“merge” dalam bahasa inggris yang berarti...merger yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MERGER BANK DAN TENAGA KERJA
2.1 TINJAUAN UMUM TENTANG MERGER BANK
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Merger Bank
Merger berasal dari kata kerja “merge” dalam bahasa Inggris yang berartimenggabungkan atau memfungsikan. Menurut Muhammad Djumhana,merger merupakan suatu peleburan suatu perusahaan ke dalam perusahaanlain di mana terjadi satu perusahaan tetap mempertahankan identitasnyasemula dengan melakukan pengambilalihan kekayaan, tanggung jawab, dankuasa atas perusahaan yang meleburkan diri tersebut.1
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger,
Konsolidasi, dan Akuisisi, pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa,
“Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih dengan cara tetapmempertahankan berdirinya salah satu bank, dan membubarkan bank-banklainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu.”
Merger dilakukan oleh perusahaan-perusahaan untuk mencapai sasaran
strategis dan sasaran finansial tertentu. Merger melibatkan penggabungan dua
perusahaan atau lebih yang sering kali berbeda dari segi karakter dan nilainya. Sukses
dari suatu merger akan sangat tergantung dari seberapa baik kedua perusahaan
diintegrasikan.2 Merger juga dapat dikatakan sebagai penggabungan dari dua
1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet. 5, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 303.
2 Adrian Sutedi, loc.cit.
perusahaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
perusahaan dan tanpa melikuidasi perusahaan-perusahaan lainnya.3
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, merger yang dikenal dengan penggabungan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan
aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum
kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum
Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Sedangkan Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
menentukan bahwa,
“Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetapmempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-banklainnya dengan atau tanpa melikuidasi.
Merger di bidang perbankan dapat dilakukan atas permintaan Bank Indonesia,
inisiatif bank yang bersangkutan, atau inisiatif badan khusus dalam rangka
penyehatan perbankan.
3 Abdul R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,Kencana, Jakarta, h. 112.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai unsur-unsur dalam
merger, yaitu:4
1) Penggabungan adalah perbuatan hukum.
2) Penggabungan dua pihak yakni satu atau lebih perseroan menggabungkan diri
(target company/absorbed company) dan perseroan yang menerima
penggabungan (absorbing company).
3) Aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena
hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan.
4) Status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena
hukum.
Secara konseptual, penggabungan atau mergernya suatu bank dapat
diilustrasikan sebagai berikut.
Dari ilustrasi tersebut tergambar bahwa apabila perusahan (bank) melakukan
proses penggabungan, maka hanya ada satu nama dari perusahaan tersebut yang tetap
bertahan, yaitu BANK A. Sedangkan status badan hukum BANK B dan BANK C
4 Handri Raharjo, 2013, Hukum Perusahaan: Step by Step Prosedur Pendirian Perusahaan,Pustaka Yustitia, Yogyakarta, h. 117.
BANK A + BANK B + BANK C = BANK A
berkahir karena hukum. Demikian pula dengan aktiva dan pasiva dari kedua bank
tersebut yang beralih karena hukum kepada BANK A.
Pada hakikatnya penggabungan (merger) dilakukan untuk menyelamatkan
perusahaan dari berbagai persoalan-persoalan intern yang mengganggu kinerja atau
berjalannya suatu perusahaan, namun di satu sisi seiring majunya suatu
perkembangan di dunia bisnis, merger dimanfaatkan pula untuk memperluas jaringan
usaha dan mengembangkan perusahaan, agar nantinya dapat menambah daya saing
dengan perusahaan-perusahaan lain. Selain itu, merger ataupun akuisisi dapat
memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan, diantaranya untuk peningkatan
kemampuan dalam pemasaran, riset, managerial skill, transfer teknologi, dan efisiensi
berupa penurunan biaya produksi.
Dilihat dari jenis kegiatan perusahaan yang terkait dalam penggabungan
perusahaan, terdapat beberapa tipe penggabungan perusahaan, yaitu:5
1) Merger horizontal
Merupakan kombinasi satu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang
kegiatan operasinya masih berada dalam lini bisnis yang sama. Dalam merger
horizontal yang menggabungkan diri itu menghasilkan produk yang sejenis.
Misalnya, merger Bank A dengan Bank B.
5 Ibid., h. 118.
2) Merger vertikal
Merger yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di dalam bidang atau
jenis usaha yang sejenis tetapi berbeda dalam tingkat operasinya, misalnya
operasi yang menunjukkan adanya hubungan sebagai produsen dan pemasok.
