aplikasi istihsan dalam an produk
TRANSCRIPT
FUNGSI ISTIÒSÂN DALAM PENGEMBANGAN
PRODUK-PRODUK LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Oleh Sofyan Al-Hakim
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak dari periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan
kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh
hukum Islam. Aturan-aturan itu pada esensinya adalah religius
dan terjalin secara religius.1 Oleh karena itu dalam pembinaan
dan pengembangannya selalu diupayakan berdasarkan kepada
al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi yang terakhir kepada manusia,
yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar dicontohkan dan
dioperasionalkan oleh Sunnah Muhammad Rasulullah.
Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam atau
fiqih merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini
dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab fiqih yang
memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio
kultural dan politik di tempat madzhab hukum itu tumbuh dan
berkembang. Perkembangan yang dinamis dan kreatif ini
setidak-tidaknya didorong oleh empat faktor utama: 2
Pertama, adalah dorongan keagamaan. Karena Islam
merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur
seluruh aspek kehidupan kaum muslimin, maka kebutuhan untuk
membumikan norma dan nilai tersebut ataupun
mengintegrasikan kehidupan kaum muslimin kedalamnya selalu
muncul ke permukaan. Demikian juga, fiqih yang bersifat serba
mencakup harus selalu dapat memberikan pemecahan terhadap
problem-problem baru yang dihadapi masyarakat.
1 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,1984), hal. 91.2 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 33.
Kedua, selalu munculnya tokoh reformis yang menjadi
pendorong munculnya gagasan inovatif sesuai zamannya.
Seperti Umar Ibn al-Khatab yang tampil dengan sejumlah
kebijakan radikal ketika menghadapi permasalahan hukum yang
lebih kompleks seiring dengan meluasnya domain kekuasaan
Islam.
Ketiga adalah independensi para ahli hukum Islam dari
kekuasaan politik. Kemandirian itu menyebabkan mereka
mampu secara bebas mengembangkan pemikirannya tanpa
pengaruh yang dominan dari penguasa politik pada zamannya.
Keempat adalah fleksibilitas hukum Islam itu sendiri yang
menjadikannya mampu untuk berkembang mengatasi ruang dan
waktu.
Kata kunci dari dinamisnya hukum Islam adalah ijtihad ,
yaitu usaha keras untuk mendapatkan hukum-hukum syara.3
Ijtihad sebenarnya telah berlangsung sejak masa Rasulullah.
Banyak sahabat Nabi yang telah berijtihad tentang berbagai
persoalan, baik ketika mereka berada disamping Rasulullah
ataupun ketika mereka berjauhan dengan beliau. Terhadap hasil
ijtihad yang beliau ketahui secara langsung ataupun melalui
perantaraan sahabat-sahabat yang lain, beliau senantiasa
menentukan sikap dan kalau perlu memberikan keputusan ada
yang beliau setujui dan ada pula yang dikoreksi. Semangat
ijtihad tumbuh subur dikalangan para sahabat karena Rasulullah
memang memberi peluang yang besar kepada mereka untuk
berijtihad. Di samping itu dalam tindakan praktis Rasulullah
memberi kesempatan agar para sahabat berani mengemukakan
pendapat, terutama dalam, kasus-kasus yang memerlukan
pemecahan secepatnya.
3 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal, 1038
Setelah Rasulullah wafat, tuntutan akan ijtihad semakin
meningkat. Ketika Rasulullah masih hidup di samping melakukan
ijtihad berbagai persoalan masih dapat dikembalikan dan
dikonsultasikan kepada beliau. Tetapi setelah itu keadaan
menjadi lain. Tanggung jawab untuk memecahkan segala
persoalan sepenuhnya jelas terpikul kepada umat yang
ditinggalkannya. Kedudukan Nabi Muhammad sebagai Rasul
Allah yang pamungkas (Khatam al-anbiya wa al-mursalin)
nampaknya dipahami dengan kreatif. Untuk itulah, mereka
dengan segala upaya melakukan ijtihad untuk mencari
pemecahan masalah, dengan selalu mengambil inspirasi dan
menangkap pesan-pesan universal dari al-Qur’an dan al-Sunnah4.
Salah satu lembaga yang mengimplementasikan metode
ijtihad tersebut adalah lembaga keuangan syariah (LKS). LKS
merupakan perwujudan kesadaran umat Islam atas pentingnya
bermuamalah dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai syari’ah.
Nilai-nilai syari’ah tersebut menjadi dasar dalam menjalankan
LKS. Walaupun belum menjadi lembaga keuangan yang dominan,
LKS sedang berkembang menjadi sebuah industri penyedia jasa
keuangan yang komprehensif dan dengan sistem syari’ah penuh
(full fledged)5. Tingkat pertumbuhan yang dinikmati oleh hampir
semua LKS dalam satu dekade taerakhir, terutama dipicu oleh
bertambahnya bank-bank yang menawarkan jasa keuangan
dengan sistem syari’ah pasca UU. No. 21/2008. Kehadiran bank-
bank syari’ah dalam industri perbankkan syari’ah memicu
hadirnya instrumen dan lembaga pendukung seperti pasar
keuangan syari’ah, instrumen pasar modal seperti obligasi dan
reksadana, dan juga lembaga berbasis sosial-ekonomi
4 Sofyan Al-Hakim, Pengaruh Logika Aristoteles dalam Pemikiran Ushul Fiqih Al-Syafi’i, (Tesis tidak diterbitkan,2003), hlm.5
5 Luqyan Tamanny, “Peran Perbankkan Syari’ah dalam Perekonomian Umat di Indonesia”, (Makalah pada Seminar Nasional Ekonomi Syari’ah BEM HIMA Muamalah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2006), hlm. 2
keummatan seperti Lembaga Amil Zakat, wakaf dan lain
sebagainya.
Hal lain yang memicu tumbuhnya LKS adalah fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya bunga. Dengan fatwa
ini masyarakat mendapatkan kepastian hukumbahwa masa
darurat pengambilan bunga yang menjadi alasan pembolehan
beraktivitas dengan bunga telah berlalu. Walaupun perlu juga
disadari bahwa dampak pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK)
perbankkan syari’ah pasca fatwa ini tidaklah terlalu besar
mengingat pertumbuhan perbankkan syari’ah sudah cukup tinggi
sebelum fatwa dikeluarkan6. Namun fatwa ini memberikan
kepastian hukum yang semakin memperkuat positioning
perbankkan syari’ah atau LKS secara keseluruhan di mata
masyarakat sebagai lembaga keuangan non ribawi. Sehingga
preferensi masyarakat untuk berhubungan dengan perbankkan
syari’ah semakin meningkat. Peningkatan preferensi ini, pada
suatu saat, diharapkan mampu meningkatkan likuiditas lembaga
keuangan syari’ah yang kemudian menjadi penggerak
tumbuhnya LKS diseluruh Indonesia yang pada gilirannya mampu
menggerakan dunia usaha terutama di sektor riil yang masih
dilakoni oleh lembaga ekonomi mikro. Walaupun harus diakui
dengan jujur bahwa lembaga keuangan syari’ah masih memiliki
aset yang relatif kecil dibanding perbankkan konvensional.
