ars 99270104

Upload: devitrie-hardiany

Post on 04-Nov-2015

233 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Ars 99270104

TRANSCRIPT

  • DIMENSI TEKNIK SIPIL Vol. 27, No. 1, Juli 1999 : 30 - 36

    Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

    30

    GRIYA DAN OMAHPenelusuran Makna dan Signifikasi di Arsitektur Jawa

    Josef PrijotomoStaf Pengajar Sejarah dan Teori Arsitektur - Universitas Kristen Petra

    [email protected]

    ABSTRAK

    Kata, sebutan dan istilah yang digunakan dalam arsitektur terkadang memiliki kemampuan untukmembantu dan menjadi bahan kajian sejarah bagi dunia arsitektur. Kajian filologi dan hermeneutika dengan baiktelah memanfaatkan kemampuan tersebut. Tanpa harus memaksakan diri untuk mengikuti dengan ketat bidangpengetahuan tersebut, penelusuran atas arti `griya' dan `omah' ini mencoba untuk mengungkap sebagian kecildari sejarah arsitektur Jawa. Melalui interpretasi-menerangkan (Poespoprodjo 1987: 194-195)) atas arti keduakata tersebut di dalam berbagai naskah Kawruh Griya, keduanya samasekali tidak memiliki arti: `rumah'.Dengan penelusuran ini ditemukan pula petunjuk yang mengarah pada salah satu gagasan orang Jawa tentangrumah yakni `bagaikan berteduh di bawah pohon'. Meskipun kedua kata tersebut dapat membawa penelusuranini ke wilayah di luar arsitektur dan masyarakat Jawa, harus diakui bahwa penelusuran ini masih dibatasi padatelusuran internal bahasa Jawa, yakni hanya mengkaji kedua kata tersebut di dalam perjalanan kebahasaanbahasa Jawa.

    Kata kunci : Bangunan, rumah, idealisasi rumah Jawa.

    ABSTRACT

    Terms and names in architecture may sometimes be powerful in exploring history of ideas. Philology andhermeneutics are discipline of knowledge that utilize this notion in a very throgh and critical way. Inspired bythose discipline of knowledge, this musing on `Griya' and `Omah' tries to demonstrate that their meaning is not`house' as many still understand them. Rather, both terms understood by the Jawanese as `any building'constructed. Critical assessment upon old documents named `Kawruh Griya' not only supportive for thisunderstanding among the Javanese, but also provide us with a hint on one of ideals of `what a home is' amongthe Jawanese. The Javanese once had a notion that to dwell in a house is like sheltering under a shady tree.Since `griya' and `omah' may open our musing up to regions and cultures outside Jawa, this paper will limit itsmusing within the Jawanese.

    Keyword : Building, house, ideals of Jawanese house.

    PEMBUKA

    Kata, sebutan dan istilah yang digunakandalam arsitektur terkadang memiliki kemampu-an untuk membantu dan menjadi bahan kajiansejarah bagi dunia arsitektur. Jacques Derridamisalnya, melakukan penelusuran arti danmakna kata dalam mengembangkan dekon-struksinya. Penelusuran atas `griya' dan `omah'sebagaimana dijumpai di arsitektur Jawa di-tujukan untuk memanfaatkan kemampuantersebut, mengingat dalam arsitektur Jawa masihbelum banyak dilakukan kajian sejarahnya.Akan tetapi, kajian sejarah dengan carapenelusuran seperti ini memang memiliki satukekurangan (setidaknya, kekurangan dalam diripenulis) yakni, belum mampu menunjuk pada

    angka tahun tertentu. Di sini dimensi ke-sejarahan yang mampu terungkap hanyalahsebatas masa berlakunya sesuatu bahasa,mengingat di masyarakat Jawa ada masa-masabahasa Jawa-kuna, masa bahasa Kawi, dan masabahasa Jawa-baru. Salah satu yang perludisampaikan di sini adalah data primer yangdigunakan dalam penelusuran ini. Di sinidigunakan naskah tentang bangunan dan ber-bahasa Jawa sebagai bahan utama penelusuran.

