antijamur

60
TUGAS FARMAKOLOGI II ANTIJAMUR/ANTIFUNGI Disusun Oleh : DINNAVI’A M3511018 PROGAM D3 FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Upload: dinnadinun

Post on 26-Oct-2015

261 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: antijamur

TUGAS FARMAKOLOGI II

ANTIJAMUR/ANTIFUNGI

Disusun Oleh :

DINNAVI’A M3511018

PROGAM D3 FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2013

Page 2: antijamur

ANTIJAMUR/ANTIFUNGI

Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi mikosis superfisialis,

mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis biasanya menyerang kulit,

rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit,

sedangkan mikosis sistemik melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun

oportunistik.1,2

Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat antijamur

topikal dan sistemik. 4,5 Penggunaan obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur

dengan area yang terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi penggunaan antijamur

sistemik. Antijamur sistemik diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan

sistemik.6,7

Sedangkan bila berdasarkan tempat kerja, obat antijamur saat ini dibagi menjadi

empat golongan utama yaitu polien, azol, alilamin dan ekinokandin. Terdapat juga obat

antijamur yang tidak termasuk kelompok di atas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian

obat antijamur topikal lainnya. 8,9,10

MEKANISME KERJA OBAT ANTIJAMUR

Obat antijamur memiliki 3 titik tangkap pada sel jamur (Gambar 1 dan 2). Target

pertama pada sterol membran plasma sel jamur, kedua mempengaruhi sintesis asam nukleat

jamur, ketiga bekerja pada unsur utama dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan

mannooprotein.

Kebanyakan obat antijamur sistemik bekerja secara langsung (seperti golongan

polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja secara tidak langsung (seperti golongan

azol). Sedangkan golongan ekinokandin secara unik bekerja pada unsur utama dinding sel

β1,3 glukan.

1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol

Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur

dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja

obat antijamur secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol

dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran sel

jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan

menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung (golongan

2

Page 3: antijamur

azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi

ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol).(Gambar 3)9

2. Sintesis asam nukleat

Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara

menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh

obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC), dimana

5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel jamur 5 FC

diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA.

Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan

menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA.9

3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans

Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin,

dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga

rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur

penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat

pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidak

terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis.(Gambar 1)9

Gambar 1. Target kerja antijamur pada dinding sel jamur 7

3

Sintesis dinding sel * Ekinokandin, pneumokandin dan papulokandins; menghambat sintesis glukan.

*Polyxins dan nikkomycin; menghambat sintesis kitin

Page 4: antijamur

*Dalam penelitian

†Potensial target

‡ Obat yang tersedia

Gambar 2. Titik tangkap obat antijamur9

A. GOLONGAN OBAT ANTIJAMUR TOPIKAL

Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh

yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi

pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, serta infeksi pada

stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antijamur topikal lebih sedikit

dibandingkan obat anti jamur sistemik. Pengobatan topikal memiliki beberapa

keuntungan yaitu sedikit efek samping dan interaksi dengan obat lain, pengobatan

terlokalisir pada tempat yang sakit, dan biaya yang murah. 4

Jenis obat topikal yang sering digunakan yaitu :

4

Fungsi membran ‡ Polien ; mengikat ergosterol Peptida antimikrobial : defensins,

protegrins, gallinacini, cecropins A, thanatin dan dermaseptins

† Pradimicins dan benanomicins : mengikat mannoproteins dan menyebabkan gangguan calcium-dependent pada permebilitas membran

Sintesis ergosterol ‡ Azol; menghambat sitokrom P 450-dependent 14-α-demethylase

‡ Allylamines (naftifin dan terbinafin) dan thiocarbamate (tolnaftaf); menghambat squalene epoxidase

†Morpholine (amorolfine); menghambat ∆14-reductase, ∆7, ∆8-isomerase, oxido-squalan cyclase, dan ∆24 methyltransferase

Inti ‡ griseofulvin

Sintesis asam nukleat ‡5-fluorocytosine, Sordarins : miscoding RNA dan menghambat thymidylate synthesis

Cispentacin derivates

Page 5: antijamur

a. azol-imidazol : ketokonazol, klotrimazol, mikonazol, ekonazol, sulkonazol,

oksikonazol, terkonazol, tiokonazol, sertakonazol

b. alilamin dan benzilamin : naftifin, terbinafin, butenafin

c. polien: nystatin

Beberapa obat topikal tidak termasuk dalam golongan ini namun dapat digunakan

untuk terapi non spesifik seperti golongan keratolitik (asam salisilat) atau antiseptik

(gentian violet), siklopiroks, haloprogin, serta amorolfin. 4

a. Golongan Azol-Imidazol

Merupakan kelompok anti jamur azol yang memiliki dua nitrogen pada cincin azol.

Ditemukan setelah tahun 1960.

Mekanisme kerja

Relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat

pembentukan 14 – α-sterol demethylase, suatu enzim sitokrom P450 (CYP). Hal

ini mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma jamur dan

menyebabkan akumulasi 14 – α- metilsterol. Metilsterol merusak rantai fosfolipid

sehingga mengganggu fungsi enzim pada membran jamur seperti ATP ase dan

enzim pada sistem transpor elektron. Mekanisme ini yang mengakibatkan efek

pertumbuhan jamur terhambat.4

1. Klotrimazol

Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis oral,

kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral

troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan

kandidiasis vaginalis diberikan dosis 500 mg pada hari ke-1, 200 mg hari ke-2,

atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke dalam vagina. Untuk pengobatan

infeksi jamur pada kulit digunakan krim klotrimazol 1% dosis dan lamanya

5

Gambar 3. Struktur Klotrimazol8

Page 6: antijamur

pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu

dan dioleskan 2 kali sehari.

2. Ekonazol

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis

oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan

dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berurut-turut.

Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ekonazol krim 1 %,

dosis dan lamanya tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-

4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ekonazol penetrasi dengan cepat di

stratum korneum. Kurang dari 1% diabsorpsi ke dalam darah. Sekitar 3%

pasien mengalami eritema lokal, sensasi terbakar, tersengat, atau gatal. 10,20

3. Mikonazol

Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,

serta kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi pada

stratum korneum dan bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan. Kurang dari

1% diabsorpsi dalam darah. Absorpsi kurang dari 1,3% di vagina.8 Pengobatan

kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200 selama 7 hari atau 100 mg selama 14

hari yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan kandidiasis oral, diberikan

oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan

mikonazol krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi

pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

6

Gambar 4. Struktur Ekonazol8

Gambar 5. Struktur mikonazol8

Page 7: antijamur

Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi

7% kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika,

atau skin rash. Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian

kutaneus. Mikonazol aman digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa

ahli menghindari pemakaian pada kehamilan trimester pertama.10

4. Ketokonazol

Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan

mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin.

Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal

epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap

dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan.20

Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis

versikolor, kutaneus kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis

seboroik. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim ketokonazol

1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya

diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan

pengobatan dermatitis seboroik dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan pitiriasis

versikolor menggunakan ketokonazol 2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2

kali seminggu selama 8 minggu.20

5. Sulkonazol

Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis

kutaneus. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol krim 1%.

Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk

pengobatan tinea korporis , tinea kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan

1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali

sehari selama 4 minggu.20,21

6. Terkonazol

Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis

kutaneus dan genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis yang disebabkan

Candida albicans, digunakan terkonazol krim vagina 0,4% (20 gr terkonazol)

yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan aplikator sebelum waktu

tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal supositoria dengan

7

Page 8: antijamur

dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum

waktu tidur selama 3 hari berturut-turut.21

7. Tiokonazol

Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis serta kandidiasis

kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis

tunggal sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada

kulit digunakan tiokonazol krim 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung

kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan kandidiasis

kutaneus biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris

dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu dan untuk pitirisis versikolor

dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu.21

8. Sertakonazol

Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan candida

sp, digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4

minggu.21

b. Golongan Alilamin dan Benzilamin

Mekanisme kerja adalah dengan cara menekan biosintesis ergosterol pada tahap awal

proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat aktifitas squalene

epoksidase. Dengan berkurangnya ergosterol akan menyebabkan penumpukan

squalene pada sel jamur sehingga mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan

benzilamin bersifat fungistatik terhadap Candida albicans.

1. Naftifin

Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida sp.,

Untuk pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim 1% dioleskan 1

kali sehari selama 1 minggu.5

2. Terbinafin

8

Page 9: antijamur

Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis

versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin krim 1% yang

dioleskan 1 atau 2 kali sehari. Untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris

digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk

kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2

minggu.10

3. Butenafin

Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antijamurnya sama dengan

golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan dapat

digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis,

dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu.4

c. Golongan Polien

Nistatin

Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada kulit atau

membrane mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin biasanya tidak bersifat toksik

tetapi kadang-kadabng dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan

dosis tinggi.

Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppossitoria

(100.000 setiap unitnya) yang diberikan selama kurang lebih 14 hari.

d. Golongan Antijamur Topikal Lain

1. Asam Undesilenat

Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal apabila

terpapar lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur. Tersedia dalam

bentuk salep, krim, bedak spray powder, sabun, dan cairan. Salap asam

undesilenat mengandung 5% asam undesilenat dan 20% zinc undesilenat. Zinc

bersifat astringent yang menekan inflamasi. Preparat ini digunakan untuk

9

Gambar 6. Struktur Terbinafin8

Page 10: antijamur

mengatasi dermatomikosis, khususnya tinea pedis. Efektifitas masih lebih

rendah dari imidazol, haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini juga dapat

digunakan pada ruam popok, dan tinea kruris.10,20,22

2. Salep Whitefield

Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang mengandung

12% asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini dikenal dengan salep

Whitefield. Asam benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam salisilat sebagai

keratolitik sehingga menyebabkan deskuamasi keratin yang mengandung jamur.

Preparat nini sering menyebabkan iritasi khususnya jika dipakai pada

permukaan kulit yang luas. Selain itu absorpsi secara sistemik dapat terjadi, dan

menyebabkan toksisitas asam salisilat, khususnya pada pasien yang mengalami

gagal ginjal. Digunakan untuk mengatasi tinea pedis, dan tinea kruris. 10,22

3. Amorolfin

Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan cara

menghambat biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya luas, dapat

digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan

onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit amorolfin dioleskan satu kali

sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama 6 bulan.

Amorolfin 5% nail lacquaer diberikan sebagai monoterapi pada onikomikosis

ringan tanpa adanya keterlibatan matriks. Diberikan satu atau dua kali seminggu

selama 6-12 bulan. Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan jamur memiliki

angka kesembuhan 60-76% dengan pemakaian satu atau dua kali seminggu.

Kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan

sedangkan kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.3,7,20

4. Siklopiroks olamin

Siklopiroks olamin adalah antijamur sintetik hydroxypyridone, bersifat

fungisidal, sporisida dan memiliki penetrasi yang baik pada kulit dan kuku.