Pertumbuhan LKS ditopang oleh perkembangan perbankan
syariah yang dikenal dengan iB (Islamic Bank). Sejak mulai
dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam
kurun waktu 20 tahun total aset industri perbankan syariah telah
meningkat sebesar 39 kali lipat dari Rp 1,79 triliun pada tahun
2000, menjadi Rp 70,146 triliun pada akhir tahun 2010. Laju
pertumbuhan aset secara impresif tercatat 46,3% per tahun,
6 Sofyan Al-Hakim dan Enceng Arif Faizal, Pengaruh Fatwa MUI Tentang Bunga Bank Terhadap Perkembangan Bank Syari’ah, (Bandung, Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati, 2004), hlm. 21.
dengan rata-rata pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir. Untuk
periode 2009 sd 2010 yang lalu, pertumbuhan yang mencapai
rata-rata 36,2% pertahun bahkan lebih tinggi daripada laju
pertumbuhan aset perbankan syariah regional (asia tenggara)
yang hanya berkisar 30% pertahun untuk periode yang sama7.
Sejak diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah sebagai landasan legal formal
yang secara khusus mengatur berbagai hal mengenai perbankan
syariah di tanah air, maka kecepatan pertumbuhan industri ini
diperkirakan akan melaju lebih kencang lagi. Hal ini terlihat dari
indikator penyaluran pembiayaan yang mencapai rata-rata
pertumbuhan sebesar 36,7% pertahun dan indikator
penghimpunan dana dengan rata-rata pertumbuhan mencapai
33,5% pertahun untuk tahun 2007 s.d. tahun 2010.
Angka-angka pertumbuhan yang impresif tersebut tidak
hanya berhenti di atas kertas sebagai perputaran uang di sektor
finansial. iB Perbankan syariah membuktikan dirinya sebagai
sistem perbankan yang mendorong sektor riil, seperti
diindikasikan oleh rasio pembiayaan terhadap penghimpunan
dana (Financing to Deposit ratio, FDR) yang rata-rata mencapai
diatas 100% pada dua tahun terakhir.
iB Perbankan syariah juga semakin luas melayani
masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah jaringan telah
tersebar di sebanyak 1.501 kantor dan telah hadir 1.492 layanan
syariah (per April 2010) di 32 provinsi di Indonesia. Layanan iB
juga didukung oleh lebih dari 6000 jaringan ATM Bersama dan
7000 jaringan ATM BCA, untuk memberikan kemudahan
transaksi keuangan dan perbankan. Kehadiran teknologi mobile
banking, baik melalui phone banking (SMS dan telephone)
7 http://www.bi.go.id/ Statistik Perbankkan syariah Bulan April 2010.. diunduh 11-06-2010
maupun internet banking juga telah dimanfaatkan oleh iB untuk
menyajikan layanan yang reliable bagi gaya hidup masyarakat
modern yang mobile8.
Perkembangan LKS yang impresif ini, masih belum dapat
diimbangi dengan perkembangan produk-produk LKS itu sendiri.
Karena memang setiap produk yang dikeluarkan oleh LKS harus
mendapat persetujuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN
menjadi penentu apakah sebuah produk LKS sesuai atau tidak
dengan ketentuan syariah. DSN yang berada dibawah kendali
MUI melakukan ifta atas istifta yang diminta oleh LKS. Proses ifta
bertumpu pada ijtihad para anggota DSN. Dalam konteks inilah
metode ijtihad menjadi penting. Salah satu metode ijtihad yang
dimungkinkan menjadi akselerator perkembangan produk LKS
adalah istiòsân.
B. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH
Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup pesat 20 tahun terakhir ini. Hal ini ini
dibuktikan dengan indikator-indikator lembaga keuagan syariah
yang menunjukan kecenderungan peningkatan tiap tahunnya
dengan angka peningkatan di atas 5 %. Namun pada saat yang
sama produk lembaga keuangan syariah masih belum begerak
cepat. Hal ini dimungkinkan karena DSN sebagai penjaga nilai-
nilai syariah perlu menjaga konsistensi nilai-nilai syariah dalam
setiap produk lembaga keuangan syariah. Salah satu metode
yang dapat dijadikan akselerator dalam melakukan ijtihad adalah
istiòsân. Dari rumusan masalah tersebut dibuatlah pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
8 http://www.bi.go.idPerkembangan_Impresif_iB_Perbankan_Syariah.pdf. diunduh 11-06-2010
1. Bagaimana episteme istiòsân dibangun dalam metodologi
Hukum Islam?
2. Bagaimana perkembangan lembaga keuangan syariah di
Indonesia?
3. Bagaimana prosedur penetapan produk pengumpulan,
pembiayaan, dan pelayanan di lembaga keuangan syariah?
4. Bagaimana istiòsân dapat menjadi akselerator dalam
pengembangan produk-produk lembaga keuangan syariah?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui episteme istiòsân dibangun dalam
metodologi Hukum Islam?
2. Untuk mengetahui perkembangan lembaga keuangan syariah
di Indonesia?
3. Untuk mengetahui prosedur penetapan produk pengumpulan,
pembiayaan, dan pelayanan di lembaga keuangan syariah?
4. Untuk mengetahui kemungkinan istiòsân dapat menjadi
akselerator dalam pengembangan produk-produk lembaga
keuangan syariah?
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan untuk
1. Merangsang munculnya usaha pengembangan dan aplikasi
metodologis dalam proses ijtihad dalam kerangka
membumikan syariah terutama di lembaga keuangan
syariah.
2. Menambah khazanah penelitian yang berkenaan dengan
dasar-dasar metodologis penerapan nilai-nilai syariah dalam
lembaga keuangan syariah.
E. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa penelitian, yang ditemukan penulis,
dengan obyek kajian tentang istiòsân. Pertama, disertasi yang
ditulis oleh Dr. Iskandar Usman dengan Judul Istiòsân dan
Pembaharuan Hukum di Indonesia. Hal yang menjadi temuan
penelitian ini adalah tentang konsep istiòsân yang memiliki kata
kunci ‘udûl ( berpaling) dari ketentuan hukum yang dikehendaki
oleh qiyâs jali kepada ketentuan hukum yang dikehendaki oleh
qiyâs khafi atau dari ketentuan hukum yang dikehendaki oleh dalil
umum kepada ketentuan hukum pengecualian karena dalam
pandangannya ada suatu dalil yang membuat-nya lebih
mengutamakan perpalingan itu.
Lebin lanjut Dr. Iskandar menyimpukan bahwa baik istiòsân
dengan qiyâs khafi maupun istiòsân yang merupakan
pengecualian dari dalil umum, keduanya terdapat dalam ushûl
fiqh Hanafi, sedangkan dalam ushûl fiqh Maliki hanya dikenal
istiòsân dalam bentuk pengecualian dari dalil umum. Adapun
istiòsân dengan qiyâs khafi tidak ditemui dalam ushûl fiqh
Maliki9.