    KAWRUH GRIYA

    Di sekitar pergantian dari abad 19 ke abad20 sejumlah naskah yang berkenaan denganarsitektur Jawa telah dihadirkan dalam bentuk

  • GRIYA DAN OMAH (Josef Prijotomo)

    Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

    31

    tulisan tangan. Naskah-naskah itu ditulis dalambahasa Jawa dan dengan aksara Jawa. AdalahTh.Pigeaud yang pernah memerintahkan untukmelatinkan naskah-naskah Jawa itu, yakni ditahun 1930-an. Sementara itu, di tahun awal1970-an telah dilakukan pula usaha untukmengindonesiakan naskah-naskah tersebut.Beberapa perpustakaan menyimpan naskah-naskah tersebut dalam keadaan asli, microfilmataupun fotocopy.

    Naskah-naskah yang berragam itu memilikijudul naskah yang juga berbeda-beda, namun dikalangan pengkaji arsitektur Jawa dikenal secaraumum sebagai `Kawruh Kalang'. Mengingatbahwa dengan menggunakan sebutan itu orangakan dengan langsung menunjuk pada masya-rakat Kalang, tidaklah mengherankan bilanaskah ini seringkali dikaitkan denganmasyarakat Kalang tadi. Mengingat bahwa adaatau tidaknya perkaitan ini masih belumdidapatkan jawabnya, maka untuk tidak meng-akibatkan terjadinya pengkaitan tadi, digunakan-lah di sini sebutan `Kawruh Griya', sebuahsebutan yang juga digunakan sebagai judul bagisalah satu naskah (yang selengkapnya berbunyi:`Kwruh Griyanipun Tiyang Djawi'-Pengetahuan`Griya' Orang Jawa).

    Walaupun terdapat tak kurang dari 10naskah Kawruh Griya, namun sebenarnya hanyaada dua kelompok besar naskah-naskah yakniyang pertama, naskah yang menyajikan selukbeluk bagian bangunan beserta pengukuran danpengkonstruksiannya; sedangkan kelompokyang kedua adalah yang menyajikan petunjukperancangan bangunan. Kedua kelompok naskahitu digunakan di dalam penelusuran arti, maknadan kesejarahan arsitektur Jawa yang ter-kendung di balik kata `griya' dan `omah' di sini.

    `GRIYA' DAN `OMAH'

    Kamus-kamus dwi-bahasa dengan bahasaJawa sebagai salah satu bahasanya, misalnyakamus Jawa Indonesia, pasti akan menerjemah-kan `griya' maupun `omah' dengan "rumah"(jadi, griya = rumah dan omah = rumah).Penerjemahan ini memang dilakukan denganmengambil pemahaman masyarakat umumterhadap kedua kata Jawa tadi. Denganmemberikan penerjemahan griya atau omah itumenjadi `rumah' (di bahasa Indonesia),masyarakat awam sekaligus juga menangkapsebuah gambaran dari bangunan yang digunakansebagai tempat tinggal, dan lebih tepat lagi

    adalah sebuah bangunan di mana penghuniutama menempatinya bagi kegiatan berrumahtangga. Bisa saja di sana dijumpai gugus-gugusbangunan lain, tapi masing-masing telahmendapat sebutan tersendiri seperti garasi,kamar pembantu dan sebagainya. Gambaranmasyarakat awam seperti itu akan menjaditergoncangkan bila kepada yang bersangkutandiminta untuk menerjemahkan `griya regol,griya pawon, griya gandhok' dan sejumlahbangunan lain yang diawali dengan `griya' atau`omah' (omah regol, omah pawon, danseterusnya). Dalam tulisan ini pengkajian danpenelusuran atas `griya' dan `omah' akandilakukan dengan segenap konsekuensi yangmuncul. Di sini akan dicoba juga untukdirumuskan gambaran ideal mengenai `griya/omah' dalam pandangan masyarakat Jawasebagaimana disajikan dalam redaksi-redaksiKawruh Griya.1

    Mengawali pengkajian dan penelusuran ini,akan disajikan dua redaksi Kawruh Griya yangmemperlihatkan bahwa redaksi yang keduaadalah pengindonesiaan atas redaksi yangpertama.