10

Gambar 7. Struktur Siklopiroks olamin8

Page 11: antijamur

Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis,

onikomikosis, kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor.21

Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari

selama 2-4 minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan

siklopiroks nail lacquer 8%. Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit,

larutan tersebut akan mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera

dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke

dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman 0,4 mm

dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat akan

mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ±0,25 mikrogram

tiap milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45

hari setelah pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar

50 kali konsentrasi obat minimal yang berefek fungisidal. 10,21 Konsentrasi obat

yang berefek fungisidal ditemukan di setiap lapisan kuku.10,20

Sebelum pemakaian cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku

yang terinfeksi diangkat atau dibuang, kuku yang tersisa dibuat kasar kemudian

dioleskan membentuk lapisan tipis. Dilakukan setiap 2 hari sekali selama bulan

pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali pada bulan

ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Pemakaian cat kuku dianjurkan tidak

lebih dari 6 bulan. 7,,21

5. Haloprogin

Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea

korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi

1% dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.10

6. Timol

Timol adalah antiseptik yang larut dalam alkohol efektif dalam bentuk tingtur

untuk mengobati onikolisis. Timol bekerja sebagai antiseptik membunuh

11

Gambar 8. Struktur haloprogin

Page 12: antijamur

organisme pada saat alkohol menguap. Tidak tersedia preparat komersil; ahli

farmakologi mencampur 2-4% timol ke dalam larutan dasar seperti etanol 95%

dan mengendap di dasar botol. Pemakaiannya jari ditegakkan vertikal lalu

diteteskan solusio sampai menyentuh hiponikium, gaya gravitasi dan tekanan

permukaan secara cepat mendistribusikan timol ke bagian terdalam dari ruang

subungual. Penggunaan timol beresiko iritasi, dan memiliki bau yang tidak

menyenangkan. 20

7. Castellani’s paint

Castellani’s paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas antijamur dan

antibacterial. Digunakan sebagai terapi tinea pedis, dermatitis seboroik, tinea

imbrikata.Efek sampingnya adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol. 22

8. Alumunium Chloride

Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi mirip dengan Castellani’s paint pada

terapi tinea pedis.22

9. Gentian Violet

Gentian violet adalah triphenylmethane (rosaniline) dye. Produk yang

dipasarkan mengandung 4% tetramethyl dan pentamethyl congeners campuran

ini membentuk kristal violet. Solusio gentian violet dengan konsentrasi 0,5-2%

digunakan pada infeksi jamur mukosa. Gentian violet memiliki efek antijamur

dan antibaterial.22

10. Potassium Permanganat

Potassium permanganat tidak memiliki aktifitas antijamur. Pada pengenceran

1:5000 sering digunakan untuk meredakan inflamasi akibat kandidiasi

intertriginosa.22

11. Selenium Sulphide

Losio 2,5% selenium sulphide untuk terapi pitiriasis versikolor dan dermatitis

seboroik. Pengguinaan losio selama 10 menit satu kali sehari selama pemakaian

7 hari, tidak terjadi absorpsi perkutaneus yang signifikan. Selenium sulphide

2,5% dalam bentuk sampo dapat menyebabkan iritasi pada kulit kepala atau

perubahan warna rambut. Losio selenium sulphide juga digunakan sebagai

sampo pada tinea kapitis yang telah diberikan terapi oral griseofulvin.22

12. Zinc Pyrithione

12

Page 13: antijamur

Zinc pyrithione adalah antijamur dan antibakteri yang digunakan mengatasi

pitiriasis sika. Sampo zinc pyrithione 1% efektif pada terapi pitiriasis versikolor

yang dioleskan setiap hari selama 2 minggu.22

13. Sodium Thiosulfate dan Salicylic Acid

Solusio 25% sodium thiosulfate dikombinasi dengan 1% salicylic acid tersedia

preparat komersial dan digunakan pada tinea versikolor.22

14. Prophylen Glycol

Prophylen glycol (50% dalam air) telah digunakan untuk mengatasi pitiriasis

versikolor. Prophylen glycol 4-6% sebagai agen keratolitik, yang secara in vitro

bersifat fungistatik terhadap Malassezia furfur kompleks (bentuk dari

Pityrosporum spp). Solusio propylene glycol-urea- asam laktat juga telah

digunakan untuk onikomikosis.22

B. GOLONGAN OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK

1. Kelompok Antijamur Azol

Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1944, antijamur azol

berperanan penting dalam penatalaksanaan infeksi jamur. Kelompok azol dapat

dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol.

Kelompok imidazol (ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua

nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol, flukonazol, varikonazol, dan

posakonazol) mengandung tiga nitrogen.11,12 Kedua kelompok ini memiliki

spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan

efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para

peneliti berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol.8

Mekanisme kerja golongan Azol

13

Page 14: antijamur

Gambar 9. Mekanisme biosintesis ergosterol dan mekanisme kerja berberapa obat antijamur

terhadap biosintesis ergosterol12

Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol

yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur.

Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14-α-demethylase yang

bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan

dinding sel jamur menjadi permeabel dan terjadi penghancuran jamur. 7,13

Contoh obat :

1. Ketokonazol

Ketokonazol diperkenalkan tahun 1970 merupakan antijamur golongan

imidazol pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan

sebagai lini pertama untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.5

14

Page 15: antijamur

Gambar 10. Struktur kimia ketokonazol5

Aktivitas spektrum

Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces

dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum,

Malasezzia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif

terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan

Zygomycetes.10

Farmakokinetik

Absorpsi peroral tiap individu bervariasi.Setelah pemberian peroral

dosis 200,400, dan 800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20 µg/ml.

Waktu paruh tergantung dari peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis

800 mg. Konsentrasi zat aktif dalam urin sangat rendah. Di dalam darah, 84%

ketokonazol terikat dalam plasma protein; 15% terikat pada eritrosit; dan 1%

dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai keratinosit secara efisien, dan

konsentrasi pada cairan di vagina sama dengan di plasma. Konsentrasi dalam

cairan serebrospinal (CSF) pada pasien meningitis jamur kurang dari 1% dari

total konsentrasi obat di plasma.10

Pemberian bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosomal

hepatik seperti rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50% absorpsi

ketokonazol. Konsentrasi ketokonazol dapat meningkat dalam plasma apabila

diberikan bersama dengan siklosporin, midazolam, triazolam, indinavir, dan

fen itoin karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim sitokrom p 450

CYP3A4.8 Makanan dapat menurunkan konsentrasi ketokonazol dalam serum,

maka preparat ini lebih baik diberikan dalam kondisi perut kosong.7

Dosis

Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis

untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk

15

Page 16: antijamur

tinea korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida

vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis, tinea versikolor selama 5-

10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.10

Efek samping

Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering

dijumpai terjadi pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari.