Intinya perusahaan yang akan bergabung menghasilkan produk yang bertali-
temali atau berada dalam rangkaian proses produksi. Contoh, merger antara
perusahaan perakitan mobil dengan perusahaan suku cadang mobil.
3) Merger konglomerat
Merger yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang saling tidak
memiliki hubungan baik secara vertical maupun horizontal. Contoh,
perusahaan yang bergertak di bidang produksi obat-obatan yang
menggabungkan diri ke dalam perusahaan yang bergerak di bidang produksi
peralatan rumah tangga.
Secara umum, tujuan dari dilakukannya merger bagi sebuah perusahaan
adalah sebagai berikut.6
1. Memperbesar jumlah modal;
2. Menyelamatkan kelangsungan produksi;
6 Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, cet. IV, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 379.
3. Mengamankan jalur distribusi;
4. Memperbesar sinergi perusahaan.
Dengan kata lain, penggabungan perusahaan itu adalah untuk memperluas
usaha secara optimal, memperkokoh keadaan pasar baik untuk pembelian maupun
penjualan dan memperoleh kedudukan keuangan yang lebih kuat. Merger
memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan antara lain peningkatan
kemampuan dalam pemasaran, riset, skill manajerial, transfer teknologi, dan efisiensi
berupa penurunan biaya produksi.
Perubahan-perubahan yang terjadi setelah perusahan melakukan merger akan
tampak pada kinerja perusahaan dan penampilan finansialnya. Pasca merger, kondisi
keuangan perusahaan mengalami perubahan yang tercermin dalam laporan keuangan
perusahaan yang melakukan merger.
Adapun alasan-alasan umum perusahaan melakukan merger adalah sebagaiberikut.7
a. Pertumbuhan atau diversifikasi
Perusahaan yang menginginkan pertumbuhan yang cepat, baik ukuran, pasarsaham, maupun diversifikasi usaha dapat melakukan merger maupun akuisisi.Perusahaan tidak memiliki resiko adanya produk baru. Selain itu, jikamelakukan ekspansi dengan merger dan akuisisi, maka perusahaan dapatmengurangi perusahaan pesaing atau mengurangi persaingan.
b. Sinergi
7 Denny Bagus, 2009, “Merger dan Akuisis: Pengertian, jenis, Alasan, Kelebihan danKekurangan Merger dan Akuisisi”, URL: http://jurnal-sdm.blogspot.com/.../merger-dan-akuisisi-pengertian-jenis.html, diakses tanggal 21 Oktober 2014.
Sinergi dapat tercapai ketika merger menghasilkan tingkat skala ekonomi(economies of scale). Tingkat skala ekonomi terjadi karena perpaduan biayaoverhead meningkatkan pendapatan yang lebih besar daripada jumlahpendapatan perusahaan ketika tidak merger. Sinergi tampak jelas ketikaperusahaan yang melakukan merger berada dalam bisnis yang sama karenafungsi dan tenaga kerja yang berlebihan dapat dihilangkan.
c. Meningkatkan dana
Banyak perusahaan tidak dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansiinternal, tetapi dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi eksternal.Perusahaan tersebut menggabungkan diri dengan perusahaan yang memilikilikuiditas tinggi sehingga menyebabkan peningkatan daya pinjam perusahaandan penurunan kewajiban keuangan. Hal ini memungkinkan meningkatnyadana dengan biaya rendah.
d. Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi
Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik karena tidakadanya efisiensi pada manajemennya atau kurangnya teknologi. Perusahaanyang tidak dapat mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat membayaruntuk mengembangkan teknologinya, dapat menggabungkan diri denganperusahaan yang memiliki manajemen atau teknologi yang ahli.
e. Pertimbangan pajak
Perusahaan dapat membawa kerugian pajak sampai lebih 20 tahun ke depanatau sampai kerugian pajak dapat tertutupi. Perusahaan yang memilikikerugian pajak dapat melakukan akuisisi dengan perusahaan yangmenghasilkan laba untuk memanfaatkan kerugian pajak. Pada kasus iniperusahaan yang mengakuisisi akan menaikkan kombinasi pendapatan setelahpajak dengan mengurangkan pendapatan sebelum pajak dari perusahaan yangdiakuisisi. Bagaimanapun merger tidak hanya dikarenakan keuntungan daripajak, tetapi berdasarkan dari tujuan memaksimisasi kesejahteraan pemilik.
f. Meningkatkan likuiditas pemilik
Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki likuiditas yanglebih besar. Jika perusahaan lebih besar, maka pasar saham akan lebih luasdan saham lebih mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan denganperusahaan yang lebih kecil.
g. Melindungi diri dari pengambilalihan
Hal ini terjadi ketika sebuah perusahaan menjadi incaran pengambilalihanyang tidak bersahabat. Target firm mengakuisisi perusahaan lain, danmembiayai pengambilalihannya dengan hutang, karena beban hutang ini,kewajiban perusahaan menjadi terlalu tinggi untuk ditanggung oleh biddingfirm yang berminat.
