aplikasi sistem silvofishery dalam pemanfaatan …
TRANSCRIPT
APLIKASI SISTEM SILVOFISHERY DALAM PEMANFAATAN HUTAN
MANGROVE DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN
MASYARAKAT DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN,
KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
Oleh :
EMIR NALDI 131201029
BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
APLIKASI SISTEM SILVOFISHERY DALAM PEMANFAATAN HUTAN
MANGROVE DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN
MASYARAKAT DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN,
KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
Oleh :
EMIR NALDI
131201029 BUDIDAYA HUTAN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Aplikasi Sistem Silvofishery dalam Pemanfaatan Hutan Mangrove dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
Nama : Emir Naldi NIM : 131201029 Program Studi : Kehutanan / Budidaya Hutan
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Anggota
Mengetahui
Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Departemen Budidaya Hutan
Tanggal lulus :
ABSTRAK
EMIR NALDI. Aplikasi Sistem Silvofishery dalam Pemanfaatan Hutan Mangrove dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Di bawah Bimbingan YUNASFI dan MOHAMMAD BASYUNI.
Ekosistem pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Fungsi ekosistem pesisir bagi organisme antara lain sebagai daerah pemijahan, daerah pemeliharaan, dan daerah pencarian makan. Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak pendapatan masyarakat terhadap penggunaan hutan mangrove berbasis silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Metode yang digunakan adalah metode analisis data dengan menghitung biaya usaha tani, menghitung pendapatan usaha tani, dan mengetahui efisiensi usaha tani. Pengumpulan data dilakukan dengan kegiatan wawancara, observasi lapangan, dan kuisioner yang ditujukan langsung kepada masyarakat. Penelitian mengambil sampel di tiga desa yang memanfaatkan mangrove untuk penggunaan tambak berbasis silvofishery. Ketiga desa tersebut menggunakan tipe model silvofishery empang parit tradisional dan kao-kao. Pemanfaatan mangrove melalui silvofishery ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat, terlebih bagi pengelola tambak tidak memerlukan pangan untuk tambak dalam jumlah yang besar, karena asupan pangan untuk tambak telah terpenuhi oleh tanaman mangrove.
Kata kunci : Silvofishery, mangrove, tambak, pendapatan masyarakat.
ABSTRACT
EMIR NALDI. Application of Silvofishery System in Utilization of Mangrove Forest and Impact of People’s Income in the Percut Sei Tuan District, Deli Serdang Regency. Under Academic Supervision by YUNASFI and MOHAMMAD BASYUNI.
Coastal ecosystem play an very important role for the organism in the surrounding area. The function of coastal ecosystem such as spawning ground, nursery ground, and feeding ground. Silvofishery or often referred as wanamina is a form of integrated activities between brackish water aquaculture and mangrove development on the same location. The purpose of this research are to identify the impact of people’s income against the use of mangrove forests based on silvofishery at Percut Sei Tuan District, Deli Serdang regency. The method that use is method of data analytical by calculating the cost of farming, calculating of farm income, and calculate the efficiency of farming. Data was collected is through from interviews, place observations, and directly questionnaires to the community. The research sample was taken from three villages which utilizes mangrove as embankment based silvofishery. Third of villages using silvofishery model kao-kao and traditional empang parit. Utilization of mangrove forests based on silvofishery very influenced of people’s income, especially embankment management didn’t require a large amount of food, because food intake for the embankment has been provided by mangrove forests.
Keywords : Silvofishery, mangrove, fish pond, people’s income.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 10 November 1995 dari pasangan Bapak
Nazman Yahya dan Ibu Asrah. Penulis merupakan anak kedua dari dua
bersaudara, dengan saudara laki-laki bernama Hilal Akbar.
Penulis menempuh pendidikan di MIN Medan dan tamat tahun 2007, MTs
Negeri 2 Medan tamat tahun 2010, dan MAN 1 Medan tamat tahun 2013.
Selanjutnya penulis melanjutkan kuliah di Universitas Sumatera Utara sebagai
mahasiswa di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan melalui jalur
SNMPTN dan memilih minat Budidaya Hutan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis merupakan anggota BKM Baytul
Asyjaar pada tahun 2013-2016, anggota Rain Forest pada tahun 2013-2017, dan
anggota JIMMKI pada tahun 2013-2015. Penulis pernah mendapatkan beasiswa
PPA pada tahun 2016. Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem
Hutan di BPK Aek Nauli, Kabupaten Simalungun pada tahun 2015. Penulis
melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di BDH Paliyan
Kabupaten Gunung Kidul, Balai KPH Yogyakarta, Kota Yogyakarta pada tanggal
1 Februari 2017 - 2 Maret 2017.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
Adapun skripsi ini berjudul “Aplikasi Sistem Silvofishery dalam Pemanfaatan
Hutan Mangrove dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat di
Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada komisi
pembimbing, yaitu Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si,
Ph.D atas kesediaannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan satu tim
penelitian dan semua pihak yang turut membantu penulis secara langsung maupun
tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya pada bidang kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Mei 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................................ ii
ABSTRACK ............................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ viii
PENDAHULUAN Latar Belakang................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ............................................................................. 3 Manfaat Penelitian ........................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove ............................................. 4 Tambak ............................................................................................ 5 Silvofishery ...................................................................................... 6 Tipe Empang Parit Tradisional .................................................. 8
Tipe Komplangan ...................................................................... 9 Tipe Kao-Kao ............................................................................ 9 Tipe Empang Terbuka ............................................................... 10 Tipe Tasik Rejo ......................................................................... 10
Sosial Ekonomi ................................................................................ 12 Alur Penelitian ................................................................................. 14
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 15 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................... 15 Metode Dasar .................................................................................. 16 Metode Analisis Data ...................................................................... 16 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 17 Metode Pengumpulan Data ............................................................. 18 Pengumpulan Data ........................................................................... 18
Data Primer ................................................................................ 18 Data Sekunder ........................................................................... 19
Pengolahan Data .............................................................................. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tambak Silvofishery ...................................................................... 20 Identitas Petani ............................................................................... 21
Silvofishery Desa Percut, Tanjung Rejo, Tanjung Selamat ........... 22 Desa Percut .............................................................................. 22 Desa Tanjung Rejo .................................................................. 26 Desa Tanjung Selamat ............................................................. 29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan..................................................................................... 33 Saran ............................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 34
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Kuisioner yang digunakan pada penelitian ........................................... 16
2. Identitas petani pada usaha tani tambak Percut Sei Tuan ..................... 21
3. Biaya usaha tani untuk 1 ha dalam waktu 4 bulan Desa Percut ............ 23
4. Penerimaan usaha tani untuk 1 ha dalam waktu 4 bulan Desa Percut .. 24
5. Biaya usaha tani untuk 1 ha dalam waktu 4 bulan Desa Tanjung Rejo 26
6. Penerimaan usaha tani untuk 1 ha dalam waktu 4 bulan Desa Tanjung
Rejo ....................................................................................................... 27
7. Biaya usaha tani untuk 1 ha dalam waktu 4 bulan Desa Tanjung
Selamat .................................................................................................. 29
8. Penerimaan usaha tani untuk 1 ha dalam waktu 4 bulan Desa Tanjung
Selamat .................................................................................................. 30
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Tipe dan model sistem silvofishery ....................................................... 7
2. Tipe empang parit ................................................................................. 8
3. Tipe komplangan................................................................................... 9
4. Alur Penelitian ...................................................................................... 14
5. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................... 15
6. Model tambak Desa Percut ................................................................... 25
7. Model tambak Desa Tanjung Rejo ........................................................ 28
8. Model tambak Desa Tanjung Selamat .................................................. 31
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam
suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena
merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan
mangrove mempunyai peran yang sangat penting terutama bagi kehidupan
masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya,
baik sumber daya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, dan
ikan) yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove
(Santono, et al., 2005).