Dalam ushûl fiqh Maliki, istiòsân dibagi kepada empat
macam, yaitu istiòsân dengan maslahat, istiòsân dengan 'urf,
istiòsân dengan ijma’, dan istiòsân dengan kaidah raf al-haraj wa
al-masyaqqat Demikian juga dalam ushûl fiqh Hanafi, istiòsân
dibagi kepada empat macam, yaitu istiòsân dengan nas, istiòsân
dengan ijma’, istiòsân dengan darurat, dan istiòsân dengan qiyâs
khafi. Istiòsân merupakan salah satu metode istinbâù hukum yang
bisa dijadikan hujjah. Memang istiòsân mempunyai peranan yang
menentukan dalam fiqih Maliki dan Hanafi, karena banyak hal
telah diselesaikan dengan istiòsân dan telah ditetapkan hukum-
nya. Dan dari contoh-contoh masalah yang ditetapkan hukumnya
9 Dr. Iskandar Usman, Istiòsân dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1994)hlm. 199
dengan istiòsân terlihat bahwa hukum yang ditetapkan dengan
istiòsân lebih mengayomi dan lebih mampu merealisasi tujuan
syariat.
Bagian terpenting dari penelitian ini adalah temuan bahwa
istiòsân mempunyai relevansi dengan pembaharuan hukum
Islam. Relevansinya itu terletak pada segi maqâshid al-syarî'aú
(tujuan syariat), yaitu pembaharuan hukum Islam bertujuan
untuk merealisasi dan memelihara kemaslahatan umat manusia
semaksimal mungkin yang merupakan maqâshid al-syarî'aú.
Sedangkan istiòsân merupakan salah satu metode istinbâù
hukum yang sangat mengutamakan maqâshid al-syarî'aú dan
selalu berusaha merealisasi serta memelihara maqâshid al-
syarî'aú itu. Suatu ketentuan hukum yang dihasilkan dengan
metode qiyâs ditinggalkan oleh para mujtahid apabila menurut
mereka ketentuan hukum tersebut tidak mampu merealisasi
maqâshid al-syarî'aú. Mereka berpaling kepada ketentuan
hukum lain yang dihasilkan oleh istiòsân karena ketentuan
hukum yang dihasilkan oleh istiòsân lebih mampu merealisasi
maqâshid al-syarî'aú10.
Kemudian tesis yang ditulis oleh Hasan Awadh Ibrahim Abu
Arqub dengan judul Taùbiqât al-Istiòsân fi Ahkâm al-Buyu’ ‘ind al-
Hanafiyah (Dirâsaú Tahliliyah Muqâranaú li Amåal Mukhtâraú)
[ Aplikasi istiòsân dalam hukum Bisnis Menurut Madzhab
Hanafiyah (Studi Analisis Komparatif Tentang Contoh-Contoh
Terpilih)]. Dalam penelitian ini Hasan Awadh menemukan bahwa
metode istiòsân adalah metode istinbâù hukum yang sering
diterapkan oleh madzhab Hanafiyah. Kemudian ditemukan
banyak masalah-masalah fiqih, khususnya dalam jual beli, yang
penetapan hukumnya dilakukan dengan istiòsân. Terdapat
beberapa masalah jual beli yang ternyata ‘gagal’ diselesaikan
oleh metode qiyas. Seperti dalam masalah jual beli salam, jual
10 Ibid, hlm.200
beli istishna dan jual beli wafa. Dengan metode istiòsân, masalah
ketiga jual beli tersebut dapat dipahami dan diselesaikan.
Namun demikian, Hasan Awadh tetap meyakini bahwa metode
istiòsân tetap harus dikomparasi dengan metode istinbâù hukum
yang lain agar penyelesaian permasalahan hukum dapat
mendekati maqâshid al-syariaú11.
Sementara kajian tentang perbankkan syariah di Indonesia
telah banyak dilakukan penelitian diantaranya oleh Dr. Surahman
Hidayat dengan judul al-Mashârif al-Islâmiyaú di Indûnisiya wa
Siyâsasatuha al-Istiåmariyaú Muqâranaú bi al-Mashârif al-
Islâmiyah fi Misra (Perbankkan Islam dan Politik Investasi di
Indonesia Komparasi dengan Perbankkan Islam di Mesir). Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa perbankkan syariah di Indonesia
sampai tahun yang 1999 (ketika penelitian ini berakhir) masih
belum dapat disebut sebagai perbankkan Islam yang murni
karena dana yang terkumpul masih ada yang diinvestasikan
dalam skim investasi konvensional. Kemudian manajemen bank
syariah masih memilih produk perbankkan syariah yang aman
bagi bank yaitu murabahah tapi belum menggambar hakikat dari
perbakkan syariah itu sendiri sebagai lembaga keuangan syariah
yang berbasis pada bagi hasil. Prinsip bagi hasil yang ter cermin
dalam produk mudharabah dan musyarakah dalam pembiayaan
belum menjadi prioritas dalam strategi investasi12.
Kemudian penelitian Oleh Atang Abd Hakim dengan judul
Transformasi Fiqih dalam Penyusunan UU Perbankkan Syariah
No. 21 tahun 2008. Dalam penelitiannya, Dr. Atang Abd Hakim
mendeskrispsikan tranformasi fiqih dalam UU Perbankkan
Syariah. Materi fiqih mana saja yang diserap menjadi hukum
11 Hasan Awadh Ibrahim Abu Arqub, Taùbiqât al-Istiòsân fi Ahkâm al-Buyu’ ‘ind al-Hanafiyah Dirâsaú Tahliliyah Muqâranaú li Amåal Mukhtâraú (Tesis Fakultas al-Dirasat al-Ulya al-Jamiah Yordania tida diterbitkan, 2006), hlm. 182.
12 Dr. Surahman Hidayat, al-Mashârif al-Islâmiyaú di Indûnisiya wa Siyâsasatuha al-Istiåmariyaú Muqâranaú bi al-Mashârif al-Islâmiyah fi Misra(Disertasi, Jâmiaú al-Azhar Kulliyah al-Syarîah wa al-Qanûn Qism al-Siyâsah al-Syariyyaú, Kairo, 1999), hlm. 485.
positif di Indonesia. Dalam ini digambarkan pula tarik-menarik
kepentingan anggota DPR yang menyusun setiap klausul UU ini13.
Namun sampai saaat ini, penulis belum menemukan kajian
tentang metode ijtihad, khususnya istiòsân, yang digunakan
secara aplikatif pada lembaga keuangan syariah di Indonesia.
Karena itu, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan.
F. KERANGKA TEORITIK
Konsep hukum dalam ajaran Islam berbeda dengan konsep
hukum pada umumnya, khususnya hukum modern. Dalam Islam
hukum dipandang sebagai bagian dari ajaran agama, dan norma-
norma hukum bersumber kepada agama. Umat Islam meyakini
bahwa hukum Islam berdasarkan kepada wahyu Ilahi. Oleh
karena itu, ia disebut syariah, yang berarti jalan yang digariskan
Tuhan untuk manusia.
Namun demikian, syariah itu sepenuhnya diterapkan dalam
kehidupan sosial masyarakat manusia, diinterpretasi dan
dijabarkan oleh aktivitas intelektual manusia dalam merespons
berbagai problem yang dihadapi manusia dalam perkembangan
masyara’at, sehingga terhimpun sejumlah ketentuan hukum
hasil ijtihad dan penafsiran manusia di samping ketentuan-
ketentuan yang secara langsung ditetapkan dalam wahyu Ilahi.
