel 1. Fungsi Otot Mata
Otot Kerja Primer Kerja Sekunder
Rektus lateral Abduksi Tidak ada
Rektus medial Adduksi Tidak ada
Rektus superior Elevasi Aduksi, intorsi
Rektus inferior Depresi Aduksi, ekstorsi
Obliq superior Intorsi Depresi, abduksi
Obliq inferiot Ektorsi Elevasi, abduksi
Otot rektus medialis dan lateralis masing-masing menyebabkan aduksi dan abduksi
mata, dengan efek ringan pada elevasi atau torsi. Otot rektus vertikalis dan obliqus memiliki
fungsi rotasi vertikal dan torsional. Secara umum, otot-otot rektus vertikalis merupakan
elevator dan depresor utama untuk mata, dan otot obliqus terutama berperan dalam gerakan
torsional. Efek vertikal otot rektus superior dan inferior lebih besar apabila mata dalam
keadaan abduksi. Efek vertikal otot obliqus lebih besar apabila mata dalam keadaan aduksi.
Otot-otot sinergistik adalah otot-otot yang memiliki bidang kerja yang sama. Dengan
demikian untuk tatapan vertikal, otot rektus superior dan obliqus inferior bersinergi
menggerakan mata ke atas. Otot-otot yang sinergistik untuk suatu fungsi mungkin
antagonistik untuk fungsi lain. Misalnya, otot rektus superior dan obliqus inferior adalah
antagonis untuk torsi, karena rektus superior menyebabkan intorsi dan obliqus inferior
menyebabkan ekstorsi. Otot-otot ekstraokular, seperti otot rangka, memperlihatkan
persarafan timbal balik otot-otot antagonistik (Hukum Sherrington). Dengan demikian, pada
dekstroversi, otot rektus medialis kanan dan lateralis kiri mengalami inhibisi sementara otot
lateralis kanan dan rektus medialis kiri terstimulasi.
Etiologi Parese Nervus III
Penyebab parese nervus III antara lain:
a. Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot – otot ekstraokular dan kadang disertai dengan
ptosis. Tidak terdapat iternal oftalmoplegia.
b. Trauma, dapat berupa trauma karena kelahiran ataupun kecelakaan. Namun nervus
okulomotorius ebih kecil kemungkinannya tertekan dibanding nervus abdusens.
c. Aneurisma, biasanya mengenai arteri comunicans posterior atau arteri carotis interna
pars supraklinoid. Kelumpuhan nervus okulomotius dapat terjadi sebagian atau total dan
biasanya disertai dengtan nyeri hebat di sekitar mata. Apabila aneurisma terjadi pada
arteri carotis interna pars infraklinoid maka kelumpuhan biasanya di dahului oleh
kelumpuhan nervus abdusens.
d. Diabetes dan hipertensi. Kelumpuhan disebabkan oleh arterosklerosis.
e. Neoplasma. Kerusakan pada okulomotorius dapat terjadi akibat invasi neoplasma pada
nervus okulomotorius atau akibat kerusakan di sepanjang perjalanan nervus
okulomotorius mulai dari fasciculus nervus okulomotorius sampai ke terminalnya di
orbital contohnya akibat tumor nasofaring, tumor kelenjar hipofise dan meningioma.
Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa berbeda dengan anak –
anak. Berikut ini penyebab parese nervus okulomotorius pada dewasa dan anak – anak pada
tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Etiologi parese nervus okulomotorius pada orang dewasa
Etiologi Rucker (335 kasus) Rucker (273 kasus) Green (130 kasus)
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Aneurisma 64 19 50 18 38 13
Vaskuler 63 19 47 17 25 6
Trauma 51 15 34 13 14 5
Sipilis 6 2 0 0 12 4
Neoplasma 35 11 50 18 5 1
Penyakit
Lain
95 28 55 20 33 12
Misseleneus 21 6 38 12 5 1
Tabel Etiologi parese nervus III
Etiologi Miller (30 kasus) Harley (32 kasus)
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Kongenital 13 43 15 47
Aneurisma 2 7 3 9
Neoplasma 3 10
Penyakit vaskuler 2 6
Trauma 6 20 4 13
Inflamasi 4 13 3 9
Misselaneus 2 7 5 10
Gejala Klinis
1. Parese Okulomotor
Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja sepanjang perjalanan
saraf tersebut. Lesi di nukleus nervus okulomotorius mempengaruhi M. rekti medialis dan
inferior ipsilateral, kedua M. Levator palpebra, dan kedua M. rektus superior. Akan terjadi
ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral serta pembatasan aduksi dan depresi
ipsilateral. Dari fasikulus nervus okulomotorius di otak tengah ke terminalnya di orbita,
semua lesi lain menimbulkan lesi yang semata-mata ipsilateral.
Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus (otak tengah)
ke cabang perifer di orbita, maka mata akan berputar ke luar karena otot rektus lateralis yang
utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus superior yang tidak terpengaruh. Mungkin dijumpai
dilatasi pupil, hilangnya akomodasi, dan ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat
sehingga pupil tertutup. Mata mungkin hanya dapat digerakan ke lateral.
Parese nervus okulomotorius dapat dibagi menjadi:
a. Kelumpuhan total nervus okulomotorius
Pada kelumpuhan total nervus okulomotorius, semua otot intraokular dan semua otot
ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius terkena, disertai dengan hilangnya
refleks akomodasi dan refleks cahaya pupil.
Kerusakan dari serabut parasimpatis pada N III menyebabkan pupil midriasis, juga
terdapat ptosis karena M. levator palpebra ikut mengalami kelumpuhan. Akibat lumpuhnya
otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius dan karena fungsi dari M.
rektus lateral dan M. Obliqus superior masih baik maka mata akan berdeviasi ke luar dan ke
bawah. Deviasi mata yang disebabkan oleh parese N III dapat digolongkan ke dalam
strabismus paralitik atau inkomitan. Pasien tidak mengalami diplopia karena kelopak mata
yang ptosis menutupi pupil.
b. Kelumpuhan parsial nervus okulomotorius
Pada kelumpuhan parsial nervus okulomotorius, paralisis otot-otot intraokular dan
ekstraokular dapat terjadi secara terpisah.
Eksternal oftalmoplegia
Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus
okulomotorius. Mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah, dan apabila ptosis tidak menutupi
pupil maka pasien akan mengalami diplopia. Untuk mengatasi diplopia, pasien akan
mengatur posisi kepalanya agar penglihatannya menjadi binokular, akibatnya akan terjadi
postur abnormal dari kepala pasien.
Internal oftalmoplegia
Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot intraokular sehingga yang terjadi adalah
hilangnya refleks akomodasi akibat paralisis M. siliaris dan midriasis akibat paralisis M.
sfingter pupil. Pasien tidak mengalami diplopia karena tidak terjadi strabismus. Letak
kelumpuhan vaskuler yang biasanya disebabkan oleh diabetes melitus, migren, ataupun
hipertensi sering terjadi di daerah sinus kavernosus, tempat serat-serat pupil terletak perifer
dan mendapat banyak makanan dari vasa vasorum sehungga pada lesi-lesi iskemik biasanya
pupil tidak mengalami gangguan. Pada lesi-lesi kompresif, biasanya aneurisma, serat-serat
pupil terkena secara dini sehingga pupil mengalami dilatasi. Dengan demikian, lesi iskemik
dan lesi kompresif dapat dibedakan secara klinis, karena pada lesi iskemik respon pupil
umumnya normal, sedangkan lesi kompresif menyebabkan pupil mengalami dilatasi dan
fiksasi total. Kurang dari 5% kelumpuhan nervus okulomotorius akibat lesi iskemik berkaitan
dengan kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% terjadi kelumpuhan pupil parsial.
2. Sinekinesis Okulomotor (Regenerasi aberan nervus okulomotorius)
Fenomena ini ditandai oleh:
Diskinesia kelopak mata pada saat menatap horizontal akibat M. Levator palpebra
bekerja sewaktu M. rektus medialis bekerja
Aduksi sewaktu berusaha melihat ke atas akibat M. rektus medialis bekerja sewaktu M.
rektus superior bekerja
Retraksi sewaktu berusaha melihat ke atas karena kedua rektus, yang bersifat retraktor,
bekerja,
Pupil pseudo-Argyll Robertson, yaitu tidak ada respon cahaya, tidak ada respon dekat
pada posisi primer tetapi respon “dekat” pada aduksi atau aduksi-depresi akibat
persarafan pupil dari M. rektus inferior atau medialis;
Tanda pseudo-Graefe, dimana terjadi retraksi kelopak mata sewaktu menatap ke bawah
akibat persarafan kelopak dari M. rektus inferior
Respon nistagmus optokonetik vertikal monokular akibat otot-otot yang memfiksasi
mata yang terkena bekerja bersama-sama sehingga hanya mata normal yang berespon
terhadap target yang bergerak.