Pesisir sebagai wilayah peralihan antara daratan dan lautan mempunyai
keanekaragaman sumberdaya yang melimpah. Pesisir memiliki peran yang sangat
penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir
terdapat beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem
padang lamun dan ekosistem hutan mangrove. Ketiga ekosistem tersebut memiliki
peran yang sangat penting bagi organisme baik di darat maupun di laut. Fungsi
ekosistem wilayah pesisir bagi organisme antara lain sebagai daerah pemijahan
(spawning ground), daerah pemeliharaan (nursery ground) dan daerah pencarian
makan (feeding ground) (Supriharyono, 2009).
Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman mangrove
sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 90 - an. Data penanaman mangrove oleh
Departemen Kehutanan sejak tahun 1995 hingga 2003 baru terealisasi seluas
7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004) dan dari 2003 hingga 2007 telah
mencapai 70.185 ha (Departemen Kehutanan, 2008), namun tingkat
keberhasilannya sangat rendah. Di samping itu, masyarakat juga tidak sepenuhnya
terlibat dalam upaya rehabilasi mangrove, dan bahkan dilaporkan adanya
kecenderungan gangguan terhadap tanaman mengingat perbedaan kepentingan.
Beberapa hasil penelitian pendukung rehabilitasi mangrove dalam teknik
rehabilitasi hutan mangrove berupa teknik pesemaian, teknik penanaman dan
kajian silvofishery telah dikemukakan dalam sintesis hasil penelitian teknologi
dan kelembagaan rehabilitasi hutan mangrove (Anwar, 2007).
Walaupun ekosistem mangrove tergolong sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources), namun bila pengalihan fungsi atau konversi dilakukan
secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka
kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat,
tetapi juga tidak dapat berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan
tersebut. Akibat dari tekanan berbagai kepentingan tersebut, terjadi kerusakan
hutan mangrove karena melebihi kapasitas daya dukungnya. Lebih dari lima
puluh persen hutan mangrove mengalami kerusakan atau bahkan hilang sama
sekali akibat berbagai faktor berikut : konversi hutan mangrove untuk peruntukan
lainnya, pencemaran pesisir oleh sampah, bahan bakar minyak, industri,
pertumbuhan dan perkembangan kota-kota pantai (beach city), dan kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga
kehidupan daratan dan lautan (Kustanti, 2011).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aplikasi sistem
silvofishery dalam pemanfaatan hutan mangrove, menganalisis apakah usaha yang
dilakukan masyarakat sekitar sudah efisien serta bagaimana pengaruhnya terhadap
pendapatan masyarakat di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Diperoleh informasi tentang kombinasi aplikasi sistem silvofishery dan dampak
pemanfaatan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan sehingga
dapat bermanfaat bagi pengguna tambak model silvofishery dan masyarakat
luas.
2. Menambah wawasan baru dan referensi bagi penelitian lebih lanjut tentang
upaya-upaya pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai salah
satu komponen pengembangan wilayah baik dari segi ekologi maupun
perekonomian suatu wilayah.
TINJAUAN PUSTAKA
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarin sehingga
merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan
lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian,
daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun
perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut.
Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga
kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai,
mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat
pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,
dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman
biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman
anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomi mangrove yaitu sebagai
sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan
tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).
Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga
produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi
kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove
yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian
didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan
secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya
dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti
bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting.
Karenakeberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk
budi daya perikanan harus rasional (Ahmad dan Mangampa, 2000).
Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan
mangrove adalah Kepiting Bakau (Scylla serrata), Ikan Bandeng (Chanos
chanos), Udang Windu (Penaeus monodon), Udang Vanamei (Penaeus
vannamei), Ikan Patin (Pangasius pangasius), Ikan Kakap (Lates calcarifer), dan
rumput laut. Sedangkan komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya
silvofishery di kawasan mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau
mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena
kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu
membudidayakan kepiting tidak memerlukan tambak yang luas (Triyanto et al,
2012).
Tambak
Tambak merupakan bangunan air yang dibangun pada daerah pasang surut
yang diperuntukkan sebagai wadah pemeliharaan ikan/udang dan memenuhi
syarat yang diperlukan sesuai dengan sifat biologi hewan yang dipeliharan.
Pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah sekitar pantai, khususnya
yang mempunyai atau dipengaruhi oleh sungai besar, sebab banyak petambak
beranggapan, bahwa dengan adanya air payau akan memberikan pertumbuhan
ikan/udang yang lebih baik ketimbang air laut murni (Ditjen Perikanan, 1985).
Budidaya tambak merupakan salah suatu bentuk kegiatan usaha
pemeliharaan dan pembesaran ikan maupun udang di tambak yang dimulai dari
ukuran benih sampai menjadi ukuran yang layak dikonsumsi. Penggunaan tambak
secara terus menerus untuk budidaya akan menyebabkan menurunnya
produktivitas udang karena daya dukung lingkungan yang tidak mampu lagi
menopang pertumbuhan (Abubakar, 2008).