    Dari Kawruh Griya - SasraWiryatma (G-Sas)[h.25] Wondene terangipun ing pikajenggriya-griya sasaminipun ing nginggil waukaterangaken sawatawis kados ingngandhap punika:- GRIYA REGOL: Leresipun ing name

    Rigol inggih parigollan tegesipun pang-genan angetrapaken tatakrama dhatengtiyang sasami. Utawi enem dhatengngasepuh. Tuwin alit dhateng ageng(andhap luhur). Parigolan wau watesi-pun tiyang mandhap saking tumpakanutawi ambikak songsong kukudhung(topi) miwah udhunipun making pan-dhapa dhateng regol. Hormat dhatengtamu lngkang kapernah sepuh utawikawon likhur pangkatipun udhunipunmaking tumpakan sasaminipun waukaupame kaken Rigol.

    1 Sebagaimana diketahui, ada sekurangnya 12 naskahmengenai bangunan Jawa yang berbeda-beda judulnya,tetapi pada pokoknya merupakan naskah yang sama isinya.Naskah-naskah ini umumnya masih dikenal dengan sebutanKawruh Kalang. Dalam tulisan ini, sebutan 'KawruhKalang' itu tidak digunakan karena dapat menimbulkanpersoalan dengan masyarakat Kalang. Penggunaan sebutan'Kawruh Griya' tidak kelitu, karena memang salah satunaskah mengenai bangunan Jawa itu menggunakan judul'Kawruh Griya'.

  • DIMENSI TEKNIK SIPIL Vol. 27, No. 1, Juli 1999 : 30 - 36

    Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

    32

    - GRIYA PAWON punika katut utawikatelah saking kanggenipun tiyang olah-olah ingkang ngangge latu makatenangwontenaken awu: dadoe pawon waunama pa-awon making panggenanAWU.

    - GRIYA GANDHOK: Inggih punikagriya ingkang manggen gathuk tritiskaliyan griya wingking. Dados gandhokutawi gedhogan sagandhok sami sagan-thet ananging dhapuripun griya angga-dhahi damar punapa wujudipun dhapurpiyambak-piyambak.

    - GRIYA LUMBUNG: Inggih punikamirit saking aburing peksi lngkangkathah agegolongan winastan lulum-bungan makaten ugi panatanipun pantuning lumbung inggih gumolomg tutum-pakan bunder. Saweweh wonten ing-kang mastani kabekta saking panum-pukipun pantun ingkang sampun dipunbelahi punika nama: NGLUMBUNG;wujudipun inggih bunder, nginggilbrunjung, gagangipun wonten ing ngan-dhap dene limrahipun griya lumbungmakaten dhapur taju, paton kampung,lawangan saking tutup keyong ingngandhap mawi longan.

    - KANDHANG: Kabekta ing pirantosgriyanipun kapalang-palang utawi ka-kandhang-kandhangi dados kaadhang-adhangan.

    - GRIYA GEDHOGAN Utawi gegedhug-gan menggah pikajengipun kaketogantelas-telasan. Awit saking kapala punikasasaminipun kewan kaewonaken inggilpiyambak dados gagedhogipun ingon-ingon (ingah-ingahan) Mila ingtembung kawi kasebut turongga: utawi:turaga tegesipun: saturaga. Ing jamanpaperangan wedal campuhipun kaliyanmengsah. Kapal ugi kaboten sahkatumpakan dening ingkang ngingah.Dados raganing tiyang ingkang numpakupami tunggil lan raganing kapal,raganing kapal upami tunggil lanraganing tiyang ingkang numpak.Lepasing kapal makaten nama: KaapalLiripun kasumerepan