Dasar hukum merger bank dapat ditemui diketentuan Undang-undang Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yang disebutkan dalam pasal-pasal
diantaranya yakni Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129,
dan Pasal 133. Merger juga diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Merger,
Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Serta dapat juga ditemui di dalam Surat Keputusan
Bank Indonesia Nomor 32/51/KEP/DIR Tanggal 14 Mei 1999 Tentang Persyaratan
dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum.
2.1.2 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Merger Bank
Ada berbagai macam pihak yang berkepentingan pada perusahaan yang
melakukan merger, yang memiliki kepentingan atas berhasilnya suatu merger.
Mereka yang berkepentingan adalah para pemegang saham, para karyawan,
konsumen, masyarakat setempat, dan perekonomian secara luas. Para pihak ini adalah
pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan bank, baik sebagai
anggota dewan komisaris, karyawan, maupun pihak-pihak yang memberikan jasanya
kepada bank.8
8 Muhammad Djumhana, op.cit, h. 308.
Adapun pihak-pihak yang terlibat di dalam kegiatan merger bank, yaitu:9
1. Dewan Komisaris dan Direksi Bank
Dewan Komisaris bertugas menjalankan pengawasan, pengendalian dan
pembinaan terhadap suatu bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sedangkan Direksi Bank berwenang menjalankan kegiatan
perusahaan.
2. Pejabat dan Karyawan Bank
Pejabat dan karyawan bank merupakan pegawai dari bank itu sendiri yang
bertanggung jawab menjalankan tugas operasional bank serta memiliki akses
terhadap segala informasi yang berkaitan dengan kondisi bank.
3. Konsultan Hukum
Konsultan hukum berada di luar kepengurusan bank yang bersangkutan. Peran
konsultan hukum ini hanya menyangkut bidang hukum yang berkaitan dengan
kegiatan perbankan.
4. Akuntan Publik
Akuntan publik sangat diperlukan utamanya yang menyangkut kegiatan
pengauditan, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan neraca serta
perhitungan laba dan rugi yang diterima oelh suatu perusahaan.10
9 Muhammad Djumhana, op.cit, h. 142.
5. Para Pemegang Saham
Sesuai dengan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas, bahwa
di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), para pemegang saham
berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari Direksi
dan/atau Dewan komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat
dan tidak bertentangan dengan kepentingan perseroan.
2.1.3 Syarat-syarat Merger Bank
Merger di dalam bank dapat dilakukan atas inisiatif dari bank yang
bersangkutan, permintaan bank Indonesia, atau inisiatif badan khusus dalam rangka
penyehatan perbankan. Hal ini tercantum di dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank. Untuk dapat
memperoleh izin agar merger tersebut terlaksana, wajib memenuhi ketentuan seperti
yang ditentukan pada Peraturan Pemerintah tersebut pada Pasal 3 sampai dengan
Pasal 8 yang dinyatakan sebagai berikut.
Pada ketentuan Pasal 3 dinyatakan bahwa, Merger, Konsolidasi dan AkuisisiBank dapat dilakukan atas:
1. inisiatif bank yang bersangkutan; atau
2. permintaan Bank Indonesia; atau
3. inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangkapenyehatan perbankan.
10 Ibid.
Pada ketentuan Pasal 4 dinyatakan bahwa:
(1) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank yang dilakukan atas inisiatif Bankyang bersangkutan, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari PimpinanBank Indonesia.
(2) Kewajiban untuk terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan BankIndonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku pula untukMerger dan Konsolidasi yang dilakukan atas inisiatif badan khusus yangbersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan.
Pada Pasal 5 dinyatakan bahwa Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bankdilakukan dengan memperhatikan:
a) kepentingan Bank, kreditor, pemegang saham minoritas dan karyawanBank; dan
b) kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukanusaha Bank.
Pada ketentuan Pasal 6 dinyatakan bahwa:
(1) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi tidak mengurangi hak pemegang sahamminoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar.
(2) Pemegang saham minoritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanyadapat menggunakan haknya agar saham yang dimiliki dibeli oleh Bankdengan harga yang wajar sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
(3) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidakmenghentikan proses pelaksanaan Merger, Konsolidasi dan Akuisisi.