Silvofishery
Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok
untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini
diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan
mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery atau tambak
tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali
diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat
memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove
(Dewi, 1995).
Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk
kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan
pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan
keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Bengen, 1998).
Perairan tambak merupakan ekosistem perairan payau, salinitasnya ada di
antara salinitas air laut dan air tawar. Perakaran jenis Rhizophora sp. pada
umumnya hanya terendam pada saat air pasang berlangsung. Idealnya untuk
kegiatan silvofishery tersebut perlu dibuatkan guludan sebagai area penanaman
khusus di dalam tambak. Guludan tersebut dikondisikan agar tanaman tidak selalu
tergenang di mana tanaman hanya akan terendam pada saat terjadinya air pasang,
sedangkan pada saat air surut tanaman tidak terendam air. Sementara itu untuk
current area atau area pemeliharaan ikan, dilakukan pada tempat yang lebih
rendah sehingga pada saat air surut pun tetap dalam keadaan terendam air.
(Raswin, 2003).
Silvofishery telah berkembang di berbagai negara, seperti Indonesia, Hong
Kong, Thailand, Vietnam, Pilipina, Kenya dan di Indonesia lebih dikenal dengan
sistem empang parit dan telah dikembangkan oleh Departemen Kehutanan
bekerjasama dengan Ditjen Perikanan dalam berbagai research project di
Sulawesi Selatan, Cikalong dan Blanakan di Jawa Barat. Silvofishery telah
berhasil dikembangkan di Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi), Cikeong
(Jawa Barat), Pemalang (Central Java), dan Bali (Nuryanto, 2003). Beberapa tipe
dan model sistem silvofishery dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Beberapa tipe dan model sistem silvofishery (Sofiawan, 2000)
Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah
bibit per hektar 320 batang, menurut Sofiawan (2000) bentuk tambak silvofishery
terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe
empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo.
Tipe Empang Parit Tradisional
Model Empang Parit Tradisional ini penanaman bakau dilakukan merata
di pelataran tambak dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 1 x 1 m sehingga tanaman
terkonsentrasi di tengah-tengah pelataran tambak. Luas daerah penanaman
mangrove pada sistem ini bisa mencapai 80% dari keseluruhan luas tambak.
Tempat mangrove tumbuh dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk sejajar
dengan pematang tambak. Saluran ini biasanya memiliki lebar 3-5 m dan tinggi
muka air berada 40-80 cm di bawah pelataran tanah tempat tumbuhnya mangrove.
Ada beberapa variasi lain dari model dasar ini, misalnya dengan membuat wilayah
yang dialiri air sampai 40-60%. Ikan, udang, dan kepiting dibudidayakan secara
ekstensif pada saluran air ini. Gambaran tipe empang parit dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Tipe empang parit (Kordi, 2012)
Tipe Komplangan
Model ini merupakan modifikasi dari model empang parit tradisional.
Pepohonan mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang tempat
memelihara ikan atau udang, di mana di antara keduanya terdapat pintu air
penghubung yang mengatur keluar masuknya air. Tipe Komplangan dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Tipe komplangan (Kordi, 2012)
Tipe Kao-Kao
Pada model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada guludan-guludan. Lebar
guludan 1-2 m dengan jarak antara guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan
lebar tambak). Variasi yang lain adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian
guludan/kao-kao dengan jarak tanam 1 meter.
Tipe Empang Terbuka
Bentuk model empang terbuka ini tidak berbeda jauh dengan model
empang tradisional. Bedanya hanya pada pola penanaman tanaman mangrove.
Pada model ini mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak.
Tipe Tasik Rejo
Pada model ini mangrove ditanam di sepanjang tepian parit yang
berbentuk saluran air tertutup yang langsung berhubungan dengan saluran air
utama (saluran air yang menghubungkan tambak dengan laut). Mangrove ditanam
cukup rapat dengan jarak tanam 1 x 1 m atau bahkan 50 x 50 cm. Pada model ini
tambak hanya berbentuk parit sedalam kurang lebih 1 m yang juga dipakai
sebagai tempat pemeliharaan ikan. Pelataran tambak pada umumnya
dibudidayakan untuk usaha pertanian tanaman semusim, seperti padi gogo,
palawija, atau bunga melati.
Menurut Bengen (2002) Secara umum ada dua model dasar silvofishery
yaitu model empang parit dan model komplangan (mangrove yang berselang-
seling dengan tambak). Model empang parit selanjutnya ada yang disempurnakan
dalam pembuatan paritnya. Model empang parit (menyajikan tingkatan yang lebih
besar dalam penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan mangrove
dalam area tambak, dengan penutupan mangrove antara 60-80% dalam parit di
tambak. Sedangkan model komplangan/berselang-seling merekomendasikan
untuk mempertahankan mangrove dengan rasio maksimum yang sama, yaitu tiap
2 ha tambak harus dipertahankan 8 ha mangrove di sekeliling tambak tersebut.
Menurut penelitian Nur (2002) bahwa analisis optimasi rasio wanamina
empang parit dengan lahan berhutan mangrove menunjukkan terdapat hubungan
yang erat antara rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove dengan
parameter ekologi dan ekonomi. Rasio empang parit dengan lahan berhutan
mangrove sebesar 50:50 dan 60:40 merupakan nilai optimum bagi pemanfaatan
ekosistem hutan mangrove secara lestari untuk tambak tumpangsari. Tahap awal
agar terjadi kestabilan ekosistem empang parit adalah produktivitas organisme
produsen dalam melakukan proses fotosintesis harus tinggi agar tersedia banyak
bahan makanan bagi konsumen, sehingga menyebabkan konsumen hidup dengan
baik dan melakukan pertumbuhan secara maksimum. Peningkatan bahan organik
diperairan akan meningkatkan kualitas air dan pertumbuhan fitoplankton sehingga
produktivitas perairan meningkat. Peningkatan ini mendorong zooplankton, ikan
dan krustasea meningkat pula.
Menurut penelitian Hastuti (2010) dari penerapan wanamina (silvofishery)
berwawasan lingkungan di pantai utara kota semarang dihasilkan nilai produksi
Bandeng yang terbaik adalah pada perlakuan yang ditanami dengan Rhizophora.