Pemberian pada saat menjelang tidur atau dalam dosis terbagi dapat mengatasi

keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa rash terjadi

sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol.10

Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada

jamur. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien.

Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan

fungsi hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian

terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian terapi ketokonazol.

Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat menghambat human adrenal

synthetase dan testicular steroid yang dapat menimbulkan alopesia,

ginekomastia dan impoten.10

Interaksi obat

Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang

mengkonsumsi obat yang menurunkan sekresi asam lambung antasida,

antikolinergik dan H2 antagonis sehingga sebaiknya obat ini diberikan setelah

2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh

terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga tidak diberikan bersamaan dan

juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskuler seperti pemanjangan Q-

T interval dan torsade de pointes.10

Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam

dan triazolam dan dapat meningkatkan kadar siklosporin dan konsentrasi

serum dari warfarin. Pemberian ketokonazol dan rifampisin secara

bersamaaam dapat menurunkan efektifitas kedua obat.9,10

2. Itrakonazol

16

Page 17: antijamur

Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol.

Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang disebabkan Candida dan

spesies nondermatofita lainnya.5

Gambar 11 . Struktur Itrakonazol 5

Aktivitas spectrum

Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis sp.,

Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis, Cryptococcus

neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes

brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol

juga efektif terhadap dematiaceous mould dan dermatofita tetapi tidak efektif

terhadap Zygomycetes.10

Farmakokinetik

Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan dan

asam lambung. Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran

gastrointestinal (55%) tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika

itrakonazol dikonsumsi bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis

tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2 mg/L

dalam waktu 2-4 jam. 5,10

Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma

menuju keratinosit dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat

ditemukan dalam keringat sampai 24 jam setelah pemberian dosis awal.

Eksresi terbanyak itrakonazol melalui sebum. Sejumlah kecil itrakonazol

didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya itrakonazol

dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol

akan dieksresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan

dibuang melalui feces tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol dimetabolisme

di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Kebanyakan metabolit yang

tidak aktif akan dieksresi oleh empedu dan urin. Metabolit utamanya yaitu

17

Page 18: antijamur

hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif. Itrakonazol masih

ditemukan pada stratum korneum selama 3-4 minggu setelah penghentian

terapi. Pada model in vivo, efek terapi itrakonazol pada stratum korneum

masih ada untuk 2-3 minggu setelah terapi dihentikan.8

Dosis

Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada onikomikosis

kuku tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan onikomikosis

kuku kaki selama 3 bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga

tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui, karena dieksresikan

di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk kapsul 100 mg. Bentuk

kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi maksimal,

karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk ini sering menimbulkan

keluhan gastrointestinal.5,8

Tabel 1. Rejimen dosis itrakonazol5

Dewasa Anak-anakOnikomikosis Kuku tangan : 200 mg 2xsehari 1

minggu/bulan , 2 dosis pulseKuku kaki : 200 mg/harix12 mingguAtau200 mg 2xsehari x 1minggu/bulan, 3 dosis pulse

Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1 minggu/bulan, 2 dosis pulsea

Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1 minggu/bulan, 3 dosis pulse

Tinea kapitis 250 mg/hari x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 5 mg/kg/hari x 2-4 mingguInfeksi Mikrosporum : 5 mg/kg/hari x 4-8 minggu

Tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis

200 mg 2xseharix1 minggu Dosis berdasarkan berat x 1-4 minggu

Pitiriasis versikolor

200 mg/hari x 5-7 hari, untuk pencegahan rekuren dengan 200 mg 2xsehari dosis tunggal/bulan

Tidak ada penelitian

a Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari dapat diganti

dengan 200 mg/hari (30-40 kg), 200mg/hari (> 50 kg)

Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal

seperti mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit

kepala, pruritus, dan ruam alergi.

18

Page 19: antijamur

Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1991

terhadap 189 pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan

bahwa mual dan muntah (10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%),

peningkatan serum aminotransferase (5%), rash (2%) dan efek samping lain

(39%). Ditemukannya hipokalemia pada pasien yang menerima dosis

itrakonazol 600 mg perhari yang dikombinasi dengan pemberian jangka

panjang Amfoterisin B. Efek samping lain meliputi insufisiensi adrenal, edema

tungkai bawah, hipertensi, dan pada satu pasien mengalami rhabdomyolisis.

Dosis di atas 400 mg perhari tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka

panjang.10

Interaksi obat

Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan

obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2

antagonis, omeprazol dan lansoprazol.9

Itrakonazol merupakan suatu inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P

450-3A4 sehingga pemberian bersama obat lain yang metabolismenya melalui

sistem tersebut dapat meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat

memperpanjang dari waktu paruh paruh obat terfenadin, astemizol, midazolam,

triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga

dapat meningkatkan konsentrasi serum digoksin, siklosporin takrolimus, dan

warfarin.9,10

3. Flukonazol

Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam

bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan diperkenalkan

pertama kali di Eropa lalu di Amerika Serikat. Bersifat fungistatik dan efektif

melawan yeast (kecuali Candida krusei).5

Mekanisme kerja

Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu

merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja

dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14-α-demethylase dan

bersifat fungistatik.5

19

Page 20: antijamur

Gambar 12. Struktur Flukonazol5

Aktifitas spektrum

Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau

esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif

pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral).8

Farnakokinetik

Absorpsi paling baik (>90%) setelah makan dan keadaan perut terisi

dan tidak tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu

paruh 25-30 jam, dan mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari

selama 7 hari. Flukonazol berikatan lemah pada protein plasma dan sekitar

90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar 80% obat dieksresikan

melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin.5

Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum, kulit

dilaporkan sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan

farmakokinetik flukonazol berupa penurunan plasma klirens ditemukan pada

pasien dengan sirosis dan gagal ginjal. Pada bayi di bawah 3 bulan ,

flukonazol klirens lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.5

Dosis

Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan.5

Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea

tonsurans dengan dosis 6 mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30

hari. Tetapi diberikan lebih lama pada infeksi Mycoplasma canis.5

Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg;