Oleh karena itu, hukum Islam dinamakan pula fiqih, yang berarti
pemahaman dan penalaran rasional. Jadi, fiqih menggambarkan
sisi manusia dari hukum Islam. Syariah atau fiqih itu merupakan
keseluruhan yang terdiri dari kumpulan berbagai satuan kaidah
atau norma mengenai kasus-kasus individual. Satuan ketentuan
atau kaidah mengenai suatu kasus ini disebut hukum syar'i atau
hukum syara’. Sebagian dari kumpulan hukum syara’ ini diambil
alih oleh negara untuk dilegislasi dan dijadikan peraturan
13 Atang Abd Hakim, Transformasi Fiqih dalam Penyusunan UU Perbankkan Syariah No. 21 tahun 2008 (Disertasi siap disidangkan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2010), hlm.i
perundangan positif yang berlaku secara yuridis formal pada
bidang-bidang hukum tertentu. Peraturan demikian disebut
kanun (al-qânun) yang kemudian dalam bahasa Indonesia
digunakan kata hukum Islam.
Jadi terdapat banyak istilah yang digunakan untuk menyebut
hukum Islam. Istilah-istilah itu berbeda satu sama lain dan
menggambarkan sisi tertentu dari hukum Islam. Namun secara
keseluruhan istilah-istilah tersebut sering diidentikkan dan
digunakan untuk menyebut hukum Islam. Istilah-istilah dimaksud
adalah syariah, fiqih, hukum syar'i, qanun dan terjemahannya
dalam suatu bahasa lain bukan Arab.
Secara harfiah, kata syarîaú berarti jalan, dan lebih khusus
lagi jalan menuju ke tempat air14. Dalam pemakaian
religiusnya, syariah berarti jalan yang digariskan Tuhan menuju
kepada keselamatan atau lebih tepatnya jalan menuju Tuhan.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. disebut
syariah karena merupakan jalan menuju Tuhan dan menuju
keselamatan abadi.
Syariah digunakan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam
arti luas, syariah dimaksudkan sebagai keseluruhan ajaran dan
norma-norma yang dibawa oleh Muhammad saw. yang
mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek
kepercayaannya maupun dalam aspek tingkah laku
praktisnya. Singkatnya syariah adalah ajaran-ajaran agama
Islam itu sendiri, yang dibedakan menjadi dua aspek: ajaran
tentang kepercayaan (akidah) dan ajaran tentang tingkah laku
(amaliah). Dalam hal ini, syariah dalam arti luas identik dengan
syara’ (al-syar’î) dan al-dîn (agama Islam)15.
Dalam arti sempit, syariah merujuk kepada aspek praktis
(amaliah) dari syariah dalam arti luas, yaitu aspek yang berupa
14 Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (t.k., Maktabatah Da’wah Islamiyah, 1968), hlm 2.
15 Ibid, hlm. 3
kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku konkret
manusia. Syariah dalam arti sempit inilah yang lazimnya
diidentikkan dan diterjemahkan sebagai hukum Islam. Hanya saja,
syariah dalam arti sempit ini lebih luas dari sekadar hukum pada
umumnya, karena syariah dalam arti sempit tidak saja meliputi
norma hukum itu sendiri, tetapi juga norma etika atau kesulilaan,
norma sosial, dan norma keagamaan (seperti ibadah) yang diajarkan
Islam.
Hukum syar'i (hukum syara’, hukum syariah) secara harfiah
berarti ketentuan, norma atau peraturan hukum Islam, dan
merupakan satuan dari syariah. Kumpulan dari satuan ketentuan
atau peraturan ini membentuk syariah dalam arti sempit atau
fiqih (dalam arti hukum Islam) seperti dijelaskan di atas. Oleh
karena itu, istilah ini sering dipakai dalam bentuk jamak "hukum-
hukum syara".
Secara teknis, dalam ilmu hukum Islam; hukum syara’
didefinisikan sebagai "khiúâb Ilahi terhadap subjek hukum
mengenai perbuatan atau tingkah lakunya, khiúâb mana berisi
tuntutan, perizinan atau penetapan.16" Definisi ini mengandung
dua hal: (i) bahwa hukum itu adalah khiúâb Ilahi yang tertuju
kepada manusia sebagai subjek hukum menyangkut tingkah
lakunya, dan (ii) bahwa hukum yang merupakan khiúâb Ilahi itu
bensi tuntutan, perizinan (pembolehan) atau penetapan.
Pernyataan bahwa hukum adalah khiúâb Ilahi
menggambarkan dua hal. Pertama, dalam konsep ini hukum
memiliki dasar-dasar ke-Ilahi-an dalam pengertian bahwa hukum
itu bersurmber kepada bimbingan dan tuntunan Ilahi
sebagaimana dapat ditemukan dalam wahyu-Nya. Kedua, hukum
merupakan kata kerja, karena hukum dikonsepkan sebagai suatu
16 Shadr al-Syariah, al-Tauæiò fî Òal Gawâmiæ al-Tanqîò (Kairo;Dar al-Ahd al-Jadid li al-Tiba’ah,1957) Jilid I. hlm. 13.
khiúâb. Dalam hukum, menurut konsep ini, Tuhan menyapa17
manusia mengenai tingkah lakunya, dan penyapaan Tuhan itulah
yang disebut hukum. Setidaknya ini adalah konsep teoretisi
hukum Islam (ahli-ahli ushûl fiqh). Khiúâb Ilahi itu bisa berwujud
mewajibkan, melarang, menganjurkan, memakruhkan, atau
membolehkan (mengizinkan) manusia sebagai subjek hukum
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan bisa juga
berwujud menetapkan hubungan dua hal di mana yang satu
menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain. Misalnya,
dalam al-Quran Pembuat Hukum Syara’ menyapa manusia
melalui firman-Nya, "Wahai orang-orang beriman, penuhilah
perjanjian-perjanjian.”18 Ayat ini adalah dalil hukum dan khiúâb
Ilahi yang terkandung di dalamnya adalah yang dimaksud
dengan hukum. Khiúâb Pembuat Hukum Syara’ dalam ayat ini
berwujud mewajibkan untuk memenuhi perjanjian; maka
pewajiban —yang dalam istilah ushul fiqih disebut al-ijab— oleh
Pembuat Hukum Syara’ agar manusia memenuhi perjanjian
adalah hukum menurut konsep para teoretisi hukum Islam.
Dalam ayat lain, Tuhan menyapa manusia melalui firman-Nya,
"Janganlah kamu makan riba yang berlipat ganda”.19 "Khiúâb
Pembuat Hukum Syara’ dalam ayat ini wujudnya adalah
pelarangan (pengharaman) kepada seseorang untuk makan riba
berlipat ganda; maka pengharaman —yang dalam istilah ushûl
fiqh disebut at-tahrim— oleh Allah terhadap perbuatan makan
riba secara berlipat ganda itu adalah hukum. Dalam suatu
hadisnya, Nabi saw. menyapa umatnya melalui sabda beliau,
17 Lafad khitab dipahami oleh Syamsul Anwar dengan kata menyapa. Sebuah kata yang meggambarkan kedekatan antara Tuhan dan hamba-Nya. Lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2007), hlm 7.