Diduga ini disebabkan bahan organik pada Rhizophora lebih tinggi dari
Avicennia. Bahan organik total, gula, asam amino dan gula amino dan bahan
organik pada tanah yang terdapat pada vegetasi Rhizophora diakumulasikan
sebaliknya bahan organik pada vegetasi Avicennia didegradasikan. Hal ini
menyebabkan proses pelapukan dari serasah daun yang jatuh diarea tambak
tersebut lebih mudah sehingga proses penyediaan unsur hara dan bahan pakan
alami bagi Bandeng juga semakin cepat.
Hasil penelitian Riviana, et al (1999) dilaporkan komposisi tegakan
mangrove ternyata berpengaruh terhadap keberadaan jenis plankton. Peranan
hutan manggrove sebagai sumber makanan organisme perairan dapat melalui dua
rantai yang berbeda. Pertama adalah serasah akan memberikan masukan unsur
hara utama bagi pertumbuhan organisme autotrof yaitu fitoplankton. Kedua
serasah yang belum mengalami dekomposisi sempurna dan masih dalam bentuk
detritus sehingga dapat dimanfaatkan sebagi sumber makanan bagi organisme
herbivora dan detrivora.
Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem mangrove diharapkan dapat
tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di sekitar kawasan tanpa merusak
hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Berdasarkan
hasil penelitian di daerah Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola
tambak antara lain menjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan
dan 20% tambak. Jika perbandingan antara hutan dan tambak 50-80% : 20-50%,
pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan hutan dan tambak
mencapai 50:50% izin pengelola akan dicabut (Handayani dan Wibowo, 2006).
Sosial Ekonomi
Teknologi budidaya tambak dengan pola silvofishery oleh masyarakat
dilakukan terlebih dahulu dengan menanam bakau di wilayah pesisir. Setelah
bakau-bakau tersebut tumbuh besar, bakau di tebang dan tanah yang timbul dari
kegiatan penanaman bakau tersebut dibuat menjadi tambak. Setelah terbentuk
tambak, pada pematang tambak ditanami lagi dengan bibit bakau dan masyarakat
biasanya memelihara ikan bandeng (Channos channos), udang windu (Penaus
monodon), dan rumput laut (Gracillaria) di dalam tambak tersebut
(Primavera, 2000).
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih kembali
tetapi dibatasi oleh faktor pembatas alami dan non-alami. Faktor pembatas alami
adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan dari ekosistem, seperti
ketersediaan makanan, predator, persaingan memperoleh makanan, laju
pertumbuhan alami, persaingan ruang dan sebagainya. Sedangkan faktor pembatas
non-alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan yang disebabkan
oleh kegiatan manusia seperti eksploitasi, pengrusakan habitat dan pencemaran
lingkungan (Setyawan, 2002).
Aspek sosial ekonomi masyarakat terpenuhi dari kegiatan silvofishery
dengan melakukan budidaya ikan, kepiting, udang, dan rumput laut dalam
tambak. Sedangkan aspek perlindungan pantai dan konservasi mangrove
dilakukan dengan tetap menjaga vegetasi mangrove di pematang tambak dan
bagian terluar dari tambak yang terbentuk dengan greenbelt sekitar 100-200
meter. Berbagai kegiatan penanaman bakau dan pembuatan tambak dilakukan
sepenuhnya oleh masyarakat sekitar walaupun tanpa adanya bantuan dari
pemerintah dan lembaga lainnya, sehingga konsep social forestry atau community
forestry tercipta dengan sendirinya di sekitar wilayah pesisir tersebut. Aspek
ekonomi, yaitu bentuk pemanfaatan sistem silvofishery secara aktual yang
dilakukan kelompok tani dan pengambilan manfaat ekonomi serta bagaimana
kondisi perekonomian masyarakat pemilik lahan berbasis silvofishery dapat
terbantu setelah mengaplikasikan sistem silvofishery ini.
Gambar 4. Alur Penelitian
Persiapan
Survey Lapangan
Pengumpulan Data
Pelaksanaan Penelitian Penelusuran Literatur dan Analisis Deskriptif
Wawancara Kuisioner Observasi Lapangan
Data Sekunder
Data Primer
Pengolahan Data
Kesimpulan
Mengidentifikasi Aplikasi Sistem Silvofishery dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember
2016. Penelitian ini dilakukan di 3 desa, yaitu Desa Percut, Desa Tanjung Rejo,
dan Desa Tanjung Selamat, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara.
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera dan alat tulis.
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tally sheet,
kuisioner, peta wilayah kabupaten, serta dokumen lain yang berhubungan dengan
lokasi dan kegiatan penelitian. Berikut adalah kuisioner yang digunakan dalam
penelitian ini terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kuesioner yang digunakan pada penelitian
No. Nama Jenis
Kelamin Umur
Jenis Mangrove
Luas Tambak (Ha)
Pengeluaran Pemasukan Pendapatan
/ bulan
1.
2.
3.
Metode Dasar
Metode dasar yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif
analitik yaitu suatu metode penelitian yang memusatkan pada masalah-masalah
yang ada pada masa sekarang dan masalah-masalah yang aktual dengan cara data
yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis. Teknik
pelaksanaan pada penelitian ini adalah dengan teknik sampling. Penentuan daerah
untuk sampling dipilih dengan sengaja yaitu didasarkan pada ciri-ciri atau sifat
yang sudah diketahui sebelumnya sesuai dengan kepentingan penelitian.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Menghitung biaya usaha tani
Biaya usaha tani yang dimaksudkan adalah biaya yang benar-benar dikeluarkan
oleh petani tambak yang meliputi pengelolaan lahan, tenaga kerja, sewa lahan,
pakan dan pupuk, serta benur ikan yang digunakan dalam tambak silvofishery.
2. Menghitung pendapatan usaha tani
Untuk menghitung pendapatan usaha tani yaitu dengan menghitung selisih
penerimaan dan biaya usaha tani, yang dirumuskan :
∏ = TR –TC
Keterangan :
∏ = pendapatan usaha tani (Rp)
TR = penerimaan usaha tani tambak (Rp)
TC = total biaya usaha tani (Rp)
3. Metode yang digunakan untuk mengetahui efisiensi usaha tani dengan rumus :
Penerimaan R / C =
Biaya Dari rumus di atas dapat diketahui kriteria dari R/C rasio sebagai berikut :
• Apabila R/C rasio > 1 maka usaha tani dikatakan efisien
• Apabila R/C rasio = 1 maka usaha tani dikatakan impas
• Apabila R/C ratio < 1 maka usaha tani dikatakan tidak efisien
Populasi dan Sampel Penelitian
Pada penilitian ini yang akan diambil adalah data sampel 3 desa, yaitu
Desa Percut, Desa Tanjung Rejo, dan Desa Tanjung Selamat, Kecamatan Percut
Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang karena desa ini menerapkan sistem
silvofishery. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan
cara purposive sampling (sampel bertujuan).