    Dari Kawruh Griya-Slamet Soeparno (G-Sla)Bangunan "regol" (gapura), asalnya darikata "rigol" juga "parigolan", dimaksudkansebagai pengetrapan tata-krama/tata-susilaantara muda kepada tua, antara kecil

    kepada yang besar. "Parigolan" adalahbatas pemberhentian dari kendaraan, ataumembuka/menutup payung, topi, atauturunnya dari pendapa ke "regol". Hormatkepada tamu lebih tua atau tinggiderajat/pang-katnya. Turunnya dari tempatatau kendaraan itu diumpamakan "rigol"(rigol = jatuh).Adapun "dapur" dalam bahasa Jawa adalah"pawon". Bangunan dapur atau "pawon" inidisebut karena penggunaannya "pawon"atau dapur adalah tempat memasak. Untukmemasak ini mempergunakan kayu bakar,maka dengan sendirinya akan terdapat"abu" yang dalam bahasa Jawa "awu"."Paawon" atau "pawon" artinya tempat"awu" (tempat abu) lalu disebut "pawon"yang dalam bahasa Indonesia "dapur"."GANDHOK"; Bangunan yang berhubung-an tritisnya (overstek) dengan bangunanbelakang. Jadi "gandhok' artinya "gan-dheng", tetapi bangunannya sendiri jugamempunyai nama menurut modelnya."LUMBUNG"; mengambil kata dariburung-burung yang terbang bergerom-bolan, dalam bahasa Jawa disebut"alalumbungan". Jadi mengatur padi dalamlumbung itu juga bergerombol ditumpuk/disusun bulat ke atas. Pada umumnyabangunan lumbung itu dengan model "taju"dengan beratap kampung, jadi dihubungkanmemakai "tutup keyong", pada bagianbawah (lantai berongga)."KANDHANG", disebabkan alat-alatnyadengan palang-palang atau dari bahasaJawa "kahadhang-hadhang" (dihalang-halangi)."GEDHOGAN" atau gedhogag", atau"gedhugag". "Gedhogan" adalah kandangkuda. Kepercayaan orang, kuda adalahbinatang piaraan yang paling berhargasendiri, atau "gegedhug"nya binatangpiaraan. "Gegedhug" berarti paling tinggi,paling atas dan bagi orang pandai adalah"empu". Kuda disebut juga "turangga" atau"turaga", "satu-raga". Pada waktu per-tempuran dengan musuh tidak usahdikendalikan, diibaratkan "raganya" sudahbersatu dalam suka dan duka. "Kuda", atau"jaran" dalam bahasa Jawa, bahasahalusnya adalah "kapal", ini berasal darikata "kaapal" (sudah diapalkan/diketahui).

    Dari K-Sla terlihat bahwa penerjemah me-ngalami kesulitan untuk mengindonesiakan

  • GRIYA DAN OMAH (Josef Prijotomo)

    Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

    33

    `griya' yang mengawali bangunan-bangunan`griya-regol, griya gandhok, griya pawon' danseterusnya. Dari Kawruh Griya berbahasa Jawamenjadi jelas bahwa `griya' dan `omah' tidakdapat dengan segera dimengerti dan diindone-siakan atau diterjemahkan menjadi `rumah'.Griya atau omah memang di satu sisi dapatdimengerti sebagai rumah, tapi di sisi yang laintidak dapat dimengerti sebagai rumah.

    Dalam wilayah bahasa Jawa baru, kata`griya' dan `omah' adalah sama artinya, hanyapenggunaannya yang berbeda. Kata griyamenunjuk pada tingkatan atau tataran kramasedangkan kata omah digunakan dalamtingkatan atau tataran krama-ngoko.

    Dari Bausastra Jawa Indonesia oleh PrawiroAtmodjo (B-PA)

    Griya ----- [tak ada]Omah/griya (k), dalem (ki): wewangunankang dienggoni (h.300)

    Dari Bausastra Djawa oleh WJS. Poerwa-darminto (B-WJSP)

    Grija k: omah (h.164)Omah 1. n grija k dalem ki: jejasan mawapajon kang dienggo dedoenoeng oetawadianggo kapreloean lijane; 2.n grija k:padoenoengan, kang didoenoengi; 3 kn wisgelem manggon (tmr kewan ingon-ingon,krasan) (h.450)

    Dengan mencermati B-WJSP "jejasanmawa payon kang dienggo dedoenoeng oetawadienggo kapreloean lijane" [bangunan beratapyang digunakan untuk tinggal atau untukkeperluan lainnya] kita mengetahui bahwamemang benar, griya/omah itu menunjuk padasebarang bangunan yang beratap. Karena itutidaklah mengherankan kalau Kawruh Griyamemunculkan `griya regol, griya pawon, griyagandhok,' yakni `bangunan regol, bangunandapur, bangunan gandhok'.