18 Q.S. Al-Maidah : 1
19 Q.S. Ali Imran : 130
"Penunda-nundaan pembayaran utang oleh debitur mampu
menghalalkan diumumkan utangnya dan dijatuhi hukuman.”20
Hadis ini adalah dalil hukum dan isi yang terkandung di
dalamnya berupa khiúâb Ilahi adalah hukum. Khiúâb Ilahi dalam
hadis ini wujudnya adalah menghubungkan penunda-nundaan
pembayaran utang oleh debitur mampu dengan kehalalan
pengumuman utang dan penjatuhan hukuman di mana yang
pertama (penunda-nundaan) ditetapkan sebagai sebab dari yang
kedua (pengumuman atau hukuman). Penetapan sebagai sebab
oleh Pembuat Hukum Syara’ ini adalah hukum.
Dalam suatu hadis lain, Nabi saw. menyapa umatnya dengan
sabdanya, "Pembunuh tidak mewarisi suatu apa pun dari
orangyang dibunuhnya."21 Hadis ini adalah dalil hukum dan isi
yang terkandung di dalamnya berupa khiúâb Ilahi adalah hukum.
Khiúâb Ilahi dalam hadis ini wujudnya adalah bahwa Pembuat
Hukum menghubungkan dua hal, yaitu peristiwa pembunuhan
oleh ahli waris terhadap muwaris (pewaris yang meninggalkan
harta warisan) dan hak mewarisi. Hubungannya adalah bahwa
peristiwa pembunuhan itu ditetapkan sebagai penghalang bagi
pembunuh untuk menikmati hak memperoleh warisan dari
muwaris (pewaris yang meninggalkan harta warisan) yang
dibunuhnya; dan penetapan sebagai penghalang oleh Pembuat
Hukum ini adalah hukum. Secara keseluruhan, hukum adalah
pewajiban (al-ijab), pengharaman (at-tahrim), penganjuran (an-
nadb), pemakruhan (al-karâhah), pem-bolehan (al-ibâhaú) dan
penetapan sebab (al-waæ'), syarat, atau penghalang oleh
Pembuatan Hukum berkaitan dengan perbuatan manusia.
Dari apa yang dikemukakan di atas tampak bahwa para
teoretisi hukum Islam mengonsepsikan hukum dalam arti kata
kerja, karena hukum tidak lain dari tindakan Pembuat Hukum
(H.R. Abu Dawud) لي الواجد يحل عرضه وعقوبته 20H.R. Ibnu Majah) القاتل ال يرث 21
Syara’ berupa mewajibkan, melarang, menganjurkan,
mamakruhkan atau membolehkan subjek hukum untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan atau
menetapkan kaitan dua hal di mana yang satu menjadi sebab,
syarat atau penghalang bagi yang lain. Untuk menjelaskan ini
beberapa teoretisi hukum Islam meminjam kategori sepuluh
Aristoteles dan mereka menyatakan bahwa hukum dalam
pengertian ushuliyyin (teoretisi hukum Islam) termasuk ke dalam
kategori aksi (maqulah al-fi'l) hukum syara’22.
Menurut para ahli usul fiqih termasuk kategori aksi, yang
berarti bahwa hukum merupakan aksi Tuhan menyapa manusia
dengan mewajibkan, melarang, menganjurkan, memakruhkan
atau membolehkan melakukan atau tidak melakukan perbutan
tertentu atau menetapkan hubungan dua hal menyangkut
manusia di mana yang satu menjadi sebab, syarat, atau
penghalang bagi yang lain.
Berbeda dengan para teoretisi hukum Islam, para fuqâha
(juris) mengonsepsikan hukum sebagai efek yang timbul dari
khiúâb Ilahi, namun bukan aksi penyapaan itu sendiri. Dengan
demikian, hukum menurut para ahli fiqih termasuk kategori
penderitaan, yaitu efek yang timbul dari adanya aksi Tuhan
menyapa tingkah laku manusia. Apabila Pembuat Hukum Syara’
memerintahkan memenuhi perjanjian (QS. 5:1), maka efek dari
perintah itu adalah bahwa pemenuhan perjanjian itu menjadi
wajib. Jadi wajibnya (dalam bahasa Arab disebut al-wujûb)
memenuhi perjanjian adalah hukum menurut fuqâha. Apabila
Pembuat Hukum Syara’ menetapkan bahwa akad jual-beli
menjadi sebab pindahnya hak milik atas barang dari penjual
kepada pembeli, maka berpindahnya hak milik atas barang dari
penjual kepada pembeli adalah hukum menurut konsep juris
22 Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilm al-Ushûl, (Beirut; Dâr al-Kutûb al-Ilmiyah, 1983), Jilid I, hlm. 59-60.
karena pindahnya hak milik itu merupakan efek dari penetapan
Pembuat Hukum Syara’ bahwa akad menjadi sebab perpindahan
hak milik.
Meskipun tampak berbeda, kedua konsep hukum yang
dikemukakan di atas, yaitu menurut ahli-ahli usul fiqih dan
menurut ahli-ahli fiqih pada hakikatnya tidak berbeda dalam
substansinya, karena kedua pihak sama mengakui hukum itu
sebagai khiúâb Ilahi. Perbedaannya hanya terletak pada sudut
pandang masing-masing. Para teoretisi hukurn Islam melihat
khiúâb itu dalam kaitannya dengan Allah, yaitu Pembuat Hukum
Syara’, dengan demikian, hukum diartikan sebagai aksi-Nya
dalam menyapa manusia. Sementara itu, para juris Islam melihat
khiúâb itu dari segi efek yang ditimbulkannya terhadap
perbuatan manusia.
Para teoritisi hukum Islam menjadikan ijtihad sebagai kata
kunci dari kerjanya. Ijtihad sendiri dapat diklasifikan kedalam tiga
dimensi. Dimensi Tasyri, dimensi istinbâùi, dan dimensi tathbiqi.
Ijtihad dimensi tasyri adalah usaha keras yang dilakukan untuk
memilah dan memilih mana sumber hukum yang otentik dan
memiliki kekuatan untuk dijadikan dalil dalam perumusan hukum
Islam. Sumber hukum Islam hanya ada dua yaitu al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Walaupun proses wurud al-Qur’an diyakini dengan pasti
otentisitasnya, namun dari sisi dilalah terdapat pola dilalah yang
pasti (qaú’i) dan masih dugaan (ìanni) karena itu perlu dilakukan
usaha keras untuk menunjukan dilalah al-Qur’an ini. Sementara,
al-Sunnah dari sisi wurudnya ada yang pasti dan ada juga yan
masih dugaan. Demikian pula dari sisi dilalahnya masih, harus
ada kerja keras untuk menunjukan madlul dari sebuah dalil.
Apalagi Muhammad yang diutus Allah sebagai Rasul-Nya
memiliki banyak peran. Karena itu harus dipilah untuk dapat
mengetahui mana ucapan dan perbuatan Muhammad yang
menjadi sunnah yang memiliki nilai sebagai sumber hukum Islam
yang berlaku bagi umatnya secara universal. Keduanya Ijtihad ini
dibantu secara penuh oleh ulum al-Qur’an dan ulum al-Hadits.