Sinkinesis okulomotor ini mungkin terjadi tidak saja sebagai kombinasi kesalahan
arah akson yang sedang tumbuh ke selaput yang salah tetapi juga sebagai akibat dari
transmisi atau timbal balik antara akson-akson yang tidak memiliki penutup selaput mielin.
Sinkinesis okulomotor dapat terjadi akibat trauma berat atau penekanan N III oleh aneurisma
a. komunikans posterior, atau secara primer disebabakan oleh aneurisma a. karotis interna
atau meningioma di sinus kavernosus. Apabila penekanan berlangsung beberapa minggu,
maka sering diperlukan bedah strabismus untuk memperoleh penglihatan tunggal binokular.
3. Kelumpuhan okulomotor siklik
Kelumpuhan okulomotor siklik dapat menjadi penyulit kelumpuhan kongenital nervus
okulomotorius. Kelainan ini merupakan proses predominan unilateral yang jarang terjadi
berupa kelumpuhan N III yang memperlihatkan spasme siklik setiap 10-30 detik. Selama
selang waktu ini, ptosis membaik dan akomodasi meningkat. Fenomena ini berlanjut terus
seumur hidup tetapi berkurang sewaktu tidur dan meningkat seiring dengan tingkat
kewaspadaan. Kelainan ini mungkin terjadi akibat lepas muatan periodik oleh neuron-neuron
yang rusak di nukleus okulomotorius yang menimbulkan rangsang subthreshold yang
semakin bertambah sampai timbul lepas muatan.
PEMERIKSAAN KLINIS
A. Anamnesis
a. Usia onset: ini merupakan faktor penting untuk prognosis jangka panjang. Semakin dini
onsetnya, semakin buruk prognosis untuk fungsi penglihatan binokularnya.
b. Jenis onset: awitan dapat perlahan, mendadak, atau intermiten.
c. Jenis deviasi: ketidaksesuaian penjajaran terjadi di semua arah atau lebih besar di posisi-
posisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk jauh atau dekat.
d. Diplopia: pasien dewasa dengan strabismus paralitik/inkomitan akan mengeluh melihat
dobel (diplopia), kecuali bila disertai ptosis. Tetapi apabila strabismus paralitik terjadi
pada masa anak-anak keluhan melihat dobel tidak ada karena terjadi supresi pada
bayangan kedua yang dilihatnya dan biasanya terjadi ambliopia.
Keluhan diplopia dapat membantu dalam menentukan otot ekstraokular mana yang
mengalami kelumpuhan. Pasien sebaiknya diminta untuk mendeskripsikan mengenai arah
bayangan yang dilihat dobel olehnya. Apabila bayangan yang dilihat terpisah secara
horizontal maka kemungkinan otot yang mengalami kelumpuhan adalah otot rektus lateralis
atau medialis. Apabila bayangan yang dilihat terpisah secara vertikal atau miring (torsi) maka
kemungkinannya terdapat satu atau lebih otot rektus vertikalis atau olibqus yang mengalami
kelumpuhan. Variasi dari arah bayangan tersebut yang dilihat dalam posisi menatap tertentu
dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai otot ekstraokular mana yang
mengalami kelumpuhan. Misalnya, diplopia akan terlihat lebih jelas bila pasien melirik ke
kanan dan bayangan tersebut terpisah secara horizontal maka otot ekstraokular yang mungkin
terkena adalah otot rektus lateralis kanan atau rektus medialis kiri. Hal ini sebaiknya
dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan pergerakan bola mata.
e. Ketajaman penglihatan: baik atau menurun
f. Riwayat penyakit: diabetes melitus, hipertensi, aneurisma, neoplasia, atau trauma
(trauma saat kelahiran ataupun trauma kepala akibat kecelakaan). Riwayat penyakit ini
penting dalam hal mencari faktor yang mendasari atau faktor penyebab paresenya nervus
okulomotorius.
B. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi konstan atau
intermiten, berpindah-pindah atau tidak, dan bervariasi atau konstan. Adanya posisi kepala
yang abnormal dan ptosis juga dapat diketahui. Pada ptosis neurogenik jatuhnya kelopak
mata atas dapat unilateral, sedangkan pada ptosis miogenik biasanya bilateral. Karakteristik
dari ptosis unilateral adalah pasien berusaha untuk meningkatkan fisura palpebra dengan cara
merengut atau mengernyitkan dahi (kontraksi dari otot frontalis). Ptosis kongenital biasanya
mengenai satu mata saja.
Pupil: ukuran, isokor/anisokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung.
Hirschberg reflction test: memeriksa reflek cahaya pada kedua permukaan kornea.
Dengan tes ini adanya strabismus dapat dideteksi, setiap 1 mm penyimpangan sama
dengan 15 dioptri prisma (70).
Ortofori → bila masing-masing refleks cahaya pada kornea berada di tengah pupil.
Heterofori → bila salah satu refleks cahaya pada kornea tidak berada di tengah pupil.
Pergerakan mata: memeriksa pergerakan mata pasien dengan meminta pasien mengikuti
pergerakan jari pemeriksa ke sembilan arah yaitu lurus ke depan, 6 posisi kardinal
(kanan, kanan atas, kanan bawah, kiri, kiri atas, kiri bawah), ke atas, dan ke bawah. Pada
saat mata melakukan pergerakan ke 6 posisi kardinal hanya satu otot saja yang bekerja,
sedangkan saat mata melihat ke atas atau ke bawah beberapa otot bekerja bersamaan
sehingga sulit mengevaluasi kerja masing-masing otot. Oleh karena itu dalam menilai
kelumpuhan otot-otot ekstraokular, pergerakan mata ke 6 posisi kardinal lebih bernilai
diagnostik. Selain itu penting juga untuk menilai kecepatan dari gerakan sakadik mata
baik secara horizontal ataupun vertikal. Pada gangguan atau kerusakan pada saraf yang
mempersarafi otot-otot ekstraokuler ataupun pada tingkat yang lebih tinggi lagi, dapat
terlihat pergerakan mata jauh lebih lambat dibandingkan mata normal.
Ketajaman penglihatan: masing-masing mata harus dievaluasi secara tersendiri.
Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan kartu Snellen atau pada anak dapat dinilai
dengan menggunakan “E” jungkir balik (Snellen) atau gambar Allen.
Cover-uncover test: tes ini bertujuan untuk menentukan sudut deviasi/sudut strabismus.
Sewaktu pemeriksa mengamati satu mata, di depan mata yang lain ditaruh penutup untuk
menghalangi pandangannya, kemudian amati mata yang tidak ditutup apakah mata
tersebut bergerak untuk melakukan fiksasi atau tidak. Setelah itu buka penutup yang
telah dipasang dan perhatikan apakah mata yang telah dibuka penutupnya melakukan
fiksasi kembali atau tidak. Jika mata tersebut melakukan fiksasi maka mata tersebut
normal dan mata yang mengalami deviasi adalah mata sebelahnya.
Hess screen: tes ini bertujuan untuk mengukur sudut deviasi/sudut strabismus. Untuk tes
ini di depan salah satu mata pasien dipakaikan kaca berwarna merah dan kaca berwarna
hijau pada mata lainnya. Kemudian pasien diminta untuk memegang tongkat dengan
lampu hijau dan diminta untuk menunjuk cahaya merah yang terlihat pada layar dengan
tongkat tersebut. Dengan tes ini masing – masing mata dapat dinilai sehingga dapat
diukur arah dan sudut deviasinya. Penilaian dan pengukuran deviasi pada strabismus
paralitik/inkomitan adalah penting, tidak hanya untuk mendiagnosa otot ekstraokular
mana yang terkena tapi juga sebagai patokan awal terhadap derajat kelumpuhan otot
sehingga kemajuan pasien dapat dievaluasi dengan baik.
Pemeriksaan sensorik: pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai status pengihatan
binokular. Pemeriksaan tersebut adalah untuk stereopsis, supresi, dan potensi fusi. Semua
memerlukan dua sasaran terpisah untuk masing-masing mata.