    Dengan pemahaman dalam masyarakatJawa bahwa griya/omah itu memiliki pengertianatas sebarang bangunan yang beratap, tidaklahmengherankan bila untuk bangunan yangdigunakan sebagai tempat tinggal penghuni/pemilik diberi sebutan `griya wingking' atau`omah mburi'. Sebutan lain yang diberikanadalah `dalem' yang sering pula disertai denganletaknya, sehingga menjadi `dalem wingking'.Kalau ada `griya wingking', apakah ada `griyangajeng' atau `omah ngarep'? Meskipun tidaksering digunakan, tetapi bangunan yang disebut

    tadi adalah bangunan pendapa (atau pandapa).Kemudian, bagaimanakah gambaran selengkap-nya dari sebuah rumah orang Jawa itu? Disamping griya-wingking dan pandapa (griya-ngajeng), dalam petikan di atas kita lihat adanya`griya regol' yaitu gapura atau gerbang masuk,`griya pawon' atau dapur, `griya gandhok' yaknigandok (bangunan tambahan yang bergandengpada griya-wingking), lumbung, kandhang dangedhogan (kandang kuda). Apabila diinginkangambaran yang paling lengkap, bangunan-bangunan itu ditambah lagi dengan pagongan(bangunan untuk memainkan musik/gamelan),pringgitan (bangunan perantara griya-ngajengdan griya-wingking), dan langgar atau sanggarpamujan (tempat sembahyang atau pemujaan).Tidak disangkal lagi, sebuah Rumah Jawaadalah sebuah lingkungan dengan sejumlahgugusan bangunan. Keletakan dari gugus-gugusbangunan ini dapat diperoleh dari gambaranyang diberikan oleh "Primbon Djawa PanditaSabda Nata" (himpunan R.Tanaja (1976) berikutini.

    Tumrap pepentingane omah marep mangi-dul lan regole ana ing sisih kidul marepmangidul, iku manggone omah bakune anaing tengah-tengah benering pomahan.Pandapane ana ing saakiduling omahPagongane ana sakuloning pandapaGandoke ana sawetaning omahPawone ana saloring omahKandang rajakaya ana sakidul wetaninggandokGedogan jaran ana sakiduling kandangrajakayaLanggar ana ing pojok pomahankang kidulkulonSanggar-pamujan ana ing pojok pomahankang lor kulonIsih nduweni latar ing ngarepan, lan keboning pungkuran, apa dene godagan ingkanan kering (h.13-14)2

    2 Terjemahan Indonesia adalah: Mengenai penggubahanyang baik atas rumah yang menghadap selatan, denganregol di selatan dan menghadap selatan, maka yang pokokomah[-mburi] berada tepat di tengah-tengah perumahan itu.Pandapa berada di selatan omah[-mburi], Pagongan beradadi barat pandapa, gandok berada di timur omah[-mburi],Pawon berada di utara omah[-mburi], Kandang hewanberada di tenggara gandok, Gedogan kuda berada di selatankandang hewan, Langgar berada di pojok perumahan yangsebelah barat daya, Sanggar-pamujan berada di pojokperumahan yang sebelah barat laut. Masih memiliki latar(pelataran) di bagian depan, keun di belakang, dangodhagan [=halaman bermain anak] di kiri kanannya.