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan mengenai lahan silvofishery yang
diperoleh yaitu melalui wawancara, observasi lapangan, dan kuesioner yang
ditujukan langsung kepada masyarakat setempat atau kelompok tani pengguna
lahan silvofishery. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui sumber resmi
seperti Badan Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah Sumatera Utara,
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah Sumatera Utara serta instansi
atau lembaga pemerintah setempat mengenai informasi lokasi dan kondisi daerah
penelitian, dan data-data pendukung lainnya.
Pengumpulan Data
1. Data primer
Pada pengumpulan data primer yang diperlukan antara lain ciri-ciri
keluarga yakni nama, umur, identitas, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan
mata pencaharian atau profesi. Selain itu, pengumpulan data juga mencakup
pendapatan atau penghasilan rumah tangga yakni pendapatan seluruh anggota
keluarga dari kegiatan pemanfaatan sistem silvofishery ditambah pendapatan
lainnya.
Pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
Wawancara
Wawancara dilakukan sebagai upaya untuk melengkapi informasi dan
mengkaji ulang yang berkaitan dengan data dalam penelitian. Keterbukaan dan
kejujuran responden atau narasumber dalam memberikan informasi sangat penting
dan diperlukan untuk kepentingan penelitian ini. Kegiatan wawancara pada
penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 5.
Kuisioner
Data yang diambil dari kuisioner kepada seluruh sampel penelitian untuk
melengkapi hasil dari wawancara yang dilaksanakan sehingga didapat data yang
aktual dan akurat.
Observasi Lapangan
Kegiatan yang dilakukan pada observasi yaitu melihat aktivitas dan
kehidupan sehari-hari masyarakat setempat (kelompok tani), melihat kegiatan
masyarakat setempat dalam pemanfaatan ekosistem mangrove dengan tambak dan
melakukan interaksi dengan masyarakat lainnnya.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang diperlukan adalah data umum pada instansi atau
lembaga pemerintahan desa, kecamatan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan
(BPKH) dan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah Sumatera
Utara yang meliputi letak dan luas desa, kelompok tani, dan data dari sumber lain.
Pengolahan Data
1. Analisis deskriptif, digunakan untuk mengetahui dan menganalisis data yang
terkumpul dari hasil kuisioner, wawancara, dan observasi.
2. Penulisan literatur yang dipadukan dengan data-data penelitian, baik data
primer maupun data sekunder yang telah dilakukan analisis data. Penelusuran
literatur akan memperkaya dan memperluas isi dari penelitian yang nantinya
berguna untuk hasil penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tambak Silvofishery
Penelitian ini dilakukan di 3 desa, yaitu Desa Percut, Desa Tanjung Rejo,
dan Desa Tanjung Selamat yang terletak di Kecamatan Percut Sei Tuan,
Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Ketiga desa ini merupakan
kawasan yang masih mendapatkan pengaruh salinitas, namun letaknya tidak dekat
dengan pesisir pantai. Pada umumnya mangrove ditanam secara intensif oleh
masyarakat untuk tujuan tertentu, misalnya untuk keperluan tambak dan
penggunaan komersial lainnya dari tanaman mangrove. Hutan mangrove dapat
menjadi pelindung bagi ekosistem yang ada di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Kustanti (2011) yang menyatakan bahwa tanaman mangrove
mampu melindungi kehidupan penduduk di sekitarnya dari kerusakan-kerusakan
yang dapat ditimbulkan dari gelombang besar maupun angin kencang.
Wilayah tambak dipengaruhi oleh proses pasang surut air laut, oleh karena
itu warga yang mengelola tambak tersebut melakukan penanaman mangrove di
sekitar pematang tambak yang tujuannya adalah untuk menguatkan struktur tanah
pematang tambak agar tidak tergerus oleh pasang surut, sedangkan mangrove
yang ditanam dalam area tambak dimaksudkan untuk mengembalikan kesuburan
dan memberi ruang lindung pada benih yang telah disebar oleh petani tambak dan
perangkap racun yang ada pada kegiatan budidaya perikanan produksi
sebelumnya. Tambak yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tani dahulunya
merupakan tambak intensif, namun seiring berjalannya waktu dengan adanya
penyuluhan dari Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan maka kelompok tani
tersebut mulai menanam mangrove di guludan/tanggul yang dikondisikan
tergenang pada saat pasang dan tidak terendam air pada saat surut. Tambak
silvofishery yang berada di Desa Percut, Desa Tanjung Selamat, dan Desa
Tanjung Rejo memiliki ciri-ciri yakni tambak dikelilingi oleh vegetasi mangrove
dan mangrove ditanam di tepian guludan dengan antar jarak guludan 30-50 m.
Menurut Sofiawan (2000) bahwa model kao-kao adalah salah satu dari 5 macam
pola dari bentuk tambak silvofishery dengan ciri-ciri mangrove ditanam pada
guludan-guludan tersebut. Lebar guludan 1-2 m dengan jarak antar guludan 5-10
m atau sesuai dengan lebar tambak dan mempunyai variasi seperti jarak tanam.
Identitas Petani
Identitas petani memberikan gambaran tentang keadaan petani sebagai
salah satu faktor penting dalam usaha tani. Petani dalam suatu usaha tani adalah
sebagai pengelola yang merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan serta
mengevaluasi suatu proses produksi. Identitas petani dalam penelitian ini meliputi
umur, lama pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang
aktif dalam usaha tani, dan luas lahan garapan. Identitas dari petani dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Identitas petani pada usaha tani tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan
No. Uraian Rata-rata 1. Umur petani (th) 43,52 2. Lama pendidikan (th) 7 3. Jumlah anggota keluarga 5,25 4. Jumlah anggota keluarga yang aktif dalam usaha tani 2,35 5. Luas lahan untuk usaha tani 0,75
Hasil analisis data pada tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata umur petani
adalah 43,77 tahun yang berarti masih termasuk dalam usia produktif. Lama
pendidikan yang mereka peroleh rata rata adalah selama 7 tahun. Ini menunjukkan
bahwa sebagian besar petani adalah tamatan SD hingga SMP. Tingkat pendidikan
ini mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan seseorang untuk menerima
teknologi baru yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas hidup. Seperti
yang dikemukakan oleh Brown (2006) bahwa kerusakan ekosistem mangrove
sering disebabkan oleh aktivitas manusia yang berada di dalam dan sekitar
kawasan hutan mangrove yang dikarenakan akses masyarakat yang tinggi
berinteraksi dengan hutan tersebut.