Pada ketentuan Pasal 7 dinyatakan bahwa:
(1) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi hanya dapat dilakukan denganpersetujuan Rapat Umum pemegang Saham bagi Bank yang berbentukPerseroan Terbatas atau rapat sejenis bagi Bank yang berbentuk hukumlainnya.
(2) Merger, Konsolidasi dan Akuisisi dilakukan berdasarkan keputusan RapatUmum Pemegang Saham yang dihadiri oleh pemegang saham yangmewakili sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlahseluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah suara pemegang sahamyang hadir.
(3) Bagi Bank yang berbentuk Perseroan Terbuka, dalam hal persyaratansebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai, maka syaratkehadiran dan pengambilan keputusan keputusan ditetapkan sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Pasar Modal.
Pada ketentuan Pasal 8 dinyatakan bahwa untuk dapat memperoleh izinMerger atau Konsolidasi, wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut.
(1) Telah memperoleh persetujuan dari Rapat Umum Pemegang SAham bagiBank yang berbentuk Perseroan Terbatas atau rapat sejenis bagi Bankyang berbentuk hukum lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Pada saat terjadinya Merger atau Konsolidasi, jumlah aktiva Bank hasilMerger atau Konsolidasi tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) darijumlah aktiva seluruh Bank di Indonesia;
(3) Permodalan Bank hasil Merger atau Konsolidasi harus memenuhiketentuan rasio kecukupan modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang ditunjuk tidaktercantum dalam daftar orang yang melakukan perbuatan tercela di bidangperbankan.
Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas terdapat pula pasal-pasal yang mengatur tentang syarat-syarat
Merger. Ditentukan dalam Pasal 126 ayat (1), bahwa:
“Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atauPemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.”
Oleh karena Penjelasan Pasal 126 ayat (1) mengatakan Penggabungan tidak
dapat dilaksanakan apabila merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu, dapat
ditafsirkan dan dikonstruksi, kepentingan pihak-pihak tertentu tersebut merupakan
syarat yang tidak boleh dilanggar pada perbuatan hukum Penggabungan.11
Selain syarat pada Pasal 126 ayat (1) tersebut, Pasal 123 ayat (4) menyebutkan juga
bahwa,
“Bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan Penggabungan selain berlakuketentuan dalam Undang-Undang ini (UUPT), perlu mendapat persetujuanterlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.”
Menurut penjelasan pasal ini, Perseroan tertentu tersebut adalah Perseroan
yang mempunyai “bidang usaha khusus”, antara lain lembaga keuangan bank dan
yang nonbank. Sedangkan yang dimaksud dengan istansi terkait, antara lain Bank
Indonesia (BI) untuk Penggabungan Perseroan Perbankan.12
2.2 TINJAUAN TENTANG TENAGA KERJA
2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Tenaga Kerja
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan), tenaga kerja adalah
11 Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, h.486.
12 Ibid.
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa, baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat dapat meliputi setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain atau
setiap orang yang bekerja sendiri dengan tidak menerima upah atau imbalan.
Tenaga kerja meliputi pegawai negeri, pekerja formal, pekerja informal, dan
orang yang belum bekerja atau pengangguran. Dengan kata lain, pengertian tenaga
kerja adalah lebih luas daripada pekerja atau buruh.13
Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan
masyarakat Pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut
adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana
pembangunan harus di jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya
gunanya.
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berumur di dalam batas usia kerja.
Tenaga kerja dibagi dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja. Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang terlibat atau berusaha
untuk terlibat dalam kegiatan produktif yaitu memproduksi barang dan jasa.
13 Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, cet. II, Sinar Grafika,Jakarta, h. 1.
Angkatan kerja terdiri dari golongan bekerja serta golongan menganggur dan mencari
pekerjaan.14
Bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja,
tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan. Bukan angkatan
kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga
dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga golongan dalam kelompok
ini sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu,
kelompok ini sering juga dinamakan sebagai angkatan kerja potensial (potensial
labor force).15
Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala sesuatu harus didasarkan
pada hukum tertulis. Sumber hukum ketenagakerjaan saat ini terdiri dari peraturan
perundang-undangan dan diluar peraturan perundang-undangan. Namun payung
hukum utama bagi urusan ketenagakerjaan di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa,
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layakbagi kemanusiaan”.
Secara umum, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat
(1) UUD 1945 juga menjadi payung hukum utama.