  • DIMENSI TEKNIK SIPIL Vol. 27, No. 1, Juli 1999 : 30 - 36

    Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

    34

    Bersama dengan arsitektur Bali, keberadaandari arsitektur Jawa menjadi satu-satunyaarsitektur rumah tinggal yang memilikisekelompok gugus bangunan. Apakah hal inimenunjukkan bahwa antara Jawa dan Bali adaperkaitan-perkaitan yang dapat membantumendapatkan pemahaman atas arsitektur Jawa?Batasan wilayah pengkajian belum memungkin-kan penelusuran ini untuk menyentuh per-tanyaan itu. Kembali ke arsitektur Jawa,gambaran yang dipetik dari R.Tanaja inimemang sudah memperlihatkan perbedaan yangcukup mencolok dari naskah Kawruh Griya.Dalam semua redaksi Kawruh Griya bangunanlumbung menjadi gugus bangunan dari sebuahrumah Jawa, tetapi di R.Tanaja bangunan inisudah tidak dimunculkan. Membandingkansegenap gugus bangunan yang ada, ada ke-cenderungan kuat bahwa kelengkapan yangdisajikan oleh R.Tanaja adalah rumah daribangsawan atau elit Jawa, atau sekurang-kurangnya adalah rumah dari orang Jawa yangsudah tidak memiliki keterkaitan yang kuat atasseluk-beluk pertanian. Sebaliknya, yangdigambarkan oleh Kawruh Griya adalah rumahmasyarakat Jawa yang sangat erat perkaitannyadengan bidang pertanian. Dugaan seperti ininampaknya mendapat dukungan dari redaksi-redaksi Kawruh Griya.

    BERNAUNG DI BAWAH POHON

    Mendahului petikan yang disajikan di awalpasal ini, redaksi Kawruh Griya sebenarnyamenyampaikan hal berikut ini.

    Dari Kawruh Griya - Sesorah (G-Ses)Dados pikadjenganipoen petangan waoetijang soemoesoeping grija poenika dipoenoepamekaken angaoeb ing sangandapingkadjeng ageng, ingkang paedahipoen kadosingkang sampoen koela atoeraken waoe,dene toemrapipoen tijang gegrija ingkangboten djangkep wewitjalanipoen gangsalprakawis, sanepanipoen dateng pikadjenging nginggil, gotang salah satoenggalpaedahipoen.

    Dari G-SasDados tiyang sumusup ing griya punikadipun upamekaken ngaub ing sangandhappikajeng ageng ingkang paedahipun kadosing nginggil wau. Dene tumrapipundhateng tiyang gagriya ingkang boten

    jangkep wiwicalanipun gangsal prakawiswau. Inggih mesthi gothang salah satung-galipun, awit :1. Manawi tiyang punika tanpa griya utawi

    kakajengan tanpa sekar dados botenangresepaken inggih badhe tanpa uwoh.Sanadyan uwoh nanging mesthi badheboten mupangati ing gesangipun.

    2. Upami tiyang gagriya tan pandhapakaupamekaken kakajengan tanpa uwitdados boten jumeneng aranipun.

    3. Upami griya tanpa pawon sasaminipunkaupamekaken kakajengan tanpa uwohdados boten wonten ingkang kaajeng-ajeng ing gesangipun.

    4. [hal-21] Upami griya tanpa gegodhong-an kaupamekaken menggah kakajengantampa Epang godhong. Inggih badheboten adamel jenak ingkang ngaub.

    5. [h-25] Upami griya tanpa Regol tuwintanpa masjid kaupamakaken menggahing kakajengan ingkang tanpa oyotinggih badhe boten santosa adegipun.

    Dari G-SlaJadi, bagi orang yang masuk dalambangunan/rumah itu diumpamakan sebagaiberteduh dibawah pohon yang besar yangperlunya seperti diuraikan di atas. Adapununtuk bangunan/rumah yang tidak lengkap,ada lima bab hitungan, dikiaskan maksudseperti diatas, berkurang sesuatumanfaatnya.1. Bila orang tanpa rumah, diumpamakan

    pohon tanpa bunga, tidak enak dipan-dang, juga tidak akan berbuah. Umpamaberbuah, juga tidak bermanfaat bagikehidupan.

    2. Umpama orang mempunyai rumahtanpa pendapa, diumpamakan pohontanpa batang, jadi tidak dapat disebut.

    3. Umpama tanpa dapur, diumpamakanpohon tanpa buah, berarti tidak ada yangdiharapkan.

    4. Umpama tanpa kandang binatang(kandang binatang kerja), diumpamakanpohon tanpa daun, jadi panas tidak dapatuntuk ber-teduh.