sediaan oral solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan

intravena. Direkomendasikan pada anak-anak <6 bulan.5

20

Page 21: antijamur

Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150

mg dosis tunggal. Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu

selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 3-4

minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4. Pada terapi onikomikosis,

terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama dibandingkan

flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada pitiriasis versikolor

digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label

randomized meneliti pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400 mg

flukonazol dosis tunggal dibandingkan dengan 400 mg itrakonazol, ternyata

flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol dengan dosis sama.5

Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan

ginjal. Obat ini termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk

wanita hamil dan menyusui.5

Efek samping

Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti mual,

muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu

hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens Johnsons, hepatotoksik,

trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.5

Interaksi obat

Flukonazol dapat meningkatkan efek atau kadar dari obat astemizol,

amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonylurea, terfenadin, teofilin,

warfarin, simetidin, hidroklortiazid dan zidofudin. Pemberian bersama

flukonazol dengan cisapride ataupun terfenadin merupakan kontraindikasi oleh

karena dapat menimbulkan disritmia jantung yang serius dan torsade de

pointes. 9 Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid yang

menimbulkan efek hipoglikemia.

Kadar atau efek flukonazol dapat menurun jika diberikan bersama

karbamazepin, isoniazid, fenobarbital, rifabutin dan rifampisin.10

4. Varikonazol

Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan flukonazol dan

tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral. Merupakan derivat flukonazol.14

21

Page 22: antijamur

Mekanisme kerja

Varikonazol merupakan inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja

pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-α- demethylase. Hal ini

menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang

mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.14

Aktifitas spectrum

Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,

Blastomyces dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant.,

Cryptococcus neoforams, Fusarium sp., Histoplasma capsulatum, dan

Scedosporium apospermum. Tidak efektif terhadap Zygomycetes.9

Farmakokinetik

Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena (dalam bahan

pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali sehari.

Bioavailabilabilitas oral vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat dengan

protein. Asam lambung dapat menghambat absorpsi vorikonazol.15 Konsentrasi

maksimal pada plasma terjadi dua jam setelah pemberian oral.14 Vorikonazol

dapat mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi 1-3 μg/ml dengan

waktu paruh enam jam dalam darah.10

Dosis

Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap

12 jam untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan

< 40 kg. Untuk aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya yang

disebabkan Scedosporium asiospermum dan Fussarium spp, direkomendasikan

loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam pertama, diikuti dengan

22

Gambar 13. Struktur varikonazol14

Page 23: antijamur

dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian intravena atau

200 mg setiap 12 jam per oral.15

Efek samping

Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang

sering ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat

ditoleransi dengan baik, pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas

fungsi hepar sehingga dalam pemberian vorikonazol perlu dilakukan monitor

fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada hewan dan kontraindikasi

pada wanita hamil.10,14

Interaksi obat

Absorpsi varikonazol tidak mengalami penurunan jika diberikan

bersama dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi

mengurangi sekresi asam lambung.

Varikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistem enzim human

hepatik sitokrom P -450- 3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol,

namun varikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum terfenadin,

astemizol, cisaprid, pimozid, warfarin, tolbutamid, glipizid dan quinidin.

Varikonazol dapat menurunkan konsentrasi serum siklosporin dan

takrolimus.9,10

5. Posakonazol

Posakonazol merupakan kelompok triazol generasi dua, memiliki struktur

kimia serupa dengan itrakonazol namun mengganti cincin klorin dan cincin

furan dengan cincin dioksolan. Posakonazol menghambat jamur dengan

inhibisi enzim lanosterol 14-demethylase. Deplesi ergosterol menyebabkan

akumulasi prekursor metilasi sterol menyebabkan inhibisi pertumbuhan

dinding sel jamur, kematian sel jamur.16,17

Gambar 14. Struktur kimia posakonazol.9

23

Page 24: antijamur

Aktivitas spektrum

Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan

resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-

satunya golongan azol yang dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes.

Posakonazol juga dapat digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan

fusariosis.16,17

Dosis

Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan

dengan rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi

empat dosis guna mencapai level plasma adekuat. Pemberian posakonazol

dapat juga diberikan dua kali sehari pada keadaan tidak membahayakan jiwa.

Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan bersama dengan makanan atau

suplemen nutrisi.16

2. Kelompok Antijamur Alilamin

Terbinafin

Terbinafin merupakan antijamur sintetik golongan alilamin yang dapat

diberikan secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif melawan

dermatofit, tetapi kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan yeast. Pertama kali

ditemukan pada tahun 1983, digunakan di Eropa sejak tahun 1991 dan di Amerika

Serikat pada tahun 1996.5

Gambar 15. Struktur kimia terbinafin5

Mekanisme kerja

Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi

sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur

sehingga menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama

pada membran plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini mengakibatkan

24

Page 25: antijamur

berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan

membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan

dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk

endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur (efek

fungisidal).5,10

Aktifitas spectrum

Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit

yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat

fungisidal terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap

Aspergillosis sp., Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix

schenxkii dan beberapa dermatiaceous moulds.5

Farmakokinetik

Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi puncak

di serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis

tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat.5

Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada

dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi

dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma

yaitu 1,1 jam; eliminasi waktu paruh 16 sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg

dosis tunggal; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh

rata-rata 22 hari. Di dalam dermis-epidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu

paruh rata-rata 24-28 hari.5,8,10

Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum

kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis-

epidermis, tetapi terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin.

Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengam

konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah pengobatan

dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal nail plate dalam waktu 1

minggu setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu

pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang

lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan

25

Page 26: antijamur

metabolit tidak aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces

sebanyak 20%.10

Dosis

Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan dermatofita,

pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada itrakonazol dosis pulse. 5,8,10

Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku.

Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan

gangguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi

serum kreatinin > 300 µmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis tersebut.