14 Oktaviana Dwi Saputri, 2011, Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Di Kota Salatiga,Skripsi, h. 11.
15 Ibid.
Berdasarkan pondasi tersebut, maka terbentuklah Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi dasar hukum utama dalam bidang
ketenagakerjaan. Selain UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan, terdapat sumber hukum
lain yang juga menjadi tonggak pengaturan bagi urusan ketenagakerjaan, baik sumber
hukum formil maupun sumber hukum materiil, seperti kebiasaan, yurisprudensi,
traktat, dan doktrin-doktrin.16
2.2.2 Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Hubungan kerja adalah istilah pengganti untuk istilah hubungan perburuhan
yang merupakan suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua subjek
hukum mengenai suatu pekerjaan. Subjek hukum yang melakukan hubungan kerja
adalah pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja/buruh.17
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, hubungan kerjaadalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkanperjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanyaperjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Ketentuan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh, yaitu
suatu perjanjian di mana pihak kesatu, pekerja mengikatkan dirinya pada pihak lain,
16 http://lauretta15lawsource.blogspot.com/2013/06/definisi-dasar-hukum-ketenagakerjaan.html diakses pada tanggal 30 Oktober 2014
17 Asri Wijayanti, op.cit., h. 36.
pengusaha untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan pengusaha menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau gaji.
Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja, dan perjanjian kerjamerupakan peristiwa hukum, sehingga konsekuensi suatu hubungan kerjamenimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi para pihak yaknipihak pengusaha dan pihak pekerja/buruh.18
Perjanjian kerja yang akan ditetapkan pengusaha dan pekerja tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian yang telah dibuat oleh pengusaha dengan serikat
pekerja yang ada pada perusahaannya. Demikian pula perjanjian kerja itu tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha.19
a. Pengertian Perjanjian Kerja
Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai
berikut.
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, yaitu buruh,mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitumajikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.”
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian
yakni:
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusahaatau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban keduabelah pihak.”
18 Ibid, h. 46.
19 Zainal Asikin, op.cit, h. 65.
Perjanjian kerja menurut KUHPerdata tersebut tampak bahwa ciri khas
perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain”. Maksudnya ini menunjukkan
bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan.
Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial-ekonomi memberikan
perintah kepada pekerja yang memiliki posisi lebih rendah secara sosial-ekonomi.
Wewenang inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian
lainnya.20
Pengertian perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan sifatnya lebih
umum, karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan
pengakuan terhadap serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah
satunya adalah upah disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara
tersendiri.21
Selain pengertian normatif seperti di atas, menurut Imam Soepomo perjanjian
kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja/buruh), mengikatkan diri
untuk bekerja dengan menerima upah dan pihak kedua yakni majikan/pengusaha
mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.22
20 Lalu Husni, 2009, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta, h.64.
21 Ibid., h. 65.
22 Imam Soepomo, 1983, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, h. 53.
b. Syarat sahnya Perjanjian Kerja
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang diatur di dalam Pasal 1320
KUHPerdata.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Kausa yang halal.
Juga di dalam Pasal 1338 KUHPerdata berkaitan dengan perjanjian, yakni
menentukan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-
alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.
c. Unsur-unsur Perjanjian Kerja
Dari pengertian tersebut, perjanjian kerja memiliki beberapa unsur, yaitu:23
23 Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 44.
a) Adanya pekerjaan (Pasal 1603a KUH Perdata dan Pasal 341 KUH
Dagang).
Suatu perjanjian kerja memiliki suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan
dikerjakan sendiri oleh pekerja. Pekerjaan tersebut heruslah berpedoman pada
perjanjian kerja yang dibuat.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena
bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, sehingga jika pekerja
meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.24
b) Adanya perintah orang lain (Pasal 1603b KUH Perdata).
Dalam melakukan pekerjaan, pekerja harus tunduk pada perintah orang lain,
yaitu pihak pengusaha/pemberi kerja.
c) Adanya upah (Pasal 1603p KUH Perdata).
Pekerja melakukan pekerjaan bertujuan untuk mendapatkan upah dari
pengusaha/pemberi kerja, yang telah diatur di dalam perjanjian kerja.
Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan
merupakan hubungan kerja.25
d) Terbatas waktu tertentu.
24 Lalu Husni, op.cit, h. 66.
25 Ibid.
Dalam melakukan hubungan kerja tersebut, harus dilakukan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-
undangan. Dalam arti lain bahwa tidak ada hubungan kerja yang berlangsung
secara terus-menerus.
d. Jenis-jenis Perjanjian Kerja
Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan diatur beberapa jenis perjanjian
kerja, yaitu sebagai berikut.26
1. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu
Dalam Pasal 57, perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara
tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin, serta harus
memenuhi syarat-syarat, antara lain (Pasal 56):
a. Mempunyai jangka waktu tertentu;
b. Adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam waktu tertentu.