C. Pemeriksaan penunjang
Beberapa kasus yang berkaitan dengan strabismus paralitik/inkomitan mengarah pada
gangguan neurologis yang serius, seperti pada parese N III yang disertai rasa nyeri, yang
dicurigai akibat aneurisma pada Sirkulus Willisi. Pada kasus-kasus seperti ini pasien
sebaiknya segera dirujuk pada ahli neurologi, tapi pada kasus-kasus yang tidak membutuhkan
penganganan dengan segera dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang mungkin dapat
membantu dalam mencari penyebab dan menegakan diagnosa, antara lain:
a. Gula darah
b. Foto kranium
c. Foto sinus paranasal dan orbita, bila diperlukan CT scan sinus paranasal dan orbita
d. Tes fungsi tiroid dan autoantibodi
e. Tensilon (edrophonium) test, untuk menegakan diagnosa miastenia gravis
f. CT brain / MRI / angiografi karotis pada kasus-kasus neurologis
TERAPI
a. Terapi untuk strabismus
Pada dasarnya terapi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah dengan mengatasi
faktor penyebab timbulnya parese nervus okulomotorius.
Terapi Medis
Terapi ambliopia
Terapi ambliopia yang utama adalah oklusi. Mata yang baik ditutup
untuk merangsag mata yang mengalami ambliopia. Ada dua stadium terapi
ambliopia, yaitu:
-Stadium awal, terapi awal standar adalah penutupan terus menerus. Bila
ambliopianya tidak terlalu parah atau anak terlalu muda maka diterapkan
penutupan paruh waktu. Terapi oklusi dilanjtukan selama ketajaman
penglihatan membaik (kadang-kadang sampai setahun). Penutupan sebaiknya
tidak terus-menerus lebih dari 4 bulan apabila tidak terdapat kemajuan.
-Stadium pemeliharaan, terdiri dari penutupan paruh waktu yang dilanjutkan
setelah fase perbaikan untuk mempertahankan penglihatan terbaik melewati
usia dimana ambliopianya kemungkinan besar kambuh (sekitar usia 8 tahun).
Prisma
Prisma menghasilkan pengarahan ulang garis penglihatan secara optis.
Unsur-unsur retina dibuat segaris untuk menghilangkan diplopia. Apabila
digunakan sebelum operasi, prisma dapat merangsang efek sensorik yang akan
timbul setelah tindakan bedah. Prisma dapat digunakan dengan beberapa cara.
Bentuk yang cukup nyaman adalah prisma plastik press-on Fresnel. Alat optik
ini bermanfaat diagnostik dan terapetik temporer.
Terapi bedah
Tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam lapangan
pandang yang normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat. Terapi bedah
dapat ditunda selambat-lambatnya sampai satu tahun dengan maksud memberi
kesempatan untuk pemulihan dengan sendirinya. Terapi bedah biasanya dilakukan
bila penglihatan binokular tidak kunjung membaik setelah otot-otot ekstraokular
pulih, selambat-lambatnya sampai 6 bulan.
17
Prosedur yang digunakan yaitu reseksi dan resesi. Secara konseptual,
tindakan ini merupakan tindakan paling sederhana. Sebuah otot diperkuat dengan
suatu tindakan yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, diregangkan lebih
panjang secara terukur, kemudian dijahit kembali ke mata, biasanya di tempat
insersi semula. Resesi adalah tindakan perlemahan standar. Otot dilepas dari mata,
dibebaskan dari perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot tersebut
dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di belakang insersinya semula.
B. Terapi untuk ptosis
Ptosis kongenital : pada ptosis kongenital yang menghalangi penglihatan mata,
terapi aksis visual harus dilakukan tanpa penundaan untuk mencegah
perkembangan ptosis menjadi ambliopia. Selain itu, perkembangan visual dapat
di monitor dan tindakan operasi dapat dilakukan pada usia prasekolah, saat
jaringannya masih berkembang sangat baik. Tindakan operasi yang dilakukan
berupa bedah retraksi dari kelopak mata atas, yang sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin saat ditemukan adanya resiko berkembangnya gangguan
penglihatan akibat ptosis. Resiko dari keratopati terpapar harus di jelaskan
kepada pasien dan kemungkinan kelopak mata dapat jatuh atau turun lagi jika
masalah keratopati terpaparnya cukup serius harus juga dijelaskan kepada
pasien. Antibiotik dan lubrikan diberikan saat pasca operasi sampai permukaan
ocular menjadi terbiasa dengan tinggi kelopak mata yang baru.