    5. Umpama rumah tanpa gapura ataumasjid, diumpamakan pohon tanpa akar,jadi tidak dapat untuk berdiri.

    Tak pelak lagi, gambaran yang disajikandari petikan di atas menunjuk pada "gambaranideal" dari sebuah rumah Jawa. Dalam

  • GRIYA DAN OMAH (Josef Prijotomo)

    Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

    35

    gambaran ideal itu, sungguh menarik untukmengetahui bahwa berada di sebuah rumah ituadalah bagaikan bernaung di bawah pohon.Sebuah metafora yang sejauh peninjauanterhadap pemikiran dan pengkajian terhadaparsitektur Jawa belum pernah dimunculkan. Duakata kunci yang menarik untuk ditelusuri lebihdalam lagi adalah "bernaung" dan "pohon".

    Memiliki rumah tinggal, bertempat tinggaldi sana dan berada di dalam rumah, semua inimenunjuk pada seluk-beluk memiliki, me-nempati, berdiam, berlindung dan mendapatkanperlindungan, menyelenggarakan dan beristira-hat dari kegiatan di tempat tinggal kita.Bernaung, adalah tindakan yang merupakanusaha untuk menghindarkan diri dari sengatanmatahari dan curahan air hujan; bernaungmerupakan usaha untuk dapat terhindar daricuaca dan iklim yang kurang menguntungkan.Untuk Indonesia yang hanya memiliki musimkemarau dan musim penghujan, maka iklimbukanlah sebuah ancaman bagi keselamatan danhidup manusianya. Iklim di Indonesia tidakmematikan, tidak mendatangkan kematian.Dengan demikian, bernaung tidaklah tindakanuntuk menghindarkan dan melarikan diri dariiklim; bernaung membiarkan iklim melakukantugasnya, sedangkan kita membiarkan diri kitatetap melakukan kontak dengannya. Bernaungjuga mengandung pengertian bahwa kita beradadi bawah sesuatu; bernaung berarti menempat-kan diri di bawah sesuatu; dan bernaung menjadipernyataan bahwa ada sesuatu yang di atas kita.Sesuatu yang di atas kita menjadi sangat pentingdan sangat menentukan bagi tindakan bernaungini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan biladi sini atap bangunan, payung yang dibentang-kan, topi lebar yang dikenakan di kepala,ataupun daun pisang yang untuk sementarawaktu dijadikan payung dan penghindar kepaladari siraman hujan dan/atau terik matahari,kesemuanya itu menjadi sangat penting.Menghadirkan atap, dengan demikian, adalahpernyataan bahwa kita menetapkan pernaungan.Seperti halnya topi lebar yang merupakanpenaung dan sekaligus adalah hiasan kepala,kiranya demikian pula halnya dengan atapbangunan. Maksudnya, atap bangunan memilikipeluang untuk dipadankan, diandaikan, dandinyatakan sebagai topi lebar, sebagai penutupkepala dan sebagai hiasan kepala. Kenyataan diIndonesia di mana masing-masing etnikmemiliki rupa dan ragam penutup/hiasan kepala,demikian pula halnya dengan kekayaan ragambangun dan rupa atap bangunannya. Akhirnya,

    pengkaitan makna taju(g/k), joglo, limasan dankampung dari tipe-tipe atap Jawa denganpenutup/hiasan kepala adalah sangat berterimaadanya. Apakah ini merupakan pertanda palingtua dalam penelusuran makna dari tipe-tipeatap? Hanya dengan menggunakan satu sumbersaja sebagai bahan untuk menjawab tentu sajakurang bijaksana, dan ini berarti bahwadiperlukan penghimpunan bahan yang lebihbanyak lagi dalam usaha untuk menjawabpertanyaan tadi.