Ijtihad dimensi istinbâùi merupakan proses penggalian atas
sumber hukum Islam yang telah diotensifikasi. Proses penggalian
itu menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih, yaitu kaidah
kebahasaan, kaidah tasyriiyah, dan kaidah kemaslahatan. Kaidah
kebahasaan diperlukan untuk dapat memahami sumber hukum
Islam dengan memahami konsep terminologisnya. Karena baik
al-Qur’an maupun al-Sunnah ditranmisikan kepada manusia
melalui bahasa Arab. Kaidah kebahasaan adalah kunci untuk
memahami bagaimana sebuah kata dipahami oleh penutur
aslinya.
Kaidah tasyri’iyah merupakan perangkat operasional dalam
proses penggalian ini. Kaidah tasyri’iyah disusun dari pola-pola
yang digunakan Allah dalam kalam-Nya, pola Nabi Muhammad
saw. sendiri dalam melakukan aplikasi hukum atau pola sahabat
dalam merespon masalah hukum. Terutama ketika Nabi
Muhammad saw dan kemudian sahabatnya berperan sebagai
qâdhi dalam memutuskan sebuah perkara. Pola-pola ini
kemudian disistematisir oleh para teoritisi hukum Islam menjadi
sejumlah kaidah yang kemudian disebut kaidah tasyriiyah atau
sering disebut pula sebagai metode istinbâù hukum. Metode itu
adalah qiyas, istiòsân, istièlâh, istièòab, sad al-dzariah, urf, qaul
shahabat, syar’u man qablana.
Kaidah kemaslahatan merupakan puncak pengetahuan bagi
mereka yang memahami syariah. Semua teortisi hukum Islam
Islam berpendapat bahwa tujuan Allah menurunkan syariah tiada
lain untuk melahirkan kemaslahatan bagi manusia sebagai
mahkûm alayh (obyek hukum). Karena itu, apapun aturannya
baik yang berkenaan dengan masalah ibadah dan muamalah
harus berujung pada kemaslahatan23. Inilah yang kemudian
digambarkan al-Syatibi sebagai maqâshid al-syarîah.
Dimensi tathbiqi merupakan konkritisasi atas dua dimensi
ijtihad sebelumnya. Ketika hukum Islam akan diaplikasikan maka
seluruh komponen harus terlibat aar mendapat kemaslahatan.
Termasuk didalamnya komponen kekuasaan politik yang diwakili
oleh negara. Lazimnya dalam konsep hukum positif, pengertian
hukum dikaitkan kepada kekuasaan politik, karena hukum itu
diartikan sebagai aturan perilaku yang didukung oleh sanksi
memaksa yang ditentukan oleh kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara yang memerintahkan apa yang boleh dan terlarang untuk
dilakukan. Dalam pengertian hukum Islam, meskipun sangat
penting untuk pelaksanaan dan penegakan hukum, otoritas
kekuasaan politik pada tingkat negara tidak merupakan bagian
pokok dari konsep hukum. Penekanan konsep hukum dalam
pengertian Islam tidak lebih ditekankan pada the commands of
the supreme power in a state, melainkan lebih pada khiúâb Ilahi.
Karena itu validitas suatu aturan sebagai hukum sangat
ditentukan oleh sejauhmana ia merupakan pencerminan khiúâb
23 Menurut Abdul Wahab Khalaf, hukum yang ditetapkan oleh Allah terbagi tiga yaitu hukum i’tiqadiyah, khulûqiyah dan amali-yah. Hukum i’tiqâdiyah melahirkan aturan tentang akidah, hukum khulûqiyah melahir-kan aturan tentang akhlak, dan hukum amaliyah melahirkan hukum fiqh. Secara garis besar hukum amaliyah terbagi menjadi dua yaitu hukum amaliyah ibadah dan hukum amaliyah muamalah. Masing-masing ibadah dan muamalah memiliki prinsip yang berbeda.Pada prinsipnya hukum ibadah adalah batal atau serba tidak boleh sebelum ada perintah sebaliknya pada prinsipnya hukum muamalah adalah serba boleh sebelum ada larangan.
hرiْمk اَأل عkَلkى oلh hِي الدkل qَّلoدk ي qى َحkت oُنk oْطiَال الُب hِةkاَدk الِعhُب ِفhى oلiْصk اَأل
Pada prinsipnya dalam (hukum) ibadah adalah tidak boleh sampai terdapat dalil yang memerintahkan.
oاُعk iُب ت hاإِلkو oُفi kوiِقhِي kاَدkِةh الت ْصiلo ِفhى الِعhُبk اَأل
Pada prinsipnya dalam (hukum) ibadah adalah menerima dan mematuhi.
h qحiرhيِم hِيلo عkَلkى الت kدoَّلq الدkل qى ي ت kَح oُةkاَحk ب hاإِل hُةk ْصiلo ِفhى الُمoِعkاْمkَلk اَأل
Pada prinsipnya dalam (hukum) muamalah adalah boleh sampai terdapat dalil yang mengharamkan.
hُنk oْطiَال hِيلo عkَلkى الُب kدoَّلq الدkل qى ي ت kَح oُةkالِّص�ح hُةk ْصiلo ِفhى الُمoِعkاْمkَلk اَأل
Pada prinsipnya dalam (hukum) muamalah adalah sah sampai ada dalil yang membatalkan.Lihat Abdul Hamid, Al-Bayân, Jakarta:Bulan Bintang,1976, hlm.198; Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih, Jakarta:Bulan Bintang,1976, hlm. 43
Ilahi, dengan kata lain sejauh mana ia benar-benar ditu-runkan
dari khiúâb Ilahi. Tetapi ini tidak berarti bahwa kekuasaan negara
tidak penting untuk menenami konsep hukum Islam. Kekuasaan
itu sangat penting sebagai sarana pelaksanaan dan penegakan
hukum syariah, tetapi tidak merupakan unsur substansial dalam
konsep hukum. Aturan-aturan yang dibuat oleh negara bukan
sama sekali tidak mendapat tempat dalam konsep hukum Islam.
Aturan-aturan itu juga penting dan biasanya ditempatkan di
dalam domain as-siyasah asy-syar'iyyah.
Sebagaimana dikemukakan diatas istiòsân merupakan salah
satu metode ijtihad dimensi istinbâùi. Istiòsân menurut bahasa
berarti menganggap baik.24 Abu Hanifah banyak menetapkan
hukum dengan istiòsân tetapi tidak pernah menjelaskan maksud
dari istiòsân itu. Ketika menetapkan suatu hukum dengan cara
istiòsân, Abu Hanifah mengatakan: “astahsin”,25 artinya saya
menganggap baik. Penetapan Hukum dengan istiòsân itu diikuti
pula oleh para sahabat dan pengikut Abu Hanifah. Sehingga
dalam sejarah ilmu ushul fiqih, Òanafiyah dikenal sebagai
golongan yang memakai istiòsân sebagai salah satu metode
istinbâù al-òukm. Oleh pengikut dan murid-murid Abu Hanifah
kemudian dirumuskan pengertian istiòsân itu. Selanjutnya
mereka juga menjelaskan pembagian dan macam-macam
istiòsân beserta contoh-contohnya.