Rata-rata jumlah anggota keluarga petani sampel yang mengusahakan
tambak berbasis silvofishery adalah 5,25 orang. Sedangkan rata-rata jumlah
anggota keluarga yang aktif dalam usaha tani adalah 2,35 orang. Data ini
menunjukkan bahwa anggota keluarga yang aktif dalam usaha tani merupakan
setengah dari jumlah anggota keluarga para petani tambak. Lahan merupakan
faktor produksi yang mutlak diperlukan dalam melakukan usaha tani. Lahan
merupakan media pengelolaan usaha tani, tanpa adanya lahan maka usaha tani
akan sulit untuk dilakukan. Rata-rata lahan usaha tani yang dimiliki petani adalah
0,75 ha. Kepemilikan lahan yang sempit menjadi tidak efisien sehingga
pendapatan yang diperoleh tidak begitu tinggi bagi para petani tambak.
Silvofishery di Desa Percut, Tanjung Rejo, dan Tanjung Selamat
Desa Percut
Tambak silvofishery di Desa Percut yang tergabung dalam kelompok tani
Sepakat dengan luasan tambak 0,5 - 0,6 ha dari total luasan 33,5 ha yang terdiri
dari 10 anggota. Kelompok tani ini pada saat dahulu menggunakan sistem tambak
intensif, yaitu keseluruhan areal lahan digunakan khusus untuk tambak saja.
Namun dalam beberapa tahun terakhir produksinya menurun drastis dan bisa
dikatakan hancur. Pada lahan silvofishery di Desa Percut ini didominasi oleh
tanaman Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia marina. Ekosistem alami di
kawasan tropika sering kali amat rentan terhadap degradasi oleh kegiatan
penebangan, kebakaran, penggembalaan, serta kegiatan budidaya pertanian dan
perladangan yang berlebihan menyebabkan vegetasi yang asli sulit untuk pulih
kembali. Seperti pada pernyataan Kusmana (1999) bahwa kondisi hutan yang
rusak tersebut tidak akan dapat untuk pulih kembali seperti semula. Dalam 1
kolam biasanya terdiri dari 2 petak dengan luasan tambak 0,5 – 0,6 ha. Biaya
pengeluaran tambak silvofishery di Desa Percut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Biaya usaha tani untuk 1 ha dalam jangka waktu 4 bulan di Desa Percut
No. Jenis biaya Satuan (Rp)
Jumlah Biaya (Rp)
1. Pengelolaaan lahan 500.000 2. Tenaga kerja 1.000.000 3. Sewa lahan 1.000.000 4. Pakan dan pupuk 2.000.000 5. Benur ikan nila 100 10.000 1.000.000 6. Benur ikan bandeng 100 10.000 1.000.000 7. Benur ikan kakap
500 300 150.000
Total 6.650.000
Pada tabel 2 di atas terlihat bahwa biaya yang dikeluarkan usaha tani untuk
luas lahan 1 ha dalam kurun waktu 4 bulan atau dalam 1 kali masa panen. Di Desa
ini petani membudidayakan beberapa jenis ikan, di antaranya ikan nila, ikan
bandeng, dan ikan kakap. Total dari biaya usaha tani di Desa Percut adalah Rp
6.650.000 merupakan biaya total yang dikeluarkan oleh usaha tani.
Tabel 4. Penerimaan usaha tani untuk 1 ha dalam jangka waktu 1 tahun Desa Percut
No. Jenis Satuan kg (Rp) Jumlah (kg) Jumlah harga (Rp) 1. Ikan nila 18.000 300 5.400.000 2. Ikan bandeng 18.000 450 8.100.000 3. Ikan kakap 40.000 60 2.400.000
Total
15.900.000
Sebagai tambak yang menggunakan pakan alami tambak desa ini bisa
menghasilkan ikan nila sebesar 300 kg, tentu jumlah ini cukup tinggi jika
dibandingkan dengan penelitian Yenny (2007) tentang pelestarian hutan
mangrove melalui silvofishery dan pengelolaannya, di mana juga
membudidayakan ikan nila dengan pakan alami yaitu sebesar 200 kg/ha (bisa
mencapai 400 kg/ha).
Dari hasil penerimaan yang diperoleh petani dalam tabel di atas, dapat
dilihat bahwa pendapatan usaha tani dari tambak silvofishery adalah sebagai
berikut :
∏ = TR –TC
∏ = Rp. 15. 900.000 – Rp. 6.650.000
∏ = Rp. 9.250.000
Efisiensi Usaha Tani
Penerimaan R / C = Biaya Rp. 15. 900.000 R / C = Rp. 6.650.000 R / C = 2,3 (efisien)
Berikut ini adalah model tambak silvofishery di Desa Percut yang dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Model tambak Silvofishery di Desa Percut (tipe empang parit)
Desa ini menggunakan model silvofishery dengan sistem empang parit
tradisional. Model ini menanam bakau dilakukan merata di pelataran tambak
dengan jarak tanam 1 x 1 m sehingga tanaman terkosentrasi di tengah-tengah
pelataran tambak. Luas daerah penanaman mangrove pada sistem ini bisa
mencapai 80% dari keseluruhan luas tambak. Tempat mangrove tumbuh
dikelilingi oleh saluran air tambak dan berbentuk sejajar dengan pematang
tambak. Ikan bandeng, ikan nila, dan ikan kakap dibudidayakan secara ekstensif
di Desa ini. Untuk lebih jelas, model tambak silvofishery di Desa Percut dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Desa Tanjung Rejo
Desa Tanjung Rejo memiliki lahan tambak silvofishery yang paling luas
dibandingkan dengan Desa Percut dan Desa Tanjung Selamat. Di desa ini terdapat
kelompok tani yang bernama Tani Hutan Mangrove yang beranggotakan 22
orang. Sebagian besar penduduk di Desa ini berprofesi sebagai Nelayan. Di desa
ini didominasi tanaman Rizophora mucronata dan Rizophora apiculata.