    PENUTUP

    Mengandaikan rumah tinggal denganpohon menunjuk pada beberapa kemungkinanpenelusuran. Pertama-tama, sebagaimana petik-an di atas telah mununjukkan, pengkaitandengan pohon merupakan kesempatan yangbagus untuk melakukan pengkaitan antarasebutan-sebutan dengan pohon. Maksudnya,kalau keseluruhan rumah tinggal diandaikandengan pohon, dapatlah di sini dianggap bahwamakna yang paling berpatutan dari setiapsebutan Sri-Kitri-Gana-Liyu-Pokah adalah yangmampu merujuk atau mengacu pada pohon ataubagian-bagian pohon. Jadi, kalau misalnya saja,Sri oleh Hamzuri dikaitkan dengan Dewi Sri,sedangkan dalam redaksi lain dikatakan bahwayang benar adalah Sari karena sari adalahkembang/bunga, serbuk sari dari kembang, atausaripati kembang, tentunya akan lebihdibenarkan kalau sebutan untuk nilai hitungan 1itu adalah Sari, bukan Sri, demikian seterusnya.Yang kedua, mengingat bahwa dari petikan diatas ditunjukkan jenis-jenis bangunan yangpaling langsung memperoleh pengandaian atasbagian-bagian pohon (misalnya pendapadiandaikan dengan batang pohon), cukupberalasan pula untuk mengatakan bahwa jenis-jenis bangunan itu pulalah yang menjadi gugus-gugus bangunan yang minimal dan idealsebaiknya dihadirkan dalam sebuah lingkunganrumah tinggal. Sebagai konsekuensinya,dapatlah diterima bila dalam semua redaksiKawruh Griya ditegaskan bahwa sebutan-sebutan itu harus dengan tepat digunakan bagipengukuran jenis bangunan, bukan digunakanuntuk membuat tipe atap tertentu. Membangunrumah tinggal, lalu bagaikan menanam pohon;sedangkan membuat atap adalah bagaikanmenghadirkan hiasan kepala. Keadaan inipulalah yang mungkin menjadi penyebabmengapa redaksi Kawruh Griya terkelompokkan

  • DIMENSI TEKNIK SIPIL Vol. 27, No. 1, Juli 1999 : 30 - 36

    Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

    36

    ke dalam dua redaksi utama. Redaksi pertamaadalah yang meletakkan penjelasan sebutanhitungan dalam pasal yang menerangkan tentangpengukuran kerangka utama bangunan (tiang-utama/sakaguru dan balok/blandar); sedangkanpada redaksi kedua menempatkannya padapenghitungan banyaknya usuk atap bangunan.Kalau pada redaksi terdahulu dipakai anggapandi mana membangun rumah adalah bagaikanmenanam pohon; maka dalam redaksi keduapenekanannya adalah membangun atap ituadalah bagaikan membuat dan memasangkanhiasan kepala.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Prijotomo, Josef, Petungan: Sistem Ukurandalam Arsitektur Jawa; Gadjah MadaUniversity Press; Yogyakarta, 1995.

    2. S. Prawiro Atmaja, Bausastra Jawa ;cetakan 2; Yayasan Djojo Bojo; Surabaya,1990.

    3. Tanaja R., Primbon Djawa Pandita SabdaNata; TB.Pelajar; Surakarta, 1976.

    4. Poerwadarminta, WJS., Baoesastra Djawa ;JB.Wolters; Groningen, 1939.

    5. Kawroeh Grija - naskah berbahasa Jawaadan berhuruf Jawa disiapkan olehMangoendarma tahun 1906 - microfilm Ll12, (rol 103 no 4) (naskah ini sudahdilatinkan).

    6. Kawruh Griya - naskah berbahasaIndonesia. Diindonesiakan pada tahun 1969terhadap naskah yang ditulis oleh SoetoPrawiro

    7. Griyanipun Tiyang Jawi - naskah berbahasaJawa dengan tulisan latin. Dilatinkan olehSuroso pada tahun 1982

    8. Pamilihing Kajeng Jati. Wejangan KiDikara disimpan di Perpustakaan ReksaPustaka Surakarta.

    9. Pamilihipoen Kadjeng Djati sarta panda-melipoen Grija wewangoenan Djawi -berupa naskah ceramah dari Mas BehiSastrasoekarja tahun 1934

    10. Kawroeh Kambeng - dimiliki oleh yayasanPaheman Radya Poestaka - Surakarta.

    11. Kawruh Kambeng Mangkunegaran -Microfilm LL 14 (rol 103 no.6)

    12. Serat Tjarijos Bab Kawroeh Kalang -ditulis oleh R.Sasra Wirjatna tahun 1928

    13. Kawruh Kalang 1882-Kapatihan, Solo

    14. Titika Wisma - disimpan di Universiteit-bibliotheek Leiden dengan kode Cod.Or.10.0778