Al-Syâfi‘î26 menolak istiòsân karena memandangnya sebagai
cara istinbâù hukum dengan hawa nafsu dan mencari enaknya
saja. Al-Syâfi‘î dalam hal ini berkata: “siapa yang melakukan
istiòsân berarti dia telah membuat-buat syarî‘at.”27 Penolakan Al-
24 Abd al-‘Azîz Ibn Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tasyrî‘ al-Mukhtalaf Fi al-Iòtijaj Biha, Mu’assat al-Risâlat, Cet. I, 1399 H-1979 M, hlm. 155 25 Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanîfah Òayâtuh Wa ‘Aèruh Arâ’uh Wa Fiqhuh, (t.t.: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1974 M – 1366 H, hlm. 342. 26 Al-Syafi’i adalah pendiri madzhab Syafi’iyah yang menjadi madzhab dominan di Asia
tenggara termasuk di Indoensia. Metode al-Syafi’i lebih ditekakan pada qiyas. Bahkan dia berpendapat kiaslah satu-satu metode ijtihad. Lihat Bunyana Sholihin, “Teori Qiyas Al-Syafi’i, Jurnal Asy-Syariah Vol. 11, No 2, Juli 2007, hlm. 200.
27 Al-Syafi‘î, al-Risâlat, Taòqîq Muhammad Sayid Kaylani, Cet. I (Mesir: Muèùafa al-Bâbi al-Òalabi Wa Awlâduh. 1388 H/ 1969 M), hlm. 220.
Syâfi‘î itu tentu besar pengaruhnya di kalangan masyarakat
Islam apalagi dikalangan masyarakat Islam yang banyak
menganut mazhab Al-Syâfi‘î seperti di Indonesia.28
Sikap Al-Syâfi‘î menolak istiòsân itu adalah karena pengikut-
pengikut Abu Hanifah yang berdiskusi dengan beliau tidak
mampu menerangkan apa yang mereka maksudkan dengan kata
itu. Boleh jadi mereka yang berdiskusi dengan Al-Syâfi‘î
menggunakan kata istiòsân diwaktu mereka tidak dapat
mengemukakan suatu dalil lantaran mereka bertaklid kepada
Imam mereka. Tatkala Al-Syâfi‘î menanyakan kepada mereka
apa hakikat istiòsân, mereka tidak dapat menjawabnya.29
Keadaan yang demikian menyebabkan ia memahami bahwa
istiòsân adalah menetapkan Hukum sesuai dengan kehendak
orang yang melakukannya, artinya apa yang dianggap baik oleh
orang yang melakukan istiòsân maka itulah yang ditetapkannya
sebagai hukum, karena memang arti harfiyah dari istiòsân
adalah mengannggap baik, Jadi, penetapan hukum dengan
istiòsân itu, dalam pemahaman Al-Syâfi‘î, sama sekali tidak
mempunyai metode, hanya semata-mata berdasarkan hawa
nafsu.
Golongan Mâlikiyah dikenal sebagai golongan yang
memakai istièlâò sebagai salah satu metode istinbâù hukum.
Selain menetapkan hukum dengan istièlâò, golongan Mâlikiyah
juga disebut-sebut sebagai golongan yang berpegang pula pada
istiòsân. Imam Mâliki sendiri mengatakan bahwa sepersembilan
ilmu terdapat dalam istiòsân.30
Suatu hal yang perlu dijelaskan disini adalah bahwa metode-
metode istinbâù hukum seperti istiòsân dan istièlâò, dirumuskan
oleh orang lain berdasarkan pemahaman terhadap metode
28 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet. II ( Jakarta: U.I. Press. 1978), hlm. 17.
29 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. III. (Jakarta: Bulan Bintang. 1988), hlm. 306.30 Al-Syâùibî, al-I‘tièâm, Juz II (Mesir: t.pn. 1913), hlm. 320.
istinbâù hukum Imam Mazhab. Tidak mustahil bahwa rumusan-
rumusan yang diberikan terhadap cara istinbâù hukum itu
berbeda atau tidak persis sama seperti yang dimaksud oleh
pelakunya. Hal ini sekurang-kurangnya terasa dalam rumusan
metode istinbâù hukum Imam Mâlik. Dalam rumusan itu
disimpulkan bahwa Imam Mâlik melakukan istiòsân dan istièlâò
sebagai metode yang masing-masing berdiri sendiri ada
pendapat yang mengatakan bahwa istièlâò Imam Mâlik itu tidak
lain kecuali salah satu macam istiòsân.
Penulis mempunyai anggapan sementara bahwa istiòsân
merupakan suatu metode istinbâù hukum yang relevan dengan
perkem-bangan zaman dan sangat mungkin menjadi akselerator
pengembangan produk-produk pengumpulan, pembiayaan, dan
layanan di lembaga keuangan syariah. Sebab istiòsân
memberikan kesempatan kepada mujtahid untuk berpaling dari
suatu hukum kepada hukum yang lain karena ada pertimbangan
khusus. Penggunaan metode istinbâù hukum, semuanya
bertujuan untuk mengetahui tujuan syariat dan
merealisasikannya. Masing-masing metode tersebut hanya
dipakai selama ia efektif, bila tidak, maka perlu dipakai metode
lain yang lebih sesuai dan lebih mampu menyelesaikan
permasalahan hukum yang sedang dihadapi. Dalam keadaan
demikian penetapan hukum dengan istiòsân merupakan suatu
jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan oleh qiyâs dan
metode-metode istinbâù hukum yang lain.
Dengan demikian penalaran hukum dengan istiòsân sangat
memperhatikan segi tujuan hukum yang hendak dicapai untuk
ke-pentingan umat manusia. Hal ini. Sangat sesuai dengan
keadaan lembaga keuangan syariah yang terus berkembang dan
melakuka terobosan sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Produk-produk
LKS
Istinbathi
Tasyri
Istihsan
Pengembangan produkProduk-produk
Istiòsân muncul sebagai dalil hukum bermula dari peristiwa
ijtihad Abu Hanifah. Yaitu ketika beliau diminta oleh para
muridnya untuk menentukan`illaú suatu peristiwa agar dapat di-
qiyâs-kan. Karena kesamaran `illaú peristiwa dimaksud, maka
beliau menetapkan hukumnya dengan istiòsân. Selanjutnya cara
ini diikuti dan disebarkan oleh para muridnya, antara lain Abu
Yusuf, Muhammad bin Hasan al-Syaibani, Al-Hasan bin Ziyad al-
Lu`lu`i, Zufar bin Huzail dan lain-lain. Bahkan ulama hukum
Hijaz-pun mengenal dan menggunakannya sebagai metode.
Menurut Ibn al-Qasim, Imam Malik bin Anas juga ber-istiòsân
dalam menetapkan wajib kafarat bagi orang yang memukul
seorang wanita hamil yang berakibat keguguran. Ia pun
meriwayatkan bahwa Imam Malik pernah mengatakan:
تسِعُة أعشار الِعَلِم االستحساُن
Sepersembilan ilmu pengetahuan adalah istiòsân.