Tabel 5. Biaya usaha tani untuk 1 ha dalam waktu 4 bulan di Desa Tanjung Rejo
No. Jenis biaya Satuan (Rp)
Jumlah Biaya (Rp)
1. Pengolahan lahan 1.500.000 2. Tenaga kerja 2.000.000 3. Sewa lahan 0 4. Pakan dan pupuk 2.000.000 5. Benur ikan nila 100 100.000 10.000.000 6. Benur ikan bandeng 150 40.000 6.000.000 7. Benur udang tiger 60 20.000 1.200.000 8.
Total
Kepiting bakau 1.500 500 750.000 23.450.000
Dapat dilihat bahwa biaya yang dikeluarkan usaha tani untuk luas lahan 1
ha dalam jangka waktu 4 bulan atau sekali masa panen. Total dari biaya usaha tani
adalah Rp. 23.450.000 merupakan biaya total yang dikeluarkan oleh usaha tani.
Di Desa ini petani tambak tidak mengeluarkan biaya sewa lahan karena
keseluruhan lahan tambak dikelola sendiri secara pribadi.
Tabel 6. Penerimaan usaha tani untuk 1 ha dalam waktu 4 bulan di Desa Tanjung Rejo
No. Jenis Satuan kg (Rp)
Jumlah (kg)
Jumlah Harga (Rp)
1. Ikan nila 18.000 3.000 54.000.000 2. Ikan bandeng 12.000 1.500 18.000.000 3. Udang tiger 80.000 200 16.000.000 4. Kepiting bakau
30.000 150 4.500.000
Total 92.500.000
Jika dilihat dari Tabel 6 di atas, diperoleh hasil panen yang sangat besar.
Hal ini sesuai dengan penelitian Wibowo (2006) di mana dengan pengembangan
sistem wanamina secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak
80% : 20% diharapkan dapat meningkatkan persatuan luas. Harapan tersebut
didasarkan pada asumsi bahwa tanaman di sekitar kolam yang lebih baik akan
meningkatkan kesuburan dengan banyak detritus, yang secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap produksi suatu tambak. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian Yenny (2007) di mana dengan perbandingan tambak dengan hutan 80 :
20 membuktikan hasil panen yang tinggi. Untuk hasil panen tambak silvofishery
dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari hasil penerimaan yang diperoleh pada Tabel 6
di atas, dapat dilihat bahwa pendapatan usaha tani adalah sebagai berikut :
∏ = TR –TC
∏ = Rp. 92.500.000 – Rp. 23.450.000
∏ = Rp. 69.050.000
Efisiensi usaha tani
Penerimaan R / C = Biaya Rp. 92.500.000 R / C = Rp. 23.450.000 R / C = 3,9 (efisien)
Berikut adalah model tambak silvofishery di Desa Tanjung Rejo yang
terdapat pada Gambar 7.
a b
c
d
e
f
g h
i
Gambar 7. Model Tambak Silvofishery di Desa Tanjung Rejo (tipe kao-kao)
Keterangan :
a. Pintu air d. Bedengan
b. Mangrove e. Tambak
c. Pipa paralon f. R.apiculata
Model tambak yang terdapat di Desa ini adalah model kao-kao. Pada model ini
mangrove ditanam di atas guludan tambak, biasanya ukuran guludan disesuaikan dengan
luas tambak. Di mana sistem kao-kao adalah sistem wanamina dengan kolam di tengah
dan hutan mengelilingi kolam (Maryani, 2009). Keuntungan model ini adalah ruang
pemeliharaan ikan cukup lebar serta intensitas matahari yang tinggi. Model kao-kao ini
merupakan modifikasi dari model tambak empang parit tradisional. Model kao-kao pada
lahan tambak silvofishery Desa Tanjung Rejo juga dapat dilihat pada Lampiran 2.
Desa Tanjung Selamat
Silvofishery yang ada di Desa Tanjung Selamat. Kelompok tani yang
terdapat di Desa ini bernama kelompok Tani Permai Sejahtera yang
beranggotakan 8 orang. Di desa ini tambak silvofishery relatif lebih kecil
dibandingkan dengan Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut. Di Desa ini memiliki
luas lahan tambak masing-masing kolam 0,7 ha dengan total keseluruhan 17,5 ha.
Tabel 7. Biaya usaha tani dalam 1 ha dalam waktu 4 bulan di Desa Tanjung Selamat
No Jenis biaya Satuan (Rp)
Jumlah Biaya (Rp)
1. Pengelolaaan lahan 1.000.000 2. Tenaga kerja 1.500.000 3. Sewa lahan 0 4. Pakan dan pupuk 1.500.000 5. Benur ikan nila 60 20.000 1.200.000 6. Benur ikan kakap 500 300 150.000 7. Benur udang tiger
60 20.000 1.200.000
Total 6.550.000
Dapat dilihat bahwa biaya yang dikeluarkan usaha tani untuk luas lahan 1
ha dalam jangka waktu 4 bulan atau sekali masa panen. Total dari biaya usaha tani
adalah Rp. 6.650.000 merupakan biaya total yang dikeluarkan oleh usaha tani.
Tabel 8. Penerimaan usaha tani dalam 1 ha dalam waktu 4 bulan di Desa Tanjung Selamat
No. Jenis Satuan kg (Rp)
Jumlah (kg)
Jumlah Harga (Rp)
1. Ikan nila 17.000 1.000 17.000.000 2. Ikan kakap 40.000 60 2.400.000 3. Udang tiger 100.000 200 20.000.000
Total 39.400.000
Dari hasil penerimaan yang diperoleh pada Tabel 6 di atas, dapat dilihat
bahwa pendapatan usaha tani adalah sebagai berikut :
∏ = TR –TC
∏ = Rp. 39.400.000 – Rp. 6.550.000
∏ = Rp. 32.850.000
Efisiensi usaha tani
Penerimaan R / C = Biaya Rp. 39.400.000 R / C = Rp. 6.550.000 R / C = 6,0 (efisien)
Berikut adalah model tambak yang digunakan di Desa Tanjung Selamat
yang terdapat pada Gambar 8 dan Lampiran 3.
a
b c
d
e
f
g h
Gambar 8. Model tambak Silvofishery di Desa Tanjung Selamat (tipe kao-kao)
Keterangan :
a. Jalan desa f. Bedengan
b. Pipa paralon g. E.guineensis
c. R.mucronata h. R.stylosa
d. Tambak
e. Paluh (aliran sungai)
Dari data ketiga Desa yang mengaplikasikan tambak silvofishery ini,
terlihat jelas bahwa mangrove memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi
pendapatan masyarakat yang terutama memanfaatkan mangrove yang
dikombinasikan dengan tambak. Oleh karena itu secara langsung petani juga
diuntungkan dengan kondisi tambak yang berada di antara mangrove. Selain dapat
meminimalisir kebutuhan pakan pada tambak, lahan mangrove juga bisa menjadi
tempat perlindungan untuk ekosistem tambak yang dibudidayakan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Wibowo (2006) yaitu fungsi dan peran ekosistem hutan
mangrove sangat penting sebagai tempat untuk memijah, mengasuh anak,
berlindung, serta mencari makan bagi berbagai jenis ikan. Oleh karena itu maka
kelestariannya harus dijaga dan tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan.