Pasal 59 ayat (1) menentukan bahwa, “Perjanjian kerja untuk waktutertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenisdan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
26 Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang hubungan Kerja,RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 63.
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidakterlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atauproduk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.”
Ketentuan penjelasan dari pasal ini menetapkan bahwa perjanjian kerja
untuk waktu tertentu harus didaftarkan di instansi pemerintah yang
bertanggungjawab atas urusan ketenagakerjaan.
Ketentuan ayat (2) dari Pasal 59 Undang-undang Ketenagakerjaansecara tegas menyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidakdapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Hal ini kiranyasudah dapat disimpulkan dari ketentuan ayat terdahulu pasal ini.27
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
(ayat (4)).
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan (ayat (5)).
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian
27 Agusmidah et. al., 2012, Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Pustaka Larasan,Denpasar, h. 18.
kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu
tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua)
tahun (ayat (6)).
2. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tentu
Menurut Abdul Khakim, perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu ini
merupakan suatu perubahan dari perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang disebabkan sebagai salah satu akibat ketidakcermatan dalam
menyusun suatu perjanjian kerja.28 Perubahan ini diatur dalam Pasal 57
ayat (2) yang menentukan bahwa,
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentuyang dibuat tidak tertulisbertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu.”
Begitu juga dalam Pasal 59 ayat (7) yang menentukan bahwa,
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuansebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), danayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian waktu tidak tertentu.”
Pasal 1603g KUHPerdata menyatakan bahwa, “Jika lamanyahubungan kerja tidak ditentukan baik dalam perjanjian atau reglement,maupun dalam peraturan perundang-undangan ataupun pula menurutkebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktutidak tentu.”
Dengan demikian perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu adalah suatu
jenis perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang
28 Abdul Khakim, op.cit, h. 71.
tidak memiliki jangka waktu berlakunya, baik dalam perjanjian, undang-
undang ataupun dalam kebiasaan.29
Dalam pengertian tersebut, bagi pekerja/buruh perjanjian kerja untuk
waktu tidak tentu dapat berlaku terus, sampai:30
1) Memasuki usia pensiun;
2) Diputus hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan;
3) Meninggal dunia;
4) Melakukan tindak pidana.
Mengingat di dalam hubungan kerja ini tidak terbatas waktunya, maka
sewaktu-waktu para pihak dapat memutuskan hubungan kerja. Hal ini bisa
terjadi apabila pengusaha tidak cocok atau pekerja/buruh melakukan suatu
kesalahan, atau melanggar aturan yang berlaku. Pekerja/buruh pun dapat
mengundurkan diri apabila terjadi hal yang tidak diinginkan, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, ada suatu kebebasan kedua belah pihak untuk
melanjutkan atau tidak hubungan kerja.31
29 Zaeni Asyhadie, op.cit, h. 65.
30 Zaeni Asyhadie, loc.cit.
31 Soedarjadi, 2008, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia: Panduan Bagi Pengusaha,Pekerja, Dan Calon Pekerja, Pustaka Yustitia, Yogyakarta, h. 62.
e. Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Kerja
Kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian disebut prestasi, yang di mana
suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-
kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak yang diperolehnya, dan sebaliknya
suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak yang dianggap
sebagai kebalikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.32
Hal tersebut berarti bahwa sesuatu yang menjadi hak dari pekerja/buruh akan
menjadi kewajiban dari pengusaha atau pemberi kerja, begitu juga sebaliknya bahwa
sesuatu yang menjadi hak dari pengusaha merupakan kewajiban dari pekerja.
1. Kewajiban Pekerja
Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban pekerja diatur dalam
Pasal 1603, 1603a, 1603b, dan 1603c, yang pada intinya adalah sebagai
berikut.33
1) Pekerja wajib melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan merupakan
tugas utama yang harus dilakukan sendiri oleh pekerja, apalagi
pekerjaan itu adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian tertentu
yang akan menimbulkan ketidakmungkinan untuk diganti oleh orang
32 Zaeni Asyhadie, op.cit, h. 68.
33 Lalu Husni, op.cit, h. 71.
lain.34 Pekerjaan yang dilakukan pekerja bersifat pribadi, sehingga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja
meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya
(PHK demi hukum).
2) Pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk pengusaha. Aturan atau
petunjuk pengusaha sangat wajib untuk ditaati oleh pekerja demi
kelancaran tata tertib atau jalannya perusahaan. Aturan atau petunjuk
tersebut ditujukan kepada pekerja selama pekerja tersebut
melaksanakan pekerjaannya. Aturan tersebut biasanya dituangkan
dalam peraturan perusahaan sehingga jelas ruang lingkupnya.
3) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda. Jika pekerja melakukan
perbuatan yang merugikan perusahaan baik secara sengaja ataupun
tidak, maka pekerja wajib membayar ganti kerugian dan denda. Jika
kerugian yang diderita perusahaan tidak dapat atau sulit diganti dengan
uang, pengadilan akan menetapkan sejumlah uang menurut keadilan
sebagai ganti rugi.
Pasal 1601w KUHPerdata menentukan, “Jika salah satu pihakdengan sengaja atau dengan kesalahannya berbuat berlawanandengan salah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanyadiderita pihak lawan tidak dapat dinilai dengan uang,pengadilan akan menetapkan sejumlah uang sebagai gantirugi.”
34 Zaeni Asyhadie, op.cit, h. 70.
2. Kewajiban Pengusaha/Pemberi Kerja
1) Kewajiban membayar upah. Dalam hubungan kerja, kewajiban utama
bagi pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya yang telah
melakukan pekerjaan.
2) Kewajiban memberikan surat keterangan. Kewajiban ini didasarkan
pada ketentuan Pasal 1602a KUHPerdata yang menentukan bahwa
pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan
dibubuhi tanda tangan.35 Surat keterangan ini dibutuhkan oleh pekerja
jika nantinya ia berhenti bekerja sebagai tanda pengalamannya bekerja
di perusahaan. Surat tersebut sangat penting bagi pekerja sebagai bekal
mencari pekerjaan baru.
3) Kewajiban lainnya, seperti memberi waktu istirahat dan cuti kepada
pekerja. Hal tersebut sangat penting bagi pekerja untuk mengatasi
kejenuhannya menjalani pekerjaan. Sesuai dengan yang telah
ditentukan oleh UUK Pasal 79 ayat (2), cuti tahunan dapat diberikan
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja, dan pekerja juga berhak
atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan setelah terus-menerus bekerja
selama 6 tahun.
2.2.3 Hubungan Industrial
35 Lalu Husni, Op.cit., h. 74.
Istilah hubungan industrial merupakan kelanjutan dari istilah Hubungan
Industrial Pancasila (HIP) yang terjemahan dari istilah hubungan perburuhan. Istilah
perburuhan ini memberi kesan yang sempit seakan-akan hanya menyangkut
hubungan antara pengusaha dan pekerja. Padahal hubungan industrial adalah
hubungan yang menyangkut aspek yang sangat luas, yakni aspek social budaya,
psikologi, ekonomi, politik hukum dan hankamnas, sehingga hubungan industrial
tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja, namun melibatkan pemerintah dan
masyarakat dalam arti luas.36
Hubungan Industrial Pancasila adalah suatu system yang terbentuk antara
pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pengusaha, pekerja dan pemerintah)
yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang tumbuh dan
berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.37
Fungsi dari para pelaku dalam hubungan industrial dapat dibagi 3 (tiga)
fungsi, yaitu:38
1. Fungsi pemerintah yaitu menetapkan kebijakan, memberi pelayanan,
melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
36 Asri Wijayanti, op.cit, h. 56.
37 Faisal Salam, 2009, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Mandar Maju,Bandung, h. 56.
38 Ibid, h. 57.
peraturan undang-undang ketenagakerjaan (Pasal 102 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan).
2. Fungsi pekerja dan serikat pekerja yaitu menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya,
memajukan perusahaan, memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya (Pasal 102 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).
3. Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya yaitu menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan
kesejahteraan pekerja secara terbuka, demokratis dan berkeadilan (Pasal 102
ayat (3) UU Ketenagakerjaan).
Sesuai ketentuan Pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial
adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan
pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Guna mewujudkan falsafah hubungan industrial dalam hubungan kerja sehari-
hari mutlak perlu suasana yang kondusif dalam lingkungan kerja. Terciptanya
suasana tersebut dapat terwujud bila didukung sarana-sarana, antara lain:39
a. Serikat pekerja/serikat buruh
Organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak, dan kepentingan pekerja/buruh, serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh, dan keluarganya.
b. Organisasi pengusaha
Organisasi yang dibentuk pengusaha yang secara khusus menangani bidang
hubungan industrial dan ketenagakerjaan dalam pelaksanaan hubungan
industrial untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah
satu sarana utama terwujudnya kesejahteraan social dan ekonomi dalam dunia
usaha.