Kalau tesis ini diterima maka dengan demikian metode
istinbath didominasi oleh penggunaan istiòsân. Banyak masalah
hukum akan diselesaikan dengan metode istiòsân. Termasuk
masalah-masalah muamalah yang berhubungan dengan produk
keuangan syariah. Kerangka berpikir tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
G. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan
metode deskriptif dan pendekatan kualitatif. Metode ini dipilih
karena metode deskriptif lebih memusatkan perhatian pada
pemecahan masalah aktual. Operasionalisasinya dengan cara
menggambarkan dan menguraikan kasus atau permasalahan
yang sesungguhnya terjadi secara cermat dan terperinci disertai
upaya untuk mencari jalan keluar atau penyelesaian atas
permasalahan tersebut (Winarno Surakhmad:1983; Suharsimi
Arikunto, 2005:268).
Dalam penelitian ini metode deskriptif dioperasionalkan
untuk mengetahui realitas yang sesunguhnya terjadi dalam
aplikasi istiòsân pada produk-produk LKS.
2. Jenis Data
Jenis data yang akan dikumpulkan berupa informasi
tentang konsep istiòsân dan proses penetapan produk-produk
pengumpulan, pembiayaan dan layanan di LKS.
3. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini dibagi menjadi dua bagian
yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber
data primer berupa kitab-kitab klasik yang membahas tentang
istiòsân dan hasil wawancara dengan pelaku penetapan produk
LKS baik di manajemen LKS maupun DSN.
Sementara sumber data sekunder berupa kepustakaan,
laporan penelitian yang pernah dilakukan yang terkait dengan
obyek penelitian.
4. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan
dengan dua cara yaitu pertama, depth interview (wawancara
secara mendalam) untuk membedah alasan pemilihan produk
dan penetapannya oleh LKS dan DSN.
Kedua, observasi ke lokasi yang dianggap representatif untuk
menggambarkan data yang dicari.
Ketiga, Studi Pustaka untuk mendapatkan data historis tentang
konsep istiòsân, mulai dari latar belakang munculnya,
perdebatan konsep, dan penerapannya.
5. Analisis Data
Karena pendekatan penelitian ini kualitatif, maka analisis
data pun dilakukan secara kualitatif. Operasionalisasinya
dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
Pertama, data yang didapat dikatagorisasikan ke dalam dua
katagori, yaitu konsep istiòsân dan produk-produk lembaga
keuangan syariah.
Kedua, data-data yang sudah dikatagorisasikan kemudian
ditafsirkan dan dihubungkan dengan satu sama lain untuk
melihat relevansinya dengan menggunakan kerangka teoritik
yang telah ditentukan sebelumnya.
Ketiga, setelah dapat dipetakan pola relevansinya, kemudian
ditarik kesimpulan secara logis dan rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid, Al-Bayân, Jakarta:Bulan Bintang,1976.
Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, t.k., Maktabatah Da’wah
Islamiyah, 1968.
Abd al-‘Azîz Ibn Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tasyrî‘ al-Mukhtalaf Fi al-
Iòtijaj Biha, Mu’assat al-Risâlat, Cet. I, 1399 H-1979 M,
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, III, Yogjakarta: Data
Bakti Prima Yasa, 2002
Atang Abd Hakim, Transformasi Fiqih dalam Penyusunan UU
Perbankkan Syariah No. 21 tahun 2008. Disertasi siap
disidangkan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2010.
Asymuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih, Jakarta:Bulan
Bintang,1976.
Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka,1984
Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilm al-Ushûl, Beirut; Dâr al-Kutûb al-
Ilmiyah, 1983.
Hasan Awadh Ibrahim Abu Arqub, Taùbiqât al-Istiòsân fi Ahkâm
al-Buyu’ ‘ind al-Hanafiyah Dirâsaú Tahliliyah Muqâranaú li
Amåal Mukhtâraú, Tesis Fakultas al-Dirasat al-Ulya al-
Jamiah Yordania tidak diterbitkan, 2006.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,
Cet. II Jakarta: U.I. Press. 1978
Iskandar Usman, Istiòsân dan Pembaharuan Hukum Islam,
Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1994
Luqyan Tamanny, “Peran Perbankkan Syari’ah dalam
Perekonomian Umat di Indonesia”, Seminar Nasional
Ekonomi Syari’ah BEM HIMA Muamalah UIN Sunan Gunung
Djati Bandung, 2006
Monzer Kahf, Ph.d., Ekonomi Islam (Telaah Analitik Fungsi Sistem
Ekonomi Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. III. ,Jakarta:
Bulan Bintang. 1988.
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Bank Islam, Bandung: Pustaka,
1984
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Islam dari Teori ke Praktek,
Jakarta: Gema Insan Press, 2001
Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanîfah Òayâtuh Wa ‘Aèruh Arâ’uh
Wa Fiqhuh, (t.t.: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1974 M – 1366 H.
Suharsimi Arikunto, Prof,Dr, Manajemen Penelitian, Jakarta:
Rineka Cipta, 2005
Sofyan Al-Hakim dan Enceng Arif Faizal, Pengaruh Fatwa MUI
Tentang Bunga Bank Terhadap Perkembangan Bank
Syari’ah, Bandung, Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung
Djati, 2004
Shadr al-Syariah, al-Tauæiò fî Òal Gawâmiæ al-Tanqîò .Kairo;Dar
al-Ahd al-Jadid li al-Tiba’ah,1957.
Sofyan Al-Hakim, Pengaruh Logika Aristoteles dalam Pemikiran
Ushul Fiqih Al-Syafi’i, Tesis tidak diterbitkan IAIN SGD
Bandung,2003
Surahman Hidayat, al-Mashârif al-Islâmiyaú di Indûnisiya wa
Siyâsasatuha al-Istiåmariyaú Muqâranaú bi al-Mashârif al-
Islâmiyah fi Misra, Disertasi, Jâmiaú al-Azhar Kulliyah al-
Syarîah wa al-Qanûn Qism al-Siyâsah al-Syariyyaú, Kairo,
1999.
Al-Syafi‘î, al-Risâlat, Taòqîq Muhammad Sayid Kaylani, Cet. I
(Mesir: Muèùafa al-Bâbi al-Òalabi Wa Awlâduh. 1388 H/ 1969
M)
Al-Syâùibî, al-I‘tièâm, Juz II Mesir: t.pn. 1913.
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1994.
Ummer Chapra, M., Toward a Just Monetary System, Leicester,
The Islamic Foundation, 1995
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, Damaskus: Dar
al-Fikr, 1986.
Winarno Surakhmad, Prof.Dr.,M.Sc.Ed., Pengantar Penelitian
Ilmiah; Dasar, Metode, Tekhnik, Bandung: Tarsito, 1990
www.bi.go.id/Statistik Perbankkan Syariah Bulan April 2010
FUNGSI ISTIÒSÂN DALAM PENGEMBANGAN
PRODUK-PRODUK LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
RENCANA PENELITIAN
DISERTASI
Oleh:
Sofyan Al-Hakim
2010