Masyarakat sekitar hutan mangrove harus memahami pentingnya
mangrove, karena tambak merupakan sumber penghasilan bagi mereka.
Pengetahuan masyarakat terhadap hutan mangrove tersebut dapat dikategorikan
sebagai pengetahuan local mengenai peranan hutan mangrove sebagai suatu
kesatuan bagi kehidupan mereka, yang diperoleh dari nteraksi kehidupan mereka
di dalam dan sekitar hutan mangrove.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pemanfaatan lahan mangrove berbasis silvofishery oleh petani berpengaruh
terhadap pendapatan dari anggota kelompok tani dan masyarakat baik itu
dalam jumlah kecil ataupun dalam jumlah besar.
2. Biaya usaha tani yang dikeluarkan di Kecamatan Percut Sei Tuan rata-rata
adalah Rp. 12.216.000 per hektar dengan rata-rata pendapatan dari usaha tani
tambak rata-rata adalah Rp. 49.226.000 per hektar.
3. Perhitungan R/C rasio di Desa Percut sebesar 2,3 Desa Tanjung Rejo sebesar
3,9 dan Desa Tanjung Selamat sebesar 6,0.
4. Hasil perhitungan R/C rasio di tiga desa >1 menunjukkan bahwa usaha tani
tambak silvofishery yang dilakukan oleh petani sudah efisien.
Saran
Perlu dilakukan pengembangan tentang pemanfaatan lahan mangrove
berbasis silvofishery ini agar hasil yang didapat petani lebih tinggi, dan
penambahan vegetasi mangrove di tambak untuk mengurangi biaya pakan pada
lahan tambak silvofishery.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 2008. Efisiensi Pengelolaan Kawasan Tambak Udang Dan Dampaknya Terhadap Aspek Ekonomi Sosial dan Ekologi di Wilayah Pesisir Kabupaten Dompu NTB. IPB. Bogor.
Ahmad, T. and M, Mangampa, 2000. The use of mangrove stands for bioremediation in a close shrimp culture system. Proceeding of International Symposium on Marine Biotechnology. Bogor Agricultural University, Bogor.
Anwar, C. 2007. Sinthesis Hasil Penelitian Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Hutan Mangrove. Draft awal. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Bengen, G. B. 1998. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove . Makalah Lokakarya Jaringan Kerja Pelestarian Mangrove, Instiper. Yogyakarta.
Brown, B. 2006. Lima Tahap Rehabilitasi Mangrove. Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Mangrove. Mangrove Action Project dan Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia. Yogyakarta
Dewi, R. H. 1995. Pengaruh Kerapatan Tegakan Mangrove Terhadap Aspek Ekologis Tambak Tumpangsari (Silvofishery) (Studi Kasus di KPH Cibuaya Besar Pengembangan Budidaya Air Payau). [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ditjen Perikanan, 1985. Pedoman Budidaya Tambak. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Jakarta.
Gunarto, 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Litbang Pertanian.
Handayani, T dan Wibowo, K. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan (Silvofishery). Pusat Teknologi Lingkungan BPPT. Jakarta.
Hastuti, R. B. 2010. Penerapan Wanamina (Silvofishery) Berwawasan Lingkungan Di Pantai Utara Kota Semarang. Lingkungan Tropis.
Kordi, M. G. H. 2012. Ekosistem Mangrove. Rineka Cipta. Jakarta
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Maryani. E. 2009. Model Sosialisasi Mitigasi Pada Masyarakat Daerah Rawan
Bencana di Jawa Barat. Penelitian Hibah Dikti. Bandung.
Nur, S. H. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari Untuk Tambak Tumpangsari di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Nuryanto, A. 2003 Silvofishery (Mina Hutan) : Pendekatan Pemanfaatan Mangrove Secara Lestari. IPB. Bogor.
Primavera, J. H. 2000. Integrated Mangrove Aquaculture Systems in Asia. Integrated Coastal Zone Management. Autumn ed. Pp. 121-130
Raswin, M. 2003. Pembesaran Ikan Bandeng. Modul : Pengelolaan Air Tambak. Direktorat Jakarta : Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional.
Riviana, J., Kusmana, C., dan Agus, P. 1999. Komposisi Jenis Hayati Di Ekosistem Tambak Tumpangsari Pola Empang Parit : Studi Kasus di RPH Tegal Tangkil, BKPH Ciasem. KPH Purwakarta. Jawa Barat. V : 2.
Santono, N., Bayu, C.N., Ahmad, F.S, dan Ida, F. 2005. Resep Makanan Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Mangrove.
Setyawan, A. D. 2002. Ekosistem Mangrove Sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1) : 25-40.
Sofiawan, A. 2000. Pemanfaatan Mangrove yang Berkelanjutan : Pengembangan Model-Model Silvofishery dalam Warta Konservasi lahan Basah, Vol. 9 No. 2 November 2000. Wetlands International – Indonesia. Bogor.
Supriharyono, 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Triyanto, Wijaya, N. I., Widiyanto, T., Yuniarti, I., Setiawan, F. dan Lestari, F. S. 2012. Pengembangan Silvofishery Kepiting Bakau (Scylla serrata) dalam Pemanfaatan Kawasan Mangrove di Berau. Kalimantan Timur.
Wibowo. K. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan (Silvofishery). Pusat Peneliti Teknologi Lingkungan. Jakarta
Yenny. 2007. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Silvofishery dan Pengelolaannya. Kalimantan Barat
LAMPIRAN
Lampiran 1. Silvofishery di Desa Percut
Lampiran 2. Silvofishery di Desa Tanjung Rejo
Lampiran 3. Silvofishery di Desa Tanjung Selamat
Lampiran 4. Hasil panen pada tambak silvofishery
Lampiran 5. Mewawancarai dan berfoto bersama responden (petani tambak)