c. Lembaga Kerjasama Bipartit
Suatu lembaga yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat
pekerja/buruh yang sudah yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung
39 Abdul Khakim, op.cit, h. 91.
jawab dibidang ketenagakerjaan, di mana lembaga ini merupakan forum
komunikasi dan konsultasi untuk memecahkan masalah bersama yang
berkaitan dengan hubungan industrial.40
d. Lembaga Kerjasama Tripartit
Suatu lembaga konsultasi dan forum komunikasi sebagai wadah untuk
memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan industrial
yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat
pekerja/buruh, dan pemerintah.41
e. Peraturan Perusahaan
Pasal 1 angka 20 UU Ketenagakerjaan memberi pengertian Peraturan
Perusahaan sebagai peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
f. Perjanjian Kerja Bersama
Awalnya disebut dengan istilah Perjanjian Perburuhan, kemudian menjadi
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dan terakhir menjadi Perjanjian Kerja
Bersama yang merupakan perjanjian hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
40 Faisal Salam, op.cit, h. 59.
41 Ibid.
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hal ini
diatur di dalam ketentuan Pasal 1 angka 21 UU Ketenagakerjaan.
g. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
h. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Dalam hal ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial yang sudah dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Pengadilan ini
merupakan salah satu pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum.
2.2.4 Pemutusan Hubungan Kerja
Alasan-alasan Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja dan pengusaha. PHK terjadi bisa atas kehendak pengusaha karena pekerja
telah melakukan kesalahan ataupun karena perusahaan mengalami suatu
permasalahan, namun bisa juga terjadi atas kehendak pekerja dengan alasan dan
prosedur tertentu.
Dalam Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan
pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha.
Dalam hal PHK yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditentukan
dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak
(pekerja maupun pengusaha) karena pihak-pihak yang bersangkutan telah mengetahui
saat berakhirnya hubungan kerja tersebut, sehingga masing-masing telah
mempersiapkan diri dalam menghadapi hal tersebut. Lain halnya dengan PHK yang
terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini membawa dampak nantinya terhadap
kedua belah pihak, khususnya terhadap pihak pekerja yang notabene memiliki
kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha.
PHK biasanya dianggap memiliki makna konotasi yang negatif, karena dinilai
terjadi karena pihak pekerjalah yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Jika dilihat
lagi, PHK dapat terjadi oleh beberapa macam alasan yang telah diatur di dalam UU
Ketenagakerjaan, yaitu:
1) Pekerja/buruh Melakukan Kesalahan Berat
Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa, “Pengusahadapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasanpekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut.
a. melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan baranag dan/atau uangmilik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikanperusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/ataumengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungankerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja;e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk mekukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagiperusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusahadalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnyadirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancampidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Alasan PHK berupa kesalahan berat pada Pasal 158 ayat (1) tersebut harusdidukung dengan bukti (ayat (2)) misalnya:
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yangberwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung olehsekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
2) Pekerja/buruh Diduga Melakukan Tindak Pidana
Diatur dalam Pasal 160 ayat (1) yang menyebutkan bahwa, “Dalam halpekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindakpidana bukan atas pengaduan pengusaha.”
3) Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang diatur dalamPerjanjian Kerja
Ditentukan dalam Pasal 161 ayat (1) bahwa pekerja/buruh yang melakukanpelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturanperusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukanpemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutandiberikan surat peringatan pertama kedua dan ketiga secara berturut-turut.
4) Pemutusan Hubungan Kerja karena terjadi Perubahan Status, Penggabungan,Peleburan atau Perubahan Kepemilikan Perusahaan
Pasal 163 ayat (1) menyebutkan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusanhubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahankepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkanhubungan kerja.”
Pasal 163 ayat (2) menyebutkan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusanhubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status,penggabungan, atau peleburan perusahaan dan pengusaha tidak bersediamenerima pekerja/buruh di perusahaannya.
5) Pemutusan Hubungan Kerja karena Likuidasi
Ditentukan dalam Pasal 164 ayat (1) bahwa, “Pengusaha dapat melakukanpemutusan hubugang kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutupyang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerusselama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur).”
6) Perusahaan mengalami Pailit
Diatur di dalam Pasal 165, bahwa “Pengusaha dapat melakukan pemutusanhubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan mengalami pailit.”
7) Pekerja/buruh Mangkir Selama 5 (lima) hari berturut-turut
Diatur dalam Pasal 168 ayat (1) bahwa, “Pekerja/buruh yang menagkir selama 5(lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yangdilengkapi dengan bukti yang sah dan telah terpanggil oleh pengusaha 2 (dua) kalisecara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikanmengundurkan diri.”