Pengobatan tinea pedis selama 2 minggu, tinea korporis dan kruris selama 1-2

minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6

bulan atau lebih.5,10

Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen5

Dewasa Anak-anak

Onikomikosis Kuku tangan : 250 mg/hr x 6

minggu

Kuku kaki : 250 mg/hr x 12

minggu

3-6 mg/khg/hr x 6-12 minggua

Tinea kapitis 250 mg/hr x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 3-6

mg/kg/hr x 2-4 minggua

Infeksi Microsporum : 3-6

mg/kg/hr x 6-8 minggua

Tinea korporis, tinea

kruris

250 mg/hr x 1-2 minggu 3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu

Tinea pedis (mokasin) 250 mg/hr x 2 minggu b

Dermatitis seboroik 250 mg/hr x 4-6 minggu b

a Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-20 kg), 125 mg/hr (20-40 kg), 250 mg/hr (>40

kg). Catatan : tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5 mg/hr atau lebih.b Tidak ada penelitian.

Efek samping

Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen.

Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau

aktif.10

26

Page 27: antijamur

Interaksi obat

Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin. Namun

kadar dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang

merupakan suatu inhibitor sitokrim P-450.10

3. Kelompok Antijamur Polien

a. Amfoterisin B

Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces

nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti

jamur pada manusia di tahun 1960.10

Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk

pengobatan infeksi deep mycoses, pemberian secara parenteral sering

menimbukkan efek toksik terutama pada ginjal (nefrotoksik) sehingga kemudian

dikembangkan 3 jenis formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar

lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B liposomal (AmBisome),

obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang mengandung liposom. (2)

Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks

dengan fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B

dispersi koloid (Amphocil, Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks

dengan kolesterol sulfat yang membentuk potongan lemak kecil.10,18

27

Gambar 16. Struktur Amfoterisin B8

Page 28: antijamur

Tabel 3.Formula lipid Amfoterisin B18

Mekanisme kerja

Amfoterisin B (AMB) berikatan dengan ergosterol sehingga mengakibatkan

fungsi barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu

metabolisme jamur, serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel

jamur.10

Aktifitas spectrum

Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap

Aspergillus sp., Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp.,

Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum,

paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei.

Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur,

Scedosporium sp., dan Trichosporon asahii biasanya resisten.10

Farmakokinetik

Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral

(bioavailibilitasnya < 5%) sehingga untuk tetap mempertahankan konsentrasi

serum yang adekuat diberikan secara intravena.10

Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kbBB

akan menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l.

Kurang dari 10% dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12

jam pemberian dan > 90% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar

ditemukan di hepar (40% dari dosis), paru-paru (6% dari dosis), ginjal (2%

dari dosis), sedangkan di cairan serebrospinal (CSF) < 5 % konsentrasi darah.

28

Page 29: antijamur

Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase kedua 24-48 jam dan

waktu paruh fase ketiga 2 minggu.8,18

Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti

Amfoterisin B lipid kompleks (ABLC) akan menghilang dengan cepat dari

dalam darah tetapi sebagian kecil liposom akan menetap di sirkulasi untuk

jangka waktu yang lama.

Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B

(AmBisome) yaitu 10-35 mg/L dengan dosis 3 mg/kbBB dan 25-60 mg/L

dengan dosis 5 mg/kgBB. Kadar 5-10 mg/L dapat dideteksi setelah pemberian

24 jam dengan dosis 5 mg/kgBB. Pemberian liposomal amfoterisin B

menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa

dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada

ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh

liposomal amfoterisin B ± 100-200 jam.8,18

Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet)

setelah pemberian perenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula

konvensional sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat, konsentrasi

maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah pemberian dosis 5 mg/kgBB selama 1

minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks menghasilkan konsentrasi

yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-paru dibandingkan dengan

formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah

dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid

kompleks ± 170 jam.

Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B dispersi koloid (ABCD)

sekitar 2 mg/L dengan dosis 1 mg/kbBB, tetapi kadar obat di dalam darah akan

segera menurun setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang

cepat ke jaringan. Pemberian amfoterisin B dispersi koloid akan menghasilkan

konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar dan limpa dibandingkan dengan

formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah

dibandingkan dengan formula konvensional.8,18

Dosis

29

Page 30: antijamur

Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2

gr amfoterisin B deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan

fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum

pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg amfoterisin B di

dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak dengan

berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi

dan dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh

karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi

anafilaksis. Dosis obat dapat ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi

50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil

dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat

diberikan pada interval 48 atau 72 jam.8

Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0

mg/kg BB dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula

ini harus diberikan intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka

waktu pemberian dapat dipersingkat menjadi 1 jam. Obat ini berikan pada

individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping

toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari.18

Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid

kompleks yaitu 5 mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5

mg/kbBB/jam. Obat ini pernah diberikan pada individu selama 11 bulan

dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan.18

Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan

intravena dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat

ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada

individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek samping toksik yang

signifikan.8,18

Efek samping

Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera

menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi

kaku. Biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat

juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek lokal flebitis sering juga dijumpai.

30

Page 31: antijamur

Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus ginjal.

Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita

kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari

0,5/kgBb/hari. Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya

potasium dan magnesium. Pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2

minggu, dapat timbul anemia normokromik dan normositik sedang.10,18

Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian

amfoterisin B lipid kompleks dan amfoterisin B dispersi koloid lebih sedikit

dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang dapat

dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan sekitar 25%

penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak menetap.

Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping

dibandingkan formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi

serum kreatinin) menunjukkan kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid

kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B dispersi koloid sebanyak 15%,

amfoterisin B liposomal sebanyak 20% sedangkan formula konvensional

sebanyak 30-50%.8

Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu

peningkatan kadar transaminase, alkalin fosfatase dan konsentrasi serum

bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal amfoterisin B dijumpai

tes fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50%, tetapi biasanya tidak

menetap.8,10,18

Intera]ksi obat

Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik

aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat

tersebut harus hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid

dan digitalis glikosid dapat menimbulkan hipokalemi.10

b. Nistatin

Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari

Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral,

nistatin diberikan tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral

31

Page 32: antijamur

terdiri dari 100.000 unit/ml yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi

baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5 ml.10

4. Kelompok Antijamur Ekinokandin

1. Kaspofungin

Kaspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B0 yang

merupakan fermentasi lipopeptida jamur Glarea lozoyensis. Kaspofungin

efektif melawan jamur yang resisten terhadap flukonazol. Memiliki efektifitas

sangat baik dan lebih aman diberikan pada infeksi Candida.10

Pada awal 2001, kaspofungin mendapat persetujuan FDA untuk terapi

esofagitis dan orofaringeal kandida.3 Penelitian Mora-Duarte et al. menunjukkan

bahwa kaspofungin memiliki efektifitas serupa dengan AMB konvensional

untuk penatalaksanaan kandidiasis mukosa dan sistemik namun kaspofungin

dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh tubuh.3,6,10,15 kaspofungin juga telah

disetujui penggunaannya dalam aspergilosis invasif yang gagal diterapi dengan

terapi AMB atau vorikonazol. Monitoring ketat penggunaan caspofungin

diperlukan dalam terapi fungemia akibat C. parapsilosis untuk menghindari

terjadi fungemia resisten.15

Mekanisme kerja

Kaspofungin menghambat sintesis β-(1,3)-D-glukan yang merupakan komponen

dinding sel jamur.10

Aktifitas spektrum

32

Gambar 17. Struktur Kaspofungin8

Page 33: antijamur

Kaspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Kaspofungin efektif

terhadap Aspergillus fumigates, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus.

Kaspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap Coccidioides

immitis, Histoplasma capsulatum dan dermatiaceous molds. Kaspofungin juga

efektif terhadap sebagian besar Candida sp., dengan efek fungisidal yang tinggi,

tetapi dengan Candida parpsilosis dan Candida krusei kurang efektif, dan

resisten terhadap Cryptococcus neoformans.15

Farmakokinetik

Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg

akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 20 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat

akan menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96%

akan berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan didistribusikan ke

dalam jaringan (± 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi dijumpai

pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan dieksresi tanpa ada perubahan melalui

urin. Kaspofungin dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan

dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%).9,10,15

Dosis

Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50

mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui

infus dalam periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang,

direkomendasikan dosis kaspofungin diturunkan menjadi 35 mg.8

Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual,

muntah.7,18

Interaksi obat

Pemberian kaspofungin bersama siklosporin dapat meningkatkan transaminase

2-3 kali lipat dari batas normal.18

2. Mikafungin

Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis kandida pada

pasien HIV.12

Dosis

33

Page 34: antijamur

Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari

menyebabkan respon total atau parsial pada 35 dari 36 pasien kandidiasis

esophagus (97,2%) dan insiden efek simpang hanya 2,8% (1 dari 36 pasien).

Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi aspergilosis invasif.14

Penelitian juga telah dilakukan untuk membandingkan efektifitas

mikafungin dengan flukonazol sebagai antijamur profilaksis pada 882 pasien

yang menjalani transplantasi stem sel hemopoietik. Mikafungin diberikan 50

mg/hari atau flukonazol 400 mg/hari secara acak selama enam minggu. Hasil

penelitian menunjukkan respon mikafungin sebagai antijamur profilaksis lebih

baik dibanding flukonazol (80% dibanding 73.5%; p = 0.025). Hasil ini

konsisten terhadap semua subgroup termasuk anak dan orang tua, pasien dengan

netropenia persisten dan resipien transplantasi alogenik dan autolog. 8

3. Anindulafungin

Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah disetujui FDA

tahun 2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan abses

intraabdomen disebabkan kandida.12

Dosis

Suatu penelitian terhadap 123 pasien kandidiasis invasif diacak untuk

menerima sediaan 50, 75, atau 100 mg anindulafungin sekali sehari. Kriteria

efikasi primer yang dinilai adalah tingkat respon klinis dan mikrobiologik pada

populasi saat pengamatan lanjut dan dua minggu setelah selesai terapi. Saat

pengamatan lanjut, nilai keberhasilan terapi adalah 72%, 85%, dan 83% pada

kelompok 50, 75, dan 100 mg. Pada saat akhir terapi, nilai keberhasilan adalah

84%, 90%, dan 89%.14

Anindulafungin juga memiliki kemampuan menghambat aspergilus dan

kandida yang resisten terhadap kelompok azol dan AMB. Anindulafungin tidak

dimetabolisme di hati dan tidak dieliminasi melalui urin. Obat ini tidak memiliki

interaksi dengan enzim sitokrom P450. Karena itu, penggunaan anindulafungin

tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien insufisien renal atau hepar,

juga pada pasien yang menggunakan obat lain.14

5. Kelompok Antijamur Lain

34

Page 35: antijamur

Flusitosin

Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintesis dari fluorinated pirimidin yang

dapat diberikan secara oral maupun parenteral.10

Mekanisme kerja

Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease,

kemudian diubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourourasil yang bergabung

ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu.

Flusitosin dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang menyebabkan

inhibisi sintesis DNA.10

Aktifitas spektrum

Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap

Candida sp., Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea

sp., Phialophora verrucosa.10

Farmakokinetik

Pemberian flusitosin secara oral absorpsinya cepat dan hampir sempurna.

Konsentrasi plasma puncak pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal

sekitar 70-80 µg/ml, tercapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dosis 37,5

mg/kg. Sekitar 80% pemberian dosis dieksresikan di urin tanpa mengalami

perubahan; konsentrasi di urin 200-500 µg/ml. Waktu paruh 3-6 jam pada orang

normal. Pada pasien gagal ginjal, waktu paruh lebih lama selama 200 jam.

Konsentrasi flusitosin di CSF sekitar 65%-90% secara simultan sama dengan di

dalam plasma. Flusitosin juga ditemukan dalam humour aqueus.10

Dosis

Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin

diawali dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis dengan

interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin diawali

dengan dosis 25 mg/kgBB.10

35

Gambar 18. Struktur Flusitosin8

Page 36: antijamur

Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare.

Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam

darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat

dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa

pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.10

Interaksi obat

Kerja flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin (sitosin

arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan

kontraindikasi, karena efek myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat

bertambah jika diberikan bersama dengan imunosupresif atau sitotoksik.

Pemberian zidofudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh karena dapat

menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amfoterisin B dan flusitosin

mempunyai efek sinergis terhadap Candida sp dan Cryptococcus neoformans

namun efek nefrotoksik Amfoterisin B dapat berkurang ketika flusitosin

dieksresi.10

Griseofulvin

Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies

Penicillium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antijamur pada

tumbuhan dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita

pada hewan. Griseofulvin digunakan sejak tahun 1958 untuk pengobatan infeksi

dermatofita pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang

pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.5,8,9,10

Mekanisme kerja

36

Gambar 19. Struktur griseofulvin8

Page 37: antijamur

Griseofulvin merupakan obat antijamur yang bersifat fungistatik, berikatan

dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur sehingga tetap

dalam fase metafase. 5

Aktifitas spektrum

Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies

Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp., yang

merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut kuku. Griseofulvin tidak

efektif terhadap kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor.10

Farmakokinetik

Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr akan

menghasilkan konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam

waktu 4 jam. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih

kurang 1 hari dan sekitar 50% dari dosis oral dapat dideteksi di dalam urin

dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.10

Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong.

Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi

dapat meningkatkan absorpsi mengakibatkan kadar griseofulvin dalam serum

akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan

dengan serum albumin dan distribusi di jaringan ditentukan dengan konsentrasi

bebas. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat serta

akan dideposit di sel prekursor keratin kulit (stratum korneum), selanjutnya

terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi akan

digantikan dengan lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan

jamur. Pemberian griseofulvin secara oral akan mencapai stratum korneum

setelah 4-8 jam.5,10

Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-dismethil griseofulvin dan

akan dieksresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari

1% dari dosis akan dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.10

Dosis

37

Page 38: antijamur

Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan

ultramicrosize (ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya

pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk microsize.5

Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea

kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh

Trychopyton tonsurans. Dosis pada anak-anak 20-25 mg/kg/hari (mikrosize),

atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize) selama 6-8 minggu.5

Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000 mg/

hari (microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari (ultramicrosize)

dosis tunggal atau terbagi. 10 Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris

selama 2-4 minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk

tinea pedis selama 4-8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3-6 bulan.5,10

Efek samping

Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah,

dan nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi

pada sebagian pasien.5

Interaksi obat

Absorpsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital,

namun efek ini dapat diatasi dengan cara mengkonsumsi griseofilvin bersama

makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan efektifitas warfarin. Kegagalan

kontrasepsi juga ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi griseofulvin

bersasma dengan penggunaan kontrasepsi oral.10

Ringkasan

Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas obat antijamur sistemik

dan topikal. Berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi empat golongan utama yaitu polien,

azol, alilamin, dan ekinokandin.

Golongan azol terbagi dua berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol yaitu

kelompok imidazol dan triazol. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang

sedikit dibandingkan imidazol, karena itulah para peneliti berusaha mengembangkan

golongan triazol daripada imidazol.

DAFTAR PUSTAKA

38

Page 39: antijamur

1. Verma S, Heffernan MD. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,

onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS,

Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New

York: Mc Graw-Hill. p 1807-1821.

2. Hay RJ. 2008. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest

BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7 th ed.

New York: Mc Graw-Hill. p 1831-1844

3. Gupta AK, Copper EA. 2008. Update in antifungal therapy of dermatophytosis.

Mycopathologia 166;353-367

4. High WA, Fitzpatrick JE. 2008. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA,

Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General

Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hil. p 2116-2121

5. Bellantoni MS, Konnikov N. 2008. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA,

Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General

Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill. p 2211-2217

6. Dismukes WE. 2000. Introduction to antifungal drugs. Clinical infectious disease ;

30:653-7

7. Ashley ES et.al. 2006. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious

Disease D ;43 (Suppl 1):28-39.

8. Gupta AK. 2002. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor. Comprehensive

dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders Company. Pp 75-99.

9. Gubbins PO, Anaissie EJ. 2009. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR,

Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. p161-196

10. Bennet JE. 2006. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS,

Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11 th Ed.

New York: Mc Graw-Hill.

11. ZhaoX, Calderone RA. 2002. Antifungals currently used in the treatment of invasive

fungal disease. In: Calderone RA, Cihlar RL. Eds. Fungal pathogenesis principles and

clinical applications. USA; Mycology Vol 14 ; p 559-574

12. Onyewu C, Heitman J. 2007. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug

Combinations. Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry ; 6: 3-15

39

Page 40: antijamur

13. Lesher J. Woody CMC. 2008. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini

RP, et al. Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier.

14. Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. 2002. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol ;

3(2): 71-81

15. Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. 2004. Therapy of Systemic Fungal Infections.

Dermatologic Therapy ; 17: 532–538

16. Marr KA. 2002. Empirical Antifungal Therapy – New Options, New Tradeoffs. N Engl J

Med ; 346(4): 278-280

17. Torres HA, Hachem RY, Chemaly RF, Kontoviannis DP, Raad II. Posaconazole: A

Broad-Spectrum Triazole Antifungal. Lancet Infect Dis 2005; 5: 775–85

18. Ray A, Anand S. 2000. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic mycoses.

Indian J Chest Dis Allied Sci ; 42:357-366

19. Phillips RM, Rosen T. 2002. Topical antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.

Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders

Company. 547-568.

20. Kyle AA, Dahl MV. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin Dermatol

2004:5(6):443-461.

21. Huang DB. 2004. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic

Therapy ; 17: 517-522

22. Gupta et al. 1998. An overview of topical antifungal therapy in dermatomycosis. A North

American Perspective Drugs May;55(5):645-674.

40